dilema demokrasi liberal: hambatan normatif, institusional

14
Abstract Political reform in 1998 Indonesia brought an inclusive participation to all people. One of its significant outcomes was the establishment of women quota that tried to accommodate women’s aspirations in Indonesian democratic system, particularly in the parliament. This policy had been legalized in the constitution article 65 UU 12 2003 about General Election of the House of Representative which then finalized in 2008. However, this quota mechanism has many barriers in its implementation such as from Mahkamah Konstitusi that decided to change the instrument for elected candidate which based not on the consecutive number, so the quota system was complicated to put into practice. This article tries to explain why the performance of women quota was ineffective. To address the problems, analysis of this article based on feminist perspective with critical discourse of analysis (CDA). The study will be conducted on three levels namely normative level, institutional level, and practical level. Keywords: liberal democracy, women quota, participation, Indonesia Abstrak Reformasi politik Indonesia pada 1998 membawa partisipasi inklusif bagi semua orang. Salah satu hasil signifikannya adalah pembuatan kuota perempuan yang dicoba untuk mengakomodasi aspirasi perempuan di dalam sistem demokrasi Indonesia., khususnya di parlemen. Kebijakan ini disahkan dalam undang-undang Artikel 65 UU 12 2003 mengenai Pemilihan Umum DPR yang kemudian diselesaikan pada 2008. Namun, mekanisme kuota memiliki banyak hambatan dalam pelaksanaannya seperti Mahkamah Konstitusi yang memutuskan mengubah instrumen calon terpilih tidak berdasarkan nomor urut, sehingga sistem kuota menjadi rumit untuk dipraktikkan. Artikel ini mencoba menjelaskan mengapa kinerja kuota perempuan tidak efektif. Untuk mengatasi masalah ini, analisa artikel didasarkan pada perspektif feminis dengan diskursus kritis analisis (CDA). Penelitian ini akan dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu tingkat normatif, tingkat institutional, dan tingkat praktik. Kata kunci: demokrasi liberal, kuota perempuan, partisipasi, Indonesia PENDAHULUAN Kuota telah diterima sebagai jalur cepat (fast track) untuk mewujudkan perimbangan gender dalam lembaga-lembaga pembuatan keputusan. Penggunaan strategi kuota telah mampu meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 56,3% di Rwanda (2008), 45% di Swedia (2010), 44,5% di Africa Selatan (2009), 38,5 di Argentina (2008) (Women in National Parliament, http://www.ipu.org). Meski kontroversial, kini sudah lebih dari 100 negara mengadopsi strategi ini. Pada tahun 2003 para aktivis perempuan Indonesia berhasil memperjuangkan adanya aturan tentang kuota perempuan dalam Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia Nur Azizah Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ringroad Barat Tamantirto, Kasihan, Bantul 55183 Email: [email protected]

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

AbstractPolitical reform in 1998 Indonesia brought an inclusive participation to all people. One of its significant outcomes was the establishment of womenquota that tried to accommodate women’s aspirations in Indonesian democratic system, particularly in the parliament. This policy had beenlegalized in the constitution article 65 UU 12 2003 about General Election of the House of Representative which then finalized in 2008. However,this quota mechanism has many barriers in its implementation such as from Mahkamah Konstitusi that decided to change the instrument forelected candidate which based not on the consecutive number, so the quota system was complicated to put into practice. This article tries toexplain why the performance of women quota was ineffective. To address the problems, analysis of this article based on feminist perspective withcritical discourse of analysis (CDA). The study will be conducted on three levels namely normative level, institutional level, and practical level.Keywords: liberal democracy, women quota, participation, Indonesia

AbstrakReformasi politik Indonesia pada 1998 membawa partisipasi inklusif bagi semua orang. Salah satu hasil signifikannya adalah pembuatan kuotaperempuan yang dicoba untuk mengakomodasi aspirasi perempuan di dalam sistem demokrasi Indonesia., khususnya di parlemen. Kebijakan inidisahkan dalam undang-undang Artikel 65 UU 12 2003 mengenai Pemilihan Umum DPR yang kemudian diselesaikan pada 2008. Namun,mekanisme kuota memiliki banyak hambatan dalam pelaksanaannya seperti Mahkamah Konstitusi yang memutuskan mengubah instrumen calonterpilih tidak berdasarkan nomor urut, sehingga sistem kuota menjadi rumit untuk dipraktikkan. Artikel ini mencoba menjelaskan mengapa kinerjakuota perempuan tidak efektif. Untuk mengatasi masalah ini, analisa artikel didasarkan pada perspektif feminis dengan diskursus kritis analisis (CDA).Penelitian ini akan dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu tingkat normatif, tingkat institutional, dan tingkat praktik.Kata kunci: demokrasi liberal, kuota perempuan, partisipasi, Indonesia

PENDAHULUANKuota telah diterima sebagai jalur cepat (fast track)

untuk mewujudkan perimbangan gender dalamlembaga-lembaga pembuatan keputusan. Penggunaanstrategi kuota telah mampu meningkatkanketerwakilan perempuan hingga 56,3% di Rwanda(2008), 45% di Swedia (2010), 44,5% di Africa

Selatan (2009), 38,5 di Argentina (2008) (Women inNational Parliament, http://www.ipu.org). Meskikontroversial, kini sudah lebih dari 100 negaramengadopsi strategi ini. Pada tahun 2003 para aktivisperempuan Indonesia berhasil memperjuangkanadanya aturan tentang kuota perempuan dalam

Dilema Demokrasi Liberal:Hambatan Normatif,Institusional dan Praktikaldalam Pemberlakuan KuotaPerempuan di IndonesiaNur AzizahJurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas MuhammadiyahYogyakartaRingroad Barat Tamantirto, Kasihan, Bantul 55183Email: [email protected]

Page 2: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

185

Undang-undang no 12/2003 tentang Pemilu dandiperbaiki dalam UU 10/2008. Namunpemberlakuan ketentuan kuota tersebut menemuibanyak hambatan, diantaranya ialah keputusanMahkamah Konstitusi untuk mengubah ketentuancalon terpilih bukan berdasar nomer urut sehinggapraktis ketentuan kuota sulit dilaksanakan. Penelitianini ingin menjelaskan mengapa pemberlakuankebijakan kuota perempuan di Indonesia terhambat.

Tulisan ini menggunakan pendekatan kritis,metode analisa wacana kritis dan berperspektif feminis.Kajian politik feminist selalu didorong oleh keinginanuntuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik yangdihadapi perempuan (Krooka and Squires, 2006).Penggunaan analisa wacana kritis (Critical Discourse ofAnalysis-CDA) disebabkan karena pendekatan ini dapatmembantu menyingkap tabir-tabir terselubung yangada dibalik realita sosial. Melalui CDA, penelitiberusaha mengungkap ideologi dan kepentinganpolitik yang berada di balik argumen-argumen yangmenentang kuota perempuan. Ciri khas pendekatankritis adalah curiga dan mempertanyakan secara kritiskondisi masyarakat saat ini.

Wacana dapat diartikan sebagai percakapan, teks,serangkaian kalimat yang saling berkaitan, bahasalisan–komentar, hasil wawancara, ucapan danpernyataan-pernyataan (Eriyanto, 2009: 2). Pidato,dialog, polemik, perdebatan, percakapan atauperbincangan juga dapat dikategorisasikan sebagaisebuah wacana. Karena itu penelitian ini akanmenganalisa pernyatan-pernyataan dan komentar paraaktor politik dan hasil wawancara penulis terhadapresponden, terkait dengan kuota perempuan.

Dari berbagai varian analisa wacana, penulismemilih untuk menggunakan analisa CDA. Denganmenggunakan CDA penelitian ini ingin menunjukkanbagaimana gagasan perempuan, isu tentangketimpangan gender disingkirkan dari konsep politik,demokrasi, perwakilan, sistem dan perundang-undangan partai politik, pemilu dan penjaringan calegdidalam partai-partai politik, meski telah terdapatketentuan kuota perempuan dalam Undang-undangPemilu dan Undang-undang Partai Politik. Dengan

disingkirkannya gagasan dan isu tentang perempuanmaka kepentingan perempuan untuk memperolehkuota 30% keterwakilan di parlemen, kepentinganuntuk memperoleh akses dalam pembuatankeputusan, dan kepentingan untuk mencapaikesetaraan dengan laki-laki juga ikut terpinggirkan.

Analisa Wacana Kritis (Critical Discourse of Analysis)menggunakan analisa kualitatif dan menggunakanpenafsiran sebagai basis utama untuk memaknaitemuan (Eriyanto, 2009: 49). Meski penafsiran dalamanalisis wacana bersifat subyektif, tetapi denganmenghubungkannya dengan konteks, maka penafsirantersebut mempunyai dasar argumentasi yang kuat(Eriyanto, 2009: 64). Analisa dilakukan denganmenafsirkan secara subyektif wacana (teks) yang diteliti.Penafsiran dilakukan dengan menghubungkan teksdengan konteksnya (siapa partisipan yangmemproduksi wacana, seting sosial, historis,kepentingan, kekuasaan dan ideologi). Intinya, untukmemahami teks, perlu dipahami konteksnya.

Teks adalah semua bentuk bahasa baik yang tercetak(tulisan), maupun semua jenis ekspresi komunikasi—ucapan, gambar, musik, citra, suara dan lain-lain (Cook,Guy, 1994: 1). Konteks adalah semua situasi yangmempengaruhi teks, dapat dibagi dua yaitu partisipanwacana dan setting sosial. Partisipan wacana adalahsiapa yang memproduksi wacana—apa jeniskelaminnya, berapa umurnya, apa pendidikannya,seperti apa kelas sosialnya dan apa agamanya. Setingsosial yaitu posisi dan aturan yang melingkupinya yangdapat diklasifikasikan dalam seting historis, setingkekuasaan dan seting ideology. Seting Historis yaitudengan menghubungkan antara teks dengan settingsejarah, seperti bagaimana situasi sosial politik padasaat itu, mengapa wacana yang dikembangkan sepertiitu, mengapa bahasa yang digunakan seperti itu.Setting Kekuasaan yaitu dengan menghubungkanantara teks dengan kekuatan politik (kontrolkelompok laki-laki terhadap perempuan). Ini dapatberupa kontrol fisik dan kontrol pikiran (hegemonisebuah gagasan)–kontrol struktur wacana (kelompoklaki-laki mempunyai kekuasaan besar untukmenentukan isu apa yang diangkat dalam RUU

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

Page 3: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013186

Parpol/RUU Pemilu DPR). Sedangkan seting Ideologiialah bahwa teks dan percakapan akan mencerminkanideologi subyeknya. Dari teks dapat dianalisa ideologisubyeknya (misal: liberal kapitalis, feminis dll).Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan(kelompok liberal-kapitalis) untuk mereproduksi danmelegitimasi dominasinya.

Telaah dilakukan pada tiga level analisa. Pertama,pada level normatif level normatif, dimanadiperdebatkan dua gagasan keadilan: compensatory justicevs distributive justice. Kedua, pada level institusional,dimana kepentingan-kepentingan tersebut terjalindalam suatu pola penataan, sebagaimana diungkapdalam rumusan ketentuan perperundang-undangan.Ketiga, pada level praktikal yang mengungkapkepentingan aktor dalam rekrutmen caleg.

Analisis secara simultan pada tiga level tersebutmenunjukkaan bahwa pemberlakuan kuotaperempuan di Indonesia terhambat karena kebijakantersebut menghadapi konflik pada level normatif,level institusional dan level praktikal. Pada levelnormatif, pemberlakuan kuota berkonflik denganhegemoni pemaknaan demokrasi dan perwakilan versiliberal. Pada level institusional pemberlakuan kuotaberkonflik dengan sistem dan teknis pemilu (liberal–majoritarian) seperti yang tercantum dalam perundang-undangan pemilu. Pada level praktikal pemberlakuankuota menimbulkan konflik kepentingan antarakelompok yang diuntungkan dengan kelompok yangdirugikan oleh kebijakan kuota. Konflik inimengakibatkan peminggiran perempuan yangdilakukan melalui mekanisme penjaringan caleg,pengaturan peserta Konggres/Munas dan konservasigender politics dalam praktek partai politik.

Hegemoni norma liberal ditandai olehketidaksadaran para pelaku bahwa terdapat male biaseddalam norma, pelembagaan dan praktek demokrasiliberal. Hegemoni tersebut telah merata baikdikalangan eksekutif, legeslatif, yudikatif maupunaktivis. Karena kendalanya bersifat hegemonik, makaupaya untuk menyusun peraturan perundang-undangan tentang pemilu dan partai politik sertasistem rekruitmen caleg yang tidak menggunakan

prinsip-prinsip demokrasi liberali sangat sulit tercapai.Akibatnya, perundang-undangan pemilu di Indonesiayang dibangun diatas prinsip-prinsip liberalmajoritarian justru menfasilitasi dominasi laki-lakidalam politik. Meski dalam pemilu 2009 keterwakilanperempuan di DPR naik hingga mencapai 18% namundalam 10 kali pemilu yang diselenggarakan sejakkemerdekaan Indonesia, laki-laki tetap mendominasilebih dari 80% kursi DPR.

Konflik pada ketiga level tersebut menghadirkandilema bagi perempuan. Di satu sisi model liberaltelah menjadi regime demokrasi di Indonesia sehinggajika perempuan ingin berpolitik mereka harusmengikuti aturan main liberal, namun di sisi lainaturan main liberal ini menghambat pemberlakuankuota perempuan dan melanggengkan dominasi laki-laki dalam arena politik Indonesia. Konflik pada ketigalevel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

PEMBAHASANKONFLIK PADA LEVEL NORMATIF

Pada level normatif, pemberlakuan kuotaberkonflik dengan hegemoni pemaknaan demokrasidan perwakilan versi liberal. Reformasi demokrasi diIndonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembanganrejim demokrasi dunia. Pasca kejatuhan Uni Soviet,Amerika Serikat semakin gencar dalammempromosikan ideologi demokrasi liberal kapitalis.Demokrasi liberal menjadi seperangkat nilai universalyang siap diekspor ke seluruh penjuru dunia, terutamake negara-negara yang sedang membangun sistemdemokrasinya, termasuk Indonesia. Akibatnya, model-model demokrasi lainnya seperti demokrasi sosial(social welfare democracy) yang lebih menekankan padakesejahteraan rakyat menjadi tidak terdengar.1

Demokrasi liberal menjadi model hegemonik yangdianggap sebagai model terbaik.

Untuk mendukung promosi demokrasi tersebutAmerika Serikat membentuk The National Endowmentfor Democracy (NED) yang mendanai lebih dari 1,000proyek bagi NGOs diluar negeri yang bergerakdibidang demokrasi di lebih dari 90 negara . Sebagianbesar dana NED mengalir ke empat lembaga prpmotor

Page 4: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

187

demokrasi besar yaitu The Center for InternationalPrivate Enterprise (CIPE), The American Center forInternational Labor Solidarity (ACILS), The InternationalRepublican Institute (IRI), dan The National DemocraticInstitute for International Affair (NDI) yang berperanbesar dalam pendanaan proyek-proyek demokrasi diIndonesia.

Meski demikian adanya konflik normatif antarakebijakan kuota dengan norma-norma demokrasiliberal ini tidak kasat mata sehingga para aktivispunbanyak yang tidak menyadarinya. Banyak diantaraaktivis yang berperan ganda, sebagai pendukungkuota dan juga sebagai pengusung norma demokrasiliberal. Beberapa jaringan advokasi antar negara(TAN’s) seperti International IDEA, lembagapenghubung donor seperti Partnership for Governance,organisasi non pemerintah seperti CETRO danpemerintah Republik Indonesia sendiri juga berperanganda sebagai pendukung kuota sekaligus pengusungdemokrasi liberal, tanpa menyadari adanya kontradiksinormatif didalamnya. Ambivalensi ini sulitterelakkan mengingat sebagian besar dana advokasikuota maupun demokrasi berasal dari sumber yangsama yaitu donor asing.

Pasca reformasi prinsip-prinsip demokrasi liberalyang menekankan equal opportunity dan individual rightberhasil menjadi norma demokrasi yang diyakinikebenarannya dan mempunyai posisi hegemondikalangan legeslatif (pembuat undang-undang/DPR-pimpinan partai), yudikatif (Mahkamah Konstitusi),dan aktivis demokrasi Indonesia. Hegemoni normaliberal ini membuat gagasan kuota perempuan yangmenekankan prinsip equality of result dan collective rightsulit diterima maupun dilaksanakan karena dianggapbertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.2

Menurut liberal, kesetaraan gender diupayakan dicapaimelalui perbaikan kondisi sosial ekonomi(pemberdayaan) perempuan, bukan melalui intervensipemerintah.

Konsep-konsep utama demokrasi liberal sepertiindividual, equal opportunity dan one person one vote onevalue (OPOVOV) yang digunakan sebagai bahan bakubagi pembangunan teori-teori demokrasi dan

pemilihan umum yang mereka klaim dapatmenjelaskan “realita” dunia, terbukti bias gendersehingga tidak dapat dikatakan obyektif. Konsep-konsep ini bias gender karena pemahamannya tentangmanusia, tentang sifat manusia, hanya didasarkan padaasumsi sifat manusia yang maskulin (Pirages andSylvester, 1989). Dasar berfikir ini menjadi tidakrepresentatif, karena ternyata isi bumi adalah manusialaki-laki dan perempuan. Bukan hanya laki-laki saja.

Penggunaan konsep individual dalam demokrasiliberal didasarkan pada pengalaman laki-laki dalambermasyarakat. Yang dimaksud dengan individu dalamkonsep demokrasi liberal adalah orang yangmempunyai karakter autonomy (kemandirian), rationality(penalaran), mempunyai kemampuan untuk memilih(ability to make choices ) dan membuat kontrak/perjanjian dengan pihak lain. Karakter-karaktertersebut adalah karakter yang selalu melekat padamaskulinitas. Sebaliknya, sebagian besar perempuantidak memenuhi criteria sebagai individu. Karena itupengabstrakan laki-laki dan perempuan dalam konsepindividu menjadi menyesatkan karena tidak sesuaidengan realita masyarakat.

Penggunaan prinsip OPOVOV yang memintapemilih untuk memilih satu nama calon/partai sajadalam sebuah pemilu cenderung akan menguntungkanlaki-laki. Dalam masyarakat yang dipengaruhi olehtradisi patriarkhi, satu suara tersebut cenderungdiberikan pada calon yang berjenis kelamin laki-laki.Seandainya sistem pemilu bersifat netral, tidak biasgender, mestinya penggunaan sistem tersebut tidakakan mengakibatkan tingginya kesenjangan gender diparlemen secara terus menerus seperti yang terjadiselama ini. Baru pada tahun 1990an munculkesadaran bahwa sitem pemilu tidak bersifat ‘netral’sehingga kalangan feminis mulai mengupayakanreformasi sistem pemilu yang lebih bersahabat bagiperempuan.

Penggunaan norma equal opportunityy dan impartial-ity hanya akan menguntungkan kelompok dominan(laki-laki). Jika semua individu diberi hak yang sama(equal right), maka kepentingan dari kelompokdominanlah yang akan berlaku karena mereka akan

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

Page 5: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013188

menyatakan bahwa pengalaman dan cara pandangmereka tentang realitas social sebagai suatu hal yangobyektif dan tidak memihak (Young, 1989: 259).Artinya, norma kelompok dominan (laki-laki) lah yangmenjadi standar. Atas nama obyektifitas danketidakberpihakan (impartiality) maka kelompok-kelompok minoritas, termasuk perempuan, menjaditerpinggirkan dalam kehidupan politik. Atas namauniversalism maka norma-norma asli yang semuladipunyai oleh kelompok-kelompok minoritas,termasuk perempuan, menjadi terdegradasi.Sebaliknya, norma laki-laki menjadi standar.

Obsesi akan stabilitas menjadikan sistem pemilucenderung konservatif (mendukung status quo) danmeminggirkan perempuan. Baik dari sisi teorimaupun praktek, sistem pemilu yang dipraktekkandinegara-negara demokrasi liberal seperti AmerikaSerikat dan Eropa Barat cenderung dianggap sebagaisebuah standar (norm). Aktor-aktor politik yangdiuntungkan dengan pemikiran dan praktek sistempemilu tersebut cenderung mengkonservasi sistemsehingga pemikiran tentang reformasi sistem pemilusulit untuk diterima.

Penggunaan prinsip OPOVOV misalnya, cenderungmengunci munculnya alternatif/inovasi sistem pemiludengan basis kelompok (group right) yangmemungkinkan penggunaan reserved seats, pemisahanpenghitungan suara bagi caleg perempuan dan laki-laki,penggunaan dual ballot ( satu surat suara untukmemilih caleg perempuan, dan satu surat suara untukmemilih caleg laki-laki) atau pemilihan caleg secarakolektif yang mengharuskan pemilih memilih satucalon perempuan dan satu calon laki-laki. Terkuncinya

inovasi sistem pemilu memaksa perempuan untukbertarung dalam kerangka sistem pemilu District,Proporsional Representative (PR) atau campurandiantara keduanya, yang cenderung male bias tersebut.

KONFLIK PADA LEVEL PELEMBAGAANPada level institusional pemberlakuan kuota

berkonflik dengan sistem dan teknis pemilu (liberal-majoritarian) seperti yang tercantum dalam perundang-undangan pemilu. Hegemoni norma liberal dalamdemokrasi dan perwakilan di Indonesia tersebutmendorong terbentuknya institusi (UU Parpol danUU Pemilu) dan praktek penentuan calon terpilihyang tidak sesuai dengan kebutuhan kuota, sehinggapenghambat pemberlakuan kebijakan kuota, terlihatdalam ilustrasi 1.

Pengalaman di berbagai negara seperti Rwanda,Inggris, Canada, New Zealand, India dan lain-lainmenunjukkan bahwa keberhasilan peningkatanketerwakilan perempuan selalu didahului denganelectoral engineering (perekayasaan sistem pemilu) ataulebih tepatnya reformasi/inovasi sistem dan teknispemilu yang memberikan peluang lebih besar bagiperempuan untuk terpilih. Di Indonesia, electoralengineering semacam ini belum pernah dilakukan.Rendahnya keterwakilan perempuan tidak dianggapsebagai problem yang perlu diatasi melalui reformasisistem pemilu, selain penggunaan kuota. Aktor-aktorpolitik yang diuntungkan oleh sistem ini cenderungmengkonservasi sistem pemilu sehingga tidak terjadireformasi sistem pemilu yang menguntungkanperempuan. Resistensi pemerintah dan politisiterhadap usulan kuota perempuan pada awal reformasi

Ilustrasi 1Sistem Pemilu Liberal (Indonesia Pasca Reformasi)

Page 6: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

189

dan ketiadaan sanksi bagi partai yang tidak memenuhiketentuan kuota menunjukkan sikap pembuat undang-undang yang cenderung mengkonservasi sistem pemiluyang telah ada karena sistem tersebut menguntungkan

mereka (laki-laki).Pemikiran tentang reformasi sistem pemilu yang pro

perempuan sulit untuk diterima. Pembahasan tentangperlunya inovasi sistem dan teknis pemilu (electoral

Tabel 1Varian Demokrasi berdasar Prosedur Kerja

Tabel 2Varian Demokrasi Berdasar Sikap terhadap Minoritas

Sumber: Smooha, Sammy. 2001. The Model of Ethnic Democracy. ECMI Working Paper, 13 October

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

Page 7: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013190

engineering) yang bersifat emansipatoris dan lebih sesuaidengan logika kuota ini jarang dibahas karena paraahli politikpun cenderung berpendapat bahwa pemilumodel liberal (distrik/majoritarian, perwakilanberimbang/Proportional Representative) adalahstandar yang sulit diubah. Para ahli politik jugacenderung memaknai demokrasi sebagai sarana untukmengetahui dan mengumpulkan preferensi wargaNegara melalui “voting /pemilihan umum” (ModelDemokrasi Agregarif).3

Sebagai dampak dari kegencaran Amerika Serikatdalam mempromosikan demokrasi liberal, maka paskaPerang Dingin pewacanaan demokrasi dihegemoni olehmodel demokrasi liberal. Terdapat kesan bahwademokrasi liberal adalah ‘bentuk ideal dari organisasipolitik’ sehingga bentuk-bentuk demokrasi lainnyacenderung tidak memperoleh tempat. Meski demikiansesungguhnya terdapat berbagai varian demokrasi.

Dilihat dari proses bekerjanya, demokrasi dapatdibedakan dalam tiga model, yaitu Model Aggregative,Model Deliberative dan Model Anti Dominasi. Dilihatdari sikapnya terhadap kelompok-kelompok minoritas,demokrasi dapat dibedakan dalam demokrasi liberalindividual, demokrasi liberal republican, demokrasimulti kultural, demokrasi konsociational dandemokrasi etnik. Dilihat dari basis pemberian hakpolitik, demokrasi dapat memberikan hak politik padaindividu (individual liberal democracy, republicanliberal democracy), dan demokrasi yang memberikanhak politik secara kolektif (consociational democracydan ethnic democracy). Sedangkan multiculturaldemocracy berada diantara demokrasi liberal dandemokrasi konsociational. Jika dilihat dari aspekpengelolaan ekonomi demokrasi demokrasi dapatdibedakan dalam demokrasi liberalism kapitalis dandemokrasi social (social democracy). Demokrasi liberalkapitalis memberikan peran minimal pada Negara,sebaliknya demokrasi social memberikan peran yangcukup besar pada Negara dalam pengelolaan ekonomidan sosial. Uraian singkat dari masing-masing variandemokrasi tersebut dapat dilihat dalam tabel-tabelterlampir.

Pasca reformasi politik 1998, karakter liberal

individual dalam demokrasi Indonesia tampaksemakin kuat. Hal ini tercermin , misalnya dalamketentuan tentang Pemilihan Umum yang memintapemilih untuk memberikan suaranya langsung padacalon (individu), penggunaan prinsip universal citizen-ship, penggunaan prinsip OPOVOV dalam pemilu dandigunakannya sistem majoritarian (suara terbanyak)untuk menentukan calon terpilih. Intinya, pemilumenjadi arena kompetisi antar individu (caleg).

Pasca reformasi meski secara formal sistem pemiluIndonesia bernama proporsional namun secara esensialmekanisme penentuan calon terpilih didasarkan padasystem majoritarian (suara terbanyak). Sistem pemiluini menyulitkan perempuan. Pertama, dalam sistemmajoritarian (suara terbanyak), dimana pemilihdiminta memilih caleg dalam surat suara, gerakanperempuan akan kesulitan untuk menuntutpemenuhan isu gender pada setiap caleg yangjumlahnya amat sangat banyak (dapat mencapaipuluhan ribu orang). Kedua, dengan sistemmajoritarian, pemilu cenderung menjadi urusanindividual. Dengan sistem pemilu yang berorientasipada individu calon, tautan antara pemilih dengancalon lebih banyak bersifat klientelistik dankharismatik. Artinya pemilih memilih caleh lebihkarena pertimbangan keuntungan material yang

Tabel 3Varian Demokrasi berdasar Pengelolaan Negara

terhadap Ekonomi

Page 8: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

191

diperoleh dari caleg atau karena kharisma caleg(Kitschelt, 2000).

Tabel 4Variabel Sistem Pemilu yang Akomodatif terhadap

Perempuan

Menurut Kitschelt terdapat tiga pola hubungancaleg dengan pemilih dalam sistem politik demokratik,yaitu pola karismatik, pola klientelistik dan polaprogramatik. Pola kharismatik terjadi jika pemilihmemberikan suaranya berdasar kharisma caleg. Polaklientelistik, terjadi jika pemilih memberikan suaranyaberdasarkan pertimbangan keuntungan (material) yangdiperoleh secara langsung kepadanya. Sedangkan polaprogrammatik terjadi jika pemilih memperikansuaranya karena program partai yang ditawarkanmemang menarik (Kitschelt, 2000).

Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pemiluIndonesia selama ini yang mengarah pada sistemmajoritarian (suara terbanyak) membuat kebijakankuota perempuan sulit dilaksanakan. Keputusan MKNOMOR 22-24/PUU-VI/2008 yang menentuancalon terpilih harus didasarkan pada suara terbanyaksecara berurutan menjadikan klausul tentang kuotaperempuan kehilangan “roh” nya karena perjuanganperempuan untuk “memaksa” partai-partai politikmenempatkan perempuan di nomer urut kecilmenjadi kehilangan dasar pijakannyai seperti terlihatdalam ilustrasi berikut.

Ilustrasi 2Ketidaksinkronan antara Sistem Pemilu Indonesia

dengan Ketentuan Kuota Perempuan

Sumber: Soetjipto, Ani. 2009. Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyak terhadapKeterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute

KONFLIK PADA LEVEL PRAKTIKALPada level praktikal pemberlakuan kuota

menimbulkan konflik kepentingan antara kelompokyang diuntungkan dengan kelompok yang dirugikanoleh kebijakan kuota. Konflik ini mengakibatkanpeminggiran perempuan yang dilakukan melaluimekanisme penjaringan caleg, pengaturan pesertaKonggres/Munas dan konservasi gender politics dalampraktek partai politik.

Meski telah ada ketentuan kuota namun praktik didalam partai politik masih meminggirkan perempuan.Peminggiran dilakukan dengan mempraktekkan genderpolitics, pembuatan aturan tentang peserta Konggres/Munas partai yang mengkaitkan legalitas pesertadengan jabatan struktural partai di setiap level (DPD/DPW, DPC) sehingga sulit ditembus oleh perempuan,dan pembuatan aturan penjaringan caleg denganmenggunakan prinsip meritokrasi-scoring.Pemberlakuan kuota secara sungguh-sungguh jelas akanmenguntungkan sekelompok orang (caleg perempuan)dan merugikan sekelompok yang lain (caleg laki-laki)sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Konflikkepentingan dan perebutan kekuasaan ini membuatpihak yang dirugikan akan berupaya menghambatpemberlakuan kuota dan meminggirkan posisiperempuan dengan berbagai cara.

Gender politics dilakukan dengan mengelompokkan

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

Page 9: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013192

perempuan dalam organisasi sayap perempuan yangaktifitasnya cenderung mengikuti ideology gender yangtelah tertanam kuat di masyarakat yaitu urusankeluarga, anak, kesehatan dan kesejahteraan sosial.Proses domestikasi ini menyebabkan perempuanIndonesia sulit untuk diorganisir agar mampumendekonstruksi institusi partai yangmendiskriminasikan mereka. Tidak mengherankan jikasedikit sekali perempuan yang dapat menempatikepengurusan strategis partai (Cario, Argentina).

Peminggiran perempuan juga dilakukan denganpembuatan aturan tentang peserta Konggres/Munaspartai yang sulit ditembus oleh perempuan sehinggaarena tersebut selalu didominasi laki-laki. PengaturanKonggres yang mengkaitkan legalitas peserta denganjabatan struktural partai di setiap level (DPD/DPW,DPC) praktis telah meminggirkan perempuan dalamproses-proses pembuatan keputusan partai karena sulitsekali bagi perempuan untuk dapat menduduki posisipuncak di DPD/DPW dan DPC.

Peminggiran perempuan berikutnya dilakukandalam proses penjaringan caleg partai. Pada prosespenjaringan caleg peminggiran perempuan terjadiketika partai-partai menggunakan prinsip meritokrasi-scoring yang memperlakukan bakal caleg laki-lakimaupun perempuan secara sama. Jika menggunakanaffirmative action semestinya caleg perempuandiperlakukan secara berbeda dengan caleg laki-laki.Meski partai mengaku telah melakukan affirmativeaction, namun norma yang digunakan dalam prosespenjaringan caleg adalah equality of opportunity,netralitas Negara (panitia seleksi) dan individual rightyang bertentangan dengan logika kuota. Baik partaimaupun masyarakat berpandangan bahwa pemilu yangdemokratis adalah pemilu yang menempatkan pemilihdan peserta pemilu secara setara.

Mekanisme penjaringan bakal caleg di berbagaipartai tersebut maka dapat diklasifikasikan dalam tigakelompok yaitu dengan menggunakan sistem skoring(Golkar, PDIP, PAN, PKB), dengan perolehan suaradalam Pemilu Raya (PKS) dan dengan Musyawarah(PPP).

Sistem Pemilu Raya dan sistem skoring

menghasilkan angka-angka yang bersifat kuantitatif yangakan digunakan sebagai dasar pengurutan calon , baiklaki-laki maupun perempuan. Artinya, denga angkayang kongkrit seperti ini, tindakan affirmative actionterhadap calon perempuan akan sulit dilakukan,karena dapat dianggap sebagai manipulasi skor ataupenghianatan terhadap mekanisme demokrasi. Padabeberapa partai memberikan sistem quota padapenjaringan bakal calon pada level pertama. Level-levelseteruanya harus diikuti dengan sistem skoring. Adapula partai yang menambahkan skor khusus untukperempuan, tetapi penambahan tersebut tidak signifi-cant. PAN menambahkan skor 5 (lima) bagiperempuan, dengan total skor maksimal sekitar 100.

Scoring system kerap dianggap sebagai sistem yangterbaik. Padahal ketika sistem scoring mencampurkandalam satu list antara bakal caleg laki-laki danperempuan maka akan menggugurkan sistem kuotaperempuan. Perempuan bakal caleg sendiri padaumumnya tidak menyadari bahwa dengan systemscoring berarti laki-laki maupun perempuandiperlakukan secara sama. Jika menggunakan prinsipquota, semestinya scoring harus dipisahkan dalam duakelompok, laki-laki dan perempuan. Kuota adalah hakperempuan secara kolektif. Skoring didasarkan padaprinsip equal opportunity, sedangkan kuotadidasarkan pada equality of result. Penggunaan scoringdapat dimaknai sebagai strategi untuk melumpuhkansystem kuota.

Jika penentuan nomer urut dilakukan secaramusyawarah maka akan menghasilkan penilaian yangkualitatif. Dengan sistem ini sebenarnya lebihmemungkinkan adanya affirmative action untuk bakalcaleg perempuan. Tetapi jika peserta musyawarahsebagian besar adalah laki-laki, maka suara bagi bakalcaleg perempuan juga akan sangat kecil. Masalahutamanya ialah akses perempuan untuk terlibat sebagaipeserta musyawarah (tim seleksi) sangat kecil sehinggapeluang untuk mempengaruhi keputusan juga sangatkecil. Untuk itu kehadiran fisik perempuan dalam timmusyawarah sangat penting. Dalam partai-partai yangbernuansa Islam, otoritas kyai atau tokoh agama dalamproses musyawarah juga sangat tinggi. Jika para tokoh

Page 10: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

193

agama tersebut memberikan dukungannya pada bakalcaleg laki-laki, maka bakal caleg perempuan juga akanterpinggir.

KESIMPULANRiset ini telah menawarkan pengggunaan tiga level

analisa yaitu level praktikal (kepentingan aktor dalamrekrutmen caleg) yang bersifat kasat mata, levelinstitusional (perundang-undangan Pemilu dan PartaiPolitik) yang agak abstrak dan level normatif (compensa-

tory justice vs distributive justice) yang bersifat abstraksecara simultan untuk mengungkap hambatanpemberlakuan kuota di Indonesia.

Penggunaan tiga level analisa secara simultan untukmengungkap hambatan pemberlakuan kuota diIndonesia tersebut menjadikan disertasi ini berbedadengan desertasi Wahidah br Siregar yang mengungkaptidak tercapainya kuota 30% keterwakilan perempuandari level institusional (sistem pemilu tertutup vssistem pemilu suara terbanyak /majoritarian).

Tabel 5Proses Penjaringan Caleg PAN-Golkar-PDIP Pemilu 2004

Sumber: Diolah dari CETRO

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

Page 11: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013194

Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Krookyang mengungkap hambatan pemberlakuan kuota darilevel institusional (wording, sistem pemilu) danpraktikal (kekuatan aktor yang mendukung danmenentang kuota), dan juga berbeda denganpenelitian Dahlerup yang mengungkap hambatanpemberlakuan kuota dari level institusional (sanksikuota)

Argumen penulis dalam penelitian ini diharapkan

dapat memberikan kontribusi teoritis denganmenunjukkan bahwa hegemoni pemaknaan (norma)liberal majoritarian dalam demokrasi dan perwakilantelah menjadi penghambat utama pemberlakuankebijakan kuota perempuan karena norma tersebutmelahirkan institusi (UU Parpol dan UU Pemilu) danpraktek politik yang tidak sesuai dengan kebutuhankuota dan melanggengkan kekuasaan laki-laki dalamperpolitikan Indonesia (status quo). Dengan melihat

Tabel 6Proses Penjaringan Caleg PBB-PPP-PKB-PKS Pemilu 20044

Sumber: Diolah dari CETRO

Page 12: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

195

pada aspek norma maka temuan ini dapatmenyempurnakan teori serupa yang dikemukakan olehDahlerup dan Krook.

Menurut Mona Lena Krook, implementasi quotagender di sebuah negara dipengaruhi oleh tiga variabelutama yaitu variabel rincian mandat aturan atauundang-undang tentang quota itu sendiri, variabelkerangka institusional yang melingkupi quota tersebutdan variabel aktor atau kelompok yang mendukungdan menentang quota.

“The impact of quotas is linked to detail of the measuresthemselves, the impact of quota is depend on institutionalframework in which they are introduces and the impact ofquotas steams of the balance of actors for and againstimplementation” (Krooka, 2005: 42).

Sedangkan menurut Dahlerup, design kuota yangspesifik sangat menentukan keberhasilan pemberlakuankuota “..the specific design of the quota system is crucial forthe successful implementation of quotas”. Artinya, designkuota harus memuat sanksi bagi partai yang tidakmematuhinya.

“in order to be effective, a quota system must be compat-ible with the electoral system in place and that quota rules– for example, of 30 or 40 per cent women on electorallists – must be supplemented with rules concerning rankorder as well as – in the case of legislated quotas –effective legal sanctions”( Dahlerup and Freidenvall.2008).

Baik Krook maupun Dahlerup tidak mengungkapaspek normative (ideology) yang mempengaruhipembentukan institusi politik maupun perilaku actordalam menanggapi kebijakan kuota perempuan.Sementara penelitian ini menunjukkan bahwa mindsetliberal dikalangan legeslatif (pembuat undang-undang,pimpinan partai), yudikatif (hakim konstitusi).maupun aktivis pro demokrasi Indonesia yangmenekankan perpolitikan pada level individual,memaknai kesetaraan sebagai equal opportunity danmemaknai keadilan sebagai distributive justice telahmenjadi penghambat kebijakan kuota, baik padatahap perumusan maupun pemberlakuan.

Efektifitas pemberlakuan kuota perempuan bukanhanya ditentukan oleh variable wording, institusional(system pemilu), sanksi maupun kekuatan actor yangmendukung kuota seperti dikatakan oleh Krook,Dahlerup maupun Wahidah br Siregar, namun jugadipengaruhi oleh ideology yang berkembang di Negaratersebut. Bahkan aspek ideology akan menentukanperumusan wording ketentuan kuota, kerangkainstitusional (system pemilu), kebijakan partaimaupun perilaku aktor dalam merespon kebijakankuota. Aspek ideology inilah yang membedakanefektifitas pemberlakuan kuota perempuan di beberapaNegara Scandinavia-Amerika Latin-Australia, Rwanda(demokrasi sosial—demokrasi konsosiasional) danIndonesia-Amerika Serikat (demokrsi liberalmajoritarian).

Di Negara yang mengalami demokratisasi seperti diIndonesia kebijakan kuota diambil selain karenadesakan gerakan perempuan yang sangat kuat jugasebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Negaratersebut demokratis. Keberadaan ketentuan kuotabukan berarti merupakan jaminan peningkatanketerwakilan perempuan karena mindset liberalmemaksa perempuan untuk bersaing denganmengandalkan kekuatan individualnya dan aturanmain didesign dengan prinsip equal opportunity,OPOVOV dan surat suara tunggal (single ballot) sertameritokrasi.

Penelitian ini mengkonfirmasi pendapat AnnePhillip dan beberapa ilmuwan feminist lainnya bahwateori-teori demokrasi liberal tidak netral gender(Phillip, 1991). Pembahasan pada bab-bab terdahulumenunjukkan bahwa norma, institusi (system danteknis pemilu) dan praktek yang terkait dengandemokrasi dan perwakilan politik di Indonesiatersebut tidak netral, melainkan sarat dengankepentingan politik. Ketimpangan gender dalamlembaga perwakilan yang terjadi secara terus menerusmerupakan salah satu bukti dari ketidaknetralantersebut. Fakta ini membenarkan pernyataan CriticalTheory bahwa teori juga tidak bersifat netral tetapicenderung menguntungkan pihak yang kuat danmelanggengkan status quo. Gagasan kuota perempuan

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia

Page 13: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONALVOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013196

merupakan terobosan pemikiran alternative yangbersifat emansipatoris.

Pengalaman di berbagai negara seperti Rwanda,Inggris, Canada, New Zealand, India dan lain-lainmenunjukkan bahwa keberhasilan peningkatanketerwakilan perempuan selalu didahului denganelectoral engineering (perekayasaan system pemilu) ataulebih tepatnya reformasi/inovasi sistem dan teknispemilu yang memberikan peluang lebih besar bagiperempuan untuk terpilih. Electoral engineeringdilakukan dengan membuat inovasi teknis pemilu yangpro perempuan.Inovasi tersebut dilakukan olehRwanda dengan memperkenalkan Triple balloting system,Inggris memperkenalkan All women’s short lists’,Afganistan memperkenalkan reserved seats melaluipemilihan secara langsung, India memperkenalkanDual-member Constituencies di Lok Sabha (masih dalamtahap usulan) dan Twinning System di Scottist yangterbukti mampu memberikan akselerasi terhadapkebijakan kuota perempuan.

Partisipasi perempuan dalam lembaga demokrasiIndonesia berada dibawah tekanan dan dominasinorma-norma liberal. Perempuan adalah salah satudari kelompok minoritas seperti orang tua (lansia),minoritas etnik dan kelompok masyarakat miskin yangdihambat untuk mengekspresikan pengalamannyadalam realitas politik karena liberal selalu memaksakannorma homogeneity, impartiality dan rationality.Norma liberal yang menekankan impartiality, generalitydan formal equality cenderung merugikan perempuankarena keyakinan akan norma-norma tersebutmenjadikan liberal tidak mampu mengakomodasiperbedaan-perbedaan dan particularitas yang ada dimasyarakat, termasuk fakta akan adanya perbedaanaktifitas antara perempuan dan laki-laki. Akibatnya,norma-norma liberal tentang demokrasi dapat menjadisarana dominasi politik laki-laki atas perempuan.

Karena masing-masing kelompok mempunyaipengalaman, sejarah dan cara pandang yang berbedaterhadap kehidupan sosial maka tidak ada satupunkelompok yang dapat mewakili pengalaman, sejarahdan cara pandang dari kelompok lain. Dalammenghadapi keberagaman kelompok-kelompok

tersebut, maka penggunaan norma formal equality danimpartiality hanya akan menguntungkan kelompokdominan (laki-laki). Jika semua individu diberi hakyang sama (equal right), maka kepentingan darikelompok dominanlah yang akan berlaku karenamereka akan menyatakan bahwa pengalaman dan carapandang mereka tentang realitas social sebagai suatuhal yang obyektif dan tidak memihak. Artinya, normakelompok dominan (laki-laki) lah yang menjadistandar. Atas nama obyektifitas dan ketidakberpihakan(impartiality) maka kelompok-kelompok minoritas,termasuk perempuan, menjadi terpinggirkan dalamkehidupan politik. Atas nama universalism makanorma-norma asli yang dipunyai oleh kelompok-kelompok minoritas, termasuk perempuan, menjaditerdegradasi. Sebaliknya, norma laki-laki menjadistandar.

CATATAN AKHIR1 Ketiadaan ideologi yang berperan sebagai counter hegemoni ini

membedakan pengaruh norma liberal di Indonesia dengan negara-negara Amerika Latin (Argentina) dan negara-negara dengan tradisidemokrasi yang kuat seperti Scandinavia, Inggris, Australia,Selandia Baru, Inggris, Selandia Baru, Skandinavia, Belanda, Swissdan Belgia.

2 Penolakan gagasan kuota perempuan atas dasar norma demokrasibukan hanya terjadi di Indonesia. Atas nama prinsip-prinsipdemokrasi ini pulalah Amerika Serikat yang menjadi pemimpinCoalition Provisional Authority (CPA) setelah kejatuhan SadhamHussein di Irak, menentang usulan organisasi-organisasi perempuanIrak yang menginginkan kuota 30% di parlemen lokal, nasional,kabinet dan Komisi Pembuat Konstitusi. Penolakan Amerika inidijawab dengan mobilisasi perempuan Irak sehingga akhirnya CPAmemenuhi tuntutan perempuan. Atas nama norma demokrasi pulaAmerika Serikat hingga saat ini tidak mengadopsi kuota perempuanmeski tingkat keterwakilan politik perempuan di Comgres hanya16,9% dan di Senate hanya 17%3. Alasan yang sama digunakanoleh Mahkamah Konstitusi Perancis yang pada tahun 1982menganulir peraturan kuota gender (25%-75%) karena kuota sexdianggap bertentangan dengan dengan prinsip republikan tentangequality dan mengancam bagi demokrasi Perancis. Jelas bahwakonflik normative, meski tidak kasat mata, menjadi hambatan bagipemberlakuan kuota perempuan diberbagai Negara.

4 Dilihat dari proses bekerjanya, demokrasi dapat dibedakan dalamtiga model, yaitu Model Aggregative, Model Deliberative danModel Anti Dominasi

5 Diolah dari CETRO

REFERENSICook, Guy. 1994. The Discourse of Advertising. London and New York:

Page 14: Dilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional

197

Routledge.Dahlerup, Drude and Lenita Freidenvall. 2008. Electoral Gender Quota

Systems and Their Implementation in Europe. WIP, Women inPolitics Research Centre, Department of Political Science, StockholmUniversity in cooperation with International IDEA

Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.Cetakan VII. Yogyakarta: LKiS.

Kitschelt, Herbert and Steven Wilkinson. 2007. Patrons, Clients, andPolicies: Patterns of Democratic Accountability and PoliticalCompetition. Cambridge: Cambridge University Press.

Kitschelt. 2000. Linkages between citizens and politicans in democraticpolitics. Comparative Political Studies 33 (6/7).

Krook, Mona Lena, 2005. Politizing Representation: Campaign forCandidate Gender Quotas Worlwide. Columbia University

Krooka, Mona Lena and Judith Squires. 2006. Gender Quotas in BritishPolitics: Multiple Approaches and Methods in Feminist Research.Palgrave Macmillan Ltd. (Online), (www.palgrave-journals.com/bp)

Phillip, Anne. 1991. Engendering Democracy. Cambridge, UK: PolityPress.

Pirages, Dennis dan Christine Sylvester (ed). 1989. Transformations inthe Global Political Economy. Basingstoke: Macmillan.

Smooha, Sammy. 2001. The Model of Ethnic Democracy. ECMIWorking Paper, 13 October. European Centre for Minority Issues(ECMI) Schiffbruecke 12 (Kompagnietor Building) FlensburgGermany. (Online), (http://www.ecmi.de)

Soetjipto, Ani. 2009. Dampak Diterapkannya Aturan Suara Terbanyakterhadap Keterwakilan Perempuan dan Gerakan Perempuan.Jakarta: Women Research Institute.

Women in National Parliament. (Online), (http://www.ipu.org)

Nur AzizahDilema Demokrasi Liberal: Hambatan Normatif, Institusional dan

Praktikal dalam Pemberlakuan Kuota Perempuan di Indonesia