urban sprawl and energy provision (moview review and synthesis to indonesian context of the end of...

23
TUGAS MATA KULIAH SISTEM PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH (PPW604) Dosen Pengampu Dr. Fadjar Hari Mardiansjah, ST, MT, MDP. KEMUNCULAN, PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) AMERIKA UTARA DAN PEMBELAJARANNYA UNTUK INDONESIA (Review Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The American Dream) Disusun oleh: BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036 MISSY HARIYANTI WIJAYA 21040116410015 MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

Upload: bramantiyo-marjuki

Post on 16-Apr-2017

74 views

Category:

Science


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

TUGAS MATA KULIAH

SISTEM PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

(PPW604)

Dosen Pengampu Dr. Fadjar Hari Mardiansjah, ST, MT, MDP.

KEMUNCULAN, PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) AMERIKA UTARA DAN PEMBELAJARANNYA UNTUK

INDONESIA (Review Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The

American Dream)

Disusun oleh:

BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036

MISSY HARIYANTI WIJAYA 21040116410015

MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG 2016

Page 2: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 1 ---

I. PENDAHULUAN

Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The American

Dream adalah sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Gregory Greene, Barry Silverthorn dan

Barrie Zwicker, yang diproduksi pada Tahun 2004 dan diterbitkan oleh Electric Wallpaper Co.

Film ini membidik kemunculan, perkembangan dan permasalahan kawasan permukiman

perkotaan di daerah pinggiran (suburbia) yang muncul dan berkembang pasca Perang Dunia ke

II di banyak kota di Amerika Serikat, sebagai efek dari suburbanisasi yang dipicu oleh

pertumbuhan industri perkotaan dan revolusi transportasi berbasis bahan bakar minyak.

Kemunculan awal kawasan suburbia dipandang sebagai realisasi dari American Dream yang

merupakan cita-cita dari masyarakat perkotaan Amerika, namun pada perkembangannya

memberikan banyak permasalahan akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil dan selain juga

berbagai faktor lainnya.

Tulisan ini disusun guna merefleksikan apa yang terjadi pada fenomena Suburbia di

Amerika melalui review film tersebut, ditunjang dengan literatur pendukung, dan diakhiri dengan

komparasi dengan fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Struktur tulisan dimulai dari

uraian mengenai konsepsi dan teori pengembangan permukiman, dilanjutkan dengan deskripsi

kasus dari hasil observasi film yang ditunjang dengan literatur pendukung, komparasi aspek teori

dengan realisasi yang terjadi di Amerika, dan diakhiri dengan observasi fenomena serupa di

Indonesia, serta kemungkinan apa yang dapat dipelajari dan dihindari agar permasalahan yang

sama tidak terjadi di Indonesia, terutama jika dilihat dari konsep pengembangan permukiman

berkelanjutan.

II. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DAN URBAN

SPRAWL

II.1 Permukiman

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman,

permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu

satuan perumahan yang mempuyai prasarana, sarana. Utilitas umum, serta mempunyai

penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan. Munculnya permukiman

menurut Batudoka (2005), bermula dari lingkup yang kecil, yaitu aktivitas manusia membuat

rumah untuk bertempat tinggal dan berlindung. Dari rumah secara individual kemudian

berkembang menjadi beberapa rumah yang dihuni oleh keluarga dan pada akhirnya menjadi

banyak rumah membentuk kompleks permukiman. Permukiman berkembang melengkapi diri

dengan sarana seperti sarana sosial, pendidikan, pemerintahan, keagamaan, olahraga, rekreasi,

kesehatan dan perekonomian. Selain itu, permukiman juga berkembang melengkapi diri dengan

Page 3: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 2 ---

prasarana pendukung seperti jalan, saluran drainase, dan saluran air bersih. Hasil interaksi

permukiman dengan lingkungan alam, lingkungan binaan dan lingkungan sosial akan

membentuk kawasan permukiman yang berbeda karakteristiknya, seperti permukiman

perkotaan, permukiman perdesaan, permukiman pesisir, dan permukiman kawasan industri

(Dimitra dan Yuliastuti, 2012).

II.2 Pengembangan Permukiman Berkelanjutan

Pengembangan permukiman di abad ke 21 tidak dapat dipisahkan dari konteks tren dan

permasalahan permukiman yang terjadi di seluruh dunia. Bab 7 dari Kesepakatan Agenda 21 dari

hasil Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 1992 menyepakati akan

pentingnya isu permukiman berkelanjutan pada saat ini dan di masa mendatang. Pengembangan

permukiman berkelanjutan merupakan aksi multi dimensi yang meliputi: (1) penyediaan rumah

layak; (2) pengelolaan dan penggunaan tanah secara berkelanjutan; (3) penggunaan energi

berkelanjutan; (4) sistem transportasi permukiman berkelanjutan; (5) pengelolaan kawasan

permukiman di daerah rawan bencana; dan (6) industri dan konstruksi berkelanjutan. Konteks

keberlanjutan sendiri menurut hasil KTT Bumi Rio De Janeiro Tahun 1992 dapat didefinisikan

sebagai “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi

berikutnya di masa depan”.

Pembangunan berkelanjutan dipandang sebagai proses banyak dimensi yang

mengkoneksikan dan menyelaraskan antara pembangunan ekonomi, sosial dan budaya dengan

perlindungan dan pelestarian lingkungan. Sehingga dalam hal ini permukiman berkelanjutan

dapat didefinsikan sebagai kota, lingkungan hunian, desa dan masyarakat yang ada di dalamnya

yang memungkinkan untuk hidup dengan cara yang mendukung status keberlanjutan dan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Warouw, 2014). Khusus untuk lingkungan

perkotaan, aspek keberlanjutan harus tercermin dari atribut kota itu sendiri, baik konstruksi,

sistem kelembagaan sosial ekonomi, UN Habitat dalam Warouw (2014) memperkenalkan lima

prinsip sebagai strategi baru dalam perencanaan lingkungan hunian dan permukiman

berkelanjutan (Gambar 1).

Page 4: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 3 ---

Gambar 1 Kriteria Pengembangan Permukiman Berkelanjutan (Sumber: UN HABITAT dalam Warouw, 2014)

II.3 Fenomena Urban Sprawl

Urban sprawl adalah suatu proses perluasan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran

yang melimpah, dengan kata lain terjadi proses pengembangan kenampakan fisik suatu

perkotaan ke arah luar. Lebih jauh lagi, definisi dari urban sprawl adalah suatu proses perubahan

fungsi dari wilayah yang bernama perdesaan menjadi wilayah perkotaan (Gillham, 2002).

Perdesaan yang selama ini dianggap sebagai penyokong kehidupan perkotaan, yang membantu

kota dalam pemenuhan kebutuhannya terutama dalam bidang pertanian, budidaya, kawasan

lindung dan non-industri, justru mengalami kenaikan tingkat fungsi guna lahan, menjadi kawasan

permukiman padat penduduk, bahkan kawasan industri. Urban sprawl merupakan salah satu

bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara

vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota.

Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl ini. Mulai dari perilaku

masyarakat yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang

lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat, belum banyak tercemari

seperti pusat kota. Selain itu alasan yang juga menyebabkan masyarakat memilih tinggal diarea

pinggiran kota adalah karena belum terlalu padat penduduk yang ada disana, jika dibandingkan

dengan kawasan perkotaan, Ditambah karena memiliki akses yang dekat untuk menuju ke pusat

kota.

Page 5: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 4 ---

Seiring berjalannya waktu, dengan semakin meningkatnya pendapatan mereka,

penduduk yang semula menyewa rumah diarea perkotaan karena ingin dekat dengan tempat

dimana mereka bekerja, sebagian besar/mayoritas memilih untuk tinggal di luar kota (pinggiran

kota) agar dapat memiliki rumah tinggal sendiri. Walaupun pada sebagian penduduk yang

berpenghasilan rendah dengan terpaksa menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh,

asalkan rumah tersebut miliknya sendiri. Sehingga biaya sewa rumah tidak lagi menjadi beban

bagi anggaran rutin mereka.

Karena tidak terlalu dekatnya tempat tinggal mereka dengan lokasi dimana mereka

bekerja, masyarakat di pinggiran kota yang lebih cenderung menggunakan moda kendaraan

pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi untuk menuju lokasi kegiatan mereka yang lebih

terkonsentrasi di pusat kota. Sedangkan banyaknya angkutan umum bermotor seperti bus, oplet

dan taxi dapat mengindikasikan terjadinya fenomena urban sprawl ini. Dimana salah satu

alasannya adalah pembuktian bahwa belum memadainya tingkat pelayanan fasilitas bagi

masyarakat pinggiran kota, dalam hal ini adalah angkutan umum. Kurangnya pelayanan

transportasi (angkutan umum) bagi masyarakat di pinggiran kota untuk menuju pusat kota jika

dibandingkan dengan di pusat kota, sehingga gejala ini menjadikan angkutan umum seolah-olah

disediakan hanya bagi warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi (captive people).

Proses urban sprawl menurut Yunus (2005), ditinjau dari proses perkembanganya

spasial fisik kota dapat diidentifikasi:

a. Secara horizontal, yang meliputi:

1. Sentrifugal, adalah proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar

dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pingiran

kota. Proses inilah yang memicu dan memacu bertambahnya luasnya areal perkotaan.

Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara fisikal.

2. Sentripetal, adalah proses penambanhan bengunan-bangunan kekotaan di bagian

dalam kota (pada lahan kosong/ruang terbuka kota).

b. Secara Vertikal, penambahan ruang kota dengan menambah jumlah lantai (bangunan

bertingkat).

Page 6: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 5 ---

II.4 Karakteristik Urban sprawl

Keberadaan sprawl menurut Gordon dan Richardson (1997) ditandai dengan adanya

beberapa perubahan pola guna lahan yang terjadi secara serempak, seperti sebagai berikut:

1. Single-use zoning

Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan area

industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya, bidang

besar tanah digunakan sebagai penggunaan lahan tunggal yang saling terpisahkan, antara

ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana

masyarakat yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh,

antara satu dan yang lainnya, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan

bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.

2. Low-density zoning

Sprawl mengkonsumsi jauh lebih banyak penggunaan lahan perkapita dibandingkan

perkembangan kota tradisional, karena peraturan penzonaan seharusnya menyatakan

bahwa perkembangan Kota seharusnya berada dalam kepadatan penduduk yang rendah.

Definisi yang tepat mengenai kepadatan yang rendah ini relatif, contohnya rumah tinggal

tunggal, yang sangat luas, kurang dari sama dengan 4 unit per are. Bangunan tersebut

memiliki banyak penggunaan lahan dan saling berjauhan satu sama lain, terpisahkan oleh

halaman rumput, landscape, jalan atau lahan parkir yang luas. Lahan parkir yang luas jelas

didesain untuk jumlah mobil yang banyak. Dampak dari perkembangan kepadatan

penduduk yang rendah ini mengalami peningkatan secepat peningkatan populasi

pula. Overall density is often lowered by “leap-frog development”. Pada umumnya,

pengembang membutuhkan kepastian tingkat persentase bagi pengembangan lahan

untuk penggunaan publik, termasuk jalan raya, lapangan parkir dan gedung sekolah.

Dahulu, saat pemerintah lokal menunjuk suatu lokasi dan ternyata lahannya kurang,

mereka dapat dengan mudah melakukan bernacam jenis perluasan wilayah, karena tidak

ada kekuasaan yang tinggi untuk melakukan penghukuman. Pengembang privat jelas

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.

3. Car-dependent communities

Area yang mengalami urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan mobil yang

tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan automobile dependency.

Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju (commuting to work),

membutuhkan mobil sebagai akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan

Page 7: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 6 ---

kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak

cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan

tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki.

II.5 Dampak-dampak yang terjadi akibat fenomena Urban sprawl

Setiap peristiwa pasti memiliki dampak bagi lingkungan sekitarnya maupun bagi objek

itu sendiri. Sama halnya yang terjadi pada fenomena Urban sprawl ini. Ada beberapa dampak

mengenai fenomena ini (Bhatta, 2010). Dampak positifnya adalah:

1. Bertambahnya jumlah penduduk yang akan meningkatkan kepadatan penduduk di

wilayah tersebut.

2. Semakin berkembangnya wilayah disekitar kota yang terkena dampak, baik perdesaan

maupun perkotaan. Karena akibat semakin banyak penduduk yang bermukim disana,

semakin banyak aktivitas yang terjadi yang akan meningkatkan perekonomian wilayah.

3. Bertambahnya infrastruktur di wilayah yang terkena dampak, sebagai supply dari

pemerintah setempat akan kebutuhan masyarakatnya.

Namun ternyata, selain memiliki dampak positif, fenomena urban sprawl ini juga memiliki

dampak yang negatif. Bahkan dengan jumlah yang lebih banyak, diantaranya adalah:

1. Semakin berkurangnya lahan subur untuk pertanian dan lahan sebagai habitat

bagi makhluk hidup, selain manusia.

Para petani terkadang lebih memilih untuk menjual sawah mereka untuk pengembangan

perumahan oleh stakeholders dan meningkatkan persediaan keuangan mereka untuk

simpanan dihari tua. Sedangkan kawasan lindung, yang seharusnya memiliki peran untuk

melindungi kawasan, serta habitat yang ada didalamnya, keberadaannya juga semakin

menyempit karena mengalami perubahan guna lahan, yang dimanfaatkan untuk

pembangunan gedung dan perumahan untuk kepentingan manusia.

2. Morfologi kota yang semakin tidak teratur

Akibat terjadinya pemekaran kota keluar area yang tidak diawali dengan rencana

mengakibatkan morfologi kota menjadi tidak teratur. Terjadi banyak perubahan

penggunaan lahan dikawasan yang terkena urban sprawl tersebut, Kondisi existing tidak

lagi sesuai dengan rencana awal guna lahan yang tercantum pada Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW). Para stakeholders umumnya akan berasumsi bahwa nilai guna

ekonomis suatu lahan akan semakin meningkat jika lahan tersebut dijadikan sebagai

perumahan, bahkan area komersil yang tentunya akan menguntungkan bagi mereka.

Page 8: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 7 ---

3. Meningkatnya biaya pajak

Lokasi kawasan permukiman yang semakin meluas dan menjauh, terpisah dari pusat

kota, menyebabkan biaya dari penyediaan dan pelayanan fasilitas dan infrastruktur yang

semakin mahal karena ongkos kirimnya yang lebih mahal. Sehingga pemerintah lokalpun

membutuhkan biaya yang ekstra untuk memperluas jaringan pelayanan yang kemudian

meningkatkan harga wajib pajak bagi masyarakat setempat.

4. Meningkatnya tingkat polusi pada tanah, air dan udara serta meningkatnya

konsumsi energi oleh manusia

Semakin banyaknya penduduk yang tinggal disuatu wilayah maka semakin banyak

sumber daya yang dibutuhkan dari alam untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Semakin

banyak juga pengeluaran/ sisa buangan dari proses pengolahannya. Sesuai dengan fungsi

alam yang sebenarnya, yaitu sebagai penyedia sumber daya sekaligus sebagai tempat

penampungan/limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia tersebut. Oleh karena itu

selain menyebabkan peningkatan polusi dari hasil sisa tersebut, ketersediaan dari energi

dan sumber daya alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari

manusia yang semakin tingi pula.

II.6 Urban sprawl bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa pasar dan mekanismenya-lah yang

mengakibatkan Urban sprawl, serta ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, dan pilihan

dalam memilih tempat tinggal. Kesimpulan tersebut sangat keliru. Justru, munculnya urban

sprawl sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah upaya yang dikoordinasikan dimana setelah

perang dunia II kepentingan swasta mulai diijinkan secara illegal untuk mengganti/ merubah

moda transportasi yang telah ada dan berjalan baik ke moda transportasi lain yang memicu

timbulnya urban sprawl. Sebagai contoh, Pacific Electric Railway di Los Angeles yang telah

menghubungkan seluruh bagian kota dihapuskan akibat lobby yang kuat dari perusahaan

pengembang jalan bebas hambatan (Highway). Dengan alasan lebih ekonomis, maka system

jaringan kereta api diganti dengan jaringan jalan bebas hambatan yang pada akhirnya

mengakibatkan timbulnya kota yang melebar (sprawl).

Kota-kota transit yang berkembang pada tempat pemberhentian stasiun KA berubah

dengan pola pembangunan yang membentang dan menerus (ribbon development). Lebih lanjut,

eratnya hubungan pengembangan jalan bebas hambatan dengan pemerintah telah

mengakibatkan dominasi penggunaan kendaraan bermotor, perubahan sistem pajak, dan

perubahan peraturan zonasi (zone law) yang pro sprawl. Menurut Lewinnek (2014), akhir-akhir

ini kesadaran bahwa Urban sprawl bukan pilihan terbaik untuk tinggal mulai muncul. Kesadaran

Page 9: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 8 ---

ini ditandai dengan tumbunya pergerakan pembangunan dan arsitektural yang dinamakan “ New

Urbanism” yang dimulai tahun 80-an sebagai suatu cara untuk menghambat para pengembang

dalam membangun sistem perumahan yang mendorong ketergantungan terhadap kendaraan

bermotor, mendorong pengembangan pola jalan lingkungan yang ramah masyarakat (people

friendly), rumah dengan beranda depan, bangunan multiguna, dan perumahan dengan penghuni

dari berbagai kelas masyarakat. New urbanisme ini merupakan upaya untuk kembali membangun

masyarakat Amerika Serikat yang sesungguhnya. Uraian lebih lanjut mengenai permasalahan

urban sprawl di Amerika akan dibahas pada Bagian III.

III. STUDI KASUS PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TIDAK

BERKELANJUTAN DI AMERIKA. MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA

KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) DI

AMERIKA SERIKAT SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Muncul dan berkembangnya kawasan permukiman perkotaan di daerah pinggiran kota

(suburbanisasi) di Amerika Serikat utamanya mulai nampak setelah Perang Dunia ke II selesai.

Proses suburbanisasi sendiri jika ditilik dari sisi sejarah telah muncul di Amerika sejak Tahun

1880-an seiring dengan hadirnya teknologi transportasi trem listrik, sehingga memungkinkan

penduduk untuk bertempat tinggal tidak harus dekat dengan pusat kota/lokasi tempat kerja

(Ames, 1995). Jaringan Trem listrik (Gambar 1) mampu membuka akses ke wilayah belakang

yang memungkinkan untuk dilakukan pengembangan permukiman baru dengan waktu tempuh

kurang lebih 30 menit ke pusat kota, sehingga suburbanisasi yang muncul pertama kali polanya

bersifat radial mengikuti jaringan rel trem (Ames, 1995). Suburbanisasi kemudian berkembang

lebih jauh ke belakang pada periode antara Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II seiring

dengan munculnya inovasi teknologi mobil dan kendaraan bermotor pribadi. Suburbanisasi

sempat terinterupsi oleh Perang Dunia ke II dan resesi ekonomi yang mengikuti perang tersebut,

namun suburbanisasi meningkat lagi dan semakin membesar pada periode pasca perang.

Jaringan permukiman radial akibat proses suburbanisasi gelombang pertama pra-perang

kemudian berdifusi ke segala arah pada suburbanisasi gelombang kedua pasca-perang

membentuk pusat pertumbuhan baru (kota satelit) dan permukiman-permukiman baru yang

letaknya jauh dari pusat kota (Ames, 1995).

Page 10: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 9 ---

Gambar 2. Jaringan Transportasi Trem Listrik yang memicu Suburbanisasi Pra-Perang Dunia I

(Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)

Suburbanisasi di kawasan pinggiran kota pada periode pasca 1945 muncul sebagai imbas

kepadatan permukiman dan industrialisasi masif di pusat kota yang menyebabkan pusat kota

mengalami penurunan kualitas lingkungan dan menjadi tempat yang kurang layak huni. Hadirnya

jaringan transportasi publik trem dan jaringan jalan beserta inovasi mobil berbahan bakar

minyak memungkinkan untuk pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran yang jauh

dari pusat kota. Permukiman baru dibangun dalam pola grid yang dikoneksikan oleh jaringan

jalan berpola Cul De Sac.

Gambar 3. Permukiman Suburban yang dikembangkan periode pasca perang

(Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)

Pada awalnya, pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran (countryside)

ditujukan untuk memfasilitasi veteran muda Perang Dunia II yang telah kembali dari perang,

dimana mereka harus segera bekerja dan berkeluarga dan otomatis memerlukan tempat tinggal.

Namun dalam perkembangannya, pengembangan permukiman baru ini menarik minat keluarga

Page 11: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 10 ---

muda yang baru memasuki usia produktif dan masyarakat kelas menengah ke atas untuk

melakukan migrasi karena menawarkan harga perumahan yang murah dengan kondisi

lingkungan yang lebih sehat, namun masih memiliki akses ke pusat kota yang efisien. Terlebih,

pengembangan permukiman di kawasan pinggiran ini juga diikuti dengan pengembangan

fasilitas ekonomi pemenuh kebutuhan seperti dealer mobil, shopping center, taman, wahana

rekreasi dan fasilitas umum lainnya (Gambar 3). Singkatnya, pengembangan kawasan

permukiman di pinggiran kota menawarkan kenikmatan dan kemudahan hidup bagi setiap orang

yang bertempat tinggal di situ (American dream).

Gambar 4. Representasi American Dream (Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)

Fenomena suburbanisasi yang melahirkan urban sprawl di perkotaan Amerika terus

berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Infrastruktur transportasi dan fasilitas pelayanan terus

dibangun guna mendukung dan mengikuti perkembangan tersebut. Jumlah kepemilikan

kendaraan pribadi terus meningkat karena penduduk memerlukan akses dari satu tempat ke

tempat lain. Pertumbuhan kendaraan pribadi ini turut menyumbang pertumbuhan ekonomi

Amerika Serikat pada pertengahan abad ke 20. Selain itu, pada periode ini produksi minyak

mentah di Amerika juga sedang melimpah sehingga pertumbuhan kendaraan yang diikuti dengan

permintaan bahan bakar yang tinggi dapat diimbangi oleh produksi energi. Pertumbuhan

ekonomi dan pendapatan yang diperoleh dari pertumbuhan tersebut digunakan oleh Pemerintah

Amerika untuk terus membangun jaringan jalan (utamanya jaringan jalan tol) yang

mengkoneksikan pusat-pusat pertumbuhan permukiman baru yang terus mundur ke belakang di

kebanyakan kota di Amerika Utara.

Fenomena urban sprawl di Amerika Serikat terus berkembang dan meningkat hingga saat

ini, namun pola dan kecenderungan perkembangannya mulai berubah sejak tahun 1970-an. Studi

yang dilakukan oleh Lopez (2014) menunjukkan laju pertumbuhan urban sprawl di beberapa

Page 12: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 11 ---

kawasan metropolitan Amerika sejak tahun 1970-an mulai mengalami penurunan atau tren yang

tetap (steady rate). Penurunan laju urban sprawl ini utamanya disebabkan oleh menurunnya

pertumbuhan penduduk perkotaan sejak tahun 1970-an, halangan geografis, kebijakan anti-

sprawl, dan keterbatasan pendanaan pembangunan infrastruktur (Lopez, 2014).

Berkurangnya laju urban sprawl di Amerika pasca 1970 didasari antara lain oleh

munculnya kesadaran bahwa suburbanisasi lebih banyak membawa permasalahan di masa

depan daripada menyelesaikan permasalahan kebutuhan perumahan dan permukiman. Urban

sprawl di kawasan suburbia Amerika dicirikan dengan pengembangan kelompok permukiman

(cluster) kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan dengan pola cul de sac (Gambar

5). Pola pengembangan ini dalam perkembangannya dianggap tidak efektif karena pola ini sangat

mengandalkan pada kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Transportasi publik

tidak akan efektif untuk mengkoneksikan seluruh wilayah pada tipologi kawasan seperti ini

karena memerlukan banyak titik pengumpulan penumpang (shelter) dan rute yang berputar-

putar tidak efisien. Di sisi lain, permukiman yang ada memiliki kepadatan yang rendah sehingga

kapasitas pengangkutan penumpang di setiap shelter tidak akan efektif jika transportasi publik

diharapkan menjangkau seluruh kawasan. Kenyataan yang terjadi di Amerika menunjukkan pada

akhirnya penduduk di kawasan suburbia tetap mengandalkan kendaraan pribadi dalam

beraktivitas dan seiring dengan terus bertumbuhnya kawasan, permasalahan lain muncul, yaitu

kemacetan lalulintas (traffic congestion).

Gambar 5 Foto Udara Kawasan Suburbia Amerika dengan Pola Cul de sac (Sumber: Thetyee.com)

Pengembangan kawasan suburban di Amerika dengan pola cluster dan jaringan jalan cul

de sac juga memerlukan lahan yang luas dan pada akhirnya mengancam lahan pertanian di

daerah perdesaan (countryside). Kelestarian lingkungan pun ikut terancam karena dalam praktek

pengembangannya, kawasan suburban mengekspansi lahan-lahan yang memberikan fungsi

lindung bagi keragaman biota darat dan keseimbangan ekologis. Hal ini cukup ironis, karena

maksud awal dari pengembangan kawasan suburban adalah menawarkan kehidupan suasana

Page 13: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 12 ---

perdesaan yang asri dan sehat, namun dalam kenyataannya masyarakat yang terbentuk masih

terikat dengan kota dan tetap memilih beraktivitas di kota, sehingga kawasan suburbia justru

malah membawa efek negatif perkotaan menuju perdesaan (individualisme, kemacetan, polusi,

sampah, pencemaran air).

Pengembangan kawasan suburbia mengharuskan pemerintah Amerika mengalokasikan

dana yang tidak sedikit guna membangun jaringan jalan untuk mengkoneksikan pusat-pusat

permukiman yang menyebar. Dana pembangunan dan pengelolaan jaringan jalan ini sedemikian

besar sehingga alokasi untuk transportasi publik semakin berkurang. Oleh karena itu tidak heran

apabila jaringan trem listrik yang menjadi moda transportasi utama di gelombang suburbanisasi

tahap pertama kini telah menghilang di Amerika. Satu – satunya kota yang masih menyisakan

jaringan trem listrik masa lalu hanya Kota Toronto. Kota lainnya memilih untuk menghapus atau

mengubah moda transportasinya ke moda lain yang dianggap lebih efisien seperti bis kota. Selain

itu terdapat spekulasi akan adanya konspirasi perusahaan otomotif di Amerika yang memaksa

pemerintah untuk menghapus sistem trem listrik karena dianggap menganggu transportasi

kendaraan pribadi dan menyebabkan kemacetan.

Permasalahan terkait kawasan suburbia akhirnya bermuara pada penyebab awal

mengapa dulu pengembangan kawasan ini menjadi pilihan utama, yaitu ketersediaan energi dan

bahan bakar untuk menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Cadangan minyak di Amerika secara

umum semakin menipis pada Tahun 1970-an, sementara urban sprawl dan dampak yang

mengikutinya membutuhkan bahan bakar fosil agar tetap berjalan. Harga BBM menunjukkan

gejala kenaikan mulai dasawarsa 70-an, dan semakin tinggi pada tahun – tahun terakhir.

Sementara itu kebutuhan energi dalam negeri semakin tinggi dari tahun ke tahun (Gambar 5).

Dengan demikian pengembangan kawasan suburbia di Amerika mulai menunjukkan sisi

ketidakberlanjutan (unsustainable) dan semakin memberatkan perekonomian Amerika secara

umum. Apabila pada akhirnya bahan bakar fosil ini habis, maka bisa dipastikan perekonomian

Amerika dan kehidupan sosial yang ada didalamnya akan menjadi runtuh dan berakhir dengan

ketidastabilan bernegara tanpa akhir.

Gambar 6 Harga BBM (kiri) dan Konsumsi BBM (kanan) di Amerika

Page 14: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 13 ---

Pengurangan suburbanisasi di Amerika tidak berjalan dengan mudah karena masyarakat

masih membutuhkan perumahan dengan harga murah dengan akses baik (yang secara umum

hanya tersedia di kawasan suburbia). Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar yang membuat

pilihan bertempat tinggal di kawasan suburbia menjadi semakin mahal membuat sebagian

masyarakat Amerika mulai meninggalkan kawasan tersebut melalui penjualan aset atau

ditinggalkan begitu saja untuk berpindah ke tempat lain (atau kawasan suburbia lain yang

dianggap menjanjikan biaya hidup lebih murah). Oleh karena itu, di Amerika kini mulai muncul

kawasan permukiman suburban yang mati, tidak terawat dan tidak termanfaatkan (Gambar 6).

Sebagian masyarakat lain yang memilih bertahan harus menyesuaikan diri sehingga terdapat

banyak aspek hidup yang dikorbankan dan berujung pada penurunan kualitas hidup, yang

tercermin dari permukiman yang mulai menurun kualitasnya serta mulai menunjukkan

kecenderungan kekumuhan (fenomena Ghetto).

Berbagai strategi dan upaya telah dirumuskan untuk mengurangi dan meminimalisir

urban sprawl, diantaranya adalah konsep Perencanaan Smart Growth, kompensasi kelestarian

lahan pertanian oleh pemerintah, In-fill Development, strategi Compact City dan Penggunaan

Lahan Multifungsi. Strategi lain yang lebih membidik aspek sosial dan tingkah laku adalah

paradigma urbanisme baru (new urbanism). Urbanisme baru bertujuan untuk mengembalikan

gaya hidup dan cara beraktivitas seperti masa lampau, dimana aktivitas perkotaan lebih banyak

dilakukan dengan berjalan kaki dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Strategi

ini walaupun dapat menjadi alternatif solusi, namun pada prakteknya tidak mudah untuk

diimplementasikan. Pengembalian kultur berjalan kaki mengharuskan tata kota harus diubah

sedemikian rupa. Hunian vertikal harus dikembangkan, fasilitas pemenuh kebutuhan harus

dibuat di setiap blok hunian, dan aktivitas ekonomi perseorangan atau skala kecil (retail) harus

ditumbuhkan. Implementasi urbanisme baru pada lingkungan perkotaan yang sudah terpencar

(sprawled) sedemikian rupa jelas membutuhkan biaya yang sangat besar dan kenyataannya

pemerintah Amerika saat ini lebih memilih mengusahakan minyak semaksimal mungkin,

termasuk harus mencari dan mengaksesnya ke Timur Tengah dan belahan dunia lain. Sebuah

strategi yang berpotensi semakin merapuhkan perekonomian Amerika Serikat sendiri di masa

mendatang, tidak mempunyai prospek keberlanjutan dan tidak menyelesaikan permasalahan

suburbanisasi dan urban sprawl.

Page 15: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 14 ---

IV. KESESUAIAN KONSEP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN

PINGGIRAN (SUB-URBAN) DENGAN REALISASINYA DI AMERIKA

Pengembangan permukiman dan perumahan di Amerika Serikat pada kawasan sub urban

pada masa pasca perang sampai saat ini mendatangkan banyak permasalahan, salah satunya

adalah dalam penyediaan energi sebagaimana dibahas dalam Film dokumenter The End of

Suburbia. Apa yang terjadi di Amerika Serikat jika dibandingkan dengan kriteria pengembangan

permukiman berkelanjutan menurut UN HABITAT (Gambar 1) sama sekali bukan merupakan

pengembangan permukiman yang berkelanjutan.

Prinsip pertama dari pengembangan rumah berkelanjutan menurut UN HABITAT adalah

ruang yang cukup untuk jalan dan jaringan jalan harus efisien. Efisien yang dimaksud adalah

jaringan jalan harus meliputi setidaknya 30 persen dari lahan kawasan dengan panjang jalan total

18 km per luasan 1 km2 (lihat Gambar 7). Jaringan jalan ini juga harus terkoneksi di setiap

simpang dengan didukung ketersediaan lahan parkir. Jaringan jalan juga harus ramah terhadap

pejalan kaki dan pesepeda (tidak terlalu jauh untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain) dan

mendukung pengembangan transportasi publik. Kenyataan yang ada di Amerika, jaringan jalan

dengan pola cul de sac membuat koneksi dari satu tempat ke tempat lain tidak efektif, jaringan

transportasi publik sulit dikembangkan secara optimal, waktu dan jarak tempuh untuk mencapai

fasilitas cukup jauh dan lama, sehingga orang akhirnya sulit untuk mengurangi ketergantungan

pada kendaraan pribadi.

Gambar 7 Jaringan Jalan Grid Yang Memenuhi Prinsip Keberlanjutan

(Sumber: UN HABITAT, 2014)

Prinsip kedua adalah kepadatan permukiman yang tinggi. Ukuran yang ditentukan

setidaknya 15 ribu jiwa per km2. Pengembangan permukiman kepadatan tinggi (hunian vertikal)

akan membawa dampak positif diantaranya: (1) penggunaan lahan yang efisien; (2) mengurangi

biaya pelayanan publik; (3) mendukung pelayanan komunitas yang lebih baik; (4) mengurangi

Page 16: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 15 ---

ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mendukung transportasi publik; (5) kesetaraan

sosial; (6) mendukung pemenuhan ruang terbuka publik sebagai implikasi penggunaan lahan

yang efisien; dan (7) efisiensi penggunaan energi dan pengurangan polusi. Kenyataan dari

pengembangan kawasan suburban di Amerika ditandai dengan permukiman kepadatan rendah,

dengan setiap rumah mempunyai halaman dan garasi yang memerlukan lahan luas dan tidak

mudah dikoneksikan transportasi publik. Efek lebih lanjut dari pengembangan permukiman

tersebar ini adalah biaya pelayanan publik menjadi tinggi karena ada biaya transportasi

tambahan dari rumah ke rumah. Selain itu, kebutuhan lahan yang besar juga terbukti mengancam

lahan pertanian yang ada di kawasan pinggiran, dan meningkatkan polusi udara sebagai imbas

penggunaan kendaraan pribadi.

Prinsip ketiga adalah penggunaan lahan campuran (mixed landuse). Pengembangan

hunian vertikal sebagaimana diuraikan pada prinsip pertama dalam pengalokasiannya harusnya

mempertimbangkan penggunaan lahan di hunian tersebut di sebagian lantainya untuk

penggunaan pelayanan ekonomi dan fasilitas umum. Proporsi ideal menurut UN Habitat (2014)

adalah 40 sampai 60 persen untuk aktivitas ekonomi, 30 sampai 50 persen untuk hunian, dan 10

persen untuk pelayanan publik, di tiap lantainya. Dalam kenyataan pengembangan kawasan

permukiman di suburban area Amerika, fasilitas ekonomi dan pelayanan publik menempati

lokasi tertentu di kawasan yang mana orang harus melakukan perjalanan yang terkadang cukup

jauh untuk mengaksesnya. Hal ini berakibat pada pemborosan energi melalui penggunaan

kendaraan pribadi, dan meningkatkan polusi udara, terutama pada akhir pekan ketika orang

biasanya berdatangan ke fasilitas-fasilitas umum untuk mendapatkan hiburan atau sekedar

berekreasi.

Prinsip keempat merupakan lanjutan dari prinsip ketiga, yaitu pencampuran kelas sosial

(social mix). Dalam hal ini, hunian vertikal yang dikembangkan, sekitar 20 sampai 50 persen area

hunian harus ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Sementara slot untuk hunian

dengan status kepemilikan permanen proporsinya tidak melebihi 50 persen dari total area.

Strategi social mix ditujukan untuk: (1) mempromosikan interaksi sosial antar kelas sosial; (2)

memunculkan kesempatan kerja; (3) untuk mengurangi stigma pengkelasan permukiman

berdasarkan kemampuan ekonomi; dan (4) menarik pelayanan baru di sekitar hunian. Kenyataan

di Amerika, sebagian besar hunian di kawasan suburban pada awalnya memang ditawarkan

dengan harga cukup murah, namun seiiring berjalannya waktu menjadi semakin mahal akibat

harga lahan yang meningkat, sehingga hanya kelas sosial tertentu yang mampu bertempat tinggal

di lingkungan tersebut. Hal ini akan membawa permasalahan kecemburuan sosial, mengingat

pada pengembangan permukiman di Suburban menghendaki perhatian pemerintah untuk terus

Page 17: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 16 ---

membangun fasilitas dan mengkoneksikan setiap klaster perumahan melalui jaringan jalan yang

memakan biaya besar.

Prinsip kelima adalah pembatasan penggunaan lahan tunggal (limited landuse

specialization). Prinsip ini selaras dengan prinsip ketiga, namun membidik di sisi kebijakan

penataan ruang. Pembatasan penggunaan lahan tunggal akan memicu penggunaan lahan

campuran (mixed landuse) yang tidak hanya menghemat biaya transportasi untuk memperoleh

pelayanan, tetapi juga berpotensi mengurangi permasalahan yang umum terjadi di kawasan

perkotaan seperti, kemacetan, segregasi permukiman, ketergantungan pada kendaraan pribadi

dan lain-lain. Kenyataan yang terjadi di Kawasan Suburban Amerika, pemerintah tidak sepenuh

hati memperkuat dan mendukung kebijakan pembatasan penggunaan lahan, karena Urban

Sprawl tetap terus terjadi setiap tahun, walaupun dengan intensitas yang berbeda dari

perkembangannya di tahun-tahun awal.

Dengan berkaca pada prinsip permukiman berkelanjutan menurut UN Habitat di atas,

pengembangan Kawasan Permukiman Suburban Amerika merupakan pengembangan

permukiman yang tidak berkelanjutan, karena terbukti menciptakan banyak permasalahan dan

ketergantungan yang besar pada energi fosil. Di sisi lain, pemerintah tidak dapat mengubah

permukiman yang sudah ada (redevelopment) menjadi permukiman baru yang memenuhi

kriteria UN Habitat, mengingat usaha ini akan memerlukan waktu yang tidak sedikit dan biaya

yang sangat besar, mengingat kawasan sudah terlanjut dikembangkan.

V. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN PINGGIRAN DI

INDONESIA BERKACA DARI KASUS AMERIKA

Suburbanisasi di Amerika Serikat membawa banyak permasalahan perkotaan dan

berimbas pada sektor ekonomi, politik dan sosial. Keberlanjutan kehidupan bernegara di

Amerika akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah Amerika mengelola, mengurangi

dan mengendalikan suburbanisasi dan urban sprawl yang masih terjadi, baik pada saat ini

maupun di masa mendatang. Pengalaman Amerika seharusnya menjadi pelajaran bagi negara

lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun demikian, tampaknya Indonesia telah

melakukan kesalahan yang sama dengan Amerika Serikat.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dimulai sejak periode keterbukaan ekonomi

orde baru pada tahun 1980-an ikut berpengaruh pada pengembangan dan pertumbuhan

kawasan terbangun di kota-kota besar di Pulau Jawa (Firman, 2008). Berbagai penelitian yang

telah dilakukan di berbagai kota, antara lain Jakarta (Hidajat et al, 2013), Surabaya (Mahriyar dan

Rho, 2014), Makassar (Sastrawati dan Santoso, 2011), Bandung (Ardiwijaya et al, 2014),

Page 18: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 17 ---

Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014), dan Yogyakarta (Pradoto, 2011), menunjukkan

bahwa urbanisasi dan suburbanisasi yang membentuk kawasan pinggiran (urban fringe) yang

mirip dengan Suburbia di Amerika telah terjadi di Indonesia (Gambar 8).

Gambar 8. Urban Sprawl di Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014) dan Bandung (Ardiwijaya et al, 2014)

Urbanisasi ini muncul karena adanya kesadaran peluang pekerjaan yang dianggap lebih

baik di perkotaan akibat investasi industri dalam dan luar negeri yang memancing penduduk

perdesaan atau perkotaan yang lebih kecil untuk berpindah ke kota besar guna memperoleh

penghidupan yang lebih baik. Kota besar menjadi semakin padat dan menurun fungsinya untuk

mendukung kehidupan yang lebih sehat, dan sektor penyediaan perumahan swasta/pemerintah

melihat peluang ini untuk kemudian mulai melakukan akuisisi lahan pertanian di daerah

pinggiran untuk dibangun menjadi kawasan permukiman. Strategi pemasaran yang digunakan

pun mirip dengan di Amerika, yaitu tawaran kehidupan urban yang lebih sehat dengan harga

murah dan akses ke pusat kota yang terjangkau dari sisi waktu tempuh, serta fasilitas pendukung

seperti shopping center, minimarket, taman dan lain-lain.

Untuk proses urbanisasi yang melahirkan urban sprawl di Indonesia, utamanya di kawasan

JABODETABEK mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Seiring dengan meningkatnya jumlah

penduduk setiap tahunnya dan perpindahan (migrasi) masyarakat dari luar Provinsi DKI Jakarta

yang ingin memperbaiki kehidupan, mereka dan memilih untuk mencari pekerjaan di Jakarta ini.

Untuk memiliki rumah dikawasan pusat kota tentu mahal harganya, namun tetap ingin memiliki

rumah sendiri, oleh karena itu banyak dari mereka yang memilih untuk memiliki tempat tinggal

dipinggiran kota. Namun tidak hanya migran yang tinggal dipinggiran kota, masyarakat asli baik

yang menengah ke atas maupun menengah kebawah juga lebih memilih tinggal dikawasan

Page 19: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 18 ---

pinggiran kota, dengan alasan menjauh dari keramaian dan kemacetan. Agar lebih aman dan

mengurangi konsumsi polusi dari pusat kota. Walaupun jarak dari perkantoran ke permukiman

menjadi lebih jauh. Namun hal ini sebenarnya bisa dihindari jika ada penerapan kebijakan yang

lebih tegas dari pemerintah terkait pelanggaran dalam penggunaan lahan dan kepemilikan tanah.

Terkait dengan permasalahan transportasi (kemacetan, pemborosan energi, polusi

lingungan) dalam urban sprawl di Indonesia, kira-kira dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat

yang bersamaan dengan meningkatnya urbanisasi, industri otomotif yang berasal dari modal

asing (utamanya Jepang) mulai masuk dan mulai melakukan ekspansi pasar otomotif dengan

menyediakan kendaraan pribadi dengan harga terjangkau. Ekspansi dan penguasaan pasar

otomotif ini semakin kuat pada tahun 2000-an ketika strategi kredit kendaraan bermotor

diimplementasikan, yang berimbas pada kemudahan untuk memiliki kendaraan pribadi.

Sebagaimana di Amerika, ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi yang dianggap lebih

efisien pelan-pelan mematikan transportasi publik (bis dan angkot) di banyak kota di Jawa yang

sebelumnya relatif mampu menjangkau seluruh kawasan perkotaan (pengecualian untuk Jakarta,

Bogor dan Bandung yang masih menunjukkan kemauan menggunakan transportasi publik untuk

aktivitas dalam kota). Peningkatan jumlah kendaraan pribadi yang tidak terkontrol ini pada

akhirnya yang menyebabkan munculnya permasalahan transportasi tersebut diatas, mengingat

kondisi yang ada

Satu hal yang berbeda dari Urban Sprawl yang terjadi di Amerika dan di Indonesia adalah

bahwa pengembangan transportasi pribadi dalam bentuk kendaraan bermotor (sepeda motor,

mobil) tidak berasal sepenuhnya dari investasi dalam negeri, melainkan dari investasi asing

(utamanya dari jepang). Hal ini membuat keuntungan ekonomi dari pengembangan industri dan

hasil dari pertumbuhan ekonomi diambil kembali oleh si pemilik modal, sehingga keuntungan

ekonomi yang didapat dari hasil industrialisasi mungkin tidak cukup digunakan untuk

mendukung sektor lain, misalnya subsidi sektor pertanian dan pengembangan agroindustri.

Dengan demikian urban sprawl di Indonesia mempunyai dampak negatif yang lebih buruk

daripada di Amerika.

Terkait dengan peran transportasi publik, sebagaimana di Amerika, kota – kota di Pulau

Jawa juga pernah memiliki jaringan trem listrik warisan dari pemerintah kolonial, namun trem

ini sudah dimatikan dua dasawarsa sebelum urbanisasi mulai masif. Transportasi publik berbasis

rel yang tersisa saat ini adalah transportasi rel jarak jauh yang desain awalnya adalah untuk

menghubungkan antar kota, sehingga walaupun dimanfaatkan untuk melayani ulang alik

(commuting) dari kawasan pinggiran ke pusat kota, aksesbilitasnya tidak mampu menjangkau

seluruh kawasan yang terpengaruh urbanisasi sehingga tidak cukup efisien untuk mengurangi

ketergantungan pada kendaraan pribadi. Terlebih jika dilihat dari tipologi, pola dan struktur

Page 20: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 19 ---

urban sprawl di perkotaan Indonesia, urban sprawl di Indonesia dicirikan oleh perumahan dan

permukiman kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan berpola dentritik. Tipologi

ini kurang lebih mirip dengan di Amerika, sehingga implementasi transportasi publik yang

mampu menjangkau seluruh kawasan tetap tidak akan efektif dalam mengurangi ketergantungan

pada kendaraan pribadi. Strategi yang lebih sosial seperti urbanisme baru akan sulit

diimplementasikan mengingat ketergantungan penduduk kawasan pinggiran pada aktivitas

ekonomi dan industri di pusat kota sangat tinggi. Dengan demikian pada akhirnya Indonesia

terjebak pada permasalahan yang sama dengan Amerika Serikat.

Pada akhirnya, permasalahan akibat urbanisasi dan urban sprawl di Amerika terjadi juga

di Indonesia seperti kemacetan lalulintas, konsumsi BBM yang tinggi, dan degradasi lingkungan.

Respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga relatif mirip dengan Amerika seperti

misalnya pembangunan infrastruktur transportasi berbiaya tinggi (jalan tol) guna

mempermudah akses atau pemberian subsidi BBM untuk menjaga daya jangkau masyarakat

terhadap energi, yang kesemuanya ini tidak memenuhi kaidah keberlanjutan (sustainability),

terutama jika dilihat dari risiko krisis energi fosil global yang semakin terakselerasi waktu

kedatangannya.

VI. KESIMPULAN

Urban Sprawl dan suburbanisasi yang terjadi di Amerika Serikat pada masa pasca Perang

Dunia ke II telah membawa banyak permasalahan lahan, lingkungan dan energi, baik pada saat

ini maupun di masa mendatang. Permasalahan ini mungkin tidak disadari sejak awal

pengembangannya atau mungkin disadari, hanya Pemerintah Amerika terlambat mengantisipasi

permasalahan tersebut, sehingga saat ini Amerika menjadi sangat rentan dengan ketidastabilan

ekonomi akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Dilihat dari kesesuaian dengan kriteria pembangunan permukiman berkelanjutan

menurut UN Habitat, pengembangan permukiman di Kawasan Suburban Amerika sama sekali

tidak memenuhi satu pun unsur permukiman berkeberlanjutan, sehingga harus disusun strategi

dan upaya lintas sektor untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun demikian, Pemerintah

Amerika masih cenderung untuk tidak memprioritaskan strategi tersebut, dan lebih berupaya

mengamankan kebutuhan energi dalam rangka menghadapi risiko krisis energi global di masa

mendatang.

Pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota di Indonesia ternyata mengikuti

pola pengembangan yang terjadi di Amerika, dimana kawasan komersial, perumahan dan area

Page 21: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 20 ---

industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya penggunaan lahan

saling terpisahkan, antara ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Pengaturan

penggunaan lahan seperti ini menyebabkan lokasi dimana masyarakat yang tinggal, bekerja,

berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit,

dan bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.

Sebagaimana di Amerika, pengembangan kawasan pinggiran juga ditandai dengan tingkat

penggunaan mobil yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut

dengan automobile dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju

(commuting to work), membutuhkan mobil atau sepeda motor sebagai akibat dari isolasi area

dari zona perumahan dengan kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode

transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki

sedikit bahkan tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki. Sebagai dampak dari

fenomena ini adalah meningkatnya konsumsi energi oleh manusia yang menyebabkan

peningkatan polusi dari hasil aktivitas tersebut, juga ketersediaan dari energi dan sumber daya

alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari manusia yang semakin tinggi

pula.

Untuk mengurangi pengembangan permukiman yang tidak berkelanjutan ini, strategi dan

upaya baru pengembangan permukiman harus mulai disusun dan diimplementasikan. Kota

megapolitan Indonesia seperti DKI Jakarta saat ini telah memulai pembangunan-pembangunan

hunian vertikal yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah ini cukup baik

karena dapat mengurangi intensitas permasalahan yang akan muncul sebagai imbas dari

pembangunan permukiman yang tidak berkelanjutan. Melalui kebijakan relokasi dari

permukiman kumuh ke hunian vertikal, secara langsung atau tidak langsung Pemerintah DKI

Jakarta telah mengupayakan dan memperkenalkan prinsip New Urbanism kepada masyarakat

umum bahwa kepemilikan rumah tidak harus disertai dengan kepemilikan tanah, mengingat

lahan relatif terbatas dan tidak semua bisa digunakan untuk penggunaan lahan permukiman.

Page 22: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 21 ---

DAFTAR PUSTAKA

Ames, D. L. 1995. Interpreting Post-World War II Suburban Landscape as Historic Resources.

Dalam Slaton, D., & Schiffer, R. A (ed). Preserving The Recent Past. Washington, DC:

Historic Preservation Education Foundation.

Ardiwijaya, V. S., Soemardi, T. P., Suganda, E., & Temenggung, Y. A. (2014). Bandung Urban Sprawl and Idle Land: Spatial Development Perspectives. APCBEE Procedia, 10, 208-213.

Batudoka, Z. (2005). Kota Baru dan Aspek Permukiman Mendepan. Jurnal Smartek, 3 (1), 27-36.

Bhatta, B. 2010. Analysis of Urban Growth and Sprawl from Remote Sensing. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Bruegmann, R. 2005. Sprawl: A Compact History. Chicago: University of Chicago Press.

Dimitra, S., & Yuliastuti, N. (2012). Potensi Kampung Nelayan Sebagai Modal Permukiman Berkelanjutan di Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Mas. Jurnal Teknik PWK, 1 (1), 11-19.

Firman, T. (2008). The Patterrns of Indonesia’s Urbanization, 1980-2007. Paper dipresentasikan di 2008 Population Association of America Annual Meeting Program.

Gillham, O. (2002). The Limitless City: A Primer on the Urban Sprawl Debate. Washington D.C: Island Press.

Gordon, P., & Richardson, H. (1997). Are Compact Cities a Desirable Planning Goal?. Journal of the

American Planning Association, 63 (1), 95-106.

Handayani, W., & Rudiarto, I. (2014). Dynamics of Urban Growth in Semarang Metropolitan – Central Java: An Examination Based on Built-Up Area and Population Change. Journal of Geography and Geology, 6 (4), 80-87.

Hayden, D. 2004. A Field Guide to Sprawl. New York: W. W. Norton & Co.

Hidajat, J.T., Sitorus, S. R. P., Rustiandi, E., & Machfud. (2013). Urban Sprawl Effects on Settlement Areas in Urban Fringe of Jakarta Metropolitan Area. Journal of Environment and Earth Science, 3 (12), 172-179.

James, P., Holden, M., Lewin, M., Neilson, L., Oakley, C., Truter, A., & Wilmoth, D. (2013). Managing

Metropolises by Negotiating Mega-Urban Growth. Dalam Mieg, H., & Töpfer, K.

Institutional and Social Innovation for Sustainable Urban Development. London:

Routledge.

Lewinnek, E. 2014. The Working Man's Reward: Chicago's Early Suburbs and the Roots of American

Sprawl. Oxford: Oxford University Press.

Lopez, R. (2014). Urban Sprawl in the United States: 1970-2010. Cities and Environment, 7 (1), 1-

19.

Mahriyar, Z. M., & Rho, Y. J. (2014). The Compact City Concept in Creating Resilent City and Transportation System in Surabaya. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 135, 41-49.

Pradoto, W. (2011). Dynamics Of Peri-Urbanization And Socioeconomic Transformation: Case of Metropolitan Yogyakarta, Indonesia. International Journal Of Arts & Sciences, 4 (27), 19-29.

Page 23: Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

--- 22 ---

Sastrawati, I., & Santoso, L. (2011). Perubahan Guna Lahan Di Suburban Selatan Kota Makassar. Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, 5, 978–979.

Silverthorn, B. (Produser), & Greene, G. (Sutradara). (2004). The End of Suburbia: Oil Depletion

and the Collapse of the American Dream [Gambar Bergerak]. Kanada: The Electric

Wallpaper Co.

Suarez, R. 1999. The Old Neighborhood: What we lost in the great suburban migration: 1966-1999.

New York: Free Press.

UN Habitat. (2014). A New Strategy of Sustainable Neighbourhood Planning: Five Principles. UN

Habitat Discussion Note 3 Urban Planning.

Vicino, T. J. 2008. Transforming Race and Class in Suburbia: Decline in Metropolitan Baltimore. New

York: Palgrave Macmillan.

Warouw, F. (2014). Pendekatan Desain Berkelanjutan Pada Perumahan Kota di Indonesia “For

Better Engineering”. Media Matrasain, 11 (2), 1-11.

Winkler, R. 2003. Going Wild: Adventures with Birds in the Suburban Wilderness. Washington, D.C.:

National Geographic.

Yunus, H. S. 2005. Klasifikasi Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.