universitas indonesia pengaturan laut tertutup...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGATURAN LAUT TERTUTUP (ENCLOSED SEA) DAN LAUT SEMI-TERTUTUP (SEMI-ENCLOSED SEA) DALAM
HUKUM LAUT
SKRIPSI
DIMAS AKBAR
0606079313
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TRANSNASIONAL
DEPOK
JUNI 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGATURAN LAUT TERTUTUP (ENCLOSED SEA) DAN LAUT SEMI-TERTUTUP (SEMI-ENCLOSED SEA) DALAM HUKUM LAUT
SKRIPSI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana
DIMAS AKBAR
0606079313
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM TRANSNASIONAL
DEPOK
JUNI 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama :Dimas Akbar
NPM :0606079313
Tanda Tangan :
Tanggal : 16 Juni 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Dimas Akbar
NPM : 0606079313
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Skripsi : Pengaturan Laut Tertutup (Enclosed Sea) dan Laut Semi- tertutup (Semi-enclosed Sea) dalam Hukum Laut
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Internasional Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Dewan Penguji
Pembimbing : Adijaya Yusuf S.H, LL.M. ( )
Pembimbing : Melda Kamil Ariadno, S.H., LL.M, Ph.D. ( )
Penguji : Prof. Dr. R.D SIdik Suraputra, S.H. ( )
Penguji : Prof. DR. Sri Setianingsih Suwardi, S.H. M.H. ( )
Penguji : Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M, Ph.D ( )
Penguji : Prof. A. Zen Umar Purba, S.H., LL.M ( )
Penguji : Emmy Juhassarie Ruru, S.H., LL.M. ( )
Penguji : Hadi R. Purnama, S.H., LL.M. ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 5 Juli 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
iv
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmatnya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
pada
1. Bpk. Adijaya Yusuf S.H, LL.M. dan Ibu Melda Kamil. Ariadno S.H, LL.M Ph.D
selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini
2. Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material
dan moral
3. Fika Hakim S.H. LL.M, Lusita S.H. LL.M, dan Joan Caeserine S.H. yang banyak
memberi masukan dan menjadi teman diskusi selama penulisan.
4. Rezqilia Citra Utami S.Sos yang telah menyemangati dan sabar mendampingi
dalam penulisan
5. Sammy Harist S.E. dan Rangga Gunawan S.T. yang bersama-sama menghabiskan
bermalam-malam menulis sripsi dan tesis masing-masing bersama.
6. Rekan-rekan PK 6 06-08 yang ikut membantu dan menyemangati dalam
penulisan skripsi, dan teman-teman semua yang telah banyak membantu dan
memotivasi penulis dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga Skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu
Depok 16 Juni 2012
Penulis
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
=====================================================================
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dimas Akbar
NPM : 0606079313
Departemen : Hukum Internasional (PK-VI)
Fakultas : Hukum
Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas
Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Rights) atas karya
ilmiah saya berjudul :
Pengaturan Laut Tertutup (Enclosed Sea) dan Laut Semi-tertutup (Semi-enclosed
Sea) dalam Hukum Laut
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin
dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik
Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 16 Juni 2012
Yang Menyatakan
(.................................................)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
vi
ABSTRAK
Nama : Dimas Akbar
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Pengaturan Laut Tertutup (Enclosed Sea) dan Laut Semi-tertutup (Semi-
enclosed Sea) dalam Hukum Laut
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan terhadap laut tertutup dan laut semi tertutup
dalam hukum laut. Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dan
bersifat diskriptif. Pembahasan dalam tulisan ini membahas mengenai pengaturan hukum
internasional terhadap laut tertutup dan semi tertutup pada UNCLOS 1982. Akan dibahas
pula mengenai kerjasama regional atas laut tertutup dan semi tertutup serta disertai
contoh-contoh pengaturan pada Laut Mediterania, Laut Karibia, Laut Kuning, Laut
Hitam, dan Laut Arafura dan Timor. Akan dibandingkan pula ketentuan dari kerangka
pengaturan yang ada di kelima contoh tersebut, yaitu Barcelona Convention di Laut
Mediterania, Cartagena Convention di Laut Karibia, Bucharest Convention di Laut
Hitam, dan ATSEF MoU di Laut Arafura dan Laut Timor. Serta akan disebutkan
pelajaran apa yang dapat diambil untuk pengaturan pada Laut Arafura dan Laut Timor
sebagai salah satu laut semi-tertutup dimana Indonesia memiliki kepentingan atas
pengelolaannya. Hasil dari penelitian ini menyarankan agar didorongnya pembentukan
pengaturan regional atas laut tertutup dan semi tertutup, serta harus segera dibentuknya
kerangka pengaturan yang mengikat di Laut Arafura dan Laut Timor, dan perlu dibuat
National Action Plan yang solutif untuk menghadapi Priority Environmental Concern
dari Laut Arafura dan Laut Timor.
Kata Kunci : Hukum Internasional, Hukum Laut, Laut Tertutup, Laut Semi-tertutup,
Kerjasama Regional, Laut Mediterania, Laut Karibia, Laut Kuning, Laut
Hitam, Laut Arafura, Laut Timor
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
vii
ABSTRACT
Name : Dimas Akbar
Study Program: International Law
Title : The Law of the Sea Arrangement on the Enclosed Sea and Semi-
enclosed sea.
This thesis is will describe the existing law of the sea arrangement on the enclosed sea
and semi enclosed sea. This thesis is a juridical-normative research, and well be narrated
on descriptive basis. First things that will be addressed on this research is the
arrangements on enclosed sea and semi enclosed sea as stipulated in UNCLOS 1982.
Also will be addressed is the trend of regional approach on enclosed and semi enclosed
sea, and the example in Mediterranean Sea, Caribbean Sea, Yellow Sea, Black Sea, and
also the existing non-binding arrangement in Arafura and Timor Sea. It will also explains
about the arrangements in those sea, namely Barcelona Convention on the Mediterranean
Sea, Cartagena Convention on the Caribbean Sea, Bucharest Convention on the Black
Sea, and ATSEF MoU on the Arafura and Timor Sea. This research will makes a
comparison out of those existing arrangements on enclosed and semi-enclosed sea, and
explains what are the good example that can be applied in furthering the regional
cooperation on Arafura and Timor Sea. The result of this research are the regional
cooperation in enclosed,and semi enclosed sea should be encouraged, it also underlines
the need for a binding arrangements in Arafura and Timor Sea. Related to Arafura and
Timor Sea, there are needs for creating a National Action Plan that will address the
Priority Environmental Concern thoroughly.
Key Words : International Law, Law of the Sea, Enclosed and Semi-enclosed Sea,
Regional Cooperation, Mediterranean Sea, Caribbean Sea, Yellow Sea,
Black Sea, Arafura Sea, Timor Sea
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... iii KATA PENGANTAR........................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH............................. v ABSTRAK............................................................................................................ vi DAFTAR ISI......................................................................................................... vii 1. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah................................................................................... 11
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................... 11
1.4 Definisi Operasional.................................................................................. 12
1.5 Metode Penulisan...................................................................................... 14
1.6 Sistematika Penulisan................................................................................ 15
2. PENGATURAN HUKUM LAUT MENGENAI ENCLOSED SEA DAN
SEMI-ENCLOSED SEA......................................................................... 18
2.1 Pengertian Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea.................................. 18
2.1.1 Pengertian Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea Berdasarkan UNCLOS
1982................................................................................................ 18
2.1.2 Peraturan terkait di dalam UNCLOS 1982 mengenai Enclosed Sea dan
Semi-Enclosed Sea......................................................................... 25
2.1.3 Kerjasama Regional dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Laut Tertutup
dan Semi-tertutup........................................................................... 29
2.1.4 Pendekatan Pengaturan Berbasis Large Marine Ecosystem... 37
2.2 Kerjasama Regional Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea................ 38
2.2.1 Laut Mediterania............................................................................ 38
2.2.2 Laut Karibia .................................................................................. 42
2.2.3 Laut Hitam..................................................................................... 46
2.2.4 Laut Kuning................................................................................... 50
2.2.5 Laut Arafura dan Laut Timor....................................................... 60
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
ix
3. KERANGKA KERJASAMA REGIONAL DI ENCLOSED SEA DAN SEMI
ENCLOSED SEA. ................................................................................ 67
3.1 Kerjasama Regional................................................................................ 67
3.2 Regional Seas Programme...................................................................... 69
3.3 Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region
of the Mediterranean (Barcelona Convention).................................... 70
3.4 The Convention for the Protection and Development of the Marine Environment
of the Wider Caribbean Region (Cartagena Convention)................. 78
3.5 Convention on the Protection of Black Sea Against Pollution 1992 (Bucharest
Convention)............................................................................................ 85
3.6 Arafura and Timor Sea Expert Forum dan Arafura and Timor Sea Ecosystem
Action...................................................................................................... 97
4. ANALISA PERBANDINGAN PENGATURAN REGIONAL PADA
ENCLOSED SEA DAN SEMI-ENCLOSED SEA............................. 105
4.1 Perbandingan Kerjasama Regional Terkait Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea
................................................................................................................ 105
4.2 Pelajaran yang Dapat Diambil dari Pengaturan Laut Tertutup dan Semi-tertutup di
Dunia...................................................................................................... 138
5 . PENUTUP............................................................................................. 142
5.1 Kesimpulan................................................................................. 142
5.2 Saran........................................................................................... 147
DAFTAR REFERENSI...................................................................................... 148
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Convention for the Protection of Mediterranean Seafrom Pollution
2. Convention for the Protection and Development of the Marine Environment of the
Wider Carribean Region
3. Convention on the Protection of Black Sea Against Pollution
4. Arafura and Timor Sea Expert Forum Memorandum of Understanding
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
xi
DAFTAR TABEL
3.3. Daftar Negara Anggota Barcelona Convention...................................................77
3.4 Daftar Negara Anggota Cartagena Convention...................................................79
3.5 Daftar Negara Anggota Bucharest Convention...................................................86
4.1 Tabel Perbandingan Pengaturan di Laut Mediterania, Laut Karibia, Laut Hitam,
Laut Kuning, dan Laut Arafura dan Laut Timor..................................................113
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
xii
DAFTAR GAMBAR
2.2.1.a. Peta Laut Mediterania........................................................................................39
2.2.2.a. Peta Laut Karibia................................................................................................43
2.2.3.a. Peta Laut Hitam..................................................................................................47
2.2.4.a. Peta Laut Kuning................................................................................................52
2.2.5.a. Peta Laut Arafura dan Laut Timor......................................................................61
3.3. Struktur Institusional Barcelona Convention......................................................76
3.4. Struktur Institusional Carribean Environment Programme di Laut Karibia.....84
3.5 Struktur Institusional Bucharest Convention......................................................95
3.6.1 Struktur Institusional ATSEF.............................................................................100
3.6.2 Kerangka Aktivitas ATSEA...............................................................................102
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.I. Latar Belakang
Hukum Internasional Publik ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara yang bukan bersifat
perdata1. Hukum laut adalah salah satu cabang dari hukum internasional publik.
Semenjak laut dimanfaakan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan berbagai
sumber kehidupan seperti penangkapan ikan, semenjak itu pulalah ahli-ahli hukum mulai
mencurahkan perhatiannya pada hukum laut. Sebagai suatu bentuk yang paling dini, pada
abad ke 12 telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan yang dipakai di laut Eropa2.
Indonesia sendiri juga memiliki peranan yang cukup penting dalam perkembangan
hukum laut sebagai cabang dari internasional publik.
Deklarasi Juanda sekitar 12 tahun setelah kemerdekaan Indonesia merupakan langkah
awal dari serangkaian langkah lainnya yang berusaha menegaskan visi dan misi
Indonesia sebagai negara kepulauan3. Deklarasi tersebut pada intinya menyatakan bahwa
nusantara meliputi tanah dan air sebagai satu kesatuan yang utuh. Perubahan tersebut
dilakukan di tengah tantangan dan ancaman dari berbagai pihak yang merasa dirugikan.
Sejumlah negara, khususnya Belanda dan negara eropa menolak hal itu, tetapi pemerintah
Indonesia melakukan langkah aktif dalam berbagai forum internasional dengan
mengajukan argumen ilmiah dari bidang politik, sejarah, budaya, dan bidang lain yang
dianggap mendukung. Meskipun tidak berjalan mulus dan memerlukan waktu bertahun-
tahun, hasilnya argumen Indonesia mendapat pengakuan internasional4. Perjuangan
1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: P.T Alumni, 2003), hlm.
1. 2 Chairul Anwar, Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, (Jakarta:
Djambatan, 1989), hlm. 1. 3 Sharif C. Sutardjo, Transformasi Politik Kelautan Indonesia Untuk Kesejahteraan Rakyat,
(Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2012), hlm.10 4 Ibid, hlm. 16
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2
Universitas Indonesia
Indonesia di bidang hukum laut tidak saja menghasilkan pengakuan terhadap konsepsi
negara kepulauan, tetapi telah membantu tercapainya kedudukan negara pantai yang
secara menyeluruh lebih kuat daripada masa-masa sebelumnya.
Salah satu perkembangan terpenting bagi hukum laut adalah United Nation Convention
on the Law of The Sea 1982 yang didahului sebelumnya oleh Konferensi Liga Bangsa-
Bangsa dalam rangka Kodifikasi Hukum Internasional pada Den Haag 1930, dan Geneva
Convention on the Law of The Sea 1958. Indonesia Indonesia telah meratifikasi
UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Secara global, laut meliputi 70% dari permukaan bumi. Laut memiliki peran yang
signifikan dan penting terhadap ekosistem global. Dengan berinteraksi dengan atmosfer,
lautan mempengaruhi iklim di planet. Laut juga memainkan peran dalam proses,
biologis, fisika, dan kimia di planet. Lautan menjadi sumber utama protein berupa
sumber daya ikan, dan hewan-hewan laut lainnya, serta produk yang berasal darinya.
Laut juga memiliki peran yang penting dalam perhubungan, dimana lautan menjadi jalan
raya antar wilayah dimana kapal-kapal bergerak baik di permukaan maupun di bawah
permukaan air. Gelombang laut dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif,
sedangkan di tempat yang tandus, telah dilakukan upaya desalinasi air laut sebagai
sumber air bersih alternatif bagi populasi manusia di wilayah tersebut. Dasar laut dan
tanah yang terkandung di dalamnya memiliki sumber daya mineral yang kaya yang akan
dapat dimanfaatkan di masa depan, walaupun saat ini masih terlalu sulit, mahal, dan
berbahaya untuk dapat dipraktekan5
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas
yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.290 km. Luas wilayah laut
Indonesia sekitar 5.176.800 km2 dan terletak di antara dua benua dan dua samudera. Luas
wilayah lautan yang amat besar serta lokasi geografis inilah yang menyebabkan hukum
laut memiliki nilai yang amat penting bagi Indonesia.
Potensi kelautan yang dimiliki Indonesia termasuk besar. Total ekspor komoditas
perikanan tahun 2004 mencapai 907.970 ton dan tahun 2006 yang mencapai 926.478
5 Vivian Louis Forbes, Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-enclosed
Sea, (Singapura: Singapore University Press, 2001), hal 3.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
3
Universitas Indonesia
ton6. Potensi perikanan yang belum termanfaatkan sebanyak 2,8 juta ton/tahun. Laut
Indonesia memiliki potensi lestari sumber daya ikan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) menurut Code of Conduct
for Responsible Fisheries FAO adalah 80% dari potensi lestari atau sekitar 5.12 juta ton
per tahun namun sampai kini tingkat pemanfaatannya baru mencapai 4,4 juta ton7. Di
Indonesia terdapat sembilan titik fishing ground dari 17 titik fishing ground di dunia yaitu
Selat Malaka, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Seram, Laut Sulawesi, Samudera
Pasifik, Laut Arafura, Samudera Hindia, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa8. Sayangnya di
beberapa lokasi tersebut telah terdapat indikasi terjadinya penangkapan ikan berlebihan
(overfishing).
Wilayah laut memiliki potensi yang amat besar jika ditunjang dengan aktivitas lain dan
masukan yang tepat, walaupun begitu, sejak tahun 1980 telah muncul persepsi bahwa
lingkungan laut telah digunakan pada, atau mendekati titik batas kapasitasnya. Hal ini
tercermin jelas di sektor perikanan di berbagai wilayah, dan begitu pula di kepentingan-
kepentingan terkait lain yang saling bersaing9. Pendekatan kooperatif diperlukan tidak
hanya dalam mementukan perbatasan laut di area yang disengketakan, tetapi juga dalam
mengembangkan kebijakan untuk membagi sumber daya yang berada melewati batas dan
untuk melakukan pengelolaan yang efektif atas lingkungan laut. Banyak negara di daerah
tropis, yang juga kebanyakan merupakan negara berkembang memiliki pantai yang
dikelilingi bakau dan / atau terumbu karang dan sumberdaya dari biota laut tersebut
berjuang untuk memenuhi kebutuhan dari populasi di sekitarnya yang terus tumbuh.
Implementasi dari ZEE juga menciptakan batasan internasional baru bagi banyak negara
pantai dan negara kepulauan. Perpanjangan yurisdiksi ini, disertai dengan kemungkinan
akan adanya sumberdaya kelautan yang berada pada area dekat perbatasan makin
menunjukan pentingnya penentuan batas yang saling menguntungkan10.
Lokasi ini menyebabkan terdapat beberapa wilayah perairan Indonesia yang terhimpit
oleh lebih dari satu negara. Salah satunya adalah laut Timor dan laut Arafura, yang
6 Sharif C. Sutardjo, Transformasi Politik Kelautan Indonesia Untuk Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2012), hlm. 38
7 Ibid, hlm. 39 8 Ibid, hlm. 41 9 Vivian Louis Forbes, Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-enclosed
Sea, (Singapura: Singapore University Press, 2001), hlm.1 10 ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
4
Universitas Indonesia
keduanya berbatasan langsung dan berada diantara Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini
dan Australia. Kedua laut ini merupakan perpanjangan dari Samudera Hindia. Struktrur
geografis ini berarti Laut Timor dan Laut Arafuru termasuk dalam ruang lingkup
perumusan "enclosed or semi-enclosed sea" sebagaimana dinyatakan di UNCLOS 1982.
Pasal 122 UNCLOS merumuskan bahwa yang dimaksud dengan enclosed sea
atau semi-enclosed sea adalah suatu teluk, cekungan, atau laut yang dikelilingi dua atau
lebih lautan dan terhubung dengan laut lain atau samudra melalui suatu celah, atau terdiri
sepenuhnya atau sebagian besarnya dengan wilayah laut teritorial negara lain dan zona
ekonomi ekslusif dari dua negara lain atau lebih.
Kondisi laut yang dikelilingi oleh berbagai negara ini menyebabkan pengelolaan dan
pelestarian sumber daya menjadi hal yang lebih rumit karena menyangkut kepentingan
berbagai negara. selain itu lokasi yang berada diantara beberapa negara yang berbeda
juga menyebabkan pencemaran lingkungan dari tiap negara amat mempengaruhi
kesehatan ekosistem dari perairan tersebut. Pasal 123 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa
negara-negara yang berbatasan dengan enclosed sea atau semi-enclosed sea sebaiknya
bekerjasama satu sama lain dalam menjalankan hak mereka serta menjalankan
kewajibannya secara langsung atau melalui organisasi regional terkait.
Selain Pasal 122 dan 123 yang khusus mengatur mengenai Laut Tertutup dan semi-
tertutup, terdapat pula ketentuan-ketentuan umum lain terkait di dalam UNCLOS 1982
yaitu Pasal 61 mengenai pengelolaan, konservasi, eksplorasi, dan eksploitasi dari
sumberdaya biota laut; Pasal 193, 197-201, dan 204-206 tentang perlindungan dan
pelestatian lingkungan laut; dan Pasal 242-244 dan 246 terkait program riset iptek, dan
riset iptek kelautan bersama11.
Masalah pengelolaan yang efektif terhadap ruang laut dan masalah pembagian sumber
daya di laut tertutup dan semi-tertutup pada dasarnya adalah isu politik. Walaupun
masalah politik utamanya adalah kontrol negara atas sumber daya alam, diperlukan lebih
dari sekedar political will dalam rangka pengelolaan laut yang sukses dan melakukan
pembangunan yang berkelanjutan atas sumber daya kelautan pada laut tertutup dan semi-
tertutup12. Kenyataan geografis, diplomasi dan instrumen hukum yang tepat yang disertai
11 Ibid, hlm.2 12 Ibid, hlm.3
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
5
Universitas Indonesia
dengan adanya kontrol otoritatif dan prosedur administratif yang jelas adalah faktor yang
harus dipertimbangkan dalam memastikan terjadinya pengelolaan ruang laut yang efektif
beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya
Diperlukan partisipasi tidak hanya pada tingkat lokal dan nasional, tetapi juga konsensus
dan usaha yang terkoordinir pada tingkat regional untuk pengelolaan lingkungan laut
yang efektif di laut tertutup dan semi-tertutup. Langkah tersebut dapat dilengkapi pula
dengan kesepakatan bilateral dan / atau multilateral terkait rezim pengelolaan ruang laut,
dan untuk usaha bersama dalam pengembangan sumber daya hayati dan mineral yang
terkandung di dalamnya.
Konsep dari manajemen ekosistem adalah konsep yang relatif baru mengemuka.
Walaupun lebih kompleks dalam pelaksanaannya, terdapat potensi yang amat besar
bahwa pendekatan ini akan dapat mencapai hasil yang dikehendaki. Kebijakan
manajemen ekosistem tersebut harus mengacu dan dibentuk pada unit-unti ekologis,
misalnya hutan-hutan bakau, rangkaian sistem terumbu karang, dan habitat rumput laut
yang semuanya terdapat di banyak kawasan geografis.13
Secara kolektif, area laut tertutup dan semi tertutup di kawasan Asia Selatan dan Asia
Tenggara meliputi 12 juta km2 atau sekitar 4% dari wilayah perairan di permukaan
bumi14. Sebagaimana dengan lautan lainnya di dunia, laut tersebut memberikan
kontribusi yang amat penting bagi kesejahteraan dari masyarakat negara pantai
disekitarnya dan masyarakat global secara umum. Sebagaimana laut lain di dunia pula,
laut ini telah digunakan dan mengalami dampak negatif dari pemanfaatan manusia.
Dari milyaran ton bahan mentah dan bahan bakar fosil yang dikonsumsi oleh manusia
tiap tahun dengan jumlah yang terus meningkat, sebagian besar buangan darinya akan
terbawa hingga ke laut. Polusi yang diakibatkannya akan memiliki dampak yang besar
bagi lingkungan laut. Terkadang, dampaknya bisa saja tidak langsung terlihat karena
merupakan proses yang berjangka panjang. Tanggung jawab atas konservasi sumber daya
lautan dan perlindungan terhadap lingkungan laut berada di tingkat lokal, nasional dan
internasional serta menjadi topik perhatian dunia15. Konvensi internasional terkait
masalah ini dalam dua dekade terakhir memberikan dorongan pada seluruh negara di
13 ibid 14 ibid 15 Ibid, hlm.4
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
6
Universitas Indonesia
dunia terutama negara pantai dan negara kepulauan, untuk mengimplementasikan
peraturan domestik yang tepat dalam rangka pelaksanaan ketentuan dari konvensi-
konvensi internasional tersebut.
Adalah tanggung jawab dari seluruh negara, terutama negara pantai dan negara pulau,
untuk memastikan sumber daya alam yang terkandung dalam laut dimanfaatkan secara
ramah lingkungan16. Pembangunan yang berkelanjutan diusulkan di tingkat global,
sebagai pengakuan atas masalah polusi, pertumbuhan populasi yang tinggi, dan masalah
kekurangan pangan yang terkait dengannya. Tanggung jawab negara meliputri ruang
udara diatas lautan, sampai ke dasar laut di bawah permukaannya dan mencakup wilayah
pantai. Kewajiban perlindungan lingkungan ini dinyatakan jelas pada Pasal 192
UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa negara memiliki kewajiban atas perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut.
Dalam setiap pembahasan mengenai pengelolaan dan pembangunan sumberdaya, secara
umum akan muncul masalah kepemilikan dan masalah yang terkait dengannya,
diantaranya masalah perbatasan dan klaim wilayah, serta masalah yurisdiksi negara17.
Masalah tersebut memiliki sifat yang unik dalam konteks lautan. Prinsip penggunaan
yang bebas atas laut lepas telah ada sekitar 3 abad. Di luar ruang laut di luar zona maritim
dimana negara pantai masih memiliki yurisdiksi, termasuk laut teritorial, terdapat laut
lepas dimana dikenal kebebasan navigasi dan doktrin mare liberum.
Selama abad ke 20, industri perkapalan telah mengalami kemajuan yang amat pesat,
diantaranya munculnya kapal-kapal dengan ukuran, dan kecepatan yang lebih besar
dengan fungsi-fungsi yang lebih khusus. Peningkatan ukuran kapal tersebut menciptakan
masalah navigasi di perairan yang sempit, terutama terkait kedalaman laut dan jalur
melewati wilayah yang sempit tersebut. Kecelakaan laut, terutama atas kapal-kapal yang
bermuatan barang berbahaya, atau minyak telah banyak terjadi dan menimbulkan
kerusakan yang luas terhadap lingkungan laut. Laut tertutup dan semi-tertutup, dengan
lingkungannya yang lebih rapuh akan mengalami kerusakan yang amat besar apabila
terjadi kecelakaan sedemikian rupa di area tersebut.
16 ibid 17 ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
7
Universitas Indonesia
Dalam rangka menanggulangi kecelakaan laut tersebut, untuk meminimalkan kerusakan
lingkungan yang terjadi diperlukan langkah yang cepat dan tepat oleh negara-negara
terkait. Sayangnya, hanya negara-negara maju yang memiliki tingkat keahlian, peralatan,
dan dana yang cukup untuk dapat melakukan suatu tindakan penanggulangan dengan
segera. Negara-negara berkembang belum tentu memiliki kemampuan untuk
menanggulangi akibat dari suatu kecelakaan dengan segera, dan mungkin harus meminta
bantuan negara maju untuk meminjamkan peralatan dan keahliannya. Hal ini tentunya
memerlukan waktu yang tidak sedikit, padahal dalam penanggulangan bencana, apabila
tidak dilakukan dengan segera, mungkin saja pencemaran yang diakibatkan oleh suatu
kecelakaan laut akan semakin meluas. Oleh karena itu, kerjasama antara negara-negara
yang saling berbatasan, untuk mengumpulkan dana bersama dan memiliki suatu crisis
center bersama dapat menjadi pilihan yang lebih ekonomis dalam rangka mempersiapkan
diri menghadapi kemungkinan adanya kecelakaan laut, hal ini penting terutama bagi
negara-negara yang lautannya memiliki ekosistem yan rapuh tetapi juga merupakan jalur
perkapalan dunia.
Industri pengeboran minyak lepas pantai telah memberikan pendapatan yang tinggi bagi
negara pantai, walaupun demikian terdapat pula efek negatif dari industri tersebut.
Kerusakan terbesar pada lingkungan yang diakibatkan oleh industri pengeboran lepas
pantai ini terutama dikarenakan ledakan pada operasi pengeboran, pembuangan minyak
yang disengaja dan tidak disengaja oleh kapal di laut, atau di pelabuhan, dan sumber-
sumber daratan seperti pabrik pengolahan minyak di pantai, pembuangan endapan dari
anjungan minyak lepas pantai, penggunaan anjungan yang di bawah standar, serta
anjungan tersebut yang ditinggalkan18.
Untuk mengurangi dampak negatif dari ekploitasi sumber daya laut, perlu dibuatnya
suatu kebijakan yang menyeluruh terkait pengelolaan zona laut, penggunaan yang
berkelanjutan dari sumber daya kelautan, dan perlindungan terhadap lingkungan laut
adalah masalah yang dihadapi tiap negara di dunia, terutama negara pantai dan negara
yang memiliki wilayah lautan yang luas termasuk negara kepulauan. Kebijakan tersebut
juga harus melindungi kepentingan dari masyarakat sekitar, terutama nelayan kecil yang
18 Ibid, hlm. 6
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
8
Universitas Indonesia
memang menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut, di mana banyak terdapat
nelayan kecil tersebut di negara-negara pantai yang masih berkembang.
Dalam membuat suatu kebijakan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan laut, suatu
negara harus mempertimbangkan pula faktor-faktor geografis terkait, termasuk hubungan
antara laut tersebut dengan wilayah dari negara lain serta pola aliran arus laut, dan
apabila terkait perikanan maka harus diperhatikan pula pola penyebaran dan perpindahan
populasi stok ikan dimana bisa saja spesies ikan tersebut berpindah-pindah antara
wilayah lebih dari satu negara. Kerjasama antar negara yang saling berbatasan merupakan
jalan yang paling masuk akal dalam rangka membuat kebijakan perlindungan lingkungan
laut yang menyeluruh.
Hal yang paling penting dalam pembuatan kebijakan adalah mendapatkan data akan fakta
di lingkungan laut yang aktual dan akurat, hal ini merupakan tantangan terutama bagi
negara berkembang yang memiliki keterbatasan biaya. Walaupun suatu negara dapat
melaksanakan penelitian sendiri, kerjasama antara negara-negara yang memiliki
kepentingan sama untuk saling bertukar data dan informasi adalah pilihan yang paling
efisien untuk dilakukan. Contohnya pada pembagian data perikanan, karena ikan selalu
bergerak maka apabila setiap negara yang saling berbatasan membagi data perikanan
mereka, maka penentuan jumlah ikan yang dapat ditangkap (total allowable catch) dapat
merepresentasikan jumlah yang benar-benar ada di lingkungan sehingga mencegah
terjadinya penangkapan berlebih (overfishing). Dapat pula dilakukan tukar-menukar
informasi atas kapal yang terindikasi melakukan penangkapan ilegal agar negara-negara
yang saling berbatasan dapat bersama-sama menindak kapal tersebut. Kerjasama ini,
dapat dilakukan baik dalam tingkat negara, maupun dalam tingkat badan pelaksana
teknis.
Selain dalam rangka pengumpulan data, kerjasama antara negara-negara tersebut juga
penting dalam rangka menentukan suatu standar keselamatan, keamanan, dan baku mutu
limbah bersama bagi negara-negara yang saling membatasi laut yang sama. Hal ini amat
relevan terutama bagi negara yang berada di sekitar suatu laut tertutup, karena
sambungan laut tersebut yang kurang dengan area laut lain, membuat polusi mudah
terakumulasi dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan ekosistem laut tersebut.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
9
Universitas Indonesia
Pengakuan terhadap pembentukan standar regional dilakukan secara eksplisit di dalam
UNCLOS. Konvensi menekankan kompetensi dari organisasi internasional dalam
penentuan standar di suatu kawasan, dengan menyatakan bahwa “negara bertindak
terutama melalui organisasi internasional maupun konferensi diplomatik harus berusaha
membentuk peraturan global dan regional, standar, dan rekomendasi peraktek dan
prosedur. Standar regional yang terbentuk melalui organisasi internasional dapat berbeda
dengan standar yang ditentukan oleh organisasi regional, atau langsung antar negara-
negara di kawasan dikarenakan di organisasi internasional, kepentingan dari negara-
negara di luar kawasan tersebut akan lebih terwakili.
Kegiatan menentukan standar regional, didukung secara eksplisit di konvensi hukum laut
1982 yang menyatakan bahwa negara-negara akan bekerjasama, atas dasar regional
secara langsung atau melalui organisasi internasional yang memiliki kompetensi di
bidang tersebut, dalam menentukan dan menjelaskan peraturan internasional, standar, dan
rekomendasi praktek yang sesuai dengan konvensi dalam rangka pelestarian lingkungan
laut, dengan mempertimbangkan karakter dari kawasan bersangkutan19. Pengaturan
standar secara regional diakui secara implisit bagi negara yang berbatasan dengan laut
tertutup atau laut semi-tertutup yang dapat secara langsung, maupun melalui organisasi
regional terkait, mengkoordinasikan pelaksanaan dari hak-hak dan kewajiban mereka
dalam rangka perlindungan dan pelestarian dari lingkungan lautnya20.
Ketentuan di konvensi hukum laut mengenai polusi yang bersumber dari daratan yang
memberikan standar internasional dan regional menyatakan bahwa peraturan global dan
regional harus mempertimbangkan kapasitas ekonomi dari negara berkembang dan
kebutuhan mereka dalam rangka pembangunan21. Pendekatan yang sama juga diambil
pada Pasal 194 (1) yang menyatakan bahwa negara-negara harus mengambil langkah-
langkah yang sejalan dengan konvensi yang diperlukan dalam rangka “mencegah,
mengurangi, dan mengendalikan polusi dari lingkungan laut menggunakan langkah-
langkah terbaik yang dapat dipraktekan sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini
menunjukan dalam menentukan standar regional, penting untuk mempertimbangkan pula
19
United Nation Convention on the Law of The Sea 1982, Pasal 197
20
Ibid, Pasal 123
21
Ibid, Pasal 207 (4)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
10
Universitas Indonesia
kemampuan dari negara-negara bersangkutan. Penentuan standar yang terlalu tinggi
sehingga membuat negara-negara yang terikat tidak dapat mematuhinya karena
keterbatasan teknologi atau biaya tentunya tidak akan berjalan efektif. Standar yang
ditentukan itu juga harus mempertimbangkan kebutuhan khusus dari negara berkembang
dimana negara berkembang masih memerlukan pembangunan dalam skala besar dan
mungkin akan mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan. Apabila pembangunan
suatu negara terhambat hanya karena standar yang ditentukan di kawasan tersebut terlalu
ketat, maka hal ini mungkin akan mendorong negara-negara tersebut untuk melanggar
atau menarik diri dari keterikatannya atas kesepakatan bersama tersebut.
Bagi Indonesia, sebagai salah satu negara lautan terbesar yang memiliki letak strategis,
diapit oleh beberapa negara, dan memiliki keaneka ragaman hayati yang tinggi, masalah
pengaturan terhadap lingkungan laut menjadi hal yang penting. Beberapa lautan yang
terdapat dalam wilayah indonesia dapat dikategorikan sebagai laut tertutup atau laut
semi-tertutup sebagaimana ketentuan di Pasal 122 UNCLOS 1982, salah satunya adalah
Laut Arafura dan Laut Timor yang saling menyambung dan dibatasi antara Indonesia,
Timor Leste, Papua Nugini, dan Australia.
Daerah laut arafura memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi. Nilai biodiversity jenis
udang penaeid dan jenis ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis penting tersedia di sana. Aktifitas
penangkapan udang di perairan ini telah berlangsung sejak 1970, dan pada tahun 1984 tingkat
produksi tangkapan menunjukan kecenderungan yang tinggi. Tingkat produktivitas
kawasan perairan laut Arafura mampu memberikan kontribusi sekitar 30% dari total
ekspor Indonesia setiap tahunnya sedangkan perairan timor memiliki sumber daya
mineral22.
Saat ini, hanya terdapat lembaga yang tidak mengikat yang berusaha mengkordinasikan
usaha pemanfaatan area perairan timor-arafura diantara ketiga negara yaitu "Arafura-
Timor Sea Expert Forum" yang didirikan melalui memorandum of understanding pada
tahun 2003 untuk bekersama membagi data, informasi, dan keahlian dalam rangka
22 Budi Resosudarmo. “Illegal Fishing in Arafura Sea.”
http://gdnet09.pbworks.com/f/Budy+Resosudarmo_Paper_B.5.pdf. Diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
11
Universitas Indonesia
melakukan perlindungan atas di perairan laut Arafura dan Timor terutama dari
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan juga memberdayakan dan menaikan
kesejahteraan masyarakat sekitar. Sebagai pembanding akan dibahas pula mengenai
upaya-upaya perlindungan terhadap enclosed sea dan semi-enclosed sea di wilayah lain,
yaitu di Laut Mediterania, Laut Kuning, Laut Karibia, dan Laut Hitam. Perbandingan
tersebut diberikan karena pada enclosed sea dan semi-enclosed sea tersebut diambil
pendekatan yang berbeda oleh tiap negara yang membatasinya dalam rangka
perlindungannya. Selain itu penulis hendak meneliti apakah wadah yang telah ada
sekarang sudah cukup dalam rangka melindungi daerah laut arafuru-timor yang termasuk
semi-enclosed sea dan enclosed sea menurut perumusan UNCLOS 1982
Berdasarkan alasan diatas maka penulis hendak menyusun karya ilmiah berjudul
Pengaturan Laut Tertutup (Enclosed Sea) dan Laut Semi-tertutup (Semi-enclosed
Sea) dalam Hukum Laut
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan diangkat di dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan yang ada di dalam hukum laut internasional terkait
semi-enclosed sea dan enclosed sea?
2. Apakah pengaturan di Laut Arafura dan Laut Timor telah memadai dan contoh
baik apa yang dapat diterapkan di Laut Arafura dan Laut Timor?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum Penulisan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih
mendalam mengenai pengaturan terhadap semi enclosed sea, dan enclosed sea
yang ada di rezim hukum laut. Tujuan ini juga untuk memberi pemahaman yang
lebih mendalam mengenai organisasi regional terkait perlindungan laut, yang
ditujukan kepada mahasiswa yang sedang mempelajari ilmu hukum, para sarjana
hukum, pengajar, serta para pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai
kerjasama regional di bidang perlindungan laut.
1.3.2. Tujuan Khusus Penulisan
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
12
Universitas Indonesia
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan terhadap perlindungan semi-enclosed
sea, dan enclosed sea yang amat bergantung dari kerjasama negara-negara di
kawasan tersebut.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari forum yang bersifat tidak
mengikat dalam upaya perlindungan laut di suatu kawasan.
1.4. Definisi Operasional
Secara ilmiah definisi operasional digunakan menjadi dasar dalam pengumpulan
data sehingga tidak terjadi bias terhadap data apa yang diambil.23 Dalam pemakaian
prakstis, definisi operasional dapat digunakan sebagai penghilang bias dalam
mengartikan suatu ide/maksud yang biasanya dalam bentuk tertulis.24 Adapun beberapa
definisi yang akan disampaikan adalah definisi dari ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia, maupun melaui instrumen hukum Internasional yang terkait. Definisi tersebut
yaitu:
1. Enclosed or Semi Enclosed Sea adalah suatu teluk, cekungan, atau laut yang
dikelilingi dua atau lebih lautan dan terhubung dengan laut lain atau samudra
melalui suatu celah, atau terdiri sepenuhnya atau sebagian besarnya dengan
wilayah laut teritorial negara lain dan zona ekonomi ekslusif dari dua negara lain
atau lebih25
2. ATSEF adalah Arafura Timor Sea Expert Forum, yaitu suatu forum tidak
mengikat yang berujuan untuk mendorong kerjasama antara negara dan LSM di
Australia, Indonesia, Papua Nugini, dan Timor Leste dalam rangka mendorong
pemanfaatan yang berkesinambungan dari sumber daya hayati di laut Arafura dan
Timor26.
3. Barcelona Convention atau yang nama lengkapnya adalah Convention for the
Protection of Mediterranean Sea Against Pollution adalah konvensi yang
ditandatangani pada 16 Februari 1976, dan mulai berlaku sejak 12 Februari 1978
23http://staff.ui.ac.id/internal/132161161/material/Seri3-Definisi dari Definisi Operasional. pdf,
diakses pada tanggal 12 Desember 2011. 24 Ibid. 25 United Nation Convention on the Law of the Sea, Pasal 122 26 http://www.atsef.org/mou.php, diakses pada tanggal 17 Desember 2011
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
13
Universitas Indonesia
dan diamandemen pada 10 Juni 1995 menjadi Convention for the Protection of
Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranea27n. Konvensi
ini merupakan konvensi yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan
menghilangkan polusi dari sumber daratan, kapal dan pesawat, aktivitas di dasar
laut, dan dumping di wilayah Laut Mediterania
4. Cartagena Convention, atau yang nama lengkapnya adalah Convention for the
Protection and Development of the Marine Environment in the Wider Caribbean
Region adalah konvensi yang ditandatangani di Kartagena, Kolombia pada 24
Maret 1983 dan mulai berlaku sejak 11 oktober 198628. Konvensi ini bertujuan
untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan polusi dari sumber daratan,
kapal dan pesawat, aktivitas di dasar laut, serta dumping di wilayah Karibia.
5. Bucharest Convention atau yang nama lengkapnya adalah The Convention on the
Protection of the Black Sea Against Pollution adalah konvensi yang
ditandatangani pada April 1992 di Bukares, dan diratifikasi oleh seluruh
anggotanya pada awal 199429. Konvensi ini bertujuan untuk mengurangi,
mencegah, dan mengontrol polusi pada Laut Hitam.
6. Eutrophication adalah suatu proses dimana suatu wilayah perairan menerima
terlalu banyak nutrisi terutama phospate dan nitrate, sehingga menimbulkan
pertumbuhan algae berlebih. Saat algae tersebut mati dan membusuk, konsentrasi
zat organik dalam air akan meningkat dan mengurangi kadar oksigen dari perairan
tersebut dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian bagi spesies lain,
misalnya ikan30. eutrophication adalah proses alami, tetapi dampak dari aktivitas
manusia memperbesar kecepatan proses ini
7. Dumping adalah segala tindakan pembuangan secara disengaja atas sampah, atau
buangan lain yang dilakukan dari kapal, pesawat, atau struktur buatan di laut,
serta tindakan pembuangan dari sampah atau zat lain di dasar laut, atau
27 "Barcelona Convention", http://www.unep.ch/regionalseas/regions/med/t_barcel.htm, diunduh
pada 1 April 2011 28 "An Overview of Cartagena Convention", http://cep.unep.org/pubs/cartnut.html, diunduh pada 1 April 2012 29 " The Convention", http://www.blacksea-commission.org/_convention.asp, diunduh pada 1 April 2012 30 "Eutrophication", http://toxics.usgs.gov/definitions/eutrophication.html, diunduh pada 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
14
Universitas Indonesia
penengelaman atau peninggalan atas stuktur buatan di laut yang dilakukan atas
tujuan untuk membuang struktur tersebut31.
1.5 Metode Penulisan
Penelitian ini merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah, yang membutuhkan
data penunjang. Untuk dapat memperoleh data tersebut maka dilakukan metode tertentu
yaitu metode penelitian hukum. Fungsi dari metode penelitian hukum tersebut adalah
menentukan, merumuskan, dan menganalisa serta memecahkan masalah tertentu untuk
dapat mengungkapkan kebenaran-kebenaran.32
Adapun Tipologi penelitian dari sudut sifatnya merupakan penelitian hukum
normatif33 yang terkait dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku terkait
enclosed sea dan semi-enclosed sea. Menurut tujuan penelitiannya adalah mengetahui
keefektifan suatu organisasi regional dalam mendorong perlindungan terhadap laut di
suatu kawasan. Penelitian ini ditujukan utama hanya kepada ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang berlaku, serta teori-teori dan doktrin atas hukum internasional. Data
pendukung teori juga akan diambil melalui studi kepustakaan, sehingga dalam teknik
pengumpulan data mulai mengumpulkan data, mempelajari literatur-literatur, buku-buku
tulisan-tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan objek penelitan. Metode
pengumpulan data terbatas kepada wawancara para sarjana dan praktisi dan studi
kepustakaan untuk mendukung teori dan mencari kesimpulan dari hasil penelitian.
Adapun bentuk lain dari penelitian ini menggunakan metode penelitian yang
berdasarkan metode normatif (studi kepustakaan) artinya hanya dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat umum. Metode normatif dalam
penulisan ini dilakukan dengan cara mengadakan analisa terhadap peraturan perundang-
undangan, termasuk ketentuan hukum internasional dan bahan buku seperti artikel dan
makalah yang berhubungan dengan penulisan ini. Bahan-bahan hukum yang digunakan
dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
31 "Admiralty and Maritime Law Guide",
http://www.admiraltylawguide.com/conven/protodumping1996.html, diunduh pada 1 April 2012 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 13. 33 Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala
atau kelompok, tertentu atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala. Soerjono Soekanto, Ibid., hlm. 46.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
15
Universitas Indonesia
Adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi. Bahan hukum primer yang
dipakai dalam melakukan penelitian ini adalah ketentuan hukum
internasional yang terkait dengan hukum laut dan perlindungan terhadap
suatu enclosed sea dan semi-enclosed sea yaitu UNCLOS 1982, Barcelona
Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal
Region of the Mediterranean (Barcelona Convention), The Convention for
the Protection and Development of the Marine Environment of the Wider
Caribbean Region (Cartagena Convention), Convention on the Protection
of the Black Sea Against Pollution (Bucharest Convention) dan ATSEF
Memorandum of Understanding
2. Bahan Hukum Sekunder
Adalah bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yang isinya tidak
mengikat. Bahan sekunder tersebut antara lain meliputi jurnal, majalah,
artikel, surat kabar, buku, serta hasil karya ilmiah lainnya yang membahas
mengenai masalah hukum laut. Data sekunder yang akan diperoleh adalah
salah satunya dari Jurnal Ilmiah seperti Indonesian Journal of International
Law. Data lain yang diperoleh dari penelitian bahan pustakan tersebut
akan dianalisa melalui pendekatan kualitatif dan untuk mendukung data
dan bahan maka akan menggunakan alat pengumpul data lain yaitu
wawancara dengan narasumber.34
3. Bahan Hukum Tersier
Adalah bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum tersier memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.
34 Ibid., hlm. 22.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
16
Universitas Indonesia
1.6. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi dalam lima (5) bab dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab kesatu mengenai pendahuluan yang memuat tentang latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 KETENTUAN HUKUM LAUT MENGENAI ENCLOSED SEA DAN
SEMI-ENCLOSED SEA
Bab kedua membahas mengenai konsep dan teori hukum laut mengenai
laut tertutup dan semi tertutup, hak dan kewajiban negara terkait enclosed
sea dan semi-enclosed sea serta konvensi terkait dan contoh kasus. Akan
dibahas pula mengenai pentingnya kerjasama regional dalam rangka
perlindungan lingkungan laut.
BAB 3 KERJASAMA REGIONAL DI ENCLOSED SEA DAN SEMI-
ENCLOSED SEA
Bab ketiga membahas mengenai kerjasama regional dalam rangka
pengelolaan atas enclosed sea dan semi-enclosed sea, termasuk membahas
mengenai The Convention for the Protection and Development of the
Marine Environment of the Wider Caribbean Region (Cartagena
Convention), Convention for the Protection of the Marine Environment
and the Coastal Region of the Mediterranean (Barcelona Convention),
Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution
(Bucharest Convention) serta juga membahas Arafura Timor Sea Expert
Forum
BAB 4 ANALISA LAUT PERBANDINGAN PENGATURAN PADA
ENCLOSED SEA DAN SEMI ENCLOSED SEA
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
17
Universitas Indonesia
Bab keempat menguraikan mengenai seluruh insrumen internasional, serta
contoh kasus terkait enclosed sea dan semi-enclosed sea. Akan
dibandingkan pengaturan yang dijalankan di beberapa contoh laut tertutup
dan semi-tertutup di kawasan lain, dimana pelajaran yang diambil dari
perbandingan tersebut akan dikaitkan dengan Laut Arafura dan Laut
Timor. Akan dibahas pula keefektifan dari ATSEF jika dibandingkan
dengan organisasi regional sejenis di kawasan lain.
BAB 5 PENUTUP
Bab kelima, dalam bab terakhir ini penulis menarik kesimpulan dari uraian
yang telah diberikan serta berusaha untuk dapat menguraikan secara garis
besar seluruh hasil dari penelitian dan pembahasan mengenai ketentuan
hukum laut internasional mengenai enclosed sea, dan semi-enclosed sea
dikaitkan dengan Laut Timor dan Laut Arafuru. Penulis juga hendak
memberikan beberapa saran dari hasil penelitian kepada para pembaca dan
pihak-pihak yang membutuhkannya
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
18
BAB II
PENGATURAN HUKUM LAUT MENGENAI ENCLOSED SEA DAN SEMI-
ENCLOSED SEA
2.1 Pengertian Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea
2.1.1 Pengertian Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea Berdasarkan UNCLOS 1982
Lautan, yang menutupi 70% dari permukaan bumi, memainkan peran yang amat
penting bagi menjaga keseimbangan ekologis dan keanekaragaman biologis, walaupun
begitu lautan tidaklah sama di semua tempat. Ketahanan serta kerapuhannya bervariasi,
bergantung dengan ingkat keasinan, kedalaman, temperatur, aliran arus laut, umur, serta
perkembangan ekonomi dan politik dari negara-negara yang mengelilinginya.35. Salah
satu jenis lautan yang memiliki karakter yang khusus dan dikelilingi oleh lebih dari satu
negara adalah laut uyang disebut degnan enclosed sea, dan semi-enclosed sea. Enclosed
sea dan semi-enclosed sea diatur secara eksplisit pada UNCLOS 1982 dimana definisi
dan pengaturan terhadap enclosed sea dan semi-enclosed sea berada pada Part IX. Pada
pasal 122, dinyatakan apa yang dimaksud dengan enclosed sea dan semi enclosed sea
Pasal 122 For the purpose of this convention, enclosed or semi enclosed sea means a gulf, basin, or sea surronded by two or more states and conected to another sea or the ocean by a narrow outlet consisting entirely or primarily of the territorial seas and exclusive economic zones of two or more coastal states Pasal diatas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan enclosed sea dan semi-
enclosed sea adalah teluk, cekungan, atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih
dan dihubungkan dengan perairan lain melalui jalur sempit yang terdiri utamanya dari
35 Boleslaw A. Boezek, “ International Protection of the Baltic Sea Environment Against
Pollution: A Study in Marine Regionalism”, The American Journal of International Law, Vol. 72, No.4 (October, 1978), hlm. 782
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
19
Universitas Indonesia
laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif dari dua negara atau lebih. Pokok utama dari
definisi ini adalah36 :
a. Konsep laut yang dikelilingi daratan
b. Karakteristik khusus dari 2 atau lebih negara
c. Terdapat hubungan ke area maritim lain
d. Keberadaan laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif.
a. Konsep laut yang dikelilingi daratan
Keberadaan suatu laut atau perairan yang dikelilingi daratan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan laut lepas. Laut yang dikelilingi oleh daratan akan
lebih rentan terhadap akibat-akibat dari aktivitas manusia. Salah satunya adalah
pencemaran, pencemaran ini dapat terjadi dengan disengaja, maupun tidak. Sumber
pencemaran laut yang paling umum adalah polusi dari sumber daratan, pencemaran
tersebut dapat terjadi karena proses pengolahan air kotor perkotaan yang kurang baik atau
tidak ada sama sekali, sampah perkotaan, atau bisa pula berasal dari pupuk atau nutrisi
lain yang terbawa oleh air hujan. Terutama pupuk yang terbawa air ini, dapat
menimbulkan mlimpahnya nuteisi di perairan, sehingga menyebabkan kerusakan berupa
meledaknya populasi alga (algae bloom) yang akan membawa dampak negatif terutama
bagi populasi ikan37.
Laut yang dekat dengan daratan juga rentan terhadap industri perikanan yang
mungkin melakukan usahanya secara tidak bertanggung jawab, misalnya penangkapan
ikan berlebihan yang melampaui kemampuan sistem lingkungan untuk menyokong
jumlah ikan, sehingga mengakibatkan degradasi stok ikan pada khususnya, dan sistem
ekologis pada umumnya38. Penangkapan ikan berlebih berdampak negatif pada stok ikan
yang ada, dan mencegah terjadinya pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.
25% dari stok ikan dunia telah dieksploitasi berlebihan., dan 52 % lain telah dieksploitasi
36 Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Conventiom on the Medditerranean Sea (makalah disampaikan pada Divission For Ocean Affairs and The Law of the Sea Ofice for Legal Office of Legal Affairs, The United Nations, New York 2009)
37 "Eutrophication", http:/toxics.usgs.gov/definitions/eutrophication.html, diunduh pada 1 April 2012
38 "Overfishing - A Global Disaster", Overfishing.org/pages/what_is_overfishing.php. diunduh pada 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
20
Universitas Indonesia
sepenuhnya sampai ke tahap naris ambruknya stok ikan tersebut. 39Ada pula cara-cara
penangkapan ikan yang memang merusak, misalnya penggunaan racun dan peledak yang
bersifat destruktif dan berdampak amat buruk bagi lingkungan laut.
Selain itu, apabila di daratan tersebut terdapat pelabuhan maka operasi
perkapalan yang melewati lautan tersebut juga akan menimbulkan pencemaran, baik dari
minyak yang terbuang oleh kapal dalam operasinya maupun bahaya yang lebih besar
misalnya kecelakaan laut yang mungkin terjadi.
Bentuk lain dari dampak manusia yang bisa terjadi adalah perubahan aliran air
dikarenakan reklamasi daratan, hal ini terutama terjadi di sekitar negara yang memiliki
keterbatasan lahan. Reklamasi yang demikian dapat merusak keseimbangan dari
ekosistem perairan. Perubahan aliran air tersebut dapat membuat sebagian dari perairan
tidak mendapatkan nutrisi yang cukup, yang biasanya dibawa oleh aliran air.
Aktivitas manusia juga dapat merusak lahan bakau, yang merupakan tempat
bertelur yang penting bagi ikan-ikan serta tempat yang digunakan oleh burung berpindah
sebagai tempat mengumpulkan makanan dan beristirahat dalam migrasi mereka.
Banyaknya pengaruh yang timbul dikarenakan aktivitas manusia ini mengakibatkan
daerah laut yang berada di dekat daratan lebih rentan terhadap kerusakan.
b. Karakteristik dua negara atau lebih
Hukum laut memberikan negara hak atas 12 mil laut teritorial, sampai 24 mil laut
zona tambahan dimana negara dapat melakukan penegakan atas hukum sanitasi, dan
fiskalnya dan sampai 200 mil laut zona ekonomi ekslusif. Hal ini menyebabkan banyak
bagian dari laut jatuh ke dalam area pengelolalan dari suatu negara. Laut memiliki peran
yang amat penting, dimana laut menyerap emisi CO2, menjadi jalur transportasi antar
negara, serta mengandung berbagai sumber daya termasuk sumber daya perikanan40. Di
laut yang berada dekat dengan daratan, hal itu berarti sebagian dari perairan di sekitar
daratan tersebut berada dalam pengelolaan negara pantai di dekatnya.
39"Why is Overfishing a Problem?" http:// Overfishing.org/pages/why_is_overfishing is a
problem.php, diunduh pada 1 April 2012 40 Scott G. Borgerson, The National Interest and the Law of the Sea (New York :Council on
Foreign Relations, 2009) hlm. 16
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
21
Universitas Indonesia
Apabila terdapat lebih dari 1 negara, maka diperlukan adanya harmonisasi dari
usaha-usaha pengelolaan negara-negara pantai yang berbatasan tersebut. Hal ini
dikarenakan, laut sebagai suatu kesatuan memerlukan usaha perlindungan dan
pengelolaaan yang dijalankan secara tepat, dimana apabila masing-masing negara pantai
melakukan usahanya sendiri-sendiri, harmonisasi tersebut tidak akan tercapai dan
mungkin menimbulkan kerusakan atau menjadikan usaha perlindungan tersebut tidak
berjalan optimal. Masalah ini tercermin di persoalan kuota tangkap ikan, dimana apabila
setiap negara menentukan kuota tangkapannya secara tidak tepat, maka stok ikan akan
habis. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya kerjasama dalam pengumpulan dan
pertukaran data perikanan.
Selain itu masalah penentuan standar polusi juga terjadi, karena apabila masing-
masing negara yang berbatasan menentukan standar yang berbeda, maka kapal yang
melintasi 1 negara, dapat saja melanggar hukum negara tetangganya saat melintas.
Standar baku mutu pencemaran dari kegiatan daratan juga penting untuk diperhatikan,
karena polusi yang dibuang satu negara ke laut, akan mempengaruhi negara tetangganya
dikarenakan polusi tersebut akan terbawa oleh aliran air. Semua masalah ini tidak lepas
dari faktor sosio-ekonomi, dan politik dari masing-masing negara. Di saat terdapat
beberapa negara pantai berbatasan yang mengelilingi suatu perairan, akankah amat
masuk akal apabila dilakukan usaha yang melibatkan negara-negara yang berbatasan
tersebut dalam rangka melindungi lingkungan laut bersama.
c. Terdapat hubungan ke area maritim lain
Pada pasal 122, dinyatakan bahwa laut yang demikian disambungkan ke area laut
lain dengan jalur sempit yang berada di dalam wilayah atau kebanyakan berada di
wilayah suatu negara. Jalur sempit tersebut membuat keadaan suatu perairan menjadi
relatif tertutup. Dampak dari jalur yang kecil ini adalah, air yang berada di dalamnya
akan lebih sulit mengalir keluar. Hal ini terutama berpengaruh pada pola aliran air.
Dikarenakan laut tertutup hanya disambungkan melalui jalur yang sempit maka
air lebih sulit untuk mengalir keluar, hal ini memberi dampak berupa zat pencemar yang
masuk, akan lebih sulit untuk terbawa keluar sehingga menjadikan zat pencemar tersebut
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
22
Universitas Indonesia
mengendap di perairan yang tertutup itu. Selain itu, bisa pula terdapat spesies yang
endemik, dan hanya berada di lingkungan yang tertutup tersebut yang tentunya
memerlukan perlindungan lebih. Perlindungan itu bukan hanya terhadap zat pencemar
tetapi juga terhadap spesies asing yang mungkin terbawa oleh ballast kapal atau sebagai
muatan kapal dimana spesies asing tersebut dapat menyebarkan penyakit, memangsa,
atau mengalahkan spesies asli dalam kompetisi untuk memperoleh makanan dan merusak
keseimbangan lingkungan dari laut tertutup tersebut.
Apabila laut tersebut merupakan jalur perkapalan, hal ini lebih perlu diperhatikan
karena pada jalur yang sempit apabila terdapat jalur perkapalan internasional, maka perlu
dilakukan usaha-usaha oleh negara pantai untuk menentukan jalur bagi kapal, dalam
rangka menjamin keselamatan navigasi kapal. Kecelakaan laut dapat menumpahkan
banyak sekali zat pencemar, dari bahan bakar kapal, dan muatan ke laut, dimana hal
tersebut akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius, dan memerlukan usaha
dari banyak negara dalam menanggulanginya, termasuk negara bendera.
d. Keberadaan Laut Teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif
Keberadaan laut teritorial dan zona ekonomi ekslusif dari suatu negara memiliki
pengaruh amat besar dalam perlindungan suatu lingkungan perairan. Zona-zona maritim
tersebut mencerminkan kedaulatan negara terhadap perlindungan, pengelolaan, dan
pemanfaatan suatu bagian dari wilayah perairan.
Atas laut teritorial, negara pantai memiliki kedaulatan penuh, sedangkan atas zona
ekonomi ekslusif, negara pantai memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber
daya yang terkandung di dalamnya. Pada pasal 122, dinyatakan bahwa terdapat dua atau
lebih negara. Keberadaan dua negara yang menguasai suatu perairan yang sama
menimbulkan masalah delimitasi perbatasan dan masalah penentuan standart. Persoalan
delimitasi perbatasan dapat diselesaikan melalui negosiasi antara kedua negara, dan bisa
pula menjadi sumber sengketa ang dapat dibawa ke lembaga arbitrase atau peradilan
internasional.
Masalah kedaulatan amat tercermin dalam penentuan standart. Apabila tiap negara
pantai di suatu kawasan menentukan standar lingkungan dan standar keselamatan yang
berbeda-beda, maka harmonisasi antara negara yang saling berbatasan tersebut tidak akan
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
23
Universitas Indonesia
terjadi. Hal ini berpengaruh besar dalam usaha pemanfaatan, pengelolaan dan
perlindungan laut. Selain itu negara lain yan menggunakan laut tersebut sebagai tempat
mengangkap ikan atau jalur pelayaran juga menjadikan diri mereka terpengaruh atas
usaha-usaha pengaturan dan pengelolaan dari negara pantai.
Konvensi hukum laut menentukan bahwa standar internasional tertentu bersifat
sebagai batasan minimum, sehingga mengijinkan negara-negara untuk memberlakukan
ketentuan yang lebih ketat41. Pemberlakuan ketentuan yang terlalu ketat di sisi lain dapat
emiliki dampak negatif bagi negara-negara berkembang, terutama jika standar nasional
negara tersebut seharusnya berada di bawah standar internasional. Ketentuan yang terlalu
ketat dapat menghambat negara berkembang untuk memanfaatkan sumber daya alamnya
dikarenakan ketidakmampuan negara tersebut untuk mendapatkan akses ke teknologi
pemanfaatan sumber daya alam yang sesuai dengan standar yang disetujui secara
internasional.
UNCLOS 1982 di sisi lain menentukan standar internasional mengenai hal-hal
tertentu sebagai standar maksimum yang dapat diadopsi ke hukum nasional negara-
negara. Contohnya, negara-negara tidak diwajibkan untuk memberlakukan peraturan
nasional terhadap ZEE dalam kaitannya dengan pengurangan, pencegahan, dan
pengendalian polusi oleh kapal, tetapi jika negara hendak memberlakukan hal tersebut
maka konvensi menentukan bahwa peraturan tersebut akan mengikuti, dan berlaku
seperti peraturan dan standar yang diterima secara internasional. Hal ini berarti standar
internasional berlaku sebagai batas maksimum karena negara tidak memiliki kewajiban
untuk memberlakukan pengaturan tersebut atau tidak.
Negara berkembang memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa standar
maksimum internasional yang ada masih dapat terjangkau oleh kemampuan teknologi
mereka. Jika pengaturan terlalu ketat mencegah suatu negara untuk dapat memenuhi
ketentuan tersebut, maka dampaknya adalah menhalangi negara yang terbatas secara
ekonomi untuk dapat berpartisipasi dalam pemanfaatan sumber daya maritim tersebut.
Pasal 122 menjelaskan mengenai apa yang dimaksud laut tertutup atau semi
tertutup, tetapi tidak memberikan batasan dari ukurannya sehingga mengijinkan laut yang
41 Raphael Perpetuo M. Lotilla, The Efficacy of Anti-Pollution Legislation Provision on the Law
of the Sea Convention, a View From South East Asia, The International and Comparative Law Quaterly, Vol 41. No 1 ( Jan 1992) hlm. 139
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
24
Universitas Indonesia
berukuran relatif besar untuk masuk dalam definisi tersebut. Argumen dasarnya adalah
dikarenakan sambungannya dengan laut lain yang buruk, membuat laut tertutup lebih
rentan terhadap pencemaran karena sifatnya yang tertutup itu menyebabkan zat pencemar
yang masuk menjadi mudah untuk terakumulasi didalamnya sehingga memerlukan
perlindungan khusus.
Ketiadaan batasan ukuran memiliki pengaruh yang besar, karena hal tersebut
berarti bisa saja area yang dimasukan kedalam definisi laut tertutup dan semi-tertutup
tersebut mencakup keberadaan laut yang berukuran relatif besar. Dikenakannya ketentuan
regional atas suatu sebagai laut tertutup yang berada di suatu kawasan membuat negara-
negara ketiga yang sebelumnya dapat lebih bebas memanfaatkan area laut tersebut
menjadi terbebani peraturan-peraturan yang bersifat regional. Hal ini terutama amat
berengaruh bagi negara ketiga yang memanfaatkan area laut tersebut untuk aktivitasnya,
misalnya perkapalan dan penangkapan ikan.
Negara ketiga tersebut mungkin saja merasa bahwa pengaturan regional yang
dibentuk di kawasan tersebut diskriminatif, atau bertentangan dengan kepentingannya.
Pada dasarnya, suatu pengaturan regional atas laut internasional bersifat res inter alios
acta, tidak dapat ditegakan kepada negara ketiga dimana hukum internasional mengenal
kebebasan bagi negara, dan individu untuk melaksanakan aktivitasnya42.
Selain tidak terdapat batasan akan ukuran dari laut yang dapat dianggap sebagai
enclosed sea dan semi-enclosed sea, tidak pula dijelaskan dengan apa yang seberapa
besarkah narow channel yang seharusnya menghubungkan laut tertutup dan semi tertutuo
tersebut dengan area maritim lain, hal ini memperluas ruang lingkup laut dengan kondisi
geografis sebagai manakah yang dapat didfinisikan sebagai laut tertutup maupun semi
tertutup. Satu hal yang jelas adalah, laut yang dianggap laut tertutup dan semi tertutup
tersebut harus dikelilingi daratan dan dibatasi oleh 2 laut teritorial atau zona ekonomi
ekslusif dari minimal dua negara.
Menurut UNCLOS 1982 pasal 192, tiap negara memiliki kewajiban untuk
melindungi dan menlestarikan lingkungan laut, dengan demikian maka dapat disimpulkan
bahwa tiap negara yang mengelilingi suatu laut yang tertutup dibebani pula dengan
42 C.Odidi Okidi, Regional Control of Ocean Pollution Legal and Institutional Problems and
Prospect, (Belanda: Sitjhoff & Noordhoff International Publisher, 1978), hlm. 162.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
25
Universitas Indonesia
kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari laut tertutup tersebut.
Kewajiban ini tentunya memerlukan pendekatan yang berbeda daripada perlindungan
terhadap lingkungan laut dari laut teritorial negara itu sendiri, hal ini dikarenakan pada
laut tertutup, terdapat pula kepentingan dari negara-negara. lain yang berbatasan dengan
laut tersebut. Terdapat pula pertimbangan teknis, berupa kerapuhan yang inheren terdapat
pada laut yang memiliki struktur tertutup tersebut.
2.1.2 Peraturan terkait di dalam UNCLOS 1982 mengenai Enclosed Sea dan Semi-
Enclosed Sea
Pada pasal 123 dinyatakan mengenai kewajiban dari negara-negara yang
berbatasan dengan laut tertutup.
Pasal 123
States bordering an enclosed or semi-enclosed sea should co-operate with each other in the exercise of their rights and in the performance of their duties under this Convention. To this end they shall endeavour, directly or through an appropriate regional organization:
a. to co-ordinate the management, conservation, exploration and exploitation of the living resources of the sea
b. to co-ordinate the implementation of their rights and duties with respect to the protection and preservation of the marine environment
c. to co-ordinate their scientific research policies and undertake where appropriate joint programme of scientific research in the area
d. to invite, as appropriate, other interested states or international organization to co-operate with them in furtherance of the provision of this article.
Pasal tersebut menyatakan kewajiban negara-negara yang berbatasan dengan laut
tersebut untuk bekerjasama dalam mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi,
eksploitasi, implementasi dari hak dan kewajiban mereka, mengkoordinasikan kebijakan
riset mereka serta mengundang pihak dari negara lain atau institusi internasional lain
untuk bekerjasama dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan di dalam
konvensi hukum laut. Adapun kewajiban yang terdapat pada konvensi tidak dibedakan
antara kewajiban negara pada laut tertutup, dengan pada laut yang lain. Kewajiban negara
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
26
Universitas Indonesia
terkait akan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terdapat pada Part XII dari
UNCLOS 1982.
UNCLOS 1982 menjelaskan mengenai hak dan kewajiban tiap negara terkait
kerjasama atas perlindungan lingkungan laut. Kewajiban utama terkait perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut tersebut dirumuskan pada Pasal 192 yang menyatakan bahwa
tiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Negara-negara memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam. Tetapi hak
tersebut juga disertai dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu negara dalam
melakukan eksploitasi atas sumber daya alam. Hak ini dinyatakan pada Pasal 193 yang
berbunyi :
Pasal 193 States have the sovereign right to exploit their natural resource pursuant to their environmental policies and in accordance with their duty to protect and preserve the marine environment
Arti dari ketentuan tersebut adalah negara memiliki hak berdaulat untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang harus dilaksanakan sejalan dengan kebijakan
lingkungan dari negara tersebut dan dengan memperhatikan kewajiban negara dalam
melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Perumusan ini mengandung arti bahwa
dalam melakukan ekploitasi atas sumber daya alam yang ada, negara harus tetap
melakukannya sejalan dengan kebijakan perlindungan alam mereka, dan dengan tetap
tunduk pada ketentuan-ketentuan pada konvensi hukum laut. Dalam melakukan
eksploitasi tersebut negara juga harus tetap memperhatikan kewajibannya untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Konvensi memberikan kebebasan bagi negara untuk melakukan langkah-langkah
yagn diperlukan untuk memenuhi kewajiban negara tersebut terkait perlindungan
lingkungan laut, adapun langkah tersebut dapat diambil secara sendiri-sendiri, maupun
bersama-sama dengan negara lain. Pada Konvensi dirumuskan :
Pasal 194 1. State shall take, individually or jointly as appropriate, all measures consistent with this Convention that are neccessary to prevent, reduce and control pollution of marine environtment from any source, using for this
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
27
Universitas Indonesia
purpose the best practicable means at their disposal and in accordance with their capabilites, and they shall endeavour to harmonize their policies in this connection. Arti dari perumusan diatas adalah dalam melakukan usaha pencegahan,
pengurangan, dan kontrol atas polusi di lingkungan laut dari segala sumber, negara dapat
melaksanakan kewajibannya baik secara sendiri-sendiri, maupun dengan bekerjasama
dengan negara lain. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut negara-negara harus
menggunakan langkah terbaik yang bisa dipraktekan oleh negara tersebut, dan harus
berusaha untuk mengharmonisasikan kebijakan mereka terkait usaha pencegahan,
pengurangan, dan kontrol atas polusi di lingkungan laut. Perumusan dalam Pasal 194 (1)
tersebut berarti terdapat kewajiban untuk mengharmonisasikan kebijakan nasional dari
suatu negara terkait dengan perlindungan lingkungan dengan ketentuan dari konvensi.
Negara-negara juga dikenakan kewajiban untuk mencegah menyebarnya polusi
karena aktivitas negara tersebut, atau kecelakaan yang terjadi di dalam yurisdiksinya agar
tidak menyebar ke area di luar yurisdiksinya, termasuk ke negara lain. Kewajiban ini
dirumuskan pada Pasal 194 (2) yang berbunyi
Pasal 194 1. States shall take all measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause damage by pollution to other states and their environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this convention
Arti dari ketentuan tersebut adalah negara harus mengambil seluruh langkah yang
diperlukan untuk memastikan aktivitas yang dilakukan dalam yurisdiksi atau kontrolnya
tidak mengakibatkan polusi ke negara lain dan lingkungannya, dan polusi yang terjadi
akibat kecelakaan atau aktivitas di dalam yurisdiksi dan kontrolnya tidak menyebar ke
area diluar wilayah dimana negara tersebut mengunakan hak berdaulatnya.
Dalam perumusan ini dinyatakan secara eksplisit kewajiban negara atas wilayah
dalam yurisdiksinyanya, dan kewajiban negara atas kapal yang menggunakan benderanya
untuk tidak menimbulkan kerusakan polusi ke negara lain. Ketentuan ini juga lebih ketat
daripada ketentuan pada Pasal 194 (1) dimana pada Pasal 194 (1) dalam melaksanakan
pencegahan, negara hanya harus melakukan tindakan terbaik yang dapat mereka
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
28
Universitas Indonesia
praktekan, sedangkan pada Pasal 194 (2), kewajiban negara untuk mencegah
menyebarnya polusi ke wilayah lain tersebut harus dilaksanakan dengan mengambil
seluruh langkah yang perlu dilakukan, formulasi “seluruh langkah yang perlu dilakukan”
tidak mengandung batasan sehingga negara akan pula dibebani oleh kewajiban untuk
mengambil suatu tindakan yang mungkin melampaui kemampuan, atau keahlian mereka
dalam rangka mencegah penyebaran polusi ke wilayah di luar wilayahnya.
Formulasi “area di luar wilayah dimana mereka memanfaatkan hak berdaulatnya”
berarti negara dibebankan kewajiban untuk mencegah polusi akibat aktivitasnya atau
kecelakaan dalam yurisdiksi atau pengendaliannya agar tidak menyebar melampaui laut
teritorial dan zona ekonomi ekslusif dimana negara memiliki hak berdaulat. Oleh karena
itu negara selain harus mencegah polusi yang terjadi di wilayahnya atau di dalam
kendalinya untuk tidak menyebar ke wilayah negara lain dan juga laut lepas.
Adapun dalam melaksanakan kewajiban dalam pasal 194, langkah-langkah yang
diambil oleh negara harus mencakup seluruh sumber polusi terhadap lingkungan laut dan
dilakukan untuk meminimalkan43 :
1. Pelepasan zat berbahaya, atau zat yang dapat merusak dari sumber daratan,
udara, atau melalui pembuangan ke laut
2. Polusi dari kapal, instalasi dan peralatan yang digunakan dalam eksplorasi di
dasar laut, serta instalasi dan peralatan lain yang beroperasi di laut. terutama
untuk mencegah kecelakaan laut, dan penanganan bencana, memastikan
keselamatan operasi di laut, mencegah pembuangan secara sengaja dan tidak
disengaja, serta standar kelaikan atas kapal, istalasi atau alat-alat tersebut
termasuk awaknya.
Dalam rangka melakukan tindakan untuk mencegah pencemaran lingkungan
tersebut, negara tidak boleh melakukan tindakan yang mengganggu atau menghalangi
negara lain untuk menggunakan haknya sesuai dengan konvensi44.
Selain itu, langkah pencegahan, pengurangan dan pengendalian polusi tersebut
juga tidak diperbolehkan untuk sekedar memindahkan dari satu area ke area lain, atau
43 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982, Pasal 194 (3) 44 Ibid, Pasal 194 (4)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
29
Universitas Indonesia
merubah bentuk polusi, dari satu bentuk, ke bentuk lain45. Seluruh langkah-langkah yang
diambil harus mencakup perlindungan atas ekosistem yang langka atau rapuh, serta
habitat dari segala bentuk kehidupan di laut yang langka, atau terancam punah46.
Kerjasama dalam tingkat global, dan regional juga didorong, baik langsung
maupun tidak langsung melalui organisasi internasional dalam membentuk dan
menjelaskan aturan internasional, standar, rekomendasi praktek dan prosedur yang
sejalan dengan konvensi, dalam rangka perlindungan lingkungan laut, dengan
mempertimbangkan fitur dari karakter regional47. Negara berkembang diberikan bantuan
secara langsung maupun melalui organisasi internasional terkait masalah teknis dan iptek
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dalam rangka mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan. Negara berkembang juga mendapatkan kemudahan oleh
organisasi internasional dalam mendapatkan dana dan bantuan teknis, serta dalam
menggunakan layanan khusus terkait pencegahan pencemaran lingkungan.
2.1.3 Kerjasama Regional Dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Laut Tertutup
dan Laut Semi-tertutup
Terdapat dua konsep mengenai apa yang dimaksud dengan laut yang berada di
suatu kawasan48. Pertama, suatu kawasan laut tersebut merupakan sebuah permukaan
perairan yang luas yang terpisah dengan bagian perairan lain melalui karakter dari bentuk
geografisnya dan memiliki suatu ciri khusus yang sama. Kedua, dari sudut pembangunan
berorientasi kelautan, yaitu adalah kumpulan negara-mnegara yang saling berbatasan dan
memiliki kepentingan dan tujuan yang sama terkait dengan pemanfaatan dari ruang
perairan bersama tersebut.
Laut tertutup dan semi-tertutup memiliki kerentanan terhadap pencemaran
lingkungan, dan kesalahan pengelolaan. Dikarenakan kondisinya yang juga berbatasan
antara dua negara atau lebih, laut tertutup dan semi-tertutup tidak akan lepas dari
45 Ibid, Pasal 194 (5) 46 Ibid, Pasal 194 (5) 47 Ibid, Pasal 195 48 Boleslaw A. Boezek, “ International Protection of the Baltic Sea Environment Against
Pollution: A Study in Marine Regionalism”, The American Journal of International Law, Vol. 72, No.4 (October, 1978)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
30
Universitas Indonesia
kepentingan masing-masing negara yang mengelilingi laut tersebut. Adanya jalur
pelayaran internasional, laut lepas, atau lokasi penangkapan ikan dalam suatu laut-
tertutup dan semi-tertutup menyebabkan kepentingan yang bersinggungan bukan hanya
atas negara yang membatasinya, tetapi juga dengan negara ketiga di luar kawasan yang
mengambil manfaat atas laut tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan langkah-
langkah untuk memberikan perlindungan atas lingkungan laut tertutup dan semi-tertutup
tersebut.
Pengelolaan dari jalur laut internasional melalui mekanisme kerjasama regional
memberikan dasar paling menyeluruh terhadap perlindungan lingkungan dan kontrol atas
polusi49. Kerangka institusional yang menyertai skema kerjasama regional tersebut
menjadi forum untuk saling memberi pemberitahuan, konsultasi, serta negosiasi.50
Terkait pula dengan masalah ini adalah pemanfaatan dari sumber daya alam yang ada di
daerah yang berbatasan antara beberapa negara pantai. Teori yang paling banyak
didukung terkait masalah pemanfaatan sumber daya adalah menganggap sumber daya di
kawasan tersebut sebagai suatu sumber daya bersama, yang akan dimanfaatkan secara
adil diantara negara-negara yang berbatasan dengannya51. Masalah perlindungan
lingkungan laut merupakan masalah yang memiliki nilai penting bagi negara. Bagi negara
pantai, laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga negara-negara yang berada di
sekitar suatu perairan akan terdorong untuk mengambil langkah-langkah untuk
melindungi kepentingannya tersebut. Opsi yang dapat diambil negara-negara untuk
pengaturan perlindungan lingkungan laut adalah 52:
a. Sistem tidak terpusat yang umum pada saat ini, dimana negara mungkin saja
mengambil tindakan unilateral
b. Sistem terpusat yang global, dimana terdapat suatu badan supranasional
c. Jaringan sistem pengaturan regional
49 Alan Boyle, dan Patricia Byrne, International Law & The Environment, (New York : Oxford
University Press, 2002) hlm.304. 50 ibid 51 Ibid, hlm.302 52 C.Odidi Okidi, Regional Control of Ocean Pollution Legal and Institutional Problems and
Prospect, (Belanda: Sitjhoff & Noordhoff International Publisher, 1978), hlm. 140
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
31
Universitas Indonesia
Sistem tidak terpusat sekarang memberikan ruang bagi negara untuk secara
unilateral meluaskan ruang yurisdiksinya ke laut lepas, dimana suatu tindakan yang tidak
diatur mungkin dilakukan oleh negara asing. Inilah yang dilakukan Kanada pada tahun
1970 saat Kanada mengadopsi Artic Water Pollution Prevention Act, yang bertujuan
untuk mengatur polusi hingga 100 mil laut dari garis pantainya53. Dalam rangka
perlindungan laut, banyak negara pantai mungkin tergoda untuk memperluas jangkauan
jurisdiksinya, bergantung pada kondisi geografis yang mereka hadapi. Langkah unilateral
tersebut mungkin dapat berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional. Contohnya
adalah pada Trumman Proclamation on continental shelf dan tindakan sepihak Norwegia
dalam penentuan garis pangkalnya yang dibenarkan pada anglo-norwegian fisheries case.
Tindakan unilateral dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan ini
memiliki beberapa masalah. Salah satu yang paling jelas adalah tidak terdapatnya batas
yang jelas sejauh apa negara pantai dapat melakukan tindakan unilateral tersebut. Apabila
tidak terdapat rezim hukum yang dapat digunakan untuk mengatur polusi di luar area
ZEE, negara pantai dapat tergoda untuk melakukan penegakan melewati area tersebut
untuk melindungi sumber daya alam, dimana negara tersebut memiliki hak berdaulat
atasnya54.
Unilateralisme juga tidak memiliki batasan terhadap aturan substantif apakah
yang dapat diatur oleh suatu negara. Kenyataan ini menciptakan beberapa masalah, salah
satunya adalah fakta bahwa laut lepas merupakan area dimana terdapat kebebasan
bersama oleh negara-negara di dunia dan tindakan unilateral tersebut tentunya melanggar
hak dari negara lain untuk memanfaatkan kebebasannya.
Kedua tindakan unilateral dalam rangka perlindungan lingkungan tersebut bisa
saja merupakan kedok dari negara untuk memperluas yuridiksinya55. Perluasan jurisdiksi
negara melampaui batas wilayah kedaulatannya disebut dengan creeping jurisdiction56.
Negara atas alasan perlindungan lingkungan dapat mengatur hal-hal yang mungkin tidak
berhubungan langsung dengan pencegahan pencemaran. Perluasan jurisdiksi tersebut
secara langsung akan mendapat tantangan dari negara-negara lain yang merasa haknya
53 Ibid, hlm.140 54 Ibid, hlm. 143 55 Ibid, hlm. 145 56 Ibid.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
32
Universitas Indonesia
untuk menikmati kebebasan terganggu sehingga dapat menyebabkan timbulnya sengketa
antar negara.
Hal ketiga adalah tindakan unilateral tidak akan bisa benar-benar melindungi
lingungan tanpa diambilnya tindakan serupa pada negara-negara lain yang berbatasan
pada laut yang sama. Oleh karena itu, apabila suatu negara hendak mendapatkan manfaat
dari suatu pengaturan, negara tersebut haruslah berhubungan dengan negara-negara lain
yang menggunakan ruang lingkungan hidup yang sama.
Opsi kedua dalam pencegahan pencemaran adalah dengan suatu badan tunggal
yang memiliki mandat untuk melakukan tindakan untuk mengawasi dan mengontrol
secara menyeluruh. Alasan utamanya adalah karena laut lepas merupakan daerah di luar
yurisdiksi negara dan terbuka bagi setiap negara dan orang untuk memanfaatkannya.
Pendapat “internasionalisasi” ini semakin kuat pada area yang dianggap common heritage
of mankind.
Dari sudut pandang polusi, terlihat bahwa lingkungan laut merupakan suatu
kesatuan ekosistem dan hanya suatu rezim global yang bisa mencegah dan mengontrol
pencemaran atas laut. Polusi laut adalah masalah yang berskala global, dan harus
dihadapi bersama dalam skala global pula. Tetapi, langkah ini belum mendapat perhatian
serius, terutama masalah sifat dan ruang lingkup dari organisasi global yang
mengontrolnya. Kecenderungan yang terjadi adalah untuk menekankan pentingnya peran
organisasi internasional yang ada dalam menentukan standard, dan masalah penegakan
dilepaskan kepada negara bendera.57
Selain itu, suatu badan tunggal yang memiliki ruang lingkup global dianggap
tidak perlu dikarenakan adanya pengakuan terhadap pengaturan regional yang
dikarenakan walaupun masalah pencemaran laut adalah masalah global, masalah yang
diahadapi tidaklah sama secara global. Oleh karena itu, suatu negara dalam suatu
lingkungan perairan tertentu harus berkonsentrasi memecahkan masalah yang
dihadapinya dalam forum yang bersifat regional.
Umumnya, laut yang dianggap suatu unit ekologis adalah laut semi-tertutup, hal
ini dikarenakan perairan dari laut tersebut terbatas pada ruang geografis tertentu dalam
waktu yang lama. Pengaturan secara regional dilakukan dalam rangka pengakuan atas
57 Ibid, hlm. 150
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
33
Universitas Indonesia
faktor ekologis tersebut.58 Melihat keragaman dari lingkungan dan tingkat permasalahan
lingkugnan yang beragam, serta kepentingan banyak pihak yang bervariasi di berbagai
kawasan, suatu badan global akan mengalami kesulitan dalam mengakomodir perbedaan
per kawasan tersebut.
Pengaturan regional sebagai cara menanggulangi pencemaran telah dinyatakan
berkali-kali oleh sarjana, negara, dan konvensi internasional.59 Dukungan terhadap
pengaturan regional dikarenakan adanya perbedaan pada tingkat dan macam pencemaran
yang ada di masing-masing kawasan, yang memerlukan pendekatan yang berbeda dalam
rangka penyelesaiannya. Berikutnya, mekanisme regional juga mendorong penyebaran
dari teknologi, fasilitas, dan keahlian sedekat mungkin terhadap tempat dimana suatu
masalah timbul, dan membuatnya dapat diakses secepat mungkin dalam suatu keadaan
kegawatan ekologis. Dalam hal tersebut, suatu kawasan dapat pula membuat mekanisme
untuk menyebarkan teknologi terkait ke kawasan yang tidak memilikinya. Selain itu,
pengaturan regional mendorong partisipasi maksimun dari berbagai negara, termasuk
negara berkembang, yang karena keterbatasan ekonomi dan teknologi akan terpinggirkan
di dalam mekanisme global yang cenderung didominasi negara maju dan negara maritim
besar. Ditambah lagi pengaturan secara terpusat secara global dirasa sia-sia, atau utopis,
sementara pengaturan secara unilateral dalam rangka pembentukan hukum kebiasaan
menimbulkan banyak keberatan, sehingga pengaturan secara regional dirasa ideal dalam
rangka mendorong perubahan secara global.
Forum regional selain dapat mendorong pertukaran teknologi, juga dapat menjadi
tempat konsultasi dan juga tempat untuk menyampaikan keberatan dalam masalah
pencemaran lingkungan laut. Forum konsultasi ini juga akan lebih mudah terbentuk, dan
lebih mudah berperan sebelum adanya suatu masalah serius.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan regional lebih dapat
diterima dibandingkan pendekatan unilateral masing-masing negara, maupun pendekatan
yang mengutamakan dibentuknya suatu organisasi supranasional dalam rangka
pengaturan atas pencemaran laut. Pendekatan regional bukan alasan untuk
mengesampingkan mekanisme global dalam rangka menentukan standar, tetapi untuk
58 Ibid, hal 151. 59 Ibid, hal 154
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
34
Universitas Indonesia
menentukan detail peraturan yang dilaksanakan terhadap suatu perairan, satuan ekologis,
atau kawasan, termasuk hubungan atas pengaturan regional tersebut terhadap standar
global, karena sudah jelas bahwa masalah laut adalah masalah yang memiliki sifat
global60. Walaupun begitu, terdapat masalah pula pada pengaturan regional, salah satunya
adalah karena dalam pengaturan regional dapat terdapat ketentuan yang berlaku di laut
lepas, maka ketentuan tersebut dikarenakan berada dalam jurisdiksi negara yang
bersangkutan, menjadi tidak dapat ditegakan atas negara ketiga yang juga menggunakan
ruang laut tersebut. Hal ini menjadikan suatu organisasi regional sebaiknya juga terbuka
bagi partisipasi negara ketiga yang memiliki kepentingan atas laut tersebut, dimanapun
letak negara ketiga itu berada. Selain itu, dikarenakan keragaman pengaturan regional,
dapat terjadi konflik antara pengaturan regional dan global, dengan demikian suatu
organisasi regional harus mencari langkah agar timbul harmonisasi antara standar global
dengan standar regional yang diadopsi di kawasannya agar tidak merugikan kepentingan
dari negara ketiga yang juga menggunakan ruang laut tersebut.
Pengaturan yang berbeda per kawasan juga memungkinkan adanya tindakan
pencemaran antar-kawasan pada dua kawasan yang berdekatan yang memiliki
pengaturan yang berbeda dalam rangka perlindungan laut. Kembali ditekankan
pentingnya harmonisasi ketentuan global dengan pengaturan per kawasan, selain itu
dapat pula dibuat kerjasama, konsultasi, dan konferensi antar kawasan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Tantangan berikutnya terhadap suatu pengaturan
regional adalah langkah regional tersebut dapat dihambat oleh adanya perbedaan politik
yang telah ada antar negara-negara di kawasan yang sama. Perbedaan politik tersebut,
serta ketegangan antar negara di kawasan dapat membuat suatu kerjasama regional
terhambat dikarenakan keengganan negara-negara yang berbeda tersebut untuk
bekerjasama, maupun diakibatkan perbedaan tersebut mengakibatkan pengucilan atau
diskriminasi atas negara tertentu dalam suatu kawasan oleh negara-negara lain
disekitarnya61.
Kelahiran komisi perikanan dalam kawasan merupakan salah satu bukti bahwa
pendekatan per kawasan mulai umum diterima. Contoh lain atas pendekatan regional
60 Ibid, hal 162 61 Ibid, hlm. 163
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
35
Universitas Indonesia
adalah kerjasama investigasi dan asosiasi regional dari Intergovernmental Oceanographic
Commission (IOC) yang memberi kerangka untuk mengkoordinasikan penelitian di
berbagai kawasan laut di dunia, serta usaha laut regional dalam United Nation
Environmental Programme62.
Istilah regionalisme mengacu pada baik suatu kawasan geografis, dan sub-
kawasan yang menjadi bagian atasnya, serta mekanisme yang dibentuk dalam rangka
melaksanakan kerjasama antar negara dalam ruang lingkup yang sub-global. Dua aspek
dari pendekatan laut regional amatlah penting, pertama serangkaian usaha yang terus
menerus dilakukan dalam area perairan tersebut, misalnya pelestarian dan pengelolaan
perikanan, kontrol polusi, riset kelautan, dan perkapalan komersial yang mendorong
terbentuknya program yang dilakukan berkelanjutan, atau setidaknya mendorong
dibentuknya hubungan saling mendukung antar rezim pengelolaan di suatu kawasan yang
sama. Misalnya, penelitian kelautan, yang sering dikoordinasikan dengan usaha
pengelolaan perikanan dan usaha kontrol atas polusi. Aspek berikutnya dari laut regional
adalah umunya negara yang sama akan terlibat beberapa skema pengaturan kelautan yang
berbeda. Usaha menghadapi masalah bersama dapat menimbulkan adanya integrasi yang
lebih baik antar badan-badan pemerintahan yang berbeda yang saling terkait dalam
kerjasama tersebut.
Konsep regionalisme kelautan memiliki dua aspek, yaitu adanya fenomena
geografis, serta adanya suatu pengaturan tertentu atas suatu kawasan63. Pengaturan
regional merujuk kepada perjanjian multilateral, konvensi, kesepakatan, kerjasama, dan
seterusnya berikut mekanisme yang terkandung dalam fenomena tersebut64. Adapun yang
dimaksud sebagai suatu kawasan laut adalah kawasan secara fisik dimana kawasan
tersebut dibedakan atas konfigurasi geografisnya, berikutnya adalah kawasan sebagai
suatu daerah pengaturan dimana terdapat pengaturan bersama atas suatu masalah tertentu,
Terakhir adalah kawasan secara institusional dimana terdapat satu atau lebih pengaturan
formal, batasan atas kawasan tersebut dapat terkandung dalam suatu perjanjian
62 Lewis M. Alexander, Marine Regionalism in the Southest Asian Seas ( Hawaii, Honolulu : East-
West and Policy Institute, 1999) hlm.2 63 Ibid, hlm. 3 64 Ibid, hlm. 3
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
36
Universitas Indonesia
internasional, maupun pada batasan ruang lingkup keberlakuan kompetensi suatu
organisasi internasional.
Usaha regional dapat menjadi bagian penting, atau bahkan keharusan dalam
mengolah data atas suatu lingkungan laut dalam kawasan tertentu65. Insentif ekonomi atas
suatu usaha regional dapat berupa kontribusi bersama antar negara dalam suatu kawasan
atas suatu usaha yang memerlukan biaya tinggi, atau usaha yang memerlukan tingkat
keahlian tinggi, dimana kedua kondisi demikian mungkin menghambat dilakukannya
usaha tersebut secara sendiri-sendiri66.
Pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas suatu usaha regional adalah negara-
negara pantai di dalam kawasan itu sendiri, negara di luar kawasan yang memiliki
kepentingan di kawasan laut tersebut, badan-badan internasional terutama yang
merupakan bagian dari PBB yang terkait, serta terakhir adalah perusahaan swasta
misalnya perusahaan perkapalan, perusahaan minyak dan gas, dan bank67.
Banyak masalah kelautan yang dapat dihadapi melalui mekanisme regional atau
subregional. Intensitas kerjasama regional tersebut dapat berupa sederhana seperti
pertukaran data, atau bahkan sponsor bersama ataas suatu kelompok kerja mengenai
pengelolaan oleh suatu badan regional68. Masalah yang dapat dihadapi melalui
mekanisme regional contohnya adalah :
1. Konservasi perikanan
2. Pengelolaan perikanan
3. Kontrol polusi serta pengurangan pencemaran.
4. Pembentukan, norma, atau aturan
5. Pengawasan terhadap ketaatan atas aturan yang ada
6. Perkapalan
7. Riset ilmu pengetahuan terkait masalah kelautan
Selain masalah-masalah yang disebutkan diatas, ada pula masalah lain seperti
pengawasan dan survey ata, pemberian bantuan, dan pengelolaan zona pesisir69. Di tiap
kasus, terdapat jeda antara fungsi pelayanan dan pembentukan norma serta pengawasan.
65 Ibid, hlm. 5 66 Ibid, hlm. 5 67 Ibid, hlm. 6-7 68 Ibid, hlm. 24 69 Ibid, hlm. 29
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
37
Universitas Indonesia
Diantara keduanya dapat dilakukan investasi untuk pengawasan dan pengelolaan
bersama. Terutama terkait kawasan asia tenggara, masalah pencurian ikan dan
penangkapan ikan berlebihan adalah masalah serius. Seharusnya masalah ini mendorong
tiap negara untuk semakin berkerjasama. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam
tingkat bilateral, subregional jika masalah tersebut tidak dipolitisasi, subregional apabila
masalah itu dianggap amat penting, pada tingkat subregional apabila organisasi seperti
ASEAN berhasil menjadi lebih integratif, dan pada tingkat subregional apabila terdapat
dukungan dan sponsor dana dari PBB70.
2.1.4 Pendekatan Pengaturan Berbasis Large Marine Ecosystem
Large Marine Ecosystem (LME) adalah area lautan yang relatif besar, yang
memiliki luas antara 200.000 km2 atau lebih, yang terletak disamping daerah pesisir
dimana tingkat produktivitasnya secara umum lebih tinggi dari pada laut lepas71. Daerah
LME menghasilkan 80% dari total jumlah tangkapan perikanan dunia. Mereka juga
menjadi pusat dari polusi laut, kelebihan nutrisi, kerusakan habitat, penangkapan ikan
berlebih, rusaknya keanekaragaman hayati, dan efek perubahan iklim secara global.
Terdapat 2 fitur penting dari pendekatan LME terhadap peningkatan pengaturan.
Pertama, dan yang terutama adalah batasan fisik dari LME didasari atas 4 faktor
ekologis, yaitu bathymetry, hydrography, produktivitas, dan hubungan tropis.
Menggunakan faktor-faktor ekologis tersebut, telah diidentifikasi 64 LME di dunia.
Batasan wilayah LME sering melampaui continental shelf, dan perbatasan politis, dan
diidentifikasi atas tujuan untuk pengawasan komprehensif atas situasi lingkungan, dan
menjadi dasar atas manajemen berdasarkan ekosistem atas sumber daya bersama72. Sifat
ini amatlah penting karena mendorong harmonisasi dan usaha menyeluruh untuk
perlindungan laut sebagai suatu kesatuan, bukan sebagai bagian yang terpisah-pisah
antar negara.
70 Ibid, hlm. 30 71 "Large Marine Ecosystem Approach to the Assessment and Management of Coastal Ocean
Waters: Introduction to LME Portal", www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=Pasal&id=47&Itemid=4, diunduh pada 1 April 2012
72 "Large Marine Ecosystem", www.fao.org/fishery/topic/3440/en, diunduh pada 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
38
Universitas Indonesia
Sifat unik berikutnya dari pendekatan berbasis LME adalah penggunaan strategi
5 modul dalam mengukur perubahan dari LME, dan untuk mengambil langkah
perbaikan atas kelestariannya73. Kelima modul tersebut adalah (i) Produktivitas dan
Oceanography, (ii) ikan dan perikanan, (iii) polusi dan kesehatan ekosistem, (iv) sosio-
ekonomi, dan terakhir (v) governance. Proyek GEF-LME dengan regional seas telah
menentukan prioritas melalui Transboundary Diagnostic Analysis (TDA), dan Strategic
Action Programe (SAP). Saat ini sebagian dari semi-enclosed sea dan enclosed sea telah
dikategorikan sebagai Large Marine Ecosystem yaitu74 :
1. Wider Carribbean Sea, terdiri atas 23 negara (TDA dalam persiapan)
2. Yellow Sea , terdiri atas 2 negara (TDA dan SAP)
3. Black Sea, terdiri atas 6 negara (TDA dan SAP)
4. Mediterranian Sea, terdiri atas 19 negara (TDA dan SAP)
2.2 Kerjasama Regional Terkait Enclosed Sea dan Semi-Enclosed Sea
2.2.1 Laut Mediterania (Mediterranean Sea)
a. Kondisi Geografis
Pengertian Laut Mediterania secara sempit menunjuk pada seluruh
wilayah maritim di luar wilayah Dardanelles, sementara pengertian secara luas
mencakup Laut Hitam dan Laut Azov. Laut mediterania juga dapat didefinisikan
sebagai satu daerah perairan yang tertutup dari Samudera Atlantik, sehingga
merupakan laut tertutup pedalaman. Laut Mediterania merupakan salah satu laut
yang dikategorikan sebagai Large Marine Ecosystem #26 (LME) oleh UNEP75.
Laut Mediteranea adalah laut yang unik, terbatas antara 21 negara, terdiri
dari banyak pulau dan sudah digunakan sejak beberapa milenia sebagai sumber
makanan, transportasi, dan zona pertikaian politik dan budaya.
73 ibid 74 "UNEP Regiona Seas Programme Linked With Large Marine Ecosystem Assessment and
Management", www.lme.noaa.gov/LMEWEB/Publication/brochure_unep_rs.pdf , diunduh pada 1 April 2012
75"Mediterranean Sea: LME #26" http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=article&id=72:lme26&catid=41:briefs&Itemid=72, diunduh pada 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
39
Universitas Indonesia
Laut Mediterania adalah wilayah yang secara politik dan geografis
strategis. Laut ini memisahkan benua Afrika dengan Eropa. Diantara
persengketaan yang terjadi, yang termasuk besar adalah antara Yunani dan Turki,
Siprus dan Turki, Spanyol dan Inggris, dan Israel dengan negara-negara Arab di
sekitarnya. Adalah suatu hal yang telah diterima secara umum bahwa Laut
Mediterania adalah laut tertutup sebagaimana diatur pada pasal 122 UNCLOS
1982. Selain itu, ICJ pada putusannya terkait kasus Continental Shelf antara Libya
dan Malta menganggap Laut Mediterania sebagai laut semi-tertutup.
Gambar 2.2.1.a. Peta Laut Mediterrania76
b. Masalah Utama
Tantangan terbesar bagi lingkungan Laut Mediterrania berasal dari polusi
yang bersumber dari daratan. Sekitar 80% dari polusi yang masuk ke Laut
Mediterrania berasal dari daratan77. Laut Mediterania menjadi tempat tinggal bagi
400 juta jiwa yang tersebar di negara-negara yang mengelilingi laut semi tertutup
76 "Mediterranean Sea", http://www.geographicguide.net/europe/maps-
europe/maps/mediterraneansea.jpg, diunduh 13 April 2012 77 " Helping Protect the Mediterranean Sea Against Pollution",
http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction.do?reference=IP/08/553, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
40
Universitas Indonesia
ini. Sekitar 175 juta orang mengunjungi kawasan ini tiap tahunnya. Populasi
manusia yang mengelilingi laut mediterrania tersebut membawa dampak yang
amat besar bagi kesehatan lingkungan Laut Mediterrania. Lebih dari setengah
wilayah perkotaan disekitar laut mediterrania dengan populasi melebihi 100.000
jiwa tidak memiliki fasilitas pengolahan air kotor, dan 60% dari air kotor tersebut
dialirkan langsung ke Laut Mediterrania. Pengunjung yang datang ke Laut
Mediterrania juga menciptakan masalah berupa sampah, dimana sampah tersebut
dibuang atau terbawa air hujan masuk ke Laut Mediterrania. Selain sampah dari
wisatawan, 80% dari tempat pembuangan sampah di wilayah selatan dan timur
Laut Mediterrania tidak dimonitor.
Laut mediterrania merupakan laut yang kaya akan kehidupan, dimana
terdapat 6 % spesies laut di dunia78. Kekayaan laut ini mendorong industri
perikanan untuk tumbuh di wilayah tersebut. Penangkapan ikan berlebihan
merupakan salah satu masalah yang dihadapi di Laut Mediterrania. Penangkapan
berlebih tersebut telah mengakibatkan jumlah stok ikan di kawasan tersebut turun
hingga 20 %79. Setiap ditangkap 1.5 juta ton ikan di laut mediterrania80.
Berkurangnya stok ikan tercermin juga dari ukuran ikan yang ditangkap, dimana
83% ikan Blue-fin tuna yang ditangkap di Laut Mediterrania berukuran kurang
(undersized)81.
Posisi Laut Mediterrania yang amat strategis menjadikan Laut
Mediterrania jalur pelayaran utama di dunia. Laut Mediterrania yang hanya
merupakan 1% dari wilayah perairan di dunia, setiap tahunnya dilayari oleh 80%
dari total lalu lintas perkapalan dunia82.
c. Kerangka Pengaturan
78 "Pollution in Mediterranean Sea", http://www.explorecrete.com/nature/mediterranean.html,
diunduh pada 13 April 2012 79 Ibid 80 "Key Threats in Mediterranean Region", http://mediterranean.panda.org/threats/, diunduh
pada 13 April 2012 81 Ibid 82 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
41
Universitas Indonesia
Kerjasama adalah salah satu masalah penting terkait laut tertutup dan semi
tertutup, sebagaimana dinyatakan pada pasal 123 UNCLOS. Kerjasama
merupakan salah satu isu utama yang dibahas pada Conference of
Plenipotentiaries of the Coastal States of the Mediterranean Region on the
Protection of the Mediterranean Sea (2-16 Febuari 1976). Konferensi mengadopsi
3 putusan penting yaitu :
1. Convention for the Protection of the Mediterranean Sea against
Pollution
2. Protocol for the Prevention of Pollution of the Mediterranean Sea by
Dumping from Ships and Aircrafts
3. Protocol Concerning Co-operation in Combating Pollution of the
Mediterranean Sea by Oil and other Harmful Substance.
Kesepakatan yang mencakup ketiga konvensi ini adalah Convention for
the Protection of Mediterranean Sea against Pollution (Barcelona Convention).
Pembentukan Barcelona Convention dipengaruhi oleh Mediterranean Action
Plan (MAP), yang merupakan hasil dari UNEP Regional Seas Programme, yang
dibentuk sejalan dengan Stockholm Ministerial Conference Action Plan (1972).
MAP yang diadopsi pada 1975 merupakan rencana kerja regional pertama yang
diadopsi kedalam Regional Seas Programme dibawah UNEP. Tujuan utama
MAP adalah untuk membantu negara mediterania dalam penilaian dan kontrol
dari polusi laut, pembentukan kebijakan nasional negara terkait, dan
meningkatkan kemampuan negara untuk mengidentifikasi opsi lebih baik terkait
pola perkembangan alternatif, mengoptimalkan pilihan dalam alokasi sumber
daya. 20 tahun kemudian, MAP fase kedua dibentuk, dan mempertimbangkan
keberhasilan dan kekurangan dari MAP fase 1 dan mempertimbangkan kondisi
terkini. MAP saat ini mencakup 21 negara yang berbatasan dengan Laut
Mediterania, juga termasuk European Communities (EC).
Pada 2002 Uni Eropa mengeluarkan dokumen yang memberikan detail
dari Community Action Plan untuk pelestarian dan eksploitasi berkelanjutan dari
sumberdaya perikanan di Laut Mediterania
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
42
Universitas Indonesia
Kerjasama di Laut Mediterania untuk perlindungan dan eksploitasi dan
keamanan dari wilayah perairan melibatkan lebih dari 20 negara, dengan latar
belakang sosial ekonomi, politik, agama, dan budaya yang amat beragam. Secara
umum, negara yang berbatasan mengklaim 12 mil laut dari garis pantai mereka
sebagai laut teritorial.
2.2.2 Laut Karibia (Caribbean Sea)
a. Kondisi Geografis
Laut Karibia adalah area sub-ocean besar mencakup 2,64 juta km2,
dimana 75% dari garis terluarnya terpisah dari laut lepas oleh benua atau pulau-
pulau, sehingga merupakan termasuk laut semi tertutup83. Laut Karibia
merupakan salah satu laut yang dikategorikan sebagai LME # 12 oleh UNEP84.
Pulau-pulau tersebut juga merupakan unit politik yang berdiri sendiri, dan secara
geografis dan hukum merupakan termasuk kepulauan.
Terdapat pula selat yang digunakan dalam pelayaran internasional yang
banyak di lingkungan karibia, terutama di wilayah utara dan timur. Sistem
ekonomi di karibia cenderung terbuka, ditambah lokasi geografis membuat
banyak terdapat banyak pelabuhan besar. Terdapat selat yang digunakan dalam
pelayaran internasional di dalam Laut semi-tertutup Karibia, terutama Dragon’s
Mouth (12 mil laut) dan Serpent’s Mouth (9 mil laut).
83 "Major Issues in Management of Enclosed or Semi-enclosed Seas, With Particular Refference to
Caribbean Sea." www.eclac.org/publicaciones/xml/1/20811/L0024.pdf. Diunduh 13 April 2012 84 http://www.lme.noaa.gov/LMEWeb/Presentations/Paris_2007/Caribbean_LME.pdf
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
43
Universitas Indonesia
Gambar 2.2.2.a. Peta Laut Karibia85
Laut Karibia memiliki tingkat kedalaman rendah, dengan iklim tropis
sehingga mendorong pertumbuhan sistem terumbu karang yang menyokong
populasi ikan-ikan.
Peradaban karibia di artikan sempit sebagai rantai kepulauan dari
Bahama ke Trinidad dan Tobago, dan negara di daratan utama Amerika Selatan,
Belize, dan Guyana yang dulu sama-sama merupakan koloni Inggris.
Pertimbangan politik dan ekonomi membuat dimasukannya pula Suriname, dan
Haiti dimana keduanya juga merupakan anggota Carribean Community
(CARICOM) ke dalam definisi tersebut86. Kondisi yang terus berkembang
membuat diperluasnya ruang lingkup “perabadan karibia” mencakup Kuba,
Republik Dominika, Puerto Rico, dan Kepulauan Virgin Amerika, Antilles, dan
negara lain di Amerika Tengah dan Selatan yang dibatasi Laut Karibia. Tiap
negara di wilayah memiliki kementerian yang terpisah dimana masing-masing
85 "Ratificaton of Cartagena Convention and Oil Spill Protocol", http://www.cep.unep.org/cartagena-convention/convention-and-oil-spills.png/image_view_fullscreen, diunduh pada 13 April 2012
86 "Major Issues in Management of Enclosed or Semi-enclosed Seas, With Particular Refference to
Caribbean Sea." www.eclac.org/publicaciones/xml/1/20811/L0024.pdf. Diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
44
Universitas Indonesia
bertindak sebagai pulau yang terpisah tanpa kerjasama antaranya. Belum ada
pula perjanjian perbatasan antara negara-negara di karibia87.
b. Masalah Utama
Masalah pemanfaatan sumber daya alam yang ada menjadi tantangan
yang dihadapi di wilayah Karibia. Terdapat 170 spesies ikan yang ditangkap
untuk tujuan komersial di Laut Karibia, dengan spiny lobster (panulinus argus),
ikan corraline reef, dan kerang sebagai tangkapan utama. Setiap tahunnya
ditangkap setengah juta ton ikan di Laut Karibia88. Penangkapan ikan di Karibia
kebanyakan dilakukan oleh nelayan kecil sehingga sebagian besar dari tangkapan
tidak dilaporkan. Telah terdapat tanda-tanda penangkapan ikan berlebih di Laut
Karibia, dimana jumlah ikan yang ditangkap telah turun, dan jumlah kerang telah
turun drastis sehingga tidak memungkinkan untuk ditangkap lagi89.
Selain masalah pemanfaatan sumber daya, masalah berikutnya adalah
masalah polusi yang merusak kesehatan lingkungan laut karibia. Polusi dari
daratan menjadi salah satu sumber polusi paling berpengaruh di Laut Karibia.
Hanya 10% dari air kotor yang berasal dari daratan diproses dengan benar90.
Selain air kotor, pupuk yang digunakan dalam usaha pertanian juga terbawa oleh
hujan dan terbuang ke Laut Karibia, dan mengakibatkan pertumbuhan alga dan
bakteri yang menghambat perkembangan koral.
Pulau-pulau di Karibia dengan iklim tropisnya menjadi tujuan wisata
yang populer. Hal ini mendorong tumbuhnya sektor pariwisata. Sayangnya
pertumbuhan sektor pariwisata dapat mengakibatkan dampak negatif bagi
lingkungan. Sampah serta air kotor dari resort-resort tersebut banyak yang tidak
diproses dengan benar sehingga menjadi sumber polusi bagi lingkungan laut.
Aktivitas kapal yang membawa wisatawan juga mengakibatkan polusi akibat
minyak yang terbuang dari kapal, ballast, dan juga sampah yang dibuang dari
87
Ibid 88 "Caribbean Sea LME",
www.eoearth.org/article/carribean_sea_large_marine_ecosystem?topic=49597, diunduh 13 April 2012 89 ibid 90 " An Overview of Land Based Sources of Marine Pollution ",
www.cep.unep.org/issues/lbsp.html, diunduh pada 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
45
Universitas Indonesia
kapal. Sistem ekonomi yang terbuka dan juga keberadaan pelabuhan besar juga
membuat Laut Karibia dilewati oleh jalur pelayaran, dimana kapal-kapal yang
melintas juga akan mencemari laut.
c. Kerangka Pengaturan
Wilayah Karibia terdiri atas 28 pulau yang merupakan negara-negara
pantai yang saling terpisah. Pada tahun 1976, UNEP meluncurkan Carribean
Environment Programme (CEP), yang menghasilkan Carribean Action Plan yang
diikuti oleh 22 negara pada tahun 198191. Keberhasilan Action Plan ini
mendorong disetujuinya suatu kerangka hukum pada tahun 1983 yaitu
Convention for the Protection and Development of the Marine Environment of
the Wider Caribbean Region (Cartagena Convention). Konvensi ini mulai
berlaku sejak tahun 1986. Cartagena Convention dilengkapi pula dengan
beberapa protokol yaitu mengenai oil spill (diadopsi pada tahun 1983, dan mulai
berlaku sejak tahun 1986), Specially Protected Areas and Wildlife (diadopsi pada
tahun 1990, dan mulai berlaku sejak tahun 2000), dan Pollution from Land
Bassed Sources and Activities (diadopsi pada tahun 1999, tetapi belum mulai
berlaku). Aktivitas CEP saat ini terfokus pada implementasi dari protokol-
protokol tersebut92.
Keberhasilan dari CEP mendorong perkembangan lebih lanjut dari
regionalisme kelautan di wilayah karibia. Carribean Sea Proposal adalah
proposal untuk mempromosikan manajemen terintegrasi di area Laut Karibia
dalam konteks pembangunan berkelanjutan , yang sekarang berada di Majelis
Umum PBB, berasal dari keputusan yang diadopsi pada Carribean Ministerial
Meeting on the Implementation of the Programme of Action for the Sustainable
Development of Small Island Developing States yang diadakan di Barbados pada
10-14 November 199793. Proposal ini mengusahakan pengakuan internasional
atas Laut Karibia sebagai Area Spesial dalam Konteks Pembangunan
91
"Major Issues in Management of Enclosed or Semi-enclosed Seas, With Particular Refference to Caribbean Sea." www.eclac.org/publicaciones/xml/1/20811/L0024.pdf. Diunduh 13 April 2012
92 Ibid
93 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
46
Universitas Indonesia
Berkelanjutan. Proposal ini didasari atas Cartagena Convention dan bertujuan
untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kondisi unik dari lingkungan,
ekonomi, dan nilai sosial dari Laut Karibia dan masyarakat yang hidup di
kawasan tersebut94.
Dalam Sesi ke 19 dari Caribbean Development and Cooperation
Committee (CDCC) pada 14-15 Maret 2002, Sekertariat ECLAC/CDCC diberi
mandat untuk memimpin usaha dalam melaksanakan Carribean Sea Proposal.
Diantara aktivitas terkait yang dilakukan adalah95:
1. Penjelasan kerangka operasional yang terdiri atas identifikasi
dari proses utama yang harus dilakukan dalam rangka
pelaksanaan Carribean Sea Proposal;
2. Identifikasi detail dari aktivitas spesifik, teknis, dan lainnya yang
memerlukan indentifikasi masalah dan prioritas aktivitas,
penentuan jadwal aktivitas khusus tersebut, dan dikelompokan
sesuai dengan fase terkait dari pelaksanaaannya;
3. Kontribusi terhadap identifikasi dan alokasi perasn dan
tanggungjawab antar negara, individu, dan badan terkait, didasari
atas pertimbangan teknis dan aktivitas lain sesuai dengan
pelaksanaan Carribean Sea Proposal.
2.2.3 Laut Hitam (Black Sea)
a. Kondisi Geografis
Laut hitam adalah laut paling terisolasi di dunia, dan dihubungkan ke
Laut Mediterania melalui Selat Bhosphorus, Dardanelle, dan Gibraltar dan
dihubungkan ke Laut Azov di sebelah barat laut melalui Selat Kerch. Laut
hitam di titik terdalamnya mencapai kedalaman 2 km. Ekosistem di bagian barat
laut terbebani eutrophication dan zat berbahaya dari negara pantai dan sungai
94 Ibid 95 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
yang mengalir kepadanya
pula pestisida organik, logam berat, dan minyak dari kecelaka
dari kapal dan pelabuhan, penangkapan ikan berlebihan, dan invasi spesies
asing. Laut Hitam merupakan salah satu laut yang dikategorikan sebagai LME
62 oleh UNEP
b. Masalah
Masalah utama yang
lingkungan. Sebagai laut paling teriso
ekosistem Laut Hitam amatlah rapuh dari akibat pencematan.
dalam ancaman pencemaran serius. Laut ini mengalami pencemaran
negara sungai yaitu Turki, Rusia, Ukraina, Georgia, Romania, dan Bulgaria.
Sungai dari 10 negara lain juga mengalami pengaruh dari beban 160 juta orang
yang hidup di daerah resapannya.
Romania, per tahun sunga
96 http://www.lme.noaa.gov/LMEWeb/Presentations/Paris_2007/Caribbean_LME.pdf97 http://climatelab.o
Universitas Indonesia
yang mengalir kepadanya yaitu Danube, Dnjestr dan Dnjepr, selain itu terdapat
pula pestisida organik, logam berat, dan minyak dari kecelaka
dari kapal dan pelabuhan, penangkapan ikan berlebihan, dan invasi spesies
Laut Hitam merupakan salah satu laut yang dikategorikan sebagai LME
oleh UNEP96.
Gambar 2.2.3.a. Peta Laut Hitam97
Masalah Utama
Masalah utama yang dihadapi di Laut Hitam adalah pencemaran
lingkungan. Sebagai laut paling terisolasi, dan dikelilingi negara
Laut Hitam amatlah rapuh dari akibat pencematan.
dalam ancaman pencemaran serius. Laut ini mengalami pencemaran
negara sungai yaitu Turki, Rusia, Ukraina, Georgia, Romania, dan Bulgaria.
Sungai dari 10 negara lain juga mengalami pengaruh dari beban 160 juta orang
yang hidup di daerah resapannya. Saat air dari Danube sampai ke laut di
Romania, per tahun sungai tersebut membawa juga 60 ton mercury, 100 ton
http://www.lme.noaa.gov/LMEWeb/Presentations/Paris_2007/Caribbean_LME.pdfhttp://climatelab.org/@api/deki/files/222/=Black_Sea_map.png
47
Universitas Indonesia
Danube, Dnjestr dan Dnjepr, selain itu terdapat
pula pestisida organik, logam berat, dan minyak dari kecelakan dan operasional
dari kapal dan pelabuhan, penangkapan ikan berlebihan, dan invasi spesies
Laut Hitam merupakan salah satu laut yang dikategorikan sebagai LME #
97
dihadapi di Laut Hitam adalah pencemaran
, dan dikelilingi negara-negara,
Laut Hitam amatlah rapuh dari akibat pencematan. Laut hitam berada
dalam ancaman pencemaran serius. Laut ini mengalami pencemaran dari 6
negara sungai yaitu Turki, Rusia, Ukraina, Georgia, Romania, dan Bulgaria.
Sungai dari 10 negara lain juga mengalami pengaruh dari beban 160 juta orang
Saat air dari Danube sampai ke laut di
i tersebut membawa juga 60 ton mercury, 100 ton
http://www.lme.noaa.gov/LMEWeb/Presentations/Paris_2007/Caribbean_LME.pdf
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
48
Universitas Indonesia
chromium, 4500 ton timah, dan 50.000 ton minyak per tahun98. Selain Polusi,
eutrophication juga menjadi masalah serius di Laut Hitam, dikarenakan
banyaknya pupuk yang terbawa oleh aliran sungai-sungai ke dalam Laut Hitam.
Hasil dari sektor perikanan menurun drastis menjadi 100.000 ton per
tahun di tahun 1994, dari 800.000 ton per tahun di 1980an99. Keanekaragaman
hayati yang unik juga terancam oleh pencemaran besar-besaran tersebut.
Kondisi geografis unik dari Laut Hitam yang dialiri oleh banyak sungai
dan hujan tetapi hanya terdapat 1 saluran keluar, yaitu melalui Selat Bhosporus
membuatnya rentan. Pada saat lingkungannya masih terjaga keseimbangannya,
tingkat keasinan permukaannya yang rendah, dan continental shelf yang lebar di
pantai utaranya dulu membuatnya 5 kali lebih produktif dari Laut Mediterania.
Rumput laut yang tersebar menjadi sumber oksigen penting di ekosistem, dan
kerang-kerangan membantu mengolah kotoran100. Dalam 3 dekade semua
berubah, bendungan mengurangi jumlah air yang masuk sampai setengahnya
dan meningkatkan kadar garam. Tingkat perairan yang tanpa cahaya dan
kehidupan naik sampai 120 meter di bawah permukaan laut, menghancurkan
keanekaragaman hayati yang dulunya melimpah. Spesies asing juga masuk dan
makin merusak keseimbangan ekosistem101. Ledakan populasi alga dari hanya 1
juta ton di tahun 1960, menjadi 350 juta ton pada tahun 1994 semakin menekan
kondisi lingkungan Laut Hitam. Padang rumput laut di barat laut Laut Hitam
menyusut hingga tinggal 5% dari kondisi terdahulu menjadi 50 km2, dan
mengakibatkan turunnya tingkat oksigen secara drastis yang penting bagi
kehidupan102.
c. Kerangka Pengaturan
98 " Death Hangs over Black Sea", http://www.independent.co.uk/news/world/death-hangs-over-
black-sea-polluted-by-the-effluent-of-16-countries-it-is-now-the-most-damaged-sea-in-the-world-1444529.html, diunduh 13 April 2012
99 Ibid 100 Ibid 101 Ibid 102 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
49
Universitas Indonesia
Pada 21 April 1992, dilakukan penandatanganan konvensi anti polusi di
kawasan laut hitam yang bernama Convention on the Protection of the Black Sea
Against Pollution (Bucharest Convention) oleh Bulgaria, Georgia, Romania,
Rusia, Ukraina, dan Turki. Setelah penandatanganan konvensi ini didirikan pusat
respon darurat di Bulgaria dan 5 negara lainnya. Langkah berikutnya adalah
dibentuknya Black Sea Environment Programme pada tahun 1993 dan pada
tahun 1994 Bucharest Convention mulai berlaku. Strategic Action Plan diadopsi
pada tahun 1996 dan bertujuan untuk merehabilitasi dan melindungi laut hitam.
SAP direvisi oleh seluruh negara anggota pada tahun 2009.
Jumlah nitrogen yang masuk telah berkurang akhir-akhir ini, tapi tetap
masih lebih tinggi daripada tahun 1960an; jumlah phosphate yang masuk masih
sama dengan tahun 1960an103.
Menurut Komisi Laut Hitam, usaha untuk mengurangi polusi sudah
mulai membuahkan hasil, dapat terlihat dari berkurangnya kejadian meledaknya
populasi alga (algae bloom), dan jumlah tangkapan ikan yang bertambah.
Adapun faktor yang mendorong berkurangnya limbah dari industri dan
perkotaan adalah104:
1. Krisis ekonomi di wilayah bawah Danube, dan negara ex-Uni Soviet
2. keberhasilan langkah yang diambil di wilayah atas danube, termasuk
pengurangan penggunaan pupuk dan pengolahan air kotor.
3. Diberlakukannya larangan atas deterjen Polyphosphate di beberapa
negara.
Black Sea Commission dan sekertariat permanennya bekerja dengan kerangka
kerja institusi regional yang terdiri atas 6 RAC (Regional Activity Center)105:
1. Aspek keamanan lingkungan terkait pelayaran di Varna, Bulgaria
2. Keanekaragaman hayati di Batumi, Bulgaria
103 "Black Sea", http://www.icpdr.org/icpdr-pages/black_sea.htm, diunduh 13 April 2012
104
Ibid 105 "Environmental Collaboration for the Black Sea", http://81.8.63.74/ecbsea/en/links/index.html,
diundh pada 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
50
Universitas Indonesia
3. Aspek lingkungan dari manajemen perikanan dan sumber daya
hayati lainnya di Constanta, Romania
4. Integrated Coastal Zone Manajement di Krasnodar, Rusia
5. Kontrol polusi yang bersumber dari daratan di Istanbul, Turki
6. Pengawasan polusi dan penilaian di Odessa, Ukraina
Terdapat pula 7 Advisory Group, dan 2 Ad-hoc working group yang ikut
mendukung implementasi dari Konvensi. Grup-grup ini mengadakan pertemuan
rutin dan melaporkan hasil kerja mereka ke Black Sea Commission.
GEF juga membantu negara-negara membiayai proyek n program yang
bertujuan untuk melindungi lingkungan di dunia. Bantuan GEF di Laut Hitam
dan implementasi Bucharest Convention dimulai sejak 1993. Program baru,
yaitu Black Sea Danube River Basin Strategic Partnership didesain sebagai 3
program yang saling melengkapi yaitu 106:
1. 2 Program regional untuk Laut Hitam dan cekungan sungai Danube
2. Seri proyek investasi yang terkait negara yang dijalankan melalui World
Bank - GEF nutrient investment facility
3. Intervensi GEF dan lembaga donor lain di cekungan, yang bertujuan
untuk mengurangi polusi nutrient/dan racunserta memulihkan
keanekaragaman hayati.
2.2.4 Laut Kuning (Yellow Sea)
a. Kondisi Geografis
Laut kuning merupakan salah satu laut yang dikategorikan sebagai LME
#48 oleh UNEP107. Laut kuning adalah laut semi-tertutup yang dibatasi oleh
Cina daratan di barat, semenanjung Korea di timur, serta garis yang memanjang
106 Ibid 107"Yellow Sea, LME #48",
http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=article&id=94:lme48&catid=41:briefs&Itemid=72, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
51
Universitas Indonesia
melalui pesisir utara dari mulut sungai Yangtze di bagian selatan Pulau Cheju108.
Laut kuning memiliki daerah resapan sebesar 502.000 Km2 di Cina dan
Korea109. Sungai Cina mengandung kontaminasi dari bahan kimia pertanian,
sedangkan sungai Korea terkontaminasi oleh air kotor perkotaan.
Laut kuning adalah laut yang dangkal, dengan kedalaman rata-rata 44 m
dan menurun secara bertahap dari lempeng benua Cina110. Berdasarkan data
tingkat keasinan dan temperatur, pola sirkulasi Laut Kuning dapat dibagi
menjadi dua yaitu pada musim dingin terdapat aliran air hangat ke utara disertai
2 aliran ke arah selatan sepanjang pantai Cina dan Korea, serta pada musim
panas terdapat aliran dari pesisir ke selatan dan aliran ke utara dari pantai Korea
dengan pusaran diantara keduanya111.
Di sekitar Laut Kuning terdapat Rawa-rawa yang terdiri atas dataran
rendah basah yang memanjang sepanjang pesisir barat semenanjung Korea
adalah salah satu yang terbesar didunia, dan terdiri atas daerah pasang-surut
sebesar 100.000 hektar di Korea Selatan, dengan masih banyak pula yang
terdapat di daerah Korea Utara. Digabungkan, semenanjung Korea memiliki
daerah rawa sebesar 600.000 hektar. Dataran pasang surut menyerap zat organik
yang terbawa dari daratan, di sekitar daerah perkotaan sampah perkotaan juga
terbawa oleh aliran sungai menuju laut. Per 1m2 area dataran pasang surut
tersebut dapat menyerap 1 sampai 2 kg sampah per tahun.
Dataran basah dan rawa-rawa yang terdapat di laut kuning berperan besar
dalam menyokong populasi burung berpindah. Banyak burung berpindah
beristirahat dan makan di dataran pasang surut Korea selama masa migrasi
mereka dari Australia ke Siberia. Menurut laporan mengenai rawa-rawa oleh
LSM nasional untuk Ramsar pada tahun 1999 sekitar 500.000 godwits dan
plover dapat diamati di dataran pasang surut Korea, dimana 30 spesies
diantaranya hanya dapat ditemui di dataran pasang surut Korea112.
108 "Yellow Sea Overview", http://www.emecs.or.jp/guidebook/eng/pdf/19yellow.pdf, Diunduh 13
April 2012. 109 Ibid 110 Ibid 111 Ibid 112 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
52
Universitas Indonesia
Gambar 2.2.4.a. Peta Laut Kuning113
b. Masalah Utama
Masalah utama yang dihadapi di Laut Kuning adalah masalah Polusi
yang berasal dari daratan. Daerah perkotaan amat bergantung pada Laut Kuning
bagi perkembangan ekonomi mereka, rekreasi, turisme, dan pangan. Turisme
masih baru berkembang di Korea dan Cina, sedangkan Aquaculture dan
Marineculture dipraktekan di pantai-pantai provinsi Cina, dengan hasil
utamanya berupa rumput laut. Laut Kuning juga menjadi jalur utama bagi
perkapalan internasional. Eksplorasi minyak telah dilakukan oleh Cina dan oleh
DPRK114.
Tingkat konsentrasi nitrogen (N), fosfor (P), serta silikon (Si) di selatan
Laut Kuning menunjukan peningkatan di daerah barat daya, timur, dan utara di
113
"Yellow Sea", http://www.pmel.noaa.gov/np/images/maps/YellowSea.jpg, diunduh 13 April 2012
114 "Yellow Sea Overview", http://www.emecs.or.jp/guidebook/eng/pdf/19yellow.pdf, Diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
53
Universitas Indonesia
tahun 1988115. Ditemukan konsentrasi nutrisi organik yang tinggi di permukaan
sedimen area tengah dari selatan Laut Kuning. Konsentrasi cadmium (Cd),
tembaga (Cu) dan seng (Zn) dekat dengan tingkat alami116.
Masalah berikutnya adalah masalah mengenai pemanfaatan sumber daya
yang ada di Laut Kuning. Masyarakat Cina telah lama menggunakan daerah
Laut Kuning untuk keperluan navigasi, penangkapan ikan, dan produksi garam.
Populasi di daerah serapan Laut Kuning diperkirakan sekitar 230 juta jiwa117.
Menurut perkiraan dari Pan-Yellow Sea Economic Zone diperkirakan sekitar
264 Juta Jiwa. Overeksploitasi sumberdaya perikanan terjadi sejak industri
perikanan tumbuh pesat. Tingkat tangkapan telah melebihi 1 juta ton per
tahun118.
Korea Selatan memiliki lahan pertanian yang terbatas, reklamasi lahan di
daerah dangkal sekitar pantai telah memberikan lahan tanah yang amat berharga
bagi Korea Selatan. Sejak akhir Perang Dunia 2, total 62.090 hektar daerah
pasang surut telah direklamasi oleh Korea Selatan, saat ini pemerintah
merencanakan untuk mereklamasi lebih lanjut lagi 60.000 hektar rawa-rawa
untuk keperluan pertanian dan industri. Proyek infrastruktur raksasa tengah
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Pan-Yellow Sea Economic Zone119.
Proyek tersebut termasuk Inchon International Airport dan Pelabuhan Pusan di
Korea Selatan, Pelabuhan Dalian di Cina, dan Pelabuhan Dalam Distrik Hibiki,
dan Fukuoka Island City Project di Jepang.
Meledaknya populasi alga berbahaya telah terjadi di sekitar pesisir laut
kuning, terutama di daerah yang tertutup dan area dimana terdapat struktur
buatan besar, seperti reklamasi, dan tanggul120. Struktur tersebut menghambat
sirkulasi air dan mendorong pertumbuhan pesat dari organisme red-tide.
Meledaknya populasi alga ini merugikan industri perikanan dan industri
115 Ibid 116 Ibid 117 Ibid 118 Ibid 119 Ibid 120 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
54
Universitas Indonesia
aquaculture121. Reklamasi dalam skala besar juga memberikan perubahan yang
signifikan bagi lingkungan, serta masalah terkait seperti sampah perkotaan dan
limbah industri.
c. Kerangka Pengaturan
Pemerintah Cina telah memberlakukan kontrol ketat terhadap usaha
penangkapan ikan. Sistem lisensi perikanan tidak hanya mengontrol jumlah
kapal, tetapi juga jumlah usaha penangkapan ikan. Pemerintah telah menegaskan
tidak akan ada peningkatan usaha penangkapan ikan di perairan Cina,
penangkapan ikan dilarang total di area Bohai, Laut Cina selatan, serta Laut
Kuning pada bulan Juli dan Agustus122. Telah terdapat pemulihan dari ikan
yellow croaker kecil di daerah, tetapi masih diperlukan usaha lebih besar lagi
untuk melestarikan ikan-ikan di Laut Kuning.
Dikarenakan tidak adanya kerangka formal untuk mencapai kerjasama
internasional terkait pengamatan dan aktivitas riset terkait Laut Kuning, Cina,
DPRK, dan Republik Korea telah berusaha untuk membangun inisiatif
regional123. Ketiga negara yang berbatasan dengan Laut Kuning tersebut tetapi
belum berhasil mencapai kesepakatan bersama yang tertuang dalam suatu
konvensi atau instrumen hukum internasional lainnya, tetapi negara-negara
tersebut telah berusaha melakukan inisiatif dalam melakukan usaha untuk
melindungi lingkungan Laut Kuning. Inisiatif-inisiatif itu termasuk proyek yang
didanai GEF, Northwest Pacific Action Plan (NOWPAP), Tumen River Area
Development Programme (TRADP), Asia Pacific Economy Forum (APEC),
Kelompok kerja pelestarian sumberdaya perikanan dan perairan, dan
GEF/UNDP/IMO East Asia Seas Project124.
UNDP dan GEF, beserta pemerintah RRC, dan Republik Korea yang
sama-sama berbagi kawasan perairan yang mengalami masalah limbah
pertanian, penangkapan ikan berlebih, dan usaha marineculture yang tidak
121 Ibid 122 Ibid 123 Ibid 124 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
55
Universitas Indonesia
ramah lingkungan telah setuju untuk bersama-sama membuat program lintas
batas untuk melindungi perikanan dan spesies yang terancam serta
meningkatkan kualitas air dan menyejahterakan masyarakat lokal125.
Langkah pertama dalam perlindungan ekosistem Laut Kuning adalah
untuk menyatukan pemerintah dan memfasilitasi pengumpulan data bersama
yang dapat digunakan untuk menciptakan manajemen terintegerasi lintas
perbatasan. Ocean Governance Programme UNDP telah mendukung inisiatif ini
bersama GEF sejak 1990126.
Pada 2009 kedua negara setuju untuk mengeluarkan US$ 3,6 milyar
untuk mengurangi usaha penangkapan ikan sampai sepertiganya pada tahun
2020, melalui pengurangan kapal penangkap, dan pelarangan penangkapan ikan
pada musim dan lokasi tertentu serta memantau perubahan jumlah ikan. Kedua
negara itu juga setuju untuk mengkontribusikan US$ 5,6 milyar untuk
mengurangi nutrien yang terbawa ke Laut Kuning untuk mencegah
eutrophication sebesar 10% per lima tahun dengan menggunakan pusat
pengolahan air kotor, mengurangi penggunaan pupuk, dan mengurangi
pembuangan limbah dari industri127.
Kedua negara juga menyatakan komitmennya untuk ,emjaga
keanekaragaman hayati Laut Kuning dengan mengucurkan biaya sebesar
US$1.5 Milyar untuk membentuk marine protected area dan mendorong
keikutsertaan organisasi masyarakat. Sumbangan UNDP/GEF sebesar US$ 14.3
Milyar telah mendorong lebih dari $10 Milyar investasi dan langkah-langkah
lain untuk Laut Kuning, salah satu laut yang paling padat daerah serapan
airnya128.
Selain sumbangan dana, sejak tahun 2005, Republik Korea, dan Republik
Rakyat Cina telah bekerjasama dengan UNDP/GEF dan UNOPS untuk
125 " Historic Deal to Safeguard Yellow Sea is Made",
http://www.thegef.org/gef/news/UNDP_Yellow_Sea, diunduh 13 April 2012. 126 ibid 127 ibid 128 ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
56
Universitas Indonesia
melindungi LME Laut kuning (YSLME) 129. Pada tahun 2009, ditandatangani
Strategic Action Plan ( SAP ) yang merupakan hasil dari UNDP/Global
Environment Facility (GEF) Yellow Sea Large Marine Ecosystem Project130.
Program ini membuat target lingkungan untuk menyelesaikan masalah-masalah
lintas-batas yang besar dan menggarisbawahi langkah-langkah pengaturan untuk
mencapai tujuan tersebut pada 2020. SAP ditandatangani pada November 2009
dan bertujuan untuk menjaga dan memperbaiki kapasitas Laut Kuning untuk
menyediakan layanan ekosistem bagi negara-negara yang berbatasan
dengannya131. Proyek YSLME sekarang telah diperpanjang hingga maret 2011.
Proyek ini menjalankan penilaian ilmiah atas masalah lingkungan yang
dihadapi. Kelompok kerja YSLME berfokus pada 5 sektor yaitu ekosistem,
perikanan, polusi, keanekaragaman hayati, dan investasi dalam rangka
membentuk SAP yang memperkenalkan sejumlah reformasi manajemen,
hukum, kebijakan, dan institusional132.
Misi proyek YSLME adalah untuk melindungi, melestarikan, dan
mengelola Laut Kuning melalui penggunaan yang berkesinambungan dari
perairannya, dengan mengurangi tekanan akibat pembangunan dan mendorong
exploitasi yang berkelanjutan dari sumber dayanya133.
Tujuan dalam garis besarnya adalah untuk membangun pengelolaan
berbasis ekosistem, dan penggunaan YSLME serta perairan disekitarnya dengan
mengurangi tekanan pembangunan dan mendorong eksploitasi berkelanjutan
dari ekosistem oleh masyarakat perkotaan sekitar yang amat padat dan
terindustrialisasi atas laut semi tertutup ini134.
129 "Conservation Plan Agreed for Yellow Sea",
http://www.unops.org/english/whatwedo/news/Pages/Conservation-plan-agreed-for-the-Yellow-Sea.aspx, diunduh 13 April 2012
130 ibid 131 ibid 132 ibid 133 " UNDP/GEF Yellow Sea LME Project", http://beta.pemsea.org/organization/yslme, diunduh
13 April 2012 134 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
57
Universitas Indonesia
Tujuan jangka panjangnya adalah untuk mendapatkan manfaat
lingkungan global dengan membantu negara-negara berkerjasama dalam
mencapai perubahan kebijakan sektoral dan aktivitasnya sehingga masalah
lingkungan lintas batas yang menrusak perairan bersama dapat diselesaikan dan
mengintegerasikan strategi manajemen penggunaan lahan dan sumber daya air
sebagai hasil peribahan di kebijakan sektoral dan aktivitasnya untuk mendorong
pembangunan yang berkelanjutan135.
Selain negara, NGO juga amat berperan di Laut Kuning. Pada tahun
2002, WWF mengeluarkan program bernama Yellow Sea Eco Region
Programme dari tahun 2002-2007 yang betujuan untuk memprioritaskan langkah
konservasi sesuai dengan data dan informasi ilmiah136. Melalui program ini, di
bawah koordinasi WWF ahli-ahli dari Jepang, Cina dan Republik Korea
melalkukan peninaian atas 6 habitat kelompok taksonomi yaitu mamalia laut,
burung, ikan, moluska, tanaman pantai, dan alga137. Para ahli pertama
mengidentifikasi indikator spesies berdasar keenam kriteria yang disetujui
tersebut lalu mereka memetakan habitat penting dari keenam spesies indikator
itu. Area tersebut dinamakan Ecologically Important Area, dan menghasilkan 23
Potential PriorityArea dimana dengan memfokuskan usaha konservasi di
wilayah tersebut, usaha konservasi dan pelestarian keaneka ragaman hayati akan
dapat berjalan lebih efektif138.
Pada tahun 2005, Yellow Sea Eco-region Planning Programme dan
Yelow Sea Large marine Ecosystem Project UNDP yang disponsori GEF
menandatangani memorandum of understanding yang bertujuan untuk
mendorong koordinasi reional atas strategi konservasi kenanekaragaman hayati
dan action plan139. Pada 2006, peta PPA dari WWF diintegrasikan kedalam
laporan YSLME Transboundary Diagnosis Analysis, yang menjadi dasar ilmiah
135 Ibid 136 "Yellow Sea Ecoregion Planning Programme",
http://en.wwfchina.org/en/what_we_do/marine/yellow_sea_ecoregion/programmes/, diunduh 13 April 2012
137 ibid 138 ibid 139 "Partners", http://en.wwfchina.org/en/what_we_do/marine/yellow_sea_ecoregion/partners/,
diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
58
Universitas Indonesia
rekomendasi YSLME ke pemerintah Cina dan Korea140. Tim dari WWF dan
YSLME bekerja dengan erat bersama untuk membuat langkah perencanaan
strategis untuk mendorong konservasi kenanekaragaman hayati dan
mengkoordinasikan manajemen pantai dan lautan di Laut Kuning141. WWF juga
mengadakan program yang bernama Yellow Sea Ecoregion Support Programme
antara tahun 2007-2014 yang bertujuan untuk menaikan kesadaran publik atas
pentingnya keanekaragaman hayati dan sumber daya di kawasan tersebut serta
mendorong pemerintih dan pemangku kepentingan untuk melaksanakan
komitmen dalam melestarikan Potential Priority Area yang telah diidentifikasi
melalui pelaksanaaan proyek percontohan142. Usaha menaikan kesadaran publik
dilakukan dengan pemberian pinjaman kecil dan dilaksanakan dari tahun 2008-
2009. Pada 2010-2012 dilaksanakan pendirian model konservasi, dimana 1
penerima pinjaman di Cina dan Korea akan dibiayai dalam 3 tahun untuk
melaksanakan proyek percontohan di lokasi PPA. Tujuan dari proyek ini untuk
mendemonstrasikan spektrum penuh dari nilai ekosistem yang diberikan dari
PPA tersebut serta mengefektifkan konservasi atas nya143. Pada 2013-2014 akan
dilaksanakan peningkatan program dan model konservasi dengan cara
mengorganisir forum internasional untuk pertukaran pengalaman dan pelajaran
yang diambil dari usaha konservasi Yellow Sea Ecoregion. Forum ini juga akan
digunakan untuk mempromosikan model konservasi kepada pemangku
kepentingan terutama di Pemerintah Cina dan Republik Korea, dengan tujuan
mendorong komitmen mereka untuk melestarikan sesuruh PPA.
Salah satu keunikan dari pendekatan yang diambil dalam rangka
mengelola Laut Kuning yang merupakan salah satu laut semi-tertutup adalah
salah satu aktor utamanya adalah GEF, bukan UNEP sebagaimana di Laut
Mediterrania, dan Laut Karibia. GEF menyatukan 182 negara sebagai partner
dengan institusi internasional, organisasi masyarakat, dan sektor privat dalam
140 Ibid 141 Ibid 142 "Yellow Sea Ecoregion Planning Programme",
http://en.wwfchina.org/en/what_we_do/marine/yellow_sea_ecoregion/programmes/, diunduh 13 April 2012
143 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
59
Universitas Indonesia
menghadapi masalah lingkungan global. GEF merupakan pemberi dana terbesar
saat ini pada proyek-proyek yang bertujuan untuk meningkatkan lingkungan
hidup di dunia144. GEF merupakan lembaga finansial yang beroperasi
independen, dan memberi bantuan dana untuk proyek yang berhubungan dengan
keanekaragaman hayati, perubahan iklim, perairan internasional, kerusakan
tanah, kerusakan ozon dan persistent organic pollutant.
Sejak 1991, GEF telah membangun jejak langkah positif dengan
memberikan $10.5 milyar , dan memdapatkan $551 milyar dana yang diadakan
bersama untuk membiayai 2700 proyek di 165 negara. melalui program
pinjaman kecilnya (Small grants programme / SGP), GEF telah memberikan
1400 pinjaman kecil secara langsung ke masyarakat dan komunitas berdasarkan
organisasi, dengan jumlah total $634 juta145.
GEF didirikan pada Oktober 1991 sebagai program perintis dari Bank
Dunia untuk membantu perlindungan dari lingkungan di dunia dan
mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan. Pada 1994 GEF
direstrukturisasi keluar dari sistem Bank Dunia untuk menjadi institusi terpisah
permanen. Keputusan tersebut mendorong GEF dalam pengambilan keputusan
dan implementasi proyek146.
Selain peran GEF, Laut Kuning juga unik karena peran NGO, yaitu
WWF menjadi amat dominan, dimana GEF dan WWF sama-sama berkoordinasi
dan bertukar informasi, juga mengintegrasikan aktivitas dan keahlian masing-
masing dalam rangka membuat langkah perlindungan terhadap Laut Kuning.
Peran WWF dalam pembuatan TDA YSLME-GEF amatlah besar dengan
mengidentifikasi 23 Potetntial Priority Area. Proyek sosialisasi dan percontohan
dari WWF pun dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang secara
berkesinambungan dan menjadi kontribusi penting dalam usaha perlindungan
Laut Kuning. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran NGO, dan
organisasi Internasional dapat menjadi motor penggerak dari pengintegerasian
144 "What is GEF", http://www.thegef.org/gef/whatisgef, diunduh 13 April 2012 145 Ibid 146 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
60
Universitas Indonesia
perlindungan atas suatu Laut tertutup atau semi tertutup jika pemerintah dari
negara pantai cenderung mengusahakan langkah masing-masing secara terpisah.
2.2.5 Laut Arafura dan Laut Timor
a. Kondisi Geografis
Laut arafura merupakan bagian dari lempeng benua sahul, dan meliputi
area sebesar 650.000 kilometer persegi, dan dibatasi di utara oleh pantai timur
papua, di barat dan barat daya dibatasi laut Banda dan Laut Timor, dan di selatan
dan tenggara di batasi Teluk Carpentaria dan Selat Torres147. Laut Arafura dan
Timor terletak diantara LME # 38 Indonesian Sea dan LME # 39 North
Australian Shelf148. Laut Arafura merupakan salah satu laut paling produktif di
Indonesia, hal ini dipengaruhi kedalamannya yang dangkal dan sedimen kaya
nutrisi yang dibawa oleh sungai-sungai papua melalui hutan bakau di pesisir
selatan papua dari Pulau Kimaam sampai Sungai Mimika. Hutan bakau ini
menjadi tempat bertelur dan sumber makanan bagi berbagai spesies ikan, udang
dan biota lain. Walaupun amat produktif, terdapat banyak terjadi penangkapan
ikan ilegal terutama oleh kapal-kapal besar di laut arafura, sehingga membuat
manfaatnya bagi Indonesia menjadi dipertanyakan149.
147 Budi Resosudarmo, Illegal Fishing in Arafura Sea
http://gdnet09.pbworks.com/f/Budy+Resosudarmo_Paper_B.5.pdf, Diunduh 1 April 2012 148 "LME Brief",
http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=category&id=41&Itemid=53&limitstart=30, diunduh 13 April 2012
149 ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
61
Universitas Indonesia
Gambar 2.2.5.a Peta Laut Arafura dan Timor150
b. Masalah Utama
Masalah lingkungan utama yang dihadapi di Laut Arafura dan Laut
Timor adalah masalah pemanfaatan sumber daya hayati, terutama penangkapan
ikan. Salah satunya adalah masalah penangkapan ikan illegal, tidak terlapor, dan
tidak diatur. Kerugian akibat penangkapan ikan ilegal antara tahun 2002-2003
diperhitungkan mencapai US$2,1 Milyar, yang terdiri atas kerugian hilangnya
eksport sebesar US$1,2 milyar, US$0,6 milyar dari hilangnya hasil pemberian
ijin, US$0.2 milyar dari kerugian subsidi bahan bakar, dan US$0,1 milyar dari
hilangnya bagi hasil151.
Masalah lain yang dihadapi di Laut Arafura dan Laut Timor adalah
penangkapan ikan berlebihan. Pengaruh dari overeksploitasi ini tidak hanya
dirasakan Indonesia, tapi juga negara-negara yang berbatas. Hasil riset bersama
dari CSIRO Australia dan Kementerian Perikanan dan Kelautan menunjukan
150 "Arafura and Timor Seas Region", http://atsea-program.org/wp-
content/uploads/2012/02/revisedmap2012.jpg, diunduh 1 April 2012 151 "LME Brief",
http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=category&id=41&Itemid=53&limitstart=30, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
62
Universitas Indonesia
stok tangkapan kakap merah di timur Indonesia, dan utara Australia mengalami
penurunan sebesar 10-20% dari tahun 1971 sampai awal 2000152. Diperkirakan
jika jumlah tangkapan tidak dikontrol maka jumlah stok Kakap merah akan
habis pada 2007153.
c. Kerangka Pengaturan
Pada bulan Mei 2002 ditandatangani MoU yang membentuk Forum
Pakar Laut Arafura dan Laut Timor (Arafura and Timor Sea Expert Forum /
ATSEF) yang mempersatukan para pakar Indonesia, Australia, Timor Leste dan
Papua Nugini untuk bekerja sama mewujudkan pengelolaan perairan penting ini
secara berkelanjutan154. Forum ini, yang didukung UNDP, secara aktif mencari
masukan-masukan dari masyarakat setempat, lembaga-lembaga penelitian, dan
badan-badan pemerintah155. Forum ini berusaha menjadi perintis perubahan
dalam wilayah yang berharga namun rentan ini.
ATSEF adalah forum tidak mengikat yang dimaksudkan untuk membina
kerja sama antara organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah di
Australia, Indonesia, Papua Nugini dan Timor-Leste, untuk pemanfaatan sumber
daya hayati di Laut Arafura dan Laut Timor secara berkelanjutan. Terdapat 5
masalah utama yang menjadi tujuan riset dari forum ini yaitu156 :
1. Mencegah, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal, tidak
terlapor, dan tidak diatur (IUU - Illegal Unreported and
Unregulated) di Laut Arafura dan Laut Timor yang menjadi
penyebab utama menipisnya stok ikan, membahayakan
keberlangsungan spesies dan habitat laut, menghalangi
pembangunan dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumber
daya hayati laut.
152 ibid 153 ibid 154 "Memanfaatkan Kekayaan Laut Bersama: Mendukung Peran Indonesia Dalam ATSEF",
www.undp.or.id/factsheets/Indonesia/fs_eu_atsef.pdf, diunduh pada 1 April 2012 155 ibid 156 "ATSEF Focus of Interest", http://www.atsef.org/focus.php, diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
63
Universitas Indonesia
2. Menjaga stok ikan, habitat laut, dan keanekaragaman hayati.
Pengetahuan atas kondisi biota laut, spesies tangkap, dan
habitatnya memiliki nilai penting dalan manajemen yang bijak
dari sumber daya kelautan
3. Membantu dan/atau mencari alternatif penghidupan bagi
komunitas masyarakat pantai dan masyarakat adat.
4. Mencari pengertian dari dinamika sistem kelautan, dan pantai.
5. Meningkatkan kapasitas informasi data, manajemen, dan
penyebarannya diantara negara-negara pantai di kawasan. Tanpa
adanya tukar-menukar informasi, sumber pengetahuan sebagai
dasar pemanfaatan yang berkelanjutan dari laut dan sumber daya
yang terkandung di dalamnya tidak akan sampai ke pihak yang
berkepentingan seperti badan pemerintah, masyarakat pantai dan
adat, dan operator komersial.
Pokok Ekosistem yang dinilai adalah stok Ikan, habitat laut dan
keanekaragaman hayati laut, dan ekosistem rawa157. Di antara hal-hal yang
menjadi pusat perhatian Forum ini adalah pencegahan, dan penghapusan
penangkapan ikan ilegal, yang tidak dilaporkan dan tidak diatur oleh hukum di
perairan Arafura dan Timor. Penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilapor kan
dan tidak diatur merupakan sebab utama menurunnya stok ikan. Penangkapan
seperti ini menyebabkan semakin banyak jenis hewan terancam punah, selain
merusak habitat di laut maupun di pantai.
Membantu membuka kesempatan untuk memperoleh mata pencaharian
yang berkelanjutan atau menjadi alternatif untuk masyarakat pesisir, tradisional
dan pribumi, adalah fokus perhatian yang lain, terutama dalam hubungan dengan
usaha mencapai tujuan Forum yaitu pengentasan kemiskinan, pembangunan
berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat.
157 "Arafura and Timor Seas Expert Forum", http://www.maweb.org/en/SGA.Arafura.aspx,
diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
64
Universitas Indonesia
UNDP bekerja sama dengan para anggota ATSEF, termasuk Departemen
Kelautan dan Perikanan, untuk memastikan bahwa rencana tersebut
mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan mencapai banyak tujuan158.
Selain itu, ATSEF telah mengidentifikasi sasaran-sasaran utama dan indikator
untuk mengukur kemajuan dalam menuju pemanfaatan laut yang berkelanjutan.
Pekerjaan ini akan dibagi di antara para pejabat pemerintah, aktor masyarakat
sipil termasuk LSM, dan sektor swasta untuk meningkatkan kesadaran dan
memunculkan gagasan-gagasan baru tentang keadaan laut dan cara memelihara
serta meningkatkan kualitasnya159.
Pada tahun 2006-2007, ATSEF melakukan permintaan pendanaan
dibawah United Nation Global Environment Activity atas nama program
Arafura and Timor Seas Ecosystem Action (ATSEA)160. Pada 14 Mei 2010
program ATSEA dimulai secara resmi. Program ATSEA adalah manifestasi dari
usaha lebih lanjut dalam rangka mendapatkan pengertian dan menghadapi
masalah yang terdapat di Laut Arafura dan Laut Timor oleh ATSEF, yang
menjalankan Transboundary Diagnostic Analysis (TDA), mengembangkan
Strategic Action Plan (SAP), dan mengimplementasikan program percontohan
yang inovatif161. Salah satu langkah utama yang perlu dilakukan dalam membuat
TDA dari Laut Arafura dan Timor adalah untuk mengadakan survei oseanografis
di wilayah ini menggunakan kapal riset.
ATSEA adalah program di laut internasional yang didanai oleh GEF,
program ini secara resmi dimulai pada 14 juli 2010 pada pertemuan regional di
Dili 162. ATSEA akan membuat TDA, yaitu analisa ancaman yang menilai
kondisi lingkungan dan sumber daya, termasuk tekanan terhadap alam, ancaman
serta dampak dari eksploitasi berlebihan dan perubahan iklim. Analisa ini
melibatkan pengembangan profil biofisika, dan sosio-ekonomi dari kawasan,
analisa pengaturan dari institusi lokal, hukum dan kebijakan lingkungan, serta
158 "Memanfaatkan Kekayaan Laut Milik Bersama: Mendukung Peran Indonesia Dalam ATSEF", www.undp.or.id/factsheets/Indonesia/fs_eu_atsef.pdf, diunduh 1 April 2012
159 ibid 160 "About ATSEA", http://atsea-program.org/?page_id=2, diunduh 1 April 2012 161 ibid 162 " What is Arafura and Timor Seas Ecosystem Action", http://atsefaustralia.net/atsea-arafura-
and-timor-seas-ecosystem-action-program/, diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
65
Universitas Indonesia
mencari mata rantai sebab akibat163. Mata rantai ini terkait dengan masalah
lintas batas dengan dampak fisiknya dan penyebab sosial ekonominya
Setelah selesai, TDA akan menjadi dasar bagi perkembangan dan
kesepakatan di Regional Strategic Action Program (SAP) yang diharap akan
memandu langkah bersama menuju pengentasan masalah lingkungan dan
membuka kesempatan baru di kawasan164. National Action Plan (NAP) akan
dibentuk selanjutnya dan akan menggarisbawahi prioritas dan tindakan yang
perlu diambil di tingkat nasional165. Pengembangan NAP akan dikomunikasikan
dengan SAP regional, dan oleh Laporan Status Nasional, yang mengidentifikasi
titik fokus nasional dan prioritas untuk daerah pesisir dan daerah perairan.
Pembiayaan dari ATSEA GEF terbuka bagi Indonesia dan Timor Leste untuk
membuat laporan status nasional, dan NAP, dan langkah ini tidak perlu dipenuhi
Australia166.
Program ATSEA adalah forum vital yang menyatukan negara-negara
pantai yang berbatasan dengan Laut Arafura dan Timor untuk menghadapi
masalah laut yang melintasi batas wilayah, dengan tujuan untuk memastikan
adanya integrasi, kerjasama, dan manajemen berbasis ekosistem yang
berkesinambungan serta pemanfaatan dari sumber daya hayati dan non-hayati
dari lautan, termasuk perikanan dan keanekaragaman hayati dari Laut Arafura
dan Timor, melalui pembentukan, pengadopsian antar-negara, dan implementasi
awal dari SAP167. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, terdapat 5 fokus yang
hendak dicapai dari program ATSEA yaitu 168:
1. Menyetujui TDA yang mengidentifikasi masalah lintas batas
yang menjadi masalah lingkunan yang diprioritaskan di Laut
Arafura dan Timor, dampak lingkungan dan sosio-ekonomis,
sektoral, dan akar penyebabserta analisa pemerintahan
163 Ibid 164 Ibid 165 Ibid 166 Ibid 167 About ATSEA", http://atsea-program.org/?page_id=2, diunduh 1 April 2012 168 Iibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
66
Universitas Indonesia
2. membentuk SAP yang menyeluruh dan National Action Plan
(NAP) yang disetujui dan diadopsi di tingkat nasional
(interministerial), dan internasional (intergovernmental)
3. Implementasi awal dari sebagian komponen SAP dan NAP,
melalui ptoyek percontohan yang terarah, menghadapi masalah
lintas-batas dengan prioritas tinggi yang diidentifikasi oleh TDA,
untuk menunjukan kapasitas negara pantai untuk berkerjasama
dalam melaksanakan aktivitas bersama, sebagai pondasi awal dari
implementasi penuh SAP di fase yang akan datang/proyek
selanjutnya
4. Mengembangkan dan memperkuat ATSEF sebagai mekanisme
regional yang efektif untuk kerjasama atas manajemem berbasis
ekosistem di wilayah kawasan Laut Arafura dan Timor, melalui
implementasi SAP dan mempertimbangkan bentuk model ke
depan untuk pendekatan regional yang akan disetujui oleh negara-
negara yang berpartisipasi
5. Secara efektif mengkoordinasikan dan menjalankan program
ATSEA, sesuai dengan budget dan rencana kerja, dan termasuk
pengaturan serta prosedurnya.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
67
BAB III
KERANGKA KERJASAMA REGIONAL DI ENCLOSED SEA DAN SEMI-ENCLOSED SEA
3.1 Kerjasama Regional
Kerjasama regional memiliki beragam bentuk. Kerjasama fungsional mengacu
pada area-area isu terbatas yang disepakati negara-negara guna bekerjasama dalam isu-
isu tertentu169. Kerjasama ekonomi mengacu pada tatanan meramalkan atau mencita-
citakan terciptanya suatu derajat keistimewaan komersial, namun tanpa adanya
harmonisasi dalam aturan domestik maupun kewajiban bagi tindakan bersama dalam
urusan-urusan internasional170. Kerjasama Politik meliputi dukungan dan komitmen
bersama yang saling menghargai dalam penerapan nilai-nilai, dan praktek-praktek
tertentu di antara negara-negara.Kerjasama dalam masalah luar negeri dan kebijakan
keamanan yang berarti bahwa pemerintah secara sistematis saling memberitahu dan
berkonsultasi satu sama lain, mencoba menerapkan posisi bersama dalam organisasi-
organisasi internasional, dan bahkan mungkin pelaksanaan tindakan secara bersama171.
Masing-masing bentuk kerjasama mempunyai konsekuensi status internasional tersendiri
bagi pihak yang ikut serta, termasuk diantaranya kewajiban dibawah hukum
internasional.
Organisasi regional merupakan suatu bagian dari dunia yang diikat oleh kesamaan
tujuan, berdasarkan ikatan geografis, budaya, ekonomi, politik, atau struktur formal lain.
Organisasi regional hanya dimaksudkan untuk menghadapi masalah yang dihadapi
negara-negara, dimana cakupan dari masalah tersebut lebih rendah dari tatanan global172.
Proses terjadinya kerjasama antar negara memiliki keunikan dan perbedaan antar
tiap negara. Masing-masing juga memiliki tingkat kohesi yang berbeda-beda. Secara
169 Nuraeni S, Deasy Silvya, dan Arifin Sudirman, Regionalisme Dalam Studi Hubungan
Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 79 170 Ibid. 171 Ibid, hlm.80 172 Ibid.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
68
Universitas Indonesia
umum, tingkat kerjasama regional dapat dikategorikan menjadi lima jenis yaitu asosiasi,
koordinasi, harmonisasi, dan integrasi, baik sebagian maupun sepenuhnya173.
Asosiasi merupakan oertemuan negara-negara untuk membahas isu tertentu,
namun belum sampai pada tingkat merumuskan aturan bersama. Asosiasi merupakan
hubungan yang beragam dan informal yang ditandai dengan ketiadaan konstitusi,
walaupun tetap diarahkan oleh seperangkat prinsip formal dan adanya kesinambungan
evolusi kebiasaan yang berasal dari praktek-praktek yang dapat diterima174. Asosiasi
yang bersifat "unofficial" sifatnya tidak mengekang negara. Ikatannya didasarkan
pemahaman dan nilai-nilai bersama175. Sifat berikutnya adalah "concerned
independence", yakni asosiasi sebuah masyarakat yang terbuka degnan berbagai
kerberagaman politik, sosial, ekonomi, dan budaya176. Terakhir adalah asosiasi yang
bersifat "family of nation", dimana negara-negara anggota asosiasi tersebut sama-sama
mempunyai tujuan bersama yang dilakukan oleh banyak aktor, oleh masing-masing
anggota asosiasi tersebut. Mereka juga saling membantu dan saling mendukung dalam
menghadapi permasalahan bersama yang dihadapi anggota asosiasi177.
Koordinasi merupakan pertemuan antar-negara yang sudah terdapat kesepakatan
dari masing-masing negara untuk salng membantu menghadapi isu-isu tertentu.
Koordinasi adalah sebuah cara untuk membuat kebijakan bersama diantara para anggota
yang memiliki kompetensi secara hukum mengenai aspek-aspek kebijakan tertentu178.
Koordinasi merupakan suatu mekanisme yang diselenggarakan guna menjelaskan suatu
kepentingan umum, serta menjadi solusi optimal atas suatu permasalahan melalui suatu
program bersama179.
Harmonisasi adalah suatu tingkatan dimana masing-masing negara saling
melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan luar negeri dari
negara-negara lain, namum belum sampai terdapat kesepakatan menyangkut masalah
kewenangan otoritas, norma-norma yang akan dipakai bersama, atau struktur
173 Ibid, hlm.82 174 Ibid 175 Ibid 176 Ibid 177 Ibid, hlm.83 178 Ibid. 179 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
69
Universitas Indonesia
kerjasama180.Terdapat 4 teknik bagi suatu organisasi untuk melakukan harmonisasi, yaitu
riset, peninjauan kembali, uji kebijaksanaan, dan forum181.
Integrasi adalah suatu kondisi dimana kerjasama sudah mengarah pada
pembentukan norma bersama serta terwujud dalam sebuah organisasi regional yang
diberikan semacam otoritas wewenang. Integrasi bisa bersifat sepenuhnya, contohnya
adalah Uni Eropa atau bersifat sebagian pada aspek-aspek tertentu saja, contohnya adalah
ASEAN182.
3.2 Regional Seas Programme
Regional Sea Programme, yang diluncurkan pada tahun 1974 adalah salah satu
pencapaian terpenting dari UNEP. Regional Seas Programme bertujuan untuk mengatasi
mempercepatnya degradasi kesehatan laut di dunia dan daerah pesisir melalui manajemen
berkelanjutan dan penggunaan daerah perairan dan pantai oleh negara-negara sekitar
dengan menggunakan langkah-langkah komprehensif dan spesifik untuk melindungi
daerah perairan yang mereka bagi bersama. Hal ini dicapai dengan mendorong pendirian
program laut regional yang dilengkapi dengan pengaturan yang jelas dengan koordinasi
dan implementasi bersama dari negara-negara yang sama-sama berbagi suatu perairan
yang sama183.
Saat ini, 143 negara berpartisipasi dalam 13 Regional Seas programmes yang
didirikan atas dorongan dari UNEP, dimana 6 dari program itu diatur secara langsung
oleh UNEP184. Regional Seas programme berfungsi melalui Action Plan. Action Plan ini
umumnya diperkuat dengan dibentuknya suatu kerangka hukum berupa konvensi
regional dan protokol terkait mengenai masalah-masalah spesifik. Setiap program
dilakukan dengan pendekatan yang serupa tapi disesuaikan oleh negara-negara
bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari tantangan lingkungan yang
mereka hadapi.
180 Ibid, Hlm.84 181 Ibid 182 Ibid, hlm. 85 183 "About Regional Seas Programme", http://www.unep.org/regionalseas/about/default.asp,
diunduh 13 April 2012. 184 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
70
Universitas Indonesia
Pekerjaan Regional Seas Programme dikoordinir oleh cabang Regional Sea dari
UNEP yang bermarkas di Nairobi, Kenya. Regional Coordination Unit (RCU), dan
dibantu dengan Regional Activity Center (RAC) mengawasi pelaksanaan dari program-
program tersebut serta aspek-aspek dari langkah regional, seperti kedaruratan,
manajemen informasi, dan pengawasan polusi185.
RCU merupakan pusat syaraf dan kontrol dari seluruh kegiatan terkait Action
Plan dan memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan keputusan negara
anggota terkait operasional dari action plan186. RCU bertanggung jawab pula untuk
meneruskan dan mengimplementasikan dokumen hukum, program kerja, dan strategi
serta kebijakan yang diambil oleh negara anggota. RCU juga menjalankan fungsi
diplomatik, politik, dan hubungan masyarakat terkait action plan187. Terakhir, RCU
bekerjasama dengan pemerintah, lembaga PBB dan non-PBB lain, dan organisasi non-
pemerintah, serta memfasilitasi pembangunan kapasitas dari pusat aktivitas regionalnya
sendiri, serta negara anggota188.
RAC melayani tiap negara anggota dengan menjalankan aktivitas terkait action
plan sebagaimana disepakati dan dipandu oleh konferensi para pihak atau keputusan
antar-negara189. RAC memainkan peran kunci pada implementasi di berbagai komponen
dan aktivitas terkait action plan di tingkat regional-sub-regional, nasional, dan lokal.
RAC adalah bagian integral dari action plan dan melapor langsung kepada RCU190.
Umumnya RAC dibiayai oleh negara anggota dan oleh negara tuan rumah melalui
mekanisme finansial dari action plan191.
3.3 Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal
Region of the Mediterranean (Barcelona Convention)
185 Ibid 186 "The Regional Seas Programme", http://www.unep.org/regionalseas/programmes/default.asp,
diunduh 13 April 2012 187 Ibid 188 Ibid 189 Ibid 190 Ibid 191 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
71
Universitas Indonesia
Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region
Of the Mediterranean atau biasa disebut Barcelona Convention adalah kerangka dasar
bagi perlindungan lingkungan di kawasan Mediterrania. Konvensi ini beserta kedua
protokolnya dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Febuari 1976192. Negara-negara
terkait dengan konvensi ini terdorong atas kesadaran mengenai kegentingan situasi,
contoh-contoh kerjasama antar negara dari negara lain yang mengalami masalah yang
serupa, dan inisiatif yang didorong dengan penuh keseriusan oleh United Nation
Environment Program, Food and Agriculture Organization, dengan bantuan dari
Intergovernmental Maritime Consultative Organization dan World Health
Organization193.
Barcelona Convention terinspirasi oleh Convention of Helsinki on the Protection
of the Marine Environment of Baltic Area , Convention for the Prevention on Dumping
of Marine Pollution From Ships and Aircraft, dan Paris Convention for the Prevention of
Pollution from Land Based Sources194. Ketiga instrumen tersebut memiliki karakter yang
sama yaitu adanya niat bersama dari sekelompok negara untuk membentuk suatu
peraturan yang mengikat, untuk menghindari usaha dari masing-masing negara untuk
melindungi lingkungan menjadi sia-sia dikarenakan ketiadaannya usaha yang sama dari
negara lain di kawasan yang sama tersebut195. Masing-masing konvensi ini memiliki
keunikan yaitu semuanya memberikan beban kewajiban yang sama bagi setiap negara
anggota, dan satu-satunya keuntungan bagi negara anggota dari konvensi ini adalah
mereka mendapat hak untuk menuntut hal yang sama dari negara anggota lain dari
konvensi196.
Barcelona Convention mulai dicetuskan sejak pertemuan yang diadakan di Roma
pada tanggal 19-23 Febuari, dan 27-31 Mei 1974 yang diadakan oleh General Fisheries
Council for Mediterranean dari FAO, dengan tujuan untuk membuat konsultasi antar
negara dalam rangka melindungi sumber daya hayati dan sumber daya perikanan dari
Laut Mediterrania dari polusi. Langkah persiapan dilanjutkan dengan konsultasi antar
192 Alberto Sciolla Lagrange, The Barcelona Convention and It’s Protocol, Ambio, Vol. 6 No. 6,
The Mediterranean: A Special Issue (1977). Hlm. 328 193 Ibid 194 Ibid 195 ibid 196 Ibid.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
72
Universitas Indonesia
negara di kawasan Mediterrania melalui UNEP, dengan bekerjasama dengan FAO, dan
organisasi internasional lain yang berperan untuk membantu negara-negara membentuk
suatu instrumen internasional yang diperlukan.
Pada 28 Januari sampai 4 Febuari 1975 UNEP mengadakan pertemuan antar
negara di Barcelona atas undangan pemerintah Spanyol dimana diambil langkah pertama
perumusan dari instrumen hukum yang diperlukan. Pada pertemuan tersebut dilakukan
program menyeluruh yang membuahkan hasil berupa diperiksa dan diadopsinya suatu
rencana kerja (Action Plan) yang terdiri atas 4 bagian, dimana salah satunya adalah
pembentukan instrumen hukum197. Pertemuan tersebut berjalan efektif dengan
dipertimbangkannya baik aspek teknis dan ilmu pengetahuan, berikut aspek hukum dari
pembentukan instumen hukum tersebut. Setelah dilanjutkan dengan pertemuan para ahli
di Genewa pada April 1975, dan Januari 1976, Konferensi tingkat tinggi diadakan lagi di
Barcelona pada 2- 16 Febuari oleh UNEP. Dalam Konferensi tersebut, dari 18 negara
yang berada di kawasan Mediterrania, 16 negara ikut ambil bagian dan 12 negara segera
menandatangani instrumen hukum yang terdiri atas Convention for the Protection of the
Mediterranian Sea Against Pollution yang menjadi kerangka utama, serta Protocol for the
Prevention of Pollution of the Mediterranian Sea by Dumping From Ships and Aircraft,
dan Protocol Concerning Cooperation in Combatting Pollution of the Mediterranian Sea
by Oil and other Substance in Cases of Emergency198.
Ketentuan yang terdapat pada Barcelona Convention memiliki ruang lingkup
yang luas, dan menyangkut masalah-masalah umum terkait degnan segala bentuk dari
polusi. Polusi karena dumping, polusi sebagai akibat dari explorasi dan eksploitasi dasar
laut, atau polusi yang bersumber dari daratan.
Barcelona Convention hanya menyatakan prinsip, dimana para pihak yang terikat
dibebani kewajiban untuk mengambil segala langkah yang diperlukan untuk mencegah,
mengurangi, dan memerangi polusi dari bentuk-bentuk yang disebutkan.
Perlunya diambil langkah implementasi khusus dinyatakan secara eksplisit di
Pasal 4, paragraf ke 2 yang menyatakan the contracting parties shall cooperate in the
formulation and adoption of protocols, in addition to the protocols open for signature at
197 Ibid 198 Ibid, hlm. 329.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
73
Universitas Indonesia
hte same time as this convention, prescribing agreed measures, procedures and standards
for the implementation of this convention”
Pada pasal ini terdapat mekanisme penting dari konvensi yang berfungsi untuk
membentuk kerangka kerja yang permanen dan menyeluruh, di mana perlu diambil
tindakan secara individual dan bersama-sama oleh para negara anggota untuk mencapai
tujuan utama dari konvensi ini199.
Walaupun langkah-langkah spesifik dinyatakan pada protokol, bukan berarti
ketentuan pada Konvensi tidak langsung mengikut, hal ini tercermin pada pasal 5, 6, 7,
dan 8 menyatakan dengan jelas bahwa seluruh negara anggota diharuskan mengambil
semua langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang dinyatakan pada pasal-pasal
tersebut200. Lebih lagi pasal 11 memberikan kewajiban atas negara pihak konvensi untuk
mengambil segala langkah yang ada dalam rangka mencegah, mengurangi, dan , dan
sejauh dimungkinkan menghilangkan polusi yang bersumber atas perpindahan antar
batas, dan pembuangan bahan-bahan berbahaya, dan mengurangi sekecil mungkin, atau
menghilangkan jika dimungkinkan, perpindahan antar batas tersebut. Pasal ini memiliki
nilai penting karena mencegah suatu negara untuk hanya sekedar mengalihkan masalah
yang ditimbulkan oleh polusinya ke daerah lain, yang tentunya tidak sejalan dengan
tujuan dari konvensi. Hal ini berarti, walaupun tanpa protokol, negara tidak dapat
menggunakan ketidakberlakuan, atau belum ditandatanginya protokol sebagai dasar
untuk tidak melakukan kewajiban sebagaimana dibebankan di dalam Konvensi, Protokol
hanya memiliki peran untuk menjadi langkah, prosedur, dan standard yang disetujui
bersama oleh para pihak.
Laut Meditterania merupakan laut yang menjadi jalur pelayaran internasional
yang amat penting, terutama dengan dibukanya kanal Suez. Jalur pelayaran merupakan
jalur yang umum dimana setiap negara berhak menggunakan hak mereka yaitu rights of
free navigation dimana setiap kapal itu tunduk pada hukum dari negara bendera mereka.
Tidak semua kapal yang melintasi Laut Mediterrania berbendera salah satu negara
Mediterrania sehingga memungkinkan adanya kapal dari negara non-Mediterrania yang
melintas yang tidak dibebani kewajiban atas perlindungan lingkungan laut yang sama
199 Ibid 200 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
74
Universitas Indonesia
dengan kapal-kapal berbendera negara Mediterrania201. Dalam hukum internasional,
negara pantai tidak dapat serta merta langsung menggunakan jurisdiksinya atas kapal
yang berlayar dengan bendera selain negaranya, sehingga langkah pengaturan atas polusi
yang bersumber dari operasional kapal hanya dapat ditegakkan melalui negara bendera.
Hal ini merupakan masalah serius karena kerusakan akibat polusi tersebut akan dirasakan
oleh negara pantai, tetapi jurisdiksi untuk penegakkannya berada pada negara bendera.
Oleh karena itu diperlukan pula dibentuknya kerangka hukum internasional umum, selain
kerangka regional dalam rangka menghadapi polusi dari kapal yang melintas.
Dalam rangka menghadapi polusi, diperlukan pula langkah yang mendorong
kerjasama dalam menghadapi kondisi darurat, keanekaragaman hayati, pengawasan, dan
kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, ketentuan ketentuan tersebut terdapat pada
Pasal 9, 10, dan 12.
Protocol on Cooperation in Dealing with Emergencies diadopsi bersama-sama
dengan konvensi. Protokol ini berisi ketentuan-ketentuan spesifik dalam rangka
kerjasama antar negara anggota dalam menghadapi kondisi kedaruratan. Diadopsinya
protokol ini sejalan dengan Pasal 4 paragraf 2 Konvensi yang menyatakan pembentukan
langkah-langkah yang disetujui bersama, prosedur, serta implementasi dari
Mediterranean Action Plan dan untuk melindungi lingkungan perairan dan sumber daya
dari Laut Mediterrania.
Ketentuan mengenai pengawasan membentuk suatu sistem pengawasan yang menyeluruh
melalui program bilateral dan multilateral untuk membuat suatu prosedur dan standar
yang sama, hal ini akan diadopsi melalui annex terhadap Konvensi sebagaimana
diperlukan202.
Pada bidang IPTEK, Konvensi mendorong pertukaran data, koordinasi terhadap
program riset nasional, dan bantuan bersama, dengan prioritas diberikan kepada
kebutuhan khusus dari negara-negara yang masih berkembang203.
Barcelona Convention memberikan ketentuan mengenai ganti kerugian, yaitu
pada pasal 16 dimana negara anggota bekerjasama secepat yang dimungkinkan untuk
201 Ibid 202 Ibid 203 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
75
Universitas Indonesia
memformulasikan dan mengadopsi prosedur untuk penentuan dan kompensasi atas ganti
rugi sebagai akibat dari kerusakan yang ditimbulkan terhadap lingkungan laut yang
berasal dari pelanggaran terhadap Konvensi dan Protokol yang berlaku. Dengan demikian
ketentuan ini hanya akan dapat digunakan untuk membuat kerjasama terkait kerusakan
yang ditimbulkan oleh pelanggaran atas konvensi atau protokol yang berlaku, konvensi
tidak membuat ruang lingkup dari ketentuan ini untuk mencakup kerugian atau kerusakan
yang ditimbulkan dari hal-hal yang tidak diatur di dalam konvensi dan protokol yang
berlaku.
Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 28 paragraf 1 yang mengharuskan negara pihak
untuk menyelesaikan sengketa terkait interpretasi dan aplikasi dari Konvensi atau
Protokolnya melalui negosiasi ataupun cara-cara damai lainnya. Apabila langkah tersebut
tidak berhasil maka pada paragraf 2 dinyatakan bahwa sengketa itu dapat diajukan
melalui arbitrasi atas keputusan bersama, emallui langkah-langkah yang terdapat pada
Annex A dari Barcelona Convention.
Kerangka Institusional dari Konvensi ini menunjuk UNEP sebagai sekertariat, dan
memberikan kewajiban bagi negara anggota untuk mengadakan pertemuan rutin dan hak
untuk mengadakan pertemuan luar biasa. Ketentuan-ketentuan ini berarti walaupun
UNEP memegang peran sebagai sekertariat, negara-negara anggota juga tetap dapat
berperan dengan aktif, serta negara-negara anggota juga memiliki wadah untuk
melakukan konsultasi, evaluasi, atau melakukan pertemuan khusus terkait masalah-
masalah yang berhubungan dengan konvensi atau Protokolnya.
Dalam rangka merumuskan Protokol baru yang membentuk langkah yang
disetujui bersama dalam mencegah, mengurangi dan mengontrol polusi, Konvensi
memberikan ketentuan untuk pengadaan pertemuan diplomatik antar para negara anggota
pada pasal 21. Sedangkan pengusulan pembentukan protokol baru dilakukan pada
pertemuan para negara anggota, sebagaimana dinyatakan di Pasal 18 paragraf 2 (iv).
Barcelona Convention memberikan ruang yang luas bagi pihak-pihak apa saja
yang dapat menjadi penandatangan dari konvensi tersebut. Pada pasal 30 dinyatakan
....by any state invited as participant in the conference of
plenipotentiarires of the Coastal States of the Mediterranean Region on
the Protection of the Mediterranian Sea, held in Barcelona from 2 to 16
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
76
Universitas Indonesia
Febuary 1976, and by any state entitled to sign any protocol in
accordance with the provision of such protocols. They also shall be open
until the same date for signature by the European Economic Community
and by any similar regional economic grouping at least one member of
which is a coastal state of the Mediterranean Sea Area and which
exercise competence in fields covered by this Convention, as well as by
any protocol affecting them.
Menurut ketentuan ini berarti konvensi ini dapat ditandatangani oleh seluruh negara yang
diundang pada konferensi, seluruh negara yang diberikan hak untuk menandatangani
konvensi menurut protokol, dan oleh organisasi ekonomi regional apapun dimana di
dalamnya terdapat minimal 2 negara mediterrania sebagai anggota, termasuk EEC yang
dinyatakan secara explisit.
Gambar 3.3. Struktur institusional Barcelona Convention204
204 "Mediterranean Region",
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/mediterranean/instruments/r_profile_med.pdf, diunduh 13 April 2012.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
77
Universitas Indonesia
Terkait pula dengan hak untuk menandatangani Barcelona Convention, adalah
pasal 29 paragraf 1 yang mengharuskan semua pihak yang hendak mengikatkan dirinya
pada konvensi ini agar juga harus menjadi anggota dari salah satu protokol terkait, dan
setiap pihak yang hendak menjadi anggota protokol harus mengikatkan dirinya pada
konvensi pula.
Adapun negara-negara anggota dari Barcelona Convention adalah205:
Negara Penandatanganan Ratifikasi Penerimaan atas Amandemen
Albania - 30-05-1990/AC 26-07-2001 Algeria - 16-02-1981/AC 09-06-2004 Boznia & Herzegovina - 01-03-1992/SUC - Croatia - 08-10-1991/SUC 03-05-1999 Cyprus 16-02-76 19-11-1979 18-07-2003 Mesir 16-02-76 24-08-1978/AP 11-02-2000 European Community 13-09-76 16-03-1978/AP 12-11-1999 Perancis 16-02-76 11-03-1978/AP 16-04-2001 Yunani 16-02-76 03-01-1979 10-03-2003 Israel 16-02-76 03-03-1978 - Itali 16-02-76 03-02-1979 07-09-1999 Lebanon 16-02-76 08-11-1977/AC - Libya 31-01-77 31-01-1979 - Malta 16-02-76 30-12-1977 28-10-1999 Monaco 16-02-76 20-09-1977 11-04-1997 Morocco 16-02-76 12-01-1980 - Serbia & Montenegro - 16-07-2002/SUC* - Slovenia - 15-03-1994/AC 08-01-2003 Spanyol 16-02-76 17-12-1976 17-02-1999 Syria - 26-12-1978/AC 10-10-2003 Tunisia 25-05-76 30-07-1977 01-06-1998 Turki 16-02-76 06-04-1981 18-09-2002
Tabel 3.3. Daftar Negara Anggota Barcelona Convention
AC= Aksesi, AP= Penerimaan, SUC= Suksesi
*Memberi notifikasi pada 16 Juli 2002, efektif sejak 27 April 1992
205 " Mediterranean Region"
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/mediterranean/instruments/r_profile_med.pdf, diunduh 13 April 2011
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
78
Universitas Indonesia
3.4 The Convention for the Protection and Development of the Marine
Environment of the Wider Caribbean Region (Cartagena Convention)
Pada tahun 1981, pemerintah dari negara-negara kawasan Karibia (Wider
Caribbean Region), dengan bantuan United Nation Environment Programme (UNEP)
membentuk Carribean Environment Programme (CEP) untuk mendorong kerjasama
regional untuk perlindungan dan pembangunan dari lingkungan laut206. CEP adalah satu
dari 14 Regional Seas Programme dari UNEP dan dijalankan oleh Regional Coordinating
Unit (CAR/RCU) yang terletak di Kingston, Jamaika. Tujuan dari CEP terdapat pada
Action Plan yang diadopsi di pertemuan antar-negara pada tahun 1981207.
Mengikuti rekomendasi dari pertemuan antar negara pertama mengenai Action
Plan for the Carribean Environment Programme pada 6-8 Aprl 1981 diadakan Konferensi
mengenai Perlindungan dan Pembangunan Lingkungan Laut Kawasan Karibia
(Conference of Plenipotentiaries on the Protection and Development of the Marine
Environment of the Wider Carribean Region) di Kolombia pada 21-24 Maret 1983.
Konferensi ini mengadopsi 2 instrumen hukum penting yaitu208 :
1) Convention for the Protection and Development of the Marine Environment of the
Wider Carribean Region (Cartagena Convention)
2) Protocol to the Convention for the Protection and Development of the Marine
Environment of the Wider Carribean Region Concerning Co-operation in
Combating Oil-Spills in the Wider Carribean Region (Oil Spills Protocol)
Konferensi kedua diadakan pada 15-18 Januari 1990 di Kingston, Jamaika dan
menghasilkan Protocol to the Convention for the Protection and Development of the
Marine Environment of the Wider Carribean Region Concerning Specially Protected
Areas and Wildlife (SPAW Protocol)209.
206
"Major Issues in Management of Enclosed or Semi-enclosed Seas, With Particular Refference to Caribbean Sea.", www.eclac.org/publicaciones/xml/1/20811/L0024.pdf, diunduh 13 April 2012
207 Ibid 208 Ibid 209 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
79
Universitas Indonesia
Konferensi ketiga diadakan pada 27 September sampai 6 Oktober 1999 di
Oranjestad, Aruba dan menghasilkan Protocol to the Convention for the Protection and
Development of the Marine Environment of the Wider Carribean Region Concerning
Pollution from Land Based Sources and Activities (LBS Protocol)210.
Sebagai tuan rumah dari Konferensi pertama, pasal 30 dari konvensi menunjuk
Pemerintah Kolombia sebagai tempat penyimpanan Konvensi dan Protokol-protokolnya.
Pasal 30 menunjuk UNEP sebagai sekertariat atas Konvensi dan Protokolnya, sehingga
Sekertariat dari Konvensi Kartagena dan Protokolnya berada pada UNEP-CAR/RCU
Adapun negara yang telah menandatangani dan meratifikasi adalah211:
Negara Tanggal Penandatanganan Ratifikasi Antigua dan Barbuda 11 September 1987 Bahama Barbados 5 Maret 1984 28 Mei 85 Belize 22 September 1999 Colombia 24 Maret 1983 3 Maret 1988 Costa Rica 1 Agustus 1991 Cuba 15 September 1988 Dominica 5 Oktober 1990 Republik Dominika 24 November 1998 Perancis* 24 Maret 1983 13 November 1998 Grenada 24 Maret 1983 17 Agustus 1987 Guatemala 5 Juli 1983 18 December 1989 Guyana Haiti Honduras 24 Maret 1983 Jamaica 24 Maret 1983 1 April 1987 Mexico 24 Maret 1983 11 April 185 Belanda ** 24 Maret 1983 16 April 1984 Nicaragua 24 Maret 1983 Panama 24 Maret 1983 07 November 1987 St. Kitts dan Newis Saint Lucia 24 Maret 1983 20 November 1984 St Vincent dan Grenadines 11 July 1990 Suriname Trinidad dan Tobago 24 Januari 1986 UK *** 24 Maret 1983 28 Febuari 1986 USA 24 Maret 1983 31 Oktober 1984 Venezuela 24 Maret 1983 18 December 1986 Uni Eropa 24 Maret 1983
Tabel 3.4. Daftar Negara Anggota Cartagena Convention
* Perancis menandatangani dengan reservasi
210 Ibid 211 Wider Caribbean Region",
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/caribbean/instruments/r_profile_car.pdf, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
80
Universitas Indonesia
** Meratifikasi atas nama Netherland Antilles Federation pada 16 April 1984 dan atas nama Aruba pada 1
Januari 1968
*** Meratifikasi atas nama Caymand Island, dan Turks, dan Caiscos Islands on 28 Febuari 1986,
mereservasi hak untuk memperpanjang di masa mendatang untuk mencakup teritori lain. Pada 21
November 1987, ruang lingkupnya diperluas mencapai British Virgin Isles
Konvensi Kartagena menjadi konvensi utama yang menjadi dasar atas
perlindungan dan pembanguna lingkungan laut di kawasan karibia. Menurut Konvensi
ini, diperlukan adanya usaha mengontrol polusi oleh negara anggota terhadap polusi dari
kapal, dumping, polusi dari sumber daratan dan aktivitas di dasar laut, serta polusi udara.
Menurut Konvensi ini, tidak ada negara atau organisasi ekonomi suatu kawasan yang
boleh menjadi anggota konvensi, tanpa juga mengikuti minimal salah satu protokol dari
konvensi ini.
Konvensi Kartagena, pada pembukaannya menyatakan pengakuan terhadap
pentingnya nilai ekonomis dan sosial dari lingkungan laut dari kawasan Karibia. Pada
pembukaan juga dinyatakan pengakuan atas kondisi hydrografis unik, dan karakter
ekologis dari kawasan Karibia yang memiliki kerentanan terhadap polusi.
Pada pasal 1 (1) dinyatakan bahwa ruang lingkup dari konvensi ini adalah
kawasan Karibia, serta konvensi ini tidak mencakup perairan pedalaman dari negara
anggota, kecuali jika dinyatakan pada protokol212. Lebih lanjut lagi, dijelaskan pada pasal
2 (1) bahwa yang dimaksud dengan wilayah ruang lingkup konvensi adalah lingkungan
laut dari Teluk Meksiko, Laut Karibia, dan sebagian Samudra Atlantik yang bersebelahan
dengan, dan sejauh 30 lintang utara dari garis pantai negara anggota, dan termasuk 200
mil laut dari garis pantai yang menghadap Lautan Atlantik dari negara-negara anggota
konvensi. Arti dari formulasi ini adalah yang dimaksud dengan area konvensi adalah
lingkungan laut dari Teluk Meksiko, Laut Karibia, dan ZEE dari negara-negara anggota
selama tidak melewati garis 30 lintang utara.
Konvensi ini mendorong negara anggotanya untuk membuat kesepakatan bilateral
dan multilateral, termasuk pengaturan regional dan sub-regional terkait dengan
212 Convention for the Protection and Development of the Marine Environment of the Wider
Carribean Region, Pasal 1(2)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
81
Universitas Indonesia
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh konvensi 213, selain itu konvensi ini beserta
protokolnya tidak mengesampingkan kewajiban negara anggotanya terhadap kewajiban
negara anggota tersebut pada kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya 214. Hal ini berarti Konvensi Kartagena dan Protokolnya tidak dapat digunakan oleh
negara-negara anggotanya untuk mengesampingkan kewajiban mereka dalam hukum
internasional dengan dalih menjalankan kewajiban dari Konvensi Kartagena dan
protokolnya, misalnya untuk melakukan pembatasan terhadap freedom of navigation atas
dasar perlindungan lingkungan.
Berikutnya, konvensi juga menyatakan bahwa tidak ada ketentuan dari konvensi
maupun protokolnya yang mengurangi hak negara atas klaim batas wilayah
yurisdiksinya215 . Ketentuan ini terutama penting bagi negara-negara Karibia karena
diantara negara-negara karibia belum ada suatu kesepakatan terkait wilayah perbatasan.
Kewajiban umum dari negara anggota Konvensi Kartagena terdapat pada pasal 4, dimana
pada paragraf 1 dinyatakan bahwa :
The Contracting Parties shall, individually or jointly, take all appropriate
measures in conformity with international law and in accordance with
this Convention and those of its protocols in force to which they are
parties to prevent, reduce, and control pollution of the convention area
and to ensure sound environmental management, using for this purpose
the best practicable means at their disposal and in accordance with their
capabilities.
Pada pasal ini dinyatakan kewajiban negara anggota baik secara sendiri-sendiri, maupun
bersama-sama untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di wilayah konvensi,
dan melakukan pengelolaan lingkungan dengan cara terbaik yang dapat mereka lakukan
sesuai dengan kemampuan dari masing-masing negara. Penggunaan “best practicable
means” berarti ketentuan ini tidaklah lebih ketat dari UNCLOS 1982 Pasal 194 (1), serta
mencegah dibebankannya negara dengan kewajiban yang melampaui kemampuan
mereka. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa negara-negara Karibia umumnya
213 Ibid, Pasal 3 (1). 214 Ibid, Pasal 3 (2). 215 Ibid, Pasal 3 (3).
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
82
Universitas Indonesia
merupakan negara yang masih berkembang, sehingga memiliki keterbatasan kemampuan,
dan teknologi.
Selanjutnya juga dinyatakan bahwa dalam menjalankan kewajiban tersebut,
negara anggota harus mencegah timbulnya polusi ke luar wilayah konvensi216. Ketentuan
ini juga sejalan dengan UNCLOS 1982 Pasal 195 yang melarang negara dalam usahanya
mengontrol polusi, untuk menimbulkan polusi di area lain. Kerjasama antar negara
anggota untuk memfasilitasi pelaksanaan konvensi217, serta kerjasama antara negara
anggota konvensi dengan organisasi internasional, regional, dan sub-regional untuk
mengefektifkan pelaksanaan konvensi juga didorong218. Negara anggota juga didorong
untuk mengharmonisasikan kebijakannya dengan Konvensi, dan Protokolnya219.
Negara anggota diwajibkan mengambil seluruh langkah yang ada untuk
mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi ke area konvensi, sesuai dengan aturan
internasional dan standar yang ditentukan oleh organisasi internasional terkait. Adapun
polusi tersebut berasal dari buangan kapal220, dan dumping yang dilakukan oleh kapal,
pesawat, atau struktur buatan manusia di laut221. Selain itu, negara anggota juga
diwajibkan mengambil langkah-langkah yang sesuai dalam rangka mencegah,
mengurangi, dan mengontrol polusi yang bersumber dari daratan di wilayah
teritorialnya222, polusi dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya di dasar laut223, dan
polusi dari udara yang berasal dari aktivitas di bawah jurisdiksinya.224
Konvensi juga memberikan kewajiban bagi negara anggota untuk secara mandiri,
atau bersama-sama untuk mengambil seluruh langkah yang sesuai dalam rangka
melindungi dan melestarikan ekosistem yang langka atau rapuh, beserta habitat dari
spesies yang jumlahnya telah menurun drastis, atau terancam punah. Untuk mencapai
tujuan tersebut, negara anggota didorong untuk membentuk area dilindungi (protected
area). Pembentukan area tersebut tidak mempengaruhi hak dari negara anggota lain, dan
216 Ibid, Pasal 4 (2) 217 Ibid, Pasal 4 (3) 218 Ibid, Pasal 4 (5) 219 Ibid, Pasal 4 (4) 220 Ibid, Pasal 5 221 Ibid, Pasal 6 222 Ibid, Pasal 7 223 Ibid, Pasal 8 224 Ibid, Pasal 9
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
83
Universitas Indonesia
negara ketiga225. Pada formulasi kewajiban ini, terdapat suatu hal yang menarik yaitu
dalam membentuk area perlindungan, harus tidak mempengaruhi hak dari negara anggota
lain, dan negara ketiga. Batasan tersebut dapat mengakibatkan pembentukan area
dilindungi menjadi tidak efektif, karena hak dari negara lain atau negara ketiga tidak
boleh dibatasi.
Dalam rangka melakukan perlindungan terhadap area yang rapuh, atau spesies
yang terancam habis, negara mungkin perlu melakukan pembatasan terhadap aktivitas di
wilayah yang dilindungi tersebut, misalnya melakukan pembatasan terhadap jalur
pelayaran, atau melakukan pembatasan terhadap penangkapan ikan di wilayah itu.
Pelarangan atas pemberian batasan tersebut dapat melemahkan usaha suatu negara untuk
mengelola daerah yang dilindungi tersebut.
Kerjasama dalam suatu keadaan darurat di laut dinyatakan pada Pasal 11. Negara anggota
memiliki kewajiban untuk saling bekerjasama untuk mengambil seluruh langkah yang
diperlukan untuk menangani suatu keadaan darurat terkait polusi di wilayah konvensi.
Negara anggota juga harus baik sendiri maupun bersama-sama membuat rencana
penanganan terhadap kecelakaan yang mengakibatkan polusi di wilayah konvensi226.
Keharusan untuk bekerjasama ini sejalan dengan kondisi dari Laut Karibia dimana
negara-negara di kawasan tersebut umumnya negara berkembang. Usaha penanganan
kecelakaan laut yang mencakup pencegahan, pengurangan, dan kontrol serta
penghapusan atas polusi yang ditimbulkan memerlukan dana yang tidak sedikit, sehingga
bagi negara berkembang yang berada di satu kawasan yang sama, kerjasama negara-
negara di kawasan tersebut menjadi jalan paling praktis untuk memenuhi kewajiban, dan
juga membagi beban biaya persiapan, dan pengelolaan diantara negara-negara tersebut.
Negara anggota juga memiliki kewajiban untuk melaksanakan analisa terhadap
dampak lingkungan atas proyek pembangunan diwilayahnya. Untuk menjalankan
kewajiban ersebut, negara diwajibkan muntuk mengembangkan panduan teknis untuk
membantu perencanaan proyek pembangunan yang besar agar tidak memberikan dampak
negatif atau mengurangi dampak negatif pada area konvensi. Dalam analisa tersebut,
225 Ibid, Pasal 10 226 Ibid, Pasal 11 (1)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
84
Universitas Indonesia
harus mencakup dampak potensial dari proyek yang akan dilaksanakan, terutama atas
wilayah pantai. Kewajiban ini terdapat pada Pasal 12 (1-3).
Pada Pasal 13 dinyatakan kewajiban negara anggota untuk bekerjasama secara
langsung, maupun melalui organisasi internasional, atau organisasi regional terkait
mengenai penelitian iptek, pengawasan, dan pertukaran data dan informasi lain yang
terkait dengan tujuan dari konvensi ini227. Dalam rangka melakukan kewajiban tersebut,
negara anggota perlu mengkoordinasikan program penelitian dan pengawasannya terkait
area konvensi dan memastikan adanya hubungan antara pusat penelitian masing-masing
dalam rangka memberikan perlindungan atas wilayah konvensi228.
Gambar 3.4. Struktur Institusional Carribean Environment Progamme di Laut Karibia229.
227 Ibid, Pasal 13 (1) 228 Ibid, Pasal 13 ( 2) 229"Wider Caribbean Region",
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/caribbean/instruments/r_profile_car.pdf, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
85
Universitas Indonesia
Konvensi mendorong negara anggota untuk bekerjasama, baik langsung maupun
melalui organisasi internasional dan regional, dalam memberikan bantuan terhadap
negara anggota lain terkait polusi dan manajemen lingkungan dari area konvensi dengan
mempertimbangkan kebutuhan khusus dari negara-negara pulau kecil yang masih
berkembang230.
UNEP CAR/RCU berperan sebagai sekertariat atas Konvensi Kartagena serta
protokol-protokolnya sebagaimana dinyatakan di Pasal 15 (1). Dalam rangka melakukan
evaluasi berkala, serta melaksanakan kegiatan terkait pengembangan konvensi dan
protokolnya, negara anggota akan melaksanakan pertemuan biasa setiap 2 tahun sekali,
dan pertemuan luar biasa jika dirasa perlu231.
Jika terjadi sengeketa antar negara anggota terkait interpretasi, dan aplikasi dari
Konvensi dan protokolnya, negara anggota diwajibkan untuk berusaha menyelesaikan
sengketa tersebut melalui negosiasi atau cara damai lainnya232. Apabila tidak tercapai
kesepakatan maka sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase233, dimana
masing-masing pihak yang bersengketa akan memilih seorang arbiter, lalu kedua arbiter
yang telah dipilih tersebut akan bersama memilih seorang arbiter sebagai ketua234.
Keputusan arbitrase tersebut akan bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang
bersengketa235.
3.5 Convention on the Protection of Black Sea Against Pollution 1992 (Bucharest
Convention)
Convention on The Protection of the Black Sea Against Pollution 1992
ditandatangai di Bucharest pada April 1992 dan diratifikasi oleh keseluruhan 6 negara
230 Convention for the Protection and Development of the Marine Environment of the Wider
Carribean Region, Pasal 13 (3). 231 Ibid, Pasal 16 (1) 232 Ibid, Pasal 23 (1) 233 Ibid, Pasal 23 ( 2) 234 Ibid, Annex Pasal 3 235 Ibid, Annex Pasal 10 (2)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
86
Universitas Indonesia
pada tahun 1994236. Konvensi ini berperan sebagai kerangka dasar bagi kesepakatan dan
pada saat itu dilengkapi dengan 3 protokol yaitu237 :
(1) Protocol on Protection of the Black Sea Marine Environment Against Pollution From
Land Based Source ;
(2) Protocol on the Protection of The Black Sea Marine Environment Against Pollution
by Dumping.
(3) Protocol on Cooperation in Combating Pollution of the Black Sea Marine
Environment by Oil and Other Harmful Substance in Emergency Situation
Dengan ditandatangani bersamanya konvensi beserta seluruh protokolnya memastikan
bahwa kerangka dariBucharest Convention dapat berjalan dengan lebih mengikat karena
langsung dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan dari ketiga protokol tersebut.
Program laut regional di Laut Hitam bukanlah program yang dijalankan langsung
oleh UNEP . Organisasi regional lah, dalam contoh ini Black Sea Commission, yang
berperan sebagai tuan rumah dan sekertariat. Lebih lagi, masalah anggaran dan keuangan
dari program semacam ini dijalankan oleh program itu sendiri238. Adapun negara
anggota, beserta penandatanganan, dan ratifikasi, serta mulai berlakunya konvensi dan
ketiga protokol tersebut atas negara-negara anggota adalah sebagai berikut :
Negara Penandatanganan Ratifikasi Mulai Berlaku
1 Bulgaria 21-04-1992 23-02-1993 15-01-1994
2 Georgia 21-04-1992 01-09-1993 15-01-1994
3 Romania 21-04-1992 10-11-1993 15-01-1994
4 Russian Federation 21-04-1992 16-11-1993 15-01-1994
5 Turkey 21-04-1992 29-03-1994 29-03-1994
6 Ukraine 21-04-1992 14-04-1994 14-04-1994
Tabel 3.5. Daftar Negara Anggota Bucharest Convention
236 "The Convention", http://www.blacksea-commission.org/_convention.asp, diunduh 13 April
2012 237 " Protocols to the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution ",
http://www.blacksea-commission.org/_convention-protocols.asp, diunduh 13 April 2012 238 " Non-UNEP Administered Programmes ",
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/nonunep/default.asp, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
87
Universitas Indonesia
Pelaksanaan dari konvensi dilakukan oleh Commission for the Protection of the
Black Sea Against Pollution (juga sering disebut Istanbul Commission), dengan
sekertariat permanen di Istanbul, Turki239.
Berikutnya, Black Sea Environment Programme diadopsi pada tahun 1993, dan
berikutnya diadopsi Strategic Action Plan for Rehabilitation and Protection of the Black
Sea yang diadopsi di Istanbul pada tahun 1996. Pada tahun 2000, Memorandun of
Understandeing mengenai Port State Control in the Black Sea Region ditandatangani
pada April 2002. Strategic Action Plan diamandemen di Sofia, Bulgaria pada 22-26 Juni
2002. Pada tahun yang sama diadopsi Protocol on the Protection of Biodiversity yang
ditandatangani di pertemuan menteri di Sofia, Juni 2002, Protokol ini tapi belum berlaku.
Ruang lingkup dari Konvensi ini dijelaskan pada Pasal 1 paragraf 1 yang
menyatakan bahwa konvensi ini berlaku di Laut Hitamdengan batas bagian selatan yaitu
garis yang menghubungkan Tanjung Kelagra dan Daylan. pada paragraf kedua juga
dijelaskan bahwa yang ruang lingkup tersebut termasuk laut teritorial dan zona ekonomi
ekslusif dari negara anggota di Laut Hitam. Walaupun begitu, pada akhir paragraf
terdapat pengecualian bahwa mungkin terdapat ketentuan yang berbeda dari protokol.
Pada pasal 3 dinyatakan bahwa negara pihak konvensi atas dasar kesamaan hak
dan kewajiban, saling menghormati kedaulatan dan kemerdekaan masing-masing, tidak
menginterfensi persoalan internal masing-masing, serta tidak menginterfensi manfaat
bersama dan prinsip-prinsip relevan dari hukum internasional. Pasal ini mencerminkan
jaminan bagi seluruh negara anggota bahwa tidak akan ada campur tangan terhadap
persoalan internal masing-masing, ketentuan ini mencerminkan kondisi sosial politik dari
negara di kawasan tersebut dimana masih terdapat ketidak-percayaan antar anggotanya
yang sebagian merupakan eks Uni Soviet dan Pakta warsawa, dan terdapat pula Turki
yang merupakan Kandidat anggota Uni Eropa240 dan anggota NATO241
Imunitas dari kapal dan pesawat milik negara atau kapal perang sebagaimana
terdapat pada UNCLOS juga dinyatakan pada Konvensi ini, tetapi negara anggota juga
dibebankan kewajiban untuk mengambil langkah agar kapal atau pesawat tersebut dalam
239 ibid 240 "Countries", http://europa.eu/about-eu/countries/index_en.htm, diunduh 13 April 2012. 241 " NATO Member Countries", http://www.nato.int/cps/en/SID-02327AA6-
4D307DC4/natolive/nato_countries.htm, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
88
Universitas Indonesia
melaksanakan kegiatannya tanpa terhalangi, juga harus melaksanakan kegiatan tersebut
sejalan dengan konvensi ini.242
Setiap negara anggota diwajibkan menjalankan ketentuan Konvensi, di area Laut
Hitam dimana negara tersebut menjalankan kedaulatan, dan hak berdaulatnya dan
yurisdiksinya tanpa bertentangan dengan hak dan kewajiban dari negara tersebut yang
berasal dari hukum internasional. Tiap negara anggota harus memeprtimbangkan dampak
dari polusi dari perairan pedalamannya terhadap lingkungan Laut Hitam243. kewajiban
untuk menjalankan "hukum internasional" dapat diartikan secara implisit sebagai
kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ekentuan terkait Laut terutama dalam lingkup
perlindungan lingkungan laut dan laut tertutup di UNCLOS 1982.
Pernyataan berikutnya mengenai polusi dari perairan pedalaman merupakan
pencerminan dari kondisi Laut Hitam yang secara geografis amat tertutup dan menjadi
muara dari banyak sungai dari negara-negara anggota Konvensi Bucharest. Polusi yang
terbawa melalui sungai tersebut tentunya akan bermuara di Laut Hitam dan berdampak
negatif pada ekosistem Laut Hitam. Sungai yang mengalir ke laut hitam adalah sungai
Danube, Dniepr, dan Don244. Terutama terkait sungai Danube, karena sungai itu juga
mengalir dari Jerman melalui bagian tengah eropa menuju Austria, Hungaria, Kroasia,
dan Yugoslavia245 dimana negara-negara ini bukanlah peserta dari Bucharest Convention,
sebelum akhirnya sungai ini melewati negara anggota konvensi yaitu Romania dan
Bulgaria. Kondisi geografis demikian menunjukan perlunya dibentuk kerangka kerjasama
lain untuk mencegah polusi dari sungai Danube yang juga melewati negara-negara
tersebut agar tidak mengganggu usaha yang dilakukan di Laut Hitam melalui Bucharest
Convention.
Negara anggota diwajibkan untuk secara sendiri-sendiri, maupun bersama-sama,
sesuai yang dibutuhkan untuk mengambil seluruh langkah yang diperlukan sejalan
dengan hukum internasional dan ketentuan dari konvensi dalam rangka mencegah,
mengurangi, dan mengontrol polusi dalam rangka melindungi dan melestarikan
242 Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution 1992, Pasal 4 243 Ibid, Pasal 5 (1) 244 "Europe Major River", http://www.worldatlas.com/webimage/countrys/euriv.htm, diunduh 13
April 2012 245 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
89
Universitas Indonesia
lingkungan perairan dari laut hitam246. Selain itu, negara anggota juga didorong untuk
bekerjasama dalam memngembangkan protokol dan annex tambahan, yang diperlukan
dalam rangka menjalankan konvensi247.
Dalam rangka pengaturan regional, negara umumnya juga didorong untuk juga
melibatkan diri pada perjanjian multilateral atau bilateral. Pada Bucharest Convention,
apabila negara anggota hendak mengikatkan diri pada perjanjian bilateral atau
multilateral dalam rangka perlindungan dan pelestarian lingkungan Laut Hitam, selain
harus memastikan perjanjian tersebut sejalan dengan konvensi, negara anggota juga harus
menyerahkan duplikat dari perjanjian tersebut ke negara-negara anggota lainnya, melalui
komisi yang ditunjuk pada pasal 17248. Negar-negara anggota juga didorong untuk
bekerjasama dalam organisasi internasional yang menurutnya kompeten, dalam
mengembangkan langkah-langkah yang dapat diambil untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan laut dari Laut Hitam249
Bucharest convention mewajibkan negara anggotanya umtuk tidak mencemari
Laut Hitam melalui sumber apapuun dengan zat-zat yang diatur di annexnya250. Negara
juga diwajibkan untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi yang bersumber
dari daratan, sesuai dengan kewajiban yang dijelaskan di protokol yang menjadi suatu
kesatuan dengan Konvensi ini251. Perumusan ini lebih kaku dibanding Barcelona
Convention, dan Cartagena Convention yang mewajibkan negara anggotanya untuk
menjadi anggota dari sebagian Protokol terkait konvensi. Selain itu perumusan ini
memastikan bahwa negara anggota konvensi akan juga harus melaksanakan kewajiban
yang terdapat pada Protokol.
Negara anggota konvensi akan secara sendiri-sendiri, atau jika perlu bersama-
sama, mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk mencegah,mengurangi, dan
mengontrol polusi ke lingkungan Laut Hitam yang bersumber dari kapal, sesuai dengan
standar dan aturan internasional yang diterima secara umum252. Perumusan ini berarti
246 Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution 1992, Pasal 5 (2) 247 Ibid, Pasal 5 ( 3) 248 Ibid, Pasal 5 (4) 249 Ibid, Pasal 5 (5) 250 Ibid, Pasal 6 251 Ibid, Pasal 7 252 Ibid, Pasal 8
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
90
Universitas Indonesia
negara anggota tidak aakan dibebani kewajiban yang lebih ketat dengan apa yang ada
sebagai aturan yang berlaku secara umum dan standar internasional terkait polusi dari
operasional kapal. Walaupun begitu, aturan ini secara implisit terkait dengan aturan dari
pasal 4 menyangkut kapal milik negara dan kapal perang, sehingga berarti negara
dibebani kewajiban agar sebisa mungkin dalam mengoperasikan kapal perang dan kapal
lain yang digunakan untuk tujuan pemerintah dan non-komersial untuk mengikuti standar
serta aturan yang diterima umum secara internasional sejauh yang dimungkinkan dalam
rangka pencegahan, pengurangan, dan pengontrolan polusi.
Negara anggota konvensi juga diwajibkan untuk bekerjasama untuk mencegah,
mengurangi, dan memerangi polusi di Laut Hitam yang ditimbulkan dari suatu situasi
darurat sejalan dengan Protocol on Cooperation in Combating Pollution of the Black Sea
by Oil and other Harmful Substance in Emergency situation yang menjadi suatu kesatuan
terhadap Konvensi ini253. Formulasi dari ketentuan ini berarti kerjasama dalam kondisi
darurat merupakan kewajiban dan tidak diperbolehkan melakukan usaha secara sendiri-
sendiri. Berikutnya adalah adanya pengakuan eksplisit atas suatu protokol bahwa
protokol tersebut merupakan suatu kesatuan dengan Konvensi yang menjadi kerangka
utama, ketentuan ini sejalan seperti pada pasal 7.
Kewajiban berikutnya dari negara anggota adalah untuk mengambil segala
langkah yang sesuai dan bekerjasama untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol
polusi yang ditimbulkan dari dumping, sesuai dengan Protocol on the Protection of the
Black Sea Marine Environment Against Pollution by Dumping yang menjadi satu
kesatuan dengan konvensi ini254. Perumusan ini berarti kewajiban negara adalah
mengambil segala langkah yang sesuai, dan dapat disimpulkan bahwa negara harus
mengambil langkah terbaik yang ada, bukan hanya langkah yang paling praktis, atau
tersedia baginya. Kewajiban untuk bekerjasama juga kembali ditekankan. Hal berikutnya
adalah adanya pengakuan eksplisit bahwa protokol terkait merupakan suautu kesatuan
dengan konvensi, sebagaimana dinyatakan pula pada pasal 7, dan 9 atas protokol masing-
masing. Berikutnya dinyatakan larangan bagi negara anggota untuk mengijinkan
dumping di wilayahnya yang dilakukan oleh pribadi kodrati atau entitas hukum non-
253 Ibid, Pasal 9 254 Ibid, Pasal 10 (1)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
91
Universitas Indonesia
negara laut hitam255. Perumusan ini dapat mencegah dilakukannya perpindahan polusi
lintas batas dari negara-negara di luar Laut Hitam yang melakukan dumping di wilayah
Laut Hitam, tetapi di sisi lain perumusan ini berarti secara implisit masih dimungkinkan
bagi negara anggota untuk mengijinkan pribadi kodrati atau entitas hukum dari negara
Laut Hitam untuk melakukan dumping di wilayahnya.
Terkait polusi atas pemanfaatan sumber daya di continental shelf, negara anggota
diwajibkan untuk sesegera mungkin mengadopsi aturan, dan regulasi serta mengambil
langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi terhadap lingkungan dari
Laut Hitam yang ditimbulkan atau berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan di
continental shelfnya, termasuk explorasi dan ekploitasi dari sumber daya alam. Selain itu
negara anggota diwajibkan untuk saling membagi informasi mengenai peraturan,
regulasi, dan langkah yang diambil tersebut melalui komisi256. Lebih lanjut lagi negara
diharuskan untuk berusaha mengharmonisasikan kebijakan mereka di bidang pencegahan
polusi akibat aktivitas di Continental Shelf257.
Selain polusi yang bersumber dari daratan, kapal, dan aktivitas di continental
shelf, Bucharest Convention juga mengatur mengenai polusi yang berasal dari atmosfer.
Di konvensi dinyatakan kewajiban negara untuk mengadopsi hukum dan regulasi serta
mengambil langkah individual atau langkah yang telah disetujui bersama untuk
mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi melalui atmosfer, berlaku atas ruang
udara diatas teritori negara tersebut, serta kapal atau pesawat yang berbendera negara
tersebut258. Perumusan dari pasal ini mencerminkan kewajiban negara untuk melindungi
lingkungan, serta kewajiban sebagai negara bendara atas suatu kapal atau pesawat.
Pernyataaan "langkah yang telah disetujui" tidak secara jelas menunjuk atas apakah hal
tersebut berasal dari perjanjian bilateral, regional, atau multilateral sehingga ketentuan
ini dapat digunakan pula untuk memastikan kepatuhan dari negara-negara Bucharest
Convention atas seluruh kesepakatan yang mereka ikuti terkait polusi yang bersumber
dari atmosfer.
255 Ibid, Pasal 10 (2) 256 Ibid, Pasal 11 (1) 257 Ibid, Pasal 11 ( 2) 258 Ibid, Pasal 12
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
92
Universitas Indonesia
Polusi yang bersumber dari bahan-bahan berbahaya (B3) selain dilarang pada
pasal 6, perpindahanya juga dilarang menurut pasal 12. Pada pasal ini dinyatakan
kewajiban untuk mengambil seluruh langkah yang sejalan dengan hukum internasional
dan bekerjasama untuk mencegah polusi di Laut Hitam akibat bahan-bahan berbahaya
yang dipindahkan melewati perbatasan, serta memerangi perpindahan ilegal atas bahan-
bahan tersebut sesuai dengan protokol yang mereka adopsi259. Perumusan pasal ini
berarti pemindahan bahan-bahan berbahaya tersebut tidak serta merta dilarang, tetapi
negara yang mlakukanya harus bekerjasama untuk mengambil seluruh langkah yan sesuai
untuk mencegah agar perpindahan tersebut tidak menciptakan polusi atas lingkungan
Laut Hitam. Ketentuan ini juga tidak menjelaskan apakah perpindahan bahan-bahan
berbahaya tersebut dilakukan oleh negara Laut Hitam atau non-Laut Hitam, tidak seperti
ketentuan mengenai dumping di Pasal 10 yang jelas-jelas melarang, sehingga dapat
disimpulkan secara implisit bahwa perpindahan B3 melalui Laut Hitam oleh negara non-
Laut Hitam masih dimungkinkan. Hal ini juga mencerminkan kenyataan bahwa Laut
Hitam masih merupakan jalur perkapalan internasional yang dilewati oleh berbagai
negara.
Dalam rangka mengambil langkah untuk emenuhi kewajiban-kewajiban yang
bertujuan untuk melindungi lingkungan Laut Hitam, negara diwajibkan untuk
memperhatikan agar tidak menimbulkan kerusakan bagi kehidupan laut, dan sumber
daya hayati, terutama dengan merubah habitat dan menimbulkan gangguan terhadap
penangkapan ikan dan penggunaan Laaut Hitam lain yang sesuai dengan hukum, dan
dalam rangka mencapai hal ini akan memberi perhatian terhadap rekomendasi dari
organisasi internasional terkait260. Pasal ini berarti dalam usaha perlindungan lingkungan,
negara tidak dapat mengambil langkah yang juga akan merusak lingkungan atau
mengganggu pemanfaatannya, serta terdapat keharusan untuk juga memperhatikan
rekomendasi, termasuk pedoman serta bentu soft law lainnya dari organisasi internasional
terkait.
Kerjasama dibidang ilmu pengetahuan dan teknis serta pengawasan diatur pada
pasal 15. Pada pasal ini dinyatakan kewajiban negara-negara untuk bekerjasama dalam
259 Ibid, Pasal 14 260 Ibid, Pasal 13
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
93
Universitas Indonesia
melakkukan penelitian yang bertujuan untuk melindingi dan melestarikan lingkungan
Laut Hitam dan jika perlu, memalukan program penelitian bersama dan pertukaran data
dan informasi261. Negara juga diwajibkan untuk mellakukan kerjasama dalam rangka
mengembangkan cara dan metode untuk menilai kondisi lingkungan dan tingkat polusi
serta pengaruhnya di sistem ekologis Laut Hitam, mendeteksi area yang tercemar,
memeriksa serta menilai resiko dan menemukan penyelesaiannya selain itu negara juga
diharuskan untuk bekerjasama menemukan metode alternatif untuk mengolah,
membuang, menghilangkan, atau memanfaatkan zat-zat yang berbahaya262.
Peran komisi juga ditekankan pada pasal 15, dimana negara diwajibkan untuk
bekerjasama melalui komisi dalam menentukan kriteria sains untuk memformulasikan
dan menjelaskan aturan, standar, dan rekomendasi praktek dan prosedur dalam rangka
pencegahan, pengurangan, dan mengontrol polusi di lingkungan Laut Hitam263. Negara
melalui komisi dan organisasi internasional terkait, juga diwajibkan melakukan program
pengawasan bersama yang mencakup segala sumber polusi, dan membentuk sistem
pengawasan polusi untuk Laut Hitam termasuk program bilateral, dan multilateral untuk
mengawasi, menghitung, mengevaluasi, dan menganalisa resiko dari polusi terhadap
lingkungan Laut Hitam264.
Pada pasal 15 juga terdapat ketentuan untuk melakukan analisa dampak
lingkungan, ketentuan tersebut mewajibkan negara anggota jika suatu negara memiliki
dasar untuk merasa bahwa aktivitas dalam yurisdiksinya dapat menimbulkan polusi atau
perubahan yang negatif terhadap Laut Hitam, negara tersebut sebelum melaksanakan
aktivitasnya akan melakukan penilaian atas pengaruh aktivitas tersebut dengan seluruh
informasi dan data yang ada lalu melaporkan hasilnya ke komisi265. Ketentuan ini
memiliki kelemahan yaitu negara yang melaporkan haruslah negara yang memiliki
yurisdiksi atas aktivitas tersebut, serta kewajiban untuk melakukan analisa dampak
lingkungan baru muncul jika negara memiliki dasar bahwa aktivitasnya mungkin
membawa dampak buruk bagi lingkungan. Negara tidak memiliki kewajiban untuk
melalukan analisa dampak lingkungan atas aktivitasnya serta melaporkannya ke komisi
261 Ibid, Pasal 15 (1) 262 Ibid, Pasal 15 (2) 263 Ibid, Pasal 15 (3) 264 Ibid, Pasal 15 (4) 265 Ibid, Pasal 15 (5)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
94
Universitas Indonesia
sebelum setiap aktivitas yang hendak dilakukan. Kewajiban tersebut hanya muncul jika
negara "merasa" aktivitasnya mungkin memiliki dampak negatif.
Negara anggota konvensi diwajibkan untuk bekerjasama dalam pengembangan,
perolehan dan pengenalan teknologi yang bersih dan menimbulkan sedikit polusi, dan
mengadopsi kebijakan untuk memfasilitasi pertukaran teknologi tersebut266. Terkait
dengan pengawasan, dan pertukaran teknologi, negara juga diwajibkan untuk menunjuk
suatu badan nasional yang bertanggungjawab atas segala aktivitas terkait ilmu
pengetahuan dan pengawasan267.
Terkait kerangka institusional dari Bucharest Convention, untuk menjalankan
fungsi kesekertariatan dalam rangka mencapai tujuan dari konvensi, akan dibentuk suatu
komisi bernama Commission on the Protection of the Black Sea Against Pollution268.
Komisi ini akan terdiri dari seorang wakil dari tiap negara anggota269, dan dalam
menjalankan fungsinya akan dibantu dengan suatu sekertariat permanen yang terdiri dari
warga negara dari negara-negara Laut Hitam270. Komisi akan mengadakan pertemuan
rutin sekali dalam setahun, dan dapat pula mengadakan pertemuan luar biasa atas
permintaan negara anggota271. Keputusan serta rekomendasi dari Komisi akan diadopsi
dengan suara bulat oleh negara-negara Laut Hitam272. Fungsi dari komisi ini sebagaimana
diatur pada pasal 18 adalah :
1. mendorong implementasi dari konvensi dan menyebarkan informasi dari hasil
kerjanya ke negara-negara anggota
2. membuat rekomendasi terkait langkah yang perlu diambil untuk mencapai tujuan
dari konvensi
3. mempertimbangkan pertanyaan terkait implementasi dari konvensi, dan
merekomendasikan amandemen terhadap Konvensi, dan protokolnya termasuk
annex terkait
266 Ibid, Pasal 15 (6) 267 Ibid, Pasal 15 (7) 268 Ibid, Pasal 17 (1) 269 Ibid, Pasal 17 (2) 270 Ibid, Pasal 17 (6) 271 Ibid, Pasal 17 (4) 272 Ibid, Pasal 17 (5)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
95
Universitas Indonesia
4. Menjelaskan kriteria terkait pencegahan, pengurangan, dan kontrol atas polusi di
likungan Laut Hitam dan untuk menghilangkan dampak dari polusi, sekaligus
merekomendasikan kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut.
5. Mendorong diadopsinya kebijakan yang diperlukan untuk melindungi lingkungan
Laut Hitam oleh negara anggota, dan untuk mencapai tujuan tersebut,
menyebarkan informasi sains, teknis, dan statistik yang relevan serta
mempromosikan dilakukannya penelitian.
6. Bekerjasama dengan organisasi internasional terkait, terutama untuk
mengembangkan program yang sesuai atau memperoleh bantuan dalam rangka
mencapai tujuan dari konvensi.
7. Mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh negara anggota
konvensi
8. melaksanakan fungsi-fungsi lain yang dijelaskan dalam konvensi, atau yang
disetujui bersama oleh negara-negara anggota konvensi.
Gambar 3.5. Struktur Institusional dari Bucharest Convention273
Selain pertemuan oleh komisi, negara-negara anggota konvensi juga akan bertemu
dalam konferensi yang direkomendasikan oleh komisi, pertemuan tersebut utamanya
bertujuan untuk membahas pelaksanaan dari konvensi dan protokolnya berdasarkan
273 "Black Sea Region",
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/nonunep/blacksea/instruments/r_profile_bs.pdf, diunduh 13 April 2012.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
96
Universitas Indonesia
laporan dari komisi. Negara non-Laut Hitam dapat berpartisipasi dalam konferensi
dengan kapasitas sebagai penasihat274. Selain itu negara anggota juga dapat mengusulkan
amandemen terhadap Konvensi dan protokolnya, dimana amandemen tersebut harus
diadopsi dengan suara bulat dalam konferensi diplomatik275. Annex dari Konvensi dan
Protokol merupakan suatu kesatuan dengan Konvensi, atau Protokol tersebut276.
Pada pasal 24 dinyatakan bahwa seluruh ketentuan konvensi tidak akan
mempengaruhi kedaulatan negara atas laut teritorial, hak berdaulat negara atas zona
ekonomi ekslusif, dan continental shelf, serta pelaksanaan hak atas kebebasan navigasi
oleh pesawat dan kapal sesuai dengan hukum internasional. Perumusan ini selain
menjamin hak-hak dari negara yang berbatasan, juga menjamin hak-hak dari negara
ketiga yang juga memanfaatkan Laut Hitam
Mekanisme penyelesaian sengketa tidak dijelaskan secara detail dalam konvensi,
dimana negara anggota terkait sengketa mangenai interpretasi dan implementasi konvensi
memiliki kewajiban untuk menyelesaikan melalui negosiasi atau metode penyelesaian
damai lain yang mereka pilih277. Ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa ini
mungkin menimbulkan masalah dikemudian hari, dan tentunya berbeda dengan
perumusan pada Konvensi-konvensi laut regional lain misalnya pada Barcelonan
Convention yang menjelaskan dengan detail mengenai arbitrase dan mekanisme
pelaksanaannya. Walaupun begitu, salah satu tugas dari Komisi adalah untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh negara anggota278, dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa mengenai masalah interpretasi dan implementasi dari Konvensi dapat dijaukan ke
Komisi untuk memberi pertimbangannya.
Pasal 26 memberikan kemungkinan bagi negara anggota atas rekomendasi komisi
untuk mengadopsi protokol baru melalui konferensi diplomatik dengan kebulatan suara
dari seluruh negara anggota.Namun perumusan pasal ini tidak menjelaskan apakah
protokol yang baru diadopsi tersebut akan menjadi suatu kesatuan dengan Bucharest
Convention sebagaimana ketiga protokol lainnya yang secara eksplisit diakui melalui
Pasal 7, 9 dan 10 sehingga hubungan antar Konvensi dengan Protokol baru dengan
274 Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution 1992, Pasal 19 275 Ibid, Pasal 20 276 Ibid, Pasal 21 (1) 277 Ibid, Pasal 25 278 Ibid, Pasal 28 No. 7
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
97
Universitas Indonesia
Protokol-protokol yang ada dari awalnya memungkinkan adanya perbedaan tingkat.
Konvensi juga tidak menjelaskan apakah pengadopsian protokol baru akan pula diikuti
oleh amandemen dari konvensi agar protokol baru tersebut menjadi bagian integral dari
Konvensi atau tidak.
3.6 Arafura dan Timor Sea Expert Forum dan Arafura and Timor Sea
Ecosystem Action
ATSEF adalah forum tidak mengikat yang ditujukan untuik membangun
kerjasama antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah di Australia, Indonesia, Papua
Nugini, dan Timor Leste dalam rangka mengejar penggunaan yang berkelanjutan dari
sumber daya hayati dari Laut Arafura dan Laut Timor279. MoU ini menyatakan bahwa
Laut Arafura dan Timor merupakan semi-enclosed sea sebagaimana diatur pada pasal
122 UNCLOS, serta mengakui kewajiban dari negara-negara yang berbatasan dengan
laut tersebut sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 123 UNCLOS.
Tujuan forum ini adalah untuk membantu mencapai tujuan pembangunan yang
berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, terutama di negara-negara pantai dan
komunitas masyarakat pantai dan masyarakat adat yang bergantung atas Laut Arafura dan
Timor dalam penghidupannya280. Tujuan berikut dari ATSEF adalah untuk
meningkatkan skema pembagian informasi antara negara pantai dari Laut Arafura dan
Laut Timor.
terdapat 5 fokus utama dari ATSEF yaitu :
1. Mencegah, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal, tidak terlapor, dan
tidak diatur (IUU - Illegal Unreported and Unregulated) di Laut Arafura
dan Laut Timor yang menjadi penyebab utama menipisnya stok ikan,
membahayakan keberlangsungan spesies dan habitat laut, menghalangi
279 Arafura and Timor Seas Expert Forum Memorandum of Understanding, Preamble. 280 Ibid, Purpose and Objective
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
98
Universitas Indonesia
pembangunan dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumber daya
hayati laut.
2. Menjaga stok ikan, habitat laut, dan keanekaragaman hayati. Pengetahuan
atas kondisi biota laut, spesies tangkap, dan habitatnya memiliki nilai
penting dalan manajemen yang bijak dari sumber daya kelautan
3. Membantu dan/atau mencari alternatif penghidupan bagi komunitas
masyarakat pantai dan masyarakat adat.
4. Mencari pengertian dari dinamika sistem kelautan, dan pantai.
5. Meningkatkan kapasitas informasi data, manajemen, dan penyebarannya
diantara negara-negara pantai di kawasan. Tanpa adanya tukar-menukar
informasi, sumber pengetahuan sebagai dasar pemanfaatan yang
berkelanjutan dari laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya
tidak akan sampai ke pihak yang berkepentingan seperti badan
pemerintah, masyarakat pantai dan adat, dan operator komersial.
ATSEF mengadakan pertemuan sekali dalam setahun, dan terbuka bagi setiap
organisasi yang memiliki kepentingan langsung dengan Laut Arafura dan Laut Timor dan
mau mematuhi ketentuan dari MoU ATSEF281. Tujuan pertemuan ini untuk membagi
hasil riset, data dan informasi, evaluasi penelitian, dan aplikasinya, evaluasi arah
penelitian dan proposalnya, mengidentifikasi kerjasama potensial dan melakukan
penilaian atas hasil aktivitas ATSEF.
ATSEF steering commitee akan bertemu dua kali dalam setahun dan terdiri atas
wakil dari badan negara yang berpartisipasi, lembaga riset, NGO, dan organisasi adat dan
organisasi masyarakat pantai282. ATSEF Steering comittee terdiri atas sebanyak 4 wakil
yang dinominasikan oleh tiap negara, dengan nominasi mencerminkan keseimbangan
antara para pihak yang berkepentingan, sampai dua wakil akan diambil dari organisasi
internasional, 1 orang dari tiap sekertariat nasional, dan koordinator regional akan
membantu ATSEF steering commitee pada tiap pertemuan. Keputusan dari ATSEF
steering commitee diambil dengan konsensus283
281 Ibid, Governance of the Arafura & Timor Seas Expert Forum 282 Ibid, ATSEF Steering Committee 283 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
99
Universitas Indonesia
Tanggung jawab koordinasi regional akan dipegang oleh Regional Coordinator,
yang merupakan peserta dari forum. Regional Coordinator akan bekerjasama dengan
sekertariat nasional dan organisasi antar-pemerintah, dan organisasi internasional untuk
memfasilitasi kerjasama antara organisasi rekanan ATSEF dalam rangka mencapai tujuan
dari Forum ini284. Posisi Regional Coordinator akan dirotasi diantara negara-negara
pantai selama paling sedikit dua tahun, dan paling lama 3 tahun285.
Tiap negara pantai diharap akan membangun sekertariat nasional yang berfungsi
sebagaimana fungsi, tujuan, prioritas, dan prinsip dari ATSEF. Tanggung jawab dari
sekertariat ini adalah untuk mendorong pembangunan kapasitas dan koordinasi di dalam
tiap negara286. Tiap sekertariat nasional bertanggung jawab langsung pada ATSEF
streering comittee, dan diwajibkan untuk 287:
1. Memfasilitasi pembangunan kapasitas di ilmu pengetahuan terkait kelautan dan
perairan dan bidang riset relevan lainnya.
2. Memfasilitasi kolaborasi, kerjasama, dan koordinasi dalam rangka mencapai
tujuan ATSEF di dalam dan diantara negara-negara pantai
3. Mengidentifikasi dan mengakses sumber pendanaan untuk penelitian dan
membantu koordinator regional mengidentifikasi danmengakses sumber
pendanaan untuk riset danaktivitas-aktivitas lain yang disetujui ATSEF Steering
Committee
4. Mendorong partisipasi badan pemerintah, lembaga riset, sektor privat, NGO, dan
organisasi komunitas di bawah ATSEF
5. Sekertariat nasional dari ATSEF mungkin bertanggung jawab atas pembukuan
keuangan dari program riset, jika para partisipan memohonkan hal seperti itu.
284 Ibid, Regional Cordination 285 Ibid, Rotation and Location of Regional Coordinator 286 Ibid, National Secretariats and of the Arafuru and Timor Sea Expert Forum 287 Ibid, Roles and Responsibility of National Secretariat of ATSEF.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
100
Universitas Indonesia
Gambar 3.6.1. Struktur Institusional ATSEF288
Sebagaimana yang disetujui, pembagian informasi dan manajemen data
terkoordinasi antara anggota ATSEF amatlah penting. Sekertariat nasional akan
memfasilitasi pengumpulan data dan penyebaran data antara anggota dan organisasi
relevan dalam database ATSEF289.
Dalam menjalankan aktivitasnya ATSEF memiliki prinsip dan prosedur terkait
melaksanakan riset dibawah payung ATSEF290. Salah satunya adalah penghormatan
terhadap kedaulatan negara dan permohonan ijin dari badan pemerintah terkait, dalam
melaksanakan ini Sekertariat nasional dapat memberikan bantuan. Berikutnya setiap
penelitian sebisa mungkin melibatkan tiap negara pantai sesuai dengan pasal 123
UNCLOS. Masyarakat adat dan masyarakat pantai juga akan dilibatkan untuk
berpartisipasi dan dimintai masukannya di tiap tingkat program,terutama jika tujuan
program tersebut adalah untuk membantu membuat penghidupan yang berkelanjutan,
atau alternatif penghidupan bagi masyarakat pantai dan masyarakat adat291.
Dikarenakan ATSEF adalah forum yang tidak mengikat, dan sistem hukum tiap
negara berbeda maka ATSEF tidak akan diberikan status sebagai entitas hukum, tetapi
288 "ATSEF Structure", http://atsefaustralia.files.wordpress.com/2011/09/december-2011-atsef-
structure1.png, diunduh 13 April 2012 289 Arafura and Timor Seas Expert Forum Memorandum of Understanding, Data Management and
Information Sharing 290 Ibid, Principle and Procedures for Conduct of Research and Action Under Aegis of ATSEF 291 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
101
Universitas Indonesia
Sekertariat Nasional dapat diberikan keperibadian hukum, atau menjadi suatu joint
venture292. Peserta dari program riset yang berhak menerima pendanaan, akan melakukan
persetujuan diantara mereka sebagai suatu organisasi yang ikut berpartisipasi, dan
memiliki status hukum, dan akan menjadi penandatangan kontrak pendanaan tersebut dan
bertanggung jawab atas penggunaan dana tersebut293.
Laut Arafura dan Timor merupakan penghubung penting antara Samudera
Pasifik, dan Samudera Hindia, juga merupakan bagian dari segitiga terumbu karang294.
Fenomena iklim el nino-southern oscillation dan aliran air hangat dari Samudera Hindia
melewati juga perairan ini. Fakta ini berarti Laut Arafura dan Laut Timor amat
mempengaruhi iklim dunia dan sirkulasi air laut di dunia295. Bagi negar-negara yang
berbatasan dengan Laut Arafura dan Timor, yaitu Indonesia, Timor Leste, dan Australia,
Laut ini juga merupakan bagian dari ekosistem yang amat penting. Laut ini juga menjadi
jalur pelayaran penting dan mengandung sumber daya mineral, minyak dan gas.
Habitat pantai yang penting di kawasan Laut Arafura dan Timor adalah hutan
bakau, padang rumput laut, terumbu karang, dan dataran pasang surut296. Hutan Bakau di
kawasan ini merupakan 25% dari hutan bakau di dunia dan terdiri atas 90% spesies bakau
yang ada di dunia297. Padang rumput laut di Laut Arafura dan Timor mencapai 20.000
Km2 dengan tingkat keragaman hayati tinggi dan merupakan habitat bagi berbagai
tumbuhan laut, penaeid, ikan, benthic, invertebrata, dugong, dan penyu298.
Pada tahun 2006-2007, ATSEF melakukan permintaan pendanaan dibawah
United Nation Global Environment Activity atas nama program Arafura and Timor Seas
Ecosystem Action (ATSEA)299. Pada 14 juli 2010 program ATSEA dimulai secara
resmi300. ATSEA adalah program laut internasional yang dibiayai oleh Global
Environment Facility301. ATSEA adalah agenda utama dari ATSEF, program ini
292 Ibid, Legal Arrangements 293 Ibid, Fiscal Arrangements 294 Tonny Wagey, Arafura and Timor Seas, (Dipresentasikan pada pertemuan CTI-RBF, Kuala
Lumpur, 10 Oktober 2011) 295 Ibid 296 Ibid 297 Ibid 298 Ibid 299 "About ATSEA", http://atsea-program.org/?page_id=2, diunduh 1 April 2012 300 "About ATSEF", http://atsefaustralia.net/, diunduh 1 April 2012 301 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
dijalankan oleh implementing agency UNDP, dan executing agency UNOPS, serta unit
manajemen proyek yang berpusat di Indonesia, dan Regional Project Board
Stakeholder Engagement Group (SEG) telah didirikan untuk memfasilitasi partisipasi
dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan proyek ATSEA
ATSEA akan menjalankan program Transboundary Diagnostic Analysis
(TDA)304. TDA adalah analisa ancaman yang akan menil
lingkungan dan sumber daya yang terdapat di Laut Arafura dan Timor, termasuk tekanan,
ancaman, dan dampak dari ekploitasi berlebihan dan perubahan iklim
TDA adalah proses yang memerlukan kolaborasi lintas sektor. Pros
pembuatan profil sosio
(governance) dari institusi lokal, hukum, dan kebijakan lingkungan, serta analisa mata
rantai sebab-akibat (kausalitas). Hubungan sebab
batas, dengan penyebab fisik utamanya, faktor pendorong sosio
302 Ibid 303 Ibid. 304 "What is Arafura and Timor Sea Ecosystem Action Programme
http://atsefaustralia.net/atsea305 Ibid 306 Ibid
307 Ibid
Universitas Indonesia
dijalankan oleh implementing agency UNDP, dan executing agency UNOPS, serta unit
manajemen proyek yang berpusat di Indonesia, dan Regional Project Board
agement Group (SEG) telah didirikan untuk memfasilitasi partisipasi
dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan proyek ATSEA
ATSEA akan menjalankan program Transboundary Diagnostic Analysis
. TDA adalah analisa ancaman yang akan menilai kondisi saat ini dari
lingkungan dan sumber daya yang terdapat di Laut Arafura dan Timor, termasuk tekanan,
ancaman, dan dampak dari ekploitasi berlebihan dan perubahan iklim
TDA adalah proses yang memerlukan kolaborasi lintas sektor. Pros
pembuatan profil sosio-ekonomis dan biofisika dari suatu kawasan, analisa pengaturan
(governance) dari institusi lokal, hukum, dan kebijakan lingkungan, serta analisa mata
akibat (kausalitas). Hubungan sebab-akibat ini mengaitkan masalah lintas
batas, dengan penyebab fisik utamanya, faktor pendorong sosio-ekonomisnya
Gambar3.6.2. Kerangka aktivitas ATSEA307
"What is Arafura and Timor Sea Ecosystem Action Programme", http://atsefaustralia.net/atsea-arafura-and-timor-seas-ecosystem-action-program/
102
Universitas Indonesia
dijalankan oleh implementing agency UNDP, dan executing agency UNOPS, serta unit
manajemen proyek yang berpusat di Indonesia, dan Regional Project Board302. ATSEA
agement Group (SEG) telah didirikan untuk memfasilitasi partisipasi
dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengan proyek ATSEA303.
ATSEA akan menjalankan program Transboundary Diagnostic Analysis
ai kondisi saat ini dari
lingkungan dan sumber daya yang terdapat di Laut Arafura dan Timor, termasuk tekanan,
ancaman, dan dampak dari ekploitasi berlebihan dan perubahan iklim305. Pembentukan
TDA adalah proses yang memerlukan kolaborasi lintas sektor. Proses tersebut melibatkan
ekonomis dan biofisika dari suatu kawasan, analisa pengaturan
(governance) dari institusi lokal, hukum, dan kebijakan lingkungan, serta analisa mata
engaitkan masalah lintas
ekonomisnya306.
307
program/, diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
103
Universitas Indonesia
Melalui kegiatan TDA, telah diidentifikasi apa saja yang menjadi masalah lingkungan
utama di Laut Arafura dan Timor. Masalah-masalah tersebut disebut Priority
Environmental Concern dan terdiri atas308:
1. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta degradasi dan hilangnya
sumber daya hayati dan sumberdaya kelautan
2. Menurunnya dan hilangnya keanekaragaman hayati dan spesies laut yang penting.
3. Modifikasi, degradasi, dan hilangnya habitat pantai dan laut
4. Polusi yang berasal dari laut dan daratan
5. Dampak dari perubahan iklim
Setelah selesai, TDA akan menjadi dasar pengembangan dan kesepakatan
regional berupa Strategic Action Plan (SAP), yg diharapkan untuk memandu aksi kolektif
terhadap pemecahan masalah lingkungan serta pemanfaatan sumber daya di kawasan
tersebut309.
National Action Plan (NAP) berikutnya akan dikembangkan untuk memberi
garis besar prioritas dan langkah yang perlu diambil di tingkat nasional. Pengembangan
NAP diinformasikan kepada SAP regional, dan dalam Laporan Status Nasional (National
Status Report), yang akan mengidentifikasi pokok permasalahan dan prioritas di kawasan
pantai dan pesisir. pendanaan ATSEA GEF tersedia untuk Indonesia dan Timor Leste
untuk mengembangkan National Status Report dan NAP, langkah ini tidak perlu
dijalankan Australia310.
Dengan dilakukannya TDA, serta dibentuknya SAP dan NAP, setelah
implementasi SAP dan NAP, langkah berikutnya yang perlu dilakukan untuk
memastikan terbentuknya manajemen berbasis ekosistem yang terintegrasi,
berkelanjutan, saling bekerjasama dalam pemanfaatan sumber daya hayati pantai, dan
sumber daya kelautan, termasuk kenakaragaman hayati dari Laut Arafura dan Timor,
adalah memperkuat mekanisme kerjasama regional. ATSEF dapat dikembangkan dan
diperkuat sebagai mekanisme regional yang efektif untuk kerjasama manajemen berbasis
308 Tony Wagey, Arafura and Timor Seas, (Dipresentasikan pada pertemuan CTI-RBF, Kuala
Lumpur, 10 Oktober 2011) 309 Ibid 310 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
104
Universitas Indonesia
ekosistem di kawasan Laut Arafura dan Timor, melalui implementasi SAP dan
mempertimbangkan model kerjasama regional di masa depan, untuk disetujui oleh
negata-negara yang berpartisipasi. struktur model dari kerjasama tersebut dapat berupa311:
1. Konsep awal ATSEF sebagai forum informal dari para pakar
2. Konsep organisasi antar-negara tetapi masih tidak mengikat yaitu Arafura and
Timor Seas Partnership Council.
3. Konsep pembentukan organisasi antar negara yang memiliki keperibadian hukum
(legal personality) misalnya Arafura and Timor Seas Commission (ATSCOM)
Tujuan yang hendak dicapai dari penguatan institusional tersebut adalah untuk mencapai
kemandirian dan membuat mekanisme pembiayaan mandiri untuk menjamin
dilaksanakannya SAP secara berkesinambungan312.
311"Global Environment Facility", http://www.thegef.org/gef/sites/thegef.org/files/repository/9-17-
09%20-%20WebPosting%20-%203522.pdf, diunduh 13 April 2012 312 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
105
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN PENGATURAN REGIONAL PADA ENCLOSED
SEA DAN SEMI ENCLOSED SEA
4.1. Perbandingan Antara Kerjasama Regional Terkait Enclosed Sea dan Semi
Enclosed Sea
Hal yang jelas menonjol dari berbagai laut tertutup, dan laut semi-tertutup di
dunia adalah pendekatan unilateral tidaklah populer ataupun akan efektif, dan negara
lebih diuntungkan melalui pengaturan secara regional yang bentuknya akan amat
tergantung dengan kondisi geografis dari laut tersebut dan tidak akan terlepas dari kondisi
politik, sosial, dan ekonomi dari negara-negara yang berbatasan tersebut. Satu hal yang
juga jelas adalah, perbedaan politik walaupun mempengaruhi, pada akhirnya negara akan
tetap bekerjasama dikarenakan kenyataan yang ada, hal ini dapat terlihat baik di Laut
Hitam, Laut Mediterrania, Laut Arafura dan Laut Timor, juga Laut Kuning dimana
perbedaan sosial politik dari masing-masing negara amat beragam. Sebaliknya,
persamaan budaya, politik, sosial ekonomi belum tentu menjamin terbentuknya
kerjasama regional dengan struktur institusi yang jelas, seperti contoh Laut Karibia yang
tingkat integrasi dan kesatuan institusional dalam menghadapi masalah pengaturan Laut
tertutup, dan semi tertutup masih merupakan masalah, tercermin dari struktur
institusionalnya yang tidak tertata dengan rapih.
Dalam membentuk suatu kerjasama regional terkait laut tertutup dan semi-
tertutup terkadang inisiatif dapat dimulai dari negara pantai itu sendiri, seperti contoh di
Laut Arafura dan Laut Timor, dapat pula inisiatif awal didorong dari konferensi
multilateral atau organisasi internasional sebagaimana terjadi di Laut Mediterrania, dan
Laut Karibia melalui program Regional Seas UNEP. Bisa juga terjadi pengaturan yang
terdorong dari kenyataan akan masalah yang ada, dan mungkin didorong oleh organisasi
internasional, tapi pada akhirnya berevolusi dan berkembang menjadi suatu pengaturan
regional yang mandiri terlepas dari UNEP sebagaimana di Laut Hitam. Peran NGO, dan
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
106
Universitas Indonesia
organisasi internasional dalam mendorong kerjasama amatlah penting, dan akan menjadi
lebih penting di negara dimana negara-negara pantai yang berbatasan cenderung untuk
berjalan secara sendiri-sendiri dalam melindungi lingkungan Laut Semi tertutup yang
mereka bagi bersama seperti di Laut Kuning, dimana tidak terdapat kerangka kerjasama
formal antara negara-negara. Peran pengintegrasian pada wilayah ini dimotori oleh NGO
dan organisasi internasional dimana WWF melalui Ecoregion Planning Programme, dan
Yellow Sea Large Marine Ecosystem Project dari UNDP-GEF membuat suatu
Memorandum of Understanding mengenai promosi koordinasi regional terhadap strategy
atas keaneka ragaman hayati dan action plan313, dan program dari WWF, dalam
mendukung para pemangku kepentingan, dan dengan bekerjasama dengan YSLME-GEF
dijadikan rekomendasi bagi pemerintah Republik Korea dan Republik Rakyat Cina dalam
rangka melindungi Laut Kuning314.
Kerjasama regional tidaklah serta merta harus langsung berupa konvensi yang
mengikat, seperti dicontohkan di Laut Arafura dan Laut Timor, dimana negara-negara
yang berbatasan bekerjasama melalui forum yang tidak mengikat berdasarkan suatu
memorandum of understanding dimana forum tersebut bertujuan untuk pertukaran
informasi ilmiah dlam perlindungan dari lingkungan laut semi tertutup yang dibatasi oleh
negara-negara anggotanya. Melalui forum ini, terbentuk suatu program yang dinamakan
Arafura and Timor Sea Ecosystem Action dimana melalui forum tidak mengikat, mulai
terbentuk suatu kerangka kerja, koordinasi, dan pengintegrasian nyata dalam usaha
harmonisasi atas pengaturan, pengelolaan, dan perlindungan atas laut semi tertutup yang
dibatasi bersama antara Australia, Indonesia, Timor Leste, dan Papua Nugini tersebut.
Keragaman pendekatan masing-masing kawasan terhadap Laut tertutup dan semi
tertutup juga terlihat dari kerangka pengaturan yang terbentuk oleh negara-negara di
Kawasan tersebut. Laut Mediterrania, Laut Karibia, dan Laut Hitam sama-sama
menggunakan instrumen berupa konvensi dan protokol terkait, sedangkan di Laut
Arafura dan Timor digunakan mekanisme berupa MoU. Pada Laut Kuning, yang
dilakukan adalah langkah berbasis proyek tanpa ada instrumen formal mengikat antara
negara-negara yang berbatasan dengannya.
313 "Partners", http://en.wwfchina.org/en/what_we_do/marine/yellow_sea_ecoregion/partners/,
diunduh 13 April 2012 314 Ibid
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
107
Universitas Indonesia
Walaupun sama-sama berdasarkan Konvensi dan protokol, Laut Mediterrania,
Laut Karibia, dan Laut Hitam masing-masing juga mengambil langkah yang berbeda
dalam formulasi dan perumusan Konvensi, dan Protokol, serta kerangka institusionalnya.
Perbedaan ini mencerminkan perbedaan atas kondisi politik, sosial, ekonomi, dan juga
geografis dari masing-masing kawasan. Tidaklah mungkin dibuat sautu kerangka yang
akan bekerja secara sama atas seluruh kawasan laut tertutup dan laut semi tertutup karena
perbedaan dimensional tersebut memerlukan pendekatan yang berbed-beda pula, dimana
hal ini jugalah yang menjadi latar belakang munculnya pengaturan secara regional, bukan
pengaturan supranasional yang berlaku global.
Ketiga negara memiliki bentuk kesekertariatan yang berbeda, di Laut
Mediterrania, UNEP ditunjuk sebagai sekertariat dan MEDU menjalankan fungsi
kesekertariatan tersebut315. Di Karibia, UNEP juga ditunjuk sebagai sekertariat316, dan
CAR/RCU dari UNEP yang menjalankan fungsi kesekertariatan terkait konvensi dan
protokolnya. Di Laut Hitam, dibentuk suatu komisi, yaitu Commission on the Protection
of the Black Sea Against Pollution yang akan berperan sebagai sekertariat317.
Laut Arafura dan Laut Timor juga memiliki struktur institusional yang jelas,
dimana ATSEF Regional Secretariat membawahi ATSEF National seceretariat dari
masing-masing negara anggota, dimana di dalam tiap negara anggota terdapat ATSEF
National Coordinator, dan ATSEF Steering Committee. Terkait Program ATSEA,
strukturnya juga jelas dimana Transboundary Diagnosis Analysis yang memperhitungkan
faktor sosio-ekonomis, Profil biofisika, analisa pengelolaan (governance), dan analisa
rantai sebab-akibat (causal chain). TDA akan Diikuti oleh pembentukan Regional
Strategic Action Plan yang mencakup seluruh kawasan Laut Arafura dan Timor, yang
akan dicerminkan oleh pembentukan National Action Plan dari masing-masing negara.
Terkait NAP, tiap negara perlu membuat National Status Report untuk dilaporkan sebagai
pertimbangan atas Regional Strategic Action Plan. Dengan demikian, untuk suatu forum
yang tidak mengikat, dapat disimpulkan bahwa struktur institusional dan kerangka kerja
315 Convention for the Protection of Mediterranean Sea From Pollution, Pasal 13 316 Convention for the Protection and Developmen of the Marine Environment of the Wider Caribbean Region, Pasal 15 317 Convention on the Protection of Black Sea Against Pollution, Pasal 17
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
108
Universitas Indonesia
dari ATSEF-ATSEA di Laut Arafura dan Laut Timor sudahlah jelas dan tertata dengan
cukup rapi.
Ketiga Negara, dengan ketiga konvensinya sama-sama memiliki protokol, tetapi
hubungan antara Konvensi dan protokolnya berbeda. Barcelona Convention di Laut
Mediterrania, Cartagena Convention di Laut Karibia sama-sama mewajibkan anggota
konvensi untuk mengikuti setidaknya 1 protokol318319, sedangkan pada Laut Hitam
dengan Bucharest Convention, ketiga protokolnya dinyatakan merupakan satu kesatuan
atas Konvensi dan harus diikuti bersama320. Atas formulasi demikian, Bucharest
Convention memastikan seluruh anggotanya mengikuti seluruh protokolnya.
Ketiga konvensi sama-sama memungkinkan dilakukannya amandemen atas
konvensi dan protokol, tetapi di Laut Hitam dan Bucharest Convention, terlihat bahwa
kebulatan pendapat (konsensus) merupakan metode pengambilan keputusannya,
sedangkan di Laut Karibia dan Laut Mediterrania, keputusan mayoritas dari tiga per
empat negara anggota merupakan mekanisme pengambilan keputusannya. Metode
penentuannya pun berbeda dimana di Laut Karibia dan Mediterrania dilakukan melalui
konferensi, sedangkan di Laut Hitam dilakukan melalui penyebaran informasi oleh
negara yang mengusulkan melalui negara pemegang deposit ke negara anggota lain
melalui saluran diplomatik.
Pada pengadopsian Protokol baru pun terdapat perbedaan, dimana di Laut Hitam
adopsi protokol baru dicetuskan oleh negara anggota atau oleh Komisi, dimana akan
dilakukan Konferensi dan keputusan diambil dengan dasar kebulatan suara. Pada Laut
Karibia dan Mediterrania, konferensi dilakukan atas usul dari negara-negara anggota dan
pengambilan keputusan dilakukan dengan suara mayoritas dari tiga per empat negara
anggota, dan berlaku atas anggota yang menundukan dirinya atas protokol tersebut.
Untuk masalah ini, Bucharest Convention memberikan kerangka yang lebih jelas, dan
lebih mengikat dimana protokol baru harus disetujui bersama dan langsung berlaku bagi
seluruh anggota.
318 Convention for the Protection of Mediterranean Sea From Pollution, Pasal 23 319 Convention for the Protection and Developmen of the Marine Environment of the Wider
Caribbean Region, Pasal 24. 320 Convention on the Protection of Black Sea Against Pollution, Pasal 7, 9, 10
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
109
Universitas Indonesia
Dalam rangka pengadopsian Annex baru terhadap Konvensi dan Protokol, juga
terdapat perbedaan. Cartagena Convention, menyatakan Annex baru diambil melalui
pertemuan rutin yang diadakan tiap 2 tahun . Barcelona Convention menyatakan Annex
baru dari Protokol dan Konvensi diadopsi atas usul negara anggota melalui pertemuan
yang disetujui dua pertiga negara anggota. Annex tersebut menjadi bagian integral dari
protokol dan Konvensi Terkait, tetapi khusus Annex mengenai arbitrase, dilakukan
melalui mekanisme layaknya amandemen terhadap Konvensi. Bucharest Convention
menyatakan annex baru diadopsi melalui usul dari negara anggota yang disampaikan ke
komisi, dimana akan diputuskan melalui kebulatan pendapat di komisi. mekanisme yang
sama juga berlaku bagi amandemen annex
Mekanisme penyelesaian sengketa terkait interpretasi dan implementasi dari
Konvensi dan Protokol juga dilakukan dengan sedikit perbedaan. Baik Cartagena,
Barcelona, dan Bucharest Convention menyatakan bahwa penyelesaian sengketa akan
dilakukan melalui negosiasi dan jalan damai lainnya, tetapi di Barcelona dan Cartagena,
apabila sengketa tidak dapat diselesaikan maka akan diselesaikan melalui mekanisme
arbitrase suai annexnya321322, sedangkan di Bucharest Convention dalam ketentuan
penyelesaian sengketanya tidak terdapat ketentuan mengenai arbitrase323, hanya saja
salah satu tugas dari Komisi adalah menjawab pertanyaan negara anggota terkait
interpretasi dan implementasi dari Kovensi dan Protokol324, sehingga secara implisit
dapat disimpulkan bahwa masalah sengekta bisa pula dibawa oleh negara anggota ke
konvensi untuk diputuskan. Terkait penyelesaian sengketa, Barcelona convention dan
Cartagena convention memberikan kerangka yang lebih jelas terkait arbitrase, lebih jauh
lagi ketentuan Arbitrase di Barcelona Convention dianggap sebagai bagian integral dari
Konvensi dan diamandemen dengan metode yang sama seperti konvensi sehingga
pengaturan atas arbitrase di Barcelona Convention lebih kaku.
Dalam penentuan kesalahan atau ganti rugi, Cartagena Convention hanya
menyatakan bahwa negara anggota wajib bekerjasama dalam penentuan mekanisme
321 Convention for the Protection of Mediterranean Sea From Pollution, Pasal 22 322 Convention for the Protection and Developmen of the Marine Environment of the Wider
Caribbean Region, Pasal 23 323 Convention on the Protection of Black Sea Against Pollution, Pasal 25 324 Ibid, Pasal 28 No. 7
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
110
Universitas Indonesia
terkait hal tersebut, dalam Barcelona Convention dinyatakan negara harus bekerjasama
sesegera mungkin menentukan mekanisme terkait ganti rugi dan penentuan kesalahan
terkait pelanggaran konvensi dan protokol, sedangkan di Bucharest Convention
mewajibkan tiap negara untuk mengadopsi pengaturan terkait penentuan kesalahan dan
ganti kerugian akibat pelanggaran Konvensi dan Protokolnya oleh aktivitas di
wilayahnya, dan pribadi kodrati, atau entitas hukum di bawah yurisdiksinya dan
bekerjasama untuk mengharmonisasikan peraturan dan regulasi mereka tersebut untuk
menimbulkan efek penggentar dan efek jera bagi pelaku pelanggaran. Terkait masalah
ini, Bucharest Convention memberikan ketentuan yang lebih jelas.
Terkait sumber polusi, Baik Cartagena, Barcelona, dan Bucharest mewajibkan
negara untuk mencegah, mengontrol, dan mengurangi polusi dari sumber daratan, kapal
atau pesawat, dumping, aktivitas di landas kontinen, dan polusi akibat keadaan darurat.
Bucharest Convention dan Cartagena Convention sama-sama memiliki pengaturan
terhadap polusi dari atmosfer, dimana tidak terdapat di Barcelona Convention. Bucharest
Convention juga mengatur mengenai polusi dari bahan-bahan berbahaya dan beracun,
serta pemindahan lintas batas atasnya dimana tidak terdapat pengaturan demikian di
Cartagena dan Barcelona Convention. Cartagena Convention memiliki ketentuan
mengenai perlindungan area maritim khusus, dimana tidak terdapat pengaturan demikian
di Barcelona dan di Bucharest Convention hanya terdapat pengaturan atas pelestarian
sumber daya hayati. Tetapi di bucharest convention terdapat ketentuan yang menyatakan
3 protocol terkait dumping, polusi dari daratan, dan polusi akibat keadaan darurat
merupakan bagian integral dari Konvensi. Dengan demikian dapat disimpukan bahwa
pengaturan atas sumber polusi di Bucharest Convention lebih menyeluruh daripada di
Cartagena convention, dan yang paling longgar adalah di Barcelona Convention.
Terkait masalah kerjasama, ketiga konvensi memiliki pengaturan masing-masing
terkait pertukaran teknologi. Ketiga Konvensi menyatakan pentingnya kerjasama antara
negara anggota, serta jika perlu dengan organisasi internasional yang memiliki
kompetensi di bidang tersebut dalam rangka pertukaran informasi, dan data. Bucharest
Convention memberi ketentuan yang lebih luas degnan juga mewajibkan negara
anggotanya untuk menemukan cara alternatif untuk mengolah bahan berbahaya, serta
bekerjasama dalam mengembangkan dan memperoleh teknologi yang ramah lingkungan.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
111
Universitas Indonesia
Dalam masalah pengawasan serta evaluasi atas jalannya konvensi dan protokol,
pada Cartagena dan Barcelona negara anggota akan mengadakan pertemuan tiap 2 tahun
untuk membahas jalannya pelaksanaan Konvensi dan Protokol dan tiap saat menurut usul
dari negara anggota dalam kondisi luar biasa, sedangkan di Bucharest pertemuan antar
negara anggota diadakan tanpa jadwal yang jelas tiap diusulkan oleh Komisi dan tiap
diusulkan negara anggota dalam kondisi luar biasa. Dengan demikian dapat disimpulkan
peran dari negara anggota di Cartagena dan Barcelona convention lebih aktif daripada di
Bucharest Convention, serta ketentuan terkait pertemuan rutin terkait pembahasan
implementasi dari Barcelona dan Cartagena lebih jelas dan lebih baik daripada Bucharest
Convention. Hal ini memungkinkan pengawasan ketaatan yang lebih baik pada Cartagena
dan Barcelona Convention dibanding di Bucharest Convention.
Dalam Konteks Laut Arafura dan Laut Timor, ATSEF adalah forum yang
mengutamakan pertukaran serta pembagian informasi dalam rangka mencapai tujuan dan
titik fokus yang hendak dicapai yaitu325 :
1. Mencegah, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal, tidak terlapor,
dan tidak diatur (IUU - Illegal Unreported and Unregulated) di Laut
Arafura dan Laut Timor yang menjadi penyebab utama menipisnya stok
ikan, membahayakan keberlangsungan spesies dan habitat laut,
menghalangi pembangunan dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari
sumber daya hayati laut.
2. Menjaga stok ikan, habitat laut, dan keanekaragaman hayati. Pengetahuan
atas kondisi biota laut, spesies tangkap, dan habitatnya memiliki nilai
penting dalan manajemen yang bijak dari sumber daya kelautan
3. Membantu dan/atau mencari alternatif penghidupan bagi komunitas
masyarakat pantai dan masyarakat adat.
4. Mencari pengertian dari dinamika sistem kelautan, dan pantai.
5. Meningkatkan kapasitas informasi data, manajemen, dan penyebarannya
diantara negara-negara pantai di kawasan. Tanpa adanya tukar-menukar
325 Arafura and Timor Seas Expert Forum Memorandum of Understanding, Foci of Arafura & Timor Seas Forum.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
112
Universitas Indonesia
informasi, sumber pengetahuan sebagai dasar pemanfaatan yang
berkelanjutan dari laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya
tidak akan sampai ke pihak yang berkepentingan seperti badan
pemerintah, masyarakat pantai dan adat, dan operator komersial.
Pertukaran informasi dan data serta riset bersama telah menjadi fokus dari
ATSEF. Untuk mencegah duplikasi riset dan menjamin kelengkapan database, akan
dipekerjakan suatu koordinator data untuk memfasilitasi pembentukan dan pengelolaan
database ATSEF, dan situs internet terkait. Database ATSEF akan mengandung informasi
dan data mengenai dimana suatu informasi dapat ditemukan terkait aktivitasdan riset
yang dilaksanakan di Laut Arafura dan Laut Timor atau riset dan aktivitas yang relevan
dengan kawasan laut tersebut sebagaimana pula pemilik dari informasi tersebut326.
Akses ke database ATSEF dapat dilakukan oleh setiap anggota forum, pemangku
kepentingan yang terkait, dan peneliti yang meneliti hal yang sejalan dengan misi dan
tujuan dari ATSEF327. koordinator data juga akan merekam tingkat sensitivitas data
sebagaimana diinstruksikan oleh pemilik atau pemegang informasi atau data tersebut,
begitu pula setiap prasyarat untuk penggunaannya dan penyebarannya terkait semua data
dan informasi yang terdapat pada database ATSEF.
Dalam rangka mencapai kelima titik fokus tersebut, dilakukanlah analisa
diagnosa lintas-batas (TDA). Melalui kegiatan TDA, telah diidentifikasi apa saja yang
menjadi masalah lingkungan utama di Laut Arafura dan Timor. Masalah-masalah
tersebut disebut Priority Environmental Concern dan terdiri atas328:
1. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta degradasi dan hilangnya
sumber daya hayati dan sumberdaya kelautan
2. Menurunnya dan hilangnya keanekaragaman hayati dan spesies laut yang penting.
3. Modifikasi, degradasi, dan hilangnya habitat pantai dan laut
4. Polusi yang berasal dari laut dan daratan
5. Dampak dari perubahan iklim
326 Ibid, Data Coordinator 327 Ibid, Access to the ATSEF Data Base
328 Tony Wagey, Arafura and Timor Seas, (Dipresentasikan pada pertemuan CTI-RBF, Kuala Lumpur, 10 Oktober 2011)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
113
Universitas Indonesia
Setelah selesai, TDA akan menjadi dasar pengembangan dan kerangka kerja regional
berupa Strategic Action Plan (SAP), yang akan menjadi pedoman dalam pembentukan
National Action Plan (NAP).
Untuk lebih jelas membandingkan kerangka pengaturan di Laut Mediterania, Laut
Karibia, Laut Kuning, Laut Hitam, dan Laut Arafura dan Laut Timor dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Kerangka Hukum
Convention for The Protection of the Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranean (Barcelona Convention)
Convention for the Protection and Development of the Marine Environment of the Wider Carribean Region (Cartagena Convention)
Terdapat program YSLME-GEF, tetapi Belum ada kesepakatan kerangka kerjasama dalam bentuk formal antar negara-negara yang berbatasan329
Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution (Bucharest Convention)
Arafura and Timor Sea Expert Forum Memorandum Of Understanding Dan Arafura and Timor Sea Ecosystem Action
Negara yang Terlibat
Albania, Algeria, Bosnia and Herzegovina, Croatia, Cyprus, Egypt, European Community, France, Greece, Israel, Italy, Lebanon, Libya, Malta, Monaco, Morocco, Serbia and Montenegro, Slovenia, Spain, Syria, Tunisia, and Turkey.
Antigua & Barbuda, Bahamas, Barbados, Belize, Colombia, Costa Rica, Cuba, Dominica, Dominican Republic, Grenada, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, Jamaica, Mexico, Netherlands Antilles, Nicaragua, Panama, St Kitts & Nevis, Saint Lucia, St.
Republik Rakyat Cina, Republik Korea(Korea Selatan), Republik Demokrasi Rakyat Korea (DPRK/ Korea Utara)
Bulgaria, Georgia, Romania, Russia, Turki dan Ukraina
Republik Indonesia, Timor Leste, Australia, dan Papua Nugini
329 "YSLME Project Brief", http://www.yslme.org/pub/pdf/yslme%20Project%20Brief.pdf,
diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
114
Universitas Indonesia
Vincent & the renadines, Suriname, Trinidad & Tobago, United States of America, Venezuela, European Commission, United Kingdom, and France (29 states and territories plus the EU)
Ruang Lingkup
Pasal 1 (1-2) menyatakan Area laut mediterania berarti perairan Mediterania, termasuk teluk, dan laut, dibatasi di barat oleh garis tengah dari mercusuar Semenanjung Spartel, di gerbang masuk Selat Gibraltar dan di batasi di timur dengan batas selatan dari selat dardanelles antara mercusuar di Mehmetcik, dan Kumkale dan tidak termasuk perairan pedalaman dari negara anggota, kecuali dinyatakan sedemikian di protokol
Pasal 2 menyatakan Bahwa yang termasuk ruang lingkup konvensi adalah lingkungan perairan dari Teluk Meksiko, Laut Karibia, dan bagian dari Samudra Atlantik yang sejajar dengannya Sebelah selatan dari 30 derajat bujur utaram dan di dalam 200 mil laut dari Samudera Atlantik yang berbatasan dengan negara anggota. Pasal 1 (2) mengecualikan perairan pedalaman dari negara anggota dari ruang lingkup konvensi, kecuali jika dinyatakan di protokol.
Belum ada instrumen hukum yang memberi definisi atas apa yang dimaksud dengan lautan yang bernama "Laut Kuning", tetapi secara geografis Laut Kuning adalah laut semi tertutup yang dibatasi Cina daratan di barat, Semenanjung Korea di timur, dan garis dari pesisir utara dari mulut sungai Yangtze di sebelah
Pasal 1 (1-2) menyatakan ruang lingkup konvensi ini adalah Laut Hitam, dengan batas selatan yaitu garis yang menggabungkan semenanjung Kelagra dan Daylan, Laut teritorial dan ZEE dari negara anggota termasuk dalam ruang lingkup konvensi, kecuali jika dinyatakan sebaliknya pada protokol
Tidak terdapat definisi "Laut Arafura dan Laut Timor (mulai saat ini disebut ATS) di ATSEF MoU dan ATSEA tetapi secara geografis yang dimaksud dengan ATS adalah bagian dari lempeng benua sahul, dan meliputi area sebesar 650.000 kilometer persegi, dan dibatasi di utara oleh pantai timur papua, di barat dan barat daya dibatasi laut Banda dan Laut Timor, dan di selatan dan tenggara di batasi Teluk Carpentaria dan Selat Torres330
330 Budi Resosudarmo, "Illegal Fishing in Arafura Sea",
http://gdnet09.pbworks.com/f/Budy+Resosudarmo_Paper_B.5.pdf, diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
115
Universitas Indonesia
selatan pulau Cheju.
Ketentuan Umum
Pasal 3 (1) menyatakan negara anggota berhak mengikatkan diri pada perjanjian bilateral dan multilateral termasuk regional dan subregional dalam rangka perlindungan lingkungan Laut Mediterania selama perjanjian tersebut sejalan dengan konvensi. Pasal 3 (2) menyatakan ketentuan Konvensi tidak bertentangan dengan Hukum laut sebagaimana diatur PBB, serta tidak menghalangi klaim di masa depan dan pandangan hukum atas sifat dan kewenangan negara pantai dan negara bendera.
Pasal 3 (1-2) menyatakan negara anggota didorong untuk membuat perjanjian bilateral dan multilateral, termasuk regional dan subregional untuk perlindungan area konvensi. perjanjian tersebut akan diberikan ke organisasi dan akan disebarkan ke negara anggota lain. konvensi dan protokol tidak menghalangi kewajiban dari negara anggota atas kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya. Pasal 3 (3) menyatakan konvensi tidak bertentangan dengan klaim saat ini atau di masa depan atau pandangan hukum negara anggota terkait bentuk dan sifat dari yurisdiksi maritimnya
Tidak terdapat ketentuan umum, tetapi salah satu tujuan dari proyek YSLME/GEF adalah menyiapkan TDA, SAP, dan NAP.331
Pasal 3 menyatakan para pihak dari konvensi ambil bagian atas dasar kesamaan hak dan kewajiban, dengan penghormatan terhadap kedaulatan nasional dan kemerdekaan, non-intervensi dalam masalah internal para pihak, saling menguntungkan, dan prinsip dan norma relevan lain dari hukum internasional
Pembukaan ATSEF MoU menyatakan bahwa ATSEF adalah forum yang tidak mengikat dan bertujuan untuk memupuk kerjasama antar negara dan NGO di Australia, Indonesia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Sifatnya terbuka bagi seluruh negara pantai dan organisasi internasional yang hendak berpartisipasi mendukung dicapainya tujuan dari forum ini
Sovereign Immunity
Tidak ada ketentuan mengenai Sovereign
Tidak ada ketentuan mengenai sovereign
Tidak ada ketentuan mengenai Sovereign
Pasal 4 menyatakan Konvensi tidak berlaku bagi
Tidak ada ketentuan mengenai sovereign
331 "UNDP/GEF Yellow Sea LME Project", http://www.yslme.org/introduction.htm, diunduh 13
April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
116
Universitas Indonesia
immunity dalam Konvensi. Sovereign immunity sendiri telah dijamin di UNCLOS
Immunity dalam konvensi, Sovereign immunity sendiri telah dijamin di UNCLOS
Immunity, Sovereign immunity sendiri telah dijamin di UNCLOS
kapal perang, kapal negara, atau pesawat yang dimiliki pemerintah atau digunakan pemerintah untuk tujuan non komersial, tetapi tiap negara anggota wajib mengambil langkah selama tidak menghalangi operasional kapal tersebut agar kapal dan pesawat tersebut beroperasi sejalan dengan ketentuan konvensi Ketentuan ini akan memberikan kewajiban bagi negara anggota agar pelaksanaan kekebalan dari kapal milik negara (state's vessel/aircraft) harus sejalan dengan konvensi. Hal ini terutama berpengaruh bagi Rusia, karena terdapat markas besar AL Rusia Armada Laut Hitam di Sevastopol332.
immunity, Sovereign immunity sendiri telah dijamin di UNCLOS
Kewajiban Pasal 4 (1-3) Pasal 4 (1-2) Untuk Pasal 5 (1-2) ATSEF adalah
332 "Russia Sends Black Sea Fleet Ships to Mediterranean"
http://en.rian.ru/russia/20111204/169315994.html, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
117
Universitas Indonesia
Umum (General Obligation / Undertakings)
menyatakan Negara anggota akan melaksanakan langkah-langkah, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melindungi lingkungan Laut Mediterania sesuai dengan protokol dan konvensi, negara anggota juga akan bekerjasama dalam merumuskan dan mengadopsi protokol, standar prosedur, dan langkah-langkah lain yang disetujui bersama. Negara angota juga diharuskan memperjuangkan perlindungan Laut Mediterania di organisasi internasional terkait dari segala bentuk polusi
menyatakan negara anggota akan melaksanakan langkah-langkah baik sendiri maupun bersama sesuai hukum internasional dan kewajiban dari konvensi dan protokol untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di area konvensi menggunakan langkah terbaik yang mampu dilakukan, langkah tersebut dilarang menyebabkan polusi ke wilayah lain. Pasal 3 (3-4) menyatakan negara anggota akan bekerjasama untuk membentuk dan mengadopsi protokol atau kesepakatan lain untuk memastikan implementasi efektif dari konvensi ini. Selain itu negara angggota juga harus mengharmonisasi kebijakan mereka agar sejalan dan mendukung
Melindungi, dan melestarikan dan mengelola Laut Kuning Melalui pemanfaatan yang berkelanjutan dari perairannya dengan mengurangi tekanan akibat pembangunan dan mendorong eksploitasi sumberdaya yang berkesinambungan333
menyatakan negara anggota harus memastikan pelaksanaan konvensi di area di dalam yurisdiksinya, dan menyadari efek dari polusi di perairan pedalaman mereka kepada lingkungan Laut hitam. negara anggota juga harus secara mandiri maupun bersama-sama mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di laut hitam dan melindungi lingkungannya. Pasal 5 (3-4) menyatakan bahwa negara anggota akan bekerjasama untuk membentuk protokol tambahan, dan anex baru sebagaimana dibutuhkan, serta apabila mengikuti perjanjuan bilateral atau multilateral dalam rangka perlindungan Laut Hitam, harus mengusahakan agar perjanjian tersebut
mekanisme informal untuk pertukaran informasi antara negara-negara pantai yang mengelilingi Laut Arafura dan Laut Timor. Manajemen data dan penyebaran informasi, koordinasi manajemen data dan pembagian informasi diantara negara pantai dan peserta ATSEF amatlah penting karena ATSEF untuk dapat mencapai tujuan dan untuk mencegah duplikasi dan penggunaan sumber daya penelitian yang sia-sia, dan untuk mengidentifikasi jeda di pengertian para anggota atas lautan dan biota maritim dan ekosistem pantai. Sekertariat nasional akan memfasilitasi pengumpulan data dan penyebaran informasi antar anggota dan organisasi relevan lainnya
333 http://www.yslme.org/intro/mission.htm
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
118
Universitas Indonesia
pelaksanaan dari konvensi. Pasal 3 (5) menyatakan negara anggota harus bekerjasama dengan organisasi internasional, regional, dan subregional dalam rangka menlaksanakan konvensi ini, untuk itu negara anggota juga harus saling mendukung satu sama lain dalam menjalankan kewajibannya
sejalan dengan konvensi, serta memberikan salinan perjanjian tersebut ke komisi untuk disebarkan ke anggota lainnya Pasal 5 (5) menyatakan negara anggota akan bekerjasama mempromosikan pengembangan langkah perlindungan Laut Hitam di organisasi internasional yang mereka rasa memiliki kompetensi di bidang itu.
Tujuan Mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi dari berbagai sumber.
Mencegah, megnurangi, dan mengontrol polusi dari berbagai sumber
Untuk melaksanakan manajemen berbasis ekosistem untuk mengurangi tekanan lingkungan karena pembangunan dan memulai pemulihan kembali dan melestarikan lingkungan Laut Kuning334
Mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi dari berbagai sumber.
Tujuan dari forum ini adalah untuk membantu mencapai tujuan pembangunan yang berkesinambungan dan pengentassan kemiskinan di negara-negara pantai dan masyarakat adat yang bergantung pada ATS untuk penghidupannya.
Kewajiban Pokok Negara Anggota
Pasal 5 menyatakan kewajiban
Pasal 5 menyatakan kewajiban
Tidak ada ketentuan
Pasal 6 menyatakan kewajiban
Tidak dinyatakan dengan ekplisit, tetapi terdapat 5
334 "UNDP/GEF Yellow Sea LME Project", http://www.yslme.org/introduction.htm, diunduh pada
13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
119
Universitas Indonesia
negara anggota untuk melakukan segala langkah yang ada untuk mencegah dan mengurangi polusi karena dumping oleh kapal dan pesawat Pasal 6 menyatakan kewajiban negara anggota untuk mengambil segala langkah yang sejalan dengan hukum internasional untuk mencegah dan mengurangi serta memerangi polusi dari buangan kapal dan memastikan dipenuhinya peraturan yang diakui secara internasional terkait masalah ini, Pasal 7 menyatakan kewajiban negara untuk mencegah, mengurangi, dan memerangi polusi dari eksplorasi dan eksploitasi dari landas kontinen, dasar laut, dan subsoil Pasal 8 menyatakan kewajiban negara untuk mengambil
negara untuk mengambil segala langkah yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi akibat buangan kapal dan memastikan dipenuhinya standar yang dibentuk organisasi internasional yang kompeten. Pasal 6 menyatakan kewajiban negara untuk mengambil segala langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di area konvensi akibat dumping dari kapal, pesawat, atau bangunan buatan, dan memastikan dijalankannya aturan internasional dan standard Pasal 7 menyatakan kewajiban negara mengambil segala langkah yang sesuai untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di area konvensi yang berasal dari pembuangan di pantai, atau
negara untuk mencegah polusi dari bahan berbahaya yang disebutkan di annex konvensi Pasal 7 menyatakan kewajiban negara mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi dari sumber daratan, sejalan dengan protokol terkait polusi dari sumber daratan yang menjadi bagian integral dari konvensi ini. Pasal 8 Menyatakan kewajiban negara anggota untuk secara mandiri atau bersama mengambil langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi yang diakibatkan kapal sesuai dengan aturan yang diterima internasional serta standar. Pasal 9 menyatakan negara anggota harus
foci dimana forum ATSEF akan memfokuskan risetnya yaitu :
1. Mencegah,
mengentarkan, dan menghapus penangkapan ikan yang ilegal, tidak terlapor, dan tidak teratur di ATS
2. Melestarikan stok ikan, habitat laut dan pantai dan keanekaragaman hayati laut.
3. Mendapatkan pengertian atas sistem maritim, pantai,dan daerah resapan serta dinamika laut.
4. Membantu penghidupan yang berkesinambungan, atau penghidupan alternatif bagi masyarakat pantai, masyarakat tradisional, dan masyarakat adat.
5. Meningkatkan kapasitas data informasi, manajemen, serta pertukaran antara negara-negara pantai yang berbatasan dengan laut tersebut
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
120
Universitas Indonesia
segala langkah untuk mencegah, mengurangi, dan memerangi polusi yang berasal dari aliran sungai, bangunan pantai, atau longsoran dan sumber polusi dari daratan lainnya. Pasal 9 (1-2) menyatakan kewajiban bekerjasama dalam mengambil langkah mengatasi polusi akibat kedaruratan, apapun penyebabnya, dan mengurangi atau menghilangkan kerusakan yang ditimbulkan itu. tiap negara yang mengetahui kondisi demikian harus segera melaporkan ke organisasi dan memberi tahu negara yang akan terkena dampaknya.
yang terbawa aliran sungai, dari bangunan pinggir pantai, bangunan yang menjorok ke laut, dan sumber lain dari wilayah mereka. Pasal 8 menyatakan kewajiban negara mengambil seluruh langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di area konvensi akibat dari ekplorasi dan eksploitasi dsar laut dan subsoil, baik langsung maupun tidak langsung. Pasal 9 menyatakan kewajiban negara mengambil segala langkah untuk mencegah, mengurangim dan mengontrol polusi di area konvensi yang ditimbulkan dari polusi di udara dari aktivitas dibawah yurisdiksi mereka. Pasal 11 (1-2) menyatakan kewajiban negara anggota untuk
bekerjasama untuk mencegah, mengurangi, dan memerangi polusi dari keadaan darurat sesuai dengan protokol tentang kerjasama dalam memerangi polusi di laut hitam oleh minyak dan bahan berbahaya lainnya dalam keadaan darurat, yang menjadi bagian integral dari konvensi ini. Pasal 10 (1-2) menyatakan kewajiban negara untuk mengambil segla langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi karena dumping, sesuai dengan protokol perlindungan laut hitam dari polusi akibat dumping yang menjadi bagian integral dari konvensi ini. Selain itu negara anggota dilarang mengijinkan negara atau entitas hukum
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
121
Universitas Indonesia
bekerjasama mengambil segala langkah yang diperlukan untuk menghadapi kedaruratan polusi di area konvensi dari sumber apapun, dan mengontrol, mengurangi, atau menghilangkan ancaman polusi karenanya. untuk itu nedara anggota harus secara mandiri dan bersama membentuk rencana penanganan untuk menghadapi kecelakaan yang menimbulkan polusi di wilayah konvensi. Negara juga diwajibkan untuk memberitahu negara yang akan terkena dampaknya, dan organisasi internasional terkait apabila suatu negara mengetahui adanya ancaman polusi tersebut.
non-Laut Hitam untuk melakukan dumping di dalam yurisdiksinya Pasal 11 menyatakan tiap negara secepat mungkin menngadopsi hukum dan mengambil langkah untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi di Laut Hitam karena aktivitas di landas kontinen, dan memberitahu komisi atas peraturan tersebut. negara juga harus berusaha mengharmonisasikan langkah yang diambil terkait pencegahan tersebut. Pasal 12 menyatakan kewajiban negara mengadopsi hukum dan regulasi da mengambil langkah mandiri atau langkah yang disetujui bersama untuk mencegah, mengurangi, dan mengontrol polusi ke
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
122
Universitas Indonesia
lingkungan Laut Hitam dari udara, berlaku di ruang udara diatas wilayah mereka, dan atas kapal yang berbendera mereka, serta pesawat yang terdaftar pada wilayahnya. Pasal 13 menyatakan negara anggota dalam mengambil langkah menghadapi polusi, harus memperhatikan agar tidak menimbulkan kerusakan bagi kehidupan laut dan sumber daya hayati, terutama degnan merubah habitat, dan menciptakan halangan bagi penggunaan Laut Hitam yang sah, dalam mencapai tujuan ini negara harus memperhatikan rekomendasi organisasi internasional yang kompeten di bidang tersebut Pasal 14 menyatakan negara anggota harus
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
123
Universitas Indonesia
mengambil segala langkah sesuai hukum internasional dan bekerjasama mencegah polusi di laut hitam akibat perpindahan limbah berbahaya lintas batas, serta memerangi perpindahan ilegal tersebut sesuai protokol yang diadopsi oleh negara tersebut.
Ketentuan Zona Perlindungan Khusus
Tidak ada di dalam Konvensi tapi terdapat Protocol Concerning Specially Protected Areas and Biological Diversity in Mediterranean
Pasal 10 menyatakan negara anggota untuk secaa mandiri atau bersama-sama mengambil segala langkah yang sesuai untuk melindungi ekosistem yang unik dan rapuh dengan membentuk protected area. Pembentukan area ini tidak boleh mempengaruhi hak dari negara anggota lain dan negara ketiga.
Penangkapan ikan dilarang pada bulan juli dan agustus di Bohai, Lut Kuning, dan Laut Cina Selatan. Sejak tahun 1998 telah diberlakukan pelarangan total atas penangkapan dengan pukat di Laut Bohai yang bertujuan untuk melestarikan stok ikan di Laut Kuning335.
Tidak terdapat ketentuan mengenai zona perlindungan khusus di konvensi.
Tidak terdapat ketentuan mengenai zona perlindungan khusus.
Pengawasan Pasal 10 (1-3) menyatakan negara anggota
Pasal 12 (1-3) Menyatakan kewajiban
Tidak terdapat mekanisme
Pasal 15 (4) menyatakan negara anggota
Tidak terdapat mekanisme pengawasan
335"Yellow Sea Overview", http://www.emecs.or.jp/guidebook/eng/pdf/19yellow.pdf, diunduh 13
April 2012.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
124
Universitas Indonesia
akan melaksanakan pengawasan bersama dengan lembaga internasional. Negara juga akan menunjuk badan yang berwenang untuk melakukan pengawasasn di wilayah dalam yurisdiksinya. Negara angota juga diharapkan bekerjasama untuk membentuk annex yang diperlukan untuk membuat prosedur dan standar untuk pengawasan polusi Pasal 21 menyatakan negara anggota harus bekerjasama membentuk prosedur untuk mengontrol aplikasi dari konvensi dan protokol ini.
negara untuk membuat panduan, untuk meminimalkan kerusakan akibat pembangunan di wilayah konvensi, setiap negara juga harus melakukan analisa dampak lingkungan dalam melaksanakan pembangunan, dan mengundang negara lain yang mungkin terpengaruh. Pasal 13 (2) menyatakan negara anggota untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan riset dan rpogram pengawasan mereka terkait wilayah konvensi bersama dengan organisasi regional dan internasional terkait.
pengawasan
melalui komisi dan bekerjasama dengan organisasi internasional yang kompeten, melakukan pengawasan bersama yang mencakup semua sumber polusi dan membuat sistem pengawasan polusi di tingkat bilateral dan multilateral serta melaksanakan analisa dampak polusi atas lingkungan
Kerjasama IPTEK dan pertukaran teknologi
Pasal 11 (1-3) menyatakan negara anggota untuk bekerjasama secara langsung atau melalui organisasi regional dan internasional dalam bidang pertukaran data, mengembangkan dan mengkoordinasi
Pasal 13 (1-3) menyatakan negaraanggota untuk bekerjasama langsung atau melalui organisasi regional di bidang riset ilmu pengetahuan, pengawasan, dan pertukaran data, dan
Pembagian informasi dan pertukaran dta dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti Regional Technical Meeting, Project Procedure,
Pasal 15 (1-3) Negara anggota akan bekerjasama dalam melaksanakan iset ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan Laut Hitam,
Pertukaran informasi dan data serta riset bersama telah menjadi fokus dari ATSEF. Untuk mencegah duplikasi riset dan menjamin kelengkapan database, akan dipekerjakan suatu koordinator data untuk memfasilitasi
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
125
Universitas Indonesia
kan program riset nasional terkait semua sumber polusi dan bekerjasama menjalankan program riset regional dan internasional. Negara anggota juga harus memberikan rpioritas bagi negara mediterania yang masih berkembang.
informasi lain. Negara anggota harus mengembangkan dan mengkoordinasikan riset dan pengawasan mereka dan memastikan adanya ikatan antara pusat riset dan institut dalam menghasilkan hasil yang sesuai, serta berpartisipasi di pengaturan internasional terkait riset dan pengawasan polusi. Dalam rangka melaksanakan manajemen lingkungan yang bertanggung jawab tersebut, negara anggota harus memperhatikan kebutuhan khusus pulau kecil yang masih berkembang.
Expert Technical Workshop, Cooperative Cruise, Public Awareness and Communicatons Strategy, Regional Working Group Meeting, . ian asi dan rtukaran dta ukan alui kegiatan-kegiatan an seperti i Regional al cal ing, Projec 336
dan jika perlu, membuat program bersama dan pertukaran data. Negara anggota juga akan bekerjasama untuk melakukan penelitian untuk menemukan cara untuk menilai lingkungan dan tingkat polusi serta pengaruhnya, negara anggota juga berusaha menemukan cara alternatif untuk mengolah bahan berbahaya. Pasal 15 (6-7) menyatakan negara anggota akan bekerjasama dalam mengembangkan dan memperoleh teknologi yang murah dan rendah polusi. Tiap negara juga akan menunjuk badan nasional yang berwenang atas pengawasan dan aktivitas riset,
pembentukan dan pengelolaan database ATSEF, dan situs internet terkait. Database ATSEF akan mengandung informasi dan data mengenai dimana suatu informasi dapat ditemukan terkait aktivitasdan riset yang dilaksanakan di ATS atau riset dan aktivitas yang relevan dengan laut tersebut sebagaimana pula pemiliknya. Akses ke database ATSEF dapat dilakukan oleh setiap anggota forum, stakeholder bonafide, dan peneliti yang meneliti hal yang sejalan dengan misi dan tujuan dari ATSEF. Koordinator data juga akan merekam tingkat sensitivitas data sebagaimana diinstruksikan oleh pemilik atau pemegang informasi atau data tersebut, begitu pula setiap prasyarat untuk penggunaannya dan penyebarannya terkait semua data dan informasi yang terdapat pada database ATSEF
336 "Meeting List", http://www.yslme.org/document.htm, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
126
Universitas Indonesia
Fungsi Sekertariat
Pasal 13 Negara anggota menunjuk UNEPuntuk menjalankan fungsi kesekertariatan
Pasal 15 Negara anggota menunjuk UNEP untuk menjalankan fungsi kesekertariatan
YSLME/GEF Project Manajement Office, PMO berperan untuk memberi koordinasi dan struktur manajemen untuk pengembangan dan implementasi dari proyek YSLME sesuai prosedur UNDP/GEF berdasarkan arahan dari steering commitee dari proyek. PMO juga bertanggung jawab atas memfasilitasi integrasi regional 337
Pasal 17 Dalam rangka mencapai tujuan konvensi ini, negara anggota mendirikan Commission on the Protection of the Black Sea Against Pollution, dan mulai saat ini disebut "komisi"
Tiap negara diharapkan memiliki National Secretariat, yang bertanggung jawab kepada ATSEF Steering Committee. ATSEF Steering Commitee terdiri atas wakil dari badan dari negara yang berpartisipasi, lembaga riset, NGO dan organisasi msyarakat pantai dan masyarakat adat
Depository Pasal 29 menyatakan negara yang menjadi tempat deposit instrumen terkait adalah Pemerintah Spanyol
Pasal 30 menyatakan negara yang menjadi tempat deposit dari instrumen-instrumen Konvensi dan Protokol adalah pemerintah Republik Kolombia.
Tidak ada Ketentuan
Pasal 28 (4) menyatakan bahwa negara yang menjadi tempat deposit instrumen-instrumen hukum terkait adalah pemerintah Romania.
ATSEF MoU tidak memiliki ketentuan mengenai tempat deposit instrumen hukum terkait, layaknya Perjanjian internasional lain, tiap negara akan menyimpan instrumen hukum dari perjanjian dimana mereka
337 "Project Management Office", http://www.yslme.org/pmo2010.htm, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
127
Universitas Indonesia
menjadi anggota sendiri, melaui mekanisme internal mereka.
Tanggung jawab dan ganti rugi
Pasal 12 menyatakan negara anggota untuk bekerjasama dalam menentukan dan mengadopsi prosedur untuk penentuan kesalahan dan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan dari polusi yang terjadi karena pelangaran konvensi dan protokol
Pasal 14 menyatakan negara anggota akan bekerjasama untuk mengadopsi aturan dan prosedur yang sesuai dalam penentuan kesalahan dan ganti rugi akibat polusi di area konvensi.
Tidak terdapat ketentuan mengenai tanggung jawab atas kerugian dan ganti rugi
Pasal 16 (1-4) menyatakan tiap negara anggota bertanggung jawab atas pemenuhan kewajibanya terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan Laut Hitam, tiap negara anggota akan mengadopsi aturan dan regulasi untuk penentuankesalahan akibat kerugian yang timbul oleh pribadi kodrati dan entitas hukum di lingkungan Laut Hitam dimana negara tersebut menjalankan yurisdiksinya, ganti rugi tersebut haruslah cepat dan sesuai (prompt and adequate), dan negara anggota diharuskan mengharmonisasikan peraturan mereka terkait kerugian dan ganti rugi, penilaiannya, dan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan oleh polusi di
Tidak terdapat ketentuan mengenai tanggung jawab atas kerugian dan ganti rugi
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
128
Universitas Indonesia
Laut Hitam, untuk memastikan perlindungan atas Laut Hitam yang sebesar-besarnya.
Mekanisme penyelesaian Sengketa
Pasal 22 (1-3) Jika ada sengketa mengenai interpretasi atau aplikasi konvensi atau protokol, harus dicari penyelesaian melalui negosiasi atau cara damai lainnya, apabila tidak berhasil maka sengketa tersebut akan diselesaikan melalui kesepakatan bersama untuk diajukan ke arbitrase sesuai Annex A dari konvensi ini. Negara dapat menyatakan tunduk atas yurisdiksi arbitrase secara ipso facto, tanpa kesepakatan khusus.
Pasal 23 (1-3) Jika terjadi sengketa antar anggota terkait interpretasi atau aplikasi dari konvensi atau protokol, mereka akan mengusahakan penyelesaian melalui negosiasi atau cara damai lainnya, apabila tidak berhasil maka dengan persetujuan bersama sengketa ini dapat diajukan ke arbitrase sebagaimana dinyatakan di Annex mengenai arbitrase. Suatu negara anggota dapat megnakui yurisdiksi arbitrase secara ipso facto tanpa perlu kesepakatan khusus.
Sebagai proyek yang belum memiliki kerangka formal, dalam YSLME/GEF Project tidak terdapat mekanisme penyelesaian sengketa
Article 25 Jika terjadi sengketa antar anggota, terkait interpretasi dan implementasi dari konvensi, maka negara tersebut akan berusaha menyelesaikan melalui negosiasi dan metode damai lain yang mereka pilih. Pasal 18 (3) Slah satu fungsi komisi adalah untuk menjawab pertanyaan terkait implementasidari konvensi dan merekomendasikan amandemen pada konvensi, protokol, dan annexnya.
Sebagai forum pertukaran informasi yang bersifat non-binding, di dalam MoU tidak terdapat mekanisme penyelesaian sengketa.
Annex dari Konvensi
Annex A, mengenai arbitrase. Pasal 17 (1-5) menyatakan hubungan antara Annex dari Konvensi atau Protokol sebagai satu kesatuan terhadap
Terdapat 1 Annex dari Konvensi, mengenai Arbitrase. Pasal 19 (1-2) menyatakan Annex dari Konvensi atau Protokol merupakan satu kesatuan
Tidak terdapat ketentuan
Terdapat 3 Annex Annex I mengatur mengenai bahan dan zat berbahaya (Hazardous substance) Annex II mengatur
Tidak terdapat Annex dari MoU.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
129
Universitas Indonesia
Konvensi, atau Protokol tersebut. Amandemen dari Annex mengenai arbitrase (yang merupakan Anex dari Konvensi) diperlakukan sama dengan amandemen terhadap Konvensi.
terhadap Konvensi atau Protokol tersebut. Amandemen atas annex memiliki mekanisme terpisah yang dinyatakandi pasal 19 (2) Amandemen dari Annex Konvensi dan Protokol diperlakukan sama, tidak seperti Barcelona Convention
mengenai bahan beracun (Noxious substance) Annex III mengatur mengenai pembuangan dan pengolahan dari zat-zat berbahayasebagaimana dinyatakan di Annex I dan II. Pasal 21 (1-3) menyatakan bahwa Annex dari Konvensi atau suatu Protokol merupakan satu kesatuan terhadap Konvensi atau Protokol tersebut Mekanisme amandemen dilakukan dnengan pemberitahuan dari negara terhadap Komisi, dimana komisi akan menyetujui melalui kebulatan suara., dan akan memberi tahu negara deposit atas perubahan dari Annex tersebut
Hubungan antara Protokol dengan Konvensi
Pasal 23 (1) Setiap anggota konvensi harus menjadi anggota dari minimal 1 protokol, dan
Pasal 24 (1) Tidak ada negara atau organisasi integrasi ekonomi dapat menjadi
Tidak ada protokol dan konvensi
Pasal 7 Protokol on the protection of the Black Sea Marine Environment from Land
Tidak ada protokol dan konvensi
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
130
Universitas Indonesia
tidak bisa suatu negara menjadi anggota protokol tanpa menjadi anggota konvensi
anggota konvensi tanpa menjadi setidaknya anggota dari 1 protokol, dan untuk dapat menjadi anggota rpotokol harus menjadi anggota konvensi
Based Source adalah bagian integral dari konvensi Pasal 9 Protocol on Cooperation in Combating Polution of the Black Sea by Oiland Other Hrmful Substance in Emergency adalah bagian integral dari konvensi. Pasal 10 Protocol on the Protection of the Black Sea Marine Environment Against Pollution by Dumping adalah bagian integral dari konvensi Tetapi tidak terdapat ketentuan bagaimanakah status hubungan antara protokol dan konvensi dari protokol baru yang akan mungkin akan diadopsi di masa depan
Adopsi Protokol Baru
Pasal 15 (1) Negara anggota di konferensi diplomatik dapat mengadopsi protokol baru
Pasal 17 (1) Negara anggota dalam konferensi tingkat tinggi dapat mengadopsi protokol baru untuk konvensi ini
Tidak ada ketentuan mengenai hal ini
Pasal 26 (1) Atas permohonan negara anggota atau rekomendasi komisi, dalam konferensi diplomatik negara anggota dapat diadopsi
Tidak ada ketenuan mengenai pembentukan protokol.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
131
Universitas Indonesia
protokol baru dengan persetujuan seluruh anggota
Pertemuan Negara Anggota
Pasal 14 (1-2) Negara anggota akan mengadakan pertemuan biasa tiap 2 tahun, dan pertemuan luar biasa tiap dirasa perlu, fungsi pertemuan ini adalah untuk mengevaluai implementasi konvensi dan protokol.
Pasal 16 (1-2) Negara anggota mengadakan pertemuan biasa seriap 2 tahun dan pertemuan luar biasa setiap dirasa perlu, fungsi pertemuan adalah untuk mengevaluasi implementasi dari konvensi dan protokol
Pasal 19 (1-3) Negara anggota akan bertemu sesuai dengan rekomendasi dari komisi, mereka juga dapat bertemu 10 hari setelah permohonan dari 1 negara angota dalam kondisi spesial. Fungsi utama pertemuan adalah untuk mengevaluasi implementasi konvensi dan protokol berdasarkan laporan dari dilakukan lui kegiatan-Hitam dapat berpartisipasi dengan kapasitas sebagai penasihat
ATSEF Forum bertemu setahun sekali, Forum terbuka bagi tiap organisasi yang memiliki kepentingan langsung dengan ATS dan mau menundukan diri pada ketentuan MoU. Pertemuan Forum menjadi ajang pembagian hasil riset, data, dan informasi, evaluasi riset dan aplikasinya, evaluasi arah riset dan proprosalnya, identifikasi dari kerjasama potensial dan evaluasi dari hasil kegiatan yang dijalankan ATSEF
Hubungan antara Konvensi dengan Instrumen Internasional Lain
Tidak ada ketentuan mengenai hal ini
Tidak ada ketentuan mengenai hal ini
Tidak ada ketentuan mengenai hal ini
Pasal 24 Konvensi ini tidak mempengaruhi kedaulatan negara dengan cara apapun atas laut teritorialnya, yang dibentuk sesuai hukum internasional dan hak berdaulat dan yurisdiksi yang negara miliki atas
Dikarenakan Laut Arafura dan Laut Timor merupakan laut semi tertutup sebagaimana dinyatakan di pasal 122 UNCLOS, ATSEF MoU bertujuan untuk menjalankan amanat dari pasal 123 UNCLOS terkait kerjasama negara-negara yang berbatasan dengan laut
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
132
Universitas Indonesia
ZEE dan landas kontinennya sesuai hukum internasional, dan penggunaan hak kebebasan navigasi oleh kapal dan pesawat, sebagaimana dinyatakan oleh hukum internasional dalam instrumen hukum internasional yang relevan
tertutup atau laut semi tertutup338
Amandemen atas Konvensi dan Protokol
Pasal 16 (1-5) menyatakan tiap negara anggota dapat mengusulkan amandemen bagi konvensi atau protokol melalui konferensi yang diminta setujui oleh dua pertiga anggota, dan diadopsi dengan persetujuan tiga per empat suara mayoritas dari negara anggota.
Pasal 18 (1-6) menyatakan Amandemen bagi konvensi dan protokol dapat diusulkan tiap negara anggota dan akan dibahas melalui konvensi tingkat tinggi atas permintaan mayoritas aggota, dan diadopsi melalui persetujuan tiga per empat suara mayoritas dari negara anggota
Tidak ada Konvensi atau Protokol
Pasal 20 (1-5) menyatakan tiap negara dapat mengajukan amandemen atas konvensi atau Protokol, dan usul amandemen tersebut akan disebarkan oleh komisi. amandemen akan diterima melalui konsensus seluruh negara anggota 90 hari setelah infrormasi atas usul dari amandemen tersebut disebarkan.
Tidak ada Konvensi atau Protokol, serta ketentuan ekplisit mengenai perubahan MoU. Normalnya apabila hendak dilakukan perubahan terhadap suatu perjanjian internasional, negara anggota dapat mengajukan MoU baru layaknya perjanjian multilateral pada umumnya.
Pengunduran Diri dari Konvensi
Pasal 28 (1-5) menyatakan 3 tahun sejak berlakunya Konvensi dan Protokol, negara dapat mundur dengan
Pasal 29 (1-5) meyatakan tiap anggota dapat menyatakan pengunduran diri dari Konvensi atau Protokol setelah
Tidak ada ketentuan
Pasal 30 menyatakan setelah melewati 5 tahun berlakunya Konvensi, tiap negara anggota
Sebagaimana pada perjanjian internasional pada umumnya, para pihak dapat mundur dari MoU secara sepihak. Tidak terdapat
338 Arafura and Timor Sea Expert Forum Memorandum of Understanding, Preamble
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
133
Universitas Indonesia
memberikan pemberitahuan tertulis atas pengunduran diri tersebut kepada negara deposit., Pengunduran tersebut berlaku 90 hari setelah pemberitahuan tersebut diterima. Pengunduran diri dari Protokol yang menyebabkan suatu negara bukan anggota dari protokol apapun maka akan dianggap sebagai pengunduran dari Konvensi pula.
melewati 2 tahun setelah berlakunya konvensi atau protokol tersebut melalui pemberitahuan tertulis ke negara pemegang deposit. Pengunduran diri tersebut berlaku pada hari ke 19 setelah pemberitahuan diterima negara pemegang deposit. Apabila pengunduran diri dari sat Protokol membuat satu negara anggota bukan anggota dari Protokol apapun maka negara tersebut dianggap juga mengundurkan diri dari Konvensi.
dapat melalui pemberitahuan tertulis ke pemegang deposit, memberitahukan pengunduran dirinya atas Konvensi, dan berlaku pada tanggal 31 Desember dari tahun setelah tahun dimana pernyataan pengunduran diri tersebut disampaikan Tidak terdapat ketentuan mengenai pengunduran diri dari protokol, tetapi Konvensi menyatakan bahwa Protokol yang telah berlaku adalah satu kesatuan dari konvensi sehingga dapat diasumsikan pengunduran diri dari Protokol adalah pengunduran diri dari Konvensi
ketentuan akan hal tersebut dalam MoU.
Pihak yang berhak menjadi Penandatangan
Pasal 24 menyatakan penandatangan dari Konvensi dan Protokol adalah tiap negara yang diundang di KTT Perlindungan laut mediterania yang diadakan di Barcelona 2-
Pasal 25 menyatakan Konvensi dan Protokol dapat ditandatangani oleh tiap negara yang diundang untuk berpartisipasi di Konferensi mengenai Perlindungan dan
Tidak terdapat kerangka formal
Pasal 28 (1-4) menyatakan negara penandatangan adalah negara Laut Hitam, dan terbuka untuk aksesi oleh negara lain non- Laut Hitam yang mau dan hendak
Tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam MoU tetapi Penandatangan adalah negara pantai dari kawasan ATS, yaitu Indonesia, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini, walaupun demikian, Forum dari ATSEF
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
134
Universitas Indonesia
16 Febuari 1976, dan dapat ditandatangani oleh European Community, dan organisasi ekonomi regional lain dimana terdapat 1 anggotanya yang merupakan negara pantai dari Laut Mediterrania, dan organisasi yang memiliki kompetensi di bidang ini.
Perkembangan Lingkungan Laut Wilayah Karibia, dan juga oleh organisasi integrasi ekonomi regional yang melakukan aktivitas di bidang tersebut, dan memiliki 1 anggota yang merupakan negara pantai dari Karibia, dengan syarat organisasi tersebut diundang ke Konferensi tersebut
berpartisipasi dalam perlindungan Laut Hitam, dengan syarat negara tersebut diundang oleh seluruh negara Laut Hitam. Prosedur undangan akan diatur negara pemegang deposit.
terbuka bagi seluruh organisasi yang mau, untuk mematuhi ketentuan dari MoU ini.
Protokol Terhadap Konvensi
1. Protocol for the prevention of Pollution in the Mediterranean Sea by Dumping from Ships and Aircraft (Dumping Protocol) Tanggal diadopsi: 16 February 1976 (Barcelona, Spain) Mulai berlaku: 12 Februari 1978 Protokol ini kemudian diamandemen sebagai: Protocol for the Prevention and Elimination of Pollution in the Mediterranean Sea by Dumping from Ships and Aircraft or
1. The Protocol Concerning Co-operation in Combating Oil Spills Diadopsi pada: 1983 Mulai berlaku: October 11, 1986 2. The Protocol Concerning Specially Protected Area and Wildlife (SPAW) Diadopsi pada: 1990 Mulai berlaku: Juni 18, 2000 3. The Protocol Concerning Pollution from Land-Based Sources and Activities (LBS) Tanggal Diadopsi: 6th October 1999 Belum berlaku
Tidak ada protokol
1. Protocol on Protection of the Black Sea Marine Environment Against Pollution from Land Based Sources Diadopsi pada: 21 April 1992 Tahun mulai berlaku: 15 January 1994 2. Protocol on Cooperation in combating pollution of the Black Sea Marine Environment by Oil and Other Harmful Substances in Emergency Situations Diadopsi pada: 21 April 1992
Tidak ada protokol
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
135
Universitas Indonesia
Incineration at Sea Tanggal diadopsi: 10 June 1995 (Barcelona, Spanyol) Belum berlaku 2. Protocol on the Protection of the Mediterranean Sea against Pollution from Land-Based Sources (LBS Protocol) Tanggal diadopsi: 17 May 1980 (Athens, Greece) Mulai berlaku: 17 June 1983 Protokol LBS diamandemen dan diberi nama baru yaitu : Protocol for the Protection of the Mediterranean Sea against Pollution from Land-Based Sources and Activities Tanggal diadopsi: 7 Maret 1996 (Siracusa, Italy) Belum berlaku Protocol Concerning Specially Protected Areas and Biological Diversity in the Mediterranean (SPA and Biodiversity Protocol)
Mulai berlaku: 15 January 1994 3. Protocol on The Protection of The Black Sea Marine Environment Against Pollution by Dumping Diadopsi pada: 21 April 1992 Mulai berlaku: 15th Januari 1994 4. Black Sea Biodiversity and Landscape Conservation Protocol Ditandatangani di: Sofia, Bulgaria 2003 dan akan segera di ratifikasi
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
136
Universitas Indonesia
Tanggal diadopsi: 10 Juni 1995 (Barcelona, Spain) Tanggal berlaku: 12 Desember 1999 -menggantikan Protocol concerning Mediterranean Specially Protected Areas diadopsi pada 3 April 1982 (Geneva, Switzerland), berlaku pada 23 Maret 1986 3. Protocol Concerning Cooperation in Preventing Pollution from Ships and, in Cases of Emergency, Combating Pollution of the Mediterranean Sea (Prevention and Emergency Protocol) Tanggal diadopsi: 25 Januari 2002 (Valetta, Malta) Mulai Berlaku: 17 Maret 2004 –menggantikan Protocol Concerning Cooperation in Combating Pollution of the Mediterranean Sea by Oil and other Harmful Substances in Cases of Emergency
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
137
Universitas Indonesia
adopted on 16 February 1976 (Barcelona, Spain), mulai berlaku pada 12 Februari 1978. 4. Protocol for the Protection of the Mediterranean Sea against Pollution Resulting from Exploration and Exploitation of the Continental Shelf and the Seabed and its Subsoil (Offshore Protocol) Tanggal Diadopsi: 14 Oktober 1994 (Madrid, Spain) Belum berlaku 5. Pollution by Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal Protocol on the Prevention of Pollution of the Mediterranean Sea by Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal (Hazardous Wastes Protocol) Tanggal diadopsi: 1 Oktober 1996 ( Izmir, Turki)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
138
Universitas Indonesia
Belum berlaku UNEP Administered Program
Ya, melalui CAR/RCU339
Ya, melalui MEDU340
UNEP memiliki program regional di lautan timur asia, tetapi tidak berfokus pada Laut Kuning sebagai semi-enclosed sea. Program YSLME diprakarsai oleh GEF.
Tidak, UNEP mencetuskan program laut regional, tetapi kemudian pengaturan dan administrasinya diatur sendiri oleh mekanisme dari Bucharest Convention Program diawasi dan dijalankan oleh Commission on the Protection of the Black Sea against Pollution341
UNEP memiliki program regional di lautan timur asia, tetapi tidak berfokus pada Laut Arafura dan Timor sebagai semi-enclosed sea Program diawasi dan dijalankan oleh ATSEF regional Secretariat, dibantu National Secretariat di masing-masing negara anggota
Tabel 4.1. Perbandingan Pengaturan di Laut Mediterrania, Laut Karibia, Laut Hitam, Laut Kuning, dan Laut Arafura dan Laut Timor
4.2 Pelajaran yang Dapat Diambil dari Pengaturan Laut Tertutup dan Semi
Tertutup di Dunia
Dari perbandingan antara pengaturan di laut tertutup dan semi tertutup diatas,
terdapat hal-hal yang bisa diambil sebagai contoh bagi pengaturan di Laut Arafura dan
Laut Timor. Setiap wilayah memiliki keunikan masing-masing, namun terdapat benang
merah yang dapat ditarik dari kerangka pengaturan di masing-masing wilayah tersebut.
Salah satu pelajaran yang pertama dan utama adalah kerangka pengaturan terhadap suatu
kawasan yang mengelilingi laut tertutup atau semi-tertutup lebih baik dilakukan melalui
mekanisme yang mengikat, dimana hak dan kewajiban tiap-tiap anggotanya dapat
dinyatakan dengan jelas dan ekplisit. Bentuk yang mengikat ini dapat dituangkan dalam
339 "Wider Carribean Region"
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/caribbean/instruments/r_profile_car.pdf, diunduh 13 April 2012
340 "Mediterranean Region" http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/mediterranean/instruments/r_profile_med.pdf, diunduh 13 April 2012
341 Black Sea Region", http://www.unep.org/regionalseas/programmes/nonunep/ blacksea/instruments/r_profile_bs.pdf, diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
139
Universitas Indonesia
satu konvensi yang terbentuk melalui suatu konferensi diplomatik sebagaimana
dicontohkan di Laut Mediterania, Laut Karibia, dan Laut Hitam. Sebagaimana yang telah
dinyatakan diatas, di kawasan Laut Arafura dan Laut Timor baru ada kerangka
pengaturan yang tidak mengikat berupa forum untuk pertukaran informasi antar negara-
negara yang mengelilingi Laut Arafura dan Laut Timor yaitu Arafura and Timor Sea
Expert Forum.
Melalui konvensi tersebut dapat dijelaskan dengan rinci hak dan kewajiban dari
masing-masing negara anggota. satu hal yang harus ada adalah ketentuan mengenai
kewajiban dari negara-negara anggota. Ketentuan yang paling pokok harus dinyatakan
dengan jelas adalah ruang lingkup dari wilayah konvensi tersebut sebagaimana
dicontohkan di Barcelona Convention, Cartagena Convention, dan Bucharest
Convention.
Berikutnya konvensi harus menyatakan mengenai kewajiban negara-negara
anggota untuk mengurangi, mengontrol, dan menghapus polusi dari berbagai sumber ke
lingkungan laut. Contoh yang baik terdapat pada Bucharest Convention, yang
menyatakan kewajiban negara untuk mengurangi, mencegah, dan mengontrol polusi dari
bahan-bahan berbahaya (B3) dan polusi akibat perpindahannya, polusi dari sumber
daratan, polusi dari kapal, polusi sebagai akibat dari suatu keadaan darurat, polusi akibat
dumping, polusi dari aktivitas dan ekploitasi dari landas kontinen, polusi yang bersumber
dari udara. Lebih jauh lagi, masalah teknis terkait polusi tersebut dapat dituangkan dalam
annex dari konvensi, atau protokol yang sebaiknya dianggap sebagai satu kesatuan
dengan konvensi sebagaimana terdapat di Bucharest Convention.
Suatu larangan hanya akan efektif apabila disertai dengan mekanisme
pengawasan yang baik. Mekanisme pengawasan yang baik yang dapat dicontoh terdapat
pada Barcelona Convention yang menyatakan negara anggota akan melaksanakan
pengawasan bersama dengan lembaga internasional, menunjuk badan yang berwenang
untuk melakukan pengawasan di wilayahnya, serta bekerjasama untuk membuat
prosedur dan standar untuk pengawasan polusi dan aplikasi dari konvensi.
Suatu konvensi harus memiliki mekanisme pengawasan yang harus disertai
dengan evaluasi yang memadai. Evaluasi atas implementasi dari konvensi harus
melibatkan seluruh negara anggota, dimana seluruh negara tersebut harus berperan aktif.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
140
Universitas Indonesia
Contoh mekanisme evaluasi yang baik terdapat di Barcelona Convention dan Cartagena
Convention yang menyatakan negara anggota akan bertemu tiap 2 tahun secara rutin, dan
pertemuan luar biasa setiap kali dirasa perlu oleh usul satu negara anggota. Pertemuan
tersebut bertujuan membahas evaluasi implementasi dari konvensi dan protokol.
Dikarenakan masalah yang utama dihadapi di Laut Arafura dan Laut Timor
adalah masalah pemanfaatan sumber daya, dimana terjadi penangkapan ikan berlebih
yang diperparah dengan penangkapan ikan ilegal, dapat diberlakukan ketentuan mengenai
zona perlindungan khusus. Zona perlindungan khusus ini ditujukan untuk melindungi
ekosistem dari lingkungan laut, termasuk melestarikan stok ikan. Dapat dicontoh
ketentuan dari Cartagena Convention yang berlaku di Laut Karibia dimana dinyatakan
kewajiban negara anggota untuk bekerjasama membentuk area yang dilindungi, di mana
pembentukan area tersebut tidak boleh mempengaruhi hak dari negara anggota lain, dan
negara ketiga. Selain di dalam konvensi, dapat pula diberlakukan ketentuan mengenai
area perlindungan khusus melalui protokol sebagaimana dilakukan di Laut Mediterania.
Salah satu hal yang juga penting adalah mengenai penentuan atas kesalahan dan
ganti rugi akibat dari pelanggaran dari konvensi. Mengenai hal ini, amat diperlukan
mekanisme yang jelas, serta pernyataan atas kewajiban dari negara anggota untuk
mematuhi ketentuan dari konvensi. Dalam hal ini bisa dicontoh pendekatan dari
Bucharest Convention yang menyatakan dengan jelas kewajiban dari negara anggota
untuk megadopsi aturan terkait penentuan kesalahan dan ganti rugi akibat pelanggaran
konvensi di wilayahnya, dimana ganti rugi tersebut haruslah prompt and adequate, serta
mewajibkan negara anggota untuk mengharmoniskan hukum mereka terkait ganti rugi
tersebut.
Selain mengenai ganti rugi, perlu juga diadopsi ketentuan mengenasi
penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa harus mengutamakan negosiasi dan jalan
damai lainnya, apabila tidak selesai konvensi sebaiknya memiliki mekanisme
penyelesaian sengketa. Contoh mekanisme yang baik terdapat pada Barcelona
Convention, dimana dinyatakan mekanisme melalui arbitrase sebagaimana dijelaskan
pada annexnya, dimana amandemen atas annex arbitrase tersebut diperlakukan
sebagaimana amandemen dari konvensi, sehingga menjamin kepastian atas mekanisme
tersebut.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
141
Universitas Indonesia
Terkait struktur institutional, dapat diambil contoh dari struktur dari Barcelona
atau Bucharest Convention atau bahkan struktur dari ATSEF dan ATSEA saat ini.
Apapun struktur yang dipilih, struktur tersebut harus jelas dan merefleksikan kebutuhan
dari kawasan Laut Arafura dan Laut Timor. Harus dihindari tumpang-tindihnya
kewenangan dan struktur organisasi kesekertariatan yang terlalu besar karena akan hanya
akan membebani negara anggota dengan beban institusional yang berlebihan.
Mengenai pengambilan keputusan, Barcelona Convention dan Cartagena
Convention sama-sama mengutamakan mayoritas suara, sementara Bucharest Convention
mengunakan konsensus bersama. Perbedaan ini masuk akal karena Barcelona Convention
dan Cartagena Convention sama-sama berlaku di daerah yang terdiri atas banyak negara,
tidak seperti Bucharest Convention. Dikarenakan negara yang mengelilingi Laut Arafura
dan Timor juga hanya empat negara saja, maka pendekatan Bucharest Convention yang
mengambil keputusan secara konsensus lebih cocok untuk diaplikasikan di LAut Arafura
dan Timor.
Mengenai masalah pertukaran teknologi, pengaturan di Laut Arafura dan Laut
Timor dapat mencontoh ketentuan di Barcelona Convention yang menyatakan negara
anggota untuk bekerjasama langsung dan tidak langsung melaui organisasi regional dan
internasional untuk mengembangkan dalam bidang pertukaran data dan mengembangkan
dan mengkoordinasikan program riset nasional terkait semua sumber polusi. Ketentuan
ini lebih cocok untuk wilayah Laut Arafura dan Laut Timor yang kebanyakan merupakan
negara berkembang, daripada ketentuan di Laut Hitam yang membebani negara
anggotanya dengan beban untuk mengembangkan, dan memperoleh teknologi yang
ramah lingkungan.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
142
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
5.1.1 Di dalam UNCLOS pasal 122 dinyatakan dengan apa yang dimaksud
dengan laut tertutup atau laut semi tertutup adalah adalah teluk, cekungan, atau
laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih dan dihubungkan dengan
perairan lain melalui jalur sempit yang terdiri utamanya dari laut teritorial atau
zona ekonomi eksklusif dari dua negara atau lebih. Pada pasal 123 UNCLOS
1982 dinyatakan akan kewajiban negara-negara yang berbatasan dengan laut
tersebut untuk bekerjasama dalam mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi,
eksploitasi, implementasi dari hak dan kewajiban mereka, mengkoordinasikan
kebijakan riset mereka serta mengundang pihak dari negara lain atau institusi
internasional lain untuk bekerjasama dalam melaksanakan kewajiban yang
diperintahkan di dalam konvensi hukum laut. Adapun kewajiban yang terdapat
pada konvensi tidak dibedakan antara kewajiban negara pada laut tertutup,
dengan pada laut yang lain.
Dalam usaha perlindungan dan pengelolaan atas suatu kawasan laut
tertutup dan laut semi tertutup, negara dapat mengambil langkah unilateral,
regional, atau mengikuti pengaturan global. Pada pengaturan unilateral berarti
masing-masing negara mengambil langkah mandiri, pada langkah regional
berarti negara-negara di suatu kawasan akan bekerjasama untuk menghadapi
masalah bersama dari satu kawasan yang sama, sedangkan pada pengaturan
global berarti mengharapkan adanya dan terbentuknya suatu norma umum yang
berlaku secara global, serta badan global yang mungkin bersifat supranasional
untuk mengkoordinasikan usaha perlindungan atas suatu kawasan. Dari
penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pengaturan secara regional lebih
menguntungkan karena dapat merefleksikan kondisi dan kepentingan dari
masing-masing negara yang berbatasan secara lebih maksimal, dan lebih realistis
dan tidak terbebani oleh besarnya ruang lingkup dan variabel-variabel yang
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
143
Universitas Indonesia
muncul pada ranah global, dimana negara-negara non-suatu kawasan mungkin
tidak mengerti akan karakteristik khusus dari suatu kawasan tersebut.
Pembentukan suatu kerjasama regional dapat mulai dari tingkat teknis dan
belum mengikat oleh badan-badan negara yang terkait, dimana kerjasama teknis
tersebut akan perlahan-lahan menjelma menjadi suatu pengaturan yang integratif
antara negara-negara yang terlibat. Hal ini tercermin dalam contoh Laut Arafura
dan Laut Timor. Kerjasama regional dapat pula dimulai melalui tingkat negara
melalui konferensi tingkat tinggi yang menghasilkan Konvensi sebagaimana
dilakukan di Laut Mediterrania, Karibia, dan Laut Hitam .
Peran organisasi internasional juga amatlah penting dalam mendorong
regionalisme, hal ini tercermin dari laut Mediterania dan Laut Karibia dimana
program regional mereka dicetuskan melalui program regional seas UNEP. Di
Laut Kuning, peran GEF dengan Yellow Sea Large Marine Ecosystem Project
amatlah besar dalam mendorong kerjasama regional di kawasan dimana belum
terdapat kerangka kerjasama formal antar negara dan masing-masing negara
yang berbatasan cenderung untuk melakukan pengelolaan secara sendiri-sendiri
dengan tingkat harmonisasi yang rendah, walaupun ketiga negara tersebut sama-
sama berbagi suatu lingkungan perairan yang sama. Ini juga menjadi
pembuktian bahwa apabila langkah unilateral diambil untuk melindungi suatu
kawasan, langkah tersebut tidak akan efektif tanpa diambilnya langkah serupa
oleh negara-negara lain di kawasan yang sama.
Peran Non governmental organization juga dapat menjadi sumbangan
besar bagi suatu usaha perlindungan laut tertutup dan laut semi tertutup, hal ini
tercermin amat jelas dalam Laut Kuning dimana WWF dengan Yellow Sea
Ecoregion Programme menjadi penggerak dalam berbagai proyek percontohan,
sosialisasi, dan usaha-usaha untuk mengidentifikasi secara ilmiah indikator-
indikator, serta habitat penting yang harus menjadi fokus dari usaha konservasi.
Penandatanganan MoU antara WWF dengan proyek UNDP YSLME-GEF, dan
digunakannya hasil dari analisa WWF dalam Transboundary Diagnostic Analysis
dari YSLME-GEF menunjukan bahwa NGO dapat mengambil peran yang
penting dan krusial dalam usaha perlindungan laut tertutup dan semi-tertutup
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
144
Universitas Indonesia
Selain itu, tiap apabila suatu negara mengambil Konvensi sebagai
kerangka hukum dari usaha perlindungannya, sebaiknya pengaturan dari
konvensi yang bersifat lebih umum dan prinsipil mencakup segala bentuk
masalah yang dihadapi dari masing-masing kawasan. Protokol dan Annex dapat
digunakan untuk mengatur hal-hal yang bersifat lebih teknis. Terkait protokol,
akan lebih baik jika protokol-protokol yang terbentuk juga diikuti oleh sebanyak
mungkin dari negara anggota konvensi, dan jangan sampai keberlakuan dari
protokol terhambat dikarenakan keengganan negara dalam meratifikasi
protokolnya. Perlu diperhatikan pula agar tujuan dari Konvensi juga tidak
terhambat dengan terlambatnya, serta terhalangnya keberlakuan serta
implementasi dari protokol. Konvensi harus dapat membebankan kewajiban
pengelolaan dan perlindungan atas lingkungan laut secara bertanggung jawab
dengan sendirinya setelah konvensi tersebut berlaku.
5.1.2 Terkait Laut Arafura dan Laut Timor, negara-negara yang berbatasan
memilih untuk bekerjasama melalui suatu forum yang tidak mengikat, yang
didasari atas suatu memorandum of understanding. Forum tersebut bernama
Arafura and Timor Seas Expert Forum yang menyatukan pakar dari negara-
negara pantai, serta para pemangku kepentingan dan masyarakat adat dalam satu
forum untuk bertukar informasi dalam rangka mencapai 5 fokus dari ATSEF
yaitu :
1. Mencegah, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal, tidak terlapor,
dan tidak diatur (IUU - Illegal Unreported and Unregulated) di Laut
Arafura dan Laut Timor yang menjadi penyebab utama menipisnya stok
ikan, membahayakan keberlangsungan spesies dan habitat laut,
menghalangi pembangunan dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari
sumber daya hayati laut.
2. Menjaga stok ikan, habitat laut, dan keanekaragaman hayati. Pengetahuan
atas kondisi biota laut, spesies tangkap, dan habitatnya memiliki nilai
penting dalan manajemen yang bijak dari sumber daya kelautan
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
145
Universitas Indonesia
3. Membantu dan/atau mencari alternatif penghidupan bagi komunitas
masyarakat pantai dan masyarakat adat.
4. Mencari pengertian dari dinamika sistem kelautan, dan pantai.
5. Meningkatkan kapasitas informasi data, manajemen, dan penyebarannya
diantara negara-negara pantai di kawasan. Tanpa adanya tukar-menukar
informasi, sumber pengetahuan sebagai dasar pemanfaatan yang
berkelanjutan dari laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya
tidak akan sampai ke pihak yang berkepentingan seperti badan
pemerintah, masyarakat pantai dan adat, dan operator komersial.
Dalam beberapa tahun terakhir, fokus ATSEF adalah mendukung
pelaksanaan ATSEA yang terbentuk sejak tahun 2010. Melalui ATSEA akan
disusun TDA, yaitu analisa ancaman yang menilai kondisi lingkungan dan
sumber daya, termasuk tekanan terhadap alam, ancaman serta dampak dari
eksploitasi berlebihan dan perubahan iklim. Analisa ini melibatkan
pengembangan profil biofisika, dan sosio-ekonomi dari kawasan, analisa
pengaturan dari institusi lokal, hukum dan kebijakan lingkungan, serta mencari
mata rantai sebab akibatnya. Mata rantai ini terkait dengan masalah lintas batas
dengan dampak fisiknya dan penyebab sosial ekonominya
Setelah selesai, TDA akan menjadi dasar bagi perkembangan dan
kesepakatan di Regional Strategic Action Program (SAP) yang diharap akan
memandu langkah bersama menuju pengentasan masalah lingkungan dan
membuka kesempatan baru di kawasan. National Action Plan (NAP) akan
dibentuk selanjutnya dan akan menggaris-bawahi prioritas dan tindakan yang
perlu diambil di tingkat nasional. Pengembangan NAP akan dikomunikasikan
dengan SAP regional, dan oleh Laporan Status Nasional, yang mengidentifikasi
titik fokus nasional dan prioritas untuk daerah pesisir dan daerah perairan.
Melalui kegiatan TDA, telah diidentifikasi apa saja yang menjadi masalah
lingkungan utama di Laut Arafura dan Timor. Masalah-masalah tersebut disebut
Priority Environmental Concern (PEC) dan terdiri atas:
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
146
Universitas Indonesia
1. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta degradasi dan
hilangnya sumber daya hayati dan sumberdaya kelautan
2. Menurunnya dan hilangnya keanekaragaman hayati dan spesies laut
yang penting.
3. Modifikasi, degradasi, dan hilangnya habitat pantai dan laut
4. Polusi yang berasal dari laut dan daratan
5. Dampak dari perubahan iklim
Melihat hasil yang telah dicapai melalui wadah ATSEF, dapat
disimpulkan bahwa ATSEF telah bekerja dengan cukup efektif dan mendorong
terbentuknya usaha pengaturan regional atas pengelolaan Laut Arafura dan Laut
Timor sebagai suatu laut semi-tertutup. Namun, langkah ini masihlah dapat
berkembang ke bentuk lain yan lebih baik yang lebih mengintegrasikan negara-
negara pantai yang mengelilingi Laut Arafura dan Laut Timor dalam rangka
membentuk suatu pengaturan regional.
Kelemahan utama ATSEF adalah ATSEF didasari dari MoU dan
merupakan forum yang tidak mengikat. Untuk menghadapi kelemahan ini, dapat
diambil contoh dari Laut Mediterania, Laut Karibia, dan Laut Hitam dimana
dibentuk konvensi yang menjadi kerangka pengaturan dari usaha perlindungan
atas laut-laut tersebut. Konvensi tersebut harus mencakup segala hal yang terkait
dengan usaha perlindungan dan pengelolaan dari Laut Arafura dan Laut Timor.
Konvensi yang ada di Laut Mediterania, Laut Karibia, dan Laut hitam
dapat dijadikan acuan dalam perumusan ketentuan dari kerangka pengaturan
yang mengikat yang dapat diberlakukan di laut Arafura dan Laut Timor.
Kerangka pengaturan tersebut harus mencakup segala kewajiban-kewajiban
pokok dari negara anggota, ketentuan mengenai pertukaran informasi dan
teknologi, ketentuan terkait pengawasan dan evaluasi, serta ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
147
Universitas Indonesia
4.2 SARAN
Atas hasil analisa diatas, dapat diambil beberapa saran dalam rangka mendorong
perlindungan laut tertutup, dan semi-tertutup terutama pada contoh Laut Arafura dan
Laut Timor, yaitu:
1. Dalam rangka mencapai perlindungan atas suatu laut tertutup dan semi tertutup,
negara hendaknya bekerjasama antar negara-negara sekitar yang sama-sama
membatasi kawasan laut tertutup dan semi-tertutup tersebut. Untuk mencapai
tujuan tersebut, peran serta organisasi internasional dan NGO dalam mendorong
terbentuknya kerangka pengaturan regional harus dimaksimalkan.
2. Pada Laut Arafura dan Timor, terlihat bahwa tingkat integrasi yang terbentuk
melalui forum ATSEF telah cukup baik, tetapi akankah lebih baik jika kerangka
kerjasama antar negara di kawasan Laut Arafura dan Laut Timor dibentuk dalam
suatu kerangka yang lebih mengikat, berupa Konvensi yang disertai dengan
Protokolnya yang mencerminkan keunikan dan masalah yang dihadapi di
kawasan Laut Arafura dan Laut Timor.
3. Priority Environmental Concern dari Laut Arafura dan Laut Timor harus segera
ditangani melalui pembentukan National Action plan yang merepresentasikan
kondisi yang nyata, dan bersifat solutif atas masalah yang dihadapi.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
148
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Buku
Akehurst, Michael. A Modern Introduction to International Law. New York: Routledge,
1993
Alexander, Lewis M. Marine Regionalism in the Southest Asian Seas. Honolulu: East-
West and Policy Institute, 1999
Anwar, Chairul. Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Jakarta:
Djambatan, 1989
Borgerson, Scott G. The National Interest and the Law of the Sea New York :Council on
Foreign Relations, 2009
Boyle, Alan., dan Patricia Byrne, International Law & The Environment. New York :
Oxford University Press, 2002
Forbes, Vivian Louis. Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-
enclosed Sea. Singapura: Singapore University Press, 2001
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: P.T Alumni, 2003
Okidi, C.Odidi. Regional Control of Ocean Pollution Legal and Institutional Problems
and Prospect, Belanda: Sitjhoff & Noordhoff International Publisher, 1978
R.R, Churchill, dan A.V. Lowe. The Law of The Sea. Cet.3 Manchester: Manchester
University Press, 1999.
S, Nuraeni., Deasy Silvya, dan Arifin Sudirman. Regionalisme Dalam Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sutarjo, Sharif C. Transformasi Politik Kelautan Indonesia Untuk Kesejahteraan Rakyat.
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2012
Jurnal
Boezek, Boleslaw A. International Protection of the Baltic Sea Environment Against
Pollution: A Study in Marine Regionalism . The American Journal of International
Law, Vol. 72, No.4 (October, 1978)
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
149
Universitas Indonesia
Hardy, Michael. Regional Approaches to Law of the Sea Problem: The European
Community. The International and Comparative Law Quarterly. Vol. 24, No. 2
(April, 1977)
Lagrange, Alberto Sciolla. The Barcelona Convention and It’s Protocol. Ambio, Vol. 6
No. 6, The Mediterranean: A Special Issue (1977).
Lee, Luke T. The Law of the Sea Convention and Third States. The American Journal of
International Law. Vol .77, No.3 (Juli, 1983)
Lotilla, Raphael Perpetuo M. The Efficacy of Anti-Pollution Legislation Provision on the
Law of the Sea Convention, a View From South East Asia. The International and
Comparative Law Quaterly, Vol 41. No 1 ( Jan, 1992)
Makalah
Adi, Mazen. The Application of the Law of the Sea and the Conventiom on the
Medditerranean Sea. (makalah disampaikan pada Division For Ocean Affairs and
The Law of the Sea Ofice for Legal Office of Legal Affairs, The United Nations,
New York 2009)
Wagey,Tonny . Arafura and Timor Seas. (Dipresentasikan pada pertemuan CTI-RBF,
Kuala Lumpur, 10 Oktober 2011)
Internet
Resosudarmo, Budi. “Illegal Fishing in Arafura Sea.”
http://gdnet09.pbworks.com/f/Budy+Resosudarmo_Paper_B.5.pdf. Diunduh 1
April 2012
"An Overview of Land Based Sources of Marine Pollution."
www.cep.unep.org/issues/lbsp.html. Diunduh 13 April 2013
"Major Issues in Management of Enclosed or Semi-enclosed Seas, With Particular
Refference to Caribbean Sea."
www.eclac.org/publicaciones/xml/1/20811/L0024.pdf. Diunduh 13 April 2012
“About ATSEA.” http://atsea-program.org/?page_id=2. Diunduh 1 April 2012
“About ATSEF.” http://atsefaustralia.net/. Diunduh 1 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
150
Universitas Indonesia
“About Regional Seas Programme.”
http://www.unep.org/regionalseas/about/default.asp. Diunduh 13 April 2012
“Arafura and Timor Seas Expert Forum.” http://www.maweb.org/en/SGA.Arafura.aspx.
Diunduh 1 April 2012
“Arafura and Timor Seas Region” http://atsea-program.org/wp-
content/uploads/2012/02/revisedmap2012.jpg. Diunduh 1 April 2012
“ATSEA.” http://atsefaustralia.net/atsea-arafura-and-timor-seas-ecosystem-action-
program/. Diunduh 1 April 2012
“ATSEF Focus of Interest.” http://www.atsef.org/focus.php. Diunduh 1 April 2012
“ATSEF MoU.” http://www.atsef.org/mou.php. Diunduh 17 Desember 2011
“ATSEF Structure.” http://atsefaustralia.files.wordpress.com/2011/09/december-2011-
atsef-structure1.png. Diunduh 1 April 2012
“Black Sea Map.” http://climatelab.org/@api/deki/files/222/=Black_Sea_map.png.
Diunduh 13 April 2012
“Black Sea Region.”
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/nonunep/blacksea/instruments/r_
profile_bs.pdf. Diunduh 13 April 2012
“Caribbean LME.”
www.eoearth.org/article/carribean_sea_large_marine_ecosystem?topic=49597.
Diunduh 13 April 2012
“Conservation Plan Agreed for Yellow Sea.”
http://www.unops.org/english/whatwedo/news/Pages/Conservation-plan-agreed-
for-the-Yellow-Sea.aspx. Diunduh 13 April 2012
“Countries.” http://europa.eu/about-eu/countries/index_en.htm. Diunduh 13 April 2012
“Definisi Operasional.” http://staff.ui.ac.id/internal/132161161/material/Seri3-Definisi
dari Definisi Operasional. pdf. diunduh 12 Desember 2011.
“Environmental Collaboration for the Black Sea.”
http://81.8.63.74/ecbsea/en/links/index.html. Diunduh 13 April 2012
“Europe Major Rivers.” http://www.worldatlas.com/webimage/countrys/euriv.htm.
Diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
151
Universitas Indonesia
“Eutrophication.” http:/toxics.usgs.gov/definitions/eutrophication.html. Diunduh 1 April
2012
“Global Environment Facility.”
http://www.thegef.org/gef/sites/thegef.org/files/repository/9-17-09%20-
%20WebPosting%20-%203522.pdf. Diunduh 13 April 2012
“Helping Protect the Mediterranean Sea Against Pollution”
http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction.do?reference=IP/08/553. Diunduh 13
April 2012
“Historic Deal to Safeguard Yellow Sea is Made.”
http://www.thegef.org/gef/news/UNDP_Yellow_Sea. Diunduh 13 April 2012
“Introduction..” http://www.yslme.org/introduction.htm. Diunduh 13 April 2012
“Key Threats in Mediterranean Region.” http://mediterranean.panda.org/threats/.
Diunduh 13 April 2012
“Large Marine Ecosystem Approach to the Assessment, and Management of Coastal
Ocean Waters: Introduction to LME Portal.”
www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=&id=47&Itemid=41.
Diunduh 1 April 2012
“Large Marine Ecosystem.” www.fao.org/fishery/topic/3440/en. Diunduh 1 April 2012
“LME Brief.”
http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=category&id=4
1&Itemid=53&limitstart=30. Diunduh 13 April 2012
“Mediterranean Region.”
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/mediterranean/instruments
/r_profile_med.pdf. Diunduh 13 April 2012
“Mediterranean Sea: LME #26.”
http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=article&id=72:l
me26&catid=41:briefs&Itemid=72. Diunduh 13 April 2012
“Mediterranean Sea” http://www.geographicguide.net/europe/maps-
europe/maps/mediterraneansea.jpg. Diunduh 13 April 2012
“Meeting List.” http://www.yslme.org/document.htm. Diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
152
Universitas Indonesia
“Memanfaatkan Kekayaan Laut Milik Bersama: Mendukung Peran Indonesia dalam
ATSEF.” www.undp.or.id/factsheets/Indonesia/fs_eu_atsef.pdf. Diunduh 1 April
2012
“Mission Statement for Yellow Sea Large Marine Ecosystem Project.”
http://www.yslme.org/intro/mission.htm. Diunduh 13 April 2012
“NATO Member Countries” http://www.nato.int/cps/en/SID-02327AA6-
4D307DC4/natolive/nato_countries.htm. Diunduh 13 April 2012
“Non-UNEP Administered Programmes.”
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/nonunep/default.asp. Diunduh 13
April 2012
“Overfishing - A Global Disaster.” Overfishing.org/pages/what_is_overfishing.php.
Diunduh 1 April 2012
“Partners.”
http://en.wwfchina.org/en/what_we_do/marine/yellow_sea_ecoregion/partners/
Diunduh 13 April 2012
“Pollution in Mediterranean Sea.”
http://www.explorecrete.com/nature/mediterranean.html. Diunduh 13 April 2012
“Project Management Office.” http://www.yslme.org/pmo2010.htm. Diunduh 13 April
2012
“Protocols to the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution.”
http://www.blacksea-commission.org/_convention-protocols.asp. Diunduh 13
April 2012
“Russian Sends Black Sea Fleet Ships to Mediterranean.”
http://en.rian.ru/russia/20111204/169315994.html. Diunduh 13 April 2012
“The Caribbean Large Marine Ecosystem Project.”
http://www.lme.noaa.gov/LMEWeb/Presentations/Paris_2007/Caribbean_LME.p
df. Diunduh 13 April 2012
“The Convention.” http://www.blacksea-commission.org/_convention.asp. Diunduh 13
April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
153
Universitas Indonesia
“The Regional Seas Programme.”
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/default.asp. Diunduh 13 April
2012
“UNDP/GEF Yellow Sea LME Project.” http://beta.pemsea.org/organization/yslme.
Diunduh 13 April 2012
“UNDP/GEF Yellow Sea LME Project.” http://www.yslme.org/introduction.htm.
Diunduh 13 April 2012
“UNEP Regional Seas Programme Linked With Large Marine Ecosystem Assessment
and Management.”
www.lme.noaa.gov/LMEWEB/Publication/brochure_unep_rs.pdf. Diunduh 1
April 2012
“What is Arafura and Timor Sea Ecosystem Action Programme.”
http://atsefaustralia.net/atsea-arafura-and-timor-seas-ecosystem-action-
program/. Diunduh 1 April 2012
“What is GEF.” http://www.thegef.org/gef/whatisgef. Diunduh 13 April 2012
“Why is overfishing a problem?” http:// Overfishing.org/pages/why_is_overfishing is a
problem.php. Diunduh 1 April 2012.
“Wider Caribbean Region.”
http://www.unep.org/regionalseas/programmes/unpro/caribbean/instruments/r_pr
ofile_car.pdf. Diunduh 13 April 2012
“Yellow Sea Ecoregion Planning Programme.”
http://en.wwfchina.org/en/what_we_do/marine/yellow_sea_ecoregion/programme
s/. Diunduh 13 April 2012
“Yellow Sea Overview” http://www.emecs.or.jp/guidebook/eng/pdf/19yellow.pdf.
Diunduh 13 April 2012
“Yellow Sea, LME #48.”
http://www.lme.noaa.gov/index.php?option=com_content&view=article&id=94:l
me48&catid=41:briefs&Itemid=72. Diunduh 13 April 2012
“YSLME Project Brief.” http://www.yslme.org/pub/pdf/yslme%20Project%20Brief.pdf.
Diunduh 13 April 2012
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Lampiran 1
Barcelona Convention
Convention for the Protection Of The Mediterranean Sea Against Pollution
Signed 16 February 1976, in force 12 February 1978 (revised in Barcelona, Spain, on 10 June 1995 as the Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranean )
Revised text
The Contracting Parties,
Conscious of the economic, social, health and cultural value of the marine environment of the Mediterranean Sea area,
Fully aware of their responsibility to preserve this common heritage for the benefit and enjoyment of present and future generations,
Recognizing the threat posed by pollution to the marine environment, its ecological equilibrium, resources and legitimate uses,
Mindful of the special hydrographic and ecological characteristics of the Mediterranean Sea area and its particular vulnerability to pollution,
Noting that existing international conventions on the subject do not cover, in spite of the progress achieved, all aspects and sources of marine pollution and do not entirely meet the special requirements of the Mediterranean Sea area,
Realizing fully the need for close co-operation among the States and international organizations concerned in a co-ordinated and comprehensive regional approach for the protection and enhancement of the marine environment in the Mediterranean Sea area,
Have agreed as follows:
Article 1 GEOGRAPHICAL COVERAGE 1. For the purposes of this Convention, the Mediterranean Sea area shall mean the maritime waters of the Mediterranean Sea proper, including its gulfs and seas, bounded to the west by the meridian passing through Cape Spartel lighthouse, at the entrance of the Straits of Gibraltar, and to the east by the southern limits of the Straits of the Dardanelles between the Mehmetcik and Kumkale lighthouses.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. Except as may be otherwise provided in any Protocol to this Convention, the Mediterranean Sea area shall not include internal waters of the Contracting Parties.
Article 2 DEFINITIONS For the purposes of this Convention:
(a) 'Pollution' means the introduction by man, directly or indirectly, of substances or energy into the marine environment resulting in such deleterious effects as harm to living resources, hazards to human health, hindrance to marine activities including fishing, impairment of quality for use of sea water and reduction of amenities.
(b) 'Organization' means the body designated as responsible for carrying out secretariat functions pursuant to Article 13 of this Convention.
Article 3 GENERAL PROVISIONS 1. The Contracting Parties may enter into bilateral or multilateral agreements, including regional or sub-regional agreements, for the protection of the marine environment of the Mediterranean Sea against pollution, provided that such agreements are consistent with this Convention and conform to international law. Copies of such agreements between Contracting Parties to this Convention shall be communicated to the Organization.
2. Nothing in this Convention shall prejudice the codification and development of the law of the sea by the United Nations Conference on the Law of the Sea convened pursuant to resolution 2750 C (XXV) of the General Assembly of the United Nations, nor the present or future claims and legal views of any State concerning the law of the sea and the nature and extent of coastal and flag State jurisdiction.
Article 4 GENERAL UNDERTAKINGS 1. The Contracting Parties shall individually or jointly take all appropriate measures in accordance with the provisions of this Convention and those Protocols in force to which they are party, to prevent, abate and combat pollution of the Mediterranean Sea area and to protect and enhance the marine environment in that area.
2. The Contracting Parties shall cooperate in the formulation and adoption of Protocols, in addition to the protocols opened for signature at the same time as this Convention, prescribing agreed measures, procedures and standards for the implementations of this Convention.
3. The Contracting Parties further pledge themselves to promote, within the international bodies considered to be competent by the Contracting Parties, measures concerning the protection of the marine environment in the Mediterranean Sea area from all types and sources of pollution.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Article 5 POLLUTION CAUSED BY DUMPING FROM SHIPS AND AIRCRAFT The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent and abate pollution of the Mediterranean Sea area caused by dumping from ships and aircraft.
Article 6 POLLUTION FROM SHIPS The Contracting Parties shall take all measures in conformity with international law to prevent abate and combat pollution of the Mediterranean Sea area caused by discharges from ships and to ensure the effective implementation in that area of the rules which are generally recognized at the international level relating to the control of this type of pollution.
Article 7 POLLUTION RESULTING FROM EXPLORATION AND EXPLOITATION OF THE CONTINENTAL SHELF AND THE SEABED AND ITS SUBSOIL The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, abate and combat pollution of the Mediterranean Sea area resulting from exploration and exploitation of the continental shelf and the seabed and its subsoil.
Article 8 POLLUTION FROM LAND-BASED SOURCES The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, abate and combat pollution of the Mediterranean Sea area caused by discharges from rivers, coastal establishments or outfalls, or emanating from any other land-based sources within their territories.
Article 9 COOPERATION IN DEALING WITH POLLUTION EMERGENCIES 1. The Contracting Parties shall co-operate in taking the necessary measures for dealing with pollution emergencies in the Mediterranean Sea area, whatever the causes of such emergencies and reducing or eliminating damage resulting therefrom.
2. Any Contracting Party which becomes aware of any pollution emergency in the Mediterranean Sea area shall without delay notify the Organization and, either through the Organization or directly, any Contracting Party likely to be affected by such emergency.
Article 10 MONITORING 1. The Contracting Parties shall endeavour to establish, in close co-operation with the international bodies which they consider competent, complementary or joint programmes, Including, as appropriate, programmes at the bilateral or multilateral levels, for pollution monitoring in the Mediterranean Sea area and shall endeavour to establish a pollution monitoring system for that area.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. For this purpose, the Contracting Parties shall designate the competent authorities responsible for pollution monitoring within areas under their national jurisdiction and shall participate as far as practicable in international arrangements for pollution monitoring in areas beyond national jurisdiction.
3. The Contracting Parties undertake to cooperate in the formulation, adoption and implementation of such Annexes to this Convention as may be required to prescribe common procedures and standards for pollution monitoring.
Article 11 SCIENTIFIC AND TECHNOLOGICAL CO-OPERATION 1. The Contracting Parties. undertake as far as possible to co-operate directly, or when appropriate through competent regional or other international organizations, in the fields of science and technology and to exchange data as well as other scientific information for the purpose of this Convention.
2. The Contracting Parties undertake as far as possible to develop and co-ordinate their national research programmes relating to all types of marine pollution in the Mediterranean Sea area and to co-operate in the establishment and implementation of regional and other international research programmes for the purposes of this Convention.
3. The Contracting Parties undertake to co-operate in the provision of technical and other possible assistance in fields relating to marine pollution, with priority to be given to the special needs of developing countries in the Mediterranean region.
Article 12 LIABILITY AND COMPENSATION The Contracting Parties undertake to cooperate as soon as possible in the formulation and adoption of appropriate procedures for he determination of liability and compensation for damage resulting from the pollution of the marine environment deriving from violations of the provisions of this Convention and applicable Protocols.
Article 13 INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS The Contracting Parties designate the United Nations Environment Programme as responsible for carrying out the following secretariat functions:
(i) to convene and prepare the meetings of Contracting Parties and conferences provided for in Articles 14, 15 and 16;
(ii) to transmit to the Contracting Parties notifications, reports and other information received in accordance with Articles 3, 9 and 20;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
(iii) to consider inquiries by, and information from, the Contracting Parties, and to consult with them on questions relating to this Convention and the Protocols and Annexes thereto;
(iv) to perform the functions assigned to it by the Protocols to this Convention;
(v) to perform such other functions as may be assigned to it by the Contracting Parties;
(vi) to ensure the necessary co-ordination with other international bodies which the Contracting Parties consider competent, and in particular, to enter into such administrative arrangements as may be required for the effective discharge of the secretariat functions.
Article 14 MEETINGS OF THE CONTRACTING PARTIES 1. The Contracting Parties shall hold ordinary meetings once every two years and extraordinary meetings at any other time deemed necessary, upon the request of the Organization or at the request of any Contracting Party, provided that such requests are supported by at least two Contracting Parties;
2. It shall be the function of the meetings of the Contracting Parties to keep under review the implementation of this Convention and the Protocols and, in particular: (i) to review gradually the inventories carried out by Contracting Parties and competent international organizations on the state of marine pollution and its effects in the Mediterranean Sea area;
(ii) to consider reports submitted by the Contracting Parties under Article 20;
(iii) to adopt, review and amend as required the Annexes to this Convention and to the Protocols in accordance with the procedure established in Article 17;
(iv) to make recommendations regarding the adoption of any Additional Protocols or any amendments to this Convention or the Protocols in accordance with the provisions of Articles 15 and 16;
(v) to establish working groups as required to consider any matters related to this Convention and the Protocols and Annexes;
(vi) to consider and undertake any additional action that may be required for the achievement of the purposes of this Convention and the Protocols.
Article 15 ADOPTION OF ADDITIONAL PROTOCOLS 1. The Contracting Parties, at a diplomatic conference, may adopt Additional Protocols to his Convention pursuant to paragraph 2 of Article 4.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. A diplomatic conference for the purpose of adopting Additional Protocols shall be convened by the Organization at the request of two thirds of the Contracting Parties.
3. Pending the entry into force of this Convention the Organization may, after consulting with the signatories to this Convention, convene a diplomatic conference for the purpose of adopting Additional Protocols.
Article 16 AMENDMENT OF THE CONVENTION OR PROTOCOLS 1. Any Contracting Party to this Convention may propose amendments to the Convention. Amendments shall be adopted by a diplomatic conference which shall be convened by the Organization at the request of two thirds of the Contracting Parties.
2. Any Contracting Party to this Convention may propose amendments to any Protocol. Such amendments shall be adopted by a diplomatic conference which shall be convened by the Organization at the request of two thirds of the Contracting Parties to the Protocol concerned.
3. Amendments to this Convention shall be adopted by a three-fourths majority vote of the Contracting Parties to the Convention which are represented at the diplomatic conference and shall be submitted by the Depositary for acceptance by all Contracting Parties to the Convention. Amendments to any Protocol shall be adopted by a three-fourths majority vote of the Contracting Parties to such Protocol which are represented at the diplomatic conference and shall be submitted by the Depositary for acceptance by all Contracting Parties to such Protocol.
4. Acceptance of amendments shall be notified to the Depositary in writing. Amendments adopted in accordance with paragraph 3 of this Article shall enter into force between Contracting Parties having accepted such amendments on the 30th day following the receipt by the Depositary of notification of their acceptance by at least three-fourths of the Contracting Parties to this Convention or to the Protocol concerned, as the case may be.
5. After the entry into force of an amendment to this Convention or to a Protocol, any new Contracting Party to this Convention or such Protocol shall become a Contracting Party to the instrument as amended.
Article 17 ANNEXES AND AMENDMENTS TO ANNEXES 1. Annexes to this Convention or to any Protocol shall form an integral part of the Convention or such Protocol, as the case may be.
2. Except as may be otherwise provided in any Protocol, the following procedure shall apply to the adoption and entry into force of any amendments to Annexes to this Convention or to any Protocol, with the exception of amendments to the Annex on Arbitration:
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
(i) any Contracting Party may propose amendments to the Annexes to this Convention or to any Protocols and the meetings referred to in Article 14;
(ii) such amendments shall be adopted by a three-fourths majority vote of the Contracting Parties to the instrument in question;
(iii) the Depositary shall without delay communicate the amendments so adopted to all Contracting Parties;
(iv) any Contracting Party that is unable to approve an amendment to the Annexes to this Convention or to any Protocol shall so notify in writing the Depositary within a period determined by the Contracting Parties concerned when adopting the amendment;
(v) the Depositary shall without delay notify all Contracting Parties of any notification received pursuant to the proceeding subparagraph;
(vi) on expiry of the period referred to in subparagraph (iv) above, the amendment to the Annex shall become effective for all Contracting Parties to this Convention or to the Protocol concerned which have not submitted a notification in accordance with the provisions of that subparagraph.
3. The adoption and entry into force of a new Annex to this Convention or to any Protocol shall be subject to the same procedure as for the adoption and entry into force of an amendment to an Annex in accordance with the provisions of paragraph 2 of this Article, provided that, if any amendment to the Convention or the Protocol concerned is involved, the new Annex shall not enter into force until such time as the amendment to the Convention or the Protocol concerned enters into force.
4. Amendments to the Annex on Arbitration shall be considered to be amendments to this Convention and shall be proposed and adopted in accordance with the procedures set out in Article 16 above.
Article 18 RULES OF PROCEDURE AND FINANCIAL RULES 1. The Contracting Parties shall adopt rules of procedure for their meetings and conferences envisaged in Articles 14, 15 and 16 above.
2. The Contracting Parties shall adopt financial rules, prepared in consultation with the Organization, to determine, in particular, their financial participation.
Article 19 SPECIAL EXERCISE OF VOTING RIGHT Within the areas of their competence, the European Economic Community and any regional economic grouping referred to in Article 24 of this Convention shall exercise their right to vote with a number of votes equal to the number of their Member States which are Contracting Parties to this Convention and to one or more Protocols; the
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
European Economic Community and any grouping as referred to above shall not exercise their right to vote in cases where the Member States concerned exercise theirs, and conversely.
Article 20 REPORTS The Contracting Parties shall transmit to the Organization reports on the measures adopted in the implementation of this Convention and of Protocols to which they are Parties, in such form and at such intervals as the meetings of Contracting Parties may determine.
Article 21 COMPLIANCE CONTROL The Contracting Parties undertake to cooperate in the developing of procedures enabling them to control the application of this Convention and the Protocols.
Article 22 SETTLEMENT OF DISPUTES 1. In case of a dispute between Contracting Parties as to the interpretation or application of this Convention or the Protocols, they shall seek a settlement of the dispute through negotiation or any other peaceful means of their own choice.
2. If the Parties concerned cannot settle their dispute through the means mentioned in the preceding paragraph, the dispute shall upon common agreement be submitted to arbitration under the conditions laid down in Annex A to this Convention.
3. Nevertheless, the Contracting Parties may at any time declare that they recognize as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other Party accepting the same obligation, the application of the arbitration procedure in conformity with the provisions of Annex A. Such declaration shall be notified in writing to the Depositary, who shall communicate it to the other Parties.
Article 23 RELATIONSHIP BETWEEN THE CONVENTION AND PROTOCOLS 1. No one may become a Contracting Party to this Convention unless it becomes at the same time a Contracting Party to at least one of the Protocols. No one may become a Contracting Party to a Protocol unless it is, or becomes at the same time, a Contracting Party to this Convention.
2. Any Protocol to this Convention shall be binding only on the Contracting Parties to the Protocol in question.
3. Decisions concerning any Protocol pursuant to Articles 14, 16 and 17 of this Convention shall be taken only by the Parties to the Protocol concerned.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Article 24 SIGNATURE This Convention, the Protocol for the prevention of pollution of the Mediterranean Sea by dumping from ships and aircraft and the Protocol concerning co-operation in combating pollution of the Mediterranean Sea by oil and other harmful substances in cases of emergency shall be open for signature in Barcelona on 16 February 1976 and in Madrid from 17 February 1976 to 16 February 1977 by any State invited as a participant in the Conference of Plenipotentiaries of the Coastal States of the Mediterranean Region on the Protection of the Mediterranean Sea, held in Barcelona from 2 to 16 February 1976, and by any State entitled to sign any Protocol. They shall also be open until the same date for signature by the European Economic Community and by any similar regional economic grouping at least one member of which is a coastal State of the Mediterranean Sea area and which exercise competences in fields covered by this Convention, as well as by any Protocol affecting them.
Article 25 RATIFICATION, ACCEPTANCE OR APPROVAL This Convention and any Protocol thereto shall be subject to ratification, acceptance, or approval. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be deposited with the Government of Spain, which will assume the functions of Depositary.
Article 26 ACCESSION 1. As from 17 February 1977, the present Convention, the Protocol for the prevention of pollution of the Mediterranean Sea by dumping from ships and aircraft, and the Protocol concerning co-operation in combating pollution of the Mediterranean Sea by oil and other harmful substances in cases of emergency shall be open for accession by the States, by the European Economic Community and by any grouping as referred to in Article 24.
2. After the entry into force of the Convention and of any Protocol, any State not referred to in Article 24 may accede to this Convention and to any Protocol, subject to prior approval by three-fourths of the Contracting Parties to the Protocol concerned.
3. Instruments of accession shall be deposited with the Depositary.
Article 27 ENTRY INTO FORCE 1. The Convention shall enter into force on the same date as the Protocol first entering into force.
2. The Convention shall also enter into force with regard to the States, the European Economic Community and any regional economic grouping referred to in Article 24 if they have complied with the formal requirements for becoming Contracting Parties to any other Protocol not yet entered into force.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
3. Any Protocol to this Convention, except as otherwise provided in such Protocol, shall enter into force on the 30th day following the date of deposit of at least six instruments of ratification, acceptance, or approval of, or accession to such Protocol by the Parties referred to in Article 24.
4. Thereafter, this Convention and any Protocol shall enter into force with respect to any State, the European Economic Community and any regional economic grouping referred to in Article 24 on the 30th day following the date of deposit of the instruments of ratification, acceptance, approval or accession.
Article 28 WITHDRAWAL 1. At any time after three years from the date of entry into force of this Convention, any Contracting Party may withdraw from this Convention by giving written notification of withdrawal.
2. Except as may be otherwise provided in any Protocol to this Convention, any Contracting Party may, at any time after three years from the date of entry into force of such Protocol, withdraw from such Protocol by giving written notification of withdrawal.
3. Withdrawal shall take effect 90 days after the date on which notification of withdrawal is received by the Depositary.
4. Any Contracting Party which withdraws from this Convention shall be considered as also having withdrawn from any Protocol to which it was a Party.
5. Any Contracting Party which, upon its withdrawal from a Protocol, is no longer a Party to any Protocol to this Convention, shall be considered as also having withdrawn from this Convention.
Article 29 RESPONSIBILITIES OF THE DEPOSITARY 1. The Depositary shall inform the Contracting Parties, any other Party referred to in Article 24, and the Organization:
(i) of the signature of this Convention and of any Protocol thereto, and of the deposit of instruments of ratification, acceptance, approval or accession in accordance with Articles 24, 25 and 26;
(ii) of the date on which the Convention and any Protocol will come into force in accordance with the provisions of Article 27;
(iii) of notifications of withdrawal made in accordance with Article 28;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
(iv) of the amendments adopted with respect to the Convention and to any Protocol, their acceptance by the Contracting Parties and the date of entry into force of those amendments in accordance with the provisions of Article 16;
(v) of the adoption of new Annexes and of the amendment of any Annex in accordance with Article 17;
(vi) of declarations recognizing as compulsory the application of the arbitration procedure mentioned in paragraph 3 of Article 22.
2. The original of this Convention and of any Protocol thereto shall be deposited with the Depositary, the Government of Spain, which shall send certified copies thereof to the Contracting Parties, to the Organization, and to the Secretary-General of the United Nations for registration and publication in accordance with Article 102 of the United Nations Charter.
In witness whereof the undersigned, being duly authorized by their respective Governments, have signed this Convention.
Done at Barcelona on 16 February 1976 in a single copy in the Arabic, English, French and Spanish languages, the four texts being equally authoritative.
ANNEX A ARBITRATION Article I Unless the Parties to the dispute otherwise agree, the arbitration procedures shall be conducted in accordance with the provisions of this Annex.
Article 2 1. At the request addressed by one Contracting Party to another Contracting Party in accordance with the provisions of paragraph 2 or paragraph 3 of Article 22 of the Convention, an arbitral tribunal shall be constituted. The request for arbitration shall state the subject matter of the application including, in particular, the articles of the Convention or the Protocols, the interpretation or application of which is in dispute.
2. The claimant party shall inform the Organization that it has requested the setting up of an arbitral tribunal, stating the name of the other Party to the dispute and articles of the Convention or the Protocols the interpretation or application of which is in its opinion in dispute. The Organization shall forward the information thus received to all Contracting Parties to the Convention.
Article 3 The arbitral tribunal shall consist of three members: each of the Parties to the dispute shall appoint an arbitrator, the two arbitrators so appointed shall designate by common agreement the third arbitrator who shall be the chairman of the tribunal. The latter shall not be a national of one of the Parties to the dispute, nor have his usual place of residence
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
in the territory of one of these Parties, nor be employed by any of them, nor have dealt with the case in any other capacity.
Article 4 1. If the chairman of the arbitral tribunal has not been designated within two months of the appointment of the second arbitrator, the Secretary-General of the United Nations shall, at the request of the most diligent Party, designate him within a further two months' period.
2. If one of the Parties to the disputes does not appoint an arbitrator within two months of receipt of the request, the other Party may inform the Secretary-General of the United Nations who shall designate the chairman of the arbitral tribunal within a further two months' period. Upon designation, the chairman of the arbitral tribunal shall request the Party which has not appointed an arbitrator to do so within two months. After such period, he shall inform the Secretary-General of the United Nations, who shall make this appointment within a further two months's period.
Article 5 1. The arbitral tribunal shall decide according to the rules of international law and, in particular, those of this Convention and the Protocols concerned.
2. Any arbitral tribunal constituted under the provisions of this Annex shall draw up its own rules of procedure.
Article 6 1. The decisions of the arbitral tribunal, both on procedure and on substance, shall be taken by majority vote of its members.
2. The tribunal may take all appropriate measures in order to establish the facts. It may, at the request of one of the Parties, recommend essential interim measures of protection.
3. If two or more arbitral tribunal constituted under the provisions of this Annex are seized of requests with identical or similar subjects, they may inform themselves of.the procedures for establishing the facts and take them into account as far as possible.
4. The Parties to the dispute shall provide all facilities necessary for the effective conduct of the proceedings.
5. The absence or default of a Party to the dispute shall not constitute an impediment of the proceedings.
Article 7 1. The award of the arbitral tribunal shall be accompanied by a statement of reasons. It shall be final and binding upon the Parties to the dispute.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. Any dispute which may arise between the Parties concerning the interpretation or execution of the award may be submitted by the most diligent Party to the arbitral tribunal which made the award or, if the latter cannot be seized thereof, to another arbitral tribunal constituted for this purpose in the same manner as the first.
Article 8 The European Economic Community and any regional economic grouping referred to in Article 24 of the Convention, like any Contracting Party to the Convention, are empowered to appear as complainants or as respondents before the arbitral tribunal.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Lampiran 2
Text of the Cartagena Convention
Convention for the Protection and
Development of the Marine
Environment of the Wider Caribbean
Region
Cartagena de Indias, 24 March 1983
The Contracting Parties, Fully aware of the economic and social value of the marine environment, including coastal areas, of the wider Caribbean region, Conscious of their responsibility to protect the marine environment of the wider Caribbean region for the benefit and enjoyment of present and future generations, Recognizing the special hydrographic and ecological characteristics of the region and its vulnerability to pollution, Recognizing further the threat to the marine environment, its ecological equilibrium, resources and legitimate uses posed by pollution and by the absence of sufficient integration of an environmental dimension into the development process, Considering the protection of the ecosystems of the marine environment of the wider Caribbean region to be one of their principal objectives, Realizing fully the need for co-operation amongst themselves and with competent international organizations in order to ensure co-ordinated and comprehensive development without environmental damage, Recognizing the desirability of securing the wider acceptance of international marine pollution agreements already in existence, Noting however, that, in spite of the progress already achieved, these agreements do not cover all aspects of environmental deterioration and do not entirely meet the special requirements of the wider Caribbean region, Have agreed as follows: Article 1 CONVENTION AREA
1. This Convention shall apply to the wider Caribbean region, hereinafter referred to as
"the Convention area" as defined in paragraph 1 of article 2.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. Except as may be otherwise provided in any protocol to this Convention, the
Convention area shall not include internal waters of the Contracting Parties.
Article 2 DEFINITIONS For the purposes of this Convention:
1. The "Convention area" means the marine environment of the Gulf of Mexico, the
Caribbean Sea and the areas of the Atlantic Ocean adjacent thereto, south of 30 deg
north latitude and within 200 nautical miles of the Atlantic coasts of the States
referred to in article 25 of the Convention.
2. "Organization" means the institution designated to carry out the functions
enumerated in paragraph 1 of article 15. Article 3 GENERAL PROVISIONS
1. The Contracting Parties shall endeavour to conclude bilateral or multilateral
agreements including regional or subregional agreements, for the protection of the
marine environment of the Convention area. Such agreements shall be consistent
with this Convention and in accordance with international law. Copies of such
agreements shall be communicated to the Organization and, through the
Organization, to all signatories and Contracting Parties to this Convention.
2. This Convention and its protocols shall be construed in accordance with
international law relating to their subject-matter. Nothing in this Convention or its
protocols shall be deemed to affect obligations assumed by the Contracting Parties
under agreements previously concluded.
3. Nothing in this Convention or its protocols shall prejudice the present or future
claims or the legal views of any Contracting Party concerning the nature and extent
of maritime jurisdiction.
Article 4 GENERAL OBLIGATIONS
1. The Contracting Parties shall, individually or jointly, take all appropriate measures
in conformity with international law and in accordance with this Convention and
those of its protocols in force to which they are parties to prevent, reduce and control
pollution of the Convention area and to ensure sound environmental management,
using for this purpose the best practicable means at their disposal and in accordance
with their capabilities.
2. The Contracting Parties shall, in taking the measures referred to in paragraph 1,
ensure that the implementation of those measures does not cause pollution of the
marine environment outside the Convention area.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
3. The Contracting Parties shall co-operate in the formulation and adoption of
protocols or other agreements to facilitate the effective implementation of this
Convention.
4. The Contracting Parties shall take appropriate measures, in conformity with
international law, for the effective discharge of the obligations prescribed in this
Convention and its protocols and shall endeavour to harmonize their policies in this
regard.
5. The Contracting Parties shall co-operate with the competent international, regional
and subregional organizations for the effective implementation of this Convention
and its protocols. They shall assist each other in fulfilling their obligations under this
Convention and its protocols.
Article 5 POLLUTION FROM SHIPS The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, reduce and control pollution of the Convention area caused by discharges from ships and, for this purpose, to ensure the effective implementation of the applicable international rules and standards established by the competent international organization.
Article 6 POLLUTION CAUSED BY DUMPING The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, reduce and control pollution of the Convention area caused by dumping of wastes and other matter at sea from ships, aircraft or manmade structures at sea, and to ensure the effective implementation of the applicable international rules and standards.
Article 7 POLLUTION FROM LAND-BASED SOURCES The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, reduce and control pollution of the Convention area caused by coastal disposal or by discharges emanating from rivers, estuaries, coastal establishments, outfall structures, or any other sources on their territories.
Article 8 POLLUTION FROM SEA-BED ACTIVITIES The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, reduce and control pollution of the Convention area resulting directly or indirectly from exploration and exploitation of the sea-bed and its subsoil.
Article 9 AIRBORNE POLLUTION The Contracting Parties shall take all appropriate measures to prevent, reduce and control pollution of the Convention area resulting from discharges into the atmosphere from activities under their jurisdiction.
Article 10 SPECIALLY PROTECTED AREAS
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The Contracting Parties shall, individually or jointly, take all appropriate measures to protect and preserve rare or fragile ecosystems, as well as the habitat of depleted, threatened or endangered species, in the Convention area. To this end, the Contracting Parties shall endeavour to establish protected areas. The establishment of such areas shall not affect the rights of other Contracting Parties and third States. In addition, the Contracting Parties shall exchange information concerning the administration and management of such areas.
Article 11 CO-OPERATION IN CASES OF EMERGENCY
1. The Contracting Parties shall co-operate in taking all necessary measures to respond
to pollution emergencies in the Convention area, whatever the cause of such
emergencies, and to control, reduce or eliminate pollution or the threat of pollution
resulting therefrom. To this end, the Contracting Parties shall, individually and
jointly, develop and promote contingency plans for responding to incidents
involving pollution or the threat thereof in the Convention area.
2. When a Contracting Party becomes aware of cases in which the Convention area is
in imminent danger of being polluted or has been polluted, it shall immediately
notify other States likely to be affected by such pollution, as well as the competent
international organizations. Furthermore, it shall inform, as soon as feasible, such
other States and competent international organizations of measures it has taken to
minimize or reduce pollution or the threat thereof.
Article 12 ENVIRONMENTAL IMPACT ASSESSMENT
1. As part of their environmental management policies the Contracting Parties
undertake to develop technical and other guidelines to assist the planning of their
major development projects in such a way as to prevent or minimize harmful
impacts on the Convention area.
2. Each Contracting Party shall assess within its capabilities, or ensure the assessment
of, the potential effects of such projects on the marine environment, particularly in
coastal areas, so that appropriate measures may be taken to prevent any substantial
pollution of, or significant and harmful changes to, the Convention area.
3. With respect to the assessments referred to in paragraph 2, each Contracting Party
shall, with the assistance of the Organization when requested, develop procedures
for the dissemination of information and may, where appropriate, invite other
Contracting Parties which may be affected to consult with it and to submit
comments.
Article 13 SCIENTIFIC AND TECHNICAL CO-OPERATION
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
1. The Contracting Parties undertake to cooperate, directly and, when appropriate,
through the competent international and regional organizations, in scientific
research, monitoring, and the exchange of data and other scientific information
relating to the purposes of this Convention.
2. To this end, the Contracting Parties undertake to develop and co-ordinate their
research and monitoring programmes relating to the Convention area and to ensure,
in co-operation with the competent international and regional organizations, the
necessary links between their research centres and institutes with a view to
producing compatible results. With the aim of further protecting the Convention
area, the Contracting Parties shall endeavour to participate in international
arrangements for pollution research and monitoring.
3. The Contracting Parties undertake to cooperate, directly and, when appropriate,
through the competent international and regional organizations, in the provision to
other Contracting Parties of technical and other assistance in fields relating to
pollution and sound environmental management of the Convention area, taking into
account the special needs of the smaller island developing countries and territories.
Article 14 LIABILITY AND COMPENSATION The Contracting Parties shall co-operate with a view to adopting appropriate rules and procedures, which are in conformity with international law, in the field of liability and compensation for damage resulting from pollution of the Convention area.
Article 15 INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS
1. The Contracting Parties designate the United Nations Environment Programme to
carry out the following secretariat functions:
a. To prepare and convene the meetings of Contracting Parties and conferences
provided for in articles 16, 17 and 18;
b. To transmit the information received in accordance with articles 3, 11 and 22;
c. To perform the functions assigned to it by protocols to this Convention;
d. To consider enquiries by, and information from, the Contracting Parties and to
consult with them on questions relating to this Convention, its protocols and
annexes thereto;
e. To co-ordinate the implementation of cooperative activities agreed upon by the
meetings of Contracting Parties and conferences provided for in
articles 16, 17 and 18;
f. To ensure the necessary co-ordination with other international bodies which the
Contracting Parties consider competent.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Each Contracting Party shall designate an appropriate authority to serve as the
channel of communication with the Organization for the purposes of this
Convention and its protocols.
Article 16 MEETINGS OF THE CONTRACTING PARTIES
1. The Contracting Parties shall hold ordinary meetings once every two years and
extraordinary meetings at any other time deemed necessary, upon the request of the
Organization or at the request of any Contracting Party, provided that such requests
are supported by the majority of the Contracting Parties.
2. It shall be the function of the meetings of the Contracting Parties to keep under
review the implementation of this Convention and its protocols and, in particular:
a. To assess periodically the state of the environment in the Convention area;
b. To consider the information submitted by the Contracting Parties under
article 22;
c. To adopt, review and amend annexes to this Convention and to its protocols, in
accordance with article 19;
d. To make recommendations regarding the adoption of any additional protocols
or any amendments to this Convention or its protocols in accordance with
articles 17 and 18;
e. To establish working groups as required to consider any matters concerning
this Convention and its protocols, and annexes thereto;
f. To consider co-operative activities to be undertaken within the framework of
this Convention and its protocols, including their financial and institutional
implications, and to adopt decisions relating thereto;
g. To consider and undertake any other action that may be required for the
achievement of the purposes of this Convention and its protocols.
Article 17 ADOPTION OF PROTOCOLS
1. The Contracting Parties, at a conference of plenipotentiaries, may adopt additional
protocols to this Convention pursuant to paragraph 3 of article 4.
2. If so requested by a majority of the Contracting Parties, the Organization shall
convene a conference of plenipotentiaries for the purpose of adopting additional
protocols to this Convention.
Article 18 AMENDMENT OF THE CONVENTION AND ITS PROTOCOLS
1. Any Contracting Party may propose amendments to this Convention. Amendments
shall be adopted by a conference of plenipotentiaries which shall be convened by the
Organization at the request of a majority of the Contracting Parties.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. Any Contracting Party to this Convention may propose amendments to any protocol.
Such amendments shall be adopted by a conference of plenipotentiaries which shall
be convened by the Organization at the request of a majority of the Contracting
Parties to the protocol concerned.
3. The text of any proposed amendment shall be communicated by the Organization to
all Contracting Parties at least 90 days before the opening of the conference of
plenipotentiaries.
4. Any amendment to this Convention shall be adopted by a three-fourths majority vote
of the Contracting Parties to the Convention which are represented at the conference
of plenipotentiaries and shall be submitted by the Depositary for acceptance by all
Contracting Parties to the Convention. Amendments to any protocol shall be adopted
by a three-fourths majority vote of the Contracting Parties to the protocol which are
represented at the conference of plenipotentiaries and shall be submitted by the
Depositary for acceptance by all Contracting Parties to the protocol.
5. Instruments of ratification, acceptance or approval of amendments shall be deposited
with the Depositary. Amendments adopted in accordance with paragraph 3 shall
enter into force between Contracting Parties having accepted such amendments on
the thirtieth day following the date of receipt by the Depositary of the instruments of
at least three fourths of the Contracting Parties to this Convention or to the protocol
concerned, as the case may be. Thereafter the amendments shall enter into force for
any other Contracting Party on the thirtieth day after the date on which that Party
deposits its instrument.
6. After entry into force of an amendment to this Convention or to a protocol, any new
Contracting Party to the Convention or such protocols shall become a Contracting
Party to the Convention or protocol as amended.
Article 19 ANNEXES AND AMENDMENTS TO ANNEXES
1. Annexes to this Convention or to a protocol shall form an integral part of the
Convention or, as the case may be, such protocol.
2. Except as may be otherwise provided in any protocol with respect to its annexes, the
following procedure shall apply to the adoption and entry into force of amendments
to annexes to this Convention or to annexes to a protocol:
a. Any Contracting Party may propose amendments to annexes to this Convention
or to annexes to any protocol at a meeting convened pursuant to article 16;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
b. Such amendments shall be adopted by a three-fourths majority vote of the
Contracting Parties to the instrument in question present at the meeting referred
to in article 16;
c. The Depositary shall without delay communicate the amendments so adopted
to all Contracting Parties to the Convention;
d. Any Contracting Party that is unable to accept an amendment to annexes to this
Convention or to annexes to any protocol shall so notify the Depositary in
writing within 90 days from the date on which the amendment was adopted;
e. The Depositary shall without delay notify all Contracting Parties of
notifications received pursuant to the preceding subparagraph;
f. On expiration of the period referred to in subparagraph (d), the amendment to
the annex shall become effective for all Contracting Parties to this Convention
or to the protocol concerned which have not submitted a notification in
accordance with the provisions of that subparagraph;
g. A Contracting Party may at any time substitute an acceptance for a previous
declaration of objection, and the amendment shall thereupon enter into force for
that Party.
The adoption and entry into force of a new annex shall be subject to the same
procedure as that for the adoption and entry into force of an amendment to an annex,
provided that, if it entails an amendment to the Convention or to one of its protocols,
the new annex shall not enter into force until such time as that amendment enters
into force.
Any amendment to the Annex on Arbitration shall be proposed and adopted, and
shall enter into force, in accordance with the procedures set out in article 18. Article 20 RULES OF PROCEDURE AND FINANCIAL RULES
1. The Contracting Parties shall unanimously adopt rules of procedure for their
meetings.
2. The Contracting Parties shall unanimously adopt financial rules, prepared in
consultation with the Organization, to determine, in particular, their financial
participation under this Convention and under protocols to which they are parties.
Article 21 SPECIAL EXERCISE OF THE RIGHT TO VOTE In their fields of competence, the regional economic integration organizations referred to in article 25 shall exercise their right to vote with a number of votes equal to the number of their member States which are Contracting Parties to this Convention and to one or
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
more protocols. Such organizations shall not exercise their right to vote if the member States concerned exercise theirs, and vice versa. Article 22 TRANSMISSION OF INFORMATION The Contracting Parties shall transmit to the Organization information on the measures adopted by them in the implementation of this Convention and of protocols to which they are parties, in such form and at such intervals as the meetings of Contracting Parties may determine.
Article 23 SETTLEMENT OF DISPUTES
1. In case of a dispute between Contracting Parties as to the interpretation or
application of this Convention or its protocols, they shall seek a settlement of the
dispute through negotiation or any other peaceful means of their own choice.
2. If the Contracting Parties concerned cannot settle their dispute through the means
mentioned in the preceding paragraph, the dispute shall upon common agreement,
except as may be otherwise provided in any protocol to this Convention, be
submitted to arbitration under the conditions set out in the Annex on Arbitration.
However, failure to reach common agreement on submission of the dispute to
arbitration shall not absolve the Contracting Parties from the responsibility of
continuing to seek to resolve it by the means referred to in paragraph 1.
3. A Contracting Party may at any time declare that it recognizes as compulsory ipso
facto and without special agreement, in relation to any other Contracting Party
accepting the same obligation, the application of the arbitration procedure set out in
the Annex on Arbitration. Such declaration shall he notified in writing to the
Depositary, who shall communicate it to the other Contracting Parties. Article 24 RELATIONSHIP BETWEEN THE CONVENTION AND ITS PROTOCOLS
1. No State or regional economic integration organization may become a Contracting
Party to this Convention unless it becomes at the same time a Contracting Party to at
least one protocol to the Convention. No State or regional economic integration
organization may become a Contracting Party to a protocol unless it is, or becomes
at the same time, a Contracting Party to the Convention.
2. Decisions concerning any protocol shall be taken only by the Contracting Parties to
the protocol concerned.
Article 25 SIGNATURE This Convention and the Protocol concerning Cooperation in Combating Oil Spills in the Wider Caribbean Region shall be open for signature at Cartagena de Indias on 24 March 1983 and at Bogota from 25 March 1983 to 23 March 1984 by States invited to participate in the Conference of Plenipotentiaries on the Protection and Development of the Marine Environment of the Wider Caribbean Region, held at Cartagena de Indias
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
from 21 to 24 March 1983. They shall also be open for signature between the same dates by any regional economic integration organization exercising competence in fields covered by the Convention and that Protocol and having at least one member State which belongs to the wider Caribbean region, provided that such regional organization has been invited to participate in the Conference of Plenipotentiaries.
Article 26 RATIFICATION, ACCEPTANCE AND APPROVAL
1. This Convention and its protocols shall be subject to ratification, acceptance or
approval by States. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be
deposited with the Government of the Republic of Colombia, which will assume the
functions of Depositary.
2. This Convention and its protocols shall also be subject to ratification, acceptance or
approval by the organizations referred to in article 25 having at least one member
State a party to the Convention. In their instruments of ratification, acceptance or
approval, such organizations shall declare the extent of their competence with
respect to the matters governed by the Convention and the relevant protocol.
Subsequently these organizations shall inform the Depositary of any substantial
modification in the extent of their competence. Article 27 ACCESSION
1. This Convention and its protocols shall be open for accession by the States and
organizations referred to in article 25 as from the day following the date on which
the Convention or the protocol concerned is closed for signature.
2. After entry into force of this Convention and of any protocol, any State or regional
economic integration organization not referred to in article 25 may accede to the
Convention and to any protocol subject to prior approval by three fourths of the
Contracting Parties to the Convention or the protocol concerned, provided that any
such regional economic integration organization exercises competence in fields
covered by the Convention and the relevant protocol and has at least one member
State belonging to the wider Caribbean region, that is a party to the Convention and
the relevant protocol.
3. In their instruments of accession, the organizations referred to in paragraphs 1 and 2
shall declare the extent of their competence with respect to the matters governed by
the Convention and the relevant protocol. These organizations shall also inform the
Depositary of any substantial modification in the extent of their competence.
4. Instruments of accession shall be deposited with the Depositary.
Article 28 ENTRY INTO FORCE
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
1. This Convention and the Protocol concerning Co-operation in Combating Oil Spills
in the Wider Caribbean Region shall enter into force on the thirtieth day following
the date of deposit of the ninth instrument of ratification, acceptance or approval of,
or accession to, those agreements by the States referred to in article 25.
2. Any additional protocol to this Convention, except as otherwise provided in such
protocol, shall enter into force on the thirtieth day following the date of deposit of
the ninth instrument of ratification, acceptance, or approval of such protocol, or of
accession thereto.
3. For the purposes of paragraphs 1 and 2, any instrument deposited by an organization
referred to in article 25 shall not be counted as additional to that deposited by any
member State of such organization.
4. Thereafter, this Convention and any protocol shall enter into force with respect to
any State or organization referred to in article 25 or article 27 on the thirtieth day
following the date of deposit of its instruments of ratification, acceptance, approval
or accession. Article 29 DENUNCIATION
1. At any time after two years from the date of entry into force of this Convention with
respect to a Contracting Party, that Contracting Party may denounce the Convention
by giving written notification to the Depositary.
2. Except as may be otherwise provided in any protocol to this Convention, any
Contracting Party may, at any time after two years from the date of entry into force
of such protocol with respect to that Contracting Party, denounce the protocol by
giving written notification to the Depositary.
3. Denunciation shall take effect on the ninetieth day after the date on which
notification is received by the Depositary.
4. Any Contracting Party which denounces this Convention shall be considered as also
having denounced any protocol to which it was a Contracting Party.
5. Any Contracting Party which, upon its denunciation of a protocol, is no longer a
Contracting Party to any protocol of this Convention, shall be considered as also
having denounced the Convention itself.
Article 30 DEPOSITARY
1. The Depositary shall inform the Signatories and the Contracting Parties, as well as
the Organization, of:
a. The signature of this Convention and of its protocols, and the deposit of
instruments of ratification, acceptance, approval or accession;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
b. The date on which the Convention or any protocol will come into force for each
Contracting Party;
c. Notification of any denunciation and the date on which it will take effect;
d. The amendments adopted with respect to the Convention or to any protocol,
their acceptance by the Contracting Parties and the date of their entry into
force;
e. All matters relating to new annexes and to the amendment of any annex;
f. Notifications by regional economic integration organizations of the extent of
their competence with respect to matters governed by this Convention and the
relevant protocols, and of any modifications thereto.
The original of this Convention and of any protocol shall be deposited with the
Depositary, the Government of the Republic of Colombia, which shall send certified
copies thereof to the Signatories, the Contracting Parties, and the Organization.
As soon as the Convention and its protocols enter into force, the Depositary shall
transmit a certified copy of the instrument concerned to the Secretary-General of the
United Nations for registration and publication in accordance with Article 102 of the
Charter of the United Nations.
In witness whereof the undersigned, being duly authorized by their respective Governments, have signed this Convention. Done at Cartagena de Indias this twenty-fourth day of March one thousand nine hundred and eighty-three in a single copy in the English, French and Spanish languages, the three texts being equally authentic.
Annex ARBITRATION
Article 1 Unless the agreement referred to in article 23 the Convention provides otherwise, the arbitration procedure shall be conducted in accordance with articles 2 to 10 below. Article 2 The claimant party shall notify the Secretariat that the parties have agreed to submit the dispute to arbitration pursuant to paragraph 2 or paragraph 3 of article 23 of the Convention. The notification shall state the subject-matter of arbitration and include, in particular, the articles of the Convention or the protocol, the interpretation or application of which are at issue. The Secretariat shall forward the information thus received to all Contracting Parties to the Convention or to the protocol concerned.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Article 3 The arbitral tribunal shall consist of three members. Each of the parties to the dispute shall appoint an arbitrator and the two arbitrators so appointed shall designate by common agreement the third arbitrator who shall be the chairman of the tribunal. The latter shall not be a national of one of the parties to the dispute, nor have his usual place of residence in the territory of one of these parties, nor be employed by any of them, nor have dealt with the case in any other capacity.
Article 4
1. If the chairman of the arbitral tribunal has not been designated within two months of
the appointment of the second arbitrator, the Secretary-General of the United
Nations shall, at the request of either party, designate him within a further two
months period.
2. If one of the parties to the dispute does not appoint an arbitrator within two months
of receipt of the request, the other party may inform the Secretary-General of the
United Nations who shall designate the chairman of the arbitral tribunal within a
further two months' period. Upon designation, the chairman of the arbitral tribunal
shall request the party which has not appointed an arbitrator to do so within two
months. After such period, he shall inform the Secretary-General of the United
Nations, who shall make this appointment within a further two months' period.
Article 5
1. The arbitral tribunal shall render its decision in accordance with international law
and in accordance with the provisions of this Convention and the protocol or
protocols concerned.
2. Any arbitral tribunal constituted under the provisions of this annex shall draw up its
own rules of procedure.
Article 6
1. The decisions of the arbitral tribunal, both on procedure and on substance, shall be
taken by majority vote of its members.
2. The tribunal may take all appropriate measures in order to establish the facts. It may,
at the request of one of the parties, recommend essential interim measures of
protection.
3. The parties to the dispute shall provide all facilities necessary for the effective
conduct of the proceedings.
4. The absence or default of a party to the dispute shall not constitute an impediment to
the proceedings.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Article 7 The tribunal may hear and determine counterclaims arising directly out of the subject-matter of the dispute.
Article 8 Unless the arbitral tribunal determines otherwise because of the particular circumstances of the case, the expenses of the tribunal, including the remuneration of its members, shall be borne by the parties to the dispute in equal shares. The tribunal shall keep a record of all its expenses, and shall furnish a final statement thereof to the parties.
Article 9 Any Contracting Party that has an interest of a legal nature in the subject-matter of the dispute which may be affected by the decision in the case, may intervene in the proceedings with the consent of the tribunal.
Article 10
1. The tribunal shall render its award within five months of the date on which it is
established unless it finds it necessary to extend the time-limit for a period which
should not exceed five months.
2. The award of the arbitral tribunal shall be accompanied by a statement of reasons on
which it is based. It shall be final and binding upon the parties to the dispute.
3. Any dispute which may arise between the parties concerning the interpretation or
execution of the award may be submitted by either party to the arbitral tribunal
which made the award or, if the latter cannot be seized thereof, to another arbitral
tribunal constituted for this purpose in the same manner as the first.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Lampiran 3
Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution (BUCHAREST CONVENTION)
The Contracting Parties,
Determined to act with a view to achieve progress in the protection of the marine environment of the Black Sea and in the conservation of its living resources,
Conscious of the importance of the economic, social and health values of the marine environment of the Black Sea,
Convinced that the natural resources and amenities of the Black Sea can be preserved primarily through joint efforts of the Black Sea countries,
Taking into account the generally accepted rules and regulations of international law,
Having in mind the principles, customs and rules of general international law regulating the protection and preservation of the marine environment and theconservation of the living resources thereof,
Taking into account the relevant provisions of the Convention on Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter of 1972 as amended; the International Convention on Prevention of Pollution from Ships of 1973 as modified by the Protocol of 1978 relating thereto as amended; the Convention on Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal of 1989 and the International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Cooperation of 1990,
Recognizing the significance of the principles adopted by the Conference on Security and Cooperation in Europe,
Taking into account their interest in the conservation, exploitation and development of the bio-productive potential of the Black Sea,
Bearing in mind that the Black Sea coast is a major international resort area where Black Sea Countries have made large investments in public health and tourism,
Taking into account the special hydrological and ecological characteristics of the Black Sea and the hypersensitivity of its flora and fauna to changes in the temperature and composition of the sea water,
Noting that pollution of the marine environment of Black Sea also emanates from land-based sources in other countries of Europe, mainly through rivers,
Reaffirming their readiness to cooperate in the preservation of the marine environment of the Black Sea and the protection of its living resources against pollution,
Noting the necessity of scientific, technical and technological cooperation for the attainment of the purposes of the Convention,
Noting that existing international agreements do not cover all aspects of pollution of the marine environment of the Black Sea emanating from third countries,
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Realizing the need for close cooperation with competent international organizations based on a concerted regional approach for the protection and enhancement of the Black Sea,
Have agreed as follows:
Article I
Area of application
1. This Convention shall apply to the Black Sea proper with the southern limit constituted for the purposes of this Convention by the line joining Capes Kelagra and Dalyan.
2. For the purposes of this Convention the reference to the Black Sea shall include the territorial sea and exclusive economic zone of each Contracting Party in the Black Sea. However, any Protocol to this Convention may provide otherwise for the purposes of that Protocol.
Article II
Definitions
For the purposes of this Convention:
1. “Pollution of the marine environment” means the introduction by man, directly or indirectly, of substances or energy into the marine environment, including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazard to human health, hindrance to marine activities, including fishing and other legitimate uses of the sea, impairment of quality for use of sea water and reduction of amenities.
2. a) “Vessel” means seaborne craft of any type. This expression includes hydrofoil boats, aircushion vehicles, submersibles, floating craft whether self-propelled or not and platforms and other man-made structures at sea.
b) “Aircraft” means airborne craft of any type.
3. a) “Dumping” means:
i. any deliberate disposal of wastes or other matter from vessels or aircraft; ii. any deliberate disposal of vessels or aircraft;
2. “Dumping” does not include:
i. the disposal of wastes or other matter incidental to or derived from the normal operations of vessels or aircraft and their equipment, other than wastes or other matter transported by or to vessels or aircraft operating for purpose of disposal of such matter or derived from the treatment of such wastes or other matter on such vessels or aircraft;
ii. placement of matter for a purpose other than the mere disposal thereof, provided that such placement is not contrary to the aims of this Convention.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
4. “Harmful substance” means any hazardous, noxious or other substance, the introduction of which into the marine environment would result in pollution or adversely affect the biological processes due to its toxicity and/or persistence and/or bioaccumulation characteristics.
Article III
General provisions
The Contracting Parties take part in this Convention on the basis of full equality in rights and duties, respect for national sovereignty and independence, non-interference in their internal affairs, mutual benefit and other relevant principles and norms of international law.
Article IV
Sovereign immunity
This Convention does not apply to any warship, naval auxiliary or other vessels or aircraft owned or operated by a State and used, for the time being, only on government non-commercial service.
However, each Contracting Party shall ensure, by the adoption of appropriate measures not impairing operations of such vessels or aircraft owned or operated by it, that such vessels or aircraft act in a manner consistent, so far as is practicable, with this Convention.
Article V
General undertakings
1. Each Contracting Party shall ensure the application of the Convention in those areas of the Black Sea where it exercises its sovereignty as well as its sovereign rights and jurisdiction without prejudice to the rights and obligations of the Contracting Parties arising from the rules of international law.
Each Contracting Party, in order to achieve the purposes of this Convention, shall bear in mind the adverse effect of pollution within its internal waters on the marine environment of the Black Sea.
2. The Contracting Parties shall take individually or jointly, as appropriate, all necessary measures consistent with international law and in accordance with the provisions of this Convention to prevent, reduce and control pollution thereof in order to protect and preserve the marine environment of the Black Sea.
3. The Contracting Parties will cooperate in the elaboration of additional Protocols and Annexes other than those attached to this Convention, as necessary for its implementation.
4. The Contracting Parties, when entering bilateral or multilateral agreements for the protection and preservation of the marine environment of the Black Sea, shall endeavour to ensure that such agreements are consistent with this Convention. Copies of such agreements shall be transmitted to the other Contracting Parties through the Commission as defined in Article XVII of this Convention.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
5. The Contracting Parties will cooperate in promoting, within international organizations found to be competent by them, the elaboration of measures contributing to the protection and preservation of the marine environment of the Black Sea.
Article VI
Pollution by hazardous substances and matter
Each Contracting Party shall prevent pollution of the marine environment of the Black Sea from any source by substances or matter specified in the Annex to this Convention.
Article VII
Pollution from land-based sources
The Contracting Parties shall prevent, reduce and control pollution of the marine environment of the Black Sea from land based sources, in accordance with the Protocol on the Protection of the Black Sea Marine Environment Against Pollution from Land-Based Sources which shall form an integral part of this Convention.
Article VIII
Pollution from vessels
The Contracting Parties shall take individually or, when necessary, jointly, all appropriate measures to prevent, reduce and control pollution of the marine environment of the Black Sea from vessels in accordance with generally accepted international rules and standards.
Article IX
Cooperation in combating pollution in emergency situations
The Contracting Parties shall cooperate in order to prevent, reduce and combat pollution of the marine environment of the Black Sea resulting from emergency situations in accordance with the Protocol on Cooperation in Combatting Pollution of the Black Sea by Oil and Other Harmful Substances in Emergency Situations which shall form an integral part of this Convention.
Article X
Pollution by dumping
1. The Contracting Parties shall take all appropriate measures and cooperate in preventing, reducing and controlling pollution caused by dumping in accordance with the Protocol on the Protection of the Black Sea Marine Environment Against Pollution by Dumping which shall form an integral part of this Convention.
2. The Contracting Parties shall not permit, within areas under their respective jurisdiction, dumping by natural or juridical persons of non-Black Sea States.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Article XI
Pollution from activities on the continental shelf
1. Each Contracting Party shall, as soon as possible, adopt laws and regulations and take measures to prevent, reduce and control pollution of the marine environment of the Black Sea caused by or connected with activities on its continental shelf, including the exploration and exploitation of the natural resources of the continental shelf.
The Contracting Parties shall inform each other through the Commission of the laws, regulations and measures adopted by them in this respect.
2. The Contracting Parties shall cooperate in this field, as appropriate, and endeavour to harmonize the measures referred to in paragraph 1 of this Article.
Article XII
Pollution from or through the atmosphere
The Contracting Parties shall adopt laws and regulations and take individual or agreed measures to prevent, reduce and control pollution of the marine environment of the Black Sea from or through the atmosphere, applicable to the airspace above their territories and to vessels flying their flag or vessels and aircraft registered in their territory.
Article XIII
Protection of the marine living resources
The Contracting Parties, when taking measures in accordance with this Convention for the prevention, reduction and control of the pollution of the marine environment of the Black Sea, shall pay particular attention to avoiding harm to marine life and living resources, in particular by changing their habitats and creating hindrance to fishing and other legitimate uses of the Black Sea, and in this respect shall give due regard to the recommendations of competent international organizations.
Article XIV
Pollution by hazardous wastes in transboundary movement
The Contracting Parties shall take all measures consistent with international law and cooperate in preventing pollution of the marine environment of the Black Sea due to hazardous wastes in transboundary movement, as well as in combatting illegal traffic thereof, in accordance with the Protocol to be adopted by them.
Article XV
Scientific and technical cooperation and monitoring
1. The Contracting Parties shall cooperate in conducting scientific research aimed at protecting and preserving the marine environment of the Black Sea and shall undertake, where appropriate, joint programmes of scientific research, and exchange relevant scientific data and information.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. The Contracting Parties shall cooperate in conducting studies aimed at developing ways and means for the assessment of the nature and extent of pollution and of its effect on the ecological system in the water column and sediments, detecting pollutes areas, examining and assessing risks and finding remedies, and in particular, they shall develop alternative methods of treatment, disposal, elimination or utilization of harmful substances.
3. The Contracting Parties shall cooperate through the Commission in establishing appropriate scientific criteria for the formulation and elaboration of rules, standards and recommended practices and procedures for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment of the Black Sea.
4. The Contracting Parties shall, inter alia, establish through the Commission and, where appropriate, in cooperation with international organizations they consider to be competent, complementary or joint monitoring programmes covering all sources of pollution and shall establish a pollution monitoring system for the Black Sea including, as appropriate, programmes as bilateral or multilateral level for observing, measuring, evaluating and analyzing the risks or effects of pollution of the marine environment of the Black Sea.
5. When the Contracting Parties have reasonable grounds for believing that activities under their jurisdiction or control may cause substantial pollution or significant and harmful changes to the marine environment of the Black Sea, they shall, before commencing such activities, assess their potential effects on the basis of all relevant information and monitoring data and shall communicate the results of such assessments to the Commission.
6. The Contracting Parties shall co-operate as appropriate, in the development, acquisition and introduction of clean and low waste technology, inter alia, by adopting measures to facilitate the exchange of such technology.
7. Each Contracting Party shall designate the competent national authority responsible for scientific activities and monitoring.
Article XVI
Responsibility and liability
1. The Contracting Parties are responsible for the fulfillment of their international obligations concerning the protection and the preservation of the marine environment of the Black Sea.
2. Each Contracting Party shall adopt rules and regulations on the liability for damaged caused by natural or juridical persons to the marine environment of the Black Sea in areas where it exercises, in accordance with international law, its sovereignty, sovereign rights or jurisdiction.
3. The Contracting Parties shall ensure that recourse is available in accordance with their legal systems for prompt and adequate compensation or other relief for damage caused by pollution of the marine environment of the Black Sea by natural or juridical persons under their jurisdiction.
4. The Contracting Parties shall cooperate in developing and harmonizing their laws, regulations and procedures relating to liability, assessment of and compensation for damage caused by pollution of the marine environment of the Black Sea, in order to ensure the highest degree of deterrence and protection for the Black Sea as a whole.
Article XVII
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The Commission
1. In order to achieve the purposes of this Convention, the Contracting Parties shall establish a Commission on the Protection of the Black Sea Against Pollution, hereinafter referred to as “the Commission”.
2. Each Contracting Party shall be represented in the Commission by one Representative who may be accompanied by Alternate Representatives, Advisers and Experts.
3. The Chairmanship of the Commission shall be assumed by each Contracting Party, in turn, in the alphabetical order of the English language. The first Chairman of the Commission shall be the Representative of the Republic of Bulgaria.
The Chairman shall serve for one year, and during his term he cannot act in the capacity of Representative of his country. Should the Chairmanship fall vacant, the Contracting Party chairing the Commission shall appoint a successor to remain in office until the term of its Chairmanship expires.
4. The Commission shall meet at last once a year. The Chairman shall convene extraordinary meetings upon the request of any Contracting Party.
5. Decisions and recommendations of the Commission shall be adopted unanimously by the Black Sea States.
6. The Commission shall be assisted in its activities by a permanent Secretariat. The Commission shall nominate the Executive Director and other officials of the Secretariat. The Executive Director shall appoint the technical staff in accordance with the rules to be established by the Commission. The Secretariat shall be composed of nationals of all Black Sea States.
The Commission and the Secretariat shall have their headquarters in Istanbul. The location of the headquarters may be changed by the Contracting Parties by consensus.
7. The Commission shall adopt its Rules of Procedure for carrying out its functions, decide upon the organization of its activities and establish subsidiary bodies in accordance with the provisions of this Convention.
8. Representatives, Alternate Representatives, Advisers and Experts of the Contracting Parties shall enjoy in the territory of the respective Contracting Party diplomatic privileges and immunities in accordance with international law.
9. The privileges and immunities of the officials of the Secretariat shall be determined by agreement among the Contracting Parties.
10. The Commission shall have such legal capacity as may be necessary for the exercise of its functions.
11. The Commission shall conclude a Headquarters Agreement with the host Contracting Party.
Article XVIII
Functions of the Commission
The Commission shall:
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
1. Promote the implementation of this Convention and inform the Contracting Parties of its work.
2. Make recommendations on measures necessary for achieving the aims of this Convention.
3. Consider questions relating to the implementation of this Convention and recommend such amendments to the Convention and to the Protocols as may be required, including amendments to Annexes of this Convention and the Protocols.
4. Elaborate criteria pertaining to the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment of the Black Sea and to the elimination of the effects of pollution, as well as recommendations on measures to this effect.
5. Promote the adoption by the Contracting Parties of additional measures needed to protect the marine environment of the Black Sea, and to that end receive, process and disseminate to the Contracting Parties relevant scientific, technical and statistical information and promote scientific and technical research.
6. Cooperate with competent international organizations, especially with a view to developing appropriate programmes or obtaining assistance in order to achieve the purposes of this Convention.
7. Consider any questions raised by the Contracting Parties.
8. Perform other functions as foreseen in other provisions of this Convention or assigned unanimously to the Commission by the Contracting Parties.
Article XIX
Meetings of the Contracting Parties
1. The Contracting Parties shall meet in conference upon recommendation by the Commission. They shall also meet in Conference within ten days at the request of one Contracting Party under extraordinary circumstances.
2. The primary function of the meetings of the Contracting Parties shall be the review of the implementation of this Convention and of the Protocols upon the report of the Commission.
3. A non-Black Sea State which accedes to this Convention may attend the meetings of the Contracting Parties in an advisory capacity.
Article XX
Adoption of amendments to the Convention and/or to the Protocols
1. Any Contracting Party may propose amendments to the articles of this Convention.
2. Any Contracting Party to this Convention may propose amendments to any Protocol.
3. Any such proposed amendment shall be transmitted to the depositary and communicated by it through diplomatic channels to all the Contracting Parties and to the Commission.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
4. Amendments to this Convention and to any Protocol shall be adopted by consensus at a Diplomatic Conference of the Contracting Parties to be convened within 90 days after the circulation of the proposed amendment by the depositary.
5. The amendments shall enter into force 30 days after the depositary has received notifications of acceptance of these amendments from all Contracting Parties.
Article XXI
Annexes and amendments to Annexes
1. Annexes to this Convection or to any Protocol shall form an integral part of the Convention or such Protocol, as the case may be.
2. Any Contracting Party may propose amendments to the Annexes to this Convention or to the Annexes of any Protocol through its Representative in the Commission. Such amendments shall be adopted by the Commission on the basis of consensus. The depositary, duly informed by the Chairman of the Commission of its decision, shall without delay communicate the amendments so adopted to all the Contracting Parties. Such amendments shall enter into force 30 days after the depositary has received notifications of acceptance from all Contracting Parties.
3. The provisions of paragraph 2 of this Article shall apply to the adoption and entry into force of a new Annex to this Convention or to any Protocol.
Article XXII
Notification of entry into force of amendments
The depositary shall inform, through diplomatic channels, the Contracting Parties of the date on which amendments adopted under Articles XX and XXI enter into force.
Article XXIII
Financial rules
The Contracting Parties shall decide upon all financial matters on the basis of unanimity, taking into account the recommendations of the Commission.
Article XXIV
Relation to other international instruments
Nothing in this Convention shall affect in any way the sovereignty of States over their territorial sea, established in accordance with international law, and the sovereign rights and the jurisdiction which States have in their exclusive economic zones and their continental shelf in accordance with international law, and the exercise by ships and aircraft of navigational rights and freedoms, as provided for in international law, and as reflected in relevant international instruments.
Article XXV
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Settlement of disputes
In case of dispute between Contracting Parties concerning the interpretation and implementation of this Convention, they shall seek a settlement of the dispute through negotiations or any other peaceful means of their own choice.
Article XXVI
Adoption of additional Protocols
1. At the request of a Contracting Party or upon a recommendation by the Commission, a Diplomatic Conference of the Contracting Parties may be convened with the consent of all Contracting Parties in order to adopt additional Protocols.
2. Signature, ratification, acceptance, approval, accession to, entry into force, and denounciation of additional Protocol shall be done in accordance with procedures contained, respectively, in Articles XXVIII, XXIX, and XXX of this Convention.
Article XXVII
Reservations
No reservations may be made to this Convention.
Article XXVIII
Signature, ratification, acceptance, Approval and accession
1. This Convention shall be open for signature by the Black Sea States.
2. This Convention shall be subject to ratification, acceptance or approval by the States which have signed it.
3. This Convention shall be open for accession by any non-Black Sea State interested in achieving the aims of this Convention and contributing substantially to the protection and preservation of the marine environment of the Black Sea provided the said State has been invited by all Contracting Parties. Procedures with regard to the invitation for accession will be dealt with by the depositary.
4. The instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the depositary. The depositary of this Convention shall be the Government of Romania.
Article XXIX
Entry into force
This Convention shall enter into force 60 days after the date of deposit with the depositary of the fourth instrument of ratification, acceptance or approval.
For a State acceding to this Convention in accordance with Article XXVIII, the Convention shall enter into force 60 days after the deposit of its instrument of accession.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Article XXX
Denounciation
After the expiry of five years from the date of entry into force of this Convention, any Contracting Party may, by written notification addressed to the depositary, denounce this Convention. The denounciation shall take effect on the thirty-first day of December of the year which follows the year in which the depositary was notified of the denounciation.
Done in English, on the twenty-first day of the month of April of one thousand nine hundred and ninety two, in Bucharest.
For the Republic of Bulgaria ………………………………………….
For the Republic of Georgia ………………………………………….
For Romania ………………………………………….
For the Russian Federation ………………………………………….
For the Republic of Turkey ………………………………………….
For Ukraine ………………………………………….
PROTOCOL ON PROTECTION OF THE BLACK SEA MARINE ENVIRONMENT AGAINST POLLUTION FROM LAND BASED SOURCES
Article 1
In accordance with Article VII of the Convention, the Contracting Parties shall take all necessary measures to prevent, reduce and control pollution of the marine environment of the Black Sea caused by discharges from land-based sources on their territories such as rivers, canals, coastal establishments, other artificial structures, outfalls or run-off, or emanating from any other land-based source, including through the atmosphere.
Article 2
For the purposes of this Protocol, the fresh water limit means the landward part of the line drawn between the endpoints on the right and the left banks of a water course where it reaches the Black Sea.
Article 3
This Protocol shall apply to the Black Sea as defined in Article I of the Convention and to the waters landward of the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured and in the case of fresh- water courses, up to the fresh-water limit.
Article 4
The Contracting Parties undertake to prevent and eliminate pollution of the marine environment of the Black Sea from land-based sources by substances and matter listed in Annex I to this Protocol.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The Contracting Parties undertake to reduce and, whenever possible, to eliminate pollution of the marine environment of the Black Sea from land-based sources by substances and matter listed in Annex II to this Protocol.
As to water courses that are tributaries to the Black Sea, the Contracting Parties will endeavour to cooperate, as appropriate, with other States in order to achieve the purposes set forth in this Article.
Article 5
Pursuant to the provisions of Article XV of the Convention, each Contracting Party shall carry out, at the earliest possible date, monitoring activities in order to assess the levels of pollution, its sources and ecological effects along its coast, in particular with regard to the substances and matter listed in Annexes I and II to this Protocol. Additional research will be conducted upstream of river sections in order to investigate fresh/salt water interactions.
Article 6
In conformity with Article XV of the Convention, the Contracting Parties shall cooperate in elaborating common guidelines, standards or criteria dealing with special characteristics of marine outfalls and in undertaking research on specific requirements for effluents necessitating separate treatment and concerning the quantities of discharged substances and matter listed in Annexes I and II, their concentration in effluents, and methods of discharging them.
The common emission standards and timetable for the implementation of the programme and measures aimed at preventing, reducing or eliminating, as appropriate, pollution from land-based sources shall be fixed by the Contracting Parties and periodically reviewed for substances and matter listed in Annexes I and II to this Protocol.
The Commission shall define pollution prevention criteria as well as recommend appropriate measures to reduce, control and eliminate pollution of the marine environment of the Black Sea from land-based sources.
The Contracting Parties shall take into consideration the following:
1. The discharge of water from municipal sewage systems should be made in such a way as to reduce the pollution of the marine environment of the Black Sea.
2. The pollution load of industrial wastes should be reduced in order to comply with the accepted concentrations of substances and matter listed in Annexes I and II to this Protocol.
3. The discharge of cooling water from nuclear power plants or other industrial enterprises using large amounts of water should be made in such a way as to prevent pollution of the marine environment of the Black Sea.
4. The pollution load from agricultural and forest areas affecting the water quality of the marine environment of the Black Sea should be reduced in order to comply with the accepted concentrations of substances and matter listed in Annexes I and II to this Protocol.
Article 7
The Contracting Parties shall inform one another through the Commission of measures taken, results achieved or difficulties encountered in the application of this Protocol. Procedures for the collection and transmission of such information shall be determined by the Commission.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Annex I
Hazardous Substances and Matter
The following substances or groups of substances or matter are not listed in order of priority. They have been selected mainly on the basis of their toxicity, persistence and bioaccumulation characteristics.
This Annex does not apply to discharges which contain substances and matter listed below that are below the concentration limits defined jointly by the Contracting Parties, not exceeding environmental background concentrations.
1. Organotin compounds. 2. Organohalogen compounds, e.g. DDT, DDE, DDD, PCB’s. 3. Persistent organophosphorus compounds. 4. Mercury and mercury compounds. 5. Cadmium and cadmium compounds. 6. Persistent substances with proven toxic carcinogenic, teratogenic or mutagenic properties. 7. Used lubricating oils. 8. Persistent synthetic materials which may float, sink or remain in suspension. 9. Radioactive substances and wastes, including used radioactive fuel. 10. Lead and lead compounds.
Annex II
Noxious Substances
The following substances, compounds or matter have been selected mainly on the basis of criteria used in Annex I, while taking into account the fact that they are less harmful or more readily rendered harmless by natural processes.
The control and strict limitation of the dumping of the substances referred to in this Annex shall be implemented in accordance with Annex III of this Protocol.
1. Biocides and their derivatives not covered in Annex I. 2. Cyanides, fluorides, and elemental phosphorus. 3. Pathogenic micro-organisms. 4. Nonbiodegradable detergents and their surface-active substances. 5. Alkaline and acid compounds. 6. Substances which, though of a non-toxic nature, may become harmful to the marine biota owing to
the quantities in which they are discharged e.g. inorganic phosphorus, nitrogen, organic matter and other nutrient compounds. Also substances which have an adverse effect on the oxygen content of the marine environment.
7. The following elements and their compounds:
Zinc Selenium Tin Vanadium
Copper Arsenic Barium Cobalt
Nickel Antimony Beryllium Thallium
Chromium Molybdenum Boron Tellurium
Titanium Uranium Silver
8. Sewage Sludge
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Annex III
The discharges of substances and matter listed in Annex II to this Protocol shall be subject to restrictions based on the following:
1. Maximum permissible concentrations of the substances and matter immediate before the outlet;
2. Maximum permissible quantity (load, inflow) of the substances and matter per annual cycle or shorter time limit;
3. In case of differences between 1 and 2 above, the stricter restriction should apply.
When issuing a permit for the discharge of wastes containing substances and matter referred to in Annexes I and II to this Protocol, the national authorities will take particular account, as the case may be, of the following factors:
1. CHARACTERISTICS AND COMPOSITION OF THE WASTE
1. Type and size of waste source (e.g. industrial process). 2. Type of waste (origin, average composition). 3. Form of waste (solid, liquid, sludge, slurry). 4. Total amount (volume discharged. e.g. per year). 5. Discharge pattern (continuous, intermittent, seasonally variable, etc.) 6. Concentrations with respect to major constituents, substances listed in Annex I, substances listed
in Annex II, and other harmful substances as appropriate. 7. Physical, chemical and biological properties of the waste.
2. CHARACTERISTICS OF WASTE CONSTITUENTS WITH RESPECT TO THEIR HARMFULNESS
1. Persistence (physical, chemical, biological) in the marine environment. 2. Toxicity and other harmful effects. 3. Accumulation in biological materials and sediments. 4. Biochemical transformation producing harmful compounds. 5. Adverse effects on the oxygen contents and balance. 6. Susceptibility to physical, chemical and biochemical changes and interaction in the marine
environment with other seawater constituents which may produce harmful biological or other effects on any of the uses listed in section E below.
3. CHARACTERISTICS OF DISCHARGE SITE AND RECEIVING MARINE ENVIRONMENT
1. Hydrographic, meteorological, geological and topographic characteristics of the coastal area. 2. Location and type of discharge (outfall, canal, outlet, etc.) and its relation to other areas (such as
amenity areas, spawning, nursery and fishing areas, shellfish grounds) and other discharges. 3. Initial dilution achieved at the point of discharge into the receiving marine environment. 4. Dispersal characteristics such as the effect of currents, tides and winds on horizontal transport and
vertical mixing. 5. Receiving water characteristics with respect to physical, chemical, biological and ecological
conditions in the discharge area. 6. Capacity of the receiving marine environment to receive waste discharges without undesirable
effects.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
4. AVAILABILITY OF WASTE TECHNOLOGIES
The methods of waste reduction and discharge for industrial effluents as well as household sewage should be selected taking into account the availability and feasibility of:
1. Alternative treatment processes; 2. Recycling, re-use, or elimination methods; 3. On-land disposal alternatives; and 4. Appropriate clean and low-waste technologies.
5. POTENTIAL IMPAIRMENT OF MARINE ECOSYSTEMS AND SEA-WATER USES
1. Effects on human life through pollution impact on:
1. Edible marine organisms; 2. Bathing waters; 3. Aesthetics.
Discharges of wastes containing substances and matter listed in Annexes I and II shall be subject to a system of self-monitoring and control by the competent national authorities.
2. Effects on marine ecosystems, in particular living resources, endangered species, and critical habitats.
3. Effects on other legitimate uses of the sea.
PROTOCOL ON COOPERATION IN COMBATING POLLUTION OF THE BLACK SEA MARINE ENVIRONMENT BY OIL AND OTHER HARMFUL SUBSTANCES IN EMERGENCY SITUATIONS
Article 1
In accordance with Article IX of the Convention, the Contracting Parties shall take necessary measures and cooperate in cases of grave and imminent danger to the marine environment of the Black Sea or to the coast of one or more of the Parties due to the presence of massive quantities of oil or other harmful substances resulting from accidental causes or from accumulation of small discharges which are polluting or constituting a threat of pollution.
Article 2
The Contracting Parties shall endeavour to maintain and promote, either individually or through bilateral or multilateral cooperation, contingency plans for combating pollution of the sea by oil and other harmful substances. These shall include, in particular, equipment, vessels, aircraft and manpower prepared for operations in emergency situations.
Article 3
Each Contracting Party shall take necessary measures for detecting violations and, within areas under its jurisdiction for enforcing the provisions of this Protocol. Furthermore, the Contracting Parties shall ensure compliance with the provisions of this Protocol by vessels flying their flag.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The Contracting Parties shall promote exchange of information on subjects related to the implementation of this Protocol, including transmission of reports and urgent information which relate to Article 1 thereof.
Article 4
Any Contracting Party which becomes aware of cases where the marine environment of the Black Sea is in imminent danger of being damaged or has been significantly damaged by pollution, it shall immediately notify the other Contracting Parties it deems likely to be affected by such damage as well as the Commission.
Article 5
Each Contracting Party shall indicate to the other Contracting Parties and the Commission, the competent national authorities responsible for controlling and combatting of pollution by oil and other harmful substances. Each Contracting Party shall also designate a focal point to transmit and receive reports of incidents which have resulted or may result in a discharge of oil or other harmful substances, in accordance with the provisions of relevant international instruments.
Article 6
1. Each Contracting Party shall issue instructions to the masters of vessels flying its flag and to the pilots of aircraft registered in its territory requiring them to report in accordance with the Annex to this Protocol and by the most rapid and reliable channels, to the Party or Parties that might potentially be affected and to the Commission:
1. The presence, characteristics and extent of spillages of oil or other harmful substances observed at sea which are likely to present a threat to the marine environment of the Black Sea or to the coast of one or more Contracting Parties;
2. All emergency situations causing or likely to cause pollution by oil or other harmful substances.
2. The information collected in accordance with paragraph 1 shall be communicated to the other Parties which are likely to be affected by pollution:
1. by the Contracting Party which has received the information;
2. by the Commission.
PROTOCOL ON THE PROTECTION OF THE BLACK SEA MARINE ENVIRONMENT AGAINST POLLUTION BY DUMPING
Article 1
In accordance with Article X of the Convection, the Contracting Parties shall take individually or jointly all appropriate measures for the implementation of this Protocol.
Article 2
Dumping in the Black Sea of wastes or other matter containing substances listed in Annex 1 to this Protocol is prohibited.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The preceding provision does not apply to dredged spoils provided that they contain trace contaminants listed in Annex 1 below the limits of concentration to be defined by the Commission within a 3 year period from the entry into force of the Convention.
Article 3
Dumping in the Black Sea of wastes or other matter containing noxious substances listed in Annex II to this Protocol requires, in each case, a prior special permit from the competent national authorities.
Article 4
Dumping in the Black Sea of all other wastes or matter requires a prior general permit from the competent national authorities.
Article 5
The permits referred to in articles 3 and 4 above shall be issued after a careful consideration of all the factors set forth in Annex III to this Protocol by the competent national authorities of the relevant coastal State. The Commission shall receive records of such permits.
Article 6
The provisions of Articles 2, 3 and 4 shall not apply when the safety of human life or of vessel or aircraft at sea is threatened by complete destruction or total loss or in any other case when there is a danger to human life and when dumping appears to be the only way of averting such danger, and if there is every probability that the damage resulting from such dumping will be less than would otherwise occur. Such dumping shall be carried out so as to minimize the likelihood of damage to human or marine life. The Commission shall promptly be informed.
Article 7
1. Each Contracting Party shall designate one or more competent authorities to:
1. issue the permits provided for in Articles 3 and 4;
2. keep records of the nature and quantities of the wastes or other matter permitted to be dumped and of the location, date and method of dumping.
2. The competent authorities of each Contracting Party shall issue the permits provided for in Article 3 and 4 in respect of the wastes or other matter intended for dumping:
1. loaded within its territory;
2. loaded by a vessel flying its flag or an aircraft registered in its territory when the loading occurs within the territory of another State.
Article 8
1. Each Contracting Party shall take the measures required to implement this Protocol in respect of:
1. vessels flying its flag or aircraft registered in its territory;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. vessels and aircraft loading in its territory wastes or other matter which are to be dumped;
3. platforms and other man-made structures at sea situated within its territorial sea and exclusive economic zone;
4. dumping within its territorial sea and exclusive economic zone.
Article 9
The Contracting Parties shall cooperate in exchanging information relevant to Articles 5, 6, 7 and 8. Each Contracting Party shall inform the other Contracting Parties which may potentially be affected, in case of suspicions that dumping in contravention of the provisions of this Protocol has occurred or is about to occur.
A N N E X
Contents of the report to be made pursuant to Article 6
1. Each report shall contain in general:
1. The identification of the source of pollution;
2. The geographic position, time and date of occurrence of the incident or of the observation;
3. Land and sea conditions prevailing in the area;
4. Relevant details with respect to the condition of the vessel polluting the sea.
2. Each report shall contain, whenever possible, in particular:
1. A clear indication or description of the harmful substances involved, including the correct technical names of such substances;
2. A statement of estimate of the quantities, concentrations and likely conditions of harmful substances discharged or likely to be discharged into the sea;
3. A description of packaging and identifying marks;
4. Name of the consignor, consignee, or manufacturer.
3. Each report shall clearly indicate, whenever possible, whether the harmful substances discharged or likely to be discharged are oil or noxious liquid, solid, or gaseous substances and whether such substances were or are carried in bulk or contained in packaged form, freight containers, portable tanks or road and rail tank wagons.
4. Each report shall be supplemented, as necessary, by any relevant information requested by a recipient of the report or deemed appropriate by the person sending the report.
5. Any of the persons referred to in Article 6 paragraph 1 of this Protocol shall:
1. Supplement the initial report, as far as possible and necessary, with information concerning further developments;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
2. Comply as fully as possible with requests from affected Contracting Parties for additional information.
Annex 1
Hazardous Substances and Matter
1. Organohalogen compounds e.g. DDT, DDE, DDD, PCB’s. 2. Mercury and mercury compounds. 3. Cadmium and cadmium compounds. 4. Organotin compounds 5. Persistent synthetic materials which may float, sink or remain in suspension. 6. Used lubricating oils. 7. Lead and lead compounds. 8. Radioactive substances and wastes, including used radioactive fuel. 9. Crude oil and hydrocarbons of any origin.
Annex II
Noxious Substances and Matter
The following substances and matter have been selected mainly on the basis of criteria used in Annex I, while taking into account the fact that they are less harmful or more readily rendered harmless by natural processes.
The control and strict limitation of the discharges of substances and matter referred to in this Annex shall be implemented in accordance with Annex III to this Protocol.
1. Biocides and their derivatives not covered in Annex I. 2. Cyanides, fluorides, and elemental phosphorus. 3. Pathogenic micro-organisms. 4. Nonbiodegradable detergents and their surface-active substances. 5. Alkaline or acid compounds. 6. Thermal discharges. 7. Substances which, although of a non-toxic nature, may become harmful to the marine biota owing
to the quantities in which they are discharged e.g. inorganic phosphorus, nitrogen, organic matter and other nutrient compounds. Also substances which have an adverse effect on the oxygen content of the marine environment.
8. The following elements and their compounds:
Zinc Selenium Tin Vanadium
Copper Arsenic Barium Cobalt
Nickel Antimony Beryllium Thallium
Chromium Molybdenum Boron Tellurium
Titanium Uranium Silver
9. Crude oil and hydrocarbons of any origin.
Annex III
In issuing permits for dumping at sea, the following factors shall be considered:
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
1. CHARACTERISTICS AND COMPOSITION OF THE MATTER
1. Amount of matter to be dumped (e.g. per year). 2. Average composition of the matter to be dumped. 3. Properties: physical (e.g. solubility, density), chemical and biochemical (e.g. oxygen demand,
nutrients), biological (e.g. presence of bacteria, etc.).
The data should include sufficient information on the annual mean levels and seasonal variations of the mentioned properties.
4. Long-term toxicity. 5. Persistence: physical, chemical, biological. 6. Accumulation and transformation in the marine environment. 7. Susceptibility to physical, chemical and biochemical changes and interaction with other dissolved
matter. 8. Probability of inducing effects which would reduce the marketability of resources (e.g. fish,
shellfish).
2. CHARACTERISTICS OF DUMPING SITE AND DISPOSAL METHOD
1. Location (e.g. co-ordinates of the dumping area, depth and distance from the coast) and its relation to areas of special interest (e.g. amenity areas, spawning, nursery and fishing grounds).
2. Methods and technologies of packaging and disposal of matter. 3. Dispersal characteristics. 4. Hydrological characteristics and seasonal variations in these characteristics (e.g. temperature, pH,
salinity, stratification, turbidity, dissolved oxygen, biochemical oxygen demand, chemical oxygen demand, chemical oxygen demand, nutrients, productivity).
5. Bottom characteristics (e.g. topography, geochemical, geological and biological productivity). 6. Cases and effects of other dumping.
RESOLUTION 1
Elaboration of a Protocol concerning transboundary movement of hazardous wastes and cooperation in combatting illegal traffic thereof.
The diplomatic conference on the Protection of the Black Sea Against Pollution:
Having adopted the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution,
Bearing in mind its Article XIV “Pollution by hazardous wastes in transboundary movement” stipulating:
“ The Contracting Parties shall take all measures consistent with international law and cooperate in preventing pollution of the marine environment of the Black Sea due to hazardous wastes in transboundary movement, as well as in combatting illegal traffic thereof, in accordance with the Protocol to be adopted by them”.
Noting the draft Protocol to this effect elaborated by the delegation of the Russian Federation;
Decides that priority shall be given to the elaboration and adoption of a Protocol concerning transboundary movement of hazardous wastes and cooperation in combatting illegal traffic thereof.
RESOLUTION 2
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Establishment of cooperation with Danube States for promoting the objectives of the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution.
The Contracting Parties to the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution,
Having adopted the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution,
Taking into account that rivers tributary to the Black Sea constitute a major source of pollution of the marine environment of the Black Sea,
Mindful of the efforts of Danube Countries for the preparation of agreement aimed at improving ecological conditions in the Danube,
Recalling the provisions of the Charter of Paris for a New Europe, adopted on November 21, 1990, stipulating the common responsibility of all countries for the preservation of the environment and their commitment to intensify their endeavours to protect and improve their environment in order to restore and maintain a sound ecological balance in air, water and soil,
Recalling further that under international law all States, whether they are or not coastal States, have an obligation to protect and preserve the marine environment,
Conscious of the need to take into consideration the work to be undertaken by Danube States,
Decides that the Contracting Parties to the Convention will closely follow the activities of the Danube States regarding the improvement of the ecological conditions in the Danube and will endeavour to initiate cooperation including future meetings with them for the purposes of the Convention.
RESOLUTION 3
Cooperation with intergovernmental organizations
The Diplomatic Conference on the Protection of the Black Sea Against Pollution:
Having adopted the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution,
Considering Article V, paragraph 5, “General Undertakings” of the Convention, stipulating;
“The Contracting Parties will cooperate in promoting, within international organizations found to be competent by them, the elaboration of measures contributing to the protection and preservation of the marine environment of the Black Sea.”
Wishing to establish effective cooperation with UNEP-OCA/PAC Regional Seas Programme which has gained considerable experience in the field of marine pollution,
1. Decides to invite UNEP-OCA/PAC Regional Seas Programme to cooperate with the Contracting Parties and/or the Commission for the elaboration of a Black Sea Action Plan, including provision of assistance and equipment as well as a preliminary work programme for priority environmental issues, such as:
• Preparation of monitoring and research programmes of the Contracting Parties for the prevention of marine pollution,
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
• Training of environment specialists,
• Protection of endangered species,
• Transfer and use of best available clean and low-waste technologies,
• Provide assistance in supporting the efforts of the Contracting Parties in achieving sustainable development.
2. Decides to invite other intergovernmental organizations to cooperate with the Contracting Parties and/or the Commission by preparing and implementing specific programmes and projects, with a view to fulfilling the objectives of the Convention.
RESOLUTION 4
Institutional arrangements related to the Convention on the Protection of the Black Sea Against Pollution
1. The Headquarters of the Commission and the Secretariat to be established in accordance with Article XVII of the Convention, will be in Istanbul.
The Contracting Parties take note of the offer by the Republic of Turkey relating to the financial means and facilities to be provided for this purpose. (Ankara meeting WP/5/C, 26 March 1991).
2. The national programmes in the context of the implementation of the Convention and the Protocols annexed to it, will be carried out by the appropriate research establishments of the Contracting Parties, in accordance with the criteria and guidelines established by the Commission.
3. Furthermore, in accordance with programmes of the Commission, certain activities concerning technical matters such as organization of training courses, formulation of joint pollution control guidelines and joint intercalibration and intercomparison exercises etc. shall be carried out by the research Institutes of the Contracting Parties as activity centers. The Contracting Parties take note of offers of the Bulgarian and the Romanian sides to provide the facilities for this purpose in Varna (Institute of Oceanology) and ConstanŃa (Institute of Marine Research) respectively.
RESOLUTION 5
Initiation of action within the International Maritime Organization concerning prevention of pollution from ships which belong to the countries not signatory to the Convention.
The Diplomatic Conference on protection of the Black Sea Against Pollution:
Having adopted Conference on protection of the Black Sea Against Pollution,
Bearing in mind the Article IX of the Convention and the annexed Protocol on cooperation in combatting pollution of the Black Sea marine environment by oil and other harmful substances in emergency situations.
Mindful of the need to take all appropriate measures and actions with a view to prevent pollution caused by dumping from the ships of the countries not signatory to the present Convention,
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Decides to initiate action within the International Maritime Organization with a view to ensure adaptation of recommendations to the effect that also vessels of countries not signatory to the Black Sea Convention observe the provisions of MARPOL 73/78 concerning the Black Sea Area as a special area, even before the entry into force of Black Sea Convention.
The Diplomatic Conference on the Protection of the Black Sea Against Pollution
Bucharest, 21-22 April 1992
F I N A L A C T
The Diplomatic Conference on the Protection of the Black Sea Against Pollution took place in Bucharest from 21 to 22 April 1992.
The following riparian countries of the Black Sea took part in the Conference: the Republic of Bulgaria, The Republic of Georgia, Romania, the Russian Federation, the Republic of Turkey and Ukraine.
Representatives of the Republic of Armenia, the Republic of Greece, the Republic of Moldova and the Socialist Federative Republic of Yugoslavia attended the Conference as observers. In the same capacity took part in the Conference representatives of the Danube Commission, the United Nations Environment Programme, the International Maritime Organization, the World Health Organization, Intergovernmental Oceanographic Commission, the World Meteorological Organization, the United Nations Development Programme.
The list of the delegations is attached.
The opening meeting of the Conference was attended by the President of Romania, H.E. Mr. Ion Iliescu, who addressed the participants.
Mr. Theodor Stolojan, prime-minister of Romania, members of the Parliament of Romania, members of the Romanian Government, representatives of Romanian political parties, diplomatic representatives accredited in Bucharest were also present.
Opening statements were made by the heads of delegations of the Republic of Bulgaria, the Republic of Georgia, the Russian Federation, the Republic of Turkey, Ukraine and Romania.
The representatives of the Republic of Armenia, the Republic of Greece, the Republic of Moldova, the Federative Socialist Republic of Yugoslavia, also took the floor, as well as those of the Danube Commission, the United Nations Environment Programme, the International Maritime Organization, the World Health Organization, Intergovernmental Oceanographic Commission, the World Meteorological Organization, the United Nations Development Programme.
The Conference considered and adopted the Convention on the Protection of the Black Sea against Pollution with three protocols which are an integral part thereof, namely:
• Protocol on Protection of the Black Sea Marine Environment against Pollution from Land-based Sources;
• Protocol on Cooperation in Combating Pollution of the Black Sea Marine Environment by Oil and Other Harmful Substances in Emergency Situations;
• Protocol on the Protection of the Black Sea Marine Environment against Pollution by Dumping.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The Conference also adopted a number of resolutions, attached to the Final Act.
The Convention on the Protection of the Black Sea against Pollution was signed by Valentine Vasilev, Minister of Environment of the Republic of Bulgaria, David Nakani, Minister of Environment of the Republic of Georgia, F.V. Shelov-Kovediaev, First Deputy Minister of Foreign Affairs of the Russian Federation, Marcian Bleahu, Minister of Environment of Romania, Doğancan Akyürek, Minister of Environment of the Republic of Turkey and Yuri Scherbak, Minister for Environmental Protection of Ukraine.
In witness thereof, the following representatives have signed this Final Act.
Done at Bucharest, this 21-th day of April 1992, in a single original copy, in English, to be deposited in the archives of the Government of Romania.
For the Republic of Bulgaria …………………………………………….
For the Republic of Georgia …………………………………………….
For Romania …………………………………………….
For the Russian Federation …………………………………………….
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Lampiran 4
Arafura and Timor Seas Expert Forum
Memorandum of Understanding
Preamble
The Arafura and Timor Seas Experts Forum, (referred to as ATSEF, or as the Forum in this Memorandum) is a non-binding forum to foster collaboration between government and non-government organisations in Australia, Indonesia, Papua New Guinea and Timor-Leste in the pursuit of the sustainable use of the living resources of the Arafura and Timor Seas. It is open to, and encourages participation from, agencies and individuals within the littoral nations and from international organizations, who are willing to advance the purpose of the Forum in accordance with this Memorandum of Understanding.
The Arafura and Timor Seas fit the definition of a semi-enclosed sea under Article 122 of the Law of the Sea Convention. Article 123 of the Convention requires that:
States bordering a semi-enclosed sea should cooperate with each other……through an appropriate regional organisation:
• to coordinate the management, conservation, exploration and exploitation of the living resources of the sea
• to coordinate……with respect to preservation and protection of the marine environment
• to coordinate their scientific policies and undertake joint programs of scientific research in the area
• to invite as appropriate…..international organisations to cooperate with them in the furtherance of the provisions of this article
Purpose and Objective
The purpose of the Forum is to assist in achieving the goals of sustainable development and poverty alleviation, specifically for the littoral nations and for the coastal and indigenous communities, who depend upon the Arafura and Timor Seas for their livelihood.
As a United Nations World Summit on Sustainable Development Partnership (Type 2), the objective of ATSEF is to provide opportunities to improve information sharing arrangements between the littoral states of the Arafura and Timor Seas. It provides an informal mechanism to identify cooperative research agendas and arrangements to enhance the nations’ capacity to sustainably manage the Arafura and Timor Seas.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
To this end the signatories to this Memorandum of Understanding agree upon the following:
Foci of the Arafura & Timor Seas Forum
There are five priority foci to which the Forum directs research.
1. Preventing, deterring and eliminating illegal, unreported and unregulated fishing in the Arafura and Timor Seas:
Illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing is a major cause of unsustainable stock depletion. IUU fishing is increasing the number of endangered species and is a cause of destruction of marine and coastal habitats. It prevents the sustainable use and development of the seas’ living resources.
2. Sustaining fish stocks, marine habitats and coastal and marine biodiversity:
Knowledge of the population of harvested species, of the bio-oceanography of the seas and of marine ecosystems and near shore habitats, is the essential prerequisite for wise management and use of the living resources.
3. Understanding the marine, coastal, and catchment system dynamics of the seas:
A profound understanding of the system dynamics of the seas is the basis for achieving priority 2 and the sustainable use of the seas’ living resources.
4. Assisting sustainable and/or alternative livelihoods for coastal, traditional and indigenous communities:
Research and action undertaken to ensure sustainable livelihoods and the well-being of indigenous, traditional and coastal communities is essential to the pursuit of the Forum’s objective of poverty alleviation, sustainable development and community empowerment.
5. Improving capacity for data information, management and sharing between the littoral nations of the seas:
Without information sharing, the knowledge base for the sustainable management of the seas and use of its resources will not be accessible to managers, government agencies, coastal and indigenous communities, commercial operations and other stakeholders who require it. Data management is also essential to prevent wasteful duplication of research.
Governance of the Arafura &Timor Seas Experts Forum
To facilitate the achievement of the purpose, objective and the priorities of ATSEF, the signatories of this MoU agree to the following governance structure.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
The ATSEF Forum will meet once a year. The Forum is open to any organisation with a direct interest in the Arafura and Timor Seas and willingness to abide by this MoU. Forum meetings will enable the sharing of research findings, data and information, the evaluation of research and its application, evaluation of research directions and proposals, identification of potential collaborations, and appraisal of the outcomes of ATSEF activities.
ATSEF Steering Committee An ATSEF Steering Committee will meet twice yearly and will be comprised of representatives of participating government agencies, research agencies, non-government organisations, and indigenous and coastal organisations.
Up to four representatives will be nominated by each nation, with nominations reflecting a balance between stakeholders, up to two representatives will be drawn from International Organisations, One person from each national secretariat and the regional coordinator will assist the ATSEF Steering Committee at each meeting. The ATSEF Steering Committee will make decisions by consensus.
Regional Coordination The primary responsibility for regional coordination shall be undertaken by a Regional Coordinator, who is a participant in the Forum. The regional coordinator is to work with the National Secretariats and inter-governmental and international organisations to facilitate cooperation and collaboration between ATSEF partner organisations in the pursuit of the Forum’s purpose and priorities.
The Regional Coordinator is accountable to the ATSEF Steering Committee. A major responsibility of the Regional Coordinator is to help ensure that the research and other activities approved by the ATSEF Steering Committee are adequately funded.
Rotation and Location of the Regional Coordinator
• The position of the Regional Coordinator will rotate between the littoral nations after a period of no less than two and no more than three years in each nation.
• The Regional Coordinator will be a citizen of the nation undertaking responsibility for regional coordination at the time.
• The Regional Coordinator will be based in the national ATSEF Secretariat while undertaking the role.
Role of Regional Coordinator
The Regional Coordinator is required to:
• report to the Steering Committee on progress and issues requiring the consideration of the Committee during and between meetings of the Steering Committee;
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
• facilitate linkages between ATSEF members and intergovernmental and international organisations;
• foster communication, collaboration and coordination between ATSEF members through the National Secretariats;
• with the assistance of National Secretariats, organize meetings of the Forum and of the ATSEF Steering Committee;
• assist the National Secretariats ensure that the participants and their priorities receive assistance on an equitable and appropriate basis;
• assist the process of data collation, management and sharing as outlined in Section 3 of this Memorandum;
• facilitate appropriate funding of ATSEF supported activities by national, intergovernmental and international organisations;
• facilitate the development of ATSEF supported proposals that meet both ATSEF priorities and the interests and objectives of potential funding agencies
National Secretariats and of the Arafura and Timor Seas Experts Forum It is desirable that each of the littoral states has a National Secretariat, which functions in accordance with the purpose, objectives, priorities and principles of ATSEF. National Secretariats may differ according to the circumstances and institutions of the littoral nation, but shall take particular responsibility for fostering capacity building and coordination within the nation.
Roles and Responsibilities of National Secretariats of ATSEF Each National Secretariat is accountable to the ATSEF Steering Committee. National Secretariats are required to:
• facilitate capacity building in marine and coastal science and other relevant research;
• facilitate collaboration, cooperation and coordination in pursuit of ATSEF objectives within and between the littoral nations;
• identify and access sources of funding for research and assist the Regional Coordinator identify and access sources of funding for research and other activities approved by the ATSEF Steering Committee;
• encourage the participation of government agencies, research agencies, private sector, non- governmental organizations and community organizations in ATSEF;
• report to the ATSEF Steering Committee on progress and issues within the littoral nation , compile an annual report and other reports as required.
• National Secretariats of ATSEF may be responsible for accounting for funds for research programs, if the participants request such assistance.
Data Management and Information Sharing
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
It is agreed that coordinated data management and information sharing between the littoral nations and the participants of ATSEF is essential: for ATSEF to achieve its purpose and objective, to avoid duplication and waste of research resources, and to identify significant gaps in our knowledge of the seas and the marine and coastal biota and ecosystems.
National Secretariats will facilitate data collation and information sharing between members and other relevant organisations into an ATSEF database distributed between appropriate ATSEF member organisations. Existing data nodes in Australia and Indonesia will provide technical advice on the development of the data base.
As part of this priority a focus will be to locate or establish data collation and management capacity where it is most needed, with technical equipment and training in its use as necessary.
Data Coordinator
It is agreed that to prevent duplication of research, and to ensure complementarity of information in the data base, a Data Coordinator will be employed to facilitate construction and maintenance of an ATSEF database and associated web site. The database will contain information and data about where information can be found on activities and research that have occurred in the Arafura and Timor Seas or is relevant to the Seas as well as the owners and/or custodians.
Access to the ATSEF Data Base
The ATSEF database may be accessed by all Forum participants, bona fide stakeholders and researchers pursing research that accords with the purpose and objectives of ATSEF.
Distribution of Sensitive Information
The Data Coordinator will record the level of sensitivity as instructed by the owners and/or custodians of the information or data, as well as any conditions on its use and further dissemination, in regard to all information and data stored on the ATSEF data base.
Financial and Legal Arrangements for the Arafura and Timor Seas Forum
Legal Arrangements
As ATSEF is a non-binding Forum, and as legal systems vary between the nations, ATSEF will not be incorporated as a legal personality. According to circumstances, National Secretariats may be incorporated as a legal personality or as an unincorporated joint venture.
Fiscal Arrangements
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912
Where a contract for the transfer of funds intended for research or infrastructure under the aegis of ATSEF; the participants in the research program for whom the funds are intended will agree among themselves as to which participant organization, with a legal personality, will be the signatory for the contract and accountable for the use of the funds.
The contracting participant for the research program will also be accountable for the equitable sharing of funds with the other program participants, and for maintaining transparent accounting of the funds.
Fiscal Arrangements where the National Secretariat has a Legal Personality
The National Secretariat may enter into a contract with a research funding agency or donor agency, the participants in the research program to be funded under the aegis of ATSEF may prefer that the National Secretariat enters into the contract on their behalf.
Principles and Procedures for the Conduct of Research and Action under the Aegis of ATSEF
In addition to the principles and procedures outlined in Sections 1, 2, 3 and 4, the following principles will apply, to ensure that research and action programs conducted under the aegis of the Forum conform with its Purpose and Objective, as set out in the preamble
• National sovereignty will be respected and permits sought from appropriate government agencies when necessary. National secretariats will offer advice and support, where possible,
• In as far as it is possible, research programs shall include participants from each littoral nation, in keeping with the intention of Article 123 of the Law of the Sea Convention.
• Where the research or action program is directed to priority 1.4, the coastal and indigenous communities involved shall be participants in, and consulted at all stages of the program, from priority setting and design to the conduct of the research.
• Capacity building shall be an integral aspect of the research and action programs to the maximum extent possible.
Preference should be given to:
• projects and activities that clearly meet an agreed ATSEF priority area, with encouragement given to projects addressing more than one priority
• collaborative activities and projects • outcome focused projects and activities
Agreed to by the ATSEF Steering Committee Bali October 19, 2003.
Pengaturan laut..., Dimas AKbar, FH UI, 2912