abses peritonsiler
DESCRIPTION
Referat THTTRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT
Oktober 2014
ABSES PERITONSILAR
DISUSUN OLEH :
Arif Sumanto S. Dai
C111 08 290
Zarah Alifani Dzulhijjah
110 209 0115
PEMBIMBING :
dr. Juliansyih
DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
1
DAFTAR ISI
SAMPUL
DAFTAR ISI 2
I. PENDAHULUAN 3
II. EPIDEMIOLOGI 3
III. ETIOLOGI 3
IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI 5
V. PATOFISIOLOGI 8
VI. GEJALA KLINIS 9
VII. DIAGNOSIS 10
VIII. KOMPLIKASI 11
IX. DIAGNOSIS BANDING 12
X. PENATALAKSANAAN 13
XI. PROGNOSIS 14
XII. PENCEGAHAN...................................................................................................15
XIII. DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16
LAMPIRAN
2
ABSES PERITONSILAR
I. PENDAHULUAN
Abses peritonsiler merupakan penyakit infeksi yang paling sering ditemukan pada
kepala dan leher yang terjadi pada orang dewasa. Infeksi ini dimulai dengan adanya
infeksi superficial dan berlangsung menjadi selulitis tonsiler. Suatu abses peritonsiler
merupakan bentuk yang paling berat. Diagnosis yang lebih cepat dari abses ini
memberikan kesempatan untuk melakukan penanganan dengan cepat sebelum abses
menyebar ke struktur anatomi sekitarnya.1
Abses peritonsiler merupakan suatu akumulasi pus yang terlokalisasi pada
jaringan peritonsil yang diakibatkan oleh tonsillitis yang supuratif. Penjelasan leinnya
menyatkaan bahwa abses peritonsiler merupakan suatu bentuk abses yang berkumpul
pada glandula saliva pada fossa supratonsiler, yang dikenal dengan kelenjar Weber.2
II. EPIDEMIOLOGI
Abses peritonsiler sering terjadi pada usia 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang
terjadi kecuali terdapat penurunan system imun, tetapi infeksi dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Banyak eviden yang menunjukkan bahwa tonsillitis
kronik atau percobaan multiple mengunakan antibiotic oral pada tonsillitis akut mungkin
menjadi faktor predisposisi pada pasien untuk akhirnya menjadi abses peritonsiler.1
Insidensi abses peritonsiter di Amerika Srikat sekitar 30kasus per 100.000 orang per
tahun, dan menunjukkan sekitar 45.000 kasus baru setiap tahun.2
III. ETIOLOGI
Banyak mikroorganisme yang dapat menebabkan tonsillitis akut maupun kronik.
Yang paling umum, bakteri gram positif aerobic maupun anearobik sering diidentifikasi
dari hasil pengkulturan. Hasil kultur dari bakteri yang menginfeksi pasien paling sering
berasal dari Streptococcus B-Hemoliticus grup A. Yang paling umum berikutnya adalah
staphylococcus, penumococcus, dan haemophilus. Dan mikroorganisme sisanya yang
3
bisa ditemukan dalam kultur termasuk lactobacillus, spesies actinomyces, micrococcus,
spesies neisseria, dipteri, spesies bakteroides. 2
Tabel 1 Mikroorganisme Tersering pada Hasil Kultur Tonsil Dan Adenoid4
Aerobic Anaerobic Virus Lain-lain
Group A beta-
hemolytic
streptococci
(GABHS)
Groups B, C, F,
streptococcus
Haemophilus
influenza (type b and
nontypeable)
Streptococcus
pneumoniae
Streptococcus
epidermidis
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus
aureus
Hemophilus
parainfluenza
Neisseria sp.
Mycobacteria sp.
Fusobacterium
Peptostreptococcus
Prevotella
Bacteroides sp.
Peptococcus sp.
Peptostreptococcus
sp.
Actinomycosis sp.
Microaerophilic
streptococci
Veillonella parvula
Bifidobacterium
adolescences
Eubacterium sp
Lactobacillus sp.
Fusobacterium sp.
Bacteroides sp.
Porphyromonas
asaccharolytica
Prevotella sp.
Epstein-Barr
Adenovirus
Influenza A
and B
Herpes
simplex
Respiratory
syncytial
Parainfluenza
Mycobacterium
(atypical
nontuberculous)
Candida
albicans
4
Lactobacillus sp.
Diphtheroids sp.
Eikenella corrodens
Pseudomonas
aeruginosa
Escherichia coli
Helicobacter pylori
Chlamydia
pneumonia
IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Walaupun sering dianggap sebagai komponen dan struktur yang berbeda, tonsil
dan adenoids sama-sama merupakan komponen dari Cincin Waldeyer. Jaringan yang
terdiri dari cincin limfoid memiliki histologi yang sama dan mungkin memiliki fungsi
yang sama secara keseluruhan. Selain adanya tonsilla palatina dan adenoids, juga dapat
ditemukan tonsilla lingual.3
Jaringan limfoid pada cincin Waldeyer mengandung sel limfosit B, sel limfosit T,
dan beberapa plasma sel yang dewasa. Jaringan ini terutama berperan dalam menginduksi
imunitas dan memproduksi immunoglobulin. Sel-sel tersebut tersusun pada folikel
limfoid, dan memiliki kerja pada saluran endotelium yang memfasilitasi pengambilan
antigen masuk ke dalam jaringan. Independensi dari sistem limfatik ini memiliki
keuntungan yang unik. Lokasi dan bentuk dari cincin Waldeyer memungkinkan kontak
langsung antigen pada sel-sel imunologis aktif ketika memasuki saluran pernapasan dan
digestif bagian atas, di mana akaan meningkatakan ingatan imunologi.3
5
Gambar 1. Anatomi Tonsil
Dikutip dari kepustakaan 5
Tonsila palatina merupakan komponen yang terbesar pada cincin Waldeyer dan
memiliki struktur yang khusus. Jaringan lomfoid ini sendiri lebih menyatu pada
keadaan normal, dengan kripte yang lebih jelas teridentifikasi. Kripte ini dilapisi
dengan epitel skuamos bertingkat dan meluas ke dalam jaringan tinsiler. Walaupun
kripte ini memaksimalkan papran antigen pada jaringan, hal ini juga menjadi tempat
berkumpulnya bakteri dan menjadi alasan tonsil sangat mudah terjadi infeksi.
Sebagian khusus fasia pharyngobasilar, membentuk sebuah kapsul fibrosa yang
berbeda. Jaringan lomfoid ini sangat bersifat adherent terhadap kapsul, sehingga
membuatnya sulit untuk dipisahkan, tetapi terdapat jaringan konektif yang kosong
antasa kapsul dan oto pada fossa tonsiler. Dengan adanya peradangan akibat infeksi
akut atau kronis, yang dibatasi oleh kapsul ini, jaringan tonsil bengkak biasanya
meluas medial ke dalam jalan napas orofaringeal. Ruang potensial antara amandel
dan otot-otot faring adalah tempat biasa terjadinya abses peritonsillar 3
Fosa Tonsil
Tiga otot faring tipis membentuk fosa tonsil. Otot palatoglossus membentuk pilar
anterior tonsil sedangkan otot palatopharyngeal membentuk pilar tonsil posterior.
Dasar fosa tonsil dibentuk oleh constrictors faring (terutama pembatas unggul). Di
6
bawah ini otot tipis terletak saraf glossopharingeus, struktur neurovaskular selubung
karotis ditemukan lebih dalam di bawahnya. Dengan diseksi dalam atau dengan
jahitan ditempatkan di luar kapsul tonsil, struktur ini penting dapat rusak secara tidak
sengaja.3
Vaskularisasi
Pasokan darah arteri dan innervasi dari tonsil utamanya berada pada bagian
inferior. Cabang tonsil dari arteri lingual dorsalis, arteri palatina asendens, dan arter
fasialis yang bercabang ke tonsil, msuk ke bagian inferior dari tonsil. Bagian superior
menerima pasokan darah dari arteri faringeal asenden, pada bagian anterior berasal
dari arteri palatina yang lainnya. Aliran vena lebih membaur pada pleksus vena
peritonsiler pada daerah kapsul. Pleksus ini mengalirkan ke dalam vena lingualis dan
vena faringeal, yang akhirnya akan bersatu pada vena julularis interna.3
Gambar 2. Pasokan darah pada tonsilla palatina
Dikutip dari kepustakaan 6
Aliran getah bening
Aliran dari linfatik biasanya mengalir ke nodul limfatikus tonsiller (di belakang
dari sudut mandibula), atau ke jugulodigastric, atau nodul linfatikus cervical lainnya.3
Inervasi
Persarafan pada tonsil utamaya berasal dari nervus glossofaringeal yang
bercabang pada tonsil, tetapi juga memiliki pengaruh kontribusi dari nervus palatina
desendens. Karena nervus glossofaringeal juga memiliki cabang timpani, tonsilitis
berat sering juga menunjukkan nyeri alih ke daerah telinga.3
7
Gambar 3. Adenoid terletak di dinding posterior nasofaring.
Dikutip dari kepustakaan 7
Peritonsilar Space
Ruangan ini ditemukan di daerah lateral dari kapsul tonsillar dan daerah medial
dari muskulus kostriktur superior. Palatoglossus dan palatopharyngeus yang terdiri dari
dinding anterior dan posterior, masing-masing, dibentuk oleh batas anterior dan
posteriornya. Di bagian inferior dibatasi oleh bagian posterior ketiga dari lidah. Inflamasi
di daerah regio ini mengakibatkan peritonsilitis dan dengan pembentukan pus dapat
berbentuk menjadi sebuah abscess atau quincy. Pus dapat menyebar keluar batas ruangan
ini hingga ke ruang parapharyngeal. 7
V. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi abses peritonsiler masih belum diketahui. Teori yang paling dapat
diterima adalah adanya episode yang progresif yang dimulai pada tonsillitis yang
eksudatif hingga perotonsilitis sehingga membentuk abses, Perluasan dari proses
inflamasi mungkin terjadi pada penderita yang diobat maupun yang tidak, Abses
peritonsiler juga sudah didokumentasikan muncul tanpa diawali dengan adanya tonsillitis
kronis atau rekuren. Suatu abses peritonsiler juga dapat terjadi disebabkan oleh karena
adanya virus Epstein-Barr.2
8
Teori lain merujuk pada abses peritonsiler akibat gangguan pada glandula Weber.
Glandula saliva minor ini ditemukan pada ruang peritonsiler dan diduga membantu
membersihkan debris pada tonsil. Jika terdapat obstruksi akibat jaringan parut dari
adanya infeksi, nekrosis jaringan, dan abses, mungkin bisa mengarah ke adanya abses
peritonsiler.2
Imunology
Tonsil dan adenoid adalah organ imunologis di bagian atas dari saluran
aerodigestive. Pada mikroanatomi dijelaskan sebelumnya bahwa organ ini mengatur
fungsi kekebalan lokal sebagaimana surveilans untuk pengembangan sistem pertahanan
imunologi tubuh. Tonsil dan adenoid adalah organ yang unik sepanjang keterlibatannya
pada kedua sistem imun baik imunitas lokal dan dalam survailans sistem kekebalan.
Stimulasi antigenik akut dan kronis dari bakteri, virus, makanan, dan iritasi lingkungan di
pada tonsil dan adenoid dapat menyebabkan produksi antibody lokal dan sistemik,
pergeseran kompartemen selular dari perbandingan sel B dan sel T, dan peningkatan
tingkat imunoglobulin serum dan lokal, yang akan menjadi normal setelah tonsilektomi
dan adenoidektomi. Kontras dari kelenjar getah bening, tonsil dan adenoid tidak memiliki
limfatik aferen. Oleh karena itu, epitel khasnya memegang peranan penting dalam
presentasi dan pemprosesan antigen. Ini melibatkan respon sel T dan sel B, termasuk
produksi imunoglobulin, perluasan kumpulan sel memori, dan produksi imunomodulator
lokal. Adenoid juga merupakan target dari rangsang alergi yang menyebabkan
pembesaran.6
VI. GEJALA KLINIS
Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan
yang hebat), biasanya pada posisi yang sama dan juga nyeri telinga (otalgia), muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau
(rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar submandibular dengan nyeri tekan.7 Pasien juga sering datang dengan demam
dan rasa penuh yang asimetris pada tenggorokan. Bersamaan dengan halitosis (bau nafas
9
tidak sedap), odynophagia (nyeri menelan), dysphagia (sulit menelan), serta suara seperti
“hot potato-sounding”7
Gambar 4. Pasien dengan abses peritonsilar kanan
Dikutip dari referensi 4
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis Abses Peritonsilar sering dibuat berdasarkan anamnesis riwayat dan
pemeriksaan Fisis. Pasien sering datang dengan celulitis peritonsilar yang berpotensial
menjadi abses. 4
Diagnosis untuk abses peritonsilar adalah dengan didapatkannya pus pada needle
aspiration. Tes radiologi juga dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis. Selain
itu, transcutaneus atau USG intraoral juga dapat membantu dalam mengidentifikasi
sebuah abses serta dapat membedakan abses peritonsilar dari celulitis peritonsilar. CT
scan dan MRI dapat digunakan apabila penyebaran infeksi sudah menjangkau ruang
peritonsilar atau komplikasi yang melibatkan daerah lateral dari ruang leher.4
10
Gambar 5. Gambaran CT scan Abses Peritonsilar kanan
Dikutip dari referensi 4
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :4,8
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau piema.
2. Perjalanan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi perjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
11
Area Abses
Tonsil Kanan
Uvula
4. Obstruksi jalan Napas
5. Pneumonitis Aspirasi atau abses paru secondary hingga ruptur abses peritonsillar.
6. Poststreptococcal sequelae jika infeksi disebabkan karena Group A Streptococcus
IX. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding dari abses peritonselar adalah limfoma, selulitis
peritonsilar, dan abses retrofaring atau retromolar. 9
1. Tonsilar Neoplasma (Limfoma)
Hipertropy tonsil asimetrik adalah sebuah temuan klinis yang menyebabkan dokter
harus memasukkan neoplasma dalam diferensial diagnosis. Limfoma dan squamos cell
carcinoma adalah jenis neoplasma tonsil primer yang paling sering.3 Lymphoma adalah
sejenis kanker yang melibatkan sel-sel dari sistem imun yang disebut lymphosit. Sama
seperti kanker yang mewakili banyak jenis penyakit, lymphoma mewakili banyak jenis
kanker yang berasal dari lymphosit sekitar 35 subtipe yang berbeda.10 Tumor ganas
lainnya seperti melanoma carcinoma sel renal carcinoma paru, ca. Mammae, dan ca.
Colon dilaporkan dapat bermetastase ke tonsil. Tumor jinak tonsil yang jarang timbul
seperti lipoma, fibroma, dan squamosa.3
2. Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-
masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari
hidung , sinus paranasal, nasofaring, tuba eustachius dan telinga tengah. Gejala utamanya
ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada dinding belakang faring tampak benjolan,
biasanya unilateral. Mukasa terlihat bengkak dan hiperemis8.
3. Selulitis Peritonsillar
Kadang-kadang, infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila
meluas sampai palatum mole. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan awitan awal dari
tonsilitis, atau akhir dari perjalanan penyakit akut. Hal ini dapat teradi walaupun
12
diberikan penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua
dan dewasa muda. Gejalanya pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang
nyata, nyeri alih ke telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang meningkat, khususnya
trismus. Pembengkakan mengganggu artikulasi dan, dan jika nyata, bicara menjadi sulit.
Demam sekitar 1000F, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. 11
X. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pasien yang dehidrasi diberi cairan intravena. Antibiotika sebaiknya diberikan
sesuai dengan hasil kultur dan diberikan secara iv karena efektivitasnya lebih baik
daripada peroral. Pilihan terbaik adalah Cephalexin atau golongan cephalosporin (dengan
atau tanpa metronidazole). Alternative terapi lainnya adalah penisilin 600.000 –
1.200.000 unit, Cefuroxime atau cefpodoxime (dengan atau tanpa metrondazole),
Clindamicin 2-3 x 500 mg/hari atau ampisilin 3-4 x 250 – 500 mg/hari, amoxilin dengan
asam clavulanate 3 x 500 mg/hari. Metronidazole 3-4 x 250 – 500 mg/hari. Pengobatan
antibiotika diberikan 7 – 10 hari Analgetik – antipiretik paracetamol 3-4 x 250 -500
mg/hari , dan diobati kumur antiseptic. Penggunaan steroid masih controversial.Studi
yang dilakukan Ozbeck dengan memberikan dexamethasone IV single dose dan
antibiotika parenteral memberikan hasil yang baik dimana waktu dirawat di rumah sakit
lebih singkat dan nyeri tenggorokan, demam serta trismus lebih cepat mereda
dibandingkan dengan pemberian antibiotika parenteral.11
Tabel 2. Gram Staining & Recomendasi Antibiotik12
2. Drainase
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan dengan
teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. 11
Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal. Pertama faring disemprot
13
dengan anestesi topikal. Kemudian 2cc Xilokain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan.
Pisau tonsila no 12 atau no.11 dengan pelester untuk mencegah penetrasi yang dalam
yang digunakan untuk membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dengan kutub atas
foss tonsillaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut
direntangkan. Pengisapan tonsilla sebaiknya segera dilakukan untuk mengumpulkan pus
yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau dewasa muda, dengan trismus yang
berat, pembedahan drainase untuk abses peritonsilar mungkin dilakukan setelah aplikasi
cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion spenopalatina pada fossa
nasalis. Hal ini kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih
muda, membutuhkan anestesi umum.11
3. Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih
dilakukan. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita episode
ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilar.11
Indikasi absolut untuk tonsilektomi adalah tombulnya kor pulmonal karena
obstruksi jalan nafas yang kronik, hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apneu
waktu tidur, hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan penyerta, biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma), dan abses
peritonsilaris berulang atua abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.11
Indikasi relatif adalah seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang
paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptococcus B Hemolitikus grup A.
Biakan tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme penyebab dari episode
faringitis yang sekarang. Di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi yang
paling sering diterima pada anak-anak adalah serangan tonsilitis berulang yang tercatat,
hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional dan menetap, riwayat demam reumatik.11
X. PROGNOSIS
Tingkat Rekurensi sangat sedikit ditemukan sekitar 9-22%.13 Kebanyakan pasien
yang dirawat dengan antibiotik dan drainase yang adekuat pada abses mereka dapat
sembuh dalam beberapa hari. Dalam beberapa kasus, pasien yang datang dengan abses,
14
dibutuhkan tindakan tonsilektomy.2
XI PENCEGAHAN
Segera melakukan pengobatan terhadap tosilitis yang diderita, terutama tonsilitis
bakteria. Pengobatan yang cepat dan menyeluruh dapat mencegah terbentuknya abses. 14
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Steyer, Terrence. Abscess Peritonsillar: Diagnosis and Treatment. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html
2. Gosselin, Benoit. Pertonsillar Abscess. [online]. February 2010. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/194863-overview#a0102
3. Lalwani, Anil. 2007. Current Diagnosis & Treatment: Otolaryngology Head and Neck
Surgery. New York: Mc Graw Hill.
4. Galioto N.J. Peritonsillar Abscess, Am Fam Phy 2008 Volume 77 ; 199-202
5. Putz, Renate. 2007. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Edisi22. Jakarta: EGC.
6. Snow, James B., Ballenger John J. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery. Edisi 16. Spain: BC Decker
7. Bailey, Byron J., Jonas T. 2006. Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition.
United States. Lippincott Williams & Wilkins
8. Soepardi, dkk. Abses Peritonsilar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga, Hidung
dan Tenggorokan,Jakarta FKUI,2008.
9. Bull, Tony R. Color Atlas of ENT Diagnosis. Edisi 4. London. Thieme. P 199.
10. Balentine J.R., Lhympoma. [online]. October 2014. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/lymphoma/article_em.htm
11. Boies, Adam. 1997. Buku Ajar Penyakit THT .Edisi 6. Jakarta: EGC. P333-345
12. Takenaka Y. Et al. Research Article: Gram Staining for the treatment of Peritonsillar
Abscess. International Jornal of Otolaryngology. Hindawi 2011
13. Preston, M, 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). Accesed:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961
14. Schwartz S. Peritonsillar Abscess, nlm 2012. (Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000986.htm)
16