faktor determinan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
Post on 04-Nov-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS
ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG
TAHUN 2011
DETERMINANT FACTORS ON POLICY APPLICATION LOYALTY OF FREE-SMOKE AREA IN BARAKA
DISTRICT OF ENREKANG REGENCY IN 2011
RAHMA SRI SUSANTI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2011
2
FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS
ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG
TAHUN 2011
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
RAHMA SRI SUSANTI
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2011
3
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Rahma Sri Susanti
Nomor Pokok : P1804209008
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Mei 2011
Yang menyatakan
Rahma Sri Susanti
4
5
6
7
8
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, nikmat kesehatan dan kekuatan yang diberikan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul
“FAKTOR DETERMINAN TERHADAP PENERAPAN KEBIJAKAN
KAWASAN BEBAS ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA
KABUPATEN ENREKANG TAHUN 2011”. Sebagai syarat dalam
meyelesaikan studi di PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
HASANUDDIN
Salam dan Shalawat selalu tercurah untuk Rasulullah Muhammad
SAW beserta keluarganya, para sahabat dan orang –orang yang
senantiasa istigomah mengikuti jalannya hingga akhir zaman.
Perkenankan pula penulis dengan tulus menyampaikan rasa terima
kasih yang dalam dan penghargaan yang sebesarnya kepada Dr. Drg. H.
A. Zulkifli Abdullah, MS selaku ketua komisi penasehat dan bapak Prof.
DR. Ridwan Amiruddin, SKM,M.Kes,M.Sc.PH selaku anggota
penasehat penelitian , yang tak pernah lelah di sela-sela kesibukannya
dan dengan penuh kesabaran memberikan arahan, perhatian, motivasi,
masukan dan dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini.
9
Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan pula kepada
bapak penguji Prof. Dr. dr. Rasdi Nawi,M.Sc bapak Dr. dr.
Citrakesumasari,M.Kes dan bapak Dr. Darmawansyah, SE, MS atas
kesediannya menjadi penguji yang banyak memberikan arahan dan
masukan berharga, falsafah-falsafah hidup kepada penulis sebagai
mahasiswa.
Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada:
1. Dr. dr. H. Noer Bachry Noor, M.Sc selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. dr. Rasdi Nawi, M.Sc selaku Ketua Konsentrasi Epidemiologi
Universitas Hasanuddin serta Bapak ibu dosen pengajar, pegawai di
lingkup Pascasarjana Universitas Hasanuddin, khususnya konsentrasi
epidemiologi, yang telah memberikan dan meletakkan dasar-dasar ilmu
pengetahuan epidemiologi kepada penulis.
3. Prof.Dr.dr.Idrus Paturusi, Sp.B, selaku rektor Universitas Hasanuddin,
beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin.
4. Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH selaku Dekan fakultas kesehatan
masyarakat dan stafnya yang telah membantu penulis selama masa
pendidikan.
5. Bapak Camat Baraka beserta stafnya yang telah banyak membantu
peneliti dan memberi ijin untuk melakukan penelitian di daerahnya
10
6. Bapak Kepala Desa Bone-Bone dan Kepala Desa Kendenan beserta
masyarakatnya yang senantiasa membantu peneliti pada saat
melakukan penelitian
7. Seluruh staf pengajar program Study Kesehatan Masyarakat,
Konsentrasi Epidemiologi yang telah memberikan banyak ilmu selama
penulis mengikuti pendidikan.
8. Ayahanda Amiruddin, BA dan ibunda St. Hatijah serta Saudara-
saudaraku tersayang Riskiawan Hairuddin, A.Md, SE, Fitri Dwi Kurniati,
S.pd, Sri Dewi Anugrah Wati, S.pd , Muhammad Kurniawan Saputra
yang telah memberikan doa, cinta, perhatian, kasih sayang, dorongan
baik moril maupun materil, mendidik dan membesarkan penulis dengan
penuh keikhlasan serta doa restunya yang selalu mengiringi penulis
dalam setiap langkah.
9. Sjamsul Rasjid S.KM.,M.Kes dan seluruh rekan-rekan dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Timur (Nurhayati, SKM.,
M.Kes, Hermawati, SKM, M.Kes, Zuraedah, SKM., M.Kes, Idalailah,
SKM, Marthniy, SKM., M.Kes, Rahmatsyah, SKM., M.Si, Yusrianto,
SKM., M.Kes, Anto, SKM., M.Kes, Lisma Syarifuddin, SKM, Syafri,
SKM, Fitra, SKM, Irfan, SKM, Musdalifa, SKM, Rahma, SKM, Sidar,
SKM, Rosmini, SE, Melati, SE atas segala bantuan , Motivasi yang
sangat besar kepada penulis
11
10. Rekan-rekan mahasiswa S2 Konsentrasi Epidemiologi Reguler
terkhusus untuk Eka, S.KM, Diah, S.KM, Amma, S.KM, Shandra, S.KM,
Irma, S.KM, Chaca, S.KM, Henny, S.KM, Urwa, S.KM, Hasna, S.KM,
Nikma, S.KM, Mul, S.KM, Ical, S.KM). Atas bantuan yang tak
terhingga.
11. Rekan-rekan seperjuangan epidemiologi reguler 2009, terima kasaih
atas kebersamaannya, kekompakannya, bantuan serta motivasi yang
diberikan yang tercipta mulai awal kuliah hingga akhir, memberi warna
dalam hidup penulis yang akan dikenang selamanya.
12. Tante Dahlia, dan sepupuku rina, Fia, sastra, Amma, Idham, Wati,
Kahar, Illank, Ila, dan Ayyu serta seluruh keluarga yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu atas segala doa dan perhatiannya kepada
penulis.
13. Sahabat-sahabatku Puji Astuti Dwi Antini, S.KM, Fatimah, S.KM,
Zulkarnain, S.KM, Asrim Arif terima kasih atas dukungan, bantuan dan
motivasi yang diberikan selama ini kepada penulis.
14. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama ini.
Akhirul Qalam bahwa tidak ada yang memiliki kesempurnaan,
kecuali pemilik kesempurnaan itu sendiri. Penulis sangat menyadari
bahwa apa yang penulis paparkan dalam tesis ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, namun demikian penulis berharap agar tesis ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
12
Akhirnya semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang telah
diberikan kepada penulis dibalas oleh-Nya dengan pahala yang
berlimpah. Amin Ya Rabbal Alamin.
Makassar, April 2011
Penulis
13
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................... i
PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………. iii
PERNYATAAN KEASLIAAN……………………………………….. iv
PRAKATA.................................................................................... v
ABSTRAK.................................................................................... x
ABSTRAC.................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ....................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. xviii
DAFTAR ARTI LAMBANG & SINGKATAN................................ xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 7
C. Tujuan Penelitian.............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian............................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan Umum Tentang Rokok ......................................... 10
B. Tinjauan Umum Tentang Kepatuhan.............................. 28
C. Tinjuan umum Tentang Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
1. Analisis Permasalahan............................................... . 36
2. Siklus Kebijakan Publik Berbasis Evidens Epidemilogi. 39
3. Dampak Tembakau & Potensi Petaka Kesehatan
Masyarakat di Indonesia............................................. 42
D. Tinjuan Umum Tentang Kawasan Bebas Asap Rokok..... 47
14
E. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan............................ 67
F. Tinjauan Umum Tentang Pendapatan............................. 72
G. Tinjauan Umum Tentang Lingkungan Sosial Budaya....... 75
H. Tinjauan Umum Tentang Sikap ........................................ 77
I. Tinjuan Umum Tentang Kebijakan Perdes ....................... 81
J. Kerangka Teori Penelitian ................................................ 85
K. Kerangka Konsep Penelitian ............................................ 86
L. Bagan Kerangka Konsep ................................................. 90
M. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ........................ 91
N. Hipotesis Penelitian .......................................................... 94
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................ 95 B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 96
C. Populasi dan Sampel ....................................................... 96
D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ........................... 97
E. Kontrol Kualitas ................................................................ 98
F. Pengolahan Data.............................................................. 104
G. Analisis Data .................................................................... 104
H. Penyajian Data ................................................................. 107
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Baraka............................. . 108
B. Hasil Penelitian............................................................... .. 110
C. Pembahasan................................................................ ..... 128
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................ 141
B. Saran.................................................................................. 142
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
15
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1 Sintesa Faktor Pengetahuan Terhadap
Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok............................................................. 72
Tabel 2 Sintesa Faktor Pendapatan Terhadap
Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok............................................................. 75
Tabel 3 Sintesa Faktor Lingkungan Sosial Budaya
Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan
Bebas Asap Rokok.................................................... 77
Tabel 4 Sintesa Faktor SikapTerhadap Kepatuhan
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok... 80
Tabel 5 Sintesa Faktor Kebijakan Perdes Terhadap
Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok............................................................... 84
Tabel 6 Hasil Uji Validasi Instrumen Penelitian Terhadap 28 Sampel................................................................... 102 Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian pada 28
Sampel...................................................................... 103
Tabel 8 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Di Kecamatan Baraka Tahun 2011................................ 112
Tabel 9 Distribusi sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011 113
16
Tabel 10 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011................................................................ 114 Tabel 11 Distribusi Sampel Berdasarkan Kepatuhan Terhadap
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011............................................................... 115
Tabel 12 Distribusi Sampel Berdasarkan Pengetahuan Terhadap
Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................... 116
Tabel 13 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendapatan Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 116
Tabel 14 Distribusi Sampel Berdasarkan Sikap Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 117
Tabel 15 Distribusi Sampel Berdasarkan Lingkungan Sosial &
Budaya Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011................................................ 118
Tabel 16 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebijakan Perdes
Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011................................................................... 118
Tabel 17 Hubungan Pengetahuan Terhadap Kepatuhan
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011................................................................... 119
Tabel 18 Hubungan Pendapatan Terhadap Kepatuhan
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 121
Tabel 19 Hubungan Lingkungan Sosial & Budaya Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
17
Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.............................................. 122
Tabel 20 Hubungan Sikap Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................. 123
Tabel 21 Hubungan Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 125
Tabel 22 Analisis Multivariat Terhadap Kepatuhan Penerapan
Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................. 126
18
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Kerangka Teori Penelitian 82
2 Kerangka Konsep Penelitian 87
3 Analisis Statistik 100
19
DAFTAR LAMPIRAN
1. Informed Concent
2. Kuesioner Penelitian
3. Master Tabel
4. Analisis SPSS
5. Hasil Analisis Uji Validitas
6. Surat Izin Penelitian
7. Rekomendasi penelitian dari BALITBANDA
8. Surat Izin Penelitian Dari Kesbang Linmas dan Pol.PP Kabupaten
Enrekang
9. Surat Izin Penelitian dari Kecamatan Baraka
10. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian
11. Peraturan Desa Bone-Bone tentang Kawasan Bebas Asap Rokok
12. Dokumentasi Penelitian
20
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan
AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome
AROL :Asap Rokok Orang Lain
FCTC : Framework Convention Tobacco
Control
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IAKMI : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
ILO :International Labor Organization
KDM : Kawasan Dilarang Merokok
KTR : Kawasan Tanpa Rokok
MPOWER : Upaya Pengendalian tembakau
SKT :Sigaret kretek tangan
SKM : Sigaret kretek mesin
RF : Rokok Filter
RNF : Rokok Non Filter
RUU : Rancangan Undang-Undang
WHA : World Health Assembly
WHO : World Health Organization
21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau
membunuh lebih dari lima juta orang pertahun, dan diproyeksikan akan
membunuh 10 juta sampai 2020. Dari jumlah itu, 70% korban berasal dari
Negara berkembang. Lembaga demografi UI mencatat, angka kematian
akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok tahun 2004 adalah 427.948
jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5 % dari total kematian di
Indonesia(M.N. Bustan, 2007)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun
2020 penyakit yang berkaitan dengan tembakau/rokok akan menjadi
masalah kesehatan utama terbesar dan menyebabkan 8,4 juta kematian
setiap tahun. Diperkirakan, separuh kematian tersebut akan terjadi di Asia
karena tingginya penggunaan tembakau di Asian (Pusat Komunikasi
Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI, 2007)
Pengalaman berbagai negara memperlihatkan bahwa Undang-
Undang kawasan tanpa rokok (UU KTR) yang diikuti dengan penegakan
hukum yang memiliki penegakan hukum yang ketat, memiliki tingkat
kepatuhan masyarakat yang cukup tinggi sebanyak 90 %. Kenyataan ini
dibuktikan di beberapa negara antara lain : Irlandia (97%), New York (97
22
%), New Zealand (97%), Italia (98,2 %), Massaachusetts (96,3%) dan
Scotlandia (95,9 %).(Abadi, 2009).
Tahun 1995 di Amerika Serikat , pemerintah kota membuat
undang-undang Bebas Asap Rokok, tetapi masih membolehkan adanya
ruang merokok di beberapa tempat. Kemudian UU bebas Asap Rokok
tersebut diubah pada tanggal 30 September 2002, dan berlaku efektif
pada 30 Maret 2003, dengan menerapkan KTR%. Pelaku Utama, Dinas
Kesehatan Kota dan Mental menjadi inisiator yang mengarahkan
penerapan KTR 100%, Jaringan koalisi masyarakat tentang KTR. Mereka
membuat jaringan advokasi anti tembakau yang sangat luas, multi
stakeholders Pola Penegakan Hukum, Dalam melaksanakan UU, semua
pengelola tempat bisnis/kerja diharuskan mempunyai peraturan tertulis
setempat tentang larangan merokok, memasang tanda larangan meroko,
Dan larangan menyediakan asbak rokok. (Abadi, 2009).
WHO dalam buku panduannya strategi pengendalian bahaya
tembakau MPOWER menjelaskan bahwa terdapat 1 kematian tiap 6 detik,
5,4 juta jiwa pada tahun 2005, 100 juta selama abad ke-20 jika dibiarkan 8
juta jiwa pada tahun 2030 dan 1 Milyar jiwa selama abad ke-21 . Untuk
mengatasi epidemi tembakau, organisasi kesehatan sedunia (WHO)
mengajak Negara anggotannya untuk menerapkan strategi MPOWER .
Strategi MPOWER terdiri atas 6 upaya pengendalian tembakau yang
meliputi : Monitor prevalensi penggunaan tembakau dan pencegahannya,
perlindungan terhadap asap tembakau, optimalisasi dukungan untuk
23
berhenti merokok, waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau,
eliminasi iklan, promosi dan sponsor tembakau, serta raih kenaikan cukai
tembakau (Victor Subiakto Puja,2009)
Dukungan masyarakat di daerah dimana peraturan kawasan tanpa
rokok akan diberlakukan mutlak dibutuhkan. Pemahanan masyarakat
akan bahaya asap rokok orang lain dan manfaat peraturan kawasan tanpa
rokok yang memberikan perlindungan 100% serta pengertian atas hak
untuk hidup sehat – akan menjamin kepatuhan yang didasari oleh
kesadaran bukan keterpaksaan karena adanya sanksi peraturan. (TCSC-
IAKMI, 2009).
Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi target
utama kampanye Internasional pengendalian tembakau di kawasan Asia
Tenggara. Alasannya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di
wilayah Asean yang belum meratifikasi Konvensi WHO tentang
Pengendalian Rokok (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC).
Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mutlak diperlukan. Jika
dilakukan secara simultan, kebijakan itu efektif mendukung pengendalian
konsumsi tembakau. "100 % kawasan bebas rokok, tidak ada smoking
area atau smoking room”. Hasil survei YLKI terhadap 1.000 responden di
Jakarta yang terdiri dari 600 bukan perokok dan 400 perokok
menunjukkan, sebanyak 87,8 % responden setuju dengan penerapan
kawasan tanpa rokok. Bahkan 81 % responden perokok menyatakan
setuju dengan kebutuhan kawasan tanpa rokok. Hampir seluruh
24
masyarakat Jakarta mendukung terwujudnya Jakarta 100 % bebas asap
rokok . (hasil survei dukungan masyarakat terhadap Jakarta 100 % bebas
asap rokok yang dilakukan terhadap 747 responden di 5 wilayah Provinsi
DKI Jakarta. (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Provinsi DKI Jakarta, 2009).
Mewujudkan udara bersih tanpa asap rokok tentunya menjadi
harapan semua orang. Bahkan, uji petik-teguran simpatik kawasan
dilarang merokok (KDM) yang dilaksanakan 19-26 November mendapat
apresiasi positif warga Jakarta. Untuk memancing para pengelola gedung
dan pusat perbelanjaan di DKI Jakarta turut menegakkan Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara dan Peraturan Gubernur (pergub) Nomor 75 Tahun 2005 tentang
Kawasan Dilarang Merokok, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meresmikan Mal
Plaza Semanggi sebagai kawasan dilarang merokok. (Lenny, 2008)
Komitmen pemerintah daerah atas amanat pasal 115 dari Undang-
Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang kewajiban pemda
menerapkan kawasan bebas rokok terbilang masih sangat minim. Dari
sekitar 400 kabupaten/kota yang ada baru sekitar 22 kabupaten/kota yang
telah mengimplementasi kewajiban tersebut.
25
Penggunaan tembakau merupakan salah satu faktor risiko penyakit
tidak menular. Untuk itu diperluakan komitmen para pemegang kebijakan
di tingkat daerah untuk menerapkannya. Pengendalian masalah
kesehatan akibat tembakau dan penyakit tidak menular harus dilakukan
secara komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan dengan
melibatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Meningkatnya
tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia juga telah menyebabkan
transisi epidemiologi, yaitu berubahnya pola penyakit dan kematian yang
semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak
menular. Proporsi angka kematian penyakit; tidak menular di Indonesia
meningkat dari 41,7 ftersen pada 1995 menjadi 59,5 persen pada 2007.
Stroke kini merupakan penyebab utama kematian pada semua umur,
jumlahnya mencapai 15,4 persen.
WHO melaporkan, pada 2005 penyakit tidak menular merupakan
penyebab utama dari 58 juta kematian di dunia, terdiri dari penyakit
jantung dan pembuluh darah (30 persen), penyakit pernafasan kronik dan
penyakit kronik lainnya (16 persen), kanker (13 persen), cedera (9 persen)
dan diabetes melitus (2 persen).Penyakit tidak menular sebenarnya bisa
dicegah dengan menghindari faktor risikonya, seperti mengonsumsi
tembakau, pola makan yang tidak sehat dan seimbang (terutama kurang
konsumsi sayur dan buah, sering makan makanan asin, tinggi lemak dan
manis), kurang aktifitas fisik, kolesterol tinggi, gula darah tinggi, stres, dan
konsumsi alkohol,
26
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga
Aditama bahwa sejak 2005, Ke-menkes dan instansi lain melakukan
program lintas sektor memperkenalkan inisiatif "Program Kota Sehat",
dengan tujuan membuat Kota Sehat melalui inisiatif lokal. Hampir 200
kota/kabupaten di Indonesia pernah dilatih untuk mendukung kebijakan
ini. Salah satu indikator utama untuk menilai keberhasilan inisiatif "Kota
Sehat" adalah lingkungan yang bebas asap rokok dan untuk
penguatannya telah dituangkan ke dalam sebuah peraturan daerah.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
115 menyatakan Pemerintah Daerah wajib menerapkan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR). Sampai saat ini baru ada 22 kabupaten/kota yang sudah
mulai melaksanakan kebijakan tersebut, walaupun program ini belum
seragam di seluruh kabupaten/kota.(Merry Wahyu Ningsihm, 2010).
Pada tahun 2009 kawasan bebas asap rokok di Desa Bone-Bone
Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan lebih dipertegas dengan
dikeluarkannya Perdes No. 01 tahun 2009 tentang kawasan bebas asap
rokok. Dan merupakan satu-satunya Desa yang mengeluarkan Perdes
kawasan bebas asap rokok di Indonesia yang sesuai dengan standar
internsional yaitu 100 % kawasan bebas asap rokok dengan tidak
menyediakan ruang untuk merokok.
27
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah
penelitian adalah :
a. Apakah pengetahuan berhubungan terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang?
b. Apakah pendapatan berhubungan terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang?
c. Apakah lingkungan sosial budaya berhubungan terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang?
d. Apakah sikap berhubungan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang?
e. Apakah kebijakan Perdes berhubungan terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang?
28
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun
2011.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang
b. Untuk mengetahui hubungan pendapatan terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang.
c. Untuk mengetahui hubungan lingkungan sosial budaya terhadap
kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
d. Untuk mengetahui hubungan sikap terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di KecamataKn
Baraka Kabupaten Enrekang
e. Untuk mengetahui hubungan kebijakan Perdes terhadap
kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
29
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi dan dapat
menjadi bahan masukan bagi instansi yang berwenang untuk
digunakan sebagai dasar pertimbangan menentukan kebijakan dalam
upaya menerapkan kawasan bebas asap rokok dalam mengurangi
angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh rokok
2. Manfaat Ilmiah
a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan
bagi peneliti selanjutnya.
b. Sebagai bahan berharga bagi peneliti dalam rangka menambah
wawasan pengetahuan, serta pengembangan diri khususnya pada
bidang penelitian.
3. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam
pengembangan dan pembelajaran diri untuk penanggulangan
masalah-masalah kesehatan khususnya masalah rokok.
4. Manfaat Untuk Masyarakat
Hasil penelitian ini dharapkan dapat menjadi bahan bacaan untuk
menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam meningkatkan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dalam meningkatkan
status kesehatan.
30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Rokok
1. Pengertian Rokok/ Merokok
Rokok merupakan salah satu Zat Adiktif, yang bila digunakan
dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan
masyarakat. Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa
rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu
ataupun bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana
Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau sintesisnya
yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan
tambahan. (Lisa Ellizabet Aula, 2010)
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang sekitar 70-
120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10
mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok
dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar
asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung lainnya. Biasanya
rokok dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas
yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak
beberapa tahun terakhir bungkusan-bungkusan tersebut juga disertai
pesan kesehatan yang memperingatkan perokok terhadap bahaya
kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok. (Aula, 2010)
31
Horissons (1987), merokok adalah membakar tembakau yang
kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok batangan
maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang
ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok. Asap rokok yang
dihisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua komponen :
komponen yang lekas menguap dan berbentuk gas dan komponen
yang bersama gas terkondenisasi menjadi pertikulat. Dengan asap
rokok yang dihisap dapat berupa gas sejumlah 85 % dan sisanya
berupa partikel. (Sitepoe 2000).
Menurut Sitepoe (2000), asap rokok yang dihisap melalui mulut
disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk
pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan
ke udara oleh si perokok disebut sidestream smoke. Kedua asap
tersebut mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif.
Asap rokok yang dihisap mengandung berbagai jenis bahan
kimia dengan berbagai jenis daya kerja terhadap tubuh, asap rokok
mengandung 4000 jenis bahan kimia, beberapa bahan kimia yang
terdapat di dalam rokok yang memberikan efek mengganggu
kesehatan antara lain : nikotin, tar, gas, karbon monoksida dan
berbagai logam berat lainnya. Oleh karenanya seseorang akan
terganggu kesehatannya bila merokok terus menerus. (Sitepoe,2000).
32
2. Jenis-jenis rokok
a. Rokok berdasarkan bahan pembungkus
1) Kawung adalah rokok yang bahan pembungkusnya berupa
daun aren.
2) Sigaret adalah rokok yang bahan pembungkusnya berupa
kertas
3) Cerutu adalah rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
tembakau.
b. Rokok berdasarkan bahan baku atau isi
1) Rokok putih yaitu rokok yang bahan baku atau isinya hanya
daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa
dan aroma tertentu.
2) Rokok kretek yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa
daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
3) Rokok klembak yaitu rokok yang bahan baku atau isinya
berupa daun tembakau, cengkeh, dan menyan yang diberi saus
untuk mandapatkan efek rasa dan aroma tertentu. (Aula, 2010)
c. Rokok berdasarkan bahan pembuatannya
1) Sigaret kretek tangan (SKT) adalah rokok yang proses
pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan
menggunakan tangan ataupun alat bantu sederhana.
33
2) Sigaret kretek mesin (SKM) adalah rokok yang prose
pembuatannya menggunakan mesin. Caranya, material rokok
dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. keluaran yang
dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Saat
ini. (Aula, 2010)
d. Rokok berdasarkan penggunaan filter
1) Rokok Filter (RF) adalah rokok yang pada bagian pangkalnya
terdapat gabus
2) Rokok Non Filter (RNF) adalah rokok yang pada bagian
pangkalnya tidak terdapat gabus (Aula, 2010)
3. Zat-zat kimia yang terkandung dalam rokok
Roberts (1988), lebih dari 3.040 jenis bahan kimia yang
dijumpai di dalam daun tembakau kering. Bahan-bahan kimia ini
berasal dari pertumbuhan daun tembakau itu sendiri, yang bersumber
dari tanah, udara dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam
proses pembuatan tembakau maupun sewaktu penanaman tembakau.
Diantara bahan kimia tersebut yang bersifat toksisa adalah
nikotin,karsinogenik nitrosamine yang bersumber dari nitrit, amine,
protein dan alkaloid di dalam daun tembakau, karsinogenik polisiklik,
hidrokarbon aromatik bersumber sewaktu pemprosesan tembakau;
elemen radio aktif yang diadobsi dari udara dan tanah, logam berat
yang diperoleh dari tanah dan udara yang tercemar. Pada waktu rokok
dibakar berarti semua zat kimia yang terkandung di dalam bahan baku
34
rokok dan bahan tambahan lainnya ikut terbakar maka akan terbentuk
bahan kimia hasil pembakaran (Sitepoe, 2000).
Bahan kimia asap rokok dan pengaruhnya terhadap tubuh juga
didalam tembakau yang tidak dibakar adalah sebagai berikut :
a. Nikotin
Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan saraf, juga menyebabkan
tekanan sistolik dan diastolik mengalami peningkatakan denyut
jantung bertambah kontraksi otot jantung seperti dipaksa,
pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh darah
koroner bertambah, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Nikotin meningkatkan kadar gula darah, kadar asam lemak bebas
kolestrol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah.
Nikotin juga menyebabkan seseorang ketagihan rokok. (Sitepoe,
2000).
b. Tar
Sumber tar adalah tembakau, cengkeh, pembalut rokok dan
bahan organik lainnya yang dibakar. Tar hanya dijumpai pada rokok
yang dibakar. Eugenol kretek Indonesia selalu menyatakan
Eugenol tidak termasuk tar. Didalam tar dijumpai karsinogenik:
polisiklinik hidrokarbon aromatis yang memicu kanker paru. Selain
itu juga dijumpai Nitrosoamine nikotin di dalam rokok yang
berpotensi besar sebagai karsinogenik terhadap jaringan paru.
35
Bahan ini terdapat dalam tembakau, tetapi tidak dijumpai dalam
cengkeh. (Sitepoe 2000)
c. Gas Karbon Monoksida (CO)
Gas yang bersifat toksis dan bertolak belakang dengan gas
oksigen dalam transport haemoglobin. Dalam rokok terdapat 2-6 %
gas CO pada saat merokok, sedangkan gas CO yang dihisap oleh
perokok paling rendah pada saat merokok, sedangkan gas CO
yang dihisap oleh perokok paling rendah 400 ppn (Part permilion)
sudah dapat meningkatkan kadar karboksi-haemoglobin dalam
darah sejumlah 2-16 %. Kadar normal karbondioksida -
haemoglobin hanya 1 % pada bukan perokok. Apabila keadaan
terus berjalan maka terjadi policitemia yang akan mempengaruhi
syaraf pusat. Kandungan kadar karbon monoksida di dalam
rokok kretek lebih rendah dari pada kandungan karbon monoksida
dalam rokok putih ( Sitepoe, 2000).
d. Timah Hitam (Pb)
Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu
batang rokok yang dihisap diperhitungkan mengandung 0,5
mikrogram timah hitam. Bila seseorang mengisap rokok lebih dari
20 batang perhari maka kadar Pb dalam tubuh mencapai 20
mikrogram sedangkan batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah
20 mikrogram perhari (Sitepoe, 2000).
36
e. Eugenol
Eugenol hanya dijumpai di dalam rokok kretek dan tidak
dijumpai pada rokok putih. Eugenol dapat ditemukan didalam
cengkeh yang dapat memberikan bintik minyak pada rokok kretek
sehingga memberikan pandangan yang kurang menyenangkan.
Eugenol dapat dijumpai baik di dalam rokok yang sedang dihisap,
di dalam asap rokok yang dihisap, maupun di dalam rokok kretek
yang tidak dihisap. Eugenol atau minyak cengkeh adalah cairan
yang tidak berwarna atau juga berwarna kekuning-kuningan dan
tidak larut dalam air. Eugenol digunakan sebagai antiseptic,
anastetik dan juga sebagai antipiretik belum diketahui efek
karsinogeniknya.( Sitepoe, 2000).
f. Arsenik
Sejenis unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga
terdiri dari unsur-unsur berikut:
1. Nitrogen Oksida, yaitu unsur kimia yang dapat mengganggu
saluran pernapasan, bahkan merangsang terjadinya kerusakan
dan perubahan kulit tubuh.
2. Amonium Karbonat, yakni zat yang bisa membentuk plak kuning
pada permukaan lidah, serta mengganggu kelenjar makanan
dan perasa yang terdapat pada permukaan lidah. (Aula,2010)
g. Amonia
Amonia merupakan gas tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen
37
dan hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya. Amonia sangat mudah
memasuki sel-sel tubuh. Saking kerasnya racun yang terdapat
dalam zat ini, sehingga jika disuntikkan sedikit saja ke dalam tubuh
bisa menyebabkan seseorang pingsan.
h. Formik Acid
Formik acid tidaklah berwarna, bisa bergerak bebas, dan dapat
mengakibatkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya
menusuk. Zat tersebut dapat menyebabkan seseorang seperti
merasa digigit semut. Bertambahnya zat itu dalam peredaran darah
akan mengakibatkan pernapasan menjadi cepat.
i. Akrolein
Akrolein ialah sejenis zat tidak berwarna, sebagaimana aldehid. Zat
ini diperoleh dengan cara mengambil cairan dari gliserol
menggunakan metode pengeringan. Zat tersebut sedikit banyak
mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat mengganggu
kesehatan.
j. Hydrogen cyanide
Hydrogen Cyanide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna,
tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Zat ini termasuk zat yang
paling ringan, mudah terbakar, dan sangat efisien untuk
menghalangi pernapasan. Cyanide adalah salah satu zat yang
mengandung racun sangat berbahaya. Sedikit saja cyanide
dimasukkan ke dalam tubuh, maka dapat mengakibatkan kematian.
38
k. Nitrous Oksida
Nitrous oksida ialah sejenis gas tidak berwarna. Jika gas ini terisap
maka dapat menimbulkan rasa sakit.
l. Formaldehyde
Zat ini banyak digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium
(formalin).
m. Phenol
Phenol merupakan campuran yang terdiri dari kristal yang
dihasilkan dari destilasi beberapa zat organik, seperti kayu dan
arang. Phenol terikat pada protein dan menghalangi aktivitas
enzim.
n. Acetol
Hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat tidak berwarna yang bebas
bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol.
o. Hydrogen Sulfide
Hydrogen sulfide ialah sejenis gas beracun yang gampang terbakar
dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim (zat
besi yang berisi pigmen).
p. Pyridine
Cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat
digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan
pembunuh hama.
39
q. Methyl Chloride
Methyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi , yang
unsur-unsur utamanya berupa hidrogen dan karbon. Zat ini
merupakan compound organic yang dapat beracun.
r. Methanol
Methanol ialah sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan
terbakar. Meminum atau mengisap methanol dapat mengakibatkan
kebutaan, bahkan kematian. (Aula, 2010).
4. Tipe-Tipe perokok
a. Perokok Aktif (Active Smoken
Perokok aktif adalah seseorang yang benar-benar memiliki
kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, se-
hingga rasanya tak enak bila sehari saja tidak merokok. Oleh
karena itu, ia akan melakukan apapun demi mendapatkan rokok,
kemudian merokok.
b. Perokok Pasif (Passive Smoken)
Perokok pasif ialah seseorang yang tidak memiliki kebiasaan
merokok, namun terpaksa harus mengisap asap rokok yang
dihembuskan oleh orang lain yang kebetulan ada di dekatnya.
Dalam keseharian, mereka tidak berniat dan tidak memiliki
kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, ia tidak merasakan apa-
apa dan tidak terganggu terganggu aktivitasnya.
Meskipun perokok pasif tidak merokok, tetapi perokok pasif
40
memiliki risiko yang sama dengan perokok aktif dalam hal terkena
penyakit yang disebabkan oleh rokok. Berbagai studi menyebutkan
bahwa perokok pasif mempunyai risiko yang sama dengan perokok
aktif dalam hal-hal berikut:
1) Kemungkinan mengalami serangan kanker paru, kanker
payudara, kanker ginjal, kanker pankreas, dan kanker otak
karena memperoleh nikotin dari asap rokok.
2) Kemungkinan terkena penyakit jantung dan pembuluh darah
(stroke)
3) Kemungkinan mengalami serangan asma bronkhiale.
4) Kemungkinan terkena gangguan kognitif dan dementia (mudah
lupa).
5) Wanita hamil berkemungkinan melahirkan bayi prematur atau
bayi lahir cukup bulan, tetapi berat badan kurang dari normal.
6) Mudah terkena serangan infeksi di hidung dan tenggorokan.
7) Anak-anak mudah terserang asma, meninggal pada usia muda,
infeksi paru-paru, mudah mengalami alergi, dan gampang
terkena TBC paru-paru.
5. Bahaya rokok bagi kesehatan
Kebiasaan merokok telah terbukti berhubungan dengan
sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh manusia, seperti
kanker paru, Enfisema dan berbagai penyakit paru lainnya. Selain itu
adalah kanker mulut, tenggorokan, pankreas, dan kandung kencing,
41
penyakit pembuluh darah, ulkus peptikum dan lain-lain. Satu-satunya
penyakit yang menunjukkan asosiasi negatif dengan kebisaan merokok,
yaitu kanker paru, bronchitis kronik dan emfisema, penyakit jantung
iskemik dan penyakit kardiovaskuler lain, ulkus peptikum, kanker
mulut, kanker tenggorokan, penyakit pembuluh darah otak dan
gangguan janin dalam kandungan.
Doll dan Hill dua orang peneliti dari inggris membagi hubungan
antara penyakit dan kebiasaan merokok. Sebagai berikut : penyakit
yang disebabkan oleh merokok adalah kanker paru, kanker
kerongkongan, kanker saluran nafas lainnya, bronchitis kronis, dan
emfisema. Penyakit yang mungkin seluruhnya atau sebagaian
disebabkan oleh merokok yaitu penyakit jantung iskemik, aneurisma
atau pelebaran aorta, kerusakan miokard jantung, thrombosis
pembuluh darah otak, arterosklerosis, tuberculosis, pneumoni, ulkus
peptikum, hernia dan kanker kandung kemih (Aditama, 1997).
a. Kanker
Merokok dapat menyebabkan kanker. Kematian akibat
kanker yang disebabkan oleh merokok pun semakin meningkat.
Kematian karena kanker (terutama kanker paru-paru) meningkat 20
kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak merokok. Berbagai
jenis kanker yang risikonya meningkat akibat merokok antara lain
kanker trakea, bronkus, paru-paru, kanker mulut dan nasofaring,
kanker lambung, kanker hati, kanker pankreas, kanker rahim,
42
kanker kandung kemih, kanker esofagus, leukemia mieloid akut,
kanker ginjal dan ureter, serta kanker usus besar (kanker kolon).
b. Penyakit Paru-paru
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar,
sel mukosa membesar (Hipertropi) dan kelenjar mukus bertambah
banyak (Hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan
dan penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir.
Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan
kerusakan alveoli.
c. Penyakit Jantung Koroner
Merokok terbukti sebagai faktor risiko terbesar untuk mati
mendadak, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya
mengenai zat-zat yang terkandung dalam rokok. Pengaruh utama
pada penyakit jantung disebabkan oleh dua bahan kimia penting
yang ada dalam rokok, yakni nikotin dan karbon monoksida. Nikotin
dapat mengganggu irama jantung dan menyebabkan sumbatan pada
pembuluh darah jantung, sedangkan karbon monoksida
mengakibatkan suplai oksigen untuk jantung berkurang Iantaran
berikatan dengan Hb darah. lnilah yang menyebabkan gangguan
pada jantung, termasuk timbulnya penyakit jantung koroner (PJK).
43
d. Impotensi
Nikotin yang beredar melalui darah akan dibawa ke seluruh
tubuh, termasuk organ reproduksi. Zat ini akan mengganggu proses
spermatogenesis sehingga kualitas sperma menjadi buruk. Selain
merusak kualitas sperma, rokok juga menjadi faktor risiko gangguan
fungsi seksual, khususnya gangguan disfungsi ereksi.
e. Kanker Kulit, Mulut, Bibir, clan Kerongkongan
Tar yang terkandung dalam rokok dapat mengikis selaput
lendir di mulut, bibir, dan kerongkongan. Ampas tar yang tertimbun
akan mengubah sifat sel-sel normal menjadi sel ganas yang
menyebabkan kanker. Selain itu, kanker mulut dan bibir juga dapat
disebabkan oleh panas dari asap. Sedangkan untuk kanker
kerongkongan didapatkan data bahwa pada perokok kemungkinan
terjadinya kanker kerongkongan dan usus adalah 5-10 kali lebih
banyak dari pada bukan perokok.
f. Merusak Otak dan Indra
Sama halnya dengan jantung, dampak rokok terhadap otak
juga disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah otak yang di
karenakan efek nikotin terhadap pembuluh darah dan suplai oksigen
yang menurun terhadap organ, termasuk otak dan organ tubuh
lainnya. Sehingga, sebetulnya nikotin ini dapat mengganggu seluruh
sistem tubuh.
44
g. Mengancam Kehamilan
Hal ini terutama ditujukan kepada wanita perokok. Banyak hasil
penelitian yang mengungkapkan bahwa wanita hamil yang merokok
memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah,
kecacatan, keguguran, bahkan bayi meninggal saat dilahirkan.
h. Penyakit Stroke
Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak
atau stroke sering kali di kaitkan dengan merokok. Risiko stroke
dan kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan
bukan perokok.
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan
Inggris, diketahui bahwa kebiasaan merokok memperbesar
kemungkinan timbulnya AIDS pada pengidap HIV Pada kelompok
perokok, AIDS rata-rata timbul dalam 8,17 bulan, sedangkan pada
kelompok bukan perokok muncul setelah 14,5 bulan.
Penurunan kekebalan tubuh pada perokok menjadi pencetus
lebih mudahnya terkena AIDS, sehingga berhenti merokok penting
sekali dalam langkah pertahanan melawan AIDS.
i. Merontokkan Rambut
Merokok dapat menurunkan sistem kekebalan sehingga
perokok lebih mudah terserang penyakit, seperti lupus erimatosis
yang bisa menyebabkan kerontokan rambut, ulserasi/bisul,
sariawan di mulut, serta ruam di wajah, kepala, dan tangan.
45
j. Katarak
Perokok mempunyai risiko 50% lebih tinggi terkena katarak
(buramnya lensa mata yang menghalangi masuknya cahaya),
bahkan menyebabkan kebutaan. Semburan zat kimia beracun dari
asap rokok mengiritasi mata atau menghambat aliran oksigen
dalam darah ke otak.
k. Keriput
Asap rokok membakar protein dan vitamin A yang
memelihara elastisitas kulit, menurunkan kelancaran aliran darah.
Kulit perokok terutama di sekitar bibir dan mata, menjadi kering
kasar, dan bergaris-garis.
l. Merusak Pendengaran
Rokok menyebabkan plak pada pembuluh darah sehingga
mengganggu aliran oksigen dalam darah yang menuju telinga
dalam. Perokok dapat kehilangan kemampuan pendengaran lebih
dini, serta lebih mudah terkena infeksi telinga tengah yang diikuti
komplikasi, seperti meningitis dan kelumpuhan otot wajah.
m. Merusak Gigi
Zat-zat kimia beracun dan asap rokok menimbulk an plak
yang aktif berkontribusi merusak gigi. Perokok 1,5 kali lebih mudah
kehilangan gigi.
n. Emfisema
46
Pecahnya kantong pernapasan bisa mengurangi kapasitas
paru-paru dalam menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon
dioksida. Pada kondisi ekstrem, penderita emfisema memerlukan
operasi trakheostomi (pemasangan pipa terbuka pada trakea untuk
membantu masuknya udara ke dalam pam-pam) agar tetap
bernapas.
o. Osteoporosis
Karbon monoksida (zat kimia utama yang keluar dari knalpot
kendaraan bermotor dan asap rokok) mempunyai daya ikat lebih
besar terhadap sel darah merah ketimbang oksigen, serta
mengurangi daya angkut oksigen darah pada perokok sebanyak 15
%. Akibatnya, densitas tulang para perokok pun menurun sehingga
mudah retak dan membutuhkan waktu 80% lebih lama untuk
sembuh. Perokok juga lebih mungkin menderita sakit tulang
belakang.
p. Tukak Lambung
Merokok dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap
bakteri penyebab tukak lambung sekaligus merusak kemampuan
lambung menetralisir asam sehabis makan. Tukak perokok lebih
susah diobati dan lebih mudah kambuh.
q. Kanker Rahim dan Keguguran
Merokok bisa meningkatkan risiko kanker leher rahim
(serviks) dan kanker rahim, serta merusak kesuburan wanita dan
47
menyebabkan komplikasi kehamilan. Merokok selama kehamilan
mempertinggi risiko berat badan bayi rendah, yang menyebabkan si
kecil rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan. Keguguran
didapati dua sampai tiga kali lebih sering pada perokok
r. Kelainan Sperma
Berbagai racun rokok dapat merusak DNA dan mengubah
bentuk sperma, yang akhirnya menyebabkan keguguran atau
kelahiran cacat. Merokok juga bisa mengurangi kesuburan pria,
serta mengurangi aliran darah ke zakar, yang menyebabkan
impotensi.
s. Penyakit Burger
Penyakit itu juga disebut thromboangitis obliterans (suatu
peradangan pembuluh nadi dan pembuluh balik, serta saraf pada
kaki), yang secara keseluruhan mengurangi aliran darah. ]ika tidak
ditangani, penyakit burger dapat menyebabkan gangrene (pem-
busukan) jaringan tubuh, yang hanya dapat dihentikan
penyebarannya dengan amputasi.
t. Memperlambat Pertumbuhan Anak
Berdasarkan fakta-fakta ilmiah sejak tahun 1986, Amerika
Serikat menyimpulkan bahwa asap rokok yang dihasilkan secara
langsung dari pembakaran rokok maupun hembusan perokok dapat
memperlambat pertumbuhan dan fungsi paru-paru pada masa
48
kanak-kanak, serta meningkatkan risiko Penyakit saluran
pernapasan
Soerojo,anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
(IAKMI) membenarkan bahaya merokok pada usia dini. Paparan
asap rokok orang lain (aro) mem perburuk asma yang sudah ada
sebelumnya dan menyebabkan gejala asma kasus baru pada anak-
anak dan orang dewasa. Bahkan, hasil penelitian lainnya yang
dilakukan oleh California Environmental Protection Agency
mengenai konsekuensi kesehatan asap rokok menemukan bahwa
asap rokok dapat mengakibatkan penyakit telinga bagian tengah,
yaitu penyakit yang biasa diderita pada masa kanak-kanak. Apabila
tidak diobati maka akan menyebabkan tuli.
B. Tinjauan Umum Tentang Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran
klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan dkk, 1997). Menurut
Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional
kesehatan.( Syakira, 2009)
Menurut Niven,2002 Kepatuhan adalah sikap atau ketaatan.
Kepatuhan di mulai mula-mula individu mematuhi anjuran petugas
kesehatan tanpa relaan untuk melakukan tindakan (Syakira , 2002).
49
Definisi kepatuhan dalam penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk
melaksanakan aturan dalam pelaksanaan kawasan tanpa asap rokok.
Kepatuhan menurut Sackett pada pasien sebagai “Sejauh mana
perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh
profesional kesehatan”(Afnita, 2004).
Taylor (1991) seperti yang dikutip Bart (1994) mengatakan
ketidakpatuhan sebagai suatu masalah medis yang berat. Derajat
ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah pengobatan tersebut
kuratif atau preventif, jangka panjang atau jangka pendek. Sackeet
dan Snow (1976) menemukan bahwa kepatuhan terhadap sepuluh
hari jadwal pengobatan sejumlah 70-80% dengan tujuan pengobatan
adalah mengobati, dan 60-70% dengan tujuan pengobatannya adalah
pencegahan. Kegagalan untuk mengikuti program pengobatan jangka
panjang, yang bukan dalam kondisi akut, dimana derajat
ketidakpatuhannya rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah
buruk sesuai waktu (Niven, 2002).
Menurut Dinicola dan Dimatteo (1984) yang dikutip Niven
(2002) cara meningkatkan kepatuhan diantaranya melalui perilaku
sehat dan pengontrolan perilaku dengan faktor kognitif, dukungan
sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang
lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor yang penting dalam
50
kepatuhan dalam program-program medis, dan dukungan dari
profesional kesehatan.
2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
a. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah
merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan
teori yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah
yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperolah baik dari
pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bart (1994) dapat
dikatakan bahwa perilaku yang dilakukan atas dasar pengetahuan
akan lebih bertahan dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar
masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan
suatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih mudah
untuk diubah kearah yang lebih baik.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara yang menanyakan sesuatu yang ingin diukur tentang
pengetahuan dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003).
51
Untuk mengukur pengetahuan ibu hamil tentang zat besi
maka perlu diketahui pengertiannya tentang kehamilan, manfaat
dari sumber zat besi, akibat kekurangan zat besi, suplementasi zat
besi serta cara mengkonsumsinya
b. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek Notoatmodjo (2003).
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah
tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang
diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat langsung dilihat secara nyata,
tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan
predisposisi tindakan. Allport (1954), seperti yang dikutip dari
Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap terdiri atas 3
komponen pokok yaitu:
1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
2) Kehidupan emosional atau eveluasi emosional terhadap suatu
objek
3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini
pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan
penting.
52
Decision theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994),
mengganggap bahwa seorang pasien yang menggambil
keputusan. Hal ini juga tercermin dalam conflict theory dari Janis
dan Mann (1997) yang dikutip dari Bart (1994), bahwa pasien yang
harus memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan
medis dan oleh petugas kesehatan memberi tahu mengenai
prosedur, risiko dan efektifitas obat agar mereka bisa mengambil
keputusan yang tepat
c. Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap
menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon
seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka
(Notoatmodjo, 2003).
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga
over behavior.
Empat tingkatan tindakan adalah:
1) Persepsi (Perception)
Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang diambil.
2) Respon Terpimpin (Guided Response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
53
3) Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan
benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
4) Adaptasi (Adaptation)
Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan
menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain :
a. Pemahaman tentang intruksi , tidak seorangpun dapat mematuhi
intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan
kepadanya
b. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan
dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan
derajat kepatuhan.
c. Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang
sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai
kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program
pengobatan yang dapat mereka terima.
d. Keyakinan, sikap dan kepribadian. Becker et al (1979) dalam Niven
(2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan
kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan
54
4. Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut
Suddart dan Brunner (2002) adalah:
a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status
sosial ekonomi dan pendidikan.
b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala
akibat terapi.
c. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek
samping yang tidak menyenangkan.
d. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,
keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya
yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas juga
ditemukan oleh Bart Smet dalam psikologi kesehatan.
5. Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk
meningkatkan kepatuhan adalah :
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal
dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.
Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang
55
baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat
dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional
kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk
menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan
dapat dikurangi.
c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk perokok dan
bukan perokok diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk
berhenti merokok dan menghindari rokok agar tidak menimbulkan
penyakit Modifikasi gaya hidup sangat diperlukan dalam hal ini
upaya dalam penerepan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
d. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga
mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.
Dalam masalah penerapan kawasan bebas asap rokok dalam
pemberian informasi dari berbagai pihak utamanya dari
pemerintah dan petugas kesehatan atau keluarga sendiri untuk
lebih mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
56
C. Tinjuan Umum tentang Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
1. Analisis Permasalahan
a. Laporan Mengenai Dampak Konsumsi Tembakau di Dunia
Kematian akibat tembakau diseluruh dunia amat mengejutkan.
WHO dalam buku panduannya strategi pengendalian bahaya
tembakau MPOWER menjelaskan bahwa terdapat 1 kematian tiap
6 detik, 5,4 juta jiwa pada tahun 2005, 100 juta selama abad ke-20
jika dibiarkan 8 juta jiwa pada tahun 2030 dan 1 Milyar jiwa selama
abad ke-21 . Untuk mengatasi epidemi tembakau, organisasi
kesehatan sedunia (WHO) mengajak Negara anggotannya untuk
menerapkan strategi MPOWER .
Strategi MPOWER terdiri atas 6 upaya pengendalian
tembakau yang meliputi :
1) Monitor prevalensi penggunaan tembakau dan pencegahannya,
2) Perlindungan terhadap asap tembakau.
3) Optimalisasi dukungan untuk berhenti merokok
4) Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau
5) Eliminasi iklan, Promosi dan sponsor tembakau,
6) Raih kenaikan cukai tembakau
b. Upaya Pengendalian Bahaya Tembakau di Indonesia
Indonesia sampai saat ini merupakan satu-satunya negara di
asia fasifik yang belum menandatangani Framework Convention
Tobacco Control (FCTC) sebuah traktat internasional yang
57
didalamnya terdapat upaya pengendalian bahaya tembakau.
Walaupun pemerintah Indonesia berperan aktif dalam forum
internasional inter Govermental Negotiating Body di Geneva namun
Indonesia mengingkari komitmennya dengan tidak meratifikasi
FCTC .
Pengendalian bahaya tembakau memiliki prioritas rendah
dalam agenda kesehatan masyarakat Indonesia . Indonesia telah
menyiapkan dua RUU pada tahun 2003 yaitu RUU Aksesi FCTC
yang disusun oleh departemen kesehatan dan RUU “ Pengendalian
Dampak Produk tembakau bagi Kesehatan” memalui hak inisiatif
anggota dewan yang disiapkan atas prakarsa IFPPD (Forum
Parlemen Untuk Kependudukan dan Pembangunan) bekerjasama
dengan tim penyusun undang-undang DPR-RI . Dari hasil
pemantauan aktivitas industri rokok di Indonesia periode Januari –
Oktober 2007 yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan
Anak.
Industri rokok menggunakan semua jenis iklan langsung
untuk mengiklankan produknya dengan memanfaatkan beragam
media baik luar ruang maupun media cetak dan elektronik . Semua
PP yang pernah ada membolehkan iklan di media cetak maupun
media luar ruangan, sementara PP 19/2003 mengizinkan
penayangan iklan rokok di media elektronik dari jam 21.30-05.00
WIB . Batasan ini terbukti tidak efektif dalam membatasi periklanan
58
rokok di Indonesia, justru hanya membuat iklan rokok semakin
kreatif. PP 19/2003 melarang orang merokok di tempat umum,
tempat kerja, sarana pendidikan, sarana kesehatan, tempat ibadah,
tempat bermain anak dan kendaraan umum . Daerah yang telah
mengeluarkan peraturan kawasan tanpa rokok adalah pemerintah
daerah kota Bogor, kota Cirebon dan kota Palembang
Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Perda No.2 Tahun
2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan menyelipkan
satu pasal yaitu pasal 13 yang mengatur kawasan tanpa rokok
Namun demikian, masih dibutuhkan waktu cukup panjang dan
kesungguhan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan terhadap
kepatuhannya.
FCTC mensyaratkan peringatan kesehatan menempati 30-
50% dari permukaan lebar bungkus rokok, pesan tunggal dan
berganti-ganti, dapat berbentuk gambar . Sedangkan, PP 19/2003
menyebutkan bahwa setiap bungkus rokok harus mencantumkan
peringatan kesehatan tunggal dan tidak berganti-ganti yang
bunyinya”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”; dan setiap iklan
rokok harus mengalokasikan minimal 15 % dari luasnya untuk
peringatan kesehatan yang sama.
Konsep penurunan kadar tar dan nikotin telah dimasukkan
dalam dokumen roadmap industri rokok periode 2015-2020 dalam
59
rangka kepedulian terhadap aspek kesehatan, setelah produksi
rokok ditargetkan naik dan 220 milyar tahun 2005 menjadi 260
milyar tahun 2015. PP 19/2003 tidak melarang pesan yang
menyesatkan seperti “mild” dan “light” akan tetapi selangkah lebih
maju dari PP-PP sebelumnya yang menetapkan batas kadar dan
nikotin yang diterima. Kadar tar dan nikotin rendah tidak menjamin
berkurangnya bahaya tembakau karena rokok adalah adiktif.
2. Siklus Kebijakan Publik Berbasis Evidens Epidemilogi
a. Epidemiologi dan Kebijakan Kesehatan
Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu
kesehatan masyarakat. Di ranah pemahaman, epidemiologi
merupakan disiplin ilmu(Klainbaum, et al, 1982; Friedman,
1994)(19). Atau metode ilmiah (Kelsey, et al, 1996; Timreck 1994)
Epidemiologi adalah ilmu empiris yang menangkap fenomena status
dan proses kejadian penyakit/masalah kesehatan di dalam populasi
manusia (Friss & Seller, 2003). Di dalam epidemiologi komponen
pemahaman bermula dari pengamatan populasi dan berakhir pada
penarikan kesimpulan tentang etiologi, proses kejadian dan riwayat
alami berbagai masalah kesehatan masyarakat.( Puja,2011)
Komponen aksi bermula dari penggunan evidens
epidemiologi dalam proses pembuatan kebijakan dan berakhir pada
evaluasi dampak kebijakan pada kesehatan masyarakat(Klainbaum,
et al, 1982) . Sebagai Ilmu empiris, epidemiologi melakukan
60
konfirmasi kebenaran teori berdasarkan fakta-fakta yang dapat
ditangkap secara indrawi Di ranah terapan, epidemiologi
mempunyai kaidah axiologis atau kegunaan. (Puja,2011)
Berbagai fenomena kesehatan populasi yang ditangkap
secara sistematis, rasional dan objektif tertentu, dijadikan landasan
konsepsional bagi upaya pencegahan dan pengendalian (Gersman,
2003). Selama lebih dari satu abad, epidemiologi telah
memperlihatkan komitmen dan kontribusi yang besar terhadap
upaya pencegahan dan pengendalian berbagai masalah kesehatan
yang dihadapi umat manusia (Gordis, 1996) Di ranah nilai, perhatian
utama epidemiologi yang tertuju pada kesehatan umat manusia
mengepresikan kaidah norma yang universal (Greenwood, 1935
dikutip dari Gordis, 1996).
Pembuat kebijakan memerlukan informasi tentang apa yang
sedang terjadi, apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang
jika intervensi tidak dilakukan, dan seperti apa yang akan terjadi bila
intervensi dilaksanakan. Ini meliputi informasi terhadap determinan
dan kecenderungan dalam kesehatan, dan implikasi perubahannya.
Penyusunan informasi dalam hal ini membutuhkan kontribusi dari
berbagai disiplin ilmu sosial, misalnya demografi, geografi dan
ekonomi, juga biologi, ilmu medik, khususnya epidemiologi
(Amiruddin, 2011).
61
Kontribusi Epidemiologi terhadap kebijakan kesehatan
Pada analisis ini diusahakan untuk menggambarkan
bagaimana epidemiologi dapat berkontribusi untuk proses
kebijakan dan kemudian menjadi “Evidence-based policy
Making” (Muir Grahy, 1997). Banyak faktot yang mempengaruhi
kebijakan, dan bisa menjadi sulit ditemukan misalnya kebijakan
dipengaruhi oleh hasil penelitian.
Holland dan Wainwright (1979) memberi contoh kasus
dimana epidemiologi mempengaruhi kebijakan kesehatan.
contoh lain sistim karantina untuk mencegah penularan
penyakit. Ahli epidemiologi sebaiknya mengenal sistim
kebijakan dan model “place” di adaptasi kedalam model
kebijakan tersebut. Tidak ada gunanya membuat rencana yang
besar jika sistem tidak mengakomodasi terhadap orang yang
keliru. Apa kontribusi sebenarnya dari epidemiologi? Empat hal
utama yang menjadi fokus, yaitu : fokus populasi, kesehatan
dan pencegahan, pelayanan kesehatan dan informasi
kesehatan (Amiruddin, 2011)
b. Epidemiologi dan Siklus Kebijakan Publik
1. Assessment of Population Health
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi terhadap konseptual
dan pengukuran kesehatan, menggunakan keahliannya dalam
mengolah data kesehatan populasi. Lebih khusus lagi, mereka
62
dapat menilai kebutuhan kesehatan dan risiko-risikony,
menentukan dampak masalah kesehatan terhadap masyarakat,
dan menilai inequalitas dalam kesehatan. Hampir semua riset
epidemilogi terkait dengan determinan penyebab sehat masalah
dan masalah kesehatan
2. Assessement of potential interventions
Ahli epidemilogi dapat mengevaluasi dan menyusun fakta
berdasarkan efikasi intervensi yang potensial dan menilai
efektifitasnya.
3. Policy choices
Ahli epidemiologi dapat memberi saran terhadap pencegahan
penyakit, model dampak dari variasi intervensi terhadap
kesehatan populasi secara keseluruhan, dan memberikan dasar
tujuan dalam memilih prioritas di antara banyak pilihan.
4. Policy Implementation
Ahli epidemiologi dalam berkontribusi dalam menyusun tujuan
dan objektive yang berarti, menyediakan dasar-dasar rasional
untuk alokasi resource, dan memberi saran terhadap data yang
dibutuhkan untuk mendukung evaluasi kebijakan.
5. Policy Evaluation
Ahli epidemiologi dapat membantu mengembangkan desain riset
yang valid dan reliable, dan dapat melaksanakan surveilans
masalah kesehatan dan pelayanan kesehatan, mendeteksi
63
kejadian yang tidak biasa dan mengevaluasi variasi wilayah
dalam pelayanan kesehatan (Amiruddin, 2011)
Kebijakan adalah seperangkat panduan yang diperlukan untuk
mengambil keputusan (Spassof, 1999) Kebijakan berperan
mengintegrasikan, memfokuskan dan mengefektifkan upaya
organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berbagai
model siklus kebijakan tersedia dalam jenis dan jumlah langkah
yang bervariasi.
Walt mengajukan empat langkah kebijakan yang terdiri dari:
1. Identifikasi masalah dan pemahaman isu,
2. Perumusan
3. Implementasi
4. Evaluasi kebijakan (Walt, 1944:45) .
Selain didasarkan pada nilai, ideologi dan tekanan politik,
rumusan kebijakan kesehatan juga didasarkan pada evidens.
(Puja,2011), Secara ideal, reformasi data dasar mengandung makna
bahwa seluruh tahapan siklus pembuatan kebijakan dilakukan
berbasis evidens, kebijakan akan melenceng dari yang semestinya
akibat definisi masalah yang kabur; batas kebijakan yang tidak jelas
dan upaya intervensi alternative yang tidak lengkap (Spasoff, 2003)
Kebijakan) adalah seperangkat panduan pengambilan
keputusan. Walt (1994.42-3) membedakan antara systemic (macro)
policy, yang ditentukan dari karaktersitik dasar sebuah populasi, dan
64
sectoral (micro) policy, yang berfokus pada level keputusan yang
lebih rendah. Penyediaan kebijakan merupakan kerangka kerja
yang diusulkan yang dapat di uji dan diukur kemajuannya.
Kebijakan yang dibutuhkan dari sebuah organisasi harus
konsistent dengan kebijakan yang lain, atau mempunyai tujuan yang
sama. Tanpa hal itu kegitan organisasi akan menjadi tidak terfokus,
terpecah-pecah dan organisasi menjadi tidak efektif. Semua
kebijakan sebuah organisasi meskipun tidak tertulis. Idealnya
kebijakan itu berisi definisi yang jelas terhadap masalah yang akan
diselesaikan , pernyataan tujuan (pendekatan dan kegiatannya)
terhadap tujuan tujuan yang akan dicapai (Pal, 1992).
Pembuatan kebijakan termasuk penerapannya, dan
kebijakan biasanya tidak dapat dipertimbangkan untuk bertahan
sampai benar benar nyata telah dilaksanakan (Amiruddin, 2008).
Kebijakan publik merujuk pada kebijakan kebijakan
pemerintah. Perpustakaan Nasional USA Medical Science Heading
mendefinisikan kebijakan publik sebagai ”a course or method of
action selected, usually by government, from among altenatives to
guide and determine present and future decisions”. (MeSH). Tetapi
kebijakan bias juga buykan dalam bentuk tindakan, seperti “ a
course of action or inaction chosen by public authorities to address a
given problem or interrelated set of problems” (Pal, 1992). Karena
tindakan dan bukan tindakan adalah “pilihan” pengambil kebijakan
65
harus terlibat secara sadar dalam mengambil keputusan (Amiruddin,
2008)
3. Dampak dari Tembakau (rokok) dan Potensi Petaka Kesehatan
Masyarakat di Indonesia
a. Dampak Konsumsi Tembakau Terhadap Kesehatan Masyarakat
Berbagai data dan fakta menjelaskan bahwa dampak dari
tembakau khususnya rokok sangat merugikan bagi kesehatan tubuh
manusia, karena dapat menimbulkan penyakit seperti kanker paru,
jantung dan berbagai penyakit berbahaya lainnya. Seperti perkiraan
global, penyebab kematian di Indonesia yang terkait konsumsi
tembakau adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit
pernapasan khususnya chronic obstructive pulmonary (penyakit
paru obstruktif kronik) .
Ketergantungan terhadap rokok disinyalir disebabkan oleh
zat adiksi (nikotin) yang terkandung pada asap yang keluar saat
rokok saat dibakar atau dikonsumsi. Menghisap asap tembakau
mengantarkan nikotin dalam jumlah yang besar kedalam otak
secara cepat Bukti-bukti dari penelitian yang dilakukan selama 10
tahun terakhir menunjukan bahwa lebih dari 50 persen perokok
meninggal akibat kecanduan. Rokok diperkirakan menyebabkan
kematian 427.948 orang/tahun pada tahun 2001 atau sekitar 1.172
orang/hari. Separuh kematian akibat rokok berada pada usia
produktif
66
b. Dampak Tembakau Terhadap Ekonomi Masyarakat dan
Negara
Abdilah Ahsan dalam bukunya ekonomi tembakau di
Indonesia menjelaskan bahwa ada hubungan antara kesehatan dan
produktivitas ekonomi, hal tersebut berdasarkan teori yang
menyatakan bahwa kesehatan merupakan bentuk modal
sumberdaya manusia . Bloom dan Canning menjelaskan empat cara
kesehatan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi .
Individu yang sehat secara fisik maupun kognitif, yang
berdampak pada kemampuan bekerja dengan jam kerja yang lebih
panjang, lebih sedikitnya hari-hari absen dari pekerjaan karena
sakit, dan produktivitas yang tinggi baik ditempat kerja maupun
sekolah. Kedua, individu yang sehat memiliki umur harapan hidup
yang lebih lama. Hal ini memberi insentif bagi investasi dibidang
kesehatan, pendidikan, dan bentuk modal manusia lainnya. Ketiga,
usia hidup yang panjang mengarah pada tingkat tabungan pensiun
yang semakin membesar selama masa kerja. Investor asing akan
tertarik pada perekonomian yang memiliki tenaga yang sehat.
Keempat, penduduk yang lebih sehat berdampak pada penurunan
jumlah anak yang diinginkan karena mortalitas rendah. Perubahan
dari tingkat mortalitas dan fertilitas yang tinggi ketingkat yang
rendah mengakibatkan meningkatnya proporsi penduduk usia
kerja-sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi..
67
Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari
rumah tangga dengan perokok adalah 11, 5 persen ; angka ini lebih
besar dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur, susu (11
persen); 2,3 persen untuk pembiayaan kesehatan, dan 3,2 persen
untuk biaya pendidikan.” (Ahsan, 2008) Biaya akibat konsumsi
tembakau tahun 2001 diperkirakan sebesar Rp. 127,7 triliun
meliputi biaya langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk
membeli rokok dan biaya pengobatan dan biaya tidak langsung
akibat hilangnya produktivitas karena kematian, sakit dan
kecacatan.
Jumlah ini adalah 7 kali lipat penerimaan cukai tahun yang
sama yang besarnya Rp 16,5 Triliun. Pada tahun 2005, jumlah
kematian dari 3 kelompok penyakit utama:kanker, penyakit jantung
pembuluh darah dan penyakit pernapasan kronik obstruktif
diperkirakan sebesar 400.000 orang dan menyebabkan kerugian
total sebanyak Rp. 167 Triliun yang berasal dari biaya langsung
dan tidak langsung 5 kali lipat pendapatan pemerintah dan cukai
tembakau tahun yang sama sebesar Rp. 37 triliun
D. Tinjauan Umum Tentang Kawasan Bebas Asap Rokok
1. Peraturan tentang Rokok
Untuk melindungi generasi muda Indonesia di masa sekarang
dan mendatang dari bahaya rokok, pemerintah sedang
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
68
Pengesahan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Tujuan
FCTC adalah melindungi generasi sekarang dan mendatang
terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan,
dan ekonomi karena konsumsi tembakau dan paparan asap
tembakau. FCTC telah disepakati secara aklamasi dalam Sidang
Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly-WHA) pada bulan Mei
2003. FCTC dinyatakan efektif apabila telah ada minimal 40 negara
yang meratifikasinya. (Lisa Ellizabet Aula, 2010)
FCTC adalah konvensi atau treaty, yaitu bentuk hukum internasional
dalam mengendalikan masalah tembakau/rokok yang mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum bagi negara-negara yang merati-
fikasinya. Kelima langkah yang harus dilalui sampai FCTC menjadi
perangkat hukum internasional adalah sebagai berikut:
a. Adopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembl.r-WHA)
pada bulan Mei 2003.
b. Penandatanganan FCTC, yang dimulai pada 16 Juni 2003 sampai
29 Juni 2004. Pada akhir Februari 2004, 95 negara, termasuk
European Community, telah menandatangani FCTe.
c. Setelah batas akhir penandatanganan, negara yang belum
menandatangani FCTC masih bisa mengikat diri pada perjanjian
tersebut melalui prosedur accession/aksesi atau pengesahan tanpa
harus didahului dengan penandatanganan. Negara yang
melakukan aksesi/pengesahan harus segera melaksanakannya.
69
d. Protokol merupakan pengaturan kewajiban khusus untuk
melaksanakan tujuan konvensi.
e. Sembilan puluh hari setelah FCTC diratifikasi oleh sedikitnya empat
puluh negara, maka ia menjadi hukum internasional.
Dengan mengaksesi/pengesahan FCTC, kelak Indonesia terikat
pada perjanjian internasional dan diberikan tenggang waktu lima tahun
setelah konvensi berlaku bagi negara bersangkutan agar negara
tersebut melakukan upaya legislatif, eksekutif, administratif, atau upaya
lainnya yang efektif. Hingga kini, Indonesia merupakan satu-satunya
negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework
Convention TObacco Control (FCTC), sebuah traktat internasional yang di
dalamnya terdapat upaya pengendalian bahaya tembakau. Walaupun
Pemerintah Indonesia berperan aktif dalam Forum Internasional
Governmental Negotiating Body di Geneva, namun Indonesia
mengingkari komitmennya dengan tidak meratifikasi FCTC
Pengendalian bahaya tembakau memiliki prioritas rendah dalam
agenda kesehatan masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya, aturan yang sudah ada di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. PP No. 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan, yakni peraturan perundang-undangan untuk membantu
pelaksanaan upaya pengendalian tembakau. Pasal di dalamnya
mengatur iklan rokok, peringatan kesehatan, pembatasan kadar tar
70
dan nikotin, penyampaian kepada masyarakat tentang isi produk
tembakau, sanksi dan hukuman, pengaturan otoritas, serta peran
masyarakat terhadap kawasan bebas asap rokok.
b. PP No. 38 Tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan merupakan revisi dari PP No. 81 Tahun 1999, yang
berkaitan dengan iklan rokok dan memperpanjang batas waktu
bagi industri rokok untuk mengikuti peraturan baru ini menjadi 5-
7 tahun setelah dinyatakan berlaku, yang tergantung jenis
industrinya.
c. PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan merupakan Peraturan Pemerintah pengganti PP No.
81 Tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2000, yang mencakup
aspek yang berkaitan dengan ukuran dan jenis peringatan
kesehatan, pembatasan waktu bagi iklan rokok di media
elektronik, serta pengujian kadar tar dan nikotin
Adapun Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok
Bagi Kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain :
a. Melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok.
b. Membudayakan hidup sehat
c. Menekan perokok pemula.
d. Melindungi kesehatan perokok pasif.
Selain itu, ada juga peraturan terkait larangan merokok,
yakni Perda No. 75·Tahun 2005. Perda tersebut merupakan
71
larangan merokok di wilayah DKI Jakarta. Sebenarnya, hal itu tidak
hanya ada di Jakarta, karena di berbagai daerah lainnya pun
memiliki peraturan yang sama. Hanya saja, publikasinya belum
terdengar secara luas.
Meskipun tingkatannya adalah provinsi, Perda No. 75 tahun
2005 cukup banyak dikenal oleh publik. Dalam Perda ini juga
dijelaskan mengenai pengendalian asap rokok dalam kawasan
dilarang merokok. Kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau
area yang dinyatakan dilarang untuk merokok. Berdasarkan Perda
No. 75 Tahun 2005, ada tujuh tempat yang dilarang merokok.
2. Kawasan bebas asap rokok
Pemerintah membuat peraturan yang melindungi masyrakat
terutama anak-anak dari paparan Asap Rokok Orang Lain (AROL) yang
mematikan, karena mengandung 4000 bahan kimia berbahaya yang 69
diantaranya menyebabkan kanker, penyakit jantung, sindorma
kematian mendadak pada bayi (SIDS) dan penyakit paru dengan
menerapkan kawasan tanpa rokok. Dalam Undang-Undang kesehatan
No.36 tahun 2009 pasal 115 menyatakan bahwa yang termasuk
kawasan bebas asap rokok antara lain fasilitas pelayanan kesehatan,
tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,
angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain
yang ditetapkan. (Tobacco Control Support Center IAKMI, 2009)
72
Beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan
kawasan bebas asap rokok seperti
a) DKI Jakarta
PERDA No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara untuk udara luar ruangan PERGUB No. 75 tahun 2005
tentang kawasan Dilarang merokok
b) Kota Bogor
PERDA No. 8 tahun 2006 tentang Ketertiban Umum (pasal 14-16
yang mengatur tertib KTR)
c) Kota Cirebon
Surat Keputusan Walikota No. 27 A/2006 tentang Perlindungan
Masyarakat bukan perokok di Kota Cirebon
d) Kota Surabaya
PERDA No.5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan
Kawasan Terbatas Merokok PERWALI Surabaya No. 25 tahun
2009 tentang pelaksanaan Perda Kota Surabaya.
e) Kota Palembang
PERDA No. 7 tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok
f) Kota Padang Panjang
PERDA No.8 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan
Kawasan Tertib Rokok PERWALI No.10 tahun 2009 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Padang Panjang No.
8 Tahun 2009.
73
a. Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia
Sejak tahun 1999, melalui PP 19/2003 tentang Pengamanan
Rokok Bagi Kesehatan, Indoneia telah memiliki peraturan untuk
melarang orang merokok di tempat-tempat yang ditetapkan.
Peraturan Pemerintah tersebut, memasukkan peraturan kawasan
tanpa rokok pada bagian enam pasal 22-25. Pasal 25 memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mewujudkan
kawasan tanpa rokok. Namun peraturan tersebut belum
menerapkan 100 % kawasan bebas asap rokok karena masih
dibolehkan membuat ruangan khusus untuk merokok dengan
ventilasi udara di tempat umum dan tempat kerja. Dengan adanya
ruang untuk merokok kebijakan kawasan tanpa rokok nyaris tanpa
resistensi. Pada kenyataannya, ruang merokok dan ventilasi udara
kecuali mahal, kedua hal tersebut secara ilmiah terbukti tidak efektif
untuk melindungi perokok pasif, di samping rawan manipulasi
dengan dalih hak asasi bagi perokok.
Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, juga
mencantumkan peraturan kawasan tanpa rokok pada bagian
ketujuh belas, pengamanan zat adiktif, pasal 115. Menindaklanjuti
pasal 25 PP 19/2003, beberapa pemerintah daerah telah
mengelaurkan kebijakan kawasan tanpa rokok.
1. DKI Jakarta
74
DKI Jakarta tidak mempunyai peraturan daerah kawasan tanpa
rokok secara ekslusif. Perturan kawasan dilarang merokok
hanya tercantum dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 2
Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara untuk
udara luar ruangan. Yang ada hanya peraturan Gubernur
(PerGub) nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan dilarang
merokok. DKI Jakarta belum menerapkan kawasan 100 %
kawasan tanpa rokok karena dalam peraturan tersebut masih
menyediakan ruangan untuk meroko.
2. Kota Bogor
Kota Bogor belum menerbitkan peraturan kawasan Tanpa
Rokok secara eksklusif. Pengaturan tertib kawasan tanpa rokok
tertuang dalam Peraturan Daerah No 8 tahun 2006 tentang
ketertiban umum, pasal 14-16. Kota Bogor juga belum
menerapkan 100% Kawasan Tanpa Rokok karena masih
mencantumkan ruang untuk merokok. Kota Bogor
merencanakan akan menyusun Perda Kawasan Tanpa Rokok
secara Ekslusif.
3. Kota Cirebon
Peraturan kawasan tanpa rokok di Kota Cirebon berbentuk
surat keputusan Walikota No 27A/2006 tentang perlindungan
terhadap masyrakat bukan perokok di Kota Cirebon. Kota
Cirebon merupakan kota pertama yang menerapkan 100 %
75
kawasan tanpa rokok yaitu tidak menyediakan ruang untuk
merokok. Sayangnya peraturan tersebut belum berbentuk
Peraturan Daerah sehingga tidak ada sanksi dan tidak
mengikat masyarakat.
4. Kota Surabaya
Kota Surabaya merupakan kota pertama yang mempunyai
Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara ekskusif,
yaitu Peraturan Daerah Kota Surabaya No.5 tahun 2008
tentang Kawasan Tanpa Rokok dan kawasan terbatas
merokok. Perda ini membagi 2 kawasan yaitu Kawasan Tanpa
Rokok yang menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan
Terbatas Merokok yang menyediakan ruangan khusus untuk
merokok. Untuk melaksanakan Perda No 5 tahun 2008, Kota
Surabaya juga telah membuat peraturan Walikota Surabaya No
25 Tahun 2009 tentang pelaksanaan Perda Kota Surabaya No
5 tahun 2008 tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan
terbatas merokok. Kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas
merokok yang tercantum dalam Perda 5/ 2009 dirinci dan
dipertegas pada perwali tersebut.
5. Kota Palembang
Kota Palembang merupakan kota pertama di Indonesia yang
memilih Perda kawasan tanpa rokok secara ekslusif dan
menerapkan 100% kawasan tanpa rokok yaitu tanpa
76
menyediakan ruang merokok. Peraturan Daerah No.07/2009
Tentang kawasan tanpa rokok kota Palembang merupakan
satu-satunya Perda Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia yang
sesuai dengan standar internsional yaitu 100 % Kawasan
Tanpa Rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.
6. Kota Padang Panjang
Kota Padang Panjang memiliki Peraturan Daerah Kota
Padang Panjang No 8 tahun 2009 tentang kawasan tanpa
rokok dan kawasan tertib rokok.Peraturan Daerah ini dirinci dan
dipertegas dengan Peraturan Walikota Padang Panjang No.10
tahun 2009 tentang Petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah
Kota Padang Panjang No. 8 tahun 2009 tentang kawasan tanpa
asap rokok dan kawasan tertib rokok. (Tobacco Control Support
Center IAKMI, 2009)
7. Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan
Kabupaten Enrekang tepatnya di Desa Bone-Bone merupakan
Desa pertama di Kabupaten Enrekang yang memiliki Peraturan
Desa Kawasan bebas asap rokok yang awalnya hanya
kesepakatan lisan antar sesama warga desa. Yang digagas
oleh kepala desa dan disampaikan kepada tokoh masyarakat
yang lain serta pemuka adat desa kesepakatan lisan itu
sangat ampuh dan sangat dihargai tokoh adat, pemuka
masyarakat, serta warga umum. Aturan bebas rokok itu di
77
jalankan sejak tahun 2000. Pada tahun 2009 kawasan bebas
asap rokok itu lebih dipertegas dengan dikeluarkannya Perdes
No. 01 tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok. Desa
Bone-Bone merupakan satu-satunya Desa yang mengeluarkan
Perdes kawasan bebas asap rokok di Indonesia yang sesuai
dengan standar internsional yaitu 100 % kawasan bebas asap
rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.
b. Perlunya Kawasan Tanpa Rokok
Tidak ada batas aman terhadap asap rokok orang lain
sehingga sangat penting untuk menerapkan 100 % Kawasan
Tanpa Asap Rokok untuk dapat menyelamatkan kehidupan.
Menurut estimasi International Labor Organization (ILO) tahun 2005
tidak kurang dari 200.000 pekerja yang mati setiap tahun karena
paparan asap rokok orang lain di tempat kerja. Kematian karena
paparan asap rokok orang lain merupakan 1 dari 7 penyebab
kematian akibat kerja. 100 % kawasan yang bebas dari asap rokok
merupakan satu-satunya cara efektif dan murah untuk melindungi
masyarakat dari bahaya asap rokok orang lain. Menurut WHO Cost
Effectiveness akan naik apabila kawasan tanpa asap rokok akan
dilaksanakan secara komprehensif dengan strategi pengendalian
tembakau lainnya. (Tobacco Control Support Center IAKMI, 2009)
78
c. Mitos dan fakta tentang kebijakan kawasan bebas asap rokok
Mitos yang berkembang di masyarakat yang justru merugikan
masyarakat sendiri, dan terus dihembus-hembuskan oleh industri
tembakau untuk menghalangi perlindungan kesehatan masyarakat.
Beberapa mitos yang sering dipergunakan adalah sebagai berikut :
1) Asap rokok orang lain tidak membahayakan kesehatan Industri
rokok sering melawan bukti ilmiah, yang menganggap asap
rokok orang lain sekedar gangguan, bukan masalah kesehatan.
Faktanya penelitian ilmiah sudah sangat jelas bahwa asap
rokok orang lain mematikan. Bukti ilmiah sudah terakumulasi
selama lebih dari 40 tahun
2) Tidak diperlukan Undang-Undang (PERDA). Kebijakan yang
bersifat sukarela sudah cukup. Industri tembakau menyukai
konsep kebijakan yang bersifat kesukarelaan tanpa sanksi
hukum dari pada undang-undang (PERDA) karena hal
tersebut bisa menjadi alasan tidak perlu tindakan hukum bagi
pelanggaran. Skema pilihan bebas yang mengakomodir
keinginan perokok dan bukan perokok dengan
mempertahankan “Smoking are” dan “non smoking area”
dalam ruang yang sama adalah konsep yang diinginkan
industri rokok.
3) Sistem ventilasi akan mengatasi masalah asap rokok orang
lain.
79
Ruang merokok maupun sistem ventilasi tidak
memberikan perlindungan dari pajanan asap rokok orang lain.
Studi di Amerika menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat
asap tembakau di udara dan jumlah nikotin yang diserap
pekerja di ruang merokok dan tanpa asap rokok karena ruang
merokok tetap akan mengkontaminasi ruang tanpa asap
rokok. Sangat mustahil bahwa ruangan merokok tidak akan
dimasuki petugas kebersihan ataupun petugas keamanan,
dan ini akan menempatkan mereka pada risiko.
4) Undang-Undang (PERDA) kawasan tanpa rokok melanggar
hak asasi. Perokok harus di isinkan mengisap produk legal
dan perusahaan harus bisa menentukan akan menerapkan
kawasan tanpa rokok atau tidak
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 1
menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak asasi untuk
hidup sehat dan lingkungan sehat. Paparan asap rokok orang
lain melanggar hak asasi manusia. Hak bukan perokok untuk
mengisap udara bersih melebihi hak perokok untuk
mencemari udara yang akan dihisap orang lain. Kebijakan
kawasan tanpa rokok bukan tentang apakah orang merokok
tetapi dimana orang merokok. Mereka meninggalkan risiko
kesehatan bagi orang lain yang mengisap asap rokoknya.
80
5) Undang-Undang (PERDA) lingkungan bebas asap rokok tidak
populer. Masyarakat pada umumnya tidak menginginkannya
tetapi yang terjadi sebaliknya. Kebijakan ini sangat populer di
banyak negara dan semakin banyak orang yang menyadari
mereka berhak dilindungi dari paparan asap rokok orang lain.
Kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini adalah tertinggi
ditempat dimana kesadaran akan bahaya kesehatan adalah
tinggi.
6) Undang-undang (PERDA) yang melarang orang merokok
pada waktu santai tidak bisa diterapkan. Bukti di negara-
negara di dunia menunjukkan bahwa perokok maupun pelaku
bisnis patuh pada Undang-undang (PERDA) kawasan tanpa
rokok. Tingkat kepatuhan rata-rata 90 %.
7) Kebijakan kawasan tanpa rokok tidak tepat untuk negeri ini.
Pengalaman didunia menunjukkan bahwa Undang-undang
(PERDA) kawasan tanpa rokok cukup berhasil diterapkan baik
di negeri besar atau kecil, perkotaan atau pedesaan, negara
kaya ataupun miskin. Kebijakan kawasan tanpa rokok
semakin populer di banyak negara, karena semakin banyak
orang menyadari haknya untuk menghirup udara bersih dan
sehat.
81
8) Apabila orang tidak dibolehkan merokok di tempat umum,
mereka akan lebih banyak merokok di rumah masing-masing
dan risiko paparan pada anak-anak akan lebih besar.
Undang-undang kawasan tanpa rokok mendorong orang
dewasa untuk berhenti merokok. Dengan demikian anak-anak
yang terpapar asap rokok dirumahpun berkurang . Undang-
undang ini membuat perokok meneruskan kebiasaannya di
rumah dan membuat rumahnya bebas asap rokok secara
sukarela. Di New Zealand dilaporkan bahwa paparan asap
rokok orang lain di rumah tangga berkurang 50 %. 3 tahun
setelah undang-undang kawasan tanpa rokok diberlakukan.
9) Undang-undang (PERDA) kawasan tanpa rokok diterapkan,
industri jasa dan industri pariwisata akan merugi. Penelitian
independen berulang kali membuktikan tidak adanya efek
ekonomi yang negatif dari Undang-undang kawasan tanpa
rokok pada industri jasa dan turisme. Studi yang dilakukan di
Kanada, Italia, Norwegia dan beberapa kota seperti El paso
dan New York memperlihatkan bila dilihat secara rata-rata,
bisnis tetap seperti biasa bahkan ada yang meningkat setelah
diberlakukan pelarangan merokok
10) Peraturan kawasan tanpa rokok tidak penting karena akan
meningkatkan masalah sosial termasuk kekerasan dan
keributan di jalanan. Tidak ada bukti yang menunjukkan hal
82
tersebut. Seandainyapun ada, maka hal ini relatif kecil
dibandingkan dengan dampak risiko kesehatan yang
diakibatkan asap rokok orang lain. Hal ini diatasi secara
terpisah dengan peraturan yang sesuai.
d. Kebijakan untuk Perlindungan terhadap Asap Rokok Orang
Lain.
Penerapan kawasan tanpa rokok di tempat-tempat umum
mencegah bukan perokok dari paparan asap tembakau lingkungan.
PP 19/2003 pasal 22 menyatakan bahwa Tempat Umum, sarana
kesehatan,tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, arena
kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum dinyatakan
sebagai kawasan tanpa rokok.
Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 115
dinyatakan bahwa kawasan tanpa rokok antara lain :
1) Fasilitas pelayanan kesehatan
2) Tempat proses belajar mengajar
3) Tempat anak bermain
4) Tempat ibadah
5) Angkutan umum
6) Tempat kerja
7) Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyatakan sebanyak
34,2 % orang dewasa adalah perokok aktif, artinya lebih dari dua
83
pertiga penduduk secara potensial terpapar asap rokok orang lain.
Data tahun 2001 dari sumber yang sama mencatat 70 % anak-
anak usia 0-14 tahun adalah perokok pasif di rumah mereka.
Merokok seakan telah menjadi norma sosial. Paparan asap rokok di
tempat umum dan di depan orang lain ditoleransi oleh masyarakat.
GYTS 2006 menemukan 81 % pelajar usia 13-15 tahun terpapar
dengan asap rokok orang lain di tempat umum dan 64 % terpapar
di dalam rumah.
Larangan merokok di tempat kerja memberikan dampak
kesehatan bagi perokok maupun bukan perokok. Larangan ini
akan:
1. Mengurangi paparan bukan perokok dari asap rokok orang lain
2. Mengurangi konsumsi rokok di antara para perokok.
Penelitian dengan jelas menyimpulkan bahwa 100 %
kawasan tanpa rokok di tempat kerja memberikan keuntungan
ekonomi. Hal ini mencegah tuntutan hukum bukan perokok/
perokok pasif serta mengurangi biaya-biaya lainnya, termasuk
diantaranya biaya untuk kebersihan, pemeliharaan peralatan dan
fasilitas, di samping risiko kebakaran, absensi pekerja dan
kerusakan harta benda. Terlebih lagi para pekerja akan
mengkonsumsi rokok lebih sedikit, lebih mungkin untuk berhenti
merokok, dan lebih mendorong untuk berhenti merokok dan
84
memungkinkan mereka untuk lebih cepat dari pada pekerja di
tempat kerja dengan kabijakan yang lemah.
Beberapa tempat umum memisahkan perokok dan bukan
perokok, tetapi hal ini tidak melindungi bukan perokok dari dari efek
karsinogen yang ditimbulkan dari orang yang merokok di ruangan
yang sama. Bahkan teknologi ventilasi yang paling moderen
sekalipun tidak dapat menghilangkan racun bahaya yang
terkandung dalam asap rokok orang lain.
e. Prinsip kebijakan kawasan bebas asap rokok
1. Kebijakan perlindungan yang efektif mensyaratkan eliminasi total
dari asap tembakau di ruangan sehingga mencapai 100 %
lingkungan tanpa asap rokok, tidak ada batas aman dari paparan
asap rokok ataupun ambang tingkat keracunan yang bisa
ditoleransi, karena itu bertentangan dengan bukti ilmiah.
Pendekatan lain untuk peraturan 100% lingkungan tanpa asap
rokok termasuk penggunaan ventilasi, saringan udara dan
pembuatan ruangan merokok (dengan ventilasi terpisah ataupun
tidak) yang terbukti tidak efektif. Bukti ilmiah menyimpulkan
bahwa pendekatan teknik kontruksi tidak mampu melindungi
paparan asap tembakau.
2. Semua orang harus terlindungi dari paparan asap rokok. Semua
tempat kerja tertutup dan tempat umum harus bebas
sepenuhnya dari asap rokok.
85
3. Peraturan harus dalam bentuk legilasi yang mengikat secara
hukum. Kebijakan sukarela yang tidak memiliki sanksi hukum
terbukti tidak efektif untuk memberikan perlindungan yang
memadai. Agar efektif, UU/PERDA harus sederhana, jelas dan
dapat dilaksanakan secara hukum.
4. Perencanaan yang baik dan sumber daya yang cukup adalah
esensial untuk keberhasilan pelaksanaan dan penegakan
hukum.
5. Lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya
masyarakat dan organisasi profesi memiliki peran sentral untuk
membangun dukungan masyarakat umum dan menjamin
kepatuhan terhadap peraturan, karenanya harus dilibatkan
sebagai mitra aktif dalam proses pengembangan, pelaksanaan
dan penegakan hukum.
6. Pelaksanaan peraturan, penegakan hukum dan hasilnya harus
dipantau dan dievaluasi terus-menerus. Termasuk di dalamnya
merespon upaya industri rokok untuk mengecilkan arti ataupun
melemahkan pelaksanaan peraturan secara langsung maupun
tidak langsung dengan menyebarkan mitos keliru yang
menggunakan tangan ketiga (pengusaha restoran, masyarakat
perokok).
7. Perlindungan terhadap paparan asap rokok perlu senantiasa
diperkuat dan dikembangkan bilamana perlu dengan
86
amandemen, perbaikan penegakan hukum atau kebijakan lain
menampung perkembangan bukti ilmiah dan pengalaman
berdasarkan studi kasus.
f. Rekomendasi Kebijakan yang Efektif
Kebijakan kawasan bebas asap rokok yang efektif adalah yang
dapat dilaksanakan dan dipatuhi. Agar kebijakan kawasan bebas
asap rokok dapat dilaksnakan dan dipatuhi, perlu dipahami prinsip-
prinsip dasar kawasan bebas asap rokok.
Prinsip dasar kawasan bebas asap rokok antara lain :
1. Asap rokok orang lain mematikan
2. Tidak ada batas aman bagi paparan asap rokok orang lain
3. Setiap warga Negara wajib dilindungi secara hokum dari
paparan asap rokok orang lain.
4. Setiap pekerja berhak atas lingkungan tempat kerja yang bebas
dari asap rokok orang lain.
5. Hanya lingkungan bebas asap rokok 100 % yang dapat member
perlindungan penuh bagi masyarakat,
6. Pembuatan ruang merokok dengan ventilasi/filtrasi udara tidak
efektif.
87
E. Tinjuan umum tentang pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terhadap objek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu
pengindaran sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oelh intensitas perhatian persepsi terhadap objek. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2003)
Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh pendidikan formal.
Pengetahuan sangat erat hubungnnya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut
akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan,
bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak
berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan
tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan
seseorang tenatng suatu objek mengandung suatu dua aspek yaitu
aspek positif dan objek yang diketahui maka akan menimbulkan sikap
makin positif terhadap objek tertentu.(A Wawan,dkk, 2010)
Menurut teori WHO yang dikutip Notoatmodjo (2007), salah satu
bentuk pengetahuan objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan
yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Pengetahuan atau kognitif
88
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
pengetahuan yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang
cukup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :
(Notoadmodjo, 2003)
1. Tahu (Know)
2. Memahami (Comprehention)
3. Aplikasi (Application)
4. Analisis (Analysis)
5. Sintesis (synthesis)
6. Evaluasi (Evaluation)
Pada tingkat pengetahuan, tahu (know) adalah tingkat
pengetahuan yang paling rendah, di sini subjek mengetahui apa itu rokok
dan rokok telah dikenal atau dipelajari sebelumnya. Subjek akan dapat
menyebutkan, menguraikan ataupun mendefinisikan secara benar apa
yang dimaksud dengan rokok, misalnya: seseorang mengetahui apa itu
rokok, jenis-jenis rokok yang ada dijual, ataupun menjelaskan rokok itu
dari sudut pandangnya. Memahami (comprehension) merupakan tingkat
yang lebih tinggi dari tahu, disini subjek memiliki kemampuan untuk
menjelaskan dan menginterpretasikan rokok secara benar
Aplikasi (application), disini subjek mampu menggunakan
pengetahuannya akan rokok dalam kondisi atau situasi yang
89
sesungguhnya, misalnya: seseorang yang telah mengerti akan bahaya
asap rokok, dia akan keluar dari ruangan yang penuh dengan asap rokok
tersebut guna menjaga kesehatannya. Pada tingkat analisis (analysis),
subjek memiliki kemampuan untuk menjabarkan rokok lebih spesifik.
Pada tahap ini subjek mulai menganalisis efek-efek dari asap
rokok terhadap kesehatan maupun keuntungan dan kerugian dari asap
rokok. Sedangkan pada tingkat sintesis (synthesis), subjek mulai
menghubungkan efek-efek dari asap rokok, kandungan didalam rokok
dengan timbulnya penyakit, misalnya: kanker, penyakit jantung maupun
PPOK. Akhirnya pada tingkat evaluasi (evaluation), subjek membuat
keputusan berdasarkan tahapan pengetahuan terhadap rokok, dimana
subjek akan menanggapi rokok secara positif maupun negatif.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin
kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-
tingkatan di atas.
1. Cara memperoleh pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan yang dikutip dari Notoadmodjo,
2003:11 adalah sebgai berikut :
a. Cara Kuno untuk memperoleh pengetahuan
1) Cara coba salah (Trial and Error)
90
Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan
mungkin sebelum adanya perdaban. Cara coba salah dilakukan
dengan emnggunakan kemungkinan dalam memecahkan
masalah apabila kemungkianan itu tidak berhasil makadicoba,
kemungkianan yang lain sampai masalah tersebut dapat
dipecahkan
2) Cara kekuasaan atau otoritas
Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pimpinan-
pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama,
pemegang pemerintah dan berbagai prinsip orang lain yang
menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang
mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau
membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris
maupun penalaran sendiri.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya
memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi masa lalu.
b. Cara moderen dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metodologi penelitian ilmiah atau lebih popular
atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula
dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian
91
dikembangkan oleh Deobold Van daven. Akhirnya lahir suatu cara
untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan
penelitian ilmiah.
2. Proses Perilaku Tahu
Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),
perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang
dapat diamati langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Sedangkan sebelum mengadopsi perilaku baru didalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:
a. Awareness (kesadaran ) di mana orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)
b. Interest (merasa tertarik) dimana individu mulai menaruh perhatian
dan tertarik pada stimulus
c. Evaluation (menimbang-nimbang) individu akan
mempertimbangkan baik buruknya tindakan terhadap stimulus
tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih
baik lagi.
d. Trial, dimana individu mulai mencoba perilaku baru
e. Adaption, dan sikapnya terhadap stimulus.
92
Tabel 1 Sintesa Faktor Pengetahuan dengan Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
Sumber : Diolah Dari Berbagai Sumber
F. Tinjuaan umum tentang pendapatan
Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari rumah
tangga dengan perokok adalah 11, 5 % ; angka ini lebih besar
dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur, susu (11 %); 2,3 persen
untuk pembiayaan kesehatan, dan 3,2 % untuk biaya pendidikan.”
(Abdilah Ahsan, 2008) Biaya akibat konsumsi tembakau tahun 2001
diperkirakan sebesar Rp. 127,7 triliun meliputi biaya langsung yang
dikeluarkan oleh masyarakat untuk membeli rokok dan biaya pengobatan
dan biaya tidak langsung akibat hilangnya produktivitas karena kematian,
sakit dan kecacatan.
No
Nama peneliti
Judul penelitian
Karakteristik
Subjek Instrument Metode/ Desain
Hasil
1 Ishaq Pawennari
Hubungan usia dan perilaku merokok dengan di berlakukannya daerah bebas asap rokok RSU Dr. Soetomo Surabaya
Pasien yang memeriksakan dirinya di rumah sakit RSU Dr. Soetomo Surabaya
Kuesioner Case Control Study
Pengetahuan (p=0,013, OR
= 5, 143)
2.
Komang Agus Sumarayasa
Hubungan tingkat pengetahuan, sikap, dengan kawasan bebas asap rokok di UPN Veteran JakartaTahun 2008
Sampel sebanyak 385 orang
Kuesioner dan wawancara
Cross Sectional
study
Pengetahuan dengan
kawasan bebas asap
rokok p= 0,001 OR = 10,286
93
Dampak ekonomi merupakan konsep untung rugi jangka panjang
jika seseorang, sekelompok orang atau suatu Negara mengerjakan
sesuatu. Konsep ini memang belum banyak dipahami banyak orang
hanya melihat akibat suatu perbuatan dalam jangka pendek. Konsep
kerugian ekonomi menghitung akibat suatu tindakan atau tidak berbuat
sesuatu untuk jangka panjang, baik untuk tingkat perorangan maupun
untuk masyarakat atau Negara.
Kaitan konsumsi produk-produk tembakua, kerugian ekonomis
dihitung dari belanja mubazir, yaitu belanja rokok misalnya yang tidak
memberi manfaat untuk tubuh, kecuali ilusi atau kenikmatan semu.
Sebaliknya, merokok justru menjadikan tubuh berisiko terserang berbagai
penyakit yang kemudian kita harus mengeluarkan biaya berobat. Uang
yang dihabiskan untuk biaya berobat merupakan kerugian ekonomis
merokok yang langsung yangdiakibatkan oleh perbuatan merokok atau
mengkonsumsi produk tembakau. (Tobacco Control Suport Centre IAKMI
Pesat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan status kesehatan, 2009)
Kerugian biasa lebih banyak lagi, karena ketika kita sakit, kita tidak
bias bekerja. Maka penghasilan kita yang seharusnya kita dapat, jika kita
bekerja, menjadi hilang. Hal ini disebut kerugian ekonomi merokok yang
tidak langsung. Tidak sedikit orang yang ceroboh, mubazir dan tidak
paham terus mengkonsumsi produk tembakau. Ia kemudian mati muda,
maka hal ini juga menimbulkan kerugain ekonomi bagi anggota
keluarganya.
94
Seseorang mati pada usia 40 tahun, karena serangan jantung atau
penyakit yang terkait dengan banyaknya konsumsi rokok, padahal
seharusnya ia bias pension pada usia 60 tahun, maka anggota
keluarganya menderita kerugian ekonomis. Orang lain menanggung
beban akibat pembelian dan konsumsi rokok oleh perokok. Disamping
dampak fisik dan ekonomi pada bukan perokok (perokok pasif), dampak
ekonomi yang harus ditanggung oleh keluarga perokok adalah biaya rutin
yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan adiksinya dan biaya
sakit akibat rokok. Pada keluarga miskin, beban ekonomi ini dilakukan
dengan mengalihkan pengeluaran makanan, pendidikan dan kesehatan
untuk membeli rokok. Beban tidak langsung bagi keluarga miskin adalah
hilangnya produktifitas pencari nafkah utama karena sakit atau kematian
dini yang berdampak pada turunnya pendapatan keluarga. (Tobacco
Control Suport Centre IAKMI Pesat Penelitian dan Pengembangan
Ekologi dan status kesehatan, 2009)
95
Tabel 2 Sintesa Faktor pendapatan terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
No
Nama peneliti
Judul penelitian
Karakteristik
Subjek Instrument Metode/ Desain
Hasil
1 Hugh R, Watera, PhD, Steven S. Foldes, PH.D, Nina L. Alesci, MPH, Jonathan Samet, MD
The Economic impact of exposure to secondhand smoke in Minnesota
Penduduk yang diperkiran berisiko dalam hal ini sakit yang diakibatkan karena rokok
Kuesioner, wawancara
Cross Sectional Study
Hasil analisis statistik diketahui terdapat hubungan yang bermakna dimana P= 0,001, r= 0,414
2 BMC Pregnancy and Childbirth 2010, 10:24,Canada Ban Al-Sahab, Masarat Saqib,, Gabriel Hauser, Hala Tamim
Prevalensi merokok selama kehamilan dan faktor risiko dari rokok terhadap kehamilan
Survei Pengalaman wanita berusia ≥ 15 tahun yang telah Kelahiran tunggal hidup selama 2005/06 di provinsi-provinsi Kanada dan wilayah. Hasilnya pernah merokok selama kehamilan
Kuesioner, wawancara telepon dan aplikasi Komputer
survey dimana survey yang digunakan yaitu MES
CI: 6,5-7,4; SD = 5.7).analisis regresi menunjukkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan lebih mungkin untuk menjadi rendah status sosio-ekonominya
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
G. Tinjuan Umum tentang Lingkungan Sosial Budaya
Sosiol Budaya setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap
terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-
tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang masing-
masing etnis mempunyai budaya yang khas. Teori Fishbein (1993) dalam
Glanz K dkk (2002), mengemukakan tentang alasan mengapa seseorang
berperilaku menunjukkan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari faktor
96
adanya minat terhadap perilaku tersebut. Minat ini dibentuk oleh sikap
terhadap perilaku dan norma subjektif.
Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh kepercayaan dari perilaku
dan evaluasi dari hasil perilaku, sedangkan norma subjektif dipengaruhi
oleh kepercayaan normatif dan motivasi untuk mengikuti perilaku tersebut.
Seseorang percaya kebiasaan merokok akan memberikan rasa
kenikmatan dan kenyamanan serta merasa menjadi lebih hebat. Norma
atau nilai subjektif serta sikap dalam diri seseorang atau orang di
sekitarnya seperti orang tua yang merokok, saudara serumah yang
merokok, teman yang merokok serta iklan rokok dapat mempengaruhi
minat seseorang untuk berperilaku.
97
Tabel 3 Sintesa Faktor lingkungan Sosial Budaya terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
No
Nama peneliti
Judul penelitian
Karakteristik
Subjek Instrument
Metode/ Desain
Hasil
Nurhidayati Fawzani, Atik Triratnawati, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Makara,Kesehatan, vol. 9, no. 1, Juni 2005: 15-22
Terapi Berhenti Merokok dalam penerapan kawasan bebas asap rokok
studi kasus 3perokok berat dilakukan pada tahun 2004 di Yogyakarta. Kriteria informan meliputi umur di atas40tahun, kawin,sudahberhenti merokok, termasuk perokok berat dengan lama merokok di atas 10 tahun dan menghabiskan lebih dari 20 batang per hari
Observasi,Wawa
ncara dengan
alat perekaman
Deskriptif
Modal utama sukses berhenti merokok adalah niat dan tekad yang kuat dari perokok itu sendiri.Alasan untuk berhenti merokok adalah faktor kesehatan, organisas,keagamaan, dan keluarga. Faktor kesehatan berkaitan dengan sakit yang diderita oleh informan,seperti hipertensi, demam tinggi, batuk-batuk, dan dada terasa nyeri.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
H. Tinjaun umum tentang sikap
Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya
sendiri, orang lain, objek atau isue. (Petty, cocopria, 1986 dalam Azwar
S.,2000:6)
Sikap adalah predisposisi Untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal
psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih merupakan proses
kesadaran yang sifatnya individual artinya proses ini terjadi secara
98
subjektif dan unik pada diri setiap individu. Kemungkinan ini dapat terjadi
oleh adanya perbedaan individual yang berasal yang berasal dari nilai-
nilai dan norma yang ingin dipertahankan :dan dikelola oleh individu
(Coser, dalam A.wawan dan Dewi.M, 2010:27)
Komponen pokok sikap menurut Alloprt (1954), sikap itu terdiri dari
3 komponen pokok, (Notoadmojo, 2007) yaitu
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang
terhadap objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya
bagaimana penilaian terkandung di dalamnya faktor emosi), orang
tersebut terhadap objek
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku
terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berprilaku
terbuka (tindakan).
Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang (Azwar,
2000), yaitu :
1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai
oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan
stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat
disamakan penanganan atau (opini) terutama apabila menyangkut
masalah isu atau problem yang kontroversional.
99
2. Komponen efektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek
emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling
dalam sebagai komponen sikap merupakan aspek yang paling
bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah
mengubah s ikap seseorang komponen afektif disamakan dengan
perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
3. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku
tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan
berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/ bereaksi
terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan
dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan
bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tensi
perilaku.
Tingkatan sikap, sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan
intensitasnya, Notoadmojo, 2007 dalam A.wawan dan Dewi M, 2010 : 33)
1. Menerima (recieving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek)
2. Menanggapi (responding)
Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek
yang dihadapi
3. Menghargai (valuing)
100
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang
positif terhadap objek stimulus, dalam arti membahasnya dengan
orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau
menganjurkan orang lain merespons.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab
terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah
mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani
mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemohkan atau adanya
risiko lain.
Tabel 4 Sintesa Faktor Sikap terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
No
Nama peneliti
Judul penelitian
Karakteristik
Subjek Instrument Metode/ Desain
Hasil
1 Jeff Loren Ganbaran pengetahuan dan sikap mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara terhadap penerapan kampus bebas asap rokok tahun 2009
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara stambuk 2006,2007, 2008 sebanyak 306 orang
Angket dan wawancara
Cross Sectional Study
Sikap terhadap kampus bebas asap rokok kategori baik sebanyak 89,9 % kategori sedang sebanyak 75,8%, kategori kurang sebanyak 89,9 %.
2 Riny Sumarna
Pengetahuan sikap dan perilaku kawasan bebas asap rokok pada mahasiswa ekstensi angkatan 2007 di FISIP UI tahun 2009
Mahasiswa ekstensi angkatan 2007 di FISIP UI yang merokok sebanyak 50 orang
Angket(Kuesioner) dan wawancara
Cross sectional Study
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 tidak ada perbedaan proporsi antara perilaku merokok dengan sikap positif pada mahasiswa
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
101
H. Tinjuan umum tentang kebijakan Perdes
Melindungi generasi muda Indonesia di masa sekarang dan
mendatang dari bahaya rokok, pemerintah sedang mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan FCTC
(Framework Convention on Tobacco Control). Tujuan FCTC adalah
melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan
kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi karena
konsumsi tembakau clan paparan asap tembakau. FCTC telah
disepakati secara aklamasi dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia
(World Health Assembly-WHA) pada bulan Mei 2003. FeTC dinyatakan
efektif apabila telah ada minimal 40 negara yang meratifikasinya.(Lisa
Ellizabet Aula, 2010)
Hingga kini, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia
Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention TObacco Control
(FCTC), sebuah traktat internasional yang di dalamnya terdapat upaya
pengendalian bahaya tembakau. Walaupun pemerintah Indonesia
berperan - aktif dalam forum internasional Governmental Negotiating Body
di Geneva, namun Indonesia mengingkari komitmennya dengan tidak
meratifikasi FCTE. Pengendalian bahaya tembakau memiliki prioritas
rendah dalam agenda kesehatan masyarakat Indonesia. Lisa Ellizabet
Aula, 2010)
102
Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan memiliki beberapa tujuan. Pertama, melindungi kesehatan
dari bahaya akibat merokok. Kedua, membudayakan hidup sehat.
Ketiga, menekan perokok pemula. Keempat, melindungi kesehatan
perokok pasif. Selain itu, ada juga peraruran terkait larangan merokok,
yakni Perda No. 75·Tahun 2005. Perda terse but merupakan larangan
merokok di wilayah DKI Jakarta. Sebenarnya, hal iru tidak hanya ada
di Jakarta, karena di berbagai daerah lainnya pun memiliki peraturan
yang sama. Hanya saja, publikasinya belum terdengar secara luas.
Lisa Ellizabet Aula, 2010)
Perda No. 75 tahun 2005 cukup banyak dikenal oleh publik.
Dalam Perda ini juga dijelaskan mengenai pengendalian asap rokok
dalam kawasan dilarang merokok. Kawasan dilarang merokok adalah
ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok.
Berdasarkan Perda No. 75 Tahun 2005, ada tujuh tempat yang
dilarang merokok yaitu tempat umum, tempat kerja, angkutan umum,
tempat ibadah, arena kegiatan anak-anak, tempat proses belajar
mengajar dan tempat pelayanan kesehatan.(Lisa Ellizabet Aula, 2010)
Pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan kawasan
tanpa asap rokok antara lain :
1. DKI Jakarta
2. Kota Bogor
103
3. Kota Cirebon
4. Kota Surabaya
5. Kota Palembang
6. Kota Padang Panjang
Selain beberapa kota diatas terdapat suatu Desa di Sulawesi
Selatan tepatnya di Kabupaten Enrekang yang telah menerapakan
kawasan bebas asap rokok yaitu Desa Bone-bone dan yang paling
membuat desa itu menjadi perhatian adalah semua warga Desa di sana
sepakat untuk tidak mengisap rokok. Larangan merokok tersebut tidak
diatur secara tertulis. Tidak ada pula peraturan desa atau perdes. Semua
hanya kesepakatan lisan antar sesama warga desa. Meski begitu,
kesepakatan lisan itu sangat ampuh dan sangat dihargai tokoh adat,
pemuka masyarakat, serta warga umum.
Aturan bebas rokok di jalankan sejak tahun 2000. Sejak 2001
seluruh warga Desa Bone-bone menerapkan kesepakatan bebas asap
rokok tersebut. Bahkan, tamu pun dikenai aturan itu. Tamu yang ingin
merokok diharuskan keluar Desa dan kembali setelah menghabiskan
rokoknya. Pada tahun 2009 beberapa tokoh masyarakat, agama dan
tokoh pemuda mengadakan pertemuan untuk membahas materi peraturan
Desa Bone-Bone nomor 01 tahun 2009 tentang kawasan bebas asap
rokok dan sampai sekarang telah diberlakukan Perdes tersebut.
104
Tabel 5 Sintesa Faktor kebijakan Perdes terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
No
Nama peneliti
Judul penelitian
Karakteristik
Subjek Instrument
Metode/ Desain
Hasil
1 Apriwal Efektifitas kebijakan kawasan bebas asap rokok di RSUD Sulthan Thaha Saipuddin Kabupaten Tebo Provinsi Jambi Tahun 2009
Petugas RSUD Sulthan Thaha Saipuddin Kabupaten Tebo
Kuesioner dan
poster
Quasi Eksperiment Study dengan rancangaan randomized control group pre test dan post test
Pengaruh ada nya SK direktur area merokok lebih kuat dibandingkan dengan media poster, hasil statistik (37, 90) dengan p= 0,000
2 Anhari Achadi
Regulasi pengendalian masalah rokok di Indonesia
Pemerintah dalam menggalakkan peraturan mengenai pengendalian masalah penggunaan tembakau
Deskriptif Pengendalian masalah penggunaan tembakau / merokok di Indonesia berupa peraturan pemerintah, Peraturan daerah, Peraturan Gubernur, serta instruksi eksekutif lainnya. Peraturan pemerintah No.19 tahun 2003
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
105
I. Bagan Kerangka Teori
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Gambar 3. Bagan Kerangka Teori
Kepatuhan penerapan
Kawasan bebas Asap
rokok
Pengetahuan
Faktor Eksternal
1. Lingkungan
2. Sosial Budaya
Faktor internal :
1. Pendidikan
2. Pekerjaan
3. Umur
Beban pembelian rokok
Biaya sakit akibat
merokok
Kesehatan
Bahaya asap rokok
Penyakit akibat
rokok
Kualitas hidup
1
Kebijakan Perdes
- Pelaksanaan Peraturan
- Penegakan hukum
- Larangan merokok
-Berhenti merokok
Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial &Budaya
- Keluarga
- Teman
- Agama
kebiasaan merokok
- Merokok
- Tidak merokok
Sikap
106
J. Kerangka Konsep
a. Dasar pemikiran variabel yang diteliti
Rokok merupakan salah satu Zat adiktif, yang bila digunakan dapat
mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat.
Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa rokok adalah
hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu ataupun
bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum,
Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau sintesisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
(Lisa Ellizabet Aula, 2010)
Pemerintah membuat peraturan yang melindungi masyrakat
terutama anak-anak dari paparan asap rokok orang lain (AROL) yang
mematikan, karena mengandung 4000 bahan kimia berbahaya yang 69
diantaranya menyebabkan kanker, penyakit jantung, sindorma
kematian mendadak pada bayi (SIDS) dan penyakit paru dengan
menerapkan kawasan tanpa rokok. Dalam undang-undang kesehatan
No.36 tahun 2009 pasal 115 menyatakan bahwa yang termasuk
kawasan bebas asap rokok antara lain fasilitas pelayanan kesehatan,
tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,
angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain
yang ditetapkan. (Tobacco Control Support Center IAKMI, 2009)
107
1. Pengetahuan
Pada tingkat pengetahuan, tahu (know) adalah tingkat
pengetahuan yang paling rendah, disini subjek mengetahui apa itu
rokok dan rokok telah dikenal atau dipelajari sebelumnya. Subjek
akan dapat menyebutkan, menguraikan ataupun mendefinisikan
secara benar apa yang dimaksud dengan rokok, misalnya:
seseorang mengetahui apa itu rokok, jenis-jenis rokok yang ada
dijual, ataupun menjelaskan rokok itu dari sudut pandangnya.
Memahami (comprehension) merupakan tingkat yang lebih
tinggi dari tahu, disini subjek memiliki kemampuan untuk
menjelaskan dan menginterpretasikan rokok secara benar. Aplikasi
(application), disini subjek mampu menggunakan pengetahuannya
akan rokok dalam kondisi atau situasi yang sesungguhnya,
misalnya: seseorang yang telah mengerti akan bahaya asap rokok,
dia akan keluar dari ruangan yang penuh dengan asap rokok
tersebut guna menjaga kesehatannya. Pada tingkat analisis
(analysis), subjek memiliki kemampuan untuk menjabarkan rokok
lebih spesifik.
2. Pendapatan
Sosial ekonomi yang rendah, dalam hal ini pendapatan keluarga
serta faktor perilaku serta perorangan maupun kelompok
masyarakat hubungannnya dengan merokok dikaitkan dengan
kemampuan ekonomi. Dampak ekonomi merupakan konsep untung
108
rugi jangka panjang jika seseorang, sekelompok orang atau suatu
Negara mengerjakan sesuatu. Konsep ini memang belum banyak
dipahami banyak orang hanya melihat akibat suatu perbuatan
dalam jangka pendek. Konsep kerugian ekonomi menghitung
akibat suatu tindakan atau tidak berbuat sesuatu untuk jangka
panjang, baik untuk tingkat perorangan maupun untuk masyarakat
atau Negara.
Kaitan konsumsi produk-produk tembakua, kerugian ekonomis
dihitung dari belanja mubazir, yaitu belanja rokok misalnya yang
tidak memberi manfaat untuk tubuh, kecuali ilusi atau kenikmatan
semu. Sebaliknya, merokok justru menjadikan tubuh berisiko
terserang berbagai penyakit yang kemudian kita harus
mengeluarkan biaya berobat. Uang yang dihabiskan untuk biaya
berobat merupakan kerugian ekonomis merokok yang langsung
yangdiakibatkan oleh perbuatan merokok atau mengkonsumsi
produk tembakau. (Tobacco Control Suport Centre IAKMI Pesat
Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan status kesehatan,
2009)
3. Lingkungan sosial budaya
Sosial budaya setempat biasanya sangat berpengaruh
terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat
dari perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena
memang masing-masing etnis mempunyai budaya yang khas. Teori
109
Fishbein (1993) dalam Glanz K dkk (2002), mengemukakan tentang
alasan mengapa seseorang berperilaku menunjukkan bahwa
perilaku seseorang terbentuk dari faktor adanya minat terhadap
perilaku tersebut. Minat ini dibentuk oleh sikap terhadap perilaku
dan norma subjektif. Lingkungan Sosial budaya dalam hal ini yaitu
keluarga, teman, keyakinan/kepercayaan) yang memungkinkan
dapat mempengaruhi responden untuk berhenti merokok atau tidak
merokok
4. Sikap
Sikap adalah predisposisi Untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya
kondisi internal psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap
lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual artinya
proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu.
Kemungkinan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual
yang berasal yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin
dipertahankan dan dikelola oleh individu (Coser, dalam A.wawan
dan Dewi.M, 2010:27)
5. Kebijakan Perdes
Melindungi generasi muda Indonesia di masa sekarang
dan mendatang dari bahaya rokok, pemerintah sedang
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Pengesahan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
110
Meskipun tingkatannya adalah provinsi, Perda No. 75
tahun 2005 cukup banyak dikenal oleh publik. Dalam Perda ini
juga dijelaskan mengenai pengendalian asap rokok dalam ka-
wasan dilarang merokok. Kawasan dilarang merokok adalah
ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok
I. Bagan Kerangka konsep
Keterangan : : Variabel independen
: Variabel dependen
Gambar 2. Bagan kerangka konsep
Pengetahuan
Pendapatan
Kepatuhan
penerapan
Kawasan
bebas asap
rokok
Lingkungan sosial
budaya
Sikap
Kebijakan Perdes
111
K. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
a. Kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
Defenisi Operasional
Kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
dalam penelitian ini adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk
melaksanakan aturan dalam pelaksanaan kawasan tanpa asap rokok
agar terbebas dari paparan asap rokok bagi perokok dan bukan
perokok.
Kriteria Objektif
Patuh : Jika masyarakat menaati atau mematuhi aturan tentang
kawasan bebas asap rokok yang sesuai isi perdes tahun
2009
Tidak Patuh :Jika masyarakat tidak menaati atau mematuhi aturan
tentang kawasan bebas asap rokok yang sesuai isi
perdes tahun 2009
b. Pengetahuan
Defenisi Operasional
Pengetahuan dalam penelitian ini adalah apa yang diketahui
responden tentang rokok atau masalah kawasan bebas asap rokok
Kriteria Objektif
Cukup : Bila jawaban responden ≥ 50 % dari total nilai
jawaban seluruh pertanyaan
112
Kurang : Bila jawaban responden < 50 % dari total jawaban
seluruh pertanyaan
c. Pendapatan
Defenisi Operasional :
Pendapatan dalam penelitian ini adalah jumlah inkam seluruh
anggota keluarga setiap bulannya dengan berdasar pada Upah
Minimum daerah (UMD) kabupaten Enrekang tahun 2010 sebanyak Rp
1.200.000
Kriteria objektif
Cukup : Jika pendapatan inkam seluruh anggota keluarga ≥ Rp
1.200.000 dalam setiap bulan
Kurang : jika pendapatan inkam seluruh anggota keluarga
setiap bulan sebanyak Rp < 1.200.000 dalam setiap
bulan.
d. Lingkungan sosial budaya
Defenisi Operasional:
Lingkungan sosial budaya dalam penelitian ini adalah situasi
lingkungan sosial dan budaya (keluarga, teman,
keyakinan/kepercayaan) yang memungkinkan dapat mempengaruhi
responden untuk menaati aturan kebijakan kawsan bebas asap rokok
untuk berhenti merokok atau tidak merokok
113
Kriteria Objektif :
Ada Pengaruh Lingkungan : jika responden terpengaruh oleh
keluarga , teman serta faktor keyakinan untuk tidak
merokok atau berhenti merokok
Tidak ada pengaruh lingkungan : jika tidak terpengaruh oleh keluarga ,
teman serta faktor keyakinan untuk tidak merokok
atau berhenti merokok
e. Sikap
Defenisi Operasional :
Sikap dalam penelitian ini adalah tanggapan atau pendapat responden
tentang penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dan perilaku
merokok
Kriteria Objektif :
Baik : Bila jawaban responden ≥ 50 % dari total nilai
jawaban seluruh pertanyaan
Kurang Baik : Bila jawaban responden < 50 % dari total jawaban
seluruh pertanyaan
f. Kebijakan Perdes
Defenisi Operasional
Kebijakan Perdes dalam penelitian ini adalah aturan mengenai
kawasan bebas asap rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat
114
Kriteria Objektif
Ada Kebijakan : jika di daerah tersebut telah dibentuk Perdes
kawasan bebas asap rokok.
Tidak Ada Kebijakan: Jika di daerah tersebut tidak dibentuk Perdes
kawasan bebas asap rokok
L. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara pengetahuan terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang
2. Ada hubungan antara pendapatan terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang
3. Ada hubungan antara lingkungan sosial budaya terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang
4. Ada hubungan antara sikap terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang
5. Ada hubungan antara Kebijakan Perdes terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang
115
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah peneltian survey analitik dengan
pendekatan Cross Sectional Study (studi potong lintang) yang merupakan
salah satu jenis rancangan penelitian yang sifatnya analitik dan termasuk
dalam jenis rancangan penelitian Observasional. Desain ini dimaksudkan
untuk mempelajari dinamika dan variasi variabel yang termuat dalam judul
penelitian “Faktor Yang Berhubungan dengan Penerapan Kebijakan
Kawasan Bebas Asap Rokok”. Sebagai variabel independen adalah
pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap ,kebijakan
PERDES . Sedangkan variabel dependennya adalah penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok. Kedua jenis variabel tersebut dieksplorasi
secara bersamaan, selanjutnya dilakukan analisis mengenai hubungan
variabel independen terhadap variabel dependennya.
Penelitian ini dilakukan dengan menempuh langkah-langkah: a)
penetapan unit observasi, unit analisis, besar sampel, dan cara penarikan
sampel, b) identifikasi variabel penelitian, c) penempatan waktu dan
lokasi penelitian, d) pengukuran variabel, selama analisis hasil penelitian.
116
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan Januari-Maret di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di dua
Desa yaitu Desa Bone-Bone dan Desa Kendenan di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
2. Sampel
a. Besar sampel. Dihitung dengan menggunakan rumus sampel .
untuk penelitian kesehatan seperti yang diperkenalkan oleh
Stanley Lameshow, dkk; 1997, untuk jenis penelitian observasional
dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
N = Besar populasi = 1058
n = Besar sampel (dihitung menurut besar populasi sampel = 281
Z21-α/2P(1-P).N (1,96)2(0,5)(0,5)1058
n =
d2(N-1)+ Z21-α/2 P(1-P) 0,052(1058-1)+(1,96)2(0,5)(0,5)
3,8416 . 0,25 . 1058 1016.103
= = 281
0,0025 (1058) + (3,8416) . 0,25 3,6054
117
Z21-α/2 = nilai distribusi normal, standar dimana untuk α=0,05
nilainya 1,96
P = persentase upaya penurunan prevalensi yang dilakukan dalam
populasi, dan bila tidak diketahui, maka ditetapkan 0,5
Q = 1-P
d = tiingkat presisi yang diinginkan (ditetapkan =0,05)
b. Cara penarikan sampel
1) Dilakukan penarikan sampel berdasarkan jumlah sampel yang
dihitung menurut rumus
2) Dari masyarakat yang dipilih sebagai sampel dilakukan
wawancara terpimpin sesuai dengan tujuan penelitian dengan
menggunakan instrumen berbentuk (kuesioner) yang telah
disediakan dan menandatangani Inform Consent.
D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber data
a. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari Rumah sakit kantor
Desa, yang meliputi gambaran umum tentang desa,
b. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden di
dalam di Desa Bone-Bone dan Kendenan yaitu masyarakat dengan
cara menyebarkan kuesioner untuk dijawab dan diisi responden
sejujurnya serta melakukan observasi ke lapangan yaitu di Desa
118
Bone-Bone dan Desa Kendenan Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang tahun 2011
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi yaitu proses melakukan pengamatan langsung di Desa
Bone-Bone dan Desa Kendenan Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang guna mengamati secara langsung dan pengetahuan,
pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap,kebijakan Perdes
b. Kuesioner (angket) ialah daftar pertanyaan atau pernyataan yang
diberikan dan disebarkan kepada responden untuk di jawab sesuai
dengan pendapatnya tentang penerapan dalam kebijakan kawasan
bebas asap rokok
E. Kontrol Kualitas
kontrol kualitas dimaksudkan untuk melakukan pengawasan
kepada semua tahapan proses pengukuran, untuk mencapai hasil yang
valid (sah) dan konsisten (reliable), sehingga diperoleh hasil pengukuran
yang benar-benar mendekati keadaan yang sebenarnya dan memperoleh
teori yang baik sebagai dasar kajian ilmiah. Ada dua kesalahan yang
klasik yang sering terjadi dalam proses penelitian adalah kesalahan alfa
(sampling error), dan kesalahan sistematis, kesalahan betha yakni
kesalahan yang terjadi oleh karena faktor pengukuran, alat ukur, dan
objek yang diukur. Untuk menghilangkan kesalahan tersebut, dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
119
1. Sampling error (kesalahan alpha)
Tujuan pengontrolan besar sampel pada setiap penelitian adalah
untuk memberikan keterwakilan jumlah sampel terhadap besar
populasinya. Pada penelitian ini jumlah masyarakat yang dijadikan
sebagai sampel dihitung dengan rumus sampel sebesar 281.
2. Kesalahan sistematis (kesalahan betha)
a. Kesalahan pengukur. Penelitian ini dirancang dengan desain
potong lintang dan pada pelaksanaan pengumpulan data selain
dilakukan oleh peneliti sendiri juga menggunakan 3 orang tenaga
pengumpul data sebagai pendamping peneliti. Untuk mencapai
kesamaan kemampuan wawancara yang dilakukan oleh peneliti
dengan 3 orang pembantu yang dipilih, maka dilakukan
standarisasi dalam bentuk pelatihan pengisian kuesioner secara
intensif sebelum pengumpulan data yang sebenarnya dilakukan
secara resmi. Adapun tujuan pelatihan tersebut ialah memberi
penjelasan tentang latar belakang dan tujuan penelitian, serta
melatih penggunaan kuesioner (instrument penelitian) secara baik
dan benar.
b. Kesalahan alat ukur. Untuk pengontrolan kemampuan alat ukur
mengukur apa yang seharusnya diukur, maka sebelum
penggunaan kuesioner di lapangan terlebih dahulu dilakukan uji
coba penggunaan kuesioner pada salah satu Desa di Kabupaten
Enrekang , yang dianggap memiliki keadaan dan ciri sesuai
120
dengan lokasi penelitian. Adapun tujuan uji coba ini ialah sebagai
berikut:
1) Uji coba peneliti dan pembantu peneliti melakukan wawancara
di lapangan dalam kegiatan pengumpulan data
2) Uji coba alat ukur atau kuesioner yang akan digunakan
3) Identifikasi item-item kuesioner yang sulit atau membingungkan
4) Identifikasi item-item yang masih harus ditambahkan di dalam
kuesioner
5) Perkiraan waktu yang diperlukan untuk pengisian kuesioner
Uji coba ini dilakukan pada sampel yang lain sebanyak 10% dari
sampel yang sebenarnya.
c. Kesalahan objek yang diukur (sampel). Untuk menghasilkan
informasi yang benar dari sampel, maka wawancara dilakukan
dengan:
1) Terlebih dahulu meminta kesediaan dan waktu luang sampel
untuk diwawancarai
2) Menyampaikan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan
3) Wawancara dilakukan pada keadaan sampel tenang, tidak
capek/lelah, serta suasana bersahabat
4) Memberi jaminan keberhasilan terhadap informasi yang
diberikan oleh sampel serta akibat yang mungkin
ditimbulkannya.
121
3. Pengawasan Reliabilitas
Reliabilitas adalah keajekan dari suatu pengukuran ke pengukuran
lainnya. Karena menilai keajekan dari suatu pengukuran ke
pengukuran lainnya, maka reliabilitas disebut juga konsistensi.
Reliabilitas meliputi dua aspek (Kothari, 1985); 1) stabilitas adalah
konsitensi hasil satu pengukuran ke pengukuran oleh seorang
pengamat, terhadap subjek penelitian yang sama dengan instrument
yang sama (konsistensi intra pengamat), 2) kesamaan (equivalence)
adalah konsistensi antara hasil pengukuran seorang pengamat dan
hasil pengukuran oleh pengamat lainnya, terhadap subjek penellitian
yang sama dan dengan instrumen yang sama, biasanya disebut
konsistensi antara pengamat.
Menilai reliabilitas, antara satu pengukuran dan pengukuran
lainnya diukur dengan ukuran yang disebut koefisien realibilitas.
Keajekan pengukuran di tes melalui uji coba (pilot study), dilakukan
pada populasi studi beberapa waktu sebelum penelitian yang
sesungguhnya. Pada penilaian validitas kriteria. Koefisien reliabilitas
pada dasarnya mengukur kekuatan hubungan, dan ukuran kekuatan
hubungan yang dipilih tergantung pada skala variabel yang dipilih. Jika
variabel yang diukur skala kontinu maka digunakan koefisien korelasi
person. Ukuran reabilitas yang dipakai dalam hal ini adalah koefisien
kesepakatan kappa (K) Cohen.
122
Untuk membuat interprestasi koefisien kesepakatan Kappa Cohen
kita menggunakan petunjuk Landis dan Koch 1977 dalam Murti B
1996, yaitu
K > 0,75 menunjukkan kesepakatan yang sangat baik
0,4≤ K < 0,75 menunjukkan kesepakatan yang cukup baik
0 ≤ K < 0,4 menunjukkan kesepakatan lemah.
Setelah koefisien reliabiltas dihitung, biasanya dilakukan uji
kemaknaan statistik dengan uji Z jika sampel yang tersedia cukup
besar dan data terdistribusi normal, dan dengan uji t jika sampel
sangat sedikit dan data tidak terdistribusi secara normal.
Tabel 6 Hasil Uji Validasi Instrumen Penelitian Terhadap 28 Sampel
Variabel Penelitian Hasil Uji Validasi
n Sensitifitas (%) Spesifitas (%)
Pengetahuan 28 90 75
Pendapatan 28 87 75
Lingkungan Sosial Budaya 28 80 100
Sikap 28 75 100
Kebijakan Perdes 28 100 80
Sumber : Data Primer 2011
Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji validasi instrument
dengan menghitung tingkat sensitifitas dan spesifitas data hasil
pengumpulan data dengan kuesioner, dan validasi data yang
dikumpulkan oleh tenaga pembantu pengumpul data, menunjukkan nilai
123
sensitivitas 70%-100%, demikian hasil spesifitas antara 80%-90% yang
artinya sangat baik. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tingkat validasi instrumen dan tenaga pembantu pengumpul
data cukup valid dan dapat diandalkan dalam pengumpulan data
penelitian.
Tabel 7. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian pada 28 sampel
Variabel Penelitian
Reliabilitas Instrumen
n
Nilai
Kappa
Sig
Ket
Pengetahuan 28 0,604 0,001 Sangat Baik
Pendapatan 28 0,517 0,05 Sangat Baik
Lingkungan Sosial Budaya 28 0,588 0,001 Sangat Baik
Sikap 28 0,521 0,002 Sangat Baik
Kebijakan Perdes 28 0,887 0,001 Sangat Baik
Sumber : Data Primer 2011
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil yang diperlihatkan berupa
Koefisien Kappa Cohen yang bervariasi dari 0,517-0,05 artinya
kemampuan yang diberikan oleh pewawancara mencapai kesesuaian
dengan standar emasnya 85% sampai dengan 100% atau nilai p=
0,000 (tingkat signifikansi yang sangat baik) sehingga dapat diandalkan
dalam pengumpulan data.
124
F. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan
program SPSS for windows dengan tahap-tahap sebagai berikut :
1. Edit Data
Tahap ini merupakan tahap kegiatan membersihkan data yang telah
terkumpul, baik cara pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi dari
setiap jawaban yang terdapat pada kuesioner.
2. Coding (Pemberian Kode)
Data yang telah diteliti kelengkapannya diberikan kode secara manual
sebelum dientry ke dalam komputer.
3. Entry (Pemasukan data ke dalam komputer)
Data yang telah berikan kode diperiksa seluruhnya dimasukkan ke
dalam komputer untuk diolah
4. Cleaning data Entry
Pemeriksaan kembali semua data yang telah dientry untuk menghindari
terjadinya kesalahan dalam entry data yang dapat memberikan hasil
akhir yang kurang tepat.
G. Analisa Data
1. Analisis Univariat, untuk melihat secara umum variabel penelitian
dengan mendeskripsikan hasil penelitian bersarkan variabel yang
diteliti.
125
2. Analisis Bivariat, untuk menilai besarnya hubungan antara variabel
independen secara terpisah dengan variabel dependen. Uji yang
digunakan adalah Chi Square, dengan rumus sebagai berikut:
Gambar 3
Analisis Statistik
Variabel
Independen
Variabel Dependen
Total X2 (p)
Kategori 1 Kategori 2
Kategori 1
Kategori 2
a
c
b
d
a + b
c + d
Jumlah a + c b + d a +b + c+d
Interpretasi :
a. Ho diterima jika X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel (3,841) pada nilai
kemaknaan = 0,05.
b. Ho ditolak jika X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (3,841) pada nilai
kemaknaan = 0,05.
X2 = 𝑓𝑜− 𝑓ℎ)2
𝑓ℎ
Keterangan : X2 = Chi Square
Fo = Frekuensi yang diamati
Fh = Frekuensi yang diharapkan
126
3. Analisis Multivariat
Variabel yang berhubungan dalam penelitian ini selanjutnya
dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui kekuatan dari masing-
masing variabel sejauh mana hubungannya terhadap kepatuhan
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok. Variabel
yang dilakukan uji multivariat adalah variabel dengan nilai p < 0,05
setelah dilakukan analisis bivariat hubungan dengan kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dengan variabel
bebasnya, secara substansial diduga mempunyai hubungan yang
erat.
Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi
logistik yaitu dengan menggambarkan hubungan antara variabel
independent dengan satu set variabel dependent sebagai berikut :
ii xbxbxbxbaP
P.....
1ln 332211
atau
).....( 3322111
1ii xbxbxbxba
eP
Keterangan :
P = Peluang terjadinya efek
x1 sampai xi = Variabel prediktor atau perancu
b1 sampai bi = Koefisien regresi
a = Konstanta
e = Bilangan natural (2,718)
Sumber : Sudigdo, Sastroasmoro, 1995
127
H. Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk tabulasi dilengkapi dengan narasi,
tabel distribusi frekuensi serta deskriptif secara umum mengenai
keterangan tabel.
128
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Baraka
1. Letak Geografi
Kecamatan Baraka merupakan salah satu Kecamatan di
Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah
159,150 Km2 yang secara administratif terdiri dari 15 Desa/Kelurahan
tetapi untuk wilayah penelitian terdiri dari 2 Desa antara lain :
a. Desa Kendenan
b. Desa Bone-Bone
Jarak ibu Kota Kecamatan dari ibu Kota Kabupaten 36 Km
sedangkan jarak Desa Kendenan dari ibu kota Kecamatan 12,0 Km
dan jarak Desa Bone-Bone dari ibu kota Kecamatan 18,0 Km.
ketinggian dari permukaan laut dari 15 Desa dan Kelurahan rata-rata
500-1000 m. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Baraka:
a. Sebelah Utara : Kecamatan Malua
b. Sebelah Selatan : Kecamatan Enrekang
c. Sebelah Barat : Kecamatan Anggeraja
d. Sebelah Timur : Latimojong
129
2. Demografi
a. Jumlah Penduduk
Berdasarkan hasil registrasi penduduk Kecamatan Baraka
pada tahun 2010 jumlah penduduk Kecamatan Baraka dari 15
Desa/Kelurahan sebanyak 21.058 jiwa yang terdiri dari laki-laki
sebanyak 10.621 jiwa, perempuan sebanyak 10.437 jiwa
b. Sosial ekonomi
Kecamatan Baraka masih mengandalkan sektor pertanian
sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi
utama subsektor tanaman pangan, sayur-sayuran , buah-buahan,
serta sektor perkebunan seperti kopi dan kakao ini di dukung
karena wilayah Kecamatan Baraka yang morfologi dan topografinya
sesuai untuk tanaman holtikultura dan tanaman perkebunan.
Staretgi di bidang pendidikan lebih tertuju pada bagaimana
mengentaskan ketimpangan pelayanan pendidikan mengingat
pendidikan dasar merupakan basis bagi keberhasilan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi.
c. Sosial budaya( suku, ras dan agama)
Penduduk Kabupaten Enrekang lebih dikenal dengan sebutan
masyarakat ”Massenrempulu ”,yang memilki ciri khas dan bahasa
yang disebut bahasa duri Budaya dan adat- istiadat di Kecamatan
Baraka ini hampir sama dengan suku Tana Toraja dan masih
130
memperlihatkan sikap gotong-royong yang kuat diberlakukan di
tengah masyarakat.
Penduduk di Kecamatan Baraka yang terdiri dari 15 Desa /
Kelurahan sebanyak 21.030 jiwa beragama Islam dan 28 Jiwa
beragama Kristen Katolik yang terdapat di Desa Pereangin,
Parinding dan Kelurahan Tomenawa.
d. Sarana dan parasarana pelayanan kesehatan
Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di Kecamatan
Baraka terdiri dari Puskesmas, Puskesdes, Pustu, Polindes serta
posyandu yang jumlahnya sebanyak 35 Unit yang tersebar di 15
Desa dan Kelurahan.
e. Fasilitas umum
Fasilitas umum yang terdiri dari sekolah mulai dari tingkat TK
sampai SMA sebanyak 64 unit , tempat ibadah (Mesjid dan Langgar/
Musholla) sebanyak 71 unit, pasar 2 unit dan instansi pemerintah 23
unit yang tersebar di 15 Desa dan Kelurahan
B. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kendenan dan Desa Bone-
Bone Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang selama 21 hari, mulai
tanggal 03 Maret sampai dengan 03 April 2010, dengan menggunakan
desain penelitian Cross Sectional Study. Pengambilan sampel sebanyak
281 masyarakat. Data diolah dan dianalisis disesuaikan dengan tujuan
131
penelitian. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel dilengkapi
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
deskriptif dari tiap-tiap variabel yang diteliti. Tingkat sebaran hasil
penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana distribusi
frekuensi dari semua variabel penelitian berdasarkan karakteristik
kelompok umur, pendidikan, pekerjaan , pengetahuan , pendapatan,
lingkungan sosial budaya, sikap dan kebijakan Perdes. Hasil analisis
data dapat dilihat pada tabel berikut :
a. Karakteristik sampel
Karakteristik sampel meliputi kelompok umur, pendidikan,
pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
1) Kelompok Umur sampel
Umur sampel adalah lamanya hidup seorang sampel
sejak dilahirkan sampai ulang tahun terakhir yang dinyatakan
dalam tahun kalender. Kelompok umur dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
132
Tabel 8 Distribusi Kelompok Umur Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011
Kelompok
Umur
(Tahun)
Kepatuhan
Jumlah Patuh Tidak Patuh
N % n %
15-20
21-26
27-32
33-38
39-44
45-50
51-56
57-62
≥ 63
5
34
42
30
37
14
18
9
6
71,4
64,2
65,6
65,2
72,5
87,5
64,3
100
85,7
2
19
22
16
14
2
10
0
1
28,6
35,8
34,4
34,8
27,5
12,5
35,7
0
14,3
7
53
64
46
51
16
28
9
7
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 64 sampel dengan
umur tertinggi 27-32 tahun terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 65,6
%, dan tidak patuh sebanyak 34,4 % sedangkan dari 7 sampel
dengan umur terendah 15-20 tahun terdapat yang patuh
sebanyak 71,4 % dan tidak patuh sebanyak 28,6 % sedangkan
dari >63 tahun terdapat yang patuh sebanyak 85,7 % dan tidak
patuh sebanyak 14,3 %.
133
2) Pendidikan
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang
pernah diikuti oleh sampel. Hasil penelitian terhadap
pengelompokan pendidikan dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut :
Tabel 9 Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok Di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011
Tingkat Pendidikan
Kepatuhan
Jumlah
Patuh Tidak Patuh
n % n %
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
SMP
SMA
PT/Akademik
1
7
43
43
73
28
50,0
63,6
69,4
74,1
70,9
62,2
1
4
19
15
30
17
50,0
36,4
30,6
25,9
29,1
37,8
2
11
62
98
103
45
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 103 sampel dengan
tingkat pendidikan tertinggi SMA terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 70,9
% dan tidak patuh sebanyak 0,7 %, sedangkan dari 2 sampel
dengan tingkat pendidikan terendah tidak sekolah terdapat yang
patuh dan tidak patuh masing-masing sebanyak 50 %.
134
3) Pekerjaan
Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dimiliki oleh
sampel atau aktifitas sehari-hari yang dilakukan sampel .
distribusi sampel berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada
tabel sebagai berikut :
Tabel 10 Distribusi Pekerjaan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Pekerjaan
Kepatuhan
Jumlah
Patuh
Tidak Patuh
n % n %
PNS
Wiraswasta
Pegawai Swasta
Petani
Pelajar/Mahasiswa
20
20
12
139
4
71,4
62,5
54,5
72,0
66,7
8
12
10
54
2
28,6
37,5
45,5
28,0
33,3
28
32
22
193
6
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 193 sampel dengan
pekerjaan tertinggi Petani terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 72,0
% dan tidak patuh sebanyak 28,0 %, sedangkan dari 6 sampel
dengan pekerjaan terendah pelajar/mahasiswa terdapat yang
patuh sebanyak 66,7 % dan tidak patuh sebanyak 33,3 %.
135
4) Kepatuhan
Kepatuhan adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk
melaksanakan aturan, hasil penelitian dari pengelompokkan
kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok
Distribusi sampel berdasarkan kepatuhan dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 11 Distribusi Kepatuhan Responden Terhadap Penerapan Kepatuhan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Kepatuhan n %
Patuh
Tidak Patuh
195
86
69,4
30,6
Jumlah 281 100
Sumber : Data Primer 2011
Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 281 sampel terdapat
yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok sebanyak 69,4 % dan tidak patuh sebanyak 30,6 %.
5) Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang atau (ovent behavior).
Hasil penelitian pengelompokan pengetahuan terhadap
kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
136
Tabel 12 Distribusi Pengetahuan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011
Pengetahuan n %
Kurang
Cukup
66
215
23,5
76,5
Jumlah 281 100,0
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 12 menunjukkan bahwa dari 281 sampel terdapat
yang pengetahuannya kurang sebanyak 23,5 % dan cukup
sebanyak 76,5 %.
6) Pendapatan
Pendapatan keluarga adalah jumlah inkam seluruh keluarga
pada setiap bulannya. Hasil penelitian pengelompokan
pendapatan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 13 Distribusi Pendapatan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011
Pendapatan n %
Kurang
Cukup
149
132
53,0
47,0
Jumlah 281 100,0
Sumber : Data Primer, 2011
137
Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 281 sampel dengan
mengacu pada Upah minimum Daerah terdapat yang
berpendapatan kurang sebanyak 53,0 % sedangkan yang
berpendapatan cukup sebanyak 47,0 %.
7) Lingkungan Sosial & Budaya
Lingkungan sosial & budaya merupakan seluruh kondisi yang
ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok. Hasil penelitian pengelompokan lingkungan sosial
budaya terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 15 Distribusi Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya n %
Tidak Ada Pengaruh
Ada Pengaruh
127
154
45,2
54,8
Jumlah 281 100,0
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 281 sampel
terdapat yang tidak ada pengaruh lingkungan sosial budaya
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
sebanyak 45,2 % dan ada pengaruhnya sebanyak 54,8 %.
138
8) Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Hasil
penelitian pengelompokan sikap terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 14 Distribusi Sikap Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Sikap n %
Kurang Baik
Baik
97
184
34,5
65,5
Jumlah 281 100,0
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 281 sampel terdapat
yang sikapnya kurang baik sebanyak 34,5 % dan sikap baik
sebanyak 65,5 %
9) Kebijakan peredes
Kebijakan perdes adalah aturan mengenai kawasan
bebas asap rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat.
Hasil penelitian pengelompokan kebijakan perdes terhadap
kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
139
Tabel 16 Distribusi Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Kebijakan Perdes n %
Tidak Ada
Ada
144
137
51,2
48,8
Jumlah 281 100,0
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 281 sampel yang
tidak ada kebijakan Perdes dalam menerapkan kebijakan
kawasan bebas asap rokok sebanyak 51,2 % dan ada kebijakan
perdes sebanyak 48,8 %.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui hubungan
variabel independen terhadap variabel dependen.
a. Hubungan Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Penerapan
kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok Kerja
Hubungan pengetahuan terhadap kepatuhan penerapan
Kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
140
Tabel 17 Hubungan Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di
Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Pengetahuan
Kepatuhan
Jumlah
X2
p
𝜑
Patuh
Tidak
Patuh
n % n %
Kurang
Cukup
39
156
59,1
72,6
27
59
40,9
27,4
66
215
4,312
0,038
0,124
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 66 sampel yang
pengetahuan kurang terdapat yang patuh terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 59,1% sedangkan
dari 215 sampel yang pengetahuannya cukup, terdapat yang patuh
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
sebanyak 72,6%
Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 4,312
dengan nilai p 0,038. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <
0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan
kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok.
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer
diperoleh sebesar 𝜑 0,124. Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25
ini berarti hubungan lemah dan memberikan kontribusi 12,4 %
141
terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok
b. Hubungan pendapatan dengan kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok
Hubungan pendapatan dengan kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 18 Hubungan Pendapatan Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Pendapatan
Kepatuhan
Jumlah
X2
P
𝜑
Patuh
Tidak
Patuh
n % n %
Kurang
Cukup
95
100
63,8
75,8
54
32
36,2
24,2
149
132
4,745
0,029
0,130
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 149 sampel yang
pendapatannya kurang terdapat yang patuh sebanyak 63, 8 %,
sedangkan dari 132 sampel yang pendapatannya cukup terdapat
yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok sebanyak 75,8 %.
Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 4,745
dengan nilai p 0,029. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <
0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara pendapatan dengan
142
kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok.
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer
diperoleh sebesar 𝜑 0,130 Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25 ini
berarti hubungan lemah dan memberikan kontribusi 25,0 %
terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok
c. Hubungan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Kepatuhan
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
Hubungan lingkungan sosial budaya terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 19 Hubungan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas
Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011
Lingkungan
Sosial &
Budaya
Kepatuhan
Jumlah
X2
p
𝜑
Patuh
Tidak
Patuh
N % n %
Tidak Ada
Pengaruh
Ada Pengaruh
72
123
56,7
79,9
55
31
43,3
20,1
127
154
17,604
0,000
0,250
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 127 yang yang
menyatakan tidak ada pengaruh lingkungan sosial & budaya
143
terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas
asap rokok sebanyak 56,7 %, sedangkan dari 154 sampel yang
menyatakan adanya pengaruh lingkungan sosial & budaya
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok terdapat
yang patuh sebanyak 79,9 %.
Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 17,604
dengan nilai p 0,000. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <
0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara lingkungan sosial &
budaya dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer
diperoleh sebesar 𝜑 0,250 Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25
ini berarti hubungan lemah dan memiliki kontribusi 25,0 % terhadap
kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
d. Hubungan sikap Terhadap kepatuhan Penerapan Kebijakan
Kawasan Bebas Asap Rokok
Hubungan sikap terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel berikut ini :
144
Tabel 20 Hubungan sikap Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Sikap
Kepatuhan
Jumlah
X2
P
𝜑
Patuh
Tidak
Patuh
n % n %
Kurang Baik
Baik
55
140
56,7
76,1
42
44
43,3
23,9
97
184
11,239
0,001
0,20
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 20 menunjukkan bahwa dari 97 sampel yang sikapnya
kurang baik terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok sebanyak 56,7 %,sedangkan dari 184
sampel yang sikapnya baik terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 76,1 %.
Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 11,239
dengan nilai p 0,001. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <
0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara sikap dengan
kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok.
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer
diperoleh bahwa nilai 𝜑 0,20 ini berarti hubungan lemah dan
memberikan kontribusi 20, 0 % terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok
145
e. Hubungan Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan
Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
Hubungan kebijakan perdes terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 21 Hubungan Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok
di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Kebijakan
Perdes
Kepatuhan
Jumlah
X2
p
𝜑
Patuh
Tidak
Patuh
n % n %
Tidak Ada
Ada
86
109
59,7
79,6
58
28
40,3
20,4
144
137
13,012
0,000
0,215
Jumlah 195 69,4 86 30,6 281
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 144 sampel yang
belum menerapkan kebijakan perdes terdapat yang patuh
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
sebanyak 59,7 %,sedangkan dari 137 sampel yang patuh
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
terdapat yang telah menerapkan kebijakan perdes sebanyak
79,6 %, sedangkan
Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 13.012
dengan nilai p 0,000. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <
0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara kebijakan perdes
146
dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer
diperoleh sebesar 𝜑 0,215 Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25
ini berarti hubungan lemah dan memberikan kontribusi 21,5 %
terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel
yang paling berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok, setelah dianalisis dengan
variabel lainnya. Variabel yang masuk ke dalam adalah yang
bermakna secara statistik (nilai p < 0,05). Berdasarkan model akhir
regresi logistic terlihat bahwa variabel yang berhubungan dengan
kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
adalah variabel pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial &
budaya, sikap dan kebijakan perdes. Analisis multivariat kepatuhan
terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
147
Tabel 22 Analisis Multivariat Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang Tahun 2011
Variabel
B
S.E.
Df
Sig
Exp
(B)
95,0% C.I.for
EXP(B)
Lower
Limit
Upper
Limit
Pengetahuan
Pendapatan
Lingkungan Sosial &
Budaya
Sikap
Kebijakan Perdes
Constant
0,687
0,505
0,980
0,728
1,113
-6,678
0,335
0,293
0,286
0,290
0,296
1,015
1
1
1
1
1
1
0,40
0,084
0,001
0,012
0,000
0,000
1,989
1,658
2,664
2,072
3,043
0,001
1,030
0,934
1,522
1,172
1,705
3,837
2,941
4,664
3,661
5,433
Sumber : Data Primer, 2011
Tabel 22 menunjukkan bahwa dari hasil uji regresi logistik dimana dari
ke lima variabel independen variabel pendapatan memiliki nilai p 0,000
Karena nilai p < 0,05 hal ini berarti bahwa variabel kebijakan Perdes
merupakan variabel yang paling berhubungan dibandingkan ke empat
variabel yang lain. Dan kebijakan perdes berpengaruh 3,043 kali terhadap
penerapan kepatuhan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
Model nilai estimasi dari regresi logistik berganda disajikan sebagai
berikut :
Y = -6,678 + 0.687(pengetahuan)+ 0,505(pendapatan) + 0,980(lingkungan sosial &
budaya) + 0,728(sikap) + 1,113(kebijakan perdes)
148
Berdasarkan fungsi regresi yang didapat dapat dibuat interpretasi
sebagai berikut :
Apabila fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang paling berhubungan
terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
adalah lingkungan sosial budaya (1), sikap(1) dan kebijakan perdes (1),
maka persamaannya sebagai berikut :
1
p = 1 + e-(-6,678+0.687(pengetahuan) +0.505(pendapatan) +0,980(lingkungan)+0,728(sikap) +1,113(kebijakan
perdes)
1 p = 1 + 2.718 -2,655
p = 0,9343
Dengan demikian lingkungan sosial & budaya serta sikap masyarakat
terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok dan adanya aturan
kebijakan perdes merupakan suatu faktor untuk tetap patuh pada
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebesar 93.43 %. Bila
fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang mempunyai pengaruh paling
rendah untuk tidak patuh pada penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok adalah pengetahuan(1) dan pendapatan (1) maka peluang untuk
tidak patuh sebesar 13,40 %. Dari 5 variabel yang masuk dalam
pemodelan, lingkungan sosial budaya yang paling berpengaruh dengan
149
nilai X2 sebesar 17,604 untuk patuh terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok.
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang tahun
2011, maka dapat diperoleh gambaran dari karakteristik umum sampel
menunjukkan bahwa: 64 sampel dengan umur tertinggi 27-32 tahun
terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok sebanyak 65,6 %, dan tidak patuh sebanyak 34,4 % sedangkan dari
7 sampel dengan umur terendah 15-20 tahun terdapat yang patuh
sebanyak 71,4 % dan tidak patuh sebanyak 28,6 % sedangkan dari >63
tahun terdapat yang patuh sebanyak 85,7 % dan tidak patuh sebanyak
14,3 %.
Tingkat pendidikan sampel pada tabel 10 bahwa dari 103 sampel
dengan tingkat pendidikan tertinggi SMA terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 70,9 % dan
tidak patuh sebanyak 0,7 %, sedangkan dari 2 sampel dengan tingkat
pendidikan terendah tidak sekolah terdapat yang patuh.
Jenis pekerjaan sampel pada tabel 11 bahwa dari 193 sampel
dengan pekerjaan tertinggi Petani terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 72,0 % dan
tidak patuh sebanyak 28,0 %, sedangkan dari 6 sampel dengan
150
pekerjaan terendah pelajar/mahasiswa terdapat yang patuh sebanyak
66,7 % dan tidak patuh sebanyak 33,3 %.
Kepatuhan dalam penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk melaksanakan
aturan dalam pelaksanaan kawasan tanpa asap rokok. Kepatuhan
merupakan sejauh mana perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang
diberikan oleh profesional kesehatan. Perilaku sehat dan pengontrolan
perilaku dengan faktor kognitif, dukungan sosial dalam bentuk dukungan
emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang
merupakan faktor yang penting dalam kepatuhan dalam program-program
medis, dan dukungan dari profesional kesehatan.
a. Hubungan pengetahuan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok
Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan
teori yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah
yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperolah baik dari
pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain.
Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 215 yang pengetahuannya
cukup terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok sebanyak 72,6 %, hasil tersebut menyatakan
bahwa ketika sampel memiliki pengetahuan yang cukup maka juga
akan mendorong untuk patuh terhadap aturan dalam kebijakan
kawasan bebas asap rokok. tetap pengetahuan responden yang
151
kurang tetapi patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas
asap rokok sebanyak 66 responden.
Hasil uji analisis bahwa dari 66 sampel yang pengetahuannya
kurang masih terdapat yang patuh terhadap kebijakan sebanyak 59,1
%, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 40,9 %, masi adanya
masyarakat atau sampel yang tidak patuh terhadap kebijakan
kawasan bebas asap rokok karena dalam hal ini sebagian dari sampel
masih rendah pengetahuannya mengenai kawasan bebas asap rokok,
kemudian dalam penelitian ini terdapat dua desa yang dijadikan
sampel antara lain Desa Bone-Bone dan Desa Kendenan dimana dari
Desa Kendenan belum memiliki aturan tertulis tentang kawasan bebas
asap rokok sehingga sebagian warga masyarakat masih ada yang
merokok atau tidak patuh terhadap penerapan kawasan bebas asap
rokok.
Hasil uji statistik ditemukan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok. hal ini berarti bahwa bagi sampel yang
pengetahuan cukup tetapi tidak patuh terhadap kebijakan karena hal
ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pengetahuan saja tetapi faktor-
lingkungan dan faktor lain yang bisa mempengaruhi kepatuhan
terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok.
152
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ishaq
Pawennari,hasil uji analisis statistik menyatakan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan dengan kebijakan kawasan bebas asap rokok
dimana nilai p=0,013 artinya nilai p < 0,05.
b. Hubungan pendapatan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok
Pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi
perekonomian suatu rumah tangga, proporsi pengeluaran untuk
membeli produk tembakau atau dari rumah tangga dengan perokok
adalah 11, 5 % ; angka ini lebih besar dibandingkan untuk belanja
ikan, daging, telur, susu (11 %); 2,3 persen untuk pembiayaan
kesehatan.
Tabel 19 diperoleh bahwa dari 132 responden dengan
pendapatan cukup terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok sebanyak 75,2 % sedangkan dari 149
responden dengan pendapatan kurang terdapat yang patuh terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 64, 2 %,
tetapi ada 54 responden yang pendapatannya kurang tetapi tidak
patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok hal
ini disebabkan karena dari beberapa responden yang diwawancarai
menyatakan bahwa bukan hanya karena faktor kurangnya
pendapatan perbulan yang mempengaruhi kepatuhan tetapi juga
153
faktor masih kurang sadarnya masyarakat tentang bahaya asap rokok
serta adanya pengaruh dari keluarga atau teman sepergaulan.
Hasil analisis statistik bahwa dari 149 sampel yang
pendapatannya kurang masih terdapat 36,2 % yang tidak patuh
terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok hal ini
disebabkan karena dalam penelitian ini sebaagian dari sampel di
ambil dari Desa yang belum lama dalam penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok sehingga sebagian dari sampel masih
belum bisa lepas dari ketergantungan rokok, ada sebagian sampel
menyatakan bahwa berhenti merokok tidak bisa langsung berhenti
tetapi bertahap jadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa
berhenti merokok atau patuh terhadap penerapan kawasan bebas
asap rokok.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hugh R,
dkk bahwa hasil uji analsis statistik menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna dimana antara pendapatan dengan
penerapan kebiajakan dimana nilai P= 0,001, r= 0,414 artinya nilai p
< α 0,005
c. Hubungan lingkungan sosial budaya terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok
Sosial budaya setempat biasanya sangat berpengaruh
terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari
perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena
154
memang masing-masing etnis mempunyai budaya yang khas.
Lingkungan Sosial budaya dalam hal ini yaitu keluarga, teman,
keyakinan/kepercayaan) yang memungkinkan dapat mempengaruhi
responden untuk berhenti merokok atau tidak merokok
Tabel 20 diperoleh bahwa dari 154 mengenai ada pengaruhnya
lingkungan sosial & budaya terdapat yang patuh terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 79,9 %, sedangkan
dari 127 yang tidak ada pengaruhnya lingkungan sosial budaya
terdapat yang patuh sebanyak 72 sampel atau 56,7 %. Dari hasil
wawancara dengan sampel menyatakan bahwa sebagian yang bukan
faktor sosial budaya yang mempengaruhi kepatuhan sampel terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok faktor lain yang
sangat berpengaruh dalam adalah sosial ekonomi dan kesadaran dari
individu masing-masing tanpa ada faktor dari teman, keluarga atau
agama / kepercayaan responden.
Hasil analisis statistik meyatakan bahwa dari 127 yang tidak
ada pengaruhnya terhadap lingkungan sosial budaya terdapat yang
tidak patuh sebanyak 43,3 %, sedangkan yang ada pengaruh
lingkungan sosial budaya terdapat yang tidak patuh sebanyak 20,1 %
masih adanya sampel yang tidak patuh terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok dikaitkan dengan lingkungan sosial
budaya karena tidak semua sampel mempunyai karakteristik yang
sama ada yang berhenti merokok karena dorongan keluarga dan ada
155
yang berhenti merokok karena kemauaan sendiri ,masih adanya
sampel yang tidak patuh ditinjau dari segi agama/kepercanyaan
karena sebagian dari sampel menyatakan bahwa agama tidak
melarang merokok atau tidak mengharamkan merokok tetapi sebagian
sampel memang menyatakan bahwa merokok itu haram,sedangkan
dari 79,9 % yang menyatakan ada pengaruh terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dengan lingkungan
sosial budaya karena dari segi agama, kepercayaan atau keyakinan
mereka menyatakan bahwa rokok itu haram dan bukan itu saja yang
bisa dijadikan dasar tetapi memang di salah satu desa yaitu di Desa
Bone-Bone yang merupakan Desa Kawasan Bebas asap rokok juga
mengharuskan wanita yang berusia 12 tahun apabila keluar dari
rumah harus menutup aurat, hal ini yang menjadi dasar bahwa
memang sebagain sampel yang patuh terhadap kebijakan
dihubungkan dengan lingkungan sosial budaya sangat besar
kontribusinya dalam masalah kepatuhannya masyarakat terhadap
penerapakan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
Jika dikaji dari segi ilmu epidemiologi yang menyatakan bahwa
konsep penyebab penyakit adanya interaksi antara host
(penjamu/manusia), agent (penyebab), environment/lingkungan).
Tetapi dalam penelitian ini fakta yang diperoleh dimasyarakat bahwa
bukan hanya dari segi penyebab penyakit saja adanya faktor
lingkungan yang berpengaruh tetapi lingkungan juga merupakan salah
156
satu faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat dalam
menerapkan kebijakan kawasan bebas asap rokok dalam hal ini
lingkungan sosial.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nurhidayati, dkk, 2005 bahwa faktor kesehatan,
organisas,keagamaan, dan keluarga sangat berhubungan dengan
terapi berhenti merokok sehingga kepatuhan dalam penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok lebih maksimal.
d. Hubungan sikap terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan
bebas asap rokok
Sikap merupakan respon seseorang dalam bereaksi terhadap
suatu hal atau objek sikap. Menurut Berkowitz (dalam Azwar, 1995
setiap orang yang mempunyai perasaan positif terhadap suatu objek
psikologis dikatakan menyukai objek tersebut atau mempunyai sikap
yang favourable terhadap objek itu, sedangkan individu yang
mempunyai perasaan negatif terhadap suatu objek psikologis
dikatakan mempunyai sikap yang unfavourable terhadap objek sikap
tersebut.
Penelitian sikap dilakukan dengan menggunakan kuesioner
yang berisikan pertanyaan yang berhubungan dengan sikap
responden terhadap masalah kawasan bebas asap rokok. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden sudah dapat
157
merespon dengan baik terhadap kawasan bebas asap rokok baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya.
Tabel 21 diperoleh bahwa dari 184 responden yang sikapnya
baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan bebas asap
rokok sebanyak 76,1 % sedangkan dari 97 yang sikapnya kurang baik
terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok
sebanyak 56,7 %. Tetapi terdapat 44 responden yang sikapnya baik
dan tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok. hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor misalnya
lingkungan, kebudayaan, adat istiadat dan pengalaman yang dapat
mempengaruhi sikap responden sehingga memiliki sikap baik tetapi
tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok.
Hasil analisis statistik menyatakan bahwa dari 97 sampel yang
sikapnya kurang baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan
kawasan bebas asap rokok sebanyak 56,7 % dan tidak patuh
sebanyak 43,3 %, sedangkan dari 184 yang sikapnya baik terdapat
yang patuh terhadap kebijakan sebanyak 76,1 % dan tidak patuh
sebanyak 23,9 %. Masih adanya sampel yang tidak patuh jika
dihubungkan dengan sikap mereka terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok karena sebagian dari sampel masih minim
pemahammnya tentang kawasan bebas asap rokok karena sebagian
masyarakat belum merasakan betul manfaat dari adanya kebijakan
158
tersebut karena faktor penerapan kebijakan yang belum lama
khususnya di Desa Kendenan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sumarni tahun 2009 bahwa sebanyak 65,5 % dengan sikap yang
positif dan patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok dengan hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,001 yang
disimpulkan bahwa ada hubungan sikap terhadap kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
e. Hubungan kebijakan perdes terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok
Kebijakan adalah seperangkat panduan yang diperlukan untuk
mengambil keputusan (Spassof, 1999) . Kebijakan berperan
mengintegrasikan, memfokuskan dan mengefektifkan upaya
organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berbagai
model siklus kebijakan tersedia dalam jenis dan jumlah langkah yang
bervariasi.
Tabel 22 diperoleh bahwa dari 137 responden yang memiliki
kebijakan perdes terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan
bebas asap rokok sebanyak 79,6 % sedangkan dari 144 yang tidak
terdapat kebijakan perdes tetapi patuh terhadap kebijakan kawasan
bebas asap rokok sebanyak 59,7 %. Tetapi terdapat 28 responden
yang mempunyai kebijakan perdes dan tidak patuh terhadap kebijakan
kawasan bebas asap rokok hal ini disebabkan karena ada faktor
159
kebiasan merokok masyarakat yang sampai saat ini belum bisa di
rubah serta keadaan iklim daerah tersebut yang cukup dingin yang
memicu masyarakat untuk merokok.
Hasil analisis statistik menyatakan bahwa dari 144 sampel yang
tidak ada kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 59,7 % dan
tidak patuh sebanyak 40,3 %, sedangkan dari 137 sampel yang
memiliki kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 79,6 % dan
yang tidak patuh sebanyak 20,4 %,dari hasil ini diperoleh bahwa
ternyata masih ada sebagian sampel yang tidak patuh terhadap
penerapan kawasan bebas asap rokok jika dikaitkan dengan kebijakan
perdes hal ini disebabkan karena dalam penerapan kawasan bebas
asap rokok sebelumnya merupakan inisiatif dari kepala Desa Bone-
Bone dan kesepakatan dengan tokoh masyarakat, kesepakatan ini
berlaku pada tahun 2001 sedangkan perdes nanti di keluarkan pada
tahun 2009 sehingga sosialisasi ke masyarakat tentang isi perdes
dalam hal ini mengenai aturan dan saksinya masih kurang.
Penelitian ini dilakukan di dua Desa yaitu Desa Kendenan dan
Desa Bone-Bone,hasil wawancara peneliti bahwa di Desa Kendenan
belum ada perdes secara tertulis mengenai kawasan bebas asap
rokok tetapi sudah ada larangan untuk tidak merokok dikawasan itu
jadi sebagian sampel masih merokok atau tidak memperdulikan
larangan itu karena tidak ada sanksi atau aturan secara tertulis yang
mengatur tentang kawasan bebas asap rokok.
160
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Apriwal, 2009 dari hasil uji statistik diperoleh bahwa Pengaruh adanya
SK direktur area merokok lebih kuat dibandingkan dengan media
poster, hasil statistik (37, 90) dengan p= 0,000 terhadap efektifitas
kebijakan kawasan bebas asap rokok di RSUD Sulthan Thaha
Saipuddin Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
D. Keterbatasan Penelitian
1. Jarak tempat penelitian dari ibu kota Kecamatan cukup jauh dengan
waktu tempuh sekitar 1 jam dan pada saat musim hujan hanya bisa
dilalui dengan kendaraan roda dua sehingga pada saat melakukan
penelitian kurang efisien.
2. Lokasi tempat penelitian dengan medan yang berat sehingga
menyulitkan peneliti.
3. Sebagian sampel tidak terbuka masalah kebiasaan merokok karena
takut dengan terhadap sanksi.
4. Keterbatasan penelitian dalam mencari sampel karena rata-rata
masyarakat ditempat penelitian dari pagi-sore beraktifitas di kebun
masing-masing sehingga dalam melakukan wawancara masyarakat
dikumpulkan di balai Desa.
161
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian tentang hubungan pengetahua, pendapatan,
lingkungan sosial & budaya, sikap dan kebijakan perdes terhadap
kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang
2. Pendapatan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang
3. Lingkungan sosial & budaya berhubungan dengan kepatuhan terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang
4. Sikap berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
5. Kebijakan Perdes berhubungan dengan kepatuhan terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang
162
B. Saran
1. Diharapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang ( pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial &
budaya, sikap dan kebijakan perdes terus diperbaiki dan ditingkatkan,
sehingga kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok
lebih efektif lagi dan bukan hanya dari 2 Desa saja tetapi semua desa
di Kecamatan Baraka.
2. Diharapkan kepada pemerintah setempat agar sosialisasi dan
penerapan kebijakan perdes lebih ditingkatkan, agar masyarakat lebih
paham isi dari kebijakan perdes tentang kawasan bebas asap rokok .
3. Diharapkan kepada masyarakat setempat agar lebih meningkatkan
lagi pengetahuan dan sikapnya mengenai kawasan bebas asap
rokok.
4. Masih banyak faktor lain yang pberhubungan dengan kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, olehnya itu
diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti sejauh mana faktor
yang tidak diteliti pada penelitian ini berhubungan dengan kepatuhan
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
163
DAFTAR PUSTAKA
Abadi. 2009. “Urgensi Pelaksanaan Kawasan Tanpa
Rokok”,http://wwww.press. doch.id, Jakarta diakses tanggal 01-
05-2011
Achadi Anhari. 2008. “Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di
Indonesia”. .Jurnal kesehatan Masyarakat Universitas Inonesia
(FKM UI) . Jakarta
Aditama, Tjandra Yoga. 1997. “Rokok dan Kesehatan”, UI Press Jakarta
. “Rokok Masalah Indonesia”, Ditinjau dari aspek
Ekonomi,
Ahmad Rifa’I Rif’an. 2010. “Merokok Haram, Republika”, Jakarta Selatan.
Aiman Husaini. 2006. “Rahasia & Cara Emapatik Berhenti Merokok,”
Pustaka IIman, Bandung
Alamsyah Rika Mayasari, 2007. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kebiasaan Merokok dan Hubungannya Dengan Status Penyakit
Periodontal Remaja di Kota Medan Tahun 2007”. Medan.
http://www. Repository usu .ac.id diakses tanggal 24-12-2010
Amiruddin Ridwan, 2011, “Epidemiologi Perencanaan & Pelayanan
Kesehatan”, Masagena Press, Tamalanrea Makassar
Amiruddin Ridwan, 2008, “Metode Epidemiologi untuk Kebijakan
Kesehatan”, http://ridwanamiruddin.wordpress.com diakses tanggal
25-02-2011
A.Wawan & Dewi M. 2010. “Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia”,
Nuha Medika, Yogyakarta
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta, 2009 http://www.Jakarta.go.id. di akses tanggal 20 Januari 2011
Bustan M.N , 2007. “Epidemiologi Penyakit Menular”. Rineka Cipata.
Jakarta
164
Departemen Kesehatan RI.2004. “Fakta Tembakau Indonesia Data
Empiris Untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah
Tembakau”.
. 2001 “Survey Kesehatan Nasional 2001”, Jakarta.
. 2002 “Pradigma Sehat”, Pusat Promosi Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Direktorat jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Fakta Tembakau Indonesia : Data Empiris untuk
Strategi nasional
Fakta Tembakau & Permasalahannya Di Indonesia.2009. Tobacco Control
Support Center (TCSC)-IAKMI bekerjasama dengan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan dan
WHO Indonesia, Jakarta
Hidayat, A.Aziz Alimul. 2007. “Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik
Analisis Data:, Salemba Medika, Jakarta
Kesehatan dan Hukum.”Buletin Rokok dan Masalahnya”, No. 16 Jakarta
Lameshow, Stanly dkk. (1997). “Besar Sampel dalam Penelitian
Kesehatan”, UGM Press, Yogyakarta.
Lisa Ellizabet Aula. 2010. “Stop Merokok”, Garailmu, Yogjakarta
Lenny, 2008, “Mal Plaza Semanggi jadi Percontohan KDM”. Jakarta.
http:///www.Berita Jakarta.com diakses tanggal 30-01-2011
Martini. 2005. “Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Konsep Diri Remaja
Pada Siswa SMA 1 Jakarta”, Jakarta
Notoadmodjo, Soekidjo, 2005. “Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi”.
Rineka Cipta.
. 2002. “Metodologi Penelitian Kesehatan”, Rineka
Cipta,Jakarta
Puja Victor Subiakto, 2011, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang
Pengendalian Bahaya Tembakau Siklus Kebijakan Publik
Berbasis Evidens Epidemiologi”. ISMKMI in Tobacco Control,
http:///www.Ismkmi.wordpress.com diakses tanggal 01-02-2011
165
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Departemen Kesehatan RI, 01 Januari 2011 http://www. Litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/Indonesia/
Syakira Ghana,2009,“Konsep Kepatuhan”,http://syakira-blog.blogspot.com , diakses tanggal 23-02-2011
Sitepoe, Mangku. 2000. “Kekhususan Rokok di Indonesia”, PT Grasindo
Jakarta
Sudigdo Sastroasmono. 2010. “Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis”,
Sagung Seto, Jakarta
Sukendro, Suryo. 2007. “Filosofi Rokok”, Pinus Book Publisher,
Yogyakarta
Sumama Riny,2009, “Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Merokok pada
Mahasiswa Ekstensi Angkatan 2007 di Fisip UI Tahun 2009”.
http://www.digilib.ui.ac diakses tanggal 25-12-2010
WHO. 2005. Smoke-free Inside. http://www.who.or.id/Tobacco/wntd
diakases tanggal 15-01-2011
WHO.2007. Gender and Tobacco Control : Apolicy Brief, Departemen of
Gender, Women and Health (GWH), Switzerland.
http://www.who.or.id diakses tanggal 10-01-2011
166
FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN
KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA
KABUPATEN ENREKANG
TAHUN 2011
Rahma Sri Susanti*) Zulkifli Abdullah dan Ridwan Amiruddin
*) email : rahma.sweety@ymail.com
Abstrak
RAHMA SRI SUSANTI. Faktor Determinan terhadap Kepatuhanan Penerapan
Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
Tahun 2011 (dibimbing oleh Zulkifli Abdullah dan Ridwan Amiruddin).
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan, pendapatan,
lingkungan sosial & budaya, sikap dan kebijakan perdes terhadap kepatuhan penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok.
Penelitian ini bersifat Observasional dengan menggunakan desain Cross
Sectional Study. Sampel yang diambil sebanyak 281 orang melalui Simple Random
Sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Data dianalisis dengan program SPSS, uji statistik dengan menggunakan Chis- Square
untuk uji bivariat, dan uji regresi logistik untuk uji multivariat dengan p < 5 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan p(0,038) Pendapatan p(0,029),
lingkungan sosial budaya p(0,000) sikap p (0,001) dan kebijakan perdes p(0,000)
signifikan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, variabel
yang paling berhubungan di uji multivariat adalah variabel kebijakan perdes p(0,000)
<(0,05).
Kata kunci : pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap, kebijakan
perdes
Abstract
167
RAHMA SRI SUSANTI. Determinant Factors on Policy Application Loyalty of Free-
Smoke Area in Baraka District of Enrekang Regency in 2011 (supervised by Zulkifli
Abdullah and Ridwan Amiruddin)
The aims of the research is to find out correlation between knowledge, income,
social and cultural envirotment, attitude and policy of regional regulations and policy
application loyalty of free-smoke area.
The research was an observational cross sectional study design. The sample
consisted of 281 respondents selected by using simple random sampling technique. The
data were processed by using SPSS program; statistics test used Chi Square for
bivariate test and logistic regression test for multivariate test with p < 5 %.
The result reveal that knowledge p(0.038), income p(0.029), social cultural
environment p(0.000), attitude p(0.001), and policy of regional regulation p(0.000) have a
significant correlation to policy application loyalty of free-smoke area. The most significant
variable to multivariate test is regional regulation policy variable which is p(0.000) <
(0,05).
Key words : knowledge, income, social and cultural environment, attitude and policy of
regional regulation
PENDAHULUAN
Pengalaman berbagai negara memperlihatkan bahwa Undang-Undang kawasan
tanpa rokok (UU KTR) yang diikuti dengan penegakan hukum yang memiliki
penegakan hukum yang ketat, memiliki tingkat kepatuhan masyarakat yang
cukup tinggi sebanyak 90 %. Kenyataan ini dibuktikan di beberapa negara
antara lain : Irlandia (97%), New York (97 %), New Zealand (97%), Italia (98,2
%), Massaachusetts (96,3%) dan Scotlandia (95,9 %).(Abadi, 2009).
168
Tahun 1995 di Amerika Serikat , pemerintah kota membuat undang-undang
Bebas Asap Rokok, tetapi masih membolehkan adanya ruang merokok di
beberapa tempat. Kemudian UU bebas Asap Rokok tersebut diubah pada
tanggal 30 September 2002, dan berlaku efektif pada 30 Maret 2003, dengan
menerapkan KTR%. Pelaku Utama, Dinas Kesehatan Kota dan Mental menjadi
inisiator yang mengarahkan penerapan KTR 100%, Jaringan koalisi masyarakat
tentang KTR. Mereka membuat jaringan advokasi anti tembakau yang sangat
luas, multi stakeholders Pola Penegakan Hukum, Dalam melaksanakan UU,
semua pengelola tempat bisnis/kerja diharuskan mempunyai peraturan tertulis
setempat tentang larangan merokok, memasang tanda larangan meroko, Dan
larangan menyediakan asbak rokok. (Abadi, 2009).
WHO dalam buku panduannya strategi pengendalian bahaya tembakau
MPOWER menjelaskan bahwa terdapat 1 kematian tiap 6 detik, 5,4 juta jiwa
pada tahun 2005, 100 juta selama abad ke-20 jika dibiarkan 8 juta jiwa pada
tahun 2030 dan 1 Milyar jiwa selama abad ke-21 . Untuk mengatasi epidemi
tembakau, organisasi kesehatan sedunia (WHO) mengajak Negara anggotannya
untuk menerapkan strategi MPOWER . Strategi MPOWER terdiri atas 6 upaya
pengendalian tembakau yang meliputi : Monitor prevalensi penggunaan
tembakau dan pencegahannya, perlindungan terhadap asap tembakau,
optimalisasi dukungan untuk berhenti merokok, waspadakan masyarakat akan
bahaya tembakau, eliminasi iklan, promosi dan sponsor tembakau, serta raih
kenaikan cukai tembakau (Victor Subiakto Puja,2009)
Dukungan masyarakat di daerah dimana peraturan kawasan tanpa rokok akan
diberlakukan mutlak dibutuhkan. Pemahanan masyarakat akan bahaya asap
rokok orang lain dan manfaat peraturan kawasan tanpa rokok yang memberikan
perlindungan 100% serta pengertian atas hak untuk hidup sehat – akan
menjamin kepatuhan yang didasari oleh kesadaran bukan keterpaksaan karena
adanya sanksi peraturan. (TCSC-IAKMI, 2009).
Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi target utama kampanye
Internasional pengendalian tembakau di kawasan Asia Tenggara. Alasannya,
Indonesia merupakan satu-satunya negara di wilayah Asean yang belum
meratifikasi Konvensi WHO tentang Pengendalian Rokok (Framework
Convention on Tobacco Control/FCTC).
169
Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mutlak diperlukan. Jika dilakukan
secara simultan, kebijakan itu efektif mendukung pengendalian konsumsi
tembakau. "100 % kawasan bebas rokok, tidak ada smoking area atau smoking
room”. Hasil survei YLKI terhadap 1.000 responden di Jakarta yang terdiri dari
600 bukan perokok dan 400 perokok menunjukkan, sebanyak 87,8 % responden
setuju dengan penerapan kawasan tanpa rokok. Bahkan 81 % responden
perokok menyatakan setuju dengan kebutuhan kawasan tanpa rokok. Hampir
seluruh masyarakat Jakarta mendukung terwujudnya Jakarta 100 % bebas asap
rokok . (hasil survei dukungan masyarakat terhadap Jakarta 100 % bebas asap
rokok yang dilakukan terhadap 747 responden di 5 wilayah Provinsi DKI Jakarta.
(Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta,
2009).
Mewujudkan udara bersih tanpa asap rokok tentunya menjadi harapan semua
orang. Bahkan, uji petik-teguran simpatik kawasan dilarang merokok (KDM) yang
dilaksanakan 19-26 November mendapat apresiasi positif warga Jakarta. Untuk
memancing para pengelola gedung dan pusat perbelanjaan di DKI Jakarta turut
menegakkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Gubernur (pergub) Nomor 75
Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, Pemerintah Provinsi (Pemprov)
DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) dan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meresmikan Mal
Plaza Semanggi sebagai kawasan dilarang merokok. (Lenny, 2008)
Komitmen pemerintah daerah atas amanat pasal 115 dari Undang-Undang (UU)
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kewajiban pemda menerapkan kawasan bebas
rokok terbilang masih sangat minim. Dari sekitar 400 kabupaten/kota yang ada
baru sekitar 22 kabupaten/kota yang telah mengimplementasi kewajiban
tersebut.
Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama bahwa sejak 2005, Ke-menkes dan instansi lain melakukan program lintas sektor memperkenalkan inisiatif "Program Kota Sehat", dengan tujuan membuat Kota Sehat melalui inisiatif lokal. Hampir 200 kota/kabupaten di Indonesia pernah dilatih untuk mendukung kebijakan ini. Salah satu indikator utama untuk menilai keberhasilan inisiatif "Kota Sehat" adalah lingkungan yang bebas asap rokok dan untuk penguatannya telah dituangkan ke dalam sebuah peraturan daerah.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 menyatakan Pemerintah Daerah wajib menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sampai saat ini baru ada 22 kabupaten/kota yang sudah
170
mulai melaksanakan kebijakan tersebut, walaupun program ini belum seragam di seluruh kabupaten/kota.(Merry Wahyu Ningsihm, 2010).
Pada tahun 2009 kawasan bebas asap rokok di Desa Bone-Bone Kabupaten
Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan lebih dipertegas dengan dikeluarkannya
Perdes No. 01 tahun 2009 tentang kawasan bebas asap rokok. Dan merupakan
satu-satunya Desa yang mengeluarkan Perdes kawasan bebas asap rokok di
Indonesia yang sesuai dengan standar internsional yaitu 100 % kawasan bebas
asap rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.
METODE PENELITIAN
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap dan kebijakan
perdes terhadap kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok. Hasil penelitian ini merupakan landasan pengembangan model dalam
peningkatan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap
rokok.
Hasil penelitian ini juga diharapkan : (1) menambah pengetahuan serta
memberikan informasi dalam penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok,
(2) digunakan sebagai bahan evaluasi bagi penentu kebijakan (pemerintah
setempat), khususnya Desa Kendenan dan Desa Bone-Bone dalam
meningkatkan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok,(3)
memperkaya khasanah dan ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai
acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan variabel yang berbeda.
Desain penelitian menggunakan observasional analitik dengan rancangan Cross
Sectional Study (studi potong lintang). Populasi sasaran penelitian ini adalah
seluruh penduduk Desa Bone-Bone dan Desa Kendenan. Sampel dalam
171
penelitian ini adalah sebagian dari penduduk Desa Bone-Bone dan Desa
Kendenan dengan penarikan sampel secara Simple Random Sampling.
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan sampel yang terpilih
dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari kantor Desa
Kendenan, Kantor Desa Bone-Bone dan Kantor Camat Baraka. Pengolahan data
yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan komputer dengan
menggunakan program SPSS dengan langkah-langkah editing, coding, entry dan
cleaning. Analisis data yang dilakukan untuk penelitian ini menggunakan analisis
univariat dengan tampilan gambaran distribusi frekuensinya dalam bentuk tabel
dan narasi. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square untuk mengestimasi
pengaruh dan masing-masing faktor-faktor yang diteliti dan analisis multivariate
menggunakan uji regresi logistik.
HASIL PENELITIAN
Analisis Univariat
Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 281 orang, pada analisi univariat
masing-masing variabel akan dideskripsikan menurut kepatuhan terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, umur, pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap dan kebijakan
perdes.
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan
umur bahwa umur tertinggi 27-32 tahun yang patuh sebanyak 65,6 %, dan tidak
patuh sebanyak 34,4 %, umur terendah 15-20 tahun terdapat yang patuh
sebanyak 71,4 % dan tidak patuh sebanyak 28,6 %, berdasarkan tingkat
pendidikan bahwa pendidikan tertinggi SMA terdapat yang patuh sebanyak 70,9
% dan tidak patuh sebanyak 0,7 %, tingkat pendidikan terendah tidak sekolah
terdapat yang patuh dan tidak patuh masing-masing 50 %, berdasarkan jenis
pekerjaan bahwa tertinggi petani yang patuh sebanyak 72,0 % dan tidak patuh
sebanyak 28,0 %, dan pekerjaan terendah pelajar/mahasiswa terdapat yang
patuh sebanyak 66,7 % dan tidak patuh sebanyak 33,3 %.
172
Hasil Analisis Bivariat
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 2, bahwa hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang berhubungan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok adalah pengetahuan p(0,038), Pendapatan p(0,038),
lingkungan sosial budaya, p(0,000) sikap p (0,001) ,dan kebijakan perdes
p(0,000) (Tabel 2).
Hasil Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel yang paling
berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas
asap rokok, setelah dianalisis dengan variabel lainnya. Variabel bermakna
secara statistik (nilai p < 0,05). terlihat bahwa variabel yang berhubungan dengan
kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok adalah
variabel pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial & budaya, sikap dan
kebijakan perdes, sehingga variabel tersebut dapat dimasukkan dalam analisis
multivariat dengan uji regresi logistik.
Diketahui bahwa dari 5 variabel yang diikutkan dalam uji regresi logistik diketahui
3 variabel secara statistik bermakna yaitu lingkungan sosial budaya p(0,001),
sikap p(0,012) dan kebijakan perdes p(0,000) karena nilai p < 0,05 sedangkan
dari 2 variabel yang tidak bermakna yaitu variabel pengetahuan p(0,40),
pendapatan (0,084) karena p > 0,05. variabel kebijakan Perdes merupakan
variabel yang paling berhubungan dibandingkan ke empat variabel yang lain.
Dan kebijakan perdes berpengaruh 3,043 kali terhadap penerapan kepatuhan
kebijakan kawasan bebas asap rokok (Tabel 3).
Model nilai estimasi dari regresi logistik berganda disajikan sebagai berikut :
Y = -6,678 + 0.687(pengetahuan)+ 0,505(pendapatan) + 0,980(lingkungan sosial &
budaya) + 0,728(sikap) + 1,113(kebijakan perdes)
173
Berdasarkan fungsi regresi yang didapat dapat dibuat interpretasi sebagai berikut
:
Apabila fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang paling berhubungan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok adalah lingkungan sosial budaya (1), sikap(1) dan kebijakan perdes (1), maka persamaannya sebagai berikut :
1
p = 1 + e-(-6,678+0.687(pengetahuan) +0.505(pendapatan) +0,980(lingkungan)+0,728(sikap) +1,113(kebijakan
perdes)
1 p = 1 + 2.718 -2,655
p = 0,9343
Dengan demikian lingkungan sosial & budaya serta sikap masyarakat terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok dan adanya aturan kebijakan perdes merupakan suatu faktor untuk tetap patuh pada penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebesar 93.43 %. Bila fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang mempunyai pengaruh paling rendah untuk tidak patuh pada penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok adalah pengetahuan(1) dan pendapatan (1) maka peluang untuk tidak patuh sebesar 13,40 %. Dari 5 variabel yang masuk dalam pemodelan, lingkungan sosial budaya yang paling berpengaruh dengan nilai X2 sebesar 17,604 untuk patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
PEMBAHASAN
Hasil uji statistik ditemukan bahwa p(0,038) ini berarti ada hubungan antara
pengetahuan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas
asap rokok. hal ini berarti bahwa bagi sampel yang pengetahuan kurang tetapi
patuh terhadap kebijakan karena hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
pengetahuan saja tetapi faktor-faktor lingkungan juga sangat berpengaruh dan
faktor lain yang bisa mempengaruhi kepatuhan terhadap kebijakan kawasan
bebas asap rokok.
174
Hasil analisis statistik dengan nilai p (0,029) ini berarti ada hubungan
pendapatan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
dan dari 149 sampel yang pendapatannya kurang masih terdapat 36,2 % yang
tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok hal ini
disebabkan karena dalam penelitian ini sebaagian dari sampel di ambil dari Desa
yang belum lama dalam penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok
sehingga sebagian dari sampel masih belum bisa lepas dari ketergantungan
rokok, ada sebagian sampel menyatakan bahwa berhenti merokok tidak bisa
langsung berhenti tetapi bertahap jadi membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk bisa berhenti merokok atau patuh terhadap penerapan kawasan bebas
asap rokok.
Hasil analisis statistik bahwa nilai p(0,000) ini berarti ada hubungan lingkungan sosial budaya dengan kepatuhan terhadap penerapan kebiajkan kawasan bebas asap rokok dan yang terdapat 127 yang menyatakan tidak ada pengaruhnya terhadap lingkungan sosial budaya terdapat yang tidak patuh sebanyak 43,3 %, sedangkan yang ada pengaruh lingkungan sosial budaya terdapat yang tidak patuh sebanyak 20,1 % masih adanya sampel yang tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dikaitkan dengan lingkungan sosial budaya karena tidak semua sampel mempunyai karakteristik yang sama ada yang berhenti merokok karena dorongan keluarga dan ada yang berhenti merokok karena kemauaan sendiri. Hasil analisis statistik menyatakan bahwa nilai p(0,001) ini berarti ada hubungan sikap dengan kepatuhan penerapan kebijakan perdes, dari 97 sampel yang sikapnya kurang baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 56,7 % dan tidak patuh sebanyak 43,3 %, sedangkan dari 184 yang sikapnya baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan sebanyak 76,1 % dan tidak patuh sebanyak 23,9 %. Masih adanya sampel yang tidak patuh jika dihubungkan dengan sikap mereka terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok karena sebagian dari sampel masih minim pemahammnya tentang kawasan bebas asap rokok karena sebagian masyarakat belum merasakan betul manfaat dari adanya kebijakan tersebut karena faktor penerapan kebijakan yang belum lama khususnya di Desa Kendenan.
Hasil analisis statistik menyatakan nilai p (0,000) ini berarti ada hubungan kebiajkan perdes dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, dari 144 sampel yang tidak ada kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 59,7 % dan tidak patuh sebanyak 40,3 %, sedangkan dari 137 sampel yang memiliki kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 79,6 % dan yang tidak patuh sebanyak
175
20,4 %,dari hasil ini diperoleh bahwa ternyata masih ada sebagian sampel yang tidak patuh terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok jika dikaitkan dengan kebijakan perdes hal ini disebabkan karena dalam penerapan kawasan bebas asap rokok sebelumnya merupakan inisiatif dari kepala Desa Bone-Bone dan kesepakatan dengan tokoh masyarakat, kesepakatan ini berlaku pada tahun 2001 sedangkan perdes nanti di keluarkan pada tahun 2009 sehingga sosialisasi ke masyarakat tentang isi perdes dalam hal ini mengenai aturan dan saksinya masih kurang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kepatuhan terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang tahun 2011 maka dapat disimpulkan bahwa:
6. Pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
7. Pendapatan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten
Enrekang
8. Lingkungan sosial & budaya berhubungan dengan kepatuhan terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang
9. Sikap berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan
kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang
10. Kebijakan Perdes berhubungan dengan kepatuhan terhadap
penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang
SARAN
5. Diharapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang ( pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial & budaya, sikap dan kebijakan perdes terus diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok lebih efektif lagi dan bukan hanya dari 2 Desa saja tetapi semua desa di Kecamatan Baraka.
176
6. Diharapkan kepada pemerintah setempat agar sosialisasi dan penerapan kebijakan perdes lebih ditingkatkan, agar masyarakat lebih paham isi dari kebijakan perdes tentang kawasan bebas asap rokok .
7. Diharapkan kepada masyarakat setempat agar lebih meningkatkan lagi pengetahuan dan sikapnya mengenai kawasan bebas asap rokok.
8. Masih banyak faktor lain yang pberhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, olehnya itu diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti sejauh mana faktor yang tidak diteliti pada penelitian ini berhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.
DAFTAR ACUAN
1. Abadi. 2009. “Urgensi Pelaksanaan Kawasan Tanpa
Rokok”,http://wwww.press. doch.id, Jakarta diakses tanggal 01-05-2011
2. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta,
2009 http://www.Jakarta.go.id. di akses tanggal 20 Januari 2011
3. Departemen Kesehatan RI.2004. “Fakta Tembakau Indonesia Data Empiris
Untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Tembakau”.
4. Departemen Kesehatan RI, Direktorat jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Fakta Tembakau Indonesia : Data Empiris untuk Strategi nasional
5. Fakta Tembakau & Permasalahannya Di Indonesia.2009. Tobacco Control
Support Center (TCSC)-IAKMI bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan dan WHO Indonesia, Jakarta
6. Lameshow, Stanly dkk. (1997). “Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan”,
UGM Press, Yogyakarta.
7. Lenny, 2008, “Mal Plaza Semanggi jadi Percontohan KDM”. Jakarta.
http:///www.Berita Jakarta.com diakses tanggal 30-01-2011
8. Puja Victor Subiakto, 2011, “Kebijakan Pemerintah Indonesia
Tentang Pengendalian Bahaya Tembakau Siklus Kebijakan Publik
Berbasis Evidens Epidemiologi”. ISMKMI in Tobacco Control,
http:///www.Ismkmi.wordpress.com diakses tanggal 01-02-2011
9. WHO. 2005. Smoke-free Inside. http://www.who.or.id/Tobacco/wntd
diakases tanggal 15-01-2011
10. WHO.2007. Gender and Tobacco Control : Apolicy Brief, Departemen of
Gender, Women and Health (GWH), Switzerland. http://www.who.or.id
diakses tanggal 10-01-2011
177
Kepatuhan penerapan
Kawasan bebas Asap rokok
Pengetahuan
Faktor Eksternal
3. Lingkungan
4. Sosial Budaya
Faktor internal :
4. Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Umur
Beban pembelian rokok
Biaya sakit akibat merokok
Kesehatan
Bahaya asap rokok
Penyakit akibat rokok
Kualitas hidup
Kebijakan Perdes
- Pelaksanaan Peraturan
- Penegakan hukum
- Larangan merokok
-Berhenti merokok
Sosial
Ekonomi/Pendapatan
Lingkungan sosial &Budaya
- Keluarga
- Teman
- Agama
kebiasaan merokok
- Merokok
- Tidak merokok
Sikap
178
Gambar 1. Kerangka Teori
179
Tabel 1. Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Karakteristik di Kecamatan
Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011 (n=281)
KARAKTERISTIK
RESPONDEN
Kepatuhan
Jumlah Patuh Tidak Patuh
n % n %
UMUR
15-20 21-26 27-32 33-38 39-44 45-50 51-56 57-62 ≥ 63
TINGKAT PENDIDIKAN
Tidak SekolahTidak Tamat SD Tamat SD SMP SMA PT/Akademik
PEKERJAAN
PNS Wiraswasta Pegawai Swasta Petani Pelajar/Mahasiswa
5
34
42
30
37
14
18
9
6
1
7
43
43
73
28
71,4
64,2
65,6
65,2
72,5
87,5
64,3
100
85,7
50,0
63,6
69,4
74,1
70,9
62,2
2
19
22
16
14
2
10
0
1
1
4
19
15
30
17
28,6
35,8
34,4
34,8
27,5
12,5
35,7
0
14,3
50,0
36,4
30,6
25,9
29,1
37,8
7
53
64
46
51
16
28
9
7
2
11
62
98
103
45
180
20
20
12
139
4
71,4
62,5
54,5
72,0
66,7
8
12
10
54
2
28,6
37,5
45,5
28,0
33,3
28
32
22
193
6
Sumber : Data Primer
181
Tabel 2. Hasil Analisis Hubungan Variabel Independen Terhadap Kepatuhan
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas asap Rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang Tahun 2011 (n=281)
VARIABEL PENELITIAN
Kepatuhan
Jumlah
X2
p
𝜑
Patuh
Tidak Patuh
n % n %
Pengetahuan
Kurang Cukup
Pendapatan
Kurang Cukup
Lingkungan Sosial
Budaya
Tidak Ada Pengaruh
Ada Pengaruh
Sikap
Kurang Baik
Baik
Kebijakan Perdes
Tidak Ada Kebijakan
39
156
95
100
72
123
59,1
72,6
63,8
75,8
56,7
79,9
27
59
54
32
55
31
40,9
27,4
36,2
24,2
43,3
20,1
66
215
149
132
127
154
4,312
4,745
17,604
0,038
0,029
0,000
0,124
0,130
0,250
182
Ada Kebijakan
55
140
86
109
56,7
76,1
59,7
79,6
42
44
58
28
43,3
23,9
40,3
20,4
97
184
144
137
11,239
13,012
0,001
0,000
0,20
0,215
Sumber : Data Primer
Tabel 3. Model Regresi Logistik Faktor Determinan Terhadap Kepatuhan Terhadap
Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka
Kabupaten Enrekang Tahun 2011
VARIABEL
B S.E. Df Sig Exp
(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower
Limit
Upper
Limit
Pengetahuan
Pendapatan
Lingkungan Sosial & Budaya
Sikap
Kebijakan Perdes
Constant
0,687
0,505
0,980
0,728
1,113
-6,678
0,335
0,293
0,286
0,290
0,296
1,015
1
1
1
1
1
1
0,40
0,084
0,001
0,012
0,000
0,000
1,989
1,658
2,664
2,072
3,043
0,001
1,030
0,934
1,522
1,172
1,705
3,837
2,941
4,664
3,661
5,433
Sumber : Data Primer
183
top related