tugas elearning blok 14

Upload: api-rosela-alfi

Post on 10-Mar-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kkk

TRANSCRIPT

Nama : Ayu Mabaria NIM : 1313010045Tugas E-Learning Blok 14

Clinical Features and Prognosis of Ocular Myasthenia Gravis Patients with Different Phenotypes

A. Introduction Myasthenia gravis merupakan neuromuscular disorder yang bersifat auto-imun antiacetylcholine receptor antibodies(AChRAbs) atau penyebab etiologis lain. Pada myasthenia gravis yang yang menyerang ocular gejala yang paling sering terjadi adalah ptosis dan diplopia. Pasien Ocular Myasthenia Gravis (OMG) yang terkena Diplopia dan ptosis tidak mengakibatkan perubahan status mental maupun fisik pasien. Akan tetapi perbedaan manifestasi klinik berdasarkan onset, gender, thymoma, dan berbagai penyakit auto-imun dan berbagai phenotypes dari OMG tidak teridentifikasi. Antibody dan hyperplasia thymus berpengaruh pada kemungkinan relaps penyakit OMG. Umur belum dapat dipastikan, jenis kelamin juga belum dapat diprediksikan pengaruhnya. Ptosis pada satu atau dua mata dapat memengaruhi angka relaps pada pasien. Studi ini bertujuan menemukan pengaruh phenotypes atau penyakit auto-imun terhadap penyakit ini.

B. Method 83 pasien MG direkrut untuk dites atau diteliti pada Departemen Neurologi Rumah Sakit Beijing antara Januari 2002-october 2014. Terdapat 83 pasien yang terdiri atas 59 pasien memiliki keluhan hanya ocular saja, sisanya terdapat keluhan neurologic juga. Myasthenia Gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik dan beberapa pemeriksaan Lab berupa pemeriksaan seperti criteria yang paling berpengaruh atau disebut favorable effect terdiri atas cholinesterase inhibitors,hasil opistif dari stimulasi nervus yang berulang atau single fiber electromyography dan antiAChRAbs highly specific untuk MG. Tidak ada kriteria diagnosis yang spesifik untuk menjelaskan kenapa pasien bisa relaps kembali. MG dapat relaps apabila kita liat terjadi kelemahan otot ocular yang kembali terjadi setelah dinyatakan sembuh. Penyakit auto-imun berupa Graves disease serta kelainan pada thymus ternayta berpengaruh pada prognosis pasien. Pasien dengan kelainan auto-imun maka dapat menyebabkan prognosisnya makin buruk.

C. Result Ada 33 perempuan dan 26 laki-laki pasien OMG di ini belajar, dengan usia rata-rata 46,1 18,5 tahun (rentang: 4,0-72,0 tahun). Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien disajikan dengan gejala awal hanya ptosis berada di 62,7% pasien OMG, hanya diplopia berada di 10,2% dan baik ptosis dan diplopia berada di 27,1% pasien OMG. Pasien-pasien ini dibagi menjadi dua kelompok: ptosis tunggal atau Kelompok diplopia (n = 43) dan persetujuan diplopia dan ptosis. kelompok (n = 16) berdasarkan gejala awal timbulnya penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia onset, jenis kelamin, histologi timus, dan penyakit autoimun lainnya memiliki perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Juga, OMG dengan ptosis yang dibagi lagi menjadi unilateral kelompok (n = 14) dan kelompok bilateral (n = 23) berdasarkan ptosis pada satu atau kedua mata. Penyakit autoimun lainnya seperti Graves 'penyakit dan rheumatoid arthritis yang diamati secara signifikan lebih sering pada kelompok bilateral dibandingkan dalam kelompok unilateral (P = 0,006). Prognosis dari myasthenia gravis okular pasien.

D. Prognosis of ocular myasthenia gravis patients with different phenotypes Myasthenia Gravis Ocular pada kekambuhan kedua diselidiki dengan memeriksa ptosis bilateral dan unilateral. Myasthenia Gravis kambuh 2 tahun setelah penyakit awal, lebih sering ditemukan secara bilateral (kelompok 58.3 %) dibandingkan dengan di kelompok unilateral (30.4 %). Namun, frekuensi dan waktu kekambuhan Myasthenia Gravis tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua kelompok tersebut. Juga, tidak ada perbedaan Myasthenia Gravis kedua antara kedua kelompok (87.5 % vs. 90.0 %). Saat kambuh dan terjadi gejala pertama Myasthenia Gravis General antara kedua kelompok tersebut juga tidak signifikan. Gambaran prognosis juga dibandingkan antara kelompok dengan satu ptosis atau diplopia dan kelompok dengan diplopia dan ptosis. Kekambuhan Myasthenia Gravis Ocular lebih banyak terjadi pada kelompok dengan diplopia atau ptosis saja (41.5 % vs. 28.6 %) daripada kelompok dengan kedua diplopia dan ptosis. Tetapi frekuensi dan waktu kekambuhan Myasthenia Gravis tidak memperlihatkan makna yang signifikan. Selain itu, rasio kekambuhan Myasthenia Gravis Ocular 2 tahun setelah penyakit awal ditemukan tanpa perbedaan pada dua kelompok (82.1 % vs. 91.7 %). Myasthenia Gravis Ocular berkembang lebih cepat dalam satu diplopia atau ptosis. Namun, gejala pertama dari Myasthenia Gravis Ocular General antara dua kelompok ini tidak menunjukkan perbedaan pada statistik.

E. Discussion Tujuan dari penelitian in adalah unutuk menginvestigasi manifestasi klinis dan prognosis OMG dengan berbagai macam fenotip. Sebelumnya belum ada penelitian tentang hubungan antara kelainan timus dan penyakit autoimun. Pada penelitian ini menunjukan bahwa frekuensi kelainan timus dapat terjadi pada ptosis dan diplopia walaupun ada perbedaan namun tidak begitu signifikan. Dan hubungan gender dan usia tidak berpengaruh dalam kasus ini. Pada penelitian juga ini menunjukan bahwa pasien dengan ptosis yang bilateral kemungkinan bebarengan dengan penyakit autoimun. Atau bisadikatakan bahwa munculnya ptosis bilateral bias menjadi indikasi adanya penaykit autoimun. Perkembangan OMG menjadsi GMG sering terjadi pada pasien dengan gejala ptosis atau diplopia saja. Sehingga, gejala awal pada 6 bulan pertama berupa ptosis atau diplopia, bisa dijadikan sebagai indicator dari general dari OMG. Namun mekanisme yang mendasari manifestasi klinis yang berbeda antara ptosis dan diplopia, juga prognosisnya masih belum jelas. Pada penelitian sebelumnya mengisyaratkan adanya peran sel Th17 yang dicurigai sebagai sel factor penyebab dari progesivitas myasthenia gravis, Graves disease, Hashimotos Thyroiditis dan rheumatoid arthritis. Pada studi ini menunjukan bahwa kasus relaps itu jarang, dan penyakit ini kaan berkurang pada usia anak-anak.