tradisi dan modal kultural etnis bugis di riau dan jambi
TRANSCRIPT
127 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
KONTEKSTUALITA p-ISSN: 1979-598X Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan e-ISSN: 2548-1770 Vol. 33 No. 2, Desember 2018 (hlm. 127-142) DOI: 10.30631/kontekstualita.v35i02.80
Tradisi dan Modal Kultural Etnis Bugis di Riau dan Jambi
Tradition and Cultural Capital of Bugisnese in Riau and Jambi
Jamaluddin Fakultas Tarbiyah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia Jl. Lintas Jambi - Muara Bulian KM.16, Simpang Sei Duren, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi 36361 [email protected]
Abstrak: Artikel ini memaparkan tradisi keagamaan perantau Bugis di Indragiri Hilir, Provinsi Riau, dan Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Ia juga mengungkapkan nilai-nilai dominan yang menjadi kekuatan pendorong mereka dalam kehidupan sosial. Didasarkan pada penelitian lapangan di dua Kabupaten tersebut, artikel ini menemukan bahwa perantau Bugis masih mempertahankan tradisi Islam yang mereka pelajari dari guru mereka di Sulawesi Selatan, seperti mangaji tudang, mappandre temme’, mabbarazanji, mammudu’, mammiraje’, mattampung, mappendrek tojang, mendre hajji, dan cemme sapareng. Tidak hanya berfungsi sebagai media untuk aktualisasi dan simbolisasi religiusitas, tetapi juga berfungsi sebagai motivasi untuk sukses. Tradisi-tradisi tersebut berjalan selaras dengan falsafah budaya asal mereka, yaitu pandangan dunia Panggadereng dan Siri, yang menjadi modal kultural dan sosial dalam proses akomodasi, akulturasi, asimilasi, dan integrasi dengan komunitas lokal.
Kata Kunci: Perantau Muslim Bugis, Tradisi dan Modal Kultural, Riau dan Jambi
Abstract: This article describes the religious traditions of Bugis migrants in Indragiri Hilir, Jambi Province, and Tanjung Jabung Timur, Jambi Province. It also reveals the dominant values that become their driving force in social life. Based on the field research in both districts, this article concludes that Bugis migrants still maintain the Islamic traditions that they learned from their teachers in South Sulawesi, such as mangaji tudang, mappandre temme’, mabbarazanji, mammudu’, mammiraje’, mattampung, mappendrek tojang, mendre hajji, and cemme sapareng. These traditions are not only as a medium for the actualization and symbolization of religiosity, but also served as a motivation for success. These traditions are also in line with their original cultural philosophy, namely the Pangadereng and Siri world views as cultural and social capital in the process of accomodation, acculturation, assimilation, and integration to local communities.
Keyword: Bugis Muslim Migrants, Tradition and Cultural Capital, Riau and Jambi
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 128
Pendahuluan
Etnis Bugis merupakan salah satu etnis di Nusantara yang terkenal sebagai perantau
dengan menggunakan perahu Bugis (pinisi). Tradisi ini dipengaruhi oleh ideologi sosial
yang terangkum dalam jiwa passompe’ (penghijraan dan pengembaraan) sebagai
karakter khas sosial1 Ideologi ini kemudian melahirkan kebanggaan terhadap
keunggulan budaya mereka. Berbeda dari pengalaman Makassar, diaspora Bugis di
tanah Melayu dan Sumatera (bagian) Selatan terbilang sukses. Kesuksesan ini
merupakan kombinasi antara keadaan sejarah dan inovasi Bugis yang unik.2 Perbedaan
lain yang sangat penting adalah Bugis mampu menciptakan diaspora pemerintahan
berdasarkan asimilasi yang afektif dengan budaya setempat.3
Pelras menyatakan migrasi besar-besaran orang pada abad ke-17 dan awal abad
ke-18 karena merasa tertekan secara ekonomi dan keamanan Mereka bermigrasi ke
Sumbawa, Lombok, Bali, Jawa, Sumatera, Borneo dan Semenanjung Tanah Melayu4.
Migrasi pada hakikatnya termasuk salah satu produk perang dan produk sosial
terhadap suatu sistem pemerintahan yang tidak memberi nuansa kebebasan bagi
rakyat-baik sifatnya ekonomis maupun non-ekonomis.5 Konteks hubungan Melayu-
Bugis telah terjalin melalui berbagai bentuk, terutama melalui pelibatan serta
kedudukan dalam politik, perdagangan, perkawinan yang seterusnya membawa kepada
proses sosialisasi dan asimilasi berkesinambungan antara Melayu-Bugis hingga hari
ini6. Penyebaran suku Bugis di tanah Melayu, mulai dari awal abad ke 20 khususnya di
kawasan Indragiri Hilir (Inhil) Riau dan Tanjung Jabung Timur (Tanjab Timur) Jambi
saat ini mencapai angka yang cukup signifikan. Data statisitik menunjukkan bahwa
jumlah warga Bugis yang berdomisili pada kedua daerah tersebut mencapai masing-
masing 150.816 jiwa dan 65.480 jiwa. Kehadiran mereka di negeri tujuan telah
memberikan kontribusi yang cukup masif khususnya dalam pembukaan lahan-lahan
perkebunan dan persawahan, disamping sektor lain yaitu kemaritiman dan beberapa
dekade terakhir pada sektor pemerintahan. Namun demikian, keberhasilan pada sektor
tersebut seolah menjadi stigma bahwa Bugis identik dengan dunia kelautan dan
perdagangan, sementara aspek lain seperti pendidikan dan tradisi syiar Islam
Nusantara yang cukup kental di kalangan Etnis ini belum banyak terekspos.
Kajian terdahulu tentang diaspora Bugis di Nusantara cenderung fokus pada aspek
ekonomi dan budaya. Beberapa kajian melakukan penelusuran terkait penyebaran dan
129 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
kiprah Bugis dalam pembukaan lahan di kawasan Indragiri Hilir serta keberhasilan
mereka di bidang perdagangan sampai penguasaan sentra-sentra bisnis.7 Sebagian kecil
menggali etnis ini dari aspek tradisi dan pelestarian seni dan budaya leluhur di kawasan
pesisir pantai Tanjung Jabung Timur8. Peneliti lain mengkaji dari aspek sosial dan faktor
budaya yang menyertai migrasi Bugis kaitannya dengan Islam di Papua9. Kajian
diaspora Bugis dilihat dari aspek pendidikan dan syiar Islam di kawasan Indragiri Hilir
dan Tanjung Jabung Timur saat ini belum banyak dilakukan. Salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Andaya yang mencoba menggali aspek gender dan Islam
dalam diaspora Bugis di tanah Melayu.10 Penelitian lainnya melihat bahwa kebudayaan
Islam yang berkembang secara khas di kawasan Sulawesi Selatan, telah mengisi ruang
dan waktu peradaban Islam di Nusantara pada abad ke-17 hingga ke 19 Masehi yang
dibuktikan dengan kehadiran makam-makam bercorak Makassar dan Bugis di pelbagai
kawasan di Nusantara.11
Padahal sejumlah fakta di lapangan menunjukkan bahwa diaspora Bugis tidak
hanya menyentuh aspek perdagangan, kemaritiman, dan pemerintahan, tapi juga kiprah
mereka pada bidang sosial budaya dan pendidikan, dan kesetiaan mempertahankan
tradisi syiar Islam yang mereka warisi dari pendahulu. Kajian migrasi Bugis di tanah
Melayu dalam kaitannya dengan pendidikan, budaya, dan tradisi Islam menjadi penting
guna menemukan pola asimilasi dan akulturasi yang memiliki implikasi pendidikan dan
syiar, sehingga dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan strategis oleh
Pemeritah dalam memelihara dan mempertahankan kearifan lokal (local wisdom). Bagi
masyarakat, kajian ini bermanfaat dalam ikut mempertahankan tradisi lokal nusantara
yang menjadi perekat kebinekaan serta memiliki implikasi pendidikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain etnografik dalam
menjelaskan, menganalisis, dan menerjemahkan budaya kelompok yang meliputi
prilaku, kepercayaan, dan bahasa yang dikembangkan selama beberapa waktu.
Penelitian ini menggunakan tipe etnografik studi kasus kolektif (collective case study)12
dalam memotret problem diaspora etnis Bugis dari kasus sosial, budaya, dan
pendidikan di beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong diaspora.
Penelitian ini mengambil latar sosial masyarakat Bugis Bone dan Wajo yang
tersebar di sepanjang Pantai Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi, di
pinggiran Sungai Gangsal sampai ke pesisir pantai yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir
Riau. Pemilihan latar ini didasarkan pada pertimbangan utama bahwa kawasan tersebut
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 130
merupakan daerah tujuan utama migrasi Bugis sejak abad ke 17 dan hingga saat ini
masih tetap bertahan, bahkan berkembang menjadi kawasan yang mayoritas dihuni
oleh etnis Bugis. Guna mendapatkan data, peneliti menggunakan teknik pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi.
Bugis di Tanah Melayu: Kedatangan dan Penyebaran
Migrasi Bugis ke Tanah Melayu paling tidak mengalami dua fase penting. Fase pertama
yakni pada era abad ke 17 ditandai dengan persentuhan imigran Bugis dengan
kerajaan-kerajaan setempat yang menghasilkan asimilasi etnik, perkawinan dan tahta.
Periode berikutnya di awal abad ke 20, yaitu pada tahun 1935 migrasi Bugis bergerak
menuju Enok, sebagian disebutkan merupakan sebaran dari Pontianak yang hutannya
kurang memadai.13 Menurut pengakuan salah seroang imigran,14 migrasi mereka
disebabkan faktor pemberontakan Kahar Muzakkar, sehingga mereka memilih migrasi
meskipun harus menggunakan perahu layar dari Bone. Pada tahun 1940-41 gerakan
beralih ke provinsi Jambi, pada awalnya ke daerah pesisir dekat perbatasan dengan
Indragiri (KualaTungkal dan Pangkal Pinang) tetapi secara bertahap bergeser lebih jauh
ke selatan (Sabak, Lagang, Kampung Laut), dari sini kemudian menyebar ke
Palembang.15
Dari Enok, imigran Bugis kemudian menyebar ke berbagai wilayah kecamatan
Reteh menuruti sungai Gangsal sampai ke Keritang, dan sebagian menetap di Kuala
Enok dan sekitarnya. Disana mereka menempati daerah-daerah/lahan-lahan yang
umumnya sudah dibeli oleh pendahulunya, mereka memulai hidup dengan merambah
hutan, membuka lahan, menanaminya dengan komuditas kelapa kampung, padi,
disamping komuditas pendamping lain, seperti pinang dan kopi. Sebagian lainnya tetap
bertahan dengan profesi sebagai passompe yang membawa barang dagangan ke
berbagai wilayah, sampai ke negeri Malaysia. Ada juga yang berprofesi sebagai
pedagang ilegal (semokel), nelayan, dan buruh pabrik. Dalam kurun beberapa tahun
setelah kedatangan imigran Bugis yang membuka lahan perkebunan dengan cara
berkapling yang dipisahkan dengan parit-parit kecil dan terhubungan dengan Sungai,
Kabupaten Indragiri Hilir kemudian dikenal dengan julukan ‘Negeri Seribu Parit’
dengan potensi kebun terluas di nusantara yaitu 3,7 hektar.
Saat ini, penyebaran imigran Bugis di Kabupaten Indragiri Hilir hampir merata di
seluruh kecamatan, namun mayoritas mereka dapati ditemukan Kecamatan Tanah
131 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
Merah Kecamatan Reteh, Kecamatan Keritang, Kecamatan Kateman, Sungai Danai dan
Sungai Sialang. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), sebaran
mereka dapat dijumpai di Kecamatan Sadu, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kecamatan
Nipah Panjang Kecamatan Mendahara dan Kampung Laut. Berbeda dari imigran Bugis
di Inhil yang mayoritas Bugis Bone, pendatang Bugis yang masuk Tanjung Jabung Timur
Jambi cukup berimbang antara Bone dan Wajo. Mereka juga umumnya tinggal dan
menetap di pinggiran laut/sungai serta mencari penghasilan dari sumber laut baik
dengan menangkap ikan, transportasi laut, maupun jasa pelabuhan. Saat ini jumlah
etnis Bugis yang menetap di Tanjab Timur mencapai 65.480 (32,01 %) dari total
penduduk, lebih besar dari jumlah penduduk asli (Melayu) 23.569 (11,52 %).
Pada era 1980an, kawasan yang dihuni oleh mayoritas etnis Bugis, khususnya di
Kecamatan Reteh dan Tanah Merah (Kuala Enok) mengalami era keemasan di bidang
ekonomi dan perdagangan. Pada era tersebut berkembang pesat pabrik-pabrik
penggilingan padi yang beroperasi di pinggiran sungai untuk menampung hasil panen
masyarakat yang melimpah ruah. Sejumlah perusahaan pengolahan kelapa (kopra)
menjadi minyak untuk menampung hasil kebun masyarakat juga berdiri di berbagai
lokasi strategis, diantara PT Pulau Sambu Kuala Enok yang berdiri sejak tahun 1967.
Sementara itu, kapal-kapal pengangkut barang dari berbagai daerah di Indonesia juga
silih berganti merapat di pelabuhan Kuala Enok, di samping kapal penumpang dari dan
ke Sulawesi dan Jawa. Pada era ini juga perdagangan smokel ke Singapore meningkat
pesat dengan keuntungan yang berlipat sehingga kehidupan ekonomi masyarakat
tumbuh pesat, sebagian bahkan berinfestasi dengan membeli tanah dan membangun
rumah kontrakan di perkotaan. Era kejayaan tersebut praktis melibatkan orang-orang
Bugis sebagai aktor utama, disamping komunitas lain, seperti Cina, Melayu, Jawa, dan
Banjar.
Hingga saat ini wilayah-wilayah yang pernah menjadi destinasi migrasi Bugis
sudah menjadi perkampungan padat. Di Kabupaten Indragiri Hilir, terdapat paling tidak
lima kecamatan yang penduduknya mayoritas Bugis, yaitu Kecamatan Reteh, Keritang,
Tanah Merah, Sungai Batang, dan Keteman. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur mayoritas menetap di Kecamatan Nipah Panjang, Sadu, Muara Sabak Timur, dan
Mendahara. Kesuksesan ini tidak lepas dari kemampuan untuk merekonseptualisasi
wilayah-wilayah yang baru dihuni sebagai tempat-tempat yang telah dikenali
sebelumnya.16
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 132
Profesi mereka pun cukup bervariasi mulai dari pengusaha kelapa/kopra, pinang,
sawit, petani padi, nelayan, penangkar walet, transportasi laut dan darat, pegawai, guru,
dan lainnya. Disamping unggul di bidang perdagangan, dewasa ini imigran Bugis juga
sudah mulai merambah dunia politik praktis, tercatat beberapa tokoh Bugis pernah
menjadi Wakil Bupati dan anggota DPR di Inhil17 dan Tanjabtimur.
Tradisi dan Modal Kultural Bugis di Indragiri Hilir Riau dan Tanjung Jabung
Timur.
1. Mengaji dan Mappangaji: Aktualisasi KeIslaman
Masyarakat Bugis di Tanah Melayu pada umumnya menganut agama Islam. Salah
satu manifestasi keislaman mereka adalah tradisi mappangaji, mengajarkan membaca
Al-Quran kepada anak-anak mereka sejak dini dengan metode mengeja. Tradisi ini
dilakukan di rumah-rumah penduduk dan diasuh oleh ibu-ibu rumah tangga, atau
nenek yang tidak memiliki pekerjaan lagi tanpa kompensasi yang tertulis. Pelajaran
membaca diawali dari korang biccuk (qur’an kecil) yaitu juz ketiga puluh, setelah itu
dilanjutkan korang lopppo (quran besar) dari juz 1 sampai 29. Setelah menamatkan Al-
Quran, orang tua anak umumnya mengadakan acara maccerak baca, sebuah tradisi yang
dilakukan dengan menyajikan menu nasu likku dan sokko (ayam lingkung dan ketan)
bagi guru dan keluarga terdekat seraya membacakan doa selamat yang dipimpin oleh
kyai setempat. Anak- anak yang sudah khatam Quran selanjutnya bergabung dalam
komunitas pengajian yang lebih besar untuk mempelajari tajwid, fashahah, dan lagu
yang biasa di asuh oleh Ustadz / Ustadzah yang diadakan rumah-rumah maupun di
Surau atau di Masjid. Pengajian-pengajian seperti ini terbukti efektif dalam mewariskan
Al-Quran tidak hanya bagi etnis Bugis tapi juga diakui oleh etnis lainnya. Tradisi ini juga
yang kemudian menurut salah seorang pelatih MTQ18 menyisahkan atribut bahwa
mayortias generasi Bugis pandai mengaji dan telah banyak melahirkan Qori-qoriah
yang bertarap Nasional, diantaranya Hanifah, Hj Rosmiati, Hj Mudalifah, Sumiati,
Nurasiah, dan Hj. Khadijah, dan qori Internasional, diantaranya Usman Munif, Hj Nuraini
As dan Hj. Musdalifah.
Kultur mengaji di kalangan migran Bugis juga dapat diamati tradisi mappandre
temme, sebuah upacara menamatkan Al-Quran (khataman Quran) yang diwajibkan pada
baik laki-laki maupun perempuan yang akan menjalani hidup berumah tangga. Tradisi
ini biasanya dilakukan pada malam hari, setelah mabbarazanji (membaca kitab al
133 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
Barzanji) sebelum mappacci (berinai ) dipimpin oleh seorang Ustadz/Ulama setempat
dengan cara membimbing calon pengantin membaca AL-Quran mulai dari Surah Al -
Dhuha sampai Al - Nas dan ditutup dengan doa khataman Quran. Tradisi ini menurut
salah seorang ustadz19 bertujuan tidak hanya untuk individu calon pengantin, tapi juga
mengandung muatan syiar (Islam) bagi masyarakat pada umumnya, sekaligus bagi
pemuda agar terlebih dahulu menamatkan Al-Quran sebelum berkeluarga.
Tradisi mengaji lainnya yang masih dipraktekkan hingga hari saat ini adalah
mappangaji bagi kelurga yang mendapat musibah kematian. Tradisi ini dilakukan
dengan membaca dan menghatamkan Al-Quran mulai dari malam pertama sampai
malam ketujuh kematian. Tradisi ini melibatkan keluarga, karabat, dan masyarakat
sekitar yang secara sukarela membaca Al-Quran minimal 1 juz per orang setiap
malamnya yang pahalanya ditujukan kepada Almarhum/Almarhumah. Bagi masyarakat
Bugis di Inhil dan Tanjab Timur tradisi mappangaji masih lebih familiar dibandingkan
dengan tradisi tahlilan yang banyak dipraktekkan oleh etnis lainnya. Meskipun
demikian, secara perlahan tradisi tahlilan sudah mulai difahami dan dipraktekkan oleh
sebagian etnis Bugis, tanpa meninggalkan tradisi mappangaji. Kedekatan etnis Bugis
dengan Al Quran, juga dapat dilihat dari kebiasaan membaca dan menghatamkan Al-
Quran pada bulan Ramadhan. Tradisi ini meskipun tidak diwarisi secara masif oleh
generasi remaja sebagaiman era 80a, namun ditemukan masih jamak dipraktekkan oleh
para orang tua. Kebiasan mengaji ramadhan remaja Bugis saat ini lebih banyak
dilakukan dalam bentuk tadarrus quran di mesjid pada setiap malam bulan ramadhan.
2. Mabbarazanji: Tradisi untuk Syiar
Masyarakat Bugis di tanah melayu dicirikan dengan tradisi membaca AL
Barazanji, sebuah kitab yang mengisahkan sejarah kelahiran Nabi Muhammad saw dan
sifat-sifat mulia yang dimiliki, pada setiap upacara. Tradisi ini menghiasi hampir semua
momen penting dalam kehidupan sosial masyarakat Bugis, mulai acara malam
pernikahan (mamppandre temme’), peringatan kelahiran anak (aqiqah), peringatan
kelahiran Nabi Muhammad saw (mammudu’), syukuran menempati kediaman baru, doa
selamat menunaikan ibadah haji. Tradisi ini menjadi salah satu model bagaimana
Muslim Bugis mengekpresikan keislaman mereka diantara berbagai etnis dan
keyakinan di negeri rantau. Pada masa awal, pembacaan AL Barzanji diikuti dengan
terjemahan dalam bahasa Bugis, namun seiring dengan perkembangan zaman,
pertimbangan durasi dan kehadiran etnis lain pada perayaan menjadi pertimbangan
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 134
Barzanji dibacakan dalam bahasa aslinnya (Arab)20. Tradisi ini sejatinya merupakan
ekspresi rasa syukur etnis Bugis atas anugerah yang diterima, selain sebagai
peneguhkan eksistensi sebagai orang Bugsi yang mematuhi tradisi Islam. ini kemudian
meneguhkan eksistensi mereka di antara kelompok masyarakat lainnya.
3. Mandi Safar (Cemme safarreng): Wisata Spiritual untuk Syiar
Mandi Safar merupakan salah satu tradisi masyarakat Migran Bugis yang hingga
saat ini masih masif dilakukan. Tradisi ini didasarkan pada keyakinan bahwa dalam satu
tahun ada satu malam di mana Allah menurunkan 12 ribu macam bencana ke dunia
yaitu pada Rabu malam terakhir bulan Safar. Kepercayaan ini melahirkan tradisi mandi
safar dengan cara menuliskan penggalan ayat Quran yang diawali dengan kata
‘salamun’. Tujuannya untuk memohon keberkahan kepada Allah agar bisa terhindar
dari segala bencana setahun kedepan. Ritual ini pada awalnya hanya dilakukan oleh
kelompok masyarakat Muslim Bugis tertentu, tertutup, dan tidak terpublikasikan.
Namun atas inisiasi salah seorang Ulama Bugis, K.H. As’ad Arsyad yang merupakan
pimpinan Pondok Pesantren Walipetu, Kabupaten Tanjab Timur, tradisi ini
dikembangkan menjadi ritual tahunan yang dipaketkan dengan tradisi manccera’
kampong21, selanjutnya menjadi agenda wisata tahunan milik Pemerintah Daerah
Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Ritul yang dipusatkan di Desa Air Laut Hitam dari sisi wisata cukup strategi sebab
Desa tersebut merupakan salah satu pintu masuk kawasan Taman Nasional Berbak
(TNB) yang memiliki potensi ekowisata dengan berbagai jenis flora dan fauna. Selain
itu, Desa Air Hitam laut juga sangat dekat dengan pantai Cemara yang memiliki pantai
pasir putih dengan hutan cemara laut yang spesifik. Pantai itu memiliki panjang sekitar
20 kilometer dan lebar antara 20-30 meter dengan kedalaman kurang dari lima meter.
Saat ombak tenang, pantai atau laut di pulau itu sangat cocok untuk sarana olahraga
pantai seperti selancar atau memancing. Ritual ini paling tidak memiliki dua
keuntungan, pertama dapat menyatukan masyarakat dalam satu ikatan sosial tanpa
melihat suku, ras, dan agama, yaitu kesetiakawanan sosial (ukhuwah insaniyah). Kedua,
keuntungan ekonomi, di mana dengan tetap diadakannya ritual mandi shafar, desa Air
Hitam Laut sering dikunjungi oleh para petinggi daerah rnaupun masyarakat pada
umumnya, sehingga akan mempromosikan potensi perekonomian daerah setempat
yang cukup kaya akan hasil laut.22 Tradisi ini merupakan kolaborasi antara penduduk
lokal dengan pemerintah, sebagai disarikan dari temuan penelitian bahwa the
135 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
programming of Mandi Safar ritual into a tourism event is a mutual collaboration of the
common interests between the government and the local elites, especially customary-
religious elites. The two actors have the same interest in the development of tourism
supporting infrastructure in the region as one of the bases for economic growth. Also, this
programming event will preserve the culture and its local wisdom values.23
Meskipun pada awalnya tradisi ini tidak begitu akrab di kalangan masyarakat
tempatan (Melayu), demikian juga bagi beberapa etnis pendatang lainnya seperti Jawa,
Minang, Cina, kecuali Banjar. Namun sejak ditetapkan sebagai hajatan tahunan daerah
oleh Pemerintah setempat, ritual yang notabene ‘milik’ enik Bugis ini kemudian menjadi
tradisi yang diterima bahkan diikuti etnis-etnis lainnya tanpa ada resistensi yang
berarti baik dari sisi budaya maupun teologi.
4. Haji: Antara Simbol dan Syiar
Bagi mayoritas orang Bugis, haji adalah visi keberagamaan tertinggi, sehingga
tidak heran jika dalam memulai usaha mereka memasukkan niat Haji ke Baitullah. Niat
tersebut menjadi motivasi intristik yang mendorong mereka untuk bekerja lebih tekun.
Kesakralan ibadah Haji bagi mereka terlihat dari antusiasme keluarga dan masyarakat
sekitar dalam proses mengantar mereka sampai ke pelabuhan. Para calon Haji yang
mengenakan pakaian serba putih dilepas dengan upacara seraya berpelukan dan saling
bermaafan. Selama berada di Tanah Suci, keluarga yang ditinggal secara rutin
menggelar acara mambaranzi pada setiap malam Jumat guna memanjatkan doa agar
keluarga meraka mendapatkan kesehatan dan keberkahan selama di Mekkah.
Sekembali dari Mekkah, mereka disambut oleh masyarakat dengan penuh haru sambil
mendengarkan kisah perjalanan haji, dan masyarakat yang bertamu pada saat itu
dipastikan mendapatkan oleh-oleh berupa sajadah, kurma, air zamzam, tasbih, atau
dupa. Sekembali dari Mekkah para Haji mengenakan sonkok Haji (putih) bagi laki-laki
dan cipo cipo (penutup kepala ) bagi perempuan setelah melalui proses mappatompo
yang dilakukan oleh seorang yang memiliki syech di Mekkah yang memiliki keturunan
Bugis. Saat kembali ke tanah Bugis, haji baru ini tidak akan mengerjakan kegiatan
selama kurang lebih empat puluh hari Haji masih mengenakan surban. Sementara
Hajjah mengenakan jubah Arab yang berwarna hitam yang disebut dengan pakambang.
Tradisi Bugis mengajarkan ketika seorang sudah kembali dari tanah marajae dann
menyandang status haji, maka harus senantiasa menjaga perilaku.24
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 136
Pada masyarakat Bugis perantau di Inhil dan Tanjab Timur, eksistensi dan status
para Haji dan Hajah selain terasa dari tradisi panggilan kehormatan ‘puangngaji’, juga
terlihat dari posisi mereka yang selalu ditempatkan pada shaf pertama dalam sholat
berjamaah di mesjid, demikian juga dalam pergaulan sosial, mereka selalu diutamakan
dan ditempatkan pada posisi terdepan, termasuk dalam upacara-upacara penikahan.
Kebanggaan sebagai Haji juga kental mewarnai dua hari Raya Besar Islam (Idul Fitri dan
Idul Adha. Pada hari itu para haji (laki-laki) mengenakan pakaian kebesaran jubah (baju
lompo), atau menggunakan kopiah Haji dan jubah, demikian juga para hajjah
(perempuan) menuju Mesjid untuk menunaikan shalat Id, mereka umumnya mereka
menempati shaf terdepan. Sepulang dari mesjid para Haji dengan pakaian Hajinya
tersebut bersama masyarakat lainnya saling bersilaturrahmi dari rumah ke rumah.
Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ibadah haji yang
dilakukan oleh mayoritas muslim Indonesia dipenuhi dengan atribut-atribut sosial25.
Potret realitas berhajji ini menjadi salah satu bagian penting dalam proses sosialisasi
etnis Bugis di tengah masyarakat dengan berbagai lapisan sosial. Haji meneguhkan
eksistensi mereka baik dalam bidang keagamaan maupun sosial sehingga mereka
mampu survive di tengah masyarakat.
Modal Kultural- Sosial Etnik Bugis
Pada bagian ini disajikan modal etnik Bugis dalam bertahan di Tanah Melayu. Sajian ini
penting dalam memahami faktor-faktor dan nilai dominan yang menjadi driving force
orang Bugis dalam proses adaptasi, sosialisasi, akulturasi. Sajian ini juga penting guna
memahami bauran antara kultur Bugis dengan tradisi Islam yang dimanifestasikan
dalam kepatuhan terhadap simbol-simbol.
Modal budaya merupakan selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi yang
mencakup pada rentangan luas properti, seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa.
Modal budaya merupakan hasil dari praktek sosial dan pengembangan sosial dari
beberapa simbol dan arti yang termasuk kelas yang lebih tinggi untuk melakukan kultur
dominan mereka dalam siklus pengembangan kultur.26
Kesuksesan etnik Bugis di perantauan tidak lepas kultur etos kerja yang mereka
miliki. Etos yang sudah membudaya tersebut lahir dari falsafah hidup yang mereka
pegang teguh, sejumlah riset misalnya menunjukkan kesuksesan perantau Bugis
khsusunya pada gelombang pertama dipengaruhi oleh falsafah tellu cappa (tiga ujung)27
137 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
28(pertama cappa lila (ujung lidah) yaitu kemampuan melakukan diplomasi, kedua
cappa laso’ (ujung kemaluan) yaitu kemampuan untuk kawin dengan penduduk
setempat, dan ketiga cappa kuali (ujung badik) yaitu penyelesaian dengan cara
peperangan. Modal budaya lain yang mereka miliki adalah siri dan pesse. Konsep siri
dikaitkan dengan rasa malu, harga diri atau martabat. Siri ini selalu dijunjung oleh
orang Bugis bagi mereka "Lebih baik mati dalam membela siri, daripada hidup tidak
memiliki siri". Sedangkan konsep pesse terkait erat dengan kekuatan ikatan
persaudaraan untuk memperkuat ikatan masyarakat29. (Konsep dari siri dan pesse telah
menjadi cara hidup bagi para imigran pedagang Bugis, sehingga mereka menjadi
pedagang yang terhormat dan dikagumi oleh pedagang lain serta untuk memperkuat
semangat dan mendominasi hubungan perdagangan.
Manifestasi siri tidak hanya berlaku dalam konteks perdagangan tapi juga dalam
kehidupan sosial keagamaan. Tradisi mengaji yang diproyeksikan agar generasi mampu
membaca al-Quran, naik haji ke baitullah, mabbarzanji pada setiap momen syukuran
dan doa selamat, acara cukuran (aqiqah) anak, doa selamat kematian (mattampung),
melanjutkan pendidikan, dan berbagai tradisi lainnya sangat dipengaruhi oleh siri. Bagi
orang Bugis adalah siri jika anak mereka tidak mampu mengaji (membaca al-Quran), siri
jika tidak mampu menunaikan ibadah haji pada usia yg sudah pantas, siri jika tidak
mengadakan acara mabbarazanji jika memiliki hajatan selamatan, siri jika tidak mampu
menyekolahkan anak. Modal budaya ini menjadikan orang Etnis Bugis memiliki
semangat untuk bertahan dengan mengedepankan marwah dan harga diri diatas
segalanya.
Disamping siri, etnik Bugis juga memiliki apa yang disebut sebagai pengadereng
Unsur paling utama yang disebutkan dalam budaya pangadereng adalah ade, dan nilai
utamanya adalah alempureng (kejujuran). Begitu tingginya nilai alempureng dalam
budaya dan kearifan lokal Bugis, Tanpa alempureng nilai lainnya, seperti amaccang
(kecerdasan), asitinajang (kepatutan), agettengeng (keteguhan), reso(usaha), dan siri
(malu atau harga diri) sebagaimana yang tersebut dalam Pao Rikadong, atau nila-nilai
sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (salingmenghormati), dan lain-lain yang
terdapat dalam naskah-naskah lontara30. Modal budaya lain yang tidak kalah
pentingnya adalah falsafah sipakatau, sipakainge, sipakalebbi dan sipatokkong yang
diwujudkan dalam bentuk rangka perwujudan saling menghargai dan menghormati
dengan berbagai etnik yang ada di rantau. Falsafah sekaligus pegangan dalam
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 138
berinteraksi dengan berbagai latarbelakang etnik, ini juga merupakan konsep dasar
kehidupan masyarakat Bugis untuk senantiasa hidup rukun dan damai, memelihara
sekaligus memperkokoh tali persaudaraan dan sebagai landasan normatif bagi
masyarakat Bugis dalam berperilaku.31 Budaya bugis yang diwariskan dari generasi ke
generasi sekarang mengalami proses penyaringan berdasarkan Islam, lingkungan, dan
kebijakan pemerintah.32
Bentuk modal sosial adalah sumber-sumber moral masyarakat yang terdiri dari
tiga komponen yaitu trust, norma sosial, dan jaringan aktivitas33 . Dalam proses
asimilasi etnik Bugis terkenal sangat menjunjung tinggi kepercayaan, kejujuran dan
komitmen kerja baik terhadap bos, kolega, maupun bawahan. Karena itu mereka
dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari pemiliki modal khususnya dari etnis
Cina yang mengusai sentra-sentra bisnis. Modal trust ini juga yang mengantarkan orang
Bugis mampu berbisnis lintas negara, khususnya pada era smokel. Etnis Bugis juga
piawai dalam bergaul dan membangun jaringan-jaringan baik ke pemerintah setempat,
pemiliki modal, dan tokoh masyarakat. Uniknya, bangunan jaringan tersebut umumnya
mereka bangun tidak secara formal an sich namun melalui obrolan santai di warung-
warung kopi yang menjadi kultur masyarakat di pinggir sungai/pantai. Tradisi ‘ngopi’
ini cukup merata khususnya di Kuala Enok, Pulau Kijang, Keritang, Guntung, Nipang
Panjang, dan Kampung Laut. Disana interaksi lintas profesi terjadi mulai dari buruh
pekerja, pegawai, ustadz/imam, bos, anggota Dewan sampai aparat pemeritah. Modal
jaringan lainnya adalah adanya wadah berhimpun warga Bugis yang tergabung dalam
Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), wadah ini memiliki posisi bargaining
dengan pemerintah. Disamping itu keberadaan etnik Bugis baik di legislatif maupun
eksekutif juga menjadi modal sosial yang kuat bagi etnis Bugis dalam proses akses
terhadap sumber-sumber ekonomi. Modal sosial sangat tergantung pada luasnya
jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif melalui jumlah kapital yang
dimiliki suatu masyarakat.34
Kesimpulan
Etnik Bugis yang notabene Muslim di Tanah Melayu yang meliputi kawasan Kabupaten
Indragiri Hilir dan Tanjung Jabung Timur berhasil mengantarkan mereka menjadi etnik
yang sukses dalam proses asimilasi sehingga tetap bertahan bahkan menjadi ‘tuan
rumah’ di negeri orang. Kesukesan etnik Bugis di kedua kawasan tersebut tidak hanya
139 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
pada sektor ekonomi dan perdagangan namun dan yang tidak kalah masifnya adalah
keberhasilan mereka menjaga dan melestarikan tradisi pendidikan dan budaya
bernafaskan Islam, seperti mengaji tudang (belajar membaca Quran), maccera baca
(syukuran khatam quran), mappandre temme (simbolisasi khatam quran sebelum
pernikahan), mabbarazanji (membaca kitab Al-Barzanji) pada setiap perayaan,
mammudu (perayaan maulid Nabi saw), mammiraje’ (peringatan isra miraj), mendre
tojang (aqiqah), mattampung (doa selamat arwah), dan cemme safareng (mandi safar),
termasuk berhaji.
Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya merupakan aktualisasi keIslaman tapi juga
menjadi menjadi kekuatan pendorong untuk sukses di perantauan. Tradisi ini juga
ditopang dengan warisan nilai/falsafah siri dan budaya pangadereng yang
mengedepankan nilai alempureng (kejujuran), didukung dengan nilai sipakatau (saling
menghormati), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge (saling mengingatkan), dan
sipatokkong (saling membesarkan). Kesemuanya menjadi modal kultural-sosial etnik
Bugis dalam proses akomodasi, akulturasi, asimilasi, dan integrasi dengan budaya di
Tanah Melayu.
Catatan
1 Jacqueline Lineton, “Pasompe’Ugi’: Bugis migrants and wanderers,” Archipel 10, no. 1 (1975): 173–201. 2 Leonard Y. Andaya, “The Bugis-Makassar Diasporas,” Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society 68, no. 1 (268 (1995): 119–138. 3 Andaya. 4 Christian Pelras dan Pelras, The Bugis (Blackwell Publishers Oxford, 1996). 5 Andi Ima Kesuma, “Migrasi & Orang Bugis,” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004. 6 Norhayati Ab Rahman, “Sejarah hubungan masyarakat Melayu dan Bugis sebagai asas pembinaan naratif dalam novel sasterawan negara arena wati,” MANU: Jurnal Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa (PPIB) 23 (2016). 7 Abdul Fattah dkk., “Penghijrahan Masyarakat Bugis Ke Alam Melayu: Kajian Kes Bugis Di Indragiri Hilir Riau,” 2011. 8 Makmur Haji Harun, Buchcari Katutu, dan Sitti Rachmawati Yahya, “Diaspora Bugis di Sumatera,” t.t. 9 Ismail Suardi Wekke, “Islam and Bugis on Migration in Nusantara : An Exploration of Religious Encounters of Papua,” t.t. 10 Barbara Watson Andaya, “Gender, Islam and the Bugis Diaspora in Nineteenth-and Twentieth-Century Riau,” Sari 21 (2003): 77–108. 11 Rosmawati, “Tamadun Islam Sulaswesi Selatan dan Pengaruhnya di Kawasan Nusantara,” Universitas Hasanuddin, 7 April 2014, http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9449. 12 John W. Creswell, Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative (Prentice Hall Upper Saddle River, NJ, 2002). 13 Lineton, “Pasompe’Ugi’.” 14 Kuraga Kuraga, diwawancara oleh Penulis, Video, 12 Agustus 2018. 15 Lineton, “Pasompe’Ugi’.” 16 Greg Acciaioli, “Kinship and debt: the social organization of Bugis migration and fish marketing at Lake Lindu, Central Sulawesi,” Bijdragen tot de taal-, Land-en Volkenkunde 156, no. 3 (2000): 589–617.
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 140
17 Hapsa Hapsa dan Eko Priyo Purnomo, “Relasi Kuasa Identitas Etnis Dilembaga Legislatif Periode 2014-2019 (Studi Kasus Anggota DPRD Etnis Bugis Dikabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau),” Journal of Governance and Public Policy 3, no. 1 (2016). 18 Hamsiah Siti, diwawancara oleh Penulis, 30 Agustus 2018. 19 Syarifuddin, diwawancara oleh Penulis, 5 September 2018. 20 Syarifuddin. 21 Arsyad Asad, diwawancara oleh Penulis, Tape Recorder, 10 September 2018. 22 L. Bahtiar, Ayub Mursalin, dan Masburiah Masburiah, “Ritual Mandi Safar: Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal: Studi Kasus di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur,” Kontekstualita 23, no. 2 (2008). 23 Irmawati Sagala, “Extension of Religious Ritual Functions in Development Process: Study of Mandi Safar in Air Hitam Ocean Indonesia,” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 156, no. 1 (2018): 012009, https://doi.org/10.1088/1755-1315/156/1/012009. 24 Ismail Suardi Wekke, “Islam And Bugis On Migration In Nusantara: An Exploration Of Religious Encounters Of Papua,” 2015. 25 M. Zainuddin, “Haji Dan Status Sosial: Studi Tentang Simbol Agama Di Kalangan Masyarakat Muslim,” El Harakah 15, no. 2 (2013): 169–184. 26 Pierre Bourdieu, “The forms of capital.(1986),” Cultural theory: An anthology 1 (2011): 81–93. 27 Gene Ammarell, “Bugis Migration and Modes of Adaptation to Local Situstions,” Ethnology, 2002, 51–67. 28 Andi Ima Kesuma, “Migrasi & Orang Bugis,” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004. 29 M. Yahya Mustafa, A. W. Tangke, dan A. Nasyaruddin, Siri’dan Pesse’: Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja (Makassar: Pustaka Refleksi, 2003). 30 Abd Rahim Yunus, “Nilai-Nilai Islam dalam Budaya dan Kearifan Lokal (Konteks Budaya Bugis),” RIHLAH 2, no. 01 (2015): 1–12. 31 Sitti Murni Kaddi dan Rahmi Surya Dewi, “Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi And Sipattokong As Falsafah And Value Of Local Etnic Bugis (Intercultural Communication Studies Of Bugis Perantau In Palu Central Sulawesi),” Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi 1, no. 1 (2017). 32 Andi Adijah dkk., “Reconstruction of Ethnic Identity among Bugis Community In Pontian Johor,” Journal of Management Info 4, no. 2 (2017): 69–83. 33 Robert Putnam, “Social capital: Measurement and consequences,” Canadian journal of policy research 2, no. 1 (2001): 41–51. 34 Richard Harker, Cheleen Mahar, dan Chris Wilkes, An introduction to the work of Pierre Bourdieu: The practice of theory (Springer, 2016).
Daftar Pustaka
Acciaioli, Greg. “Kinship and debt: the social organization of Bugis migration and fish marketing at Lake Lindu, Central Sulawesi.” Bijdragen tot de taal-, Land-en Volkenkunde 156, no. 3 (2000): 589–617.
Adijah, Andi, Rosman Md Yusoff, Mohd Koharuddin Mohd Balwi, dan Tariq Ahmad. “Reconstruction of Ethnic Identity among Bugis Community In Pontian Johor.” Journal of Management Info 4, no. 2 (2017): 69–83.
Ammarell, Gene. “Bugis Migration and Modes of Adaptation to Local Situstions.” Ethnology, 2002, 51–67.
Andaya, Barbara Watson. “Gender, Islam and the Bugis Diaspora in Nineteenth-and Twentieth-Century Riau.” Sari 21 (2003): 77–108.
Andaya, Leonard Y. “The Bugis-Makassar Diasporas.” Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society 68, no. 1 (268 (1995): 119–138.
Asad, Arsyad. Diwawancara oleh Penulis. Tape Recorder, 10 September 2018.
141 Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018
Bahtiar, L., Ayub Mursalin, dan Masburiah Masburiah. “Ritual Mandi Safar: Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal: Studi Kasus di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu Kabupaten Tanjung Jabung Timur.” Kontekstualita 23, no. 2 (2008).
Bourdieu, Pierre. Distinction: A social critique of the judgement of taste. Routledge, 2013.
———. “The forms of capital.(1986).” Cultural theory: An anthology 1 (2011): 81–93.
Creswell, John W. Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative. Prentice Hall Upper Saddle River, NJ, 2002.
Fahmid, Mujahidin. “Pembentukan Elite Politik di Dalam Etnis Bugis dan Makassar: Menuju Hibriditas Budaya Politik.” Unpublished doctoral dissertation, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Google Scholar, 2011.
Fattah, Abdul, Rafiuddin Afkari, Mikdar Rusdi, dan Md Abdullah. “Penghijrahan Masyarakat Bugis Ke Alam Melayu: Kajian Kes Bugis Di Indragiri Hilir Riau,” 2011.
Hapsa, Hapsa, dan Eko Priyo Purnomo. “Relasi Kuasa Identitas Etnis Dilembaga Legislatif Periode 2014-2019 (Studi Kasus Anggota DPRD Etnis Bugis Dikabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau).” Journal of Governance and Public Policy 3, no. 1 (2016).
Harker, Richard, Cheleen Mahar, dan Chris Wilkes. An introduction to the work of Pierre Bourdieu: The practice of theory. Springer, 2016.
Harun, Makmur Haji, Buchcari Katutu, dan Sitti Rachmawati Yahya. “Diaspora Bugis di Sumatera,” t.t.
Kaddi, Sitti Murni, dan Rahmi Surya Dewi. “Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi And Sipattokong As Falsafah And Value Of Local Etnic Bugis (Intercultural Communication Studies Of Bugis Perantau In Palu Central Sulawesi).” Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi 1, no. 1 (2017).
Kesuma, Andi Ima. “Migrasi & Orang Bugis.” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.
———. “Migrasi & Orang Bugis.” Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004.
Kuraga, Kuraga. Diwawancara oleh Penulis. Video, 12 Agustus 2018.
Lenggono, P. S. “Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal.” Disertasi SPD-IPB, 2011.
Lineton, Jacqueline. “Pasompe’Ugi’: Bugis migrants and wanderers.” Archipel 10, no. 1 (1975): 173–201.
Mustafa, M. Yahya, A. W. Tangke, dan A. Nasyaruddin. Siri’dan Pesse’: Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi, 2003.
Pelras, Christian, dan Pelras. The Bugis. Blackwell Publishers Oxford, 1996.
Putnam, Robert. “Social capital: Measurement and consequences.” Canadian journal of policy research 2, no. 1 (2001): 41–51.
Kontekstualita, Vol. 33, No. 2, 2018 142
Rahman, Norhayati Ab. “Sejarah hubungan masyarakat Melayu dan Bugis sebagai asas pembinaan naratif dalam novel sasterawan negara arena wati.” MANU: Jurnal Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa (PPIB) 23 (2016).
Rijal, Syamsu. “Penggunaan nama diri masyarakat Bugis.” RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya 8, no. 2 (2012).
Rosmawati. “Tamadun Islam Sulaswesi Selatan dan Pengaruhnya di Kawasan Nusantara.” Universitas Hasanuddin, 7 April 2014. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9449.
Sagala, Irmawati. “Extension of Religious Ritual Functions in Development Process: Study of Mandi Safar in Air Hitam Ocean Indonesia.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 156, no. 1 (2018): 012009. https://doi.org/10.1088/1755-1315/156/1/012009.
Siti, Hamsiah. Diwawancara oleh Penulis, 30 Agustus 2018.
Syarifuddin. Diwawancara oleh Penulis, 5 September 2018.
Wekke, Ismail Suardi. “Islam And Bugis On Migration In Nusantara: An Exploration Of Religious Encounters Of Papua,” 2015.
———. “Islam and Bugis on Migration in Nusantara : An Exploration of Religious Encounters of Papua,” t.t.
Yunus, Abd Rahim. “Nilai-Nilai Islam dalam Budaya dan Kearifan Lokal (Konteks Budaya Bugis).” RIHLAH 2, no. 01 (2015): 1–12.
Zainuddin, M. “Haji Dan Status Sosial: Studi Tentang Simbol Agama Di Kalangan Masyarakat Muslim.” El Harakah 15, no. 2 (2013): 169–184.