vi. eliminasi temv penyebab penyakit mosaik...
TRANSCRIPT
53
*) Telah dipublikasikan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 18 Nomor 1, 2012. ISSN: 0853-8212.
VI. ELIMINASI TeMV PENYEBAB PENYAKIT MOSAIK PADA
TANAMAN NILAM DENGAN KULTUR MERISTEM APIKAL DAN
PERLAKUAN AIR PANAS*)
(Elimination of TeMVCausing Mosaic Diseases in Patchouli Plants Using
Apical Meristem Culture and Hot Water Treatment)
Abstrak
Minyak nilam merupakan salah satu bahan baku parfum multifungsi yang
bernilai tinggi. Budidaya dan pengembangan tanaman nilam terkendala oleh
infeksi Potyvirus (TeMV) yang menyebabkan penyakit mosaik. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan bibit nilam bebas virus dengan metode kultur
meristem apikal dan perlakuan perendaman air panas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal
(berukuran 0.5–1 mm) menghasilkan 33.3–90.9% tanaman bebas virus. Namun,
perendaman setek batang nilam didalam air panas bersuhu 50–60⁰C selama10–30
menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi tiga varietas nilam
yang diuji. Berdasarkan daya tumbuh setek batang, nilam varietas Tapak Tuan
dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap perlakuan air panas dibandingkan
Sidikalang, tetapi toleransinya semakin menurun seiring semakin lama waktu
perendaman. Berdasarkan hasil penelitian ini, teknik kultur meristem apikal
berpotensi untuk menghasilkan tanaman nilam bebas virus.
Kata kunci: Nilam, Potyvirus, kultur meristem apikal, perlakuan air panas.
Abstract
Patchouli oil is one of high value multifunction perfume‟s raw materials.
One important constraint during patchouli plant cultivation is infection of
Potyvirus (TeMV) causing serious mosaic disease. This study was conducted to
develop a technique for producing virus-free plants using apical meristem tissue
culture and hot water treatment. The results showed that patchouli plants
propagated from apical meristem (0.5 to 1.0 mm in size) culture were 33.3 to
90.9% virus-free. However, hot water treatment of stem cutting at 50-60⁰C for 10-
30 minutes were not able to eliminate TeMV from three patchouli varieties tested.
Based on plant growth performance, Lhokseumawe and Tapak Tuan varieties
were more tolerant to hot water treatment than Sidikalang, but its growing ability
was decrease along with the increasing subimmersion time. Based on this research
result, apical meristem culture technique had a good potential to produce virus-
free patchouli plants.
Key words: Patchouli, Potyvirus, apical meristem culture, hot water treatment.
54
Pendahuluan
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) telah dilaporkan dapat
terinfeksi oleh beberapa jenis virus yaitu Patchouli mosaic virus (PaMV),
Tobacco necrosis virus (TNV), Patchouli mild mosaic virus (PaMMV), Patchouli
mottle virus (PaMoV), Patchouli virus X (PatVX) dan Peanut stripe virus (PStV)
(Natsuaki et al. 1994, Meissner Filho et al. 2002, Hartono 2008, Singh et al.
2009). Di India, kejadian penyakit pada tanaman nilam mencapai 76% (Sastry
dan Vasanthakumar 1981). Tiga varietas nilam yaitu Sidikalang, Lhokseumawe,
dan Tapak Tuan dilaporkan juga telah terinfeksi oleh Potyvirus yang menginduksi
gejala mosaik yaitu TeMV (Noveriza et al. 2012a).
Potyvirus adalah kelompok virus yang secara alami dapat ditularkan dan
disebarkan oleh kutudaun (Irwin 1999). Namun demikian, cara penyebaran utama
yang terjadi di lapangan adalah melalui bahan tanaman yang terinfeksi. Hal ini
menyebabkan tingginya kejadian penyakit mosaik pada tanaman nilam di daerah-
daerah sentra produksi nilam di Indonesia (Hartono dan Subandiyah 2006,
Noveriza et al. 2012a). Oleh sebab itu, penggunaan bibit yang sehat menjadi
sangat penting dalam pengendalian virus pada tanaman nilam. Bila menggunakan
bahan tanaman yang bebas dari infeksi virus sebagai sumber bibit, maka tanaman
yang dibudidayakan diharapkan dapat berproduksi sesuai potensi genetiknya.
Untuk mendapatkan tanaman bibit bebas virus maka perlu dilakukan usaha
eliminasi virus dari tanaman terinfeksi. Pada berbagai jenis tanaman dilaporkan
telah berhasil dilakukan eliminasi virus melalui beberapa metode, di antaranya
kultur meristem (Golino et al. 1998), terapi pemanasan (Leonhardt et al. 1998),
dan penggunaan antiviral sintetik (Budiarto et al. 2008).
Pada metode kultur meristem dipilih bagian jaringan yang belum terinvasi
patogen, yaitu bagian apikal dan ditumbuhkan menjadi tanaman lengkap yang
sehat dalam media buatan. Teknik tersebut sudah berhasil diterapkan pada
tanaman kentang untuk mengeliminasi virus (Quak 1972). Selain untuk
mengeliminasi virus, metode tersebut juga dipakai dalam perbanyakan tanaman
secara cepat (Goodwin et al. 1980). Meristem apikal yang masih bebas patogen
umumnya berukuran sangat kecil untuk beberapa jenis tanaman sehingga teknik
kultur meristem merupakan teknik yang relatif sulit dilakukan (Brown et al.1988).
Upaya mengatasi hal tersebut dilakukan oleh Gunaeni dan Karjadi (2008) dengan
menggabungkan teknik kultur meristem apikal dan penambahan bahan antivirus
yaitu ribavirin (5 mg/liter) dan berhasil mengeliminasi Potato leaf roll virus
(PLRV), Potato virus X (PVX), Potato virus Y (PVY) dan Potato virus S (PVS)
dari tanaman kentang terinfeksi.
Teknik eliminasi virus lain yang relatif lebih mudah dan murah dilakukan
dibandingkan dengan teknik kultur meristem apikal adalah dengan perlakuan
pemanasan. Metode pemanasan untuk tujuan eliminasi virus dapat diterapkan
berdasarkan fakta bahwa multiplikasi virus sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan terutama suhu yang tinggi. Beberapa hasil penelitian menemukan
bahwa laju multiplikasi virus mengalami penurunan pada kisaran suhu 35⁰-43⁰C
(Converse dan Tanne 1984). Namun demikian, toleransi jaringan tanaman
terhadap suhu tinggi akan menjadi faktor pembatas dalam aplikasi metode ini.
Persentase tanaman hidup pasca terapi umumnya semakin kecil seiring dengan
meningkatnya suhu pemanasan (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Namun,
55
optimalisasi waktu, suhu atau perendaman, bisa membuat perlakuan air panas
berguna untuk menghilangkan virus terutama untuk tanaman tahunan atau
tanaman dengan perbanyakan vegetatif seperti tebu dan krisan (Damayanti et al.
2010). Hasil pengujian pendahuluan menggunakan tanaman nilam varietas
Sidikalang menunjukkan bahwa setek batang nilam masih dapat tumbuh setelah
direndam dalam suhu diatas 50⁰C tetapi tidak untuk setek pucuk (data tidak
ditampilkan).
Penelitian dilakukan untuk mendapat bibit nilam bebas virus dengan
metode kultur meristem apikal dan perendaman air panas.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan mulai Januari sampai Desember 2010 di
Laboratorium Virologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca,
Kelompok Peneliti Hama dan Penyakit, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat di Bogor. Penelitian terdiri atas dua kegiatan yaitu : (1) Eliminasi TeMV
pada setek nilam dengan kultur meristem apikal, dan (2) Eliminasi TeMV pada
setek batang nilam dengan perendaman air panas.
Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Kultur Meristem Apikal
Eksplan yang digunakan adalah pucuk tanaman nilam varietas Sidikalang,
Lhokseumawe, dan Tapak Tuan yang terinfeksi TeMV berdasarkan adanya gejala
mosaik pada daun nilam. Potongan pucuk meristem apikal nilam berukuran 3-5
mm dibersihkan berturut-turut dengan air mengalir (30 menit), air sabun (10
menit), larutan fungisida (30 menit), dan beberapa kali dengan akuades. Sterilisasi
permukaan dilakukan dengan merendam pucuk apikal tersebut berturut-turut
dalam larutan 70% etanol selama 3 menit, 0.2% HgCl selama 1 menit, 1%
sodium hipoklorida selama 1 menit, dan dibilas dengan akuades steril.
Kultur Meristem Apikal Secara In Vitro
Meristem apikal dikulturkan berdasarkan metode Sugimura et al. (1995).
Isolasi meristem dilakukan secara aseptik di bawah mikroskop untuk memotong
eksplan dengan ukuran 0.5-1 mm. Regenerasi plantlet dari meristem apikal secara
in vitro dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama inisiasi pucuk dengan
menginkubasi eksplan pada media MS yang ditambahkan 0.5 mg/l 6-
benzylaminopurine (BAP) selama 4 minggu (Hadipoentyanti et al. 2007).
Tahapan proliferasi pucuk dilakukan dengan memindahkan kultur pada media MS
yang ditambahkan 0.5 mg/l BAP, kemudian diinkubasi pada suhu 28ºC selama 8-
10 minggu di bawah cahaya (1 000-1 500 lux) secara terus-menerus. Bahan yang
digunakan dalam perlakuan adalah 3 varietas nilam (Sidikalang, Lhokseumawe
dan Tapak Tuan) dan 2 tipe eksplan (meristem apikal dan batang terminal).
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 6 perlakuan
dan masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Parameter yang diamati adalah
persentase pertumbuhan tunas, waktu inisiasi tunas, tinggi tunas, warna tunas dan
persentase tanaman yang terinfeksi Potyvirus. Untuk pertumbuhan akar, kultur
dipindahkan pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh dan diinkubasi selama 3
minggu di bawah cahaya (1 000-1 500 lux) terus-menerus. Plantlet yang
dihasilkan diaklimatisasi dalam pot yang berisi campuran sekam dan kompos [1:1
56
(v/v)] yang sudah disterilkan dan diinkubasi pada ruangan dengan kelembaban
tinggi selama 3 minggu, kemudian dipindahkan ke polibeg selama 2 bulan.
Tanaman nilam hasil kultur jaringan dikonfirmasi bebas Potyvirus dengan uji
serologi enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Verifikasi Infeksi TeMV pada Tanaman Nilam Hasil Kultur Jaringan
Deteksi TeMV pada sampel daun dari tanaman nilam hasil kultur jaringan
dilakukan dengan Indirect-ELISA menggunakan antiserum Potyvirus mengikuti
metode DSMZ (Clark dan Adams 1977). Pertama-tama disiapkan cairan ekstrak
tanaman sakit dengan menggerus daun nilam (0.2 g) dalam 1 ml bufer coating
yang mengandung 0.05 M DIECA. Sebanyak 100 µl cairan ekstrak diisikan pada
lubang plat mikrotiter dan diinkubasi pada suhu 4°C selama semalam. Setelah
dicuci dengan PBS-T (bufer fosfat ditambah Tween-20) sebanyak 5 kali, lubang
plat selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan 2% skim milk dalam PBS-T dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Selanjutnya lubang plat mikrotiter
diisi 100 µl antiserum Potyvirus (DSMZ), dengan pengenceran 1/1 000 dalam
bufer konjugat dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 2-4 jam. Setelah dicuci
dengan PBS-T, lubang plat diisi dengan 100 µl konjugat RaM-AP, yang
diencerkan 1/1 000 dalam bufer konjugat, dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu
37⁰C. Setelah dicuci dengan PBS-T, lubang plat diisi dengan substrat p-
nitrophenyl fosfat dan diinkubasi selama 30-60 menit pada suhu ruang.
Selanjutnya hasil ELISA diukur nilai absorbansinya menggunakan microplate
reader pada panjang gelombang 405 nm.
Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Perlakuan Perendaman Air
Panas
Bahan tanaman adalah tanaman nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe,
dan Tapak Tuan) yang terinfeksi TeMV (diverifikasi dengan ELISA) yang
diambil dari Kebun Cimanggu-Bogor. Sebagai bahan pengujian digunakan setek
batang nilam berukuran ± 10 cm ( 1 buku) dan diameter batang ± 0.4 cm.
Perlakuan air panas diuji dengan merendam setek nilam di dalam air
panaspada 3 tingkat suhu (50ºC, 55ºC dan 60ºC) dan 3 tingkat waktu perendaman
(10, 20, dan 30 menit). Sebagai pembanding adalah setek batang tanaman sakit
tanpa perlakuan air panas.
Setelah perlakuan, setek ditanam di dalam polibeg yang berisi campuran
media tanah dan pupuk kandang [2:1 (v/v)]. Tanaman nilam dipelihara selama 8
minggu, dan pengamatan dilakukan setiap minggu terhadap pertumbuhan tinggi
setek dan daun yang bergejala mosaik. Keberadaan TeMV dalam tanaman yang
tidak bergejala mosaik dikonfirmasi dengan uji serologi menggunakan teknik
Indirect ELISA seperti diuraikan sebelumnya.
57
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Kultur Jaringan Meristem
Apikal
Kultur jaringan meristem apikal tanaman nilam varietas Sidikalang,
Lhokseumawe dan Tapak Tuan berhasil dilakukan pada media MS yang ditambah
BAP 0.5 mg/l. Dengan media ini, dalam waktu 21 hari, dapat terinduksi sekitar 40
tunas berwarna hijau. Keberhasilan pertumbuhan tunas kultur meristem apikal
yang tertinggi terjadi pada varietas Tapak Tuan (90%), diikuti berturut-turut oleh
varietas Sidikalang (71.43%) dan varietas Lhokseumawe (69.23%). Demikian
pula, periode inisiasi tunas tercepat terjadi pada varietas Tapak Tuan (14 hari),
diikuti berturut-turut oleh varietas Lhokseumawe (17 hari) dan Sidikalang (21
hari). Berdasarkan pengukuran tinggi tunas, terjadi perbedaan yang nyata antara
varietas Tapak Tuan dengan kedua varietas lainnya (Tabel 6.1).
Hasil yang berbeda diperoleh bila jenis eksplan yang digunakan berasal
dari batang terminal (bukan meristem apikal). Pertumbuhan tunas hanya terjadi
pada varietas Sidikalang sedangkan kedua varietas lainnya tidak tumbuh sama
sekali (Tabel 6.1). Secara visual terlihat bahwa awalnya jaringan eksplan menjadi
berwarna coklat, kemudian lama kelamaan membusuk dan akhirnya mati. Hal ini
mengindikasikan bahwa kultur jaringan yang berasal dari batang terminal varietas
Sidikalang lebih mudah tumbuh jika dibandingkan dengan kedua varietas lainnya,
oleh karena itu perlu pengembangan teknik kultur jaringan menggunakan eksplan
batang terminal agar dapat diterapkan untuk berbagai varietas tanaman nilam.
Tabel 6.1 Kondisi pertumbuhan kultur jaringan nilam (varietas Sidikalang,
Lhokseumawe, dan Tapak Tuan) asal meristem apikal dan batang
terminal pada media MS yang ditambah BAP 0,5 mg/l.
Jenis Eksplan Varietas
Persentase
Pertumbuhan
Tunas
Periode
Inisiasi
Tunas
(hari)
Tinggi
Tunas
(cm)
Warna
Tunas
Meristem Sidikalang 71.43 (10/14)* 21 0.52 c** Hijau
Apikal Lhokseumawe 69.23 (9/13) 17 0.91 c Hijau
Tapak Tuan 90.00 (18/20) 14 1.81 b Hijau
Batang Sidikalang 15.38 (2/13) 21 2.90 a Hijau
Terminal Lhokseumawe 0.00 (0/10) 0 0 d
Tapak Tuan 0.00 (0/10) 0 0 d *) Rasio antara jumlah eksplan bertunas dan jumlah eksplan yang ditumbuhkan.
**) Angka yang dikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
DNMRT 5%.
Secara visual, pertumbuhan tunas dari eksplan meristem apikal pada
varietas Tapak Tuan terlihat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan kedua
varietas lainnya (Gambar 6.1).
58
Gambar 6.1 Pertumbuhan tunas meristem apikal dan batang terminal nilam (9
minggu setelah transplan) pada media MS yang ditambah BAP 0.5
mg/l: A. varietas Sidikalang, B. varietas Lhokseumawe, C. varietas
Tapak Tuan. Sebagai pembanding adalah varietas Sidikalang yang
berasal dari eksplan batang terminal (D).
Tanaman nilam hasil kultur jaringan dari eksplan meristem apikal yang
berukuran 0.5-1 mm, masih terinfeksi TeMV berkisar antara 9.0% sampai 66.7%
(Tabel 6.2).
Tabel 6.2 Persentase tanaman nilam hasil kultur jaringan meristem apikal yang
bebas TeMV berdasarkan uji ELISA.
Jenis Eksplan Varietas Persentase tanaman yang
bereaksi negatif
Meristem Apikal Sidikalang 66.7 (8/12)*
Lhokseumawe 90.9 (10/11)
Tapak Tuan 33.3 (9/27)
Batang Terminal (Kontrol) Sidikalang 0.0 (0/7) *) Rasio antara jumlah sampel yang negatif dan jumlah sampel tanaman yang diuji.
Plantlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal (bukan meristem
apikal) menunjukkan gejala mosaik dan berdasarkan hasil ELISA terbukti bahwa
tanaman tersebut 100% terinfeksi TeMV. Hasil tersebut membuktikan bahwa
infeksi TeMV pada tanaman nilam bersifat sistemik.
Eliminasi TeMV pada Tanaman Nilam dengan Perlakuan Air Panas
Pengujian pendahuluan menggunakan setek batang dan pucuk varietas
Sidikalang yang diberi perlakuan air panas menunjukkan bahwa setek batang
tersebut masih dapat tumbuh setelah direndam pada suhu diatas 50⁰C tetapi setek
pucuk tidak dapat tumbuh (data tidak dipublikasikan). Pada penelitian ini
digunakan setek batang nilam yang memperlihatkan gejala mosaik yang
59
disebabkan oleh TeMV. Setelah perlakuan air panas pada tiga tingkat suhu dan
tiga tingkat waktu perendaman disimpulkan bahwa setek batang nilam varietas
Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang terinfeksi oleh TeMV dapat
bertahan hidup setelah direndam dalam air panas pada suhu 50⁰C, namun tidak
mampu bertahan pada suhu yang lebih tinggi. Varietas Sidikalang tidak dapat
tumbuh jika waktu perendaman di atas 10 menit, sedangkan kedua varietas
lainnya masih dapat tumbuh setelah dilakukan perendaman pada suhu 50⁰C
selama 20 menit dan 30 menit. Daya tumbuh setek nilam semakin menurun
seiring semakin lamanya waktu perendaman (Gambar 6.2). Hal ini menunjukkan
perbedaan tingkat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi. Dari ketiga varietas
nilam yang diuji, Sidikalang mempunyai tingkat toleransi yang lebih rendah.
Gambar 6.2 Daya tumbuh dan tinggi setek batang nilam varietas Sidikalang,
Lhokseumawe dan Tapak Tuan setelah perlakuan perendaman air panas
pada tiga tingkat suhu (A= 50⁰C, B= 55⁰C, C= 60⁰C) dan tiga tingkat
waktu perendaman (1= 10 menit, 2= 20 menit, 3= 30 menit). Sebagai
pembanding adalah setek batang nilam tanpa perlakuan air panas
(K).Pengukuran dilakukan 2 bulan setelah perlakuan air panas.
10090.9
0 0 0 0 0 0 0 0
24.75 24.75
0 0 0 0 0 0 0 0
K A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Varietas Sidikalang
Daya tumbuh setek (%) Tinggi Setek (cm)
78.963.6
3010
0 0 0 0 0 011.8 7.5 6.6 5.8 0 0 0 0 0 0
K A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Varietas Lhokseumawe
100
14.342.9
12.5
0 0 0 0 0 019 16.5 8.5 14.2
0 0 0 0 0 0
K A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Perlakuan air panas
Varietas Tapak Tuan
60
Perlakuan perendaman setek batang nilam varietas Sidikalang,
Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang terinfeksi oleh TeMV pada suhu 50⁰C
selama 10 menit belum mampu mengeliminasi virus, tetapi dapat
mempertahankan daya tumbuh (viabilitas) setek nilam 63.6-90.9% dan
memperlambat munculnya gejala. Hal tersebut ditunjukkan dengan munculnya
gejala mosaik pada daun dari setek batang nilam sampai tanaman berumur 2 bulan
setelah persemaian, tetapi munculnya gejala mosaik lebih lama dibandingkan
setek batang pada tanpa perlakuam air panas. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan air panas mampu memperlambat munculnya gejala mosaik pada
tanaman nilam. Jadi mungkin titik inaktivasi TeMV nilam lebih tinggi dari suhu
50⁰C.
Pembahasan
Hadipoentyanti et al. (2008) melaporkan bahwa media MS dengan
penambahan BAP 0.5 mg/l merupakan media terbaik untuk induksi tunas nilam.
BAP merupakan zat pengatur tumbuh sitokinin yang berpengaruh pada proses
proliferasi tunas, pemecah dormansi, dapat meningkatkan pembelahan sel, tetapi
menghambat terbentuknya akar (Tjandra 2000).
Secara visual, pertumbuhan tunas dari eksplan meristem apikal pada
varietas Tapak Tuan terlihat lebih cepat dan lebih baik dibandingkan kedua
varietas lainnya (Gambar 6.1). Nuryani et al. (2003) dan Nuryani (2005)
melaporkan bahwa pertumbuhan dan produktivitas tanaman nilam varietas Tapak
Tuan di lapangan lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas Lhokseumawe
dan Sidikalang. Selain itu, ketiga varietas tersebut mempunyai keunggulan yang
berbeda-beda yaitu varietas Tapak Tuan unggul dalam hal produksi dan kadar
patchouli alkohol, varietas Lhokseumawe mengandung kadar minyak tinggi, dan
varietas Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda.
Tanaman nilam hasil kultur jaringan dari eksplan meristem apikal yang
berukuran 0.5-1 mm, masih terinfeksi TeMV berkisar antara 9.0% sampai 66.7%.
Hal ini menunjukkan bahwa teknik ini masih perlu ditingkatkan, antara lain
dengan memperkecil ukuran eksplan meristem apikal untuk mendapatkan
tanaman nilam hasil kultur meristem apikal yang 100% bebas virus. Visessuwan
et al. (1988) menyatakan bahwa dengan ukuran meristem apikal tebu 0.2–0.5 mm
diperoleh 88% tanaman bebas virus. Langhans et al. (1977) menyarankan bahwa
ukuran eksplan meristem apikal 0.3–0.5 mm merupakan paling optimal dalam
menghasilkan eskplan bebas virus pada tanaman krisan. Sugimura et al. (1995)
mengemukakan bahwa untuk mendapatkan nilam bebas PaMMV adalah dengan
ukuran meristem apikal yang optimum yaitu 0.5–1 mm, sedangkan menurut
Singh et al. (2009), jaringan meristem berukuran 0.2–0.5 mm yang paling baik
untuk menghasilkan tanaman nilam bebas PStV. Walaupun begitu, teknik ini
sudah dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman nilam yang bebas virus
dengan memanfaatkan tanaman nilam dari hasil kultur meristem apikal (terbukti
bebas virus) sebagai tanaman induk atau sebagai tanaman sumber benih dan
kemudian dapat diperbanyak. Tanaman nilam bebas virus yang sudah diperbanyak
harusnya disimpan pada rumah kawat kedap serangga, karena berdasarkan hasil
penelitian Noveriza et al. (2012b) bahwa Aphis gossypii terbukti efisien
menularkan TeMV pada tanaman nilam secara non-persisten.
61
Virus menyebar di dalam tanaman dari sel ke sel melalui plasmodesmata
(jarak pendek) dan melalui jaringan pembuluh floem (jarak panjang). Pada
tanaman yang rentan, virus akan sangat cepat menyebar dari jaringan yang
terinfeksi ke seluruh bagian tanaman melalui floem. Penggunaan metode kultur
meristem apikal sangat potensial sebagai upaya untuk eliminasi virus yang
menginfeksi secara sitemik karena proliferasi sel-sel meristem apikal lebih cepat
dibandingkan penyebaran virus. Selain itu, pada sel-sel meristem apikal belum
ada plasmodesmata (Nurhajati Matjjik, komunikasi pribadi). Menurut Barahima
(2003) regenerasi tunas meristem apikal menghasilkan plantlet bebas virus dapat
terjadi karena proliferasi sel-sel meristem tunas apikal lebih cepat dibandingkan
dengan penyebaran partikel virus, sehingga setiap saat terdapat sel-sel yang belum
terinvasi virus. Plantlet yang dihasilkan dari sel-sel yang tidak terinvasi virus
menghasilkan planlet bebas virus.
Sastry dan Vasanthakumar (1981) menyatakan bahwa setek berakar
(rooted cutting) nilam (P. patchouli Pellet) kultivar Malaysia masih dapat
bertahan hidup pada perlakuan air panas dengan suhu berkisar antara 40⁰-45⁰C,
serta pada perlakuan udara panas 50⁰C. Menurut Lozoya-Saldana dan Merlin-
Lara (1984), derajat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi merupakan faktor
pembatas dalam aplikasi metode perlakuan air panas.
Meskipun demikian, perlakuan air panas sudah lama digunakan untuk
mengendalikan penyakit tanaman. Perlakuan air panas (HWT) efektif
menghilangkan patogen dari umbi, dan penyakit sereh dari tebu (Minket al.1998).
Menurut Copes dan Blythe (2009), perendaman setek batang azalea
(Rhododendron) pada air panas suhu 50⁰C selama 21 menit efektif untuk
mengeliminasi Rhizoctonia AG P (anastomosis group P). Selain itu, perlakuan air
panas pada suhu 50⁰C selama 30 menit efektif mengeliminasi cendawan patogen
dan endofit pada jaringan setek anggur (Crous et al. 2001). Setelah buah anggur
dicuci dengan larutan klorin dan direndam dalam air panas suhu 45⁰C selama 8
menit dapat mempertahankan kualitas anggur selama 4 minggu (Kou et al. 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Sutrawati (2009), perlakuan perendaman air panas
pada suhu 58⁰C selama 40 menit dapat menginaktifkan Pineapple mealybug wilt-
associated virus yang menginfeksi tanaman nanas dan daya tumbuh setek daun
serta batang nanas masih dapat tetap dipertahankan (60%).
Hal ini sesuai dengan penelitian Damayanti et al. (2010), titik inaktivasi
suhu untuk Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah antara 55ºC sampai
60ºC, dan lebih tinggi dari titik suhu kematian tanaman tebu. Semua perlakuan
panas tidak sepenuhnya menghilangkan SCSMV, namun HWT pada suhu 53ºC
selama 10 menit secara drastis mengurangi keparahan penyakit dan tetap menjaga
viabilitas tanaman 100%. Menurut Balamuralikrishnan et al. (2003), panas juga
bisa menyebabkan inaktivasi virus pada awal fase yang mengakibatkan penurunan
titer Sugarcane mosaic virus (SCMV). Mungkin hal ini yang bisa menjelaskan
kenapa HWT dapat memperlambat munculnya gejala mosaik pada nilam.
Untuk melakukan teknik kultur jaringan meristem apikal tanaman nilam
dengan ukuran yang lebih kecil dari 0.5 mm cukup sulit, oleh sebab itu pada
penelitian selanjutnya mungkin dapat disarankan untuk menggabungkan teknik
kultur jaringan dan perlakuan air panas pada suhu yang toleran untuk jaringan
nilam. Bahan eksplan yang digunakan adalah batang terminal (bukan meristem
apikal) dari tanaman sakit yang sudah disterilisasi dan diberi perlakuan
62
perendaman air panas dahulu pada 50⁰C selama 10 menit sebelum ditumbuhkan
pada media MS yang telah ditambah BAP 0.5 mg/l. Menurut Balamuralikrishnan
et al. (2003) bahwa HWT pada suhu 55ºC dengan lama waktu perendaman antara
20 sampai 30 menit mungkin perlakuan yang terbaik untuk mendapatkan sumber
kultur meristem dengan keparahan terendah. El-Nasr et al. (1989) melaporkan
bahwa SCMV bisa dihilangkan (dieliminasi) dengan HWT pada suhu 55ºC dan
57ºC yang kemudian diikuti dengan melakukan kultur meristem, sehingga seri
HWT adalah efektif dalam eliminasi virus (Benda et al., 1989). Jadi penurunan
awal dari titer virus dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan tanaman bebas virus
dengan kultur meristem.
Selain itu, HWT juga telah lama digunakan untuk mendapatkan tanaman
hasil propagasi yang bebas patogen. Dengan menggunakan kombinasi antara
teknik kultur jaringan dan kemoterafi dengan HWT efektif mengeliminasi hampir
semua patogen (Mink et al. 1998). Kim et al. (2003) melaporkan bahwa HWT
pada 75⁰C selama 72 jam dan pada 85⁰C selama 24 jam mampu mengnonaktifkan
Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV) pada biji mentimun. Begitu juga
dengan bawang putih yang ditumbuhkan pada suhu 36⁰C selama 30 dan 40 hari
menghasilkan 51% dan 50% plantlet yang bebas Garlic yellow streak virus
(GYSV), dan hampir semua plantlet tanaman bebas virus jika waktu pemanasan
ditingkatkan menjadi 60 hari (Conci dan Nome, 1991).
Simpulan
Kultur jaringan meristem apikal berhasil digunakan untuk mengeliminasi
TeMV pada tanaman nilam (varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak
Tuan).Tanaman nilam yang diperbanyak dari kultur meristem apikal berukuran
0.5–1 mm menghasilkan 33.3–90.9% tanaman bebas virus. Perendaman setek
batang nilam didalam air panas pada suhu 50–60⁰C dan lama waktu perendaman
10–30 menit tidak dapat mengeliminasi TeMV yang menginfeksi ketiga varietas
nilam yang diuji, tetapi dapat memperlambat munculnya gejala. Hasil ini
mengindikasikan bahwa teknik kultur meristem apikal berpotensi untuk
menghasilkan setek nilam yang bebas virus.
Daftar Pustaka
Balamuralikhrishnan M, Doraisamy S, Ganapathy T, Viswanathan R. 2003.
Impact of serial thermotherapy on Sugarcane mosaic virus titre and
regeneration in sugarcane. Arch Phytopathol.and Plant Protect. 36:173-
178.
Barahima WP. 2003. Eliminasi Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV)
pada empat kultivar Ubijalar unggul local asal Papua melalui teknik
kultur meristem. Bul. Agron. 31(3):81-88.
Benda GTA, Mock RG, Gillaspie AG. 1989. Control of sugarcane mosaic by
serial heat treatment II. The pattern of cure at high temperature. Sugar
Cane 2:6-10
63
Brown CR, Kwiatkowski S, MartinMV, Thomas PE. 1988. Eradication of PVS
from Potato Clones Through Excisions of Meristems from In Vitro, Heat
Treated Shoot Tips. Am. Potato J. 65:633-638.
Budiarto K, Sulyo Y, Rahardjo IB, Pramanik S. 2008. Pengaruh Durasi
Pemanasan terhadap Keberadaan Chrysanthemum Virus-B pada Tiga
Varietas Hrisan Terinfeksi. J. Hort. 18(2):185-192.
Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate method of enzyme-
linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. Journal
of General Virology 34:475-483.
Conci V, Nome SF. 1991.Virus free garlic (Allium sativum L) plants obtained by
thermotherapy and meristem tip culture. J. Phytopathology 132:186-192.
Converse RH, Tanne E. 1984. Heat Therapy and Stolon Apex Culture to
Eliminate Mild Yellow-edge Virus from Hood Strawberry. Phytopathol.
74:1315-1316.
Copes WE, Blythe EK. 2009. Chemical and hot water treatments to control
Rhizoctonia AG P infesting stem cuttings of azalea. Hort. Science
44(5):1370-1376.
Crous PW, Swart L, Coertze S. 2001. The effect of hot water treatment on fungi
occurring in apparently healthy grapevine cuttings. Phytopathol.
Mediterr. 40(S):464-466.
Damayanti TA, Putra LK, Giyanto. 2010. Hot water treatment of cutting cane
infected with Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV). J. ISSAAS
16(2):17-25.
El-Nasr AMA, Fahmy FG, Fushdi MA. 1989. Elimination of sugarcane mosaic
disease by tissue culture and hot water treatment. Asian J. Agric. Sci.
20:277-292.
Golino DA, Sim ST, Grzegorezyk W, Rowhani A. 1998. Optimizing tissue culture
protocols used for virus elimination in grapevines. American Journal of
Ecology and Viticulture 49(4):451-452.
Goodwin PB, Kim YC, Adisarwanto T. 1980. Propagation of shoot tip culture and
shoot multiplication. Potato Res. 23:45-49.
Gunaeni N, Karjadi AK. 2008. Kultur meristem dan antiviral ribavirin pada
tanaman kentang. J. Agrivigor 7(2):105-112.
Hadipoentyanti E, Amalia, Nursalam. 2007. Effect of growth regulator 2,4 D and
BAP to in vitro Callus and Shoots induce on Patchouli (Pogostemon
cablin Benth) var. Sidikalang. Proceeding International Seminar on
Essential Oil 2007. ISMECRI. Jakarta. hlm 78-86.
Hadipoentyanti E, Amalia, Sirait N, Hartati SY, Suhesti S. 2008. Perakitan
Varietas Tahan Nilam terhadap Penyakit Layu Bakteri.Prosiding
Konferensi Minyak Atsiri. Surabaya. hlm 17-29.
Hartono S, Subandiyah S. 2006. Pemurnian dan deteksi serologi Patchouli mottle
virus pada tanaman nilam. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia
12(2):74-82.
HartonoS. 2008. Karakterisasi virus mottle pada tanaman nilam di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Organisme
Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Bogor-4 Nopember 2008. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor. Tidak dipublikasi.
64
Irwin ME.1999. Implication of movement in developing and deploying integrated
pest management strategies. Agricultural and Forest Meteorology
97:235-248
Kim SM, Nam SH, Lee JM, Yim KO, Kim KH. 2003. Destruction of Cucumber
green mottle mosaic virus by heat treatment and rapid detection of virus
inactivation by RT-PCR. Molecules and cells 16:338-342.
Kou L, Luo Y, Ding W, Liu X, Conway W. 2009. Hot water treatment in
combination with rachis removal and modified atmosphere packaging
maintains quality of table grapes. HortScience 44(7):1947-1952.
Langhans RW, Horst RK, Earle ED. 1977. Diseases-free plants via tissue culture
propogation. HortScince. 12:149-150.
Leonhardt W, Wawrosch Ch, AuerA, Kopp B. 1998. Monitoring of virus diseases
in Austrian grapevine varieties and virus elimination using in vitro
thermotherapy. Plant Cell Tissue and Organ Culture 52:71-74.
Lozoya-Saldana H, Merlin-Lara O. 1984. Thermotherapy and Tissue Culture for
Elimination of Potato Virus X (PVX) in Mexican Potato Cultivars
Resistant to Late Blight. Am. Potato J. 61:735-739.
Meissner Filho PE, Resende R de O, Lima MI, Kitajima EW. 2002. Patchouli
virus X, a new potexvirus from Pogostemon cablin. Ann. Appl. Biol.
141:267-274.
Mink GI, Wample R, Howell WE. 1998. Heat treatment of perennial plants to
eliminate phytoplasmas, viruses, and viroids while maintaining plant
survival. In Plant Virus disease control, edited by Hadidi A, Khetarpal
RK, Koganezawa H. 1998. St.Paul (US): American Phytopatology
Society Press
Natsuaki KT, Tomaru K, Ushiku S, Ichikawa Y, Sugimura Y, Natsuaki T, Okuda
S, Teranaka M. 1994. Characteristic of two viruses isolated from
patchouli in Japan. Plant Dis. 78:1094-1097.
Noveriza R, Suastika G, Hidayat SH, Kartosuwondo U. 2012a. Identification of a
Potyvirus associated with mosaic disease on patchouli plants in
Indonesia. J. ISSAAS 18(1):131-146.
Noveriza R, Suastika G, Hidayat SH, Kartosuwondo U. 2012b. Penularan
Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam melalui vektor
Aphis gossypii. Jurnal Fitopatologi Indonesia 8(3):65-72.
Nuryani Y, Hobir, Syukur C. 2003. Status pemuliaan tanaman nilam (Pogostemon
cablin Benth.). Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat
XV(2):57-67.
Nuryani Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri 11 (1):1-3.
Quak F. 1972. The treatment and substances inhibity, virus multiplication in
meristem culture to obtain virus free plant. Ad. Hort. Sci. :141-144.
Sastry KS, Vasanthakumar T. 1981. Yellow mosaic of patchouli (Pogostemon
patchouli) in India. Current Science 50(17):767-768.
Singh MK, Chandel V, Hallan V, Ram R, Zaid AA. 2009. Occurrence of Peanut
stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouli plants by
meristem tip culture. Journal of Plant Diseases and Protection
116(1):2–6,
65
Sugimura Y, Padayhag BF, Ceniza MS, Kamata N, Eguchi S, Natsuaki T, Okuda
S. 1995. Essential oil production increased by using virus free patchouli
plants derived from meristem-tip culture. Plant Pathology 44:510-515.
Sutrawati M. 2009. Eliminasi PMWaV (Pineapple mealybug wilt-associated
virus) dari jaringan tanaman nanas melalui perlakuan air panas dan
ribavirin. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tjandra A. 2000. Pengaruh konsentrasi BAP dan Calsium pathothenate terhadap
Calla lily (Zantedeschia rehmanii) secara in vitro dan presentase tumbuh
planlet di lapangan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Visessuwan R, Korpraditskul W, Attathom S, Klinkong S. 1988. Production of
Virus-Free Sugarcane by Tissue Culture. Kasetsart J. (Nat. Sci. Suppl.)
22:30-60.