urgensi pertanggungjawaban pidana korporasi kristian1
TRANSCRIPT
URGENSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Kristian1
Abstract
The development of science and technology and globalization were already
unstoppable today, not only have a beneficial impact, but also often have a
negative impact for example by the "globalization of crime" and the
development of quality (modus of operation) and the quantity of criminal acts.
Offenses rife nowadays with regard to the corporate existence of the
corporation is a criminal offense that could result in serious and widespread
impact, damage the joints of the nation and threatens the stability of the State.
Therefore, the law should take back its role in order to create justice and
welfare and in handling needed ways remarkable that one of them is to make
the corporation as a subject of criminal law that is considered to be
committing a crime and can be criminally)
Keywords: criminal law, corporate criminal offense, criminal liability
corporation
Abstrak
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi yang
sudah tidak terbendung dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif
tetapi juga seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya dengan adanya
“globalisasi kejahatan” dan berkembangnya kualitas (modus operandi) dan
kuantitas tindak pidana. Tindak pidana yang marak terjadi dewasa ini
berkaitan dengan eksistensi korporasi adalah tindak pidana korporasi yang
akan menimbulkan dampak serius dan meluas, merusak sendi-sendi kehidupan
bangsa dan mengancam stabilitas Negara. Oleh sebab itu, hukum harus
mengambil kembali peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan
kesejahteraan rakyat dan dalam penangannya dibutuhkan cara-cara yang luar
biasa yang salah satunya adalah menjadikan korporasi sebagai subjek hukum
pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana)
Kata kunci: hukum pidana, tindak pidana korporasi, pertanggungjawaban
pidana korporasi
1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Katolik
Parahyangan (UNPAR) Bandung. Alamat kontak: [email protected].
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 547
I. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, dikatakan
demikian karena Pembangunan Nasional Indonesia dewasa ini telah
memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, pembangunan
tidak hanya menyangkut pembangunan di bidang ekonomi semata namun
menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di
bidang hukum, pembangunan dibidang ekonomi bahkan dibidang sosial dan
politik. Perkembangan dan pembangunan sebagaimana telah dikemukakan
diatas sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat.
Namun demikian, globalisasi ini tentu saja di samping menimbulkan manfaat
bagi kehidupan manusia sudah tentu harus diwaspadai efek sampingnya yang
bersifat negatif, yaitu adanya “globalisasi kejahatan” dan meningkatnya
kuantitas (modus operandi) serta kualitas tindak pidana di berbagai negara dan
antar negara.2
Dengan adanya globalisasi dan modernisasi tepatnya dalam hal kemajuan
teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika khususnya di bidang
ekonomi, perdagangan dan investasi, kemajuan dan perkembangan dunia,
seolah-olah membuat batas-batas negara, kedaulatan dan hak-hak berdaulat
menjadi kabur. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif yang sangat
memprihatinkan. Atau dengan perkataan lain bahwa manusia seringkali
memanfaatkan perkembangan tersebut untuk memudahkan perilaku jahat yang
tidak dikendalikan akal dan hati nurani dan sebaliknya justru menggunakan
alat-alat teknologi modern tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana, tidak
jarang disertai violence yang bertentangan dengan peradaban manusia. Dengan
berkembangnya berbagai jenis kejahatan yang semakin kompleks sudah tentu
menuntut adanya sarana penanganan yang mampu untuk memecahkan dan
tanggap akan kondisi tersebut.
Hal ini diperkuat dengan Article 1 United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime Tahun 2000 (TOC) disebutkan dengan tegas
bahwa: The purpose of this convention is to promote cooperation to prevent
and combat transnational organized crime more effectively. (tujuan dari
konvensi ini adalah untuk memajukan kerja sama untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif).
Dilihat ketentuan tersebut, terbukti adanya peningkatan kejahatan dan
keprihatinan masyarakat internasional mengenai kejahatan yang berkembang
dewasa ini yang tidak saja merupakan masalah suatu negara, tetapi juga
merupakan masalah global.
Kemudian diperkuat pula dengan laporan Kongres PBB ke-5 dan ke 6
mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders
terungkap bahwa Crime As Business merupakan bentuk kejahatan dalam
bidang bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi
2 Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum, Makalah:
disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Undip Tahun 2010,
tanggal 18 September 2010.
548 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dan mereka mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau
dapat dikatakan sebagai white collar crime. Dan dalam Kongres ke-6 PBB
lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana bisnis atau tindak pidana yang
berkaitan dengan ekonomi meliputi berbagai bidang tidak dapat dipisah-
pisahkan melainkan kesemuanya memiliki hubungan satu dengan yang lain.
Hal ini akan membawa konsekuensi lebih lanjut dalam hal atau upaya
pencegahan dan pemberantasannya. Karena kesemua bidang tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain, maka dalam upaya pencegahan dan
pemberantasannyapun tidak dapat dilakukan satu persatu atau bagian perbagian
melainkan harus dilakukan secara terpadu dengan sebuah kebijakan hukum
pidana (criminal penal policy).
Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu adanya “globalisasi
kejahatan” serta peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan
sebagaimana telah dikemukakan diatas, hukum harus kembali mengambil
peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan
memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam
tataran Negara Republik Indonesia, hukum harus mengambil peranananya
dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam alinea ke
4 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”.
Dalam kaitannya dengan era globalisasi dewasa ini, eksistensi suatu
korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi kepentingan manusia
ataupun bagi kepentingan negara. Dikatakan demikian karena korporasi tidak
dapat dilepaskan dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain, dalam
rangka mencukupi kebutuhan umat manusia dewasa ini tidak dapat dilepaskan
dari keberadaan korporasi. Sebagaimana dikemukakan diatas, selain bagi
manusia, eksistensi korporasipun dirasakan penting bagi kepentingan Negara.
Hal ini dikarenakan korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap
perekonomian nasional tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan
ekonomi suatu Negara. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa korporasi memiliki
peranan penting seperti meningkatkan penerimaan Negara dengan penerimaan
pajak, menciptakan lapangan pekerjaan, alih teknologi, terlebih untuk sebuah
bank, korporasi (yang dalam hal ini adalah bank) dapat dikatakan sebagai pilar
penopang perekonomian nasional.
Namun demikian, peranan penting dan hal positif yang dapat diambil dari
suatu korporasi sebagaimana tersebut tidak selamanya dapat terealisasi
melainkan dengan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi dewasa ini,
seringkali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan perbuatan
melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum pidana. Salah satu contoh
perbuatan pidana yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi misalnya
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 549
adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan unfair
business atau bahkan melakukan suatu tindak pidana di bidang ekonomi seperti
tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang (tindak pidana
korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara pasif bahkan secara aktif)
yang tidak hanya merugikan orang perseorangan ataupun masyarakat luas
tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan suatu kerugian Negara.
Selain itu, tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai
kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena
kejahatan korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur-
unsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang
tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat
solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingan-
kepentingan lain, dengan kode etik yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan
“unsur-unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi
selalu ada kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum
penegak hukum dan professional. dan kelompok-kelompok masyarakat yang
menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut.3 Perlu
pula dikemukakan bahwa kejahatan ini seringkali mengandung elemen-elemen
kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian
kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan
(breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (ilegal
circumvention) sehingga sangat merugikan masyarakat secara luas.4
Selain itu, menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi
merupakan bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh
Shutherland berikut ini: “…is a violation of criminal law by the person of the
upper socioeconomic class in the course of his occupational activities”
(kejahatan kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan
jabatannya).
Melihat hal-hal tersebut diatas, tidaklah berlebihan apabila dikatakan
bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak hanya
mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Terkait dengan korporasi sebagai pembuat tindak pidana, ketika
korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka korporasi tersebut seharusnya
dapat dimintakan dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang
dilakukannya baik yang ditunjukan langsung kepada korporasi yang
bersangkutan ataupun yang ditunjukan kepada pengurus-pengurusnya (organ-
organ korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang
dinilai dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana (corporate criminal responsibility)
3 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010, hal. 111. 4 Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis”, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hal. Xiii.
550 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
bukanlah merupakan hal baru yang menimbulkan banyak persoalan hukum dan
suatu perdebatan baik dikalangan akademisi maupun dikalangan praktisi
hukum.
Permasalahan mengenai pertanggungjawaban korporasi ini baru muncul
manakala pertanggungjawaban korporasi ini dikaitkan dengan pertanyaan
mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa yang dimaksud dengan
korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mempertanggungjawabkan
korporasi dalam hukum pidana? Kemudian apabila dikaitkan dengan
pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut asas kesalahan (mens
rea), maka akan timbul pertanyaan bagaimana kesalahan (mens rea)
sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf
zonder schuld; keine strafe ohne schuld) diterapkan terhadap korporasi? Dan
bentuk pertanggungjawaban seperti apakah yang dapat dimintakan terhadap
korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan sanksi
pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Namun sebelum menjawab
hal-hal berikut, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai definisi dari korporasi
itu sendiri.
II. Pengertian Korporasi
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)
sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perseorangan dikenal pula
subjek hukum yang lain yaitu badan hukum (korporasi) yang padanya melekat
hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum.
Atas dasar itu, untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan korporasi, tidak
bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh karena
istilah korporasi sangat erat kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang
dikenal dalam bidang hukum perdata. Perlu pula dikemukakan bahwa menurut
Rudi Prasetya, “Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan di
kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang
hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau
yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam
bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.5
Sedangkan apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi
yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation
(Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa Latin yaitu “corporatio”.6
Terkait dengan istilah “corporatio” ini, menurut Muladi dan Dwidja
Priyatno:
Seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran dengan “tio”
maka “corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum)
5 Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”,
(Bandung: STHB, 1991), hal. 13. 6 Ibid.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 551
yang berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai
orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu.
“Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam
bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa
corporatio dapat diartikan sebagai proses memberikan badan atau
proses membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya
“corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan
perkataan lain, korporasi merupakan badan yang dijadikan orang,
badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7
Menurut Garner dan Bryan A, mengemukakan bahwa pengertian
korporasi diambil dari istilah dalam bahasa Inggris "Corporation" yang berarti
badan hukum atau sekelompok orang yang oleh Undang-Undang
diperbolehkan untuk melakukan perbuatan sebagaimana seorang individu
sebagai subjek hukum, berbeda dengan para pemegang sahamnya.8
Dilain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya Corporation
Law menyatakan bahwa:
A corporation is an artificial person. It can do anything a person
can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its
own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.9
(korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja
yang dapat dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual
properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini
menyebabkan korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas
namanya sendiri).
Mengenai hakekat dari korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat
dari pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa:
Korporasi adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya
sendiri dibanding dengan tubuhnya sendiri; kehendak yang
dijalankan dan bersifat mengarahkan harus secara konsisten
dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin disebut
agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan
kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi.10
7 Ibid., hal. 12. 8 Garner, Bryan A., (Ed.), “Black’s Law Dictionary”, Second Pocket Edition, (tanpa
kota, tanpa penerbit, 2003), page. 147 9 Kenneth S. Ferber, “Corporation Law”, Prentice Hall, 2002, page. 18 10 Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), “Criminal Law”, (Tanpa kota, tanpa
penerbit, 1990), page. 126
552 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul
Ilmu Hukum dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur
fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat
badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan
ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun ditentukan oleh
hukum.11
Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Sutan Remi Sjahdeini
menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang
luas. Beliau menyatakan bahwa:
Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,
korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan
kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan
hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang
mengakui eksistensi dari korporasi dan memberikannya hidup
untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu
figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” korporasi.
Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya‖
korporasi itu diakui oleh hukum.12
Sedangkan secara luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum
pidana, beliau mendefinisikan korporasi sebagai berikut: “Dalam hukum
pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.
Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi
atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan
sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan
komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan
usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum”.13
Hampir senada dengan pandapat Sutan Remi Sjahdeini diatas, menurut
Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai
korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan
korporasi itu? Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi, dalam hal ini
hanya dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum. Adapun alasan yang
dikemukakan oleh kelompok pertama ini bahwa dengan berbadan hukum, telah
jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi
tersebut. Pendapat lain adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara
luas, dimana dikatakan bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan
11 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 13. 12 Sutan Remi Sjahdeini, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jakarta: Grafiti
Pers, 2006), hal. 43. 13 Ibid., hal. 45.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 553
secara pidana tidak perlu harus berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan
manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya,
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.14
Terkait dengan hal ini, H. Setiyono mengemukakan bahwa:
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli
hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum
(rechtspersoon), legal body atau legal person. Konsep badan
hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang
tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian
korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari
pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum
perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum
pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah
kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik
merupakan badan hukum maupun bukan”.15
Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan ruang lingkup
mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang
hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum
pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah “badan
hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan hanya
yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Meskipun
demikian, perlu disadari bahwa beberapa pengertian korporasi sebagaimana
dikemukakan diatas merupakan pengertian korporasi yang disampaikan oleh
para ahli hukum sedangkan perumusan definisi sebagai hukum positif belum
ada. Keadaan ini tentu dalam prakteknya akan menimbulkan ketidakpastian
hukum karena penafsiran apa yang dimaksud dengan “korporasi” akan sangat
bergantung dari pendapat siapa kita berangkat. Singkatnya, apabila dilihat dari
sudut pandang hukum pidana Indonesia, terminologi “korporasi” belum
didefinisikan secara tegas. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat dalam
hukum pidana Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda masing
menganut individual responsibility.
Namun demikian, didalam beberapa Undang-Undang yang bersifat
khusus seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan didalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
sudah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau
14 Loebby Loqman, “Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian”, (Jakarta,
Datacom, 2002), hal. 32. 15 H.Setiyono, “Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, (Malang: Banyumedia
Publishing, 2003), hal. 17.
554 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
Berikut ini akan diuraikan Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak
pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus
diluar KUHP yang ruang lingkupnya diatur sedemikian luas (lebih luas dari
pengertian korporasi dalam hukum perdata) yaitu sebagaimana diatur dalam
Undang-undang berikut ini:16 Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos; Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian; dan lain sebagainya.
Berdasarkan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang tersebut diatas,
Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa:17
1. Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak
pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus;
2. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tetapi digunakan
istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten;
3. Istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang-
Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep
KUHP atau Rancangan KUHP tahun 1993.
Dari berbagai peraturan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan korporasi
sebagai subjek hukum pidana hanya terdapat dalam undang-undang khusus
diluar KUHP. Oleh karena itu, menuruh hemat saya, perumusan korporasi
sebagai subjek hukum pidana sebaiknya diatur secara tegas dalam Buku I
KUHP sehingga dapat diberlakukan bagi seluruh tindak pidana yang terjadi
baik tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun tindak pidana yang diatur
diluar KUHP. Hal ini dapat dijumpai dalam Rancangan KUHP (yang
selanjutnya akan disingkat RKUHP) tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 47 yang
menyatakan: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana” dan pasal 182
yang menyatakan bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari
orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum”.
III. Pengertian Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi
Istilah “Tindak Pidana Korporasi” dalam beberapa literature sering
disebut juga dengan “Kejahatan Korporasi” pada dasarnya tidak muncul
dengan sendirinya melainkan muncul seiring dengan perkembangan zaman dan
perkembangan masyarakat. Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini
16 Lihat selengkapnya dalam Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, Op.
Cit., hal. 225-226 dan Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam
Hukum Pidana”, Op. Cit., hal. 168-172. 17 Barda Nawawi Arief, “Kapita Selekta Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 226.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 555
berangkat dari pendapat Edwin Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis
kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime. Terkait dengan white
collar crime itu sendiri Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie
memberikan definisi yaitu sebagai: white collar crime sering diasosiasikan
dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and bussines
world) dan penipuan canggih oleh para eksekutif senior (the sophisticated
frauds of senior executives) yang didalamnya termasuk apa yang secara
popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi (corporate crime).18
Mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven Box
mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan tindak pidana atau kejahatan
konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup
tindak pidana korporasi melingkupi:19
1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu
guna memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata
untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai
kedok dari suatu organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap
korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal
ini korporasi sebagai korban.
Dalam tulisan ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah Crimes for
corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh
keuntungan. Berkaitan dengan korban kejahatan korporasi ini, Muladi
membedakan antara korban kejahatan konvensional dengan korban kejahatan
korporasi sebagai berikut:
Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi dengan
mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya seringkali bersifat
abstrak, seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya
banyak, sedangkan secara individual kerugiannya sangat sedikit.20
Sedangkan menurut Clinard dan Yeager, terdapat enam jenis korban
kejahatan korporasi yaitu:21
1. Konsumen (keamanan atau kualitas produk).
18 Yusuf Shofie, “Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi”, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), hal. 44. 19 Lihat juga Muladi dan Dwija Priyatno hal 29 dan bandingkan juga dengan Hamzah
Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability
dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal. 41. 20 Arief Amrullah, “Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The Attack on
Democracy)”, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hal. 133. 21 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 140.
556 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Bilamana resiko keamanan dan kesehatan dihubungkan dengan
penggunaan produk, maka konsumen telah menjadi korban dari produk
tersebut.
2. Konsumen (kekuasaan ekonomi).
Pelanggaran kredit, yakni memberikan informasi yang salah dalam
periklanan dengan tujuan untuk mempengaruhi konsumen.
3. Sebagian besar sistem ekonomi telah terpengaruh oleh praktik-praktik
perdagangan yang tidak jujur secara langsung (pelanggaran terhadap
ketentuan anti monopoli dan pelanggaran-pelanggaran terhadap
peraturan persaingan lainnya) dan kebanyakan pelanggaran keuangan
kecuali yang berkaitan dengan belanjaan konsumen.
4. Pelanggaran lingkungan (pencemaran udara dan air), yang menjadi
korban yakni lingkungan fisik.
5. Tenaga kerja menjadi korban dalam pelanggaran terhadap ketentuan
upah.
6. Pemerintah menjadi korban, karena adanya pelanggaran-pelanggaran
administrasi atau perintah pengadilan dan kasus-kasus penipuan pajak.
Selain itu, tindak pidana korporasi telah menimbulkan kerugian
diberbagai bidang misalnya kerugian di bidang:
1. Kerugian di bidang ekonomi atau kerugian materil
Berbagai peristiwa menunjukkan bahwa tingkat kerugian ekonomi yang
ditimbulkan oleh kejahatan ini luar biasa besarnya, khususnya bila
dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan
warungan seperti perampokan, pencurian, penipuan. Misalanya
perkiraan yang dilakukan oleh Subcommitee on Antitrust and Monoplay
of the US Senate Judiciary Commites yang diketuai oleh Senator Philip
Hart memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan
korporasi antara 174-231 miliar dollar per tahun. Ini adalah angka yang
sangat jauh bila dibandingkan kejahatan warungan yang berkisar 3-4
miliar.
2. Kerugian di bidang kesehatan dan keselamatan jiwa
Menurut Geis, setiap tahunnya korporasi bertanggungjawab terhadap
ribuan kematian dan cacat tubuh yang terjadi di seluruh dunia. Resiko
kematian dan cacat yang disebabkan oleh korporasi dapat diakibatkan
baik oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses
produksi, sehingga yang menjadi korban kejahatan korporasi adalah
masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada
korporasi.
3. Kerugian di bidang sosial dan moral
Disamping kerugian ekonomi, kesehatan dan jiwa, kerugian yang tidak
kalah pentingnya yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah
kerugian di bidang sosial dan moral. Dampak yang ditimbulkan oleh
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 557
kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap
perilaku bisnis. The President‘s Commision on Law Enforcement and
Administration of Justice pernah menyatakan bahwa kejahatan
korporasi merupakan kejahatan yang paling penting mencemaskan
bukan saja karena kerugiannya yang sangat besar, akan tetapi akibat
yang merusak terhadap ukuran-ukuran moral perilaku bisnis orang
Amerika. Kejahatan bisnis (korporasi) merongrong kepercayaan publik
terhadap sistem bisnis, sebab kejahatan demikian diintegrasikan ke
dalam struktur bisnis yang sah (the structure of legitimate business).
Mengingat dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sangat
berdampak luas, menurut hemat saya, terdapat urgensi untuk mengatur
korporasi sebagai subjek hukum pidana dimana korporasi dinilai dapat
melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara
pidana. Namun demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap
memperhatikan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Clinard dan Yeagar
sebagai berikut:22
1. The degree of loss to the public. (Derajat kerugian terhadap public);
2. The lever of complicity by high corporate managers. (Tingkat
keterlibatan oleh jajaran manager);
3. The duration of the violation. (Lamanya pelanggaran).
4. The frequensi of the violation by the corporation. (Frekuensi
pelanggaran oleh korporasi);
5. Evidence of intent to violate. (Alat bukti yang dimaksudkan untuk
melakukan pelanggaran);
6. Evidence of extortion, as in bribery cases. (Alat bukti pemerasan,
semisal dalam kasus suap);
7. The degree of notoriety engendered by the media. (Derajat pengetahuan
publik tentang hal-hal negative yang ditimbulkan oleh pemberitaan
media);
8. Precedent in law. (Jurisprudensi);
9. The history of serious, violation by the corporation. (Riwayat
pelanggaran-pelanggaran serius oleh korporasi);
10. Deterence potential. (Kemungkinan pencegahan);
11. The degree of cooperation evinced by the corporation. (Derajat kerja
sama korporasi yang ditunjukkan oleh korporasi).
Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan
korporasi menyangkut tujuan yang bersifat integratif yang mencakup :23
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan
pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki
penjahatnya; sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang
lain tidak melakukan kejahatan tersebut.Jadi jika dihubungkan dengan
korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak
22 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal. 118. 23 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 121-123.
558 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
melakukan pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah
untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman
masyarakat.
2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan
masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang
sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua
pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan
kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana.
Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang
pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu . Bila
dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi
melakukan suatu tindak pidana.
3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. .
Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan
pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan
untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang
tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan
masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh
negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi
terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari
kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.
4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu
adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban
individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa
faktor.Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada
proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat
sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi
kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general
apapun.
Mengutip kembali pernyataan Muladi diatas yang menyatakan bahwa:
…Pada kejahatan konvensional, korbannya dapat diidentifikasi
dengan mudah, sedangkan pada kejahatan korporasi korbannya
seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi…24
Hazel Croall, menyatakan bahwa kesulitan mendeteksi kejahatan
korporasi ini karena karakteristik umum yang melekat pada white collar crime,
yaitu:25
1. Ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (Diffusion Of
Responsibility)
2. Ketidakjelasan korban (Diffusion Of Victim)
3. Aturan hukum yang samar (Ambiguous Criminal Law)
24 Arief Amrullah, Op. Cit., hal. 133. 25 H. Setiyono, Op. Cit., hal. 54 – 56.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 559
4. Serta sulit mendeteksi dan dilakukan penuntutan (Weak Detection And
Prosecution).
Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korban
kejahatan korporasi tidak hanya mengalami kerugian materi, tetapi juga
kerugian imateril seperti kesehatan, bahkan bukan tidak mungkin kehilangan
nyawa dan juga menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup. Kerugian
materi yang diderita oleh korban kejahatan korporasi sangat sulit untuk
diestimasi. Hal ini dikarenakan korban kejahatan korporasi yang sangat luas
(masyarakat pada umumnya, konsumen pengguna produk yang dihasilkan
korporasi baik berupa barang maupun jasa, korporasi yang bertindak selaku
kompetitor, para karyawan dan pemegang saham dalam sebuah korporasi,
bahkan negarapun dapat menjadi korban kejahatan korporasi). Selain itu, tidak
jarang kerugian yang diderita oleh korban kejahatan korporasi bersifat
kompleks sehingga tidak mudah melakukan pembuktiannya dan korbannya
seringkali bersifat abstrak dan tidak mudah diidentifikasi.
IV. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin
pertanyaan inilah yang pertama-tama harus dijawab. Istilah “kriminalisasi”
pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
“Criminalization” yang menurut penulis secara sederhana dapat diartikan
bahwa sebuah langkah atau proses yang diambil oleh legislative untuk menilai,
menentukan dan merumuskan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya
dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) menjadi suatu
tindak pidana.
Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, pada dasarnya akan meliputi
dua masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:26
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana, perlu memperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang
menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana
perlu diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:27
1. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan atau
dapat merugikan atau mendatangkan korban;
2. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan
dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan
26 Kristian, Draf buku “Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban pidana korporasi”,
non publikasi hal 34. 27 Satjipto Raharjo, “Hukum dan Perubahan Sosial”, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 62.
560 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu
sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
3. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga
terjadi ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyara-
nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas
penegak hukum;
4. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa
Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur
sehingga merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan pula bahwa istilah “krimanalisasi” hanya berlaku
bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana. Proses
kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia menganut
asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan
bahwa:
Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan
ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari
pada perbuatan itu.28
Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan
hukum yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah
perbuatan pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas disini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara
terhadap pemerintahan. Disinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu
menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana.
Perlu pula dikemukakan bahwa proses kriminalisasi di bidang tindak
pidana ekonomi yang salah satunya tindak pidana korporasi terus berlangsung
dari waktu ke watu dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang
wajar mengingat salah satu peran negara adalah melindungi warganya. Dalam
rangka ini, negara (pemerintah) melakukan banyak kriminalisasi terhadap
tindak pidana baru di bidang ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana
pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana saat ini telah dicabut oleh
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, kriminalisasi tindak pidana korupsi yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah
oleh Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kriminalisasi di bidang perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan kriminalisasi di bidang perbankan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
28 R. Soesilo, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal”, (Bogor: Politeia, tanpa tahun), hal. 27.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 561
Perbankan. Berdasarkan uraian singkat diatas, dapat dilihat bahwa proses
kriminalisasi dalam hal tindak pidana di bidang ekonomi berlangsung begitu
cepat dan diatur dalam berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masing-
masing.
Namun demikian, berbeda dengan hal sebagaimana disebutkan diatas,
kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat
dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini
terbukti dengan tidak adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak
pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-undang yang
mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai dengan saat
ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai
pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Sudah tentu hal ini nampaknya
akan sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kualitas dan kuantitas
kejahatan yang bersangkutan dan akan sangat berpengaruh dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang ekonomi.
Selain itu, dengan terlambatnya melakukan kriminalisasi tindak pidana
korporasi maka akan manimbulkan dampak yang sangat serius. Hal ini
dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahayanya. Hal ini
Nampak dalam hal lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo ini
sudah menimbulkan dampak (rusaknya lingkungan) maka sangat sulit atau
tidak ada lagi cara yang dapat diambil Negara untuk mengembalikan kondisi
lingkungan seperti semula. Oleh sebab itu, alangkah baiknya dalam proses
kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumusakan baik dengan
menggunakan rumusan delik formal ataupun material, delik aduan ataupun
delik biasa sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilaksanakan
secara efektif dan evisien.
Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan
yang mengkriminalisasi tindak pidana di bidang ekonomi adalah berkaitan
dengan subtansi atau pengaturannya. Dalam hal ini seringkali ditemukan terjadi
tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu dengan
ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan evisiensi
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tetapi justru
menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan
hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana ekonomi yang dalam hal ini adalah tindak pidana korporasi
(yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan bidang lainnya)
dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana dikemukakan
diatas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam
melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana
(criminal penal policy) yang terpadu dan dibutuhkan kebijakan penal mengenai
kriminalisasi di bidang ekonomi itu sendiri.
V. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi
Dilihat dari segi historis, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum
yang dapat melakukan tindak pidana yang dapat dimintakan
562 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung sejak 1635. Pengakuan
korporasi ini dimulai ketika sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi
dapat bertanggungjawab secara pidana namun hanya terbatas pada tindak
pidana ringan.29 Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat,
Eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diakui dapat
melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana baru diakui eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan
pengadilan.30
Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban
korporasi atau mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai
dapat melakukan tindak pidana dan dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana berkembang pula pada beberapa Negara seperti Belanda, Italia,
Perancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberapa Negara Eropa termasuk
berkembang pula di Indonesia.31
Berbicara tentang sejarah korporasi sebagai subjek hukum pidana di
Indonesia, menurut KUHP Indonesia, karena KUHP Indonesia menganut
sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) sedikit tertinggal jika
dibandingkan dengan negara-negara common law seperti Inggris, Amerika
Serikat dan Canada. Di negara-negara Common Law tersebut perkembangan
pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri.
Pengadilan Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah
dijatuhi pidana denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban
hukum.32 Perlu pula dikemukakan bahwa pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui penelitian yang mendalam
dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend akibat dari adanya
kecenderungan dari formalisme hukum (legal formalism). Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang
melalui peran pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang
membenarkannya.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban
korporasi yang hanya terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan tidak
mencukupi oleh sebab itu konsep pertanggungjawaban korporasi hanya
terbatas pada tindak pidana ringan hanya bertahan hingga akhir abad ke-1913.
Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari
dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana
yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana. Berikut beberapa alasan yang dapat
29 Andrew Weissmann dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate Liability,
“Indiana Law Journal”, 2007, hal. 419. 30 Leonard Orland, The Transformation of Corporate Criminal Law, “Brooklyn Journal
of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006, hal. 46, Zachary Bookman, Convergences
And Omissions In Reporting Corporate And White Collar Crime, “DePaul Business &
Commercial Law Journal”, 2008, hal. 347. 31 Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
(Strick Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 30. 32 Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan
Kuliah Kejahatan Korporasi, hal. 2.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 563
dijadikan dasar pembenar korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana:
1. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.33
2. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga
kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif
untuk mempengaruhi tindakan-tindakan actor rasional korporasi.34
3. Tindakan korporasi melalui agen-agennya pada satu sisi seringkali
menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga
kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari
mengulangi tindakannya itu.35
4. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu
upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai
itu sendiri;36
5. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana
korporasi, korporasi, atau pengurus saja;37
6. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula;
7. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan
menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;
Berbeda dengan pemikiran diatas, terdapat beberapa para ahli hukum
pidana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum
pidana dengan alasan sebagai berikut :38
1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah);
2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,
perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku
Barda Nawawi Arief dalam perkara yang menurut kodratnya tidak
33 Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnational Corporations and Human
Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, hal. 46;bandingkan juga dengan Dwidja
Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia,
CV. Utomo, Bandung, 2004, hal. 27-28 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi
Intaran, Yogyakarta, 2008. 34 Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, “American Criminal
Law Review”, 2007, hal. 1288. 35 Geraldine Szott Moohr, On The Prospects Of Deterring Corporate Crime, “Journal
of Business & Technology Law”, 2007, hal. 27. 36 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 47. 37 Ibid.
38 H.Setiyono, Op. Cit., hal. 10.
564 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah
palsu”39
3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda
Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana
yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal
pidana penjara atau pidana mati”40
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;
5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma
atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau
korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;
Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan
dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada
putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum
atau korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat setidaknya tiga
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret 1969;
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969, tertanggal
19 September 1970; putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.41 Dengan adanya ketiga putusan
Mahkamah Agung tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi
sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis
sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan
tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.
VI. Tahap-Tahan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi
Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi diatur atau
dijadikan sebagai subjek hukum karena adanya perkembangan masyarakat
yang tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini,
dirasakan perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek
hukum dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban.
Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, korporasi
tersebut dapat melakukan hak dan kewajibannya dengan nyata. Perubahan dan
perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami
beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis besar dapat dibagi
dalam tiga tahap sebagaimana akan diuraikan dibawah ini. Perlu pula
dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi ini
akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.
39 Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), hal. 45-46.
40 Ibid. 41 Lihat selengkapnya dalam Dwidja Priyatno dan Muladi, hal 169 sampai dengan 196.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 565
1. Tahap Pertama
Pada tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).
Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,
maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi
tersebut.42 Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh
asas “societas delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat
melakukan tindak pidana.43 Jadi, apabila dalam suatu korporasi terjadi
tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut.
Asas “societas delinquere non potest” ini merupakan dasar dan dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi:
Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris,
maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang
ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak
pidana.
Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari
abad ke-19, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan
sebagai kesalahan dari manusia.
2. Tahap Ke Dua
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah
Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak
pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi)
namun demikian tanggung jawab untuk itu tetap menjadi beban dari
pengurus badan hukum tersebut. Tanggungjawab pada tahap ini
perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan
memimpin secara sesungguhnya atau dengan perkataan lain bahwa
pertanggungjawaban pidana tetap dimintakan terhadap pengurus yang
secara nyata memimpin korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini
korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku
tindak pidana akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para
anggotanya atau pengurusnya selama dinyatakan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan ataupun dalam aturan korporasi yang
bersangkutan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum
muncul.44
42 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 52.
43 Ibid., hal. 53. 44 Ibid., hal 53-54
566 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum yang
perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya,
Denning L.J menjelaskannya secara metaforis:
A company may in many ways be likened to a human body. It
has a brain and a nerve centre which control what it does. It
also has hands which holds the tools and act in accordance
with directions from the centre. Some of the people of the
company are mere servants and agent who are nothing more
than hands to do the work and cannot be said to represent the
mind or will. Others are directors and managers who represent
the directing mind and will of the company, and control what it
does. The state of mind of these managers are the state of mind
of the company and is treated by the law as such. So you will
find that in cases where the law requires a personal fault as a
condition of lability in tort, the fault of the manager will be the
personal fault of the company.
So also in the criminal law. In cases where the law requires a
guilty mind as a condition of a criminal offence, the guilty mind
of the directors or managers will render the company itself
guilty.45
Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada
pada tahap ini antara lain:46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951
(Undang-Undang Tenaga Kerja); Undang-Undang Nomor 2 tahun 1951
(Undang-Undang Kecelakaan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951
(Undang-Undang Pengawasan Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata Api); Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan Apotek); Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian Perburuhan);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang Penempatan
Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-
Undang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-
Undang Telekomunikasi; berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1989); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang
Wajib Lapor Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981
(Undang-Undang Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1982 (Undang-Undang Wajib Lapor Perusahaan); Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diganti oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain sebagainya.
45 Peter Gillies, Op. Cit., page 136.
46 Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Cetakan Ke
Dua Edisi Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 223.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 567
3. Tahap Ke Tiga
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang
langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia
II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan
meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan
diaturnya korporasi sebagai pembuat dan pihak yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana adalah karena
dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh
korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian
besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya
dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa
dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa
korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi
dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan
bersangkutan.47
Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan
korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt
Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang
menyatakan:
Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan
orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan
hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik
terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan
itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun
terhadap kedua-duanya.
Berdasarkan perumusan diatas dapat dilihat bahwa yang dapat
melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana adalah orang dan korporasi itu sendiri.
Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal
penal policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan
perundang-undangan di Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab
langsung dari korporasi dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak
pidana dan dapat dipertangguingjawabkan secara pidana meskipun masih
terbatas hanya dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP.
Peraturan perundang-undangan khsus ini diantaranya: 48 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-Undang Nomor 2 Tahun
47 Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia”, (Bandung, CV Utomo, 2004), hal. 27.
48 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 233.
568 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951
Tentang Pengawasan Perburuhan; Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1951 Tentang Senjata Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958
Tentang Penerbangan.
Sedangkan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana
yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana antara lain dalam:49 Undang-Undang
Drt Nomor 7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 (Pos); Undang-Undang Nomor 11
Prips. 1963 (Subversi; sudah dicabut); Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1997 (Psikotropika); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Tindak
Pidana Korupsi); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana
Pencucian Uang); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 (Perindustrian);
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 (Perikanan); Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 (Pasar Modal); Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 (Lingkungan Hidup) ; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) dan
lain sebagainya.
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara pembenaran
pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat
didasarkan hal-hal berikut:50
1) Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang
diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
2) Atas dasar kekeluargaan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945.
3) Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).
4) Untuk perlindungan konsumen.
5) Untuk kemajuan tehnologi.
Perlu pula dikemukakan bahwa menurut Muladi, tahap
perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia
ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun sekarang di
Negeri Belanda menurut beliau telah memasuki tahap keempat, yaitu
pengaturan tentang pertanggungjawaban tidak lagi tersebar di luar KUHP
(WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang Tanggal 23 Juni
1976 Stb 377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, muncul
perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi :
1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan
hukum;
49 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 89.
50 Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi
Kasus)”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 31.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 569
2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat
dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat
dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam
undang-undang terhadap : badan hukum atau terhadap yang
“memerintah” melakukan tindakan yang dilarang itu; atau
terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan
tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang
memerintahkan melakukan perbuatan” di atas bersama-sama .
3) Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan
perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar KHUP Belanda
yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut
karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan diaturnya
pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 KUHP Belanda, maka
sebagai Ketentuan umum berdasarkan Pasal 91 KUHP Belanda (pasal
103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di
luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.
Dalam RKUHP Tahun 2010 tepatnya dalam Pasal 48 mencantumkan
kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
langsung yaitu:
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan
hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, dalam lingkup
usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-
sama”.
Dan Pasal 50 yang menyatakan bahwa:
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas
nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran
dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan”.
Dengan melihat fase-fase perkembangan sebagaimana telah
dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang
mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan
korporasi itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama kali disebabkan
oleh perkembangan di bidang perekonomian, yang kedua adalah
merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang
memiliki aspek ganda yaitu:
1) Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai
dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan
perkembangan masyarakat.
570 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
2) Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum
untuk ikut dalam mengadakan perubahan pada masa
pembangunan
VII. Doktrin Pertanggungjawaban Korporasi
Terdapat beberapa doktrin yang membenarkan korporasi sebagai subjek
hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Umumnya,
pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior
yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak bisa
melakukan kesalahan. Dalam hal ini hanya agen-agen korporasilah yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi. Oleh sebab itu, hanya agen-agen
korporasi saja yang dapat melakukan kesalahan. Doktrin respondeat superior
inilah yang kemudian menghasilkan tiga model pertanggungjawaban pidana
korporasi, yaitu direct corporate criminal liability, strict liability, dan vicarious
liability sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.51 Namun sebelum membahas
teori teori tersebut, perlu ditekankan bahwa antara teori teori tersebut memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
1. Identification Theory Atau Direct Liability Doctrine
Sebelum membahas lebih jauh mengenai doktrin-doktrin atau teori-
teori yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi, Roeslan
Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari
badan hukum (korporasi), asas kesalahan tidak mutlak berlaku.52
Doktrin pertama yang membenarkan pertanggungjawaban pidana
korporasi adalah Identification Theory atau dikenal juga dengan Direct
Liability Doctrine. Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat
bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik
sebagai pembuat atau peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan
adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Doktrin
pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah
salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi
pertanggungjawaban pidana korporasi meskipun korporasi bukanlah
sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini korporasi dapat
melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior”
(senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau
korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan “pejabat senior”
(senior officer) dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi, dalam teori
ini agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka
51 Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995),
hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West Publishing
co, 1982, hal. 228.
52 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 140.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 571
orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat didentifikasi
terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar
dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut
dilakukan oleh orang yang merupakan “directing mind” dari korporasi
tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Card, yang
menyatakan bahwa; “the acts and state of mind of the person are the acts
and state of mind of the corporation ” (tindakan atau kehendak direktur
adalah merupakan tindakan dan kehendak korporasi).53
Jadi, dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh
pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan
oleh korporasi. Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter
ego” atau “teori organ” yang dapat diartikan secara sempit maupun
secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu
sebagai:54
1) Arti sempit (Inggris): Hanya perbuatan pejabat senior atau otak
korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat
seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau
kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah
kegiatan korporasi adalah pejabat senior atau dengan perkataan
lain bahwa pada umumnya pejabat senior adalah orang yang
mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama
yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali perusahaan
yang didalamnya terdiri dari para direktur dan manajer.
2) Arti luas (Amerika Serikat): Tidak hanya pejabat senior atau
direktur tetapi juga agen dibawahnya.
Tetapi apabila ditafsirkan secara luas, pertanggungjawaban secara
pidana tidak hanya dapat dibebaknan terhadap pejabat senior saja
melainkan juga dapat dibebani kepada mereka yang berada
dibawahnya.
Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan
orang pribadi berdasarkan asas identifikasi ini. Misalnya dalam hal ini
suatu korporasi yang melakukan tindak pidana (yang mensyaratkan
adanya mens rea dan actus reus). Pengadilan dalam hal ini dapat
memandang atau menganggap bahwa perbuatan dan sikap batin dari
pejabat tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari “kedirian”
organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi.
Korporasi dalam hal ini bukan dipandang bertanggungjawab atas dasar
pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu
sendiri yang bertanggungjawab seperti halnya dalam pelanggaran
53 Muladi, Op. Cit., hal 21.
54 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 246.
572 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan tindak
pidana itu secara pribadi.55
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana menentukan
siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat
dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka
akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi
tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat yang
mengisi posisi tertentu berikut kewenangannya. Disisi lain, Lord
Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah: “mereka-mereka
yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil
keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah
dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan”.56 Selain itu, menurut
Lord Morris, yang dapat dikatakan sebagai pejabat senior adalah orang
yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana dari
the directing mind and will of the company”.57 (Pejabat senior adalah
orang yang tanggung jawabnya mewakili atau melambangkan pelaksana
dari The directing mind and will of the company).
Oleh sebab itu, mengenai hakikat pejabat senior itu sendiri pada
dasarnya adalah mereka yang baik secara individual maupun kolektif,
diberikan kewenangan untuk mengendalikan korporasi melalui tindakan
atau kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Pejabat senior dari segi
struktural dan kewenangan (biasanya direktur dan manejer) berbeda dari
mereka yang bekerja sebagai pegawai atau agen yang melaksanakan
perintah atau keputusan yang dibuat oleh pejabat senior.
Selain itu, menurut Hanafi, penerapan prinsip identifikasi dapat
menimbulkan beberapa masalah antara lain:58
1) Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha sebuah
perusahan, maka besar kemungkinan bahwa perusahan tersebut
akan menghindar dari tanggung jawab. Sebagai contoh yang dapat
diambil untuk menggambarkan kondisi ini, misalnya dalam kasus
Tesco yang memiliki lebih dari 800 cabang yang dituntut
melakukan tindak pidana berdasarkan “The Trade Description Act
1968” yang dilakukan oleh manager cabang toko tersebut. Dalam
kasus ini, House Of Lord memutuskan bahwa manager cabang
adalah orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak
perusahaan, belum ada pelimpahan oleh direksi berupa
pelimpahan fungsi managerial mereka sehubungan dengan urusan
perusahaan dengan manager cabang itu. Dia harus memenuhi
aturan umum dari perusahan dan menerima perintah dari
atasannya pada tingkat regional dan distrik, karenanya
perbuatannya atau kelalaiannya bukan kesalahan perusahan.
55 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 45-46.
56 Ibid., hal. 234.
57 Ibid.
58 Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 63-64.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 573
2) Bahwa perusahan hanya bertanggungjawab apabila orang itu
diidentifikasikan dengan perusahan, yaitu dirinya sendiri yang
secara perorangan atau individual bertanggungjawab karena dia
memiliki “mens rea” untuk melakukan tindak pidana. Apabila
terdapat beberapa “superior officers” yang terlibat, maka masing-
masing mungkin tidak memiliki tingkat pengetahuan yang
disyaratkan agar merupakan “mens rea” dari tindak pidana
tersebut. Dapatkah perusahan bertanggungjawab jika apa yang
diketahui secara bersama-sama oleh para pejabat perusahaan
tersebut sudah cukup merupakan “mens rea”.
Dari pendapat tersebut, terlihat beberapa persamaan antara korporasi
dengan tubuh manusia berkaitan dengan pusat atau otak dan organ yang
melaksanakan perintah dari otak. Pada korporasi juga terdapat direktur
dan manejer yang mengontrol kegiatan korporasi dan para pegawai atau
agen yang melaksanakan kebijakan dari direktur atau manajer. Sikap
batin dan keinginan dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap
sebagai keinginan dan sikap batin dari korporasi. Berbeda dengan sikap
batin dan keinginan dari direktur atau manejer yang dapat dianggap
sebagai sikap batin dan keinginan dari korporasi, karena direktur atau
manejer merupakan directing mind dari korporasi.
Pada akhirnya dalam teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana
yang dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti
siapa yang benar-benar menjadi otak atau pemegang kontrol operasional
korporasi, yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil
keputusan atas nama korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki
kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi
tersebut.
2. Strict Liability Atau Absolute Liability
Doktrin kedua yang mendukung pertanggungjawaban pidana
korporasi adalah strict liability atau absolute liability atau yang disebut
juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan atau disebut dengan
no-fault liability atau liability without fault. Dalam prinsip ini,
pertanggungjawaban dapat dimintakan tanpa keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan apakah strict
liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini terdapat dua
pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pendapat pertama
menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Jadi
dapat dikatakan bahwa kelompok pertama ini menyamakan pengertian
antara strict liability dan absolute liability. Adapun alasan atau dasar
pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah
melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan
574 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan
apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi
sesorang yang sudah melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan
undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.59
Menurut Curzon, adanya doktrin strict liability didasarkan pada
alasan-alasan sebagai berikut:60
1) Adalah sangat esensiil untuk menjamin dipatuhinya peraturan-
peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan
masyarakat.
2) Pembuktian akan adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran–pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat itu (dalam hal ini salah satunya adalah tindak pidana
ekonomi).
3) Tingginya tingkat “bahaya sosial” yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan.
Dalam hukum pidana Inggris, pertanggungjawaban yang bersifat
mutlak hanya dapat diterapkan pada pelanggaran ringan misalnya,
pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahateraan umum.
Pelanggaran terhadap tata tertib atau penghinaan terhadap pengadilan
(contempt of court), pencemaran nama baik, atau menggangu ketertiban
masyarakat merupakan contoh pelanggaran yang masuk dalam ketagori
pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum.61
Strict liability menurut Russel Heaton dalam bukunya Criminal Law
Textbook diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak
mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih
dari actus reus.62 Jadi dalam hal ini, strict liability ini merupakan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Romli
Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut
asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” (a harmful act without a
blame worthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip
pertanggungjawab mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak
adanya unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip
pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes”.63
Apabila diperhatikan, terdapat dua istilah yang berbeda untuk
menggambarkan strict liability. Ada yang menggunakan istilah “strict
liability” dan ada pula yang menggunakan istilah “strict liability crimes”.
Kedua istilah tersebut nampaknya tidak memiliki perbedaan yang
prinsipil. Namun demikian, dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan
59 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 40.
60 Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hal. 141.
61 Dwidja Priyatno dan Muladi, Op. Cit., hal. 110.
62 Russel Heaton, “Criminal Law Textbook”, (London: Oxford University Press, L,
2006), hal. 403.
63 Romli Atmasasmita, “Perbandingan Hukum Pidana”, Cetakan I, (Bandung:
Mandar Maju, 1996), hal. 76.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 575
istilah “strict liability” mengingat dalam Black’s Law Dictionary,
pengertian Strict-liablity crimes adalah: a crime that does not require a
mens rea element, such as speeding or attempting to carry a weapon
aboard an aircraft. Jadi pengertiannya adalah kejahatan atau tindak
pidana. Sedangkan terkait dengan bentuk pertanggungjawabannya
disebut dengan istilah “strict liability”.
Selanjutnya, Hamzah Hatrik mendefenisikan bahwa strict liability
adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault),
yang dalam hal ini si pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam undang-undang, tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pembuat.64
Disamping itu, Hanafi dalam bukunya “Strict Liability dan Vicarious
Liability dalam Hukum Pidana” menegaskan bahwa dalam perbuatan
pidana yang bersifat strict liability hanya dibutuhkan dugaan atau
pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut
pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi, tidak dipersoalkan
adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus
(perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus
(perbuatan), bukan mens rea (kesalahan).65
Selain itu, Siswanto Sunarso dalam bukunya Hukum Pidana
Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa juga
menerangkan bahwa menurut doktrin ”strict liability”
(pertanggungjawaban ketat) seseorang sudah dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri
orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability
diartikan sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana
tanpa kesalahan).66 Pendapat senada juga diutarakan oleh Muladi
sebagaimana dikutip oleh M. Hamdan dalam bukunya Tindak Pidana
Pencemar Lingkungan.67
Terkait dengan hal ini, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat bahwa:
“Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula
tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat
dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens
rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku
tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan
yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak pidana-tindak pidana
yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering
dikenal juga sebagai offences of absolute prohibitation”.68
64 Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 110.
65 Hanafi, Loc. Cit.
66 Siswanto Sunarso, “Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 141.
67 M. Hamdan, “Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup”, (Bandung: Mandar
Maju, 2000), hal. 89-90.
576 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Selain pendapat tersebut, terdapat pendapat lain yang berbeda yang
menyatakan bahwa strict liability bukan atau tidak sama dengan absolute
liability. Dalam hal ini, orang yang telah melakukan perbuatan terlarang
menurut undang-undang (actus reus) tidak harus atau belum tentu dapat
dipidana. Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban mutlak),
seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana
tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).69
Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya
Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (dalil atau
alasan) yang bisa dikemukakan untuk penerapan strict liability adalah
sebagai berikut:70
a) Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana
tertentu.
b) Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk,
menghindari adanya bahaya yang sangat luas.
c) Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.
Mengenai penerapan strict liability maupun vicarious liability
(sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya), Muladi dan
Dwidja Priyatno mengemukakan bahwa: “Menurut hemat penulis
penerapan doktrin “strict liability” maupun “vicarious liability”
hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran
yang sifatnya ringan saja seperti dalam pelanggaran lalu lintas dan dalam
kejahatan-kejahatan yang membutuhkan penanganan luar biasa.
Kemudian menurut hemat penulis (Muladi dan Dwidja Priyatno), doktrin
tersebut terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan
umum atau masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan,
minuman serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini
maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk
menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku atau korban sesuai dengan
adagium “res ipsa loquitur” atau dapat dikatakan sebagai fakta sudah
berbicara sendiri”.71 Oleh sebab itu, strict liability dan vicarious liability
juga pada dasarnya dapat diterapkan terhadap korporasi atas pelanggaran
hukum yang telah dilakukannya yang sudah tentu membahayakan
kepentingan masyarakat umum.
Dalam konteks ius constituendum, RKUHP 2010 telah mengadopsi
doktrin pertanggungjawaban strict liability tersebut. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 38 ayat (1) dari RKUHP 2010, yaitu:
Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat
menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata
68 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 78.
69 Muladi dan Dwija Priyatno, Op.Cit Op. Cit., hal. 107.
70 Ibid., hal. 108.
71 Ibid., hal. 94.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 577
karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, strict liability hanya berlaku
untuk tindak pidana tertentu saja yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam hal ini, pelaku tindak pidana akan dibebani pertanggungjawaban
tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan (mens rea)
ketika perbuatan (actus reus) dilakukan. Menurut hemat saya,
pemberlakuan ketentuan strict liability terhadap tindak pidana tertentu
saja adalah sudah tepat, karena penerapannya tidak boleh sembarangan
melainkan harus dengan pembatasan, sehingga penerapannya tidak
meluas dan tetap menjamin kepastian hukum.
Mengenai pertangunggjawaban mutlak (strict liability) itu sendiri
dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi juga dapat dibebani
pertanggunggjawaban atas tindak pidana tertentu yang tidak harus
dibuktikan unsur kesalahannya (mens rea), yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Masalah yang perlu diperhatikan terkait penerapannya
adalah apakah tindak pidana tertentu yang tidak mensyaratkan adanya
usur kesalahan yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut harus
dapat mengakomodasi sekian banyak kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Sebagai perbandingan, Negeri Belanda dewasa ini sudah tidak
memberlakukan lagi pertanggungjawaban yang didasarkan pada doktrin
pertanggungjawaban muktlak. Di Belanda, pertanggungjawaban mutlak
tersebut dikenal dengan istilah leer van het materielle feit atau fait
materielle yang hanya diberlakukan terhadap tindak pidana yang berupa
pelanggaran. Seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri, penerapan
pertanggungjawaban mutlak ditiadakan dengan arrest susu tahun 1916
dari Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad Netherland).72
3. Vicarious Liability Doctrine
Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban
korporasi adalah vicarious liability. Pada dasarnya, doktrin vicarious
liability didasarkan pada prinsip “employment principle”. Yang
dimaksud dengan prinsip employment principle dalam hal ini bahwa
majikan (employer) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para
buruhnya atau karyawannya. Jadi dalam hal ini terlihat prinsip “the
servant’s act is the master act in law” atau yang dikenal juga dengan
prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is liable for the
wrongful acts of all its employees”.73 Oleh sebab itu, perlu dikemukakan
dimuka bahwa dalam pembahasan mengenai doktrin vicarious liability
ini mencakup pula pembahasan mengenai Doctrine of Delegation atau
The Delegation Principle.
72 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 80.
73 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 249.
578 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Hai ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Gillies
yang menyatakan bahwa:
According to the doctrine of vicarious liability in the
criminal law, a person may incur liability by virtue of
attribution to her or him of responsibility for the act, or
state of mind, or both the act and state of mind of another
person; an offence, or element in an offence, commited by
another person: Such liability is almost wholly confined to
statutory offences, and the basis for its imposition is the
(presumed) intention of legislature, as gleaned from a
reading of the enacting provision in question, that this
offence should be able to be commited vicariously as well
as directly. In other words, not all offences may be
commited vicariously. The courts have evolved a number
of principle of specialist application in this context. One of
them is the scope of employment principle.74
Disisi lain, Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai
pertanggungjawaban pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum
dimana seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain”
(the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).75
Pada dasarnya, teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum
perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability biasanya
berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the
law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut asas
repondeat superior, di mana ada hubungan antara master dan servant
atau antara principal dan agent, berlaku pendapat dari Maxim yang
berbunyi qui facit per alium facit per se. Menurut Maxim tersebut,
seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap di sendiri yang
melakukan perbuatan itu. Oleh karena itu, ajaran vicarious liability juga
disebut sebagai ajaran respondent superior.76
Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Sutan Remy
Sjahdeini dalam bukunya Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi yang
menyatakan bahwa vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum
perdata tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin
respondeat superior.77
Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban pengganti ini, seseorang
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan atau kesalahan atau
perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban seperti ini
hampir seluruhnya diterapkan pada tindak pidana yang secara tegas
diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, tidak semua delik dapat
dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan beberapa
74 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hal. 101.
75 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 41.
76 Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84.
77 Ibid., hal. 84.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 579
prinsip yang dapat diaplikasikan secara khusus mengenai hal ini. Salah
satunya adalah employment principle sebagaimana telah dikemukakan
diatas.
Mengenai employment principle ini, Peter Gillies mengemukakan
beberapa pendapat dalam kaitannya dengan vicarious liability, yaitu:78
1) Suatu perusahaan atau korporasi (seperti halnya manusia sebagai
pelaku atau pengusaha) dapat bertanggungjawab secara pengganti
untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau agennya.
Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang
mampu dilakukan secara vicarious.
2) Dalam hubunganya dengan “employment principle”, tindak pidana
ini sebagian besar atau seluruhnya merupakan “summary offences”
yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.
3) Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya,
tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa
majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah
mengarahkan atau memberi petunjuk atau perintah pada karyawan
untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan,
dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap
majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan
dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan
dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang
lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat,
pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan
tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan.
Perlu ditekankan bahwa dalam employment principle, majikan adalah
pihak yang utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan
oleh buruh dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup
pekerjaannya. Di negara Australia dinyatakan dengan tegas bahwa the
vicar’s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar’s
guilty mind (kesalahan atau sikap batin jahat dalam delik vicarious)
adalah tanggungjawab majikan. Berbeda halnya dengan negara Inggris, a
guilty mind hanya dapat dianggap menjadi tanggungjawab majikan hanya
jika ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan (a
relevan “delegation” of power and duties) menurut undang-undang.79
Dengan kata lain ada prinsip delegasi (delegation principle) yang dianut,
dimana kesalahan (guilty mind) dari buruh atau karyawan dapat
dipertangungjawabkan kepada majikan, hanya apabila ada pendelegasian
kewenangan dan kewajiban dan hanya untuk delik yang ditentukan oleh
undang-undang (statutory offences).
Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh
Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan konsep pertanggungjawaban
78 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. hal. 236.
79 Barda Nawawi Arief, “Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 152.
580 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
ini dengan istilah “pertanggungjawaban pengganti”. Lebih tepatnya,
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”,
atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah
“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”,
adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,
misalnya oleh A kepada B.80
Hamzah Hatrik mengutip pendapat Black mengenai vicarious
liability ini, yaitu indirect legal responsibility, for example, the liability
of an employer for the acts of an employes, or principal for torts an
contracts of an agent.81 Hatrik juga mengutip pendapat Roeslan Saleh
bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri. Tetapi ada yang disebut vicarious liability, maka orang yang
bertanggung jawab atas perbuatan orang lain dalam hal ini aturan
undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang
bertanggung jawab sebagai pembuat.82
Dikaitkan dengan pertanggungjawaban Korporasi, menurut V.S.
Khanna dalam tulisannya berjudul “Corporate Liability Standars: When
Should Corporation Be Criminality Liabel?” Dikemukakan bahwa
terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu; agen melakukan suatu
kejahatan; kejahatan yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup
pekerjaannya; dan dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan
korporasi.83
Teori ini juga hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan
(korporasi) hanya bertangungjawab atas perbuatan salah pekerja yang
masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.84 Rasionalitas penerapan teori
ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan
atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung
dimiliki oleh majikan (korporasi).85 Jadi dalam hal ini, doktrin
pertanggungjawaban pengganti hanya dapat diterapkan apabila benar-
benar dapat dibuktikan bahwa ada hubungan atasan dan bawahan antara
majikan (dalam hal ini korporasi) dengan buruh atau karyawan yang
melakukan tindak pidana. Oleh sebab itu, harus diperhatikan benar-benar
apakah hubungan antara korporasi dengan organ-organnya cukup layak
untuk dapat membebankan pertanggungjawaban kepada majikan (dalam
hal ini korporasi) atas tindak pidana yang dilakukan oleh organ-
organnya. Selain itu juga harus juga dipastikan apakah buruh atau
80 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84.
81 Hamzah Hatrik, Op. Cit., hal. 115.
82 Ibid., hal. 116.
83 V.S. Khanna, Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be
Criminality Liabel?, “American Criminal Law Review”, 2000, hal. 1242-1243.
84 C.M.V. Clarkson, “Understanding Criminal Law”, Second Edition, (London:
Sweet & Maxwell, 1998), hal. 44.
85 Ibid., hal. 45.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 581
karyawan tersebut dalam hal tindak pidana yang dilakukan, benar-benar
bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya.
Sedangkan menurut Menurut Marcus Flatcher dalam perkara
pidana ada 2 (dua) syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat
menerapkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti,
syarat tersebut adalah:86
1) Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan
antara majikan dan pegawai atau pekerja;
2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja
tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Menurut undang-undang (statute law) vicarious liability, dapat
terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:87
1) Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya
pendelegasian (the delegation principle).
2) Seorang majikan atau pemberi kerja dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik
dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum, perbuatan
dipandang sebagai perbuatan majikan.
Perlu pula dikemukakan bahwa Doktrin atau teori
pertanggungjawaban pengganti pada satu sisi dirasa bertentangan nilai-
nilai moral yang terkandung dalam prinsip keadilan, dimana dalam
pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act), tetapi juga kesalahan
(state of mind) sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan karena
melakukan perbuatan (act) atau tidak melakukan (omission) perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Boisvert, teori ini secara
serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena berpendirian
bahwa kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan
kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apapun.
Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability,
maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang
tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak
mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang
dituntut pidana. Hal ini tercermin pula dalam Paper prepared for OECD
Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International
Business transactions yang menyatakan bahwa: “In general, the process
of judicial interpretation of the statutory objected to corporate liability
being imposed only for regulatory offences, especially those offences
which did not require proof of mens rea or a mental element.”88
86 Hanafi, Op. Cit., hal. 34.
87 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op. Cit., hal. 62.
582 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Berdasarkan pengertian kalimat diatas pada umumnya penafsiran hukum
menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak
mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan. Sedangkan perbedaannya
terdapat pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat
langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious
liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung kepada
pelaku melainkan “dilimpahkan” atau “digantikan” kepada orang lain.89
Dalam KUHP Indonesia saat ini, tidak mengenal adanya
pertanggungjawaban pengganti, tetapi doktrin pertanggungjawaban
pengganti telah diadopsi dalam RKUHP 2010, sebagaimana diatur dalam
Pasal 38 ayat (2) yang menyatakan: “Dalam hal ditentukan oleh Undang-
Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana
yang dilakukan oleh orang lain”. Dalam penjelasannya juga
dikemukakan bahwa “ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari
asas tiada pidana tanpa kesalahan”. Ini artinya, lahirnya pengecualian
ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis
moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang
patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan
pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.
Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak
melakukan tindak piana namun dalam rangka pertanggungjawaban
pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain
yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana.
Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus
dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas
oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.
Dengan diterapkannya doktrin pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) ini diharapkan dapat menjadi faktor yang dapat
mencegah dan meminimalisir terjadinya tindak pidana baik tindak pidana
yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi.
4. The Corporate Culture Model
Doktrin berikutnya yang membenarkan pertanggungjawaban
korporasi adalah doktrin The Corporate Culture Model. Menurut doktrin
atau teori the corporate culture model ini, korporasi dapat
dipertanggungjawabkan dilihat dari prosedur, sistem bekerjanya, atau
budayanya (the procedures, operating systems, or culture of a company).
88 Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper
prepared for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business
transactions, Paris 4th October 2000, page 4 of 10
89 Muladi dan Dwija Priyatno, Op. Cit., hal. 110.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 583
Oleh karena itu, teori budaya ini sering juga disebut teori atau model
sistem atau model organisasi (organisational or systems model).90
Dilihat dari pengaplikasiannya, teori The Corporate culture Model
ini dapat diterapkan apabila:91
1) An attitude, policy, rule, course of conduct or practice within the
corporate body generally or in the part of the body corporate
where the offences occured.
2) Evidence maybe led that the company’s unwritten rules tacitly
authorised noncpmpliance or failed to create a culture of
compliance.
VIII. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Ketika korporasi dinyatakan bertanggungjawaban secara pidana atas
tindak pidana yang dilakukan, maka pada umumnya dikenal tiga sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:92
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada
tahap pertama),
2. Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab
(perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada tahap ke dua)
3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus
bertanggungjawab (perkembangan pertanggungjawaban korporasi pada
tahap ketiga).
Namun demikian, hemat saya, konsep pertanggungjawaban pidana
korporasi tidak cukup sampai dengan 3 konsep sebagaimana dikemukakan
diats, dalam hal ini, harus ditambahkan 1 konsep lagi yaitu: “Pengurus dan
korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang
harus memikul pertanggungjawaban pidana”. Hal ini penulis kutip dari
pendapat yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini. Berikut
penjelasannya.
Beberapa alasan yang digunakan Sutan Remy Sjahdeini berkaitan
dengan konsep “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak
pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana”
antara lain sebagai berikut:93
1. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana,
maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian
karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan
90 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 251.
91 Ibid., hal. 252.
92 Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak
Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH
UNDIP, Semarang, 23-24 Novemser 1989, hal. 9. 93 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 162-163.
584 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan
atau menghindarkan mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.
2. Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi
sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem
ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu
sembunyi tangan” atau mengalihkan pertanggungjawaban. Dengan kata
lain, pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung
korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab dengan dalih
bahwa perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan pribadi dan bukan
untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang
dilakukannya untuk dan atas nama korporasi dan untuk kepentingan
korporasi.
3. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya
mungkin secara vikarius, atau bukan langsung (doctrine of vicrious
liability), pertanggungjawaban atas tidak pidana yang dilakukan oleh
seseorang dibebankan kepada pihak lain. Dalam hal
pertanggungjawaban pidana, korporasi dialihkan pertanggungjawaban
pidananya kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius karena
korporasi tidak mungkin dapat melakukan sendiri suatu perbuatan
hukum. Artinya, segala perbuatan hukum yang benar atau yang salah
baik dalam lapangan keperdataan maupun yang diatur oleh ketentuan
pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan
korporasi.
Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus
tindak pidana itu dilakukan oleh manusia pelaku tindak pidana itu (pengurus).
Dengan mendasarkan pada pemahaman atas kenyataan yang demikian itu,
maka tidak seyogianya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah
bahwa hanya korporasi yang harus memikul pertanggungjawaban pidana
sedangkan manusia pelakunya dibebaskan. Untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, harus terlebih dahulu dapat
dibuktikan bahwa tindak pidana tersebut benar telah dilakukan oleh pengurus
korporasi dan sikap sikap batin pengurus dalam melakukan tindak pidana itu
adalah benar bersalah dan karena itu pengurus yang bersangkutan harus
bertanggung jawab atas tindak pidana itu. Baru setelah dapat dibuktikan bahwa
pengurus telah melakukan tindak pidana dan harus bertanggung jawab atas
tindak pidana itu.
Baru setelah dapat dibuktikan bahwa pengurus telah melakukan tindak
pidana dan harus bertanggung jawab secara pidana, maka pertanggungjawaban
pidana itu dapat dibebankan secara vikarius kepada korporasi. Tanpa terlebih
dahulu dapat dibuktikan bahwa pengurus memang benar telah melakukan
tindak pidana dan memang benar pengurus tersebut memiliki sikap batin yang
bersalah dalam melakukan tindak pidan itu, tidak mungkin dapat dilakukan
pembebanan pertanggungjawaban pidana secara vikarius kepada korporasi
yang dipimpin oleh pengurus tersebut.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 585
Sutan Remy Sjahdeini menambahkan bahwa apabila sistem yang
diberlakukan bukan sistem yang ke empat, yaitu membebankan
pertanggungjawaban pidana baik kepada korporasi yang melakukan tindak
pidana maupun membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius
kepada korporasi, maka kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah manusia
pelakunya (pengurus korporasi) yang harus memikul pertanggungjawaban
pidana sedangkan korporasinya bebas. Ini adalah sistem yang dianut oleh
KUHP yang berlaku sekarang, yang justru ingin ditinggalkan. Namun tidak
mungkin memberlakukan yang sebaliknya, yaitu membebankan
pertanggungjawaban pidana hanya kepada korporasi sedangkan manusia
pelakunya bebas. Hal ini bertentangan dengan sifat pembebanan
pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Kondisi seperti ini jelas
bertentangan pula dengan asas bahwa korporsi tidak dapat bertindak sendiri
tetapi harus melalui pengurusnya.94
Apabila pada bagian sebelumnya sudah dibahas mengenai apa itu
korporasi, apa itu tindak pidana korporasi, kriminalisasi tindak pidana
korporasi, sejarah dan tahap-tahap pertanggungjawaban pidana korporasi,
doktrin yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi serta sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi, hal yang tidak kalah penting yang
penulis ingin kemukakan adalah masalah implementasi atau penerapan
aturan yang bersangkutan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, didalam
hukum pidana khusus seperti dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau dalam Undang-Undang No. 08
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang korporasi sudah dengan tegas diatur sebagai subjek hukum. Ini artinya,
seharusnya korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
manakala terjadi tindak pidana yang bersangkutan. Namun demikian, dalam
kenyataannya, hukum pidana hanya berkonsentrasi menjatuhkan pidana kepada
orang perseorangan atau dengan perkataan lain korporasi yang terkait dengan
tindak pidana yang bersangkutan tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana (pidana denda yang dijatuhkan bagi perusahaan si koruptor
misalnya). Hal ini membuktikan bahwa meskipun korporasi sudah diatur
sebagai subjek hukum pidana (meskipun hanya dalam hukum pidana khusus)
apabila ketentuan tersebut tidak pernah diimplementasikan maka ketentuan itu
akan menjadi “ketentuan yang mati”. Jadi dalam hal ini, penulis menekankan
bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah sesuatu yang
penting dan sama pentingnya dengan pelaksanaan dari ketentuan yang
mengatur korporasi dapat ditertanggungjawabkan secara pidana tersebut.
94 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 162-163.
586 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Konsep Rumusan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Rancangan KUHP
Pertanggungjawaban pidana korporasi diangap sebagai sesuatu yang
penting, sehingga Ketua Penyusunan RKUHP, Muladi menyatakan bahwa
pasal 47 sampai dengan pasal 53 RKUHP mengatur tentang “corporate
criminal liability”. Dengan dimasukkannya hal tersebut berarti bahwa bentuk
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berlaku umum untuk semua
tindak pidana, termasuk yang berada di luar KUHP.95
Menurut Muladi, pasal 18 Council of Europe Criminal Law Convention
on Corruption (1999) dapat dijadikan pedoman, dimana dinyatakan:96
...that legal persons can be held liable for the criminal offences
…Committed for their benefit by any natural person, acting either
individually or as part of an organ of the legal person, who has a
leading position within the legal person, based on:
a. A power of representation of the legal person;
b. An authority to decisions on behalf of the legal person;
c. An authority to exercise control within the legal person;
d. As well as for involvement of such a natural person as accessory or
instigator in the above-mentioned offences.”
Adapun rumusan pasal-pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam RKUHP 2010 adalah sebagai berikut:
1) Pasal 47: “Korporasi merupakan subyek tindak pidana”.
2) Pasal 48: “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau
berdasar hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik
sendiri-sendiri atau bersama-sama”.
3) Pasal 49: “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi,
pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya”.
4) Pasal 50: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama
korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain
yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan”.
95 <http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan
_Tentang_RUU_KUHP>, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.16. 96 <http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan
_Tentang_RUU_KUHP>, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11. 25.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 587
5) Pasal 51: “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi
sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi”.
6) Pasal 52
(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap suatu korporasi.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dinyatakan dalam putusan hakim.
7) Pasal 53: “Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan
oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,
dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung
berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
Pasal 44: “Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
tindak pidana”.
Penutup
Kesimpulan
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta era
globalisasi dewasa ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif
melainkan juga dapat menghasilkan dampak negatif. Dampak negatif
disini yaitu adanya globalisasi kejahatan dan berkembangnya kualitas
(modus operandi) dan kuantitas dari kejahatan itu sendiri. Terlebih lagi
apabila dikaitkan dengan eksistensi sebuah korporasi dewasa ini, maka
kualitas dan kuantitas tindak pidana yang terjadi tidak hanya merugikan
segelintir orang saja tetapi akan menimbulkan dampak yang sangat
mengkhawatirkan. Dalam hal ini, dampak kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi dapat sangat meluas, mengancam stabilitas perekonomian
nasional, membahayakan integritas sistem keuangan nasional, merusak
sendi-sendi kehidupan bangsa serta tindak pidana korporasi ini dilakukan
oleh orang yang mempunyai keahlian atau jabatan (white collar crime)
sehingga tidak mudah pembuktiannya.
Saran
Mengingat hal tersebut, hukum harus mengambil kembali
peranannya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana diamatkan oleh UUD 1945. Oleh sebab itu, hukum harus
kembali “memiliki taring” dalam mencegah dan memberantas tindak
pidana korporasi ini. Meskipun demikian, dalam penangan tindak pidana
korporasi ini dibutuhkan cara-cara yang luar biasa yang salah satunya
588 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
adalah menjadikan atau mengatur korporasi sebagai subjek hukum
pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Selain dilakukan pengaturan,
sudah tentu aturan tersebut harus dilaksanakan. Dikatakan demikian
karena menuruh hemat penulis, sampai dengan saat ini belum pernah ada
penjatuhan pidana bagi korporasi padahal korporasi sudah diatur secara
tegas sebagai subjek hukum misalnya dalam Undang-Undang No. 31
tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Singkatnya, selain
diatur sudah tentu ketentuan tersebut harus diimplementasikan atau
diterapkan. Dengan cara demikian, diharapkan dapat mencegah dan
memberantas tindak pidana korporasi.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 589
Daftar Pustaka
Ali, Mahrus. Kejahatan Korporasi, Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008.
Amrullah, Arief. Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega Profits and The
Attack on Democracy), Malang: Banyumedia Publishing, 2006.
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003.
-----------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Ke Dua
Edisi Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
-----------------------, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002.
-----------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010.
Atmasasmita, Romli. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada
Media, 2003.
-----------------------, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Bandung:
Mandar Maju, 1996.
Clarkson, C.M.V. Understanding Criminal Law, Second Edition, London:
Sweet & Maxwell, 1998.
Ferber, Kenneth S. Corporation Law, New Jersey: Prentice Hall, 2002.
Garner, Bryan A., (Ed.), Black’s Law Dictionary, Second Pocket Edition, 2003.
Hamdan, M. Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Mandar
Maju, 2000.
Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana,
Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997.
Hatrik, Hamzah. Asas Pertanggunggjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
(Strick Liability dan Vicarious Liability), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Heaton, Russel. Criminal Law Textbook, London: Oxford University Press,
2006.
LaFave Wayne R., & Austin W. Scott Jr. Criminal Law, New Jersey: West
Publishing co, 1982.
Loqman, Loebby. Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian,
Jakarta: Datacom, 2002.
Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi.
-----------------------, dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana, Bandung: STHB, 1991.
590 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.4 Oktober-Desember 2013
Raharjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983.
Reksodiputro, Mardjono. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Tindak Pidana Korporasi, makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 Novemser 1989.
Reid, Sue Titus. Criminal Law, Third Edition, New Jersey: Prentice Hall, 1995,
Priyanto, Dwidja. Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Korporasi di Indonesia, Bandung: CV. Utomo, 2004;
-----------------------, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.
Putra Jaya, Nyoman Serikat. Globalisasi HAM dan Penegakan Hukum,
Makalah: disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister
Ilmu Hukum Undip Tahun 2010, tanggal 18 September 2010.
-----------------------, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System), Program Magister Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2010.
Sjahdeini, Sutan Remi. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti
Pers, 2006.
Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi kedua,
Cetakan Pertama, Malang: Banyumedia Publishing, 2003.
Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Sunarso, Siswanto. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi
Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, tt.
-----------------------, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Yunara, Edi. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut
Studi Kasus), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Jurnal
Bookman, Zachary. Convergences And Omissions In Reporting Corporate And
White Collar Crime, ”DePaul Business & Commercial Law Journal”,
2008.
Bucy, Pamela H. Trends In Corporate Criminal Prosecutions, ”American
Criminal Law Review”, 2007.
Khanna, V.S. Corporate Liability Standars: When Should Corporation Be
Criminality Liabel?, ”American Criminal Law Review”, 2000.
Urgensi Pertanggunjawawaban Pidana Korporasi, Kristian 591
Moohr, Szott. Geraldine. On The Prospects Of Deterring Corporate Crime,
”Journal of Business & Technology Law”, 2007.
Orland, Leonard. The Transformation of Corporate Criminal Law, ”Brooklyn
Journal of Corporate, Finansial & Commercial Law”, 2006.
Stephens, Beth. The Amorality of Profit: Transnational Corporations and
Human Rights, ”Berkeley Journal of International Law”, 2002;
Weissmann, Andrew, dan David Newman, Rethinking Criminal Corporate
Liability, ”Indiana Law Journal”, 2007.
Internet
<http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Te
ntang_RUU_KUHP>, diakses pada tanggal 16 November 2012.
<http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Te
ntang_RUU_KUHP>, diakses pada tanggal 16 November 2012.