referat - demam tifoid (1)
Post on 05-Jul-2018
358 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
1/21
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Periode 26 Oktober s/d 2 Januari 2015
RSUD KOJA, Jakarta
Referat
DEMAM TIFOID
Oleh:
Krisantus Desiderius Jebada112014152
Pembimbing :dr. Afaf, Sp. A
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl . Terusan A rju na No.6 Kebo n Jeru k, Jakarta Barat . Telp. 021-56942061
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
2/21
Demam Tifoid 2 | H a l a m a n
DEMAM TIFOID
Pendahuluan. Salmonelosis adalah penyakit yang umum dan tersebar luas serta merupakan
salah satu masalah utama yang mengenai jutaan orang dan memiliki angka mortalitas yang
masih cukup tinggi. Salmonelosis merupakan suatu food-borne diseasis , menyerang saluran
cerna baik manusia maupun hewan berdarah panas atau dingin. 1
Salmonela secara umum dibagi menjadi dua kelompok berbeda yaitu typhoidal salmonella
dan Nontyphoid salmonella (NTS). Thypoid salmonella atau demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella enterica serovar Typhi. Berbeda dengan salmonella typhi yang menyebabkan
kelainan sistemik, NTS hanya menyebabkan inflamasi lokal pada saluran cerna yang kemudian
menimbulkan infiltrasi leukosit ke dalam lumen dan menyebabkan diare. Selain itu perbedaan
lainnya adalah bahwa NTS memiliki waktu onset yang cepat dan durasinya singkat sedangkan
salmonella typhi memiliki waktu inkubasi dan periode sakit yang lebih lama, dimana
manifestasi sistemiknya lebih dominan dan hanya sebagian anak yang datang dengan keluhan
diare. Hal ini disebabkan karena NTS tidak mampu melewati mekanisme defensif pada saluran
cerna dibandingkan dengan salmonella typhi. 1
Enteric fever atau lebih umum dikenal sebagai demam tifoid masih merupakan penyakitendemis di banyak negara berkembang.
Etiologi. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella enterica serovoar Typhi (S. Typhi), suatu
bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dandinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik. Penyakit ini mirip dengan S.
Paratyphi tetapi memiliki manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan S.
Patatyphi. 1-3
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
3/21
Demam Tifoid 3 | H a l a m a n
Gambar 1: Nomenklatur salmonela. Sumber: Kliegman, Stanton, St. Geme, Schor Behrman [editor]. Nelson textbook of pediatrics.
19 th Ed. 2011.
Meskipun S, Typhi memiliki beberapa kemiripan secara genetik dengan E. Coli atau S.
Typhimurium (95%), tetapi bakteri ini memiliki beberapa bagian gen yang bersifat patogenik
dan diduga hal ini didapatkan dari selama evolusi S. Typhi. Salah satu produk gen patogenik
yang banyak dikenal adalah kapsul polisakarida Vi yang menentukan virulensi bakteri ini
dengan menghambat mekanisme bakterisidal dari sistem imun penderita yang terkena. 1
Epidemiologi. Diperkirakan lebih dari 21,7 juta kasus terjadi dan menyebabkan lebih dari
200.000 kematian setiap tahunnya, dan daerah Asia memiliki porsi terbesar dari penyakit ini.
Sebagai tambahan 5,4 juta kasus disebabkan oleh paratyphoid juga terjadi setiap tahunnya. 1
Di negara maju, insidens penyakit ini kurang dari
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
4/21
Demam Tifoid 4 | H a l a m a n
Transmisi yang paling sering dari S. Typhi adalah melalui makanan atau minuman yang telah
terkontaminasi bakteri yang berasal dari feses penderita atau karier. 1-4
Patogenesis. S. Typhi dapat menyebabkan penyakit jika dosis yang masuk ke dlaam
pencernaan sekitar 10 5-10 9 bakteri dengan masa inkubasinya 4 sampai 14 hari, tergantung
dari banyaknya bakteri yang masuk. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks
mengikuti ingesti organisme, yaitu: (1) penempelan dan invasi sel- sel M Peyer’s patch, (2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus
mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar
cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal. 2
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan
menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria.
Bakteri kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang
disebut Peyer’s patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe
mesenterika hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan
retikuloendotelial (hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi
enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke
sirkulasi sistemik (bakteremia II) dan menginvasi organ lain, baik intra maupun
ekstraintestinal. 2
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh. Bakteri Salmonella typhi bersama
makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung
dengan suasana asam (pH
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
5/21
Demam Tifoid 5 | H a l a m a n
dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam
folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. 2
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar
dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara
ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh
Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari
ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi organism di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. 2
Peran Endotoksin. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di
dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan
nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik. Proinflamatory tersebut adalah IL-6, IL-1B
dan TNF-a yang berasal dari sel yang terinfeksi. 2
Respons Imunologik. Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik
di tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme
imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi
tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan
jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier
memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji
hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap
harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu. 2
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
6/21
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
7/21
Demam Tifoid 7 | H a l a m a n
4) Stadium evolusi: demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup lama.
Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih ada dalam
jumlah minimal (menjadi karier kronis).
Gambar 3: Manifestasi klinis demam tifoid. Sumber: Kliegman, Stanton, St. Geme, Schor Behrman [editor]. Nelson textbook of pediatrics.
19 th Ed. 2011.
Gejala klinis yang muncul pada demam tifoid berbeda-beda tergantung usia penderita. Tetapi
tidak ada pembagian yang jelas mengenai gejala ini karena manifestasi klinis yang berbeda
pada usia yang sama didaerah yang berbeda. Misalnya dari studi yang dilakukan di Amerika
Selatan dan Afrika menunjukkan manifestasi klinis yang ringan dari demam tifoid jika
mengenai anak dengan usia yang lebih muda. Tetapi hal ini berbeda dengan angka insiden
yang terjadi di Asia dimana anak dengan usia kurang dari 5 tahun memiliki peluang yang lebih
besar untuk terjadinya komplikasi berat dan merupakan populasi terbanyak yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit dibandingkan kelompok usia lainnya. 2
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
8/21
Demam Tifoid 8 | H a l a m a n
Demam tifoid biasanya bermanifestasi sebagai demam yang tinggi, dengan gejala tambahan
yang bervariasi seperti mialgia, nyeri abdomen, hepatosplenomegali serta anoreksia. Pada
anak-anak diare dapat terjadi pada stadium awal penyakit ini dan kemudian diikuti dengan
konstipasi.
Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pda akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada
minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien
demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut dan delirium atau
obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.2
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan
dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai
akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid
sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul
episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi
dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku
bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan
splenomegali. 2
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm sering
kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih,
tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10
dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardia
relatif jarang dijumpai pada anak. 2
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
9/21
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
10/21
Demam Tifoid 10 | H a l a m a n
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada EKG,
syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa asimtomatik
dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase
yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase,maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada
penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan
fenomena pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat
sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit
demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang
buruk. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat
ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder
oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi
intravascular diseminata, hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi
sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah
dan persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih
jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah
penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium
konvalesens, saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam
pengobatan antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid
sebelumnya dan lebih singkat.
Pemeriksaan Fisik. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian
tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai
daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
11/21
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
12/21
Demam Tifoid 12 | H a l a m a n
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi
hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih
sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan
media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut. 2
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu
yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang. 2
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
13/21
Demam Tifoid 13 | H a l a m a n
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan,
adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume
spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Serologi Salmonella typhi . Salmonela dapat digolongkan berdasarkan antigen somatic (O)
dan antigen flagel (H) dan kemudian dibagi ke dalam berapa serotipe dalam fase 1 atau 2.
Beberapa salmonella memiliki antigen envelope yang disebut Vi (virulensi). Salmonela yang
menyebabkan demam tifoid dan paratifoid memiliki beberapa komposisi antigen yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini. 1
Gambar 4: Antigen Sallmonela typhi. Sumber: WHO. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhiod
fever. 2003.
Antigen spesifik O pada demam tifoid dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Gambar 5: Antigen Spesifik O Sallmonela typhi. Sumber: WHO. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhiod
fever. 2003.
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
14/21
Demam Tifoid 14 | H a l a m a n
Antigen H spesifik pada penyebab demam tifoid dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Gambar 6: Antigen Spesifik H Sallmonela typhi. Sumber: WHO. Background document: the diagnosis, treatment and prevention of typhiod
fever. 2003.
TEST FELIX-WIDAL. Tes ini bertujuan untuk mengukur level aglutinasi antibodi terhadap
antigen O dan H. Biasanya antibodi O muncul pada hari 6-8 dan antibodi H muncul pada hari
ke 10-12 setelah onset penyakit. Pemeriksaan ini membutuhkan 1 ml darah pasien. Prinsip uji
Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Beberapa penelitian
pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Kelemahan uji Widal
yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil
uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya
masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis sepertiIndonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Hasil
negatif palsu juga dapat terjadi karena pemberian antibiotik yang cepat sehingga
menurunkan respons antibodi pasien. Dilain pihak, antigen O dan H dari S. Typhi memiliki
kesamaan dengan antigen dari golongan salmonela serotipe yang lain, selain itu epitopnya
bereaksi silang dengan beberapa Enterobacteriacae dan menyebabkan positif palsu.
Menentukan nilai cut-off pada pemeriksaan ini cukup sulit karena perbedaan tingkat
endemisitas antara satu daerah dengan daerah yang lain. Peningkatan titer minimal empat
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
15/21
Demam Tifoid 15 | H a l a m a n
kali dari titer antibodi pada fase akut jika dibandingkan titer antibodi pada fase konvalesens
memiliki nilai diagnostik yang penting. 3
PEMERIKSAAN SEROLOGI TERBARU. Dibutuhkan pemeriksaan yang lebih cepat dan lebih
reliabel untuk mendiagnosis demam tifoid sebagai aternatif test Widal. Beberapa
pemeriksaan tersebut adalah: 3
IDL Tubex® yang dipasarkan oleh sebuah perusahaan dari Swedia, yang bekerja
dengan mendeteksi antibodi IgM O9 hanya dalam beberapa menit.
Typhidot® yang dikembangkan di Malaysia untuk mendeteksi antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap 50 Kd antigen dari S. Typhi. Test ini membutuhkan waktu
pemeriksaan kurang lebih 3 jam.
Typhidot-M® yang bertujuan hanya memeriksa antibodi IgM, yang dipstiknya
dikembangkan di Belanda.
TEST TUBEX. Merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalamdiagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
Diagnosis. Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukanberbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan
metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal dan
mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi
Salmonella typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
16/21
Demam Tifoid 16 | H a l a m a n
yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan specimen
yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif
didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam
praktik sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yangdiambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di
Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide
agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang t erjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
Salmonella typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat
timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukt biakan darah positif.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi antibody
Salmonella typhi dalam serum, antigen terhadap Salmonella typhi dalam darah, serum dan
urin bahkan DNA Salmonella typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain reaction telah
digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. typhi secara spesifik pada darah pasien
dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif
dibandingkan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang
baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum
disepakati adanya pemerksaan yang dapt menggantikan uji serologi Widal.
Diagnosa Banding. Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis
dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
17/21
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
18/21
Demam Tifoid 18 | H a l a m a n
diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukosit
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
19/21
Demam Tifoid 19 | H a l a m a n
selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis per oral selama 30 hari.
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid
serangan pertama.
Indikasi Rawat. Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
Cairan dan Kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung.
-
Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhandengan kadar natrium rendah.
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan O2.
- Pelihara keadaan nutrisi.
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
Antipiretik, diberikan apabila demam >39 o C, kecuali pada pasien dengan riwayatkejang demam dapat diberikan lebih awal.
Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup.
- Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna
dan perforasi usus.
Prognosis. Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik
yang adekuat, angka mortalitas 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
20/21
Demam Tifoid 20 | H a l a m a n
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah
infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasiumum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama
pada individu dengan skistosomiasis. 2
Pencegahan. Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oC untuk
beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57 oC beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah
serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid. 2
Vaksin Demam Tifoid. Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,
yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi.
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB
vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun
vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal
pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidupyang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari,
memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2
tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik
dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi
diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun. 2
-
8/16/2019 Referat - Demam Tifoid (1)
21/21
Demam Tifoid 21 | H a l a m a n
Referensi
1. Bhutta AZ. Enteric fever. In: Kliegman RM, Stanton BF, Joseph W, Schor NF, Behrman RE.Nelson textbook of pediatrics. Ed 19. Philadelphia: WB Saunders; 2011.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Ed2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015: 338-45.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta: MediaAesculapius; 2014: 74-5.
4. Diagnosis of typhoid fever. Dalam: Background document: The diagnosis, treatment andprevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003: 7-18.
5. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedomanpelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter AnakIndonesia; 2009: 47-9.
top related