universitas indonesia uji diagnostik the neurological...
TRANSCRIPT
-
UNIVERSITAS INDONESIA
UJI DIAGNOSTIK
THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY
FOR EPILEPSY VERSI INDONESIA
PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN
GANGGUAN DEPRESI MAYOR
TESIS
IZATI RAHMI
0806485032
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
DESEMBER 2013
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
i
UNIVERSITAS INDONESIA
UJI DIAGNOSTIK
THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY FOR
EPILEPSY VERSI INDONESIA
PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN
GANGGUAN DEPRESI MAYOR
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SPESIALIS-1 NEUROLOGI
IZATI RAHMI
0806485032
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
DESEMBER 2013
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
ii
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
iii
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
iv
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam
selalu saya panjatkan kepada junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,
Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh
jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada
saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM.
2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,
dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk
mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.
3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati,SpS(K), yang telah
memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama
saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya
ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan
Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar
lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana
dan prasarana selama proses pendidikan saya.
4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi,SpS(K),
M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid,SpS(K); terima
kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam
pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
vi
Anindhita,SpS(K) terima kasih untuk arahan, bantuan, dan bimbingan
dalam pengerjaan tesis ini.
5. DR. dr. Yetty Ramli,SpS(K) selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu mengingatkan dan memberikan dorongan untuk dapat menjalankan
dan melaksanakan semua tugas-tugas selama pendidikan di neurologi, dan
seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, atas bimbingan dan
dukungan yang diberikan untuk memahami segala seluk beluk penyakit
saraf dan pemahaman terhadap kondisi pasien yang komprehensif. Semua
itu kelak akan menjadi bekal saya dalam pelayanan terhadap masyarakat
dan memajukan bidang Neurologi.
6. Para pembimbing, dr. Diatri Nari Lastri,SpS(K), terima kasih sedalam-
dalamnya atas kesempatan melaksanakan penelitian ini dan kesediaan
untuk membimbing dan saran-saran yang diberikan dalam mengarahkan
saya pada penyusunan tesis ini. dr. Astri Budikayanti,SpS terima kasih
banyak dan penghargaan yang tidak terhingga atas waktu, perhatian,
kesabaran, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada saya hingga dapat
melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Dr.dr. Herqutanto,
MPH, MARS selaku pembimbing statistik, terima kasih dan rasa hormat
atas waktu dan pikiran yang telah diberikan dalam membantu saya selama
proses penelitian.
7. dr. Zakiah Syeban,SpS(K); DR.dr. Yetty Ramli,SpS(K) dan dr. Adre
Mayza,SpS(K) selaku penguji yang telah memberikan saran dan
pemikiran dalam tiap tahap ujian tesis ini. dr. Pukovisa
Prawiroharjo,SpS selaku moderator yang juga banyak memberikan
banyak masukan.
8. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga saya haturkan
kepada guru-guru saya: Dr. dr. Siti Airiza Achmad, SpS(K); dr. Silvia
F. Lumempouw, SpS(K); dr. Salim Haris, SpS(K), FICA; dr. Adre
Maya, SpS(K); dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K); dr. Mursyid Bustami,
SpS-KIC; dr. Fitri Octaviania, SpS(K), Mpd. Ked; dr. Eka
Musridharta, SpS-KIC; dr. Amanda Tiksnadi, SpS; dr. Taufik
Mesiano, SpS; dr. Ahmad Yanuar, SpS; dr. Nurul Komari, SpS; dr.
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
vii
Rakhmat Hidayat; SpS, dan dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS. Terima
kasih atas segala bimbingan selama menjalani pendidikan.
9. Kepada dr. Fitri Octaviana,SpS(K), MPd.Ked terima kasih banyak atas
saran dan masukannya, dan kepada perawat di poliklinik epilepsi dan
ruang EEG Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Zr. Eni, Zr. Renita, Zr.
Rika dan Bapak Wahyu terima kasih banyak atas bantuan dan
kerjasamanya. Kepada pegawai neurologi yang sangat banyak membantu
saya dalam menjalani pendidikan selama di neurologi, bu Ning, mbak
Diana, mbak Rini, mbak Wiwied, mbak Wiwi, mbak Ade, mbak Dini, mas
Anto, pak Edi dan Bu Kamtinah terima kasih yang sebesar-besarnya.
10. Para pasien rawat jalan poliklinik neurologi-epilepsi Rumah Sakit
CiptoMangunkusumo, terima kasih tidak terhingga atas kesediaannya
meluangkan waktu berpartisipasi dalam penelitian ini dan atas pelajaran
hidup yang amat berharga yang saya dapatkan.
11. Rekan-rekan satu angkatan, dr. Sri Utami,SpS, dr. Dian Cahyani, SpS,
dr. Winnugroho Wiratman, SpS, dr. Linda Suryakusuma, SpS, dr.
Aldi Novriansyah, dr. Uly Indrasari, dr. Asri Saraswati, dr. Karolina
Margaretha, dukungan dan kerjasamanya selama ini, dan tak lupa terima
kasih sebesar-besarnya kepada dr. Sekar Sunan atas ide penelitian yang
sangat menarik ini. Terima kasih juga buat teman lama dr. Rahmat Syah,
SpS dan juga buat sahabatku dr. Liesya Hartiansyah. Tim OSCE
Yogyakarta, dr. Uly Indrasari, terima kasih banyak untuk bimbingan,
kerjasama dan jembatan-jembatan keledainya itu, dr. Aldy Novriansyah,
dr. Asri Saraswati, dr. Yusi Amalia, dr. Marlon Tua, dr. Shinta
Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak
atas bantuan, kerjasama dan waktu-waktu kebersamaan yang luar biasa,
menegangkan dan juga menyenangkan selama menghadapi persiapan dan
ujian OSCE serta ujian mental di Yogyakarta. Rekan-rekan dan senior
yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis ini dr. Cut Antara
Keumala, dr. Donna Octaviani, dr. Mery Krismato, dan dr. Allan
terima kasih untuk sama-sama saling membantu dan mengingatkan, dan
seluruh rekan–rekan junior dan senior kerukunan PPDS Neurologi, terima
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
viii
kasih untuk persahabatan, kebersamaan serta bantuannya. Semoga
persahabatan dan persaudaraan senantiasa terjalin dalam hubungan
kesejawatan sepanjang hidup kita.
12. Kedua orang tua saya, dr.H. Zulfarman, Mkes dan dr. Hj. Anna Murty
Z, tiada kalimat yang cukup untuk melukiskan betapa besarnya cinta kasih
dan dukungan yang telah kalian berikan kepada saya hingga detik ini. Doa,
pengorbanan, bimbingan, dorongan dan teladan yang diberikan sejak kecil
membuat saya bisa melangkah sejauh ini. Kepada mertua saya drs.H.
Mahferi Junas dan Hj. Sylvia Nirwani, terima kasih dan salam hormat
atas segala dukungan yang diberikan selama ini.
13. Suami tercinta Ferdi Mirza Octavian, ST,MM putri tersayang dan
belahan jiwa Farah Aqila Putri; terima kasih atas segala pengorbanan,
cinta kasih, kesabaran, pengertian dan dukungan selama menempuh masa
pendidikan ini. Puji syukur selalu saya panjatkan kepada Allah atas
keluarga yang sangat menyayangi dan mendukung saya setiap waktu. Adik
saya tersayang dr. Diana Rahmi, MKes, dan kakak saya Hecky Firman,
ST, MM terima kasih banyak atas dukungannya yang tiada henti, nasehat
dan kesabarannya dan semangat. Juga kepada adik ipar saya dr. Eldy M
Noor, drg. Yuri Deswita, Vira Nisfisari, SPd,MH dan Muhammad
Firnanda,SE yang juga selalu memberikan dorongan dan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini.
14. Sahabat setia saya dr. Yetty Rahmawati yang selalu sabar menyediakan
waktu dan tak bosan memberikan nasehat dan dorongan selama saya
menjalani pendidikan di neurologi.
Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu mnyelesaikan
pendidikan Spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima
kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan
pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dengan segala kekurangannya dapat
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.
Jakarta, 23 Desember 2013
Penulis
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
ix
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Izati Rahmi
Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi
Judul : Uji diagnostik The Neurological Disorders Depression
Inventory for-Epilepsy (NDDI-E) versi Indonesia pada
pasien epilepsi dewasa dengan gangguan depresi mayor
Latar belakang. Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatri yang sering
terjadi pada pasien epilepsi. Prevalensinya adalah 20-80%. Depresi bukan
merupakan suatu pemeriksaan yang rutin dilakukan di poliklinik neurologi karena
membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga banyak pasien yang tidak
terdiagnosis dan akhirnya tidak terobati, untuk itu diperlukan pemeriksaan yang
singkat. The Neurological Disorders Depression Inventory for-Epilepsi (NDDI-E)
merupakan pemeriksaan skrining depresi yang terdiri dari 6-aitem.
Tujuan. Menentukan akurasi dan titik potong NDDI-E versi Indonesia sebagai
skrining depresi pada pasien epilepsi dewasa.
Metode. Penelitian uji diagnostik yang dilakukan di poliklinik epilepsi RSCM.
Pemeriksaan dilakukan pada semua pasien epilepsi yang memenuhi kriteria
inklusi. Pasien mengisi sendiri formulir NDDI-E tanpa bantuan orang lain.
Kemudian dilakukan pemeriksaan the International Neuropsychiatric Interview
Mini ICD-10 (MINI-ICD10) sebagai standar baku.
Hasil. Dari 105 orang subyek penelitian terdapat 23 orang mengalami gangguan
depresi mayor berdasarkan MINI-ICD 10. Didapatkan kurva Receiver Operating
Characteristic (ROC) yang mendekati 100%, titik potong 11, dengan Sensitifitas
91,3% Spesifisitas 89% PPV 70% dan NPV 97,3%. Secara statistik NDDI-E versi
Indonesia masuk dalam klasifikasi yang kuat, karena nilai Area Under the Curve
(AUC) 97,5% dengan interval kepercayaan (95%CI 95%-99%).
Kesimpulan. NDDI-E versi Indonesia memiliki nilai akurasi yang tinggi untuk
menentukan gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa pada titik
potong 11.
Kata Kunci. Epilepsi, gangguan depresi mayor, NDDI-E versi Indonesia.
x
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Izati Rahmi
Program Studi : Neurology Specialization Educational Programme
Judul : Diagnostic test study of Indonesian version of The
Neurological Disorders Depression Inventory for epilepsy
in adult epilepsy patients with major depression disorders
Background. Depression is a common psychiatric disorder in epilepsy. The
prevalence is 20-80%. The depression is not a routinely assessed in neurology
clinics, because the assestment takes a long time. So, many patients are under
diagnosed and untreated. The Neurological Disorders Depression Inventory for-
Epilepsy (NDDI-E) is a depression screening examination consist of only 6-aitem.
Purpose. To determine the accuracy and cut-off point of NDDI-E Indonesian
version as a screening depression examination for adult epilepsy patients.
Method. Diagnostic test study was conducted at epilepsy clinic on RSCM. All the
epilepsy patient who met the inclusion criteria was examined. The patient took the
NDDI-E Indonesian version as a self assesment. Then there were assest with used
the International Neuropsychiatric Interview Mini ICD-10 (MINI-ICD10) as a
gold standar.
Results. From the 105 subjects, there were 23 people suffered from major
depression by MINI-ICD10. Receiver Operating Characteristic (ROC) curve
obtained which is close to 100%, cut-off point at 11, with Sensitivity 91.3%
Specificity 89% PPV 70% and NPV of 97.3%. It was statistically classified as
strong because the value of Area Under the Curve (AUC) is 97.5% with a
confidence interval (95% CI 95% -99%).
Conclusion. NDDI-E Indonesian version has a high accuracy to determine major
depressive disorder in adult epilepsy patients with the cut-off point at 11.
Keywords. Epilepsy, major depressive disorder, NDDI-E Indonesian version.
xi
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................... ix
ABSTRAK........................................................................................................ x
ABSTRACT..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI…………….……………………………………………........... xii
DAFTAR TABEL………..………………………………………….............. xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………................ 1
1.1 Latar Belakang masalah ....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3 Hipotesa Penelitian................................................................ 3
1.4 Tujuan penelitian .................................................................. 4
1.5 Manfaat penelitian ................................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
2.1 Epilepsi.................................................................................. 5
2.1.1 Definisi Epilepsi........................................................ 5
2.1.2 Klasifikasi Epilepsi ................................................... 5
2.1.3 Patofisiologi Epilepsi................................................. 7
2.1.4 Gejala psikiatri pada epilepsi .................................... 8
2.1.4.1. Fenomena Psikiatri pre-iktal ........................ 9
2.1.4.2. Fenomena Psikiatri iktal .............................. 9
2.1.4.3. Fenomena Psikiatri post-iktal ...................... 9
2.1.4.4. Fenomena Psikiatri inter-iktal ..................... 10
2.2 Depresi .................................................................................. 10
2.2.1 Definisi Depresi ........................................................ 10
2.2.2 Klasifikasi Depresi .................................................... 11
2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR ............... 11
2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10 ....................... 14
2.2.2.3. Perbandingan depresi berdasarkan DSM –
IV dan ICD-10 ............................................
16
2.3 Depresi pada epilepsi............................................................. 18
2.3.1 Epidemiologi Depresi pada Epilepsi ........................ 18
2.3.2 Patofisiologi Depresi pada Epilepsi .......................... 21
2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada pasien ……........ 21
2.3.2.2. Faktor Psikososial pada epilepsi dengan
depresi….......................................................
31
2.3.2.3. Faktor lain yang mempengaruhi depresi
pada Epilepsi ...............................................
32
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
2.4 Instrumen pemeriksaan gangguan depresi mayor pada
epilepsi ..................................................................................
34
2.4.1 The Mini International Neuropsychiatric Interview
ICD 10 (MINI ICD 10) .............................................
34
2.4.2 The Neurological Disorder Depression Inventory
for Epilepsy (NDDI-E)..............................................
35
2.4.2.1. Sejarah NDDI-E .......................................... 36
2.4.2.2. Validitas dan Reabilitas NDDI-E untuk
diagnosis Depresi Mayor pada epilepsi .......
37
2.4.2.3. Penelitian mengenai depresi mayor pada
pasien epilepsi menggunakan NDDI-E .....
37
2.5 Uji Diagnostik....................................................................... 41
2.5.1 Langkah-langkah Uji Diagnostik............................ 41
2.5.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) 43
2.6 Kerangka teori ...................................................................... 45
2.5 Kerangka konsep…............................................................... 46
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 47
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
3.10
3.11
3.12
3.13
Desain Penelitian…………………………………………...
Tempat dan Waktu Penelitian...............................................
Populasi Penelitian................................................................
Kriteria Inklusi.......................................................................
Kriteria Eksklusi ...................................................................
Estimasi besar sampel ...........................................................
Sampel dan pemilihan sampel ..............................................
Ijin subyek penelitian ...........................................................
Cara Kerja..............................................................................
Jenis variabel ........................................................................
Batasan operasional...............................................................
Pengolahan dan Analisa Data................................................
Kerangka operasional ...........................................................
47
47
47
47
47
48
48
48
48
49
49
51
53
BAB 4 HASIL PENELITIAN……………………………………………. 54
4.1
4.2
4.3
Karakteristik Demografis Subyek Penelitian…....................
Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under
the Curve (AUC)...................................................................
Penentuan titik potong ......................................……………
54
55
56
BAB 5 PEMBAHASAN………………………………………….............. 59
5.1
5.2
5.3
Karakteristik Demografis Subyek Penelitian…....................
Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under
the Curve (AUC)...................................................................
Penentuan titik potong ......................................……………
59
62
62
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN…………………......……………. 65
6.1
6.2
Kesimpulan…………..………………………….……….....
Saran…………………………………………..……………
65
65
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 66
LAMPIRAN..................................................................................................... 72
xi
xiii
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe banfkitan epilepsi ................. 5
Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi ...... 6
Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresi mayor berdasarkan DSM-IV ....... 11
Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-
IV ................................................................................................
12
Tabel 2.5. Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor episode tunggal
berdasarkan DSM-IV...................................................................
13
Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ-III ................................... 15
Tabel 2.7. Gangguan depresi mayor berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV .... 17
Tabel 2.8. Efek psikotropik positif dan negatif obat anti epilepsi ............... 33
Tabel 2.9. The Neurological Depression Disorders Inventory for Epilepsy
(NDDI-E) ....................................................................................
38
Tabel 2.10. NDDI-E versi Indonesia ........................................................... 41
Tabel 2.11. Tabel Uji Diagnostik 2x2 ......................................................... 43
Tabel 4.1. Sebaran karakteristik subyek berdasarkan gangguan depresi
mayor ..........................................................................................
56
Tabel 4.2. Tabel AUC ................................................................................. 55
Tabel 4.3. Tabel koordinat kurva ................................................................ 56
Tabel 4.4. Tabel Uji Diagnostik gangguan depresi mayor dengan NDDI-E
versi Indonesia berdasarkan MINI-ICD 10..................................
57
Tabel 4.5. Kurva ROC dan efisiensi statistik NDDI-E versi Indonesia
untuk diagnostik depresi mayor berdasarkan MINI ICD 10
versi Indonesia ............................................................................
58
xiv
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Korteks limbik ....................................................................... 22
Gambar 2.2.Sirkuit Papez ........................................................................... 22
Gambar 2.3. Mekanisme terjadinya depresi ............................................... 30
Gambar 4.1. Kurva ROC ............................................................................ 55
Gambar 4.2. Grafik titik potong sensitifitas dan spesifisitas ...................... 57
xv
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. The Neurological Depression Disorders Inventory for
Epilepsy (NDDI-E) versi Indonesia ......................................
72
Lampiran 2. Lembar informasi subyek penelitian ..................................... 73
Lampiran 3. Formulir persetujuan ............................................................. 74
Lampiran 4. Daftar pertanyaan pasien ....................................................... 75
Lampiran 5. Formulir Pengisian pasien ..................................................... 76
Lampiran 6. Lembar Kuesioner MINI-ICD 10 .......................................... 77
Lampiran 7. Anggaran Penelitian .............................................................. 78
Lampiran 8. Jadwal Penelitian ................................................................... 79
Lampiran 9. Keterangan lolos kaji etik ...................................................... 80
xvi
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
NDDI-E : The Neurological Disorders Depression Inventory for
Epilepsi
WHO : World Health Organization
PPV : positive predictive value
NPV : negative predictive value
ILAE : International League Against Epilepsi
DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
Text Revision
ICD-10 : International Classification of Dissease
PPDGJ III : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III
BSIS : Beck Suicide Intent Scale
QOLIE 31 : Quality of life 31
HPA axis : Hypotalamic pituitary adrenal axis
5-HT1A : 5-Hydroxytryptamine 1A
5-HT2A : 5-Hydroxytryptamine 1A
5-HIAA : hydroxyindolacetic acid).
EEG : Elektroencephalograph
LC : locus cerulues
MHPG : 3-methoxy- 4-hydroxy -phenylglycol
CRH : corticotrophin-releasing hormone
fMRI : functional Magnetic Ressonance Imaging
GABA : Gamma-aminobutyric-acid
NMDA : N-Methyl-D-Aspartate
AMPA : α-amino-3 hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid
L-AP4 : L-2 amino-4 phosphorobutyrate
ACPD : trans-1-aminocyclopentane-1, 3-dicarboxylic acid
CSF : Cerebro spinal fluid
BDNF : brain-derived neurotrophic factor
ACTH : adrenocorticotropic hormone
DST : dexamethasone suppression test
MTS : sklerosis temporal mesial
MRS : magnetic resonance spectroscopy
TLE : Temporal Lobe Epilepsi
PET : Positron Emission Tomography
SPECT :Single Photon Emission Computed Tomography
PVN : paraventricular nucleus
IL-1β : Interleukin 1β
TNFα : Tumor necrosing factor α
OAE : obat antiepilepsi
PB : Phenobarbital
PRM : pirimidone
TPM : topiramate
LEV : levetiracetam
xvii
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
Universitas Indonesia
ZNS : zonisamide
LTG : lamotrigine
MINI : Mini International Neuropsychiatric Interview
SCID : Structural Clinical Interview for DSM-IV
CIDI : Composite International Diagnostic Interview
BDI : Beck Depression Inventory
CES-D : Center for Epidemiological Studies Depression
xviii
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.1,2,3
Sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik
otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.2,3
Manifetasi klinik
ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara, berupa gangguan perilaku yang
stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik,
autonom ataupun psikis.1,2,3
Penegakkan diagnosis menjadi sulit jika ditemukan
adanya perubahan perilaku antar kejang atau gejala komorbid psikiatri seperti:
depresi, ansietas, psikosis, gangguan obsesif-konpulsif, gangguan atensi,
gangguan kepribadian menjadi lebih agresif dan keinginan bunuh diri.4 Walaupun
perubahan prilaku antar kejang sering terjadi ringan dan bersifat reversibel,
beberapa pasien dengan epilepsi refrakter gejalanya bisa menetap sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup pasien.2,5,6
Terdapat beberapa gejala komorbid yang sering terjadi pada pasien
epilepsi. dibandingkan populasi umum, antara lain depresi (11-80%), gangguan
atensi dan hiperaktif (12-37%), ansietas (15-25%), gangguan panik (4,9-21%),
dan psikosis (2-9%).7
Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) atau juga biasa
disebut depresi mayor, merupakan satu atau lebih episode depresi mayor yang
dialami sekurang-kurangnya 2 minggu, terdapat suasasana perasaan yang
terdepresi atau kehilangan minat atau kesenangan terhadap aktifitas yang biasa
dilakukan. Terdapat minimal empat gejala tambahan dari beberapa gejala berikut,
yaitu perubahan nafsu makan, pola tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan
energi, perasaan bersalah atau tidak berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi
atau untuk membuat keputusan; pemikiran berulang tentang kematian atau
ide/rencana/percobaan untuk bunuh diri.8
Beberapa penelitian tentang gangguan psikiatri pada epilepsi telah
dilakukan dengan hasil yang cukup bervariasi. Diantaranya Gilliam (2006),
melaporkan gangguan depresi terjadi lebih dari 30% pada komunitas epilepsi,
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
2
Universitas Indonesia
menurut Hamed SA 20-80%, dan beberapa penelitian lainnya dengan rentang
persentase yang hampir sama. 9,10,11
Diagnosis depresi mayor pada klinik non-psikiatrik mendapat cukup
banyak perhatian beberapa tahun terakhir. WHO dan beberapa badan kesehatan
nasional dan internasional telah memiliki guideline untuk diagnosis dan
pengobatan depresi mayor. Berdasarkan beberapa bukti yang ada, menunjukkan
bahwa penilaian depresi mayor bukan pemeriksaan rutin pada klinik-klinik
neurologi, dan fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang
mengalami depresi mayor akhirnya tidak diobati. Disini terdapat kesempatan
besar untuk meningkatkan kualitas perawatan untuk pasien epilepsi.10
Depresi tidak hanya memberikan efek negatif pada kesehatan pasien,
tetapi juga berpotensi untuk menyebabkan hal-hal yang mengancam nyawa, yang
berhubungan dengan bunuh diri. Dari penelitian yang dilakukan Isometsa dkk
dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang
tidak mendapatkan pengobatan atau telah mendapatkan pengobatan namun tidak
adekuat untuk depresinya. Danish juga menyebutkan bahwa pasien epilepsi
memiliki risiko bunuh diri sampai 3kali lipat dibandingkan populasi umum. Dan
dari penelitain lain, Doris mengatakan bahwa tingkat gagasan bunuh diri pada
depresi mayor adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity
Survey, probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri
sekitar 34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan
gagasan bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah
26%.9,12,13,14,15
Deteksi depresi pada pasien epilepsi ini cukup sulit dilakukan pada poli
rawat jalan, mengingat waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan depresi
memerlukan waktu yang cukup lama (15-20 menit), sehingga pemeriksaan
seringkali tidak dilakukan dan diagnosisnya menjadi terlewatkan, karena itu
diperlukan pemeriksaan yang lebih singkat dan sederhana. Salah satu instrumen
yang dapat digunakan untuk mendeteksi depresi pada epilepsi adalah The
Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Instrumen
ini terdiri dari 6-aitem kuesioner, dapat digunakan dengan cepat dan dapat
diandalkan untuk mendeteksi depresi mayor pada klinik rawat jalan. NDDI-E
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
3
Universitas Indonesia
sudah divalidasi dan diuji diagnostik di beberapa negara seperti Spanyol, Jerman,
Korea, Jepang, Brazil dan Italia. 12
Termasuk di Indonesia oleh Rahmi (2013).
Deteksi depresi mayor meningkat hampir 10 kali lipat dengan
menggunakan instrumen NDDI-E ini. Meskipun NDDI-E tidak dimaksudkan
untuk menggantikan evaluasi definitif, seperti wawancara psikiatri yang
terstruktur, pemeriksaan ini dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien yang
mungkin berisiko dan sebagai alat untuk evaluasi depresi pada pasien epilepsi di
poli rawat jalan. Hal ini sangat membantu pada poli rawat jalan dimana
keterbatasan waktu seringkali membatasi identifikasi depresi. 12
Terdapat perbedaan nilai cut-off point untuk diagnosis gangguan depresi
mayor di berbagai negara, karena itu dirasa sangat penting untuk melakukan uji
diagnostik NDDI-E di Indonesia untuk mendapatkan sensitivitas, spesifisitas,
positif prediktif value dan negatif prediktif value sesuai dengan nilai cut-off point
pada populasi pasien epilepsi di Indonesia, untuk menilai apakah pemeriksaan ini
memiliki tingkat akurasi yang hampir sama atau lebih baik dibandingkan
pemeriksaan standar yang biasa dilakukan yaitu MINI-ICD 10 sehingga mampu
diterapkan pada populasi pasien epilepsi di Indonesia.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
a. Seberapakah keakuratan NDDI-E versi Indonesia untuk mendeteksi
gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa?
b. Berapakah cut-off point NDDI-E versi Indonesia untuk gangguan depresi
mayor?
I.3. Hipotesa penelitian
NDDI-E memiliki sensitivitas yang lebih baik dan spesifisitas yang sama
dibandingkan pemeriksaan MINI-ICD 10.
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
4
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mendapatkan instrumen NDDI-E dalam bahasa Indonesia yang akurat
untuk mendeteksi gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mendapatkan nilai Sensitivitas, Spesifisitas, positive predictive value
(PPV) dan negative predictive value (NPV) NDDI-E dalam bahasa
Indonesia untuk mendeteksi depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa.
b. Mendapatkan cut-off point skor NDDI-E untuk gangguan depresi mayor
pada pasien epilepsi dewasa.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1 Bidang penelitian
Hasil penelitian dapat dipakai sebagai instrumen pemeriksaan deteksi
depresi mayor yang lebih sederhana, lebih mudah dan membutuhkan
waku yang cukup singkat terhadap pasien epilepsi dewasa.
1.4.2 Bidang pendidikan
Penelitian ini merupakan sarana dalam melatih berpikir dan melakukan
penelitian dengan mengikuti aturan yang sesuai dengan metodologi
penelitian.
1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan suatu
instrumen yang lebih sederhana untuk mendeteksi terjadinya gangguan
depresi mayor pada pasien epilepsi di poliklinik rawat jalan, yang dapat
dilakukan oleh ahli saraf maupun dokter umum.
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
5
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EPILEPSI
2.1.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. 1,2,3
Sedangkan yang dimaksud dengan sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.2,3
Manifetasi klinis ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara
berupa gangguan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom ataupun psikis.1,2,3
2.1.2. Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi epilepsi yang ditetapkan oleh International League Against
Epilepsy (ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis
sawan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi : 3,16,17,18
1. Bangkitan parsial/fokal 1.1. Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik 1.1.2. Dengan gejala somato-sensorik 1.1.3. Dengan gejala otonom 1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2. Bangkitan parsial kompleks 1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran 1.2.2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum 1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum 1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum.
2. Bangkitan umum 2.1. Lena (absence)
2.1.1. Tipikal lena 2.1.2. Atipikal lena
2.2. Mioklonik 2.3. Klonik 2.4. Tonik 2.5. Tonik-klonik 2.6. Atonik/astatik 3. Bangkitan yang tidak tergolongkan
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
6
Universitas Indonesia
Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :3,16,17,18
1. Fokal/partial (localized related) 1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentro-temporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital 1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik 1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak (Kojenikow’s
syndrome)
1.2.2. Syndrome dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatam, hiperventilasi, reflex epilepsy, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal 1.2.4. Epilepsi lobus frontal 1.2.5. Epilepsi lobus parietal 1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik 2. Epilepsi umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) 2.1.1. Kejang neonatus familial benigna 2.1.2. Kejang neonatus benigna 2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi 2.1.4. Epilepsi lena pada anak 2.1.5. Epilepsi lena pada remaja 2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga. 2.1.8. Epilepsi umum idiopatik yang lain yang tidak termasuk salah satu diatas. 2.1.9. Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik.
2.2. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia) 2.2.1. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam) 2.2.2. Sindrom Lennox-Gestaut 2.2.3. Epilepsi mioklonik astatik 2.2.4. Epilepsi mioklonik lena.
2.3. Simtomatik 2.3.1. Etiologi non spesifik
2.3.1.1. Ensefalopati mioklonik dini. 2.3.1.2. Ensefalopati pada infantile dini dengan burst supresi 2.3.1.3. Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk diatas
2.3.2. Sindrom spesifik 2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1. Bangkitan umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal 3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam 3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat ( Sindrom Landau-Kleffner) 3.1.5. Epilepsy yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Sindrom khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 4.1.1. Kejang demam 4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated) 4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, toksis, alkohol,
obat-obatan, eklamsia, hipeglikemi non-ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsy reflektorik)
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
7
Universitas Indonesia
2.1.1. Patofisiologi Epilepsi
Terdapat beberapa hal yang diketahui dapat memicu terjadinya epilpesi,
yaitu peningkatan eksitabilitas membrane neuron, gangguan mekanisme inhibisi
dan peningkatan sinkronisasi pada sekelompok neuron sehingga terjadi cetusan
yang mendadak dan berlebihan. Sinkronisasi adalah pengaturan respon neural
secara tepat sehingga dihasilkan keluaran yang efektif, dan eksitabilitas adalah
kemampuan neuron untuk melepaskan muatan setelah diberi rangsangan.1
Sementara itu dari sudut pandang biologi molekuler sawan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmitter dari
presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor
NMDA atau AMPA di post-sinaptik.18
Neurotransmitter merupakan substansi
yang dilepaskan oleh saraf presinaps ke dalam sinaps kemudian substansi ini
terikat kepada reseptor yang spesifik pada paska sinaps. Neurotransmitter utama
di otak adalah glutamat, gamma-amino-butyric acid (GABA), asetilkolin,
norepinefrin, dopamin, serotonin dan histamin. Neurotransmitter inhibitor utama
adalah GABA, sedangkan neurotransmiter eksitatorik utama adalah glutamat.
Sel neuron normalnya memiliki potensial membran yang merupakan hasil
dari beda potensial ion-ion di dalam dan luar sel, yang dapat berpindah melalui
kanal ion. Bagian luar membran didominasi oleh ion Na+ dan Cl
-, sedangkan
intrasel didominasi oleh K+. Dua macam reseptor yang dapat mengaktifkan kanal
ion, yaitu alpha-amino-2,3-dihydro-5-methyl-3-oxo-4-isoxazolepropanoic acid
(AMPA), reseptor kainat, N-methyl-D-Aspartat (NMDA) serta reseptor γ-
amynobutyric acid (GABAa) yang langsung berhubungan dengan kanal ion, serta
reseptor metobotropik yang berfungsi sebagai second messenger untuk
mengaktifkan kanal ion adalah reseptor GABAb, peptida, katekolamin, dan
glutamat.
Ikatan neurotransmitter pada reseptor yang mencapai ambang rangsang
tertentu menyebabkan terbukanya kanal Na+, Na
+ masuk ke intrasel sehingga
muatan intrasel berkurang kenegatifannya (depolarisasi). Pada saat yang
bersamaan, kanal K+ juga terbuka dan K
+ keluar ke ekstrasel secara lambat
sehingga muatan intrasel menjadi kembali negatif dibandingkan saat istirahat
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
8
Universitas Indonesia
(hiperpolarisasi). Selain itu depolarisasi juga menyebabkan terbukanya kanal Ca++,
Ca++
masuk intrasel dan menghasilkan depolarisasi yang lebih lama, juga disertai
hiperpolarisasi yang lebih lama.19
Pada saat terjadi depolarisasi, muncul potensial
aksi di paska sinaps, sedangkan pada saat hiperpolarisasi terjadi mekanisme
inhibisi yang diakibatkan karena menurunnya kemampuan eksitasi membran.
Penjumlahan dari kedua keadaan ini pada dendrit dan badan sel akan mengalami
sinkronisasi ke seluruh permukaan neuron, dan jika sudah mencapai ambang
potensialnya, akan dihantarkan sepanjang akson menuju organ target atau dendrit
lainnya. Hal-hal yang menyebabkan kanal Na+ dan Ca
++ terbuka dan terjadi
depolarisasi membran disebut sebagai kemampuan eksitasi, sedangkan terbukanya
kanal K+ dan Cl
- sehingga terjadi hiperpolarisasi yang disebut sebagai
kemampuan inhibisi. 21
Proses patofisiologi yang mendasari terjadinya bangkitan dapat berupa
gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmiter
eksitatorik yang berlebihan atau kurangnya inhibitorik. Perubahan ini tidak hanya
melibatkan satu neuron, tapi akan melibatkan neuron yang lebih jauh melalui
mekanisme sinaps, sehingga aktivitas epileptik dapat terjadi pada sekelompok
neuron yang kemudian menyebar ke seluruh permukaan melalui serabut
talamokortikal. 22
2.1.4. Gejala Psikiatri pada Epilepsi
Gejala psikiatri pada epilepsi diklasifikasikan berdasarkan hubungannya
dengan terjadinya kejang. Hal ini dibagi atas 2 kelompok besar : interiktal dan
peri-iktal. Gejala interiktal tidak tergantung pada waktu terjadinya kejang. Peri-
iktal berhubungan dengan terjadinya kejang dan dibagi lagi atas gejala yang
mendahului kejang (pre-iktal), mengikuti kejang (post-iktal), atau yang yang
merupakan ekspresi dari kejang itu sendiri (iktal).23
Pengertian pre-iktal adalah periode dimana terjadi perubahan klinis yang
subjektif maupun objektif yang timbul pada saat akan terjadinya serangan
epilepsi, tetapi bukan merupakan bagian dari serangan. Iktal adalah periode
terjadinya kejang. Post-iktal adalah periode dimana terjadi abnormalitas klinis
yang sementara pada sistem saraf pusat yang muncul pada saat tanda klinis kejang
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
9
Universitas Indonesia
berakhir, dapat terjadi dalam waktu beberapa menit sampai jam. Interiktal adalah
periode antara terjadinya kejang. Aura adalah fenomena iktal yang subjektif yang
dapat mendahului kejang yang terlihat, atau bila berdiri sendiri dapat berupa
kejang parsial sederhana sensorik.24
2.1.4.1. Fenomena psikiatri pre-iktal
Gejala psikiatri pre-iktal dapat mendahului kejang beberapa jam samapi 3
hari sebelumnya. Hal ini dapat meningkatkan kewaspadaan pasien dan anggota
keluarga lainnya, namun prevalensi secara aktual masih belum dapat diketahui
secara pasti. Pada satu studi yang dilakukan oleh Mula dkk yang mengidentifikasi
pre-iktal dysphoric like symptoms, terjadi pada 9 dari 143 pasien epilepsi (Mula
2008), studi lain yang dilakukan oleh Blanchet dan Frommer yang menilai
karakteristik klinis gejala psikiatri pre-iktal pada pasien dengan epilepsi,
mengatakan bahwa terjadi peningkatan suasana hati yang menuju ke keadaan
disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) 3 hari sebelum kejang pada
sebagian pasien. Perubahan mood ini lebih ditekankan pada 24 jam sebelum
kejang. 23
2.1.4.2. Fenomena psikiatri iktal
Ekspresi klasik dari gejala iktal psikitari adalah “aura”, berupa perasaan
takut, sedih, atau euphoria. Dari satu penelitian dikatakan bahwa 25% aura terdiri
dari gejala psikiatri, 60% terdiri dari iktal ketakutan atau panik dan 15% gejala
mood. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mintzer dan Lopez melaporkan bahwa
dari 12 pasien dengan TLE, 8 orang diantaranya mengalami dengan gangguan
depresi. Gejala depresi iktal adalah gejala iktal yang cukup sering terjadi;
durasinya singkat, berulang, terjadi diluar konteks, dan berhubungan dengan
fenomena iktal lainnya.gejala yang paling sering muncul adalah perasaan
anhedonia, resah dan ide untuk bunuh diri. 23
2.1.4.3. Fenomena psikiatri post-iktal
Periode post-iktal terbagi atas 2 fase : fase segera (immediate) dan fase
tertunda (delayed). Fase postiktal yang segera merupakan periode yang mengikuti
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
10
Universitas Indonesia
kejang dan biasanya berlangsung beberapa menit sampai 2 jam tetapi dapat juga
terjadi sampai 48 bahkan 72 jam. Gangguan kognitif dan sakit kepala merupakan
gejala pada periode post-iktal yang segera. Gejala psikiatri post-iktal terjadi pada
fase tertunda, dimana terjadi setelah bebas gejala selam 8 jam sampai 7 hari
setelah kejang. Biasanya postiktal periode tertunda akan berakhir antara 12 jam
sampai 7 hari.
Fenomena psikiatri post-iktal dapat berupa : Gejala psikiatri post-iktal
berat yang menyerupai depresi, ansietas, atau episode psikotik. Prevalensi pasien
dengan Post-iktal depressive episode telah dilaporkan pada studi Kanner dkk pada
tahun 2004, pada 18 pasien yang mengalami gejala depresi post-iktal pada
periode kurang dari 24 jam; gambaran ini menyerupai gejala Major depressive
Episode. Pada studi lain yang dilakukan di pusat epilepsi Rush, dapat
diidentifikasi 20 pasien dengan episode depresi post iktal paling kurang 24 jam
mengalami episode yang menyerupai depresi mayor.23
2.1.4.4. Gejala interiktal
Gangguan suasana perasaan depresi merupakan salah satu gangguan
neuropsikiatri yang paling sering muncul pada pasien epilepsi, selanjutnya akan
dibahas lebih lanjut tentang depresi yang terjadi pada pasien epilepsi. 23
2.2. DEPRESI
2.2.1. Definisi Depresi
Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan suasana perasaan yang
terjadi sebagai kelanjutan dari keadaan normal ke bentuk patologis dan pada
beberapa pasien gejalanya bisa berupa psikotik. Gejala ringan dapat merupakan
perluasan kesedihan yang normal, sedangkan gejala berat dikaitkan dengan
sindrom yang jelas (gangguan mood).25
Sindrom klinis ini berkaitan dengan
penurunan atau hambatan dalam alam perasaan, alam pikiran, dan tingkah laku
motorik yang berupa suasana perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan
minat atau gairah untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari disertai
gejala-gejala gangguan fungsional yang berkaitan dengan suasana sedih, misalnya
gangguan tidur, makan, aktifitas seksual dan lain-lain. 26,27
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
11
Universitas Indonesia
Gangguan depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling
sering terjadi. Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3–8%
dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20–50 tahun. World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa gangguan depresif berada pada urutan
ke-4 penyakit di dunia. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10-25% dan
pada laki-laki 5-12%. 28,29
Perkembangan klasifikasi gangguan depesif makin berkembang dari tahun
ke tahun. Dari masa Hippocrates (460-370 SM) sampai disusunnya DSM IV edisi
terbaru yang pada awalnya dirancang sesuai dengan ICD-10. Pada dasarnya ICD-
10 dan DSM IV memiliki orientasi yang sama, meskipun berbeda, terutama pada
terminologi, dapat digunakan secara bergantian dalam praktek sehari-hari.
Dikenal istilah “Episode depresif” pada ICD-10 dan “Episode Depresi Mayor”
pada DSM-IV. 30
2.2.2. Klasifikasi Depresi
2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Text
Revision (DSM-IV-TR) dikenal istilah gangguan depresi mayor (Major
depression disorder) yang merupakan bagian dari gangguan mood, dan
merupakan salah satu bagian dari gangguan depresif, seperti klasifikasi DSM-IV-
TR dibawah ini :
Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresif berdasarkan DSM-IV-TR
8,25
296.xx.Gangguan Depresi Mayor
2x. Episode tunggal
3x. Berulang
300.4 Gangguan Distimia
Khususnya : early onset / late onset
Khususnya : dengan gambaran yang atypical
311. Gangguan Depresif yang tidak spesifik
Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) atau juga biasa
disebut depresi klinis, depresi mayor, depresi unipolar, didefinisikan sebagai satu
atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manik, campuran
atau hipomanik. Suatu episode depresi mayor harus dialami sekurang-kurangnya 2
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
12
Universitas Indonesia
minggu, terdapat suasana perasaan yang terdepresi atau kehilangan minat atau
kesenangan terhadap aktifitas yang biasa dilakukan. Juga terdapat minimal empat
gejala tambahan dari beberapa gejala berikut, yaitu perubahan nafsu makan, pola
tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan energi, perasaan bersalah atau tidak
berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi atau untuk membuat keputusan;
pemikiran berulang tentang kematian atau ide/rencana/percobaan untuk bunuh
diri. Gejala ini menetap, hampir setiap hari dalam 2 minggu berturut-turut. 8 Untuk
menegakkan diagnosis satu episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV 8
A. Lima atau lebih gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan
menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling kurang satu gejala dari salah
satu (1) mood terdepresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya perasaan sedih atau kosong) maupun
pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya tampak sedih)
2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan baik
oleh laporan subjektif maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan berat badan (misalnya peubahan berat badan 5% sebulan) atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari 5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain,
bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya kegelisahan atau menjadi lamban)
6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari 7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai
(yang dapat berupa waham) hampir setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri
sendiri atau bersalah karena sakit)
8. Penurunan kemampuan untuk berfikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif maupun yang diamati orang lain).
9. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau percobaan bunuh diri
atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode campuran C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi bidang penting lainnya.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat, pengobatan), atau suatu kondisi medis umum (misalnya hipotiroidisme)
E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka, yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih lama, lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan
fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak berharga, ide bunuh diri,
gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 355.
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
13
Universitas Indonesia
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi mayor episode
tunggal berdasarkan DSM-IV-TR, setelah memenuhi kriteria episode depresi
mayor diatas, harus dapat memenuhi kriteria pada tabel berikut.
Tabel 2.5. Kriteria diagnostik Gangguan Depresif Mayor episode tunggal
berdasarkan DSM-IV-TR:
A. Adanya suatu episode depresif mayor tunggal B. Episode depresif mayor tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan waham atau
gangguan psikotik yang tak tergolongkan
C. Tidak pernah terdapat suatu episode manik, episode campuran atau episode hipomanik. (Catatan : penyingkiran ini tidak berlaku jika semua episode mirip manik, mirip campuran atau
mirip hipomanik adalah diinduksi oleh zat atau pengobatan atau oleh efek fisiologis langsung
dari suatu kondisi medis umum.)
Jika kriteria lengkap memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dan atau
gambaran sekarang:
Ringan, sedang, berat tanpa ciri psikotik, berat dengan ciri psikotik
Kronis
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan onset postpartum
Jika kriteria lengkap tidak memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dari
Gangguan Depresif Mayor sekarang atau gambaran dari episode paling akhir
Dalam partial Remission, full remission
Kronis
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan onset postpartum
Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 375.
Disamping depresi mayor juga dikenal istilah depresi minor dan distimia,
merupakan gangguan afektif yang cukup sering terjadi. Keduanya dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya episode depresi mayor. Depresi minor
adalah gangguan mood yang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan depresi
mayor, paling kurang terdapat dua gejala depresi yang terjadi selama minimal 2
minggu. Walaupun namanya minor namun dampaknya cukup mempengaruhi
kehidupan dan fungsi sosial yang nantinya akan menurunkan kualitas hidup.
Depresi ini sering terlewatkan sehingga tidak tertangani. Gejala depresi minor
yang menetap dan berlangsung lama dikenal dengan “distimia”. Distimia
berdasarkan DSM-IV terdiri dari minimal 2 gejala depresi yang menetap dan
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
14
Universitas Indonesia
berlangsung lama, paling kurang 2 tahun, biasanya tanpa perbaikan atau terdapat
perbaikan hanya pada waktu yang singkat (beberapa hari atau minggu), pada
sebagian besar waktunya pasien akan terlihat murung, sedih, lelah, anhedonia,
perasaan tidak mampu, sering menuntut dan mengeluh, merendahkan diri dan
pada saat yang sama mencela orang lain. Pasien dengan distimia sangat tidak
ramah dan hubungan dengan orang lain tidak stabil dan tidak empati.31
Berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV, untuk membedakan kesedihan yang
normal dan patologis dinilai dari intensitas minimum (yang diukur dengan jumlah
gejala) dan minimum waktu gejala tersebut. Sedangkan pengaruh gangguan mood
dengan fungsi sosial tidak cukup akurat. Pendekatan secara kualitatif tersebut
bersifat cukup subjektif dan hanya sebagian saja yang dapat dikomunikasikan
dengan objektif. Untuk itu terdapat guideline untuk membedakan kesedihan yang
normal dan mood yang terdepresif, pada mood yang terdepresif terjadi : a) tidak
berhubungan dengan suatu peristiwa merugikan yang nyata dan bila memang
terdapat “kehilangan” biasanya akan dilebih-lebihkan; b) sangat menyakitkan,
mendalam, dan menetap, menolak semua upaya untuk mengatasinya; c)
berhubungan dengan perasaan tidak berharga, rendahnya percaya diri; d) sering
berhubungan dengan waktu dan hubungan interpersonal dan fungsi sosial; e)
berhubungan dengan perasaan bersalah dan keinginan untuk mati; f) bila cukup
berat terdapat gangguan vegetatif somatik dan ide-ide delusional; g) lebih sering
berhubungan dengan disregulasi hormonal.30
Sedangkan pada kesedihan yang
fisiologis atau ketidak-bahagiaan yang dapat terjadi pada semua orang dari waktu
ke waktu, penyebabnya biasanya jelas, reaksinya tidak dapat dimengerti dan akan
terjadi perbaikan setelah penyebabnya hilang.
2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (PPDGJ-III) yang disusun berdasarkan ICD-10, dikenal istilah
gangguan depresif yang merupakan bagian dari Gangguan Suasana Perasaan
(Mood [afektif])(F30-F39).
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
15
Universitas Indonesia
Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ III 32
F 32. Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F 32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F 32.8 Episode depresif lainnya
F 32.9 Episode depresif yang tak tergolongkan (YTT)
Pada tiga variasi episode depresif yang khas yang tercantum diatas : ringan
(F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3), individu biasanya menderita
suasana perasaan yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktifitas. Biasanya rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.
Gejala lazim lainnya adalah :
a. Konsentrasi dan perhatian yang berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Padangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya
diperlukan waktu sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis,
akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejalanya berat dan
berlangsung cepat.32
Pada episode depresif ringan terdapat suasana perasaan yang depresif,
kehilangan minat dan kesenangan, dan mudah lelah yang biasanya dipandang
sebagai gejala depresi yang paling khas; dan sekurang-kurangnya dua dari itu,
ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lain yang dicantumkan diatas, harus ada
untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.32
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
16
Universitas Indonesia
Pada episode deresif sedang,sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga
gejala paling khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan (F32.0),
ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya.
Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila
secara keseluruhan ada cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode
berlangsung minimal 2 minggu.32
Pada episode depresif berat, semua gejala khas yang ditemukan pada
episode depresif ringan dan sedang (F32.0, F32.1) harus ada, ditambah sekurang-
kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintesinsitas
berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok,
maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam
subkategori episode berat masih dapat dibenarkan. Episode deresif biasanya
seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala
amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.32
2.2.2.3. Perbandingan depresif berdasarkan DSM-IV-TR dan ICD-10
Terdapatnya klasifikasi dan kriteria yang berbeda untuk depresi antara
ICD-10 yang dipergunakan pada PPDGJ III dan DSM-IV-TR. Namun pada
dasarnya prinsip klasifikasi keduanya sama, berikut perbandingan antara kriteria
depresi pada ICD-10 dan DSM-IV-TR.
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
17
Universitas Indonesia
Tabel 2.7. Gangguan Depresif berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV
F32 Episode depresif (tunggal) 296.2x Gangguan Depresi Mayor
episode tunggal
F32.0 episode depresi ringan
.00 tanpa gejala somatik
.01 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F32.1 episode depresi sedang
.10 tanpa gejala somatik
.11 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F32.2 episode depresi berat tanpa gejala psikotik
F32.3 episode depresi berat dengan gejala psikotik
F32.8 episode depresi lainnya dengan gambaran katatonik
/atypical
F32.9 episode depresi yang tidak spesifik .20 Tidak spesifik
F33 Gangguan depresi berulang 296.3x Gangguan depresi mayor berulang
F33.0 gambaran gangguan depresi berulang,
episode ringan
.00 tanpa gejala somati
.01 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F33.1 gangguan depresi berulang,
episode sedang
.10 tanpa gejala somatik
.11 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F33.2 gangguan depresi berulang,
episode berat tanpa gejala psikotik
F33.3 gangguan depresi berulang,
episode berat dengan gejala psikotik
F33.4 gangguan depresi berulang, dalam remisi
F33.8 gambaran gangguan depresi berulang lainnya dengan katatonik/atypical
F33.9 gangguan depresi berulang, unspecified .30 Unspecified
F34 gangguan mood (affective) menetap
F34.0 Siklotimia 301.13 gangguan siklotimia
F34.1 Distimia 300.4 gangguan distimia
F34.8 gangguan mood menetap lainnya 300.4 gangguan distimia dengan gambaran
atipikal
F34.9 gangguan mood (afektif) menetap,
Unspecified
F38 gangguan mood (affective) lainnya
F38.0 gangguan mood (afektif) tunggal lainnya
.00 episode afektif campuran 296.0x gangguan Bipolar I, episode tunggal
.01 ringan
. .02 sedang
.03 berat tanpa gejala psikotik
.04 berat dengan gejala psikotik
F38.1 gangguan mood (afektif) berulang lainnya
.10 gangguang depresi berulang singkat Lihat Appendix B: gangguan depresi
berulang singkat
F38.8 gangguan mood (afektif) spesifik lainnya
F39 gangguan mood (afektif) tidak spesifik 296.90 gangguan mood NOS
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
18
Universitas Indonesia
Pada tabel diatas episode depresif dan gangguan depresi mayor ditentukan
berdasarkan tingkat keparahannya (ringan, sedang dan berat) dan frekuensinya
(tunggal atau berulang). Selain itu kedua sistem klasifikasi ini memiliki dua fitur
dasar untuk mengidentifikasi episode depresif : a) jumlah minimum gejala khas
dan berhubungan; b) durasi waktu minimal gejala selama 2 minggu.31
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala
klinis yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Bila
manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan
suasana perasaan (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dengan
mudah dapat ditegakkan. Tetapi, bila gejala depresi muncul dalam keluhan
psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit
kepala yang terus-menerus, adanya depresi yang melatar belakangi sering tidak
terdiagnosis.28
2.3. DEPRESI PADA EPILEPSI
2.3.1. Epidemiologi Depresi pada Epilepsi
Depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi dan
merupakan gangguan mental yang paling umum terjadi pada penderita epilepsi.
Depresi pada epilepsi seringkali tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Baik yang
timbul pada saat awitan epilepsi maupun selama rangkaian epilepsi. Beberapa
penelitian tentang gangguan psikiatri pada epilepsi telah dilakukan. Diantaranya
Gilliam (2006), dalam penelitiannya menyatakan bahwa depresi merupakan
kelainan komorbiditas umum pada epilepsi dengan prevalensi gangguan depresi
dilaporkan lebih dari 30% pada komunitas epilepsi, dan 20-55% pada klinik
epilepsi.10,11
Menurut Hamed SA, depresi merupakan gangguan psikiatri yang
paling sering terjadi pada pasien epilepsi, dengan angka prevalensi 20-80%,
dibanding 1½-19% pada populasi umum.5
Depresi merupakan penyakit kronik
yang mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi. Perkiraan prevalensi
depresi pada penderita epilepsi bervariasi antara 11%- 62% (Barry dkk, 2000),
sedangkan menurut Jackson dkk (2005) prevalensinya berkisar antara 50-55%.
Laporan lain menyebutkan gejala depresi pada penderita epilepsi berkisar antara
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
19
Universitas Indonesia
40-60% (Jones dkk, 2005), sementara itu Baki dkk (2004) melaporkan prevalensi
depresi pada remaja penderita epilepsi terus meningkat dengan rentang 34-78%.9
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat depresi mayor
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk berkembangnya kejang yang tidak
terprovokasi (unprovoked seizure). Pada penelitian awal yang bersifat kasus
kontrol untuk melihat terjadinya depresi sebelum timbulnya epilepsi, Forsgren dan
Nystrom (1990) menemukan bahwa riwayat depresi berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya epilepsi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Hesdofffer (2000) menunjukkan bahwa riwayat depresi, berdasarkan kriteria
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), meningkatkan
risiko terjadinya kejang tanpa provokasi (unprovoked seizure). Pada pasien
dewasa dengan usia lebih tua yang berada di Rochester Minnesota, riwayat
depresi berhubungan bermakna dengan 6 kali peningkatan risiko terjadinya kejang
pertama yang idiopatik/kriptogenik tanpa provokasi. Pada penelitian kasus kontrol
lebih lanjut pada populasi di Iceland Hesdorffer dkk menyatakan bahwa riwayat
depresi mayor berdasarkan kriteria DSM-IV berhubungan dengan 1,7 kali
peningkatan risiko terjadinya epilepsi. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh
penelitian Nilsson dkk (2003).33
Dari segi psikiatri, gangguan psikologik yang terjadi pada sekitar 30%
pasien epilepsi, mempunyai beberapa penyebab, termasuk kerusakan otak, faktor
psikososial dan efek obat anti kejang. Sekitar 20% pasien epilepsi, termasuk anak-
anak, menderita ansietas ringan dan kadang-kadang terdapat gejala depresi. Angka
bunuh diri meningkat tiga kali dan angka keinginan bunuh diri juga meninggi.34
Depresi berpotensi untuk menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa,
berhubungan dengan kebiasaan bunuh diri bila dibandingkan dengan populasi
umum. Berdasarkan penelitian yang dilakuakn Isometsa dkk (1994) di Finlandia
dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang
mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat atau tidak mendapatkan pengobatan
sama sekali untuk depresinya. Nielson dkk (2002) juga mengatakan bahwa depresi
pada epilepsi merupakan faktor risiko bunuh diri dan perkiraan risiko relatif
bunuh diri adalah 16 kali untuk epilepsi dengan awitan lebih muda dari 18 tahun
dibandingkan setelah 29 tahun. Risiko bunuh diri pada pasien epilepsi dengan
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
20
Universitas Indonesia
depresi juga dilaporkan oleh Jakson dkk dan Danish juga menyebutkan bahwa
pasien epilepsi memiliki risiko bunuh diri sampai 3 kali lipat dibandingkan
populasi umum. Dari beberapa penelitain lain, seperti Doris yang melakukan
penelitian di RSUD Haji Adam Malik Medan mengatakan bahwa tingkat gagasan
bunuh diri pada depresi mayor berdasarkan skor BSIS (Beck Suicide Intent Scale)
adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity Survey,
probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri sekitar
34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan gagasan
bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah 26%.
Komorbiditas epilepsi dengan depresi menimbulkan berbagai konsekuensi baik
berkaitan dengan risiko bunuh diri maupun kualitas hidup penderita. 9,12,13,14
Herman dkk mendapatkan prevalensi depresi mayor pada epilepsi berkisar
antara 8-48% dengan rata-rata 30%, dan juga menunjukkan bahwa beratnya
depresi akan menurunkan kualitas hidup penderita epilepsi. Penelitian yang
dilakukan Martinovic dkk (2006) menyimpulkan bahwa nilai total QOLIE 31
(quality of life, 31) berkorelasi secara signifikan dengan perbaikan suasana
perasaan dan status bebas sawan. Djibuti dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa
kualitas hidup yang buruk bermakna secara signifikan dengan kenaikan frekuensi
sawan. Depresi juga dapat memperburuk medikasi pada epilepsi.9
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Souza dkk.(2005) bahwa 63,4%
depresi pada penderita epilepsi berhubungan dengan jenis sawannya. Dari
penelitian oleh Lazuardi (1994) di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta di
dijumpai data sebagai berikut, 64% penderita epilepsi merasa malu bahwa dirinya
menderita epilepsi dan 42% mengalami depresi. Sementara itu Marpaung (2003)
menemukan bahwa pasien epilepsi 70,5% mengalami depresi terutama pada
epilepsi umum dengan bangkitan tonik klonik (82,4%) dan kelompok epilepsi
parsial sederhana (58,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Gribz dkk (2005)
menunjukkan bahwa dari 49,2% pasien epilepsi yang mengalami depresi 37,4%
depresi berat dan 11,8% depresi sedang. Ia juga mengemukakan bahwa kejang
parsial \kompleks, absans dari epilepsi umum dengan sawan tonik klonik sebagai
faktor risiko terjadinya depresi.9
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
21
Universitas Indonesia
Penelitian untuk menilai hubungan antara frekuensi kejang dengan depresi
telah banyak dilakukan. Pada studi epidemiologi Jacoby dkk menulis bahwa
depresi terjadi pada 4% pasien yang telah bebas kejang dan 10% pada pasien
dengan frekuensi kejang satu kali tiap bulannya dan 21% pada pasien dengan
kejang yang lebih dari itu. O’Donoghue dkk juga mengatakan bahwa pasien
dengan kejang yang tidak terkendali meningkatkan kemungkinan terjadinya
depresi hampir 33%.35
Penelitian lain yang dilakukan oleh Victoroff dkk pada 60 pasien dengan
intractable complex partial seizure, menyatakan bahwa 58% pernah didiagnosis
depresi selama hidupnya. Jones dkk, menyatakan 19% pasien dengan epilepsi
mengalami depresi mayor, dari penelitian Ring dkk dikatakan 21% epilepsi lobus
temporal mengalami depresi mayor.35
Hubungan antara kejang, timbulnya gejala psikiatri, dan lobus mediobasal
temporal yang menyebabkan banyak perubahan perilaku merupakan sesuatu hal
yang kompleks dan masih terus menjadi bahan penelitian para ahli. Studi dengan
stimulasi dan ablasi pada manusia dan hewan menunjukkan adanya hubungan
struktur limbik temporal dengan perilaku emosional. Sebagai contoh stimulasi
temporal limbik pada manusia menimbulkan gejala psikis aura dan automatisme,
stimulasi dan ablasi amigdala pada hewan menghasilkan agresi dan plasiditas.
Juga timbulnya fenomena kindling pada kucing ketika struktur limbik nya
diangkat. Secara garis besar gangguan psikiatri pada epilepsi dapat disebabkan
oleh berbagai faktor biopsikososial.36,37,38,39
2.3.2. Patofisiologi Depresi pada pasien epilepsi
2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada epilepsi
Beberapa alasan dapat menjelaskan hubungan yang bidireksional antara
epilepsi dan depresi, termasuk perkembangan epilepsi yang diikuti oleh upaya
bunuh diri. Hubungan yang bidireksional ini tidak berarti kausalitas, tetapi bahwa
mekanisme patogenesis umum yang berhubungan dengan kedua kondisi tersebut,
dimana ganggauan salah satunya akan menfasilitasi terjadinya keadaan lainnya.
Penelitian terbaru Andres Kanner dkk, meyatakan bahwa terdapat
beberapa mekanisme patogenesis neurobiologi gangguan depresi pada epilepsi.
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
22
Universitas Indonesia
Terdapat empat kategori yang memilki dampak hipereksitabiliti di korteks dan
proses epileptogenik, yaitu :39
1. abnormalitas fungsi dan struktur kortikal dan subkortikal
2. abnormalitas neurotransmitter
3. abnormalitas endokrin
4. abnormalitas immunologis.
2.3.2.1.1. Abnormalitas struktur dan fungsi kortikal dan subkortikal
A. Perubahan struktur pada pasien epilepsi dengan depresi
Gambar 2.1. Korteks Limbik
(Dikutip dari “Duus Topical Diagnosis in Neurology : Anatomy, Physiology, Sign,
Symtoms)
Gambar 2.2. Sirkuit papez (hipokampus-forniks-korpus mamilare-nukleus anterior
talami-girus cinguli -cingulum-hipokampus)
(Dikutip dari “Duus Topical Diagnosis in Neurology : Anatomy, Physiology, Sign,
Symtoms)
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
23
Universitas Indonesia
Peranan Lobus temporal pada epilepsi dengan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan epilepsi lobus temporal
lebih cenderung mengalami depresi dibandingkan kelompok lain, tetapi beberapa
percobaan lain gagal mengkonfirmasi kebenaran pengamatan ini. Secara umum,
pasien dengan kompleks parsial seizure, atau sklerosis di temporal mesial akan
lebih banyak mengalami gejala depresi. Menariknya, beberapa studi literatur dari
bagian psikiatri menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara berkurangnya
volume hipokampus dengan gangguan suasana perasaan (mood). Pada tahun
1996, Sheline dkk menemukan bahwa volume hipokampus lebih kecil, bilateral,
pada 10 orang pasien dengan riwayat depresi mayor, dibandingkan dengan
volume hipokampus pada 10 orang pasien dengan umur, jenis kelamin, dan tinggi
yang sama pada pasien sehat.35
Atrofi hipokampus pada depresi mayor primer memiliki 2 mekanisme
patogenesis : (1) perubahan faktor neurotropik hasil dari gangguan mood dan (2)
paparan glukokortikoid yang tinggi.41
Stress akut dan kronik akan menurunkan level brain-derived neurotrophic
factor (BDNF) para girus dentata, pada lapisan sel piramidal hipokampus,
amigdala dan neokorteks, dimana dapat menyebabkan perubahan struktur
hipokampus. Perubahan diperantarai oleh glukokortikoid dan dapat dibalikkan
(overturned) dengan terapi antidepresan. Pemberian antidepresan jangka panjang
akan meningkatkan ekpresi BDNF dan juga melindungi stress yang menyebabkan
menurunnya level BDNF. Hal ini menjadi dasar bahwa obat-obat antidepresan
dapat meningkatkan level BDNF hipokampus pada manusia. Data ini
menunjukkan antidepresan akan merangsang peningkatan regulasi BDNF yang
diperkirakan akan memperbaiki kerusakan neuron hipokampus dan melindungi
neuron tersebut dari kerusakan lebih lanjut.41
Paparan glukokortikoid yang tinggi ini akan memediasi atrofi hipokampus
berdasarkan aktivasi yang berlebihan dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis
(HPA aksis) yang ditemukan pada sebagian besar pasien dengan depresi
mengakibatkan gangguan dexamethasone suppression pada adrenocorticotropic
hormone (ACTH) dan kortisol. Perubahan ini akan pulih dengan pengobatan
antidepresan. Pada studi eksperimental pada tikus dan monyet, peningkatan
konsentrasi kortikosteroid yang lama akan menyebabkan kerusakan neuron
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
24
Universitas Indonesia
hipokampus, terutama neuron piramidal CA3, kemungkinan berkurangnya cabang
dendrit dan dendritik spines yang termasuk pada input sinaptik glutamatergik.
Hiperkortisolemia juga akan mengganggu perkembangan sel neuron yang baru
pada girus dentata hipokampus pasien dewasa. Efek yang merusak dari paparan
glukokortikoid yang lama dapat menyebabkan awal atrofi yang sementara dan
reversibel pada pohon dendritik CA3 dan meningkatkan kerentanan yang pada
akhirnya menyebabkan kematian sel pada kondisi yang ekstrem dan lama.41
Abnormalitas struktur mesial temporal adalah kelainan yang paling sering
ditemukan pada pasien epilepsi dengan komorbid depresi. Pada tiga studi pasien
dengan TLE, nilai tertinggi depresi berhubungan dengan gambaran sklerosis
temporal mesial (MTS), penurunan perfusi lobus temporal dan frontal. 41
Literatur yang lebih lama mencoba menetapkan efek “lateralitas” depresi,
yang berarti bahwa pasien dengan epilepsi lobus temporal kanan atau kiri lebih
banyak berkembang menjadi gangguan mood. Banyak penulis telah berusaha
mengkonfirmasi hipotesis, dengan hasil yang sangat beragam dan secara
keseluruhan terdapat ketidakseimbangan antara otak kanan maupun kiri. Hipotesis
lateralisasi yang modern berhubungan dengan konektifitas lobus mesial temporal
dan pengamatan bahwa epilepsi lobus temporal yang kronik dan aktif, yang
mungkin saja berhubungan dengan hipoaktifitas dan disfungsi anatomi
berhubungan dengan jauhnya daerah dari fokus epileptiform primer. Dalam hal
ini, epilepsi lobus temporal dapat meyebabkan penurunan aktifitas pada lobus
frontal dan juga hipoaktifitas, dan dikenal sebagai hipofrontality, dan
berhubungan dengan depresi endogen. Beberapa studi yang menggunakan teknik
neuroimaging atau pemeriksaan neurofisiologi menyatakan bahwa terdapat
hubungan antar disfungsi lobus frontal, depresi dan epilepsi lobus temporal.35
Peranan Lobus frontal terhadapdepresipada epilepsi
Perubahan struktur ditemukan pada orbitofrontal dan korteks prefrontal
dan girus singuli, pada white matter, termasuk volume korteks orbitofrontal yang
lebih kecil pada dewasa muda dan geriatri dengan gangguan depresi mayor.
Sebagai catatan, besarnya perubahan volume prefrontal berhubungan dengan
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
25
Universitas Indonesia
beratnya depresi, pada pasien usi tua, dan dengan depresi minor memiliki
perubahan yang lebih sedikit dibandingkan depresi mayor.41
Studi neuropatologi juga mengdokumentasikan bahwaterjadi perubahan
struktur korteks lobus frontal pada pasien depresi. Raj-kowska dkk menemukan
bahwa terjadi ketebalan kortikal, ukuran neuron, dan densitas neuronal lapisan II,
III dan IV dari regio rostral orbitofrontal pada otak pasien depresi. Pada korteks
orbitofrontal bagian kaudal, terdapat pengurangan yang bermakna pada densitas
glial lapisan kortikal V dan VI yang juga berhubungan dengan penurunan ukuran
neuronal. Akhirnya, pada korteks prefrontal dorsolateral, terdapat penurunan
densitas neuronal dan glial dan ukuran di semua lapisan kortikal. 41
B. Perubahan fungsi pada pasien epilepsi dengan depresi .
Keterlibatan lobus frontal pada depresi primer terlihat pada neuroimaging
fungsional (PET, SPECT) dan studi neurofisiologi.Salah satunyaadalah pada
gangguan fungsi eksekutifdan lebih nyata pada gangguan depresi yang berat.
Gangguan pada pemeriksaan neurofisiologi ini berhubungan dengan penurunan
aliran darah pada korteks mesial prefrontal. Selanjutnya, pada pemeriksaan fungsi
eksekutif, korteks singuli dan striatum tidak aktif pada pasien dengan depresi
mayor. Gangguan fungsi pada struktur lobus frontalis terjadi pada TLE dan
khususnya pada TLE dengan komorbid depresi, dimana ditemukan penurunan
metabolisme inferofrontal bilateral. Sebagai catatan, korteks frontal inferior
adalah sasaran utama neuron dopaminergik mesolimbik dan memberikan asupan
kepada neuron serotonergik pada nukleus dorsal rafe. 41
2. 3. 1. 1. Abnormalitas Neurotransmitter
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang
menyebabkan berkurangnya monoamin seperti reserpin dapat menyebabkan
depresi. Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya
ketersediaan neurotransmiter monoamin terutama norepinefrin dan serotonin
dapat menyebakan depresi.Teori ini diperkuat lagi dengan ditemukannya obat-
obat seperti antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
-
26
Universitas Indonesia
meningkatkan dalam jangka pendek monoamin di sinaps.Peningkatan monoamin
ini berkaitan dengan terjadinya perbaikan depresi.28,42
Gamma-aminobutyric-acid (GABA)
GABA memiliki efek inhibisi terhadap monoamine, terutama pada sistem
mesokorteks, dan mesolimbik. Pada penderita depresi terjadi penurunan GABA
terlihat pada plasma dan cairan serebro spinal. Stressor kronik dapat mengurangi
kadar GABA.28
Pada epilepsi GABA juga dikenal sebagai neurotran