bab 3 analisis data 3.1. analisis haiku pertamathesis.binus.ac.id/doc/bab3/2008-2-00321-jp bab...
TRANSCRIPT
20
Bab 3
Analisis Data
3.1. Analisis Haiku Pertama
Gambar 3.1. Ukiyo-e Karya Isoda Koryūsai (1770)
(Perbesaran Kaligrafi Haiku)
Sumber : Calza (2005 : 168) Judul Ukiyo-e: 鴛鴦 Oshidori Bacaan Kaligrafi Haiku: 鴛鴦の / 衾やさむき / 契 かな。 Oshidori no / fusuma ya samuki / chigiri kana. Terjemahan: Bebek mandarin pada selimut dan janji yang membeku.
========
21
3.1.1. Analisis Kata “Oshidori”
Menurut Aix Galericulata dalam BirdLife International (2006) menjelaskan bahwa
Oshidori yang tertulis dalam kanji Jepang “鴛鴦” merupakan kanji yang penulisannya
berasal dari kanji Cina kuno dengan arti bebek Mandarin, yang saat ini di Cina penulisan
kanji tersebut telah dipermudah menjadi ”鸳鸯” dan dibaca yuān yāng dengan arti yang
sama.
Menurut Nelson (2003 : 986), kanji “鴛” yang dalam bahasa Jepang dibaca en
diartikan sebagai bebek mandarin jantan, sedangkan kanji “鴦” yang dalam bahasa
Jepang dibaca ō diartikan sebagai bebek mandarin betina. Sehingga kanji “鴛鴦” yang
dalam bahasa Jepang dibaca oshidori diartikan sebagai salah satu jenis bebek yang
disebut bebek mandarin atau dengan nama ilmiah Aix Galericulata pada Mandarin Duck
dalam Animal Diversity Web (2008). Binatang ini berhabitat di hutan Cina dan Jepang.
Namun, sesuai pada nama binatang ini yang disebut bebek mandarin karena spesies ini
pertama kali ditemukan di Cina pada zaman sebelum masehi.
Gambar 3.2. Oshidori / Aix Galericulata (Bebek Mandarin)
Sumber : http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Aix_galericulata.html
22
Analisis:
Berdasarkan pada arti simbolisme menurut Calza (2005 : 443), mengemukakan
bahwa di daerah Asia Timur, kedua oshidori dalam ukiyo-e tersebut disimbolkan sebagai
kesetiaan dan kebahagiaan. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh dua hal.
Sebab yang pertama berdasarkan dari penelitian Harris (2008), mengenai segi
biologis kehidupan bebek ini. Binatang ini merupakan tipe binatang yang suka berkelana
atau bermigrasi dalam jangkauan 500 mil per 24 jam, sehingga populasi bebek ini
mencapai Siberia Timur, Cina, dan Jepang. Akan tetapi pada saat musim dingin,
binatang ini akan bermigrasi ke daerah Selatan Cina dan Jepang. Bebek ini merupakan
tipe bebek yang suka berkelana jauh, akan tetapi bebek tersebut tahu kapan waktunya
untuk pulang ke tempat mereka dilahirkan, walaupun pada saat mereka melakukan
perjalanan tersebut telah terjadi berbagai macam rintangan yang mempertaruhkan nyawa
mereka seperti perburuan binatang yang dilakukan oleh manusia maupun keadaan cuaca
yang tidak menentu sehingga dapat menimbulkan suatu penyakit dan menyebabkan
kematian. Hal ini merupakan suatu tekad yang harus dilakukan oleh bebek ini
berdasarkan insting mereka untuk pulang, sesulit apapun dalam perjalanannnya, mereka
tidak akan lari dari sesuatu yang harus dilakukannya apabila waktunya sudah tiba. Oleh
karena itu, binatang ini disimbolkan sebagai kesetiaan.
Kemudian sebab yang kedua berdasarkan dari sejarah tradisi mengenai simbol Cina
kuno menurut Johnson (2003), yang menceritakan bahwa bebek ini suka hidup
berdampingan dengan pasangan kekasihnya seperti pada gambar 3.2. dan tidak pernah
sekalipun pindah pasangan dengan bebek betina atau jantan yang lainnya, seperti yang
dilakukan hewan liar lainnya (seperti macan, anjing, monyet, dan sebagainya). Oleh
23
karena itu, di Cina mereka menggunakan pasangan oshidori sebagai simbol dan logo
perkawinan yang diartikan sebagai kesetiaan dan kebahagiaan.
Gambar 3.3. Logo Oshidori Sebagai Simbol Perkawinan Dalam Tradisi Cina Kuno.
Sumber : http://threepagodas.net/antiques/symbolism.php?
Bagi orang Jepang itu sendiri pada zaman Edo, oshidori yang lebih sering terlihat
pada musim dingin di daerah Selatan Jepang. Jika didasari pada kanji Jepangnya “鴛鴦”
yang berasal dari kanji Cina kuno dengan penulisan kanjinya yang sama. Dapat
dipastikan bahwa arti simbolisme mengenai oshidori sebagai kesetiaan dan kebahagiaan
memiliki kemiripan dengan tradisi Cina karena dari tradisi Cinalah, orang Jepang
menemukan arti simbol tersebut. Penjelasan mengenai makna referensial dapat di lihat
dari tabel di bawah ini.
Tabel 3.1. Makna Referensial Kata Oshidori
Benda Nyata Benda Referensial
Oshidori (Bebek mandarin)
Perkawinan
Pasangan Oshidori
Kesetiaan dan kebahagiaan
24
3.1.2. Analisis Kata “Fusuma”
Menurut Nelson (2003 : 155) kata fusuma yang berdasarkan pada tulisan kanji ”衾”
diartikan sebagai selimut kapas, sprei, dan baju tidur Jepang (seperti pada contoh gambar
3.4 dan 3.5). Pada saat zaman Edo, semua benda tersebut pada umumnya berwarna putih.
Namun dalam haiku pertama ini, berdasarkan dari keterkaitan antara gambar pada
ukiyo-e dengan arti dari penulisan haiku. Kata fusuma lebih diartikan sebagai selimut
kapas daripada sprei ataupun baju tidur Jepang. Hal ini dikarenakan, selimut kapas
memiliki fungsi dan cara penggunaan yang lebih cocok pada makna dalam haiku
pertama ini. Walaupun selimut kapas, sprei dan baju tidur Jepang pada memiliki fungsi
yang sama yaitu untuk menghangatkan tubuh pada waktu tidur.
Gambar 3.4. Baju Tidur Jepang (Fusuma) Gambar 3.5. Selimut Kapas (Fusuma)
Sumber: http://wkdkigodatabase03.blogspot.com
Analisis:
Kata selimut pada haiku ini, merupakan suatu majas metafora yang membandingkan
antara salju yang turun pada musim dingin sehingga menyelimuti atau menimbun sungai
dan puncak gunung, seperti pada bukti perbesaran gambar ukiyo-e 3.6. dan 3.7. Dengan
selimut kapas berwarna putih yang memiliki fungsi sebagai alat untuk menyelimuti
tubuh, menutupi dan penghangat tubuh pada waktu tidur. Kedua hal ini, memiliki
25
kesamaan karena apabila kita melihat puncak gunung yang tertutup oleh salju, kita juga
melihat seolah – olah gunung tersebut terselimuti oleh selimut putih yang sangat besar.
Kemudian pada saat seseorang tidur dengan menggunakan selimut kapas pun, juga
memiliki suatu pandangan yang sama dengan puncak gunung yang terselimuti salju.
Gambar 3.6. Gunung Terselimuti Salju Gambar 3.7. Orang Terselimuti Selimut Kapas
Sumber: Calza (2005 : 168) Sumber: http://www.flickr.com
Sehingga kata selimut merujuk pada hal yang sama dengan salju yang menimbun
karena memiliki kesamaan akan warnanya yaitu berwarna putih dan memiliki kesamaan
pada kondisinya yang menyelimuti sesuatu seperti memakai selimut kapas. Penjelasan
mengenai makna referensial pada kata selimut dapat di lihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 3.2. Makna Referensial Kata “Fusuma”
Benda Nyata Benda Referensial
Salju Selimut kapas
Menutupi, menyelimuti
26
3.1.3. Analisis Klausa “Samuki Chigiri Kana”
“Samuki chigiri kana” sebuah klausa yang tertulis dalam haiku ini, dengan tulisan
Jepangnya “さむき 契 かな”. Kata samuki dalam tulisan Jepang “さむき” diartikan
sebagai dingin, beku atau membeku. Kemudian kata chigiri dalam tulisan Jepang “契”
diartikan sebagai janji setia atau sumpah. Lalu kata kana dalam tulisan “ か な ”
merupakan suatu kireji (pemberhentian kata atau jeda kata) yang diartikan sebagai
alangkah!. Sehingga secara keseluruhan klausa ini diartikan dari bahasa Jepang ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “janji yang membeku”.
Gambar 3.8. Perbesaran Kanji Kana Pada Penulisan Haiku Dalam Ukiyo-e, yang Pada Saat Ini Kanji Tersebut Sudah Tidak Lagi Di pakai.
Sumber : Calza (2005 : 168)
Analisis:
Dengan melalui analisis struktur puisi berdasarkan lapis ketiga, objek yang
dikemukakan pada haiku adalah oshidori (bebek mandarin). Lalu, seperti yang telah di
bahas dalam analisis kata “Oshidori” bahwa binatang tersebut, lebih sering dijumpai di
daerah selatan Jepang pada saat musim dingin. Oleh sebab itu, orang Jepang menyebut
oshidori yang selalu datang pada saat musim dingin seperti “janji yang membeku” pada
klausa haiku pertama ini.
27
Lalu menurut Calza (2005 : 443), menerjemahkan “Samuki chigiri kana” ke dalam
bahasa Inggris menjadi “Has it Frozen too, The Promise of Love”, terjemahan dalam
bahasa Indonesianya adalah “Apakah juga telah membeku, janji akan cinta”. Jika di lihat
dari konsep Calza dalam menerjemahkan klausa tersebut, kata samuki diterjemahkan
sebagai membeku dan kata chigiri diterjemahkan sebagai janji, akan tetapi yang
dipertanyakan pada terjemahan haiku dalam bahasa Inggris ini adalah adanya
penggunaan kata Love yang diartikan cinta atau asmara. Padahal dalam haiku bahasa
Jepang aslinya tidak ada satu kata pun yang dapat diterjemahkan atau diartikan sebagai
cinta. Hal ini disebabkan karena, Calza juga berpendapat sama akan arti dari simbolisme
oshidori ini yang diartikan sebagai logo perkawinan mengenai kesetiaan dan
kebahagiaan akan cinta. Oleh karena itu, untuk memperjelas akan pengertian dari haiku
Jepang ke dalam bahasa Inggris mengenai janji akan apa, dalam haiku ini. Calza
menggunakan kata Love sebagai janji akan cinta adalah jawabannya.
Sehingga makna kata dari klausa “Samuki chigiri kana” dalam terjemahan bahasa
Indonesia “janji yang membeku” merupakan makna konotasi yang dikonotasikan dengan
janji cinta yang setia pada pasangannya. Oleh karena itu, makna klausa “janji yang
membeku” di sini merupakan suatu majas metafora terhadap suatu kepastian janji yang
harus dipatuhi. Penjelasan mengenai makna referensial dapat di lihat dari tabel 3.3:
Tabel 3.3. Makna Referensial klausa “Samuki Chigiri Kana”
Benda Nyata Benda Referensial Janji cinta yang
setia pada pasangannya
Samuki chigiri kana (janji yang membeku)
Kepastian janji, harus dipatuhi
28
3.1.4. Analisis Makna Keseluruhan dari Haiku Pertama
Haiku yang pertama ini, merupakan penulisan kaligrafi yang tertulis di dalam ukiyo-
e karya Koryūsai yang di buat pada zaman Edo (1770) dengan judul “Oshidori” dalam
bahasa Jepang, sedangkan dalam bahasa Inggris di beri judul “Pair of Mandarin Ducks
in The Snow”. Haiku tersebut adalah:
鴛鴦の衾やさむき契かな。 Oshidori no fusuma ya samuki chigiri kana.
Terjemahan:
Bebek mandarin pada selimut dan janji yang membeku.
Analisis:
Maksud dari haiku pertama ini adalah sepasang oshidori (bebek mandarin) yang
selalu setia datang pada saat musim dingin ke Jepang berenang di atas air yang di timbun
salju seperti suatu perjanjian yang telah membeku dan tidak pernah memudar. Hal
tersebut merupakan makna konotasi dari suatu asmara atau cinta sepasang kekasih yang
selalu setia dan bahagia untuk hidup bersama, sehingga kesetiaan dan kebahagiaan
tersebut merupakan suatu janji atau perjanjian yang sudah pasti dipatuhi atau harus
dipatuhi.
Dalam hal ini, juga disetujui oleh Calza (2005 : 443) dengan menerjemahkan haiku
pertama ini ke dalam bahasa Inggris menjadi “The mandarin ducks on the sliding door:
has it Frozen too, the promise of love”. Walaupun ada kesalahan penerjemahan dalam
bahasa Inggrisnya pada kata “sliding door” yang berarti pintu geser dalam bahasa
Jepangnya “Fusuma” dengan kanji “襖”, yang seharusnya diterjemahkan sebagai selimut
29
kapas karena kata “Fusuma” disini menggunakan kanji “衾”. Pada terjemahan tersebut,
ada menggunakan kata “love” dari klausa “the promise of love” yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “janji akan cinta”. Sehingga karena hal tersebut, dapat
dipastikan bahwa Calza (2005 : 433) juga menganalisa sama mengenai makna haiku
tersebut, sebagai suatu makna konotasi dengan janji setia dan bahagia untuk hidup
bersama dengan kekasihnya seperti suatu janji pernikahan yang harus dipatuhi untuk
menjadi suami istri. Penjelasan mengenai makna referensial dapat di lihat dari tabel di
bawah ini:
Tabel 3.4. Makna Referensial dari Haiku Pertama
Benda Nyata Benda Referensial Cinta sepasang kekasih yang selalu setia
dan bahagia untuk hidup bersama
鴛鴦の衾やさむき契かな Oshidori no fusuma ya samuki chigiri kana
(Bebek mandarin pada selimut dan janji yang membeku)
Janji pernikahan mengenai kesetiaan dan kebahagiaan yang pasti dipatuhi.
30
3.2. Analisis Haiku Kedua
Gambar 3.9. Ukiyo-e Karya Isoda Koryūsai (1775)
(Perbesaran Kaligrafi Haiku)
Sumber : Calza (2005 : 169)
Judul Ukiyo-e:
Tsuru to Matsu to Hinode
Bacaan Kaligrafi Haiku: 首 長く / 觜 長く / 足 長く / 命 も 永く / そろい 鶴 かな。 Kubi nagaku / kuchibashi nagaku / ashi nagaku / inochi mo nagaku / soroi tsuru kana. Terjemahan:
========
31
Leher yang panjang paruh yang panjang kaki yang panjang nyawa pun juga panjang semuanya seragam untuk burung bangau Jepang. 3.2.1. Analisis Keseluruhan Makna dari Haiku Kedua
Menurut Red-Crowned Crane-Birdlife Species Factsheet dalam Birdlife
International (2008), kata tsuru yang tertulis dalam kanji Jepang pada haiku tersebut
“鶴” diartikan sebagai burung bangau Jepang atau dengan nama ilmiah Grus Japonensis,
sedangkan dalam bahasa Inggris orang menyebutnya red crowned crane yang diartikan
sebagai bangau bermahkota merah.
Sesuai namanya burung bangau jenis ini berhabitat di negara Jepang khususnya di
pulau Hokkaido, kota Kushiro dan bila burung tersebut melakukan migrasi, mereka akan
terbang secara berkelompok dan saling menjaga satu sama lain. Bangau ini termasuk
spesies binatang terlangka di dunia dan memiliki ciri – ciri bentuk fisiknya yang tinggi
sekitar 150 cm, leher yang panjang, kaki yang panjang, bulu pada badannya yang putih
dan bulu bagian belakang badan dan sayapnya yang hitam.
Gambar 3.10. Tsuru / Grus Japonensis (Burung Bangau Jepang)
Sumber : http://www.birdlife.org
Kaki yang panjang
Leher yang panjang
Paruh yang panjang Atas kepala yang berwarna merah
32
Analisis:
Di Jepang, tsuru (burung bangau Jepang) merupakan jenis burung yang memiliki
paling banyak arti dalam simbolisme Jepang jika dibandingkan dengan jenis – jenis
burung lainnya seperti oshidori (bebek mandarin), karigane (angsa), mimizuku (burung
hantu), dan jenis – jenis burung lainnya yang memiliki arti simbolisme. Oleh karena itu,
ada banyak kuil – kuil shinto di Jepang yang menggunakan gambar tsuru sebagai simbol
akan kebudayaan mereka.
Arti – arti simbolisme tsuru (burung bangau Jepang) ini yaitu, menurut analisa Calza
(2005 : 443) mengemukakan bahwa tsuru disimbolkan sebagai keabadian. Hal ini
dikarenakan, burung tersebut memiliki umur yang panjang seperti binatang kura – kura
yang dapat hidup hingga umur 100 tahun lebih. Lalu tsuru juga disimbolkan sebagai
kesetiaan, perdamaian dan keharmonisan. Hal ini dikarenakan, berdasarkan pada
kehidupan biologis burung ini menurut Voeler (1998) mengemukakan bahwa burung
bangau ini hidup di dalam komunitas dimana mereka tidak pernah melakukan
perkelahian antar sesama, baik perkelahian dalam merebutkan makanan maupun
merebutkan burung betina seperti yang dilakukan jenis binatang liar lainnya dan burung
ini juga mempunyai sifat yang setia pada pasangannya hingga seumur hidupnya seperti
arti simbolisme oshidori sebagai kesetiaan dan kebahagiaan.
Tidak hanya itu, menurut kepercayaan orang Jepang pada Symbolism Of Oriental
Motif dalam Waiapo Website (2008) mengemukakan bahwa tsuru juga disimbolkan
sebagai kemakmuran. Oleh karena itu, jika melihat dari arti – arti dalam simbolisme
tersebut, kata tsuru dalam haiku ini merupakan suatu metafora dari perdamainan,
sehingga kalimat pada haiku ini dapat dikonotasikan dengan keinginan dan harapan
manusia untuk menciptakan perdamaian dan keharmonisan. Seperti dalam hal diri kita,
33
Koryūsai (pelukis ukiyo-e dan penulis haiku kedua ini) juga berharap dan ingin manusia
dapat hidup dengan kedamaian dan keharmonisan karena dengan adanya perdamaian,
maka akan dapat mencakup keseluruhan arti simbolisme pada kata tsuru sebagai
keabadian (perdamaian berarti tidak ada peperangan, sehingga tidak akan terjadi korban
jiwa akibat perang dan manusia dapat hidup lebih lama), kemakmuran, dan kesetiaan
(perdamaian berarti tidak ada musuh, sehingga tidak akan ada seorangpun yang
dihianati).
Semuanya berhubungan, apabila perdamaian dapat mencakup keseluruhan arti dari
simbolisme tsuru sebagai keharmonisan, kemakmuran, keabadian, dan kesetiaan. Pada
terjemahan haiku kedua ini, hubungan erat tersebut masih dapat dirasakan, seperti cara
Koryūsai dalam menulis bahwa tsuru, benar – benar memiliki kaki yang panjang, paruh
yang panjang, leher yang panjang, dan nyawa yang panjang. Begitu pula pada susunan
kata – kata dalam haiku-nya, yang tersusun dan ditulis secara berurutan seolah – olah
memiliki hubungan antara satu kluasa dengan klausa lainnya, dengan tujuan untuk
memperkuat makna haiku. Penjelasan mengenai keterkaitan hubungan antar satu klausa
dengan klausa lainnya dapat di lihat pada diagram 3.1:
34
Diagram 3.1. Hubungan Antar Setiap Klausa Dalam Haiku kedua
首長く Kubi nagaku
觜長く Kuchibashi nagaku
足長く ashi nagaku i 命も永く inochi mo nagaku
Dengan kata lain, Koryūsai (pelukis ukiyo-e dan penulis haiku kedua ini) dengan
sengaja menyusun penulisan haiku, baik pada subjek utamanya yaitu tsuru, lalu setiap
kata – kata maupun dengan klausa - klausa yang berhubungan. Dengan maksud untuk
menjelaskan bahwa sesuatu akan dapat disebut perdamaian apabila ada kemakmuran,
keharmonisan, kesetiaan, dan keabadian. Seperti yang tertulis pada haiku Jepangnya
“Kubi nagaku kuchibashi nagaku ashi nagaku inochi mo nagaku soroi tsuru kana” dapat
diartikan menjadi sesuatu akan dapat disebut sebagai burung bangau Jepang apabila
memiliki leher yang panjang, paruh yang panjang, kaki yang panjang, dan nyawa yang
panjang pula. Penjelasan mengenai makna referensial dapat di lihat dari tabel 3.5:
首長く觜長く足長く命も永くそろい鶴かな。 Kubi ngaku kuchibashi nagaku ashi nagaku i hi k i t k
35
Tabel 3.5. Makna Referensial dari Haiku Kedua.
Benda Nyata Benda Referensial
Menciptakan perdamaian untuk memperoleh kemakmuran, keharmonisan,
kesetiaan, dan keabadian
首長く觜長く足長く命も永くそろい鶴かな.
Kubi ngaku kuchibashi nagaku ashi nagaku inochi mo nagaku soroi tsuru
kana. (Leher yang panjang, paruh yang
panjang, kaki yang panjang, nyawa pun juga panjang, semuanya seragam untuk
burung bangau Jepang)
keinginan dan harapan manusia
36
3.3. Analisis Haiku Ketiga
Gambar 3.11. Ukiyo-e Karya Katsushika Hokusai (1834)
(Perbesaran Kaligrafi Haiku)
Sumber : Calza (2005 : 180)
Judul Ukiyo-e:
鷽 垂桜 Uso Tarezakura Bacaan Kaligrafi Haiku: 鳥 一つ / 濡れて いでけり / 朝桜。 Tori Hitotsu / Nurete Idekeri / Asazakura. Terjemahan: Hanya satu burung dengan basah kuyup muncul keluar pohon sakura di pagi hari.
=====
37
3.3.1. Analisis Kata “Tori”
Kata tori pada haiku ini yang berarti burung, merupakan suatu subjek yang memiliki
peran penting dalam analisis makna haiku ini, dan arti suatu simbolisme tidak akan dapat
ditemukan apabila kata tersebut hanyalah sekedar burung tanpa spesifik yang jelas akan
jenis burungnya. Akan tetapi, penulis dapat mengetahui jenis burung pada haiku ini
dengan melihat judul Ukiyo-e dari haiku ketiga ini “Uso Tarezakura” yang diartikan
“Burung kutilang bergantung pada pohon sakura “, sehingga penulis dapat memastikan
bahwa yang kata tori dalam haiku ini merupakan burung yang berjeniskan burung
kutilang dengan kanji Jepangnya ”鷽” dibaca “Uso”. Seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 3.12. Uso (Burung Kutilang)
(Perbesaran Gambar Pada Ukiyo-e) Sumber : http://www.hawkowlsnest.com Sumber : Calza (2005 : 180)
Menurut Finches Bullfinch Pyrrhula Pyrrhula dalam BirdGuides (1999),
menjelaskan bahwa burung kutilang atau dengan nama ilmiah Pyrrhula pyrrhula dan
nama Inggrisnya Eurasian Bullfinch merupakan tipe burung yang terkenal karena bentuk
38
fisiknya yang gemuk sekitar 26 g dengan ukuran 15 – 16 cm, panjang sayap 28 cm,
binatang ini juga terkenal akan pekerjaannya yang rapi (dalam menyusun kandang
tempat bertelor). Burung kuting ini berhabitat di Inggris dan Jepang pada daerah hutan
belantara.
Analisis:
Menurut Bullfinch Festival dalam World Events Guide (2008), menjelaskan bahwa di
Jepang, burung kutilang telah dijadikan sebagai simbol tradisi dalam festival yang
dinamakan Usokae dalam kanji Jepangnya “ 鷽 替 え ” diartikan sebagai bertukaran
kebohongan atau bertukaran burung kutilang. Tujuan dalam festival tersebut adalah
untuk menukar tahun lalu yang penuh kebohongan dan sifat – sifat negatif dengan tahun
baru yang penuh kejujuran dan kebahagiaan. Festival ini diadakan di Perfektur Fukuoka
pada kota Dazaifu di tempat keramat Dazaifu Tenmangu, festival ini diadakan setiap
pada bulan Januari.
Menurut Usokae (Bullfinch Exchance) dalam Japan National Tourist Organization
(2007) juga menjelaskan mengenai festival Usoka bahwa burung kutilang telah dijadikan
sebagai simbol akan kebahagiaan dan keberuntungan, sehingga orang – orang Jepang
memetaforakan burung tersebut sebagai pembawa pesan kebaikan dari Tenjin-sama atau
diartikan sebagai Dewa.
Dalam hal ini, tidak ada penjelasan yang dapat dimengerti mengenai alasan kenapa
burung tersebut dikatakan sebagai simbol kebahagiaan dan keberuntungan. Hal tersebut
dikarenakan, sedikitnya jumlah orang yang mengetahui festival tersebut karena hanya
dirayakan setahun sekali pada satu kota dan pada satu kuil saja di Jepang yaitu di kota
39
Daizafu pada kuil Daizafu Tenmangu. Penjelasan mengenai makna referensial dapat di
lihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 3.6. Makna Referensial dari Kata “Tori”
Benda Nyata Benda Referensial
Pembawa pesan kebaikan dari Dewa Tori (Uso) Burung Kutilang
3.3.2. Analisis Kata “Sakura”
Berdasarkan pada pengertian kata, menurut Nelson (2003 : 500) kata sakura yang
tertulis dalam kanji Jepang “桜” diartikan sebagai pohon ceri yang berbunga, atau suatu
nama dari jenis bunga.
Kemudian jika di lihat dari asal mula kata Sakura, menurut Colenciuc (2008)
mengemukakan bahwa kata sakura tersebut, merupakan suatu pelencengan kata dari
sakuya yang berarti berbunga atau bermekaran, sedangkan kata sakuya tersebut
merupakan kata yang di ambil dari nama seorang wanita dalam mitologi Jepang
“Konohana Sakuya Hime” yang diartikan “Putri Pohon Berbunga Mekar”, seorang putri
yang diceritakan bahwa Sakuya Hime merupakan seorang anak dari Dewa
Ohoyamatsumi yang tinggal di tempat keramat pada puncak gunung Fuji. Pada mitologi
tersebut, Konohana Sakuya Hime telah dijadikan arti simbolisme sebagai kehidupan
duniawi yang lembut.
Kebahagiaan dan Keberuntungan
40
Gambar 3.13. Patung Konohana Sakuya Hime
Sumber : http://www.yoyokaku.com/sub7e-49.htm
Menurut Spring In Japan! dalam The Japanese Connection (2008), mengemukakan
bahwa dalam setiap tahun nya di Jepang, bunga sakura atau dengan nama ilmiah Prunus
Serrulata hanya dapat berbunga pada waktu musim semi dan membutuhkan waktu
sekitar enam sampai delapan minggu untuk bunga sakura supaya dapat berbunga dengan
seutuhnya.
Tidak hanya itu, sakura juga memiliki sistem cara berbunga yang unik karena secara
perlahan – lahan pohon sakura berbunga terlebih dahulu dari daerah Selatan Jepang
(pulau Okinawa), hingga baru mulai berbunga ke daerah Utara Jepang (pulau Hokkaido).
Sehingga pada setiap perfektur di Jepang, bunga sakura memiliki tanggal waktu
berbunganya yang berbeda – beda. Tanggal tersebut dapat di lihat pada gambar 3.14:
41
Gambar 3.14. Tanggal Berbunganya Pohon Sakura
Sumber : http://www.thejapaneseconnection.com
Analisis:
Chow Lee (1995 : 142) menjelaskan bahwa berdasarkan pada pengaruh ajaran agama
Budha di Jepang, orang – orang Jepang memetaforakan sakura sebagai kehidupan alam
yang sementara dan kecantikan yang sesaat. Hal ini dapat dibenarkan, karena
berdasarkan kehidupan biologi pertumbuhan bunga ini, seperti yang telah diungkapkan
menurut Spring In Japan! dalam The Japanese Connection (2008) mengemukakan
bahwa bunga sakura membutuhkan waktu sekitar enam sampai delapan minggu untuk
menunggu bunga tersebut benar – benar bermekar, tetapi bunga yang telah bermekar
tersebut membutuhkan waktu di bawah dua minggu untuk layu dan berguguran,
sehingga dengan kata lain bunga sakura memiliki umur yang lebih singkat untuk masa
berbunganya daripada umur pada saat pertumbuhannya.
42
Gambar 3.15. Sakura
(Perbesaran Gambar Pada Ukiyo-e ketiga) (Gambar Bunga Sakura asli)
Sumber : Calza (2005 : 180) Sumber : http://www.flickr.com
Tidak hanya itu, menurut Ohnuki-Tierney (2002 : 9-10) juga mengemukakan bahwa
bunga sakura yang berguguran sebagai simbol pejuang yang jatuh dan mati karena
keberaniannya dalam peperangan. Sehingga dalam arti simbol tersebut pada saat perang
dunia kedua, unit pasukan kamikaze Jepang menggunakan gambar sakura pada samping
bomnya dan juga pesawat terbang sebagai motivasi simbolnya.
Jika didasari pada arti - arti simbolisme sakura tersebut, yaitu sebagai pejuang yang
jatuh karena keberaniannya dan juga metaforanya sebagai kehidupan dan kecantikan
yang sesaat. Dapat dipastikan bahwa kata sakura pada haiku ketiga ini, merupakan suatu
makna yang dikonotasikan dengan sesuatu yang sesaat atau sementara. Hal ini
dikarenakan, jika melihat dari arti simbolisme sakura sebagai pejuang yang jatuh,
kehidupan dan kecantikan yang sementara. Semua arti dari simbolisme tersebut,
mencoba mengatakan sesuatu bahwa kehidupan, kecantikan, atau bahkan segala sesuatu
yang ada pada diri makhluk hidup baik itu manusia maupun binatang lainnya, semuanya
bersifat sementara (tidak ada sesuatu yang hidup selamanya), sama seperti bunga yang
43
membutuhkan waktu tidak lama untuk layu. Penjelasan mengenai makna referensial
dapat di lihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 3.7. Makna Referensial dari Kata “Sakura”
Benda Nyata Benda Referensial
Kehidupan, kecantikan, atau segala sesuatu pada diri makhluk hidup
Sakura
3.3.3. Analisis Keseluruhan Makna dari Haiku Ketiga
Untuk haiku yang ketiga, merupakan hasil penulisan kaligrafi yang tertulis di dalam
ukiyo-e karya Hokusai yang di buat pada zaman Edo (1834) dengan judul dalam bahasa
Jepangnya “Uso Tarezakura” yang diartikan “Burung kutilang bergantung pada pohon
sakura “. Haiku tersebut adalah:
鳥一つ 濡れて いでけり 朝桜。 Tori Hitotsu Nurete Idekeri Asazakura. Terjemahan: Hanya satu burung dengan basah kuyup muncul keluar pohon sakura di pagi hari.
Analisis:
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, makna dari kata tori merupakan burung
yang berjeniskan burung kutilang karena berdasarkan dari judul ukiyo-e “Uso
darezakura” yang berarti “Burung kutilang bergantung pada pohon sakura”, sehingga
Sementara, tidak berlangsung selamanya
44
makna dari kata tori adalah makna yang dikonotasikan dengan arti simbolismenya
sebagai kebahagiaan dan keburuntungan.
Kemudian pada kata “Asazakura” yang diartikan “pohon sakura di pagi hari”
merupakan makna yang dikonotasikan dengan sesuatu yang berlangsung sementara atau
tidak akan hidup selamanya. Kata “Asa” (pagi hari) dalam haiku ini merupakan bagian
dari tata cara penulisan haiku yang disebut sebagai kandungan kigo berfungsi untuk
melambangkan atau mendalami suatu masa, musim, dan waktu di dalam puisi, sehingga
dapat menunjukkan keterangan mengenai waktu, sehingga kata “Asa” tersebut
bermakna denotasi dan tidak memiliki perasaan tambahan.
Tidak hanya itu, di dalam haiku ketiga ini menyebutkan “Tori Hitotsu Nurete Idekeri
Asazakura” yang diartikan “Hanya satu burung dengan basah kuyub muncul keluar
pohon sakura di pagi hari”, yang harus diperhatikan disini adalah adanya kata “Hitotsu”
dan frase “Nurete Idekeri”. Kenapa burung tersebut hanya ada satu (Hitotsu) dan muncul
keluar dalam keadaan basah (Nurete Idekeri). Hal ini dikarenakan, kata “satu” dalam
haiku ini merupakan suatu majas metafora akan kesempatan yang hanya akan datang
sekali, kemudian pada frase “Nurete Idekeri” ini merupakan majas metafora akan
terlahir baru (seperti bayi yang baru terlahir dari kandungan ibu, sehingga dalam
keadaan basah kuyup akan darah).
Sehingga makna dari haiku ini, Hokusai (penulis haiku dan pelukis ukiyo-e ini) ingin
memberitahu bahwa kesempatan baru akan keberuntungan dan kebahagiaan hanya akan
datang satu kali, dan kesempatan tersebut hanya akan terjadi dalam waktu sesaat. Seperti
dalam haiku Jepang “Tori Hitotsu Nurete Idekeri Asazakura” yang diartikan “pada
pohon sakura di pagi hari, hanya ada satu burung yang keluar dalam keadaan basah
kuyup”. Penjelasan mengenai makna referensial dapat di lihat pada tabel3.8:
45
Tabel 3.8. Makna Referensial dari Haiku Ketiga.
Benda Nyata Benda Referensial
kesempatan baru akan keberuntungan dan kebahagiaan
Tori Hitotsu Nurete Idekeri Asazakura (pada pohon sakura di pagi hari, hanya
ada satu burung yang keluar dalam keadaan basah kuyup)
Kesempatan baru yang hanya akan datang satu kali dan kesempatan tersebut
hanya akan terjadi dalam sementara waktu