bab ii kajian pustaka 1.1 film sebagai media komunikasi …eprints.umm.ac.id/67944/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.1 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
1.1.1 Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah bentuk penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan. Harold D Laswell mengungkapkan bahwa komunikasi adalah1
“who says what in which channel to whom with what effect”.
Dalam hal ini berarti bahwa komunikasi terjadi ketika seseorang atau komunikator
menyampaikan informasi atau pesan melalui sebuah saluran kepada seseorang lain
atau komunikan dan memberi efek tertentu kepada penerima pesan tersebut.
Kemudian Schramm mengemukakan bahwa keberlangsungan sebuah proses
komunikasi wajib memiliki minimal tiga unsur penting di dalamnya, yaitu source,
messages, dan destination.2 Dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi adalah
apabila komunikator, pesan, dan komunikan berada dalam satu kesatuan. Dengan kata
lain, apabila salah satu unsur tersebut hilang, maka proses komunikasi tidak akan
terjadi.
1.1.2 Macam-macam Komunikasi
1 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2014. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hal 29. 2 Ibid, hal 27
7
Berdasarkan pengertian di atas yang menyatakan bahwa komunikasi adalah
suatu proses komunikator menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan,
dalam hal ini para ahli sepakat bahwa komunikasi dapat dibedakan menjadi empat,
yaitu:3
a. Komunikasi Antar Personal
Komunikasi antar personal adalah suatu proses komunikasi antara
seorang individu dengan individu lainnya atau seorang indvidu dengan
kelompok secara tatap muka. Sehingga pesan yang disampaikan oleh
komunikator memungkinkan untuk diterima langsung oleh komunikan.
Ciri-cirinya adalah pihak yang terlibat dalam sebuah proses komunikasi
berada dalam jarak yang dekat serta menerima dan mengirim pesan secara
verbal maupun non verbal. Contoh dalam komunikasi antar personal antara
lain, pelanggan dengan penjual, guru dengan muridnya, teman dengan
teman, dan lain-lain.4
b. Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok adalah suatu proses komunikasi yang merujuk
pada kelompok kecil seperti keluarga, teman bermain, dan sebagainya.
Interaksi yang terjadi pada kelompok kecil terjadi karena adanya tujuan
bersama, mengenal satu dengan lainnya, saling memandang satu sama lain
3 Deddy Mulyana. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, hal 80 4 Ibid, hal 81
8
sebagai bagian dari kelompok tersebut meskipun setiap anggota memiliki
peran yang berbeda-beda.5
c. Komunikasi Organisasi
Komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi, yang dapat bersifat
formal maupun informal. Komunikasi organisasi berlangsung dalam ruang
lingkup yang lebih besar dibandingkan dengan komunikasi kelompok,
sehingga organisasi dianggap suatu kumpulan dari kelompok-kelompok. Di
dalam komunikasi organisasi sering terjadi komunikasi diadik,
antarpribadi.6
d. Komunikasi Massa
Disampaikan oleh Bittner dalam buku Ardianto, bahwa pengertian
sederhana dari komunikasi massa adalah:
“Pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah
besar orang. (Mass communication is message communicated through a
mass medium to a large number of people).”7
Kemudian dengan bahasanya sendiri, Grabner menerangkan bahwa:
“Mass Communication is the technologycally and institutionally based
production and distribution of the most broadly shared continuous flow
of messages in industrial sociesties”.8
Dari penjelasan Grabner tentang komunikasi massa tergambar bahwa
komunikasi massa adalah sebuah produk-produk pesan yang diproduksi
5 Ibid, hal 82 6 Ibid, hal 83 7 Op.cit Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, hal 3 8 Ibid, hal 3
9
dan didistribusikan kepada khalayak secara terus menerus dalam kurun
waktu yang sudah ditetapkan. Dalam proses produksi pesan tersebut harus
dilakukan oleh suatu lembaga dan membutuhkan suatu teknologi tertentu.9
Dalam buku Jalaluddin Rakhmat, Wright menjelaskan bahwa
komunikasi massa ditujukan kepada khalayak yang relatif luas, heterogen,
serta anonim. Kemudian, pesan yang disampaikan dengan cara terbuka,
seringkali bersifat sekilas dan serentak. Komunikasi massa cenderung
melibatkan biaya yang besar dan komunikatornya bukan seorang individu
namun bergerak dalam suatu organisasi yang kompleks.10
Dari penjelasan berbagai ahli mengenai pengertian tentang komunikasi
massa, dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah suatu proses
produksi pesan yang dilakukan oleh suatu lembaga atau organisasi
(komunikator) dan didistribusikan menggunakan media massa kepada
khalayak (komunikan) demi terciptanya keseragaman arti isi pesan
komunikasi.
1.1.3 Karakteristik Komunikasi Massa
Dalam buku Ardianto, dijelaskan bahwa komunikasi massa memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Komunikator Bukan Seorang Individu
9 Ibid, hal 3 10 Jalaluddin Rakhmat. 1999. Psikologi Komunikasi: Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal 189
10
Merujuk pada penjelasan Charles Wright, komunikator dalam
komunikasi massa bukanlah seorang individu, namun gabungan dari
berbagai pihak atau suatu institusi.11
b. Pesan Bersifat Umum
Pesan dalam komunikasi massa harus menarik dan penting bagi
banyak kalangan. Karena sifat komunikasi massa adalah terbuka, maka
pengemasannya harus memenuhi kepentingan khalayak luas.12
c. Komunikannya Anonim atau Heterogen
Komunikator tidak dapat mengetahui semua penerima pesannya, karena
komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Hal ini dikarenakan
dalam komunikasi massa, komunikator menyampaikan pesan melalui
media massa, sehingga komunikator tidak bertatap muka dengan
komunikannya yang memiliki latar belakang berbeda-beda.13
d. Bersifat Satu Arah
Dalam komunikasi massa, pesan yang disampaikan oleh komunikator
tidak dapat di interupsi oleh komunikan.14
e. Tertundanya umpan balik dalam komunikasi massa
Komunikator tidak dapat menerima umpan balik atau respon langsung
dari komunikan secara langsung. Oleh karenanya, komunikator
11 Op. Cit Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, hal 6 12 Ibid, hal 7 13 Ibid, hal 8 14 Ibid, hal 10
11
membutuhkan waktu tertentu untuk mengetahui respon dari khalayak. Hal
tersebut disebabkan oleh peran media massa sebagai penghubung antara
komunikator dengan komunikan. 15
f. Keterbatasan alat indra
Kebalikan dengan komunikasi antarpersona, proses komunikasi massa
tidak dapat menjangkau seluruh indra yang dimiliki pelaku komunikasinya.
Umumnya terbatas pada pendengaran dan penglihatan saja tergantung dari
media massa yang digunakan.16
g. Isi Lebih Penting Dibanding Hubungan
Berbeda dengan komunikasi antarpersona yang mengutamakan unsur
hubungan antar pelaku komunikasi agar komunikasinya lebih efektif,
komunikasi massa, setiap komunikator tidak harus saling mengenal dengan
komunikannya. Yang terpenting dalam proses kkomunikasi ini,
komunikator menyusun pesan secara sistematis agar isi pesan tersebut dapat
dipahami oleh komunikannya.17
h. Media Massa Menunculkan Keserempakan
Dalam buku Ardianto, Effendy menjelaskan bahwa:18
“Keserempakan media massa itu sebagai keserempakan kontak dengan
sejumlah besar penduduk dalam jarak jauh dari komunikator, dan
penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah”.
1.1.4 Macam-macam Media Komunikasi Massa
15 Ibid, hal 11 16 Ibid, hal 7 17 Ibid, hal 10 18 Ibid, hal 9
12
a. Surat Kabar
Menurut Agee, dalam buku Ardianto memaparkan beberapa fungsi
utama yang terbagi menjadi tiga, antara lain:19
1. To Inform, yaitu menginformasikan kepada pembaca secara objektif
tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, negara, dan dunia.
2. To Comment, yaitu mengomentari berita yang disampaikan dan
mengembangkannya ke dalam fokus berita.
3. To Provide, yaitu menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang
membutuhkan barang dan jasa melalui pemasangan iklan di media.
Surat kabar sebagai media massa memiliki beberapa karakteristik
sebagai berikut:20
1. Publisitas (Publicity), yaitu penyebaran pada publik atau khalayak
2. Periodesitas merujuk pada penerbitan surat kabar, dapat harian,
mingguan, atau dwi mingguan.
3. Universalitas berkaitan dengan isi yang dimuat di dalamnya seperti
keanekaragaman dari seluruh dunia, dengan demikian isi surat kabar
dapat meliputi seluruh aspek kehidupan manusia seperti masalah
ekonomi, sosial, politik, agama, pendidikan, budaya, dan lain-lain.
4. Aktualitas yang berarti kini, atau yang sekarang, atau yang baru terjadi,
serta keadaan yang sebenarnya. Sehingga dapat dikatakan aktualitas
merupakan isi atau berita dalam surat kabar tentang sesuatu hal yang
baru terjadi serta bersifat objektif berdasarkan keadaan yang terjadi.
5. Terdokumentasikan, hal ini berkaitan dengan berita-berita yang
dianggap penting oleh pihak-pihak tertentu untuk diarsipkan dalam
bentuk keliping.
Dari poin-poin diatas dapat disimpulkan bahwa surat kabar adalah
sebuah media komunikasi massa berupa gambar dan tulisan yang dicetak
oleh redaksi dan disebarluaskan kepada khalayak luas. Tujuan utama surat
kabar adalah menginformasikan suatu berita kepada khalayak. Selain itu
surat kabar merupakan sebuah komunikasi satu arah sehingga tidak
19 Ibid, hal 104 20 Ibid, hal 112
13
memungkinkan bagi pembaca untuk melakukan feedback atau umpan balik
kepada komuikator dalam waktu yang singkat.
b. Majalah
Majalah merupakan salah satu bentuk dari media cetak, perbedaan
mendasar dari majalah dengan surat kabar yaitu terletak pada segmentasi
khalayak yang ditujunya. Berbeda dengan surat kabar, majalah menentukan
telah menentukan siapa pembacanya sejak awal pada saat di redaksi.
Umumnya majalah memiliki fungsi berbeda antara majalah satu dengan
lainnya. Sebagai contoh, majalah Femina yang memiliki fungsi hiburan
berbeda dengan majalah Trubus yang memiliki fungsi edukasi tentang
tanaman.21
Diuraikan dalam Ardianto, bahwa majalah memiliki setidaknya empat
karakteristik, yaitu:22
1. Penyajian lebih dalam → umumnya frekuensi terbit suatu majalah
adalah mingguan, bahkan bulanan. Oleh karenanya reporter majalah
memiliki waktu lebih lama untuk mempelajari dan menganalisis
suatu peristiwa yang akan disajikan dalam majalah, sehingga
penyajian informasinya akan lebih dalam.
2. Nilai aktualitas lebih lama → berbeda dengan surat kabar yang
memiliki nilai aktualitas hanya sehari, majalah memiliki nilai
21 Ibid, hal 120 22 Ibid, hal 121
14
aktualitas lebih lama. Hal ini dikarenakan dalam membaca majalah
kita hanya membaca topik-topik yang relevan dengan profesi kita.
Selanjutnya isi majalah yang diluar dari topik-topik tersebut
menjadi referensi pembaca ketika membaca.
3. Memiliki foto/gambar lebih banyak → sifat foto dalam majalah
yang eksklusif menjadikan majalah memiliki daya tarik tersendiri.
Terlebih lagi dengan kualitas kertas dan jumlah halaman yang relatif
lebih banyak dapat menampilkan gambar/foto lebih banyak untuk
menunjang bahasan dalam majalah.
4. Sampul menjadi daya tarik → ibaratnya sampul adalah sebuah
pakaian dari majalah. Sampul umumnya dibuat dari kualitas kertas
yang bagus dan dicetak berwarna sesuai dengan karakter majalah
tersebut. Dalam sebuah majalah, sampul berfungsi untuk
mengidentifikasi topik yang akan dibahas dalam majalah tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa majalah merupakan media cetak yang
memiliki nilai aktualitas lebih lama dibanding surat kabar. Isi dari majalah
umumnya bersifat lebih spesifik pada fungsinya. Hal inilah yang
menjadikan majalah menjadi media cetak yang telah menentukan
segmennya sebelum diterbitkan. Misalkan majalah yang mengupas tentang
kehidupan seorang aktris, maka fungsi utamanya adalah memberi hiburan.
Meskipun tidak menutup kemungkinan memiliki fungsi lainnya. Kemudian
peran foto/gambar pada sampul dan isi majalah membuat majalah memiliki
daya tarik yang lebih besar dibanding surat kabar.
15
c. Radio Siaran
Radio siaran adalah media massa elektronik tertua yang ada di dunia
dan telah beradaptasi dengan perkembangan zaman. Keunggulannya
terletak pada fleksibilitas radio yang dapat ditempatkan dimana saja.23
Seperti yang dijelaskan dalam buku Komunikasi Massa Ardianto, radio
siaran memiliki beberapa karakteristik, yakni:24
1. Audiotori → radio siaran bersifat audiotori, yang berarti mengacu pada
kemampuan mendengar manusia yang terbatas, maka pesan komunikasi
radio siaran hanya dapat diterima oleh pendengar secara selintas.
Dengan kata lain, pendengar tidak dapat mengulang informasi tersebut
kecuali pendengar merekamnya.
2. Nilai aktualitas tinggi → seorang reporter radio siaran yang kontak terus
menerus dengan narasumber kredibel serta kemampuan untuk kroscek
pihak-pihak terkait, menjadikan radio siaran memiliki nilai aktualitas
yang tinggi serta proses penyampaian pesan yang lebih simpel.
Kecepatan dan ketepatan informasi dikenal dengan istilah rewriting to
update (Hall).
3. Imajinatif → pendengar radio siaran bersifat imajinatif, hal ini
dikarenakan oleh penyampaian pesan dalam radio hanya mengandalkan
indra pendengaran.
23 Ibid, hal 123 24 Ibid, hal 131
16
4. Akrab → artinya adalah kesan intim antara penyiar radio dan pendengar
yang seolah-olah berada di dekatnya.
5. Gaya obrolan → “keep it simple, keep it short, keep it convensional”
adalah rumus-rumus dalam melakukan penulisan berita dalam siaran
radio (Newsom). Gaya bicara dalam siaran harus sebagaimana kita
berbicara pada khalayak sasaran (write the way you talk).
6. Menjaga mobilitas → artinya adalah pendengar tidak harus
meninggalkan pekerjaannya untuk menyimak siaran radio.
d. Televisi
Fungsi televisi secara garis besar sama dengan media massa lainnya,
yakni memberi informasi, hiburan, edukasi, bahkan persuasi. 25
Televisi adalah bentuk penggabungan dari media cetak dan media
elektronik, yakni dapat menstimulus indra lebih kompleks. Televisi
memiliki beberapa karakteristik, diantaranya:26
1. Audiovisual → dapat di dengar dan dilihat oleh pemirsa. Ini adalah
bentuk penyempurnaan dari radio siaran.
2. Think in pictures → artinya dalam membuat sebuah naskah acara,
komunikator harus dapat memvisualisasi dan menggambarkan visual
tersebut agar memiliki makna.
3. Kompleksitas dalam pengoperasian → keterlibatan banyak orang dalam
sebuah acara televisi membuat televisi lebih kompleks dibanding
25 Ibid, hal 137 26 Ibid, hal 137
17
dengan radio siaran. Hal ini dikarenakan oleh peralatan yang lebih
banyak dalam pengoperasiannya. Televisi membutuhkan banyak orang
seperti cameraman, soundman, penyiar, juru rias, dan sebagainya
sebagai kru yang terlibat. Umumnya biaya produksi dalam sebuah acara
tv relatif lebih mahal.
e. Film
Film merupakan gambar bergerak hasil dari perkembangan dunia
fotografi dan proyektor. Disebutkan pula oleh Ardianto, bahwa film bukan
hanya sebagai karya seni namun juga menjadi sebuah industri yang
berorientasi kepada profit. Bahkan karena orientasi ini beberapa pelaku
industri film keluar dari kaidah-kaidah estetik dari film itu sendiri.27
Mcqail menjelaskan bahwa: “Pada dasarnya film juga menganut cara
yang sama yaitu menggabungkan unsur pesan dengan hiburan yang
telah diterapkan sebelumnya dalam kesusastraan dan drama. Film
memiliki kemampuan lebih dari media lainnya seperti kecepatan
menjangkau khalayak dalam waktu yang singkat serta dapat
memanipulasi kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa
kehilangan kredibilitasnya”.28
Dapat disimpulkan bahwa, film yang merupakan bagian dari bermacam-
macam media massa secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu media
untuk menyampaikan suatu informasi atau pesan komunikasi kepada
khalayak luas, yang mengejutkan lagi bahwa film memiliki kemampuan
untuk memanipulasi pesan.
f. Komputer dan Internet
27 Ibid, hal 143 28 Denis Mcquail. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, hal 14
18
Komputer dan internet merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak
dapat dipisahkan. Komputer berfungsi sebagai alat untuk menangkap pesan
yang ditransformasikan melalui jaringan maya (satellite), kegiatan tersebut
sering disebut sebagai aktivitas mengakses internet. Dalam Ardianto
menyebutkan setiap minggunya untuk mendapatkan berita ada dua sampai
tiga pengguna internet mengakses situs.29
Laquey menyatakan bahwa: “internet merupakan jaringan longgar dari
ribuan komputer yang menjangkau jutaan orang di seluruh dunia”.30
1.2 Film
2.2.1 Pengertian Film
Dilansir dari situs kpi.go.id, sesuai dengan Undang-Undang Perfilman yang
berlaku di Indonesia, penjelasan tentang definisi film adalah sebagai berikut:
“pada pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa karya cipta seni dan budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan
asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya.” (UU
No 8 Tahun 1992)31
Sedangkan penjelasan lain mengenai definisi film dapat dilihat pada pasal 1 ayat (1)
UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, yaitu:
“karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi
massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara
dan dapat dipertunjukkan.” (UU Nomor 33 Tahun 2009)32
29 Op.cit Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, hal 149 30 Ibid, hal 150 31 Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perfilman No.8 Tahun 1992 32 Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perfilman No.33 Tahun 2009
19
Selanjutnya, pengertian film dapat dilihat dari unsur pembentukan film. Secara
umum dapat dibedakan menjadi dua unsur, yakni unsur naratif dan sinematik. Kedua
unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film.
Dengan kata lain, unsur film tidak dapat berdiri sendiri, jika dari dua unsur tersebut
hanya berdiri sendiri dan tidak ada kesinambungan maka tidak akan membentuk
sebuah film.33 Bisa kita katakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan
diolah, sementara unsur sinematik adalah cara untuk mengolahnya.
Unsur naratif dalam film yang dimaksud adalah aspek-aspek cerita atau tema
cerita dalam sebuah film. Sebuah film dengan cerita ataupun tema yang kuat tidak
akan berarti tanpa adanya unsur sinematik yang memadai. Berikut adalah gambaran
unsur-unsur yang mempengaruhi film34:
Film Sinematik:
Mise-en scene
Sinematografi
Editing
Unsur Naratif Unsur Sinematik Suara
Film adalah salah satu media seni yang merupakan artefak budaya negara
karena secara tidak langsung masyarakat yang membuatnya. Film juga merupakan
33 Himawan Pratista. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka hal 1 34 Ibid, hal 3
20
produk budaya yang mencerminkan suatu situasi, kondisi, harapan, hingga politik
dalam suatu masyarakat.35
Dengan demikian, sebuah film dapat diartikan sebagai bentuk dari ide dan
gagasan yang mewakili realitas sosial dalam masyarakat namun dituangkan dalam
bentuk seni sesuai dengan unsur-unsur naratif dan sinematik serta terdapat campur
tangan budaya dari pembuat film.
2.2.2 Jenis-jenis Pesan Dalam Film
Menurut Mulyana, pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau non verbal
yang mewakili perasaan, nilai, ide, gagasan sumber. Seperti yang telah disebutkan
oleh Deddy Mulyana, bentuk-bentuk pesan antara lain:36
a. Pesan Verbal
Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan pesan
bersifat verbal. Artinya semua jenis simbol yang menggunakan satu kata
atau lebih. Bahasa juga dianggap sebuah pesan verbal. Bahasa vebal
merupakan sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud.
Dalam penjelasan diatas, dapat diartikan dalam sebuah film, pesan
verbal ialah kata-kata berupa dialog yang diucapkan oleh aktor.
b. Pesan Non-Verbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-
pesan yang tidak diucapkan. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk
35 Setio Budi H. Hutono, Riyono Lukmantoro, dkk. 2016. Menikmati Budaya Layar: Membaca Film.
Yogyakarta: Buku Litera hal 1 36 Op.cit Deddy Mulyana hal 261
21
menggambarkan maupun menegaskan semua peristiwa komunikasi diluar
kata-kata terucap dan tertulis. Secara teoritis, komunikasi nonverbal dan
komunikasi verbal dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua
jenis komunikasi ini saling terjalin satu sama lain. Pesan nonverbal
merupakan semua isyarat yang bukan kata-kata.
Duncan menyebutkan bahwa terdapat enam jenis pesan nonverbal
yaitu:37
1. Pesan kinesik atau gerak tubuh
2. Pesan paralinguistik atau suara
3. Pesan proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial
4. Pesan olfaksi atau penciuman
5. Sensitivitas kulit atau sentuhan
6. Pesan artifaktual atau penampilan
Berdasarkan penjelasan tersebut, pesan nonverbal dalam sebuah film
meliputi dapat ditemukan pada gerak tubuh pemain, suara yang meliputi
musik maupun latar suara hingga intonasi dalam bicara yang diperankan
oleh pemain, setting dalam film tersebut berikut properti yang ada di dalam
film tersebut, serta penampilan yang melekat pada tubuh pemain film yang
terlihat dari wardrobe ataupun tata rias.
2.2.3 Fungsi Film
37 Op.cit Jalaluddin Rakhmat, hal 289
22
Film memiliki fungsi dan dapat dijadikan sebagai suatu sarana untuk
penyampaian ide, pesan, dan, isu sosial yang ada di masyarakat. Menurut Marselli
Sumarno, fungsi-fungsi umum film yang telah melalui proses produksi dan sering
ditemui adalah38:
a) Fungsi informasional yang dapat didapatkan dalam film berita
(newsreel).
b) Fungsi persuasif yang bisa ditemukan dalam film dokumenter atau non
fiksi, umumnya fungsi ini dapat ditemui serta dilihat dari isi message
(pesan) yang mempunyai tujuan merubah perilaku dan sikap setiap
individunya.
c) Fungsi rekreasi atau hiburan yang dapat ditemukan pada jenis film fiksi.
d) Fungsi pendidikan yang hampir dapat ditemukan disemua film, sebab
dengan film film mengajarkan bagaimana bertingkah laku,
bersosialisasi dengan individu/kelompok baru, berpenampilan, dan lain
lain. Nilai pendidikan yang dimaksud dalam film bukan sama persis
dengan kata pendidikan formal seperti pada sekolah. Nilai pendidikan
sebuah film mempunyai makna sebagai pesan moral film yang terdapat
didalamnya.
2.2.4 Klasifikasi Film
Menurut Pratista, film dapat dibagi menjadi tiga jenis. Yang pertama adalah
film yang disebut sebagai kisah nyata atau film dokumenter (Documentary films)
38 Marselli Sumarno. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Grasindo
23
yang kedua adalah film cerita atau fiksi dan film eksperimental.39 Berikut adalah
penjelasan tentang tiga jenis film tersebut:
a) Film Dokumenter
Film dokumenter merupakan karya film berdasarkan peristiwa atau
kejadian yang nyata dan sunguh-sunguh terjadi. Umumnya film
dokumenter berkaitan dengan tokoh, peristiwa, serta lokasi yang nyata dan
menyajikan realita melalui berbagai cara, namun didasarkan oleh tema atau
argumen dari sineasnya. Film dokumenter juga tidak berpaku pada
penokohan yang dibuat-buat, seperti peran protagonis atau antagonis.
Stuktur cerita dalam film jenis ini umumnya sederhana agar penonton dapat
memahami dan mempercayai fakta yang disuguhkan.40
Dokumenter merupakan istilah untuk film pertama karya Lumiere
bersaudara yang bercerita tentang perjalanan (travelogues) yang
diproduksi sekitar tahun 1890-an. Dan pada tanggal 8 Februari tahun 1926,
film dokumenter ini digunakan kembali oleh kritikus yang bernama John
Grierson untuk film karya Robert Flaherty yaitu Moana.41
b) Film Fiksi
Film cerita atau fiksi adalah film yang diproduksi berdasarkan
karangan cerita dan dimainkan oleh pemeran pada serangkaian adegan.
Umumnya film fiksi bersifat komersial, dalam artian bahwa film yang
39 Op.cit, Himawan Pratista, hal 4-8 40 Ibid, hal 4-8 41 Heru Effendy. 2014. Bagaimana Memulai Shooting: Mari Membuat Film. Jakarta: Erlangga.
24
diputar di bioskop bertujuan untuk mendapatkan profit dari penjualan
karcis dengan harga tertentu.42
Dalam aspek cerita, film fiksi menggunakan cerita yang diperankan
oleh tokoh di luar kejadian nyata yang telah ditulis dalam sebuah skenario.
Struktur cerita film juga terikat hukum sebab-akibat. Selain itu, dalam
cerita film fiksi terdapat tokoh yang diperankan dengan karakter protagonis
dan antagonis, masalah dan konflik, penutupan, dan plot.43
Film fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu film fiksi panjang dan
pendek. Keduanya memiliki pengertian yang sama, pembeda antara
keduanya hanya terletak dari durasi film yang disajikan.44
c) Film Eksperimental
Film eksperimental dapat dikatakan sebagai salah satu film yang
sulit dimengerti karena biasanya berbentuk abstrak. Bahkan film ini
terkadang tidak menceritakan apapun, selain itu film ini juga terkadang
melanggar hukum kausalitas. Film eksperimental memiliki struktur, namun
tidak memiliki plot atau alur. Para filmmaker berjenis eksperimental
biasanya bekerja secara independen sehingga dapat dikatakan film ini tidak
terikat oleh konsumen yang nantinya akan berpengaruh pada komersil.45
2.2.5 Genre Film
42 Ibid, 43 Op.cit, Himawan Pratista hal 4-8 44 Op.cit, Heru Effendy 45 Loc. cit, Himawan Pratista hal 4-8
25
Dalam film kita akan menemukan istilah yang disebut dengan genre,
mudahnya genre adalah ragam atau bentuk film yang digolongkan berdasarkan
kesamaan jenis dari sekumpulan film yang meliputi alur cerita, tema, dan struktur
cerita di dalamnya. Genre digunakan untuk mengklasifikasikan film agar
mempermudah penonton untuk menentukan film, seperti:46
1) Film Drama
Film drama adalah adaptasi karya sastra yang mengilustrasikan realitas
kehidupan, umumnya mengedepankan permasalahan yang berkaitan dengan tema
emosional. Film drama ialah film yang paling luas genre filmnya.
2) Film Horror
Film horror ialah film yang berusaha untuk membangkitkan emosi berupa
rasa takut dan kengerian dari penonton yang melihat film tersebut. Alur cerita
film horror sering berhubungan dengan karakter-karakter antagonis non manusia
atau supranatural yang menyeramkan.
3) Film Komedi (Comedy)
Komedi adalah suatu karya yang sifatnya menghibur dan menimbulkan
tawa, genre film komedi berarti sebuah karya film yang fokus utama ceritanya
adalah menghadirkan keseruan dan gelak tawa pada para penontonnya. Film
komedi umumnya berupa drama ringan yang hiperbola dalam aksi, situasi,
hingga harakternya.
4) Film Laga (Action)
46 Ibid, hal 10
26
Film laga ialah sebuah film yang menekankan pada adegan aksi heroik,
perkelahian, cerita pertempuran dengan senjata, aksi-aksi menegangkan yang
diapat dirasakan penonton dari tempo cerita yang cepat.
5) Film Fiksi Ilmiah (Sci-fi)
Film Sci-fi merupakan genre film dengan cerita fiksi yang dipadukan
dengan pengetahuan spekulatif. Seperti film yang menceritakan tentang alien,
kehidupan di galaksi lain, perjalanan waktu, dan cerita lain yang umumnya
terpusat pada imajinasi.
6) Film Petualangan
Film petualangan ialah genre film yang menyajikan suatu film
berhubungan dengan tempat-tempat yang belum terjamah oleh manusia dan
menceritakan tentang eksplorasi tempat tersebut.
7) Film Musikal
Film musikal merupakan perpaduan antara karya seni film, musik, dan
teater. Film musikal umumnya memiliki kesinambungan antara cerita dalam film
maupun cerita dalam musik. Biasanya cerita dalam film ini didominasi oleh
tarian dan lagu untuk mendukung alur cerita.
2.2.6 Pelaku Industri Film
Dalam pembuatan sebuah film fiksi maupun non fiksi, tentunya tidak dapat
dikerjakan sendiri, tetapi secara berkelompok. Para pelaku dalam industri film
terbagi menjadi:47
47 Salim Said. 1982. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers hal 95
27
a. Produser Film
Produser film adalah seseorang yang menginisiasi sebuah proyek film
dan terlibat dalam seluruh proses produksi film. Dimulai pengembangan,
pencarian dana, pra produksi, produksi, pasca produksi, hingga film tersebut
didistribusikan dan bertemu dengan penontonnya. Jabatan ini adalah jabatan
tertinggi dalam dunia film.
b. Sutradara Film (Director)
Sutradara ialah orang yang menetapkan visi kreatif dari sebuah film.
Sutradara mempunyai kontrol atas pilihan-pilihan kreatif, mulai dari
pemilihan aktor, artistik, tata visual, music sampai suara. Oleh sebab itu,
sutradara tidak hanya dituntut mempunyai pemahaman yang mumpuni
terhadap aspek-aspek teknis namun juga karakter yang kuat sebagai pemimpin
dalam memproduksi film. Sutradara juga harus mempunyai daya imajinasi
yang tinggi pada sebuah cerita karena dengan begitu sutradara mampu
memberikan cerita dalam level emosi yang mendalam dan kuat.
c. Penulis Skenario (Writer)
Script Writer (Penulis Scenario) ialah seseorang yang mengaplikasikan
ide-ide cerita ke dalam tulisan, dimana tulisan ini yang akan dijadikan acuan
bagi sutradara untuk memproduksi film.
d. Penata Fotografi (Director of Photography)
28
Director of photography (Penata Fotografi) adalah orang yang
menangkap visi kreatif sutradara ke dalam kamera. DoP mengontrol segala
sesuatu agar memengaruhi apa yang dapat ditangkap kamera (misal:
komposisi gambar, komposisi pencahayaan, filter, dan pergerakan kamera
(camera movement). Penata fotografi adalah kepala kru dari departemen
kamera dan penerangan di lokasi syuting, serta bertugas untuk memilih
kamera, lensa, dan filter yang akan digunakan pada saat produksi.
e. Penyunting Film (Editor)
Penyunting film adalah orang yang bertugas memilah, membuang, dan
merangkai potongan-potongan video (footages) yang telah diambil
kameraman saat produksi menjadi cerita yang sesuai dengan skenario.
Seorang editor film harus pandai dalam mengolah rasa (good taste) agar visi
kreatif sutradara terealisasi dengan baik. Tugasnya juga memberikan special
effect yang dibutuhkan untuk memperkuat cerita maupun karakter yang ada
pada film.
f. Penata Artistik (Art Director)
Art Director ialah seorang koordinator lapangan yang mengerjakan
eksekusi atas semua segala hal yang dirancang dan didesain tata artistik untuk
menerapkan visi kreatif sutradara. Semua proses penyediaan materi artistik
sejak persiapan hingga berlangsungnya perekaman gambar saat produksi
menjadi tanggung jawab seorang art director.
g. Penata Suara (Sound Designer)
29
Penata suara adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengatur
pelaksanaan dan pengolahan suara seperti dialog, monolog, music, dan ambient
dalam sebuah film, drama, dan sebagainya. Penata suara berperan penting untuk
membangkitkan emosi dalam film dengan artian lain sebagai faktor penunjang
untuk menekankan suasana yang terdapat pada cerita dalam film.
h. Pemeran Film (Actor)
Selain sutradara, pemeran film (actor) mempunyai posisi paling vital
untuk menentukan film itu bagus atau jelek di mata para penontonnya. Actor
adalah orang yang harus bisa memperagakan adegan sesuai dengan keinginan
sutradara. Oleh karena itu seorang actor harus bisa menguasai seni akting agar
emosi dalam cerita dapat dirasakan oleh penonton.
2.2.7 Film Independen (Indie)
Film indie atau independen ialah film yang diproduksi serta didistribusikan
tanpa harus mengikuti kaidah-kaidah perfilman konvensional. Di Indonesia film
independen dimaksudkan sebagai film alternatif di luar film ‘mainstream’ yang
dirasa terlalu kapitalis, tidak bebas, dan terlalu banyak aturan. Produksi dan
distribusinya juga berdasarkan semangat ‘indie’ para film maker yang mayoritas
berkarakter eksperimental dan dekonstruktif.48
Umumnya film indie memiliki karakter yang tidak jauh dari persona
pembuatnya. Pada dasarnya film indie adalah sebuah film yang lahir dari
48 Askurifai Baskin. Peranan Perkembangan Film Indie Terhadap Bangkitnya Film Nasional. Mediator: Jurnal Komunikasi, vol. 3, no. 1, 2002, hal 127.
30
kegelisahan seorang filmmaker terhadap sesuatu isu dan merubahnya menjadi karya
film tanpa melihat aspek-aspek komersil.
2.2.8 Kritik Sosial Dalam Film
Fungsi film sebagai media massa untuk memberi eduksai maupun persuasi,
merupakan satu dari sekian banyak media yang dapat menjangkau khalayak luas
dalam upaya mengirimkan pesan. Salah satunya adalah penyampaian pesan
komunikasi berupa kritik sosial.
“Pada dasarnya pengendalian sosial atau kontrol sosial merupakan suatu usaha
untuk mempengaruhi pihak lain. Menurut Roucek (1951) kontrol sosial atau
pengendalian sosial adalah suatu cara yang dilakukan pihak tertentu dalam
rangka menyeragamkan studi terhadap perilaku manusia. Pengendalian sosial
juga merupakan suatu kekuatan untuk mengroganisasi tingkah laku sosial
budaya. Menurut Sumner perilaku sosial tidak dapat dipahami tanpa
mempelajari tata kelakukan, kebiasaan, lembaga-lembaga dan penilaian yang
menjadi landasan aturan perilaku manusia”.49
Dari penjelasan di atas, maka kritik sosial yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kritik yang dimuat dalam sebuah pesan melalui media (film) sebagai saran
atau penilaian terhadap realita yang terjadi di masyarakat dalam upaya membangun
keseragaman perilaku masyarakat secara umum. Kritik sosial dijadikan sebagai
sarana pengendalian sosial dalam kehidupan bermasyarakat agar tercipta
masyarakat yang patuh terhadap aturan, kebiasaan, serta norma-norma yang
disepakati bersama masyarakat secara luas.
2.3 Gender
Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila
dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan
49 Soerjono Soekanto. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, hal 2
31
untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Semua
atribut sosial tentang laki-laki dan perempuan, laki-laki digambarkan dengan sifat
maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sedangkan perempuan digambarkan
memiliki sifat feminin seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut.50
Perbedaan tersebut dapat dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat.
Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat
secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara
sosial, masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi
yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Biasanya isu gender muncul sebagai
akibat suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender.51
Achmad, dalam buku Bias Gender Dalam Birokrasi menyebutkan bahwa:
“istilah maskulin seringkali digunakan untuk menyebutkan sifat yang
kelelakian, sedangkan feminim untuk menyebutkan sifat keperempuanan.
Maskulin dan feminim dibentuk secara sosial dan tidak ada tolak ukur yang
pasti, sehingga masyarakat dapat menyebut seseorang bersifat feminim atau
maskulin berdasarkan pada sosial budaya tempatnya tinggal. Ideologi gender
merupakan ideologi yang mengkotak-kotakkan peran dan posisi ideal
perempuan didalam rumah tangga dan masyarakat. Peran ideal inilah yang
akhirnya menjadi sesuatu yang aku dan stereotip”.52
Merasa bahwa perempuan diperlakukan tidak adil di masyarakat karena adanya
konsep gender membuat sebagian feminis ahli psikologi sadar dan menganalisis
kesalahan dari teori gender. Mereka mengajak seluruh masyarakat terutama kaum
perempuan untuk sadar bahwa selama ini mereka diperlakukan tidak adil oleh konsep
50 Tanti Hermawati, Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender, Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1, Juli 2007, Hal. 21. 51 Ibid, 52 Partini. 2013. Bias Gender Dalam Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana hal 17
32
gender dan mengembangkan suatu konsep baru yang mengikis perbedaan perlakuan
bagi perempuan dan laki-laki. Harus disadari bahwa konsep atau ideologi gender
membuat manusia jadi terkotak-kotak. Konsep baru ini diharapkan dapat memberi
kesempatan dan kedudukan yang sejajar bagi perempuan maupun laki-laki untuk
membuat keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus berorientasi pada konsep gender.53
Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran
manusia atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis
dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sitem nilai dari bangsa,
masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena
perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya, atau karena
kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal dan tidak
berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
2.3.1 Stereotip dalam Gender
Stereotip adalah bentuk dari mengkotak-kotakkan suatu golongan tertentu
berdasarkan ras, suku, jenis kelamin hingga keadaan mental seseorang kedalam
persepsi yang sempit. Stereotip cenderung menyamaratakan ciri-ciri sekelompok
orang tanpa sepenuhnya mengetahui latar belakang seseorang tersebut.54 Peoples
dan Bailey mengungkapkan: “setiap masyarakat memiliki stereotip mengenai
anggota, etika, dan kelompok rasial dari masyarakat yang lain”.55
53 Ibid, Hal. 23. 54 Indri Margaretha Sidabolok. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika, hal 203 55 Ibid, hal 50
33
Ideologi gender seringkali menyudutkan perempuan dalam konteks
kefeminimannya, sehingga yang dilakukan perempuan hanyalah untuk
memantaskan diri sebagaimana telah digariskan sesuai dengan kodrat dan stereotip
yang sudah menjadi hal yang baku didalam masyarakat.56
2.3.2 Patriarki
Secara harfiah, patriarki adalah kekuasaan bapak atau “patriarch”. Awalnya
patriarki adalah sistem dalam keluarga yang menyebutkan “kaum laki-laki adalah
penguasa di dalam keluarga”. Kemudian istilah ini berkembang dan digunakan
secara general untuk menyebut kekuasaan laki-laki terhadap perempuan serta
menyebut sistem yang menguasai perempuan agar tetap dikuasai oleh laki-laki
dengan berbagai cara.57
Menuurut Gerda Lerner, “kaum tradisionalis, baik yang bekerja di dalam
kerangka agama maupun ‘ilmiah’ menganggap subordinasi perempuan itu ada di
mana-mana, takdir Tuhan, atau alamiah, dan oleh karena itu tidak bisa diubah…
Apa yang terus bertahan, bertahan karena ia adalah yang terbaik; karena itu akan
terus demikian”.58
Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang memposisikan perempuan
derajatnya lebih rendah dibandingkan laki-laki. Istilah-istilah tersebut tertanam
dalam keseharian masyarakat jawa pada umumnya, bahkan telah dimaklumi dan
56 Op.cit, Partini, hal 18 57 Kamla Bhasin, diterjemahkan oleh Nug Katjasungkana. 1996. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, hal 1 58 Ibid, hal 28
34
diterima begitu saja. Sebagai contoh, dalam istilah Jawa ada menyebutkan bahwa
istri sebagai kanca wingking atau teman belakang, artinya segala urusan rumah
tangga dikelola oleh istri, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan
sebagainya. Contoh lain adalah bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak
yang berarti bahwa seorang istri itu mempunyai kewajiban penuh untuk
memberikan keturunan, harus berdandan untuk untuk suaminya dan harus bisa
memasak untuk keluarga.59
2.3.3 Kesetaraan Gender
Perbedaan gender terkadang dapat menimbulkan suatu ketidakadilan terhadap
kaum laki–laki dan kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat termanifestasi
dalam berbagai bentuk ketidakadilan.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur yang di dalamnya baik
laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan
gender menurut Mansour Fakih termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam putusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif
dan sebagainya.60
59 Op.cit, Tanti Hermawati, hal 20 60Dwi Edi Wibowo, Jurnal, Peran Ganda Perempuan Dan Kesetaraan Gender, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan, Lulusan S2 Universitas Admajaya Yogyakarta, Hal. 360.
35
Dalam bukunya Bias Gender dan Birokrasi, Partini juga menyebutkan pendapat
Deaux dan Kite, bahwa:61
“sistem kepercayaan gender mencakup elemen diskriptif, yaitu kepercayaan
tentang bagaimana “sebenarnya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana
“seharusnya” lakilaki dan perempuan bersikap”.
Pendapat Arif Budiman dikemukakan dalam buku Partini, menjelaskan bahwa
teori Nature menganggap perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan
diakibatkan karena adanya faktor-faktor biologis. Sedangkan teori Nurture
menganggap perbedaan tersebut terbentuk karena adanya proses belajar dari
lingkungan dimana mereka tinggal.62
2.4 Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti tanda. Basis dari semiotika adalah dari studi klasik dan skolastik atas seni
logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001). Tanda-tanda adalah dasar dari semua
komunikasi (Littlejohn, 1996. dalam Sobur). Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai
ilmu atau metode analisis yang mengkaji soal tanda.63
Kajian mengenai tanda dan cara tanda-tanda tersebut bekerja disebut
semiotika atau semiologi. Definisi semiotika menurut ahli sastra (Teew, 1984) adalah
tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model
sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk
61 Loc.cit, Partini hal 20 62 Ibid, hal 1 63 Alex Sobur. 2018. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal 17
36
pemahaman gejala ssastra sebagai alat komunikasi yang khas didalam masyarakat
manapun.64 Selanjutnya McQuail berpendapat bahwa:65
“semiotik adalah ‘ilmu umum tentang tanda’ dan mencakup strukturalisme
dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan
dengan signifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur,
beraneka ragam, dan terpisah-pisah”.
Ferdinan De Saussure dan Charles Sanders Pierce adalah dua orang pelopor
semiotika. Tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak
mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar
belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat.66 Semiologi,
menurut Saussure, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah
manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di
belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana
ada tanda di sana ada sistem. Sedangkan Pierce menyebut ilmu yang dibangunnya
semiotika (semiotics). Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia
senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika (Pierce) lebih populer dari pada
istilah semiologi (Saussure).67
Sampai saat ini terdapat sembilan macam semiotika menurut Mansoer
Pateda:68
64 Alex Sobur. 2018. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal 17 65 Ibid, hal 108 66 Op.cit Alex Sobur, hal 108 67 Nawiroh Vera. 2014. Semiotika Dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia 68 Alex Sobur. 2018. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal 100
37
1. Semiotika analitik, adalah semiotika yang menganalisis sistem tanda yang
menganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna.
2. Semiotika deskriptif, adalah semiotika yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti
yang kita saksikan sekarang.
3. Semiotika faunal (zoosemiotics), adalah semiotika yang memperhatikan sistem
tanda yang dapat dari hewan-hewan yang berkomunikasi melalu tanda-tanda
tertentu. Dan bunyi dari hewan tersebut dapat dimengerti oleh manusia.
Contohnya, ketika ayam jantan berkokok pada malam hari, dapat dimengerti
sebagai penunjuk waktu, yakni malam hari sebentar lagi berganti siang. Induk
ayam berkotek-berkotek sebagai pertanda ayam itu bertelur atau ada yang
mengganggunya.
4. Semiotika kultural, adalah semiotika yang khusus menjelaskan tentang sistem
tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
5. Semiotika naratif, adalah semiotika yang khusus menjelaskan tentang tanda
dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan.
6. Semiotika natular, adalah semiotika yang khusus menjelaskan sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam. Contohnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) melihat awan yang hitam di atas kota Jakarta, sebagai dasar
perkiraan hujan akan turun mengguyur kota Jakarta. Contoh lainnya, petir yang
diikuti turunnya hujan menandakan bahwa terdapat awan yang bergulung tebal,
dan hujan dipastikan turun dengan lebat.
38
7. Semiotika normatif, adalah yakni semiotika yang khusus menjelaskan sistem
tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma.
8. Semiotika sosial, adalah semiotik yang khusus menjelaskan sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia berwujud lambang, baik lambang berwujud kata
ataupun kalimat.
9. Semiotika struktural, adalah semiotika yang khusus menjelaskan sistem tanda
yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.5 Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan
di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Ayahnya yang seorang perwira angkatan laut meninggal dalam
pertempuran di Laut Utara, kemudian Barthes tinggal bersama ibu, kakek, dan
neneknya. Karya-karya Barthes telah banyak dalam bentuk tulisan dan buku, beberapa
diantaranya menjadi bahan rujukan penting pada kajian semiotika di Indonesia, salah
satunya adalah “Le Degre Zero De I’ecriture” atau “Nol Derajat Dalam Bidang
Menulis”.69
Saussure tertarik pada cara pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat dalam menentukan makna yang kompleks, akan tetapi kurang sependapat
dengan kenyataan yang menyatakan bahwa perbedaan pada situasi dan orang akan
memiliki makna yang berbeda pula, meskipun penyampaian kalimatnya sama. Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
69 Op.cit Alex Sobur, hal 64
39
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Pendapat
Roland Barthes ini terkenal dengan sebutan “order of signification”, yaitu mencakup
denotasi dan konotasi. Inilah yang menjadi pembeda antara Saussure dan Barthes,
meskipun istilah signifer-signified yang diusung Saussure tetap diterapkan pada
gagasan Barthes.70
Semiologi Roland Barthes mendasari kajian-kajian Barthes selanjutnya
terhadap obyek-obyek kenyataan atau unsur-unsur kebudayaan yang sering ditelitinya.
Cakupan kajian kebudayaan Barthes sangat luas meliputi berbagai macam budaya,
fikm, kesusastraan, hingga busana. Dalam bahasanya sendiri Barthes menyimpulkan
bahwa:71
“The world is full of signs, but these signs do not all have the fine simplicity
of the letters of the alphabet, of highway signs, or of military uniforms: They
are infinitely more complex.”
Berarti: “dunia ini penuh dengan tanda-tanda, tetapi tanda-tanda ini tak semuanya
punya kesederhanaan murni dari huruf-huruf, alfabet, tanda lalu lintas, atau seragam
militer: mereka secara tak terbatas lebih kompleks”.
Roland Barthes menyatakan bahwa ada dua tingkatan sistem signifikasi dalam
memaknai suatu tanda, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan proses
signifikasi tradisional yang mengacu pada arti tanda secara harfiah. Denotasi
merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta mudah
70 Op.cit Nawiroh Vera, 71 Ibid,
40
dipahami oleh hampir semua orang di dalam suatu kebudayaan tertentu tanpa harus
memerlukan penafsiran yang mendalam terhadap tanda tersebut. Sedangkan konotasi
merupakan tingkat makna lapisan kedua.72
Sebuah makna konotasi tercipta melalui penggabungan penanda-petanda
dengan aspek kebudayaan yang lebih luas seperti ideologi, kebudayaan, sikap,
kerangka berfikir suatu formasi sosial tertentu. Konotasi merupakan keterkaitan erat
antara keyakinan-keyakinan dari seseorang untuk menafsirkan sebuah simbol tertentu.
Dengan demikian, konotasi dapat memiliki banyak tafsir tergantung pada setiap orang
yang menginterpretasikannya.73
Jadi, dalam konsep Barthes terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekedar
memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat
berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam
tataran denotatif.74
Dalam kerangka Barthes, makna konotasi persis dengan operasi ideologi yang
kemudian disebut dengan ‘mitos’. Berfungsi untuk menguak nilai-nilai dominan dan
memberikan pembenaran terhadap sesuatu yang berlaku dalam suatu periode tertentu.75
Roland Barthes menyebutkan bahwa mitos adalah suatu konotasi yang sudah
terbentuk lama di masyarakat. Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan
72 Op.cit Alex Sobur, hal 70 73 Op.cit Nawiroh Vera 74 Op.cit Alex Sobur, hal 69 75 Ibid, hal 71
41
sistem semiologis, yakni sistem dari simbol-simbol yang dimaknai manusia. Mitos
dalam pengertian ini tentunya tidak ada kaitannya dengan mitos yang kita anggap
sebagai tahayul, tidak masuk akal, lain-lain, tetapi mitos menurut Barthes lebih kepada
gaya berbicara seseorang. Jika konotasi itu sudah mantap, maka ia menjadi mitos,
sedangkan mitos yang sudah mantap akan menjadi ideologi. Nilai ideologis dari mitos
muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan
membenarkan nilai-nilai dominan yang ada dalam masyarakat.76
Sederhananya, pengertian denotasi ialah makna yang sebenarnya yang sama
dengan makna lugas untuk menyampaikan sesuatu yang bersifat faktual atau eksplisit
dan makna sebenarnya. Konotasi ialah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya
bersifat sindiran dan merupakan makna denotasi yang mengalami penambahan dan
bersifat implisit atau tersembunyi, Sedangkan mitos adalah makna konotasi yang telah
disepakati bersama dengan berbagai latar belakang budaya, pola pikir, dan sebagainya
pada suatu tataran masyarakat tertentu.
Seiring dengan perkembangan dunia seni, maka kajian semiotika yang
awalnya hanya mengkaji ranah bahasa dan sastra, kini telah merambah pada kajian seni
lainnya, termasuk dalam dunia seni film. Hal ini pula yang mempengaruhi
perkembangan kajian semiotika yang berkaitan dengan film.
Melanjutkan studi Hjemslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana
tanda bekerja (Cobley & Jansz):77
76 Op.cit, Nawiroh Vera 77 Op.cit Alex Sobur, hal 69
42
Gambar 2.1 Peta tanda bekerja (Cobley & Jansz)
Dari peta yang diciptakan Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Tetapi disaat bersamaan tanda denotatif adalah
juga penanda konotatif (4).78 Jadi, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaanya.
Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah,
sedangkan dalam semiologi Roland Barthes denotasi adalah sistem signifikasi lapisan
pertama sementara konotasi merupakan lapisan kedua. Sebagai respon paling ekstrem
terhadap keharfiahan denotasi yang bersifat mutlak ini, ia mencoba menolak dan
menyingkirkan keberadaan denotasi ini. Baginya yang ada hanyalah konotasi.
Meskipun penolakan ini terasa berlebihan, namun denotasi tetap berguna sebagai
78 Ibid, hal 69
43
sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan suatu yang
alamiah. 79
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan salah satu sumber referensi literatur yang
digunakan dalam penelitian ini. Peneliti membuat tabel uraian penelitian terdahulu
untuk menjelaskan perbedaan serta sebagai perbandingan dengan penelitian-penelitian
yang telah dilakukan terlebih dulu. Kemudian, penelitian terdahulu juga merupakan
salah satu pijakan peneliti dalam melakukan penelitian ini untuk memperkuat hasil
temuan yang peneliti peroleh.
Peneliti/Judul Teori Hasil Penelitian
Analisis Semiotika Rasa
Kasih Sayang Dalam
Film Grave Torture Karya
Joko Sutradara Joko
Anwar oleh Mohamad
Iqbal Zulfahmi (UIN
Syarif Hidayatullah,
Jakarta)
Analisis
Semiotika
model
Roland
Barthes
Tanda-tanda kasih sayang dalam
penelitian ini memiliki arti yang sangat
dalam, pesan yang ditemukan adalah
agar kita selalu mengingat pada
kematian dan pemberian apa yang bisa
ditinggalkan kepada orang-orang
terdekat ketika telah mati. Hal ini
adalah sebagai tanda kasih sayang
yang nantinya berefek kepada
penilaian orang-orang yang
ditinggalkan.
Representasi Makna Film
Surat Kecil Untik Tuhan
(Pendekatan Analisis
Semiotika) oleh Ayu
Purwati Hastim (UIN
Alauddin, Makassar)
Analisis
Semiotika
model
Charles
Sander
Pierce
Dibalik kisah film ini, khalayak
penonton dapat memperoleh berbagai
pesan/hikmah dan suatu pembelajaran
tentang pentingnya sikap sabar, ikhlas,
tawakal/berserah diri, dan sikap syukur
kepada Allah swt atas limpahan rezeki,
materi, kesehatan, maupun dalam
keadaan tertimpa musibah seperti yang
ditunjukkan dalam film ini.
Pesan Moral dalam
FilmPendek
Analisis
Semiotika
Dalam penelitian ini disimpulkan
bahwa dalam Film Pendek
79 Ibid, hal 70
44
#WANITABESI Produksi
Pantene Malaysia
(Analisis Semiotika
Roland Barthes) oleh Dwi
Retno Sari (UIN Sunan
Ampel Surabaya)
model
Roland
Barthes
#WANITABESI Produksi Pantene
Malaysia ditemukan petanda dan
penanda pesan moral dalam film ini
yakni sikap meremehkan, sikap
ketidakadilan dalam lingkup gender
dan sikap pantang menyerah oleh
wanita yang berjuang atas impiannya.
Tabel 2.1 Uraian Penelitian Terdahulu
Dari tabel uraian diatas perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti ialah dalam memaknai sebuah pesan yang terkadung dalam sebuah film
pendek, peneliti menggunakan landasan teori yang berbeda dengan penelitian
terdahulu. Kemudian bahasan-bahasan yang diurai peneliti dalam penelitian ini seputar
pesan kritik sosial yang ada dalam sebuah film pendek. Peneliti berfokus pada kritik
sosial tentang ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang tersirat dalam film pendek
“Anak Lanang” karya Wahyu Agung Prasetyo.