OPEN ACCES
Vol. 12 No. 2: 220-227 Oktober 2019
Peer-Reviewed
AGRIKAN
Jurnal Agribisnis Perikanan (E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072) URL: https: https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/
DOI: 10.29239/j.agrikan.12.2. 220-227
Kandungan Gizi Bulu Babi (Echinoidea)
(Nutrient Contains in Sea Urchin (Echinoidea))
Anita Padang1, Nurlina2, Tahir Tuasikal2 dan Rochman Subiyanto3
1STIKES Pasapua Ambon Jl. Suli Raya Waiyari Maluku Tengah, Ambon, Indonesia, Email : [email protected]
2Universitas Darussalam Ambon Jl. Waehakila Puncak Wara Sirimau, Ambon, Indonesia, Email : - 3Balai Perikanan Budidaya Laut, Jl. Leo Wattimena Waiheru, Ambon, Indonesia, Email : -
Info Artikel:
Diterima : 19 Agust. 2019
Disetujui : 21 Okt. 2019
Dipublikasi : 22 Okt. 2019
Artikel Penelitian
Keyword:
Echinoidea, Bulu babi, Gizi,
Tanjung Metiell, Sea Urchin,
Nutrient
Korespondensi:
Anita Padang
Univ. 1STIKES Pasapua
Ambon, Ambon, Indonesia
Email: [email protected]
Copyright© Oktober 2019
AGRIKAN
Abstrak. Bulu babi (Echinoidea) merupakan kelompok hewan lunak bercangkang, tidak memiliki tulang
belakang dan termasuk filum Echinodermata. Bagian tubuh bulu babi yang biasa dimanfaatkan untuk dimakan
adalah gonad atau telurnya. Gonad bulu babi merupakan makanan laut yang bergizi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kandungan gizi bulu babi di perairan Tanjung Metiella dan dilakukan pada bulan April
2016 dalam 2 tahap yaitu : 1) Koleksi sampel bulu babi di perairan Tanjung Metiella Desa Liang Kecamatan
Salahutu Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, 2) Uji kandungan gizi di Laboratorium Balai Riset
dan Standarisasi Industri Ambon meliputi kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat dengan mengacu
pada SNI-01-2891-1992. Hasil penelitian diperoleh kandungan gizi bulu babi jenis Diadema setosum yaitu
kadar air 77,56%, abu 2,54%, lemak 2,36%, protein 14,57% dan karbohidrat 3,17% sedangkan jenis
Echinotrix calamaris yaitu kadar air 79,41%, abu 2,42%, lemak 2,68%, protein 14,07% dan karbohidrat
6,14%. Parameter lingkungan yang terukur selama penelitian yaitu suhu 28-30 C, salinitas 31-32‰, pH 6-
7, kecerahan 100% dan kedalaman perairan 1 m. Kandungan gizi bulu babi Diadema setosum dan Echinotrix
calamaris dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan pengganti ikan dan parameter lingkungan mendukung
pertumbuhan bulu babi.
Abstract. Sea urchins (Echinoidea) are Echinoderms filum that is a group of a soft-shelled animals and lack of
the backbone. The part of sea urchins that can be consumed is the gonad or the eggs. The gonads of sea urchins
are a nutrient sea food. This research is aimed to investigate the nutrient which contains in sea urchins,
especially in Tanjung Metiella coast. This research was hold in April 2016 in 2 steps they are: 1) Collecting the
sea urchin samples in Tanjung Metiella coast, Liang Village, Salahutu District, Central Maluku Regency,
Maluku Province, 2) Nutrient test which contains in the sea urchin we did the test in Laboratory of Research
and Industry Standardization Bureau of Ambon includes waters, ashes, fats, proteins and carbohydrates
content with reference to SNI-01-2891-1992. The results of the analysis obtained the nutrient content of the
Diadema setosum sea urchins they are 77.56% of waters content, 2.54% of ashes, 2.36% of fats, 14.57% of
proteins and 3.17% of carbohydrates while the Echinotrix calamaris sea urchins contains 79.41% of waters
content, 2.42% of ashes, 2.68% of fats, 14.07% of proteins and 6.14% of carbohydrates. The environmental
parameters which measured during the sample collecting process are the temperature 28-30 C, salinity 31-
32‰, pH 6-7, 100% of brightness and 1 m of coastal depth. The nutrient content of sea urchins Diadema
setosum and Echinotrix calamaris can be used as a source of food instead of fish and environmental parameters
support the growth of sea urchins.
I. PENDAHULUAN
Bulu babi merupakan kelompok hewan
lunak bercangkang dan termasuk dalam filum
Echinodermata serta tidak memiliki tulang
belakang (Avertebrata) (Radjab dkk, 2010). Hewan
yang memiliki nama internasional sea urchin atau
edible sea urchin ini tidak mempunyai lengan.
Tubuhnya umumnya berbentuk seperti bola
dengan cangkang yang keras berkapur dan
dipenuhi duri-duri (Nontji, 2005).
Suwignyo dkk (2005) mengemukakan
bahwa secara morfologi, tubuh bulu babi
berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak
bertangan, mempunyai duri-duri panjang yang
dapat digerakkan. Semua organ tubuhnya terdapat
di dalam tempurung, yang terdiri dari 10 keping
pelat ganda, biasanya bersambung dengan erat,
yaitu pelat ambulakral yang berlubang-lubang
tempat keluarnya kaki tabung. Pada permukaan
tempurung terdapat tonjolan-tonjolan pendek
yang membulat, tempat menempelnya duri.
Kebanyakan bulu babi mempunyai dua duri, duri
panjang atau utama dan duri pendek atau
sekunder.
Kerangka luarnya mengandung zat kapur
dan mempunyai duri yang banyak. Duri-duri
tersebut hampa dan mudah patah (retak) serta
mempunyai lubang sendi yang cekung pada
dasarnya. Biasanya ujung duri-duri itu bulat atau
runcing dan mempunyai zat perangsang atau bisa.
Bentuk duri dapat berubah-ubah sesuai dengan
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
221
kondisi lingkungan hidupnya (Suwignyo dkk,
2005) .
Bulu babi banyak ditemukan di daerah
padang lamun dan terumbu karang, daerah yang
berpasir atau pasir berlumpur biasa juga
didapatkan di atas pecahan karang, serta
menyukai perairan yang jernih dan tenang (Aziz,
1994). Aziz dan Sugiarto (1994) menjelaskan bahwa
bulu babi menyukai substrat yang agak keras
terutama substrat di padang lamun campuran yang
terdiri dari pasir dan pecahan karang.
Bagian dari bulu babi yang biasa
dimanfaatkan untuk dimakan adalah gonad atau
telurnya, baik gonad jantan maupun gonad betina
(Aziz, 1993). Bulu babi beraturan mempunyai lima
gonad yang tergantung sepanjang bagian dalam
inter ambulakral pada daerah aboral (Hyman,
1955).
Gonad atau telur bulu babi dimanfaatkan
sebagai bahan makanan karena mempunyai nilai
gizi yang tinggi (Chasanah dan Andamari, 1998
dalam Radjab, 2001). Selanjutnya Hasan (2002)
megemukakan bahwa gonad bulu babi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan yaitu
berupa produk fermentasi penggaraman
(unishiokara).
LIPI (2003) dalam Toha (2006)
menyebutkan bahwa gonad bulu babi
mengandung 13 jenis asam amino, delapan di
antaranya asam amino esensial (lisin, metionin,
treonin, valin, arginin, histidin, triptofan dan
fenilalanin), sisanya adalah asam amino non
esensial (serin, sistein, aspartat, glutamat dan
glisin). Sedangkan Lee dan Hard (1982) dalam Aziz
(1995) mengemukakan bahwa gonad bulu babi
jenis Psammechinus mengandung sekitar 28
macam asam amino. Selain itu gonad bulu babi
juga kaya akan vitamin B kompleks, vitamin A
dan mineral (Kato dan Schoeroter, 1985 dalam
Aziz, 1995). Sebagai bahan pangan, gonad
memiliki kandungan gizi yang baik. Gonad
mengandung protein, lipid dan glikogen, juga
kalsium, fosfor, vitamin A, B, B2, B12, asam
nikotinik, asam pantotenik, asam folik dan karotin
(Kato dan Schroeter, 1985 dalam Toha, 2006).
Perairan Tanjung Metiella merupakan
perairan yang produktif serta memiliki banyak
sumberdaya hayati laut salah satunya bulu babi.
Sebagaimana yang ditemukan oleh Nurlina (2015)
ada 5 jenis bulu babi yaitu Diadema setosum,
Echinothrix calamaris, Tripneustes gratilla,
Echinometra mathaei, dan Clypeaster reticulatus.
Penelitian ini dilakukan pada musim timur
dimana hanya ditemukan 2 jenis bulu babi pada
lokasi penelitian yaitu Diadema setosum dan
Echinotrix calamaris.
Tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui kandungan gizi bulu babi perairan
Pantai Tanjung Metiella desa Liang Kecamatan
Salahutu Kabupaten Maluku Tengah dan
diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan serta
menjadikan bulu babi sebagai bahan makanan
alternatif yang bergizi tinggi.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan April
2016 dalam 2 tahap yaitu 1). Koleksi sampel bulu
babi di perairan pantai Tanjung Metiella Desa
Liang Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku
Tengah Provinsi Maluku, 2). Uji kandungan gizi
bulu babi di Laboratorium Balai Riset dan
Standarisasi Industri Ambon.
Sampel bulu babi dikoleksi secara bebas di
perairan Pantai Tanjung Metiella Desa Liang
Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah
pada daerah yang tidak ada lamun dengan substrat
berbatu. Bulu babi yang ditemukan langsung
dimasukkan ke dalam kotak sampel kemudian
dibawa ke Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon
untuk diberikan oksigen guna menjaga kelulusan
hidup bulu babi sebelum dilakukan pembedahan
untuk pengambilan gonad.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber : LIPI, 2015)
Gonad diambil dengan cara cangkang bulu
babi dibelah menjadi dua bagian dengan
menggunakan pisau, kemudian mengambil gonad
dengan menggunakan pinset. Selanjutnya gonad
dimasukan ke dalam wadah untuk dibawa ke
Balai Riset dan Standarisasi Industri Ambon
untuk dianalisa kandungan gizinya. Analisa
kandungan gizi meliputi kadar air, abu, lemak,
LOKASI PENGAMBILAN SAMPEL
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
222
Standar
Acuan
Air
(%)
Abu
(%)
Lemak
(%)
Protein
(%)
Karbohidrat
(%)
Diadema setosum 77, 56 2,54 2, 36 14, 57 3, 17
Echinotrix calamaris 79, 41 2,42 2, 68 14, 07 6, 14
Parameter
SNI-01-
2891-
1992
Jenis Bulu Babi
protein dan karbohidrat dengan mengacu pada
SNI-01-2891-1992.
Pengukuran parameter kualitas air meliputi
suhu, salinitas, pH, kedalaman, kecerahan dan
pengamatan substrat dilakukan bersamaan pada
saat pengambilan sampel.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kandungan Gizi
Hasil analisa kandungan gizi bulu babi,
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Hasil Analisa Gizi Bulu Babi
(Sumber : Data Primer, 2016)
McAlister dan Moran (2012) menyatakan
bulu babi memiliki tiga komponen biokimia yang
penting yaitu protein, lemak dan karbohidrat.
Ketiga komponen ini merupakan penyedia energi
bagi bulu babi dan penyusun struktur elemen
dalam proses pembentukan dan perkembangan
telur.
Walker et al (2007) menyatakan gonad bulu
babi terdiri atas 2 bagian yakni sel-sel germinal
(sel-sel reproduksi) dan sel-sel nutrisi. Protein,
lemak dan karbohidrat (glikogen) merupakan
bagian dari sel-sel nutrisi gonad bulu babi. Dalam
proses pematangan gonad, protein, lemak dan
karbohidrat (glikogen) akan mengalami
penurunan sedangkan kadar air akan mengalami
peningkatan, karena ketiga zat gizi ini yang
dipakai selama proses pematangan gonad. Setelah
proses pematangan, maka gonad siap untuk
melakukan proses pemijahan. Gonad yang telah
matang atau dewasa akan ditandai dengan volume
gonad yang memenuhi bagian dalam cangkang
dan ukurannya yang berkisar antara 80-100 μm.222
a. Kadar Air222
Kadar air gonad bulu babi perairan pantai
Tanjung Meteilla yaitu Diadema setosum sebesar
77,56% dan Echinotrix calamaris 79,41%. Kadar air
kedua jenis bulu babi ini memiliki nilai yang
berbeda dengan hasil penelitian Afifudin dkk
(2014) yaitu kadar air gonad bulu babi Diadema
setosum 66,86% dan Echinotrix calamaris 76,27%.
Kadar air bulu babi Diadema setosum yang
ditemukan juga berbeda dengan yang ditemukan
oleh Hadinoto dkk (2016) di beberapa perairan
Maluku sebesar 71,95%-77,31% ; Tupan dan
Silaban (2017) di perairan Martafons (79,73%),
Sopapei (73,76%) dan Waai (84,13%) ; Zlatanos et
al, 2009 sebesar 64,9%,
Perbedaan kadar air tersebut dapat terjadi
karena beberapa faktor. Menurut Irianto dan
Soesilo (2007) komposisi kimia bulu babi
tergantung pada spesies, umur, jenis kelamin,
musim penangkapan, ketersediaan pakan di air,
habitat dan kondisi lingkungan.
Darsono (1986) menyatakan bahwa gonad
bulu babi berkualitas baik memiliki tekstur
kompak dan padat, namun pada saat telah
mencapai fase matang (dewasa) tekstur gonad
lebih lunak dan berlendir ini diduga disebabkan
karena tingginya kadar air pada gonad.
Tingginya kadar air gonad bulu babi juga
disebabkan habitat bulu babi yang seluruh fase
hidupnya berada dalam perairan. Kadar air bulu
babi sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan
gonad. Gonad dalam kondisi matang, kurang
disukai karena teksturnya lembek dan kandungan
airnya tinggi sedangkan gonad pada proses
pertumbuhan lanjut (recovery) lebih disukai
karena tekstur gonad pada saat itu padat dan
kompak. Fungsi air sangat khas yakni
mempengaruhi kenampakan tekstur dan cita rasa
pada bulu babi (Darsono, 1986).
b. Kadar Abu
Kadar abu gonad bulu babi Diadema
setosum sebesar 2,54% dan Echinotrix calamaris
sebesar 2,42%. Kadar abu bulu babi di Tanjung
Metiella lebih rendah jika dibandingkan dengan
yang ditemukan oleh Zlatanos et al (2009) yakni
Diadema setosum 2,72%, namun lebih besar dari
hasil penelitian Afifudin dkk (2014) yaitu Diadema
setosum 2,09% dan Echinotrix calamaris 1,74%.
Hasil penelitian lainnya tentang kadar abu
gonad Diadema setosum yang ditemukan juga
berbeda dengan yang ditemukan Hadinoto dkk
(2016) di perairan Maluku yaitu perairan Liang
(3,26%), Waai (2,06%) dan perairan Sila (2,74%) ;
Tupan dan Silaban (2017) di perairan Martafons
(0,20%) Sopapei (0,53%) dan Waai sebesar (2,12%) ;
Akerina dkk (2015) sebesar 2,72%.
Kadar abu dari masing-masing spesies
berbeda-beda, tergantung dari lokasi dan
ketersediaan mineral pada habitat bulu babi
tersebut. Walaupun diperlukan dalam jumlah
sedikit, mineral juga diperlukan untuk proses
metabolisme dan pertumbuhan (Hammer et al
2006). Kadar abu merupakan akumulasi dari
semua jenis mineral dan komponen anorganik
yang ada pada suatu bahan pangan, salah satunya
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
223
adalah bulu babi yakni untuk fungsi fisiologis
(Irawan, 2007).
Menurut Purwaningsih (2012) adanya
perbedaan kadar abu pada setiap spesies diduga
karena setiap organisme mempunyai kemampuan
yang berbeda dalam mengabsorpsi logam,
sehingga logam yang berasal dari makanan dan
lingkungan akan terakumulasi di dalam tubuh
dalam kadar yang berbeda pula. Kondisi
lingkungan, misalnya kualitas air dan
ketersediaan makanan juga dapat berpengaruh
terhadap kandungan mineral pada organisme yang
hidup di dalamnya.
c. Kadar Lemak
Kadar lemak gonad bulu babi pada
penelitian ini yaitu Diadema setosum sebesar
2,36% dan Echinotrix calamaris sebesar 2,68%.
Kadar lemak yang ditemukan lebih rendah dari
Afifudin dkk (2014) yaitu kadar lemak bulu babi
Diadema setosum 6,89% dan Echinotrix calamaris
5,71%, dan Akerina dkk (2015) yaitu Diadema
setosum 19,73%.
Kadar lemak gonad Diadema setosum yang
ditemukan juga berbeda dengan yang ditemukan
oleh Hadinoto dkk (2016) di perairan Liang (0,89%),
Waai (0,98%) dan perairan Sila (2,28%); Tupan dan
Silaban (2017) di perairan Martafons (3,47%),
Sopapei (5,81%) dan Waai (0,85%).
Perbedaan kadar lemak pada gonad bulu
babi diduga karena fase gametogenesis pada
setiap spesies tidak sama, selain itu juga
dipengaruhi oleh pola makan dari organisme itu
sendiri. Purwaningsih (2012) menyatakan bahwa
perbedaan kadar lemak dapat dipengaruhi oleh
tingkat kematangan gonad dan umur suatu
spesies.
Faktor yang mempengaruhi kandungan
lemak dalam gonad bulu babi salah satunya
adalah makanan.McAlister dan Moran (2012)
menyatakan bahwa terdapat 2 jenis sumber bahan
makanan bulu babi yaitu non-planktonik yang
bukan berasal dari plankton tapi berasal dari
kuning telur induknya dan planktotrofik yang
berasal dari fitoplankton maupun zooplankton.
Faktor lain yang juga mempengaruhi
tingginya kadar lemak yaitu ukuran gonad, gonad
bulu babi yang berukuran besar secara
proporsional mengandung lemak yang lebih
banyak (Tupan dan Silaban, 2017). Kandungan
lemak yang tinggi cenderung menghasilkan
volume gonad yang besar, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai cadangan energi untuk
proses perkembangannya (Byrne et al, 2008).
d. Kadar Protein
Kadar protein bulu babi yang ditemukan
yaitu Diadema setosum sebesar 14,57% dan
Echinotrix calamaris sebesar 14,07%. Kadar protein
Diadema setosum berbeda dengan yang ditemukan
oleh Hadinoto dkk (2016) di beberapa perairan
Maluku yaitu perairan Liang (12,43%), Waai
(13,37%) dan perairan Sila (14,78%); Tupan dan
Silaban (2017) di perairan Martafons (12,80%),
Sopapei (17,69%) dan Waai (5,40%) serta Afifudin
dkk (2014) yaitu Diadema setosum 12,60% dan
Echinotrix calamaris 11,40%.
Perbedaan kadar protein yang ditemukan
dengan hasil penelitian yang lain diduga karena
jenis bulu babi dan habitat yang berbeda. Menurut
Tupan dan Silaban (2017) perbedaan kadar protein
dikarenakan tingkat kematangan gonad, dimana
gonad yang berukuran besar dan berwana kuning
secara proporsional mengandung protein yang
lebih banyak. Sedangkan menurut Afifudin, dkk
(2014) faktor jenis, umur, ukuran, dan kondisi
lingkungan atau habitat juga berpengaruh
terhadap kandungan protein.
Bulu babi diketahui merupakan salah satu
produk perikanan yang memiliki kandungan
protein tinggi. Fungsi protein sangat khas yakni
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan
tubuh makhluk hidup, fungsi ini tidak dapat
digantikan oleh zat gizi yang lain (Afifudin, 2014).
e. Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat bulu babi di Tanjung
Metiella yaitu Diadema setosum sebesar 3,17% dan
Echinotrix calamaris sebesar 6,14%. Kadar
karbohidrat yang ditemukan berbeda dengan
Afifudin dkk (2014) yaitu Diadema setosum sebesar
11,58% dan Echinotrix calamaris sebesar 4,90%.
Sedangkan Tupan dan Silaban (2017)
mendapatakan kadar karbohidrat gonad bulu
Diadema setosum di perairan Martafons (3,80%),
Sopapei (2,11%) dan Waai (7,50%).
Karbohidrat merupakan salah satu
komponen biokimia yang penting bagi bulu babi
karena berfungsi sebagai penyedia energi dan
penyusun struktur elemen dalam proses
pembentukan dan perkembangan telur (Afifudin,
2014).
2. Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan Tanjung Metiella
yang terukur selama penelitian dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
224
Tabel 2. Parameter Lingkungan
No Parameter Perairan Kisaran
1 Suhu (C) 28-30
2 Salinitas (‰) 31-32
3 pH 6-7
4 Kecerahan (%) 100
5 Kedalaman (m) 1
(Sumber : Data Primer, 2016)
Gonad bulu babi berbeda kandungan gizi
antara suatu tempat dengan tempat lainnya, hal ini
disebabkan adanya perbedaan parameter
lingkungan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Siikavuopio et al. (2006) dalam Nasrullah dkk
(2018) bahwa Indeks Kematangan Gonad (IKG)
bulu babi bervariasi dari suatu tempat ke tempat
lainnya oleh karena siklus reproduksi bulu babi
dipengaruhi oleh musim, suhu dan photoperiode
dan kondisi geografis.
a. Suhu
Suhu Tanjung Meteilla selama penelitian
berkisar antara 28-30C. Kodisi yang sama juga
ditemukan Lubis dkk (2016) di pulau Panjang
Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Bangka
berkisar antara 28-31C; Suryanti dan Ruswahyuni
(2014) di Pancuran Belakang Karimunjawa Jepara
sebesar 27-31C; Tupan dan Silaban (2017)
disekitar Pulau Ambon sebesar 26-29C; Nasrullah
dkk (2018) di pantai Pantai Ahmad Rhangmayang
sebesar 26,5°C – 31°C; Noviana dkk (2019) di Pulau
Pasir Putih sebesar 30,46-30,9°C.
Suhu perairan Tanjung Meteilla masih
berada pada kisaran yang baik untuk kehidupan
bulu babi (Echinoidea). Sebagaimana pernyataan
Aziz (1994) bahwa suhu yang dapat ditolerir oleh
organisme bulu babi berkisar antara 25-35C, dan
pada kisaran suhu 36-40C bulu babi akan
mengalami kematian massal, selanjutnya
Budiman dkk (2014) dalam Lubis dkk (2016)
menyatakan bahwa suhu 28-32C termasuk
kondisi baik bagi bulu babi.
Suhu perairan sangat mempengaruhi
pertumbuhan bulu babi (Mos et al, 2012). Suhu
perairan juga dapat mempengaruhi proses
metabolisme dan siklus reproduksi bulu babi
(Nasrullah dkk, 2018). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Vaitilingon et al (2005) bahwa
keragaman atau variabilitas kematangan gonad
dan siklus reproduksi diakibatkan oleh faktor-
faktor lingkungan seperti temperatur, fotoperiode,
ketersediaan makanan dan hidrodinamis.
Kesemua faktor-faktor berpengaruh terhadap
silkus periode dan tergantung pada lokasi
geografis.
b. Salinitas
Salinitas terukur pada lokasi penelitian
yaitu 31-32‰, sedangkan yang ditemukan oleh
Lubis dkk (2016) di pulau Panjang Kabupaten
Bangka Tengah Provinsi Bangka berkisar antara
34-35‰; Suryanti dan Ruswahyuni (2014) di
Pancuran Belakang Karimunjawa Jepara sebesar
30-32‰; Tupan dan Silaban (2017) disekitar Pulau
Ambon sebesar 31-39 ‰; Nasrullah dkk (2018) di
pantai Pantai Ahmad Rhangmayang sebesar 28-
30‰; Noviana dkk (2019) di Pulau Pasir Putih
sebesar 31,58-32,25‰.
Salinitas Tanjung Meteilla selama penelitian
mendukung kehidupan bulu babi, sebagaimana
pernyataan Aziz (1987) bahwa kisaran salintas
yang dapat ditolerir oleh bulu babi adalah 30-34‰.
Selanjutnya Tana (1983) dalam Aslan dkk (1997)
mengemukakan bahwa bulu babi hidup pada
kisaran salinitas 32-35‰. Hutauruk (2009) dalam
Lubis dkk (2016) menyatakan nilai salinitas 34-35‰
masih tergolong normal untuk kehidupan bulu
babi. Menurut Zakaria (2013) dalam Lubis dkk
(2016) bahwa salinitas perairan sebesar
34-35‰ masih layak untuk kehidupan bulu babi
(Echinoidea). Salinitas merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan larva bulu babi (Aziz, 1994).
c. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman yang ditemukan di
Tanjung Metiella sebesar 6-7. Sedangkan
penelitian Lubis dkk (2016) di pulau Panjang
Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Bangka
sebesar 8,0; Suryanti dan Ruswahyuni (2014) di
Pancuran Belakang Karimunjawa Jepara sebesar
7-8; Tupan dan Silaban (2017) disekitar Pulau
Ambon sebesar 7; Nasrullah dkk (2018) di pantai
Pantai Ahmad Rhangmayang sebesar 7-7.3;
Noviana dkk (2019) di Pulau Pasir Putih sebesar
7,48-7,74.
Nilai pH yang ditemukan di Tanjung
Meteilla lebih rendah dari kisaran nilai yang
dapat ditoleransi oleh bulu babi. Hal yang sama
juga ditemukan oleh Afifa dkk (2017) di perairan
Pulau Menjangan Kecil Kepulauan Karimunjawa
Jepara yaitu sebesar 6 dan 8. pH yang baik bagi
bulu babi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Aziz (1987), yaitu berkisar antara 7-9. Selanjutnya
Zakaria (2013) dalam Lubis dkk (2016) menyatakan
bahwa pH 7,0-8,5 merupakan taraf toleransi hidup
yang baik bagi bulu babi; Wibowo et. al. (1997)
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
225
dalam Firmandana dkk (2014) menyatakan nilai pH
yang baik bagi bulu babi adalah 7-8.
d. Kedalaman
Pengambilan sampel bulu babi di Tanjung
Meteilla mulai dari daerah intertidal sampai
kedalaman 1 meter sedangkan Noviana dkk (2019)
di Pulau Pasir Putih berkiasr antara 42-75,5cm.
Menurut Aziz (1994) bulu babi dapat ditemui
mulai dari daerah pasang surut sampai kedalaman
10 m, sedangkan (Strorer dan Usinger, 1957 dalam
Manik, 1987) mengemukakan bahwa habitat bulu
babi adalah perairan dangkal mulai dari zona
intertidal sampai ke ujung paparan benua dengan
kedalaman rata-rata 200 meter, tetapi ada beberapa
yang hidup pada kedalaman 2000-8000 meter.
e. Kecerahan
Kecerahan pada lokasi penelitian
didapatkan sebesar 100% hingga ke dasar perairan.
Kecerahan sangat berhubungan dengan penetrasi
cahaya, kecerahan yang tinggi membuat penetrasi
cahaya juga menjadi tinggi Suryanti dan
Ruswahyuni (2014).
Kecerahan perairan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain kedalaman, cuaca serta
zat-zat yang terlarut yang berada di perairan
tersebut. Aziz (1995) mengemukakan bahwa
kecerahan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan bulu babi, karena sinar matahari
dibutuhkan untuk proses pertumbuhannya.
Selanjutnya De Ridder dkk. (1989) dalam Lubis
dkk (2016) menyatakan bahwa kecerahan perairan
antara 0-20 m, merupakan kondisi yang baik bagi
bulu babi, sedangkan Budiman dkk (2014) dalam
Lubis dkk (2016) menyatakan kecerahan 3-5 m
sudah termasuk kondisi yang mendukung
pertumbuhan bulu babi.
f. Kondisi Substrat
Tipe substrat pada lokasi penelitian adalah
substrat berbatu (tidak ada lamun) pecahan karang
mati yang ditumbuhi alga. Hal yang sama juga
ditemukan Yudasmara (2013) yaitu tipe substrat
yang dihuni oleh sebagian besar bulu babi di
perairan Pulau Menjangan Kawasan Taman
Nasional Bali Barat adalah karang dan terdapat
alga, sedangkan tipe substrat pasir hanya sebagian
kecil bulu babi yang ditemukan. Juga penelitian
Huda dkk (2017) di pantai Jeding Taman Nasional
Baluran bahwa sebagian besar Echinoidea
ditemukan pada daerah yang memiliki substrat
batu dan batu karang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Barnes
(1987) yang mengemukakan bahwa beberapa jenis
bulu babi cenderung mencari karang di daerah
yang dalam atau bahan-bahan lain untuk digali.
Sidik (2001) dalam Huda dkk (2017) menyatakan
bahwa sebagian besar Echinoidea hidup di daerah
dengan substrat berbatu, terumbu karang dan
sebagian kecil pada daerah perairan dengan
substrat dasar berupa pasir dan lumpur.
Selanjutnya Suryanti dan Ruswahyuni
(2014) dalam Lubis dkk (2016) menyatakan bahwa
bulu babi (Echinoidea) secara umum ditemukan
pada habitat rataan terumbu karang, pasir berbatu,
batu berpasir dan daerah lamun, sedangkan
Budiman dkk (2014) dalam Lubis dkk (2016)
menyatakan bahwa pada daerah terumbu karang
memiliki kepadatan bulu babi yang tinggi.
IV. PENUTUP
Hasil analias kandungan gizi bulu babi
Diadema setosum dan Echinotrix calamaris
Tanjung Metiella, dapat dimanfaatkan sebagai
sumber makanan pengganti ikan dan parameter
lingkungan mendukung pertumbuhan bulu babi.
Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap
bulu babi jenis Tripneustes gratilla dan
Echinometra mathaei pada musim barat agar dapat
dijadikan data pembanding dan penelitian tentang
reproduksi dan dinamika populasi bulu babi di
Tanjung Metiella.
DAFTAR PUSTAKA
Afifa, F.H., Supriharyono dan Purnomo, P.W. 2017. Penyebaran Bulu Babi (Sea Urchins) di Perairan Pulau
Menjangan Kecil, Kepulauan Karimunjawa Jepara. Journal of Maquares Volume 6, Nomor 3,
Tahun 2017, Halaman 230-238.
Afifudin. I.K. 2014. Profil Asam Lemak dan Asam Amino Gonad Bulu Babi. Skripsi Departemen
Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Afifudin I.K, Suseno S.H, dan Jacoeb A.M. 2014. Profil Asam Lemak dan Asam Amino Gonad Bulu Babi.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 17 (1): 60-70.
Akerina F.O, Nurhayati T, Suwandy R. 2015.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
226
Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Antibakteri dari Bulu Babi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan
Indonesia 18 (1):61-73
Aslan, Derlen, Fatmawati. 1997. Komparative Morfhological AndEcological Studies Of Sympatric Sea
Urchin Genus Echinometra in Okinawa Coral Reefs. Tesis Doktor. Tohoku University. Japan.
Aziz, A., 1987. Makanan Dan Cara Makan Berbagai Jenis Bulu Babi. Oceana Majalah Ilmiah Semi
Populer.Vol.XII, No. 4.
Aziz, A., 1993. Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulu Babi. Oseana, Volume XVIII, Nomor 2: 65-75
Aziz, A., 1994. Tingkah Laku Bulu Babi Di Padang Lamun Oseana XIX No. 4: 35-43
Aziz, A. dan H. Sugiarto. 1994. Fauna Ekhinodermata Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan. Dalam :
W. Kiswara, M.K. Moosa dan M. Hutomo (eds.), Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di
Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta:
52 – 63.
Aziz, A., 1995. Beberapa Catatan Tentang Bulu Babi Meliang. Oseana Vol. XX No. 3,1995. Balai Penelitian
Dan pengembangan Bologi, LIPI. Jakarta. Hal 11-19.
Barnes, R. D., 1987. (5 th Edt). Invertebrata Zoology. W. B. Sauders Philadelphia. 632 p.
Byrne M., Sewell, M.A., Prowse, T.A.A. 2008. Nutritional Ecology of Sea Urchin Larvae: Influence of
Endogenous and Exogenous Nutrition on Echinopluteal Growth and Phenotypic Plasticity in
Tripneustes gratilla. Functional Ecology 22(4):643–648.
Darsono P. 1986. Gonad Bulu Babi. Oseana. 11(4): 151-162.
Firmandana,T.C., Suryanti dan Ruswahyuni. 2014. Kelimpahan Bulu Babi (Sea Urchin) Pada Ekosistem
Karang dan Lamun di Perairan Pantai Sundak, Yogyakarta. Diponegoro Journal Of Maquares
Management Of Aquatic Resources Volume 3, Nomor 4, Tahun 2014, Halaman 41-50
Hadinoto,S., Ignacius, D., Sukaryono dan Yessy. S. 2016. Kandungan Gizi Bulu Babi (Diadema setosum)
dan Potensi Cangkangnya Sebagai Antibakteri . Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah
Tahun 2016 Jilid 1: 260-265. Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Universitas Lambung Mangkurat
Hammer, H., Hammer B., Watts S, Lawrence A, Lawrence J. 2006. The effect of Dietary Protein and
Carbohydrate Concentration on the Biochemical Composition and Gametogenic Condition of
the Sea Urchin Lytechinus variegatus. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology
334(1):109-121. doi:10.1016/j. jembe.2006.01.015.
Hasan F. 2002. Pengaruh Konsentrasi Garam Terhadap Mutu Produk Fermentasi Gonad Bulu Babi Jenis
Tripneustes gratilla (L) [skripsi].Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan.
Huda, M.A.I., Sudarmadji dan Susantin, F. 2017. Keanekaragaman Jenis Echinoidea di Zona Intertidal
Pantai Jeding Taman Nasional Baluran. Jurnal Berkala SAINSTEK 2017, V (2): 61-65
Hyman, L. H. 1955. The Invertebrates : Echinodermata the Coelamata Bilateria. Vol. IV. Mc Graw – Hill
Book Company. New York. 763 hal.
Irawan, M.A. 2007. Nutrisi, Energi dan Perfoma Olahraga. Sports Science Brief 1(4):1–12.
Irianto, H.E dan Soesilo I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Seminar Nasional
Hari Pangan Sedunia; 2007, Nov 21; Cimanggu, Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 1-20.
LIPI. 2015. Lokasi Penelitian. UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon. Pusat Penelitian Oseanografi.
LIPI.
Lubis,S.A., Arief, A. P Dan Rofiza, Y. 2016. Spesies Bulu Babi (Echinoidea) Di Perairan Pulau Panjang
Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Bangka Belitung
Manik,N. 1983. Sekilas Mengenai Landak Laut. Oseana, Volume 20 (3). 37 – 46.
Manik,N. 1987. Sekelumit Tentang Landak Laut (Bulu Babi). Lonawarta. Tahun XI. No 31. Lembaga
Oseanologi Nasional – LIPI. Stasion Penelitian Ambon. Hal 31-41.
McAlister, J.S and Moran, A.L. 2012. Relationships among Egg Size, Composition, and Energy: a
comparative study of geminate sea urchins. Journal of
Mos, B., Cowden, K.L., dan Dworjanyn, S.A. 2012. Potential for the commercial culture of the tropical sea
urchin Tripneustes gratilla in Australia. RIRDC
publication No. 12/052 RIRDC project No. PRJ-006543.Pone 7(7):1-9.
Mukayat.D., 1990. Zoology Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. 349 Hal.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 12 Nomor 2 (Oktober 2019)
227
Nasrullah, R., Widya, S., Siska, M. 2018. Tingkat Kematangan Gonad Bulu Babi (Tripneustes gratilla) di
Pantai Ahmad Rhangmayang Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah Volume 3, Nomor 1: 23-32 Februari 2018 ISSN.
2527-6395
Nontji, A. 1978. Variasi Musiman Beberapa Faktor Ekologi di Perairan Teluk Jakarta. Oseanologi di
Indonesia. 11: 27-36.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta :Penerbit Djambatan. Jakarta. Hal. 201 - 209.
Noviana, N.P.E., Pande, G. S. J., Dewa. A.A. 2019. Distribusi dan Kelimpahan Bulu Babi (Echinoidea) Di
Perairan Pulau Pasir Putih, Desa Sumberkima, Buleleng, Bali. Current Trends in Aquatic
Science II (1), 22-29
Nurlina. 2015. Inventarisasi Jenis-Jenis Bulu Babi di Perairan Tanjung Metiella. Laporan Praktek Kerja
Lapangan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Darussalam Ambon.
Purwaningsih S. 2012. Aktivitas Antioksidan dan Komposisi Kimia Keong Mata Merah (Cerithidea
obtusa). Jurnal Ilmu Kelautan 17(1): 39–38.
Radjab, A.W. 2001. Reproduksi dan Siklus Bulu Babi (Echinoidea) Oseana, Volume XXVI, Nomor 3, 2001
: 25 -36
Radjab, A.W., Khouw, A.S., Mosse, J.W., Uneputty, P.A. 2010. Pengaruh Pemberian Pakan Terhadap
Pertumbuhan dan Reproduksi Bulu Babi (Tripneustes gratilla L) di Laboratorium.
Sumitro, S. B., U. Wijarni, A. Pramana, A. Soewondo, dan S. Samino. 1992. Inventarisasi Jenis, Habitat
dan Tingkah Laku Hewan Bulu Babi (Sea Urchin) di Jawa Timur serta Usaha Pemijahan dan
Pengembangan Teknik Kultur Embrio. Jurnal Universitas Brawijaya Volume 4 No. 2 Agustus
1992.
Suryanti dan Ruswahyuni. 2014. Perbedaan Kelimpahan Bulu Babi (Echinoidea) Pada Ekosistem Karang
dan Lamun di Pancuran Belakang, Karimunjawa Jepara Jurnal Saintek Perikanan Vol. 10 No.1 :
62-67, Agustus 2014.
Suwignyo S., Bambang, W., Yusli, W dan Majariana, K. 2005. Avertebrata Air Jilid 2. Penebar Swadaya
Jakarta
Toha, A.H.A. 2006. Manfaat Bulu Babi (Echinoidea), Dari Sumber Pangan Sampai Organisme
Hias(Function Of Sea Urchin (Echinoidea), from Food to Decoration Animal). Jurnal Ilmu-Ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia, Juni 2006, Jilid 13, Nomor 1: 77-82
Tupan,J dan Silaban,B. 2017. Karakteristik Fisik-Kimia Bulu Babi Diadema setosum
Dari Beberapa Perairan Pulau Ambon Jurnal Triton Volume 13, Nomor 2, Oktober 2017, Hal. 71 – 78
Vaitilingon, D. R. Rasolofonirina and M. Jangoux. 2005. Reproductive Cycle of Edible Echinoderms from
the Southwestern Indian Ocean. Western Indian Ocean J. Mar. Sci. 4(1): 47-60
Walker CW, Unuma T, Lessera MP. 2007. Edible sea urchin: Biology and ecology. Florida, USA: Elsevier
Yudasmara,G.A.2013. Keanekaragaman Dan Dominansi Komunitas Bulu Babi (Echinoidea) Di Perairan
Pulau Menjangan Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Jurnal Sains dan Teknologi. Vol 2, No 2
Oktober 2013 Hal 213-220
Zlatanos S, Laskaridis K, Sagredos A. 2009. Determination of proximate Composition, Fatty Acid Content
and Amino Acid Profile of Five Lesser-Common Sea Organisms From the Mediterranean Sea.
International Journal of Food Science and Technology 44(8):1590-1594.doi:10.1111/j.1365-
2621.2008.01870 .