ute’ simagere (tengkorak bagi roh): hubungan …

22
JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356 Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 67 | P a g e UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN MASYARAKAT DENGAN PRIMATA ENDEMIK DI MENTAWAI Tresno¹ Received Article: 22 Mei 2017 Accepted Article: 25 Juni 2017 Abstract Many think that the primate hunting is done by the Mentawai people caused the primate extinction in Mentawai whereas forest exploitation on Siberut Island has been going on for a long time like HPH, poaching, and development. Indeed, the Mentawai people have Arat Sabulungan guidance on their environment which not only regulate natural environment but the social and cultural environment. Based on the research of results found that the people of Buttui and Tepu’ know their world is divided into two parts, namely purimanuaijat (porak, manua, baga, oinan and leleu); and sabulungan (Saikamanua, Si Bara Ka Baga, Saikoinan and Saikaleleu). The world purimanuaijat in fact both the living things and inanimate objects have a soul (simagere) and spirit (ketsat). So the Mentawai people should maintain the relationship. Because human life that always utilize nature, can trigger the relationship, so they do punen and puliaijat. Because the balance is not only about the world purimanuaijat, but also the world sabulungan. So the Mentawai people perform the hunting activity at the end of the ceremony, due to the hunt for a form of respect for the spirits of the ancestors, Saikaleleu and fellow creatures who are spirited and have spirits by making ute 'simagere. The ethno-ecological Mentawai people have a categorization of the environment that are uma, pumonean consisting of pumonean saina and also pumonean leleu or siburuk; and leleu. Leleu this is a place of hunting and place of life for 4 species of endemic primates in the Mentawai. One of them are bilou, joja, simakobu and also bokkoi. As for the pumonean saina and pumonean leleu, it is advantageous to these four primates at the time of food to the four species of primates will descend to the fruit field as well as the bokkoi who can go down to the ground to take surappik. Likewise some taboos that save some primates while for the ceremony is not always the ending ceremony of hunting, so the ceremony and hunting are the mechanism of the Mentawai people in balancing the natural, social and cultural environment with a balance for the Mentawai people about the relationship between the world of purimanuaijat and the world of sabulungan. Keywords: Purimanuaijat World, Arat Sabulungan, Puliaijat, Hunting, Ethno-Ecology Abstrak Banyak yang mengira perburuan primata yang dilakukan masyarakat Mentawai menyebabkan kepunahan primata di Mentawai, padahal eksploitasi hutan di Pulau Siberut sudah terjadi sejak lama seperti HPH, perburuan liar, dan berbagai pembangunan. Sejatinya masyarakat Mentawai memiliki pedoman Arat Sabulungan mengenai lingkungannya, yang tidak hanya mengatur lingkungan alam saja tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnoscience dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Peneliti menggunakan analisis Rappaport dan Etno-ekologi untuk melihat fenomena apa, bagaimana dan kenapa berburu dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian masyarakat Buttui dan Tepu’ mengenal dunia mereka terbagi menjadi dua yaitu purimanuaijat (porak, manua, baga, oinan dan leleu; dan sabulungan (Saikamanua, Si Bara Ka Baga, Saikoinan dan Saikaleleu). Adapun dunia purimanuaijat nyatanya baik itu benda hidup dan benda mati memiliki jiwa (simagere) dan roh (ketsat). Dikarenakan keseimbangan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 67 | P a g e

UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN MASYARAKATDENGAN PRIMATA ENDEMIK DI MENTAWAI

Tresno¹

Received Article: 22 Mei 2017 Accepted Article: 25 Juni 2017

Abstract

Many think that the primate hunting is done by the Mentawai people causedthe primate extinction in Mentawai whereas forest exploitation on Siberut Island hasbeen going on for a long time like HPH, poaching, and development. Indeed, theMentawai people have Arat Sabulungan guidance on their environment which not onlyregulate natural environment but the social and cultural environment. Based on theresearch of results found that the people of Buttui and Tepu’ know their world isdivided into two parts, namely purimanuaijat (porak, manua, baga, oinan and leleu);and sabulungan (Saikamanua, Si Bara Ka Baga, Saikoinan and Saikaleleu). The worldpurimanuaijat in fact both the living things and inanimate objects have a soul(simagere) and spirit (ketsat). So the Mentawai people should maintain therelationship. Because human life that always utilize nature, can trigger therelationship, so they do punen and puliaijat. Because the balance is not only aboutthe world purimanuaijat, but also the world sabulungan. So the Mentawai peopleperform the hunting activity at the end of the ceremony, due to the hunt for a form ofrespect for the spirits of the ancestors, Saikaleleu and fellow creatures who arespirited and have spirits by making ute 'simagere. The ethno-ecological Mentawaipeople have a categorization of the environment that are uma, pumonean consistingof pumonean saina and also pumonean leleu or siburuk; and leleu. Leleu this is aplace of hunting and place of life for 4 species of endemic primates in the Mentawai.One of them are bilou, joja, simakobu and also bokkoi. As for the pumonean saina andpumonean leleu, it is advantageous to these four primates at the time of food to thefour species of primates will descend to the fruit field as well as the bokkoi who cango down to the ground to take surappik. Likewise some taboos that save someprimates while for the ceremony is not always the ending ceremony of hunting, so theceremony and hunting are the mechanism of the Mentawai people in balancing thenatural, social and cultural environment with a balance for the Mentawai people aboutthe relationship between the world of purimanuaijat and the world of sabulungan.

Keywords: Purimanuaijat World, Arat Sabulungan, Puliaijat, Hunting, Ethno-Ecology

Abstrak

Banyak yang mengira perburuan primata yang dilakukan masyarakatMentawai menyebabkan kepunahan primata di Mentawai, padahal eksploitasi hutan diPulau Siberut sudah terjadi sejak lama seperti HPH, perburuan liar, dan berbagaipembangunan. Sejatinya masyarakat Mentawai memiliki pedoman Arat Sabulunganmengenai lingkungannya, yang tidak hanya mengatur lingkungan alam saja tetapijuga lingkungan sosial dan budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatanetnoscience dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Penelitimenggunakan analisis Rappaport dan Etno-ekologi untuk melihat fenomena apa,bagaimana dan kenapa berburu dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian masyarakatButtui dan Tepu’ mengenal dunia mereka terbagi menjadi dua yaitu purimanuaijat(porak, manua, baga, oinan dan leleu; dan sabulungan (Saikamanua, Si Bara Ka Baga,Saikoinan dan Saikaleleu). Adapun dunia purimanuaijat nyatanya baik itu benda hidupdan benda mati memiliki jiwa (simagere) dan roh (ketsat). Dikarenakan keseimbangan

Page 2: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

68 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

tersebut tidak hanya menyangkut dunia purimanuaijat, tetapi dunia sabulungan.Sehingga orang Mentawai melakukan upacara punen dan puliaijat dengan diakhiriberburu, dikarenakan berburu merupakan wujud dari menghormati roh-roh nenekmoyang, Saikaleleu dan sesama makhluk yang berjiwa dan memiliki roh, denganmembuat ute’ simagere. Setidaknya terdapat kategorisasi tentang lingkungan padamasyarakat Mentawia yaitu uma dengan pangurep iba, pumonean yang terdiri daripumonean saina dan pumonean leleu/siburuk, dan leleu. Leleu ini lah menjadi tempatperburuan dan tempat kehidupan bagi 4 jenis primata endemik di Mentawai yaitubilou, joja, simakobu dan bokkoi. Adapun dengan adanya pumonean saina danpumonean leleu, menjadi keuntungan bagi ke empat primata ini pada waktu musimiba ke empat jenis primata ini akan turun ke ladang buah-buahan, begitu juga denganbokkoi yang dapat turun ke tanah untuk mengambil surappik. Begitupun beberapapantangan yang menyelamatkan beberapa primata, sedangkan untuk upacara tidakselalu upacara diakhiri dengan berburu. Sehingga upacara dan berburu merupakanmekanisme orang Mentawai dalam menyeimbangkan lingkungan alam, sosial danbudaya dengan keseimbangan bagi orang Mentawai mengenai hubungan antara duniapurimanuaijat dan dunia sabulungan.

Kata kunci: Dunia Purimanuaijat, Dunia Sabulungan, Puliaijat, Berburu, Etno-ekologi

A. PENDAHULUANepulauan Mentawai terletak 85-135km di lepas pantai barat Sumaterayang terpisah dari pulau utama

Sumatera sejak 500 ribuan tahun yang lalu(Batchelor, 1979). Akibat terisolasi sekianlama, proses evolusi ekosistem diKepulauan Mentawai hanya sedikitterpengaruh dengan pulau utama Sumatera.Spesies di Pulau Siberut mempunyaikarakter yang lebih primitif dibandingkandengan spesies yang ada di Sumatera. Olehkarena itu, Kepulauan Mentawai memilikikekayaan spesies flora maupun faunaendemik yang tinggi. Telah tercatat lebihdari 65% dari mamalia dan 15% spesiesfauna di Pulau Siberut adalah endemik atautidak dapat ditemukan di tempat lain di dunia(CII, 2002; Wilting dkk, 2012; Sargis dkk,2014).

Keanekaragaman dan keendemikanflora dan fauna di Kepulauan Mentawai,menyebabkan Kepulauan tersebut tepatnyadi Pulau Siberut dijadikan sebagai cagarbiosfer oleh UNESCO. Kemudian, padatahun 1993 berdasarkan Keputusan MenteriKehutanan Nomor 407/Kpts-II/1993didirikanlah Taman Nasional Siberut yangtujuanya untuk melindungi hutan diMentawai terkhususnya satwa endemikyang mulai langka di Mentawai termasukprimata endemik di dalamnya. Setidaknyaada empat primata endemik di Mentawaiyang dilindungi antara lain: (1) primataberhidung pesek atau simakobu (Simias

concolor) dengan dua jenis subspesies S. c.concolor dan S. c. siberu (Chasen danKloss, 1927); (2) lutung atau joja (Presbytispotenziani) dengan dua subspesies P. p.potenziani dan P. p. siberu (Bonaparte,1856); (3) beruk mentawai atau bokkoi(Macaca pagensis) dengan dua subspesiesM. p. pagensis dan M. p. siberu (Fuentesdan Olson, 1995); dan (4) siamang kerdilatau bilou (Hylobates klossii) (Miller, 1903).Berdasarkan penelitian Whitaker (2006);Waltert dkk, (2008); dan IUCN/SSC PrimateSpecialist Group’s Action Plan for AsianPrimate Conservation, keempat primata diMentawai ini mengalami penurunan jumlahpopulasi setiap tahunnya hingga terancampunah (critically endangered).

Aktivitas manusia yang berlebihanseperti deforestasi hutan, perburuan liar,eksploitasi sumber daya hutan dan hayati,dan lain-lain. Mengakibatkan keseimbanganekosistem lingkungan alam di Mentawaimenjadi terganggu dan berujung padaperubahan berbagai aspek lingkungan baikitu alam, sosial, dan budaya. Salah satubukti nyata perubahan tersebut adalahpengurangan populasi keempat jenisprimata endemik. Berdasarkan data red listIUCN keempat primata ini mengalamiperubahan tiap tahunnya. Pada awalnyakeempat primata ini berstatus endengered,kemudian pada tahun 2007 mengalamiperubahan status antaranya bilou dan jojamenjadi vulnarable. Sedangkan untuksimakobu menjadi endengered (terancam

K

Page 3: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 69 | P a g e

punah), dan bokkoi tetap dalam statuscritically endangered. Banyak hal yangmenyebabkan kepunahan keempat primataini diantaranya sudah sejak lama PulauMentawai menjadi incaran para HPH, sejaktahun 1972 antaranya PT CPSS, PT JSI, PTKayu Siberut, PT Cirebon Agung bahkansaat ini kedua HPH di Pulau Siberut masihdalam kondisi beroperasi seperti KoperasiAndalas Madani yang diberikan konsensipada tahun 2001, kemudian disusul denganPT SSS yang diberikan konsensi padatahun 2003 dan berbagai pembangunan diPulau Siberut. Namun nyatanya beberapastake holders baik LSM, pemerintah danpeneliti mengatakan bahwa kepunahanprimata tersebut salah satu penyumbangterbesar akibat perburuan yang dilakukanetnis Mentawai seperti Teneza (1974) danTilson (1977) mengatakan dari perhitunganbeberapa jumlah tengkorak primata di pulauMentawai diperkirakan 77% diburu.Kesemua 4 primata yang berada di PulauSiberut diburu untuk dimakan (Teneza danTilson, 1985:300). Dalam penelitian lainnyayaitu Quinten dkk (2014), yangmemperkirakan primata endemik ini akanmengalami pengurangan populasi sebanyak4.860–9.720 setiap tahun akibat diburu dandikonsumsi oleh orang Mentawai. Bahkansetelah adanya perlindungan Pulau Siberut,pihak TNS yang awalnya bertujuan akanmelindungi hutan di Pulau Siberut dari HPHdan meguatkan wacana masyarakatsebagai pemilik tanah adat, yang nyatanyapenunjukan TNS membatasi wilayahmasyarakat dan melarang perburuanprimata di kawasan TNS. Polisi hutanbengasur-angsur ditambah dan patrolikeamaan diintensifkan bahkan apabilamasyarakat melanggar akan berakibathukuman penjara (Darmanto dan Setyowati,2012:210-211). Nyatanya penunjukan PulauSiberut sebagai cagar biosfer danpemberian batas-batas yang bertujuan akanmelindungi hutan di Siberut, dan seakan-akan kerusakan hutan dan kepunahanprimata endemik merupakan perbuatan caratradisional orang Mentawai. Namunnyatanya di balik hal tersebut beberapapihak mengambil keuntungan akan hal itu.

Menanggapi persoalan tersebut,etnis Mentawai mempunyai pedoman dalammenghadapi perubahan lingkungan yangterjadi di Mentawai. Maka dari itukebudayaan dijadikan pedoman etnis

Mentawai dalam menghadapi segalaperubahan yang terjadi di Mentawai. Didalam kebudayaan Mentawai tidak hanyamengatur atau tidak hanya dijadikanpedoman dalam menanggapi perubahanlingkungan alam saja, tetapi juga padalingkungan sosial dan budaya. Hal tersebuttelah diatur dalam kepercayaan tradisionaletnis Mentawai yaitu Arat Sabulungan 1 .Etnis Mentawai menganggap agarkehidupan sosial dan budaya mereka tetapbelangsung, mereka juga harus menjagalingkungan alam2. Dengan hal itu menuntutetnis Mentawai melakukan berbagaitindakan untuk mengembalikan perubahanlingkungan yang terjadi di Mentawai sepertisemula, sesuai dengan ajaran nenekmoyang mereka. Salah satu bentuk tindakannyata mereka adalah dengan melakukanberbagai upacara ritual. Upacara inilah yangdijadikan sebagai proses penyeimbanglingkungan alam, sosial dan budayamasyarakat Mentawai, agar hubunganantara dunia nyata dan dunia supranaturaldapat saling berhubungan. Hubungantersebut saling memberi dan menerimafungsinya masing-masing, agar kedua alamtersebut tetap dalam keadaan seimbang 3 .Untuk menjaga prinsip keseimbangantersebut, segala sesuatu yang dilakukanetnis Mentawai harus meminta izin terlebihdahulu dengan dunia supranatural. Makadari itu, upacara merupakan keharusan bagietnis Mentawai dalam mengatur segalaaktifitas mereka yang mana dapatmengancam kerusakan alam nyata,termasuk aktifitas berburu di dalamnya.

Berkaitan dengan aktifitasperburuan yang mana menyebabkanpengurangan jumlah populasi primataendemik di Mentawai. Dikarenakan di satusisi upacara merupakan sebuah mekanismeyang dilakukan etnis Mentawai dalammenyeimbangkan kembali lingkungan. Di

1 Kepercayaan Arat Sabulungan yang dijadikanmasyarakat Mentawai sebagai aturan dalammenginterpretasi lingkungan mereka. AratSabulungan ini menganggap bahwa dunia yangditinggali masyarakat Mentawai terbagi menjadidua yaitu dunia nyata dan dunia supranatural.Kedua dunia ini harus berjalan selaras.2 Sesuai dengan ide bahwa budaya itu lebihkonservatif3 Sesuai dengan prinsip ekosistem atau prinsipreciprocity

Page 4: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

70 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

sisi lain upacara akan diakhiri denganberburu, karena berburu merupakanpenutup dalam setiap upacara yangdilangsungkan (Rudito, 2013). Namunberburu tetap saja dilakukan di Mentawai,karena itu sudah menjadi bagian dari sistemkepercayaan dan sistem mata pencaharian.Sudah sejak lama etnis Mentawai berburukhususnya berburu primata, karena primatamerupakan hewan yang sakral dalamkebudayaan etnis Mentawai. Dikarenakanprimata merupakan media prantara yangdigunakan dalam keberlangsungan upacaraserperti tengkorak primata. Tengkorakprimata dijadikan sebagai penghubung ataumedia keberlangsungan upacara.Pemanfaatan tengkorak primata ini antaralain dijadikan; ute’ simagere 4 dan syaratritual eneget 5 . Dari penjelasan di atasmenunjukan bahwa etnis Mentawaimelakukan upacara untuk menselaraskankembali sesuatu yang telah dirusaktermasuk penurunan jumlah primata itusendiri. Jika tujuan etnis Mentawaimelakukan upacara untuk penyelarasan

4 Ute’ simagere merupakan tengkorak primatayang digantung dan disusun di ruang tengah umabersama tengkorak buruan lainnya. Ute’simagere inilah yang digunakan untukmenghubungkan roh-roh di hutan dengan roh-rohdi uma melalaui prantara Sikerei4, sehingga padasaat berburu hewan yang akan diburu menjadidekat kepada si pemburu. Hal ini akanmempermudah pemburu untuk menangkaphewan yang diburunya termasuk primata. Selaintengkorak primata dibuat menjadi ute’ simagere,tengkorak primata juga dijadikan sebagai jaraik.Jaraik ini juga digunakan sebagai penghubungantara dunia nyata dan dunia gaib untukmelindungi uma. Tidak hanya itu rumah yangmemiliki banyak tengkorak memperlihatkanstatus sosial seseorang. Karena hasil tangkapanhewan yang banyak meningkatkan status sosialorang. Sehingga semakin banyak tangkapan dantengkorak yang disusun rapi di uma, semakinmemperlihatkan status sosial yang tinggi diMentawai dan semakin memperlihatkanseringnya keluarga tersebut melakuan aktifitasberburu. Dengan demikian berburu primatamerupakan bagian penting dalam kehidupansosial dan budaya masyarakat Mentawai.5 Ritual eneget adalah salah satu ritual untukmempersembahkan primata kepada roh-roh agaranak laki-laki yang baru lahir dapat pintarberburu.

kembali antara dunia nyata dengan duniasupranatual, namun mengapa berburuprimata yang dimanfaatkan sebagai mediaprantara dalam upacara seperti ute’simagere dan ritual eneget masihdilakukan? Apakah dengan melakukanpengurangan populasi primata akanmenyebabkan alam menjadi seimbang atauapakah etnis Mentawai memiliki cara agarmenyeimbangkan kembali populasi primatatersebut?

Jika mengikuti aturan adat yangdiwariskan oleh nenek moyang etnisMentawai yang berpedoman dengan nilai-nilai kepercayaan Arat Sabulungan, makaetnis Mentawai tidak hanya menyelaraskanlingkungan sosial dan budaya saja, tetapilingkungan alam juga akan diselaraskan.Dengan demikian menjadikan masyarakatlebih konservatif dalam menjagalingkungannya, karena Arat Sabulunganmengatur hubungan masyarakat denganlingkungan secara keseluruhan, tidak hanyalingkungan dunia nyata tetapi jugalingkungan dunia supranatural. Akibat dariperburuan, ekosistem menjadi terganggumaka dari itu perlunya mengembalikanekosistem seperti semula dengan caramelakukan upacara. Namun di balik upacaradan aktifitas berburu peneliti tidak melihatlingkungan alam mengalami keseimbangan,padahal dalam Arat Sabulungan terdapatnilai-nilai yang mengatur kesejahteraanhidup yang harus selaras denganlingkungan alam, sosial dan budaya. Secaraidealnya ketika etnis Mentawai melakukankerusakan baik itu kerusakan dunia nyatamaupun dunia supranatural, merekamemiliki cara dalam memperbaikilingkungannya yang sudah diatur dalamkebudayaan etnis Mentawai yangbersumber dalam Arat Sabulungan. Dengandemikian etnis Mentawai menyadari akantindakanya yang dapat merusak lingkunganalam. Namun mengapa masih tetap sajamasyarakat melakukan tindakan perburuanprimata yang nantinya digunakaan sebagaimedia prantara dalam upacara? Jika kitamelihat upacara sebagai mekanismepenyeimbang lingkungan alam, sosial danbudaya. Lalu seyogyanya, keseimbanganyang bagaimanakah yang dimaksud dalamkebudayaan masyarakat Mentawai?

Adapun dalam artikel ini penulismembahas secara lebih mendalam tentanghubungan masyarakat Mentawai dengan

Page 5: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 71 | P a g e

lingkungan khususnya primata endemik diMentawai dengan menganalisispengetahuan masyarakat tentang aktifitasperburuan dan menganalisis mengenaihubungan primata dalam keseimbanganalam, sosial dan budaya di Mentawai yangmana dijadikan ute’ simagere, sehinggamenjadi penting bagi kebudayaan orangMentawai.

B. METODE

enelitian ini dilakukan di dua dusunyaitu di Desa Madobag, Pulaggajat(dusun) Buttui Kecamatan Siberut

Selatan dan dilanjutkan di DesaSagulubbeg, Pulaggajat Tepu’, KecamatanSiberut Barat Daya. Adapun penelitian inimenggunakan pendekatan etnoscienceyang mana pendekatan ini memandangbahwa sistem pengetahuan adalah bagianpenting dalam kehidupan manusia dankelompoknya. Pendekatan ini berupayamenemukan makna dari suatu kebudayaanyang mana untuk memahami fenomenaalam tersebut lebih didasarkan atas caraberpikir manusia (kognitif) yang dikajinya(Poerwanto, 2006:40). Menurut Hussel,fenomena adalah sesuatu yang sudah adadalam persepsi dan kesadaran individu yangsadar tentang sesuatu hal (benda, situasi,dan lain-lain) (dalam Arifin dkk, 2005:58).Maka dari itu penelitian ini bersifat descriptifdan holistic dengan mendiskripsikanfenomena-fenomena yang nyata dalammasyarakat dan lingkungan, gunamendapatkan hubungan masyarakatdengan lingkungan dari sudut pandangmasyarakat itu sendiri (natives point ofview). Pendekatan etnoscience sejalandengan pemikiran Goodenough yangmengatakan kebudayaan adalah suatusistem kognitif yang terdiri daripengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilaiyang berada dalam pikiran anggota-anggotaindividual masyarakat (dalam Kalangie,1994:1). Dari penjelasan tersebut, penelitiakan mencoba menganalisis fenomenaprilaku dan material pada etnis Mentawaiterhadap primata endemik di Mentawai.Dengan menggunakan teori-teori dankonsep-konsep Rappaport dan Etno-ekologidalam menganalisis pengetahuan etnisMentawai dalam memaknai fenomenaprilaku dan material itu sendiri. Denganmelihat hubungan masyarakat dengan

lingkungan alam khususnya primata edemikdi Mentawai. Oleh karena itu untukmemahami berbagai prilaku seseorangpeneliti harus memahami sistem berpikirmereka yang dipandang dari sudut pandangobyek yang diteliti maupun dari sudutpandang peneliti (Poerwanto, 2006:38). Disini peneliti melakukan studi ke lapanganmelihat fenomena masayarakat Mentawaidalam melakukan tindakan berburu primatayang mana nantinya digunakan sebagaimedia ute’ simagere dan ritual enegetberdasarkan pandangan masyarakat itusendiri (emik) yang kemudian akandianalisis peneliti (etik) untuk menjelaskandibalik fenomena tersebut. Untukmendapatkan data tersebut, penelitimempelajari bahasa Mentawai, melakukanobservasi partisipasi dan wawancara secaramendalam serta melakukanpendokumentasian untuk mendukung data.Adapun dalam taksonomi dan klasifikasi ituterkandung pernyataan-pernyataan atau ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenailingkunganya. Taksonomi atau klasifikasiyang terungkap dalam berbagai istilah-istilahlokal itu biasanya berisi informasi mengenailingkungan yang penting untukmendapatkan etnoekologi dari masyarakatyang kita teliti. Taksonomi, klasifikasi danmakna-makna referensinya perludideskripsikan oleh peneliti. Akhirnyapeneliti memformalisasikan aturan-aturanperilaku terhadap lingkungan yang dianggaptepat dari perspektif masyarakat (Ahimsa,1997:54-55 dalam Lahajir, 2001:54).Dengan demikian penelitian ini tidak sajamenjelaskan bagaimana fenomena ituterjadi, tetapi yang terpenting mememahamiapa yang dibalik fenomena tersebut (Arifindkk, 2005:62), dan mengapa fenomenatesebut masih saja dilakukan. Maka dari itupeneliti akan mengalasis penelitian inidengan pendekatan Rappaport dan Etno-ekologi. Adapun Informan dipilih denganteknik purposive sampling yang manasebanyak 6 suku di Pulaggajat Buttui dan 5suku di Pulaggajat Tepu’.

C. HASIL DAN PEMBAHASANebudayaan menurut Suparlanmerupakan keseluruhan pengetahuanyang dipunyai manusia sebagai

makhluk sosial. Isinya berupa perangkatmodel pengetahuan yang secara selektifdapat digunakan untuk memahami dan

P

K

Page 6: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

72 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

menginterpretasi lingkungan yang dihadapi,mendorong dan menciptakan tindakan yangdiperlukan. Kebudayaan dipakai manusiauntuk berdaptasi dan menghadapilingkungan tertentu (alam, sosial danbudaya) agar manusia dapatmelangsungkan hidupnya dan memenuhikebutuhanya, serta hidup lebih baik(Suparlan, 2004:158). Maka dari itu dalamkebudayaan inilah yang berisikanpengetahuan, kepercayaan masyarakatMentawai sebagai pedoman dalammenghadapi, memahami, memaknai danmenginterpretasi lingkungan alam, sosialdan budaya. Hal tersebut termaktub dalamsistem kepercayaan etnis Mentawai yaituArat Sabulungan. Arat Sabulungan inilahyang mencangkup seluruh pengetahuan,kepercayaan, adat istiadat masyarakatMentawai mengenai lingkungan alam, sosialdan budaya mereka yang mana AratSabulungan merupakan adat, aturan,budaya orang Mentawai yang mengaturbagaimana menjadi orang Mentawai(simantawoi) dan dalam Arat Sabulungan inimereka mempercayai bahwa setiap makhlukhidup dan mati dalm wujud apapun memilkijiwa (simagere) dan roh (ketcat). Maka dariitu untuk menyeimbangkan jiwa dan rohtersebut orang Mentawai menggunakandaun-daunan (bulungan/buluat) yangdiperantarai kerei melalui upacara untukmemanggil, melindungi, mengusir,membujuk, berdialog dan mendamaikanantara dunia nyata dan dunia supranatural(bandingkan Coronese, 1986; Mulhadi,2008, dan Delfi, 2012). Dengan begitu AratSabulungan ini lah yang mengaturhubungan antara manusia dengan manusia,manusia dengan lingkunganya (biotik danabiotik), dan manusia dengan dunia gaibterkhususnya dengan penguasa alamsemesta/Tuhanya.

Setidaknya masyarakat Mentawaimengenal dua sisi kehidupan yang salingberdampingan, saling bertentangan dansaling membutuhkan keseimbangan. Dalamkehidupan ini menurut Aman Nama danAman Jaggau, semua isi alam diibaratkanseperti manusia yang dapathidup/menghidupakan dan dapatmati/mematikan. Menurut mereka, sepertihalnya sungai yang dapat memberikehidupan, namun disisi lain dapatmemberikan kematian bagi manusia.Dikarenakan dapat menimbulkan bahaya

bagi manusia, begitu juga dengan hutan,leleu, dan lain-lain yang dapat mengancamkehidupan manusia (bandingkan Schefold,1988). Adapun kehidupan tersebut yaitukehidupan dunia nyata, kehidupan dunianyata ini lebih dikenal dengan purimanuaijat,semua makhluk yang nampak secaraempiris baik itu makhluk hidup maupunmakhluk mati yang berada di bumi(porak/baga), langit (manua), hutan dengansegala isinya (se’se’ dan pangureman),sungai (oinan) dan leleu (leleu). Hal itu jugadiperkuat dengan asal mula kehidupandengan mitologi orang Mentawai yangmereka sebut dengan pumumuan atautitibuat (sejarah), hampir semua mitologiyang diceritakan menjelaskan asal muasaldunia puimanuaijat untuk apa, siapa danmengapa diciptakan seperti mitologi jojadiceritakan Aman Ruamanai yang mana jojaberasal dari manusia dan merupakan awalcerita dari berbagai jenis hewan buruanyang nantinya dimanfaatkan untuk beburudalam upacara atau cerita yangdiungkapkan Aman Tarit, asal muasal sagu,babi, ayam, simaligai dan sipageta sabbauyang awalnya mereka tidak kenal, danakhirnya akibat simaligai dan sipagetasabbau mereka mengenal makanan untukupacara, sikerei, uma dan berbagai ceritalainnya (lihat juga Spina, 1981; Tulius, 2012,dan Tresno, 2017).

Begitu juga dengan dunia yang tidaknyata (supranatural), merupkan dunia yangtidak terlihat secara kasat mata namundapat dirasakan keberadaanya, diyakini,dan terkadang meperlihatkan diri denganberbagai cara, dan kehidupan duniasupranatural ini juga dapat memberikanancaman bagi kehidupan dunia nyataterkhususnya kehidupan manusia.Kehidupan inilah yang disebut orangMentawai dengan sabulungan, setelah jiwa-jiwa mereka mati maka jiwa mereka akankembali ke dunia sabulungan, dunianyapara roh. Dalam wujud apapun dalam duniasupranatural terdapat berbagai macam roh,dan dalam setiap roh tersebut terdapatpenguasa. Adapun masyarakat Mentawaimembaginya sebagai berikut yaitu langit(manua) dengan penguasanya Saikamanua,tanah (baga) dengan penguasanya Si BaraKa Baga/Si Bara Ka Porak, air (oinan)dengan penguasanya Saikaoinan dan leleu(leleu) dengan penguasanya Saikaleleu/SiBara Ka Leleu. Sejatinya dalam kehidupan

Page 7: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 73 | P a g e

masyarakat Mentawai mereka meyakini baikmakhluk hidup dan makhluk mati, semuanyamemiliki jiwa (simagere) dan roh (ketsat)masing-masing. Maka dari itu tidak hanyapenguasa saja yang tinggal dalam duniasabulungan, namun makhluk hidup ataumakhluk mati terdapat berbagai sebutan rohbaik (mareu’) ataupun roh jahat (simakataik)seperti saukkui, pitok, sanitu, bajou danberbagai roh jahat yang berada di sungaiseperti sikoinan dan di leleu seperti sabeutalinga, sikataik loinak dan silakikiow.

Adapun antara roh dan jiwa yangberada di dunia nyata dan duniasabulungan, perlulah diseimbangkanberdasarkan keyakinan etnis Mentawai.Pada kenyataanya etnis Mentawai yangselalu memanfaatkan lingkungannya untukmemenuhi kebutuhan sehari-hari baik ituuntuk memenuhi kebutuhan mereka, daritempat tinggal atau mereka sebut uma,untuk kebutuhan konsumsi mereka sepertiberladang dengan menanam sagu, keladi,pisang, kelapa, dan buah-buahan lainnya.Selain itu masyarakat Mentawai jugaberternak babi dan ayam. Namun padawaktu tertentu mereka juga menangkapikan, belut, dan kura-kura di sungai danpada akhinya mereka juga melakukanperburuan di leleu untuk mengakhiri aktifitasmereka dalam upacara.

Sejalan dengan pemikiranRappaport mengenai hal ini dalam populasiekosistem yang merupakan sekumpulanorganisme yang memiliki karakteristiktertentu untuk saling menjaga sebuahhubungan material dengan komponen laindari ekosistem (Rappaport, 1968:97).Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, bahwa lingkungan alam merekamerupakan bagian dari lingkungansupranatural. Maka setiap elemenlingkungan purimanuaijat dan sabulunganharus saling menjaga dan saling memberi.

Adapun pemanfaatan lingkungan dunianyata yang dapat menganggu lingkungandunia supranatural. Maka dari itu hubungantersebut perlulah dijaga, dengan cara keduahubungan tersebut tetap salingberhubungan satu sama lain, maka dari itumasyarakat Mentawai melakukan upacara(punen dan puliaijat), agar antara duniapurimanuaijat dan dunia sabulungan tetapdalam keadaan seimbang. Namun tidakhanya sebatas upacara sebagai proseskeseimbangan, keterkaitan akan setiap roh-roh penguasa, ketakutan akan roh-rohpenguasa baik roh hutan, roh sungai, rohleleu yang dapat membahayakan merekaketika upacara sudah selesai, dan rohmanusia itu sendiri maupun makhluk hiduplainnya. Jika hubungan manusia denganpenguasa langit dan roh-roh nenek moyangmereka sudah dilakukan melalui upacara.Sejatinya hubungan tersebut belumlahselesai, dikarenakan jika salah satu elementerganggu maka elemen lainnya juga dapatterganggu, misalkan mereka telah melakuanupacara untuk membuat uma persembahantelah diberikan kepada roh penguasa langitdan nenek moyang mereka, namun ketikaupacara tersebut telah selesai, dan merekapergi kembali ke leleu, maka ketika merekahendak pergi ke leleu dan hendak melewatisungai, elemen dari sungai dan leleu dapatmengancam jiwa mereka juga. Maka dari itumasyarakat Mentawai melakukan aktifitasberburu untuk menutup rangkaian upacarayang mereka lakukan dengan memberikanpersembahan dan membuat ute’ simagere.Maka dari itu proses berburu inilah untukmelihat upacara mereka telah berhasil danroh-roh penguasa langit, bumi, sungai danleleu telah mengizinkan mereka untukkembali beraktifitas. Adapun ada beberapaupacara yang akan ditutup dengan berburudapat dilihat pada tabel di bawah ini;

Tabel 1. Macam-Macam Upacara

No NamaUpacara

Jenis Upacara Fungsi Upacara Macam-MacamUpacara

1 Punen Upacara LingkaranKehidupan (LifeCycle) juga dikenaldengan upacaraperayaan, kata punenjuga merujuk dialekselatan

Tidak bertentangan denganbakkat katsaila atau suatukondisi yang tidak mengancamroh-roh dan jiwa-jiwa padakeluarga kami yang bergunauntuk membersihkan,mengenalkan, dan menguatkanjiwa makhluk hidup (tidak ada

punen matutu, punenlalai angalou, punenpangambok, punenabinen, puneneneget, punensungunen/sogunei,punen pashipiat shot,punen matitik, punen

Page 8: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

74 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

berburu, hanya ada berburupada punen eneget)

putalimoghat, punenpanasaik, punensururuk, punen eeruk,punen labak, punensimagere, dan punenpaabad

2 Puliaijat UpacaraKeseimbangan(Equlibrium Harmony)juga dikenal denganupacara besar

Betentangan dengan bakkatkatsaila atau mengancam jiwa-jiwa yang berguna untukmemintak izin dan mengusir rohjahat pada jiwa makhluk hidup(harus ada berburu)

puliaijat uma, puliaijatabag, puliaijattinunglu/pumonean,puliaijatpabetei/mabesik, danpuliaijat pasimatei(saukkui sabulungan)

3 Lia Upacara Kecil Pesta kecil tidak perlu berburu,tidak ada tarian (muturuklaggai), hanya ada ayam

Lia sagu, dan liasapou

Berkaitan dengan hal tersebutkeyakinan terhadap sesama makhluk yangberjiwa dan memiliki roh maka penting bagiorang Mentawai dalam wujud aktifitasnyaselalu meminta izin kepada makhluk hidupdan makhluk mati dalam setiap elemendunia purimanuaijat. Begitu juga dengankeyakinan orang Mentawai bahwa setiapmakhluk hidup dan makhluk mati yangmemiliki roh, penting juga untuk memintaizin, menghormati, dan berhubungandengan roh-roh dan penguasa rohsaikamanua, saikaporak, saikaoinan, dandiakhiri dengan hubungan saikaleleu yangberada di dunia sabulungan. Maka dari itupuliaijat akan ditutup dengan berburuadapun mengenai perburuan penelitimendapatkan pengetahuan masyarakatmengenai kategori lingkungan orangMentawai mengenai hutan, flora dan fauna.

Penulis mencoba menjelaskan bahwamasyarakat Buttui dan Tepu’ mengenalketegori tanah dan hutan, hal inilah yangmenjelaskan bagaimana merekamemanfaatkan hutan dan isinya. Pentingbagi peneliti memahami pengetahuanmasyarakat mengenai ekosistem hutan itusendiri, dikarenakan di dalampengkategorian tersebut peneliti dapatmemahami apa, kenapa dan bagaimanaekosistem hutan bagi orang Mentawai.Sehingga dapat menggambarkan etno-ekologi primata demi mendapatkanpemahaman mengenai gambaranbagaimana primata itu sendiri hidup dalampengetahuan masyarakat Buttui dan Tepu’.Sehingga primata tersebut menjadi pentingdalam keseimbangan alam, sosial danbudaya di Mentawai.

Tabel 2. Etno-ekologi Hutan

No Penamaan Ketinggian,Lokasi, JenisTanah danKepemilikan

Jenis Tanaman dan Hewan FungsinyaNama Lokal/Bahasa

IndonesiaNama Ilmiah

1 Uma denganPangurep Iba

0-50 (tanahdatar

(massaba),rawa (onaja)dan sungai),

tanahkomunal, milik

komunal

Pangurep Sagu,pangurep gettek(keladi), pangurepmagok (pisang),pangurep kole (tebu),pangurep toitet(kelapa), okbuk,mangeyak (bambu),siloinan, salaloinan(udang), lojo (belut)toulu (labi-labi), danikan (laitak)

Mtroxylon sagu,MtroxylonrumphiiColocasia spp,Rhnchoporusferrugineus,Deris elipptica,Antiaristoxicaria,Capsicum sp.

Puliaijat daniba (pusatkehidupanmanusia dankebutuhanpokoksehari-hari)

Page 9: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 75 | P a g e

2 PumoneanSaina

50-100 (tanahhitam), tanahkomunal, milik

individual(leleu siboitok)

Saina (babi), gougou(ayam) dan pangureplaggek

Pulijat, ala’toga, iba danstatus sosial

3 Pumoneanleleu

100-150(tanah

kuning), tanahkomunal, milikkomunal (leleumaubak aku

tongok)

Durian (dengan tigajenis; doriat,mone/pusinoso,toktuk, bababet(rambutan hutan),rarabit, siamung(langsat), paggu(mangga Mentawai),peigu (cempedakhutan), elegmataailulupa (jambu bol),manau, poula,ariribuk, bebeget,laipat se’se’, bere,latso, bambu (dengantiga jenis mangeyak,toktuk, metuk),simoitet, katukameranti), pohonkairitgi, katalaksoi,biritzo, toroksat danpaktara. Sebenarnyadalam penyebutanbiasa sehar-haripumonean mone jugadisebut denganpumonean leleu,dikarenakantempatnya berada dileleu

Durio zibhetinus,Mangifera sp,Durio sp,Lappaceum spp,atau Artocarpuscryophyllum,Radermacheragigantea,Calamusmanan,Oncosperma sp,Daemonoropsspp/calamus sp

Puliaijat, ala’toga, iba danstatus sosial

4 Leleu 150-384(tanah

kemerah-merahan/liat),tanah komunalmilik komunal

Berbagai jenis batangbesar (batag sibeugaseperti mincimin,katuka toleat), batangduri (ariribuk,alalatek, labi,bebeget, poula), danberbagai jenishewan-hewan buruanbilou, joja, bokkoi,simakobu, simaliak,sibeutubu, sirukut,sabirut, saina leleu)dan berbagai jenishewan yang tidakdiburu

(Batang sibeugaDiptrocarpus,shorea, ficus sp,Swintonia sp, )batang duriArengaobtusifolia,Daemonoropssp, Arengapinnata) ,baccaureasumatrana,Campnospermaauriculata,Batang buahFlacourtiarukam, Hewanburuan Suscristatus,Presbythispotenzian,Simias cancolor,Hylobatesklossi, Macacasiberu)

Pulijat, iba,status sosial,tempatsakral(tinggalnyapara roh-rohnenekmoyang dansaikamanua)

Page 10: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …
Page 11: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 75 | P a g e

Dari kategorisasi hutan tersebuthewan buruan baik itu joja, bokkoi,simakobu, bilou, sileu’leu, saina leu’leumerupakan hewan peliharaan dan tempatsakral roh nenek moyang mereka yang jugatinggal di leleu. Adapun yang membedakandiantara leleu lainya atau leleu siboitok(pumonean) dengan ungkapan orangMentawai menurut Aman Raiba bahwa leleumerupakan tempat bagi kami untuk berburudan mengambil kayu dalam pembuatanabag dan uma (akek iba). Walaupun leleuyang rendah disebut juga sebagai leleu,namun leleu yang terkhusus untuk buruan“masipanah siloghui mui ka pata (ka leleu),

misalkan tak moilek ekeu ecak siloghui muitak moilek sampei ka pata barati nia leleusabeuga nanek yang berartinia leleu, otoekeu masipanah silghui mui ka pata tapoitak moilek ekeu ecak barati nia tak leleu(panahkan panahmu ke atas leleu, misalkankamu tidak bisa melihat panahmu danpanahmu tidak bisa sampai ke atasnya itulah yang namanya leleu, sedangkan jikakamu memanah panahmu ke atas tapi kamubisa lihat panahmu dan panahmu sampai keatas berarti itu bukanlah sebuah leleu)”.Adapun untuk penjelasan hewan buruandapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Klasifikasi Primata Endmik di Pulau Siberut

Dari ketegorisasi tersebut, untukperburan hanya suara, bentuk tubuh, danjejak menjadi cara orang Mentawai dalamberburu. Selain itu juga ada musim yangmana 4 primata ini akan turun ke ladang

masyarakat. Untuk itu penulis akanmenjelaskan hubugan ute’ simagereterhadap dunia purimanuaijat dalamlingkungan alam dan sosial, dan hubungansabulungan dalam lingkungan sosial dan

No NamaPrimata

Ciri-Ciri Tubuh JumlahKelompok

ketikaPerburuan

Kehidupan danMakanan

Suara Perburuan

1 Joja(PrebitisPotenziani)

Berekorpanjang (sipaik-paik) danberwarna hitam,kuning danputih(simakokot,kinieu dansimabulau)

3-5 Pohon, Daundan Buah-buahan

Sipujago

(mako-mako)

Bolehdiburu, jikaberwarnaputih danjojaperempuantidak bolehdiburu(mitologi danpantangankerei)

2 Simakobu(SimiasCancolor)

Berekor sedang(sipaik-paik)dan berwarnahitam(simakotkot)

4-6 Pohon, daundan Buah-buahan

Sipuagak

(gak-gak)

Boleh diburu

3 Bokkoi(MacacaSiberu)

Berekor pendek(sipaik-paik)dan berwarnakemerah-merahan(simabo)

20-50 Pohon, Tanahdan Sungai(pohon, buahdan surapik)

Sipuhihi(hihi)

Boleh diburu

4 Bilou(Hylobates klossi)

Tidak berekordan berwarnahtam(simakotkot),terkadangberwarna putih(simabulau)

4-9 Pohon, daundan buah-buahan

Sipukowaik(owaik-owaik)

Tidak bolehdiburu danpantangankerei, hanyaanak mudayang bolehmemburunamun padawaktutertentu saja

Page 12: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 77 | P a g e

budaya masyarakat Mentawai. Adapunpenjelasan tersebut akan dijelaskan sebagaiberikut.

1. Ute’ Simagere: PenyeimbangDunia Purimanauijat (LingkunganAlam dan Sosial)

istem kepercayaan yang tertuangdalam mitologi masyarakat Buttui danTepu’ (pumumuan) menceritakan

bagaimana cara mereka berladang sagu,keladi dan pisang, beternak dan berburudari dulu hingga sekarang. Mitologi itu dijagabahkan ribuan tahun yang lalu dandiceritakan sehingga dapat hidup dalamkehidupan masyarakat di Pulaggajat Buttuidan Tepu’ hingga saat ini. Maka dari itumitologi tersebut terlihat dalam aktifitasmereka yang pergi ke sungai, hutan danleleu untuk memenuhi keberlangsunganhidup mereka dan demi menjaga hubunganantara sesama mereka, sesama suku lain,sesama makhluk lain baik itu makhluk hidupmaupun makhluk mati, inilah yang disebutdengan dunia purimanuaiajat. Namun tidakhanya sebatas itu hubungan itu jugamengatur hubungan sesama makhluk gaibatau yang mereka sebut dengan duniasabulungan yang akan dijelaskan nantinya.Adapun hubungan sebagai makhluk yangmemiliki jiwa (simagere) dan roh (ketcat)tersebut diatur dalam kehidupan yangsubsisten orang Mentawai, sebagaimanapenulis sebut bahwa orang Mentawai adalahorang penjelajah lembah (leleu). Menjadiorang lembah atau orang yang hidupdengan hutan, kesaharian mereka habiskandengan hidup di hutan, membuat uma,sampan (abag), menangkap ikan (pamabili)di sungai, bercocok tanam sagu dan keladi,berladang (pumonean mone), berternak(pumonean saina), berburu (rou-rou) dileleu. Hampir semua aktifitas merekadihabiskan di sungai (batoinan), hutan(se’se’), dan leleu (leleu). Maka dari ituorang Mentawai lebih dianggap sebagaiorang asli penjelajah hutan/leleu dengankebudayan Arat Sabulungan-nya.

Kesadaran mereka sebagaimakhluk yang memiliki jiwa dan roh, makaketika mereka masih dalam kandungan danmenjadi anak-anak hubungan tersebutsudah disadari bahwa pentingnya akan haljiwa dan roh. Agar jiwa mereka dikenal olehjiwa dan roh dari makhluk lain. Maka dari ituhal tersebut terlihat dari ketika mereka

dilahirkan, baik itu perempuan dan laki-lakiakan di punen-kan terlebih dahulu. Salahsatu punen yang sangat penting dalam pintugerbang bagi orang Mentawai yangmenghubungkan mereka dengan duniapurimanuaijat dan sabulungan adalah puneneneget atau punen sogunei. Punen inilahharapan mereka agar jiwa mereka nantinyadapat mengenal jiwa dan roh yang berada didunia purimanuaijat dan sabulungan.Sehingga mereka dapat pergi berburu,menangkap ikan di sungai, pergi ke leleu,dan membuat ladang. Maka dari itu sejakkecil laki-laki dan perempuan di Mentawaisudah pandai pergi ke sungai, hutan danleleu. Anak perempuan yang pandaimencari kayu bakar, menangkap ikan disungai, bercocok tanam keladi. Sedangkanlaki-laki sejak kecil sudah pandai menanamsagu dan kelapa, memelihara ayam danbabi, bahkan mereka sudah turut membantudalam membuat uma dan abag. Setelahmereka dewasa, anak laki-laki sudah tidaktinggal di uma lagi, melainkan dia akandiberikan sejumlah tanah untuk membuatladang dan membuat sapou nya sendiri.Dengan memelihara babi dan ayam yangdiberikan kedua orang tuanya, hingga babidan ayam tersebut menjadi besar dansemakin banyak. Namun semua tersebutbutuh kerja keras dari seorang anak laki-laki,dikarenakan semua tersebut dilakukannyauntuk memenuhi kebutuhan hidup dankebutuhan kelak untuk menikah,dikarenakan untuk menikah perlumenyediakan banyak babi (ala’ togha).Sedangkan berbeda dengan perempuan,perempuan hanya menunggu lamaran dariseorang laki-laki. Tetapi perempuanMentawai haruslah kuat yang manaperempuan kuat disukai lelaki Mentawai,kuat dalam mencari makan untuk kebutuhansehari-hari, kuat dalam mengurus rumahtangga dan kuat dalam fisik yang membantusuaminya dalam pekerjaan mengurushartanya. Adapun semua mata pencahariantersebut terdapat pembagian, dan nyatanyadalam pembagian mata pencahariantersebut dilakukan secara bersama-sama.Ketika mereka layak untuk menikah, makamereka akan memilih untuk mengikat satusama lain dengan sesere dan meneruskandengan pernikahan secara adat (punenputalimoghat). Begitu juga dengan manusia,ketika menikah jiwa mereka perlulah dikenalkan agar antara sesama makhluk yang

S

Page 13: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

78 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

memiliki simagere merasa senang dan tidakterjadi masalah. Maka dari itu merekamelakukan punen putalimoghat. Daripenjelasan ini maka penting bahwa sesamamakhluk baik itu manusia, hewan, tumbuhandalam dunia purimanuaijat penting dalammenjaga hubungan sesama makhluk yangmemiliki simagere dan ketcat.

Semua yang dilakukan dalamakifitas sehari-hari mereka nyatanya merekalakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupmereka, baik itu suplai protein, status sosialkelompok mereka dan upacara nantinya.Adapun berkaitan dengan upacara, umamerupakan pusat bagi berkumpul satusukunya. Ketika sikabukat uma sudahmengajak berkumpul satu suku mereka,sikabukat uma mulai menyalakan api di batkaterangat sapou (tungku api di tengahuma), para keluarga mulai berkumpul untukmembicarakan mengenai upacara. Upacaraini dilakukan dalam dua kondisi yaituupacara untuk lingkaran kehidupan (lifecycle) yang dikenal dengan punen danupacara untuk keseimbangan yang dikenaldengan puliaijat. Namun disini peneliti akanmembahas upacara yang ditutup denganberburu saja atau upacara untukkeseimbangan (puliaijat). Tetapi tidakkemungkinan peneliti membicarakantentang upacara yang tidak ditutup denganberburu (punen), dikarenakan upacara yangtidak ditutup dengan beburu merupakanbagian untuk keseimbangan itu sendiri.Seperti halnya punen soguney yangmerupakan upacara lingkaran kehidupannamun memerlukan aktifitas berburu.Adapun kapan dilakukan upacara yangditutup dengan aktifitas berburu. Ketikamereka sadar bahwa kondisi jiwa dan rohdalam keadaan tidak seimabang antaradunia purimanuiajat dan sabulungan.

Adapun beberapa contoh mengenaipuliaijat yang ditutup dengan berburuSeperti halnya puliaijat pasikud uma yangperlu memperbaiki/membuat uma baru (kuduma), memperkuat hubungan antar kerabattermasuk kerabat pernikahan, pembuatansampan baru (kud abag), membuat ladangbaru (tinunglu), dan perlunya mengenangarwah nenek moyang mereka (saukkuisabulungan) ataupun hubungan antarsesama makhluk yang memiliki jiwa(simagere) dan roh (ketcat). Maka merekamulai sadar hubungan antara dunia nyatadan dunia supranatural perlu di

seimbangkan melalui upacara yangdiperantarai oleh kerei. Akibat aktifitasmanusia yang memanfaatkanlingkungannya. Sehingga upacara disinisebagai mekanisme atau pengaturhubungan antara manusia denganlingkungan alam, sosial dan budaya. Laluseperti apa mekanismenya, upacara tidakbisa dilakukan ketika semua yangdibutuhkan belum tersedia. Ketika sikabukatuma telah mengumumkan akanmengadakan upacara, maka para keluargaatau masing-masing keluarga akan salingbergotong royong untuk menyediakankeperluan yang perlu disediakan untukupacara nantinya. Upacara merupakankewajiban orang Mentawai dalammenyediakan segala hal yang mencangkupkebutuhan upacara baik itu sagu, babi,ayam dan makanan lainnya. Sehinggakebudayaan berladang dan berternakmerupakan bagian dari upacara. Didalamupacara, semua hasil ladang baik itu sagu,keladi, babi, ayam dalam satu keluargasaling bantu membatu untuk mengumpulkanmakanan untuk persiapan upacara.

Biasanya mereka membutuhkanbeberapa minggu atau beberapa bulanbahkan betahun-tahun untuk menyediakankeperluan puliaijat atau punen. Maka disinipenting bagi keluarga memiliki banyakladang sagu, keladi, kelapa, dan ternak babidan ayam. 6 Selain itu juga mereka harusmengumpulkan bambu, kayu bakar danmencari ikan di sungai. Setelah diumumkanuntuk upacara barulah keluarga yang pergike pumonean saina’ untuk menginap disanadan membawa babinya untukdisumbangkan, atau ada juga yangmenyagu bersama terkhusunya sikabukatuma. Inilah cara bagi masyarakat Butui danTepu’ mendapatkan suplai protein tambahandari hasil kerjanya memelihara babi yanghingga rata-rata babi dimiliki mencapai 70-100 ekor babi atau memotong ayam namuntidak sebanyak babi yang mereka pelihara.Pada dasarnya jika dalam suatu keluargaterdapat 5 keluarga besar, terkadang hanyadua atau tiga keluarga yang

6 Berkaitan kenapa, pentingnya makanan yangperlu disediakan dalam upacara, dikarenakanmakanan inilah yang nantinya dimakan bersamadan makanan inilah juga yang akan disembahkankepara Saikamanua dan roh-roh nenek moyangmereka.

Page 14: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 79 | P a g e

menyumbangkan babi, merekamenyumbangkan babi sampai 20 bahkanlebih untuk dipotong nantinya. Setelahmereka merasa sudah siap untuk melakuanupacara (puliaijat) barulah sikabukat umaakan mengundang satu suku mereka atausuku perpecahan dari suku mereka, kerabatperkawinan, tetangga, dan siripok.7

Barulah bagunan 8 dibuat bersama-sama, pertanda undangan untuk roh-rohlangit dan Saikamanua untuk menghadiripuliaijat. Selain itu juga untuk melindungidari roh-roh jahat. Pada puliaijat inilah kerjasama antara keluarga satu suku menjadipenting kembali, baik tugas seorang laki-laki(simateu), perempuan (sinanalep), sikabukatuma, sirimata, maman, sikelabai, dan anak-anak kecil (togha) bahkan undangan. Ketikaupacara dimulai semua mulai berpantangan(mukeikei) baik itu keluarga maupun orangyang diundang, terkhusus pantangan yangsangat berat adalah sikabukat uma, orangyang nantinya akan mengatur dalamkeberlangsungan upacara seperti halnya diaharus berpuasa sedangkan yang lainnyatidak. Sebelum upacara pun dimulaiketakutan akan roh-roh jahat, hampirdisetiap puliaijat atau punen, selaludiberikan tanda baik itu berupa daun,kepada jiwa yang masih hidup agar tidaklupa dengan jiwanya ketika upacara telahselesai.

Berkaitan dengan pembagian kerjadalam upacara, jika perempuan asikmembuat sagu dan keladi menjadimakanan. Sedangkan laki-laki akan memulaiupacara dengan memotong babi dan ayam,disinilah peran sikerei menjadi pentinghingga proses upacara selesai.Pengetahuan dan kemampuan sikereimelihat dunia sabulungan, dan pengetahuansikerei yang mampu menghubungkan dunianyata dengan dunia sabulungan melaluinyayian-nyayian (urai) dan sumpah (suppah)dengan diperantarai daun-daunan(bulungan) dan media perantara lainnya.Urai dan suppah inilah yang berisi harapan,rayuan, bujukan, ucapan terimakasih, danmempunyai makna-makna lainya. Adapun

7 Bagi yang tidak memiliki sikerei mereka jugaakan mengundang sikerei dari suku lain untukmembantu.8 Bagunan merupakan bambu yang diatasnyaakan dibuat umat simagere (mainan bagi roh atauburung manyang) dan diletakan di depan uma.

sikerei selalu menggunakan daun-daunansebagai media prantara untuk memanggil,membujuk, melindungi dan mengusir pararoh-roh yang berada di dunia sabulungan.Adapun selepas upacara, daun-daun ini puntidak melainkan dibuang. Namun disimpandi bakkat katsaila, suatu tempatberkumpulnya jiwa dan roh yang masihhidup, dan juga sebagai tempat datanganyaroh-roh yang sudah meninggal (saukkui).

Adapun berbagai upacara berfungsisebagai pengatur hubungan antara manusiadan roh-roh yang ada di dunia supranatural.Dibuktikan dengan kerei selaku dukun yangdapat memanggil roh-roh yang sudahmeninggal baik itu nenek moyang dan roh-roh penjaga alam supranatural. Untukmemberikan persembahan berupa babiyang sebelumnya mereka pelihara danberharap jiwa dari babi tersebut dapatmemaafkanya dan roh dunia supranaturaldapat mengizinkan upacaranya. Begitu jugadengan pembuatan uma, abag, danpumonean upacara dilakukan kembali,dengan memberikan sejumlah makananagar dunia supranatural tidak marahkembali. Ketakutan akan jiwa inilah yangmelatarbarbelakangi pentingnya upacarapada masyarakat Mentawai, agar hubunganmanusia dapat terjaga dengan duniasupranatural. Inilah dalam kondisi upacarasebagai mekanisme penyeimbanglingkungan budaya. Dimana sistemkepercayaan Arat Sabulungan untukmengatur segala kehidupan orangMentawai. Terlihat dalam upacara tersebut,ternyata semua makanan yang telahdisediakan akan diberikan kepada keluargasatu suku, kerabat karena pernikahan,teman dekat, undangan dan juga akandisembahkan kepada roh-roh nenekmoyang mereka yang telah meninggal sertapenguasa alam. Pemberian babi ini ataudisebut dengan otchai ini, tidak hanyadiberikan kepada keluarga luasnya saja,namun juga antar suku yang telahmemberikan babi kepada merekasebelumnya. Ini merupakan cara bagaimanaorang Mentawai menjaga hubungan antarasesama mereka terhadap lingkungan sosialyang mereka tinggali dan ini merupakansalah satu cara bagi orang Mentawai untukmendapatkan suplai protein yang berlebih.Terlihat dibalik upacara tersebut hanyalahsedikit yang dimakan dari pemotongan babisebanyak 20-50 babi atau pemotongan

Page 15: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

80 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

ayam berserta sejumlah makanan lainya.Melainkan semua makanan tersebut akandimakan sedikit dan lebih banyak disimpandengan bambu yang nantinya dapatdimakan untuk setiap keluarganya dalammemenuhi kebutuhan sehari-hari. Daripaparan diatas adapun upacara tersebutdengan pemotongan beberapa hewanpeliharaan yang kemudian dibagikankepada suku mereka, tetangga mereka, rohnenek moyang mereka dan disembahkankepada roh langit (saikamanua). Setelahmelakukan upacara, dalam kondisi upacarapuliaijat. Maka puliaijat akan ditutup denganberburu, merupakan mekanisme orangMentawai dalam mengatur keseimbangansosial dan budaya di Mentawai yang akandijelaskan pada bagian dibawah ini.

2. Ute’ Simagere: PenyeimbangDunia Sabulungan (LingkunganSosial dan Budaya)

pacara (puliaijat), wujudkeseimbangan yang terakhir adalahhubungan antara elemen

saikaleleu/Si Bara Ka Leleu, ketikahubungan antara sesama mereka, sesamaroh-roh nenek moyang mereka yang beradadi langit (saikamanua) ataupun di sungai(Saikaoinan), dan di bumi (Si Bara KaPorak/Si Bara Ka Baga). Hubungan tersebutbelum berakhir dikarenakan kenyataanyakebanyakan aktifitas mereka yang selalupergi ke leleu. Maka mereka juga harusberhubungan dengan roh-roh nenekmoyang mereka di leleu dengan caramelakukan perburuan, maka dari itu upacaraakan diakhiri dengan berburu, sekaligusmenutup rangkaian dari upacara denganpembagian hasil buruan dan pembuatan ute’simagere.

Berkaitan dengan penjelasan diatas,ternyata tidak hanya menyangkut hubunganyang secara nampak saja, nyatanya merekatidak hanya memikirkan kebutuhan akanjiwa yang masih hidup, tetapi mereka jugamemikirkan roh-roh nenek moyang merekadan roh hewan yang sudah disembelih tadi.Maka dari itu otchai tersebut akandisembahkan kepada roh-roh yang sudahmati baik itu nenek moyang mereka danpenguasa alam yaitu Saikamanua. Makadisinilah peran kerei dalam memanggil pararoh nenek moyang dan penguasa alamuntuk menerima persembahan mereka agarnantinya mereka dapat melindungi mereka

dan mengizinkan mereka kembali untukberaktifitas. Maka dari itu hubungan sosialtidak hanya menyangkut hal yang nampaksaja, namun jiwa yang sudah mati pentinguntuk menjaga hubungan sosial antara roh-roh nenek moyang mereka dengan adanyapembuatan ute’ simagere.

Setelah pembagian makanan padabakkat katsaila, jiwa yang masih hidup, pararoh leluhur dan penguasa Saikamanua.Begitu juga dengan tengkorak babi yangtelah disembelih yang disebut merekadengan ute’ saina’, tengkorak babi tersebuttidak akan dibuang melainkan akan digantung di depan uma yang berhadapandengan uma. Hal ini menandakan agar babi-babi mereka yang masih hidup dapatsenang dan tumbuh besar. Adapun selainitu juga mereka menghormati roh hewantersebut, dengan membuat mainan bagi rohyaitu umat simagere atau burung manyang.Namun disini umat simagere berfungsisebagai mainan bagi roh-roh yang masihhidup dan mati di dalam uma yang nyatanyasesama makhluk yang berjiwa sama-samasenang dengan mainan (bandingkanSchefold, 1991). Adapun wujudpenghormatan terakhir adalah denganpembuatan ute’ simagere, ute’ simagere iniakan dibuat secara bersama-sama diakhirdalam proses upacara. Pada malamsebelum mereka pergi berburu danmembuat ute’ simagere mereka akanmemanggil kembali roh-roh nenek moyangmereka dengan melakukan turuk laggai,tarian turuk laggai ini menyatu dengan roh-roh alam terlihat dengan gerakan-gerakanyang ditampilkan dengan meniru hewan-hewan yang berada di lingkungan dunianyata seperti bilou, gou-gou’ bahkanterkadang mempelihatkan adeganbertarung. Pada tarian ini penari seakan-akan berhubungan dengan duniasabulungan dan seakan-akan melihat pararoh. Pada waktu tertentu, mereka akankerasukan yang manandakan roh-roh nenekmoyang mereka masuk kedalam tubuhmereka.

Berulah upacara akan ditutupdengan rangkaian aktifitas berburu. Adapunperburuan ini dilakukan berdasarkanpemaparan peneliti sebelumnya dan suppahkerei yang mana setiap unsur duniapurimanuaijat dan dunia sabulungan harusdalam keadaan seimbang. Jika salah satuhubungan tersebut terganggu maka dapat

U

Page 16: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 81 | P a g e

mengganggu hubungan lainya. Maka dari itutidak hanya sebatas hubungan antarasesama keluarga mereka, hubungan antararoh yang masih hidup dengan roh yangsudah meninggal, dan hubungan manusiadengan penguasa alam Saikamanua.Namun setiap hubungan tersebut harusdalam keadaan seimbang, dikarenakankehidupan mereka yang selalu dihabiskandengan pergi ke sungai, hutan dan leleu.Jiwa dan roh mereka juga terhubungdengan roh sungai, hutan dan leleu. Begitujuga dengan penguasa sungai, hutan, danleleu mengenal jiwa dan roh mereka.Dikarenakan ketika mereka lahir saja,mereka sudah dikenalkan dengan jiwa danroh mereka dengan roh sungai, hutan, danleleu dengan melakukan punen eneget atausogunen. Maka dari itu dari punen inilahyang menjadi gerbang bagi mereka dapatberhubungan degan dunia sabulunganterkhusunya Saikaoinan, Si Bara Ka Baga,dan Si Bara Ka Leleu. Karenapermasalahanya bahwa etnis Mentawaiyang memanfaatkan lingkungannya sepertimembuat uma, abag atau membuka ladangbaru yang membuat tergangunyakeseimbangan akan jiwa dan roh tersebut.Maka dari itu upacara dilakukan, karenamereka harus meminta izin kembali, agarmendapatkan izin tersebut maka upacaraakan diakhiri dengan pergi berburu.Dikarenakan persembahan yang dilakukanuntuk roh-roh nenek moyang saja tidakcukup dan roh-roh langit. Tetapi pentingjuga bagi mereka mempersembahkanmakanan mereka kepada roh penjaga hutandan leleu.

Adapun berburu dilakukan untukberdialog dengan roh Si Bara Ka Leleudengan melakukan peburuan. Maka dari itusebelum melakukan perburuan, merekaakan mempersembahkan ayam terhadaptengkorak monyet yang didapatkansebelumnya baik didapatkan pada upacarapertama mereka atau didapatkan dariupacara eneget yang mereka sebut denganpunen simatei ketcat. Tengkorak hasilburuan inilah yang disebut dengan ute’simagere. Ute’ simagere ini terdiri daritengkorak babi leleu, beberapa jenis monyetseperti bilou, joja, bokkoi, simakobu danrusa yang akan digantungkan di tengah umadan menghadap keluar atau ke arah sungai,hutan dan leleu. Penggantungan inibertujuan agar nantinya ketika berburu si

pemburu dapat dengan mudahmendapatkan hewan buruan dengan caramelakukan punen simatei ketcat. Punensimatei ketcat ini dilakukan agar nantinyaroh leleu dapat mematikan roh hewanburuan mereka sesuai dengan namanyasimatei ketcat (mematikan roh). Sehinggamereka mendapatkan hewan buruan danmengizinkan mereka dapat mengambilhewan buruan tersebut. Selain itu jugatengkorak dari monyet tersebut akanmemanggil temanya untuk bersama merekadikarenakan mereka senang berada diuma. 9 Namun tidak lah demikian,penggantungan tengkorak hewan buruan(ute’ simagere) ini dilakukan dikarenakanmenghormati roh-roh leluhur mereka danpenguasa sungai, hutan dan leleu, karenahewan ini merupakan hewan peliharahanmereka. Maka dari itu kepala tengkorakdihadapkan ke arah sungai, hutan danleleu.10 Dilain hal pembuatan ute’ simagerejuga merupakan keyakinan mereka bahwakeseimbangan tersebut tidak hanyakeseimbangan terhadap jiwa yang masihhidup, nyatanya jiwa yang sudah matipunmasih dalam keadaan hidup, terlihattengkorak yang digantungkan menjadi ute’simagere, bahwa tengkorak tersebut masihmemiliki jiwa dan dapat memanggiltemannya. Mereka meyakini jiwa dariprimata ketika mereka di buru dan mati,melainkan tidak lah mati jiwa dan rohtersebut, nyatanya mereka masih hidupdalam tengkorak primata tersebut yaitu ute’simagere yaitu tengkorak yang berjiwa yang

9 Maka dari itu tengkorak tersebut akan dihiasidengan berbagai manai, buluat dan umatsimagere.10 Hampir setiap uma memiliki banyak tengkorakterihitung pada Suku Salakirat sebanyak primata203, babi dan rusa 100, ular 10, buaya 1 danburung 20. Untuk Suku Sabetiliakek Primata177, dan Suku Sakuddei primata sebanyak 223.Namun biasanya tengkorak tersebut sudahdikumpulkan sejak rumah tersebut didirikan adayang uma berumur 70 tahun atau uma yangdidapatkan dari generasi ke 3 keturunan nenekmereka (punuteteu). Jika dibandingkan denganuma yang baru terlihat tidak banyak tenkorakyang tergantung. Adapun jika mereka membuatuma baru, maka tengkorak tersebut akandipindahkan. Tengkorak yang banyakmenandakan status sosial uma tersebut, bahwasuku tersebut rajin berburu.

Page 17: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

82 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

dapat memanggil temanya di leleu. Makadari itu ute’ simagere merupakan culturalcore masyarakat Mentawai.

Berkaitan dengan pertandakeberhasilan berburu bagi mereka ketikamereka mendapatkan hewan buruan makapenguasa leleu (Si Bara Ka Leleu) telahmengizinkan upacara mereka dan merekadapat beraktifitas seperti biasanya. Makadari itu mereka biasanya akanmenghabiskan waktu hingga seminggudalam berburu. Namun terkadang merekajuga tidak mendapatkan hewan buruan,karena kondisi cuaca. Namun yangterpenting bagi mereka dapat atau tidakdapat hewan buruan. Mereka sudah pergimelakukan perburuan, dan pulang denganselamat. Maka hal tersebut menandakan SiBara Ka Leleu sudah mengizinkan merekauntuk beraktifitas seperti biasanya.

Dibalik hal perburuan, hubungantersebut tidak hanya mengatur antara duniasabulungan tetapi ketika merekamendapatkan hewan buruan, nyatanyahewan buruan tersebut tidaklah dimakanbersama. Jika dalam upacara babi, ayamdan makanan lainya dimakan bersama,namun tidak dengan hewan hasil buruan.Hewan hasil buruan akan langsungdibagikan, namun tidak hanya orang yanghadir atau orang yang pernah memberikanbabi. Setelah konflik sementara terjadi antarsuku 11 akibat tuddukat berbunyi yangmembuat suku lain ingin menyainginya.Namun konflik itu akan berhenti, ketika sukuyang mendapatkan hewan buruan tersebutakan membagikan setiap suku di pulaggajatmereka. Sehingga suku yang diberikantersebut akan membalas kembali ketikamereka mendapatkan hewan buruan. Makadari itu hubungan sosial antar suku dipulaggajat mereka tetap terjaga. Namunnyatanya pemberian otchai buruan,sebenarnya bukanlah yang terpenting siapayang mendapatkan buruan/siapa yang telahmendapatkan hasil yang paling banyakketika berburu. Namun bukanlah itumaksudnya, perburuan dan pemberianotchai buruan tidaklah untuk status sosialperibadi, namun yang terpenting bagi orangMentawai adalah status sosial kelompokmereka.

Lalu beberapa penelitianmengatakan perburuan di Mentawai yang

11 Hal ini berbeda engan priode pako

menyebabkan kepunahan, padahal jikamengikuti sistem kepercayaan AratSabulungan yang tidak hanya mengaturhubungan sosial, budaya namun jugamengatur hubungan manusia denganalamnya baik yang nyata maupun yang tidaknyata. Untuk menjawab hal tersebut penelitimenggunakan pendekatan etno-ekologi.Adapun peneliti membagi beberapa upacaradan juga membagi beberapa ketegoritentang lingkungan alam baik itu tanah,hutan, dan primata yang nyatanyamembantu peneliti dalam menjelaskanhubungan masyarakat Mentawai denganlingkunganya tekhususnya dengan primata.

Jika sistem kepercayaan AratSabulungan yang mengatur bahwapentinganya bagi masyarakat Mentawaiuntuk memiliki uma, abag, ladang sagu,keladi, kelapa, buah-buahan (pumoneanmone), dan ternak babi (pumonean saina).Begitu juga dengan pentingnya etnisMentawai memiliki kerei, ataupunpentinganya masayarakat Mentawai untukmelakuan upacara pashipiat shot, mutiti’,putlimoghat, simamatei, saukkui sabulunga,kud uma, kud abag, dan lain-lain. Hallainnya penting juga bagi orang Mentawaimelakukan perburuan. Semua itu dilakukanuntuk mengatur hubungan mereka denganlingkungan alam, sosial dan budaya.

Berkaitan dengan perburuan,primata di Mentawai secara garis besar tidakada pada rantai makanan. Maka wajar sajamanusia sebagai predator alami untukmengatur keseimbangan ekosistem jumlahprimata tersebut. Dengan melakukanperburuan pada intesitas waktu tertentusaja. Sebagaimana penelitimengkategorikan beberapa upacara danjuga mengkategorikan lingkungan alam diMentawai seperti mengkategorkan tanahyang kemudian dari sanalah masyarakatMentawai memiliki pengetahuanpengkategorian hutan, flora dan fauna yangmana akan dijelaskan secara mendalamsatu persatu dibawah ini. Namun penjelasantersebut memiliki kaitan satu sama lain.

Sebagaimana dalam setiap upacaramasyarakat akan melakukan perburuan.Namun tidak lah semua upacara masyarakatMentawai perlu melakukan perburuan.Hanya ada beberapa upacara yang perlumelakuan perburuan yaitu puliaijat. Puliaijatmerupakan upacara yang disebabkan akibatjiwa dan roh pada keluarga mereka

Page 18: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 83 | P a g e

terancam, begitu juga dengan lingkunganalam teracam akibat aktifitas etnis Mentawaiseperti membuka ladang (tinunglu),membuat uma besar (kud uma sibeuga),membuat abag (kud abag) dan mengenangpara roh-roh nenek moyang mereka(saukkui sabulungan). Sehingga roh-rohnenek moyang mereka dan penguasa alambaik itu Saikamanua, Taikapolak,Saikaoinan dan Si Bara Ka Leleu marah dandapat menyebabkan bencana. Berbedadengan punen dan lia 12 , untuk punendilakukan untuk melindungi jiwa dan rohyang masih hidup seperti dalam lingkarankehidupan. Namun ada punen eneget yangmesti melaukakan perburuan, punen enegetmerupakan gerbang bagi laki-laki Mentawaiuntuk berhubungan dengan roh hutan,sungai dan leleu, agar nantinya merekadapat berladang, menangkap ikan, ke leleu,dan berburu.

Berkaitan dengan perburuandilakukan oleh masyarakat Mentawai dileleu. Adapun berdasarkan pengkategorianpeneliti, keempat primata tersebutberdasarkan pengatahuan masyarakatMentawai hidup di leleu. Maka dari itumasyarakat Mentawai melakuan perburuandi leleu, yang membutuhkan berapa harihingga seminggu untuk berburu. Tidak lahlain pengetahuan masyarakat tentang hutandengan pembagian wilayah ini dapatmenjelaskan ekosistem di Mentawai itusendiri dan menjelaskan kaitan manusiadengan kehidupan purimanuaijat dansabulungan. Adapun masyarakat Mentawaimembagi hutan mereka kedalam beberapaketegori yaitu (1) uma dengan pangurep iba;(2) pumonean yang terbagi menjadi duayaitu (a) pumonean saina’; (b) pumoneanleleu; dan (3) leleu. Adapun adanya umadengan pangurep iba sebagai tempat pusatpengatur harta pusaka baik itu tanah ulayat(sibakkat uma, sibakkat porak, dan sibakatleleu), ladang (sibakkat pumonean) dan lain-lain. Uma juga merupakan pusat berkumpuldalam setiap urusan baik itu permasalahandan menyelesaikan masalah dalam keluarga

12 Walaupun lia merupakan kata benda atau katasingkat dari puliajat namun nyatanya liamenandakan pesta-pesta kecil, sepertimemperbaiki sapou. Terkadang masyarakatMentawai melakukan perburuan setelah liahanya saja perburuan dilakukan dneganmenangkap kekelawar

atau antar suku lain. Uma juga menjaditempat kehidupan manusia dan tempatberlangsungnya upacara. Uma dimanamemiliki lahan sagu, keladi, sungai semuaitu dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, dan keperluan upacara. Begitu jugadengan adanya pumonean, pumoneansaina’ yang digunakan untuk kebutuhansehari-hari dan keperluan upacara baik itubabi dan ayam. Sedangkan pumoneanleleu, digunakan pada waktu tertentusebagai makanan penambah suplai protein,dikarenakan pada musim iba/laggok terangsaja buah-buahan berbuah. Sedangkanleleu akan dijadakan tempat berburu ketikapada upacara tertentu sebagaimana yangtelah dijelaskan diatas masyarakat Mentawaiakan melakuan perburuan, maka leleumenjadi penting bagi mereka untuk suplaiprotein tambahan selain babi dan ayam.

Penggunaaan lahan menjadipenting dalam mengatur ekosistem diMentawai, pembuatan uma yang merupakanpusat (central) kehidupan manusia danpusat pengatur lingkungan di Mentawai.Kapan mesti mereka harus melakukanpuliaijat, berapa jumlah hewan yang mestiperlu dikorbankan. Kapan mereka mestibeburu, dan kapan mereka mesti membuatladang dan memanen hasil ladangnya yangjuga mendukung keberadaan kehidupanakan hubungan saling memberi danmenerima dalam prinsip ekosistem. Jikamereka memiliki banyak ladang babi danladang buah-buahan maka upacara dapatberjalan lancar. Sehingga hubungan merekadengan dunia supranatural dapat terjaga.Ladang buah-buahan juga merupakanpendukung bagi vegetasi hutan di Siberut,pohon-pohon yang ditanampun merupakantanaman jangka panjang. Dengan ukurandan ketinggian pohon yang bisadimanfaatakan hewan-hewan di Siberutkhususnya empat primata endemik diMentawai. Begitu juga dengan buah-buahanyang dihasilkan dari ladang buah-buahanorang Siberut menjadi makanan ke empatprimata ini pada musim iba/laggokmaterang. Maka dari itu sebagai makhlukyang hidup yang tinggal di duniapurimanuaijat saling memanfaatkan danterkadang dapat saling mengancam. Makaitu masyarakat Mentawai menjagahubungan tersebut dengan upacara danditutup dengan berburu.

Page 19: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

84 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

Adapun entis Mentawai akanmelakukan perburuan, seketika pembuatanracun (raggi), pantangan mulai dilakukanbagi setiap pemburu. Bagi yang melanggarmaka semua akan medapatkan masalahketika pergi berburu. Pantangan ini jugamenjadi penting bagi orang Mentawai, apa-apa saja yang perlu dihindari pada saatberburu nantinya. Adapun ketika berburudengan cara melihat dan mendengar empatprimata ini bersuara, ciri-ciri fisik, dan jejakuntuk menandakan hewan buruan. Namununtuk berburu primata ini hanya dilakukanpada pagi, siang dan sore, dikarenakanpada waktu itu mereka bersuara.Sedangkan di malam hari mereka akantidur. Namun terdapat pantangan tidak bolehmandi yang dijadikan pantangan bagi orangMentawai agar kondisi cuaca bagus padasaat berburu. Namun nyatanya kondisicuaca yang tidak menentu menyebabkanterkadang mereka pulang tidak membawahasil buruan. Begitupun pantangan lainnya,tidak sembarang monyet yang boleh di buruseperti bilou dan joja berwarna putih tidakboleh diburu, sehingga monyet ini suatuwaktu menjadi aman dalam incaran para sipemburu.

Lalu bagaimana kehidupan empatprimata ini baik itu joja, bokkoi, simakobudan bilou. Sebagaimana yang sudahdijelaskan empat primata ini akan turunpada musimnya yaitu pada waktu musimiba/laggok materang. Musim iba ini dicirikandengan banyaknya makanan seperti musimbuah-buahan yang menjadi makanan keempat primata ini. Maka dari itu empatprimata ini akan turun ke ladang (pumoneanmone) untuk memakan buah-buahanmasyarakat. Sedangkan terkhusus untukbokkoi yang dapat berjalan di tanah.Sehingga bokkoi dapat turun ke pumoneansaina’ untuk makan makanan babi milikpeliharaan etnis Mentawai. Terlihat dariinteraksi primata ini terhadap makhluklainnya, dan itu memberikan keuntunganbagi kehidupan ke empat priamata ini.Namun disisi lain memberikan ancamanbagi kehidupan makhluk lainnya termasukancaman ternak orang Mentawai dan ladangorang Mentawai.

Maka dari itu untuk mengaturhubungan tersebut puliaijat dilakukan dalammenjaga keseimbangan antara duniapurimanuaijat dan sabulungan. Denganintesitas puliaijat dengan berburu tidak

selalu dilakukan setiap waktu, dikarenakanaktifitas orang Mentawai untuk menghadapipuliaijat haruslah memiliki banyak persiapan.Dikarenakan sebelum puliaijat sudahbanyak eneregi yang perlu dikeluarkan olehorang Mentawai baik manyagu, mei kapumonean saina, mei ka pumonean mone.Maka dari itu wujud material dari prosesupacara dan berburu di akhiri denganpembuatan ute’ simagere (cultural core),maka hal tersebut menjelaskan pentingnyabagi orang Mentawai dalam mengatur danmenjaga hubungan antara duniapurimanuaijat dan sabulungan. Sehinggaute’ simagere dalam upacara dan berburumerupakan mekanisme orang Mentawaidalam menjaga hubungan alam, sosial danbudaya di Mentawai.

D. KESIMPULANemulanya beberapa sumbermengatakan orang Mentawai yangmelakukan perburuan yang dapat

mengancam kepunahan akan primata itusendiri. Bahkan pemerintah maupun TNSmembatasi para pemburu di Pulau Siberutagar tidak melakukan perburuan lagi.Nyatanya misi konservasi mala membatasi,bahkan pemberian zona-zona itu sendirimelahirkan para HPH dan IPK di PulauSiberut. Ketika masyarakat Siberut,dianggap terasing pada masa itu, sehingggaperlu pembangunan di Pulau Siberut.Pembangunan yang seperti apa yang harusdilakukan, beberapa perubahan yang malamengancam keberadaan ekosistemkeanekaragaman hayati di sana. Tidakhanya itu orang Mentawai dipromosikanseakan-akan menutupi bahwa orangMentawai masih menjaga alamnya akibattergerogoti kemajuan dan perubahanzaman. Zaman neolitikum sudah tergantikandengan zaman kecangihan. Maka dari itupeneliti mencoba untuk menjelaskanekosistem yang seperti apa dalampengetahuan masyarakat Mentawai di Buttuidan Tepu’ menjaga keanekaragamanhayatinya terkhususnya keempat primata diMentawai. Untuk menjelaskan itu penelitimelakuan penelitian pada beberapa suku.Suku ini masih hidup dalam subsisten dantidak membaur dengan kehidupan modern.Walaupun sesekali mereka sudah mejadibagian program modern dari pemerintah.

Peneliti menyimpulkan padamasyarakat Mentawai mengenal dunia

S

Page 20: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 85 | P a g e

mereka terbagi menjadi dua yaitupurimanuaijat yang terdiri dari porak, manua,baga, oinan, dan leleu; dan sabulunganyang terdiri dari Saikamanua, Si Bara KaBaga, Saikoinan dan Saikaleleu. Adapundunia nyata ini atau purimanuaijat nyatanyabaik itu benda hidup dan benda matimemiliki jiwa (simagere) dan roh (ketcat).Sehingga orang Mentawai harus menjagahubungan tersebut. Namun tidak hanya itu,dunia purimanuaijat yang hidupberdampingan dengan dunia sabulungan,dikarenakan kehidupan manusia yang selalumemanfaatkan alamnya, dapat memicuhubungan tersebut, sehingga orangMentawai melakukan upacara punen danpuliaijat. Maka dari itu kepercayaan AratSabulungan dengan melakukan upacaradan berburu merupakan mekanisme orangMentawai dalam menyeimbangkanlingkungan alam, sosial dan budaya.Dikarenakan keseimbangan tersebut tidakhanya menyangkut dunia purimanuaijat,tetapi dunia sabulungan. Terlihat dalamupacara dan berburu, penting bagimasyarakat Mentawai menjaga hubungansosial sesama makhluk yang berjiwa danmemiliki roh dalam dunia purimanuaijat.Seperti tolong menolong dalam upacara,pembagian otchai kepada sesama sukumereka, kerabat pernikahan, dan suku lain.Namun di sisi lain hubungan sosial terhadapmakhluk yang mati juga menjadi penting,seperti hubungan sesama roh-roh nenekmoyang keluarga (saukkui), roh-rohpenguasa alam (saikamanua, saikabaga,saikaoinan, dan saikaleleu) dan roh darimakhluk lainnya. Terlihat dengan babi danmakanan lainnya mereka akan sembahkankepada penghuni dunia sabulungan. Begitujuga dengan hewan lainnya yang sudah matiseperti primata, wujud keseimbangantersebut perlulah dijaga dengan pembuatanbagunan, ute’ saina, bakkat katasaila dandiakhiri dengan pembuatan ute’ simagere.

Secara etno-ekologi orangMentawai memiliki kategorisasi tentanglingkungan yaitu: (1) uma; (2) pumoneanyang terdiri dari pumonenan saina danpumonean leleu/siburuk; dan (3) leleu. Leleuini lah menjadi tempat perburuan dantempat kehidupan bagi 4 jenis primataendemik di Mentawai yaitu bilou, joja,simakobu dan bokkoi. Adapun denganadanya pumonenan saina dan pumoneanleleu, menjadi keuntungan bagi keempat

primata ini pada waktu musim iba/laggokmaterang keempat jenis primata ini akanturun ke ladang buah-buahan, begitu jugadengan bokkoi yang dapat turun ke tanahuntuk mengambil surappik di pumuneansaina’. Sehingga hal tersebut mendukungkeberadaan kehidupan akan hubungansaling memberi dan menerima dalam prinsipekosistem. Disatu sisi memberikan manfaatkehidupan bagi ke empat primata ini, namundisisi lain memberikan ancaman bagikehidupan lainnya seperti ternak orangMentawai dan ladang orang Mentawai.Dilain hal aktifitas masyarakat Mentawaiyang memanfaatkan alamnya yangberlebihan, sebagaimana yang dijelaskanpada paragraf pertama, maka upacaramenjadi penting dalam menjaga hubunganalam, sosial dan budaya.

Berkaitan dengan aktifitasperburuan primata jika pada upacaramerupakan wujud keseimbangan padahubungan sosial, alam, dan budaya terlihatdengan pembagian makanan sesama sukumereka saja, dan persembahan pada rohnenek moyang dan saikamanua. Namunkarena keseimbangan juga menyangkutsetiap unsur dalam dunia purimanuiajat dansabulungan. Maka persembahan tidakhanya cukup terhadap saikamanua, namunberburu dilakukan untuk persembahanhewan buruan dan menghormati roh-rohnenek moyang mereka dan Saikaleleudengan pembuatan ute’ simagere. terlihatpembuatan ute’ simagere atau tengkorakprimata tersebut diarahkan ke luar uma dangunung yang memperlihatkan bahwaprimata tersebut hewan dari nenek moyangmereka dan saikaleleu. Selain itu merekajuga mementingkan hubungan sesama antarsuku, hasil hewan buruan juga akandibagikan antar suku. Tidak hanya ituhubungan sosial dan budaya terhadaphewan yang disembahkan baik itu hewanpeliharaan atau hewan buruan juga terlihatdalam upacara dengan menggantungkantengkorak primata tersebut. dengandemikian mereka sadar bahwa jiwa yangsudah mati, melainkan tetap hidup denganwujud pembuatan ute simagere (culturalcore). Maka dari itu upacara dan berburumeurapakan mekanisme masyarakatMentawai menyeimbangkan duniapurimanauaijat dan sabulungan.

Untuk dari itu perburuan bukansemerta mengurangi populasi kempat

Page 21: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

86 | P a g e Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh)

primata ini. Hanya saja upacara merupakanmekanisme agar orang Mentawai dapatmengontrol kehidupan hutan mereka.Begitupun ketika upacara, hanya beberapaupacara saja yang melakukan perburuandan pada kondisi tertentu. Kemudianupacara tersebut juga membutuhkan waktuyang lama, sehingga ekosistem dapatmemperbaiki alamnya seperti semula.Begitupun beberapa pantangan yangmenyelamatkan beberapa primata sepertihalnya joja simabulau, simabulau dan biloutidak boleh diburu ataupun hanya bokkoidan simakobu laki-laki yang disembahkankepada roh ketika punen eneget. Maka dariitu terwujudlah keseimbangan bagi orang

Mentawai mengenai hubungan antara duniapurimanuaijat dan dunia sabulungan.Keseimbangan itu terwujud ketika merekadapat memanfaatakan hutan dan segalaisinya dengan kapasistas tertentu dan waktutertentu. Hubungan sosial antara sesamamereka juga terbentuk ketika upacara danberburu, dalam upacara terlihat pertukaransosial, pembagian babi, ayam dan makananlainnya menjadi hal penting di Mentawai(otchai) dan hal yang terpenting jugahubungan sosial dan budaya sesamamakhluk mati ataupun hidup yang sudahmeninggal agar hubugan mereka tetapdalam keadaan seimbang.

Daftar Pustaka

Arifin dkk. 2005. Antropologi Ekologi. Laboratorium Antropologi FISIP.Batchelor, B.C. 1979. Discontinuously rising late Cainozoic sea-levels with special reference

to Sundaland, Southeast Asia. Geologie en Mijnbouw 58:1–10.Coronese, Stefano. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: Grafidian Jaya.Darmanto dan Setyowati, 2012. Berebut Hutan di Pulau Siberut.Delfi, Maskota, 2012. Sipuisilam Dalam Selimut Arat Sabulungan Penganut Islam Mentawai

di Siberut. Jurnal Al- Ulum Vol.12, Nomor 1.Fuentes, A. 2002. Monkeys, humans and politics in the Mentawai Islands: no simple

solutions in a complex world. Artikel dalam buku Fuentes, A dan Linda D. Wolfe.2002. Primates Face to Face Conservation implications of human–nonhumanprimate interconnections. Cimbridge University.

Fuentes dan Olson. 1995. Preliminary Observations and Status of the Pagai Macaque. AsianPrimates. 4 No 4: 1-4.

Kalangie, S. Nico, 1994. Kebudayaan dan Kesehatan Pengembangan Pelayanan KesehatanPrimer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Universitas Indonesia.

Lahajir. 2001. Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tanjung Linggang : EtnografiLingkungan Hidup di Dataran Tinggi Tunjung.

Miller, G. S. 1903. Seventy New Malayan Mammals Smithsonionan MiscellaneousCollections. hal. 1–73.

Mitchel dan Tilson. 1986. Restoring the Balance: Traditional Hunting and PrimateConservation in the Mentawai Islands, Indonesia.

Mulhadi. 2008. Kepercayaan Tradisional Arat Sabulungan dan Penghapusannya diMentawai. Jurnal Equality Vol 13 No 1.

Poerwanto, Hari. 2006. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. PustakaPelajar. Yogyakarta.

Quinten dkk. 2014. Knowledge, attitudes and practices of local people on Siberut Island(West-Sumatra, Indonesia) towards primate hunting and conservation. ResearchGate.

Rappaport, Roy. A. 1968. Pigs for the Ancestor Ritual in the Ecology of a New GuineaPeople. New Haven: Yale University.

Rudito, Bambang. 2013. Bebetei Uma Kebangkitan Orang Mentawai : Sebuah Etnografi.Gading dan Indonesia Center for Suistainable Development (ICSD). Yogyakarta.

Schefold, Reimar. 1991. Mainan Bagi Roh : Kebudayaan Mentawai. Balai Pustaka. Jakarta.______________. 1988. The Mentawai Equilibrium and the Modern World, in Michael R.

Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development. University of HawaiiPress.

Page 22: UTE’ SIMAGERE (TENGKORAK BAGI ROH): HUBUNGAN …

JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 67-87________________ ISSN 1410-8356

Ute’ Simagere (Tengkorak Bagi Roh) 87 | P a g e

Spina, Bruno. 1981. Mitos dan Lagenda Suku Mentawai. Balai Pustaka. Jakarta.Suparlan, Parsudi. 2004. Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK.Sargis dkk, 2014. Island history affects faunal composition: The treeshrews (Mammalia:

Scandentia: Tupaiidae) from the Mentawai and Batu Islands, Indonesia. ResearchGate.

Tenaza dan Tilson. 1985. Human Predation and Kloss Gibbon (Hylobatess klossi) SleepingTrees in Siberut Island, Indonesia. American of Journal Primatology.

Tenaza. R. R. 1990. Conservation of Mentawai Islands Primates and Culture. BiologyDepartmen, University of Pacific.

Tresno, 2017. Ute’ Simagere : Relasi Masyarakat dengan Primata Endemik di Mentawai.Skripsi Jurusan Antropologi, FISIP Universitas Andalas.

Tulius, J. 2012. Stranded People Mythical Narrtives about the First Inhabitants of MentawaiIslands. Wacana Vol 14 No 2.

Waltert dkk, 2008. Abundance and community structure of Mentawai primates in thePeleonan Forest, North Siberut, Indonesia. Research Gate

Wilting dkk, 2012. Mentawai’s endemic, relictual fauna: is it evidence for Pleistoceneextinctions on Sumatra?. Journal Biogeography.