chapter 18 sleep apnea and sleep disorders
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
1/33
SLEEP APNEA AND SLEEP DISORDERS
Ishman SL, Wakefield TL, Collop NA. Chapter 18. Sleep Apnea and Sleep Disorders
Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery
Edisi ke-5. Volume 1. Hal. 275-291.
Oleh:
Kuepoyos Heckly
Melisa E. Sumarauw
Veronica J. Girsang
Grays N. Pongmari
Supervisor Pembimbing
dr. O. C. P. Pelealu, SpTHT-KL
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA DAN TENGGOROKAN
RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAMRATULANGI
MANADO
2013
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
2/33
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan dan dikoreksi terjemahan dengan judul:
SLEEP APNEA AND SLEEP DISORDERS
Pada tanggal 4 Juni 2013
Mengetahui
Supervisor Pembimbing
dr. O. C. P. Pelealu, SpTHT-KL
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
3/33
APNEU DI SAAT TIDUR DAN GANGGUAN TIDUR LAINNYA
Poin Penting:
Mendengkur mempengaruhi setidaknya 40% pria dan 20% wanita, dan sering menyertai
gangguan pernapasan saat tidur. Namun, hanya 2% dari wanita dan 4% pria yang berusia
lebih dari 50 tahun memiliki gejala apneu di saat tidur yang obstruktif (OSA).
OSA di definisikan dengan lima atau lebih gejala pernapasan (apneu, hipopneu, atau
usaha pernapasan tambahan (RERAs) dalam hubungan dengan mengantuk berlebihan di
siang hari, bangun dengan terengah-engah, tersedak, atau menahan napas, atau laporan
adanya apneu, mendengkur keras, atau keduanya.
Efek negatif kesehatan telah dikaitkan dengan OSA yang tidak di obati termasuk
peningkatan mortalitas, peningkatan penyakit kardiovaskular, dan kesulitan
neurokognitif. Selain itu, OSA yang tidak di obati telah terbukti menjadi faktor risiko
independen untuk resistensi insulin, penyakit refluks gastroesofagus, kecelakaan
kendaraan bermotor, dan penurunan perhatian, memori kerja, dan fungsi eksekutif.
Gejala yang paling umum dari OSA yakni mendengkur keras, gelisah saat tidur, dan rasa
mengantuk berlebihan di siang hari. Namun, polisomnografi (PSG) diperlukan untuk
diagnosis dan dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis dari OSA.
Nasofaringoskopi fiberoptik merupakan alat penting untuk mengidentifikasi tingkat
obstruksi daerah: hidung, retropalatum, retrolingual. Kebanyakan orang memiliki
obstruksi di beberapa tingkatan.
Uvulopalatolaringoplasti (UPPP) merupakan prosedur bedah yang paling umum
dilakukan untuk OSA dan sering disalahgunakan sebagai lini pertama untuk terapi bedah
pada OSA terlepas dari faktor koeksisten pasien seperti obesitas, retrognatia, dan adanya
obstruksi di tempat lain. Akibatnya, sering terjadi kegagalan dalam pengobatan OSA
pada pasien yang tidak selektif.
Partial midline glosektomi (PMG), lingualplasti, dan ablasi dasar lidah dengan frekuensi
radio merupakan prosedur yang telah dikembangkan untuk mengatasi jatuhnya bagian
retrolingual atau penyempitan yang terjadi pada OSA.
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
4/33
Pembedahan daerah hipofaring terdiri dari prosedur yang dirancang untuk mencegah
jatuhnya lidah saat tidur sehingga menutupi jalan napas. Prosedur ini termasuk
memajukan otot genioglosal (GA) dan miotomi hyoid (HM), dimana keduanya
digunakan untuk melebarkan jalan napas di daerah retrolingual.
Tiga puluh satu persen dari pasien yang di diagnosis OSA di sebuah pusat gangguan tidur
ditemukan memiliki gangguan tidur yang koeksisten, dengan hal yang paling umum
adalah kualitas tidur yang tidak adekuat (15%) dan gangguan gerakan ekstremitas yang
periodik (8%).
Insomnia di definisikan sebagai kesulitan dengan inisiasi tidur, pemeliharaan,
konsolidasi, atau kualitas; dimana hal-hal tersebut terjadi berulang-ulang dan
menyebabkan disfungsi pada siang hari meskipun memiliki kesempatan yang adekuat
untuk tidur.
Gangguan irama tidur sirkadian terjadi ketika pola bangun-tidur seseorang berubah
menjadi tidak sesuai dengan waktu setempat, yang kemudian menetap dan terjadi
berulang kali, yang menyebabkan rasa kantuk berlebihan di siang hari atau insomnia dan
mengakibatkan gangguan fungsi.
Parasomnia adalah gerakan yang tidak diinginkan atau fenomena subjektif yang terjadi,
baik di saat mau tertidur, selama tertidur, ataupun di saat bangun.
Selama beberapa dekade terakhir, minat penelitian dalam bidang tidur dan gangguan tidur telah
meningkat secara substansial. Mayoritas dari minat baru dalam komunitas THT ini telah
difokuskan pada tidur yang berhubungan dengan gangguan pernapasan OSA. Sebagaimana
ukuran lingkar pinggang dari rata-rata penduduk Amerika telah meningkat, demikian juga
dengan insidens OSA. Suatu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa 2% wanita
dan 4% pria yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki gejala OSA. 1 Kemajuan juga telah dibuat
dalam memahami patofisiologi OSA, metode diagnostic, dan pengobatan medis dan bedah.Pemahaman bahwa gangguan tidur memerlukan pendekatan multidisiplin telah mengarahkan ke
penciptaan disiplin ilmu kedokteran yang baru yakni---ilmu kedokteran di bidang tidur---dengan
tim terdiri dari dokter penyakit dalam, dokter penyakit paru, dokter penyakit THT, dokter
penyakit saraf, dokter penyakit anak, psikiater, dokter bedah mulut /maksilofasial, dokter gigi,
psikolog perilaku, dan dokter ahli gizi yang bekerja sama untuk merawat pasien dengan
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
5/33
gangguan tidur. Kemajuan besar telah dibuat dalam diagnosis dan penanganan gangguan tidur,
dan dokter ahli THT berada di lini depan dari bidang baru ini, memberikan kontribusi berupa
teknik operasi tradisional dan baru untuk memfasilitasi pengobatan.
Perspektif Sejarah
Gagasan bahwa obesitas berkaitan erat dengan keadaan mengantuk di siang hari tampaknya telah
di tulis pertama kali oleh Charles Dickens dalam makalahnya yang berjudul Posthumous of the
Pickwick Club, yang awalnya diterbitkan pada tahun 1837. Dickens memberikan gambaran
deskriptif tentang Joe, seorang anak laki-laki yang sangat obesitas sehingga kesulitas bernapas,
dia terdengar seolah-olah mendengkur bahkan di saat tidak tidur, dan sering tertidur tertidur
sambil berdiri. Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa beberapa dari pemimpin dan
diktator terkenal menderita masalah ini. Presiden Amerika Serikat ke-20, William Howard Taft,
memiliki indeks massa tubuh 42 kg/ m2 dan dilaporkan mendengkur saat di kantor, sering tertidur
di siang hari,dan menderita hipertensi. 2 Chouard dkk menjelaskan beberapa alasan untuk
mencurigai bahwa Napoleon I (1769-1821) menderita OSA dalam dekade terakhir
kehidupannya: dia gemuk dan retrognatik, lehernya pendek dan tebal, hidungnya tersumbat, dia
sering tertidur siang hari, dia mengeluh mengalami penurunan stamina dan kecerdasan, dan dia
terlihat agak lelah dan kusut. 3 Pada tahun 1956, Drs. A. G. Bicklemann, C. S. Burwell, dkk
mengambil deskripsi Dickens dalam laporan kasus mereka yang berjudul Obesitas Ekstrim
Terkait dengan Hipoventilasi Alveolar: Sindrom Pickwickian. Makalah yang sering dikutip ini
dijadikan sebagai deskripsi awal dari sindrom Pickwickian dalam jurnal akademik. 4 Apneu di
saat tidur pertama kali dijelaskan sebagai entitas klinis pada tahun 1965, tapi tidak sampai tahun
1970-an bahwa kelompok Elio Lugaresi yang memberikan deskripsi lengkap dari sindrom OSA
dengan potensi efek samping kardiovaskular.
Diagnosis baru di masa anak-anak, pilihan pengobatan terbatas pada trakeostomi atau penurunan
berat badan. Hal ini berubah pada awal tahun 1980-an dengan adanya pengenalan teknik
uvulopalatoplasti (UPPP) sebagaimana dijelaskan oleh Fujita dkk 5 dan Simmons dkk. 6 Tidak
lama setelah pengenalan UPPP , meskipun intervensi bedah baru ini membantu pada banyak
kasus, teknik ini meninggalkan setengah dari pasien dengan apneu di saat tidur dan bisa menjadi
prosedur yang menyakitkan. Masih di periode waktu yang sama Colin Sullivan, seorang peneliti
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
6/33
medis muda Australia, mengembangkan teknik tekanan positif jalan napas secara terus menerus
(CPAP), dimana saat ini tetap menjadi lini pertama terapi OSA dewasa.
Sebagaimana terapi OSA telah berkembang, demikian juga dengan terapi yang bertujuan untuk
mengobati dengkuran. Pengembangan dari terapi bedah berbasis kantor, dan intervensi
farmakologis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Klasifikasi dari Obstruksi di saat Tidur yang Berhubungan dengan Gangguan Pernapasan
Gangguan pernapasan terkait tidur berkisar dari kolapsnya sebagian jalan napas dan peningkatan
resistensi saluran napas atas sampai ke episode hipopneu atau kolapsnya jalan napas lengkap
dengan apneu di saat tidur (Kotak 18-1). Selain itu, sejumlah indeks telah digunakan untuk
menggambarkan gangguan pernapasan di saat tidur (Kotak 18-2)
Kotak 18-1
Definisi dan Tipe Gejala Pernapasan
Gejala Pernapasan Definisi
Apneu Penghentian aliran udara setidaknya 10 detik
Hipopneu Penurunan aliran udara (30%) setidaknya 10
detik dengan desaturasi oxyhemoglobin 4%
ATAU penurunan aliran udara (50%)
setidaknya 10 detik dengan desaturasi
oxyhemoglobin 3% atau arousal
elektroensefalogram (EEG)
RERA Sekuensi pernapasan setidaknya 10 detik
dengan peningkatan upaya pernapasan atau
pendataran dari gelombang tekanan yang
menyebabkan arousal dari tidur ketika sekuensi
pernapasan tidak memenuhi kriteria untuk
apneu atau hipopneu
Obstruksi Upaya pernapasan thorako-abdominal lanjutan
sebagai kompensasi adanya penghentian aliran
udara sebagian atau lengkap
Sentral Kurangnya upaya pernapasan thorako-
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
7/33
abdominal sebagai kompensasi adanya
penghentian aliran udara sebagian atau lengkap
Campuran Gejala pernapasan dengan gejala obstruksi dan
gejala sentral. Gejala campuran umumnya
dimulai dengan gejala sentral dan diakhiri
dengan upaya pernapasan thorako-abdominal
tanpa aliran udara.
Kotak 18-2
Indeks dari Gangguan Pernapasan di saat Tidur
Indeks Definisi
Indeks Apneu Jumlah apneu per jam dari total waktu tidur
Indeks Hipopneu Jumlah hipopneu per jam dari total waktu tidur Indeks Apneu-Hipopneu Jumlah apneu dan hipopneu per jam dari total
waktu tidur
Indeks RERAs Jumlah RERAs per jam dari total waktu tidur
Indeks Gangguan Pernapasan Jumlah apneu, hipopneu, dan RERAs per jam
dari total waktu tidur
Indeks Apneu Sentral Jumlah apneu sentral per jam dari total waktu
tidur
Indeks Apneu Campuran Jumlah apneu campuran per jam dari total
waktu tidur
Dengkuran
Dengkuran adalah suara yang dihasilkan oleh getaran jaringan lunak faring. Hal ini sering lebih
keras saat inspirasi daripada ekspirasi. Ini mempengaruhi setidaknya 40% pria dan 20% wanita
dan sering menyertai gangguan pernapasan di saat tidur (SDB). 7Namun, ini dapat terjadi dalam
isolasi dan menurut definisi tidak terkait dengan gejala mengantuk berlebihan di siang hari atau
insomnia. Dengkuran, dengan tidak adanya OSA, didokumentasikan ketika kebiasaan dengkuran
yang terdengar terjadi dengan indeks indeks hipopneu apneu (AHI) kurang dari 5 kejadian per
jam tanpa gejala di siang hari. Polisomnografi (PSG) tidak diperlukan untuk diagnosis, tetapi
ketika dilakukan dapat mengungkapkan sinyal mikrofon yang terdengar dengan desaturasi,
keterbatasan aliran udara, atau aritmia. 8
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
8/33
Sindrom Resistensi Jalan Napas Atas
Istilah sindrom resistensi jalan napas atas (UARS) pertama kali digunakan untuk
menggambarkan pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk sindrom OSA tetapi kepada yang
merasa mengantuk berlebihan di siang hari dan keluhan kelemahan somatik lainnya. 9 UARS
ditandai dengan upaya pernapasan yang berlebihan (RERAs). RERAs didefinisikan sebagai
sekuensi pernapasan selama setidaknya 10 detik yang berakhir dengan upaya peningkatan
pernapasan tambahan. 10 RERAs terdeteksi dengan menggunakan tekanan manometer esophagus,
yang mengungkapkan pola peningkatan progresif tekanan negatif esophagus yang diikuti dengan
kelelahan. 10,11 PSG mengungkapkan bahwa seringnya terjadi upaya pernapasan tambahan terkait
dengan mendengkur, tekanan negatif intratorakal yang abnormal, atau peningkatan aktivitas
elektromiogram diafragma. 9 Klasifikasi Internasional dari Gangguan Tidur saat ini tidak
mempertimbangkan UARS menjadi gangguan tidur terpisah, tetapi merekomendasikan bahwa itu
tercakup di bawah definisi dari OSA karena patofisiologinya yang sama.
Kotak 18-3
Gejala dari Gangguan Pernapasan di saat Tidur
Gelisah saat tidur
Mendengkur keras
Apneu terobservasi, tersedak, atau episode terengah-engah
Rasa menganruk di siang hari yang berlebihan (EDS)Kelelahan di pagi hari dan iritabilitas
Kehilangan ingatan
Penurunan fungsi kognitif
Depresi
Perubahan kepribadian dan mood
Penurunan libido dan impotensi
Nyeri kepala pada pagi dan malam hari
Berkeringat di malam hari
Enuresis di malam hari
Sindrom Apneu di saat tidur yang Obstruktif
OSA didefinisikan dengan lima atau lebih gejala pernapasan (apneu, hipopneu, atau RERAs)
dalam hubungan dengan rasa mengantuk berlebihan di siang hari, bangun dengan terengah-
engah, tersedak, atau menahan napas, atau dengan adanya keluhan apneu, mendengkur keras,
atau keduanya. Setiap episode dari apneu atau hipopneu harus bertahan minimal 10 detik,
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
9/33
biasanya disertai dengan penurunan saturasi oksigen darah minimal 3% sampai 4%, dan biasanya
diakhiri dengan singkat, oleh upaya pernapasan tambahan di saat tidur. Dengkuran di antara
apneu adalah keluhan yang sering dari teman tidur seseorang dan sering merupakan gejala yang
mendorong pasien untuk mencari bantuan medis; meskipun, rasa mengantuk di siang hari
merupakan keluhan umum. Kecelakaan mobil dan peningkatan morbiditas dan mortalitas
penyakit kardiovaskuler merupakan komplikasi tersering jika OSA tidak diobati. Banyak
penderita OSA mengeluh terbangun dari tidur dengan rasa sakit kepala, sakit tenggorokan, dan
kelelahan atau perasaan tidak segar terlepas dari lamanya tidur (Kotak 18-3). OSA diperburuk
oleh konsumsi alkohol, obat penenang, dan peningkatan berat badan.
Patofisiologi
Obstruksi yang terjadi pada OSA merupakan hasil dari kolapsnya saluran napas faring selama
tidur. Etiologi dan mekanisme kolapsnya terjadi oleh kaerna banyak faktor tetapi sebagian besar
disebabkan oleh interaksi dari saluran napas bagian atas yang mudah kolaps dengan relaksasi
dari otot dilator faring, yang terjadi di saat tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, dan
karakteristik kraniofasial seperti retrognatia menambah kecenderungan kolapsnya dengan
meningkatkan tekanan jaringan ekstraluminal di sekitar saluran napas bagian atas. Namun,
kelemahan struktural saluran napas saja tidak cukup untuk menyebabkan OSA. Khususnya,
pasien tanpa kelainan anatomis mungkin juga menderita OSA. Hal ini dapat terjadi karena jalur
refleks yang kompleks dari sistem saraf pusat ke faring, yang mengendalikan bagian motorik otot
dilator faring, mungkin gagal untuk memepertahankan patensi faring. Tiga daerah utama yang
mengalami obstruksi adalah hidung, langit-langit, dan hipofaring, meskipun apneu di saat tidur
yang obstruktif berhubungan dengan obstruksi laring dari paralisis laring bilateral,
laringomalasia, dan lesi obstruksi laring juga telah dilaporkan.
Fujita mengklasifikasikan pola obstruksi berdasarkan lokasi anatomi dengan cara sebagai
berikut: tipe I, kolaps hanya terjadi di wilayah retropalatum saja; tipe II, kolaps terjadi baik di
daerah retropalatum dan retrolingual; tipe III, kolaps terjadi di wilayah retrolingual saja. 12
Penelitian selanjutnya telah mengevaluasi prevalensi dari obstruksi retropalatum dibandingkan
retrolingual pada pasien dengan OSA dan mendengkur dan menemukan bahwa kedua obstruksi
retrolingual (77% dan 40%) dan retropalatum (100% dan 70%) menunjukkan peningkatan pada
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
10/33
pasien OSA, yang di konfirmasi dengan pemeriksaan PSG, dibandingkan dengan pasien yang
mendengkur. 13
Obstruksi hidung berkontribusi terhadap peningkatan resistensi saluran napas dan dapat
memperburuk OSA, tetapi jarang menjadi satu-satunya penyebab. Obstruksi hidung mungkin
berkontribusi terhadap pernapasan melalui mulut sewaktu tidur, yang meningkatkan
kolapsibilitas saluran napas bagian atas dan dapat menurunkan efikasi dari otot dilator. 14
Mendengkur sering merupakan gejala OSA dan dapat disebabkan oleh obstruksi hidung.
Prosedur bedah bertujuan untuk meningkatkan pernapasan lewat hidung telah menunjukkan
perbaikan secara subjektif dalam mendengkur setelah koreksi obstruksi hidung. 15 Meskipun
terapi isolasi dari saluran napas hidung jarang untuk menyembuhkan OSA, terapi tersebut
memungkinkan untuk tingkat CPAP yang akan digunakan untuk terapi selanjutnya. 16 Obstruksi
hidung dapat disebabkan oleh deformitas tulang dan tulang rawan atau dari perubahan jaringan
lunak. Karena banyaknya penyebab obstruksi hidung, maka semuanya harus diperiksa ketika
mengevaluasi seorang pasien dengan OSA.
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk OSA. Peningkatan penumpukan lemak di sekitar
leher dan rongga parafaring ini menekan dan mempersempit saluran napas bagian atas dan dapat
mengimbangi efek otot dilator yang menjaga patensi jalan napas. 17 Obesitas juga diduga
berkontribusi terhadap terjadinya OSA melalui efek mengganggu terhadap metabolisme,
ventilasi, dan volume paru-paru, sehingga ketidaksesuaian antara ventilasi alveolar (V) dan
perfusi pulmonal (Q). Obesitas dapat secara signifikan mengurangi volume paru-paru, yang
menghasilkan penurunan fungsi kapasitas residual. Telah diamati bahwa perubahan dari volume
paru-paru secara signifikan mengurangi ukuran saluran napas bagian atas faring melalui efek
mekanik trakea dan traksi torakal, yang disebut sebagai tarikan trakea, meeningkatkan risiko
kolapsnya saluran napas. 18
Hipertrofi adenotonsiler adalah penyebab utama dari apneu di saat tidur yang obstruktif pada
anak-anak. Pada orang dewasa ada beberapa karakteristik struktural yang terkait dengan OSA.
Variasi kraniofasial yang telah dikaitkan dengan OSA meliputi peningkatan jarak tulang hyoid
dari mandibula, penurunan mandibula dan proyeksi maksila, rotasi posterior dan kaudal dari
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
11/33
mandibula dan pertumbuhan maksila, peningkatan vertical panjang wajah, peningkatan panjang
vertikal dari saluran napas posterior, dan peningkatan angulasi servikal. 19
Kontraksi neuromuskuler berperan terhadap patensi dari saluran napas bagian atas. Selama tidur,
kontraksi ini mengalami penurunan dan saluran napas cenderung kolaps. Otot genioglosus
dianggap menjadi otot yang paling penting dalam mempertahankan patensi saluran napas pada
OSA. Peningkatan aktivitas dari otot genioglosus dan otot tensor palatini telah diamati pada
pasien OSA yang terjaga dibandingkan dengan subjek normal yang terjaga yang memiliki
aktivitas dengan tingkatan lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa saat pasien sedang terjaga ,
aktivitas otot dilator saluran napas mengkompensasi kelemahan anatomis pada pasien OSA. 17
Penelitian sedang berlanjut untuk menentukan luas dan pentingnya kontraksi neuromuskuler
dalam menjaga patensi saluran napas selama tidur.
Konsekuensi dari Apneu Obstruktif di saat tidur yang tidak diobati
Sejumlah efek negatif kesehatan telah dikaitkan dengan OSA yang tidak diobati termasuk
peningkatan mortalitas, peningkatan penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan neurokognitif.
Dalam sebuah studi retrospektif, He dkk menemukan bahwa pasien OSA yang tidak diobati
dengan indeks apneu (AI) lebih dari 20 memiliki peningkatan signifikan dalam mortalitas
dibandingkan dengan pasien yang memiliki indeks apneu kurang dari 20. 20 Dia juga menemukan
bahwa pasien yang tidak diobati dengan AI lebih dari 20 memiliki kemungkinan sebesar 63%
untuk tetap hidup dalam waktu 8 tahun dibandingkan dengan 96% yang memiliki AI kurang dari
20. 20 Selain itu, pasien OSA yang tidak diobati dilaporkan memiliki risiko 2.5 lebih besar dalam
kecelakaan kendaraan bermotor. 21 Proporsi signifikan dari morbiditas dan mortalitas terkait
dengan OSA terjadi melalui efeknya pada system kardiovaskuler, termasuk hipertensi, penyakit
arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, kematian mendadak, hipertensi pulmonal, dan
stroke. OSA sedang dan berat yang tidak diobati telah dilaporkan untuk menghasilkan
peningkatan risiko tiga kali lebih besar pada terjadinya penyakit kardiovaskuler, bila
dibandingkan dengan kedua pria sehat tanpa OSA dan pria dengan OSA yang di terapi dengan
CPAP. 22 Terapi OSA dengan CPAP juga telah dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah
sebesar 10 mm Hg. 23
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
12/33
OSA yang tidak diobati telah dibuktikan dapat menjadi faktor risiko independen dari resistensi
insulin. 24 Baru-baru ini, telah dibuktikan bahwa OSA memiliki peranan terhadap perkembangan
diabetes dan sindrom metabolik, suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
umum dari obesitas, resistensi insulin, hipertensi, dan dislipidemia. Namun, penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ada hubungan independen antara OSA dengan
kelainan metabolik.
Prevalensi penyakit refluks gastroesofagus (GERD) pada pasien OSA secara signifikan lebih
tinggi dari populasi umum. 25-27 Bahkan meskipun gangguan ini sering terjadi bersama-sama,
tidak secara temporal ataupun hubungan sebab-akibat pernah ditunjukkan di antara keduanya.
Hal ini mungkin mencerminkan fakta bahwa mereka berbagi faktor risiko yang sama. Terapi
OSA dengan CPAP telah ditunjukkan dapat mengurangi terjadinya GERD. 28
Selain dari efek fisik yang jelas dari OSA, seperti rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari
dan gangguan mood, defisit neurokognitif juga memiliki hubungan dengan OSA. OSA yang
tidak diobati telah didokumentasikan dapat menyebabkan masalah dengan perhatian, memori
kerja, dan fungsi eksekutif, yang semuanya ditingkatkan dengan terapi CPAP. 29 Ketidakpuasan
mitra tidur juga merupakan keluhan umum di antara pasien OSA dan terapi telah terbukti dapat
meningkatkan kualitas hidup kedua individu termasuk dengan mitra tidurnya. 30 Demikian
manfaatnya dari pengobatan OSA adalah substansial dan telah didokumentasikan dengan baik.
Contoh 18-1 Skala Kantuk Epworth
Skala Kantuk Epworth
Jawablah pertanyaan berikut ini berdasarkan skala ini:
0 Tidak akan pernah tertidur
1 Kemungkinan kecil untuk tertidur
2 Kemungkinan sedang untuk tertidur
3 Kemungkinan besar untuk tertidur
Situasi Kesempatan Tertidur
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
13/33
Membaca
Menonton TV
Duduk di tempat umum (misalnya teater dan ruang rapat)
Mengendarai motor, berhenti di lampu lalu-lintas
Sebagai penumpang dalam sebuah mobil selama satu jam tanpa istirahat
Selama waktu luang setelah makan siang tanpa mengkonsumsi alcohol
Berbaring untuk beristirahat apabila keadaan memungkinkan
Jumlah Skor
Skor Epworth < 10 = Normal
Kotak 18-4
Kondisi Medis yang Membuat Lelah
Anemia berat
Disfungsi endokrin, termasuk hipotiroid dan penyakit Addison
Sindrom kelelahan kronik
Penyakit paru-paru, termasuk asma, emfisema, dan sindrom Pickwickian
Penyakit kardiovaskuler, termasuk gagal jantung kongestif dan gagal jantung kiri
Neoplasma, termasuk lesi system saraf pusat dan diseminata
Kemoterapi antikanker
Penyakit vaskuler kolagen
Infeksi kronik, termasuk mononucleosis, hepatitis, dan influenza
Depresi dan gangguan psikiatri lainMalnutrisi
Gangguan neurologi, termasuk penyakit Parkinson dan sklerosis multipel
Efek samping medikasi
Diagnosis
Gejala yang paling umum dari OSA adalah mendengkur keras, gelisah saat tidur, dan rasa
mengantuk yang berlebihan pada siang hari. Namun, berbagai tanda dan gejala telah dilaporkan
terjadi pada OSA (lihat Kotak 18-3). Obesitas merupakan temuan umum pada pasien OSA
dengan data bahwa 70% dari pasien OSA dewasa mengalami obesitas. 31 Skrining, termasuk
riwayat tidur rinci dan pemeriksaan fisik, direkomendasikan untuk semua pasien obesitas. Skala
Kantuk Epworth (ESS) telah banyak digunakan sebagai alat untuk menilai rasa mengantuk di
siang hari. (Gambar. 18-1). OSA dapat dicurigai pada pasien dengan ESS lebih besar dari 10. 32
Kelelahan dan rasa mengantuk mungkin juga dapat dipicu oleh sejumlah kondisi medis lainnya
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
14/33
yang seharusnya dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien yang kemungkinan menderita
OSA (Kotak 18-4). Selain itu, adanya gangguan tidur tambahan harus dipertimbangkan.
Sehubungan dengan peningkatan prevalensi OSA pada pasien dengan hipertensi, penyakit arteri
koroner, gagal jantung kongestif, trauma serebrovaskuler, dan diabetes mellitus, populasi ini
harus lebih waspada terhadap tanda dan gejala OSA. 33 Hal ini juga baru disadari bahwa OSA
mungkin sulit terdeteksi pada wanita karena kecurigaan yang rendah di antara para dokter atau
tidak dilaporkannya gejala klasik OSA pada pasien wanita. Wanita dengan OSA biasanya
mengeluhkan gejala insomnia, palpitasi, dan edema pergelangan kaki. 34
Meskipun adanya gejala rasa mengantuk di siang hari dan mendengkur keras sering merupakan
tanda-tanda yang membuat penderita OSA untuk segera mencari bantuan medis, temuan dari
pemeriksaan fisiklah yang memperkuat kemungkinan diagnosis. Perhitungan indeks massa
tubuh, tekanan darah, dan lingkar leher merupakan parameter penilaian umum yang penting.
Selain itu, habitus tubuh, ukuran dan posisi mandibula dan maksila, dan karakteristik wajah
harus diperhatikan. Penaksiran hidung harus mencakup evaluasi dari setiap deformitas eksternal,
adekuatnya valvula hidung, posisi septum, ukuran konka, mukosa hidung, dan ada tidaknya
polip, nanah, dan rhinore. Pada rongga mulut, penilaian dari ukuran dan posisi lidah,
pemanjangan palatum dan uvula, ukuran tonsil, skor Mallampati yang dimodifikasi, gigi, dan
orofaring. Pada leher, ukuran leher, posisi hyoid, dan posisi rahang, termasuk retrognatia, harus
dievaluasi (Kotak 18-5).
Nasofaringoskopi fiberoptik adalah teknik penting untuk evaluasi saluran napas. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan dalam beberapa posisi pada keadaan bangun maupun tidur dan merupakan
alat penting untuk mengidentifikasi tingkatan obstruksi: hidung, retropalatum, atau retolingual
(Gambar 18-2 dan 18-3). Sejumlah penelitian telah menggambarkan manfaat dan keterbatasan
dari penambahan manuver Muller untuk pemeriksaan ini untuk prediksi preoperatif efektivitas
intervensi bedah. 35,36 Manuver Muller dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan
negatif dengan cara menghirup udara dengan hidung dan mulut tertutup di saat glotis tertutup,
yang memicu kolapsnya saluran napas (Gambar 18-4 dan 18-5). Sher dkk melakukan
pemeriksaan baik dalam posisi duduk maupun terlentang dengan menggunakan manuver Muller
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
15/33
pada pasien OSA, memilih pasien dengan kolaps palatum, dan menemukan bahwa 73% dari
pasien memiliki penurunan sebesar 50% pada indeks gangguan pernapasan (RDI) setelah UPPP.
36 Aboussouan menemukan bahwa menggunakan manuver Muller untuk memandu keputusan
UPPP mengakibatkan pengurangan AHI sebesar 50% pada 78% pasien yang telah mengalami
kolaps velopalatal, dibandingkan dengan 36% untuk obstruksi bertingkat. 35 Jadi, meskipun
manuver Muller dapat membantu keputusan bedah ketika daerah yang kolaps adalah murni
retropalatal, tampaknya menjadi kurang bermanfaat pada pasien dengan obstruksi bertingkat.
Untuk lebih mengidentifikasi daerah obstruksi pada pasien dengan OSA, efek obat tidur
vidoendoskopi telah digunakan untuk membantu efektivitas intervensi bedah. Tidur yang di
induksi melalui farmakologis dan nasofaringoskopi fiberoptik dilakukan untuk mengevaluasi
lokasi kolapsnya saluran napas. Endoskopi dengan posisi tidur dapat membantu identifikasi area
obstruksi dan mencerminkan apa yang terjadi didalam jalan nafas selama tidur, dan mungkin
berguna mengarahkan intervensi bedah. Sejumlah teknik radiologi telah digunakan untuk
membantu identifikasi lokasi dan keparahan obstruksi jalan nafas atau OSA. Karena sebagian
besar teknik radiologi untuk evaluasi OSA dilakukan saat pasien terjaga, maka teknik ini
memiliki keterbatasan untuk mengevaluasi obstruksi saat tidur. Modalitas pencitraan yang paling
sering digunakan adalah cefalometri radiografi. Cefalometri merepresentasikan dua dimensi dari
saluran nafas, dan merupakan sistem evaluasi standar dan memiliki biaya yang murah dan
terjangkau. Hasil film cefalometri dapat menunjukkan kerangka tulang beserta jaringan
lunaknya. Beberapa studi yang menggunakan cefalometri pada pasien OSA menunjukkan adanya
pergeseran hyoid, daerah ruang nafas posterior yang lebih sempit daripada psien non OSA.
Meskipun demikian perbedaan antara pasien OSA dan non OSA yang tergambar dalam hasil
cefalometri bulum cukup signifikan, dan dianjurkan untuk menggunakan cefalogram lateralis
sebagai alat untuk membedakannya. Diagnosis menggunakan CT scan dapat menunjukkan detail
anatomi dan jaringan lunak. Seperti cefalogram, penggunaan metode ini juga masih memiliki
kekurangan dalam hal sensitifitas untuk mendiagnosis OSA, namun beberapa studi telahmenyebutkan bahwa CT scan merupakan modalitas yang lebih baik untuk menggambarkan
perubahan anatomi pasca operasi yang berkorelasi dengan peningkatan parameter PSG. MRI
dapat menunjukkan gambaran jaringan lunak dengan sangat baik dan tidak menggunakan
paparan radiasi. Namun pemeriksaan ini sulit ditoleransi oleh pasien karena biaya yang mahal,
kurang terjangkau dan bersifat berisik, yang mungkin akan mempengaruhi evaluasi dalam
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
16/33
keadaan tidur. Sama seperti CT scan dan cefalometri, MRI juga belum cukup berguna untuk
membedakan pasien OSA dan non-OSA. Fluoroskopi telah digunakan sebagai pemeriksaan
saluran pernafasn dinamis untuk langsung mengevaluasi situs obstruksi. Somnofluoroskopi
dilakukan pada saat pasien dalam keadaan tertidur, dan telah terbukti meningkatkan keberhasilan
tindakan uvulopalatofaringoplasti ketika daerah obstruksi dapat diidentifikasi. (67% dan 42%) ,
namun studi ini mengekspos pasien dengan paparan radiasi yang membatasi utilitas mereka.
PSG nokturnal merupakan standar baku diagnosis OSA. Pemeriksaan yang dilakukan pada
malam hari merupakan instrumen yang diaggap paling akurat untuk mengukur keberadaan dan
tingkat keparahan OSA. Parameter yang dipantau selama pemeriksaan PSG ini adalah termasuk
EEG, elektro-okulogram, elektromiogram submental, EKG, aliran udara, pernafasan
torakoabdominal dan juga oksimetri. Data yang diperoleh dari semua pemeriksaan ini dianalisis
oleh ahli polisomnogram yang terlatih dan ditafsirkan oleh dokter. Klasifikasi gangguan
pernafasan yang direkam selama pemeriksaan PSG telah dibakukan untuk pedoman praktek
(Gambar 18-8)
Pengobatan
Untuk memberikan pengobatan yang efektif pada pasien OSA, dokter harus mempertimbangkan
secara seksama, ketersediaan terapi medis dan bedah, serta resiko dan komplikasi dari intervensi
bedah pada pasien. Efek buruk dari OSA yang tidak diobati antara lain efek pada kardiovaskular
dan kesehatan neurokognitif, namun dalam mengobati pasien dokter harus memiliki pengetahuan
tentang semua intervensi medis yang tersedia, tingkat keberhasilan, resiko komplikasi dan
perlunya untuk tindakan operasi lebih lanjut, saat menguraikan rencana pengobatan pada pasien.
Pengobatan
Pendekatan pengobatan umumnya dimulai secara bertahap dan dimulai dengan tindakan medis
konservatif. Penurunan berat badan harus diedukasikan pada pasien OSA dengan kelebihan beratbadan. Namung terkadang penurunan berat badan akan sulit dilakukan dan pasien seringkali
kembali menjadi gemuk. Oleh karena itu intervensi lain juga sering dianjurkan. Konsultasi
dengan dokter bedah bariatrik dapat dipertimbangkan ketika merawat pasien yang gemuk tidak
sehat. Bukti terbaru menunjukkan pembedahan untuk penurunan berat badan secara signifikan
meningkatkan parameter kualitas tidur pasien OSA terkait dengan obesitas, dan perbaikan ini
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
17/33
dapat terjadi dalam waktu 1 bulan pasca operasi. Continous Positive Airway Preasure(CPAP)
telah dianggap merupakan standar baku untuk pengobatan OSA dari sedang hingga berat. Studi
menunjukkan efektifitas CPAP dalam mengurangi indeks apnea-hypoapnea serta gejala subjektif
dan meningkatkan kualitas tidur, namun, kepatuhan pasien dalam metode pengobatan ini
masihkurang. CPAP mencegah penyempitan saluran nafas bagian atas dengan menimbulkan
tekanan intraluminal positif selama proses inspirasi dan ekspirasi. Banyak efek dari pengobatan
CPAP telah dijelaskan, efek pada kepala, diantaranya adalah terjadinya pengurangan AHI,
penurunan gejala objektif dan subjektif kantuk, peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan,
penurunan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan juga berdampak pada pengurangan
pada resiko kecelakaan kendaraan. Penelitian terbaru menunjukkan efek menguntungkan dari
CPAP untuk kesehatan jantung akibat penurunan kadar penanda inflamasi protein C-reaktif dan
interleukin-6, meningkatkan fungsi endotel, dan mengurangi aktivitas aliran nafas positif
simpatik. Pengobatan menggunakan Tekanan bilevel (BiPAP) dan autoadjusting positif airway
preasure (APAP) telah dikembangkan untuk meningkatkan tekanan titrasi dan mengobati pasien
dengan gangguan neuromuskuler dan penyakit ventilasi. BiPAP diberikan secara terpisah
disesuaikan dengan tekanan positif aliran udara ekspirasi yang lebih rendah dan tekanan positif
aliran udara inspirasi. Pengobatan BiPAP menunjukkan adanya kepatuhan yang lebih tinggi pada
populasi pasien, hal ini mungkin dikarenakan metode pembuatan tekanan aliran udara positif
pada pengobatan ini. Respon perubahan tekanan bervariasi tegantung pada besarnya aliran udara,
aliran udara yang terbatas, mendengkur atau kesulitan dalam benafas. Peralatan oral telah
digunakan dengan sukses pada pasien OSA ringan, moderat dan beberapa kasus berat, serta
meningkatkan aliran nafas orofaringeal posterior. Ferguson dan rekan melakukan studi
membandingkan terapi alat oral dan terapi CPAP hidung dan menyimpulkan bahwa peralatan
oral efektif pada beberapa pasien dengan OSA ringan sampai sedang dan memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih besar dari CPAP. Tingkat kepatuhan terapi alat oral telah dilaporkan
sebesar 77%. Komplikasi yang paling sering dilaporkan pada terapi alat oral adalah nyeri gigi
dan otot rahang, kesulitan menguyah dipagi hari, dan produksi air liur yang berlebihan.
Meskipun terapi alat oral memiliki biaya yang lebih efektif dan memiliki tingkat kepatuhan
pasien yang lebih tinggi, CPAP telah terbukti lebih efektif dalam mengurangi AHI. Oleh karena
itu intervensi ini harus direkomendasikan secara berhati-hati karena pengobatan ini merupakan
lini pertama terapi OSA mederat, tetapi dapat berfungsi sebagai pengobatan yang efektif untuk
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
18/33
pasien OSA dengan gejala ringan. Terapi farmakologis telah diusulkan sebagai pengobatan
alternatif pada pasien yang tidak toleran pada CPAP, namun belum ada bukti yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan terapi obat sebagai terapi primer untuk pengobatan OSA.
Banyak mekanisme obat yang telah dijelaskan dalam mengurangi keparahan OSA termasuk
meningkatkan dilatasi otot saluran pernafasan bagian atas, peningkatan ventilasi, dan
meningkatkan tonus kolinergik saat tidur dibandingkan mengurangi proporsi REM saat tidur,
mengurangi resistensi saluran nafas, dan mengurangi tegangan permukaan saluran nafas bagian
atas. Beberapa obat telah diteliti sebagai pengobatan OSA. Flutikason telah menunjukkan
keberhasilan dalam mengobati pasien OSA dengan rhinitis. Kiely dan rekan melaporkan kejadian
AHI lebih sedikit pada pasien yang diberi flutikason intranasal dibandingkan dengan mereka
yang diberikan plasebo. Brouillette dan rekannya memberikan flutikason intranasal selama 6
minggu pada anak-anak dengan OSA dan hipertrofi adenotonsilar dan didapatkan hasil
penurunan frekwensi apnea obstruksi dan hipoapnea. Melihat manfaat yang ada dengan
pengoabatan flutikason intranasal, membutuhkan penelitian lebih lanjut. Antagonis reseptor
montelukast leukotrien juga bermanfaat dalam mengurangi ukuran adenoid dan gangguan tidur
pada anak-anak terkait dengan OSA. Belum ada penelitian pada orang dewasa yang telah
dipublikasikan dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguatkan bukti-bukti ini.
Penggunaan modafinil stimulan sentral postsinaptik alpha1-adrenergik, harus dipertimbangkan
secara hati-hati. Penelitian terbaru berhasil digunakan untuk mengurangi sisa kantuk pada pasien
dengan OSA yang mendapatkan pengobatab CPAP tetapi masih mengalami rasa kantuk siang
hari yang berlebihan. Namun modafinil tidak boleh digunakan tanpa adanya pengobatan yang
yang mendasari OSA. Penggunaan strip dilator hidung dan dekongestan topical telah dianjurkan
pada pasien dengan OSA yang disertai sumbatan hidung yang berat. Mclean dan rekan
menemukan bahwa pengobatan sumbatan hidung dengan 0.4 mL oxymetazoline 0.05% bersama
dengan strip dilator hidung mengurangi pernafasan mulut pada saat tidur dan mengurangi
keparahan apnea tidur, tetapi tidak efektif mengurangi apnea obstruktif. Strip silatator hidung
terbukti secara signifikan mengurangi gejala mendengkur, pernafasan mulut dan kantuk pada
pasien yang tidak menderita OSA.
Pengobatan Bedah
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
19/33
Faktor penting dalam membuat keputusan untuk mengobati OSA melalui pembedahan termasuk
adalah keinginan pasien, toleransi terhadap CPAP, keparahan gejala, tingkat keparahan penyakit,
komorbiditas pasien, lokasi dan keparahan penyumbatan saluran nafas bagian atas. Seperti yang
disebutkan sebelumnya OSA sering terjadi pada pasien dengan kelebihan berat badan, hipertensi,
dan memiliki factor resiko jantung. Pasien-pasien ini harus secara hati-hati disaring dengan
pemeriksaan kesehatan yang komprehensif sebelum mempertimbangkan operasi untuk
pengobatan OSA. Perencanaan tindakan bedah untuk pasien dengan OSA harus mencakup
diskusi dengan tim anastesi dan ahli bedah mengenai rencana menejemen saluran pernafasan.
Sebuah algoritma yang sering digunakan termasuk pernafasan orofaringeal untuk mencegah
obstruksi jalan nafas oleh lidah, menghindari penggunaan agen yang melumpuhkan otot
pernafasan sampai ventilasi pernafasan membaik, dan menyiapkan metode ventilasi alternative
pada kasus intubasi yang tidak berhasil. Para ahli bedah juga harus berdiskusi terbuka dengan
pasien tentang kemungkinan trakeostomi. Evaluasi sebelum operasi yang dilakukan dokter atau
tim anastesi sangat penting termasuk didalamnya evaluasi untuk penyakit kardiovaskuler.
Pasien dengan OSA biasanya dikelola menggunakan protocol bedah yang bertahap. Situs
obstruksi harus ditentukan pada setiap pasien untuk menentukan jenis dan tingkat intervensi
bedah. Umumnya pasien dengan obstruksi palatal menjalani operasi palatum, dan pasien yang
mengalami obstruksi pada dasar lidah dapat menjalani prosedur yang ditujukan untuk mengobati
daerah ini. Kebanyakan pasien yang bergejala, karena memiliki sumbatan pada palatal dan
pangkal lidah. Pemeriksaan endoskopi dilakukan untuk menentukan lokasi obstruksi. Sebelum
terapi dimulai, pasien harus diberikan konseling tentang kemungkinan perlunya beberapa
prosedur bedah untuk mencapai kesembuhan gejala. Evaluasi endoskopi dalam keadaan tidur
mungkin menjadi metode yang optimal dalam evaluasi jalan nafas pada kasus ini. Pasien dengan
ostruksi laring harus diobati dengan tepat untuk mengurangi obstruksi dan dipertimbangkan
untuk dilakukan trakeostomi jika perbaikan tidak tercapai dengan operasi atau dengan CPAP.
Merupakan hal yang penting untuk identifikasi situs atau situs dari obstruksi sebelumpengambilan keputusan ini (dalam hal ini trakeostomi). Beberapa penelitian menggunakan
endoskopi telah menunjukkan prevalensi obstruksi retropalatal dan retroglossal pada pasien
dengan OSA. Pada tahun 200, Steinhart dan rekannya mengevaluasi 117 pasien OSA dan
menemukan bahwa 100% pasien mengalami obstruksi retropalatal dan 77% mengalami obstruksi
retroglossal, sehingga menggambarkan mayoritas pasien mengalami kombinasi dari dua jenis
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
20/33
obstruksi ini. Pada tahun 2005, Herder dan rekannya mengevaluasi 127 pasien yang menjalani
metode evaluasi yang sama dan menemukan bahwa 88% dari pasien mengalami obstruksi
retropalatal sedangkan 49% lainnya mengalami obstruksi retroglossal. Dalam studi ini, 51%
pasien hanya mengalami obstruksi palatal sedangkan 12% lainnya mengalami obstruksi pada
pangkal lidah.
Bedah Hidung
Sumbatan pada hidung telah dikaitkan dengan gejala kualitas tidur yang buruk,dan mendengkur
pada OSA. Septoplasti, pemotongan konka, operasi katup hidung dan operasi sinus merupakan
prosedur yang telah digunakan untuk mengobati sumbatan hidung yang terkait dengan OSA, dan
prosedur pemulihan terkait patologi hidung. Meskipun prosedur bedah hidung dapat secara
signifikan mengobati OSA, namun penggunaan CPAP nasal pada pasien dapat membantu
memulihkan pernafasan fisiologis. Pertimbangan harus dilakukan dengan mengatasi sumbatan
hidung sebagai langkah awal manajemen terapi OSA, sehingga nantinya akan memudahkan
kepatuhan dalam pengobatan CPAP yang lebih baik.
Bedah Palatum
Pada tahun 1981, Fujita dan rekannya telah menjelaskan prosedur bedah palatum pertama dalam
pengobatan OSA. UPPP dengan tonsilektomi dikembangkan untuk menghilangkan obstruksi
palatum dengan reseksi palatum dan jaringan faring yang berlebihan. Ini merupakan prosedur
bedah yang paling sering digunakan dalam pengobatan OSA dan sering disalahgunakan sebagai
terapi bedah lini pertama untuk OSA terlepas dari factor resiko pasien seperti obesitas,
retrognathia,dan adanya obstruksi pada saluran pernafasan lainnya. Sebagai hasilnya, sering
terjadi kegagalan dalam terapi OSA. Besarnya penyempitan faring menentukan keberhasilan dari
prosedur UPPP. Dalam sebuah penelitian metaanalisis, terdapat 37 laporan diterbitkan tentang
hasil dari UPPP, tingkat keberhasilan yang terbaik 50% dan tergantung pada tingkat keparahan
OSA. Kberhasilan prosedur dalam hal ini didefinisikan sebagai indeks gangguan pernafasan
(RDI) yang kurang dari 20 atau nilai AHI kurang atau sama dengan 10, dengan setidaknya
peningkatan 50% dalam nilai RDI. Friedman dan rekannya menunjukkan prediksi keberhasilan
UPPP pada pasien OSA berdasarkan posisi palatum, ukuran tonsil dan indeks massa tubuh
(BMI). Posisi palatum, ukuran tonsil dan BMI digunakan dalam klasifikasi pasien. Pasien
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
21/33
Stadium I memiliki tingkat keberhasilan 80%, pasien stadium II memiliki tingkat keberhasilan
40% dan stadium II hanya memiliki tingkat keberhasilan 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa
stadium klinis jelas meningkatkan tingkat keberhasilan secara keseluruhan dan sangatlah penting
untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapatkan keuntungan dari prosedur UPPP.
Komplikasi yang terkait dengan UPPP termasuk didalamnya refluks hidung sementara pada 12-
15% pasien, perdarahan pasca operasi pada 1-5% pasien,dan infeksi pada 2% pasien. Untuk
memperbaiki prosedur UPPP, teknik lain telah diusulkan untuk mengatasi obstruksi retropalatal.
Woodson dan rekannya memperkenalkan faringoplasti transpalatal, yang bertujuan untuk
mengurangi obstruksi retropalatal dengan mengubah tulang palatum serta jaringan lunak pada
maksila posterior. Pada prosedur ini, 1 cm dari palatum keras dipotong dan palatum lunak
dimajukan dan dijahit medial dan lateral pada aponeurosis tensor, yang akan memperbesar
wilayah retropalatal. Woodson dan rekannya telah melaporkan keberhasilan prosedur ini bila
digunakan pada pasien yang mengalami obstruksi retropalatal persisten setelah dilakukan
prosedur UPPP dan pasien dengan OSA yang memiliki uvula yang kecil tanpa karakteristik
palatum lunak yang panjang dan tebal. Prosedur lainnya adalah, Z-palatoplasti yang
diperkenalkan oleh Friedman untuk prosedur revisi primer palatum pada pasien tertentu. Untuk
mengurangi rasa sakit, biaya, dan morbiditas yang dihasilkan oleh UPPP, teknik yang bersifat
kurang invasive telah dikembangkan. Implan palatum ini dirancang untuk mengurangi
penyempitan dan obstruksi saluran nafas akibat palatum lunak melalui tiga penempatan implant
pada palatum. Porositas dari implant juga mendorong pembentukan kapsul fibrosis yang akan
menghubungkan ketiga implant tersebut. Nordgard dan rekannya melaporkan penurunan yang
signifikan dalam AHI, rasa mengantuk di siang hari, serta gejala mendengkur dengan
penggunaan implant palatum pada pasien OSA ringan sampai sedang asalkan indeks massa
tubuh pasien dapat dikontrol. Komplikasi yang paling sering terjadi dalam prosedur ini adalah
ekstrusi implant parsial. Keuntungan dari prosedur ini antara lain, bahwa prosedur ini dapat
dilakukan hanya dalam satu kali kunjungan pasien, memiliki morbiditas yang minimal, dan telah
tercatat secara signifikan mengurangi gejala mendengkur. Karena morbiditas yang rendah,
prosedur implant palatum umumnya digunakan untuk mengobati gejala mendengkur dan berguna
pada pasien dengan OSA ringan.
Prosedur bedah Pangkal Lidah
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
22/33
Glossektomi garis tengah parsial (PMG), lingualplasti, dan Radiofrequency ablation (RFA)
pangkal lidah telah dikembangkan untuk mengatasi sumbatan retrolingual atau penyempitan
yang terjadi pada OSA. Tonsilektomi juga dapat membantu pada pasien dengan hipertrofi tonsil
lingual. Prosedur PMG menciptakan saluran nafas retrolingual yang lebih besar dengan
memotong garis tengah dari setengah bagian belakang lidah. Pada pasien tertentu, tonsilektomi,
pemotongan lipatan aryepiglotik dan epiglotektomi parsial juga dapat dilakukan. Dengan
lingualplasti, tambahan jaringan pada lidah akan dipotong kearah posterior dan lateral bagian
tersebut dengan menggunakan teknik PMG. Woodson dan rekannya melaporkan bahwa
lingualplasti menghasilkan tingkat respon sebesar 79% pada pasien yang sebelumnya telah gagal
dalam prosedur UPPP. Karena pembengkakan lidah sering terjadi setelah prosedur ini, maka
prosedur ini sering dikombinasikan dengan trakeostomi untuk melindungi jalan nafas.
Radiofrequency ablation (RFA) pada pangkal lidah menurunkan penyempitan jalan nafas dengan
menurunkan volume jaringan pada pangkal lidah melalui pembentukan jaringan parut. Prosedur
ini menggunakan energy frekwensi radio sebesar 465 KHz dan dikenakan pada beberapa daerah
pada pangkal lidah sehingga menghasilkan koagulasi nekrosis dan penyembuhan dengan bekas
luka. Prosedur ini sering dilakukan dalam penanganan rawat jalan dengan anastesi lokal dan
prosedur ini mungkin memerlukan jenis penanganan yang lainnya untuk mecapai hasil yang
diinginkan. Sebuah tinjauan dari 11 seri penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan dari
prosedur RFA dari 20 sampai 83%, dan menyimpulkan bahwa prosedur ini tidak memadai
sebagai prosedur tunggal, terutama bila mengingat bahwa kebanyakan pasien memerlukan
beberapa sesi untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Prosedur bedah Hipofaringeal
Pengobatan daerah hipofaringeal terdiri dari prosedur yang dirancang untuk mencegah runtuhnya
lidah kedalam saluran nafas selama tidur. Advanced Genioglossal (GA) dan miotomi hyioid
(HM) merupakan prosedur untuk memperbesar saluran nafas retrolingual. Pada prosedur
GA,tuberkulum genial dari mandibula yang merupakan bagian dari oto genioglossus anterior
dilakukan osteotomi. Pada 4 penelitian kasus, GA dilakukan sebagai prosedur tunggal dan telah
terbukti memiliki tingkat keberhasilan dari 39% hingga 78% pada pasien dengan OSA berat
(rata-rata nilai RDI pra operasi 53-59). Prosedur HM dilakukan dengan cara melakukan miotomi
rendah pada daerah anterior dan inferior yang berikatan dengan tulang rawan tiroid. Tingkat
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
23/33
keberhasilan untuk HM yang dilakukan bersama UPPP berkisar dari 52% sampai 78% dalam
tiga seri penelitian pada pasien dengan BMI rata-rata kurang dari 30.83. Namun, dalam satu seri
penelitian pasien dengan BMI rata-rata 34.1 tingkat keberhasilannya adalah 17% (5 dari 29
pasien). Hasil pembesaran jalan nafas retrolingual diperoleh dengan menempatkan dilator pada
jalan nafas tanpa mengubah oklusi gigi. Komplikasi yang terkait dengan GA dan HM antara lain,
mati rasa permanen sebanyak 6%, infeksi sebanyak 2-5%, dan seroma pada 2% pasien. Selain itu
terdapat resiko yang kurang dari 1% untuk terjadinya fraktur mandibula, aspirasi dan kematian.
Prosedur reposisi lidah kearah depan dapat dilakukan untuk mencegah runtuhnya lidah kedalam
saluran nafas. Melalui sayatan intraoral yang dibuat dari frenulum, skrup titanium ditempatkan
pada korteks lidah di geniotuberkel pada mandibula, dan jahitan permanen dilakukan melalui
paramedian otot-otot lidah disepanjang lidah, melalui dasar lidah dan kemudian kembali melalui
otot-otot sepanjang lidah. Jahitan ini berakhir pada skrup titanium yang tadi ditempatkan. Ketika
prosedur ini dilakukan bersama dengan UPPP, dilaporkan tingkat keberhasilan berkisar 20
hingga 57%, dan satu studi menunjukkan keberhasilan hingga 78% dalam 3 tahun pada pasien
yang menolak pengobatan menggunakan prosedur UPPP. Prosedur memajukan tulang
maksilomandibula (MMA) dapat meningkatkan saluran nafas retropalatal dan retrolingual.
Rahang atas dan bawah dimajukan dengan cara dilakukan osteotomi potongan sagital pada
rahang atas dan bawah yang sejajar dengan Le Fort I. Prosedur ini biasanya dilakukan setelah
intervensi bedah lainnya gagal. Komplikasi dari prosedur ini termasuk maloklusi, kekambuhan,
parastesia saraf, nonunion atau malunion, masalah persendian temporomandibular, infeksi,
perdarahan dan kebutuhan akan perawatan gigi lebih lanjut. Tingkat keberhasilan prosedur ini
mendekati 90%.
Trakeostomi
Trakeostomi merupakan standar emas manajemen bedah pada pasien OSA. Prosedur ini
mngurangi gejala OSA dengan cara membuat saluran nafas melewati jalan nafas yang seringtersumbat selama tidur. Namun masalah psikososial, ketidaknyamanan yang dirasakan dan
morbiditas membuat trakeotomi jarang menjadi pilihan intervensi bedah. Prosedur ini
dipertimbangkan jika semua penanganan OSA lainnya telah gagal, dan terancamnya hidup
pasien akibat OSA dan pasien yang tidak mentoleransi prosedur CPAP atau terdapat
keterlambatan perkembangan otak. Prosedur ini juga mungkin merupakan pilihan terbaik untuk
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
24/33
pasien yang gemuk tidak sehat atau sebagai langkah sementara untuk pasien yang menjalani
operasi pangkat lidah.
Manajemen Pasca Operasi
Dengan kecenderungan pengobatan bedah pada OSA, mungkin akan terdapat peningkatan
obstruksi jalan nafas pasca operasi karena edema yang dihasilkan pada beberapa daerah di
saluran nafas bagian atas. Selain itu, sedasi post anastesi dapat menyebabkan proses respirasi
sekunder serta obat-obatan anti nyeri narkotik yang bersifat adiktif pada pasien telah dapat
perbaikan pernafasan. Pada penelitian retrospektif dari 135 pasien yang menjalani operasi OSA,
Esclamando dan koleganya mengidentifikasi terdapat komplikasi pada 13% dari pasien : 14
pasien mendapatkan masalah saluran nafas seperti kegagalan intubasi dan obstruksi jalan nafas
setelah ekstubasi (dapat mengakibatkan kematian), 3 pasien mengalami perdarahan, dan 1 pasien
dengan aritmia. Pasien dengan masalah intubasi lebih cenderung mengalami komplikasi yang
lebih berat, sedangkan pasien dengan masalah ekstubasi dapat diatasi dengan obat anti nyeri
narkotik selama prosedur. Resiko komplikasi perioperatif tidak berhubungan dengan usia, gejala
pra operasi, dan masalah medis lain yang menyertai atau hasil dari septoplasti atau tonsilektomi.
Pada tahun 1990, Fairbanks melakukan survei nasional apad 72 daerah yang telah menjalani
prosedur UPPP dan menemukan bahwa pada lebih dari 9 tahun pasca prosedur terdapat 16
kematian dengan 46 kasus stenosis nasofaring dan 42 kasus ketidakmampuan palatum.
Komplikasi tambahan lain yang dilaporkan termasuk perdarahan dan luka. Karena peningkatan
resiko saluran nafas setelah operasi, algoritma perawatan pasien telah dikembangkan untuk
meminimalkan morbiditas pasien dan mortalitas. Rawat inap direkomendasikan untuk sebagian
besar pasien yang menjalani operasi saluran nafas dan memasukkan pasien ke unit perawatan
intensif juga harus dipertimbangkan. Pada evaluasi pasien dengan OSA berat menunjukkan
bahwa prosedur CPAP hidung pada malam pertama pasca operasi, efektif dalam menjaga
saturasi oksigen diatas 90% meskipun tingkat saturasi oksigen pra operasi adalah 51.5%.
Berdasarkan temuan ini, pasien dengan OSA berat direkomendasikan untuk menggunakan
prosedur CPAP untuk 2 minggu pertama setelah operasi. Selain itu juga dianjurkan dilakukan
polisomnogram selama 3 sampai 4 bulan untuk megevaluasi hasil operasi.
Gangguan Tidur
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
25/33
Ahli THT umumnya memusatkan perhatian pada diagnosis dan pengobatan OSA dan hanya
sedikit memberikan perhatian pada adanya gangguan tidur pada pasien yang diduga menderita
OSA. Sebuah studi retrospektif pada tahun 2005 dari 643 pasien yang didiagnosis OSA
ditemukan bahwa 31% memiliki gangguan tidur. Pada populasi ini, 19 pasien didiagnosis
menderita gangguan tidur yang bersamaan dengan OSA, yang paling sering menjadi penyebab
adalah keberrsihan tidur yang tidak memadai (15%) dan gangguan gerakan ekstremitas (8%).
Oleh karena itu skrining untuk adanya gangguan tidur yang bersamaan dengan penyakit sangat
penting dilakukan setelah perawatan medis atau bedah.
Klasifikasi gangguan tidur
Edisi kedua dari klasifikasi gangguan tidur (ICSD-2) memasukkan klasifikasi gangguan tidur
menjadi gangguan tidur intristik dan ekstrinsik dan dibagi kedalam 6 kategori penyakit utama
dan 2 kondisi lainnya. Kategori penyakit ini antara lain termasuk insomnia, gangguan pernafasan
terkait tidur, hipersomnia sentra, gangguan irama sikardian, parasomnia, gangguan gerak yang
berhubungan dengan tidur, dan gejala gangguan tidur lainnya. Pada OSA, gangguan tidur yang
paling sering diobati oleh ahli THT tercakup dalam kategori gangguan tidur yang berhubungan
dengan gangguan nafas. Tidur dibagi menjadi tahapRapid Eye Movement(REM) dan non-Rapid
Eye Movement (NREM). Sekitar 80% malam dihabiskan dalam keadaan NREM, yang dibagi
menjadi 3 tahap yang ditandai pada pola spesifik pada ensefalografi. Tahap N1, sebelumnya
dikenal dengan tahap 1, merupakan tahap transisi antara tidur dan bangun dimana terdapat pola
campuran tegangan dengan 3 sampai 7 siklus gelombang perdetik (cps). Orang mungkin akan
merasa berada dalam keadaan terjaga pada tahap ini. Tahap N2, sebelumnya dikenal dengan
tahap 2, adalah hadirnya spindle dan kompleks K dan mungkin merupakan tahap pertama dalam
tahap tidur yang benar. Tahap N3, sebelumnya dikenal dengan tahap 3 dan 4, juga disebut
sebagai gelombang tidur lambat dan dibedakan dengan gelombang delta, yang memiliki
amplitudo yang tinggi (hingga 2 cps) dan merupakan 20% dari periode 30 detik. Tahap R, atau
REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan amplitudo gelombang campuran dengan
frekwensi yang rendah. REM biasanya berganti dengan periode NREM pada 90 menit siklus
REM dan dapat terus meningkat sepanjang malam.
Insomnia
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
26/33
Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan berulang untuk inisiasi tidur, pemeliharaan tidur,
konsolidasi atau kualitas tidur. Insomnia dapat menyebabkan disfungsi di siang hari meskipun
terdapat kesempatan yang memadai untuk tidur. Hal ini juga termasuk untuk tidur dengan
kualitas yang buruk. Dengan menggunakan definisi ini, Konferensi sains NIH memperkirakan
insomnia terjadi pada 10% orang dewasa. Anak-anak juga dapat menderita insomnia yang telah
dilaporkan terjadi pada 20% sampai 30% bayi, balita , anak prasekolah dan 12-30% pada remaja.
Pada anak, seorang pengasuh anak dapat melaporkan bahwa seorang anak memiliki kesulitan
untuk inisiasi tidur, ketika terlihat keengganan anak untuk pergi ketempat tidur atau adanya
ketidakmampuan anak untuk tidur mandiri. Gejala siang hari harus menyertakan setidaknya salah
satu dari gejala berikut : kelelahan atau malaise, gangguan kognitif (perhatian konsentrasi atau
memori), kesulitan sosial atau kinerja disekolah yang buruk, gangguan suasana hati atau mudah
marah, kantuk disiang hari, kurangnya motivasi atau energi, kecenderungan untuk terjadinya
kecelakaan, atau gejala fisik seperti sakit kepala, ketegangan otot, gejala gastrointestinal atau
masalah tentang tidur itu sendiri. Ada beberapa tipe insomnia (tabel18-10). Insomnia
psikofisiologikal dikaitkan dengan kecemasan sebelum tidur dan kesulitan untuk merencanakan
tidur. Seringkali perilaku belajar, mencegah timbulnya tidur pada pasien ini. Hal ini mungkin
terjadi pada 2% populasi umum. Insomnia yang paradoksal, meskipun jarang terjadi, tetapi juga
terkait dengan difungsi pasien pada siang hari, tetapi terkadang sulit didapatkan dalam keluhan
pasien. Pasien dengan insomnia paradoks dapat mepaorkan tidur yang sedikit atau tidak dapat
tidur, tetapi sering ada ketidaksesuaian antara waktu tidur yang dirasakan pasien dengan waktu
yang dicatat pemeriksa pada saat pemeriksaan. Insomnia idiopatik sering dimulai saat masa kecil
atau anak-anak, dapat terjadi seumur hidup dan tidak diketahui penyebab pastinya. Perilaku
insomnia pada anak-anak dikaitkan dengan pengaturan atau onset pola perilaku yang mencegah
anak dari tidur. Hal ini sering dikaitkan dengan perilaku pengasuh anak atau ritual khusus yang
sering dilakukan dalam memperpanjang proses jatuhnya anak kedalam tidur. Kebersihan tidur
yang tidak memadai dapat dicurigai ketika insomnia berlangsung selama minimal 1 bulan dan
mencakup setidaknya salah satu dari berikut : Penjadwalan tidur yang tidak tepat termasuk tidur
di siang hari ; variabel tidur atau waktu bangun atau jumlah waktu yang berlebihan ditempat
tidur, penggunaan narkotika, kafein atau alkohol terutama sebelum tidur, rangsangan aktifitas
mental dan fisik yang dekat dengan waktu tidur, seringnya menggunakan tempat tidur untuk
kegiatan lain seperti menonton televisi atau membaca atau kegagalan untuk mempertahankan
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
27/33
tidur yang nyaman (termasuk suhu, pencahayaan dan seprei). Kebersihan tidur biasanya bukan
merupakan penyebab primer insomnia dan sering menyebabkan kesulitan untuk ditangani. Selain
itu, kebersihan tidur yang tidak memadai yang sering dihubungkan dengan gangguan tidur juga
dapat didiagnosis sebagai gangguan tidur sekunder. Insomnia pada anak yang sangat muda
sering berhubungan dengan ketidakcocokan antara harapan pengasuh dengan perkembangan usia
anak. Perilaku insomnia anak harus dipertimbangkan pada anak remaja. Insomnia pada populasi
anak dapat ditangani dengan kebersihan tidur yang tepat, pengaturan anak atau terapi prilaku
anak. Selain itu metode yang masuk akal lainnya adalah seperti menurunkan asupan cairan dan
pemberian obat stimulan sebelum tidur, seperti yang digunakan pada pengobatan penyakit
gangguan perhatian dan hiperaktif, sebelum mempertimbangkan intervensi fakmakologis.
Terjadinya gangguan tidur akibat tertundanya ritme sikardian juga harus dievaluasi pada anak
dan remaja. Selain itu, populasi khusus seperti anak-anak dengan sindro autisme atau Asperger
telah terbukti memiliki peningkatan kejadian insomnia. Gangguan tidur yang terkait dengan
kondisi pernafasan termasuk dalam bagian ini namun dibedakan dengan gangguan bernafas
selama tidur, baik itu yang bersifat obstruktif atau sentral. Termasuk didalamnya sindrom apnea
saat tidur obstruktif bersama dengan gangguan yang berhubungan dengan hipoventilasi atau
hipoksemia. Apnea tidur sentral ditandai dengan tidak adanya usaha pernafasan yang
mengakibatkan tidak adanya aliran udara. Hipoapnea tengah yang dikategorikan pada apnea
sentral, ditandai dengan penurunan aliran udara karena kelainan sistem atau disfungsi
kardiopulmonal, seperti penyakit paru kronik obstruktif atau penyakit jangtung kongestif. Pasien
dengan apnea sentral sering datang dengan gejala yang mirip dengan penderita OSA seperti
kantuk yang berlebihan sisiang hari, mendengkur, adanya hilangnya upaya pernafasan, serta
sesak saat bangun tidur. Mirip dengan OSA, apnea sentral pada orang dewasa didefinisikan
sebagai terjadinya lima atau lebih hilangnya usaha pernafasan per jam saat tidur. Bayi dapat
mengatasi apnea sentral saat tidur ini karena umur mereka. Sindrom Hipoventilasi atau
hipoksemia terkait dengan proses tidur dikategorikan sebagai kelainan bawaan, idiopatik atau
karena kondisi medis lain seperti penyakit parenkim paru, penyakit pembuluh darah, penyakit
neomuskular atau gangguan dinding dada. Hipoventilasi adalah kondisi fisiologi yang ditandai
dengan hiperkapnea dengan komposisi ketegangan karbondioksida arteri lebih besar dari 45
mmHg pada analisa gas darah arteri. Elevasi ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara eliminasi
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
28/33
dan produksi CO2 yang berlangsung kronis. Ventilasi biasanya tercukupi saat pasien terjaga, dan
hipoventilasi terjadi melalui pernafasan yang dangkal dan penurunan volume tidal saat tidur.
Hipersomnia Sentral
Gangguan hipersomnia sentral bukan diakibatkan oleh gangguan ritme sikardian, gangguan tidur
terkait pernafasan atau penyebab lain gengguan tidur malam. Gangguan ini terutama ditandai
dengan kantuk berlebihan disiang hari setelah gangguan-gangguan tidur yang telah disebutkan
sebelumnya tadi. Bagian ini termasuk narkolepsi, hipersomnia berulang dan hipersomnia
idiopatik. Kantuk disiang hari ditandai dengan kesulitan untuk tetap terjaga atau waspada, yang
menghasilkan kantuk yang tidak disengaja atau tidur disiang hari. Rasa kantuk ini dapat diukur
menggunakan tes latensi beberapa proses tidur (MSLT) setelah dilakukan pemeriksaan dengan
hasil tidak adanya gangguan tidur terkait pernafasan. ESS juga dapat digunakan untuk mengukur
rasa kantuk pada populasi. MSLT merupakan uji kecenderungan untuk jatuh tertidur di saat
gelap atau situasi tenang disiang hari. Ini merupakan tes yang utama dalam menilai rasa kantuk
di siang hari, dan hasilnya dianggap sah apabila setidaknya dilakukan 6 jam pemeriksaan
menggunakan polisomnograf dengan hasil adanya tidur sebelum inisiasi dan 2 jam antara
peluang tidur disiang hari. Waktu untuk tidur dan terjadinya onset periode REM saat tidur
(SOREMPs) dicatat untuk 4 atau lima tidur selama sehari. Narkolepsi diduga kuat jika terdapat
dua atau lebih SOREMPs dan onset rata-rata tidur siang kurang dari 8 menit. Hal ini ditandai
dengan kelumpuhan saat tidur, ketidakmampuan untuk bergerak saat bangun pada 24% kasus,
halusinasi, sensasi bermimpi saat terjaga pada 30% kasus dan katapleksi, hilangnya tonus otot
tiba-tiba dalam menanggapi emosi pada 70% kasus. Narkolepsi dibagi menjadi pasien dengan
katapleksi dan pasien tanpa katapleksi. Selain itu, cairan serebrospinal hipokretin-1 yang berada
pada tingkat kurang dari 110 pg/mL sangat khusus terdapat pada narkolepsi dengan katapleksi.
Narkolepsi jarang terjadi sebelum umur 4 tahun dan hanya 6% dari pasien dengan umur lebih
muda dari 10 tahun. Onset terutama terjadi pada 15 sampai 30 tahun dan prevalensinya sama
pada pria dan wanita. Hipersomnia idiopatik yang ditandai dengan rasa kantuk berlebihan yang
berat pada siang hari terjadi baik pada waktu tidur yang normal (6 sampai 10 jam) atau waktu
tidur yang berkepanjangan ( lebih dari 10 jam) dan juga dapat terjadi pada psien dengan
kesulitan bangun baik dari tidur malam atau siang hari. Hal ini juga menghasilkan onset rata-rata
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
29/33
tidur siang kurang dari 8 menit pada pemeriksaan MSLT tetapi dengan hanysa sedikit
ditemukannya SOREMPs (bahkan sering tidak ada) dan juga tidak menunjukkan adanya intrusi
REM atau narkolepsi. Gangguan ini biasanya memiliki onset awal pada umur 25 tahun dan
memiliki sifat yang berbahaya.
Gangguan tidur ritme sikardian
Jam internal tubuh terletak pada nucleus suprakiasmatik. Sistem endogen ini, bersama dengan
paparan cahaya eksternal dan isyarat-isyarat social, mengatur manusia selama 24 jam. Gangguan
tidur ritme Sikardian terjadi ketika pola bagun dan tidur mengalami ketidaksesuaian dengan jam
social secara persisten atau berulang, sehingga mengakibatkan rasa kantuk disiang hari yang
berlebihan atau insomnia dan akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi tidur. Terdapat sejumlah
gangguan dalam kategori ini, tetapi disfungsi yang digarisbawahi adalah, mereka yang tidak bisa
tidur ketika mereka menginginkan atau membutuhkan tidur. Gangguan ritme sikardian yang
paling sering terjadi adalah jenis tertundanya fase tidur. Hal ini terutama terjadi pada kalangan
remaja dan dewasa muda. Pada gangguan ini, onset tidur yang tertunda, biasanya lebih dari 2
jam, dan sering lebih lama dari yang diinginkan. Durasi dan kualitas tidur biasanya normal,
tetapi waktu bangun alami akan tertunda , dan hal ini mengakibatkan pasien akan mengalami
kesulitan tidur pada waktu tidur konvensional dan bengun terlambat setelah durasi tidur yang
tepat. Fase tidur yang terlalu dini juga sering menyebabkan gangguan ritme, tetapi hal ini sering
terjadi pada orang dewasa tua. Pasien memiliki kesulitan untuk tetap terjaga dan biasanya terjaga
lebih awal dari waktu bangun yang mereka inginkan. Pasien ini biasanya tidak mencari
penanganan secara medic karena kurangnya masalah social yang diakibatkan oleh bangun yang
terlalu pagi. Pasien ini juga memiliki durasi dan kualitas tidur yang normal sesuai usia, tetapi
onset tidur yang mereka alami bergeser dari waktu yang mereka inginkan. Pergeseran ritme
sikardian dapat mempengaruhi pekerjaan pada 32% pekerja shift malam dan 26% pada pekerja
harian. Telah diperkirakan 18% dari penduduk AS bekerja diluar jam siang hari yaitu dari jam 6
sore sampai 6 pagi. Hal ini mengakibatkan insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan pada siang
hari yang berhubungan dengan tumpang tindihnya jadwal pekerjaan dengan waktu tidur yang
normal dan dapat berlansung setidaknya 1 bulan. Hal ini cenderung dapat pulih kembali jika
waktu tidur diatur kedalam onset tidur yang normal. Jenis yang terakhir adalah gangguan ritme
sikardian jenis jet lag, yaitu kondisi sementara yang berhubungan dengan perjalanan pada
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
30/33
setidaknya dua zona waktu, dapat ,menyebabkan insomnia atau rasa kantuk disiang hari yang
berlebihan. Onset biasanya terjadi pada 1 sampai 2 hari setelah perjalanan dan resolusinya
tergantung jumlah perbedaan zona waktu yang dilewati dan arah perjalanan, arah perjalanan
ketimur akan lebih sulit menyesuaikan waktu tidur ketimbang perjalanan kearah barat.
Parasomnia
Parasomnia adalah gerakan yang tdiak diinginkan atau fenomena subjektif yang terjadi selam
tidur, saat tertidur, sementara terbangun atau selama tidur itu sendiri. Fenomena ini meliputi
aktivasi system saraf otonom dan gerakan abnormal, mimpi, emosi dan prilaku. Parasomnia
biasanya cenderung terjadi pada awal masa kanak-kanak dan sering memiliki transformasi stabil
dan bertahap dengan resolusi gejala yang menunjukkan bahwa etiologi juga dapat berkembang.
Remisi spontan seiring bertambahnya usia sering terjadi dan biasanya tidak terdapat kelainan
klinis yang jelas saat terjaga. Beberapa proses patofisiologi telah diidentifikasi untuk
menjelaskan parasomnia. Parasomnia dikelompokkan menjadi gangguan saat terjadinya
keinginan tidur (periode NREM), parasomnia terkait dengan REM saat tidur dan parasomnia
lainnya. Teror tidur, tidur sambil berjalan, dan kebingungan saat timbulnya keinginan tidur yang
merupakan gangguan gairah tidur yang biasanya terjadi pada sepertiga dari malam, mendominasi
pada masa kesil dan umumnya mengalami penurunan frekwensi seiring bertambahnya usia. Hal
ini dapat diobati dengan peningkatan kebersihan sebelum tidur. Intervensi farmakologis jarang
diperlukan. Parasomnia terkait REM saat tidur adalah termasuk gangguan perilaku tidur,
perasaan lumpuh saat tidur yang berulang, dan gangguan mimpi buruk. Gangguan perilaku REM
saat tidur (RBD) merupakan hasil dari aktifitas otot selama REM dan menghasilkan gerakan
yang merugikan sementara, selama fase REM. Hal ini sering dikaitkan dengan onset gangguan
yang terdahulu, gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson dan Demensia Tubuh-Lewy.
Pemeriksaan PSG dianjurkan pada pasien ini karena pasien OSA mungkin akan mengalami
gerakan gerakan yang tidak diinginkan selama REM yang dapat mirip dengan RBD. Gangguan
mimpi buruk ditandai dengan episode berulang terbangun dari tidur dan teringatnya mimpi
dengan intensitas yang mengganggu. Yang biasanya disertai dengan gangguan emosi seperti
ketakutan, kecemasan kemarahan dan kewaspadaan penuh saat terbangun. Hal ini sering terjadi
pada masa kanak-kanak dan dewasa dan biasanya berhubungan dengan peritiwa stress akut atau
gangguan stress pasca trauma. Pengobatan dapat termasuk terapi kognitif dan prilaku atau
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
31/33
intervensi farmakologis. Beberapa parasomnia secara khusus dikaitkan dengan OSA atau
pengobatan OSA. Hal ini termasuk gangguan dari REM saat tidur yang terjadi pada pasien OSA
yang dapat mirip dengan RBD yang diakibatkan oleh kompleks atau perilaku kekerasan terkait
dengan mimpi. Tipe kedua terjadi setelah gangguan pada NREM saat tidur dengan kompleks
atau perilaku kekerasan yang sama sering membuat sulit dibedakan dengan ganggua gairah tidur.
Gangguan gairah tidur terkait OSA pada saat NREM tidur juga dapat menyebabkan gangguan
makan, yang dengan sendirinya akan memperburuk keadaan klinik OSA. Parasomnia lain yang
terkait dengan keadaan anoksia otak terkait OSA dapat berupa serangan atau kejang nocturnal
juga dapat bermanifestasi dengan jenis parasomnia komplek atau perilaku kekerasan.
Penggunaan CPAP hidung untuk OSA menyebabkan peningkatan yang signifikan pada REM
dan dapat mengakibatkan kebingungan gairah tidur, tidur sambil berjalan atau terror tidur.
Kecuali bila diduga RBD, pemeriksaan PSG jarang diperlukan pada pasien ini kecuali jika
terdapat adanya kecurigaan terhadap komorbiditas apnea saat tidur. Pada pasien dengan perilaku
kekerasan yang terkait dengan gangguan tidur, rasa kantuk yang berlebih saat siang hari sering
terjadi pada onset usia yang tidak biasa dengan gambaran klinis yang tidak biasa, pemeriksaan
PSG mungkin diperlukan. Gangguan gerakan tidur terkait dengan SRMDs ditandai dengan
gerakan berulang yang terjadi selama tidur dan menyebabkan gangguan tidur. Yang paling sering
terjadi adalah sindrom kaki gelisah (RLS) dan gangguan gerakan tungkai periodic (PLMD). RLS
didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman di kaki yang menyebabkan dorongan untuk
memindahakan mereka. Ketidaknyamanan ini terjadi lebih sering pada sore atau malam hari, dan
biasanya pasien merasa lega dengan gerakan. Pada anak-anak, riwayat keluarga menderita RLS
dapat membantu diagnosis atau dokumentasi dari pemeriksaan polisomnografi yang bernilai
lebih dari lima kali gerakan tungkai per jam. Penelitian saat ini menyelidiki tentang patofisiologi
RLS dengan terlibatnya kadar zat besi dan system dopaminergik nigrostriatal yang rendah.
Untuk alasan ini, evaluasi harus mencakup pemeriksaan kadar feritin dan tingkat kejenuhan
transferin. Kekurangan zat besi berkisar pada kadar feritin dibawah 18 g/L atau sturasi transferin
dibawah 16%. PLMD ditandai dengan gerakan kaki stereotip berulang yang terjadi saat tidur dan
menyebabkan gangguan tidur atau kelelahan disiang hari. Seperti halnya RLS, dimana gejala di
siang hari terjadi, pasien biasanya tidak menyadari gerakan kaki atau adanya gangguan tidur.
Prevalensi PLMD diperkirakan antara 4% dan 11% pada orang berusia 15 hingga 100 tahun dan
telah terbukti seiring dengan bertambahnya umur. Karena gangguan ini juga terkait dengan
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
32/33
perubahan dalam system dopaminergik bigrostriatal, hipotesis bahwa onset PLMD mungkin
merupakan sinyal penurunan fungsi dopaminergik. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
beberapa pengurangan PLMD dengan penggunaan terapi Clonazepam dan agonis dopamine.
Gejala yang tersembunyi, Varian yang tampak Normal dan Masalah-masalah yang belum
terselesaikan
Kondisi yang disorot pada kelompok ini adalah pada anggapan terjadinya sebuah kontinuitas
antara tidur normal dan abnormal. Hal ini termasuk tidur yang lama, yang umumnya lebih dari
10 jam sehari, dan tidur yang pendek, biasanya tidur 5 jam sehari atau kuran, definisi waktu tidur
disesuaikan dengan usia. Sejumlah kondisi yang berhubungan dengan keadaan mioklonus atau
tersentak saat tidur juga termasuk dalam bagian ini, seperti halnya juga mendengkur.
Mendengkur didiagnosis ketika suara mendengkur dicatat oleh pemeriksa dan tidak
ditemukannya gejala kantuk disiang hari, insomnia atau gangguan tidur. Hasil jajak pendapat
National Sleep Foundation 2005 menemukan bahwa 59% dari 1.500 orang dewasa melaporkan
adanya mendengkur saat tidur. Pada tahun 1993 penelitian kohorWinconsin melaporkan bahwa
mendengkur terjadi pada 28% wanita dewasa dan 44% laki-laki dewasa. Prevalensi kebiasaan
mendengkur pada populasi anak-anak dilaporkan lebih rendah yaitu sebesar 7% sampai 13%
pada anak usia 4 tahun, dab 10% terjadi pada anak pada tingkat sekolah menegah dan tinggi.
Pengobatan untuk mendengkur difokuskan pada mengurangi kekhawatiran social, data terakhir
menunjukkan bahwa pasien dengan kebiasaan mendengkur memiliki hasil neurokognitif yang
lebih rendah (termasuk penurunan perhatian, memori dan skor kecerdasan) dan meningkatnya
perilaku hiperaktif ketimbang dengan mereka yang tidak mendengkur.
Kesimpulan
Mayoritas pasien yang dirujuk ke ahli THT biasanya memiliki gangguan tidur terkait dengan
pernafasan, juga mungkin juga menderita gangguan tidur lainnya termasuk kebersihan tidur yang
tidak memadai, insomnia, gangguan ritme sikardian dan gangguan gerakan anggota gerak tubuh.
Diagnosis gangguan tidur dengan menggunakan EDS mungkin sangat penting dalam
mengevaluasi pasien dengan penyakit persisten setelah pengobatan medis dan bedah.
-
7/28/2019 Chapter 18 Sleep Apnea and Sleep Disorders
33/33