bab ii tinjauan umum 2.1 tinjauan umum mengenai arbitrase ... ii.pdf · dalam hal sengketa dagang...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Arbitrase
2.1.1 Pengertian Arbitrase
Setelah perang dunia ke II negara-negara di dunia menghimbau agar dalam
penyelesaian sengketa dilakukan secara damai hal ini terbukti dalam Pasal 2 ayat
(3) Piagam PBB yang menyatakan ‘all members shall settle their international
disputes by peaceful means in such a manner that international peace and
security, and justice, are not endangered’. Dari pernyataan di atas maka timbulah
penyelesain sengketa secara damai dan salah satunya adalah arbitrase. Istilah
arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda/Perancis),
arbitration (Inggris) dan schiedspruch (Jerman) yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian melalui arbiter
atau wasit.24
Gary Goodpaster, mengemukakan pengertian arbitrase sebagai berikut
‘arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible
disputes or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a
decision maker they in some fashion select’.25
Sedangkan dalam Black Law
Dictionary dijelaskan sebagai berikut :
“arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person
chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by
arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have and
opportunity to be head. An agreement for taking and biding by the
24 Bambang Sutiyoso, op.cit, hal. 108, dikutip dari Rachmadi Usman, 2004, Pilihan
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, h. 107.
25
Ibid, h. 109.
19
judgment of selected person in some disputed matter, istead of carrying it
to establish tribunal of juctice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and taxation of ordinary ligation”26
Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase menyebutkan pengertian arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Maka dari penjabaran penjelasan di atas telah dapat memberikan
gambaran bahwa arbitrase merupakan salah satu penyelesaian sengketa melalui
jalur damai dengan menunjuk orang ketiga untuk menyelesaikan sengketa tersebut
serta didasari dengan perjanjian yang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa
ini akan diselesaikan melalui arbitrase. Arbitrase yang akan dibahas dalam
penulisan ini ialah arbitrase komersial yang mana berarti menggunakan arbitrase
dalam hal sengketa dagang atau bisnis.
2.1.1.1 Pengertian Arbitrase Internasional
Tidaklah hal yang asing lagi jika mendengar istilah arbitrase
internasional, banyak orang sering membicarakanya namun tidak secara penuh
mengetahui pengertian dari arbitrase internasional tersebut. Dalam Konvensi New
York 1958 pengertian arbitrase internasional juga tidak dijelaskan secara rinci
apakah yang dimaksud dengan arbitrase internasional, seolah-olah negara-negara
telah memahami pengertian mengenai arbitrase internasional. International
Chamber of Commerce Court of Arbitration (ICC) membantu memberikan
pencerahan mengenai arbitrase internasional dengan pandangan sebagai berikut :
26
Ibid, h. 110.
20
"the international nature of the arbitration does not mean that the parties
must necessarily be of different nationalities. By virtue of its object the
contract can nevertheless extend beyond national borders, when for
example a contract is concluded between two nationals of the same state
for performance in another country or when it is concluded between a
state and a subsidiary of a foreign company doing business in that
state”.27
Penjelasan di atas lebih menjelaskan sifat arbitrase internasional tidak dilihat dari
para pihak yang memiliki perbedaan kewarganegaraan namun lebih menitik
beratkan terhadap objek dari perjanjian tersebut, tapi penjelasan di atas masih
belum memberikan pengertian yang lebih signifikan. Berbeda halnya dengan
UNCITRAL Model Law yang dalam pasal 1 ayat (3) menyebutkan sebagai
berikut :
“an Arbitration is international if:
(a) the parties to an arbitration agreement have, at the time of conclusion
of that agreement, their places of business in different states; or
(b) one of the following is situated outside the State in which the parties
have their place of business:
(i) the place of arbitration, if determined in, or pursuant to, the
arbitration agreement;
(ii) any place where a substantial part of the obligations of the
commercial relationship is to be performed or the place with which the
subject matter of the dispute is most closely connected; or
(c) the parties have expressly agreed that the subject matter of the
arbitration agreement relates to more than one country”.28
Dalam UNCITRAL Model Law memang tidak memberikan pengertian dari pada
istilah arbitrase internasional tersebut, namun di atas lebih menunjukan syarat-
syarat yang dapat dikategorikan sebagai arbitrase internasional. Sedangkan
UNCTAD (United Nation Conference on Trade and Development) dalam
bukunya mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase komersial
27
Charles Manzoni, 2004, ”International Arbitration The Key Elements”, 39 Essex Street,
London, h. 2.
28
Ibid. h. 4.
21
memberikan suatu pandangan bahwa ada dua metode yang mendasar dalam
mengartikan sebuah arbitrase internasional berikut penjelasanya: ’there are two
basic methods of defining an international arbitration for the above mentioned
purposes. One is to consider the transaction; does it involve a transaction that is
either in a State other than the place of arbitration or that takes place in two or
more States. The other method is to consider the parties; do they come from
different States’.29
Penjabaran yang dibuat UNCTAD lebih menitik beratkan transaksi yang
dilakukan serta para pihak yang bersengketa sebagai suatu faktor yang dapat
menentukan arbitrase tersebut dapat dikatakan sebagai arbitrase internasional.
Melihat segala penjabaran di atas memang tidak ditemukan pengertian yang
sebenarnya dari arbitrase internasional, namun penjelasan di atas telah sangat
membantu memberikan bayangan mengenai apa yang dapat disebut sebagai
arbitrase internasional.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase memberika
kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk menentukan sendiri hukum
mana yang berlaku dalam penyelesainya. Begitu juga para pihak tentunya
memiliki kebebasan yang sangat luas dalam menentukan pilihan forum yang
digunakan dalam penyelesaian sengketa. Apabila para pihak sepakat untuk
menggunakan lembaga arbitrase ataupun arbiter asing itu berarti arbitrase tersebut
dapat dikatakan sebagai arbitrase internasional. Penulis berpendapat bahwa
walaupun dalam sengketa kedua belah pihak mempunyai persamaan
29
UNCTAD, 2005, Dispute Settlement International Commercial Arbitration 5.1
International Commercial Arbitration, United Nation, New York, h. 13.
22
kewarganegaraan namun hubunganya lebih dari satu yuridksi arbitrase tersebut
dapat dikatakan sebagai arbitrase internasional. Pendapat penulis di perkuat
dengan pendapat Julia DM Lew, yang menyatakan ada tiga ciri yang menunjukan
bahwa arbitrase tersebut disebut dengan arbitrase internasional, yaitu30
:
1. Internasional Menurut Organisasinya
Sebagai contoh yang menggambarkan ciri internasional suatu badan
arbitrase yakni Convention on the settlement of Investment Dispute
Between Nation of Other State. Menurut konvensi ini, para negara
peserta membentuk The International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID). Dalam hal ini ICSID sebagai suatu
organisasi yang anggotanya adalah negara – negara, tampak dari
keanggotaanya bahwa Arbitrase ICSID ini bersifat internasional.
2. Internasional berdasarkan struktur/prosedurnya :
Umumnya arbitrase komersial internasional dilakukan di dalam suatu
negara. Namun demikian, adakalanya arbitrase seperti ini terlepas dari
sistem hukum suatu negara dan bebas dari negara dimana tempat
arbitrase berada. Selain itu, tata cara atau prosedur persidanganya dan
masalah lainya pun dilaksanakan menurut atau sesuai dengan
ketentuan yang disepakati oleh anggota-anggotanya (Internasional).
3. Internasional berdasarkan faktanya;
Suatu arbitrase dapat pula dikatakan internasional berdasarkan
hubunganya dengan lebih dari satu yuridiksi.
30
Moch. Bassarah, op.cit, h. 15.
23
2.1.1.2 Pengertian Arbitrase Nasional
Pada dasarnya konsepsi dari pada arbitrase internasional maupun nasional
ialah sama. Membedakanya terletak pada pilihan hukum dan pilihan forum yang
digunakan dalam penyelesaian tersebut. Sama halnya dengan arbitrase
internasional, arbitrase nasional juga belum ada yang dapat menjelaskan
pengertian arbitrase nasional. Bahkan dalam UU Arbitrase pula tidak
menyebutkan pengertian arbitrase nasional secara jelas. Hasil dari arbitrase ialah
sebuah putusan, secara argumentum a contario, dapat dirumuskan putusan
arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik
Indonesia.31
Jika melihat pengertian daripada putusan arbitrase nasional di atas, penulis
menyimpulkan bahwa arbitrase nasional dapat dikatakan sebagai arbitrase yang
diselesaikan melalui lembaga arbitrase atau arbiter dalam negeri begitu pula pihak
yang bersengketa mempunyai kewarganegaraan yang sama sehingga hanya
berhubungan dengan satu yuridiksi.
31 Bambang Sutiyoso, op.cit, h. 158.
24
2.1.2 Jenis – Jenis Arbitrase
Jenis arbitrase ialah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensinya
dankewenanganya untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan yang terjadi
antara para pihak yang mengadakan perjanjian.32
Jenis arbitrase dibagi menjadi
dua yaitu arbitrase ad.hoc dan arbitrase institusional.
i. Arbitrase Ad hoc (Ad hoc Arbitration)
Arbitrase Ad hoc atau sering disebut juga “arbitrase volunteer” atau
“arbitrase perorangan” ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan
atau memutus perselisihan tertentu. Kehadiran dan keberadaan arbitrase ad hoc
bersifat “insidentil”. Kedudukan dan keberadaanya hanya untuk melayani dan
memutuskan kasus perselisihan tertentu. Selesai sengketa diputus, keberadaan dan
fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.33
Arbitrase ad hoc oleh Pasal 1 ayat (1) Konvensi New York 1958
dirumuskan dengan istilah arbitrators appointed for each case yang bermakna:
arbiter yang ditunjuk untuk kasus yang tertentu untuk satu kali penunjukan.
Dalam ketentuan ini jelas dapat dilihat sifat insidentil yang melekat pada arbitrase
ad hoc. Hal itu dapat disimak dari perkataan appointed for each case. Penunjukan
dan keberadaanya adalah kasus per kasus. Fungsi dan kewenanganya bersifat
“satu kali” atau een malig.34
Pembentukan arbitrase ad hoc dilakukan setelah sengketa terjadi, para
pihak bisa memilih dan menentukan arbiternya atau dapat juga meminta bantuan
32 M.Yahya Harahap, op.cit, h. 104.
33
Ibid, h. 105.
34
Ibid.
25
pengadilan untuk mengangkat arbiter yang bertugas memeriksa dan memutus
sengketa tersebut. Arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase,
sehingga tidak memiliki aturan tata cara tersendiri, baik mengenai pengangkatan
arbiternya maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa.35
Maka dari itu
arbitrase ad hoc tunduk pada aturan tata cara peraturan perundang-undangan dan
tidak menutup kemungkinan bahwa arbitrase ad hoc tunduk pada suatu rules atau
konvensi tertentu.36
ii. Arbitrase Institusional (Institusional Arbitration)
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang
bersifat “permanen”. Oleh karena arbitrase institusional merupakan badan yang
bersifat permanen, disebut juga permanent arbitral body. Nama itulah yang
diberikan Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 terhadap arbitrase
institusional.37
Berbeda halnya dengan arbitrase ad hoc yang mana terbentuk
setelah adanya sengketa namun arbitrase institusional sudah terbentuk sebelum
adanya sengketa. Permanent arbitral body dimaksudkan bahwa arbitrase
institusional ini tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun
perselisihan yang ditanganinya telah selesai diputus.38
Jika dalam arbitrase ad hoc tunduk pada peraturan perundang-undangan,
arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa
tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional
35
Bambang Sutiyoso, op.cit, h. 116.
36
M.Yahya Harahap, loc.cit.
37
Ibid, h.106
38
Ibid.
26
sendiri.39
Jika kesengajaan pendirianya hanya untuk kepentingan suatu bangsa
atau negara, arbitrase institusional tersebut dinamakan bersifat “nasional”. Ruang
lingkup keberadaan dan yuridiksinya hanya meliputi kawasan negara yang
bersangkutan. Di samping arbitrase institusional yang bersifat nasional, ada juga
arbitrase institusional yang berwawasan internasional. Pada dasarnya arbitrase
institusional yang bersifat internasional ini merupakan pusat dari pada perwasitan
menyelesaikan persengketaan di bidang masalah tertentu antara pihak yang
berlainan kewarganegaraan.40
2.1.3 Bentuk - Bentuk Klausula Arbitrase
Adanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase ialah harus dilandaskan
pada kesapakatan bersama yang dituangkan dalam berntuk perjanjian arbitrase.
Dalam praktek dan penulisan, persetujuan arbitrase selalu disebut “klausula
arbitrase”. Dari berbagai sumber undang-undang, peraturan dan konvensi
internasional, dijumpai dua bentuk klausula arbitrase. Berarti, persetujuan
arbitrase yang terdapat dalam berbagai aturan, terdiri dari dua bentuk.41
1. Pactum De Compromittendo
Pactum De Compromittendo berarti “kesepakatan setuju dengan putusan
arbiter”.42
Bentuk klausula ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi New York
1958, yang berbunyi: ‘each Contracting State shall recognize an agreement in
39
Bambang Sutiyoso, op.cit, h. 117.
40
M.Yahya Harahap, op.cit, h. 106-107.
41
Ibid, h. 65.
42
Frans Hendra Winarta, op.cit, h. 38.
27
writing under which the parties undertake to submit to arbitration all or any
differences which have arisen or which may arise between them in respect of a
defined legal. relationship, whether contractual or not, concerning a subject
matter capable of settlement by arbitration’. Inti dari pada pasal di atas ialah
kebolehan untuk membuat persetujuan di antara para pihak yang membuat
persetujuan, untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul
di kemudian hari kepada arbitrase. Kesepakatan itu yang dimaksud dengan
“klausula arbitrase”. 43
Dalam klausula arbitrase yang terbentuk pactum de compromittendo, para
pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa (disputes) yang
mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat kedua belah pihak telah
sepakat dan menyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum ada perselisihan
yang terjadi. Penulis menyimpulkan bahwa klausula pactum de compromittendo
dibuat guna mengantisipasi apabila di masa depan kedua belah pihak mengalami
sengketa dan penyelesainya telah disepakati untuk menggunakan arbitrase.
2. Akta Kompromis
Kompromi (compromise) itu sendiri berarti a settlement of differences
yang bertujuan menghindari penyelesaian melalui peradilan (to prevent a lawsuit).
Jadi akta kompromis ialah akta yang berisi aturan penyelesaian perselisihan yang
telah timbul di antara orang yang berjanji.44
Akta kompromis diatur dalam Pasal 9
UU Arbitrase, berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa akta
kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat setelah timbul perselisihan antara
43
M. Yahya Harahap, loc.cit.
44 Ibid, h. 66.
28
para pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan persetujuan
arbitrase. Dengan demikian, akta kompromis ialah akta yang berisi aturan
penyelesaian perselisihan yang telah timbul di antara orang yang berjanji.45
Jika klausula pactum de compromittendo dibuat sebelum adanya
perselisihan akta kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat setelah timbulnya
perselisihan. Para pihak sebelumnya memang tidak mengikat dan menyetujui
perselisihan itu diselesaikan melalui arbitrase, namun ketika terjadi sengketa
untuk menghindari penyelesaian melalui pengadilan para pihak menghendaki
untuk menyelesaikannya melalui arbitrase maka dapat membuat perjanjian itu.
Perjanjian itulah yang disebut dengan akta kompromis.
2.2 Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 1990 menegaskan, yang dimaksud dengan
putusan arbitrase internasional adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan (diambil)
di luar wilayah hukum Republik Indonesia. Suatu keputusan forum asing, untuk
dapat dilaksanakan di dalam wilayah sutau negara, haruslah mendapat pengakuan
dari negara tempat keputusan itu dilaksanakan.46
Dalam menjalankan putusan
arbitrase internasional tentunya di wilayah Indonesia memiliki tata cara dan
aturanya sendiri. Seperti yang sudah diatur dalam UU Arbitrase ada beberapa
ketentuan dalam pasalnya telah mengatur bagaimana pelaksanaan putusan
arbitrase internasional ini dapat dieksekusi di Indonesia.
45
Ibid.
46
Ida Bagus Wyasa Putra, 2000, Aspek – Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Transaksi Bisnis Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, h. 118.
29
Pengakuan berarti Badan Peradilan Indonesia tidak melakukan sesuatu,
sedangkan pelaksanaan (eksekusi) berarti Badan Peradilan Indonesia perlu
melakukan sesuatu. Maka dapat dibedakan antara pengertian pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional, pengakuan berkaitan dengan
keputusan yang bersifat declaratoir sedangkan pelaksanaan berkaitan dengan
keputusan yang bersifat condemnatoir.47
Pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional ini tidak dapat berjalan tanpa adanya peran dari pengadilan.
Maka dari itu lembaga arbitrase atau arbiter memiliki keterkaitan dalam hal
mengeksekusi putusan arbitrase internasional yang telah dijatuhkan. Tidak semua
putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di Indonesia, ada beberapa hal
yang membuat putusan itu dapat dibatalkan disebabkan beberapa hal. Berikut
akan diulas bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
2.2.1 Keterkaitan antara Arbitrase dan Pengadilan Negeri
Keterkaitan pengadilan dengan arbitrase sudah dimulai dari proses awal
arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal ini dapat dilihat dari
UU Arbitrase yang mencantumkan beberapa peranan pengadilan di Indonesia
untuk memperkuat proses arbitrase. Dalam proses awal arbitrase adanya suatu
pernjanjian arbitrase dalam bentuk tertulis, maka menghilangkan hak para pihak
untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjianya ke Pengadilan Negeri.48
Sebagaimana di dasarkan pada Pasal 11 ayat
(1) UU Arbitrase yaitu ‘adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak
47 Ibid, h. 119.
48 Frans Hendra Winarta, op.cit, h. 65.
30
para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri’.
Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase menyebutkan ‘Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa
yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal – hal tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang ini’. Inti dari pada pasal di atas ialah Pengadilan
Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan mengenai hal-hal yang telah
ditetapkan melalui arbitrase terkecuali ada hal yang mengahruskan pengadilan
turut campur tangan sesuai dengan UU Arbitrase. Hal ini telah membuktikan
arbitrase berkaitan dengan pengadilan dalam hal menolak sengketa yang sudah
tercantum klausula arbitrase.
Keterkaitan yang lain pengadilan terhadap proses arbitrase ialah pada
pengangkatan arbiter dalam arbitrase ad hoc, telah dibahas di halaman
sebelumnya bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan ke Ketua
Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter dalam sengketa para pihak. Lagi-lagi
pengadilan berperan dalam membantu proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dengan membantu para pihak untuk mengangkat arbiter. Begitu pula
dalam proses pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase. Agar putusan
arbitrase benar-benar bermanfaat bagi para pihak, maka putusan tersebut dapat
dieksekusi.49
Eksekusi berlaku apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
putusan tersebut secara suka rela, maka peran pengadilan sangat dibutuhkan
dalam membantu pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase tersebut.
49
Ibid. h. 91.
31
Maka dapat disimpulkan bahwa antara arbitrase dan pengadilan memiliki
keterkaitan yang cukup signifikan. Dalam arti proses arbitrase baik dari awal
sampai akhir masih memerlukan peran pengadilan dalam membantu berjalanya
proses ini agar mencapai tujuan yang diinginkan.
2.2.2 Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Pengaturan terhadap putusan arbitrase internasional diatur dalam Pasal
65-Pasal 69 UU Arbitrase. Sebelum putusan itu dapat dieksekusi, arbiter atau
kuasa hukum harus mengajukan putusan arbitrase internasional tersebut ke
pengadilan untuk permohonan eksekusi. Pengajuan putusan arbitrase internasional
ditujukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini sesuai dengan Pasal 65
UU Arbitrase yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memiliki kewenangan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional.
Perlu diperhatikan pula suatu putusan arbitrase internasional terlebih
dahulu harus didaftarkan untuk dimohonkan eksekusinya kepaniteraan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, karena apabila putusan tersebut tidak didaftarkan maka
putusan tersebut tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan. Setelah memperoleh
exequatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat barulah putusan tersebut dapat
dieksekusi, hal ini berdasarkan Pasal 66 huruf d UU Arbitrase. Tidak semua
putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia,
putusan tersebut ditolak apabila bertentangan dengan asas ketertiban umum.
Berikut akan dijelaskan beberapa proses yang harus ditempuh sebelum putusan
tersebut dapat dilaksanakan.
32
2.2.2.1 Pendeponiran Putusan Arbitrase Internasional
Dalam hukum Indonesia lazim istilah “deponir” berarti sama dengan
menyimpan atau pendaftaran.50
Pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional memiliki proses yang kurang
lebih sama yang membedakanya ialah dalam hal kompetensi. Pengaturan
pendeponiran terhadap putusan arbitrase internasional diatur dalam Perma No. 1
Tahun 1990. Pendeponiran putusan arbitrase merupakan tahap awal dalam
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia, karena yang
dideponir ialah sebuah putusan, maka pihak yang bersangkutan dapat mendeponir
putusan arbitrase internasional kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 1990 yang menyatakan sebagai berikut
‘yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
Pengakuan sertaPelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat’.
Mengenai dokumen yang dibutuhkan dalam pendeponiran, melalui Pasal 5
ayat (4) Perma No. 1 Tahun 1990 telah menjelaskan jenis dokumen yang harus
disampaikan untuk diserahkan kepada panitera pada saat pendeponiran putusan
arbitrase internasional. Dengan demikian jenis dokumen yang harus diserahkan
ialah :51
50
M. Yahya Harahap, op.cit, h. 300.
51
Ibid, h. 340.
33
asli putusan atau salinan resmi putusan,
naskah terjemahan resmi ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,
asli atau salinan perjanjian yang menjadi dasar putusan yang telah
diautentikasi sesuai dengan ketentuan autentikasi yang berlaku terhadap
dokumen-dokumen asing,
naskah terjemahan resmi surat perjanjian yang menjadi dasar putusan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,
keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara mana putusan
arbitrase asing dibuat, yang menyatakan bahwa negara permohonan
terikat secara bilateral dengan negara Indonesia atau terikat bersama-
sama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi internasional prihal
pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Dokumen-dokumen tersebutlah yang sangat berperan penting dalam hal
penentuan rules yang digunakan kedua belah pihak serta dapat diuji dan diketahui
secara praktis kebenaranya. Dari dokumen di atas juga dapat ditentukan apakah
putusan tersebut dapat dieksekusi atau tidak di Indonesia. Begitu pentingnya
pendeponiran putusan arbitrase terhadap pelaksanaan eksekusinya, maka sudah
menjadi kewajiban apabila pihak yang ingin eksekusi itu dijalankan harus
melakukan pendeponiran terlebih dahulu agar permohonan pelaksanaan
eksekusinya dikabulkan, jika tidak melakukan pendeponiran putusan tersebut
eksekusi itu tidak akan bisa dilaksanakan oleh pengadilan.
34
2.2.2.2 Permohonan Exequatur Putusan Arbitrase Internasional
Setelah tahap deponir tahap selanjutnya ialah tahap permohonan
exequatur. Adapun makna exequatur, permintaan kepada Ketua Pengadilan
Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi terhadap putusan yang dijatuhkan
Mahkamah Arbitrase. Sebelum Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan
perintah eksekusi, lebih dulu memberikan exequatur terhadap putusan.52
Karena
yang akan dibahas merupakan putusan arbitrase internasional maka permohonan
exequatur ditujukan pada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hal ini
berdasarkan pada Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 1990.
Kewenangan untuk memberikan exequatur berdasarkan Bab II Pasal 4
Perma No. 1 Tahun 1990 ialah kewenangan dari pada Ketua Mahkamah Agung
atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Muda Bidang Hukum Perdata
Tertulis. Memang pada awalnya pendeponiran dan permohonan exequatur
ditujukan pada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun dalam hal
pemberian exequatur ialah wewenang dari pada Mahkamah Agung.
Birokrasi dari pada permohonan exequatur ini terkesan sedikit berbelit.
Mula-mula permintaan diajukan ke Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lantas permohonan diteruskan Ketua Pengadilan
Negeri ke Panitera/ Sekretaris Jendral Mahkamah Agung untuk selanjutnya
disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung. Setelah itu baru diberikan
52 Ibid, h. 305.
35
exequatur, kemudian hasil dari exequatur itu diterima atau ditolak itu
dikembalikan lagi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 53
Ketika exequatur sudah diperoleh dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat maka eksekusi tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Tidak semua
putusan arbitrase internasional ternyata dapat diberi exequatur oleh Mahkmah
Agung, ada beberapa asas yang harus diperhatikan dalam hal pemberian
exequatur. Setiap putusan arbitrase asing diminta untuk tidak bertentangan dengan
asas-asas dalam Perma No. 1 Tahun 1990.
Seperti yang diketahui bahwa asas-asas dalam Perma No.1 Tahun 1990
sama dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York 1958. Asas-asas
tersebut ialah asas final and binding, asas resiprositas, pengakuan terbatas
sepanjang hukum dagang, asas ketertiban umum.54
Asas-asas inilah yang dapat
menentukan apakah putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan.
2.3 Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
Mungkin ada banyak pertanyaan yang terbesit jika mendengar kata
pembatalan dalam putusan arbitrase internasional. Bagaimana bisa putusan yang
bersifat final and binding dapat dibatalkan, seperti yang sempat dibahas di bab
sebelumnya menjelaskan bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding,
kasasi, atau peninjauan kembali. Atas alasan yang sangat ”eksepsional”, dapat
53 Ibid, h. 350.
54
Ibid, h. 343.
36
diajukan perlawanan atau ”plea” dalam bentuk permintaan annulment atau
pembatalan putusan.55
Pembatalan putusan arbitrase dapat diartikan sebagai upaya hukum yang
diberikan kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta ke Pengadilan
Negeri agar suatu putsan arbitrase dibatalkan, baik terhadap sebagian atau seluruh
isi putusan.56
Pembatalan terhadap putusan arbitrase berakibat putusan arbitrase
yang bersangkutan menjadi tiada dan tidak dapat dimintakan pelaksanaanya.57
Dalam hal pembatalan putusan arbitrase pada dasarnya telah diperbolehkan
dibeberapa rules yaitu seperti UNICITRAL.
2.3.1 Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Menurut UNCITRAL
Model Law
Sama seperti ICSID, UNCITRAL Model law mengatur pula mengenai
pembatalan putusan arbitrase Internasional. Bab VII UNCITRAL Model Law
mengatur mengenai Upaya perlawanan terhadap putusan arbitrase. Permohonan
pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 34 UNCITRAL Model Law.
Pasal 34 ayat (2) huruf a mengatur mengenai alasan-alasan permbatalan putusan
arbitrase, sebagai berikut 58
:
a. pihak yang mengajukan permohonan memyerahkann bukti
bahwa, pertama, pihak perjanjian arbitrase yang disebut dalam
55
Ibid, h. 277
56
Frans Hendra Winata, op.cit, h. 85.
57 Raden Umar Faris Permadi, 2012, “ Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia” Disertasi : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.
58
Ibid, h. 41.
37
Pasal 7 ketentuan ini tidak memiliki kecakapan, atau perjanjian
tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana para pihak sudah
menundukan diri, atau, apabila petunjuk mengenai hal itu tidak
ada, berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dijatuhkan;
b. pihak yang mengajukan permohonan dimaksud tidak diberi
pemberitahuan yang patut mengenai penunjukan arbitrator atau
mengenai proses arbitrase atau tidak dapat membela
perkaranya;
c. putusan berkenaan dengan perselisihan yang tidak dimaksudkan
oleh atau tidak termasuk dalam kesepakatan-kesepakatan
mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase atau memuat
putusan atas hal-hal yang berbeda di luar lingkup kesepakatan
mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase, dengan
ketentuan bahwa, apabila putusan atas hal-hal yang diajukan ke
arbitrase dapat dipisahkan dari putusan yang tidak diajukan,
maka bagian dari putusan yang mencamtumkan putusan atas
hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat diakui dan
dilaksanakan atau;
d. komposisi majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai
dengan perjanjian para pihak atau, apabila perjanjian tersebut
tidak ada, tidak sesuai dengan hukum negara di mana arbitrase
itu dilangsungkan; atau
38
e. pengadilan menemukan bahwa pokok sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara ini
atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum dari negara
ini.
Tidak hanya itu putusan tersebut dapat dibatalkan sesuai dengan Pasal 34 ayat (2)
huruf b, pengadilan menemukan bahwa subjek masalah dari sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan negara ini serta didapati bahwa putusan
tersebut bertentangan dengan ketertiban umum dari negara ini.
Pasal 34 ayat (4) UNCITRAL Model Law mengatur bahwa pengadilan
ketika dimintakan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase internasional dapat
menunda proses pembatalan putusan tersebut dalam kurun waktu tertentu untuk
memberikan kesempatan pada majelis arbitrase untuk melanjutkan proses
arbitrase atau untuk mengambil tindakan lain jika majelis arbitrase berpendapat
bahwa tindakan tersebut dapat meniadakan alasan pembatalan putusan arbitrase
tersebut apabila dianggap perlu atau diajukan oleh salah satu pihak.59
Maka dapat disimpulkan bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan sebelum selesainya proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase
atau dengan kata lain sebelum di keluarkanya putusan oleh majelis arbitrase.
Karena pembatalan dapat dilakukan sebelum ada putusan arbitrase maka
pengajuan pembatalan itu diajukan ke pengadilan di mana tempat berlangsungnya
arbitrase.
59 Ibid, h. 42.
39
2.3.2 Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Berdasarkan UU
Arbitrase
Peraturan mengenai pembatalan putusan arbitras telah diatur dalam Pasal
70- Pasal 72 UU Arbitrase. Adapun alasan mengapa putusan arbitrase dapat
dibatalkan berdasarkan Pasal 70 UU Arbitrase yang menyatakan sebagai berikut :
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat alternatif,
artinya masing-masing alasan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase. Pasal 70 UU Arbitrase hanya
mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa
untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Putusan yang dapat diajukan permohonan pembatalan ialah putusan yang
terlebih dahulu terdaftar pelaksanaanya di pengadilan nasional. Alasan-alasan di
atas merupakan suatu alasan yang harus dibuktikan melalui putusan pengadilan.
Pengadilan juga berwenang dalam hal memeriksa tuntutan apabila diminta oleh
para pihak. Pernyataan ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 70 dan Pasal 72 UU
Arbitrase. Terbesit pertanyaan apakah alasan di atas berlaku untuk putusan
arbitrase internasional atau hanya berlaku pada arbitrase nasional, karena tidak
ada penjelasan yang secara lengkap menegaskan bahwa alasan tersebut berlaku
40
pada putusan arbitrase internasional. Pedoman teknis administrasi dan teknis
peradilan umum dan perdata khusus Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun
2007 menegaskan bahwa yang dapat dimohonkan pembatalan putusan arbitrase
adalah putusan arbitrase nasional sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur
dalam UU Arbitrase ketentuan Pasal 70 sampai Pasal 72 UU Arbitrase.60
Dapat dikatakan bahwa Pasal 70 sampai Pasal 72 UU Arbitrase tidak bisa
menjadi dasar hukum untuk membatalkan putusan arbitrase internasional. Hal
tersebut disebabkan putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan di wilayah
negara lain berlaku hukum arbitrase negara yang bersangkutan (Lex Arbitri)
sehingga tidak dapat dinilai dan dibatalkan berdasarkan Hukum Indonesia (UU
Arbitrase). Keberlakuan Hukum Indonesia terbatas pada wilayah hukum Negara
Republik Indonesia. Tetapi dalam Pasal 62 ayat 2 UU Arbitrase mengatur
mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan (dalam hal ini
Ketua Pengadilan) dalam penolakan eksekusi putusan arbitrase yang secara
limitatif ditentukan adalah sebagai berikut :61
Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan
kepadanya
Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan
Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum
Keputusan tidak memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Sengketa tersebut bukan mengenai perdagangan
60 Ibid, h. 31.
61
Frans Hendra Winarta, op.cit, h. 92.
41
- Sengketa tersebut bukan mengenai hak yang
menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa
- Sengeketa tersebut bukan mengenai hal-hal yang
menurut perundang-undangan dapat dilakukan
perdamaian
Melalui Pasal 62 ayat (3) menegaskan bahwa apabila putusan arbitrase
tidak memenuhi persyaratan yang telah dicantumkan dalam pasal 62 ayat (2)
maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi
dan putusan itu tidak terbuka upaya hukum apapun. Maka hemat penulis dalam
UU Arbitrase tidak mengatur mengenai pembatalan terhadap putusan arbitrase
internasional melainkan pembatalan yang tercantum dalam Pasal 70 UU Arbitrase
ialah mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase nasional. Dalam UU
Arbitrase hanya mengatur mengenai syarat bagaimana suatu permohonan eksekusi
putusan arbitrase internasional itu dapat dilaksanakan di Indonesia dan apabila
syarat itu tidak dapat dipenuhi maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak
permohonan eksekusi tersebut.