dilema pemberlakuan pp. no. 78 tahun 2015 tentang

18
83 Journal of Politics and Policy Volume 1, Number 2, Juni 2019 Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan: Disparitas Yang Kian Melebar Rama Mahesa a , Kurniawan Sabar b a Pusat Kajian Daerah Setjen DPD RI, Jakarta, Indonesia b Departemen Riset dan Publikasi, Institute For National and Democracy Studies, Jakarta, Indonesia [email protected], [email protected] Abstract This study aims to examine the implementation of wage system in Indonesia based on Law No. 13/2003 and Government Regulation No. 78/2015 on labor conditions in Jabodetabek. The urgency of this study with regard to wage conditions in Indonesia that are still visible lags tend to widen the gap between workers and employers. It’s a policy study by collecting secondary data and then analyzed into a conclusion and a recommendation. Descriptive qualitative study method used data collection techniques such as: documentation of literature study, discussion and grouping of research object data. The results of the study indicate that the new formula in determining the minimum wage and annual wage increase in Indonesia has been implemented based on PP no. 78 years 2015 which is based on inflation rate and economic growth. The new formula of minimum wage determination is opposed by the workers on the basis of not accommodating the fulfillment of life-worth needs and narrowing the rights of workers in democracy demanding a decent wage increase. Entrepreneurs view PP Wage has not accommodate the condition of UMKM in the implementation of minimum wage that requires the structure of wages and wage scale (SUSU). The Regional Representative Council of the Republic of Indonesia (DPD RI), which is preparing the Wage System Bill, needs field data and facts related to the current wage condition. The important recommendations that can be considered by the DPD RI in the preparation of the Wage System Bill is the refinement of the legislative materials related to the evaluation of the components of Decent Living Needs (KHL) once in five years, the establishment of policies on the implementation of SUSU for UMKM and strengthening the supervisory function in the field of manpower especially in the regions Key words: Employment, Wages, Labor,Regulations,DPD RI

Upload: others

Post on 06-May-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

83

Journal of Politics and Policy Volume 1, Number 2, Juni 2019

Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

Pengupahan:

Disparitas Yang Kian Melebar

Rama Mahesaa, Kurniawan Sabarb

aPusat Kajian Daerah Setjen DPD RI, Jakarta, Indonesia

bDepartemen Riset dan Publikasi, Institute For National and Democracy Studies, Jakarta,

Indonesia

[email protected], [email protected]

Abstract

This study aims to examine the implementation of wage system in Indonesia based on

Law No. 13/2003 and Government Regulation No. 78/2015 on labor conditions in

Jabodetabek. The urgency of this study with regard to wage conditions in Indonesia that

are still visible lags tend to widen the gap between workers and employers. It’s a policy

study by collecting secondary data and then analyzed into a conclusion and a

recommendation. Descriptive qualitative study method used data collection techniques

such as: documentation of literature study, discussion and grouping of research object

data. The results of the study indicate that the new formula in determining the minimum

wage and annual wage increase in Indonesia has been implemented based on PP no. 78

years 2015 which is based on inflation rate and economic growth. The new formula of

minimum wage determination is opposed by the workers on the basis of not

accommodating the fulfillment of life-worth needs and narrowing the rights of workers in

democracy demanding a decent wage increase. Entrepreneurs view PP Wage has not

accommodate the condition of UMKM in the implementation of minimum wage that

requires the structure of wages and wage scale (SUSU). The Regional Representative

Council of the Republic of Indonesia (DPD RI), which is preparing the Wage System Bill,

needs field data and facts related to the current wage condition. The important

recommendations that can be considered by the DPD RI in the preparation of the Wage

System Bill is the refinement of the legislative materials related to the evaluation of the

components of Decent Living Needs (KHL) once in five years, the establishment of

policies on the implementation of SUSU for UMKM and strengthening the supervisory

function in the field of manpower especially in the regions

Key words: Employment, Wages, Labor,Regulations,DPD RI

Page 2: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

84

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk menelaah implemetasi sistem pengupahan di Indonesia

berdasarkan UU No 13/2003 dan PP No 78/2015 terhadap kondisi buruh di Jabodetabek.

Urgensi kajian ini kaitannya dengan kondisi pengupahan di Indonesia yang masih terlihat

timpang cenderung melebarnya gap antara buruh dan pengusaha. Kajian ini bersifat

kajian kebijakan (policy research) dengan menghimpun data sekunder kemudian di

analisis menjadi sebuah kesimpulan dan rekomendasi. Metode studi kualitatif deskriptif

digunakan teknik pengumpulan data antara lain: dokumentasi studi literatur, diskusi dan

pengelompokan data objek penelitian. Hasil kajian menunjukkan bahwa formula baru

dalam penentuan upah minimum dan kenaikan upah tahunan di Indonesia telah

diterapkan berdasarkan PP No. 78 tahun 2015 yang didasarkan pada tingkat inflasi dan

pertumbuhan ekonomi. Formula baru penetapan upah minimum ditentang buruh dengan

dasar tidak mengakomodir pemenuhan kebutuhan layak hidup dan mempersempit hak

buruh dalam berdemokrasi menuntut kenaikan upah layak. Pengusaha memandang PP

Pengupahan belum mengakomodir kondisi pengusaha UMKM dalam penerapan upah

minimum yang mewajibkan adanya struktur upah dan skala upah (SUSU). Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang tengah menyusun RUU Sistem

Pengupahan memerlukan data dan fakta lapangan terkait kondisi pengupahan saat ini.

Rekomendasi penting yang dapat dipertimbangkan oleh DPD RI dalam penyusunan RUU

Sistem Pengupahan adalah penyempurnaan materi Perundang-Undangan terkait evaluasi

komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) lima tahun sekali, pembuatan kebijakan

pentahapan penerapan SUSU bagi pengusaha UMKM dan memperkuat fungsi

pengawasan di bidang ketenagakerjaan terutama di daerah.

Kata kunci:ketenagakerjaan, upah, buruh, peraturan, DPD RI

PENDAHULUAN

Polemik sistem pengupahan di Indonesia menjadi sebuah problematika

tersendiri. Persoalan yang bersinggungan dengan pengupahan tidak hanya menjadi

kepentingan bagi kaum buruh namun juga beririsan dengan kepentingan

pengusaha sebagai pihak pemberi kerja dan pemerintah sebagai regulator.

Pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja dalam bentuk uang yang tidak hanya

mencakup komponen pokok, namun juga meliputi uang lembur, honorarium,

tunjangan, dan sebagainya seharusnya menjadi pedoman baik bagi pengusaha

maupun buruh dalam memaknai upah sebagai balas jasa pekerjaan.

Silih berganti kebijakan dan berbagai penyesuaian yang dilakukan oleh

pemerintah pada kenyataanya belum dapat menjembatani tuntutan dari buruh dan

keinginan pengusaha. Hal ini dikarenakan benturan kepentingan antara kelompok

pengusaha dengan buruh yang belum juga dapat diselesaikan secara maksimal

oleh pemerintah. Pasca reformasi, pemerintah telah mengeluarkan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disusul dengan

Permenaker No. 17 Tahun 2005 Tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak

untuk Pekerja Lajang.

Kedua kebijakan tersebut dinilai belum mampu menjamin peningkatan

kesejahteraan buruh dan disisi pihak pengusaha menganggap peraturan tersebut

belum memberikan kepastian usaha dan iklim investasi yang kondusif. Perspektif

pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh (SP/SB) menganggap

Page 3: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

85

kebijakan tersebut menetapkan upah minimum bersandar pada Kebutuhan Hidup

Layak (KHL) buruh lajang. Kebijakan tersebut menyebabkan penetapan upah

minimum tidak pernah sesuai dengan KHL. Sebagai contoh, pada tahun 2010,

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP)

sebesar Rp 1.290.000, sementara hasil survei KHL dari Dewan Pengupahan DKI

sebesar Rp 1.404.829.

Dalam dua tahun terakhir, persoalan pengupahan semakin mengemuka

seiring dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah berupa PP Nomor 78 Tahun

2015 tentang Pengupahan. Peraturan tersebut merupakan hasil dari implementasi

Paket Kebijakan Ekonomi jilid IV dari pemerintah yang memuat berbagai

kebijakan ketenagakerjaan dan investasi. Alih-alih ingin memperbaiki iklim

investasi di Indonesia melalui PP No. 78 Tahun 2015, pemerintah justru dinilai

telah membuat perbedaan opini antara pengusaha dan pekerja semakin melebar

dan bagi pekerja peraturan ini dianggap memperburuk sistem pengupahan

sekaligus nasib dari buruh di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ketetapan dalam

peraturan tersebut yang dinilai tidak menguntungkan buruh dan lebih

menguntungkan pengusaha meskipun pemerintah berdalih bahwa peraturan

pengupahan ini adalah sebuah jalan tengah mempertemukan kepentingan

pengusaha dan buruh sebagai win-win solution terbaik untuk saat ini. Sampai saat

ini dunia industri di Indonesia berpegang pada UU No.3 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dan PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan sebagai kiblat

dalam merumuskan kebijakan-kebijakan implementasi ditingkat lapangan terkait

peraturan ketengakerjaan dan pengupahan.

Persepsi berbeda pemberlakuan PP No.78 Tahun 2015 disuarakan oleh

pihak pengusaha dan buruh dengan memberikan argumen masing-masing sesuai

kepentingan yang dibawa atas isi materi peraturan tersebut. Seperti halnya pada

PP No. 78 Tahun 2015 Pasal 43 ayat 5 yang menyatakan bahwa untuk peninjauan

komponen hidup layak dilakukan setiap lima tahun sekali. Hal ini dirasa akan

merugikan, karena komponen hidup layak merupakan dasar utama untuk

menetapkan upah.

Lebih jauh lagi, dalam menetapkan upah tahunan pemerintah menyandarkan

pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, terdapat perbedaan

pandangan antara pemerintah dengan kelompok buruh. Pemerintah memandang

formulasi upah ini akan lebih melindungi kenaikan upah buruh dan memberikan

kepastian bagi pengusaha. Sementara itu, kelompok buruh menilai formulasi

tersebut justru akan menjadikan kenaikan upah tahunan akan berada pada

prosentase yang rendah. Dalam dua tahun implementasinya, kalangan buruh

menilai PP No. 78 Tahun 2015 menunjukan inkonsistensinya dalam menaikan

upah. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2016 kenaikan Upah Minimum Provinsi

sebesar 11,5%. Sementara itu, pada tahun 2017 Kementerian Ketenagakerjaan

menetapkan prosentase kenaikan Upah Minimum Provinsi hanya menyentuh

angka 8,25%. Hal ini berimbas pada semakin lebarnya level defisit upah dengan

Page 4: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

86

tingkat kebutuhan hidup minimum. Kondisi tersebut terjadi secara nasional,

termasuk di wilayah-wilayah industri Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan

Bekasi (Jabodetabek).

Kondisi diatas berupa gambaran bagaimana situasi dilematis mengiringi

pemberlakuan PP. Pengupahan ini. Dilema buruh menerima aturan formulasi

pengupahan dengan kepastian kenaikan upah dengan persentase rendah dan

dilema pengusaha menyangkut keraguan dalam interpretasi beberapa pasal dalam

PP. Pengupahan tersebut. Permasalahan pengupahan yang terjadi diberbagai

daerah dan menyangkut kepentingan nasional membuat Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menginisiasi penyusunan Rancangan

Undang-Undang Sistem Pengupahan Nasional.

Dengan demikian, kajian ini akan menelaah lebih dalam tentang kebijakan

pengupahan, dalam hal ini PP No. 78 Tahun 2015 dengan batasan objek penelitian

di kantong-kantong industri di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi

(Jabodetabek) karena dianggap sebagai barometer sistem pengupahan nasional.

Identifikasi masalah yang perlu analisis mendalam dari peraturan pemerintahan ini

terkait pemberlakuan formulasi upah minimum yang berdasar pada tingkat inflasi

dan pertumbuhan ekonomi nasional, penetapan KHL yang ditinjau setiap 5 tahun

sekali dan sikap dari kalangan buruh serta pengusaha terhadap pemberlakukan PP

No. 78 Tahun 2015.

Kajian ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai dampak

diberlakukannya peraturan pengupahan terhadap buruh dan pengusaha di wilayah

Jabodetabek tanpa berpihak kepada salah satu pihak dengan tujuan untuk

menggambarkan skema dan implementasi sistem pengupahan yang dijalankan

atas dasar UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 Tahun 2015 di wilayah

Jabodetabek.

Teori yang mengkontruksi kajian ini berawal dari pertentangan kamu

borjuis dan proletaar di populerkan Karl Marx yang menyebut adanya subordinat

golongan dalam kelas masyarakat yang akan selalu menimbulkan perlawanan satu

sama lain. Soejatmoko (1980) mengatakan bahwa golongan masyarakat miskin

terpenjarakan oleh struktur-struktur sosial eksploitatif yang membuat masyarakat

miskin (buruh) akan selalu tergantung dan tidak berdaya. Poin struktur sosial

eksploitatif berkaitan dan dipengaruhi oleh aturan yang berlaku termasuk di

dalamnya regulasi pemerintah.

METODE

Kajian ini bersifat kajian kebijakan (policy research) yang dirancang untuk

memahami satu atau lebih aspek yang berhubungan dengan proses kebijakan

sosial, termasuk pembuatan keputusan (decision making), formulasi kebijakan,

implementasi kebijakan, termasuk tahapan dari proses kebijakan (sebelum dan

sesudah pembentukan kebijakan) yang dilakukan dengan metode studi kualitatif

deskriptif.

Page 5: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

87

Kajian literatur dengan menghimpun data sekunder hasil publikasi instansi/

organisasi yang diambil dari berbagai sumber secara open access disertai literatur

para ahli dan dokumen perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan dan

pengupahan yang ada di Indonesia untuk kemudian menganalisa menjadi sebuah

kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut. Literatur dan dokumen yang dimaksud

dapat berupa: Buku, jurnal, dokumen laporan, Peraturan Perundang-undangan,

artikel, berita media, siaran pers, naskah akademik, kertas kebijakan, dan literatur

lainnya yang berhubungan dengan fokus kajian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dilema Aturan Pengupahan Buruh di Indonesia

Secara nasional, pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengupahan

berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagai payung hukum ketenagakerjaan dan pengupahan. Selain

menegaskan definisi upah, UU ini berisi 11(sebelas) pasal yang secara spesifik

mengatur tentang pengupahan (Pasal 88 hingga pasal 98). Seluruh regulasi dan

kebijakan pengupahan di Indonesia didasarkan pada UU No.13/2003.

Berdasar pada UU No.13/2003, pemerintah Indonesia beberapa kali telah

memberlakukan sejumlah regulasi secara nasional sebagai pedoman dalam

penetapan upah di Indonesia, yakni (a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja

(Permenakertrans) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan

Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak; (b) Instruksi Presiden (Inpres)

Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pembatasan Upah Minimum; (c) Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 7 Tahun 2013 tentang

Upah Minimum; (d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

(Kepmenakertrans) Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.

Regulasi yang dikeluarkan pemerintah berupaya untuk memutakhirkan

aturan pengupahan menyesuaikan perubahan kondisi ekonomi setiap waktunya.

Terlihat pemerintah berusaha menjembatani paradoks antara pengusaha dan buruh

melalui penyesuaian regulasi tersebut, melengkapi kekosongan regulasi dan

mengakomodir aspirasi para pihak. Seperti contoh regulasi upah minimum

diakomodir pada Permenakertrans No. 7 Tahun 2013.

Regulasi terbaru terkait pengupahan dan ketenagakerjaan yang dikeluarkan

pemerintah pada Oktober 2015 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun

2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan). Selain sebagai regulasi turunan dari

UU No.13 tahun 2003, penerbitan regulasi ini merupakan upaya pemerintah untuk

memberikan kepastian hukum tentang pengupahan dalam rangka perbaikan iklim

investasi dan kondisi pekerja di Indonesia sebagaimana tujuan dari Paket

Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid IV yang diterbitkan pemerintah pada tahun 2015.

Ada beberapa pasal dan ayat krusial dalam PP Pengupahan tersebut yang

berpotensi menimbulkan polemik baik dikalangan pengusaha maupun pekerja/

buruh.

Page 6: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

88

Definisi upah dalam PP. No. 78/2013 sepenuhnya mengintegrasikan definisi

upah sebagaimana diatur dalam UU. No. 13/2003. Namun, PP ini menempatkan

upah sebagai salah satu item penghasilan (upah dan pendapatan non upah) yang

menjadi hak seorang buruh. PP. No. 78/2015 Pasal 4 ayat 1, penghasilan adalah

jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaanya sehingga

mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.

Hal ini sejalan dengan penjelasan UU No.13/2003 pasal 88.

Persoalan pengupahan menjadi persoalan krusial di Indonesia, khususnya

persoalan penetapan upah minimum dan kenaikan upah tiap tahunnya. PP

Pengupahan mengatur formulasi baru untuk penetapan upah minimum yang

berlaku baik di tingkat provinsi, kotam dan kabupaten. Gubernur dapat

menetapkan upah di tingkat kabupaten/kota dengan memperhatikan rekomendasi,

masukan dan saran dari Bupati/Walikota setempat. Berdasarkan PP No.78/2015

pasal 44 ayat 1, upah minimum didasarkan kepada kebutuhan Hidup Layak

(KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, pasal 44 ayat 2, kenaikan upah buruh setiap tahunnya akan

dihitung berdasarkan formula upah minumun tahun berjalan ditambah dengan

hasil perkalian upah minumum tahun berjalan dikalikan inflasi nasional dari

periode September tahun lalu sampai dengan September tahun berjalan

ditambahkan dengan pertumbuhan produk domestik bruto, yang dirumuskan

sebagai berikut:

UMn = UMt + (UMt x (Inflasi + Δ % PDBt)

Berdasarkan PP No.78/2015 Pasal 43 ayat 5, peninjauan komponen

kebutuhan hidup layak dilakukan setiap lima tahun sekali. Penetapan KHL hanya

menjadi kewenangan Menteri Tenaga Kerja dengan mempertimbangkan hasil

kajian Dewan Pengupahan Nasional berdasarkan data dan informasi dari lembaga

yang berwenang di bidang statistik. Hal ini berbeda dengan skema sebelumnya

dalam penetapan kebutuhan hidup layak. Berdasarkan Permenakertrans No. 13

tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan

Hidup Layak, survei KHL dilakukan oleh Dewan Pengupahan secara periodik

setiap bulan. Hasil survei tersebut akan digunakan sebagai acuan penetapan upah

minimum tahun berikutnya. Bagi buruh, ini adalah masalah krusial karena harga

kebutuhan pokok mengalami perubahan sangat cepat dan terus meningkat tiap

tahun, sedangkan peninjauan komponen KHL yang mestinya menjadi dasar

perhitungan upah minimum dan kenaikan upah hanya dilakukan setiap 5 (lima)

tahun. Dengan demikian, kenaikan upah tiap tahunnya tidak lagi

mempertimbangkan komponen dan pencapaian KHL berdasarkan penghitungan

KHL secara periodik. Selain itu, posisi buruh melalui serikat kerjanya semakin

sulit dalam penetapan upah minimum dan kenaikan upah atau dapat dikatakan

Page 7: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

89

nyaris tak dilibatkan. UU. 13/2003 Pasal 90 ayat 1, menerapkan larangan bagi

pengusaha untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Ada celah bagi pengusaha untuk tetap memberikan upah lebih rendah di

bawah upah minimum dengan menggunakan bunyi materi Pasal 90 ayat 2 dimana

penangguhan upah dapat dilakukan oleh pengusaha jika tidak mampu membayar

upah minimum. Penerapan regulasi ini dinilai tidak adil bagi penghidupan buruh,

karena hanya memberikan keringanan bagi pengusaha untuk menunda pemenuhan

upah minimum, sedangkan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh buruh terus

meningkat dan tidak dapat ditunda.

Disisi lain, pengusaha masih memiliki keleluasaan dalam menerapkan

politik upah murah melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian

kerja bersama. Polemik tersebut seakan tidak dilihat pemerintah yang tetap

menerapkan formulasi pengupahan untuk menghitung besaran UMP tahun 2016.

Provinsi yang telah menerapkan kebijakan ini pada tahun pertama

pemberlakuannya adalah Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera

Barat, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan

Nusa Tenggara Barat. Sedangkan provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan

Tengah, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo dan Sulawesi Barat belum

menerapkan karena penetapan UMP daerah bersangkutan telah ditetapkan oleh

Gubernur sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan

dimaksud (data apkindo 2015).

Disparitas upah antar provinsi akibat pemberlakuan PP Pengupahan sudah

dapat diprediksi, mengingat keterikatan pada satu formula yang sama. Disparitas

upah adalah refleksi dari kekuatan termasuk proses pemilahan individu dan

perusahaan dengan karakteristik yang berbeda dan juga berpotensi terhadap

ekternalitas aglomerasi yang mempengaruhi produkitivitas individu sebagai

fungsi dari karakeristik daerah dimana mereka bekerja (Groot,et.all., 2011). Ada

tiga sumber utama dari perbedaan upah regional yaitu 1) komposisi pasar tenaga

kerja, 2) kualitas SDM daerah tersebut, 3) Pola persaingan kedekatan perusahaan

dengan perusahaan lain, ke produsen atau ke distributor.\

Dilema pemberlakuan PP Pengupahan karena adanya perbedaan

kepentingan yang belum menemui titik temu antara pengusaha dan buruh yang

dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Irisan Perbedaan Kepentingan

Page 8: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

90

Pihak buruh menuntut jaminan pekerjaan dengan penghasilan yang layak

untuk memenuhi kebutuhan hidup dan jaminan sosial seperti pendidikan,

transportasi, kesehatan, resistensi terhadap inflasi pangan dan pemenuhan

kebutuhan gaya hidup. Pengusaha pun mengharapkan jaminan iklim investasi

yang kondusif seperti kepastian keamanan, kepastian hukum dan jaminan

kepastian usaha. Irisan dua kepentingan yang berbeda tersebut berupa

produktivitas, kesejahteraan dan keberlanjutan usaha yang seharusnya menjadi

wilayah kepentingan bersama antara buruh dan pengusaha untuk berusaha

mewujudkannya. Jika irisan kepentingan itu dapat disepakati bersama maka

kepentingan buruh dan pengusaha dapat terpenuhi bersamaan.

B. Kondisi Pengupahan Di Jabodetabek

Pemerintah mengklaim pemberlakukan PP No. 78 tahun 2015 ini untuk

melindungi kepentingan semua pihak dimana pengusaha akan mendapat kepastian

iklim investasi dan buruh akan mendapat jaminan kenaikan upah tiap tahunnya.

Lebih jauh lagi, buruh akan memperoleh upah dan pendapatan non-upah, upah

buruh pasti akan naik setiap tahun, pendapatan non-upah bisa dalam bentuk

Tunjangan Hari Raya (THR), bonus perusahaan, uang pengganti fasilitas kerja

dan uang servis pada usaha tertentu. Melalui peraturan ini diharapkan akan terjadi

stabilitas iklim industri yang kondusif.

Kalangan buruh menilai pemberlakuan PP No. 78/ 2015 ini telah

memberikan legalitas bagi pengusaha untuk menerapkan politik upah murah yang

jauh dari nilai standar KHL yang menjadi acuan buruh dalam menuntut upah

layak. Buruh tetap berpedoman pada 60 item kebutuhan dasar yang harus

dipenuhi pengusaha dalam upah yang diberikan (GSBI, 2015).

Kalangan pengusaha menilai peraturan pengupahan ini akan memberatkan

pengusaha mikro dan menengah yang belum memiliki struktur dan skala upah

yang tersistematis (Psl. 23 PP.78/2015). Karenanya perlu waktu pentahapan

penetapan upah yang awalnya bersifat wilayah privat menjadi wilayah publik

yang kompleks. Kalangan pengusaha menyoroti lemahnya tingkat produktivitas

tenaga kerja Indonesia dibanding negara Asia Tenggara lainnya namun

berbanding terbalik dengan peningkatan upah yang kian tinggi tiap tahunnya

melebihi peningkatan upah tenaga kerja di negara Asia Tenggara Lainnya.

Tabel 1: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Antar Negara Asia

Page 9: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

91

Tabel 2: Grafik Perbandingan Peningkatan Upah Minimum Beberapa

Negara Asia

(Sumber : Apindo, 2015)

Produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih tertinggal dibanding

Malaysia, Thailand bahkan Filipina terlihat kontras dengan perkembangan upah

yang diterima pekerja Indonesia. Tahun 2013 posisi upah pekerja Indonesia sudah

berada di atas negara Malaysia, Thailand, Filipinda dan bahkan Vietnam. Ini

berarti ada kesenjangan antara upah yang diterima buruh dengan hasil

produktivitas kerja mereka.

Kesenjangan tersebut coba direduksi dengan pemberlakuan PP Pengupahan,

untuk gambaran kondisi di ibu kota Jakarta, Gubernur DKI Jakarta menerbitkan

Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 230 Tahun 2015 tentang Upah Minimum

Provinsi (UMP) Tahun 2016 sebesar Rp3.100.000,00 per bulan. Pada tahun 2017,

Gubernur DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 227 Tahun 2017

tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2017 sebesar Rp3.355.750,00 per bulan.

Selain penetapan nominal upah minimum provinsi, Pergub tersebut juga mengatur

tentang penangguhan pembayaran upah. Perusahaan yang tidak mampu

melaksanakan ketentuan UMP dapat mengajukan penangguhan secara tertulis

kepada Gubernur.

Di Provinsi Banten, yang merupakan salah satu wilayah yang memiliki

kawasan industri cukup besar juga memberlakukan kebijakan penetapan upah.

Keputusan Gubernur Banten Nomor 561/Kep.474-Huk/2015 tentang Penetapan

Upah Minimum Provinsi Tahun 2016 sebesar Rp1.784.000,00 Keputusan

Gubernur Banten No. 561/Kep.539-Huk/2016 tentang Penetapan Upah Minimum

Provinsi Tahun 2017 sebesar Rp1.931.180,00. Keputusan Gubernur Banten juga

menetapkan besaran upah minimum kabupaten/kota. Berikut adalah data upah

minimum kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat dan Banten tahun 2016 dan

2017:

Page 10: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

92

Dari data UMK pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan upah

minimum tahun 2017 telah sepenuhnya mengimplementasikan formula penetapan

upah minimum berdasarkan PP Pengupahan. Hal ini belum sesuai dengan harapan

buruh untuk mendapatkan upah layak. Dengan melihat perbandingan UMK tahun

2016 dengan tahun 2017, rata-rata kenaikan upah diJabodetabek tahun 2017 tidak

mencapai 10 persen. Hal ini sesuai dengan persentasi kenaikan upah yang telah

ditetapkan pemerintah melalui penjumlahan angka inflasi dan pertumbuhan

ekonomi untuk tahun 2017 yakni 8,25 persen. Persentasi inilah yang dijadikan

dasar kenaikan upah tahun 2017 dan penetapan jumlah UMP.

Kondisi tersebut dapat diprediksi sebelumnya. Pada tahun 2015, hasil survei

KHL yang dilakukan oleh Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) dibeberapa

kota/kabupaten menunjukkan bahwa kenaikan upah untuk tahun 2016 diprediksi

berkisar 25 hingga 30 persen dari upah minimum tahun 2015. Jika kenaikan upah

tahun 2016 didasarkan pada formulasi dalam PP No. 78/2015, maka dapat

diprediksi bahwa rata-rata kenaikan upah hanya berkisar 10 persen. Hal ini

dikarenakan penetapan kenaikan upah dan penetapan upah minimum tidak lagi

didasarkan pada pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tetapi cukup dengan

penjumlahan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun 2017,

kenaikan upah dan penetapan upah minimum juga dapat ditentukan sebelumnya

dengan menggunakan formula yang sama.Contoh Perhitungan Kenaikan Upah

untuk Tahun 2017 sebagai berikut : Pada tahun 2016, asumsi pertumbuhan

ekonomi 2017 adalah 5,18%, dan tingkat inflasi nasional adalah 3,07%. Dengan

menggunakan formulasi dalam PP Pengupahan, maka persentasi kenaikan upah

untuk tahun 2017 adalah 3,07% + 5,18% = 8,25%. Perhitungan jumlah kenaikan

upah = Upah Minimum tahun berjalan (UMt) x 8,25%.

Formulasi penetapan upah minimum tersebut dalam proses penyusunannya

kurang melibatkan pihak buruh dan pengusaha selaku pemangku kepentingan.

Sejalan itu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No.8 Tahun

2005 tentang LKS Tripartit mengamanatkan Presiden untuk membentuk LKS

Tripartit Nasional. Lembaga itu harus dilibatkan dalam membentuk peraturan

terkait ketenagakerjaan. Namun proses pembahasan PP Pengupahan di LKS

Tripnas tidak terjadi. Bahkan kalangan peneliti mengaku kesulitan mengakses

RPP Pengupahan. (Kelompok Kajian Ketenagakerjaan LIPI, 2015). Tidak

Page 11: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

93

mengherankan bila keinginan buruh untuk memasukan daftar KHL dalam

komponen pengupahan dan hasrat pengusaha untuk dapat menekan upah tidak

dapat menemui titik temu.

C. Dampak Penerapan PP. No. 78 Tahun 2015 Terhadap Buruh,

Pemerintah dan Pengusaha

Dari data dan kondisi pengupahan di Jabodetabek sangat jelas terlihat bahwa

penerapan PP No.78/2015 memiliki peran ganda. Pertama, menekan upah buruh

serendah-rendahnya dengan formula yang dapat diprediksi bahwa kenaikan upah

tahunan hanya berkisar 10 persen bahkan lebih rendah. Kedua, secara sistematis

melemahkan tuntutan buruh dan perjuangannya untuk perbaikan upah. Hal ini

dikarenakan kenaikan upah telah ditentukan melalui formulasi yang ditetapkan

oleh Menteri Tenaga Kerja dengan pertimbangan Dewan Pengupahan Nasional

dimana keterlibatan buruh dalam penetapan kenaikan upah dapat dikatakan nyaris

tak dilibatkan.

Dengan demikian, penerapan PP Pengupahan memberikan dampak

signifikan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kondisi buruh di

Jabodetabek dari segi ekonomi dan politik. Tahun 2015, hasil survei Gabungan

Serikat Buruh Indonesia (GSBI) di Kota Tangerang dan Bekasi menemukan

bahwa perhitungan kebutuhan hidup minimum buruh lajang mencapai

Rp3.780.000,00. Buruh mengalami defisit upah sebesar Rp. 1 juta karena upah

buruh saat itu hanya Rp2.780.000,00. Perhitungan kebutuhan untuk 1 keluarga

buruh dengan anak 2 telah mencapai Rp8.000.000,00. Hasil studi ini juga

menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari total upah yang diterima oleh buruh

digunakan untuk memenuhi konsumsi kebutuhan pokoknya.

Dari kondisi tersebut, penerapan PP Pengupahan menyebabkan buruh

semakin sulit memenuhi kebutuhan pokoknya, baik secara individu maupun

keluarga. Kualitas hidup buruh akan terus merosot karena daya beli akan semakin

rendah dan harus memilih pemenuhan kebutuhan pada barang-barang ataupun jasa

dengan kualitas rendah. Kondisi ini akan menimbulkan dampak lanjutan karena

semakin sulit memenuhi kebutuhan diluar dari kebutuhan pokok baik kebutuhan

sosial, pendidikan, kebudayaan, dan kebutuhan sekunder atau tersier lainnya.

Formula PP Pengupahan secara tidak langsung telah membatasi kenaikan

upah buruh dibawah 10 persen per tahun. Persentasi kenaikan upah ini tidak akan

bisa mengatasi level defisit upah buruh. Bahkan, di tahun 2017 dimana kenaikan

upah hanya 8,25 persen, sehingga level defisit upah buruh justru semakin lebar.

Meskipun angka inflasi dalam perhitungan kenaikan upah berkorelasi dengan

kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, tetapi kenaikan harga kebutuhan pokok

justru jauh melampaui angka inflasi.

Penerapan PP Pengupahan juga memberikan dampak pada aspek politik

demokratisasi ketenagakerjaan. Proses penentuan kenaikan upah dengan formulasi

yang telah ditetapkan akan menutup ruang dan kesempatan bagi buruh dalam

Page 12: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

94

penentuan upah. Keterlibatan buruh dalam penentuan upah melalui perudingan

yang adil, protes dan aksi-aksi bahkan mogok kerja menuntut perbaikan upah

menjadi semakin sulit.

Berdasarkan PP No. 78/2015 pasal 24 ayat 4, pengurus serikat buruh yang

akan menjalankan tugas serikat harus mendapatkan persetujuan dari pengusaha

dan dibuktikan secara tertulis. Pengalaman yang sering terjadi, buruh disebut

mangkir, jika tetap beraktifitas untuk serikat buruhnya namun tidak mendapatkan

persetujuan dari perusahaan. Pemotongan upah, Surat Peringatan (SP), bahkan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak adalah deretan konsekuensi

bagi buruh. Hal ini secara langsung membatasi dan mengekang kebebasan

berserikat bagi buruh sebagai hak politiknya. Regulasi ini bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-

UndangNomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Pengusaha terkena dampak penerapan peraturan pengupahan yang baru

seperti terjadinya kenaikan biaya tenaga kerja (labor cost) yang akan berimplikasi

pada strategi menekan biaya tenaga kerja melalui pengurangan bertahap tenaga

kerja digantikan mesin dan bila sangat krusial melakukan pemindahan lokasi

produksi ke daerah yang memiliki upah lebih rendah atau bisa saja terjadi

pemindahan investasi ke negara tetangga dengan biaya upah murah. Dalam PP

Pengupahan Pasal 23 dijelaskan mengenai kewajiban pengusaha untuk melakukan

peninjauan upah secara berkala menyesuaikan angka kebutuhan hidup. Namun

jenis pengusaha apa belum dijelaskan penggolongannya sebagaimana jenis

pengusaha dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan

menengah (UMKM).

Bagi pengusaha besar penyusunan struktur dan skala upah memang sudah

dipraktekkan tetapi akan menjadi tantangan bagi sebagian perusahaan skala kecil,

menengah dan mikro dengan modal antara 50 juta sampai 10 miliar yang tidak

memiliki struktur dan skala upah yang sistematis dengan jumlah sekitar 300.000

(kemenaker, 2015) perusahan sulit jika harus mengimplemetasikan serentak dalam

waktu 2 tahun sejak terbitnya PP Pengupahan. Penyusunan struktur dan skala

upah tersebut merupakan wilayah privat sehingga mewajibkannya untuk menjadi

wilayah publik akan membutuhkan pengkondisian dan pentahapan. Pengkondisian

diperlukan terkait kondisi ketenagakerjaan dan perekonomian secara umum yang

belum siap untuk membuat transparansi pada tingkat tersebut.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi teknis pengaturan

struktur upah dan skala upah (SUSU) dalam Permenaker No. 1 Tahun 2017

namun tidak mengatur penggolongan perusahaan, tidak melihat besar-kecil skala

usaha dan berlaku baik untuk perseorangan, persekutuan atau badan hukum. Hal

ini menjadi pertanyaan bagi pengusaha UMKM dengan manajemen seadanya dan

tenaga kerja informal tanpa struktur organisasi yang jelas.

Skema SUSU sederhana mewajibkan adanya klasifikasi jabatan, golongan

jabatan, upah terkecil dan terbesar dalam penyusunan SUSU. Hal ini sulit bagi

Page 13: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

95

UMKM yang mempekerjakan buruh berdasarkan hasil produksi (dibayar

berdasarkan banyaknya barang/ jasa yang mereka hasilkan). Sanksi yang menanti

akibat belum menerapkan SUSU membuat kalangan UMKM merasa terbebani

regulasi tersebut.

D. Pandangan Pengusaha dan Buruh Atas Penerapan PP. No. 78 Tahun

2015

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memiliki pandangan sendiri dengan

diberlakukannya PP.78/2015 tentang Pengupahan yang berdampingan dengan UU

No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa regulasi tentang ketenagakerjaan

dan pengupahan yang ada saat ini diakui tidak ideal (karena banyak kelemahan)

namun yang terbaik (saat ini). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa kalangan

pengusahapun seakan belum dapat menerima regulasi ini dengan sepenuh hati

dengan alasan banyak kelemahan dalam regulasi tersebut yang merugikan iklim

usaha dan investasi, namun disisi lain mereka menilai regulasi tersebut adalah

yang terbaik untuk saat ini dengan berbagai pertimbangan dan kondisi yang ada.

Kalangan pengusaha menganggap materi dalam regulasi PP Pengupahan tersebut

multi tafsir dan berpotensi terjadinya double bahkan multi paid yang dibayarkan

pengusaha kepada pekerja/ buruh yang disinyalir oleh mereka ada pada pasal 4,

pasal 6, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12. Perbedaan kepentingan terkait

“penghasilan yang layak” antara pengusaha dan buruh selalu tidak menemukan

kata sepakat.

Pengusaha memahami permintaan kenaikan upah yang terjadi tiap tahun

karena meningkatnya angka kebutuhan hidup, namun hal itu harus pula diimbangi

dengan kenaikan tingkat produktivitas buruh. Keputusan pemerintah dalam

menetapkan upah minimum disinyalir menjadi komoditas politik serta mendapat

dukungan politik yang berlebih. Pengusaha memiliki pandangan untuk dilakukan

perbaikan mekanisme penentuan upah minimum dengan menambahkan parameter

produktivitas pekerja dan tingkat pengangguran serta penentuan upah minimum

sebagai jaring pengaman (safety net) ditentukan oleh lembaga independen

kredibel dan tersentralisir tidak lagi ditentukan oleh kepala daerah. Poin

peningkatan kesejahteraan bukan hanya menjadi tanggungajwab pengusaha

namun juga pemerintah harus berperan didalamnya.

Disparitas antara buruh dan pengusaha dalam hal besaran nilai upah tidak

berubah, tetap ada dan cenderung semakin menjauh. Setiap tindakan yang

bermotif ekonomi, semua pihak yang terlibat di dalam aktivitas tersebut, akan

selalu berusaha untuk memaksimalkan manfaat sesuai dengan kepentingan

masing-masing demikian halnya pengusaha dan buruh. Konflik-konflik yang

terjadi didalam masyarakat, terutama disebabkan oleh kelas-kelas yang berbeda

seperti halnya dalam masyarakat kapitalis, sebenarnya terbagi atas dua kelompok

besar yang saling berhadapan secara langsung, yaitu kelas borjuis dan kelas

proletar. Kaum proletar menurut Marx yang selalu sadar akan posisinya yang

Page 14: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

96

tertekan akan berusaha berjuang memikirkan untuk perbaikan nasibnya. Kaum

proletar akan berusaha untuk bersatu memperjuangkan kelasnya melawan kaum

borjuis. Soejatmoko (1980) mengatakan bahwa golongan masyarakat miskin

terpenjarakan oleh struktur-struktur sosial eksploitatif yang membuat masyarakat

miskin (buruh) akan selalu tergantung dan tidak berdaya.

Posisi pemerintah menjadi sentral dalam mengakomodir kebutuhan buruh

dan menakar kemampuan pengusaha. Buruh tetap berpegang dengan besaran

angka KHL yang perlu di review tiap tahun sekali dan menolak formulasi

pengupahan berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi karena

dianggap tidak dapat memenuhi standar hidup layak, sedangkan pengusaha

menilai aturan pengupahan menggunakan skema struktur dan skala upah belum

dapat diterapkan terutama bagi perusahaan UMKM yang belum tersistematis

dalam organisasinya.

E. Pentahapan Struktur dan Skala Upah Bagi Pengusaha Mikro, Kecil

dan Menengah

Struktur upah dan skala upah (SUSU) dibentuk guna membentuk sistem

pengupahan menjadi berbasis kinerja dan prestasi. Untuk memastikan pekerja

yang sudah bekerja di atas setahun mendapat upah di atas upah minimum,

mendorong pekerja untuk lebih produktif karena reward tercantum dalam skala

upah, lebih memudahkan dalam proses negosiasi kenaikan upah. Memudahkan

proses penegakkan hukum bila ada pelanggaran terhadap upah. Pengusaha

memiliki waktu 2 tahun sejak PP Pengupahan diberlakukan untuk membentuk

struktur dan skala upah bila tidak akan ada sanksi yang menanti.

Bagi pengusaha UMKM yang belum memiliki skala pengupahan dalam

manajemen tentu menjadi tugas yang tidak mudah, apalagi permenaker yang

mengakomodir sesuai PP 78/2015 hal ini tidak secara jelas memposisikan

keberadaan pengusaha UMKM.

Melihat skala usaha dan banyaknya jumlah jabatan serta jenis tingkatan

manajemen, sebaiknya untuk skala upah buruh perusahaan UMKM dibuat lebih

sederhana dibanding perusahaan besar. Minimalnya, struktur dan skala upah di

perusahaan UMKM memuat beberapa parameter yaitu: a) golongan, b) jabatan, c)

masa kerja, d) pendidikan, dan e) kompetensi serta f) batasan upah terbesar dan

terkecil tiap parameternya.

Perlu diatur pula waktu penerapan stuktur dan skala upah bagi pengusaha

mikro dan menengah tidak disamakan dengan perusahaan besar mengingat

kondisi perusahaan dan kesiapan komponen pendukung lainya di internal

perusahaan. Perlu adanya pentahapan mulai dari sosialisasi regulasi oleh

pemerintah, sosialisasi internal di perusahaan, pelatihan penyusunan SUSU bagi

pengusaha UMKM dan penjadwalan terukur pendaftaran SUSU.

Skema pentahapan bisa dilihat dalamgambar berikut:

Page 15: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

97

Gambar 2: Skema Pentahapan SUSU.

Proses pentahapan pemberlakuan SUSU bagi UMKM dilakukan bertahap

selama dua tahun sejak tahun 2017. Batas awal pemberlakuan SUSU adalah bulan

Oktober 2017, namun karena kondisi dilapangan tidak memungkinkan sebaiknya

pemerintah merevisi aturan dalam PP No. 78 Tahun 2015 dengan menambah

waktu pemberlakuan SUSU bagi UMKM sampai 2019 dengan pentahapan dibagi

menjadi tiga (3) periode yaitu : 1) periode pendaftaran UMKM teregistrasi (2017),

2) pendampingan pemerintah di internal perusahaan (2018) dan 3) implementasi

SUSU (2019).

Periode pertama perlu pendaftaran ulang UMKM dilakukan karena masih

banyak yang belum terdaftar dan terdata oleh pemerintah, sehingga bila aturan ini

ingin berjalan baik perlu adanya pendataan ulang yang terintegrasi dan tergistrasi

dengan baik. Kemudian pemerintah melakukan penggolongan data UMKM

berdasarkan jenisnya (mikro, kecil atau menengah) untuk kemudian memberikan

pelatihan kepada UMKM sesuai jenisnya menggunakan modul template SUSU

sehingga memudahkan pengusaha UMKM untuk menerapkan sesuai kondisi

internal perusahaan.

Pengusaha UMKM membuat draft SUSU berdasarkan template untuk

disosialisasikan kepada buruh dengan pendampingan berkelanjutan dari

pemerintah sepanjang tahun 2018. Bila telah terjadi kondisi ideal di internal

perusahaan, implementasi SUSU di ujicoba bersamaan waktunya

dengan pendaftaran SUSU ke pemerintah. Kondisi ini diharapkan sudah dapat

dicapai sampai akhir tahun 2019.

PENUTUP

Penerapan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan

yang memberlakukan formula baru penentuan upah minimum dan kenaikan upah

Page 16: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

98

tahunan di Indonesia berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi

menimbulkan kondisi dilematis dikalangan buruh dan pengusaha.

Di wilayah Jabodetabek, upah minimum tahun 2017 hanya mengalami

kenaikan rata-rata 8,25 persen. Data dan kondisi pengupahan di Jabodetabek

menunjukkan dua hal penting terkait penerapan PP Pengupahan. Pertama,

menekan upah buruh serendah-rendahnya dengan formula yang dapat diprediksi

bahwa kenaikan upah tahunan hanya berkisar 10 persen bahkan lebih rendah.

Kedua, secara sistematis melemahkan tuntutan buruh dan perjuangannya untuk

perbaikan upah karena kenaikan upah telah ditentukan melalui formulasi.

Paradok regulasi UU No. 3/ 2003 dengan PP No. 78/ 2015 terlihat dalam

penetapan upah minimum. UU Ketenagakerjaan Pasal 90 (1) jelas melarang

pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Dalam PP No.78/

2015 ada mekanisme penangguhan pembayaran kenaikan upah minimum

sehingga seringkali menjadi alasan bagi pengusaha melalui berbagai saluran

aturan dan atau perjanjian kerja.

Dalam aspek ekonomi, penerapan PP Pengupahan menyebabkan buruh di

Jabodetabek akan semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan

lainnya karena kenaikan upah tidak bisa menutupi defisit upah buruh selama ini.

Secara politik, formula yang telah ditetapkan akan menutup ruang dan kesempatan

bagi buruh dalam penentuan upah. PP Pengupahan juga membatasi kebebasan

aktivitas berserikat bagi buruh.

Perlu ruang dan waktu yang lebih serta pendampingan berkelanjutan dari

pemerintah kepada pengusaha UMKM untuk menerapkan proses struktur upah

dan skala upah yang diwajibkan dalam PP Pengupahan.Kebijakan evaluasi KHL

setiap 5 tahun sekali dipandang terlalu lama dan tidak bisa mengakomodasi

kenaikan biaya hidup buruh tiap tahunnya. Jalan tengah setiap 2 atau 3 tahun

sekali dievaluasi dengan mempertimbangkan siklus ekonomi dan politik

Indonesia.

Mendorong pemerintah untuk merevisi aturan tenggang waktu penerapan

SUSU. Agar ada pembeda bagi pelaku UMKM tidak sama dengan pengusaha

besar dan memberikan waktu serta ruang yang lebih longgar untuk

menerapkannya dengan pendampingan berkesinambungan dari pemerintah. Untuk

minimalisir gap kepentingan pengusaha dan buruh, proses komunikasi tripartit

perlu ditingkatkan dalam setiap proses penyusunan regulasi. Selain itu perlu

dilakukan penguatan fungsi pengawasan di bidang ketenagakerjaan terutama di

daerah sebagai representatif keberadaan DPD RI.

DAFTAR PUSTAKA

APINDO. (2015). Memahami PP NO.78/2015 dari sudut pandang

pengusaha.Jakarta: APINDO

Page 17: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

99

Dahana, Bambang. Dkk (2016). Dari mana Pakaianmu Berasal?: Upah dan

Kondisi Kerja

Buruh Industri Garmen, Tekstil dan Sepatu di Indonesia. Bogor: LIPS dan TAB.

L.J, Moleong (1995). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remadja

Rosdakarya.

Simanjuntak, Payaman J. (1996). Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Soejatmoko (1980). Dimensi Manusia Dalam Pembangunan. Jakarta: LP3S

Sukirno, Sadono. (2005). Pengantar Mikro Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Dokumen. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dokumen. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Dokumen. Permenaker No.1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah.

https://fspmi.or.id/adanya-upah-murah-di-indonesia-inilah-penyebabnya.html.

Diakses 13 September 2017.

http://www.infogsbi.org/2011/12/beberapa-masalah-dalam-permenaker-17.html.

Diakses 13 September 2017.

http://majalahsedane.org/kebijakan-pengupahan-masalah-dan-beberapa-pilihan/.

Diakses 14 September 2017.

http://bisnis.liputan6.com/read/2649470/daftar-lengkap-kenaikan-ump-2017-di-

34-provinsi. Diakses 30 Juli 2017.

https://m.tempo.co/read/news/2015/10/27/058713554/upah-minimum-tahun-

depan-naik-11-5-persen . Diakses Juli 2017.

Page 18: Dilema Pemberlakuan Pp. No. 78 Tahun 2015 Tentang

100

--------------------------