betul kortikosteroid.pdf

60
 • ISSN: 0125-913X • CDK-211/ vol. 40 no. 12 • Desember 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx BERITA TERKINI Efek Pemberian PN Asam Amino Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi TINJAUAN PUSTAKA Pencitraan Diagnostik Fistula  Trakeoesofagus TEKNIK Blok Saraf Perifer 894 894  9 9 919  93 932 Akreditasi IDI Principles of Drug Use in  the Elderly 887 887 Continuing Continuing Medical Medical Education Education  rtikel CME Artikel CME

Upload: ameliahandayani

Post on 05-Nov-2015

106 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • ISSN: 0125-913X CDK-211/ vol. 40 no. 12 Desember 2013 http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx

    BERITA TERKINI Efek Pemberian PN Asam Amino

    Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

    TINJAUAN PUSTAKA Pencitraan Diagnostik Fistula

    Trakeoesofagus

    TEKNIK Blok Saraf Perifer

    894894 919919 932932

    Akreditasi IDI

    Principles of Drug Use in the Elderly

    887887

    Continuing Continuing Medical Medical EducationEducation

    Artikel CMEArtikel CME

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    DAFTAR ISI

    883

    ISSN: 0125-913X

    http://www.kalbemed.com/CDK.aspx

    Susunan Redaksi

    Alamat RedaksiGedung KALBEJl. Letjen. Suprapto Kav. 4Cempaka Putih, Jakarta 10510Tlp: 021-420 8171Fax: 021-4287 3685E-mail: [email protected]://twitter.com/CDKMagazine

    Nomor Ijin151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

    Penerbit Kalbe Farma

    Pencetak PT. Dian Rakyat

    Ketua Pengarahdr. Boenjamin Setiawan, PhD

    Pemimpin Umumdr. Kupiya Timbul Wahyudi

    Ketua PenyuntingDr. dr. Budi Riyanto W., SpS

    Dewan Redaksidr. Karta Sadana, MSc, SpOkdr. Artatidr. Esther Kristiningrumdr. Dedyanto Henkydr. Yoska Yasahardjadr. Albertus Agung Mahode

    Tata UsahaDodi Sumarna

    805 EDITORIAL ARTIKEL887 Principles of Drug Use in the Elderly Arini Setiawati

    890 Acute Kidney Injury in Critically Ill Children at Pediatric Intensive Care Unit

    Husein Albar

    894 Pencitraan Diagnostik Fistula Trakeoesofagus Rizal

    900 Fenomenologi Sindrom Tourette Dito Anurogo

    907 Peran Recruitment Maneuver pada Anestesi Umum M. Helmi

    913 Acute Limb Ischaemia: Case Report Edwin Nugroho Njoto

    BERITA TERKINI917 Tenecteplase untuk Fibrinolisis Pasien STEMI918 Efek Pemberian PN Asam Amino Mengandung Alanyl-Glutamine pada

    Bayi919 Vaksin Konjugat Pneumokokal pada Bayi: Aman dan Efektifkah?920 Efek Sevofl urane pada Respons Stres Terhadap Pembedahan921 Acetylsalicylic Acid dapat Mengurangi Risiko Melanoma922 Anestesi umum vs Anestesi Spinal pada Pembedahan Batu Ginjal923 Terapi Pendamping Corticosteroid Mengurangi Mortalitas Pasien TBC924 ACE inhibitor Memiliki Efek Proteksi Radioterapi926 Manfaat dan Jenis Toner Kulit927 Kombinasi Normal Saline, HES, & Glutamine Efektif Digunakan untuk

    Resusitasi Pasien Severe Acute Pancreatitis928 Penggunaan Cilostazol Dibatasi pada Pasien PAD929 Infus 5-FU Dosis Tinggi dengan atau Tanpa Folinic Acid vs Bolus 5-FU/

    Folinic Acid sebagai Terapi Adjuvan Kanker Kolon Stadium III

    930 Teknik

    936 Opini

    940 Info Produk

    942 Agenda

    943 Indeks

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013884

    CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan pustaka, opini, ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirim ke Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

    PANDUAN UMUMNaskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New Roman ukuran 12.

    ABSTRAK DAN KATA KUNCISetiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1 (satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris untuk naskah tersebut.

    NAMA DAN INSTITUSI PENULISNama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail.

    TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGANTabel/grafi k/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan pada tabel/grafi k/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.

    DAFTAR PUSTAKADaftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua; bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan sekunder.

    Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:

    JURNAL Standar

    1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J Med. 2002;347:284-7.

    2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials. BMJ. 2008; 36(7646):701-4.

    3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury. Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.

    Organisasi sebagai Penulis1. American Diabetes Association. Diabetes update. Nursing. 2003;Suppl:19-20, 24.2. Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in

    levodopatreated patients with Parkinson disease and motor fl uctuations: the PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.

    Tanpa Nama Penulis Pelvic fl oor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11. Volume dengan Suplemen Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with short-

    and long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan. Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9.

    Edisi dengan Suplemen Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12

    Suppl 7):S6-12. Jurnal Elektronik Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between

    perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/index.php/ejap/article/view/71/100.

    BUKU Penulis/Editor Tunggal

    1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH; 2003.

    2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken (NJ): J. Wiley & Sons; 2004.

    Lebih dari Satu Penulis/Editor1. Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY):

    Thomson Delmar Learning; 2005. 2. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed.

    New York: McGraw-Hill; 2002. Edisi dengan Volume

    Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

    Bab dalam Buku Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee

    AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed. Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.

    PROSIDING KONFERENSIHarnden P, Joff e JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V: Proceedings of the 5th Germ Cell Tumour conference; 2001 Sep 13-15; Leeds, UK. New York: Springer; 2002.

    MAKALAH KONFERENSIChristensen S, Oppacher F. An analysis of Kozas computational eff ort statistic for genetic programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.

    PENGIRIMAN NASKAHNaskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:

    Redaksi CDKJl. Letjen Suprapto Kav. 4

    Cempaka Putih, Jakarta 10510E-mail: [email protected]

    Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685

    Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.

    Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih luas.

    Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi, mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.

    Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

    PANDUAN UNTUK PENULIS

  • 885CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    r*44/9r$%,WPMOPr%FTFNCFSrIUUQXXXLBMCFNFEDPN$%,BTQY

    BERITA TERKINI Efek Pemberian PN Asam Amino

    Mengandung Alanyl-Glutamine pada Bayi

    TINJAUAN PUSTAKA Pencitraan Diagnostik Fistula

    Trakeoesofagus

    TEKNIK Blok Saraf Perifer

    894 918 930

    Akreditasi IDI

    Principles of Drug Use in the Elderly

    887

    Continuing Medical Education

    Artikel CME

    Di edisi akhir tahun 2013 ini, CDK menyajikan artikel mengenai pentingnya memperhatikan beberapa perubahan pada orang lanjut usia yang dapat memengaruhi kinerja obat, apalagi umum diketahui bahwa orang lanjut usia sebagian besar memerlukan berbagai jenis obat untuk mengatasi masalah kesehatan mereka. Penggunaan obat hendaknya tidak justru menambah problem kesehatan mereka.

    Artikel lain adalah mengenai problem penyakit ginjal pada anak, masalah yang harus dicermati agar tidak menjadi kronis dan membawa beban kesehatan di usia dewasa, apalagi jika masalahnya teoretis bisa dicegah, seperti yang dikaitkan dengan obesitas. Tersaji pula artikel mengenai sindrom Tourette yang mungkin menarik bagi Sejawat yang berminat mengamati gangguan unik ini, yang kendati sudah dikenal sejak zaman pertengahan, mekanismenya masih menjadi bahan penelitian yang menarik.

    Redaksi mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014, dengan harapan bahwa tahun-tahun mendatang membawa lebih banyak kesehatan dan kesejahteraan bagi kita semua.

    Selamat menyongsong hari depan dengan semangat baru,

    Redaksi

    Editorial

  • REDAKSI KEHORMATAN

    CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013886

    Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

    Fakultas Kedokteran Univer sitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

    Mangunkusumo, Jakarta

    Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFKBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

    Jakarta

    Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH Puslitkes Unika Atma Jaya

    Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGKInstitut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

    Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTIDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia/RSUPN

    Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K) Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan,

    Jakarta

    Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K) Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr.

    Kariadi, Semarang

    Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKNDepartemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas

    Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

    Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFKBagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

    Jakarta

    Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

    Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

    Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAISub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

    Fakultas Kedokteran Universitas In donesia/RSUPN Dr. Cipto

    Mangunkusumo, Jakarta

    Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

    Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,

    Jakarta

    Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

    Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,

    Jakarta

    Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

    Indonesia, Jakarta

    dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.

    Soetomo, Surabaya

    dr. Hendro Susilo, SpS (K) Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

    RS Dr. Soetomo, Surabaya

    Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

    Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

    dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN

    Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

    dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia,

    Jakarta

    Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan

    Kita, Jakarta

    dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHAKetua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

    Indonesia (PP PERKI), Jakarta

    dr. Savitri Sayogo, SpGKDepartemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

    RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    dr. Sudung O. Pardede, SpA (K)Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

  • 890

    HASIL PENELITIAN

    CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    INTRODUCTIONAcute renal failure (ARF) is defi ned as a rapid decline in glomerular fi ltration rate (GFR),

    Alamat korespondensi email: [email protected]

    resulting in disturbance of physiological renal functions including impairment of nitrogenous waste product excretion, loss of

    water and electrolyte regulation and loss of acid-base regulation. Although the incidence of ARF varies with geographical localization

    Acute Kidney Injury in Critically Ill Children at Pediatric Intensive Care Unit

    Husein AlbarDepartment of Child Health, Faculty of Medicine, Hasanuddin University/

    Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar, South Sulawesi, Indonesia

    ABSTRACTBackground: Recognition of acute kidney injury (AKI) requires use and selection of easily measured criteria that can be applied widely across age groups and clinical situations. Modifi ed pediatric RIFLE (pRIFLE) has been used for diagnosis and grading of AKI (acute kidney injury) in children. Objective: To investigate AKI in children aged 1-14 years hospitalized at PICU (pediatric intensive care unit), Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar. Methods: A cross-sectional study was done based on medical records from 2009 until 2011. The records were screened for demographic data, serum creatinine level and estimated creatinine clearance by Schwartz formula. AKI was grouped according to pRIFLE formula. Results: There were 77 patients, 58.4% boys and 41.6% girls. Majority were above 5 year-old (76.6%), have increased serum creatinine level (80.05%) and decreased eCC/estimated creatinine clearance (80.05%). Underlying diseases as the cause of AKI consists of AGN/acute glomerulonephritis (41.6%), NS/nephrotic syndrome (9.1%), UTI/urinary tract infections (9.1%), and others (40.3%) including DSS (dengue shock syndrome), dehydration due to diarrhea, and septic shock. pRIFLE-R was more frequent in patients above fi ve years old (33.8%), in boys (27.3%), well-nourished patients (13.0%), and in patients with increased creatinine serum level or decreased eCC (49.9%) compared to pRIFLE-I and pRIFLE-F groups. No signifi cant diff erence of pRIFLE grading in diff erent groups of underlying diseases (p=0.126), age (p=0.075), sex (p=0.817), and nutritional status (p=0.102). The diff erence of creatinine serum level and eCC was signifi cant (p

  • 891

    HASIL PENELITIAN

    CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    and countries, it has been reported in 2-5% of hospitalized children and in 4.5-30% of children in pediatric intensive care units ( PICU). Mortality rates of 35 to 80% have been reported in patients developing ARF.1-3 An acute decline of kidney function is secondary to tubular (or more extensive) injury that leads to functional or structural damage in the kidney. ARF actually includes a spectrum of conditions, the term acute kidney injury (AKI) has been recently proposed to refl ect the entire spectrum of the syndrome.4-6

    The exact incidence and causes of AKI in children is unknown; recent studies suggest that incidence of AKI in hospitalized children is increasing. Previous studies in Nigeria and North India showed 11.7 and 20 AKI cases admitted per year per 1000 pediatric admissions, respectively7 and in New Zealand children, 4.0 per 100 000 total population under 15 year of age.8 No study reported incidence of AKI in Indonesia.

    This study retrospectively investigated AKI in children hospitalized at PICU in Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar.

    METHODThis survey was a retrospective cross-sectional

    study to investigate AKI in hospitalized children at Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar. Data were based on a review of standard medical records of all patients aged 1-14 years hospitalized at PICU of Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar from 2009 until 2011. Study approval was obtained from the Ethical Committee of Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar.

    We enrolled all patients who had been hospitalized at PICU of the hospital with complete medical records. Patient records were retrospectively analyzed for age, sex, nutritional status, underlying diseases, whole blood count, urinary analysis, duration of renal failure, blood ureum, serum creatinine, and estimated creatinine clearance (eCC). Systolic and/or diastolic blood pressure levels equal or greater than 95 percentile was defi ned as hypertension whereas systolic blood pressure

  • 892

    HASIL PENELITIAN

    CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    There was no signifi cant diff erence of pRIFLE grading among diff erent underlying diseases (p=0.126). pRIFLE-R was more frequent in patients aged under and above fi ve years old (9.1%/33.8%), in boys (27.3%), well-nourished patients (13.0%), and patients with increased creatinine serum level and decreased eCC (49.9%) compared to those with pRIFLE-I and pRIFLE-F (Table 4).

    Table 4 shows no signifi cant diff erences of pRIFLE grading among distribution of age (p=0.075), sex (p=0.817), and nutritional status (p=0.102) but very signifi cant diff erence among diff erent pRIFLE grading, creatinine serum level (p

  • 893

    HASIL PENELITIAN

    CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    the need for RRT (renal replacement therapy) and subsequently to reduce morbidity and mortality rates.

    CONCLUSIONEarly diagnosis of AKI should be based on pRIFLE grading and adequate preventive measures should be instituted as early as possible to reduce the morbidity and mortality rates at PICU.

    the cause of AKI in children was AGN (41.6%), NS (9.1%), UTI (9.1%), and others (40.3%) including any shock conditions such as dengue shock syndrome (DSS), dehydration caused by diarrhea, and any cause of septic shock. This result was similar to a study from Anatolia, Turkey that AGN caused more than 60% of AKI in children.7

    A limitation of this study is that data analysis

    based on a retropective and cross-sectional design. A prospective cohort study should be done further to confi rm the results from this study. Early diagnosis of AKI in all children hospitalized at PICU should be established based on the pRIFLE criteria using Schwartz formula. Since children hospitalized in PICU are at high risk of AKI, early diagnosis and adequate preventive measures should be instituted as early as possible to decrease

    REFERENCES

    1. Siegel NJ, Van WSK, Devarajan P. Pathogenesis of acute renal failure. In: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, editors. Pediatric nephrology. 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams

    & Wilkins; 2004. p. 1225-51.

    2. Moghal NE, Brocklebank JT, Maedow RS. A review of acute renal failure in children: Incidence, etiology and outcome. Clin Nephrol. 1998;49:91-5.

    3. Ozakar ZB, Yalinkaya F, Altas B, Ergn H, Kendirli T, Ate C, et al. Application of the new classifi cation criteria of the acute kidney injury network: A pilot study in a pediatric population.

    Pediatr Nephrol. 2009;24:1379-84.

    4. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute kidney injury network: Report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury. Critical Care.

    2007;23:2147-9.

    5. Mak RH. Acute kidney injury in children: The dawn of a new era. Pediatr Nephrol. 2008;23:2147-9.

    6. Zappitelli M, Parikh CR, Akcan-Arikan A, Washburn KK, Moff ett BS, Goldstein SL. Ascertainment and epidemiology of acute kidney injury varies with defi nition interpretation. Clin J Am Soc

    Nephrol. 2008;3:948-54.

    7. Cerda J, Lameire N, Eggers P, Pannu N, Uchino S, Wang H, et al. Epidemiology of acute kidney injury. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:881-6.

    8. Ball EF, Kara T. Epidemiology and outcomes of acute kidney injury in New Zealand children. J Paediatrics and Child Health. 2008;44:11:642-6.

    9. Schwartz GJ, Haycock GB, Edelmann CM. A simple estimate of glomerular fi ltration rate in children derived from body length and plasma creatinine. Pediatrics. 1976;58:259-63.

    10. Patzer L. Nephrotoxicity as a cause of acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2008;23:2159-73.

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013894

    TINJAUAN PUSTAKA

    PENDAHULUANFistula trakeoesofagus adalah saluran abnormal yang menghubungkan trakea dan esofagus, dapat terbentuk karena bawaan atau diperoleh (Gambar 1). Fistula trakeoesofagus sering menyebabkan komplikasi paru yang parah dan fatal. Pasien biasanya datang karena tidak mampu menelan makanan dan air liur serta adanya gangguan pernapasan akibat aspirasi. Sejarah pertama kali mencatat kasus fi stula trakeoesofagus pada tahun 1697, saat Thomas Gibson melaporkan kasus bayi dengan atresia esofagus dan trakeoesofagus. Cameron Height sukses melakukan reparasi fi stula trakeoesofagus di tahun 1941. Kemajuan teknik bedah dalam beberapa dekade terakhir berimbas pada tingkat kelangsungan hidup hampir 100% untuk bayi dengan anomali kongenital ini.1 Melalui pencitraan diagnostik, anatomi fi stula trakeoesofagus seyogyanya dapat divisualisasi untuk memberi informasi bagi

    rencana operasi, karena pendekatan bedah tergantung pada evaluasi yang tepat.2

    Gambar 1 Atresia esofagus dengan fi stula trakeoesofagus

    EPIDEMIOLOGIFistula trakeoesofagus merupakan malformasi yang paling sering mengancam jiwa dengan insidens satu dari 3.000-4.500 kelahiran hidup.3 Etiologi sebagian besar kasus tidak diketahui, sebagian bersamaan dengan anomali lain yang terkait, tersering malformasi kardiak; keadaan ini dapat bagian dari sindrom VACTERL (Vertebral defects, Anal atresia, Cardiac defects, tracheoesophageal fi stula, renal malformations, and limb defects). Fistula trakeoesofagus dapat terjadi tanpa malformasi penyerta (nonsyndromic oesophageal atresia). Kelahiran bayi dengan fi stula trakeoesofagus tanpa riwayat yang sama sebelumnya berkaitan dengan risiko rekurensi rendah, sebesar 1%.4. Kromosom trisomi 18 dan 21 merupakan faktor risiko yang signifi kan.

    VARIAN ANATOMI Salah satu klasifi kasi anatomi yang diusulkan oleh Gross berasal dari pengamatan terhadap 2200 kasus (gambar 2).5 Terdapat klasifi kasi

    ABSTRAKFistula trakeoesofagus adalah saluran abnormal yang menghubungkan trakea dan esofagus, dapat terbentuk karena bawaan atau diperoleh. Fistula trakeoesofagus sering menyebabkan komplikasi paru yang parah dan fatal. Langkah diagnostik pertama pada fi stula trakeoesofagus adalah foto polos toraks frontal dan lateral. Bronkoskopi dapat menunjukkan anomali percabangan trakeobronkial dan melokalisir lubang distal fi stula sebelum operasi korektif, namun memiliki keterbatasan pada neonatus. Esofagografi dengan kontras barium konvensional dianggap tes paling sensitif. CT 3 dimensi dan MRI menjadi alat pemeriksaan klinis yang populer karena kemajuan teknologi. Pencitraan permukaan tiga dimensi dan bronkoskopi maya adalah teknik non-invasif yang menyediakan tampilan 3 dimensi realistis cabang trakeobronkial, tetapi masih terbatas pada pasien anak-anak. Visualisasi fi stula trakeoesofagus diharapkan dapat dibuat melalui pencitraan diagnostik dan memberikan informasi penting untuk perencanaan operasi.

    Kata kunci: fi stula trakeoesofagus, pencitraan diagnostik, esofagografi

    ABSTRACTTracheoesophageal fi stula is an abnormal connection between trachea and esophagus, which can be hereditary or acquired. This condition may caused fatal pulmonary complications. Diagnostic procedures consist of plain AP and lateral chest X ray. Bronchoscopy may reveal tracheobronchial trunk anomaly and localize the fi stula prior to corrective procedure, but may be diffi cult in neonates. Esophagography with barium contrast is considered to be most sensitive test. Three dimensional CT and MRI may become popular. Three-dimensional imaging and virtual bronchoscopy is a non-invasive technique that may provide important information for corrective procedures. Rizal. Diagnostic Imaging for Tracheoesophageal Fistula.

    Key words: tracheoesophageal fi stula, diagnostic imaging, esophagography

    Pencitraan Diagnostik Fistula TrakeoesofagusRizal

    Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah Umum,Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Umum Daerah dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia

    Alamat korespondensi email: [email protected]

  • 895CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    lain yang sangat rinci dengan memasukkan varian anatomi lain yang jarang seperti atresia membran, fi stula oesophago-bronchial, dan duplikasi esofagus.

    Lima jenis fi stula trakeoesofagus berdasarkan karakteristik anatomi esofagus dan trakea: Tipe I, merupakan atresia esofagus tanpa fi stula; tipe II, tidak ada atresia dan komunikasi antara trakea dan esofagus (fi stula jenis-H); tipe IIIA, memiliki atresia esofagus dan ada komunikasi antara bagian atas esofagus dengan trakea; tipe IIIB (Tipe C dalam sistem klasifi kasi Bruto), atresia esofagus dengan kantong buntu bagian atas dan segmen bawah berkomunikasi dengan trakeabentuk ini yang paling umum; tipe IIIC, memiliki atresia dengan segmen atas dan bawah berkomunikasi dengan trakea.6

    ETIOLOGIFistula trakeoesofagus pada anak-anak hampir selalu bawaan,7 kadang-kadang ditemukan pada dewasa8; umumnya disebabkan neoplasia ganas, terutama esofagus. Infeksi dan trauma adalah penyebab nonmaligna paling sering. Etiologi fi stula trakeoesofagus disajikan pada tabel 1.

    Tabel 1 Etiologi Fistula Trakeoesofagus9

    Kongenital Neoplasma

    - Karsinoma esofagus atau trakea- Limfoma

    Trauma- Tertutup pada dada- Tembus- Pascaendoskopi atau pascaoperasi- Intubasi endotrakeal- Esofagitis korosif- Korpus alienum esofagus- Pascaradiasi

    Infeksi- Histoplasmosis- Aktinomikosis- Tuberkulosis

    DIAGNOSIS Diagnosis Prenatal Diagnosis prenatal sering sulit karena sebagian wanita hanya menjalani satu kali skrining USG kandungan, biasanya pada usia kehamilan 18 minggu. Kehamilan kembar dan adanya riwayat keluarga bisa sebagai tanda peringatan, terlebih jika ada anomali yang terkait, kemungkinan kejadian kasus fi stula trakeoesofagus ini mencapai 50%.10,11

    Polihidramnion dan kesulitan memvisualisasi gaster janin secara konsisten selama pemeriksaan prenatal dapat memberikan kesan atresia esofagus dengan fi stula trakeoesofagus.12 Fistula trakeoesofagus dan anomali terkait biasanya tidak jelas hingga setidaknya sampai umur kehamilan 24 minggu; kelainan yang ditemukan, termasuk polihidramnion (33-66%), berhubungan dengan obstruksi aliran cairan amnion

    melalui janin. Dapat ditemukan gambaran tidak ada cairan dalam gaster (10-40%); gaster ukuran kecil dan lebih rendah dari perkiraan berat badan janin (40%) atau didapatkan sekresi yang dapat menvisualisasikan gaster janin (gambar 3). Meskipun pada umumnya polihidramnion terlihat dengan kondisi ini, fi stula trakeoesofagus hanya mewakili 3% penyebab polihidramnion.13 Diagnosis atresia esofagus dapat diduga dari visualisasi bagian proksimal kantong esofagus yang melebar saat silih ganti antara fase pengosongan dan pengisian (gambar 4). 12

    Diagnosis antenatal akan mencegah pemberian makan atau minum yang tidak hati-hati dan pneumonitis akibat aspirasi paru.14,15

    Diagnosis PostnatalHampir 91% bayi dengan fi stula trakeoesofagus tidak dapat didiagnosis saat antenatal16 Fistula trakeoesofagus harus dicurigai jika bayi baru lahir mengalami kesulitan menelan air liur, episode batuk dan tersedak berulang, atau sianosis sementara segera setelah lahir. Atau, bayi tiba-tiba mengalami gangguan pernapasan sehabis menyusui. Gagalnya insersi selang nasogastrik ukuran 10 F sejauh 10 cm dari bibir menunjukkan adanya resistensi di esofagus bagian atas (gambar 5).17 Penggunaan selang tipis yang dapat terpelintir sebaiknya dihindari, selain itu perlu diwaspadai risiko perforasi esofagus, khususnya pada neonatus prematur.18

    Gambar 2 Klasifi kasi anomali anatomis esofagus dan trakea5

    Gambar 4 Penampang koronal leher fetus

    menunjukkan bagian proksimal kantong es-

    ofagus yang melebar saat fase penuh

    Gambar 3 Gambaran USG abdomen pada perempuan 26

    tahun gravida dengan usia gestasi 30 minggu

    a. Penampang transversal abdomen fetus menunjukkan

    gaster terisi penuh cairan.

    b. Penampang koronal menunjukkan bayangan kabur

    esofagus saat fase kosong.

    A B

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013896

    TINJAUAN PUSTAKA

    JENIS PENCITRAAN DIAGNOSTIKFoto polosFoto polos toraks dan abdomen bisa menunjukkan selang nasogastrik yang melingkar di kantong atas esofagus (gambar 6). Jika atresia esofagus berkaitan dengan fi stula trakeoesofagus, akan tampak usus dan gaster yang terisi udara di bagian bawah diafragma. Kadang, selang nasogastrik dapat menggulung di dalam esofagus proksimal. Pada atresia esofagus tersendiri, gambaran foto usus dapat tanpa gas.21

    Gambar 6 Lekukan selang nasogastrik di esofagus bagian

    atas dan gelembung udara gaster mengonfi rmasi fi stula

    trakeoesofagus

    Pada foto polos, penandanya ialah pipa nasogastrik yang melingkar dalam kantong retrotrakeal yang berisi udara. Kantong tersebut dapat menyebabkan kompresi dan deviasi trakea. Gambaran abdomen tanpa gas menunjukkan atresia esofagus

    tanpa fi stula esofagus atau atresia esofagus dengan fi stula trakeoesofagus proksimal. Gambaran gas dalam usus dapat terlihat pada 90% kasus (atresia esofagus dengan fi stula trakeoesofagus distal 82%, atresia esofagus dengan fi stula trakeoesofagus distal dan proksimal 2%, dan atresia esofagus dengan fi stula trakeoesofagus distal tanpa atresia esofagus 6%). Aspirasi pneumonia tidak jarang terjadi di lobus paru atas, terkait langsung baik karena fi stula trakeoesofagus ataupun karena peristaltik abnormal segmen esofagus yang lebih rendah dengan refl uks gastroesofageal.19

    Foto polos toraks frontal dan lateral dapat memperkirakan panjang kantong dengan menunjukkan kateter atau pipa nasogastrik yang dimasukkan ke dalam esofagus. Kelemahan utama modalitas radiografi ini adalah tidak mampu menunjukkan distal esofagus pada kebanyakan kasus. Beberapa peneliti merekomendasi gabungan dengan pemeriksaan endoskopi untuk memeriksa distal esofagus,20 namun teknik ini bersifat invasif dengan resolusi rendah terutama pada bronchoskopi kaku.21

    Foto KontrasFoto dengan kontras dapat dilakukan dengan melewatkan kateter nomor 8 F melalui hidung ke level atresia yang ditunjukkan dengan opasitas kontras untuk mengkonfi rmasi atresia esofagus dan fi stula tracheoesfogeal proksimal, dan dapat membantu menentukan sisi lengkung aorta terkena. Hanya diperlukan 1 sampai 2 mL larutan barium. Pemeriksaan dilakukan pada posisi lateral dekubitus dengan kepala sedikit lebih tinggi. Posisi ini memungkinkan untuk melihat dasar kantong dan lokasi ventral fi stula.

    Dugaan fi stula trakeoesofagus tanpa atresia esofagus pada bayi sebaiknya diperiksa dengan level kepala sedikit rendah. Posisi prone dengan kepala lebih rendah dibutuhkan untuk melihat jalannya saluran tersebut pada varian fi stula jenis H. Komplikasi dapat terjadi selama pemeriksaan dan setelah koreksi bedah. Bahan kontras kadang teraspirasi ke dalam paru. Barium bersifat inert tetapi dapat menghasilkan gambaran opasitas berkepanjangan dalam parenkim paru. Jika barium teraspirasi bersama isi lambung dapat mengakibatkan pneumonia aspirasi. Media kontras hipertonik yang larut dalam air, seperti

    meglumine diatrizoate, tidak boleh digunakan untuk mendiagnosis fi stula karena jika teraspirasi ke dalam paru, akan menyebabkan pneumonitis kimia, kadang disertai dengan edema paru berat.22

    Menelan barium dimungkinkan jika pasien mampu duduk atau berdiri. Kontras akan menunjukkan lesi pada 70% kasus.23 Situs, lebar, panjang dan arah fi stula trakeoesofagus dapat diidentifi kasi (Gambar 7).

    Gambar 7 Kontras barium menunjukkan esofagus yang

    melebar dan fi stula trakeoesofagus dengan gambaran

    kontras yang dihasilkan dari trakea dan cabang bronkial

    EndoskopiEndoskopi adalah metode diagnostik terbaik, baik untuk pasien sadar maupun tersedasi. Esophagoskopi dapat mendiagnosis fi stula (gambar 8) dan tumor, sekaligus untuk biopsi. Fistula trakeoesofagus berukuran kecil mungkin dapat tertutup dalam lipatan esofagus, penggunaan metilen biru dapat membantu menunjukkan lokasi tepat fi stula. Pada bronchoskopi, juga dapat dilakukan broncho-alveolar lavage dan penggunaan antibiotik sebagai terapi target, terbukti menunjukkan hasil lebih baik.24

    Computed Tomography (CT) Scan Banyak metode diagnostik invasif telah digunakan dan secara tradisional bronchoskopi merupakan referensi standar.

    Gambar 5 Kegagalan insersi pipa nasogastric pada fi stula

    trakeoesofagus

  • 897CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    Namun, beberapa modalitas diagnostik tidak sepenuhnya dapat diandalkan.25 Kateterisasi pada fi stula trakeoesofagus tipe H memiliki kelemahan karena invasif namun tingkat komplikasinya rendah.26 CT scan beresolusi tinggi merupakan modalitas non-invasif alternatif dalam situasi klinis. Berbeda dari bronchoskopi konvensional atau kateterisasi, CT scan tidak memerlukan anestesi umum.27

    Peningkatan resolusi spasial dan temporal scanner generasi baru meningkatkan kualitas hasil, sehingga memudahkan penilaian lesi kecil seperti fi stula trakeoesofagus.28 Aspek teknik tertentu memungkinkan visualisasi fi stula tersebut, seperti pemaparan udara ke

    trakea atau ke esofagus selama pemeriksaan. Manuver tersebut bertujuan mengoptimalkan visualisasi fi stula yang dapat tertutup seluruhnya atau sebagian oleh fl ap mukosa (gambar 9).

    Pemeriksaan CT dengan 64 irisan pada bayi dengan dugaan fi stula trakeoesofagus tipe H mencakup 2 tujuan, selain konfi rmasi diagnosis, juga untuk akurasi lokalisasi topografi lesi fi stula yang penting karena mempengaruhi pendekatan bedah. Operasi dapat dengan insisi kecil di sisi kanan toraks yang dipandu dengan hasil CT.29

    CT heliks dapat merekonstruksi 3 dimensi cabang tracheobronchial (gambar 10), tetapi laporan pada neonatus dan anak-anak masih terbatas.30 Ukuran kecil jalan napas memberikan gambaran resolusi yang lemah, tetapi dapat dikompensasi dengan memilih bidang pandang yang kecil.28

    Saat rekonstruksi bronchoskopi maya, gerakan jantung dan saluran pernafasan menghasilkan artefak di dinding saluran nafas.30 Artefak ini tidak menjadi perhatian khusus karena tidak mengganggu visualisasi lubang fi stula. Perbaikan kualitas gambar potongan koronal dan sagital dapat membantu mengidentifi kasi artefak tersebut.

    Tempat masuk fi stula letak rendah ke cabang tracheobronchial sangat bervariasi, situs yang paling umum adalah 0,5-1 cm di atas carina.31 Meskipun jumlah pasiennya terbatas, CT mungkin memiliki peran diagnostik pelengkap pada atresia esofagus dan fi stula trakeoesofagus bawaan. Gambaran permukaan CT scan 3 dimensi dapat memperjelas fi tur anomali anatomi yang kompleks bagi dokter bedah, memungkinkan orientasi yang lebih baik sebelum operasi.28

    Magnetic Resonance Imaging (MRI)MRI saat prenatal memungkinkan visualisasi seluruh lesi dan hubungan anatominya (gambar 11) . MRI fetus terbukti akurat menetapkan atau mengesampingkan diagnosis prenatal atresia esofagus dengan atau tanpa fi stula trakeoesofagus pada bayi berisiko tinggi berdasarkan temuan ultrasonografi . Namun MRI fetus tidak akurat pada kasus polyhydramnion. Penilaian MRI antenatal masih terbatas dengan tingkat positif palsu hingga 64%.32

    Gambar 8 Gambaran bronchoskopi pada fi stula

    trakeoesofagus besar (F = fi stula)

    Gambar 9 CT toraks dengan 64 irisan

    Gambar 10 Neonatus perempuan preterm usia 4 hari dengan kesulitan menelan

    A Gambaran permukaan anteroinferior 3 dimensi menunjukkan bagian proksimal atresia esofagus (panah hitam) dan

    segmen distal timbul dari karina (panah putih)

    B Gambaran eksternal posterior trakea yang menunjukkan lesi fi stula esofagus distal pada dinding posterior carina

    C Gambar bronchoscopic maya dari carina yang menunjukkan lubang fi stula (panah tebal) dari orifi cium posterior bronkus

    principalis (panah tipis)

    A dan B: Bagian aksial dan koronal toraks menunjukkan fi stula (panah), perhatikan distensi esofagus karena berhubungan

    dengan insufl asi udara sehingga memperjelas fi stula

    C: Bronchoskopi maya menunjukkan fi stula di dinding posterolateral kanan trakea (panah)

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013898

    TINJAUAN PUSTAKA

    KASUSDi RS Umum Daerah dr. Soetomo Surabaya, antara Maret tahun 2008 hingga Februari 2013, dijumpai 61 kasus fi stula trakeoesofagus dengan karakteristik usia antara 0 hari hingga 42 tahun, laki-laki 33 pasien, dan perempuan 28 pasien (tabel 2).33

    Prosedur diagnostik di divisi Bedah Anak pada kecurigaan atresia esofagus dengan atau tanpa fi stula trakeoesofagus adalah pemasangan pipa nasogastrik radioopak ukuran 8F (untuk bayi peterm) atau 10F (aterm) melalui hidung menuju lambung. Pada penderita atresia esofagus pipa

    Tabel 2 Data Pasien Fistula Trakeoesofagus Di RSUD dr. Soetomo Surabaya tahun 2008 - 2013

    Gambar 11 Citra T2 MRI axial dan sagittal tertimbang menunjukkan fi stula antara trakea dan esofagus (panah)

    tersebut akan berhenti setelah masuk 10-12 cm, sedangkan panjang cardia lambung pada bayi normal sekitar 17 cm dari ujung mulut. Kemudian dilakukan pemeriksaan foto polos tampak leher, toraks, dan abdomen untuk mengonfi rmasi posisi pipa nasogastrik. Pada penderita atresia esofagus, udara dalam lambung menunjukkan adanya fi stula di distal dan adanya udara dalam usus menyingkirkan diagnosis atresia duodenum. Foto toraks juga memberikan informasi bayangan jantung, lokasi arcus aorta, anomali vertebrae atau tulang iga serta adanya infi ltrat paru. Foto dengan kontras kurang dianjurkan karena bahaya aspirasi dan

    dengan hasil yang tidak lebih informatif dari foto polos; jika ragu-ragu dapat dilakukan esophagografi menggunakan kontras water soluble (gastrografi n, lipiodol) yang volumeya disesuaikan dengan esofagus proksimal dan harus tersedia alat hisap yang adekuat.34

    SIMPULANLangkah diagnostik pertama pada pasien dengan gejala fi stula trakeoesofagus adalah foto polos toraks frontal dan lateral. Studi radiografi dengan kontras dapat digunakan untuk mencari fi stula bagian proksimal, tetapi dengan risiko aspirasi paru.28 Beberapa peneliti merekomendasikan bronchoskopi untuk menunjukkan anomali percabangan trakeobronkial dan melokalisir lubang distal fi stula sebelum operasi korektif.35 Namun, prosedur bronchoskopi pada neonatus memiliki keterbatasan; bronchoskopi fl eksibel berhubungan dengan masalah ventilasi karena batasan waktu 30-45 detik, sedangkan bronchoskopi kaku memerlukan anestesi umum. Baik bronchoskopi fl eksibel maupun kaku dapat menyebabkan beberapa komplikasi termasuk hipoksia, laringospasme, pneumotoraks, edema dan perdarahan saluran napas.21,36 Esofagografi dengan kontras barium konvensional dianggap tes paling sensitif untuk mendiagnosis fi stula trakeo- atau bronkoesofageal. CT 3 dimensi dan MRI dapat menampilkan berbagai organ dan struktur, baru-baru ini menjadi alat pemeriksaan klinis yang populer dengan perbaikan kualitas gambar karena kemajuan pesat teknologi komputer.37 Di sisi lain, pencitraan permukaan tiga dimensi dan bronkoskopi maya yang dikembangkan baru-baru ini adalah teknik non-invasif yang menyediakan tampilan 3 dimensi realistis cabang trakeobronkial.30 Pencitraan 3 dimensi untuk sistem trakeobronkial telah berkembang baik pada orang dewasa, tetapi masih terbatas pada pasien anak-anak. Visualisasi fi stula tracheoesphagus diharapkan dengan mudah dapat dibuat melalui perkembangan pencitraan diagnostik dan memberikan informasi penting untuk perencanaan operasi.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Medscape Reference. Tracheoesophageal Fistula. [cited 2012]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/186735-overview.

    2. Nagata K, Kamio Y, Ichikawa T, et al. Congenital tracheoesophageal fi stula successfully diagnosed by CT esophagography. World J Gastroenterol 2006 March 7; 12(9):1476-8.

    3. Guiney EJ. Oesophageal atresia and tracheo-oesophageal fi stula. In: Puri P, ed. Newborn surgery, 1st ed. Oxford, United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1996: 22737.

    4. Harper PS. Practical genetic counselling, 6th ed. London: Arnold, 2004.

  • 899CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    5. Gross RE. Surgery of infancy and childhood. Philadelphia, PA: WB Saunders, 1953.

    6. Kumra VP: Anaesthetic considerations for specialized surgeries peculiar to paediatric age group. Indian J Anaesth; 2004, 48(5):376-86.

    7. Landing BH, Dixon LG: Congenital malformations and genetic disorders of the respiratory tract (larynx, trachea, bronchi, and lungs). Am Rev Respir Dis 1979; 120:151-85.

    8. Zacharias J, Genc O, Goldstraw P: Congenital tracheoesophageal fi stulas presenting in adults: presentation of two cases and a synopsis of the literature. J Thorac Cardiovasc

    Surg 2004; 128:316-8.

    9. Expert consult. Tracheoesophageal Fistula from Imaging of Diseases of the Chest. [cited 2012]. Available from URL: http://www.expertconsultbook.com/expertconsult/ob/book.do.

    10. Houben CH, Curry JI. Current status of prenatal diagnosis, operative management and outcome of esophageal atresia/tracheo-esophageal fi stula. Prenat Diagn 2008;28:66775.

    11. Goyal A, Jones MO, Couriel JM, Losty PD. Oesophageal atresia and tracheooesophageal fi stula. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2006;91:F3814.

    12. Vijayaraghavan SB. Antenatal Diagnosis of Esophageal Atresia with Tracheoesophageal Fistula. J Ultrasound Med 15: 417-419,1996.

    13. Dahnert W Radiology review manual. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1993: 507-8,540-1.

    14. Al-Rawi O, Booker PD: Oesophageal Atresia and Tracheo-Oesophageal Fistula. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2007; 7:1.

    15. Romero R, Pilu G, Jeanty P, et al: Prenatal Diagnosis of Congenital Anomalies. Norwalk, CT, Appleton & Lange, 1988 p 234.

    16. Holland AJA, Fitzgerald DA. Oesophageal atresia and tracheo-oesophageal fi stula: current management strategies and complications. Paediatric Respiratory Reviews 11 (2010) 1007.

    17. Houben CH, Curry JI. Current status of prenatal diagnosis, operative management and outcome of esophageal atresia/tracheo-esophageal fi stula. Prenat Diagn 2008;28:66775.

    18. Gopal M, Woodward M. Potential hazards of contrast study diagnosis of esophageal atresia. J Pediatr Surg 2007;42:E910.

    19. Dahnert W: Radiology review manual. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1993: 507-8,540-1.

    20. Caff arena PE, Mattioli G, Bisio G, Martucciello G, Ivani G, Jasonni V. Long-gap esophageal atresia: a combined endoscopic and radiologic evaluation. Eur J Pediatr Surg 1994;4:679.

    21. Nagaraj HS. Bronchoscopy in newborns. In: Puri P, ed. Newborn surgery, 1st ed. Oxford, United Kingdom: Butterworth-Heinemann, 1996:2213.

    22. McLennan MK, Margolis M: Radiology rounds. Canadian Family Physician 1995; 41575-84.

    23. Couraud L, Ballester ML, Delaisement C. Acquired tracheoesophageal fi stula and its management. Semin Thorac Cardiovasc Surg 1998; 8: 3929.

    24. Couraud L, Ballester ML, Delaisement C. Acquired tracheoesophageal fi stula and its management. Semin Thorac Cardiovasc Surg 1998; 8: 3929.

    25. Ng J, Antao B, Bartram J, Raghavan A, Shawis R. Diagnostic diffi culties in the management of H-type tracheoesophageal fi stula. Acta Radiol. 2006;47:801-5.

    26. Blanco-Rodriguez G, Penchyna-Grub J, Trujillo-Ponce A, Nava-Ocampo AA. Preoperative catheterization of H-type tracheoesophageal fi stula to facilitate its localization and surgical

    correction. Eur J Pediatr Surg. 2006;16:14-7.

    27. Ou P, Seror E, Layouss W. Defi nitive diagnosis and surgical planning of H-type tracheoesophageal fi stula in a critically ill neonate: First experience using air distension of the esophagus

    during high-resolution computed tomography acquisition. J Thorac Cardiovasc Surg 2007;133:1116-7.

    28. Fitoz S, Atasoy C, Yagmurlu A, Akyar S, Erden A, Dindar H. Threedimensional CT of congenital esophageal atresia and distal tracheoesophageal fi stula in neonates: preliminary results. AJR

    Am J Roentgenol. 2000;175:1403-7.

    29. Crabbe DC. Isolated tracheo-oesophageal fi stula. Paediatr Respir Rev. 2003;4:74-8.

    30. Konen E, Katz M, Rozenman J, Ben-Shlush A, Itzchak Y, Szeinberg A. Virtual bronchoscopy in children: early clinical experience. AJR 1998;171:1699702.

    31. Cudmore RE. Oesophageal atresia and tracheooesophageal fi stula. In: Lister J, Irving IM, eds. Neonatal surgery, 3rd ed. London: Butterworths, 1990:23159.

    32. Levine D. Magnetic resonance imaging in prenatal diagnosis. Curr Opin Pediatr 2001;13:5728.

    33. Laporan Mingguan jaga II: Data Diagnosa Pasien Fistula Trakeoesofagus Bagian - SMF Ilmu Bedah (umum) FKU Unair [computer program]. Surabaya: Terkomputerisasi di bagian Rekam

    Medis.

    34. Poerwadi. Pedoman Diagnosis dan Terapi: Atresia Esophagus dan Fistula Tracheoesophageal. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press; 2010. p.3-6.

    35. Usui N, Kamata S, Ishikawa S, et al. Anomalies of the tracheobronchial tree in patients with esophageal atresia. J Pediatr Surg 1996;31:25862.

    36. Slonim AD, Ognibene FP. Amnestic agents in pediatric bronchoscopy. Chest 1999;116:18028.

    37. Kim JH, Park KH, Sung SW, Rho JR. Congenital bronchoesophageal fi stulas in adult patients. Ann Thorac Surg 1995; 60: 151-5.

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013900

    TINJAUAN PUSTAKA

    INTRODUKSIFenomena sindrom Tourette (Tourette's syndrome, TS) pertama kali dilaporkan oleh dokter Jean-Marc Gaspard Itard, pada seorang wanita Perancis berusia 26 tahun. Selanjutnya George Beard melaporkan 50 penderita tik motorik dan echolalia. Pada tahun 1885, 60 tahun setelah Itard mempublikasikan kasus itu, Georges Gilles de la Tourette (1857-1904), mempublikasikan artikel tentang delapan penderita tik motorik atau vokal, dan ia menamai sindrom ini maladie (illness) of tics. Di kemudian hari, sindrom ini dikenal sebagai sindrom Tourette.1,2

    Sindrom Tourette adalah gangguan perilaku-perkembangan saraf-kejiwaan (psychoneurogenobehavioral disorder) ber-basis neurotransmiter, dicirikan oleh aksi tak disadari, berlangsung cepat, bersifat genetik, diwariskan, dengan onset di masa anak, dan memiliki pola tik vocal-motorik yang menetap-menahun. Sindrom Tourette merupakan gangguan neurodevelopmental-neuropsychiatric dengan dasar neurogenetik.3

    Sindrom Tourette disebut juga Tourettes disorder atau Gilles de la Tourette syndrome.

    EPIDEMIOLOGIPada mulanya insidens TS dilaporkan 4,6 per 1 juta penduduk, jumlah ini terus bertambah sesuai pertumbuhan penduduk dan berkembangnya metodologi riset.5 Riset terbaru menunjukkan insiden TS mencapai 1-10 per 1000 orang. Prevalensi sekitar 0,033%. Referensi lain menyebutkan prevalensi berkisar dari 1:20.000 hingga 1:2000. Prevalensi internasional rata-rata 1% di mayoritas kebudayaan dunia. TS dapat mengenai semua ras, lebih dominan pada pria, dengan rasio anak lelaki:anak wanita = 3-5:1.6 8 Banyak kasus ringan yang luput dari perhatian medis.

    Onset biasanya pada usia 7-8 tahun, puncaknya antara 8-12 tahun. Sumber lain menyebutkan, TS umum terjadi di usia 5-9 tahun, mencapai puncak di usia 10-12 tahun, dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang usia penderita TS antara 2-21 tahun.9 Terutama terjadi di usia 10 tahun, namun hanya 5% yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua pertiga penderita TS mengalami perbaikan gejala saat dewasa, namun perbaikan total jarang terjadi.10 Prevalensi tik di populasi pediatrik diperkirakan 612%.11-12 Prevalensi TS pada 447 pelajar dengan autisme anak-anak dan remaja di sembilan sekolah di London mencapai 8,1%.13

    ETIOPATOGENESIS Etiopatogenesis pasti belum diketahui, diduga multifaktor. Faktor neurokimiawi, yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di nekleus kaudatus; juga ketidakseimbangan serta hipersensitivitas terhadap neurotransmiter, terutama dopamin dan serotonin. Peran neurotransmiter dopamin amat penting; pada studi neuroimaging, ada ketidaknormalan sistem dopaminrgik di dalam korteks prefrontal dan striatum otak. Pada penderita TS, terjadi peningkatan densitas transporter dopamin presinaps dan reseptor dopamin D2 postsinaps, yang berarti terjadi peningkatan uptake dan release dopamin. Hipotesis supersensitivitas dopamin menjelaskan mengapa TS begitu responsif terhadap penghambat reseptor dopamin atau neuroleptik. Riset terbaru menunjukkan tidak ada bukti peningkatan inervasi dopaminrgik striatal pada penderita TS.14 Di sistem saraf pusat, neurotransmiter dopamin (DA) memperantarai bermacam-macam fungsi fi siologis termasuk pengaturan aktivitas lokomotorik, proses kognitif, sekresi (pengeluaran) neuroendokrin, dan pengendalian perilaku yang termotivasi (motivated behaviors) termasuk mekanisme emosi, afek, dan pemberian penghargaan.15,16

    ABSTRAKSindrom Tourette (Tourette's syndrome, TS) adalah gangguan psychoneurogenobehavioral pada anak yang ditandai tik vokal dan motorik multipel. Artikel ini membahas berbagai aspek TS, meliputi: sejarah, epidemiologi, etiopatogenesis, potret klinis, komorbiditas, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, pencegahan.

    Kata kunci: Sindrom Tourette, etiopathogenesis, penatalaksanaan, pencegahan

    ABSTRACTTourette's syndrome (TS) is a common psychoneurogenobehavioral disorder in children characterized by multiple motor and vocal tics. This article discussed multiaspects of TS, including: history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical portrait, comorbidity, diagnosis, supporting examination, management, and prevention. Dito Anurogo. Dito Anurogo. Phenomenology of Tourette Syndrome.

    Key words: Tourette syndrome, etiopathogenesis, management, prevention

    Alamat korespondensi email: [email protected]

    Fenomenologi Sindrom TouretteDito Anurogo

    Brain and Circulation Institute of Indonesia, Surya University, Serpong, Tangerang, Banten, Indonesia

  • 901CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    Jalur dopaminrgik bukanlah satu-satunya yang bertanggung-jawab atas munculnya gejala TS, faktor lain yang juga berperan, antara lain: rendahnya kadar serotonin, glutamate dan AMP siklik. Di sirkuit subkortikal frontal, abnormalitas reseptor glutamat, dopamin, serotonin, GABA, asetilkolin, noradrenalin, opioid, dan cannabinoid juga berperan dalam patogenesis TS. Overekspresi synaptogyrin-3 di sel-sel PC12 dan MN9D yang mirip saraf (neuronal-like) namun bukan di sel-sel HEK 293 nonneuronal, menghasilkan peningkatan aktivitas dopamin transporter (DAT) pada level transporter di membran plasma. Efek synaptogyrin-3 ini ditiadakan oleh keberadaan vesikular monoamine transporter-2 (VMAT2) inhibitor reserpine, memberi sugesti bahwa kemampuan synaptogyrin-3 untuk meregulasi (mengatur) aktivitas DAT bergantung pada sistem penyimpanan dopamin (DA) vesikular. Terdapat interaksi biokimiawi yang kompleks antara DAT, synaptogyrin-3, dan VMAT2, di samping juga ditemukan hubungan fi sik dan fungsional antara DAT dan sistem DA vesikular.19

    Saat penderita TS mengalami serangan tik, terjadi aktivasi multifokal di otak seperti di korteks premotorik lateral dan medial, korteks ciaguli anterior, korteks prefrontal dorsolateral-rostral, korteks parietal interior, putamen, nukleus kaudatus, korteks motorik primer, area Broca, girus temporal superior, insula, and klaustrum. Hal ini menunjukkan keterlibatan daerah paralimbik, bahasa, dan sensorimotorik. Secara spesifi k, ketidaknormalan sirkuit kortiko-striato-talamo-kortikal melibatkan inhibitory interneurons di ganglia basal, yang dapat berhubungan dengan patogenesis dan persistensi beragam kasus TS. Malfungsi sirkuit ini dapat berkontribusi terhadap perilaku semi-otonom fragmenter yang bermanifestasi sebagai tik.20 Ganglia basal, terutama nukleus kaudatus dan korteks prefrontal inferior, berhubungan dengan perkembangan TS. Sirkuit ganglia basal dan kortikal juga berperan pada fungsi motorik dan pembentukan kebiasaan; disfungsi ganglia basal telah lama diketahui sebagai penyebab utama gejala tik.21,22 Selain itu, di otak penderita TS, terjadi penurunan 5% volume nukleus kaudatus, namun abnormalitas seluler yang mendasarinya belum jelas. Selain itu juga dijumpai 50%60% penurunan parvalbumin dan kolin

    asetiltransterase interneuron kolinergik di nukleus kaudatus dan putamen. Penurunan interneuron kolinergik terlihat jelas di regio asosiatif dan sensorimotorik, namun tidak terlihat di regio limbik. Hal ini diketahui dari hasil penilaian densitas berbagai tipe interneuron dan medium spiny neurons di striatum otak postmortem penderita TS dengan analisis stereologis.23

    Menurut teori autoimun, TS ditimbulkan oleh gangguan autoimun pada anak yang berhubungan dengan infeksi streptokokus (pediatric autoimmune neuropsychiatric disorder associated with streptococcal infections, PANDAS). Infeksi group A beta-haemolytic streptococcal (GABHS) juga berkaitan dengan TS.24,25 Hipotesis disregulasi sistem imun, termasuk: disregulasi sitokin, peranan interleukin (IL), misalnya: IL-1beta, IL-2, IL-6, IL-12, serta tumor necrosis factor (TNF)-alfa masih memerlukan riset lanjutan.26

    Kadar besi dan feritin yang lebih rendah pada penderita TS sesuai dengan keadaan gangguan gerak lain, memberi kesan bahwa rendahnya besi dapat menjadi penyebab tik. Simpanan besi yang rendah dapat berkontribusi terhadap hipoplasi nukleus kaudatus dan putamen, meningkatkan kerentanan terhadap tik atau memperberat tik.27

    Beragam faktor epigenetik berperan dalam patogenesis TS, termasuk perinatal insults, pajanan androgen, stres psikologis, dan mekanisme otoimun pasca-infeksi. Peristiwa iskemia/hipoksia perinatal dan merokok di masa prenatal-maternal dilaporkan sebagai faktor risiko TS.28,29

    Secara genetik, TS merupakan kondisi poligenetik yang berpola sex-infl uenced autosomal dominant. Lokus kandidat TS berhasil ditemukan pada lokus 18q22, pada gen SLITRK1 yang berlokasi di kromosom 13q31, dan pada tubulin-specifi c chaperone D (TBCD, region 17q25.3). Meskipun demikian, SLITRK1 bukanlah gen yang signifi kan pada mayoritas individu dengan TS.30 Beragam candidate genes lain, antara lain: reseptor dopamin (DRD1, DRD2, DRD4, dan DRD5), transporter dopamin, berbagai gen noradrenergik (ADRA2a, ADRA2C, DBH, dan MAO-A), serta gen serotonergik (5HTT).31,32 Ditemukan pula delesi di region 22q11-q13.

    Riset selanjutnya menemukan lokus potensial di kromosom 2p23.2, 3, 4q, 5, 8q, 9, 10, 11, 13, dan 19. TS terjadi 50% pada kembar monozigot dan 8% pada dizigot.33

    Pada satu studi kasus-kontrol, penderita TS dengan (n=115) dan tanpa (n=110) ADHD menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) restriction enzyme assay yang dikembangkan untuk deteksi polimortisme nukleotida tunggal T-182C berdasarkan metodologi sequencing. Hasilnya tidak teridentifi kasi asosiasi polimorfi sme antara TS dan ADHD.34 Riset The Tourette Syndrome Association International Consortium for Genetics pada 2040 individu (238 keluarga inti, 304 pasang saudara kandung yang independen, 18 keluarga multigenerasi terpisah) menunjukkan bukti signifi kan adanya linkage terhadap marker D2S144 pada kromosom 2p32.2.35

    Hipotesis terbaru menyatakan bahwa beragam perbedaan di ekspresi akson dan splicing bermanfaat untuk memahami patofi siologi dan menegakkan diagnosis. The Genome Wide Association Study (GWAS) design diharapkan dapat mengatasi keterbatasan studi tentang linkage dan gen candidat, sehingga di masa mendatang dapat menemukan berbagai mutasi dan polimorfi sme penyebab TS.37

    POTRET KLINIS Klinis TS berupa tik motorik dan vokal, dapat berlangsung selama lebih dari satu tahun, biasanya muncul saat menyaksikan peristiwa tertentu. Tik motorik dapat sederhana (misalnya: mengejapkan mata berkali-kali, sering mengangkat-angkat bahu) atau kompleks (misalnya: meniru gerakan orang lain atau echopraxia). Tik motorik bisa juga multipel, misalnya: blinking (mengejapkan mata), grimacing (meringis, menyeringai, atau memainkan ekspresi wajah), jumping (melompat-lompat). Tik vokal dapat berupa kata-kata sederhana atau kata tunggal. Tik vokal klasik termasuk berkata jorok (coprolalia) dan menirukan atau mengulangi frase (palilalia), atau ucapan orang lain (echolalia). Tik fonik berupa suara atau bunyi, seperti: suara membersihkan tenggorokan/kerongkongan dari lendir atau benda asing, batuk, pilek. Setidak-tidaknya dijumpai satu tik vokal atau fonik, misalnya: grunting (mendengkur, mengorok) atau sniffing (seolah pilek, menghirup-hirup,

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013902

    TINJAUAN PUSTAKA

    1019), tik sedang atau lebih berat (YGTSS: 20). Skor YGTSS > 15 mengindikasikan tik yang secara klinis signifi kan. Sedangkan skor Clinical Global ImpressionsImprovement Scale berkisar 1-8, skor 1 berarti perkembangannya sangat baik, skor 8 berarti sangat buruk.53

    Instrumen DISC (Diagnostic Interview Schedule for Children) digunakan untuk mengetahui profi l diagnostik penderita TS. DISC adalah interview semistructured berbasis komputer yang terdiri dari 15 sub-bagian, meliputi: gangguan tic (TS, gangguan tic kronis, transient tic disorder), OCD, ADHD, fobia sosial, fobia spesifi k, separation anxiety disorder, gangguan panik, gangguan perilaku, agoraphobia, generalized anxiety disorder, post-traumatic stress disorder, trichotillomania, major depressive episode, dysthymic disorder,dan oppositional defi ant disorder.54

    Pemeriksaan darah lengkap dilakukan sesuai indikasi dan/atau untuk keperluan riset, yaitu mengetahui ekspresi gen (RNA) yang diukur menggunakan whole genome Aff ymetrix microarrays.55

    Pencitraan dilakukan bila perlu atau untuk riset. Melalui pemeriksaan MRI (magnetic resonance imaging), diketahui penderita TS memiliki area dorsolateral prefrontal yang lebih besar dan peningkatan substantia alba di lobus frontal kanan. Volume nucleus caudatus yang lebih kecil pada MRI di masa anak berhubungan dengan meningkatnya derajat keparahan tik di masa dewasa.56

    Pemeriksaan lain menggunakan voxel-based morphometry (VBM) dan magnetization transfer imaging (MTI) yang lebih sensitif terhadap perubahan jaringan dibandingkan MRI konvensional. Keduanya merupakan pengukuran kuantitatif integritas makro-struktur. Pada VBM, penderita TS menunjukkan penurunan volume substantia nigra di area prefrontal, girus cinguli anterior, area sensorimotorik, nukleus kaudatus kiri, dan girus postsentral kiri secara signifi kan. Penurunan volume substantia alba terdeteksi di girus frontal inferior kanan, girus frontal superior kiri, dan anterior corpus callosum. Peningkatan dijumpai di girus frontal pertengahan kiri dan area sensorimotor kiri. Dengan MRI, reduksi substantia alba terlihat di girus frontal medial kanan, girus frontal inferior bilateral, dan girus cinguli kanan.57

    atau mencium-cium bau). Tik seringkali diperburuk oleh stres fisik atau emosional, membaik saat sendirian dan relaks. Tik juga dapat terjadi selama tidur dan berkaitan dengan berbagai problem tidur, termasuk insomnia, tidak cukup tidur, tidur gelisah, parasomnia (tidur berjalan dan sleep terrors). Tik selama tidur umumnya dikendalikan oleh thalamo-cortical oscillating dysrhythmia.38-40

    Manifestasi lain yang penting namun kurang umum, seperti: meniru tingkah laku (echo phenomena), suka mengulang-ulang sendiri (pali phenomena), menyumpah tanpa sadar, di luar kemauan, dan tidak pantas (swearing involuntarily and inappropriately), perilaku melukai diri sendiri (self-injurious behaviours). Perilaku membahayakan atau mencederai diri ditemukan pada penderita malignant Tourette syndrome (MTS), misalnya: berulang-ulang memukul perut hingga memar dan merusakan organ dalam, memukul-mukul mata sendiri, menikam leher sendiri, menelan benda asing, menggigiti bibir/mulutnya hingga berdarah, menghentak-hentakkan kaki dengan kuat hingga terjadi dislokasi pinggul, menggeleng-gelengkan kepala dan leher dengan kuat hingga cedera leher atau whiplash.41

    Pada penderita TS, IQ verbal lebih tinggi secara signifi kan dibandingkan IQ performance, menimbulkan problem kemampuan visuospatial, perseptual, dan motorik. Penderita TS juga merasa sulit memaksimalkan fungsi eksekutifnya, seperti: kemampuan memecahkan masalah, membagi perhatian, respons terhadap hambatan.42

    KOMORBIDITASBeragam komorbiditas penderita TS antara lain: cemas, depresi, kesulitan belajar, gangguan tidur, obsessive-compulsive disorder (OCD), hiperaktif atau ADHD (attention defi cit hyperactivity disorder), gangguan perilaku, tik nervous, masalah pengendalian impuls, rasa malu, isolasi, dan ketakmampuan (disability) atau hendaya (impairment) fungsi sosial. Pada TS dan ADHD, diduga terjadi abnormalitas noradrenergik.43,44

    Sebagian komorbiditas antara lain: alergi, aritmia jantung, asma, autisme, ADHD, bruxism, cemas, depresi, kejang, coprolalia, copropraxia, mengamuk/marah (rage), meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus sensoris, migren,

    OCD, autoimunitas, perilaku mencederai diri-sendiri, reaksi yang mengejutkan dan berlebihan, restless leg syndrome.45

    DIAGNOSISUntuk menegakkan diagnosis TS, ada tiga ciri khas yang sering muncul, yaitu: tik multipel, berkata jorok (coprolalia), dan latah atau suka membeo (echolalia). Kriteria yang dipakai secara internasional adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR)46: 1. Onset sebelum usia 18 tahun.2. Tik vokal dan motorik multipel berkali-kali hampir setiap hari, atau sebentar-sebentar berlangsung lebih dari 1 tahun. Selama itu tak ada periode bebas tik selama lebih dari 3 bulan berturut-turut. Tik tidak harus berlangsung bersamaan.3. Gangguan bukan karena efek fi siologis langsung zat (seperti: stimulan) atau kondisi medis umum (seperti: penyakit Huntington, ensepalitis postviral).

    PEMERIKSAAN PENUNJANG Beragam pilihan kuesioner dapat dipakai untuk memastikan diagnosis TS: Tourette Syndrome Symptom List, Tourette Syndrome Questionnaire, The Motor Tic Obsessions and Compulsions Vocal Tic Evaluation Survey, Ohio Tourette Survey Questionnaire, Tourette Syndrome Global Scale, Tourette Syndrome Diagnostic Confi dence Index, Tourettes Syndrome Severity Scale, Shapiro Tourette Syndrome Severity Scale, Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS), Childrens Yale-Brown Obsessive-Compulsive Scale (CY-BOCS), Hopkins Motor and Vocal Tic Severity Scale, Clinical Global ImpressionsImprovement Scale, Diagnostic Confi dence Interval, National Hospital Interview Scale, dll digunakan untuk interview, menegakkan diagnosis dan evaluasi klinis lain, seperti: menentukan derajat keparahan TS, menentukan terapi, keperluan riset, dsb. Untuk mengetahui kemampuan motorik, dapat menggunakan tes Purdue Pegboard. Baik-buruknya kemampuan motorik di masa anak-anak, berhubungan dengan meningkatnya derajat keparahan tik di masa dewasa. Untuk menilai IQ digunakan Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence (WASI). Obsesi-kompulsi dapat diketahui dengan Dimensional Yale-Brown Obsessive-Compulsive Scale (DYBOCS).47-52 Skor Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS) berkisar 0-50, dengan rincian: tidak ada tik (YGTSS: 0), tik minimal (YGTSS: 19), tik ringan (YGTSS:

  • 903CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    fl uokstin, fl uvoksamin, paroksetin, sertralin, escitalopram, dan citalopram. Klomipramin uga efektif karena memiliki serotonin reuptake action. SSRI dapat dikombinasikan dengan antipsikotik atipikal.65

    PENATALAKSANAANBila gejala ringan, penderita dan anggota keluarganya hanya memerlukan edukasi dan konseling. Berbagai teknik psikoterapi, seperti: psikoterapi suportif, terapi kognitif, assertiveness training, dan self-monitoring dapat juga diberikan. Pendekatan comprehensive behavioral intervention for tics (CBIT), berdasarkan habit reversal training/therapy, efektif mengurangi tik serta perburukan yang berhubungan dengan tik (tics-related impairment) pada anak dan remaja penderita TS dengan tingkat keparahan sedang atau berat. Terapi suportif dan edukasi dapat sebagai pelengkap dan pendukung CBIT.58

    Banyak anak TS yang berhasil ditangani tanpa terapi obat. Farmakoterapi diberikan sesuai indikasi. Berikut beberapa pilihan terapi TS44, 59-62:a. Golongan neuroleptik atau penyekat dopamin seperti haloperidol, pimozid, aripiprazol, olanzapin, risperidon. b. Golongan obat serotonergik, seperti fl uox-etine, clomipramine.c. Golongan agonis alfa-2, seperti: clonidine, guanfacine. d. Golongan antagonis dopamin, seperti metaclopramid.e. Golongan lain, seperti benzodiazepin (mi-salnya: klonazepam, diazepam), antipsitatik atipikal (misalnya: olanzapin, quetiapin, zipra-sidon), penyakit kanal kalsium (misalnya: ni-fedipin, verapamil, fl unarizin), obat GABAergic (misalnya: baklofen, levetirasetam, topiramat, vigabatrin, zolpidem), agonis dopamin (misal-nya: pergolid, pramipeksol), antagonis 5-HT2 (ketanserin) dan 5-HT3 (ondansetron) resep-tor, obat yang beraksi pada reseptor kanabi-noid (-9-tetrahidrokanabinol), penghambat androgen dan androgen (fl utamid dan fi na-sterid), baklofen, nalokson.

    Dua agen neuroleptik yang paling banyak digunakan untuk terapi TS dan tik adalah pimozid dan risperidone. Sedangkan medikasi yang paling efektif adalah dopamin blockers. Obat golongan antipsikotik merupakan terapi lini pertama untuk tik sedang hingga berat, sering memiliki efek samping yang berat.63,64

    Golongan penyakit dopamin banyak yang merupakan obat antipsikotik, serotonergic drugs bermanfaat terutama untuk obsessive-compulsive disorder, sedangkan noradrenergic drugs (alfa-agonist) efektif terutama untuk

    tik dan attention defi cit hyperactivity disorder (ADHD). Aripiprazol dan olanzapin termasuk off -label use.65 Untuk terapi OCD pada TS, boleh dipertimbangkan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti

    Tabel 1 Farmakoterapi TS73-76

    Medikasi Dosis Permulaan(mg/hari)

    Dosis (mg/hari)

    Keterangan

    A Antipsikotik

    Neuroleptik tipikal

    1 Haloperidol 0,25 0,50 1 4 Bukti empiris: ACEBM pada dewasa: tinggi CEBM pada anak: tinggi ESO: EPS, sedasi, berat badan naik

    2 Pimozide 0,5 1,0 2 8 Bukti empiris: ACEBM pada dewasa: tinggi CEBM pada anak: tinggi ESO: pemanjangan QTc, sedasi

    3 Fluphenazine 0,5 1,0 1,5 10 Bukti empiris: BCEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: rendahESO: lebih baik ditoleransi daripada haloperidol

    Neuroleptik atipikal

    4 Risperidone 0,25 0,50 1 3,5 (1 3)

    Bukti empiris: ACEBM pada dewasa: tinggi CEBM pada anak: tinggi ESO: sedasi, berat badan naik, metabolisme lemak abnormal.

    5 Ziprasidone 5 10 (20) 10 80 (20 80)

    Bukti empiris: BCEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: tinggi ESO: pemanjangan QTc, sedasi, berat badan naik.

    6 Aripiprazole 2,5 5 10 20 CEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: rendahESO: sedasi, berat badan naik.

    7 Olanzapine 2,5 5 10 20 CEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: rendahESO: sedasi, berat badan naik.

    8 Quetiapine 25 50 75 250 CEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: rendahESO: sedasi, berat badan naik.

    9 Tiapride 50 150 150 500 Bukti empiris: B

    B Non-antipsikotik

    Agonis alfa-2

    1 Clonidine 0,025 0,050 0,2 0,4 (0,1 0,3) Bukti empiris: BCEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: tinggi ESO: sedasi, hipotensi

    2 Guanfacine 0,5 1,0 2 4(1,5 3)

    Bukti empiris: BCEBM pada dewasa: rendahCEBM pada anak: tinggi ESO: sedasi, sensasi berputar/pening

    Lainnya

    3 Pergolide 0,025 setiap 2 hari 0,15 0,45 Bukti empiris: B

    4 Botulinum toxin A Tik motorik: 50-75 UTik vokal: 1-2,5 U

    1-2,5 Bukti empiris: B

    Keterangan: Dosis di dalam kurung () adalah dosis alternatif yang juga diperbolehkan. Bukti empiris A: efektivitas ditunjang sedikitnya 2 randomized placebo-controlled trials dengan hasil positif dan keamanan jangka pendek baik. Bukti empiris B: data suportif ditunjang oleh sedikitnya 1 studi positive placebo-controlled.Derajat CEBM tinggi: efektivitasnya terbukti pada randomized, double-blind trials. Derajat CEBM rendah: efektivitasnya probable pada studi observasi.CEBM: Center for Evidence-based Medicine. ESO: Efek Samping Obat. EPS: Extra Pyramidal Syndrome.

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013904

    TINJAUAN PUSTAKA

    penyembuhan. Perlu dibentuk wadah, grup, kelompok, atau forum diskusi untuk mendukung penderita dan anggota keluarga. Diperlukan buku saku atau brosur berisi informasi lengkap tentang TS untuk edukasi keluarga, guru, pengasuh anak, masyarakat, dan penderita. Diseminasi informasi TS perlu dilakukan bersama-sama dinas kesehatan, sekolah, komunitas ilmiah, dan instansi terkait lainnya. Sosialisasi dapat dilakukan melalui kegiatan ilmiah (seminar, workshop, dsb), media offl ine (surat kabar, TV, radio), media online (milis, website, dsb). Untuk lebih meningkatkan kepedulian dan kesadaran secara lebih terorganisisasi, lebih sistematis, dan berkelanjutan, perlu dipertimbangkan pembentukan organisasi, lembaga, atau badan nirlaba khusus, seperti Tourette Syndrome Associations and Foundations. Bila perlu, pemerintah bersama IDI dapat membentuk komite nasional yang khusus menangani TS, seperti yang dimiliki Eropa yaitu: European Society for the Study of Tourette Syndrome (ESSTS) atau Tourette Syndrome Association Medical Advisory Board.42,43,52,73,83,85

    RANGKUMANFenomena sindrom Tourette (TS) pertama kali dilaporkan dokter Perancis Jean-Marc Gaspard Itard. Istilah TS populer setelah pada tahun 1885, neurolog Perancis, Georges Gilles de la Tourette, mempublikasikan (kembali) kasus itu. Insiden TS mencapai 1-10 per 1000 orang. Prevalensi internasional sekitar 1%. Etiopatogenesis belum diketahui pasti, diduga multifaktor, meliputi: faktor neurokimiawi, autoimun, epigenetik, genetika. Potret klinis TS: tics motorik-vokal, berlangsung lebih dari setahun. Komorbiditas tersering adalah OCD dan ADHD. Diagnosis TS ditegakkan dengan DSM-IV-TR. Pemeriksaan penunjang TS misalnya: kuesioner (YGTSS, DISC, dsb), pemeriksaan darah lengkap, pencitraan (MRI, VBM, MTI) dilakukan sesuai indikasi. Farmakoterapi diberikan sesuai indikasi, misal: neuroleptik (tipikal-atipikal), agonis alfa-2, dsb. Strategi pencegahan TS dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Penanganan komprehensif, holistik, dan paripurna perlu melibatkan kerjasama multisektor dan lintas disiplin ilmu.

    Umumnya, terapi dimulai dengan agonist clonidine dosis rendah dan ditingkatkan dosis dan frekuensinya secara bertahap, sampai hasilnya memuaskan. Guanfacin (0,52 mg/hari) merupakan golongan agonis baru yang disukai karena dosisnya hanya sekali sehari.

    Bila tidak efektif, dapat diberi antipsikotik. Neuroleptik atipikal (risperidon 0,2516 mg/hari, olanzapine 2,515 mg/hari, ziprasidon 20200 mg/hari) dipilih karena rendahnya risiko efek samping ekstrapiramidal. Jika tidak efektif, dapat diberikan neuroleptik klasik, seperti haloperidol, fl uphenazin, atau pimozid.66,67

    Modalitas terapi lain juga dapat dipertimbangkan. Suntikan botulinum toxin tipe A efektif mengendalikan tik vokal yang melibatkan kumpulan otot kecil (localized tics). Tindakan atau intervensi yang lebih invasif seperti: deep brain stimulation, transcranial magnetic stimulation (TMS), dan bedah saraf (neurosurgery) boleh dipertimbangkan. TMS repetitif adalah pendekatan efektif untuk kasus berat.

    Rangkuman farmakoterapi TS dapat dilihat di tabel 1.

    Selain itu, kombinasi 0,5 mEq/kgBB. magnesium dan 2 mg/kgBB. vitamin B6 mampu mengurangi tik fonik-motorik serta ketidakmampuan pada kasus TS anak usia 714 tahun.77

    Terapi nonfarmakologis berupa: edukasi penderita, anggota keluarga, teman sekolah, modifi kasi lingkungan sekolah sehingga penderita tidak merasa bosan, stres, tegang, atau tertekan, konseling suportif yang dapat dilakukan saat di sekolah dan di luar sekolah. Teknik relaksasi dapat meringankan tik. Terapi pembalikan kebiasaan (habit reversal therapy) juga pilihan efektif untuk TS.76,78

    Terapi lain berupa complementary and alternative medicine (CAM), misalnya: berdoa-sholat (pray), vitamin, pijat, suplemen diet, manipulasi chiropractic, meditasi, perubahan diet, yoga, akupunktur, hipnosis, homeopati,

    dan EEG biofeedback. Meskipun alami dan tak berbahaya, perlu riset lanjutan untuk mempelajari keamanan dan efektivitasnya.79

    Beberapa strategi cerdas dan efektif melalui pendekatan psikoedukasi dipergunakan untuk memperlakukan, merawat, dan mengevaluasi anak TS. Lingkungan nyaman, higienis, pola tidur teratur dapat bermanfaat. Berbagai faktor seperti: stres, lelah, penyakit fi sik dapat memperburuk tics untuk sementara. Berbagai aktivitas seperti: memainkan alat musik, berolahraga, menari atau berdansa bermanfaat dan membantu anak untuk mengalihkan atau meredakan tik. Konsentrasi yang terutama melibatkan aktivitas motorik, sering dapat memperbaiki tik.

    Medikasi tik berfokus pada upaya meminimalkan impairment, bukan menghilangkan tik. Pada mayoritas kasus, tik membaik selama masa remaja. Komorbiditas umum dijumpai pada TS, dapat menyebabkan perburukan atau gangguan yang lebih besar daripada tik. Anak TS berisiko tinggi menjadi OCD selama masa remaja dan dewasa muda. Edukasi dan terapi perilaku agresif gejala-gejala OCD sangat membantu meminimalkan pengaruh jangka panjang. Akurasi diagnosis, termasuk identifi kasi komorbiditas amat perlu sebelum menentukan farmakoterapi yang sesuai.42,80

    Penyalahgunaan zat, terutama kokain atau amfetamin, sering memperburuk tik. Keturunan penderita TS memiliki peluang 10% berkembang menjadi tik, jika pasangan hidupnya tidak memiliki riwayat keluarga tik. Banyak orang dewasa dapat menikmati kehidupan meskipun mengalami tik.81

    PENCEGAHAN Strategi pencegahan TS dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Penderita TS harus menghindari kafein karena dapat mengeksaserbasi tik.84 Penderita TS perlu diberi ruang gerak untuk menyalurkan hobi dan bakat. Edukasi dan konseling keluarga, kelompok, individu secara rutin, teratur, dan terarah sangat membantu penderita untuk beradaptasi dan mempercepat

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Kushner HI. Medical fi ctions: The case of the cursing marquise and the (re)construction of Gilles de la Tourette Syndrome. Bulletin of the History of Medicine 1995;69:22454.

    2. Tourette G. Etude sur une aff ection nerveuse caracaterisee par de lincoordination motrice accompagenee decholalie et de coprolalie. Archives de Neurologie 1885;9:1942.

    3. Walkup JT, Mink JW, Hollenbeck PJ. Advances in neurology: Tourette syndrome. First edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.

  • 905CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013

    TINJAUAN PUSTAKA

    4. The Tourette Syndrome Classifi cation Study Group. Defi nitions and classifi cation of tic disorders. Arch Neurol. 1993;500:1013-6.

    5. Robertson MM. Annotation: Gilles de la Tourette syndromeAn update. Journal of Child Psychology and Psychiatry 1994;35:597611.

    6. Apter A, Pauls DL, Bleich A, Zohar AH, Kron S, Ratzoni G, Dycian A, Kotler M, Weizman A, Gadot N, et al. An epidemiologic study of Gilles de la Tourettes syndrome in Israel. Arch Gen

    Psychiatry 1993;50:7348.

    7. Robertson MM: Diagnosing Tourette syndrome: is it a common disorder? J Psychosom Res 2003;55:3-6.

    8. Robertson MM, Eapen V, Cavanna AE. The international prevalence, epidemiology, and clinical phenomenology of Tourette syndrome: A cross-cultural perspective. Journal of

    Psychosomatic Research. 2009;67:47583.

    9. Leckman JF, Zhang H, Vitale A, Lahnin F, Lynch K, Bondi C, Kim YS, Peterson BS. Course of tic severity in Tourettes syndrome: the fi rst two decades. Pediatrics 1998;102:149.

    10. Robertson MM. The Prevalence and Epidemiology of Gilles de la Tourette syndrome. Part 1: The epidemiological and prevalence studies. Journal of Psychosomatic Research 2008;65:461

    72.

    11. Kurlan R, McDermott MP, Deeley C, Como PG, Brower C, Eapen S, Andresen EM, Miller B. Prevalence of tics in schoolchildren and association with placement in special education.

    Neurology 2001;57:13838.

    12. CDC. Prevalence of diagnosed Tourette syndrome in persons aged 617 years United States, 2007. Morb Mortal Wkly Rep (MMWR). 2009;58:5815.

    13. Baron-Cohen S, Scahill VL, Izaguirre J, Hornsey H, Robertson MM. The prevalence of Gilles de la Tourette syndrome in children and adolescents with autism: a large scale study. Psychological

    Medicine Sept 1999;29(05):1151-9.

    14. Albin RL, Koeppe RA, Wernette K, Zhuang W, Nichols T, Kilbourn MR, Frey KA. Striatal [11C]dihydrotetrabenazine and [11C]methylphenidate binding in Tourette syndrome. Neurology

    2009;72:13906.

    15. Cohen JD, Braver TS, Brown JW. Computational perspectives on dopamine function in prefrontal cortex. Curr Opin Neurobiol 2002;12:223-9.

    16. Heise CA, Wanschura V, Albrecht B, Uebel H, Roessner V, Himpel S, et.al. Voluntary motor drive: possible reduction in Tourette syndrome. J Neural Transm 2008;115:85761.

    17. Yoon DY, Gause CD, Leckman JF, Singer HS. Frontal dopaminergic abnormality in Tourette syndrome: a postmortem analysis. J Neurol Sci 2007;255:506.

    18. Diaz-Anzaldua A, Joober R, Riviere JB, et al. Tourette syndrome and dopaminergic genes: a family-based association study in the French Canadian founder population. Mol Psychiatry

    2004;9:2727.

    19. Egaa LA, Cuevas RA, Baust TB, Parra LA, Leak RK, Hochendoner S, et.al. Physical and functional interaction between the dopamine transporter and the synaptic vesicle protein

    synaptogyrin-3. J Neurosci. 2009 April 8;29(14):4592604.

    20. Leckman JF, Riddle MA. Tourettes syndrome: when habitforming systems form habits of their own? Neuron 2000;28:34954.

    21. Leckman JF. Tourettes syndrome. Lancet 2002;360:157786.

    22. Mink JW. Basal ganglia dysfunction in Tourettes syndrome: A new hypothesis. Pediatr Neurol, 2001;25:1908.

    23. Kataoka Y, Kalanithi PSA, Grantz H, Schwartz ML, Saper C, Leckman JF, Vaccarino FM, et.al. Decreased number of parvalbumin and cholinergic interneurons in the striatum of individuals

    with Tourette syndrome. J Comp Neurol 2010;518:27791.

    24. Singer HS, Gause C, Morris C, Lopez P. Serial immune markers do not correlate with clinical exacerbations in pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated with streptococcal

    infections. Pediatrics 2008;121:1198205.

    25. Leslie DL, Kozma L, Martin A, Landeros A, Katsovich L, King RA, et al. Neuropsychiatric disorders associated with streptococcal infection: A casecontrol study among privately insured

    children. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2008;47(10):116672.

    26. Gabbay V, Coff ey BJ, Guttman LE, Gottlieb L, Katz Y, Babb JS. A cytokine study in children and adolescents with Tourettes disorder. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2009

    August 31;33(6):96771.

    27. Gorman DA, Zhu H, Anderson GM, Davies M, Peterson BS. Ferritin levels and their association with regional brain volumes in Tourettes syndrome. Am J Psychiatry. 2006 July;163(7):1264

    72.

    28. Khalifa N, von Knorring AL. Tourette syndrome and other tic disorders in a total population of children: clinical assessment and background. Acta Paediatr 2005;94:160814.

    29. Mathews CA, Bimson B, Lowe TL, et al. Association between maternal smoking and increased symptom severity in Tourettes syndrome. Am J Psychiatry 2006;163:106673.

    30. Cuker A, et.al. Candidate locus for Gilles de la Tourette syndrome/obsessive compulsive disorder/chronic tic disorder at 18q22. Am J Med Genet A 2004;130:7.

    31. Cheon KA, Ryu YH, Namkoong K, Kim CH, Kim JJ, Lee JD. Dopamine transporter density of the basal ganglia assessed with [123I]IPT SPECT in drug-naive children with Tourette`s disorder.

    Psychiatry Res 2004;130:85-95.

    32. Lee CC, Chou IC, Tsai CH, Wang TR, Li TC, Tsai FJ. Dopamine receptor D2 gene polymorphisms are associated in Taiwanese children with Tourette syndrome. Pediatr Neurol 2005;33:272-6.

    33. ORourke JA., Scharf JM, Yu D., Pauls DL. The Genetics of Tourette syndrome: A review. Journal of Psychosomatic Research 2009;67:533-45.

    34. Rippel CA, Kobets AJ, Yoon DY, Williams PN, Shugart YY, Bridges DD, et al. Norepinephrine transporter polymorphisms in Tourette syndrome with and without attention defi cit hyperactivity

    disorder: no evidence for signifi cant association. Psychiatric Genetics Oct 2006;16(5):179-80.

    35. The Tourette Syndrome Association International Consortium for Genetics. Genome scan for Tourette disorder in aff ected-sibling-pair and multigenerational families. Am J Hum Genet

    2007;80:26572.

    36. Tian Y, Liao IH, Zhan X, Gunther JR, Ander BP, Liu D, et al. Exon expression and alternatively spliced genes in tourette syndrome. Am J Med Genet 2011;156:728.

    37. Pauls DL. A genome-wide scan and fi ne mapping in Tourette Syndrome families. Adv Neurol 2006;99:1305.

    38. Bloch MH, Leckman JF. Clinical course of Tourette syndrome. Journal of Psychosomatic Research 2009;67:497501.

    39. Leckman JF, Bloch MH, Scahill L, King RA. Tourette syndrome: the self under siege. J Child Neurol 2006;21:6429.

    40. Hawley JS, Gray SK. Tourette Syndrome. eMedicine. Updated: Jun 23, 2008.

    41. Cheung MY, Shahed J, Jankovic J. Malignant tourette syndrome. Movement Disorders 2007;22:174350.

    42. Woods DW, Piacentini JC, Walkup JT (Eds). Treating tourette syndrome: A guide for practitioners. Guilford Press: New York. 2007.

    43. Olive MF. Tourette syndrome. Chelsea House Infobase Publishing. New York USA. 2010.

  • CDK-211/ vol. 40 no. 12, th. 2013906

    TINJAUAN PUSTAKA

    44. Singer HS, Walkup JT. Tourette syndrome and other tic disorders. Diagnosis, pathophysiology, and treatment. Medicine 1991;70(1):15-32.

    45. Grimaldi BL. The central role of magnesium defi ciency in Tourettes syndrome: Causal relationships between magnesium defi ciency, altered biochemical pathways and symptoms relating

    to Tourettes syndrome and several reported comorbid conditions. Medical Hypotheses 2002;58(1):4760.

    46. American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th ed, text rev. APA. Washington, DC. 2000.

    47. Stefl ME, Rubin M. Tourette syndrome in the classroom: Special problems, special needs. Journal of School Health 1985;55:725.

    48. Kompoliti K, Goetz CG. Clinical rating and quantitative assessment of tics. Neurologic Clinics May 1997;15(2):23954.

    49. Scahill L, Riddle MA, McSwiggin-Hardin M, Ort SI, King RA, Goodman WK, Cicchetti D, Leckman JF. Childrens Yale-Brown obsessive compulsive scale: Reliability and validity. J Am Acad Child

    Adolesc Psychiatry 1997;36:84452.

    50. Shapiro AK, Shapiro ES, Young JG, Feinberg TE. Gilles de la Tourette syndrome. 2nd edition. Raven Press, New York. 1988.

    51. Wechsler D. Wechsler Abbreviated Scale of Intelligence. San Antonio, TX: Psychological Corporation 1999.

    52. Cath DC, Hedderly T, Ludolph AG, Stern JS, Murphy T, Hartmann A, et al. European clinical guidelines for Tourette syndrome and other tic disorders. Part I: assessment. Eur Child Adolesc

    Psychiatry 2011;20:15571.

    53. Leckman JF, Riddle MA, Hardin MT, Ort SI, Swartz KL, Stevenson J, Cohen DJ. The Yale Global Tic Severity scale: initial testing of a clinician-rated scale of tic severity. Journal of the American

    Academy of Child & Adolescent Psychiatry July 1989;28(4):566-73.

    54. Shaff er D, Fisher P, Lucas CP, Dulcan MK, Schwab-Stone ME. NIMH Diagnostic intervieschedule for children version IV (NIMH DISC-IV): Description, diff erences from previous versions, and

    reliability of some common diagnoses. Journal of American Child and Adolescent Psychiatry 2000;39:2838.

    55. Albin RL, Mink JW. Recent advances in Tourette syndrome research. Trends Neurosci 2006;29:175.

    56. Bohlhalter S, Goldfi ne A, Matteson S, Garraux G, Hanakawa T, Kansaku K, et al. Neural correlates of tic generation in Tourette syndrome: an event-related functional MRI

    study. Brain. Aug 2006;129:2029-37.

    57. Mller-Vahl KR. Kaufmann J. Grosskreutz J. Dengler R. Emrich HM. Peschel T. Prefrontal and anterior cingulate cortex abnormalities in Tourette Syndrome: Evidence from voxel-based

    morphometry and magnetization transfer imaging. BMC Neuroscience 2009;10:47 doi:10.1186/1471-2202-10-47.

    58. Piacentini J, Woods DW, Scahill L, Wilhelm S, Peterson AL, Chang S, et. al. Behavior therapy for children with Tourette disorder: A Randomized Controlled Trial. JAMA. 2010;303(19):1929-

    37.

    59. Mller-Vahl KR. The treatment of Tourettes syndrome: current opinions. Expert Opin Pharmacother 2002;3:899914.

    60. Awaad Y, Michon AM, Minarik S. Use of levetiracetam to treat tics in children and adolescents with Tourette syndrome. Mov Disord. 2005;20: 7148.

    61. Moe PG, Benke TA, Bernard TJ. Neurologic and Muscular Disorders. In: Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th edition. Edited by: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding

    RR. International Edition. Lange Medical Books-McGraw-Hill. USA. 2007;23:761-2.

    62. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (Eds). Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. 2012. Chapter 372.

    63. Bruggeman R, van der Linden C, Buitelaar JK, Gericke GS, Hawkridge SM, Temlett JA. Risperidone versus pimozide in Tourette`s disorder: a comparative double-blind parallel-group study.

    J Clin Psychiatry 2001;62:50-6.

    64. Bruun RD, Budman CL. Risperidone as a treatment for Tourette`s syndrome. J Clin Psychiatry 1996;57:29-31.

    65. Shprecher D, Kurlan R. The management of tics. Mov Disord 2009;24:1524.

    66. Jankovic J. 2001. Tourettes syndrome. N Engl J Med, 345:118492.

    67. Jimnez-Jimnez FJ, Garca-Ruiz PJ. Pharmacological options for the trea