26-39-1-pb

Upload: baiqun-isbahi-bai

Post on 07-Aug-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    1/13

    1

    PERAN BAHASA DALAM HEGEMONI POLITIK, SOSIAL, DAN BUDAYA

    Oleh : Walfajri

    STAIN Jurai Siwo Metro

    Email: [email protected]

    Abstrak

    Bahasa adalah sebuah simbol universal yang digunakan oleh manusia untukmengekspresikan dan mengemukakan benda-benda, fenomena, fakta, pemikiran dan

    perasaannya.Meskipun demikian, bahasa bukanlah sistem sisbol yang bebas nilai dantidak ada hubunganya dengan dunia di luar bahasa itu sendiri, sebagaimana anggapan

    kaum strukturalis. Sebaliknya, bahasa adalah dunia yang penuh makna. Makna itusendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep, pemikiran, atau ide yang diberikanoleh penulis, pembaca atau pembicara dalam bentuk linguistik seperti kata, kalimat,atau wacana yang diciptakan oleh pengguna bahasa tersebut.Sehingga, makna katatersebut sangat subjektif. Di samping itu, bahasa merupakan produk budaya dankejadian social yang kompleks yang berkaitan dengan sejarah dan proses sosialdimana bahasa itu dibuat.Oleh karena itu, bahasa selalu hadir dalam seluruh dimensikehidupan manusia: politik, social, dan budaya yang penuh dengan berbabagaiketertarikan dalam perjuangan hegemoni diantara penguasa dan menguasai. Lebihlanjut, dengan dukungan media masa, bahasa memainkan peran yang sangat pentingsebagai instrumen yang efektif untuk membangun dan meemelihara hegemoni politik,

    social, dan budaya.

    Kata kunci: Bahasa, hegemoni dan media massa

    AbstractThe language is a universal symbol used by a human to express and present objects,

    phenomena, facts, his thought and feeling. Nevertheless, the language is not just a free-value(objective) system of symbol which does not relate to another world out of the language itself,as the assumption of structuralists. On the contrary, the language is a meaningful world. Themeaning itself can be defined as a concept, thought or idea given by a writer, a reader, or a

    speaker to the linguistic forms such as words, sentences, or discourses that are createdaccording to the language user. So, the meaning of word is very subjective. Besides, thelanguage is a product of culture and a complex social event that relates to the history andsocial process where the language is produced. So, the language always presents in alldimensions of human life: politic, social, and culture that are full of interests in a struggle ofhegemony between the dominant and the dominated. Furthermore, with the support of massmedia, the language plays a very vital role as an effective instrument to build and maintainthe political, social, and cultural hegemony.

    Keywords: Language, Hegemony, Mass Media.

    mailto:[email protected]:[email protected]

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    2/13

    2

    A. Pendahuluan

    Semenjak lahirnya linguistik deskriptif ( descriptive linguistics) yang

    diperkenalkan oleh kaum linguistik strukturalis, telah banyak kontribusi yang

    diberikan dalam memecahkan berbagai persoalan kebahasaan (internal bahasa).Namun di sisi lain, ia juga telah memunculkan permasalahan baru. Bahasa menjadi

    terasing atau terpisah dalam jarak yang sangat jauh dari makna dan fungsi yang

    sesungguhnya dalam konteks politik, sosial, dan budaya di mana bahasa itu

    diproduksi. Makna dan fungsi bahasa menjadi sempit. Bahasa dinilai seolah sebagai

    sesuatu yang obyektif dan tidak memihak.

    Menurut Mudjia Rahardjo, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam

    linguistik. Bahasa memiliki dunianya sendiri yang sama sekali tidak ada

    hubungannya dengan dunia lain, seperti sosial, politik, budaya, agama, dan

    sebagainya. 1 Bahasa merupakan wilayah kajian linguistik, sedangkan dunia di luar

    bahasa tersebut merupakan wilayah kajian ilmu lain, seperti ilmu sosial, ilmu politik,

    ilmu budaya, teologi, dan sebagainya.

    Lebih lanjut, Mudjia Rahardjo, dalam kajiannya terhadap bahasa, pemikiran,

    dan peradaban, menyimpulkan bahwa antara ketiga aspek (bahasa, pemikiran, dan

    peradaban) tersebut terdapat hubungan yang sangat kuat dan cukup rumit.

    Terdapat sinergi yang sangat kuat antara bahasa, pemikiran, dan peradaban

    manusia. 2

    Tanpa bahasa, sehebat apapun pemikiran tidak akan bisa disampaikan

    kepada dan dipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, bahasa

    manusia tidak akan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa dan

    pemikiran manusia ini menyempurnakan kebudayaan, dan secara lebih khusus

    peradaban manusia.

    Sementara itu, kemajuan pemikiran dan peradaban manusia, yang memiliki

    hubungan sangat kuat dengan bahasa, mencakup berbagai dimensi kehidupan;

    sosial, politik, budaya, sejarah, seni, agama, dan sebagainya. Dengan demikian,

    dapat dikatakan bahwa bahasa hadir dalam berbagai ranah kehidupan manusia.

    Di samping itu, di dalam berbagai ranah kehidupan manusia tersebut sarat

    dengan berbagai kepentingan antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai. Pihak

    1Mudjia Rahardjo, “Bahasa dan Kekuasaan”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal

    4 Maret 2012. 2Mudjia Rahardjo, “Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan danSosiolinguistik)”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012.

    http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    3/13

    3

    yang berkuasa, dengan berbagai cara, media, dan sarana, terus berupaya untuk

    mempertahankan kekuasaannya (hegemoni) terhadap pihak yang dikuasai. Di lain

    pihak, mereka yang dikuasai, dengan berbagai cara, media, dan sarana, terus

    berupaya untuk melawan hegemoni tersebut.

    Pertanyaannya, bagaimanakah peran bahasa dalam kancah perebutan

    hegemoni (kekuasaan) tersebut? Apakah bahasa itu bersifat netral dan bebas nilai

    (obyektif), tak lebih dari sistem lambang yang berdiri sendiri, tidak ada hubungan

    dengan dunia lain di luar bahasa, sebagaimana anggapan kaum linguistik

    strukturalis? Ataukah justru bahasa memainkan peran sebagai medium dan

    instrumen yang sangat vital dan efektif dalam pertarungan hegemoni (kekuasaan)?

    Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan fokus pembahasan pada

    peran bahasa dalam hegemoni politik, sosial, dan budaya.

    B. Peran Bahasa Dalam Hegemoni Politik

    Manusia memiliki ciri khas yang membedakannya dari makhluk lain

    (hewan), yaitu kemampuan menandai aneka benda dan peristiwa secara simbolik,

    dan sekaligus memaknai simbol-simbol seolah sebagai benda dan kejadian

    sebenarnya. Oleh karena kemampuannya yang unik ini, manusia dijuluki homo

    symbolicum (makhluk pengguna lambang). 3 Di antara sejumlah simbol yang

    berkembang dan dikembangkan manusia, bahasa merupakan simbol yang paling

    universal digunakan, serta paling generatif untuk mempresentasikan benda,

    kejadian, dan gagasan.

    Dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan dunia yang penuh makna. Makna

    diartikan sebagai objek, arti, fikiran, gagasan, konsep atau maksud yang diberikan

    oleh penulis, pembaca atau pembicara terhadap suatu bentuk kebahasaan baik

    berupa kata, kalimat maupun wacana (teks). 4

    Sementara itu, ahli komunikasi memandang makna kata sangat subyektif dan

    tidak pernah tunggal, “ words do not mean what people mean”. Makna diciptakan sesuai

    kepentingan penggunanya. Hal ini terlihat dalam praktek politik bahwa kekuasaan

    3Mudjia Rahardjo, “Bahasa, Media, dan Kuasa: Fenomenologi Hegemoni Politik di Abad

    Informasi”, http://mudjiarahardjo.blogspot.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012.4Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur ,(Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 57.

    http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    4/13

    4

    menyebar bukan saja lewat alat-alat produksi termasuk di dalamnya birokrasi, tetapi

    juga melalui bahasa.

    Pada masa Orde Baru, politisasi bahasa sudah menjadi karakter dari

    penggunaan bahasa kekuasaan. Penguasa Orde Baru telah menjadikan bahasa

    sebagai subordinat dari kekuasaan politik yang tercermin dalam pembangunan.

    Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompok-

    kelompok dominan.

    Munculnya istilah-istilah yang secara makna dikudeta oleh para penguasa

    Orde Baru telah mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang

    menjadi subjek bahasa. Kata “demi persatuan” atau “demi stabilitas negara”

    dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir kritis. Demikian

    kuatnya politisasi bahasa pada masa Orde Baru tersebut, sehingga seolah sudah

    menjadi sebuah ideologi kebahasaan.

    Menurut Lewuk, sebagaimana dikutip Dadang Anshori, terdapat empat

    kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan. 5

    Pertama, bahasa berdimensi satu, suatu ideologi kebahasaan yang menuntut orang

    yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan

    penguasa. Di sini tidak ditemukan “logika protes” , seperti halnya tidak ada tempat

    bagi para oposisi di masa Orde Baru. Di masa Orde Baru setiap pemikiran harusrelevan dan tidak boleh berbeda dengan konsep pembangunan. Bagi mereka yang

    mengkritik konsep pembangunan, penguasa menyebut dengan “anti -pembangunan ”

    atau “anti -Pancasila ”.

    Kedua, orwelianisme bahasa, dalam konteks ini adalah teknik penyatuan dua

    pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar

    dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan

    mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yangdikeluarkan pihak penguasa. Untuk menunjukkan “sikap demokratis” , dipakai

    istilah “kritik konstruktif ” atau “kritik membangun” yang maknanya setiap kritik

    tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak

    kekuasaan.

    5Dadang S. Anshori, “Hegemoni dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca Orde Baru:

    Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik di Indonesia” , Makalah disajikan dalam Seminar danLokakarya Nasional, diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI, 30Agustus 2008.

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    5/13

    5

    Ketiga, bahasa takut-takut, yaitu bahasa yang diucapkan masyarakat yang

    memiliki kepanutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan

    melalui simbol bahasa. Pada saat Pemilu, kita mendengar “Golput haram” atau

    “Golput berarti tidak bertanggung jawab terhadap demokrasi” .

    Keempat, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai

    alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang

    memanipulasi bahasa itu sendiri. Kita bisa menyaksikan model bahasa yang terakhir

    ini di saat kampanye Pemilu. Idiom-idiom berupa janji-janji partai dengan mudah

    bertebaran dilontarkan oleh partai politik hanya untuk memanipulasi rakyat yang

    awam politik. Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa

    propaganda.

    Selain itu, Melanie Barnes menuturkan ada dua model bahasa politik yang

    sering digunakan oleh pemerintah, para politikus, para aktivis, dan masyarakat

    umum. Pertama, model singkatan-singkatan, akronim, dan jargon yang lebih banyak

    digunakan oleh Pemerintah (penguasa) dan para politikus. Kedua, model ungkapan-

    ungkapan plesetan, yang sering digunakan oleh para aktivis dan masyarakat umum,

    yang berada di luar struktur pemerintahan dan tidak memiliki kekuasaan untuk

    mempengaruhi secara langsung keputusan politik. 6

    Selama masa kampanye pemilu 2004 – 2009 (Pemilu Legislatif, Pilpres, danPilkada), ada banyak contoh singkatan, akronim, atau jargon politik yang sering

    digunakan oleh para calon. Antara lain: pemberantasan/bebas KKN (Korupsi,

    Kolusi, dan Nepotisme), penegakkan HAM (Hak Asasi Manusia), pemilu yang Jurdil

    (Jujur dan Adil), dan sebagainya.

    Namun demikian, banyak semboyan atau jargon yang terlalu sering

    digunakan dan keluar dari mulut pemerintah dan para politikus, tetapi tidak disertai

    dengan bukti tindakan nyata, akibatnya ungkapan-ungkapan tersebut menjadikering dan klise, kehilangan maknanya, dan menjadi kata kosong yang tidak

    dipercaya lagi oleh masyarakat.

    Di pihak yang lain, masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan dan berada di

    luar struktur pemerintahan, lebih sering mengungkapkan bahasa politiknya dalam

    bentuk plesetan, sebagai salah satu bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan

    masyarakat terhadap realitas politik, juga sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka

    6Melanie Barnes, Bahasa dan Politik: Wacana Poiltik dan Plesetan, Laporan Penelitian AustralianConsortium for In-Country Indonesian Students (ACICIS) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosialdan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, September 2004.

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    6/13

    6

    terhadap pemerintah dan para politikus, serta bentuk perlawanan secara tidak

    langsung terhadap hegemoni pemerintah (penguasa). Beberapa contoh plesetan yang

    sering muncul dalam bahasa politik antara lain:

    1. Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan pada masa Orde Baru,

    diplesetkan masyarakat dengan ungkapan „Hari -hari Omong Kosong‟.

    2. UUD (Undang Undang Dasar) diplesetkan menjadi „Ujung Ujungnya Duit‟.

    3. KUD (Koperasi Unit Desa) diplesetkan menjadi „Ketua Untung Duluan‟.

    4. KUHP (Kitab Undang- undang Hukum Pidana) diplesetkan menjadi „Kasih

    Uang Habis Perkara‟.

    5. PDI-P yang memiliki jargon „Partainya Wong Cilik‟, namun begitu ber kuasa

    banyak rakyat kecil yang tidak puas dan kecewa. Kemudian jargon tersebut

    diplesetkan menjadi „Partainya Wong Licik‟, dan sebagainya.

    Dengan demikian, bahasa memainkan peran yang sangat vital sebagai

    medium dan alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi opini publik dalam

    membangun atau mempertahankan hegemoni (kekuasaan) politik.

    C. Peran Bahasa Dalam Hemegoni Sosial-Budaya

    Budaya dalam bahasa Inggris disebut „ culture‟, yang berarti “seti ap seni dan

    manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif,

    termasuk di dalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari

    sekelompok masyarakat tertentu”.

    Dalam bahasa Indonesia, budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu

    buddhayah, bentuk jama‟ dari kata buddhi (budi atau akal), yang berarti segala

    sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan menurut Selo

    Soemardjan, kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat. 7

    Jadi, budaya bersifat abstrak karena ia merupakan sistem pengetahuan yang

    di dalamnya terdapat ide dan gagasan pemikiran manusia. Namun, bentuk

    perwujudannya adalah berupa “benda -benda” yang diciptakan oleh manusia

    sebagai makhluk berbudaya, seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang

    berbentuk materi dan nyata.

    Berbicara tentang kehidupan politik, sosial, dan budaya pada era sekarang ini

    tidak bisa lepas dari persoalan globalisasi. Globalisasi merupakan peristiwa

    7Alfina Hidayah, “Global Pop Culture: Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni SosialBudaya”, dalam http://suarapembaca.detik.com. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

    http://suarapembaca.detik.com/http://suarapembaca.detik.com/http://suarapembaca.detik.com/

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    7/13

    7

    mendunia yang telah menyebar dengan sangat cepat dan memasuki seluruh aspek

    kehidupan manusia sekitar abad 21. Peristiwa tersebut berdampak pada pergeseran

    pusat kekuasaan dari tanah, lalu capital (modal), dan selanjutnya penguasaan

    terhadap sains, teknologi, dan informasi.

    Proses globalisasi juga merupakan bagian yang berperan penting dalam

    perubahan dunia yang sangat cepat. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam

    dunia ekonomi, politik, dan teknologi, tetapi juga meliputi ranah kehidupan

    masyarakat yang lebih luas, seperti dunia sosial, budaya, seni, pendidikan, bahkan

    agama.

    Semua itu merupakan obyek globalisasi yang saling berhubungan satu

    dengan lainnya. Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat

    kepada dunia Timur, khususnya negara-negara berkembang, sehingga muncullah

    negara-negara dengan ideologi, budaya, dan moral atau etika tunggal dan seragam

    yang terangkum dalam sebuah masyarakat global (baca: masyarakat Barat).

    Ada beragam pengertian globalisasi – beserta berbagai isme yang memiliki

    kesamaan maksud dengannya, seperti westernisme, modernisme, liberalisme, dan

    lain-lain – yang dikemukakan para ahli. Namun, secara garis besar dapat

    disimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses tatanan masyarakat

    universal yang tidak mengenal batas wilayah. Suatu tatanan tertentu muncul darisuatu negara tetentu kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara

    lain, yang disadari atau tidak, telah menjadi panutan dan „kiblat‟ bagi bangsa -bangsa

    di seluruh penjuru dunia. 8

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan suatu

    bentuk hegemoni: sebuah system melakukan pemaksaan kekuasaan terhadap pihak

    lain melalui cara yang halus, yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia

    dikuasai.Hegemoni sosial dan budaya juga sering kali dilakukan melalui bahasa.

    Mekanisme yang dilakukan ada dua cara: Pertama, dengan cara tidak memberikan

    ruang bagi bahasa-bahasa lain karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, bahasa

    digunakan untuk menyampaikan informasi yang berafiliasi dengan kepentingan

    8 Ibid.

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    8/13

    8

    kekuasaan. 9 Dalam hal ini, Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari sebuah system

    kekuasaan yang hegemonik untuk menyebarluaskan ideologi dominan.

    Representasi budaya global dunia dewasa ini menunjukkan adanya

    hubungan yang kuat antara peran bahasa-bahasa dunia dengan proses munculnya

    suatu budaya menjadi budaya global. Uraian-uraian yang disampaikan oleh

    Pennycook d alam bukunya “ The Cultural Politics of English as an International

    Language” mengindikasikan bahwa bahasa, dalam hal ini Bahasa Inggris, telah

    menjadi alat yang sangat ampuh untuk menyebarkan budaya penutur bahasa

    tersebut ke seluruh dunia. 10

    Itulah sebabnya ketika kita telusuri ke belakang kita akan menemukan bahwa

    hampir seluruh budaya populer yang sifatnya mendunia saat ini berasal dari negara-

    negara yang penduduknya berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat. Beberapa

    contoh di antaranya adalah musik pop, film, makanan dan minuman, pakaian ala

    Barat, dan pengunaan istilah-istilah berbahasa Inggris baik dalam bentuk lisan

    ataupun tulisan.

    Tidak dapat dipungkiri bahwa peran bahasa Inggris sebagai bahasa

    internasional telah tak tersaingi oleh bahasa-bahasa dunia lainnya dalam rentang

    waktu yang cukup lama. Fenomena seperti ini bahkan tetap berlangsung ketika

    dunia berada dalam perang dingin, dimana sebagian negara di dunia terpolarisasidalam blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dimotori

    oleh Uni Soviet.

    Kenyataan bahwa pada waktu itu Uni Soviet merupakan salah satu negara

    super power dunia ternyata tidak mampu menempatkan peran bahasa Rusia sejajar

    dengan bahasa Inggris dalam percaturan dunia internasional. Sejak zaman Presiden

    Amerika Serikat John F. Kennedy sampai Ronald Reagen yang mengakhiri perang

    dingin bersama Michael Gorbachev dunia lebih terekspos dengan budaya populerasal Amerika daripada budaya populer asal Uni Soviet yang hampir sama sekali tak

    terdengar gaungnya pada waktu itu.

    Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa status sebuah negara sebagai

    negara super power dunia plus kemapanan tekhnologi atau media

    jurnalistik/komunikasinya tanpa keunggulan dominasi bahasa tidaklah mencukupi

    9Taufik Bilfagih, “Media dan Hegemoni”, dalam http://buntu-grup.blogspot.com. Diakses

    Tanggal 5 Maret 2012.10Abdul Hadi, “Peran Bahasa Inggris Terhadap Keseimbangan Budaya Global ”, dalamhttp://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

    http://buntu-grup.blogspot.com/http://buntu-grup.blogspot.com/http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://buntu-grup.blogspot.com/

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    9/13

    9

    untuk mengantarkan budaya ataupun gaya hidup yang dimiliki negara tersebut

    menjadi budaya atau gaya hidup global.

    Di samping sebagai produk budaya, bahasa juga merupakan peristiwa sosial

    yang kompleks dan terkait erat dengan sejarah serta proses sosial dimana bahasa itu

    diproduksi. Pertukaran linguistik sebagai sebuah relasi komunikasi antara pengirim

    dan penerima pesan disamping dilihat sebagai peristiwa dan konteks sosial, juga

    bisa dianggap sebagai pertukaran ekonomi. Di dalamnya berlaku logika ekonomi

    seperti produsen dan konsumen, modal linguistik, dan pasar di mana orang bisa

    memperoleh keuntungan baik material ataupun simbolik.

    Dalam hal antisipasi keuntungan simbolik ini, Bourdieu melihat bahasa

    memiliki tiga makna. 11 Pertama , bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah

    kemampuan khas manusia yang didapat dari pengalaman empirisnya berhubungan

    dengan manusia lain. Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan

    kapital simbolik, karena melalui bahasalah pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat

    dilakukan oleh manusia. Penguasaan yang canggih atas bahasa, memungkinkan

    seseorang memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam pertarungan sosial.

    Kedua , bahasa adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks.

    Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja sebagai sesuatu yang steril, tetapi

    merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habituslinguistik yang dimiliki pelaku sosial.

    Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah

    konsep, maka bukan kata atau konsep itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi,

    nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu juga

    kita bawa, sadar atau tidak. Singkatnya, bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya

    dengan kepentingan.

    Ketiga , bahasa erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan untukmendapatkan keuntungan, bukan hanya sekedar keuntungan material tetapi juga

    keuntungan yang bersifat simbolik.

    Di dalam pertarungan kekuasaan inilah, ditentukan identitas individu dan

    sosial, juga kekuasaan simbolik, yaitu mendapatkan kehormatan dan pengakuan

    atas posisinya di dalam hirarki sosial. Kapital simbolik dan kekuasaan simbolik

    sangat penting, karena dengan memilikinya maka kita memiliki legitimasi untuk

    11 Suma Riella Rusdiarti, “Bahasa, Kapital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan: TinjauanFilsafat Sosial Pierre Bourdieu”, dalam http://www.lontar.ui.ac.id . Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

    http://www.lontar.ui.ac.id/http://www.lontar.ui.ac.id/http://www.lontar.ui.ac.id/http://www.lontar.ui.ac.id/

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    10/13

    10

    menentukan wacana kita sendiri yang artinya menentukan aturan permainan kita

    sendiri.

    D. Bahasa dan Perlawanan terhadap Hemegoni

    Selain sebagai alat membangun dan mempertahankan sebuah hegemoni,

    bahasa juga bisa menjadi senjata ampuh dalam melakukan perlawanan bahkan

    meruntuhkan kekuasaan hegemonik. Sebagai contoh, di Indonesia tanda-tanda akan

    jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru, tampak jelas dari berbagai bentuk

    penggunaan bahasa masyarakat lewat aneka performance symbol komunikasi

    (bahasa).

    Perlawanan bahasa terhadap hegemoni kekuasaan pemerintah tersebut

    terefleksikan dalam penggunaan bahasa di berbagai perbincangan pribadi, retorika

    sosial, diskusi ilmiah, media massa cetak dan elektronik, di samping spanduk,

    baliho, leaflet, booklet, dan aneka bentuk lainnya sejak pertengahan 1997 hingga

    pertengahan Mei 1998.

    Berita (news) dan opini sedemikian bebas dimuat atau disiarkan oleh media

    cetak atau elektronik. Bahkan, muatan media massa yang mengarah trial by the press

    begitu leluasa membentuk wacana publik. Terutama yang memiliki tujuan

    “menghabisi” hegemoni kekuasaan rezim Orde Baru.

    Hal tersebut bisa terjadi sebab dalam konteks kekuasaan, bahasa adalah

    sarana komunikasi politik yang dapat dimanfaatkan sedikitnya untuk mewujudkan

    dua kepentingan. Petama, untuk membela dan mempertahankan kekuasaan ( status

    quo). Kedua, untuk melawan dan menghancurkan kekuasaan. 12

    Namun, ada sebuah pertanyaan yang menarik, jika bahasa memiliki peran

    penting sebagai instrument dalam pertarungan kekuasaan (hegemoni), baik oleh

    pihak yang dominan (penguasa) maupun pihak yang didominasi, lantas siapakah

    yang akan memenangkan pertarungan hegemoni tersebut?

    Di sinilah media massa memainkan peran yang sangat besar dalam

    menjadikan bahasa sebagai alat hegemoni. Siapa yang menguasai media massa,

    dialah yang akan menang. Sebagaimana dikatakan oleh Mudjia rahardjo, menguasai

    media massa berarti pula menguasai sekian banyak dunia batin manusia. Bahkan

    12 Novel Ali, “Bahasa, Komunikasi, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Negara”, dalamhttp://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732. Diakses Tanggal 5 Maret 2012.

    http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    11/13

    11

    media massa, sekarang ini, telah diakui sebagai pilar keempat kekuasaan, di luar tiga

    pilar dalam trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). 13

    Media massa pada gilirannya akan diposisikan menjadi agent politik, sosial,

    dan budaya dari kelas dominan dengan kekuasaan modal. Realitas yang disajikan

    oleh media massa bukanlah realittas yang sesungguhnya, melainkan realitas yang

    telah melewati proses “seleksi” oleh sekelompok orang (jurnalis, pekerja di rumah

    produksi, produser, sutradara, hingga pemilik modal dan penguasa) yang memiliki

    sistem nilai dan ideologi tertentu.

    Bahasa media mampu menghegemoni sebagian besar masyarakat, sehingga

    mereka, sadar atau tidak, mengikutinya (melihat, mendengar, mendiskusikan, dan

    membenarkannya). Hegemoni politik, sosial dan budaya melalui bahasa media

    tersebut masuk ke wilayah pemikiran dan perasaan masyarakat, bergerak di wilayah

    publik dan wilayah domestik. 14

    Coba perhatikan, media televisi kita selalu memproduksi tayangan-tayangan

    hyperrealita, misalnya sinetron dan infotainment. Sadar atau tidak, sebagian besar

    masyarakat terhipnotis oleh tayangan media, akibatnya memandulkan kesadaran

    realitas. Dampak dari tayangan-tayangan TV yang hyperrealita itu adalah terjadinya

    perubahan secara drastis dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka lebih

    bangga dan memilih cita-cita untuk menjadi artis atau aktor sinetron dari padamenjadi seorang ilmuwan dan peneliti. Perilaku pergaulan bebas antara laki-laki dan

    perempuan menjadi hal wajar dan biasa. Pola hidup, pola makan, dan berpakaian

    pun berubah mengikuti trend modern. Pola fikir masyarakat menjadi pragmatis dan

    hedonis (mengejar kesenangan materi sesaat).

    Hal inilah yang menyebabkan media massa – khususnya televisi – menjadi

    tidak bebas nilai. Dapat kita lihat sekarang ini hampir seluruh tayangan TV

    mempresentasikan kepentingan budaya di Negara Maju (baca: Amerika dan Eropa).Di samping itu, karena televisi dikuasai pemilik modal, maka siaran yang

    ditayangkan akan mengukuhkan dominasi kaum pemilik modal (kapitalis) dan tidak

    akan mengganggu eksistensi mereka.

    Dengan semakin mengglobalnya televisi, maka tidak aneh bila kebudayan

    yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di

    negara maju (Amerika dan Eropa). Bila hal ini terjadi terus menerus, maka Amerika

    13 Mudjia Rahardjo, Op. Cit. 14 Taufik Bilfagih, Op. Cit.

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    12/13

  • 8/20/2019 26-39-1-PB

    13/13

    13

    sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UniversitasMuhammadiyah Malang, September 2004.

    Bilfagih, Taufik, “Media dan Hegemoni”, dalam http://buntu-grup.blogspot.com. Diakses Tanggal 5 Maret 2012.

    Hadi, Abdul, “ Peran Bahasa Inggris Terhadap Keseimbangan Budaya Global ”,dalam http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17 . Diakses Tanggal 6 Maret2012.

    Hidayah, Alfina, “Global Pop Culture: Sebuah Proses Globalisasi atau HegemoniSosial-Budaya”, dalam http://suarapembaca.detik.com. Diakses Tanggal 6 Maret2012.

    Rahardjo, Mudjia, “Bahasa dan Kekuasaan”, dalam http://mudjiarahardjo.com. DiaksesTanggal 4 Maret 2012.

    --------------, “Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan danSosiolinguistik)”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret2012.

    --------------, “Bahasa, Media, dan Kuasa: Fenomenologi Hegemoni Politik di AbadInformasi”, http://mudjiarahardjo.blogspot.com . Diakses Tanggal 4 Maret 2012.

    --------------, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur ,Malang: UIN-Malang Press, 2007.

    --------------, Relung-Relung Bahasa: Bahasa Dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer ,Aditya Media, 2002.

    Rusdiarti, Suma Riella, “Bahasa, Ka pital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan:Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu”, dalam http://www.lontar.ui.ac.id . Diakses Tanggal 6 Maret 2012.

    http://buntu-grup.blogspot.com/http://buntu-grup.blogspot.com/http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://suarapembaca.detik.com/http://suarapembaca.detik.com/http://suarapembaca.detik.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://www.lontar.ui.ac.id/http://www.lontar.ui.ac.id/http://www.lontar.ui.ac.id/http://mudjiarahardjo.blogspot.com/http://mudjiarahardjo.com/http://mudjiarahardjo.com/http://suarapembaca.detik.com/http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17http://buntu-grup.blogspot.com/