wajah fonflik dalam organisasi : penguasaan manajemen ... · pdf filejurnal analisis manajemen...
TRANSCRIPT
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 1
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
WAJAH FONFLIK DALAM ORGANISASI : PENGUASAAN MANAJEMEN KONFLIK
OLEH PEMIMPIN
Fitri Nugraheni *)
Abstract
Conflict will always exists in the organizational life and the fenomena of the conflict is
universal. Different leader will have different opinion and views in facing the conflict. Some of them
prefer to avoiding conflict and the others tend to manage it well. The former consider that conflict has
the same meaning with: disfunctional, violence, destruction, irrationality, negative, and it’s gonna
make the decreasing of the organizational performance. The later say that confict is avoidable, so all
they have to do is how to make that conflict become a motivator to increase the organizational
performance. Too much conflict or too little can inhibit creativity. Poorly managed conflict can do the
same. But when conflict is well managed, problems can be resolved effectively.
Keywords:conflicts, conflict management, role of leader
A. Pendahuluan
Organisasi sebagai suatu sistem yang terdiri dari bermacam-macam komponen-komponen
(subsistem) yang saling terkait dan berhubungan, serta saling bergantung (interdependence) satu sama
lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Kast dalam Hakim, 2007).
Terciptanya keselaran kerja dalam berjalannya roda kegiatan organisasi bisa terwujud jika individu
dan kelompok yang ada dalam organisasi tersebut menciptakan suatu kerjasama yang saling
mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Dalam proses interaksi antar
subsistem, pasti terjadi suatu ketidakselarasan maupun ketidakcocokan antar individu yang merupakan
anggota organisasi. Ketidakcocokan tersebut pada ujungnya akan memunculkan suatu ketegangan
yang menciptakan suatu konflik. Setiap saat ketegangan dapat muncul, baik antarindividu maupun
antarkelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya ketegangan maupun
ketidakcocokan tersebut, antara lain: sifat pribadi yang berbeda, komunikasi yang buruk, adanya
perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke
dalam suasana konflik (Hakim, 2007).
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 2
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
Seperti yang diungkapkan oleh Mangkuprawira (2007) bahwa nampaknya fenomena konflik
bersifat universal. Konflik sepertinya analog dengan sesuatu yang negatif, timbulnya stress, dan
kekerasan fisik maupun nonfisik.Sebagaian besar dari kita masih memandang konflik sebagai hal yang
harus dihindari bukan sebagai realita yang harus di-manage. Padahal dinamika kehidupan
berorganisasi dalam bentuk, jenis dan ukuran apapun, pasti mengenal konflik dalam tubuhnya. Kita
perlu mempersepsi konflik sebagai realita yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti sehingga bisa
membuat kehidupan organisasi menjadi stagnan. Sebaliknya konflik harus diterima sebagai “mesin”
dinamika organisasi yang harus dikelola secara cerdas, karena dalam kenyataannya, konflik tidak
selamanya bersifat destruktif.
Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama dalam meraih kinerja yang optimal
dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktik di lapangan, persepsi demikian ini tampaknya
masih timpang. Selama ini organisasi yang tanpa konflik selalu dipandang sebagai kondisi yang ideal
dan harmonis. Jarang sekali kita memandang konflik sebagai “vitamin” kehidupan organisasi, tetapi
justru sebagai virus pembawa “penyakit”. Padahal jika konflik dikelola secara cerdas, maka akan
sangat dekat korelasinya dengan kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Bagaimana mungkin
sebuah organisasi yang hidup tanpa konflik dapat mengalami dinamika yang membangun (Supadi,
2007).
Konflik dapat menjadi masalah serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan
tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa kematian bagi
organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja oerganisasi terebut, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian (Hakim, 2007). Dalam hal inilah peran pemimpin sangat
menentukan, bagaimana pemimpin itu dpat mengelola konflik dengan baik, bahkan bisa
menjadikannya sebagai hal sesuatu yang dapat memacu motivasi dan bukan menurunkan tingkat
kinerja bawahan. Oleh karena itu keahlian pemimpin dalam mengeloal konflik sangat diperlukan
dalam sebuah organisasi.
Dalam makalah ini akan disajikan dua hal penting dalam konteks konflik dalam organisasi,
yaitu: faktor penyebab munculnya konflik dan model pengelolaan konflik.
B. Pembahasan
1. Definisi Konflik
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 3
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
Berbagai macam definisi konflik yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah
Robbins (2001) yang menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang dilakukan satu pihak yang
menimbulkan ketidaksenangan pihak yang lain. Konflik merupakan ketidaksetujuan antara individu
maupun kelompok dalam organisasi yang terjadi karena adanya kebutuhan dari sumber daya yang
terbatas, adanya perbedaan status, tujuan, kepentingan, atau budaya (Stoner, 1989). Jadi secara umum,
konflik merupakan perilaku anggota organisasi yang dilakukan berbeda dengan anggota lainnya
(Supadi, 2007).
a. Pandangan terhadap Konflik
Robbins (2001) mengemukakan bahwa pandangan terhadap konflik mengalami perubahan dan
terbagi dalam tiga pandangan, yaitu:
1) Pandangan Tradisional (Traditional View)
Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah buruk, merugikan, dan harus dihindari.
Dan untuk memperkuat konotasi negatifnya, konflik disinonimkan dengan kekerasan, destruktif,
dan tidak masuk akal.
2) Pandangan Hubungan Manusia (Human Relations View)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang wajar dan alami dalam setiap
organisasi. Konflik tidak dapat dihindari maupun disingkirkan sehingga kelompok ini menerima
keberadaan konflik sejauh konflik tersebut dapat membawa manfaat kerja.
3) Pandangan Interaksionis (Interactionist View)
Dalam pandangan ini, pimpinan justru mendorong terjadi konflik karena adanya anggapan bahwa
kelompok yang tampaknya kooperatif, tenang, dan damai cenderung memiliki sifat apatis, statis,
dan minim daya tangkap. Mangkuprawira (2007) menambahkan bahwa konflik diciptakan untuk
memotivasi anggota berinovasi, inisiatif, dan kreatif, sehingga pimpinan mempertahankan tingkat
minimum konflik agar kelompok atau bawahan dapat bertahan hidup, swakritik dan kreatif.
b. Jenis Konflik
Robbins (2001) membagi konflik menjadi dua, yaitu: konflik fungsional (Functional
Conflict) dan konflik disfungsional (Disfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang
meningkatkan kinerja dan mendukung pencapaian tujuan organisasi, sedangkan konflik disfungsional
merupakan konflik yang menurunkan kinerja dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 4
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
Pembedaan antara konflik fungsional dan disfungsional tidak jelas atau tidak tegas. Sangat
mungkin ketika suatu kelompok menganggap suatu konflik adalah fungsional, tetapi kelompok lain
menganggap konflik itu adalah disfungsional. Kriteria yang membedakan antara konflik fungsional
dan disfungsional adalah dampak konflik terhadap kinerja organisasi. Jika konflik tersebut
meningkatkan kinerja kelompok, meskipun kurang memuaskan individu, konflik tersebut dikatakan
fungsional. Sebaliknya jika konflik tersebut memuaskan individu tetapi menurunkan kinerja
kelompok, maka konflik dikatakan disfungsional.
Konflik dapat dibagi pula menurut keterlibatan individu didalamnya. Menurut Robbins (2001),
konflik dibedakan menjadi enam, yaitu:
1) Konflik dalam Diri Individu (conflict within the individuals). Konflik yang terjadi bila seorang
individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dilaksanakannnya atau individu
tersebut diharapkan untuk melakukan tugas diluar kemampuannya.
2) Konflik Antar-Individu (conflict among individuals). Konflik ini terjadi dalam satu organisasi,
yang diakibatkan leh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga terjadi dari adanya
konflik antarperanan (misalnya antara pimpinan dan bawahan).
3) Konflik antara Individu dan Kelompok (conflict among individuals and group). Konflik yang
berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan yang dipaksakan oleh kelompok kerja
mereka (misalnya, individu yang dihukum kelompok kerja mereka karena melanggar norma-norma
kelompok).
4) Konflik antar Kelompok dalam Organisasi yang Sama (conflict among groups in the same
organization), terjadi karena adanya pertentangan kepentingan antar kelompok.
5) Konflik antar Organisasi (conflict among organizations), timbul akibat bentuk persaingan suatu
organisasi yang berdampak negatif bagi organisasi lain. Misalnya: perubutan sumber daya yang
sama. Konflik ini mengarahkan timbulnya pengembangan produk baru, teknologi, dan jasa.
6) Konflik antar Organisasi yang Berbeda (conflict among individuals in different organizations).
Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak
negatif bagi anggota organisasi lain. Misalnya: seorang manajer public relation yang menyatakan
keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis (Hakim, 2007).
Handoko (2007) membagi konflik menjadi empat macam, yang dilihat dari daerah struktural,
yaitu:
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 5
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
1) Konflik Hirarki. Yaitu konflik antara berbagai tingkatan organisasi. Misalnya manajer tingkat
menengah konflik dengan personalia penyelia, dewan direktur berkonflik dengan manajer puncak.
Atau secara umum terjadi konflik antara manajemen dan karyawan.
2) Konflik Fungsional, merupakan konflik antara berbagai departemen fungsional organisasi.
Misalnya: konflik antara departemen produksi dan keuangan dalam suatu organisasi.
3) Konflik Lini-Staf, adalah konflik yang terjadi antara lini dan staf. Hal ini sering merupakan hasil
dari adanya perbedaan-perbedaan yang melekat pada peronalia lini dan staf.
4) Konflik Formal-Informal. Konflik ini terjadi antara organisasi formal dan informal. Misalnya:
lembaga hukum pemerintah berkonflik dengan suatu LSM yang berdemo.
2. Faktor Penyebab Konflik
Konflik disebabkan oleh banyak faktor. Schermerhorn (2000) mengungkapkan bahwa kondisi-
kondisi di bawah ini dapat memicu terjadinya konflik, yaitu:
1) Berperan ganda. Adanya ketidakjelasan harapan organisasi dan ketidakpastian tugas menyebabkan
orang akan bekerja pada tujuan yang berbeda.
2) Keterbatasan sumber daya. Dengan membagi sumber daya dengan yang lain ataupun bersaing
langsung untuk mendapatkan alokasi sumber daya memicu terjadinya konflik, khususnya bila
sumber daya yang ada jumlahnya terbatas.
3) Ketergantungan antar pekerjaan. Jika individu atau kelompok tergantung satu sama lain dalam
rangka penyelesaian tugas, maka konflik akan sering timbul.
4) Persaingan pencapaian sasaran organisasi. Sasaran dan sistem kompensasi yang tidak dirancang
dengan baik akan menyebabkan individu maupun kelompok dapat berkonflik.
5) Ketidaksamaan struktur organisasi. Perbedaan dalam struktur organisasi maupun karakteristik
orang-orang yang ditempatkan dapat mengembangkan konflik yang disebabkan karena
ketidaksesuaian pendekatan yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan.
6) Konflik yang terjadi sebelumnya dan belum terpecahkan. Suatu konflik yang belum terselesaikan
secara tuntas di waktu yang akan datang dapat menyebabkan konflik sejenis.
Pendapat lain mengenai faktor penyebab terjadinya konflik dalan organisasi dikemukakan oleh
Supadi (2007), yang merincinya sebagai berikut :
1) Saling ketergantungan tugas. Ini terjadi bila dua atau lebih unit kerja saling tergantung untuk
kerjasama, informasi, ketaatan atau kegiatan koordinatif yang lain.
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 6
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
2) Ketergantungan satu arah. Hal ini terjadi bila satu unit kerja secara unilateral tergantung dari unit
kerja lain.
3) Diferensiasi horisontal yang tinggi. Ini terjadi bila unit-unit kerja memiliki tujuan organisasi,
waktu dan filosofi yang berbeda, seperti antara unit produksi, pemasaraan, dan keuangan.
4) Formalisasi yang rendah. Ini terjadi bila tidak ada pedoman, manual, dan standarisasi, maka
perselisihan mudah timbul.
5) Kelangkaan sumber-sumber. Ini terjadi bila unit kerja tergantung dari fasilitas, tenaga, dana, dan
anggaran yang terbatas.
6) Perbedaan kriteria evaluasi. Ini terjadi bila unit kerja dinailai prestasinya secara terpisah dan bukan
atas prestasi bersama. Bisa terjadi subyektivitas dalam penilaian.
7) Pembuatan keputusan bersama. Proses pembuatan keputusan bersama dapat menumbuhkan
peluang ketidakcocokan.
8) Heterogenitas anggota. Perbedaan nilai, pendidikan, latar belakang merupakan potensi konflik.
9) Ketidakselarasan status, merupakan peranan suatu profesi dalam suatu organisasi yang tidak sesuai
dengan statusnya secara umum.
10) Ketidakpuasan. Perasaan ketidakadilan atas perlakukan bisa menimbulkan ketidakpuasan dan
konflik.
11) Distorsi komunikasi, adalah hambatan, ketidakjelasan, dan penahanan serta pemutarbalikan
informasi baik sengaja maupun tidak sengaja.
Berbeda dengan Schermerhorn yang membagi faktor penyebab konflik menjadi enam, Robbins
(2001) menyatakan bahwa faktor penyebaab terjadinya konflik terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1)
komunikasi. Yang dimaksud disini adalah komunikasi yang buruk yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihka yang terlibat, sehingga bisa menjadi sumber konflik, (2) struktur.
Istilah struktur dalam hal ini mencakup artian ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), derajat ketergantungan antar
kelompok, serta gaay kepemimpinan. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat
spesialisasi merupakan variabel pendorong yang memicu terjadinya konflik. Makin besar kelompok
dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula peluang terjadinya konflik Hakim,
2007), dan (3) variabel pribadi. Faktor pribadi dalam hal ini meliputi: sistem nilai yang dimiliki
individu, karakteristik kepribadian yang membuat individu itu unik dan bebrbeda dengan individu lain
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 7
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
(idiosyncrasies). Misalnya individu yang sangat otoriter, dogmatiok, dan memandang rendah orang
lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
3. Sikap Pemimpin dalam Menghadapi Konflik
Kreitner dalam Hakim (2007) menyebutkan bahwa pimpinan organisasi harus proaktif untuk
mengidentifikasikan kondisi organisasi, dan harus segera mengambil tindakan ketika terjadi konflik
terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti diharapkan konflik tidak
meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah, pemimpin
harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik. Sehingga konflik tidak menjadi faktor yang
mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
Para pemimpin menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik. Upaya
penanganan konflik sangat penting dilakukan. Karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi
cenderung mendatangkan konflik. Kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat
yang mencelakakan.
Uraian dibawah ini akan ditampilkan beberapa gaya dalam pengelolaan konflik yang harus
dikuasai oleh seorang pemimpin, salah satunya menurut Schermerhorn (2000) yang mengemukakan
lima gaya, yaitu:
1) Metode Penghindaran (avoidance). Metode ini dilakukan pemimpin dengan menjadi tidak
kooperatif dan tidak assertif, menyembunyikan ketidaksetujuan, menarik diri dari situasi dan tetap
netral. Taktik ini cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang remeh, atau biaya yang
dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar dari keuntungan ang akan diperoleh. (Hakim, 2007)
2) Metode Sama Rata (smoothing). Seorang pemimpin yang bergaya smoothing lebih memusatkan
perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Dia menjadi kooperatif
tetapi tidak assertif, membiarkan pihak lain membuat aturan, yang tujuannya untuk
menpertahankan keharmonisan organisasi.
3) Metode Kompetisi (competition). Ditandai dengan adanya orientasi pada diri sendiri yang tinggi,
dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong untuk menggunakan taktik
:saya menang, kamu kalah”, serta menekan pihak lain dengan wewenang yang dimiliki.
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 8
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
4) Metode Kompromi (compromise). Gaya ini menjadikan seseorang menjadi kooperatif dan assertif
pada tingkat yang sedang, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan pihak lain.
5) Metode pemecahan masalah (problem solution). Metode ini melibatkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah kemudian mencari solusi dimaan
semua pihak diuntungkan.
Berbeda dengan strategi manajemen konflik yang dikemukakan oleh Suryanto (2007), bahwa
sebagai pemimpin harus melakukan sembilan teknik untuk mengelola konflik, yaitu:
1) Mengajak bawahan yang berkonflik pada tujuan yang lebih tinggi
2) Memperluas sumber daya yang ada, sebab konflik bisa terjadi karena kelangkaan sumber daya, dan
banyak pihak yang membutuhkannya.
3) Teknik penghindaran. Umum dilakukan oleh banyak orang, karena adanya pemikiran daripada
ribut terus, lebih baik menghindar dan mencari aman.
4) Mencari tituik temu. Teknik ini berusaha mencari persamaan dan memperkecil perbedaan antara
pihak yang berkonflik.
5) Kompromi. Ketika pemimpin melakukan kompromi, munkin masing-masing pihak tidak merasa
puas terhadap keputusan itu. Manajemen konfli ini bisa efektif jika topik yang dikonflikkan bisa
dibagi dua secara adil.
6) Memakai power/kekuasaan. Ini adalah cara terkuno dalam manajemen konflik. Ketika suatu pihak
tidak mau menyudahi konflik, pemimpin dengan menggunakan kekuasaan bisa menyudahi konflik
tersebut.
7) Mengubah sifat orang yang berkonflik. Metode ini efektif untuk jangka panjang, tetapi mengubah
sifat orang sangat sulit.
8) Merubah struktur organisasi, sehingga unit-unit kerja tidak saling menyalahkan.
9) Menciptakan “musuh” bersama. Musuh disini bisa berupa pesaing agresif yang sengaja
dimunculkan serta harus dihadapi dengan bersatu dan bukan terpecah belah.
Supadi (2007) mengemukakan bahwa bila konflik terlalu besar, maka akan perlu diturunkan
intensitasnya, antara lain dengan cara:
1) Mempertegas atau menciptakan tujuan bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara
dua atu lebih unit kerja yang dapat dirasakan bersama.
Jurnal Analisis Manajemen Volume 2 No. 1 9
Desember 2007
ISSN : 1411-1799
2) Meminimalkan kondisi ketidaktergantungan, menghindari terjadinya eksklusivisme diantara unit-
unit kerja melalui kerjasama yang sinergis.
3) Memperbesar sumber daya organisasi sehingga mencukupi kebutuhan seluruh organisasi.
4) Membentuk forum bersama untuk mendiskusikan dan menyeleaikan masalah bersama.
5) Membentuk sistem banding, dimana konflik diselesaikan melalui mediator.
6) Pelembagaan kewenangan formal, sehingga pemimpin memiliki wewenang untuk menyelesaikan
konflik dan mengambil keputusan antara pihak yang berkonflik.
7) Meningkatkan intensitas interaksi antar unit kerja, sehingga tercipta komunikasi dan kerjasama
yang baik.
8) Me-redesign kriteria evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran prestasi yang dianggap adil
dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi, dan balas jasa.
C. Kesimpulan
Pandangan seputar konflik makin berkembang. Sering kita temukan tentang sikap pemimpin
yang pro dan kontra dalam memandang konflik yang terjadi di tubuh iorganisasinya. Ada pemimpin
yang yang memandang konflik secara negatif dan harus dihindari atau bahkan dihilangkan sama sekali
karena konflik mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam organisasi yang nantinya dirasa akan
dapat memecah belah organisasi. Pandangan yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa
konflik tidak mungkin dihindari. Yang menjadi point disini adalah membuat agar konflik tersebut
tidak mengganggu stabilitas kinerja organisasi. Pimpinan yang setuju dengan adanya konflik
beranggapan bahwa jika pihak-pihak yang berkonflik dapat bersikap dewasa dan percaya diri, maka
masalah yang menjadi sumber konflik pasti dapat diselesaikan.
Pandangan-pandangan umum yang berlaku selama ini dimana konflik ditempatkan dalam
destructive zone perlu direformasi. Konflik yang nyata bersifat destruktif harus segera dicarikan solusi
yang tepat, sebaliknya konflik yang bersifat positif harus di-manage secara cerdas dan profesional agar
konflik ini dapat menstimuli peningkatan kinerja dan dinamika organisasi. Tanpa konflik, akan ada
rasa tidak memerlukan perubahan dan kinerja menjadi stagnan. Jadi yang dibutuhkan seorang
pemimpin disini adalah bagaimana mengelola konflik sehingga konflik tersebut dapat dipertahankan
pada tingkatan yang optimal sehingga menciptakan situasi yang kondusif dalam organisasi.