view catalogue
TRANSCRIPT
1 Things Happen When We Remember
Thin
gs H
appe
n W
hen
We
Rem
embe
rFX Harsonosolo exhibition
2 FX Harsono solo exhibition 1 Things Happen When We Remember
Thin
gs H
appe
n W
hen
We
Rem
embe
r
FX Harsonosolo exhibition
6 - 28 September 2014Gallery B & Wing Space
Selasar Sunaryo Art Space
2 FX Harsono solo exhibition 3 Things Happen When We Remember
Pameran FX Harsono yang berjudul
Things Happen When We Remember
menjadi salah satu highlight program
Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) tahun ini.
Meskipun memamerkan karya-karya lama,
dengan pembacaan yang baru pameran
ini masih penting untuk diperbincangkan,
terutama bagi publik seni rupa Bandung yang
belum sempat melihat karya-karya tersebut
saat dipamerkan di Yogyakarta dan Hongkong
tahun lalu.
SSAS merasa terhormat untuk dapat
menghadirkan karya-karya Harsono ini.
Sejak tahun 1970an saya mengetahui sepak
terjangnya sebagai seniman, khususnya
saat ia menginisiasi Gerakan Seni Rupa
Baru Indonesia bersama Jim Supangkat
dan beberapa seniman muda lain. Saat itu,
karya-karya Harsono tidak hanya mendobrak
batasan-batasan medium seni rupa, melainkan
juga berani untuk menjadi politis.
Karya-karya Harsono dalam pameran ini
mewakili pencapaiannya sebagai seniman,
dalam hal sebagai saksi atas kondisi sosial-
politik. Ketimbang berapi-api, karya-karya
Harsono secara personal bertolak dari
keresahan dirinya saat mengidentifikasi diri
sebagai warga negara Indonesia beretnis
Tionghoa. Kita tahu warga negara etnis
Tionghoa banyak mengalami peristiwa kelam
dalam sejarah perjalanan republik ini.
Upaya identifikasi diri itu ia implementasikan
dengan dengan metode riset. Dengan metode
itu ia mencoba menunda kesimpulan sekaligus
menghindari stereotip. Hal ini membuat
karya-karya Harsono secara sublim dan
subtil mengetuk nurani kita sebagai manusia.
Melalui riset yang mendalam, karya-karya
dan gagasan-gagasan Harsono juga mampu
bergaung tidak hanya di dalam melainkan juga
luar negeri.
Di Indonesia terhitung jarang seniman yang
menggunakan metode riset. Pencapaian
Harsono patut menjadi contoh bagi para
seniman muda. Saya berharap Harsono dan
karya-karyanya terus menginsipirasi banyak
orang.
Bandung, 14 November 2014
Sunaryo
Direktur
Kat
a P
enga
ntar
Menulis dalam Hujan (detil)
Writing in the Rain (detail)
4 FX Harsono solo exhibition 5 Things Happen When We Remember
FX Harsono’s exhibition, entitled Things Happen
When We Remember is one of the highlights
of Selasar Sunaryo Art Space’s programmes
this year. Despite showing previous works,
this exhibition remains important to discuss,
especially for Bandung’s art public who did not
have the chance to see these works as they
were exhibited in Yogyakarta and Hong Kong
last year.
To be able to exhibit Harsono’s works is an
honour for SSAS. Since the 1970s, I have been
aware of Harsono’s efforts and determination
as an artist, in particular his initiative behind
the Indonesia New Art Movement with Jim
Supangkat and a number of other young artists
at the time. Then, Harsono’s works not only
break down the boundaries of art, but they also
dared to be political.
The works exhibited here represent his
achievements as an artist, in the sense of
standing witness to socio-political conditions.
Rather than being impassioned, Harsono’s
works personally sprung from his own anxiety
in regards to his identity as an Indonesian
national of Chinese descent. As we know,
Chinese ethnicity has suffered a truly dark
period in the history of our republic.
He attempts of self-identification are
implemented through research methods.
With such method, he prevents himself from
drawing quick conclusion as well as falling prey
to stereotypes. This allows Harsono’s works to
move our conscience in a subtle and sublime
way. Through in-depth research, Harsono’s
works and thought are able to find their echoes
not only within the country but also abroad.
In Indonesia, there are relatively a few number
of artists who employ research as a method.
Harsono’s achievements deserve to stand as
a model for younger artists. It is my hope that
Harsono and his works will continue to inspire
many people.
Bandung, 14 November 2014
Sunaryo
Director
Fore
wor
d
6 FX Harsono solo exhibition 7 Things Happen When We Remember
Rewriting on the Tomb (detail)
Masa Lalu dari Masa Lalu / Migrasi (detil)
The Past of The Past / Migration (detail)
8 FX Harsono solo exhibition 9 Things Happen When We Remember
“Identity belongs to the future, as much as to the past.”
(Stuart Hall, 1990)
Kita Ingat Maka
TerjadilahSejarah dan Ingatan
dalam Kesenian FX Harsono
Lima tahun setelah pameran tunggal FX
Harsono, The Erased Time (2009), tiba
saatnya untuk membaca kembali
karya-karyanya sebagai suatu eksplorasi yang
utuh dan berkesinambungan. Dalam kurun
waktu tersebut Harsono telah mengerjakan
puluhan karya dalam medium yang berbeda-
beda (instalasi, lukisan, foto, dan video).
Sejumlah idiom yang berulang muncul secara
bervariasi dalam karya-karya yang berbeda
memberi petunjuk bagaimana Harsono bekerja
dengan gagasan dan pemikiran yang terus-
menerus ia geluti. Ada juga pergeseran fokus,
percabangan, perluasan dan pendalaman
gagasan yang menarik untuk dibandingkan
dengan karya-karya Harsono sebelumnya.
Pameran Kita Ingat Maka Terjadilah
(Things Happen When We Remember) tersusun
atas tujuh karya Harsono yang telah
dipamerkan di sejumlah pameran di Jakarta,
Yogyakarta, Roma dan Hong Kong, sejak 2011.
Keinginan untuk menampilkan kembali karya-
karya ini dalam konfigurasi baru menunjukkan
itikad Harsono untuk tetap membuka diri
terhadap tinjauan dan kritik. Pameran ini juga
merupakan salah satu upaya untuk menguji
praktik artistik Harsono melalui dialog-dialog
baru. Sebagai catatan pasca-kegiatan, tulisan
ini bukan sekadar pengantar kuratorial.
Dengan merespon sejumlah tulisan yang
pernah terbit tentang Harsono dan kritik yang
muncul selama pameran berlangsung, di sini
saya mencoba menempatkan karya-karya dan
sosok Harsono sebagai objek perdebatan,
sekaligus jalan masuk ke dalam wacana seni
rupa kontemporer secara lebih luas.
Warisan Oh Hok Tjoe
Penting untuk melihat kembali dari
mana dan bagaimana Harsono mulai terlibat
fokus tematiknya selama lima tahun terakhir.
Inspirasi awal Harsono datang dari foto-foto
tua dalam album peninggalan sang ayah, Oh
Hok Tjoe alias Hendro Subagio – seorang juru
potret, pendiri studio foto ‘Atom’ di Blitar.
Album foto itu sempat tersimpan berpuluh
tahun lamanya di ruang tamu, sampai ketika
Hok Tjoe meninggal pada 1999, Harsono baru
kembali membuka-buka dan lebih serius
mencermatinya. Ingatan Harsono tentang foto-
foto hitam putih itu memercik keingintahuan
yang berlanjut ke dalam sebuah petualangan
baru.
Awalnya, foto-foto itu serupa
memento mori bagi Harsono, bukan saja
karena identik dengan kepergian sang ayah,
tapi juga karena gambar-gambarnya yang
menyajikan panorama kematian. Sebagian
foto-foto merekam gambar tulang-belulang
dan tengkorak manusia yang terserak di tanah,
atau tersusun dalam suatu konfigurasi
tertentu. Ada juga foto-foto yang menampilkan
sekumpulan orang yang berpose bersama
kumpulan tengkorak itu. Pada sejumlah foto
tertera tulisan tangan berwarna putih yang
mengindikasikan nama tempat dan tanggal
pengambilan gambar.
Harsono akhirnya mengetahui bahwa
ayahnya mengambil gambar-gambar itu dari
sebuah kegiatan yang disebut ‘ndudah’:
penggalian dan penguburan kembali mayat-
mayat manusia. Ndudah bukan tradisi baru di
Jawa. Sampai hari ini, kegiatan memindahkan
Esai
Kur
ator
ial
10 FX Harsono solo exhibition 11 Things Happen When We Remember
sisa jasad manusia dari dalam kuburan masih
banyak dilakukan oleh masyarakat untuk
alasan-alasan yang berbeda.1 Dalam
kepercayaan orang-orang Tionghoa, ritual
penguburan keluarga, leluhur atau nenek
moyang harus dilakukan dengan layak, demi
kehidupan hari ini dan masa depan keturunan
sang mati yang lebih baik.
Ketika menelusuri lebih jauh foto-foto
itu, Harsono baru sadar bahwa ayahnya
meninggalkan arsip yang tidak biasa. Tulang-
belulang dan tengkorak itu ternyata merupakan
jejak sebuah sejarah kelam. Ia menemukan
bahwa ayahnya adalah fotografer yang ditunjuk
oleh sekelompok relawan yang mendata dan
menguburkan kembali orang-orang Tionghoa
yang dibantai sepanjang 1948-1949 di Blitar.
Dalam beberapa penulisan, peristiwa
pembantaian itu diidentifikasi sebagai dampak
dari Agresi Militer Belanda yang melanggar
hasil Perundingan Linggarjati (1947). Ketika
tentara Indonesia melakukan gerilya dan
menjalankan taktik bumi hangus dalam
menghadapi tentara Belanda, kaum Tionghoa
menjadi sasaran tindakan kekerasan akibat
perpecahan politik dan ulah para oportunis dan
penyusup yang mengambil kesempatan di
tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
Cerita pembantaian massal yang
terpantul pada foto-foto koleksi Oh Hok Tjoe
bercampur aduk dengan kekecewaan Harsono
yang mendalam terhadap kekerasan terhadap
etnis Tionghoa di Jakarta menjelang reformasi
1998 – sebuah peristiwa yang membuatnya
merasa ‘dikhianati’.2 Melalui arsip dan
wawancara, diketahui kemudian bahwa tulang-
belulang dalam foto-foto ayah Harsono digali
dari sejumlah tempat yang berbeda, yang
lantas dimakamkan kembali secara bersama-
sama di Bong Belung, (bong: pemakaman
orang Tionghoa; belung / balung: tulang-
belulang) di kawasan Karangsari, Blitar.
Harsono memulai risetnya dengan
mengunjungi Bong Belung. dan menggali
informasi sebanyak mungkin. Ia mewawancarai
penduduk setempat, dan sejumlah warga
keturunan Tionghoa yang berhasil selamat dari
peristiwa pembantaian. Prosedur ini, seperti
dikatakannya, adalah bagian dari suatu ‘riset’.
Riset Harsono berlanjut sampai pada
penelusuran cerita-cerita sejarah pembantaian
etnis Tionghoa yang terjadi pada masa lain, dan
di tempat-tempat lainnya di Indonesia. Selain
bepergian dan melakukan banyak wawancara,
ia terus mengumpulkan dan mempelajari
buku-buku tentang sejarah etnis Tionghoa dan
dokumen tentang peran tokoh-tokoh Tionghoa
dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejumlah
pemakaman korban pembantaian massal di
kota-kota lain di Jawa (Muntilan, Yogyakarta,
Kediri, Nganjuk dan Tulungagung) juga ia
kunjungi dan ziarahi. Selain itu, Harsono juga
mulai menggali cerita-cerita seputar sejarah
diri, nama dan keluarganya. Ia menemukan
bagaimana ingatan atau sejarah personalnya
juga beririsan dengan sejarah kolektif.
Reproduksi Tanda-tanda
Salah satu cara strategi artistik yang
ditempuh Harsono dalam proyek ini adalah
dengan ‘mereproduksi’ tanda-tanda yang ia
temukan sepanjang risetnya. Ia banyak
menyalin tanda-tanda itu secara langsung, lalu
mengkonstruksinya ke dalam gubahan karya
yang dibubuhi tafsir personal. Ini bukanlah
metode baru dalam perjalanan artistik
Harsono. Dalam banyak karya Harsono pada
1970-an, pemanfaatan benda-benda sehari-
hari sangat menonjol. Pada awal 2000-an,
untuk rangkaian karya cetak grafis Harsono
dalam pameran tunggalnya, Displaced,
misalnya, ia memanfaatkan citra-citra temuan
fotografis dan digital yang ia kumpulkan dari
berbagai situs internet.
Merunut lebih jauh ke belakang,
Harsono adalah salah satu seniman Gerakan
Seni Rupa Baru Indonesia yang mempelopori
pendekatan ‘anti-lirisisme’. Sanento Yuliman
mendefinisikan ‘lirisisme’ sebagai suatu
kecenderungan seni lukis yang pernah
dominan di Indonesia pada 1980-an, di mana
seorang seniman memproyeksikan getaran
perasaan dan ‘dunia dalam’-nya melalui
pendekatan emosional dan subjektif.3 Dalam
paradigma ini, dunia luar adalah sesuatu yang
harus disaring dan ditransformasikan ke dalam
dunia simbolik dan puitik—kebanyakan melalui
abstraksi. Sebaliknya, seniman-seniman anti-
liris justru berupaya menghilangkan filter dan
transformasi itu, tidak hanya dengan cara
mengadopsi ‘bahasa’ benda sehari-hari, tapi
juga menghadirkannya kembali apa adanya di
ruang pamer. Ada kecenderungan kuat untuk
memanfaatkan bahasa visual yang langsung
dan lugas yang, meskipun seringkali terlihat
sederhana, terbangun atas pertimbangan yang
berlapis-lapis.
Dalam kurun lima tahun terakhir,
Harsono telah menggunakan foto-foto koleksi
ayahnya berulang kali dalam beberapa
rangkaian karya yang berbeda. Ia telah
mengekspos gambaran-gambaran foto hitam-
putih itu ke dalam lukisan-lukisan berukuran
besar dengan jukstaposisi dan teks-teks yang
menegaskan konstruksi makna baru. Dalam
The Erased Time, misalnya, Harsono pernah
menampilkan foto-foto itu dalam instalasi
ruang gelap yang diselimuti nuansa merah
mencekam. Sebagian citraan tengkorak
diperbesar ke dalam neon box, sementara
sebagian foto ndudah yang lain dipajang dalam
Meskipun tidak pernah meragukan kemampuan teknologi virtual, seperti internet, untuk memberikan informasi yang
tak dapat terjangkau secara fisik, Harsono menganggap bahwa observasi empirik sangat penting untuk menguji terus-menerus
sensibilitas sosialnya sebagai seniman.
12 FX Harsono solo exhibition 13 Things Happen When We Remember
‘Siapa saya’ adalah pertanyaan klasik yang idiosinkratik. ‘Saya’ sepertinya tetaplah misteri universal yang akan terus relevan untuk manusia gali sampai akhir jaman.
bingkai-bingkai kayu yang tersusun di dinding.
Dalam pameran ini, Harsono
mereproduksi dan menghadirkan kembali foto-
foto Oh Hok Tjoe dalam instalasi Monumen Bong
Belung (2011). Ia menyusun puluhan kotak kayu
yang masing-masing memuat nama-nama
latin setiap korban, selembar foto dan
sepasang lampu sembahyang. Tidak sekadar
membangun kembali monumen pengingat, ia
menyusun karya ini sedemikian rupa sehingga
nama setiap korban menempati ‘altarnya’
masing-masing. Jika di situs Bong Belung yang
sesungguhnya, ratusan tengkorak dan ribuan
keping tulang-belulang para korban disatukan
dan bercampur dalam satu liang kubur saja,
Monumen Bong Belung Harsono menghadirkan
penghormatan terhadap ‘individu’ sang mati.
Metode ‘menyalin’ dan mereproduksi
juga nampak jelas pada Rewriting on the Tomb
(2013). Harsono melakukan performans di lima
lokasi pemakaman massal di Jawa, dengan
cara menggosokkan krayon merah pada kain
putih yang disampirkan pada batu nisan.
Hasilnya adalah pahatan nama-nama dalam
aksara Cina yang tercetak secara tegas dan
kontras. Di dalam ruang pamer, kelima kain
putih itu dipajang berjajar dan bersanding
dengan rekaman performans yang ia sunting
ke dalam video A Pilgrimage to History (2013)
dan wawancaranya dengan sejumlah
narasumber. Secara menyeluruh, konfigurasi
ini memunculkan ketegangan antara sikap
berkabung yang khidmat dengan nuansa
saintifik seorang peneliti atau sejarawan yang
tengah menggali informasi. Hendro Wiyanto
menganggap kedua karya ini sebagai upaya
sublim Harsono untuk memberi tempat pada
‘sang ganjil’ yang terbungkam dan
terpinggirkan.4
Instalasi Writing in the Rain (2011)
berangkat dari sejarah personal Harsono
sebagai salah satu dari sekian juta orang
Indonesia keturunan Tionghoa yang harus
mematuhi kebijakan Orde Baru tentang
penggantian nama pada tahun 1967. Salah satu
elemen dalam karya ini adalah video kanal
tunggal yang diulang (looped), yang
memperlihatkan dirinya tengah menuliskan
nama masa kecilnya, ‘Oh Hong Bun’ dalam
aksara Tionghoa. Harsono berdiri menghadap
pemirsa, menumpuk aksara-aksara pada
permukaan layar, hingga nyaris menutupi
gambaran sosoknya sendiri. Dengan kuas dan
tinta hitam, ia menulis dengan pelan-pelan dan
hati-hati. Tumpukan nama-nama itu seolah
hendak memberikan suatu penegasan tentang
Berziarah ke Sejarah (detil)
Pilgrimage to History (detail)
14 FX Harsono solo exhibition 15 Things Happen When We Remember
kehadiran. Namun pada suatu momen, muncul
air yang mengucur bagai hujan, yang dengan
segera meluruhkan aksara-aksara itu menjadi
genangan cairan hitam di lantai.
Penulisan nama dalam Writing in the
Rain berhubungan dengan upaya Harsono
untuk mengenali kembali dirinya, dengan
mengingat kembali aspek ke-Cina-an yang
pernah melekat kuat padanya semasa kecil.
Namun seperti yang ia kisahkan, pada
dasarnya ia tak mengenal budaya Tionghoa
dengan baik. Dalam performans itu ia mengeja,
mengingat aksara-aksara yang sudah lama tak
digunakan untuk menulis namanya. Pemilihan
video (dan) performans sebagai medium
berbasis waktu memperkuat gagasan tentang
kesementaraan. Adegan penghapusan yang
diteruskan dengan pengulangan video yang
simultan dan tanpa jeda (looped) pada akhirnya
memunculkan konotasi ketakpastian, atau
bahkan ‘kesia-siaan’: aksara-aksara itu ditulis,
tersapu oleh kucuran air, ditulis lagi, terhapus
lagi. Begitu seterusnya. Kehadiran lafal ‘Oh
Hong Bun’ dapat terbaca hanya untuk beberapa
saat saja. Harsono bagaikan Sisyphus, atau
Uroboros, yang ‘terjebak’, atau ‘menjebak
dirinya sendiri’, di dalam jalur pencarian yang
melingkar tak berkesudahan.
Siapa Saya/Kami/Kamu/Mereka?
Menyusul bubarnya GSRBI pada 1979,
Harsono terlibat intens dengan sejumlah
proyek artistik yang merespon langsung
persoalan-persoalan di masyarakat. Ia banyak
mengunjungi lokasi-lokasi ‘pembangunanisme’
(developmentalism) Orde Baru yang berdampak
pada marjinalisasi dan represi terhadap
komunitas tertentu. Meskipun tidak pernah
meragukan kemampuan teknologi virtual,
seperti internet, untuk memberikan informasi
yang tak dapat terjangkau secara fisik, Harsono
menganggap bahwa observasi empirik sangat
penting untuk menguji terus-menerus
sensibilitas sosialnya sebagai seniman. Ia
percaya bahwa material dan gagasan artistik
selalu ada di ‘luar sana’, dan oleh karena itu
harus ditemukan dan ditangkap dengan cara
‘terjun langsung ke lapangan’. Kedekatannya
dengan sejumlah aktivis dan lembaga swadaya
Saya berpendapat bahwa dalam konteks proyek ndudah, foto-foto Oh Hok Tjoe, biografi Harsono dan keluarganya pada akhirnya menjadi ‘sekadar’ jalan masuk untuk membicarakan
konstruksi, formasi dan representasi identitas suatu komunitas, yakni etnis Tionghoa di Indonesia.
masyarakat pada 1980-an banyak memberikan
pengaruh pada cara kerja ini.
Hendro Wiyanto mencatat bagaimana
kesenian Harsono sepanjang 1980-an banyak
merupakan refleksi kritis terhadap kerusakan
ekologis yang berdampak pada ketimpangan
sosial.5 Di antaranya adalah instalasi Pagar
Tripleks dan Hutan Kita (1982) di Parangtritis,
Yogyakarta, dan terutama proyek Seni Rupa
Lingkungan – Proses 85 (1985) bersama Gendut
Riyanto, Harris Purnomo, Bonyong Munni
Ardhi, dkk. yang merespon isu pencemaran laut
oleh merkuri di kampung Luar Batang,
Penjaringan, Jakarta. Bersama seniman-
seniman yang lebih muda seperti Moelyono dan
Semsar Siahaan, Harsono juga menggarap
karya-karya kolaboratif yang menyuarakan
kritik terhadap persoalan-persoalan aktual
seperti hak-hak buruh dan keadilan politik.6
Karya Harsono lainnya yang menempuh
metode kerja yang sama adalah Suara dari
Dasar Bendungan (1994), yang berawal dari
risetnya tentang masyarakat yang terusir
karena proyek pembebasan lahan di Sampang,
Madura.
Harsono mengakui bahwa karya-
karyanya pada awal 2000-an dibuat dengan
oreintasi yang berbeda dengan masa
sebelumnya. 7 Realitas pasca-reformasi 1998
telah memberinya pelajaran penting tentang
ekspresi seni dan konteks sosial-politik.
Reformasi 1998 menjadi momen penanda
beralihnya orientasi artistik seniman-seniman
Indonesia kepada tema-tema sosial politik.
Namun ketika kebebasan berekspresi
dirayakan secara berlebihan, praktik seni kritis
justru dihadapkan pada krisis. Kritik sosial-
politik melalui kesenian jatuh ke dalam slogan-
slogan yang semu, banal dan kosong. Pada titik
yang ekstrim, karya-karya seni hanyalah suatu
amplifikasi tajuk utama berita-berita politik di
media massa di tengah gaduhnya suara-suara
tentang ‘reformasi’.
Harsono pernah berada pada titik di
mana ia merasa harus mengambil jarak
dengan praktik seni yang sebelumnya ia tekuni,
terlebih lagi ketika kenyataan sosial yang
semula menjadi sumber inspirasi, justru
membuatnya terasing. Namun, di sisi yang lain,
peristiwa kerusuhan dan kekerasan terhadap
etnis Tionghoa yang terjadi di sekitar momen
Reformasi 1998 masih terus mengusik
pemikirannya. Dalam percakapannya dengan
Wiyanto, Harsono mengemukakan: “Saat itu,
Mei 1998, saya diliputi oleh kemarahan, ketakutan,
dan kekecewaan sebagai seorang keturunan Cina
yang merasa bahwa orang-orang Cina di Indonesia
selalu menjadi korban dari kerusuhan-kerusuhan
politik. […] Kemarahan, rasa takut dan kekecewaan
inilah yang mendorong saya untuk melakukan
refleksi terhadap penciptaan yang saya lakukan
selama ini. Refleksi ini pada akhirnya sampai pada
sebuah pertanyaan yang akan menjadi landasan
penciptaan saya berikutnya, yaitu ‘siapa saya’…”8
Perubahan orientasi itu juga pernah
Harsono tegaskan dalam sebuah pernyataaan
yang ditulisnya pada 2003: “[…] saya merasakan
kehilangan tempat berpijak dan merasa terasing di
tengah-tengah masyarakat saya sendiri.
Masyarakat inilah yang dulu pernah saya anggap
sebagai kelompok yang harus diperjuangkan
melalui kesenian. Saya pun merasa asing dengan
16 FX Harsono solo exhibition 17 Things Happen When We Remember
orang-orang yang dulu saya anggap mempunyai
visi perubahan yang sama. Dalam ketelanjangan
dan kepolosan yang diperlihatkan melalui perilaku
mereka, tiba-tiba saya bertanya, siapakah
sebenarnya mereka? Dalam perubahan seperti ini,
saya mencoba melihat kembali diri saya.”9
Di sini saya ingin kembali kepada
pertanyaan yang saya kemukakan di awal:
Dengan ‘landasan penciptaan baru’ itu, sejauh
mana karya-karya Harsono dapat dikatakan
berubah? Tan Siu Li pernah menulis bahwa
transisi Harsono pada awal 2000-an terletak
pada penggunaan medium, bahan dan
presentasi karya seninya.10 Memang benar,
dalam sepuluh tahun terakhir Harsono mulai
lebih sering melukis dan membuat cetak grafis,
meskipun instalasi, video dan performans
masih ia kerjakan juga. Figur perempuan,
potret diri, atau foto-foto keluarganya juga
merupakan idiom baru yang muncul pada
masa ini. Pergeseran lainnya juga nampak
pada aspek metafor yang berhubungan dengan
perubahan sosio-kultural di Indonesia. Ketika
peristiwa kekerasan sudah dieksploitasi
sedemikian rupa sebagai taktik pemasaran
media massa yang efektif, Harsono justru
memanfaatkan metafor untuk menghindari
kebanalan, seperti dalam caranya
menampilkan jukstaposisi antara ‘keindahan’
dan ‘kekerasan’, melalui idiom kupu-kupu,
sebagai makhluk bersayap yang cantik, dengan
jarum-jarum yang merajam serangga itu
dengan keji.
Baik Siu Li maupun Wiyanto
nampaknya meyakini bahwa pernyataan
tentang landasan penciptaan baru Harsono
benar-benar didorong oleh keinginan untuk
menjawab pertanyaan ‘siapa saya’. Meskipun
terdengar sederhana, kita tahu selama
berabad-abad, para pemikir kuno Timur
maupun Barat, para psikoanalis, eksistensialis,
sosiolog, antropolog, spiritualis dan seniman
telah mengajukan jawaban berbeda-beda,
dengan tingkat kerumitan yang berbeda-beda
pula, untuk pertanyaan itu. ‘Siapa saya’ adalah
pertanyaan klasik yang idiosinkratik. ‘Saya’
sepertinya tetaplah misteri universal yang akan
terus relevan untuk manusia gali sampai akhir
jaman.
Jawaban Harsono atas pertanyaan itu
tentu penting untuk kita lihat dalam
manifestasi karya-karyanya. Akan tetapi,
penting pula untuk menelisik dalam kerangka
apa sesungguhnya pertanyaan itu Harsono
ajukan. Salah satu petunjuk penting adalah
pernyataan tentang peristiwa kekerasan pada
etnis Tionghoa pada 1998 yang masih
membayangi Harsono ketika ia ‘mencoba
melihat kembali dirinya’. Dari situ saya
menduga, jikapun ada yang disebut Wiyanto
sebagai ‘pencarian baru’ untuk ‘melihat diri’,
cara-cara Harsono masih cenderung bersifat
‘eksternal’ ketimbang ‘internal’. Pertanyaan
‘Siapa saya’ yang Harsono ajukan setelah 1998
nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang ia
nyatakan pada 1996 dalam sebuah pengantar
untuk sebuah lokakarya di Yogyakarta: “[…]
dimulai dengan sebuah pertanyaan “Siapa saya”…
“Saya seorang perupa”. Untuk sementara
barangkali cukup. Tetapi, pertanyaan ini bisa
berarti juga mempertanyakan keberadaan kita,
hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita,
Pengaruh paradigma ilmu sosial ke dalam praktik seni rupa Indonesia memang gejala yang cenderung tak terhindarkan, khususnya ketika seniman-seniman menjadikan masyarakat, beserta berbagai problematika di dalamnya, sebagai pokok-soal dalam karya-karya mereka.
dan profesi kita dalam masyarakat.”11
Meskipun Harsono ingin memberi
jarak antara praktik artistiknya dengan realitas
atau dunia ‘di luar dirinya’, karya-karyanya
setelah 1998 tidak serta-merta menyelam
masuk ke ‘dunia dalam’ yang serba liris,
emosional dan subyektif. Saya menyetujui
pendapat Wiyanto yang menulis bahwa
Harsono tak mungkin bisa mengikis habis
seluruh kecenderungan kritisnya, hanya
melalui sebuah kelokan pertanyaan tentang
‘diri’ (self).12 Selain itu, dalam karya-karya
Harsono, yang muncul bukanlah ‘diri’ yang
esensial (yang meyakini bahwa ada nilai-nilai
individual tersembunyi yang pasti, tetap dan
statis). Kita tahu bahwa gagasan esensialisme
identitas semacam itu pula yang Harsono tolak
ketika ia mendeklarasikan Seni Rupa Baru
Indonesia sebagai sebuah gerakan avant-
gardisme.
Pencarian Harsono—misalnya dalam
pameran Titik Nyeri (2007); Aftertaste (2008), dan
Surviving Memories (2009)—tetap menunjukkan
suatu refleksi, kalau bukan kontemplasi,
tentang oposisi-oposisi sosial: antara ‘saya’,
‘kamu’, ‘mereka’, ‘kami; dan ‘kita’. Meskipun
memunculkan idiom-idiom baru, kesenian
Harsono masih menunjukkan upaya-upaya
untuk menghubungkan ‘yang personal’ dan
‘yang sosial’. Pada karya-karya yang secara
jelas menggambarkan potret dirinya (misal:
Jarum dalam Mimpiku, 2003; atau Berguguran,
2007) sebenarnya kita tengah melihat sosok
seniman sebagai representasi dari suatu
entitas kolektif. Di hadapan karya Harsono
pandangan kita dibiarkan keluar masuk
melalui lubang-lubang yang bocor pada lapisan
pembatas antara ‘saya’/‘kami’ dan
‘kamu’/’mereka’, antara ‘diri’ dengan ‘liyan’.
Saya berpendapat bahwa dalam
konteks proyek ndudah, foto-foto Oh Hok Tjoe,
biografi Harsono dan keluarganya pada
akhirnya menjadi ‘sekadar’ jalan masuk untuk
membicarakan konstruksi, formasi dan
representasi identitas suatu komunitas, yakni
etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam konteks
sejarah sosial di Indonesia sebelum 1998,
peristiwa pembantaian dan kekerasan
menempatkan etnis Tionghoa pada posisi yang
kurang lebih sama dengan para ‘korban’
18 FX Harsono solo exhibition 19 Things Happen When We Remember
kekerasan pada masa Orde Baru. Dengan kata
lain, dalam proyek-proyek Harsono (di Luar
batang, Sampang maupun situs-situs bong
belung) ada kecenderungan kuat untuk
melakukan pembelaan pada eksistensi liyan.
Sampai di sini, kita bisa beroleh
kesimpulan bahwa karya-karya Harsono
sebelum dan setelah 1998, dan setelah proyek
ndudah (2009), menunjukkan konsistensinya
untuk menyentuh persoalan-persoalan sosio-
politis. Analisa terhadap rangkaian karya
Harsono bisa mengarah ke dalam dua
kemungkinan yang berseberangan tentang
‘konsistensi’. Pertama, bahwa Harsono adalah
seniman yang konsisten, dalam pengertian
mampu untuk mempertahankan suatu prinsip,
fokus konseptual dan tematik dalam waktu
yang lama. Namun, dari perspektif kedua, kita
juga bisa bertanya: Apakah ‘konsistensi’ itu
juga menunjukkan ‘kegagalan’ Harsono untuk
menempuh suatu transisi dan perubahan? Kita
tentu ingin mengetahui sejauh mana proyek
ndudah benar-benar telah menciptakan jarak
dengan realitas sosial-politik seperti yang ia
inginkan.
Riset Lapangan dan Penciptaan Seni
Dalam suatu wawancara yang
mengiringi persiapan pameran ini, saya
membuka percakapan saya dengan Harsono
dengan menyinggung tesis Hal Foster tentang
praktik seni rupa kontemporer dengan tendensi
‘etnografis’. Topik itu relevan, mengingat dalam
riset-risetnya Harsono melakukan observasi,
wawancara, interaksi, melakukan dokumentasi
dan pencatatan untuk mendapatkan data-data
dari persentuhan langsungnya dengan
kelompok-kelompok sosial di sejumlah lokasi
tertentu. Foster menganggap bahwa
kecenderungan seniman-seniman
kontemporer untuk menempuh riset lapangan
tentang suatu komunitas (terutama para liyan
dalam pengertian yang luas) menunjukkan
suatu ‘tikungan antropologis’ dalam praktik
seni rupa. Dengan mengadopsi metode dan
pandangan yang melihat kebudayaan, realitas
dan komunitas sosial sebagai objek / teks, seni
rupa kontemporer akhir abad ke-20 telah
memperluas praktiknya ke dalam ranah
(domain) antropologi.
Dalam karya-karya Harsono reproduksi tanda-tanda adalah salah satu upaya untuk menghadirkan bahasa yang mudah
difahami baik oleh komunitas di ‘lapangan’ maupun publik seni di ruang pamer.
Kritik Foster tidak ditujukan kepada
praktik ‘seni etnografis’ secara umum. Ia
mengkritik terutama proyek-proyek seni tapak-
khas / site-specific ‘pesanan’ yang berpotensi
menjadi alat dari suatu institusi atau patron
seni untuk melegitimasi posisi politik atau
ekonomi mereka di dalam medan sosial. Ia
menggambarkannya dengan sebuah skenario
yang terjadi dalam pameran-pameran
blockbuster internasional, di mana seniman-
seniman terjun ke wilayah-wilayah geografis
atau etnografis baru, bekerjasama atau
berkolaborasi dengan komunitas-komunitas
liyan, yang pada titik ekstrim dianalogikan
sebagai barang jadi (ready made) yang
‘mengandung representasi’.13 Dalam proyek-
proyek berbasis komunitas, kerja seniman,
yang secara tradisional intentik dengan
‘pencipta objek’, bertransformasi menjadi
investigator, penyuluh (educator) dan
kolaborator bagi kelompok sosial / budaya yang
mereka hampiri.
Dalam kaitan dengan tesis tersebut,
saya bertanya kepada Harsono: sejauh mana
seorang seniman yang melakukan riset dapat
bertindak sebagai ‘peneliti’, atau bahkan
‘pengarang’ yang memiliki otoritas untuk
menjelaskan kebudayaan atau keadaan suatu
komunitas? Bagaimana metode yang harus
ditempuh oleh seorang seniman/peneliti
sehingga ia tidak terjebak pada suatu praktik
‘peliyanan’ (othering) yang artifisial?
Pada bagian esai ini saya ingin
menghubungkan ihwal ‘riset etnografis’
dengan kritik lain yang dikemukakan Asmudjo
Jono Irianto pada artist talk pameran Things
Happen when We Remember.14 Irianto
menganggap bahwa penjelasan Harsono yang
komprehensif mengenai studinya tentang
kekerasan terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia justru ‘mengecilkan’ kehadiran
karya-karya yang ada di dalam ruang pamer.
Bukankah dengan longgarnya sensor
pemerintah pasca-1998 sejarah-sejarah gelap
dapat lebih mudah didapatkan melalui buku-
buku? Ia skeptis terhadap potensi transformatif
yang dibayang-bayangkan oleh seniman dapat
dilakukan oleh (pameran dan karya) seni,
karena terbukanya akses informasi, telah
tumbuh pemahaman khalayak (common sense)
yang lebih baik tentang sejarah kekerasan di
Indonesia. Secara tidak langsung, ia juga
mempertanyakan konotasi ‘riset’ dalam seni
rupa yang secara sempit diartikan dengan
metode observasi empirik dan etnografis.
Saya sependapat dengan Irianto
mengenai sempitnya pemahaman tentang riset
artistik di Indonesia. Seharusnya cara-cara
untuk memahami realitas / dunia tidak hanya
ditentukan oleh metode observasi empirik.
Riset pada dasarnya merupakan berbagai
upaya sistematis yang ditempuh untuk
mencapai pengetahuan. Artinya, tidak hanya
mereka yang ‘terjun ke lapangan’, seniman-
seniman berbasis kerja studio pun, pada
dasarnya, melakukan riset dengan metode
yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia,
ketidakpopuleran istilah ‘riset artistik’ juga
berhubungan dengan relasi kuasa antara
paradigma dominan dan bahasa. Dalam dunia
akademik saat ini, istilah riset bahkan masih
20 FX Harsono solo exhibition 21 Things Happen When We Remember
jarang digunakan untuk menyebut kerja para
seniman (riset seni cenderung identik dengan
penelitian sejarah atau kritik seni). Secara
historis, gejala ini mencerminkan inferioritas
wacana dan praktik seni di hadapan dominasi
saintisme dan positivisme, terutama ketika
sains, dan berakar pada perkembangan ilmu-
ilmu sosial dan kemanusiaan yang dibentuk
semata-mata sebagai disiplin kelimuan
instrumental. Pada masa Orde Baru istilah
‘riset’ lebih sering digunakan dalam domain
non-artistik, terutama sains dan teknologi,
karena kerja seniman dianggap ‘kurang
sistematis’, terlalu berbasis pada intuisi dan
imajinasi.
Harsono memang banyak menempuh
riset-riset yang bersifat antropologis, sosiologis
dan etnografis. Akan tetapi saya berpendapat
bahwa riset-riset itu ia tempuh bukan semata-
mata sebagai suatu validasi metodologis
terhadap praktik artistiknya, apalagi demi
tuntutan untuk terlihat ‘saintifik’. Sebelum
1998, motif politik dalam riset-riset Harsono
cenderung kuat. Ia mencari ‘kebenaran’ yang
bisa diungkapkan oleh seni rupa, tapi bukan
kebenaran yang ‘diproduksi’ oleh wacana
esoterik seni rupa itu sendiri. Pada 1980-an,
Harsono dan kawan-kawan memang
mengadopsi metode-metode dalam ilmu
sosial, tapi bukan metode yang secara formal
maupun instrumental mendukung kekuasaan
dominan.15 Sebaliknya, ia ingin membongkar
kepalsuan-kepalsuan yang menopengi rezim
itu, menelanjanginya secara kritis melalui
‘sistematika kerja’ yang berbeda dengan pola
kerja seniman-seniman studio. Ia menempuh
riset untuk menghindari cara-cara seni untuk
menghampiri realitas secara subjektif atau
imajinatif, karena “…persoalan-persoalan di
masyarakat adalah sesuatu yang sangat riil”.16
Pengaruh paradigma ilmu sosial ke
dalam praktik seni rupa Indonesia memang
gejala yang cenderung tak terhindarkan,
khususnya ketika seniman-seniman
menjadikan masyarakat, beserta berbagai
problematika di dalamnya, sebagai pokok-soal
dalam karya-karya mereka. Dalam
pengantarnya untuk Biennale Seni Rupa
Jakarta IX (1993), Jim Supangkat menyitir
Goenawan Mohamad yang mengatakan bahwa
perkembangan seni rupa Indonesia ketika itu
telah ‘dijajah’ oleh ilmu-ilmu sosial.17 Hal itu,
menurut Supangkat, disebabkan oleh penulis-
penulis dan pengamat seni rupa yang
kebanyakan berlatar belakang disiplin ilmu
sosial. Supangkat pernah menengarai
bagaimana seniman-seniman GSRBI
(termasuk Harsono) “[…] berusaha keras untuk
mengikuti pemikiran ahli-ahli ilmu sosial itu.”18
Namun ia juga menandai munculnya
kecenderungan para seniman pasca-GSRBI
untuk ‘mendemistifikasi’, bahkan
meninggalkan paradigma-paradigma ilmu
sosial itu, terutama ketika teori-teori
posmodernisme mulai dibicarakan di
Indonesia.
Kenyataannya, kecenderungan ‘kerja
lapangan’ tidak hanya berhenti pada seniman-
seniman GSRBI. Moelyono, seorang sahabat
sekaligus kolaborator Harsono, pernah
merumuskan ‘Seni Rupa Penyadaran’ untuk
proyeknya dengan orang-orang di kampung
Karya-karya Harsono membuktikan bagaimana praktik seni akan selalu bersandar kepada wacana lain di luar seni. Harsono menempuh riset sejarah untuk mengatasi keterbatasan diskursus dan logika seni yang sempit, seperti dalam anggapan bahwa gagasan dalam sebuah karya seni dapat terjelaskan lewat tampilan visualnya belaka.
Brumbun dan Nggerangan, Tulungagung pada
1988.19 ‘Riset’ juga istilah yang digunakan oleh
Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta, dalam hal
ini oleh Mella Jaarsma dan Nindityo
Adipurnomo, dalam program-program yang
mereka kuratori sejak awal 1990-an.20 Di
Bandung, karya-karya Tisna Sanjaya, terutama
proyek Imah Budaya-nya di Cigondewah,
adalah proyek tapak-khas yang sejak
pertengahan 2000-an dilakukan melalui riset
untuk merespon langsung problem sosial dan
lingkungan di wilayah tersebut. Dalam
sejumlah proyek generasi seniman yang lebih
baru, seperti ruangrupa di Jakarta, dan Mes56
di Yogyakarta, riset lapangan juga ditempuh
dengan melakukan interaksi langsung dengan
lingkungan dan komunitas sosial tertentu.
Tentu, perlu telaah lebih lanjut untuk
mengetahui bagaimana apa yang mereka
lakukan memiliki kesinambungan historis
dengan GSRBI, dan tidak jatuh pada riset
‘pseudo-etnografis’, seperti dikritik oleh Foster.
Dalam karya-karya Harsono sebelum
1998, misalnya Suara dari Dasar Bendungan
(1993), terdapat wilayah irisan yang efektif
antara ilmu sosial dan praktik artistik. Metode
etnografis menjadi benar-benar berdaya
sebagai instrumen untuk memabngun gagasan
seniman maupun mengungkap represi yang
dilakukan penguasa. Pertanyaan tentang
otoritas seniman sebagai perwakilan suara
komunitas ia jawab dengan metode
pengamatan partisipatoris yang berangkat dari
empati. “Empati adalah modal dasar untuk
seniman dalam menjawab persoalan-
persoalan etis. Tanpa empati, komunitas hanya
akan menjadi objek yang tidak bersuara. Karya
seni pun akan menjadi kering,”21 katanya dalam
wawancara. Dalam sejumlah tulisannya,
Harsono memang selalu menekankan bahwa
seniman adalah bagian dari masyarakat.22
Seniman bukanlah pusat, ataupun subjek yang
paling otoritatif, dan alih-alih, harus belajar
banyak dari masyarakat. Ketika ‘terjun ke
lapangan’, jarak antara seniman dengan
komunitas atau kelompok sosial, harus
dipangkas melalui dialog, interaksi, peleburan
dan keterlibatan langsung yang intens.23
22 FX Harsono solo exhibition 23 Things Happen When We Remember
Dalam karya-karya Harsono
reproduksi tanda-tanda adalah salah satu
upaya untuk menghadirkan bahasa yang
mudah difahami baik oleh komunitas di
‘lapangan’ maupun publik seni di ruang pamer.
Saya menyetujui pandangan Rath, yang
mempertajam rumusan Harsono tentang ‘seni
kontekstual’ sebagai cara-cara untuk
memadukan bahasa simbol dan material lokal
dengan kerangka-kerangka artikulasi dan
mode representasi baru untuk kepentingan
bersama yang didasarkan pada dialog antara
seniman dengan masyarakat.24 Rath menyitir
pandangan Anthony Kwame Appiah tentang
‘etika universal’ sebagai dasar-dasar yang
penting untuk melihat karya-karya Harsono
baik sebagai hasil dari suatu produksi artistik
maupun proses investigasi sosial. Ia juga
melihat bagaimana ihwal ‘kondisi penindasan’
karya-karya Harsono bisa diletakkan sebagai
‘objek’ yang melulu terikat pada subjek
seniman ataupun komunitas tertentu,
melainkan sebagai representasi dominasi
kekuasaan yang hadir di mana-mana
(omnipresent).
Masa Lalu sebagai ‘Objek’
Jika Wiyanto dan Siu Li mengatakan
bahwa ‘kelokan baru’ dalam karya-karya
Harsono setelah 1998 terletak pada orientasi
tentang ‘kedirian’ (self), saya ingin
menambahkan bahwa terutama dalam proyek
ndudah Harsono sesungguhnya juga tengah
menjelajahi tikungan metodologis baru.
Harsono memang berangkat dari foto-foto yang
menggambarkan kematian dan korban. Akan
tetapi, pada perkembangan selanjutnya, ‘objek’
yang sesungguhnya Harsono hadapi adalah
masa lalu yang menaungi foto-foto itu. Metode
riset historis menjadi penting, karena ia tidak
hanya berhadapan dengan jarak spasial yang
memisahkannya dengan situs kekerasan dan
makam korban, tapi juga kondisi temporal yang
memisahkannya dengan konteks waktu
kejadian. Di sini kita faham bagaimana Harsono
memperlakukan metode, yakni sebagai
konsekuensi dari objek dan gagasan.
Kritik Irianto sepertinya tidak
didasarkan pada kebutuhan untuk memahami
karya-karya Harsono dalam pameran ini
sebagai suatu hasil dari proses riset historis.
‘Kebesaran’ narasi Harsono, harus diakui, bukan saja menyangkut pokok-soal kematian ratusan manusia, melainkan
juga pada bagaimana masa lalu didekati, ditelaah, ditafsirkan dan dijelaskan sebagai ‘kebenaran sejarah’.
Dalam hemat saya, sesungguhnya bukan
penjelasan atau narasi Harsono yang
‘mengerdilkan’ karya-karya dalam ruang
pamer, melainkan penilaian Irianto sendiri,
yang justru lebih terpesona oleh narasi tekstual
ketimbang karya-karya itu. Seolah ada
pemisahan yang tegas antara ‘yang visual’ dan
‘yang tekstual’, Irianto terbawa pada suatu
suasana kekerasan masa silam yang,
meskipun sudah diketahui khalayak,
mendapatkan penegasan kembali lewat riset
Harsono.
Respon Irianto pada saat artist talk
menunjukkan keberhasilan Harsono dalam
melakukan regresi historis. Bagaimanapun,
masa lalu bukanlah objek yang bisa dikenali
melalui pendekatan empirik, melainkan
melalui data-data yang seringkali asing dan
berjarak. ‘Kebesaran’ narasi Harsono, harus
diakui, bukan saja menyangkut pokok-soal
kematian ratusan manusia, melainkan juga
pada bagaimana masa lalu didekati, ditelaah,
ditafsirkan dan dijelaskan sebagai ‘kebenaran
sejarah’. Pada titik itu pula, skeptisisme Irianto
terhadap perubahan yang bisa dilakukan oleh
seni, menjadi paradoks. Bukankah narasi
Harsono yang menggugah itu adalah bagian
dari kemampuan seniman untuk mengubah
kesadaran? Seperti dalam karya-karya
sebelum proyek ndudah, apapun yang Harsono
kerjakan sepertinya tak mungkin lepas dari
keyakinannya tentang heteronomi, ketimbang
otonomi. Karya-karya Harsono membuktikan
bagaimana praktik seni akan selalu bersandar
kepada wacana lain di luar seni. Harsono
menempuh riset sejarah untuk mengatasi
keterbatasan diskursus dan logika seni yang
sempit, seperti dalam anggapan bahwa
gagasan dalam sebuah karya seni dapat
terjelaskan lewat tampilan visualnya belaka.
Dalam ndudah, Harsono mendekati
masa lalu melalui dua lorong sekaligus, yakni
ingatan dan sejarah. Bukan kebetulan, dua
lorong ini berseberangan, jika kita mematok
sejarah versi Orde Baru yang selama tigapuluh
dua tahun cenderung represif dan
meminggirkan ingatan-ingatan kaum minoritas
dan marjinal. Harsono sepertinya berhasil
mempertemukan dua lorong itu di dalam
sebuah persimpangan, kalau bukan irisan:
antara ingatan personal dengan sejarah besar
yang hegemonik. Ariel Heryanto pernah
menulis bagaimana etnis Tionghoa di Indonesia
dibentuk oleh politik Orde Baru yang
menciptakan kontradiksi dalam identitas
mereka sebagai kaum minoritas.25 Di satu sisi,
etnis Tionghoa terus-menerus distigmatisasi
sebagai kasta paria, sebagai simpatisan dan
aktivis komunis, sebagai liyan dalam sejarah
politik pasca 1965.26 Selain dipaksa untuk
mengganti nama Tionghoa, mereka juga tidak
diberi hak yang sama dalam perolehan posisi
pemerintahan.
Di sisi yang lain, melalui rezim
ekonomi yang didukung oleh Blok Barat pada
masa Perang Dingin, Orde Baru juga berhasil
menciptakan aikon-aikon dan aktor-aktor
ekonomi yang kuat dari etnis Tionghoa, yang
melalui afiliasi dengan militer, mampu
menguasai sektor privat seperti industri
manufaktur, perbankan, selain pemanfaatan
dan perdagangan sumber daya alam nasional.
24 FX Harsono solo exhibition 25 Things Happen When We Remember
Dengan kebijakan ekonomi ‘trickle-down effect’,
Orde baru menempatkan etnis Tionghoa
sebagai kaum pemodal dan pedagang yang
menempati kelas ekonomi atas dan menengah.
Menyusul krisis ekonomi Asia Tenggara, etnis
Tionghoa dijadikan kambing hitam untuk
kebangkrutan ekonomi negara. Kekerasan
pada etnis Tionghoa yang terjadi pada Mei 1998
sesungguhnya berhutang banyak pada
kesenjangan sosial dan politik minoritas yang
diciptakan oleh sistem ekonomi Orde Baru.
Pameran ini hendak menunjukkan
tikungan historis Harsono tidak hanya terletak
pada masa lalu yang ia pancang sebagai objek,
tapi juga modus operandi-nya sebagai seniman
yang selalu mementingkan proses dan riset.
Setelah proyek ndudah, Harsono memperluas
pengertian risetnya sebagai ‘ziarah ke masa
lalu’. Ia tak hanya tak hanya mengunjungi
makam korban kekerasan, tapi juga tempat-
tempat lain yang ia yakini ‘menyimpan bukti
sejarah’: klenteng kuno, pecinan, kota-kota
pelabuhan di pesisir utara Jawa, pasar loak
atau barang antik, dsb. Harsono percaya bahwa
benda-benda dari masa lalu selalu menyimpan
ceritanya sendiri. Tugasnya sebagai seniman
adalah memberi tempat kembali pada benda-
benda yang terlupakan, menyusunnya ke dalam
konstruk artistik, menyingkapkan cerita-cerita
tersembunyi, dan memancing ingatan-ingatan
pemirsa tentang .
Dua karya dalam pameran ini, Masa
Lalu dari Masa Lalu/Migrasi (2013) dan Cahaya
Perjalanan (The Light of a Journey, 2014)
menampilkan elemen perahu yang mewakili
gelombang perjalanan orang-orang Tionghoa
ke daratan Indonesia pada masa-masa yang
berbeda. Pada karya yang pertama disebut,
perahu yang memuat lilin-lilin sembahyang
ditampilkan bagaikan karam di tengah lautan
huruf-huruf (teks sejarah) yang dikontrol oleh
(kursi) penguasa. Ini adalah gambaran
politisasi dan distorsi sejarah kaum migran
Tionghoa dalam sejarah yang diciptakan
penguasa. Sementara untuk karya yang
terakhir di sebut, Harsono menempatkan
perahu di sudut ruangan dengan posisi
tersandar, lalu ‘menghiasnya’ dengan huruf-
huruf Tionghoa dan latin. Huruf-huruf itu ia
kutip dari puisi yang tercantum pada lien,
pahatan kayu yang dipajang di kanan dan kiri
pintu rumah-rumah bergaya Tionghoa di masa
lampau.
Dalam suatu ‘ziarahnya’ ke pasar loak
Harsono menemukan bagaimana lien-lien itu
menjadi barang yang banyak dijual karena
dianggap tak berguna. Tindakan ‘menghias’
perahu dengan kata-kata puisi ini bukan tanpa
alasan. Harsono ingin menggambarkan
bagaimana sejarah migrasi orang-orang
Tionghoa ke Indonesia cenderung difahami
sebagai mitos yang beku, dan tak lagi digali
relevansinya dengan kehidupan masa kini.
Setelah pemerintah memperbolehkan berbagai
perayaan ritual atau adat-istiadat Tionghoa di
Indonesia, ironisnya, kebudayaan Tionghoa kini
dikomodifikasi secara artifisial. Harsono
mengatakan,27 “[…] rasa keprihatinan saya cukup
besar pada orang – orang Tionghoa di Indonesia
sekarang ini. Mereka hanya melihat dan
menampilkan pencitraan. Pencitraan yang luar
biasa: Barongsai, Tarian naga, upacara-upacara
besar, di mana mereka sangat antusias. Tetapi
saya ragu apakah mereka peduli pada makna dan
fungsi kebudayaan dan artefak, kesejarahan yang
seharusnya mereka pahami? Misalnya ada
kelenteng lama yang dibongkar menjadi kelenteng
baru, hanya demi pemajangan nama-nama
patronnya. […] Cap Go Meh di Singkawang
sekarang menjadi komoditi wisata yang luar biasa.
Tetapi apakah tungku naga yang ada di sana juga
masih dirawat dengan baik? Sekarang ini
barangkali hanya tinggal beberapa saja. Mereka
tidak lagi mendukung dan mengakomodir dari
keramik Singkawang, sehingga dibiarkan dan
hancur.”
Karya terbaru Harsono dalam
pameran ini, Cahaya di Dalam Koper (The Light
in the Suitcases, 2014) juga menampilkan kata-
kata dalam bahasa Indonesia yang ia
terjemahkan dari lien. Ia menempatkan kata-
kata itu sebagai neon sign yang berpendar dari
dalam enam buah koper tua yang terbuka.
Harsono menerjemahkan puisi-puisi Mandarin
dari lien itu kata per kata, secara harfiah, ke
dalam bahasa Indonesia, sehingga secara
menyeluruh membentuk puisi yang sama
sekali baru. Koper-koper besi dalam karya ini
ia dapatkan dari pasar loak di Solo dan
Yogyakarta, dan merupakan peninggalan
gelombang migrasi orang-orang Tionghoa yang
mulai berdatangan ke Indonesia tahun 1940
hingga 1950-an. Cahaya yang berpendar dari
kata-kata berbahasa Indonesia itu menandakan
suatu transformasi dari kebajikan dan harapan
para migran pendahulu ke dalam kehidupan
baru anak cucu mereka, di tanah air yang baru.
Akhir kata, pameran ini menegaskan
pentingnya ingatan, sebagai alternatif terhadap
sikap tunduk dan pasrah terhadap sejarah
dominan. Peter Osborne menjelaskan bahwa
motivasi kembalinya ingatan dalam konteks
seni adalah untuk melawan efek alienasi
pengalaman manusiawi dari representasi
historis.28 Dalam modernitas kapitalistik,
representasi historis dicirikan oleh
kemelimpahruahannya di satu pihak, dan
kelangkaan kesadaran dan pengalaman
historis di pihak yang lain. Kita bisa
menggambarkan kemelimpahruahan itu
dengan keterbukaan informasi, di mana
teknologi virtual dan arsip digital telah
mengubah cara-cara orang memandang dan
mengakses arsip sejarah. Dalam konteks masa
Dalam konteks masa kini, fungsi riset seperti yang dilakukan Harsono menjadi krusial untuk mendekati masa lalu lewat suatu pengalaman subjektif, untuk mengalami ‘sejarah’ melalui ingatan, melalui cara-cara yang idiosinkratik.
26 FX Harsono solo exhibition 27 Things Happen When We Remember
Catatan Akhir
1 Dalam masyarakat modern di Indonesia kegiatan
memindahkan kuburan dan jasad mayat juga dilakukan
karena semakin sempitnya lahan pemakaman di perkotaan.
Penggusuran kuburan dilakukan karena berubahnya
lahan-lahan menjadi kawasan komersial. Selain itu,
dikembangkannya kompleks pemakaman sebagai ‘properti’
di wilayah-wilayah sub-urban juga telah mendorong
semakin banyaknya kegiatan pemindahan makam.
2 Lihat Amanda K. Rath, Syarat-syarat Kemungkinan dan
Batas-batas Keefektifan: Etika Universal pada karya-karya
FX Harsono, dalam Amanda K. Rath (et.al.), RE: PETISI/
POSISI (Yogyakarta: Langgeng Art Foundation, 2010), hal.
19.
3 Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru, Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), hal.
40 -41.
4 Hendro Wiyanto, Kebenaran, Keindahan dan Pencarian
FX Harsono, esai kuratorial untuk pameran tunggal FX
Harsono, What We have Here Perceived as Truth, We Shall
Someday Encounter as Beauty, di Jogja National Museum,
Yogyakarta, 2013 (Yogyakarta: Galeri Canna, 2013) hal. 14.
5 Hendro Wiyanto, Harsono dan Pasca GSRB, dalam Rath
(et.al.), op.cit., hal. 104 – 107. Lihat juga Rath, op.cit., hal
4 – 6.
6 FX Harsono, Gerakan-gerakan Baru dalam Seni Rupa
Indonesia sejak 1974 Hingga Kini, katalog pameran Seni
Rupa Penyadaran, Bailarung Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga, Desember 1989. Dimuat kembali dalam
FX Harsono, Seni Rupa, Perubahan, Politik, (Yogyakarta:
Galeri Langgeng, 2009), hal. 45 – 56.
7 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014
8 Percakapan Harsono dengan Wiyanto, Wiyanto dalam Rath
(et.al.), op.cit, hal. 164.
9 Ibid., hal. 170.
10 Tan Siu Li, Tubuh yang Pecah, Diri yang Mangkir:
Representasi Tubuh dalam Seni Rupa FX Harsono, dalam
Rath (et.al.), ibid. hal. 244.
11 Siapa Saya, makalah lokakarya di Cemeti Art Foundation,
Yogyakarta, 14-17 Juni 1996, dimuat kembali dalam FX
Harsono (2009), op.cit. hal. 229.
12 Ibid., hal. 175.
13 Hal Foster Artist as Ethnographer? dalam The Return of
the Real: The Avant-Garde at the End of Twentieth Century.
(Cambridge: The MIT Press, 1996), hal. 304.
14 Artist talk diselenggarakan di Bale Handap Selasar Sunaryo
Art Space, 7 September 2014, pukul 14.00 – 17.00 dengan
menampilkan Harsono sebagai pembicara dan Tisna Sanjaya
sebagai penanggap.
15 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, makalah untuk Seminar
Nasional Sejarah Seni Rupa ‘Gerakan-gerakan Seni Rupa
pada Masa Orde Baru’, di Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Institut Teknologi Bandung, 20 Maret 2013. Moelyono
menjelaskan bahwa ia dan Harsono pernah terlibat dalam
beberapa proyek yang dikerjakan bersama LSM Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan API (Asosiasi
Peneliti Sosial Indonesia), pada akhir 1980-an hingga 1990-
an. Moelyono secara jelas mengadopsi konsep Paulo Freire
tentang ‘penyadaran’ (conscientization), yakni sebagai
upaya untuk memahami kontradiksi sosial politik dan
ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-
unsur yang menindas.
16 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014
17 Jim Supangkat, Seni Rupa Era 80, Pengantar untuk
Biennale Seni Rupa Jakarta IX, 1993, katalog Biennale Seni
Rupa Jakarta IX (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1993),
hal. 27.
18 Ibid
19 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1997.
20 Nindityo Adipurnomo, Exploring Vacuum 2003, 15 Tahun
Cemeti, Kompas, 23 November 2003. Dimuat kembali
dalam 15 Years Cemeti Art House, Exploring Vacuum,
(Yogyakarta: Cemeti Art House, 2003), hal. 198 – 200.
21 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014
22 Lihat misalnya, FX Harsono, Gendut Riyanto, Wienardi,
Seni Rupa Kembali ke Masyarakat, makalah untuk
sarasehan seni rupa di Solo, 1985, dimuat kembali dalam
Harsono (2009), op.cit., hal. 35 -44.
23 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014
24 Rath (2009), op.cit. hal. 4.
25 Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in
Indonesia, Fatally Belonging, (New York: Routledge, 2006),
hal. 28 – 30
26 Selain kaum Tionghoa, para komunis dan kaum kiri,
petani, nelayan dan buruh korban kekerasan para liyan
di hadapan para industrialis, kapitalis, politikus kanan,
militer, kaum Jawa-sentris dalam sejarah dominan versi
Orde Baru. Dengan fakta ini, saya mempertanyakan:
Mengapa dalam praktik seni rupa kontemporer Indonesia,
tak banyak seniman yang mempersoalkan masa lalu dan
sejarah para liyan itu sebagai pokok-soal dalam karya
mereka? Jikapun ada, sampai sekarang jumlah mereka
bisa dihitung dengan jari (antara lain: Dadang Christanto,
Tisna Sanjaya, Jompet Kuswidananto). Apakah kondisi ini
mencerminkan kesadaran sejarah yang memang ada dalam
masyarakat kontemporer di Indonesia? Atau, perkembangan
ini menunjukkan masih adanya hegemoni sejarah dominan,
justru ketika Orde Baru dinyatakan berakhir setelah 1998?
27 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014.
28 Peter Osborne, Anywhere or Not at All, Philosophy of
Contemporary Art, (London: Verso, 2013), hal. 192.
kini, fungsi riset seperti yang dilakukan
Harsono menjadi krusial untuk mendekati
masa lalu lewat suatu pengalaman subjektif,
untuk mengalami ‘sejarah’ melalui ingatan,
melalui cara-cara yang idiosinkratik. Melalui
model ingatan itulah sejarah ‘hidup’, tidak di
masa lalu, melainkan di sini, sekarang.
Agung Hujatnikajennong
Kurator Pameran
28 FX Harsono solo exhibition 29 Things Happen When We Remember
Cahaya dalam Koper (detil)
Light in The Suitcase (detail)
30 FX Harsono solo exhibition 31 Things Happen When We Remember
“Identity belongs to the future, as much as to the past.”
(Stuart Hall, 1990)
Things Happen When We Remember:History and Memory in FX Harsono’s Art
Five years after FX Harsono’s solo exhibition,
The Erased Time (2009), comes the time to
re-interpret his works as a complete and
continuous exploration. Within that time
Harsono has created dozens of works using
different medium (installation, painting,
photography and video). A number of recurrent
idiom emerge variedly in several different
works, which provide us with a clue as to
how Harsono works as well as the ideas and
thinking that he tries to deal with. There are
also shifts in the focus, ramification, expansion,
intensification of his thought that is interesting
to compare with Harsono’s previous works.
The exhibition Things Happen When We
Remember consists of seven of Harsono’s works
that have been shown previously in Jakarta,
Yogyakarta, Rome, and Hong Kong since
2011. The desire to re-exhibit these works in a
new configuration shows Harsono’s intention
to keep himself open to new interpretation
and critique. This exhibition is also a way to
examine Harsono’s artistic practice through
new dialogues. By responding to several
published texts about Harsono and the
criticism raised during this exhibition, here I
will try to place the works as well as the figure
of Harsono as an object of debate, as well as
an entry point into a wider discourse about
contemporary art.
Cur
ator
ial E
ssay The Legacy of Oh Hok Tjoe
It is important to trace back where
and how Harsono became involved in his
thematic focus over the past five years.
Harsono’s early inspiration came from old
photographs in an album left by his father, Oh
Hok Tjoe, also known as Hendro Subagio – the
camerist, founder of the photo studio ‘Atom’
in Blitar. The photo album was stored away for
years in the living room, until Hok Tjoe died in
1999, which was when Harsono opened it once
again and began studying it more intensely.
Harsono’s memory about those black and white
photographs sparked a curiosity that led him to
a new adventure.
At the outset, the photographs serve
as a memento mori for Harsono, not simply
because he identified them with the death of
his father, but also because the images portray
a panorama of death. Some of the photographs
records images of human skeleton and bones
spread out on the ground, or stacked up in
a particular configuration. There are also
photographs that show a group of people
posing with the collection of skeletons. In a
number of them, we find the names of places
as well as the dates of when the photographs
were taken, handwritten in white.
Harsono soon discovered that his
father took the photographs as part of an
act that is called ‘ndudah’: the excavation and
reburial of human remains. Ndudah is not a
new tradition in Javanese culture. To this day,
the act of relocating human remains from
their graves remains a common act, done for
a variety of reasons. 1 In Chinese belief, the
ritual of family and ancestor burial must be
conducted in a most proper way, to ensure that
the good fortune of their descendants, today
and in the future.
Looking deeper into the photographs,
Harsono became aware that his father had
left behind extraordinary archive materials.
The bones and skeletons are in fact remnants
of a violent history. He discovered that his
father was a photographer appointed by a
group of volunteers to record and re-bury the
Chinese people who were massacred during
1948 – 49 in Blitar. According to a number
of texts, the massacre is identified to be the
impact of the Dutch Military Aggression that
violated the Linggarjati Pact (1947). When the
Indonesia army was conducting their guerilla
and performing the “earth-scorching” tactic
in their confrontation towards the Dutch, the
Chinese people became the target for acts of
violence that resulted from political rupture,
compounded with opportunistic wrongdoings
and intruders who took advantage out of the
unstable economic situation.
Tales of mass murder reflected in Oh
Hok Tjoe’s collection of photographs became
interlaced with Harsono’s own deep-seated
disappointment about the violence directed
towards the Chinese people in Jakarta in the
events leading up to the Reform era in 1998 –
an event that raised in him a sense of betrayal.2
Through archives and interviews, he found
out that the bones in his father’s photographs
were excavated from several different places,
which were then buried again simultaneously
32 FX Harsono solo exhibition 33 Things Happen When We Remember
at Bong Belung (bong: Chinese cemetery;
belung/ balung: bones) in the Karangsari area,
Blitar. Harsono began his research by visiting
Bong Belung, and tried to get his hands on as
much information as possible. He interviewed
the local residents, as well as a number of
Chinese descendants who survived the mass
murder. This procedure, as he says, is part of a
“research”.
Harsono’s research developed into an
investigation about historical narratives that
are related to the massacre of the Chinese-
Indonesian ethnicity that occurred during other
periods, as well as other places in Indonesia.
Aside from site visits and conducting numerous
interviews, he continued to collect and study
books on the history of Chinese-Indonesian as
well as documents about the role of Chinese-
Indonesian figures in Indonesia’s history. He
also visited a number of other mass burial sites
in other Javanese cities (Muntilan, Yogyakarta,
Kediri, Nganjuk dan Tulungagung), as a kind
of pilgrimage. He soon realized how his own
personal memory and history are jointed to a
collective history.
Reproduction of Symbols
One of Harsono’s artistic strategy
for this project is to ‘reproduce’ the symbols
he came across during his research. He often
copied them directly, and reconstructed them
into works that are punctuated with personal
interpretation. This is not a new method in
Harsono’s artistic journey. In many of his works
from the 1970s, the use of everyday objects was
very prominent. In the early 2000, for a series of
print works in his solo exhibition, Displaced, for
instance, he made use of found photographic
and digital images that he had collected from
Internet sites.
Tracing back even further, Harsono is
one of the only artists from the Indonesia New
Art Movement who professed of an “anti-lyrical”
approach. Sanento Yuliman defined “lyricism”
as a tendency in painting that was dominant in
Indonesia in the 1980s, where an artist projects
the vibrations of his feelings and ‘inner self’
through an emotional and subjective approach.3
According to this paradigm, the outside world
must be filtered and transformed into a
symbolic and poetic world – mostly through
abstraction. Contrastingly, anti-lyrical artists
aim to erase such filtering and transformation,
not simply by adopting the ‘language’ of
everyday objects, but also presenting them
as they are in the exhibition space. There is a
strong tendency to make use of an immediate
and straightforward visual language, often
times appearing simple, yet built upon layers of
consideration.
In the space of the last five years,
Harsono have used photographs from his
father’s collection numerous times in a series
of different works. He has exposed the black
and white images into large-scale paintings
juxtaposed with texts that delineate new
construction of meaning. In The Erased Time, for
example, Harsono presented the photographs
inside an installation of a darkened room
covered by a threatening red atmosphere. Some
of the skeleton images were enlarged inside
a neon box, while some of the other ndudah
photographs were displayed inside wooden
frames hung on the wall.
In this exhibition, Harsono reproduced
and represented Oh Hok Tjoe’s photographs
with the installation Monumen Bong Belung
(2011). He arranged dozens of wooden box
bearing the Latin names of each of the victims,
a piece of photograph and a pair of praying
lamps. Not only to reawaken a monument of
remembrance, he arranged the work in such
a way so that each of the victims is placed
in in their own ‘altar’. If in the actual Bong
Belung site hundreds of skeleton and thousand
pieces of bones are put together in one grave,
Harsono’s Monumen Bong Belung presents
homage to the departed ‘individual’.
The method of ‘copying’ and
reproducing also appears clearly in Rewriting
on the Tomb (2013). Harsono creates a
performance in five locations of mass burial
in Java, by rubbing red crayon on white fabric
draped over the gravestone. The result is an
embossed figure of the names in Chinese
lettering, printed boldly and with great contrast.
Inside the exhibition space, the five white
pieces of fabric are hung in a row together
with the recording of the performance that
he edited in the video A Pilgrimage to History
(2013) as well as interviews with a number of
sources. Overall, this configuration creates a
tension between a solemn mourning attitude
and a scientific atmosphere of a researcher or
historian who is digging for information. Hendro
Wiyanto considers both works as Harsono’s
sublime attempt to make room for ‘the absurd’
that has been silenced and marginalized.4
The installation Writing in The Rain
(2011) departed from Harsono’s personal
history as one among millions of Chinese-
Indonesian who must obey the New Order
policy of name replacement in 1967. One of
the elements in this work is a looping single
channel video that shows Harsono as he writes
down his childhood name, ‘Oh Hong Bun’ in
Chinese letters. Harsono stands facing the
audience, layering the letters of the surface of
the screen, so that they nearly cover the image
of his body. With a brush and black ink, he
writes down the name slowly and carefully. The
layers of names as if stand for a confirmation of
his presence. Yet at one moment, water starts
pouring down like rain, which immediately
washes away the letters until they become a
black puddle on the ground.
Writing down his name in Writing
in the Rain relates to Harsono’s attempt to
become reacquainted with his own self, by
remembering aspects of Chinese-ness that
once was attached so strongly to him as a
child. However as he tells us, essentially
he is not familiar with Chinese culture. In
that performance as he spells, he tries to
remember the letters that he has not used for a
long time to write his name. The choice of video
(and) performance as a time-based medium
reinforced the issue of ephemerality. The
scene of erasure was looped, which in the end
created a connotation of uncertainty or even
‘redundancy’: the letters were written down,
washed away by the water, to be rewritten, and
erased once more. The presence of ‘Oh Hong
34 FX Harsono solo exhibition 35 Things Happen When We Remember
Bun’ could only be read for a short moment.
Harsono is akin to Sisyphus, or Uroboros,
‘trapped’ or ‘trapping himself’, in a never
ending and cyclical path of a hunt.
Who am I/ We/ You/ Them?
As the Indonesia New Art Movement
disbanded in 1979, Harsono became intensely
involved in a number of art projects that
responded directly to societal problems.
He often visited locations of the New Order
‘developmentalism’, which resulted in the
marginalization and repression of particular
groups. Although he never doubted the
capacity of virtual technologies, such as
the Internet, to provide information that is
physically unattainable, Harsono considers
empirical observation to be crucial in testing
again and again his social sensibility as an
artist. He believe that artistic thought and
material is always ‘out there’, and because of
that it must be captured and caught by way of
‘direct involvement in the field’. His affinity to a
number of activist and self-help groups in the
1980s greatly influence this way of working.
Hendro Wiyanto noted how Harsono’s
art during the 1980s was a critical reflection
about ecological degradation and its impact
to social discontent.5 Among them is the
installation Pagar Tripleks dan Hutan Kita (1982)
in Parangtritis, Yogyakarta, and especially
Seni Rupa Lingkungan – Proses 85 (1985) with
Gendut Riyanto, Harris Purnomo, Bonyong
Munni Ardhi, and so on that responded to the
issue of sea pollution as caused by mercury in
the village Luar Batang, Penjaringan, Jakarta.
With other younger artists such as Moelyono
and Semsar Siahaan, Harsono also worked
on collaborative works that gave a critical
voice to actual problems such as labour rights
and political justice.6 Harsono’s other works
that reflected a similar method is Suara dari
Dasar Bendungan (1994), which began from
his research about social groups that were
evicted because of land acquisition projects in
Sampang, Madura.
Harsono admits that his works in
the early 2000s was created with a different
orientation than the previous eras. 7 Post-
reform realities gave him an important lesson
in artistic expression and socio-political
context. The 1998 Reformation became
a turning point for artistic orientation in
Indonesia, towards soci-political themes. Yet
when freedom of expression is celebrated in
an exaggerated way, critical art practice in fact
faces a crisis. Socio-political criticism through
art falls into emphemeral slogans, banal and
empty. At an extreme point, artworks become
a mere amplification of the main themes in
political headlines made by the mass media,
amids the deafening noise of ‘reformation’.
Harsono was once at a point where
he felt that he needed to gain a kind of
distance from the artistic practice that he used
to conduct, even more so where the social
realities that used to be a source of inspiration,
now made him feel alienated. However, in
spite of this, the riots and violence towards the
Chinese ethnic that took place at the times
leading to the 1998 Reform lingered in his
mind. In one of his conversations with Wiyanto,
Harsono explained: “At the time, May 1998, I
was filled with anger, fear, and disappointment
as somebody of Chinese descent who felt
that the Chinese in Indonesia was always
victimized in political riots… This anger, fear,
and disappointment was what led me to reflect
upon the practice that I was doing up till then.
This reflection brought me to a question that
became a basis for my next practice, that is the
question ‘who am I…”8
This change of orientation was also
strongly stated as he wrote in 2003: “… I felt like
I was loosing ground and alienated among my
own people. It is the same people who I used to
feel were worth fighting for through the arts. I
also felt alienated among those who I felt had
the same vision for change. In the naivety that
they showed through their behavior, I suddenly
questioned, who are they, really? In such a
change, I tried to look back into myself.”9
Here I would like to return to the
question I posed in the beginning: with this new
basis for his practice, to what extend can we
say that Harsono’s works have changed? Tan
Siu Li wrote that Harsono’s transition in the
early 2000s may be seen in the medium and
materials used, as well as how the works were
presented.10 It is true that in the last decade
Harsono began to paint and print works more,
although he still created installations, videos
and performances. The female figure, self-
portraits, or family photographs are also new
idioms that came up during this era. Other
shifts are also noticeable in terms of the use
of metaphors that are related to the socio-
cultural changes in Indonesia. When events of
violence have been exploited to such an extent
as effective marketing techniques for the mass
media, Harsono made use of metaphors to
avoid banality, such as his way of juxtaposing
‘beauty’ and ‘violence’ through butterflies as an
idiom, as dainty winged creatures, with needles
viciously stuck to them.
Both Siu Li and Wiyanto appear to
agree that the statement about Harsono’s
new basis for creation is driven by the will
to answer the question ‘who am I’. Despite
sounding simplistic, we know that for centuries,
ancient thinkers from the East and West, the
psychonanalysts, existentialists, sociologists,
anthropologists, spiritualists and artists have
offered differing answers, with differing levels
of complexities, towards this question. ‘Who
am I’ is a classic idiosyncratic question. The ‘I’
remains a universal mystery that will continue
to maintain its relevance for human questioning
until the end of time.
It is important to look at how
Harsono’s answer to this question is manifest
in his works. However, it is also important to
probe further into the framework of what it is
that Harsono is questioning. An important clue
is the statement that the events of violence
towards the Chinese ethnicity during 1998 still
haunt Harsono as he ‘tries to look back into
himself’. From here, I gathered that even if
there is what Wiyanto calls as a ‘new search’
to ‘look at oneself’, Harsono’s ways tends to
be ‘external’ rather than ‘internal’ in nature.
The question of ‘who am I’ that Harsono posed
after 1998 appear more similar rather than
36 FX Harsono solo exhibition 37 Things Happen When We Remember
different to the question that he asked in 1996
in an introduction to a workshop in Yogyakarta:
“[…] begins with the question of “who am I’… “I am
an artist.” This may do for the time being. But, this
question could also question our positions, our
relationships with the people around us, and our
profession within society.”11
Although Harsono wishes to create a
distance between his artistic practice with the
realities or the world ‘outside him’, his works
after 1998 do not readily enter into an ‘internal
world’ that is all lyrical, emotional, and
subjective. I agree with Wiyanto who wrote that
it is impossible for Harsono to fully erode his
critical tendency, just by turning to questions
about the self.12 Aside from that, in Harsono’s
works, what appears is not the essential ‘self’
(who believes that there are hidden individual
values that are certain, permanent, and
unchanging). We know that the essentialist
notion of identity is something that Harsono
rejects when he declared the Indonesia New
Art Movement as an avant-gardist movement.
Harsono’s quest – such as in the
exhibition Titik Nyeri (2007); Aftertaste (2008),
and Surviving Memories (2009) – still shows a
form of reflection, in not contemplation, about
social oppositions: between ‘I’, ‘you’, them’,
‘us’ and ‘we’. Despite creating new idioms,
Harsono’s works continue to indicate attempts
to connect the ‘personal’ with the ‘local’. In
works that make use of self-portraits (such
as Jarum dalam Mimpiku, 2003; or Berguguran,
2007) we are in fact seeing a figure of the artist
as a representation of a collective entity. In
front of Harsono’s works, our point of views
are allowed to go enter and exist through the
gaping holes on the barrier between ‘I/we’ and
‘you/them’, between ‘self’ and ‘other’.
I believe that in the context of the
ndudah project, Oh Hok Tjoe’s photographs,
Harsono’s biography as well as his family fulfill
the role of an entry point into discussions of
the construction, formation and representation
of the identity of a community, which is the
Chinese ethnic in Indonesia. Within the
context of Indonesia’s social history prior to
1998, events of slaughter and violence places
the Chinese ethnic in more or less the same
position as other ‘victims’ of violence during the
New Order era. In other words, in Harsono’s
projects (in Luar batang, Sampang or the bong
belung sites) there is a strong tendency to
defend the existence of the Other.
Here, we may conclude that in
Harsono’s works before and after 1998, and
after the ndudah project (2009), display a
consistent attempt to touch on socio-political
problems. Analysis towards Harsono’s series
of works may lead into two parallel possibilities
about ‘consistency’. First, that Harsono is
an artist who is consistent, in the sense of
able to stand by a principle, a conceptual
and thematic focus for a long period of time.
However, according to the second perspective,
we may also ask: Does this ‘consistency’ show
Harsono’s failure to go through transitions and
changes? We certainly would like to know to
what extent the ndudah project is able to create
a distance from socio-political realities, as he
desired.
Monumen Bong Belung (detil)
Bone Cemetery Monument (detail)
38 FX Harsono solo exhibition 39 Things Happen When We Remember
Field Research and Artistic Production
In an interview that accompanied
the preparation of this exhibition, I opened
our conversation by mentioning Hal Foster’s
thesis about the ‘ethnographic’ tendency of
contemporary art practices. This is a relevant
topic, considering that in his research Harsono
conducts observation, interviews, interaction,
creating documentation and notes in order to
obtain data and direct engagement with social
groups in a number of particular locations.
Foster regards that tendency in contemporary
artists to do field research about a specific
community (especially the Other in a wide
understanding) shows an ‘anthropological turn’
in contemporary art. By adopting the methods
and perspective that see culture, reality,
and social communities as an object/ text,
contemporary art at the end of the 20th century
has expanded its practice into the domain of
anthropology.
Foster’s critique is not directed
towards ‘ethnographic art’ practice as such.
He criticized especially commissioned site-
specific art projects that potentially acts as
a tool for a certain institution or patron to
legitimize their political or economic position
in the art arena. He explains this by describing
a scenario that happens in international
blockbuster exhibitions, where artists enter
into new geographical or ethnographic
territories, working with or collaborating with
communities of the Other, where at an extreme
point may be likened to a ready-made objects
that ‘contain representation’.13 In community-
based projects, the work of the artist, which
traditionally is identified as the ‘creator of
objects’, transformed into being an investigator,
educator, and collaborator with social/ cultural
groups that they visited.
In relation to this thesis, I asked
Harsono: to what extent does an artist that
conducts research may act as a ‘researcher’, or
even ‘author’ with an authority to explain about
the culture or conditions of a given community?
What kind of method must an artist employ
within that community? What kind of method
does an artist/ researches must do to avoid
being trapped in an artificial Othering?
At this point of this essay I would
like to draw a link between the issue of
‘ethnographic research’ with another criticism
that Asmudjo Jono Irianto posed during the
artist talk of the exhibition Things Happen
when We Remember.14 Irianto considers
that Harsono’s comprehensive explanation
about his study into the violence towards the
Chinese ethnicity in Indonesia actually limits
the presence of the works in the exhibition
space. Does not the reduced censorship by the
government post-1998 mean that information
about untold histories may be found more
easily through books? He is skeptical about
the transformative potential that artists
assume may be done through art (exhibitions
as well as works), since the open access
for information means that there is growing
common sense about the history of violence
in Indonesia. Indirectly, he also questions the
connotation of ‘research’ in art that in a narrow
sense is associated with methods of empirical
observation and ethnography.
I contend with Irianto on the issue on
the narrow understanding of artistic research
in Indonesia. Our way to understand the world/
reality should not be defined by empirical
observation only. Research is essentially a
systematic attempt conducted in pursuit of
knowledge. This entails that not only those who
actually ‘go into the field’, the artists with a
studio-based practice, fundamentally, also does
research with a different method.
In the Indonesian context, the
unpopularity of the term ‘artistic research’ is
also related to the power structure between
dominant paradigm and language. In the
current academic world, the term research
is still rarely used to refer to the work of
artists (research in the arts is still connoted
with historical research or art criticism).
Historically, this tendency reflects the inferiority
of art discourse and practice in Indonesia
in face of the dominance of scientivism and
positivism, especially as science is rooted in
the development of studies in social sciences
and the humanities that are formed merely
as an instrumental academic discipline. In
the New Order era, the term research is more
often used in non-artistic domains, especially
science and technology, as artists’ work is
considered to not be ‘very systematic’, too
much based on intuition and imagination.
Harsono does undergo much research
that are anthropological, sociologica, and
ethnographic in nature. However I am of the
opinion that those research are done not for
the purpose of a methodological validation of
his artistic practice, let alone the demands
to appear ‘scientific’. Prior to 1998, political
motives in Harsono’s works are prevalent. He
was looking for ‘truth’ that may be articulated
by art, but not the kind of truth that is
‘produced’ by an esoteric discourse of art itself.
In the 1980s, Harsono and his friends did adopt
methods from the social sciences, but not the
method that in a formal or instrumental way
supported the dominating powers.15 In contrast,
he wishes to unpack the deceit that masks
the regime, to critically uncover it through ‘a
systematic approach’ that is different to the
approach of studio artists. He does research
to avoid art’s way of looking at reality in a
subjective or imaginative manner, because “…
the problems in society are very real indeed.” 16
The influence of social science’s
paradigm in Indonesian art practice is
certainly an unavoidable tendency, especially
when artists made society, as well as the
problematics within it, as subject-matters of
their work. In his introduction to Jakarta Art
Biennale IX (1993), Jim Supangkat referred
to Goenawan Mohammad who stated that
the development of Indonesian art at the
time was ‘colonized’ by the social sciences.
This issue, according to Supangkat, was the
result of the background in social sciences
that the majority of writers and observers of
art has 17. Supangkat also suggests how the
Indonesia New Art Movement artists (including
Harsono) “[…] try hard to follow the thoughts
of those experts in social sciences.”18 Yet he
also marked the growing tendency in post
INAM artists to ‘demystify’, and even leave
40 FX Harsono solo exhibition 41 Things Happen When We Remember
those paradigms behind, in particular when
postmodern theories came to be discussed in
Indonesia.
In reality, the tendency to conduct
‘field research’ does not stop with the INAM
artists. Moelyono, a close friend as well
as collaborator of Harsono’s, formulated
‘Conscientious Art’ in his projects with the
villagers of Brumbum and Nggerangan,
Tulungagung in 1998. 19 Cemeti Art House
in Yogyakarta also used the term ‘research’,
in this case by Mella Jaarsma and Nindityo
Adipurnomo, in the programmes they curated
since the early 1990s. 20 In Bandung, the works
of Tisna Sanjaya especially his Imah Budaya
project at Cigondewah, is a site-specific
project that since the 2000s is done through
research in response to the iimediate social
and environmental problems in the area.
In a number of projects done by younger
generation artists, such as ruangrupa in
Jakarta and Mes56 in Yogyakarta, field research
is also conducted by immediate interaction
with particular environments and social
communities. Certainly, it must be analyzed
more whether their actions have historical
correlation with the INAM, and do not fall under
the ‘pseudo-ethnographic’ research as Foster
criticized.
In Harsono’s works prior to 1998, such
as Suara dari Dasar Bendungan (1993), there
are effective overlaps between social science
and artistic practice. The ethnographic method
became particularly forceful as an instrument
to build artistic through as well as to uncover
the repression from those in power. Questions
about artistic authority as representative of
the voice of the community were answered a
participatory observation method that departed
from empathy. “Empathy is an initial capital for
artist to respond to ethical problems. Without
empathy, the community becomes nothing
more than a silent object. The artwork will also
be dry as a result,” he said in an interview.21
In a number of writings, Harsono always
stressed that an artist is part of a society.22
An artist is not the centre, or an authoritarian
subject, and instead must learn extensively
from society. When they ‘go into the field’, the
distance between an artist with a community
or social group, must be erased through
dialogue, interaction, immersion and an intense
immediate involvement.23
In Harsono’s works, the reproduction
of signs is an attempt to represent a language
that is easily understandable by communities
in the ‘field’ as well as the art public in the
exhibition space. I agree with Rath’s opinion,
which sharpened Harsono’s formulation
about ‘contextual art’ as a way to combine
symbolic language and local material with
frameworks of articulations and new modes
of representation for a common interest based
on the dialogue between the artist and the
community.24 Rath refers to Anthony Kwame
Apiah’s notion of ‘universal ethics’ as an
important basis to perceive Harsono’s works as
the result of an artistic production as well as
a process of social investigation. She also saw
that the issue about ‘conditions of oppression’
in Harsono’s works may be seen as an ‘object’
that is always bound to the artist-subject or
particular communities, but as a representation
of an omnipresent dominant power.
The Past as an ‘Object’
If Wiyanto and Siu Li considered that
the ‘new turn’ in Harsono’s works after 1998
may be seen in the orientation towards the
self, I would like to add that especially in the
ndudah project Harsono is in fact undergoing a
new methodological turn. Harsono did depart
from using photographs that depict death and
victims. Yet, there is a further development,
where the ‘object’ that Harsono deals with is
the past that houses the photographs. The
historical research method becomes important,
because he is not only encountering a spatial
distance that separates the site of violence and
the graves of the victims, but also a temporal
condition that puts him away from the time
of the event. Here, we come to understand
how Harsono treats a method, which is as a
consequence of object and thought.
Irianto’s criticism appears not to be
founded on a need to understand Harsono’s
works in this exhibition as a result of a
historical research process. In my mind, what
‘dwarfs’ the works in the exhibition space is
not Harsono’s explanation or narration, but
Irianto’s judgment itself, too in awe of the
textual narrative rather than the works. As if
there is a definite boundary between ‘the visual’
and ‘the textual’, Irianto was taken to a past air
of violence that, despite already being known by
many, was given a reconfirmation by Harsono’s
research.
Irianto’s response at the artist
talk shows Harsono’s success in creating a
historical regression. Needless to say, the
past is not an object that we come to know
through an empirical approach, but through
data that often times feel alien and distant. The
‘magnitude’ of Harsono’s narration, admittedly,
does not only concern the death of hundreds
of people, but also how we approach the past,
analyzing it, interpreting it, and defining it
as ‘historical truth’. At that time, Irianto’s
skepticism towards change that may be done
through art, becomes a paradox. Does not
Harsono’s moving narration act as an artist’s
ability to change our awareness? As in the
works prior to the ndudah project, whatever
Harsono does appears to always revolve
around his belief about heteronomy, rather
than autonomy. Harsono’s works prove how an
art practice always relies on other discourse
outside of art. Harsono creates historical
research to resolve art’s narrow and limited
discourse as well as logic, such as the view that
the thinking within a work of art may only be
explained by its visual presentation alone.
In ndudah, Harsono approaches the
past through two simultaneous corridors, which
is memory and history. It is not a coincidence
that these two corridors oppose each other,
if we consider the New Order’s version of
history of the last thirty-two years tends to be
repressive and dismissive towards minority and
marginalized groups. Harsono appears to be
able to coincide the two corridors in a junction,
rather than an overlap: between personal
memory and hegemonic grand history. Ariel
42 FX Harsono solo exhibition 43 Things Happen When We Remember
Heryanto once wrote about how the Chinese
ethnic in Indonesia is formed by the politics
of the New Order that created a contradiction
in their identity as a minority group.25 In a
way, the Chinese ethnic is perpetually subject
to stigmas about pariahs, as sympathizers
and communist activists, as the Other in the
political history post-1965.26 Aside from being
forced to change their Chinese names, they
were also not allowed the same rights in
governmental positions.
On the other hand, through an
economic regime that was supported by the
Western Bloc during the Cold War, the New
Order was also successful in creating strong
economic actors and icons from the Chinese
ethnic, who through affiliations with the
military, was able to dominate private sectors
such industries of manufacturing, banking,
alongside the utilization and trade of national
natural resources. With a ‘trickle-down effect’
economic policy, The New Order placed the
Chinese ethnic as capital owners and traders
in the upper and middle economic class.
Following the South East Asian economic crisis,
the Chinese ethnic was turned into black sheep
held responsible for the nation’s economic
bankruptcy. The violence towards the Chinese
ethnic that took place on May 1998 truly owed
a great deal to the social gap and minority
politics created by the New Order economic
system.
This exhibition aims to show that
the historical turn of Harsono’s practice not
only responds to the past that he puts up as
an object, but also his modus operandi as an
artist that emphasizes process and research.
After the ndudah project, Harsono expands his
understanding of research as a ‘pilgrimage to
the past’. He not only visits the graves of the
victims, but also other sites that he believes
to ‘hold historical proofs’: ancient temples,
Chinatown, port towns in the northern coast of
Java, antique markets, and so forth. Harsono
believes that objects from the past reserve their
own stories. His task as an artist is to create
room once again for the forgotten things, to
arrange them in an artistic construction, to
reveal hidden stories, and evoke the audience’s
memories about them.
Two of the works in this exhibition,
Masa Lalu dari Masa Lalu/Migrasi (2013) and
Cahaya Perjalanan (The Light of a Journey, 2014),
show elements of a boat that represent the
waves in the journey of the Chinese people
as they land on Indonesian shore at different
times. In the first work, the boat that contain
praying candles are shown as if it had wrecked
amidst the sea of letter (historical texts)
controlled by the (chair of the) ruler. This is an
illustration of the politicization and distortion
of the history of the Chinese migrants in the
history created by the ruler. As for the second
work, Harsono places the ship on the corner
of the room, against the wall, and ‘decorated’
in with Chinese and Latin letters. The letters
were quoted from a poem stated on a lien,
woodcarving hung on the left and right of the
entry door of Chinese styled houses of the past.
In one of his ‘pilgrimages’ to flea
markets, Harsono discovered how the liens
became an object that many put up for sale as
they are not considered to be of any use. The
act of ‘decorating’ the boat with the words from
a poem is not without any reason. Harsono
would like to illustrate how the history of the
migration of the Chinese people to Indonesia
is often understood as a frozen myth, and
its relevance to current everyday life is often
untouched. After the government allowed the
Chinese to perform their rituals or traditions in
Indonesia, ironically, Chinese culture becomes
artificially commodified. Harosono stated, “[…] I
have great concern for the Chinese in Indonesia
right now. They only see and represent an
image. Extraordinary images: the lion dance,
the dragon dance, massive ceremonies where
they are very enthusiastic. However I doubt
that they care about the meaning and function
of the culture and its artifacts, the historicity
that they should be aware of? Such as an old
temple that is broken up and replaced by a new
one, only for the sake of putting the patrons’
names on display. Cap Go Meh in Singkawang
at the moment is a spectacular commodity
of tourism. But is the dragon fireplace still
kept in a good condition? Now, perhaps only
a few remain. They no longer support and
accommodate for ceramics from Singkawang,
dismissing them and letting them fall apart.”27
Harsono’s latest work in this
exhibition, The Light in the Suitcases (2014),
also displayed words in Indonesian that the
translated from lien. He placed the words as
neon signs that glow out of six open suitcases.
Harsono translated the Mandarin poems from
the liens one by one, in a literal manner, into
Indonesian so that as a whole, they create
an entirely new poem. The iron suitcases in
this work were obtained from a flea market
in Solo and Yogyakarta, and were left behind
by the wave of Chinese people migrating to
Indonesia during the 1940s to the 1950s. The
glowing light from the Indonesian words mark
a transformation of the good will and hopes
of the earlier migrants to the lives of their
descendants, in their new homeland.
At the end of this essay, this
exhibition wishes to affirm the significance
of memory, as an alternative to the passivity
and a resignation towards dominant history.
Peter Osborne explained that the motivation
of returning memory into the context of art
is to resist the effect of alienation in human
experience and historical representation.28 In
capitalist modernity, historical representation
is marked by excess of one side, and a scarcity
of awareness and historical experience on
the other. We may illustrate such excess with
the availability of information, where virtual
technology and digital archives have changed
the way people view and access historical
archive. In today’s context, the function of the
research that Harsono conducts becomes
crucial to approach the past from a subject
experience, to experience ‘history’ through
‘memory’, through idiosyncratic ways. Through
this model of memory that history becomes
‘alive’, not in the past, but here, right now.
Agung Hujatnikajennong
Exhibition curator
44 FX Harsono solo exhibition 45 Things Happen When We Remember
Endnote
1 In Indonesia’s modern society, the act of removing
graves and bodies are also done due to decreasing land
areas in the urban setting. The eviction of graves is
also pushed by the change in land use for commercial
purposes. Aside from that, the development of cemetery
complexes as ‘property’ in sub-urban areas also creates
an increase in the removal of graves.
2 See Amanda K. Rath, Syarat-syarat Kemungkinan dan
Batas-batas Keefektifan: Etika Universal pada karya-
karya FX Harsono, in Amanda K. Rath (et.al.), RE:
PETISI/POSISI (Yogyakarta: Langgeng Art Foundation,
2010), p. 19.
3 Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru, Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), p.
40 -41.
4 Hendro Wiyanto, Kebenaran, Keindahan dan Pencarian
FX Harsono, curatorial essay for FX Harsono’s solo
exhibition, What We have Here Perceived as Truth, We
Shall Someday Encounter as Beauty, at Jogja National
Museum, Yogyakarta, 2013 (Yogyakarta: Galeri Canna,
2013) p. 14.
5 Hendro Wiyanto, Harsono dan Pasca GSRB, dalam Rath
(et.al.), op.cit., p. 104 – 107. See also Rath, op.cit., p. 4 –
6.
6 FX Harsono, Gerakan-gerakan Baru dalam Seni Rupa
Indonesia sejak 1974 Hingga Kini, catalogue for the
exhibition Seni Rupa Penyadaran, Bailarung Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga, December 1989.
Republished in FX Harsono, Seni Rupa, Perubahan,
Politik, (Yogyakarta: Galeri Langgeng, 2009), p. 45 – 56.
7 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014
8 Conversation between Harsono and Wiyanto, Wiyanto in
Rath (et.al.), op.cit, p. 164.
9 Ibid., p. 170
10 Tan Siu Li, Tubuh yang Pecah, Diri yang Mangkir:
Representasi Tubuh dalam Seni Rupa FX Harsono, in
Rath (et.al.), ibid. p. 244.
11 Siapa Saya, paper for a workshop at Cemeti Art
Foundation, Yogyakarta, 14-17 June 1996, republished in
FX Harsono (2009), op.cit. p. 229.
12 Ibid., p. 175.
13 Hal Foster Artist as Ethnographer? in The Return of the
Real: The Avant-Garde at the End of Twentieth Century.
(Cambridge: The MIT Press, 1996), p. 304.
14 Artist talk organized at Bale Handap Selasar Sunaryo Art
Space, 7 September 2014, at 14.00 – 17.00, presenting
Harsono as a speaker and Tisna Sanjaya as a discussant.
15 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, paper presented at
the National Art History Seminar ‘Art Movements in the
New Order Era’, the Faculty of Art and Design, Bandung
Institute of Technology, 20 March 2013. Moelyono
explained that Harsono and himself were involved in a
number of projects completed together with the Non-
Profit Organization Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) and API (Asosiasi Peneliti Sosial Indonesia),
at the end of the 1980 to the 1990s. Moelyono clearly
adopted Paulo Freire’s concept of conscientization, that is
the attempt to understand social, political, and economic
contradiction as well as the act of rejecting repressive
elements.
16 The The writer’s interview with FX Harsono, 17 August
2014.
17 Jim Supangkat, Art in the 80s, Introduction to Jakarta
Art Biennale IX, 1993, catalogue of Jakarta Art Biennale
IX (Jakarta: Jakarta Art Council, 1993), p. 27.
18 Ibid
19 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1997.
20 Nindityo Adipurnomo, Exploring Vacuum 2003, 15 Tahun
Cemeti, Kompas, 23 November 2003. Republished in 15
Years Cemeti Art House, Exploring Vacuum, (Yogyakarta:
Cemeti Art House, 2003), p. 198 – 200.
21 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014
22 See, for example, FX Harsono, Gendut Riyanto,
Wienardi, Seni Rupa Kembali ke Masyarakat, paper for
an art meeting in Solo, 1985, republished in Harsono
(2009), op.cit., p. 35 -44.
23 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014
24 Rath (2009), op.cit. p. 4.
25 Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity
in Indonesia, Fatally Belonging, (New York: Routledge,
2006), p. 28 – 30.
26 Aside from the Chinese ethnicity, the communists and
leftist, farmers, fishermen, and labourers were victims of
violence towards the Other in face of the industrialists,
capitalists, righ-wing politicians, the military, Java-
centric groups, in the New Order’s version of history.
With this fact, I am placing the question: Why is in the
history of Indonesia’s contemporary art, not many artists
problematize the past and history of the Other as the
subject matter of their work? Even if there are, to this
day the amount may still be counted by hand (among
others: Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Jompet
Kuswidananto)? Does this condition reflect the historical
awareness of contemporary Indonesian society? Or, does
this development show that the hegemony of dominant
history remains, especially at the pronounced end of the
New Order after 1998?
27 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August
2014.
28 Peter Osborne, Anywhere or Not at All, Philosophy of
Contemporary Art, (London: Verso, 2013), p. 192.
46 FX Harsono solo exhibition 47 Things Happen When We Remember
Writing in the Rain
wooden chair and desk, 24” television, single channel video 6’ 11” (looping)variable dimension2011
Menulis dalam Hujan
kursi dan meja kayu, televisi 24”, video satu kanal 6’ 11” (looping), 2011
48 FX Harsono solo exhibition 49 Things Happen When We Remember
50 FX Harsono solo exhibition 51 Things Happen When We Remember
Bone Cemetery Monument (detail)
Monumen Bong Belung (detil)
Bone Cemetery Monument
installation with 202 multiplex wood box, electric light, paper and photograph270 x 270 x 210 cm2011
spread page before
halaman sebelumnya
right
kanan
Monumen Bong Belung
instalasi dengan 202 kotak kayu multiplex, lampu elektrik, kertas dan foto, 270 x 270 x 120 cm, 2011
52 FX Harsono solo exhibition 53 Things Happen When We Remember
Pilgrimage to History
single channel video13’ 40” (looping)2013
Berziarah ke Sejarah
video performans satu kanal 13’ 40” (looping), 2013
54 FX Harsono solo exhibition 55 Things Happen When We Remember
56 FX Harsono solo exhibition 57 Things Happen When We Remember
Rewriting on the Tomb
pastel rubbed on fabric,variable dimension
2013
Rewriting on the Tomb (detail)
spread page beforeleft
halaman sebelumnyakiri
Menulis Ulang pada Makam
gosokan pastel di atas kain, dimensi bervariabel
2013
Menulis Ulang pada Makam (detil)
58 FX Harsono solo exhibition 59 Things Happen When We Remember
The Past of The Past / Migration
boat, electric candle, earthware, wooden chair, lampshade
variable dimension2013
Masa Lalu dari Masa Lalu / Migrasi
perahu, lilin elektrik, terakota, kursi kayu, kap lampu
dimensi bervariabel2013
60 FX Harsono solo exhibition 61 Things Happen When We Remember
The Light of Journey
wooden boat and neon signvariable dimension2014
Cahaya Perjalanan
perahu kayu dan lampu neon, dimensi bervariabel2014
62 FX Harsono solo exhibition 63 Things Happen When We Remember
Light in The Suitcase
steel suitcase and neon signvariable dimension
2014
Cahaya dalam Koper
koper baja dan lampu neon, dimensi bervariabel,
2014
64 FX Harsono solo exhibition 65 Things Happen When We Remember
Doc
umen
tati
on
Preparation and display for exhibition
Artist talk Exhibition opening
66 FX Harsono solo exhibition 67 Things Happen When We Remember
FX Harsono
Born in Blitar (East Java), Indonesia (1949). Lives and works in Jakarta (Indonesia).
Art
ist B
iogr
aphy Education
STSRI ASRI, Jogyakarta , Indonesia (1969-1974)IKJ (Jakarta Art Institute) Indonesia (1987-1991)
ProfessionLecturer, the Faculty of Art and Design, Pelita Harapan University, Tangerang (West Java)(2005 – now)
Solo Exhibitions2014
Things Happen When We Remember, •
Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia.
2013 What we have here perceived as truth/ •
we shall some day encounter as beauty,
Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia.
2012 Writing in the Rain,• Tyler Rollins, New York, United States of America
2010 FX Harsono: Testimonies, • Singapore Art Museum, SingaporeRe:petisi/posisi• , Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, Indonesia.
2009 The Erased Time• , National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia.Surviving Memories• , Vanessa Art Link, Beijing, China
2008 Aftertaste• , Koong Gallery, Jakarta, Indonesia
2007 Titik Nyeri/Point of Pain• , Langgeng Icon Gallery, Jakarta, Indonesia
2004 Mediamor(e)phosa• , Puri Gallery, Malang, Indonesia
2003 Displaced• , National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia Displaced• , Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia
1998 Victim• , Cemeti Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia
1996 Suara• (Voice), Cemeti Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia
1994 Suara • (Voice), National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Selected Group Exhibitions2014
The Roving Eye, • Contemporary Art From Southeast Asia, Arter Space for Art, Istanbul, TurkeyPast Traditions / New Voices in Asian Art, •
Hofstra University Museum, New York, United State of AmericaMarket Forces 2014, From Conceptualism •
to Abstraction, Osage Art Foundation & City University of Hong Kong
2013 Concept Context Contestation, Art and the •
collective in Southeast Asia, Bangkok Art and Cultural Center, Bangkok, Thailand.Seeing Painting: Conversations Before •
The End of History, Sangkring Art Space, Yogyakarta, IndonesiaJogja Biennale XII• , Jogja National
www. fxharsono.com
68 FX Harsono solo exhibition 69 Things Happen When We Remember
Museum, Yogyakarta, IndonesiaCollection: Photography | screenings •
“Writing in the rain” National Gallery of Australia, Canberra, AustraliaSip! Indonesian Art Today• , ARNDT Gallery, Gillman Barracks, Singapore Quota 2013• , Langgeng Art Foundation, Yogyakarta. IndonesiaOutspoken, • Biasa Art Space, Bali, IndonesiaOne Step Forward, Two Steps Back — Us •
and Institution, Us as Institution, Times Museum, Guangzhou, ChinaSip! Indonesian Art Today• , ARNDT Gallery, Berlin, Germany Indonesian Painting I• , Equator Art Project, Singapore
2012 Beyond Geography, • by South Asian Visual Art Centre (SAVAC) at Art Toronto, CanadaWhat is it to be Chinese?• , Grimmuseum, Berlin, GermanyEncounter, Royal Academy In Asia• , Institute of Contemporary Art, Lasalle, Singapore Edge of Elsewhere, • 4A, Sydney, AustraliaArchive-Reclaim doc, • National Gallery of Indonesia, Jakarta, IndonesiaMigration, • ARNDT, Sydney, AustraliaContemporary Indonesia, • Ben Brown Fine Arts London, UK
2011 Edge of Elsewhere, • 4A, Sydney, AustraliaClosing The Gap,• Melbourne Institute of Fine Art (MIFA), Melbourne, AustraliaNegotiating Home, History and Nation: •
Two Decades of Contemporary Art in
Southeast Asia, 1991 – 2011. Singapore
Art Museum, SingaporeBeyond The Self,• National Portrait Gallery, Canberra, AustraliaAsia: Looking South,• ARNDT Gallery, Berlin, GermanyNOW INK: A Call For New Perceptions •
(a special project at 5th SH Contemporary), Shanghai Exhibition Center, Shanghai4• th Moscow Biennale, Moscow, RussiaBeyond The East,• Macro, Rome, Italy
2010 Contemporaneity/Contemporary Art in •
Indonesia, Museum of Contemporary Art, ShanghaiRecent Art From Indonesia: •
Contemporary Art-Turn, SBinArtPlus, SingaporePleasures of Chaos, Inside New •
Indonesian Art, Primo Marella Gallery, Milano, ItalyDigit(all): Indonesian Contemporary New •
Media Practices, Umahseni, Jakarta, IndonesiaHomo Ludens, • Emmitan CA Gallery, Surabaya, Indonesia
2009 Beyond The Dutch• , Centraal Museum, Utrecht, NederlandFace Value• , SIGIarts, Jakarta, IndonesiaTechnoSign• , Surabaya Art Link, Surabaya, IndonesiaMilestone• , Vanessa Art Link, Jakarta, Indonesia
2008 Highlight• , ISI, Jogja National Museum, Yogyakarta, IndonesiaArt With Accent• , Guangzhou, ChinaALLEGORICAL BODIES• , A-Art
contemporary space, Tai Pei, Taiwan.Res Publicum• , Canna Gallery, Jakarta, Indonesia 3• rd Nanjing Triennialle, Nanjing, ChinaManifesto,• National Gallery of Indonesia, Jakarta, IndonesiaSpace/spacing• , Semarang Gallery, Semarang, Indonesia
2007 Quota 2007• , Langgeng - Icon Gallery, Jakarta, IndonesiaArtchipelago Alert• , Tonyraka Contemporary Art Gallery, Ubud, Bali, IndonesiaImagine Affandi, National Archive •
Centre, Jakarta, Indonesia2006
Out Now• , Singapore Art Museum. SingaporeThe Past Forgotten Time• , Cemeti Art House, Yogyakarta. IndonesiaAnti Aging• , Gaya Fusion Contemporary Art Space, Ubud, Bali, Indonesia
2005 Quota 2005• , Langgeng - Icon Gallery, Jakarta, IndonesiaTaboo and Transgression in •
Contemporary Indonesian Art, Herbert F. Johnson of Art Museum, Cornel University, USAText Me• , Sharman Gallery, Sidney, AustraliaEksodus Barang• , Nadi Gallery, Jakarta, IndonesiaReformasi• , Sculpture Square, Singapore
2003 Exploring Vacuum 2• , Cemeti Art House, Yogyakarta. IndonesiaCP Open Biennalle,• Jakarta, Indonesia
2001 Membaca Frida Kahlo• , Nadi Gallery, Jakarta, IndonesiaInternational Print Triennial, • Kanagawa, Yokohama, JapanPrint in The Future• , Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia
2000 Reformasi Indonesia, Protest in Beeld• , Museum Nusantara, Delft, NetherlandThe Third Gwangju Biennial• , Gwangju, KoreaSetengah Abad Seni Grafis Indonesia• , Bentara Budaya, Jakarta, Indonesia
1999 Art Document 1999• , Kanazu Forest Museum, Kanazu, JapanVolume & Form• , Singapore
1998 Meet 3:3 (3 Indonesian artists, 3 Germany •
artists), Purna Budaya, Yogyakarta, Indonesia
1997 Slot in the Box• , Cemeti Art Gallery, Yogyakarta, IndonesiaInternational Contemporary Art Festival• , Tokyo, Japan (NICAF)
1996 Museum City Project• , Fukuoka, JapanTradition/Tension• , Asia Society, New York - Vancouver (Canada) - Perth (Australia) - Seoul (Korea)
1995 Asian Modernism• , Japan Foundation, Tokyo, Japan
1994 Jakarta• Biennial Contemporary Art, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
1993
70 FX Harsono solo exhibition 71 Things Happen When We Remember
Baguio Art Festival• , Baguio, The PhilippinesAsia-Pacific Triennial of Contemporary •
Art, Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia
1992 Artist Regional Exchange (ARX 3),• Perth, AustraliaArtists Week, Adelaide Festival• , Adelaide, Australia
1987 Pasar Raya Dunia Fantasi, Seni Rupa •
Baru (SRB) Proyek I, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
1985 Proses 85, Art on the Environment• , Galeri Seni Rupa Ancol, Jakarta, Indonesia
1982 Environmental art• , Parangtritis Beach, Yogyakarta, Indonesia
1979 Gerakan Seni Rupa Baru (New Art •
Movement III), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
1977 Gerakan Seni Rupa Baru (New Art •
Movement II), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
1976 Concept, New At Movement• , Balai Budaya, Jakarta, Indonesia
1975 Established New Art Movement (Gerakan •
Seni Rupa Baru) with 10 young artists (Institut Teknologi Bandung and Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
1974
Black December movement, • Jakarta, IndonesiaAll Indonesia Painting I• , Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
1973 Kelompok Lima Pelukis Muda (KLPM),• Yogyakarta and Solo, Indonesia
Artist in Residences2002-2003
The Amsterdam Grafisch Atelier,• Amsterdam, Netherland
1992 School of Art,• the South Australian University, Adelaide, Australia
Public CollectionsFukuoka Asian Art Museum, Japan•
Ullen Foundation Collection•
Singapore Art Museum•
National Gallery of Singapore, •
SingaporeSherman Foundation, Sydney, •
AustraliaNational Gallery of Victoria, •
Melbourne, AustraliaNational Gallery of Australia, •
Canberra, AustraliaGallery of Modern Art, Queensland, •
AustraliaOHD Museum, Magelang, Indonesia•
Arthub Asia, Far East Far West •
collection, ShanghaiThe National Gallery of Indonesia•
Awards
2014Prince Clause Fund Laureate Award •
2014Anugerah Adhikarya Rupa 2014 •
Award, from Minister of Tourism and Creative Economy, Indonesia
72 FX Harsono solo exhibition 73 Things Happen When We Remember
Jl. Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung
t. +62 22 2507939
f. +62 22 2516508
www.selasarsunaryo.com
Buka setiap hari pukul 10.00 - 17.00 wib
Senin dan hari libur nasional tutup
Selasar Sunaryo Art Space Managing Organization
Program Advisor/ Director: Sunaryo & Siswadi DjokoBale Tonggoh Coordinator: Yus HerdiawanProgram Manager: Elaine V.B. Kustedja Program Interns: Abdul Fatah bin Ali, Muhammad Faishal Shafwan bin MatsahGeneral Affairs: Yanni AmanFinance: Conny Rosmawati & Rita F.Documentation: Diah HandayaniInformation & Technology: Maksi NirwantoFrontdesk: Irma MelatiLibrarian: Ola Triana MartasutisnaExhibition Display: Cecep Hadiat, Yadi Aries, Ismail, Ade SutisnaSecurity: Suherman, Cucu Suanda, Yusuf Ashari, FuadPhotographer: Adi Rahmatullah, Adnan Hutomo Putra, Meilanti Asriana MentariVideographer: Muhammad Akbar, Adnan Hutomo Putra, Meilanti Asriana MentariExhibition Guide: Ira N. Irianto, Mira Rizki Kurnia, Dea Aprilia, Diana N.HariTranslator: Mitha BudhiyartoGraphic Design: Joko Suharbowo
MEDIA PARTNER:infobandung, dewi Magazine
74 FX Harsono solo exhibition