faktor determinan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

183
FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG TAHUN 2011 DETERMINANT FACTORS ON POLICY APPLICATION LOYALTY OF FREE-SMOKE AREA IN BARAKA DISTRICT OF ENREKANG REGENCY IN 2011 RAHMA SRI SUSANTI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

1

FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS

ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG

TAHUN 2011

DETERMINANT FACTORS ON POLICY APPLICATION LOYALTY OF FREE-SMOKE AREA IN BARAKA

DISTRICT OF ENREKANG REGENCY IN 2011

RAHMA SRI SUSANTI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

Page 2: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

2

FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS

ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA KABUPATEN ENREKANG

TAHUN 2011

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Kesehatan Masyarakat

Disusun dan diajukan oleh

RAHMA SRI SUSANTI

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

Page 3: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

3

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Rahma Sri Susanti

Nomor Pokok : P1804209008

Program Studi : Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila kemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, Mei 2011

Yang menyatakan

Rahma Sri Susanti

Page 4: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

4

Page 5: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

5

Page 6: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

6

Page 7: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

7

Page 8: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

8

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala

rahmat dan karunia-Nya, nikmat kesehatan dan kekuatan yang diberikan

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul

“FAKTOR DETERMINAN TERHADAP PENERAPAN KEBIJAKAN

KAWASAN BEBAS ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA

KABUPATEN ENREKANG TAHUN 2011”. Sebagai syarat dalam

meyelesaikan studi di PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

HASANUDDIN

Salam dan Shalawat selalu tercurah untuk Rasulullah Muhammad

SAW beserta keluarganya, para sahabat dan orang –orang yang

senantiasa istigomah mengikuti jalannya hingga akhir zaman.

Perkenankan pula penulis dengan tulus menyampaikan rasa terima

kasih yang dalam dan penghargaan yang sebesarnya kepada Dr. Drg. H.

A. Zulkifli Abdullah, MS selaku ketua komisi penasehat dan bapak Prof.

DR. Ridwan Amiruddin, SKM,M.Kes,M.Sc.PH selaku anggota

penasehat penelitian , yang tak pernah lelah di sela-sela kesibukannya

dan dengan penuh kesabaran memberikan arahan, perhatian, motivasi,

masukan dan dukungan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

ini.

Page 9: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

9

Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan pula kepada

bapak penguji Prof. Dr. dr. Rasdi Nawi,M.Sc bapak Dr. dr.

Citrakesumasari,M.Kes dan bapak Dr. Darmawansyah, SE, MS atas

kesediannya menjadi penguji yang banyak memberikan arahan dan

masukan berharga, falsafah-falsafah hidup kepada penulis sebagai

mahasiswa.

Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada:

1. Dr. dr. H. Noer Bachry Noor, M.Sc selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

2. Prof. Dr. dr. Rasdi Nawi, M.Sc selaku Ketua Konsentrasi Epidemiologi

Universitas Hasanuddin serta Bapak ibu dosen pengajar, pegawai di

lingkup Pascasarjana Universitas Hasanuddin, khususnya konsentrasi

epidemiologi, yang telah memberikan dan meletakkan dasar-dasar ilmu

pengetahuan epidemiologi kepada penulis.

3. Prof.Dr.dr.Idrus Paturusi, Sp.B, selaku rektor Universitas Hasanuddin,

beserta stafnya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas

Hasanuddin.

4. Prof. Dr. dr. H. M. Alimin Maidin, MPH selaku Dekan fakultas kesehatan

masyarakat dan stafnya yang telah membantu penulis selama masa

pendidikan.

5. Bapak Camat Baraka beserta stafnya yang telah banyak membantu

peneliti dan memberi ijin untuk melakukan penelitian di daerahnya

Page 10: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

10

6. Bapak Kepala Desa Bone-Bone dan Kepala Desa Kendenan beserta

masyarakatnya yang senantiasa membantu peneliti pada saat

melakukan penelitian

7. Seluruh staf pengajar program Study Kesehatan Masyarakat,

Konsentrasi Epidemiologi yang telah memberikan banyak ilmu selama

penulis mengikuti pendidikan.

8. Ayahanda Amiruddin, BA dan ibunda St. Hatijah serta Saudara-

saudaraku tersayang Riskiawan Hairuddin, A.Md, SE, Fitri Dwi Kurniati,

S.pd, Sri Dewi Anugrah Wati, S.pd , Muhammad Kurniawan Saputra

yang telah memberikan doa, cinta, perhatian, kasih sayang, dorongan

baik moril maupun materil, mendidik dan membesarkan penulis dengan

penuh keikhlasan serta doa restunya yang selalu mengiringi penulis

dalam setiap langkah.

9. Sjamsul Rasjid S.KM.,M.Kes dan seluruh rekan-rekan dari Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Timur (Nurhayati, SKM.,

M.Kes, Hermawati, SKM, M.Kes, Zuraedah, SKM., M.Kes, Idalailah,

SKM, Marthniy, SKM., M.Kes, Rahmatsyah, SKM., M.Si, Yusrianto,

SKM., M.Kes, Anto, SKM., M.Kes, Lisma Syarifuddin, SKM, Syafri,

SKM, Fitra, SKM, Irfan, SKM, Musdalifa, SKM, Rahma, SKM, Sidar,

SKM, Rosmini, SE, Melati, SE atas segala bantuan , Motivasi yang

sangat besar kepada penulis

Page 11: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

11

10. Rekan-rekan mahasiswa S2 Konsentrasi Epidemiologi Reguler

terkhusus untuk Eka, S.KM, Diah, S.KM, Amma, S.KM, Shandra, S.KM,

Irma, S.KM, Chaca, S.KM, Henny, S.KM, Urwa, S.KM, Hasna, S.KM,

Nikma, S.KM, Mul, S.KM, Ical, S.KM). Atas bantuan yang tak

terhingga.

11. Rekan-rekan seperjuangan epidemiologi reguler 2009, terima kasaih

atas kebersamaannya, kekompakannya, bantuan serta motivasi yang

diberikan yang tercipta mulai awal kuliah hingga akhir, memberi warna

dalam hidup penulis yang akan dikenang selamanya.

12. Tante Dahlia, dan sepupuku rina, Fia, sastra, Amma, Idham, Wati,

Kahar, Illank, Ila, dan Ayyu serta seluruh keluarga yang tidak dapat

saya sebutkan satu persatu atas segala doa dan perhatiannya kepada

penulis.

13. Sahabat-sahabatku Puji Astuti Dwi Antini, S.KM, Fatimah, S.KM,

Zulkarnain, S.KM, Asrim Arif terima kasih atas dukungan, bantuan dan

motivasi yang diberikan selama ini kepada penulis.

14. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama ini.

Akhirul Qalam bahwa tidak ada yang memiliki kesempurnaan,

kecuali pemilik kesempurnaan itu sendiri. Penulis sangat menyadari

bahwa apa yang penulis paparkan dalam tesis ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, namun demikian penulis berharap agar tesis ini dapat

memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Page 12: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

12

Akhirnya semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang telah

diberikan kepada penulis dibalas oleh-Nya dengan pahala yang

berlimpah. Amin Ya Rabbal Alamin.

Makassar, April 2011

Penulis

Page 13: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

13

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………. iii

PERNYATAAN KEASLIAAN……………………………………….. iv

PRAKATA.................................................................................... v

ABSTRAK.................................................................................... x

ABSTRAC.................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ....................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR .................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. xviii

DAFTAR ARTI LAMBANG & SINGKATAN................................ xix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................... 7

C. Tujuan Penelitian.............................................................. 7

D. Manfaat Penelitian............................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan Umum Tentang Rokok ......................................... 10

B. Tinjauan Umum Tentang Kepatuhan.............................. 28

C. Tinjuan umum Tentang Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

1. Analisis Permasalahan............................................... . 36

2. Siklus Kebijakan Publik Berbasis Evidens Epidemilogi. 39

3. Dampak Tembakau & Potensi Petaka Kesehatan

Masyarakat di Indonesia............................................. 42

D. Tinjuan Umum Tentang Kawasan Bebas Asap Rokok..... 47

Page 14: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

14

E. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan............................ 67

F. Tinjauan Umum Tentang Pendapatan............................. 72

G. Tinjauan Umum Tentang Lingkungan Sosial Budaya....... 75

H. Tinjauan Umum Tentang Sikap ........................................ 77

I. Tinjuan Umum Tentang Kebijakan Perdes ....................... 81

J. Kerangka Teori Penelitian ................................................ 85

K. Kerangka Konsep Penelitian ............................................ 86

L. Bagan Kerangka Konsep ................................................. 90

M. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ........................ 91

N. Hipotesis Penelitian .......................................................... 94

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ................................................................ 95 B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 96

C. Populasi dan Sampel ....................................................... 96

D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ........................... 97

E. Kontrol Kualitas ................................................................ 98

F. Pengolahan Data.............................................................. 104

G. Analisis Data .................................................................... 104

H. Penyajian Data ................................................................. 107

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Baraka............................. . 108

B. Hasil Penelitian............................................................... .. 110

C. Pembahasan................................................................ ..... 128

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................ 141

B. Saran.................................................................................. 142

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 15: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

15

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1 Sintesa Faktor Pengetahuan Terhadap

Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok............................................................. 72

Tabel 2 Sintesa Faktor Pendapatan Terhadap

Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok............................................................. 75

Tabel 3 Sintesa Faktor Lingkungan Sosial Budaya

Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan

Bebas Asap Rokok.................................................... 77

Tabel 4 Sintesa Faktor SikapTerhadap Kepatuhan

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok... 80

Tabel 5 Sintesa Faktor Kebijakan Perdes Terhadap

Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok............................................................... 84

Tabel 6 Hasil Uji Validasi Instrumen Penelitian Terhadap 28 Sampel................................................................... 102 Tabel 7 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian pada 28

Sampel...................................................................... 103

Tabel 8 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur Di Kecamatan Baraka Tahun 2011................................ 112

Tabel 9 Distribusi sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011 113

Page 16: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

16

Tabel 10 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011................................................................ 114 Tabel 11 Distribusi Sampel Berdasarkan Kepatuhan Terhadap

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011............................................................... 115

Tabel 12 Distribusi Sampel Berdasarkan Pengetahuan Terhadap

Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................... 116

Tabel 13 Distribusi Sampel Berdasarkan Pendapatan Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 116

Tabel 14 Distribusi Sampel Berdasarkan Sikap Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 117

Tabel 15 Distribusi Sampel Berdasarkan Lingkungan Sosial &

Budaya Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011................................................ 118

Tabel 16 Distribusi Sampel Berdasarkan Kebijakan Perdes

Terhadap Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011................................................................... 118

Tabel 17 Hubungan Pengetahuan Terhadap Kepatuhan

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011................................................................... 119

Tabel 18 Hubungan Pendapatan Terhadap Kepatuhan

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 121

Tabel 19 Hubungan Lingkungan Sosial & Budaya Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Page 17: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

17

Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.............................................. 122

Tabel 20 Hubungan Sikap Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................. 123

Tabel 21 Hubungan Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................................................................. 125

Tabel 22 Analisis Multivariat Terhadap Kepatuhan Penerapan

Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011.................. 126

Page 18: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

18

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kerangka Teori Penelitian 82

2 Kerangka Konsep Penelitian 87

3 Analisis Statistik 100

Page 19: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

19

DAFTAR LAMPIRAN

1. Informed Concent

2. Kuesioner Penelitian

3. Master Tabel

4. Analisis SPSS

5. Hasil Analisis Uji Validitas

6. Surat Izin Penelitian

7. Rekomendasi penelitian dari BALITBANDA

8. Surat Izin Penelitian Dari Kesbang Linmas dan Pol.PP Kabupaten

Enrekang

9. Surat Izin Penelitian dari Kecamatan Baraka

10. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian

11. Peraturan Desa Bone-Bone tentang Kawasan Bebas Asap Rokok

12. Dokumentasi Penelitian

Page 20: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

20

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/Singkatan Arti dan Keterangan

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

AROL :Asap Rokok Orang Lain

FCTC : Framework Convention Tobacco

Control

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IAKMI : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat

ILO :International Labor Organization

KDM : Kawasan Dilarang Merokok

KTR : Kawasan Tanpa Rokok

MPOWER : Upaya Pengendalian tembakau

SKT :Sigaret kretek tangan

SKM : Sigaret kretek mesin

RF : Rokok Filter

RNF : Rokok Non Filter

RUU : Rancangan Undang-Undang

WHA : World Health Assembly

WHO : World Health Organization

Page 21: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau

membunuh lebih dari lima juta orang pertahun, dan diproyeksikan akan

membunuh 10 juta sampai 2020. Dari jumlah itu, 70% korban berasal dari

Negara berkembang. Lembaga demografi UI mencatat, angka kematian

akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok tahun 2004 adalah 427.948

jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5 % dari total kematian di

Indonesia(M.N. Bustan, 2007)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun

2020 penyakit yang berkaitan dengan tembakau/rokok akan menjadi

masalah kesehatan utama terbesar dan menyebabkan 8,4 juta kematian

setiap tahun. Diperkirakan, separuh kematian tersebut akan terjadi di Asia

karena tingginya penggunaan tembakau di Asian (Pusat Komunikasi

Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI, 2007)

Pengalaman berbagai negara memperlihatkan bahwa Undang-

Undang kawasan tanpa rokok (UU KTR) yang diikuti dengan penegakan

hukum yang memiliki penegakan hukum yang ketat, memiliki tingkat

kepatuhan masyarakat yang cukup tinggi sebanyak 90 %. Kenyataan ini

dibuktikan di beberapa negara antara lain : Irlandia (97%), New York (97

Page 22: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

22

%), New Zealand (97%), Italia (98,2 %), Massaachusetts (96,3%) dan

Scotlandia (95,9 %).(Abadi, 2009).

Tahun 1995 di Amerika Serikat , pemerintah kota membuat

undang-undang Bebas Asap Rokok, tetapi masih membolehkan adanya

ruang merokok di beberapa tempat. Kemudian UU bebas Asap Rokok

tersebut diubah pada tanggal 30 September 2002, dan berlaku efektif

pada 30 Maret 2003, dengan menerapkan KTR%. Pelaku Utama, Dinas

Kesehatan Kota dan Mental menjadi inisiator yang mengarahkan

penerapan KTR 100%, Jaringan koalisi masyarakat tentang KTR. Mereka

membuat jaringan advokasi anti tembakau yang sangat luas, multi

stakeholders Pola Penegakan Hukum, Dalam melaksanakan UU, semua

pengelola tempat bisnis/kerja diharuskan mempunyai peraturan tertulis

setempat tentang larangan merokok, memasang tanda larangan meroko,

Dan larangan menyediakan asbak rokok. (Abadi, 2009).

WHO dalam buku panduannya strategi pengendalian bahaya

tembakau MPOWER menjelaskan bahwa terdapat 1 kematian tiap 6 detik,

5,4 juta jiwa pada tahun 2005, 100 juta selama abad ke-20 jika dibiarkan 8

juta jiwa pada tahun 2030 dan 1 Milyar jiwa selama abad ke-21 . Untuk

mengatasi epidemi tembakau, organisasi kesehatan sedunia (WHO)

mengajak Negara anggotannya untuk menerapkan strategi MPOWER .

Strategi MPOWER terdiri atas 6 upaya pengendalian tembakau yang

meliputi : Monitor prevalensi penggunaan tembakau dan pencegahannya,

perlindungan terhadap asap tembakau, optimalisasi dukungan untuk

Page 23: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

23

berhenti merokok, waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau,

eliminasi iklan, promosi dan sponsor tembakau, serta raih kenaikan cukai

tembakau (Victor Subiakto Puja,2009)

Dukungan masyarakat di daerah dimana peraturan kawasan tanpa

rokok akan diberlakukan mutlak dibutuhkan. Pemahanan masyarakat

akan bahaya asap rokok orang lain dan manfaat peraturan kawasan tanpa

rokok yang memberikan perlindungan 100% serta pengertian atas hak

untuk hidup sehat – akan menjamin kepatuhan yang didasari oleh

kesadaran bukan keterpaksaan karena adanya sanksi peraturan. (TCSC-

IAKMI, 2009).

Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi target

utama kampanye Internasional pengendalian tembakau di kawasan Asia

Tenggara. Alasannya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di

wilayah Asean yang belum meratifikasi Konvensi WHO tentang

Pengendalian Rokok (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC).

Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mutlak diperlukan. Jika

dilakukan secara simultan, kebijakan itu efektif mendukung pengendalian

konsumsi tembakau. "100 % kawasan bebas rokok, tidak ada smoking

area atau smoking room”. Hasil survei YLKI terhadap 1.000 responden di

Jakarta yang terdiri dari 600 bukan perokok dan 400 perokok

menunjukkan, sebanyak 87,8 % responden setuju dengan penerapan

kawasan tanpa rokok. Bahkan 81 % responden perokok menyatakan

setuju dengan kebutuhan kawasan tanpa rokok. Hampir seluruh

Page 24: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

24

masyarakat Jakarta mendukung terwujudnya Jakarta 100 % bebas asap

rokok . (hasil survei dukungan masyarakat terhadap Jakarta 100 % bebas

asap rokok yang dilakukan terhadap 747 responden di 5 wilayah Provinsi

DKI Jakarta. (Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)

Provinsi DKI Jakarta, 2009).

Mewujudkan udara bersih tanpa asap rokok tentunya menjadi

harapan semua orang. Bahkan, uji petik-teguran simpatik kawasan

dilarang merokok (KDM) yang dilaksanakan 19-26 November mendapat

apresiasi positif warga Jakarta. Untuk memancing para pengelola gedung

dan pusat perbelanjaan di DKI Jakarta turut menegakkan Peraturan

Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara dan Peraturan Gubernur (pergub) Nomor 75 Tahun 2005 tentang

Kawasan Dilarang Merokok, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta

bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meresmikan Mal

Plaza Semanggi sebagai kawasan dilarang merokok. (Lenny, 2008)

Komitmen pemerintah daerah atas amanat pasal 115 dari Undang-

Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang kewajiban pemda

menerapkan kawasan bebas rokok terbilang masih sangat minim. Dari

sekitar 400 kabupaten/kota yang ada baru sekitar 22 kabupaten/kota yang

telah mengimplementasi kewajiban tersebut.

Page 25: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

25

Penggunaan tembakau merupakan salah satu faktor risiko penyakit

tidak menular. Untuk itu diperluakan komitmen para pemegang kebijakan

di tingkat daerah untuk menerapkannya. Pengendalian masalah

kesehatan akibat tembakau dan penyakit tidak menular harus dilakukan

secara komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan dengan

melibatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Meningkatnya

tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia juga telah menyebabkan

transisi epidemiologi, yaitu berubahnya pola penyakit dan kematian yang

semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak

menular. Proporsi angka kematian penyakit; tidak menular di Indonesia

meningkat dari 41,7 ftersen pada 1995 menjadi 59,5 persen pada 2007.

Stroke kini merupakan penyebab utama kematian pada semua umur,

jumlahnya mencapai 15,4 persen.

WHO melaporkan, pada 2005 penyakit tidak menular merupakan

penyebab utama dari 58 juta kematian di dunia, terdiri dari penyakit

jantung dan pembuluh darah (30 persen), penyakit pernafasan kronik dan

penyakit kronik lainnya (16 persen), kanker (13 persen), cedera (9 persen)

dan diabetes melitus (2 persen).Penyakit tidak menular sebenarnya bisa

dicegah dengan menghindari faktor risikonya, seperti mengonsumsi

tembakau, pola makan yang tidak sehat dan seimbang (terutama kurang

konsumsi sayur dan buah, sering makan makanan asin, tinggi lemak dan

manis), kurang aktifitas fisik, kolesterol tinggi, gula darah tinggi, stres, dan

konsumsi alkohol,

Page 26: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

26

Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga

Aditama bahwa sejak 2005, Ke-menkes dan instansi lain melakukan

program lintas sektor memperkenalkan inisiatif "Program Kota Sehat",

dengan tujuan membuat Kota Sehat melalui inisiatif lokal. Hampir 200

kota/kabupaten di Indonesia pernah dilatih untuk mendukung kebijakan

ini. Salah satu indikator utama untuk menilai keberhasilan inisiatif "Kota

Sehat" adalah lingkungan yang bebas asap rokok dan untuk

penguatannya telah dituangkan ke dalam sebuah peraturan daerah.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal

115 menyatakan Pemerintah Daerah wajib menerapkan Kawasan Tanpa

Rokok (KTR). Sampai saat ini baru ada 22 kabupaten/kota yang sudah

mulai melaksanakan kebijakan tersebut, walaupun program ini belum

seragam di seluruh kabupaten/kota.(Merry Wahyu Ningsihm, 2010).

Pada tahun 2009 kawasan bebas asap rokok di Desa Bone-Bone

Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan lebih dipertegas dengan

dikeluarkannya Perdes No. 01 tahun 2009 tentang kawasan bebas asap

rokok. Dan merupakan satu-satunya Desa yang mengeluarkan Perdes

kawasan bebas asap rokok di Indonesia yang sesuai dengan standar

internsional yaitu 100 % kawasan bebas asap rokok dengan tidak

menyediakan ruang untuk merokok.

Page 27: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

27

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah

penelitian adalah :

a. Apakah pengetahuan berhubungan terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang?

b. Apakah pendapatan berhubungan terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang?

c. Apakah lingkungan sosial budaya berhubungan terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang?

d. Apakah sikap berhubungan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang?

e. Apakah kebijakan Perdes berhubungan terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang?

Page 28: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

28

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun

2011.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang

b. Untuk mengetahui hubungan pendapatan terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang.

c. Untuk mengetahui hubungan lingkungan sosial budaya terhadap

kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

d. Untuk mengetahui hubungan sikap terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di KecamataKn

Baraka Kabupaten Enrekang

e. Untuk mengetahui hubungan kebijakan Perdes terhadap

kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Page 29: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

29

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi dan dapat

menjadi bahan masukan bagi instansi yang berwenang untuk

digunakan sebagai dasar pertimbangan menentukan kebijakan dalam

upaya menerapkan kawasan bebas asap rokok dalam mengurangi

angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh rokok

2. Manfaat Ilmiah

a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan

bagi peneliti selanjutnya.

b. Sebagai bahan berharga bagi peneliti dalam rangka menambah

wawasan pengetahuan, serta pengembangan diri khususnya pada

bidang penelitian.

3. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam

pengembangan dan pembelajaran diri untuk penanggulangan

masalah-masalah kesehatan khususnya masalah rokok.

4. Manfaat Untuk Masyarakat

Hasil penelitian ini dharapkan dapat menjadi bahan bacaan untuk

menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam meningkatkan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dalam meningkatkan

status kesehatan.

Page 30: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Rokok

1. Pengertian Rokok/ Merokok

Rokok merupakan salah satu Zat Adiktif, yang bila digunakan

dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan

masyarakat. Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa

rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu

ataupun bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana

Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau sintesisnya

yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan

tambahan. (Lisa Ellizabet Aula, 2010)

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang sekitar 70-

120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10

mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok

dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar

asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung lainnya. Biasanya

rokok dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas

yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak

beberapa tahun terakhir bungkusan-bungkusan tersebut juga disertai

pesan kesehatan yang memperingatkan perokok terhadap bahaya

kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok. (Aula, 2010)

Page 31: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

31

Horissons (1987), merokok adalah membakar tembakau yang

kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok batangan

maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang

ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok. Asap rokok yang

dihisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua komponen :

komponen yang lekas menguap dan berbentuk gas dan komponen

yang bersama gas terkondenisasi menjadi pertikulat. Dengan asap

rokok yang dihisap dapat berupa gas sejumlah 85 % dan sisanya

berupa partikel. (Sitepoe 2000).

Menurut Sitepoe (2000), asap rokok yang dihisap melalui mulut

disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk

pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan

ke udara oleh si perokok disebut sidestream smoke. Kedua asap

tersebut mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif.

Asap rokok yang dihisap mengandung berbagai jenis bahan

kimia dengan berbagai jenis daya kerja terhadap tubuh, asap rokok

mengandung 4000 jenis bahan kimia, beberapa bahan kimia yang

terdapat di dalam rokok yang memberikan efek mengganggu

kesehatan antara lain : nikotin, tar, gas, karbon monoksida dan

berbagai logam berat lainnya. Oleh karenanya seseorang akan

terganggu kesehatannya bila merokok terus menerus. (Sitepoe,2000).

Page 32: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

32

2. Jenis-jenis rokok

a. Rokok berdasarkan bahan pembungkus

1) Kawung adalah rokok yang bahan pembungkusnya berupa

daun aren.

2) Sigaret adalah rokok yang bahan pembungkusnya berupa

kertas

3) Cerutu adalah rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun

tembakau.

b. Rokok berdasarkan bahan baku atau isi

1) Rokok putih yaitu rokok yang bahan baku atau isinya hanya

daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa

dan aroma tertentu.

2) Rokok kretek yaitu rokok yang bahan baku atau isinya berupa

daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk

mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

3) Rokok klembak yaitu rokok yang bahan baku atau isinya

berupa daun tembakau, cengkeh, dan menyan yang diberi saus

untuk mandapatkan efek rasa dan aroma tertentu. (Aula, 2010)

c. Rokok berdasarkan bahan pembuatannya

1) Sigaret kretek tangan (SKT) adalah rokok yang proses

pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan

menggunakan tangan ataupun alat bantu sederhana.

Page 33: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

33

2) Sigaret kretek mesin (SKM) adalah rokok yang prose

pembuatannya menggunakan mesin. Caranya, material rokok

dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. keluaran yang

dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Saat

ini. (Aula, 2010)

d. Rokok berdasarkan penggunaan filter

1) Rokok Filter (RF) adalah rokok yang pada bagian pangkalnya

terdapat gabus

2) Rokok Non Filter (RNF) adalah rokok yang pada bagian

pangkalnya tidak terdapat gabus (Aula, 2010)

3. Zat-zat kimia yang terkandung dalam rokok

Roberts (1988), lebih dari 3.040 jenis bahan kimia yang

dijumpai di dalam daun tembakau kering. Bahan-bahan kimia ini

berasal dari pertumbuhan daun tembakau itu sendiri, yang bersumber

dari tanah, udara dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam

proses pembuatan tembakau maupun sewaktu penanaman tembakau.

Diantara bahan kimia tersebut yang bersifat toksisa adalah

nikotin,karsinogenik nitrosamine yang bersumber dari nitrit, amine,

protein dan alkaloid di dalam daun tembakau, karsinogenik polisiklik,

hidrokarbon aromatik bersumber sewaktu pemprosesan tembakau;

elemen radio aktif yang diadobsi dari udara dan tanah, logam berat

yang diperoleh dari tanah dan udara yang tercemar. Pada waktu rokok

dibakar berarti semua zat kimia yang terkandung di dalam bahan baku

Page 34: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

34

rokok dan bahan tambahan lainnya ikut terbakar maka akan terbentuk

bahan kimia hasil pembakaran (Sitepoe, 2000).

Bahan kimia asap rokok dan pengaruhnya terhadap tubuh juga

didalam tembakau yang tidak dibakar adalah sebagai berikut :

a. Nikotin

Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan saraf, juga menyebabkan

tekanan sistolik dan diastolik mengalami peningkatakan denyut

jantung bertambah kontraksi otot jantung seperti dipaksa,

pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh darah

koroner bertambah, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

Nikotin meningkatkan kadar gula darah, kadar asam lemak bebas

kolestrol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah.

Nikotin juga menyebabkan seseorang ketagihan rokok. (Sitepoe,

2000).

b. Tar

Sumber tar adalah tembakau, cengkeh, pembalut rokok dan

bahan organik lainnya yang dibakar. Tar hanya dijumpai pada rokok

yang dibakar. Eugenol kretek Indonesia selalu menyatakan

Eugenol tidak termasuk tar. Didalam tar dijumpai karsinogenik:

polisiklinik hidrokarbon aromatis yang memicu kanker paru. Selain

itu juga dijumpai Nitrosoamine nikotin di dalam rokok yang

berpotensi besar sebagai karsinogenik terhadap jaringan paru.

Page 35: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

35

Bahan ini terdapat dalam tembakau, tetapi tidak dijumpai dalam

cengkeh. (Sitepoe 2000)

c. Gas Karbon Monoksida (CO)

Gas yang bersifat toksis dan bertolak belakang dengan gas

oksigen dalam transport haemoglobin. Dalam rokok terdapat 2-6 %

gas CO pada saat merokok, sedangkan gas CO yang dihisap oleh

perokok paling rendah pada saat merokok, sedangkan gas CO

yang dihisap oleh perokok paling rendah 400 ppn (Part permilion)

sudah dapat meningkatkan kadar karboksi-haemoglobin dalam

darah sejumlah 2-16 %. Kadar normal karbondioksida -

haemoglobin hanya 1 % pada bukan perokok. Apabila keadaan

terus berjalan maka terjadi policitemia yang akan mempengaruhi

syaraf pusat. Kandungan kadar karbon monoksida di dalam

rokok kretek lebih rendah dari pada kandungan karbon monoksida

dalam rokok putih ( Sitepoe, 2000).

d. Timah Hitam (Pb)

Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu

batang rokok yang dihisap diperhitungkan mengandung 0,5

mikrogram timah hitam. Bila seseorang mengisap rokok lebih dari

20 batang perhari maka kadar Pb dalam tubuh mencapai 20

mikrogram sedangkan batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah

20 mikrogram perhari (Sitepoe, 2000).

Page 36: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

36

e. Eugenol

Eugenol hanya dijumpai di dalam rokok kretek dan tidak

dijumpai pada rokok putih. Eugenol dapat ditemukan didalam

cengkeh yang dapat memberikan bintik minyak pada rokok kretek

sehingga memberikan pandangan yang kurang menyenangkan.

Eugenol dapat dijumpai baik di dalam rokok yang sedang dihisap,

di dalam asap rokok yang dihisap, maupun di dalam rokok kretek

yang tidak dihisap. Eugenol atau minyak cengkeh adalah cairan

yang tidak berwarna atau juga berwarna kekuning-kuningan dan

tidak larut dalam air. Eugenol digunakan sebagai antiseptic,

anastetik dan juga sebagai antipiretik belum diketahui efek

karsinogeniknya.( Sitepoe, 2000).

f. Arsenik

Sejenis unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga

terdiri dari unsur-unsur berikut:

1. Nitrogen Oksida, yaitu unsur kimia yang dapat mengganggu

saluran pernapasan, bahkan merangsang terjadinya kerusakan

dan perubahan kulit tubuh.

2. Amonium Karbonat, yakni zat yang bisa membentuk plak kuning

pada permukaan lidah, serta mengganggu kelenjar makanan

dan perasa yang terdapat pada permukaan lidah. (Aula,2010)

g. Amonia

Amonia merupakan gas tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen

Page 37: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

37

dan hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya. Amonia sangat mudah

memasuki sel-sel tubuh. Saking kerasnya racun yang terdapat

dalam zat ini, sehingga jika disuntikkan sedikit saja ke dalam tubuh

bisa menyebabkan seseorang pingsan.

h. Formik Acid

Formik acid tidaklah berwarna, bisa bergerak bebas, dan dapat

mengakibatkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya

menusuk. Zat tersebut dapat menyebabkan seseorang seperti

merasa digigit semut. Bertambahnya zat itu dalam peredaran darah

akan mengakibatkan pernapasan menjadi cepat.

i. Akrolein

Akrolein ialah sejenis zat tidak berwarna, sebagaimana aldehid. Zat

ini diperoleh dengan cara mengambil cairan dari gliserol

menggunakan metode pengeringan. Zat tersebut sedikit banyak

mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat mengganggu

kesehatan.

j. Hydrogen cyanide

Hydrogen Cyanide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna,

tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Zat ini termasuk zat yang

paling ringan, mudah terbakar, dan sangat efisien untuk

menghalangi pernapasan. Cyanide adalah salah satu zat yang

mengandung racun sangat berbahaya. Sedikit saja cyanide

dimasukkan ke dalam tubuh, maka dapat mengakibatkan kematian.

Page 38: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

38

k. Nitrous Oksida

Nitrous oksida ialah sejenis gas tidak berwarna. Jika gas ini terisap

maka dapat menimbulkan rasa sakit.

l. Formaldehyde

Zat ini banyak digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium

(formalin).

m. Phenol

Phenol merupakan campuran yang terdiri dari kristal yang

dihasilkan dari destilasi beberapa zat organik, seperti kayu dan

arang. Phenol terikat pada protein dan menghalangi aktivitas

enzim.

n. Acetol

Hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat tidak berwarna yang bebas

bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol.

o. Hydrogen Sulfide

Hydrogen sulfide ialah sejenis gas beracun yang gampang terbakar

dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim (zat

besi yang berisi pigmen).

p. Pyridine

Cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat

digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan

pembunuh hama.

Page 39: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

39

q. Methyl Chloride

Methyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi , yang

unsur-unsur utamanya berupa hidrogen dan karbon. Zat ini

merupakan compound organic yang dapat beracun.

r. Methanol

Methanol ialah sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan

terbakar. Meminum atau mengisap methanol dapat mengakibatkan

kebutaan, bahkan kematian. (Aula, 2010).

4. Tipe-Tipe perokok

a. Perokok Aktif (Active Smoken

Perokok aktif adalah seseorang yang benar-benar memiliki

kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, se-

hingga rasanya tak enak bila sehari saja tidak merokok. Oleh

karena itu, ia akan melakukan apapun demi mendapatkan rokok,

kemudian merokok.

b. Perokok Pasif (Passive Smoken)

Perokok pasif ialah seseorang yang tidak memiliki kebiasaan

merokok, namun terpaksa harus mengisap asap rokok yang

dihembuskan oleh orang lain yang kebetulan ada di dekatnya.

Dalam keseharian, mereka tidak berniat dan tidak memiliki

kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, ia tidak merasakan apa-

apa dan tidak terganggu terganggu aktivitasnya.

Meskipun perokok pasif tidak merokok, tetapi perokok pasif

Page 40: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

40

memiliki risiko yang sama dengan perokok aktif dalam hal terkena

penyakit yang disebabkan oleh rokok. Berbagai studi menyebutkan

bahwa perokok pasif mempunyai risiko yang sama dengan perokok

aktif dalam hal-hal berikut:

1) Kemungkinan mengalami serangan kanker paru, kanker

payudara, kanker ginjal, kanker pankreas, dan kanker otak

karena memperoleh nikotin dari asap rokok.

2) Kemungkinan terkena penyakit jantung dan pembuluh darah

(stroke)

3) Kemungkinan mengalami serangan asma bronkhiale.

4) Kemungkinan terkena gangguan kognitif dan dementia (mudah

lupa).

5) Wanita hamil berkemungkinan melahirkan bayi prematur atau

bayi lahir cukup bulan, tetapi berat badan kurang dari normal.

6) Mudah terkena serangan infeksi di hidung dan tenggorokan.

7) Anak-anak mudah terserang asma, meninggal pada usia muda,

infeksi paru-paru, mudah mengalami alergi, dan gampang

terkena TBC paru-paru.

5. Bahaya rokok bagi kesehatan

Kebiasaan merokok telah terbukti berhubungan dengan

sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh manusia, seperti

kanker paru, Enfisema dan berbagai penyakit paru lainnya. Selain itu

adalah kanker mulut, tenggorokan, pankreas, dan kandung kencing,

Page 41: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

41

penyakit pembuluh darah, ulkus peptikum dan lain-lain. Satu-satunya

penyakit yang menunjukkan asosiasi negatif dengan kebisaan merokok,

yaitu kanker paru, bronchitis kronik dan emfisema, penyakit jantung

iskemik dan penyakit kardiovaskuler lain, ulkus peptikum, kanker

mulut, kanker tenggorokan, penyakit pembuluh darah otak dan

gangguan janin dalam kandungan.

Doll dan Hill dua orang peneliti dari inggris membagi hubungan

antara penyakit dan kebiasaan merokok. Sebagai berikut : penyakit

yang disebabkan oleh merokok adalah kanker paru, kanker

kerongkongan, kanker saluran nafas lainnya, bronchitis kronis, dan

emfisema. Penyakit yang mungkin seluruhnya atau sebagaian

disebabkan oleh merokok yaitu penyakit jantung iskemik, aneurisma

atau pelebaran aorta, kerusakan miokard jantung, thrombosis

pembuluh darah otak, arterosklerosis, tuberculosis, pneumoni, ulkus

peptikum, hernia dan kanker kandung kemih (Aditama, 1997).

a. Kanker

Merokok dapat menyebabkan kanker. Kematian akibat

kanker yang disebabkan oleh merokok pun semakin meningkat.

Kematian karena kanker (terutama kanker paru-paru) meningkat 20

kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak merokok. Berbagai

jenis kanker yang risikonya meningkat akibat merokok antara lain

kanker trakea, bronkus, paru-paru, kanker mulut dan nasofaring,

kanker lambung, kanker hati, kanker pankreas, kanker rahim,

Page 42: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

42

kanker kandung kemih, kanker esofagus, leukemia mieloid akut,

kanker ginjal dan ureter, serta kanker usus besar (kanker kolon).

b. Penyakit Paru-paru

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi

saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar,

sel mukosa membesar (Hipertropi) dan kelenjar mukus bertambah

banyak (Hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan

dan penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir.

Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan

kerusakan alveoli.

c. Penyakit Jantung Koroner

Merokok terbukti sebagai faktor risiko terbesar untuk mati

mendadak, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya

mengenai zat-zat yang terkandung dalam rokok. Pengaruh utama

pada penyakit jantung disebabkan oleh dua bahan kimia penting

yang ada dalam rokok, yakni nikotin dan karbon monoksida. Nikotin

dapat mengganggu irama jantung dan menyebabkan sumbatan pada

pembuluh darah jantung, sedangkan karbon monoksida

mengakibatkan suplai oksigen untuk jantung berkurang Iantaran

berikatan dengan Hb darah. lnilah yang menyebabkan gangguan

pada jantung, termasuk timbulnya penyakit jantung koroner (PJK).

Page 43: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

43

d. Impotensi

Nikotin yang beredar melalui darah akan dibawa ke seluruh

tubuh, termasuk organ reproduksi. Zat ini akan mengganggu proses

spermatogenesis sehingga kualitas sperma menjadi buruk. Selain

merusak kualitas sperma, rokok juga menjadi faktor risiko gangguan

fungsi seksual, khususnya gangguan disfungsi ereksi.

e. Kanker Kulit, Mulut, Bibir, clan Kerongkongan

Tar yang terkandung dalam rokok dapat mengikis selaput

lendir di mulut, bibir, dan kerongkongan. Ampas tar yang tertimbun

akan mengubah sifat sel-sel normal menjadi sel ganas yang

menyebabkan kanker. Selain itu, kanker mulut dan bibir juga dapat

disebabkan oleh panas dari asap. Sedangkan untuk kanker

kerongkongan didapatkan data bahwa pada perokok kemungkinan

terjadinya kanker kerongkongan dan usus adalah 5-10 kali lebih

banyak dari pada bukan perokok.

f. Merusak Otak dan Indra

Sama halnya dengan jantung, dampak rokok terhadap otak

juga disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah otak yang di

karenakan efek nikotin terhadap pembuluh darah dan suplai oksigen

yang menurun terhadap organ, termasuk otak dan organ tubuh

lainnya. Sehingga, sebetulnya nikotin ini dapat mengganggu seluruh

sistem tubuh.

Page 44: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

44

g. Mengancam Kehamilan

Hal ini terutama ditujukan kepada wanita perokok. Banyak hasil

penelitian yang mengungkapkan bahwa wanita hamil yang merokok

memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah,

kecacatan, keguguran, bahkan bayi meninggal saat dilahirkan.

h. Penyakit Stroke

Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak

atau stroke sering kali di kaitkan dengan merokok. Risiko stroke

dan kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan

bukan perokok.

Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan

Inggris, diketahui bahwa kebiasaan merokok memperbesar

kemungkinan timbulnya AIDS pada pengidap HIV Pada kelompok

perokok, AIDS rata-rata timbul dalam 8,17 bulan, sedangkan pada

kelompok bukan perokok muncul setelah 14,5 bulan.

Penurunan kekebalan tubuh pada perokok menjadi pencetus

lebih mudahnya terkena AIDS, sehingga berhenti merokok penting

sekali dalam langkah pertahanan melawan AIDS.

i. Merontokkan Rambut

Merokok dapat menurunkan sistem kekebalan sehingga

perokok lebih mudah terserang penyakit, seperti lupus erimatosis

yang bisa menyebabkan kerontokan rambut, ulserasi/bisul,

sariawan di mulut, serta ruam di wajah, kepala, dan tangan.

Page 45: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

45

j. Katarak

Perokok mempunyai risiko 50% lebih tinggi terkena katarak

(buramnya lensa mata yang menghalangi masuknya cahaya),

bahkan menyebabkan kebutaan. Semburan zat kimia beracun dari

asap rokok mengiritasi mata atau menghambat aliran oksigen

dalam darah ke otak.

k. Keriput

Asap rokok membakar protein dan vitamin A yang

memelihara elastisitas kulit, menurunkan kelancaran aliran darah.

Kulit perokok terutama di sekitar bibir dan mata, menjadi kering

kasar, dan bergaris-garis.

l. Merusak Pendengaran

Rokok menyebabkan plak pada pembuluh darah sehingga

mengganggu aliran oksigen dalam darah yang menuju telinga

dalam. Perokok dapat kehilangan kemampuan pendengaran lebih

dini, serta lebih mudah terkena infeksi telinga tengah yang diikuti

komplikasi, seperti meningitis dan kelumpuhan otot wajah.

m. Merusak Gigi

Zat-zat kimia beracun dan asap rokok menimbulk an plak

yang aktif berkontribusi merusak gigi. Perokok 1,5 kali lebih mudah

kehilangan gigi.

n. Emfisema

Page 46: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

46

Pecahnya kantong pernapasan bisa mengurangi kapasitas

paru-paru dalam menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon

dioksida. Pada kondisi ekstrem, penderita emfisema memerlukan

operasi trakheostomi (pemasangan pipa terbuka pada trakea untuk

membantu masuknya udara ke dalam pam-pam) agar tetap

bernapas.

o. Osteoporosis

Karbon monoksida (zat kimia utama yang keluar dari knalpot

kendaraan bermotor dan asap rokok) mempunyai daya ikat lebih

besar terhadap sel darah merah ketimbang oksigen, serta

mengurangi daya angkut oksigen darah pada perokok sebanyak 15

%. Akibatnya, densitas tulang para perokok pun menurun sehingga

mudah retak dan membutuhkan waktu 80% lebih lama untuk

sembuh. Perokok juga lebih mungkin menderita sakit tulang

belakang.

p. Tukak Lambung

Merokok dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap

bakteri penyebab tukak lambung sekaligus merusak kemampuan

lambung menetralisir asam sehabis makan. Tukak perokok lebih

susah diobati dan lebih mudah kambuh.

q. Kanker Rahim dan Keguguran

Merokok bisa meningkatkan risiko kanker leher rahim

(serviks) dan kanker rahim, serta merusak kesuburan wanita dan

Page 47: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

47

menyebabkan komplikasi kehamilan. Merokok selama kehamilan

mempertinggi risiko berat badan bayi rendah, yang menyebabkan si

kecil rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan. Keguguran

didapati dua sampai tiga kali lebih sering pada perokok

r. Kelainan Sperma

Berbagai racun rokok dapat merusak DNA dan mengubah

bentuk sperma, yang akhirnya menyebabkan keguguran atau

kelahiran cacat. Merokok juga bisa mengurangi kesuburan pria,

serta mengurangi aliran darah ke zakar, yang menyebabkan

impotensi.

s. Penyakit Burger

Penyakit itu juga disebut thromboangitis obliterans (suatu

peradangan pembuluh nadi dan pembuluh balik, serta saraf pada

kaki), yang secara keseluruhan mengurangi aliran darah. ]ika tidak

ditangani, penyakit burger dapat menyebabkan gangrene (pem-

busukan) jaringan tubuh, yang hanya dapat dihentikan

penyebarannya dengan amputasi.

t. Memperlambat Pertumbuhan Anak

Berdasarkan fakta-fakta ilmiah sejak tahun 1986, Amerika

Serikat menyimpulkan bahwa asap rokok yang dihasilkan secara

langsung dari pembakaran rokok maupun hembusan perokok dapat

memperlambat pertumbuhan dan fungsi paru-paru pada masa

Page 48: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

48

kanak-kanak, serta meningkatkan risiko Penyakit saluran

pernapasan

Soerojo,anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

(IAKMI) membenarkan bahaya merokok pada usia dini. Paparan

asap rokok orang lain (aro) mem perburuk asma yang sudah ada

sebelumnya dan menyebabkan gejala asma kasus baru pada anak-

anak dan orang dewasa. Bahkan, hasil penelitian lainnya yang

dilakukan oleh California Environmental Protection Agency

mengenai konsekuensi kesehatan asap rokok menemukan bahwa

asap rokok dapat mengakibatkan penyakit telinga bagian tengah,

yaitu penyakit yang biasa diderita pada masa kanak-kanak. Apabila

tidak diobati maka akan menyebabkan tuli.

B. Tinjauan Umum Tentang Kepatuhan

1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran

klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan dkk, 1997). Menurut

Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional

kesehatan.( Syakira, 2009)

Menurut Niven,2002 Kepatuhan adalah sikap atau ketaatan.

Kepatuhan di mulai mula-mula individu mematuhi anjuran petugas

kesehatan tanpa relaan untuk melakukan tindakan (Syakira , 2002).

Page 49: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

49

Definisi kepatuhan dalam penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk

melaksanakan aturan dalam pelaksanaan kawasan tanpa asap rokok.

Kepatuhan menurut Sackett pada pasien sebagai “Sejauh mana

perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

profesional kesehatan”(Afnita, 2004).

Taylor (1991) seperti yang dikutip Bart (1994) mengatakan

ketidakpatuhan sebagai suatu masalah medis yang berat. Derajat

ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah pengobatan tersebut

kuratif atau preventif, jangka panjang atau jangka pendek. Sackeet

dan Snow (1976) menemukan bahwa kepatuhan terhadap sepuluh

hari jadwal pengobatan sejumlah 70-80% dengan tujuan pengobatan

adalah mengobati, dan 60-70% dengan tujuan pengobatannya adalah

pencegahan. Kegagalan untuk mengikuti program pengobatan jangka

panjang, yang bukan dalam kondisi akut, dimana derajat

ketidakpatuhannya rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah

buruk sesuai waktu (Niven, 2002).

Menurut Dinicola dan Dimatteo (1984) yang dikutip Niven

(2002) cara meningkatkan kepatuhan diantaranya melalui perilaku

sehat dan pengontrolan perilaku dengan faktor kognitif, dukungan

sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang

lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor yang penting dalam

Page 50: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

50

kepatuhan dalam program-program medis, dan dukungan dari

profesional kesehatan.

2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

a. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah

merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan

teori yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah

yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperolah baik dari

pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bart (1994) dapat

dikatakan bahwa perilaku yang dilakukan atas dasar pengetahuan

akan lebih bertahan dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Jadi pengetahuan sangat dibutuhkan agar

masyarakat dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan

suatu tindakan sehingga perilaku masyarakat dapat lebih mudah

untuk diubah kearah yang lebih baik.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan

wawancara yang menanyakan sesuatu yang ingin diukur tentang

pengetahuan dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003).

Page 51: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

51

Untuk mengukur pengetahuan ibu hamil tentang zat besi

maka perlu diketahui pengertiannya tentang kehamilan, manfaat

dari sumber zat besi, akibat kekurangan zat besi, suplementasi zat

besi serta cara mengkonsumsinya

b. Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih

tertutup terhadap suatu stimulus atau objek Notoatmodjo (2003).

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah

tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang

diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat langsung dilihat secara nyata,

tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup. Sikap

belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, tetapi merupakan

predisposisi tindakan. Allport (1954), seperti yang dikutip dari

Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap terdiri atas 3

komponen pokok yaitu:

1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek

2) Kehidupan emosional atau eveluasi emosional terhadap suatu

objek

3) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang

utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini

pengetahuan berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan

penting.

Page 52: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

52

Decision theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994),

mengganggap bahwa seorang pasien yang menggambil

keputusan. Hal ini juga tercermin dalam conflict theory dari Janis

dan Mann (1997) yang dikutip dari Bart (1994), bahwa pasien yang

harus memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan

medis dan oleh petugas kesehatan memberi tahu mengenai

prosedur, risiko dan efektifitas obat agar mereka bisa mengambil

keputusan yang tepat

c. Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap

menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon

seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka

(Notoatmodjo, 2003).

Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam

bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga

over behavior.

Empat tingkatan tindakan adalah:

1) Persepsi (Perception)

Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang diambil.

2) Respon Terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

Page 53: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

53

3) Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

4) Adaptasi (Adaptation)

Adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan

menjadi empat bagian menurut Niven (2002) antara lain :

a. Pemahaman tentang intruksi , tidak seorangpun dapat mematuhi

intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan

kepadanya

b. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profesional kesehatan

dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan

derajat kepatuhan.

c. Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang

sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai

kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program

pengobatan yang dapat mereka terima.

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian. Becker et al (1979) dalam Niven

(2002) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan

kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan

Page 54: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

54

4. Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut

Suddart dan Brunner (2002) adalah:

a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status

sosial ekonomi dan pendidikan.

b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala

akibat terapi.

c. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.

d. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga

kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya

yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas juga

ditemukan oleh Bart Smet dalam psikologi kesehatan.

5. Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk

meningkatkan kepatuhan adalah :

a. Dukungan profesional kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk

meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal

dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.

Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang

Page 55: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

55

baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat

dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

b. Dukungan sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional

kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk

menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan

dapat dikurangi.

c. Perilaku sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk perokok dan

bukan perokok diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk

berhenti merokok dan menghindari rokok agar tidak menimbulkan

penyakit Modifikasi gaya hidup sangat diperlukan dalam hal ini

upaya dalam penerepan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

d. Pemberian informasi

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga

mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.

Dalam masalah penerapan kawasan bebas asap rokok dalam

pemberian informasi dari berbagai pihak utamanya dari

pemerintah dan petugas kesehatan atau keluarga sendiri untuk

lebih mematuhi aturan yang telah ditetapkan.

Page 56: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

56

C. Tinjuan Umum tentang Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

1. Analisis Permasalahan

a. Laporan Mengenai Dampak Konsumsi Tembakau di Dunia

Kematian akibat tembakau diseluruh dunia amat mengejutkan.

WHO dalam buku panduannya strategi pengendalian bahaya

tembakau MPOWER menjelaskan bahwa terdapat 1 kematian tiap

6 detik, 5,4 juta jiwa pada tahun 2005, 100 juta selama abad ke-20

jika dibiarkan 8 juta jiwa pada tahun 2030 dan 1 Milyar jiwa selama

abad ke-21 . Untuk mengatasi epidemi tembakau, organisasi

kesehatan sedunia (WHO) mengajak Negara anggotannya untuk

menerapkan strategi MPOWER .

Strategi MPOWER terdiri atas 6 upaya pengendalian

tembakau yang meliputi :

1) Monitor prevalensi penggunaan tembakau dan pencegahannya,

2) Perlindungan terhadap asap tembakau.

3) Optimalisasi dukungan untuk berhenti merokok

4) Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau

5) Eliminasi iklan, Promosi dan sponsor tembakau,

6) Raih kenaikan cukai tembakau

b. Upaya Pengendalian Bahaya Tembakau di Indonesia

Indonesia sampai saat ini merupakan satu-satunya negara di

asia fasifik yang belum menandatangani Framework Convention

Tobacco Control (FCTC) sebuah traktat internasional yang

Page 57: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

57

didalamnya terdapat upaya pengendalian bahaya tembakau.

Walaupun pemerintah Indonesia berperan aktif dalam forum

internasional inter Govermental Negotiating Body di Geneva namun

Indonesia mengingkari komitmennya dengan tidak meratifikasi

FCTC .

Pengendalian bahaya tembakau memiliki prioritas rendah

dalam agenda kesehatan masyarakat Indonesia . Indonesia telah

menyiapkan dua RUU pada tahun 2003 yaitu RUU Aksesi FCTC

yang disusun oleh departemen kesehatan dan RUU “ Pengendalian

Dampak Produk tembakau bagi Kesehatan” memalui hak inisiatif

anggota dewan yang disiapkan atas prakarsa IFPPD (Forum

Parlemen Untuk Kependudukan dan Pembangunan) bekerjasama

dengan tim penyusun undang-undang DPR-RI . Dari hasil

pemantauan aktivitas industri rokok di Indonesia periode Januari –

Oktober 2007 yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan

Anak.

Industri rokok menggunakan semua jenis iklan langsung

untuk mengiklankan produknya dengan memanfaatkan beragam

media baik luar ruang maupun media cetak dan elektronik . Semua

PP yang pernah ada membolehkan iklan di media cetak maupun

media luar ruangan, sementara PP 19/2003 mengizinkan

penayangan iklan rokok di media elektronik dari jam 21.30-05.00

WIB . Batasan ini terbukti tidak efektif dalam membatasi periklanan

Page 58: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

58

rokok di Indonesia, justru hanya membuat iklan rokok semakin

kreatif. PP 19/2003 melarang orang merokok di tempat umum,

tempat kerja, sarana pendidikan, sarana kesehatan, tempat ibadah,

tempat bermain anak dan kendaraan umum . Daerah yang telah

mengeluarkan peraturan kawasan tanpa rokok adalah pemerintah

daerah kota Bogor, kota Cirebon dan kota Palembang

Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Perda No.2 Tahun

2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan menyelipkan

satu pasal yaitu pasal 13 yang mengatur kawasan tanpa rokok

Namun demikian, masih dibutuhkan waktu cukup panjang dan

kesungguhan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan terhadap

kepatuhannya.

FCTC mensyaratkan peringatan kesehatan menempati 30-

50% dari permukaan lebar bungkus rokok, pesan tunggal dan

berganti-ganti, dapat berbentuk gambar . Sedangkan, PP 19/2003

menyebutkan bahwa setiap bungkus rokok harus mencantumkan

peringatan kesehatan tunggal dan tidak berganti-ganti yang

bunyinya”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,

impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”; dan setiap iklan

rokok harus mengalokasikan minimal 15 % dari luasnya untuk

peringatan kesehatan yang sama.

Konsep penurunan kadar tar dan nikotin telah dimasukkan

dalam dokumen roadmap industri rokok periode 2015-2020 dalam

Page 59: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

59

rangka kepedulian terhadap aspek kesehatan, setelah produksi

rokok ditargetkan naik dan 220 milyar tahun 2005 menjadi 260

milyar tahun 2015. PP 19/2003 tidak melarang pesan yang

menyesatkan seperti “mild” dan “light” akan tetapi selangkah lebih

maju dari PP-PP sebelumnya yang menetapkan batas kadar dan

nikotin yang diterima. Kadar tar dan nikotin rendah tidak menjamin

berkurangnya bahaya tembakau karena rokok adalah adiktif.

2. Siklus Kebijakan Publik Berbasis Evidens Epidemilogi

a. Epidemiologi dan Kebijakan Kesehatan

Epidemiologi merupakan salah satu bagian dari ilmu

kesehatan masyarakat. Di ranah pemahaman, epidemiologi

merupakan disiplin ilmu(Klainbaum, et al, 1982; Friedman,

1994)(19). Atau metode ilmiah (Kelsey, et al, 1996; Timreck 1994)

Epidemiologi adalah ilmu empiris yang menangkap fenomena status

dan proses kejadian penyakit/masalah kesehatan di dalam populasi

manusia (Friss & Seller, 2003). Di dalam epidemiologi komponen

pemahaman bermula dari pengamatan populasi dan berakhir pada

penarikan kesimpulan tentang etiologi, proses kejadian dan riwayat

alami berbagai masalah kesehatan masyarakat.( Puja,2011)

Komponen aksi bermula dari penggunan evidens

epidemiologi dalam proses pembuatan kebijakan dan berakhir pada

evaluasi dampak kebijakan pada kesehatan masyarakat(Klainbaum,

et al, 1982) . Sebagai Ilmu empiris, epidemiologi melakukan

Page 60: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

60

konfirmasi kebenaran teori berdasarkan fakta-fakta yang dapat

ditangkap secara indrawi Di ranah terapan, epidemiologi

mempunyai kaidah axiologis atau kegunaan. (Puja,2011)

Berbagai fenomena kesehatan populasi yang ditangkap

secara sistematis, rasional dan objektif tertentu, dijadikan landasan

konsepsional bagi upaya pencegahan dan pengendalian (Gersman,

2003). Selama lebih dari satu abad, epidemiologi telah

memperlihatkan komitmen dan kontribusi yang besar terhadap

upaya pencegahan dan pengendalian berbagai masalah kesehatan

yang dihadapi umat manusia (Gordis, 1996) Di ranah nilai, perhatian

utama epidemiologi yang tertuju pada kesehatan umat manusia

mengepresikan kaidah norma yang universal (Greenwood, 1935

dikutip dari Gordis, 1996).

Pembuat kebijakan memerlukan informasi tentang apa yang

sedang terjadi, apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang

jika intervensi tidak dilakukan, dan seperti apa yang akan terjadi bila

intervensi dilaksanakan. Ini meliputi informasi terhadap determinan

dan kecenderungan dalam kesehatan, dan implikasi perubahannya.

Penyusunan informasi dalam hal ini membutuhkan kontribusi dari

berbagai disiplin ilmu sosial, misalnya demografi, geografi dan

ekonomi, juga biologi, ilmu medik, khususnya epidemiologi

(Amiruddin, 2011).

Page 61: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

61

Kontribusi Epidemiologi terhadap kebijakan kesehatan

Pada analisis ini diusahakan untuk menggambarkan

bagaimana epidemiologi dapat berkontribusi untuk proses

kebijakan dan kemudian menjadi “Evidence-based policy

Making” (Muir Grahy, 1997). Banyak faktot yang mempengaruhi

kebijakan, dan bisa menjadi sulit ditemukan misalnya kebijakan

dipengaruhi oleh hasil penelitian.

Holland dan Wainwright (1979) memberi contoh kasus

dimana epidemiologi mempengaruhi kebijakan kesehatan.

contoh lain sistim karantina untuk mencegah penularan

penyakit. Ahli epidemiologi sebaiknya mengenal sistim

kebijakan dan model “place” di adaptasi kedalam model

kebijakan tersebut. Tidak ada gunanya membuat rencana yang

besar jika sistem tidak mengakomodasi terhadap orang yang

keliru. Apa kontribusi sebenarnya dari epidemiologi? Empat hal

utama yang menjadi fokus, yaitu : fokus populasi, kesehatan

dan pencegahan, pelayanan kesehatan dan informasi

kesehatan (Amiruddin, 2011)

b. Epidemiologi dan Siklus Kebijakan Publik

1. Assessment of Population Health

Ahli epidemiologi dapat berkontribusi terhadap konseptual

dan pengukuran kesehatan, menggunakan keahliannya dalam

mengolah data kesehatan populasi. Lebih khusus lagi, mereka

Page 62: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

62

dapat menilai kebutuhan kesehatan dan risiko-risikony,

menentukan dampak masalah kesehatan terhadap masyarakat,

dan menilai inequalitas dalam kesehatan. Hampir semua riset

epidemilogi terkait dengan determinan penyebab sehat masalah

dan masalah kesehatan

2. Assessement of potential interventions

Ahli epidemilogi dapat mengevaluasi dan menyusun fakta

berdasarkan efikasi intervensi yang potensial dan menilai

efektifitasnya.

3. Policy choices

Ahli epidemiologi dapat memberi saran terhadap pencegahan

penyakit, model dampak dari variasi intervensi terhadap

kesehatan populasi secara keseluruhan, dan memberikan dasar

tujuan dalam memilih prioritas di antara banyak pilihan.

4. Policy Implementation

Ahli epidemiologi dalam berkontribusi dalam menyusun tujuan

dan objektive yang berarti, menyediakan dasar-dasar rasional

untuk alokasi resource, dan memberi saran terhadap data yang

dibutuhkan untuk mendukung evaluasi kebijakan.

5. Policy Evaluation

Ahli epidemiologi dapat membantu mengembangkan desain riset

yang valid dan reliable, dan dapat melaksanakan surveilans

masalah kesehatan dan pelayanan kesehatan, mendeteksi

Page 63: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

63

kejadian yang tidak biasa dan mengevaluasi variasi wilayah

dalam pelayanan kesehatan (Amiruddin, 2011)

Kebijakan adalah seperangkat panduan yang diperlukan untuk

mengambil keputusan (Spassof, 1999) Kebijakan berperan

mengintegrasikan, memfokuskan dan mengefektifkan upaya

organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berbagai

model siklus kebijakan tersedia dalam jenis dan jumlah langkah

yang bervariasi.

Walt mengajukan empat langkah kebijakan yang terdiri dari:

1. Identifikasi masalah dan pemahaman isu,

2. Perumusan

3. Implementasi

4. Evaluasi kebijakan (Walt, 1944:45) .

Selain didasarkan pada nilai, ideologi dan tekanan politik,

rumusan kebijakan kesehatan juga didasarkan pada evidens.

(Puja,2011), Secara ideal, reformasi data dasar mengandung makna

bahwa seluruh tahapan siklus pembuatan kebijakan dilakukan

berbasis evidens, kebijakan akan melenceng dari yang semestinya

akibat definisi masalah yang kabur; batas kebijakan yang tidak jelas

dan upaya intervensi alternative yang tidak lengkap (Spasoff, 2003)

Kebijakan) adalah seperangkat panduan pengambilan

keputusan. Walt (1994.42-3) membedakan antara systemic (macro)

policy, yang ditentukan dari karaktersitik dasar sebuah populasi, dan

Page 64: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

64

sectoral (micro) policy, yang berfokus pada level keputusan yang

lebih rendah. Penyediaan kebijakan merupakan kerangka kerja

yang diusulkan yang dapat di uji dan diukur kemajuannya.

Kebijakan yang dibutuhkan dari sebuah organisasi harus

konsistent dengan kebijakan yang lain, atau mempunyai tujuan yang

sama. Tanpa hal itu kegitan organisasi akan menjadi tidak terfokus,

terpecah-pecah dan organisasi menjadi tidak efektif. Semua

kebijakan sebuah organisasi meskipun tidak tertulis. Idealnya

kebijakan itu berisi definisi yang jelas terhadap masalah yang akan

diselesaikan , pernyataan tujuan (pendekatan dan kegiatannya)

terhadap tujuan tujuan yang akan dicapai (Pal, 1992).

Pembuatan kebijakan termasuk penerapannya, dan

kebijakan biasanya tidak dapat dipertimbangkan untuk bertahan

sampai benar benar nyata telah dilaksanakan (Amiruddin, 2008).

Kebijakan publik merujuk pada kebijakan kebijakan

pemerintah. Perpustakaan Nasional USA Medical Science Heading

mendefinisikan kebijakan publik sebagai ”a course or method of

action selected, usually by government, from among altenatives to

guide and determine present and future decisions”. (MeSH). Tetapi

kebijakan bias juga buykan dalam bentuk tindakan, seperti “ a

course of action or inaction chosen by public authorities to address a

given problem or interrelated set of problems” (Pal, 1992). Karena

tindakan dan bukan tindakan adalah “pilihan” pengambil kebijakan

Page 65: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

65

harus terlibat secara sadar dalam mengambil keputusan (Amiruddin,

2008)

3. Dampak dari Tembakau (rokok) dan Potensi Petaka Kesehatan

Masyarakat di Indonesia

a. Dampak Konsumsi Tembakau Terhadap Kesehatan Masyarakat

Berbagai data dan fakta menjelaskan bahwa dampak dari

tembakau khususnya rokok sangat merugikan bagi kesehatan tubuh

manusia, karena dapat menimbulkan penyakit seperti kanker paru,

jantung dan berbagai penyakit berbahaya lainnya. Seperti perkiraan

global, penyebab kematian di Indonesia yang terkait konsumsi

tembakau adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit

pernapasan khususnya chronic obstructive pulmonary (penyakit

paru obstruktif kronik) .

Ketergantungan terhadap rokok disinyalir disebabkan oleh

zat adiksi (nikotin) yang terkandung pada asap yang keluar saat

rokok saat dibakar atau dikonsumsi. Menghisap asap tembakau

mengantarkan nikotin dalam jumlah yang besar kedalam otak

secara cepat Bukti-bukti dari penelitian yang dilakukan selama 10

tahun terakhir menunjukan bahwa lebih dari 50 persen perokok

meninggal akibat kecanduan. Rokok diperkirakan menyebabkan

kematian 427.948 orang/tahun pada tahun 2001 atau sekitar 1.172

orang/hari. Separuh kematian akibat rokok berada pada usia

produktif

Page 66: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

66

b. Dampak Tembakau Terhadap Ekonomi Masyarakat dan

Negara

Abdilah Ahsan dalam bukunya ekonomi tembakau di

Indonesia menjelaskan bahwa ada hubungan antara kesehatan dan

produktivitas ekonomi, hal tersebut berdasarkan teori yang

menyatakan bahwa kesehatan merupakan bentuk modal

sumberdaya manusia . Bloom dan Canning menjelaskan empat cara

kesehatan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi .

Individu yang sehat secara fisik maupun kognitif, yang

berdampak pada kemampuan bekerja dengan jam kerja yang lebih

panjang, lebih sedikitnya hari-hari absen dari pekerjaan karena

sakit, dan produktivitas yang tinggi baik ditempat kerja maupun

sekolah. Kedua, individu yang sehat memiliki umur harapan hidup

yang lebih lama. Hal ini memberi insentif bagi investasi dibidang

kesehatan, pendidikan, dan bentuk modal manusia lainnya. Ketiga,

usia hidup yang panjang mengarah pada tingkat tabungan pensiun

yang semakin membesar selama masa kerja. Investor asing akan

tertarik pada perekonomian yang memiliki tenaga yang sehat.

Keempat, penduduk yang lebih sehat berdampak pada penurunan

jumlah anak yang diinginkan karena mortalitas rendah. Perubahan

dari tingkat mortalitas dan fertilitas yang tinggi ketingkat yang

rendah mengakibatkan meningkatnya proporsi penduduk usia

kerja-sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi..

Page 67: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

67

Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari

rumah tangga dengan perokok adalah 11, 5 persen ; angka ini lebih

besar dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur, susu (11

persen); 2,3 persen untuk pembiayaan kesehatan, dan 3,2 persen

untuk biaya pendidikan.” (Ahsan, 2008) Biaya akibat konsumsi

tembakau tahun 2001 diperkirakan sebesar Rp. 127,7 triliun

meliputi biaya langsung yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk

membeli rokok dan biaya pengobatan dan biaya tidak langsung

akibat hilangnya produktivitas karena kematian, sakit dan

kecacatan.

Jumlah ini adalah 7 kali lipat penerimaan cukai tahun yang

sama yang besarnya Rp 16,5 Triliun. Pada tahun 2005, jumlah

kematian dari 3 kelompok penyakit utama:kanker, penyakit jantung

pembuluh darah dan penyakit pernapasan kronik obstruktif

diperkirakan sebesar 400.000 orang dan menyebabkan kerugian

total sebanyak Rp. 167 Triliun yang berasal dari biaya langsung

dan tidak langsung 5 kali lipat pendapatan pemerintah dan cukai

tembakau tahun yang sama sebesar Rp. 37 triliun

D. Tinjauan Umum Tentang Kawasan Bebas Asap Rokok

1. Peraturan tentang Rokok

Untuk melindungi generasi muda Indonesia di masa sekarang

dan mendatang dari bahaya rokok, pemerintah sedang

mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang

Page 68: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

68

Pengesahan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Tujuan

FCTC adalah melindungi generasi sekarang dan mendatang

terhadap kerusakan kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan,

dan ekonomi karena konsumsi tembakau dan paparan asap

tembakau. FCTC telah disepakati secara aklamasi dalam Sidang

Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly-WHA) pada bulan Mei

2003. FCTC dinyatakan efektif apabila telah ada minimal 40 negara

yang meratifikasinya. (Lisa Ellizabet Aula, 2010)

FCTC adalah konvensi atau treaty, yaitu bentuk hukum internasional

dalam mengendalikan masalah tembakau/rokok yang mempunyai

kekuatan mengikat secara hukum bagi negara-negara yang merati-

fikasinya. Kelima langkah yang harus dilalui sampai FCTC menjadi

perangkat hukum internasional adalah sebagai berikut:

a. Adopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembl.r-WHA)

pada bulan Mei 2003.

b. Penandatanganan FCTC, yang dimulai pada 16 Juni 2003 sampai

29 Juni 2004. Pada akhir Februari 2004, 95 negara, termasuk

European Community, telah menandatangani FCTe.

c. Setelah batas akhir penandatanganan, negara yang belum

menandatangani FCTC masih bisa mengikat diri pada perjanjian

tersebut melalui prosedur accession/aksesi atau pengesahan tanpa

harus didahului dengan penandatanganan. Negara yang

melakukan aksesi/pengesahan harus segera melaksanakannya.

Page 69: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

69

d. Protokol merupakan pengaturan kewajiban khusus untuk

melaksanakan tujuan konvensi.

e. Sembilan puluh hari setelah FCTC diratifikasi oleh sedikitnya empat

puluh negara, maka ia menjadi hukum internasional.

Dengan mengaksesi/pengesahan FCTC, kelak Indonesia terikat

pada perjanjian internasional dan diberikan tenggang waktu lima tahun

setelah konvensi berlaku bagi negara bersangkutan agar negara

tersebut melakukan upaya legislatif, eksekutif, administratif, atau upaya

lainnya yang efektif. Hingga kini, Indonesia merupakan satu-satunya

negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework

Convention TObacco Control (FCTC), sebuah traktat internasional yang di

dalamnya terdapat upaya pengendalian bahaya tembakau. Walaupun

Pemerintah Indonesia berperan aktif dalam Forum Internasional

Governmental Negotiating Body di Geneva, namun Indonesia

mengingkari komitmennya dengan tidak meratifikasi FCTC

Pengendalian bahaya tembakau memiliki prioritas rendah dalam

agenda kesehatan masyarakat Indonesia.

Pada dasarnya, aturan yang sudah ada di Indonesia adalah

sebagai berikut:

a. PP No. 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi

Kesehatan, yakni peraturan perundang-undangan untuk membantu

pelaksanaan upaya pengendalian tembakau. Pasal di dalamnya

mengatur iklan rokok, peringatan kesehatan, pembatasan kadar tar

Page 70: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

70

dan nikotin, penyampaian kepada masyarakat tentang isi produk

tembakau, sanksi dan hukuman, pengaturan otoritas, serta peran

masyarakat terhadap kawasan bebas asap rokok.

b. PP No. 38 Tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok bagi

Kesehatan merupakan revisi dari PP No. 81 Tahun 1999, yang

berkaitan dengan iklan rokok dan memperpanjang batas waktu

bagi industri rokok untuk mengikuti peraturan baru ini menjadi 5-

7 tahun setelah dinyatakan berlaku, yang tergantung jenis

industrinya.

c. PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi

Kesehatan merupakan Peraturan Pemerintah pengganti PP No.

81 Tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2000, yang mencakup

aspek yang berkaitan dengan ukuran dan jenis peringatan

kesehatan, pembatasan waktu bagi iklan rokok di media

elektronik, serta pengujian kadar tar dan nikotin

Adapun Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok

Bagi Kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain :

a. Melindungi kesehatan dari bahaya akibat merokok.

b. Membudayakan hidup sehat

c. Menekan perokok pemula.

d. Melindungi kesehatan perokok pasif.

Selain itu, ada juga peraturan terkait larangan merokok,

yakni Perda No. 75·Tahun 2005. Perda tersebut merupakan

Page 71: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

71

larangan merokok di wilayah DKI Jakarta. Sebenarnya, hal itu tidak

hanya ada di Jakarta, karena di berbagai daerah lainnya pun

memiliki peraturan yang sama. Hanya saja, publikasinya belum

terdengar secara luas.

Meskipun tingkatannya adalah provinsi, Perda No. 75 tahun

2005 cukup banyak dikenal oleh publik. Dalam Perda ini juga

dijelaskan mengenai pengendalian asap rokok dalam kawasan

dilarang merokok. Kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau

area yang dinyatakan dilarang untuk merokok. Berdasarkan Perda

No. 75 Tahun 2005, ada tujuh tempat yang dilarang merokok.

2. Kawasan bebas asap rokok

Pemerintah membuat peraturan yang melindungi masyrakat

terutama anak-anak dari paparan Asap Rokok Orang Lain (AROL) yang

mematikan, karena mengandung 4000 bahan kimia berbahaya yang 69

diantaranya menyebabkan kanker, penyakit jantung, sindorma

kematian mendadak pada bayi (SIDS) dan penyakit paru dengan

menerapkan kawasan tanpa rokok. Dalam Undang-Undang kesehatan

No.36 tahun 2009 pasal 115 menyatakan bahwa yang termasuk

kawasan bebas asap rokok antara lain fasilitas pelayanan kesehatan,

tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,

angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain

yang ditetapkan. (Tobacco Control Support Center IAKMI, 2009)

Page 72: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

72

Beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan

kawasan bebas asap rokok seperti

a) DKI Jakarta

PERDA No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran

Udara untuk udara luar ruangan PERGUB No. 75 tahun 2005

tentang kawasan Dilarang merokok

b) Kota Bogor

PERDA No. 8 tahun 2006 tentang Ketertiban Umum (pasal 14-16

yang mengatur tertib KTR)

c) Kota Cirebon

Surat Keputusan Walikota No. 27 A/2006 tentang Perlindungan

Masyarakat bukan perokok di Kota Cirebon

d) Kota Surabaya

PERDA No.5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan

Kawasan Terbatas Merokok PERWALI Surabaya No. 25 tahun

2009 tentang pelaksanaan Perda Kota Surabaya.

e) Kota Palembang

PERDA No. 7 tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok

f) Kota Padang Panjang

PERDA No.8 tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan

Kawasan Tertib Rokok PERWALI No.10 tahun 2009 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Padang Panjang No.

8 Tahun 2009.

Page 73: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

73

a. Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia

Sejak tahun 1999, melalui PP 19/2003 tentang Pengamanan

Rokok Bagi Kesehatan, Indoneia telah memiliki peraturan untuk

melarang orang merokok di tempat-tempat yang ditetapkan.

Peraturan Pemerintah tersebut, memasukkan peraturan kawasan

tanpa rokok pada bagian enam pasal 22-25. Pasal 25 memberikan

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mewujudkan

kawasan tanpa rokok. Namun peraturan tersebut belum

menerapkan 100 % kawasan bebas asap rokok karena masih

dibolehkan membuat ruangan khusus untuk merokok dengan

ventilasi udara di tempat umum dan tempat kerja. Dengan adanya

ruang untuk merokok kebijakan kawasan tanpa rokok nyaris tanpa

resistensi. Pada kenyataannya, ruang merokok dan ventilasi udara

kecuali mahal, kedua hal tersebut secara ilmiah terbukti tidak efektif

untuk melindungi perokok pasif, di samping rawan manipulasi

dengan dalih hak asasi bagi perokok.

Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, juga

mencantumkan peraturan kawasan tanpa rokok pada bagian

ketujuh belas, pengamanan zat adiktif, pasal 115. Menindaklanjuti

pasal 25 PP 19/2003, beberapa pemerintah daerah telah

mengelaurkan kebijakan kawasan tanpa rokok.

1. DKI Jakarta

Page 74: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

74

DKI Jakarta tidak mempunyai peraturan daerah kawasan tanpa

rokok secara ekslusif. Perturan kawasan dilarang merokok

hanya tercantum dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 2

Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara untuk

udara luar ruangan. Yang ada hanya peraturan Gubernur

(PerGub) nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan dilarang

merokok. DKI Jakarta belum menerapkan kawasan 100 %

kawasan tanpa rokok karena dalam peraturan tersebut masih

menyediakan ruangan untuk meroko.

2. Kota Bogor

Kota Bogor belum menerbitkan peraturan kawasan Tanpa

Rokok secara eksklusif. Pengaturan tertib kawasan tanpa rokok

tertuang dalam Peraturan Daerah No 8 tahun 2006 tentang

ketertiban umum, pasal 14-16. Kota Bogor juga belum

menerapkan 100% Kawasan Tanpa Rokok karena masih

mencantumkan ruang untuk merokok. Kota Bogor

merencanakan akan menyusun Perda Kawasan Tanpa Rokok

secara Ekslusif.

3. Kota Cirebon

Peraturan kawasan tanpa rokok di Kota Cirebon berbentuk

surat keputusan Walikota No 27A/2006 tentang perlindungan

terhadap masyrakat bukan perokok di Kota Cirebon. Kota

Cirebon merupakan kota pertama yang menerapkan 100 %

Page 75: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

75

kawasan tanpa rokok yaitu tidak menyediakan ruang untuk

merokok. Sayangnya peraturan tersebut belum berbentuk

Peraturan Daerah sehingga tidak ada sanksi dan tidak

mengikat masyarakat.

4. Kota Surabaya

Kota Surabaya merupakan kota pertama yang mempunyai

Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara ekskusif,

yaitu Peraturan Daerah Kota Surabaya No.5 tahun 2008

tentang Kawasan Tanpa Rokok dan kawasan terbatas

merokok. Perda ini membagi 2 kawasan yaitu Kawasan Tanpa

Rokok yang menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan

Terbatas Merokok yang menyediakan ruangan khusus untuk

merokok. Untuk melaksanakan Perda No 5 tahun 2008, Kota

Surabaya juga telah membuat peraturan Walikota Surabaya No

25 Tahun 2009 tentang pelaksanaan Perda Kota Surabaya No

5 tahun 2008 tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan

terbatas merokok. Kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas

merokok yang tercantum dalam Perda 5/ 2009 dirinci dan

dipertegas pada perwali tersebut.

5. Kota Palembang

Kota Palembang merupakan kota pertama di Indonesia yang

memilih Perda kawasan tanpa rokok secara ekslusif dan

menerapkan 100% kawasan tanpa rokok yaitu tanpa

Page 76: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

76

menyediakan ruang merokok. Peraturan Daerah No.07/2009

Tentang kawasan tanpa rokok kota Palembang merupakan

satu-satunya Perda Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia yang

sesuai dengan standar internsional yaitu 100 % Kawasan

Tanpa Rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.

6. Kota Padang Panjang

Kota Padang Panjang memiliki Peraturan Daerah Kota

Padang Panjang No 8 tahun 2009 tentang kawasan tanpa

rokok dan kawasan tertib rokok.Peraturan Daerah ini dirinci dan

dipertegas dengan Peraturan Walikota Padang Panjang No.10

tahun 2009 tentang Petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah

Kota Padang Panjang No. 8 tahun 2009 tentang kawasan tanpa

asap rokok dan kawasan tertib rokok. (Tobacco Control Support

Center IAKMI, 2009)

7. Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan

Kabupaten Enrekang tepatnya di Desa Bone-Bone merupakan

Desa pertama di Kabupaten Enrekang yang memiliki Peraturan

Desa Kawasan bebas asap rokok yang awalnya hanya

kesepakatan lisan antar sesama warga desa. Yang digagas

oleh kepala desa dan disampaikan kepada tokoh masyarakat

yang lain serta pemuka adat desa kesepakatan lisan itu

sangat ampuh dan sangat dihargai tokoh adat, pemuka

masyarakat, serta warga umum. Aturan bebas rokok itu di

Page 77: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

77

jalankan sejak tahun 2000. Pada tahun 2009 kawasan bebas

asap rokok itu lebih dipertegas dengan dikeluarkannya Perdes

No. 01 tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok. Desa

Bone-Bone merupakan satu-satunya Desa yang mengeluarkan

Perdes kawasan bebas asap rokok di Indonesia yang sesuai

dengan standar internsional yaitu 100 % kawasan bebas asap

rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.

b. Perlunya Kawasan Tanpa Rokok

Tidak ada batas aman terhadap asap rokok orang lain

sehingga sangat penting untuk menerapkan 100 % Kawasan

Tanpa Asap Rokok untuk dapat menyelamatkan kehidupan.

Menurut estimasi International Labor Organization (ILO) tahun 2005

tidak kurang dari 200.000 pekerja yang mati setiap tahun karena

paparan asap rokok orang lain di tempat kerja. Kematian karena

paparan asap rokok orang lain merupakan 1 dari 7 penyebab

kematian akibat kerja. 100 % kawasan yang bebas dari asap rokok

merupakan satu-satunya cara efektif dan murah untuk melindungi

masyarakat dari bahaya asap rokok orang lain. Menurut WHO Cost

Effectiveness akan naik apabila kawasan tanpa asap rokok akan

dilaksanakan secara komprehensif dengan strategi pengendalian

tembakau lainnya. (Tobacco Control Support Center IAKMI, 2009)

Page 78: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

78

c. Mitos dan fakta tentang kebijakan kawasan bebas asap rokok

Mitos yang berkembang di masyarakat yang justru merugikan

masyarakat sendiri, dan terus dihembus-hembuskan oleh industri

tembakau untuk menghalangi perlindungan kesehatan masyarakat.

Beberapa mitos yang sering dipergunakan adalah sebagai berikut :

1) Asap rokok orang lain tidak membahayakan kesehatan Industri

rokok sering melawan bukti ilmiah, yang menganggap asap

rokok orang lain sekedar gangguan, bukan masalah kesehatan.

Faktanya penelitian ilmiah sudah sangat jelas bahwa asap

rokok orang lain mematikan. Bukti ilmiah sudah terakumulasi

selama lebih dari 40 tahun

2) Tidak diperlukan Undang-Undang (PERDA). Kebijakan yang

bersifat sukarela sudah cukup. Industri tembakau menyukai

konsep kebijakan yang bersifat kesukarelaan tanpa sanksi

hukum dari pada undang-undang (PERDA) karena hal

tersebut bisa menjadi alasan tidak perlu tindakan hukum bagi

pelanggaran. Skema pilihan bebas yang mengakomodir

keinginan perokok dan bukan perokok dengan

mempertahankan “Smoking are” dan “non smoking area”

dalam ruang yang sama adalah konsep yang diinginkan

industri rokok.

3) Sistem ventilasi akan mengatasi masalah asap rokok orang

lain.

Page 79: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

79

Ruang merokok maupun sistem ventilasi tidak

memberikan perlindungan dari pajanan asap rokok orang lain.

Studi di Amerika menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat

asap tembakau di udara dan jumlah nikotin yang diserap

pekerja di ruang merokok dan tanpa asap rokok karena ruang

merokok tetap akan mengkontaminasi ruang tanpa asap

rokok. Sangat mustahil bahwa ruangan merokok tidak akan

dimasuki petugas kebersihan ataupun petugas keamanan,

dan ini akan menempatkan mereka pada risiko.

4) Undang-Undang (PERDA) kawasan tanpa rokok melanggar

hak asasi. Perokok harus di isinkan mengisap produk legal

dan perusahaan harus bisa menentukan akan menerapkan

kawasan tanpa rokok atau tidak

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 1

menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak asasi untuk

hidup sehat dan lingkungan sehat. Paparan asap rokok orang

lain melanggar hak asasi manusia. Hak bukan perokok untuk

mengisap udara bersih melebihi hak perokok untuk

mencemari udara yang akan dihisap orang lain. Kebijakan

kawasan tanpa rokok bukan tentang apakah orang merokok

tetapi dimana orang merokok. Mereka meninggalkan risiko

kesehatan bagi orang lain yang mengisap asap rokoknya.

Page 80: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

80

5) Undang-Undang (PERDA) lingkungan bebas asap rokok tidak

populer. Masyarakat pada umumnya tidak menginginkannya

tetapi yang terjadi sebaliknya. Kebijakan ini sangat populer di

banyak negara dan semakin banyak orang yang menyadari

mereka berhak dilindungi dari paparan asap rokok orang lain.

Kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini adalah tertinggi

ditempat dimana kesadaran akan bahaya kesehatan adalah

tinggi.

6) Undang-undang (PERDA) yang melarang orang merokok

pada waktu santai tidak bisa diterapkan. Bukti di negara-

negara di dunia menunjukkan bahwa perokok maupun pelaku

bisnis patuh pada Undang-undang (PERDA) kawasan tanpa

rokok. Tingkat kepatuhan rata-rata 90 %.

7) Kebijakan kawasan tanpa rokok tidak tepat untuk negeri ini.

Pengalaman didunia menunjukkan bahwa Undang-undang

(PERDA) kawasan tanpa rokok cukup berhasil diterapkan baik

di negeri besar atau kecil, perkotaan atau pedesaan, negara

kaya ataupun miskin. Kebijakan kawasan tanpa rokok

semakin populer di banyak negara, karena semakin banyak

orang menyadari haknya untuk menghirup udara bersih dan

sehat.

Page 81: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

81

8) Apabila orang tidak dibolehkan merokok di tempat umum,

mereka akan lebih banyak merokok di rumah masing-masing

dan risiko paparan pada anak-anak akan lebih besar.

Undang-undang kawasan tanpa rokok mendorong orang

dewasa untuk berhenti merokok. Dengan demikian anak-anak

yang terpapar asap rokok dirumahpun berkurang . Undang-

undang ini membuat perokok meneruskan kebiasaannya di

rumah dan membuat rumahnya bebas asap rokok secara

sukarela. Di New Zealand dilaporkan bahwa paparan asap

rokok orang lain di rumah tangga berkurang 50 %. 3 tahun

setelah undang-undang kawasan tanpa rokok diberlakukan.

9) Undang-undang (PERDA) kawasan tanpa rokok diterapkan,

industri jasa dan industri pariwisata akan merugi. Penelitian

independen berulang kali membuktikan tidak adanya efek

ekonomi yang negatif dari Undang-undang kawasan tanpa

rokok pada industri jasa dan turisme. Studi yang dilakukan di

Kanada, Italia, Norwegia dan beberapa kota seperti El paso

dan New York memperlihatkan bila dilihat secara rata-rata,

bisnis tetap seperti biasa bahkan ada yang meningkat setelah

diberlakukan pelarangan merokok

10) Peraturan kawasan tanpa rokok tidak penting karena akan

meningkatkan masalah sosial termasuk kekerasan dan

keributan di jalanan. Tidak ada bukti yang menunjukkan hal

Page 82: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

82

tersebut. Seandainyapun ada, maka hal ini relatif kecil

dibandingkan dengan dampak risiko kesehatan yang

diakibatkan asap rokok orang lain. Hal ini diatasi secara

terpisah dengan peraturan yang sesuai.

d. Kebijakan untuk Perlindungan terhadap Asap Rokok Orang

Lain.

Penerapan kawasan tanpa rokok di tempat-tempat umum

mencegah bukan perokok dari paparan asap tembakau lingkungan.

PP 19/2003 pasal 22 menyatakan bahwa Tempat Umum, sarana

kesehatan,tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, arena

kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum dinyatakan

sebagai kawasan tanpa rokok.

Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 115

dinyatakan bahwa kawasan tanpa rokok antara lain :

1) Fasilitas pelayanan kesehatan

2) Tempat proses belajar mengajar

3) Tempat anak bermain

4) Tempat ibadah

5) Angkutan umum

6) Tempat kerja

7) Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyatakan sebanyak

34,2 % orang dewasa adalah perokok aktif, artinya lebih dari dua

Page 83: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

83

pertiga penduduk secara potensial terpapar asap rokok orang lain.

Data tahun 2001 dari sumber yang sama mencatat 70 % anak-

anak usia 0-14 tahun adalah perokok pasif di rumah mereka.

Merokok seakan telah menjadi norma sosial. Paparan asap rokok di

tempat umum dan di depan orang lain ditoleransi oleh masyarakat.

GYTS 2006 menemukan 81 % pelajar usia 13-15 tahun terpapar

dengan asap rokok orang lain di tempat umum dan 64 % terpapar

di dalam rumah.

Larangan merokok di tempat kerja memberikan dampak

kesehatan bagi perokok maupun bukan perokok. Larangan ini

akan:

1. Mengurangi paparan bukan perokok dari asap rokok orang lain

2. Mengurangi konsumsi rokok di antara para perokok.

Penelitian dengan jelas menyimpulkan bahwa 100 %

kawasan tanpa rokok di tempat kerja memberikan keuntungan

ekonomi. Hal ini mencegah tuntutan hukum bukan perokok/

perokok pasif serta mengurangi biaya-biaya lainnya, termasuk

diantaranya biaya untuk kebersihan, pemeliharaan peralatan dan

fasilitas, di samping risiko kebakaran, absensi pekerja dan

kerusakan harta benda. Terlebih lagi para pekerja akan

mengkonsumsi rokok lebih sedikit, lebih mungkin untuk berhenti

merokok, dan lebih mendorong untuk berhenti merokok dan

Page 84: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

84

memungkinkan mereka untuk lebih cepat dari pada pekerja di

tempat kerja dengan kabijakan yang lemah.

Beberapa tempat umum memisahkan perokok dan bukan

perokok, tetapi hal ini tidak melindungi bukan perokok dari dari efek

karsinogen yang ditimbulkan dari orang yang merokok di ruangan

yang sama. Bahkan teknologi ventilasi yang paling moderen

sekalipun tidak dapat menghilangkan racun bahaya yang

terkandung dalam asap rokok orang lain.

e. Prinsip kebijakan kawasan bebas asap rokok

1. Kebijakan perlindungan yang efektif mensyaratkan eliminasi total

dari asap tembakau di ruangan sehingga mencapai 100 %

lingkungan tanpa asap rokok, tidak ada batas aman dari paparan

asap rokok ataupun ambang tingkat keracunan yang bisa

ditoleransi, karena itu bertentangan dengan bukti ilmiah.

Pendekatan lain untuk peraturan 100% lingkungan tanpa asap

rokok termasuk penggunaan ventilasi, saringan udara dan

pembuatan ruangan merokok (dengan ventilasi terpisah ataupun

tidak) yang terbukti tidak efektif. Bukti ilmiah menyimpulkan

bahwa pendekatan teknik kontruksi tidak mampu melindungi

paparan asap tembakau.

2. Semua orang harus terlindungi dari paparan asap rokok. Semua

tempat kerja tertutup dan tempat umum harus bebas

sepenuhnya dari asap rokok.

Page 85: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

85

3. Peraturan harus dalam bentuk legilasi yang mengikat secara

hukum. Kebijakan sukarela yang tidak memiliki sanksi hukum

terbukti tidak efektif untuk memberikan perlindungan yang

memadai. Agar efektif, UU/PERDA harus sederhana, jelas dan

dapat dilaksanakan secara hukum.

4. Perencanaan yang baik dan sumber daya yang cukup adalah

esensial untuk keberhasilan pelaksanaan dan penegakan

hukum.

5. Lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga swadaya

masyarakat dan organisasi profesi memiliki peran sentral untuk

membangun dukungan masyarakat umum dan menjamin

kepatuhan terhadap peraturan, karenanya harus dilibatkan

sebagai mitra aktif dalam proses pengembangan, pelaksanaan

dan penegakan hukum.

6. Pelaksanaan peraturan, penegakan hukum dan hasilnya harus

dipantau dan dievaluasi terus-menerus. Termasuk di dalamnya

merespon upaya industri rokok untuk mengecilkan arti ataupun

melemahkan pelaksanaan peraturan secara langsung maupun

tidak langsung dengan menyebarkan mitos keliru yang

menggunakan tangan ketiga (pengusaha restoran, masyarakat

perokok).

7. Perlindungan terhadap paparan asap rokok perlu senantiasa

diperkuat dan dikembangkan bilamana perlu dengan

Page 86: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

86

amandemen, perbaikan penegakan hukum atau kebijakan lain

menampung perkembangan bukti ilmiah dan pengalaman

berdasarkan studi kasus.

f. Rekomendasi Kebijakan yang Efektif

Kebijakan kawasan bebas asap rokok yang efektif adalah yang

dapat dilaksanakan dan dipatuhi. Agar kebijakan kawasan bebas

asap rokok dapat dilaksnakan dan dipatuhi, perlu dipahami prinsip-

prinsip dasar kawasan bebas asap rokok.

Prinsip dasar kawasan bebas asap rokok antara lain :

1. Asap rokok orang lain mematikan

2. Tidak ada batas aman bagi paparan asap rokok orang lain

3. Setiap warga Negara wajib dilindungi secara hokum dari

paparan asap rokok orang lain.

4. Setiap pekerja berhak atas lingkungan tempat kerja yang bebas

dari asap rokok orang lain.

5. Hanya lingkungan bebas asap rokok 100 % yang dapat member

perlindungan penuh bagi masyarakat,

6. Pembuatan ruang merokok dengan ventilasi/filtrasi udara tidak

efektif.

Page 87: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

87

E. Tinjuan umum tentang pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terhadap objek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu

pengindaran sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oelh intensitas perhatian persepsi terhadap objek. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2003)

Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh pendidikan formal.

Pengetahuan sangat erat hubungnnya dengan pendidikan, dimana

diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut

akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan,

bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak

berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan

pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan

tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan

seseorang tenatng suatu objek mengandung suatu dua aspek yaitu

aspek positif dan objek yang diketahui maka akan menimbulkan sikap

makin positif terhadap objek tertentu.(A Wawan,dkk, 2010)

Menurut teori WHO yang dikutip Notoatmodjo (2007), salah satu

bentuk pengetahuan objek kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan

yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Pengetahuan atau kognitif

Page 88: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

88

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan penelitian ternyata

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada

pengetahuan yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang

cukup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

(Notoadmodjo, 2003)

1. Tahu (Know)

2. Memahami (Comprehention)

3. Aplikasi (Application)

4. Analisis (Analysis)

5. Sintesis (synthesis)

6. Evaluasi (Evaluation)

Pada tingkat pengetahuan, tahu (know) adalah tingkat

pengetahuan yang paling rendah, di sini subjek mengetahui apa itu rokok

dan rokok telah dikenal atau dipelajari sebelumnya. Subjek akan dapat

menyebutkan, menguraikan ataupun mendefinisikan secara benar apa

yang dimaksud dengan rokok, misalnya: seseorang mengetahui apa itu

rokok, jenis-jenis rokok yang ada dijual, ataupun menjelaskan rokok itu

dari sudut pandangnya. Memahami (comprehension) merupakan tingkat

yang lebih tinggi dari tahu, disini subjek memiliki kemampuan untuk

menjelaskan dan menginterpretasikan rokok secara benar

Aplikasi (application), disini subjek mampu menggunakan

pengetahuannya akan rokok dalam kondisi atau situasi yang

Page 89: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

89

sesungguhnya, misalnya: seseorang yang telah mengerti akan bahaya

asap rokok, dia akan keluar dari ruangan yang penuh dengan asap rokok

tersebut guna menjaga kesehatannya. Pada tingkat analisis (analysis),

subjek memiliki kemampuan untuk menjabarkan rokok lebih spesifik.

Pada tahap ini subjek mulai menganalisis efek-efek dari asap

rokok terhadap kesehatan maupun keuntungan dan kerugian dari asap

rokok. Sedangkan pada tingkat sintesis (synthesis), subjek mulai

menghubungkan efek-efek dari asap rokok, kandungan didalam rokok

dengan timbulnya penyakit, misalnya: kanker, penyakit jantung maupun

PPOK. Akhirnya pada tingkat evaluasi (evaluation), subjek membuat

keputusan berdasarkan tahapan pengetahuan terhadap rokok, dimana

subjek akan menanggapi rokok secara positif maupun negatif.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara

atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari

subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin

kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-

tingkatan di atas.

1. Cara memperoleh pengetahuan

Cara memperoleh pengetahuan yang dikutip dari Notoadmodjo,

2003:11 adalah sebgai berikut :

a. Cara Kuno untuk memperoleh pengetahuan

1) Cara coba salah (Trial and Error)

Page 90: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

90

Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan

mungkin sebelum adanya perdaban. Cara coba salah dilakukan

dengan emnggunakan kemungkinan dalam memecahkan

masalah apabila kemungkianan itu tidak berhasil makadicoba,

kemungkianan yang lain sampai masalah tersebut dapat

dipecahkan

2) Cara kekuasaan atau otoritas

Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pimpinan-

pimpinan masyarakat baik formal atau informal, ahli agama,

pemegang pemerintah dan berbagai prinsip orang lain yang

menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang

mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau

membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris

maupun penalaran sendiri.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya

memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang pernah diperoleh dalam memecahkan

permasalahan yang dihadapi masa lalu.

b. Cara moderen dalam memperoleh pengetahuan

Cara ini disebut metodologi penelitian ilmiah atau lebih popular

atau disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula

dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian

Page 91: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

91

dikembangkan oleh Deobold Van daven. Akhirnya lahir suatu cara

untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan

penelitian ilmiah.

2. Proses Perilaku Tahu

Menurut Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),

perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia baik yang

dapat diamati langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar.

Sedangkan sebelum mengadopsi perilaku baru didalam diri orang

tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:

a. Awareness (kesadaran ) di mana orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)

b. Interest (merasa tertarik) dimana individu mulai menaruh perhatian

dan tertarik pada stimulus

c. Evaluation (menimbang-nimbang) individu akan

mempertimbangkan baik buruknya tindakan terhadap stimulus

tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih

baik lagi.

d. Trial, dimana individu mulai mencoba perilaku baru

e. Adaption, dan sikapnya terhadap stimulus.

Page 92: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

92

Tabel 1 Sintesa Faktor Pengetahuan dengan Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

Sumber : Diolah Dari Berbagai Sumber

F. Tinjuaan umum tentang pendapatan

Proporsi pengeluaran untuk membeli produk tembakau dari rumah

tangga dengan perokok adalah 11, 5 % ; angka ini lebih besar

dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur, susu (11 %); 2,3 persen

untuk pembiayaan kesehatan, dan 3,2 % untuk biaya pendidikan.”

(Abdilah Ahsan, 2008) Biaya akibat konsumsi tembakau tahun 2001

diperkirakan sebesar Rp. 127,7 triliun meliputi biaya langsung yang

dikeluarkan oleh masyarakat untuk membeli rokok dan biaya pengobatan

dan biaya tidak langsung akibat hilangnya produktivitas karena kematian,

sakit dan kecacatan.

No

Nama peneliti

Judul penelitian

Karakteristik

Subjek Instrument Metode/ Desain

Hasil

1 Ishaq Pawennari

Hubungan usia dan perilaku merokok dengan di berlakukannya daerah bebas asap rokok RSU Dr. Soetomo Surabaya

Pasien yang memeriksakan dirinya di rumah sakit RSU Dr. Soetomo Surabaya

Kuesioner Case Control Study

Pengetahuan (p=0,013, OR

= 5, 143)

2.

Komang Agus Sumarayasa

Hubungan tingkat pengetahuan, sikap, dengan kawasan bebas asap rokok di UPN Veteran JakartaTahun 2008

Sampel sebanyak 385 orang

Kuesioner dan wawancara

Cross Sectional

study

Pengetahuan dengan

kawasan bebas asap

rokok p= 0,001 OR = 10,286

Page 93: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

93

Dampak ekonomi merupakan konsep untung rugi jangka panjang

jika seseorang, sekelompok orang atau suatu Negara mengerjakan

sesuatu. Konsep ini memang belum banyak dipahami banyak orang

hanya melihat akibat suatu perbuatan dalam jangka pendek. Konsep

kerugian ekonomi menghitung akibat suatu tindakan atau tidak berbuat

sesuatu untuk jangka panjang, baik untuk tingkat perorangan maupun

untuk masyarakat atau Negara.

Kaitan konsumsi produk-produk tembakua, kerugian ekonomis

dihitung dari belanja mubazir, yaitu belanja rokok misalnya yang tidak

memberi manfaat untuk tubuh, kecuali ilusi atau kenikmatan semu.

Sebaliknya, merokok justru menjadikan tubuh berisiko terserang berbagai

penyakit yang kemudian kita harus mengeluarkan biaya berobat. Uang

yang dihabiskan untuk biaya berobat merupakan kerugian ekonomis

merokok yang langsung yangdiakibatkan oleh perbuatan merokok atau

mengkonsumsi produk tembakau. (Tobacco Control Suport Centre IAKMI

Pesat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan status kesehatan, 2009)

Kerugian biasa lebih banyak lagi, karena ketika kita sakit, kita tidak

bias bekerja. Maka penghasilan kita yang seharusnya kita dapat, jika kita

bekerja, menjadi hilang. Hal ini disebut kerugian ekonomi merokok yang

tidak langsung. Tidak sedikit orang yang ceroboh, mubazir dan tidak

paham terus mengkonsumsi produk tembakau. Ia kemudian mati muda,

maka hal ini juga menimbulkan kerugain ekonomi bagi anggota

keluarganya.

Page 94: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

94

Seseorang mati pada usia 40 tahun, karena serangan jantung atau

penyakit yang terkait dengan banyaknya konsumsi rokok, padahal

seharusnya ia bias pension pada usia 60 tahun, maka anggota

keluarganya menderita kerugian ekonomis. Orang lain menanggung

beban akibat pembelian dan konsumsi rokok oleh perokok. Disamping

dampak fisik dan ekonomi pada bukan perokok (perokok pasif), dampak

ekonomi yang harus ditanggung oleh keluarga perokok adalah biaya rutin

yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan adiksinya dan biaya

sakit akibat rokok. Pada keluarga miskin, beban ekonomi ini dilakukan

dengan mengalihkan pengeluaran makanan, pendidikan dan kesehatan

untuk membeli rokok. Beban tidak langsung bagi keluarga miskin adalah

hilangnya produktifitas pencari nafkah utama karena sakit atau kematian

dini yang berdampak pada turunnya pendapatan keluarga. (Tobacco

Control Suport Centre IAKMI Pesat Penelitian dan Pengembangan

Ekologi dan status kesehatan, 2009)

Page 95: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

95

Tabel 2 Sintesa Faktor pendapatan terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

No

Nama peneliti

Judul penelitian

Karakteristik

Subjek Instrument Metode/ Desain

Hasil

1 Hugh R, Watera, PhD, Steven S. Foldes, PH.D, Nina L. Alesci, MPH, Jonathan Samet, MD

The Economic impact of exposure to secondhand smoke in Minnesota

Penduduk yang diperkiran berisiko dalam hal ini sakit yang diakibatkan karena rokok

Kuesioner, wawancara

Cross Sectional Study

Hasil analisis statistik diketahui terdapat hubungan yang bermakna dimana P= 0,001, r= 0,414

2 BMC Pregnancy and Childbirth 2010, 10:24,Canada Ban Al-Sahab, Masarat Saqib,, Gabriel Hauser, Hala Tamim

Prevalensi merokok selama kehamilan dan faktor risiko dari rokok terhadap kehamilan

Survei Pengalaman wanita berusia ≥ 15 tahun yang telah Kelahiran tunggal hidup selama 2005/06 di provinsi-provinsi Kanada dan wilayah. Hasilnya pernah merokok selama kehamilan

Kuesioner, wawancara telepon dan aplikasi Komputer

survey dimana survey yang digunakan yaitu MES

CI: 6,5-7,4; SD = 5.7).analisis regresi menunjukkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan lebih mungkin untuk menjadi rendah status sosio-ekonominya

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

G. Tinjuan Umum tentang Lingkungan Sosial Budaya

Sosiol Budaya setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap

terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-

tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang masing-

masing etnis mempunyai budaya yang khas. Teori Fishbein (1993) dalam

Glanz K dkk (2002), mengemukakan tentang alasan mengapa seseorang

berperilaku menunjukkan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari faktor

Page 96: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

96

adanya minat terhadap perilaku tersebut. Minat ini dibentuk oleh sikap

terhadap perilaku dan norma subjektif.

Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh kepercayaan dari perilaku

dan evaluasi dari hasil perilaku, sedangkan norma subjektif dipengaruhi

oleh kepercayaan normatif dan motivasi untuk mengikuti perilaku tersebut.

Seseorang percaya kebiasaan merokok akan memberikan rasa

kenikmatan dan kenyamanan serta merasa menjadi lebih hebat. Norma

atau nilai subjektif serta sikap dalam diri seseorang atau orang di

sekitarnya seperti orang tua yang merokok, saudara serumah yang

merokok, teman yang merokok serta iklan rokok dapat mempengaruhi

minat seseorang untuk berperilaku.

Page 97: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

97

Tabel 3 Sintesa Faktor lingkungan Sosial Budaya terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

No

Nama peneliti

Judul penelitian

Karakteristik

Subjek Instrument

Metode/ Desain

Hasil

Nurhidayati Fawzani, Atik Triratnawati, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Makara,Kesehatan, vol. 9, no. 1, Juni 2005: 15-22

Terapi Berhenti Merokok dalam penerapan kawasan bebas asap rokok

studi kasus 3perokok berat dilakukan pada tahun 2004 di Yogyakarta. Kriteria informan meliputi umur di atas40tahun, kawin,sudahberhenti merokok, termasuk perokok berat dengan lama merokok di atas 10 tahun dan menghabiskan lebih dari 20 batang per hari

Observasi,Wawa

ncara dengan

alat perekaman

Deskriptif

Modal utama sukses berhenti merokok adalah niat dan tekad yang kuat dari perokok itu sendiri.Alasan untuk berhenti merokok adalah faktor kesehatan, organisas,keagamaan, dan keluarga. Faktor kesehatan berkaitan dengan sakit yang diderita oleh informan,seperti hipertensi, demam tinggi, batuk-batuk, dan dada terasa nyeri.

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

H. Tinjaun umum tentang sikap

Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya

sendiri, orang lain, objek atau isue. (Petty, cocopria, 1986 dalam Azwar

S.,2000:6)

Sikap adalah predisposisi Untuk melakukan atau tidak melakukan

suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal

psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih merupakan proses

kesadaran yang sifatnya individual artinya proses ini terjadi secara

Page 98: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

98

subjektif dan unik pada diri setiap individu. Kemungkinan ini dapat terjadi

oleh adanya perbedaan individual yang berasal yang berasal dari nilai-

nilai dan norma yang ingin dipertahankan :dan dikelola oleh individu

(Coser, dalam A.wawan dan Dewi.M, 2010:27)

Komponen pokok sikap menurut Alloprt (1954), sikap itu terdiri dari

3 komponen pokok, (Notoadmojo, 2007) yaitu

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya

bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang

terhadap objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya

bagaimana penilaian terkandung di dalamnya faktor emosi), orang

tersebut terhadap objek

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku

terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berprilaku

terbuka (tindakan).

Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang (Azwar,

2000), yaitu :

1. Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai

oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan

stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat

disamakan penanganan atau (opini) terutama apabila menyangkut

masalah isu atau problem yang kontroversional.

Page 99: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

99

2. Komponen efektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek

emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling

dalam sebagai komponen sikap merupakan aspek yang paling

bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah

mengubah s ikap seseorang komponen afektif disamakan dengan

perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

3. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan

berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/ bereaksi

terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan

dengan objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan

bahwa sikap seseorang adalah dicerminkan dalam bentuk tensi

perilaku.

Tingkatan sikap, sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan

intensitasnya, Notoadmojo, 2007 dalam A.wawan dan Dewi M, 2010 : 33)

1. Menerima (recieving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima

stimulus yang diberikan (objek)

2. Menanggapi (responding)

Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek

yang dihadapi

3. Menghargai (valuing)

Page 100: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

100

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang

positif terhadap objek stimulus, dalam arti membahasnya dengan

orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau

menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab

terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah

mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani

mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemohkan atau adanya

risiko lain.

Tabel 4 Sintesa Faktor Sikap terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

No

Nama peneliti

Judul penelitian

Karakteristik

Subjek Instrument Metode/ Desain

Hasil

1 Jeff Loren Ganbaran pengetahuan dan sikap mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara terhadap penerapan kampus bebas asap rokok tahun 2009

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara stambuk 2006,2007, 2008 sebanyak 306 orang

Angket dan wawancara

Cross Sectional Study

Sikap terhadap kampus bebas asap rokok kategori baik sebanyak 89,9 % kategori sedang sebanyak 75,8%, kategori kurang sebanyak 89,9 %.

2 Riny Sumarna

Pengetahuan sikap dan perilaku kawasan bebas asap rokok pada mahasiswa ekstensi angkatan 2007 di FISIP UI tahun 2009

Mahasiswa ekstensi angkatan 2007 di FISIP UI yang merokok sebanyak 50 orang

Angket(Kuesioner) dan wawancara

Cross sectional Study

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 tidak ada perbedaan proporsi antara perilaku merokok dengan sikap positif pada mahasiswa

Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

Page 101: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

101

H. Tinjuan umum tentang kebijakan Perdes

Melindungi generasi muda Indonesia di masa sekarang dan

mendatang dari bahaya rokok, pemerintah sedang mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan FCTC

(Framework Convention on Tobacco Control). Tujuan FCTC adalah

melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap kerusakan

kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi karena

konsumsi tembakau clan paparan asap tembakau. FCTC telah

disepakati secara aklamasi dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia

(World Health Assembly-WHA) pada bulan Mei 2003. FeTC dinyatakan

efektif apabila telah ada minimal 40 negara yang meratifikasinya.(Lisa

Ellizabet Aula, 2010)

Hingga kini, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia

Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention TObacco Control

(FCTC), sebuah traktat internasional yang di dalamnya terdapat upaya

pengendalian bahaya tembakau. Walaupun pemerintah Indonesia

berperan - aktif dalam forum internasional Governmental Negotiating Body

di Geneva, namun Indonesia mengingkari komitmennya dengan tidak

meratifikasi FCTE. Pengendalian bahaya tembakau memiliki prioritas

rendah dalam agenda kesehatan masyarakat Indonesia. Lisa Ellizabet

Aula, 2010)

Page 102: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

102

Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok Bagi

Kesehatan memiliki beberapa tujuan. Pertama, melindungi kesehatan

dari bahaya akibat merokok. Kedua, membudayakan hidup sehat.

Ketiga, menekan perokok pemula. Keempat, melindungi kesehatan

perokok pasif. Selain itu, ada juga peraruran terkait larangan merokok,

yakni Perda No. 75·Tahun 2005. Perda terse but merupakan larangan

merokok di wilayah DKI Jakarta. Sebenarnya, hal iru tidak hanya ada

di Jakarta, karena di berbagai daerah lainnya pun memiliki peraturan

yang sama. Hanya saja, publikasinya belum terdengar secara luas.

Lisa Ellizabet Aula, 2010)

Perda No. 75 tahun 2005 cukup banyak dikenal oleh publik.

Dalam Perda ini juga dijelaskan mengenai pengendalian asap rokok

dalam kawasan dilarang merokok. Kawasan dilarang merokok adalah

ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok.

Berdasarkan Perda No. 75 Tahun 2005, ada tujuh tempat yang

dilarang merokok yaitu tempat umum, tempat kerja, angkutan umum,

tempat ibadah, arena kegiatan anak-anak, tempat proses belajar

mengajar dan tempat pelayanan kesehatan.(Lisa Ellizabet Aula, 2010)

Pemerintah daerah telah mengeluarkan kebijakan kawasan

tanpa asap rokok antara lain :

1. DKI Jakarta

2. Kota Bogor

Page 103: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

103

3. Kota Cirebon

4. Kota Surabaya

5. Kota Palembang

6. Kota Padang Panjang

Selain beberapa kota diatas terdapat suatu Desa di Sulawesi

Selatan tepatnya di Kabupaten Enrekang yang telah menerapakan

kawasan bebas asap rokok yaitu Desa Bone-bone dan yang paling

membuat desa itu menjadi perhatian adalah semua warga Desa di sana

sepakat untuk tidak mengisap rokok. Larangan merokok tersebut tidak

diatur secara tertulis. Tidak ada pula peraturan desa atau perdes. Semua

hanya kesepakatan lisan antar sesama warga desa. Meski begitu,

kesepakatan lisan itu sangat ampuh dan sangat dihargai tokoh adat,

pemuka masyarakat, serta warga umum.

Aturan bebas rokok di jalankan sejak tahun 2000. Sejak 2001

seluruh warga Desa Bone-bone menerapkan kesepakatan bebas asap

rokok tersebut. Bahkan, tamu pun dikenai aturan itu. Tamu yang ingin

merokok diharuskan keluar Desa dan kembali setelah menghabiskan

rokoknya. Pada tahun 2009 beberapa tokoh masyarakat, agama dan

tokoh pemuda mengadakan pertemuan untuk membahas materi peraturan

Desa Bone-Bone nomor 01 tahun 2009 tentang kawasan bebas asap

rokok dan sampai sekarang telah diberlakukan Perdes tersebut.

Page 104: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

104

Tabel 5 Sintesa Faktor kebijakan Perdes terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

No

Nama peneliti

Judul penelitian

Karakteristik

Subjek Instrument

Metode/ Desain

Hasil

1 Apriwal Efektifitas kebijakan kawasan bebas asap rokok di RSUD Sulthan Thaha Saipuddin Kabupaten Tebo Provinsi Jambi Tahun 2009

Petugas RSUD Sulthan Thaha Saipuddin Kabupaten Tebo

Kuesioner dan

poster

Quasi Eksperiment Study dengan rancangaan randomized control group pre test dan post test

Pengaruh ada nya SK direktur area merokok lebih kuat dibandingkan dengan media poster, hasil statistik (37, 90) dengan p= 0,000

2 Anhari Achadi

Regulasi pengendalian masalah rokok di Indonesia

Pemerintah dalam menggalakkan peraturan mengenai pengendalian masalah penggunaan tembakau

Deskriptif Pengendalian masalah penggunaan tembakau / merokok di Indonesia berupa peraturan pemerintah, Peraturan daerah, Peraturan Gubernur, serta instruksi eksekutif lainnya. Peraturan pemerintah No.19 tahun 2003

Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

Page 105: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

105

I. Bagan Kerangka Teori

Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber

Gambar 3. Bagan Kerangka Teori

Kepatuhan penerapan

Kawasan bebas Asap

rokok

Pengetahuan

Faktor Eksternal

1. Lingkungan

2. Sosial Budaya

Faktor internal :

1. Pendidikan

2. Pekerjaan

3. Umur

Beban pembelian rokok

Biaya sakit akibat

merokok

Kesehatan

Bahaya asap rokok

Penyakit akibat

rokok

Kualitas hidup

1

Kebijakan Perdes

- Pelaksanaan Peraturan

- Penegakan hukum

- Larangan merokok

-Berhenti merokok

Sosial Ekonomi

Lingkungan sosial &Budaya

- Keluarga

- Teman

- Agama

kebiasaan merokok

- Merokok

- Tidak merokok

Sikap

Page 106: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

106

J. Kerangka Konsep

a. Dasar pemikiran variabel yang diteliti

Rokok merupakan salah satu Zat adiktif, yang bila digunakan dapat

mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat.

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa rokok adalah

hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu ataupun

bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum,

Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau sintesisnya yang

mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.

(Lisa Ellizabet Aula, 2010)

Pemerintah membuat peraturan yang melindungi masyrakat

terutama anak-anak dari paparan asap rokok orang lain (AROL) yang

mematikan, karena mengandung 4000 bahan kimia berbahaya yang 69

diantaranya menyebabkan kanker, penyakit jantung, sindorma

kematian mendadak pada bayi (SIDS) dan penyakit paru dengan

menerapkan kawasan tanpa rokok. Dalam undang-undang kesehatan

No.36 tahun 2009 pasal 115 menyatakan bahwa yang termasuk

kawasan bebas asap rokok antara lain fasilitas pelayanan kesehatan,

tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,

angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain

yang ditetapkan. (Tobacco Control Support Center IAKMI, 2009)

Page 107: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

107

1. Pengetahuan

Pada tingkat pengetahuan, tahu (know) adalah tingkat

pengetahuan yang paling rendah, disini subjek mengetahui apa itu

rokok dan rokok telah dikenal atau dipelajari sebelumnya. Subjek

akan dapat menyebutkan, menguraikan ataupun mendefinisikan

secara benar apa yang dimaksud dengan rokok, misalnya:

seseorang mengetahui apa itu rokok, jenis-jenis rokok yang ada

dijual, ataupun menjelaskan rokok itu dari sudut pandangnya.

Memahami (comprehension) merupakan tingkat yang lebih

tinggi dari tahu, disini subjek memiliki kemampuan untuk

menjelaskan dan menginterpretasikan rokok secara benar. Aplikasi

(application), disini subjek mampu menggunakan pengetahuannya

akan rokok dalam kondisi atau situasi yang sesungguhnya,

misalnya: seseorang yang telah mengerti akan bahaya asap rokok,

dia akan keluar dari ruangan yang penuh dengan asap rokok

tersebut guna menjaga kesehatannya. Pada tingkat analisis

(analysis), subjek memiliki kemampuan untuk menjabarkan rokok

lebih spesifik.

2. Pendapatan

Sosial ekonomi yang rendah, dalam hal ini pendapatan keluarga

serta faktor perilaku serta perorangan maupun kelompok

masyarakat hubungannnya dengan merokok dikaitkan dengan

kemampuan ekonomi. Dampak ekonomi merupakan konsep untung

Page 108: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

108

rugi jangka panjang jika seseorang, sekelompok orang atau suatu

Negara mengerjakan sesuatu. Konsep ini memang belum banyak

dipahami banyak orang hanya melihat akibat suatu perbuatan

dalam jangka pendek. Konsep kerugian ekonomi menghitung

akibat suatu tindakan atau tidak berbuat sesuatu untuk jangka

panjang, baik untuk tingkat perorangan maupun untuk masyarakat

atau Negara.

Kaitan konsumsi produk-produk tembakua, kerugian ekonomis

dihitung dari belanja mubazir, yaitu belanja rokok misalnya yang

tidak memberi manfaat untuk tubuh, kecuali ilusi atau kenikmatan

semu. Sebaliknya, merokok justru menjadikan tubuh berisiko

terserang berbagai penyakit yang kemudian kita harus

mengeluarkan biaya berobat. Uang yang dihabiskan untuk biaya

berobat merupakan kerugian ekonomis merokok yang langsung

yangdiakibatkan oleh perbuatan merokok atau mengkonsumsi

produk tembakau. (Tobacco Control Suport Centre IAKMI Pesat

Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan status kesehatan,

2009)

3. Lingkungan sosial budaya

Sosial budaya setempat biasanya sangat berpengaruh

terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat

dari perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena

memang masing-masing etnis mempunyai budaya yang khas. Teori

Page 109: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

109

Fishbein (1993) dalam Glanz K dkk (2002), mengemukakan tentang

alasan mengapa seseorang berperilaku menunjukkan bahwa

perilaku seseorang terbentuk dari faktor adanya minat terhadap

perilaku tersebut. Minat ini dibentuk oleh sikap terhadap perilaku

dan norma subjektif. Lingkungan Sosial budaya dalam hal ini yaitu

keluarga, teman, keyakinan/kepercayaan) yang memungkinkan

dapat mempengaruhi responden untuk berhenti merokok atau tidak

merokok

4. Sikap

Sikap adalah predisposisi Untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya

kondisi internal psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap

lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual artinya

proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu.

Kemungkinan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual

yang berasal yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin

dipertahankan dan dikelola oleh individu (Coser, dalam A.wawan

dan Dewi.M, 2010:27)

5. Kebijakan Perdes

Melindungi generasi muda Indonesia di masa sekarang

dan mendatang dari bahaya rokok, pemerintah sedang

mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang

Pengesahan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).

Page 110: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

110

Meskipun tingkatannya adalah provinsi, Perda No. 75

tahun 2005 cukup banyak dikenal oleh publik. Dalam Perda ini

juga dijelaskan mengenai pengendalian asap rokok dalam ka-

wasan dilarang merokok. Kawasan dilarang merokok adalah

ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok

I. Bagan Kerangka konsep

Keterangan : : Variabel independen

: Variabel dependen

Gambar 2. Bagan kerangka konsep

Pengetahuan

Pendapatan

Kepatuhan

penerapan

Kawasan

bebas asap

rokok

Lingkungan sosial

budaya

Sikap

Kebijakan Perdes

Page 111: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

111

K. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

a. Kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

Defenisi Operasional

Kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

dalam penelitian ini adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk

melaksanakan aturan dalam pelaksanaan kawasan tanpa asap rokok

agar terbebas dari paparan asap rokok bagi perokok dan bukan

perokok.

Kriteria Objektif

Patuh : Jika masyarakat menaati atau mematuhi aturan tentang

kawasan bebas asap rokok yang sesuai isi perdes tahun

2009

Tidak Patuh :Jika masyarakat tidak menaati atau mematuhi aturan

tentang kawasan bebas asap rokok yang sesuai isi

perdes tahun 2009

b. Pengetahuan

Defenisi Operasional

Pengetahuan dalam penelitian ini adalah apa yang diketahui

responden tentang rokok atau masalah kawasan bebas asap rokok

Kriteria Objektif

Cukup : Bila jawaban responden ≥ 50 % dari total nilai

jawaban seluruh pertanyaan

Page 112: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

112

Kurang : Bila jawaban responden < 50 % dari total jawaban

seluruh pertanyaan

c. Pendapatan

Defenisi Operasional :

Pendapatan dalam penelitian ini adalah jumlah inkam seluruh

anggota keluarga setiap bulannya dengan berdasar pada Upah

Minimum daerah (UMD) kabupaten Enrekang tahun 2010 sebanyak Rp

1.200.000

Kriteria objektif

Cukup : Jika pendapatan inkam seluruh anggota keluarga ≥ Rp

1.200.000 dalam setiap bulan

Kurang : jika pendapatan inkam seluruh anggota keluarga

setiap bulan sebanyak Rp < 1.200.000 dalam setiap

bulan.

d. Lingkungan sosial budaya

Defenisi Operasional:

Lingkungan sosial budaya dalam penelitian ini adalah situasi

lingkungan sosial dan budaya (keluarga, teman,

keyakinan/kepercayaan) yang memungkinkan dapat mempengaruhi

responden untuk menaati aturan kebijakan kawsan bebas asap rokok

untuk berhenti merokok atau tidak merokok

Page 113: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

113

Kriteria Objektif :

Ada Pengaruh Lingkungan : jika responden terpengaruh oleh

keluarga , teman serta faktor keyakinan untuk tidak

merokok atau berhenti merokok

Tidak ada pengaruh lingkungan : jika tidak terpengaruh oleh keluarga ,

teman serta faktor keyakinan untuk tidak merokok

atau berhenti merokok

e. Sikap

Defenisi Operasional :

Sikap dalam penelitian ini adalah tanggapan atau pendapat responden

tentang penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dan perilaku

merokok

Kriteria Objektif :

Baik : Bila jawaban responden ≥ 50 % dari total nilai

jawaban seluruh pertanyaan

Kurang Baik : Bila jawaban responden < 50 % dari total jawaban

seluruh pertanyaan

f. Kebijakan Perdes

Defenisi Operasional

Kebijakan Perdes dalam penelitian ini adalah aturan mengenai

kawasan bebas asap rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat

Page 114: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

114

Kriteria Objektif

Ada Kebijakan : jika di daerah tersebut telah dibentuk Perdes

kawasan bebas asap rokok.

Tidak Ada Kebijakan: Jika di daerah tersebut tidak dibentuk Perdes

kawasan bebas asap rokok

L. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara pengetahuan terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang

2. Ada hubungan antara pendapatan terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang

3. Ada hubungan antara lingkungan sosial budaya terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang

4. Ada hubungan antara sikap terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang

5. Ada hubungan antara Kebijakan Perdes terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang

Page 115: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

115

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah peneltian survey analitik dengan

pendekatan Cross Sectional Study (studi potong lintang) yang merupakan

salah satu jenis rancangan penelitian yang sifatnya analitik dan termasuk

dalam jenis rancangan penelitian Observasional. Desain ini dimaksudkan

untuk mempelajari dinamika dan variasi variabel yang termuat dalam judul

penelitian “Faktor Yang Berhubungan dengan Penerapan Kebijakan

Kawasan Bebas Asap Rokok”. Sebagai variabel independen adalah

pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap ,kebijakan

PERDES . Sedangkan variabel dependennya adalah penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok. Kedua jenis variabel tersebut dieksplorasi

secara bersamaan, selanjutnya dilakukan analisis mengenai hubungan

variabel independen terhadap variabel dependennya.

Penelitian ini dilakukan dengan menempuh langkah-langkah: a)

penetapan unit observasi, unit analisis, besar sampel, dan cara penarikan

sampel, b) identifikasi variabel penelitian, c) penempatan waktu dan

lokasi penelitian, d) pengukuran variabel, selama analisis hasil penelitian.

Page 116: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

116

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan Januari-Maret di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di dua

Desa yaitu Desa Bone-Bone dan Desa Kendenan di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

2. Sampel

a. Besar sampel. Dihitung dengan menggunakan rumus sampel .

untuk penelitian kesehatan seperti yang diperkenalkan oleh

Stanley Lameshow, dkk; 1997, untuk jenis penelitian observasional

dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

N = Besar populasi = 1058

n = Besar sampel (dihitung menurut besar populasi sampel = 281

Z21-α/2P(1-P).N (1,96)2(0,5)(0,5)1058

n =

d2(N-1)+ Z21-α/2 P(1-P) 0,052(1058-1)+(1,96)2(0,5)(0,5)

3,8416 . 0,25 . 1058 1016.103

= = 281

0,0025 (1058) + (3,8416) . 0,25 3,6054

Page 117: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

117

Z21-α/2 = nilai distribusi normal, standar dimana untuk α=0,05

nilainya 1,96

P = persentase upaya penurunan prevalensi yang dilakukan dalam

populasi, dan bila tidak diketahui, maka ditetapkan 0,5

Q = 1-P

d = tiingkat presisi yang diinginkan (ditetapkan =0,05)

b. Cara penarikan sampel

1) Dilakukan penarikan sampel berdasarkan jumlah sampel yang

dihitung menurut rumus

2) Dari masyarakat yang dipilih sebagai sampel dilakukan

wawancara terpimpin sesuai dengan tujuan penelitian dengan

menggunakan instrumen berbentuk (kuesioner) yang telah

disediakan dan menandatangani Inform Consent.

D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber data

a. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari Rumah sakit kantor

Desa, yang meliputi gambaran umum tentang desa,

b. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden di

dalam di Desa Bone-Bone dan Kendenan yaitu masyarakat dengan

cara menyebarkan kuesioner untuk dijawab dan diisi responden

sejujurnya serta melakukan observasi ke lapangan yaitu di Desa

Page 118: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

118

Bone-Bone dan Desa Kendenan Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang tahun 2011

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi yaitu proses melakukan pengamatan langsung di Desa

Bone-Bone dan Desa Kendenan Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang guna mengamati secara langsung dan pengetahuan,

pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap,kebijakan Perdes

b. Kuesioner (angket) ialah daftar pertanyaan atau pernyataan yang

diberikan dan disebarkan kepada responden untuk di jawab sesuai

dengan pendapatnya tentang penerapan dalam kebijakan kawasan

bebas asap rokok

E. Kontrol Kualitas

kontrol kualitas dimaksudkan untuk melakukan pengawasan

kepada semua tahapan proses pengukuran, untuk mencapai hasil yang

valid (sah) dan konsisten (reliable), sehingga diperoleh hasil pengukuran

yang benar-benar mendekati keadaan yang sebenarnya dan memperoleh

teori yang baik sebagai dasar kajian ilmiah. Ada dua kesalahan yang

klasik yang sering terjadi dalam proses penelitian adalah kesalahan alfa

(sampling error), dan kesalahan sistematis, kesalahan betha yakni

kesalahan yang terjadi oleh karena faktor pengukuran, alat ukur, dan

objek yang diukur. Untuk menghilangkan kesalahan tersebut, dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

Page 119: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

119

1. Sampling error (kesalahan alpha)

Tujuan pengontrolan besar sampel pada setiap penelitian adalah

untuk memberikan keterwakilan jumlah sampel terhadap besar

populasinya. Pada penelitian ini jumlah masyarakat yang dijadikan

sebagai sampel dihitung dengan rumus sampel sebesar 281.

2. Kesalahan sistematis (kesalahan betha)

a. Kesalahan pengukur. Penelitian ini dirancang dengan desain

potong lintang dan pada pelaksanaan pengumpulan data selain

dilakukan oleh peneliti sendiri juga menggunakan 3 orang tenaga

pengumpul data sebagai pendamping peneliti. Untuk mencapai

kesamaan kemampuan wawancara yang dilakukan oleh peneliti

dengan 3 orang pembantu yang dipilih, maka dilakukan

standarisasi dalam bentuk pelatihan pengisian kuesioner secara

intensif sebelum pengumpulan data yang sebenarnya dilakukan

secara resmi. Adapun tujuan pelatihan tersebut ialah memberi

penjelasan tentang latar belakang dan tujuan penelitian, serta

melatih penggunaan kuesioner (instrument penelitian) secara baik

dan benar.

b. Kesalahan alat ukur. Untuk pengontrolan kemampuan alat ukur

mengukur apa yang seharusnya diukur, maka sebelum

penggunaan kuesioner di lapangan terlebih dahulu dilakukan uji

coba penggunaan kuesioner pada salah satu Desa di Kabupaten

Enrekang , yang dianggap memiliki keadaan dan ciri sesuai

Page 120: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

120

dengan lokasi penelitian. Adapun tujuan uji coba ini ialah sebagai

berikut:

1) Uji coba peneliti dan pembantu peneliti melakukan wawancara

di lapangan dalam kegiatan pengumpulan data

2) Uji coba alat ukur atau kuesioner yang akan digunakan

3) Identifikasi item-item kuesioner yang sulit atau membingungkan

4) Identifikasi item-item yang masih harus ditambahkan di dalam

kuesioner

5) Perkiraan waktu yang diperlukan untuk pengisian kuesioner

Uji coba ini dilakukan pada sampel yang lain sebanyak 10% dari

sampel yang sebenarnya.

c. Kesalahan objek yang diukur (sampel). Untuk menghasilkan

informasi yang benar dari sampel, maka wawancara dilakukan

dengan:

1) Terlebih dahulu meminta kesediaan dan waktu luang sampel

untuk diwawancarai

2) Menyampaikan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan

3) Wawancara dilakukan pada keadaan sampel tenang, tidak

capek/lelah, serta suasana bersahabat

4) Memberi jaminan keberhasilan terhadap informasi yang

diberikan oleh sampel serta akibat yang mungkin

ditimbulkannya.

Page 121: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

121

3. Pengawasan Reliabilitas

Reliabilitas adalah keajekan dari suatu pengukuran ke pengukuran

lainnya. Karena menilai keajekan dari suatu pengukuran ke

pengukuran lainnya, maka reliabilitas disebut juga konsistensi.

Reliabilitas meliputi dua aspek (Kothari, 1985); 1) stabilitas adalah

konsitensi hasil satu pengukuran ke pengukuran oleh seorang

pengamat, terhadap subjek penelitian yang sama dengan instrument

yang sama (konsistensi intra pengamat), 2) kesamaan (equivalence)

adalah konsistensi antara hasil pengukuran seorang pengamat dan

hasil pengukuran oleh pengamat lainnya, terhadap subjek penellitian

yang sama dan dengan instrumen yang sama, biasanya disebut

konsistensi antara pengamat.

Menilai reliabilitas, antara satu pengukuran dan pengukuran

lainnya diukur dengan ukuran yang disebut koefisien realibilitas.

Keajekan pengukuran di tes melalui uji coba (pilot study), dilakukan

pada populasi studi beberapa waktu sebelum penelitian yang

sesungguhnya. Pada penilaian validitas kriteria. Koefisien reliabilitas

pada dasarnya mengukur kekuatan hubungan, dan ukuran kekuatan

hubungan yang dipilih tergantung pada skala variabel yang dipilih. Jika

variabel yang diukur skala kontinu maka digunakan koefisien korelasi

person. Ukuran reabilitas yang dipakai dalam hal ini adalah koefisien

kesepakatan kappa (K) Cohen.

Page 122: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

122

Untuk membuat interprestasi koefisien kesepakatan Kappa Cohen

kita menggunakan petunjuk Landis dan Koch 1977 dalam Murti B

1996, yaitu

K > 0,75 menunjukkan kesepakatan yang sangat baik

0,4≤ K < 0,75 menunjukkan kesepakatan yang cukup baik

0 ≤ K < 0,4 menunjukkan kesepakatan lemah.

Setelah koefisien reliabiltas dihitung, biasanya dilakukan uji

kemaknaan statistik dengan uji Z jika sampel yang tersedia cukup

besar dan data terdistribusi normal, dan dengan uji t jika sampel

sangat sedikit dan data tidak terdistribusi secara normal.

Tabel 6 Hasil Uji Validasi Instrumen Penelitian Terhadap 28 Sampel

Variabel Penelitian Hasil Uji Validasi

n Sensitifitas (%) Spesifitas (%)

Pengetahuan 28 90 75

Pendapatan 28 87 75

Lingkungan Sosial Budaya 28 80 100

Sikap 28 75 100

Kebijakan Perdes 28 100 80

Sumber : Data Primer 2011

Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil uji validasi instrument

dengan menghitung tingkat sensitifitas dan spesifitas data hasil

pengumpulan data dengan kuesioner, dan validasi data yang

dikumpulkan oleh tenaga pembantu pengumpul data, menunjukkan nilai

Page 123: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

123

sensitivitas 70%-100%, demikian hasil spesifitas antara 80%-90% yang

artinya sangat baik. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa tingkat validasi instrumen dan tenaga pembantu pengumpul

data cukup valid dan dapat diandalkan dalam pengumpulan data

penelitian.

Tabel 7. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian pada 28 sampel

Variabel Penelitian

Reliabilitas Instrumen

n

Nilai

Kappa

Sig

Ket

Pengetahuan 28 0,604 0,001 Sangat Baik

Pendapatan 28 0,517 0,05 Sangat Baik

Lingkungan Sosial Budaya 28 0,588 0,001 Sangat Baik

Sikap 28 0,521 0,002 Sangat Baik

Kebijakan Perdes 28 0,887 0,001 Sangat Baik

Sumber : Data Primer 2011

Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil yang diperlihatkan berupa

Koefisien Kappa Cohen yang bervariasi dari 0,517-0,05 artinya

kemampuan yang diberikan oleh pewawancara mencapai kesesuaian

dengan standar emasnya 85% sampai dengan 100% atau nilai p=

0,000 (tingkat signifikansi yang sangat baik) sehingga dapat diandalkan

dalam pengumpulan data.

Page 124: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

124

F. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer dengan

program SPSS for windows dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Edit Data

Tahap ini merupakan tahap kegiatan membersihkan data yang telah

terkumpul, baik cara pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi dari

setiap jawaban yang terdapat pada kuesioner.

2. Coding (Pemberian Kode)

Data yang telah diteliti kelengkapannya diberikan kode secara manual

sebelum dientry ke dalam komputer.

3. Entry (Pemasukan data ke dalam komputer)

Data yang telah berikan kode diperiksa seluruhnya dimasukkan ke

dalam komputer untuk diolah

4. Cleaning data Entry

Pemeriksaan kembali semua data yang telah dientry untuk menghindari

terjadinya kesalahan dalam entry data yang dapat memberikan hasil

akhir yang kurang tepat.

G. Analisa Data

1. Analisis Univariat, untuk melihat secara umum variabel penelitian

dengan mendeskripsikan hasil penelitian bersarkan variabel yang

diteliti.

Page 125: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

125

2. Analisis Bivariat, untuk menilai besarnya hubungan antara variabel

independen secara terpisah dengan variabel dependen. Uji yang

digunakan adalah Chi Square, dengan rumus sebagai berikut:

Gambar 3

Analisis Statistik

Variabel

Independen

Variabel Dependen

Total X2 (p)

Kategori 1 Kategori 2

Kategori 1

Kategori 2

a

c

b

d

a + b

c + d

Jumlah a + c b + d a +b + c+d

Interpretasi :

a. Ho diterima jika X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel (3,841) pada nilai

kemaknaan = 0,05.

b. Ho ditolak jika X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (3,841) pada nilai

kemaknaan = 0,05.

X2 = 𝑓𝑜− 𝑓ℎ)2

𝑓ℎ

Keterangan : X2 = Chi Square

Fo = Frekuensi yang diamati

Fh = Frekuensi yang diharapkan

Page 126: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

126

3. Analisis Multivariat

Variabel yang berhubungan dalam penelitian ini selanjutnya

dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui kekuatan dari masing-

masing variabel sejauh mana hubungannya terhadap kepatuhan

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok. Variabel

yang dilakukan uji multivariat adalah variabel dengan nilai p < 0,05

setelah dilakukan analisis bivariat hubungan dengan kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dengan variabel

bebasnya, secara substansial diduga mempunyai hubungan yang

erat.

Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi

logistik yaitu dengan menggambarkan hubungan antara variabel

independent dengan satu set variabel dependent sebagai berikut :

ii xbxbxbxbaP

P.....

1ln 332211

atau

).....( 3322111

1ii xbxbxbxba

eP

Keterangan :

P = Peluang terjadinya efek

x1 sampai xi = Variabel prediktor atau perancu

b1 sampai bi = Koefisien regresi

a = Konstanta

e = Bilangan natural (2,718)

Sumber : Sudigdo, Sastroasmoro, 1995

Page 127: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

127

H. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tabulasi dilengkapi dengan narasi,

tabel distribusi frekuensi serta deskriptif secara umum mengenai

keterangan tabel.

Page 128: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

128

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Baraka

1. Letak Geografi

Kecamatan Baraka merupakan salah satu Kecamatan di

Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah

159,150 Km2 yang secara administratif terdiri dari 15 Desa/Kelurahan

tetapi untuk wilayah penelitian terdiri dari 2 Desa antara lain :

a. Desa Kendenan

b. Desa Bone-Bone

Jarak ibu Kota Kecamatan dari ibu Kota Kabupaten 36 Km

sedangkan jarak Desa Kendenan dari ibu kota Kecamatan 12,0 Km

dan jarak Desa Bone-Bone dari ibu kota Kecamatan 18,0 Km.

ketinggian dari permukaan laut dari 15 Desa dan Kelurahan rata-rata

500-1000 m. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Baraka:

a. Sebelah Utara : Kecamatan Malua

b. Sebelah Selatan : Kecamatan Enrekang

c. Sebelah Barat : Kecamatan Anggeraja

d. Sebelah Timur : Latimojong

Page 129: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

129

2. Demografi

a. Jumlah Penduduk

Berdasarkan hasil registrasi penduduk Kecamatan Baraka

pada tahun 2010 jumlah penduduk Kecamatan Baraka dari 15

Desa/Kelurahan sebanyak 21.058 jiwa yang terdiri dari laki-laki

sebanyak 10.621 jiwa, perempuan sebanyak 10.437 jiwa

b. Sosial ekonomi

Kecamatan Baraka masih mengandalkan sektor pertanian

sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi

utama subsektor tanaman pangan, sayur-sayuran , buah-buahan,

serta sektor perkebunan seperti kopi dan kakao ini di dukung

karena wilayah Kecamatan Baraka yang morfologi dan topografinya

sesuai untuk tanaman holtikultura dan tanaman perkebunan.

Staretgi di bidang pendidikan lebih tertuju pada bagaimana

mengentaskan ketimpangan pelayanan pendidikan mengingat

pendidikan dasar merupakan basis bagi keberhasilan pendidikan

pada jenjang yang lebih tinggi.

c. Sosial budaya( suku, ras dan agama)

Penduduk Kabupaten Enrekang lebih dikenal dengan sebutan

masyarakat ”Massenrempulu ”,yang memilki ciri khas dan bahasa

yang disebut bahasa duri Budaya dan adat- istiadat di Kecamatan

Baraka ini hampir sama dengan suku Tana Toraja dan masih

Page 130: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

130

memperlihatkan sikap gotong-royong yang kuat diberlakukan di

tengah masyarakat.

Penduduk di Kecamatan Baraka yang terdiri dari 15 Desa /

Kelurahan sebanyak 21.030 jiwa beragama Islam dan 28 Jiwa

beragama Kristen Katolik yang terdapat di Desa Pereangin,

Parinding dan Kelurahan Tomenawa.

d. Sarana dan parasarana pelayanan kesehatan

Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di Kecamatan

Baraka terdiri dari Puskesmas, Puskesdes, Pustu, Polindes serta

posyandu yang jumlahnya sebanyak 35 Unit yang tersebar di 15

Desa dan Kelurahan.

e. Fasilitas umum

Fasilitas umum yang terdiri dari sekolah mulai dari tingkat TK

sampai SMA sebanyak 64 unit , tempat ibadah (Mesjid dan Langgar/

Musholla) sebanyak 71 unit, pasar 2 unit dan instansi pemerintah 23

unit yang tersebar di 15 Desa dan Kelurahan

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kendenan dan Desa Bone-

Bone Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang selama 21 hari, mulai

tanggal 03 Maret sampai dengan 03 April 2010, dengan menggunakan

desain penelitian Cross Sectional Study. Pengambilan sampel sebanyak

281 masyarakat. Data diolah dan dianalisis disesuaikan dengan tujuan

Page 131: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

131

penelitian. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel dilengkapi

dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran

deskriptif dari tiap-tiap variabel yang diteliti. Tingkat sebaran hasil

penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana distribusi

frekuensi dari semua variabel penelitian berdasarkan karakteristik

kelompok umur, pendidikan, pekerjaan , pengetahuan , pendapatan,

lingkungan sosial budaya, sikap dan kebijakan Perdes. Hasil analisis

data dapat dilihat pada tabel berikut :

a. Karakteristik sampel

Karakteristik sampel meliputi kelompok umur, pendidikan,

pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

1) Kelompok Umur sampel

Umur sampel adalah lamanya hidup seorang sampel

sejak dilahirkan sampai ulang tahun terakhir yang dinyatakan

dalam tahun kalender. Kelompok umur dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Page 132: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

132

Tabel 8 Distribusi Kelompok Umur Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011

Kelompok

Umur

(Tahun)

Kepatuhan

Jumlah Patuh Tidak Patuh

N % n %

15-20

21-26

27-32

33-38

39-44

45-50

51-56

57-62

≥ 63

5

34

42

30

37

14

18

9

6

71,4

64,2

65,6

65,2

72,5

87,5

64,3

100

85,7

2

19

22

16

14

2

10

0

1

28,6

35,8

34,4

34,8

27,5

12,5

35,7

0

14,3

7

53

64

46

51

16

28

9

7

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 64 sampel dengan

umur tertinggi 27-32 tahun terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 65,6

%, dan tidak patuh sebanyak 34,4 % sedangkan dari 7 sampel

dengan umur terendah 15-20 tahun terdapat yang patuh

sebanyak 71,4 % dan tidak patuh sebanyak 28,6 % sedangkan

dari >63 tahun terdapat yang patuh sebanyak 85,7 % dan tidak

patuh sebanyak 14,3 %.

Page 133: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

133

2) Pendidikan

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang

pernah diikuti oleh sampel. Hasil penelitian terhadap

pengelompokan pendidikan dapat dilihat pada tabel sebagai

berikut :

Tabel 9 Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok Di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011

Tingkat Pendidikan

Kepatuhan

Jumlah

Patuh Tidak Patuh

n % n %

Tidak Sekolah

Tidak Tamat SD

Tamat SD

SMP

SMA

PT/Akademik

1

7

43

43

73

28

50,0

63,6

69,4

74,1

70,9

62,2

1

4

19

15

30

17

50,0

36,4

30,6

25,9

29,1

37,8

2

11

62

98

103

45

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 9 menunjukkan bahwa dari 103 sampel dengan

tingkat pendidikan tertinggi SMA terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 70,9

% dan tidak patuh sebanyak 0,7 %, sedangkan dari 2 sampel

dengan tingkat pendidikan terendah tidak sekolah terdapat yang

patuh dan tidak patuh masing-masing sebanyak 50 %.

Page 134: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

134

3) Pekerjaan

Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dimiliki oleh

sampel atau aktifitas sehari-hari yang dilakukan sampel .

distribusi sampel berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada

tabel sebagai berikut :

Tabel 10 Distribusi Pekerjaan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Pekerjaan

Kepatuhan

Jumlah

Patuh

Tidak Patuh

n % n %

PNS

Wiraswasta

Pegawai Swasta

Petani

Pelajar/Mahasiswa

20

20

12

139

4

71,4

62,5

54,5

72,0

66,7

8

12

10

54

2

28,6

37,5

45,5

28,0

33,3

28

32

22

193

6

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 193 sampel dengan

pekerjaan tertinggi Petani terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 72,0

% dan tidak patuh sebanyak 28,0 %, sedangkan dari 6 sampel

dengan pekerjaan terendah pelajar/mahasiswa terdapat yang

patuh sebanyak 66,7 % dan tidak patuh sebanyak 33,3 %.

Page 135: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

135

4) Kepatuhan

Kepatuhan adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk

melaksanakan aturan, hasil penelitian dari pengelompokkan

kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok

Distribusi sampel berdasarkan kepatuhan dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 11 Distribusi Kepatuhan Responden Terhadap Penerapan Kepatuhan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Kepatuhan n %

Patuh

Tidak Patuh

195

86

69,4

30,6

Jumlah 281 100

Sumber : Data Primer 2011

Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 281 sampel terdapat

yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok sebanyak 69,4 % dan tidak patuh sebanyak 30,6 %.

5) Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang atau (ovent behavior).

Hasil penelitian pengelompokan pengetahuan terhadap

kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 136: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

136

Tabel 12 Distribusi Pengetahuan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011

Pengetahuan n %

Kurang

Cukup

66

215

23,5

76,5

Jumlah 281 100,0

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 12 menunjukkan bahwa dari 281 sampel terdapat

yang pengetahuannya kurang sebanyak 23,5 % dan cukup

sebanyak 76,5 %.

6) Pendapatan

Pendapatan keluarga adalah jumlah inkam seluruh keluarga

pada setiap bulannya. Hasil penelitian pengelompokan

pendapatan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 13 Distribusi Pendapatan Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011

Pendapatan n %

Kurang

Cukup

149

132

53,0

47,0

Jumlah 281 100,0

Sumber : Data Primer, 2011

Page 137: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

137

Tabel 13 menunjukkan bahwa dari 281 sampel dengan

mengacu pada Upah minimum Daerah terdapat yang

berpendapatan kurang sebanyak 53,0 % sedangkan yang

berpendapatan cukup sebanyak 47,0 %.

7) Lingkungan Sosial & Budaya

Lingkungan sosial & budaya merupakan seluruh kondisi yang

ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat

mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau

kelompok. Hasil penelitian pengelompokan lingkungan sosial

budaya terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 15 Distribusi Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya n %

Tidak Ada Pengaruh

Ada Pengaruh

127

154

45,2

54,8

Jumlah 281 100,0

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 15 menunjukkan bahwa dari 281 sampel

terdapat yang tidak ada pengaruh lingkungan sosial budaya

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

sebanyak 45,2 % dan ada pengaruhnya sebanyak 54,8 %.

Page 138: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

138

8) Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang

masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Hasil

penelitian pengelompokan sikap terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 14 Distribusi Sikap Responden Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Sikap n %

Kurang Baik

Baik

97

184

34,5

65,5

Jumlah 281 100,0

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 281 sampel terdapat

yang sikapnya kurang baik sebanyak 34,5 % dan sikap baik

sebanyak 65,5 %

9) Kebijakan peredes

Kebijakan perdes adalah aturan mengenai kawasan

bebas asap rokok yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat.

Hasil penelitian pengelompokan kebijakan perdes terhadap

kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Page 139: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

139

Tabel 16 Distribusi Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Kebijakan Perdes n %

Tidak Ada

Ada

144

137

51,2

48,8

Jumlah 281 100,0

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 281 sampel yang

tidak ada kebijakan Perdes dalam menerapkan kebijakan

kawasan bebas asap rokok sebanyak 51,2 % dan ada kebijakan

perdes sebanyak 48,8 %.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui hubungan

variabel independen terhadap variabel dependen.

a. Hubungan Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Penerapan

kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok Kerja

Hubungan pengetahuan terhadap kepatuhan penerapan

Kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Page 140: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

140

Tabel 17 Hubungan Pengetahuan Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di

Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Pengetahuan

Kepatuhan

Jumlah

X2

p

𝜑

Patuh

Tidak

Patuh

n % n %

Kurang

Cukup

39

156

59,1

72,6

27

59

40,9

27,4

66

215

4,312

0,038

0,124

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 66 sampel yang

pengetahuan kurang terdapat yang patuh terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 59,1% sedangkan

dari 215 sampel yang pengetahuannya cukup, terdapat yang patuh

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

sebanyak 72,6%

Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 4,312

dengan nilai p 0,038. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <

0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan

kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok.

Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer

diperoleh sebesar 𝜑 0,124. Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25

ini berarti hubungan lemah dan memberikan kontribusi 12,4 %

Page 141: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

141

terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok

b. Hubungan pendapatan dengan kepatuhan terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok

Hubungan pendapatan dengan kepatuhan terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Tabel 18 Hubungan Pendapatan Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Pendapatan

Kepatuhan

Jumlah

X2

P

𝜑

Patuh

Tidak

Patuh

n % n %

Kurang

Cukup

95

100

63,8

75,8

54

32

36,2

24,2

149

132

4,745

0,029

0,130

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 149 sampel yang

pendapatannya kurang terdapat yang patuh sebanyak 63, 8 %,

sedangkan dari 132 sampel yang pendapatannya cukup terdapat

yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok sebanyak 75,8 %.

Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 4,745

dengan nilai p 0,029. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <

0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara pendapatan dengan

Page 142: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

142

kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok.

Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer

diperoleh sebesar 𝜑 0,130 Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25 ini

berarti hubungan lemah dan memberikan kontribusi 25,0 %

terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok

c. Hubungan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Kepatuhan

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

Hubungan lingkungan sosial budaya terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Tabel 19 Hubungan Lingkungan Sosial Budaya Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas

Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011

Lingkungan

Sosial &

Budaya

Kepatuhan

Jumlah

X2

p

𝜑

Patuh

Tidak

Patuh

N % n %

Tidak Ada

Pengaruh

Ada Pengaruh

72

123

56,7

79,9

55

31

43,3

20,1

127

154

17,604

0,000

0,250

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 127 yang yang

menyatakan tidak ada pengaruh lingkungan sosial & budaya

Page 143: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

143

terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas

asap rokok sebanyak 56,7 %, sedangkan dari 154 sampel yang

menyatakan adanya pengaruh lingkungan sosial & budaya

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok terdapat

yang patuh sebanyak 79,9 %.

Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 17,604

dengan nilai p 0,000. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <

0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara lingkungan sosial &

budaya dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok

Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer

diperoleh sebesar 𝜑 0,250 Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25

ini berarti hubungan lemah dan memiliki kontribusi 25,0 % terhadap

kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

d. Hubungan sikap Terhadap kepatuhan Penerapan Kebijakan

Kawasan Bebas Asap Rokok

Hubungan sikap terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Page 144: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

144

Tabel 20 Hubungan sikap Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Sikap

Kepatuhan

Jumlah

X2

P

𝜑

Patuh

Tidak

Patuh

n % n %

Kurang Baik

Baik

55

140

56,7

76,1

42

44

43,3

23,9

97

184

11,239

0,001

0,20

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 20 menunjukkan bahwa dari 97 sampel yang sikapnya

kurang baik terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok sebanyak 56,7 %,sedangkan dari 184

sampel yang sikapnya baik terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 76,1 %.

Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 11,239

dengan nilai p 0,001. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <

0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara sikap dengan

kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok.

Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer

diperoleh bahwa nilai 𝜑 0,20 ini berarti hubungan lemah dan

memberikan kontribusi 20, 0 % terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok

Page 145: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

145

e. Hubungan Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan

Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

Hubungan kebijakan perdes terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Tabel 21 Hubungan Kebijakan Perdes Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok

di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Kebijakan

Perdes

Kepatuhan

Jumlah

X2

p

𝜑

Patuh

Tidak

Patuh

n % n %

Tidak Ada

Ada

86

109

59,7

79,6

58

28

40,3

20,4

144

137

13,012

0,000

0,215

Jumlah 195 69,4 86 30,6 281

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 144 sampel yang

belum menerapkan kebijakan perdes terdapat yang patuh

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

sebanyak 59,7 %,sedangkan dari 137 sampel yang patuh

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

terdapat yang telah menerapkan kebijakan perdes sebanyak

79,6 %, sedangkan

Hasil uji chi square diperoleh nilai X2 hit sebesar 13.012

dengan nilai p 0,000. Karena nilai X2 hit > dari 3,841 dan nilai p <

0,05, ini berarti bahwa ada hubungan antara kebijakan perdes

Page 146: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

146

dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok

Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi Cramer

diperoleh sebesar 𝜑 0,215 Karena nilai 𝜑 berada pada 0,01-0,25

ini berarti hubungan lemah dan memberikan kontribusi 21,5 %

terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok

3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel

yang paling berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok, setelah dianalisis dengan

variabel lainnya. Variabel yang masuk ke dalam adalah yang

bermakna secara statistik (nilai p < 0,05). Berdasarkan model akhir

regresi logistic terlihat bahwa variabel yang berhubungan dengan

kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

adalah variabel pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial &

budaya, sikap dan kebijakan perdes. Analisis multivariat kepatuhan

terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Page 147: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

147

Tabel 22 Analisis Multivariat Terhadap Kepatuhan Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang Tahun 2011

Variabel

B

S.E.

Df

Sig

Exp

(B)

95,0% C.I.for

EXP(B)

Lower

Limit

Upper

Limit

Pengetahuan

Pendapatan

Lingkungan Sosial &

Budaya

Sikap

Kebijakan Perdes

Constant

0,687

0,505

0,980

0,728

1,113

-6,678

0,335

0,293

0,286

0,290

0,296

1,015

1

1

1

1

1

1

0,40

0,084

0,001

0,012

0,000

0,000

1,989

1,658

2,664

2,072

3,043

0,001

1,030

0,934

1,522

1,172

1,705

3,837

2,941

4,664

3,661

5,433

Sumber : Data Primer, 2011

Tabel 22 menunjukkan bahwa dari hasil uji regresi logistik dimana dari

ke lima variabel independen variabel pendapatan memiliki nilai p 0,000

Karena nilai p < 0,05 hal ini berarti bahwa variabel kebijakan Perdes

merupakan variabel yang paling berhubungan dibandingkan ke empat

variabel yang lain. Dan kebijakan perdes berpengaruh 3,043 kali terhadap

penerapan kepatuhan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

Model nilai estimasi dari regresi logistik berganda disajikan sebagai

berikut :

Y = -6,678 + 0.687(pengetahuan)+ 0,505(pendapatan) + 0,980(lingkungan sosial &

budaya) + 0,728(sikap) + 1,113(kebijakan perdes)

Page 148: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

148

Berdasarkan fungsi regresi yang didapat dapat dibuat interpretasi

sebagai berikut :

Apabila fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang paling berhubungan

terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

adalah lingkungan sosial budaya (1), sikap(1) dan kebijakan perdes (1),

maka persamaannya sebagai berikut :

1

p = 1 + e-(-6,678+0.687(pengetahuan) +0.505(pendapatan) +0,980(lingkungan)+0,728(sikap) +1,113(kebijakan

perdes)

1 p = 1 + 2.718 -2,655

p = 0,9343

Dengan demikian lingkungan sosial & budaya serta sikap masyarakat

terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok dan adanya aturan

kebijakan perdes merupakan suatu faktor untuk tetap patuh pada

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebesar 93.43 %. Bila

fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang mempunyai pengaruh paling

rendah untuk tidak patuh pada penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok adalah pengetahuan(1) dan pendapatan (1) maka peluang untuk

tidak patuh sebesar 13,40 %. Dari 5 variabel yang masuk dalam

pemodelan, lingkungan sosial budaya yang paling berpengaruh dengan

Page 149: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

149

nilai X2 sebesar 17,604 untuk patuh terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok.

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang tahun

2011, maka dapat diperoleh gambaran dari karakteristik umum sampel

menunjukkan bahwa: 64 sampel dengan umur tertinggi 27-32 tahun

terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok sebanyak 65,6 %, dan tidak patuh sebanyak 34,4 % sedangkan dari

7 sampel dengan umur terendah 15-20 tahun terdapat yang patuh

sebanyak 71,4 % dan tidak patuh sebanyak 28,6 % sedangkan dari >63

tahun terdapat yang patuh sebanyak 85,7 % dan tidak patuh sebanyak

14,3 %.

Tingkat pendidikan sampel pada tabel 10 bahwa dari 103 sampel

dengan tingkat pendidikan tertinggi SMA terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 70,9 % dan

tidak patuh sebanyak 0,7 %, sedangkan dari 2 sampel dengan tingkat

pendidikan terendah tidak sekolah terdapat yang patuh.

Jenis pekerjaan sampel pada tabel 11 bahwa dari 193 sampel

dengan pekerjaan tertinggi Petani terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 72,0 % dan

tidak patuh sebanyak 28,0 %, sedangkan dari 6 sampel dengan

Page 150: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

150

pekerjaan terendah pelajar/mahasiswa terdapat yang patuh sebanyak

66,7 % dan tidak patuh sebanyak 33,3 %.

Kepatuhan dalam penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok adalah ketaatan masyarakat atau individu untuk melaksanakan

aturan dalam pelaksanaan kawasan tanpa asap rokok. Kepatuhan

merupakan sejauh mana perilaku individu sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh profesional kesehatan. Perilaku sehat dan pengontrolan

perilaku dengan faktor kognitif, dukungan sosial dalam bentuk dukungan

emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang

merupakan faktor yang penting dalam kepatuhan dalam program-program

medis, dan dukungan dari profesional kesehatan.

a. Hubungan pengetahuan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan

teori yang memungkinkan seseorang dapat memecahkan masalah

yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperolah baik dari

pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain.

Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 215 yang pengetahuannya

cukup terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok sebanyak 72,6 %, hasil tersebut menyatakan

bahwa ketika sampel memiliki pengetahuan yang cukup maka juga

akan mendorong untuk patuh terhadap aturan dalam kebijakan

kawasan bebas asap rokok. tetap pengetahuan responden yang

Page 151: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

151

kurang tetapi patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas

asap rokok sebanyak 66 responden.

Hasil uji analisis bahwa dari 66 sampel yang pengetahuannya

kurang masih terdapat yang patuh terhadap kebijakan sebanyak 59,1

%, sedangkan yang tidak patuh sebanyak 40,9 %, masi adanya

masyarakat atau sampel yang tidak patuh terhadap kebijakan

kawasan bebas asap rokok karena dalam hal ini sebagian dari sampel

masih rendah pengetahuannya mengenai kawasan bebas asap rokok,

kemudian dalam penelitian ini terdapat dua desa yang dijadikan

sampel antara lain Desa Bone-Bone dan Desa Kendenan dimana dari

Desa Kendenan belum memiliki aturan tertulis tentang kawasan bebas

asap rokok sehingga sebagian warga masyarakat masih ada yang

merokok atau tidak patuh terhadap penerapan kawasan bebas asap

rokok.

Hasil uji statistik ditemukan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok. hal ini berarti bahwa bagi sampel yang

pengetahuan cukup tetapi tidak patuh terhadap kebijakan karena hal

ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pengetahuan saja tetapi faktor-

lingkungan dan faktor lain yang bisa mempengaruhi kepatuhan

terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok.

Page 152: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

152

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ishaq

Pawennari,hasil uji analisis statistik menyatakan bahwa ada hubungan

antara pengetahuan dengan kebijakan kawasan bebas asap rokok

dimana nilai p=0,013 artinya nilai p < 0,05.

b. Hubungan pendapatan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok

Pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi

perekonomian suatu rumah tangga, proporsi pengeluaran untuk

membeli produk tembakau atau dari rumah tangga dengan perokok

adalah 11, 5 % ; angka ini lebih besar dibandingkan untuk belanja

ikan, daging, telur, susu (11 %); 2,3 persen untuk pembiayaan

kesehatan.

Tabel 19 diperoleh bahwa dari 132 responden dengan

pendapatan cukup terdapat yang patuh terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok sebanyak 75,2 % sedangkan dari 149

responden dengan pendapatan kurang terdapat yang patuh terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 64, 2 %,

tetapi ada 54 responden yang pendapatannya kurang tetapi tidak

patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok hal

ini disebabkan karena dari beberapa responden yang diwawancarai

menyatakan bahwa bukan hanya karena faktor kurangnya

pendapatan perbulan yang mempengaruhi kepatuhan tetapi juga

Page 153: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

153

faktor masih kurang sadarnya masyarakat tentang bahaya asap rokok

serta adanya pengaruh dari keluarga atau teman sepergaulan.

Hasil analisis statistik bahwa dari 149 sampel yang

pendapatannya kurang masih terdapat 36,2 % yang tidak patuh

terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok hal ini

disebabkan karena dalam penelitian ini sebaagian dari sampel di

ambil dari Desa yang belum lama dalam penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok sehingga sebagian dari sampel masih

belum bisa lepas dari ketergantungan rokok, ada sebagian sampel

menyatakan bahwa berhenti merokok tidak bisa langsung berhenti

tetapi bertahap jadi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa

berhenti merokok atau patuh terhadap penerapan kawasan bebas

asap rokok.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hugh R,

dkk bahwa hasil uji analsis statistik menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna dimana antara pendapatan dengan

penerapan kebiajakan dimana nilai P= 0,001, r= 0,414 artinya nilai p

< α 0,005

c. Hubungan lingkungan sosial budaya terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok

Sosial budaya setempat biasanya sangat berpengaruh

terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari

perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena

Page 154: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

154

memang masing-masing etnis mempunyai budaya yang khas.

Lingkungan Sosial budaya dalam hal ini yaitu keluarga, teman,

keyakinan/kepercayaan) yang memungkinkan dapat mempengaruhi

responden untuk berhenti merokok atau tidak merokok

Tabel 20 diperoleh bahwa dari 154 mengenai ada pengaruhnya

lingkungan sosial & budaya terdapat yang patuh terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 79,9 %, sedangkan

dari 127 yang tidak ada pengaruhnya lingkungan sosial budaya

terdapat yang patuh sebanyak 72 sampel atau 56,7 %. Dari hasil

wawancara dengan sampel menyatakan bahwa sebagian yang bukan

faktor sosial budaya yang mempengaruhi kepatuhan sampel terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok faktor lain yang

sangat berpengaruh dalam adalah sosial ekonomi dan kesadaran dari

individu masing-masing tanpa ada faktor dari teman, keluarga atau

agama / kepercayaan responden.

Hasil analisis statistik meyatakan bahwa dari 127 yang tidak

ada pengaruhnya terhadap lingkungan sosial budaya terdapat yang

tidak patuh sebanyak 43,3 %, sedangkan yang ada pengaruh

lingkungan sosial budaya terdapat yang tidak patuh sebanyak 20,1 %

masih adanya sampel yang tidak patuh terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok dikaitkan dengan lingkungan sosial

budaya karena tidak semua sampel mempunyai karakteristik yang

sama ada yang berhenti merokok karena dorongan keluarga dan ada

Page 155: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

155

yang berhenti merokok karena kemauaan sendiri ,masih adanya

sampel yang tidak patuh ditinjau dari segi agama/kepercanyaan

karena sebagian dari sampel menyatakan bahwa agama tidak

melarang merokok atau tidak mengharamkan merokok tetapi sebagian

sampel memang menyatakan bahwa merokok itu haram,sedangkan

dari 79,9 % yang menyatakan ada pengaruh terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dengan lingkungan

sosial budaya karena dari segi agama, kepercayaan atau keyakinan

mereka menyatakan bahwa rokok itu haram dan bukan itu saja yang

bisa dijadikan dasar tetapi memang di salah satu desa yaitu di Desa

Bone-Bone yang merupakan Desa Kawasan Bebas asap rokok juga

mengharuskan wanita yang berusia 12 tahun apabila keluar dari

rumah harus menutup aurat, hal ini yang menjadi dasar bahwa

memang sebagain sampel yang patuh terhadap kebijakan

dihubungkan dengan lingkungan sosial budaya sangat besar

kontribusinya dalam masalah kepatuhannya masyarakat terhadap

penerapakan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

Jika dikaji dari segi ilmu epidemiologi yang menyatakan bahwa

konsep penyebab penyakit adanya interaksi antara host

(penjamu/manusia), agent (penyebab), environment/lingkungan).

Tetapi dalam penelitian ini fakta yang diperoleh dimasyarakat bahwa

bukan hanya dari segi penyebab penyakit saja adanya faktor

lingkungan yang berpengaruh tetapi lingkungan juga merupakan salah

Page 156: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

156

satu faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat dalam

menerapkan kebijakan kawasan bebas asap rokok dalam hal ini

lingkungan sosial.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Nurhidayati, dkk, 2005 bahwa faktor kesehatan,

organisas,keagamaan, dan keluarga sangat berhubungan dengan

terapi berhenti merokok sehingga kepatuhan dalam penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok lebih maksimal.

d. Hubungan sikap terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan

bebas asap rokok

Sikap merupakan respon seseorang dalam bereaksi terhadap

suatu hal atau objek sikap. Menurut Berkowitz (dalam Azwar, 1995

setiap orang yang mempunyai perasaan positif terhadap suatu objek

psikologis dikatakan menyukai objek tersebut atau mempunyai sikap

yang favourable terhadap objek itu, sedangkan individu yang

mempunyai perasaan negatif terhadap suatu objek psikologis

dikatakan mempunyai sikap yang unfavourable terhadap objek sikap

tersebut.

Penelitian sikap dilakukan dengan menggunakan kuesioner

yang berisikan pertanyaan yang berhubungan dengan sikap

responden terhadap masalah kawasan bebas asap rokok. Dari hasil

penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden sudah dapat

Page 157: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

157

merespon dengan baik terhadap kawasan bebas asap rokok baik

terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya.

Tabel 21 diperoleh bahwa dari 184 responden yang sikapnya

baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan bebas asap

rokok sebanyak 76,1 % sedangkan dari 97 yang sikapnya kurang baik

terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok

sebanyak 56,7 %. Tetapi terdapat 44 responden yang sikapnya baik

dan tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok. hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor misalnya

lingkungan, kebudayaan, adat istiadat dan pengalaman yang dapat

mempengaruhi sikap responden sehingga memiliki sikap baik tetapi

tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok.

Hasil analisis statistik menyatakan bahwa dari 97 sampel yang

sikapnya kurang baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan

kawasan bebas asap rokok sebanyak 56,7 % dan tidak patuh

sebanyak 43,3 %, sedangkan dari 184 yang sikapnya baik terdapat

yang patuh terhadap kebijakan sebanyak 76,1 % dan tidak patuh

sebanyak 23,9 %. Masih adanya sampel yang tidak patuh jika

dihubungkan dengan sikap mereka terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok karena sebagian dari sampel masih minim

pemahammnya tentang kawasan bebas asap rokok karena sebagian

masyarakat belum merasakan betul manfaat dari adanya kebijakan

Page 158: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

158

tersebut karena faktor penerapan kebijakan yang belum lama

khususnya di Desa Kendenan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sumarni tahun 2009 bahwa sebanyak 65,5 % dengan sikap yang

positif dan patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok dengan hasil uji statistik diperoleh nilai P=0,001 yang

disimpulkan bahwa ada hubungan sikap terhadap kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

e. Hubungan kebijakan perdes terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok

Kebijakan adalah seperangkat panduan yang diperlukan untuk

mengambil keputusan (Spassof, 1999) . Kebijakan berperan

mengintegrasikan, memfokuskan dan mengefektifkan upaya

organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Berbagai

model siklus kebijakan tersedia dalam jenis dan jumlah langkah yang

bervariasi.

Tabel 22 diperoleh bahwa dari 137 responden yang memiliki

kebijakan perdes terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan

bebas asap rokok sebanyak 79,6 % sedangkan dari 144 yang tidak

terdapat kebijakan perdes tetapi patuh terhadap kebijakan kawasan

bebas asap rokok sebanyak 59,7 %. Tetapi terdapat 28 responden

yang mempunyai kebijakan perdes dan tidak patuh terhadap kebijakan

kawasan bebas asap rokok hal ini disebabkan karena ada faktor

Page 159: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

159

kebiasan merokok masyarakat yang sampai saat ini belum bisa di

rubah serta keadaan iklim daerah tersebut yang cukup dingin yang

memicu masyarakat untuk merokok.

Hasil analisis statistik menyatakan bahwa dari 144 sampel yang

tidak ada kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 59,7 % dan

tidak patuh sebanyak 40,3 %, sedangkan dari 137 sampel yang

memiliki kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 79,6 % dan

yang tidak patuh sebanyak 20,4 %,dari hasil ini diperoleh bahwa

ternyata masih ada sebagian sampel yang tidak patuh terhadap

penerapan kawasan bebas asap rokok jika dikaitkan dengan kebijakan

perdes hal ini disebabkan karena dalam penerapan kawasan bebas

asap rokok sebelumnya merupakan inisiatif dari kepala Desa Bone-

Bone dan kesepakatan dengan tokoh masyarakat, kesepakatan ini

berlaku pada tahun 2001 sedangkan perdes nanti di keluarkan pada

tahun 2009 sehingga sosialisasi ke masyarakat tentang isi perdes

dalam hal ini mengenai aturan dan saksinya masih kurang.

Penelitian ini dilakukan di dua Desa yaitu Desa Kendenan dan

Desa Bone-Bone,hasil wawancara peneliti bahwa di Desa Kendenan

belum ada perdes secara tertulis mengenai kawasan bebas asap

rokok tetapi sudah ada larangan untuk tidak merokok dikawasan itu

jadi sebagian sampel masih merokok atau tidak memperdulikan

larangan itu karena tidak ada sanksi atau aturan secara tertulis yang

mengatur tentang kawasan bebas asap rokok.

Page 160: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

160

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Apriwal, 2009 dari hasil uji statistik diperoleh bahwa Pengaruh adanya

SK direktur area merokok lebih kuat dibandingkan dengan media

poster, hasil statistik (37, 90) dengan p= 0,000 terhadap efektifitas

kebijakan kawasan bebas asap rokok di RSUD Sulthan Thaha

Saipuddin Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

D. Keterbatasan Penelitian

1. Jarak tempat penelitian dari ibu kota Kecamatan cukup jauh dengan

waktu tempuh sekitar 1 jam dan pada saat musim hujan hanya bisa

dilalui dengan kendaraan roda dua sehingga pada saat melakukan

penelitian kurang efisien.

2. Lokasi tempat penelitian dengan medan yang berat sehingga

menyulitkan peneliti.

3. Sebagian sampel tidak terbuka masalah kebiasaan merokok karena

takut dengan terhadap sanksi.

4. Keterbatasan penelitian dalam mencari sampel karena rata-rata

masyarakat ditempat penelitian dari pagi-sore beraktifitas di kebun

masing-masing sehingga dalam melakukan wawancara masyarakat

dikumpulkan di balai Desa.

Page 161: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

161

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian tentang hubungan pengetahua, pendapatan,

lingkungan sosial & budaya, sikap dan kebijakan perdes terhadap

kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dapat ditarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang

2. Pendapatan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang

3. Lingkungan sosial & budaya berhubungan dengan kepatuhan terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang

4. Sikap berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

5. Kebijakan Perdes berhubungan dengan kepatuhan terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang

Page 162: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

162

B. Saran

1. Diharapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang ( pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial &

budaya, sikap dan kebijakan perdes terus diperbaiki dan ditingkatkan,

sehingga kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok

lebih efektif lagi dan bukan hanya dari 2 Desa saja tetapi semua desa

di Kecamatan Baraka.

2. Diharapkan kepada pemerintah setempat agar sosialisasi dan

penerapan kebijakan perdes lebih ditingkatkan, agar masyarakat lebih

paham isi dari kebijakan perdes tentang kawasan bebas asap rokok .

3. Diharapkan kepada masyarakat setempat agar lebih meningkatkan

lagi pengetahuan dan sikapnya mengenai kawasan bebas asap

rokok.

4. Masih banyak faktor lain yang pberhubungan dengan kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, olehnya itu

diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti sejauh mana faktor

yang tidak diteliti pada penelitian ini berhubungan dengan kepatuhan

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

Page 163: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

163

DAFTAR PUSTAKA

Abadi. 2009. “Urgensi Pelaksanaan Kawasan Tanpa

Rokok”,http://wwww.press. doch.id, Jakarta diakses tanggal 01-

05-2011

Achadi Anhari. 2008. “Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di

Indonesia”. .Jurnal kesehatan Masyarakat Universitas Inonesia

(FKM UI) . Jakarta

Aditama, Tjandra Yoga. 1997. “Rokok dan Kesehatan”, UI Press Jakarta

. “Rokok Masalah Indonesia”, Ditinjau dari aspek

Ekonomi,

Ahmad Rifa’I Rif’an. 2010. “Merokok Haram, Republika”, Jakarta Selatan.

Aiman Husaini. 2006. “Rahasia & Cara Emapatik Berhenti Merokok,”

Pustaka IIman, Bandung

Alamsyah Rika Mayasari, 2007. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kebiasaan Merokok dan Hubungannya Dengan Status Penyakit

Periodontal Remaja di Kota Medan Tahun 2007”. Medan.

http://www. Repository usu .ac.id diakses tanggal 24-12-2010

Amiruddin Ridwan, 2011, “Epidemiologi Perencanaan & Pelayanan

Kesehatan”, Masagena Press, Tamalanrea Makassar

Amiruddin Ridwan, 2008, “Metode Epidemiologi untuk Kebijakan

Kesehatan”, http://ridwanamiruddin.wordpress.com diakses tanggal

25-02-2011

A.Wawan & Dewi M. 2010. “Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia”,

Nuha Medika, Yogyakarta

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta, 2009 http://www.Jakarta.go.id. di akses tanggal 20 Januari 2011

Bustan M.N , 2007. “Epidemiologi Penyakit Menular”. Rineka Cipata.

Jakarta

Page 164: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

164

Departemen Kesehatan RI.2004. “Fakta Tembakau Indonesia Data

Empiris Untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah

Tembakau”.

. 2001 “Survey Kesehatan Nasional 2001”, Jakarta.

. 2002 “Pradigma Sehat”, Pusat Promosi Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Direktorat jenderal Bina Kesehatan

Masyarakat. Fakta Tembakau Indonesia : Data Empiris untuk

Strategi nasional

Fakta Tembakau & Permasalahannya Di Indonesia.2009. Tobacco Control

Support Center (TCSC)-IAKMI bekerjasama dengan Pusat

Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan dan

WHO Indonesia, Jakarta

Hidayat, A.Aziz Alimul. 2007. “Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik

Analisis Data:, Salemba Medika, Jakarta

Kesehatan dan Hukum.”Buletin Rokok dan Masalahnya”, No. 16 Jakarta

Lameshow, Stanly dkk. (1997). “Besar Sampel dalam Penelitian

Kesehatan”, UGM Press, Yogyakarta.

Lisa Ellizabet Aula. 2010. “Stop Merokok”, Garailmu, Yogjakarta

Lenny, 2008, “Mal Plaza Semanggi jadi Percontohan KDM”. Jakarta.

http:///www.Berita Jakarta.com diakses tanggal 30-01-2011

Martini. 2005. “Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Konsep Diri Remaja

Pada Siswa SMA 1 Jakarta”, Jakarta

Notoadmodjo, Soekidjo, 2005. “Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi”.

Rineka Cipta.

. 2002. “Metodologi Penelitian Kesehatan”, Rineka

Cipta,Jakarta

Puja Victor Subiakto, 2011, “Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang

Pengendalian Bahaya Tembakau Siklus Kebijakan Publik

Berbasis Evidens Epidemiologi”. ISMKMI in Tobacco Control,

http:///www.Ismkmi.wordpress.com diakses tanggal 01-02-2011

Page 165: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

165

Riset Kesehatan Dasar. 2007. Departemen Kesehatan RI, 01 Januari 2011 http://www. Litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/Indonesia/

Syakira Ghana,2009,“Konsep Kepatuhan”,http://syakira-blog.blogspot.com , diakses tanggal 23-02-2011

Sitepoe, Mangku. 2000. “Kekhususan Rokok di Indonesia”, PT Grasindo

Jakarta

Sudigdo Sastroasmono. 2010. “Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis”,

Sagung Seto, Jakarta

Sukendro, Suryo. 2007. “Filosofi Rokok”, Pinus Book Publisher,

Yogyakarta

Sumama Riny,2009, “Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Merokok pada

Mahasiswa Ekstensi Angkatan 2007 di Fisip UI Tahun 2009”.

http://www.digilib.ui.ac diakses tanggal 25-12-2010

WHO. 2005. Smoke-free Inside. http://www.who.or.id/Tobacco/wntd

diakases tanggal 15-01-2011

WHO.2007. Gender and Tobacco Control : Apolicy Brief, Departemen of

Gender, Women and Health (GWH), Switzerland.

http://www.who.or.id diakses tanggal 10-01-2011

Page 166: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

166

FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN

KEBIJAKAN KAWASAN BEBAS ASAP ROKOK DI KECAMATAN BARAKA

KABUPATEN ENREKANG

TAHUN 2011

Rahma Sri Susanti*) Zulkifli Abdullah dan Ridwan Amiruddin

*) email : [email protected]

Abstrak

RAHMA SRI SUSANTI. Faktor Determinan terhadap Kepatuhanan Penerapan

Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

Tahun 2011 (dibimbing oleh Zulkifli Abdullah dan Ridwan Amiruddin).

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan, pendapatan,

lingkungan sosial & budaya, sikap dan kebijakan perdes terhadap kepatuhan penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok.

Penelitian ini bersifat Observasional dengan menggunakan desain Cross

Sectional Study. Sampel yang diambil sebanyak 281 orang melalui Simple Random

Sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Data dianalisis dengan program SPSS, uji statistik dengan menggunakan Chis- Square

untuk uji bivariat, dan uji regresi logistik untuk uji multivariat dengan p < 5 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan p(0,038) Pendapatan p(0,029),

lingkungan sosial budaya p(0,000) sikap p (0,001) dan kebijakan perdes p(0,000)

signifikan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, variabel

yang paling berhubungan di uji multivariat adalah variabel kebijakan perdes p(0,000)

<(0,05).

Kata kunci : pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap, kebijakan

perdes

Abstract

Page 167: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

167

RAHMA SRI SUSANTI. Determinant Factors on Policy Application Loyalty of Free-

Smoke Area in Baraka District of Enrekang Regency in 2011 (supervised by Zulkifli

Abdullah and Ridwan Amiruddin)

The aims of the research is to find out correlation between knowledge, income,

social and cultural envirotment, attitude and policy of regional regulations and policy

application loyalty of free-smoke area.

The research was an observational cross sectional study design. The sample

consisted of 281 respondents selected by using simple random sampling technique. The

data were processed by using SPSS program; statistics test used Chi Square for

bivariate test and logistic regression test for multivariate test with p < 5 %.

The result reveal that knowledge p(0.038), income p(0.029), social cultural

environment p(0.000), attitude p(0.001), and policy of regional regulation p(0.000) have a

significant correlation to policy application loyalty of free-smoke area. The most significant

variable to multivariate test is regional regulation policy variable which is p(0.000) <

(0,05).

Key words : knowledge, income, social and cultural environment, attitude and policy of

regional regulation

PENDAHULUAN

Pengalaman berbagai negara memperlihatkan bahwa Undang-Undang kawasan

tanpa rokok (UU KTR) yang diikuti dengan penegakan hukum yang memiliki

penegakan hukum yang ketat, memiliki tingkat kepatuhan masyarakat yang

cukup tinggi sebanyak 90 %. Kenyataan ini dibuktikan di beberapa negara

antara lain : Irlandia (97%), New York (97 %), New Zealand (97%), Italia (98,2

%), Massaachusetts (96,3%) dan Scotlandia (95,9 %).(Abadi, 2009).

Page 168: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

168

Tahun 1995 di Amerika Serikat , pemerintah kota membuat undang-undang

Bebas Asap Rokok, tetapi masih membolehkan adanya ruang merokok di

beberapa tempat. Kemudian UU bebas Asap Rokok tersebut diubah pada

tanggal 30 September 2002, dan berlaku efektif pada 30 Maret 2003, dengan

menerapkan KTR%. Pelaku Utama, Dinas Kesehatan Kota dan Mental menjadi

inisiator yang mengarahkan penerapan KTR 100%, Jaringan koalisi masyarakat

tentang KTR. Mereka membuat jaringan advokasi anti tembakau yang sangat

luas, multi stakeholders Pola Penegakan Hukum, Dalam melaksanakan UU,

semua pengelola tempat bisnis/kerja diharuskan mempunyai peraturan tertulis

setempat tentang larangan merokok, memasang tanda larangan meroko, Dan

larangan menyediakan asbak rokok. (Abadi, 2009).

WHO dalam buku panduannya strategi pengendalian bahaya tembakau

MPOWER menjelaskan bahwa terdapat 1 kematian tiap 6 detik, 5,4 juta jiwa

pada tahun 2005, 100 juta selama abad ke-20 jika dibiarkan 8 juta jiwa pada

tahun 2030 dan 1 Milyar jiwa selama abad ke-21 . Untuk mengatasi epidemi

tembakau, organisasi kesehatan sedunia (WHO) mengajak Negara anggotannya

untuk menerapkan strategi MPOWER . Strategi MPOWER terdiri atas 6 upaya

pengendalian tembakau yang meliputi : Monitor prevalensi penggunaan

tembakau dan pencegahannya, perlindungan terhadap asap tembakau,

optimalisasi dukungan untuk berhenti merokok, waspadakan masyarakat akan

bahaya tembakau, eliminasi iklan, promosi dan sponsor tembakau, serta raih

kenaikan cukai tembakau (Victor Subiakto Puja,2009)

Dukungan masyarakat di daerah dimana peraturan kawasan tanpa rokok akan

diberlakukan mutlak dibutuhkan. Pemahanan masyarakat akan bahaya asap

rokok orang lain dan manfaat peraturan kawasan tanpa rokok yang memberikan

perlindungan 100% serta pengertian atas hak untuk hidup sehat – akan

menjamin kepatuhan yang didasari oleh kesadaran bukan keterpaksaan karena

adanya sanksi peraturan. (TCSC-IAKMI, 2009).

Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi target utama kampanye

Internasional pengendalian tembakau di kawasan Asia Tenggara. Alasannya,

Indonesia merupakan satu-satunya negara di wilayah Asean yang belum

meratifikasi Konvensi WHO tentang Pengendalian Rokok (Framework

Convention on Tobacco Control/FCTC).

Page 169: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

169

Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mutlak diperlukan. Jika dilakukan

secara simultan, kebijakan itu efektif mendukung pengendalian konsumsi

tembakau. "100 % kawasan bebas rokok, tidak ada smoking area atau smoking

room”. Hasil survei YLKI terhadap 1.000 responden di Jakarta yang terdiri dari

600 bukan perokok dan 400 perokok menunjukkan, sebanyak 87,8 % responden

setuju dengan penerapan kawasan tanpa rokok. Bahkan 81 % responden

perokok menyatakan setuju dengan kebutuhan kawasan tanpa rokok. Hampir

seluruh masyarakat Jakarta mendukung terwujudnya Jakarta 100 % bebas asap

rokok . (hasil survei dukungan masyarakat terhadap Jakarta 100 % bebas asap

rokok yang dilakukan terhadap 747 responden di 5 wilayah Provinsi DKI Jakarta.

(Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta,

2009).

Mewujudkan udara bersih tanpa asap rokok tentunya menjadi harapan semua

orang. Bahkan, uji petik-teguran simpatik kawasan dilarang merokok (KDM) yang

dilaksanakan 19-26 November mendapat apresiasi positif warga Jakarta. Untuk

memancing para pengelola gedung dan pusat perbelanjaan di DKI Jakarta turut

menegakkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara dan Peraturan Gubernur (pergub) Nomor 75

Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, Pemerintah Provinsi (Pemprov)

DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) dan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meresmikan Mal

Plaza Semanggi sebagai kawasan dilarang merokok. (Lenny, 2008)

Komitmen pemerintah daerah atas amanat pasal 115 dari Undang-Undang (UU)

Nomor 36 Tahun 2009 tentang kewajiban pemda menerapkan kawasan bebas

rokok terbilang masih sangat minim. Dari sekitar 400 kabupaten/kota yang ada

baru sekitar 22 kabupaten/kota yang telah mengimplementasi kewajiban

tersebut.

Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama bahwa sejak 2005, Ke-menkes dan instansi lain melakukan program lintas sektor memperkenalkan inisiatif "Program Kota Sehat", dengan tujuan membuat Kota Sehat melalui inisiatif lokal. Hampir 200 kota/kabupaten di Indonesia pernah dilatih untuk mendukung kebijakan ini. Salah satu indikator utama untuk menilai keberhasilan inisiatif "Kota Sehat" adalah lingkungan yang bebas asap rokok dan untuk penguatannya telah dituangkan ke dalam sebuah peraturan daerah.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 menyatakan Pemerintah Daerah wajib menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sampai saat ini baru ada 22 kabupaten/kota yang sudah

Page 170: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

170

mulai melaksanakan kebijakan tersebut, walaupun program ini belum seragam di seluruh kabupaten/kota.(Merry Wahyu Ningsihm, 2010).

Pada tahun 2009 kawasan bebas asap rokok di Desa Bone-Bone Kabupaten

Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan lebih dipertegas dengan dikeluarkannya

Perdes No. 01 tahun 2009 tentang kawasan bebas asap rokok. Dan merupakan

satu-satunya Desa yang mengeluarkan Perdes kawasan bebas asap rokok di

Indonesia yang sesuai dengan standar internsional yaitu 100 % kawasan bebas

asap rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.

METODE PENELITIAN

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap dan kebijakan

perdes terhadap kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok. Hasil penelitian ini merupakan landasan pengembangan model dalam

peningkatan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap

rokok.

Hasil penelitian ini juga diharapkan : (1) menambah pengetahuan serta

memberikan informasi dalam penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok,

(2) digunakan sebagai bahan evaluasi bagi penentu kebijakan (pemerintah

setempat), khususnya Desa Kendenan dan Desa Bone-Bone dalam

meningkatkan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok,(3)

memperkaya khasanah dan ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai

acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan variabel yang berbeda.

Desain penelitian menggunakan observasional analitik dengan rancangan Cross

Sectional Study (studi potong lintang). Populasi sasaran penelitian ini adalah

seluruh penduduk Desa Bone-Bone dan Desa Kendenan. Sampel dalam

Page 171: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

171

penelitian ini adalah sebagian dari penduduk Desa Bone-Bone dan Desa

Kendenan dengan penarikan sampel secara Simple Random Sampling.

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan sampel yang terpilih

dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari kantor Desa

Kendenan, Kantor Desa Bone-Bone dan Kantor Camat Baraka. Pengolahan data

yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan komputer dengan

menggunakan program SPSS dengan langkah-langkah editing, coding, entry dan

cleaning. Analisis data yang dilakukan untuk penelitian ini menggunakan analisis

univariat dengan tampilan gambaran distribusi frekuensinya dalam bentuk tabel

dan narasi. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square untuk mengestimasi

pengaruh dan masing-masing faktor-faktor yang diteliti dan analisis multivariate

menggunakan uji regresi logistik.

HASIL PENELITIAN

Analisis Univariat

Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 281 orang, pada analisi univariat

masing-masing variabel akan dideskripsikan menurut kepatuhan terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, umur, pendidikan, pekerjaan,

pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial budaya, sikap dan kebijakan

perdes.

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan

umur bahwa umur tertinggi 27-32 tahun yang patuh sebanyak 65,6 %, dan tidak

patuh sebanyak 34,4 %, umur terendah 15-20 tahun terdapat yang patuh

sebanyak 71,4 % dan tidak patuh sebanyak 28,6 %, berdasarkan tingkat

pendidikan bahwa pendidikan tertinggi SMA terdapat yang patuh sebanyak 70,9

% dan tidak patuh sebanyak 0,7 %, tingkat pendidikan terendah tidak sekolah

terdapat yang patuh dan tidak patuh masing-masing 50 %, berdasarkan jenis

pekerjaan bahwa tertinggi petani yang patuh sebanyak 72,0 % dan tidak patuh

sebanyak 28,0 %, dan pekerjaan terendah pelajar/mahasiswa terdapat yang

patuh sebanyak 66,7 % dan tidak patuh sebanyak 33,3 %.

Page 172: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

172

Hasil Analisis Bivariat

Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 2, bahwa hasil penelitian menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang berhubungan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok adalah pengetahuan p(0,038), Pendapatan p(0,038),

lingkungan sosial budaya, p(0,000) sikap p (0,001) ,dan kebijakan perdes

p(0,000) (Tabel 2).

Hasil Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel yang paling

berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas

asap rokok, setelah dianalisis dengan variabel lainnya. Variabel bermakna

secara statistik (nilai p < 0,05). terlihat bahwa variabel yang berhubungan dengan

kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok adalah

variabel pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial & budaya, sikap dan

kebijakan perdes, sehingga variabel tersebut dapat dimasukkan dalam analisis

multivariat dengan uji regresi logistik.

Diketahui bahwa dari 5 variabel yang diikutkan dalam uji regresi logistik diketahui

3 variabel secara statistik bermakna yaitu lingkungan sosial budaya p(0,001),

sikap p(0,012) dan kebijakan perdes p(0,000) karena nilai p < 0,05 sedangkan

dari 2 variabel yang tidak bermakna yaitu variabel pengetahuan p(0,40),

pendapatan (0,084) karena p > 0,05. variabel kebijakan Perdes merupakan

variabel yang paling berhubungan dibandingkan ke empat variabel yang lain.

Dan kebijakan perdes berpengaruh 3,043 kali terhadap penerapan kepatuhan

kebijakan kawasan bebas asap rokok (Tabel 3).

Model nilai estimasi dari regresi logistik berganda disajikan sebagai berikut :

Y = -6,678 + 0.687(pengetahuan)+ 0,505(pendapatan) + 0,980(lingkungan sosial &

budaya) + 0,728(sikap) + 1,113(kebijakan perdes)

Page 173: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

173

Berdasarkan fungsi regresi yang didapat dapat dibuat interpretasi sebagai berikut

:

Apabila fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang paling berhubungan terhadap kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok adalah lingkungan sosial budaya (1), sikap(1) dan kebijakan perdes (1), maka persamaannya sebagai berikut :

1

p = 1 + e-(-6,678+0.687(pengetahuan) +0.505(pendapatan) +0,980(lingkungan)+0,728(sikap) +1,113(kebijakan

perdes)

1 p = 1 + 2.718 -2,655

p = 0,9343

Dengan demikian lingkungan sosial & budaya serta sikap masyarakat terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok dan adanya aturan kebijakan perdes merupakan suatu faktor untuk tetap patuh pada penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok sebesar 93.43 %. Bila fungsi regresi dimasukkan hipotesis yang mempunyai pengaruh paling rendah untuk tidak patuh pada penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok adalah pengetahuan(1) dan pendapatan (1) maka peluang untuk tidak patuh sebesar 13,40 %. Dari 5 variabel yang masuk dalam pemodelan, lingkungan sosial budaya yang paling berpengaruh dengan nilai X2 sebesar 17,604 untuk patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

PEMBAHASAN

Hasil uji statistik ditemukan bahwa p(0,038) ini berarti ada hubungan antara

pengetahuan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas

asap rokok. hal ini berarti bahwa bagi sampel yang pengetahuan kurang tetapi

patuh terhadap kebijakan karena hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

pengetahuan saja tetapi faktor-faktor lingkungan juga sangat berpengaruh dan

faktor lain yang bisa mempengaruhi kepatuhan terhadap kebijakan kawasan

bebas asap rokok.

Page 174: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

174

Hasil analisis statistik dengan nilai p (0,029) ini berarti ada hubungan

pendapatan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

dan dari 149 sampel yang pendapatannya kurang masih terdapat 36,2 % yang

tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok hal ini

disebabkan karena dalam penelitian ini sebaagian dari sampel di ambil dari Desa

yang belum lama dalam penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok

sehingga sebagian dari sampel masih belum bisa lepas dari ketergantungan

rokok, ada sebagian sampel menyatakan bahwa berhenti merokok tidak bisa

langsung berhenti tetapi bertahap jadi membutuhkan waktu yang cukup lama

untuk bisa berhenti merokok atau patuh terhadap penerapan kawasan bebas

asap rokok.

Hasil analisis statistik bahwa nilai p(0,000) ini berarti ada hubungan lingkungan sosial budaya dengan kepatuhan terhadap penerapan kebiajkan kawasan bebas asap rokok dan yang terdapat 127 yang menyatakan tidak ada pengaruhnya terhadap lingkungan sosial budaya terdapat yang tidak patuh sebanyak 43,3 %, sedangkan yang ada pengaruh lingkungan sosial budaya terdapat yang tidak patuh sebanyak 20,1 % masih adanya sampel yang tidak patuh terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok dikaitkan dengan lingkungan sosial budaya karena tidak semua sampel mempunyai karakteristik yang sama ada yang berhenti merokok karena dorongan keluarga dan ada yang berhenti merokok karena kemauaan sendiri. Hasil analisis statistik menyatakan bahwa nilai p(0,001) ini berarti ada hubungan sikap dengan kepatuhan penerapan kebijakan perdes, dari 97 sampel yang sikapnya kurang baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan kawasan bebas asap rokok sebanyak 56,7 % dan tidak patuh sebanyak 43,3 %, sedangkan dari 184 yang sikapnya baik terdapat yang patuh terhadap kebijakan sebanyak 76,1 % dan tidak patuh sebanyak 23,9 %. Masih adanya sampel yang tidak patuh jika dihubungkan dengan sikap mereka terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok karena sebagian dari sampel masih minim pemahammnya tentang kawasan bebas asap rokok karena sebagian masyarakat belum merasakan betul manfaat dari adanya kebijakan tersebut karena faktor penerapan kebijakan yang belum lama khususnya di Desa Kendenan.

Hasil analisis statistik menyatakan nilai p (0,000) ini berarti ada hubungan kebiajkan perdes dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, dari 144 sampel yang tidak ada kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 59,7 % dan tidak patuh sebanyak 40,3 %, sedangkan dari 137 sampel yang memiliki kebijakan perdes terdapat yang patuh sebanyak 79,6 % dan yang tidak patuh sebanyak

Page 175: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

175

20,4 %,dari hasil ini diperoleh bahwa ternyata masih ada sebagian sampel yang tidak patuh terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok jika dikaitkan dengan kebijakan perdes hal ini disebabkan karena dalam penerapan kawasan bebas asap rokok sebelumnya merupakan inisiatif dari kepala Desa Bone-Bone dan kesepakatan dengan tokoh masyarakat, kesepakatan ini berlaku pada tahun 2001 sedangkan perdes nanti di keluarkan pada tahun 2009 sehingga sosialisasi ke masyarakat tentang isi perdes dalam hal ini mengenai aturan dan saksinya masih kurang.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kepatuhan terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang tahun 2011 maka dapat disimpulkan bahwa:

6. Pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

7. Pendapatan berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan

kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten

Enrekang

8. Lingkungan sosial & budaya berhubungan dengan kepatuhan terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang

9. Sikap berhubungan dengan kepatuhan terhadap penerapan kebijakan

kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang

10. Kebijakan Perdes berhubungan dengan kepatuhan terhadap

penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang

SARAN

5. Diharapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok Kecamatan Baraka Kabupaten Enrekang ( pengetahuan, pendapatan, lingkungan sosial & budaya, sikap dan kebijakan perdes terus diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga kepatuhan terhadap penerapan kawasan bebas asap rokok lebih efektif lagi dan bukan hanya dari 2 Desa saja tetapi semua desa di Kecamatan Baraka.

Page 176: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

176

6. Diharapkan kepada pemerintah setempat agar sosialisasi dan penerapan kebijakan perdes lebih ditingkatkan, agar masyarakat lebih paham isi dari kebijakan perdes tentang kawasan bebas asap rokok .

7. Diharapkan kepada masyarakat setempat agar lebih meningkatkan lagi pengetahuan dan sikapnya mengenai kawasan bebas asap rokok.

8. Masih banyak faktor lain yang pberhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok, olehnya itu diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti sejauh mana faktor yang tidak diteliti pada penelitian ini berhubungan dengan kepatuhan penerapan kebijakan kawasan bebas asap rokok.

DAFTAR ACUAN

1. Abadi. 2009. “Urgensi Pelaksanaan Kawasan Tanpa

Rokok”,http://wwww.press. doch.id, Jakarta diakses tanggal 01-05-2011

2. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta,

2009 http://www.Jakarta.go.id. di akses tanggal 20 Januari 2011

3. Departemen Kesehatan RI.2004. “Fakta Tembakau Indonesia Data Empiris

Untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Tembakau”.

4. Departemen Kesehatan RI, Direktorat jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

Fakta Tembakau Indonesia : Data Empiris untuk Strategi nasional

5. Fakta Tembakau & Permasalahannya Di Indonesia.2009. Tobacco Control

Support Center (TCSC)-IAKMI bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan

Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan dan WHO Indonesia, Jakarta

6. Lameshow, Stanly dkk. (1997). “Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan”,

UGM Press, Yogyakarta.

7. Lenny, 2008, “Mal Plaza Semanggi jadi Percontohan KDM”. Jakarta.

http:///www.Berita Jakarta.com diakses tanggal 30-01-2011

8. Puja Victor Subiakto, 2011, “Kebijakan Pemerintah Indonesia

Tentang Pengendalian Bahaya Tembakau Siklus Kebijakan Publik

Berbasis Evidens Epidemiologi”. ISMKMI in Tobacco Control,

http:///www.Ismkmi.wordpress.com diakses tanggal 01-02-2011

9. WHO. 2005. Smoke-free Inside. http://www.who.or.id/Tobacco/wntd

diakases tanggal 15-01-2011

10. WHO.2007. Gender and Tobacco Control : Apolicy Brief, Departemen of

Gender, Women and Health (GWH), Switzerland. http://www.who.or.id

diakses tanggal 10-01-2011

Page 177: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

177

Kepatuhan penerapan

Kawasan bebas Asap rokok

Pengetahuan

Faktor Eksternal

3. Lingkungan

4. Sosial Budaya

Faktor internal :

4. Pendidikan

5. Pekerjaan

6. Umur

Beban pembelian rokok

Biaya sakit akibat merokok

Kesehatan

Bahaya asap rokok

Penyakit akibat rokok

Kualitas hidup

Kebijakan Perdes

- Pelaksanaan Peraturan

- Penegakan hukum

- Larangan merokok

-Berhenti merokok

Sosial

Ekonomi/Pendapatan

Lingkungan sosial &Budaya

- Keluarga

- Teman

- Agama

kebiasaan merokok

- Merokok

- Tidak merokok

Sikap

Page 178: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

178

Gambar 1. Kerangka Teori

Page 179: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

179

Tabel 1. Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Karakteristik di Kecamatan

Baraka Kabupaten Enrekang Tahun 2011 (n=281)

KARAKTERISTIK

RESPONDEN

Kepatuhan

Jumlah Patuh Tidak Patuh

n % n %

UMUR

15-20 21-26 27-32 33-38 39-44 45-50 51-56 57-62 ≥ 63

TINGKAT PENDIDIKAN

Tidak SekolahTidak Tamat SD Tamat SD SMP SMA PT/Akademik

PEKERJAAN

PNS Wiraswasta Pegawai Swasta Petani Pelajar/Mahasiswa

5

34

42

30

37

14

18

9

6

1

7

43

43

73

28

71,4

64,2

65,6

65,2

72,5

87,5

64,3

100

85,7

50,0

63,6

69,4

74,1

70,9

62,2

2

19

22

16

14

2

10

0

1

1

4

19

15

30

17

28,6

35,8

34,4

34,8

27,5

12,5

35,7

0

14,3

50,0

36,4

30,6

25,9

29,1

37,8

7

53

64

46

51

16

28

9

7

2

11

62

98

103

45

Page 180: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

180

20

20

12

139

4

71,4

62,5

54,5

72,0

66,7

8

12

10

54

2

28,6

37,5

45,5

28,0

33,3

28

32

22

193

6

Sumber : Data Primer

Page 181: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

181

Tabel 2. Hasil Analisis Hubungan Variabel Independen Terhadap Kepatuhan

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas asap Rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang Tahun 2011 (n=281)

VARIABEL PENELITIAN

Kepatuhan

Jumlah

X2

p

𝜑

Patuh

Tidak Patuh

n % n %

Pengetahuan

Kurang Cukup

Pendapatan

Kurang Cukup

Lingkungan Sosial

Budaya

Tidak Ada Pengaruh

Ada Pengaruh

Sikap

Kurang Baik

Baik

Kebijakan Perdes

Tidak Ada Kebijakan

39

156

95

100

72

123

59,1

72,6

63,8

75,8

56,7

79,9

27

59

54

32

55

31

40,9

27,4

36,2

24,2

43,3

20,1

66

215

149

132

127

154

4,312

4,745

17,604

0,038

0,029

0,000

0,124

0,130

0,250

Page 182: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

182

Ada Kebijakan

55

140

86

109

56,7

76,1

59,7

79,6

42

44

58

28

43,3

23,9

40,3

20,4

97

184

144

137

11,239

13,012

0,001

0,000

0,20

0,215

Sumber : Data Primer

Tabel 3. Model Regresi Logistik Faktor Determinan Terhadap Kepatuhan Terhadap

Penerapan Kebijakan Kawasan Bebas Asap Rokok di Kecamatan Baraka

Kabupaten Enrekang Tahun 2011

VARIABEL

B S.E. Df Sig Exp

(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower

Limit

Upper

Limit

Pengetahuan

Pendapatan

Lingkungan Sosial & Budaya

Sikap

Kebijakan Perdes

Constant

0,687

0,505

0,980

0,728

1,113

-6,678

0,335

0,293

0,286

0,290

0,296

1,015

1

1

1

1

1

1

0,40

0,084

0,001

0,012

0,000

0,000

1,989

1,658

2,664

2,072

3,043

0,001

1,030

0,934

1,522

1,172

1,705

3,837

2,941

4,664

3,661

5,433

Sumber : Data Primer

Page 183: FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEPATUHAN PENERAPAN KEBIJAKAN

183