the performance of high resolution neutron powder

382

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER
Page 2: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER
Page 3: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PEMBANGUNAN INKLUSIF DI SEKTOR PERTANIAN II

Penyunting:

Tomy Perdana

Iwan Setiawan

Agriani H. Sadeli

Hesty N. Utami

Sara Ratna Qanti

Mahra Arari Heryanto

Sulistyodewi Nur Wiyono

Desain Cover dan Tata Letak:

Mahra Arari Heryanto

ISBN: 978-602-70388-2-0

Izin diberikan untuk bebas menyalin dan mendistribusikan sebagian atau seluruh

dari isi buku ini dengan menggunakan kaidah pengutipan (sitasi) dalam karya tulis

ilmiah. Buku atau produk turunan atau salinan dari buku ini tidak untuk

diperjualbelikan atau digunakan untuk keperluan mencari keuntungan.

Penerbit:

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran

Gedung Sosek Lantai 2 Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor

Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor

Telepon: 022-7796318

Faksimili: 022-7796316

Page 4: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER
Page 5: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ijin dan perkenan-

Nya kegiatan Seminar Nasional dan Workshop β€œPembangunan Inklusif di Sektor

Pertanian II” telah dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan ini dapat

diselenggarakan atas kerja sama antara Departemen Sosial Ekonomi Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dengan Bank Indonesia Kantor Perwakilan

Provinsi Jawa Barat.

Tujuan utama dari kegiatan Seminar Nasional dan Workshop ini adalah

terdiseminasikannya berbagai metodologi dan ilmu untuk melibatkan petani,

khususnya petani kecil dalam pembangunan nasional sehingga memiliki kesempatan

yang sama untuk meningkatkan pendapatannya. Selain itu, bagi para pelaku

agribisnis, akademisi, pemerintah dan masyarakat merupakan media pembelajaran dan

patok duga (benchmarking) untuk melihat perkembangan sektor pertanian di

Indonesia.

Buku ini adalah prosiding kegiatan yang secara garis besar berisi rumusan hasil

seminar nasional berupa hasil pemikiran dari para peserta seminar yang dapat

dijadikan rujukan dalam pengembangna sektor pertanian yang inklusif. Kami

mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kehadiran

seluruh peserta dalam kegiatan ini.

Secara khusus ucapan terima kasih kami sampaikan kepada narasumber dalam

seminar, kepada Soeko Wardojo (Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia kantor

perwakilan Jawa Barat) yang telah bersedia menjadi pembicara kunci, dan kepada Dr.

Stephan Onggo (Lancaster Management School, Inggris), Heru Pribadi (Direktur

Rantai Pasok dan Logistik PT Hero Group), serta Prof. Ganjar Kurnia (Kepala Pusat

Studi Dinamika Pedesaan, Universitas Padjadjaran) sebagai narasumber utama dalam

acara seminar nasional. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh

pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini, khususnya kepada Rektor

Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, serta

kepada Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Padjadjaran.

Terakhir, kami berharap kegiatan ini dapat memberi kontribusi yang berarti

kepada pembangunan pertanian di Indonesia. Terima kasih.

Jatinangor, Februari 2016

Panitia Pelaksana

Page 6: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

ii

Page 7: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

MAKALAH SEMINAR NASIONAL PEMBANGUNAN INKLUSIF

DI SEKTOR PERTANIAN II

Analisis Rantai Nilai Industri Mangga Offgrade Olahan Berbasis

Pemberdayaan Masyarakat Lokal1 Khonsa Shofwatun Najah1*, Gema Wibawa Mukti2 ........................................... 1

Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Pengusaha Tanaman Hias Skala

Menengah (Studi Kasus pada Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia di

Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Jawa Barat) Pratiwi Adilvina1*, Gema Wibawa Mukti2 ........................................................ 15

Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok Kentang Pasar Terstruktur di Kelompok

Tani Katata, Pangalengan, Jawa Barat Nadia Shafarina1), Tomy Perdana2) ................................................................... 25

Perubahan Struktur dan Perilaku Pemasaran Sayuran dan Buah di Indonesia

dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Buah dan Sayuran di Pasar

Tradisional Asma Sembiring ................................................................................................ 31

Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kopra Indonesia di Pasar Internasional Salman Faris Rinaldi, S.P1*, Tuti Karyani2 ....................................................... 37

Efektivitas Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT.

Coca - Cola Bottling Indonesia Cut Putri Pohan1, Anne Charina2 ...................................................................... 55

Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani

Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) di Desa Cihideung Kecamatan

Parongpong Kabupaten Bandung Barat Dini Rochdiani, Sara Ratna Qanti ..................................................................... 61

Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor

Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya Elly Rasmikayati1*, Asep Faisal2....................................................................... 71

Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang Eti Suminartika .................................................................................................. 81

Page 8: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

iv

Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel

Modern (Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung

Selatan) Fauziah TantryΒΉ, Sara Ratna Qanti2................................................................... 87

Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Dalam Pengembangan Rantai Pasok

Komoditas Bawang Merah (Allium cepa L.) di Kabupaten Brebes Fernianda Rahayu Hermiatin1, Tomy Perdana1, Eddy Renaldi1 ....................... 97

Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L) di Sentra

Produksi Cikajang Kabupaten Garut Dety Sukmawati1, Lies Sulistyowati2, Maman H.Karmana2, E Kusnadi Wikarta2

......................................................................................................................... 103

Perbandingan Pendapatan Petani untuk Komoditas Jagung Manis (Zea mays

Saccharata Sturt.) dan Bawang Merah (Alium cepa L.) (Studi Kasus di Desa

Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Muhammad Arief Budiman, Rizki Eka Firdaus ............................................ 109

Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu

Sumedang (Studi Kasus di Industri Kecil Sari Kedele, Kecamatan Jatinangor,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) Amy Fauziah1*, Kuswarini Kusno2 ................................................................. 119

Pemodelan Dinamika Sistem Kemitraan Pada Rantai Pasok Kentang di

Kabupaten Bener Meriah Lukman Hakim1), Tomy Perdana2), Maman Haeruman K.2), Yosini

Deliana2) .......................................................................................................... 133

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh Indonesia (Periode 1980 –

2013) Ady Trynugraha1 dan Muhammad Arief Budiman2 ....................................... 141

Analisis Daya Saing Usahatani Tembakau Mole (Studi Kasus Desa Sukasari,

Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) Septian Rindiarto1, M. Arief Budiman1 .......................................................... 147

Analisis Risiko Produksi Bunga Mawar Potong (Rosa hybrida) (Studi Kasus di

Rosalia Flowers, Desa Cihideung, Kecamatan Parompong, Kabupaten Bandung

Barat) Dery Luvitasari1, Sara Ratna Qanti1................................................................ 155

Pelaksanaan Program Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA)

Cireundeu (Studi Kasus di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi

Selatan, Kota Cimahi) Dessy Silviani1, Anne Charina2....................................................................... 163

Page 9: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

v

Analisis Pendapatan Pelaku Agroindustri Keripik Tempe di Desa Buluh

Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu Shorea Khaswarina1) ........................................................................................ 171

Farmers’ Knowledge, Perception, And Practices in Organic Paddy Farming

Concept Tinjung Mary Prihtanti dan Maria................................................................... 181

Analisis Persepsi dan Sikap Petani Terhadap Lembaga Pembiayaan Formal dan

Informal (Suatu Kasus Di Gapoktan Sami Mulya Kec. Sedong, Kabupaten

Cirebon, Jawa Barat) Yeni Hendriyani 1), Tuti Karyani2) .................................................................. 189

Faktor Internal dan Eksternal yang Berperan Dalam Usahatani Tembakau

(Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus pada Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa

Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut) Erizka Pramuditya1, Lucyana Trimo1 .............................................................. 197

Bauran Pemasaran dan Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak Arabika

Malabar Mountain (Studi Kasus di PT. Sinar Mayang Lestari, Desa

Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa

Barat) Ghina Davita Ramdhayani1, Dhany Esperanza1 .............................................. 209

Pengaruh Bantuan Modal Kerja PUAP Terhadap Kesejahteraan Petani di

Provinsi Sulawesi Tengah Yennita Sihombing .......................................................................................... 221

Manajemen Resiko Rantai Pasok Komoditas Padi (Oryza sativa) di Kabupaten

Indramayu, Jawa Barat Tetep Ginanjar 1), Tomy Perdana1), Eddy Renaldi1) ........................................ 233

Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Dalam Pengembangan

Padi Organik (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi,

Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya) Elena Yanti K.Y.S, Yayat Sukayat .................................................................. 241

Efektivitas Iklan Melalui Media Sosial (Website) Sebagai Media Promosi CV

Cihanjuang Inti Teknik Dengan Menggunakan EPIC Model Ni Luh Putu Diyasani Belawi1*, Rani Andriani Budi Kusumo1...................... 247

Apakah Kinerja dan Pengungkapan Lingkungan Berpengaruh terhadap

Kinerja Ekonomi Perusahaan? (Analisis pada Perusahaan Agroindustry yang

Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Arisha Nursyamti Pramidyar1, Dika Supyandi1 .............................................. 255

Page 10: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

vi

Identifikasi Faktor Pendukung Keberhasilan Transfer Teknologi Pada Industri

Kecil Menengah Berbasis Potensi Lokal Dengan Pendekatan Makroergonomi

(Study Kasus : UKM Keripik Ubi Cilembu Desa Cileles Jatinangor Dan IKM

Keripik di Desa Pagedangan Indramayu ) Devi Maulida Rahmah .................................................................................... 263

The Role of Communication Networks in Group Sustainability: A Case Study in

Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia Jaka Sulaksana ................................................................................................ 271

Analisis Keputusan Berkunjung Serta Kepuasan Konsumen Agrowisata

Cilangkap Efrizal Saputra1*, Tuti Karyani1, M.Gunardi Judawinata1 .............................. 283

Upaya Peningkatan Kinerja Sistem Logistik Komoditas Sayuran di Kelompok

Tani Katata, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan Tika Dewi Lenggana1, Tomy Perdana1, .......................................................... 293

Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta Jangkung Handoyo M.1,2*, Dwidjono H. Darwanto1, Setiawan Suryo K. J.3,

Sugiyarto1, Arif Wahyu W.4............................................................................ 299

Dampak Agrowisata Desa Cihideung Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial Budaya,

dan Lingkungan (Studi Kasus di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong,

Kabupaten Bandung Barat) Anita Putri Kemala1, Rani Andriani Budi Kusumo1 ....................................... 311

Pola Kemitraan Petani Paprika Dengan Koperasi Mitra Sukamaju Dalam

Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Nur Syamsiyah ................................................................................................ 325

Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani Jagung di Kabupaten Serang Dian Anggraeni1 , Tuhpawana P. Sendjaja2, Tomy Perdana2, Anne Nuraini2 333

Kajian Kemitraan Petani Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica L.) dengan

CV. Sumber Buah (SAE) (Studi Kasus pada Petani Mangga di Kabupaten

Cirebon, Jawa Barat) Siti Nur Azizah Syah1, Lies Sulistyowati1 ...................................................... 341

Pertukaran Nilai Pemasaran Dalam Pemasaran Relasional Sebagai Upaya

Menekan Risiko Pemasaran Pada Komoditas Bernilai Tinggi Tuti Karyani1, Agriani H. Sadeli1, Hesty N. Utami1, Sulistyodewi NW 1 ...... 351

Risiko Pemasaran Mangga di Petani yang Mengambil Risiko dan Menghindari

Resiko Yosini Deliana ................................................................................................. 357

Page 11: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

vii

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia, Periode

Tahun 1984 Sampai 2013 Taufiq Nur Tadjudin 1*, Muhammad Arief Budiman 1 .................................... 363

Page 12: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

viii

Page 13: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

1

Analisis Rantai Nilai Industri Mangga Offgrade Olahan Berbasis Pemberdayaan

Masyarakat Lokal

Value Chain Analysis of Offgrade Processed Mango Industry Based on Local

Community Empowerment

Khonsa Shofwatun Najah1*, Gema Wibawa Mukti2

1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang, [email protected] 2 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang

A B S T R A K

Kata Kunci:

Rantai nilai

Mangga Gedong Gincu

Offgrade

Nilai tambah

Manfaat

Penelitian ini bertujuan 1) memetakan rantai nilai dari Fruits Up, 2) analisis manfaat

ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dari rantai nilai Fruits Up, 3) identifikasi

hambatan dan opsi peningkatan yang tepat sebagai upaya optimalisasi rantai.

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif sedangkan teknik penelitian yang

digunakan adalah teknik studi kasus dengan menggunakan analisis rantai nilai, analisis

biaya dan pendapatan, analisis nilai tambah, analisis derajat keberdayaan dengan

pendekatan model Fujikake 2 tahap, serta analisis manfaat dan resiko lingkungan

deskriptif sederhana. Hasil analisis rantai nilai terdapat empat aktor dalam rantai nilai

secara keseluruhan: petani mangga di berbagai daerah sebagai pemasok mangga

Gedong Gincu segar, pengepul, pihak pengolah sebagai pengolah mangga Gedong

Gincu segar menjadi puree, Fruits Up. Proporsi keuntungan paling tinggi dalam rantai

nilai diperoleh Pengepul. Proporsi nilai tambah paling tinggi dalam rantai nilai

diperoleh Pengolah. Derajat keberdayaan menurut pendekatan model Fujikake 2 tahap

ialah: Petani (tipe 1), Pengepul (tipe 2), Pengolah (tipe 3), Fruits Up (tipe 3). Kategori

resiko kegiatan dalam bisnis masing-masing pelaku di rantai nilai dalam mencemari

lingkungan hidup ialah: Petani (tinggi), Pengepul (sedang), Pengolah (rendah), Fruits

Up (rendah). Hambatan dari sisi ekonomi paling besar dirasakan oleh Pengolah,

sedangkan hambatan dari sisi sosial paling besar dirasakan oleh Petani.

ABSTRACT

Keywords:

Value chain

Mango Gedong Gincu

Offgrade

Added value

Benefits

The purpose of this research were to 1) map the value chain of Fruits Up, 2) analyze

financial, social, and environmental benefit in the value chain, 3) identify the barriers

and upgrading options so it can minimize the hindrance in the value chain. This

research used descriptive design with case study technique that used value chain

analysis, analysis of costs and revenues, added value analysis, analysis of the degree

of empowerment using Fujikake Model approach in two stages, as well as analysis of

the benefits and risks of environment in descriptive. The results showed that there are

four actors in the whole Fruits Up value chain as follows: farmers, collectors,

processing firm, and Fruits Up. The greatest profit sharing obtained by the collector.

The greatest added value was given by the processing firm. The degree of

empowerment according to the model approach Fujikake 2 stages are: farmer (type

1), collectors (type 2), processing firm (type 3), Fruits Up (type 3). The risk of business

activities to pollute the environment are: farmer (high), collectors (medium),

processing firm (low), Fruits Up (low). The most substantial economic barriers felt by

processing firm, while largest social barriers perceived by the farmer.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 14: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

2

PENDAHULUAN

Sektor pertanian memiliki peran vital dalam

pembangunan ekonomi negara. Beberapa alasan

yang mendukung pernyataan tersebut, diantaranya

adalah menyediakan lapangan pekerjaan,

menghasilkan devisa, menjadi basis pertumbuhan

sektor agroindustri dan perdagangan, hingga menjadi

salah satu upaya peningkatan kesejahteraan rakyat

(Kementerian Pertanian, 2014). Dari sudut pandang

sektor pertanian, agroindustri yang semakin

berkembang diyakini bisa berperan strategis dalam

upaya menopang pengembangan daya saing bangsa

yang bertumpu pada kekayaan sumber daya

nusantara (Baharsjah, 1993).

Agroindustri ini, dengan perhatian khusus

terhadap komoditas hortikultura buah-buahan

potensial, memiliki peluang investasi yang bernilai

cukup tinggi. Menurut Direktorat Jenderal Industri

Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009),

empat komoditas buah-buahan yang potensial untuk

dikembangkan adalah mangga, jeruk, nanas, dan

markisa. Potensi buah mangga ditunjukkan oleh data

produksi nasional mangga yang mencapai 2,3 juta ton

tercatat sebagai produksi buah terbanyak. Sedangkan

luas areal panen buah mangga terbesar se-nasional

dengan 219.667 hektar (Kementerian Pertanian,

2014). Data konsumsi juga menunjukkan adanya tren

peningkatan konsumsi buah mangga setiap tahunnya.

Varietas mangga yang menjadi unggulan di Jawa

Barat sendiri salah satunya adalah mangga Gedong

Gincu.

Kendati luas areal panen dan produksi nasional

mangga meningkat setiap tahunnya, laporan

perkembangan harga menunjukkan bahwa harga jual

mangga di Jawa Barat sendiri masih tetap

berfluktuasi tajam akibat produksi yang tidak

kontinyu (musiman). Ketika pasokan langka di

pasaran, harga jual mangga melambung. Sebaliknya,

ketika pasokan berlimpah, harga jual mangga turun

dan bahkan pernah mencapai persentase penurunan

hampir 86% (Kementerian Pertanian, 2014).

Buah mangga dengan kategori buah mangga

off-grade sendiri pernah turun signifikan. Pada saat

off-season, harga dapat berada di kisaran Rp7000/kg,

sedangkan pada saat on-season harga bisa turun

hingga Rp1000/kg (Kementerian Pertanian, 2014).

Jumlah mangga kategori off-grade sendiri dapat

mencapai 30% dari total produksi mangga di Jawa

Barat setiap tahunnya (Supriatna, 2005).

Fakta mengenai terjadinya fluktuasi harga

buah mangga yang menyertai sifat musiman dan

sosialisasi yang belum gencar mengenai kegiatan

pemberian nilai tambah yang tepat sejak dari cara

panen, sortasi, penyimpanan, hingga pengolahan,

tentunya dapat melenyapkan peluang untuk

mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi

(Baharsjah, 1993). Terlebih, dengan adanya

fenomena sulitnya akses bagi petani kecil dan seluruh

aktor/pelaku yang terlibat untuk berpartisipasi. Serta

sulitnya petani berkolaborasi di bisnis pertanian

komersial dan produksi komoditas bernilai tinggi

(Catelo dan Costales, 2008; Pletcher, 2000;

Seshamani, 1998). Konsekuensinya, pergeseran

fokus kegiatan dari produk primer ke berbagai

produk bernilai tambah menjadi penting bagi

pengembangan agribisnis komoditas buah mangga.

Langkah ini dapat menjadi pilihan yang baik untuk

menanggulangi masalah kerugian petani mangga

sebagai implikasi dari anjloknya harga jual buah

mangga di musim panen, terutama untuk buah

mangga yang tidak laku di pasaran (Habibie, 1993).

Fruits Up hadir sebagai salah satu pelaku

agroindustri yang memiliki fokus utama memenuhi

permintaan harian tersebut dengan prinsip kolaborasi

di sepanjang rantai nilai produk mangga olahan

miliknya. Fruits Up yang didirikan pada Juli 2014,

menggunakan konsep social-technopreneurship.

Fruits Up merupakan salah satu bisnis yang

mengaplikasikan inovasi β€œThe Fruters Model”. The

Fruters Model adalah salah satu contoh model bisnis

yang sejalan dengan konsep agribisnis inklusif dan

3P. β€œThe Fruters Model” dikembangkan oleh

Universitas Padjadjaran selama bertahun-tahun

(Putri dan Purnomo, 2015). Usaha produk puree buah

dengan model β€œThe Fruters Model” berasal dari

sebuah riset panjang. Riset ini mensinergikan

berbagai kegiatan pertanian dari hulu

(pengembangkan praktek pertanian dan perkebunan),

pengolahan hasil hingga hilir dimana hasil pertanian

tersebut diolah menjadi produk pertanian dan dijual

dengan harga premium.

Berlandaskan model bisnis ini, Fruits Up

memiliki prinsip memberikan nilai dan manfaat

dalam setiap rantai yang dilalui produk mulai dari

awal berupa buah mangga hingga ke produk akhir

berupa puree mangga kemasan siap minum. Fruits

Up memaksimalkan potensi buah mangga off-grade

yang ditolak pasar tersebut agar lebih bernilai dengan

menggunakan teknologi pengolahan pasteurisasi dan

pencampuran dengan bahan-bahan lainnya diiringi

dengan proses kreatif didalamnya sebagai langkah

penambahan nilai.

Selain menerapkan konsep rantai nilai, Fruits

Up juga menjalankan bisnisnya dengan melakukan

proses pemberdayaan masyarakat berprinsip

kolaborasi yang berpusat pada manusia (people-

centered development) dalam kerangka besar β€œThe

Fruters Model”. Pemberdayaan pada tingkat petani

sampai pengolah sudah diinisasi terlebih dahulu oleh

pihak Universitas Padjadjaran dan telah melahirkan

inovasi yaitu model bisnis The Fruters Model itu

sendiri. Hal inilah yang kemudian melandasi upaya

Page 15: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

3

pengembangan bisnis Fruits Up dengan wawasan

pengelolaan sumberdaya lokal (community-based

resources management).

Proses pengelolaan sumberdaya lokal dalam

bisnis Fruits Up sendiri terletak pada proses produksi

di tempat produksi yang memanfatkan sumber daya

manusia yang berasal dari masyarakat sekitar dan

proses distribusi produk jadi melalui reseller mitra,

yaitu ibu-ibu rumah tangga yang dimotivasi agar

memiliki penghasilan sampingan dari penjualan

produk Fruits Up. Sedangkan, komoditas lokal yang

diangkat ialah buah Mangga Gedong Gincu off-grade

yang berasal dari berbagai daerah sentra di Jawa

Barat seperti Kabupaten Cirebon, Indramayu,

Majalengka, dan Kuningan yang telah tergabung

dalam Masyarakat Kluster Buah (Masterbu). Hingga

saat ini tim Fruits Up secara langsung telah

membantu dalam program pemberdayaan

masyarakat sekitar dengan adanya pemberian

coaching kepada komunitas bisnis kreatif yang

didirikan di Bandung. Komunitas bisnis kreatif ini

adalah komunitas yang menjadi wadah diskusi dan

sharing pelaku bisnis yang rata-rata masih berusia

muda dan baru memulai bisnisnya.

Di proses pemasarannya, yang menjadi target

pasar Fruits Up adalah masyarakat perkotaan yang

memiliki gaya hidup modern, peduli dengan

kesehatan, dan juga orang-orang yang peduli dengan

proses pemberdaayaan dibaliknya. Setiap bulannya

Fruits Up menjual sekitar 4800 botol kemasan puree

mangga siap minum dengan omzet bulanan mencapai

Rp90.000.000. Hal ini merupakan jumlah yang tidak

sedikit, mengingat Fruits Up adalah usaha rumahan

yang belum lama berdiri dan masih terus melakukan

inovasi.

Dalam hasil pemetaan rantai nilai awal,

beberapa pihak yang berkolaborasi di dalam rantai

nilai Fruits Up adalah: petani mangga sebagai

produsen, petani pengepul, pabrik pengolahan buah

mangga segar menjadi puree mangga sebagai

UMKM, Fruits Up sendiri, sebagai UMKM

pengemasan puree mangga menjadi puree mangga

siap minum sekaligus sebagai komunitas kreatif,

pihak akademisi (dosen dan mahasiswa) yang terlibat

dalam proses pemberdayaan di tingkat petani dan

pengolah, serta pemerintah daerah. Meskipun begitu,

semangat dalam memberdayakan dan keselarasan

tujuan antar pelaku utama (petani, pengepul,

pengolah, Fruits Up) belum ditemukan. Hal ini tentu

menjadi suatu problema karena pelaku utama baik itu

Fruits Up, pengolah, pengepul, maupun petani masih

belum merasa memiliki pandangan dan tujuan besar

yang sama.

Dalam artian lain, kekuatan dan kesolidan

sebagai buah dari manfaat-manfaat dalam rantai nilai

Fruits Up masih belum diteliti. Sehingga,

seberapapun besarnya tujuan Fruits Up untuk

pembangunan masyarakat pedesaan hingga

perkotaan tetap tidak akan optimal menuju hasil

karena tidak didukung oleh cita-cita dan usaha yang

sama besarnya dari pelaku lainnya.

Untuk itulah mengapa analisis rantai nilai yang

diterapkan Fruits Up memberikan manfaat yang

nyata untuk seluruh pelaku yang terlibat, baik

manfaat secara ekonomi, sosial, maupun dari sisi

lingkungan hidup, menarik untuk dilakukan. Selain

karena analisis rantai nilai ini dapat digunakan untuk

bahan evaluasi, analisis ini juga akan berguna untuk

para pelaku Fruits Up untuk terus konsisten berupaya

memaksimalkan potensi lokal daerah, salah satunya

dengan cara memahami hubungan dengan seluruh

aktor yang berkolaborasi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Konsep Agribisnis Inklusif

Menurut Budi (2015) konsep agribisnis

inklusif merupakan sebuah sistem yang secara adil

merangkul semua pelaku dalam proses agribisnis

untuk terlibat dalam pembangunan pertanian; sebuah

system yang dibentuk untuk mengupayakan hak-hak

petani yang pada umumnya masih dalam kondisi

tetinggal. Agribisnis inklusif merupakan sistem

dalam sektor pertanian yang diharapkan dapat

menjadi pintu masuk pembangunan Indonesia.

Sedangkan pembangunan yang inklusif adalah

pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan

yang memperhitungkan sekaligus pertumbuhan (pro-

growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job),

mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan

memperhatikan lingkungan (pro-environment)

(Daryanto, 2015).

Pemahaman mengenai agribisnis inklusif ini

sejalan dengan teori John Elkington (1994) tentang

β€œPeople, Planet, Profit” yang pada akhirnya diadopsi

oleh Shell’s. β€œPeople” memiliki artian bahwa bisnis

yang adil dan menguntungkan harus memperhatikan

tenaga kerja, komunitas lokal, dan daerah setempat.

β€œPlanet” memiliki artian bahwa kegiatan bisnis harus

sesuai aman untuk lingkungan hidup sekitarnya,

tidak membahayakan dan meminimalisir pencemaran

lingkungan. Sedangkan, β€œProfit” memiliki artian

bahwa kegiatan bisnis harus menghasilkan nilai

dengan meminimalisir biaya seluruh input.

Pengertian β€œProfit” dalam 3P ini memang sedikit

berbeda dari pengertian β€˜profit’ pada umumnya

(Elkington, 1997).

Konsep Analisis Rantai Nilai

Dalam konsep agribisnis inklusif dan 3P,

aspek yang dilihat dalam konsep tidak hanya aspek

ekonomi, namun juga aspek sosial dan lingkungan

hidup, dengan menggunakan analisis rantai nilai.

Page 16: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

4

Analisis rantai nilai atau Value Chain Analysis

(VCA) atau analisis rantai nilai merupakan salah satu

konsep bagaimana menambah aktivitas dan

memperbesar nilai produk secara maksimal dalam

tatanan rantai pasok (Stringer, 2009). Sebuah analisis

rantai nilai menjadi alat identifikasi sebagai cara

untuk menciptakan diferensiasi melalui

pengembangan nilai (Raras, 2009). Seluruh aktor

yang terlibat dalam kegiatan usaha dianalisis secara

mendetail untuk mengetahui titik terlemah rantai

nilai tersebut.

Kerangka Porter

Analisis rantai nilai yang digunakan sesuai

dengan kerangka Porter (1985), yang membagi

seluruh kegiatan dalam rantai nilai menjadi dua

kegiatan yaitu kegiatan utama (logistik masuk,

operasional, logistik keluar, pemasaran dan

penjualan, dan pelayanan) dan kegiatan pendukung

(pembelian, pengembangan teknologi, manajemen

sumber daya manusia, dan infrastruktur perusahaan).

Kegiatan utama adalah kegiatan yang secara

langsung berkontribusi menambahkan nilai pada

produk atau layanan yang dihasilkan. Kegiatan

pendukung,adalah kegiatan yang membawa efek tak

langsung terhadap nilai akhir suatu produk.

Gambar 1. Kerangka Porter.

Sumber: Michael E. Porter (1985)

Manfaat Secara Ekonomi

Dalam menganalisis manfaat dalam rantai nilai

dari sisi ekonomi, digunakan analisis biaya dan

pendapatan, serta analisis nilai tambah. Analisis

manfaat secara ekonomi tersebut meliputi:

1. Keseluruhan nilai tambah yang terjadi pada

setiap tingkatan rantai.

2. Biaya produksi dan pemasaran, serta struktur

biaya pada setiap aktivitas rantai.

3. Kinerja pelaku rantai (penggunaan kapasitas

yang produktif, produktivitas, dan

keuntungan).

Manfaat Secara Sosial

Konsep keberdayaan masyarakat mengenai

evaluasi pemberdayaan masyarakat mencakup

beberapa aspek indikator seperti kemampuan

mengambil keputusan, kemandirian, dan

kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan

(Widjajanti, 2011). Hal ini mendukung konsep

Pranarka dan Vidhyandika (1996) yang menyatakan

bahwa keberdayaan masyarakat berkaitan dengan

kemandirian masyarakat. Dalam menganalisis

manfaat rantai nilai Fruits Up dari sisi sosial,

digunakan analisisi derajat keberdayaan sesuai

dengan konsep pemberdayaan dan indikator-

indikator tersebut menggunakan pendekatan model

Fujikake 2 tahap.

Manfaat Bagi Lingkungan Hidup

Untuk menganalisis manfaat rantai nilai Fruits

Up terhadap lingkungan hidup digunakan analisis

manfaat dan resiko lingkungan secara deskriptif.

METODE PENELITIAN

Upaya Optimalisasi Rantai Nilai Fruits Up

Peluang agroindustri buah mangga di Indonesia

Hambatan pengembangan industri mangga olahan:

Sifat musiman buah mangga

Teknologi pengolahan minim

Petani kurang akses terhadap informasi

Program terpadu belum diterapkan

Minimnya kolaborasi antar pelaku usaha

Analisis rantai nilai agroindustri buah mangga off-grade olahan milik Fruits Up sebagai upaya

pengembangan agroindustri

Analisis Manfaat dalam Rantai Nilai Fruits Up

Pelaku yang Terlibat, Kegiatan Spesifik, Alur Produk dan

Informasi, Tata Kelola, Pola

Hubungan dan Koordinasi

Aspek ekonomi Aspek sosial

Analisis

Pendapatan

Analisis Nilai

Tambah

Analisis

Deskriptif

Derajat

Keberdayaan

Pelaku dengan

Pendekatan

Model Fujikake

Hambatan Hambatan

Aspek lingkungan

Analisis

Manfaat dan

Resiko

Lingkungan

Sederhana

Page 17: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

5

Penelitian ini menggunakan dua jenis data,

yaitu data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh melalui diskusi dengan pihak manajemen

Fruits Up, pengolah, pengepul, hingga ke petani dan

wawancara secara mendalam (indepth interview)

dengan bantuan kuesioner. Data sekunder diperoleh

dari literatur kepustakaan yang relevan dan catatan

atau dokumen lain dari instansi-instansi atau

lembaga-lembaga terkait seperti Kantor Dinas

Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura

provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS),

Dinas Pertanian, Balai Besar Pascapanen (BB

Pascapanen), Balai Besar Pengembangan Mekanisasi

Pertanian (BBP Mektan), dan lain sebagainya yang

berhubungan dengan topik yang dibahas.

Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan berupa studi kasus

(case study) yaitu penelitian yang terinci tentang

seseorang atau suatu unit selama kurun waktu

tertentu. Penentuan informan ditentukan dengan cara

sengaja (purposive) dengan penentuan sumber data

yaitu pelaku yang terlibat dalam aktivitas rantai nilai

Fruits Up. Pemetaan dan penelusuran dilakukan

untuk melihat ada tidaknya koordinasi vertikal

maupun horizontal antara pelaku di hilir dan pelaku

di hulu serta besarnya nilai tambah dan

pendistribusiannya antar pelaku.

Kegiatan observasi dan survei digunakan

untuk meninjau dan mengumpulkan informasi dari

aktivitas jaringan rantai nilai Fruits Up, mulai dari

pasokan bahan baku yakni mangga Gedong Gincu

offgrade, proses pengepulan, proses pengolahan

mangga Gedong Gincu menjadi puree di tingkat

pengolah, hingga proses distribusi dan proses

pemasaran produk olahan dari Fruits Up, serta

penentuan pelaku-pelaku yang terlibat dalam rantai

nilai tersebut. Wawancara terhadap manajemen

Fruits Up dan pembagian kuesioner kepada informan

(pemasok dari Fruits Up) untuk mengumpulkan data

pengelolaan rantai nilai, dan mengidentifikasi

manfaat yang diterima masing-masing pelaku, serta

mengidentifikasi hambatan yang selama ini terjadi

dalam rantai nilai perusahaan, baik secara kualitas

maupun kuantitas dan dijadikan acuan untuk

merumuskan opsi peningkatan yang tepat

(upgrading) dalam meminimalisir hambatan yang

terjadi.

Analisis rantai nilai yang dilakukan mencakup

seluruh informasi berikut: pelaku yang terlibat,

kegiatan spesifik, alur produk dan informasi, tata

kelola, pola hubungan dan koordinasi. Sedangkan

analisis manfaat ekonomi yang dilakukan ialah

analisis biaya dan pendapatan dengan formulasi:

Biaya Produksi

TC = FC + VC

Dimana:

TC = Biaya Total (Total Cost)

FC = Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost)

VC = Biaya Variabel Total (Total Variabel Cost)

Penerimaan

TR = Y x Hy

Dimana :

TR = Total Penerimaan (Total Revenue)

Y = Total Produksi

Hy = Harga Jual/Unit

Pendapatan

II = TR – TC

Dimana :

II = Pendapatan/Keuntungan

TR = Total Penerimaan (Total Revenue)

TC = Biaya Total (Total Cost)

RC Ratio

RC ratio = Penerimaan / Total Biaya

Kriteria :

1. R/C Ratio > 1, maka usaha tersebut layak untuk

diusahakan (untung)

2. R/C Ratio < 1, maka usaha tersebut tidak layak

untuk diusahakan (Rugi)

3. R/C Ratio = 1, maka usaha tersebut tidak untung

dan tidak rugi (impas)

Analisis Nilai Tambah

Nilai tambah (value added), merupakan hasil

dari penerimaan dikurangi biaya input tingkat

menengah sebagai indikator finansial yang

menunjukkan besaran imbalan kesejahteraan atas

korbanan tenaga kerja dan manajemen dalam

menghasilkan nilai tambah, sementara keuntungan

(profit) merupakan pendapatan bersih (penerimaan

dikurangi total biaya) dari hasil usaha yang dilakukan

para pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up.

Prinsip perhitungan nilai tambah ialah

penerimaan atau nilai penjualan (harga x volume)

yang diperoleh para pelaku dalam rantai dan barang-

barang tingkat menengah, pemasukan dan jasa

operasional yang dihasilkan oleh pemasok yang

bukan merupakan bagian inti dari rantai nilai tersebut

(Perdana dan Purwanti dalam Noor, 2011). Total

nilai yang dibayar dan dihabiskan oleh konsumen

akhir dibedakan antara nilai tambah dan barang-

barang tingkat menengah kemudian lebih lanjut

Page 18: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

6

merupakan pembagian antara barang setengah jadi

dan barang jadi yang dihasilkan oleh pelaku dari

bagian sebelumnya dalam rantai nilai yang sama, dan

pemasukan lainnya yang disediakan oleh pelaku

eksternal.

Analisis Deskriptif Derajat Keberayaan Dengan

Pendekatan Model Fujikake Dua Tahap

Data-data kualitatif yang dibutuhkan meliputi

data-data hasil pengamatan dan wawancara

mendalam. Data disajikan dalam bentuk tabel dan

diagram dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan

hasil dari wawancara terhadap informan mengenai:

a) Tingkat pendidikan pelaku usaha dalam

rantai nilai Fruits Up

b) Tingkat partisipasi (interaksi dalam jaringan

sosial/kerja) pelaku usaha dalam rantai nilai

Fruits Up

c) Perubahan perilaku atau kesadaran pelaku

usaha dalam rantai nilai Fruits Up

d) Tingkat kerjasama dan kepercayaan pelaku

usaha dalam rantai nilai Fruits Up

e) Kemampuan manajerial pelaku usaha dalam

rantai nilai Fruits Up

f) Kemampuan pengambilan keputusan pelaku

usaha dalam rantai nilai Fruits Up

g) Kemampuan memanfaatkan usaha untuk

masa depan para pelaku usaha dalam rantai

nilai Fruits Up.

Gambar 3. Tiga Tipe Hasil Pemberdayaan.

Sumber: Fujikake, 2008.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Rantai Nilai Fruits Up

Gambar 4. Pelaku dalam Rantai Nilai Fruits Up.

Pemetaan Kegiatan Spesifik Pelaku dalam Setiap

Aktivitas

Penanaman

a. Pelaku: petani perorangan dan kelompok tani

b. Kegiatan Spesifik: menanam, memanen

buah mangga, penyimpanan

Pengepulan

a. Pelaku: petani pengepul

b. Kegiatan Spesifik: melakukan proses sortasi

dan grading menjadi 3 grade (A, B, C),

penyimpanan, pemeraman, bongkar muat,

distribusi mangga

Pengolahan

a. Pelaku: pengolah

b. Kegiatan Spesifik: mengolah bahan baku

menjadi puree mangga, penyimpanan puree

mangga dalam cold storage, kendali mutu,

bongkar muat, distribusi puree.

Pengemasan

a. Pelaku: Fruits Up

b. Kegiatan Spesifik: pencampuran bahan

baku, mengemas puree mangga menjadi

puree mangga siap minum, pelabelan,

kendali mutu, penyimpanan, creative

branding

Tabel 1. Alur Produk dalam Rantai Nilai

Proses Penanaman

Mangga

Gedong

Gincu

Pengepulan Pengolahan Pengemasan

Bentuk

Input

dan

Sarana

Produksi

Bibit,

Lahan,

Pupuk,

Pestisida,

Tenaga

Kerja

Buah

Mangga

Gedong

Gincu,

Asetilen

Buah Mangga

Gedong Gincu

Grade B-C,

Alat Washing,

Alat Pengirisan,

Pulper,

Screener,

Pasteurizer,

Kemasan, Cold

Storage,

Tenaga Kerja,

Gedung Pabrik

Puree

Mangga,

Alat mixing,

Bahan

tambahan,

Kemasan,

Label

Bentuk

Output

Mangga

Gedong

Gincu

Mangga

Gedong

Gincu

Puree Mangga Puree

Mangga Siap

Minum

(botolan)

Tabel 2. Buah Mangga Gedong Gincu Kualitas Baik

Menurut Pelaku Petani Pengepul Pengolah

Warna buah Kemerahan Kemerahan Kemerahan

Ukuran buah Besar Besar Besar

Bentuk buah Bulat, sedikit

berlekuk

Bulat,

berlekuk

Bulat, sedikit

berlekuk

Tingkat

kemasakan

75% 70-75% 70-75%

Tabel 3. Puree Mangga Kualitas Baik Menurut Pelaku

Pengolah Pengemasan Konsumen

Warna Puree Cerah Cerah Cerah

Rendeman 40-50% 40-45% -

Tipe 1

β€’Pencapaian tujuan

β€’Kepuasan terhadap hasil

β€’Terjadinya perubahan (bersifat kuantitatif)

Tipe 2

β€’Lebih dari sekedar pencapaian tujuan

β€’Kepuasan dan pengakuan terhadap proses

β€’Terjadinya perubahan (bersifat kualitatif dan kuantitatif)

Tipe 3

β€’Kepuasan dan pengakuan terhadap strategi

β€’Terjadinya perubahan (bersifat kualitatif dan kuantitatif)

Petani Pengepul Pengolah Fruits Up

Page 19: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

7

Pengolah Pengemasan Konsumen

Rasa Manis Manis Manis

Tekstur Tergantung

pesanan

Lembut Lembut

Tabel 4. Jenis Informasi Di Tiap Mata Rantai Nilai Fruits Up

Pelaku Petani Pengepul Pengolah Pengemasan

Jenis

alur

informasi

Tingkat

kualitas

buah

mangga

yang

diinginkan,

harga jual,

waktu

permintaan

Tingkat

kualitas

buah

mangga

yang

diinginkan,

harga jual,

waktu

permintaan

Tingkat

kualitas

puree

mangga

yang

diinginkan,

harga jual,

waktu

permintaan,

food

standard

Tingkat

kualitas

puree

mangga yang

diinginkan,

harga jual,

waktu

permintaan,

food

standard

Alur informasi berwujud abstrak. Alur

informasi dalam rantai nilai tidak seimbang.

Beberapa informasi bisa didapatkan di mata rantai

tertentu namun tidak untuk mata rantai yang lain.

Ditunjukkan dengan gradasi warna biru, informasi di

tingkat Petani lebih sedikit dibandingkan dengan

informasi di tingkat Pengepul. Begitu pula yang

terjadi untuk selanjutnya. Hal ini dapat dipahami

karena kebutuhan informasi untuk produksi masing-

masing usaha berbeda-beda. Aliran informasi yang

tidak baik atau terhambat dapat menyebabkan

terhambatnya kegiatan agribisnis. Jenis alur

informasi di tiap mata rantai berbeda-beda tergantung

kebutuhan akan jenis produknya. Keseluruhan

informasi biasanya dimiliki oleh pihak yang

seimbang hubungannya baik dengan pemasok

maupun dengan pasar. Dalam rantai nilai Fruits Up,

Pengolah dan Fruits Up dianggap memiliki informasi

yang hampir sama. Sedikit kelebihan Pengolah ialah

memiliki informasi yang lebih banyak dari Pengepul.

Sedangkan, kelebihan Fruits Up adalah memiliki

informasi yang lebih banyak dari konsumen akhir

modernnya

Pemetaan Hubungan Keterkaitan Antara Pelaku

dalam Rantai Nilai

Hubungan keterkaitan antar pelaku dalam

rantai nilai (Gambar 4) dibagi menjadi dua jenis

hubungan, yaitu, hubungan yang terus menerus

terjalin dan hubungan yang terbentuk di pasar (spot

market) atau hubungan yang hanya ada ketika

transaksi jual beli. Secara keseluruhan struktur

hubungan ini membentuk struktur vertical yaitu

hubungan antara produsen dengan pemasok-

pemasoknya. Hal ini disebabkan setiap pelaku dalam

mata rantai memiliki jenis usaha yang berbeda-beda

akibat perubahan produk dalam setiap mata rantai.

Meskipun begitu, khusus untuk petani dan pengepul,

struktur hubungannya bisa vertikal dan bisa

horizontal karena petani dan pengepul sama-sama

menjual produk yang sama.

Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Antar Pelaku.

Gambar 5. Proporsi Nilai Tambah Setiap Pelaku.

Dari setiap pelaku dalam rantai nilai,

Pengolah memiliki peran terbesar dalam memberikan

nilai tambah terhadap produk dengan persentase

sebesar 44,17%. Sedangkan, Pengepul memiliki

persentase terendah sebesar 7,52%. Hal ini sangat

beralasan, yaitu karena Pengolah melakukan aktivitas

bernilai tambah dengan biaya yang lebih besar

dengan yang lain atau sama dengan usaha

memberikan nilai tambah terhadap produk akhir

sangat besar. Produk awal berupa mangga Gedong

Gincu di tangan Pengolah diubah menjadi puree

mangga dengan rendemen 43-50%. Lain halnya

dengan Pengepul yang paling sedikit memberikan

Petani (23,94%)

Pengepul (7,52%)

Pengolah (44,17%)

Fruits Up (24,37%)

Page 20: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

8

nilai tambah karena tidak banyak usaha yang

dilakukan Pengepul. Bahan baku awal berupa

mangga Gedong Gincu tidak mengalami perubahan

apapun dalam segi bentuk, hanya saja nilai tambah

Pengepul terbatas pada distribusi produk. Artinya,

Pengepul memiliki peran dalam membawa bahan

baku lebih dekat kepada konsumen (Pengolah dan

pasar).

Gambar 6. Proporsi Keuntungan Setiap Pelaku.

Keuntungan yang diperoleh setiap pelaku rantai

nilai tidak selalu beriringan dengan besar nilai

tambah yang diberikan kepada produk. Fenomena ini

ditunjukkan oleh persentase keuntungan yang

diperoleh pengepul yaitu sebesar 58,89% yang

meraup proporsi keuntungan tertinggi dibandingkan

dengan pelaku lainnya dalam rantai nilai. Berbanding

terbalik dengan pengolah, yang memiliki proporsi

pemberian nilai tambah tertinggi namun proporsi

keuntungannya paling rendah yaitu sebesar 4,55%.

Beberapa alasan yang menyebabkan fenomena ini

dapat terjadi ialah: a) Pengepul tidak banyak

mengeluarkan biaya dalam aktivitas yang memberi

nilai tambah namun bahan bakunya paling banyak,

sehingga penjualannya pun lebih banyak yang

memungkinkan untuk menjadikan pengepul

mendapat keuntungan yang juga besar. b) Pengolah

banyak melakukan aktivitas pemberian nilai tambah

terhadap produk. Hal ini ditunjukkan dengan dua hal

utama yaitu perubahan bentuk produk (mangga

menjadi puree mangga) dan ketahanan produk (cepat

rusak menjadi lebih lama bertahan dengan metode

pasteurisasi). Namun, karena biaya aktivitas tersebut

juga besar, maka keuntungan yang didapatkan oleh

pengolah tidak terlalu tinggi.

Analisis Derajat Keberdayaan dengan

Pendekatan Model Fujikake Dua Tahap

Tingkat Pendidikan

Gambar 7. Tingkat Pendidikan Pelaku.

Tingkat Partisipasi Pelaku

Gambar 8. Partisipasi Pelaku Rantai Nilai.

Dalam rantai nilai fruits up, 75% dari para

pelaku merasa sudah berkontribusi/berpartisipasi

dengan baik terhadap arah kerja dan kebijakan dalam

rantai nilai. Sedangkan 25% merasa tingkat

partisipasinya masih kurang. Alasan pelaku ialah

karena merasa alur informasi belum merata. Pelaku

yang merasa sudah berpartisipasi ialah pengepul,

pengolah dan fruits up. Pelaku yang merasa belum

berpartisipasi penuh ialah petani.

Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama

Gambar 9. Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama Pelaku.

Tingkat kepercayaan dan kerjasama para

pelaku dalam rantai nilai fruits up dalam

mendinamisasi dan mengendalikan hubungan antar

pelaku belum merata. Artinya, ada interaksi antar

rantai tertentu yang sudah baik kepercayaan dan

kerjasamanya dan ada juga yang belum baik. Arah

Petani (31,43%)

Pengepul (58,89%)

Pengolah (4,55%)

Fruits Up (5,13%)

Series1,

SD, 1, 12%

Series1,

SMK, 1,

13%

Series1,

S1, 6,

75%

Tingkat Pendidikan

SD

SMK

S1

Series1, Sudah

Berpartisipasi, 3, 75%

Series1, Belum, 1,

25%

Partisipasi Pelaku

Sudah Berpartisipasi

Belum

Series1, Percaya, 2, 50%

Series1,

Kurang, 2, 50%

Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama

Percaya

Kurang

Page 21: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

9

kerjasama dalam mata rantai dilihat dari dua arah

yaitu hubungan ke pemasok (supplier linkage)

masing-masing dan hubungan ke konsumen

(customer linkage) masing-masing. Fenomena yang

terjadi ialah tingkat kepercayaan tinggi antara dua

pihak yang berbeda tingkat pendidikan. Di tingkat

petani dan pengepul, tingkat kepercayaan dan

kerjasama tinggi hanya ketika terjadi transaksi

namun tidak berkelanjutan. Di tingkat pengepul dan

pengolah, tingkat kepercayaan dan kerjasama sangat

tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hubungan karib

atau informal antara pengepul dan petani meskipun

sedang tidak ada transaksi. Di tingkat pengolah dan

fruits up, tingkat kepercayaan dan kerjasama masih

harus ditingkatkan. Hal ini terjadi karena kurangnya

kesepahaman dan komunikasi yang baik antar dua

pelaku namun fenomena ini masih minor, dalam

artian tidak sering terjadi.

Kemampuan Manajerial

Gambar 10. Kemampuan Manajerial.

Menurut respon para pelaku dalam rantai

nilai fruits up, 75% merasa kemampuan

manajerialnya bertambah dan 25% sisanya masih

belum merasa ada perubahan. Kemampuan

manajerial yang dimaksud disini adalah keterampilan

dalam mengolah administrasi, inventarisasi

dokumen-dokumen kegiatan, dan pengarsipan.

Pelaku yang merasa belum bertambah

kemampuannya ialah petani. Hal ini dikarenakan

petani tidak terbiasa melakukan pencatatan

administrasi yang rapi dan merasa belum memiliki

kebutuhan untuk melakukan hal itu. Di tingkat

pengepul manajerial usaha yang dilakukan sebatas

pada pencatatan arus kas. Sedangkan kemampuan

manajerial pengolah sudah lebih baik, tidak hanya

melakukan pencatatan arus kas, namun juga

melakukan dokumentasi kegiatan untuk kepentingan

pemasaran, pengarsipan, hingga ke level forecasting

berkat adanya pencatatan dan pengarsipan yang baik.

Di tingkat fruits up, pada pelaksanaannya,

kemampuan manajerial sebenarnya masih belum

sebaik pengolah. Namun fruits up dalam

perjalanannya hingga saat ini terus melakukan

berkembang dalam melakukan pencatatan

administrasi dan pengarsipan dan menjadi lebih baik

dari waktu ke waktu. Hal ini terbukti dengan,

menurunnya biaya kehilangan (loss) akibat

manajerial usaha yang belum baik.

Kemampuan Pengambilan Keputusan

Gambar 11. Kemampuan Pengambilan Keputusan.

Pengambilan keputusan dalam menentukan

pemanfaatan dana dan prioritas kegiatan yang

dilakukan masing-masing pelaku dalam rantai nilai

Fruits Up rata-rata sudah baik, jika hanya dilihat

sebatas skala masing-masing usaha. Namun respon

pelaku menunjukkan bahwa tidak semua merasa

mampu dalam mengambil keputusan dalam

bisnisnya sendiri, terutama di tingkat Petani dan

Pengolah. Petani merasa tidak ada keputusan yang

harus diambil terkait dengan kebutuhan ekonomi.

Meskipun biaya perawatan pohon mangga mahal,

namun kebutuhan perawatan akan tetap sama

proposinya kendati nilai biayanya meningkat.

Sedangkan, Pengolah merasa tidak ada perubahan

karena Pengolah merasa sejak awal sudah memiliki

cita-cita usaha jangka panjang dan seluruh keputusan

dan penentuan prioritas sejak awal sampai saat ini

masih sama.

Kemampuan Memanfaatkan Usaha

Gambar 12. Kemampuan Memanfaatkan Usaha

Kemampuan memanfaatkan usaha pelaku rantai nilai

Fruits Up ditunjukkan dengan peningkatan skala

usaha dan rencana jangka panjang masing-masing

pelaku. 75% pelaku usaha (Pengepul, Pengolah,

Fruits Up) merasa lebih mampu memanfaatkan usaha

terkait dengan peningkatan profit dan jejaring.

Series1, Lebih

mampu, 3, 75%

Series1, Tidak ada perubahan, 1, 25%

Kemampuan Manajerial

Lebih mampu

Tidak adaperubahan

Series1, Lebih

Mampu, 2, 50%

Series1, Tidak Ada Perubahan, 2, 50%

Kemampuan Pengambilan Keputusan

Lebih Mampu

Tidak AdaPerubahan

Series1, Lebih

Mampu, 3, 75%

Series1, Tidak Ada Perubahan, 1, 25%

Kemampuan Memanfaatkan Usaha

Lebih Mampu

Tidak AdaPerubahan

Page 22: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

10

Sedangkan, 25% pelaku usaha (Petani) merasa tidak

ada perubahan karena usaha yang dilakukan hanya

sebatas budidaya mangga dan meskipun ada

pemanfaatan usaha yang lain dan ada sedikit

peningkatan skala usaha, tetap usaha budidaya

mangga Petani tidak lebih banyak meningkat dan

membuahkan banyak usaha lain.

Perubahan Perilaku dan Kesadaran

Gambar 13. Perubahan Perilaku dan Kesadaran.

Menurut hasil penelitian, secara garis besar

setiap pelaku tetap ada perubahan perilaku dan

kesadarannya meskipun tidak dapat dihitung dengan

besaran angka. Namun jika melihat respon pelaku

sendiri, 75% pelaku merasa sudah berubah

dibandingkan dengan sebelumnya dari berbagai

aspek yang telah dijabarkan sebelumnya. 25%

sisanya, merasa tidak ada perubahan. Tidak ada

perubahan tidak selalu berarti buruk menurut

informan, karena informan merasa dengan perilaku

seperti ini informan sudah cukup merasa berdaya.

Hasil penyesuaian respon pelaku dan

penelitian dengan Model Fujikake berbeda-beda di

setiap mata rantai.

a. Petani digolongkan ke tipe 1, yaitu hanya

sebatas mencapai tujuan usaha (profit),

puas terhadap hasil usaha, dan hanya

terjadi perubahan kuantitatif atau aspek

ekonomi.

b. Pengepul digolongkan ke tipe 2, yaitu

usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian

tujuan usaha (profit) karena sudah mulai

memikirkan bagaimana cara usaha

tersebut bermanfaat bagi sesama dan

masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan

pengakuan terhadap proses bisnis yang

dilakukan namun belum sampai ke level

pengakuan terhadap strategi bisnis,

terjadi perubahan yang bersifat ekonomi

(profit dan nilai tambah) dan sosial

(keberdayaan pelaku serta efek langsung

dan tidak langsung kepada

pemberdayaan masyarakat sekitar)

c. Pengolah digolongkan ke tipe 3, yaitu

usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian

tujuan usaha (profit) karena sudah mulai

memikirkan bagaimana cara usaha

tersebut bermanfaat bagi sesama dan

masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan

pengakuan terhadap strategi bisnis yang

dilakukan, terjadi perubahan yang

bersifat ekonomi (profit dan nilai

tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku

serta efek langsung dan tidak langsung

kepada pemberdayaan masyarakat

sekitar)

d. Fruits Up digolongkan ke tipe 3, yaitu

usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian

tujuan usaha (profit) karena sudah mulai

memikirkan bagaimana cara usaha

tersebut bermanfaat bagi sesama dan

masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan

pengakuan terhadap strategi bisnis yang

dilakukan, terjadi perubahan yang

bersifat ekonomi (profit dan nilai

tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku

serta efek langsung dan tidak langsung

kepada pemberdayaan masyarakat

sekitar)

Analisis Manfaat dan Resiko Lingkungan

Sederhana

Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan

bahwa kemungkinan pencemaran lingkungan paling

tinggi ada di tingkat Petani. Ini terjadi karena

penggunaan bahan kimia dan pestisida yang banyak

dan belum sepenuhnya petani-petani mangga yang

sudah mengubah pola tanam dan perawatannya

menjadi organik dan ramah lingkungan. Pengepul

berada di tingkat sedang, karena limbah dihasilkan

ialah mangga rusak dan busuk. Sistem penanganan

limbah di tingkat Pengepul masih belum ada kendati

limbah mangga masih bisa diurai oleh lingkungan.

Gambar 14. Kemungkinan Pencemaran Lingkungan.

Di tingkat Pengolah dan Fruits Up, limbah

bahan baku dan persediaan bisa dijadikan pemasukan

sampingan, sehingga dapat disimpulkan

kemungkinan pencemaran lingkungannya rendah

bahkan bisa menghasilkan keuntungan dari limbah

Series1, Merasa

Berubah, 3, 75%

Series1, Belum , 1,

25%

Perubahan Perilaku dan Kesadaran

Merasa Berubah

Belum

Pelaku dalam

Rantai Nilai, Tinggi, 1

Pelaku dalam

Rantai Nilai, Sedang, 1

Pelaku dalam

Rantai Nilai, Rendah, 2

Kemungkinan Pencemaran Lingkungan

Tinggi Sedang Rendah

Page 23: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

11

aktivitas bisnisnya. Maka dapat disimpulkan kegiatan

bisnis dalam rantai nilai keseluruhan memiliki

tingkat manfaat terhadap lingkungan hidup yang

baik, namun, masih harus ditingkatkan lagi di tingkat

Petani.

Gambar 15. Upaya Zero Wasting dalam Bisnis Pelaku.

Hambatan Spesifik dalam Pelaku Rantai Nilai

Fruits Up

Hambatan yang paling utama dalam rantai nilai

ialah

a. Aspek ekonomi usaha

1) Petani: Biaya perawatan yang besar

dan kerusakan tinggi di musim

panen, masih ada biaya kehilangan

akibat pencatatan administrasi dan

pengarsipan yang belum baik, harga

jual yang musiman (seasonal).

2) Pengepul: Harga mangga musiman,

biaya besar pada aktivitas pengadaan

dari Petani, masih ada biaya

kehilangan akibat pencatatan

administrasi dan pengarsipan yang

belum baik.

3) Pengolah: Bahan baku musiman,

Biaya bahan baku yang tinggi,

kapasitas produksi yang sering tidak

diiringi dengan kapasitas

penyimpanan, pengembangan

produk sedikit terkendala dengan

kemampuan suplai pemasok

(Pengepul), biaya fasilitas listrik

tinggi, kesalahan manusia (human

error) pada saat processing yang

menyebabkan produk cacat (retur).

4) Fruits Up: Biaya bahan baku tinggi,

masih ada biaya kehilangan akibat

pencatatan administrasi dan

pengarsipan yang belum baik dan

mekanisme produksi yang baku

dengan sistem operasional produksi

(SOP) masih belum diterapkan.

b. Aspek sosial usaha

a. Petani: Manfaat sosial adanya rantai

nilai Fruits Up masih minim

dirasakan oleh Petani. Hal ini

dikarenakan belum dirangkulnya

Petani secara penuh oleh setiap

pelaku dalam rantai nilai dan

keberlanjutan upaya merangkul

petani tersebut. Interaksi dalam

rantai nilai dengan Petani juga masih

kurang, kecuali untuk Pengepul

sehingga tujuan besar

kebermanfaatan adanya rantai nilai

masih belum optimal dari sisi petani.

b. Pengepul: Pengepul tidak memiliki

hambatan yang berarti dilihat dari

aspek sosial. Namun, keberdayaan

Pengepul dari sisi kemampuan

manajerial usahanya masih harus

dioptimalkan.

c. Pengolah: Interaksi antara Pengolah

dengan Fruits Up harus ditingkatkan

lagi untuk mengurangi

miskomunikasi.

d. Fruits Up: Interaksi antara Pengolah

dengan Fruits Up harus ditingkatkan

lagi untuk mengurangi

miskomunikasi.

Opsi Peningkatan Sebagai Upaya Optimalisasi

Rantai Nilai

a. Petani:

1) Adanya peningkatan upaya produksi di

tingkat Petani

2) Pengenalan budidaya mangga Gedong

Gincu Organik.

3) Adanya pendampingan yang

berkelanjutan.

4) Pelatihan keterampilan manajerial.

b. Pengepul:

1) Penjadwalan aktivitas pengadaan dari

Petani yang lebih efisien dengan

penjadwalan berdasarkan regional

tertentu.

2) Pelatihan keterampilan manajerial.

c. Pengolah:

1) Pengaturan jadwal hari produksi dan

penambahan hari produksi disesuaikan

dengan order dari konsumen agar bisa

dibuat penjadwalan penyimpanan yang

efektif dan efisien.

2) Alokasi fokus kegiatan kepada quality

control produk.

3) Pelatihan pekerja agar dapat

mengurangi resiko human error.

4) Pelatihan keterampilan manajerial.

Series1,

Ada, 3,

75%

Series1,

Tidak, 1,

25%

Upaya Zero Wasting

Ada

Tidak

Page 24: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

12

5) Pembentukan kontrak formal untuk

Pengepul agar barang cacat dapat di

retur.

d. Fruits Up:

1) Pembelian asset baru agar dapat

menambah kapasitas produksi seiring

dengan meningkatnya permintaan.

2) Pembuatan pencatatan untuk setiap

barang masuk dan barang keluar agar

biaya kehilangan (loss) dapat

diminimalisir.

Pembentukan kontrak formal yang

mencakup keseluruhan biaya dengan tetap menjaga

hubungan informal untuk Pengolah dengan Fruits Up

agar kerjasama yang diciptakan tetap kondusif

seiring dengan tingkat kepercayaan berbisnis yang

tinggi dengan masing-masing pelaku.

PENUTUP

Pemetaan pelaku dalam rantai nilai Fruits Up

adalah sebagai berikut: Petani – Pengepul – Pengolah

– Fruits Up. Proporsi nilai tambah dalam rantai nilai

paling besar diperoleh Pengolah yaitu sebesar

44,17%. Proporsi keuntungan dalam rantai nilai

paling besar diperoleh Pengepul yaitu sebesar

58,89%. Derajat keberdayaan menurut pendekatan

model Fujikake 2 tahap ialah: Petani (tipe 1),

Pengepul (tipe 2), Pengolah (tipe 3), Fruits Up (tipe

3). Kategori resiko kegiatan bisnis masing-masing

pelaku rantai nilai dalam mencemari lingkungan

hidup ialah: Petani (tinggi), Pengepul (sedang),

Pengolah (rendah), Fruits Up (rendah). Hambatan

ekonomi paling besar dirasakan oleh Pengolah,

sedangkan hambatan sosial paling besar dirasakan

oleh Petani.

Manfaat ekonomi yang diterima oleh

masing-masing pelaku ialah: peningkatan

pendapatan, peningkatan perolehan nilai tambah.

Manfaat sosial yang diterima masing-masing pelaku

ialah: kemampuan kerjasama meningkat (50%),

kemampuan manajerial meningkat (75%),

kemampuan pengambilan keputusan meningkat

(50%), kemampuan memanfaatkan usaha meningkat

(75%). Sehingga dapat disimpulkan manfaat sosial

yang dirasakan Petani masih rendah, Pengepul

sedang, dan untuk Pengolah dan Fruits Up sudah

tinggi.

Opsi peningkatan dalam rantai nilai

diantaranya adalah: (1) Di level petani: adanya

peningkatan upaya produksi, pengenalan budidaya

mangga Gedong Gincu organik, adanya

pendampingan yang berkelanjutan, serta pelatihan

keterampilan manajerial. (2) Di level Pengepul:

Penjadwalan aktivitas pengadaan dari Petani yang

lebih efisien dengan penjadwalan berdasarkan

regional tertentu dan pelatihan keterampilan

manajerial. (3) Di level Pengolah; pengaturan jadwal

hari produksi dan penambahan hari produksi

disesuaikan dengan order dari konsumen agar bisa

dibuat penjadwalan penyimpanan yang efektif dan

efisien, alokasi fokus kegiatan kepada quality control

produk, pelatihan pekerja agar dapat mengurangi

resiko human error, serta pelatihan keterampilan

manajerial dan pembentukan kontrak formal untuk

Pengepul agar barang cacat dapat di retur. (4) Di level

Fruits Up: pembelian asset baru agar dapat

menambah kapasitas produksi seiring dengan

meningkatnya permintaan, pembuatan pencatatan

untuk setiap barang masuk dan barang keluar agar

biaya kehilangan (loss) dapat diminimalisir,

pembentukan kontrak formal yang mencakup

keseluruhan biaya dengan tetap menjaga hubungan

informal untuk Pengolah dengan Fruits Up agar

kerjasama yang diciptakan tetap kondusif seiring

dengan tingkat kepercayaan berbisnis yang tinggi

dengan masing-masing pelaku.

Besarnya nilai yang diterima masing-masing

pelaku belum sesuai dengan besarnya usaha pelaku

untuk member nilai tambah. Oleh karena itu

disarankan untuk Pengolah membuat inovasi

terhadap bisnisnya sehingga bisnis tersebut bisa lebih

menguntungkan. Minimnya manfaat sosial yang

dirasakan oleh Petani perlu diteliti lebih lanjut,

mengingat konsep model bisnis The Fruters Model

yang sudah sangat baik namun pelaksanaannya masih

belum berkelanjutan. Analisis rantai nilai yang lebih

menyeluruh dengan memperhitungkan besarnya efek

multiplier kepada pelaku pendukung seperti

pemerintah dan akademisi menarik untuk diteliti

lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistika. 2013. Produksi Tanaman

Mangga Seluruh Provinsi Tahun 2006-2012.

Badan Pusat Statistika.

Baharsjah, Sjarifuddin. 1993. Hortikultura Sebagai

Sumber Pertumbuhan Baru Sektor Pertanian.

Jakarta: Penerbit Bangkit.

Budi, Nugroho. 2010. Konsep Pembangunan Inklusif

Apakah Perlu. Diakses pada tanggal 20 Juli

2015 di:

http://karinakas.org/id/index.php?option=com_

content&task=view&id=29

Catelo, M., dan A. Costales. 2008. Contract Farming

And Other Market Institutions As Mechanisms

For Integrating Smallholder Livestock

Producers In The Growth And Development Of

The Livestock Sector In Developing Countries.

PPLPI Working Paper.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia

Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap

Page 25: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

13

Industri Pengolahan Buah. Departemen

Perindustrian.

Elkington, John. 1997. Cannibals with Forks: The

Triple Bottom Line of Twenty-First Century

Business. Oxford: Capstone.

Fujikake, Yoko. 2008. Qualitative Evaluation:

Evaluating People’s Empowerent. Japanese

Journal of Evaluation Studies, Vol 8 No 2, 2008,

pp 25 – 37. Japan Evaluation Society

Habibie, B.J. 1993. Peranan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi dalam Pengembangan Agroindustri.

Jakarta: Penerbit Bangkit.

Noor, Trisna. 2011. Pengaruh Agroindustrialisasi

Perberasan Terhadap Pembangunan Pertanian

Berdasarkan Agroekosistem di Jawa Barat.

Disertasi Doktor dalam Bidang Ilmu Pertanian,

Universitas Padjadjaran.

Pletcher, J. 2000. The Politics of Liberalizing

Zambia’s Maize Markets. World Development,

28(1): 129-142.

Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage

of Nations. New York: The Free Press.

Porter, Michael E. 1980. Competitive Strategy. New

York: The Free Press.

Pranarka dan Vidhyandika, 1996. Pemberdayaan

dalam Onny S.P dan AMW. Pranarka (ed).

1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan

Implementasi. Jakarta: Center for Strategic and

International Studies (CSIS).

Putri, Selly Harnesa dan Dwi Purnomo, 2015.

Pengembangan Model Usaha Produk Puree

Buah Hasil Sinergitas Kurikulum dan

Pengembangan Sistem Pendukung Kolaborasi

Technopreneurship. Fakultas Teknologi

Industri Pertanian Universitas Padjadjaran.

Raras, A.TS. 2009. Menjadi Manager Sukses,

Melalui Empat Aspek Perusahaan. Bandung:

Alfabeta.

Seshamani, V. 1998. The Impact of Market

Liberalisation On Food Security in Zambia.

Food Policy 23(6): 539-551.

Stringer, R. 2009. Value Chain Analysis. Workshop

Value Chain Analysis Tanggal 5 -7 Juni 2009 di

Mataram NTB. Badan Litbang Pertanian.

Supriatna, A. 2005. Kinerja Dan Prospek Pemasaran

Komoditas Mangga (Studi Kasus Petani

Mangga di Propinsi Jawa Barat). Balai Besar

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian (BBP2TP).

Widjajanti, Kesi. 2011. Model Pemberdayaan

Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan

Volume 12, Nomor 1, Juni 2011, hlm.15-27.

Page 26: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

14

Page 27: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

15

Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Pengusaha Tanaman Hias Skala

Menengah (Studi Kasus pada Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia di

Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Jawa Barat)

Analysis of Business Development Strategy on Medium Scale of Entrepreneurs

Ornamental Plants. (Case Study in Rosalia Flower, Bunga Barokah, and Dahlia Desa

Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat)

Pratiwi Adilvina1*, Gema Wibawa Mukti1

1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jl. Raya Bandung –

Jatinangor Km 21,5

A B S T R A K

Kata Kunci:

Strategi

Tanaman Hias

SWOT

QSPM

Skala Menengah

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi

pengembangan usaha tanaman hias di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dan

menganalisis strategi pengembangan usaha terbaik yang dapat diterapkan oleh ketiga

perusahaan tersebut. Alat analisis yang digunakan yaitu matriks IFE dan EFE untuk

mengetahui bagaimana posisi perusahaan saat ini, matriks I-E untuk mengetahui

faktor-faktor strategi sebuah perusahaan dari lingkungan internal dan lingkungan

eksternal, matriks SWOT untuk mengetahui strategi alternatif pengembangan usaha,

dan metode QSPM untuk menentukan prioritas strategi bagi ketiga perusahaan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis internal terdapat 8

kekuatan dan 4 kelemahan, sedangkan hasil analisis eksternal terdapat 4 peluang dan

3 ancaman bagi ketiga pengusaha. Prioritas strategi pengembangan usaha berdasarkan

metode QSPM adalah mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau agar

mampu bersaing (5,728); menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam

memperkenalkan sekaligus mempromosikan produk (5,432); meningkatkan produksi

dengan penggunaan teknologi dalam budidaya (4,982); mempertahankan kerjasama

dan hubungan baik dengan pelanggan (4,570), mempertahankan hubungan baik antara

atasan dengan bawahan (3,696), membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi

terarah dan teratur (3,379); dan membuat laporan keuangan yang baik (3,017).

ABSTRACT

Keywords:

Strategy

Ornamental Plants

SWOT

QSPM

Medium Scale

This study aims to identify factors that influence the business development of

ornamental plants in Rosalia Flower, Flower Barokah, and Dahlia and analyze the

best business development strategies that can be applied by all the three companies.

An instrument of the analysis used is IFE and EFE matrix to find out company’s

current position, I-E matrix to determine the factors of a company strategy from its

internal and external environment, SWOT matrix to determine alternative strategies,

and QSPM methods to determine the priorities of the strategy for the three companies.

The results showed, based on the results of the internal analysis, there are eight

strengths and four weaknesses, wheras the external analysis results are four

opportunities and three threats for the three entrepreneurs. The priority business

development strategies based QSPM method is to maintain product quality and

affordable prices in order to compete (5.728); using information technology and

telecommunications to introduce and promote the product (5.432); increase

production with the use of technology in the cultivation (4.982); maintaining

cooperation and good relations with customers (4.570), maintaining good relations

between leaders and workers (3.696), making SOP in production activities become

directed and organized (3.379); and make good financial statement (3,017).

Email: [email protected]

Page 28: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

16

PENDAHULUAN

Tanaman hias memberikaan kontribusi

terhadap PDB dan pendapatan petani, sehingga

mempunyai prospek yang cukup cerah di Indonesia.

Hal tersebut dikarenakan karena luas lahan dan

persyaratan kesuburan tanah yang dimanfaatkan

untuk budidaya tanaman hias relatif kecil

dibandingkan dengan luas tanah yang dimanfaatkan

untuk jenis tanaman lainnya, serta tanaman hias

memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat

diterima dengan baik oleh masyarakat (Direktorat

Bina Produksi Hortikultura, 2003).

Permintaan tanaman hias terus meningkat

baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor,

membuat semakin bertambahnya pelaku usaha

tanaman hias mulai skala kecil sampai menengah.

Melihat hal tersebut, tanaman hias dapat diposisikan

sebagai komoditas perdagangan yang penting di

dalam negeri maupun di pasar global. (Direktorat

Budidaya Tanaman Hias, 2008).

Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu

Provinsi penghasil tanaman hias selain Povinsi

Sumatera Utara, Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,

Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat,

Kalimatan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,

Gorontalo. Provinsi Jawa Barat mempunyai peluang

dalam pengembangan tanaman hias dikarenakan

kondisi agroklimatnya yang mendukung khususnya

Kabupaten/Kota Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut

dan Bandung Barat. (Direktorat Bina Hortikultura,

2008).

Secara keseluruhan, produksi tanaman hias

di Provinsi Jawa Barat hampir selalu mengalami

kenaikan tiap tahunnya. Perubahan produksi yang

meningkat, biasanya didasari dengan perubahan luas

panen yang meningkat pula. Berdasarkan Jawa Barat

dalam Angka Tahun 2014, luas panen terluas

tanaman hias di provinsi Jawa Barat adalah di

Kabupaten Bandung Barat dengan luas panen

99.678.540 Ha.

Selain perubahan luas panen, permintaan

konsumen akan tanaman hias juga tinggi. Dengan

semakin meningkatnya konsumen tanaman hias,

semakin meningkat pula kesadaran masyarakat akan

estetika dan yang paling utama tingkat pendapatan

masyarakat juga meningkat sehingga mereka mulai

mengalokasikan pendapatannya untuk membeli

tanaman hias tersebut.

Salah satu daerah di Kabupaten Bandung

Barat yang memiliki kemajuan dalam usaha tanaman

hias yaitu Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong.

Desa Cihideung merupakan salah satu desa yang

dikenal dengan sebutan daerah wisata bunga. Desa

1 www.bandungbaratkab.go.id

Cihideung merupakan salah satu daerah pusat

pertanian dan perdagangan bunga yang ada di

Kabupaten Bandung. Hampir seluruh penduduk di

Desa Cihideung mengandalkan hidupnya dari

pertanian khususnya tanaman hias. Kebanyakan

usaha tanaman hias di Desa Cihideung merupakan

usaha keluarga yang sudah turun temurun dan sudah

berdiri selama berpuluh-puluh tahun. Lebih dari 80%

warga desa Cihideung menjadi petani bunga, dimana

terdiri dari 30% petani bunga potong, dan 50%.

petani bunga hias1. Kawasan Cihideung, memang

bisa dibilang pemasok terbesar di nusantara untuk

bibit bunga hias. Setidaknya seminggu dua kali, truk-

truk besar datang mengambil bibit-bibit tanaman,

untuk dipasarkan keberbagai daerah seperti Bandung,

Jakarta, Surabaya, Malang bahkan hingga ke luar

pulau Jawa.

Pengusaha tanaman hias di Desa Cihideung,

Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat

terbagi menjadi 3 pengusaha yang didasarkan atas

luas lahan yang diusahakan untuk bercocok tanam

tanaman hias. Pertama yaitu pengusaha tanaman hias

skala kecil dengan luas lahan kurang dari 150 m2

sampai dengan 300 m2 dimana biasanya mereka

menanam tanaman hias hanya dipekarangan rumah

namun bertujuan untuk dijual ke konsumen. Kedua

yaitu pengusaha tanaman hias skala

sedang/menengah dimana mereka yang memiliki

luas lahan antara 300 m2 sampai dengan 1000 m2 dan

yang terakhir yaitu pengusaha tanaman hias skala

besar yang mana memiliki luas lahan diatas 1000 m2.

Di Desa Cihideung kebanyakan pengusaha

merupakan pengusaha skala menengah dan skala

kecil. Pengusaha skala besar hanya terdapat 6

pengusaha, dimana ketiga pengusaha tersebut adalah

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia.

Usaha dibidang tanaman hias, dirasakan

pengusaha lebih menguntungkan dari pada bisnis

pertanian lainnya yang bisa dikembangkan di daerah

ini. Selain budidayanya mudah, bagi tanaman hias

setiap hari adalah musim tanam dan masa berbunga.

Disamping itu, pula untuk menanam bunga tidak

perlu lahan luas seperti halnya sayuran dan tanaman

padi.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Perumusan strategi pengembangan usaha di

Desa Cihideung dimulai dengan mengidentifikasi

permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha di Desa

Cihideung, lalu mengidentifikasi apa yang menjadi

visi, misi, serta tujuan kegiatan usaha yang dilakukan

masing-masing pengusaha. Pengenalan akan visi,

misi, dan tujuan dari kegiatan usaha yang dijalankan

akan membantu pengusaha untuk mengarahkan

Page 29: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

17

kegiatan usaha hanya pada visi, misi, dan tujuan yang

ingin dicapai. Selanjutnya, melakukan identifikasi

dan analisis lingkungan internal dan eksternal yang

dimiliki masing-masing pengusaha guna mencapai

tujuannya. Analisis lingkungan internal dilakukan

dengan pendekatan fungsional (pemasaran,

keuangan, produksi operasi, sumberdaya manusia,

dan sistem informasi manajemen), untuk mengetahui

apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Analisis

lingkungan eksternal perusahaan mencakup faktor-

faktor dalam lingkungan umum yaitu situasi

kebijakan pemerintah, ekonomi, sosial budaya,

teknologi, dan lingkungan industri (lingkungan

mikro) yang terdiri dari pesaing potensial, daya tawar

pemasok, produk substitusi, dan daya tawar pembeli

guna mengetahui peluang dan ancaman yang

dihadapi.

Variabel-variabel eksternal dan internal yang

telah dianalisis kemudian dirangkum dan dijabarkan

ke dalam matriks EFE dan IFE. Hasil matriks EFE

dan IFE kemudian digambarkan dalam matriks I-E

untuk mengetahui posisi perusahaan saat ini,

kemudian untuk mengetahui posisi perusahaan pada

saat ini, kemudian untuk mengetahui strategi

alternatif apa saja yang dapat digunakan dengan

kondisi usaha saat ini adalah dengan menggunakan

analisis SWOT. Tahap terakhir adalah dengan

menganalisis pengambilan keputusan akan strategi

usaha mana yang dianggap paling baik bagi Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dengan

menggunakan metode QSPM.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah

metode kualitatif dengan teknik penelitian yang

digunakan berupa studi kasus. Cara pengumpulan

data dilakukan dengan observasi, wawancara,

kuesioner, dan studi literatur. Data yang diperoleh

dari analisis lingkungan internal dan eksternal

kemudian diolah dengan alat analisis matriks IFE dan

matriks EFE untuk mengetahui bagaimana posisi dari

perusahaan saat ini. Selanjutnya, hasil dari analisis

tersebut akan digabungkan kedalam matriks IE

kemudian akan dioah dengan matriks SWOT untuk

mengetahui alternatif strategi yang diperoleh dari

matriks SWOT kemudian akan diolah dengan metode

QSPM untuk menentukan sasaran strategi alternatif

mana yang terbaik dan merupakan strategi prioritas

bagi perusahaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Faktor Internal

Berdasarkan kondisi lingkungan internal

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka

dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal yang

menjadi kekuatan dan kelemahan bagi Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:

1. Kekuatan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan

Dahlia:

A. Komunikasi yang baik antara atasan dengan

bawahan. (Manajemen)

Hubungan yang terjalin antara pemimpin

dengan pekerjanya adalah sangat dekat,

sehingga tercipta komunikasi yang baik

antara keduanya.

B. Perolehan bibit yang mudah. (Produksi)

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

mampu membudidayakan perbanyakan bibit

sendiri. Tetapi jika ada bibit jenis baru, harus

membeli ke toko maupun keluar daerah.

C. Produk/jenis tanaman yang beragam.

(Produksi)

Produk tanaman hias yang dijual di Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terdiri

dari berbagai macam tanaman hias, seperti

bonsai, cemara, dll. Jenis tanaman yang

cukup banyak ditawarkan, akan membuat

konsumen memiliki banyak pilihan dan

bebas untuk memilih tanaman hias yang

diinginkan.

D. Kapasitas produksi yang dapat memenuhi

permintaan konsumen. (Produksi)

Kapasitas produksi di Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia dengan permintaan

konsumen dapat terimbangi, meskipun

terkadang Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia tidak dapat memenuhi

permintaan yang mendadak tetapi mitra dari

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

dapat menutupi kekurangan jumlah tanaman.

E. Letak yang strategis.

Letak Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan

Dahlia terletak di desa wisata dimana akan

banyak pengunjung yang berdatangan.

Selain itu, letak Green House Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terletak

dipinggir jalan yang dapat dengan mudah

diakses oleh konsumen sebagai pengunjung

Desa Cihideung untuk berwisata.

F. Mutu produk yang baik. (Pemasaran produk)

Produk yang dihasilkan oleh Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia memiliki mutu

yang baik karena media tanam yang

digunakan merupakan media tanaman yang

baik sehingga tanaman juga dapat tumbuh

dengan baik. Tanaman hias yang diproduksi

termasuk kedalam Grade B.

G. Bukan produk musiman.

Produk-produk tanaman hias yang dijual di

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

bukanlah produk musiman karena dapat

Page 30: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

18

diproduksi kapan saja, sehingga dapat tetap

tumbuh sepanjang tahun dan dengan

berbagai kondisi cuaca.

H. Harga tanaman hias yang murah. (Pemasaran

Harga)

Harga produk yang dijual di Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia terbilang murah

dan dapat dijangkau oleh pelanggan, baik

dari pasar terstruktur maupun pasar tidak

terstruktur, baik perorangan hingga ritel.

Harga yang terjangkau merupakan salah satu

alasan para konsumen banyak yang memilih

untuk membeli tanaman hias di Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia.

2. Kelemahan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan

Dahlia

A. Belum mempunyai SOP (Standard

Operating Procedure) dalam kegiatan

produksi. (Produksi)

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

Belum mempunyai SOP (Standard

Operating Procedure) dalam kegiatan

produksinya, seperti dalam waktu

penyiraman tanaman yang tidak menentu,

pemberian pupuk yang tidak menentu, dan

hal yang lainnya. Perlunya SOP

dimaksudkan agar kegiatan peroduksi lebih

terarah dan teratur.

B. Menggunakan cara tradisional dalam

budidaya. (Produksi)

Budidaya tanaman hias yang dilakukan di

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

masih menggunakan cara yang sederhana

karena belum menggunakan teknologi

seperti kultur jaringan, yang mampu

mempercepat waktu anakkan hingga

tanaman siap dijual sehingga meningkatkan

jumlah produksi.

C. Tenaga kerja yang tidak menetap. (SDM)

Hampir seluruh penduduk di desa Cihideung

mengandalkan hidupnya dari pertanian

khususnya tanaman hias, sehingga tenaga

kerja yang tersedia pun banyak. Hal ini

seharusnya menjadi suatu kemudahan

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

dalam memproduksi tanaman hias. Namun

sayangnya banyak tenaga kerja yang tidak

menetap sehingga menyebabkan kehilangan

tenaga kerja yang terlatih.

D. Belum memiliki laporan keuangan yang

baik. (Keuangan) Laporan keuangan yang dimiliki Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia tidaklah

lengkap, hal ni terlihat dari tidak berjalannya

laporan keuangan selama kurang lebih dua

tahun. Laporan mengenai pengeluaran dan

pemasukan Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia tidak dicatat kedalam laporan

keuangan, melainkan hanya menyimpan

bukti-bukti transaksi seperti bon dan bukti

transfer. Laporan keuangan yang baik akan

membantu Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia dalam menggambarkan kondisi

ekonomi dan dapat memilih kebijakan dalam

menggunakan uang untuk kepentingan

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia.

Berdasarkan faktor-faktor internal yang

menjadi kekuatan dan kelemahan Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dibuatlah matriks

IFE (Internal Factor Evaluation).

Tabel 1. Matriks IFE Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia

Faktor Internal Bobot Peringkat Total

Bobot

KEKUATAN

Komunikasi yang

baik antara atasan

dengan bawahan

(A)

0,075 3 0,225

Perolehan bibit

yang mudah. (B) 0,076 4 0,304

Produk/jenis

tanaman yang

beragam (C) 0,076 3 0,228

Kapasitas produksi

yang dapat

memenuhi

permintaan

konsumen (D)

0,070 4 0,280

Letak strategis (E) 0,078 3 0,234 Mutu produk baik

(F) 0,077 3 0,231

Bukan produk

musiman (G) 0,080 3 0,240

Harga tanaman hias

yang murah (H) 0,087 4 0,348

KELEMAHAN Belum mempunyai

SOP (I) 0,103 1 0,103

Menggunakan cara

tradisional dalam

budidaya (J) 0,090 2 0,180

SDM yang tidak

menetap (K) 0,089 1 0,089

Belum memiliki

laporan keuangan

yang baik (L) 0,101 1 0,101

Page 31: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

19

Faktor Internal Bobot Peringkat Total

Bobot

TOTAL 1 2,563 Hasil dari analisis matriks IFE dapat diketahui

bahwa skor bobot total untuk faktor internal adalah

2,563 yang menggambarkan bahwa faktor internal

berada dalam posisi rata-rata, dimana kondisi internal

cukup baik atau kuat.

Analisis Faktor Eksternal

Berdasarkan kondisi lingkungan eksternal

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka

dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor eksternal

yang menjadi peluang dan ancaman bagi Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:

1. Peluang Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia

A. Kondisi infrastruktur jalan yang membaik.

(Ekonomi)

Jalan Desa Cihideung merupakan sebuah

jalanan alternatif bagi para masyarakat yang

ingin pergi ke daerah Lembang. Dengan

demikian, pengunjung akan semakin banyak

berdatangan, terlebih lagi kondisi jalan yang

semakin baik.

B. Meningkatnya pembangunan gedung

perkantoran, hotel, perumahan, real estate

dan vila. (Sosial Budaya)

Pembangunan gedung perkantoran, hotel,

dan perumahan semakin maraknya terutama

dikota-kota besar. Pemanfaatan tanaman hias

pada dekorasi taman, sudah menjadi

butuhkan dalam pembangunan gedung untuk

menambah nilai estetika.

C. Berkembangnya teknologi budidaya,

informasi, dan telekomunikasi (Teknologi)

Perkembangan budidaya seperti kultur

jaringan belum dapat dimanfaatkan oleh

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia,

namun merupakan sebuah peluang untuk

meningkatkan produksi dan mempercepat

proses anakan hingga tanaman siap dijual.

Sedangkan teknologi yang dimanfaatkan

oleh Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan

Dahlia adalah teknologi informasi dan

telekomunikasi seperti penggunaan website,

handphone, dan smartphone untuk

mempromosikan dan berkomunikasi dengan

para konsumen maupun mitra.

D. Program pemerintah yang mendukung.

(Kebijakan Pemerintah)

Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan,

banyaknya program yang direncanakan oleh

pemerintah sudah seharusnya menjadi

peluang bagi Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia dalam mendukung

keberlangsungan usaha. Program-program

yang sudah direncanakan oleh pemerintah

menjadi suatu keuntungan jika program

tersebut berjalan sesuai rencana.

2. Ancaman Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia

E. Harga bahan baku yang fluktuatif (Ekonomi)

Harga bahan baku yang dapat naik sewaktu-

waktu dapat membuat harga produksi juga

meningkat, sedangkan pihak Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia tidak mungkin

menaikkan harga produk.

F. Selera tren tanaman hias yang tidak dapat

diprediksi. (Sosial Budaya)

Selera konsumen dan tren tanaman hias

tidaklah menetap, namun berubah-ubah

sehingga tidak dapat diprediksi. Hal ini dapat

menyebabkan tanaman yang diproduksi

tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

pasar

G. Berkembangnya pesaing lama dan

munculnya pesaing baru. (Pesaing)

Para pesaing tanaman hias kini juga sudah

mulai mengembangkan usahanya,

khususnya dalam penerapan teknologi.

Pesaing baru yang bermunculan juga

semakin banyak dengan harga penjualan

yang dibawah Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia.

Berdasarkan faktor-faktor eksternal yang

menjadi peluang dan ancaman Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dibuatlah matriks

EFE (External Factor Evaluation).

Tabel 2. Matriks EFE Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia

Faktor Eksternal Bobot Peluang Skor

Bobot

PELUANG

Kondisi

infrastruktur jalan

yang membaik. (A)

0,119 1 0,119

Meningkatnya

pembangunan

gedung

perkantoran, hotel,

perumahan, real

estate dan vila (B)

0,139 4 0,556

Berkembangnya

budidaya,

informasi, dan

telekomunikasi (C)

0,119 2 0,238

Page 32: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

20

Faktor Eksternal Bobot Peluang Skor

Bobot

Program

pemerintah yang

mendukung (D)

0,111 2 0,222

ANCAMAN

Harga bahan baku

yang fluktuatif (E) 0,175 3 0,525

Selera tren tanaman

hias yang tidak

dapat diprediksi (F)

0,155 2 0,31

Pesaing yang lebih

berkembang dan

munculnya pesaing

baru (G)

0,182 2 0,364

TOTAL 1,000 2,334

Hasil dari analisis matriks EFE dapat diketahui

bahwa skor bobot total untuk faktor eksternal adalah

2,334 yang menunjukkan bahwa faktor-faktor

eksternal tersebut berpengaruh menengah, dimana

peluang dan ancaman tidak terlalu berpengaruh bagi

usaha Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia.

Analisis Evaluasi Faktor I-E (Internal-External)

Berdasarkan hasil evaluasi faktor internal

dan eksternal diperoleh total nilai bobot sebesar

2,563 dan 2,334 untuk faktor eksternal. Hasil total

bobot skor digabungkan dengan menempatkan total

bobot skor IFE pada sumbu X dan total bobot skor

EFE pada sumbu Y, sehingga posisi Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia berada pada sel V seperti

yang terlihat pada Gambar 1.

Total Bobot Nilai IFE

Kuat

3.0-

4.0

Rata-

rata

2.0-

2.99

Lemah

1.0-

1.99

To

tal b

ob

ot n

ilai E

FE

4.0 3.0 2.0 1.0

I

II

III

Tinggi

3.0

IV V VI

Menengah

2.0

VII VIII IX

Rendah

1.0

Gambar 1. Matriks I-E Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia.

David (2006) menyatakan bahwa sel V

merupakan posisi pertahankan dan pelihara (hold and

maintain). Strategi yang dapat dikembangkan oleh

perusahaan adalah strategi penetrasi pasar (market

penetration) dan pengembangan produk (product

developmnet). Strategi penetrasi pasar adalah suatu

strategi yang bertujuan untuk meningkatkan pangsa

pasar produk maupun jasa perusahaan yang sudah

ada lewat usaha pemasaran yang lebih gencar. Usaha

yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan

pelayanan yang lebih baik sehingga konsumen

merasa nyaman bekerjasama dengan perusahaan.

Analsis Matriks SWOT

Analisis SWOT merupakan tahapan

pencocokan untuk menghasilkan alternatif strategi

yang tepat dilakukan oleh perusahaan berdasarkan

dari identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan

ancaman yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Alternatif strategi tersebut merupakan penggabungan

dari kekuatan dengan peluang (S-O), kelemahan

dengan peluang (W-O), kekuatan dengan ancaman

(S-T), dan kelemahan dengan ancaman (W-T) yang

didasarkan pada strategi utama yang diperoleh dari

analisis perhitungan matriks IE. Rosalia Flower,

Bunga Barokah, dan Dahlia berada pada posisi

pertahankan dan pelihara sehingga perusahaan dapat

merumuskan strategi berdasarkan posisi yang pada

saat ini yaitu strategi penetrasi pasar dan

pengembangan produk. Diagram Matriks SWOT

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dapat

dilihat pada Tabel berikut.

Internal

Eksternal

STRENGTHS (S)

1. Komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan

2. Bahan baku produksi yang didapat dengan mudah

3. Produk/jenis tanaman yang beragam

4. Kapasitas produksi yang dapat memenuhi permintaan konsumen

5. Letak strategis 6. Mutu produk

yang baik

7. Bukan produk musiman

8. Harga tanaman hias yang murah

WEAKNESSES (W)

1. Belum mempunyai SOP

2. Menggunakan cara tradisional dalam budidaya

3. SDM yang tidak menetap

4. Belum memiliki laporan keuangan yang baik

OPPORTUNITIE

S (O)

1. Kondisi infrastruktur jalan yang membaik.

2. Meningkatnya pembangunan

STRATEGI SO

1. Menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk.

STRATEGI WO

1. Membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur

2. Meningkatkan produksi

Page 33: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

21

gedung perkantoran, hotel, perumahan, real estate dan vila

3. Berkembangnya budidaya, informasi, dan telekomunikasi

4. Program pemerintah yang mendukung

dengan penggunaan teknologi dalam budidaya

THREATHS (T)

1. Harga bahan baku yang fluktuatif

2. Selera tren tanaman hias yang tidak dapat diprediksi

3. Pesaing yang lebih berkembang dan munculnya pesaing baru

STRATEGI ST

1. Mempertahankan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan

2. Mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau

STRATEGI WT

1. Membuat laporan keuangan yang baik

2. Mempertahankan hubungan baik antara atasan dengan bawahan

Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT pada

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka

alternatif strategi yang dapat digunaka dalam

pengembangan usaha tanaman hias di Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:

1. Strategi S-O

a. Menggunakan teknologi informasi dan

telekomunikasi dalam memperkenalkan

produk.

2. Strategi W-O

a. Membuat SOP dalam kegiatan produksi

menjadi terarah dan teratur

b. Meningkatkan produksi dengan penggunaan

teknologi dalam budidaya

3. Strategi S-T

a. Mempertahankan kerjasama dan hubungan

baik dengan pelanggan

b. Mempertahankan mutu produk dan harga

yang terjangkau

4. Strategi W-T

a. Membuat laporan keuangan

b. Mempertahankan hubungan baik antara

atasan dengan bawahan

Analisis QSP (Quantitative Strategic Planning)

Tahap akhir dari perumusan strategi adalah

pemilihan strategi terbagi dengan menggunakan alat

analisis QSPM yang berdasarkan pada hasil analisis

SWOT. Penggunaan QSPM bertujuan untuk

memperoleh strategi alternatif terbaik yang dapat

diimplementasikan perusahaan berdasarkan arah

kebijakan dan kondisi riil perusahaan.

Faktor-faktor kunci dalam QSPM

merupakan seluruh lingkup faktor strategis internal-

eksternal Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan

Dahlia yang memberikan gambaran riil serangkaian

peluang dan ancaman serta serangkaian kekuatan dan

kelemahan yang dimiliki perusahaan. Bobot didalam

QSPM besarnya sama dengan bobot pada faktor-

faktor dalam matriks EFE dan IFE.

Nilai AS menunjuk pada daya tarik masing-

masing strategi terhadap faktor kunci yang dimiliki.

Nilai AS diperoleh melalui kuisioner yang ditujukan

kepada informan yaitu masing-masing pemimpin

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia yang

memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses

manajemen dan aktivitas sehari-hari perusahaan.

Nilai TAS merupakan hasil perkalian antara bobot

dan nilai AS dari tiap faktor kunci strategis.

Alternatif strategi dari matriks SWOT yang dapat

dihasilkan adalah:

Strategi 1:Menggunakan teknologi informasi dan

telekomunikasi dalam memperkenalkan

produk.

Strategi 2:Membuat SOP dalam kegiatan produksi

menjadi terarah dan teratur

Strategi 3: Meningkatkan produksi dengan

penggunaan teknologi dalam

budidaya

Strategi 4: Mempertahankan kerjasama dan

hubungan baik dengan pelanggan

Strategi 5: Mempertahankan mutu produk dan harga

yang terjangkau

Strategi 6: Membuat laporan keuangan yang baik

Strategi 7: Mempertahankan hubungan baik antara

atasan dengan bawahan

Berdasarkan hasil penilaian dari pemimpin

Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka

diperoleh urutan strategi dari yang paling menarik

untuk diimplementasikan pada perusahaan. Urutan

strategi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mempertahankan mutu produk dan harga

yang terjangkau (5,728)

2. Menggunakan teknologi informasi dan

telekomunikasi dalam memperkenalkan

produk (5,432)

3. Meningkatkan produksi dengan penggunaan

teknologi dalam budidaya (4,982)

4. Mempertahankan kerjasama dan hubungan

baik dengan pelanggan (4,570)

5. Mempertahankan hubungan baik antara

atasan dengan bawahan (3,696)

6. Membuat SOP dalam kegiatan produksi

menjadi terarah dan teratur (3,379)

7. Membuat laporan keuangan yang baik

(3,017)

Page 34: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

22

Tiga strategi yang menjadi prioritas utama

untuk diterapkan oleh Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia adalah mempertahankan mutu

produk dan harga yang terjangkau, menggunakan

teknologi informasi dan telekomunikasi dalam

memperkenalkan produk, dan meningkatkan

produksi dengan penggunaan teknologi dalam

budidaya. Strategi tersebut merupakan strategi yang

tepat untuk diterapkan sebagai pelaksanaan strategi

penetrasi pasar dan pengembangan produk.

Bagi manajemen perusahaan, strategi

mempertahankan mutu produk dan harga yang

terjangkau merupakan strategi yang sangat penting

untuk diterapkan saat ini. Semakin meningkatnya

persaingan usaha di industri tanaman hias menuntut

perusahaan untuk mempertahankan kekuatan yang

dipunyai perusahaan. Mutu produk yang baik serta

harga tanaman hias yang murah merupakan suatu

kekuatan yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia agar tidak kalah bersaing

dengan adanya perusahaan sejenis yang lebih unggul

serta perusahaan sejenis yang baru bermunculan.

Bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

loyalitas pelanggan sangat penting karena

berpengaruh terhadap perkembangan tingkat

penjualan perusahaan. Agar tingkat penjualan

perusahaan tetap tinggi bahkan meningkat maka

perusahaan perlu melakukan usaha yaitu menjaga

loyalitas pelanggan melalui mutu produk yang baik

serta harga yang masih terjangkau dengan pelanggan.

Manajemen Rosalia menyadari bahwa salah

satu kelemahan utama perusahaan adalah belum

memanfaatkan majunya teknologi dalam

memasarkan produk. Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia menyadari bahwa peluang

dalam bidang jasa tanaman hias (landscaping,

maintenance, dan rental tanaman) sangat besar dan

prospek ke depannya juga tetap cerah. Di sisi lain,

strategi promosi yang dilakukan perusahaan belum

efektif dan efisien. Untuk itu, diperlukan teknologi

dalam memasarkan produk, seperti membuat web

perusahaan yang berisi tentang profil usaha dan

produk perusahaan.

Strategi ketiga yang menjadi prioritas

manajemen Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan

Dahlia adalah meningkatkan produksi dengan

penggunaan teknologi dalam budidaya. Kelemahan

lain yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia adalah masih menggunakan cara

berbudidaya yang tradisional sedangkan peluang

akan penggunaan teknologi dalam produksi cukup

besar. Dalam hal ini, perlu adanya peran pemerintah

agar strategi ini berhasil diterapkan yaitu dengan

penyuluhan dan subsidi yang sudah diprogramkan

pemerintah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi

pengembangan usaha tanaman hias Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:

a. Faktor internal yang merupakan

kekuatan bagi Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia adalah komunikasi

yang baik antara atasan dengan

bawahan; perolehan bibit yang mudah;

produk/jenis tanaman yang beragam;

permintaan konsumen yang selalu

terpenuhi; letak strategis, mutu produk

yang baik; bukan produk musiman;

harga tanaman hias yang murah.

Sedangkan yang menjadi kelemahan

bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia adalah belum mempunyai

SOP; menggunakan cara tradisional

dalam budidaya; SDM yang tidak

menetap; belum memiliki laporan

keuangan yang baik.

b. Faktor eksternal yang menjadi peluang

bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah,

dan Dahlia adalah kondisi infrastruktur

jalan yang membaik; meningkatnya

pembangunan gedung perkantoran,

hotel, perumahan, real estate dan vila;

berkembangnya budidaya, informasi,

dan telekomunikasi; program

pemerintah yang mendukung.

Sedangkan yang menjadi ancaman

adalah harga bahan baku yang fluktuatif;

selera tren tanaman hias yang tidak dapat

diprediksi; pesaing yang lebih

berkembang dan munculnya pesaing

baru.

2. Tiga prioritas strategi pengembangan usaha

berdasarkan metode QSPM adalah

mempertahankan mutu produk dan harga

yang terjangkau agar mampu bersaing;

menggunakan teknologi informasi dan

telekomunikasi dalam memperkenalkan

sekaligus mempromosikan produk;

meningkatkan produksi dengan penggunaan

teknologi dalam budidaya.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap

strategi pengembangan usaha tanaman hias Rosalia

Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, saran yang

dapat diberikan adalah:

Page 35: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

23

1. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

sebaiknya mengadakan kontrak dengan para

tenaga kerja agar komitmen dan konsistensi

tenaga kerja terjamin, sehingga tidak terjadi

lagi kehilangan tenaga kerja ahli.

2. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia

sebaiknya benar-benar memanfaatkan

teknologi sebagai sarana untuk

mempromosikan dan memasarkan produk

agar jumlah pelanggan meningkat serta tidak

menutup kemungkinan untuk bekerja sama

dengan instansi besar sehingga dapat

menguntungkan bagi Rosalia Flower, Bunga

Barokah, dan Dahlia.

Perusahaan perlu membenahi manajemen

perusahaan khususnya manajemen pengelolaan

keuangan karena hal ini menjadi kelemahan utama

perusahaan. Perusahaan perlu menerapkan

pencatatan keuangan secara akuntansi sehingga tidak

terjadi pencampuran antara keuangan perusahaan

dengan keuangan pribadi pemilik perusahaan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada orang tua, abang

dan adik yang selalu memberikan dukungan,

semangat, kasih sayang dan doa kepada penulis.

Selain itu penulis ingin mengucapkan terimakasih

yang atas bantuan yang diberikan selama proses

penulisan kepada :

1. Gema Wibawa Mukti, S.P.,M.P. sebagai dosen pembimbing sekaligus dosen wali atas segala kesabaran, bimbingan, saran, semangat dan dorongannya.

2. Dr. Dra. Elly Rasmikayati, M.Sc. sebagai dosen penelaah atas bimbingan, koreksi dan saran yang diberikan.

3. Dr. Eti Suminartika, Ir.,M.Si. sebagai dosen penelaah atas koreksi dan saran yang diberikan.

4. Semua teman-teman yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan jurnal ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ayers, Chuck. 2014. The History of Floriculture.

Ehow Contribution

David, F. R. 2004. Manajemen Strategis. Edisi

Sembilan. Terjemahan. Prenhallindo.

Jakarta.

Nurhadi. 2008. Analisis Strategi Pengembangan

Usaha Tanaman Hias Pada PT. Kusuma

Floracipta, Taman Anggrek Ragunan,

Jakarta.

Nurhayati, Nunung. 2011. Analisis Kelayakan Usaha

dan Strategi Pengembangan Usaha Industri

Kecil Tahu di Kabupaten Kuningan Jawa

Barat.

Ramdhani, Renata Nur. 2011. Analisis Strategi

Pengembangan Usaha Sayuran Organik

(Studi Kasus pada Mekar Tani Jaya, Desa

Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten

Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat).

Pearce, J. A. Dan R. B. Robinson. 1997. Manajemen

Strategik: Formulasi, Implementasi, dan

Pengendalian. Binarupa Aksara. Jakarta.

Porter, Michael E. 2007. Strategi Bersaing: Teknik

Menganalisis Industri dan Pesaing.

KARISMA Publishing Group. Tangerang.

Pusdalisbang. 2013. Jawa Barat Dalam Angka.

Satudata Pembangunan Jawa Barat.

Pusponingtiyas, Mita. 2008. Analisis Lingkungan

Usaha Dan Formulasi Strategi Bersaing

Perusahaan Dalam Industri Tanaman Hias.

(Studi Kasus PT. Godongijo Asri, Sawangan,

Depok).

Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah

Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Umum.

Jakarta.

Robbins, S. P. 1991. Management. Third Edition.

Prentice-Hall. New Jersey.

Samosir, Hestia Vina. 2013. Analisis Strategi

Pengembangan Usaha Tanaman Hias (Studi

Kasus pada Family Cactus Nursery, Desa

Langensari, Kecamatan Lembang,

Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa

Barat).

Sidauruk, Febriando. 2010. Analisis Strategi

Pengembangan Usaha Tanaman Hias Pada

PT. Godongijo Asri, Sawangan, Depok,

Jawa Barat.

Soekartawi, 2000. Pengantar Agroindustri.

Rajagrafindo Pustaka. Jakarta

Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pedidikan

Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: ALFABETA.

www.bandungbaratkab.go.id, 2015. Dinas Pertanian

Perkebunan dan Kehutanan, diakses pada

tanggal 26 Juli 2015.

www.pelita.or.id, 2015. Produk Hortikultura Secara

Nasional Tingkatkan PDB (Ekonomi dan

Keuangan), diakses pada tanggal 13 April

2015.

Page 36: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

24

Page 37: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

25

Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok Kentang Pasar Terstruktur di Kelompok

Tani Katata, Pangalengan, Jawa Barat

Risk Management in Structured Market of Poetatoes Supply Chain at Katata Farmer

Group, Pangalengan, Jawa Barat

Nadia Shafarina1), Tomy Perdana2)

1,2 Fakultas Pertanian Unpad, Jl. Raya Bandung – Jatinangor Km 21,5

A B S T R A K

Kata Kunci:

Kentang,

Manajemen Risiko

Rantai Pasok,

Pasar Terstruktur,

HOR (House of Risk),

Rapid Agricultural

Supply Chain Risk

Assessment

Kentang adalah salah satu komoditas sayuran di Indonesia. Tiap tahunnya kebutuhan

kentang meningkat, tetapi sampai sekarang produksi kentang petani tidak dapat

memenuhi seluruh permintaan kentang di Indonesia. Ketidakmampuan itu disebabkan

oleh rendahnya produksi benih kentang. Mahalnya harga benih kentang adalah alasan

utama petani memproduksi benihnya sendiri. Risiko lainnya yang terjadi pada produksi

kentang adalah sangat bergantung pada iklim dan cuaca, biaya produksi tinggi, kriteria

dari pasar terstruktur sehingga petani harus melakukan manajemen risiko untuk

mencegah kerugian bagi petani. Penelitian ini bertujuan antara lain untuk

mengidentifikasi risiko-risiko dan untuk melakukan mitigasi pada rantai pasok kentang

pada Kelompok Tani Katata yang mempunyai tujuan pasar terstrukturnya

menggunakan metode Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment dan HOR

(House of Risk). Hasil dari penelitian menunjukkan 27 risiko yang terjadi dan 11

diantaranya masuk ke dalam risiko prioritas. Sebelas risiko tersebut dapat

menyebabkan 82.56% risiko keseluruhan. Untuk mengatasi risiko-risiko tersebut,

terdapat sebelas strategi mitigasi yang dapat dilakukan Kelompok Tani Katata.

ABSTRACT

Keywords:

Potato, Supply Chain

Risk Management,

Structured Market,

House of Risk (HOR),

Rapid Agricultural

Supply Chain Risk

Assesment.

Potato is one of the important vegetable commodities in Indonesia. Every year the need

for potato increasing, but until now the production of potatoes from the farmers cannot

fulfilled the demand potatoes in Indonesia. Relatively expensive price of certified seed

is the main reason the farmers apply the seed produced by themselves. Another risks

that happened on the productivity of potato is highly depends on the weather, high

production costs, specifications of the market structured so the farmers must doing risk

management to prevent a decrease in their income. This research’s objectives are to

identify and to mitigate the risks of potato supply chain in Farmers Group Katata

which already have structured market objectives using Rapid Agricultural Supply

Chain Risk Assessment and House of Risk (HOR) method. The results of this research

identify 27 risk events and 11 of all the risk agents identified are categorized as

prioritized risk agents. Eleven of all the risk agents identified are categorized as

prioritized risk agents that cause 82.56% of risk events. To cope the risks agent

priority, there are eleven risk mitigation strategies that could be done by Farmers

Group Katata.

Page 38: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

26

PENDAHULUAN

Kentang merupakan salah satu komoditas

sayuran yang penting di Indonesia. Masyarakat

Indonesia pada umumnya mengkonsumsi beras

sebagai makanan pokoknya, keberadaan kentang

dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Dalam

program diversifikasi pangan pengganti beras, posisi

kentang menjadi sangat penting. (Wagih dan

Wiersema, 1996).

Lahan petani kentang di Indonesia saat ini

mencapai 70.000 hektare seharusnya membutuhkan

benih umbi kentang berkualitas sekitar 130.000 ton

per tahun dalam rangka membangun ketahanan

pangan nasional. Total kebutuhan kentang nasional

130.000 ton per tahun, sedangkan ketersediaan benih

berkualitas dan bersertifikat kurang dari 15 persen.

(PT East West Seeds Indonesia (Ewindo), 2014).

Petani kentang selalu berupaya

mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk

memperoleh hasil yang tinggi. Walaupun demikian

hasil kentang yang dicapai petani masih jauh

dibawah potensi yang ada.. Penyebab utamanya

adalah petani tidak menggunakan benih unggul

bersertifikat tetapi menggunakan benih produksi

sendiri atau benih impor yang sudah beberapa

turunan sehingga daya hasilnya rendah

(Soegihartono, 2005).

Sentra produksi utama kentang di Indonesia

terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan

Sumatera Utara (Wattimena, 2000). Jawa Barat

adalah salah satu pemasok terbesar untuk produksi

kentang dari beberapa sentra di Indonesia. Tahun

2008-2013 menunjukkan data produktivitas dan

produksi kentang di Jawa Barat cenderung

mengalami fluktuatif (Badan Pusat Statistik, 2013).

Klaster agribisnis sayuran Pangalengan

mengembangkan komoditas seperti kentang,

zucchini, baby kenya bean (Buncis), white radish

(Lobak) dan tomat. Klaster ini telah bekerja sama

dengan beberapa mitra seperti PT. X, PT. Y, dan

PT.Z, serta dengan beberapa supplier ritel modern

dan pemerintah (BI dan BKP Jawa Barat). Kelompok

tani yang mengelola klaster ini ialah Kelompok Tani

Katata.

Kelompok Tani Katata telah memiliki

beberapa pasar terstruktur yang bekerjasama untuk

memenuhi permintaan produk pertanian salah

satunya adalah kentang yang dikirim ke Giant. Pasar

terstruktur adalah alternatif pasar yang dapat dipilih

produsen sayuran skala kecil untuk menghindari

risiko fluktuasi harga karena pasar tersebut

mengadakan perjanjian terlebih dahulu (Perdana,

2012). Karakteristik pasar terstruktur adalah adanya

kesepakatan antara produsen dan pembeli secara

formal ataupun informal berupa komitmen untuk

memasok sayuran secara konsisten, baik kuantitas

maupun kualitas dengan harga bersaing dengan

pemasok lainnya yang memiliki skala ekonomi lebih

besar.

Permasalahan yang muncul adalah pada

proses grading, petani membagi kentang berdasarkan

ukuran-ukuran yang telah ditentukan. Ukuran

kentang saat panen bervariasi (tidak seragam).

Sedangkan jika para mitra meminta hasil produksi

dengan level grading dengan persyaratan tertentu

yang diinginkan maka akan sulit bagi petani untuk

memenuhinya.

Petani juga mengalami kesulitan dalam hal

mendapatkan benih yang berkualitas baik dan

bersertifikat. Dibutuhkan waktu sedikitnya 2 tahun

dan proses panjang untuk menghasilkan benih

berkualitas, sehingga dapat berpotensi menimbulkan

risiko dan merupakan pokok permasalahan benih

kentang di Kelompok Tani Katata. Produktivitas

benih kelas G4 di penangkar masih rendah, berkisar

antara 3-13 ton per hektar, hal ini sangat jauh dari

harapan, padahal biaya produksi untuk menghasilkan

benih sangat tinggi, berkisar antara 60 – 70 juta

rupiah/ha. Dengan biaya produksi tinggi dan

produktivitas yang rendah, maka harga benih G4

untuk petani menjadi tinggi.

Kelompok Tani Katata masih belum mampu

memenuhi permintaan dari pasar terstruktur, dan

dapat terjadi reject karena tidak sesuai dengan kritera

yang diminta mitranya. Menurut Marimin dan Nurul

Maghfiroh (2010), dalam suatu rantai pasok jika satu

pelaku mengalami masalah dalam rantai pasok, maka

akan berpengaruh, baik secara langsung atau tidak

langsung kepada mitra dalam jaringan rantai

pasokan. Begitupun dengan risiko akibat dari

permasalahan tersebut, sehingga terjadi interaksi

antar risiko yang menyebabkan kerugian secara

menyeluruh dalam jaringan pasokan.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan : 1.

mengetahui risiko-risiko yang dihadapi dalam proses

rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata 2.

sejauh mana Kelompok Tani Katata menerapkan

manajemen risiko didalamnya 3. memberikan

rekomendasi atau jalan alternatif penanganan risiko.

METODE

Objek penelitian ini adalah risiko pada rantai pasok

kentang. Penelitian ini dilakukan di Kelompok Tani

Katata yang terletak di di Desa Margamekar,

Page 39: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

27

Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,

Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian ini dirancang

sebagai studi kasus (case study) untuk mencari

informasi secara mendalam mengenai proses rantai

pasok kentang. Metode analisis data yang dilakukan

dalam penelitian ini adalah metode RapAgRisk dan

House of Risk (HOR). RapAgRisk ialah sebuah

kombinasi data kuantitatif dan kualitatif informasi

yang bersumber dan dianalisis berdasarkan tipe risiko

mulai dari faktor internal maupun eksternal yang

bertujuan membantu pembuat keputusan untuk

meningkatkan strategi manajemen risiko. Metode

HOR ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu HOR1 dan

HOR2. HOR1 digunakan untuk menentukan mana

agen risiko yang harus diberikan prioritas untuk

diberikan penanganan prepentif. HOR2 digunakan

untuk memberikan prioritas pada penanganan yang

dianggap efektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Kelompok Tani Katata rantai pasok

kentang dimulai dari petani penangkar sebagai

pemasok bibit. Bibit yang dihasilkan antara lain

benih G2 dan G3. Sebagian besar bibit tersebut

ditanam dan sebagian lainnya dijual untuk umum.

Selanjutnya untuk memenuhi permintaan mitra

Kelompok Tani Katata juga bermitra dengan petani

kentang lainnya.

Hasil panen kentang lalu dibawa ke

packinghouse untuk disortasi dan grading.

Sebelumnya kentang dicuci dan juga dikeringkan

dengan pengawasan dari KAPALINDO. Pihak

KAPALINDO mengawasi dan juga mencatat semua

kegiatan di packinghouse. Penanganan pascapanen

dan perlogistikan sendiri dibantu oleh pihak

KAPALINDO. Setelah itu kentang dikirim

menggunakan mobil pick-up kepada pihak Giant.

Pemetaan aktivitas rantai pasok dilakukan

menggunakan metode SCOR (Supply Chain

Operation Reference) di Kelompok Tani Katata yang

terdiri dari plan (perencanaan), source (pengadaan),

make (produksi), deliver (distribusi), dan return

(pengembalian). Masing-masing kegiatan dilakukan

oleh pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kentang

di Kelompok Tani Katata yaitu pada tingkat

kelompok tani dan petani.

Kriteria Kentang Kelompok Tani Katata untuk Giant

Pasar Grade Standar Kualitas

Giant A (cuci ,

packaging

20kg/pcs)

Kulit kuat tidak lecet,

Usia kentang tua 100

-120 hst, Mata

dangkal, dan tidak

hijau, luka fisik,

busuk mata, per kg

nya sekitar 6-8 buah

Sumber : Data Primer, 2015.

Pihak mitra biasanya melakukan PO

(Purchase Order) 3 hari sebelum kentang dikirim.

Perjalanan memakan waktu kurang lebih 4 jam dan

membutuhkan biaya Rp. 700.000,- untuk biaya

transportasi dan upah tenaga kerja berjumlah 2 orang.

Kentang yang di reject biasanya dikembalikan dan

dijual ke pasar tradisional diantaranya Pasar Andir

dan Pasar Caringin.

Setelah mengidentifikasi kegiatan rantai

pasok di Kelompok Tani Katata dilakukan

pengelompokkan berdasarkan tipe risiko dan pelaku

dalam rantai pasok dengan RapAgrisk.

Tujuan utama RapAgRisk adalah untuk

membantu para pengambil keputusan memahami

risiko-risiko yang timbul dari sumberdaya internal

maupun sumber daya eksternal pasokan pertanian,

peserta rantai dan untuk meningkatkan strategi

manajemen risiko. Perlu dilakukan wawancara secara

mendalam kepada ketua Kelompok Tani Katata

sebagai pemegang keputusan dan aktor yang terlibat

dalam rantai pasok, untuk mengetahui faktor-faktor

yang menyebabkan risiko dan menngelompokkan

risiko-risiko tersebut.

Selain nilai tingkat kemungkinan munculnya

risiko dan kemampuan menjalankan risiko,

selanjutnya juga ditentukan seberapa sering risiko

tersebut terjadi. Melalui skala Kemungkinan

Munculnya Risiko maka dapat ditentukan tingkat

kemungkinan munculnya risiko tersebut. Hasilnya

Kelompok Tani Katata Petani Anggota

Petani Mitra

Giant KAPALINDO

Alur Rantai Pasok Kentang

Page 40: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

28

Potensi Dampak Keparahan

Skala

Kemungkinan

Munculnya

Risiko

S J K P HTP

Tinggi

Logistik,

Kualitas

kentang,

Spek

mitra

Sedang

Kesepakatan antar

anggota

Harga kentang,

Ketersediaa

n saprodi, kontrak

dengan

mitra

Tenaga kerja,

Biaya

perawatan

Persediaan kentang,

Ketersedia

an obat-obatan

untuk

mencegah

hama/penyakit

Rendah Pendapatan menurun

Peralatan yang

terpakai

Pola tanam, benih,

brand,

manajemen yang baik,

Biaya

produksi

Prioritas 3

Prioritas 2

Prioritas 1

dapat diketahui dampak keparahan dari masing-

masing risiko yang terjadi pada rantai pasok kentang

di Kelompok Tani Katata.

Nilai Keparahan Dampak Risiko (Severity)

ARP adalah kalkulasi antara nilai keparahan

dampak peristiwa risiko atau severity (S), nilai

kemungkinan terjadinya agen risiko atau occurrence

(O), dan nilai hubungan keduanya atau correlation

(R). ARP dihitung untuk mengetahui agen risiko

mana yang memiliki pengaruh/dampak paling besar

terhadap aktivitas rantai pasok dan menjadi prioritas

untuk lebih dulu ditangani.

Setelah dihitung dan diurutkan mulai dari

Nilai ARP tinggi ke rendah, didapat nilai ARP

tertinggi adalah 2730 untuk agen A5, agen A5 sendiri

yaitu iklim dan cuaca yang tidak menentu. Hal ini

paling berisiko bagi petani karena tidak dapat

diprediksi dan petani maupun kelompok harus

mempunyai berbagai cara agar dapat menghasilkan

kentang yang kontinu untuk dikirimkan kepada

mitra.

Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok Kelompok

Tani Katata

1. Bantuan pengadaan sarana produksi bagi

petani dari pihak Kelompok Tani Katata. (PA1)

2. Penerapan SOP penanaman kentang

disesuaikan dengan iklim dan cuaca. (PA2)

3. Perbaikan sarana prasarana khususnya untuk

penanganan pascapanen. Khusus untuk

kentang dibutuhkan blower yang lebih banyak

untuk menghemat waktu. (PA3)

4. Perjanjian antara pihak Katata dengan mitra

disesuaikan dengan kesanggupan petani untuk

memproduksi kentang dalam jumlah tertentu.

(PA4)

5. Antisipasi ketersediaan obat untuk mencegah

hama atau penyakit pada tanaman kentang.

(PA5)

6. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan

kentang harus diimbangi dengan persediaan

benih kentang, karena sulitnya mendapatkan

benih kentang yang berkualitas maka

dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk

mengembangkan benih kentang. (PA6)

7. Dibutuhkan tenaga ahli untuk pengembangan

benih kentang, saat ini jumlah tenaga ahli

dalam pembenihan di Kelompok Tani Katata

hanya ada 4 orang. (PA7)

8. Dibutuhkan informasi dari pasar untuk

perbandingan harga. (PA8)

9. Peningkatan manajemen oleh pihak Kelompok

Tani Katata dengan PAL agar rantai pasok

kentang dapat berjalan dengan efisien. (PA9)

10. Peningkatan kualitas tenaga kerja khususnya

dalam penanganan pascapanen, karena

berkaitan dengan spek yang diminta oleh pihak

mitra. (PA10)

11. Perlunya kendaraan yang lebih besar untuk

mengangkut kentang. Sekaligus pencegahan

penyusutan kentang selama perjalanan. (PA11)

KESIMPULAN

1. Pada rantai pasok kentang di Kelompok Tani

Katata dimulai dari petani penangkar yang

menghasilkan benih dari mulai G0 sampai

dengan G3, untuk memenuhi permintaan pasar

terstruktur Kelompok Tani Katata juga

bermitra dengan petani kentang lainnya.

Selanjutnya kentang dibawa ke packinghouse

untuk dilakukan persiapan pengiriman ke

pasar terstruktur. Setelah diidentifikasi

terdapat 27 risiko pada proses rantai pasok

kentang di Kelompok Tani Katata. Risiko-

risiko yang terjadi antara lain 8 risiko yang

terjadi pada perencanaan (plan), 6 risiko yang

Dafatar Agen Risiko dan Kemungkinan

Terjadinya

Page 41: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

29

terjadi pada pengadaan (source), 7 risiko yang

terjadi pada produksi (make), 4 risiko yang

terjadi pada pengiriman (deliver), dan 2 risiko

yang terjadi pada pengembalian (return).

2. Manajemen risiko yang dilakukan oleh

Kelompok Tani Katata masih belum optimal.

Terdapat 11 risiko krusial yang mempengaruhi

keberlangsungan rantai pasok kentang di

Kelompok Tani Katata, yaitu sebesar 82,56%.

Jika risiko tersebut tidak segera ditangani akan

menyebabkan kerugian yang besar bagi

Kelompok Tani Katata.

3. Strategi mitigasi yang dapat dilakukan

Kelompok Tani Katata ialah sebanyak 11

strategi mitigasi.

SARAN

1. Pihak Kelompok Tani Katata dengan

KAPALINDO lebih memperhatikan dampak

risiko dan mengidentifikasi permasalahan

yang terjadi selama proses rantai pasok untuk

memperkecil barang tolakan.

2. Salah satu permasalahan krusial pada rantai

pasok kentang adalah mendapatkan benih yang

berkualitas. Oleh karena itu kelompok dibantu

oleh pihak KAPALINDO hendaknya mencari

solusi untuk permasalahan tersebut misalnya

mengusulkan bantuan kepada pemerintah atau

mengadakan pelatihan terkait.

3. Strategi mitigasi yang akan dilakukan

disesuaikan dengan peristiwa risiko yang

terjadi di lapangan.

DAFATAR PUSTAKA

Briendly, Claire. 2004. Supply Chain Risk: A Reader.

Hampshire: Ashgate Publishing Limited.

Marimin dan Nurul Maghfiroh. 2010. Aplikasi Teknik

Pengambilan Keputusan dalam Manajemen

Rantai Pasok. Institut Pertanian Bogor.

Pujawan dan Geraldin. 2009. β€œHouse of Risk: a

model for proactive supply chain risk

management.” Business Process Management

Journal, Vol. 15, No.6, pp. 953-967.

Schoenher. 2008. β€œAssessing Supply Chain Risks

with the Analytic Hierarchy Process:

Providing decision sipport for the offshore

decision by a US manufacturing company.

β€œJournal of Purchasing and Supply Chain

Management. Vol.10.

Steven Jaffee, Paul Siegel, and Colin Andrews. 2008.

Melalui

<http://siteresources.worldbank.org/INTCOM

RISMAN/Resources/RapidAgriculturalSuppl

yChainRiskAssessmentConceptualFramewor

k.pdf> [25/01/15]

Page 42: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

30

Lampiran

Proses Rantai Pasok Sub-proses Peristiwa Risiko (Risk Event) Kode

Perencanaan (Plan) Menjalin Kontrak dengan Mitra Harga tidak sesuai keinginan E1

Perencanaan Pengadaan Pengadaan benih kentang E2

Pengadaan saprodi oleh kelompok tani kurang E3

Perencanaan Produksi Ketidakseragaman ukuran kentang E4

Varietas tanam yang dipilih tidak cocok E5

Biaya produksi tinggi E6

Perencanaan Distribusi Jumlah kontainer yang dipersiapkan kurang E7

Perencanaan Pengembalian Pengembalian kontainer tertunda E8

Pengadaan (Source) Pengadaan saprodi Pengadaan alat penyemprot terbatas E9

Pembayaran Pembayaran dari mitra terlambat E10

Pascapanen Proses pengeringan kentang (jumlah blower) E11

Kentang susut diperjalanan (dari lahan menuju packing house) E12

Kentang yang diterima tidak sesuai dengan kentang yang diminta E13

Proses di packinghouse Kentang busuk E14

Produksi (Make) Budidaya Tanaman terserang hama E15

Tanaman terserang penyakit E16

Tanaman mati layu E17

Produksi (Make) Sortasi Kentang rusak saat sortasi E18

Sortasi tidak teliti E19

Spek dari mitra (Giant) E20

Sortasi tidak tepat waktu E21

Distribusi (Deliver) Pengiriman kentang ke Mitra Kentang susut diperjalanan E22

Mobil dalam kondisi tidak layak pakai (perjalanan jauh) E23

Terlambat mengirim kentang ke mitra (Giant) E24

Kentang rusak saat pengiriman E25

Pengembalian (Return) Pengembalian kentang dari Mitra Kentang yang dikembalikan E26

Kentang terbuang E27

Kode Agen Risiko (Risk Agent)

Kurangnya negosiasi di tingkat petani

𝐴2 Manajemen produksi kurang tepat

𝐴3 Kurang koordinasi dengan formulator bibit

𝐴4 Jarak pengiriman jauh

𝐴5 Iklim dan cuaca yang tidak tentu

𝐴6 Kebutuhan petani yang mendesak

𝐴7 Transportasi terbatas

𝐴8 Tenaga kerja kurang

𝐴9 Standardisasi mitra tinggi

𝐴10 Hari raya

𝐴11 Perjanjian pembayaran dengan mitra

𝐴12 Modal/pembiayaan kurang

𝐴13 Kelalaian SDM (Sumber Daya Manusia)

𝐴14 Pasar tradisional tidak menerima kentang yang dikirim

𝐴15 Kecurangan oleh pesaing

𝐴16 Harga di pasar tradisional sedang tinggi

𝐴17 Disimpan bersama komoditas lain

𝐴18 Kurang teknologi pascapanen

𝐴19 Hubungan antara petani anggota dan kelompok

𝐴20 Kurangnya lembaga pembiayaan usaha tani

𝐴21 Pengiriman kentang tidak kontinu

𝐴22 Huru-hara

𝐴23 Kondisi infrastruktur jalan

𝐴24 Pengadaan kelompok tani terbatas

Page 43: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

31

Perubahan Struktur dan Perilaku Pemasaran Sayuran dan Buah di Indonesia

dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Buah dan Sayuran di Pasar

Tradisional

Changes of Structure and Conduct of Vegetables and Fruits’ Marketing in Indonesia and

the Impact to Quality Improvement of the Products in Traditional Market

Asma Sembiring

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jawa Barat [email protected]

A B S T R A K

Kata Kunci:

Struktur pasar

Perilaku pasar

Diferensiasi produk,

Pasar tradisional

Sayuran

Pasar tradisional menjadi tempat utama penjualan sayuran dan buah bagi petani

Indonesia. Sementara itu, mayoritas konsumen Indonesia berbelanja sayuran dan buah

di pasar tradisional. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perubahan

struktur dan perilaku pemasaran sayuran dan buah di Indonesia selama tahun 2007

sampai 2014 dan pengaruhnya terhadap perbaikan kualitas sayur dan buah di pasar

tradisional. Perubahan struktur dilihat dari perubahan jumlah petani dan pedagang,

skala produksi dan diferensiasi produk. Sementara itu, perubahan perilaku dilihat dari

perubahan hubungan petani, akses petani terhadap informasi pasar dan kredit serta

strategi pemasaran. Penelitian dilakukan dari Januari hingga Juli 2014 menggunakan

data sekunder. Hasil penelitian menujukkan dari aspek struktur, terjadi peningkatan

jumlah petani sayuran dan buah serta skala produksi. Petani juga melakukan

diferensiasi produk berdasarkan pasar tujuan. Dari aspek perilaku, relasi petani

menjadi lebih kuat, akses informasi pasar yang lebih terbuka, perbaikan strategi

pemasaran dan membaiknya relasi petani, pedagang/agen pemasaran. Secara umum,

kualitas sayuran dan buah di pasar tradisional belum membaik karena sayur dan buah

berkualitas bagus ditujukan untuk ekspor dan supermarket. Implikasi ke depan adalah

mendorong petani menghasilkan buah bermutu dan melakukan penyortiran produk

yang dijual ke pasar tradisional.

ABSTRACT

Keywords:

Market structure

Market conduct

Product differentiation

Traditional market

Vegetable

A traditional market is an ultimate vegetables and fruits destination market for

Indonesian farmers. Meanwhile, majority of Indonesian consumers buy vegetables

and fruits in the market. The objective of the study is to observe changes of structure

and conduct on vegetables and fruits’ marketing in Indonesia during 2007 to2014 and

impacts to the improvement of vegetables and fruits’ quality. The changes of structure

are observed from numbers of farmers and traders, production scale and product

differentions. Meanwhile, the changes of conducts are seen from changes of farmers’

relationship, farmers access to market information, credit and marketing strategy. The

study was conducted from January to July 2014. The result showed that from the

structure, there are increasing numbers of vegetable and fruit’s farmers and the scale

production. Farmers also differentiate their products based on a market destination.

From the conduct, the relationship among farmers are stronger, there are more

access on market information and credit, improvements of marketing strategies and

farmers-traders/marketing agents’ relationship. As the general, the quality of

vegetables and fruits in traditional market have not been improved yet as the high

quality of vegetables and fruits are sold for export and supermarket. Implications to

the future studies are to support farmers to produce high quality of vegetables and

fruits and advice them to sort their products before selling the products to the

traditional markets.

Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 44: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

32

PENDAHULUAN

Pasar tradisional menjadi aset sangat penting

bagi perekonomian Indonesia, utamanya untuk

memasarkan produk-produk lokal seperti buah dan

sayuran. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan

perputaran uang di pasar tradisional. Selama kurun

tahun 2004 hingga 2008, perputaran uang di pasar

tradisional meningkat sebesar 44,3 %, yaitu dari

108,7 triliun rupiah menjadi 156,9 triliun rupiah

(Kementrian Perdagangan, 2010). Penjualan produk

di retail-retail tradisional market ke depannya

diperkirakan meningkat, mencapai 816 triliun rupiah

di tahun 2015 disebabkan meningkatnya pengeluaran

makanan (Minot et al., 2013). Dari total pengeluaran

makanan, 34% dialokasikan untuk pengeluaran buah

dan sayuran (Euro-monitor International dalam

Agricultural and agrifood Kanada, 2011). Sebanyak

4,2 juta petani buah dan sayuran lokal bergantung

pada pasar tradisional (Kementan, 2013) dan 12,6

juta pedagang bergantung pada 13.450 pasar

tradisional yang ada di Indonesia (Ariawan, 2014).

Kontribusi buah dan sayuran terhadap

pendapatan perkapita Indonesia mencapai 2,7%

ditahun 2012 (Pusdatin, 2013). Kedepannya

diperkirakan kontribusinya meningkat akibat

meningkatnya konsumsi buah dan sayuran

masyarakat (Pusdatin, 2014). Dari sisi produksi,

penanaman buah dan sayuran juga meningkat karena

menguntungkan petani (Cholic & Ambarsari, 2009).

Selama kurun waktu 2009 hingga 2012,

kontribusi buah terhadap pendapatan perkapita

Indonesia mencapai 5,63%, sementara untuk sayuran

mencapai 6,77% (Pusdatin, 2013). Produksi buah

dan sayuran nasional ditahun 2013 mencapai 18,3

juta dan 11,6 juta ton (Statistik Pertanian, 2014).

Sementara dari sisi konsumen, alokasi pengeluaran

untuk buah dan sayuran ditahun 2013 mencapai 5,1%

dan 9,6% dari total pengeluaran pangan masyarakat

Indonesia (Pusdatin, 2014).

Mayoritas petani Indonesia (kurang lebih

90%) menjual buah dan sayuran mereka ke pasar

tradisional (Minot et al., 2013). Pasar tradisional

menjadi tujuan utama penjualan buah dan sayuran

lokal karena petani dapat dengan fleksibel memilih

pembeli dan menawarkan harga (Asmon 2004),

mudah dalam persyaratan kualitas dan kuantitas

(Ismail et al., 2013) dan biaya pemasaran rendah.

Lebih lanjut, hubungan dagang antar petani dan

pedagang menjadi faktor penting petani bagi petani

dalam memutuskan tujuan penjualan buah dan

sayuran mereka karena umumnya petani memiliki

keterbatasan terhadap lahan, akses modal, produksi

serta persoalan kompleks terkait dengan manajemen

produksi (Asmon, 2004).

Namun demikin, pasar tradisional

memberikan keuntungan lebih kecil bagi petani

(Sahara et al., 2012) dibanding tujuan pemasaran

lainnya disebabkan karena panjangnya rantai

pemasaran, harga produk ditentukan oleh pedagang

yang memiliki akses terhadap informasi yang

berkaitan dengan jumlah produksi, kualitas buah dan

sayuran yang beredar di pasar serta jumlah

permintaan pasar. Sementara itu, petani memiliki

keterbatasan terhadap informasi tersebut dan juga

akses terhadap kredit. Akibatnya petani mendapatkan

keuntungan yang lebih kecil dari pada pedagang

(Prayitno et al., 2013).

Sementara itu, konsumen Indonesia pada

umumnya memilih membeli buah dan sayuran di

pasar tradisional dengan alasan lebih murah, segar,

bisa ditawar dan beraneka ragam (Minot et al., 2013;

Izza, 2010). Akan tetapi kecendrungan saat ini dan

kedepan, konsumen Indonesia semakin peduli

dengan kualitas saat membeli buah dan sayuran

(Barus, 2008). Konsumen Indonesia menginginkan

buah dan sayuran yang mereka beli di pasar

tradisional juga merupakan buah dan sayuran

berkualitas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan ingin melihat

perubahan struktur, perilaku dan performa pemasaran

sayuran dan buah di Indonesia selama kurun waktu

2007-2014 dan pengaruhnya terhadap kualitas

sayuran dan buah di pasar tradisional Indonesia.

Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Juli

2014 dengan menggunakan data sekunder yang

berasal dari hasil-hasil penelitian tesis, disertasi,

jurnal lokal dan internasional, data statistik serta

laporan lembaga-lembaga internasional.

Aspek perubahan dilihat dari struktur dan

perilaku (Reardon et al., 2012). Aspek struktur

mencakup jumlah produsen (petani) dan pembeli

(pedagang), skala produksi, differensiasi produk.

Perilaku mencakup hubungan antar petani, akses

petani terhadap informasi pasar dan kredit, strategi

pemasaran serta hubungan petani dengan

pedagang/agen pemasaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan pemasaran sayuran dan buah

Indonesia di pasar tradisional dipengaruhi kehadiran

pasar modern seperti supermarket di Indonesia

(World Bank, 2007; Shepherd, 2005), yang dipicu

oleh perubahan gaya hidup dan pendidikan kalangan

ekonomi menengah ke atas yang semakin sadar akan

pentingnya kesehatan dan menginginkan makanan

sehat berkualitas termasuk untuk buah dan sayuran.

Kehadiran supermarket membuat tersebut secara

Page 45: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

33

langsung atau tidak mempengaruhi perubahan

struktur, perilaku maupun performa pemasaran

sayuran dan buah di Indonesia.

Perubahan Struktur

a. Ditingkat Petani

Jumlah Petani

Jumlah petani sayuran dan buah Indonesia

selama tahun 2007-2011 berfluktuasi namun

menunjukkan terjadinya peningkatan (Kementan,

2013).

Tabel 1. Jumlah petani sayuran dan buah Indonesia

tahun 2007-2011 (000 ton)

Perubahan permintaan pasar membuat petani

juga mengubah jenis tanaman yang mereka tanam,

dari tanaman pangan menjadi tanaman buah dan

sayuran bernilai ekonomis tinggi seperti tomat,

kentang, bawang merah, cabai dan mangga (World

Bank, 2007). Data Kementrian Pertanian tahun 2013

menyebutkan terjadi peningkatan produksi untuk

seluruh jenis buah dan sayuran untuk memenuhi

permintaan konsumen yang meningkat

Skala produksi

Terjadi peningkatan permintaan buah dan

sayuran yang berakibat pada upaya peningkatan

produksi buah dan sayuran melalui intensifikasi

pertanian maupuan ekstensifikasi. Sebagai

contohnya, untuk memenulhi permintaan pasar,

sejumlah petani mangga di Pemalang, Jawa Tengah

memperluas areal penanaman mangga mereka ke

lahan-lahan berbiaya murah untuk meningkatkan

skala produksi (Sahara, 2012; Natawidjaja et al.,

2007). Luas tanam para petani tersebut meningkat

dari 36 hektar menjadi 45 hektar. Cara lain yang

digunakan dalam memperluas skala produksi adalah

dengan membentuk kelompok tani mandiri. Sekitar

65% dari produksi mangga tersebut dijual ke pasar

tradisional dan sisanya dijual ke supermarket

(Natawidjaja et al., 2007).

Diferensiasi produk

Beberapa penelitian sebelumnya

menyatakan bahwa petani tidak menyortir panen

mereka karena tidak ada perbedaan harga yang

diterima oleh petani untuk buah yang disortir dengan

yang tidak (Saptana et al., 2006). Namun hasil

penelitian lain menyebutkan bahwa diferensiasi

produk memberikan harga yang berbeda pada

sayuran dan buah. Sebagai contoh adalah terdapat

kelompok tani melon di Desa Kajungan, Pekalongan

yang menyortir hasil panen mereka berdasarkan

tujuan pasar melon. Melon terbaik di ekspor, melon

kualitas menengah di jual ke pasar induk dan kualitas

paling bawah dijual ke pasar tradisional (Saptana et

al., 2006). Hal yang sama juga dilakukan oleh petani

mangga di Pemalang, dimana buah kualitas terbaik

dijual ke supermarket dan sisanya dijual ke pasar

tradisional (Natawidjaja et al., 2007).

b. Pedagang/Agen pemasaran

Perubahan perlahan terjadi di antara sesama

pedagang. Banyak pedagang/agen pemasaran,

terutama perusahaan mencoba menghubungkan

petani buah dan sayuran ke pasar, terutama ke pasar

supermarket dan ekspor. Bekerjasama dengan

pedagang, perusahaan menyediakan bimbingan

teknis untuk produksi, pengolahan lahan, teknologi,

penanganan paska panen serta membantu petani buah

dan sayuran dalam penyediaan input, kredit dan

informasi pasar (Natawdjaja, et al., 2007 ; Saptana et

al., 2006). Melalui bantuan teknis tersebut, produk

buah dan sayuran yang dihasilkan petani mampu

memenuhi kualitas tinggi yang diminta pasar.

Perubahan Perilaku a. Ditingkat Petani

Hubungan antar petani

Meningkatnya keterlibatan petani dalam

kelompok tani membawa perubahan terhadap

hubungan antar petani. Sebelumnya, petani

cenderung bekerja sendirian, yang membuat mereka

lemah dan memiliki posisi tawar rendah. Melalui

kelompok tani, petani secara bersama membeli input,

membangun kesepakatan untuk menerapkan

manajemen produksi pertanian untuk menjaga agar

harga buah dan sayuran stabil serta bekerjasama

dengan agen pemasaran untuk memasarkan produk

mereka. Upaya-upaya tersebut membuat posisi tawar

petani menjadi meningkat saat bernegosiasi dengan

pembeli (Hastuti, 2008; Natawidjaja et al., 2007).

Akses terhadap informasi pasar

Berkaitan dengan informasi pasar seperti

harga, pedagang memiliki informasi yang lebih baik

dibanding petani, menyebabkan petani banyak

menggantungkan dirinya pada pedagang untuk

mendapatkan informasi pasar (Prayitno et al., 2013;

Sahara, 2012). Karena hal ini pedagang kerap

mengambil keuntungan atas petani untuk

menetapkan harga jual serta mendapatkan

keuntungan yang lebih baik (Asmon, 2004).

Semakin kemari, kerjasama kelompok tani

dan pedagang berkembang menjadi lebih baik dan

membuat petani memiliki akses yang sama dengan

pedagang untuk mendapatkan informasi pasar

Komoditas 2007 2008 2009 2010 2011

Sayuran 2.837,4 2.843,4 2.975,1 3.104,2 3.425,5

Buah 898,4 901,5 942,2 765,8 884,2

Page 46: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

34

(Sahara, 2012). Kerjasama petani-pedagang ini

sangat penting untuk menjamin ketersediaan sayuran

dan buah, terutama untuk mengisi permintaan

supermarket. Untuk mencapai hal tersebut, perlu

dibina transparansi antar mereka (Natawidjaja et al.,

2007). Penyebarluasan informasi terkait harga oleh

agen pemasaran kepada petani menjadi salah satu

bentuk transparansi. Contohnya untuk kasus mangga

di Pemalang, Jawa Tengah. Transparansi informasi

pasar menjadi sangat penting mengingat Bimandiri

sebagai agen pemasaran menerima 5% dari total

penjualan mangga sebagai fee agen pemasar

(Natawidjaja et al., 2007).

Strategi Pemasaran

Mayoritas petani buah dan sayuran

Indonesia masih bergantung pada pengumpul desa

untuk menjual produk mereka. Petani menjual

produk mereka tanpa melakukan penyortiran. Untuk

menjual produk langsung ke konsumen, para petani

harus melalui dua hingga tiga pedagang perantara

danmembutuhkan biaya besar. Berfungsinya

kelompok tani serta adanya kerjasama dengan agen

pemasaran memperpendek saluran pemasaran

(Natawidjaja et al., 2007). Buah dan sayuran petani

langsung dikirim ke pasar tujuan melalui agen

pemasaran (Natawidjaja et al., 2007; Saptana et al.,

2006). Petani juga mulai melakukan penyortiran,

mengelompokkan buah dan sayuran berdasarkan

ukuran dan mengemas produk sesuai permintaan

pasar. Pemasaran baru ini memberikan dua

keuntungan bagi petani yakni 1) dengan menjual

langsung pada agen pemasaran, rantai pemasaran

dipersingkat. Hal ini berarti mengurangi biaya

pemasaran petani 2) dengan melakukan

differensiasi/pembedaan produk sesuai tujuan pasar,

perbedaan harga dapat diberlakukan. Bila pasar yang

dituju adalah supermarket dan ekspor, petani

mendapatkan keuntungan yng lebih baik

dibandingkan dengan pasar tradisional.

b. Petani, pedagang dan agen pemasaran

Perubahan juga terjadi dalam hubungan

petani dan pedagang dalam pemasaran buah dan

sayuran. Sebelumnya para pedagang cenderung

mengambil keuntungan atas petani karena

keterbatasan terhadap modal dan informasi pasar

(Asmon, 2004). Tetapi hal tersebut telah berubah.

Saat ini, pedagang memandang petani sebagai

partner yang saling menguntungkan, yang perlu

mendapat dukungan untuk mencapai tujuan

pemasaran bersama lebih efektif. Kerjasama seperti

ini telah memberikan manfaat kepada kedua belah

pihak yang terlibat (Natawidjaja et al., 2007). Contoh

kolaborasi yang berhasil dilakukan oleh dan

Bimandiri serta petani dan UD Mekar Buah

(Natawidjaja et al., 2007; Saptana et al., 2006).

Kedua perusahaan ini memberikan bantuan hal dalam

input, modal dan teknologi untuk memproduksi buah

dan sayuran berkualitas tinggi untuk memenuhi

permintaan supermarket dan pasar luar negeri

membawa manfaat bagi seluruh stakeholder. Selain

itu, informasi harga pasar disampaikan secara

terbuka. Keterbukaan ini membuat kedua belah

pihak, baik dari petani maupun agen pemasaran

merasa nyaman dalam melakukan transaksi usaha.

Petani juga dapat memperkirakan penghasilan yang

mereka terima dari usaha kerjasama ini (Mukti et al.,

2014).

Perubahan struktur dan perilaku pada pasar

tradisional adalah adanya upaya-upaya untuk

memperpendek rantai pemasaran buah dan sayuran

di pasar tradisional sehingga mampu mengurangi

biaya pemasaran total dan meningkatkan penerimaan

petani (Hardesty & Leff, 2009; Lemeilleur &

Codron,2011). Petani menerima penghasilan yang

lebih baik dengan melakukan diferensiasi produk

berdasarkan tujuan pemasaran. Petani tak hanya

menjual buah dan sayurannya ke pasar tradisional

saja, tapi juga ke supermarket dan ekspor.

PENUTUP

Terdapat hubungan yang kuat antara

perubahan struktur dan perilaku pemasaran terhadap

kualitas buah dan sayuran lokal Indonesia, terutama

untuk produk-produk berorientasi supermarket dan

ekspor. Hal ini didukung oleh peranan agen

pemasaran yang berbagi informasi pasar secara

terbuka dengan petani mengenai sayuran dan buah

yang diinginkan konsumen serta informasi mengenai

harga produk. Selain itu, dukungan dalam bentuk

modal dan input serta adanya perubahan relasi agen

pemasaran yang memperlakukan petani sebagai

partner setara yang membuat kerja sama kedua belah

pihak membaik. Namun semua perubahan pemasaran

yang terjadi tidak banyak mempengaruhi kualitas

buah dan sayuran yang dipasarkan ke pasar

tradisional mengingat buah dan sayuran yang masuk

ke pasar tradisional adalah kualitas terbawah, yaitu

yang tidak diterima di pasar supermarket dan ekspor.

Kalaupun petani menjual sayuran dan buah mereka

ke pasar tradisional, petani menjual dalam bentuk

campuran (tidak disortir), sehingga nilai tambah yang

diterima petani yang menjual sayur dan buah ke pasar

tradisional terbilang kecil meskipun konsumen

terbesar terdapat pada segmen pasar ini.

Implikasi ke depan dari penelitian ini adalah

pemerintah melalui kelembagaan terkait bekerjasama

dengan petani sayur dan buah untuk menghasilkan

produk bermutu melalui melalui pengenalan varietas

unggul dan teknologi produksi serta mendorong

Page 47: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

35

petani melakukan penyortiran produk yang akan

dijual ke pasar tradisional agar petani sayuran dan

buah juga mendapatkan nilai tambah ekonomi saat

menjualan sayuran dan buah mereka ke pasar

tradisional.

DAFTAR PUSTAKA

Agricultural and Agri-Food Canada. (2011). The

Indonesian Consumer, behavior, attitudes

and perceptions toward food products,

Market Analysis Report, prepared by

Agricultural and Agri-Food Canada, Canada.

Diambil 20 April 2014, dari

http://www5.agr.gc.ca/resources/prod/Intern

et-Internet/MISB-DGSIM/ATS-

SEA/PDF/5715-eng.pdf

Ariawan, A. (2014, 29 Januari ), Jumlah pasar

tradisional terus menyusut.

Suaramerdeka.com, 2014, viewed 25 April

2014, dari

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/

news/2014/01/29/189066

Asmon, D. (2004). Kajian ekonomi dan kelembagaan

usahatani sayur daun-daunan (leavy

vegetables) di Kota Pekan Baru (Master

thesis). Institut Pertanian Bogor, Indonesia.

Barus, S. (2008). Analisis sikap dan minat konsumen

dalam pembelian buah-buahan di Carrefour,

Plaza Medan Fair dan supermarket

Brastagi, Medan (Tesis master) . Universitas

Sumatra Utara, Medan, Indonesia

Cholic, A., dan Ambarsari, I. (2009). Prospek

usahatani tanaman sayuran di Kabupaten

Brebes. Jurnal Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian, 12 (2),

135-145.

Hastuti, EY. (2008).Pengaruh penerapan system

agribisnis terhadap peningkatan pendapatan

petani sayuran di Kabupaten Boyolali (Tesis

master). Universitas Diponegoro. Semarang.

Indonesia.

Hardesty,SD., & Leff, P. (2009). Determining

marketing costs and returns in alternative

marketing channels. Renewable

Agricultural and Food Systems, 25 (1), 24-

34.

Ismail, M., Kavoi, MM., Eric, BK. (2013), Factors

influencing the choice of supermarket

channel by smallholder vegetable farmer

suppliers in Nairobi and Kiambu Counties,

Kenya, Journal of Agricultural Economics

and Development, 2 (9), 333-344.

Izza, N. (2010). Pengaruh pasar modern terhadap

pedagang pasar tradisional : Studi pengaruh

Ambarukmo Plaza terhadap perekonomian

pedagang pasar Desa Caturtunggal

Nologaten, Depok-Sleman, Yogyakarta

(undergraduate thesis). Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Indonesia.

Kementan. (2014). Statistik Pertanian 2014

Kementrian Pertanian. (2013). Buku saku data

hortikultura 2008-2013. Kementrian

Pertanian, Direktorat Jendral Hortikultura,

Jakarta.

Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.(

2010). Rencana strategis Kementrian

Perdagangan periode 2010-2014. Diambil

20 April 2014,dari

http://www.satupemerintah.net/publics/Rens

tra_Kementerian_Perdagangan_2010-

2014.pdf

Lemeilleur, S., & Codron, JM. (2011). Marketing

cooperative vs. Commission agent: The

Turkish dilemma of the modern fresh fruits

and vegetable market, Food Policy 36, 272-

279. Minot, N., Stinger, R., Reardon, T., Umberger, W.,

Wahida, Natawidjaja, R., Suprehatin, Toiba, H.,

Perkasa, HW., Rum, IA., Wicaksena, B. and

Fradilla, H. (2013). Markets for high-value

commodities in Indonesia: Promoting

competitiveness and inclusiveness, ACIAR

report, October.

Mukti, GW., & Kusumo, RAB . (2014). Kolaborasi bisnis

petani skala kecil dan suplier dalam pengadaan

sayuran berkualitas bagi konsumen modern,

Prosiding Seminar Nasional PERHORTI 2014.

Malang 5-7 November 2014, 595-602.

Nawidjaja, RS., Deliana, Y., Rusastra, W., Perdana,

T., Napitupulu, TA., Sulistyoningrum, H., &

Rahayu, YM. (2007). Indonesia, The

transparent margin partnership model:

Linking mango farmers to dynamic markets.

Center for Agricultural Policy and

Agribusiness Studies (CAPAS) report.

Padjadjaran University.

Prayitno, AB., Hasyim, AI., & Situmorang, S.

(2013). Efisiensi pemasaran cabai merah di

Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu

Provinsi Lampung. JIIA, 1(1), 53-59.

Pusdatin. (2014). Buletin Konsumsi Pangan, 5 (1)

Pusdatin. (2013). Analisis PDB sektor pertanian

tahun 2013. Diambil 31 March 2014, dari

http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymc

puk/gambar/file/Analisis_PDB_2013.pdf

Sahara. (2012), The transformation of modern food

retails in Indonesia: opportunities and

challanges for smallholder farmers

(Doctoral Dissertation). The University of

Adelaide. South Australia.

Page 48: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

36

Saptana, Mayrowani, H., Agustian, A., & Sunarsih.

(2006). Analisis kelembagaan kemitraan

rantai pasok komoditas hortikultura.

Makalah seminar hasil penelitian, Pusat

Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Departemen

Pertanian.

Shepherd. (2007). The implications of supermarket

development for horticulture farmers and

traditional marketing systems in Asia,

Agricultural Management, Marketing and

Finance Service. FAO. Rome.

World Bank. (2007). Producers and supermarket

development in Indonesia, Republic of

Indonesia, World Bank Report No.38543-

ID. Jakarta.

Page 49: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

37

Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kopra Indonesia di Pasar Internasional

Analysis of Competitiveness Advantage of Indonesian Copra Export Commodities in The

International Market

Salman Faris Rinaldi, S.P1*, Tuti Karyani2

1*Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Jatinangor, [email protected] 2Staff Pengajar sekaligus Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci: Daya Saing

Ekspor

Kopra

Indonesia

Besarnya pangsa pasar dan nilai ekspor neto yang dimiliki oleh Indonesia, posisi Indonesia yang

menempati eksportir kopra terbesar pertama di dunia dan peran kopra, minyak kelapa dan minyak

goreng kelapa yang termasuk dalam lima belas besar komoditas yang berperan dalam ekspor

Indonesia pada kelompok kelapa dan kelapa sawit menjadi potensi Indonesia untuk meningkatkan

daya saing. Namun sebelum menentukan strategi untuk meningkatkan daya saing, Indonesia

harus mengetahui terlebih dahulu struktur pasar yang dijalani dan posisi daya saing yang dimiliki

Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : a) menganalisis struktur pasar kelompok komoditi

kopra yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan kopra internasional, b) menganalisis posisi

daya saing ekspor kelompok komoditi kopra Indonesia di pasar internasional. Ruang lingkup

penelitian ini terbatas pada : a) komoditi kopra yang dimaksud adalah kopra, minyak kelapa,

minyak goreng kelapa. b) negara pembanding yang digunakan adalah Belanda, Filipina, India,

Malaysia dan Vietnam, c) periode analisis penelitian dari tahun 2009 sampai 2013. Desain

penelitian menggunakan desain kualitatif dengan teknik penelitian deskriptif. Penelitian ini

menggunakan data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) selama lima tahun dari

tahun 2009 sampai tahun 2013 dan data primer. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan

studi kepustakaan. Rancangan analisis data menggunakan Concentration Ratio (CR4), Herfindahl

Index (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Porter’s Diamond. Hasil penelitian

menunjukkan struktur pasar ketiga komoditas (kopra, minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa)

berupa pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi pasar yang tinggi. Indonesia memiliki daya

saing yang kuat dari segi keunggulan komparatif pada seluruh komoditas yang diteliti, ditandai

dengan nilai Indeks RCA yang lebih besar dari satu. Keunggulan komparatif yang paling besar

ada pada minyak kelapa. Dari segi keunggulan kompetitif, Indonesia memiliki keunggulan pada

SDA dan kuantitas SDM yang banyak dan peluang pada peningkatan populasi negara pengimpor,

peningkatan pendapatan perkapita di negara pengimpor, potensi pengolahan oleh industri,

diversifikasi produk menjadi produk turunan lainnya, dan liberalisasi perdagangan. Namun

Indonesia masih memiliki kendala dalam kualitas SDM, permodalan, infrastruktur dan intervensi

kebijakan pemerintah pada kelapa yang minim

ABSTRACT

Keywords: Competitiveness

Export

Copra

Indonesia

The bigest of market share and netto export value the Indonesia country own; the Indonesia

position which is the first bigest exportir in the world and the function of copra, crude coconut

oil and edible coconut oil which is included in the fifteen best Indonesia’s eksport comodity for

the copra and palm oil in Indonesia are being Indonesia’s potency to increase Indonesia’s

competitiveness advantage. However, the strategic to increase Indonesia’s competitiveness

advantage should now the market structur it self and the positioning competitor own of Indonesia.

This study aims to a) to analyze the structure of copra’s market in international copra trade, b)

analyze the competitive position of Indonesian copra export commodities in the international

market. The scope of this study is limited to: a) within the meaning of copra are copra, crude

coconut oil and edible coconut oil. b) Comparator country to needed is Netherlands, Philippines,

India, Malaysia and Vietnam, c) the research analizes period from from 2009 until 2013. This

study used qualitative descriptive study. This study uses secondary data such as time series data

for five years from 2009 until 2013 and primary data. Data collection techniques are interviews

Page 50: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

38

and literature study. The design of data analysis using the Concentration Ratio (CR4), Herfindahl

Index (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA) and Porter's Diamond. The research results

showed that three commodities (copra, coconut oil, and coconut oil) has oligopolist tied market

structure with a high level of concentration. Indonesia had a comparative advantage in that

commodities. Which characterized by RCA index value is greater than one. The greatest

comparative advantage is crude coconut oil. In terms of competitive advantage, Indonesian’s

advantage are on natural resources and quantity of human resources. and a lot of opportunities

to increase the population of the importing country, the increase in per capita income in the

importing country, the potential of processing industry, product diversification, and trade

liberalization. But Indonesia has obstacle in human resourches quality, product quality, financial

capital, infrastructure and minimize intervention goverment policy to copra..

Page 51: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

39

PENDAHULUAN

Kelapa memiliki banyak sekali manfaat

dikarenakan seluruh bagian tanaman tersebut dapat

dimanfaatkan. Salah satu bagian dari kelapa yang

bermanfaat adalah daging kelapa yang dapat

dijadikan daging kelapa parut dan kopra. Kopra yang

merupakan produk turunan setengah jadi dari kelapa

ini merupakan salah satu penghasil devisa yang dapat

diandalkan. Komoditi ini menjadi salah satu usaha

andalan pemerintah karena memberikan pangsa pasar

ekspor cukup besar diantara komoditi pertanian

lainnya. Jumlah ekspor produk kopra umumnya

menunjukkan trend yang meningkat lalu menurun

(Gambar 1).

Daya saing komoditi kopra suatu negara produsen

kopra dapat dikaji secara umum dari kinerja

pertumbuhan ekspor kopranya. Menurut UN

Comtrade (United Nation – Comodity Trade),

komoditi kopra Indonesia menguasai 31,9 persen

pangsa pasar dunia dan menempati urutan pertama

negara pengekspor terbesar di dunia pada tahun 2013.

Jumlah pangsa pasar yang besar ini menjadi sangat

penting karena memberi manfaat secara ekonomi

bagi negara yaitu kontribusi terhadap devisa negara

serta posisi daya saing kopra Indonesia di dunia.

Gambar 1. Grafik Perubahan Volume Ekspor Kopra

Indonesia dengan Beberapa Negara Produsen kopra

lainnya (dalam juta kg)

Jumlah ekspor kopra Indonesia mengalami

peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2012 lalu

mengalami penurunan di tahun berikutnya (Gambar

1). Menurut Donatus Gede Sabu, Sekretaris Jenderal

Forum Komunikasi Perkelapaan Indonesia (dalam

koran bisnis online, Kontan.co.id, 2013), penurunan

pada tahun 2013 ini disebabkan musim hujan di

beberapa wilayah Indonesia yang membuat petani

kelapa kesulitan menjemur kelapa sehingga sulit

mendapatkan kopra yang bagus.

Meski mengalami jumlah ekspor terendah,

Indonesia tetap menempati posisi ekspor terbesar

pertama. Hal ini dikarenakan dunia sedang

mengalami penurunan ekspor kopra secara drastis

terutama dari pesaing berat Indonesia di komoditas

kopra yaitu Vietnam (Gambar 1).

Jika diurutkan berdasarkan data UN Comtrade

(United Nation Comodity Trade) urutan jumlah

ekspor dari yang terbesar adalah minyak kelapa,

Minyak Goreng Kelapa, dan yang terakhir adalah

Kopra (Tabel 1).

Komoditi

Ekspor

2009

2010

2011

2012

2013

Kopra

15.7

32.6

83

21.4

50.7

75

31.8

62.8

05

31.6

36.9

02

18.6

02.6

30

Minyak Kelapa

267.9

06.5

06

357.2

37.5

57

530.9

41.6

12

639.6

48.2

36

315.9

15.9

94

Minyak Goreng Kelapa

119.4

53.2

72

208.8

30.4

41

406.8

14.6

32

308.0

95.6

51

211.6

17.9

43

Tabel 1. Jumlah Ekspor Kopra Indonesia dan Produk

Turunannya di Indonesia tahun 2009-2013 (dalam kg)

Sumber : UN Comtrade (United Nation – Comodity

Trade), diolah (2015)

Komoditi

Impor

2009

2010

2011

2012

2013

Kopra

54.7

40

54.5

34

14.8

03

65.5

76

189.9

28

Minyak Kelapa

53.2

29

n.a

n.a

316

1.9

95.4

09

Minyak Goreng Kelapa

326.5

77

329.0

19

69.9

64

286.6

29

178.7

36

Tabel 2. Nilai Impor Kopra Indonesia dan Produk

Turunannya tahun 2009-2013 (kg)

Keterangan : n.a = Data tidak tersedia

Sumber : UN Comtrade (United Nation Comodity

Trade), diolah (2015)

0

50

100

150

200

250

2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

Vo

lum

e Ek

spo

r (

juta

kg)

TahunBelanda Filipina India

Indonesia Malaysia Vietnam

Page 52: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

40

Menurut United Nation Comodity Trade (2015),

Indonesia adalah produsen dan eksportir komoditi

kopra terbesar di dunia. Meskipun sebagai negara

produsen kopra terbesar di dunia, tetapi impor

beberapa jenis produk kopra dan turunannya masih

ada di Indonesia seperti yang terlihat dalam Tabel 2.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (2007:9), impor seperti itu biasanya

dilakukan untuk pengamanan cadangan penggunaan

dalam negeri jika suatu saat diperlukan. Hal ini

dikarenakan jumlah produksi kopra tidak stabil setiap

bulannya yang disebabkan oleh faktor cuaca.

Dibandingkan ekspornya, volume impor

Indonesia untuk produk kopra dan turunannya jauh

lebih rendah (Tabel 1 dan Tabel 2). Secara implisit

ini berarti Indonesia masih merupakan pengekspor

neto produk-produk kopra dan turunannya seperti

pada Tabel 3.

Komoditi

Ekspor Neto

2009

2010

2011

2012

2013

Kopra

15.6

77.9

43

21.3

96.2

41

31.8

48.0

02

31.5

71.3

26

18.4

12.7

02

Minyak Kelapa

267.8

53.2

77

#V

AL

UE

!

#V

AL

UE

!

639.6

47.9

20

313.9

20.5

85

Minyak Goreng Kelapa

119.1

26.6

95

208.5

01.4

22

406.7

44.6

68

307.8

09.0

22

211.4

39.2

07

Tabel 3. Nilai Ekspor Neto Kopra Indonesia dan Produk

Turunannya Thn 2009-2013 (kg)

Keterangan : Ekspor Neto = Ekspor – Impor ;

#VALUE! = data tidak tersedia

Sumber : Tabel 1 dan Tabel 2, diolah (2015)

Besarnya nilai ekspor kopra Indonesia dan produk

turunannya dibandingkan nilai impornya dipandang

sebagai potensi untuk meningkatkan daya saing agar

dapat menghasilkan produk kopra yang semakin

kompetitif di pasar internasional. Peningkatan daya

saing komoditi merupakan tantangan bagi komoditi

kopra di Indonesia untuk bisa tetap bertahan di era

perdagangan bebas.

Besarnya pangsa pasar dan nilai ekspor neto yang

dimiliki oleh Indonesia, posisi Indonesia yang

menempati eksportir kopra terbesar pertama di dunia

dan peran ketiga komoditas yang termasuk dalam

lima belas besar komoditas yang berperan dalam

ekspor Indonesia pada kelompok kelapa dan kelapa

sawit menjadi potensi Indonesia untuk meningkatkan

daya saing. Namun sebelum menentukan strategi

untuk meningkatkan daya saing, Indonesia harus

mengetahui terlebih dahulu struktur pasar yang

dijalani dan posisi daya saing yang dimiliki

Indonesia.

Tujuan Penulisan:

1. Menganalisis struktur pasar kelompok negara

komoditi kopra yang dihadapi Indonesia dalam

perdagangan kopra internasional.

2. Menganalisis posisi daya saing ekspor kelompok

komoditi kopra Indonesia di pasar internasional

RUANG LINGKUP PENELITIAN 1. Yang dimaksud dengan komoditi kopra pada penelitian

ini adalah Kopra (HS 120300); Minyak Kelapa (HS

151311); Minyak Goreng kelapa (HS 151319). Hal ini

dikarenakan minyak kelapa dan minyak goreng kelapa

merupakan produk turunan dari kopra yang masuk

pada lima belas besar sub kelompok hasil industri

pengolahan kelapa/kelapa sawit Kementerian

Perindustrian. Sementara untuk sub turunan kopra

yang lain seperti Chocochemical dan pakan ternak

tidak termasuk karena peran mereka tidak terlalu besar

kepada total ekspor hasil industri pengolahan

kelapa/kelapa sawit.

2. Pada penelitian ini menggunakan pembanding negara

Belanda, Filipina, India, Malaysia dan Vietnam.

Pemilihan negara-negara tersebut berdasarkan empat

besar negara dengan jumlah ekspor terbesar selama

tahun 2009-2013 pada Kopra, Minyak Kelapa dan

Minyak Goreng kelapa.

3. Batasan periode analisis penelitian dari tahun 2009

sampai 2013 karena keterbatasan ketersediaan data

beserta keterbatasan ketersediaan waktu penelitian

KERANGKA TEORI

Menurut Simanjuntak (1992:45) dalam

Febriyanthi (2008:30), daya saing merupakan

kemampuan suatu produsen untuk memproduksi

suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah

sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar

internasional, kegiatan produksi tersebut

menguntungkan. Pendekatan yang dapat digunakan

untuk mengukur daya saing suatu komoditi menurut

beliau, adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan

dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut.

Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan

privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi

pengusahaan komoditi dapat dari tingkat keunggulan

komparatif dan keunggulan kompetitif.

Page 53: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

41

Menurut Tambunan (2001:98), keunggulan

komparatif dapat diukur salah satunya dengan

menggunakan Balassa's Revealed Comparative

Advantage Index (yang selanjutnya disebut RCA),

yang bertujuan untuk membandingkan pangsa pasar

ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa

pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnya.

Kelemahan metode RCA adalah mengukur

keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan

asumsi perdagangan bebas dan produk homogen,

serta mengesampingkan pentingnya permintaan

domestik, ukuran pasar domestik, dan

perkembangannya. Selain itu, metode ini juga tidak

dapat membedakan antara peningkatan di dalam

faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan

perdagangan yang sesuai (Silalahi, 2007). Sehingga

untuk menutupi kelemahan metode RCA ini,

digunakan pendekatan keunggulan kompetitif

menggunakan Porter’s Diamods yang mengukur

peningkatan di dalam faktor sumber daya dan

penerapan kebijakan yang sesuai.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

deskriptif. Software Microsoft Excel 2013 digunakan

untuk pengolahan data dalam penelitian. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

yang berupa data deret waktu (time series) selama

lima tahun dari tahun 2009 sampai tahun 2013.

Sumber data diperoleh dari Kementerian

Perindustrian, Departemen Pertanian, Badan Pusat

Statistik, Asian Pacific Coconut Community (APCC),

yang ditelusuri melalui jaringan internet.

Analisis Struktur Pasar

Pada penelitian ini digunakan Concentration

Ratio dan Herfindahl Index (HI) untuk mengetahui

tingkat konsentrasi pasar kopra secara internasional.

Dari analisis tingkat konsentrasi pasar akan dapat

diketahui struktur atau bentuk pasar yang dihadapi

dari perdagangan komoditi kopra yang pada akhirnya

dapat menentukan tingkat persaingan yang dihadapi.

Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan

menggunakan formula sebagai berikut:

Sij = Xij / TXj

Dimana, Sij = Pangsa pasar kopra negara i di pasar

internasional ; Xij = Nilai ekspor kopra negara i di

pasar internasional ; TXj = Total nilai ekspor kopra

di pasar internasional.

Formula yang sama kemudian digunakan untuk

mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu

negara dalam perdagangan kopra internasional, yaitu

sebagai berikut:

HI = Sij12 + Sij2

2 + Sij32 + … + Sijn

2

Dimana, HI = Herfindahl Index; Sij = pangsa

pasar komoditi i (dalam hal ini adalah kopra) negara

j di pasar internasional ; n = jumlah negara produsen

kopra di pasar internasional

Kisaran nilai Herfindahl Index yang diperoleh

adalah antara 0 dan 1 (atau 10000 yang merupakan

kuadrat dari 100 persen). Jika nilai HI mendekati 0

berarti struktur pasar industri yang bersangkutan

cenderung mengarah kepada pasar persaingan

(competitive market). Kemudian, jika nilai HI

mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar

industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Rasio

konsentrasi pasar dirumuskan sebagai berikut:

CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4

Dimana: CR4 = nilai konsentrasi pasar empat

negara produsen utama kopra di pasar internasional ;

Sij = pangsa pasar negara ke-i penghasil kopra di

pasar internasional

Menurut Internet Center For Management and

Business Administration (2007), Bentuk Struktur

pasar yang dirumuskan dari nilai Herfindahl Index

dan CR4 adalah sebagai berikut:

1. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan

nilai CR4 yang berkisar antara 80 hingga 100

persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara

1800 hingga 10000. Bentuk pasar yang mungkin

untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli

atau sedikit monopoli yang cenderung oligopoli.

2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai

CR4 antara 50 hingga 80 persen dan nilai HI yang

berkisar antara 1000 hingga 1800. Bentuk pasar

untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih

banyak oligopoli.

3. Konsentrasi pasar rendah dicirikan dengan nilai

CR4 antara 0 dan 50 persen dan HI antara 0 dan

1000. Bentuk pasar yang sangat ekstrim adalah

persaingan sempurna, namun sekurang-

kurangnya adalah persaingan monopolistik

Page 54: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

42

Analisis Daya Saing

Menurut Tambunan (2001:98), keunggulan

komparatif dapat diukur salah satunya dengan

menggunakan Balassa's Revealed Comparative

Advantage Index. Untuk menutupi kelemahan

metode RCA ini, digunakan pendekatan keunggulan

kompetitif menggunakan Porter’s Diamods yang

mengukur peningkatan di dalam faktor sumber daya

dan penerapan kebijakan yang sesuai.

Formula RCA dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑅𝐢𝐴 =

[𝑋𝑖𝑗

βˆ‘ 𝑋𝑖𝑗𝑖]

[𝑋𝑖𝑀

βˆ‘ 𝑋𝑖𝑀𝑖]

Dimana :

X ij = nilai ekspor komoditas kopra dari negara

j

βˆ‘ X ij = total nilai ekspor seluruh komoditas dari

negara j

X iw = nilai ekspor komoditas kopra dari seluruh

dunia

βˆ‘X iw = total nilai ekspor seluruh komoditas dari

seluruh dunia

Apabila nilai RCA produk suatu negara lebih

besar dari 1, maka negara tersebut memiliki

keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat pada

produk tersebut. Apabila nilai RCA kurang dari 1,

maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan

komparatif dalam produk tersebut atau mempunyai

daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA

maka daya saing suatu negara akan semakin kuat.

Menurut Porter (1998:87), terdapat empat atribut

yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif suatu

industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor

conditions), kondisi permintaan (demand

conditions), industri pendukung dan terkait (related

and supporting industry), serta strategi perusahaan,

struktur, dan persaingan (firms strategy, structure,

and rivalry). Keempat atribut tersebut saling

berkaitan dan berhubungan satu sama lain sehingga

membentuk suatu sistem yang dikenal dengan

Porter’s Diamond (Internet Center For Management

and Business Administration, 2014). Selain itu,

tedapat dua variabel tambahan yang secara tidak

langsung mempengaruhi daya saing suatu industri

atau pengusahaan suatu komoditas dalam suatu

negara seperti terlihat pada Gambar 2.

Sumber: Michael E.Porter. (1998)

Keterangan:

Garis ( ), menunjukkan hubungan antara

atribut utama

Garis ( ), menunjukkan hubungan antara

atribut tambahan terhadap atribut utama

Gambar 2. The National Diamond System

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. ANALISIS STRUKTUR PASAR

1.1. Analisis Struktur Pasar Komoditas Kopra

(HS 120300)

Nilai Herfindahl Index kopra dunia selama

periode 2009-2013 relatif stabil jika dibandingkan

pada nilai Herfindahl Index komoditas minyak

kelapa yaitu berkisar antara 1.814 hingga 2.272

dengan nilai rata-ratanya sebesar 2.091,1 (Tabel 4).

Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kopra di

pasar internasional mengarah pada struktur pasar

oligopoli ketat.

Tabel 4.Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio

Konsentrasi Komoditas Kopra (HS 120300) di Pasar

Internasional Tahun 2009-2013

Tahun

Jumlah

Negara

Eksportir

Nilai

Herfindahl

Index

Nilai

CR4

(%)

2009 28 1.814 83,9

2010 27 2.141 81,4

2011 31 2.268 81,6

2012 31 1.960 83,5

2013 33 2.272 91,8

Rerata 30 2091,1 84,5

Sumber : United Nations Commodity Trade

Statistics Database, (Diolah) 2015

Pada periode 2009-2013, jumlah negara yang

bertindak sebagai eksportir kopra cenderung

mengalami peningkatan dari 28 negara hingga

mencapai 33 negara dengan rata-rata 30 negara per

tahunnya (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan bahwa

dalam perdagangan kopra di pasar internasional

persaingannya semakin ketat seiring dengan

bertambah banyaknya negara yang terlibat dalam

perdagangan tersebut.

Pada Tabel 4 juga dapat dilihat hasil analisis

konsentrasi pasar dari empat negara produsen

terbesar kopra di dunia. Selama periode 2009-2013,

rata-rata nilai CR4 yang diperoleh adalah sebesar

84,5 persen. Hal ini berarti 84,5 persen dari seluruh

pangsa pasar ekspor kopra dunia dikuasai oleh empat

negara terbesar tersebut dan sisanya 15,5 persen

dikuasai oleh 26 negara eksportir lainnya (rata-rata

30 negara dikurangi 4 negara). Sehingga dapat

diketahui bahwa struktur pasar kopra dunia memiliki

tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dimana rasio

Page 55: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

43

konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai

CR4 yang lebih dari empat puluh persen dan

mendekati seratus persen.

Tabel 5. Pangsa Pasar Empat Negara Produsen Kopra

Terbesar di Dunia

Rank Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

1 India*

(22,3%)

Vietnam*

(36,7%)

Vietnam*

(38,7%)

Indonesia*

(27,6%)

Indonesia*

(31,9% )

2 Vietnam*

(21,9%)

Indonesia*

(17,2%)

Indonesia*

(16,3%)

Kep.

Solomon (24,9%)

India*

(23,7%)

3 Indonesia* (19,9%)

Mesir (15,1%)

India* (13,9%)

India* (16,5%)

Vietnam* (21,1%)

4 Mesir

(19,9%) India*

(12,4%)

Kep. Solomon

(12,7%)

Vietnam* (14,5%)

Mesir (15,1%)

Keterangan :

Didalam tanda kurung merupakan pangsa pasar

masing-masing negara ; Negara dengan tanda *

merupakan negara anggota APCC

Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics

Database, (Diolah) 2015

Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index

yang menunjukkan pasar kopra internasional berupa

pasar oligopoli ketat dan konsentrasi pasar yang lebih

dari 80 persen dapat diambil kesimpulan bahwa pasar

komoditas kopra internasional berupa pasar oligopoli

ketat dengan rasio konsentrasi pasar yang tinggi.

1.2. Analisis Struktur Pasar Komoditas Minyak

Kelapa (HS 151311)

Nilai Herfindahl Index komoditas minyak kelapa

dunia selama periode 2009-2013 cenderung

berfluktuatif, berkisar antara 3.873-5.127 dengan

nilai rata-rata Herfindahl Index sebesar 4.281,4

(Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas

minyak kelapa di pasar internasional mengarah pada

struktur pasar oligopoli ketat.

Tabel 6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio

Konsentrasi Komoditas Minyak Kelapa (HS 151311) di

Pasar Internasional Tahun 2009-2013

Tahun Jumlah Negara

Eksportir

Nilai Herfindahl

Index

Nilai

CR4(%)

2009 63 3.923 92,9

2010 64 5.127 95,9

2011 62 3.873 91,8

2012 71 4.026 94,1

2013 70 4.457 94,0

Rerata 66 4.281,4 93,8

Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics

Database, (Diolah) 2015

Pada periode 2009-2013, berdasarkan data yang

diperoleh dari United Nations Commodity Trade

(2015), jumlah negara yang bertindak sebagai

eksportir minyak kelapa cenderung berfluktuatif

mulai dari yang tersedikit sebanyak 62 negara hingga

yang terbanyak mencapai 71 negara dengan rata-rata

66 negara per tahunnya (Tabel 6). Hal ini

mengindikasikan bahwa cukup banyak negara yang

tertarik dan terlibat dalam perdagangan minyak

kelapa di pasar internasional. Dibandingkan dengan

kopra, negara-negara di dunia lebih tertarik

berkecimpung di minyak kelapa. Hal ini dibuktikan

dengan jumlah rata-rata negara eksportir minyak

kelapa yang lebih besar dari jumlah rata-rata negara

eksportir kopra.

Tabel 7 Pangsa Pasar Empat Negara Produsen

Komoditas Minyak Kelapa Terbesar di Dunia Pering

kat

Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

1 Filipina*

(52,2%)

Filipina*

(67,2%)

Filipina*

(54,2%)

Filipina*

(44,9%)

Filipina*

(57,5%)

2 Indonesia*

(34,3%)

Indonesia*

(24,5%)

Indonesia*

(29,9%)

Indonesia*

(44,6%)

Indonesia*

(33,9%)

3 Belanda

(4,1%)

Belanda

(3,1%)

Papua*

(5,1%)

Malaysia*

(2,5%)

Sri Lanka

(1,4%)

4 Malaysia*

(2,4%)

Malaysia*

(1,2%)

Belanda

(2,6%)

Papua*

(1,9%)

Belanda

(1,3%)

Keterangan : Didalam tanda kurung merupakan

pangsa pasar masing-masing negara.

Negara dengan tanda * merupakan negara anggota

APCC

Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics

Database, (Diolah) 2015

Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index

yang menunjukkan pasar minyak kelapa

internasional mengarah pada pasar oligopoli ketat

dan rata-rata konsentrasi pasar yang mencapai 93,8

persen dapat diambil kesimpulan bahwa pasar

komoditas minyak kelapa internasional berupa pasar

oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar yang tinggi.

1.3. Analisis Struktur Pasar Komoditas Minyak

Goreng Kelapa (HS 151319)

Nilai Herfindahl Index minyak goreng kelapa

(HS 151319) dunia selama periode 2009-2013 relatif

stabil jika dibandingkan dengan minyak kelapa, yaitu

berkisar antara 1.967-2.262 dengan nilai rata-rata

Herfindahl Index sebesar 2.152,8 (Tabel 8). Hal ini

menunjukkan bahwa komoditas minyak goreng

kelapa di pasar internasional mengarah pada struktur

pasar oligopoli ketat.

Page 56: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

44

Tabel 8. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio

Konsentrasi Komoditas Minyak Goreng Kelapa (HS

151319) di Pasar Internasional Tahun 2009-2013

Tahun

Jumlah

Negara

Eksportir

Nilai Herfindahl

Index

Nilai

CR4

(%)

2009 85 1.967 85,1

2010 86 2.176 89,2

2011 82 2.213 90,8

2012 83 2.146 88,4

2013 80 2.262 87,2

Rerata 83 2.152,8 88,1

Sumber : United Nations Commodity Trade

Statistics Database, (Diolah) 2015

Pada periode 2009-2013, berdasarkan data yang

diperoleh dari UN Comtrade (United Nation

Comodity Trade) (2015), jumlah negara yang

bertindak sebagai eksportir minyak goreng kelapa

cenderung mengalami penurunan dari 85 negara

hingga mencapai 80 negara dengan rata-rata 83

negara per tahunnya (Tabel 8). Hal ini menunjukkan

bahwa dalam perdagangan minyak goreng kelapa di

pasar internasional persaingannya semakin β€˜longgar’

seiring dengan berkurangnya negara yang terlibat

dalam perdagangan tersebut. Hal ini diduga karena

adanya peralihan preferensi konsumen dari minyak

goreng berbahan baku kelapa ke minyak goreng

berbahan baku kelapa sawit dan berkembangnya

industri chocochemical yang masih merupakan

produk turunan dari minyak kelapa.

Pada Tabel 8 juga dapat dilihat hasil analisis

konsentrasi pasar dari empat negara produsen

terbesar minyak goreng kelapa di dunia. Selama

periode 2009-2013, rata-rata nilai CR4 yang

diperoleh adalah sebesar 88,1 persen. Hal ini berarti

88,1 persen dari seluruh pangsa pasar ekspor minyak

goreng kelapa dunia dikuasai oleh empat negara

terbesar tersebut dan sisanya 11,9 persen dikuasai

oleh 79 negara eksportir lainnya (rata-rata 83 negara

dikurangi 4 negara). Dari hasil nilai CR4 tersebut

dapat diketahui bahwa struktur pasar minyak goreng

kelapa dunia mengarah pada struktur pasar oligopoli

ketat dimana rasio konsentrasi pasar yang tinggi

dicirikan dengan nilai CR4 yang lebih dari empat

puluh persen dan mendekati seratus persen.

Tabel 9. Pangsa Pasar Empat Negara Produsen

Komoditas Minyak Goreng Kelapa Terbesar di

Dunia

Rank Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

1 Filipina*

(30,8%)

Filipina*

(32,3%)

Filipina*

(29,8%)

Filipina*

(29,9%)

Filipina*

(35,8%)

2 Indonesia*

(19,7%)

Indonesia*

(23,5%)

Indonesia*

(26,2%)

Indonesia*

(24,7%)

Belanda

(22,8%)

3 Belanda

(19,4%)

Belanda

(19,3%)

Belanda

(20,8%)

Belanda

(22,2%)

Indonesia*

(18,3%)

4 Malaysia*

(15,3%)

Malaysia*

(14,2%)

Malaysia*

(14,1%)

Malaysia*

(11,6%)

Malaysia*

(10,3%)

Keterangan : didalam tanda kurung merupakan

pangsa pasar masing-masing negara

Negara dengan tanda * merupakan negara anggota

APCC

Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics

Database, (Diolah) 2015

Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index

yang menunjukkan pasar minyak goreng kelapa

internasional mengarah pada pasar oligopoli ketat

dan konsentrasi pasar yang mencapai 91,4 persen

dapat diambil kesimpulan bahwa struktur pasar

komoditas minyak goreng kelapa (HS 151319)

internasional berupa pasar monopoli dengan

konsentrasi pasar yang tinggi.

1.3 Analisis Daya Saing

Untuk mengalisis daya saing pada penelitian ini,

peneliti menggunakan analisis keunggulan

komparatif dan keunggulan kompetitif mengingat

pendekatan melalui keunggulan komparatif memiliki

beberapa kelemahan sehingga ditutupi dengan

pendekatan keunggulan kompetitif

1.4. Analisis Keunggulan Komparatif

1) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas

Kopra

Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada

diperoleh hasil bahwa selama periode 2009-2013

Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks

RCA Indonesia lebih dari satu) pada komoditas

kopra. Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki

keunggulan komparatif pada komoditas kopra. Jika

dibandingkan dengan negara pembanding lainnya,

nilai Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua

terbesar setelah Vietnam yang menempati urutan

pertama (Gambar 3).

Page 57: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

45

Pada tahun 2011, kopra Indonesia mempunyai

nilai Indeks RCA terendah selama periode 2009-

2013 yaitu sebesar 14,2. Nilai Indeks RCA ini

mengalami penurunan sebesar 2 poin dari tahun

sebelumnya yang sebesar 16,2. Hal ini disebabkan,

walaupun jumlah ekspor kopra Indonesia sedang

mengalami titik tertinggi di periode tersebut (yaitu

sebesar 31,8juta US) namun peningkatan ini juga

diiringi dengan peningkatan ekspor kopra dari negara

lain sehingga pangsa pasar Indonesia untuk

komoditas kopra menjadi kecil dan paling kecil jika

dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya (Tabel 5).

Sumber : Lampiran 9 (diolah), 2015

Gambar 3. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas

Kopra (HS 120300) Tahun 2009-2013

Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara

Indonesia dan Filipina cenderung meningkat

(Gambar 3). Berbeda dengan empat negara

sebelumnya, indeks nilai RCA negara Vietnam, India

dan Malaysia berfluktuatif sementara negara Belanda

terlihat tidak memiliki daya saing pada komoditas

kopra yang ditandai dengan nilai RCA yang nol.

Daya saing negara Belanda yang sangat rendah

pada komoditas kopra diduga karena Belanda lebih

tertarik untuk mengolah produk kopra yang relatif

masih berbentuk mentah menjadi produk setengah

jadi dan produk jadi seperti minyak kelapa dan

minyak goreng kelapa. Hal ini ditandai dengan

jumlah ekspor belanda pada komoditas kopra lebih

kecil daripada jumlah ekspor Belanda pada

komoditas minyak goreng kelapa (Lampiran 3, 4 dan

5). Negara Belanda pun termasuk empat besar negara

yang memiliki pangsa pasar terbesar pada produk

minyak kelapa (Tabel 7) dan minyak goreng kelapa

(Tabel 9)

2) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas

Minyak Kelapa

Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada

Lampiran 10 diperoleh hasil bahwa selama periode

2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat

(Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada

komoditas minyak kelapa. Hal ini berarti bahwa

Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada

komoditas minyak kelapa. Jika dibandingkan dengan

nilai rata-rata negara pembanding lainnya, nilai rata-

rata Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua

terbesar setelah Filipina yang menempati urutan

pertama (Lampiran 10).

Nilai RCA Indonesia masih terpaut jauh dengan

Filipina (Gambar 4). Hal ini dikarenakan nilai ekspor

minyak kelapa Filipina selalu lebih besar dari

Indonesia (Lampiran 4), dan jumlah ekspor dari

minyak kelapa rata-rata menyumbang sebanyak 1%

dari total ekspor seluruh komoditas di Filipina setiap

tahunnya. Sementara komoditas minyak kelapa

Indonesia hanya menyumbang antara 0,2% sampai

0,3% kepada total ekspor seluruh komoditas

Indonesia.

Sumber : Lampiran 10 (diolah), 2015

Gambar 4. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas

Minyak Kelapa (HS 151311) Tahun 2009-2013

Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara

Indonesia dan Malaysia relatif stabil. Sementara

negara Belanda cenderung menurun. Berbeda dengan

tiga negara sebelumnya, indeks nilai RCA negara

Filipina berfluktuatif dan negara vietnam

menunjukkan trend peningkatan walau masih sedikit.

Sementara negara India terlihat tidak memiliki daya

saing pada komoditas Minyak Kelapa yang ditandai

dengan nilai RCA yang nol (Gambar 4).

Daya saing negara India yang sangat rendah pada

komoditas minyak kelapa diduga karena India lebih

memfokuskan diri untuk ekspor pada bentuk mentah

(kopra) dan produk jadi (Minyak Goreng Kelapa)

dari pada produk setengah jadi (minyak kelapa). Hal

ini ditandai dengan jumlah ekspor India pada

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

pan

gsa

pas

ar

tahun

Indonesia Vietnam Filipina

Belanda Malaysia India

0

50

100

150

200

250

2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3

Pan

gsa

Pas

ar

Tahun

Belanda Filipina India

Indonesia Malaysia Vietnam

Page 58: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

46

komoditas kopra dan minyak goreng kelapa jauh

lebih besar daripada jumlah ekspor komoditas

minyak kelapa (Lampiran 3, 4 dan 5).

3) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas

Minyak Goreng Kelapa (HS 151319)

Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada

Lampiran 11 diperoleh hasil bahwa selama periode

2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat

(Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada

komoditas minyak goreng kelapa. Hal ini berarti

bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif

pada komoditas minyak goreng kelapa. Jika

dibandingkan dengan negara pembanding lainnya,

Nilai Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua

terbesar setelah Filipina. Sementara yang terkecil

adalah Vietnam yang memiliki nilai rata-rata Indeks

RCA sebesar nol selama tahun 2009 sampai 2013.

Nilai RCA Indonesia masih terpaut jauh

dengan Filipina (Lampiran 11). Hal ini dikarenakan

nilai ekspor minyak goreng kelapa Filipina selalu

lebih besar dari Indonesia (Lampiran 5), dan jumlah

ekspor dari minyak goreng kelapa Filipina rata-rata

menyumbang sebanyak 0,7% dari total ekspor

seluruh komoditas di Filipina setiap tahunnya.

Sementara komoditas minyak kelapa Indonesia

hanya menyumbang 0,1% kepada total ekspor

seluruh komoditas Indonesia.

Sumber : Lampiran 11 (diolah), 2015

Gambar 5. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas

Minyak Goreng Kelapa (HS 151319) Tahun 2009-2013

Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara

Filipina dan Belanda menunjukkan tren meningkat

sementara nilai indeks RCA negara Malaysia

cenderung menurun. Nilai Indeks RCA negara

Indonesia dan India relatif stabil. Sementara negara

Belanda terlihat tidak memiliki daya saing pada

komoditas minyak goreng kelapa yang ditandai

dengan nilai rata-rata RCA-nya yang nol. (Gambar

4.4)

Daya saing negara Vietnam yang sangat rendah

pada komoditas minyak goreng kelapa diduga karena

Vietnam lebih tertarik untuk langsung mengekspor

kopra yang dimilikinya dalam bentuk mentah

daripada mengolah produk kopra menjadi produk

jadi seperti minyak goreng kelapa. Hal ini ditandai

dengan jumlah ekspor kopra Vietnam jauh lebih

besar daripada jumlah ekspor Vietnam pada

komoditas minyak kelapa dan minyak goreng kelapa

(Lampiran 3, 4 dan 5).

Dari hasil analisis ketiga komoditas (kopra,

minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa),

Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang

kuat pada seluruh komoditas tersebut. Ditandai

dengan nilai Indeks Revealed Comparative

Advantage yang selalu lebih besar dari satu. Dan nilai

rata-rata Indeks RCA pada minyak kelapa adalah

yang paling besar dibandingkan kopra dan minyak

goreng kelapa. Pangsa pasar untuk minyak kelapa

juga yang terbesar dibandingkan dengan komoditas

yang lain. Artinya, Minyak kelapa Indonesia

memiliki keunggulan komparatif yang paling besar.

Kuatnya daya saing dan tingginya pangsa pasar

kopra Indonesia dan produk turunannya di pasar

internasional menunjukkan bahwa Indonesia

mempunyai posisi yang cukup tangguh serta

berpotensi untuk menjadi pemimpin dalam

perdagangan kopra dan produk turunannya di pasar

internasional.

Untuk mengefisiensikan bentuk ekspor,

pemerintah sebaiknya fokus pada minyak kelapa

karena memiliki kenggulan komparatif yang paling

besar ditunjukkan dengan nilai indeks RCA dan

pangsa pasar paling besar. Namun melihat kondisi

kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang

dimiliki Indonesia yang tergolong rendah

(berdasarkan penelitian Turukay tahun 2008),

pemerintah lebih disarankan untuk tetap mengekspor

kopra dalam bentuk kopra dan minyak kelapa karena

nilai rata-rata Indeks RCA kopra menempati posisi

terbesar kedua setelah minyak kelapa sementara nilai

rata-rata Indeks RCA minyak goreng kelapa

Indonesia menempati urutan terkecil. Hal ini berarti

kopra memiliki keunggulan komparatif terbesar

kedua setelah minyak kelapa. Sedangkan minyak

goreng kelapa memiliki keunggulan komparatif yang

paling kecil.

2.2. Analisis Keunggulan Kompetitif

1) Faktor Sumberdaya

Komponen sumberdaya yang merupakan

potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengusahaan

0

20

40

60

80

100

120

140

2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4

Belanda Filipina India

Indonesia Malaysia Vietnam

Page 59: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

47

kopra antara lain sumberdaya alam, sumberdaya

manusia, sumberdaya modal, ilmu pengetahuan dan

teknologi serta sumberdaya infrastruktur.

(1) Sumberdaya Alam

Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan

yang terluas di dunia dengan pangsa 31,2% dari total

luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki

Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Langka

(3,7%) dan Thailand (3,1%) Pertanaman kelapa

tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun

2005, total areal meliputi 3,29 juta ha, yakni

terdistribusi di pulau Sumatera 33,8%, Jawa 22,4%,

Bali, NTB dan NTT 5,9%, Kalimantan 6,8%,

Sulawesi 22,1%, Maluku dan Papua 9%. Produk

utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah

kopra dan minyak; di Jawa kelapa butir; Bali, NTB

dan NTT kelapa butir dan minyak; Kalimantan

kopra; Sulawesi minyak; Maluku dan Papua kopra.

Komposisi keadaan tanaman secara nasional

meliputi: tanaman belum menghasilkan (TBM)

seluas 16,2% (0,63 juta ha), tanaman menghasilkan

(TM) 73,6% (2,87 juta ha), dan tanaman tua/rusak

(TT/TR) 10,1% (0,39 juta ha) (Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 2007 : 1). Menurut catatan

Dewan Kelapa Indonesia (Dekindo) (dalam

Direktorat Jenderal Industri Agro, 2014), rata-rata

produksi buah kelapa Indonesia per tahun adalah 15,5

miliar butir, dimana 60% penggunaannya dalam

bentuk kopra dan minyak dan 40% dalam bentuk

lainnya (seperti kelapa segar, dan lain lain). Menurut

data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2014),

provinsi yang memiliki tingkat produksi tertinggi

ialah Provinsi Riau dan yang sedikit ialah Provinsi

DKI Jakarta. Produksi kelapa Indonesia relatif stabil

setiap tahunnya

(2) Sumberdaya Manusia

Perkebunan kelapa merupakan salah satu sektor

pertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.

Hal ini tercermin dari luasnya areal perkebunan

rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta ha dan

melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani

di tahun 2007 (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. 2007 : 1).

Berdasarkan data Direktorat Pangan dan

Pertanian (2014:120), usahatani kelapa mampu

menghidupi sejumlah 37,2 juta orang di tahun 2013

(meningkat 1000% dalam 7 tahun sejak tahun 2007)

apabila 1 KK diasumsikan terdiri dari 5 anggota

keluarga. Dan menghidupi 22,3juta orang apabila

diasumsikan 60% dari seluruh petani kelapa

memproduksi kopra (menurut catatan DEKINDO

(Dewan Kelapa Indonesia), dari total produksi

kelapa, 60% kelapa diproduksi dalam bentuk kopra).

Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat yang

terlibat dalam rantai pasok perniagaan kelapa dan

industri perkelapaan.

Banyaknya jumlah petani dalam perkebunan

rakyat kelapa belum sepenuhnya ditunjang dengan

kualitas sumberdaya manusia yang baik. Kualitas

tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan

tanaman kelapa ditentukan oleh kemampuan petani

dalam menerapkan dan memanfaatkan teknologi

serta teknik penanaman yang baik. Menurut

penelitian dari Turukay (2008:12) menyatakan

bahwa dalam hal penggunaan dan penerapan

teknologi pada pengusahaan kopra masih minim.

yang ditandai dengan masih digunakannya metode

pengasapan untuk menghasilkan kopra dan masih

jarangnya pelatihan dan penyuluhan yang diberikan

oleh Kementerian Pertanian. Padahal metode

pengasapan akan menghasilkan kopra yang bermutu

rendah. Menurut Har Adi Basri, Sekertaris Jenderal

Dewan Kelapa Indonesia (dalam bisnis.com, 2014),

Indonesia masih memerlukan peningkatan kualitas

SDM. Selama ini ekspor Indonesia sangat

mengandalkan faktor-faktor keunggulan komparatif

sebagai penentu utama daya saingnya, terutama daya

saing harga, seperti upah buruh murah dan sumber

daya alam (SDA) berlimpah sehingga murah biaya

pengadaannya. Ketersediaan kuantitas sumberdaya

manusia mampu mendukung peningkatan daya saing

kopra Indonesia di pasar internasional tetapi kualitas

sumberdaya manusianya (merujuk pada penelitian

Turukay (2008)) perlu ditingkatkan sehingga

produktivitas, kualitas dan daya saing kopra

Indonesia dapat meningkat.

(3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi

Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan

bahwa sistem budidaya kopra Indonesia sebagian

besar berupa perkebunan rakyat. Teknologi yang

digunakan pun masih tergolong tradisional dan dalam

skala kecil. Untuk meningkatkan produktivitas

tanaman yang saat ini tergolong rendah maka

diperlukan bibit unggul yang berasal dari kebun

induk, terutama kebun induk kelapa dalam komposit

(KIKDK). Saat ini sumber benih kelapa yang

digunakan belum berasal dari kebun induk yang

dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar,

tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai

daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi

(BPT). Walaupun benih yang berasal dari BPT lebih

baik daripada benih sapuan, ke depan perlu dibangun

KIKDK sebagai sumber benih. Penggunaan kelapa

dalam unggul komposit akan meningkatkan produksi

kelapa dalam dari rata-rata 1,5 ton kopra/ha/tahun

Page 60: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

48

menjadi minimal 2,25 ton kopra/ha/tahun dengan

pemeliharaan semi intensif.

Peran kelembagaan sangat menentukan dan

mendukung adanya ketersediaan pengetahuan dan

informasi tersebut. Lembaga penelitian memegang

peranan penting dalam memberikan pendampingan

dan bimbingan serta inovasi teknologi dalam

peningkatan daya saing komoditi kopra Indonesia.

Salah satu lembaga internasional yang terkait dengan

perkopraan nasional dan dunia adalah Asian and

Pacific Coconut Community (APCC) yang berada di

bawah naungan Komisi Ekonomi dan Sosial untuk

Asia dan Pasific - PBB atau United Nations

Economic and Social Commission for Asia and the

Pacific (UN-ESCAP).

Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari

perguruan tinggi, media, dan jurnal-jurnal penelitian

melalui penelitian mengenai ilmu pengetahuan dan

teknologi yang berkaitan dengan budidaya ataupun

aspek sosial ekonomi. Dalam hal basis data peranan

lembaga statistik seperti Badan Pusat Statistik (BPS)

Indonesia juga penting dan dibutuhkan dalam

mengolah data statistik perkebunan kopra. Namun

dikarenakan 98% produsen kelapa (merujuk pada

data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaian

(2007)) adalah petani tradisional yang minim

pendidikan, potensi teknologi kopra ini masih belum

dapat dimaksimalkan.

(4) Sumberdaya Modal

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan

(2008:15), modal usaha yang dimiliki petani untuk

melakukan budidaya secara baku teknis masih

terbatas dari milik petani sedangkan penghasilan

petani kopra masih minim dan belum adanya kredit

khusus untuk pembiayaan usaha kopra dari pihak

perbankan sebagai penyedia kredit dan memberikan

bantuan modal.

Berdasarkan Panel Petani Nasional yang

dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian (2006:xix) cara pembayaran

sarana produksi yang dibeli lazim dibayar secara

tunai terutama untuk pupuk anorganik dan pestisida.

Sementara untuk bibit umumnya adalah hasil

produksi sendiri karena harga bibit kelapa adalah

yang paling mahal jika dibandingkan dengan bibit

komoditas perkebunan lain seperti teh, kopi dan

karet. Pedagang sarana produksi dan pedagang hasil

usahatani juga berfungsi sebagai lembaga

permodalan selain peran utama mereka sebagai

pedagang. Meski petani kelapa jarang meminjam

modal (karena usahatani kelapa rakyat berupa

usahatani sampingan yang diperlakukan

β€œseadanya”), jika petani ingin meminjam modal

sarana produksi dan uang, mereka dapat meminjam

kepada pedagang sarana produksi dan pedagang hasil

usahatani yang lokasinya berada didalam desa dan

tanpa menggunakan agunan (jaminan). Sedangkan

jika meminjam kepada lembaga keuangan formal

seperti bank umum dan bank perkreditan rakyat

selain harus menggunakan agunan (jaminan), lokasi

lembaga keuangan formal yang berada relatif jauh

(berada diluar desa) ditambah kondisi jalan yang

masih banyak dijumpai dalam bentuk tanah membuat

petani cenderung enggan meminjam.

(5) Sumberdaya Infrastruktur

Berdasarkan Panel Petani Nasional yang

dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiii),

permukaan jalan utama di desa berbasis perkebunan

khususnya kelapa pada umumnya aspal dan

diperkeras. Namun jalan tanah masih banyak

dijumpai sehingga ada yang tidak dapat dilalui motor.

Senada dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian, menurut Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian (2007 : 13) untuk daerah-

daerah tertentu terutama di luar Jawa kondisi

infrastruktur pendukung seperti jalan raya kurang

memadai. Dampak dari hal ini biaya usahatani

menjadi tinggi dan harga jual menjadi kurang

bersaing. Sebagai contoh, di salah satu daerah sentra

produksi kelapa di Indragiri Hilir hanya memiliki

satu alternatif transportasi, yaitu transportasi air.

Kondisi tersebut mengakibatkan kelembagaan

penunjang cenderung menekan petani. Sebagai

ilustrasi, kelembagaan pemasaran cenderung

monopsoni (banyak penjual, satu pembeli),

kelembagaan keuangan didominasi sistim barter

(tukar menukar) yang merugikan petani, dan akses

petani terhadap informasi teknologi dan informasi

pasar ekspor tidak berjalan karena kurangnya sarana

dan prasarana dan minimnya pendidikan yang

dimiliki oleh petani.

Untuk wilayah yang infrastrukturnya sudah

berkembang seperti di Jawa, kelapa masih cenderung

dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar, yang mana

konsumen utamanya adalah masyarakat perkotaan.

Kondisi yang demikian mengakibatkan transportasi

yang mahal dan rantai tataniaga yang panjang, pada

gilirannya harga tingkat petani juga tertekan. (Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 13).

2) Kondisi Permintaan

Menurut Wiliawan Twishsri selaku direktur

Asia and Pasific Coconut Community (dalam koran

Page 61: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

49

bisnis online, Bisnis.com, 2014), perolehan ekspor

produk kelapa Indonesia masih lebih rendah

dibandingkan dengan perolehan negara pesaing

utama Filipina. Sebanyak 78,9% dari total

perdagangan produk kelapa dunia didominasi oleh

Indonesia dan Filipina. Namun, rerata nilai ekspor

produk kelapa RI per tahun adalah US$1,355 juta

atau lebih rendah dari Filipina yang mencapai

US$1,544 juta.

Berdasarkan hasil penelitian Turukay (2008:4),

Harga merupakan faktor yang sangat penting dalam

permintaan kopra karena harga ekspor berpengaruh

terhadap permintaan ekspor kopra. Menurut

Wiliawan Twishsri selaku direktur Asia and Pasific

Coconut Community (dalam koran bisnis online,

Bisnis.com, 2014), harga kopra Indonesia mengikuti

kesepakatan harga yang telah ditentukan oleh Asia

and Pasific Coconut Community. Meski Indonesia

memiliki kuantitas ekspor yang banyak, namun

Indonesia tidak dapat menentukan harga secara

sepihak karena Indonesia sudah menjadi anggota

Asia and Pasific Coconut Community. Jika Indonesia

melanggar kesepakatan tersebut, Indonesia akan

mendapatkan sangsi dari Asia and Pasific Coconut

Community.

Berdasarkan penelitian Turukay (2008:5), Bagi

petani dalam memproduksi dan menjual kopra tidak

melihat pada pengaruh naik turunnya nilai tukar

rupiah dan naik turunnya harga jual kopra, Hal ini

disebabkan produksi kopra 98% dihasilkan oleh

perkebunan rakyat. Sehingga jika nilai tukar turun

atau naik dan jika harga jual naik atau turun mereka

tetap menjual hasil produksinya. Bagi petani asalkan

bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan

hidup mereka sudah cukup. Masih menurut Turukay

(2008:5), Nilai RCA kopra juga memiliki keterkaitan

dengan permintaan ekspor kopra Indonesia di pasar

dunia (Turukay menggunakan analisa regresi

berganda, pada tingkat kepercayaan 99 % untuk

variabel indeks Revealed Comparative Advantage)

Selain itu menurut Turukay (2008:5), Periode

peralihan minyak kelapa ke minyak sawit sebagai

bahan baku industri minyak goreng menunjukkan

pengaruh yang signifikan pada ekspor kopra

Indonesia (Turukay menggunakan analisa regresi

berganda, pada tingkat kepercayaan 99 % untuk

variabel peralihan minyak kelapa ke minyak sawit),

hal ini berarti ketika permintaan minyak sawit

meningkat untuk industri minyak goreng dalam

negeri berarti permintaan kopra untuk industri

minyak goreng dalam negeri berkurang sehingga

ekspor kopra dapat ditingkatkan. Minyak sawit

sebagai barang subtitusi kopra untuk bahan baku

industri minyak goreng dalam negeri mampu

mempengaruhi ekspor kopra Indonesia.

Kondisi permintaan kopra baik permintaan

domestik dan luar negeri juga merupakan salah satu

aspek yang sangat menentukan daya saing kopra

Indonesia di pasar dunia. Perdagangan kopra

Indonesia umumnya lebih berorientasi ekspor

daripada untuk konsumsi domestik ditandai dengan

adanya ekspor neto

Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri

yang semakin berkurang selama tahun 2009 hingga

2012 (ditandai dengan meningkatnya jumlah ekspor

minyak kelapa, lihat Lampiran 4) diduga terkait

dengan perubahan preferensi konsumen domestik

yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa

sawit karena harganya lebih murah. Indonesia

sebagai salah satu negara produsen kopra yang lebih

berorientasi ekspor, juga mengimpor produk kopra.

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. (2007:9), hal itu biasanya dilakukan untuk

pengamanan cadangan penggunaan dalam negeri.

Dari uraian kondisi permintaan di atas, apabila

dilihat dari segi permintaan domestik, maupun

permintaan luar negeri, kopra Indonesia memiliki

potensi yang besar dalam perdagangan kopra

internasional. Kondisi permintaan tersebut dapat

memberikan dukungan terhadap peningkatan daya

saing komoditi kopra Indonesia di pasar dunia

walaupun masih terdapat sedikit kendala dalam

kualitas kopra yang dihasilkan.

3) Eksistensi Industri Terkait dan Industri

Pendukung

Industri yang terkait produksi kopra adalah

industri minyak kelapa dan bungkil kopra. Industri

yang terkait produksi minyak kelapa adalah industri

minyak kelapa sawit (sebagai industri substitusi),

industri minyak goreng kelapa dan cocochemical

(bahan kimia yang terbuat dari minyak kelapa).

Sedangkan yang terkait produksi minyak goreng

kelapa adalah pedagang partai besar, eksportir, dan

industri lainnya yang menggunakan minyak goreng

kelapa. Untuk industri dan lembaga pendukung

produksi kopra, minyak kelapa dan minyak goreng

kelapa antara lain industri sarana produksi, industri

mesin dan peralatan, organisasi pemberantasan

hama, penyuluhan dan organisasi petani.

Berdasarkan Panel Petani Nasional yang

dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiii), industri

pendukung yang paling berperan dalam usahatani

kopra adalah kios sarana produksi. Peranan kios

sarana produksi di Jawa lebih besar daripada diluar

Page 62: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

50

Jawa. Jasa pengolahan tanah merupakan kegiatan

yang paling jarang dilakukan.

Industri terkait yang paling berperan adalah

pedagang hasil panen dan jasa pasca panen. Karena

kopra dapat diolah menjadi minyak kelapa dan

bungkil kopra dan minyak kelapa dapat diolah

menjadi minyak goreng kelapa dan cocochemical

(bahan kimia yang terbuat dari minyak kelapa).

Peranan pedagang hasil panen dan jasa pasca panen

di luar Jawa lebih besar daripada di Jawa (Pusat

Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

(PASEKP), 2006:xiv)

Masih menurut Pusat Analisis Sosial Ekonomi

dan Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiv),

lembaga penunjang usahatani yang keberadaanya

paling menonjol adalah organisasi pemberantasan

hama, penyuluhan dan organisasi petani. Namun

keberadaan lembaga-lembaga tersebut pada

umumnya banyak yang tidak aktif terutama

organisasi petani dan pemberantasan hama.

Dalam kenyataanya, menurut Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian. (2007:9), peran

industri perbenihan dalam mendukung pengusahaan

kopra di Indonesia masih kurang. Hal ini dapat dilihat

dari minimnya jumlah Kebun Induk Kelapa Dalam

Komposit (KIKDK) yang memasok benih dan bibit

unggul pada petani. Saat ini sumber benih kelapa

yang digunakan belum berasal dari kebun induk yang

dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar,

tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai

daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi

(BPT). Selain itu, menurut Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP)

(2006:xiv), petani lebih memilih memproduksi benih

kelapa sendiri karena harga benih kelapa yang paling

mahal jika dibandingkan dengan benih tanaman

perkebunan yang lain seperti teh, karet, dan kopi

4) Struktur, Persaingan, dan Strategi

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (2007 : 11) sebanyak 98% petani kopra

Indonesia adalah petani rumah tangga yang tersebar

di seluruh Indonesia. Pendidikan mereka relatif

rendah dan usahatani kopra pada umumnya hanya

usaha sampingan. Sehingga β€œpotensi” yang ada pada

kopra belum dapat dimaksimalkan seutuhnya. Para

eksportir hanya mengekspor jika ada kiriman

β€œbarang” dari petani kopra, peralatan yang digunakan

petani pun masih tergolong sederhana. Meski

kualitas kopra yang dihasilkan oleh para petani

kelapa kurang memuaskan, namun menurut catatan

dari United Nation Comodity Trade (2015), dari segi

kuantitas kopra Indonesia menjadi yang terbanyak di

dunia pada tahun 2012 dan 2013.

Persaingan minyak kelapa terlihat jelas dengan

barang substitusinya yaitu minyak sawit. Menurut

Turukay (2008:8), periode peralihan minyak kelapa

ke minyak sawit sebagai bahan baku industri minyak

goreng di Indonesia memiliki pengaruh yang

signifikan pada ekspor kopra Indonesia. Ketika

permintaan minyak sawit meningkat untuk industri

minyak goreng dalam negeri berarti permintaan

kopra untuk industri minyak goreng dalam negeri

berkurang sehingga ekspor kopra dapat ditingkatkan.

Minyak sawit sebagai barang subtitusi kopra untuk

bahan baku industri minyak goreng dalam negeri

mampu mempengaruhi ekspor kopra Indonesia.

Menurut Turukay (2008:29), belum ada strategi

bersaing yang inovatif dari para petani kelapa dan

eksportir kopra Indonesia untuk menguasai pangsa

pasar kopra dunia. Para eksportir kopra hanya dapat

mengekspor jika petani memproduksi kopra dan

tidak mengekspor jika petani tidak memproduksi

kopra. Sehingga ekspor kopra Indonesia terkesan

β€œseadanya”.

5) Peran Pemerintah

Dalam peningkatan daya saing komoditi kopra di

pasar internasional peranan pemerintah baik melalui

Kementerian Pertanian maupun Pemerintah Daerah

masih sangat terbatas dalam pengembangan tanaman

kopra mulai dari produksi hingga pasca panen. Pada

komoditas ini belum pernah diberlakukan kebijakan

harga output (price policy). Penentuan harga jual

output selama ini diserahkan pada mekanisme pasar.

Status komoditas yang bukan merupakan kebutuhan

dasar dan tingkat penggunaan per kapita yang relatif

rendah dapat menjadi faktor penjelas belum adanya

urgensi intervensi kebijakan harga pada produk

kelapa. (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. 2007 : 14)

Intervensi kebijakan pemerintah baru dilakukan

pada kegiatan impor. Intervensi tersebut berupa

penetapan bea masuk barang impor dan pajak

penjualan yang selain memberikan pemasukan bagi

negara juga dimaksudkan untuk melindungi para

produsen di dalam negeri. (Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 2007 : 14)

Tabel 10. Kebijakan Perdagangan Kelapa Di Indonesia

Tahun 2003

Jenis produk

Ekspor Impor

Pajak Ekspor

Pajak lain

Bea Masuk

Pajak Penjualan

Copra Nil Nil Nil Nil

Crude Coconut Oil Nil Nil 5% 10%

Page 63: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

51

Jenis produk

Ekspor Impor

Pajak

Ekspor

Pajak

lain

Bea

Masuk

Pajak

Penjualan

Refined Coconut Oil Nil Nil Nil 10%

Copra Meal Nil Nil 5% 10%

Desiccated Coconut Nil Nil 5% 10%

Coconut Cream Nil Nil 15% 10%

Products Nil Nil 5% 10%

Shell Charcoal Nil Nil 10% 10%

Activated Carbon Nil Nil 20% 10%

Keterangan : nil : tidak ada kebijakan

Sumber : Departemen Keuangan, (2004) dalam

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

(2007 : 14)

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (2007 : 37) dukungan kebijakan yang

diperlukan untuk usahatani kelapa adalah penyediaan

kredit modal untuk intensifikasi, rehabilitasi dan

peremajaan; pembinaan teknis dan kelembagaan

produksi; penyediaan informasi teknologi dan pasar;

peningkatan status hukum atas kepemilikan lahan

usaha; dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan

menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial

Ekonomi Pertanian (2005:9), rumusan kebijakan

dalam pengembangan produk agroindustri kelapa,

yaitu: 1. Perbaikan produktivitas dan kualitas bahan

baku; 2. Insentif Ekspor 3. Promosi ekspor

6) Peran Peluang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Turukay (2008:8) peningkatan populasi negara

pengimpor sebesar 1% akan menyebabkan

penambahan ekspor kopra Indonesia sebesar 15,8346

% dengan asumsi faktor lain tetap, Hal ini

menunjukan peningkatan populasi memberikan

kontribusi besar untuk ekspor kopra Indonesia

kepasar dunia. Populasi penduduk sebagai indikasi

konsumsi suatu negara, berpengaruh signifikan

terhadap ekspor kopra Indonesia, ini menunjukan

penggunaan kopra sebagai salah bahan baku industri

pangan dan non pangan.

Turukay (2008:8) juga menuturkan bahwa

peningkatan pendapatan perkapita sebesar 1% akan

menyebabkan peningkatan ekspor kopra Indonesia

sebesar 10,72252%, dengan asumsi faktor penentu

lain tetap (pada a=5% alias tingkat kepercayaan

95%). Pendapatan yang meningkat diharapkan akan

meningkatkan daya beli rata-rata penduduk, sehingga

bagian yang bisa dibelanjakan juga lebih banyak.

Data Asia Pasific Coconut Community (dalam

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

2007:20) menunjukkan bahwa konsumsi kelapa

segar penduduk Indonesia sekitar 36

butir/kapita/tahun atau 7,92 milyar butir (51,1%).

Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian (2007:20) Bila produksi buah kelapa

nasional sebanyak 15,5 milyar butir/tahun, maka

buah kelapa yang dapat diolah di sektor industri

adalah 7,58 milyar butir (48,9%). Jumlah ini dapat

memenuhi kebutuhan 29 unit industri dengan

kapasitas 1 juta butir/hari

Sekitar 90% dari bahan baku daging kelapa

digunakan untuk menghasilkan Minyak Kelapa

Mentah dan sisanya terbagi untuk produk lainnya,

tetapi kecenderungan untuk menghasilkan Minyak

Kelapa Mentah tersebut semakin menurun,

sedangkan produk turunan lainnya semakin

meningkat. Sesuai dinamika pasar produk,

kecenderungan untuk menghasilkan produk

oleokimia (turunan dari minyak kelapa mentah)

tampak semakin tinggi. Ini merupakan peluang bagi

Indonesia untuk mengembangkan potensi kopra

Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. 2007:20).

PENUTUP

Kesimpulan

1) Berdasarkan hasil penelitian, struktur pasar kopra,

minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa berupa

pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi

yang tinggi. Ditunjukkan dengan nilai rata-rata

Herfindahl Index yang diatas 1.800 dan rata-rata

nilai CR4 diatas 80 persen pada ketiga komoditas

tersebut. Kopra dan minyak kelapa menunjukkan

tren peningkatan jumlah negara eksportir dengan

rata-rata masing-masing komoditas sebanyak 30

negara dan 66 negara eksportir setiap tahunnya.

Sementara minyak goreng kelapa menunjukkan

tren penurunan jumlah negara eksportir dengan

rata-rata 83 negara eksportir setiap tahunnya.

2) Indonesia memiliki daya saing yang kuat dari segi

keunggulan komparatif pada kopra, minyak

kelapa dan minyak goreng kelapa. Namun

memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dari

segi keunggulan kompetitif.

(1) Keunggulan komparatif ditunjukkan dengan

nilai Indeks Revealed Comparative

Advantage yang selalu lebih besar dari satu.

Dari ketiga komoditas (kopra, minyak

kelapa, dan minyak goreng kelapa),

Indonesia memiliki keunggulan komparatif

yang paling besar pada minyak kelapa.

(2) Indonesia memiliki keunggulan kompetitif

pada kuantitas sumber daya alam dan

kuantitas sumber daya manusia yang banyak

dan peluang yang tersedia seperti

peningkatan populasi negara pengimpor,

peningkatan pendapatan perkapita di negara

pengimpor, potensi pengolahan oleh industri,

Page 64: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

52

diversifikasi produk menjadi produk turunan

lainnya, dan liberalisasi perdagangan.

Namun memiliki kelemahan kompetitif dari

segi kualitas sumber daya alam dan sumber

daya manusia yang kurang berkualitas,

modal yang minim, infrastruktur yang

minim, dukungan dari industri terkait dan

industri pendukung yang minim, belum

adanya strategi bersaing yang inovatif,

persaingan yang ketat dengan barang

substitusi, dan intervensi kebijakan

pemerintah yang minim.

Saran

1) Untuk mengefisiensikan bentuk ekspor,

pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada

pasar minyak kelapa karena : 1) Keunggulan

komparatif minyak kelapa adalah yang terbesar

dibandingkan ketiga komoditas yang lain; 2)

Pangsa pasar untuk minyak kelapa juga yang

terbesar dibandingkan dengan komoditas yang

lain. 3) Dunia menunjukkan ketertarikan pada

pasar minyak kelapa yang ditandai dengan

peningkatan jumlah negara eksportir. Namun

melihat kondisi kualitas sumber daya manusia dan

teknologi yang dimiliki Indonesia yang tergolong

rendah (berdasarkan penelitian Turukay tahun

2008), maka pemerintah lebih disarankan untuk

tetap mengekspor kopra dalam bentuk kopra dan

minyak kelapa karena keunggulan komparatif

kopra menempati posisi terbesar kedua setelah

minyak kelapa. Caranya dengan: (1) Penyediaan

informasi teknologi dan informasi pasar; (2)

Pengembangan infrastruktur; (3) Perbaikan

produktivitas dan kualitas bahan baku; (4) Insentif

Ekspor (5) Promosi ekspor

2) Indonesia dapat menggunakan kekuatan dan

peluang yang tersedia untuk meminimalisir

kelemahan yang ada. Diantaranya yaitu:

(1) Untuk para petani eksportir sebaiknya

menggunakan pola produksi yang lebih

teratur. Jika terdapat kelebihan produksi,

sebaiknya disimpan dan dijual ketika sedang

kekurangan jumlah produksi agar kuantitas

penjualan menjadi lebih stabil.

(2) Untuk para eksportir sebaiknya

menggunakan strategi bersaing yang inovatif

seperti bersaing melalui pelayanan yang

prima, bersaing melalui pemasaran,

merangkul pesaing, dan lain sebagainya.

(3) Untuk penelitian selanjutnya dapat

melakukan riset mengenai strategi yang

paling tepat untuk meningkatkan daya saing

kopra Indonesia di pasar internasional.

(4) Pemerintah diharapkan dapat membuat

kebijakan seperti yang telah penulis sarankan

pada saran point 1

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada PT.

Minamas Plantation yang telah membiayai penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asian and Pacific Coconut Community. About Us.

Diunduh dari www.apccsec.org/about.html .

Diakses tanggal 09 April 2015.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

2007. Prospek dan Arah Pengembangan

Agribisnis Kelapa. Edisi Kedua. Jakarta :

Departemen Pertanian

Bisnis.com. 2014. Ekspor Kelapa RI Kalah Dari

Filipina. Melalui bisnis.com diakses pada 06

Februari 2015

Direktorat Jenderal Industri Agro. 2014. Potensi RI

Kuasai Pasar Kelapa Dunia. Melalui

http://agro.kemenperin.go.id diakses pada 27

Desember 2015

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Produksi

Perkebunan Menurut Provinsi dan Jenis

Tanaman. Badan Pusat Statistik Indonesia

Direktorat Pangan dan Pertanian. 2014. Analisis

Rumah Tangga, Lahan, Dan Usaha Pertanian

Di Indonesia : Sensus Pertanian 2013. Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional

Febriyanthi, Sri Anna. 2008. Analisis Daya Saing

Ekspor Komoditi Teh Indonesia di Pasar

Internasional. Skripsi Fakultas Pertanian.

Institut Pertanian Bogor. Bogor

Internet Center For Management and Business

Administration. 2007. Herfindahl Index.

www.quickmba.com. Diakses tanggal 15

Desember 2014

Internet Center For Management and Business

Administration. 2007. Porter’s Diamond

National Advantage. www.quickmba.com.

Diakses tanggal 15 Desember 2014.

Kementerian Perindustrian. 2012. Peran Ekspor

Kelompok Hasil Industri Pengolahan

Kelapa/Kelapa Sawit Terhadap Total Ekspor

Hasil Industri. Diakses dari

http://www.kemenperin.go.id pada 20

Desember 2015

Kementerian Perindustrian. 2012. Perkembangan

Ekspor Indonesia Berdasarkan Sektor. Diakses

Page 65: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

53

dari http://www.kemenperin.go.id/ pada 20

Desember 2015

Kontan.co.id. 2013. Harga kopra naik. Edisi 10

Desember 2013 Diakses dari

http://industri.kontan.co.id pada 06 Februari

2015

Kotler, Philip.2000. Manajemen Pemasaran. Jilid I.

Edisi terjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Porter, Michael E. 1998. The Competitive Advantage

of Nations. London: Macmillan Press

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian. 2006. Panel Petani Nasional

(PATANAS) : Analisis Indikator Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan. Bogor : Departemen

Pertanian

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian. 2005. Laporan Akhir : Prospek

Pengembangan Agroindustri Dalam

Meningkatkan Daya Saing dan Ekspor

Berdasarkan Permintaan Jenis Produk

Komoditas Perkebunan Utama. Bogor :

Departemen Pertanian

Silalahi, Bayu Geo S. 2007. Daya Saing Komoditas

Nenas dan Pisang Indonesia di Pasar

Internasional. Skripsi Program Sarjana Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Tambunan, Tulus. 2001. Industrialisasi di Negara

Sedang Berkembang Kasus Indonesia. Jakarta :

Ghalia Indonesia

Turukay, Martha. 2008. Analisis Permintaan Ekspor

Kopra Indonesia Di Pasar Dunia. Jurnal

Agroforestri. Volume III No. 2. Hlm 1. Juni

United Nation Statistics. 2015. United Nations

Commodity Trade (UN COMTRADE) Statistics

Database. http://unstats.un.org/unsd/Comtrade8.

Diakses 16 Januari 2015.

Page 66: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

54

Page 67: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

55

Efektivitas Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT.

Coca - Cola Bottling Indonesia

The Effectiveness of Corporate Social Responsibility (CSR) of PT. Coca-Cola Bottling

Indonesia (Case Study on Coke Farm, PT. CCBI Rancaekek, West Java)

Cut Putri Pohan1, Anne Charina2

1Universitas Padjadjaran, Bandung, [email protected] 2Universitas Padjadjaran, Bandung

A B S T R A K

Kata Kunci:

Evaluasi

CSR

CCBI

Efektivitas

Kendala

Adanya Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan mendorong semua perusahaan untuk melaksanakan Corporate Social

Responsibility (CSR). PT. Coca–Cola Bottling Indonesia (CCBI), adalah perusahaan

yang telah menjalankan peraturan pemerintah tersebut dan memiliki berbagai jenis

program CSR. Salah satu program CSR PT. CCBI berfokus pada bidang pertanian

yang dikenal dengan Coke Farm. Coke Farm sudah menunjukkan eksistensinya

dengan berhasil meraih beberapa penghargaan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi tingkat efektivitas pelaksanaan CSR Coke Farm dan mengidentifikasi

kendala yang dihadapi selama pelaksanaan CSR. Desain penelitian yang digunakan

desain kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Informan dalam penelitian ini

adalah dua orang karyawan divisi Corporate Affairs dan empat orang petani binaan

Coke Farm. Data yang digunakan data primer dan sekunder. Analisis data

menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat

efektivitas Coke Farm tergolong dalam kategori cukup efektif, dengan skor maksimum

sebesar 142. Total skor ini diperoleh berdasarkan hasil penilaian empat petani binaan

yang berperan sebagai objek penerima program CSR Coke Farm.

ABSTRACT

Keywords:

Evaluation

CSR

CCBI

Efectiveness

Contsraint

The Regulation No. 47/2012 on Social and Environmental Responsibility encourages

all companies to implement Corporate Social Responsibility (CSR). PT. Coca-Cola

Bottling Indonesia (CCBI), is the company that has implemented the regulation. PT.

CCBI has various types of CSR program, one of them focuses on agriculture, well

known as Coke Farm. Coke Farm has demonstrated its existence by successfully won

several awards. This study aimed to evaluate the effectiveness of Coke Farm

implementation afterward identify the constraints that were encountered during the

program implementation. The research design was qualitative with case study

technique. Informants were two employees of Corporate Affairs division and four

assisted farmers of Coke Farm.The data used primary and secondary data. Data was

analyzed by using descriptive analysis. The results showed that the effectiveness of

Coke Farm is classified in the quite effective category, got total score worth 142. The

total score was obtained based on the assessment of four fostered farmers who act as

the objects of the CSR program.

* Cut Putri Pohan – Universitas Padjadjaran

Alamat e-mail: [email protected]

Page 68: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

56

PENDAHULUAN

Adanya kebijakan pemerintah yang diatur dalam

UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan

Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan, mendorong semua

perusahaan untuk menjalankan peraturan tersebut

dengan cara mendirikan program Corporate Social

Responsibility (CSR) di berbagai bidang.

PT. Coca-Cola Bottling Indonesia, merupakan

salah satu perusahaan industri minuman ringan

terkemuka di Indonesia yang sudah menjalankan

peraturan tersebut sebagai bentuk tanggung jawab

sosial dan lingkungan. PT. CCBI memiliki berbagai

macam program CSR, salah satu program CSR PT.

CCBI Rancaekek berfokus di bidang pertanian,

dikenal dengan istilah Coke Farm.

Wilayah operasional yang pertama kali

menjalankan CSR dalam bentuk Coke Farm adalah

PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat tepatnya pada

tahun 2009. Coke Farm Rancaekek tersebut memiliki

beberapa sub program yang dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Kegiatan yang Dilakukan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek 2015

No Nama Kegiatan

1 Fishpond Pembudidayaan ikan

2 Penanaman

bibit Pohon

Pembibitan dan budidaya

tanaman keras.

3 Tea Leaves-

Composting.

Pembuatan kompos dari

ampas teh frestea.

4 Solid Waste

Recycling

Kegiatan mendaur ulang

botol sisa dari PT. CCBI.

5

Organic-

Green House

Pengelolaan lahan

perkebunan organik.

Sumber: Coke Farm PT. CCBI 2015.

Coke Farm PT. CCBI Rancaekek menunjukkan

eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR

yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM. Coke

Farm berhasil meraih beberapa penghargaan sejak

mulai berdiri sampai saat ini. Namun, eksistensi Coke

Farm terebut belum tentu berbanding lurus dengan

harapan dan manfaat yang didapatkan oleh objek

yang menerimanya.

Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti

berniat untuk melakukan evaluasi terhadap program

CSR tersebut dengan cara menganalisis tingkat

efektivitas program CSR Coke Farm berdasarkan

sudut pandang petani, selaku objek yang

menerimanya, yang diukur dengan menggunakan

Model Evaluasi Kickpatrick.

Selanjutnya akan ditinjau lebih lanjut lagi apa

saja kendala dan masalah yang dihadapi PT. CCBI

Rancaekek dalam menjalankan kegiatan CSR Coke

Farm yang digambarkan dengan menggunakan

Fishbone Diagram, serta akan dicari solusi yang

tepat untuk menanggulanginya.

Tabel 1. Kegiatan yang Dilakukan di Coke Farm PT. CCBI

Rancaekek 2015

No Nama Kegiatan

1 Fishpond Pembudidayaan ikan

2 Penanaman

bibit Pohon

Pembibitan dan

budidaya tanaman

keras. 3 Tea Leaves-

Composting

.

Pembuatan kompos dari

ampas teh frestea.

4 Solid Waste

Recycling

Kegiatan mendaur ulang

botol sisa dari PT. CCBI.

5 Organic-

Green House

Pengelolaan lahan

perkebunan organik.

Sumber: Coke Farm PT. CCBI 2015.

Coke Farm PT. CCBI Rancaekek menunjukkan

eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan

CSR yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM.

Coke Farm berhasil meraih beberapa penghargaan

sejak mulai berdiri sampai saat ini. Namun,

eksistensi Coke Farm terebut belum tentu

berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang

didapatkan oleh objek yang menerimanya.

Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti berniat

untuk melakukan evaluasi terhadap program CSR

tersebut dengan cara menganalisis tingkat

efektivitas program CSR Coke Farm berdasarkan

sudut pandang petani, selaku objek yang

menerimanya, yang diukur dengan menggunakan

Model Evaluasi Kickpatrick.

KERANGKA TEORI / KERANGKA KONSEP

Adanya kebijakan pemerintah yang diatur

dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas

dan Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, mendorong

semua perusahaan khususnya yang bergerak dalam

bidang industri menjalankan peraturan tersebut

dengan melaksanakan CSR dengan berbagai macam

bidang seperti bidang pendidikan, kesehatan,

infrastruktur, pengembangan usaha mikro, pertanian

dan lain sebagainya.

PT. Coca-Cola Bottling Indonesia,

merupakan salah satu perusahaan industri minuman

ringan terkemuka di Indonesia yang sudah

menjalankan peraturan pemerintah sebagai bentuk

tanggung jawab sosial dan lingkungan. PT. CCBI

Page 69: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

57

memiliki berbagai macam program CSR, bahkan ada

salah satu program CSR PT. CCBI yang berfokus

pada dunia pertanian, dikenal dengan istilah Coke

Farm. Wilayah operasional yang pertama kali

menjalankan CSR dalam bentuk Coke Farm adalah

PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat tepatnya pada

tahun 2009.

PT. CCBI Rancaekek, tentunya melibatkan

masyarakat, khususnya petani sekitar pabrik dalam

mengolah program CSR Coke Farm tersebut. Coke

Farm sebagai salah satu program CSR yang sudah

dijalankan PT. CCBI Rancaekek menunjukkan

eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR

yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun

LSM. Coke Farm berhasil meraih beberapa

penghargaan sejak mulai berdiri sampai saat ini.

Namun, eksistensi Coke Farm terebut belum tentu

berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang

didapatkan oleh objek yang menerimanya.

Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti

berniat untuk melakukan analisis efektivitas pada

program CSR di Coke Farm berdasarkan sudut

pandang petani, selaku objek yang menerimanya,

yang diukur dengan menggunakan Model Evaluasi

Kickpatrick. Dari hasil analisis ini, akan didapatkan

nilai yang menggambarkan tingkat efektivitas

pelaksanaan program CSR tersebut yang dirasakan

oleh petani binaan.

Selanjutnya akan ditinjau lebih lanjut lagi

apa saja kendala dan masalah yang dihadapi PT.

CCBI Rancaekek dalam menjalankan kegiatan CSR

Coke Farm dengan menggunakan Fishbone

Diagram, serta bagaimana solusi untuk menghadapi.

Hal ini berguna dalam membantu PT. CCBI

Rancaekek untuk melakukan evaluasi lebih lanjut

berkaitan tingkat efektivitas pelaksanaan program

CSR di Coke Farm tersebut.

METODE PENELITIAN

Objek dalam penelitian ini adalah petani binaan

Coke Farm PT. CCBI Rancaekek. Penelitian

dilakukan di Coke Farm PT. Coca-Cola Bottling

Indonesia yang berlokasi di Jalan Raya Bandung-

Garut KM 26, Rancaekek. Jawa Barat Indonesia.

PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat dipilih karena

merupakan perusahaan di sektor industri yang

program CSR-nya didedikasikan untuk dunia

pertanian. Program CSR yang dipilih dalam

penelitian kali ini adalah Coke Farm. Coke Farm

dipilih selain karena berfokus pada dunia pertanian,

penulis juga mengamati adanya hubungan yang

saling berkaitan antar kegiatan didalamnya.

Coke Farm PT. CCBI di wilayah operasional

Jawa Barat dipilih karena merupakan inisiator

pembentukan Coke Farm. Coke Farm pertama kali

didirikan di wilayah operasional Jawa Barat pada

tahun 2009 kemudian diikuti oleh wilayah

operasional lainnya pada tahun-tahun berikutnya.

Desain penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah desain kualitatif. Teknik yang

digunakan adalah studi kasus. Yin (2008)

menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian

studi kasus tidak sekedar untuk menjelaskan seperti

apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan

bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut

dapat terjadi.

Cara Menentukan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer dan data sekunder. Informan

dalam penelitian ini adalah orang-orang yang

dianggap tahu, terlibat dan telah merasakan dampak

dari adanya program CSR Coke Farm, yang

diantaranya dua orang karyawan divisi Corporate

Affairs PT. CCBI Rancaekek dan empat orang petani

binaan Coke Farm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Efektivitas Program CSR Coke Farm PT.

CCBI Rancaekek

Analisis efektivitas Program CSR Coke Farm PT.

CCBI Rancaekek diukur dengan menggunakan

model evaluasi Kirkpatrick. Model ini mencakup

empat level evaluasi, diantaranya reaction, learning,

behavior, dan result. Model ini digunakan sebagai

acuan penulis dalam membuat daftar pertanyaan dan

mencari informasi dari informan.

(1) Reaksi (Reaction)

Tabel 2. Banyaknya Informan yang Memberikan Reaksi

Informan terhadap Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015

Keterangan:

Skala 3 untuk jawaban baik, Skala 2 untuk jawaban cukup baik

No Variabel Skala Skor

3 2 1 Aktual Ideal

1 Bobot materi yang

disampaikan

pemberdaya

2 2 0 10 12

2 Kesigapan dalam

menyediakan sarana

input

0 0 4 4 12

3 Bantuan yang

didapatkan petani 1 0 3 6 12

4 Penentuan jadwal

pelatihan 1 1 2 7 12

5 Ketertarikan terhadap

kegiatan di Coke Farm 4 0 0 12 12

TOTAL 39 60

Page 70: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

58

Skala 1 untuk jawaban tidak baik

(2) Pembelajaran (Behaviour)

Tabel 3. Banyaknya Informan yang Memberikan Nilai

Pembelajaran yang Didapatkan dari Program CSR Coke Farm

PT.CCBI 2015

Keterangan:

Skala 3 untuk jawaban baik

Skala 2 untuk jawaban cukup baik

Skala 1 untuk jawaban tidak baik

(3) Perilaku (Behaviour) Tabel 4. Banyaknya Informan yang Merasakan Perubahan

Perilaku Akibat Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015

Keterangan:

Skala 3 untuk jawaban baik

Skala 2 untuk jawaban cukup baik

Skala 1 untuk jawaban tidak baik

(4) Hasil Akhir (Result) Tabel 5. Banyaknya Informan yang Merasakan Hasil Akhir dari

Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015

Keterangan:

Skala 3 untuk jawaban baik

Skala 2 untuk jawaban cukup baik

Skala 1 untuk jawaban tidak baik

Tabel 6. Rekapitulasi Tanggapan Informan terhadap Efektivitas Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015

Diperoleh total skor efektivitas pelaksanaan

program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek

dengan cara menjumlahkan total skor pada tabel 2

sampai dengan tabel 5. Menurut perhitungan skala

likert, interval nilai antara 76 – 126,6 tergolong

dalam kategori tidak efektif, sedangkan interval nilai

antara 126,7 – 177,2 tergolong dalam kategori cukup

efektif dan interval nilai antara 177,2 – 228 dapat

dikatakan efektif.

Total skor keseluruhan yang diperoleh dari

tingkat efektivitas program CSR Coke Farm PT.

CCBI Rancaekek adalah sebesar142 dari skor ideal

228. Dengan total skor tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa program CSR Coke Farm PT.

CCBI Rancaekek termasuk dalam kategori cukup

efektif. Penilaian ini diperoleh berdasarkan hasil

persepsi empat informan yang mana berperan sebagai

objek yang menerima program CSR tersebut selaku

petani binaan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek.

PENUTUP

Kesimpulan Hasil penelitian mengenai tingkat efektivitas

menunjukkan bahwa program CSR Coke Farm PT.

CCBI Rancaekek tergolong dalam kategori cukup

efektif, dengan persentase 62,2 %. Dari keempat poin

yang digunakan untuk mengukur efektivitas

berdasarkan model evaluasi Kickpatrick,

pembelajaran (learning) merupakan poin yang paling

efektif yang dapat diterima oleh informan (75%).

Sementara hasil akhir (result) mendapatkan nilai

terendah (48,3%).

Saran 1) PT. CCBI Rancaekek diharapkan dapat

membentuk badan pengawasan khusus untuk

Coke Farm, yang mana pihak tersebut harus

berasal dari pihak PT. CCBI Rancaekek agar

No Variabel Skala Skor

3 2 1 Aktual Ideal

1 Penerapan pertanian

organik 0 0 4 4 12

2

Penyampaian

pengetahuan pertanian

organik

4 0 0 12 12

3

Respon petani lain

terhadap pertanian

organik

0 1 3 5 12

4

Percobaan

berwirausaha bibit

tanaman keras

2 0 2 8 12

5

Penyampaian

informasi wirausaha

bibit tanaman keras

1 3 0 9 12

TOTAL 38 60

No Variabel Skala Skor

3 2 1 Aktual Ideal

1

Peningkatan

pengetahuan

pertanian organik

4 0 0 12 12

2

Peningkatan

pengetahuan pe-

ngembangan usaha

tani

4 0 0 12 12

3

Peningkatan

pengetahuan dalam

teknologi pertanian

0 0 4 4 12

4

Peningkatan

kemampuan

berkomuni-kasi

2 0 2 8 12

TOTAL 36 48

No Variabel Skala Skor

3 2 1 Aktual Ideal

1 Peningkatan hasil

panen 0 0 4 4 12

2

Kemampuan

mengajak petani

lain bergabung 0 1 3 5 12

3 Peningkatan profit 2 0 2 8 12

4 Kerjasama antar

petani binaan 0 4 0 8 12

5 Peningkatan

solidaritas 0 0 4 4 12

TOTAL 29 60

N

o Variabel

Skor Persentase

Aktual Ideal

1 Reaksi (Reaction) 39 60 65%

2 Pembelajaran (Learning) 36 48 75%

3 Perubahan Perilaku

(Behaviour) 38 60

63%

4 Hasil Akhir (Result) 29 60 48,3%

TOTAL SKOR 142 228 62,2%

Page 71: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

59

dapat melaksanakan tanggung jawab dan

fungsinya dengan lebih netral.

2) Dalam melakukan evaluasi program CSR suatu

Perseroan Terbatas (PT), pemerintah sebaiknya

juga memperhatikan tingkat efektivitasnya dari

sudut pandang pihak yang menerima, bukan

hanya dari ide dan gagasan yang disampaikan pihak pelaksana.

3) Penelitian selanjutnya diharapkan dapat

melakukan penelitian sejenis dengan

menggunakan variabel penelitian yang lebih

operasional dengan cara melakukan evaluasi

program CSR Coke Farm dengan lebih terfokus

pada setiap sub-program CSR agar hasil

penelitiannya lebih teliti. Selain itu, dalam

menentukan skala pengukuran sebaiknya

diperhatikan dan diperjelas lagi apa saja

indikator yang dapat digunakan sebagai acuan

dalam menentukan baik, cukup baik atau tidak

baiknya suatu variabel.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Mulya dan Wicaksono Sarosa. 2008. CSR

Untuk Penguatan Kohesi Sosial. Jakarta:

Indonesia Business Links.

Asniwaty, Besse. 2012. Evaluasi Pelaksanaan

Corporate Sosial Responsibility (CSR) PT.

Pupuk Kaltim. Bandung: Unpad.

Bappenas. 2009. Analisis dan Formulasi Kebijakan

Pemanfaatan Sumber-sumber Pendanaan

Pembangunan Non-APBN (Optimalisasi

Pelaksanaan KPS dan CSR. Jakarta: Jurnal

Info Kajian Bappenas.

Dewi, Friska Meriana. 2013. Tinjauan Terhadap

Efektivitas Pelatihan Kerja Karyawan

Bagian Produksi Pabrik Gula Sumberharjo

Pemalang. Salatiga: Skripsi Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen

Satya Wacana.

Gaspersz, V. dan A. Fontana. 2011. Integrated

Management Problem Solving Panduan bagi

Praktisi Bisnis dan Industri. Vinchristo

Publication.

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/

artikel/418-artikel-soft-competency/10999-

teknik-ilustrasi-masalah-fishbone-diagrams

(Diakses pada 9 Mei 2015)

Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responsibility,

Transformasi Konsep Susainability

Management dan Implementasi di Indonesia.

Bandung: PT. Refika Aditama.

Muh. Aris Marfa’i. 2005. Moralitas Lingkungan

Refleksi Kritis Atas Kritis Lingkungan

Berkelanjutan. Cetakan kedua. Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

Nasution, S. 2003. Metode Research. Cetakan

keenam. Jakarta: Bumi Aksara.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Cetakan

kelima. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Prabowo, Angga. 2009. Kajian Efektivitas Program

CSR Yayasan Unilever Indonesia. Jakarta.

Purba, H.H. 2008. Diagram fishbone dari Ishikawa.

http://hardipurba.com/2008/09/25/diagram-

fishbone-dari-ishikawa.html (Diakses pada 9

Mei 2015)

Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang

Internasional dalam Praktik diIndonesia.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Rinaldy, Yosua., 2014. Pengaruh Pengungkapan

Corporate Social Responsibility terhadap

Kepemilikan Institusional Pada Perusahaan

Berkategori High-Profile yang Listing Di

Bursa Efek Indonesia. Semarang:

Universitas Diponegoro. (Diakses pada 11

Januari 2015).

Soehartono, Irawan. 2002. Metode Penelitian Sosial.

Cetakan kelima, Bandung: PT. Remaja

Rosadakarya Bandung.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu

Pengantar. Jakarta: Divisi Buku Perguruan

Tinggi PT. Raja Grafindo Persada.

Sugiono. 2014. Perubahan Lahan Pertanian

Produktif Menjadi Non Produktif Akibat

Industri Genteng Di Pejagoan Kebumen

Dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta:

Skripsi UIN. (Diakses pada 20 Desember

2014)

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif,

Kuantitatif dan R&D. Cetakan ke-13.

Bandung: Alfabeta Cv Bandung.

Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif.

Cetakan kesepuluh. Bandung: Alfabeta Cv.

Supraidinata, Wahyu. 2013. Analisis Efektivitas CSR

Dalam Menyelesaikan Masalah Sosial

Lingkungan Perusahaan. Bandung.

Tague, N. R. 2005. The quality toolbox. Milwaukee,

Wisconsin: ASQ Quality Press.

http://asq.org/quality-press/display

item/index.html?item=H1224 (Diakses pada

9 Mei 2015)

Tuwu, Alimuddin. 1998. Pengantar Metode

Penelitian. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia.

Page 72: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

60

Untung, Hendrik Budi. 2008. Corporate Social

Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.

Wibisono, Yusuf., Membedah Konsep dan Aplikasi

CSR. 2007. Gresik: Fascho Publishing.

Widoyoko, Eko Putro. 2012. Evaluasi Program

Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi

Pendidik dan Calon Pendidik.

Page 73: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

61

Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani

Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) di Desa Cihideung Kecamatan

Parongpong Kabupaten Bandung Barat

Ornamental Plants Marketing that is done by Farmers who are members of Cihideung

Ornamental Plants Farmers and Sellers Association (APPTHC) in Cihideung Village

Parongpong District, West Bandung

Dini Rochdiani, Sara Ratna Qanti

Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor –Sumedang Jawa Barat

A B S T R A K

Kata Kunci:

Tanaman hias

Pemasaran

APPTHC

Diversifikasi konsentrik

Penetrasi pasar

Permintaan terhadap tanaman hias di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup

baik, terbukti dengan meningkatnya peringkat Indonesia dari urutan ke 51 menjadi

urutan ke 48 sebagai negara pengekspor tanaman hias dunia. Peningkatan ini

berpengaruh kepada keinginan petani pedagang tanaman hias untuk dapat memenuhi

tingginya permintaan terhadap tanaman hias tersebut. Dalam usaha untuk memenuhi

tingginya permintaan, petani pedagang tanaman hias mengalami beberapa kendala

dalam proses agibisnis tanaman hias, yaitu permasalahan dalam pemasaran yaitu

pengiriman tanaman hias kepada konsumen yang tidak begitu cepat. Terhambatnya

aspek distribusi yang tidak cepat dan tidak efisien disebabkan sifat tanaman hias yang

mudah rusak dan kualitas yang tidak bisa dipertahankan dengan baik. Penelitian ini

menggunakan metode analisis SWOT dengan teknik analisis matriks Eksternal Factor

Evaluation (EFE) dan matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Hasil penelitian

menunjukan beberapa hasil sebagai berikut: (1) nilai dari matriks EFI sebesar 2.40

yang artinya di bawah nilai rata-rata 2.50, (2) nilai dari matriks EFE sebesar 2.68 yang

artinya di atas nilai rata-rata 2.50. Alternatif strategi yang dirumuskan dari faktor

internal dan faktor eksternal pemasaran APPTHC pada matriks QSP menghasilkan tiga

prioritas strategi yang dapat dilakukan perusahaan, yaitu strategi diversifikasi

konsentrik, strategi pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar.

ABSTRACT

Keywords:

Ornamental plans

Marketing

APPTHC

Concentric

diversification

Market penetration

Demand for ornamental plants in Indonesia has increased significantly. It is showed

by the increasing world rank of Indonesia as an ornamental plant exporting country

from 48 in 2009 to 46 in 2013. This increasing affects farmer’s willingness to fulfill

the demand. In attemp to meet the increasing demand, there are several issues that are

faced by the farmers, mainly on the product delivery and distrubution. Inefficient

distribution that is caused by the nature of the ornamental plants. SWOT analysis with

Eksternal Factor Evaluation (EFE) and Internal Factor Evaluation (IFE) matrixes are

used in this study. This study shows several results as follows: (1) EFI matrix point at

2.40 which is below the average point at 2.50, (2) EFE matrix point at 2.68 which is

below the average point at 2.50. Alternative strategies that are formulated from the

internal and external marketing factors of APPTHC on the QSP matrix are consentrict

diversification strategy, product development strategy, and market penetration

strategy.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 74: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

62

1. PENDAHULUAN

Bisnis tanaman hias nasional dalam periode

lima tahun terakhir menunjukkan kinerja yang

menggembirakan. Agribisnis tanaman hias memiliki

keragaman tanaman meliputi tanaman hias angrek,

gerbera, kenanga, krisan, mawar, melati dan sedap

malam. Bisnis tanaman hias semakin semarak di

berbagai daerah yang ditandai dengan meningkatnya

luas area tanam, nilai transaksi penjualan, jangkauan

pemasaran dan tumbuhnya industri jasa penunjang.

Pemasaran tanaman hias dilakukan di dalam dan luar

negeri. Pengusaha tanaman hias nasional turut

berkontribusi pada pasar internasional yang bernilai

180 milyar dollar US pada tahun 2009. Jika pada

tahun 2009 Indonesia menempati urutan ke 48

pengekspor tanaman hias dunia, pada tahun 20013

peringkat tersebut meningkat menjadi urutan ke 46

dunia (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2013).

Tabel 1. Produksi Tanaman Hias di Propinsi Jawa Barat,

Tahun 2009-2013.

Sumber : Dinas Pertanian Jabar, 2013.

Tabel 1 memperlihatkan produksi tanaman hias di

propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan dari

tahun 2009 sampai tahun 2011 dan tahun 2011

sampai 2012 terjadi penurunan jumlah produksi

tanamana hias. Hal ini disebabkan turunnya

permintaan terhadap tanaman hias anggrek, sedap

malam dan mawar lebih dari satu juta tangkai. Pada

tahun 2009 total produksi tanaman hias mencapai 53

juta tangkai, sedangkan pada tahun 2013 total

produksi tanaman hias meningkat menjadi 81 juta

tangkai. Antara tahun 2009 sampai 2013 terjadi

peningkatan produksi tanaman hias 28 juta tangkai.

Tanaman hias yang diperdagangkan di Indonesia

sangat menarik dapat dilihat dari jumlah, variasi jenis

dan penampilan. Besarnya permintaan terhadap

tanaman hias menjadikan prospek bisnis tanaman

hias cukup menjanjikan. Mengenai jumlah tanaman

hias dan bunga potong distribusinya disajikan pada

Tabel 2.

Salahsatu sentra produksi tanaman hias di

Jawa Barat yaitu Desa Cihideung Kecamatan

Parongpong Kabupaten Bandung Barat dan para

petaninya tergabung dalam Asosiasi Petani Pedagang

Tanaman Hias Cihideung (APPTHC). Tanaman hias

yang dihasilkan oleh para petani yang tergabung ke

dalam APPTHC harus dapat terjual kepada

konsumen secara kontinyu dengan harga yang dapat

menguntungkan petani. Meningkatnya produksi

tanaman hias yang dihasilkan oleh petani tanaman

hias, terutama krisan dan mawar menjadi

permasalahan utama dalam memenuhi permintaan

konsumen. Oleh karena itu, APPTHC sebagai

organisasi bisnis harus dapat memasarkan tanaman

hias yang dihasilkan oleh petani tanaman hias.

APPTHC perlu meninjau kembali strategi

pemasarannya sebagai upaya untuk meningkatkan

penjualan dan mempertahankan kelangsungan

usahatani tanaman hias. APPTHC sangat dirasakan

manfaatnya bagi petani-pedagang tanaman hias,

terutama dalam membantu pemasaran tanaman hias

para petani. Permasalahan distribusi yang

dihadapi APPTHC dalam usaha tanaman hias adalah

pengiriman tanaman hias kepada konsumen tidak

begitu cepat. Terhambatnya aspek distribusi yang

tidak cepat dan tidak efisien disebabkan sifat

tanaman hias yang mudah rusak dan kualitas yang

tidak bisa dipertahankan dengan baik. Selain itu

APPTHC kurang melakukan kegiatan promosi

produk tanaman hias dengan lancar, APPTHC

seharusnya perlu menambahkan strategi pemasaran

yang lebih baik agar volume penjualan meningkat.

Strategi pemasaran yang tepat berkaitan dengan

produk (product), harga (price), tempat (place) dan

promosi (promotion) yang dilakukan oleh APPTHC,

terutama para petani sebagai anggotanya.

Berdasarkan uraian diatas, maka menarik untuk

dilakukan penelitian mengenai sejauhmana

Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung

pada Asosiasi Petani Pedagang Tanaman Hias

Cihideung (APPTHC) dilihat dari strategi pemasaran

yang dilakukannya.

N

o

Tanaman

Hias

Tahun (ribu tangkai)

2009 2010 2011 2012 2013

1 Anggrek

765

2.342

4.307

1.659

5.618

2 Anthuriu

m

805

1.060

789

924

851

3 Gerbera

3.329

3.789

4.643

4.536

3.471

4 Gladiol 14.86

6

10.85

9

7.562

8.754

5.844

5 Krisan 23.38

7

36.75

0

46.21

9

47.09

1

51.451

6 Heliconia

285

457

746

667

1.230

7 Melati

(ribu Kg)

165

145

137

356

200

8 Palem

(ribu

pohon)

99

193

247

352

322

9 Sedap

Malam

5.612

7.864

9.223

7.719

5.064

10 Mawar

2.268

6.968

8.649

7.292

4.852

11 Anyelir

1.420

1.498

238

1.153

1.559

12 Dracaena

786

658

607

1.733

1.133

Total 53.78

7

72.58

2

83.36

8

82.23

6

81.593

Page 75: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

63

Tabel 2. Jumlah Tanaman Hias dan Bunga Potong yang Terjual Setiap Minggu di Beberapa Wilayah di Indonesia (ribuan

tangkai)

Jenis

tanaman Jakarta Medan Bandung Surabaya Malang Denpasar Makasar Jumlah

Anggrek 225,5 15 6,2 4 5,5 6 10,2 271,1

Mawar 330,9 - 35 7 7 8,8 - 388,7

Krisan 58,7 10 10 4,7 6 0,9 - 91,1

Gerbera 149,2 40 15 29 25 - - 278,2

Gladiol 54,7 15 12,5 11 10 14 - 127,2

Anthurium 19,2 19 10 5,7 2,8 5 - 62,7

Jumlah 855,5 109 103,7 65,4 65 37,7 10,2 1.219

Sumber : ASBINDO, 2012

2. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

2.1. Agribisnis Tanaman Hias

Tanaman hias merupakan salah satu komoditi

hortikultura yang mencakup semua tanaman, baik

berbentuk terna, merambat, semak, perdu, ataupun

pohon, yang sengaja ditanam orang untuk dinikmati

keindahannya. Industri tanaman hias meliputi

budidaya tanaman dalam pot, bunga potong dan

bunga hias lainnya. Rahardi (2002) mengatakan,

bahwa tanaman hias meliputi tanaman pot, bunga

potong, kaktus, bonsai, dan tanaman hidroponik.

Tanaman hias juga merupakan semua jenis tanaman

yang mempunyai nilai hias baik hias bunga, hias

daun, hias tajuk, hias cabang, hias buah, maupun hias

aroma. Pengelompokkan tanaman hias berdasarkan

jenisnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengelompokan Tanaman Hias Berdasarkan

Jenisnya

Tanaman Hias

Bunga

Tanaman Hias Daun Tanaman Hias

Batang

Azela,

Begonia, Bougenville,

Krisan, Cinta

abadi, Pisang

hias, Bakung, Hortensia,

Bunga pukul

empat,

Geranium, African violet,

Gloxinia

Sri rejeki, Kuping

gajah, Cemara, Norfolk, Kaki gajah,

Begonia, Daun keladi,

Meranti macan, Lili

paris, puring, Jawer kotok, Andong,

Bintang timur, Rumput

paying, Belonceng,

Hanjuang, Cuphorbia, Fittonia, Beringin,

Karet kerbau, Daun

beludru, Sambang

darah, Arairut, Monster, sirih-sirihan,

Philo, Daun mutiara,

Lidah mertua,

Walisongo, Sirih belanda, Mega

mendung, Suplir,

Asparagus, Sikas,

Palem wregu, Palem kipas

Palem merah,

Palem kuning, Palem botol,

Kaktus

Sumber : ASBINDO, Tahun 2012.

Tanaman hias bunga mempunyai daya tarik

pada bunga dengan warna yang menarik, bentuk yang

indah dan mempesona, bau yang harum, atau ukuran

bunganya yang istimewa. Sedangkan tanaman hias

daun memiliki daya tarik tersendiri pada bagian

daunnya. Daya tarik tanaman hias daun disebabkan

karena keadaan, bentuk, warna, maupun komposisi

daun dengan batang yang indah dan bernilai estetik

yang tinggi. Tanaman hias batang mengandalkan

keindahan batang yang ditampilkan dalam bentuk

dan warna yang menarik.

Secara diagramatis, mata rantai agribisnis

dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1. Mata Rantai Agribisnis

Sumber : Departemen Pertanian, 2010

Adapun teknologi yang dilakukan pada

agribisnis tanaman hias menurut Dinas Pertanian

Tanaman Pangan (2002) meliputi :

Penyiapan Lahan Lahan adalah salah satu faktor produksi yang

ketersediaannya merupakan salah satu syarat untuk

dapat berlangsungnya proses produksi di bidang

pertanian. Produktivitas dari lahan sangat

dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah, tekstur

tanah, serta ketersediaan air dan iklim yang cocok.

Penyediaan Bibit

Bibit tanaman hias yang digunakan berasal

dari pembiakan generatif (biji atau benih) dan

vegetatif (stek, cangkok, okulasi). Umumnya, bibit

vegetatif lebih cepat dipetik daripada bibit generatif.

Bibit vegetatif yang baik adalah bibit yang

mempunyai daya kecambah lebih dari 90 %,

Subsist

em

sarana produk

si

Subsistem

usahat

ani/

produ

ksi

Subsistem

pemas

aran

Subsistem

agroind

ustri

pengola

han

Domes

tik

Ekspor

Page 76: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

64

sedangkan bibit generatif yang baik, berasal dari

induk tanaman yang baik pertumbuhannya dan cukup

umur (Rahardi, 2002).

Pupuk

Pupuk digunakan dalam budidaya tanaman

hias terdiri atas pupuk organik dan pupuk anorganik.

Pupuk organik bersifat memperbaiki struktur tanah,

menaikkan daya serap tanah terhadap air dan

menaikkan kondisi hidup dalam tanah. Jenis-jenis

pupuk organik antara lain pupuk kandang, pupuk

hijau, kompos, dan humus, sedangkan pupuk

anorganik dapat dibedakan atas pupuk yang

mengandung satu macam zat hara misalnya Urea,

TSP, KCL dan DS, serta pupuk yang mengandung

lebih dari satu macam zat hara misalnya NPK,

Megamp plus KPK, dan Dekaform (Rahardi, 2002).

Pestisida

Pestisida adalah racun untuk membunuh hama

dan penyakit pengganggu tanaman. Jenisnya

bermacam-macam yakni insektisida, fungisida,

herbisida, namatisida, bakterisida, dan akarisida.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih

pestisida yaitu zat/bahan aktif, merek, dosis, bentuk

dan cara kerjanya pengertian bahan aktif sangant

berbeda dengan merk, dimana merek biasanya

terlihat jelas, sedangkan bahan aktif terdapat didaftar

komposisi. Orang membeli pestisida kebanyakan

memilih merek, padahal yang terpenting adalah

bahan aktifnya karena bahan aktif tertentu

membunuh hama atau penyakit tertentu (Rahardi,

2002).

2.2. Strategi Pemasaran

Menurut Kotler (1991), strategi pemasaran

adalah suatu rangkaian tujuan kebijaksanaan dengan

caranya tersendiri sebagai pedoman untuk

memasarkan hasil produksinya pada waktu yang

akan datang sebagai pedoman untuk meningkatkan,

mengkombinasikan dan mengalokasikan dalam

menghadapi perubahan-perubahan dan

memperhatikan lingkungan serta persaingan yang

ada, yaitu dapat dijabarkan dalam bauran pemasaran

(marketing mix).

Dalam menyusun kebijakan pemasaran, hal

penting yang perlu ditentukan untuk pasar sasaran

adalah dengan cara segmentasi pasar. Segmentasi

pasar merupakan suatu usaha untuk meningkatkan

ketepatan pemasaran (Sutisna, 2001). Perusahaan

dapat menciptakan penawaran produk atau jasa yang

selaras dan mengenakan harga yang pantas bagi

kelompok sasaran tertentu.Menurut Kotler (1991),

para pemasar menggunakan sejumlah alat untuk

mendapatkan tanggapan yang diinginkan dari pasar

sasaran mereka. Alat-alat itu membentuk suatu

bauran pemasaran. Definisi dari bauran pemasaran

adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan

perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan

pasarnya di pasar sasaran. Kotler (2002),

mempopulerkan sebuah klasifikasi yang dikenal

dengan empat P (four Ps), yaitu : Product (produk),

Price (harga), Place (tempat atau distribusi), dan

Promotion (promosi).

3. METODE PENELITIAN

Obyek penelitian ini adalah pemasaran

tanaman hias yang dilaksanakan oleh petani yang

tergabung di APPTHC di Desa Cihideung

Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat.

Tempat penelitian ini dipilih dengan pertimbangan

bahwa APPTHC merupakan sentra penghasil dan

pemasok tanaman hias di Kabupaten Bandung Barat.

Untuk mengetahui strategi pemasaran tanaman

hias, menggunakan analisis SWOT dengan melihat

lingkungan eksternal perusahaan untuk memberi

gambaran tentang kondisi usahatani tanaman hias

lokal dan mendapatkan hasil berupa peluang dan

ancaman yang dihadapi perusahaan, dan analisis

lingkungan internal perusahaan untuk

mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang

dimiliki APBI. Dalam hal ini menggunakan teknik

analisis matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)

dan matriks Internal Factor Evaluation (IFE).

Tabel 4. Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)

Faktor-faktor

Eksternal

Bobot Rating Skor

Pembobotan

Peluang

Ancaman

Total

Tabel 5. Matriks Internal Factor Evaluation (EFI)

Faktor-faktor

Eksternal

Bobot Rating Skor

Pembobotan

Kekuatan

Kelemahan

Total

Matriks SWOT dapat menggambarkan secara

jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang

dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan

kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks

ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan

alternatif strategis (Rangkuti, 2008).

Page 77: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

65

Tabel 6. Matriks SWOT

Faktor

Internal

Faktor

Eksternal

Kekuatan

(Strength)

Kelemahan

(Weaknesses)

Peluang

(Oppurtunities)

Strategi

Kekuatan-Peluang

Menggunakan

kekuatan untuk

memanfaatkan peluang

Strategi

Kelemahan-Peluang

Mengambil

keuntungan

dari peluang dalam

memperbaiki

kelemahan

Ancaman

(Threats)

Strategi

Kekuatan-

Ancaman Menggunakan

kekuatan untuk

menghadapi

ancaman

Strategi

Kelemahan-

Ancaman Mengurangi

kelemahan

untuk

menghindari ancaman

Sumber: Rangkuti, 2008.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Faktor Lingkungan Internal

Faktor lingkungan internal merupakan faktor-

faktor yang berasal dari intern perusahaan yang dapat

mempengaruhi arah dan tindakan perusahaan dalam

menjalankan usahanya. Faktor-faktor internal

perusahaan yang diidentifikasi merupakan bagian

dari strategi yang dijalankan perusahaan. Termaksuk

kedalam faktor-faktor internal perusahaan adalah

sumber daya manusia, produksi/operasional dan

bauran pemasaran.

4.1.1 Sumber Daya Manusia

APPTHC saat ini memiliki anggota berjumlah

45 orang. Untuk mengetahui sumber daya manusia

yang dimiliki lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel

7. Tabel 7. Sumber Daya Manusia Petani di Desa Cihideung

berdasarkan Pendidikan.

Pendidikan

terakhir

Jumlah (orang) Persentase (%)

SD 12 26,7

SMP 10 22,2

SMA 20 44,4

D3/S1 3 6,7

Total 45 100

Sumber: APPTHC, 2013.

Untuk mempertahankan konsistensi dalam

menjalankan usahatani tanaman hias pihak APPTHC

setiap tahunnya melakukan pendidikan dan pelatihan

SDM. Selain itu adanya kesadaran dari anggota

APPTHC untuk mengembangkan kemampuan dalam

memproduksi dan mendekorasi tanaman hias

menjadikan usahatani tanaman hias tetap bertahan.

Kemampuan memproduksi dan mendekorasi petani

APPTHC dapat dikatakan sangat baik, hal ini terbukti

dengan adanya kunjungan dari petani di berbagai

daerah untuk studi banding seperti petani dari daerah

Semarang dan Lampung. Selain itu petani APPTHC

pernah dipercaya untuk menjadi tutor praktek

lapangan budidaya tanaman hias bagi para Penyuluh

Pertanian perwakilan Dinas Pertanian

Kabupaten/Kota di 13 provinsi di Indonesia yaitu

Bali, NTT, Aceh, Papua, dan lain-lain.

4.2. Faktor Lingkungan Eksternal

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam analisis lingkungan eksternal adalah faktor-

faktor yang berada diluar perusahaan yang dapat

menimbulkan peluang yang menguntungkan

perusahaan dan ancaman yang harus dihindari.

4.2.1. Lingkungan Makro

Lingkungan makro adalah lingkungan

eksternal perusahaan yang terdiri dari ekonomi,

sosial budaya dan teknologi.

Ekonomi Krisis ekonomi global yang melanda banyak

negara memiliki dampak negatif bagi petani

pedagang tanaman hias. Krisis ini menyebabkan

omset penjualan mengalami penurunan. Peminat dan

pecinta beberapa jenis tanaman hias seperti

anthurium, aglonema dan lainnya menjadi berkurang

bahkan seakan menghilang. Peminat yang semakin

berkurang membuat pendapatan petani pedagang

Desa Cihideung mengalami penurunan. Tanaman-

tanaman hias yang setahun lalu menjadi kegemaran

masyarakat, kini sekedar menjadi pajangan yang

kurang bernilai tinggi. Krisis ekonomi global yang

terjadi membuat terhambatnya pembangunan yang

telah dirancang oleh pemerintah baik daerah maupun

pemerintah pusat. Program pembangunan kompleks

perumahan rakyat, renovasi gedung pemerintahan

dan pembuatan taman kota menjadi terhambat.

Program pembangunan tersebut membutuhkan

tanaman hias yang dipasok dari beberapa daerah

termasuk Desa Cihideung. Pembangunan yang

terhambat menyebabkan permintaan tanaman hias

Desa Cihideung mengalami penurunan. Permintaan

yang menurun membuat petani pedagang Desa

Cihideung menjual tanaman hias dengan harga yang

relatif murah dan tidak mempunyai standar harga jual

tanaman hias yang disepakati.

Sosial Budaya

Usahatani tanaman hias yang dilakukan

petani pedagang bukan hanya sekedar untuk

mendapatkan keuntungan semata, lebih dari itu para

pelaku usahatani tanaman hias biasanya menjadikan

kegiatan ini juga sebagai hobi. Umumnya petani dan

pedagang tanaman hias Desa Cihideung yang

Page 78: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

66

melakukan usahatani tanaman hias memulainya dari

kegemaran terhadap tanaman hias. Walaupun

sebagian lainnya melakukan usahatani taman hias

karena alasan bisnis.

Teknologi Penerapan teknologi yang dilakukan petani

pedagang Desa Cihideung dapat dikatakan masih

sederhana. Penerapan teknologi dalam proses

produksi dilakukan petani pedagang tanaman hias

Desa Cihideung dengan pembuatan bedengan,

penggunaan pompa air untuk penyiraman,

penggunaan paranet (alat peneduh) sebagai

pengganti rumah kaca. Penggunaan teknologi yang

sederhana ini disebabkan karena keterbatasan modal

usaha yang dimiliki oleh petani pedagang tanaman

hias Desa Cihideung.

4.2.2. Lingkungan Mikro

Lingkungan mikro terdiri dari pelanggan dan

pesaing.

Pelanggan Pelanggan adalah pasar sasaran suatu

perusahaan yang menjadi konsumen atas barang atau

jasa yang ditawarkan perusahaan baik itu individu-

individu, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi,

dan sebagainya. Konsumen yang jadi pelanggan

petani pedagang Dessa Cihideung biasanya adalah

pedagang pengecer dari Kabupaten Cianjur, Jakarta,

dan Bogor. Selain itu petani pedagang tanaman hias

Desa Cihideung juga menjual tanaman hias kepada

pengusaha besar yang mengekspor tanaman hias ke

luar negeri seperti Belanda, Korea Selatan, Kuwait

dan Singapore. Volume pembelian tanaman hias oleh

pengusaha besar biasanya sebanyak lima trek

tanaman hias dan pemesanannya tidaklah rutin,

biasanya satu tahun sekali.

Pesaing Tingkat persaingan usaha tanaman hias di

Desa Cihideung sangatlah tinggi, dapat dilihat dari

jumlah petani pedagang yang ada di Desa Cihideung

bahwa jumlah pedagang tanaman hias 2.357 orang.

4.3. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan,

Peluang dan Ancaman

1. Kekuatan

a) Sumber daya manusia yang mempunyai

pengalaman dan kemampuan budidaya

tanaman hias yang baik.

b) Tanaman hias yang dihasilkan berkualitas,

karena kondisi alam yang mendukung.

c) Lokasi usaha yang strategis dan dekat

dengan objek wisata.

d) Sebagai sentral supplyer tanaman hias.

2. Kelemahan

a) Sistem manajemen perusahaan yang tidak

berjalan dengan baik.

b) Tidak ada upaya untuk mengembangkan

keanggotaan.

c) Tidak memiliki dana operasional yang

memadai.

d) Standar harga tanaman hias yang tidak ada.

e) Pembinaan sumber daya manusia tidak

intensif.

3. Peluang

a) Kebutuhan masyarakat terhadap tanaman

hias sebagai hobi.

b) Kepercayaan pelanggan terhadap kualitas

tanaman hias yang berasal dari Kabupaten

Bandung.

c) Teknologi informasi yang berkembang

seperti media cetak dan elektronik.

4. Ancaman

a) Munculnya petani pedagang tanaman hias

lain disekitar Desa Cihideung sebagai pesaing,

b) Pemerintah setempat yang kurang

memberikan dukungan dan perhatian, c)

Pembangunan yang sedang lesu, akibat krisis

ekonomi global.

4.4. Evaluasi Faktor Internal Perusahaan

Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

digunakan untuk mempertimbangkan dan

mengevaluasi faktor-faktor kunci internal yang

terkait dengan kekuatan dan kelemahan perusahaan

dalam menyusun strategi pemasarannya.

Berdasarkan hasil pembobotan dan peratingan,

nampak jelas bahwa APPTHC memiliki empat faktor

yang menjadi kekuatan kunci dan lima faktor yang

menjadi kelemahan kunci dalam mengembangkan

usahanya yang terkait dengan strategi pemasaran

perusahaan.

Matriks EFI (Tabel 8) memberikan nilai 2.40

yang artinya total nilai di bawah rata-rata dari nilai

rata-rata yaitu 2.50. Nilai di bawah rata-rata

menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi internal,

perusahaan memiliki posisi internal yang lemah.

4.5. Evaluasi Faktor Eksternal Perusahaan

Matriks External Factor Evaluation (EFE)

digunakan untuk mempertimbangkan dan

mengevaluasi faktor-faktor kunci eksternal yang

terkait dengan peluang dan ancaman perusahaan

dalam menyusun strategi pemasarannya.

Berdasarkan hasil pembobotan dan peratingan,

terlihat jelas bahwa perusahaan memiliki tiga faktor

yang menjadi peluang kunci dan tiga faktor yang

menjadi ancaman kunci dalam mengembangkan

usahanya yang berkaitan dengan strategi pemasaran

perusahaan.

Page 79: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

67

Tabel 8. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE).

No Faktor Internal Bobot Nilai Total

Nilai

Kekuatan (strengths)

1. Sumber daya manusia

yang berpengalaman.

0.13 4 0.52

2. Tanaman hias yang

dihasilkan berkualitas.

0.13 3 0.39

3. Lokasi usaha yang

strategis dan dekat dengan objek wisata.

0,10 4 0.40

4. Sebagai sentral supplyer tanaman hias.

0,09 3 0.27

Kelemahan (weakness)

1. Sistem manajemen

perusahaan yang tidak berjalan.

0,14 1 0.14

2. Tidak ada upaya untuk mengembangkan

keanggotaan.

0,09 2 0.18

3. Tidak memiliki dana

operasional yang

memadai.

0,14 1 0.14

4. Standar harga tanaman

hias yang tidak ada.

0,09 2 0.18

5. Pembinaan sumber daya

manusia tidak intensif.

0,09 2 0.18

Total 1.00 2.40

Tabel 9. Matriks External Factor Evaluation (EFE).

Matriks EFE memberikan nilai 2.68 yang

artinya total nilai cukup tinggi karena berada di atas

rata-rata dari nilai rata-rata yaitu 2.50. Menunjukkan

bahwa berdasarkan kondisi eksternal, perusahaan

merespon dengan baik terhadap peluang dan

ancaman dengan cara memanfaatkan peluang dan

menghindari ancama dari luar.

4.6. Alternatif Strategi Pemasaran Analisis

SWOT

Menentukan strategi pemasaran yang tepat

bagi perusahaan dapat digambarkan secara jelas pada

matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman

(SWOT) dengan tujuan mengetahui peluang dan

ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan agar

dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan

yang dimilikinya. Menurut David (2006), tidak

semua strategi yang dikembangkan matriks SWOT

akan dipilih untuk diimplementasi. Berdasarkan

analisis matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-

Ancaman yang dihadapi APPTHC maka diperoleh

enam strategi dalam pemasaran perusahaan yang

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan

perusahaan:

Strategi Kekuatan-Peluang

1. Memanfaatkan tingkat kepercayaan pelanggan

terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari

Kabupaten Bandung Barat dengan

mengembangkan bentuk tanaman hias yang lebih

unik lagi melalui kemampuan petani dalam

membudidayakan tanaman hias. (S1, O2)

2. Meningkatkan volume penjualan tanaman hias

saat hari libur dengan pemberian diskon ataupun

potongan harga bagi konsumen. (S3, O1)

Strategi Kelemahan-Peluang

1. Memudahkan pelanggan untuk mendapatkan

produk tanaman hias ataupun jasa pembuatan

taman dengan pengiriman produk yang tepat

waktu. (W1,O2)

2. Memasang iklan di surat kabar dan membuat

website perusahaan yang dilengkapi forum

pelanggan. (W1, O3)

Strategi Kekuatan-Ancaman

Lebih meningkatkan lagi kualitas tanaman hias

yang dihasilkan agar kepercayaan pelanggan

terhadap tanaman hias yang dihasilkan tetap

terjaga. (S2, T1)

Strategi Kelemahan-Ancaman

Membuka spot penjualan tanaman hias di daerah

lain yang penjual tanaman hiasnya relatif masih

sedikit. (W2, T1)

Strategi-strategi tersebut merupakan strategi

pemasaran yang dapat diterapkan secara spesifik

pada APPTHC dari hasil perumusan pada matriks

SWOT. Keseluruhannya mencakup strategi penetrasi

pasar, strategi pengembangan pasar, strategi

pengembangan produk, dan strategi diversifikasi

konsentrik.

No Faktor Eksternal Bobot Nilai Total

Nilai

Peluang (opportunities)

1. Kebutuhan masyarakat terhadap tanaman hias

sebagai hobi.

0.13 4 0.52

2. Kepercayaan

pelanggan terhadap

kualitas tanaman hias

yang berasal dari Kabupaten Cianjur.

0.16 3 0.48

3. Teknologi informasi yang berkembang

seperti media cetak dan

elektronik.

0.16 1 0.16

Ancaman (threats)

1. Munculnya petani

pedagang tanaman hias

lain disekitar Desa

Cimacan sebagai pesaing.

0.18 2 0.36

2. Pemerintah setempat yang kurang

memberikan dukungan

dan perhatian.

0.21 4 0.84

3. Pembangunan yang

sedang lesu, akibat krisis ekonomi global.

0.16 2 0.32

Total 1.00 2.68

Page 80: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

68

Tabel 10. Matriks SWOT APPTHC

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Kekuatan (S)

1. Sumber daya manusia yang

berpengalaman.

2. Tanaman hias yang dihasilkan berkualitas.

3. Lokasi usaha yang strategis dan dekat

dengan objek wisata.

4. Sebagai sentral supplyer tanaman hias.

Kelemahan (W)

1. Sistem manajemen perusahaan yang

tidak berjalan.

2. Tidak ada upaya untuk mengembangkan keanggotaan.

3. Tidak memiliki dana operasional yang

memadai.

4. Standar harga tanaman hias yang tidak ada.

5. Pembinaan sumber daya manusia tidak

intensif.

Peluang(O)

1. Kebutuhan masyarakat

terhadap tanaman hias sebagai

hobi. 2. Kepercayaan pelanggan

terhadap kualitas tanaman hias

yang berasal dari Kabupaten

Cianjur. 3. Teknologi informasi yang

berkembang seperti media

cetak dan elektronik.

Strategi Kekuatan-Peluang

1. Strategi pengembangan produk:

Memanfaatkan tingkat kepercayaan

pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Cianjur

dengan mengembangkan bentuk tanaman

hias yang lebih unik lagi melalui

kemampuan petani dalam membudidayakan tanaman hias. (S1,

O2).

2. Strategi diversifikasi konsentrik:

Meningkatkan volume penjualan tanaman hias saat hari libur dengan

pemberian diskon ataupun potongan

harga bagi konsumen. (S3, O1)

Strategi Kelemahan-Peluang

3. Strategi diversifikasi kosentrik:

Memudahkan pelanggan untuk

mendapatkan produk tanaman hias ataupun jasa pembuatan taman dengan

pengiriman produk yang tepat waktu.

(W1,O2)

4. Strategi penetrasi pasar: Memasang iklan di surat kabar dan

membuat website perusahaan yang

dilengkapi forum pelanggan. (W1, O3)

Ancaman (T) 1. Munculnya petani pedagang

tanaman hias lain disekitar Desa Cimacan sebagai pesaing.

2. Pemerintah setempat yang

kurang memberikan dukungan

dan perhatian. 3. Pembangunan yang sedang lesu,

akibat krisis ekonomi global.

Strategi Kekuatan-Ancaman

5. Strategi pengembangan produk :

Lebih meningkatkan lagi kualitas tanaman hias yang dihasilkan agar

kepercayaan pelanggan terhadap

tanaman hias yang dihasilkan tetap

terjaga. (S2,T1)

Strategi Kelemahan-Ancaman

6. Strategi pengembangan pasar :

Membuka spot penjualan tanaman hias di daerah lain yang penjual tanaman hiasnya

relatif masih sedikit. (W2,T1)

Pemilihan Strategi Pemasaran

Dalam pemilihan alternatif strategi yang tepat

bagi kondisi dan posisi perusahaan sebagai pemain

baru dalam bisnis ini, dipilih tiga strategi utama dari

empat strategi yang telah dihasilkan pada Matriks

SWOT. Ketiga strategi utama itu dipilih karena

dianggap strategi pemasaran yang menjadi prioritas

APPTHC dalam rangka meningkatkan volume

penjualan. Tiga strategi pemasaran utama itu antara

lain: Strategi diversifikasi konsentrik, strategi

pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar.

Alternatif-alternatif strategi tersebut dapat

dianalisis kembali dengan menggunakan Matriks

Quantitatives Strategic Planning (QSP) untuk

menentukan strategi yang paling tepat sebagai

prioritas utama bagi perusahaan. Daftar bobot

peluang atau ancaman eksternal dan kekuatan atau

kelemahan internal perusahaan yang sudah ada pada

matriks IFE dan EFE kemudian dihitung dengan nilai

daya tarik (AS). Bila faktor sukses tersebut

mempengaruhi strategi pilihan yang akan

dirumuskan maka strategi harus dibandingkan relatif

terhadap faktor kunci. Semakin tinggi Total

Attractive Score (TAS) maka strategi itu semakin baik

untuk diterapkan karena mempertimbangkan seluruh

faktor eksternal dan internal perusahaan.

Berdasarkan nilai total TAS pada masing-

masing strategi dalam matriks QSP maka dapat

disusun prioritas strategi pemasaran APPTHC pada

Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Alternatif Strategi Prioritas

No. Alternatif Strategi Pemasaran Total Nilai

1. Strategi diversifikasi konsentrik 4.05

2. Strategi pengembangan produk 3.65

3. Strategi penetrasi pasar 2.91

Tabel 11 menunjukkan dua strategi prioritas

perusahaan yakni strategi diversifikasi konsentrik

(4.05) dan strategi pengembangan produk (3.65),

Pada saat tingkat kesadaran masyarakat untuk

membeli tanaman hias sudah tinggi, maka langkah

yang ditempuh adalah membuat terobosan baru

dengan melakukan inovasi dan modifikasi terhadap

Page 81: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

69

tanaman hias yang diproduksi untuk meningkatkan

volume penjualan perusahaan. Modifikasi tanaman

hias yang dihasilkan berkaitan dengan strategi imitasi

yang penting dilakukan karena strategi imitasi

produk dapat menjadi strategi yang lebih

menguntungkan daripada strategi inovasi yang belum

tentu diterima konsumen tanaman hias pada awalnya.

Setelah berada dalam posisi yang tepat, perusahaan

dapat menjalankan strategi prioritas ketiga untuk

mendukung volume penjualan tanaman hias dengan

berbagai aktivitas yang menarik banyak pelanggan.

Strategi penetrasi pasar sebagai strategi prioritas

ketiga dilakukan dengan pemasaran yang lebih

gencar lagi, seperti menaikkan jumlah tenaga

penjualan, meningkatkan anggaran iklan dan

meningkatkan aktivitas publisitas terhadap tanaman

hias yang dihasilkan.

PENUTUP

Penelitian ini memberi kesimpulan, bahwa

1. Nilai dari matriks EFI sebesar 2.40 yang artinya

di bawah nilai rata-rata 2.50 dan nilai dari

matriks EFE sebesar 2.68 yang artinya di atas

nilai rata-rata 2.50.

2. Alternatif strategi yang dirumuskan dari faktor

internal dan faktor eksternal pemasaran

APPTHC pada matriks QSP menghasilkan tiga

prioritas strategi yang dapat dilakukan

perusahaan, yaitu strategi diversifikasi

konsentrik, strategi pengembangan produk, dan

strategi penetrasi pasar

APPTHC dapat meningkatkan volume

penjualan dengan melakukan:

1. Melakukan aktivitas pemasaran yang lebih

gencar lagi, seperti menaikkan jumlah tenaga

penjualan, meningkatkan anggaran iklan dan

meningkatkan aktivitas publisitas terhadap

tanaman hias yang dihasilkan.

2. Mengadakan kegiatan pelatihan budidaya dan

seni potong tanaman hias yang intensif dengan

melibatkan seluruh petani pedagang yang

tergabung dalam APPTHC.

DAFTAR PUSTAKA

David, Fred R. (2006). Manajemen Strategi : Konsep

Edisi 10. Diterjemahkan oleh Paulyn Sulistio

dan Harryadin Muhardika. Salemba Empat.

Jakarta.

Kotler, Philip. (1991). Manajemen Pemasaran. Edisi

kelima. Erlangga. Jakarta.

___________. (2002). Dasar-Dasar Pemasaran.

Indeks. Jakarta.

Krisnamurthi, B. dan L. Fausia. (2006). Langkah

Sukses Melalui Agribisnis. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Nazir, Moh. (1999). Metode Penelitian Cetakan IV.

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Rahardi, F., dkk. (2002). Agribisnis Tanaman Hias.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Rangkuti, Freddy. (2008). Bussiness Plan : Teknik

Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis

Kasus. PT. Gramedia. Jakarta.

Rodjak, Abdul. (2005). Manajemen Usahatani.

Pustaka Giratuna. Bandung.

Saladin, D. (2006). Manajemen Pemasaran :

Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan, dan

Pengendalian. Linda Karya. Bandung.

Sidik, Abdul. (2008).

http://blogspot.com/2008/11/kawasan-

agropolitan-kabupaten-cianjur.html. Diakses

pada Hari Rabu Tanggal 23 Desember 2009.

Soekarno dan Nampiah. 1990. Mawar. Jakarta :

Penebar Swadaya.

Stanton, J. W. (1996). Prinsip Pemasaran. Erlangga.

Jakarta.

Sutisna. (2001). Perilaku Konsumen dan komunikasi

Pemasaran. Remaja Posdakarya. Bandung.

Swastha, B. dan Irawan. (2005). Manajemen

Pemasaran Modern. Liberti. Yogyakarta.

Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif,

Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta.

Jakarta.

Wikipedia Ensklipedia Bebas. (2010).

http://id.wikipedia.org/wiki/Tanaman_hias.

Diakses pada Hari Minggu Tanggal 17

November 2010.

Winardi. (1993). Azas-Azas Marketing. Mandar

Maju. Bandung

Page 82: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

70

Page 83: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

71

Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor

Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya

Dynamics of Rice Productivity Seen from Fluctuation of Rice Yield Losses and Social,

Economic and Cultural Factors that Determine Its

Elly Rasmikayati1*, Asep Faisal2

1Departemen Sosektan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor 2Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura, Kota Bandung

A B S T R A K

Kata Kunci:

Produktivitas padi

Susut hasil padi

Faktor sosial

Faktor ekonomi

Faktor budaya

Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai

swasembada pangan masih terus dilakukan. Namun di sisi lain, kehilangan akibat tingkat susut

hasil padi yang tinggi menjadi salah satu permasalahan nyata yang harus segera diatasi.

Tujuan dari artikel ini adalah mengidentifikasi dinamika produktivitas padi Jawa Barat,

memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat dan mengidentifikasi faktor-

faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi. Metode yang digunakan

adalah two-phase mixed method. Hasil penelitian mengungkapkan terjadinya fluktuasi yang

lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat

dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian dinamika variasi susut hasil di Jawa

Barat masih cukup memprihatinkan dan belum ada kecenderungan untuk turun, selama kurun

waktu 3 tahun selalu berada di level tertinggi pada 11,46 %. Hasil analisis jalur menunjukkan

bahwa terdapat faktor-faktor non teknis yang menjadi determinan terhadap susut hasil padi

yaitu faktor pendapatan usahatani, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Implikasi

kebijakan untuk mengatasi tingkat susut hasil gabah dan beras antara lain mendorong petani

untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk

menurunkan susut hasil. Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya

kurang dari 0,7 hektar. Melakukan pendekatan budaya untuk merubah perilaku panen dan

pasca panen petani ke arah yang lebih baik namun tidak mengakibatkan disharmoni diantara

petani dan buruh tani (buruh panen). Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen

melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase

menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.

ABSTRACT

Keywords:

Rice productivity

Rice yield losses

Social factor

Economics factor

Culture factor

Government efforts to increase food production in order to achieve food self-sufficiency is still underway. But on the other hand, the loss due to high yield losses of rice to

be one of the real problems that must be addressed immediately. The purpose of this article

is to reveal the dynamics rice production in West Java, reveal the dynamics of variation of

losses rice result in West Java, and identifies non-technical factors that influence rice yield

losses. The method used is a two-phase mixed method. Results of the study revealed that occur

the sharper fluctuation and slower growth rate in rice productifity in West Java compared to

Central Java and East Java, then the dynamics of the variation of losses results in West Java

is still quite alarming and there is no tendency to go down, during a period of 3 years has

always been at the highest level at 11.46%. The path analysis result showed that there are

non-technical factors that determine rice yield losses including farm income, land area,

feelings, norms and milling factors. The implication policies to overcome rice yield losses are

encouraging farmers to pay more attention for the cost of harvest/post-harvest treatment to

reduce rice yield losses. Give the financial aid for farmers with land area below 0.7 hectares.

Perform a cultural approaches to change behavior of harvest and post-harvest farmers

towards the better, but do not lead to disharmony among farmers and farm workers (harvest

laborers). Modernize the harvest and post-harvest handling through the provision of facilities

alsintan especially revitalizing rice milling from Phase I into Phase II and technical guidance

to improve the quality of its human resources.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 84: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

72

PENDAHULUAN

Pertambahan penduduk selalu berdampak

pada peningkatan kebutuhan akan pangan, hal ini

mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan

produksi pangan. Dalam upaya meningkatkan

swasembada pangan khususnya beras, saat ini

pemerintah sedang melakukan berbagai upaya

peningkatan produksi beras melalui perluasan areal

dan optimalisasi lahan, peningkatan produktivitas

padi melalui bantuan benih, pupuk, alat mesin

pertanian dan revitalisasi penggilingan padi dan

upaya-upaya lainnya.

Dalam 10 tahun terakhir (2004-2014), Jawa

Barat merupakan penyumbang produksi padi terbesar

kedua setelah Jawa Timur dengan rata-rata

produksinya sebesar 10.775.158 ton per tahun.

Berdasarkan Gambar 1, yang paling mencolok adalah

produksi padi Jawa Barat tahun 2009-2011 yang

lebih besar dari Jawa Timur, bahkan pada tahun 2011

pada saat Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami

penurunan produksi yang sangat mencolok, Jawa

Barat hanya mengalami penurunan yang sangat

sedikit. Namun demikian dari 2012 sampai sekarang,

produksi padi Jawa Timur selalu di atas Jawa Barat

dengan selisih yang terlihat cukup mencolok.

Gambar 1. Grafik Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan

Jawa Timur periode 2004-2014 Sumber: Data BPS, diolah 2015

Turunnya produktivitas Jawa Barat

dibandingkan Jawa Timur ini bisa disebabkan oleh

banyak faktor diantaranya karena tidak maksimalnya

penggunaan input pertanian seperti benih, pupuk,

pestisida dan teknologi produksi lainnya. Selain itu

fenomena perubahan iklim juga turut

mempengaruhinya. Menurut Rasmikayati (2014)

terdapat kecenderungan bahwa tindakan adiptif dan

mitigatif terhadap perubahan iklim petani Jawa

Timur lebih baik dari pada Jawa Barat. Penyebab lain

yang sangat rasional adalah terjadinya susut hasil

padi yang cukup tinggi di Jawa Barat.

Susut hasil dapat terjadi sejak panen hingga

pascapanen. Panen dan pascapanen padi adalah

tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan

(pemanenan) malai padi, perontokan, pembersihan,

pengangkutan, pengeringan, penggilingan,

penyimpanan sampai beras siap dipasarkan atau

dikonsumsi. Apabila susut hasil dapat ditekan

serendah mungkin, maka upaya peningkatan

produksi padi dan beras dapat dicapai lebih efektif

serta tidak akan mengeluarkan biaya yang terlalu

besar.

Hasil penelitian Setyono (2008) menunjukkan

bahwa Jawa Barat dibandingkan dengan Jawa

Tengah, Lampung, Bali dan Kalimantan Selatan

masih tertinggi persentase susut hasil padinya.

Dengan persentase susut hasil Jawa Barat yang diatas

10% ini merupakan angka yang sangat tinggi dan

jelas akan berdampak pada jumlah produksi padi

yang dihasilkan Jawa Barat.

Tabel 1. Perbandingan Susut Hasil, Jabar, Jateng, Lampung, Bali

dan Kalsel

Tahapan Persentase Susut Hasil (%)

Jabar Jateng Lampung Bali Kalsel

Panen 3,56 1,88 2,80 1,34 1,53

Perontokan 3,64 2,85 4,45 4,20 0,32

Pembersihan - 0,65 1,52 - -

Pengangkutan 1,13 0,49 1,40 0,67 1,46

Pengeringan 1,82 2,18 1,49 1,90 1,15

Penggilingan 2,14 2,57 1,51 1,22 1,58

Penyimpanan 1,65 - - 1,75 1,35

Jumlah 13,94 10,62 13,24 11,08 7,39

Sumber: Setyono, (2008) ,

Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya

terus berupaya untuk menekan persentase susut hasil

ini melalui bantuan fasilitasi alat dan mesin pertanian

(alsintan) serta bimbingan tehnis penanganan panen

dan pascapanen dengan target agar susut hasil gabah

dan beras dapat ditekan untuk mencapai target 1%

per tahun. Namun faktanya susut hasil berfluktuasi

dan kalaupun turun jarang mencapai angka 1%.

Dengan demikian, upaya-upaya pemerintah dalam

menekan susut hasil padi ini belum begitu berjalan

dengan baik ditingkat petani, Kelompok Tani

maupun Gapoktan. Hal itu menunjukan bahwa selain

faktor teknis terdapat juga faktor-faktor non teknis

yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil

padi dan beras.

Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

petani merupakan faktor-faktor non teknis yang

mungkin dapat mempengaruhi perilaku petani, buruh

tani, maupun penggarap. Sistem sosial ekonomi dan

budaya ini sukar untuk berubah, meskipun berbagai

introduksi teknologi maupun inovasi baru terus

dilakukan, dahulu adanya penolakan mekanisasi di

beberapa daerah misalnya. Kemudian sistem panen

keroyokan, pengasag, remi, odong-odong, dan

ngeprek merupakan salah satu budaya dari

masyarakat petani yang masih terjadi sampai saat ini.

Page 85: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

73

Pemilik lahan, petani, petani penyakap atau petani

penggarap tidak bisa mencegah perilaku tersebut

karena itu telah ada dan merupakan budaya dari

masyarakat petani. Pertanyataannya adalah faktor-

faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi

tingginya persentase susut hasil padi dan beras.

Selanjutnya, dari Tabel 1 didapatkan bahwa

rata-rata persentase susut hasil padi berdasarkan hasil

penelitian Setyono (2008) adalah sebesar 13,94 %.

Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kita telah

kehilangan hasil produksi padi dengan angka yang

cukup besar. Kehilangan produksi padi ini harus

dicegah atau diturunkan sampai seminimal mungkin

agar dapat mencapai peningkatan produksi. Oleh

karena itu tujuan dari artikel ini adalah 1)

Memaparkan dinamika dan komparasi produktivitas

padi Jawa Barat dari dahulu hingga saat ini; 2)

Memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di

Jawa Barat; dan 3) Mengidentifikasi faktor-faktor

non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil

padi sehingga dari sini kita dapat menentukan

implikasi kebijakan untuk mengatasi susut hasil.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Jawa Barat memang masih merupakan

provinsi yang termasuk ke dalam 3 besar provinsi

penyumbang produksi padi nasional. Namun

demikian produksi padinya selalu mengalami

fluktuasi naik turun. Terdapat beberapa faktor yang

dapat menjadi penyebabnya diantaranya tidak

maksimalnya input pertanian yang digunakan,

terjadinya fenomena perubahan iklim dan yang

terakhir adalah angka susut hasil padi Jawa Barat

yang cukup besar. Untuk mengatasi susut hasil ini

berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah,

namun hasilnya masih jauh dari target.

Faktor-faktor non teknis seperti faktor sosial,

ekonomi, budaya seperti: umur, pendidikan,

pendapatan, luas lahan, pengalaman berusahatani,

pengawasan, perasaan, kepercayaan, sangsi sosial,

norma dan sikap mempengaruhi perilaku petani

dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca

panen gabah dan beras. Kemudian juga teknologi

petani mempengaruhi perilaku petani dalam

melaksanakan penanganan panen dan pasca panen

gabah dan bears. Hal itu tercermin dari masih

tingginya persentase susut hasil padi dan beras,

meskipun inovasi dan teknologi dalam bentuk

bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen

gabah dan beras mulai panen, perontokan,

pengeringan dan pengggilingan setiap tahun

diadakan, begitu juga fasilitasi alsintan panen dan

pasca panen padi dan beras yang terus dilaksanakan

setiap tahun. Menurut Setyono (2008) titik kritis

susut hasil padi dan terletak pada sistem pemanen dan

perontokan.

Berdasarkan hal tersebut, perbaikan sistem

penerapan panen dan pasca panen padi dan beras

dalam upaya menekan susut hasil gabah dan beras

harus mencakup seluruh sistem agribisnis dan aspek

teknis, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan

petani / kelompok tani / Gapoktan setempat.

Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua

pihak yang terlibat, baik petani pemilik, buruh panen,

dan pengusaha jasa panen dan perontok. Dengan

demikian, diperlukan pendekatan yang menyeluruh

terhadap komponen-komponen sistem agar dapat

menemukan sifat-sifat penting dalam sistem,

sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan

keluaran yang dikehendaki. Karena itu, strategi

untuk mengatasi susut hasil ini harus lebih dilihat dari

bagaimana cara mengatasi faktor-faktor non teknis

petani itu sendiri.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah two-

phase mixed method (Creswell et. al., 2008). Fase

pertama pada metode ini dimulai dengan

pengumpulan literatur-literatur berupa dokumentasi

berbagai instansi terkait seperti Dinas Pertanian,

BPS dan instansi lainnya serta hasil-hasil penelitian

dengan topik yang sama mengenai produktivitas dan

susut hasil padi lalu dibandingkan dan dikaji secara

mendalam untuk menggambarkan dinamika

produktivitas dan variasi susut hasil padi di Jawa

Barat.

Selanjutnya pada fase berikutnya digunakan

data hasil survey pada daerah yang lebih spesifik

untuk menghitung susut hasil dan menentukan

faktor-faktor non teknis yang menentukan susut hasil

padi. Data tersebut adalah data yang bersumber dari

petani yang melakukan panen, perontokan,

pengeringan dan penggilingan padi di kabupaten

Indramayu pada musim tanam 2014/2015. Data

mengenai susut hasil didapatkan dengan

pengujian/pengukuran langsung di sawah milik

petani yang bersangkutan, sedangkan data mengenai

faktor-faktor non teknis didapatkan melalui

wawancara.

Penghitungan susut hasil mengikuti prosedur

baku yang telah dikembangkan oleh BPS dan Deptan

(2008). Rumus penghitungan susut hasil merupakan

penjumlahan dari susut saat melakukan panen, susut

saat melakukan perontokan, susut pengeringan dan

susut penggilingan.

Metode analisis yang digunakan untuk

menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi susut

hasil adalah analisis jalur (path analysis) dengan

persamaan struktural yang berisi 15 buah variabel

eksogen 𝑋1, 𝑋2, … , 𝑋15 dan sebuah variabel endogen

yaitu π‘Œ persamaan struktural tersebut adalah:

Page 86: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

74

π‘Œ = πœŒπ‘Œ.π‘₯1𝑋1 + πœŒπ‘Œ.π‘₯2𝑋2 + β‹― + πœŒπ‘Œ.π‘₯15𝑋15 + Π„

Keterangan :

π‘Œ = Susut hasil gabah dan beras (kg)

𝑋1 = umur (tahun)

𝑋2 = Pendidikan

𝑋3 = Pengalaman usahatani (tahun)

𝑋4 = Tingkat pendapatan (Rp)

𝑋5 = Luas lahan (hektar)

𝑋6 = Pengawasan

𝑋7 = Perasaan

𝑋9 = Sanksi sosial

𝑋10 = Norma

𝑋11 = Sikap

𝑋13 = Perontokkan

𝑋14 = Pengeringan

𝑋15 = Penggilingan

πœŒπ‘Œ.π‘₯𝑖 = Koefisisen beta dari 𝑋1 sampai 𝑋15

Π„ = Kesalahan (disturbance term)

Selanjutnya, untuk menyusun strategi

menanggulangi susut hasil gabah dan beras akibat

dari faktor-faktor non teknis seperti perilaku sosial

ekonomi, budaya dan teknologi petani pada setiap

tahapanya, dilakukan analisis kualitatif dengan

mengacu kepada identifikasi perilaku sosial

ekonomi, budaya dan teknologi petani dalam

melaksanakan panen dan pasca panen yang

signifikan mempengaruhi susut hasil kemudian

dilakukan kajian lebih mendalam dengan analisis

kebijakan Timberben.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dinamika Produksi Padi Jawa Barat

Jawa Barat merupakan salah satu sentra utama

padi nasional, kontribusinya pada tahun 2014 sekitar

16 %. Rata-rata produksi padi Jawa Barat selama

1993-2014 tahun terakhir ini adalah sebesar

10.994.835 ton per tahun dengan rata-rata luas area

panen seluas 1.927.089 hektar dan rata-rata

produktivitas sebesar 5,70 ton/hektar.

Dalam hal produktivitas padi seperti tersaji

pada Gambar 2, selama periode 1993-2014 rata-rata

produktivitas padi Jawa Barat adalah 5,29 ton/hektar

dengan standard deviation sebesar 0,43 ton/hektar.

Jawa Tengah juga mempunyai rata-rata produktivitas

padi yang hampir sama yaitu 5,285 ton/hektar namun

mempunyai standard deviation yang lebih kecil yaitu

0,22 ton/hektar, ini menandakan variasi naik

turunnya produktivitas padi Jawa Barat lebih

berfluktuasi dari pada Jawa Tengah. Selanjutnya

Jawa Timur adalah provinsi dengan rata-rata

produktivitas padi paling tinggi yaitu 5,44 ton/hektar

dengan standard deviation sebesar 0,35 ton/hektar di

mana angka ini lebih kecil dari Jawa Barat.

Gambar 2. Garafik Produktivitas Padi Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur periode 1993-2014 dalam

kuintal per hektar

Sumber: Data BPS, diolah 2015

Dengan rata-rata produktivitas yang lebih kecil

dan standard deviation yang lebih besar dari Jawa

Timur mengindikasian bahwa terdapat penurunan

produktivitas padi yang sangat tajam atau laju

pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat di Jawa

Barat. Seperti pada tahun 1998 di mana hampir

semua daerah mengalami penurunan produktivitas

namun Jawa Barat mengalami penurunan

produktivitas yang sangat tajam hingga hanya

mencapai 4,5 ton/hektar.

Jawa Barat sebenarnya awalnya pada tahun

1993 merupakan yang paling rendah

produktivitasnya diantara Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Namun walaupun saat ini produktivitas Jawa

Barat masih lebih rendah dibandingkan Jawa Timur

namun saat ini sudah lebih tinggi dari Jawa Tengah.

Dinamika Variasi Susut Hasil Padi

Persentase susut hasil padi di Jawa Barat

ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Persentase Susut Hasil Padi di Jawa Barat Tahun 2009,

2010, dan 2011

Tahapan

Persentase Susut Hasil (%)

Tahun 2009 Tahun

2010

Tahun 2011

Panen 3.48 2.29 3.07

Perontokan 3.82 3.06 3.2

Pengeringan 2.35 3.31 3.06

Penggilingan 1.69 2.39 2.13

Jumlah 11.34 11.05 11.46

Sumber: Diperta Provinsi Jawa Barat, (2012)

Dengan tingkat susut hasil sebesar 11,46%,

gabah yang tercecer sebesar 1.447.138,4 ton berasal

pada saat panen 387.671,44 ton GKP, perontokan

404.087,51 ton GKP, pengeringan 386.408,68 ton

GKP dan penggilingan 268.970,75 ton GKG. Susut

hasil ini, jika dikonversikan ke dalam luas areal

sawah dengan rata-rata produksi Gabah Kering

Panen (GKP) di Jawa Barat yang sebesar 5,6 ton per

hektar sama dengan 258.417,5 ha sawah tidak

Page 87: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

75

dipanen. Kemudian jika dikonversikan ke dalam

Harga Pembelian Petani (HPP) GKP Rp 3.300

ditingkat petani dan GKG Rp 4.200 per kg di Perum

BULOG (Inpres No.3. Tahun 2012) dari panen,

perontokan dan pengeringan, Gabah Kering Panen

(GKP) yang tercecer setara dengan Rp

3,887,953,179,000,-, sedangkan untuk penggilingan

Gabah Kering Giling yang tercecer (GKG) setara

dengan Rp 1,129,677,150,000,-.

Berdasarkan Tabel 2, dinamika variasi susut

hasil cenderung relative tetap pada level 11 - 12 %

dengan standard deviation sebesar 0,21 %. Angka ini

jelas masih terlalu tinggi dan belum terlihat

kecenderungan untuk menurun. Maka dari itu, angka

susut hasil ini harus segera diturunkan agar program

peningkatan produksi padi di Jawa Barat dapat

berjalan lebih efisien dan efektif. Selain itu, jika

permasalahan susut hasil padi di Jawa Barat yang

angkanya cukup tinggi ini dapat diatasi dengan baik

maka produktivitas padi Jawa Barat dapat lebih baik

lagi dan berpeluang untuk mengungguli Jawa Timur.

Dinamika Produktivitas dan Susut Hasil di

Indramayu

Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten

penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Selama

periode 2009-2013, rata-rata produksi padi

Indramayu adalah 1.311.664 ton, disusul oleh

kabupaten Karawang dan Subang dengan 1.098.891

ton dan 1.013.195 ton (Disperta Jabar, 2014).

Gambar 2. Grafik Produktivitas Padi Kabupaten Indramayu,

Subang dan Karawang periode 2009-2013 dalam

kuintal per hektar Sumber: Disperta Provinsi Jawa Barat, diolah 2015

Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam hal

produktivitas padi, Kabupaten Indramayu memiliki

rata-rata produktivitas tertinggi. Selama periode

2009-2013 angkanya mencapai 6,09 ton/hektar di

atas Karawang dan Subang yang masing-masing

sebesar 5,98 ton/hektar dan 5,86 ton/hektar.

Namun demikian, jika dilihat dari nilai

standard deviation produktivitasnya dalam periode

yang sama, Indramayu memiliki nilai standard

deviation yang lebih besar dari pada Karawang dan

Subang. Nilai standard deviation produktivitas padi

Indramayu adalah 0,25 ton/hektar, Subang sebesar

0,23 ton/hektar dan Karawang sebesar 0,12. Dalam

hal ini Kabupaten Indramayu adalah yang paling

tinggi fluktuasi naik turunnya. Kejadian susut hasil

tidak bisa dikecualikan sebagai salah satu

penyebabnya. Untuk itu, hasil survey mengenai susut

hasil di Indramayu akan dipaparkan dan dianalisis

lebih jauh.

Hasil penghitungan susut hasil di Kabupaten

Indramayu disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Penghitungan Susut Hasil di Kabupaten

Indramayu

Statistik Susut Hasil (kg)

Panen Perontokan Pengeringan Penggilingan

Rata-rata 2.68 13.43 0.47 0.034

Simpangan

baku 1.92 4.27 1.99 0.045

Sumber: Data Primer diolah, (2015)

Faktor utama dari masih tinginya susut hasil

gabah pada saat panen disebabkan petani masih

mengunakan sistem keroyokan. Dalam sistem

keroyokan berkisar antara 20 - 30 orang pemanen

yang seringkali dilakukan malam hari pemanen

dengan menggunakan sabit biasa berebut memotong

padi, akibatnya banyak rumpun padi yang terinjak

dan patah. Pengunaan sabit biasa menyebabkan

tekanan terhadap rumpun padi sangat besar ketika

batang padi dipotong sehingga banyak butir gabah

yang jatuh. Berbeda halnya jika menggunakan sabit

bergerigi, karena tekanan terhadap rumpun padi

ketika batang padi dipotong lebih rendah daripada

sabit biasa. Menurut Damarjati et al, (1990) sabit

bergerigi bisa menekan kehilangan hasil pada saat

pemotongan padi sebesar 3%. Selain itu, padi yang

telah dipanen dikumpulkan ditengah sawah dengan

alas terpal plastik untuk dirontokan di pagi hari,

penundaan perontokan ini akan mempengaruhi

kualitas gabah dan peningkatkan risiko kehilangan

hasil.

Berdasarkan Tabel 3, rata-rata susut hasil pada

saat perontokan adalah yang paling tinggi

dibandingkan tahapan lainnya. Hal ini terjadi karena

di lokasi penelitian atau umumnya di Indramayu padi

dirontokan dengan alat banting bertirai tanpa

penghalang, jumlah batang padi seringkali lebih

besar dari genggaman tangan sehingga tidak

terbanting dengan baik, jumlah bantingan antara 2-4

kali sehingga masih terdapat butir padi yang

menempel di malainya dan batang padi yang

berjatuhan. Selain itu, ketika panen berakhir diikuti

oleh pengeprek (padi diorek-orek) atau remi (ngorek-

Page 88: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

76

nogrek jerami) yang di drop per mobil antara 10-15

orang yang berasal dari Desa sekitarnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Momo 34

tahun (2013) salah satu pengeprek hasilnya dapat

mencapai 30-60 kg per bau gabah bernas per

orangnya. Hasil ngeprek dijual kepada bandar

pemilik mobil dengan harga Rp 3000 - Rp 3500 per

kg. Ngeprek sudah menjadi kebiasaan di Indramayu

dan jika pemilik sawah melarang maka seringkali

padi yang siap panen diganggu.

Kemudian pada proses pengeringan, padi

dikeringkan ditengah sawah atau atau dihalaman

rumah, sambil dijemur biasa dibersihkan. Petani

menggunakan karung plastik atau terpal plastik

sebagai alasnya. Disamping terjadi susut hasil karena

tercecer juga seringkali adanya gangguan dari burung

dan ayam yang biasa berkeliaran disekitar rumah.

Namun demikian dari Tabel 2 didapatkan nilai

simpangan baku susut hasil pengeringan sebesar 1,99

yang jauh lebih tinggi dari pada rata-ratanya, hal ini

menunjukkan sangat bervariasinya tingkat susut hasil

petani pada saat melakukan pengeringan hasil panen.

Kemudian yang terakhir pada proses

penggilingan nilai susut hasilnya adalah yang paling

kecil. Pada tahapan ini, susut hasilnya berupa gabah

yang tercecer disekitar mesin penggiling, dan menir

(beras patah) banyaknya beras patah ini disebabkan

oleh kadar air yang kurang dari 14% atau lebih dari

14%. Biasa petani dalam mengeringkan gabah antara

12-15% akibatnya banyak terjadi butir hijau, butir

mengapur (chalky), dan menir (beras patah). Namun

demikian, susut hasil penggilingan ini merupakan

keuntungan bagi pemilik penggilingan. Berdasarkan

hasil wawancara dengan Wagiono (2013) salah satu

pemilik penggilingan padi menir dan dedak

merupakan keuntungan pemilik penggilingan padi

disamping biaya penggilingan. Menir diayak dengan

ayakan halus menjadi tiga bagian yaitu menir patah

dua dijual Rp 600,0,- per kg, menir patah tiga Rp

4,500 per kg dan menir bebek (> patah 3) dijual Rp

4,000 per kg sementara dedak dijual Rp 2,500 per kg.

Faktor-Faktor Non Teknis yang Mempengaruhi

Susut Hasil Padi

Berikut adalah hasil estimasi faktor-faktor non

tenis yang menjadi determinan terhadap pendapatan

petani mangga setelah memenuhi asumsi-asumsi

klasik dan goodness of fit. Dari hasil analisis akhir

didapatkan 5 faktor yang mempengaruhi susut hasil

(π‘Œ) secara nyata yaitu tingkat pendapatan usahatani

(𝑋4), luas lahan (𝑋5), perasaan (𝑋7), norma (𝑋10) dan

penggilingan (𝑋15).

Tabel 4. Faktor-faktor Non Teknis yang Menjadi Determinan

terhadap Susut Hasil

Variabel

Koefisien Jalur

(πœŒπ‘Œ.π‘₯𝑖)

Tingkat

Signifikansi Status

𝑋4 0,877 0,000*** Signifikan

𝑋5 -0,468 0,020** Signifikan

𝑋7 0,357 0,010*** Signifikan

𝑋10 -0,368 0,005*** Signifikan

𝑋15 0,357 0,007*** Signifikan

Uji-F 0,000** Signifikan

𝑅2 = 0,383

Ket : (*) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 90% (**) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%

(***) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 99%

Sumber: Data Primer diolah, (2015)

Tabel 5. Matriks Korelasi Antar Variabel

π‘Ÿπ‘₯𝑖π‘₯𝑗 Y X4 X5 X7 X10 X15

Y 1,000 0,361 0,169 0,071 -0,172 0,161

X4 0,361 1,000 0,761 -0,203 0,128 -0,113

X5 0,169 0,761 1,000 0,066 0,014 -0,136

X7 0,071 -0,203 0,066 1,000 0,010 -0,205

X10 -0,172 0,128 0,014 0,010 1,000 0,239

X15 0,161 -0,113 -0,136 -0,205 0,239 1,000

Sumber: Data Primer diolah, (2015)

Dari Tabel 4 dan Tabel 5 didapatkan nilai

pengaruh langsung dan tidak langsung dari ke-5

faktor tersebut.

Tabel 6. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan

Pengaruh Total Faktor Pendapatan (𝑋4) terhadap

Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras

Pengaruh langsung 0,7688

Pengaruh tidak langsung : Melalui 𝑋5 -0,3124

Melalui 𝑋7 -0,0634

Melalui 𝑋10 -0,0413

Melalui 𝑋15 -0,0353

Pengaruh total 𝑋4 ke π‘Œ 0,3162

Berdasarkan Tabel 6, secara langsung

peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 76,88% ditentukan oleh faktor tingkat

pendapatan. Namun jika dilihat dari pengaruh total

tidak langsung faktor tingkat pendapatan melalui luas

lahan, perasaan, norma dan penggilingan berubah

menjadi -45,25% yang berarti menurunnya tingkat

susut hasil gabah dan beras sebesar 45,25%

ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan berbagai

aspek dari faktor luas lahan, perasaan, norma dan

penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini

mengurangi total pengaruh pendapatan terhadap

tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 31,62%,

jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan

beras sebesar 31,62% secara total ditentukan oleh

faktor tingkat pendapatan.

Page 89: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

77

Hasil analisis mengungkapkan bahwa

peningkatan pendapatan berkontribusi pada

meningkatnya susut hasil. Dalam hal ini tinggnya

pendapatan ini disebabkan karena petani kurang

menganggarkan biaya untuk sistem budidaya yang

lebih baik dan perlakuan panen dan pasca panen yang

baik. Untuk itu, petani harus didorong untuk lebih

memperhatikan pembiayaan pada sistem

budidaya/produksi untuk meningkatkan

produktivitas dan perlakuan panen dan pasca panen

untuk menurunkan susut hasil. Sehingga walaupun

hal ini akan meningkatkan biaya produksi namun

akan tertutup oleh meningkatkan hasil dan sedikitnya

susut hasil padi.

Tabel 7. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan

Pengaruh Total Faktor Luas Lahan (𝑋5) terhadap

Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras

Pengaruh langsung 0,2194

Pengaruh tidak langsung Melalui 𝑋4 -0,3124

Melalui 𝑋7 -0,0111

Melalui 𝑋10 0,0023

Melalui 𝑋15 0,0228

Pengaruh total 𝑋5 ke π‘Œ -0,0790

Berdasarkan Tabel 7, secara langsung

peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 21,94% ditentukan oleh faktor luas lahan.

Namun jika melihat pengaruh total tidak langsung

faktor luas lahan melalui tingkat pendapatan,

perasaan, norma dan penggilingan bernilai negatif -

29,84% yang berarti penurunan tingkat susut hasil

gabah dan beras sebesar 29,84% secara tidak

langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan

faktor-faktor pendapatan, perasaan, norma dan

penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini

mengurangi total pengaruh luas lahan terhadap

tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi -7,90%,

jadi menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 7,90% secara total ditentukan oleh faktor luas

lahan.

Berdasarkan hasil analisis, menurunkan susut

hasil disebabkan karena semain luasnya lahan petani.

Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa petani

dengan luas lahan β‰₯ 0,7 hektar cenderung berupaya

untuk memaksimalkan biaya produksi dan

menggunakan teknologi baik untuk produksi, panen

dan pasca panen untuk mendapatkan hasil panen

yang maksimal. Untuk itu, petani dengan luas lahan

kurang dari 0,7 hektar yang kebanyakan bermodal

seadanya perlu mendapatkan perhatian dengan

adanya bantuan permodalan agar dapat melakukan

hal dilakukan petani yang luas lahannya lebih dari 0,7

hektar.

Tabel 8. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan

Pengaruh Total Faktor Perasaan (𝑋7) terhadap Tingkat

Susut Hasil Gabah dan Beras

Pengaruh langsung 0,1275

Pengaruh tidak langsung Melalui 𝑋4 -0,0634

Melalui 𝑋5 -0,0111

Melalui 𝑋10 -0,0014

Melalui 𝑋15 -0,0262

Pengaruh total 𝑋7 ke π‘Œ 0,0254

Tabel 8 menunjukan bahwa secara langsung

peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar

12,75% ditentukan oleh faktor perasaan. Namun jika

dilihat dari pengaruh total tidak langsung perasaan

melalui faktor pendapatan, luas lahan, norma dan

penggilingan berpengaruh negatif sebesar -10,21%

yang berarti secara tidak langsung penurunan tingkat

susut hasil gabah dan beras sebesar 10,21%

ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari

faktor faktor tingkat pendapatan, luas lahan, norma

dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini

mengurangi total pengaruh perasaan terhadap tingkat

susut hasil gabah dan beras menjadi 2,54%, jadi

meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 2,54% secara total ditentukan oleh faktor

perasaan.

Tabel 9. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan

Pengaruh Total Faktor Norma (𝑋10) terhadap Tingkat

Susut Hasil Gabah dan Beras

Pengaruh langsung 0,1351

Pengaruh tidak langsung Melalui 𝑋4 -0,0413

Melalui 𝑋5 0,0023

Melalui 𝑋7 -0,0014

Melalui 𝑋15 -0,0314

Pengaruh total 𝑋10 ke π‘Œ 0,0634

Tabel 9 menunjukan bahwa secara langsung

peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar

13,51% ditentukan oleh faktor norma. Namun jika

dilihat dari pengaruh tidak langsung faktor norma

melalui pendapatan, luas lahan, perasaan, dan

penggilingan berpengaruh negatif sebesar –7,18%

yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan

beras sebesar 7,18% secara tidak langsung

ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari

faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan

penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini

mengurangi total pengaruh norma terhadap tingkat

susut hasil gabah dan beras menjadi 6,34%. Jadi

meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 6,34% secara total ditentukan oleh faktor

norma.

Jika dibandingkan antara pengaruh tidak

langsung perasaan -10,21% dengan total pengaruh

Page 90: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

78

perasaan 2,54% jauh lebih besar pengaruh total tidak

langsung, artinya sebenarnya dengan meningkatkan

rasionalitasnya dan mengurangi unsur menjaga

perasaan petani seperti membatasai jumlah pemanen,

menggunakan perontok mesin, mengeringkan dalam

lamporan, dan menggiling di penggilingan besar

mereka dapat menurunkan susut hasilnya. Namun

hal ini tidak dilakukan. Di lokasi penelitian sudah

biasa siapa saja bisa ikut panen meskipun pemilik

sawah tidak menyuruhnya, bahkan ketika panen

sedang berlangsung orang bisa langsung ikut panen.

Pemilik sawah menyadari hal itu merugikan karena

semakin banyak jumlah pemanen maka kerusakan

padi akibat terinjak karena berebut akan semakin

banyak, namun tidak bisa melarangnya karena karena

empati terhadap orang lain dan takut orang tersebut

akan tersinggung dan marah.

Artinya kesadaran akan kerugian dengan

mempertahankan norma-norma yang berlaku ketika

melaksanakan sistem panen, perontokan pengeringan

dan penggilingan ada. Namun kesadaran ini tidak

dinyatakan dalam tindakan karena norma-norma itu

sudah menjadi kebiasaan. Sangat sulit untuk merubah

kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat

pedesaan, karena itu sudah lama terjadi dan sudah

menjadi patokan dalam perilaku sehari-hari

seseorang yang melanggar norma akan dikenai sangsi

sosial dari masyarakat disekitarnya.

Tabel 10. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan

Pengaruh Total Faktor Penggilingan (𝑋15) terhadap

Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras

Pengaruh langsung 0,1276

Pengaruh tidak langsung Melalui 𝑋4 -0,0353

Melalui 𝑋5 0,0228

Melalui 𝑋 7 -0,0262

Melalui 𝑋10 -0,0314

Pengaruh total 𝑋15 ke π‘Œ 0,0575

Tabel 10 menunjukan secara langsung

peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras

ditentukan oleh faktor penggilingan sebesar 12,76%.

Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung

penggilingan melalui faktor pendapatan, luas lahan,

perasaan, dan norma sebesar -7,01%. Jadi pengaruh

langsung penggilingan terhadap tingkat susust hasil

gabah dan beras yang tadinya positif setelah melalui

faktor pendapatan, perasaan, dan norma berubah

menjadi negatif, namun tetap positif ketika melalui

faktor luas lahan meskipun sangat kecil. Ini berarti

bahwa secara tidak langsung tingkat susut hasil

gabah dan beras sebesar 7,01% dapat diturunkan

melalui perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor

pendapatan, perasaan, dan norma. Pengaruh total

tidak langsung ini mengurangi total pengaruh

langsung penggilingan terhadap tingkat susut hasil

gabah dan beras menjadi 5,75%. Jadi secara total

faktor penggilingan dapat meningkatkan tingkat

susut gabah dan beras sebesar 5,75%.

Hal itu terjadi karena sebagian besar petani

dilokasi penelitian menggiling padinya ke

Penggilingan Padi Kecil (PPK) dengan kategori I

Phase milik petani lainnya atau milik kelompok

taninya yang sudah berumur tua dan proses

penyosohannya secara abrasif. Menurut Nugraha dan

Tim, (2008) mesin penggilingan I Phase adalah

pengilingan padi dimana mesin pemecah kulit

(husker) menyatu dengan mesin penyosoh (polisher).

Gabah dimasukan ke dalam hooper hasilnya beras

pecah kulit, kemudian dimasukan lagi hasilnya

menjadi beras. Implikasi kebijakan dapat difokuskan

pada modernisasi di bidang pertanian melalui

bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen

gabah dan beras dan fasilitasi alsintan terutama

revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II

Phase.

PENUTUP

Dinamika produktivitas padi di Jawa Barat

cenderung memiliki fluktuasi yang lebih tajam dan

laju pertumbuhan yang lebih lambat pada

produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Tinjauan dari segi variasi

susut hasil pun cenderung relative masih terlalu

tinggi dan belum ada kecenderungan untuk menurun.

Susut hasil ini harus segera diatasi agar program

peningkatan produksi padi dapat berjalan lebih

efisien dan efektif.

Berdasarkan analisis simultan faktor

pendapatan, luas lahan, perasaan, norma dan

penggilingan mempengaruhi tingkat susut hasil

gabah dan beras sebesar 38,34%, dan 61,66%

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar penelitian

ini. Dari variabel ekonomi diwakili oleh faktor

pendapatan dan luas lahan. Peningkatan tingkat susut

hasil gabah dan beras sebesar 31,62% secara total

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, namun

menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 7,90% secara total dipengaruhi oleh faktor

luas lahan. Dari variabel teknologi petani diketahui

bahwa naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras

sebesar 5,75% secara total dipengaruhi oleh faktor

penggilingan. Sedangkan dari variabel budaya

naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar

2,54% secara total dipengaruhi oleh faktor perasaan,

dan sebesar 6,34% secara total dipengaruhi oleh

faktor norma.

Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi

penurunan produktivitas karena tingginya tingkat

susut hasil dapat dibuat implikasi kebijakan

diantaranya:

Page 91: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

79

1) Petani harus didorong untuk lebih memperhatian

pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca

panen padi untuk menurunkan susut hasil.

2) Memberikan bantuan modal untuk petani yang

luas lahannya kurang dari 0,7 hektar.

3) Melakukan pendekatan budaya yang dapat

merubah penanganan panen dan pasca panen

menjadi lebih baik dan tidak mengakibatkan

disharmoni diantara petani dan buruh tani (buruh

panen) dan saling menguntungkan kedua belah

pihak.

4) Memodernisasi penanganan panen dan pasca

panen melalui pemberian bantuan fasilitas

alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi

dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan

teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.

DAFTAR PUSTAKA

BPS dan Departemen Pertanian. (2008). Laporan

Hasil Survei Susut Panen Dan Pasca Panen

Gabah/Beras. Kerjasama Badan Pusat Statistik

Dan Departemen Pertanian. Jakarta.

BPS. (2015). Luas Lahan, Produktivitas, dan

Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Melalui situs www.bps.go.id.

Creswell, J.W. and V.L.P. Clark. (2008). Designing

and Conducting Mixed Methods Research. Sage

Publications. London.

Damardjati, Djoko Said. (2010). Kebijakan

Pemerintah Dalam Peningkatan Mutu dan Nilai

Tambah Pengolahan Gabah/Beras. Direktur

Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional.

Diperta Provinsi Jawa Barat. (2014). Luas Tanam,

Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

Sawah Menurut Kabupaten Dan Kota Tahun

2009 - 2013 di Jawa Barat. Melalui situs

http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMe

nu/1780.

Enrico. (2012). Teknologi Penanganan Panen Dan

Pasca Panen Padi Dalam Menekan Susut Hasil.

Makalah. (BPPP) Balai Besar Penelitian Pasca

Panen, Bogor.

Iswari, K. (2012). Kesiapan Teknologi Panen dan

Pascapanen Padi dalam Menekan Kehilangan

Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras. Jurnal

Litbang Pertanian.

Nhamo, N., J. Rodenburg, N. Zenna, G. Makombe

and A.L. Kihupi. (2014). Narrowing the rice

yield gap in East and Southern Africa: Using

and Adapting Existing Technologies. Elsevier.

Nugraha, Sigit dan Tim. (2008). Metode Menekan

Kehilangan Hasil Padi. Balai Besar Litbang

Pascapanen Pertanian. Bogor.

Oerke, E.C., H.W. Dehne, E. Schonbeck, and A.

Weber. (1999). Crop Producing and Crop

Protection: Estimated Lossing in Major Food

and Cash Crop. Elsevier. Netherland.

Raharjo, B., D. Hadiyanti, dan K. A. Kodir. (2012).

KajianKehilangan Hasil Pada Pengeringan dan

Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut

Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal.

Vol. 1, No.1: 72-82.

Rasmikayati, E. (2014). Perubahan Iklim:

Dampaknya Terhadap Perilaku Serta

Pendapatan Petani. Bandung.

Setyono, Agus. (2008). Teknologi Penanganan

Pasca Panen Padi. Makalah. Disampaikan Pada

Lokakarya Kegiatan Pengkajian Pemanfaatan

Alat Dan Mesin Pertanian (Alsintan Pasca

Panen Padi Sawah. Badan Penelitian Dan

Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat,

Bandung Desember 2008.

Page 92: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

80

Page 93: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

81

Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang

Financing of Mangoestain Farming in Kabupaten Subang

Eti Suminartika

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padajdajran

A B S T R A K

Kata Kunci:

Manggis,

pembiayaan

usahatani,

kelembagaan

pembiayaan,

pola pembiayaan

Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri, namun

hanya 10 persen saja manggis kita yang dapat diekspor. Budidaya tanaman manggis

masih sangat tradisional, jarang dipupuk, dibersihan dan dipangkas. Masih sedikit

petani yang menerapkan standar operasional prosedur (SOP), demikian pula halnya di

kabupaten Tasikmalaya dan Subang. Rendahnya upaya pemeliharaan tanaman

manggis dapat disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada di petani.

Tujuan umum penelitian ini adalah mencari bentuk skim pembiayaan usahatani

manggis, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: (1) Menganalisis kendala apakah

sehingga petani kurang memelihara kebunnya (2) Menganalisis kelembagaan

pembiayaan yang diikuti petani (3) Menganalisis pola pembiayaan usahatani manggis

(4) Menganalisis kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer yang diperoleh dari petani

dengan menggunakan metoda survey. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif

dan kualitatif dengan menggunakan analisis matematik dan ekonometrik. Penelitian

dilaksanakan di sentra produksi manggis Jawa Barat yaitu di kabupaten Tasikmalaya

dan Kabupaten Subang. Kendala yang dihadapi petani manggis sehingga kurang

memelihara kebunnya adalah permodalan, Kendala teknis terutama cara pemanenan

hasil yang kurang baik. Bentuk kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani

umumnya mereka memperoleh modal terutama dari sendiri, sebagian pinjaman dari

luar terutama dari bandar. Pola pembiayaan usahatani tani manggis, mereka

mengeluarkan dana saat pohon manggis mau berbunga (untuk penyiangan), saat panen

(untuk biaya panen), setelah panen (untuk pemupukan). Dana yang digunakan untuk

membiayai usahatani menggis relatif kecil. Kemampuan financial petani dalam

pemeliharaan kebun manggis sangat rendah karena hasil panen manggis yang sedikit

dan usaha ini merupakan usaha sampingan.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail:

Page 94: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

82

LATAR BELAKANG

Komoditas hortikultura menyumbang PDB

sekitar 21,17 % dari PDB sector pertanian dan

menduduki urutan kedua setelah subsector tanaman

pangan (Ditjen Hortikultura, 2009). Salah satu

komoditas hortikultura yang mempunyai prospek

cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam

negeri adalah manggis (Garcinia mangostona, L).

Ekspor manggis menempati urutan pertama ekspor

buah Indonesia yang kemudian diikuti oleh nenas dan

jeruk.

Pusat penamanam manggis di Indonesia

adalah di Kaltim, Kalteng, Jawa Barat, Jawa Timur,

Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sulawesi

Utara. Sedangkan sentra produksi manggis terbesar

berada di Jawa Barat yang memberikan kontribusi

38% terhadap produksi nasional. Sentra produksi

manggis manggis di Jawa Barat adalah Kabupaten

Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya.

Kontribusi produksi manggis dari empat kabupaten

tersebut sebesar 90% terhadap total produksi Jawa

Barat dan 29 %.terhadap produksi nasional sebesar.

Meskipun manggis sudah dapat diekspor, namun

belum didukung oleh ketersediaan buah dengan mutu

yang tinggi. Relatif rendahnya mutu buah manggis di

sentra produksi, dikarenakan pengelolaan kebun

bersifat tradisional dan system produksinya masih

bergantung pada alam. Pada umumnya tanaman

manggis sudah tua berumur lebih dari 100 tahun dan

warisan orang tua. Sedangkan, peremajaan tanaman

baru dilakukan akhir 1990-an. Oleh karena itu buah

manggis yang dapat diekspor kurang dari 10% dari

total produksi.

Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di

dalam maupun di luar negeri. Permintaan dari kedua

pasar tersebut melebihi produksinya. Untuk pasar

luar negeri, jumlah produsen/pemasok manggis

masih terbatas seperti Malaysia, Thailand dan

negara-negara Amerika latin. Negara tujuan ekspor

manggis dari Indonesia adalah Cina, Hongkong,

Taiwan, Timur Tengah dan Eropa. Thailand sebagai

negara potensial penghasil manggis dunia mampu

memberikan harga yang lebih murah, hal ini dapat

mengancam pasar ekspor manggis kita. Untuk

memenangkan persaingan maka harga harus lebih

murah dan kualitas harus lebih baik

Oleh karena itu untuk mempertahankan dan

meningkatkan pangsa ekspor maka perlu perbaikan

kualitas manggis Indonesia. Untuk meningkatkan

kualitas manggis perlu adanya dana untuk membiayai

usahatani manggis, oleh karena itu perlu dikaji hal-

hal yang erat kaitannya dengan dana yang bisa

digunakan untuk usaha tersebut.

PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan

dalam penelitian ini adalah

(1) Bagaimanakah kelembagaan pembiayaan yang

diikuti petani?

(2) Bagaimanakah pola pembiayaan usahatani

manggis yang dilakukan petani?

(3) Bagaimanakah kemampuan financial petani

untuk pemeliharaan kebun

manggis

METODE PENELITIAN

Teknik Penarikan Sampel

Kabupaten Subang merupakan salah satu

sentra manggis Jawa Barat, Sentra produksi manggis

berada di kecamatan Sagala Herang yaitu di desa

Dayeuhkolot dan desa Sukamandi, pengambilan

sampel dilakukan secara random dengan presentase

masing yaitu 10 persen dari jumlah populasi, menurut

Gaspersz (1991) apabila peneliti tidak ada

pengetahuan tentang besarnya ragam populasi (S)

atau proporsi populasi (P) dan tidak dapat

memperkirakannya, maka ukuran sampel (n) dapat

diambil 5 persen, 10 persen, dan 25 persen.dari

jumlah populasi. Selanjutnya menurut Gaspersz

(1991), untuk ukuran contoh yang lebih besar dari 30

maka sebaran data dalam contoh akan menyebar

mendekati sebaran normal, selain pertimbangan di

atas pengambilan sampel didasarkan pula pada

ketersediaan dana dan tenaga yang dimiliki.

Penarikan sampel mengikut pola sbb:

Alat analisis untuk kendala yang dihadapi petani

Untuk mengungkap kendala petani terutama

tidak memelihara kebunnya yang berkaitan dengan

keterbatasan dana akan dianalisis secara deskriptif,

dengan cara menjelaskan kendala-kendala yang

dihadapi petani, kenapa mereka kurang memelihara

kebunnya. Kendala dibagi dua kelompok yaitu

kendala yang dihadapi petani manggis (pengekspor)

dan petani manggis untuk tujuan pasar local

Analisis untuk mengungkap kelembagaan

pembiayaan petani dalam membiaya

usahataninya

Untuk mengungkan kelembagaan

pembiayaan di petani yang berkaitan dengan

usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai

cara-cara petani mendapatkan dana baik dana dari

dalam maupun dari luar, dari mana sumber dana

tersebut, bagaimana mensolusikan permasalahan

dana, aturan apa yang diikuti untuk mendapatkan

dana tersebut, dll. Kelembagaan akan dibedakan

dalam dua bentuk yaitu kelembagaan yang diikuti

petani manggis (pengekspor) dan petani manggis

untuk tujuan pasar local

Page 95: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

83

Analisis untuk mengungkap pola pembiayaan

petani dalam membiaya usahataninya

Untuk mengungkan pola pembiayaan di

petani yang berkaitan dengan usahatani manggis,

maka akan dideskripsi mengenai besarnya dana yang

diperlukan, besarnya dana yang diaplikasikan, kapan

waktu dana dibutuhkan, dll

Pola pembiayaan mencakup dua pola yaitu pola

pembiayaan yang dilakukan petani manggis

(pengekspor) dan petani manggis untuk tujuan pasar

local

Alat analisis untuk mengukur kemampuan

financial petani dalam pemeliharaan kebun

manggis

Mampu atau tidaknya petani dalam

memelihara kebun didasarkan pada kemampuan

dalam menciptakan surplus pendapatan keluarga.

Karena adanya surplus pendapatan memungkinkan

petani melakukan pemeliharaan pohon manggis nya.

Surplus pendapatan keluarga merupakan selisih

antara pendapatan dan pengeluaran keluarga yang

diformulasikan sebagai berikut:

Sf = Yj - Ci

dengan batasan:

Sf

Yj

Ci

: surplus pendapatan keluarga (Rp)

: pendapatan keluarga (Rp)

: pengeluaran konsumsi (Rp)

Jika didapatkan nilai Sf 0, maka petani

dikatakan tidak memiliki kemampuan memelihara

pohon, dan jika nilai Sf 0, maka dikatakan petani

memiliki kemampuan memelihara pohon

Pendapatan petani manggis terdiri dari

berbagai sumber di antaranya: pendapatan dari usaha

manggis dan pendapatan sampingan. Sedangkan

pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pangan,

sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan

kemasyarakatan. Selain ada tidaknya kemampuan

memelihara pohon juga akan dilihat aspek lainnya

yang erat kaitannya dengan modal usahatani manggis

meliputi besar modal sendiri, sumber modal petani

Dihasilkan informasi tingkat kemampuan

financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis,

sehingga dapat diprediksi apakah memerlukan

bantuan modal dari luar (kredit)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola pembiayaan Petani Manggis

Pola pembiayaan meliputi besarnya biaya

(dana) yang dimiliki petani untuk usahatani manggis,

waktu penggunaan dan sumber pembiayaan

itusendiri. Pola pembiayaan yang dilakukan petani

manggis kabupaten Subang meliputi:

Besarnya biaya yang digunakan petani

manggis adalah 25.519,51 rupiah per pohon (Tabel

1), petani mengeluarkan biaya tersebut dalam

usahatai manggis mulai saat pohon manggis mau

berbuah yaitu digunakan untuk pemupukan,

penyiangan dan pemanenan. Petani di Kabupaten

Subang tidak secara husus mengeluarkan dana untuk

perluasan kebun dikarenakan lahan yang dimilki

sudah terbatas.

Tabel 1. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan petani

dari Usahatani Manggis

Item Nilai

(Rp)

Persentase

(%)

Nilai per

pohon

Penerimaan 4.336.969,7 100,0 135.658,76

Biaya

variabel

593.366.7 72,6 18.542,71

Biaya tetap 223.257 27,3 6.976,79

Total biaya 816.624 100,0 25.519,51

Pendapatan 3.650.345,5 84,2 110.010,79

Jumlah dana yang digunakan untuk

pemupukan adalah 9.867 rupiah per pohon (tabel 2),

dana pemupukan digunakan pada bulan Mei,

pemupukan tersebut dilakukan sekali (dilakukan oleh

50 % responden) dalam setahun hanya sebagian kecil

(3% responden) yang memupuk dua kali dalam

setahun, sisanya 47 % petani tidak memupukpohon

manggisnya. Minimnya penggunaan dana untuk

pemupukan dikarenakan nimnya dana yang dimiliki

petani dan usahatani manggis merupakan usaha

sampingan. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk

kandang yang harganya relatif lebih murah. Pupuk

diberikan sekarung per pohon manggis berbuah.

Pohon manggis yang belum berbuah umumnya tidak

diberi pupuk, walaupun diberi pupuk tapi hanya

sedikit dan dilakukan oleh sebagian kecil petani. Jadi

secara umum petani memupuk pohon manggis yang

akan berbuah (sudah terlihat bunga) dengan harapan

buahnya banyak. Minimnya pemupukanyang

dilakukan petani menyebabkan bauah manggis yang

dihasilkan relatif kecil ukuranya.

Tabel 2. Biaya bahan Usahatani Manggis

Dana untuk penyiaangan digunakan sebesar

12.893 rupiah per pohon, penyiangan dilakukan dua

kali dalam setahun (dilakukan oleh 61% responden).

Sisanya sekali setahun atau lebih Minimya kegiatan

penyiangan yang dilakukan petani karena kebiasaan

Jenis bahan Nilai

(Rp)

Persentase

(%)

pupuk 62.597 7,5

Pestisida 17.276 2,0

total 78.253 9,5

Page 96: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

84

mereka kebun manggis dibiarkan, merupakan kebun

campuran, dana yang dimiliki terbatas dan usahatani

manggis merupakan usaha sampinga. Dampak

minimnya dana penyiangan maka kebun petani

dipenuhi ilalang, kelihatan kurang terawat. Mereka

melakukan penyiangan menjelang pohon manggis

berbuah dimaksudkan agar memudahkan saat panen

nanti. Petani membiarkan kebunnya karena selain

usahatani merupakan usaha sampingan, mereka juga

terbatas dana untuk penyiangan.

Tabel 3. Biaya Tenaga Kerja Usahatani Manggis Jenis kegiatan Nilai

(Rp)

Persentase

(%)

Nilai per

pohon

Penyiangan 201.212 24,6

Pemangkasan 10.606 1,2

Pemupukan 105.151 12,9

Pemberantasan

HPT

15.151 1,8

Pemanenan 94.954 11,5

Pengangkutan 94.954 11,5

total 511.424 62,6 15.982,00

Penyiangan biasanya dilakukan di sekitar

pohon manggis. Penyiangan dilakukan secara

manual, yaitu dilakukan pembabatan gulma dengan

menggunakan parang. Biaya tetap (termasuk

peralatan) yang dikeluarkan petani setahun sebesar

6.979,29 rupiah

Tabel 4. Biaya Tetap Usahatani Manggis Jenis

biaya

Nilai

(Rp)

Persentase

(%)

Nilai Per

pohon

Biaya

alat

130.000 15,9 4.062,50

PBB 93.257 11,3 2.914,29

Biaya

tetap

223.257 27,3 6.976,79

Biaya panen terbagi dua yaitu dengan

mengikuti sistim tebasan, biaya panen di tanggung

penebas, oleh penebas biaya panen tersebut

dibebankan kepada harga beli yang diberikan kepada

petani manggis. Tebasan dilakukan petani

dikarenakan simpel nya sitem tersebut, petani tidak

usah memetik, mengangkut dan mencari pembeli.

Dengan sistim tebasan petani langsung menerima

dana dari penebas walaupun harga jual manggis yang

diterima petani lebih rendah. penerimaan yang

diterima petani dengan sistim tebasan sekitar 124.024

rupiah per pohon, sementara penerimaan yang

diterima petani dengan sistim dikilo 151.358 rupiah

per pohon (harga jual per kilo 5.304 rupiah, satu

pohon menghasilkan sekitar 28,5 kilogram). Tabel 5. Penerimaan Usahatani Manggis

Sistim

tebasan Satuan

Nilai

(Rp) Keterangan

Jumlah

pohon

pohon 39,25 60 %

responden

Harga per

pohon

Rupiah 124.203,80

Penjualan di kilo

Jumlah

berat

kilogram 489,29 40 %

responden

Harga per

kilogram

Rupiah/

kilogram

5.304

Penerimaan

Nilai

penerimaan

4.336.969,70

Rata-rata

Jumlah

pohon

32

Penerimaan

per pohon

135.658,76

Biaya panen dengan mengikut penjualan

dikilo biasanya dikeluarkan jika petani menggunkan

orang lain untuk panen, besarnya biaya tersebut

mengikut sistim borongan yaitu 750 rupiah per

kilogram manggis yang dipanen dan 750 rupiah per

kilogram manggis yang di angkut. Biaya panen ini

lebih kurang 30 persen dari harga jual yang diterima

petani (5.304 rupiah per kilogram). Sistim panen

borongan ini berpengaruh pada kualitas manggis

yang dihasilkan karena pemborong pemetik

mengejar jumlah petikan ataupun pengangkutan, hal

ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dipetik,

mengingat kualitas manggis salah satunya ditentukan

oleh sistim pemanenan. Banyaknya buah manggis

yang memar akan menurunkan harga jual.

Kelembagaan Pembiayaan

Kelembagaan pembiayaan yang diikuti

petani manggis, petani mengandalkan biaya sendiri

untuk usahatani manggis atau seadanya atau relatif

tanpa adanya sumber dana dari luar. Akibatnya,

petani berada dalam keadaan kekurangan dana untuk

kebunnya. Kelembagaan informal (penyandang

dana) yang diakses petani adalah pinjaman dari

bandar dengan menjaminkan usahataninya misal saat

pohon manggis nya sedang berbuah maka

dijaminkanlah untuk meminjam uang ke bandar

dengan sarat penjualan dilakukan ke bandar dengan

harga yang ditentukan bandar (baik mengikut sistim

tebasan atau sistim dikilo) tentunya dengan harga

yang lebih rendah. Petani meminjam uang ke bandar

bukan untuk memelihara kebunnya namun lebih

banyak digunakan untuk kebutuhan lainnya, sebagian

kecil saja dana pinjaman dari bandar itu untuk biaya

panen.

Kelembagaan formal yang bisa diikuti petani

sangat terbatas, meliputi koperasi dan perbankan

Page 97: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

85

(BRI). Koperasi yang ada berupa koperasi simpan

pinjam namun kurang berjalan karena terbatasnya

modal. Keberadaan koperasi sangat minim, koperasi

biasanya berupa simpan pinjam, diikuti olah sedikit

petani karena pinjaman yang bisa diberikan terbatas,

akatifitas lainnya koperasi menjual barang-barang

kebutuhan petani (kebutuhan sehari-hari, kebutuhan

usahatani). Dengan demikian keberadaan koperasi

kurang berjalan.

Perbankan (BRI) yang ada berada dekat kota

kecamatan. Lembaga perbankan tersebut hanya

memberikan pinjaman untuk usaha dagang atau

untuk tujuan lainnya, bukan menghususkan untuk

usahatani manggis. Relatif jarangnya petani

meminjam ke bank karena prosudur yang rumit

dibandingkan meminjam ke bandar, juga jarak yang

relatif jauh.

Kemampuan finansial petani

Pendapatan keluarga petani manggis per

tahun sebesar 22.434.242,42 rupiah yang terdiri dari

berbagai sumber: usahatani non manggis yang

meliputi usahatani (sawah, usahatani tegalan) dan

diluar usahatani (pensunan, wiraswasta dll).

Pendapatan usaha tani manggis ternyata hanya

merupakan pendapatan samingan mengingat

kontribusinya hanya 13,9 persen terhadap

pendapatan keluarga. Sisanya sebesar 86,1 persen

berasal dari pendapatan diluar usahatani manggis.

Pendapatan keluarga terlihat seperti di tabel Tabel 6. Pendapatan Keluarga Petani Manggis

Jenis

pendapatan

Nilai

(Rp)

Persentase

(%)

Usahatani

manggis

3.650.345,50 13,9

Usaha non

manggis

22.434.242,42 86,1

26.084.587,88 100,0

Pengeluaran keluarga petani manggis per

tahun sebesar 19.740.788rupiah yang sebagian besar

(79,38) digunakan untuk kebutuhan pokok, besarnya

persentase pendapatan keluarga untuk kebutuhan

pokok mencerminkan tingkat kesejahteraan mereka

yang masih rendah.

Tabel 7. Pengeluaran Keluarga Petani Manggis Jenis

Pengeluaran

Nilai

(Rp)

Presentas

e

(%)

keterangan

Kebutuhan

pokok

Listrik dan air

Pendidikan

kesehatan

15.730.550,

0

1.553,891,5

446.363,7

909.090,9

79,38

7,84

2,25

4,59

3,72

Pengeluara

n

didominasi

untuk

Jenis

Pengeluaran

Nilai

(Rp)

Presentas

e

(%)

keterangan

Sandang

Kemasyarakat

an

737.878,8

438.125,0

2,21 kebutuhan

pokok

Jumlah 19.740.788 100,00

Petani hanya memiliki kemampuan finansial

yang sangat rendah, hal tersebut terlihat dari surplus

pendapatan sebesar 6.343.800,00 rupiah per tahun,

namun demikian hanya sebagian responden (61 %)

yang memeiliki surplus, sisanya 39 % petani dalam

kondisi defisit. Petani alainnya dalam kondisi pas-

pasan dan dalam kondisi kekurangan. Rendahnya

kemampuan finansial tersebut karena usahatani yang

mereka ikuti skalanya kecil, usahtani manggis

merupakan usaha sampingan, pendapatan dari

sumber lain terbatas. Berikut disajiakan nilai surplus

pendapatan petani

Tabel 8. Surplus Pendapatan Keluarga Petani

Manggis

Unsur Nilai (Rp) Persentase

(%)

Pendapatan keluarga 26.084.587,88 100,0

Pengeluaran keluarga 19.740.788,88 73,0

Surplus pendapatan

keluarga

6.343.800,00 27,0

KESIMPULAN 1) Pola pembiayaan petani manggis mengikut

kegiatan usahatani yang dilakukan, biaya

dikeluarkan saat sebelum pohon manggis

berbubunga, yaitu dilakukan penyiangan pada

bulan Juni dan Oktober, selanjutnya pemanenan

dari bulan Februar sampai bulan Mei dan selesai

panen mereka memupuk pohon manggis pada

bulan Mei. Dana yang dikeluarkan untuk

usahatani manggis jumlahnya sangat minim,

berasal dari dana pribadi.

2) Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani

adalah kelembagaan non formal (pinjam ke

bandar) jika mereka kekurangan dana untuk

kebutuhan keluarga dengan jaminan tanaman

yang akan dipanen (termasuk menjaminkan

pohon manggis)

3) Kemampuan finansial pertani Manggis sangat

rendah sehingga mereka menterlantarkan kebun

manggis memiliki, mereka mengeluarkan dana

yang sangat terbatas untuk memelihara kebun

manggis, disamping itu usaha manggis

memberikan kontribusi yang sangat kecil

terhadap pendapatan keluarga

Page 98: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

86

SARAN

1) Perlunya dukungan dana dari luar sehingga

petani dapat membiayai kebun manggisnya

2) Perlunya dorongan dari pihak terkait agar petani

memanen sendiri, mengikuti sistim penjualan

secara dikilo, mengingat sistim ini dapat

memperbaiki mutu manggis dan memberikan

harga jual yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bagi, F. S and I. .J Singh. 1974. A Microeconomic

Model of Farm Decisions in an LDC: A

Simultaneous Equation Approach. Occasional

Paper. No.207. Department of Agricultural

Economics and Rural Sociology. The Ohio State

University. Columbus-Ohio.

Becker, Gary S. 1965. A Theory of the Allocation of

Time. Journal of Economic, Vol. LXXV (299),

September 1965. Columbia.

Departemen Pertanian. (2007). Profil Manggis Di

Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta

Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2012).

Potensi Tanaman Buah-buahan. Melalui:

www.tasikmalayakota.go.id

Dinas Pertanian Kabupaten Subang. (2012) Potensi

Pertanian Melalui: www.subang.go.id

Eti Suminartika (1997). Kemampuan Petani PIR The

dan Kelapa Sawit dalam Peremajaan Tanaman.

IPB, Bogor.

Eti Suminartika (2006). Kemampuan Pembentukan

Modal Usaha pada Industri Pengolah Kedele di

Kota Bandung. UNPAD, Bandung.

Gaspez, Vincent. (1991). Tehnik pengambilan

Contoh untuk Penelitian Survei. Tarsito,

Bandung.

Kadarsan. (1992). Keuangan Pertanian dan

Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Koutsoyiannis, A. (1977). Theory of Econometrics:

An Introductory Exposition of Econometrics

Methods. 2nd Edition. The MacMillan Press Ltd.

New York.

Nelson, A. (1976). Agricultural Finance. The Iowa

State University Press, Ames.

Pindyk, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld 1991.

Econometric Models and Economic Forecast.

McGraw-Hill. New York.

Putri Hedya (2011). Pengaruh Penerapan Standar

Operasional prosedur terhadap pendapatan

Petani Maanggis di kecamatan Puspahiyang

Tasikmalaya. Fakultas Pertanian Unpad.

Bandung

Singh, I. J., L. Squire and J. Strauss. (1986). The

Basic Model: Theory, Empirical Result and

Policy Conclusions in Agricultural Household

Models: Extensions, Applications and Policy.

The John Hopkins University Press. Baltimore.

Page 99: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

87

Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel Modern

(Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan)

Rice Seller Perception and Attitude in Traditional Market toward Modern Ritel (Case

Study in Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan)

Fauziah TantryΒΉ, Sara Ratna Qanti2

ΒΉMahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21,

Jatinangor, Sumedang 45363, Indonesia 2Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian,Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21,

Jatinangor, Sumedang 45363, Indonesia

ABSTRAK

Kata Kunci:

Persepsi

Sikap

Pedagang beras

Ritel modern

Pasar tradisional

Tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan

negara di Asia lainnya. Saat ini penjualan beras tidak hanya terjadi di pasar tradisional

saja, tetapi juga di ritel modern yang mulai berkembang pesat dengan berbagai macam

format. Persamaan produk yang dijual di ritel modern dan juga pasar tradisional, salah

satunya beras, membuat munculnya berbagai persepsi dan sikap dari pedagang beras.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap para pedagang beras

akibat adanya ritel modern sehingga dapat memberikan bukti empiris terjadi tidaknya

pembangunan inklusif di sektor ritel produk pertanian. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik studi kasus yang

dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Responden pada penelitian ini adalah

seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Penelitian ini menunjukkan

bahwa pedagang beras tidak merasa terganggu dengan adanya ritel modern karena

mereka berpersepsi bahwa dengan adanya ritel modern tidak mempengaruhi besarnya

pendapatan mereka dan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan tawar menawar dan

praktik kasbon. Akan tetapi untuk variabel sikap, sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh

pedagang beras mengenai pandangan terhadap ritel modern yang menjual beras saat

ini dan sikap tidak mendukung ditunjukkan para pedagang beras terhadap

keberlanjutan ritel modern yang lokasinya terlalu dekat dengan lokasi penjualan

mereka.

ABSTRACT

Keywords:

Perception

Attitude

Rice seller

Modern retail

Traditional retail

The rice consumption level in Indonesia is relatively high compared to other countries

in Asia. Currently, rice is not only sold in traditional market, but also available in

various formats of modern retails. Infact, it makes many perceptions and attitudes of

rice sellesr. This study aims to determine the perceptions and attitudes of rice sellers

due to the existence of modern retail and to give empirical evidence whether or not

inclusive development occurred in agricultural products retail sector. The method that

is used in this research is descriptive qualitative, using case study technique. The data

is analyzed using descriptive analysis. Respondents in this study were rice sellers

located in Pasar Traditional Kordon, Bandung. The results show that traditional retail

rice sellers do not bothered by the presence of modern retail, their income are not

affected by the existence of modern market around their selling location, bargaining

and post transaction payment β€œkasbon” are two common activities that are still occur

in the traditional market and those are not affected by the modern market. On the

contrary, for attitude variable, hesitation are shown by rice sellers regarding to the

outlook of the modern retail selling rice and they don’t support the existence of modern

retails that are located too close with their location.

Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 100: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

88

PENDAHULUAN

Beras merupakan salah satu komoditas

pangan paling penting bagi masyarakat di Indonesia.

Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan

pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari setengah

penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang

asupan lebih dari 20 persen kalori. Lebih dari 90

persen beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6

negara Asia (China, India, Indonesia, Bangladesh,

Vietnam dan Jepang). Berdasarkan data hasil

SUSENAS–BPS tahun 2014,saat ini tingkat

konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun

cenderung mengalami penurunan.

Untuk memenuhi konsumsi beras

masyarakat di Indonesia saat ini beras tersedia

dengan berbagai jenis dan merk beras yang beredar

di pasaran. Saat ini penjualan beras pun tidak hanya

di pasar tradisional saja, tetapi juga tersedia di ritel

modern yang saat ini mulai berkembang dengan

cukup pesat dengan berbagai macam format.

Berdasarkan penelitian dari Business Watch

Indonesia (BWI), perkembangan ritel modern di

Indonesia sejak tahun 2000 semakin pesat yakni

sebesar 20% dan pada tahun 2007 naik menjadi 40%.

Di kota Bandung, berdasarkan data dari Aprindo

(2013) menunjukkan bahwa penjualan ritel modern

meningkat sebesar 18-22% per tahunnya.

Pesatnya perkembangan ritel modern saat ini

menimbulkan berbagai dampak, salah satunya yaitu

persaingan dengan pasar tradisional. Berdasarkan

data dari Aprindo (2013), dalam beberapa tahun

terakhir pertumbuhan minimarket sangat pesat, yaitu

pada awal tahun 2009 berjumlah 350 unit menjadi

500 unit hingga Maret 2010. Sedangkan jumlah pasar

tradisional di Jawa Barat terus berkurang setiap

tahunnya. Pada tahun 2005, di Jawa Barat masih

berdiri sekitar 700 pasar, tetapi seiring mulai

maraknya ritel modern, jumlah pasar tradisional pun

berkurang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir,

lebih dari 100 pasar tradisional di Jawa Barat yang

tutup.

Pesatnya perkembangan ritel modern di

Indonesia saat ini pun membuat munculnya berbagai

macam persepsi yang ditimbulkan oleh berbagai

pihak, termasuk para pedagang di pasar tradisional.

Salah satunya yaitu pedagang beras di Pasar Kordon,

Buah Batu, yang merupakan salah satu pasar

tradisional di Kota Bandung yang di sekitarnya

berdiri cukup banyak berdiri ritel modern dengan

berbagai format. Hal ini dikarenakan beras

merupakan salah satu komoditas pertanian pokok

yang saat ini tidak hanya dijual di pasar tradisional,

tetapi juga dijual di ritel modern besar, sedang,

maupun kecil (minimarket). Di Pasar Tradisional

Kordon sendiri penjualan beras mengalami fluktuasi

dari segi omzet, volume penjualan,dan jumlah

pembeli. Akan tetapi memang saat ini penjualan

beras di Pasar Tradisional Kordon memang dirasa

cukup berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun

sebelumnya. Untuk lebih jelas mengenai penjualan

beras di Pasar Tradisional Kordon dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 1. Data Penjualan Beras di Pasar Tradisional Kordon

Tahun Data Penjualan Per Hari

Omzet

(juta

rupiah)

Volume

Penjualan

(ton)

Jumlah

Pembeli

(orang)

2008-2011 10 1,5 100

2012-sekarang 10 1 70

Tabel 1 di atas merupakan rata-rata

penjualan per hari dari seluruh pedagang beras di

Pasar Kordon. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat

jika dari tahun 2008 sampai saat ini volume penjualan

beras dan juga jumlah pembeli per harinya cenderung

mengalami penurunan. Data tersebut menunjukkan

adanya suatu hal yang menyebabkan penurunan

volume penjualan dan jumlah pembeli per harinya.

Pasar Tradisional Kordon dikelilingi cukup

banyak ritel modern di sekitarnya, yang rata-rata

berjarak kurang dari 2 km dari pusat pasar. Ritel

modern tersebut diantaranya adalah Carrefour, Griya,

Borma, Alfamart, Indomart, dan Yomart. Ritel

modern tersebut termasuk dalam ritel modern besar,

sedang, dan kecil (minimarket). Ritel modern

besarnya adalah Carrefour Kiaracondong yang sudah

berdiri sejak tahun 2007 dan berjarak sekitar 1,1 km

dari pusat Pasar Kordon. Selanjutnya ritel modern

sedang yaitu Borma Ciwastra dan Griya Buah Batu

yang telah berdiri sejak tahun 2000 dan masing-

masing berjarak sekitar 2 km dari pusat pasar.

Selanjutnya ritel modern kecil yaitu Yomart dan

Alfamart yang telah berdiri sekitar tahun 2008 dan

masing-masing berjumlah dua gerai dengan jarak

rata-rata berjarak 500 m dari pusat pasar, bahkan ada

salah satu Gerai Yomart yang berlokasi tepat di

sebelah salah satu akses masuk Pasar Kordon. Ritel

modern kecil (minimarket) ini mulai berkembang di

sekitar Pasar Tradisional Kordon sejak 5 tahun

terakhir.

Banyaknya ritel modern yang berdiri di

sekitar Pasar Tradisional Kordon menjadi salah satu

alasan pemilihan tempat penelitian. Pemilihan tempat

penelitian ini dilakukan karena Pasar Kordon

merupakan salah satu pasar tradisional di Bandung

yang sudah berdiri lebih lama dibandingkan pasar

lain di sekitarnya dan masih tetap bertahan sampai

Page 101: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

89

saat ini ditengah marak berdirinya ritel modern di

sekitarnya, seperti Carrefour, Griya, Borma, dll.

Persepsi yang ditimbulkan dari para

pedagang beras tersebut nantinya akan

mempengaruhi sikap apa yang akan dilakukan terkait

dengan adanya ritel modern. Sikap positif atau

negatif akan tergantung dari persepsi para pedagang

beras terhadap adanya ritel modern yang menjual

beras. Persepsi dan sikap dari para pedagang di Pasar

Tradisional Kordon terhadap dampak yang

ditimbulkan oleh pesatnya pertumbuhan ritel modern

di sekitar pasar merupakan faktor yang sangat

penting terkait dalam perkembangan ritel modern

maupun pasar tradisional itu sendiri.

Persepsi dan sikap dari para pedagang sangat

terkait dengan besar kecilnya atau positif negatifnya

dampak yang diperoleh para pedagang dari pesatnya

pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar tradisional.

Ritel modern yang saat ini sudah berkembang cukup

pesat pun tidak mungkin dapat dihilangkan, untuk itu

diperlukan adanya keselarasan dalam persaingan

yang terjadi antara ritel modern dan juga pasar

tradisional. Oleh karena itu, sangat pentingnya

persepsi dan sikap yang ditimbulkan oleh para

pedagang yang dapat mempengaruhi perkembangan

ritel modern dan juga eksistensi dari para pedagang

beras dalam menjalankan usaha bisnis penjualan

beras agar keduanya dapat berjalan secara selaras.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

1. Persepsi

Menurut Gibson (2000), persepsi adalah

proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang

untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.

Robbins (2006) menyatakan bahwa persepsi adalah

proses yang digunakan individu dalam

mengorganisasi dan menafsirkan kesan yang

ditangkap oleh indra mereka untuk memberi makna

kepada lingkungan mereka. Menurut Atkinson

(1997), persepsi adalah proses dimana kita

mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus yang

ada di sekitar kita ke dalam lingkungan. Persepsi juga

merupakan proses penggabungan sensasi. Sensasi ini

merupakan tahap paling awal dalam penerimaan

infomasi.Jadi dapat disimpulkan, persepsi adalah

sebuah proses pengenalan terhadap suatu objek

(benda, manusia, gagasan, gejala, dan peristiwa)

yang dapat memberi makna dan nilai kepada suatu

objek dengan menonjolkan sifat khas dari suatu objek

serta hasil dari persepsi bisa berupa tanggapan atau

penilaian yang berbeda dari setiap individu.

2. Sikap

Menurut Zanna & Rempel (1988), sikap

merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak

disukai terhadap sesuatu atau seseorang,

menunjukkan kepercayaan, perasaan, atau

kecenderungan perilaku seseorang. LaPierre (1934)

mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku,

tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk

menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara

sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus

sosial yang telah terkondisikan. Berdasarkan definisi

di atas, dapat dapat disimpulkan bahwa sikap adalah

suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang

terhadap suatu hal yang bersifat mendekati (positif)

atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif &

kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku

tertentu.

Menurut Azwar (2012), sikap terdiri dari tiga

komponen yang saling menunjang yaitu :

1. Komponen kognitif berhubungan dengan

kepercayaan dan keyakinan, ide, konsep. Bagian

dari kognitif yaitu: persepsi, stereotype, opini

yang dimiliki individu mengenai sesuatu.

2. Komponen afeksi berhubungan dengan

kehidupan emosional seseorang, menyangkut

perasaan individu terhadap objek sikap dan

menyangkut masalah emosi. Afeksi merupakan

komponen rasa senang atau tidak senang pada

suatu objek.

3. Komponen perilaku/konatif merupakan

komponen yang berhubungan dengan

kecenderungan seseorang untuk berperilaku

terhadap objek sikap.

3. Keberadaan Ritel Tradisional dan Ritel

Modern

Berdasarkan hasil penelitian Amin (2011),

dampak negatif dari keberadaan supermarket

dirasakan oleh para pedagang di pasar tradisional

terutama untuk barang-barang sembako kering,

seperti beras, gula, telur, minyak, dll. Sedangkan

untuk komoditas basah seperti ikan, daging dan

sayuran relatif tidak banyak berpengaruh. Hal ini

disebebkan ritel modern juga menyediakan

komoditas sejenis, sehingga para pedagang

tradisional terkena dampak negatif akibat adanya ritel

modern. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian

Suryadarma dkk (2007), di Pasar Pamoyanan,

Bandung, para pedagang juga menyatakan bahwa

dampak supermarket tidak sesignifikan akibat atau

dampak yang ditimbulkan oleh masalah internal yang

kerap mereka alami di pasar. Selain itu, mereka juga

mengakui bahwa ada sedikit perbedaan dalam hal

karakteristik pembeli yang datang ke pasar

Page 102: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

90

tradisional dan modern, misalnya, para pedagang

keliling dan pemilik warung/toko kecil masih

memilih untuk berbelanja di pasar tradisional.

Berdasarkan hasil penelitian dari Minten

(2007), dalam The International Food Policy

Research Institute (IFPRI), pedagang beras di pasar

tradisional terancam keberadaannya semenjak

hadirnya ritel modern di Madagaskar, yang

menyebabkan konsumen beralih membeli beras di

supermarket. Hal ini dikarenakan tingkat kesediaan

konsumen untuk membayar beras dengan kualitas

yang baik serta berbelanja di tempat yang nyaman

yang disediakan oleh supermarket sangatlah tinggi.

Madagaskar bisa menjadi perbandingan dengan

kondisi ritel di Indonesia, karena memiliki kesamaan

sebagai negara berkembang. Selain itu, menurut

penelitian dari IFPRI Madagaskar juga merupakan

salah satu negara yang telah berdiri banyak ritel

global selama lebih dari satu dekade terakhir.

Temuan-temuan tersebut berkaitan pada

penentuan variabel dalam penelitian ini. Berdasarkan

temuan-temuan sebelumnya, diperoleh variabel

pendapatan, jumlah pembeli, volume penjualan,

durasi berjualan, dll. Untuk lebih jelasnya akan

dijelaskan pada bab pembahasan.

METODE PENELITIAN

Desain yang digunakan dalam penelitian ini

adalah desain kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu

metode-metode penelitian untuk mengeksplorasi dan

memahami makna yang oleh sejumlah individu atau

kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial

atau kemanusiaan (John W . Creswell, 2009).Teknik

penelitian yang digunakan berupa studi kasus (case

study) yaitu penelitian yang terinci tentang seseorang

atau suatu unit selama kurun waktu tertentu

(Sugiyono, 2007).

Objek penelitian ini adalah para pedagang

beras yang berada di dalam Pasar Tradisional

Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan. Data

diperoleh dari informan dan responden. Informan

dalam penelitian ini diantaranya adalah para

pengelola pasar dan orang-orang yang tinggal

disekitar pasar yang mengetahui sejarah pasar, serta

pemerintah daerah setempat. Responden dalam

penelitian ini adalah seluruh pedagang beras di Pasar

Tradisional Kordon, yaitu berjumlah 5 orang

pedagang beras.

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini

adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah jenis data

yang diperjelas dari tanggapan- tanggapan para

pedagang beras yang berada di Pasar Tradisional

Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan, yang

kemudian akan diolah menjadi data kuantitatif

dalam sebuah persentase yang disajikan dalam

bentuk chart.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai

persepsi dan sikap pedagang beras terhadap

keberadaan ritel serta kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan keberadaan ritel tradisional dan

modern.

1. Persepsi Para Pedagang Beras Terhadap

Dampak Ritel Modern

a. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Dampak

Ritel Modern

80 persen responden menyatakan tidak terlalu

khawatir dengan ritel modern yang juga menjual

beras. Hal ini dikarenakan sebagian besar para

pedagang beras tersebut mengetahui jika beras yang

dijual di pasar tradisional dan ritel modern memiliki

kelebihan dan kekurangan masing-masing, selain itu

pangsa pasarnya pun berbeda sehingga para

pedagang beras tidak terlalu khawatir tersaingi

dengan ritel modern yang saat ini menjual beras.

Gambar 1. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel

Modern Yang Juga Menjual Beras

Menurut responden, konsumen yang menjadi

langganan mereka adalah konsumen yang berniat

menjual lagi berasnya atau konsumen yang

menggunakan beras sebagai bahan baku untuk

usahanya (seperti penjual warung makanan siap saji).

Konsumen jenis ini sepertinya memilih ritel

tradisional karena mereka bisa membeli dalam

jumlah yang relatif fleksibel (dari eceran sampai

dengan dalam karungan sebesar 25 kg) jika

dibandingkan dengan membeli di ritel modern

dimana hanya menjual beras dalam kemasan sebesar

3kg, 5kg, 10 kg, dan 20 kg.

Selain menawarkan keleluasaan dalam membeli

kuantitas beras, pedagang di ritel tradisional juga

menawarkan harga jual yang lebih murah untuk jenis

beras yang sama jika dibandingkan dengan harga di

ritel modern. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 2 berikut

ini.

80%

20%

Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras

Page 103: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

91

Tabel 2. Perbandingan Harga Jual Beberapa Jenis Beras

yang Dijual di Pasar Kordon dan Ritel Modern Sekitarnya

b. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Pendapatan Usaha

Sebagian besar responden (80%)

menganggap adanya ritel modern saat ini yang juga

menjual beras tidak berpengaruh terhadap

pendapatan yang mereka dapat. Mereka

mengungkapkan bahwa pendapatan usaha yang

didapatkan masih tetap sama sebelum ataupun

sesudah adanya ritel modern yang menjual beras.

Mereka merasa yang mempengaruhi turunnya

pendapatan usaha penjualan beras mereka bukanlah

berasal dari ritel modern yang juga menjual beras,

tetapi dari menurunnya volume penjualan yang

disebabkan oleh banyaknya isu yang belakangan

beredar di masyarakat saat ini seperti isu beras

plastik. Hal tersebut lah yang membuat pendapatan

mereka sempat anjlok.

Berdasarkan hasil wawancara dan juga

pengamatan peneliti, adanya perbedaan pendapatan

yang didapat oleh para pedagang beras di Pasar

Tradisional Kordon bukan disebabkan oleh ritel

modern, akan tetapi lebih dikarenakan perbedaan

ketersediaan jenis beras yang dijual dan juga lokasi

kios. Pedagang Beras 1 dan 4 merupakan pedagang

beras yang hanya menjual beras yang mengaku per

harinya mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000,-

. Menurut peneliti hal ini dikarenakan ketersediaan

jenis beras yang lebih lengkap dibandingkan dengan

pedagang lain. Selain itu, Pedagang Beras 3 juga

mengaku omzet per hari dari menjual beras bisa

mencapai Rp 10.000.000.-. Menurut peneliti hal ini

dikarenakan Pedagang Beras 3 memiliki lokasi kios

yang paling strategis. Meskipun Pedagang Beras 3

memiliki ketersediaan jenis beras yang kurang

lengkap jika dibandingkan dengan Pedagang Beras 1

dan 4, akan tetapi Pedagang Beras 3 memiliki lokasi

kios di pinggir jalan raya sehingga merupakan tempat

paling strategis karena selalu dilewati banyak orang.

Pedagang Beras 5 yang merupakan pedagang

beras dengan omzet paling kecil, menurut peneliti hal

ini dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis beras

yang kurang lengkap dan juga lokasi yang kurang

strategis, sehingga membuat Pedagang Beras 5 hanya

mendapat omzet sebesar Rp 6.000.000 per harinya.

Untuk Pedagang Beras 2, pedagang beras yang

mengaku cukup sulit untuk mendapatkan omzet

sebesar Rp 10.000.000,- per harinya ini menurut

peneliti dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis

beras yang kurang lengkap.

Gambar 2. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Pendapatan Usaha

c. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Volume Penjualan Beras

Seluruh responden mengganggap adanya

ritel modern yang saat ini menjual beras tidak

berpengaruh signifikan terhadap perubahan volume

penjualan beras di toko beras mereka. Menurut

pengakuan para pedagang beras, volume penjualan

beras masih relatif sama dari sebelum ataupun

sesudah adanya ritel modern yang juga menjual

beras, yaitu sebesar kurang lebih 1 ton per harinya.

Kalaupun ada perubahan volume penjualan, lebih

disebabkan karena isu mengenai beras plastic

beberapa waktu lalu.

d. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jumlah Pembeli

Seluruh pedagang beras di Pasar Kordon

menunjukkan persepsi ragu-ragu terhadap pengaruh

jumlah pembeli akibat adanya ritel modern. Para

pedaganh;lg beras di Pasar Tradisional Kordon

mengakui adanya penurunan jumlah pembeli saat ini

dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

Akan tetapi mereka tidak yakin hal ini disebabkan

karena adanya ritel modern di sekitar pasar. Mereka

mengakui saat ini rata-rata pembeli beras per hari

sekitar 70 orang pembeli per hari. Padahal pada

80%

20%

Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha

TidakBerpengaruh

Berpengaruh

Page 104: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

92

tahun-tahun sebelumnya mereka mengakui jumlah

pembeli per hari bisa lebih dari 100 orang pembeli.

Pendapat ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2,

3.

e. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jam Operasional Usaha

Sebagian besar pedagang beras di Pasar

Kordon (80%) menyatakan adanya ritel modern tidak

berpengaruh terhadap perubahan jam operasional

usaha. Mereka memang mengakui adanya perubahan

jam operasional usaha saat ini, tetapi bukan

disebabkan karena adanya ritel modern. Hal ini

diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 4 dan 5. Mereka

mengakui melakukan perubahan jam operasional

karena memang sudah menurunnya jumlah pembeli

saat ini sehingga harus menutup tokonya lebih awal.

Akan tetapi terdapat satu responden yang

menyatakan adanya ritel modern berpengaruh

terhadap jam operasional usaha toko berasnya.

Pedagang beras tersebut sengaja merubah jam

operasional usahanya untuk membedakan dengan

jam operasional usaha dari ritel modern.

Gambar 3. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jam Operasional Usaha

f. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Jarak Ritel Modern dengan Pasar Kordon

Seluruh pedagang beras memberikan

persepsi tidak setuju terhadap jarak ritel modern di

sekitar Pasar Kordon yang terlalu dekat dengan pusat

pasar. Hal ini dapat ditunjukkan dari persepsi seluruh

pedagang beras yang mengungkapkan bahwa jarak

ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar dapat

mengganggu eksistensi dari para pedagang di Pasar

Tradisional Kordon itu sendiri.

Seluruh pedagang beras beranggapan

demikian, karena tidak setuju dengan pemerintah

daerah setempat yang memberikan izin kepada

peritel modern yang mendirikan ritel modern dengan

jarak terlalu dekat dengan pusat pasar, bahkan

terdapat salah satu minimarket yang letaknya hanya

berjarak sekitar 100 meter dari salah akses masuk

Pasar Tradisional Kordon. Hal ini tidak sesuai

dengan Perda Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009,

yang salah satu pasalnya menyatakan bahwa

minimarket berjarak minimal 0,5 Km dari pasar

tradisional dan 0,5 Km dari usaha kecil sejenis yang

terletak di pinggir kolektor/arteri serta supermarket

dan departement store berjarak minimal 1,5 Km dari

pasar tradisional yang terletak di pinggir

kolektor/arteri. Untuk lebih jelasnya mengenai

Peraturan Daerah Kota Bandung akan dibahas pada

sub bab selanjutnya.

g. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Budaya Tawar Menawar Pedagang dan

Pembeli

Persepsi dari seluruh pedagang beras

terhadap pengaruh budaya penjualan juga

menyatakan bahwa adanya ritel tidak berpengaruh

terhadap budaya tawar-menawar antar pedagang dan

pembeli. Seluruh pedagang beras beranggapan tidak

ada perbedaan budaya penjualan yang dilakukan dari

sebelum dan sesudah adanya ritel modern yang saat

ini menjual beras. Budaya penjualan seperti budaya

tawar menawar antar pedagang dan pembeli juga

masih tetap ada hingga saat ini.

Berdasarkan hasil penelitian ini, budaya

tawar menawar antar pedagang dan pembeli masih

akan tetap ada, hal ini dikarenakan budaya tawar

menawar merupakan salah satu ciri khas dari pasar

tradisional. Selain itu adanya interaksi sosial yang

tercipta antar pedagang dan pembeli pada saat proses

tawar menawar itu terjadi lah yang menjadi salah satu

ciri khas pasar tradisional. Hal tersebut tidak akan

dapat ditemui di ritel modern, dimana pembeli

diharuskan menjadi konsumen yang mandiri.

h. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Fasilitas Yang Ditawarkan

Sebagian besar pedagang beras (60%)

mengakui adanya ritel modern saat ini berpengaruh

terhadap fasilitas yang ditawarkan kepada pembeli.

Salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah delivery

order. Menurut pengakuan dari para pedagang beras

yang merasa adanya ritel modern berpengaruh

terhadap fasilitas yang ditawarkan ini menganggap

adanya ritel modern mendorong mereka untuk

melakukan hal ini. Jadi para pembeli yang sudah

mengenal para pedagang beras dapat memesan beras

melalui telepon dan beras akan diantarkan ke rumah

pembeli dengan menggunakan motor ataupun mobil,

tergantung pada volume pembelian beras yang dibeli.

Fasilitas ini diakui dijadikan sebagai salah satu

strategi usaha. Mereka mengakui ini sebagai salah

20%

80%

Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha

Berpengaruh

TidakBerpengaruh

Page 105: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

93

satu keunggulan pasar tradisional, jika dibandingkan

dengan ritel modern karena dapat melakukan

pembelian lewat telepon.

Gambar 4. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas

yang Ditawarkan

i. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh

Budaya Kasbon

Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional

beranggapan bahwa adanya ritel modern tidak

berpengaruh terhadap budaya kasbon. Mereka

mengakui bahwa budaya kasbon masih tetap ada dari

sebelum adanya ritel modern sampai saat ini. Hal ini

seperti diungkapkan oleh Pedagang Beras 4. Beliau

mengatakan bahwa, β€œAda aja sih orang yang kasbon

mah gak berubah dari dulu juga. Malah ada juga

yang cuma ambil beras tapi bayarnya mah nggak.”

2. Sikap Para Pedagang Beras Akibat Adanya

Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras

a. Sikap Pedagang Beras Mengenai Pandangan

Terhadap Ritel Modern Yang Menjual Beras

Saat ini

Sebagian besar para pedagang beras (80%) di

Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang

ragu-ragu terhadap ritel modern yang saat ini menjual

beras. Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan para

pedagang ini dapat terjadi karena mereka memang

merasa adanya ritel modern saat ini tidak

mengganggu tetapi pada dasarnya mereka juga

merasa khawatir jika nantinya ritel modern yang saat

ini juga menjual beras akan mempengaruhi eksistensi

penjualan beras mereka.

b. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan

Keberlanjutan Ritel Modern

Sebagian besar para pedagang beras (60%) di

Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang

ragu-ragu terhadap dukungan keberlanjutan ritel

modern, dan selebihnya sebanyak 2 responden

menunjukkan sikap tidak setuju terhadap dukungan

keberlanjutan ritel modern. Hal ini dikarenakan pada

dasarnya mereka merasa khawatir jika nantinya ritel

modern dapat merugikan mereka.

Gambar 6. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan

Keberlanjutan Ritel Modern

c. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan

Melakukan Strategi Usaha

Sebagian besar responden (60%) mengaku

tidak melakukan strategi apapun terkait dengan

adanya ritel modern di sekitar Pasar Kordon saat ini.

Hal ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2, dan

3. Seperti contoh diungkapkan oleh Pedagang Beras

2. Beliau menyatakan, β€œNggak sih gak ngelakuin

strategi apa-apa. Tapi sebenernya mah pengen gitu

kayak kasih harga diskon atau kualitas beras jadi

tambah bagus tapi belom terlaksana sih.” Pada

dasarnya Pedagang Beras 2 mau melakukan strategi

usaha guna meningkatkan pelayanan terhadap

konsumen. Akan tetapi keterbatasan modal yang

dimiliki Pedagang Beras 2 sehingga ia tidak memiliki

biaya khusus untuk memberikan diskon kepada para

pelanggan dan juga meningkatkan kualitas beras.

Gambar 7. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan

Melakukan Strategi

d. Sikap Pedagang Beras Terhadap

Penyampaian Keluhan

Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional

Kordon menunjukkan sikap yang negatif terhadap

penyampaian keluhan akibat terlalu pesatnya

perkembangan ritel modern di sekitar pasar

tradisional saat ini. Dalam hal ini keluhan utama yang

60%

40%

Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas yang Ditawarkan

Berpengaruh

TidakBerpengaruh

60%

40%

Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern

Tidak Setuju

Ragu-ragu

40%

60%

Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi Usaha

MelakukanStrategi

TidakMelakukanStrategi

Page 106: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

94

muncul ada mengenai jarak ritel modern yang terlalu

dekat dengan Pasar Tradisional Kordon.

Pada dasarnya keluhan seringkali terucap

oleh para pedagang beras di Pasar Tradisional

Kordon mengenai sikap kurang setuju terhadap

berdirinya ritel modern yang jaraknya terlalu dekat

dengan pasar, tetapi keluhan ini tidak pernah mereka

sampaikan pada pemerintah daerah setempat. Mereka

mengakui bahwa tidak memiliki akses dan tidak

mengetahui bagaimana cara untuk menyalurkan

keluhan tersebut kepada pemerintah daerah setempat

sehingga belum pernah menyampaikan keluhan

sampai saat ini.

3. Kebijakan Pemerintah

a. Lokasi dan Jarak Ritel Modern

Berdasarkan isi dari Peraturan Daerah Kota

Bandung Nomor 02 tahun 2009, menyatakan jika

jarak ritel modern kecil (minimarket) seharusnya

adalah 0,5 km dari pasar tradisional. Hal ini sangat

tidak sesuai dengan keadaan di lingkungan Pasar

Tradisional Kordon. Untuk minimarket, di sekitar

Pasar Tradisional Kordon terdapat empat buah

minimarket, yaitu Yomart dan Alfamart yang

masing-masih berjumlah dua gerai dan berjarak rata-

rata 500 m dari pusat pasar.

Dengan tidak sesuainya Peraturan Daerah

Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009 yang mengatur

tentang ritel modern dan pasar tradisional, dengan

keadaan saat ini di lingkungan Pasar Tradisional

Kordon, maka menimbulkan adanya berbagai

persepsi dari para pedagang beras. Seperti telah

dibahas dalam sub bab sebelumnya, seluruh

pedagang beras menyatakan tidak setuju dengan

jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar.

Hal ini dikarenakan mereka merasa jika nantinya ritel

modern akan mempengaruhi eksistensi mereka

sebagai pedagang di Pasar Tradisional Kordon.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya salah satu

pedagang beras mengungkapkan jika harusnya jarak

ritel modern tidak terlalu dekat dengan pasar

tradisional seperti keadaan saat ini di Pasar

Tradisional Kordon.

b. Jam Operasional

Selain jarak dan lokasi kios, jam operasional

usaha juga termasuk salah satu hal yang diatur dalam

Perda Kota Bandung. Salah satu hal yang diatur

dalam Perda Kota Bandung adalah mengenai

maksimal jam oeprasional usaha yaitu hanya 12 jam.

Akan tetapi nyatanya saat ini masih banyak ritel

modern yang beroperasi lebih dari 12 jam. Untuk

keadaan ritel modern di sekitar Pasar Tradisional

Kordon, masih ada beberapa ritel modern yang

melanggar peraturan tersebut dengan durasi

operasional melebihi 12 jam. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel3. Jam Operasional Ritel Modern

No. Ritel Modern Jam Operasional Durasi

1. Carrefour 09.00-22.00 13 jam

2. Borma 08.00-21.00 13 jam

3. Griya 09.00-21.00 12 jam

4. Yomart 07.00-22.00 15 jam

5. Indomaret 08.00-22.00 14 jam

6. Alfamart 08.00-23.00 15 jam

Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat jika

sebagian besar ritel modern yang ada disekitar Pasar

Tradisional Kordon melanggar ketentuan Perda Kota

Bandung. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jika

Yomart dan Alfamart adalah dua ritel modern kecil

yang memiliki durasi berjualan paling lama.

Ketidaksesuaian ini menimbulkan adanya berbagai

persepsi dari para pedagang beras di Pasar

Tradisional Kordon. Seperti telah dibahas

sebelumnya, terdapat salah satu pedagang beras yang

mengungkapkan jika ia sengaja membuka tokonya

lebih awal sebagai salah satu strategi bisnis usahanya.

Sampai saat ini jam operasional usaha ritel

modern yang berada di sekitar Pasar Tradisional

Kordon masih sama yaitu sebagian besar beroperasi

lebih dari 12 jam. Untuk itu seharusnya pemerintah

daerah setempat dapat lebih tegas menindak ritel

modern yang beroperasi lebih dari 12 jam, karena

dikhawatirkan nantinya ritel modern dapat

memusnahkan pasar tradisional dan juga toko

kelontong disekitarnya.

PENUTUP

Berdasarkan persepsi dari para pedagang beras,

adanya ritel modern yang menjual beras tidak

mengganggu usaha mereka. Dalam sektor ekonomi,

berdasarkan persepsi para pedagang beras

menunjukkan adanya ritel modern saat ini tidak

berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak

berpengaruhnya ritel modern terhadap pendapatan

usaha, volume penjualan, jumlah pembeli dan jam

operasional usaha. Akan tetapi mereka merasa

terganggu terhadap jarak ritel modern yang terlalu

dekat dengan pasar. Dalam sektor sosial budaya,

adanya ritel modern juga tidak berpengaruh. Hal ini

ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya budaya

tawar menawar dan juga budaya kasbon. Akan tetapi

persepsi pedagang beras terhadap pengaruh fasilitas

yang diberikan akibat adanya ritel modern

menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hasil

penelitian ini, ritel modern berpengaruh terhadap

persepsi pedagang beras terkait fasilitas yang

Page 107: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

95

diberikan para pedagang beras terhadap para

pembeli. Hal ini menjadikan keunggulan pedagang

beras di Pasar Tradisional Kordon. Hal ini

menunjukkan bahwa ternyata adanya ritel modern

saat ini tidak merubah unsur sosial budaya pada pasar

tradisional.

Sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh pedagang

beras mengenai pandangan terhadap ritel modern

yang menjual beras saat ini. Selain itu sikap tidak

mendukung ditunjukkan para pedagang beras

terhadap keberlanjutan ritel modern, mereka tidak

setuju dengan keberlanjutan ritel modern saat ini.

Tindakan melakukan strategi terhadap usahanya

menunjukkan hasil jika ritel modern tidak

mendorong mereka untuk melakukan strategi

apapun. Pada variabel sikap penyampaian keluhan

pun menunjukkan hasil jika hadirnya ritel modern

tidak mempengaruhi para pedagang beras untuk

menyampaikan keluhan mereka kepada pemerintah

daerah setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Danial El. 2011. Dampak Pasar Modern

Terhadap Pedagang di Pasar Tradisional di

Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon.

Tesis Magister Ekonomi, Fakultas Ekonomi,

Universitas Indonesia.

Approach. Upper Saddle River :Prentice

Hall Intl,Inc.

Atkinson, R. L., Atkinson, R.C. 1997.Pengantar

Psikologi 1. Judul asli Introduction to

Psychology eighth edition.. Jakarta, Penerbit

Erlangga.

Azwar, Saifuddin. 2012. Metode Penelitian.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gibson, James,L. 2000. Organisasi, Perilaku,

Struktur dan Proses. Edisi ke-5. Cetakan ke-

3. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Minten, Bart (2007). The Food Retail Revolution in

Poor Countries: Is It Coming or Is It Over?

Evidence from Madagascar. New Delhi:

International Food Policy Research Institute

– IFRI.

Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi.

Edisi kesepuluh. Jakarta: PT Indeks

Kelompok Gramedia

Suryadarma, dkk. 2007. Laporan Penelitian :

Dampak Supermarket terhadap Pasar dan

Pedagang Ritel Tradisional di Daerah

Perkotaan di Indonesia. Lembaga Penelitian

SMERU.

http://www.smeru.or.id/report/research/supe

rmarket/supermarket_ind.pdf

Page 108: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

96

Page 109: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

97

Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Dalam Pengembangan Rantai Pasok

Komoditas Bawang Merah (Allium cepa L.) di Kabupaten Brebes

Stakeholders Identification and Mapping in Shallots Supply Chain Development in

Brebes District

Fernianda Rahayu Hermiatin1, Tomy Perdana1, Eddy Renaldi1

Fakultas Pertanian, Agribisnis Universitas Padjadjaran

Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang

A B S T R A K

Kata Kunci:

komoditas Bawang

Merah,

Stakeholder, Business

Social Resposibility

(BSR)

Komoditas bawang merah merupakan komoditas yang memiliki kompleksitas dan

karakteristik yang cenderung dinamis, sehingga diperlukan pengembangan klaster

bawang merah yang lebih terkoordinir dan terintegrasi dengan baik. Dimana

pengembangan klaster tersebut melibatkan banyak pihak yang terkait yang memiliki

tujuan dan keinginan masing-masing. Oleh karena itu, munculnya perbedaan

kepentingan dan setiap pelaku masing-masing cenderung lebih berusaha untuk

memenuhi kebutuhan sendiri. Atas dasar tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi

dan pemetaan stakeholder yang terlibat pada rantai pasok komoditas bawang merah.

Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Mekar Jaya, Desa Klampok, Kecamatan

Wanasari Kabupaten Brebes dengan metode analisis menggunakan Business Social

Resposibility (BSR) untuk mengetahui dan mengidentifikasi peranan masing-masing

pelaku yang terlibat pada kegiatan rantai pasok bawang merah. dari hasil analisis,

terdapat 5 (lima) pelaku yang terlibat dalam kegiatan rantai pasok komoditas bawang

merah di Kelompok Tani Mekar Jaya, pelaku tersebut antara lain adalah kelompok tani

Mekar Jaya, perbankan, industry pengolahan bahan makanan, Bank Indonesia, dan

Universitas Padjadjaran. Setiap pelaku yang terlibat berperan sesuai dengan tugas dan

tanggungjawab masing-masing pelaku.

ABSTRACT

Keywords:

Shallots,

Stakeholder,

Business Social

Responsibility (BSR)

Shallots is one of the commodity who has complexity and characteristics that tend to

be dynamic. That is necessitating development of shallots clusters which have

coordinated and integrated. Clusters development is involved multi stakeholders who

has goals and desires of each stakeholder. Therefore, this multi stakeholder

development has of many interests and every actors strives to meet their respective

goals than the common interest. Based on this situations, it would require to the

stakeholders identifying and mapping which are involved in shallots supply chain. This

research is carried in Mekar Jaya farmer groups, Klampok village, Wanasari, Brebes

district with applied Business Social Responsibility (BSR) analysis to develop

sustainable business strategies and solutions through consulting, research, and cross-

sector collaboration. This results identified 5 (five) actors who involved in the shallots

supply chain in Mekar Jaya farmer groups. Those actors are Mekar Jaya farmer

groups, bank, food processing industry, Central Bank of Indonesia, and Padjadjaran

University and every stakeholders has private goals and interest.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 110: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

98

PENDAHULUAN

Pengembangan kegiatan pertanian pada

umumnya melibatkan banyak pihak seperti pada teori

yang dikemukakan oleh Simchi-Levi et al, (2000).

Rantai pasok merupakan suatu sistem yang terdiri

dari pemasok (supplier), pabrik (Manufacturer),

distributor, dan pengecer (retailer) sebagai bagian

dari pelaku rantai pasok yang mengolah atau

memproses raw material menjadi suatu produk, yang

kemudian disalurkan atau didistibusikan untuk

memenuhi kebutuhan konsumen. Banyaknya pihak

yang terlibat dalam suatu kegiatan rantai pasok

menimbulkan adanya perbedaan kepentingan

sehingga pencapaian outcome bersama tidak dapat

terealisasikan. Perbedaan kepentingan dari setiap

masing-masing pelaku dalam suatu rantai pasok

dapat dilihat ketika masing-masing pelaku rantai

pasok lebih berusaha untuk memenuhi kebutuhan

masing-masing. Hal tersebut terjadi dikarenakan

setiap pelaku yang terlibat dalam suatu rantai pasok

bertindak secara perorangan berdasarkan pada

pandangan lokal dan tingkah laku yang oportunis

(Chopra dan Meindl, 2007).

Setiap pelaku yang terlibat dalam sebuah

rantai pasok pertanian memiliki peranan dan

tanggungjawab masing-masing sesuai dengan

kemampuan dan kapasitas pelaku dalam kegiatan

pertanian tersebut. Pada umumnya, setiap pelaku

rantai pasok memiliki tujuan dan peranan masing-

masing. Peranan tersebut ada yang berkeinginan

lebih kuat namun pemahamannya kurang ataupun

sebaliknya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu

kolaborasi yang sesuai dan seimbang dalam

pengembangan kegiatan rantai pasok pertanian.

Dalam realisasinya, setiap pelaku yang terlibat dalam

suatu rantai pasok tidak hanya tergantung pada

rasionalitas namun juga memerlukan keterlibatan

emosi, maksud-maksud tersembunyi dan

ketidakrasionalan (Howard,1999).

Sektor pertanian merupakan sektor yang

memiliki tingkat kompleksitas dan karakteristik yang

cenderung dinamis dimana dalam pengembangan

rantai pasok pertanian diperlukan pengembangan

inovasi kelembagaan (Institutional collaboration)

berupa peraturan yang dikembangkan dan dibuat

untuk setiap pelaku yang terlibat dalam rantai pasok

pertanian yang mampu untuk mereduksi seluruh

aktivitas rantai pasok dan biaya transaksi yang timbul

akibat keterbatasan petani. Inovasi kelembagaan

tersebut dapat terbentuk akibat interaksi yang

dibangun antara petani dan pasar, interaksi dengan

perbankan, universitas, swasta, dan pemerintah

(Perdana, 2011).

Sejalan dengan yang di kemukakan oleh

Vermuelen, et all (2008) untuk terbentuknya outcome

yang paling baik untuk petani, maka dibutuhkan

kolaborasi dengan pihak lain seperti pemerintah,

Universitas, pihak swasta, dan organisasi masyarakat

lainnya dimana kolaborasi tersebut dikenal dengan

nama Tree way deal. Kolaborasi multi stakeholders

menggambarkan suatu proses yang bertujuan untuk

pengambilan keputusan dan kegiatan komunikasi

terhadap suatu masalah (Hemmati, 2002).

Salah satunya adalah komoditas bawang

merah yang dianggap sebagai komoditas hortikultura

yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan salah satu

komoditas penyumbang inflasi. Komoditas bawang

merah memiliki karakteristik yang cukup kompleks

dan dinamis. Fluktuasi harga jual bawang merah di

pasar tradisional sangatlah tinggi dan berpengaruh

terhadap kegiatan perekonomian petani bawang

merah di Kabupaten Brebes yang merupakan

kabupaten terbesar penghasil komoditas bawang

merah di Indonesia. Proses kegiatan on farm hingga

off farm belum dilakukan secara sinergi dan

terkoordinir.

Oleh karena itu, diperlukan pengembangan

manajemen rantai pasok bawang merah di Kabupaten

Brebes yang melibatkan petani, pasar, dan pihak

ketiga seperti Bank Indonesia/lembaga penelitian dan

pemberdayaan lainnya yang dirasa perlu dilakukan

untuk membantu peningkatan kapasitas produksi dan

kemampuan petani dalam menyediakan produk yang

berkualitas sesuai dengan permintaan pasar.

Pengembagan rantai pasok yang terintegrasi

tersebut salah satunya diterapkan dengan membentuk

suatu klaster komoditas bawang merah yang

dikembangkan pada kelompok tani Mekar Jaya yang

berlokasi di Gang Mushola, Desa Klampok,

Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Dimana

kelompok tani Mekar Jaya pada saat ini tengah

berkolaborasi dengan beberapa pihak lain seperti

industri pengolahan bahan makanan sebagai

pengembangan pasar terstruktur untuk pemasaran

bawang merah, Bank Indonesia dan perbankan

sebagai lembaga pembiayaan rantai pasok komoditas

bawang merah di Kabupaten Brebes.

Pengembangan klaster dalam suatu kegiatan

rantai pasok dimaksudkan agar setiap pelaku yang

terlibat didalamnya mendapatkan pendapatan yang

lebih efisien dengan inovasi yang dirangsang dari

kegiatan kerjasama dalam suatu kelompok untuk

memperkuat kegiatan rantai pasok dalam

menghadapi berbagai persaingan (Hill dan Brenna,

2000). Sehingga dalam hal tersebut, pengembangan

klaster komoditas bawang merah di Kelompok Tani

Mekar Jaya di inisiasi oleh Universitas Padjadjaran

yang berkolaborasi dengan Bank Indonesia.

Pengembangan klaster komoditas bawang

merah di Kabupaten Brebes telah terjalin suatu

Page 111: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

99

kolaborasi multi stakeholder, sehingga memicu

munculnya permasalahan baik di tingkat petani

maupun pihak pasar terstruktur yaitu industri

pengolahan bahan makanan dan Bank selaku pelaku

yang terlibat dalam rantai pasok komoditas bawang

merah di Kabupaten Brebes. Hal tersebut membuat

kolaborasi antara stakeholder, perbankan, dan petani

dalam klaster komoditas bawang merah belum

berjalan dan terkoodrinir dengan baik. Akibat yang

ditimbulkan yaitu setiap masing-masing pelaku

rantai pasok bawang merah belum dapat memberikan

kepuasan sesuai dengan harapan masing-masing

pelaku. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis

perilaku, analisis pengaruh masing-masing pelaku,

dan peranan keterlibatan masing-masing pelaku

rantai pasok komoditas bawang merah di Kabupaten

Brebes.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan diKelompok Tani

Mekar Jaya Gang Mushola Desa Klampok

Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, Jawa

Tengah yang dilaksanakan sejak Mei – Agustus

2015. Sumber data penelitian diperoleh dari data

primer dan sekunder dengan melibatkan responden

secara refresentatif dari seluruh stakeholder yang

terlibat dalam rantai pasok komoditas bawang merah.

Desain penelitian yang dilakukan menggunakan

desain kualitatif dan teknik penelitian yang

digunakan adalah studi Analisis data yang digunakan

untuk mengetahui peran dan keterlibatan stakeholder

dalam rantai pasok komoditas bawang merah di

Kelompok tani Mekar Jaya dengan menggunakan

Business Social Responsibility (BSR) Stakeholder

Mapping yang dikembangkan oleh Olson, et. ,al

(2011). Metode BSR digunakan untuk

mengumpulkan seluruh pelaku yang terlibat dalam

setiap proses baik secara internal ataupun eksternal.

Tahap selanjutnya yaitu untuk melihat

keterlibatan masing-masing aktor, yang akan dibuat

kerangka pikir kelompok tani, industri pengolahan

bahan makanan, dan perbankan. kasus. Sumber data

diperoleh dari data sekunder dan primer dengan

responden terpilih adalah responden yang mewakili

seluruh stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok

bawang merah yang memiliki pengetahuan dan

pengalamanan yang cukup dan mampu menjelaskan

keadaan sebenarnya mengenai obejk penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Keterlibatan Stakeholder dengan

Menggunakan Business Social Responsibility

(BSR) Stakeholder Mapping

Langkah awal dalam penerapan Business

Social Responsibility (BSR) adalah mengetahui

sejarah, tingkat ambisi, memahami tingkat ambisi

setiap stakeholder, taktik setiap stakeholder, dan

kemudian melakukan pemetaan stakeholder.

Stakeholder Mapping merupakan tahap kedua

dalam langkah-langkah pengembangan Business

Social Responsibility (BSR) dengan tujuan untuk

memahami setiap pelaku rantai pasok yang dianalisis

dari hasil diskusi, penelitian, dan debat.

a. Identifikasi Stakeholder

Identifikasi stakeholder merupakan langkah awal

dalam analisis pemetaan stakeholder untuk

memahami dan mengidentifikasi setiap peranan

stakeholder. Hasil pada pemetaan tersebut bersifat

statis dan dapat berupah sewaktu-waktu.

b. Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder mengacu pada hasil identifikasi

stakeholder. Setiap pelaku rantai pasok diidentifikasi

dan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana

keterlibatan setiap pelaku rantai pasok komoditas

bawang merah. Analisis tersebut menggunakan

penilaian dengan menggunakan penilaian berupa

tingg, sedang, dan kecil setiap pelaku rantai pasok

untuk mengenentukan peranan setiap pelaku

c. Pemetaan Stakeholder

Pemetaan stakeholder adalah visualisasi dari

pelaksanaan dan sebagai alat analisis yang dapat

digunakan untuk menentukan stakeholder mana yang

lebih berperan dalam keterlibatan kegiatan pada

rantai pasok komoditas bawang merah. Pada

pemetaan stakeholder dapat dilihat pengaruh yang

selanjutnya diberikan penilaian pada setiap

stakeholder dengan indikator penilaian berdasarkan

keinginan (willingness) dan keahlian (Expertise),

sehingga dapat terlihat peranan dari masing-masing

pelaku rantai pasok komoditas bawang merah.

Page 112: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

100

Tabel 1. Identifikasi Multi Stakeholder

No Stakeholder Tujuan Potensi Rencana Pembaharuan

1

Kelompok Tani

Mendapatkan

kepastian harga jual

yang lebih kompetitif

dan stabil

Pengembangan produk

bermutu dan berdaya

saing, menjaga

kontinuitas pasokan

Sistem pertanian yang lebih terintegrasi

dengan menerapkan konsep VCF (Value

Chain Financing) untuk memberikan

keunggulan kompetitif.

2

Industri

Pengolahan

Bekerjasama untuk

memenuhi kebutuhan

bawang merah

Penyediaan bahan baku

bermutu dan

terstandarisasi, menjaga

kestabilan harga di petani

Memasok komoditas bawang merah yang

berstandar nasional dan internasional yang

mengacu pada penyediaan bahan pangan

sesuai dengan standarisasi keamanan

pangan internasional

3

Perbankan Pemberi kredit Memberikan kredit sesuai

kebutuhan petani

Perluasan pemberian kredit mikro bagi

pelaku usaha skala menengah terutama

pada pelaku yang terlibat dalam kegiatan

pertanian

4

Bank Indonesia Menstabilkan nilai

rupiah

Memberi dukungan bagi

petani

Pengembangan pilot project

implementation dengan konsep VCF (Value

Chain Financing) sebagai upaya dalam

meminimalisir tingkat inflasi yang

diakibatkan oleh komoditas pertanian

5

Universitas

Padjadjaran Fasilitator petani

Pengembangan pertanian

yang lebih terstruktur dan

terintegrasi

Pemberian arahan dan pengembangan

penelitian VCF (Value Chain Financing)

dalam membantu Bank Indonesia untuk

menekan laju inflasi dari komoditas

pertanian, dan pengembangan sektor

pertanian Indonesia agar lebih berdaya

saing dan terintegrasi

Table 2. Analisis Penilaian Multi Stakeholder

Stakeholder Kontribusi Legitimasi Kesediaan

Untuk terlibat Pengaruh

Pentingnya

dalam

keterlibatan

Kelompok Tani H H H M H

Industri Pengolahan L M L L H

Perbankan M M L H H

Bank Indonesia M H H H M

Universitas Padjadjaran H H H H M

Keterangan : H : High M : Medium L : Low

KESIMPULAN DAN SARAN

Komoditas bawang merah di Kelompok tani

Mekar Jaya Kabupaten Brebes memiliki tingkat

kompleksitas dan melibatkan banyak stakeholder.

Stakeholder yang terlibat antara lain petani, industry

pengolahan bahan makanan, perbankan, Bank

Indonesia, dan Universitas Padjadjaran. Setiap

stakeholder memiliki peranan dan tujuan masing-

masing, sehingga dengan demikian, seluruh ihak

yang terlibat memiliki keterkaitan satu sama lainnya.

Pelaku rantai pasok yang memiliki peranan

cukup tinggi adalah Universitas Padjadjaran yang

berperan sebagai fasilitator, didukung dengan

keterlibatan Bank Indonesia sebagai lembaga

pendukung dalam pengembangan klaster komoditas

bawang merah di Kabupaten Brebes. Kemudian

pihak yang memiliki peranan kuat adalah kelompok

tani sebagai objek pengembangan dan sekaligus

sebagai pelaku pengembangan klaster didukung

dengan perbankan sebagai pihak penyedia jasa

keuangan yang menyediakan sejumlah kredit yang

sesuai dengan kebutuhan kredit klaster bawang

merah. Kemudian pihak yang terlibat adalah pasar

sebagai pihak yang membeli hasil panen bawang

merah di Kelompok Tani Mekar Jaya. Industri

pengolahan bahan makanan yang terlibat memiliki

Page 113: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

101

peranan dalam mendukung keberlangsungan

usahatani bawang merah yang dilakukan di

Kelompok Tani Mekar Jaya dan sebagai pihak yang

memberikan kepastian harga yang lebih konpetitif

bagi kelompok tani.

Masing-masing pelaku yang terlibat memiliki

peranan dan tujuannya yang harus dijalankan secara

berkesinambungan dan terintegrasi agara

keberlangsungan kegiatan usahatani di Kelompok

Tani Mekar Jaya dapat terus berlanjut dan lebih

terintegrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Chopra, Sunil dan Peter Meindl. 2001. Supply Chain

Management: Strategy, Planning, and

Operations. Prentice Hall Inc., Upper

Saddle River, New Jersey.

Howard, N. 1996. Negotiation as Drama : β€œHow

Games Become Dramatic” International

Negotiation Journal, Vol1, 125-152.

Lambert, D.M., Emmelhainz, M.A. dan Gardner, J.T.

1996. Developing and Implementing

Supply Chain Partnership. Jurnal

Internasional Manajemen Logistik, Vol. 7,

No.2, pp. 1-17.

Oliver, keith. 2003. When Will Supply Chain

Management Grow Up?. UK: Tim Laseter

Olson, E., Prepscius, J., Baddache, F. 2011. Business

Social Responsibility (BSR) Stakeholder

Mapping. Diakses melalui www.bsr.org

Perdana, Tommy. 2012. Model Manajemen Logistik

dalam Meningkatkan Daya Saing Produsen

Sayuran Skala Kecil untuk Memenuhi

Permintaan Pasar Terstruktur. Diakses

melalui

www.tommyperdana.blogspot.com pada

29 Februari 2014.

Morris, Jonathan. 2012. Back to Basics : How to

Make Stakeholder Engagement Meaningful

for Your Company. Diakses dari

www.BSR.org.

Lampiran

Sumber : Data Primer, 2015

Grafik 1. Mapping BSR Multi Stakeholder

High

High Low

Keahlian

Keinginan

n

Unpad Kelompok

Tani

Bank

BI

Industri

Pengolahan

Page 114: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

102

Page 115: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

103

Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L) di Sentra

Produksi Cikajang Kabupaten Garut

Marketing Efficiency of Curly-Red Chili (Capsicum annum L) in Production Base Area

Cikajang Kabupaten Garut

Dety Sukmawati1, Lies Sulistyowati2, Maman H.Karmana2, E Kusnadi Wikarta2

1Universitas Winaya Mukti, Tanjung Sari, Sumedang 2Universitas Padjadajran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci: Efisiensi Pemasaran,

Marjin,

Monopoli Indeks,

Cabai merah keriting,

Sentra Produksi

Peranan pemasaran pada komoditas cabai merah memberikan kontribusi penting dalam

peningkatan kinerja usahatani komoditas cabai merah secara keseluruhan mengingat

sifat unik komoditas hortikultura secara umum seperti mudah busuk, mudah rusak,

volumenious , produksinya bersifat musiman sementara konsumsi terjadi sepanjang

tahun. Secara empiris dilapangan seringkali dijumpai bahwa para petani produsen

tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para

pedaganglah yang dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga yang lebih tinggi,

oleh karena itu, peningkatan produksi komoditas pertanian termasuk cabai merah perlu

diiringi dengan perbaikan pada sistem pemasarannya, sehingga pihak petani sebagai

produsen komoditas ini diharapkan dapat memperoleh bagian harga yang memadai

bagi peningkatan usahataninnya (Adang agustian dan Iwan Setiajie A, 2008). Untuk

itu perlu diketahui bagaimana struktur pasar yang terjadi, dan yang menyebabkan

pasar tidak efisien bisa diketahui dengan monopoli indeks di setiap pelaku pasar .

Analisis data dilakukan melalui metode kuantitatif dan kualitatif berdasar data analisis

pemasaran hasil Analisis Pasar Hasil Pertanian Sentra Produksi Cikajang Garut Dinas

Pertanian Provinsi Jawa Barat 2014. Untuk mengetahui efisiensi pemasaran diketahui

dengan marjin pemasaran pelaku pemasaran menggunakan analisis Margin = H eceran

- Harga produsen dan monopoli indeks. Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa

Struktur pasar cabai merah keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran,

saluran pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui oleh petani, dikarenakan

volume penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan, keterikatan

ekonomi dan sosial , sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal yang efisien.

Saluran kedua saluran yang tidak begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran

bandar sangat menentukan dan pasar induk merupakan penetap harga bagi harga sentra

produksi. Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui oleh petani, dalam hal ini

petani mempunyai posisi sebagai bandar juga. Indeks monopoli terbesar berada pada

pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya

pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting.

ABSTRACT

Keywords: Marketing

Efficiency,

Margin, Monopoly Index,

Curly Red Chili,

Production Center

The role of marketing in the commodity red peppers make an important contribution

in improving the performance of farm commodities as a whole red chili given the

unique nature of horticultural commodities in general such as nonperishable, easily

damaged, volumenious, production is seasonal while consumption occurs throughout

the year. Empirically field often found that farmers producers apparently still face

price fluctuations, especially at harvest time, and the pedaganglah that can be access

in order to obtain a higher price, therefore, an increase in the production of

agricultural commodities including red chili needs to be accompanied by

improvements in marketing system, so that the farmers as commodity producers is

expected to obtain an adequate part of the price for increased usahataninnya (Adang

Agustian and Iwan Setiajie A, 2008). For that to know how the structure of the market

place, and that led to inefficient markets can be known with the index monopoly in any

market participants. Data analysis was performed through quantitative and qualitative

methods of analysis of data based on the marketing of Agricultural Products Market

Analysis Production Centers Cikajang Garut, West Java Provincial Agriculture Office

2014. To determine the efficiency of marketing known perpetrator marketing

Page 116: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

104

marketing margin analysis Margin = H retail - and the producer price index monopoly

,

Results and discussion shows that the market structure of curly red chili in production

centers Cikajang consists of three channels, the first channel is the channel most

traversed by farmers, due to the volume of sales of small farmers, the distance location

of the farm to point of sale, attachment to economic and social development, so that

the role of port for farmers is efficient. The second channel is the channel that is not

so much traversed by farmers, these channels will determine the role of the city and

the main market is setting prices for the price of production centers. The third channel

is a channel that is a little traversed by farmers, in this case the farmers have a position

as a city as well. Index is the biggest monopoly traders, traders are located in the

centers of production, meaning that traders dominant influence in the marketing of

curly red chili.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 117: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

105

PENDAHULUAN

Peranan pemasaran pada komoditas cabai

merah memberikan kontribusi penting dalam

peningkatan kinerja usahatani komoditas cabai

merah secara keseluruhan mengingat sifat unik

komoditas hortikultura secara umum seperti mudah

busuk, mudah rusak, volumenious , produksinya

bersifat musiman sementara konsumsi terjadi

sepanjang tahun. Secara empiris dilapangan

seringkali dijumpai bahwa para petani produsen

tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga

terutama saat panen, dan para pedaganglah yang

dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga

yang lebih tinggi, oleh karena itu, peningkatan

produksi komoditas pertanian termasuk cabai merah

perlu diiringi dengan perbaikan pada sistem

pemasarannya, sehingga pihak petani sebagai

produsen komoditas ini diharapkan dapat

memperoleh bagian harga yang memadai bagi

peningkatan usahataninnya (Adang agustian dan

Iwan Setiajie A, 2008).

Secara umum sistem pemasaran komoditas

pertanian termasuk hortikultura masih menjadi

bagian yang lemah dari aliran komoditas . Masih

lemahnya pemasaran komoditas pertanian tersebut

karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

pemasaran yang efisien harus mampu memenuhi dua

persyaratan yaitu (1) mengumpulkan hasil pertanian

dari produsen ke konsumen dengan biaya serendah-

rendahnya, (2) mampu mendistribusikan pembagian

balas jasa yang adil dari keseluruhan harga konsumen

akhir kepada semua pihak yang terlibat mulai dari

kegiatan produksi hingga pemasaran (Mubyarto,

1989).

Pada umumnya besarnya marjin pemasaran

merupakan indikator yang paling sering digunakan

untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran

yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak

sempurna. Namun perlu digarisbawahi bahwa marjin

pemasaran yang tinggi tidak selalu mencerminkan

adanya kekuatan monopsoni yang secara teoritis

ditunjukkan oleh adanya keuntungan pedagangyang

berlebihan (non zero profit).

Beberapa indikator empirik yang sering digunakan

dalam pengkajian efisiensi pemasaran di antaranya

adalah margin pemasaran dan transmisi harga dari

pasar konsumen kepada petani atau ke pasar

produsen. Sistem pemasaran semakin efisien apabila

besarnya marjin pemasaran yang merupakan jumlah

dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang

semakin kecil. Dengan kata lain, perbedaan antara

harga yang diterima petani dan harga yang dibayar

konsumen semakin kecil. Adapun transmisi harga

yang rendah mencerminkan inefisiensi pemasaran

karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan harga

yang terjadi di tingkat konsumen tidak seluruhnya

diteruskan kepada petani, dengan kata lain transmisi

harga berlangsung secara tidak sempurna. Pola

transmisi harga seperti ini biasanya terjadi jika

pedagang memiliki kekuatan monopsoni sehingga

mereka dapat mengendalikan harga beli dari petani.

Pada pasar persaingan sempurna selisih

antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang

diterima petani lebih rendah dibanding pada kondisi

pasar monopsoni, dengan kata lain, marjin pemasaran

akan semakin besar jika terdapat kekuatan

monopsoni. Pada kondisi pasar monopsoni transmisi

harga dari pasar konsumen kepada petani juga

berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi

harga seperti ini menyebabkan korelasi harga di

tingkat konsumen dan di tingkat petani akan semakin

rendah dan fluktuasi harga di pasar produsen akan

lebih rendah daripada di pasar konsumen. Fluktuasi

harga yang tinggi merupakan salah satu isu sentral

yang sering muncul dalam pemasaran komoditas

hortikultura (Bambang Irawan, 2007).

Harga produk pertanian tergolong sangat

fluktuatif dengan rentang tingkat harga yang sangat

lebar, apalagi setelah dikaitkan dengan future

trading. Pada waktu tertentu, seperti musim panen

dan musim hujan harganya bisa sangat rendah namun

pada saat yang lain bisa sangat tinggi. Harga yang

sangat fluktuatif secara teoritis akan menyulitkan

prediksi bisnis, baik dalam perhitungan rugi laba

maupun manajemen resiko. Harga yang demikian

seringkali hanya menguntungkan para spekulan yang

umumnya para pedagang tertentu yang mampu

mengelola stok secara baik dan cermat. Pengendalian

fluktuasi ini merupakan tantangan tersendiri

khususnya dalam perumusan kebijakan yang tepat

terutama menyangkut kebijakan proteksi pasar

domestik dan perlindungan harga di tingkat petani

(Mohamad Ismet.2009). Untuk itu perlu diketahui

bagaimana struktur pasar yang terjadi, dan yang

menyebabkan pasar tidak efisien bisa diketahui

dengan monopoli indeks di setiap pelaku pasar .

METODE

Analisis data dilakukan melalui metode

kuantitatif dan kualitatif berdasar data analisis

pemasaran hasil Analisis Pasar Hasil Pertanian

Sentra Produksi Cikajang Garut Dinas Pertanian

Provinsi Jawa Barat 2014. Untuk mengetahui

efisiensi pemasaran diketahui dengan marjin

pemasaran pelaku pemasaran menggunakan analisis

Margin = H eceran - Harga produsen dan monopoli indeks.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persaingan sempurna adalah suatu model

struktur pasar dari sebuah industri, sementara

monopoli adalah model lain . Suatu keadaan

monopoli terdapat bila hanya terdiri satu perusahaan

Page 118: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

106

tunggal. Bila perusahaan itu mampu mendepak

pesaing-pesaing karena biaya-biaya produksinya

lebih rendah, keadaan itu disebut β€œmonopoli

alamiah” (natural monopoly). Tetapi tidak semua

monopoli bersifat alamiah. Suatu sumber monopoli

lain yang penting adalah fasilitas istimewa yang

diberikan pemerintah, seperti hak monopoli

(franchised) atau hak paten (Hirshleifer,1984).

Pemasaran berfungsi sebagai intermediasi

antara produsen dengan konsumen. Data empiris

menunjukkan masih lemahnya posisi petani dalam

menetapkan harga jualnya karena lemahnya posisi

tersebut diantaranya petani bertindak secara individu,

kecil kepemilikan asset, jarak yang jauh antara petani

dengan konsumen akhir, ketergantungan dana pada

pedagang, dan struktur pasar yang didominasi oleh

pedagang. Karakteristik ini berdampak terhadap

tidak efisiennya sistem pemasaran. Karena

permintaan pada petani (farm gate prices) merupakan

permintaan turunan dari permintaan pada tingkat

konsumen (retail prices), petani mendapatkan risiko

perubahan harga yang paling besar. Instrumen non

konvesional sudah seharusnya dikembangkan dan

dilaksanakan untuk mengurangi kerugian atas

perubahan harga tersebut. Dengan commodity based

instruments seperti pasar berjangka (future markets)

efisien pemasaran akan lebih ditingkatkan.

instrumen ini sedikit membutuhkan intervensi

pemerintah (Dedi Budiman Hakim, 2009).

Sampai saat ini belum ada kebijakan

tataniaga komoditas cabai sehingga pergerakan

harganya sangat ditentukan oleh mekanisme pasar.

Fluktuasi harga cabai terjadi karena produksi cabai

bersifat musiman. Lebih lanjut harga cabai dapat

berfluktuasi karena faktor hujan , biaya produksi dan

panjangnya saluran distribusi ( Farid dan Nugroho,

2012).

Struktur pasar cabai merah keriting di sentra

produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran, saluran

pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui

oleh petani, dikarenakan volume penjualan petani

kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan,

keterikatan ekonomi dan sosial , sehingga peran

bandar bagi petani merupakan hal yang efisien. Pada

saluran pertama terlihat jelas bahwa harga petani

merupakan turunan dari harga konsumen akhir dalam

hal ini pasar induk atau pasar pengecer, pasar induk

dari lokasi usahatani berjarak jauh dari sentra

produksi, tetapi cikajang atau sentra produksi cabai

merah keriting dari garut memasok lima pasar

strategis.

Saluran kedua saluran yang tidak begitu

banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran bandar

sangat menentukan dan pasar induk merupakan

penetap harga bagi harga sentra produksi, bandar

harus mengirim produk dalam jumlah yang banyak,

seperti untuk pengiriman ke pasar induk kramat jati

ongkos trasportasinya Rp 700.000 dengan memakai

kendaraan ukuran grand max dengan volume angkut

50 karung 9 1 karung kurang lebih berisi sudah

ditetapkan pasar induk, petani menjual produksinya

dengan volume kecil, hal ini merupakan kondisi yang

tidak memungkinkan petani dalam posisi tawar yag

rendah.

Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit

dilalui oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai

posisi sebagai bandar juga. Saluran ketiga ini terdapat

1 atau 2 bandar saja. Dan petani yang menjadi bandar

dalam kondisi lapangannya sulit diketahui,

dikarenakan terkadang petani menjadi bandar dan

sebaliknya. Adapun struktur pasar cabai merah

keriting bisa dilhat pada gambar dibawah ini.

Indeks monopoli menunjukkan seberapa

besar tingkat dominasi suatu lembaga pemasaran

dalam rantai pemasaran , dimana semakin besar nilai

indeks monopoli maka semakin dominan pengaruh

lembaga pemasaran tersebut dalam rantai pemasaran

(Kuntandi dan Jamhari, 2012). Adapun indeks

monopoli cabai merah keriting dari sentra produksi

Cikajang dapat dilihat pada Tabel Indeks Monopoli.

Indeks monopoli terbesar berada pada pedagang

pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra

produksi, artinya pedagang pengumpul dominan

pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting.

Hal ini terlihat dalam penentuan harga cabai merah

keriting pedagang pengumpul dominan menentukan

harga yang informasi harga langsung dari pasar

induk. Pedagang pengumpul mempunyai peran yang

paling tinggi dalam pemasaran cabai merah keriting

yaitu pedagang pengumpul jumlahnya tidak banyak,

hanya 2, petani menjual produknya ke pedagang

pengumpul dalam jumlah yang sedikit sehingga ada

keterikatan dalam jual beli disamping petani

mengambil sarana produksi dari pedagang

pengumpul, pedagang pengumpul mempunyai

keterikatan langsung dengan pedagang di pasar induk

kramat jati, terkadang dia juga sebagai pedagang di

kramat jati, pedagang kramat jati mempunyai

keterikatan dalam hal jual beli dengan bentuk

penyimpanan modal untuk pengiriman produk agar

supaya pedagang di pasar induk selalu tersedia

produk yang dijualnya.

Page 119: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

107

1.

2.

3.

ProdusenPetani

Tengkulak BandarPI/

GrosirPsr. Eceran/Tradisional

Rp. 15.000/Kg Rp. 17.000/Kg Rp. 18.000/Kg Rp. 19.000/Kg Rp. 25.000/Kg

ProdusenPetani

PIBandar 1-2

PetaniBandar

Pedagang IPI

Pedagang II

Rp. 9.000/Kg(Vol 3000 Kg)

Rp. 10.000/Kg Rp. 11.000/Kg

STRUKTUR PASAR CABAI MERAH KERITING

Tabel Indeks Monopoli Pasar Cabai Merah Keriting.

Uraian

Lembaga Pemasaran ke- i

Indeks Monopoli

Gabungan Pedagang

Pengumpul

Pedagang

Besar

Pedagang

Pengecer

Rata-rata Harga Beli (Rp) 17.000 18.000 25.000

Total Biaya Variabel (Rp) 64.800 1.400.000 2.800.000 4.264.800

Rata-rata Keuntungan (Rp) 1.196 825 6.774

Marjin Pemasaran ke –i (Rp) 2.000 7.000 10.000 19.000

Indeks Monopoli 0,03 0,005 0,0035 0,0044

SIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan dapat

disimpulkan bahwa Struktur pasar cabai merah

keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga

saluran, saluran pertama adalah saluran yang paling

banyak dilalui oleh petani, dikarenakan volume

penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke

tempat penjualan, keterikatan ekonomi dan sosial ,

sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal

yang efisien. Saluran kedua saluran yang tidak

begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran

bandar sangat menentukan dan pasar induk

merupakan penetap harga bagi harga sentra produksi.

Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui

oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai posisi

sebagai bandar juga. Indeks monopoli terbesar

berada pada pedagang pengumpul, pedagang

pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya

pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam

pemasaran cabai merah keriting.

DAFTAR PUSTAKA

Adang Agustian dan Iwan Setiajie A. 2008. Analisis

Perkembangan Harga dan Rantai

Pemasaran Komoditas Cabai Merah di

Provinsi Jawa Barat Seminar Nasional

Dinamika Pembangunan Pertanian dan

Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi

dan kebijakan Pertanian Departemen

Pertanian. Bogor.

Bambang Irawan . 2007. Fluktuasi Harga , Transmisi

Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan

Buah. Analisis kebijakan Pertanian vol 5 no

4 : 358-373. Pusat Analisis Sosial Ekonomi

dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Dedi Budiman Hakim.2009. Manajemen Resiko

dalam Pemasaran Pertanian dalam Bunga

Rampai Agribisnis Seri

Pemasaran.Departemen Agribisnis Fakultas

Ekonomi dan Manajemen.IPB.Bogor.

Ebban Bagus Kuntadi dan Jamhari. 2012. Efisiensi

Pemasaran Cabai Merah Melalui Pasar

Page 120: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

108

Lelang Spot di Kabupaten Ponorogo,

Yogyakarta. Jurnal Sosial Ekonomi

Pertanian, vol 1, no 1 : 95-101.Hirshleifer,

Jack. 1984. Price Theory and Applications.

Prentice-Hall, Inc.,Englewood Cliffs, New

Jersey.07632.

Mubyarto.1989. Pengantar Ekonomi Pertanian.

LP3ES, Jakarta.

Mohamad Ismet.2009. Strategi dan Kebijakan

Pemasaran Produk Agribinis dalam Bunga

Rampai Agribinis Seri pemasaran.

Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi

dan Manajemen IPB. Bogor

Miftah Farid,Nugroho Ari Subekti.2012. Tinjauan

Terhadap Produksi , Konsumsi, Distribusi

dan Dinamika Harga Cabe di Indonesia.

Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan vol 6 no

2 : 211-233. Jakarta.

Page 121: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

109

Perbandingan Pendapatan Petani untuk Komoditas Jagung Manis (Zea mays

Saccharata Sturt.) dan Bawang Merah (Alium cepa L.) (Studi Kasus di Desa

Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)

Comparison of Revenue Sweet Corn (Zea mays saccharata Sturt.) And Shallots (Alium

cepa L.) (Case Study in Arjasari Village, District Arjasari, Bandung regency, West Java

Province)

Muhammad Arief Budiman, Rizki Eka Firdaus

Fakultas Pertanian Unpad, Bandung,

ABSTRAK

Kata kunci:

Perbandingan,

Pendapatan,

Jagung Manis,

Bawang

Merah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keragaan jagung manis dan bawang

merah di Desa Arjasari, serta menganalisis pendapatan usahataninya untuk mengetahui mana

yang paling menguntungkan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari,

Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak 4 petani jagung manis

dan 4 petani bawang merah. Penelitian ini menggunakan metode desain kualitatif dengan teknik

studi kasus. Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh deskripsi mengenai keragaan

usahatani jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari. Metode pengolahan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah analisis usahatani untuk meganalisis besar pendapatan

petani jagung manis dan bawang merah. Keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah

di Desa Arjasari masih tergolong sederhana. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang

masih rendah menyebabkan pola pikir pengambilan keputusan masih mengikuti kecenderungan

dari banyak petani disekitarnya dan belum dapat mengambil keputusan sendiri. Dari kedua

usahatani ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua usahatani

ini akan menghasilkan keuntungan dan layak untuk dijalankan. Jagung manis dirasa lebih

menguntungkan karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk

bawang merah membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik

budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada

bawang merah.

ABSTRACT

Keywords:

Comparison,

Revenue, Sweet

Corn, Onion.

This study aims to determine how the performance of sweet corn and onions in the village

Arjasari, and analyze their farming income to determine which are the most profitable. The

research was conducted in the village Arjasari, District Arjasari, Bandung regency, West Java

Province. The number of respondents as much as 4 sweet corn growers and 4 onion farmers.

This study used a qualitative design method with a case study technique. Descriptive analysis

is used to obtain a description of the performance of farming sweet corn and onions in the

village Arjasari. Data processing method used in this research is the analysis of a large farming

for farmers' income meganalisis sweet corn and onions. Performance of sweet corn farming

and onion in the village Arjasari still relatively simple. It can be seen from the low levels of

education lead to the mindset of decision-making still follows the trend of many farmers around

him and has not been able to make their own decisions. From the farm is the value of R / C

ratio of each greater than 1, which means the farm will generate profits and feasible. Sweet

corn is considered more advantageous because production costs are not too large, while for

onion require greater production costs. And the problem is felt sweet corn cultivation

techniques to farmers in the village of Arjasari easier to do than onions.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 122: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

110

PENDAHULUAN Produksi jagung yang sangat tinggi di kabupaten

Bandung tidak lepas dari peran sentra produksi

jagung di Kabupaten Bandung. Salah satu sentra

produksi jagung terdapat disalah satu kecamatan di

Kabupaten Bandung yaitu kecamatan Arjasari.

Kecamatan Arjasari menjadi salah satu sentra

produksi jagung di Kabupaten Bandung

(http://www.bandungkab.go.id/). Desa Arjasari yang

berada di Kecamatan Arjasari menjadi salah satu

desa penyumbang produksi jagung terbesar, sebagian

besar wilayahnya terdiri dari daerah pertanian

(http://desaarjasari.org/). Dengan daerah yang

seperti itu Desa Arjasari sangat memungkinkan untuk

menjadi salah satu sentra produksi jagung.

Pernyataan tersebut dapat dilihat dari data Dinas

PertanianKab.Bandung.

Meskipun dalam permintaanya terus meningkat

tanaman jagung kurang memiliki nilai ekonomis

yang tinggi. Oleh sebab itu untuk meningkatkan

pendapatannya petani di Desa Arjasari mencari solusi

lain untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut,

yaitu dengan cara beralih komoditas. Komoditas

tersebut yaitu tanaman hortikultura yang mempunyai

nilai ekonomi yang tinggi seperti pada tanaman

bawang merah.

Bawang merah mempunyai nilai ekonomis yang

cukup tinggi, pernyataan tersebut dapat dibuktian

dari data BPS yang menyebutkan pada tanggal 17

januari 2014 harga bawang merah Rp. 14.000, pada

tanggal 20 januari 2014 menagalami penurunan

harga menjadi Rp. 12.000, pada tanggal 24 januari

2014 harga bawang merah melonjak naik menjadi

Rp. 20.000, dan pada tanggal 30 januari 2014 harga

bawang merah turun menjadi Rp. 10.000. Bawang

merah memiliki fluktuasi dan sensitivitas harga yang

cukup tinggi terutama karena perubahan permintaan

dan penawaran oleh karena itu bawang merah dilihat

petani dapat lebih meningkatkan pendapatannya.

Dalam produksinya bawang merah juga mengalami

fluktuasi, dari data BPS menyatakan bahwa produksi

bawang merah di Provinsi Jawa Barat tidak selalu

meningkat. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada

tabel 3. Mengenai produksi bawang merah di

Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu empat tahun

terakhir.

Meskipun dalam permintaanya terus meningkat

tanaman jagung kurang memiliki nilai ekonomis

yang tinggi. Oleh sebab itu untuk meningkatkan

pendapatannya petani di Desa Arjasari mencari

terobosan baru untuk meningkatkan pendapatan

petani tersebut, terobosan baru tersebut adalah

dengan cara beralih komoditas. Komoditas tersebut

yaitu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai

ekonomi yang tinggi seperti pada tanaman bawang

merah.

Beberapa petani tersebut mencoba beralih ke

tanaman hortikulutra bawang merah dengan tujuan

untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut.

Tentunya setelah petani tersebut melihat tingginya

harga bawang merah dan melihat dari kemampuan

petani tersebut untuk menanam bawang merah.

Permasalahannya adalah banyak para petani belum

mengetahui pengetahuan tentang memilih tanaman

yang memiliki tanaman nilai ekonomi tinggi dan juga

masih minimnya pengetahuan tentang budidaya

bawang merah. Dengan alasan seperti itu petani bisa

tidak dapat memperoleh pendapatan yang tinggi dan

ada juga yang gagal panen yang diakibatkan kurang

mengetahui pengetahuan tentang tanaman yang

dipilihnya. Padahal jika petani dapat memilih

tanaman yang tepat maka pendapatan petani bisa

meningkat. Dengan potensi pertanian di Desa

Arjasari yang cukup besar meliputi tanaman bahan

pangan, sayur-sayuran, perkebunan dan buah-buahan

serta pemanfaatan lahan di pegunungan berupa

kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan wisata

dan perkebunan sedangkan di wilayah kaki bukit

dimanfaatkan untuk budidaya tanaman hortikultura

(terutama sayuran). Para petani di Desa Arjasari

dapat meningkatkan pendapatan petani itu sendiri.

Identifikasi Masalah

1. Bagaimana keragaan usahatani jagung manis dan

bawang merah di Desa Arjasari?

2. Bagaimana pendapatan jagung manis dan bawang

merah di Desa Arjasari?

Kegunaan Penelitian

1. Memberikan informasi kepada para pelaku dan

calon pelaku agribis akan peluang usaha pertanian

komoditas jagung manis dan bawang merah.

1. Memberikan pilihan kepada para petani agar lebih

efisien dan memilih komoditas mana yang harus

di tanam demi pendapatan para petani yang paling

tinggi.

2. Memberikan informasi kepada pihak-pihak

terkait seperti pemerintah dalam penyempurnaan

dan evaluasi regulasi dimasa yang akan datang

sebagai upaya untuk mendukung kebijakan yang

akan diambil agar dapat meningkatkan

pendapatan para petani dan pelaku usahatani di

dalamnya.

KERANGKA DAN KONSEP Komoditas Jagung Manis

Sistematika dari tanaman jagung manis dalam

(Purwono dan Hartono, 2007 dalam Sianipar, 2012)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Page 123: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

111

Sub Divisio : Angiospermae

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Graminales

Family : Graminaceae

Genus : Zea

Species : Zea mays Saccharata Sturt.

Komoditas Bawang Merah

Menurut Tjitrosoepomo (1993) dalam Bangun

(2010) klasifikasi dari tanaman bawang merah

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Class : Monocotyledonae

Ordo : Liliaceae

Family : Liliales

Genus : Allium

Species : Allium ascalonicum L.

Usahatani

Usahatani adalah sebagian dari kegiatan di

permukaan bumi dimana seorang petani, sebuah

keluarga atau manajer yang digaji bercocok tanam

atau memelihara ternak. Petani yang berusaha tani

sebagai suatu cara hidup, melakukan pertanian

karena dia seorang petani. Apa yang dilakukan petani

ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Dalam arti

petani meluangkan waktu, uang serta dalam

mengkombinasikan masukan untuk menciptakan

keluaran adalah usahatani yang dipandang sebagai

suatu jenis perusahaan. (Maxwell L. Brown, 1974

dalam Soekartawi 2002, dalam Warsana 2007).

Empat unsur pokok yang selalu bekerja dalam

usahatani yakni, alam, tenaga kerja, modal dan

pengolaan (manajemen) keempat unsur tersebut juga

dapat disebut faktor-faktor produksi. Alam

merupakan faktor yang sangat menentukan dalam

usahatani. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua

yakni, faktor tanah yang mencakup jenis tanah dan

kesuburan tanah, serta faktor alam sekitar yang

mencakup iklim yang juga berkaitan dengan

ketersedian air, suhu, dan lain sebagainya. Tanah

merupakan faktor produksi yang penting karena

tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak

dan usahatani keseluruhannya. Faktor tanah juga

tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya yaitu

sinar matahari, curah hujan, angin dan sebagainya.

Iklim yang juga menjadi bagian dari faktr alam

sekitarnya sangat berpengaruh pada jenis tanaman

atau komoditas yang akan diusahakan.

2.2.1 Konsep Biaya Usahatani

Menurut Rodjak (2005) dalam Audita (2012)

biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomi

yang dapat diperkirakan dan yang dapat diukur untuk

menghasilkan sesuatu produk. Atau secara singkat

dapat dikatakan bahwa biaya adalah semua nilai

faktor produksi yang dipergunakan untuk

menghasilkan suatu produk dalam satu periode

produksi tertentu. Biaya ini biasanya dinyatakan

dalam nilai uang tertentu misalnya rupiah, dollar,

rupee, peso, dan sebagainya. Biaya usahatani dapat

dibedakan atas dua macam yaitu biaya tetap (fixed

cost) dan (variable cost).

1) Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak

mempengaruhi pada hasil produksi. Yang

termasuk biaya tetap antara lain adalah pajak,

sewa tanah, dan penyusutan alat-alat pertanian

yang tahan lama atau modal tetap.

2) Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya

yang besar kecilnya mempunyai pengaruh

langsung pada hasil produksi. Yang termasuk

biaya tidak tetap (biaya variabel) antara lain biaya

sarana produksi, upah tenaga kerja, pestisida, dll.

Faktor-faktor yang mempengaruhi besar

kecilnya biaya usahatani adalah sebagai berikut:

1) Keadaan fisik dan luas usahatani.

2) Jenis tanaman yang diusahakan.

3) Jenis teknologi yang diterapkan, antara teknologi

tradisional dan teknologi modern menimbulkan

perbedaan biaya usahatani.

4) Waktu melaksanakan usahatani, pada musim

hujan dan musim kemarau akan berbeda.

5) Tingkat intensitas pengelolaan usahatani, untuk

tanaman yang sama apabila pengelolaannya

berbeda akan menimbulkan perbedaan biaya

usahatani.

6) Perubahan harga input dan upah tenaga kerja

usahatani, dan waktu pembelian input.

Konsep Penerimaan Usahatani

Penerimaan dapat diartikan sebagai nilai produk

total dalam jangka waktu tertentu baik yang

dipasarkan maupun tidak (Soekartawi, 2002).

Penerimaan juga dapat didefinisikan sebagai nilai

uang yang diterima dari penjualan. Penerimaan

usahatani yaitu penerimaan dari semua sumber

usahatani meliputi nilai jual hasil, penambahan

jumlah inventaris, nilai produk yang dikonsumsi

petani dan keluarganya. Penerimaan adalah hasil

perkalian antara produksi yang diperoleh dengan

harga jual produk. Pernyataan ini dapat dituliskan

sebagai berikut:

TR = Py.Y

Dimana :

TR = Total Revenue (penerimaan usahatani)

Py = Price (harga output)

Y = Output (produksi yang diperoleh dalam

usahatani)

Page 124: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

112

Konsep Pendapatan Usahatani

Menurut Audita (2012) pendapatan usahatani

adalah selisih antara penerimaan usahatani yang

diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Besarnya

usahatani yang diterima merupakan balas jasa untuk

tenaga kerja, modal keluarga yang dipakai dan

pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh keluarga.

Bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi

yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari

dan memberikan kemampuan petani agar dapat

melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan

digunakan untuk mencapai keinginannya dan

memenuhi kewajibannya. Dengan demikian

pendapatan yang dterima petani akan dialokasikan

pada berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan

cara menggunakan inilah yang menentukan tingkat

hidup petani.

Berusahatani sebagai suatu kegiatan untuk

memperoleh produksi dilahan pertanian, pada

akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan

dan penerimaan yang di peroleh. Selisih keduanya

merupakan pendapatan dari kegiatan usahatani.

I = TR – TC

Dimana:

I = Income (pendapatan)

TR = Total Revenue (penerimaan)

TC = Total Cost (total biaya)

Alur Pemikiran

Desa Arjasari merupakan salah satu sentra

produksi jagung di Kabupaten Bandung dengan

keadaan iklim yang mendukung untuk melakukan

budidaya jagung manismakahampir secara

keseluruhan petani di Desa Arjasari menanam

komoditas jagung manis.Meskipun Desa Arjasari

menjadi salah satu sentra produksi jagung harga jual

pada jagung manis yang didapat masih tergolong

rendah yang berdampak tingkat pendapatan petani

tersebut juga rendah. Dengan alasan seperti itu petani

mecari terobosan baru untuk meningkatkan

pendapatannya. Terobosan baru tersebut adalah

dengan cara beralih komoditas yang memiliki

permintaan pasar dan harga jual yang tinggi.

Peralihan komoditas tersebut didasari dari

beberapa petani untuk melakukan terobosan baru

untuk meingkatkan pendapatan petani itu sendiri.

Alasan petani beralih ke bawang merah dikarenakan

bawang merah memiliki nilai ekonomi yang cukup

tinggi, sehingga para petani tersebut beralih dengan

tujuan meningkatkan hasil pendapatan petani

tersebut.Dengan alasan petani tersebut dapat

menimbulkan suatu pertanyaan apakah budidaya

bawang merah akan menghasilkan pendapatan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan menanam jagung

manis? Pendapatan usahatani adalah selilih antara

penerimaan dan semua biaya. Metode ini digunakan

untuk mengetahui pendapatan yang akan diperoleh

petani jagung manis dan bawang merah.

METODE PENELITIAN

Objek dan Tempat Penelitian

Objek penelitian ini adalah Perbandingan

Pendapatan Usahatani Jagung Manis dan Bawang

Merah di Desa Arjasari Kecamatan Ajasari

Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Adapun

penentuan tempat penelitian ini dilakukan secara

sengaja.Penelitian ini dilakukan di Desa Arjasari

untuk mengetahui bagaimana keragaan usahatani

jagung manis dan bawang merah, kemudian

menganalisis pendapatan usahatani Jagung Manis

dan Bawang Merahdi Desa Arjasari, dan mengetahui

mana yang paling menguntungkan antara jagung

manis dan bawang merah dilihat dari budidaya dari

masing-masing komoditas tersebut untuk

memberikan pilihan yang terbaik bagi petani Desa

Arjasari.

Desain dan Teknik Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain

kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan adalah

studi kasus yaitu objek peristiwanya pada peristiwa

terjadi sekarang dan hanya satu unit kasus, dapat

berupa kesatuan sosial tertentu, orang-orang, satu

keluarga, satu kelompok atau organisasi dalam suatu

masyarakat suatu komunitas tertentu dan sebagainya

dan penelitiannya bersifat eksploratif mendalam

(Rusidi, 1996) (dalam Ifu, 2011).

Data/Informasi yang diperlukan (Operasionalisai

Variabel)

Ada beberapa variabel yang digunakan dalam

penelitian ini, dengan sebagai penjelasan sub variabel

adalah sebagai berikut:

1) Keragaan usahatani

2) Faktor produksi

3) Proses produksi

4) Pasca panen

5) Biaya usahatani

6) Biaya tetap.

7) Biaya variabel

8) Produksi

9) Penerimaan

10) Pendapatan/keuntungan

Rancangan Analisis Data/Informasi

Dalam penelitian ini untuk mengetahui,

menjelaskan, dan menjawab permasalahan terhadap

data yang diperoleh maka analisis yang akan

digunakan adalah sebagai berikut:

1. Untuk keragaan usahatani jagung manis dan

bawang merah dianalisis secara deskriptif yang

berisi uraian karakteristik usahatani, faktor

Page 125: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

113

produksi, pengadaan faktor produksi, dan proses

produksi.

2. Analisis Pendapatan Usahatani

Untuk mengetahui besarnya pendapatan dan

keuntungan usahatani jagung manis dan bawang

merah digunakan analisis pendapatan usahatani

berdasarkan total pengeluaran biaya produksi dan

penerimaan, serta R/C yang mengedinkasikan

bahwa usaha tersebut menguntungkan atau tidak

untuk dilakukan.

a) Penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan

produk jagung manis maupun bawang merah:

R = P . X

R = revenue (penerimaan)

P = harga jual per kilogram (Rp/Kg)

X = berat komoditas yang dihasilkan (Kg)

b) Perhitungan biaya dari usahatani jagung manis

maupun bawang merah adalah

TC = TFC+TVC

TC = total cost (biaya total)

TFC = total fixed cost (biaya tetap total)

TVC = total variabel cost (biaya variabel total)

c) Perhitungan keuntungan usaha dengan metode

R/C ratio:

R/C

R = penerimaan total

C = biaya total

Jika: R/C > 1 usahatani mengalami keuntungan

R/C < 1 usahatani mengalami kerugian

R/C = 1 usahatani dalam titik impas

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Jagung Manis

Pola budidaya yang diterapkan petani tergolong

masih sederhana, namun telah mengalami beberapa

perubahan. Perubahan telah terjadi dikarenakan para

petani belajar berdasarkan pengalaman masa lalu dari

petani itu sendiri atau petani pendahulunya. Teknik

budidaya yang diterapkan petani responden jagung

manis adalah monokultur atau satu tanaman dalam

satu areal tanam.Secara keseluruhan petani

responden jagung manis melakukan teknik

budidayanya secara mandiri, atau biasa para petani

tersebut menyebutnya dengan kata berdikari atau

berdiri dengan kaki sendiri. Berikut dijelaskan

tentang budidaya jagung manis secara umumnya di

Desa Arjasari.

Pengolahan Lahan

Pengolahan tanah bertujuan untuk: memperbaiki

kondisi tanah, dan memberikan kondisi

menguntungkan bagi pertumbuhan akar. Melalui

pengolahan tanah, drainase dan aerasi yang kurang

baik akan diperbaiki.

Penanaman

Pertama buat lubang tanam dengan alat tugal.

Kedalaman lubang perlu di perhatikan agar benih

tidak terhambat pertumbuhannya. Kedalaman lubang

tanam antara: 3-5 cm, dan tiap lubang hanya diisi 1

butir benih.

Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur

panennya, semakin panjang umurnya, tanaman akan

semakin tinggi dan memerlukan tempat yang lebih

luas. Pada umumnya di Desa Arjasari ini digunakan

jarak tanam 20 x 25 cm karena jagung berumur

sedang (panen 80-100 hari).

Pemupukan

Pemupukan dapat dilakukan dalam dua tahap.

Pada tahap pertama (pupuk dasar), pupuk diberikan

bersamaan dengan waktu tanam. Pada tahap kedua

(pupuk susulan I), NPK majemuk , Urea dan TSP

diberikan setelah tanaman jagung berumur 12 hari

setelah tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara

membuat lubang menggunakan tugal sedalam 5 cm

dengan jarak dari tanaman 10 cm. Lalu dilakukan

pemupukan kembali (pupuk susulan II) sekitar 30

HST atau sekitar 4 minggu setelah tanam.

Pemeliharaan

Penyiangan

Penyiraman

Pembumbunan

Pengendalian Hama dan Penyakit

Panen dan Pasca Panen

Keragaan Usahatani Bawang Merah

Teknik budidaya yang diterapkan petani

responden bawang merah adalah monokultur atau

satu tanaman dalam satu areal tanam. Berikut

dijelaskan tentang budidaya bawang merah secara

umumnya di Desa Arjasari.

Persiapan Lahan

Pengolahan dilakukan dengan mencangkul tanah

sedalam 20 cm dibuat bedengan-bedegan dengan

lebar 80 cm tinggi 25 cm sedangkan panjangnya

disesuaikan dengan kondisi lahan. Setelah tanah

diolah lalu tanah dicampurkan dengan pupuk

kandang. Diamkan lahan selama kurang lebih 2-3

hari.

Penanaman

Siapkan benih atau umbi bawang merah yang

siap tanam. Apabila umur umbi masih kurang dari 2

bulan, lakukan pemogesan terlebih dahulu.

Pemogesan adalah pemotongan bagian ujung umbi,

sekitar 0,5 cm. Fungsinya untuk memecahkan masa

dorman dan mempercepat tumbuhnya tanaman.

Jarak tanam untuk budidaya bawang merah

dibuat hingga 20Γ—20 cm. Benih bawang merah

ditanam dengan cara membenamkan seluruh bagian

umbi kedalam tanah.

Page 126: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

114

Pemupukan

Pupuk dasar dilakukan sebelum waktu tanam,

pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang. Lalu

dilakukan kembali pemupukan susulan I yaitu pada

saat tanaman berumur 13-15 hari setelah tanam lalu

pemupukan susulan II dilakukan pada saat tanaman

berumur 30-40 hari setelah tanam, pupuk yang

diguanakan pada saat pemupukan susulan yaitu

pemupukan anorganik.

Pemeliharaan :

Pengairan

Penyiangan

Pengendalian Hama dan Penyakit

Panen dan Pasca Panen

Bawang merah dipanen pada saat berumur 60-70

hari setelah tanam, untuk bawang konsumsi, waktu

panen ditandai dengan 60-70% daun telah rebah,

sedangkan untuk bibit kerebahan daun lebih dari

90%. Panen dilakukan waktu udara cerah. Pada

waktu panen, bawang merah diikat dalam ikatan-

ikatan kecil (1-1.5 kg/ikat), Lalu petani langsung

menjual ke tengkulak.

Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Manis

dan Bawang Merah

Analisis usahatani jagung manis dan bawang

merah di Desa Arjasari menggambarkan penerimaan,

total pengeluaran biaya, dan pendapatan petani.

Kegiatan usahatani bertujuan untuk memperoleh

pendapatan yang optimal, sebagai imbalan atas usaha

dan kerja, dan peralatan pertanian yang digunakan

selama kegiatan usahatani jagung manis dan bawang

merah berlangsung. Berikut ini akan dianalisis

kegiatan usahatani jagung manis dan bawang merah

berdasarkan:

Biaya Produksi

Biaya dalam usahatani segala pengorbanan yang

dilakukan oleh petani untuk menghasilkan produksi.

Biaya yang dikeluarkan petani terdiri dari biaya tetap

dan biaya variabel/ biaya tetap terdiri atas biaya

penyusutan alat pertanian yang digunakan antara lain

adalah cangkul, handsprayer, kored, emrat, dan

pisau. Biaya variabel terdiri dari biaya pengadaan

pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Penggunaan biaya

produksipada usahatani jagung manis dan bawang

merah dari masing-masing petani di Desa Arjasari

dapat dilihat pada Tabel 5. dan 6.

Tabel 5. Biaya produksi usahatani jagung manis No Luas

Lahan

Biaya

Variabel

Biaya

Tetap

Biaya

Produksi

1 0.14

Ha

Rp

158.102

Rp

1.413.000

Rp

1.571.102

2 0.7 Ha Rp

2.005.370

Rp

3.543.000

Rp

5.548.370

3 1 Ha Rp

2.508.102

Rp

5.147.000

Rp

7.655.102

No Luas

Lahan

Biaya

Variabel

Biaya

Tetap

Biaya

Produksi

4 1 Ha Rp

2.508.657

Rp

5.308.500

Rp

7.817.157

Berdasarkan Tabel 13. menunjukan bahwa biaya

produksi usahatani jagung manis berbeda-beda yang

dikarenakan luas lahan yang berbeda-beda juga.

Biaya produksi terbesar pada luas lahan 1 Ha dengan

biaya produksi sebesar Rp 7.817.157,-.

Tabel 6. Biaya produksi usahatani bawang merah No Luas

Lahan

Biaya

Variabel

Biaya

Tetap

Biaya

Produksi

1 0.14

Ha

Rp

75.880

Rp

6.147.000

Rp

6.222.880

2 0.14

Ha

Rp

77.130

Rp

6.271.500

Rp

6.348.630

3 0.14

Ha

Rp

76.296

Rp

5.826.000

Rp

5.902.296

4 0.14

Ha

Rp

75.880

Rp

5.928.500

Rp

6.004.380

Biaya produksi yang dikelauarkan petani untuk

usahatani bawang merah di Desa Arjasari tidak jauh

berbeda dengan masing-masing petani dikarenakan

luas lahan yang digunakan sama. Berdasarkan Tabel

14. biaya produksi bawang merah yang paling besar

Rp 6.348.630,-.

Penerimaan

Pada usahatani jagung manis dan bawang merah

penerimaan petani diperoleh dari banyaknya

produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga

yang berlaku. Harga jual jagung manis dan bawang

merah yang berlaku di pasaran berbeda jauh. Harga

jual yang berlaku di pasaran untuk jagung manis

dengan harga Rp 2.000,- setiap kilogram, sedangkan

bawang merah dijual dengan harga Rp 15.000,-

setiap kilogram. Harga jual bawang merah lebih

tinggi dibandingkan dengan harga jual jagung manis.

Harga jual yang jauh berbeda ini dikarenakan oleh

permintaan akan bawang merah yang tinggi. Pada

Tabel 7. dan 8. akan terlihat penerimaan yang

tertinggi dan terendah yang diperoleh petani jagung

manis dan bawang merah.

Tabel 7. Penerimaan usahatani jagung manis No Luas

Lahan

Produksi Harga Penerimaan

1 0.14

Ha

2.000 Kg Rp

2.000

Rp 4.000.000

2 0.7 Ha 10.000

Kg

Rp

2.000

Rp 20.000.000

3 1 Ha 14.000

Kg

Rp

2.000

Rp 28.000.000

4 1 Ha 14.000

Kg

Rp

2.000

Rp 28.000.000

Hasil produksi per musim tanam untuk

usahatani jagung manis yang paling tinggi adalah

sebesar 14.000 kg dengan luas lahan 1 Ha dan dengan

Page 127: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

115

harga jual Rp 2.0000,- per kilo mendapatkan hasil

total penrimaan yaitu sebesar Rp 28.000.000,-.

Tabel 8. Penerimaan usahatani bawang merah No Luas

Lahan

Produksi Harga Penerimaan

1 0.14

Ha

1.500 Kg Rp

10.000

Rp 15.000.000

2 0.14

Ha

1.500 Kg Rp

10.000

Rp 15.000.000

3 0.14

Ha

1.500 Kg Rp

10.000

Rp 15.000.000

4 0.14

Ha

1.500 Kg Rp

10.000

Rp 15.000.000

Sedangkan untuk hasil produksi per musim

tanam untuk usahatani bawang merah dengan luas

lahan 0.14 adalah sebesar 1.500 kg dengan harga jual

Rp 10.000,- per kilo medapatkan hasil total

penerimaan yaitu sebesar Rp 15.000.000,-

4.2.1 Pendapatan

Pendapatan petani dipeoleh dari hasil

penerimaan dikurangi dengan keseluruhan total biaya

yang dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh adalah

keuntungan yang diteriman oleh petani jagung manis

dan bawang merah. Berikut adalah Pendapatan

Tertinggi Usahatani Jagung Manis dan Bawang

Merah.

Tabel 9. Pendapatan usahatani jagung manis No Luas

Lahan

Penerimaan Biaya

Produksi

Pendapatan

1 0.14

Ha

Rp

4.000.000

Rp

1.571.102

Rp

2.428.898

2 0.7 Ha Rp

20.000.000

Rp

5.548.370

Rp

14.451.630

3 1 Ha Rp

28.000.000

Rp

7.655.102

Rp

20.344.898

4 1 Ha Rp

28.000.000

Rp

7.817.157

Rp

20.182.843

Pada Tabel 9. Menunjukan hasil pendapatan

usahatani jagung manis, pendapatan tertinggi terlihat

pada petani dengan luas lahan 1 Ha, yaitu dengan

total pendapatan Rp 20.344.898,-.

Dari hasil penelitian menunjukan petani

komoditas jagung manis yang memiliki lahansebesar

Β±1 Ha memiliki hasil yang cukup besar. Akan tetapi

dari hasil analisis yang dilakukan terhadap petani

bawang merah, memiliki potensi pendapatan yang

lebih besar dibandingkan petani jagung manis jika

dalam luasan lahan yang sama.

Tabel 10. Pendapatan usahatani bawang merah No Luas

Lahan

Penerimaan Biaya

Produksi

Pendapatan

1 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

6.222.880

Rp

8.777.120

2 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

6.348.630

Rp

8.651.370

No Luas

Lahan

Penerimaan Biaya

Produksi

Pendapatan

3 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

5.902.296

Rp

9.097.704

4 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

6.004.380

Rp

8.995.620

Pada tabel 10. menunjukan pendapatan usahatani

bawang merah dengan luasan yang sama yaitu 0.14

Ha. Pendapatan tertinggi pada luasan lahan yang

sama yaitu sebesar Rp 9.097.704,-.

4.2.2 Rasio R/C Usahatani Jagung Manis dan

Bawang Merah

Untuk mengetahui kelayakan suatu usahatani

dapat dilihat dengan menggunakan analisis R/C. R/C

didapatkan dari perbandingan antara penerimaan

total dengan biaya total. Layak atau tidaknya suatu

usaha dapat dilihat dari nilai R/C, jika R/C >1

usahatani mengalami keuntungan dan R/C<1

usahatani mengalami kerugian.

Tabel 11. Perhitungan R/C jagung manis No Luas

Lahan

Penerimaan Biaya

Produksi

Pendapatan R/C

1 0.14 Ha

Rp 4.000.000

Rp 1.571.102

Rp 2.428.898

2,54

2 0.7 Ha

Rp 20.000.000

Rp 5.548.370

Rp 14.451.630

3,60

3 1 Ha Rp 28.000.000

Rp 7.655.102

Rp 20.344.898

3,65

4 1 Ha Rp 28.000.000

Rp 7.817.157

Rp 20.182.843

3,58

Tabel 12. Perhitungan R/C bawang merah No Luas

Lahan

Penerimaan Biaya

Total

Pendapatan RC

1 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

6.222.880

Rp

8.777.120

2,41

2 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

6.348.630

Rp

8.651.370

2,36

3 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

5.902.296

Rp

9.097.704

2,54

4 0.14

Ha

Rp

15.000.000

Rp

6.004.380

Rp

8.995.620

2,50

Usahatani jagung manis untuk lahan 0.14 Ha

pada petani jagung manis 1 memiliki R/C sebesar

2,54 yang berarti mengalami keuntungan. Untuk

petani jagung manis 2 yang memiliki lahan 0.7 Ha

mendapatkan R/C sebesar 3,60 yang artinya

mengalami keuntungan. Pada petani jagung manis 3

yang memiliki lahan 1 Ha mendapatkan R/C sebesar

3,65 yang artinya mengalami keuntungan. Pada

petani jagung manis 4 yang memiliki lahan 1 Ha

mendapatkan R/C sebesar 3,58 yang artinya juga

mengalami keuntungan.Sedangkan untuk usahatani

bawang merah memiliki nilai R/C rata-rata 2,45

menunjukan bahwa usahatani bawang merah

mengalami keuntungan.

Dari kedua usahatani ini nilai R/C yang dimiliki

masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua

usahatani ini akan menghasilkan keuntungan dan

Page 128: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

116

layak untuk dijalankan, namun jika dibandingkan

besar nilai R/C dari kedua usahatani ini maka

usahatani jagung manis akan lebih menguntungkan

dibandingkan dengan usahatani bawang merah

meskipun pada hasil pendapatan memang lebih tinggi

untuk bawang merah dibandingkan dengan jagung

manis. Jagung manis dirasa lebih menguntungkan

karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu

besar sedangkan untuk bawang merah membutuhkan

biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah

teknik budidaya jagung manis dirasa para petani di

Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada

bawang merah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan yang telah dijelaskan, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1) Dari hasil R/C jagung manis lebih

menguntungkan daripada bawang merah karena

jagung manis tidak membutuhkan biaya produksi

yang banyak dalam usahataninya. Berbeda

dengan bawang merah yang membutuhkan biaya

produksi yang lebih besar. Dari kedua usahatani

ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar

dari 1 yang artinya kedua usahatani ini akan

menghasilkan keuntungan dan layak untuk

dijalankan, namun jika dibandingkan besar nilai

R/C dari kedua usahatani ini maka usahatani

jagung manis akan lebih menguntungkan

dibandingkan dengan usahatani bawang merah

meskipun pada hasil pendapatan memang lebih

tinggi untuk bawang merah dibandingkan dengan

jagung manis. Jagung manis dirasa lebih

menguntungkan karena biaya produksi yang

dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk

bawang merah membutuhkan biaya produksi

yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik

budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa

Arjasari lebih mudah dilakukan daripada bawang

merah.

2) Keadaan ekonomi masing-masing petani jagung

manis dan bawang merah dilihat dari sisi

pendapatannya dan dari hasil wawancara

ditempat penelitian, pendapatan para petani

berada pada posisi berkecukupan pada kehidupan

sehari-hari.

SARAN

Dari hasil pembahasan dan kesimpulan yang

didapat, maka dapat dikemukakan saran sebagai

berikut:

1) Petani di Desa Arjasari yang tadinya pindah ke

bawang merah, lebih baik beralih kembali pada

komoditas jagung manis. Karena jagung manis

tidak membutuhkan banyak biaya produksi dan

dalam masalah budidaya jagung manis lebih

mudah dibudidayakan dibandingkan bawang

merah.

2) Perlu diadakannya penyuluhan mengenai

budidaya jagung manis kepada parapetani agar

petani lebih dapat meningkatkan kembali

produksi jagung manisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Audita, Rosarita. 2012. Analisis Pendapatan

Usahatani Bawang Daun Sistem Organik dan

Bawang Daun Sistem Anorganik (Studi Kasus

di Kelompok Tani Sutan, Desa Tugu Utara,

Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat). Skripsi. Jatinangor: Universitas

Padjadjaran.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(Badan Litbang Pertanian). Pembinaan

Kelompoktani dalam Pengembangan

Kelembagaan Tani (2007). BPTP Jakarta.

Diakses dari jakarta.litbang.deptan.go.id

Bangun, Febriani. 2010. Analisis Pertumbuhan dan

Produksi Beberapa Varietas Bawang Merah

(Allium ascalonicum L.) Terhadap Pemberian

Pupuk Organik dan Anorganik. Skripsi.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik. Penduduk 15 Tahun Ke Atas

yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan

Utama, 2010 – 2013. Diakses dari

www.BPS.go.id

Badan Pusat Statistik. Produksi Bawang Merah

Provinsi Jawa Barat, 2009-2012. Diakses dari

www.BPS.go.id

Badan Pusat Statistik. Produksi Jagung Provinsi

Jawa Barat, 2009-2013 Provinsi Jawa Barat.

Diakses dari www.BPS.go.id

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat.

Produksi jagung di Kabupaten dan Kota di

Provinsi Jawa Barat periode, 2009-2013.

Diakses dari http://diperta.jabarprov.go.id/

Khaerizal, Hendra. 2008. Analisis Pendapatan dan

Faktor-faktor Produksi Usahatani Komoditi

Jagung Hibrida dan Bersari Bebas (lokal)

(Kasus Desa Saguling, Kecamatan Batujajar,

Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat).

Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Ifu, Amerina. 2013. Studi kelayakan Usahatani

Tumpangsari Cabai Rawit Merah (Capsium

Frutescens), Kubis (Brassica Var. Capitata L)

Dan Selada (Lactuca Satva L) Studi Kasus Di

Desa Cihanjung Rahayu Kecamatan

Parongpong Kabupaten Bandung Barat

Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Jatinangor:

Universitas Padjadjaran.

Page 129: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

117

Sianipar, Rimna Regina. 2012. Tanggap

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung

Manis (Zea Mays Saccharata Sturt) Terhadap

Pemberian Pupuk Anorganik Daun. Skripsi.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang:

Universitas Brawijaya

Soekartawi, 1995, Analisis Usaha Tani, UI-Press,

Jakarta.

Togatorop, Rodo Berlianan Br. 2010. Analisis

Efisiensi Produksi dan Pendapatan Pada

Usahatani jagung Di Kecamatan Wirosari,

Kabupaten Bogor. Semarang: Universitas

Diponogoro.

Warsana. 2007. Analaisis Efisiensi Dan Keuntungan

Usaga Tani Jagung (Studi Di Kecamatan

Randublatung Kabupaten Blora). Tesis.

Semarang: Universitas Diponogoro.

Zuraida, Rismarini. 2010. Usahatani Padi dan

Jagung Manis Pada Lahan Tadah Hujan

Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Di

Kalimantan Selatan (Kasus Di Kec. Landasan

Ulin Kotamadya Banjarbaru). Diakses dari

http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/ima

ges/stories/p77.pdf

Page 130: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

118

Page 131: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

119

Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu Sumedang

(Studi Kasus di Industri Kecil Sari Kedele, Kecamatan Jatinangor,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)

Analysis of Inventory Control of Soybean As Raw Material of β€œTahu Sumedang” (A

Case Study in Small Industry β€œSari Kedele”, Jatinangor Sub District, Sumedang District,

West Java)

Amy Fauziah1*, Kuswarini Kusno2

1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung,

2 Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung

A B S T R A K

Kata Kunci:

Kedelai

Tahu Sumedang

Keragaan

Proses Produksi

Model Economic Order

Quantity.

Tahu sumedang adalah produk olahan kedelai yang merupakan makanan khas

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Terdapat ratusan produsen tahu sumedang di

kabupaten Sumedang ini. Penelitian dilakukan di Industri Kecil Sari Kedele yang

terletak di Kecamatan Jatinangor karena permintaan terhadap produknya cukup tinggi

sehingga perlu pengendalian persediaan. Ada dua tujuan dalam penelitian ini; yang

pertama adalah untuk mengetahui keragaan proses produksi tahu sumedang yang

dilakukan oleh Industri Kecil Sari Kedele dan yang kedua adalah untuk mengetahui

kuantitas persediaan kedelai yang ekonomis serta biaya persediaannya. Desain

penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Untuk

mencapai tujuan yang pertama dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk

mencapai tujuan ke dua digunakan model kuantitatif Economic Order Quantity

(EOQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan yang digunakan dalam proses

produksi adalah kedelai impor, penggumpal, bawang putih, garam dan minyak goreng.

Proses produksi meliputi pencucian dan perendaman, penggilingan, perebusan,

penyaringan, pemadatan, pencetakan, pemotongan, perendaman dalam bumbu, serta

penggorengan. Selanjutnya, industri kecil hanya perlu melakukan pemesanan kedelai

10 kali dalam satu tahun sebanyak 9.481 kg per sekali pesan. Akibatnya, industri kecil

dapat menghemat biaya persediaan 9,6% dalam satu tahun. Dengan demikian, proses

produksi menjadi lebih efisien, sehingga industri kecil dapat menjadi lebih kompetitif

dalam jangka panjang.

ABSTRACT

Keywords:

Soybean

β€œTahu Sumedang”

Performance

Production Process

Model Economic Order

Quantity.

β€œTahu sumedang” is a processed soybean product which is a typical food of Sumedang

District, West Java. There are hundreds of producers of β€œtahu sumedang” in

Sumedang District. The study was conducted in Small Industry β€œSari Kedele” located

in Jatinangor Sub District as the demand for its product is high enough so that the

inventory control is necessary. There are two objectives in this study. The first one is

to determine the performance of the production process of β€œtahu sumedang” applied

by a small industryβ€œSari Kedele”,and the second one is to determine the economic

order quantity of soybean inventory as well as the cost of the inventory. Design of the

research was qualitative and quantitative, with a case study research technique. To

achieve the first objective, it is used a descriptive analysis, while for the second, a

quantitative model : Economic Order Quantity (EOQ). The results showed that the

materials used in the production process are imported soybean, coagulant, garlic,salt

and cooking oil. The production process includes washing and soaking, grinding,

boiling, filtering, compacting, printing, cutting, soaking in seasoning and frying. The

small industry just have to order soybean 10 times in one year, a total of 9481 kg per

one order. As a result, the small industriy can save the cost of inventory 9.6% in one

year.Thus,the production process becomes more efficient so that the small industry can

be more competitive in the long run. * Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected], [email protected]

Page 132: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

120

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas

pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat

Indonesia. Kedelai termasuk dalam kelompok legum

pangan dimana sekitar 90% kedelai yang tersedia di

Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, dan

sisanya untuk pakan ternak dan benih (FAO, 2005

dalam Ginting, dkk. 2009). Di Indonesia, produksi

kedelai pada tahun 2013 adalah 779,99 ribu ton biji

kering. Angka ini menurun 63,16 ribu ton atau 7,49

% dibandingkan pada tahun 2012. Hal ini disebabkan

oleh penurunan luas panen seluas 16,83 ribu hektar

atau 2,97% dan penurunan produktivitas sebesar 0,69

kwintal/ hektar.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas

dan Produksi Kedelai Menurut Wilayah

Uraian 2012 2013

1. Luas Panen (ha)

Pulau Jawa 382.039 342.796

Luar Pulau Jawa 185.585 207.997

Indonesia 567.624 550.793

2. Produktivitas

(kw/ha)

Pulau Jawa 15,80 15,23

Luar Pulau Jawa 12,91 12,41

Indonesia 14,85 14,16

3. Produksi (ton)

Pulau Jawa 603.641 521.954

Luar Pulau Jawa 239.512 258.038

Indonesia 843.153 779.992

Keterangan: Bentuk produksi kedelai adalah biji

kering

Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2013

Banyak makanan khas Indonesia yang

berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe.

Makanan ini dianggap sebagai sumber protein selain

daging. Selain itu makanan yang berasal dari kedelai

memilki harga yang lebih terjangkau dibandingkan

dengan harga daging. Produk olahan kedelai dapat

digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan

non fermentasi dan terfermentasi. Produk fermentasi

hasil industri tradisional yang populer adalah tempe,

kecap dan tauco, sedangkan produk non fermentasi

hasil industri tradisional adalah tahu dan kembang

tahu.

Tabel 2. Konsumsi Kedelai dan Produk Turunannya

per kapita (Kg/Tahun)

Uraian 2009 2010 2011 2012 2013

Kacang

Kedelai 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052

Tahu 7,039 6,987 7,404 6,987 7,039

Tempe 7,039 6,935 7,300 7,091 7,091

Sumber: Susenas Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 2, total konsumsi kedelai

dan produk turunannya dapat dikatakan stabil dari

tahun ke tahun hingga tahun 2013, dengan rata-rata

kenaikan yang sangat kecil yakni 0,154%. Dari itu

pula dapat diketahui bahwa selama lima tahun

tersebut rata-rata total konsumsi pada per kapita

adalah sebesar 14,24 kg/tahun.

Tahu sumedang adalah salah satu produk

olahan kedelai yang menjadi makanan khas

Kabupaten Sumedang. Tahu sumedang merupakan

tahu yang dijajakan dalam bentuk sudah digoreng,

tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang

berwarna putih. Tahu sumedang mempunyai kulit

luar yang berintik-bintik yang khas membedakan dari

jenis tahu lainnya. (Supriatna, 2005 dalam Yusup,

2012).

Industri kecil tahu sumedang Sari Kedele

merupakan salah satu tempat yang menjual tahu

sumedang sekaligus rumah makan dan pabrik

pembuatan tahu sumedang. Permintaan tahu

sumedang pada industri kecil ini cukup tinggi. Dalam

satu hari industri ini dapat memproduksi tahu hingga

250 ancak atau 42.250 buah tahu sumedang. Setiap

harinya industri ini selalu dipadati oleh konsumen

dari luar Kabupaten Sumedang maupun masyarakat

sekitar. Berikut produksi tahu sumedang pada bulan

Maret hingga Mei 2015.

Tabel 3. Produksi Tahu Sumedang Industri Kecil

Sari Kedele

Bulan

Jumlah Produksi

Tahu Sumedang

(Buah)

Maret 697.801

April 698.815

Mei 798.271

Sumber: Data Produksi Tahu Sumedang Industri

Tahu Sumedang Sari Kedele Tahun 2014

Pada Tabel 3 di atas dapat dilihat besarnya

produksi tahu sumedang pada industri kecil ini.

Untuk menghasilkan tahu sumedang dengan jumlah

yang besar seperti itu tentunya dibutuhkan kuantitas

kedelai yang sangat besar dalam satu bulannya.

Tabel 4. Pengelolaan Persediaan Kedelai di Industri

Kecil Tahu Sumedang Sari Kedele

Uraian Jumlah Aktual

Jumlah Pemesanan 6.000 kg

Kebutuhan Kedelai dalam

Satu Hari

273 kg

Frekuensi Pemesanan 16 kali

Page 133: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

121

Jeda waktu antar tiap

pemesanan

21 hari

Waktu Tenggang Pemesanan 1-2 hari

Sumber: Hasil wawancara dengan Industri Kecil

Tahu Sumedang Sari Kedele. Tahun 2015

Dalam sehari industri kecil ini dapat

menghabiskan 273 kg kedelai atau bahkan lebih.

Kedelai yang dipesan sebanyak 9.000 kg

didistribusikan 6.000 kg ke cabang Jatinangor dan

3.000 kg ke cabang Limbangan. Penentuan kuantitas

ini didasarkan pada perkiraan kebutuhan dalam

sehari, dan juga disebabkan industri hanya memiliki

gudang dengan kapasitas kecil. Luas gudang milik

Sari Kedele hanya 16 m2 dan hanya mampu

menampung kedelai kurang lebih 9.000 kg. Kuantitas

tersebut juga tidak memenuhi satu gudang penuh

namun hanya ΒΎ bagiannya saja. Hal ini disebabkan

ΒΌ bagian lainnya digunakan sebagai ruang kosong

tempat keluar-masuknya kedelai dan agar ada ruang

udara sehingga tidak cepat lembab.

Kuantitas sebesar 6.000 kg hanya akan

memenuhi kebutuhan produksi selama 22 hari. Pada

hari ke-21 industri kecil ini harus melakukan

pemesanan kembali sebelum persediaan kedelai di

gudang habis. Pemesanan kedelai hanya akan

dilakukan jika kedelai di gudang ada 200 kg atau

dapat memenuhi kebutuhan produksi untuk esok

harinya. Sistem pengadaan kedelai yang diterapkan

tersebut membuat gudang tidak pernah kekosongan

kedelai dan juga membuat kualitas kedelai tidak

menurun. Gudang yang mampu menampung kedelai

hingga 9.000 kg cendurung tidak dimanfaatkan

secara optimal. Akibatnya, terjadi biaya tambahan

seperti biaya pemesanan yang mana seharusnya hal

ini tidak akan terjadi jika kuantitas pemesanan

kedelai dapat dioptimalkan.

Sebagai salah satu usaha yang

mengutamakan produk tahu sumedangnya, industri

kecil tahu sumedang Sari Kedele ini belum

menerapkan model pengendalian persediaan tertentu

untuk menjaga keberlangsungan produksi tahunya.

Sebagai industri tahu yang setiap harinya

berproduksi, seharusnya Sari Kedele selalu menjaga

ketersediaan kedelai sebagai bahan bakunya. Melihat

situasi tersebut, dibutuhkan manajemen

pengendalian persediaan kedelai sebagai bahan baku

utama dalam pembuatan tahu sumedang. Hal ini

dilakukan agar kedelai dapat selalu tersedia tanpa

perlu ada penambahan biaya persediaan akibat

melakukan pemesanan kembali dengan jadwal yang

tidak teratur. Selain itu, industri kecil tahu sumedang

yang sangat banyak di Kabupaten Sumedang, yakni

282 buah (Deperindag, 2014) memungkinkan

terjadinya persaingan bisnis yang ketat. Karena itu,

penting mengantisipasi situasi ini dengan

merencanakan manajemen persediaan kedelai secara

terstruktur agar Industri Kecil Sari Kedele dapat

memenangkan kompetisi dalam jangka panjang.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian dengan judul β€œAnalisis

Pengendalian Persedian Kedelai Sebagai Bahan

Baku Tahu Sumedang (Studi Kasus pada Industri

Kecil Sari Kedele di Kecamatan Jatinangor,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)”.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Kedelai

Kedelai merupakan tanaman pangan berupa

semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine

ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan

berbagai kedelai yang dikenal sekarang kedelai

(Glycine max (L.) Merrill). Kedelai dibudidayakan di

Indonesia mulai abad ke-17 sebagai tanaman

makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman

kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo

menyebar ke daerah Mansyuria : Jepang (Asia

Timur) dan negara-negara lain di Amerika dan

Afrika. (AAK,1989 dalam Wiwin Nilasari, 2012).

Di salah satu negara bagian Amerika Serikat,

terdapat areal pertumbuhan kedelai yang sangat luas

sehingga menghasilkan 57% produksi kedelai dunia.

Di Indonesia, saat ini kedelai banyak ditanam di

dataran rendah yang tidak banyak mengandung air,

seperti di pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah,

Jawa Barat, Sulawesi Utara (Gorontalo), Lampung,

Sumatera Selatan dan Bali. Kedelai (Glycine max (L)

merrill) merupakan salah satu tanaman budidaya

dengan kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya

mengandung protein 30-50% (Richard et al., 1984

dalam Nilasari, 2012). Kandungan protein yang

tinggi memberi indikasi bahwa tanaman kedelai

memerlukan hara nitrogen yang tinggi pula. Di

Indonesia sampai saat ini produksi kedelai belum

dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.

Tahu Sumedang

Tahu Sumedang merupakan makanan khas

Kabupaten Sumedang. Tahu sumedang pertama kali

dikenalkan di Sumedang oleh imigran dari Cina yang

bernama Ong Kin No pada tahun 1900-an. Ong Kin

No membuat tahu di kota Sumedang untuk

mengenang kebiasaan di kampung halamannya.

Keharuman tahu yang dibuatnya ternyata menarik

perhatian seorang pangeran Sumedang untuk datang

ke rumahnya di kawasan pusat kota Sumedang.

Kadang-kadang orang mengatakan bahwa

tahu sumedang adalah tahu pong atau tahu kosong

tanpa isi. Penilaian tentang tahu sumedang tersebut

tercemari oleh tahu sumedang yang banyak dibuat

oleh pabrik tahu yang tidak menjamin kualitasnya.

Tahu sumedang berkualitas rendah tersebut banyak

Page 134: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

122

dijajakan oleh pedagang di dalam bis umum yang

melintasi kota Sumedang.

Tahu sumedang yang benar adalah tahu yang

dijajakan dalam bentuk sudah digoreng, tidak pong

atau tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang

masih putih. Sari kedelai tersebut memberikan rasa

khas perpaduan rasa kulit tahu yang sudah kering

digoreng dengan bagian dalam yang tidak kering.

Tahu sumedang mempunyai kulit luar yang berintik-

bintik atau curintik (bahasa Sunda) yang khas

membedakannya dari jenis tahu lainnya. (Dadang

Supriatna, 2005).

Persediaan

Persediaan merupakan salah satu unsur

paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara

continue diperoleh, diubah, yang kemudian dijual

kembali. Sebagian besar sumber-sumber perusahaan

juga sering dikaitkan dengan persediaan yang akan

digunakan dalam perusahaan pabrikasi. Nilai dari

persediaan harus dicatat, digolong-golongkan

menurut jenisnya yang kemudian dibuatkan

perincian dari masing- masing barangnya dalam

suatu periode yang bersangkutan, pada akhir sutu

periode. Pengalokasian biaya-biaya dapat

dibebankan pada aktivitas yang terjadi dalam periode

tersebut dan untuk aktivitas mendatang juga harus

ditentukan atau dibuat. (Assauri, 1993)

Menurut Handoko (1984) dalam pembuatan

setiap keputusan yang akan mempengaruhi besarnya

(jumlah) persediaan, biaya-biaya variabel yang harus

dipertimbangkan sebagai berikut :

1. Biaya penyimpanan (holding cost) terdiri atas

biaya-biaya yang bervariasi secara langsung

dengan kuantitas pesediaan. Biaya penyimpanan

per periode akan semakin besar apabila kuantitas

bahan yang dipesan semakin banyak, atau rata-

rata persediaan semakin tinggi.

2. Biaya pemesanan (order cost) yaitu biaya yang

timbul di saat aktivitas pemesanan.

Manajemen Persediaan

Manajemen persediaan merupakan hal yang

mendasar dalam penetapan keunggulan kompetatif

jangka panjang. Mutu, rekayasa, produk, harga,

lembur, kapasitas berlebih, kemampuan merespon

pelanggan akibat kinerja kurang baik, waktu

tenggang (lead time) dan profitabilitas keseluruhan

adalah hal-hal yang dipengaruhi oleh tingkat

persediaan. Perusahaan dengan tingkat persediaan

yang lebih tinggi daripada pesaing cenderung berada

dalam posisi kompetitif yang lemah. Kebijaksanaan

manajemen persediaan telah menjadi sebuah senjata

untuk memenangkan kompetitif.

Pengendalian Persediaan

Menurut Assauri (1993) pengendalian

persediaan merupakan suatu kegiatan untuk

menentukan tingkat dan komposisi persediaan

komponen rakitan, bahan baku dan barang hasil

(produk) sehingga perusahaan dapat melindungi

kelancaran produksi dan penjualan serta kebutuhan-

kebutuhan pembelanjaan perusahaan dengan efektif

dan efisien.

Model Economic Order Quantity

Handoko (1984) mengungkapkan bahwa,

metode manajemen persedian yang paling terkenal

adalah model-model Economic Order Quantity

(EOQ). Metode-metode ini dapat digunakan baik

untuk barang-barang yang dibeli maupun yang

diproduksi sendiri. Model EOQ sendiri adalah nama

yang biasa digunakan untuk barang-barang yang

dibeli. Model ini digunakan untuk menentukan

kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan

biaya langsung penyimpanan persediaan dan biaya

kebalikan (inverse cost) pemesanan persediaan.

Model EOQ di atas dapat diterapkan bila anggapan-

anggapan berikut ini dipenuhi:

Permintaan akan produk adalah konstan,

seragam dan diketahui (deterministik).

1. Harga per unit produk adalah konstan.

2. Biaya penyimpanan per unit per tahun (H) adalah

konstan.

3. Biaya pemesanan per pesanan (S) adalah

konstan.

4. Waktu antara pesanan dilakukan dan barang-

barang diterima (lead time) adalah konstan.

5. Tidak terjadi kekurangan barang atau (back

orders).

Alur Pemikiran

Permintaan tahu sumedang di Industri Kecil

Sari Kedele cukup tinggi. Keadaan ini dapat dilihat

dari kuantitas kedelai yang dihabiskan dalam sehari

seperti tampak pada Tabel 4. Untuk memenuhi

permintaan tersebut maka persediaan kedelai di

dalam gudang tidak boleh kosong. Karena itu

dibutuhkan pengelolaan persediaan yang baik untuk

menghindari kehabisan persediaan. Salah satu

caranya adalah dengan menerapkan model

persediaan. Tujuan dari penggunaan model

persediaan ini adalah untuk mendapatkan kuantitas

pemesanan kedelai yang optimal, yang berarti bahwa

biaya haruslah minimum.

METODE PENELITIAN

Objek penelitian ini adalah keragaan proses

produksi tahu sumedang dan pengendalian persedian

kedelai dalam aktivitas bisnis tahu sumedang pada

Industri Kecil Sari Kedele. Penelitian dilakukan di

Page 135: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

123

industri kecil tahu sumedang tersebut, yang

bertempat di Jalan Raya Ir. Soekarno No. 21,

Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini

meliputi dua jenis data, yaitu:

1. Data primer diperoleh dari informan yang

ditentukan secara sengaja (purposive). Cara

memperoleh data dan informasi primer dilakukan

dengan wawancara langsung menggunakan

panduan wawancara, dan observasi lapangan.

Informan dalam penelitian ini adalah pemilik,

manajer operasional dan tenaga kerja di industri

kecil tahu sumedang Sari Kedele.

2. Data sekunder, diperoleh dari Badan Pusat

Statistik (BPS), Dinas Pemerintahan terkait, studi

kepustakaan, dan penelusuran pustaka atau

laporan dari instansi terkait yang relevan.

Berikut merupakan rancangan analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini:

1. Untuk mengetahui bagaimana keragaan produksi

tahu sumedang, dianalisis secara deskriptif

dengan menggunakan alat analisis berupa tabel-

tabel.

2. Untuk mengetahui kuantitas pemesanan kedelai

yang ekonomis (optimal dimana biaya

persediaannya minimum), dianalis dengan

menggunakan model EOQ yaitu:

𝐸𝑂𝑄 = √2 𝐷𝑂

𝐻𝐢

dimana

D :Jumlah kedelai yang dibutuhkan selama satu

periode tertentu (kg)

O : Biaya pemesanan per sekali pesan

H : Harga pembelian per unit per tahun

C : Biaya penyimpanan dan pemeliharaan gudang

per unit per tahun dinyatakan dalam persen

Sementara itu, biaya yang dikeluarkan untuk

pemesanan yang ekonomis adalah:

𝑇𝐢 = (𝐷

𝑄𝑒) Γ— 𝑂 + (

𝑄𝑒

2+ 𝑆𝑠) Γ— (𝐢𝐻)

dimana:

TC : Total biaya pemesanan yang ekonomis

D : Jumlah kebutuhan setahun

Qe : Jumlah pesanan yang ekonomis

Ss : Persediaan pengaman yang seharusnya

H : Haga bahan per kilogram

O : Biaya pemesanan

C : Biaya penyimpanan per tahun

Rasio Sensitivitas adalah tingkat

perbandingan antara total biaya persediaan yang

dikeluarkan pada tingkat persediaan yang tidak

optimal dibandingkan dengan total biaya persediaan

pada tingkat persediaan optimal.

(π‘…π‘Žπ‘ π‘–π‘œ π‘†π‘’π‘›π‘ π‘–π‘‘π‘–π‘£π‘–π‘‘π‘Žπ‘  (𝑇𝐢

π‘‡πΆβˆ—)

=(

𝐷𝑄) Γ— 𝑂 + (

𝑄2 + 𝑆𝑠) Γ— 𝐢𝐻

(π·π‘„βˆ—) Γ— 𝑂 + (

π‘„βˆ—

2 + 𝑆𝑠) Γ— 𝐢𝐻)

Sedangkan biaya marjinal adalah biaya

tambahan yang harus ditanggung oleh industri kecil

karena jumlah persediaan yang ada tidak optimal.

Berikut ini adalah rumusnya :

π΅π‘–π‘Žπ‘¦π‘Ž π‘€π‘Žπ‘Ÿπ‘—π‘–π‘›π‘Žπ‘™ = (π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘–π‘œ π‘ π‘’π‘›π‘ π‘–π‘‘π‘–π‘£π‘–π‘‘π‘Žπ‘  βˆ’ 1)

Γ— π‘‘π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ π‘π‘–π‘Žπ‘¦π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘ π‘’π‘‘π‘–π‘Žπ‘Žπ‘›

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Industri Kecil Tahu

Sumedang Sari Kedele

Industri kecil tahu sumedang Sari Kedele

merupakan salah satu industri kecil tahu sumedang

yang mengembangakan usahanya menjadi rumah

makan. Industri kecil ini sendiri memiliki beberapa

cabang yang tersebar hingga Pulau Kalimantan dan

Sumatera, sedangkan di daerah Jawa Barat sendiri,

hanya memiliki satu cabang yaitu di Kecamatan

Limbangan, Kabupaten Garut. Industri kecil ini

sudah berjalan sejak tahun 1994 dimana pemiliknya

masih menjajakan tahunya di wilayah pemukiman

warga yang jauh dari jalan raya. Pada tahun 2000,

dibangun gerai sederhana yang letaknya tepat di

pinggir jalan propinsi. Posisi gerai yang dekat dengan

jalan raya membuat tahu sumedang yang diproduksi

semakin diminati konsumen. Jalan raya tersebut

merupakan jalur alternatif yang ramai dilewati

konsumen dari luar Kabupaten Sumedang, sehingga

mudah bagi konsumen untuk mencari oleh-oleh khas

Sumedang. Pada tahun 2014, Sari Kedele ini

memperluas usahanya menjadi Rumah Makan Tahu

Sumedang Sari Kedele. Hal ini disebabkan banyak

konsumen yang ingin makan tahu sumedang panas

dan renyah di tempat dengan nyaman; tidak hanya

dibawa sebagai oleh-oleh saja.

Seperti umumnya industri kecil yang lain,

Sari Kedele ini belum memiliki struktur organisasi

Page 136: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

124

yang paten, namun alur koordinasinya sudah

terbentuk dengan cukup baik. Biasanya, si pemilik

tidak mengarahkan langsung para karyawannya di

lapangan, tetapi ada seorang manajer operasional

yang mengarahkan dan mengawasi kerja karyawan

baik di rumah makan maupun di pabrik. Berikut ini

adalah alur koordinasi yang terjadi :

Gambar 1. Alur Koordinasi Industri Kecil Tahu

Sumedang Sari Kedele

Di pabrik, manajer operasional tidak selalu

mengawasi karyawan, tetapi lebih banyak

mengawasi di bagian gerai dan rumah makan. Hal ini

dilakukan karena terdapat Tim Inti yang sudah

dianggap mampu untuk membuat tahu sesuai dengan

arahan dari pemilik. Tenaga kerja di pabrik adalah

laki-laki semua yang berasal dari daerah sekitar.

Tenaga kerja itu sendiri terdiri dari dua kelompok

yang masing-masing terdiri dari lima hingga enam

orang. Setiap kelompok terdiri dari 2 orang tenaga

inti pembuat tahu dan 3 hingga 4 orang tenaga kenek.

Jumlah tenaga kerja pabrik tahu adalah 13

orang, dimana semuanya merupakan tenaga kerja

borongan. Para tenaga kerja mulai membuat tahu

pada pukul 03.00 pagi hingga pukul 16.00, tetapi

waktu pulang para tenaga kerja tersebut tidak dapat

ditentukan dengan pasti, karena permintaan

konsumen yang tidak pernah tetap.

Keragaan Proses Produksi Tahu Sumedang

Sebagai produk makanan yang

mengutamakan rasa, tahu sumedang memerlukan

komposisi bahan yang baik. Selain kedelai sebagai

bahan baku utamanya, digunakan pula bahan

pendukung yang menunjang cita rasa dari tahu itu

sendiri, yakni bawang putih dan garam. Berikut

penjelasan mengenai komposisi bahan dalam proses

produksi tahu sumedang.

1. Kedelai

Kedelai yang digunakan adalah kedelai impor.

Penggunaan kedelai impor ini disebabkan kedelai

impor selalu tersedia dan waktu pembekuannya lebih

singkat jika dibandingkan dengan kedelai lokal.

Dalam satu hari, industri kecil ini melakukan 21 kali

penggilingan kedelai dengan kuantitas 13 kg untuk

setiap kali penggilingan, sehingga total kuantitas

kedelai yang digunakan adalah 273 kg.

2. Penggumpal

Penggumpal merupakan komponen penting

dalam pembekuan tahu. Penggumpal berfungsi untuk

mengendapkan bagian protein tahu dari sari kedelai.

Penggumpal ini berasal dari air biang yang dibuat

dengan menambahkan cuka agar menjadi asam.

Penambahan cuka ini dimaksudkan agar tahu dapat

cepat membeku, namun saat ini air biang yang

digunakan berasal dari air rebusan kedelai. Air

rebusan tahu yang tersisa kemudian dipisahkan pada

sebuah drum plastik besar yang nantinya akan diberi

air biang yang telah diendapkan selama beberapa

hari. Setelah itu, air rebusan tersebut diendapkan

selama beberapa hari yang nantinya akan menjadi air

biang penggumpal. Untuk satu kali proses produksi,

penggumpal yang digunakan adalah 24 liter.

3. Bahan Pendukung

Bawang putih dan garam adalah bahan

pendukung yang berperan untuk menciptakan rasa

gurih tahu sumedang. Bawang putih yang digunakan

sebanyak 0,07 kg, sedangkan garamnya 7,1 kg untuk

proses produksi selama satu hari. Sebelum dijadikan

larutan bumbu untuk merendam tahu, bawang putih

terlebih dahulu dihaluskan; setelah itu dimasukan ke

dalam bak air bersama dengan garam.

4. Minyak Goreng

Minyak goreng digunakan untuk menggoreng

tahu. Tahu yang telah matang dengan warna

kecoklatan dinamai tahu sumedang. Minyak goreng

yang digunakan adalah jenis minyak goreng curah

dengan kualitas yang paling baik, karena kualitas

minyak berpengaruh pada kerenyahan dan tekstur

garing dari tahu sumedang. Dalam satu hari, proses

produksi dapat menghabiskan minyak goreng hingga

85 kg .

Berikut ini disajikan rincian penggunaan

bahan baku dan bahan pendukung dalam proses

produksi tahu sumedang untuk satu hari.

Tabel 5. Bahan yang Digunakan dalam Proses

Page 137: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

125

Produksi Tahu Sumedang

Jenis Bahan Jumlah

Bahan Baku Kedelai Impor 273 kg

Bahan

Pendukung

Penggumpal 24 liter

Bawang Putih 0,07 kg

Garam 7,1 kg

Minyak Goreng 85 kg

Untuk mengolah bahan-bahan menjadi tahu

sumedang dibutuhkan alat-alat. Setiap tahapan dalam

proses produksi tahu sumedang memerlukan alat

yang berbeda dan bermacam-macam. Sebagian besar

alat yang digunakan masih termasuk alat

konvensional. Berikut penjelasan alat-alat yang

digunakan dalam proses produksi tahu sumedang:

1. Timbangan

Timbangan digunakan untuk menakar jumlah

kedelai yang akan digiling. Satu kali proses

penggilingan dibutuhkan 13 kg kedelai.

Penimbangan dilakukan sebelum kedelai

dibersihkan.

2. Wadah dan Ember Plastik

Pada proses ini wadah plastik besar digunakan

sebagai tempat perendaman kedelai. Sedangkan

ember plastik digunakan sebagai tempat menyimpan

bubur kedelai yang keluar dari mesin giling.

3. Mesin Giling

Mesin giling bertenaga diesel digunakan

dalam proses penggilingan kedelai yang telah

direndam untuk dijadikan bubur kedelai. Terdapat

dua buah mesin giling milik sendiri di pabrik.

4. Kuali

Kuali perebus terbuat dari bahan alumunium

dengan diameter kurang lebih 90 cm dengan

kedalaman 40 cm. Kuali ini digunakan untuk

merebus bubur kedelai hingga matang. Terdapat dua

buah kuali perebus yang letaknya bersebelahan.

Kuali untuk menggoreng sedikit berbeda

dengan kuali untuk merebus dalam ukurannya, tetapi

terbuat dari alumunium juga. Kuali ini berukuran

lebih kecil dari kuali untuk merebus. Kapasitas kuali

penggoreng ini adalah 2 ancak atau 338 potong tahu.

Terdapat dua kuali penggorengan di industri kecil ini.

5. Tungku

Tungku perebus terbuat dari bahan konstruksi

seperti batu bata, pasir dan semen. Tungku dibuat

menyatu dengan kuali agar saat proses pengadukan,

kuali tidak ikut bergerak. Terdapat empat tungku

namun yang digunakan hanya dua saja. Tungku

penggorengan terbuat dari bahan konstruksi yang

sama namun dilapisi dengan lembaran seng.

Penggunaan lembaran seng di sekeliling tungku

bertujuan agar minyak dapat dengan mudah

dibesihkan.

6. Pengaduk

Pengaduk yang digunakan dalam proses

perebusan terbuat dari bahan alumunium dengan

diameter yang cukup lebar. Hal ini bertujuan agar

mudah dalam mengaduk bubur kedelai dan mudah

pula untuk memindahkan susu kedelai ke dalam

tahang.

7. Tahang

Tahang merupakan wadah penyaringan antara

susu dan ampas kedelai. Alat ini terbuat dari kayu

yang tidak mudah lapuk. Jumlah tahang yang

digunakan adalah dua buah.

8. Kain Saring

Kain saring digunakan untuk memisahkan

susu dari ampas kedelai. Kain saring ini selain

digunakan pada saat pemisahan antara susu dan

ampas kedelai, juga saat pencetakan kedelai.

Penggunaan kain sarung ketika proses pencetakan

bertujuan agar tahu yang sudah dicetak dapat dengan

mudah dipindahkan ke dalam ancak dan tahu tidak

menempel di cetakan.

9. Drum Plastik

Drum plastik digunakan untuk menampung

sisa air yang ada pada susu kedelai. Sisa air akan

dijadikan penggumpal untuk keesokan harinya

dengan menambahkan biang asam. Terdapat banyak

drum plastik di pabrik tahu yang berisi bahan

penggumpal.

10. Cetakan

Cetakan terbuat dari kayu pada bagian

pinggirnya dan anyaman bambu pada bagian alasnya.

Cetakan ini berukuran 54x54 cm. Pola anyaman

bambu di bagian bawah akan secara otomatis

membentuk pola segi empat yang nantinya dijadikan

acuan dalam proses pemotongan. Alat ini terdiri dari

bingkai, alas dan penutup.

11. Ancak

Ancak merupakan tempat untuk meletakan

tahu mentah yang telah dicetak untuk dipotong

nantinya. Alat ini terbuat dari bambu untuk bagian

alasnya dan kayu untuk bagian pinggirannya. Ancak

berfungsi untuk meniriskan air yang masih tersisa

pada tahu baik sebelum maupun setelah dimasukan

ke dalam larutan bumbu. Selain itu ada pula ancak

yang bagian dasarnya berlapis seng. Ancak ini

digunakan di gerai sebagai tempat penyajian tahu.

12. Penggaris Bambu dan Pisau

Kedua alat ini digunakan dalam proses

pemotongan tahu. Penggaris yang terbuat dari bambu

tidak memiliki angka seperti pada penggaris pada

umunya. Penggaris ini hanya digunakan sebagai alat

Page 138: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

126

yang akan menjaga potongan tahu agar tetap lurus.

13. Saringan Alumunium

Saringan alumunium ini berbentuk jaring-

jaring. Jaring-jaring tersebut berfungsi untuk

meniriskan minyak sisa penggorengan sebelum tahu

dipasarkan.

14. Keranjang Bambu atau Bongsang

Bongsang merupakan kemasan tahu sumedang

yang terbuat dari anyaman bambu yang kecil dan

tipis. Kapasitas bongsang bermacam-macam yaitu

25-100 buah tahu sumedang tergantung dari ukuran

bongsang itu sendiri. Sebelum tahu dimasukkan ke

dalam bongsang, biasanya bongsang dilapisi dengan

daun pisang agar serbuk kulit tahu tidak berserakan.

Tempat Proses Produksi Tahu Sumedang

Proses produksi tahu sumedang dilakukan di

sebuah pabrik yang letaknya tidak jauh dari gerai dan

rumah makan. Pabrik dan tempat penggorengan tidak

berada dalam satu tempat yang sama. Tempat

penggorengan tahu berada di bangunan yang terpisah

dimana letaknya lebih dekat dengan gerai dan rumah

makan.

Pabrik tahu berupa sebuah bangunan

berbentuk kubus persegi panjang dengan sebuah

gudang penyimpanan persediaan kedelai di

dalamnya. Pabrik dibangun sedemikian rupa agar

rapi dan dapat memuat alat-alat produksi yang

berukuran besar. Pada sekeliling pabrik terdapat

tempat penyimpanan ampas tahu dan serbuk gergaji.

Tahu Sumedang Sari Kedele memiliki ciri

khas yaitu renyah kulit tahunya dan gurih rasanya.

Hal ini disebabkan pemilihan kedelai yang baik dan

kualitas dari air yang digunakan pada saat proses

produksi juga baik. Untuk menjadi tahu sumedang

yang enak dan gurih kedelai harus melalui beberapa

tahapan proses produksi seperti perendaman,

penggilingan, perebusan, hingga teknik penyajian

yang baik. Alur proses produksi tahu sumedang

sendiri dapat di lihat pada Gambar 2.. Berikut

penjelasan dari tahapan-tahapan proses produksi tahu

sumedang:

1. Tahap Pencucian dan Perendaman

Kedelai yang akan diproses harus ditimbang

terlebih dahulu untuk menyesuaikan komposisi resep

pembuatan tahu. Kedelai ditimbang 13 kg untuk satu

kali proses penggilingan yang dipisahkan

menggunakan wadah plastik besar. Sebelum masuk

ke proses penggilingan, kedelai harus terlebih dahulu

dicuci hingga bersih di air mengalir. Setelah itu

kedelai direndam di air bersih selama 2 jam hingga

teksturnya melunak dan mengembang.

2. Tahap Penggilingan

Setelah direndam dan tekstur dari kedelai

sudah berubah menjadi lunak, maka kedelai siap

untuk digiling. Proses penggilingan menggunakan

mesin giling yang dinyalakan dengan mesin diesel.

Di atas mesin penggilingan terdapat pipa air bersih

untuk mengalirkan air selama proses penggilingan.

Maksud dari pemberian air selama proses

penggilingan adalah agar kedelai dapat digiling

hingga halus. Kedelai dimasukan ke dalam mesin

penggilingan sedikit demi sedikit agar kedelai tidak

menggunduk selama proses penggilingan

berlangsung dan memudahkan air masuk sehingga

kedelai lebih cepat halus dan menjadi bubur kedelai.

3. Tahap Perebusan

Pada tahap ini bubur kedelai direbus di dalam

sebuah tungku yang besar dengan api yang terbentuk

dari serbuk gergaji. Bubur kedelai direbus selama 40

menit sambil terus diaduk hingga mendidih. Proses

pengadukan selama bubur kedelai direbus dilakukan

agar output susu kedelai nantinya tidak banyak

berbusa dan gosong.

4. Tahap Penyaringan

Setelah rebusan bubur kedelai mendidih,

adonan dapat dipindahkan ke dalam tahang kayu

yang besar dimana pada bagian permukaan tahang

sudah dilapisi kain saring. Hal tersebut dilakukan

untuk memisahkan ampas dari susu kedelai. Ampas

tahu dipisahkan dan ditempatkan ke wadah lain dan

dilakukan pemadatan ampas tahu. Setelah padat,

ampas dimasukkan ke dalam karung lalu disimpan

untuk dijual ke peternak sapi.

5. Tahap Pemadatan

Susu kedelai kemudian dicampur air biang

untuk membekukan tahu. Susu kedelai diendapkan

beberapa menit yang kemudian sisa air yang ada pada

susu kedelai dipisahkan untuk dijadikan biang tahu

yang didiamkan selama beberapa hari.

6. Tahap Pencetakan

Susu kedelai yang sudah membeku dapat

disebut tahu dan siap untuk dicetak. Cetakan tahu

berbentuk persegi empat yang terbuat dari bahan

kayu dan anyaman bambu. Di bagian dalam cetakan

dilapisi dengan kain saring. Tahu dimasukkan ke

dalam cetakan hingga penuh setelah itu tahu

didiamkan sekitar 15 menit hingga sisa air dalam tahu

turun. Setelah sisa air pada tahu sudah tidak menetes

maka tahu dapat dipindahkan pada ancak bambu dan

didiamkan hingga dingin.

7. Tahap Pemotongan dan Perendaman dalam

Bumbu

Pemotongan tahu dilakukan setelah tahu

menjadi dingin dan padat, dengan menggunakan

pisau dan penggaris bambu. Satu ancak tahu dapat

Page 139: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

127

menghasilkan 169 buah tahu. Setelah tahu dipotong

tahu direndam di dalam larutan air, garam, dan

bawang putih selama kurang lebih dua menit lalu di

angkat dan ditiriskan.

8. Tahap Penggorengan

Tahu yang sudah tiris dapat digoreng dalam

minyak panas sembari diaduk agar tahu tidak

menempel satu sama lain. Penggorengan dilakukan

sampai warna tahu berubah menjadi kecokelatan lalu

tahu siap diangkat dan ditiriskan.

Gambar 2. Alur Proses Produksi Tahu Sumedang

Pengadaan Persediaan Kedelai Pemesanan kedelai dilakukan saat

persediaan kedelai di dalam gudang sudah hampir

habis atau hingga menyisakan sejumlah kebutuhan

untuk esok harinya yaitu sekitar 200 kg. Hal ini

dilakukan untuk menjaga kualitas kedelai agar tidak

menumpuk di gudang terlebih lagi luas gudang hanya

dapat memuat sekitar 9.000 kg kedelai. Setiap

bulannya kedelai dipesan melalui telepon ke

distributor sehingga dalam satu tahun Industri

melakukan 16 kali pemesanan. Kuantitas kedelai

dalam satu kali pemesanan adalah sebesar 6.000 kg,

penentuan kuantitas ini didasarkan pada perkiraan

kebutuhan kedelai untuk satu bulan.

Jeda waktu antara pemesanan dan barang

datang adalah satu hari sehingga rata-rata jeda waktu

atau lead time adalah 1 hari. Jeda waktu ini terbilang

singkat karena distributor berada di kota dan

distributor tersebut merupakan saudara dari pemilik

industri kecil.

Kedelai yang digunakan merupakan kedelai

impor dari Amerika Serikat. Seperti telah disebutkan

bahwa kedelai diperoleh dari distributor yang berada

di Kota Sumedang dimana hubungan antara

distributor dan pemilik adalah saudara. Hal ini

membuat kedua pihak lebih mudah dalam melakukan

pemesanan dan transaksi kedelai. Berikut alur

pengadaan kedelai dari negara pengimpor hingga ke

gudang industri kecil Sari Kedele :

Gambar 3. Alur Pengadaan Kedelai

Penyimpanan kedelai yang diterapkan di

industri kecil ini masih sangat sederhana, Tidak ada

sistem keamanan gudang maupun adminstrasi

keluar-masuknya kedelai dari gudang. Sistem

pemakaian kedelai yang diterapkan adalah metode

First In First Out yaitu kedelai yang pertama masuk

ke gudang akan menjadi yang pertama kali

digunakan. Kedelai dikemas di dalam karung plastik

putih dengan berat setiap karungnya 50 kg. Kedelai

yang sudah tiba akan segera diangkut dan disimpan

di dalam gudang. Karung-karung kedelai ditumpuk

sampai memenuhi tiga per empat bagian gudang.

Gudang berada di dalam pabrik tahu dengan luas 2Γ—8

meter persegi. Gudang hanya memiliki satu saluran

udara dari pintu masuk dan sebuah lampu sebagai

penerang.

Biaya-Biaya Persediaan

1. Biaya Pemesanan

Pemesanan kedelai dilakukan melalui

telepon dengan distributor dan dilakukan 16 kali

dalam satu tahun. Setelah itu distributor akan

menyiapkan sejumlah kedelai yang dipesan dan

segera diantar sesuai dengan permintaan. Biaya yang

dikeluarkan untuk pemesanan kedelai ini hanya

terdiri dari biaya komunikasi sebesar Rp 3.750.

2. Biaya Penyimpanan

Penyimpanan kedelai dalam gudang

bertujuan untuk menjaga kualitas kedelai agar tidak

cepat rusak. Biaya yang ditimbulkan akibat

penyimpanan kedelai ini hanya biaya penyusutan

gudang selama 20 tahun dan biaya listrik saja.

Tabel 6. Biaya Penyimpanan Kedelai

Jenis Biaya

Penyimpanan

Jumlah (%)

Biaya Penyusutan

Gudang

0,05%

Biaya Listrik 0,05%

Total 0,1%

Biaya penyimpanan kedelai dalam hal ini

dinyatakan dalam bentuk persentase dari nilai

persediaan, sehingga diperoleh biaya penyimpanan

Tahap Pencucia

n dan Perenda

man

Tahap Penggilin

gan

Tahap Perebusa

n

Tahap Penyarin

gan

Tahap Pemadata

n

Tahap Pencetak

anTahap Pemotongan dan Perenda

man dalam Bumbu

Tahap Penggore

ngan

Amerika Serikat

Importir di

Banten

Distributor di

Sumedang

Sari Kedele

Page 140: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

128

kedelai sebesar Rp 8,2/kg/tahun.

Perhitungan Persediaan Kedelai dengan Model

Economic Order Quantity (EOQ)

Perhitungan persediaan kedelai dengan

menggunakan model EOQ ditujukan untuk

memperoleh kuantitas pesanan kedelai yang

meminimalkan total biaya persediaan dan biaya-

biaya pemesanannya. Untuk mengetahui hal tersebut

maka dilakukan perbandingan antara perhitungan

persediaan aktual dengan perhitungan persediaan

dengan model EOQ.

Tabel 7. Perbandingan Persediaan Kedelai Aktual

dengan Berdasarkan Model EOQ pada

Tahun 2014

Uraian Aktual EOQ

Jumlah

Pemesanan (Q) 6.000 kg 9.481 kg

Frekuensi

Pemesanan (F) 16 kali 10 kali

Jeda waktu

antar tiap

pemesanan (T)

22 hari 37 hari

Biaya Total

Persediaan

(TC)

Rp 86.025 Rp 77.744

Selisih Biaya

Total

Persediaan

Rp 8.281

Pada Tabel 7 dapat dilihat perbedaan hasil

perhitungan antara pengelolaan persediaan aktual

dengan pengelolaan persediaan berdasarkan model

EOQ. Hasil perhitungan dengan model EOQ

diperoleh bahwa industri kecil melakukan

pemesanan kedelai 9.481 kg per sekali pesan, dengan

frekuensi 10 kali pemesanan dalam satu tahun.

Sedangkan pada perhitungan aktual, industri kecil

melakukan pemesanan 16 kali dalam satu tahun

dengan kuantitas 6.000 kg setiap kali pemesanan.

Selanjutnya, hasil perhitungan dengan model EOQ

menunjukkan bahwa frekuensi pemesanan dalam

satu tahun lebih kecil dibandingkan frekuensi

pemesanan aktual, namun kuantitas yang dipesan

lebih besar 58% dari kuantitas aktualnya. Frekuensi

pemesanan yang lebih kecil ini akan mengurangi

beban biaya pemesanan 62,5% dari biaya pemesanan

aktual. Dengan demikian, kuantitas sebesar 9.481 kg

akan mengoptimalkan kapasitas gudang yang pada

kondisi aktual hanya dimanfaatkan untuk 6.000 kg

kedelai saja; padahal sesungguhnya gudang tersebut

dapat menampung lebih dari 6.000 kg. Selain itu,

seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,

bahwa kebutuhan kedelai dalam satu bulan untuk

memproduksi tahu sumedang mencapai angka 8.190

kg sedangkan industri kecil memesan kedelai hanya

6.000 kg untuk satu bulan. Sementara itu, menurut

model EOQ industri kecil seharusnya memesan

9.481 kg kedelai untuk satu kali pemesanan. Artinya,

model EOQ ini dapat memenuhi kebutuhan kedelai

selama satu bulan dalam satu kali pemesanan.

Total biaya persediaan berdasarkan model

EOQ adalah Rp 77.744 sedangkan total biaya

persediaan aktualnya adalah Rp 86.025. Terdapat

selisih antara keduanya yaitu Rp 8.281. Artinya, jika

industri kecil memesan 9.481 kg kedelai, total biaya

persediaannya akan lebih hemat 9,6% dibandingkan

dengan total biaya persediaan aktualnya.

Gambar 4. Grafik Persediaan dalam Model EOQ

Berdasarkan Gambar 4, jarak waktu antar

pesanan (T) adalah 37 hari dengan waktu tenggang

atau lead time 1 hari. Titik pemesanan kembali atau

Re-Order Point adalah pada 1 hari sebelum masa

pemesanan kedelai yang pertama selesai. Dengan

demikian, pemesanan kembali menurut model EOQ

dilakukan pada hari ke 36, 73 dan seterusnya.

Pada saat persediaan kedelai mencapai nol

pesanan baru dapat diterima sehingga tingkat

persediaan kedelai kembali naik ke titik Q sebesar

9.481 kg. Perlu diketahui bahwa model EOQ ini tidak

mempertimbangkan adanya keterlambatan

datangnya kedelai ke gudang sehingga kedelai selalu

datang tepat waktu sebelum atau saat persediaan di

gudang habis.

Kedelai sebagai bahan segar memiliki masa

kadaluarsa yang perlu menjadi bahan pertimbangan.

Untuk menjaga kualitas tahu maka kedelai sebaiknya

tidak disimpan terlalu lama di dalam gudang yang

akan menyebabkan kedelai cepat berbau apek. Oleh

karena itu, perhitungan dengan model persediaan

perlu mempertimbangkan waktu kadaluarsa kedelai

yang diharapkan mampu memberikan tingkat

pemesanan dan persediaan kedelai yang optimal.

Pada industri kecil Sari Kedele ini tidak

Page 141: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

129

ditemukan kedelai yang kadaluarsa. Penggunaan

kedelai yang tidak berhenti setiap harinya membuat

kedelai di gudang tidak tersimpan dalam waktu yang

lama. Tidak adanya persediaan pengaman membuat

industri kecil ini tidak menyimpan sejumlah kedelai,

sehingga gudang hanya terisi oleh sejumlah kedelai

untuk produksi esok harinya.

Analisis Sensitivitas dan Biaya Marjinal

Untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu

persediaan perlu dihitung rasio senditivitas dan biaya

marjinalnya. Menurut Ma’arif dan Tanjung (2003)

rasio sensitivitas adalah tingkat perbandingan antara

total biaya persediaan yang dikeluarkan pada tingkat

persediaan yang tidak optimal dibandingkan dengan

total biaya persediaan pada tingkat persediaan

optimal. Sementara itu biaya marjinal adalah biaya

tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan

karena jumalh persediaan yang tidak optimal.

Biaya persediaan akan optimal jika rasio

sensitivitasnya adalah 1. Apalabila rasio

sensitivitasnya lebih besar dari 1 maka biaya

persediaan tersebut tidak optimal atau dengan kata

lain perusahaan menanggung biaya marjinal.

Tabel 8. Hasil Perhitungan Rasio Sensitivitas dan

Biaya Marjinal

Model EOQ

Rasio Sensitivitas 1,11

Biaya Marjinal Rp 8.552

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa rasio

sensitivitas dari model EOQ adalah 1,11. Angka

tersebut diperoleh dari membagi total biaya

persediaan aktual industri kecil sebesar Rp 86.025

dengan total biaya persediaan hasil perhitungan

model EOQ sebesar Rp 77.744. Rasio sensitivitas

yang melebihi satu menunjukkan bahwa persediaan

yang diterapkan industri kecil belum efisien. Dengan

kata lain, industri kecil menanggung biaya tambahan

sebesar 0,11 kali lebih besar dari yang seharusnya,

akibat tidak efisiennya pengelolaan persediaan. Oleh

karena itu, industri kecil menanggung biaya marjinal

sebesar Rp 8.552 karena tidak mengelola persediaan

kedelai secara optimal.

Implikasi Terhadap Perusahaan

Menurut Ma’arif dan Tanjung (2003), jika

keadaan memungkinkan boleh melakukan pesanan

10% diatas jumalh EOQ atau 10% dibawah jumlah

EOQ. Tidak ada kendala bagi perusahaan untuk

menerapkan manajemen persediaan bahan aku

dengan metode EOQ selama ketersediaan pasokan

kedelai selalu ada serta memiliki hubungan baik

dengan supplier. Untuk mengetahui implikasi

terhadap perusahaan dilakukan agara kondisinya

seimbang sehingga sesuai untuk dibandingkan.

Perhitungan biaya marjinal yang harus ditanggung

perusahaan karena tidak mengelola persediaan secara

optimal sebesar Rp 8.552 berimplikasi pada

pelaksanaan manajemen persediaan industri. Jika

manajemen persediaan kedelai industri tidak

diperbaiki, maka akan terjadi pemborosan sebesar Rp

8.552 hanya dari kedelai belum termasuk bahan-

bahan pendukung lainnya.

Tabel 9. Pengaruh Perubahan Kuantitas Pemesanan

Kedelai Di Atas dan Di Bawah Sepuluh

Persen dari Kuantitas Pemesanan yang

Ekonomis

Total Biaya Persediaan pada

Tingkat

TC

(100%)

TC

(90%)

TC

(110%)

Kedelai Rp 77.744 Rp 78.176 Rp 78.098

Selisih Rp 0 Rp 432 Rp 354

% terhadap

EOQ 100% 0,56% 0,46%

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat implikasi

pada industri kecil akibat melakukan pemesanan

kedelai di atas maupun di bawah 10% dari kuantitas

pemesanan yang ekonomis yaitu 9.481 kg. Apabila

industri kecil menurunkan jumlah pemesanan kedelai

10% atau melakukan pemesanan kedelai 90% dari

9.481 kg justru membuat biaya total persediaan

meningkat Rp 432 atau 0,56%. Sementara itu,

melakukan pemesanan dengan meningkatkan jumlah

pesanan 10% atau melakukan pemesanan 110% dari

9.481 kg juga akan meningkatkan biaya total

persediaan sebesar Rp 354 atau 0,46%. Baik dengan

meningkatkan ataupun menurunkan jumlah

pemesanan sebesar 10% dari 9.481 kg tidak ada yang

menurunkan biaya total persediaan. Karena itu,

industri kecil tidak direkomendasikan untuk

menambah atau mengurangi jumlah persediaan

kedelai dari kuantitas pemesanan yang ekonomis

sebesar 9.481 kg.

PENUTUP

Kesimpulan

1. Industri kecil Sari Kedele menggunakan kedelai

impor sebagai bahan baku utama pembuatan tahu

sumedang, dan beberapa bahan pendukung lainnya

seperti bawang putih, garam serta minyak goreng.

Page 142: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

130

Untuk menghasilkan tahu sumedang yang gurih

dan renyah, kedelai melewati beberapa tahapan

proses produksi yaitu pencucian dan perendaman,

penggilingan, perebusan, penyaringan, pemadatan,

pencetakan, pemotongan dan perendaman dalam

bumbu, serta penggorengan.

2. Dengan menggunakan model EOQ, kuantitas

kedelai yang dipesan adalah 9.481 kg atau lebih

besar 58% dari pada kuantitas aktualnya, dan biaya

total persediaannya adalah Rp 77.744 atau lebih

hemat 9,6%. Manajemen persediaan yang

dilakukan industri kecil ini belum efisien. Hal ini

dibuktikan dengan angka rasio sensitivitas yang

lebih besar dari 1.

Saran

Berdasakan pembahasan dan kesimpulan,

dapat disarankan bahwa Industri Kecil Sari Kedele

sebaiknya menggunakan model EOQ untuk

menentukan jumlah persediaan kedelainya.

Konsekuensinya adalah gudang tempat menyimpan

kedelai perlu diperluas agar dapat memuat kedelai

sebanyak 9.481 kg. Seberapa besar tepatnya

perluasan gudang ini dapat dihitung dengan teori

Tata Letak Pabrik, sehingga diperlukan penelitian

lanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada semua pihak yang telah

mendukung dan membantu dalam pembuatan karya

ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asssauri, Sofjan. (2008). Manajemen Produksi dan

Operasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Bulanan Data

Sosial Ekonomi Edisi 51 Agustus 2014.

www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 18 Januari

2015

Erlina. 2002. Manajemen Persediaan.

repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 23

Desember 2014.

Ginting, Erliana, Sri Satya Antarlina dan Sri

Widowati. 2009. Varietas Unggul Kedelai

Untuk Bahan Baku Industri Pangan.

http://pustaka.litbang.pertanian.go.id. Diakses

pada tanggal 20 Agustus 2015.

Handoko, T.Hani. 1984. Dasar-Dasar Manajemen

Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE

Kementerian PPN/Bappenas Direktorat Pangan dan

Pertanian. Studi Identifikasi Ketahanan Pangan

dan Preferensi Konsumen Terhadap Konsumsi

Bahan Pangan Pokok Kedelai dalam Upaya

Mengembangkan Naskah Kebijakan Sebagai

Masukan Pada RPJMN 2015 – 2019.

www.greenclimateproject.org. Diakses pada

tanggal 19 Februari 2015.

Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan

Kedelai (Teori dan Praktek).

tekpan.unimus.ac.id. Diakses pada tanggal 18

Januari 2015.

Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. (2014).

www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 23

Desember 2014.

Ma’arif, M. Syamsul, Henri Tanjung. 2003.

Manajemen Operasi. Jakarta: Grasindo.

Nilasari, Wiwin. 2012. Uji Efektivitas Isolat Rhizobia

Asal Tanah Mineral dan Tanah Gambut Pada

Tanaman Kedelai (Glycine max(L.) Merrill).

http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal

23 Desember 2014.

Perangin-angin, B. H. 2013. Pengaruh Konsentrasi

Larutan Kitosan Jeruk Nipisdan Lama

Penyimpanan terhadap Mutu Tahu Segar.

Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses

pada tanggal 23 Desember 2014.

Produksi Tanaman Pangan 2013. (2013). Badan

Pusat Statistik: Jakarta. Diakses pada tanggal 20

Januari 2014.

Rahmawati, Fitri. 2013. Teknologi Proses

Pengolahan Tahu dan Pemanfaatan

Limbahnya. Jurusan Pendidikan Teknik Boga

dan Busana. Yogyakarta: Universitas Negeri

Yogyakarta. Diakses pada tanggal 23 Desember

2014.

Sipahutar, Marlon. 2010. Kajian Manajemen

Persediaan Kedelai sebagai Bahan Baku

Pembuatan Kedelai Bubuk Instan. Jatinangor:

Universitas Padjadjaran.

Stephyna, Happy Ganadial. 2011. Analisis Kinerja

Manajemen Persediaan Pada PT. United

Tractors, Tbk Cabang Semarang.

eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 05

Oktober 2014.

Sukmawati, Dety. 2011. Kebutuhan Kedelai dan

Kapasitas Produksi Tahu pada Pengrajin Tahu

di Kabupaten Sumedang . e-

journal.winayamukti.ac.id. Diakses pada

tanggal 04 Januari 2015.

Suswardji, Edi, Eman, Ria Ratnaningsih. 2012.

Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku

Pada PT. NT Piston Ring Indonesia di

Page 143: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

131

Karawang. www.jurnal.feunsika.ac.id. Diakses

pada tanggal 05 Oktober 2014.

Wijaya, Dilzar Dian. 2006. Analisis Pengendalian

Persediaan Bahan Baku Susu Kental Manis

Pada PT. Indomilk. repository.ipb.ac.id.

Diakses pada tanggal 23 Desember 2014.

Yusup, Imam Ahmad Maulana. 2012. Keragaan

Agroindustri Tahu Sumedang (Studi Kasus

Pada Agroindustri Tahu Bungkeng).

Page 144: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

132

Page 145: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

133

Pemodelan Dinamika Sistem Kemitraan Pada Rantai Pasok Kentang di

Kabupaten Bener Meriah

System Dynamics Modelling Partnership In The Potato Su pply Chain

In Bener Meriah District

Lukman Hakim1), Tomy Perdana2), Maman Haeruman K.2), Yosini Deliana2)

1)Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, [email protected] 2)Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung

A B S T R A K

Kata Kunci:

Dinamika Sistem

Sistem Kemitraan

Rantai Pasok Kentang

Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi kentang di Kabupaten Bener Meriah

dimana petani melakukan kerjasama kemitraan pemasaran kentang dengan pihak

industri pengolahan. Penelitian bertujuan untuk memahami dan memodelkan sistem

kemitraan formal dan nonformal pada rantai pasok kentang di Kabupaten Bener

Meriah. Pendekatan dinamika sistem digunakan untuk membangun model kemitraan

pada rantai pasok kentang yang dinamis dan kompleks. Sebuah sistem termasuk

dinamika sistem, memuat sejumlah komponen dan hubungan diantara komponen-

komponennya menggunakan hubungan simpal kausal sebagai dasar dalam mengenali

dan memahami perilaku dinamis dari sebuah sistem yang kompleks. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hubungan kemitraan nonformal dalam rantai pasok kentang

berawal dari kesenjangan kepemilikan modal antara petani dan pedagang perantara,

sehingga memunculkan motivasi untuk mengontrol petani melalui pinjaman modal.

Petani penerima pinjaman harus berkomitmen menjual kentang hanya kepada pemberi

pinjaman modal. Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan menjual kentang ke

pihak lain, dan terjadi tekanan terhadap harga jual kentang petani. Petani menghadapi

asimetri informasi harga jual kentang yang berlaku dipasar. Pada kemitraan formal

berawal dari adanya motivasi pihak industri untuk memperoleh bahan baku yang

memenuhi persyaratan kualitas secara berkesinambungan. Pada kemitraan formal

terjadi transfer teknologi dari mitra kepada petani. Petani memperoleh kepastian

pemasaran dan kepastian harga, akses pemasaran yang lebih luas dan memiliki peluang

memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.

ABSTRACT

Keywords:

System Dynamics

Partnership System

Potato Supply Chain

This research was conducted in potato production centers in Bener Meriah district where

farmers have done in marketing partnership with a potato processing industry. The

research aims to understand and to modelling the system of formal and informal

partnerships on potato supply chain in Bener Meriah district. The approach used to build

the system dynamics model of supply chain partnership of potato that is dynamic and

complex. A system including the system dynamics, contains a number of components and

the relationships among its components using a causal relationship as the basis for

identifying and understanding the dynamic behavior of a complex system. Based on the

results, it can be argued that informal partnerships in the supply chain begins with a

potato cash gap between farmers and middlemen, so the motivation to control the farmers

by way of providing financial assistance to farmers. Farmers borrower must commit to

sell only to dealers potato financial loans. This leads to the loss of opportunity to sell

potato to the other party, and there is pressure on the selling prices of potato farmers.

Farmers face the asymmetry of information, especially regarding the selling prices

prevailing in the market. While the formal partnership originated from the motivation of

the industry to obtain raw materials that meet the quality requirements on an ongoing

basis. In a formal partnership occurs technology transfer to farmers of partners. Farmers

obtain marketing certainty and certainty of price, access a broader marketing and have

the opportunity to earn higher profits.

Page 146: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

134

PENDAHULUAN

Kentang (Solanum Tuberosum L) merupakan

salah satu komoditas yang banyak di tanam

masyarakat sekaligus menjadi komoditas unggulan

yang dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lokal

dan manca negara. Karena itu pengembangan

komoditas kentang tersebut akan berdampak luas

bagi ekonomi rakyat. Di Indonesia kentang di

konsumsi sebagai sayur dan belakangan ini sudah

mulai di konsumsi sebagai makanan alternatif yang

disukai dalam bentuk french fries atau potato chips

sebagai makanan ringan. Besarnya peluang ini

disebabkan harga kentang relatif stabil, potensi

bisnisnya tinggi, segmen usaha dapat dipilih sesuai

dengan modal, pasar terjamin dan pasti. Selain itu

kentang juga memiliki sifat produk yang cukup tahan

lama jika disimpan. Kestabilan harga jual disebabkan

karena permintaan akan produk yang cukup tinggi.

Kabupaten Bener Meriah merupakan daerah

sentra produksi kentang yang terletak pada

ketinggian 800-2.600 m dari permukaan laut, selain

terkenal dengan kopi arabika, juga sangat potensial

terhadap komoditas kentang seluas 55.483 ha, terdiri

lahan sawah, tegalan dan lahan lain yang belum

dimanfaatkan. Produktivitas rata-rata yang dicapai

petani saat ini yaitu 20-25 ton/ha dengan

menggunakan bibit unggul varietas Granola yang

disediakan oleh BBI dengan harga terjangkau.

Kentang merupakan komoditas unggulan di

Kabupaten Bener Meriah. Budidaya kentang di

Kabupaten Bener Meriah terus berkembang pesat

yaitu dengan luas areal tanaman kentang saat ini

1.200 ha dengan produktivitas 20 ton/ha. Potensi

lahan yang dapat dikembangkan seluas 7.975 ha

dengan ketinggian rata-rata 1.200-1.700 dpl. Lahan

dimaksud tersebar di 6 wilayah kecamatan yakni di

Kecamatan Permata (2.567 ha), Mesidah (2.716 ha),

Bener Kelifah (987 ha), Bandar (165 ha), Bukit

(1.350 ha) dan Wih Pesam (190 ha)

termasuk kawasan lahan kering dan basah (Dirjen

Hortikultura, 2010).

Dewasa ini petani kentang menghadapi

permasalahan yang kompleks, baik masalah yang

sifatnya internal maupun eksternal. Permasalahan

internal antara lain adalah masalah minimnya

ketersediaan bibit kentang yang berkualitas,

penguasaan lahan pertanian yang semakin sempit,

akses terhadap permodalan, teknologi dan pasar yang

masih sangat terbatas. Permasalahan eksternal

mencakup masalah perubahan iklim dan cuaca,

serangan hama dan penyakit tanaman, serta masalah

fluktuasi harga yang tajam. Permasalahan tersebut

dapat menimbulkan risiko dan ketidakpastian bagi

petani, baik yang sifatnya risiko produksi maupun

risiko pasar atau harga. Hal tersebut menuntut adanya

perubahan strategi pemasaran yang dilakukan petani.

Salah satu strategi pemasaran yang di pandang dapat

meningkatkan daya saing agribisnis kentang adalah

melalui kerjasama kemitraan dalam pemasaran.

Dengan mengikuti pola kemitraan diharapkan petani

memperoleh kepastian harga dan pemasaran hasil.

Kenyataan di lapangan beberapa petani hortikultura

yang telah bermitra memperoleh harga yang belum

sesuai dengan yang diharapkan, karena harga

ditentukan oleh pihak yang lebih kuat dari sisi

permodalan. Kemitraan seharusnya diselenggarakan

sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan, tidak boleh

ada pihak yang mengalami marjinalisasi dalam

prosesnya, serta masing-masing pelaku dalam rantai

pasok memperoleh balas jasa yang berkeadilan.

Keunggulan pada pola kemitraan usaha antara

lain adalah: efisiensi dalam pengumpulan hasil

tinggi, efisiensi dalam pengangkutan tinggi, harga

relatif stabil karena harga ditetapkan dengan sistem

kontrak, mampu mendorong petani untuk

menghasilkan produk berkualitas, serta menjamin

kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra. Strategi

pengembangan kelembagaan kemitraan harus

dilakukan melalui proses sosial yang matang dengan

dasar saling percaya antara pelaku agribisnis,

sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan

daya saing agribisnis kentang secara berkelanjutan

(Saptana et al. 2009).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut,

penulis mencoba merancang sebuah model kemitraan

pada rantai pasok kentang. Model kemitraan tersebut

diharapkan dapat menjadi salah satu usulan bagi

pemerintah dalam membuat kebijakan dengan tujuan

untuk meningkatkan posisi tawar petani kentang agar

mampu setara dengan mitra sehingga petani bisa

memperoleh penerimaan sesuai dengan

pengorbanannya, dengan demikian keadaan ekonomi

petani kentang dapat ditingkatkan.

KERANGKA TEORI

Sebuah kemitraan adalah hubungan bisnis

berdasarkan saling percaya, keterbukaan, berbagi

risiko dan imbalan bersama yang menghasilkan

keuntungan kompetitif, sehingga menghasilkan

kinerja bisnis yang lebih besar dari yang dicapai oleh

perusahaan secara individual (Lambert et al. 1996).

Kemitraan adalah pola kerjasama antara dua

usaha individu/kelompok atau lebih dengan dasar

saling menutupi kelemahan dengan keunggulan

masing-masing. Kemitraan adalah kerjasama usaha

antara usaha kecil dengan usaha menengah atau

usaha besar disertai dengan pembinaan dan

pengembangan oleh usaha menengah atau usaha

besar dengan memperhatikan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan (Badan Agribisnis, 1998).

Page 147: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

135

Menurut Widyahartono (1996) kemitraan

usaha/aliansi bisnis muncul sebagai alternatif untuk

menanggapi pasar yang makin mendiversifikasi dan

lingkungan yang dinamis. Untuk itu diperlukan

pengembangan organisasi yang bertujuan

mengefektifkan proses produksi melalui perbaikan

struktur, dan keterkaitan semua elemen (orang,

teknologi dan faktor produksi lain) dalam organisasi.

Tujuan petani melakukan kemitraan, selain untuk

memperoleh kepastian pemasaran dan harga,

sebenarnya petani telah menunjukkan motivasi yang

kuat agar dapat memperoleh bantuan teknis dan input

pertanian terutama dari mitra. Bagi petani,

ketidakpastian pasar input tidak kalah pentingnya

dibandingkan dengan ketidakpastian pasar output

dalam keputusan petani untuk bermitra. Di pasar input,

petani menganggap bahwa bermitra merupakan cara

untuk mengurangi resiko dari permasalahan pasokan

input dan ketidakpastian benih. Pada pasar input

tersebut, petani kecil dibatasi oleh beberapa masalah,

seperti tidak tersedianya (kualitas) input, kurangnya

informasi untuk mendapatkan input, lalu bagaimana

menggunakannya, serta kurangnya akses terhadap

kredit untuk membeli input tersebut (Darwis et al.

2013).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

dinamika sistem. Dasar pemikiran metodologi

dinamika sistem adalah berfikir sistem (system

thinking), yaitu cara berfikir dimana setiap

masalah dipandang sebagai sebuah sistem, yaitu

keseluruhan interaksi antar unsur-unsur dari

sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu

yang bekerja untuk mencapai tujuan. Dinamika

sistem merupakan pendekatan yang menggunakan

perspektif berdasarkan umpan balik informasi dan

delays untuk memahami dinamika perilaku yang

kompleks dari sistem fisika, sistem biologis dan

sistem sosial.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten

Bener Meriah yang merupakan daerah sentra

produksi sayur-sayuran di provinsi Aceh yang

didukung oleh keadaan iklim dan kondisi lahan

pertanian yang subur. Identifikasi kebutuhan untuk

model kemitraan pada rantai pasok kentang

dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara

kepada masing-masing pelaku dalam rantai pasok

kentang yang terlibat dalam prosedur penyediaan

input, produksi, dan pemasaran output kentang. Data

yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer dikumpulkan berdasarkan

observasi, diskusi atau FGD (Focus Group

Discussion) melalui wawancara mendalam (depth

interview) dengan responden. Sedangkan data

sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dari

berbagai sumber literatur, buku, jurnal ilmiah serta

publikasi-publikasi yang berkaitan dengan penelitian

ini. Formulasi model kemitraan pada rantai pasok

kentang dilakukan dengan software simulasi yaitu

Veneta Simulation PLE (Vensim).

Subjek penelitian ini adalah sistem

kemitraan pada rantai pasok kentang di

Kabupaten Bener Meriah dalam upaya

meningkatkan posisi tawar petani dan fluktuasi

harga kentang. Pelaku rantai pasok kentang yang

dianalisis meliputi: petani kentang, koperasi

petani kentang, pedagang perantara yang terdiri

dari bandar, grosir dan pedagang pengecer

kentang. Pengumpulan informasi dari responden

yang terpilih, mempergunakan daftar pertanyaan

yang telah terstruktur sesuai dengan keperluan

analisis dan tujuan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam agribisnis kentang di Kabupaten Bener

Meriah, ditinjau dari ruang lingkup petani terdapat

dua jenis kemitraan yang terjalin antara petani dan

pelaku lainnya dalam rantai pasok kentang, yaitu

kemitraan yang bersifat formal dan non formal.

Kemitraan yang bersifat formal yaitu yang tertuang

dalam bentuk kontak kerjasama yang telah disepakati

dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bermitra.

Apabila ada pihak yang melanggar kesepakatan,

maka akan dikenai sanksi yaitu dikeluarkan dari

anggota koperasi. Kemitraan formal yang terjalin

saat ini hanya kerjasama kemitraan dalam pemasaran

hasil antara petani kentang dengan pihak Koperasi

Gayo Land. Sedangkan kemitraan dengan pihak

industri pengolahan kentang masih dalam bentuk

home industry (industri rumah tangga). Adapun

kemitraan yang bersifat non formal adalah kemitraan

yang tidak tertulis secara resmi dalam lembaran

perjanjian kontrak, apabila ada pihak yang melanggar

maka sanksinya berupa putusnya hubungan

kemitraan. Kemitraan jenis ini biasanya terjadi antara

petani dengan bandar dan antara petani dengan

pedagang grosir kentang di pasar lokal/pasar induk.

Model hubungan kemitraan yang terjalin pada

rantai pasok kentang di Kabupaten Bener Meriah

dapat diklasifikasikan ke dalam dua sub model yaitu:

(1) Hubungan kemitraan formal koperasi dan

industri; dan (2) Hubungan kemitraan non formal

petani dan bandar.

Page 148: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

136

Hubungan Kemitraan Formal Koperasi dan Industri

Gambar 1.Diagram Simpal Kausal Menjalin Kemitraan Formal Koperasi dan Industri dalam Pemasaran

Kentang

Berdasarkan Gambar 1, pada simpal kausal

yang pertama dapat dijelaskan bahwa kemitraan

formal berawal dari keterbatasan kas petani, kas

petani dapat meningkatkan ketersediaan biaya

pemasaran, ketersediaan biaya pemasaran dapat

meningkatkan akses pemasaran. Akses pemasaran

meningkat dapat menurunkan ketergantungan pada

pedagang perantara (bandar), ketergantungan pada

pedagang perantara meningkat, dapat meningkatkan

tekanan terhadap harga jual kentang. Tekanan harga

jual meningkat, dapat menurunkan harga kentang

sehingga petani sering menerima harga yang relatif

lebih rendah dari harga yang berlaku dipasaran saat

itu, serta seringnya menghadapi fluktuasi harga

sehingga petani selalu menghadapi ketidakpastian

penerimaan.

Adanya kesamaan nasib di antara petani

kentang karena kesulitan mengakses pasar

meningkatkan kemauan untuk berbagi informasi

mengenai harga dan kepada siapa harus menjual.

Seringnya berbagi informasi meningkatkan rasa

saling percaya di antara petani kentang, adanya rasa

saling percaya meningkatkan motivasi untuk

berkelompok membentuk koperasi agar dapat

melakukan kemitraan dan memperluas pemasaran.

Dengan berkoperasi yang merupakan lembaga

berbadan hukum, maka dapat meningkatkan

pemasaran melalui kerjasama kemitraan formal,

karena pihak mitra dalam hal ini dimisalkan pada

industri pengolahan keripik kentang hanya bersedia

bermitra dengan lembaga berbadan hukum, bukan

dengan perorangan.

Menjalin kemitraan dapat meningkatkan

kepastian dalam pemasaran kentang. Meningkatnya

kepastian pemasaran bagi petani, dapat

meningkatkan keharusan koperasi atau petani

berkomitmen hanya menjual kepada industri/mitra.

Komitmen ini dapat meningkatkan pengiriman

kentang ke industri. Dengan demikian petani

mendapatkan kepastian harga jual yang berpengaruh

positif terhadap penerimaan petani kentang,

penerimaan berpengaruh positif terhadap kas petani.

Pada Gambar 1, keterkaitan antar variabel pada

simpal kausal yang pertama memiliki umpan balik

positif, dapat diartikan melalui kemitraan petani

memperoleh kepastian pemasaran, kepastian harga

jual, kepastian penerimaan sehingga diharapkan kas

petani akan bertambah, dengan bertambahnya kas

petani maka petani memiliki kemampuan untuk

memperluas pemasaran dan meningkatkan produksi

kentang.

Berdasarkan simpal kausal yang kedua,

hubungan antar variabel menghasilkan umpan balik

negatif, artinya dengan adanya kemitraan dalam

pemasaran kentang, dapat meningkatkan transfer

teknologi budidaya kentang sehingga pengetahuan

petani mengenai teknik budidaya kentang yang benar

bertambah, dengan bertambahnya pengetahuan

Motivasi membentukkoperasi

Kemitraanpemasaran kentang Kepastian dalam

pemasaran

Komitmen hanya menjual

kentang kepada pihak industri

Pengiriman kentangke industri

Kesempatan menjualke pihak lain

Transparansi informasi

harga kentang di pasaran

Asimetri informasiperkembangan harga kentang

kepada petani

Harga jual kentang

petani sesuai kontrakPenerimaanpetani

Keuntungan petani

Kas / Modal petanikentang

Ketersediaanbiaya pemasaran

Akses pemasaran

kentang

Kemauan berbagi

informasi

KepercayaanTransferteknologi

Pengetahuan

petani kentang

Pemahaman teknologi

budidaya kentang petani

Budidaya sesuai

SOP

Kualitas hasil

kentang petani

Pemahaman teknologipascapanen kentang

petani

Produksikentang petani

Biaya produksi

Kuantitas hasilkentang

Terpenuhi kualitaskentang sesuai spek

industri

Terpenuhi kebutuhankentang utk bahan baku

pembuatan keripik kentang

++

+

+

-

+

-

-

++

+

+

+

-

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

+

+

+

R1

B2

R3

R4

R5

R6

+

+

Motivasi utk memperoleh kentangsebagai bahan baku pembuatan

keripik secara kontinu

+

+

Page 149: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

137

petani maka petani dapat menerapkan teknik

budidaya kentang sesuai standard operational

procedure (SOP) dari mitra. Dengan diterapkan

budidaya sesuai SOP maka produktivitas kentang

akan meningkat sehingga akan meningkatkan

kuantitas hasil kentang. Kuantitas atau volume

kentang yang meningkat dapat meningkatkan

penerimaan petani. Selanjutnya penerimaan

bertambah dapat meningkatkan kas petani.

Peningkatan kas petani dapat meningkatkan

ketersediaan biaya pemasaran. Ketersediaan biaya

pemasaran dapat meningkatkan akses pasar. Akses

pemasaran menurunkan motivasi berkoperasi.

Motivasi berkoperasi untuk meningkatkan

pemasaran dapat meningkatkan kemitraan.

Pada simpal kausal yang ketiga, interaksi antar

variabelnya menghasilkan umpan balik positif,

artinya melalui kemitraan dapat meningkatkan

transfer teknologi. Transfer teknologi dapat

meningkatkan pemahaman budidaya kentang sesuai

SOP. Pemahaman budidaya sesuai SOP dapat

meningkatkan pelaksanaan budidaya kentang sesuai

SOP. Budidaya kentang sesuai SOP meningkatkan

produktivitas tanaman kentang, produktivitas

meningkat maka kuantitas hasil meningkat. Kuantitas

hasil meningkat dapat meningkatkan pengiriman

kentang ke industri. Pengiriman kentang ke industri

mengurangi pengiriman ke pihak lain. Kesempatan

menjual ke pihak lain meningkatkan transparansi

harga kentang. Transparansi menurunkan asimetri

informasi harga kentang. Asimetri informasi harga

kentang menurunkan harga kentang di tingkat petani.

Harga kentang dapat meningkatkan penerimaan

petani, penerimaan petani dapat meningkatkan kas

petani. Kas petani dapat meningkatkan ketersediaan

biaya pemasaran, ketersediaan biaya pemasaran

meningkatkan akses pemasaran. Kemudahan dalam

mengakses pasar dapat menurunkan kepercayaan di

antara petani. Kepercayaan meningkatkan motivasi

untuk berkoperasi, motivasi berkoperasi

meningkatkan jalinan kemitraan dalam pemasaran

kentang.

Pada simpal kausal yang keempat, dapat

dijelaskan bahwa motivasi untuk memperoleh

kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik

kentang secara kontinu, dapat meningkatkan jalinan

kemitraan antara industri dengan petani. Jalinan

kemitraan dapat meningkatkan transfer teknologi

kepada petani sehingga pemahaman teknik budidaya

yang benar sesuai SOP meningkat. Pemahaman

teknik budidaya menyebabkan penerapan budidaya

kentang sesuai SOP meningkat. Budidaya kentang

sesuai SOP dapat meningkatkan produktivitas

kentang. Produktivitas meningkat menyebabkan

kuantitas hasil kentang meningkat. Kuantitas hasil

kentang meningkat menyebabkan kentang yang

dapat dikirim ke industri semakin meningkat,

sehingga secara kuantitas kebutuhan kentang industri

untuk bahan baku pembuatan keripik kentang

terpenuhi. Kebutuhan bahan baku kentang terpenuhi

dapat meningkatkan motivasi untuk bermitra.

Keterkaitan variabel-variabel pada simpal kausal

tersebut membentuk umpan balik positif. Artinya

semakin tinggi motivasi untuk memperoleh kentang

sebagai bahan baku pembuatan keripik kentang

secara kontinu, maka semakin tinggi keinginan pihak

industri untuk menjalin kemitraan dalam pemasaran

dengan petani kentang.

Pada simpal kausal yang kelima, dapat

dijelaskan bahwa transfer teknologi kepada petani

mengakibatkan pemahaman teknologi pascapanen

petani meningkat sehingga petani dapat

meningkatkan kualitas hasil kentang. Semakin tinggi

kualitas kentang yang dihasilkan maka semakin

terpenuhi kualitas kentang sesuai yang

dipersyaratkan oleh industri. Terpenuhinya kualitas

kentang sesuai yang dipersyaratkan oleh industri

maka semakin terpenuhi kebutuhan kentang untuk

bahan baku pembuatan keripik kentang. Umpan balik

yang terjadi pada keterkaitan antar variabel pada

simpal kausal tersebut merupakan umpan balik

positif. Artinya semakin tinggi motivasi untuk

memperoleh kentang berkualitas sebagai bahan baku

pembuatan keripik kentang secara kontinu, maka

semakin tinggi motivasi untuk bermitra dengan

petani kentang dikemudian hari, sehingga kebutuhan

kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik

kentang secara kualitas terpenuhi.

Pada simpal kausal yang keenam, hubungan

antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.

Adanya motivasi untuk memperoleh bahan baku

pembuatan keripik kentang dapat meningkatkan

kemitraan dengan petani, kemitraan dalam

pemasaran kentang dapat meningkatkan komitmen

hanya menjual kentang kepada industri. Komitmen

menjual kentang hanya kepada industri

meningkatkan pengiriman kentang ke industri.

Pengiriman kentang ke industri menyebabkan

semakin terpenuhinya kebutuhan kentang untuk

bahan baku pembuatan keripik. Terpenuhinya

kebutuhan kentang untuk bahan baku pembuatan

keripik dapat meningkatkan motivasi pihak industri

untuk bermitra dengan petani kentang.

Page 150: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

138

Hubungan Kemitraan Non Formal Petani dan Bandar

Gambar 2. Diagram Simpal Kausal Menjalin Kemitraan Non Formal Petani dan Bandar dalam Pemasaran

Kentang

Sebagian besar petani yang tidak tergabung

dalam koperasi, untuk memasarkan kentang

melakukan hubungan kemitraan non formal dengan

pedagang perantara yaitu dengan bandar dan

pedagang grosir kentang di pasar lokal/pasar induk.

Kemitraan ini terjalin karena adanya hubungan

timbal balik yang saling membutuhkan. Hubungan

timbal balik pada kemitraan non formal antara petani

dengan bandar dan grosir dalam rantai pasok kentang

di Kabupaten Bener Meriah, berawal di satu pihak

adanya keterbatasan kas petani kentang, dan di pihak

lain adanya kepemilikan modal yang relatif besar

yaitu di pihak bandar dan pedagang grosir di pasar

lokal/pasar induk. Hal tersebut memunculkan

motivasi di pihak pedagang untuk mengontrol atau

mengendalikan petani agar pedagang memperoleh

keuntungan dengan cara mengikat petani dengan

memberi pinjaman modal kepada petani baik untuk

usaha budidaya kentang maupun untuk keperluan

lainnya, dengan tujuan agar petani yang diberi

pinjaman berkomitmen hanya menjual kentang

tersebut kepada pedagang pemberi pinjaman.

Berdasarkan Gambar 2, pada simpal kausal

yang pertama hubungan antar variabelnya

menghasilkan umpan balik negatif. Adanya

kepemilikan kas yang relatif besar di pedagang

perantara kentang meningkatkan motivasi untuk

mengontrol petani agar pedagang lebih mudah

memperoleh kentang. Motivasi mengontrol petani

dapat meningkatkan pemberian pinjaman keuangan

kepada petani. Pemberian pinjaman dapat

meningkatkan komitmen petani hanya menjual ke

pedagang pemberi pinjaman.

Komitmen hanya menjual ke pedagang

pemberi pinjaman meningkatkan pengiriman

kentang ke pedagang pemberi pinjaman. Pengiriman

kentang ke pedagang pemberi pinjaman menurunkan

kesempatan penjualan kentang ke pedagang lain.

Kesempatan menjual ke pedagang lain meningkatkan

transparansi informasi harga kentang. Transparansi

harga kentang menurunkan asimetri informasi harga

kentang. Asimetri informasi harga kentang

meningkatkan tekanan harga kentang di petani.

Tekanan harga kentang menurunkan harga jual

kentang di tingkat petani. Harga jual kentang

meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani

meningkatkan kas petani. Kas petani dapat

meningkatkan pembayaran utang petani ke

pedagang. Pembayaran utang petani meningkatkan

penurunan utang petani. Penurunan utang petani

meningkatkan kas pedagang, kas pedagang

meningkatkan motivasi mengontrol petani.

Pada simpal kausal yang kedua hubungan

antar variabelnya menghasilkan umpan balik negatif.

Komitmen hanya menjualkepada pedagangpemberi pinjaman

Pengiriman kentangke pedagang pemberi

pinjaman

Kesempatan menjual

ke pedagang lain

Transparansi informasi

harga kentang

Asimetri informasi hargakentang di pasaran umum

Tekanan terhadap hargajual kentang petani

Harga jual

kentang petani

Penerimaan petani

mitra pedagang

Keuntungan petanimitra pedagang

Biaya produksi kentang

petani mitra pedagang

Volume produksikentang petanimitra pedagang

Produksi kentangpetani mitra pedagang

Kas / Modal petanikentang mitra pedagang

Pinjaman keuangan

dari pedagang

Kepercayaan pedagang

kepada petani

Pembayaran utangpetani ke pedagangpemberi pinjaman

Penurunan utangpetani ke pedagangpemberi pinjaman

Kas / Modalpedagang

Motivasi untuk

mengontrol petani+

+

+

+

-

+

-

+

-

+

+

+

+

+

+

+

-

+

+

++

+

+

+

B1

B2

R3

R4

R5 R6

Page 151: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

139

Motivasi mengontrol petani dapat meningkatkan

pemberian pinjaman keuangan kepada petani.

Pemberian pinjaman dari pedagang dapat

meningkatkan kas/modal petani. Kas petani

digunakan untuk modal memproduksi kentang,

sehingga meningkatkan produksi kentang, produksi

kentang meningkat, dapat meningkatkan volume

kentang yang dihasilkan. Volume kentang yang

dihasilkan meningkat, dapat meningkatkan

pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman.

Pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman

menurunkan kesempatan menjual kentang ke

pedagang lain.

Kesempatan menjual ke pedagang lain

meningkatkan transparansi informasi harga kentang.

Transparansi harga kentang menurunkan asimetri

informasi harga kentang. Asimetri informasi

meningkatkan tekanan terhadap harga kentang di

petani. Meningkatnya tekanan harga dapat

menurunkan harga jual kentang di tingkat petani.

Harga jual kentang meningkatkan penerimaan petani,

penerimaan petani meningkatkan kas petani. Kas

petani dapat meningkatkan pembayaran utang petani

ke pedagang. Pembayaran utang petani

meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan

utang petani meningkatkan kas pedagang. Kas

pedagang meningkatkan motivasi mengontrol petani.

Pada simpal kausal yang ketiga, hubungan

antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.

Kas pedagang meningkatkan motivasi untuk

mengontrol petani, motivasi mengontrol petani

meningkatkan pemberian pinjaman dari pedagang ke

petani. Pemberian pinjaman meningkatkan kas

petani. Kas petani meningkatkan pembayaran utang

petani ke pedagang. Pembayaran utang petani

meningkatkan penurunan utang petani ke pedagang

pemberi pinjaman. Penurunan utang petani

meningkatkan kas pedagang. Kas pedagang

meningkat maka akan semakin meningkatkan

motivasi mengontrol petani.

Harga jual kentang berpengaruh positif

terhadap penerimaan petani, bila harga jual tinggi

maka penerimaan akan tinggi dan sebaliknya.

Penerimaan dari hasil penjualan kentang dapat

meningkatkan jumlah kas petani, uang dari kas

digunakan untuk pembayaran utang petani ke bandar

atau grosir. Pembayaran utang kepada pedagang

menyebabkan utang petani berkurang dan kas

pedagang semakin bertambah. Dengan

bertambahnya kas pedagang maka semakin tinggi

motivasi pedagang untuk mengontrol petani,

sehingga dikemudian hari akan meningkatkan

pemberian bantuan kepada petani. Demikian

seterusnya sehingga petani kentang akan selalu

terikat kepada pedagang.

Pada simpal kausal yang keempat, hubungan

antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.

Pinjaman modal dapat meningkatkan kas petani

sehingga petani dapat menggunakan uang dari kas

untuk biaya memproduksi kentang. Kas petani

meningkat akan meningkatkan proses produksi

kentang. Proses produksi dapat meningkatkan

volume kentang yang dihasilkan, volume kentang

yang dihasilkan akan meningkatkan penerimaan

petani. Penerimaan petani meningkatkan kas petani,

kas petani meningkat dapat meningkatkan

pembayaran utang petani. Pembayaran utang dari

petani dapat meningkatkan penurunan utang petani

ke pedagang, penurunan utang petani akan

meningkatkan kas pedagang, kas pedagang

meningkat akan meningkatkan kepercayaan

pedagang kepada petani, karena dengan naiknya kas

pedagang akibat penurunan utang petani

mengindikasikan pinjaman ke petani telah kembali

ke pedagang, sehingga di musim berikutnya

pedagang akan memberi pinjaman keuangan yang

lebih besar lagi kepada petani.

Pada simpal kausal yang kelima, hubungan

antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.

Dana pinjaman dari pedagang dapat meningkatkan

kas petani, kas petani meningkatkan pembayaran

utang petani ke pedagang, pembayaran utang

meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan

utang petani ke pedagang dapat meningkatkan kas

pedagang. Naiknya kas pedagang akan meningkatkan

kepercayaan pedagang terhadap petani, kepercayaan

dapat meningkatkan pinjaman dari pedagang ke

petani.

Pada simpal kausal yang keenam, hubungan

antar variabel menghasilkan umpan balik positif.

Peningkatan kas petani dapat meningkatkan proses

budidaya kentang, budidaya kentang meningkatkan

volume hasil kentang. Volume hasil kentang

meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani

meningkatkan kas petani.

Sebuah kemitraan dalam perdagangan yang

berdasarkan dialog, transparan, saling menghormati,

berusaha adanya kesetaraan dari masing-masing

pelaku, berusaha mengamankan hak-hak produsen,

saat ini harus dikembangkan untuk mengganti

praktek perdagangan yang konvensional dimana

pelaku yang lebih kuat akan menekan pelaku yang

posisinya lemah. Dewasa ini kolaborasi antar pelaku

dalam rantai pasok pertanian sangat dibutuhkan

untuk membangun kemitraan yang saling

menguntungkan. Kebutuhan untuk meningkatkan

dukungan keuangan bagi petani kecil menyebabkan

munculnya bentuk-bentuk kemitraan yang baru, yang

mana antar pelaku memiliki kesetaraan tidak ada

pelaku yang lebih kuat sehingga dapat menekan

Page 152: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

140

pelaku lainnya, semua pelaku harus bekerjasama

saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.

PENUTUP

Pemasaran kentang di Kabupaten Bener

Meriah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua

kategori, yaitu pasar yang terstruktur dan tidak

terstruktur. Adapun karakteristik pasar terstruktur

berupa kemitraan formal dalam pemasaran kentang

adalah: adanya kepastian dalam pemasaran hasil,

tidak terjadi fluktuasi harga karena harga jual petani

berlaku secara tetap sesuai kontrak, pengumpulan

hasil lebih mudah, pengangkutan lebih efisien,

terdapat transfer teknologi dari mitra, tetapi posisi

tawar petani lebih rendah dari mitra sehingga masih

ada tekanan terhadap harga jual kentang petani

dimana harga ditentukan oleh mitra. Harga jual

kentang dari petani kepada mitra ditentukan oleh

mitra/industri. Karakteristik pasar

terstrukturkemitraan non formal adalah: adanya

kepastian pemasaran, terjadi fluktuasi harga, tidak

ada transfer teknologi, pengumpulan dan

pengangkutan hasil tidak efisien, ada tekanan harga

dari pedagang. Sedangkan karakteristik pasar tidak

terstruktur adalah: tidak ada kepastian pemasaran,

terjadi fluktuasi harga, tidak ada transfer teknologi,

pengumpulan dan pengangkutan tidak efisien, saat

panen raya kesulitan mencari pembeli, sehingga

petani seringkali tidak bisa menjual kentang yang

dihasilkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Agribisnis. (1998). Kebijaksanaan dan

Penjelasan Pola Kemitraan Usaha Pertanian.

Departemen Pertanian. Jakarta.

Darwis, Valerina, M. Iqbal. (2013). Keragaan

Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usahatani

Padi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.

Dirjen Hortikultura. (2010). Produksi tanaman

sayuran di Indonesia periode 2003- 2008.

Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen

Pertanian. Jakarta. http://www.deptan.go.id. [15

April 2015 : Pukul 16:15 WIB].

Lambert, Douglas M, Margaret A. Emmelhainz, John

T. Gardner. (1996). Developing and

Implementing Supply Chain Partnerships. The

International Journal of Logistics Management

Vol 7 No 2.

Saptana, Daryanto A, Heny KD, Kuncoro. (2009).

Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka

Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai

Merah di Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balitbang

Deptan. Jakarta.

Widyahartono B. (1996). Strategi Kemitraan antara

Usaha Besar dan Usaha Kecil-Menengah

(UKM), Penerapannya di Indonesia.

Manajemen Usahawan Bisnis Indonesia. No.

09/thXXV, September 1996. Hal 23-26.

Page 153: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

141

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh Indonesia (Periode 1980 –

2013)

Analysis of Factors Affecting Tea Export in Indonesia (Period 1980 – 2013)

Ady Trynugraha1 dan Muhammad Arief Budiman2

1Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jl. Jatiwangi Raya No. 54, Antapani,

Bandung, 40291, Indonesia, [email protected] 2 Dosen Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Kata kunci:

harga dunia

nilai ekspor

nilai tukar rupiah

produktivitas

teh.

Dalam era globalisasi indonesia harus mewujudkan pembangunan yang terintegrasi. Sektor

perkebunan sebagai sub-sektor pertanian mampu memberikan pertumbuhan indeks ekspor yang

besar dalam memasuki pasar global. Teh sebagai salah satu komoditas perkebunan dapat

bersaing dengan komoditas lainnya dari sisi produktivitas. Produktivitas yang tinggi memiliki

peluang untuk menambah jumlah teh yang akan diekspor. Kegiatan ekspor tersebut dihitung

berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Selain itu, harga teh dunia mampu merubah

besaran nilai dari produk ekspor teh Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui

seberapa besar pengaruh produktivitas teh Indonesia, harga teh dunia dan nilai tukar rupiah

terhadap nilai ekspor teh Indonesia dan hubungannya secara parsial maupun simultan. (2)

Mengetahui respon nilai ekspor teh Indonesia berdasarkan perubahan produktivitas, nilai tukar

rupiah dan harga teh dunia.. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian kuantitatif

dengan teknik suatu kasus. Data yang diperlukan merupakan data deret waktu sebanyak 34

tahun. Alat analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan empat

variabel dan perhitungan elastisitas berdasarkan model regresinya. Model regresinya adalah Y

= -62.640 + 64,402X1 + 69,721X2 + 551,782X3. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara

simultan produktivitas teh indonesia, nilai tukar dan harga teh dunia memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Namun, secara parsial hanya nilai tukar saja yang

tidak signifikan terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Berdasarkan analisis tingkat responnya,

nilai ekspor teh Indonesia tidak respon terhadap harga teh dunia, produktivitas maupun nilai

tukar rupiah.

ABSTRACT

Keywords:

exchange rate

export value

tea

world price

yield.

In the age of globalization Indonesia must realize about integrated development. Plantations,

as one of agricultural sector, are capable for providing large growth of export indices in

entering global markets. Tea, as one of the plantation commodities, can compete with other

commodities in terms of yield. High yield has the opportunity to increase the amount of tea to

be exported. Export activity is calculated by exchange rate. In addition, the world tea price is

able to change the amount of the value of Indonesian tea export products. This study aims to:

(1) Determine how much influence of Indonesian tea yield, world tea prices and exchange rate

on Indonesian tea export value and its relationship partially or simultaneously. (2) Determine

the response of Indonesian tea export value based on changes in yield, exchange rate and world

tea price. The design is a quantitative research technique of a case. Necessary data is time

series as many as 34 years. Tools of analysis in this study using multiple regression analysis

with the four variables and elasticity calculations based on regression models. Model

regression is Y = -62.640 + 64,402X1 + 69,721X2 + 551,782X3. The results showed that

productivity of Indonesian tea, exchange rates and world tea prices have a significant effect

simultaneously on the value of Indonesian tea export. However, only exchange rate are not

significant partially to the tea export value of Indonesia. Based on the analysis of response rate,

the export value of Indonesian tea gives no response to the world tea prices, yield and the

exchange rate.

Page 154: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

142

PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan salah satu dari

sekian banyak negara di dunia yang memiliki

kekayaan alam yang melimpah. Menurut Tities K.H.

(2008), Indonesia merupakan negara agraris.

Sehingga, sektor pertanian memiliki peranan yang

penting dalam pertumbuhan perekonomian

Indonesia, terutama pada wilayah-wilayah di

pedesaan. Sektor pertanian memegang peran penting

dalam penyediaan pangan bagi konsumsi domestik,

penghasil tenaga kerja bagi keberadaan sektor

industri dan pangsa pasar bagi hasil produksi dan

meningkatkan pendapatan domestik. Dengan kata

lain, keunggulan Indonesia memiliki keunggulan

komparatif karena Indonesia merupakan negara

agraris.

Tabel 1. Ekspor Pertanian menurut Sub Sektor Periode 2001-2004, 2005-2009, 2010-2013

Indonesia memiliki berbagai macam komoditas

perkebunan yang dibudidayakan. Secara umum,

terdapat 12 komoditas perkebunan yang paling

berkontribusi. Berdasarkan produktivitasnya, tahun

2013 teh menempati urutan ke 3 setelah tebu dan

kelapa sawit. Berikut merupakan grafik berdasarkan

produktivitasnya.

Gambar 1. Produktivitas Perkebunan Indonesia (kg/ha)

Selama ini, Indonesia telah mengekspor teh

ke berbagai negara. Selama tiga tahun terakhir

Indonesia mengekspor lebih dari 10 negara di Dunia.

Mengingat penawaran memiliki berbagai

faktor yang mempengaruhinya, terdapat beberapa hal

yang perlu diamati dalam kegiatan ekspor teh di

Indonesia. Produktivitas merupakan kekuatan utama

dalam produksi teh Indonesia. Selain hasil dari input

produksi (Yamit, 2005), produktivitas yang tinggi

akan menghasilkan produksi yang banyak pula.

Sehingga, barang yang akan diekspor akan

bertambah pula. Selain itu, faktor utama dari segi

penawarannya adalah harga barang itu sendiri.

Kebijakan pemerintah, baik penekanan produksi

maupun proteksi dapat mempengaruhi jumlah barang

yang ditawarkan, karena pemerintah dapat

menggerakan industri hulu ke hilir. Dikarenakan

ekspor merupakan transaksi internasional, penukaran

nilai mata uang (kurs) menjadi salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi nilai ekspor. Konversi nilai

mata uang tersebut merupakan faktor penentu

mengenai besar kecilnya nilai ekspor yang didapat.

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan merupakan desain penelitian

kuantitatif dengan teknik suatu kasus dengan

penggunaan sampel data kurun waktu (Time series).

Data kurun waktu yang diperlukan merupakan data

01,0002,0003,0004,0005,0006,000

Sub-Sektor Satuan Tahun Tahun Tahun Rata-rata

Pertumbuhan

Indeks Ekspor (%) 2001-2004 2005-2009 2010-2013

Tan Pangan Volume

(Ton) 3.413.476 4.583.067 2.265.734 -9,21

Nilai (000

US$) 839.706 1.510.122 1.379.112 -2,83

Hortikultura Volume

(Ton) 1.372.472 2.206.133 1.547.226 0,45

Nilai (000

US$) 762.815 1.533.268 1.826.326 7,8

Perkebunan Volume

(Ton) 37.003.238 114.973.716 117.247.779 57,24

Nilai (000

US$) 20.107.515 93.549.730 133.371.668 74,11

Peternakan Volume

(Ton) 586.613 2.012.280 1.783.158 3,04

Nilai (000

US$) 1.056.321 3.437.079 3.675.504 3,92

Page 155: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

143

periode 1980-2013 mengenai nilai ekspor teh

Indonesia, hasil ekspor teh Indonesia, nilai tukar

rupiah terhadap dolar dan harga teh dunia. Data yang

diperoleh tersebut dianalisis secara regresi dengan

menggunakan model ekonometrik untuk mengetahui

seberapa besar kontribusinya terhadap ekspor teh di

Indonesia. Model rumusan variabel penelitian

diformulasikan dalam persamaan berikut:

οΏ½οΏ½ = 𝛽0 + 𝛽1𝑋1 + 𝛽2𝑋2 + 𝛽3𝑋3 + 𝑒

Keterangan:

Y = Nilai ekspor teh Indonesia (0.000$)

X1 = Produktivitas teh (Kg / Ha)

X2 = Nilai tukar rupiah (Rp / $)

X3 = Harga Internasional Teh (sen / Kg)

𝛽 = Konstanta

𝑒 = Faktor error / disturbance

Perhitungan respon berdasarkan rumus

elastisitas dapat menggunakan model sebagai

berikut:

𝐸 =βˆ†π‘„

βˆ†π‘ƒπ‘₯

οΏ½οΏ½

𝑦

Ket:

Es : Elastisitas βˆ†π‘„

βˆ†π‘ƒ : Koefisien variabel independennya (𝛽1, 𝛽2,

𝛽3dan 𝛽4)

οΏ½οΏ½ : Rata-rata variabel independen

οΏ½οΏ½ : Rata-rata nilai ekspor teh (variabel dependen)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh menurut

faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor teh, berikut

merupakan hasil dari regresinya:

οΏ½οΏ½ = βˆ’62.640βˆ—βˆ— + 64,402𝑋1βˆ—βˆ— βˆ’ 69,721𝑋2

+ 551,782𝑋3βˆ—βˆ— + 𝑒

Keterangan:

Y = Nilai ekspor teh Indonesia (.000$)

X1 = Hasil produksi teh Indonesia (kg / ha)

X2 = Nilai tukar rupiah (Rp / $)

X3 = Harga teh dunia (sen / kg)

𝑒 = Faktor error / disturbance

Berdasarkan analisis respornnya, berikut

merupakan data yang diperlukan dengan hasil

koefisien elastisitas atau nilai responnya: Tabel 3. Koefisien, -Rata-rata dan Nilai E Hasil Penelitian

Variabel Koefisien

(𝑑𝑦𝑑π‘₯

⁄ ) Rata-rata E

Nilai Ekspor

Teh Indonesia

- 130.034,88 -

Produktivitas

Teh Indonesia

64,402 1.396,88 0,69

Nilai Tukar

Rupiah

-69,721 62,20 0,03

Harga Teh

Dunia

551,782 194,01 0,82

Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik dilakukan untuk

mengetahui seberapa baik model yang dihasilkan

dalam analisis penelitian ini. Model yang baik harus

memenuhi seluruh uji tersebut. Sehingga, model

regresinya dapat dikatakan Best Linear Unbiased

Estimator (BLUE)

Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan dengan mengamati

grafik P-Plot dari output SPSS. Berikut merupakan

gambar P-Plot dari data yang dianalisis:

Gambar 2. Grafik P-Plot untuk Uji Normalitas

Dari grafik tersebut, terlihat bahwa data

tersebar di sepanjang garis diagonal terhadap variabel

dependennya (Nilai Ekspor Teh Indonesia). Maka,

dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam

penelitian ini memenuhi asumsi normalitas, yaitu

data tersebar secara normal

Uji Multikolinearitas

Uji ini diamati dengan mengamati nilai VIF

(Variance Inflation Factor). Hasil VIF ketiga

variabel tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 4. Nilai VIF untuk Uji Multikolinearitas

No Variabel VIF

1 Hasil Produksi Teh Indonesia 1,142

2 Nilai Tukar Rupiah 1,386

3 Harga Teh Dunia 1,231

Seluruh variabel yang digunakan memiliki

nilai VIF dibawah 10, berarti data yang digunakan

tidak terdapat multikolinearitas

Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan dengan cara

autoregresive dengan mengamati nilai durbin watson

(DW). Batasan nilai DW yang diperoleh adalah

sebagai berikut:

dL : 1,2576

dU : 1,6511

4-dU : 2,3489

4-dL : 2,7424

Berdasarkan nilai batasannya, nilai DW yang

didapat berada diantara dU dan 4-dU, yaitu sebesar

1,838. Jadi, data analisis ini tidak mengandung data

autokorelasi atau tidak terdapat korelasi serial

Page 156: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

144

Uji Heteroskedastisitas

Uji ini dilakukan dengan mengamati nilai

*ZPRED untuk sumbu X dan *SRESID untuk sumbu

Y pada SPSS. Berdasarkan hal tersebut, berikut

scatter plot yang dihasilkan dari data-data yang

dianalisis:

Gambar 3. Scatter Plot Untuk Uji Multikolinearitas

Grafik tersebut menunjukan bahwa tidak

terdapat pola khusus. Plot yang digambarkan

tersebar, baik diatas sumbu x atau y maupun

dibawahnya. Sehingga, data yang digunakan sudah

cukup homoskedastisitas.

Analisis Hasil Regresi dan Nilai Respon

Berdasarkan fungsi tersebut, terdapat

beberapa hal yang dapat diinterpretasikan terkait

analisis sebelumnya maupun analisis regresi beserta

dengan teorinya. Interpretasi berikut ini menjelaskan

juga hipotesis dari hubungan setiap variabel secara

parsial. Berikut merupakan penjelasan setiap variabel

dalam model tersebut:

- Koefisien produktivitas teh Indonesiayang

dihasilkan adalah sebesar 64,402 dan bernilai

positif, sama halnya dengan nilai t hitung yang

menjelaskan hubungan yang signifikan. Artinya,

produktivitas teh indonesia memiliki hubungan

yang berbanding lurus terhadap nilai ekspor teh

Indonesia. Dalam kurun waktu pertahunnya, bila

variabel nilai tukar dan harga teh dunia dianggap

tetap, maka setiap kenaikan satu kg di setiap areal

tanam teh di Indonesia, maka akan menambahkan

nilai ekspor teh Indonesia sebesar 64.402 dolar US.

- Koefisien nilai tukar rupiah yang dihasilkan adalah

sebesar -69,721 dan bernilai negatif, sama halnya

dengan nilai t hitung yang menjelaskan hubungan

yang tidak signifikan. Artinya, nilai tukar nominal

ini memiliki hubungan yang berbanding terbalik

dengan nilai ekspor teh Indonesia. Dalam kurun

waktu pertahunnya, bila variabel produktivitas teh

Indonesia dan harga teh dunia dianggap tetap,

maka setiap kenaikan nilai tukar rupiah sebesar

satu rupiah setiap dolarnya, akan menurunkan nilai

ekspor teh Indonesia sebesar 69.721 dollar US.

- Koefisien harga teh dunia yang dihasilkan adalah

sebesar 551,782 dan bernilai positif, sama halnya

dengan nilai t hitungnya yang menginterpretasikan

hubungan yang signifikan. Artinya, semakin besar

harga dunia yang terjadi, maka akan semakin besar

pula nilai ekspor teh Indonesia yang didapat.

Dalam kurun waktu pertahunnya, bila variabel

produktivitas teh Indonesia, dan nilai tukar rupiah

dianggap tetap, maka setiap kenaikan harga teh

sebanyak satu cent (0,01US$) setiap kilogramnya,

maka akan menghasilkan nilai ekspor teh Indonesia

sebesar 551.782US$.

- Secara keseluruhan, nilai respon (koefisien

elastisitas) tersebut berada dibawah angka satu.

Artinya, setiap variabel yang digunakan bersifat

inelastis terhadap perubahan nilai ekspor teh

Indonesia. Dengan demikian, nilai ekspor teh

Indonesia tidak respon terhadap produktivitas teh

Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh dunia.

Persentase perubahan pada produktivitas teh

Indonesia, nilai tukar rupiah atau harga teh dunia

akan menghasilkan perubahan yang lebih kecil dari

pada persentasenya terhadap nilai ekspor teh

Indonesia. Namun demikian, hasil tingkat respon

yang terbesar dihasilkan oleh harga teh dunia.

Setiap kenaikan 1% harga teh dunia dalam cent di

setiap kilogramnya akan menaikan nilai ekspor teh

Indonesia sebesar 0,8232% dalam ribu dolar US.

Analisis Ekonomi terhadap Hasil Regresi dan

Nilai Respon

(1) Produktivitas terhadap Nilai Ekspor Teh Sebagai interpretasi faktor produksi,

produktivitas mampu menerangkan seberapa baiknya

faktor input yang digunakan (Yamit, 2005). Angka

yang semakin tinggi dalam produktivitas teh

Indonesia memiliki arti sebagai penggunaan faktor

produksi yang semakin baik. Dalam hal ini,

produktivitas teh yang baik dapat meningkatkan

peluang untuk produksi teh yang lebih banyak, baik

untuk dikonsumsi dalam negri maupun untuk ekspor.

Sehingga, semakin besar prodiktivitasnya, maka

peluang untuk memproduksi teh dalam negeri akan

semakin besar. Kemudian peluang untuk ekspor pun

akan bertambah juga. Sehingga, saat dikonversikan

terhadap nilai ekspor, nilainya akan semakin tinggi.

Mengingat produksi dalam negeri, peluang untuk

menambah nilai ekspor dari produktivitas pun dapat

disesuaikan. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh

kondisi konsumsi dalam negeri yang cenderung stabil

atau tidak mengalami kenaikan. Selain itu, dalam

memproduksi teh terdapat perbedaan kualitas antara

yang dikonsumsi dalam negeri maupun produk

ekspornya. Perbedaan jenis konsumsi itu mungkin

Page 157: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

145

dapat dijadikan suatu alasan mengapa peningkatan

produksi per hektarnya memiliki peluang untuk

menambah jumlah ekspornya. Maka dari itu, upaya

peningkatan nilai ekspor teh di Indonesia dapat

dilakukan dengan meningkatkan produktivitas teh di

Indonesia.

(2) Nilai Tukar Rupiah terhadap Nilai Ekspor

Mendongkrak ekspor yang sebanyak

banyaknya dapat memperkuat nilai rupiah dalam

mata uang asing. Hal tersebut dimaksudkan agar

menambah nilai ekspor yang didapat. Sehingga, nilai

ekspor tersebut dapat menghasilkan devisa negara

(Mankiew, 2006). Neraca yang defisit, dalam artian

impor yang lebih besar bila dibandingkan dengan

ekspor, akan melemahkan nilai rupiah di mata uang

asing. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung

pihak eksportir dari berbagai cara agar menambah

produksinya. Sehingga akan semakin banyak pula

ekspor yang didapat.

Dalam kegiatan ekspor teh Indonesia,

tentunya faktor produksi yang digunakan

menggunakan mata uang rupiah dengan kurs yang

berlaku tersebut. Bila nilai rupiah melemah, yang

berarti nominal nilai tukarnya bertambah untuk setiap

satu dolarnya, maka biaya pengorbanan untuk faktor

produksi tersebut belum tergantikan dengan nilai

dolarnya. Sehingga, hal ini justru mengurangi nilai

barang itu sendiri berdasarkan pertukaran kurs yang

terjadi.

(3) Harga teh dunia terhadap Nilai Ekspor

Dalam kasus penawaran, harga merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya

penawaran (Rahardja, 2008) Dalam kegiatan ekspor,

tentunya harga internasional yang dijadikan acuan.

Harga internasional dalam analisis memiliki satuan

sen/kg. Namun, pada variabel yang menjadi

pengamatan ini, harga dunia teh Indonesia

merupakan hasil harga teh Indonesia yang berlaku

untuk diekspor.

Berdasarkan analisisnya, hubungan harga

dunia dengan nilai ekspor merupakan hubungan yang

berbanding lurus. Semakin besar harga teh yang

terjadi, maka semakin besar nilai ekspor yang

didapat. Jika dikaitkan dengan hukum permintaan,

harga akan bertambah seiring dengan penambahan

permintaan yang kemudian diseimbangkan dengan

penawaran dari pihak eksportir. Kenaikan harga yang

terjadi pada produk ekspor teh Indonesia dapat

dikarenakan oleh banyaknya permintaan impor teh ke

negara Indonesia. Bila kemampuan produksi yang

berjalan cenderung tetap, yang artinya produksi

cenderung tetap, maka harga akan bertambah karena

untuk menyeimbangi penawaran dari pihak eksportir.

Dengan demikian, nilai dari barang itu sendiri pun

akan bertambah.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis melalui berbagai

uji dan metode perhitungannya, dapat disimpulkan

bahwa:

1. Secara simultan, nilai ekspor teh Indonesia

dipengaruhi oleh produktivitas teh Indonesia,

nilai tukar rupiah dan harga teh dunia. Namun,

secara parsial hubungan signifikan hanya

ditunjukan oleh produktivitas teh Indonesia dan

harga dunia. Setiap kenaikan harga teh sebesar 1

sen di setiap kilogramnya mampu menaikan nilai

ekspor teh sebesar 551.760US$ dalam kurun

waktu pertahunnya. Hal ini dapat dikarenakan

oleh jumlah permintaan terhadap teh Indonesia

cenderung naik. Lalu, setiap kenaikan satu rupiah

setiap dolarnya mampu mengurangi nilai ekspor

teh Indonesia sebesar 69.721US$ pertahunnya,

karena biaya pengorbanan untuk setiap produksi

ekspor teh tidak tergantikan oleh dolar yang

menguat akibat kenaikan nilai tukar rupiah.

Kemudian, setiap kenaikan produksi teh

sebanyak satu kg di setiap ha areal tanam teh di

Indonesia, mampu menaikan nilai ekspor teh

Indonesia sebesar 64.402US$ per tahunnya.

Peningkatan produktivitas teh mampu

menambah jumlah produksi nasionalnya.

Sehingga, produksi teh memiliki peluang untuk

menambah jumlah ekspor yang kemudian

dikonversikan dalam bentuk nilai.

2. Nilai ekspor teh tidak memiliki respon terhadap

produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah

dan harga teh dunia. Hal tersebut dikarenakan

oleh nilai elastisitasnya dibawah satu yang

berarti inelastis. Artinya setiap persentase

perubahan yang terjadi dalam produktivitas teh

Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh,

menghasilkan persentase perubahan nilai ekspor

teh yang lebih kecil lagi. Hal ini dapat

disebabkan oleh pelaku eksportir yang kurang

peka atau masih lamban dalam merespon nilai

ekspor teh melalui keadaan produktivitas, nilai

tukar dan harga dunia yang terjadi. Namun, dari

ketiga faktor tersebut, harga teh dunia

memberikan nilai elastisitas atau respon yang

paling besar terhadap nilai ekspor teh Indonesia.

Setiap perubahan atau kenaikan harga teh dunia

sebanyak 1% dalam satuannya ($/Kg), maka

akan menghasilkan perubahan nilai ekspor teh

Indonesia sebesar 0,8232% dalam satuannya

($0.000)

SARAN

Terkait dengan hasil ouput yang didapat,

maka ada beberapa kebijakan yang perlu

Page 158: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

146

diperhatikan dalam meningkatkan nilai ekspor teh di

Indonesia, yaitu:

1. Penetapan kuota impor teh Indonesia. Bila

penetapan tarif bea masuk masih belum bisa

mengurangi jumlah impor, maka penetapan

kuota impor perlu dikendalikan dan

diseimbangi denga kebutuhan negara. Hal ini

diharapkan dapat mengurangi neraca

perdagangan yang defisit akibat banyaknya

impor di berbagai komoditasnya.

2. Penerapan program intensifikasi dan

ekstensifikasi lahan teh, baik perkebunan

rakyat, negara maupun swasta. Sehingga

jumlah permintaan yang belum tertutupi

akibat penetapan kuota impor dapat dipenuhi

karena produksi yang meningkat.

DAFTAR PUSTAKA BPS. (2014). Ekspor Teh Menurut Negara Tujuan

Utama, 2000-2013. [Online]. Tersedia di:

http://www.bps.go.id

/webbeta/frontend/linkTabelStatis/view/id/1016

#accordion-daftar-subjek2 (diakses pada tanggal

15 Februari 2015)

Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar

Ekonometrika. Buku 2. Jakarta : Salemba

Empat.as

Mankiw, N., Gregory. (2006). Principles of

Economics: Pengantar Ekonomi Makro. Edisi

Ketiga. Diterjemahkan oleh: Chriswan

Sungkono. Jakarta: Salemba Empat.

Mankiw, N., Gregory. (2006). Principles of

Economics: Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi

Ketiga. Diterjemahkan oleh: Chriswan

Sungkono. Jakarta: Salemba Empat.

Rahardja, Prathama dan Manurung, Mandala. (2008).

Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan

Makroekonomi). Edisi ketiga. Jakarta: Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia

Sukirno, Sadono. 2011. Makroekonomi Teori

Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Yamit, Zulian . (2005). Manajemen Kualitas Produk

dan Jasa. Ed. 1, Cet. 4. Yogyakarta: Ekonisia

Kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta

Page 159: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

147

Analisis Daya Saing Usahatani Tembakau Mole (Studi Kasus Desa Sukasari,

Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

Competitiveness Analysis of Tobacco Farming Mole

Septian Rindiarto1, M. Arief Budiman1

1Program Studi Agribisnis, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang

A B S T R A K

Kata Kunci: Daya Saing

Tembakau

PAM

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tembakau. ekspor tembakau

mengalami tren penurunan mulai dari tahun 2010 hingga 2014. Penurunan produksi

tembakau dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Perlu adanya peninjauan mengenai

kondisi daya saing tembakau mengingat Indonesia merupakan pengekspor tembakau

dan kebijakan merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan ekspor tembakau.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daya saing usahatani dengan melihat

keuntungan privat dan keuntungan sosial pada tingkat harga aktual atau harga pasar,

mengetahui transfer effect atau dampak kebijakan pemerintah dengan menganalsisi

daya saing dari tingkat privat (petani) dan sosial (internasioanl, dan mengetahui

implikai kebijakan pemerintah setelah dilakukannya analisis PAM. Desain penelitian

yang digunakan adalah desain kuantitatif dengan teknik penelitian survey. Analisis

data menggunakan analisis deskritif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix

(PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tembakau Desa Sukasari memiliki daya

saing baik keunggulan kompetitif maupun komparatif. Hal tersebut dibuktikan dengan

nilai PCR < 1 dan DRCR < 1 sedangkan kebijakan pemerintah dinilai menghambat

ekspor output dan adanya proteksi terhadap input lokal. Kebijakan tersebut dibuktikan

dengan nilai NPCO < 1 dan NPCI < 1. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah

menyudutkan petani tembakau. Namun, tingginya harga tembakau dunia diduga

membantu meningkatkan daya saing tembakau dalam negeri.

ABSTRACT

Keywords: Competitiveness

Tobacco

PAM

Indonesia is one of the tobacco exporting countries. Tobacco exports experienced a

downward trend from 2010 to 2014. The decline in tobacco production are affected by

government policies. Need for a review of the competitiveness of tobacco because

Indonesia is an exporter of tobacco and policies is a factor affecting the decline in

tobacco exports. The purpose of this study was to determine the competitiveness of

farming with a view of private profits and social benefits at the level of the actual price

or market price, knowing the transfer effect or impact of government policies with

menganalsisi competitiveness of the level of private (farmer) and social (on

international, and knowing implikai government policy after doing an analysis of

PAM. The research design is the design of quantitative research techniques survey.

The data analysis using descriptive analysis with analysis tools Policy Analysis Matrix

(PAM). The results showed that the tobacco village Sukasari competitiveness both

competitive advantage and comparative. It evidenced by the PCR values <1 and DRCR

<1 whereas government policies impeded the export of output and the protection of

local input. This policy is evidenced by NPCO values <1 and NPCI <1. Overall

government policy cornering tobacco farmers. However, the high price of tobacco the

world thought to help improve the competitiveness of domestic tobacco.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 160: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

148

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara pengekspor

tembakau. Akan tetapi ekspor tembakau Indonesia

mengalami penurunan yang signifikan mulai dari

tahun 2010 hingga 2014. Faktor utama dari

penurunan produksi tembakau adalah kebijakan

pemerintah yang membatasi produksi nasional.

Kondisi tersebut harus disesuaikan oleh pihak-pihak

terkait terutama petani. Peningkatan daya saing

mengingat produksi tembakau yang dibatasi

merupakan tantangan yang harus diselesaikan.

Tembakau merupakan salah satu komoditas

ekspor primer perkebunan. Terdapat 12 komoditas

ekspor primer perkebunan. Dalam segi volume

tembakau bukan merupakan 5 besar pemegang

ekspor terbesar diantara komoditas yang lain.

Kendati bukan termasuk 5 besar pengekspor terbesar

dalam segi volume, tembakau juga mengalami

penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2010 ke

2011. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan

pemerintah.

Kebijakan pemerintah sangat menekan

keberadaan tembakau dalam negeri. Hal tersebut

diduga membuat kondisi tembakau Indonesia

memiliji tren menurun pada 5 tahun terahir.

Tabel 1. Ekspor Komoditas Primer Perkebunan Sumber: BPS

Pembatasan produksi, perizinan, dan

pengujian merupakan isu utama dalam penurunan

ekspor tembakau. Seperti pada Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012

mengenai Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat

Adiktif Berupa Produk tembakau bagi Kesehatan.

Kebijakan mengenai pembatasan produksi

tembakau sangat menyudutkan pihak petani. Dengan

kondisi yang tidak menguntungkan untuk petani

(dilihat dari bentuk kebijakan pemerintah dan

keadaan ekspor tembakau) maka perlu adanya

peninjauan mengenai daya saing tembakau dan

dampak kebijakan pemerintah yang diterapkan pada

tembakau.

Daya saing dan dampak kebijakan pemerintah

akan dilihat dari sudut pandang petani yang

dilakukan di Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari,

Kabupaten Sumedang mengingat provinsi Jawa

Barat merupakan provinsi terbesar ketiga dalam

memproduksi tembakau dalam negeri. Desa Sukasari

memiliki potensi yang baik didukung dengan luas

areal lahan terbesar di Kabupaten Sumedang,

memiliki pasar khusus tembakau dimana hanya

terdapat 2 di seluruh Indonesia dan memliki

tembakau khusus yaitu tembakau mole

METODE PENELITIAN

Objek penelitian ini adalah daya saing

tembakau Indonesia dengan melihat salah satu petani

sebagai representatif usahatani yang diteliti yaitu di

Desa Sukasari, Kecamatan Tanjung Sari, Kab,

Sumedang, Sumedang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi

dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan

mempertimbangkan bahwa Desa Sukasari

merupakan penghasil tembakau dan memiliki

kelompok tani terbanyak di Kabupaten Sumedang.

Desain penelitian yang digunakan adalah kuantitatif

dengan teknik penelitian metode survey. Menurut

Zikmund (1997) metode penelitian survei adalah satu

bentuk teknik penelitian sampel berupa orang melalui

pertanyaan-pertanyaan. Menurut Bailey (1982)

metode penelitian survei merupakan satu metode

penelitian yang teknik pengambilan datanya

dilakukan melalui pertanyaan – tertulis atau lisan.

Alat analisis yang digunakan adalah Policy

Analysist Matrix (PAM) untuk mengukur daya saing

dan dampak kebijakan pemerintah.

Data yang digunakan adalaha data primer dan

sekunder dimana primer didapat dari hasil

wawancara petani sebagai responden dan sekunder

didaptkan dari referensi yang representatif.

Cara mendapatkan data primer dengan

menggunakan kuesioner yang disusun secara

terstruktur yang memuat pertanyaan terkait biaya

pengeluaran sampai pemasaran produk.

Cara Menentukan Responden

Dua tahap dalam menentukan responden yaitu

dengan menggunakan rumus Slovin dan perhitungan

proporsional sampling.

Slovin digunakan untuk menentukan jumlah

responden yang akan diwawancarai. Dalam hal ini

terdapat 35 responden dari populasi sebesar 184 jiwa.

Kemudian proporsional sampling digunakan untuk

mendaptkan proporsi petani yang seimbang dari tiap

kelompok tani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Harga Privat

Harga privat adalah harga yang didasarkan pada

harga aktual. Harga tersebut mencerminkan keadaan

usahatani dari rata-rata pendapatan dan biaya atau

perilaku petani saat ini. Hasil survey lapangan

memperoleh harga privat input dan output di tingkat

petani disajikan pada tabel. 13. Rata-rata harga NPK

adalah Rp. 8772,727/kg, dan Za Rp. 2760/lt. Harga

insektisida Rp. 200.000,00/lt untuk curacron, dan

fungisida Rp. 120.000,00/lt untuk antrakol.

Upah tenaga kerja petani bervariasi

tergantung pada petani yang memiliki modal. Upah

tenaga kerja laki-laki untuk kegiatan di lapangan

mulai dari penanaman hingga panen berkisar pada

Rp. 40.000,00 – Rp. 70.000,00. Masing-masing

tenaga kerja membawa peralatan kerja sendiri.

Page 161: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

149

Rata-rata sewa lahan yang dikeluarkan

petani berkisar Rp. 300.000,00 hingga Rp.

500.000,00 bergantung jenis sewa lahan yang

dipakai. Ada 2 jenis lahan yang dipakai yaitu lahan

kering dan lahan sawah (wawancara petani). Harga

lahan sawah lebih besar dibanding lahan kering

karena tembakau lebih baik ditanam pada lahan

sawah.

Tabel 2. Harga Privat dan Harga Sosial

Harga Sosial

Penentuan harga sosial hanya bisa dilakukan

dengan pendugaan (approximation). Pendugaan

harga sosial untuk barang tradabel, baik untuk

barang-barang impor maupun ekspor, untuk output

maupun input adalah sama. Harga sosial untuk

produk tersebut adalah border price (harga impor

untuk importabes, dan harga ekspor untuk

eksportables). Harga sosial barang tradabel (benih,

NPK, Za, insektisida, fungisida) disajikan pada tabel

13. Harga sosial untuk benih tembakau sebesar Rp.

613,00/pohon, pupuk NPK sebesar Rp. 7.809,00/Kg,

pupuk Za sebesar Rp. 6.385,00/Kg, insektisida

sebesar Rp. 313.192,00/Lt, dan fungisida sebesar Rp.

156.746,00/Kg. Harga sosial untuk barang non-

tradabel di asumsikan sama dengan harga privatnya.

Perhitungan harga sosial tembakau dijelaskan pada

lampiran 7 dengan nilai sebesar Rp. 156.746/Kg.

Harga sosial untuk tenaga kerja diduga sama

dengan harga privatnya karena tidak ditemui distorsi

kebijakan akan ketengakerjaan petani tembakau.

Asumsi ini didasarkan pada informasi yang didapat

dari informan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah

yang mempegaruhi langsung mengenai biaya

ketenagakerjaan.

Matrix PAM

Komponen Pendapatan Input

Keuntungan Tradable Non-Tradable

Privat 2130966667 345403708 645274167 1140288792

Sosial 27260219347 535170069 645274167 26079775111

Divergensi -25129252680 -189766361 0 -24939486319

Data pada tabel matrix PAM diatas diperoleh dari

bujet usahatani yang dibahas pada subbab

sebelumnya. Perhitungan bujet privat menghasilkan

nominal yang digunakan dalam perhitungan matrix

PAM. Hal serupa juga dilakukan pada tingkat sosial.

Kedua nominal yang dihasilkan pada masing-masing

bujet privat akan dianalisis dengan melihat distorsi

atau divergensi antara bujet privat dan bujet sosial.

Keuntungan privat didefinisikan sebagai pengukur

daya saing pada tingkat harga aktual atau petani.

Keuntungan sosial didefinsikan sebagai pengukur

efisiensi pada tingkat harga sosial.

Divergensi Input dan Ouput Tradable

Suatu divergensi akan menyebabkan harga

aktual berbeda dengan harga efisiensi. Divergensi

timbul karena salah satu dari dua sebab – kegagalan

pasar atau distorsi kebijakan. Kegagalan pasar terjadi

apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive

outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar

pada umumnya adalah monopoli, externality dan

faktor (produksi) domestik tidak sempurna.

Kebijakan distortif adalah intervensi pemerintah

yang menyebabkan harga asar berbeda dengan harga

efisiensinya.

Menghitung Keuntungan

Menghitung keuntungan merupakan langkah

untuk mengukur keuntungan yang dihasilkan

usahatani dalam satu musim tanam per hektarnya.

Ada 2 jenis perhitungan yaitu pada tingkat petani

(privat) dan pada tingkat internasional (sosial).

Kategori Uraian Satuan Harga

Privat Sosial

Input

Tradable

Benih Rp/Pohon 1778,33 612,892

Pupuk

a. NPK Rp/Kg 8772,73 7.809,41

b. Za Rp/Kg 2760 6.385,75

Pestisida

a.

Insektisida Rp/Lt 200000 313.192,00

c. Fungisida Rp/Kg 120000 156.746,00

Input

Non-

Tradable

Peralatan

a. Cangkul Rp/Unit 100000 100000

b. Arit Rp/Unit 20000 20000

c. kored Rp/Unit 25000 25000

d. rajang Rp/Unit 200000 200000

e. sasag Rp/Unit 4000 4000

f.

semprotan Rp/Unit 800000 800000

g. amril Rp/Unit 60000 60000

h. rimagan Rp/Unit 300000 300000

i. osreng Rp/Unit 42000 42000

j. parang Rp/Unit 80000 80000

k. pompa

air Rp/Unit 3100000 3100000

Tenaga

Kerja Rp/HOK 39892,9 39892,86

Sewa Lahan 400000 400000

Page 162: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

150

1. Keuntungan Privat (PP)

Keuntungan privat merupakan hasil

pengurangan pendapatan privat dengan biaya

tradabel dan non-tradabel privat. Pada tabel

matrix PAM dapat dilihat bahwa keuntungan

menunjukkan angka positif sebesar Rp.

32.579.679,00/hektar. Nominal yang dihasilkan

merupakan rata-rata dari penghasilan 35

responden yang telah diolah. Hasil positif

keuntngan privat berarti secara finansial

kegiatan usahatani mengalami keuntungan.

2. Keuntungan Sosial (SP)

Keuntungan sosial merupakan hasil

pengurangan pendapatan sosial dengan biaya

tradabel dan non-tradabel sosial. Tabel matrix

PAM menunjukkan angka positif sebesar Rp.

118.298.670,00/hektar. Hal tersebut

menunjukkan secara ekonomi pengusahaan

komoditas tembakau mengalami keuntungan.

Keuntungan yang diperoleh dari 2 tingkat harga

memiliki perbedaan yang signifikan. Pada umumnya,

kondisi lapangan memberikan informasi yang sesuai

dengan hasil perhitungan penerimaan privat. Hasil

perhitungan tingkat sosial menunjukkan nominal

yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan petani

menerima keuntungan yang tidak seharusnya.

Diduga perbedaan harga tembakau penyebab distorsi

keuntungan pada kedua tingkat.

Menghitung Efisiensi (Keunggulan Komparatif

dan Kompetitif)

Daya saing dapat dilihat dari tingkat efisiensi

yang menyebakan suatu usahatani memiliki

keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan

kompetitif dihitung melalui rasio biaya privat (PCR)

sedangkan keunggulan komparatif dihitung melalui

rasio biaya sumber daya (DRC).

1. Rasio Biaya Privat (PCR)

Perhitungan rasio biaya privat menggunakan

nominal pada matrix PAM dengan hasil 0,361

yang dimana menunjukkan usahatani tembakau

memiliki keunggulan kompetitif.

2. Rasio Biaya Sumber Daya (DRC)

Perhitungan rasio biaya sumber daya

menggunakan nominal pada matrix PAM

dengan hasil 0,024 yang dimana menunjukkan

usahatani tembakau memiliki keunggulan

komparatif.

Nilai PCR dan PP dalam analisis keunggulan

kompetitif merupakan indikator yang menunjukkan

tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat

keuntungan pengusahaan tembakau secara finansial.

Nilai PCR sebesar 0,361 menunjukkan bahwa untuk

meningkatkan nilai tambah output tembakau sebesar

satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktr

domestik sebesar 0,361 satuan. Hal tersebut

menggambarkan bahwa komoditas tembakau mampu

bersaing dengan komoditas sejenis dari produk impor

dalam negeri maupun ekspor mancanegara.

Nilai DRC dan SP merupakan indikator yang

menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan

sumberdaya secara ekonomi. Nilai DRC pada lokai

penelitian adalah 0,024. Nilai ini menunjukkan

bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output

tembakau di Desa Sukasari sebesar satu satuan

diperlukan biaya tambahan faktor domestik sebesar

0,024 satuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa

komoditas tembakau Desa Sukasari mampu hidup

tanpa bantuan pemerintah dan memiliki peluang

ekspor yang besar. Indikator lainnya adalah

keuntungan sosial. Apabila keuntungan sosial

bernilai positif maka petani menerima keuntungan

sosial dari biaya perhitungan sosial. Oleh karena itu,

bila dilihat dari hasil analisis DRC dan SP petani

mampu untuk mandiri tanpa ada intervensi

pemerintah.

Dapat disimpulkan dengan melihat nilai PCR

dan DRC bahwa tembakau Desa Sukasari memiliki

keunggulan kompetitif dan komparatif.

Menghitung Dampak Kebijakan Pemerintah

Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu

aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif

maupun negatif terhadap pelaku dari sistem tersebut.

Kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dapat

menentukan keberhasilan pengembangan usaha

dalam rangka meningkatkan devisa. Kebijakan dapat

mempengaruhi keuntungan maupun produktivitas

suatu kegiatan ekonomi. Dampak kebijakan

pemerintah dapat dilihat dari analisis matriks PAM

melalui beberapa indikator yaitu kebijakan terhadap

output, kebijakan terhadap input, dan kebijakan

terhadap input-output.

1. Kebijakan Output

a. Transfer Output (TO)

Nilai transfer output menunjukkan besarnya

intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai

transfer output yang dihasilkan dari matrix PAM

sebesar negatif Rp. 717.978.648,00/hektar yang

berarti masyarakat mengeluarkan biaya yang

lebih kecil, lebih kecil dari harga yang

seharusnya dibayarkan dan produsen menerima

harga yang lebih rendah dari harga yang

seharusnya diterima.

b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)

NPCO menilai kebijakan pemerintah yang

menghambat atau mendukung ekspor melalui

pajak. Matrix PAM menunjukkan hasil sebesar

0,078 yang berarti ada kebijakan pemerintah

Page 163: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

151

yang menghambat ekspor output yang berupa

pajak.

2. Kebijakan Input

a. Transfer Input (TI)

Transfer input menjelaskan besaran penerimaan

pemerintah yang ditandai positif atau negatifnya

nominal yang dihasilkan matrix PAM. Matrix

PAM menunjukkan nominal sebesar negatif Rp.

5.421.896,00/hektar yang berarti kebijakan

pemerintah mengakibatkan keuntungan yang

diterima secara finansial lebih kecil

dibandingkan tanpa adanya kebijakan.

b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)

Hasil matrix PAM menunjukkan nominal

sebesar 0,645 yang berarti adanya hambatan

ekspor yang menyebabkan produksi

menggunakan input lokal. Hal ini

mengindikasikan adanya subsidi yang diberikan

pemerintah terhadap input tradabel sehingga

petani mengeluarkan biaya yang lebih rendah

dibanding biaya input tradabel sosialnya.

3. Transfer Faktor (TF)

Nilai transfer faktor menunjukkan besarnya

subsidi terhadap input non-tradabel. Hasil

matrix PAM menunjukkan nominal sebesar 0

yang berarti tidak ada subsidi pemerintah pada

input non-tradabel.

Kebijakan pemerintah dapat berupa

meningkatkan ataupun menghambat. Kebijakan itu

berupa subsidi/pajak. Dampak kebijakan pemerintah

dilihat dari nilai TO dan NPCO. Secara keseluruhan

kebijakan pemerintah memberikan hambatan beupa

pajak dilihat dari nilai NPCO sebesar 0,078 dan

secara implisit terdapat transfer dari konsumen

kepada produsen tembakau di Desa Sukasari.

Besarnya dampak kebijakan pemerintah

terhadap input produksi tembakau dilihat dari nilai

TI, NPCI dan TF. Nilai TI menunjukkan harga input

tradabel pada struktur harga privat lebih rendah

dibandingkan pada struktur harga sosial. Diduga

pemerintah melakukan subsidi terhadap input

tradabel sehingga biaya input petani berkurang tetapi

keuntungan pemerintah berkurang. TF memiliki nilai

sebesar 0 yang berarti bahwa petani membayar biaya

input domestik setara dengan struktur sosialnya.

Hasil analisis menunjukkan nilai NPCI sebesar

0,645. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan

pemerintah terhadap input mendorong peningkatan

daya saing komoditas tembakau di lokasi penelitian.

NPCI yang bernilai kurang dari 1 menggambarkan

bahwa harga privat input tradabel

lebih rendah dibanding harga sosialnya sebesar

64,5%.

Menghitung Kebijakan Input-Output

1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)

EPC menunjukkan arah kebijakan pemetintah

apakah bersifat melindung atau menghambat

produksi domestik secara efektif. Hasil matrix

PAM menunjukkan angka sebesar 0,066 yang

berarti rendahnya proteksi yang diberlakukan

pemerintah dalam sistem produksi.

2. Transfer Bersih (TB)

Transfer bersih menunjukkan ketidakefisienan

dalam sistem produksi. Matrix PAM

menujukkan nilai transfer bersih sebesar negatif

Rp. 712.556.752,00/Hektar yang berarti adanya

kerugian finansial produsen yang disebabkan

oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada

input dan output.

3. Koefisien Keuntungan (PC)

PC menunjukkan dampak kebijakan pemerintah

terhadap keuntungan yang diterima oleh

produsen. Matrix PAM menunjukkan nilai PC

sebesar 0,044 yang berarti kebijakan pemerintah

mengakibatkan keuntungan yang diterima

produsen lebih besar daripada tanpa adanya

kebijakan.

4. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)

Matrix PAM menunjukkan nilai SRP sebesar

negatif 0,956 yang berarti kebijakan pemerintah

menyebabkan produsen mengeluarkan biaya

produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk

berproduksi.

Analisis Sensitivitas

Untuk mengukur sensitivitas hasil analisis

terhadap berubahnya asumsi nilai tukar, digunakan

tiga kemungkinan nilai tukar. Sebagai basis, nilai

tukar yang dipakai adalah nilai tukar per 8 agustus

2015 sebesar Rp. 13.604,00/Dollar. Analisis

sensitivitas dilakukan dengan mengukur dampak

berubahnya nilai tukar terhadap keuntungan sosial.

Komponen Pendapatan

Input

Keuntungan Keuntungan

Privat Perbandingan

Tradabel

Non-

Tradabel

Apresiasi 19992638736 575938800 409812500 19006887436 12331195827 154,137

Depresiasi 24540214813 494620362,7 409812500 23635781951 12331195827 191,675

Page 164: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

152

Dua kemungkinan yang digunakan adalah Rp.

14.964,00 diumpamakan apabila nilai tukar

mengalami apresiasi dan Rp. 12.244,00

diumpamakan apabila nilai tukar mengalami

depresiasi. Nilai apresiasi dan depresiasi tersebut

berkisar 10 persen dari nilai tukar basis.

Tabel 3. Matrix Kuntungan dengan Asumsi Apresiasi

dan Depresiasi Nilai Tukar

Hasil analisis menunjukkan betapa sensitifnya

usahatani tembakau terhadap perubahan nilai tukar.

Keuntungan sosial akan menurun apabila nilai tukar

menguat dan sebaliknya, keuntungan sosial akan

meningkat apabila nilai tukar menurun. Hal ini

diakibatkan tingkat harga internasional tembakau

yang tinggi bilai dibandingkan dengan harga privat

(petani).

Implikasi Kebijakan

Hasil analisis menunjukkan petani memiliki

keunggulan kompetitif dan komparatif apabila dilihat

dari keuntungan sosial dan keuntungan privat serta

kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor

tembakau dan menimbulkan ketidakefisienan pada

input dan output tembakau.

Pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan

terhadap faktor input dan output. Hasil analisis matix

PAM menunjukkan bahwa ada beberapa poin akibat

penerapan kebijakan pemerintah.

1. Keuntungan yang diterima pemerintah secara

finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya

kebijakan.

2. Adanya proteksi yang menyebabkan petani

menggunakan produksi dalam negeri.

3. Tidak ada subsidi terhadap input non-tradabel.

4. Rendahnya proteksi terhadap sistem produksi.

5. Adanya ketidakefisienan dalam sistem produksi

karena kebijakan yang diterapkan pada input

dan output.

6. Kebijakan pemerintah menyebabkan produsen

mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari

biaya imbangan untuk berproduksi.

7. Nilai tukar memiliki tingkat sensitivitas yang

tinggi terhadap keuntungan sosial.

Pemerintah memiliki kebijakan yang ketat terhadap

komoditas tembakau. Seperti yang telah dijelaskan

pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 109 Tahun 2012 bahwa ada 3 pokok

pembahasan dalam peraturan pemerintah yaitu

pembatasan, perizinan dan pengujian. Pembatasan

tersebut dikenakan pada produksi tembakau sampai

pada pemasaran produk olahan tembakau atau rokok.

Pembatasan ini akan mempengaruhi secara

signifikan terhadap keuntungan privat para petani

karena apabila permintaan ekspor turun maka

perusahaan pengolah tembakau akan sulit untuk

memasarkan hasil olahan tembakaunya. Oleh karena

itu, petani pun akan mengurangi hasil produksi hasil

tembakau dan pemasukannya pun akan berkurang1.

Selain itu, pembatasan iklan hasil olahan tembakau

dan area bebas rokok akan mengurangi konsumsi

masyarakat terhadap rokok. Besarnya biaya input

pun akan memperkecil keuntungan yang diterima

petani.

Perizinan yang dimaksud adalah bahwa untuk

memproduksi tembakau produsen harus memiliki

izin yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-

undangan. Pengujian yang dimaksud adalah semakin

ketatnya pengedaran tembakau tanpa hasil pengujian

laboratorium terakreditasi sehingga seluruh produsen

tembakau wajib menguji kadar kandungan yang

dimiliki tembakau yang dihasilkannya (Departemen

Kesehatan, 2012). Keadaan tersebut akan

mempersulit petani-petani kecil karena kebanyakan

petani yang belum mengetahui pengetahuan

mengenai perizinan dan pengujian tembakau terlebih

hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran petani.

Subsidi dan pajak pun sangat berpengaruh

terhadap pendapatan petani. Hal tersebut dijelaskan

pada hasil analisis Matrix PAM yang menjabarkan

bahwa terjadi ketidakefisienan dalam sistem

produksi. Ketidakefisienan tersebut terlihat dari

perbedaan keuntungan sosial dan keuntungan privat

dan didukung dengan kondisi petani yang sulit

berkembang walaupun menurut salah satu responden

β€œtembakau jarang merugi”.

Pemerintah juga melakukan proteksi terhadap

bahan-bahan produksi dalam negeri. Ketentuan

tentang besarnya tarif impor mendukung hasil

analisis tersebut. Tingginya tarif impor menyebabkan

petani menggunakan bahan-bahan produksi dalam

negeri.

Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai

pembatasan, perijinan, pengujian, subsidi, pajak

hingga proteksi secara keseluruhan menyudutkan

pihak petani. Responden penelitian pun menjelaskan

bahwa banyak kebijakan pemerintah yang tidak

mendukung petani tembakau. akan tetapi, tembakau

masih menjadi andalan Indonesia dengan pemasukan

pajak hasil olahannya yang besar tiap tahunnya.

Dengan kata lain, walaupun kebijakan pemerintah

tidak berpihak pada petani tembakau pemerintah

masih membutuhkan peran petani tembakau dengan

hasil olahannya. Oleh karena itu, perlu ada

pembahasan lebih lanjut mengenai kebijakan yang

lebih berperan netral dan saling mendukung diantara

kedua pihak.

Sejauh ini petani masih terbantu oleh harga

interansional tembakau yang tinggi sehingga harga

jual tembakau daerah pun masih bisa menutupi

kebijakan pajak. Hasil analisis matrix PAM juga

Page 165: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

153

menunjukkan tembakau masih memiliki keunggulan

kompetitif dan komparatif. Keadaan tersebut harus

dipertahankan untuk tetap bersaing di pasar

internasional.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil

analisis, maka kesimpulan yang diperoleh dari

penelitian adalah:

1. Usahatani tembakau di Desa Sukasari memiliki

keunggulan kompetitif dan komparatif.

Keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan

nilai PCR < 1. Nilai PCR pada hasil analisis

adalah 0,361. Hal ini menunjukkan usahatani

tembakau memiliki keunggulan kompetitif.

Keunggulan komparatif ditunjukkan dengan

nilai DRCR < 1 yaitu 0,024 yang berarti

menunjukkan usahatani tembakau memiliki

keunggulan komparatif.

2. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari

nilai NPCO dan NPCI. NPCO yang didapat

sebesar 0,078 yang berarti ada kebijakan

pemerintah yang menghambat ekspor ouput

berupa pajak. NPCI yang didapat sebesar 0,645

yang berarti adanya proteksi terhadap input

lokal dan mengindikasikan adanya subsidi

terhadap input tradabel sehingga petani

mengeluarkan biaya yang lebih rendah

dibandingkan biaya input tradabel sosialnya.

3. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah

menyudutkan pihak petani seperti pembatasan,

perijinan, pengujian dan pajak. Akan tetapi,

tingginya harga tembakau dunia diduga

membantu meningkatkan daya saing tembakau

dalam negeri.

Saran

Berdasarkan pada kesimpulan, maka saran

dari peneliti adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya penyuluhan secara merata untuk

menjaga keunggulan baik kompetitif maupun

komparatif karena secara umum tembakau Desa

Sukasari sudah memiliki daya saing sehingga

langkah untuk menjaganya menjadi prioritas.

Penyuluhan yang diberikan bisa berupa materi

teknis budidaya maupun mengenai sudut

pandang atau cara berpikir untuk mengetahui

potensi yang dimiliki desa.

2. Perlu adanya peninjauan kembali tentang

kebijakan pajak yang dibebankan pada

tembakau. Nilai NPCO yang sangat kecil

menunjukkan peran pajak yang sangat besar

dalam menghambat ekspor tembakau.

Peninjauan pajak dilakukan untuk mengetahui

porsi yang tepat untuk diberikan kepada ekspor

output tembakau sehingga petani dapat

mengembangkan usaha tembakau.

3. Perlu adanya antisipasi pemerintah seperti

diversifikasi olahan tembakau dengan

mengembangkan teknologi baru karena

tingginya tingkat harga tidak akan selamanya

membantu menjaga daya saing tembakau.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. dan Soedarmanto. 1982. Budidaya

Tembakau. Jakarta: CV. Yasaguna

Adisewojo, R.S. 1962. Bercocok Tanaman

Tembakau. Bandung: Sumur Bandung

BP3K. 2011. Data Jumlah Kelembagaan Petani.

http://bp3ktanjungsari.blogspot.com/2011/03/

data-keadaan-kelompok-tani.html. diakses

pada 09/05/2015 pukul 1.31

Cahya Indah Franiawati, Wan Abbas Zakaria dan

Umi Kalsum. 2013. Daya Saing Jagung di

Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten

Lampung Timur.

Darsono dan Ashari. 2004. Manajemen Keuangan.

Yogyakarta: BPFE

Departemen Kesehatan. 2012. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012

Tentang Pengamanan Bahan Yang

Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk

Tembakau Bagi Kesehatan.

(Http://Pppl.Depkes.Go.Id/_Asset/_Regulasi/

47_Pp%20nomor%20109%20tahun%202012.

Pdf) diakses pada 22/08/2015

Ini Rahmatika, Venti. 2011. Analisis Daya Saing

Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX

(Persero) Kebun Getan/Assinan Kabupaten

Semarang. Surakarta

Drs. Hendra Halwani, M.A. dan DR. H. Prijono

Tjiptoherijanto. Perdagangan Internasional

Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro.

Ghalia Indonesia: 1993

Fendi. 2013. Pembatasan Produksi Tembakau.

http://www.hukumonline.com (Diakses pada

tanggal 2 Maret 2015)

Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek

Pertanian. Edisi Kedua. Universitas

Indonesia. Jakarta

Hamidi, Hirwan. 2007. Daya Saing Tembakau

Virginia Lombok di Pasar Ekspor. Raja Empat

Halwani, Hendra & Tjitorerijanto, Prijono. 1993.

Perdagangan Internasional: Pendekatan

Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Ghalia

Indonesia

Krisna Setiawan, Slamet Hartono dan Any

Suryantini. 2014. Analisis Daya Saing

Komoditas Kelapa di Kabupaten Kupang.

Kupang: Politeknik Pertanian Negeri Kupang

Nurhayat, Wiji. 2013. Ini 6 Negara Penghasil

Tembaau Terbesar di Dunia.

Page 166: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

154

www.detikfinance.com (Diakses pada tanggal

27 Februari 2015)

Pearson, S, Carl Gotsch. 2005. Aplikasi Policy

Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia.

Terj. SjaifulBahri (ed). Jakarta: Penerbit

Yayasan Obor Indonesia.

Pusat Data dan Sistemb Informasi Pertanian

Sekretariat Jenderal – Kementrian Pertanian.

2014. Ooutlook Tembakau 2014.

Saptana, Sunarsih dan Kurnia Suci Indraningsih.

2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif

Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui

Pengembangan Kemitraan Usaha

Hortikultura. Bogor: Laporan Hasil Penelitian.

Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24

No. 1, Juli 2006 : 61 – 76.

Saptana, Supena Friyatno dan Tri Bastuti P. 2013.

Analisis Dayasaing Komoditi Tembakau

Rakyat di Klaten Jawa Tengah. Bogor: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian

Simatupang, P. 1990. Comparative Advantage and

Government Protection Structure of Soybean

Production in Indonesia. Comparative

Advantage and Protection Structures of

Livestock and Feedstuff Subsector in

Indonesia (Ed. F. Kasryno and P.

Simatupang). Bogor: Center for Agrieconomic

Research, AARD.

Sudaryanto, T dan P. Simatupang. 1993. Arah

Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan

Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif

Pengembangan Agribisnis di Indonesia.

Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian, IPB.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Suwarto dan Y. Octavianty. 2010. Budidaya 12

Tanaman Perkebunan Unggulan. Jakarta:

Swadaya

Rahmatika, Venti Dini. 2011. Analisis Daya Saing

Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX

(PERSERO) Kebun Getas/Assinan Kabupaten

Semarang. Surakarta: Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Warr, P. G. 1992. Comparative Advadtage and

Protection in Indonesia. Bulletin of Indonesia

Economic Studies, 28 (3), 41-70.

Page 167: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

155

Analisis Risiko Produksi Bunga Mawar Potong (Rosa hybrida) (Studi Kasus di

Rosalia Flowers, Desa Cihideung, Kecamatan Parompong, Kabupaten Bandung

Barat)

Risk Analysis of Roses Production (Rosa hybrida) (A case study of Rosalia Flowers in

Cihideung, Parongpong District, West Bandung Regency)

Dery Luvitasari1, Sara Ratna Qanti1

Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci:

Analisis Risiko,

Produksi,

Mawar,

Diagram Tulang Ikan,

FMEA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko produksi pada bunga mawar potong

di Rosalia Flowers. Desain penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dan

teknik penelitian studi kasus. Identifikasi risiko menggunakan Fish Bone Diagram

untuk mengetahui penyebab kegagalan dan akibat terjadinya risiko berdasarkan

sumber risiko produksi. Analisis risiko menggunakan metode FMEA (Failure Mode

and Effect Analysis), menghasilkan risiko berdasarkan nilai RPN dan RSV tertinggi

yang harus segera dilakukan penanganan yaitu serangan hama dan penyakit, SOP tidak

terdokumentasikan dengan baik, kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen, dan

pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana. Strategi mitigasi risiko serangan

hama dan penyakit dengan melakukan perawatan dan pemeliharaan greenhouse secara

berkala. Strategi mitigasi untuk risiko SOP yang tidak terdokumentasikan dengan baik

adalah dengan membuat dokumentasi SOP untuk budidaya bunga mawar potong di

Rosalia Flowers. Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian tenaga kerja dalam proses

pasca panen yaitu dengan mengadakan program pelatihan untuk karyawan. Strategi

mitigasi untuk pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana adalah dengan

membuat jadwal tanam, membuat peramalan permintaan untuk mengetahui jumlah

kebutuhan bahan baku, dan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ)

untuk mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti pupuk, pestisida, dan bibit yang

harus dipesan agar dapat meminimumkan total biaya persediaan dan menentukan

pembelian yang optimal.

ABSTRACT

Keywords:

Risk Analysis,

Production,

Roses,

Fishbone Diagram,

FMEA

The aims of this research is to determine risk of roses production at Rosalia Flowers.

Design of this research is qualitative descriptive and case study method. Risk

identification using Fish Bone Diagram to find out the causes of the failure and the

consequent occurrence of risk based on risk of production. Risk analysis method using

FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), resulting in a risk based on the value of

the RPN (Risk Priority Number) and RSV (Risk Score Value) the highest should be

immediately to be eliminated, and those are pest and disease attack, SOP

undocumented, the omission of labor in post-harvest processes, and procurement of

raw materials production is not planned. Mitigation strategies risk pests and diseases

with the care and maintenance of the greenhouse at regular intervals. Mitigation

strategies for undocumented SOP is to make the documentation of SOP for the

cultivation of roses in Rosalia Flowers. Mitigation strategies for risk neglect labor in

post-harvest processes is to implement a training program for employees. Mitigation

strategies for procurement of raw material production is not planned is to schedule

planting roses, create demand forecasting to know the amount of raw material

requirements, and using the method of Economic Order Quantity (EOQ) to find out

how many raw materials such as fertilizer, pesticides, and seeds must be ordered to be

minimising the total cost of the inventory and determine the optimal purchases.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 168: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

156

PENDAHULUAN

Subsektor hortikultura terdiri dari sayuran,

buah-buahan, florikultura serta tanaman obat.

Komoditas agribisnis florikultura meliputi tanaman

hias daun,bunga potong, serta bunga pot. Saat ini

bunga potong merupakan bunga yang paling banyak

digunakan seperti untuk acara pernikahan,

keagamaan, kelahiran, ucapan selamat sampai acara

kematian. Fungsi tanaman hias tersebut tidak hanya

itu, banyak industri yang memanfaatkan tanaman

hias sebagai bahan makanan, minuman, pewangi,

maupun kerajinan tertentu. Hal tersebut menjadikan

bisnis tanaman hias merupakan salah satu bisnis yang

mempunyai peluang usaha yang cukup menjanjikan.

Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan

produksi di setiap tahunnya.

Tabel 1. Luas panen, Produksi, dan Produktivitas

Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2011-

2013

Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura

(2014).

Salah satu jenis bunga yang sudah dikenal

dan banyak disukai oleh konsumen adalah mawar

(Rosa hybrida L.). Bunga mawar merupakan salah

satu komoditas agribisnis florikultura yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek usaha

yang cerah. Hal ini dikarenakan permintaan yang

banyak, baik pasar dalam maupun luar negeri. Mawar

juga merupakan salah satu bunga yang paling banyak

diminati masyarakat karena penampilannya yang

cantik dan indah serta aromanya yang harum dan

khas, sehingga dijuluki queen of flower. Bunga

mawar dapat dibudidayakan menjadi bunga potong,

bunga pot, dan tanaman penghias taman. Bagi para

produsen bunga potong mawar di Indonesia, bunga

potong mawar merupakan salah satu pilihan utama

untuk ditanam, selain karena merupakan salah satu

primadona bunga potong, bunga mawar bersifat

universal yang diminati oleh semua kalangan baik

remaja, dewasa dan orang tua.

Jawa Barat merupakan sentra produksi

bunga mawar potong. Salah satu daerah yang

memiliki luas panen dan produksi terbesar di Jawa

Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten

Bandung Barat menyumbangkan sebanyak 72,8

persen dari total produksi mawar di Jawa Barat.

Kecamatan parongpong merupakan kecamatan di

Kabupaten Bandung Barat yang paling banyak dalam

memproduksi bunga mawar, hal tersebut dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Luas Tanam, Panen, dan Produksi Tanaman

Mawar Menurut Kecamatan Tahun 2012

No Kecamatan Luas

Tanam

(m2)

Luas

Panen

(m2)

Produksi

(kg)

1 Ngamprah 14.500 6.500 25.000

2 Parongpong 160.000 10.000 2.980.250

3 Lembang 165.000 80.000 1.340.000

4 Cisarua 95.000 60.000 1.700.000

Total 434.500 156.500 6.045.250

Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)

Salah satu daerah di Kecamatan Parongpong

yang memiliki kemajuan usaha tanaman hias dan

merupakan sentra tanaman hias adalah Desa

Cihideung. Desa Cihideung merupakan ikon pusat

agrowisata yang menampilkan pemandangan

berbagai jenis bunga yang asri dan indah. Desa

Cihideung dengan keunggulan tanaman hiasnya,

menjadikan desa tersebut disebut sebagai β€œKawasan

Wisata Bunga”. Bunga mawar merupakan tanaman

hias yang menjadi komoditi utama dan primadona di

daerah tersebut. Mawar memiliki bentuk bunga yang

indah dan nilai jual yang tinggi. Bunga mawar dari

Desa Cihideung sangat populer di kalangan

masyarakat dan bagi turis domestik maupun

mancanegara.

Perusahaan yang membudidayakan bunga

mawar potong di desa tersebut adalah Rosalia

Flowers. Rosalia Flowers adalah perusahaan yang

mempunyai lahan paling besar disekitar tempat

tersebut dengan luas sekitar 3.850 m2. Bunga mawar

potong sebagai komoditas unggulan di Rosalia

Flowers. Target produksi perusahaan yaitu sebesar

1400 kodi per bulan, namun hasilnya berfluktuasi di

setiap bulannya. Hal tersebut dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel 3. Produksi Bunga Mawar Potong di Rosalia

Flowers Tahun 2015

No. Bulan Target

(Kodi)

Produksi

(Kodi)

Persentase

Grade

(A,B) (C)

1 Januari

2015

1400 1610 70% 30%

2 Februari

2015

1400 1359 68% 32%

3 Maret

2015

1400 1641 70% 30%

4 April

2015

1400 1710 80% 20%

5 Mei 2015 1400 1418 82% 18%

Sumber : Rosalia Flowers (2015)

Fluktuasi yang terjadi diakibatkan oleh

proses perencanaan dan pemeliharaan dalam

kegiatan produksi yang kurang optimal. Menurut

Kountur (2004) risiko produksi sangat penting untuk

Tahun

2011 2012 2013

Luas Panen

(m2)

27.182.451 28.275.476 30.087.328

Produksi

(tangkai)

513.102.12

4

643.334.448 718.557.786

Produktivitas

(tangkai/m2)

191,27 210,94 228,12

Page 169: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

157

diperhatikan karena pengelolaan risiko yang tidak

baik akan menimbulkan kerugian yang sangat besar

dan menyebabkan terganggunya keseluruhan

aktivitas bisnis pada suatu perusahaan atau usahatani.

Adanya fluktuasi produksi yang terjadi di Rosalia

Flowers menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji

dan menjadi alasan untuk melakukan penelitian.

Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis dan

mengelola risiko produksi dalam usahatani bunga

mawar potong di Rosalia Flowers, sehingga dapat

diambil keputusan yang tepat untuk dapat

menghindari atau mengurangi risiko yang dihadapi

oleh perusahaan tersebut.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Bunga mawar merupakan salah satu

komoditas agribisnis florikultura yang mempunyai

nilai ekonomis tinggi dan prospek usaha yang cerah.

Rosalia Flowers merupakan salah satu usaha dalam

bidang agribisnis yang memproduksi bunga mawar

potong. Dalam proses produksinya Rosalia Flowers

dihadapkan pada kendala fluktuasi produksi

komoditas bunga mawar potong sehingga

mengindikasikan adanya risiko produksi. Penelitian

ini menggunakan fishbone untuk mengindentifikasi

sumber-sumber yang menyebabkan risiko produksi.

Penilaian risiko menggunakan FMEA (Failure Mode

and Effect Analysis) dengan memberikan nilai/score

pada setiap sumber risiko tersebut untuk selanjutnya

diberikan strategi pengendalian risiko yang baik

untuk Rosalia Flowers. Kerangka pemikiran dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah

metode kualitatif deskriptif. Untuk mengindentifikasi

sumber-sumber risiko menggunakan Fishbone dan

menganalisis risiko produksi bunga mawar potong

menggunakan analisis FMEA (Failure Mode and

Effect Analysis). Teknik penelitian yang digunakan

adalah studi kasus. Penentuan sumber data/informasi

Page 170: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

158

dilakukan secara sengaja (Purposive) dengan

pertimbangan karena anggapan bahwa informan

dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan

yang menjadi sumber informasi mengenai penelitian

ini.

Data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer dan data sekunder. Teknik

pengumpulan data diperoleh dari observasi,

wawancara, dan studi pustaka. Data primer diperoleh

melalui pengamatan langsung, pencatatan, dan

wawancara dengan pemilik perusahaan dan manajer

bagian produksi di Rosalia Flowers. Pemilik

perusahaan dipilih karena dianggap paling

mengetahui tentang kondisi perusahaan pada saat ini

dengan menyuluruh, dan manajer produksi dipilih

karena dianggap mengetahui informasi mengenai

penyebab-penyebab adanya risiko produksi pada

perusahaan dengan menyeluruh. Data sekunder

diperoleh dari berbagai sumber data penunjang,

seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen

Pertanian, perpustakaan serta situs-situs yang terkait

dengan penelitian dan literatur yang relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Rosalia Flowers terletak di Desa Cihideung,

Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Secara geografis Desa Cihideung berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian tersebut cocok untuk budidaya bunga mawar potong. Suhu udara rata-rata di Rosalia Flowers adalah 20-35oC. Banyaknya curah hujan adalah sebesar 3.500-5.000 mm per tahun, dengan kelembaban udara 84,63%. Bunga mawar memerlukan penyinaran matahari 5-6 jam setiap harinya. Berdasarkan besarnya suhu, curah hujan dan kelembaban udara di lokasi tersebut kurang baik untuk budidaya mawar potong karena memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi.

Sementara kelembaban udara yang dibutuhkan untuk budidaya mawar adalah 70-80%, suhu 16-300C, dan curah hujan berkisar 1500-3000 mm/tahun (Dirjen Hortikultura).

Rosalia Flowers memiliki luas lahan sebesar 3.850m2 yang terdiri dari tiga greenhouse dan lahan untuk pembibitan. Status lahan yang dimiliki adalah lahan milik pribadi sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa lahan. Modal yang digunakan untuk memulai usahatani bunga mawar adalah modal pribadi sebesar Rp 350.000.000.

Struktur organisasi di Rosalia Flowers dipimpin oleh pimpinan utama yang membawahi bagian produksi, bagian pemasaran, dan bagian keuangan. Bagian produksi dan pemasaran masing-masing memiliki tenaga kerja yang turut membantu. Pembagian tugas dan wewenang di Rosalia Flowers dilakukan secara informal. Sehingga meskipun terdapat tugas masing-masing, namun semua bagian di Rosalia Flowers ikut turun langsung dalam kegiatan bisnis, khususnya membantu pada proses produksi. IDENTIFIKASI RISIKO

Sumber risiko merupakan sumber utama penyebab terjadinya suatu kegagalan. Indikasi adanya risiko produksi ditunjukkan oleh adanya fluktuasi atau variasi jumlah produksi ataupun produktivitas yang dihasilkan (Ercilia, 2013). Hal ini tampak terlihat jelas pada jumlah produksi di Rosalia Flowers yang mengalami fluktuasi. Sumber risiko produksi di Rosalia Flowers diidentifikasi menggunakan diagram sebab-akibat (fishbone diagram). Bagian dari kepala ikan yang berada disebelah kanan adalah masalah atau topik yang akan di cari tahu penyebabnya. Pada bagian tulang ikan (garis diagonal) berisi kategori yang bisa berpengaruh terhadap risiko produksi yang merupakan sebab utama. Garis-garis kecil dari garis diagonal adalah sub-sebab.

Gambar 2. Fish Bone Diagram

Page 171: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

159

Sumber risiko produksi di Rosalia Flowers

diidentifikasi berdasarkan faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal di kategorikan menjadi

manusia, metode, manajemen dan material.

Sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi

lingkungan.

Manusia merupakan faktor internal yang

berperan penting dalam proses produksi. Kendala

yang terjadi di Rosalia Flowers adalah kedisiplinan,

kelalaian, dan keterampilan tenaga kerja.

Kurang sesuainya lingkungan tumbuh bunga

mawar potong di Rosalia Flowers juga menjadi

risiko, seperti suhu udara, kelembaban, dan curah

hujan yang tinggi. Hal tersebut juga akan memicu

terhadap pertumbuhan hama dan penyakit yang

menyerang bunga mawar potong di Rosalia Flowers.

Selain itu angin kencang yang sering terjadi di

Rosalia Flowers menjadi risiko karena akan merusak

fasilitas-fasilitas produksi, seperti greenhouse.

Kategori metode merupakan sumber risiko

internal dari risiko produksi. Risiko yang dihadapi

yaitu ketidaksesuaian jumlah pestisida dengan

kebutuhan tanaman, karena pestisida yang diberikan

dicampurkan secara keseluruhan tidak sesuai dengan

kebutuhan dari tanaman tersebut. Selain itu SOP

yang diterapkan tidak terdokumentasikan dengan

baik, dan ketidaksesuaian jumlah air yang diberikan

karena perusahaan tersebut kesulitan untuk

mendapatkan air.

Kategori material merupakan faktor internal

dari proses produksi. Greenhouse merupakan salah

satu fasilitas produksi di Rosalia Flowers. Apabila

greenhouse mengalami kerusakan maka fungsi

greenhouse untuk menghindari dan memanipulasi

kondisi lingkungan akan terganggu, sehingga akan

menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman. Material

harus dikontrol secara kontinu agar proses produksi

menjadi optimal. Kerusakan greenhouse diakibatkan

oleh kurangnya pemeliharaan dan perlakuan

pembaharuan secara berkala. Selain itu Saluran air

yang tersumbat sering terjadi di Rosalia Flowers hal

tersebut akan berisiko bagi proses produksi

khususnya apabila sedang musim penghujan dengan

curah hujan yang tinggi. Saluran tersebut tersumbat

oleh sisa-sisa daun yang rontok atau sisa-sisa daun

dari proses pemangkasan yang tidak terbuang.

Kendala Rosalia Flowers dalam hal

manajemen yaitu pemberian tugas dan wewenang

yang kurang jelas, sehingga semua pekerjaan yang

ada dikerjakan oleh seluruh bagian yang ada di

Rosalia Flowers, sehingga tidak dapat fokus dengan

tugas dan wewenangnya masing-masing. Pengadaan

input produksi yang tidak terencana juga menjadi

risiko, hal tersebut meliputi tidak adanya jadwal

khusus untuk pembelian input produksi sehingga

biaya untuk membeli input produksi menjadi lebih

tinggi. Selain itu perencanaan jadwal tanam yang

kurang baik, masa produktif untuk bunga mawar

adalah sekitar 3-5 tahun dan harus segera dilakukan

penggantian dengan tanaman mawar yang baru,

namun Rosalia Flowers sudah 6 tahun tidak

melakukan pergantian terhadap bunga mawar

tersebut.

ANALISIS RISIKO

Setelah dilakukan identifikasi risiko dengan

menggunakan fishbone diagram, maka langkah

selanjutnya adalah melakukan analisis risiko

menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect

Analysis). Pada Tabel 4 terdapat jumlah skor untuk

kejadian, skor keparahan, dan skor kemampuan

mendeteksi yang berisikan permasalahan penyebab

kegagalan yang merupakan risiko produksi bunga

mawar potong di Rosalia flowers.

Tabel 4. Skor Kejadian, Skor Keparahan, dan Skor

Deteksi pada Risiko Produksi Bunga

Mawar Potong di Rosalia Flowers

Setelah dilakukan rincian mengenai risiko

produksi di Rosalia Flowers, kemudian dilakukan

analisis mengenai beberapa risiko yang memiliki

nilai RPN dan RSV yang tertinggi. RPN dihitung

untuk mengetahui nilai prioritas risiko yang harus

segera ditangani. RSV dihitung untuk mengetahui

nilai penyebab risiko yang paling tinggi di Rosalia

Flowers. Risiko yang memiliki nilai RPN paling

tinggi merupakan penyebab yang berpengaruh

terhadap seluruh aktivitas yang terjadi di Rosalia

Flowers

Page 172: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

160

Tabel 5. Risk Priority Number (RPN) Tertinggi dari

Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di

Rosalia Flowers

Tabel 6. Risk Score Value (RSV) Tertinggi dari

Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di

Rosalia Flowers

Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6

memperlihatkan perhitungan RPN dengan nilai

tertinggi yang berarti merupakan permasalahan yang

memiliki prioritas lebih besar untuk segera dilakukan

penanganan dan RSV dengan nilai tertinggi

merupakan penyebab paling tinggi terjadinya suatu

kegagalan. RPN dan RSV yang paling tinggi adalah

serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan

penyakit akan menimbulkan banyak kerugian bagi

perusahaan. Kerugian yang dialami perusahaan mulai

dari gagal panen, jumlah produksi menurun,

kerusakan pada fisik sehingga akan terjadi penurunan

nilai ekonomis dari bunga tersebut, dan pertumbuhan

tanaman akan terganggu.

Berdasarkan nilai RPN dan RSV yang

tertinggi kemudian langkah selanjutya adalah

membuat Grafik Pareto. Analisis Pareto digunakan

untuk memperjelas risiko mana yang menjadi

prioritas dan penyebab risiko paling tinggi yang

menyebabkan terjadinya kegagalan. Grafik Pareto

untuk Risk Priority Number (RPN) dan Risk Score

Value (RSV) adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Grafik Pareto Risk Priority Number

Gambar 4. Grafik Pareto Risk Score Value

Menurut prinsip pareto dengan aturan 80/20

menggambarkan bahwa 80% kejadian risiko yang

muncul berasal dari 20% agen risiko yang

menyebabkannya. Oleh karena itu berdasarkan grafik

pareto dari nilai RPN dan RSV akan ditentukan risiko

terpilih yang termasuk kedalam 20% penyebab utama

munculnya risiko yang terjadi adalah serangan hama

penyakit dan SOP yang tidak terdokumentasikan

dengan baik.

Berdasarkan pada grafik pareto yang telah

ditentukan, nilai kritis untuk Risk Priority Number

(RPN) adalah 357 dan nilai kritis untuk Risk Score

Value (RSV) adalah 56. Sehingga dibuat diagram

pencar (scatter plot) untuk Risk Priority Number

(RPN) dan Risk Score Value (RSV) dengan tujuan

untuk menemukan persimpangan kedua nilai kritis.

Risiko dengan nilai tertinggi dapat segera diambil

pencegahannya terlebih dahulu. Diagram pencar

dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 173: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

161

Gambar 5. Pengelompokkan Risiko Berdasarkan RPN dan RSV

Daerah kanan atas merupakan risiko dengan

kemungkinan terjadi dan keparahan yang besar serta

kemampuan dekteksi yang rendah karena memiliki

RPN dan RSV yang tinggi, sehingga merupakan

risiko mendesak yang memerlukan penanganan

secepatnya. Pada daerah tersebut terdapat empat

risiko yang terdiri dari serangan hama dan penyakit,

SOP tidak terdokumentasikan dengan baik, kelalaian

tenaga kerja dalam proses pasca panen, dan

pengadaan bahan baku yang tidak terencana. Risiko-

risiko tersebut merupakan yang paling kritis karena

memiliki dampak yang besar terhadap kelangsungan

produksi bunga mawar potong di Rosalia Flowers.

STRATEGI MITIGASI RISIKO

Strategi mitigasi untuk mengurangi serangan

hama dan penyakit dengan melakukan perbaikan dan

pemeliharaan/perawatan greenhouse secara berkala,

penambahan fasilitas dan melengkapi greenhouse

dengan pemasangan indikator kelembaban, dan alat

pengukur suhu.

Strategi mitigasi untuk SOP yang tidak

terdokumentasikan dengan baik adalah dengan

membuat dokumentasi SOP budidaya mawar potong

di Rosalia Flowers. Dengan mendokumentasikan

SOP dengan baik akan menghasilkan kualitas dan

teknis yang konsisten dan sesuai dengan kebutuhan

perusahaan untuk tetap bersaing di dunia bisnis

bunga mawar potong.

Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian

tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan

mengadakan program pelatihan untuk karyawan.

Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan

kuantitas dan kualitas produktivitas, membentuk

sikap, loyalitas, dan kerja sama yang lebih

menguntungkan, memenuhi kebutuhan perencanaan

sumber daya manusia, mengurangi frekuensi dan

biaya kecelakaan kerja, dan membantu karyawan

dalam peningkatan dan pengembangan pribadi.

Strategi mitigasi untuk masalah pengadaan

input produksi yang tidak terencana adalah dengan

melakukan peramalan permintaan dengan melihat

pola data kebutuhan bahan baku produksi,

sebelumnya dilakukan penjadwalan tanam untuk

bunga mawar potong. Selanjutnya menggunakan

metode Economic Order Quantity (EOQ) untuk

mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti bibit,

pupuk, dan pestisida yang harus dipesan, metode ini

dapat meminimumkan total biaya persediaan dan

menentukan pembelian yang optimal.

PENUTUP

Sumber-sumber risiko yang terdapat di

Rosalia Flowers dilihat dari faktor eksternal dan

internal. Faktor internal di kategorikan menjadi

manusia, metode, manajemen dan material.

Sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi

lingkungan. Berdasarkan diagram pencar terdapat

risiko yang harus diprioritaskan yaitu serangan hama

dan penyakit, SOP tidak terdokumentasikan dengan

baik sebesar, kelalaian tenaga kerja pada saat proses

pasca panen, dan pengadaan bahan baku produksi

tidak terencana.

Strategi mitigasi risiko eksternal yaitu

serangan hama dan penyakit dengan melakukan

perawatan dan pemeliharaan greenhouse secara

berkala, serta penambahan fasilitas dan melengkapi

greenhouse dengan pemasangan indikator

kelembaban, dan alat pengukur suhu. Strategi

mitigasi untuk SOP tidak terdokumentasikan dengan

baik adalah dengan membuat dokumentasi SOP

untuk budidaya bunga mawar potong di Rosalia

Flowers, dengan mendokumentasikan SOP dengan

baik pihak perusahaan akan memiliki perencanaan

Page 174: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

162

yang lebih strategis yaitu efisiensi pada setiap proses

kerja dalam setiap unit kerja di perusahaan Rosalia

Flowers.

Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian

tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan

mengadakan program pelatihan untuk karyawan,

dengan menggunakan metode on the job training.

Strategi mitigasi untuk pengadaan bahan baku

produksi yang tidak terencana adalah dengan

membuat jadwal tanam bunga mawar, membuat

peramalan permintaan untuk mengetahui jumlah

kebutuhan bahan baku, dan menggunakan metode

Economic Order Quantity (EOQ) untuk mengetahui

berapa jumlah bahan baku seperti pupuk, pestisida,

dan bibit yang harus dipesan agar dapat

meminimumkan total biaya persediaan dan

menentukan pembelian yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik Produksi

Hortikultura. http://bps.go.id (diakses

pada tanggal 5 Desember 2014).

Darmawi, Herman. (2006). Manajemen Risiko.

Jakarta: Bumi Aksara.

Fahmi, Irham.(2010). Manajemen Risiko: Teori,

Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta.

Harwood, J.; Heifner, R.; coble, K.; Perry, J. and

Somwaru, A. Managing Risk in

Farming:Concepts,Research, and

Analysis. USA.

Kountur R. (2004). Manajemen Risiko: Memahami

Cara Mengelola Risiko Operasional

Perusahaan. Jakarta: PPM.

Situngkir, Ercilia. (2013). Analisis Sumber-Sumber

Risiko pada Proses Produksi Jamur

Tiram Putih. Institut Pertanian Bogor.

Page 175: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

163

Pelaksanaan Program Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA)

Cireundeu (Studi Kasus di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi

Selatan, Kota Cimahi)

Implementation of Food Security Tourism Village Cireundeu (Case Study at Cireundeu

Village, South Cimahi Sub District, Cimahi District

Dessy Silviani1, Anne Charina2

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21

A B S T R A K

Kata Kunci: Cireundeu,

DEWITAPA,

program,

kendala,

wisata

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi program terlaksana dan tidak

terlaksana pada DEWITAPA Cireundeu. Selain itu, akan dicari kendala dari

pengembangan DEWITAPA Cireundeu. Desain penelitian yang digunakan adalah

kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Informan ditentukan dengan sengaja

(purposive). Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data

menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan

program DEWITAPA terdiri dari program terlaksana dan tidak terlaksana. Program

yang terlaksana antara lain sosialisasi dan FGD DEWITAPA, peningkatan

kelembagaan lokal serta penguatan nilai tambah produk olahan dan kewirausahaan.

Program tidak terlaksana antara lain pola kemitraan, pemetaan wilayah, penataan seni,

promosi dan launching DEWITAPA. Program yang tidak sepenuhnya terlaksana

berdampak pada Cireundeu yang belum siap menjadi sebuah kawasan wisata. Kendala

yang dihadapi oleh Cireundeu sebagai sebuah kawasan wisata antara lain sarana dan

prasarana, keterlibatan masyarakat sekitar, promosi yang belum dilakukan, serta

keterlibatan pihak swasta maupun pemerintah.

ABSTRACT

Keywords: Cireundeu,

DEWITAPA,

program,

constraints,

tourism

The objective of this research to identify programs implemented and not implemented

in DEWITAPA Cireundeu. Moreover, it will look for the constraints of development

DEWITAPA Cireundeu.. The research design used qualitative method specifically the

case study technique. This research was conducted in Cireundeu Village, South Cimahi

Sub District, Cimahi District. Informants were selected purposively. The data used

primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis.The

result showed that the implementation of the program consists of courses DEWITAPA

implemented and not implemented. The program has been completed including

socialization and FGD DEWITAPA, local institutional improvement and

strengthening value-added processed products and entrepreneurship. The program

was not implemented, among others, a partnership, regional mapping, the

arrangement of art, promotion and launching DEWITAPA. Programs that do not fully

materialize impact on Cireundeu not yet ready to become a tourism area. Constraints

faced by Cireundeu as a tourism area among other facilities and infrastructure,

involvement of local communities, the promotion of which has not been done, and the

involvement of the private sector and government.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 176: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

164

PENDAHULUAN

Salah satu komoditas pangan yang mempunyai

arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia adalah

beras, karena beras merupakan makanan pokok

hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Hampir

97% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras

sebagai makanan pokok utama. Hal ini

mengindikasikan ketergantungan terhadap beras

sangat tinggi (Louhenapessy, dkk.2010).

Konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia

tahun 2013 mencapai 97,4 kg/kapita/tahun.

Meskipun cenderung mengalami penurunan jumlah

rata-rata konsumsi dari tahun ke tahun, namun

Indonesia masih merupakan negara dengan tingkat

konsumsi beras tertinggi pertama di Asia. Konsumsi

Beras di Korea mencapai 40 kg/perkapita/tahun,

Jepang 50 kg/kapita/thn, Malaysia 80 kg/kapita/thn

dan Thailand 70 kg/kapita/thn. Tingginya angka

konsumsi beras nasional dikarenakan beras

merupakan budaya pangan yang sudah mendarah

daging di kalangan masyarakat Indonesia. Pada

Tabel 1 disajikan data perkembangan konsumsi

bahan makanan yang mengandung beras di rumah

tangga.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Bahan Makanan

yang Mengandung Beras di Indonesia Tahun Konsumsi Pertumbu

han (kg/kapita/

minggu)

(kg/kapita/

tahun)

2002 2,0656 107,7057

2003 2,0789 108,4018 0,65

2004 2,0520 106,9991 -1,29

2005 2,0190 105,2770 -1,61

2006 1,9945 103,9980 -1,21

2007 1,9188 100,0507 -3,80

2008 2,0116 104,8909 4,84

2009 1,9603 102,2146 -2,55

2010 1,9321 100,7453 -1,44

2011 1,9728 102,8661 2,11

2012 1,8727 97,6455 -5,08

2013 1,8680 97,4045 -0,25

Sumber: SUSENAS, BPS diolah Pusdatin (2013)

Image atau citra bahwa pangan hanya

disimbolkan dengan beras semata merupakan inti

permasalahannya. Masyarakat Indonesia dominan

mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Disisi

lain masih banyak sumber panganyang berpotensi

menggantikan beras. Contohjagung, kentang, ubi

jalar, sagu, dan masih banyak alternatif lainnya yang

nilai gizinya tidak kalah dengan beras. Pola konsumsi

beras yang tinggi dibandingkan pangan alternatif lain

disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu

beberapa macam Bahan Pangan Pokok 2010-2013

Sumber: Badan Pusat Statistika (2013)

Kampung Adat Cireundeu dihuni oleh

masyarakat yang menganut kepercayaan sunda

wiwitan yang masih menjalankan tradisi leluhur.

Budaya dan kesenian sunda masih dilestarikan oleh

masyarakat Cireundeu hingga sekarang. Masyarakat

adat menjalankan tradisi leluhur dalam kehidupan

sehari-hari tidak terkecuali pada sistem pertanian.

Berbagai ritual dilakukan pada saat setiap kegiatan

agraris dari mulai penanaman singkong hingga

kegiatan pasca panen.

Masyarakat Cireundeu memenuhi kebutuhan

pangan masyarakatnya dari hasil budidaya singkong

dengan memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya.

Hasil panen singkong tersebut digunakan untuk

memenuhi lumbung singkong tiap keluarga terlebih

dahulu, jika ada sisa barulah dijual keluar.

Masyarakat tidak menjual singkong dalam bentuk

segar namun diolah dulu menjadi RASI, tepung aci

maupun opak. Kebutuhan masyarakat akan singkong

selalu terpenuhi bahkan masyarakat bisa menjual

olahan singkong tersebut ke luar daerah. Hal tersebut

menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai Desa

Mandiri Pangan.

Kampung Adat Cireundeu memiliki banyak

keunikan yang dapat dijadikan sebagai daya tarik

masyarakat luar untuk berkunjung ke Cireundeu.

Keunikan Kampung Adat Cireundeu yang berbeda

dari desa lainnya antara lain: budaya mengkonsumsi

singkong yang dilakukan sejak 1918, merupakan

Desa Mandiri Pangan dengan komoditas songkong,

dihuni oleh masyarakat adat sunda wiwitan yang

masih melestarikan tradisi leluhur, memiliki atraksi

kesenian sunda yang bernilai seni tinggi, serta

terdapat beberapa olahan yang berpotensi untuk

dikembangkan.

Beragam keunikan yang ada di Kampung

Cireundeu belum banyak dikenal oleh masyarakat

luar Cireundeu. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran dari

pihak luar untuk membantu mengembangkan potensi

tersebut serta memberitahukannya kepada

masyarakat luas. Sehingga peran Pemerintah Kota

dibutuhkan dalam pengembangan serta

penyebarluasan keunikan yang dimiliki oleh

Cireundeu.

Jenis Bahan

Makanan Sat. 2010 2011 2012 2013

Beras lokal/ketan

Kg 1,733 1,721 1,675 1,642

Jagung Basah

dengan kulit

Kg 0,018 0,012 0,011 0,011

Jagung

pocelan/

pipilan

Kg 0,030 0,023 0,029 0,025

Ketela Pohon Kg 0,097 0,111 0,069 0,067

Ketela

Rambat Kg 0,044 0,055 0,045 0,045

Page 177: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

165

Pemerintah Kota Cimahi melihat keunikan

Cireundeu sehingga Cireundeu diarahkan menjadi

sebuah kawasan wisata. Melihat potensi dan

keunikan Cireundeu Pemkot Cimahi menjadikan

Cireundeu sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan.

Cireundeu belum siap untuk dijadikan sebuah

kawasan wisata, sehingga dibutuhkan program

pembangunan dan pengembangan daerah untuk

dijadikan kawasan wisata. Pemkot Cimahi

melakukan perencanaan program kerja DEWITAPA

yang kemudian diaplikasikan di Cireundeu.

Pembangunan Desa Wisata Ketahanan Pangan

merupakan program kerja 3 tahun yang mulai

dilakukan pada tahun 2010. Program DEWITAPA

Cireundeu melibatkan beberapa pihak antara lain

Pemkot Cimahi, UNPAD, UNJANI serta masyarakat

Cireundeu. Pada pelaksanaanya, program kerja

DEWITAPA terdapat beberapa program yang tidak

terlaksana.

Setelah adanya pengembangan kawasan

wisata, kini Cireundeu bisa menjadi salah satu

alternatif untuk melakukan wisata budaya. Wisata

budaya merupakan salah satu wisata yang cukup

menarik, karena budaya dari setiap daerah memiliki

ciri khas sendiri.Tabel 3 di bawah ini menunjukan

desa wisata budaya berupa kampung adat di Jawa

Barat.

Tabel 1.Wisata Kampung Adat di Jawa Barat

No. Nama Kampung Adat Lokasi

1 Kampug Urug Kab. Bogor

2 Kampung Ciptagelar Kab. Sukabumi

3 Kampung Adat Mahmud Kab. Cipatik

4 Kampung Pulo Kab. Garut

5 Kampung Naga Kab. Tasik

6 Kampung Kuta Kab. Ciamis

7 Kampung Dukuh Kab. Garut

8 Kampung Gede Kasepuhan

Ciptagelar

Kab. Sukabumi

9 Kampung Adat Sirna Resmi Kab. Sukabumi

10 Kampung Adat Cireundeu Kab. Cimahi

Sumber: disparbud.jabarprov.go.id

Beragam kampung adat yang tersebar di Jawa

Barat memiliki keunikan atau potensi sendiri.

Beberapa diantaranya seperti Kampung Naga yang

mempertahankan bentuk bangunan rumah yang

terbuat dari kayu, bambu, atap dan ijuk serta

mempertahankan salah satu tradisi yaitu Upacara

Gusaran.2 Kampung Adat Ciptagelar yang masih

mempertahankan tradisi terutama upacara adat pada

saat menanam padi.3 Sedangkan Kampung Adat

Cireundeu memiliki keunikan yaitu budaya

masyarakat yang mengolah dan menjadikan

2 Maulana, Rizal. 2015. Keunikan Wisata Kampung Naga

di Tasikmalaya. log.viva.co.id (Diakses pada Maret 2015).

singkong sebagai makanan pokok serta

masyarakatnya yang kental dengan budaya sunda.

Kampung Adat Cireundeu dikenal dengan

budaya mengkonsumsi beras singkong (RASI) yang

masih dipertahankan dan harus disebarluaskan

pemanfaatannya. Selain Kampung Adat Cireundeu,

beberapa Desa Wisata yang memiliki potensi dari

segi pangan lokal antara lain dapat dilihat pada Tabel

4.

Tabel 2. Desa Wisata yang Memiliki Potensi Pangan

Lokal

Desa Wisata Lokasi Potensi

Pangan Pangan Olahan

Desa Wisata

Rumah Dome Sleman

Ketela

pohon

Brownies ketela, tape singkong,

keripik belut

daun singkong,

dll

Desa Wisata

Pagergunung Ngablak

Magelang Ketela,

Jagung

Balok ketela,

marning jagung, ceriping ketela

Desa Wisata Jelok

Gunung Kidul

Jantung pisang

Gudeg jantung pisang

Sumber: Diolah Penulis (2015)

Program pengembangan DEWITAPA yang

belum tunas pun akan berdampak pada kurang

optimalnya pengembangan Cireundeu menjadi

sebuah kawasan wisata. Sehinga akan diteliti lebih

lanjut kendala pengembangan Cireundeu sebagai

kawasan wisata yang dapat menjadi acuan untuk

pembenahan Kampung Adat Cireundeu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Adat

Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

Barat. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif

dan teknik penelitian studi kasus.

Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara,

observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Penelitian

ini menggunakan analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tahapan Pembentukan DEWITAPA Program DEWITAPA dilakukan sejak tahun

2010 dengan pelaksanaan program dibagi kedalam 3

tahapan. Kegiatan pada pelaksanaan tahun ke satu

difokuskan pada kegiatan Pemberdayaan Masyarakat

di beberapa bidang sebagai hasil dari identifikasi

masalah yang diperoleh pada kegiatan Forum Grup

Diskusi. Kegiatan utama yang dilakukan di kampung

ini terutama menyangkut peningkatan nilai tambah

ekonomi terhadap pangan pokok masyarakat, yaitu

Rasi. Berikut merupakan tahapan program

pembangunan DEWITAPA:

3 Anonim. 2012. Masyarakat Adat Desa Ciptagelar.

wacananusantara.org (Diakses pada Maret 2012).

Page 178: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

166

Gambar 1. Tahapan Program DEWITAPA

Cireundeu

Program yang terlaksana maupun ada program

yang tidak terlaksana. Dapat dilihat pada Tabel 15

program yang terlaksana dan program tidak

terlaksana pada pelaksanaan pembangunan

DEWITAPA Cireundeu:

Tabel 3. Status Program Pembangunan

DEWITAPA No. Program Status

1. Sosialisasi dan FGD

DEWITAPA

Terlaksana

2. Peningkatan Kelembagaan

Lokal

Terlaksana

3. Penguatan nilai tambah produk

olahan dan kewirausahaan

Terlaksana

4. Pola Kemitraan Tidak

Terlaksana

5. Pemetaan Wilayah Tidak

Terlaksana

6. Penataan Seni Tidak

Terlaksana

7. Promosi dan Launching

DEWITAPA

Tidak

Terlaksana

Sumber: Database Pemkot Cimahi (2015)

Program Terlaksana

1. Kegiatan Sosialisasi dan FGD

Kegiatan sosialisasi dan FGD ini dimaksudkan

untuk memberikan penjelasan segala sesuatu

mengenai program Desa Ketahanan Pangan di

Kampung Cireundeu. Hasil kegiatan Sosialisasi dan

FGD menunjukan bahwa respon masyarakat cukup

tinggi terhadap program DEWITAPA.

2. Peningkatan Kelembagaan Lokal untuk

DEWITAPA Cireundeu

Dalam kegiatan ini dikembangkan kelompok-

kelompok usaha yang terdiri dari kelompok

pengolahan pangan, budidaya ikan, ternak, dan

pertanian. Kelembagaan dalam bentuk kelompok

lokal pada DEWITAPA diharapkan dapat melakukan

aktivitas dengan menjalankan fungsi manajemen,

sehingga tujuan kelompok dapat diraih. Jenis

kegiatan yang dilakukan antara lain berupa pelatihan

atau workshop dan pendampingan.

Peningkatan kelembagaan lokal bidang

pangan memiliki tema Diversifikasi Pangan yang

Berasal dari Rasi. Pelatihan pengolahan pangan

berbahan Rasi diberikan dalam bentuk buku resep

yang berisi resep produk yang dibuat dengan bahan

dasar Rasi. Hasil nya ialah lebih dari 10 jenis produk

inovasi telah dihasilkan dengan produk unggulan egg

roll. Ada juga pelatihan pengemasan dilakukan untuk

memperbaiki kemasan produk yang sudah ada dan

membuat design yang lebih menarik.

Aktivitas yang dilakukan dalam peningkatan

kelembagaan bidang peternakan antara lain ialah

peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam

bidang breeding, feeding, dan management budidaya

kambing perah PE serta peningkatan hasil panen.

Namun budidaya kambing perah PE tidak terlepas

dari kendala, dimana kendala utamanya ialah soal

pakan ternak.

Program peningkatan kelembagaan lokal

khususnya bidang pangan melahirkan 1 kelompok

unit usaha tambahan dan menciptakan beberapa

inovasi produk olahan singkong. Sekitar 10 jenis

produk inovasi telah dihasilkan dan Egg Roll kini

menjadi produk unggulan di daerah ini. Program

peningkatan kelembagaan lokal juga memberikan

inovasi produk antara lain dendeng dari kulit

singkong. Hal tersebut tentu memberikan nilai

tambah singkong, sehingga semua bagian singkong

kini bisa dimanfaatkan dan memberikan keuntungan

tambahan.

Selain itu, dengan adanya pelatihan kemasan

memberikan keuntungan kepada wirausaha

masyarakat sekitar yang menjual produk olahan

singkong. Dengan adanya design kemasan yang

menarik, memberikan nilai tambah pada produk.

Dengan adanya kemasan meningkatkan angka

penjualan serta sebagai promosi produk olahan khas

Cireundeu.

Program peningkatan kelembagaan lokal

dinilai masyarakat sudah cukup baik. Hal tersebut

dilihat dari manfaat yang telah dirasakan setelah

TAHAP 1

Identifikasi Masalah

Pembentukan Kelompok

Transfer Tekhnologi

Pola Kemitraan/ Jejaring

Penguatan nilai tambah

produk olahan dan

kewirausahaan

TAHAP 2 Pemetaan wilayah dan

Site Plan kampung wisata

Penguatan kepastian

hukum

Penataan seni-budaya

Penyusunan Grand Design

DEWITAPA

Merancang Penyediaan

Komponen Wisata

TAHAP 3

Komersialisasi dan Promosi

Home Industry

Promosi DEWITAPA

Uji Coba Kunjungan Wisata

ke DEWITAPA

Perbaikan dan Perancangan

Kesinambungan

DEWITAPA

Launching DEWITAPA

PROGRAM

DEWITAPA

Page 179: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

167

adanya program tersebut. Kini terdapat 3 unit usaha

olahan pangan yang aktif membuat dan memasarkan

produk olahan singkong sehingga produk khas

Cireundeu bisa dikenal oleh masyarakat diluar daerah

Cireundeu, memperluas lapangan kerja serta

meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.

3. Peningkatan Usaha dan Entrepreuneurship

Para pelaku usaha mikro pada umumnya tidak

mengetahui secara rinci biaya produksi dari produk

yang dihasilkan. Sehingga permasalahan yang

muncul adalah sulit menentukan harga jual serta

keuntungan/ laba dari usaha yang mereka jalankan.

Oleh karena itu, dibutuhkan pemberian materi serta

pelatihan keterampilan dalam penentuan harga pokok

produk perlu diberikan pada para pelaku usaha mikro

sebagai dasar penentuan harga jual produk. Peserta

pelatihan adalah para pengusaha mikro yang

berjumlah 25 orang. Adapun materi yang

disampaikan adalah sebagai berikut:

Pengertian Harga Pokok Produk

Manfaat Harga Pokok Produk

Unsur biaya pembentuk Harga Pokok

Produk

Contoh sederhana perhitungan Harga

Pokok Produk

Praktik menghitung Harga Pokok Produk

Pelatihan penentuan harga pokok produk

sangat bermanfaat bagi para pelaku mikro di

Cireundeu. Sekarang para pelaku usaha mikro sudah

mulai membuat pembukuan sederhana usaha mereka.

Bagi pelaku usaha mikro di bidang olahan singkong

penentuan HPP cukup bermanfaat dikarenakan harga

bahan baku yaitu tepung aci kini cukup tinggi yaitu

Rp. 8.000,- berbeda dengan dulu sekitar 3 tahun yang

lalu yaitu Rp. 5.000,-. Kenaikan harga tersebut tentu

memberikan peningkatan pada biaya produksi

sehingga pelaku usaha harus pintar dalam

menentukan harga jual.

4. Pembangunan Salad Park

Pembangunan Salad Park dilakukan dalam

bentuk pembangunan green house pertanian organic

berukuran Β± 6m x 3m untuk memproduksi benih/

bibit lalaban, dan tanaman pangan non beras lainnya.

Tanaman tersebut terdiri dari seledri, pakcoy dan

tanaman salad lain yang ditanam didalam poly bag.

Beberapa keluarga bertugas unt

uk menyiram 10 tanaman yang ada di poly bag.

Program ini bertujuan untuk menambah daya tarik

terhadap pengunjung namun pada kenyataanya

dilapang mengalami banyak kendala. Kendala yang

dialami menurut persepsi salah seorang masyarakat

ialah tidak adanya pendampingan yang berkelanjutan

sehingga menyulitkan masyarakat dalam

pemeliharaan tanaman. Selain itu, faktor cuaca juga

menyebabkan banyaknya tanaman yang mati

sehingga masyarakat kurang merasakan manfaat dari

program pembuatan salad park tersebut.

1.2 Program Tidak Terlaksana

Program-program pada tahap 1 telah

sepenuhnya dilakukan. Pada tahap 2 dan 3 banyak

program yang tidak dilakukan. Berikut ini program-

program DEWITAPA yang tidak dilaksanakan:

1. Kegiatan Pemetaan Lahan dan Sosial

2. Menjalin Kemitraan dengan Salah Satu Toko Kue

3. Kegiatan Promosi dan Launching DEWITAPA

Kegiatan tersebut diatas belum atau tidak

dilaksanakan dikarenakan kebutuhan dana yang

diperlukan untuk melakukan program DEWITAPA

mengalami kendala. Namun dana yang seharusnya

direncanakan untuk program yang tidak

dilaksanakan, dialihfungsikan untuk kegiatan lain,

diantaranya: (a) Pelatihan pengemasan produk

olahan pangan, (b) menunjang kegiatan tahun ke-2

yaitu membangun salad park, dalam bentuk

pembangunan green house pertanian organik untuk

memproduksi benih/ bibit lalaban, dan tanaman

pangan non beras lainnya.

Kegiatan penataan wilayah serta promosi dan

launching merupakan kegiatan yang penting namun

tidak dilakukan. Meskipun tidak dilaksanakannya

program promosi dan launching, masyarakat luas

sudah mengenal Cireundeu sebagai desa

wisata.Banyak masyarakat terutama dari luar Jawa

Barat yang datang untuk belajar mengenal budaya

masyarakat Cireundeu yaitu mengkonsumsi

singkong dan melihat atraksi kesenian sunda.

1. Kendala Pengembangan DEWITAPA Cireundeu

Pengembangan Cireundeu sebagai sebuah

kawasan wisata dinilai belum optimal. Hal tersebut

dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang

masih fluktuatif, sarana dan prasarana yang masih

minim serta serta pengelolaan desa wisata masih

belum terstruktur. Hal tersebut sungguh disayangkan

mengingat Cireundeu memiliki peluang untuk

menjadi sebuah kawasan pariwisata yang

berkembang. Peluang tersebut diantaranya :

1. Wisata edukasi yang ditawarkan cocok untuk

target pasar sekolah-sekolah yang ada di daerah

Cimahi maupun di luar Cimahi. Tinggal

bagaimana masyarakat menyampaikan edukasi

semenarik mungkin sehingga memberikan

kesan kepada pengunjung.

2. Adanya dorongan dari pemerintah pusat untuk

belajar mengenal budaya keunikan daerah

sehingga dapat menjadi motivasi tersendiri bagi

Cireundeuuntuk melakukan promosi.

3. Adanya kasus β€œBeras plastik” dan isu

β€œIndonesia akan rawan pangan” pada tahun

2025 sehingga semakin mendorong masyarakat

untuk tidak bergantung pada beras dan budaya

Page 180: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

168

Cireundeu akan semakin menarik untuk kita

pelajari dan dipahami.

4. Sudah banyaknya pengunjung yang datang ke

Cireundeu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat

Cireundeu sebagai ajang promosi agar

Cireundeu lebih dikenal oleh masyarakat luas.

Pada kenyataan di lapangan, Cireundeu masih

memiliki kendala dalam pengembangan sebagai

kawasan wisata diantaranya antara lain :

1. Sarana dan prasarana yang belum memadai di

Cireundeu untuk dijadikan kawasan wisata.

Tempat khusus untuk penginapan seperti kos-

kosan belum tersedia serta fasilitas umum

seperti toilet umum belum memadai.

2. Masyarakat belum seluruhnya ikut berkontribusi

dalam kegiatan pariwisata sehingga pengelolaan

masih belum terstruktur dengan baik. Dapat

dilihat dari belum ada pembagian tugas yang

jelas antar SDM, belum adanya paketan-paketan

wisata yang disuguhkan, dll.

3. Belum adanya upaya promosi yang dilakukan

oleh masyarakat sehingga pengunjung yang

datang fluktuatif.

4. Kurangnya keterlibatan pihak swasta maupun

pemerintah sehingga pembangunan kawasan

pariwisata dinilai belum optimal.

SIMPULAN

1. Program DEWITAPA pada kenyataan di

lapangan hanya efektif pada tahun pertama

dilihat dari program pada tahap 1 hampir semua

program terlaksana. Tahun kedua dan ketiga

terdapat beberapa program yang tidak terlaksana

seperti: pemetaan wilayah, menjalin kemitraan

dengan pihak luar, serta promosi dan launching.

2. Kendala yang dihadapi Cireundeu dalam

pengembangan sebagai kawasan pariwisata

antara lain : sarana prasana, keterlibatan

masyarakat sekitar, promosi yang belum

dilakukan, serta keterlibatan pihak swasta

maupun pemerintah.

SARAN

1. Cireundeu memiliki keunikan serta potensi yang

cukup banyak sehingga dibutuhkan keterlibatan

pihak luar yang lebih paham terhadap pariwisata

untuk melakukan pembangunan dan

pengembangan potensi yang ada.

2. Diperlukan tindak lanjut mengenai program

DEWITAPA ini oleh pihak yang berwenang

sehingga program kerja DEWITAPA dapat

sepenuhnya terlaksana

3. Perlu adanya kesadaran dari seluruh masyarakat

untuk bekerjasama dalam seluruh aktivitas

pariwisata di Cireundeu sehingga tidak

menimbulkan kecemburuan sosial di

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ali. 2010. Kearifan Lokal. Jurnal

Multicultural dan Multiregional Volume 9

Tahun 2010.

Azhari, Delima Hasri. 2008. Ketahanan dan

Stabilitas Pasokan, Permintaan dan Harga

Komoditas Pangan. Analisis Kebijakan

Pertanian Volume 6 No.2 Bulan Juli 2008.

Halaman 114-139.

Badan Ketahanan Pangan. 2006. Direktori

Pengembangan Konsumsi Pangan Pusat

Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta:

Departemen Pertanian

Budi, Cahyo Utomo dkk. Dampak Pengembangan

Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial di

Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Budiarto,Tri. 2013. Sebuah Pengantar untuk Anda

tentang Diversifikasi Pangan.

www.kompasiana.com(Diakses 13 Januari

2015)

Hadari, Nawawi. 2003. Manajemen Sumber Daya

Manusia Untuk Bisnis yang Kompetitif.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Halimi. 2013. Kearifan Lokal dalam Upaya

Ketahanan Pangan di Kampung Adat Urug

Bogor.Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif.

Hidayah, Nurul. 2012. Kesiapan Psikologis

Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan

Menghadapi Diversifikasi Pangan Pokok.

Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

Hurmayeni, Nia. 2014. Dampak Objek Wisata

Pemandian Bukit Jariang Punai Pada

Masyarakat Sekitar Kampung Baliak Koto

Kenagarian Pelangai Kaciak, Kecamatan

Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan.

STKIP PGRI Padang.

Irianto. 2011. Dampak Pariwisata Terhadap

Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di

Gili Trawangan Kecamatan Pemenang

Kabupaten Lombok Utara. Jurnal Bisnis dan

Kewirausahaan. Vol. 7 No.3.

Irianingsih, Lilis.2014.One Day No Rice Alat untuk

Diversifikasi Pangan.

www.bkpd.jabarprov.go.id (Diakses 13

Januari 2015).

Lastinawati, Endang. 2010. Diversifikasi Pangan

dalam Mencapai Ketahanan Pangan. Dalam

AgronobiS, Vol.2 No.4, Sepetember 2010.

Page 181: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

169

Martiani, D. 2005. Pengembangan Diversifikasi

Konsumsi Pangan. Bappenas.Jakarta.

Nugratama, Sony. 2013. Faktor Penghambat

Perkembangan Objek Wisata. Region Vol 5

No 1 Maret 2013.

Nurhaedar, Jafar. 2012. Diversifikasi Konsumsi dan

Ketahanan Pangan Masyarakat. Universitas

Hassanudin.

Nurochsyam, Mikka Wildha. 2011. Kearifan Lokal

di Tengah Modernisasi. Kementrian

Kebudayaan dan Pariwisata Republik

Indonesia 2011.Halaman 86. Jakarta.

Oka, Yoeti. 1997. Perencanaan dan Pengembangan

Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita

Pitana, I Gde dan Putu G Gayatri. 2007. Sosiologi

Pariwisata.Yogyakarta: Andi.

Pitana I,Gde dan I Ketut surya diarta.2009.

Pengantar Ilmu Pariwisata.

Yogyakarta:Andi Yogyakarta

Rachman, Handewi P.S. dan Mewa Arini. 2008.

Penganekaragaman Konsumsi Pangan di

Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk

Kebijakan Program. Analisis Kebijakan

Pertanian Volume 6 No.2 Bulan Juli 2008. Hal

140-154.

Scarvada, A.J., Tatiana Bouzdine-Chameeva, Susan

Mayer Goldstein, Julie M. Hays, Arthur V.

Hill.2004. A Review of the Causal Mapping

Practice and Reaserch Literature. Second

World Conference on POM and 15th Annual

POM Conference, Cancun, Mexico, April 30

– May 3, 2004

Silverman, Steven N. Dan Lori L.Silverma. 1994.

Using Total Quality Tool for Marketing

Research: A Qualitative Approach for

Collecting, Organizing, and Analyzing

Verbal Response Data.

Sudiarta, Made. 2005. Dampak fisik, Ekonomi, Sosial

Budaya terhadap Pembangunan Pariwisata

di Desa Serangan Denpasar Bali. Jurnal

Manajemen dan Pariwisata Vol. 4 No. 2,

2005.

Sugiyono.2011. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Suhardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi

Konsumsi Pangan dalam Rangka Ketahanan

Pangan. Disampaikan pada Widya Karya

Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta.

Sulihantu.2013.Diversifikasi Pangan Harus di

Genjot.http://www.neraca.co.id//(Diakses

tanggal 13 Januari 2015)

Supadi. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan:

Masalah dan Upaya Mengatasinya.Icased

Working Paper No. 45 Bulan Maret 2004.

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Pertanian.Bogor

Waluya, Jaka. 2013. Dampak Pengembangan

Pariwisata. Jurnal Region Volume V No. 1

Maret 2013. Universitas Islam 45 Bekasi.

Page 182: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

170

Page 183: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

171

Analisis Pendapatan Pelaku Agroindustri Keripik Tempe di Desa Buluh Rampai

Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu

Income analysis of entrepreneur agroindustry crispy chips tempe in Buluh Rampai

village Seberida district Indragiri Hulu Regency

Shorea Khaswarina1)

1Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru

A B S T R A K

Kata Kunci: keripik tempe,

agroindustri,

biaya produksi,

pendapatan,

efisiensi

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis biaya produksi dan pendapatan

pengusaha keripik tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten

Indragiri Hulu. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan April 2014 hingga

Juli 2014. Penelitian dilakukan dengan metode sensus pada 3 orang pengusaha

agroindustri keripik tempe di Desa Buluh Rampai. Pengambilan sampel dengan

mengambil pengusaha dengan menggunakan metode sensus pada agroindustri keripik

tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu . Analisis

data yang digunakan berupa analisis biaya dan pendapatan. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pada bulan Mei 2014 total biaya terbesar dikeluarkan oleh

pengusaha 2 yaitu sebesar Rp.23.012.109. penerimaan yang diperoleh pengusaha 1

terbesar yaitu Rp.45.216.004,24 dan keuntungan yang diperoleh pengusaha 1 juga

terbesar yaitu Rp.22.631.270,11. Usaha agroindustri keripik tempe sudah efisien

karena nilai R/C rasio terbesar oleh pengusaha 1 lebih dari satu yaitu sebesar 2,00

berarti bahwa setiap Rp.1.00 biaya yang dikeluarkan dalam usaha agroindustri keripik

tempe akan memberikan pendapatan sebesar Rp.2,00.

ABSTRACT

Keywords:

chrispy chips tempe,

agroindustry,

production cost,

income,

efficiency

The purpose of this study were to determine the amount of production costs, and

income of the entrepreneur crispy chips tempe in Buluh Rampai village, Seberida

district Indragiri Hulu Regency. This research was for 3 month conducted from April

2014 until July 2014. The data collection technique was census method to agroindustry

entrepreneur of 3 entrepreneur crispy chips tempe in Buluh Rampai village. The

analysis scopes of this research were costs and revenue. The results of this research

showed that at Mei 2014 the total cost crispy chips tempe greatest by second

entreprenur was Rp. 23.012.109. Revenue greatest to first entrepreneur was

Rp.45.216.004,24 and profit to first entrepreneur by greatest was Rp.22.631.270,11.

Profitability value meant that crispy chips tempe was a profitable industry because the

first entrepreneur the value of profitability be more than one Ratio of R/C value is 2,00

meant that every Rp.1,00 costs in the production process of crispy chips tempe will

provide Rp.2,00 income.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 184: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

172

PENDAHULUAN

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki

beberapa sektor yang menjadi andalan yang mampu

menopang kehidupan masyarakat. Salah satu sektor

yang menjadi andalan tersebut adalah sektor

pertanian. Pengembangan sektor pertanian ini

selanjutnya tidak hanya untuk meningkatkan jumlah

produksi saja, tetapi juga meningkatkan kualitas

hasil, meningkatkan penyerapan tenaga kerja,

meningkatkan keterampilan pengusaha serta dapat

meningkatkan pendapatan produksi dari produk

tersebut yaitu dengan cara melakukan usaha

agroindustri.

Agroindustri merupakan industri pengolahan

yang berbahan baku utama dari produk pertanian.

Agroindustri berperan sebagai penghubung antara

sektor pertanian dan sektor industri, yang dalam

pengembangannya tidak terlepas dari dukungan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Selain itu sektor ini

merupakan salah satu subsistem agribisnis yang

memiliki peranan besar dalam meningkatkan

pendapatan, penyerapan tenaga kerja lebih banyak,

memberikan dampak positif terhadap sektor lain,

serta meningkatkan devisa negara.

Salah satu produk agroindustri yang

keberadaannya cukup populer dan bersahabat dengan

kondisi perekonomian kebanyakan kalangan

masyarakat yaitu agroindustri keripik tempe yang

berbahan baku kedelai yang telah diolah menjadi

tempe. Keripik tempe merupakan makanan ringan

yang banyak disukai kalangan masyarakat. Keripik

tempe ini merupakan oleh-oleh khas dari daerah

Belilas khususnya Desa Buluh Rampai, selain itu

keripik tempe ini biasanya dijadikan cemilan dan

sesajian acara. Oleh karena itu keripik tempe ini

selalu digemari masyarakat karena kepraktisannya,

gizi yang tinggi, mengandung banyak vitamin dan

protein serta harga yang relatif terjangkau oleh

masyarakat.

Agroindustri keripik tempe memiliki potensi

yang seharusnya layak untuk dikembangkan karena

memiliki keunggulan dan memiliki prospek yang

baik untuk kedepannya. Namun agroindustri yang

ada masih berskala kecil dan rumah tangga dengan

penggunaan teknologi yang sederhana serta

kepemilikan modal yang terbatas sehingga

produksinya belum memadai secara kualitas maupun

kuantitas. Berdasarkan kondisi lokasi penelitian

maka perlu dilakukan penelitian dengan fokus

permasalahan pada besarnya biaya produksi serta

pendapatan yang diterima pengusaha keripik tempe.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis

biaya produksi dan pendapatan yang diterima oleh

pengusaha keripik tempe di Desa Buluh Rampai

Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu.

KERANGKA TEORI

Tempe

Tempe merupakan bahan makanan yang sangat

digemari, walaupun dahulu pernah diremehkan

sebagai bahan makanan untuk kaum miskin. Selain

merupakan makanan sehari-hari sebagai pengganti

ikan atau daging, tempe juga digunakan sebagai

makanan selingan pada waktu-waktu tertentu dalam

bentuk tempe goreng dan keripik tempe. Selain

harganya relatif murah, proses pembuatannya

sederhana dan mudah, kandungan gizinya pun cukup

tinggi.

Tempe merupakan makanan tradisional yang

berpotensi sebagai makanan fungsional. Beberapa

khasiat tempe bagi kesehatan antara lain memberikan

pengaruh hipokolesterolemik, antidiare khususnya

karena bakteri E. coli enteropatogenik dan

antioksidan. Beberapa jenis peptide yang terdapat

pada tempe telah diketahui merupakan senyawa

bioaktif yang mempunyai fungsi penting bagi

kesehatan, misalnya untuk meningkatkan penyerapan

kalsium dan zat besi, sebagai senyawa anti-

trombotik, menurunkan kolesterol, meracuni sel

tumor, dan sebagainya (Cahyadi, 2007).

Keripik tempe merupakan makanan ringan yang

dapat dikonsumsi semua kalangan masyarakat

diantaranya digunakan sebagai pelengkap berbagai

kegiatan pada waktu luang seperti menyaksikan

siaran televisi maupun berbincang-bincang dengan

keluarga maupun rekan dan teman. Selain itu keripik

tempe merupakan biasa dijadikan oleh-oleh dari

Belilas khususnya Desa Buluh Rampai.

Keripik tempe merupakan makanan yang

terbuat dari bahan baku kedelai yang telah diolah

menjadi tempe dan beberapa bahan penunjang

lainnya. Keripik tempe adalah jenis makanan ringan

hasil olahan tempe. Kadar protein keripik tempe

cukup tinggi yaitu berkisar antara 23%-25%. Keripik

ini dikenal dengan nama keripik tempe karena

berasal dari bahan baku tempe.

Menurut Soekartawi (2000), bahwa agroindustri

dapat diartikan dua hal, yaitu: Pertama, agroindustri

adalah industri yang berbahan baku utama dari

produk pertanian dengan menekankan pada

manajemen pengolahan makanan dalam suatu

perusahaan produk olahan dimana minimal 20% dari

jumlah bahan baku yang digunakan adalah dari

pertanian. Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan

pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan

pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan

tersebut mencapai tahapan pembangunan industri.

Agroindustri

Menurut Soekartawi (2000), bahwa agroindustri itu

penting karena (1) dapat meningkatkan nilai tambah,

Page 185: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

173

(2) dapat meningkatkan kualitas hasil, (3)

meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (4)

meningkatkan keterampilan pengusaha dan (5)

meningkatkan pendapatan produksi. Menurut

Saragih dan Yasin dalam Yenti (2005), bahwa

agroindustri dapat dijadikan sebagai suatu sektor

yang memimpin dalam pembangunan jangka panjang

tahap kedua. Selanjutnya diungkapkan juga beberapa

kegiatan agroindustri yang meliputi:(1) industri

pengolahan hasil pertanian dalam bentuk setengah

jadi menjadi produk akhir; (2) industri penanganan

hasil produksi pertanian segar dan sebagainya;

(3) industri pengadaan alat dan mesin pertanian serta

agroindustri lainnya.

Menurut Soekartawi (2001) dalam Praptiwi

(2015), industri skala rumah tangga dan industri kecil

yang mengolah hasil pertanian mempunyai peranan

penting yaitu: a) Meningkatkan nilai tambah, b)

Meningkatkan kualitas kerja,c) Meningkatkan

penyerapan tenaga kerja, d) Meningkatkan

keterampilan produsen, e) Meningkatkan pendapatan

produsen.

Aspek Teknis pada Proses Produksi Tempe 1, 2,

dan 3

Pengusaha 1, 2, dan 3 menyediakan bahan baku

pembuatan keripik tempe sendiri, yaitu dengan

membuat dan mengolah tempe sendiri. Adapun

tahapan dalam pembuatan tempe yang dilakukan oleh

pengusaha 1, 2, dan 3 adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tempe

pengusaha 1.

Pembeda pembuatan tempe antara pengusaha 1, 2

dan 3 adalah pada pengusaha 1 dilakukan kegiatan

pemukulan sehingga tempe yang dihasilkan

berbentuk lembaran. Sedangkan pengusaha 2 dan 3

tidak melakukan kegiatan pemukulan sehingga

tempe yang dihasilkan tebal yang kemudian

dilakukan pengirisan untuk menghasilkan tempe

yang tipis pada pembuatan keripik tempe.

Aspek Teknis Proses Produksi Keripik Tempe

Pengusaha 1, 2, dan 3

pengusaha 2 dan 3 secara manual melakukan

pengirisan tempe dengan menggunakan pisau.

Kemudian irisan-irisan tempe ini digoreng sehingga

menjadi keripik tempe. Adapun tahapan dalam

pembuatan keripik tempe yang dilakukan oleh

pengusaha adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Tahapan Pembuatan Keripik Tempe 1, 2

dan 3

Bahan Baku dan Bahan Penunjang pada Pembuatan

Tempe

Bahan baku pembuatan tempe adalah kedelai

impor. Harga bahan baku yang digunakan yaitu harga

bulan Mei 2014. Jumlah produksi tergantung

banyaknya permintaan konsumen dan kebutuhan

bahan baku tergantung produksi yang dilakukan

pengusaha. Pengusaha tidak mengalami kesulitan

dalam mendapatkan bahan baku karena pengusaha

menyimpan atau membuat stok bahan baku. Tabel 1

menunjukkan bahwa pengusaha 2 paling banyak

menggunakan bahan baku yaitu 360 kg pada bulan

Mei 2014. Hal ini dikarenakan banyaknya kebutuhan

bahan baku yang diperlukan dalam satu kali

produksi. Semua produk yang dihasilkan dalam satu

kali produksi merupakan pesanan pelanggan dan

selalu habis dalam satu hari. Walaupun bahan baku

pengusaha 2 terbanyak dibanding pengusaha 1 dan 3

namun tidak menjadikan Pengusaha 2 memproduksi

tempe terbanyak.

Kedelai

Perebusan (30 menit)

Pembelahan biji kedelai (15 menit)

Penirisan dan pencucian 1 (15 menit)

Air bersih

Pemisahan (10 menit)

Pengukusan (30 menit)

Pencucian II (10 menit)

Penirisan dan pendinginan (+ 300C)

(15 menit)

Inokulasi (5 menit)

Pembungkusan (5 menit)

Pengadukan (10 menit)

Pemukulan (1 menit)

Fermentasi t=250-30

0 C (20 jam)

Plastik

Ragi tempe

Air

Tempe

Perendaman (10 jam)

Tempe

Pemotongan dan pembuatan adonan

Penggorengan

Pengemasan

Page 186: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

174

Bahan Baku dan Bahan Penunjang pada

Agroindustri Keripik Tempe pengusaha 1, 2 dan

3

Bahan baku dalam pembuatan keripik tempe adalah

tempe yang diukur dalam satuan kilogram.

Banyaknya kebutuhan bahan baku tergantung

banyaknya produksi yang dilakukan dalam membuat

tempe serta banyaknya permintaan konsumen.

Pengusaha tidak mengalami kesulitan dalam

mendapatkan bahan karena pengusaha melakukan

produksi tempe sendiri sebagai bahan baku.

Tabel 1. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penunjang dan Produksi pada Pembuatan Tempe oleh Pengusaha 1,

2, dan 3 pada Bulan Mei 2014

1

Penggunaan Bahan Baku pada

Pembuatan Tempe

Intensitas Produksi (kali/bln) 24

Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 342

Harga (Rp) 10.000

Total Biaya(Rp) 3.420.000

Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi,

Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada

Pembuatan Tempe

Total (Kg/Bln) 71,52

Harga (Rp) 95.000

Total Biaya (Rp/Bln) 1.649.600

Produksi tempe

Produksi (Kg/bln) 513

Harga Jual (Rp) 20.000

Nilai (Rp) 10.260.000

2

Penggunaan Bahan Baku pada

Pembuatan Tempe

Intensitas Produksi (kali/bln) 30

Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 360

Harga (Rp) 10.000

Total Biaya(Rp) 3.600.000

Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi,

Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada

Pembuatan Tempe

Total (Kg/Bln) 12,45

Harga (Rp) 372.000

Total Biaya (Rp/Bln) 531.000

Produksi tempe

Produksi (Kg/bln) 504

Harga Jual (Rp) 20.000

Nilai (Rp) 10.080.000

3

Penggunaan Bahan Baku pada

Pembuatan Tempe

Intensitas Produksi (kali/bln) 30

Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 300

Harga (Rp) 10.000

Total Biaya(Rp) 3.000.000

Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi,

Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada

Pembuatan Tempe

Total (Kg/Bln) 10,35

Harga (Rp) 642.000

Total Biaya (Rp/Bln) 582.300

Produksi tempe

Produksi (Kg/bln) 420

Harga Jual (Rp) 20.000

Nilai (Rp) 8.400.000

Tabel 2. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penunjang dan Produksi pada Pembuatan Keripik Tempe oleh

Pengusaha 1, 2, dan 3 pada Bulan Mei 2014

1

Bahan Baku (Tempe)

Intensitas Produksi (kali/bln) 24

Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 513

Harga (Rp) 20.000

Total Biaya(Rp) 10.260.000

Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur,

Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan

Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu,

Gas, Label)

Total (Kg/Bln) 1.075,2

Harga (Rp) 129.000

Total Biaya (Rp/PP) 433.530

Total Biaya (Rp/Bln) 10.404.720

Produksi tempe

Produksi (Kg/bln) 989,10

Harga Jual (Rp) 45.714,29

Nilai (Rp) 45.216.004,24

2 Bahan Baku (Tempe)

Intensitas Produksi (kali/bln) 30

Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 504

Harga (Rp) 20.000

Total Biaya(Rp) 10.080.000

Total (Kg/Bln) 947,17

Page 187: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

175

Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur,

Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan

Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu,

Gas, Label)

Harga (Rp) 395.000

Total Biaya (Rp/PP) 299.721

Total Biaya (Rp/Bln) 8.991.642

Produksi tempe

Produksi (Kg/bln) 878,08

Harga Jual (Rp) 35.714,29

Nilai (Rp) 31.360.003,76

3

Bahan Baku (Tempe)

Intensitas Produksi (kali/bln) 30

Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 420

Harga (Rp) 20.000

Total Biaya(Rp) 8.400.000

Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur,

Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan

Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu,

Gas, Label)

Total (Kg/Bln) 671,17

Harga (Rp) 654.000

Total Biaya (Rp/PP) 233.035,71

Total Biaya (Rp/Bln) 6.991.071,43

Produksi tempe

Produksi (Kg/bln) 776,53

Harga Jual (Rp) 32.857,14

Nilai (Rp) 25.514.554,92

Tabel 2 menunjukkan bahwa pengusaha 1

menggunakan bahan baku terbanyak sehingga

banyak pula menggunakan bahan penunjang. Harga

yang ditetapkan oleh pengusaha 1 juga paling tinggi.

Hal ini karena biaya produksi yang digunakan oleh

pengusaha 1 terbesar, selain itu pengusaha telah

memiliki izin usaha dan memiliki label sehingga

dapat menaikkan harga jual.

Tenaga Kerja

Agroindustri keripik tempe menggunakan

Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan

menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK)

dengan satuan Hari Orang Kerja (HOK). Upah untuk

satu HOK yang dilakukan pengusaha adalah dengan

pembayaran harian yaitu sebesar Rp. 30.000.

Tabel 3. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada

Pembuatan Tempe Pengusaha 1, 2 dan 3

Pengusaha Kegiatan TKDK TKLK

HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp)

1 Pembuatan Tempe 0,29 15.000 - -

Pemukulan - - 3,57 15.000

2 Pembuatan Tempe 1 30.000 - -

3 Pembuatan Tempe 1 30.000 - -

Tabel 3 menunjukkan bahwa semua pengusaha

dalam penggunaan tenaga kerja untuk pembuatan

tempe menggunakan Tenaga Kerja Dalam Keluarga

(TKDK) dengan HOK pengusaha 1 sebanyak 0,29

HOK per proses produksi dengan biaya Rp.15.000.

Penggunaan

HOK pengusaha 1 hanya 0,29 dikarenakan

pembuatan tempe hanya membutuhkan waktu 2 jam

kerja sehingga 2 jam dari 7 jam kerja yaitu 0,29

HOK. HOK pengusaha 2 dan 3 sebanyak 1 HOK per

proses produksi dengan biaya Rp.30.000.

Tabel 4. Total Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada Agroindustri

Keripik Tempe Pada Bulan Mei 2014

Pengusaha Kegiatan TKDK TKLK

HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp)

1

Pemotongan 0,86 15.000 - -

Penggorengan - - 3,43 15.000

Pengemasan - - 1 15.000

2 Pengirisan 1 30.000 - -

Page 188: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

176

Pengusaha Kegiatan TKDK TKLK

HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp)

Penggorengan 1 30.000 - -

Pengemasan 1 30.000 - -

3

Pengirisan 1 30.000 - -

Penggorengan 1 30.000 - -

Pengemasan 1 30.000 - -

Analisis Usaha Tempe

Analisis usaha pembuatan tempe menggunakan

empat analisis data. Pertama, analisis biaya,

pendapatan kotor, dan pendapatan bersih untuk

mengetahui keuntungan yang diperoleh oleh

pengusaha. Kedua, analisis Return Cost Ratio (RCR)

untuk mengetahui efisiensi usaha agroindustri

pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengusaha.

Ketiga, analisis titik balik modal atau Break Event

Point (BEP) untuk mengetahui kondisi hasil usaha

yang diperoleh sama dengan modal yang

dikeluarkan. Keempat, analisis nilai tambah untuk

mengetahui nilai tambah bahan baku kedelai yang

diolah menjadi tempe.

Pendapatan Bersih

Pendapatan bersih adalah jumlah keuntungan

atau laba yang diperoleh dari selisih antara

pendapatan kotor dengan total biaya produksi. Biaya

produksi terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap.

Biaya tetap meliputi biaya penyusutan peralatan dan

biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK).

Sedangkan biaya variabel meliputi biaya bahan baku,

biaya bahan penunjang dan biaya Tenaga Kerja Luar

Keluarga (TKLK)

Tabel 5. Pendapatan Bersih Efisiensi Usaha Pada Pembuatan Tempe Pada Bulan Mei 2014 No Uraian Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3

1 Biaya Variabel (Rp) 6.335.314 4.131.000,00 3.582.300,00

A Biaya Bahan Baku (Rp) 3.420.000 3.600.000 3.000.000

B Biaya Bahan Penunjang (Rp) 1.629.600 531.000,00 582.300,00

C Biaya TKLK 1.285.714 - -

2 Biaya Tetap (Rp) 115.268,76 902.320,51 902.638,89

A Biaya Penyusutan (Rp) 12.411,62 2.320,51 2.638,89

B Biaya TKDK (Rp) 102.857 900.000 900.000

3 Total Biaya Produksi (Rp) 6.450.583,04 5.033.320,51 4.484.938,89

4 Produksi (Kg) 513 504 420

5 Harga (Rp) 20.000 20.000 20.000

6 Pendapatan Kotor (Rp) 10.260.000 10.080.000 8.400.000

7 Pendapatan Bersih (Rp) 3.809.416,96 5.046.679,49 3.915.061,11

8 Return Cost Ratio (RCR) 1,59 2,00 1,87

9 BEP Produksi 15,07 76,44 78,69

10 BEP Biaya 301.338,13 1.528.894,06 1.573.814,61

Tabel 5 menunjukkan biaya produksi untuk

biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1, hal ini

dikarenakan besarnya biaya bahan penunjang yang

digunakan oleh pengusaha 1 sehingga menyebabkan

biaya veriabel pengusaha 1 lebih besar jika dibanding

dengan pengusaha 2 dan 3. Biaya tetap terbesar oleh

pengusaha 3, hal ini dikarenakan besarnya biaya

penyusutan dan biaya TKDK. Biaya penyusutan

pengusaha 1 terbesar dibanding dengan pengusaha 2

dan 3 namun biaya TKDK pengusaha 1 terkecil

karena pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK

dalam melakukan proses produksi pembuatan tempe

sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan

biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2

dan 3.

Pendapatan kotor yang diperoleh pengusaha 1

terbesar yaitu sebesar Rp.10.260.000 hal ini

dikarenakan produksi yang dilakukan pengusaha 1

terbesar dibanding pengusaha lainnya. Pendapatan

kotor diperoleh dari hasil kali produksi pengusaha

dengan harga produk. Sedangkan pendapatan bersih

pengusaha 2 terbesar yaitu sebesar Rp.5.046.679,49

yang diperoleh dari pengurangan pendapatan kotor

dengan total biaya produksi. Hal ini karena

pengusaha 1 menggunakan biaya produksi lebih kecil

dibanding dengan pengusaha 1 sehingga

mempengaruhi perolehan pengusaha 2 dan

menyebabkan pengusaha 2 memiliki pendapatan

bersih terbesar.

Tingkat produksi menentukan pendapatan pada

pembuatan tempe. Semakin tinggi tingkat produksi

Page 189: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

177

maka semakin tinggi pula pendapatan yang

diperoleh. Tingkat produksi tergantung pada

permintaan konsumen terhadap permintaan akan

keripik tempe karena tempe ini merupakan bahan

baku utama dalam pembuatan keripik tempe.

Efisiensi Usaha

Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa

usaha pembuatan tempe oleh pengusaha 2

mendapatkan nilai RCR terbesar jika dibanding

dengan pengusaha 1 dan 3 yaitu 2,00. Artinya setiap

Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan

pendapatan Rp.2,00 dan pendapatan bersih sebesar

Rp.1,00. Ini menunjukan bahwa usaha pembuatan

tempe menguntungkan untuk terus diusahakan.

Analisis BEP merupakan analisis balik modal

dimana pada saat kondisi tersebut usaha yang

dijalankan tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga

tidak mengalami kerugian (impas). Analisis BEP

terbaik dilakukan oleh pengusaha 1 karena pada saat

pengusaha memproduksi tempe sebesar 15,07 kg dan

pada saat mengeluarkan biaya sebesar Rp.301.338,13

pengusaha 1 telah memperoleh titik impas.

Analisis Usaha Agroindustri Keripik Tempe

Pendapatan Bersih

Tabel 6 menunjukkan biaya produksi untuk

biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1 yaitu

Rp.22.259.006. Hal ini dikarenakan besarnya biaya

bahan baku yang digunakan oleh pengusaha 1

sehingga menyebabkan biaya variabel pengusaha 1

lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3.

Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini

dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya

TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar

dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya

TKDK pengusaha 1 terkecil.

Tabel 6. Pendapatan Bersih Efisiensi Usaha Pada Agroindustri Keripik Tempe Pada Bulan Mei 2014

No Uraian Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3

1 Biaya Variabel (Rp) 22.259.006 20.309.143 16.328.571

A Biaya Bahan Baku (Rp) 10.260.000 10.080.000 8.400.000

B Biaya Bahan Penunjang (Rp) 10.404.720 10.229.143 7.928.571

C Biaya TKLK 1.594.286 - -

2 Biaya Tetap (Rp) 325.728 2.702.966,35 2.702.854,17

A Biaya Penyusutan (Rp) 17.156,99 2.966,35 2.854,17

B Biaya TKDK (Rp) 308.571 2.700.000 2.700.000

3 Total Biaya Produksi (Rp) 22.584.734 23.012.109 19.031.426

4 Produksi (Kg) 989,10 878,08 776,53

5 Harga (Rp) 45.714,29 35.714,29 32.857,14

6 Pendapatan Kotor (Rp) 45.216.004,24 31.360.003,76 25.514.554,92

7 Pendapatan Bersih (Rp) 22.631.270,11 8.347.894,56 6.483.129,33

8 Return Cost Ratio (RCR) 2,00 1,36 1,34

9 BEP Produksi 14,03 214,77 228,48

10 BEP Biaya 641.553,27 7.670.446,27 7.507.320,38

Hal ini dikarenakan pengusaha 1 banyak

menggunakan TKLK dalam melakukan proses

produksi pembuatan tempe sehingga menyebabkan

pengusaha 1 menggunakan biaya tetap terkecil

dibanding dengan pengusaha 2 dan 3.

Pendapatan Bersih

Tabel 6 menunjukkan biaya produksi untuk

biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1 yaitu

Rp.22.259.006. Hal ini dikarenakan besarnya biaya

bahan baku yang digunakan oleh pengusaha 1

sehingga menyebabkan biaya variabel pengusaha 1

lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3.

Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini

dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya

TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar

dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya

TKDK pengusaha 1 terkecil. Hal ini dikarenakan

pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK dalam

melakukan proses produksi pembuatan tempe

sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan

biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2

dan 3.

Pendapatan kotor yang diperoleh pengusaha 1

terbesar yaitu sebesar Rp.45.216.004,24 hal ini

dikarenakan harga yang ditetapkan pengusaha

terbesar dibanding pengusaha lainnya. Penetapan

harga tertinggi merupakan strategi yang dilakukan

oleh pengusaha 1 guna memperoleh keuntungan yang

tinggi. Hal ini karena pengusaha telah melakukan

pengemasan yang baik, telah memiliki label dan telah

Page 190: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

178

memiliki izin usaha. Pendapatan kotor diperoleh dari

hasil kali produksi pengusaha dengan harga produk.

Pendapatan bersih pengusaha 1 juga terbesar

yaitu sebesar Rp.22.631.270,11 yang diperoleh dari

pengurangan pendapatan kotor dengan total biaya

produksi. Sedangkan pendapatan bersih pengusaha 4

terkecil karena besarnya total biaya produksi dan

produksi yang terkecil bila dibanding dengan

pengusaha 2 dan 3 sehingga mempengaruhi

perolehan pendapatan bersih.

Tingkat produksi menentukan pendapatan pada

pembuatan tempe. Semakin tinggi tingkat produksi

maka semakin tinggi pula pendapatan yang

diperoleh. Tingkat produksi tergantung pada

permintaan konsumen terhadap permintaan akan

keripik tempe karena tempe ini merupakan bahan

baku utama dalam pembuatan keripik tempe.

Efisiensi Usaha

Efisiensi usaha tempe dapat dianalisis

menggunakan Return Cost Ratio (RCR).

Berdasarkan perhitungan RCR terhadap pembuatan

tempe yang dilakukan oleh semua pengusaha bahwa

kelayakan usaha pembuatan tempe sebagai bahan

baku agroindustri keripik tempe masih dapat bersaing

atau kompetitif.

Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa

usaha pembuatan tempe oleh pengusaha 1

mendapatkan nilai RCR terbesar jika dibanding

dengan pengusaha 2 dan 3 yaitu 2,00. Artinya setiap

Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan

pendapatan Rp.2,00 dan pendapatan bersih sebesar

Rp.1,00. Ini menunjukan bahwa usaha pembuatan

tempe menguntungkan untuk terus diusahakan.

RCR diperoleh dari pendapatan kotor dibagi

dengan total biaya produksi. RCR pengusaha 1

terbesar dikarenakan pendapatan kotor lebih besar 2

kali lipat dari total biaya produksi. Sedangkan RCR

terkecil oleh pengusaha 3 yaitu sebesar 1,34. Artinya

setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan

pendapatan sebesar Rp.1,34 dan pendapatan bersih

sebesar Rp.0,34. Usaha tempe pengusaha 3

menguntungkan untuk terus diusahakan namun RCR

pengusaha 3 terkecil jika dibandingkan dengan

pengusaha 1 dan 2.

Analisis BEP merupakan analisis balik modal

dimana pada saat kondisi tersebut usaha yang

dijalankan tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga

tidak mengalami kerugian (impas). Analisis BEP

terbaik dilakukan oleh pengusaha 1 karena pada saat

pengusaha memproduksi tempe sebesar 14,03 kg dan

pada saat mengeluarkan biaya sebesar Rp.641.553,27

pengusaha 1 telah memperoleh titik impas.

Analisis BEP semua usaha pembuatan tempe

yang dijalankan oleh pengusaha telah mendapatkan

titik balik modal atau impas. Artinya tidak

mendapatkan keuntungan tetapi juga tidak

mengalami kerugian pada pendapatan tertentu.

Analisis keuntungan tempe pada bulan Mei 2014.

KESIMPULAN

Hasil penelitian memberikan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Proses pengolahan keripik tempe melalui

tahapan pembuatan tempe dengan bahan baku

kedelai, pengolahan tempe menjadi keripik

tempe hingga proses pengemasan. Pengusaha

memproduksi keripik tempe setiap hari.

2. Total biaya terbesar yang dikeluarkan oleh

pengusaha 2 yaitu sebesar Rp.23.012.109.

Namun pendapatan bersih terbesar oleh

pengusaha 1 sebesar Rp.22.631.270,11 per

bulan. Agroindustri keripik tempe pengusaha 1

efisien dimana efisien usaha atau RCR lebih

besar dari 1 yaitu 2,00. BEP yang dilakukan oleh

Pengusaha yaitu pada saat pengusaha 1

mengeluarkan biaya sebesar Rp.641.553,27 dan

saat memproduksi keripik tempe sebesar 14,03

kg pengusaha telah memperoleh titik balik

modal.

SARAN

1. Agroindustri keripik tempe pengusaha 1

menunjukkan RCR paling tinggi jika

dibandingkan dengan pengusaha lainnya.

Pengusaha diharapkan lebih mengembangkan

usaha (memperbesar produksi) keripik tempe

ini.

2. Bahan baku kedelai dan tempe yang digunakan

dalam agroindustri keripik tempe

mempengaruhi pendapatan maka penambahan

jumlah bahan baku dapat dipertimbangkan yang

nantinya juga akan berpengaruh terhadap

keuntungan yang diperoleh.

3. Pelatihan dan pembinaan bagi para pengusaha

diharapkan dapat rutin dilakukan, sebab pada

pengolahan agroindustri keripik tempe ini masih

terkendala dalam penggunaan Sumber Daya

Manusia (SDM). Potensi yang ada di Desa

Buluh Rampai diharapkan dapat berkembang

dengan maksimal serta meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan pengusaha.

4. Pengusaha sebaiknya memiliki izin usaha,

sertifikat dari dinas kesehatan dan memiliki

label agar produk keripik tempe dapat lebih

leluasa memasuki pasar yang lebih besar dan

agar keripik tempe lebih dikenal oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat Dan

Teknologi. Jakarta. Bumi Aksara.

Page 191: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

179

Praptiwi, Ari Nurhayati.2015. Analisis Pendapatan

dan Nilai Tambah Agroindustri Tape

Singkong Di Kota Pekanbaru. Skripsi

Fakultas Pertanian Universitas

Riau.Pekanbaru (Tidak Dipublikasikan).

Soekartawi. 2000. Pengantar agroindustri. Jakarta.

PT. Raja Grafindo Persada..

Soekartawi. 2001. Pengantar agroindustri. Jakarta.

PT. RajaGrafindo Persada.

.2005.Agroindustri Dalam Perspektif Sosial

Ekonomi. PT.Raja grafindo Persada. Jakarta.

. 2005. Agribisnis teori dan aplikasinya.

Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Yusmarini. dan Usman Pato.2004. Teknologi

Pengolahan Hasil Tanaman Pangan.

Pekanbaru. UNRI Press.

Page 192: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

180

Page 193: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

181

Farmers’ Knowledge, Perception, And Practices in Organic Paddy Farming

Concept

Pengetahuan, Persepsi, Dan Praktek Petani Dalam Konsep Usahatani Padi Organik

Tinjung Mary Prihtanti dan Maria

Agribusiness Department, Faculty of Agriculture and Bussines, Satya Wacana Christian University

A B S T R A K

Kata Kunci:

pertanian padi,

pengetahuan petani,

konsep pertanian

organik,

praktek organik

Pertanian padi saat ini sangat tergantung pada bahan kimia pertanian, baik pupuk

sintetis dan pestisida, serta mengabaikan dampak negatif lingkungan. Pertanian

organik adalah salah satu dari beberapa pendekatan untuk pertanian berkelanjutan.

Makalah ini meneliti pengetahuan dan persepsi serta praktek pertanian padi organik,

yang sangat berguna untuk mengatur agenda penelitian, strategi kampanye

perencanaan dan mengembangkan pesan untuk dikomunikasikan kepada petani.

Penelitian ini dilakukan di Desa Pereng dan Gentungan, Mojogedang Kecamatan,

Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Sebanyak 60 petani organik dan

konvensional termasuk dalam survei ini. Sebagian besar petani-responden

mendefinisikan pertanian organik sebagai tidak adanya bahan kimia yang digunakan

dalam pertanian, dan ada beberapa petani-responden mendefinisikan pertanian organik

sebagai aplikasi tingkat yang sangat rendah dari pupuk kimia. Hanya sebagian kecil

petani padi organik yang menerapkan bibit lokal dan pengelolaan irigasi di praktek

pertanian dan tidak ada petani padi organik yang rotasi tanaman. Oleh karena itu

pemerintah harus meningkatkan upaya dalam menyebarluaskan informasi yang tepat

pada pertanian organik yang sesuai dengan prinsip-prinsip pertanian organik sebagai

Organik Sistem Pangan SNI untuk petani untuk menjamin keberlanjutan program

pertanian organik.

ABSTRACT

Keywords:

paddy farming,

farmer knowledge,

organic farming

concept,

organic practices

The current industrial paddy farming promotes the reliance on agrochemicals, both

synthetic fertilizers and pesticides, while neglecting to consider their negative effects

on the environment. Organic farming is one of several approaches to sustainable

agriculture. This paper examined farmers’ knowledge and perception of organic paddy

farming practices, which is especially useful to set research agendas, for planning

campaign strategies and developing messages for communication. The study

conducted at Pereng village and Gentungan, Mojogedang sub-district, Karanganyar

regency, Central Java Province. A total of 60 organic and conventional farmers were

included in this survey. Majority of the farmer-respondents define organic farming as

the absence of chemicals used in farming, and there is some farmer-respondent define

organic farming as a very low level application of chemicals fertilizer. Only a small

proportion of organic paddy farmers were apply local seeds and managing irrigation

in farming practices and there was none of organic paddy farmers do the crop rotation.

The government must therefore increase its efforts in disseminating the proper

information on organic agriculture corresponding the principles of organic

agriculture as Organic Food Systems SNI to the farmer to ensure the sustainability of

the organic agriculture program.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 194: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

182

INTRODUCTION

Paddy is most important food crop and a

primary source of food for Indonesian people. The

current paddy farming system promotes the reliance

on agrochemicals, both synthetic fertilizers and

pesticides, while neglecting to consider their negative

effects on the environment. Excessive use of

chemical fertilizers has led to a decline soil quality

and output productivity (Las et. al, 2006). This

causes the so called β€œsoil hungry” in which the soil

requires more chemical substances. As result, to

sustain crop productivity, farmers have to be

dependent on chemical fertilizers. In addition,

fertilizer is usually scarce and difficult to obtain by

the farmers.

A strategic option to accelerate development

realization of the agribusiness competitive,

sustainable and environmentally farming in order to

improve the welfare of the people, especially

farmers, is organic farming. Organic farming is

recognized as an important system of agriculture and

food production, that is environmentally sustainable

and can generate several positive impacts to rural

society. The World Board of the International

Federation of Organic Agriculture Movements

(IFOAM) approved the Organic agriculture is a

production system that sustains the health of soils,

ecosystems and people. It relies on ecological

processes, biodiversity and cycles adapted to local

conditions, rather than the use of inputs with adverse

effects. Organic agriculture combines tradition,

innovation and science to benefit the shared

environment and promote fair relationships and good

quality of life for all involved’.

Organic farming in Indonesia, still rare.

Organic agriculture program in Indonesia has been

initiated since its launched "Go-Organic 2010"

program by the Ministry of Agriculture in 2000.

Based on SOEL survey in Daniele (2005), mentioned

that the organic farming area in Indonesia was around

40,000 hectares (0.09 per cent to total area or equal

to 0.33 per cent of total paddy area). By

implementing organic farming practices, Indonesia

farmers are expected to reduce their dependence on

chemical fertilizers as well as preserving

environmental sustainability (Syarif and Lesmana,

2011).

Until recently, farmers’ knowledge of

organic farming has been ignored by researchers

because decreasing dissemination. Scialabba’s and

Hattam’s (2002) review of developing countries

efforts in organic agriculture points out the weakness

of institutional support for existing knowledge and

exchane in organic agriculture. Singh and George

(2012) conclude that even farmers are aware of some

of the basic facts of farming but they were not aware

of all aspects related to certification and standards

given by different agencies Triyuyun research results

(2011) showed that the perception of stakeholders in

Karanganyar towards organic farming systems and

the attributes of the technology is low, awareness of

stakeholders on the environmental and economic

benefits of organic farming are not always followed

by changes in the behavior of farmers in adopting

organic farming.

In Sub-district Mojogedang there is a small

group of farmers practicing organic paddy farming.

The sub-district of Mojogedang height is about 380

m above sea level, and lots of precipitation 2590

mm/year. Irrigation is available throughout the year

led farmers can cultivate three times during the year.

People in Pereng who cultivate organic paddy

embodied in a farmer groups, Rukun Makaryo, while

organic paddy farmers in the village of Gentungan

incorporated in the Tani Mulyo. Results of

observation and learn from earlier studies tend a

reduction in the number of organic paddy farmers.

This paper intends to contibute to the

existing literature by providing an empirical analysis

of farmers’ perceptions and practice in organic

farming, and comparing them with conventional

farmers.

METHODS

This study was conducted in Pereng and

Gentungan viilage, Mojogedang sub-district,

Karanganyar regency. The results presented in this

paper are based on qualitative and quantitative

methods of primary data collection and inquiry. In

order to study the differences of two paddy farming

systems, total of 60 farmers whom 30 farmers are

dealing with organic farming and other 30 farmers

from conventional farming were subjected for the

interview in this study. Furthermore, qualitative and

quantitative methods such as semi-structured and in-

depth interviews, identification of key-informants,

focus group discussion (FGD) and field visits were

used to fulfill the necessary data needed in this study.

Descriptive statistics were used to investigate both

organic and conventional farms.

RESULTS AND DISCUSSION

Farm Characteristics

As shown in Table 1, the average age of

organic paddy farmers are relatively younger than the

conventional paddy farmers, and statistically

significantly different. Education of organic paddy

farmers relatively higher than conventional paddy

farmer, and statistically significantly different.

Page 195: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

183

Education and age affect farmer knowledge

and acceptance of the new technologies. A study by

Jamison and Lau (1982) mentioned that the success

of Thailand, Korea and Malaysia in increasing the

productivity of their agriculture sector was by

education.The average organic paddy farm size is

about 2,480 m2 which is lower than the average of

the conventional farm. The analysis showed the farm

size between both farming system was statistically

significant different. Syarif and Lesmana (2011)

revealed in most countries, organic farming is

typically small scale. Promoting organic farming on

a small scale is intended to avoid food shortages in

the short run.

Table 1. Farm Characteristics

Characteristic Orgaic Farming Conventional Farming

Total % Total %

Age (years)

≀ 29 2 6.67 0 0.0

30 – 39 2 6.67 4 13.33

40 – 49 12 40 7 23.33

50 - 59 8 26.67 6 20.0

β‰₯ 60 6 20.0 13 43.33

Mean 48,47 years 56,40 years

St-dev 11,97 13,63

t-test 2,39*

Education

Uneducated 0 0.00 7 23.33

Primary school 14 46.67 14 46.67

Junior high School 6 20.00 2 6.67

Higher School 7 23.33 6 20.00

Diploma 1 3.33 1 3.33

University 2 6.67 0 0.00

Mean 8.33 years

(junior high school)

6.07 years

(primary school)

St-dev 2.92 4.49

t-test 2.32*

Farm size

< 2,500 m2 18 60.00 11 36.67

2,500 – 5,000 m2 10 33.33 10 33.33

< 5,000 m2 2 6.67 9 30.00

Mean 2,480 m2 4,589.67 m2

St-dev 2,430.04 4,658.68

t-test 2,19*

Note : * significant at 5% level, respectively

Farmer Perception and Knowledge in Organic

Farming Concept

Result of this study found that there was

different knowledge and perceptions among farmers

towards organic concepts, as showed at Figure 1.

Majority of the organic farmer-respondent define

organic agriculture as the absence of chemicals used

in farming. Most farmers (83.3%) declared organic

farming is farming without chemicals fertilizer and

pesticide. However, not all organic paddy farmers

had same perception, which 16.67% of farmers were

assume that organic farming is the use of manure and

pesticide material from plants.

About 30% of conventional paddy farmers

assume that organic farming is farming without

chemical inputs, both fertilizers and pesticides, but

20% farmers said that organic farming is only

without chemical pesticides and still allowed to use

chemical fertilizers in low doses. What is interesting

that as many as 23.33% of conventional paddy

farmers answered do not know about organic

farming.

The survey has shown that organic farmers

perception about organic farming was not fully in

accordance with the appropriate standards of organic

farming. None of organic farmers was answering that

local seed selection, management of irrigation and

rotation is important aspect in organic farming. It

should be noted that majority of farmers were not

aware about the recommmended marketing practices

Page 196: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

184

for organic products, because the lack of organic

markets.

Figure 1. Farmers’ Perceptions in Organic Farming

Results of interviews proved that

conventional farmers did not familiar with organic

farming accurately, although on the other hand quite

a lot of conventional farmers declared that the

organic farming is absence of chemical inputs.

Conventional farmers assume that organic farming

requires fertilizers and pesticides that are difficult to

make.

Organic paddy farmer were mainly

knowledgable about what fertlizer and the kind of

pesticide to use, but they were not knowledgable ini

seeds to use. about organic concept can be seen by

their farming practices. Table 2 depicts the

respondents’ practices toward paddy farming

conducted at study sites.

This research found that some organic paddy

farmers respondents apply local seed and did not

aware with crop rotation aspect and management of

irrigation and post-harvest treatment and marketing

their farm products. This results is similar with

Pindozo et al (2014) which revealed that paddy

farmers have only low to medium level of awareness

on organic farming activties and markets for organic

products.

Table 2. Differences between Organic and Conventional Paddy Farming Practice

Production stage Explanation

Organic Farming Conventional Farming

Pre-cultivation stage Farm location near from the viilage Disperse

Cultivation stage

1. Use of Fertilizer Manure formulated with MOL (local

microorganisms) were producing with

members of farmer groups, amount of

fertilizer 1,35 tons/ha

Urea (315,26 kg/ha), SP36 (250,79

kg/ha), Phonska (330,21 kg.ha), ZA

(238,33 kg/ha)

2. Use of Pesticide Pesticide from plant materials Chemicals pesticide

3. Use of Seed Dominated menthik, black rice, and IR 64 Dominated use of IR 64 and ciherang

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

80.0%

90.0%

Organic Farming

Conventional Farming

Page 197: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

185

Production stage Explanation

Organic Farming Conventional Farming

4. Aspects of land

management and

irrigation

Farmers plant paddy three times a year in

their fields

Farmers plant paddy three times a year

5. Crop rotation Farmers do not perform rotation for paddy

cultivation

Farmers do not perform rotation for

paddy cultivation

Post-harvest stage

1. Packing and storage Farmers didn’t aware with packing and

storage for organic products

Farmers do their own packing and

storage

2. Marketing Aspects Most farmers market through farmer

groups, and few farmer had sold production

to the paddy milling independently

Some farmers do marketing through

paddy mills and traders around the

village

Important Factors Influencing Adoption of

Organic Farming

Organic paddy farmers motivation adopted

organic farming practices, primarily because of low

cost of production under organic system (56.67% of

farmers). The next biggest reason why farmers want

to do organic farming is health concern factors,

farmers feels responsible for the environment, land,

and human health in the long term (23.33% of

farmers). Farmer respondent in this study were

knowledgeable in producing in their own input. Since

organic farming encourages the use of indigenous

materials, lower costs are incurred. Farmers are

encouraged to produce their own inputs using

materials that can be easily found from their farm

surroundings, such as manure. This study found only

17% farmers respondent didn’t have livestock

Figure 2. Farmers’ Motivation in Organic Farming

Farmer respondent in this study were

knowledgeable in producing in their own input. Since

organic farming encourages the use of indigenous

materials, lower costs are incurred. Farmers are

encouraged to produce their own inputs using

materials that can be easily found from their farm

surroundings, such as manure. This study found only

17% farmers respondent didn’t have livestock.

Conventional paddy farmers motivation did

not adopt organic farming were yields uncertainty

(46.67%), complicated production system (20%), did

not familiar to cultivate in organic farming (10%),

conventional cultivation has been hereditary (10%),

did not know how to sale proceeds if the organic

(6.67%), as well as long development of plants and

feel the paddy of organic results are not different

from conventional farming (respectively 3.33%).

Cost efficiency56.67%

Improve soil fertility3.33%

Worker efficiency

3.33%

Healthy environment

23.33%

Scarcity of chemical fertilizer

6.67%

Input can provide

manually6.67%

Page 198: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

186

These results are similar to studies

Prompathansombat et al (2011) that important factors

on decision of adoption of organic farming that were

positively significant included farm-gate ppaddy and

attitude to conventional production problems, also

water accessibility. Schneeberger et al (2002)

revealed that Austrian farmers did not adopt organic

practices due to fear of decreased income and

marketing problems. Niemeyer and Lombard (2003)

revealed that in South Africa, the lack of marketing

opportunities, no premium ppaddys, and the lack of

subsidies had kept the farmers from adopting organic

practices. Kennvidy (2011) revealed that farmers

shifted to organic farming in order to reduce the

expenses on synthetic fertilizers, to avoid the

negative effects of synthetic fertilizers to health, to

utilize the available resources in the neighborhood, to

conserve the environment as well as soil and water

quality and to acquire the beneficial ppaddys on

organic products.

Information about organic rice farming is

very important for the farmers to change their

practice, enhance knowledge on farming and

production. Mahamud (2005) mentioned significant

factors affecting the acceptance of organic rice

production as level of organic agriculture knowledge

and extension measures received from involved

agencies. Pornpratansombat et al (2011) mentioned

approximately 60 percent of organic rice farmers

have got information from extension agents

(government and NGOs agents), in form of group

meeting. In addition, 18 percent of organic farms

have got information from their neighbouring

farmers (relatives and friends), while mass media

(TV and radio) takes about 14 percent.

Information about organic rice farming is

very important for the farmers to change their

practice, enhance knowledge on farming and

production. Mahamud (2005) mentioned significant

factors affecting the acceptance of organic rice

production as level of organic agriculture knowledge

and extension measures received from involved

agencies. Pornpratansombat et al (2011) mentioned

approximately 60 percent of organic rice farmers

have got information from extension agents

(government and NGOs agents), in form of group

meeting. In addition, 18 percent of organic farms

have got information from their neighbouring

farmers (relatives and friends), while mass media

(TV and radio) takes about 14 percent. The study

found that farmers’ major sources of knowledge on

organic farming was farmer group leader.

Approximately 60% of respondents organic farmer

replied the farmer group chairman Pereng elder

farmer in the village is the first and primary resources

that recognize the organic.

Figure 3. Conventional Farmer Reason

In process0.00%

Not profitable0.00%

Low yields and uncertain46.67%Difficulty in

selling6.67%

Uniffecient cost

0.00%

Complicated practice20.00%

Don't know how to farm

10.00%

Long period growth3.33%

There is no difference

price compare with chemical

farming3.33%

Tradition10.00%

Page 199: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

187

Figure 4. Source of Information of Organic Farming

The emergence of farmers in the district

Mojogedang organk greatly influenced the role of an

elder farmer who pioneered and disseminate

information about the farm without chemicals. Mbah

Paimanhadi time immemorial is the chairman of

farmer groups in the village Pereng Makaryo Pillars,

which seeks to transmit the understanding and

practice of organic on group members. His efforts led

to their farmer groups receive recognition from an

organic certification organization. Echoes of organic

farming village Pereng even spread to other villages,

namely Gentungan Village, District Mojogedang,

and farmer groups Tani Mulyo also received organic

certification in 2014. Government agencies and non-

governmental organizations have a role in assisting

the organic farmer groups, the standards and

requirements untu certified organic products.

However, the farmers themselves play a key role

since the farmer group leader gained knowledge

through his own resources and initiatives.

CONCLUSIONS

The result of the study showed organic paddy

farmers have different characteristics with

konvensonal paddy farmers, where farmers padid

organi relatively younger age, more educated, but

more narrow area of land tenure. The survey shows

an understanding of organic farmers though not fully

in accordance with the appropriate standards of

organic farming. There are conventional farmers who

do not know about organic farming accurately.

Farmers’ major sources of knowledge on organic

farming is farmer group leader.

It takes effort more intensive dissemination

of information about organic farming, either through

extension program and direct demonstrations, or

through mass media, newspaper or electronic media.

Government and related institution can help farmers

to restore the use of traditional or local seed varieties.

REFERENCES

Kennvidy SA. 2011. Organic Paddy Farming

Systems in Camodia: Socio-Economic

Impact of Smallholder Systems in Takeo

Province. IJERD International Journal of

Environmental and Rural Development

2011 (2-1): 115-119.

Mahamud, R. 2005. Innovation in agricultural

resource management for organic

agriculture: case study of organic rice

farmers group, Amphoe Kudchum,

Changwat Yasothon. Thesis, Kasetsart

University, Bangkok.

Piadozo, MES. F. Lantican. IM Pabuayon. AR

Quicoy. AM Suyat. PKB Maghirang. 2014.

Paddy Farmers’ Concept and Awareness of

Organic Agriculture: Implications for

Sustainability of Philippine Organic

Agriculture Program. Journal ISSAAS Vo.

20. No. @:142-156

Pompratansombat P., Bauer B. Boland H. 2011. Tha

Adoption ofOrganic Paddy Farming in

Northeastern Thailand. Journal of Organic

Systems 6 (3).

Schneeberger. WI. Darnhofer and M. Eder. 2002.

Barriers to Adoption of Organic Farming

by Cash-Crop Producers in Austria.

American Journal. Alternative Agriculture

17(01): 24-51.

Sciablabba, N. And C. Hattam. 2002. Organic

Agriculture, Environment and Food

Security, Environment and Natural

Resources Series No. 4. Food and

Agriculture Organization. Rome.

Singh, S. And RI. George. 2012. Organic Farming

Awareness and Beliefs of Farmers in

Uttarakhand, India. Journal Human

Ecology. 37(2): 139-149.

0.00%10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%70.00%

farmer groupleader/ sesepuh

petani

agriculturalextension staff/

agriculral bereau

non grovernmentorganization

Page 200: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

188

Triyuyun. 2011. Stakeholders Perception Study and

Conducet in Paddy Organic Agriculture

Systems in Karanganyar Regency. Thesis.

Diponegoro University.

Page 201: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

189

Analisis Persepsi dan Sikap Petani Terhadap Lembaga Pembiayaan Formal dan

Informal (Suatu Kasus Di Gapoktan Sami Mulya Kec. Sedong, Kabupaten

Cirebon, Jawa Barat)

Perception and Farmer’s Behaviour Analysis towards Formal and Informal Financing

Institution

Yeni Hendriyani 1), Tuti Karyani2)

1)Program Studi Agribisnis, Universitas Bale Bandung

2Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

A B S T R A K

Kata Kunci:

Modal,

Aksesibiitas terhadap

LKP,

Persepsi,

Sikap

Modal adalah satu dari faktor produksi yang harus ada dalam usahatani. Tinggi

rendahnya produksi baik dari segi kualitas dan kuantitas, ditentukan oleh besar

kecilnya modal yang dimiliki oleh petani. Keterbatasan modal seringkali menjadi

kendala bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya. Untuk mengatasi kendala

tersebut, diperlukan bantuan modal dari pihak luar, dalam hal ini lembaga keuangan

perdesaan (LKP). Namun, ketersediaan LKP seringkali tidak mampu menyelesaikan

persoalan petani, karena rendahnya daya aksesibilitas petani terhadap LKP. Hal ini

tidak terlepas dari persepsi dan sikap yang dimiliki oleh petani terhadap LKP tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi dan sikap petani

terhadap LKP baik formal maupun informal. Metode yang digunakan adalah metode

kuantitatif dengan pendekatan survey. Responden penelitian adalah para petani

mangga gedong gincu yang tergabung dalam Gapoktan Sami Mulya. Data dianalisis

dengan Metode Multiatribut Fishbein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani

menganggap penting atribut kemudahan persyaratan baik LKP formal dan informal,

dan memberikan skor tertinggi untuk atribut citra lembaga keuangan terhadap LKP

formal serta skor tertinggi untuk atribut biaya administrasi terhadap LKP informal.

Hasil lain, petani memberikan sikap kepercayaan lebih tinggi kepada LKP informal

dibandingkan dengan formal.

ABSTRACT

Keywords:

Capital,

Accessibility to RFI,

Perception,

Attitude

Capital is one of the factors of production that have to available in the farm business.

The level of production in terms of both quality and quantity, is determined by the size

of the capital owned by the farmers. Capital constraints are often an obstacle for

farmers in improving productivity.To overcome these obstacles, the necessary capital

assistance from outsiders, in this case the rural financial institutions (RFI). However,

the availability of RFI are often unable to resolve the problems of farmers, because

farmers are low accessibility to the RFI. Low access to financial institutions due to

perceptions and attitudes of farmers towards the RFI. This study aims to determine

how the perceptions and attitudes of farmers towards both formal and informal RFI.

The method used is quantitative method with a survey approach. Respondents of this

research is β€˜gedong gincu’ mango farmers who are members of the Gapoktan Sami

Mulya. Data will be analyzed using the methods Multiatribut Fishbein. The results

showed that farmers consider important is easy the requirements attributes for formal

and informal RFI, and the highest score to the image attributes of the formal RFI,

and the highest score to administrative costs attribute for informal RFI. Another

result, farmers provide higher confidence attitude to the informal than the formal RFI

* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]

Page 202: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

190

PENDAHULUAN

Permodalan merupakan salah satu faktor

produksi penting dalam usaha pertanian. Namun,

dalam operasional usahanya tidak semua petani

memiliki modal yang cukup. Aksesibilitas petani

terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat

terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai

lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar

dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak

jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan

kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam

mengelola dan mengembangkan usahatani.

Kelembagaan ekonomi perdesaan tidak

berkembang baik akibat terlalu berbelitnya sistem

birokrasi pemerintah. Lemahnya peranan

kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut

membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses

petani terhadap sumber-sumber pembiayaan

(Syukur et al., 2003). Disamping itu, kondisi

informasi yang tidak simetris antara sebagian besar

masyarakat (dalam hal ini petani) dengan kelompok

masyarakat lainnya membawa implikasi yang luas

berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis

terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan

kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya

(Syukur dan Windarti, 2001).

Akses pelaku agribisnis yang rendah pada

sumber modal memerlukan kreasi lembaga

pembiayaan yang tepat bagi sektor ini. Dukungan

kebijakan yang kuat sangat diperlukan guna

menciptakan terbentuknya lembaga pembiayaan

yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan

agribisnis dan agroindustri di pedesaan (Endang

Lestari Hastuti & Supadi, 2007)

Kelembagaan ekonomi pedesaan yang

kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tidak

berkembang karena kooptasi yang berlebihan dari

sistem birokrasi pemerintahan. Kondisi ini ternyata

lebih banyak melumpuhkan kelembagaan lokal yang

selama ini berkembang dengan baik di masyarakat

dan berperan dalam pemertaan pendapatan

(Sudaryanto dan Syukur, 2000).

Pentingnya kredit dalam pembangunan

pertanian Indonesia terkait dengan tipologi petani

yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan

penguasaan lahan yang sempit, sehingga tidak

memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal

untuk investasi pada teknologi baru. Dengan

demikian dukungan pembiayaan harus dilakukan.

Syukur dkk, (1988 dan 1999) menyatakan bahwa

peran kredit sebagai pelancar pembangunan

pertanian antara lain:

(1) Membantu petani kecil dalam mengatasi

keterbatsan modal dengan bunga yang relatif

ringan,

(2) Mengurangi ketergantungan petani dengan

pedagang perantara dan pelepas uang, dengan

demikian berperan dalam memperbaiki struktur

dan pola pemasaran hasil pertanian,

(3) Mekanisme tranfer pendapatan diantara

masyarakat untuk mendorong pemerataan,

(4) Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi

usahatani.

Pemilikan lahan yang sempit dan

kelembagaan skim pembiayaan bagi usaha agribisnis

dan agroindustri tidak fleksibel, menyebabkan

masyarakat tani tidak dapat akses secara mudah pada

sumber pembiayaan saat ini. Kebijakan pembiayaan

untuk mendukung sektor agibisnis dan agroindustri

dirasakan sangat lemah dan sektor ini cenderung

terabaikan.

Dukungan lembaga keuangan sangat

berarti terhadap keberlanjutan rantai pasok, karena

secara umum jejaring yang dibangun melalui rantai

pasok ini sering tidak mampu bertahan karena

terganggunya cash flow

keuangan sebagai akibat tertundanya pembayaran

dari pelaku hilir. Ketika pembayaran tertunda dari

hilir (misal super market, eksportir) maka efek

dominonya akan terasa sampai ke hulu (petani).

Biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan

produksi, maupun pemasaran menjadi menumpuk

dan hal ini membuat keperluan atas modal kerja

semakin besar, dan bila tidak mampu memenuhinya

banyak pelaku tidak mampu untuk terlibat lagi dalam

rantai pasok ini. Oleh karena itu menarik untuk

dikaji secara lebih mendalam, terutama menyangkut

cara pembayaran, besarnya biaya-biaya dan jenisnya

yang diperlukan oleh pelaku yang terlibat. Dengan

diketahuinya biaya-biaya tersebut dan pola cash flow

dari usaha para pelaku, maka pola pembiayaan yang

tepat untuk setiap pelaku dapat dikembangkan dalam

rantai pasok mangga.

Sementara di lain pihak sebenarnya di

perdesaan terdapat beberapa sumber pembiayaan

yang dapat dijadikan alternatif pemilihan sumber

modal oleh petani mangga. Namun sumber

pembiayaan yang ada di perdesaan ini seolah tidak

mampu menjangkau kebutuhan petani.

Kelembagaan pembiayaan perdesaan tidak

berkembang baik akibat terlalu banyaknya campur

tangan yang cenderung berlebihan dari sistem

birokrasi pemerintah. Tindakan ini, pada

kenyataannya telah melumpuhkan sebagian

kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan

berperanan di masyarakat dalam pemerataan

pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan

pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000).

Lemahnya peranan kelembagaan

pembiayaan pertanian tersebut membawa

Page 203: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

191

konsekuensi semakin terbatasnya akses petani

terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et

al., 2003). Disamping itu, campur tangan

pemerintah yang berlebihan juga menciptakan

kondisi informasi yang tidak simetris antara

sebagian besar masyarakat (dalam hal ini petani)

dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini

membawa implikasi yang luas berupa rendahnya

aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya

modal, teknologi, peningkatan kemampuan,

informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan

Windarti, 2001).

Pada kenyataannya, hanya sebagian kecil

masyarakat perdesaan yang memiliki akses terhadap

sumber-sumber permodalan yang disediakan

Padahal, akses terhadap kredit permodalan

merupakan hak dasar manusia yang fundamental

dalam meningkatkan usahanya, pendapatannya dan

kebutuhan dasarnya.

Di wilayah perdesaan, terdapat dua

jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan

(Syukur et al., 2003), yaitu pasar pembiayaan formal

dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan

formal (khususnya untuk kegiatan non program)

beroperasi di pedesaan yang dalam mekanisme

pengajuan dan penyalurannya mengikuti

mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan

diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga

yang dibebankan adalah tingkat bunga komersial

dan dilayani oleh lembaga formal. Selain itu, masih

banyak lagi program-program serupa yang telah

diimplementasikan, termasuk program

pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha

pertanian di pedesaan. Dalam pelaksanaan program

tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan

yang dihadapi.

Bersamaan dengan itu, lembaga

pembiayaan informal juga beroperasi dalam

perekonomian masyarakat termasuk masyarakat

pertanian. Pemberdayaan Lembaga Keuangan

Mikro termasuk lembaga pembiayaan informal

merupakan langkah yang tepat dalam upaya

mengentaskan kemiskinan dan pengembangan

ekonomi rakyat (Krisnamurti, 2005). Sebagai

penyedia dana bagi petani, lembaga informal dinilai

sangat fleksibel dan relatif mudah diakses karena

tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit

seperti halnya lembaga pembiayaan formal.

Keberadaan lembaga pembiayaan formal

dan informal di perdesaan merupakan pilihan bagi

petani. Proses pemilihan yang dilakukan petani

terhadap lembaga keuangan formal maupun

informal tidak terlepas dari persepsi dan sikap yang

dimiliki oleh petani terhadap lembaga-lembaga

tersebut. Disinilah perlu dianalisis bagaimana sikap

dan persepsi yang dimiliki oleh petani terhadap

lembaga-lembaga keuangan yang ada di perdesaan.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan terhadap petani gedong

gincu yang tergabung dalam Gapoktan Sami Mulya

di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Metode

yang digunakan adalah metode deskriptif analisis

dengan menggunakan pendekatan metode survey.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

para petani gedong gincu yang tergabung ke dalam

Gapoktan Sami Mulya, yang merupakan pemasok

kebutuhan mangga terhadap perusahaan eksportir di

Cirebon. Teknik Sampling yang digunakan adalah

simple random sampling, dimana dari populasi yang

berjumlah 250 diambil sampling sebanyak 53 orang

petani.

ANALISIS DATA

Analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Analisis Multiatribut Fishbein.

Model sikap Fishbein ini berfokus pada prediksi

sikap yang dibentuk seseorang terhadap obyek

tertentu. Secara simbolis rumus tersebut dapat

diekspresikan sebagai berikut :

Ao = βˆ‘ bi ei

i=l

Dimana :

Ao : Sikap Terhadap Obyek

Bi : Kekuatan Kepercayaan Bahwa

Obyek memiliki atribut i

ei : Evaluasi mengenai atribut i

n : Jumlah atribut yang menonjol

Komponen ei, yang menggambarkan

evaluasi atribut, di ukur secara khas pada sebuah

skala evaluasi lima angkayang berjajar dari β€œsangat

penting” hingga β€œtidak penting”. Sebagai contoh :

Jaminan Keamanan pada lembaga

keuangan formal adalah :

Sangat penting : : : : : Tidak penting

+2 +1 0 -1 -2

Atribut – atribut dari lembaga keungan pada

penelitian ini adalah: Jaminan keamanan,

Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, Citra

lembaga keuangan di masyarakat, Kecepatan

Pelayanan. Lokasi yang strategis, Tingkat Suku

Bunga, Biaya Administrasi, Tenggang Waktu

Pemabayaran. Variable dalam penelitian ini terbagi

dalam 2 (dua) kelompok variable, yaitu : variable

Page 204: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

192

untuk kelompok yang pertama adalah kekuatan

kepercayaan bahwa usahatani yang menggunakan

lembaga keuangan formal maupun non formal

memiliki ke sepuluh atribut tersebut.

Setiap responden diminta untuk

menyatakan sikap terhadap pertanyaan apakah

lembaga keuangan formal dan non formal, yang

memiliki atribut : 1. Jaminan keamanan, 2.

Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, 3.

Citra lembaga keuangan di masyarakat, 4.

Kecepatan Pelayanan, 5. Lokasi yang strategis, 6.

Tingkat Suku Bunga, 7. Biaya Administrasi, 8.

Tenggang Waktu Pemabayaran, dalam 5 angka

skala, mulai dari +2 yang berarti sangat baik sampai

– 2 yang berarti sangat buruk. Variable untuk

kelompok yang kedua adalah variable evaluasi

terhadap sepuluh atribut lembaga Keuangan

(variable ei), yang terdiri atas sepuluh buah

pertanayaan, yaitu : 1. Jaminan keamanan, 2.

Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, 3.

Citra lembaga keuangan di masyarakat, 4.

Kecepatan Pelayanan, 5. Lokasi yang strategis, 6.

Tingkat Suku Bunga, 7. Biaya Administrasi, 8.

Tenggang Waktu Pemabayaran. Setiap responden

diminta untuk menyatakan sikapnya atau

mengevaluasi terhadap atribut lembaga keuangan

dalam 5 angka skala, mulai dari +2 yang berarti

sangat penting sampai – 2 yang berarti sangat tidak

penting

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Evaluasi

Atribut-atribut yang dinilai adalah jaminan

keamanan, tenggang waktu pembayaran, tingkat

suku bunga, kecepatan, kemudahan persyaratan,

biaya administrasi dan lokasi yang strategis serta

citra lembaga keuangan.

Tabel 1. Skor Evaluasi Tingkat Kepentingan (ei) Atribut Lembaga Keuangan (n=53)

Tabel 1 menyajikan secara lengkap hasil

penilaian konsumen terhadap atribut evaluasi (ei)

terhadap semua atribut dari lembaga keuangan. Dari

Tabel 1, terlihat bahwa atribut yang memiliki skor

tertinggi adalah kemudahan persyaratan (1,55),

disusul dengan evaluasi terhadap kecepatan

pelayanan (1,53), tingkat suku bunga (1,47),

tenggang waktu pembayaran (1,40). biaya

administrasi (1,23). lokasi yang strategis (1,13),

jaminan keamanan ((1,11) dan terakhir citra lembaga

keuangan (0,79). Dari data tersebut dapat dilihat

bahwa kemudahan persyaratan adalah atribut yang

paling penting bagi petani. Kemudahan persyaratan

dianggap paling penting mengingat petani seringkali

tidak mampu menghadapi birokrasi yang berbelit-

belit.

Fakta lain dapat dilihat bahwa selain

kemudahan persyaratan, kecepatan pelayanan

menjadi urutan kedua yang dianggap penting oleh

petani, kemudian disusul oleh tingkat suku tenggang

waktu pembayaran, dan seterusnya. Sebuah

fenomena menarik bahwa atribut citra lembaga

lembaga keuangan yang memiliki skor terkecil,

membuktikan bahwa menurut petani citra lembaga

keuangan bukanlah sesuatu hal yang mutlak, selama

lembaga keuangan itu mampu memberikan

pelayanan baik, cepat, bunga ringan maka petani

tidak akan memperhatikan citra lembaga keuangan.

Penilaian Kepercayaan Atribut Pada Lembaga

Keuangan Formal

Setelah skor evaluasi kepentingan atribut

diperoleh maka selanjutnya diperlukan skor

kepercayaan (bi) atribut oleh petani terhadap

lembaga keuangan formal. Dengan diketahuinya

penilaian kinerja atribut (bi) oleh petani maka dapat

diketahui pilihan atau penilaian terhadap lembaga

keuangan formal tersebut.

Penilaian kinerja atribut (bi) oleh konsumen

akan dilakukan pada delapan atribut lembaga

keuangan formal, meliputi jaminan keamanan,

tenggang waktu pembayaran, tingkat suku bunga,

kecepatan pelayanan, kemudahan persyaratan, biaya

administrasi, lokasi strategi dan citra lembaga

keuangan. Dari hasil penelitian diperoleh data

sebagai berikut :

Total Rata-rata

2 1 0 -1 -2 (ei) (ei)

Jaminan Keamanan 23 14 15 1 0 59 1.11

Tenggang Waktu Pembayaran 28 18 7 0 0 74 1.40

Tingkat Suku Bunga 31 17 4 1 0 78 1.47

Kecepatan Pelayanan 35 13 3 2 0 81 1.53

Kemudahan Persyaratan 35 14 2 2 0 82 1.55

Biaya Administrasi 21 23 9 0 0 65 1.23

Lokasi yang Strategis 17 27 8 1 0 60 1.13

Citra Lembaga Keuangan 10 25 15 3 0 42 0.79

Skor Evaluasi Atribut Lembaga Keuangan

Page 205: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

193

Tabel 2.Frekuensi Skor Tingkat Kepercayaan (bi) Atribut Lembaga Keuangan Formal (n = 53)

Dari Tabel 2, terlihat bahwa atribut citra

lembaga keuangan mendapat skor tertinggi (1,60),

artinya petani memberi apresiasi yang baik terhadap

lembaga keuangan formal yang diketahuinya.

Sedangkan skor kedua tertinggi adalah untuk atribut

tenggang waktu pembayaran (1,21), hal ini

dimungkinkan mengingat biasanya petani diberikan

tenggang waktu selama 1 tahun untuk peminjaman,

selama 1 tahun tersebut petani merasa cukup waktu

untuk mengembalikan pinjaman tersebut.

Atribut lembaga keuangan selanjutnya yang

diberi apresiasi baik oleh petani adalah biaya

administrasi (1,06). Apresiasi dari petani ini

disebabkan karena beberapa diantara petani pernah

menjadi nasabah BRI untuk pinjaman kredit program

pemerintah, dan mereka merasa bahwa biaya

administrasi yang ditentukan cukup layak untuk

pinjaman yang didapat.

Atribut selanjutnya yang mendapat kesan

cukup bagus setelah biaya administrasi adalah

jaminan keamanan (1,04), artinya untuk jaminan

keamanan ini petani merasa cukup aman

mengagunkan jaminan untuk disimpan di lembaga

keuangan yang memberikan pinjaman kepada

mereka. Setelah jaminan keamanan, atribut

selanjutnya yang berada di bawah urutan jaminan

keamanan adalah tingkat suku bunga (0,85). Dari

angka ini dapat dijelaskan bahwa petani merasa

cukup puas dengan tingkat suku bunga yang

ditetapkan untuk pinjaman yang diperolehnya.

Lokasi strategis, adalah atribut lembaga

keuangan yang menduduki peringkat ke-6 yaitu

sebesar 0,81. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa

mereka merasa dilayani cukup puas justru untuk BRI

yang berada di kabupaten, dibandingkan dengan BRI

yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.

Karenanya, bagi petani lokasi strategis tidak menjadi

jaminan akan memberi pelayanan yang cukup baik.

Setelah lokasi strategis, atribut selanjutnya

adalah kemudahan persyaratan (0,08). Angka ini

menggambarkan bahwa petani merasa persyaratan

yang ditetapkan oleh lembaga keuangan cukup ribet,

tidak mudah. Inilah mungkin yang menyebabkan

banyak petani yang memutuskan untuk tidak

menggunakan jasa lembaga keuangan formal sebagai

sumber pembiayaan usahataninya.

Terakhir yang menduduki peringkat paling

rendah adalah atribut kecepatan pelayanan (0,06).

Angka ini menunjukkan bahwa petani merasa tidak

dilayani dengan cepat, mulai dari proses pengajuan

sampai pencairan. Dari hasil wawancara diperoleh

keterangan bahwa biasanya waktu yang dibutuhkan

untuk mengajukan pinjaman, mulai dari pengajuan

sampai dengan pencairan itu adalah minimal 14 hari

kerja. Sementara penyemprotan pohon mangga tidak

dapat ditunda-tunda.

Penilaian Kepercayaan Atribut Pada Lembaga

Keuangan Non Formal

Setelah mengetahui penilaian kinerja atribut

(bi) lembaga keuangan formal, maka selanjutnya

akan dilakukan penilaian kinerja atribut (bi) pada

lembaga keuangan non formal. Untuk lebih jelasnya

hasil dair penilaian kinerja atribut (bi) dapat dilihat

pada Tabel 3 :

Total Rata-rata

2 1 0 -1 -2 (ei) (ei)

Jaminan Keamanan 22 18 8 3 2 55 1.04

Tenggang Waktu Pembayaran 25 16 10 2 0 64 1.21

Tingkat Suku Bunga 15 22 10 5 1 45 0.85

Kecepatan Pelayanan 8 14 10 15 6 3 0.06

Kemudahan Persyaratan 6 15 15 11 6 4 0.08

Biaya Administrasi 17 25 8 3 0 56 1.06

Lokasi yang Strategis 12 27 8 4 2 43 0.81

Citra Lembaga Keuangan 34 17 2 0 0 85 1.60

Atribut Lembaga KeuanganSkor Evaluasi

Page 206: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

194

Tabel 3. Frekuensi Skor Tingkat Kepercayaan (bi) Atribut Lembaga Keuangan Non Formal (n = 53)

Dari Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa atribut

biaya administrasi (1,64) menjadi kriteria utama

dalam membentuk sikap terhadap lembaga keuangan

non formal, dan dinilai paling kecil adalah citra

lembaga keuangan (0,02) dan jaminan keamanan

(0,02), hal ini menandakan bahwa semakin bagus

citra lembaga kuangan justru petani akan semakin

takut untuk menggunakan lembaga keuangan

tersebut karena berbagai macam alasan, seperti

persyaratan yang diberikan oleh lembaga keuangan

tersebut akan semakin sulit. Selain citra lembaga

keuangan, juga atribut jaminan keamanan yang

merupakan skor terkecil, hal ini menandakan bahwa

petani beranggapan tidak terlalu penting untuk

memberikan jaminan apapun kepada lembaga

tersebut karena mereka hanya bermodalkan

kepercayaan saja.

Atribut lembaga keuangan yang mendapat

skor kedua terbesar adalah tingkat suku bunga (1,51).

Hal ini disebabkan karena beberapa diantara mereka

yang pernah mendapatkan bantuan pinjaman dari

lembaga keuangan non formal, seperti perusahaan

eksportir CV. Sumber Buah Sae tidak pernah

dikenakan bunga, sehingga petani mengapresiasi

cukup baik terhadap atribut tingkat suku bunga ini.

Setelah tingkat suku bunga, atribut lembaga

keuangan yang selanjutnya mendapat skor tinggi

adalah kemudahan persyaratan (1,38). Seperti yang

kita ketahui, lembaga keuangan non formal dapat

dikatakan hampir tidak memiliki prosedur baku,

semua dilakukan hanya berlandaskan kepercayaan

dan saling membutuhkan. Selanjutnya adalah atribut

tenggang waktu pembayaran (1,34). Atribut lembaga

keuangan ini mendapat skor yang cukup baik

mengingat selama ini para petani yang mendapat

pinjaman dari lembaga keuangan non formal

diberikan keleluasaan untuk membayar pinjaman,

asalkan pada akhir tahun lunas.

Atribut berikutnya adalah kecepatan

pelayanan (0,64), atribut ini tidak mendapatkan skor

cukup baik, mengingat petani merasa pengajuan

pinjaman terhadap lembaga keuangan non formal

sangat tergantung dengan ketersediaan dana di pihak

eksportirnya itu sendiri. Selanjutnya adalah atribut

lokasi yang strategis (0,04), dimana atribut ini

merupakan nilai terendah kedua. Dari skor tersebut

dapat dijelaskan bahwa petani tidak bermasalah

mengenai lokasi dimana saja sumber keuangan

formal itu berada. Artinya, selama ada komunikasi,

mudah untuk diakses, lokasi bukanlah suatu

hambatan yang berarti.

4. Analisis Sikap Petani

Petani responden telah menilai tingkat

kepentingan dan tingkat kepercayaan atribut,

selanjutnya didapatkan nilai sikap terhadap lembaga

keuangan formal dan non formal. Nilai sikap

dianalisis untuk melihat bagaimana pandangan petani

terhadap lembaga keuangan formal maupun lembaga

keuangan non formal. Untuk memperoleh sikap (Ao)

petani terhadap lembaga keuangan formal maupun

lembaga keuangan non formal maka langkah

selanjutnya adalah mengalikan antara skor

kepentingan (ei) dengan skor kepercayaan (bi) pada

masing-masing jenis lembaga keuangan yaitu

lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan

non formal. Hasil perhitungan nilai sikap (Ao) dapat

dilihat pada tabel berikut :

Total Rata-rata

2 1 0 -1 -2 (ei) (ei)

Jaminan Keamanan 10 12 10 11 10 1 0.02

Tenggang Waktu Pembayaran 22 28 2 1 0 71 1.34

Tingkat Suku Bunga 34 12 7 0 0 80 1.51

Kecepatan Pelayanan 15 12 18 8 0 34 0.64

Kemudahan Persyaratan 28 17 8 0 0 73 1.38

Biaya Administrasi 37 13 3 0 0 87 1.64

Lokasi yang Strategis 8 6 19 20 0 2 0.04

Citra Lembaga Keuangan 12 9 11 10 11 1 0.02

Atribut Lembaga KeuanganSkor Evaluasi

Page 207: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

195

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Sikap Kepercayaan Petani Terhadap Lembaga Keuangan Formal dan Non Formal

Dari perhitungan Tabel 4, diperoleh Ao

(sikap petani) secara keseluruhan untuk lembaga

keuangan formal adalah 7,78. Untuk lembaga

keuangan non formal adalah 9,30. Dengan demikian

secara keseluruhan konsumen lebih menyukai

lembaga keuangan non formal daripada lembaga

keuangan formal.

Hasil dari analisis sikap (Ao) pada lembaga

keuangan formal yang memiliki skor tertinggi adalah

atribut tenggang waktu pembayaran (1,69).

Sedangkan urutan kedua yaitu atribut biaya

administrasi (1,30). Atribut yang memiliki skor

terendah dari analisis sikap pada lembaga keuangan

formal yaitu atribut kecepatan pelayanan (0,06),

disusul pada urutan terendah kedua adalah atribut

kemudahan persyaratan (0,08). Dari hasil analisis

tersebut dapat dilihat bahwa petani menilai bahwa

kecepatan pelayanan di lembaga keuangan formal

sangatlah minim, didukung pula dengan kemudahan

persyaratan yang dinilai petani sangat sulit dipenuhi

oleh petani.

Berbeda dengan lembaga keuangan formal,

hasil analisis sikap di lembaga keuangan non formal

yang memiliki skor tertinggi adalah tingkat suku

bunga (2,22), hal ini dimungkinkan karena eksportir

yang menjadi lembaga keuangan non formal tidak

pernah menetapkan bunga dari pinjaman yang

diberikan kepada petani. Analisis sikap yang

memiliki skor terendah adalah citra lembaga

keuangan (0,01), ini dimungkinkan karena tidak

setiap petani mangga dapat dengan mudah

mendapatkan pinjaman dari eksportir, sehingga

petani tidak memberikan sikap yang cukup baik

terhadap citra lembaga keuangan non formal.

Secara garis besar, hasil analisis sikap yang

dilakukan terhadap petani untuk lembaga keuangan

baik formal maupun non formal, penilaian petani

lebih menyukai lembaga keuangan non formal

dibandingkan lembaga keuangan formal, karena

petani menilai secara umum citra lembaga keuangan

lembaga keuangan non formal lebih baik bila

dibandingkan dengan lembaga keuangan formal.

Bagi sebagian petani keistimewaan lembaga

keuangan non formal adalah lebih mudah dalam

persyaratan dan cepat dalam pelayanan.

SIMPULAN

1. Dari hasil analisis sikap yang dilakukan terhadap

petani untuk lembaga keuangan baik formal

maupun non formal, penilaian petani lebih

menyukai lembaga keuangan non formal (nilai Ao

= 9,30), dibandingkan lembaga keuangan formal

(nilai Ao = 7,78), karena petani menilai secara

umum citra lembaga keuangan lembaga keuangan

non formal lebih baik bila dibandingkan dengan

lembaga keuangan formal. Bagi sebagian petani

keistimewaan lembaga keuangan non formal

adalah lebih mudah dalam persyaratan dan cepat

dalam pelayanan., dimana lembaga keuangan

nonformal memiliki skor 2,13 dibanding formal

(0,12).

2. Berdasarkna atribut yang dinilai petani terhadap

lembaga keuangan bahwa yang paling penting

adalah kemudahan persyaratan, kecepatan

pelayanan dan biaya administrasi , adapun atribut

lokasi yang strategis, citra lembaga keuangan dan

yang lainnya tidak menjadi bahan pertimbangan

utama.

SARAN

1. Perlu adanya usaha proaktif dari lembaga

keuangan formal perdesaan setempat, lebih

persuasif dalam memahami kebutuhan petani

mangga di daerahnya. Sehingga para petani

mangga merasakan keberadaan lembaga

keuangan pedesaan yang ada di wilayah

sekitarnya.

2. Persyaratan dan kecepatan pelayanan perlu

ditingkatkan oleh lembaga keuangan, agar lebih

banyak lagi petani dapat dilayani kebutuhan

modalnya yang pada gilirannya dapat

ei

(evaluasi) bi ei bi bi ei bi

Jaminan Keamana 1.11 1.04 1.16 0.02 0.02

Tenggang Waktu Pembayaran 1.40 1.21 1.69 1.34 1.87

Tingkat Suku Bunga 1.47 0.85 1.25 1.51 2.22

Kecepatan Pelayanan 1.53 0.06 0.09 0.64 0.98

Kemudahan Persyaratan 1.55 0.08 0.12 1.38 2.13

Biaya Administrasi 1.23 1.06 1.30 1.64 2.01

Lokasi yang Strategis 1.13 0.81 0.92 0.04 0.04

Citra Lembaga Keuangan 0.79 1.60 1.27 0.02 0.01

Sikap Kepercayaan

Ao = βˆ‘ bi ei

Atribut Lembaga Keuangan

7.78 9.30

LK Formal LK Non Formal

Page 208: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

196

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

petani.

DAFTAR PUSTAKA

Hastuti, E.L. & Supadi, 2007. Aksesibilitas

Masyarakat Terhadap Kelembagaan

Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. P3SEP.

Sudaryanto, T dan M. Syukur, 2001. Pengembangan

Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung

Pembangunan Ekonomi Pedesaan. P3SEP.

Balitbang. Departemen Pertanian.

Syukur, M & H. Windarti, 2001. Karya Usaha

Mandiri : Sebuah Skim Pembiayaan Mikro

dalam Pengembangan Ekonomi Lokal.

PPSE. Bogor.

Syukur, M, dkk. 2003. Kinerja Kredit Pedesaan &

Alternatif Penyempurnaannya Untuk

Pengembangan Pertanian. PPSE. Bogor.

Page 209: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

197

Faktor Internal dan Eksternal yang Berperan Dalam Usahatani Tembakau

(Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus pada Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa

Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut)

Internal and External Factors that Had A Role in Tobacco Farming (Nicotiana

tabacum L.) (Case study on Mukti Satwa Farmer Group at Rancabango Village,

Tarogong Kaler District, Garut Regency)

Erizka Pramuditya1, Lucyana Trimo1

1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor

ABSTRAK

Kata Kunci:

Faktor internal dan

eksternal

Keberlanjutan

Kebijakan

Tembakau

Usahatani

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karaktersitik petani, faktor internal dan

eksternal yang berperan dalam usahatani tembakau, pendapatan usahatani tembakau,

faktor penghambat dalam usahatani tembakau, serta keberlanjutan usahatani tembakau

di Desa Rancabango. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain

kualitatif dengan metode studi kasus. Data diperoleh dari informan yang dipilih secara

sengaja. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dari ke sepuluh informan, faktor internal yang berperan dalam

usahatani tembakau adalah pendidikan, luas lahan, pengalaman usahatani, status

kepemilikan lahan, dan tradisi. Faktor eksternal yang berperan adalah keadaan alam,

budidaya, penyuluhan, dan peluang pasar. Pendapatan usahatani tembakau terbilang

cukup besar karena dapat menghasilkan pendapatan bersih 3-4 kali lipat dari modal

awal yang dikeluarkan oleh petani. Faktor penghambat dalam usahatani tembakau

adalah sarana produksi dan permodalan. Serta dapat dipastikan usahatani tembakau di

Desa Rancabango akan terus berlanjut melihat faktor internal dan eksternal yang

mendukung usahatani tembakau di desa tersebut.

ABSTRACT

Keywords:

Internal and external

factors

Sustainable

Policies

Tobacco

Farming

The aims of this research is to identify the characteristics of farmers, internal and

external factors which play a role in tobacco farming, tobacco farm income, inhibiting

factors in the farming of tobacco, as well as the sustainability of tobacco farming in

the Rancabango village. The design used in this study is a qualitative design with the

method of case study. Data obtained from informants selected intentionally. Data were

analyzed descriptively. The results showed that of the ten informants, characteristics

of tobacco farmer at Rancabango village, such as age ranged between 35-44 years

(50%), education only up to primary school (50%), the land area more than 1 ha

(40%), and farming experience ranged between 11-29 years (70%). Internal factors

that play a role in the farming of tobacco are education, land, farming experience,

tenure, and tradition. External factors that have a role are nature, cultivation,

education, and market opportunities. Tobacco farm income is quite high because it can

generate net income 3-4 times higher than the initial capital incurred by the farmer.

Inhibiting factors in tobacco farming is the production tools and capital. It can be

ascertained tobacco farm in the village of Rancabango will continue looking from the

internal and external factors that support the tobacco farm in the village.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 210: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

198

PENDAHULUAN Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

merupakan salah satu komoditas perkebunan

unggulan di Indonesia, hal ini terkait dengan Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor

511/Kpts/PD.310/9/2006 tanggal 12 September 2006

tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat

Jenderal Perkebunan, terdapat 127 komoditas binaan.

Prioritas penanganan difokuskan pada 15 komoditas

strategis yang menjadi unggulan nasional, yaitu

karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, jambu

mete, teh, cengkeh, jarak pagar, kemiri sunan, tebu,

kapas, tembakau, dan nilam.

Tembakau merupakan salah satu komoditas

perkebunan penting di Indonesia, hal ini terlihat dari

besarnya produksi tembakau Indonesia pada tahun

2010 yang menempatkan Indonesia masuk ke dalam

10 besar negara produsen tembakau di dunia dengan

peringkat keenam dunia (Tabel 1).

Tabel 4. Sepuluh Besar Negara Produsen

Tembakau di Dunia Tahun 2010 No. Negara Produksi (Ton)

1. China 3.005.753

2. Brazil 780.942

3. India 755.500

4. Amerika Serikat 326.008

5. Malawi 215.000

6. Indonesia 135.678

7. Argentina 123.300

8. Pakistan 119.323

9. Zimbabwe 109.737

10. Italia 97.200

11. Lainnya 1.445.452

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012:

Tembakau, 2011, Kementerian Pertanian.

Kontribusi tembakau untuk perekonomian

Indonesia dapat dilihat dari volume ekspor tembakau

di Indonesia. Hampir setiap tahunnya mengalami

peningkatan volume ekspor, namun terjadi

penurunan pada tahun 2011 sebesar 38.905 ton dan

pada tahun 2012 sebesar 37.700 ton. Dilihat dari

perkembangan volume ekspor tembakau di Indonesia

dari rentang tahun 2008 sampai dengan tahun 2012

terus mengalami peningkatan, yang terbesar adalah

peningkatan dari tahun 2009 ke tahun 2010 (Tabel 2).

Tabel 5. Perkembangan Volume Ekspor Tembakau

di Indonesia Tahun 2008-2012 Tahun Ekspor (ton)

2008 50.268

2009 52.515

2010 57.408

2011 38.905

2012 37.700

Total 236.796

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013. Tembakau memberikan kontribusi yang

cukup besar bagi negara, baik dari tenaga kerja

maupun pendapatan negara melalui cukai. Hal ini

dipicu dengan keadaan alam dan sumber daya yang

mendukung Indonesia menjadi negara penghasil

tembakau berkualitas.

Tak dipungkiri bahwa prospek pasar

tembakau dalam negeri pun sangatlah berpotensi,

karena masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa

mengkonsumsi tembakau dalam bentuk olahan

rokok, sehingga produsen rokok dalam negeri pun

terbilang cukup banyak dan bersaing untuk

memenuhi permintaan rokok dalam negeri dengan

berbagai produk yang ditawarkan yang dapat

menarik minta konsumen untuk membelinya.

Provinsi Jawa Barat memiliki objek

unggulan pada komoditas perkebunan dan tembakau

merupakan salah satu komoditas unggulan nasional

asal Jawa Barat. Produktivas tembakau di Jawa Barat

adalah yang terbaik, karena luas areal tanam

tembakau sama dengan luas tanaman tembakau yang

bisa menghasilkan. Kabupaten Garut merupakan

salah satu wilayah di Jawa Barat yang mempunyai

potensi sangat besar dalam mengembangkan

komoditi tembakau dan merupakan sentra produksi

tembakau di Jawa Barat karena Kabupaten Garut

memiliki luas areal dan produksi komoditi tembakau

terbesar di Jawa Barat, yaitu sebesar 4.099 Ha

berdasarkan Data Statistik Perkebunan Jawa Barat,

Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013.

Desa Rancabango merupakan salah satu desa

yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler yang

sangat terkenal dengan daerah penghasil tembakau di

wilayah Kabupaten Garut. Mayoritas masyarakat di

desa ini bermatapencaharian sebagai petani

tembakau. Berusahatani tembakau di desa ini sudah

menjadi mata pencaharian turun temurun yang

diwarisi oleh nenek moyang mereka.

Pemerintah mengeluarkan peraturan

pemerintah yang menentang produk olahan

tembakau, salah satunya adalah PP No. 109 Tahun

2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung

zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.

Petani tembakau di beberapa daerah mengalami

masalah akibat ditetapkannya PP No. 109 Tahun

2012, karena berdampak pada usahatani tembakau

mereka yang sekaligus sebagai mata pencaharian

utama. Hal tersebut tidak membuat petani-petani di

Desa Rancabango ini beralih dari usahatani tembakau

ke komoditas lain atau beralih matapencaharian ke

sektor nonpertanian. Masyarakat Desa Rancabango

masih bertahan untuk berusahatani tembakau, justru

komoditas tembakau inilah yang menjadi komoditas

Page 211: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

199

utama yang diusahakan oleh masyarakat di Desa

Rancabango.

KERANGKA TEORI

Tembakau merupakan salah satu komoditas

perdagangan penting di dunia. Indonesia masuk ke

dalam 10 besar negara produsen tembakau di dunia

dengan peringkat keenam dunia. Tembakau sebagai

penyumbang devisa negara dan menyerap tenaga

kerja yang cukup besar.

Pemerintah mengeluarkan beberapa

kebijakan yang berkaitan dengan tembakau. Salah

satu kebijakan yang dikeluarkan adalah PP No. 109

Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang

mengandung zat adiktif berupa produk tembakau

bagi kesehatan. Pemerintah berusaha melindungi

masyarakat dari bahaya zat adiktif yang terkandung

dalam rokok yang berbahan baku dari daun

tembakau. Sudah banyak petani di beberapa daerah

yang mengalami gulung tikar akibat disahkannya PP

No. 109 Tahun 2012 ini. Namun, hal ini tidak terjadi

kepada para petani tembakau di Desa Rancabango.

Desa Rancabango merupakan salah satu desa

yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler,

Kabupaten Garut. Desa Rancabango sudah sangat

terkenal sebagai daerah penghasil tembakau

berkualitas, tidak hanya terkenal di daerah Garut saja,

namun sudah terkenal sampai ke Temanggung, Jawa

Tengah. Para petani di Desa Rancabango sudah sejak

lama melakukan kerjasama dengan tengkulak

tembakau di Temanggung. Sehingga tidak sulit untuk

memasarkan hasil panen tembakau. Maka dari itu,

peneliti ingin mengetahui faktor apa yang membuat

petani tembakau masih tetap bertahan berusahatani

tembakau walaupun sudah terdapat peraturan atau

kebijakan yang terkait dengan tembakau yang

dikeluarkan pemerintah yang menyebabkan petani di

beberapa daerah mengalami gulung tikar. Peneliti

ingin mengetahui besarnya pendapatan petani dari

usahatani tembakau itu sendiri, serta mengetahui

faktor internal dan eksternal dalam ushataani

tembakau, serta faktor-faktor penghambat dalam

usahatani tembakau. Ketiga aspek, akan menentukan

keberlanjutan usahatani tembakau di Desa

Rancabango.

Gambar 1. Alur Pemikiran

Page 212: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

200

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan Kelompok Tani

Mukti Satwa yang terletak di Desa Rancabango,

Kabupaten Garut, Jawa Barat Penelitian ini

menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian

berupa studi kasus.

Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara

yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabel-

variabel yang berkaitan dengan penelitian, serta

dengan cara observasi pastisipasif, menggunakan

dokumentasi, dan studi pustaka. Identifikasi

karakteristik petani, faktor internal dan eksternal,

faktor penghambat, dan keberlangsungan usahatani

tembakau menggunakan analisis deksripstif, serta

pendapatan usahatani tembakau menggunakan

analisis pendapatan usahatani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan Umum Tempat Penelitian

Desa Rancabango merupakan salah satu desa

yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler,

Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

Desa Rancabango berada pada ketinggian

718 meter di atas permukaan laut (dpl) dan suhu rata-

rata harian berkisar antara 24-28oC. Wilayah ini

cukup sesuai untuk ditanami komoditas perkebunan

tembakau. Tembakau yang diusahakan di Desa

Rancabango merupakan jenis tembakau lokal, seperti

Darwati, Adung, Dasep, Kedungnani, Kedug olog

dan Kedung tamru. Jenis tembakau darwati yang

paling digemari oleh penduduk Desa Rancabango

karena kualitasnya yang baik dan aromanya yang

wangi.

Desa Rancabango memiliki luas wilayah

sebesar 1.002,591 Ha. Luas wilayah tersebut dibagi

menjadi beberapa penggunaan lahan dan luas lahan

terbesar adalah 440 Ha digunakan sebagai lahan

perkebunan. berdasarkan Data Profil Desa

Rancabango Tahun 2013. Sebagian besar masyarakat Desa

Rancabango bermatapencaharian di bidang

pertanian, yaitu sebanyak 500 orang bekerja sebagai

petani dan sebanyak 3.200 orang bekerja sebagai

buruh tani berdasarkan Data Profil Desa Rancabango

Tahun 2013.

Pertanian merupakan sektor yang sangat

penting bagi masyarakat Desa Rancabango. Luas

wilayah di Desa Rancabango sebagian besar

digunakan untuk lahan pertanian. Adapun tiga

komoditas unggulan di Desa Rancabango, yaitu

kedelai dengan luas lahan sebsar 130 Ha, tembakau

dengan luas lahan 90 Ha, dan padi dengan luas lahan

45 Ha berdasarkan Data Profil Desa Rancabango

Tahun 2014.

Banyaknya jenis tembakau dan kedelai yang

ditanam oleh masyarakat, menunjukkan bahwa

petani di Desa Rancabango mengandalkan kedua

jenis komoditas tersebut sebagai sektor utama

pertanian di daerah mereka. Terutama komoditas

tembakau yang memberikan pendapatan yang cukup

besar bagi para petani di Desa Rancabango.

2. Karakteristik Petani

(1) Umur petani

Tabel 3. Distribusi Umur Petani

Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

≀ 25 tahun 0 0

25-34 tahun 1 10

35-44 tahun 5 50

45-54 tahun 2 20

55-64 tahun 2 20

β‰₯ 64 tahun 0 0

Jumlah 10 100

Berdasarkan penelitian, diperoleh umur petani

yang menjadi informan paling banyak berada pada

kelompok umur 35-44 tahun sebesar 50% (Tabel 3).

Umur informan yang paling muda berusia 30 tahun

dan umur informan yang paling tua berusia 64 tahun.

(2) Pendidikan

Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan Petani

Tingkat

Pendidikan

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

Tidak Sekolah 1 10

SD 5 50

SMP 1 10

SMA 3 30

Perguruan Tinggi 0 0

Jumlah 10 100

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera

pada Tabel 4, diperoleh informasi, bahwa dari

sepuluh informan hanya tiga orang yang menamatkan

sekolah hingga ke SMA, satu orang menamatkan

sekolah hanya sampai ke jenjang SMP, lima orang

hanya dapat menamatkan SD, serta satu orang tidak

bersekolah. Dapat disimpulkan, bahwa tingkat

pendidikan 10 petani tembakau yang termasuk ke

dalam Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa

Raancabango masih rendah, yaitu 50% dari seluruh

informan berlatar belakang pendidikan SD.

(3) Jumlah Tanggungan Keluarga

Page 213: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

201

Tabel 5. Distribusi Jumlah Tanggungan

Keluarga

Jumlah Tanggungan

Keluarga (Orang)

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

0-3 3 30

4-5 5 50

> 5 2 20

Jumlah 10 100

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada

Tabel 5, diperoleh hasil rata-rata dari 10 informan

petani tembakau di Desa Rancabango yang termasuk

ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa memiliki

jumlah tanggungan keluarga antara 4-5 orang, yaitu

sebesar 50%. Artinya, rata-rata dari 10 informan

merupakan keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu,

dan anak. Besar kecilnya keluarga akan memotivasi

dan mempengaruhi rumah tangga dalam menentukan

besar kecilnya konsumsi dan pendapatan. Semakin

besar keluarga, maka akan semakin besar pula

pendapatan sekaligus konsumsi rumah tangganya,

begitupun sebaliknya.

(4) Luas Lahan

Tabel 6. Distribusi Luas Lahan Petani

Luas Lahan

(Ha)

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

< 0,5 3 30

0,5-1 2 30

>1 5 40

Jumlah 10 100

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera

pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa rata-rata dari 10

informan memiliki luas lahan >1 ha sebanyak 40%.

Hal ini menunjukkan bahwa keadaan penguasaan

lahan dari 10 petani relatif luas. Semakin besar lahan

yang digunakan untuk berusahatani tembakau, maka

dibutuhkan tenaga kerja dan modal yang semakin

banyak pula. Tenaga kerja sendiri akan sangat sulit

ditemukan karena pada waktu tanam petani tembakau

yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti

Satwa di Desa Rancabango akan menanam tembakau

pada saat yang bersamaan dengan petani tembakau

yang lain dengan pemakaian tenaga kerja dalam satu

waktu.

(5) Pengalaman Usahatani

Tabel 7. Distribusi Pengalaman Usahatani

Pengalaman

Usahatani (Tahun)

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

≀ 10 1 10

11-29 7 70

β‰₯ 30 2 20

Jumlah 10 100

Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa

sebagian besar dari informan memiliki pengalaman

usahatani tembakau selama 11 hingga 29 tahun.

Usahatani tembakau merupakan suatu tradisi turun

temurun bagi masyarakat Desa Rancabango dan

sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka.

Sebagian besar informan sudah mulai berusahatani

tembakau sejak usia dini, mereka ikut berpartisipasi

dan meneruskan usahatani yang dijalankan oleh

orang tuanya. Oleh karena itu, rata-rata dari 10

informan petani tembakau yang termasuk ke dalam

Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango

memiliki pengalaman usahatani tembakau lebih dari

10 tahun.

3. Faktor Internal yang Berperan dalam

Usahatani Tembakau

Faktor internal merupakan faktor-faktor

yang berasal dari dalam diri petani atau keluarga.

(1) Umur petani

Berdasarkan hasil penelitian, petani yang

berada pada usia produktif kemampuan kerjanya

masih cukup baik dalam mengelola usahatani

tembakau. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian,

diperoleh umur petani yang menjadi informan paling

banyak berada pada kelompok umur 35-44 tahun,

yaitu dengan persentase sebesar 50% (Tabel 3).

Umur informan yang paling muda berusia 30 tahun

dan umur informan yang paling tua berusia 64 tahun.

Dari ke sepuluh informan petani tembakau yang

termasuk ke dalam Kelompok Mukti Satwa Desa

Rancabango, rata-rata berada pada usia produktif

untuk bekerja. Artinya, kinerja atau usaha yang

dilakukan oleh petani dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan akan semakin maksimal karena berada

pada usia produktif. Kemampuan kerja produktif

akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia

petani. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa petani-

petani yang lebih tua tampaknya kurang cenderung

melakukan difusi inovasi pertanian dari pada mereka

yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih

muda biasanya akan lebih bersemangat dibanding

dengan petani yang lebih tua, dengan demikian ada

kecenderungan bahwa umur petani akan

mempengaruhi motivasi dalam menerapkan

usahatani yang berdampak pada produktivitas

usahataninya.

(2) Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4),

diperoleh informasi, bahwa dari sepuluh informan

hanya tiga orang yang menamatkan sekolah hingga

ke SMA, satu ornag menamatkan sekolah hanya

sampai ke jenjang SMP, lima orang hanya dapat

menamatkan SD, serta satu orang tidak bersekolah.

Dapat disimpulkan, bahwa tingkat pendidikan 10

petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok

Page 214: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

202

Tani Mukti Satwa di Desa Raancabango masih

rendah, yaitu 50% dari seluruh informan berlatar

belakang pendidikan SD. Kondisi ini terjadi karena

di masa lalu sarana dan prasarana pendidikan masih

sangat minim di Desa Rancabango, serta

keterbatasan ekonomi masyarakat menyebabkan para

informan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi, dan lebih bergantung untuk

menjadi petani tembakau saja meneruskan tradisi

turun temurun keluarga.

Selain pendidikan formal, pendidikan non

formal pun penting untuk menunjang keahlian

maupun kemampuan petani. Petani mendapatkan

pendidikan non formal, yaitu berupa pelatihan yang

diberikan oleh penyuluh dari Dinas Perkebunan

Kabupaten Garut maupun UPTD. Sebelum anggota

resmi menjadi anggota kelompok tani, biasanya akan

diberikan pelatihan berupa SLPHT (Sekolah Latihan

Pengendalian Hama Terpadu).

(3) Jumlah Tanggungan Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera

pada Tabel 5, diperoleh hasil rata-rata dari 10

informan petani tembakau di Desa Rancabango yang

termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa

memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 4-5

orang, yaitu sebesar 50%. Artinya, rata-rata dari 10

informan merupakan keluarga kecil yang terdiri dari

ayah, ibu, dan anak. Besar kecilnya keluarga akan

memotivasi dan mempengaruhi rumah tangga dalam

menentukan besar kecilnya konsumsi dan

pendapatan. Semakin besar keluarga, maka akan

semakin besar pula pendapatan sekaligus konsumsi

rumah tangganya, begitupun sebaliknya.

(4) Luas Lahan

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6), dapat

diketahui bahwa rata-rata dari 10 informan memiliki

luas lahan >1 ha sebanyak 40%. Hal ini

menunjukkan bahwa keadaan penguasaan lahan dari

10 petani relatif luas. Berdasarkan hasil

penelitian, diperoleh informasi bahwa luas lahan

memang berperan dalam usahatani tembakau ini,

namun tidak menjadi masalah apabila lahan yang

diusahakan sempit atau luas, karena dari 10 informan

terdapat berbagai macam luas lahan yang dimiliki

informan, dari yang sempit hingga luas. Intinya

sempit atau luas lahan yang dimiliki tetap saja akan

ditanami oleh tembakau sebagai komoditas utamanya

dan sudah menjadi ciri khas Desa Rancabango

sebagai desa penghasil tembakau.

(5) Pengalaman Usahatani

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

(Tabel 7), diperoleh hasil bahwa lama pengalaman

usahatani tembakau sepuluh informan berkisar antara

10-40 tahun. Sebagian besar dari informan memiliki

pengalaman usahatani tembakau selama 11 hingga 29

tahun. Usahatani tembakau merupakan suatu tradisi

turun temurun bagi masyarakat Desa Rancabango

dan sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka.

Sebagian besar informan sudah mulai berusahatani

tembakau sejak usia dini, mereka ikut berpartisipasi

dan meneruskan usahatani yang dijalankan oleh

orang tuanya. Oleh karena itu, rata-rata dari 10

informan petani tembakau yang termasuk ke dalam

Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango

memiliki pengalaman usahatani tembakau lebih dari

10 tahun.

(6) Status Kepemilikan Lahan

Tabel 8. Status Kepemilikan Lahan Status Kepemilikan

Lahan

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

Milik 7 70

Milik dan Sewa 1 10

Milik dan Sakap 2 20

Jumlah 10 100

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa

sebagian besar informan memiliki lahan untuk

usahatani tembakau sengan status milik. Hal ini

disebabkan informan merupakan orang asli Desa

Rancabango yang sejak lahir tinggal di sana, dan

orang tuanyapun bekerja sebagai petani tembakau,

sehingga banyak yang mendapatkan lahan yang

diwarisi oleh orang tuanya untuk melanjuti usahatani

tembakau.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui

bahwa petani yang masuk ke dalam Kelompok Tani

Mukti Satwa harus mempunyai lahan sendiri dengan

mempunyai sertifikat lahannya tersebut. Namun,

terdapat beberapa petani yang mempunyai lahan

tambahan dengan status sewa ataupun sakap. Status

kepemilikan lahan milik sendiri tentunya memiliki

banyak keuntungan dibanding dengan sewa maupun

sakap. Lahan milik sendiri hanya mengeluarkan

biaya untuk pajak lahan setiap tahunnya, sedangkan

untuk sewa dan sakap perlu membayar lahan tersebut

dengan uang maupun bagi hasil panen tembakau.

Lahan milik sendiri mendukung petani untuk terus

mengusahakan tembakau, yang biasanya merupakan

lahan warisan dari orang tua petani, sehingga

memudahkan petani untuk terus melanjutkan

usahatani tembakau di Desa Rancabango.

(7) Tradisi

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh

informasi bahwa usahatani tembakau di Desa

Rancabango merupakan usahatani turun temurun dari

keluarga yang sudah ada sejak jaman nenek moyang

yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Keadaan

alam maupun iklim di Desa Rancabango sudah

sangat cocok dan mendukung untuk usahatani

Page 215: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

203

tembakau sehingga masyarakatnya masih bertahan

untuk berusahatani tembakau dan merupakan mata

pencaharian utama bagi para petani.

4. Faktor Eksternal yang Berperan dalam

Usahatani Tembakau

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang

berasal dari luar petani dan keluarganya, seperti

budidaya, keadaan alam, ketersediaan sarana dan

prasarana, modal, penyuluhan, harga, dan peluang

pasar.

1. Keadaan Alam

1) Suhu

Tanaman tembakau pada umumnya tidak

menghendaki iklim yang kering ataupun iklim yang

basah. Suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan

tanaman tembakau berkisar antara 21-32oC. Desa

Rancabango memiliki suhu rata-rata harian berkisar

antara 24-28oC. Maka dari itu, wilayah ini cukup

sesuai untuk ditanami komoditas perkebunan

tembakau karena mempunyai suhu yang ideal untuk

ditanami tembakau, tidak terlalu panas maupun

dingin.

2) Ketinggian Tempat

Tanaman tembakau dapat tumbuh pada

dataran rendah maupun dataran tinggi bergantung

pada varietasnya. Ketinggian tempat yang paling

cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau adalah

0-900 mdpl. Desa Rancabango berada pada

ketinggian 718 mdpl, Demikian dapat dikatakan

tembakau sangat cocok untuk ditanam di Desa

Rancabango.

3) Penyinaran Matahari

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui

bahwa di Desa Rancabango penyinaran bagi

pertumbuhan tembakau cukup baik, karena tembakau

yang sudah ditanaman di lahan tidak terhalangi oleh

tanaman-tanaman besar yang dapat menghalangi

penyinaran dari tembakau. Setiap kali musim tanam

lahan dibersihkan dari tanaman-tanaman besar yang

dapat menghalangi penyinaran tembakau, sehingga

tembakau dapat tumbuh dengan baik.

4) Kesuburan Tanah

Berdasarkan hasil penelitian, dapat

diketahui bahwa Desa Rancabango memiliki lahan

yang subur sehingga petani tembakau tidak sulit

untuk membudidayakan tanaman tembakau. Lahan

yang hendak ditanami tembakau hanya perlu

dibersihkan dari gulma yang mengganggu dan

digemburkan saja agar tanahnya menjadi lebih subur

dan mudah untuk ditanamani tembakau.

2. Budidaya

Pemeliharaan tembakau terbilang mudah.

Petani tidak perlu melakukan penyiraman karena

tanaman tembakau hanya mengandalkan air hujan

sebagai sumber kebutuhan air pada tembakau.

Pemeliharaan cukup dengan membersihkan lahan

dari gulma yang mengganggu. Pengendalian hama

dan penyakit dilakukan dengan memberikan

pestisida pada tanaman tembakau. Tembakau sering

terkena hama, yaitu kutu tembakau dan ulat yang

menyerang tembakau. Petani menggunakan pestisida

untuk mengatasi masalah hama tersebut. Pestisida

yang biasa digunakan oleh petani pada Kelompok

Tani Mukti Satwa adalah pestisida berbahan aktif

imidaklorid.

Tembakau baru bisa dipanen setelah

mencapai umur 30–40 hari setelah tanam (HST).

Pemanenan tembakau dilakukan dengan cara

memetik daun mulai dari bagian bawah sampai

bagian atas. Dalam 1 pohon dapat dipanen daun

basah sebanyak 4–5 kali panen. Kegiatan pemanenan

biasanya dilakukan sekitar bulan Juni–Agustus. Jika

tembakau yang dihasilkan bagus, dalam 1 pohon

dapat menghasilkan 1 kg tembakau basah, namun

jika hasil kurang bagus, dalam 1 pohon hanya dapat

menghasilkan Β½ kg tembakau basah saja. Jadi, dalam

1 ha lahan yang ditanami 14.000 pohon tembakau

dapat menghasilkan 14 ton (kualitas bagus) atau 7 ton

(kualitas rendah).

3. Ketersediaan Sarana Produksi

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui

bahwa ketersediaan sarana produksi pertanian

cukuplah baik, namun untuk pupuk dirasakan sulit

oleh petani karena terkadang pada saat musim tanam

tembakau, pupuk di pasaran itu langka dan bantuan

dari Dinas Perkebunan tidak rutin. Hal ini dapat

terlihat bahwa Kelompok Tani Mukti Satwa

mengajukan proposal bantuan kepada Dinas

Perkebunan Kabupaten Garut pada tahun 2013 dan

bantuannya baru terealisasikan pada tahun 2014

kemarin. Sehingga petani tidak dapat mengandalkan

bantuan dari dinas saja, petani harus mencari

kebutuhan untuk membudidayakan tembakau

sendiri.

4. Modal

Menurut 10 informan petani tembakau yang

termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa,

modal untuk berusahatani tembakau mereka

dapatkan sendiri, yaitu dengan cara menabung (sisa

pendapatan dari tanaman yang sebelumnya

diusahakan) maupun dengan cara meminjam kepada

orang-orang terdekat. Peminjaman yang dilakukan

berbeda-beda, ada yang meminjam dalam bentuk

barang, seperti pupuk dan ada juga dalam bentuk

uang yang nantinya akan diganti pada saat sudah

mendapatkan hasil dari panen tembakau. Tidak

adanya peran dari lembaga keuangan, seperti

koperasi maupun bank membuat petani kesulitan

dalam hal permodalan untuk memulai usahataninya.

Walalupun modal yang dimiliki sedikit para petani

Page 216: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

204

ini tetap akan menanam tembakau, yang berbeda

hanyalah dari berapa banyak pohon yang bisa

ditanam karena jumlah pohon menentukan pula

banyaknya pupuk yang akan digunakan.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui

bahwa modal awal untuk usahatani tembakau tidak

terlalu besar dibandingkan dengan tanaman lain.

Modal awal yang dikeluarkan hanyalah untuk

kebutuhan saprodi, seperti pupuk dan pestisida, pajak

lahan, serta tenaga kerja. Tidak ada perawatan

khusus, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan

biaya tambahan. Modal awal yang kecil dari

usahatani tembakau mampu memberikan

penghasilan yang cukup besar bagi petani, hal inilah

yang mendorong petani untuk tetap bertahan

mengusahakan tembakau di Desa Rancabango.

5. Penyuluhan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan

di lapangan diketahui bahwa kegiatan penyuluhan

biasa dilakukan setiap sebulan sekali. Penyuluh

berasal dari Dinas Perkebunan Kabupaten Garut.

Tempat penyuluhan biasa dilakukan di rumah Ketua

Kelompok Tani Mukti Satwa, di lahan maupun di

gudang milik kelompok tani. Metode yang digunakan

penyuluh untuk memberikan penyuluhan kepada

anggota kelompok tani cukup mudah, yaitu dengan

cara mempresentasikan terlebih dahulu, lalu

dipraktikan langsung di lapangan. Penyampaian

penyuluhan tidak hanya satu arah, namun dua arah

agar terjalinnya komunikasi timbal balik serta supaya

saling mengeluarkan pendapatan dan pikiran,

sehingga tidak hanya petani yang mendapatkan ilmu

dari penyuluh, namun penyuluh pun mendapatkan

ilmu dari petani.

6. Peluang Pasar

1) Permintaan

Permintaan berhubungan dengan pembeli.

Permintaan tembakau setiap tahunnya meningkat

(menurut Pak Tatang selaku Ketua Kelompok Tani

Mukti Satwa yang mengelola pemasaran tembakau

ke daerah Temanggung). Hal ini terlihat dari para

tengkulak dari Temanggung yang semakin banyak

berdatangan dan meminta kerja sama dengan

kelompok tani. Tembakau Rancabango sudah sangat

terkenal, jadi tak heran jika para pembeli berdatangan

untuk membeli tembakau dari Rancabango ini.

Tembakau Rancabango sudah terkenal dengan merk

β€œGunung Putri” sampai ke daerah Jawa Tengah.

Namun, permintaan dari Temanggung yang

tinggi belum dapat tercukupi oleh petani di

Rancabango, sehingga kelompok tani harus

mengambil tembakau dari daerah lain, seperti

Sumedang serta daerah Garut dan sekitarnya.

2) Penawaran

Penawaran berhubungan dengan penjual.

Sehubungan dengan permintaan tembakau yang

selalu meningkat setiap tahunnya, maka harus

ditunjang dengan penawaran tembakau yang tinggi

pula guna memenuhi permintaan tersebut. Menurut

Pak Tatang selaku Ketua Kelompok Tani, produksi

tembakau di kelompok tani terus meningkat karena

terus adanya pembinaan dari dinas maupun dari

kesadaran para petani itu sendiri. Tembakau

memiliki prospek yang sangat menjanjikan, sehingga

seberapapun luas lahan yang dimiliki petani, petani

akan berusaha keras untuk menghasilkan tembakau-

tembakau berkualitas dan volume produksi yang

besar pula. Tembakau di sini hanya bisa ditanam

setahun sekali, tak heran bila petani sangat berharap

pada tanaman tembakau, karena pendapatan yang

dihasilkan dari tembakau terbilang cukup besar dan

lebih besar dari komoditas lain yang ditanam oleh

petani di Rancabango.

3) Harga

Masalah harga ditentukan oleh pembeli dan

kelompok tani dan Pak Tatang selaku Ketua harus

memusyawarahkannya dengan anggota kelompok

serta ketua mengetahui harga pasaran tembakau. Jika

sudah ada kecocokan harga, maka dibentuklah

perjanjian dalam bentuk MOU antara pembeli dan

kelompok tani. Pihak Temanggung akan melakukan

survey terlebih dahulu ke Rancabango pada saat

musim tanam, sehingga mereka bisa melihat kondisi

tembakau yang ditanam dan bisa menego harga.

5. Pendapatan Usahatani Tembakau

Tabel 9. Distribusi Pendapatan Usahatani

Tembakau

Infroman (TR) (TC) (Y)

1 Rp 98,000,000 Rp 24.342.800 Rp 73.657.200

2 Rp 22,050,000 Rp 5,507,150 Rp 16,542,850

3 Rp 26,950,000 Rp 6,553,550 Rp 20,396,450

4 Rp 7,350,000 Rp 1,882,700 Rp 5,467,300

5 Rp 7,350,000 Rp 1,882,700 Rp 5,467,300

6 Rp 41,650,000 Rp 10,023,450 Rp 31,626,550

7 Rp 36,750,000 Rp 8,726,000 Rp 28,024,000

8 Rp 34,300,000 Rp 8,224,000 Rp 26,076,000

9 Rp 7,350,000 Rp 1,882,700 Rp 5,467,300

10 Rp 24,500,000 Rp 5,903,150 Rp 18,596,850

Terlihat pada Tabel 9, bahwa tembakau sangatlah

menguntungkan. Pendapatan bersih bisa mencapai 4-

5 kali lipat dari modal yang dikeluarkan untuk

berusahatani tembakau. Tak heran masyarakat di

Desa Rancabango tetap bertahan untuk berusahatani

Page 217: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

205

tembakau, karena sangat menguntungkan. Modal

yang tidak terlalu besar dan budidaya yang tidak sulit

dibandingkan dengan komoditas lainnya.

6. Faktor Penghambat dalam Usahatani

Tembakau

Tabel 10. Faktor Penghambat dalam Usahatani

Tembakau di Desa Rancabango No. Faktor

Penghambat

Menghambat/Tidak

1. Perubahan iklim Tidak menghambat

2. Budidaya Tidak menghambat

3. Sarana produksi Menghambat

4. Permodalan Menghambat

5. Tenaga kerja Tidak menghambat

6. Menurunnya

lahan pertanian

Tidak menghambat

7. Perubahan harga Tidak menghambat

8. Kebijakan Tidak menghambat

Berdasarkan hasil penelitian yang dicantumkan

dalam tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

dari delapan faktor penghambat dalam usahatani

tembakau hanya dua faktor yang menghambat

usahatani tembakau, yaitu dari segi penyeiaan sarana

produksi dan permodalan. Penyediaan sarana

produksi, khususnya pada pupuk dirasakan sulit

karena pada saat musim tanam tembakau pupuk

langka di pasaran, hal ini diprediksi oleh petani

karena adanya penyumbatan pada pihak tengkulak

pupuk. Permasalahan ini membuat petani kesulitan

mencari pupuk hingga keluar desa, kalaupun ada

pupuk di pasaran dijual dengan harga yang jauh lebih

tinggi. Maka dari itu, petani harus menyimpan stok

pupuk sebelum musim tanam tiba, sehingga ketika

musim tanam tembakau, petani tidak kesulitan

mencari pupuk ataupun kekurangan pupuk karena

akan berpengaruh pada pertumbuhan maupun

kualitas daun tembakau itu sendiri. Faktor

selanjutnya yang menghambat ialah permodalan.

Pendapatan petani dari tembakau memang terbilang

besar, namun petani di Desa Rancabango belum

dapat mengelola keuangan mereka dengan baik dan

petani bersifat konsumtif, yaitu ketika sudah

memiliki uang dari hasil panen tembakau, mereka

langsung memberlanjakan uang tersebut tanpa

memikirkan keberlanjutan usahataninya, sehingga

pada saat akan menanam tembakau kembali, petani

kekurangan modal. Tidak ada peran dari lembaga

keuangan, seperti koperasi maupun bank memacu

petani untuk tidak mengelola keuangannya dengan

baik. Tidak adanya koperasi di desa maupun dalam

kelompok tani, serta para petani yang tidak mau

berurusan dengan bank karena dirasakan sulit untuk

melakukan pinjaman kepada pihak bank dan

prosedurnya pun sulit. Sumber permodalan petani

biasa dari pribadi, yaitu uang mereka bergulir karena

mengusahakan komoditas selain tembakau. Jika

petani kekurangan modal, petani akan meminjam

kepada sanak saudara dalam bentuk uang atau kepada

para pedangang toko, namun yang dipinjamkan

dalam bentuk barang seperti pupuk atau pestisida.

7. Keterkaitan Karakteristik Petani dengan

Faktor Internal dan Eksternal dalam

Usahatani Tembakau

Berdasarkan karakteristik petani serta faktor

internal dan eksternal yang terdapat pada petani Desa

Rancabango dapat diambil kesimpulan bahwa ketiga

variabel ini berkaitan satu sama lain mendukung

usahatani tembakau di Desa Rancabango. Ketiga

variabel inilah yang mendorong petani untuk terus

mengusahakan tembakau walaupun terdapat

beberapa penghambat dalam mengusahakan

tembakau. Penghambat tersebut tidak menjadi

penghalang bagi petani untuk berhenti berusahatani

tembakau. Justru petani tembakau di Desa

Rancabango masih bertahan dan terus melanjutkan

usahatani tembakau yang sudah ada sejak jaman

nenek moyang yang diturunkan oleh keluarga yang

sudah menjadi tradisi untuk terus dilestarikan sebagai

mata pencaharian utama masyarakat Desa

Rancabango.

8. Keberlanjutan Usahatani Tembakau di Desa

Rancabango

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

di Desa Rancabango, petani tembakau di desa

tersebut tidak mengalami dampak akibat

pemberlakuan PP No. 109 Tahun 2012 tentang

pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif

berupa produk tembakau bagi kesehatan yang

dikeluarkan pemerintah. Petani tembakau di Desa

Rancabango masih bertahan untuk mengusahakan

tembakau yang sekaligus sebagai komoditas utama di

desa ini. Adanya peran dari penyuluh, UPTD,

maupun Dinas Perkebunan Kabupaten Garut justru

mendukung pengembangan komoditas tembakau di

Desa Rancabango. Faktor internal dan faktor

eksternal yang terdapat pada petani tembakau yang

termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa juga

berperan dalam mendukung keberlanjutan usahatani

tembakau di Desa Rancabango. Tidak hanya faktor

internal dan faktor eksternal saja yang berperan

dalam usahatani tembaku di Desa Rancabango,

namun terdapat faktor penghambat yang dapat

menghambat usahatani tembakau di Desa

Rancabango. Faktor penghambat yang didapatkan

dari hasil penelitian, yaitu penyediaan pupuk (sarana

produksi) dan permodalan. Belum ada solusi pasti

dari pihak petani, kelompok tani, maupun dinas

terkait untuk menanggulangi masalah tersebut.

Namun sejauh ini, usahatani tembakau di Desa

Page 218: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

206

Rancabango masih tetap berjalan walaupun ada

faktor yang menghambatnya.

Diasumsikan, jika Indonesia selamanya tidak

meratifikasi FCTC (Framework Convention on

Tobacco Control) karena PP No. 109 Tahun 2012

mengacu pada FCTC, maka usahatani tembakau

dapat dipastikan terus berlanjut karena dapat

memberikan pendapatan yang cukup besar bagi

petani, serta usahatani tembakau ini merupakan

tonggak utama bagi industri rokok untuk

menjalannya usahanya. Serta didukung oleh faktor

internal dan eksternal yang sudah cukup baik dalam

keberlanjutan usahatanu tembakau di Desa

Rancabango.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor internal yang berperan dalam usahatani

tembakau adalah pendidikan, luas lahan,

pengalaman usahatani, status kepemilikan lahan,

dan tradisi.

2. Faktor eksternal yang berperan dalam usahatani

tembakau adalah keadaan alam, budidaya,

penyuluhan, dan peluang pasar.

3. Pendapatan usahatani tembakau terbilang cukup

besar karena dapat menghasilkan pendapatan

bersih 3-4 kali lipat dari modal awal yang

dikeluarkan oleh petani tembakau.

4. Faktor penghambat dalam usahatani tembakau di

Desa Rancabango adalah dalam penyediaan

sarana produksi dan permodalan.

5. Usahatani tembakau di Desa Rancabango dapat

terus berlanjut dikarenakan tidak ada dampak dari

PP No. 109 Tahun 2012 kepada petani tembakau

di desa tersebut, serta didukung oleh faktor

internal dan eksternal yang ada. Jika diasumsikan

pemerintah tidak meratifikasi FCTC (Framework

Convention on Tobacco Control), usahatani

tembakau di Desa Rancabango dapat terus

berlanjut.

SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang

dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Petani harus berinovasi dalam budidaya tembakau

contohnya dengan menggunakan benih

bersertifikat, menggunakan pupuk organik,

pembuatan pestisida organik dari sisa tembakau

(batang), dan hormon perangsang tumbuh supaya

hasil produksi meningkat agar dapat memenuhi

permintaan tembakau dari Temanggung yang

selama ini belum terpenuhi dengan baik sehingga

pendapatannya pun aka meningkat.

2. Perlu adanya pembinaan kepada petani mengenai

produk olahan selain rokok, yaitu pestisida

organik yang terbuat dari sisa tembakau seperti

batang pohon tembakau. Sehingga tembakau

tidak hanya dijual daun basahnya saja sebagai

bahan utama rokok, namun petani dapat menjual

pestisida organik dari batang tembakau dari

pohon tembakau yang mereka miliki.

3. Penyuluh hendaknya memberikan penyuluhan

mengenai cara mengelola keuangan yang baik

agar petani dapat mengetahui dan mengelola

keuangannya dengan baik dan benar sehingga

tidak terjadi kekurangan modal ketika petani akan

menanam tembakau di musim berikutnya.

4. Perlu adanya pembinaan kelompok tani dengan

dibuatnya sebuah koperasi sebagai lembaga

pembiayaan usahatani bagi anggota kelompok

tani untuk membantu petani dalam memanajemen

keuangan mereka dengan cara iuran atau

menabung pada koperasi tersebut sehinga dapat

meminimalisir kesulitan dalam hal permodalan

serta koperasi tersebut dapat membantu dalam hal

penyediaan sarana produksi sehingga usahatani

tembakau bisa berjalan dengan baik.

5. Pemerintah diharapkan membuat kebijakan-

kebijakan mengenai tembakau dengan

memperhatikan nasib petani tembakau sehingga

tidak ada petani tembakau yang harus mengalami

gulung tikar karena tembakau merupakan

komoditas penting yang dapat memberikan devisa

bagi negara dan menyerap tenaga kerja yang

cukup banyak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima

kasih kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi

dalam membantu kelancaran penyelesaian

makalah. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Dr. Ir. Lucyana Trimo, MSIE. selaku dosen

pembimbing.

2. Kepala Desa Rancabango dan seluruh

perangkat Desa Rancabango.

3. Pak Tatang selaku ketua Kelompok Tani Mukti

Satwa.

4. Para anggota Kelompok Tani Mukti Satwa

Desa Rancabango.

5. Pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat

dan Dinas Perkebunan Kabupaten.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Anton Sulistyo. 2006. Analisis Usahatani

Tembakau. Skripsi Sarjana Pertanian,

Page 219: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

207

Agribisnis. Universitas Muhammadiyah

Malang.

Andityo Triutomo. 2014. β€œPerlukah Indonesia

Meratifikasi FCTC”.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014

/05/04/perlukah-indonesia-meratifikasi-fctc-

framework-convention-on-tobacco-control-

653496.html. Diakses pada tanggal 18

September 2014.

Anwas, Adiwilaga. 1982. Ilmu Usaha Tani. Alumni:

Bandung.

Bachraen Saeful, 2012. Penelitian Sistem Usaha

Pertanian di Indonesia. Bandung : IPB

Press.

Badan Pusat Statistika, 2012. Perkembangan Volume

Ekspor Tembakau di Indonesia Tahun 2008-

2012. Jakarta : Badan Pusat Statistika.

Cahyono, Bambang, 2011. Untung Selangit dari

Usaha Bertanam Tembakau. Yogyakarta :

Cahya Atma Pustaka.

Damanik, Arianty Lediana; Chalil, Diana; Ayu, Sri

Fajar. -. Faktor-faktor Pendorong dan

Penarik Alih Fungsi Usaha Perkebunan

Kopi Robusta ke Kopi Arabica. Jurnal

Universitas Sumatera Utara.

Departemen Perindustrian, 2009. Roadmap Industri

Pengolahan Tembakau. Jakarta : Direktorat

Jenderal Industri Agro dan Kimia.

Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2013.

Statistik Perkebunan Jawa Barat Tahun

2013. Bandung : Dinas Perkebunan Provinsi

Jawa Barat.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011. Statistik

Perkebunan Indonesia 2008-2009 dan 2009-

2011. Jakarta : Kementrian Pertanian.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012. Statistik

Perkebunan Indonesia 2010-2012. Jakarta :

Kementrian Pertanian.

Food and Agriculture Organization Corporate

Statistical, 2010.

http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx.

Diakses pada tanggal 24 November 2014.

Hanum, C, 2008. Teknik Budidaya Tanaman.

Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Hasan, Fuad; Darwanto, Dwidjono Hadi, 2013.

Prospek dan Tantangan Usahatani

Tembakau Madura. SEPA : Vol. 10 No.1

September 2013 : 63–70.

Husin, Sofyan, 2009. Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Produktivitas Usahatani dan

Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Petani.

Tesis Magister Ekonomi. Fakultas Ekonomi.

Universitas Indonesia.

Isaskar, Riyanti, 2014. Modul 1. Pendahuluan:

Pengantar Usaha Tani, Laboratorium

Analisis dan Manajemen Agribisnis.

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Kartikaningsih, Anita. 2009. Analisis Faktor-faktor

yang Mmempengaruhi Motivasi Petani

dalam Berusahatani Tebau. Skripsi Sarjana

Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan

Manajemen. Institut Pertanian Bogor.

Khanisa, Fatma Artati. -. Analisis Pendapatan Petani

Tembakau di Desa Menggoro Kecamatan

Tembarak Kabupaten Temanggung. Jurnal

UGM :

http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/art

icle/viewFile/106/103. Diakses pada tanggal

26 Januari 2015.

Kementrian Keuangan, 2013. Nota Keuangan &

Rancangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara Tahun Anggaran 2013.

Jakarta : Kementrian Keuangan Republik

Indonesia.

Nurnanaf, Rozany. Lembaga Informal Pembiayaan

Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Jurnal

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian :

http://pse.litbang.pertanian.go.id/. Diakses

pada tanggal 9 Maret 2015.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2012. Potensi

Sumber Daya Alam. Jabarprov.go.id.

Diakses pada tanggal 27 Desember 2014.

PT. Televisi Madiun Media Visual Utama. 2013.

Tolak PP No. 109 Tahun 2012, Ribuan

Petani Tembakau Demo. www.sakti.tv.

Diakses pada tanggal 16 Januari 2015.

Rachmat, Muchjidin; Nuryanti, Sri. 2009. Dinamika

Agribisnis Tembakau Dunia dan

Implikasinya bagi Indonesia. Forum

Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2.

Desember 2009 : 73-91.

Rodjak, Abdul, 2006. Manajemen Usahatani,

Bandung : Pustaka Giratuna.

Sanusi. 2014. β€œGappri : Cukai Naik, Industri Rokok

Terancam Gulung Tikar”.

http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/

10/gappri-cukai-naik-industri-rokok-

terancam-gulung-tikar. Diakses pada tanggal

26 Oktober 2014.

Saragih, B, dan Y, B, Krisna Murthi. 1993.

Pengembangan Agribisnis Berskala Kecil.

Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian.

Bogor.

Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press:

Malang.

Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta:

Rajawali.

Sugiyono, 2014. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Page 220: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

208

Susanti, Lisana Widi. 2008. Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Pengambilan Keputusan

Petani dalam Penerapan Pertanian Padi

Organik. Skripsi Sarjana Pertanian. Fakultas

Pertanian. Universitas Sebelas Maret.

TCSC. 2013. Indonesia Tobacco Atlas Edisi 2013.

Jakarta : Tobacco Control Support Center-

Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat

Indonesia.

Urber, Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial.

Bandung : PT. Refika Aditama.

Utari, Trinanda. 2011. Faktor Penarik dan

Pendorong Petani dalam Mengusahakan

Tembakau di Luar Desa Asal. Skripsi

Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian.

Universitas Padjadjaran.

WHO. Framework Convention on Tobacco Control,

Fifty-Sixth World Health Assembly. 21 May

2003.

Widyastuti, Atiek. 2013. Peraturan Pemerintah

Risaukan Petani Tembakau Klaten.c

krjogja.com. Diakses pada tanggal 16

Januari 2015.

Page 221: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

209

Bauran Pemasaran dan Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain (Studi Kasus di PT. Sinar Mayang Lestari, Desa Margamulya,

Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)

Marketing Mix And Sales Growth of Malabar Mountain Arabica Civet Coffee (Case Study at PT. Sinar Mayang Lestari, Margamulya Village, Pangalengan Sub-

district, Bandung District, Jawa Barat Province)

Ghina Davita Ramdhayani1, Dhany Esperanza1

1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor

ABSTRAK

Kata Kunci:

Kopi Luwak

Bauran

Saluran

Kopi luwak merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di

samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi reguler Robusta. PT. Sinar Mayang

Lestari adalah salah satu perusahaan yang memproduksi, menangani sendiri kegiatan

produksi kopi luwak dari hulu sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan binatang

luwak secara mandiri. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) diperoleh gambaran bauran

pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain (2) mengidentifikasi dan menganalisis

saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain yang paling efisien (3)

mengidentifikasi dan menganalisis pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain. Penelitian dilakukan di PT. Sinar Mayang Lestari yang berlokasi di Desa

Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Desain penelitian yang

digunakan adalah desain kualitatif, sedangkan teknik penelitian yang digunakan adalah

studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan alat analisis efisiensi

pemasaran dan analisis trend. Hasil penelitian menunjukkan produk kopi luwak yang

dijual dengan jenis greenbeans coffee, roasted coffee, dan grounded coffee dengan

berbagai ukuran dengan harga yang kompetitif dan kegiatan promosi yang dilakukan

masih belum efektif. Terdapat tiga pola saluran pemasaran untuk Kopi Luwak Malabar

Mountain, dilihat dari farmer’s share ketiga saluran pemasaran tergolong efisien.

Pertumbuhan penjualan satu tahun terakhir memiliki trend positif.

ABSTRACT

Keywords:

Civet Coffee,

Marketing Mix

Marketing Channel

In addition to Arabica and Robusta as a regular coffee commodity, civet coffee is another

effort to increase coffee commodity value. PT. Sinar Mayang Lestari is a company which

is solely producing and handling a production of civet coffee from the beginning to a

finishing touch, also the company has been successfully cultivating luwak (animal)

independently. The purpose of this study are including: (1) to obtain the marketing mix of

Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee, (2) to identify and analyze the most efficient

marketing channel of Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee, and (3) to identify and

analyze the sales growth of Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee. This research took

place in PT. Snar Mayang Lestari which is located at Margamulya village, Pangalengan

Sub-district, Bandung District. This research is a case study research. The obtained datas

this research analyzed using the analytical tools which analyze marketing efficiency and

trend. The result of this research showed that luwak coffee products sold which includes

greenbeans coffee, roasted coffee, and grounded coffee with a variety sizes, competitive

prices, and promotional activity is still not effective. There are three marketing channel

patterns for Malabar Mountain’s Arabica Civet Coffee, seen from the farmer’s share

perspective, those three marketing channels relatively efficient. This past year sales

growth had a possitive trend.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail:[email protected]

Page 222: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

210

PENDAHULUAN Sektor perkebunan memiliki komoditas

pertanian dunia yang mampu bertahan sejak pertama

kali ditemukan sejak abad ke-9, komoditas tersebut

adalah kopi. Kopi mampu menjadikan sumber devisa

untuk Indonesia karena Indonesia salah satu negara

terbesar penghasil kopi di dunia. Menurut

International Coffee Organization (ICO), konsumsi

kopi meningkat dari tahun ke tahun sehingga

peningkatan produksi kopi di Indonesia merupakan

peluang besar untuk mampu mengekspor kopi ke

negara-negara pengkonsumsi kopi dunia seperti Uni

Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.

Tabel 6.Total Produksi Tahunan Negara Eksportir

Kopi

Negara Total Produksi (x 1000 bags)

2012 2013 2014

Brazil 50826 49152 45342

Vietnam 25000 27500 27500

Indonesia 13048 11667 9000

Columbia 9927 12124 12500

Sumber: International Coffee Organization (2015)

Catatan: 1 bags = 60 kg

Negara Indonesia berada di peringkat ketiga

setelah Brazil dan Vietnam dan total produksi kopi

untuk di ekspor dari tahun ke tahun mengalami

fluktuatif. Walaupun pada tahun 2012 Indonesia

mengalami peningkatan yang sangat tinggi sebanyak

79,03%, namun kembali menurun pada tahun 2013

sebesar 10,58% dan terus menurun sampai tahun

2014. Padahal Indonesia memiliki luas areal

perkebunan kopi yang mencapai 1,2 juta hektar ini

tersebar di berbagai daerah nusantara bagi pasar

internasional yang menjadikan salah satu peluang

Indonesia untuk melebihi Brazil dan Vietnam sebagai

penghasil kopi terbesar di dunia.

Perkembangan produksi ekspor kopi di

Indonesia dalam berbagai jenis produk olahan masih

fluktuatif. Pada tahun 2012, terdapat peningkatan

jumlah volume kopi sebanyak 47,09% dan

peningkatan nilai ekspor kopi di Indonesia sebanyak

41,27%, ini disebabkan karena pemerintah Indonesia

ingin menjadikan kopi sebagai komoditas yang

bernilai ekonomi tinggi. Maka, Indonesia terus

meningkatkan produksi kopi dalam berbagai

jenis/bentuk/variasi produk olahan untuk mengisi

pasar kopi di dunia. (Tabel 2)

Tabel 7. Perkembangan Ekspor Kopi di Indonesia

Tahun Tahun Volume Nilai

2007 336 686

2008 491 1.078

Tahun Volume Nilai

2009 518 882

2010 440 855

2011

2012

354

520

1.086

1.534

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013.

Catatan: Volume dalam 000 Ton, Nilai dalam 000 US $

Beberapa provinsi di Indonesia yang

mengembangkan perkebunan kopi salah satunya

yaitu Provinsi Jawa Barat. Jawa barat memiliki iklim

yang sesuai dengan persyaratan tumbuh kopi maka

diharapkan kopi dapat tumbuh dengan optimal.

perkembangan luas areal dan produksi kopi di Jawa

Barat dari tahun ke tahun terus menunjukan

peningkatan. Sedangkan untuk produktivitas kopi

mengalami fluktuatif. Kabupaten Bandung masih

menjadi kabupaten dengan luas lahan serta jumlah

produksi kopi terbesar di Jawa Barat, dengan rata-

rata wilayah yang terletak di dataran tinggi maka hal

itu akan menjadi penunjang tumbuh suburnya

tanaman kopi arabika di Kabupaten Bandung. Jenis

kopi yang cocok ditanam di tanah Jawa Barat ini

yaitu kopi arabika.

Kebijakan Gubernur Jawa barat yang

mengharuskan adanya alih komoditas pada tahun

2002, sehingga tanaman kopi di Kabupaten Bandung

ditanam diatas lahan hutan milik Perum Perhutani

yang dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan

(LMDH). LMDH memiliki program yaitu PHBM

(Program Hutan Bersama Masyarakat) yang

merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya

hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani

dan masyarakat desa.

Kecamatan Pangalengan terdapat Desa

Margamulya merupakan sentra penghasil kopi

terbanyak di Kecamatan Pangalengan. Berkat

pengembangan tanaman kopi dan hadirnya pabrik

pengolahan biji kopi di Desa Margamulya, arus

urbanisasi masyarakat dari desa ke kota terus

berkurang.

Industri kopi di Indonesia terus marak

dengan semakin bertambah dan meningkatnya

produksi kopi olahan yang dihasilkan oleh

pengolahan kopi. Tingkat konsumsi kopi dalam

negeri mencapai 1,0 kilogram/kapita/tahun (AEKI,

2013). Dengan terus bertambahnya tingkat konsumsi

dalam negeri maka diperkirakan kebutuhan kopi pun

meningkat. Melihat perkembangan ini, berbisnis kopi

merupakan peluang usaha yang sangat baik sekarang

ini karena sudah banyak masyarakat yang

mengkonsumsi kopi. Saat ini terdapat kopi yang

terbilang sedang marak digandrungi oleh para

penikmat dan pencinta kopi di pasar dunia maupun

Page 223: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

211

lokal yaitu kopi luwak, sehingga seringkali disebut

sebagai primadona kopi saat ini.

Kopi luwak merupakan salah satu upaya

meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di

samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi

reguler Robusta. Dengan proses produksi yang

terbilang sangat unik, yaitu dari biji kopi berbentuk

buah cherry yang telah dimakan dan diproses melalui

proses pencernaan seekor luwak yang kemudian

dapat menghasilkan kopi dengan rasa yang sangat

khas dan juga spesial, menjadikan kopi luwak

sebagai kopi termahal yang ada di dunia saat ini.

Salah satu perusahaan yang memproduksi

kopi luwak adalah PT. Sinar Mayang Lestari yang

berada di Desa Margamulya, Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Perusahaan ini telah menjalankan bisnis kopi luwak

dari tahun 2014. PT. Sinar Mayang Lestari

menangani sendiri kegiatan produksi dari hulu

sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan

binatang luwak secara mandiri. PT. Sinar Mayang

Lestari juga sudah memiliki merek dagang dengan

nama Malabar Mountain.

Guna menciptakan tujuan pemasaran dan

pertumbuhan penjualan yang tinggi maka,

perusahaan dibutuhkan adanya bauran pemasaran

yang optimal yang terdiri dari empat elemen yaitu

produk, harga, tempat (saluran distribusi), dan

promosi secara optimal. Perusahaan perlu memiliki

bauran pemasaran yang berbeda dari para pesaing,

karena bauran pemasaran merupakan suatu alat yang

digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan

pemasaran sesuai dengan pasar sasaran yang telah

ditetapkan. Dengan bauran pemasaran yang optimal

akan meningkatkan daya tarik konsumen untuk

memilih dan membeli produk Kopi Luwak Malabar

Mountain tanpa memilih produk kopi luwak yang

lain.

Proses pendistribusian Kopi Luwak Malabar

Mountain ke konsumen dilakukan melalui proses

pemasaran. Proses pemasaran yang efisien sangat

dibutuhkan dalam memasarkan produksi Kopi

Luwak Malabar Mountain. Salah satu indikator

keberhasilan pemasaran suatu produk adalah sistem

pemasaran yang terjadi berlangsung secara efisien.

Permasalahan yang sering dihadapi dalam

mewujudkan pemasaran yang efisien adalah tinggi

rendahnya tingkat harga yang diterima produsen

yang erat kaitannya dengan pola saluran pemasaran

yang terbentuk dan besarnya marjin pemasaran,

sehingga untuk meningkatkan pemasaran ini dapat

dicapai apabila pola saluran pemasaran dan penyebab

tingginya marjin pemasaran diketahui. Selain itu,

besar kecilnya bagian yang diterima produsen

(farmer’s share) akan menunjukkan apakah suatu

sistem pemasaran berjalan efisien.

Dari yang sudah dijelaskan diatas dan akan

mempengaruhi pertumbuhan penjualan perusahaan

khususnya kopi luwak. Menurut Swastha dan

Handoko (2005), perusahaan dapat dikatakan

mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih baik jika

terdapat peningkatan yang konsisten dalam aktivitas

utama operasinya. Sehingga akan berpengaruh besar

untuk kemajuan PT. Sinar Mayang Lestari. Hal ini

pun akan mempengaruhi pertumbuhan penjualan

produk kopi luwak yang kontinyu.

KERANGKA TEORI

Komoditas kopi merupakan komoditas

sektor perkebunan yang mampu menjadikan sumber

devisa untuk Indonesia, dan kopi merupakan

komoditas ekspor yang laku dan memiliki harga jual

tinggi. Sentra kopi arabika saat ini berfokus di

beberapa tempat, salah satunya yaitu di Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung karena sebagai

penghasil biji kopi terbanyak dibandingkan dengan

daerah lain. Dan mampu memiliki iklim yang sesuai

dengan persyaratan tumbuh kopi maka diharapkan

kopi dapat tumbuh dengan optimal.

Industri kopi di Indonesia terus marak

dengan semakin bertambah dan meningkatnya

produksi kopi olahan yang dihasilkan oleh

pengolahan kopi. Dengan terus bertambahnya tingkat

konsumsi dalam negeri maka diperkirakan kebutuhan

kopi pun meningkat. Hal ini pun ditandai dengan

semakin suburnya produsen kopi di Indonesia.

Jenis kopi yaitu kopi luwak sedang marak

digandrungi oleh para penikmat dan pencinta kopi di

pasar dunia maupun lokal. Kopi luwak merupakan

salah satu upaya meningkatkan nilai tambah

komoditas kopi, di samping komoditas kopi reguler

Arabika dan kopi reguler Robusta. Maka, banyak

perusahaan yang tertarik untuk memproduksi kopi

luwak. PT. Sinar Mayang Lestari adalah salah satu

perusahaan yang memproduksi kopi luwak dan

arabica specialty coffee. PT. Sinar Mayang Lestari

menangani sendiri kegiatan produksi dari hulu

sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan

binatang luwak secara mandiri. PT. Sinar Mayang

Lestari juga sudah memiliki merek dagang dengan

nama Malabar Mountain.

PT. Sinar Mayang Lestari menghasilkan

produksi kopi luwak yang jumlahnya terbatas tak

sebanding dengan kopi arabika reguler. Akibatnya

harga kopi luwak melambung tinggi. Hal ini

disebabkan karena kegiatan pemasaran yang belum

berjalan optimal, dalam artian belum mampu

menyampaikan hasil pertanian dari produsen kepada

konsumen dengan biaya yang murah.

Page 224: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

212

Guna menciptakan tujuan pemasaran dan

tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi maka,

perusahaan dibutuhkan adanya bauran pemasaran

yang optimal yang terdiri dari empat elemen yaitu

produk, harga, tempat (saluran distribusi), dan

promosi secara optimal. Perusahaan perlu memiliki

bauran pemasaran yang berbeda dari para pesaing,

karena bauran pemasaran merupakan suatu alat yang

digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan

pemasaran sesuai dengan pasar sasaran yang telah

ditetapkan. Bauran pemasaran banyak memainkan

peran sangat penting dalam mempengaruhi

konsumen

Proses pendistribusian Kopi Luwak Malabar

Mountain ke konsumen dilakukan melalui proses

pemasaran. Proses pemasaran yang efisien sangat

dibutuhkan dalam memasarkan produksi Kopi

Luwak Malabar Mountain. Salah satu indikator

keberhasilan pemasaran suatu produk adalah sistem

pemasaran yang terjadi berlangsung secara efisien.

Permasalahan yang sering dihadapi dalam

mewujudkan pemasaran yang efisien adalah tinggi

rendahnya tingkat harga yang diterima produsen

yang erat kaitannya dengan pola saluran pemasaran

yang terbentuk dan besarnya marjin pemasaran,

sehingga untuk meningkatkan pemasaran ini dapat

dicapai apabila pola saluran pemasaran dan penyebab

tingginya marjin pemasaran diketahui. Selain itu,

besar kecilnya bagian yang diterima produsen

(farmer’s share) akan menunjukkan apakah suatu

sistem pemasaran berjalan efisien.

Gambar 1. Alur Pemikiran

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani

Mukti Satwa yang terletak di PT. Sinar Mayang

Lestari yang berlokasi di Jalan Kampung Cigendel

RT 03/12, Desa Margamulya, Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung. Penelitian ini

menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian

berupa studi kasus.

Page 225: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

213

Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara

yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabel-

variabel yang berkaitan dengan penelitian, serta

dengan cara observasi pastisipasif, menggunakan

dokumentasi, dan studi pustaka. Identifikasi

mengenai bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika

Malabar Mountain menggunakan analisis deksripstif,

saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain yang paling efisien menggunakan alat

analisis marjin, serta analisis pertumbuhan penjualan

Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain

menggunakan analisis trend.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Tempat Penelitian

Desa Margamulya merupakan salah satu

desa yang terletak di wilayah Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa

Barat. Desa Margamulya terbagi kedalam 24 Rukun

Warga (RW) dan 110 Rukun Tetangga (RT) yang

terdiri dari 5.046 Kepala Keluarga. Desa

Margamulya berjarak 1 kilometer dari pusat

pemerintahan Kecamatan Pangalengan dan bisa

ditempuh dengan waktu kira-kira 3 menit. Akses

menuju Desa Margamulya dapat ditempuh baik

menggunakan kendaraan roda dua maupun roda

empat dengan infrastruktur jalan yang relatif baik.

Desa Margamulya memiliki luas wilayah

sebesar 1.294,36 Ha dengan ketinggian rata-rata

1.415 mdpl yang terdiri dari pegunungan, hutan, dan

ladang. Berdasarkan keadaan iklim, Desa

Margamulya memiliki rata-rata curah hujan

2.350mm/tahun, jumlah bulan hujan yaitu 6 bulan,

kelembaban 20,5atm, dan suhu udara sekitar 18-

23℃. Namun saat ini seperti daerah lain pada

umumnya 50 intensitas hujan dan perkiraan waktu

turun hujannya sulit diprediksi sehingga berpengaruh

pada kondisi kehidupan masyarakat, khususnya

aktivitas masyarakat yang bergerak pada sektor

pertanian. Luas wilayah perkebunan di Desa

Margamulya berada pada peringkat pertama yaitu

437,119 Ha/m2 (47,7%) dibandingkan dengan luas

wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan bahwa di Desa

Margamulya banyak sekali wilayah perkebunan teh

dan kopi berdasarkan Data Profil Desa Margamulya

Tahun 2014.

Desa Margamulya memiliki jumlah

penduduk 10.230 jiwa yang terdiri dari 5.251 orang

laki-laki (51,33%) dan 4.979 orang perempuan

(48,67%) yang terbagi atas Kepala Keluarga

sebanyak 3.259 KK dengan kepadatan penduduk 200

jiwa/km2 berdasarkan Data Profil Desa Margamulya

Tahun 2014.

Desa Margamulya memiliki penduduk

dengan usia produktif (angkatan kerja) sebanyak

10.202 orang. Sebagian besar memiliki mata

pencaharian sebagai buruh tani 1.824 orang (92,68%)

dan petani 144 orang (7,31%). Sektor pertanian

masih dominan bagi penduduk Desa Margamulya

dibandingkan dengan mata pencaharian yang lain.

Hal tersebut membuktikan bahwa sektor pertanian

masih memiliki daya tarik bagi penduduk Desa

Margamulya untuk dijadikan mata pencaharian.

Gambaran Umum Perusahaan

Sejarah PT. Sinar Mayang Lestari

Tabel 3. Sejarah Perusahaan

Tahun Sejarah Perusahaan

2012 Berdiri PT. Sinar Mayang Lestari

2013 Pembentukan Malabar Mountain Cafe di

Bogor

2014 Menjalankan Bisnis Kopi Luwak

2014 Ekspor Perdana Ke Korea Selatan

2015 Bisnis Roaster Berlaku

PT. Sinar Mayang Lestari berdiri pada

tanggal 8 November 2012. Pada awalnya Bapak

Slamet Prayoga seorang pensiunan asal Kalimantan,

beliau ingin menjadi seorang petani di Jawa Barat

maka datanglah beliau ke daerah Lembang untuk

mengunjungi kerabatnya. Setelah berdiskusi dengan

kerabatnya, maka beliau ingin bergerak dibidang

usaha perkebunan dan mencari lahan yang cocok

untuk usaha perkebunan yaitu di Pangalengan.

Di Pangalengan Bapak Slamet Prayoga

bertemu dengan Bapak Supriatnadinuri yaitu Ketua

Kelompok Tani Hutan Rahayu. Beliau banyak

belajar tentang perkebunan yaitu komoditas kopi dari

Bapak Supriatnadinuri, karena awalnya Bapak

Slamet Prayoga tidak memiliki ilmu pengetahuan

tentang kopi. Dan pada akhirnya, Bapak Slamet

Prayoga mendirikan perusahaan yang menggeluti

bisnis kopi arabika dan luwak mulai dari hulu sampai

hilir dengan slogan β€œKopi yang diproses dari kebun

sendiri”. Selain memproduksi kopi arabika yang

memiliki kualitas tinggi dan berkualitas sesuai

dengan standar dan ketentuan specialty coffee, PT.

Sinar Mayang Lestari juga memproduksi kopi luwak.

Hal ini sepenuhnya perusahaan ingin melestarikan

budidaya luwak, dimana hewan sejenis musang

tersebut sekarang ini hampir punah, maka perusahaan

ingin mengembangkan produk kopi luwak. Menurut

Specialty Coffee Association of America (SCAA) jika

kopi termasuk dalam klasifikasi specialty maka kopi

tersebut harus memiliki Q Grade dengan nilai di atas

8.5.

Page 226: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

214

Visi dan Misi PT. Sinar Mayang Lestari

Visi : Berbakti sepenuh jiwa untuk maju bersama

Misi : Memberdayakan kebersamaan antara

petani, produsen dan konsumen

Bauran Pemasaran

Produk

Keragaman produk Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain dikatakan sangat beragam. PT. Sinar

Mayang Lestari memproduksi kopi luwak dengan

berbagai macam sesuai dengan keinginan dan

permintaan konsumen. Keragaman produk kopi

luwak yang dijual PT. Sinar Mayang Lestari

merupakan produk yang dijual terbagi dalam 3 jenis,

yaitu: greenbeans coffee, roasted coffee, dan

grounded coffee. Perusahaan memperhatikan

berbagai aspek seperti kebersihan kandang luwak,

kesehatan luwak, nutrsi luwak, serta tidak

menjadikan hewan luwak sebagai mesin produksi

untuk memproduksi kopi luwak secara terus

menerus. Perusahaan pun berkomitmen

menghasilkan kopi berkualitas dengan dengan

prinsip penanganan pasca panen yang baik dan benar

(Good Handling Practices - GHP) dan telah

memperoleh berbagai sertifikat. Merek produk kopi

luwak PT. Sinar Mayang Lestari yaitu Kopi Luwak

Arabika Malabar Moutain. Nama merek tersebut

diambil berdasarkan indikasi lokasi kopi tersebut

ditanam, lokasi budidaya kopi luwak, dan tempat

pengolahan kopi yang terdapat di Desa Margamulya,

Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,

dimana lokasi tersebut tepat berada di kaki Gunung

Malabar sehingga kata Malabar Mountain dalam

merek mengindikasikan nama Gunung Malabar.

Desain produk yang dipakai oleh Kopi Luwak

Arabika Malabar Mountain sangat khas, ini

dimaksudkan agar masyarakat mengenal dan mudah

mengingat produk Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain. Jenis bahan kemasan yang dipakai untuk

produk Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain

yaitu kemasan siap pakai berbahan baku alumunium

foil untuk roasted dan grounded, plastik bening untuk

kopi dalam bentuk greenbeans jika kurang dari 5

kilogram, dan karung goni untuk kopi dalam bentuk

greenbeans jika lebih dari 5 kilogram. Ukuran

produk kopi luwak roasted dan grounded tersedia

dalam kemasan yang berukuran 10 gram, 100 gram,

250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram. Sementara

untuk produk kopi luwak greenbeans tersedia dalam

ukuran 1 hingga 5 kilogram.

Harga

Tabel 4. Daftar Harga Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain

Jenis Ukuran (Gram) Harga (Rp)

Green beans 1000 800.000

Sangrai

(Roasted) dan

Bubuk

(Grounded)

100 177.500

250 434.000

500 857.000

1000 1.300.00

Penetapan harga yang dilakukan oleh perusahaan

sesuai dengan pangsa pasar dan keinginan

perusahaan, hal tersebut dilakukan untuk menarik

lebih banyak konsumen serta menstabilkan

kedudukannya di pasaran dilihat dari merek dan jenis

kualitas produk kopi luwak yang ditawarkan.

Perusahaan pun tidak memberikan potongan harga

kepada konsumen walaupun pembelian dengan

jumlah yang banyak.

Distribusi

Proses produksi kopi luwak dari on farm seluruhnya

dilakukan di kantor PT. Sinar Mayang Lestari.

Pemilihan lokasi produksi kopi luwak ini sangat tepat

dikarenakan letak topografi wilayah yang

mendukung. Dari kantor menuju areal kebun kopi

ditempuh melalui jalan perkebunan teh PTPN VIII

dengan jarak Β± 3 km. Transportasi yang digunakan

adalah kendaraan roda dua (motor) dan kendaraan

roda empat (mobil). Lembaga pemasaran yang

terlibat dalam pemasaran kopi luwak Malabar

Mountain dapat dikatakan masih sedikit dan rantai

pemasarannya relatif pendek. Pendeknya rantai

pemasaran belum tentu akan menghasilkan marjin

pemasaran yang kecil dan farmer’s share yang besar.

Saluran pemasaran I dan III tidak membutuhkan

perantara dalam memasarkannya kepada pihak

konsumen akhir. Hal ini disebabkan bahwa

konsumen utama kopi luwak Malabar Mountain

terbagi menjadi dua yaitu masyarakat dan instansi-

instansi pemerintah. saluran pemasaran II melalui

middleman atau konsumen perantara karena

konsumen akhir kopi luwak Malabar Mountain

berasal dari luar kota, seperti Samarinda,

Pekalongan, dan Jakarta.

Keterangan: Jenis Greenbeans

Jenis Roasted dan

Grounded

Gambar 2. Pola Saluran Pemasaran Kopi Luwak

Malabar Mountain

Page 227: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

215

Promosi

Alat promosi yang telah dilakukan oleh perusahaan

seperti periklanan dan publisitas dengan cara

memproduksi video Kopi Luwak Malabar Mountain

lalu dimasukan secara media online ke youtube dengan

viewer 1000 pada masing-masing video, facebook

dengan followers sebanyak 250 orang, website

perusahaan. Sedangkan media cetak yaitu dengan

brosur maupun artikel-artikel dengan liputan

bertemakan kuliner atau bisnis. Hal ini terkait untuk

membangun β€œcitra perusahaan” yang baik dan

menangani atau menyingkirkan gosip, cerita dan

peristiwa yang dapat merugikan perusahaan. Penjualan

personal juga dilakukan oleh perusahaan dengan cara

interaksi langsung dengan calon pembeli dengan

tujuan pembelian Kopi Luwak Malabar Mountain

biasanya dilakukan di kantor ataupun Malabar

Mountain Cafe. Selain itu, promosi penjualan yang

telah dilakukan oleh perusahaan ini langkah insentif

jangka panjang untuk mendorong pembelian atau

penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain, maka dari

itu dengan pembuatan Malabar Mountain Cafe salah

satu langkah insentif jangka panjang untuk promosi.

Perusahaan pun sering mengikuti pameran-pameran

yang diadakan di dalam negeri maupun di luar negeri.

Mengikuti pameran disertai dengan memberi

penawaran kopi espresso gratis kepada pengunjung.

Walaupun, pemasukan dan pengeluaran berbeda jauh

akan tetapi pengunjung mengetahui dan mengenal

produk Malabar Mountain Coffee, sehingga akhirnya

tidak. Perusahaan menganggap bahwa alat promosi

yang efektif yang telah dilakukan dan tidak

membutuhkan biaya yang banyak yaitu menggunakan

media online seperti facebook dan media cetak seperti

artikel-artikel dengan liputan bertemakan kuliner atau

bisnis. Selain itu promosi dari mulut ke mulut pun

menjadikan produk Malabar Mountain Coffee lebih

diketahui dan dikenal masyarakat. Tenaga kerja yang

melakukan kegiatan promosi Kopi Luwak Malabar

Mountain masih sangat kurang. Saat ini tenaga kerja

yang telah melakukan kegiatan promosi yaitu tenaga

kerja manajemen perusahaan berjumlah 7 orang,

sedangkan perusahaan membutuhkan sales promotion

khusus untuk memasarkan produk sebanyak 10 orang.

Sehingga untuk kegiatan promosi masih belum

optimal.

3. Biaya, Keuntungan, dan Marjin Pemasaran

Kopi Luwak Malabar Mountain

Tabel 5. Komponen Harga Jual Kopi Luwak Malabar

Mountain di Setiap Tingkat Lembaga Pemasaran

Saluran

Pemasaran

Harga Jual (Rp/Kg)

Greenbeans Roasted

dan Grounded

I 800.000 -

II 500.000 -

III - 1.300.000

Harga jual greenbeans Kopi Luwak Malabar

Mountain yang ditawarkan oleh produsen di saluran

pemasaran I pada saat ini yaitu Rp 800.000/kg. Tetapi,

harga jual greenbeans Kopi Luwak Malabar Mountain

yang ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran II

lebih rendah yaitu Rp 500.000/kg. Harga jual roasted

dan grounded Kopi Luwak Malabar Mountain yang

ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran III

yaitu Rp 1.300.000/kg. Produsen tidak menjual roasted

dan grounded kepada konsumen perantara karena

konsumen perantara bisa melakukan proses itu secara

mandiri. Sebagian besar produsen menjual ke

konsumen perantara di saluran pemasaran II karena

produsen merasa lebih mudah dalam hal cara

penjualan. Ini memberikan kepastian penjualan dan

tidak mengeluarkan biaya pemasaran yang banyak

karena sudah ditanggung oleh konsumen perantara.

Tabel 6. Biaya-Biaya Pemasaran Kopi Luwak Malabar

Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran

Pemasaran Saluran

Pemasaran Biaya Pemasaran (Rp/Kg)

I 120.000

II 6000

III 80.000

Biaya pemasaran terkecil yaitu saluran

pemasaran II karena saluran pemasaran yang pendek

dan kuantitas penjualan yang besar sehingga bisa

menekan biaya pemasaran. Pada setiap saluran

pemasaran tidak diperlukan biaya pengangkutan

karena biasanya konsumen maupun pihak perantara

datang langsung ke kebun untuk membeli Kopi

Luwak Malabar Mountain. Biaya pemasaran oleh

produsen terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya

pengemasan, dan biaya operasional produksi.

Tabel 7. Rata-Rata Keuntungan Kopi Luwak Malabar

Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran

Pemasaran

Saluran

Pemasaran

Harga Jual (Rp/Kg)

Greenbeans Roasted

dan Grounded

I 680.000 -

II 440.000 -

III - 1.220.000

Page 228: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

216

Rata-rata keuntungan jenis roasted dan

grounded lebih tinggi dibandingkan dengan jenis

greenbeans disebabkan jenis roasted dan grounded

sudah memiliki nilai tambah yang lebih membuat

keuntungan lebih tinggi. Pada saluran pemasaran I

terlihat keuntungan yang didapat lebih tinggi dari

saluran pemasaran II. Hal tersebut terkait dengan

adanya perbedaan harga jual pada saluran pemasaran I

dan saluran pemasaran II.

Tabel 8. Jumlah Pembelian Kopi Luwak Malabar

Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran

Pemasaran

Saluran

Pemasaran

Harga Jual (Rp/Kg)

Greenbeans Roasted

dan Grounded

I 3 -

II 60 -

III - 5

Pihak produsen cenderung menjual ke pihak

perantara pada saluran pemasaran II dengan jumlah

pembelian 60 kg, cukup jauh bila dibandingkan

dengan saluran pemasaran I dan saluran pemasaran

III. Frekuensi pembelian dari saluran pemasaran I yaitu

sebanyak 3 kg dan saluran pemasaran III sebanyak 5

kg untuk setiap pembelian. Maka, pihak produsen lebih

memilih saluran pemasaran II, walaupun sifatnya

menunggu pesanan dari konsumen perantara karena

konsumen perantara pun menunggu pesanan dari

konsumen.

Hal ini berbeda dengan jumlah pembelian

pada saluran pemasaran I dan saluran pemasaran III

yang relatif sedikit juga disebabkan karena konsumen

akhir membeli ke pihak produsen di Pangalengan

dengan waktu yang sangat jarang. Dalam keadaan

demikian, produsen merasa dirugikan jika tidak

adanya saluran pemasaran II dan pembelian dengan

jumlah yang banyak ini akan berakibat kepada

saluran pemasaran yang lainnya sehingga harus

mencari pasar Kopi Luwak Malabar Mountain.

4. Efisiensi Pemasaran Kopi Luwak Malabar

Mountain

Berdasarkan hasil penelitian, total marjin di

setaiap saluran pemasaran, maka marjin yang diterima

saluran pemasaran II lebih kecil dari ketiga saluran

tersebut (Saluran II < Saluran III < Saluran I). Tingkat

efisiensi saluran pemasaran jenis greenbean, saluran

pemasaran I menghasilkan total marjin pemasaran

yang besar yaitu Rp 800.000/kg (15%) dengan biaya

pemasaran Rp 120.000/kg dan keuntungan pemasaran

Rp 680.000/kg. Sedangkan, saluran pemasaran II

memiliki tingkat efisiensi saluran pemasaran yang

semakin tinggi. Hal ini ditujukkan dengan total marjin

pemasaran yang lebih kecil yaitu Rp 500.000/kg (12%)

dengan biaya pemasaran Rp 60.000/kg dan keuntungan

pemasaran Rp 440.000/kg. Sedangkan, tingkat

efisiensi saluran pemasaran jenis roasted dan grounded

memiliki total marjin pemasaran yaitu Rp

1.300.000/kg (6,15%) dengan biaya pemasaran Rp

80.000/kg dan keuntungan pemasaran Rp

1.220.000/kg. Berdasarkan perhitungan, maka saluran

pemasaran II memiliki marjin terkecil dan kombinasi

keuntungan dan biaya pemasaran yang kecil juga.

Tabel 9. Marjin Pemasaran Kopi Luwak Malabar

Mountain Berdasarkan Saluran Pemasaran (Rp/kg) Rincian Biaya

dan

Keuntungan

Pemasaran

Saluran Pemasaran

I II III

Biaya

Pemasaran 120.000 60.000 80.000

Keuntungan

Pemasaran

680.000 440.000 1.220.000

Total Marjin 800.000 500.000 1.300.000

Persentase

Marjin

15% 12% 6,15%

Bagian yang diterima produsen (farmer’s

share) pada saluran pemasaran I yaitu 85%. Bagian

yang diterima produsen (farmer’s share) pada saluran

pemasaran II yaitu 88%. Bagian yang diterima

produsen (farmer’s share) paling besar pada saluran

pemasaran III yaitu 93,84%. Hal ini terjadi karena, ada

nilai tambah dari produk sehingga konsumen rela

menempuh jarak yang cukup jauh ke lokasi kebun di

Pangalengan. Nilai tambah dari Kopi Luwak Malabar

Mountain yang dibeli pada saluran pemasaran III

tersebut antara lain jenis roasted dan grounded.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bagian

saluran pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain

yang terjadi adalah efisien, dimana bagian harga yang

diterima produsen berkisar antara 85% sampai 93%

atau rata-rata 88,94%.

Tabel 10. Nilai Farmer’s Share Kopi Luwak Malabar

Mountain Berdasarkan Saluran Pemasaran Saluran

Pemasaran

Hp

(Rp/kg)

He

(Rp/kg)

Farmer’s

Share (%)

I 680.000 800.000 85%

II 440.000 500.000 88%

III 1.220.000 1.300.000 93,84%

Page 229: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

217

5. Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain

Analisis pertumbuhan penjualan Kopi

Luwak Malabar Mountain yang dilakukan pada

PT. Sinar Mayang Lestari diawali dengan

mengambil data dalam rentang waktu 1 tahun

yang dimulai dari bulan Mei 2014 sampai Mei

2015. Data yang digunakan merupakan data

penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain dalam

satuan gram dan merupakan data bulanan

perusahaan. Dari data deret waktu penjualan Kopi

Luwak Malabar Mountain akan menggambarkan

pola data yang membantu menentukan pola data

yang terbentuk dari data penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain PT. Sinar Mayang Lestari.

Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kopi Luwak

Malabar Mountain

Dengan adanya penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain yang masih berfluktuatif selama

bulan Mei 2014 sampai bulan Mei 2015 seperti yang

sudah tertera pada Gambar 18. Volume penjualan

tertinggi terjadi pada bulan April 2015 sebesar 62.600

gram, hal ini dikarenakan kebutuhan konsumen dan

permintaan akan Kopi Luwak Malabar Mountain

sedang banyak. Pada bulan Juli 2014 tidak ada

penjualan yang dilakukan, hal ini dikarenakan

permintaan kopi yang tidak stabil.

Perkembangan penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain meningkat pada bulan Agustus

2014 mencapai 30.020 gram, namun mengalami

penurunan penjualan pada bulan September yaitu

sebesar 26.860 gram. Penjualan Kopi Luwak Malabar

Mountain kembali mengalami peningkatan kembali

pada bulan Oktober 2014 sebanyak 58.960 gram, dan

kembali mengalami penurunan penjualan pada bulan

November 2014 yaitu sebanyak 58.320 gram. Pada

bulan Desember 2014 mengalami peningkatan kembali

sebanyak 56.320 gram. Pada bulan Januri 2105

penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain kembali

mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yaitu

sebanyak 59.580 gram, mengalami peningkatan

kembali pada bulan Februari 2015. Dan pada bulan

Maret 2015 mengalami penurunan yang sangat besar

yaitu 290 gram dan kembali mengalami peningkatan

pada bulan April sebanyak 62.350 gram, dan kembali

menurun pada bulan Mei 2015 sebanyak 62.100 gram.

Volume penjualan Kopi Luwak Malabar

Mountain pada bulan Agustus 2014, Oktober 2014,

Desember 2014, Februari 2015, dan April 2015

dikarenakan permintaan greenbeans dari pihak

konsumen perantara sedang banyak karena sedang

terkait kontrak penjualan domestik dengan salah satu

ritel besar yaitu LOKA, kontrak ini dimulai pada bulan

Agustus 2014 dan pengiriman 2 bulan sekali.

Sedangkan di bulan-bulan lainnya dipengaruhi faktor

permintaan kopi yang tidak stabil dikarenakan adanya

persaingan. Persaingan produk kopi luwak menjadi

ketat dengan munculnya produsen-produsen baru,

tidak hanya produsen baru tetapi produsen yang lebih

dulu memproduksi kopi luwak menjadikan persaingan

begitu ketat. Selain itu terdapat faktor musiman yaitu

cuaca yang mempengaruhi pemetikan buah cherry

kopi dan faktor hasil fermentasi luwak yang berakibat

pada produksi Kopi Luwak Malabar Mountain.

Persamaan garis trend linier volume penjualan

Kopi Luwak Malabar Mountain hasil dari analisis

adalah Y = 19.504,61 + 1.698,35X. Persamaan ini

menunjukkan besarnya nilai koefisien trend adalah

sebesar 1.698,35 gram yang berarti bahwa penjualan

Kopi Luwak Malabar Mountain setiap bulannya

mengalami peningkatan sebesar 1.698,35 gram.

Peningkatan trend tersebut menunjukkan selama satu

tahun terakhir yaitu dari bulan Mei 2014 sampai Mei

2015 koefisien arah dan trend penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain adalah positif. Sementara nilai

intersep hasil dari analisis trend didapatkan sebesar

19.504,61 yang berarti bahwa rata-rata penjualan Kopi

Luwak Malabar Mountain selama satu tahun terakhir

adalah sebesar 19.504,61 gram.

Dengan menggunakan persamaan tersebut,

dapat diramalkan volume penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain untuk beberapa bulan kedepan.

Untuk penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada

bulan Juni tahun 2015, maka Y = 19.504,61 +

22.078,55 = 41.583,16. Artinya, volume penjualan

Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Juni 2015

diperkirakan sebesar 41.583,16 gram. Dan untuk

penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan

Juli tahun 2015, maka Y = 19.504,61 + 23.776,9 =

43.281,51. Artinya, volume penjualan Kopi Luwak

Malabar Mountain pada bulan Juli 2015 diperkirakan

sebesar 43.281,51 gram.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

Page 230: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

218

6. Bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari adalah:

a. Produk: Keragaman produk kopi luwak yang

dijual terbagi dalam 3 jenis yaitu greenbeans

coffee, roasted coffee, dan grounded coffee.

Kemasan yang dipakai berbahan baku

alumunium foil, plastik dan karung goni.

Ukuran produk tersedia ukuran 10 gram, 100

gram, 250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram

hingga 5 kilogram.

b. Harga: Penetapan harga yang dilakukan oleh

perusahaan sesuai dengan pangsa pasar dan

keinginan perusahaan. Tidak ada standar harga

dunia untuk kopi luwak.

c. Distribusi: Terdapat tiga pola saluran

pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain

dan rantai pemasaran relatif pendek.

d. Promosi: Alat promosi yang telah dilakukan

oleh perusahaan seperti memproduksi video

Kopi Luwak Malabar Mountain lalu dimasukan

ke youtube, facebook, website, brosur maupun

artikel-artikel dengan liputan bertemakan

kuliner atau bisnis penjualan personal,

pembuatan MM Cafe salah satu langkah insentif

jangka panjang untuk promosi, mengikuti

pameran-pameran.

2. Saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar

Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari yang

paling efisien jenis greenbeans yaitu saluran

pemasaran II dan memiliki nilai farmer’s share

lebih dari 50% yaitu 85%.

3. Pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika

Malabar Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari

satu tahun terakhir yaitu bulan Mei 2014 – Mei

2015 memiliki trend positif.

SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang

dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Perlu melakukan pengukuran efektifitas promosi

yang telah dan sedang dilakukan dan sales

promotion yang khusus guna memasarkan produk

Malabar Mountain Coffee.

2. Tim manajemen perusahaan tidak perlu

melakukan semua pekerjaan, karena di dalam

manejemen yang baik perlu melakukan pekerjaan

sesuai dengan jobdesk masing-masing.

3. Untuk mempermudah peramalan penjualan

disarankan agar perusahaan menggunakan

perangkat lunak (software) seperti Microsoft

Excel.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam

membantu kelancaran penyelesaian makalah. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

6. Dhany Esperanza, SP., MBA.. selaku dosen

pembimbing.

7. Kepala Desa Margamulya dan seluruh perangkat

Desa Margamulya.

8. Pak Slamet Prayoga selaku Direktur Utama PT.

Sinar Mayang Lestari.

9. Para karyawan PT. Sinar Mayang Lestari.

10. Pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dan

Dinas Perkebunan Kabupaten.

DAFTAR PUSTAKA

Andi, Supangat. 2007. Statistika dalam Kajian

Deskriftif, Inferensi dan Nonparametrik.

Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia.

2013. Konsumsi Kopi di Indonesia.

Melalui http://www.aeki-aice.org/ [Diakses

pada tanggal 7 Maret 2015]

Badan Pusat Statistik. 2006. Analisis Profil

Perusahaan/Usaha Indonesia. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Ekspor

Kopi Indonesia. Melalui

http://www.bps.go.id/ [Diakses pada

tanggal 20 Januari 2015]

Badan Standarisasi Nasional. 2007. Spesifikasi

Persyaratan Mutu Biji Kopi. SNI No 01-

2907-1999.

Basu Swastha, DH dan Irawan. 2004. Manajemen

Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty.

Basu Swastha, DH. 2005. Manajemen Penjualan.

Yogyakarta: Liberty.

Choiri, Achmad dan Aro Fajar Sunartomo. 2008.

Keragaan Agribisnis dan Prospek

Pemasaran Kopi Rakyat. Jurnal J-Sep Vol.

2 No. 3 Jember.

Ciptadi, W dan Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan

Kopi. Fakultas Teknologi Institut Pertanian

Bogor.

Darmawati. 2005. Analisis Pemasaran Mendong di

Kabupaten Sleman. Skripsi. Universitas

Sebelas Maret. Surakarta. Tidak

dipublikasikan.

Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2012.

Daerah Unggulan Penghasil Kopi di

Provinsi Jawa Barat.

Dirjen Perkebunan. 2012. Luas Lahan dan Produksi

Kopi Indonesia. Kementrian Perkebunan.

Page 231: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

219

Higgins, Robert C, 2003. Analysis for Financial

Management, Seventh Edition. McGraw-

Hill, Singapore.

Hutagaol, Vici Kristina. 2002. Pengaruh Bauran

Pemasaran Terhadap Keputusan

Pembelian Produk Minuman Kopi di

Potluck Coffee Bar and Library Bandung.

Skripsi Program Studi Manajemen.,

Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama

Bandung.

International Coffee Organization. 2015. Total

Produksi Tahunan Negara Eksportir Kopi.

Melalui http://www.ico.org/ [Diakses pada

tanggal 12 Februari 2015]

Kharisma, Dimas, Endang Siti Rahayu, Setyowati.

2013. Analisis Efisiensi Pemasaran Jagung

di Kabupaten Grobogan. Jurnal Program

Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kotler, P dan Keller. 2007. Manajemen Pemasaran

Jilid II, Edisi Keduabelas. Jakarta:

Erlangga.

Kuswarak. 2010. Analisis Bauran Pemasaran

Terhadap Volume Penjualan Nata De Coco

Ukuran 220 Gr Pada PT. Keong Nusantara

Abadinatar Lampung Selatan. Fakultas

Ekonomi Universitas Sang Bumi Ruwa

Jurai.

Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian.

Jakarta: LP3ES.

M. Yahmadi. 2000. β€œSejarah Kopi Arabika di

Indonesia”. Warta Pusat Penelitian Kopi

dan Kakao Indonesia. Vol 16, No.3, p.180.

Najiyati, Sri dan Danarti. 2004. Kopi, Budidaya dan

Penanganan Pascapanen. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Panggabean, Edy. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta:

Agromedia Pustaka

Soekartawi, 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian

Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. UMM

Press. Malang

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Cv.

Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran, Edisi

Ketiga. Yogyakarta: Andi.

Wachjar, A. 2013. Pengantar Budidaya Kopi.

Fakultas Pertanian, Bogor.

Zaini, Achmad. 2011. Analisis Prospek Pemasaran

Ayam Petelur Di Kalimantan Timur. Jurnal

EEP.Vol.8.No 1 Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas

Mulawarman Samarinda.

Page 232: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

220

Page 233: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

221

Pengaruh Bantuan Modal Kerja PUAP Terhadap Kesejahteraan Petani di

Provinsi Sulawesi Tengah

Influence of PUAP Working Capital Program towards Farmer’s Welfare in Provinsi

Sulawesi Tengah

Yennita Sihombing

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor

A B S T R A K

Kata Kunci: Sektor Pertanian,

Modal Kerja,

Penguatan,

Kelembagaan Gapoktan

PUAP,

LKM-A

Sektor pertanian memegang peran penting bagi pembangunan nasional. Selain

menyediakan pangan bagi penduduk secara nasional juga mampu menyediakan devisa

bagi negara serta menyediakan bahan baku bagi industri. Modal kerja menjadi salah

satu kendala bagi sebagian besar petani di Indonesia dalam rangka meningkatkan

produktivitas hasil usaha tani. Oleh karena itu Kementerian Pertanian melalui Program

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) berupaya untuk mengatasi

persoalan modal kerja petani dengan cara menyalurkan dana sebesar Rp 100 juta

kepada setiap Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) untuk penguatan modal pada

usaha budidaya pertanian (on-farm) dan usaha non budidaya pertanian (off-farm).

Untuk mendapatkan gambaran secara utuh tentang penerapan PUAP ini di Provinsi

Sulawesi Tengah, telah dilakukan analisis secara kuantitatif dengan memanfaatkan

data primer dan sekunder dari Dinas Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, BPTP, Pusat Statistik (BPS), PMT Kabupaten

di seluruh Provinsi Sulawesi Tengah, dan instansi terkait lainnya Hasilnya

memperlihatkan bahwa Kabupaten Donggala memiliki nilai aset yang paling besar

yaitu sebanyak Rp.13.616.307.000,- dengan jumlah Gapoktan sebanyak 126 dan

anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 10.020 orang. Sedangkan

kabupaten yang memiliki nilai aset yang paling kecil adalah Kabupaten Sigi sebesar

Rp.8.414.631.000,- dengan jumlah Gapoktan 80 dan anggota yang telah

memanfaatkan dana PUAP sebanyak 12.322. Agar program ini lebih efektif disarankan

agar pemerintah daerah mendukung kebijakan, pengadaan sarana prasarana dan

insentif kepada kelompok tani sehingga terbentuk Lembaga Keuangan Mikro

Agribisnis (LKMA).

ABSTRACT

Keywords: Agricultural sector,

Venture capital,

Strengthen,

Farmer Group Institution

of PUAP,

LKM-A

Agricultural sector plays a main role in the national development such as for national

food security purposing, as basic material for industries and as the foreign exchange.

In this regards, venture capital is one of the obstacles for most of the Indonesian

farmers in increasing their agricultural productivity. In order to solve this problem,

Agricultural Department of the Republic of Indonesia has a program called β€œ Program

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)”. This idea is purposing to

undertake problems faced by farmers by providing funding as much as one hundred

million rupiah (Rp 100 juta) for every group of farmers (Gabungan Kelompok Tani or

Gapoktan). The funding is to strengthen the venture capital for both on-farm and off-

farm farmers’ activities. Qualitative analysis has been done by employed both primary

and secondary data from Agricultural Department, Food Plant Agriculture and

Horticulture Department BPTP, (BPS), PMT in the district of Sulawesi Tengah

province, and other related institutions. The outcome of the analysis shows that

Donggala District has the biggest asset which is Rp.13.616.307.000,-. This district has

126 Gapoktan includes 10.020 members has used the PUAP funding. On the other

hand, Sigi District has the smallest amount of PUAP funding which is

Rp.8.414.631.000,-. There are 80 group of farmers in this district but the interesting

thing is 12.322 members have used PUAP funding. Support of local government is

Page 234: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

222

crucially needed to make this program more effective namely by constructing policy,

infrastructure, insentif for group of farmer so that LKMA could be realized.

* Korespondensi Penulis,

alamat e-mail: [email protected]

Page 235: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

223

PENDAHULUAN

Upaya pemerintah Indonesia dalam

pengembangan pertanian berbasis agribisnis

merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan

untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Ada

beberapa faktor penting yang menyebabkan kesulitan

dalam menilai dampak dari kebijakan yang dilakukan

oleh pemerintah, yaitu tidak tepatnya dalam

menetapkan sasaran, tidak berurutan waktu

programnya, kurang pahamnya tenaga pemerintah

dalam melaksanakan, termasuk korupsi, kurangnya

persiapan tenaga dalam mendampingi program,

kecilnya bentuk bantuan dan kurangnya informasi.

Melihat kendala tersebut pemerintah

berusaha untuk mengatasi dengan melakukan

penekanan pada pembangunan daerah berbasis

agribisnis perdesaan secara berkelanjutan. Untuk

menunjang upaya tersebut, maka pemerintah

mengeluarkan kebijakan dengan menggalakkan

program-program pemberdayaan masyarakat, yaitu

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

(PUAP).

Progam PUAP merupakan program nasional

dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia

untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran

pada sektor pertanian. Melalui Program ini

mempermudah petani dalam akses permodalan,

karena pemerintah memberikan fasilitas berupa

bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik

petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun

rumah tangga tani yang dikoordinasi oleh Gapoktan

(Gabungan Kelompok Tani). Bantuan dana berupa

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). PUAP mulai

dikucurkan pada tahun 2008 dengan maksud agar

dana BLM-PUAP dapat mendorong perekonomian di

pedesaan dan meningkatkan pendapatan petani

sehingga petani keluar dari kemiskinan.

Tujuan program PUAP antara lain:

1) Untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan

pengangguran melalui penumbuhan dan

pengembangan kegiatan usaha agribisnis di

perdesaan sesuai dengan potensi wilayah.

2) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha

agribisnis, pengurus Gapoktan, penyuluh dan

penyelia mitra tani

3) Memberdayakan kelembagaan petani dan

ekonomi perdesaan untuk pengembangan

kegiatan usaha agribisnis.

4) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi

petani menjadi jejaring atau mitra lembaga

keuangan dalam rangka akses ke permodalan.

Berdasarkan tujuan PUAP tersebut, maka

ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian

Nomor:273/Kpts/OT.160/4/2007 yang menjelaskan

tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.

Pada dasarnya keputusan tersebut menjelaskan

tentang upaya pengembangan kelompok tani yang

diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam

melaksanakan fungsinya terutama dalam

peningkatan kemampuan para anggota, terutama

dalam hal agribisnis. Pada akhirnya organisasi

tersebut menjadi lebih terarah, profesional, dan

mandiri. Untuk menindak lanjuti keputusan tersebut,

pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian

Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 tentang Tim

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

menyebutkan bahwa Gapoktan merupakan lembaga

yang berfungsi sebagai pelaksana PUAP.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di

atas, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja

kelembagaan Gapoktan. Penilaian ini dilakukan oleh

Tim Teknis PUAP yang ditetapkan melalui peraturan

Kementerian Pertanian

Nomor:29/Permentan/CT.140/5/20. Upaya ini

merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi

Gapoktan yang berprestasi dalam kerangka

meningkatkan kinerja dan produktivitas usaha

agribisnisnya yang sekaligus dapat mengelola dana

PUAP melalui Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis

(LKM-A). Penghargaan tersebut, sekaligus

diharapkan untuk mendorong Gapoktan dalam

meningkatkan kualitas serta kuantitas fungsi-fungsi

sebagai kelembagaan tani pelaksana PUAP.

Berbagai upaya pembinaan dan

pendampingan yang dilakukan baik dari Tim

Pelaksana PUAP maupun penyuluh pendamping dan

Penyelia Mitra Tani (PMT) untuk meningkatkan

kemampuan Gapoktan PUAP masih terus dilakukan.

Meningkatkan kemampuan Gapoktan PUAP tersebut

merupakan upaya dalam pengembangan

kelembagaan Gapoktan, sehingga diharapkan

Gapoktan PUAP dapat berperan serta berfungsi

sebagai unit usaha tani, unit usaha pengolahan, unit

usaha sarana dan prasarana produksi dan unit usaha

keuangan mikro serta unit jasa penunjang lainnya,

serta menyediakan berbagai informasi yang

dibutuhkan petani sehingga mampu membentuk

Gapoktan yang kuat dan mandiri yang menjadi

wadah bagi kelompok tani dan para petani

melakukan usaha agribisnis.

Kegiatan evaluasi dalam pengembangan

program PUAP merupakan proses untuk

menyempurnakan kegiatan-kegiatan yang sedang

berjalan, membantu dalam sistem perencanaan,

penyusunan program dan system pengambilan

keputusan yang bersifat antisipatif, sehingga di masa

depan dapat dikembangkan program PUAP yang

progresif dan dinamis. Model pembiayaannya

dilakukan berdasarkan skema Lembaga Keuangan

Mikro Agribisnis (LKM-A) yang dalam

Page 236: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

224

pelaksanaannya didirikan, dimiliki dan dikelola

sendiri oleh petani/masyarakat. Oleh karena itu

kedepan keberadaan Lembaga Keuangan Mikro ini

diharapkan dapat memperoleh modal pembangunan

sector pertanian di Indonesia. Kemudian untuk

evaluasinya menurut Suryahadi (2007) dibagi

menjadi 2 jenis, yakni: menurut waktu pelaksanaan

yangmerupakan evaluasi formatif dan evaluasi

summative. Kemudian menurut tujuan terdiri atas:

evaluasi proses, evaluasi biaya-manfaat, dan evaluasi

dampak.

Berdasarkan survei di Kabupaten bahwa

ternyata pelaksanaan program PUAP pada

Kabupaten belum berhasil, karena masih ada

Gapoktan PUAP yang perkembangan dana PUAP

belum mencapai tujuan dari program PUAP yaitu

belum membentuk Lembaga Keuangan Mikro

Agribisnis (LKMA). Oleh karena itu dilakukan

evaluasi terkait kinerja Gapoktan PUAP dalam

perkembangan dana PUAP dalam membentuk

Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang

tangguh, untuk itu perlu adanya contoh sebagai

pembanding, supaya yang perkembangan dana pada

Gapoktan PUAP di Kabupaten Grobogan tersebut

yang belum berhasil dalam membentuk LKMA

supaya dapat berhasil dalam membentuk LKMA.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mendapatkan suatu strategi alternatif PUAP yang

dapat membantu Gapoktan PUAP di setiap provinsi

di Indonesia dalam membentuk LKMA yang

tangguh, sehingga pelaksanaan program PUAP dapat

berhasil.

KERANGKA TEORI

Gambaran Umum Bentuk Bantuan Modal Pada

Pertanian Bentuk program bantuan penguatan modal

yang diperuntukkan bagi petani pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1964 dengan nama

Bimbingan Massal (BIMAS). Tujuan dibentuknya

program tersebut adalah untuk meningkatkan

produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru

dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan

secara nasional. Dalam perjalanannya, program

BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami

banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan

dengan perkembangan teknologi dan kebijakan

(Hasan,1979 dalam Lubis 2005).Pada tahun 1985,

kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit

Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari

sistem kredit massal BIMAS, dimana pola

penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah

melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Sejalan dengan

perkembangannya, ternyata pola yang demikian

banyak menemui kesulitan, utamanya dalam

penyaluran kredit. Hal ini lebih disebabkan karena

tingkat tunggakan pada musim tanam sebelumnya

sangat tinggi. Namun dalam kenyataannya, banyak

kelompok tani yang berada dalam wilayah KUD

yang tidak menerima dana KUT, padahal mereka

yang berada di wilayah KUD tersebut justru memiliki

kemampuan yang baik dalam pengembalian kredit.

Untuk mengatasi hal tersebut, tahun 1995

pemerintah mencanangkan skim kredit KUT pola

khusus. Pada pola ini, kelompok tani langsung

menerima dana dari bank pelaksana. Berbeda dari

pola sebelumnya (pola umum) dimana kelompok tani

menerima kredit dari KUD. Sepanjang

perkembangannya, timbul masalah lain dalam

penyaluran KUT yaitu terjadi tunggakan yang besar

di sebagian daerah yang menerima dana program

tersebut. Beberapa penyebab besarnya tunggakan

tersebut antara lain karena rendahnya harga gabah

yang diterima petani, faktor bencana alam, dan

penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran

serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satu

contohnya adalah sebagian petani mengalihkan dana

KUT dari yang tadinya untuk keperluan usaha tani,

digunakan untuk keperluan konsumsi rumah tangga.

Tahun 2008, pemerintah melalui

Departemen Pertanian RI mencanangkan program

baru yang diberi nama Pengembangan Usaha

Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan

bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri

melalui bantuan modal usaha dalam

menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai

dengan potensi pertanian desa sasaran. Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah

program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan

untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan

kesempatan kerja. Jadi dapat dikatakan bahwa PUAP

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

(PNPM) Mandiri. Kebijakan Departemen Pertanian

dalam pemberdayaan masyarakat diwujudkan

dengan penerapan pola bentuk fasilitasi bantuan

penguatan modal usaha untuk petani anggota, baik

petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun

rumah tangga tani. Operasional penyaluran dana

PUAP dilakukan dengan memberikan kewenangan

kepada Gapoktan sebagai pelaksana PUAP untuk

dalam hal penyaluran dana penguatan modal kepada

anggota. Agar mencapai hasil yang maksimal dalam

pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh

tenaga penyuluh pendamping dan penyelia mitra tani,

dan diharapkan dapat menjadi kelembagaan ekonomi

yang dimiliki dan dikelola oleh petani (Deptan,

2008).

Page 237: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

225

Program Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP)

Salah satu program kebijakan pembangunan

pertanian dalam rangka pengentasan kemiskinan,

ketahanan pangan, dan mewujudkan kesejahteraan

petani dan perdesaan adalah Program Usaha

Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP

merupakan program bantuan langsung masyarakat

(BLM) sebagai implementasi dari program PNP

Mandiri, beserta program lainnya seperti Primatani,

DEATI, PIDRA, P4M2I, program Inpres Desa

Tertinggal (IDT), program Pemberdayaan Daerah

Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi

(PDMDKE), Bantuan Perbenihan (BLBU), LM3,

BMT, Desa Mandiri Pangan, dan sebagainya. Pada

dasarnya tingkat kemiskinan suatu masyarakat

berhubungan erat dengan kesenjangan distribusi

pendapatan. Artinya, kesenjangan distribusi

pendapatan berkorelasi positif dengan besarnya

proporsi rumah tangga miskin pada suatu komunitas.

Program Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP) merupakan kebijakan pemerintah

dalam mengalakan program pemberdayaan

masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan

pengangguran. Kegiatan PUAP merupakan bentuk

fasilitasi bantuan modal kelompok tani/Gapoktan,

yang selanjutnya akan diberikan kepada petani

anggota,baik petani pemilik, petani penggarap, buruh

tani maupun rumah tangga tani sebagai bantuan

modal dalam kegiatan usaha pertanian. Pemerintah

memberikan bantuan modal untuk kegiatan usaha di

bidang agribisnis yang sesuai dengan potensi

pertanian desa sasaran, selain itu nantinya juga dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pedoman

Umum PUAP, 2008).

Menurut Pedoman Umum PUAP (2012),

Program ini menyalurkan dana Bantuan Langsung

Mandiri (BLM) PUAP ke desa miskin terjangkau.

Dana BLM-PUAP yang diterima masing-masing

desa tersebut sebesar Rp 100 juta untuk

mengembangkan agribisnis perdesaan melalui

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Tujuan

program PUAP yaitu: (1) Mengurangi kemiskinan

dan pengangguran melalui penumbuhan dan

pengembangan kegiatan usaha agribisnis di pedesaan

sesuai dengan potensi wilayah;(2) Meningkatkan

kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus

Gapoktan, penyuluh dan penyelia mitra tani;(3)

Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi

perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha

agribisnis;(4) Meningkatkan fungsi kelembagaan

ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga

keuangan dalam rangka akses ke permodalan.

Sasaran yang diharapkan dari program

PUAP adalah; (1) Berkembangnya usaha agribisnis

di desa terutama desa miskin terjangkau sesuai

dengan potensi pertanian desa;(2) Berkembangnya

Gapoktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani

untuk menjadi kelembagaan ekonomi;(3)

Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani

miskin, petani atau peternak (pemilik dan atau

penggarap) skala kecil, buruh tani;(4)

Berkembangnya usaha agribisnis petani yang

mempunyai siklus usaha harian, mingguan maupun

musiman.

Berdasarkan tujuan PUAP tersebut, maka

ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian

(KEPMENTAN) Nomor:273/Kpts/OT.160/4/2007

yang menjelaskan tentang Pedoman Pembinaan

Kelembagaan Petani menyebutkan bahwa

pengembangan kelompok tani diarahkan pada

peningkatan kemampuan kelompok tani dalam

melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan

para anggota dalam mengembangkan agribisnis,

penguatan kelompok tani menjadi organisasi petani

yang kuat dan mandiri. Menindak lanjuti peraturan

tersebut, pemerintah mengeluarkan peraturan dari

Menteri Pertanian dengan Nomor

545/Kpts/OT.160/9/2007, mengenai Tim

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan yang

terdiri dari Gapoktan yang merupakan kelembagaan

tani pelaksana PUAP.

Menunjang upaya tersebut, maka dilakukan

penilaian untuk mengetahui kinerja kelembagaan

Gapoktan. Penilaian ini dilakukan oleh Tim Teknis

PUAP. Berdasarkan peraturan diatas untuk

menunjang hal tersebut, maka di tetapkan peraturan

Kementerian Pertanian Nomor :

29/Permentan/CT.140/5/2011. Upaya ini merupakan

salah satu bentuk yaitu dengan memberikan

penghargaan bagi Gapoktan yang terpilih sebagai

Gapoktan berprestasi, sehingga dapat meningkatkan

kinerja dan produktivitas usaha agribisnisnya

sekaligus dapat mengelola dana PUAP melalui

Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA).

Penghargaan tersebut, diharapkan Gapoktan PUAP

terdorong untuk meningkatka kualitas serta kuantitas

fungsi-fungsi sebagai kelembagaan tani pelaksanaan

PUAP (Pedoman Penilaian Gapoktan PUAP

Berprestasi, 2011).

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Propinsi Sulawesi

Tengah dengan pertimbangan bahwa lokasi ini

merupakan salah satu propinsi yang sejak tahun 2008

mendapat dana bantuan permodalan bagi petani

melalui program PUAP. Sementara ini dalam

pelaksanaanya belum pernah dilakukan evaluasi

secara maksimal pada hal secara nasional Propinsi

Sulawesi Tengah akan diproyeksikan sebagai

Page 238: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

226

lumbung padi. Atas dasar pertimbangan itu maka

dilakukan penelitian untuk mengkaji perkembangan

pelaksanaannya.

Analisis Data

Penelitian dilaksanakan selama tujuh bulan,

terhitung mulai bulan Januari sampai Juli 2014

dengan memanfaatkan data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh berdasarkan

kuisioner yang dikirimkan ke BPTP Sulawesi Tengah

yang kemudian diteruskan ke masing-masing PMT di

seluruh kabupaten. Sedangkan data sekunder diambil

dari laporan PMT dan instansi terkait antara lain dari

lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas

Pertanian di Provinsi Sulawesi Tengah (Toli-Toli,

Poso, Molowali, Sigi, Tojo Una-Una, dan Donggala),

Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan dan

Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas

Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah, Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi

Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik (BPS), dan

instansi terkait lainnya. Sebanyak 582 Gapoktan

yang memperoleh dana PUAP tahun 2008 -2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan PUAP Hasil penghitungan terhadap pelaksanaan

program PUAP di propinsi Sulawesi Tengah

memperlihatkan bahwa dari total 582 Gapoktan,

terdapat 65.399 orang anggota yang telah

memanfaatkan dana PUAP dengan total nilai asset

sebesar Rp. 60.679.000- (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Dana PUAP di Kabupaten Sulawesi Tengah Hingga Akhir Tahun 2013

Sumber : Analisis Data Primer (2014)

Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui

bahwa Kabupaten Donggala, dari 126 jumlah

Gapoktan yang tercatat, 10.200 orang diantaranya

telah memanfaatkan dana PUAP dengan total asset

sebesar Rp.13.616.307.000,- Dengan demikian rata-

rata per orang telah memanfaatkan dana sebesar

Rp1.335.000. Berbeda dengan Kabupaten Sigi,

dengan 80 Gapoktan, jumlah anggota yang

memanfaatkan dana ini sebanyak 12.322 orang

dengan total asset sebesar Rp. 12.322.000. Dengan

demikian rata-rata per orang hanya separuhnya, yaitu

sebesar Rp. 682,900.000. Jika kemudian di urutkan

berdasarkan jumlah orang yang memanfaatkan, maka

Kabupaten Poso yang terbanyak di ikuti Kabupaten

Morowali, Toli-toli, Donggala dan Tojo una-una.

Berdasarkan manajemen pengelolaannya

dana keuangan diserahkan sepenuhnya kepada

Gapoktan, yang selanjutnya dialokasikan ke masing-

masing kelompok tani sesuai dengan rencana usaha

dari masing-masing Kelompok. Penyusunan

Rencana Usaha tersebut didasarkan atas

pertimbangan potensi di masing-masing daerah.

Penerapan pengelolaan dana dilaksanakan dengan

pendekatan simpan pinjam yang kemudian tingkat

bunga pengembalian serta waktu pengembaliannya

diseuaikan berdasarkan atas kesepakatan kelompok.

Keragaan Kinerja Gapoktan

Secara garis besar kinerja Gapoktan

didasarkan atas Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga (AD dan ART) yang mengatur

masalah-masalah vital yang harus dibuat pada awal

organisasi tersebut dibentuk, antara lain mencakup

landasan organisasi, perangkat-perangkat organisasi,

peran dan fungsi organisasi, tujuan organisasi dan

keuangan organisasi. Sedangkan ART secara teknis

mengatur tatacara pelaksanaan sebuah organisasi,

seperti wewenang ketua, pembubaran, syarat-syarat

keanggotaan, dan lain-lain. Dengan demikian

organisasi semacam Gapoktan ini harus mempunyai

catatan-catatan tertulis tentang segala aktivitas

organisasi yang tertata rapi.

No KABUPATEN JLH

GAPOKTAN

JUML ANGGOTA YANG

TELAH

MEMANFAATKAN

DANA PUAP (ORG)

NILAI ASET YANG

DIKELOLA S.D AKHIR

2013 (Rp. 000)

1 TOLI - TOLI 80 10.531 8.782.000

2 POSO 97 13.022 9.574.147

3 MOROWALI 106 11.365 10.603,000

4 SIGI 80 12.322 8.414.631

5 TOJO UNA-UNA 93 8.139 9.689.852

6 DONGGALA 126 10.020 13.616.307

JUMLAH 582 65.399 60.679.937

Page 239: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

227

Tabel 2. Kinerja Gapoktan di Provinsi Sulawesi Tengah

No KABUPATEN JLH

GAPOKTAN

JUML ANGGOTA

YANG TELAH

MEMANFAATKAN

DANA PUAP

(ORG)

NILAI ASET

YANG

DIKELOLA

S.D

AKHIR 2013

(Rp. 000)

KLASIFIKASI

JLH USP JLH

LKM-A

1 TOLI - TOLI 80 10.531 8.782.000 5 75

2 POSO 97 13.022 9.574.147 0 97

3 MOROWALI 106 11.365 10.603.000 98 8

4 SIGI 80 12.322 8.414.631 80 0

5

TOJO UNA-

UNA 93 8.139 9.689.852 84 9

6 DONGGALA 126 10.020 13.616.307 120 6

JUMLAH 582 65.399 60.679.937 387 195

Sumber : Analisis Data Primer (2014)

Hasil evaluasi kinerja terhadap 582 Gapoktan

dari total 1.037 Gapoktan yang ada di provinsi

Sulawesi Tengah menunjukan bahwa PUAP telah

berhasil membentuk 195 LKM-A, sementara sisanya

387 unit masih dalam bentuk USP (Tabel 2). Masing-

masing Kabupaten memiliki jumlah USP dan LKM-

A yang berbeda-beda. Misalnya Kabupaten

Donggala tercatat memiliki 120 USP, jauh lebih

besar dibandingkan dengan kabupaten Poso yang

sama sekali tidak memiliki USP karena telah berhasil

membentuk LKM-A. Perbedaan ini disebabkan oleh

beberapa faktor antara lain:

a) Sebagian pengurus gapoktan kawatir apabila

dana PUAP dikelola LKM-A akan terjadi

penyimpangan;

b) Sebagian pengurus gapoktan merasa belum siap

dengan pembentukan LKM-A;

c) Gapoktan belum banyak yang mengetahui tentang

konsep LKM-A dan cara menjalankannya;

d) Pemangku kepentingan dan pendamping masih

belum sepenuh hati mendorong penumbuhan

LKM-A karena belum ada petunjuk, arah dan

dasar hukum yang jelas.

Terkait dengan LKM-A adalah sebuah

Lembaga Keuangan Mikro merupakan kelembagaan

usaha yang mengelola jasa keuangan untuk

membiayai usaha dalam skala mikro, baik berbentuk

formal maupun non formal. Pembentukan lembaga

ini diprakarsai oleh masyarakat atau pemerintah.

Karena yang dituju adalah LKM bagi petani, maka

usaha yang dimaksudkan juga usaha pertanian.10

Dalam hal ini, LKM-A yang dimaksudkan adalah

merupakan lembaga keuangan mikro yang

ditumbuhkan dari Gapoktan pelaksana PUAP dengan

fungsi utamanya adalah untuk mengelola aset dasar

dari dana PUAP dan dana keswadayaan angggota.2

Beberapa faktor penting yang dipergunakan

untuk mengukur kemajuan Gapoktan, menurut

Bustaman et al (2011)11, adalah Gapoktan PUAP

yang berpotensi membentuk kelembagaan ekonomi

petani (LKM-A). Keberhasilan tersebut diukur

melalui kriteria: (a) memiliki modal kelompok (iuran

wajib, pokok, dan atau simpanan sukarela); (b)

memiliki unit simpan pinjam dan unit usaha lainnya

(sarana input, pengolahan, dan pemasaran hasil); (c)

memiliki kantor yang terpisah dari rumah ketua

Gapoktan; (d) menunjukkan peningkatan

produktivitas, termasuk produksi dan pendapatan

pelaku usahatani (penguatan modal petani); (e)

mendapat dukungan Pemda Propinsi/Kabupaten atas

usaha Gapoktan untuk mendirikan lembaga ekonomi

petani/LKM-A (surat keputusan).

Berdasarkan evaluasi kelembagaannya,

kabupaten yang berhasil membentuk LKM-A

terbanyak adalah Poso (sebanyak 97 unit), kemudian

disusul kabupaten Toli – Toli. Sedangkan kabupaten

Sigi sama sekali tidak berhasil membentuk LKM-A

(Gambar 2).

Keberhasilan Gapoktan PUAP di Kabupaten Poso

dapat dibuktikan dari peningkatan jumlah anggota,

nilai aset yang dimiliki dan telah memiliki LKM-A.

Hal ini karena Gapoktan telah memiliki struktur

organisasi, AD/ART dan rencana kerja. Petani

penerima dana PUAP dipilih secara selektif oleh

pengurus dan Gapoktan telah memiliki kerjasama

dengan pemangku kepentingan. Berbeda dengan

Gapoktan PUAP di Kabupaten Sigi yang ditunjukkan

dari berkurangnya jumlah anggota serta tidak

ditunjukkan adanya kenaikan nilai aset yang cukup

signifikan. Besar kemungkinan hal ini disebabkan

kurangnya kemampuan pengurus Gapoktan dalam

memfasilitasi dan mengelola modal usaha anggota,

kekeliruan persepsi dari anggota bahwa pinjaman

Page 240: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

228

dana PUAP tidak perlu dikembalikan, dana pinjaman

tidak digunakan sesuai kebutuhan usahanya. Seleksi

dan verifikasi kurang memperhatikan kelayakan

usaha anggota dan pembinaan serta pendampingan

dari tim pembina dan tim teknis kurang intensif

dilakukan.12

Kemitraan dan Badan Hukum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17

tahun 2012 tentang Perkoperasian dan Undang-

Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro, Gapoktan PUAP yang telah

berhasil membentuk LKM-A wajib memiliki Badan

Hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT).

Pengurusan Badan Hukum LKM-A dapat dilakukan

melalui notaris atau koperasi. Biaya pengurusan

Badan Hukum melalui notaris relatif lebih mahal bila

dibandingkan dengan koperasi, namun kebanyakan

petani masih belum dapat menerima LKM-A menjadi

koperasi.

Pada dasarnya prinsip pertumbuhan Gapoktan

adalah kebebasan, kesempatan, keswakarsaan,

partisipatif, keterpaduan, kemitraan dan

keberlanjutan. Gapoktan bebas mengembangkan unit

jasa/usaha otonom sesuai kebutuhan unit usaha tani,

pengolahan, pemasaran, saprodi, simpan-

pinjam/keuangan mikro dan jasa penunjang lainnya.

Gambar 1. Grafik Kemitraan dan Badan Hukum Gapoktan di Kabupaten yang Ada Di Provinsi

Sulawesi Tengah

Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa Kabupaten

Donggala telah berhasil membangun hubungan

kemitraan dengan pihak ke tiga sebanyak 22 unit dan

memiliki 3 unit koperasi yang sudah berbadan hukum

namun belum memiliki akta notaris. Kabupaten Toli

- Toli berhasil membangun hubungan kemitraan

dengan pihak ke tiga sebanyak 16 unit, belum

memiliki koperasi yang sudah berbadan hukum

namun sudah memiliki 6 unit akta notaris. Kabupaten

Sigi berhasil membangun hubungan kemitraan

dengan pihak ke tiga sebanyak 7 unit, belum

memiliki koperasi yang sudah berbadan hukum dan

hanya memiliki 1 unit akta notaris, Kabupaten

Morowali berhasil membangun hubungan kemitraan

dengan pihak ke tiga sebanyak 10 unit, memiliki 4

unit koperasi yang sudah berbadan hukum dan 4 unit

akta notaris.

Sedangkan kabupaten yang belum menjalin

kemitraan dengan pihak lain yaitu Kabupaten Tojo

Una-Una, namun sudah memiliki 1 unit koperasi

yang berbadan hukum dan 2 unit yang memiliki akta

notaris. Kabupaten Poso adalah kabupaten di

provinsi Sulawesi Tengah yang belum menjalin

kemitraan dengan pihak lain, belum memiliki

koperasi yang berbadan hukum dan belum memiliki

akta notaris.

Salah satu modal utama dalam kinerja

pengelolaan LKM-A adalah kemitraan dengan pihak

lain seperti pemerintah daerah, lembaga keuangan

bank seperti Bank BRI maupun non bank seperti

pengecer pupuk, pengusaha dan pengumpul jagung.

Kemitraan dilaksanakan dengan melibatkan berbagai

pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan.13

.

Aspek Ekonomi (Usaha) PUAP di Provinsi

Sulawesi Tengah Penyaluran pinjaman dana PUAP dinilai melalui

pelayanan Gapoktan dalam merealisasikan kegiatan

simpan pinjam dan sejauh mana jangkauan pelayanan

simpan pinjam mampu menyentuh kebutuhan para

petani dalam menjalankan usaha taninya. Dana

PUAP tersebut disalurkan pada anggota Gapoktan

masing-masing dengan harapan dapat menambah

modal usaha baik tanaman pertanian (pangan),

KEMITRAAN

KOPERASI

AKTA NOTARIS

Page 241: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

229

peternakan, perkebunan, maupun pengadaan sarana

produksi pertanian.

Keragaan alokasi penggunaan dana

Gapoktan PUAP di provinsi Sulawesi Tengah pada

tahun 2008-2013 berdasarkan jenis usahanya ialah

usaha tani tanaman pangan (41%), peternakan (8%),

perkebunan (28%), hortikultura (7%) dan off-farm

(16%) yang disajikan pada Gambar 2.

a. Budidaya pertanian (on farm)

Meliputi budidaya sub sektor tanaman pangan, sub

sektor hortikultura, sub sektor peternakan,

dan sub sektor perkebunan. Berdasarkan Tabel 3,

diketahui bahwa sektor on-farm khususnya di sektor

tanaman pangan, mendominasi pengajuan pinjaman

kredit usaha. Hal ini dapat dilihat dari persentase

pengajuan pinjaman dari Rencana Usaha Anggota

(RUA). Kebanyakan para petani mempergunakan

dana pinjaman tersebut untuk menambah modal

usaha seperti pembelian pupuk dan bibit pada saat

masa tanam.

Gambar 2. Persentase Usaha Produktif yang dibiayai PUAP di Provinsi Sulawesi Tengah Hingga

Akhir Tahun 2013

Tabel 3. Alokasi Penggunaan dana PUAP Untuk Usaha Budidaya Pertanian di Provinsi Sulawesi

Tengah Sampai Akhir Tahun 2013

No KABUPATEN JUMLAH

GAPOKTAN

JUML ANGGOTA

YANG TELAH

MEMANFAATKA

N DANA PUAP

(ORG)

ALOKASI PENGGUNAAN DANA UNTUK USAHA

PRODUKTIF

TANAMAN

PANGAN

(Rp.000)

PERKEBUNA

N (RP.000)

HORTIKULTURA

(Rp.000)

PETERNAK

AN (Rp.000)

1 TOLI -

TOLI 80 10.531 3.735.000 3.220.000 185.000 580.000

2 POSO 97 13.022 4.254.058 3.644.541 483.049 189.494

3 MOROWALI 106 11.365 2.440.000 2.400.000 20.000 455.000

4 SIGI 80 12.322 2.696.705 1.176.105 547.789 451.708

5 TOJO UNA

- UNA 93 8.139 4.778.274 862.250 1.411.776 992.800

6 DONGGALA 126 10.020 3.810.286 3.314.458 781.092 21.45.750

JUMLAH 582 65.399 21.714,323 14,617,354 3.428.706 4.814.752

Sumber : Analisis Data Primer (2014)

Pada sektor usaha budidaya pertanian (on-

farm), jenis usaha yang paling banyak adalah usaha

tani padi. Usaha tani padi ini merupakan usaha yang

paling lama ditekuni yaitu sekitar 21-25 tahun. Hal

ini dikarenakan usaha ini tidak hanya sekedar usaha

untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan sudah

menjadi budaya masyarakat.

b. Usaha Off Farm

Non budidaya (Off farm), meliputi usaha industri

rumah tangga pertanian/industri pengolahan hasil

Page 242: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

230

pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan dan usaha

lain berbasis pertanian

Penduduk di Provinsi Sulawesi Tengah

sudah mulai melakukan kegiatan-kegiatan diluar

pertanian (off-farm) sebagai penghasilan tambahan.

Hal ini didorong karena adanya tuntutan kebutuhan

hidup sehari-hari yang tidak dapat terus-menerus

menggantungkan hidup dari hasil kegiatan budidaya

seperti bertani yang harus menunggu beberapa bulan

ke depan untuk memperoleh hasil. Maka dari itu

mulai berkembang usaha-usaha non budidaya seperti

usaha pengadaan saprotan, pengolahan, pengemasan,

pengolahan tepung beras, pembuatan roti, pembuatan

kue kering dan basah, dagang bakso, dagang sayuran

dan buah, usaha warung sembako kecil-kecilan, serta

pemasaran produk hasil pertanian. Usaha ini sudah

banyak dilakukan oleh penduduk karena tidak

membutuhkan waktu yang lama untuk menikmati

hasilnya.

Kegiatan usaha ini banyak dilakukan oleh

penduduk desa yang tidak memiliki lahan pertanian

atau hanya memiliki sedikit lahan untuk ditanami

tanaman pertanian. Usaha pengadaan saprotan ini

dikelola oleh gapoktan diprovinsi Sulawesi Tengah

meliputi pengadaan benih dan pupuk. Saprotan ini

dijual kepada para petani di desa dengan sistem

pembayaran setelah panen.

Sifat inovatif dan sifat kepemimpinan dari

pengurus Gapoktan berhubungan positif dengan

keberhasilan outcome dan dengan keberhasilan

benefit. Hasil analisis berdasarkan alokasi

penggunaan dana PUAP untuk usaha off farm yang

ditunjukkan pada Tabel 4. Memperlihatkan bahwa

jumlah dana hasil off farm sebesar Rp.

8.015.488.000,- (16%). Hasil analisis ini juga

memperlihatkan bahwa pengurus Gapoktan di

masing – masing kabupaten di provinsi Sulawesi

Tengah secara signifikan telah mampu meningkatkan

kemampuan petani, buruh tani, dan tumah tangga tani

dan Gapoktan sendiri untuk mengembangkan modal

dan jenis usaha agribisnisnya, dan mampu membuka

peluang usaha di bidang off farm, sehingga manfaat

dari adanya program PUAP dapat dirasakan

manfaatnya oleh petani, buruh tani, dan tumah tangga

di lokasi program PUAP dilaksanakan.

Tabel 4. Alokasi Penggunaan dana PUAP Untuk Usaha Off Farm di Provinsi Sulawesi Tengah Sampai

Akhir Tahun 2013

No KABUPATEN JLH

GAPOKTAN

JUML ANGGOTA YANG

TELAH

MEMANFAATKAN DANA

PUAP (ORG)

JUMLAH

PERGULIRAN

/PENYALURAN

(berapa kali)

OFF-FARM

(Rp.000)

1 TOLI - TOLI 80 10.531 250 200.000

2 POSO 97 13.022 189 175.489

3 MOROWALI 106 11.365 152 2.490.000

4 SIGI 80 12.322 380 2.682.685

5

TOJO UNA -

UNA 93 8.139 186

1.254.900

6 DONGGALA 126 10.020 47 1.212.414

JUMLAH 582 65.399 1.204 8.015.488

Sumber : Analisis Data Primer (2014)

Strategi Alternatif PUAP

Strategi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan

(PUAP) pada dasarnya ditujukan untuk:

a. Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola PUAP,

yang dapat dilaksanakan melalui:

i) Pelatihan bagi petugas pembina dan pendamping

PUAP;

ii) Rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT;

iii) Pelatihan bagi pengurus Gapoktan; dan

iv) Pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan

PMT.

b. Optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin dan

tertinggal, dilaksanakan melalui:

i Identifikasi potensi desa;

ii Penentuan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan

hilir) unggulan; dan

iii Penyusunan dan pelaksanaan RUB berdasarkan

usaha agribisnis unggulan.

c. Menguatkan modal petani kecil, buruh tani dan

rumah tangga tani miskin kepada sumber

permodalan, dilaksanakan melalui:

i) Penyaluran BLM PUAP kepada pelaku agribisnis

melalui Gapoktan;

ii) Fasilitasi pengembangan kemitraan dengan

sumber permodalan lainnya.

Page 243: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

231

d. Melakukan pendampingan bagi Gapoktan,

dilaksanakan melalui:

i) Penempatan dan penugasan Penyuluh

Pendamping di setiap gapoktan; dan

ii) Penempatan dan penugasan PMT di setiap

kabupaten/kota.

PENUTUP Dari hasil pengkajian diperoleh bahwa

Kabupaten Donggala memiliki nilai aset yang paling

besar yaitu sebanyak Rp.13.616.307.000,- dengan

jumlah Gapoktan sebanyak 126 dan anggota yang

telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 10.020

orang. Sedangkan Kabupaten yang memiliki nilai

aset yang paling kecil adalah Kabupaten Sigi yaitu

sebesar Rp.8.414.631.000,- dengan jumlah Gapoktan

sebanyak 80 dan anggota yang telah memanfaatkan

dana PUAP sebanyak 12.322 orang. Dari data

tersebut terbukti bahwa sifat inovatif dan sifat

kepemimpinan dari pengurus Gapoktan berhubungan

positif dengan keberhasilan outcome dan dengan

keberhasilan benefit dan merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi terbentuknya LKM-A yang

sukses. Pemerintah Daerah diharapkan dapat

memberikan fasilitasi dalam pemupukan modal,

kepemilikan badan hukum, pembentukan asosiasi

gapoktan, dan penyiapan langkah exit strategy

keberlanjutan program PUAP. Bapeluh atau BP4K

dapat menjadi leading agency dan menjadikan

program PUAP sebagai program unggulan daerah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Bapak Sjahrul

Bustaman, M.Si dari BBP2TP atas bimbingannya

dalam penulisan KTI.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Penumbuhan

Dan Pengembangan Kelompok Tani Dan

Gabungan Kelompok Tani. Jakarta:

Departemen Pertanian RI

Elfindri, 2005, Kajian Tingkat Kemiskinan di

Pedesaan dan Perkotaan Sumatera Barat,

Pemerintah Propinsi Sumatera Barat,

Lembaga Pengkajian Ekonomi

Pembangunan (LPEP), Fakultas Ekonomi

Universitas Andalas, Padang.

Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Umum

Pengembangan Usaha Agribisnis

Perdesaan (PUAP) 2013. Jakarta:

Kementerian Pertanian. 40 hlm.

Peraturan Menteri Pertanian No.

273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman

Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok

tani dan Gabungan Kelompok tani.

Keputusan Menteri Pertanian (KEPMENTAN)

Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 Tentang

Pembentukan Tim Pengembangan Usaha

Agribisnis Perdesaan.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor:

29/Permentan/OT.140/5/2011 Tanggal: 30

Mei 2011. Pedoman Penilaian Gabungan

Kelompok Tani (GAPOKTAN)

Pengembangan Usaha Agribisnis Usaha

Agrbisnis iPedesaan (PUAP) Berprestasi

Tahun Anggaran 2011.

Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2011. Pedoman

Penilaian Gapoktan PUAP Berprestasi.

Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana

Pertanian. Kementerian Pertanian.

BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian.

2013. Data base Gapoktan PUAP 2008-

2011. Kerja Sama BBP2TP dengan

Direktorat Pembiayaan Kementerian

Pertanian.

Pasaribu dkk. (2011). Penentuan Desa Calon Lokasi

PUAP 2011 dan Evaluasi Pengembangan

Usaha Agribisnis Perdesaan. Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Kementerian Pertanian. Bogor.

Suryahadi, Asep. (2007). Kumpulan Bahan Latihan

Pemantauan Evaluasi Program-Program

Penanggulangan Kemiskinan. Modul 4 :

Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang

Baik. Bappenas,Jakarta.

www.ditpk.bappenas.go.id

Bustaman, S., M. Mardiharini, A. Djauhari., S.S.

Tan. 2011. Pengkajian Pola dan Metode

Rating Gapoktan PUAP (Grade A, B, C)

Dalam Upaya Meningkatkan Hasil

Komoditas Unggulan (Padi, Sapi Potong dan

Kakao) > 20 % Melalui Percepatan Adopsi

Teknologi Pertanian. Laporan Hasil

Pengkajian (belum dipublikasi).

Hendayana, R. 2011. Penguatan modal petani pada

gabungan kelompok tani penerima BLM

PUAP. hlm 13-24. Dalam K.Subagyono,

R. Hendayana, S. Bustaman (Penyunting).

Petani Butuh Modal. Badan Litbang

Pertanian.

Suprapto. A. 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap

pelaksanaan PUAP. Makalah disampaikan

pada workshop PUAP di Botani Square 8

Agustus 2012.

Permentan No 81/Permentan/OT.140/8/2013.

Pedoman pembinaan kelompok tani (Poktan)

Page 244: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

232

dan gabungan kelompok tani (Gapoktan). 26

Agustus 2013.

Page 245: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

233

Manajemen Resiko Rantai Pasok Komoditas Padi (Oryza sativa) di Kabupaten

Indramayu, Jawa Barat

Risk Management Of The Agribusiness Supply Chain On Commodity Paddy (Oryza

Sativa ) In Indramayu District West Java

Tetep Ginanjar 1), Tomy Perdana1), Eddy Renaldi1)

Pusat Studi Rantai Pasok dan Sistem Logistik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran

A B S T R A K

Kata Kunci: Manajeman resiko,

agen resiko,

rantai pasok,

aksi mitigasi resiko

Sumber mata pencaharian penduduk Indonesia sebagian besar berada pada sector

pertanian. Selain itu, sector pertanian pun berada pada posisi kedua setelah sector

industry pengolahan sebagai penyumpang PDB terbesar. Walaupun demikian, sector

pertanian masih menghadapi beberapa kendala, terutama aspek pembiayaan. Secara

nasional, kredit yang disalurkan pada sektor pertanian sangat rendah dibandingkan

total kredit perbankan, yaitu hanya sekitar 5,54% saja. Dari total kredit perbankan

sector pertanian, hanya sekitar 4,3 % saja yang diserap subsector pangan (BI, 2013).

Rendahnya total kredit perbankan terhadap sector pertanian salah satunya disebabkan

tingginya risiko di sector pertanian yang dihadapi bank maupun debitur. Berdasarkan

hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi resiko dan upaya mitigasinya. Hal ini

untuk memberikan informasi bagi bank/kreditur mengenai resiko dalam sector

pertanian serta cara meninimimalisasinya. Meningkatnya pemahaman pihak kreditur

mengenai aksi mitigasi risiko dalam rantai pasok dan proses bisnis yang dilakukan di

sektor pertanian, akan meningkatkan kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur

dalam memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha di sektor pertanian. Penelitian

dilakukan di Kabupaten Indramayu yang merupakan sentra produksi padi di Provinsi

Jawa Barat dan sekaligus di Indonesia. Dalam mencapai tujuan penelitian, digunakan

alat pemetaan Value Stream Mapping dan House of Risk (HOR). Rantai pasok padi di

Kabupaten Brebes melibatkan petani, bandar, dan pengusah RMU (Rice Milling Unit).

Dari hasil analisis teridentifikasi 8 titik kritis risiko di tingkat RMU, 3 titik kritis risiko

di tingkat bandar, dan 3 titik kritis risiko di tingkat petani disertai aksi mitigasi resiko

di masing-masing pelaku.

ABSTRACT

Keywords: risk management,

risk agent,

supply chain,

mitigation risk actions

The largest Indonesian livelihood is came from agricultural sector. Futhermore, the

agricultural was to be second position after the processing industry as the largest

contributors to GDP. Nevertheless, the agricultural still faces several obstacles,

especially in financing aspects. Nationally, lending to the agricultural is very low if it's

compared with total bank credits. Credits to agricultural amounted only 5,54% from

total bank credits as much as 4,3% devoted to foods (BI, 2013). The lowest of total

bank credits for agricultural is due to the high risks of agricultural to the faced of

banks or other credit institutions. Based on this case, it is necessary to efforts of risk

identified and mitigation. That is to give information to the bank or crediturs about

risk agricultural sector and how to minimize that risk. The increasing of crediture

comprehention about risk mitigation in agricultural supply chain business will be

increased of credibility from creditures to give some credits to the farmers and the

other of agriculturalists. This research conducted in Indramayu district as one of the

largest paddy producer in West java and indonesia. To achieve the aim of this

research, used research instruments value stream mapping and house of risk (HOR).

Paddy supply chain in indramayu district involve farmers, middleman, and rice milling

unit. This analysis was identified 8 critical points of risk in RMU, 3 critical points of

risk in middleman, and 3 critical points of risk in farmers which is accompanied with

mitigation risk for each actors.

* Korespondensi Penulis, alamat e-mail: [email protected]

Page 246: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

234

PENDAHULUAN

Sumber mata pencaharian penduduk Indonesia

sebagian besar berada pada sector pertanian. Sekitar

40 Juta orang (35 %) penduduk Indonesia bermata

pencaharian di sector pertanian. Selain itu, sector

pertanian pada triwulan III tahun 2014 berada pada

posisi kedua (15,25% %) setelah sector industry

pengolahan (23,35 %) sebagai penyumpang PDB

terbesar (BPS, 2014). Hal ini menunjukan bahwa

sector pertanian memegang peranan yang sangat

strategis dalam perekonomian nasional. Walaupun

demikian perkembangan sector pertanian mengalami

banyak kendala. Kendala-kendala tersebut berada

pada aspek penerapan teknologi budidaya pertanian,

penanganan pascapanen, informasi pasar dan

pemasaran, serta aspek permodalan. Aspek

permodalan merupakan persoalan klastik yang

dihadapi para pelaku di sector pertanian, terutama

para petani.

Data statistik kredit perbankan menunjukkan

bahwa secara nasional kredit yang disalurkan pada

sektor pertanian sangat rendah dibandingkan total

kredit perbankan, Namun menunjukkan peningkatan.

Pada akhir tahun 2010, kredit pada sektor pertanian

sebesar Rp85,0 triliun atau 4,97% dari total kredit

perbankan. Namun pada akhir 2013, kredit sektor

pertanian meningkat menjadi Rp174,4 triliun atau

5,54%.

Tabel 1. Perkembangan Kredit Perbankan Sektor

Pertanian (Triliun Rp)

Keterangan 2010 2011 2012 2013

Total Kredit

Perbankan

1.711,7 2.117,5 2.585,1 3.146,1

Pertanian,

Perkebunan

dan

Kehutanan

85,0 107,9 139,9 174,4

Persentase

(%)

4,97 5,09 5,41 5,54

Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum (LBU)

Berdasarkan Tabel 1, apabila dilihat secara lebih

mendalam kepada masing-masing sub sektor

pertanian, maka pangsa kredit terbesar masih

didominasi oleh sektor perkebunan yang pada akhir

tahun 2013 mencapai Rp145,0 triliun atau 83,2% dari

total kredit pertanian. Sementara penyaluran kredit

pada sub sektor pangan pada periode yang sama

hanya sebesar Rp7,3 triliun atau 4,2% dari total kredit

pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa akses

keuangan untuk produksi pertanian, di luar sub sektor

perkebunan, bukan merupakan hal yang mudah.

Salah satu subsector pertanian yang memiliki

realisasi penyaluran kredit rendah, yaitu subsector

pangan, terutama komoditas beras sebagai makanan

pokok masyarakat Indonesia.

Hasil penelitian Bank Indonesia (2011)

menyebutkan bahwa salah satu penyebab rendahnya

akses keuangan untuk produksi pertanian yaitu

tingginya risiko di sector pertanian yang dihadapi

bank maupun debitur. Berdasarkan hal tersebut maka

perlu dilakukan identifikasi resiko dan upaya

mitigasinya. Hal ini untuk memberikan informasi

bagi bank/kreditur mengenai resiko dalam sector

pertanian serta cara meninimimalisasinya.

Meningkatnya pemahaman pihak kreditur mengenai

risiko dalam rantai pasok dan proses bisnis yang

dilakukan di sektor pertanian akan meningkatkan

kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur dalam

memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha di

sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena melalui

pemahaman terhadap risiko yang mungkin terjadi di

dalam usaha yang dibiayai akan memungkinkan

pihak kreditur untuk menyalurkan pembiayaan ke

sektor pertanian yang selama ini dianggap memiliki

risiko tinggi.

METODE PENELITIAN Penelitian studi kasus ini menggunakan desain

kasus tunggal terjalin dengan pertimbangan bahwa

pada objek penelitian yaitu rantai pasok dan risiko

rantai pasok. Dalam rantai pasok diperlukan analisis

perorangan dalam proses penelitian. Analisis

perorangan yang dimaksud adalah melihat

bagaimana peranan dan dampak setiap pelaku/link

dalam rantai. Selanjutnya tahap penting dalam desain

penelitian kasus tunggal ini diperlukan unit analisis.

Unit analisis yang dipilih dituangkan dalam teknik

penelitian.

Teknik penelitian yang digunkanan dalam

desain kasus tunggal ini adalah deskriptif kualitatif

dengan dipadukan dengan uji kuantitatif. Sumber-

sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer, merupakan data yang diperoleh

secara langsung dari objek penelitian melalui

wawancara langsung dengan informan. Data

sekunder, merupakan data yang diperoleh dari buku,

majalah, penelusuran internet, jurnal, lembaga-

lembaga terkait, dan penelitian terdahulu yang

berhubungan dengan penelitian ini. Data/informasi

yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data

primer dan data sekunder. Oleh karena itu, teknik

pengumpulan data/informasi yang digunkan adalah

teknik wawancara, teknik observasi, dan studi

kepustakaan.

Page 247: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

235

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Rantai Pasok Komoditas Padi di Kabupaten

Indramayu

Berdasarkan gambar, dapat diketahui para pelaku

dalam sistem rantai pasok beras di Kabupaten

Indramayu. Dalam sistem rantai pasok tersebut,

terdiri dari anggota primer dan anggota pendukung.

Anggota primer terdiri dari para pelaku utama dalam

sistem rantai pasok yang terdiri dari RMU (Rice

Milling Unit), Bandar. dan petani. Sedangkan

anggota pendukung meliputi Badan Ketahanan

Pangan dan Penyuluhan Pertanian (BKP3) Kab.

Indramayu, Balai Penyuluhan Pertanian di masing-

masing kecamatan, PT. Syngenta, PT. Pertani, kios-

kios pertanian, bank, Bulog, dan pedagang pasar

induk.

2. Manajemen Resiko Rantai Pasok Padi di

Kabupaten Indramayu

Agen desiko dalam rantai pasok padi terlebih

dahulu diidentikasi pada setiap pelaku. Setelah

diketahui agen resikonya, dilakukan pemilihan agen

resiko prioritas. Pemilihan agen risiko prioritas

diperlukan, karena tidak semua agen risiko

mendapatkan sebuah penanganan. Hal tersebut

dilakukan salah satunya karena faktor biaya yang

dibutuhkan untuk penanganan dan dampak yang

ditimbulkan terlalu kecil. Pemilihan agen risiko

prioritas sesuai dengan Hukum Pareto (80:20).

Menurut Kontur (2008), pada aplikasi hukum pareto,

risiko 80 persen kerugian disebabkan oleh hanya 20

persen risiko yang krusial. Jika 20 persen risiko

krusial tersebut dapat ditangani, maka pelaku bisnis

dapat menghindari 80 persen kerugian.

Gambar 1. Alur Rantai Pasok Komoditas Padi di Kabupaten Indramayu

Manajemen Resiko Rantai Pasok Padi di

Kabupaten Indramayu

Agen desiko dalam rantai pasok padi terlebih

dahulu diidentikasi pada setiap pelaku. Setelah

diketahui agen resikonya, dilakukan pemilihan agen

resiko prioritas. Pemilihan agen risiko prioritas

diperlukan, karena tidak semua agen risiko

mendapatkan sebuah penanganan. Hal tersebut

dilakukan salah satunya karena faktor biaya yang

dibutuhkan untuk penanganan dan dampak yang

ditimbulkan terlalu kecil. Pemilihan agen risiko

prioritas sesuai dengan Hukum Pareto (80:20).

Menurut Kontur (2008), pada aplikasi hukum pareto,

risiko 80 persen kerugian disebabkan oleh hanya 20

persen risiko yang krusial. Jika 20 persen risiko

krusial tersebut dapat ditangani, maka pelaku bisnis

dapat menghindari 80 persen kerugian.

Setelah diketahui agen prioritas, dilakukan upaya

mitigasi untuk mengatasinya. Aksi mitigasi resiko

yang diperoleh kemudian didiskusikan dengan

pelaku untuk mengetahui skala tingkat kesulitan (Dk)

dalam realisasi mitigasi tersebut. Setelah diketahui

skala tingkat kesulitannya, dilakukan perhitungan

effectiveness to difficulty ratio of action (ETD). Aksi

mitigasi dengan nilai ETD tertinggi merupakan aksi

yang paling efektif dan memungkinkan untuk

dilakukan.

Page 248: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

236

a. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di

Tingkat RMU

1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat

RMU Tabel 2. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di

Tingkat RMU

Berdasarkan Tabel 2 terdapat delapan agen

risiko yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen

risiko kategori prioritas memiliki andil sebesar 82 %

dari total dampak risiko yang dialami oleh RMU.

Oleh karena itu, penanganan risiko dilakukan pada

agen risiko yang termasuk kedalam kategori

prioritas.

2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat

RMU

Hasil diskusi menunjukan bahwa terdapat 7 aksi

mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk

meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut

adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat RMU

Sumber Risiko Prioritas Aksi Mitigasi

SDM lalai saat mengolah gabah,

mengoperasikan mesin, dan

mencatat (A10)

Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan

Cuaca tidak menentu (intensitas

hujan terlalu tinggi) sehingga

pasokan gabah tidak stabil dan

kualitas gabah rendah (A11)

Off farm: pengembangan gudang dan

pengering

On farm : Pengembangan Teknologi

budidaya adaptif

Pengembangan infrastruktur irigasi

Kondisi jalan yang rusak (A14) Penggunaan logistik multimodal

Modal kurang (A2) Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan

Pengembangan akses pembiayaan

Pengembangan infrastruktur irigasi

Penggunaan logistik multimodal

Jalur distribusi yang jauh dan

rawan macet (A4)

Penggunaan logistik multimodal

Pengembangan akses pembiayaan

Pembayaran dari pedagang pasar

induk macet (A3)

Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan

Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan

Pengembangan akses pembiayaan

Penggunaan logistik multimodal

Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan

Sumber Risiko Prioritas Aksi Mitigasi

Terjadinya perselisihan

pembagian sumber air (irigasi)

disekitar lokasi produksi (A13)

Pengembangan infrastruktur irigasi

Penggunaan logistik multimodal

On farm : Pengembangan Teknologi

budidaya adaptif

Pasar induk memiliki standarisasi

produk yang tinggi (A6)

Off farm: pengembangan gudang dan

pengering

Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan

Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan

Pengembangan akses pembiayaan

3) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat

RMU

Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk RMU

dalam rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu.

Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki

tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah

dilakukan verfikasi dengan RMU.

Tabel 4. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat

Kesulitan Aksi Mitigasi

Kode Aksi Mitigasi

Difficulty of

Performing

Action K

(DK)

P1 On farm : Pengembangan

Teknologi budidaya adaptif H(5)

P2 Off farm: pengembangan gudang

dan pengering

H(5)

P3 Konsolidasi dan pendampingan

sistem industri perberasan

H(5)

P4 Konsolidasi kelembagaan, pasar

dan pembiayaan M(4)

P5 Pengembangan akses pembiayaan M(4)

P6 Pengembangan infrastruktur

irigasi

M(4)

P7 Penggunaan logistik multimodal H(5)

Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness

to difficulty ratio of action (ETD) yaitu sebagai

berikut

Tabel 5. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat RMU

Risk

Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP

Risk Agent Priority

A10 3 9 3 3 3150

A11 9 9 3 3 3 9 3 3150

A14 3 1 3 9 2611

A2 3 9 3 9 9 9 1778

AGENT CODE ARP RANK % ARP % KUM ARP CATEGORY

A10 3150 1 14.2% 14.2%

PRIORITAS

A11 3150 2 14.2% 28.4%

A14 2611 3 11.8% 40.2%

A2 1778 4 8.0% 59.7%

A4 1638 5 7.4% 67.1%

A3 1350 6 6.1% 73.1%

A13 1040 7 4.7% 77.8%

A6 924 8 4.2% 82.0%

A1 920 9 4.2% 86.2%

NON PRIORITAS

A7 837 10 3.8% 89.9%

A5 832 11 3.8% 93.7%

A9 810 12 3.7% 97.3%

A12 540 13 2.4% 99.8%

A8 48 14 0.2% 100.0%

22162 100%

Page 249: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

237

Risk

Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP

A4 1 1 1 9 9 1638

A3 3 9 9 9 9 1350

A13 9 3 3 9 9 3 9 1040

A6 1 9 9 9 9 3 924

Te 38634 60258 86859 48859 87303 47472 97425

Dk 5 5 5 4 4 4 5

ETD 7727 12052 17372 12214.8 21825.8 11868 19485

Ranking 7 5 3 4 1 6 2 7

Berdasarakan nilai ETD pada tabel diatas,

maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan

memungkinkan untuk dilakukan RMU yaitu :

1) Pengembangan akses pembiayaan (P5)

2) Penggunaan logistik multimodal (P7)

3) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri

perberasan (P3)

4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan

(P4)

5) Off farm: pengembangan gudang dan pengering

(P2)

6) Pengembangan infrastruktur irigasi (P6)

7) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya

adaptif (P1)

b. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di

Tingkat Bandar

1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat

Bandar

Tabel 6. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di

Tingkat Bandar AGENT CODE

ARP RANK %ARP % KUM ARP KATEGORI

A8 3360 1 24.7% 24.7%

PRIORITAS A2 3248 2 23.9% 48.6%

A3 3032 3 22.3% 70.9%

A4 1386 4 10.2% 81.1%

NON PRIORITAS

A1 1044 5 7.7% 88.8%

A9 546 6 4.0% 92.8%

A6 540 7 4.0% 96.7%

A7 282 8 2.1% 98.8%

A5 162 9 1.2% 100.0%

13600 100.0%

Berdasarkan Tabel 4 terdapat tiga agen risiko

yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko

kategori prioritas memiliki andil sebesar 70,9 % dari

total dampak risiko yang dialami oleh bandar. Oleh

karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen

risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas.

2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat

Bandar

Hasil diskusi menunjukan bahwa terdapat 7 aksi

mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk

meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut

adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat

Bandar Risk Agent Aksi Mitigasi

Cuaca yang tidak

menentu

(intensitas hujan

terlalu tinggi) (A8)

Off farm: pengembangan gudang

dan pengering

Konsolidator, Pendampingan

sistem industri perberasan,

Konsolidasi kelembagaan, pasar

dan pembiayaan

Pengembangan infrastruktur

irigasi

Penggunaan logistik multimodal

Modal untuk

membeli gabah

kurang (A2)

Konsolidator, Pendampingan

sistem industri perberasan,

Konsolidasi kelembagaan, pasar

dan pembiayaan

Pengembangan akses

pembiayaan

Penggunaan logistik multimodal

Pembayaran yang

dari RMU macet

(A3)

Konsolidator, Pendampingan

sistem industri perberasan,

Konsolidasi kelembagaan, pasar

dan pembiayaan

Pengembangan akses

pembiayaan

3) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat

Bandar

Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk Bandar

dalam rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu.

Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki

tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah

dilakukan verfikasi dengan bandar.

Tabel 8. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat

Kesulitan Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar

Kode Aksi Mitigasi

Difficulty of

Performing

Action K (DK)

P1 On farm : Pengembangan

Teknologi budidaya adaptif M(4)

P2 Off farm: pengembangan

gudang dan pengering

H(5)

P3 Konsolidasi dan pendampingan

sistem industri perberasan

M(4)

Page 250: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

238

Kode Aksi Mitigasi

Difficulty of

Performing

Action K (DK)

P4 Konsolidasi kelembagaan, pasar

dan pembiayaan L(3)

P5 Pengembangan akses

pembiayaan

L(3)

P6 Pengembangan infrastruktur

irigasi

L(3)

P7 Penggunaan logistik multimodal M(4)

Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness

to difficulty ratio of action (ETD) yaitu sebagai

berikut

Tabel 9. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar

Risk

Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP

Risk Agent Priority

A8 1 9 9 9 3 9 9 3360

A2 1 9 9 9 3 9 3248

A3 1 3 9 9 9 3 3032

Te 6392 42584 86760 86760 66600 39984 68568

Dk 4 5 4 3 3 3 4

ETD 1598 8516.8 21690 28920 22200 13328 17142

Rangking 7 6 3 1 2 5 4

Berdasarkan nilai ETD pada tabel diatas,

maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan

memungkinkan untuk dilakukan bandar yaitu :

a) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan (P4)

b) Pengembangan akses pembiayaan(P5)

c) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri

perberasan (P3)

d) Penggunaan logistik multimodal (P7)

e) Pengembangan infrastruktur irigasi (P6)

f) Off farm: pengembangan gudang dan pengering

(P2)

g) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya

adaptif (P1)

c. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di

Tingkat Petani

1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat

Petani

Tabel 10. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai

Pasok di Tingkat Petani AGENT

CODE ARP % ARP

% ARP

KUMULATIF KATEGORI

A2 2700 39.12 39.12

PRIORITAS A4 1765 25.58 64.7

A6 888 12.87 77.57

A3 750 10.87 88.44 NON

PRIORITAS A1 630 9.13 97.57

A5 84 1.22 98.79

A7 84 1.22 100

TOTAL 6901 100

Berdasarkan Tabel 10 terdapat tiga agen risiko

yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko

kategori prioritas memiliki andil sebesar 77,57 % dari

total dampak risiko yang dialami oleh petani. Oleh

karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen

risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas.

2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat

Petani

Terdapat 7 aksi mitigasi yang dapat dan telah

dilakukan untuk meminimalisasi agen risiko. Aksi

mitigasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 11. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat

Petani

Risk Agent Aksi Mitigasi Revisi

Perubahan iklim dan

cuaca yang tidak

menentu (A2)

On farm : Pengembangan

Teknologi budidaya adaptif

Konsolidator, Pendampingan

sistem industri perberasan,

Konsolidasi kelembagaan,

pasar dan pembiayaan

Pengembangan akses

pembiayaan

Pengembangan infrastruktur

irigasi

Penggunaan logistik

multimodal

Pengetahuan petani

rendah (A4)

Konsolidasi, Pendampingan

sistem industri perberasan,

Konsolidasi kelembagaan,

pasar dan pembiayaan

Pengembangan akses

pembiayaan

Pengembangan infrastruktur

irigasi

Penggunaan logistik

multimodal

Page 251: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

239

Risk Agent Aksi Mitigasi Revisi

Ego para petani (A6) On farm : Pengembangan

Teknologi budidaya adaptif

Konsolidasi, Pendampingan

sistem industri perberasan,

Konsolidasi kelembagaan,

pasar dan pembiayaan

Pengembangan akses

pembiayaan

4) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat RMU

Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki

tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah dilakukan

verfikasi dengan petani.

Tabel 12. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat Kesulitan

Aksi Mitigasi

Kode Aksi Mitigasi

Difficulty of

Performing

Action K (DK)

P1

On farm :

Pengembangan

Teknologi budidaya

adaptif

M(4)

P2

Off farm:

pengembangan

gudang dan

pengering

M(4)

P3

Konsolidasi dan

pendampingan

sistem industri

perberasan

H(5)

P4

Konsolidasi

kelembagaan, pasar

dan pembiayaan

M(4)

P5 Pengembangan akses

pembiayaan

L(3)

P6 Pengembangan

infrastruktur irigasi

L(3)

P7 Penggunaan logistik

multimodal H(5)

Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness

to difficulty ratio of action (ETD).

Berdasarakan nilai ETD pada tabel diatas,

maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan

memungkinkan untuk dilakukan petani yaitu :

1. Pengembangan akses pembiayaan (P5)

2. Pengembangan infrastruktur irigasi (P6)

3. Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan

(P4)

4. Konsolidasi dan pendampingan sistem industri

perberasan (P3)

5. On farm : Pengembangan Teknologi budidaya

adaptif (P1)

6. Penggunaan logistik multimodal (P7)

7. Off farm: pengembangan gudang dan pengering

(P2)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan, maka diperoleh

kesimpulan sebagai berikut :

1. Sistem rantai pasok padi di Kabupaten

Indramayu terdiri dari petani, bandar, RMU,

pedagang pasar induk, calo, hingga konsumen

langsung.

2. Titik kritis resiko pada rantai pasok padi dapat

diidentifikasi dari setiap pelaku dalam rantai

pasok tersebut, yaitu sebagai berikut :

a) Titik kritis resiko di tingkat RMU yaitu : 1)

SDM lalai saat mengolah gabah,

mengoperasikan mesin, dan mencatat, 2)

cuaca tidak menentu (intensitas hujan terlalu

tinggi) sehingga pasokan gabah tidak stabil

dan kualitas gabah rendah, 3) kondisi jalan

yang rusak, 4) modal kurang, 5) jalur

distribusi yang jauh dan rawan macet, 6)

pembayaran dari pedagang pasar induk

macet, 7) terjadinya perselisihan pembagian

sumber air (irigasi) disekitar lokasi produksi,

dan 8) pasar induk memiliki standarisasi

produk yang tinggi.

b) Titik kritis resiko di tingkat bandar yaitu : 1)

Cuaca yang tidak menentu (intensitas hujan

terlalu tinggi), 2) modal untuk membeli

gabah kurang, dan 3) pembayaran yang dari

RMU macet.

c) Titik kritis resiko di tingkat petani yaitu : 1)

perubahan iklim dan cuaca yang tidak

menentu, 2) Pengetahuan petani rendah, dan

3) ego para petani.

3. Hasil perhitungan effectiveness to difficulty

ratio of action (ETD), menunjukan urutan aksi

mitigasi yang paling efektif dan memungkinkan

untuk dilakukan oleh masing-masing pelaku

yaitu sebagai berikut :

a) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif

untuk dilakukan RMU yaitu :

1) Pengembangan akses pembiayaan.

2) Penggunaan logistik multimodal.

3) Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan.

4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan.

5) Off farm: pengembangan gudang dan

pengering.

6) Pengembangan infrastruktur irigasi.

Page 252: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

240

7) On farm : Pengembangan Teknologi

budidaya adaptif.

b) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk

dilakukan bandar yaitu :

1) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan.

2) Pengembangan akses pembiayaan.

3) Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan.

4) Penggunaan logistik multimodal.

5) Pengembangan infrastruktur irigasi.

6) Off farm: pengembangan gudang dan

pengering.

7) On farm : Pengembangan Teknologi

budidaya adaptif.

c) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk

dilakukan petani yaitu :

1) Pengembangan akses pembiayaan.

2) Pengembangan infrastruktur irigasi.

3) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan

pembiayaan.

4) Konsolidasi dan pendampingan sistem

industri perberasan.

5) On farm : Pengembangan Teknologi

budidaya adaptif.

6) Penggunaan logistik multimodal.

7) Off farm: pengembangan gudang dan

pengering.

SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat

diberikan sebagai berikut:

1. Perlu dibangun skema pembiayaan yang sesuai

dengan kondisi pelaku rantai pasok. Sebaiknya

pembiayaan diberikan kepada petani, bandar,

dan RMU yang berada dalam satu rantai pasok

yang sama untuk meminimalisir resiko.

2. Perlu dibangun hubungan antar pelaku yang

baik, agar terjalin kerjasama dan kepercayan

yang baik antar pelaku pada rantai pasok.

3. Koperasi/gapoktan perlu menyediakan sarana

produksi yang dibutuhkan oleh petani, sehingga

petani mendapatkan akses yang mudah terhadap

penyedia saprodi resmi.

4. Pemerintah perlu menetapkan batas harga dasar

bagi komoditas padi untuk menanggulangi

risiko kerugian petani akibat harga gabah yang

anjlok.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. Distribusi Persentase PDB

Triwulan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut

Lapangan Usaha. 2000-2014.

Badan Pusat Statistik. Penduduk Berumur 15 Tahun

ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama.

2004-2014.

Sumber internet :

- Bank Indonesia. Melalui:<www.bi.go.id.>

[3/4/2014]

- Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2009 –

2013. Melalui:<www.pertanian.go.id.>[6/6/2014]

Tabel 13. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat Petani Risk

Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP

Risk Agent Priority

A2 9 1 9 9 9 9 9 2700

A4 3 9 9 9 9 9 1765

A6 9 9 9 9 1 3 888

Te 37587 2700 48277 48177 48177 41073 42849

Dk 4 4 5 4 3 3 5

ETD 9396.75 675 9655.4 12044.25 16059 13691 8569.8

Rangking 5 7 4 3 1 2 6

Page 253: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

241

Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Dalam Pengembangan

Padi Organik (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi,

Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya)

Relationship Model of Farmer and Sharecropper in Organic Paddy Development (Case

Study in Cidahu Farmer Group, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten

Tasikmalaya)

Elena Yanti K.Y.S, Yayat Sukayat

1Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padajdjaran

A B S T R A K

Kata Kunci:

Padi Organik,

Hubungan,

Petani Penggarap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model hubungan petani pemilik dan

penggarap dalam pengembangan padi organik. Penelitian dilakukan di Kelompok Tani

Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Subjek

penelitian ini adalah petani pemilik, petani penggarap, pengurus Kelompok Tani

Cidahu, BPP. Metode yang digunakan kualitatif dengan teknik study kasus.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara langsung, studi

kepustakaan, kemudian data yang diperoleh kemudian dianalisis.

Hasil dari penelitian ini bahwa model hubungan pemilik dan penggarap di Kelompok

Tani Cidahu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) model hubungan pertukaran

yang didorong oleh prinsip R>C, 2) model hubungan keseimbangan nilai karena

adanya pertalian darah antara pemilik dan penggarap, 3) model hubungan propinquiti

yang tercipta karena kedekatan tempat tinggal antara kedua petani.

ABSTRACT

Keywords:

Organic Paddy,

Relationship,

Sharecropper

The aim for this research is to know the model of farmer- peasant relationship for the

organic paddy devoloping. This research did in Kelompok Tani Cidahu, Mekarwangi

Village, Cisayong Subdistrict, Tasikmalaya District. Subjects of this research are

farmers, peasants/share-coppers, crews in Cidahu Farm Group, BBP. This research

used a qualitative method along with case study technique. The data was collected

through observations, interviews, and literature study, then was later analyzed

From the results of the research show that the the model of farmer-peasent relationship

can be devided in three models, i.e: 1)exchange relastionship model with based on

R>C, 2)value balance model based on the ties of blood kinship/genealogic, 3)

propinquity model based on the nearness of both of domicile.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 254: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

242

PENDAHULUAN

Petani dalam pertanian adalah salah satu

sumberdaya yang penting, selain lahan modal dan

manajemen (Shinta, 2011). Petani dalam pertanian

dapat dikelompokkan menjadi petani lapisan atas,

menengah dan miskin berdasarkan modal berupa

lahan yang dimiliki (Fingki, 2013). Jumlah petani

saat ini mencapai 31.705.337 orang dan jumlah

petani pertanian pangan kurang lebih 20.399.139

(BPS, 2013). Adanya lapisan petani ini membuat

petani berusaha untuk saling bekerjasama dalam

mempertahankan keberlangsungan hidupnya

khususnya bagi petani penggarap yang bergantung

kepada petani pemilik dalam memenuhi kebutuhan

lahan. Pada hubungan kerja sama antara petani

pemilik dan penggarap ini akan terjadi pertukaran

kekuasaan tanah ataupun lahan. Lahan yang awalnya

dikuasai penuh oleh pemilik sekarang berbagi dengan

penggarap. Hubungan ini juga didorong dengan

adanya reward dan cost, ketika petani pemilik

meminjamkan lahannya untuk penggarap maka akan

ada suatu imbalan yang diharapkam oleh petani

pemilik, dan begitu sebaliknya petani penggarap juga

berharap keuntungan beruapa matapencaharian dari

tenaga yang dia keluarkan. Pertukaran ini terjadi

ketika adanya perbedaan struktur sosial petani, yaitu

adanya pemilik dan penggarap yang menimbulkan

keseimbangan antara kedua petani (Jhonson, 1990).

Hubungan antara petani pemilik dan

penggarap ini juga terjadi di usahatani padi organik.

Usahatani padi organik saat ini sangat

menguntungkan, pada tahun 2002 pemerintah

mendukung pertanian organik dengan mengeluarkan

program β€œGo Organic 2010” (Departemen Pertanian

Indonesia, 2002). Lokasi pengembangan padi

organik salah satunya berada di Jawa Barat di

Kabupaten Tasikmalaya sejak tahun 2002 dan saat ini

produknya sudah mencapai pasar ekspor. Adanya

petani-petani yang sudah berpengalaman dan

bertahan dalam mengembangkan padi berdampak

positif bagi pertanian padi organik di Tasikmalaya.

Tabel 1. Perkembangan Padi Organik di Tasikmalaya

Tahun

Tanam (ha) Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)

Konven-

sional Organik

Konven-

sional Organik

Konven-

sional Organik

Konven-

sional Organik

2005 125.078 346 120.201 346 648.740 2.587 53,97 74,77

2006 98.456 691 103.825 691 574.568 2.708 55,34 78,26

2007 115.685 1.180 108.170 1.180 653.888 12.277 60,45 75,83

2008 115.123 5.074 103.636 5.074 658.171 25.802 63,51 73,80

2009 111.141 5.472 111.494 5.472 711.220 45.631 63,79 77,20

2010 130.322 5.539 131.989 4.040 851.351 31.412 64,50 77,74

2011 126.958 8.755 127.602 8.493 823.422 67.089 64,53 78,60

2012 122.024 8.693 112.135 7.562 747.087 59.619 66,62 78,84

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya (2013)

Petani pertanian organik di Tasikmalaya

bergabung dalam Gapoktan Simpatik yang dibentuk

sebagai wadah untuk memasarkan padi organik dan

wadah belajar usahatani padi organik. Kelompok tani

yang bergabung dalam Gapoktan ini ada 11

kelompok tani, jumlah 410 petani laki-laki dan 111

petani perempuan dengan luas lahan 377,67 ha yang

telah disertifikasi IMO.

Kecamatan Cisayong adalah salah satu daerah

yang menjadi tempat produksi padi organik yaitu di

Desa Mekarwangi. Ada empat kelompok tani yang

terdapat di Desa Mekarwangi yaitu Kelompok Tani

Batu Ampar, Kelompok Tani Makmur, Kelompok

Tani Cidahu, Kelompok Tani Sejahtera. Kelompok

Tani Cidahu adalah salah satu kelompok tani yang

menjadi tempat pertama kali penerapan padi organik

dan yang sampai saat ini bertahan memproduksi padi

organik di Desa Mekarwangi. Beberapa anggota

Kelompok Tani Cidahu ini juga sudah lama

mengusahakan padi organik dan terdapat tokoh

petani yang telah sudah mahir dalam memproduksi

padi organik.

Petani padi organik di Kelompok Tani Cidahu

ini mayoritas status kepemilikan lahannya adalah

sebagai penggarap, yang pemilik lahannya ada di

dusun tersebut maupun di luar dusun Cidahu.

Menurut data BPP Cisayong bahwa persentasi

pemilik dan penggarap adalah 40% dan 60 %.

Keuntungan yang cukup tinggi baik dalam hal

perbaikan kualitas lahan dan keuntungan dalam

produktifitas ketika mengusahakan usahatani padi

organik ini akan mempengaruhi hubungan pemilik

dan penggarap tersebut, ketika hasil usahatani

meningkat, maka penggarap akan mendapatkan

keuntungan yang lebih tinggi dan begitu juga

pemilik. Usahatani padi organik tidak sama dengan

pertanian padi konvensional yang menggunakan

pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik pada padi

Page 255: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

243

organik lebih membutuhkan usaha dan keinginan

kuat dari petani. Pada kondisi ini jika petani pemilik

tidak memberikan dukungan maka petani penggarap

cenderung mau kembali pada penggunaan sistem

konvensional lagi.

Banyaknya petani penggarap dibandingkan

petani pemilik di Kelompok Tani Cidahu yang

mengusahakan padi organik membuat penulis

tertarik meniliti bagaimana model hubungan petani

pemilik dan penggarap dalam pengembangan

usahatani padi organi di Kelompok Tani Cidahu,

Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten

Tasikmalaya, Jawa Barat

Sumber: Gapoktan Simpatik 2014

Keterangan 2014 merupakan angka sementara

Gambar 1. Grafik Ekspor Beras Organik Tasikmalaya (2009-2014)

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Kelompok Tani

Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong,

Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dan yang

menjadi objek penelitian adalah hubungan petani

pemilik dan penggarap. Desain penlitian yang

digunakan adalah desain penelitian kualitasti sesuai

dengan kondisi alamiah (natural setting) dan

menggunakan teknik penelitian studi kasus (case

study).

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari

data primer yang diperoleh langsung melalui

observasi di lapangan dan wawancara mendalam dan

data sekunder dari studi literatur, jurnal, dokumen-

dokumen dari lembaga ataupun instansi yang terkait.

Data yang diperoleh langsung dilapangan dari

informan sebagai berikut: petani pemilik, petani

penggarap, pengurus Kelompok Tani Cidahu,

pengurus Gapoktan Simpatik, badan penyuluh

pertanian Kecataman Cisayong.

PEMBAHASAN

Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani

Penggarap

Model hubungan pemilik dan penggarap

dalam pengembangan padi organik di Kelompok tani

organik dapat dibedakan menjadi tiga bentuk. Pada

setiap model ini petani pemilik dan penggarap

mendapatkan hasil dari lahan mereka milik dan

usahakan dengan sistem bagi hasil atau maro, dengan

perbandingan 50:50 antara petani pemilik dan petani

penggarap, setelah pengurangan biaya produksi dari

hasil panen seluruhnya. Perbedaan dalam setiap

model yang dipaparkan di bawah adalah hal yang

mendasari mereka melakukan hubungan.

Model Pertukaran

Model hubungan pertukaran petani pemilik

dan penggarap terjadi karena adanya perjanjian atau

kesepakatan dari awal antara penggarap untuk

menggarap lahan petani petani. Kesepatakan ini

didorong adanya reward dan cost dari kerjasama

kedua petani tersebut. Reward adalah hal-hal positif

yang berguna dalam meningkatkan hubungan petani

-

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

80,000

90,000

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Jula

h P

engi

rim

an

Tahun Pengiriman

EKSPOR BERAS ORGANIK GAPOKTAN SIMPATIK KABUPATEN TASIKMALAYA

Negara USA

Negara Malaysia

Negara Jerman

Negara Singapura

Negara Dubai

Negara Belanda

Negara Italia

Page 256: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

244

pemilik dengan penggarap berupa keuntungan dari

hasil lahan. Cost adalah hal-hal yang dikorbankan

dalam sebuah hubungan untuk mencapai keuntungan

tersebut, hal ini dapat menjadi hal negatif dalam

hubungan petani. Petani pemilik dalam hubungan ini

memperoleh reward karena lahan yang dimilikinya

dapat digarap oleh petani penggarap dan memperoleh

hasil lahan tanpa harus mengusahakannya,

sedangkan costnya berupa lahan dipinjamkan

tersebut. Bagi petani penggarap reward yang

diperoleh adalah ia memiliki kesempatan untuk

menggarap lahan untuk menjadi mata

pencahariannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-

hari dan cost yang ia korban adalah tenaga, sarana

produksi lain.

Kedua petani ini akan memiliki hubungan

yang baik dan panjang jika R > C, yaitu ketika kedua

petani ini memperoleh keuntungan yang lebih besar

daripada biaya yang mereka keluarkan, sehingga

dalam hal ini reward dapat menutupi besarnya cost

maka jalinan hubungan antara kedua petani ini akan

langgeng.

Teori pertukaran menurut Homans

menyebutkan ada cost dan reward ataupun dalam

bahasa sehari-harinya disebut dengan hak dan

kewajiban yang dikorban dan diperoleh. Pada

hubungan patron dan klien di Kelompok Tani Cidahu

ini terdapat juga hak dan kewajiban pemilik dan

penggarap dalam hubungan yang dijalani.

Tabel 17. Pembagian Reward/Hak dan

Cost/Kewajiban antara pemilik dan penggarap Hak dan

Kewajiba

n

Pemilik Penggarap

Hak 1. Menerima

tenaga dari

penggarap untuk

mengolah lahan

miliknya

1. Menerima

seluas lahan

untuk digarap

tanpa ada

penentuan

menanam

komoditas

tertentu

2. Menerima

kembali tanah

jika waktu

menggarap

sudah selesai

ataupun

penggarap tidak

lagi menggarap

lahan tersebut

2. Menjadi hak

milik yang utuh

Β½ hasil panen

dari lahan

tersebut.

3. Menerima Β½

dari hasil panen

lahan miliknya

3. Sebagian

penggarap

mendapatkan

sarana produksi

dari pemilik

4. Menerima

kepercayaan/tru

st dari

penggarap

4. Menerima

kepercayaan/tru

st dari pemilik.

Kewajiba

n

1. Menyediakan

lahan untuk

diusahakan oleh

penggarap

1. Memberikan

tenaga untuk

mengerjakan

lahan sebaik-

baikinya

2. Membayar

pajak tanah

yang digarapkan

ke orang lain

2. Memberikan Β½

dari hasil panen

lahan tersebut.

3. Ikut mengalami

kerugian jika

hasil panen dari

penggarap lebih

sedikit dari

biasanya.

3. Menyerahkan

kembali tanah

pemilik jika

waktu

menggarap

sudah selesai

ataupun

penggarap tidak

lagi menggarap

lahan tersebut

4. Sebagian

menyediakan

sarana produksi

bagi penggarap

4. Sebagian besar

penggarap

mengusahakan

sendiri sarana

produksi yang

digunakan

dalam usahatani

tersebut

Sumber: Hasil Wawancara Dengan Patron dan Klien

Model Keseimbangan

Model hubungan keseimbangan atau

kesamaan nilai ini terbentuk karena adanya hubungan

pertalian darah/Geneologis yang mengikat petani

pemilik dan penggarap. Adanya ikatan kekeluargaan

ini menimbulkan empati, ikatan perasaan yang

mendalam oleh pemilik dan penggarap lahan,

sehingga mempermudah kedua belah pihak untuk

melakukan hubungan.

Pada kelompok tani Cidahu umumnya bentuk

ikatan relasional ini seperti hubungan orangtua

dengan anak, hubungan pertalian persaudaraan

(sepupu), dll. Pemilik yang mungkin adalah orangtua

ataupun saudara membantu anak ataupun

sepupu/saudara dengan meminjamkan lahan mereka

untuk digarapkan. Pada model hubungan

keseimbangan nilai ini sebelumnya antar petani

sudah memiliki rasa kepercayaan/trust sehingga

mudah bagi keduanya untuk membuat komitmen

untuk mendukung jalannya usahatani padi organik

ini, karena sudah ada relasi yang baik sebelumnya.

Pada hubungan keseimbangan nilai ini juga

diterapkan sistem bagi hasil seperti yang dilakukan

petani pemilik dan penggarap lainnya, hasil panen

Page 257: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

245

padi organik dibagi dua kepada pemilik dan

penggarap. Pada penerapan hubungan keseimbangan

nilai di Kelompok Tani Cidahu ada dua macam,

pertama pemilik memberikan bantuan untuk

memulai usaha tani seperti benih, pupuk, kemudian

dari hasil panen lahan tersebut langsung dibagi dua

hasilnya. Kedua adalah semua modal awal untuk

menyediakan input produksi berasal dari penggarap,

kemudian setelah panen hasil panen yang diperoleh

dikurangkan dengan biaya usahatani yang

dikeluarkan dan kemudian sisanya dibagi dua kepada

pemilik dan penggarap.

Model Kedekatan tempat tinggal (Propinquity)

Model hubungan antara petani pemilik dan

peggarap ini dapat terjadi karena kedekatan tempat

tinggal atau domisili diantara kedua petani ini.

Kedekatan tempat tinggal ini menciptakan hubungan

yang positif karena antara kedua petani memiliki

ruang yang sama dan kesempatan untuk lebih sering

melihat, menemui dan melakukan interaksi sosial

hingga membuat hubungan antar petani semakin erat.

Efek propinquity ini akan membuat petani pemilik

dapat membantu petani penggarap yang merupakan

tetangganya.

Pada peribahasa sunda disebutkan β€œAkur jeung

batur sakasur, batur sadapur, batur sasumur, batur

salembur” ini merupakan tradisi sunda yang artinya

dimana dalam ikatan suami istri saling tolong

menolong (sakasur), ikatan dalam satu keluarga yaitu

antara orangtua dengan anak ataupun saudara saling

tolong menolong (sadapur), ikatan antar tetangga

dengan tetangga dalam wilayah yang berdekatan

yang saling tolong menolong (sasumur), ikatan

antara orang yang tinggal dalam satu dusun,

kampung yang saling tolong menolong (salembur).

Implikasinya dalam hubungan pemilik dan

penggarap dimana kedua petani ini yang hidup

berdekatan dapat menjalin kehidupan sosial dan

saling mendukung satu sama lain. Efek propinquity

di Kelompok Tani Cidahu memiliki efek positif

dalam pengembangan usahatani padi organik

tersebut.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penelitian model

hubungan petani pemilik dan penggarap dalam

pengembangan padi organik di Kelompok tani

Cidahu adalah:

1. Hubungan antara pemilik dan penggarap

berlaku R>C. Penggarap merasa diuntungkan

dengan adanya kesempatan dan peluang untuk

menggarap lahan yang hasil lahannya dapat

menjadi sumber matapencaharian dari

penggarap. Demikian juga dengan pemilik

merasa diuntungkan karena lahan yang ia miliki

digarap oleh orang lain dan ia memperoleh hasil

tanpa melakukan usahatani.

2. Hubungan antara pemilik dan penggarap

menganut azas keseimbangan nilai, hubungan

tersebut di dorong karena antara kedua petani

masih ada ikatan darah (Geneologis).

3. Hubungan antara pemilik dan penggarap terjadi

karena didasarkan oleh kedekatan tempat

tinggal

SARAN

Peran kedekatan secara emosional antara

petani pemilik dan penggarap perlu lebih diterapkan

dalam pengembangan usahatani padi organik di

Kelompok Tani Cidahu. Kedekatan ini akan

meningkatkan kepedulian, kepercayaan dan

komitmen keduanya pada saat melakukan kerja sama

dalam usahatani padi organik.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistika. 2013. Laporan Bulanan Data

Sosial Ekonomi. Melalui

<http://www.bps.go.id/download_file/IP_

April_2014.pdf> [04/20/2014]

Badan Pusat Statistika. 2014. Sensus Pertanian 2013.

Melalui

<http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php>

[04/09/2014]

Fingki Ardiansyah. 2013. Peranan Lembaga

Swadaya Masyarakat dalam

Pengembangan Petani di Desa Ciaruteun

Ilir. Skripsi Sarjana Sains. Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.

Haryanto Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari

Klasik Hingga Postmodern. Jogyakarta:

Ar-Ruzz Media.

Johnson Paul Doely. 1990. Teori Sosoiologi Klasik

dan Modern. Jakarta: Pt Grmadeia Pustka

Utama.

Junizar Arya Pinandita, 2013. Profil Petani Padi

Organik SRI Studi Kasus Petani pada

Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi,

Kecamatan Cisayong, Kabupaten

Tasikmalaya. Skripsi Sarjana Pertanian

Program Studi Agribisnis, Fakultas

Pertanian Universitas Padjadjaran.

Kementrian Pertanian. 2002. β€œProspek Pertanian

Organik di Indonesia.” Melalui

<http://www.litbang.deptan.go.id/berita/on

e/17/> [03/24/2014]

Shinta Agustina. 2011. Ilmu-ilmu Usahatani.

Universitas Brawijaya Press.

Page 258: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

246

Page 259: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

247

Efektivitas Iklan Melalui Media Sosial (Website) Sebagai Media Promosi CV

Cihanjuang Inti Teknik Dengan Menggunakan EPIC Model

Effectiveness of Advertising Through Social Media (Website) as Promotion in CV

Cihanjuang Inti Teknik Using EPIC Model

Ni Luh Putu Diyasani Belawi1*, Rani Andriani Budi Kusumo1

1Universitas Padjajaran, Sumedang,

A B S T R A K

Kata Kunci:

Efektivitas

EPIC Model

Periklanan

Promosi

Periklanan digital mulai menjadi tren di era internet ini. Website merupakan salah satu

media sosial terluas dan tercepat untuk menyebarkan suatu informasi melalui internet.

Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui penggunaan media sosial di CV Cihanjuang

Inti Teknik, 2) mengetahui efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai

media promosi pada CV Cihanjuang Inti Teknik. Penelitian dilakukan dengan

wawancara dan penyebaran kuesioner kepada 30 responden di gerai CV Cihanjuang

Inti Teknik dan 30 responden melalui online pada website CV Cihanjuang Inti Teknik

dengan menggunakan teknik accidental sampling. Variabel yang diteliti untuk

mengukur efektivitas adalah empati, persuasi, dampak, dan komunikasi. Hasil

penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa CV Cihanjuang Inti Teknik

menggunakan media sosial untuk promosi melalui facebook dan website. Dari total

skor rataan seluruh pendapat responden atas didapat hasil 4,17 untuk pertanyaan-

pertanyaan yang mengukur dimensi empati, 4,25 untuk dimensi persuasi, 4,04 untuk

dimensi dampak dan 4,13 untuk dimensi komunikasi. Nilai EPIC Rate 4,15, nilai

tersebut menunjukan bahwa secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa iklan produk

β€œHanjuang” dinilai efektif.

ABSTRACT

Keywords:

Effectiveness

EPIC Model

Advertising

Promotion

Digital advertising began to be a trend in this era of the internet. Website is one of the

largest and fastest growing social media to disseminate information through the

Internet. The purpose of this study is 1) to use social media in CV Cihanjuang Inti

Teknik, 2) determine the effectiveness of advertising through social media (website) as

a media campaign on the CV Cihanjuang Inti Teknik. The study was conducted by

interviewing and distributing questionnaires to 30 respondents in outlets CV

Cihanjuang Inti Teknik and 30 respondents through an online CV Cihanjuang Inti

Teknik using accidental sampling technique. Variables examined to measure the

effectiveness is empathy, persuasion, impact and communications. Results of research

conducted showed that CV Cihanjuang Inti Teknik using social media for promotion

through facebook and website. Of the total skor rataan of the entire opinion of

respondents has result 4.17 for the questions that measure dimensions of empathy, 4.25

for dimensional persuasion, 4.04 to 4.13 for the dimensions of the impact and

dimension of communication. EPIC Rate value is 4.15, this value indicates that overall

it can be concluded that the advertising product "Hanjuang" considered effective.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 260: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

248

PENDAHULUAN

Periklanan digital mulai menjadi tren di era

internet ini. Perkembangan internet sangat pesat di

dunia, hal ini disebabkan karena internet tidak

mengenal kalangan untuk menggunakannya, dari

yang muda hingga yang tua dapat menggunakan

internet dengan mudah.

Menurut We Are Social4 dalam survei β€œ2014

Asia-Pasific Digital Overview” memperlihatkan

bahwa penduduk Indonesia yang menggunakan

internet sebanyak 71,2 juta orang dari total populasi

penduduk Indonesia sebanyak 251,2 juta orang. Dan

dari 71,2 juta orang tersebut yang menggunakan

media sosial adalah 70 juta orang.

Media sosial merupakan media online, yang

membuat para penggunanya dapat dengan mudah

berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Menurut

Kaplan dan Haelien (2009) media sosial merupakan

"sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang

membangun di atas dasar ideologi dan teknologi

yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran

user-generated content". Media sosial ini meliputi

website, blog, jejaring sosial seperti facebook, twitter,

instagram, dll.

Website merupakan media sosial terluas dan

tercepat untuk menyebarkan informasi. Menurut

survei dan statistik Pingdom5 pada β€œInternet 2012 in

Number”, terdapat 634 juta jumlah website hingga

Desember 2012 dan sebanyak 51 juta jumlah website

yang baru dibuat selama tahun 2012. Dari data survei

diatas cukup terlihat bahwa semakin banyak individu

maupun perusahaan yang mulai menggunakan

website untuk menginformasikan produk dan

jasanya.

CV Cihanjuang Inti Teknik juga

mempromosikan produk bandrek dan bajigurnya

melalui iklan di website. Website CV Cihanjuang Inti

Teknik yaitu www.hanjuang.com ini telah beredar

sejak pertengahan tahun 2006. CV Cihanjuang Inti

Teknik melakukan perubahan dalam periklanan

melalui media sosial website agar lebih efektif untuk

mempromosikan produk bandrek dan bajigur

tersebut.

Fenomena promosi baru ini menjadi suatu

dasar pemikiran untuk meneliti efektivitas iklan

melalui media sosial agar dapat memberi gambaran

efektif atau tidaknya iklan yang dilakukan oleh

perusahaan CV Cihanjuang Inti Teknik.

KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP

Perkembangan teknologi yang semakin

maju, khususnya internet memberikan fasilitas dan

segala kemudahannya dengan media sosial. Salah

satunya adalah website. Maraknya pengguna website

memudahkan para penggunanya untuk mendapatkan

informasi.

Salah satu pelaku industri makanan dan

minuman yang melihat peluang tersebut adalah CV

Cihanjuang Inti Teknik (CINTEK) yang berlokasi di

Kota Cimahi, Jawa Barat. CV Cihanjuang Inti Teknik

melakukan kegiatan promosi salah satunya dengan

menggunakan iklan melalui website.

Efektif tidaknya iklan yang telah dijalankan

pada CV Cihanjuang Inti Teknik tersebut dapat

diketahui dengan mengukur kinerja iklan melalui

EPIC Model (Empathy, Persuation, Impact,

Communication). Dengan demikian, tingkat

efektivitas efektivitas iklan melalui media sosial

(website) sebagai media promosi CV Cihanjuang Inti

Teknik dapat diketahui. Kerangka Pemikiran

Konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada

bagan berikut ini:

4 We Are Social merupakan sebuah lembaga yang berdiri

pada Juni 2008 bergerak di bidang global conversation

berlokasi di Singapura (http://wearesocial.sg/who/) 5 Pingdom merupakan perusahaan situs web dan

pemantauan kinerja didedikasikan untuk membuat web

lebih cepat dan lebih dapat diandalkan. telah menerima

kepercayaan dari pengguna lebih dari 500.000 di lebih dari

200 negara termasuk Spotify, Microsoft, Instagram,

Twitter, Ebay, GitHub, MailChimp, dan banyak lagi.

(https://www.pingdom.com/about/)

Page 261: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

249

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

OBJEK DAN TEMPAT PENELITIAN Objek pada penelitian ini adalah efektivitas

iklan melalui media sosial (website) sebagai media

promosi CV Cihanjuang Inti Teknik. Penelitian ini

dilakukan pada konsumen CV Cihanjuang Inti

Teknik, mereka telah membeli produk bandrek dan

bajigur CV Cihanjuang Inti Teknik.

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara

sengaja (purposive) dengan dasar pertimbangan

bahwa CV Cihanjuang Inti Teknik merupakan salah

satu UKM di Jawa Barat yang memproduksi produk

olahan minuman tradisional yaitu bandrek dan

bajigur dengan kemasan yang menarik dan

merupakan salah satu UKM yang tergolong sukses di

Cimahi yang telah menerima banyak penghargaan

baik dalam skala nasional maupun skala regional.

Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian dengan

topik yang sama di CV Cihanjuang Inti Teknik ini.

DESAIN DAN TEKNIK PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah

berupa desain kualitatif dengan teknik penelitian

yang digunakan adalah studi kasus (case studi)

karena penyelidikan yang dilakukan untuk

memperoleh fakta-fakta yang ada pada informan

dengan melakukan wawancara langsung kepada

responden dengan menggunakan suatu alat analisis

yaitu kuisioner.

DEFINISI DAN OPERASIONALISASI

VARIABEL

Karakteristik konsumen CV Cihanjuang Inti

Teknik yaitu gambaran mengenai keadaan konsumen

yang membeli produk CV Cihanjuang Inti Teknik.

Adapun variabelnya adalah usia, jenis kelamin, status

marital, pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan,

dan EPIC Model (Empathy, Persuation, Impact,

Communication).

SUMBER DATA DAN CARA

MENENTUKANNYA

Data yang digunakan dalam penelitian ini

berupa data kualitatif yang terdiri atas data primer

dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden

melalui wawancara langsung dengan sumber yang

terpecaya. Data sekunder diperoleh dari literatur

kepustakaan, catatan, maupun dokumen dari instansi-

instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik,

Kementrian Industri, internet dan referensi

kepustakaan lainnya.

Teknik yang digunakan dalam memilih

sampel adalah Purposive sampling dengan

menggunakan teknik Accidental Sampling yang

Page 262: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

250

didasarkan pada kemudahan (convenience). Sampel

dapat terpilih karena berada pada waktu, situasi, dan

tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2006).

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik pengumpulan data yang digunakan

oleh peneliti adalah obsevasi, wawancara, dan studi

literatur.

RANCANGAN ANALISIS DATA

Analisis deskriptif ini merupakan metode

analisis data dimana peneliti mengumpulkan,

mengklasifikasikan, menganalisis, dan

menginterpretasikan data untuk memberikan

gambaran umum tentang data yang telah diperoleh.

Efektivitas iklan yang berkaitan dengan

pengingatan dan persuasi daoat diukur melalui EPIC

Model yang dikembangkan oleh AC. Nielsen, salah

satu perusahaan peneliti pemasaran terkemuka di

dunia (Durianto, 2003) mencakup empat dimensi

kritis, yaitu Empathy, Persuation, Impact, dan

Communication.

Kemudian dari keempat dimensi tersebut,

data dianalisis dengan menggunakan skor rata-rata

berbobot, yaitu setiap jawaban respoden diberikan

bobot. Cara menghitung skor adalah menjumlahkan

seluruh hasil kali nilai masing-masing bobotnya

dibagi dengan jumlah total frekuensi (Durianto,

2003).

Ξ£Ζ’i . wi

X =

Ξ£Ζ’i

Keterangan :

X = rata-rata berbobot

Ζ‘i = frekuensi

wi = bobot

Langkah selanjutnya adalah menggunakan

rentang skala. Penilaian untuk menentukan posisi

tanggapan responden dengan menggunakan nilai

skor setiap variabel. Bobot alternatif jawaban yang

terbentuk dari teknik skala peringkat dengan

menggunakan skala antara 1 hingga 5 yang

menggambarkan posisi sangat negatif ke positif yang

sangat positif. Rentang skala dihitung dengan rumus

sebagai berikut (Durianto, 2003).

R

Rs =

M

Keterangan :

Rs = rentang skala

R = bobot terbesar – bobot terkecil

M = banyaknya kategori bobot

Skala yang digunakan adalah skala likert,

yaitu skala 1 hingga 5, maka rentang skala

penilaiannya adalah sebesar 0,8. Hal ini didapat dari

hasil rumus berikut:

5 – 1

Rs = = 0,8

5

Rentang skala (Rs) tersebut kemudian

digunakan ke dalam rentang skala keputusan sebagai

bahan pengambilan keputusan dari hasil analisis

EPIC Model. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rentang Skala Keputusan EPIC Model

Kriteria Rentang Skala

Sangat Tidak Efektif 1,00 – 1,80

Tidak Efektif 1,81 – 2,60

Cukup Efektif 2,61 – 3,40

Efektif 3,41 – 4,20

Sangat Efektif 4,21 – 5,00

Sumber: Durianto dkk, (2003)

Langkah terakhir adalah menentukan nilai

EPIC Rate dengan rumus sebagai berikut (Durianto,

2003).

XE+XP+XI+XC

EPIC Rate =

N

Keterangan :

N = Banyaknya variabel rataan berbobot

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PROFIL USAHA

CV Cihanjuang Inti Teknik berdiri pada

tahun 1998 oleh Eddy Permadi. Pada awalnya CV

Cihanjuang Inti Teknik memulai usaha pembuat alat

dan mesin produksi, pupuk, dan pengecoran logam.

Pada tahun 2000 perusahaan ini mulai merintis

pengolahan makanan dan minuman dengan

menggunakan hasil dari daerah sekitar. Tanggal 3

Agustus 2000 Cihanjuang Inti Teknik memperoleh

izin usaha yang sah dengan bentuk Perusahaan. Pada

tanggal 23 Agustus 2005 dengan Akte Notaris Ny.

Gina Riswara Koswara, S.H. Nomor 24, memperoleh

izin usaha dengan bentuk badan, yaitu Perseroan

Comanditer atau β€œCV. Cihanjuang Inti Teknik”.

Gambar 2. Logo Perusahaan

Page 263: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

251

4.2 KARAKTERISTIK KONSUMEN

Karakteristik konsumen pada CV

Cihanjuang Inti Teknik adalah berjenis kelamin, pria

dengan pada gerai 53,30% dan pada online 66,70%,

berusia 31-39 tahun dengan 31,67% dan pada gerai

sebanyak 33,30% konsumen berusia >40 tahun,

berstatus sudah menikah, yaitu pada gerai 97,30%

dan online 56,70%, berpendidikan sarjana dengan

pada gerai sebesar 43,40% dan pada online sebesar

50,00%, bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak

56,70% pada gerai dan 33,30% pada online, dan

berpendapatan Rp.1.800.000 – Rp. 2.500.000

sebanyak 46,70% pada gerai dan 40,00% pada

online.

4.3 ANALISIS EFEKTIVITAS IKLAN

BERDASARKAN EPIC MODEL

Tabel 2. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan

Dimensi Empathy

Sumber : Data Primer (Diolah)

Dari total skor rataan pendapat responden

atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi

empathy didapat hasil sebesar 4,05 untuk responden

di gerai dan sebesar 4,28 untuk responden melalui

online. Nilai untuk responden gerai berada pada

rentang skala dimana dimensi empathy suatu iklan

dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20), sedangkan

nilai untuk responden online berada pada rentang

skala dimana dimensi empathy suatu iklan

dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini

dapat diartikan bahwa konsumen β€œHanjuang”

melalui online lebih mengetahui dan menyukai iklan

yang dilakukan oleh β€œHanjuang” menggunakan

website www.hanjuang.com sebagai promosi produk

minuman khas Jawa Barat tersebut dibandingkan

dengan konsumen di gerai.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan

Dimensi Persuation

Atribu

t

Gerai Online

Ξ£Ζ’i.w

i

X XP Ξ£Ζ’i.w

i

X XP

1 123 4,1

0

4,12

5

128 4,2

7

4,3

8

Atribu

t

Gerai Online

Ξ£Ζ’i.w

i

X XP Ξ£Ζ’i.w

i

X XP

2 126 4,2

0

133 4,4

3

3 123 4,1

0

133 4,4

3

4 123 4,1

0

132 4,4

0

Sumber : Data Primer (Diolah)

Dari total skor rataan pendapat responden

atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi

persuation didapat hasil sebesar 4,125 untuk

responden di gerai dan sebesar 4,38 untuk responden

melalui online. Nilai untuk responden gerai berada

pada rentang skala dimana dimensi persuation suatu

iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20),

sedangkan nilai untuk responden online berada pada

rentang skala dimana dimensi persuation suatu iklan

dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini

dapat diartikan bahwa setelah melihat website

www.hanjuang.com konsumen β€œHanjuang”

berkeinginan untuk mencari lokasi dan membeli

produk β€œHanjuang”, serta konsumen β€œHanjuang”

juga lebih percaya terhadap produk β€œHanjuang” dan

lebih percaya untuk mengkonsumsi produk

β€œHanjuang” dibandingkan dengan produk sejenis

lainnya.

Tabel 4. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan

Dimensi Impact

Sumber : Data Primer (Diolah)

Dari total skor rataan pendapat responden

atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi

impact didapat hasil sebesar 3,98 untuk responden di

gerai dan sebesar 4,12 untuk responden melalui

online. Nilai untuk responden gerai dan melalui

online berada pada rentang skala dimana dimensi

impact suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai

4,20). Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan

sudah berhasil dalam mempromosikan produknya

karena iklan β€œHanjuang” dalam website

www.hanjuang.com dinyatakan efektif, yaitu

memberikan dampak yang positif bagi para

konsumen β€œHanjuang”, konsumen jadi mengetahui

Atribut Gerai Online

Ξ£Ζ’i.wi X XE Ξ£Ζ’i.wi X XE

1 120 4,00

4,05

122 4,07

4,28

2 122 4,07 132 4,40

3 125 4,17 136 4,53

4 124 4,13 134 4,47

5 121 4,03 124 4,13

6 116 3,87 117 3,90

7 123 4,10 135 4,50

Atribut Gerai Online

Ξ£Ζ’i.wi X XI Ξ£Ζ’i.wi X XI

1 120 4,00

3,98

124 4,13

4,12

2 123 4,10 128 4,27

3 125 4,17 128 4,27

4 118 3,93 121 4,03

5 119 3,97 125 4,17

6 114 3,80 112 3,73

7 117 3,90 128 4,27

Page 264: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

252

manfaat dan ciri khas produk β€œHanjuang”, yang

membuat mereka dapat membedakan mana produk

β€œHanjuang” dengan produk sejenis lainnya.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan

Dimensi Communication

Sumber : Data Primer (Diolah)

Dari total skor rataan pendapat responden atas

pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi

communication didapat hasil sebesar 3,97 untuk

responden di gerai dan sebesar 4,29 untuk responden

melalui online. Nilai untuk responden gerai berada

pada rentang skala dimana dimensi communication

suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20),

sedangkan nilai untuk responden online berada pada

rentang skala dimana dimensi communication suatu

iklan dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00).

Hal ini dapat diartikan bahwa bahwa perusahaan

sudah berhasil dalam mempromosikan produknya

karena iklan β€œHanjuang” dalam website

www.hanjuang.com dinyatakan efektif dan sangat

efektif. Iklan yang ditampilkan dalam website

www.hanjuang.com memaparkan informasi yang

jelas tentang produk β€œHanjuang” dan dapat

dimengerti oleh para konsumen β€œHanjuang”.

4.4 HASIL PERHITUNGAN EPIC MODEL

Setelah menghitung seluruh skor rataan semua

dimensi yang berada pada gerai maupun online dapat

dilihat pada Gambar 18. Mengindikasikan bahwa

semakin titik-titik sudut segi empat dekat dari posisi

0,0, maka iklan yang diukur efektivitasnya dapat

dinyatakan tidak efektif ditinjau dari masing-masing

dimensi dalam EPIC Model, jika sebaliknya semakin

jauh titik-titik sudut segi empat dari titik 0,0, maka

kesimpulan yang diperoleh adalah efektif.

Gambar 2. Skala EPIC Rate Setiap Dimensi

Setelah melakukan perhitungan dan analisis

terhadap masing-masing dimensi yang diukur dalam

EPIC Model, langkah yang terakhir adalah

menghitung nilai EPICrate yaitu penilaian efektivitas

iklan secara keseluruhan.

XE + XP + XI + XC

EPICrate =

N

= 4,17+4,25+4,04+4,13

4

= 4,15

Gambar 3. Rentang Skala EPIC Rate

Nilai EPICrate 4,15 yang diperoleh dari hasil

perhitungan diatas menunjukan bahwa secara

keseluruhan dapat disimpulkan iklan produk

β€œHanjuang” dinilai efektif, hal ini dapat dilihat pada

gambar rentang skala EPICrate pada Gambar 19.

Dalam skala efektif berarti perusahaan sudah berhasil

dalam mempromosikan produk β€œHanjuang” di dalam

website www.hanjuang.com, namun perusahaan

masih harus meningkatkan efektivitas iklannya dari

skala efektif menuju sangat efektif agar tercapai

tujuan perusahaan untuk mempromosikan produk

β€œHanjuang” kepada konsumen sesuai dengan yang

diharapkan oleh perusahaan untuk meningkatkan

penjualan produk β€œHanjuang”.

KESIMPULAN

Dari hasil dan analisis data serta pembahasan

pada bab sebelumnya mengenai efektivitas iklan

melalui media sosial (website) sebagai media

promosi CV Cihanjuang Inti Teknik dengan

menggunakan EPIC Model, maka dapat disimpulkan

bahwa :

1. Penggunaan media sosial di CV Cihanjuang Inti

Teknik menggunakan facebook dan website

www.hanjuang.com yang dikekola oleh salah satu

mirta dari CV Cihanjuang Inti Teknik.

Pengelolaan website ini menggunakan sistem

pemasaran Search Engine Optimization (SEO)

yang dapat memudahkan konsumen untuk

mencari website www.hanjuang.com.

2. Hasil analisis tingkat efektivitas iklan melalui

media sosial (website) sebagai media promosi CV

Cihanjuang Inti Teknik dengan menggunakan

EPIC Model menunjukan bahwa kegiatan

promosi β€œHanjuang” di website

www.hanjuang.com untuk dimensi empathy pada

Atribut Gerai Online

Ξ£Ζ’i.wi X XC Ξ£Ζ’i.wi X XC

1 117 3,90

3,97

131 4,37

4,29 2 119 3,97 125 4,17

3 121 4,03 130 4,33

Page 265: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

253

gerai mencapai tingkat efektif dan melalui online

mencapai tingkat sangat efektif, untuk dimensi

persuation pada gerai dan melalui online

mencapai tingkat efektif, untuk dimensi impact

pada gerai mencapai dan melalui online mencapai

tingkat efektif, dan untuk dimensi communication

pada gerai mencapai tingkat efektif dan melalui

online mencapai tingkat sangat efektif. Hasil

analisis keseluruhan tingkat efektivitas iklan di

CV Cihanjuang Inti Teknik pada gerai dan

melalui online mencapai tingkat efektif. Hal ini

berarti bahwa perusahaan sudah berhasil dalam

mempromosikan produk β€œHanjuang” di dalam

website www.hanjuang.com, namun perusahaan

masih harus meningkatkan efektivitas iklannya

dari skala efektif menuju sangat efektif agar

tercapai tujuan perusahaan untuk

mempromosikan produk β€œHanjuang” kepada

konsumen sesuai dengan yang diharapkan oleh

perusahaan untuk meningkatkan penjualan

produk β€œHanjuang”.

SARAN

Dari pembahasan yang telah diuraikan,

beberapa saran yang dapat dijadikan bahan

pertimbangan bagi pihak CV Cihanjuang Inti Teknik

adalah sebagai berikut :

1. CV Cihanjuang Inti Teknik perlu memperbaharui

atau mengupdate iklan dan informasi tentang

produk β€œHanjuang” yang terdapat dalam website

www.hanjuang.com, sehingga akan merangsang

ingatan konsumen untuk terus mengingat produk

β€œHanjuang” itu sendiri, contohnya dengan

menambahkan slogan-slogan yang menarik agar

konsumen mudah mengingat produk β€œHanjuang”.

2. Melakukan perbaikan tampilan website misalnya

dalam segi warna tampilan agar lebih menarik

untuk dilihat, karena dari hasil penelitian kegiatan

promosi melalui media sosial (website) ini

mempunyai dampak efektif dalam meningkatkan

penjualan.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk

mengetahui bagaimana cara berpromosi yang

lebih efektif dilakukan dalam bidang usaha

minuman tradisional ini.

DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Durianto, C., & Liana. 2003. Inovasi pasar

dengan iklan yang efektif. Jakarta. PT.

Gramedia Pustaka.

Hanjuang. 2015. Minuman Tradisional Khas

Priangan. Diambil dari

www.hanjuang.com diakses pada 20 Mei

2015.

Kaplan, A.M., & Haenlein, M. 2010. Users of the

world, unite! The challenges and

opportunities of Social Media. Business

Horizons, 53(1), 59- 68

Pingdom. 2013. Internet 2012 in Number. Diambil

dari

http://royal.pingdom.com/2013/01/16/inter

net-2012-in-numbers/ diakses pada 18

Februari 2015.

Prasetyo, B & Jannah, L.M. 2006. Metode Penelitian

Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

We Are Social. 2014. Social, Digital & Mobile in

2014. Diambil dari

http://wearesocial.sg/blog/2014/01/social-

digital-mobile-2014/ diakses pada tanggal

18 Februari 2015.

Page 266: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

254

Page 267: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

255

Apakah Kinerja dan Pengungkapan Lingkungan Berpengaruh terhadap

Kinerja Ekonomi Perusahaan? (Analisis pada Perusahaan Agroindustry yang

Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

Are Environmental Performance and Disclosure Influence Company’s Economic

Performance? (Analysis on Agroindustry Companies Listed in Indonesian Stock

Exchange)

Arisha Nursyamti Pramidyar1, Dika Supyandi1

1 Prodi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Bandung

A B S T R A K

Kata Kunci:

Environmental

performance

Environmental disclosure

Economic performance

Socio Economic

Accounting

Regresi data panel

Perusahaan dengan tingkat resiko lingkungan yang tinggi di Indonesia adalah

perusahaan yang bergerak di bidang pengusahaan hutan (pemegang

HPH/HPHTI), perkebunan dan pertambangan umum yang bergelut secara

langsung dengan lingkungan di mana bahan baku produksi diambil langsung

dari alam. Perilaku perusahaan terhadap lingkungan ini dikontrol Socio

Economic Accounting (SEA) untuk mengatasi dampak external diseconomy atau

social cost yang ditimbulkan perusahaan. Bentuk pertanggungjawaban

akuntansi ini dilihat dari pengungkapan, kinerja lingkungan dan economic

perusahaan. Tujuan kajian ini adalah menguji pengaruh antara economic

performance terhadap environmental disclosure dan environmental

performance. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan agroindustri yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia serta mengikuti PROPER selama periode

2010-2014. Pengolahan data menggunakan analisis regresi data panel. Hasil

kajian menunjukkan environmental performance dan environmental disclosure

tidak berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance perusahaan

agroindustri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

ABSTRACT

Keywords:

Environmental

performance

Environmental disclosure

Economic performance

Socio Economic

Accounting

Regression of data panel

Companies with high levels of environmental destruction risk in Indonesia are

forestry (holders of HPH/HPHTI), plantation and mining companies that deals

with the environment directly where the resource is taken from the nature. The

companies’ behavior on environment is controlled by Socio Economic

Accounting (SEA) to overcome the impact of external diseconomy or social

cost inflicted by company. The accountancy responsibility is approached by

disclosure, environmental performance and economic performance of the

companies. The purpose of the research is to examine the impact of

environmental disclosure and environmental performance to economic

performance. Population in this research is agroindustry companies which are

listed in the Indonesia stock exchange and follow the PROPER during the

period of 2010-2014. The processing of data is using data regression panel

analysis. The result of this research indicates that environmental performance

and environmental disclosure are not giving positive significant effect on

economic performance in agroindustry companies which are listed in the

Indonesia stock exchange.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected], [email protected]

Page 268: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

256

PENDAHULUAN

Dalam era industrialisasi ini, perusahaan

dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan

banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut

pendekatan teori akuntansi tradisional yang dijelaskan

oleh Henny dan Murtanto (dalam Miranti, 2009)

perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat

memberikan sumbangan yang maksimum kepada

masyarakat. Keuntungan yang diberikan perusahaan

bagi masyarakat antara lain adalah perusahaan

menyediakan lapangan kerja, perusahaan

menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat

untuk dikonsumsi, perusahaan membayar pajak pada

pemerintah serta memberikan sumbangan. Hal tersebut

yang membuat perusahaan mendapatkan kekuatan

untuk beroperasi dan menggunakan sumber daya yang

dibutuhkan.

Dalam perannya meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, perusahaan perlu memperhatikan kinerja

ekonominya. Perusahaan membutuhkan perencanaan

yang akurat dan realistis yang sesuai dengan kondisi

perusahaan, sehingga dari perencanaan tersebut dapat

diprediksi kinerja ekonominya. Kinerja ekonomi

perusahaan merupakan kinerja perusahaan secara

relatif (berubah-berubah dari tahun ke tahun) dalam

suatu kelompok industri (perusahaan yang bergerak

dalam bidang yang sama) yang ditandai dengan

besarnya return tahunan perusahaan tersebut (Almilia

dan Wijayanto, 2007).

Walhi (Wahana Lingkungan Hidup

Indonesia) menyebutkan bahwa aktor perusak

lingungan hidup yang utama di Indonesia adalah

perusahaan dan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari

Gambar 1. yang memperlihatkan besarnya persentase

peran aktor tersebut dalam merusak lingkungan.

Gambar 1. Diagram Aktor Perusak/ Pencemar Lingkungan Hidup Tahun 2013 (sumber: Saturi, 2014)

Dari gambar tersebut tampak perusahaan

ikut andil 31% dalam merusak lingkungan, diikuti

dengan perusahaan dan pemerintah yang berperan

23% dalam merusak/mencemari lingkungan. Dari

sini terlihat bahwa hubungan perusahaan dengan

lingkungannya bersifat non-reciprocal yang artinya

transaksi itu tidak menimbulkan prestasi timbal-balik

dari pihak yang berhubungan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

di dunia yang memiliki segala kekayaan alam dan

sumber daya manusia yang dimiliki merupakan

negara yang berpotensi besar dan sangat penting di

kawasan Asia pada khususnya dan dunia pada

umumnya. Data Kementerian Kehutanan

menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang

6 Anonim (2014) dalam http://www.wwf.or.id

tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah

habis ditebang.6

Karena besarnya dampak buruk yang

disumbangkan perusahaan kepada masyarakat

beserta lingkungan hidup di sekitarnya, maka perlu

adanya kontrol agar external diseconomy atau social

cost yang ditimbulkannya tidak semakin besar.

Kontrol tersebut berupa ilmu akuntansi yang

mencatat, mengukur, melaporkan segala bentuk

externalities yang dikenal dengan Socio Economic

Accounting (SEA) (Harahap, 2002) dengan tiga

aspek persoalan penting yaitu: keberlanjutan aspek

ekonomi, lingkungan dan kinerja sosial (Ja’far dan

Arifah, 2006 dalam Handayani, 2010).

Penelitian empiris mengenai hubungan

antara environmental performance, economic

Page 269: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

257

performance dan environmental disclosure secara

umum telah mempertimbangkan kekuatan hubungan

diantara variabel-variabel tersebut. Penelitian

Bragdon dan Marlin (1972), Spicer (1978), Freedman

dan Jaggi (1992) dan Ignatius Bondan Suratno,

Darsono, Siti Mutmainah (2006) dalam Almilia dan

Wijayanto (2007) menemukan hubungan positif

signifikan antara economic performance dengan

environmental performance.

Penelitian Al Tuwaijri, SA., Christensen,

T.E. dan Hughes II, K.E. (2004) meneliti tentang

hubungan antara environmental performance,

environmental disclosure dan economic

performance. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa environmental performance, environmental

disclosure dan economic performance secara statistik

signifikan, namun hanya hubungan economic

performance dengan environmental performance

yang mempunyai interelasi potensial. Anggraini

(2008) dalam Handayani (2010) meneliti tentang

environmental disclosure, environmental

performance dan return saham yang mewakili

economic performance. Hasil penelitiannya

menunjuk-kan bahwa environmental performance

tidak berpengaruh signifikan terhadap environmental

disclosure, tetapi berpengaruh signifikan terhadap

return saham. Sedangkan environmental disclosure

mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap

return saham.

Hasil penelitian-penelitian sebelumnya

mengenai hubungan environmental disclosure,

environmental performance dan economic

performance yang masih kontradiktif dan

menunjukkan hasil yang berbeda-beda menarik

untuk dilakukan kajian kembali khususnya mengenai

environmental disclosure, environmental

performance dan economic performance. Tujuan

dalam kajian ini adalah menguji pengaruh antara

economic performance terhadap environmental

disclosure dan environmental performance.

KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP

Dalam operasionalnya, perusahaan memiliki

dampak secara positif dan negatif. Dampak positif

dengan adanya perusahaan antara lain memberikan

lapangan kerja, menyediakan barang/jasa,

pemasukan jasa dan memberikan sumbangan pada

masyarakat. Selain adanya dampak positif tersebut,

adanya perusahaan juga menyumbang dampak

negatif yaitu menghasilkan limbah padat dan cair

serta polusi air dan udara. Limbah padat dan cair ini

hendaknya diolah terlebih dahulu sebelum dilepas ke

lingkungan. Limbah padat dan cair yang tidak

menjalani proses pengolahan (penetralan) akan

membentuk lingkungan yang rusak/tercemar. Hal ini

membentuk hubungan non-reciprocal antara

perusahaan dengan lingkungan yang maksudnya

tidak terdapat hubungan timbal balik antara

keduanya, hanya perusahaan yang membutuhkan

lingkungan sedangkan lingkungan tidak

membutuhkan perusahaan.

Hubungan non-reciprocal ini kemudian

dipelajari dengan teori Socio Economic Accounting

(SEA) yang didalamnya membahas hubungan antara

pengungkapan, kinerja lingkungan dan kinerja

ekonomi perusahaan. Berdasarkan teori SEA inilah

terbentuk dugaan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan positif antara environmental performance

dan environmental disclosure terhadap economic

performance perusahaan.

Page 270: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

258

Gambar 2. Kerangka konsep

METODE PENELITIAN

Objek dalam penelitian ini adalah

environmental performance, environmental

disclosure dan pengaruhnya terhadap economic

performance pada perusahaan sektor Agroindustri

yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia dan

mengikuti PROPER serta mengeluarkan laporan

tahunannya pada tahun 2010-2014.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuantitatif. Data dan informasi dalam

penelitian ini berupa data sekunder dan data primer.

Teknik pengambilan sampel dipilih dengan

menggunakan teknik sensus dan diperoleh 16

perusahaan. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian adalah dengan studi

pustaka.

Rancangan analisis data menggunakan analisis

deskriptif untuk menjelaskan karakteristik

perusahaan dalam setiap variabel. Analisis regresi

data panel dengan bantuan Eviews7 berguna untuk

melihat dampak ekonomis yang tidak terpisahkan

antar setiap individu dalam beberapa periode (cross

section dan time series). Dengan model regresi data

panel:

Y = Ξ± + 𝑏1𝑋1it + 𝑏2𝑋2it + e

Keterangan:

Y = Variabel dependen (Economic

Performance)

Ξ± = Konstanta

𝑋1 = Variabel independen 1 (Environmental

Performance)

𝑋2 = Variabel independen 2 (Environmental

Disclosure)

b(1…2) = Koefisien regresi masing-masing variabel

independen

e = Error term

t = Waktu

i = Perusahaan

Pemilihan model regresi data panel dilakukan

untuk mendapatkan model yang tepat untuk

penelitian ini. Model dengan pengaruh individu

untuk penaksirannya dapat dilakukan melalui dua

pendekatan, yaitu pendekatan fixed effect dan

Page 271: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

259

random effect. Untuk memilih model tersebut

dilakukan dengan uji Hausman. Pengujian uji

Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut:

𝐻0 : Random Effect (RE) Model

𝐻1 : Fixed Effect (FE) Model

Terhadap analisis regresi data panel ini

dilakukan pengujian asumsi klasik (uji autokorelasi,

multikolinieritas dan heteroskedastisitas). Selain itu,

terdapat uji kelayakan model (koefisien determinasi

dan uji F) dan Uji Hipotesis menggunakan uji t.

Hipotesis:

H1 : Environmental performance berpengaruh

signifikan positif terhadap economic

performance

H2 : Environmental disclosure berpengaruh

signifikan positif terhadap economic

performance

H3 : Environmental performance dan

environmental disclosure berpengaruh

signifikan positif terhadap economic

performance

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data statistik deskriptif,

untuk environmental performance pada umumnya

perusahaan sampel meraih peringkat biru dalam

PROPER dan peringkat tertinggi diduduki oleh

perusahaan dengan kode INRU yang meraih

peringkat hijau selama 4 tahun berturut-turut dari

2010-2013. Environmental disclosure poin tertinggi

18 diperoleh perusahaan dengan kode UNSP dan

poin pengungkapan terendah diperoleh perusahaan

dengan kode TBLA. Hal yang paling banyak

diungkapkan perusahaan dalam laporan tahunannya

adalah mengenai inisiatif untuk mengurangi dampak

buruk pada lingkungan akibat oleh produk dan jasa

(daftar ceklis GRI poin ke 26). Economic

performance perusahaan dengan kode FASW

memiliki nilai ROE -16,00% di tahun 2013 dan pada

tahun yang sama, perusahaan dengan kode TIRT

memiliki nilai ROE sebesar 78,4% yang merupakan

ROE tertinggi di antara 16 perusahaan tersebut

selama periode 2011-2014.

Pemilihan Model Regresi Data Panel

Nilai probabilitas (Prob.) cross-section

random sebesar 0,5813 yang nilainya > 0,05 sehingga

dapat disimpulkan bahwa model RE lebih tepat

dibandingkan dengan model FE untuk kajian ini. Hal

ini sebenarnnya sudah ditunjukkan oleh karakter data

panel yang memiliki jumlah waktu (2010-2014) lebih

kecil dibandingkan dengan jumlah entitas (16

perusahaan) yang oleh beberapa ahli ekonometrika

disarankan menggunakan metode random effect.

Uji Asumsi Klasik

1. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji

apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi

antara kesalahan pengganggu periode t dengan

kesalahan pengganggu pada periode t-1 (periode

sebelumnya). Dilihat melalui nilai Durbin-Watson.

Jika nilai Durbin-Watson (DW) terletak antara batas

atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka

koefisien autokorelasi sama dengan nol, dengan kata

lain tidak ada autokorelasi. Tabel 12. Data pengujian autokorelasi

Nilai dU

(N=64

K=2)

Nilai

Durbin

Watson

4-dU Keterangan

1,65 1,959 2,34 Tidak ada

autokorelasi

Berdasarkan tabel tersebut terlihat pada data

penelitian ini tidak terjadi masalah autokorelasi.

2. Multikolinieritas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji

apakah model regresi ditemukan adanya korelasi

antara variabel independen. Untuk menguji masalah

multikolinearitas dapat melihat matriks korelasi dari

variabel bebas, jika terjadi koefisien korelasi lebih

dari 0,80 maka terdapat multikolinearitas. Nilai

koefisien korelasinya antar variabel independen

dibawah 0,80 yaitu 0,0288. Dengan demikian data

dalam penelitian ini tidak terjadi masalah

multikolinearitas.

3. Heteroskedastisitas

Model RE sudah menggunakan Generalize

Least Square (GLS) yang merupakan salah satu

teknik penyembuhan regresi. Karena penelitian ini

menggunakan metode Random Effect maka tidak

perlu lagi di uji heteroskedastisitas.

Uji Kelayakan Model

1. Uji F

Pengujian secara simultan dilihat melalui nilai

Uji F yang terdapat pada tabel berikut:

Tabel 14. Hasil Uji Simultan (Uji F)

F-statistic 1.342596

Prob(F-statistic) 0.268774

Berdasarkan Tabel 14. didapatkan nilai p-

value > alpha 0,05 yaitu 0,268 > 0,05 sehingga terima

Ho yang dapat disimpulkan bahwa semua variabel

independen secara simultan tidak berpengaruh

terhadap variabel dependen.

Page 272: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

260

2. Koefisien Determinasi R-square

Koefisien determinasi digunakan untuk

mengukur sejauh mana besar keragaman variabel tak

bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas.

Koefisisen determinasi dilihat dari nilai 𝑅2. Nilai 𝑅2

yang didapatkan dari memodelkan regresi panel

dengan pendekatan Random Effect Model (REM)

pada penelitian ini adalah sebesar 0.042164. Hal ini

menunjukkan bahwa keragaman nilai Economic

Performance hanya dapat dijelaskan oleh

Environmental disclosure dan Environmental

Performance sebesar 4,22%, selebihnya dijelaskan

oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian

ini.

Uji Hipotesis

Pengujian secara parsial dilihat dari nilai uji

t yang terdapat pada tabel berikut:

Tabel 15. Hasil uji t

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

ED -0.685289 0.523109 -1.310031 0.1951

EP -3.461120 3.551855 -0.974454 0.3337 C 30.72347 12.05030 2.549601 0.0133

Apabila nilai Prob. lebih kecil daripada 0,05,

maka hipotesisnya diterima yang artinya variabel

independen tersebut berpengaruh secara signifikan

terhadap variabel dependennya dan begitu

sebaliknya.

Variabel environmental disclosure

mempunyai nilai koefisien -0,685 yang berarti

variabel environmental disclosure berpengaruh

negatif terhadap economic performance. Nilai sig t

sebesar 0,1951 lebih besar dari Ξ± 5% sehingga

hipotesis yang menyatakan environmental disclosure

berpengaruh signifikan positif terhadap economic

performance, ditolak.

Variabel environmental performance

mempunyai nilai koefisien -4,664 yang berarti

variabel environmental performance berpengaruh

negatif terhadap economic performance. Nilai sig t

sebesar 0,333 lebih besar dari Ξ± 5% sehingga

hipotesis yang menyatakan environmental

performance berpengaruh signifikan positif terhadap

economic performance, ditolak.

PEMBAHASAN

1. Hipotesis 1 : Environmental performance

berpengaruh signifikan positif terhadap

economic performance

Berdasarkan hasil analisis dengan regresi data

panel, menunjukkan bahwa variabel environmental

performance tidak berpengaruh signifikan positif

terhadap variabel economic performance dari

perusahaan agroindustri. Perilaku variabel

environmental performance pada perusahaan

agroindustri ternyata bukan salah satu faktor yang

menentukan besarnya return on equity pada

perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan dengan

kode TIRT pada tahun 2012 mendapatkan peringkat

PROPER merah, namun ROE perusahaan pada tahun

2013 dapat tetap tinggi mencapai 78,4%. Sebaliknya,

perusahaan dengan kode KBRI mendapatkan

peringkat biru pada PROPER tahun 2010 mempunyai

economic performance (ROE) yang negatif di tahun

2011 yaitu -2.88%. Hal tersebut diduga karena

kondisi yang terjadi di Indonesia sebagai negara

berkembang berbeda dengan yang terjadi di beberapa

negara lain, terutama negara maju terkait perilaku

investor di Indonesia.

Hubungan yang tidak signifikan positif antara

environmental performance dan economic

performance disebabkan karena economic

performance atau kinerja ekonomi suatu perusahaan

tidak dilihat oleh investor dari kinerja di dalam

lingkungan perusahaan (environmental

performance). Investor kurang memperhatikan apa

yang dilakukan perusahaan, dan hanya

memperhatikan bagaimana kondisi perusahaan di

dalam pasar apakah menguntungkan atau tidak bila

dilakukan investasi. Diduga bahwa para pelaku pasar

modal di Indonesia dalam menentukan investasi pada

perusahaan terbuka yang terdaftar di bursa efek

melihatnya dari sejumlah aspek atau variabel sebagai

contoh: rasio keuangan, ukuran perusahaan, dan

kategori investasi apakah perusahaan merupakan

penanaman modal dalam negeri (PMDN) ataukah

penanaman modal asing (PMA). Selain itu peneliti juga menduga hubungan

yang tidak signifikan positif antara environmental

performance dan economic performance ini

dikarenakan Indonesia masih sebagai negara

berkembang. Hasil penelitian serupa pada beberapa

negara maju yaitu Canada, Jepang dan Eropa

menunjukkan hubungan yang signifikan positif

seperti halnya penelitian Marcus Wagner dan Stefan

Schaltegger (2004) yang menemukan hubungan yang

positif antara environmental dengan economic

performance pada perusahaan-perusahaan

manufaktur di Eropa. Pada penelitiannya yang lain,

Marcus mengungkapkan bahwa perusahaan yang

memiliki strategi pengembangan lingkungan akan

memiliki hubungan yang lebih positif dengan

economic performance perusahaannya di bandingkan

dengan perusahaan yang tidak memiliki strategi.

Begitu pula hasil yang didapatkan oleh Jean-Francois

Henry (2009) pada perusahaan-perusahaan di

Canada, surveinya menunjukkan pengelolaan

Page 273: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

261

lingkungan secara tidak langsung berpengaruh

terhadap economic performance perusahaan. Hasil

yang sama juga di peroleh pada perusahaan-

perusahaan manufaktur di Jepang yaitu terdapat

hubungan yang signifikan positif antara

environmental performance dan economic

performance perusahaan. Ketiga hasil penelitian di

negara maju tersebut menjadi landasan atas dugaan

bahwa perbedaan negara maju dan negara

berkembang bila dilihat dari sisi ekonomi

menyebabkan perilaku serta pola pikir investor di

kedua negara tersebut akan berbeda.

2. Hipotesis 2 : Environmental disclosure

berpengaruh signifikan positif terhadap

economic performance Berdasarkan hasil analisis dengan regresi data

panel, menunjukkan bahwa variabel environmental

disclosure tidak berpengaruh signifikan positif

terhadap variabel economic performance dari

perusahaan agroindustri. Pada beberapa perusahaan

sampel, banyaknya pengungkapan tidak menjamin

economic performance perusahaan menjadi baik.

Sebagai contoh, ketika perusahaan dengan kode

FASW mengungkapkan 16 item atau sekitar 53%

dari item GRI yang harus diungkapkan, nilai ROE

yang merupakan proksi dari economic performance

perusahaan bernilai -16%. Berbeda dengan

perusahaan sampel lainnya yang item

pengungkapannya di bawah 53% namun memiliki

nilai ROE yang positif. Hal ini memperlihatkan

banyak tidaknya pengungkapan tidak mempengaruhi

nilai ROE perusahaan agroindustri (perusahaan

sampel).

Selain itu, ekonomi suatu perusahaan tidak

dilihat melalui pengungkapan yang dilakukan

perusahaan tetapi kebanyakan hanya dilihat melalui

keuntungan yang diperoleh perusahaan. Apa yang

dilakukan perusahaan di dalam dan di luar

perusahaan cenderung tidak terlalu diperhatikan oleh

pelaku pasar dan investor. Apa saja yang

diungkapkan perusahaan mengenai lingkungannya

tidak mempengaruhi kinerja ekonomi suatu

perusahaan secara positif karena pelaku

pasar/investor tidak melihat apa yang diungkapkan

oleh perusahaan mengenai lingkungan

perusahaannya, tetapi pasar hanya melihat return

yang dihasilkan oleh perusahaan tiap tahunnya.

Berbeda lagi dengan kecenderungan yang terjadi di

Indonesia dimana para pelaku pasar di Indonesia

cenderung hanya melihat dan merespon informasi

yang terjadi di pasar sebatas informasi yang

diberikan dan kurang melihat dari kinerja ekonomi

dari suatu perusahaan (Handayani, 2010).

Sembiring (2006) dalam Wibisono (2011),

menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi,

salah satu argumentasi dalam hubungan antara

profitabilitas dan tingkat kinerja sosial adalah ketika

perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi

perusahaan menganggap tidak perlu melaporkan hal-

hal yang dapat menganggu informasi tentang sukses

keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat

profitabilitas rendah mereka berharap para pengguna

laporan akan membaca good news kinerja

perusahaan, misalnya dalam lingkup

lingkungan/sosial dan dengan demikian investor

akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut.

Sehingga secara garis besar ketika perusahaan

memperoleh profit yang tinggi (economic

performance perusahaan dalam keadaan baik) maka

pengungkapan yang dipaparkan perusahaan dalam

annual report-nya tidak terlalu banyak, namun ketika

perusahaan memperoleh profit yang rendah

(economic performance perusahaan tidak dalam

keadaan baik) perusahaan berusaha memaparkan hal-

hal baik dalam annual report dengan tujuan

menarik/mempertahankan investor. Hal ini dapat

menjadi alasan mengapa environmental disclosure

tidak berpengaruh signifikan positif terhadap

economic performance perusahaan agroindustri yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

3. Hipotesis 3 : Environmental performance dan

environmental disclosure berpengaruh

signifikan positif terhadap economic

performance.

Secara simultan, environmental performance

dan environmental disclosure juga tidak signifikan

mempengaruhi economic performance perusahaan

agroindustri. Seperti yang telah dijelaskan dalam

pembahasan hipotesis 1 dan hipotesis 2, economic

performance atau kinerja ekonomi suatu perusahaan

tidak dilihat oleh investor dari kinerja di dalam

lingkungan perusahaan (environmental

performance). Investor biasanya akan melihat

economic perusahaan dari return yang dihasilkan

perusahaan, ukuran perusahaan, modal perusahaan

dan posisi perusahaan.

Investor juga tidak melihat kinerja ekonomi

suatu perusahaan dari banyaknya disclosure yang

dilakukan perusahaan dalam annual report

perusahaan karena menurut teori legitimasi secara

garis besar ketika perusahaan memperoleh profit

yang tinggi (economic performance perusahaan

dalam keadaan baik) maka pengungkapan yang

dipaparkan perusahaan dalam annual report-nya

tidak terlalu banyak. Hal ini mengakibatkan investor

tidak data melihat kinerja ekonomi perusahaan hanya

dari laporan tahunannya.

Page 274: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

262

Dua hal tersebut menjadikan environmental

performance dan environmental disclosure secara

bersamaan tidak dapat mempengaruhi economic

performance perusahaan secara siginifikan positif.

Hasil penelitian pada hipotesis 3 ini, tidak

mendukung temuan Al Tuwaijri, SA., Christensen,

T.E. dan Hughes II, K.E. (2004) yang menemukan

bahwa hubungan environmental performance,

environmental disclosure dan economic performance

secara statistik signifikan.

PENUTUP

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan,

disimpulkan sejumlah hal berikut:

1. Environmental performance tidak memiliki

pengaruh secara signifikan positif terhadap

economic performance perusahaan agroindustri.

2. Environmental disclosure tidak memiliki

pengaruh secara signifikan positif terhadap

economic performance dari perusahaan

agroindustri.

3. Secara simultan, environmental performance dan

environmental disclosure tidak memiliki pengaruh

secara signifikan positif terhadap economic

performance perusahaan agroindustri.

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat

diberikan sebagai berikut :

1. Untuk penelitian selanjutnya penggunaan lingkup

perusahaan yang lebih luas (tidak hanya bidang

agroindustri) sangat disarankan agar hasil yang

diperoleh lebih beragam.

2. Selain itu tahun penelitian hendaknya memiliki

rentang tahun yang lebih lama agar diperoleh hasil

yang mendetil mengenai kinerja perusahaan.

Dalam menilai pengungkapan yang dilakukan

perusahaan, dapat digunakan daftar checklist lain

seperti yang bersumber dari Bapepam,

Crismawati dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Almilia, Luciana Spica dan Dwi Wijayanto. (2007).

Pengaruh Environmental Performance dan

Environmental Disclosure terhadap

Economic Performance. The 1st Accounting

Conference Faculty of Economics

Universitas Indonesia.

Al-Tuwaijri S.A., Christensen T.E. dan Hughes K.E.

(2004). The Relations Among

Environmental disclosure, Environmental

performance and Economic performance: a

simultaneous equations approach. Journal

Accounting Organizations and Society,

29(4), 447-471. doi: 10.1016/S0361-

3682(03)00032-1

Anonim. (2014). Kehutanan. http://www.wwf.or.id.

(Di akses pada Tanggal 7 April 2015)

Baltagi, Bagi (2005). Econometric Analysis of Panel

Data, Third Edition. John Wiley & Sons.

Harahap, Sofyan Syafri. (2002). Teori Akuntansi.

Edisi revisi. Jakarta Raja Grafindo Persada

Hidemichi Fujii, dkk. (2012). Corporate

Environmental and Economic Performance

of Japanese Manufacturing Firms: Empirical

Study for Sustainable Development.

Business Strategy and the Environment

Jornal, 22(3), 187–201.

Jean-Francois Henry. (2009). Eco-control: The

influence of management control systems on

environmental and economic performance.

Journal Accounting, Organization and

Society, 35, 63-80.

Lindrianasari. (2007). Hubungan Antara Kinerja

Lingkungan Dan Kualitas Pengungkapan

Lingkungan Dengan Kinerja Ekonomi

Perusahaan Di Indonesia. Jurnal Akuntansi

dan Auditing Indonesia, 11(2),

Marcus Wagner and Stefan Schaltegger. (2004). The

Effect of Corporate Environmental Strategy

Choice and Environmental Performance on

Competitiveness and Economic

Performance: An Empirical Study of EU

Manufacturing. European Management

Journal, 22(5), 557–572.

Martin Freedman and Bikki Jaggi. (1988). An

Analysis of the Association between

Pollution Disclosure and Economic

Performance. Accounting, Auditing &

Accountability Journal, 1(2).

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuntitatif,

Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.

Susi Sarumpaet. (2005). The Relationship Between

Environmental Performance And Financial

Performance of Indonesian Companies.

Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 7(2), 89-

98.

Wagner, dkk. (2001). The Relationship between the

Environmental and Economic Performance

of Firms. An empirical analysis of the

European paper industry. Journal Corporate

Social - Responsibility and Environmental

Management , 9, 133.

Page 275: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

263

Identifikasi Faktor Pendukung Keberhasilan Transfer Teknologi Pada Industri

Kecil Menengah Berbasis Potensi Lokal Dengan Pendekatan Makroergonomi

(Study Kasus : UKM Keripik Ubi Cilembu Desa Cileles Jatinangor Dan IKM

Keripik di Desa Pagedangan Indramayu )

Success Factor Identification in Small Medium Enterprise (SME)’sTechnology Transfer

Based on Local Resources Using Ergonomimacro Approache

Devi Maulida Rahmah

Departemen Teknik dan Manajemen Industri Pertaian, FakultasTeknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran

A B S T R A K

Kata Kunci:

Makroergonomi,

perbaikan sistem kerja

di UKM

Industri Rumah Tangga merupakan sektor terdepan yang mampu

mengembangkan perekonomian suatu daerah secara mandiri. Keberadaannya menjadi

penting, karena mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.

Upaya pengembangan industri rumah tangga tidak terlepas dari penerapan teknologi

baik berupa penyediaan sarana prasarana, perbaikan metode penyimpanan barang,

pengolahan, pengemasan hingga pemasaran. Oleh karenanya mengidentifikasi factor

pendukung keberhasilan transfer teknologi pada industry rumah tangga sangat penting

sebagai sebuah referensi bagi penerapan teknologi yang efektif pada industry rumah

tangga. Karena pada kenyataannya tak jarang ditemuai proses transfer teknologi tidak

bejalan secara efektif.

Pendekatan makroergonomi merupakan sebuah pendekatan dalam melakukan

perbaikan system kerja dengan mempertimbangkan semua aspek dalam proses

perbaikannya. Sehingga pendekatan inpun relevan jika diterapkan pada perbaikan

system kerja di IKM yang pada proses pengembangannya tak terlepas dari proses

transfer teknologi. Faktor dalam makroergonomi adalah Pekerja, Mesin atau

Teknologi, Lingkungn kerja, dan Organisasi kerja serta proses interaksi antara semua

elemen di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk Memetakan faktor – faktor

makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi pada industry

kecil menengah berbasis potensi local. Penelitian dilakukan di UKM aneka keripik di

desa Cileles Jatinangor dan IKM keripik di desa Pagedangan Indramayu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa factor utama yang memperngaruhi keberhasilan

proses transfer teknologi secara berurutan berdasarkan tingkat kepentingannya adalah:

Organisasi kerja, SDM, Lingkungan kerja, serta Teknologi. Dengan pendekatan

makroergonomi terlihat bahwa teknologi yang akan diterapkan bukan menjadi focus

utama dalam pengembangan IKM. Justru kesiapan organisasi kerja SDM serta

Lingkungan kerja patut menjadi factor yang dipertimbangkan ketika proses transfer

teknologi akan dilakukan..

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 276: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

264

PENDAHULUAN

Sistem kerja merupakan kumpulan elemen

dari sebuah rangkaian aktifitas pekerjaan yang saling

berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan pekerjaan

yang ingin dicapai.Sistem kerja dalam sebuah

aktifitas pekerjaan baik di industri dengan skala

makro dan mikro diantaranya pekerja, mesin,

lingkungan kerja, dan organisasi kerja. Dalam

Perbaikansistemkerja pertimbangan ke empat elemen

tersebut serta proses interaksinya tidak bisa

dilepaskan dalam proses pengambilan kebijakan

dalam perbaikan sistem kerja. Ada beberapa

pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan

perbaikan sebuah sistem kerja, diantaranya

pendekatan makroergonomi, mikro ergonomi, dan

pendekatan rekayasa engineering.

Pendekatan makroergonomi merupakan

sebuah pendekatan dalam melakukan intervensi

ergonomi dengan mempertimbangkan semua aspek

dalam proses perbaikannya. Aspek tersebut

diantaranya Pekerja, Mesin atau Teknologi,

Lingkungn kerja, dan Organisasi kerja serta proses

interaksi antara semua elemen di dalamnya. Aspek

pekerja meliputi tingkat pendidikan pekerja,

karakteristik pekerja dalam menerima masukan

perbaikan, serta etos kerja. Aspek teknologi meliputi

karakteristik teknologi, kemudahan untuk

dioperasikan dengan tingkat pendidikan pekerja,

keamanan dan kenyamanan ketika digunakan, serta

fleksibilitas teknologi. Aspek lingkungan kerja

meliputi kondisi sosial ekonomi pekerja, lingkungan

sekitar tempat pekerja, dan iklim kerja. Sedangkan

aspek organisasi kerja meliputi karakteristik

manajemen, dan penerapan semua aturan kerja.

Pendekatan mikroergonomi merupakan

pendekatan dalam intervensi ergonomi yang hanya

mempertimbangkan aspek pekerja dan teknologi.

Perbaikan yang dilakukan dalam skala makro

maupun mikro didasarkan pada pertimbangan dari

aspek pekerja dan teknologi yang akan diterapkan

atau diperbaiki, baik itu perbaikan dimensi stasiun

kerja, dimensi alat atau mesin,perbaikan sikap kerja,

dll. Sedangkan pendekatan rekayasa engineering

didasarkan pada perhitungan secara kuantitatif

produktifitas yang dihasilkan oleh mesin/ teknologi

yang akan diterapkan.

Menurut Carayon dan Smith (2000)

pertimbangan organisasi kerja dan ergonomi akan

berpengaruh signifikan terhadap performansi pekerja

yang pada akhirnya berdampak pada produktifitas

kerja yang dihasilkan. Hal ini menjadi realistis karena

dalam organisasi kerja terdapat pertimbangan dari

aspek manajemen. Aspek manajemen menjadi kunci

dalam penerapan setiap intervensi ergonomi dalam

perbaikan sistem kerja, karena dalam perbaikan

sistem kerja tidak cukup hanya menerapkan sebuah

teknologi dalam memperbaiki produktifitas, namun

perbaikan dari sisi pengelolaan manajemen dan

perbaikan berupa kebijakan – kebijakan yang hanya

dapat dilakukan oleh pihak manajemen juga akan

berdampak luas pada proses perbaikan yang terjadi.

Oleh karenanya pendekatan macroergonomi dinilai

sangat layak untuk diterapkan dalam proses

perbaikan sistem kerja yang menyeluruh baik pada

tingkat usaha makro dan mikro.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Memetakan faktor – faktor makroergonomi

yang berpengaruh terhadap proses transfer

teknologi pada Industri kecil menengah berbasis

potensi lokal

2. Memetakan perbaikan sistem kerja pada masing

– masing aspek yang berpengaruh yang dinilai

mampu memperbaiki produktifitas kerja yang

memungkinkan untuk diterapkan pada Industri

Kecil Menengah (IKM)

METODE PENELITIAN

Penelitian di lakukan di IKM aneka keripik di desa

Cileles Jatinangor dan IKM Krips aneka keripik

Pisang di Desa Pagedangan, Indramayu. UKM yang

dijadikan objek penelitian merupakan jemis UKM

dengan mekanisme sistem produksi secara mandiri.

Artinya pemilik usaha melakukan produksi secara

mandiri. Metode yang dilakukan dalam pendekatan

makroergonomi adalah dengan observasi (field

study) dan wawancara semi struktur. Dua metode ini

menurut Hendrick dan Kleiner (2002) relevan untuk

diterapkan pada pendekatan makroergonomi. Karena

dalam makroergonomi terdapat penggabungan antara

aspek sosial, teknikal, dan sosioteknikal. Keuntungan

yang diperoleh dari pendekatan observasi adalah

diperoleh data riil di lapangan, mengenai aspek

penerapan kebijakan manajemen d lapangan, pekerja,

proses kerja, serta lingkungan kerja yang mungkin

secara spesifik tidak akan diperoleh dari hasil

wawancara.

Tahapan dalam proses penelitian

Berikut ini adalah tahapan penelitian yang dilakukan

:

Page 277: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

265

Gambar 1. Tahapan proses penelitian

Tahapan Diskusi dan Studi literatur

Penentuan faktor makroergonomi yang

berpengaruh terhadap perbaikan sistem kerja yang

nantinya akan dijadikan kategorisasi dalam proses

koding, dilakukan melalui diskusi dengan ahli dan

studi literatur. Proses perbaikan sistem kerja tidak

terlepas dari sebuah proses transfer teknologi,

Jupriyanto(2012) merumuskan faktor – faktor

makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses

transfer teknologi diantaranya

a. Karakteristik teknologi (Teknologi)

b. Karakteristik komunitas yang akan menerima

transfer teknologi, sepertiskill, tingkat

pendidikan dan pengetahuan, sikap dalam

bekerja (Karakteristik pekerja)

c. Karakteristiksosio – ekonomi (Karakteristik

Pekerja)

d. Karakteristikmanajerial (karakteristik

Organisasi kerja)

e. Sikapdalam bekerja dan dalam organisasi

(Karakteristik Pekerja)

f. Karakteristik Budaya Perusahaan, seperti sikap

dalam bekerja, sikap dalam teknologi, sikap dan

kebiasaan dalam organisasi kerja, orientasi dan

motivasi untuk sukses dan maju (Karakteristik

organisasi kerja)

MenurutAbarghouei (2012) proses evaluasi

kinerja dan intervensi ergonomi hingga tercipta

proses intervensi ergonomi yang menyeluruh di

dasarkan pada empat hal, yaitu : Daya dukung

manjemen dan logistic, daya dukung pengetahuan

atau peningkatan kemampuan, partisipasi dan

evaluasi pegawai, serta pengembangan SDM.

Menurut Kleiner (1999) makroergonomi

merupakan sub disiplin ilmu kebaruan dalam proses

intervensi ergonomi yang menggabungkan antara

faktor teknologi, manusia(pekerja, organisasi kerja,

dan lingkungan kerja serta interaksi antara empat

komponen dalam makroergonomi sistem tersebut.

Berdasarkan proses diskusi dan literatur tersebut,

maka peneliti mencoba mengelompokan faktor

makro ergonomi dalam proses transfer teknologi

kedalam setiap aspek elemen dalam makroergonomi.

Berikut adalah pengelompokannya :

Tabel 1. Pengelompokan faktor dan elemen dalam

makroergonomi untuk sistem koding

Tabel diatas dijadikan sebagai acuan untuk

pengkodean pada proses analisis data.

Tahapan Analisis Data

Analisis yang diakukan adalah analisis kualitatif.

Dalam penelitian kualitatif. Data coding atau

pengodean data memegang peranan penting dalam

proses analisis data, dan menentukan kualitas

abstraksi data hasil penelitian. Hal ini mengacu pada

metode penelitian yang digunakan. Sistem coding

dilakukan untuk mengkategorisasi dan memetakan

faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses

perbaikan sistem kerja dengan pendekatan

makroergonomi. Berikut adalah tahapan proses

analisis data :

Gambar 2. Tahapan analisis data

Faktor Elemen dalam faktor

Etos kerja

Karakteristik sosial budaya

Skill dalam bekerja

Kemampuan menerima perubahan

Tingkat pendidikan

Manajemen

Visi organisasi

aturan kerja

Sarana prasarana

Budaya Kerja

Sifat Organisasi

Teknologi Sifat teknologi

dukungan pihak luar

Keberpihakan pemerintah setempat

Budaya masyarakat setempat

penerimaan masyarakat terhadap aktifitas IKM

SDM

Organisasi Kerja

Lingkungan Kerja

Survey kondisi

eksisting di

lapangan

Identifikasi masalah

secara umum

Interview dengan

pihak manajemen dan

pengrajin

Observasi kondisi di

tingkat pengrajin

Mendeskripsikan hasil

wawancara dan temuan di

lapangan

Mengkategorisasi secara khusus

berdasarkan elemendalam setiap

faktor makroergonomi

Mengkategorikan elemen kedalam

faktor 4 faktor dalam makroergonomi

Studi Literatur

Page 278: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

266

HASIL DAN PEMBAHASAN Perbaikan system kerja tidak terlepas dari

proses transfer teknologi yang ada di dalamnya.

Proses transfer teknologi pada skala industri kecil

dan menengah (IKM) pada prinsipnya memiliki

tuuan yang sama seperti proses transfer teknologi

pada industri skala besar, yaitu memberikan nilai

tambah pada produk yang dihasilkan serta mampu

meningkatkan keuntungan dan keunggulan dari

usaha yang dilakukan. Namun ada beberapa aspek

yang membedakan. Hal ini dikarenakan IKM

memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan

dengan industri skala besar. Berikut adalah

karakteristik UKM berbasis olahan pangan menurut

Rahmah dan Purnomo (2014):

Tabel 2. Karakteristik UKM di level pedesaan

Gambar 2. Kategori Organisasi kerja

SDM MODAL MANAJEMEN BAHAN BAKU TEKNOLOGIPROSES

PRODUKSI

Skill rendah Masih minim,

dan terkadang

bergantung

pada pihak

luar

Belum kuat

menerapkan

aturan organisasi

kerja

Masih

bergantung pada

musim panen

Penggunaan

teknologi masih

minim

Berbasis

pemberdayaa

n masyarakat

sekitar

Tingkat

pendidikan

rendah

Belum

berorientasi pada

sistem produksi

bersih dan aman

pada lantai

produksinya

Belum memiliki

sistem

penyimpanan

bahan baku yang

baik

Penggunaan

masih

berorientasi

pada

produktifitas,

bukan pada sisi

lainnya

(Keamanan

kerja pekerja)

Pemahaman yang

rendah terkait

proses produksi

yang berorientasi

kualitas

Visi dan misi tidak

terdokumentasika

n dengan jelas

Kemampuan

mengadopsi

teknologi baru

atau cara baru

rendah

Page 279: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

267

Pernyataan Kategori KodeSub Kode

alat produksi terbatas Teknologi Sifat teknologi Kapasistas produksi

sistem kerja produksi masih acak dan tidak

mempertimbangkan aspek ergonomi dalam proses Organisasi kerja aturan kerja design sistem kerja

Belum memiliki gerai produk Organisasi kerja Sarana prasarana Sarana pendukung

kurangnya dukungan dari aparat pemerintah desa Lingkungan kerja dukungan pemerintah dukungan pemerintah

standarisasi kualitas produk secara tertulis belum Organisasi kerja aturan kerja Standari kualitas produk

Adanya keinginan memiliki produk dengan label dan

desain kemasan yang baikOrganisasi kerja Budaya kerja Etos Kerja

kemudahan menerima saran dan masukan dari

pendampingOrganisasi kerja Sifat organisasi Penerimaan terhadap hal baru

Prosedur keamanan kerja belum ada Organisasi kerja aturan kerja Prosedur kerja

Belum adanya manajemen persediaan bahan baku Organisasi kerja Manajemen Manajemen persediaan

Belum adanya sistem produksi berorientasi pada

kualitasOrganisasi kerja Manajemen Manajemen proses

Lingkungan masyarakat sekitar yang dapat diajak

kerjasamaLingkungan kerja budaya lingkungan kerja Budaya kerjasama

lingkungan sekitar yang memiliki banyak pengrajin Lingkungan kerja budaya lingkungan kerja Budaya berwirausaha

Kebutuhan akan pelatihan dan peningkatan skill Organisasi kerja Sifat Organisasi Kemampuan menerima hal baru

Belum memiliki visi dan misis dari usaha yang

dilakukanOrganisasi kerja visi organisasi Perencanaan jangka panjang

Ada upaya memperbaiki kualitas produk SDM Kemampuan menerima

perubahanMotivasi pribadi

Pernyataan Kategori Kode Sub Kode

Adanya motivasi dalam diri sendiri untuk maju dan SDM Etos kerja Motivasi pribadi

Pengrajin tidak saling berkordinasi dan bekerjasama SDM Karakteristik sosial Budaya Budaya kerjasama

pengrajin bebas menghasilkan produk tanpa adanya

perencanaan dalam segmentasiOrganisasi kerja visi organisasi Segmentasi pasar

Pengetahuan akan teknologi masih sangat rendah SDM Skill dalam bekerjaKemampuan dalam mengetahui

teknologi baru

Teknologi yang digunakan masih manual Teknologi Sifat teknologi Teknologi sederhana

Mampu menerima teknologi yang mudah digunakan

dan biaya terjangkauSDM

Kemampuan menerima

perubahan Motivasi pribadi

Adanya pelatihan dalam penggunaan teknologi baru

dari pihak luar sebagai pendampingLingkungan kerja Pendampingan

Pendampingan

Tingkat pendidikan rendah SDM Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan

Mengharapkan adanya pendampingan berkelanjutan Lingkungan kerja PendampinganPendampingan dalam proses

adopsi teknologi

Mengharapkan adanya kerjasama dalam pemasaran Lingkungan kerja Pendampingan Pendampingan pemasaran

Mengharapkan dibukakan jejaring dalam pemasaran Lingkungan kerja Pendampingan Pendampingan pemasaran

Belum memiliki aturan dalam bekerja Organisasi kerja Manajemen Aturan kerja

belum memiliki labeling produk Organisasi kerja visi organisasi brandingBelum memiliki alat untuk menghasilkan kemasan

dan produk yang lebih baikTeknologi Sifat teknologi

Teknologi sederhana

Adanya keinginan memperbaiki kemasan produk

hingga layak pasar yang lebih luasSDM

Kemampuan menerima

perubahan Motivasi pribadi

belum memiliki pengetahuan akan desain produk

yang baikSDM Skill dalam bekerja

Kemampuan dalam mengetahui

teknologi baru

sistem produksi masih berdasarkan pesanan Organisasi kerja Manajemen manajemen produksi

belum memiliki jejaring kerjasama dengan pihak lain Organisasi kerja Manajemen Manajemen pemasaran

Belum memiliki struktur organisasi kerja Organisasi kerja Manajemen Manajemen organisasi

memiliki kemampuan dalam menciptakan produk

baru yang bervariasiSDM Skill dalam bekerja

Kemampuan dalam mengetahui

teknologi baru

bahan baku dari potensi lokal setempat Organisasi kerja ManajemenManajemen persediaan bahan

baku

sebagian bahan baku diperoleh dari kebun milik

sendiri atau kerabatOrganisasi kerja Manajemen

Manajemen persediaan bahan

baku

belum ada kerjasama dengan pemiliki lahan yang

menyediakan bahan bakuOrganisasi kerja Manajemen

Manajemen persediaan bahan

baku

ongkos produksi tinggi karena produksi berdasarkan

pesananOrganisasi kerja Manajemen manajemen produksi

Page 280: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

268

Gambar 3. Kategori sumberdaya manusia Gambar 4. Kategori Lingkungan Kerja

Dari hasil pengkodean diperoleh kombinasi

faktor dalam makroergonomi yang mempengaruhi

sebuah transfer teknologi dalam perbaikan sistem

kerja dalam Gambar 4 di atas. Aspek organisasi kerja

memegang peranan yang sangat penting dalam

mendukung keberhasilan proses transfer teknologi

yaitu sebesar 51 %. Hal ini berarti bahwa

keberhasilan dari sebuah proses transfer teknologi

pada IKM akan ditentukan pada kesiapan organisasi

kerja pada IKM. Berikut adalah penjabaran mengenai

aspek Organisasi kerja yang dimaksud adalah aspek

manajemen, visi organisasi, Aturan kerja, Sifat

organisasi, Budaya kerja, serta sarana dan prasarana.

Aspek sumberdaya manusia menjadi aspek

penting lainnya yang harus menjadi pertimbangan

dalam sebuah transfer teknologi. Hal ini menunjukan

bahwa aspek SDM memiliki posisi strategis dalam

proses transfer teknologi, beberapa hal yang menjadi

pertimbangan adalah terlihat bahwa sub aspek dalam

kategori SDM yang memiliki tingkat kepentingan

terbesar adalah kemampuan menerima perubahan

(hal baru), serta skill atau kemampuan dalam bekerja.

Hal ini tentu menjadi landasan teoritis bagi metode

yang akan diterapkan dalam pengembangan IKM.

Pendekatan secara menyeluruh serta pola – pola

pendampingan menjadi catatan penting bagi proses

transfer teknologi agar mampu diterima

perubahannya oleh IKM. Kemampuan dalam bekerja

pun sangat berpengaruh, karena

Sedangkan aspek Teknologi menjadi aspek

terkecil sebagai factor penentu keberhasilan dari

penerapan teknologi. Hal ini tentu memberikan

penjelasan tersendiri bahwa melalui pendekatan

makroergonomi,dalam proses pengembangan IKM

dengan transfer teknologi, teknologi itu sendiri

seharusnya tidak menjadi fokus bagi pelaku IKM

atau pendamping IKM. Namun penyiapan aspek

organisasi kerja, SDM, serta lingkungan kerja,

menjadi hal lain yang perlu diperhatikan dalam

pengembangan IKM.

Rekomendasi alternative teknologi atau perbaikan yang akan di transfer dengan pendekatan

makroergonomi

Tabel 4. Rekomendasi perbaikan sistem kerja

KESIMPULAN

1. Terdapat beberapa factor dalam proses

transfer teknologi pada IKM berbasis

komoditas local melalui pendekatan

makroergonomi, yaitu organisasi kerja,

SDM, Lingkungan kerja dan Teknologi.

Faktor Alternatif teknologi atau perbaikan yang di transfer

Membuat dan menerapkan aturan dalam bekerja secara tertulis

Membuat kerjasama dengan penyedia bahan baku

Membuat visi organisasi yang jelas

Melakukan kerjasama dengan pihak pendamping dalam menjejaringkan pemasaran produk

Membuat program peningkatan softskill dan hardskill dalam menciptakan produk baru

Membuat program peningkatan softskill dan hardskill dalam menciptakan produk baru

Ciptakan suasana kerja yang nyaman bagi pekerja

Jalin komunikasi yang baik dengan aparat pemerintah setempat

Berikan program pemberdayaan bagi masyarakat setempat

Pendampingan yang berkelanjutan

Perhatikan kemudahan teknologi bagi calon pengguna

Dilakukan penjelasan akan pentingnya teknologi yang akan ditransfer

Lakukan pendampingan dalam pengoperasian dan pemeliharaan

Organisasi kerja

SDM

Lingkungan kerja

Teknologi

Page 281: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

269

2. Hasil penelitian menunjukkan, factor yang

memegang tingkat kepentingan yang cukup

besar dalam proses transfer teknologi adalah

organisasi kerja dan SDM. Tentu hal ini

menjadi pertimbangan yang harus

diperhatikan dalam proses transfer teknologi

pada IKM.

3. Faktor teknologi menjadi faktor terakhir

yang memiliki tingkat kepentingan yang

paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa

melalui pendekatan makroergonomi

penerapan teknologi baru bukan menjadi satu

– satunya cara yang dapat dilakukan untuk

memperbaiki sistem kerja guna

meningkatkan produktifitas pada IKM

DAFTAR PUSTAKA

Abarghouei, Nasab. 2012. An Ergonomic Evaluation

and Intervention Model: Macro ergonomic

approach. International Journal of

Scientific & Engineering Research,

Volume 3, Issue 2

Carayonand Smith. 2000. Work organization and

ergonomics. Applied Ergonomics 31

(2000) 649}662

Juprianto, Iridiastadi, Zutalaksana, and Nur Bahagia

S. 2013. Indonesian Technology Transfer

Successful Model with a Macroergonomics

Framework. Journal of Applied Sciences

Research, 9(4): 2520-2525.

Kleiner, 1999. Macroergonomic Analysis and Design

for improve safety and Quality

Performance. International Journal Of

Occupational Safety and Ergonomic. Vol :

5, No.2, 217-245.

Stanton, et all. 2005. Handbook of Human Factors

and Ergonomics Method.Washington DC :

CRC Press.

Page 282: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

270

Page 283: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

271

The Role of Communication Networks in Group Sustainability: A Case Study in

Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia

Jaka Sulaksana

Faculty of Agriculture, Majalengka University, Majalengka

ABSTRACT

Keywords:

Communication

network

collective action

sub leader

cut-point

bridge

The research was conducted in Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia.

The Mekar Jaya Group underwent four phases in its lifetime. Each phase had its own

characteristics and processes, including the election and succession of a leader,

collective action and conflict. These characteristics and processes implied that there

was a communication network within the group in each phase. The current study

describes the network, the role of the leader in the network and the role of the network

in group sustainability. The results show that there were some bridges in the network

that helped the group to survive after conflict. Most of the bridges or cut-points were

sub-leaders. There is also a shift of basis of clique formation from neighborhood to

closeness of relationship

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 284: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

272

INTRODUCTION

Group sustainability has become an

important condition for the continuity of society-

empowerment programs in relation with poverty-

reduction programs. One model of group

sustainability is the Mekar Jaya Group (MJG), which

is located in Majalengka regency, West Java

Province, Indonesia.

The MJG experienced four group leader

successions, resulting in four group phases of life.

These leaders were involved in cooperating with the

outer part. Along that time, the Mekar Jaya Group

(MJG) was a farmers group that accepted external

aid. Since 1989, the Mekar Jaya Group accepted aid

from university and the local government.

Cooperation with outer part demonstrated that there

was a communication process flowed from the

outside to the inside of the group. It was then

delivered to all members in the group..

The following question remains: how did the

group manage the communication network to

implement programs and solve conflict and then

enter the latter phase? In order to answer this

question, it is important to observe the

communication network in each phase.

Therefore, the current work addresses the

following questions:

1. What was the communication

network structure within the group in each

phase?

2. Did within group communication

patterns influence the group’s sustainability?

3. What was the role of the leader in the

within group communication flow in each

phase?

A social network is a structure that is composed

of a set of actors, some of whom are connected by a

set of one or more relations. Social structures can be

represented as networks, sets of nodes (or social

system members) and sets of ties depicting their

interconnections (Wellman & Berkowitz, 1988, p.4).

Historical overviews of the origins and diffusions of

network principles have been presented by Freeman

(2004), Scott (2000), and Knox, Savage, and Harvey

(2006).

In Bavelas’ design (Bavelas, 1950), each in-

group individual is given certain information. The

group is given the task of assembling this

information, using it to make a decision, and then

issuing orders based on this decision. The critical

feature of the design is that the group members are

separated from one another and can communicate

only through channels that can be opened or closed

by the member. This feature implies that the

communication network is the main element of the

social network. Jacobson and Seashore (1951)

proposed that the structure of an organization can be

conceptualized and described in terms of the regular,

work-related, interpersonal communication patterns

that are established between pair of individuals.

The methodology for the approach and a set of

structural concepts for classifying network data was

described in detail by Weiss and Jacobson (1955) in

a report on an application of the procedure in a

government agency. There are several steps in

network analysis. The first step is to obtain a record

of regular dyadic linkages by asking members to list

the names of persons in the organization with whom

they work most closely. Next, the reported contacts

are compared against each other in a matrix to

determine reciprocation of contact (mutual choice)

among respondents. Only reciprocated contacts are

used to define the communication network. The last

step in the process allows one to separate out the

groups and to classify all members of the

organization into one of the following role types:

group member, brokerage (bridge), and isolate.

Rogers and Kincaid (1981) stated that a

communication network is the pattern of varying

communication elements that are demonstrated by

communication flow patterns in a system. The

analysis of a communication network may include

the following: (1) identifying a clique in the system;

(2) identifying the role of a person in the system; and

(3) measuring communication network indicators,

such as the degree of openness and the integration of

the system, including centrality degree.

In order to measure or analyze the network, the

following process is conducted. As mentioned, the

first step is to obtain a record of regular dyadic

linkages by asking members to list the names of the

persons in the organization with whom they work

most closely. Next, the reported contacts are

compared against each other in a matrix to determine

reciprocation of contact (mutual choice) among

respondents. This matrix is called the adjacency

matrix with symmetric relationships. An example is

displayed in table 1.

Table 1. The adjacency matrix

1 2 3 4 5 6 7

1 - 1 1 0 0 1 1

2 1 - 1 1 1 1 0

3 1 1 - 1 1 0 0

4 1 1 1 - 1 1 0

5 1 0 1 1 - 0. 1

6 1 1 0 1 0 - 1

7 1 0 0 0 1 0 -

Page 285: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

273

Table 1 shows the relationships among

members. When one member has a reciprocal

relationship with another member, the line is coded

as 1 for both individuals (e.g., the relationship

between node 1 and 2 is a reciprocal relationship).

However, if one member has no reciprocal

relationship with another member, the line is coded

as 1 and 0 (e.g., the relationship between node 1 and

node 4). From this matrix, we can display the digraph

of the communication network. Every member is

symbolized by a node and connected with a line.

In relation to the nodes of relationships in the

network structure, the concept of the star is also

typically used. Ognyanova, et al (2010) stated that the

star is the actor or node that has many connections or

is highly central. In cliques, many stars should exist

because there is a leader in a clique, and that leader

was the star. However, an absolute definition of the

star for this paper is needed because numerous nodes

have many connections. Therefore, the number of

connections that the star can have should be

determined. It can be seen from the adjacent table that

several nodes could be stars.

Table 2. The Distribution Connections of Nodes Number of

reciprocal

connections

Number of nodes

Phase I Phase II Phase

III Phase IV

0 0 0 2 0

1 0 11 23 7

2 2 9 8 15

3 15 4 6 6

4 2 7 4 2

5 0 4 1 0

6 1 1 0 1

7 0 0 0 0

8 2 0 0 0

9 1 0 0 0

10 1 2 1 1

11 0 1 0 0

12 0 0 1 1

13 0 0 0 0

Total

Number of

Stars

5 4 2 3

Source: Primary data, 2002 and 2011

Based on Table 2, the total number of stars in

each phase can be defined and reflect the opinion

leader in each phase in reality after combining the

result of visual graph analysis in result section and

qualitative research in the field. In phase I, there was

a leader of group (node 1) and there were 4 opinion

or sub leaders (node 8,9,22, and 28). These leaders

have their own cliques. The leader has 8 mutual

connections in group. The sub leader 8 has 10 mutual

connections, the sub leader 9 has 6 mutual

connections, the sub leader 22 has 8 mutual

connections, the sub leader 28 has 9 mutual

connections. Therefore, the total number of star is 5.

In phase II, there were still five opinion leaders

and one of them became a group leader. The sub

leader 1 has 6 mutual connections, the sub leader 8

has 11 mutual connections, the sub leader 9 has 5

mutual connections, the sub leader 22 has 10 mutual

connections, the sub leader 28 has 10 mutual

connections. However, only 4 cliques occurred in

group because the opinion leader 1 and 9 united in

one clique in this phase and the sub leader 1 became

the clique leader. The sub leader 9 tends to have a

function as coordinator or facilitator among the sub

leaders. Therefore the total number of stars in phase

II is 4.

In phase III, there was a decrease of sub leader

number which is reflected by the decrease of the

clique number. In this phase, only there are two

cliques and two sub leaders. They were node 9 and

22. Node 1 and 8 were not the sub leaders again

because the conflict between them and their follower

joined to another clique and in the reality, these ex-

sub leaders reduced their activity in group, especially

the node 8, he started inactive at the end of phase III

and became fully inactive in phase IV. The ex sub

leader 28 also has loss their followers because most

of his followers are the free riders. The sub leader 9

has 10 mutual connections and the sub leader 22 has

12 mutual connections. It is clearly that these nodes

are the stars.

In phase IV, there were three sub leaders. They

were the sub leader 9,22,28. The sub leader 9 has 6

mutual connections, the sub leader 22 has 12 mutual

connections, and the sub leader 28 has 10 mutual

connections. These leaders are the leader of their

cliques and became the stars.

Clique analysis to investigate group structures

helps researchers understand how cohesion benefits

group members by providing advice and instrumental

support and how an extensive reliance on cliques

restricts. A clique is a maximal complete sub-graph

of three or more nodes, all of which are directly

connected to one another, with no other node in the

network having direct ties to every member of the

clique (Knoke & Yang, 2008).

Rogers and Kincaid (1981) defined the clique

as a subsystem whose elements interact with each

other relatively more frequently than with other

members of the communication system. Individuals

are placed into cliques based on the following three

criteria:

1. Each clique must have a minimum of three

members.

2. Each clique member must have at least 50

percent of his/her links within the clique (the

average number of links within the clique is

Page 286: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

274

taken from the number of links and then divided

by the number of clique members).

3. All clique members must be directly or

indirectly connected by a continuous chain of

dyadic links within the clique.

The current paper used the term clique

proposed by both Knoke and Yang and Rogers and

Kincaid, but with modifications on the third criteria

that all clique members are directly or indirectly

connected by reciprocal links or non-reciprocal links

within the clique. However, exceptions occur in real-

life situations. If one criterion is not satisfied, but the

other criteria are satisfied, the network can be

considered to be a clique.

The network analysis field has devoted

considerable energy to developing methods for

identifying central nodes in a network that are

important to diffusion and other actions that occur in

networks (Borgatti and Everett, 2006). In contrast,

Granovetter (1973) introduced the concept of

bridging, which emphasizes the importance of

structural bridges for diffusion. According to

Granovetter (1973, 1982), bridges reduce the overall

distance between individuals in a network, enabling

information to spread more rapidly throughout the

network.

In the present paper, the bridge is the link, and

the node is referred to as the cut-point. Furthermore,

the definition of the bridge is expanded to not only

connect two cliques, but also to connect one node and

the network. The expansion is made because there

were some nodes (free riders) in the phase III group

that connect to the group through members that

functioned as cut-points. Thus, the types of bridge in

this paper are the following: 1) clique-bridges that

connect between clique and clique and 2) node-

bridges that connect a node and network. Here, a

node is an isolated member if it is disconnected from

the network. It can be concluded that a cut-point is a

node that has the line that can connect between a

network and isolated node or clique and clique. A

bridge is a line that belongs to a cut-point that can

connect between the network and isolated node or

clique and clique.

The current paper also presents a description of

the communication network in one group along its

life (over the long term) and explains the influence of

the network on group sustainability. The specific

method used was some questions about the closeness

of the relationship of members in each phase. This

study presents an explanation of the relationship

between collective action and network change within

a group. It continues the previous study by Tacaks,

Janky and Flache (2008). They studied network

change over time and its relationship with collective

action through research on the connected theme and

proposed the model of social control and collective

action. The previous paper was a secondary case

study, whereas the current paper is a field work study.

In fact, none of the previous studies on network

change over the life span utilized field work.

MATERIALS AND METHODS

This case study generates a descriptive

explanation of a group communication network. The

location of research was Cangkring hamlet of

Kadipaten Village, Kadipaten Subdistrict,

Majalengka Regency, West Java Province. The

location was chosen because there were many

programs and internal conflicts within the group that

were resolved by the communication network.

The research population included all 69

members of the Mekar Jaya Group. The research

sample included the entire population, which

increased the significance of the results (complete

enumeration). The number of members varied

according to the phase to which they belonged. The

unit of analysis was the communication network in-

group.

The data were collected through interviews,

field work and focus group discussions. Surveys were

administrated as in-person interviews with an

emphasis on the member’s description or explanation

on a questionnaire that was tested with selected

members in each leadership era (the group

experienced four leadership changes). Members were

asked to recall the relationship structure within the

group. The primary questions were as follows: 1)

Who were the people in the subgroup (neighborhood)

with whom you often discussed matters important to

you? 2) Who were the people in another subgroup

(neighborhood) with whom you often discussed

matters important to you? Respondents were also

asked how often they talked to each individual, on

average, and the various types of role relations

(relative, neighbor, and friend) present in those cases.

The reliability analysis was conducted using

repeated method and produced Jaccard’s coefficient.

In the first interview, the informant who was checked

was 10% of the original sample (i.e., 7 names). The

second interview yielded 6 names, and 5 persons

were chosen at both interviews. Jaccard’s coefficient

= 5/(5+2+1) = 0.63. The reliability result also

reflected the validity of items. The informants should

be weighted by their reliability (Knoke & Yang,

2008).

Furthermore, group discussions were held to

gather qualitative information about the group. The

field work was conducted by the researcher. Data

collection took place in 2002 and was updated in

Page 287: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

275

2011. A visual (graph) display was used to show and

analyze the network using Netdraw.

The goal of this research was to determine

how the communication network structure occurs

within a group. This structure is important because it

is expected that the communication network structure

had a strong influence on how the group overcame

conflict and maintained the group process.

The last step in the process allowed us to

separate out the groups and to classify all members of

the organization into one of the following role types:

group member, brokerage (bridge), and isolate. Next,

calculations such as centrality degree were

conducted.

Centrality Degree (CD) measures the extent

to which a node connects to all other nodes in a social

network. For a non-directed graph with g actors, the

degree of centrality for actor (node) i is the sum of i’s

direct ties to the g – 1 other actors. In matrix notation,

g

CDA (Ni) = βˆ‘xij (I β‰  j)

J=1

Where CDA (Ni) denotes centrality degree for

node i and βˆ‘xij counts the number of direct ties that

node i has to the g – 1 other j nodes ( I β‰  j excludes

i’s relation to itself). After calculating the centrality

degree of actors, we calculated the group centrality

degree. Unlike actor centrality degree, group

centrality degree measures the extent to which the

actors in a social network differ from one another in

their individual centrality degree. The centrality

degree of group closely resembles measures of

dispersion in descriptive statistics, such as the

standard deviation, that indicate the amount of

variation or spread around a central tendency value.

Freeman (1979) proposed a generic measure of group

centrality degree:

g

βˆ‘ [CA (N*) – CA (Ni)]

i=1

CDG = _________________________

g

Max βˆ‘ [CA (N*) – CA (Ni)]

i=1

Where CA (N*) denotes the largest actor

centrality degree observed in a network, and the CA

(Ni) are the centrality degrees of the g-1 other actors.

Thus, the numerator sums the observed differences

between the largest actor centrality and all others.

The denominator is the theoretically maximum

possible sum of those differences.

GROUP DESCRIPTION

Group Collective Action

The Mekar Jaya Group life history includes

four phases of group life. Each phase had its own

collective action as one of manifestation of network

communication.

In phase I (1989-1994), the collective action

was the planting of trees that had leaves for feeding.

Trees were planted along the Cilutung River. Some

of the small trees could be harvested within six

months to one year, whereas others could be

harvested after several years.

Another collective action, gathering and

selling sheep feces, was also started in phase I. Many

farmers in the upland area needed it for become

fertilizer. They typically stacked the feces near a stall

and let it dry. After drying, it would be placed in

sacks, collected by the sub group leader, and sold to

the buyer. The group members agreed to a price of

IDR 15,000 per sack. The frequency of feces

collection was once every three months. One stall

could produce six sacks, on average, resulting in 180

sacks from all stalls owned by the active members.

The last collective action was the group

meeting. During group meetings, all or a

representative of sub-group members met and

discussed the issues that the group faced. Meetings

were held every month. The selection of a new group

leader was also facilitated by the group meeting, as

the incumbent suggested a new name and the

members voted for him.

In phase II (1995-1997), the collective action

was preparing the grass for sheep feeding. Because of

the large number of sheep, the group planted grass

along the river bank. The land along the river bank

was owned by the village. The group could plant

grass on this land through the approval of the village

head. The land use was divided and distributed to

subgroup members.

The group meeting was also conducted in

phase II, but it was not held as often as was the case

in phase I. The group meeting was held when the

members approved the new leader in this phase.

Then, at the end of the phase, the succession of the

phase II leader occurred, resulting in the beginning of

phase III.

In phase III (1997-2002), the utilization of

land for planting grass did not seem to satisfy the

necessity of sheep feeding, especially when the dry

season arrived. The group initiated grass collection

from remote locations with an abundance of grass

stock. The chosen location was Sumber village, at

Sumber sub district, Cirebon. They often used the

truck that was owned by the sugar factory, but also

sometimes rented a truck that was owned by the

villagers to travel to Sumber. They left in the morning

and returned in the afternoon.

Page 288: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

276

In phase III, the other collective action was

the arisan. Arisan or ROSCA (rotary savings and

credit association) was conducted in the third year of

the project. Each member paid IDR 5,000 per month

to the sub leader. Every month, the group held a raffle

in which four members won. However, the

implementation of arisan could not exist in the long

term because group conflict arose.

The group meeting was again promoted. It

started with the succession of the leader from phase

II to the new leader in phase III, followed by the

division of the group into sub-groups to make the

program run effectively. However, halfway through

phase III, conflict arose when the return of aid did not

run smoothly. The impact was that the program could

not be implemented effectively.

From phase IV until now, the group has

revitalized the group size. In phase IV (2002-2009),

the group meeting was held when the group decided

to revitalize the group size by reducing the group

membership. Planting grass at the river bank

continued to satisfy the needs of feeding. The last

action that is still ongoing was the gathering of sheep

feces and selling it to the farmers in the upland area

of Majalengka.

The Change in Group Members

The Mekar Jaya Group experienced four

periods of change in size. The phase I group included

30 people (all of them were active members until

phase IV), the phase II group included 50 people

(consisting of 30 people of phase I and 20 new

members, 12 of which became active members and 8

of which became inactive members), the phase III

group included 69 people (consisting of 30 people of

phase I, 20 people of phase II and 19 new members

who became inactive and left the group in the latter

phase) and the phase IV group included 34 people.

These data were updated in 2011 as following.

Data were collected in 2002, 2009, and 2011.

In 2002, 69 individuals (all members) were

interviewed, and the units of analysis were group

dynamics and the group communication network. In

2009, 42 people (phase IV group) were interviewed,

and the unit of analysis was group dynamics. In the

2009 data collection, the phase IV group included 39

individuals, with 27 people from the phase I group

and 12 people from the phase II group. In 2011, 34

people (phase IV group) were interviewed, and the

unit analysis was the group communication network.

This final membership in Phase IV included the

Phase I group (24 people) and the Phase II group (10

people). Six members from phase I recently passed

away and 2 members from phase II are no longer

members, as they have moved to another village

since 2010. No members from the Phase III group

remained in the group.

RESULTS AND DISCUSSION

Communication Network in Phase I

The group accepted aid (in the form of sheep)

from Bogor Agricultural University. The leader of

phase I was elected in the group meeting. The

meeting was held at hamlet hall (Cangkring hamlet

hall). All of the members attended the meeting and

not exception the BAU officer. This meeting is called

musyawarah. β€œMusyawarah” is a term in Indonesian

culture that means a group discussion for solving a

problem. In musyawarah, there is no voting. The

members release the issue, and then by some

considerations, all of the members agree on a choice

through their opinion leaders, even if all members

attend the meeting. In the MJG meeting, the

members agreed to choose leader A (phase I leader)

as the group leader. One reason for this choice was

that leader A actively encouraged the villagers to

make a group. Another reason was that leader A was

assumed as the brave man in the hamlet. He typically

did not hesitate to release the opinion and statement

for the deed. However, this characteristic later

became his weakness in the conflict between him and

the village apparatus. He made a choice that was

contrary to the decision of the village head.

Later, the group meeting was used to discuss

any issue that the group faced, and this was

encouraged by the BAU officer. He often used the

group meeting to deliver his knowledge and new

innovation to the members. The group meeting was

typically conducted monthly in leader A’s house.

The members of the group were the

Cangkring hamlet residents. Some people were

invited by leader A, supported by the BAU officer to

build the group. They invited their neighbor, who was

also involved in sheep husbandry, from a different

neighborhood or Rukun Tetangga (RT). This

decision was based on the suggestion of the BAU

officer to increase the economic community. Of the

6 RTs in the Cangkring hamlet, 4 RTs were chosen

because the residents were primarily farmers and

husbandries. The other RTs’ residents were primarily

vegetable traders and small shop traders. Then, 22

husbandries met together and built the group. They

felt that the group was not complete without the

relationship with sheep traders. Thus, they also

invited 8 sheep traders in the hamlet to join. The final

membership totaled 30 people.

When the group cooperated with the BAU

officer, several programs were planned in relation

with the aid, including planted trees. The group also

had a division of roles. The leader chose one

Page 289: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

277

1

2

3

4

56

7

8

9

10

11

12

13

1415

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

secretary and one treasurer to manage the project.

After they chose the leader, secretary and treasurer,

they chose the group location near an irrigation pool.

The group meeting (musyawarah) and the structure

of the group demonstrate the flow of communication

in the group.

The communication network feature in phase

I is shown by figure 1. Each node represents a

member. The leader A is node 1, the secretary is node

9 and the treasurer is node 8. Figure 4 shows that

there was no bridge in the network. The network was

stable. Figure 1 also shows that there were some stars

within the group. The stars are node 1, 8, 9, 22, and

28. Focus group discussion revealed that all of these

nodes became the opinion leader in their sub groups.

In phase I, the sub groups were informal.

Note: :RT 03 ; : RT 04 ; : RT 05; : RT 06

;

: non-reciprocal tie;

: reciprocal tie

Fig 1. Communication Network in Phase I

There were four cliques in phase I’s network

structure (refer to the criteria for cliques in the

introduction):

1. Clique 1: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10

2. Clique 2: 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16

3. Clique 3: 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23

4. Clique 4: 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30

Four cliques were constructed because there

was a dyadic or reciprocal relationship (composition

of complete sub-graph) among some members and

separated with another member. One clique had the

main complete of sub-graphs. The clique could

consist of the main complete of sub-graphs (e.g.,

clique 2, clique 3, and clique 4) or it could consist of

the main complete of sub-graphs and non-complete

of sub-graphs because of non-reciprocal ties (e.g.,

clique 1). Clique 1 had main complete of sub-graphs.

That is, the sub-graphs were built from the triangle 1-

2-4, 1-2-3, 1-3-9, and 1-9-10. However, other

triangles were built from non-reciprocal ties,

including 1-4-5, 1-5-6, and 1-7-1, but these triangles

were also connected with the main sub-graphs of

clique 1. Thus, they were included in clique 1. The

basis of clique formation was the RT. There were

four RTs (RT 03, RT 04, RT 05, RT 07) as the basis

of clique formation.

The clique criteria were not completely

satisfied perfectly. Of the three criteria, only two

criteria were fully satisfied. However, it was

considered as one clique. Node 22 in clique 5 did not

satisfy the second clique criteria because the average

link was only 0.4. However, because it satisfied the

third criteria, it was included in clique 5.

Every opinion leader was linked to the group

leader (node 1). This is clearly shown by the close

relationships among opinion leaders, which tend to

appear as a clique (node 1, 8, 9, 22, 28). It was easier

for the leader to coordinate with other members.

Every program in phase I (the returning of sheep and

the planting of trees) succeeded. In 1995, there was a conflict between leader A and

village apparatus. The resulting group conflict led to a

succession of leadership.

The conflict between Leader A and the village

administrators was due to the plan to move the

location. Leader A, who was not liked by the village

administrators, accused them of seeking a profit from

the land used for housing. The village administrators

realized that if the location of the stalls was moved to

a specific area, the group would receive aid from the

local government. The situation became complicated,

and most of the members supported the plan to move.

Finally, the leader gave up but, he did not want to

continue as the leader because he did not want to be

viewed as a loser, and he nominated his replacement.

However, he retained power in the group, and he

remained active even after the conflict with the

village administrators. He gave his position to the

secretary. This was the beginning of a new phase and

new network structure within the group.

Furthermore, from Table 3 to Table 6 it seen clearly

about total sheep industry which were produced in

group and sheep ownership of cut-points.

IV.2 Communication Network in Phase II

The leader of phase II (leader B) continued

to lead the group after leader A resigned. Leader A

gave his position to leader B (node 9) after the

moving plan conflict. The location was moved to the

land near the Cilutung river bank. Leader B began as

leader after the members’ approval at the meeting.

In this phase, the friendship between leader

B and the treasurer (node 8) became closer. Leader B

felt that the treasurer had more knowledge on

Page 290: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

278

1

23

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

1819

20

2122

23

2425

26

27

28

29

30

31

32

33

3435

3637

38

39

40

41

4243

4445

46

47

48

49

50

managing the group. Due to the treasurer’s

experience in group internships and close association

with a government officer, leader B and another

member often requested his suggestions. Through his

mediation, the group accepted aid from the family

planning coordination body (BKKBN).

In this period, the membership increased

from 30 to 50 people. The additional individuals were

invited by the members. Relative and friendship

relations became the choice of consideration. All of

the opinion leader in the group, including leader B,

the secretary, and the treasurer, invited people from

their neighborhood into the group.

Note: : RT 03; : RT 04; : RT 05; : RT 06;

: non-reciprocal tie;

: reciprocal tie

Fig 2. Communication Network in phase II

There were 5 stars in the network: nodes 1,

8, 9, 22, and 28. As shown in figure 2, there were 6

cut-points in the new structure. These cut-points are

the blue nodes (node 14, 11, 13, 37, 27 and 46). They

appeared when the membership increased and were

some of the individuals who invited new members

into the group. For example, node 46 invited node 47

and node 13 invited node 42. All of the bridges in

phase II were node-bridges. As previously stated, the

relative and friend relation became the consideration

by the members of the group. There were several

reasons for this. First, it was easier to coordinate with

them; second, there was a desire to help brothers and

friends achieve a better life; and third, the priority

was a farmer or husbandry.

The increase in the member population

resulted in the increase in the clique member

population. The basis of clique formation remained

the RT. However, due to the new members invited by

the cut-points, the clique member population

increased. However, a shift occurred when two

members of one RT became members of another

clique (nodes 5 and 10 became members of another

clique). This occurred because of their friendship

relationship.

The cliques were the following:

1. Clique 1: 1, 2, 3,4, 6, 7, 9

2. Clique 2: 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 39, 40, 41,

42, 43, 49, 50

3. Clique 3: 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 44, 45,

46, 47, 48

4. Clique 4: 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 36, 37, 38, 5, 10

Figure 2 also displays that in-group

communication flowed through the opinion leader.

Nodes 8, 9, 22, and 28 helped leader B coordinate the

group. Node 1 also helped leader B. Although node 1

was not active in the management team, his opinion

was considered by those close to him. Therefore,

their close relationship appears as a clique. However,

a comparison of figure 2 and figure 1 shows that

figure 2 is less stable than figure 1. The chain of

communication became longer due to the increasing

group size.

Communication Network in Phase III

The period of phase II was only two years

(1995 – 1997). After the completion of the project,

the aid from BKKBN, the treasurer offered the group

aid from the livestock office, Majalengka regency

government. Leader B and the members accepted it.

At the same time, leader B suggested to the group that

the treasurer would be a proper leader. Leader B

considered himself as the interim leader from leader

A. The members accepted this change in leadership,

and the treasurer became the phase III leader, or

leader C.

In phase III, the group accepted aid from

livestock office of regency. In this period of aid, the

membership increased from 50 to 69 people. The

recruitment of new members was not as effective as

was previously the case. In phase II, one of the

considerations for recruitment was the position of

farmer or husbandry; however, in phase III, this

position was not necessary to become a member.

The goal covered the number that was requested by

the aid.

To facilitate the distribution and use of aid, the

group divided into four formal subgroups. Each

subgroup had a sub leader that was the opinion leader

in the earlier phase. One sub-leader then became the

group leader. He was the phase III leader (the sub-

leader of subgroup 1). The sub-leader of subgroup 2

was the phase II leader, and the sub-leader of

subgroup 3 was the phase IV leader. The sub-leader

of subgroup 4 never became the group leader. The

leader of phase I was not involved in group

management because he had another side job as

security in the sugar factory.

Page 291: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

279

1

2

3

4

5

6

7

89

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

2829

30

3132

33

34

3536

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62 63

64

65

66 67

68

69

Figure 6 shows the communication network

structure within the group. There were 11 cut-points

in the group: points 9, 14, 17, 22, 28, 29, 41, 50, 64,

66, and 67. This is an important position for an

individual because if they were omitted, the network

would be disconnected.

Many free riders are clearly displayed in the

figure, such as nodes 31, 32, 37, and 38. They did

not have a strong intention of being a group member.

Figure 6 also shows the isolated members, node 55

and 65. They did not have a relationship with any of

the other members. They were unskilled and less

motivated members, and none of them owned sheep.

As membership increased, the centrality of

the group dispersed. In addition, an internal conflict

arose and made the condition worse than it had

previously been. At the end of the group phase, it was

difficult to maintain control, and members were

divided into several cliques.

Figure 6 demonstrates that node 9 and 22 had

the most reciprocated relationships with the other

members. They were the leader of subgroups. Node

9 was the leader of phase II, and node 22 was the

leader of phase IV. These nodes became the stars.

Thus, the number of stars decreased from that in the

earlier phase because of the reduced power of the

opinion leader and the increased number of free

riders. These free riders were not active in the group.

Nodes 9 and 22 were also clique-bridges that

connected two cliques, clique 2 and clique 3. This

indicates that they had relationships with members

who were not in their clique. It also implies that they

had a strong influence on the communication flow

within the group. They had the ability to influence the

opinion of their clique members and other clique

members.

Figure 6 also shows that only node 8, the sub

leader, did not act as the bridge. He was the leader C.

The internal conflict began due to a conflict between

the leader of phase I (node 1) and the leader of phase

III (node 8) concerning new member recruitment.

Note: : RT 03 ; : RT 04 ; : RT 05 ; : RT 06

;

: non-reciprocal tie ;

: reciprocal tie

Fig.3. Communication Network in Phase III

after the conflict

The basis of clique formation had shifted. In previous

phases, the basis was RT (phase I) and RT with

expanded members (phase II). In phase III, the basis

was effectiveness of relationships. Friends who were

not from the same RT were involved in the group.

The cliques were the following:

1. Clique 1: 1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 24, 26, 27, 35,

36, 28, 25, 5, 37, 30, 31, 32, 38, 29, 34, 33

2. Clique 2: 8, 9, 22, 15, 16, 19, 40, 39

3. Clique 3: 13, 39, 42, 22, 23, 21, 18, 44, 14,

17, 58, 20, 45, 46, 56, 61, 48, 49, 47, 59, 43,

54, 12, 60, 50, 41, 53, 11, 52, 64, 66, 51, 69,

63, 62, 68, 67, 57

The number of cliques was only three,

although there were four formal subgroups in the

beginning of phase III. Clique 3 increased in size

after the conflict between leader A and leader C

began, as the conflict resulted in the deterioration of

the group. The conflict resulted in the decreased

power of both leader C and leader A. Furthermore,

Leader C gradually retreated from the group.

Therefore, the clique of leader C dispersed, and most

of its members joined another clique, making a large

clique whose leader was node 22. This also happened

in another clique. Node 28 (Sub-leader) could not

maintain his clique after the conflict because of the

free riders; therefore, he and his followers joined

another clique, which was led by node 9. The

coordination among the opinion leaders was

happened in clique 2 even the leader C (node 8)

tended to be inactive in the end of phase III.

After the conflict, the collective action

implementation decreased. Practically, the action

was selling the feces and gathering grass from the

river bank or remote locations. Arisan ended, and

group meetings were rarely held. If a group meeting

was held, the meeting leader was node 22, not node

8.

In phase III, the configuration of the

network was the least stable. There were genuine

cliques, which refer to clique theory in the

introduction, and followers who joined the cliques.

These followers were the free riders who became the

inactive members. The example of a genuine clique

is node 9, 7, 3, but they had many followers, thus

constituting clique 1.

Page 292: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

280

1

23

5

7

9

10

11

12

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

25

26

27

28

29

30

37

41

50

51

53

68

67

58

59

In Table 5, it seen that in total, population of

sheep was continue to decrease. There was a

decreasing of sheep number in high and medium

category, then move to add the population in low

category. Furthermore, the number of inactive

member was upward. The economic crisis actually

reached its peak in this phase when the raise of fuel

has been implemented for the first time, therefore the

member has beaten by the impact of its crisis. Beside

the free riders or inactive members who did not spend

the loan to buy the sheep mother, some of active

members also use part of their money to fulfill their

needs.

IV.4 Communication Network in Phase IV

The leader of phase IV (leader D) was

prepared by leader C to be the next leader. He was

the youngest among the sub-leaders. Leader C felt

that it was the proper time for regeneration in the

group. The other leadership consideration was a

native villager of Cangkring hamlet, so there was no

reason to doubt his intention towards the group.

Leader C was accused of not having good intentions

in managing the group because he was not a native

villager in the hamlet. Leader C’s proposal of leader

D was supported by the opinion leaders.

Leader D, with another sub-leader, revitalized

the group. All of the active members were re-

gathered. All of the inactive members, including the

free riders, were excluded from the group.

In phase IV, there was no new innovation in

the group’s collective action. The action continued

from the previous phase, such as planting grass and

selling feces. They accepted aid from the village

government for sheep fattening with the same system

as that in phase I. The project was completed in 2010.

Figure 7 displays that three stars existed in

the network. They were nodes 9, 22, and 28.

Although node 28 experienced a decrease in power in

phase III, he became a star again in phase IV due to

the group revitalization. The free riders were

excluded from the group.

Note: : RT 03 ; : RT 04 ; : RT 05 ; : RT 06

;

: non-reciprocal tie ;

: reciprocal tie

Fig 4. Communication Network in Phase IV

There was one bridge in the network: node

28. He was the clique-bridge that connected clique 3

with cliques 1 and 2. There were three cliques in

phase IV. Clique 1 was the largest, as it continued

from the previous phase. There was also one clique

that became smaller because it spread into two

cliques, that is, the clique with the leader node 9 and

the clique with the leader node 28. The cliques were

the following:

1. Clique 1: 22, 19, 23, 15, 16, 17, 21, 18, 20,

58, 67, 59, 51, 14, 11, 50, 12, 51, 68, 53, 41

2. Clique 2: 1, 2, 3, 7, 9

3. Clique 3: 28, 10, 26, 5, 27, 30, 37, 25, 29

The basis of clique formation was the same

as that in phase III: the effectiveness of relationships.

Clique 2 became smaller than it had previously been.

After the conflict and the group revitalization, the

power of leaders A and B decreased. In contrast, the

power of leader D increased from the end of phase

III. In phase IV, there were also close relationships

among the sub-leaders or opinion leaders, who

created a clique. These nodes were 9, 22 and 28.

Centrality Degree of Network in the Group

The two main explanations of the results are

the communication network pattern and the centrality

degree of the network in each phase because the

group underwent four phases in its lifetime. The

centrality degree is important in describing the

effectiveness of the network chain within the group.

Table 3. Centrality of network

Phase

I

Phase

II

Phase

III

Phase

IV

Centr

ality

Degre

e

34.73 19.13 15.28 32.58

Source: Primary data, 2011

Table 3 shows that the centrality degree

fluctuated in value. In phase I, the centrality degree

value was the highest of all of the phases at 34.73%.

This indicates that there was no absolute power in the

group. There were also some opinion leaders in the

group besides the group leader (leader A); however,

the group leader coordinated with the opinion

leaders.

Page 293: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

281

The centrality degree value decreased in

phase II due to the increased number of members

demanded by the aid. However, the appearance of the

cut-points (bridge lines) maintained the

communication flow between the leaders and the

members.

The centrality degree continued to decrease

in phase III, when the membership continued to

increase. It was deteriorated by the conflict between

leader A (leader of phase I) and leader C (leader of

phase III). However, when the research was

conducted, the followers of these leaders decreased

from the earlier phase. Leader C and leader A

reduced their group activity. Thus, the power of

another sub leader controlled the network within the

group.

The reduction of membership to revitalize

the group increased the centrality degree in phase IV.

Although the centrality value was smaller than that in

phase I, it was greater than that in phase II and III,

when the leader controlled the coordination within

the group. Although there was a change in the basis

of clique communication network structure from RT

to friendship or relative (clearly shown by phase I and

phase IV as the climax), the centrality degree was

high due to unity of the group. It was no matter what

of the basis of clique formation.

CONCLUSION

In each phase, the communication network

pattern within the group changed. The pattern

changed from a network without bridges, and then

connected through many bridges, to a network with

only one bridge in the last phase. The existence of

bridges in the communication network within the

group was very important. The nodes that had bridges

were the cut-points. If they did not remain in the

group, the network would have been broken. Some of

the cut-points were the sub-group leaders who later

became the group leader. They were an important key

to delivering the group from phase II to phase III and

phase IV.

The position of the cut-point was also

important to deliver the information from the leader

to the members especially, when the number

increased. As the membership increased, the

centrality in network decreased. The centrality value

decreased from phase I to phase III, and then rose

again in phase IV, when membership was reduced. In

term of sheep ownership, the population of sheep

which owned by the star has experienced the

fluctuation. Peak performance of sheep population

has reached in phase I, then decreased and reached

peak declining in phase III. It was upward again in

phase IV.

There is a reciprocal relationship between

the network and collective action. The network

changed in every phase, especially since phase II

until phase IV. The network often changed to adjust

to the program and make the program easier to

conduct. In contrast, some collective action was

carried out through adjustments in the existing

network. In relation with network basis, the value of

centrality degree was not affected because the main

point of centrality degree is unity, not the basis of the

network.

ACKNOWLEDMENT

Special thanks to Professor Takenori

Matsumoto, Supervising professor, who provided

much support, especially for his kindness and

willingness to intensively discuss the paper. I am also

thankful for the great support from the Directorate

General and Higher Education, Ministry of National

Education of Indonesia, which provided financial aid

for the research.

REFERENCES

Bavelas, A. (1950). Communication patterns in task-

oriented groups. J. Acoustical Soc. America

22, 725-730.

Borgatti, S.P., & Everett, M.G., (2006). A graph-

theoritic perspective on centrality. Social

Networks 28, 466-484.

Freeman, L.C. (2004). The Development of Social

Network Analysis : A Study in the sociology

of Sciences. Vancouver, Canada:Empirical

Press.

Knoke and Yang. (2008). Social Network Analysis :

Second Edition. California: Sage

Publications.

Knox, H., Savage, M., & Pattison, P. (2006). Social

Networks and the study of relations:

Networks as Method, metaphor and form.

Economy and Society, 35, 113-140.

Ognyanova, K., et al. (2010). Team assembly and

scientific collaboration on nanoHub, Sunbelt

XXX: International Sunbelt Social Network

Conference, Riva del Garda, Trento, Italy.

Rogers and Kincaid. (1981). Communication

Network : Toward a New Paradigm for

Research. New York: The Free Press, A

Division of Macmillan Publishing Co., Inc.

Scott, John. (1991). Social Network Analysis : A

handbook, Second Edition. London: Sage

Publications.

Sulaksana, Jaka. (2011). The Process of Motivational

change Process in Farmer’s Groups : A case

Study in West Java Province. Journal of

Applied Sciences. volume 11, number 14,

Page 294: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

282

2500-2512, 2011.

Takacs, Karoly., Janky, Bela., Flache, Andreas.

(2008). Collective Action and Network

Change. Social Networks 30 ,177-189.

Page 295: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

283

Analisis Keputusan Berkunjung Serta Kepuasan Konsumen Agrowisata

Cilangkap

The Analysis on Decision to Visit and Customer Satisfaction at Cilangkap Agrotourism

Efrizal Saputra1*, Tuti Karyani1, M.Gunardi Judawinata1

1Universitas Padjadjaran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci:

Agrowisata Cilangkap

Keputusan Konsumen

Kepuasan Konsumen

Agrowisata Cilangkap merupakan salah satu agrowisata di Provinsi DKI Jakarta yang

memilki potensi untuk dikembangkan. Munculnya persaingan antar agrowisata di

Jakarta membuat Agrowisata Cilangkap perlu mengetahui keinginan dan kebutuhan

konsumen untuk mempertahankan konsumennya dan penetapan strategi kedepannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi Agrowisata Cilangkap, proses

keputusan berkunjung, dan kepuasan konsumennya. Desain penelitian yang digunakan

adalah desain kuantitatif yang didukung desain kualitatif dengan jumlah responden 70

orang. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, analisis crosstab,

analisis Importance Performance, dan analisis Customer Satisfaction Index. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa (1) Agrowisata Cilangkap menerapkan sistem free

entrance serta memiliki fasilitas kebun bibit dan hidroponik center sebagai daya tarik.

Konsumennya dominan laki-laki, berdomisili di Jakarta dan bekerja sebagai pegawai

swasta (2) Motivasi konsumen berkunjung yaitu rekreasi dan memutuskan berkunjung

ke Agrowisata Cilangkap karena alasan kemudahan mencapai lokasi (3) Konsumen

masuk dalam kategori cukup puas terhadap kualitas pelayanan jasa Agrowisata

Cilangkap.

ABSTRACT

Keywords:

Cilangkap Agrotourism

Consumer Decision

Customer Satisfaction

Cilangkap Agrotourism is one of agrotourisms in Jakarta which has the potential to

be developed. The emergence of competition among agrotourisms in Jakarta makes

Cilangkap Agrotourism need to obtain the knowledge of the desires and needs of

consumers to retain its customers and to determine the future strategy. This research

aims to know the condition of Cilangkap Agrotourism, the decision process to visit,

and customer satisfaction. The design of this research is quantitative design and

supported by qualitative design with 70 respondents. This research uses descriptive

analysis method, crosstab analysis, Importance Performance analysis, and Customer

Satisfaction Index analysis. The results show that (1) Cilangkap Agrotourism applies

free entrance system and has seed farm facility and hydroponic center as the attraction.

The visitors are mainly male, having the domicile in Jakarta and working as private

employees (2) Consumers visit motivation is for leisure and the reason to visit because

of easy access to the location (3) Visitors are categorized into fairly satisfactory with

the service quality of Cilangkap Agrotourism

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 296: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

284

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara agraris dimana

sektor pertanian merupakan salah satu sumber

penting perekonomian nasional. Indonesia sebagai

negara agraris juga dapat dilihat dari sebaran tenaga

kerja nya yang mengandalkan sektor pertanian

sebagai mata pencahariannya. Menurut data Survei

Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja di

sektor pertanian pada tahun 2013 mencapai 35,16%.

Selain sektor pertanian, kekayaan alam yang

melimpah serta beragam jenis budaya di Indonesia

menjadikan negara ini memiliki potensi besar untuk

mengembangkan sektor pariwisata. Peluang

pengembangan sektor pariwisata juga dapat dilihat

dari minat wisatawan domestik maupun wisatawan

mancanegara yang mengunjungi objek-objek wisata

di Indonesia. Data kunjungan wisatawan domestik

dan wisatawan mancanegara yang mengunjungi

Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Indonesia Pada Tahun 2011-2013

Jenis Wisatawan Data Kunjungan (orang)

2011 2012 2013

Domestik 236.752.000 245.290.000 250.036.000

Mancanegara 7.649.731 8.044.462 8.802.129

Sumber: Pusdatin Kemenparekraf dan BPS (2014)

Setiap daerah di Indonesia memiliki potensi

dan keunggulan pariwisata nya masing-masing

termasuk Provinsi DKI Jakarta. Jakarta yang

merupakan ibukota negara Republik Indonesia

sekaligus kota metropolitan yang luas dan besar

dengan populasi penduduknya yang ramai dan cukup

padat.

Seiring dengan perkembangan zaman,

pengetahuan dan pola pikir wisatawan semakin

berkembang serta bergerak secara dinamis.

Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan

pentingnya lingkungan alam menjadikan preferensi

serta motivasi wisatawan juga berkembang.

Maraknya slogan-slogan seperti back to nature

ataupun go green saat ini telah mengubah

kecenderungan dan motivasi wisatawan dengan

menikmati obyek-obyek wisata bernuansa alam

dengan keindahan pemandangan alamnya, udaranya

yang sejuk serta berkaitan dengan pertanian modern.

Preferensi tersebut merupakan signal terhadap

meningkatnya permintaan akan wisata agro atau

agrowisata dan menjadikan obyek wisata jenis ini

menjadi trend di masyarakat.

Agrowisata di Jakarta juga dapat berperan

sebagai ruang terbuka hijau dan daerah resapan air

yang harus dipertahankan dan dikembangkan. Dinas

Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta mencatat,

selama kurun waktu 2001 hingga 2012, luas ruang

terbuka hijau (RTH) di Ibu Kota hanya 2.718,33 ha.

Angka ini sama saja dengan 10% dari total luas DKI

Jakarta, yaitu 66.233 ha. Padahal Undang-Undang

No. 26 Tahun 2007 mensyaratkan bahwa sebuah kota

harus memiliki RTH minimal sebesar 30% dari total

luas kota secara keseluruhan .

Keterbatasan lahan hijau di Jakarta

menjadikan kota ini menerapkan konsep pertanian

kota atau urban farming yang memanfaatkan lahan

hijau yang tersedia untuk dijadikan areal pertanaman

pertanian. Hal utama yang menyebabkan munculnya

aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi

pada ketahanan pangan, menambah penghasilan

masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan

hobi (Enciety, 2011). Kepadatan penduduk yang

tinggi di Kota Jakarta dengan segudang kegiatannya

menimbulkan kebutuhan akan ruang hijau atau

kawasan pertanian sebagai tujuan wisata untuk

melepas penat. Agrowisata di Jakarta dapat dijadikan

usaha diversifikasi dari konsep pertanian kota yang

nantinya akan dinikmati penduduk Jakarta.

Melihat peluang tersebut Dinas Kelautan

Pertanian dan Ketahanan PanganProvinsi DKI

Jakarta sebagai instansi pertanian menawarkan kebun

pertaniannya yang disulap menjadi wisata agro yaitu

Agrowisata Cilangkap sebagai alternatif pilihan

agrowisata di Jakarta. Agrowisata ini berlokasi di

Jalan Raya Cilangkap No. 45 Kelurahan Cilangkap,

Jakarta Timur.

Perkembangan agrowisata di daerah Jakarta

dan sekitarnya menimbulkan persaingan yang ketat

diantara sesama pengusaha agrowisata. Terdapat

beberapa agrowisata di Jakarta seperti Taman

Anggrek Indonesia Permai dan Taman Anggrek

Ragunan dengan keunggulan produk dan fasilitasnya

masing-masing. Melihat posisi Agrowisata

Cilangkap yang masih berkembang ini, nampaknya

konsumen belum menjadi suatu hal yang penting

untuk diperhatikan bagi Agrowisata Cilangkap.

Padahal konsumen merupakan unsur penting dalam

usaha wisata termasuk agrowisata. Perilaku

konsumen dalam berkunjung dapat dijadikan bahan

evaluasi dan strategi pengembangan suatu agrowisata

ke depannya.

Dengan harapan adanya peningkatan

pengunjung, meningkatkan daya tarik pengunjung

untuk menikmati fungsi edukasi, Agrowisata

Cilangkap perlu memahami proses keputusan

konsumen berkunjung baik dilihat dari proses

pengambilan keputusan saat akan berkunjung dan

kepuasan konsumen setelah berkunjung yang dapat

mendorong konsumen untuk melakukan kunjungan

ulang. Dalam upaya mempertahankan dan terus

menarik perhatian konsumen, pihak Agrowisata

Cilangkap dapat mencari tahu apa yang diinginkan

dan apa yang dibutuhkan konsumen sehingga jumlah

konsumen dapat terus meningkat dan memiliki daya

Page 297: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

285

saing jangka panjang untuk usaha agrowisata.

KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP

Agrowisata Cilangkap merupakan salah satu

agrowisata di Provinsi DKI Jakarta yang

menawarkan kebun pembibitan dan hidroponiknya

kepada konsumen. Sebagai agrowisata yang masih

dan terus berkembang, Agrowisata Cilangkap

memiliki berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada

konsumen.

Untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan

konsumen, maka perlu dilakukan survey konsumen.

Melalui survey konsumen, maka pihak Agrowisata

Cilangkap dapat mengetahui bagaimana keputusan

konsumen berkunjung ke Agrowisata Cilangkap dan

bagaimana kepuasan konsumen terhadap kualitas

pelayanan yang diberikan oleh Agrowisata

Cilangkap.

Proses keputusan konsumen berkunjung ke

Agrowisata Cilangkap dianalisis menggunakan

analisis deskriptif. Ada lima tahapan yang akan

dianalisis yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian

informasi, evaluasi alternatif, keputusan berkunjung,

dan evaluasi pasca berkunjung. Dalam pengambilan

keputusan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor

perbedaan individu, dan faktor psikologis.

Kepuasan konsumen terhadap kualitas

pelayanan Agrowisata Cilangkap dianalisis

menggunakan Analisis Importance dan Performance

serta Analisis Customer Satisfaction Index. Analisis

IPA membandingkan antara nilai harapan konsumen

dan nilai kinerja dari Agrowisata Cilangkap. Analisis

CSI untuk pengukuran indeks kepuasan konsumen.

Atribut yang akan dinilai merupakan kualitas

pelayanan yang terdiri dari dimensi bukti fisik

(tangible), dimensi keandalan (reliability), dimensi

daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance),

dan empati (emphaty).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Agrowisata

Cilangkap yang terletak di Jalan Raya Cilangkap No.

45 Kelurahan Cilangkap, Jakarta Timur.Desain

penelitian ini menggunakan desain penelitian

kuantitatif dan desain kualitatif dengan metode

survey. Dalam mengambil responden, penelitian ini

menggunakan pendekatan probability sampling di

mana teknik ini memberi peluang yang sama bagi

setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi

anggota sample. Teknik sampling yang dipilih adalah

systematic sampling dimana pengambilan sampel

berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah

diberi nomor urut (Sugiyono, 2012). Banyak

responden dalam penelitian ini yaitu 70 orang.

Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan alat bantu kuesioner yang berisi

pertanyaan yang terdiri dari variabel-variabel yang

berkaitan dengan penelitian serta dengan

mengobservasi dan melakukan wawancara.

Analisis dalam penelitian ini menggunakan

analisis deskriptif, crosstab, Importance Performance

Analysis serta analisis Customer Satisfaction Index.

1) Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan kondisi Agrowisata Cilangkap,

karakteristik pengunjung, dan keputusan konsumen

berkunjung ke Agrowisata Cilangkap. Analisis

Deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran

secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai fakta-

fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang

diselediki.

2) Analisis Crosstab

Analisis Crosstab merupakan ringkasan data

dua variabel dalam satu tabel. Tabulasi silang mampu

menjelaskan keterkaitan antar variabel. Variabel

yang dianalisis menggunakan tabulasi silang ada

antara variabel karakteristik responden dengan

variabel keputusan konsumen.

3) Importance Performance Analysis (IPA)

Analisis IPA dapat digunakan untuk

membandingkan antara nilai harapan konsumen

terhadap kinerja suatu produk/jasa. Dalam kerangka

analisis tingkat kepentingan dan kinerja, ada

beberapa analisis yang dapat digunakan yaitu analisis

tingkat kesesuaian dan analisis kuadran.

4) Customer Satisfaction Index (CSI)

Analisis CSI digunakan untuk melihat tingkat

kepuasan konsumen secara menyeluruh. Pengukuran

terhadap indeks kepuasan pelanggan diperlukan

karena dapat digunakan sebagai acuan untuk

menentukan sasaran-sasaran di tahun-tahun

mendatang. Cara menghitung indeks kepuasan

pelanggan adalah: Cara menghitung indeks kepuasan

pelanggan adalah: 1) Menghitung weighted factor

yaitu mengubah nilai rata-rata tingkat kepentingan

menjadi angka persen, sehingga didapatkan total

weighting factor 100%; 2) Menghitung weighting

score, yaitu nilai perkalian antara nilai rata-rata

tingkat kinerja dengan weighting factor; 3)

Menghitung weighted total, yaitu menjumlahkan

weighted score dari semua atribut; 4) Menghitung

satisfaction index, yaitu weighted total dibagi skala

maksimal yang digunakan (dalam penelitian ini skala

maksimum yang digunakan adalah 5) kemudian

dikali 100%.

Adapun indikator untuk mengukur kriteria

kepuasan konsumen adalah sebagai berikut:

Page 298: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

286

Tabel 2. Kriteria Indeks Kepuasan Konsumen

Nilai CSI Kriteria CSI

0,81 – 1,00 Sangat Puas

0,66 – 0,80 Puas

0,51 – 0,65 Cukup Puas

0,35 – 0,50 Kurang Puas

0,00 – 0,34 Tidak Puas Sumber: Sukardi dan Cholidis (2006)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Gambaran Umum Tempat Penelitian

a. Sejarah dan Perkembangan

Pada tahun 1983-1984 kawasan Agrowisata

Cilangkap merupakan tempat pembuangan sampah

(TPS) di daerah Cilangkap. Setelah tahun 1984

sampai tahun 2000 kawasan tersebut dilimpahkan

kepada pemerintah (dinas pertanian) menjadi lahan

pertanian (persawahan) yang merupakan salah satu

kawasan central padi di Jakarta.

Pada tahun 2000 tanaman padi dipindahkan

semua ke kebun daerah Jakarta Utara dan di kebun

Cilangkap mulai dibudidayakan bibit buah dan

sayuran. Pada tahun 2001 kawasan tersebut dijadikan

agrowisata dengan penambahan fasilitas penunjang

dan danau buatan. Agrowisata Cilangkap dikelola

oleh UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi

Tanaman dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan

Ketahanan Pangan.Pada tahun 2007 Agrowisata

Cilangkap membangun kawasan Hidroponik Center

Cilangkap dengan fasilitas greenhouse.

b. Keberadaan

Agrowisata Cilangkap berada di Jalan Raya

Cilangkap No.45, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan

Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur, Provinsi DKI

Jakarta. Agrowisata Cilangkap memiliki luas lahan

secara keseluruhan Β± 19,5 hektar.

Lokasi Agrowisata Cilangkap berada Β± 1,6 km

dari Markas Besar TNI dan Β± 7 km dari Bumi

Perkemahan Cibubur (Jambore). Agrowisata

Cilangkap juga berada Β± 6,4 km dengan jalan tol

lingkar luar Jakarta dan Taman Mini Indonesia Indah.

Kawasan ini mudah dijangkau karena terletak di

pinggir Jalan Raya Cilangkap dan dilalui oleh

kendaraan umum.pada bagian ini bisa juga

menggunakan nama lain yang relevan dengan topik

tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan

pembahasan serta interpretasi terhadap data.

Umumnya memuat hasil penelitian berupa temuan

dan hasil analisis dalam berbagai bentuk dan

berhubungan dengan masalah. Pembahasan berisi

hasil penelitian/hasil pemikiran berdasarkan

kerangka yang digunakan.

Guna mendukung analisa dan tampilan hasil,

maka diperkenankan menggunakan gambar ataupun

tabel dengan ketentuan sebagai berikut.

Gambar 1. Denah Lokasi Agrowisata Cilangkap

2) Deskripsi Kondisi Agrowisata Cilangkap

a. Gambaran kondisi

Agrowisata Cilangkap memiliki daya tarik

wisata kebun hidroponik dimana terdapat tanaman

kangkung, bayam hijau, dan bayam merah yang

dibudidayakan tanpa media tanah atau menggunakan

media air di dalam greenhouse dan juga danau buatan

yang cukup luas dan dikelilingi jogging track.

Agrowisata Cilangkap juga memiliki daya tarik

aktivitas pertaniannya yaitu sistem hidroponik

maupun pembibitan tanaman sebagai wisata edukasi

pertanian.

Agrowisata Cilangkap yang terletak dipinggir

Jalan Raya Cilangkap dapat dengan mudah diakses

pengunjung baik dengan kendaraan pribadi maupun

kendaraan umum (Angkot KWK T02 dan KWK

T14). Agrowisata Cilangkap memiliki berbagai

fasilitas untuk pengunjungnya seperti kantor

pengelola, kebun bibit, rumah tanaman, RM Agro,

danau buatan, playground, gazebo, mushola,

hidroponik center, greenhouse, dan packing house.

Gambar 2. Denah Fasilitas Agrowisata

Cilangkap

Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT

Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman

dan berada dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan

Ketahanan Pangan. Bapak Amit sebagai PJ Kebun

Bibit memiliki 12 staff yang terdiri dari 6 PHL, 4

security, dan 2 cleaning service. Sedangkan Bapak

Page 299: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

287

Sidik sebagai PJ Kebun Hidroponik memiliki 10 staff

yang terdiri dari 7 PHL, 2 security, dan 1 cleaning

service.

b. Gambaran Bauran Pemasaran

Produk berupa barang meliputi berbagai

tanaman buah, tanaman hias, maupun tanaman

pelindung yang ada di kebun bibit serta tanaman

sayuran buah dan sayuran daun yang ada di kebun

hidroponik. Tanaman yang paling yaitu komoditas

buah mangga dan rambutan yang merupakan

tanaman produktif dan memiliki nilai ekonomi cukup

tinggi. Produk berupa jasa meliputi atraksi edukasi

pertanian dimana pengunjung dapat berkeliling

kebun serta kunjungan lapangan untuk belajar sistem

hidroponik.

Gambar 3. Hidroponik Center Agrowisata Cilangkap

Agrowisata Cilangkap belum mengenakan

harga tiket masuk atau free entrance karena belum

adanya Perda Distribusi untuk pengunjung. Untuk

segmentasi, Agrowisata Cilangkap membidik semua

kalangan dengan berasaskan pada pelayanan dan

penyuluhan kepada masyarakat. Agrowisata

Cilangkap juga melakukan penetapan harga bibit

tanaman Rp 15.000,- (tinggi tanaman 50 cm) dan Rp

20.000,- (tinggi tanaman 100 cm).

Agrowisata Cilangkap sebagai sebuah objek

agrowisata berada di lokasi yang cukup strategis

dimana berada cukup dekat dengan Mabes TNI dan

Perkemahan Bumi Cibubur serta Taman Mini

Indonesia Indah dan juga jalan tol lingkar luar Jakarta

sehingga memberikan keuntungan tersendiri untuk

usaha promosi yang dijalankan.

Agrowisata Cilangkap melakukan kegiatan

promosi secara langsung melalui beberapa event

yang dihadiri dan promosi tidak langsung melalui

internet, artikel, dan brosur yang ada di perpustakaan

BBI (Balai Benih Induk) Jakarta.

3) Karakteristik Konsumen Agrowisata Cilangkap

Karakteristik konsumen Agrowisata

Cilangkap dominan berjenis kelamin laki-laki,

berusia 19-29 tahun, sudah menikah, berdomisili di

Jakarta, memiliki pendidikan terakhir sarjana,

bekerja sebagai pegawai swasta, dan memiliki

penghasilan Rp 2.500.001 – Rp 5.000.000. Data

karakteristik konsumen seara umum dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Konsumen

Identitas n Presentase

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

43

27

61%

39%

Usia

19-29

30-40

41-51 52-62

32

26

11 1

46%

37%

16% 1%

Pernikahan Menikah

Belum

47

23

67%

33%

Domisili

Jakarta

Jawa Barat

Jawa Tengah Jawa Timur

64

4

1 1

92%

6%

1% 1%

Pendidikan SD

SMP

SMA

Diploma Sarjana

Pasca Sarjana

1

2

25

10 30

2

1%

3%

36%

14% 43%

3%

Pekerjaan

PNS

TNI/POLRI

Dosen/Guru

Pegawai Swasta

Wiraswasta

Pelajar/Mahasiswa

Lainnya

6

1

5

22

9

12

15

9%

1%

7%

32%

13%

17%

21%

Penghasilan (Rp)

0 1-2.500.00

2.500.001-5.000.000

5.000.001-7.500.000

7.500.001-10.000.000 > 10.000.000

23 9

26

3

8 1

33% 13%

37%

4%

12% 1%

4) Analisis Keputusan Konsumen Berkunjung ke

Agrowisata Cilangkap

Proses keputusan berkunjung dimulai dari

tahap pengenalan kebutuhan dengan motivasi yaitu

rekreasi, mencari manfaat refreshing. Tahap

pencarian informasi melalui teman/pasangan dengan

fokus berupa kemudahan mencapai lokasi. Tahap

evaluasi alternatif dengan atribut yang

dipertimbangkan yaitu lokasi dan Agrowisata

Cilangkap menjadi prioritas. Tahap keputusan

dengan alasan kemudahan mencapai lokasi, cara

memutuskan terencana dari rumah, dipengaruhi diri

sendiri, menggunakan motor, berkunjung bersama

keluarga, berkunjung saat waktu luang, dan frekuensi

kunjungan sudah yang keempat/lebih. Tahap evaluasi

pasca berkunjung dengan pengunjung merasa puas,

niat melakukan kunjungan ulang, harga tidak

mempengaruhi kunjungan, dan fasilitas yang

diharapkan kedepannya yaitu toilet.Proses keputusan

Page 300: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

288

konsumen berkunjung dapat dilihat secara lengkap

pada Tabel 4. Tabel 4. Proses Keputusan Konsumen

Tahap Jawaban

1. Pengenalan Kebutuhan

Motivasi berkunjung Manfaat yang dicari

Keterlibatan perasaan

Rekreasi Refreshing

Biasa saja

2. Pencarian Informasi

Sumber informasi

Fokus perhatian informasi

Teman/pasangan

Kemudahan mencapai

lokasi

3. Evaluasi Alternatif

Atribut yang dipertimbangkan

Prioritas Agrowisata

Cilangkap

Lokasi

Ya

4. Keputusan Berkunjung

Alasan berkunjung

Cara memutuskan berkunjung

Yang mempengaruhi

berkunjung

Alat transportasi Teman berkunjung

Ketersediaan waktu

Frekuensi berkunjung

Kemudahan mencapai

lokasi Terencana

Diri sendiri

Motor

Keluarga

Saat waktu luang

Empat kali atau lebih

5. Evaluasi Pasca Berkunjung

Kepuasan konsumen

Niat melakukan kunjungan

ulang

Pengaruh kenaikan harga

Fasilitas yang diharapkan

Puas

Ya

Tidak Toilet

5) Analisis Kepuasan Konsumen Agrowisata

Cilangkap

a. Tingkat Kesuaian

Tingkat kesesuaian yang paling tinggi yaitu

atribut keindahan panorama. Konsumen yang merasa

puas menilai bahwa view dari pemandangan di

Agrowisata Cilangkap memanjakan mata seperti

banyaknya pepohonan dan beragam tanaman seperti

pohon mangga, rambutan, dan durian serta danau

buatan yang dikelilingi jogging track. Selain itu

dengan adanya tanaman kangkung dan bayam

hidroponik menambah keindahan alam di

Agrowisata Cilangkap.

Tingkat kesesuaian yang paling rendah yaitu

atribut keahlian pegawai. Konsumen mengharapkan

adanya pegawai khusus guide yang memiliki

kehalian dibidangnya karena Agrowisata Cilangkap

belum memiliki pegawai khusus guide sehingga

setiap pegawai memiliki tugas juga sebagai guide

untuk pengunjung. Nilai tingkat kesesuaian secara

lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Tingkat Kesesuaian

No Atribut Tingkat Kesesuaian

(TKi)

1 Kelengkapan Fasilitas 79%

2 Kenyamanan Tempat 84%

3 Keindahan Panorama 92%

4 Perhatian Pegawai 79%

5 Kecepatan Pegawai 78%

6 Kesiapan dan Kesediaan Pegawai

79%

7 Keahlian Pegawai 74%

8 Keramahan Pegawai 87%

9 Pegawai Memahami

Kebutuhan dan Harapan

Pengunjung

76%

b. Analisis Kuadran

Atribut yang terletak di kuadran II

merupakan kekuatan perusahaan yaitu atribut

kelengkapan fasilitas, kenyamanan tempat, keindahan

panorama, dan keramahan pegawai. Atribut tersebut

dianggap penting bagi konsumen dan kinerja nya

sudah memuaskan. Atribut tersebut harus

dipertahankan kinerjanya oleh Agrowisata Cilangkap.

Atribut yang terletak di kuadran III

merupakan prioritas rendah perusahaan yaitu

perhatian, kecepatan, kesiap-sediaan, keahlian, dan

empati pegawai. Atribut tersebut dianggap kurang

penting pengaruhnya bagi konsumen dan pada

kenyataannya pelaksanaan atribut tersebut juga biasa

saja dan belum memenuhi harapan konsumen. Atribut

tersebut harus ditingkatkan kinerjanya. Analisis

kuadran kualitas pelayanan jasa Agrowisata

Cilangkap dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Analisis Kuadran Atribut Kualitas Pelayanan

Jasa Agrowisata Cilangkap

c. Analisis CSI

Hasil dari perhitungan Customer Satisfaction

Index dapar dilihat pada Tabel 6.

Page 301: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

289

Tabel 6. Hasil Perhitungan Customer Satisfaction Index

No Atribut Rata-rata Skor

Kepentingan

Weighting

Factor

Rata-rata Skor

Kinerja

Weighted

Score

1 Kelengkapan Fasilitas 3,68 0,12 2,9 0,35

2 Kenyamanan Tempat 3,51 0,11 2,96 0,32

3 Keindahan Panorama 3,44 0,11 3,17 0,35

4 Perhatian Pegawai 3,18 0,1 2,52 0,25

5 Kecepatan Pegawai 3,28 0,11 2,55 0,28

6 Kesiapan dan

Kesediaan Pegawai

3,38 0,11

2,67 0,29

7 Keahlian Pegawai 3,41 0,11 2,51 0,28

8 Keramahan Pegawai 3,6 0,12 3,14 0,38

9 Empati Pegawai 3,3 0,11 2,51 0,28

Jumlah Total 30,78 1,00 24,93 2,78

𝐢𝑆𝐼 = Total Weighted Score

Maximum Scale x 100%

𝐢𝑆𝐼 = 2,78

5 x 100%

𝐢𝑆𝐼 = 55,6%

Hasil perhitungan menunjukkan nilai CSI

sebesar 0,556 atau 55,6%. Nilai tersebut berada

diantara nilai 0,51-0,65 yang berarti masuk dalam

kategori cukup puas. Secara umum konsumen sudah

mencapai tingkatan cukup puas terhadap atribut

kualitas pelayanan Agrowisata Cilangkap.

Agrowisata Cilangkap harus dapat meningkatkan

kinerjanya agar konsumen dapat merasa puas bahkan

sangat puas dimasa yang akan datang. Jika

dihubungkan dengan hasil analisis IPA, nilai CSI

yang masih dibawah kategori puas dapat disebabkan

oleh atribut yang berada pada kuadran III yaitu

perhatian pegawai, kecepatan pegawai, kesiap-

sediaan pegawai, keahlian pegawai, dan empati

pegawai. Atribut tersebut harus ditingkatkan

kinerjanya agar bisa menjadi prioritas seperti atribut

yang ada di kuadran II. Untuk atribut yang ada di

kuadran II meliputi kelengkapan fasilitas,

kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan

keramahan pegawai harus dipertahankan kinerjanya.

Jika dihubungkan dengan keputusan

berkunjungnya, nilai CSI yang masih berada dibawah

kategori puas juga dapat dijelaskan karena adanya

perbedaan motivasi konsumen saat berkunjung.

Konsumen yang memiliki motivasi rekreasi

menyatakan Agrowisata Cilangkap sudah memenuhi

kebutuhan mereka dengan adanya berbagai fasilitas

yang ditawarkan dan harga yang terjangkau. Jika

dilihat dari motivasi konsumen yang ingin mencari

pengetahuan Agrowisata Cilangkap belum

sepenuhnya dapat menjawab kebutuhan dan

keinginan mereka. Hal tersebut dikarenakan

Agrowisata Cilangkap masih belum mengoptimalkan

fasilitas edukasi pertaniannya. Hal tersebut juga

didukung dari beberapa pernyataan konsumen yang

mengharapkan adanya penambahan fasilitas edukasi

pertanian seperti taman edukasi yang dapat dijadikan

tempat praktek langsung konsumen untuk menanam,

memelihara, dan memanen hasil pertanian.

PENUTUP

Bagian Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT Pusat

Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman

dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan

Pangan. Agrowisata Cilangkap menerapkan sistem

free entrance serta memiliki fasilitas kebun bibit dan

hidroponik center sebagai daya tarik. Agrowisata

Cilangkap terletak diposisi yang cukup strategis dan

dilewati kendaraan umum. Konsumen Agrowisata

Cilangkap dominan laki-laki, berdomisili di Jakarta

dan bekerja sebagai pegawai swasta.

2. Motivasi konsumen berkunjung yaitu rekreasi dan

memutuskan berkunjung ke Agrowisata Cilangkap

karena alasan kemudahan mencapai lokasi.

Konsumen berkunjung bersama keluarganya

menggunakan kendaraan motor yang sudah

direncanakan dari rumah. Konsumen akan

melakukan kunjungan ulang dan tidak terpengaruh

kenaikan harga di masa yang akan datang. Fasilitas

yang paling diharapkan konsumen yaitu toilet.

3. Konsumen masuk dalam kategori cukup puas

terhadap kualitas pelayanan jasa Agrowisata

Cilangkap dengan atribut yang paling sesuai yaitu

keindahan panorama dan atribut yang paling tidak

sesuai yaitu keahlian pegawai. Agrowisata Cilangkap

Page 302: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

290

memiliki kekuatan di atribut kelengkapan fasilitas,

kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan

keramahan pegawai. Selain itu Agrowisata

Cilangkap memiliki prioritas rendah di atribut

perhatian pegawai, kecepatan pegawai, kesiap-

sediaan pegawai, keahlian pegawai, dan empati

pegawai. ini berisi Kesimpulan dan Saran atau

Rekomendasi berkaitan dengan tujuan tulisan yang

dikemukakan pada bagian pendahuluan. Pada bagian

akhir penutup bisa ditambahkan Implikasi Kebijakan

atau konsekuensi yang ditimbulkan dari penerapan

atas kesimpulan dan saran yang dituliskan.

Adapun saran dari hasil penelitian yang telah

dilakukan sebagai berikut:

1. Pengelola Agrowisata Cilangkap sebaiknya

melakukan perbaikan dan perawatan fasilitas toilet

seperti meningkatkan frekuensi pembersihan agar

pengunjung lebih nyaman.

2. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan dan

mengoptimalkan fungsi edukasi pertanian, sebaiknya

pengelola Agrowisata menambah atraksi wisata

pertanian seperti taman edukasi pertanian dimana

konsumen dapat melakukan kegiatan bertani

(menanam, menyiram, dan panen).

3. Pengelola Agrowisata Cilangkap sebaiknya

mengadakan event rutin yang dapat dijadikan ciri

khas seperti event terkait pengenalan sistem

hidroponik dengan harapan dapat diterapkan

masyarakat. Event tersebut nantinya juga dapat

dijadikan ajang promosi.

4. Agrowisata Cilangkap sebaiknya memiliki

pegawai khusus guide untuk pengunjung sehingga

tidak ada pegawai yang double jobdesc. Untuk

memenuhi harapan pengunjung sebaiknya pegawai

lebih interaktif dan care dengan pengunjung.

DAFTAR PUSTAKA

Asdhiana, I Made. 2014. PAD Pariwisata DKI

Jakarta Meningkat. http://travel.kompas.com

(Diakses pada tanggal 14 Januari 2015).

Badan Pusat Statistik. 2014. Nilai PDB Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2011-2013.

http://www.bps.go.id (Diakses pada tanggal 14

Januari 2015).

Budi. 2013. Promosi Enjoy Jakarta Gandeng

Bloggers Singapura. http://www.jakarta.go.id

(Diakses pada tanggal 14 Januari 2015).

Chatzigeorgiou, Chryssoula; Evangelos Christou;

Panagiotis Kassianidis; dan Marianna Sigala.

2009. β€œExamining The Relationship Between

Emotions, Customer Satisfaction and Future

Behavioural Intentions in Agrotourism”. An

International Multidisciplinary Journal Of

Tourism. Vol 4, p. 145-161.

Diana, Marin; Petroman I; Popescu M; Petroman

Cornelia; Josim Iasmina; Ciolac Ramina;

Dumitrescu Carmen dan Lozici Ana. 2013.

β€œFactors That Influence Consumer Of Rural and

Farm Tourism Behavior”. LucrΔƒri ŞtiinΕ£ifice.

Vol. 4, p. 81-85.

Dr. Graham A. Miller. 2012. β€œConsumerism in

Sustainable Tourism : A Survey of UK

Consumers”.

Gulid, Nak; Aurathai Lertwannawit dan Rattana

Saengchan. 2010. β€œTourist Consumer Behaviour

and Destination Positioning for Chainat

Province”. EABR & ETLC Conference

Proceedings. p. 1-9.

Hanspari, Christ. 2013. Analisis Prioritas Strategi

Bauran Pemasaran Pada Agrowisata Cilangkap.

Skripsi. Jatinangor : Fakultas Pertanian.

Universitas Padjadjaran.

Harikusmawan, Gusti Bagus Darma dan Kastawan

Mandala. 2014. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Keputusan Wisatawan

Menginap di Villa Akasha Beach Estate

Kerobokan Badung. p. 1182-1196.

Hartawan, Tony. 2013. Ruang Terbuka Hijau 10

Persen Dari Luas Jakarta. http://www.tempo.co

(Diakses pada tanggal 6 Maret 2015).

Hawkins, Del I dan David L. Mothersbaugh. 2013.

Consumer Behaviour Building Marketing

Strategy. USA : The McGraw-Hill Companies.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2014.

Statistik Wisatawan Mancanegara dan

Nusantara. http://www.parekraf.go.id (Diakses

pada tanggal 14 Januari 2015).

Kotler, P. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta :

Prenhallindo.

Lita, Ratni Prima. 2010. Pengaruh Implementasi

Bauran Pemasaran Jasa Terhadap Proses

Keputusan Wisatawan Mengunjungi Objek

Wisata Di Kota Padang. Jurnal Manajemen. Vol

2 No. 2, p. 91-99.

Malkanthi, S.H. Pushpa dan Jayant K. Routray. 2012.

β€œVisitor Satisfaction in Agritourim and Its

Implications for Agritourism Farmers in Sri

Lanka”. International Journal of Agricultural

Management. Vol 2, p. 17-30.

Masang, Luther. 2006. Strategi Pengembangan

Agrowisata Obat Tradisional Taman Sringanis,

Page 303: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

291

Bogor. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Mowen, John C dan Michael Minor. 2002. Perilaku

Konsumen Jilid 2. Jakarta : PT. Erlangga.

Nugroho, Ardi. 2008. Analisis Proses Keputusan

Konsumen Berkunjung ke Agrowisata Stroberi

di Saung Sari. Skripsi. Jatinangor : Fakultas

Pertanian. Universitas Padjadjaran.

Prambodo, Rickky. 2007. Analisis Penilaian Kualitas

Pelayanan Untuk Mengukur Tingkat Kepuasan

Konsumen Pada Kusuma Agro Wisata Batu

Malang. Skripsi. Jawa Timur : Fakultas

Ekonomi. Universitas Jember.

Rusidi et.al. 2006. Buku Panduan Skripsi

(Bimbingan, Penyusunan, dan Penulisan,

Seminar, Kolokium, serta Ujian Komprehensif).

Cetakan I. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas

Pertanian Universitas Padjadjaran.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA.

Sukardi dan C. Chandrawatisma. 2006. Analisis

Tingkat Kepuasan terhadap Produk Corned

Pronas Produksi PT CIP, Denpasar-Bali. Jurnal

Teknologi Industri Pertanian 18(2):106-107.

Sulistyawati, Eka ; Titiek Multifiah dan Armanu

Thoyib. 2010. Analisis Perilaku Keputusan

Konsumen Dalam Pembelian Produk Patung

Kayu Pada Toko Kerajinan (Art Shop)

Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali.

WACANA. Vol 13 No. 1, p. 84-99 .

Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran.

Yogyakarta : ANDI.

Utama, I Gusti Bagus Rai. 2012. Agrowisata Sebagai

Pariwisata Alternatif Indonesia. DenpasarDaftar

Pustaka (bibliography) dan Kutipan (citation)

berdasarkan gaya Harvard Format APA

(American Psychological Association) Format

penulisan dilihat pada: Panduan Penulisan

Daftar Pustaka APA Citation Style (dapat

diunduh pada www.sosek.agribusiness-

unpad.org).

Page 304: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

292

Page 305: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

293

Upaya Peningkatan Kinerja Sistem Logistik Komoditas Sayuran di Kelompok

Tani Katata, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan

Improving Logistics System Performance of Vegetables in Katata Farmers Group,

Margamekar Village, Pangalengan District

Tika Dewi Lenggana1, Tomy Perdana1,

1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor,

Sumedang

A B S T R A K

Kata Kunci:

sistem logistik

kehilangan hasil

logistik pertanian

system thinking

diagram sebab akibat

Sistem logistik untuk produk pertanian memiliki fungsi pengelolaan pascapanen.

Penanganan pascapanen yang buruk dapat menyebabkan kehilangan hasil. Tujuan dari

sistem logistik sendiri adalah menyampaikan produk ke tangan konsumen pada waktu

yang tepat dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk

mengukur kehilangan hasil yang terjadi selama aktivitas logistik dan menganalisis

hubungan kausalitas sistem logistik di Kelompok Tani Katata. Kelompok Tani Katata

merupakan kelompok tani yang memasarkan produknya ke pasar terstruktur dengan

tiga komoditas unggulan yaitu tomat, wortel baby dan kentang. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan system thinking yang digambarkan dalam diagram sebab

akibat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kehilangan hasil berupa

penyusutan di Kelompok Tani Katata maksimal mencapai 2,5%, sedangkan tingkat

reject produk berada di kisaran 25%-40% untuk komoditas wortel baby dan 5% untuk

komoditas tomat. Berdasarkan analisis system thinking, beberapa hal yang

menyebabkan kehilangan hasil selama aktivitas logistik adalah pengemasan yang

kurang tepat, lamanya produk terpapar suhu tinggi, dan kurangnya ketelitian pada

proses sortasi.

ABSTRACT

Keywords:

logistics system

post-harvest losses

agricultural logistics

system thinking

causal loop diagram

Logistic system has the function in terms of post-harvest management of agricultural

products. Bad post-harvest handling would lead to the post-harvest losses. Logistic

system’s goal is delivering products into the hands of the consumers at the right time

with the optimal quality and quantity. This research aimed to measure the post-harvest

losses that have occurud during logistics activities and to analysed the causality of

logistics system in Katata. Katata is a farmers group which markets their products to

the structured market with three main commodities, they are tomatoes, baby carrots

and potatoes. The approach used the system thinking approach which described by

causal loop diagram. The result showed that the rate of post-harvest losses reached

2,5%, while the reject rate of product ranging from 25% to 40% for baby carrots and

5% for tomatoes. Based on the analysis of system thinking, there are few things that

caused post-harvest losses that have occured during logistics activities, they are the

lack of proper packaging, the length of the product is exposed to high temperatures,

and the lack of attention in the sorting process.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 306: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

294

PENDAHULUAN

Sayuran merupakan salah satu produk

pertanian yang permintaannya terus meningkat,

produksi sayuran di Indonesia pun setiap tahunnya

terus mengalami peningkatan (BPS, 2013). Hal ini

menunjukkan bahwa komoditas sayuran memiliki

peluang dan prospek yang baik untuk dikembangkan.

Salah satu sentra atau pemasok kebutuhan sayuran

terbesar di Indonesia adalah Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung Provinsi Jawa

Barat. Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat

(2014), sayuran yang diunggulkan di Kecamatan

Pangalengan adalah kentang, kubis, sawi, wortel, dan

tomat. Keunggulan tersebut dilihat berdasarkan luas

tanam dan hasil produksi sayuran yang tinggi.

Kelompok Tani Katata merupakan sebuah

kelompok tani di Kecamatan Pangalengan yang

memiliki tiga komoditas unggulan, yaitu tomat

(tomat tw dan beef), kentang, dan wortel baby.

Berbeda dengan petani kebanyakan, Kelompok Tani

Katata memasarkan hasil produksi pertaniannya ke

pasar terstruktur. Pasar terstruktur menurut Perdana

(2012) adalah alternatif pasar yang dapat dipilih

produsen sayuran skala kecil untuk menghindari

risiko fluktuasi harga karena pasar tersebut

mengadakan perjanjian mengenai harga terlebih

dahulu, baik perjanjian yang dilakukan secara formal

maupun informal.

Kestabilan harga yang ditawarkan pasar

terstruktur dimanfaatkan oleh Kelompok Tani

Katata. Namun, memasok sayuran ke pasar

terstruktur bukan hal yang mudah bagi petani karena

adanya perjanjian atau kontrak dalam pemasaran ke

pasar terstruktur, petani diharuskan untuk

menghasilkan produk dengan kuantitas dan kualitas

yang diminta secara kontinyu. Lebih dari itu, bukan

hanya menghasilkan produk yang berkualitas dengan

kuantitas yang diperlukan, petani perlu

mempertahankan kualitas dan kuantitas tersebut

hingga akhirnya produk sampai ke pasar terstruktur.

Hal yang berperan penting dalam

mempertahankan kualitas dan kuantitas produk

setelah dipanen adalah penanganan pascapanen.

Proses penanganan pascapanen merupakan hal yang

cukup vital dalam penanganan produk pertanian,

khususnya sayuran yang memiliki karakteristik

perishable (mudah rusak). Penyusutan hasil saat

pasca panen dapat lebih dari 40%. Hal tersebut akibat

dari kurangnya pengetahuan petani mengenai

perlakuan saat panen dan penyimpanan sementara,

juga buruknya bahkan tidak adanya fasilitas

penyimpanan dan penanganan pascapanen yang

layak ( Gebresenbert dan Bosana, 2012).

Permasalahan kehilangan hasil panen baik dari

segi kuantitas maupun kualitas dapat menjadi

hambatan petani dalam memasarkan produknya ke

pasar terstruktur. Oleh karena itu, untuk

mengatasinya petani memerlukan pengelolaan

pascapanen yang terstruktur, yaitu dengan sistem

logistik pertanian. Sistem logistik untuk produk

pertanian khususnya sayuran memiliki fungsi pada

area pengelolaan pasca panen, penyimpanan

sementara dan transportasi. Saat ini, Kelompok Tani

Katata sudah menerapkan sistem logistik dalam

usahataninya. Sistem logistik di kelompok tani

tersebut dikelola secara khusus oleh Katata PAL

Indonesia (Kapalindo). Sistem logistik diterapkan

kelompok tani dengan harapan dapat

memaksimalkan pemenuhan permintaan pasar

terstruktur yang bekerjasama dengan kelompok tani.

Pengelolaan logistik pertanian di kelompok

tani yang mengusahakan komoditas sayuran ini

masih tergolong baru sehingga masih diperlukan

pengembangan lebih lanjut. Artikel ini membahas

permasalahan kehilangan hasil pada aktivitas logistik

dan juga sistem logistik yang ada di Kelompok Tani

Katata. Pembahasan mengenai hal tersebut dapat

membantu kelompok tani untuk meningkatkan

kinerja sistem logistik yang sekarang diterapkan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Penelitian ini berawal dari adanya permintaan

sayuran dari pasar terstruktur, dimana permintaannya

tersebut memiliki spesifikasi tertentu. Kondisi ini

kemudian membuat Kelompok Tani Katata

menerapkan sistem logistik yang ternyata dalam

penerapannya masih memiliki beberapa masalah

seperti tingginya tingkat reject dan adanya

penyusutan bobot sayuran. Permasalahan ini

kemudian dianalisis oleh pendekatan system thinking.

Pendekatan system thinking digunakan agar

hubungan kausalitas setiap komponen dalam sistem

logistik dapat dipahami, sehingga dapat dilakukan

upaya-upaya peningkatan kinerja sistem logistik agar

permasalahan logistik teratasi dan permintaan pasar

terpenuhi. Kerangka pemikiran penelitian ini

singkatnya digambarkan pada Gambar 1.

Page 307: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

295

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN

Objek penelitian ini adalah sistem logistik

komoditas sayuran yang dipasok Kelompok Tani

Katata ke pasar terstruktur. Metode penelitian ini

dirancang sebagai studi kasus (case study) untuk

mencari informasi secara mendalam yang

menjelaskan sistem logistik sayuran.

Sumber data penelitian diperoleh dari data

primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang

dilakukan adalah studi lapangan (wawancara,

observasi, dokumentasi) dan studi pustaka.

Teknik pemodelan sistem logistik

menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan

pemodelan system thinking. Pemodelan tersebut

kemudian digambarkan dalam diagram sebab akibat

(causal loop diagram).

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEHILANGAN HASIL SELAMA AKTIVITAS

LOGISTIK

Kehilangan hasil pada produk sayuran dapat

dibagi menjadi dua, yaitu dari segi kualitas dan

kuantitas. Kehilangan hasil dari segi kuantitas dapat

ditunjukkan dengan penurunan bobot sayuran,

sedangkan kehilangan hasil dari segi kualitas dapat

ditunjukkan dengan penurunan kualitas baik dari segi

warna, bentuk fisik, tingkat kematangan, dan rasa.

Kehilangan hasil tersebut terjadi dari semenjak

produk dipanen hingga akhirnya sampai di pasar.

Penanganan pascapanen yang baik dan sesuai

karakteristik produk akan mempertahankan kualitas

komoditas hingga sampai di pasar, sehingga

kehilangan hasil tersebut dapat diminimalisir.

Kegiatan pascapanen di Kelompok Tani

Katata dilakukan di rumah pengemasan (packing

house) milik kelompok tani. Saat ini, Kelompok Tani

Katata menerapkan zero stock (tidak ada persediaan).

Jumlah produk yang dipanen disesuaikan dengan

jumlah produk yang dikirim ke pasar terstruktur.

Pemanenan produk pun dilakukan mendekati hari

pengiriman atau bahkan apabila jarak pengiriman dan

penanganan produk singkat, pemanenan dilakukan di

hari yang sama. Hal ini mengakibatkan waktu simpan

produk di packing house sangat singkat.

Tingkat kehilangan hasil di Kelompok Tani

Katata dapat dilihat pada Tabel 1. Kehilangan hasil

produk sayuran riskan terjadi pada saat penyimpanan

dan proses transportasi. Oleh karena itu, data yang

disajikan pada Tabel 1 adalah tingkat kehilangan

hasil berupa penyusutan bobot selama penyimpanan

dan transportasi. Kehilangan hasil secara kualitas

sendiri ditunjukkan oleh tingkat reject produk,

dimana produk yang ditolak (reject) adalah produk

yang kualitasnya tidak sesuai permintaan pasar

terstruktur baik segi dari bentuk, ukuran, maupun

warna.

Tabel 1. Kehilangan Hasil selama aktivitas Logistik

Kehilangan hasil selama penyimpanan

sementara hanya dialami oleh dua komoditas, yaitu

tomat beef dan kentang. Hal ini terjadi karena

komoditas lain dipanen dihari yang sama dengan

waktu pengiriman. Tomat beef mengalami

penyusutan bobot sebesar 2% selama satu minggu

Produ

k Pasar

Tingkat Kehilangan

Hasil Tingk

at

Reject Penyimpan

an

sementara

Transport

asi

Tomat

TW

PT.X

(57km)

- 0,5% 5%

Tomat

TW

PT.Y

(152k

m)

- 1,5% -

Tomat

Beef

PT.Y

(152k

m)

2% 1,5% -

Kentan

g

PT.Y

(152k

m)

2% 1% -

Wortel

Baby

PT.Z

(71km)

- 2-2,5% 25-

40%

Page 308: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

296

disimpan, sedangkan kentang mengalami penyusutan

bobot sebesar 2% selama tiga hari disimpan.

Kehilangan hasil selama transportasi paling

tinggi dialami oleh wortel baby yang menempuh

perjalanan sejauh 71km. Tingkat reject yang paling

tinggi pun dialami oleh wortel baby, yaitu berkisar.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, karena bila

dilihat dari segi jarak, komoditas yang menempuh

jarak paling jauh adalah komoditas yang dipasok ke

PT.Y.

Banyaknya kehilangan hasil yang dialami

komoditas wortel baby, pertama disebabkan oleh

penanganan pascapanen yang belum maksimal.

Berbeda dengan komoditas lainnya, komoditas

wortel baby tidak mengalami sortasi di packing

house jadi sortasi hanya dilakukan di kebun saja

padahal sesampainya di packing house wortel dicuci

menggunakan mesin, yang mana dalam prosesnya

wortel bisa saja patah. Kedua, fisik jalan yang dilalui

saat pengiriman wortel baby tidak sebagus fisik jalan

yang dilalui saat pengiriman komoditas lain. Jalan

yang perlu ditempuh ke PT.X dan PT.Y adalah jalan

bebas hambatan (jalan tol) dan jalan raya, sedangkan

jalan yang perlu ditempuh ke PT.Z selain kedua jalan

tersebut adalah jalan desa yang sedikit berlubang.

Fisik jalan yang kurang bagus tersebut menyebabkan

goncangan yang dialami komoditas selama

pengiriman lebih besar dan akhirnya menyebabkan

kerusakan sayuran.

Susut bobot dan permasalahan off grade pada setiap

komoditas sangat erat kaitannya dengan perlakuan

selama transportasi. Jika kerusakan mekanis pasca

transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif

besar maka penguapan dan kehilangan air dapat

terjadi lebih cepat. Sebaliknya jika kerusakan

mekanis pasca transportasi yang terjadi pada

permukaan buah relatif kecil maka penguapan dan

kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan akan

lebih lambat. Kerusakan yang terjadi pada

permukaan buah mengakibatkan buah mengalami

kehilangan pelindung alaminya, sehingga kegiatan

transpirasi berlangsung lebih cepat. Selain faktor

tersebut, suhu ruang penyimpanan juga

mempengaruhi laju penurunan susut bobot. Semakin

tinggi suhu ruang penyimpanan maka akan semakin

tinggi laju penurunan bobot buah (Hasiholan, 2008).

ANALISIS SYSTEM THINKING SISTEM

LOGISTIK SAYURAN

Sistem logistik memiliki fungsi pengelolaan

pascapanen. Logistik sendiri dimulai dari kegiatan

pemanenan produk hingga akhirnya produk sampai

di tangan konsumen, yaitu dalam kasus ini adalah

pasar terstruktur. Kausalitas dalam sistem logistik di

Kelompok Tani Katata dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan tiap unsur yang ada dalam

sistem logistik sayuran saling terkait dan memberi

efek bagi unsur lainnya.

Pada umpan balik negatif pertama (B1),

digambarkan apabila keuntungan petani meningkat,

maka kecenderungan modal yang dimiliki petani juga

akan meningkat. Peningkatan pada modal akan

meningkatkan usaha penanaman baru petani, yang

akhirnya akan meningkatkan produksi sayuran.

Namun apabila produksi sayuran meningkat, biaya

produksi akan meningkat dan hal ini justru akan

mengurangi keuntungan yang didapatkan petani.

Pada umpan balik negatif kedua (B2),

digambarkan bahwa pendapatan petani meningkat

akan meningkatkan keuntungan petani yang

selanjutnya seperti pada umpan balik negatif pertama

(B1) akan meningkatan produksi sayuran. Namun

selain meningkatkan biaya produksi, pada B2

digambarkan bahwa produksi sayuran akan

meningkatkan volume panen dan volume panen yang

meningkat akan meningkatkan sayuran on grade.

Peningkatan jumlah sayuran on grade, akan

meningkatkan biaya yang diperlukan untuk

pengelolaan pascapanen produk tersebut yang

disebut biaya logistik. Biaya logistik yang meningkat

akan mengurangi pendapatan petani.

Pada umpan balik negatif ketiga (B3), biaya

logistik yang meningkat juga akan meningkatkan

biaya produksi. Seperti yang sudah dijelaskan pada

B1, biaya produksi meningkat akan mengurangi

keuntungan padahal keuntungan yang meningkat

dapat meningkatkan modal petani sehingga dapat

meningkatkan produksi sayuran.

Umpan balik negatif keempat (B4)

menggambarkan hubungan kausal pendapatan dari

pasar tradisional. Pada umpan balik sebelumnya,

telah dibahas bahwa pendapatan yang meningkat

pada akhirnya akan meningkatkan produksi sayuran

karena pendapatan dapat meningkatkan modal petani

untuk melakukan penanaman baru. Produksi sayuran

yang meningkat kemudian akan meningkatkan

volume panen. Volume panen yang meningkat akan

meningkatkan jumlah sayuran yang on grade,

dimana apabila sayuran on grade meningkat jumlah

sayuran off grade akan menurun. Sayuran off grade

adalah sayuran yang tidak sesuai spesifikasi pasar

terstruktur, sehingga dijual ke pasar tradisional.

Penjualan ke pasar tradisional akan meningkat

apabila jumlah sayuran yang off grade meningkat.

Penjualan ke pasar tradisional ini juga akan

meningkatkan pendapatan.

Page 309: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

297

Gambar 2. Causal Loop Diagram Sistem Logistik Kelompok Tani Katata

Umpan balik positif pertama (R1)

menggambarkan hubungan kausal antara sayuran off

grade dan sayuran on grade. Sayuran yang dipanen

akan melalui proses sortasi dimana sayuran

dipisahkan sesuai spesifikasi yang diminta pasar.

Sayuran yang sesuai dengan spesifikasi pasar disebut

sayuran on grade. Peningkatan jumlah sayuran on

grade akan mengurangi jumlah sayuran yang off

grade. Begitu juga sebaliknya, peningkatan jumlah

sayuran yang off grade akan mengurangi jumlah

sayuran yang off grade.

Umpan balik positif kedua (R2) dan umpan

balik positif ketiga (R3) sama-sama menggambarkan

hubungan kausal pendapatan dengan penjualan ke

pasar terstruktur. Pada R2 digambarkan bahwa

volume panen yang meningkat akan meningkatkan

pengiriman ke pasar terstruktur lalu akan

meningkatkan jumlah sayuran yang diterima oleh

pasar terstruktur. Semakin banyak sayuran yang

diterima oleh pasar terstruktur, semakin tinggi pula

pendapatan dari pasar terstruktur. R3 juga

menggambarkan hubungan yang hampir mirip

dengan R2, hanya perbedaanya terletak di volume

panen. Pada R3, volume panen yang meningkat akan

meningkatkan jumlah sayuran yang on grade, baru

selanjutnya akan meningkatkan jumlah pengiriman

ke pasar terstruktur dan pada akhirnya meningkatkan

pendapatan.

Pada umpan balik negatif kelima (B5),

kualitas sumber daya manusia yang meningkat akan

meningkatkan ketelitian pada proses sortasi.

Ketelitian pada proses sortasi menandakan proses

sortasi dilakukan dengan baik dimana apabila terjadi

peningkatan dalam proses ini, jumlah sayuran reject

akan berkurang. Sayuran reject yang meningkat

nantinya akan meningkatkan keluhan pelanggan.

Keluhan pelanggan yang meningkat akan

meningkatkan perbaikan quality control pada

pascapanen. Terjadinya perbaikan quality control

akan meningkatkan ketelitian pada proses sortasi.

Perbaikan quality control juga akan

meningkatkan pengemasan sayuran dengan tepat.

Terjadinya pengemasan sayuran dengan tepat akan

mengurangi kerusakan fisik sayuran selama

transportasi. Kerusakan fisik selama transportasi

dapat menyebabkan sayuran reject meningkat yang

akan meningkatkan keluhan pelanggan dan

perbaikan quality control pascapanen. Hal ini

digambarkan pada umpan balik negatif keenam (B6).

Umpan negatif ketujuh (B7)

menggambarkan penyusutan bobot sayuran. Bermula

dari hal yang sama dengan B6, kerusakan fisik

Produksi sayuran

Volume Panen

Sayuran On Grade

Pengiriman ke pasar

terstruktur Sayuran diterima

pasar terstruktur

Pemenuhan

permintaan

Pendapatan

+

+

+

+

+

+

+

Sayuran Off Grade

-

-

Pasar tradisional+

+

Ketelitian proses

sortasi

+

Sayuran reject

+

-

Keluhan pelanggan

Kepuasan

pelanggan

Service Level

+

-

+

Perbaikan quality

control pascapanen

Penyusutan bobot

sayuran

-

+

Pengemasan sayuran

dengan tepat

+

+

+

Kerusakan fisik

sayuran

Kehilangan kadar

air sayuran

-

+

+

Kualitas SDM

+

+

B5

B7

Jarak pengiriman

Lama persiapan

pengiriman

Lama pengiriman

Sayuran terpapar

suhu ruang

+

+

+

+

+

R1+

biaya logistik

+

+

-

On time delivery-

-

+

Penanaman baru

+

-

-+

+

+ Biaya produksi

Keuntungan

Modal petani

+

+

+

+

-

+

B6

B1

B3

B2

B4

R2

R3

Page 310: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

298

sayuran dapat meningkatkan kehilangan kadar air

pada sayuran. Meningkatnya kehilangan kadar air

sayuran akan meningkatkan penyusutan bobot pada

sayuran. Penyusutan bobot sayuran yang meningkat

akan menyebabkan perbaikan quality control

pascapanen.

Keseluruhan loop tersebut saling berhubungan

dengan dihubungkan oleh variabel-variabel lain.

Seperti contohnya pada variabel modal petani. Modal

petani dapat meningkat apabila keuntungan petani

meningkat. Keuntungan petani sendiri dapat

meningkat apabila pendapatan petani meningkat.

Peningkatan pada pendapatan petani dapat terjadi

apabilia pemenuhan permintaan juga meningkat.

Pemenuhan permintaan pasar nantinya akan

menyebabkan peningkatan kepuasan pelanggan.

Pemenuhan permintaan sendiri disebabkan oleh

jumlah sayuran yang diterima pasar yang memiliki

hubungan langsung dengan jumlah sayuran on grade.

Jumlah sayuran on grade juga memiliki hubungan

kausalitas dengan volume panen dan proses sortasi,

dimana proses sortasi memiliki hubungan kausalitas

dengan permasalahan jumlah sayuran reject dan

penyusutan bobot. Permasalahan sayuran reject akan

memiliki implikasi terhadap keluhan pelanggan dan

menyebabkan kepuasan pelanggan menurun.

PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat

disimpulkan bebrapa hal, yaitu:

1. Tingkat kehilangan hasil berupa penyusutan

bobot selama aktivitas logistik di Kelompok

Tani Katata ternyata maksimal hanya

mencapai angka 2,5%. Tingkat reject produk

hanya dialami dua komoditas yaitu tomat tw

untuk PT.X sebesar 5% dan wortel baby yang

nilainya cukup besar yakni mencapai 25-40%.

2. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan

produk dan penyusutan produk antara lain,

pengemasan yang kurang tepat, lamanya

produk terpapar suhu tinggi, kurangnya

ketelitian pada proses sortasi.

Berdasarkan simpulan tersebut, rekomendasi

yang diberikan adalah penerapan Standard

Operating Procedure (SOP) logistik dalam aktivitas

logistik. SOP logistik ini nantinya mengatur segala

hal yang berhubungan dengan handling produk

seperti cara pengemasan yang tepat dan ketelitian

pada proses sortasi sehingga jumlah produk yang

ditolak dan penyusutan bobot dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

Bowersox, Donald J. 2006. Manajemen Logistik:

Integrasi Sistem-Sistem Manajemen Distribusi

Fisik dan Manajemen Material. Terj. Hasymi

Ali (ed). Jakarta. BumiAksara.

Gebresenbet, G & Techane, B. 2012. Logistics and

Supply Chain in Agriculture and Food.

Department of Energy and Technology,

Swedish University of Agricultural Science,

Uppsala, Swedia. Melalui :

www.intechopen.com. Diakses pada 29

Oktober 2014.

Pantastico, Er. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen,

Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan

dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika.

(Diterjemahkan oleh Kamariyani; editor G.

Tjitrosoepomo). Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Parfitt, J., M. Barthel and S. Macnaughton (2010)

β€œFood waste within food supply chains:

quantification and potential for change to

2050”. Philosophical Transactions of the

Royal Society – Biological Sciences: 3065-

3081, UK.

Perdana, T. 2012. Model Manajemen Logistik dalam

Meningkatkan Daya Saing Produsen Sayuran

Skala Kecil Untuk Memenuhi Permintaan

Pasar. Artikel Seputar System Dynamic dan

Agribisnis.

Page 311: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

299

Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta

Agricultural Commercialization in Yogyakarta Special Region

Jangkung Handoyo M.1,2*, Dwidjono H. Darwanto1, Setiawan Suryo K. J.3, Sugiyarto1, Arif Wahyu

W.4

1 Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, [email protected] 2 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

3 Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 4 Peneliti pada Lab. Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

A B S T R A K

Kata Kunci:

komersialisasi,

marketable surplus,

perdagangan,

subsisten,

usahatani

Kebanyakan petani Indonesia berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pangan

rumahtangga dengan membudidayakan tanaman pangan. Kegiatan perdagangan

dilakukan rumahtangga tani untuk memperoleh barang dan jasa yang tidak dapat

dipenuhi oleh produksi pertanian. Dalam perdagangan, petani membutuhkan uang

tunai untuk melakukan pertukaran. Uang tunai diperoleh petani dengan berbagai cara,

seperti melakukan pekerjaan sampingan di bidang off-farm, non-farm, dan melakukan

komersialisasi produksi pertanian yang memiliki surplus yang dapat dipasarkan

(marketable surplus). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menghitung tingkat

komersialisasi produksi pertanian dan (2) menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan petani terhadap tingkat komersialisasi usahatani. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingkat komersialisasi usahatani sebesar 70,16%,

dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani terhadap tingkat

komersialisasi pertanian adalah pengalaman bertani kepala rumahtangga, tingkat

pendidikan kepala rumahtangga, ukuran lahan pertanian, perbandingan harga gabah

terhadap harga bawang merah, perbandingan harga gabah terhadap harga bawang

putih, perbandingan harga gabah terhadap harga beras, perbandingan harga gabah

terhadap harga minyak goreng, perbandingan harga gabah terhadap harga gula,

perbandingan harga gabah terhadap harga cabai, perbandingan harga gabah terhadap

harga mie instan, perbandingan harga gabah terhadap harga tempe, dan perbandingan

harga gabah terhadap harga ayam.

ABSTRACT

Keywords:

commercialization,

farming,

marketable surplus,

subsistence,

trade

Most of the Indonesian peasant oriented to meet the needs of household foods by

cultivate food crops (self-sufficient). Trading activities carried out farm households to

acquire goods and services that cannot be met by agricultural production. In trade,

farmers need cash to exchange. Cash obtained farmers in various ways, such as doing

a side job in the field of off-farm, non-farm, and perform commercialization of

agricultural production that has marketable surplus. This study aims to: (1) calculate

the level of commercialization of agricultural production and (2) analyze the factors

that influence the decision of farmers on agriculture commercialization levels. The

results showed that: (1) the level of commercialization is 70,16%, and (2) factors

affecting decisions of agricultural commercialization are household head farming

experience, education level of household head, agricultural land size, paddy price

compared to onion price, paddy price compared to garlic price, paddy price compared

to the price of rice, paddy price compared to the price of cooking oil, paddy price

compared to sugar price, paddy price compared to chili price, paddy price compared

to the price of instant noodles, paddy price compared to the price of tempeh, and paddy

price compared to the price of chicken.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 312: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

300

PENDAHULUAN

Gambaran mengenai usahatani subsisten identik

dengan kecilnya skala usaha, tenaga kerja utama

berasal dari dalam keluarga, kekurangan mesin

pertanian, kesulitan dalam membeli input produksi

dan memasarkan produk (diasumsikan petani dalam

keadaan marketable surplus), serta tidak melakukan

usaha untuk memperoleh nilai tambah pada

komoditas utama. Secara lebih umum, karakteristik

usahatani subsisten adalah bahwa petani

memproduksi pangan untuk keluarganya dan tidak

memiliki orientasi komersil (Lerman, 2004).

Banyak petani di negara-negara miskin

berorientasi subsisten, yaitu petani hanya

memproduksi untuk konsumsi rumahtangga saja dan

potensi terjadinya surplus produksi yang dapat

dipasarkan sangat kecil. Petani melakukan hal ini

karena adanya keterbatasan sumberdaya pertanian,

atau rintangan yang menghalangi mereka untuk

membawa surplus produksi ke pasar terlalu tinggi. Di

Albania, hanya 48% dari responden yang melakukan

penjualan surplus produksi pertanian. Hal serupa

juga terjadi di Republik Ceko, sebesar 49%

rumahtangga tani belum terdaftar sebagai petani yang

menjual hasil panennya (Mathijs, 2002).

Dalam penjualan usahatani, semakin tinggi

harga produk relatif terhadap harga barang lain maka

semakin sedikit jumlah produk yang dijual ke pasar

karena mampu untuk membeli barang lain dengan

hanya menjual produk pada jumlah yang lebih sedikit.

Sebaliknya semakin rendah harga produk relatif

terhadap barang lain, petani akan menjual semakin

banyak agar mampu membeli barang lain yang

dibutuhkan rumahtangga. Dengan demikian jika harga

produk relatif lebih rendah dari harga barang lain maka

kemampuan rumahtangga petani untuk membeli

barang lain menurun yang berarti pula menurun tingkat

kesejahteraannya (Darwanto, 2005).

Dengan menggolongkan komoditas pertanian

tertentu sebagai komoditas subsisten maka produk

yang dihasilkan (Q) digunakan untuk memenuhi

konsumsi keluarga petani (C) dan selebihnya dijual

ke pasar (M). Secara matematis alokasi tersebut dapat

diformulasikan sebagai berikut (Toquero et al., 1975

dalam Darwanto, 2005) :

Q = C + M

Gambaran ekonomi untuk alokasi Q serta C

dan M secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1,

Sumbu horizontal (0F) menggambarkan jumlah

produk komoditas subsisten dan sumbu tegak (0Cn)

menggambarkan konsumsi barang atau produk lain

yang tidak diproduksi oleh rumahtangga tani.

Panjang sumbu datar 0F menggambarkan total

produk (Q) dengan alokasi untuk konsumsi

rumahtangga (C) dan untuk dijual ke pasar (M)

(Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005).

0F

X0

A0

A1

A2

Cn

U0

U1

U2

E0

E1

E2

MC0

Konsumsi RT Dijual ke PasarQ

Output

PPP

Gambar 1. Model Alokasi Output Petani Subsisten

untuk Konsumsi dan Dijual Sumber: Toquero et al., (1975) dalam Darwanto (2005)

Dengan anggapan bahwa produksi pertanian

mempunyai kontribusi yang relatif besar terhadap

pendapatan rumahtangga maka untuk produk sebesar

Q0 tersebut akan dialokasikan untuk konsumsi

rumahtangga sebesar C0 dan selebihnya sejumlah M0

untuk dijual ke pasar untuk memaksimalkan utility

atau kesejahteraan rumahtangga (U0). Teori klasik

menyatakan bahwa jumlah hasil yang dijual ke pasar

oleh rumahtangga petani akan tergantung pada

tingkat harga produk, yaitu semakin tinggi harga

produk maka akan semakin besar jumlah produk

yang dijual. Namun, untuk produk komoditas

subsisten ini pertimbangan harga produk tersebut

bukanlah satu-satunya pertimbangan petani untuk

memutuskan besaran jumlah barang yang dijual ke

pasar tetapi masih akan mempertimbangkan pula

harga barang kebutuhan lain yang tidak diproduksi

oleh rumahtangga petani tersebut. Dengan kata lain

besaran jumlah hasil yang dijual ke pasar tersebut

akan tergantung pada besarnya kebutuhan uang tunai

untuk membeli produk barang atau jasa yang tidak

dihasilkan oleh rumahtangga petani tersebut. Untuk

gambaran tersebut maka dapat dikemukakan

pertimbangan harga tersebut dicerminkan oleh

perbandingan harga yaitu Pi = Pr/Pnr dengan r = rice

dan nr = barang lain atau sebagai koefisien arah dari

garis anggaran (budget line) pada Gambar 2.2.

(Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005).

Page 313: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

301

Mathijs and Noev (2002) menemukan bahwa

share penjualan produksi pertanian pada empat

negara berbeda-beda, di Rumania share penjualan

sebesar 36%, Bulgaria sebesar 38%, Hungaria

sebesar 57%, dan Albania sebesar 84%. Beberapa

faktor yang mempengaruhi tingkat penjualan

pertanian pada rumahtangga subsisten tersebut

diantaranya yaitu usia kepala rumah tangga,

penerimaan rumahtangga tani, kepemilikan mobil,

keikutsertaan petani dalam koperasi pertanian, luas

lahan yang dikuasai petani, kepemilikan mesin-mesin

pertanian, jumlah ternak yang dimiliki petani, dan

jarak antara rumah petani dengan kota pemerintahan

yang paling dekat.

Meskipun petani di Indonesia identik dengan

orientasi subsistennya, kebutuhan ekonomi manusia

yang semakin komplek menuntut petani

meningkatkan produktivitas sehingga hasil yang

diperoleh selain digunakan untuk memenuhi

kebutuhan juga dapat dijual agar petani memiliki alat

tukar untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam

kegiatan penjualan usahatani, petani terlebih dahulu

akan menggunakan hasil pertaniannya untuk

memenuhi kebutuhan rumahtangga. Penjualan terjadi

ketika terdapat surplus produksi pertanian. Apabila

surplus tidak terjadi, maka pemenuhan kebutuhan

rumahtangga tani akan dipenuhi dari sumber lain

seperti tabungan hasil panen sebelumnya, pendapatan

yang berasal dari luar usahatani, maupun pinjaman

dari tetangga atau sanak saudara.

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menghitung tingkat penjualan/komersialisasi

produksi pertanian.

2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat penjualan/komersialisasi usahatani.

KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP

Pendapatan rumahtangga tani pada umumnya

dapat berasal dari usahatani (komersialisasi dan

konsumsi sendiri) dan luar usahatani (baik dengan

bekerja pada sektor pertanian/off-farm maupun non

pertanian/non-farm). Di samping beberapa sumber

tersebut, rumahtangga tani juga dapat memperoleh

pendapatan dari transfer maupun bantuan dari

pemerintah, namun hal ini tidak dialami oleh banyak

rumahtangga tani. Pendapatan yang diperoleh petani

akan digunakan untuk belanja yang merupakan

pengeluaran dan untuk ditabung (saving).

Komersialisasi usahatani merupakan suatu

kegiatan penjualan yang dilakukan petani terhadap

produk pertanian yang dihasilkan. Bagi petani kecil

di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar

membudidayakan tanaman pangan, kegiatan

usahatani sangat berpengaruh terhadap ketahanan

pangan rumahtangga. Oleh karena itu, produksi

pangan yang terbatas harus diprioritaskan untuk

pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga.

Bahkan, beberapa petani akan menabung hasil panen

mereka untuk berjaga-jaga apabila terjadi krisis

pangan, terutama yang diakibatkan gagal panen atau

suatu keadaan yang membuat petani tidak melakukan

usahatani (misal terjadi kekeringan atau bencana

alam lainnya). Petani akan melakukan kegiatan

komersialisasi usahatani apabila terdapat excess dari

produksi pangan mereka dan biasanya digunakan

untuk dapat mengakses kebutuhan pangan lain dari

pasar.

Pendapatan LUT

Pendapatan RT

Komersialisasi UT

Pendapatan UT

Konsumsi RT

Jarak Rumah-Kota

Pendidikan KK

Lama Berusahatani

Luas Lahan UT

Ukuran RT

Harga GKP/Harga Bawang Merah

Harga GKP/Harga Bawang Putih

Harga GKP/Harga Minyak Goreng

Harga GKP/Harga Gula

Harga GKP/Harga Cabe

Harga GKP/Harga Mie Instan

Harga GKP/Harga Tempe

Harga GKP/Harga Ayam

Produksi Pertanian

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

METODE PENELITIAN

1. Metode Sampling

Data yang digunakan dalam studi ini adalah

sebagian data dari dua riset berjudul β€œSubsistensi dan

Komersialisasi pada Usahatani di Daerah Istimewa

Yogyakarta” dan β€œKesenjangan Distribusi

Pendapatan dan Ketahanan Pangan Rumahtangga

Tani di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Hibah

Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada tahun

2013. Pengambilan data primer melibatkan 72

rumahtangga tani di Daerah Istimewa Yogyakarta,

terdiri dari 35 sampel dari petani Kabupaten

Gunungkidul dan 37 sampel petani dari Kabupaten

Sleman yang dipilih secara acak.

Page 314: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

302

2. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan 1 (satu) mengenai

tingkat komersialisasi rumahtangga tani digunakan

analisis kuantitatif. Yaitu dari masing-masing

rumahtangga tani yang menjadi responden dihitung

nilai perbandingan antara kuantitas produksi yang

dijual dengan total produksi. Menurut Starsberg,

Jayne, Yamano, Nyoro, Karanja, and Strauss (1999)

serta Okezie, Sulaiman, and Nwosu (2012), secara

matematis deskripsi perhitungan komersialisasi

usahatani adalah sebagai berikut:

𝑋 =𝑆

𝑇𝑃 π‘₯ 100 %

Keterangan :

X

S

TP

:

:

:

share penjualan rumahtangga tani (%)

kuantitas produksi yang dikonsumsi/ disimpan

total produksi rumahtangga tani

Selanjutnya, agar didapat satu nilai dari seluruh

responden, dicari nilai rata-rata share produksi

pertanian yang dikonsumsi atau disimpan untuk

seluruh rumahtangga tani.

Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi komersialisasi

usahatani di Yogyakarta digunakan metode analisa

ekonometri berupa regresi Logit. Sedangkan

software yang digunakan untuk menganalisa adalah

Eviews dengan metode enter, yaitu metode

pemilihan variabel dengan cara memasukkan semua

variabel dalam perhitungan (single step).

Penggunaan model regresi Logit untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan

keputusan petani untuk menjual output pertanian

yang pemilihannya didasarkan pada jenis data

variabel dependen yang merupakan data dummy atau

biner yang mengasumsikan hanya ada dua nilai pada

variabel dependen. Model regresi untuk menganalisa

hipotesis kedua ini sebagai berikut :

Com = c + ln DisHC + ln ExpHH + ln EduHH +

ln Income + ln Land + ln NumFM + ln

PP/PO + ln PP/PG + ln PP/PFO + ln PP/PS

+ ln PP/PCl + ln PP/PM + ln PP/PT + ln

PP/PCh + Β΅ Keterangan :

Com = tingkat orientasi petani

Com = 1, jika rumahtangga tani bersifat komersil

Com = 0, jika rumahtangga tani bersifat

subsisten DisHC = jarak rumah ke kota pemerintahan

ExpHH = lama pengalaman berusahatani

EduHH = lama pendidikan petani

Income = total pendapatan petani

Land = luas lahan pertanian

NuFM = ukuran rumahtangga

PP/PO = perbandingan harga gabah dan bawang merah

PP/PG = perbandingan harga gabah dan bawang putih

PP/PFO = perbandingan harga gabah dan minyak goreng PP/PS = perbandingan harga gabah dan gula

PP/PCl = perbandingan harga gabah dan cabe

PP/PM = perbandingan harga gabah dan mie instan

PP/PT = perbandingan harga gabah dan tempe

PP/PCh = perbandingan harga gabah dan ayam

c = konstanta

Β΅ = error term

a) Pengujian Model

Pengujian model Logit yaitu menggunakan

Maximum Likelihood Estimastion (MLE) untuk

menghitung nilai Likelihood Ratio Index (LRI) yang

setara dengan koefisien determinasi (R2) pada regresi

OLS, uji Likelihood Ratio (LR) yang setara dengan

uji F pada regresi OLS dan uji Wald (Z-Statistics)

yang setara dengan uji t pada regresi OLS (Green,

1993). Namun dalam regresi logistik tidak

mengasumsikan hubungan linear antara variabel

bebas dan terikat, tidak membutuhkan normalitas

dalam distribusi variabel dan juga tidak

mengasumsikan homoskedastisitas varians.

b) Goodness of Fit Test

Tiga pengujian goodness of fit dari model regresi

Logit yang umum dilakukan adalah pengujian

Likelihood Ratio Index (Pearson R2), pengujian

Likelihood Ratio Test (LR), dan Wald Test (Z).

1) Likelihood Ratio Index (LRI)

LRI ini sama dengan Pseudo R2 atau Mc.

Fadden’s R2 (Borooah, 2002). LRI pada regresi

logistik ini lebih ditujukan untuk mengukur

kekuatan hubungan (strengh of association).

Nilainya berkisar dari 0 hingga 1, dimana 0

mengindikasikan bahwa variabel independen tidak

dapat digunakan untuk untuk memprediksi variabel

dependen (have no usefulness in predicting).

2) Uji Likelihood Ratio (LR)

Uji LR digunakan untuk mengetahui tingkat

pengaruh semua variabel independen secara

bersama-sama terhadap variabel dependen. Dalam

hal ini formulasi LR menurut Theil (1971) sebagai

berikut :

LR = n’(R2) / 2 (1-R2)

Keterangan:

n’ : jumlah sampel dikurangi jumlah variabel bebas

R2 : koefisien determinasi

Adapun formula hipotesisnya sebagai berikut :

Page 315: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

303

Ho: Ξ²1 = Ξ²2 = .... = Ξ²i = 0, artinya tidak ada

pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen.

Ha: salah satu Ξ²i β‰  0, artinya ada pengaruh

variabel independen terhadap variabel

dependen.

LR dibandingkan dengan Chi Square tabel

(X2). Jika LR hitung > Chi Square tabel berarti Ho

ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa variabel

independen secara bersama-sama berpengaruh

nyata terhadap variabel dependen.

3) Wald Test (Z)

Uji ini digunakan untuk menguji pengaruh

masing-masing variabel independen terhadap

variabel dependen melalui perubahan odds.

Adapun formula hipotesisnya (Green, 1993;

Widarjono, 1992) adalah sebagai berikut :

Ho : Ξ²i = 0 atau Ho : ORi (odd ratio) = 1, artinya

tidak ada pengaruh variabel independen ke-i

terhadap dependen (ketahanan pangan rumah

tangga tani)

Ha : Ξ²i β‰  0, artinya ada pengaruh variabel

independen ke-i terhadap dependen

(ketahanan pangan rumah tangga tani)

W hitung (Wald) = (Ξ²/SE)2 = Z

W hitung dibandingkan dengan Chi Square

tabel (X2). Jika W hitung lebih besar daripada Chi

Square tabel (X2) berarti Ho ditolak atau variabel

independen yang diuji secara individu berpengaruh

nyata terhadap variabel dependen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Komersialisasi Usahatani

Total produksi pertanian rumahtangga tani di

Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum

terdistribusi untuk memenuhi kebutuhan pangan

internal rumahtangga dan sisanya dijual untuk

mencukupi berbagai keperluan lain seperti modal

usahatani musim tanam berikutnya, kebutuhan

pangan rumahtangga yang tidak dapat diproduksi

sendiri maupun kebutuhan non pangan. Besaran nilai

penjualan produksi pertanian dapat menentukan

status petani. Berdasarkan pada teori Mosher (1970)

dalam Kostov and Lingard (2004) serta Davidova,

Fredriksson, and Bailey (2009) menyebutkan bahwa

petani subsisten adalah petani yang menjual kurang

dari 50% total produksinya sedangkan yang

dimaksud dengan petani komersil adalah petani yang

melakukan penjualan lebih dari 50% nilai

produksinya. Kegiatan penjualan/ komersialisasi

usahatani merupakan bentuk perdagangan yang dapat

menjadi jembatan bagi petani untuk memenuhi

kebutuhan keluarga. Sebab, pada masa seperti

sekarang ini hampir tidak mungkin sebuah

rumahtangga dapat memenuhi seluruh kebutuhannya

tanpa melalui proses perdagangan.

Berdasarkan Tabel 1, tanaman semusim

memberikan kontribusi tertinggi baik yang

dialokasikan untuk konsumsi rumahtangga tani

maupun komersialisasi. Dalam hal konsumsi,

tanaman semusim khususnya padi memberikan hasil

produksi pangan yang dibutuhkan rumahtangga tani

sehingga wajar apabila sebagian besar produksi

dialokasikan untuk dikonsumsi sendiri. Produksi

usahatani yang tidak digunakan untuk konsumsi

merupakan produk marketable surplus yang dimiliki

oleh sebagian petani. Petani memanfaatkan

marketable surplus tersebut untuk disimpan sebagai

cadangan pangan rumahtangga atau dipasarkan untuk

menambah pendapatan. Sub sektor peternakan dan

perikanan juga turut berkontribusi terhadap konsumsi

rumahtangga maupun pada penjualan usahatani. Pada

usahatani peternakan, nilai produksi terbesar terjadi

karena adanya penambahan nilai ternak dan hasil

produksi seperti telur dan kotoran ternak yang

dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk kandang.

Nilai penjualan ternak tidak begitu tinggi sebab tidak

banyak petani yang menjual ternak mereka. Pada sub

sektor perikanan diketahui bahwa sebagian besar

produksi dimanfaatkan untuk konsumsi

rumahtangga. Produksi perikanan terbilang cukup

besar karena pada area sampling rata-rata

rumahtangga memanfaatkan sebagian lahan

pekarangan sebagai kolam. Adanya sumber air di

Kecamatan Ponjong dan supply air yang relatif

banyak di Kecamatan Sayegan sangat membantu

petani dalam melakukan budidaya ikan.

Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa

sebagian besar produksi usahatani dikelola untuk

konsumsi rumahtangga, yaitu sebesar 53%.

Sedangkan sisanya (47%) dialokasikan untuk dijual

untuk menambah pendapatan keluarga. Dengan

demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara

umum usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta

bersifat subsisten.

Besarnya proporsi usahatani untuk dikonsumsi

menunjukkan tingginya kebutuhan pangan

rumahtangga, terutama yang dapat dihasilkan oleh

usahatani. Disamping itu, produksi usahatani yang

dicapai oleh petani tidak cukup besar bila

dibandingkan dengan kebutuhan internal

rumahtangga sehingga marketable surplus yang

dialokasikan petani untuk dijual hanya sedikit.

Adanya kegiatan komersialisasi memiliki dampak

Page 316: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

304

positif bagi rumahtangga tani. Kegiatan penjualan

usahatani menyebabkan terciptanya orientasi pasar

yang lebih besar dari produksi pertanian petani

(Okezie et al., 2012). Semakin tinggi proporsi

penjualan terhadap produksi usahatani maka akan

semakin besar pula orientasi pasar petani. Orientasi

pasar akan memicu petani memiliki usahatani dengan

produktivitas tinggi dengan tujuan untuk

memperoleh keuntungan yang lebih besar.

Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan

komersialisasi usahatani juga dikemukakan oleh

beberapa pakar. von Braun and Kennedy (1994)

dalam Abera (2009) menyebutkan bahwa

komersialisasi memainkan peranan yang signifikan

dalam meningkatkan pendapatan dan merangsang

tumbuhnya perdesaan melalui peningkatan

kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas

pertanian perdesaan, pendapatan langsung bagi

pekerja dan pemilik lahan, meningkatkan suplai

makanan dan berpotensi dalam peningkatan status

gizi masyarakat desa. Pendapat tersebut juga

didukung oleh Timmer (1997) yang menyatakan

bahwa komersialisasi usahatani berhubungan erat

dengan produktivitas yang lebih tinggi, spesialisasi

usahatani yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih

besar. Lebih lanjut disebutkan bahwa hasil yang

didapatkan tersebut memberikan jalan bagi petani

untuk dapat memperbaiki tingkat ketahanan pangan,

pengurangan tingkat kemiskinan, dan turut

berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Manfaat komersialisasi juga dikaji dengan

sudut pandang yang berbeda yaitu kaitannya dengan

tingkat ketahanan pangan. Sebagai contoh, von

Braun (1995) menyatakan bahwa komersialisasi

memiliki efek langsung pada tingkat pendapatan

rumahtangga yang dapat menyebabkan peningkatan

pengeluaran pangan dan non pangan. Strasberg et al.

(1999) memperkuat pendapat tersebut bahwa untuk

mendapatkan akses makanan yang lebih baik,

rumahtangga bergantung pada pertumbuhan

pendapatan, khususnya bagi rumahtangga yang

sumber pendapatan utamanya berasal dari usahatani.

Hal ini berarti bahwa dengan meningkatkan tingkat

partisipasi pasar dapat memiliki dampak yang besar

pada status ketahanan pangan petani.

2. Faktorβ€’Faktor yang Mempengaruhi

Keputusan Komersialisasi Usahatani

Pengkajian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani

dilakukan dengan metode analisis Logit dan

menggunakan bantuan software Eviews 4.0. Sebelum

mengkaji hasil regresi yang didapatkan, perlu

dibahas terlebih dahulu pengujian terhadap asumsi-

asumsi yang ada pada metode regresi Logit, yaitu uji

determinasi dan uji Likelihood Rasio Statistik.

Kemudian untuk menarik kesimpulan akhir analisis

regresi Logit fungsi komersialisasi dilihat dari hasil

analisa secara parsial dengan melihat signifikansi

dari masing-masing variabel independen secara

individual untuk menjelaskan variabel dependen

pada model dengan menggunakan uji Z.

a) Uji Determinasi

Uji determinasi pada model regresi Logit tidak

menggunakan R2, namun menggunakan McFadden

R-Squared atau R2McF (Eviews, 2001). Berdasarkan

analisis regresi fungsi komersialisasi pada Tabel 2,

diketahui bahwa angka R2 McF adalah sebesar

0,6433 yang berarti variasi tingkat komersialisasi

usahatani dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang

termasuk dalam fungsi tingkat komersialisasi

usahatani sebesar 64,33 %. Sedangkan sisanya

Tabel 1. Tingkat Produksi, Konsumsi dan Komersialisasi

Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta

No Jenis

Usahatani

Produksi

(Rp)

Penjualan

(Rp)

Konsumsi

(Rp)

1 Tanaman Semusim

a. Padi 3.818.681 1.481.412 2.337.269

b. Kcg Tanah 366.563 329.913 36.649

c. Jagung 325.660 312.361 13.299

d. Kedelai 79.819 77.222 2.597

Total Tan. Semusim 4.590.722 2.200.908 2.389.814

2 Peternakan

a. Sapi 1.009.028 496.528 512.500

b. Kambing 1.023.125 524.514 498.611

c. Ayam 640.521 301.465 339.056

Total Peternakan 2.672.674 1.322.507 1.350.167

3 Perikanan

a. Lele 279.514 159.125 120.389

b. Gurame 540.972 156.250 384.722

c. Nila 302.750 77.257 225.493

Total Perikanan 1.123.236 392.632 730.604

TOTAL 8.386.632 3.916.047 4.470.585

PERSENTASE 100% 47% 53%

Sumber : Analisa data primer, 2014

Page 317: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

305

sebesar 35,77 % dijelaskan oleh faktor-faktor di

luar model yang diteliti.

b) Uji Likelihood Rasio Statistik

Berdasarkan hasil perhitungan oleh program

Eviews pada Tabel 2 diketahui bahwa nilai

probability dari Likelihood Ratio Statistic (LR Stat)

pada fungsi komersialisasi dengan menggunakan

model regresi Logit jauh berada di bawah tingkat

kesalahan (Ξ±) 0,10, yaitu 0,000 atau F hitung

signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel

independen secara bersama-sama berpengaruh

terhadap keputusan petani untuk menjual atau tidak

menjual hasil pertaniannya.

c) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputus-

an Petani pada Tingkat Komersialisasi

Usahatani

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa

variabel-variabel independen yang berpengaruh

secara signifikan terhadap komersialisasi usahatani

di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengacu

nilai Z-statistic dan angka probabilitasnya pada

output perhitungan regresi Logit oleh Eviews yaitu,

pengalaman bertani kepala keluarga, pendidikan

kepala keluarga, luas lahan pertanian, perbandingan

harga GKP terhadap harga bawang merah,

perbandingan harga GKP terhadap harga bawang

putih, perbandingan harga GKP terhadap harga

minyak goreng, perbandingan harga GKP terhadap

harga gula, perbandingan harga GKP terhadap

harga cabe, perbandingan harga GKP terhadap

harga mie instan, perbandingan harga GKP

terhadap harga tempe, perbandingan harga GKP

terhadap harga daging ayam, dan konstanta.

Variabel independen lainnya yang tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap

komersialisasi usahatani di Daerah Istimewa

Yogyakarta antara lain jarak rumah ke kota

pemerintahan terdekat, pendapatan total keluarga,

dan jumlah anggota keluarga.

Deskripsi dari masing-masing variabel

independen, baik yang berpengaruh signifikan

maupun yang tidak berpengaruh signifikan

diterangkan sebagai berikut :

1) Jarak rumah ke kota

Jarak antara rumah petani dengan kota

pemerintahan terdekat tidak berpengaruh signifikan

terhadap keputusan petani untuk melakukan

penjualan produksi pertanian. Kota pemerintahan

digambarkan sebagai tempat terdekat bagi petani

untuk dapat melakukan kegiatan penjualan

produksi pertanian. Namun, pada saat ini ternyata

petani dalam melakukan penjualan produksi

pertanian tidak lagi bergantung pada lokasi kota.

Penjualan usahatani dapat dilakukan secara lebih

praktis karena pelaku pemasaran memfasilitasi

petani untuk membeli hasil pertanian dari lahan

maupun dari rumah petani. Pelaku pemasaran

seperti tengkulak, saat ini semakin bersaing dan

berani menjemput hasil pertanian petani. Selain itu,

sistem penjualan seperti ijon juga memudahkan

petani untuk melakukan penjualan usahtani tanpa

harus memindahkan hasil pertanian.

2) Pengalaman bertani kepala keluarga

Hasil uji parsial menunjukkan pengalaman

bertani kepala keluarga memiliki pengaruh

signifikan terhadap penjualan usahatani pada

tingkat kepercayaan 90 % dengan tanda positif

sesuai dengan tanda harapan. Meningkatnya

pengalaman bertani kepala keluarga akan semakin

memantapkan keputusannya dalam melakukan

penjualan usahatani untuk memperoleh pendapatan

yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan

rumahtangga. Pengalaman berusahatani merupakan

faktor utama penentu komersialisasi usahatani

sehingga berpengaruh signifikan dan bertanda

positif (Kirui and Njiraini, 2013; dan Aderemi,

Omonona, Yusuf, and Oni, 2014). Hasil ini

Tabel 2. Hasil Regresi Logit Fungsi Komersialisasi

Usahatani di D. I. Yogyakarta

Variabel Tanda

Harapan

Koefisien

Regresi z-stat Prob.

ln DisHC 0,065 0,079 ns 0,540

ln ExpHH + 2,721 1,736 * 0,083

ln EduHH + 1,639 2,793 *** 0,005

ln Income 1,491 0,964 ns 0,335

ln Land + 2,319 2,110 ** 0,035

ln NuFM + -2,023 -1,054 ns 0,292

ln PP/PO -23,944 -2,719 *** 0,007

ln PP/PG -6,403 -2,447 ** 0,014

ln PP/PFO -7,308 -1,787 * 0,074

ln PP/PS -21,383 -2,485 ** 0,013

ln PP/PCl -5,515 -2,611 *** 0,009

ln PP/PM -23,604 -2,365 ** 0,018

ln PP/PT -10,721 -2,413 ** 0,016

ln PP/PCh -10,517 -2,113 ** 0,035

Konstanta 119,924 *** 0,008

LR Statistic 54,737 *** 0,000

McFadden R-Squared (R2McF) 0,6433

Sumber : Analisa data primer, 2014

Keterangan :

*** = signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %

** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %

* = signifikan pada tingkat kepercayaan 90 % ns = tidak signifikan

Page 318: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

306

menunjukkan bahwa penambahan tahun

pengalaman petani akan berdampak pada

peningkatan probabilitas petani melakukan

komersialisasi. Pengalaman diketahui sebagai

faktor yang mendorong tercapainya kesempurnaan

dalam melakukan kegiatan usahatani. Pengalaman

menghasilkan wujud peningkatan pengetahuan

teknis ataupun bentuk lainnya yang dapat

digunakan petani dalam usahatani (Agwu,

Anyanwu, and Mendie, 2012). Hussain, Chauhan,

Singh, and Yousuf (2009) menambahkan bahwa

pengalaman berusahatani merupakan alat praktis

bagi petani untuk membedakan antara teknologi

tradisional dan modern dan karena itu, merupakan

faktor yang signifikan dengan menimbang tingkat

adopsi petani terhadap teknologi. Petani komersil

percaya bahwa penggunaan teknologi akan

memberi lebih banyak produksi dan produksi yang

banyak akan memberi lebih banyak pendapatan,

sedangkan petani subsisten percaya pada teknologi

tradisional untuk memproduksi pertanian sampai

pada tingkat subsisten saja.

3) Lama pendidikan kepala keluarga

Merujuk pada hasil regresi Logit, umur kepala

keluarga berpengaruh terhadap keputusan petani

dalam melakukan penjualan usahtani dengan tanda

positif sesuai dengan teori dan signifikan pada

tingkat kepercayaan 99 %. Lama pendidikan formal

yang dimiliki oleh petani akan berpengaruh

terhadap pengelolaan produksi pertanian baik pada

jumlah yang disimpan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga maupun yang dijual untuk memperoleh

pendapatan. hal ini didukung oleh Rahut,

Castellanos, and Sahoo (2010) yang menyatakan

bahwa pendidikan kepala keluarga berdampak

signifikan terhadap komersialisasi usahatani karena

kepala keluarga yang lebih berpendidikan memiliki

kesadaran yang lebih tinggi akan nilai

komersialisasi dari tanaman yang diusahakan dan

membudidayakan tanaman tersebut dengan sebaik-

baiknya sehingga menghasilkan pendapatan yang

lebih tinggi. FAO (2014) berpendapat bahwa

pendidikan merupakan investasi dalam

meningkatkan orientasi komrsial petani. Dari hasil

analisa, banyak petani yang tertarik untuk

melakukan komersialisasi usahatani namun tidak

didasari oleh keterampilan perencanaan dan

pemasaran. Pengetahuan dan kemampuan untuk

bereaksi terhadap perubahan di pasar adalah pilar

untuk mengembangkan dan menerapkan strategi

manajemen pertanian yang berorientasi komersial.

4) Pendapatan total keluarga

Berdasarkan hasil regresi Logit didapatkan

bahwa besarnya pendapatan total keluarga tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan

petani menjual produksi usahatani. Tingginya

kebutuhan rumahtangga menyebabkan pendapatan

total petani tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap keputusan penjualan produksi pertanian.

Penjualan produksi pertanian lebih dipengaruhi

oleh harga barang-barang kebutuhan pokok

rumahtangga dan harga produk pertanian itu

sendiri. Pendapatan per kapita menggambarkan

tingkat kesejahteraan dari suatu rumahtangga tani.

Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu

rumahtangga tani maka seharusnya penjualan

produksi pertanian semakin rendah karena modal

untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lebih

tinggi sehingga tidak perlu melakukan

komersialisasi usahatani. Namun, pada

kenyataannya kebutuhan petani yang tinggi serta

pendapatan yang terbatas memaksa petani untuk

melakukan penjualan produksi pertanian.

5) Luas lahan pertanian

Hasil analisa menunjukkan bahwa luas lahan

pertanian memiliki pengaruh yang signifikan pada

keputusan petani melakukan penjualan produksi

pertanian dengan tanda positif sesuai tanda harapan

dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Luas

lahan pertanian merupakan aset petani yang

berguna dalam memproduksi hasil pertanian.

Semakin luas lahan pertanian yang dimiliki oleh

petani maka semakin banyak hasil pertanian yang

didapatkan petani sehingga semakin banyak pula

marketable surplus dari output pertanian tersebut.

Besar marketable surplus yang dimiliki petani akan

berpengaruh pada besarnya probabilitas petani

menjual hasil pertanian. Menurut Wiggins, Kodhek,

Leavy, and Poulton (2011), luas lahan pertanian

yang kecil membatasi komersialisasi dengan tidak

memberikan kesempatan petani untuk

memproduksi dengan tujuan komersil. Rahut et al.

(2010) menambahkan, aset berupa lahan

merupakan hal yang penting dalam komersialisasi.

Semakin luas lahan yang dimiliki berarti

memungkinkan petani untuk dapat memproduksi

lebih banyak surplus yang dapat dijual ke pasar.

6) Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap keputusan petani untuk

melakukan penjualan produksi pertanian. Secara

teori, semakin banyak anggota rumahtangga maka

semakin tinggi pula kegiatan usahatani yang dapat

dilakukan oleh rumahtangga sehingga semakin

besar produksi usahatani dengan surplus produksi

yang dapat dipasarkan. Namun, kebanyakan

anggota rumahtangga tani lebih memilih untuk

melakukan kegiatan di luar usahatani untuk dapat

Page 319: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

307

menambah pendapatan keluarga. Hal ini

menyebabkan produksi pertanian tidak bertambah

sehingga surplus produksi pertanian relatif tidak

dipengaruhi oleh ukuran rumahtangga.

7) Perbandingan harga GKP terhadap harga

barang pokok lainnya

Harga gabah menjadi acuan variabel

perbandingan harga produk pertanian terhadap

harga produk kebutuhan pokok lainnya karena

hampir seluruh petani memproduksi. Rata-rata

petani di Daerah Istimewa Yogyakarta

menghasilkan 128 kg beras/tahun dan 677 kg

GKP/tahun yang setara dengan 425 kg beras/tahun

setelah dikonversi dengan angka 62,74% sesuai

angka acuan konversi gabah kering ke beras oleh

BPS dan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Pertanian, Kementerian Pertanian. Kajian

mengenai tanda harapan pada variabel

perbandingan harga gabah terhadap harga barang

kebutuhan lainnya dapat dijelaskan melalui Tabel 3

dimana rata-rata rumahtangga tani memproduksi

sebesar 553 kg beras/tahun sedangkan konsumsi

rata-rata mencapai 556 kg/tahun. Berdasarkan

perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

secara umum rumahtangga tani bertindak sebagai

net consumer untuk produk gabah/beras. Melalui

perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa

produksi beras akan terlebih dahulu dialokasikan

oleh petani guna pemenuhan kebutuhan

rumahtangga, apabila terdapat kelebihan produksi

(marketable surplus) barulah petani

memanfaatkannya untuk dijual. Sehingga,

perbandingan harga antara gabah dan barang pokok

lainnya memiliki tanda harapan (expected sign)

negatif. Bagi petani, prioritas utama pemenuhan

kebutuhan beras rumahtangga lebih penting

daripada penjualan karena dengan kondisi defisit

beras (net consumer) maka seandainya petani

melakukan penjualan gabah atau beras akan

menyebabkan petani mengalami defisit beras yang

lebih besar, sebagai akibatnya petani harus membeli

beras dikemudian hari. Hal ini menyebabkan petani

tidak merespon harga gabah/beras, tetapi harga

barang kebutuhan pokok lainnya yang tidak

dihasilkan usahatani.

Analisa mengenai pengaruh harga gabah

relatif terhadap harga barang lain memberikan hasil

yang baik. Dari 8 (delapan) variabel perbandingan

harga yang dianalisa memberikan hasil yang

signifikan, yaitu perbandingan harga GKP terhadap

harga bawang merah, perbandingan harga GKP

terhadap harga bawang putih, perbandingan harga

GKP terhadap harga minyak goreng, perbandingan

harga GKP terhadap harga gula, perbandingan

harga GKP terhadap harga cabe, perbandingan

harga GKP terhadap harga mie instan,

perbandingan harga GKP terhadap harga tempe,

perbandingan harga GKP terhadap harga daging

ayam. Variabel perbandingan harga gabah terhadap

harga barang lain berpengaruh signifikan karena

dalam melakukan penjualan usahatani, petani

melihat harga barang lain. Hal ini ditujukan untuk

mengetahui daya beli petani. Apabila harga barang

pokok lainnya mahal, maka petani akan menjual

lebih banyak gabah agar dapat membeli barang lain

dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan

rumahtangga. Sebaliknya, bila harga barang lain

turun, maka daya beli petani akan meningkat

sehingga jumlah gabah yang dijual akan menurun.

Barang lain yang dianalisa pada model ini

merupakan barang kebutuhan pokok rumahtangga

sehingga hampir dikonsumsi oleh suluruh

rumahtangga. Mathur and Ezekiel (1961) dalam

Murbyarto (1965) menjelaskan bahwa karena

sektor pertanian kecil jarang yang menguangkan

produksi pertanian, petani memiliki tendensi untuk

bereaksi terbalik terhadap perubahan harga.

Dihipotesiskan bahwa pada suatu periode waktu

tertentu petani membutuhkan uang cash untuk

membeli komoditas yang tidak dapat diproduksi,

untuk membayar sewa, dan lain-lain. Hasilnya

adalah peningkatan harga produk akan diikuti

dengan penurunan jumlah produk yang ditawarkan,

karena jumlah yang lebih sedikit ini akan dapat

memenuhi kebutuhan akan uang cash. Petani

kemudian lebih memilih untuk menyimpan dalam

bentuk produk, keputusan ini diperkuat oleh

ketidakpastian di masa mendatang. Petani merasa

lebih aman dengan padian di gudang mereka

daripada uang di tabungan. Hal ini diperkuat oleh

Bardhan (1970) yang menjelaskan bahwa harga

padian memiliki efek negatif terhadap marketable

surplus. Harga produk yang lebih tinggi

menyebabkan kenaikan permintaan untuk

menyimpan produk menjadi besar.

Tabel 3. Balance Produksi dan Konsumsi Beras

Rata-Rata Rumahtangga Tani di DIY Rerata Produksi Beras

(Kg/RT/Tahun)

Rerata Konsumsi Beras

(Kg/RT/Tahun)

553 556 Sumber : Analisis data primer, 2014

Page 320: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

308

KESIMPULAN

a) Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta

memiliki orientasi subsisten dengan tingkat

konsumsi sebesar 53 %.

b) Rumahtangga tani di Daerah Istimewa

Yogyakarta berstatus sebagai net consumer

untuk produk beras.

c) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

penjualan produksi pertanian antara lain

pengalaman bertani kepala keluarga,

pendidikan kepala keluarga, luas lahan

pertanian, perbandingan harga GKP terhadap

harga bawang merah, perbandingan harga

GKP terhadap harga bawang putih,

perbandingan harga GKP terhadap harga

minyak goreng, perbandingan harga GKP

terhadap harga gula, perbandingan harga GKP

terhadap harga cabe, perbandingan harga GKP

terhadap harga mie instan, perbandingan harga

GKP terhadap harga tempe, dan perbandingan

harga GKP terhadap harga daging ayam.

SARAN

a) Adanya kesempatan bekerja, terutama pada

sektor non formal akan membantu petani kecil

untuk memperoleh kesempatan bekerja disela

kegiatan usahatani sehingga dapat

meningkatkan pendapatan rumahtangga tani.

Pendapatan yang lebih besar tersebut dapat

digunakan untuk pemenuhan kebutuhan

rumahtangga sehingga petani dapat

menyimpan lebih banyak, baik dalam bentuk

tabungan maupun produk pertanian.

b) Stabilitas harga bahan pangan pokok serta

perlindungan harga output pertanian sangat

diperlukan karena terkait dengan pendapatan

petani serta kemampuan petani dalam

memenuhi kebutuhan pokok rumahtangga.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Fakultas Pertanian UGM yang telah memberikan

research grant untuk penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abera, G. (2009). Commercialization of smallholder

farming : Determinants and welfare outcomes

(Master Thesis). Norway: University of Agder.

Aderemi, E. O., Omonona, B. T., Yusuf, S. A., and

Oni, O. A. (2014). Determinants of output

commercialization among crop farming

households in South Western Nigeria. American

Journal of Food Science and Nutrition

Research, 1 (4), 23-27.

Agwu, N. M., Anyanwu, C. I., and Mendie, E. I.

(2012). Socio-economics determinants of

commercialization among smallholder farmers

in Abia State, Nigeria. Greener Journal of

Agricultural Sciences, 2 (8), 392-397.

Bardhan, K. (1970). Price and output response of

marketed surplus of foodgrains : a cross-

sectional study of some North Indian Villages.

American Journal of Agricultural Economics,

52 (1), 51-61.

Borooah, V. K. (2002). Logit and Probit, Ordered

and Multinomial Model. London, Thousand

Oaks: Sage Publications, Inc.

Darwanto, D. H. (2005). Ketahanan pangan berbasis

produksi dan kesejahteraan petani. Ilmu

Pertanian, 12 (2), 152-164.

Davidova, S., Fredriksson, L., and Bailey, A. (2009).

Subsistence and semi-subsistence farming in

selected EU New Member States. Agricultural

Economics, 40 (1), 733-744.

Eviews. 2001. Eviews 4.0 User’s Guide. USA:

Quantitative Micro Software.

FAO. (2014). Understanding smallholder farmer

attitudes to commercialization : the case of

maize in Kenya. Rome.

Green, W. H. (1993). Econometric Analysis. New

York: Macmillan Publishing Company.

Hussain, A., Chauhan, J., Singh, A. K. and Yousuf,

S. (2009). A study on adooption behaviour of

farmers in Kashmir Valley. Indian Res. J. Ext.

Edu, 9 (2), 46-49.

Kirui, O. K. and Njiraini, G. W. (2013).

Determinants of agricultural commerciali-

zation among the rural poor : the role of ICT

and collective action iniciatives and gender

perspective in Kenya. Hammanet, Tunisia:

AAAE Fourth International Conference,

September 22-25.

Kostov, P. and Lingard, J. (2004). Subsistence

farming in transitional economies : its roles and

determinants. Journal of Agricultural

Economics, 55 (3), 565-579.

Lerman, Z. (2004). Policies and institutions for

commercialization of subsistence farms in

transition countries. Journal of Asian

Economics, 15 (3), 461-479.

Page 321: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

309

Mathijs, E. (2002). Micro-economic analysis of farm

restructuring in central and Eastern Europe: an

overview of major results. Agricultural

Economics Journal, 48 (5).

Mathijs, E. and Noev, N. (2002). Commercialization

and subsistence in transaction agriculture:

empirical evidence from Albania, Bulgaria,

Hungary and Romania. Paper Prepared for

Presentation at the Xth EAAE Congress

β€œExploring Diversity in the European Agri-Food

System”, Zaragoza (Spain), 28-31 August 2002.

Murbyarto. (1965). The elasticity of the marketable

surplus of rice in Indonesia : a study in Java-

Madura (Doctoral dissertation). Iowa: Iowa

State University.

Okezie, C. A., Sulaiman, J., and Nwosu, A. C.

(2012). Farm-level determinants of agriculture

commercialization. International Journal of

Agriculture and Forestry, 2 (2), 1-5.

Rahut, D. B., Castellanos, I. V., and Sahoo, P. (2010).

Commercialization of agriculture in the

Himalayas. Chiba, Japan: Institute of

Developing Economies (IDE) Paper No. 265.

Starsberg, P. J., Jayne, T. S., Yamano, T., Nyoro, J.,

Karanja, D., and Strauss, J. (1999). Effect of

agricultural commercialization on food crop

input use and productivity in Kenya (Working

Paper No. 71). East Lansing, Michigan:

Department of Agricultural Economics,

Department of Economics, Michigan State

University.

Theil, H. (1971). Principles of Econometrics. New

York: Wiley Publication.

Timmer, C. P. (1997). Farmers and markets: the

political economy of new paradigms. American

Journal of Agricultural Economics, 79 (2), 621-

627.

von Braun, J. (1995). Agricultural commercializa-

tion: impact on income and nutrition and

implication for policy. Food Policy, 20 (3), 187-

202.

Widarjono, A. (1992). Ekonometrika: Teori dan

Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Penerbit

Ekonisia, Yogyakarta.

Wiggins, S., Kodhek, G. A., Leavy, J. and Poulton,

C. (2011). Small farm commercialization in Africa :

Reviewing the issues. Research Paper. Future

Agricultures.

Page 322: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

310

Page 323: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

311

Dampak Agrowisata Desa Cihideung Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial Budaya,

dan Lingkungan (Studi Kasus di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong,

Kabupaten Bandung Barat)

Impact of Cihideung Village Agrotourism Based on Economic, Social Cultural, and

Environment (Case Study at Cihideung Village, Parongpong Sub District, West Bandung

District)

Anita Putri Kemala1, Rani Andriani Budi Kusumo1

1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci:

Agrowisata

Dampak

Ekonomi

Sosial Budaya

Lingkungan

Desa Cihideung memiliki keunggulan dalam bidang pertanian sebagai penghasil bunga

sehingga menjadi agrowisata bunga. Agrowisata memberikan dampak terhadap

masyarakat dan lingkungan sekitarnya..Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi

1) dampak positif agrowisata Desa Cihideung (2) dampak negatif agrowisata Desa

Cihideung dilihat dari aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan serta 3) kendala

dalam pengembangan agrowisata Desa Cihideung. Desain penelitian yang digunakan

adalah kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Informan ditentukan dengan

sengaja. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data

menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agrowisata

Desa Cihideung memberikan dampak positif yaitu adanya peningkatan pendapatan

masyarakat, meluasnya kesempatan kerja, peningkatan sarana dan prasarana desa,

meningkatkan keberagaman mata pencaharian, dan mempertahankan tradisi,

sedangkan dampak negatif agrowisata yaitu meningkatkan harga lahan, merubahan

gaya hidup menjadi konsumtif, menimbulkan terjadinya migrasi baik ke dalam

maupun ke luar Desa Cihideung, mengurangi tingkat kerukunan, meningkatkan

kriminalitas, menimbulkan polusi air, udara, suara, limbah padat, dan menimbulkan

kemacetan. Kendala dalam pengembangan agrowisata yaitu sarana dan prasarana

belum memadai, kurangnya kesadaran sumber daya manusia, kurangnya kepercayaan

masyarakat kepada pemerintah, kurangnya atraksi wisata, dan investor yang kurang

mendukung agrowisata.

ABSTRACT

Keywords:

Agrotourism

Impact

Economic

Social Cultural

Environment

Cihideung Village has agricultural advantage as producer of flowers so it is really

potential to be an agrotourism area. Agrotourism influences the social environtment

in this village. The objective of this research to identify 1) the positive impact of

agrotourism 2) the negative impact of agrotourism based on economic, social culture,

and social environtment and 3) the constraint in the development of agrotourism. The

research design used qualitative method specifically the case study technique. This

research was conducted in Cihideung Village, Parongpong Sub District, West

Bandung District. Informants were selected purposively. The data used primary and

secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis. The result

showed that the positive impact of agrotourism were increasing income, increasing

jobs opportunity, improving infrastructure, expanding livelihood, and preseving

tradition. The negative impact of agrotourism were increasing the price of land,

changing lifestyle become consumptive, fuel migration to the outside and into

Cihideung Village, reducing the level of harmony, increasing the number of crime,

pollution, and traffic. The constraint in the development of agrotourism are lack of

infrastructure, lack of human resources awarness, lack of public confidence to

government, lack of tourist attractions, and investor are less support of agrotourism.

* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]

Page 324: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

312

PENDAHULUAN

Sektor pariwisata merupakan sektor yang

menyumbang devisa dalam perekonomian di

Indonesia. Sejak tahun 2010, devisa sektor pariwisata

di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya

hingga menduduki peringkat ke-4 pada tahun 2013

yang sebelumnya menduduki peringkat ke-5 sebagai

penghasil devisa terbesar di Indonesia.

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2014)

Gambar 1. Ranking devisa 5 terbesar di Indonesia tahun 2010 –

2013.

Pariwisata unggulan di Indonesia yaitu

wisata alam karena Indonesia adalah negara agraris

yang kaya akan pertanian. Sektor pertanian selain

menghasilkan manfaat dari aspek produk

pertaniannya, juga memiliki keindahan alam yang

dapat dikembangkan sebagai objek wisata alam

satunya yaitu dijadikan agrowisata. Agrowisata

menurut Tinaprilla dan Elang (2008) adalah wisata

khusus perpaduan antara budidaya pertanian dan

pariwisata yang merupakan rekayasa dari objek

pertanian untuk dijadikan objek wisata.

Desa Cihideung merupakan salah satu

agrowisata yang berada di Kabupaten Bandung

Barat. Desa Cihideung merupakan agrowisata alami

yang dikelola oleh masyarakatnya sendiri. Hal ini

berbeda dengan agrowisata lainnya di Kabupaten

Bandung Barat yang pada umumnya dikelola oleh

pihak swasta. Desa Cihideung dijadikan agrowisata

karena mayoritas masyarakatnya bermata

pencaharian sebagai petani bunga yaitu lebih dari 80

persen warga Desa Cihideung menjadi petani bunga

(Disparbud Jabar, 2011). Berdasarkan Perda

Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun 2012 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung

Barat Tahun 2009-2029, Desa Cihideung termasuk

kedalam kawasan pariwisata yang diarahkan untuk

mewujudkan pengembangan kawasan wisata alam

berdasarkan potensi dan kearifan lokal dalam

pelestarian lingkungan.

Saat ini jumlah petani bunga di Desa

Cihideung terancam karena semakin sedikit para

generasi muda yang berkeinginan untuk meneruskan

untuk menjadi petani bunga. Hal ini karena

banyaknya usaha milik investor yang didirikan di

Desa Cihideung untuk memenuhi sarana penunjang

wisatawan ke Desa Cihideung seperti perhotelan dan

restoran sehingga mereka lebih memilih untuk

bekerja di sektor tersebut. Hal ini juga membuat

lahan untuk membudidayakan bunga di Desa

Cihideung semakin berkurang karena para penerus

yang seharusnya menjadi petani bunga memilih

untuk menjual lahan tersebut sehingga lahan tersebut

sudah beralih ke sektor non pertanian. Walaupun

dengan adanya usaha milik investor akan membuka

lapangan pekerjaan di Desa Cihideung, tetapi apabila

para generasi muda ikut mengambil kesempatan

tersebut dengan memilih untuk bekerja di sektor jasa

dibandingkan menjadi petani bunga maka akan

mengancam kelangsungan petani bunga di Desa

Cihideung termasuk agrowisata Desa Cihideung

karena agrowisata tersebut tidak terlepas dari para

petani bunga di Desa Cihideung.

Kegiatan wisata secara langsung menyentuh

dan melibatkan masyarakat di mana keterlibatan

masyarakat tersebut dihasilkan dari adanya interaksi

antara masyarakat, wisatawan, dan pemerintah yang

ditimbulkan suatu kawasan wisata sehingga

menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Dengan

adanya pengembangan Desa Cihideung sebagai

kawasan agrowisata akan menimbulkan dampak

terhadap masyarakat di Desa Cihideung baik dari

aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan di

mana dampak tersebut dapat berupa dampak positif

maupun dampak negatif. Dari pemaparan di atas,

maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi dampak positif yang

ditimbulkan dari agrowisata Desa Cihideung

2. Mengidentifikasi dampak negatif yang

ditimbulkan dari agrowisata Desa Cihideung

3. Mengidentifikasi kendala pengembangan

agrowisata Desa Cihideung.

KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP

Pengertian Agrowisata

Agrowisata menurut Tinaprilla dan Elang

(2008) adalah wisata khusus perpaduan antara

budidaya pertanian dan pariwisata yang merupakan

rekayasa dari objek pertanian untuk dijadikan objek

wisata. Objek wisata kunjungan pertanian yang

dimaksud di sini berupa kunjungan wisata untuk

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

40,000

45,000

2010 2011 2012 2013

Minyakdan GasBumi

Batu Bara

MinyakKelapaSawit

KaretOlahan

Pariwisata

Tahun

juta

US

$

Ranking Devisa 5 Terbesar di Indonesia Tahun 2010 - 2013

Page 325: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

313

memperkenalkan sistem budidaya pertanian baik

tradisional maupun modern.

Agrowisata menurut Adisukarjo (2006)

adalah wisata yang sarananya adalah pertanian,

perkebunan, atau kehutanan. Agrowisata biasanya

dikembangkan di daerah pegunungan yang udaranya

cukup sejuk.

Agrowisata menurut Bappenas (2004) adalah

pengembangan industri wisata alam yang bertumpu

pada pembudidayaan kekayaan alam. Industri ini

mengandalkan pada kemampuan budidaya baik

pertanian, peternakan, perikanan atau pun kehutanan.

Dampak Agrowisata

(1) Dampak Ekonomi

Menurut Yoeti (2008), dilihat dari aspek

ekonomi, pariwisata memberikan dampak yaitu

meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan

kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan

masyarakat, meningkatkan penerimaan pajak

pemerintah dan retribusi daerah, meningkatkan

pendapatan nasional, meningkatkan devisa negara,

meningkatkan harga tanah, dan memberikan dampak

efek pengganda atau multiplier effect. Waluya (2013)

menambahkan adanya pariwisata dapat mendorong

pembangunan didaerah berupa perbaikan sarana dan

prasarana di lingkungan daerah karena pemerintah

mendapat income yang dapat digunakan untuk

pembangunan sarana dan prasarana yang kurang

memadai.

Menurut Deptan (2002) atraksi wisata juga

dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta

masyarakat di sekitarnya. Wisatawan yang

berkunjung akan menjadi konsumen produk

pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil

menjadi lebih efisien. Selain itu, dengan adanya

kesadaran petani akan arti petingnya kelestarian

sumber daya, maka kelanggengan produksi menjadi

lebih terjaga yang pada gilirannya akan

meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat

sekitar, dengan banyaknya kunjungan wisatawan,

mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha

dengan menyediakan jasa dan menjual produk yang

dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.

Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak

lain untuk belajar atau magang dalam pelaksanaan

kegiatan budidaya ataupun atraksi-atraksi lainnya

sehingga dapat menambah pendapatan petani.

(2) Dampak Sosial Budaya

Menurut Pitana (2009) pariwisata dari segi

sosial budaya akan menimbulkan dampak dalam

bentuk perubahan perilaku manusia akibat interaksi

di dalam masyarakat antara wisatawan dengan

penduduk lokal dan pemerintahan setempat.

Perubahan perilaku tersebut diakibatkan adanya

kegiatan meniru perilaku wisatawan. Hal ini akan

memberikan dampak negatif apabila masyarakat

meniru perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan

aturan yang berlaku di masyarakat daerah wisata.

Masyarakat yang meniru perilaku wisatawan

dikarenakan adanya dorongan masyarakat untuk

mengejar sesuatu yang mereka tak punya, sesuatu

yang baru, dan tampak baik yang dikenakan atau

dilakukan oleh wisatawan.

Pariwisata juga memberikan dampak

terhadap kerukunan masyarakat di daerah tujuan

wisata. Keberadaan orang baru di suatu wilayah akan

mengakibatkan terjadinya keseimbangan baru pada

sistem sosial di wilayah tersebut. Keseimbangan baru

tersebut dapat dicapai baik malalui mekanisme damai

atau konflik. Tingkat penerimaan atau akseptabilitas

komunitas lokal terhadap datangnya wisatawan pada

suatu kawasan wisata akan menimbulkan reaksi pada

tingkat kerukunan masyarakat (damai atau konflik)

dalam derajat tertentu.

Cohen (dalam Pitana, 2009) mengatakan

bahwa dampak pariwisata terhadap sosial budaya

masyarakat adalah adanya dampak terhadap migrasi

dari dan ke daerah pariwisata. Hal tersebut

mengakibatkan jumlah penduduk di daerah wisata

menjadi padat. Salah satu faktor yang menyebabkan

terjadinya migrasi tersebut karena adanya

kesempatan bekerja di sektor pariwisata sehingga

menarik pendatang untuk tinggal di daerah wisata.

Menurut Pizam et al (dalam Pitana, 2009)

pariwisata berpotensi sebagai faktor penentu

munculnya berbagai bentuk kriminal. Kriminalitas

dapat terjadi karena adanya wisatawan yang datang

ke daerah wisata dan dimanfaatkan oleh masyarakat

untuk memperoleh hal yang tidak mereka miliki

namun dimiliki oleh para wisatawan. Dampak

lainnya yaitu perubahan mata pencaharian karena

adanya potensi untuk dapat bekerja dalam memenuhi

kebutuhan wisatawan ataupun untuk mendapatkan

kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya..

Menurut Budi (1993) pariwisata dapat

menggairahkan perkembangan budaya dan tradisi

asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur

budaya yang hampir dilupakan. Di lain pihak

pariwisata dapat mengubah corak berbagai unsur

kebudayaan. Misalnya kesenian dan upacara tradisi

yang semula dilakukan karena motivasi tradisional

dan spiritual yang berakar sangat kuat dalam

kebudayaan masyarakat, menjadi lepas dari motivasi

asli. Hal ini karena adanya tuntutan komersial. Tidak

menutup kemungkinan juga dengan adanya

pariwisata akan memudarkan tradisi di masyarakat.

Page 326: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

314

(3) Dampak Lingkungan

Menurut Nugroho (2011), kegiatan sektor

pariwisata dapat menghasilkan polusi berwujud

seperti emisi, kebisingan, sampah, limbah, minyak

dan bahan kimia, atau gangguan pemandangan.

Polusi dapat berwujud sampah (padat) adalah

fenomena umum dari sektor pariwisata. Karena

perilaku yang lebih konsumtif dibanding penduduk

lokal, volume sampah pada wilayah tujuan wisata

akan sangat tinggi. Sampah-sampah tersebut

walaupun terdegradasi, namun tetap mempengaruhi

kualitas air, udara, dan tanah yang menyebabkan

kematian biota-biota di dalamnya.

Polusi lain dari aktivitas wisata adalah

limbah atau air kotor dan gangguan estetika. Limbah

mengalir dari berbagai aktifitas selama konstruksi

hingga digunakannya berbagai sarana dan prasarana

wisata. Air tersebut akan mengalir ke badan-badan

air seperti sungai, danau, pantai, hingga lautan.

Karakteristik kimia dan lingkungan air akan

terganggu dan dapat mengakibatkan kematian flora

dan fauna, kerusakan terumbu karang, dan ancaman

kesehatan terhadap manusia.

Menurut Pitana (2009) pariwisata dari segi

lingkungan akan menimbulkan dampak terhadap

penurunan kualitas lingkungan apabila terjadi

penurunan kebersihan alam lingkungan dan

timbulnya kadar polusi lingkungan seperti air dan

udara. Selain itu dampak yang ditimbulkan adalah

kemacetan lalu lintas di kawasan wisata karena

banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke tempat

wisata.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Yoeti

(2008), dampak yang ditimbulkan dari adanya

pariwisata adalah sumber-sumber hayati menjadi

rusak yang menyebabkan Indonesia kehilangan daya

tariknya untuk jangka panjang. Selain itu juga

menimbulkan dampak terhadap ramainya lalu lintas.

Namun menurut Deptan (2002) dengan adanya

pariwisata khususnya agrowisata juga dapat

melestarikan sumber daya alam. Maka dari itu

agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata

ekologi (ecotoursm), yaitu kegiatan perjalanan wisata

dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan

tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan

alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan

alaminya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa

Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten

Bandung Barat, Jawa Barat Penelitian ini

menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian

studi kasus.

Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara,

observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Informan

ditentukan dengan sengaja (purposive). Informan

penelitian ini yaitu Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat,

aparatur pemerintahan Desa Cihideung, tokoh

seni dan budaya Desa Cihideung, Pertahanan

Sipil Desa Cihideung, Ketua Kelompok Tani di

Desa Cihideung. Dan masyarakat Desa

Cihideung sebanyak sebelas orang. Data yang

digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis

data menggunakan analisis deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Dampak Positif Agrowisata

(1) Aspek Ekonomi

a. Pendapatan

Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata membuat pendapatan masyarakat

meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut dapat

dilihat pada Tabel 1. Pendapatan tersebut merupakan

pendapatan kotor yang diperoleh masyarakat Desa

Cihideung yang memanfaatkan agrowisata untuk

memperoleh pendapatan.

Tabel 1.Perubahan Pendapatan Masyarakat Desa

Cihideung Akibat Agrowisata

Sebelum Masyarakat

Memanfaatkan Agrowisata

Setelah Masyarakat

Memanfaatkan Agrowisata Pening-

katan

Penda-

patan

(%) Mata

Pencaharian

Pendapatan

(Rp/bulan)

Mata

Pencaharian

Pendapatan

(Rp/bulan)

Petani

bunga 13.500.000

Petani bunga

dan penjual

souvenir

19.000.000 28,95

Petani

bunga 3.000.000

Petani bunga

dan

pengusaha

rumah makan

33.400.000 91,02

Petani

bunga 5.000.000

Petani bunga

dan

pengusaha

kost-kostan

14.000.000 64,29

Petani

bunga dan

pendekorasi

bunga

9.000.000

Petani bunga

dan

pendekorasi

bunga

13.000.000 30,77

Petani

bunga 9.000.000

Petani bunga

dan bandar 18.000.000 50,00

Petani

bunga 14.000.000

Petani bunga

dan pemandu

wisatawan

16.400.000 14,63

Penjual

buah 6.000.000

Pengusaha

rumah makan

dan warung

21.000.000 71,43

Page 327: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

315

Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata membuat pendapatan masyarakat

meningkat karena adanya kedatangan wisatawan ke

Desa Cihideung yang secara langsung menjadi

konsumen bunga dan memberikan peluang kepada

masyarakat untuk membuka usaha seperti rumah

makan, warung, kost-kostan, menjual souvenir, dan

menjadi pemandu wisatawan. Selain itu pendapatan

meningkat juga dikarenakan semakin terkenalnya

Desa Cihideung sebagai penghasil bunga sehingga

petani meningkatkan kuantitas bunganya untuk

memenuhi permintaan konsumen. Oleh karena itu

dengan adanya agrowisata dapat meningkatkan

perekonomian masyarakat Desa Cihideung.

b. Kesempatan Kerja

Menurut Yoeti (2008) dengan datangnya

wisatawan akan membuka lapangan pekerjaan di

daerah wisata. Setelah Desa Cihideung menjadi

kawasan agrowisata memberikan peluang kerja yang

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perubahan Kesempatan Kerja di Desa

Cihideung Akibat Agrowisata Kesempatan Kerja

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Kesempatan kerja

belum banyak

tersedia di Desa Cihideung.

Kesempatan kerja meluas dengan

adanya kesempatan kerja untuk

bekerja di sektor jasa milik investor dan memberikan peluang

kepada masyarakat untuk

membuka usaha seperti warung,

rumah makan, souvenir, dan kost-kostan, juga meluasnya

kesempatan kerja sebagai buruh

tani.

Terserapnya tenaga kerja lokal akibat

pariwisata menunjukkan bahwa sektor pariwisata

menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk

setempat. Para pendatang yang berasal dari daerah

lain juga mendapat kesempatan untuk memperoleh

pekerjaan di daerah wisata. Dengan demikian,

pengembangan agrowisata Desa Cihideung akan

memperluas kesempatan kerja karena usaha ini dapat

menyerap tenaga kerja dari masyarakat di Desa

Cihideung sehingga dapat menahan atau mengurangi

arus urbanisasi dan mengurangi pengangguran.

Menurut Gusti (2012) agrowisata dapat mengurangi

urbanisasi karena dengan adanya agrowisata di

pedesaan, kaum muda tidak perlu pergi ke kota untuk

bekerja.

c. Sarana dan Prasarana Menurut Waluya (2013) unsur pokok yang

harus mendapat perhatian guna menunjang

pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata

yaitu sarana dan prasarana wisata. Adanya

perubahan sarana dan prasarana di Desa

Cihideung setelah Desa Cihideung menjadi

kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 3. Pengembangan pariwisata akan berhasil jika

didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana

wisata yang baik. Fasilitas yang tepat dan dipadu

dengan pelayanan yang baik oleh semua pihak baik

pemerintah maupun swasta yang berhubungan

dengan wisatawan akan sangat menunjang

keberhasilan kawasan wisata tersebut. Perbaikan

sarana dan prasarana di Desa Cihideung bertujuan

untuk menunjang kegiatan agrowisata di Desa

Cihideung dengan memfasilitasi pengunjung agar

tertarik untuk datang ke Desa Cihideung. Agrowisata

tidak dapat berdiri sendiri namun harus di dukung

dengan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan

adanya pembangunan sarana dan prasarana di Desa

Cihideung juga memberikan dampak terhadap

pembangunan desa.

Tabel 3. Perubahan Sarana dan Prasarana di Desa

Cihideung Akibat Agrowisata Sarana dan Prasarana

Sebelum Desa

Cihideung

Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Sarana dan

prasarana belum

mendukung agrowisata Desa

Cihideung.

Berkembangnya sarana dan prasarana

untuk mendukung agrowisata di Desa

Cihideung seperti perbaikan jalan, bantuan pot tanaman, pembangunan

gapura agrowisata, munculnya Tourist

Information Centre, dan munculnya

hotel, villa, dan usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.

(2) Aspek Sosial Budaya

a. Mata Pencaharian

Menurut Gusti (2012) agrowisata dapat

meningkatkan gairah untuk meningkatkan usaha

karena wisatawan bersentuhan langsung dengan

penduduk lokal di mana objek tersebut

dikembangkan. Setelah Desa Cihideung menjadi

kawasan agrowisata membuat mata pencaharian di

Desa Cihideung yang mayoritas sebagai petani bunga

semakin beragam karena memunculkan usaha baru

yang sebelumnya tidak ada misalnya dengan

membuka rumah makan dan warung karena

diharapkan banyaknya wisatawan yang mampir ke

rumah makan dan warung tersebut akibat semakin

banyaknya wisatawan yang datang ke Desa

Cihideung, juga menjual souvenir kepada wisatawan.

Keunikan wilayah Desa Cihideung sebagai

kawasan agrowisata membuat banyaknya investor

Page 328: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

316

yang mendirikan usaha di Desa Cihideung seperti

perhotelan dan wisata lainnya. Usaha tersebut

membuat masyarakat Desa Cihideung memiliki mata

pencaharian di sektor jasa karena sebagian tenaga

kerja diambil dari masyarakat Desa Cihideung

walaupun masyarakat Desa Cihideung yang bekerja

di usaha tersebut bukan untuk tenaga kerja ahli. Hal

inilah yang membuat masyarakat membuka usaha

baru seperti usaha penyewaan kost-kostan dan rumah

kontrakan karena beberapa tenaga kerja yang bekerja

di tempat milik investor didatangkan dari luar Desa

Cihideung. Biasanya yang membuat kost-kostan atau

rumah kontrakan adalah petani yang memiliki lahan

luas sehingga menggunakan sebagian lahannya untuk

mendirikan usaha tersebut. Hal ini menunjukkan

bahwa agrowisata dapat menghidupkan sektor lain

yang mendukung agrowisata.

b. Tradisi

Ritual Irung-irung merupakan ritual di Desa

Cihideung yang dilakukan setiap bulan Agustus.

Irung-irung merupakan salah satu sumber mata air

bagi masyarakat Desa Cihideung. Tradisi Irung-irung

merupakan ritual yang bertujuan agar masyarakat

merawat sumber mata air dan juga merupakan bentuk

rasa syukur karena telah dikaruniai sumber mata air

yang tidak pernah surut. Perubahan tradisi Irung-

irung yang terjadi setelah Desa Cihideung menjadi

kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Tradisi di Desa Cihideung

Akibat Agrowisata Tradisi

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Tradisi Mata Air

Irung-Irung dilakukan

karena kepercayaan masyarakat. Acara

kegiatan hanya

menampilakan atraksi

dan kesenian sunda.

Tradisi Mata Air Irung-irung

diangkat menjadi Festival

Cihideung sehingga tradisi tersebut tetap bertahan. Tujuannya selain

karena kepercayaan masyarakat

yang harus dilakukan sekaligus

untuk mempromosikan agrowisata Desa Cihideung dengan kegiatan

acara kesenian Sunda dan lomba

dekorasi bunga

Menurut Budi (1993) pariwisata dapat

mengakibatkan budaya lokal menjadi komoditas

yang dapat diperdagangkan ketika suatu ritual

diadakan untuk permintaan dan kepuasan wisatawan.

Misalnya kesenian dan upacara tradisi yang semula

dilakukan karena motivasi tradisional dan spiritual

yang berakar sangat kuat dalam kebudayaan

masyarakat menjadi lepas dari motivasi asli. Hal ini

karena adanya tuntutan komersial. Tidak menutup

kemungkinan juga dengan adanya pariwisata akan

memudarkan tradisi di masyarakat. Namun

pariwisata juga dapat menggairahkan perkembangan

budaya dan tradisi asli, bahkan dapat juga

menghidupkan kembali unsur budaya yang hampir

dilupakan.

Diangkatnya tradisi Mata Air Irung-Irung ke

rangkaian acara Cihideung Festival membuat tradisi

tersebut tetap bertahan. Mereka tetap

mempertahankan tradisi tersebut tanpa ada unsur

memperdagangkan tradisi mereka karena tradisi

tersebut memang suatu keharusan dan kepercayaan

masyarakat Desa Cihideung untuk selalu

dilaksanakan setiap tahunnya.

2. Dampak Negatif Agrowisata

(1) Aspek Ekonomi

a. Harga Tanah

Menurut Yoeti (2008) pariwisata dapat

meningkatkan harga tanah di daerah wisata seperti

yang terjadi di Desa Cihideung. Kenaikan harga

tanah di Desa Cihideung terjadi setelah Desa

Cihideung berkembang menjadi kawasan agrowisata

karena para investor tertarik untuk menginvestasikan

tanah di Desa Cihideung yang nantinya akan mereka

bangun untuk mendirikan usaha. Kenaikan harga

tanah di Desa Cihideung dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan Harga Tanah di Desa Cihideung

Akibat Agrowisata

Tanah

Harga (Rupiah/meter)

Sebelum Desa

Cihideung

Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung

Menjadi Kawasan

Agrowisata

Jual Rp75.000 Rp500.000 – Rp4.000.000

Sewa - Rp2.000 – Rp10.000/tahun

Agrowisata memberikan dampak terhadap

tingginya harga tanah di Desa Cihideung yang

berakibat banyaknya petani yang tergiur untuk

menjual tanahnya sehingga tanah di Desa Cihideung

dikuasai oleh investor. Hal ini akan mengancam para

petani apabila lahan-lahan milik investor sudah

dibangun sehingga tidak tersedia lahan lagi untuk

disewa oleh petani yang tidak mempunyai lahan.

Petani yang tidak memiliki lahan ataupun tidak

sanggup menyewa lahan yang semakin tinggi

harganya dapat memberikan dampak terhadap petani

untuk berpindah mata pencaharian atau pindah ke

luar Desa Cihideung karena sudah tidak tersedia

lahan lagi di Desa Cihideung. Hal ini tentu akan

mengancam para petani bunga di Desa Cihideung di

mana ciri khas Desa Cihideung adalah

masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani bunga.

Page 329: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

317

(2) Aspek Sosial Budaya

a. Migrasi

Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata menimbulkan terjadinya migrasi

masyarakat Desa Cihideung ke luar Desa Cihideung.

Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Perpindahan penduduk ke luar Desa

Cihideung terjadi karena masyarakat yang menjual

seluruh tanahnya kepada investor memilih

menggunakan uang hasil menjual tanahnya di Desa

Cihideung untuk membeli tanah di daerah lain di luar

Desa Cihideung seperti ke daerah Pangalengan,

Ciwidey, Subang, Garut, dan Cianjur lalu menetap di

sana. Mereka pindah ke daerah tersebut karena harga

tanah di daerah tersebut lebih murah dibandingkan

dengan di Desa Cihideung sehingga mereka

mendapatkan keuntungan dari hasil menjual tanah di

Desa Cihideung.Adanya persaingan antara petani

bunga di Desa Cihideung juga menimbulkan adanya

perpindahan penduduk ke luar Desa Cihideung.

Masyarakat Desa Cihideung yang merasa lebih

menguntungkan untuk menjadi petani bunga di luar

Desa Cihideung karena terlalu padatnya petani bunga

di Desa Cihideung lebih memilih untuk pindah ke

luar Desa Cihideung seperti ke daerah Sumatera dan

Jawa. Tabel 6. Perubahan Migrasi di Desa Cihideung Akibat

Agrowisata

Migrasi

Sebelum Desa Cihideung

Menjadi Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung

Menjadi Kawasan

Agrowisata

Ke Luar

Desa

Cihideung

Ke Dalam

Desa

Cihideung

Ke Luar

Desa

Cihideung

Ke Dalam

Desa

Cihideung

Migrasi

terjadi

karena

keperluan

pendidikan dan akibat

adanya

pernikahan.

Migrasi

terjadi

akibat

adanya

pernikahan.

Migrasi terjadi

karena

keperluan

pendidikan

dan pernikahan,

juga akibat

masyarakat

menjual seluruh

tanahnya di

Desa

Cihideung dan karena adanya

persaingan

sesama petani

bunga.

Migrasi

terjadi akibat

adanya

pernikahan

dan karena tersedianya

kesempatan

kerja di Desa

Cihideung.

Perpindahan penduduk ke Desa Cihideung

terjadi karena tidak sedikit buruh tani yang

didatangkan dari luar Desa Cihideung. Masyarakat

Desa Cihideung sangat sedikit yang berkeinginan

untuk bekerja sebagai buruh tani. Mereka lebih

memilih untuk menjadi petani dibandingkan harus

bekerja untuk petani lain. Para pendatang tersebut

didatangkan dari Jawa, Sukabumi, Cililin, dan

Subang.

Banyaknya bermunculan sarana pendukung

agrowisata yang didirikan oleh investor juga

menimbulkan kedatangan masyarakat di luar Desa

Cihideung ke Desa Cihideung. Beberapa pekerja

yang bekerja di perusahaan yang didirikan oleh

investor didatangkan dari luar Desa Cihideung

karena tidak semua pekerja merekrut tenaga kerja di

Desa Cihideung. Hal tersebut karena adanya

kebutuhan merekrut tenaga ahli yang tidak tersedia di

Desa Cihideung. Menurut penelitian yang dilakukan

oleh Aryunda (2011) daerah tujuan wisata banyak

didatangi oleh tenaga kerja karena terbukanya

peluang dan kesempatan kerja yang tercipta oleh

adanya kegiatan yang berhubungan dengan

pariwisata.

Gambar 2 menunjukkan persentase

perpindahan penduduk Desa Cihideung pada tahun

2014. Banyaknya migrasi ke luar Desa Cihideung

yang ditimbulkan setelah Desa Cihideung menjadi

kawasan agrowisata dapat mengakibatkan jumlah

penduduk Desa Cihideung yang mayoritas sebagai

petani bunga semakin berkurang apabila masyarakat

Desa Cihideung yang melakukan migrasi tersebut

adalah petani. Hal ini dapat mengancam agrowisata

Desa Cihideung karena agrowisata tidak terlepas dari

para petani bunga di Desa Cihideung. Sedangkan hal

yang dapat terjadi akibat adanya perpindahan

penduduk ke Desa Cihideung dapat menimbulkan

kepadatan penduduk di Desa Cihideung apabila

jumlah penduduk tidak sebanding dengan kapasitas

luas Desa Cihideung.

Sumber: Laporan Mutasi Penduduk Desa Cihideung (2014)

Gambar 2.Perpindahan Penduduk Desa Cihideung

Tahun 2014.

b. Gaya Hidup

Adanya hubungan wisatawan dengan

masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap

gaya hidup masyarakat daerah tujuan wisata.

Perubahan gaya hidup yang terjadi setelah

64%

36%

Perpindahan Penduduk Desa Cihideung

Tahun 2014

Ke luar Desa Cihideung Ke dalam Desa Cihideung

Page 330: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

318

berkembangnya Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perubahan Gaya Hidup di Desa Cihideung

Akibat Agrowisata Gaya Hidup

Sebelum Desa

Cihideung

Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Gaya hidup

masyarakat

Desa Cihideung

yaitu sesuai dengan

masyarakat

pedesaan yang

memiliki gaya hidup

sederhana.

Tidak terpengaruhnya gaya hidup

wisatawan terhadap masyarakat Desa

Cihideung yang dianggap tidak sesuai

dengan budaya masyarakat Desa Cihideung. Namun gaya hidup berubah

menjadi konsumtif karena adanya

peningkatan pendapatan seperti memiliki

barang mewah dan munculnya sarana dalam memenuhi kebutuhan wisatawan

sehingga masyarakat masih beraktivitas di

malam hari.

Perubahan gaya hidup dapat memberikan

pengaruh positif atau negatif bagi yang

menjalankannya, tergantung pada bagaimana orang

tersebut menjalaninya. Menurut Sudiarta (2005)

dampak sosial yang ditimbulkan dari kawasan

pariwisata yaitu adanya gaya hidup mewah

masyarakat desa yang sudah terangkat secara

ekonomi.

c. Kerukunan Kerukunan dapat dilihat dengan tidak adanya

konflik yang terjadi di masyarakat. Perubahan

kerukunan yang terjadi akibat berkembangnya Desa

Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat

pada Tabel 8.

Tabel 8. Perubahan Kerukunan di Desa Cihideung

Akibat Agrowisata Kerukunan

Sebelum Desa

Cihideung

Menjadi Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Tidak adanya

konflik antar

masyarakat dengan

wisatawan ataupun

investor karena

belum adanya

wisatawan dan

investor yang datang ke Desa

Cihideung.

Masyarakat

dengan

Wisatawan

Masyarakat

dengan

Pendatang

(Investor)

Konflik terjadi

karena ada perbedaan

perilaku

wisatawan yang

tidak sesuai dengan budaya

masyarakat di

Desa

Cihideung.

Konflik terjadi

karena investor membuka usaha

yang tidak sesuai

dengan budaya

masyarakat Desa Cihideung.

Terjadinya konflik antara wisatawan

dengan masyarakat Desa Cihideung dikarenakan

adanya perbedaan perilaku wisatawan yang tidak

sesuai dengan budaya masyarakat di Desa Cihideung.

Wisatawan yang datang di mana mereka adalah

masyarakat perkotaan yang identik dengan sifat

individualis memiliki sifat yang berbeda dengan

masyarakat desa yang masih bersifat kekeluargaan.

Masyarakat yang tidak menerima budaya wisatawan

yang datang ke Desa Cihideung akan merasa

terganggu dengan kehadiran wisatawan. Selain itu

pelaku investor yang hanya mementingkan

keuntungan tanpa memikirnya budaya yang ada di

Desa Cihideung juga dapat menimbulkan konflik

seperti membuat usaha yang tidak sesuai dengan

budaya di Desa Cihideung ataupun mengadakan

kegiatan yang dapat mengganggu kenyamanan

masyarakat Desa Cihideung.

Banyaknya investor yang tertarik untuk

memiliki tanah di Desa Cihideung juga dapat

menimbulkan konflik ketika masyarakat Desa

Cihideung menjual tanahnya kepada investor namun

tanah tersebut berada di daerah sumber mata air yang

biasa dilakukan dalam pelaksanaan tradisi mata air

Irung-irung di Desa Cihideung. Dibelinya tanah di

sekitar mata air Irung-Irung menimbulkan

tertutupnya akses untuk ke sumber mata air tersebut

karena tanah yang dibeli disekat oleh investor. Hal ini

menimbulkan aksi protes warga karena mereka tidak

setuju apabila tradisi yang dilakukan turun temurun

di Desa Cihideung menjadi terhambat karena telah

dibelinya tanah tersebut oleh investor.

Menurut Pitana (2009), keberadaan orang

baru di suatu wilayah akan mengakibatkan terjadinya

keseimbangan baru pada sistem sosial di wilayah

tersebut. Keseimbangan baru tersebut dapat dicapai

baik malalui mekanisme damai atau konflik. Tingkat

penerimaan masyarakat terhadap datangnya

wisatawan pada suatu kawasan wisata akan

menimbulkan reaksi pada tingkat kerukunan

masyarakat. Apabila semakin tinggi konflik yang

terjadi akibat datangnya wisatawan dapat

mengakibatkan masyarakat lokal semakin tidak

mengharapkan datangnya wisatawan. Hal ini akan

berdampak tidak baik karena kawasan agrowisata

yang tujuannya mendatangkan wisatawan, apabila

masyarakatnya sendiri tidak mendukung maka

agrowisata tersebut tidak akan berkembang karena

hadirnya agrowisata harus didukung oleh masyarakat

daerah tujuan wisata.

d. Kriminalitas

Bentuk kriminalitas yang terjadi di suatu

kawasan pariwisata dapat berupa kejahatan terhadap

wisatawan ataupun kejahatan yang dialami oleh

masyarakat penyedia objek wisata. Terjadinya

Page 331: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

319

kriminalitas setelah Desa Cihideung menjadi

kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perubahan Kriminalitas di Desa Cihideung

Akibat Agrowisata Kriminalitas

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Jarang terjadi kriminalitas di Desa

Cihideung.

Meningkatnya kriminalitas di Desa Cihideung sekitar 50 persen seperti

pencurian kendaraan yang disertai

dengan aksi kekerasan. Selain itu

juga adanya kasus pencurian bunga.

Maraknya pencurian motor yang terjadi di

Desa Cihideung terjadi setelah Desa Cihideung

menjadi kawasan agrowisata karena perekonomian

masyarakat semakin meningkat sehingga memiliki

barang-barang mewah. Hal ini menjadi sasaran untuk

melakukan pencurian. Selain itu maraknya pencurian

bunga dikarenakan bunga yang diletakkan di

pekarangan ataupun di ladang tidak ditutupi dengan

pagar. Bunga-bunga tersebut dibiarkan terbuka

sehingga memudahkan para pencuri untuk

mengambil bunga. Selain itu pada malam hari bunga-

bunga tersebut tidak disinari oleh penerangan.

Banyaknya pencurian tanaman yang terjadi di Desa

Cihideung juga dilakukan oleh para pedagang bunga.

Menurut Priono (2011), pariwisata dapat

meningkatkan angka kriminalitas. Apabila

kriminalitas semakin meningkat dapat membuat

masyarakat Desa Cihideung ataupun wisatawan

merasa tidak aman untuk berada di Desa Cihideung.

Hal ini bisa saja membuat masyarakat Desa

Cihideung memilih untuk pindah ke tempat yang

lebih aman. Selain itu juga dapat membuat

berkurangnya jumlah wisatawan yang datang ke

Desa Cihideung karena merasa tidak aman.

(3) Aspek Lingkungan

a. Polusi Air

Air yang digunakan oleh masyarakat Desa

Cihideung berasal dari mata air yang berasal dari

Desa Cihideung sebanyak delapan sumber mata air.

Perubahan yang terjadi akibat berkembangnya Desa

Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai

polusi air dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Perubahan Kondisi Air di Desa Cihideung

Akibat Agrowisata Polusi Air

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Setelah Desa Cihideung

Menjadi Kawasan Agrowisata

Air melimpah dan

jernih

Air di sumber mata air berkurang

karena adanya pembangunan

sarana pendukung agrowisata,

namun air masih jernih.

Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata membuat adanya ketertarikan investor

untuk mendirikan usaha di Desa Cihideung. Hal

tersebut memberikan dampak terhadap penurunan

banyaknya air dikarenakan banyaknya investor yang

mendirikan bangunan untuk mendirikan usaha yang

menyebabkan daya resapan air berkurang karena

Desa Cihideung termasuk ke dalam kawasan resapan

air di Kawasan Bandung Utara (KBU). Namun untuk

kualitas air di Desa Cihideung tidak mengalami

perubahan. Apabila hal ini terus dibiarkan akan

mengancam masyarakat Desa Cihideung dalam

memenuhi kebutuhan air karena peran air di Desa

Cihideung sangat penting. Selain untuk keperluan

sehari-hari, air sangat dibutuhkan karena mayoritas

masyarakat Desa Cihideung bermata pencaharian

sebagai petani bunga sehingga membutuhkan air

untuk kelangsungan tanamannya.

b. Polusi Suara

Polusi suara yang ditimbulkan setelah Desa

Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat terlihat

dari kebisingan yang terjadi di Desa Cihideung.

Perubahan yang terjadi setelah Desa Cihideung

menjadi kawasan agrowisata mengenai polusi suara

dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Perubahan Kondisi Suara di Desa

Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Suara

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Setelah Desa Cihideung

Menjadi Kawasan

Agrowisata

Tidak adanya kebisingan

karena belum banyaknya

kendaraan yang datang ke

Desa Cihideung dan belum munculnya sarana-

sarana pendukung

agrowisata.

Adanya kebisingan yang

ditimbulkan dari banyaknya

kendaraan yang datang ke Desa

Cihideung dan akibat dari adanya kegiatan yang diadakan

hingga larut malam di tempat-

tempat sarana pendukung

agrowisata.

Menurut Nugroho (2011), kegiatan sektor

pariwisata dapat menimbulkan kebisingan. Dampak

kebisingan tersebut mengakibatkan manusia atau

fauna mengalami stress. Kebisingan ini tentunya

mengganggu kenyamanan masyarakat Desa

Page 332: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

320

Cihideung ketika masyarakat membutuhkan

ketenangan saat beristirahat ataupun melakukan

aktivitas lainnya.

c. Polusi Udara

Polusi udara menurut Karmana (2007)

adalah penambahan komponen udara yang

keberadaannya dapat merugikan dan membahayakan

organisme. Perubahan yang terjadi setelah Desa

Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai

polusi udara dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perubahan Kondisi Udara di Desa

Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Udara

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Setelah Desa Cihideung

Menjadi Kawasan Agrowisata

Polusi udara

ditimbulkan dari adanya pembakaran

sampah.

Polusi udara ditimbulkan dari

semakin banyaknya kendaraan yang datang ke Desa Cihideung

sehingga menimbulkan asap

kendaraan ditambah masih

banyaknya masyarakat yang menghilangkan sampah dengan

cara dibakar.

Menurut Hurmayeni (2014) alat transportasi

menjadi sumber utama polusi udara dari pariwisata

karena menghasilkan gas CO2 yang mencemari udara

dan menyebabkan pemanasan global. Namun

banyaknya bunga yang dibudidayakan di Desa

Cihideung dapat menanggulangi polusi udara karena

daun pada tanaman memiliki kemampuan

mengurangi zat pencemar udara termasuk Karbon

Dioksida (CO2) yang melayang di udara dan

penghasil Oksigen (O2). Disamping itu tanaman

memiliki fungsi dan peran sebagai penyerap panas

sehingga dapat mendinginkan suhu pada saat

berfotosintesis yang memerlukan sinar matahari dan

Karbon Dioksida (CO2) sehingga dengan demikian

keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi

Karbon Dioksida (CO2) di udara dan dapat

menurunkan suhu. Hal ini membuat keadaan udara di

Desa Cihideung tetap sejuk walaupun polusi udara

meningkat.

d. Kondisi Lalu Lintas

Polusi Lalu lintas adalah sarana untuk

bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Perubahan

yang terjadi akibat berkembangnya Desa Cihideung

menjadi kawasan agrowisata mengenai kondisi lalu

lintas dapat dilihat pada Tabel 13.

Menurut Yoeti (2008), pariwisata dapat

menimbulkan dampak terhadap ramainya lalu lintas

sehingga menimbulkan kemacetan. Kemacetan

tersebut dapat merugikan petani apabila petani

menjadi terhambat dalam memasarkan bunganya.

Tabel 13. Perubahan Keadaan Lalu Lintas di Desa

Cihideung Akibat Agrowisata Kondisi Lalu Lintas

Sebelum Desa

Cihideung

Menjadi

Kawasan

Agrowisata

Setelah Desa Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Tidak terjadi

kemacetan karena tidak

banyak

kendaraan yang

datang ke Desa Cihideung.

Terjadi kemacetan karena banyaknya

wisatawan yang datang ke Desa Cihideung dan tidak tersedianya lahan

parkir untuk wisatawan ataupun untuk

petani yang men-drop bunganya

sehingga banyak kendaraan yang memarkirkan kendaraan di pinggir jalan.

Hal ini juga didukung dengan kondisi

jalan di Desa Cihideung yang tidak

terlalu luas dan tidak tersedianya trotoar untuk pejalan kaki. Selain itu Desa

Cihideung merupakan jalan penghubung

untuk ke daerah lainnya yang diminati

wisatawan sehingga sering terjadi pelimpahan kendaraan yang

menyebabkan kemacetan.

e. Polusi Limbah Padat

Polusi limbah padat dari adanya kegiatan

agrowisata merupakan timbulnya sampah di Desa

Cihideung setelah Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata. Perubahan tersebut dapat dilihat pada

Tabel 14.

Tabel 14. Perubahan Kondisi Limbah Padat di Desa

Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Limbah Padat

Sebelum Desa

Cihideung Menjadi

Kawasan Agrowisata

Setelah Desa Cihideung

Menjadi Kawasan

Agrowisata

Sampah berasal dari

budidaya tanaman seperti sisa polybag dan sisa-sisa

tanaman dari

pemeliharaan, dan

kebutuhan masyarakat sehari-hari.

Sampah selain dihasilkan dari

sisa polybag, sisa-sisa pemeliharaan tanaman, dan

kebutuhan masyarakat sehari-

hari, juga karena adanya

kunjungan wisatawan sehingga meningkatkan volume sampah

sekitar 50 persen.

Terjadinya penumpukan sampah dapat

mempengaruhi lingkungan sekitar seperti terjadinya

penyumbatan saluran air yang sebelumnya tidak

pernah terjadi di Desa Cihideung. Walaupun sampah

yang diakibatkan Desa Cihideung menjadi kawasan

agrowisata semakin meningkat, namun sampah

tersebut masih dapat teratasi dengan adanya bantuan

dari Gubernur Jawa Barat ataupun dengan cara

dibakar oleh petani di Desa Cihideung. Menurut

Nugroho (2011) sampah adalah fenomena umum dari

sektor pariwisata. Volume sampah pada wilayah

tujuan wisata akan meningkat. Menurut Sudarmadji

dan Widyastuti (2014) adanya peningkatan jumlah

Page 333: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

321

kunjungan wisatawan cenderung meningkatkan

volume sampah.

3. Kendala Pengembangan Agrowisata Desa

Cihideung

(1) Sarana dan Prasarana

Menurut Bappenas (2004), kawasan

agrowisata harus memiliki sarana prasarana dan

infrastruktur yang memadai untuk mendukung

pengembangan agrowisata. Setelah Desa Cihideung

menjadi kawasan agrowisata, sarana dan prasarana

mengalami perbaikan untuk mendukung agrowisata.

Namun sarana dan prasarana tersebut masih belum

memadai misalnya seperti belum tersedianya tempat

parkir untuk para wisatawan sehingga membuat arus

kendaraan terhambat karena banyaknya wisatawan

yang memarkirkan kendaraan di pinggir jalan. Tidak

tersedianya lahan parkir dikarenakan tingginya harga

lahan di Desa Cihideung sehingga terhalang biaya

untuk menyediakan lahan parkir. Selain itu Tourist

Information Centre sebagai sarana penyedia

informasi bagi wisatawan tidak berjalan dengan baik

sehingga menjadi penghambat bagi wisatawan dalam

memperoleh informasi.

(2) Sumber Daya Manusia

Kawasan agrowisata harus memiliki sumber

daya manusia yang berkemauan dan berpotensi untuk

mengembangkan kawasan agrowisata (Bappenas,

2004). Namun saat ini kurangnya kesadaran

masyarakat Desa Cihideung terhadap

keberlangsungan agrowisata. Hal ini dapat dilihat

dari banyaknya masyarakat yang menjual lahan yang

digunakan untuk membudidayakan bunga kepada

para investor sehingga lahan tersebut beralih fungsi

ke sektor non pertanian. Mereka tergiur dengan harga

jual tanah yang tinggi tanpa memikirkan

keberlangsungan agrowisata bunga Desa Cihideung.

Para generasi muda juga lebih tertarik untuk bekerja

di sektor non pertanian dengan banyaknya

bermunculan usaha-usaha milik investor di sektor

industri dan jasa yang berada di Desa Cihideung.

(3) Masyarakat-Pemerintah

Pemain kunci di dalam agrowisata adalah

masyarakat penyedia wisata, wisatawan, dan

pemerintah. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator

dalam mendukung berkembangnya agrowisata.

Harus adanya interaksi positif diantara mereka untuk

menuju kesuksesan dalam pengembangan

agrowisata. Namun tidak sedikit masyarakat Desa

Cihideung yang menganggap negatif terhadap

pemerintah dalam mengembangkan agrowisata

sehingga menjadi penghambat dalam pengembangan

agrowisata.

(4) Atraksi Wisata

Dalam agrowisata dibutuhkan kegiatan

atraksi wisata yang dapat menjadi penambah daya

tarik bagi wisatawan untuk datang ke agrowisata.

Namun saat ini wisata yang ditawarkan belum

maksimal karena masih sedikitnya masyarakat yang

menyediakan atraksi wisata untuk wisatawan yang

datang ke agrowisata Desa Cihideung sehingga

wisatawan yang datang ke Desa Cihideung biasanya

hanya sebatas untuk membeli bunga. Hal ini karena

kurang diberdayakannya masyarakat dalam

memanfaatkan agrowisata untuk dijadikan peluang

dalam memberikan atraksi kepada wisatawan.

(5) Investor

Agrowisata dapat merangsang tumbuhnya

investasi bagi kawasan agrowisata sehingga

menghidupkan ekonomi lokal (Bappenas, 2004).

Namun investasi yang dilakukan oleh para investor

belum mengarah ke sektor pertaniannya, tetapi ke

sektor industri jasa seperti perhotelan, restoran,

bahkan membuat wisata lainnya di daerah

agrowisata. Hal ini membuat agrowisata Desa

Cihideung bersaing dengan wisata lainnya dimana

seharusnya wisata yang ditonjolkan di Desa

Cihideung adalah agrowisatanya.

PENUTUP

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:

1. Dampak positif agrowisata Desa Cihideung yaitu

adanya peningkatan pendapatan masyarakat,

meluasnya kesempatan kerja, peningkatan sarana

dan prasarana desa, meningkatkan keberagaman

mata pencaharian, dan mempertahankan tradisi

2. Dampak negatif agrowisata Desa Cihideung yaitu

meningkatkan harga tanah, merubah gaya hidup

menjadi konsumtif, menimbulkan terjadinya

migrasi baik ke dalam maupun ke luar Desa

Cihideung, mengurangi tingkat kerukunan,

meningkatkan kriminalitas, menimbulkan polusi

air, udara, suara, limbah padat, dan menimbulkan

kemacetan

3. Kendala dalam pengembangan agrowisata Desa

Cihideung yaitu sarana dan prasarana belum

memadai, kurangnya kesadaran sumber daya

manusia, kurangnya kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah, kurangnya atraksi wisata, dan

investor yang kurang mendukung agrowisata.

Saran dari hasil penelitian ini yaitu:

1. Perlu adanya penyusunan strategi pengembangan

jangka panjang agrowisata Desa Cihideung

dengan melibatkan masyarakat Desa Cihideung

dalam pengembangan agrowisata.

Page 334: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

322

2. Pihak pemerintah sebaiknya memaksimalkan

dampak positif dan meminimalisasi dampak

negatif agrowisata misalnya dengan memperketat

perizinan pembangunan di Desa Cihideung yang

dapat merugikan masyarakat di Desa Cihideung

khususnya petani.

3. Sebaiknya masyarakat Desa Cihideung sadar akan

pentingnya keberlangsungan pertanian di Desa

Cihideung karena pertani bunga merupakan mata

pencaharian utama masyarakat di Desa

Cihideung.

DaFTAR PUSTAKA

Adisukarjo, Sudjatmoko. 2006. Horizon Ilmu

Pengetahuan Sosial. Yudhistira.

Aryunda, Hanny. 2011. Dampak Ekonomi

Pengembangan Kawasan Ekowisata

Kepulauan Seribu. Jurnal Perencanaan

Wilayah dan Kota, Vol. 22 No. 1, April

2011, hlm.1 – 16. Magister Rancang Kota

Institut Teknologi Bandung.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat.

2014. Kecamatan Parongpong dalam

Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten

Bandung Barat.

Budi, Cahyo Utomo dkk. Dampak Pengembangan

Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial di

Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Departemen Pertanian. 2003. Agrowisata

Meningkatkan Pendapat Petani.

Departemen Pertanian. Diambil 10 Januari

2015, dari http://database.deptan.go.id.

Departemen Pertanian. 2010. Agrowisata di

Kabupaten Bandung Barat. Departemen

Pertanian. Diambil 10 Januari 2015, dari

http://database.deptan.go.id

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa

Barat. 2014. Data Potensi Objek dan Daya

Tarik Wisata Jawa Barat Tahun 2014.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi

Jawa Barat.

Dinas Perkebunan Jawa Barat. 2014. Potensi

Agrowisata Perkebunan Jawa Barat. Dinas

Perkebunan Jawa Barat. Diambil 1

November 2014, dari

http://disbun.jabarprov.go.id.

Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan

Tertinggal. 2004. Tata Cara Perencanaan

Pengembangan Kawasan Untuk

Percepatan Pembangunan Daerah. Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional.

Diambil 10 Februari 2015, dari

http://perpustakaaan.bappenas.go.id.

DPRD Kabupaten Bandung Barat. 2012. Perda

Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun

2012 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kab. Bandung Barat. DPRD

Kabupaten Bandung Barat. Diambil 14

Februari 2015, dari https://www.pu.go.id/.

Gusti, I Bagus Rai Utama. 2012. Agrowisata Sebagai

Pariwisata Alternatif di Indonesia: Solusi

Masif Pengentasan Kemiskinan. Bali.

Hurmayeni, Nia. 2014. Dampak Objek Wisata

Pemandian Bukit Jariang Punai Pada

Masyarakat Sekitar Kampung Baliak Koto

Kenagarian Pelangai Kaciak, Kecamatan

Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan.

STKIP PGRI Padang.

Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi.

Bandung: Grafindo Media Pratama.

Kementerian Pariwisata. 2014. Rangking Devisa

Pariwisata terhadap Komoditas Ekspor

Lainnya. Diambil 14 Februari 2015, dari

http://www.parekraf.go.id/.

Nugroho, Iwan. 2011. Ekowisata dan Pembangunan

Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Pemda Kabupaten Bandung Barat. 2015. Visi dan

Misi Kabupaten Bandung Barat. Pemda

Kabupaten Bandung Barat. Diambil 8

Februari 2015, dari

http://www.bandungbaratkab.go.id.

Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2007. Sosiologi

Pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Pitana, I Gde, 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.

Yogyakarta: Andi.

Priono, Yesser. 2011. Studi Dampak Pariwisata

Bukit Batu Kabupaten Kasongan Ditinjau

Dari Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Jurnal Perspektif Arsitektur. Volume 6

No.2, Desember 2011. Universitas

Palangka Raya.

Rimba, Ahmad Dirgantara. 2012. Dampak Taman

Safari Indonesia 1 Cisarua Bogor

Terhadap Ekonomi, Sosial Budaya dan

Lingkungan. Elemen dan Sistem

Kepariwisataan. PP5102. Institut

Teknologi Bandung.

Sudarmadji dan Widyastuti. 2014. Dampak dan

Kendala Wisata Waduk Sermo dari Aspek

Lingkungan Hidup dan Risiko Bencana.

Jurnal Teknosains. Vol. 3 No.2, 22 Juni

2014, halaman 181-166. Universitas

Gadjah Mada.

Page 335: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

323

Sudiarta, Made. 2005. Dampak fisik, Ekonomi, Sosial

Budaya terhadap Pembangunan

Pariwisata di Desa Serangan Denpasar

Bali. Jurnal Manajemen dan Pariwisata

Vol. 4 No. 2, 2005.

Tinaprilla, Netti dan Illik, Elang Martawijaya. 2008.

Punya Bisnis Sendiri Itu Nikmat. Jakarta:

PT Kompas Media Nusantara.

Tri, A. Tugaswati. Emisi Gas Buang Kendaraan

Bermotor dan Dampaknya Terhadap

Kesehatan. Komisis Penghapusan Bensin

Bertimbel. Diambil 1 Mei 2015, dari

http://www.kpbb.org/.

Waluya, Jaka. 2013. Dampak Pengembangan

Pariwisata. Jurnal Region Volume V No. 1

Maret 2013. Universitas Islam 45 Bekasi.

Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi Pariwisata, Introduksi,

Informasi, dan Implementasi. Jakarta: Kompas.

Page 336: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

324

Page 337: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

325

Pola Kemitraan Petani Paprika Dengan Koperasi Mitra Sukamaju Dalam

Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

The Partnering Pattern betwen Paprika Farmers With Koperasi Mitra Sukamaju in

Increasing The Farmer’s Income

Nur Syamsiyah

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran,Jl.Raya Jatinangor Km.21

A B S T R A K

Kata Kunci:

Kemitraan,

Paprika,

Pendapatan

Tujuan Penulisan ini adalah mengkaji pola kemitraan usaha yang dilakukan petani

paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju dalam meningkatkan pendapatan petani

paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Pola

Kemitraan yang terjadi adalah pola dagang umum dengan sistem penyerahan hasil

produksi petani ke Koperasi Mitra Sukamaju. Petani paprika berada pada subsistem

kegiatan produksi dan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem pemasaran hasil

produksi. Metode penelitian dilakukan dengan desain kualitatif dengan melakukan

teknik studi kasus (case study). Keunggulan pola kemitraan kemitraan ini adalah

peningkatan pendapatan bagi petani paprika dan Koperasi Mitra Sukamaju. Kendala

dan manfaat dari kemitraan usaha, kendala teknis berkaitan dengan faktor cuaca yang

tidak menentu dan serangan hama thrips. Manfaat yang diperoleh dari proses

kemitraan bagi petani adalah adanya kepastian pasar dan harga, pendapatan petani

relatif stabil, peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalam memproduksi

paprika, pengembangan skala Usaha. Peningkatan pendapatan petani dilihat dari

margin yang diterima petani sebesar 42,16 persen dan margin yang diterima Koperasi

Mitra Sukamaju sebesar 57,84 persen.

ABSTRACT

Keywords: Partnership,

paprika,

Farmer’s Income

The main objective of studies to analyse business partnership paprika farmers and

Koperasi Mitra Sukamaju in increasing the farmers incomes in Pasirlangu Village,

Cisarua West Java Regency. Types partnership general trade with submit result

production from paprika farmers to Koperasi Mitra Sukamaju, paprika farmer in a

place production subsystem and Koperasi Mitra Sukamaju in marketing product

subsystem. This research design was qualitative and used case study research

technique. The advantages of business partnership are increasing income for paprika

farmers and Koperasi Mitra Sukamaju, contraints and benefit of partnership, technical

contraints be related to uncertainty weather and thrips attack. Benefit of partnership

for paprika farmers, market and price assurance, increasing incomes, increasing

knowledge and skills, business scale development. Distribution of margin on every

offender partnership. Farmers margin 42,16 percent and Koperasi Mitra Sukamaju

margin 57,84 percent.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 338: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

326

PENDAHULUAN

Permintaan produk hortikultura semakin

meningkat sebagai bentuk perubahan selera

mayarakat yang semakin berkembang. Kebutuhan

akan manfaat nutrisi dari produk hortikultura

meningkat seiring peningkatan kesadaran masyarakat

terhadap hidup sehat dan berkualitas. Hortikultura

memiliki kandingan nutrisi yang berguna sebagai

sumber energi, karbohidrat, vitamin, mineral dan

antioksidan. Pada dasarnya komoditas hortikultura

dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama

yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan

biofarmaka (tanaman obat-obatan).

Paprika merupakan salah satu komoditas

hortikultura yang memiliki prospek yang cerah

peluang pasar yang luas. Tingginya permintaan

masyarakat baik di dalam maupun luar negeri

mengakibatkan semakin besar peluang produsen

untuk dapat terus meningkatkan produksinya. Desa

Pasirlangu sebagai pemasok terbesar untuk

komoditas paprika petani yang tergabung dalam

Koperasi Mitra Sukamaju sebagai pemasok paprika

untuk PT. Alamanda Sejati Utama maupun ke Pasar

Lokal.

Pengembangan usahatani paprika potensial

karena kondisi lahan dan iklim yang sesuai dengan

syarat tumbuh tanaman paprika. Kabupaten Bandung

Barat memiliki beberapa sentra produksi paprika,

salah satunya adalah Desa Pasirlangu

Usahatani paprika di Desa Pasirlangu

dilakukan dengan sistem kemitraan dengan Koperas,

Kelompok Tani, Bandar maupun Pedagang

Pengumpul. Melalui pola kemitraan yang terjalin

diantara petani dan Koperasi Mitra Sukamaju

diharapkan petani dan supplier dapat mengambil

manfaatnya sehingga kerjasama yang terjalin adalah

kerjasama yang saling menguntungkan dan bersama-

sama dalam mengatasi kendala yang dihadapi baik

faktor kualitas, kuantitas, kontinuitas, pemasaran dan

permodalan. Sebelum adanya kemitraan petani tidak

memiliki kepastian pasar dan harga, petani menjual

produknya ke tengkulak.

Koperasi Mitra Sukamaju merupakan salah

satu badan usaha agribisnis yang bergerak di bidang

pemasaran hasil pertanian di Desa Pasirlangiu. Atau

dapat juga disebut sebagai rumah kemasan (packing

house). Awalnya koperasi hanya membantu petani

dalam pemasaran hasil saja, namun karena

permintaan semakin meningkat baik kualitas maupun

kontinuitasnya, maka Koperasi Mitra Sukamaju

memberikan bantuan permodalan baik dana talangan

maupun sarana produksi.

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi pola kemitraan antara petani

paprika dengan Koperasi Mitra Suka Maju.

2. Mengidentifikasi kendala dan manfaat yang

diperoleh dari kemitraan yang dilakukan antara

petani paprika dan Koperasi Mitra Sukamaju.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Desain penelitian adalah desain kualitatif,

teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus

(case study). penentuan lokasi penelitian ditentukan

dengan sengaja didasarkan pada pertimbangan

sebagai berikut : Desa Pasirlangu Merupakan salah

satu sentra produksi paprika terbesar di Kabupaten

Bandung Barat dan Koperasi Mitra Sukamaju

merupakan koperasi agribisnis yang berkembang di

wilayah Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua

Kabupaten Bandung Barat.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data primer yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah analisis usahatani paprika, data

sekunder yang diperlukan adalah berupa pola

kemitraan, informasi harga, hak dan kewajiban dalam

kemitraan. Data sekunder diperoleh melalui studi

pustaka, instansi terkait seperti : Kementrian

Pertanian, Dirjen Hortikultura, Kementrian

Perdagangan dan perindustrian dan lainnya.

Teknik Pengambilan Data

Responden dalam penelitian ini ialah petani

paprika yang tergabung dalam Koperasi Mitra

Sukamaju di sentra produksi paprika Desa Pasirlangu

Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Dan

Pengurus Koperasi Mitra Sukamaju. Teknik

pengambilan data dilakukan melalui observasi,

wawancara yang dilakukan terhadap petani paprika

yang menjadi anggota Koperasi Mitra Sukamaju

Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten

Bandung Barat.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis

kualitatif yang digunakan dalam menganalisis pola

kemitraan yang dilakukan kedua belah pihak.

Dimana kegiatan kemitraan dijabarkan secara

deskriptif dan terperinci sehingga menggambarkan

hak dan kewajiban masing-masing pihak yang

bermitra, pembagian hasil, sanksi yang diberikan

bagi pihak yang melanggar.

Kendala dan manfaat dianalisis berdasarkan

kendala aspek ekonomi, teknis maupun sosial baik di

tingkat petani maupun perusahaan mitra selama

Page 339: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

327

melakukan kemitraan. Dalam bidang ekonomi

peningkatan pendapatan dilihat dari perolehan

margin rantai nilai pada setiap pelaku kemitraan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam

menganalisis biaya dan margin adalah sebagai

berikut :

1) menghitung biaya-biaya yang dikeluarkkan

masing-masing pelaku kemitraan.

2) menghitung penerimaan per pelaku kemitraan.

Penerimaan dihitung dengan mengalikan volume

terjual (Q) dengan harga jual (P).

3) menghitung rasio keuangan yaitu

a. pendapatan bersih.

b. Margin Bersih Margin bersih adalah pendapatan bersih per

produk, margin bersih dihitung dengan

membagi pendapatan bersih pelaku dengan

keseluruhan jumlah produk yang terjual (Q).

4) Posisi Keuangan Relatif para Pelaku dalam Rantai

nilai. Tujuan dari langkah ini adalah mengambil

simpulan tentang posisi keuangan antara lain

pembagian biaya, penerimaan, pendapatan bersih

(laba), dan margin antara para pelaku kemitraan

dibandingkan dengan pelaku lainnya di dalam

rantai. Cara yang dapat digunakan untuk

menyajikan posisi keuangan para pelaku

kemitraan adalah dalam bentuk tabel.

Tabel 1. Perhitungan Margin Rantai Nilai Para

Pelaku Kemitraan Pelaku Petani Supplier Total

Biaya Total

Biaya/kg

A B C = A+B

% Biaya/kg A/C B/C 100

Penerimaan Harga/kg D E

Laba Laba/kg D-A E-B F=(D-

A)+(E-B)

% Laba

Total

(DA)/F (E-B)/F 100

Total Margin Margin/kg D E-D E

%

Margin/kg

D/E (E-D)/E 100

Sumber : ACIAR (2012)

5) Peningkatan pendapatan petani paprika diketahui

dengan perbedaan pendapatan antara menjual

keseluruhan jumlah produksinya ke pasar lokal

dan menjual ke Koperasi Mitra Sukamaju dilihat

dari margin pada rantai nilai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Kemitraan Usaha

Pola kemitraan yang terjalin antara petani

paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah

pola dagang umum, dimana petani berada pada

subsistem produksi dan Koperasi Mitra Sukamaju

pada subsistem pemasaran hasil produksi. Petani

diharapkan dapat fokus pada kegiatan produksi

sehingga mampu meningkatkan produktivitas

paprika yang dihasilkan. Koperasi Mitra Sukamaju

juga bertanggungjawab pada pengelolaan petani

mitra sehingga mampu meningkatkan produksi dan

pendapatan petani mitra.

Petani mitra koperasi dibekali dengan

pengetahuan akan kualitas yang sesuai dengan

permintaan pasar. Kualitas yang diinginkan Koperasi

dalam memenuhi pasar ekspor adalah grade A dan

grade B dengan berat 1 ons – 2 ons per buah.

Penetapan harga dilakukan dengan kontrak kerja

antara Koperasi dan Ekportir mapun dengan supplier

lainnya dalam memenuhi pasar lokal. harga paprika

tergantung dari warna. Paprika hijau dibeli dengan

harga Rp 18.000 per kg, paprika merah Rp 23.000 per

kg, paprika kuning Rp 26.000 per kg dan paprika

orange Rp 28.000 per kg.

Keberhasilan kemitraan yang dilakukan

antara petani dengan Koperasi Mitra Sukamaju dapat

dilihat dari kedua belah pihak dalam menjalankan

aturan hak dan kewajiban yang telah disepakati.

Pihak yang terlibat secara langsung adalah Petani

Paprika Desa Pasirlangu dan Koperasi Mitra

Sukamaju. Masing-masing pelaku menjalankan

kegiatan yang berbeda-beda.

Gambar 1. Kegiatan Petani Paprika

β€’ menyiapkan input produksi,

β€’ Lahan, alat, bahan (bibit, pupuk pestisida, dll)

β€’ Persemaian

Persiapan Budidaya

β€’Pengolahan lahan

β€’PenanamanPenanaman

β€’Penyiraman

β€’Pemangkasan

β€’Pengajiran

β€’Penyiangan dan pemberiaan pupuk dan pestisida

Pemeliharaan

β€’Memanen

β€’Mengumpulkan dan memberikan identitas pada hasil panen

Pemanenan

Pendapatan Bersih =

Penerimaan – Biaya Variabel - Biaya Tetap

Page 340: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

328

Aktivitas yang dilakukan oleh petani paprika

adalah fokus pada kegiatan budidaya, mulai dari

persiapan lahan, tenaga kerja, ketersediaan air, benih

dan agroinput. Budidaya paprika memerlukan

investasi yang tinggi, seperti pembuatan green house

dan perlengkapannya membutuhkan dana sekitar Rp

75.000 per m2 sampai dengan Rp. 250.000 per m2.

Petani yang bekerjasama dengan Koperasi

Mitra Sukamaju melakukan Persiapan budidaya

secara bersama-sama dalam menentukan pola tanam

agar panen dapat dilakukan berkesinambungan setiap

hari sesuai dengan permintaan pasar.

Gambar 2. Kegiatan Koperasi Mitra Sukamaju

Berdasarkan gambar 2 Rangkaian aktivitas

yang dilakukan Koperasi Mitra Sukamaju adalah

pengangkutan paprika dari kebun ke Packing House

menggunakan mobil pick up, Penimbangan dan

pencatatan identitas paprika untuk mengetahui asal

paprika, Sortasi dan grading dilakukan dengan

memisahkan paprika yang mengalami kerusakan

pada saat proses pengangkutan dari kebun ke packing

house dan melakukan grading untuk memisahlan

paprika berdasarkan jenis, warna kematangan,

penampakan sesuai dengan grade A, grade B dan

grade C. Pengemasan (penimbangan dan Pencatatan)

dilakukan untuk menghitung berapa perolehan untuk

masing-petani untuk paprika dengan grade A. Grade

B dan grade C, Pengiriman dari Packing House Ke

Eksportir dan Supplier lain untuk pasar modern

maupun tradisional.

Ekportir adalah PT. Alamanda Sejati Utama,

sedangkang untuk Supplier Lokal Koperasi Mitra

Sukamaju Bekerjasama dengan supplier yang

memasok ke pasar modern/ supermaket dan pasar

tradisional. Hak dan kewajiban petani dan Koperasi

dalam kemitraan ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Hak dan Kewajiban Petani dan Koperasi

Mitra Sukamaju

Keterangan

Pihak

Petani Mitra Koperasi Mitra Sukamaju

Hak 1. Mendapatkan jaminan pasar

sesuai dengan

harga yang telah

ditetapkan 2. Menerima hasil

penjualan tepat

waktu dan tidak

melewati masa jatuh tempo.

3. Menerima SHU

1. Mendapatkan jaminan pasokan

paprika, baik

kualitas,

kuantitas dan kontinuitas.

2. Memperoleh 10

persen dari hasil

penjualan paprika.

Kewajiban

1. Melaksanakan

budidaya paprika

dengan benar.

2. Melaksanakan panen tepat

waktu.

3. Menyerahkan

seluruh hasil panen.

4. Membayar iuran

10 persen / kg

dari paprika yang dihasilkan.

1. Menerima

seluruh paprika

hasil produksi

petani dengan harga

kesepakatan.

2. Membayar hasil

penjualan petani tepat waktu.

3. Memberikan

informasi dengan

transparan kepada seluruh

anggota.

4. Memberikan

bantuan permodalan

untuk anggota

yang

membutuhkan.

Pelaksanaan kemitraan antara petani paprika dengan

Koperasi Mitra Sukamaju terjalin berdasarkan

kekeluargaan. Tidak adanya kontrak kerja secara

tertulis mengenai pembagian hasil, kualitas, kuantitas

dan kontinuitas paprika semuanya bersifat lisan.

Walaupun demikian hingga saat ini kemitraan yang

terjalin masih sangat baik karena masing-masing

pihak melaksanakan hak dan kewajibannya dengan

baik dan saling menjaga kepercayaan masing-masing

anggota Koperasi Mitra Sukamaju.

Pembagian hasil dilakukan berdasarkan

kuantitas paprika yang dikirim petani, harga

ditentukan berdasarkan kesepakatan sehingga tidak

ada pihak yang dirugikan dalam kemitraan ini.

Koperasi dan petani mitra bersikap saling pengertian

sehingga jika harga dipasar sedang tinggi maka

Koperasi Mitra Sukamaju akan melakukan

kesepakatan baik dengan ekportir maupun dengan

supplier lain untuk memberikan kenaikan harga

paprika kepada petani dan ketika hasil produksi

petani menurun karena serangan hama, koperasi

berusaha agar petani anggota tidak mengalami

kerugian.

PengangkutanPenimbangan dan

Pencatatan Sortasi dan

Grading

PengemasanPengiriman

Page 341: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

329

Proses pembayaran yang dilakukan eksportir

maupun supplier menggunakan sistem tempo,

pembayaran biasanya dilakukan setiap tanggal 5 dan

20 tiap bulannya. Selama melakukan kemitraan baik

petani maupun koperasi belum pernah ada yang

melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Jika

mengalami keterlambatan pembayaran dari eksportir

dan supplier maka koperasi akan meyampaikannya

kepada seluruh anggota koperasi namun biasanya

koperasi memberikan bantuan berupa dana talangan

yang diperoleh dari kerjasama koperasi dengan

perbankan.

Pembayaran dilakukan Koperasi Mitra

Sukamaju tepat waktu bahkan petani dapat

meminjam modal dari koperasi untuk usahataninya.

Petani juga selalu memberikan pasokan paprika

sesuai dengan grade yang dibutuhkan. Apabila petani

melanggar kesepakatan maka koperasi akan

memberikan sanki tidak lagi menjalin kemitraan

dengan petani tersebut, dan apabila koperasi telat

dalam proses pembayaran maupun tidak ada

transparansi dan kesesuaian harga maka petani tidak

lagi memasok paprika ke Koperasi Mitra Sukamaju.

Gambar 3. Pola Kemitraan antara Petani Paprika

dengan Koperasi Mitra Sukamaju

Petani paprika di Desa Pasirlangu

Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat

mengetahui pasar tujuan untuk paprika yang

dihasilkannya. Koperasi Mitra Sukamaju

memasarkan parika yang dihasilkan petani ke

Eksportir yaitu PT. Alamanda Sejati Utama dan Pasar

Lokal baik langsung maupun melalui supplier lain.

Kendala dan Manfaat Kemitraan Petani Paprika

dengan Koperasi Mitra Sukamaju.

Proses kemitraan terjadi bukan tanpa

kendala, kendala yang terjadi dalam proses kemitraan

yang terjalin antara petani paprika dengan Koperasi

Mitra Sukamaju meliputi kendala teknis, ekonomi

dan sosial.

a. Kendala teknis

Kendala teknis di tingkat petani dan koperasi

berbeda karena kegiatan yang dilakukan oleh

masing-masing pelaku kemitraan berbeda.

Adapun kendala teknis yang dihadapi petani

paprika adalah dalam menghasilkan paprika yang

sesuai dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas

yang diiinginkan koperasi. Kendala ini berkaitan

dengan alam, karena budidaya paprika sangat

tergantung oleh alam, walaupun dibudidayakan di

green house faktor cuaca masih sangat

menentukan keberhasilan produksi paprika. Pada

saat musin hujan paprika sangat mudah terserang

busuk buah atau antracnose dan hama thrips.

Kendala teknis yang dihadapi koperasi

berhubungan dengan pasokan paprika dari petani,

jika pasokan menurun maka pasokan kepada

eksportir dan supplier lain kan menurun. Kendala

lain adalah dalam penyimpanan hasil dimana

paprika hasil panen masih disimpan dengan

menggunakan plastik bening dan proses

pengangkutan hasil koperasi belum memiliki alat

transportasi dengan pendingin sehingga saat

proses pengangkutan paprika dari kebun ke

koperasi beberapa paprika mengalami kerusakan.

b. Kendala Ekonomi

Kendala ekonomi biasanya dialami koperasi

dalam menerima hasil penjualan dari eksportir

maupun supplier lainnya, namun agar proses

kemitraan berjalan dengan baik, koperasi tetap

memberikan kepada petani sesuai dengan masa

jatuh temponya. Kendala ekonomi yang dialami

koperasi ini biasanya diatasi dengan

menghentikan sementara pasokan kepasa supplier

yang mengalami keterlambatan pembayaran dan

pasokan kembali akan dipenuhi ketika supplier

tersebut telah melakukan pembayaran.

c. Kendala Sosial

Kendala dalam aspek sosial ini dialami oleh

koperasi dimana koperasi tidak hanya menerima

paprika sesuai dengan grade A untuk memnuhi

pasar ekspor namun seluruh grade yang

dihasilkan petani, sehingga petani tidak

mengalami kerugian untu paprika yang dihasilkan

tidak sesuai dengan permintaan kualitas untuk

pasar ekspor. Koperasi tidak hanya

mementingkan keuntungan saja, namun

memikirkan pula petani anggotanya karena

pengurus koperasi merupakan petani paprika juga

sehingga ada rasa kekelurgaan didalamnya.

Petani

Paprika

Koperasi Mitra Sukamaju

Eksportir

Penyerahan Hasil Panen

Memasarkan hasil

Pasar Lokal (Pasar Modern dan Tradisional)

Page 342: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

330

Manfaat Kemitraan antara Petani Paprika

dengan Koperasi Mitra Sukamaju.

Kemitraan merupakan salah satu bentuk

kerjasama dengan memperhatikan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan. Kata saling dimaknai bahwa dalam

proses kemitraan masing-masing pelaku

mendapatkan manfaat bagi setiap pelaku. Manfaat

proses kemitraan yang terjalin antara petani paprika

dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat bagi petani

a. Adanya kepastian pasar dan harga.

b. Penerimaan dan pendapatan relatif Stabil

c. Peningkatan kemampuan petani dalam

memproduksi paprika.

d. Pengembangan skala Usaha.

2. Manfaat bagi Koperasi Mitra Sukamaju.

a. Terjaminnya Pasokan paprika untuk

memenuhi pasar ekspor maupun lokal.

b. Mendapatkan hasil produksi paprika dengan

kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang

sesuai dengan permintaan pasar.

c. Peningkatan kesejahteraan anggotanya.

d. Pengembangan skala usaha tidak hanya

dikembangkan petani, Koperasi juga

mengembangkan skala usaha melalui volume

penjualan dan jenis produk yang dihasilkan

petani yang memiliki produktivitas yang

tinggi dan terus meningkat dari tahun-tahun

sebelumnya.

Margin Rantai Nilai Pada Pelaku Kemitraan

Petani dan Koperasi Mitra Sukamaju

menanggung biaya masing-masing sesuai dengan

kegiatan yang dilakukannya. Biaya yang ditanggung

oleh para pelaku kemitraan dapat dilihat pada Tabel

3.

Tabel 3. Tanggungan Biaya Pelaku Kemitraan

Petani Paprika Koperasi Mitra

Sukamaju

Biaya Tetap Biaya Tetap

- Bambu

- Plastik UV

- Polybag

- Plastik Mulsa

- Polynet

- Benang Kasar

- Paku

- Kawat Tali

- Pompa Listrik

- Timbangan

- Tenaga kerja

- Alat pengepakan.

- transportasi

- Pajak

- Listrik

- Service

transportation

- Container

- Instalasi pembuatan

greenhouse

- Pajak Bumi

- Listrik

Biaya Variabel Biaya Variabel

- Benih

- Nutrisi

- Arang Sekam

- Pestisida

- Tenaga Kerja

- Plastik pengemasan

- Streoform

- Isolasi Bening.

- Resiko kerusakan

Paroduk

Berdasarkan perhitungan biaya produksi,

penerimaan dan pendapatan masing-masing pelaku

memperoleh keuntungan berdasarkan margin yang

diterima adalah sebagai berikut :

Page 343: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

331

Tabel 4. Posisi Keuangan Relatif Para Pelaku Kemitraan

Pelaku dalam Rantai Nilai Petani Koperasi Total

Biaya Total Biaya/kg 9.450,68 8.365,61 17.816,29

% Biaya /kg 53,0451626 46,9548374 100

Penerimaan Rp/kg 20.450 48.500

Laba Laba / kg 13.029,32 42.640,50 55.669,82

% laba Total 23,40463828 76,59536172 100

Total Margin Margin/kg 20.450 28.050 48.500

%Margin/kg 42,16494845 57,83505155 100

Tabel 5. Selisih Pendapatan Petani Paprika Bermitra

dan Tidak Bermitra Per Musim Tanam

N

o

Pendapatan Non

Kemitraan

Pendapatan

Kemitraan

Selisih

(Rp)

1 15.850.000 93.122.500 77.272.500

2 45.475.000 116.575.000 71.100.000

3 13.126.500 60.350.750 47.224.250

4 14.826.400 63.835.000 49.008.600

5 30.311.500 83.893.000 53.581.500

Tabel diatas menjelaskan bahwa rata-rata

pendapatan petani mengalami peningkatan setelah

melakukan kemitraan dengan Koperasi Mitra

Sukamaju berdasarkan perhitungan biaya produksi,

penerimaan dan pendapatan terlihat pendapatan

petani paprika meningkat mencapai dua kali lipat dari

pendapatan sebelum melakukan kemitraan. Selisih

pendapatan diperolah dari pendapatan yang bermitra

dengan Koperasi Mitra Sukamaju dengan petani yang

hanya menjual paprika ke pasar tradisional.

Selisih ini dikarena ada perbedaan harga jual

paprika, Koperasi memberikan harga yang berbeda

untuk masing masih jenis dan kualitas paprika.

Karena Koperasi memiliki pasar yang beragam

sehingga semua grade dapat dipasarkan ke beberapa

pasar yang berbeda. Harga yang lebih tinggi

diperoleh untuk grade A untuk memenuhi pasar

ekspor yaitu paprika hijau Rp 18.000, paprika merah

Rp 23.000, paprika kuning Rp 26.000 dan Rp 28.000

untuk paprika orange, sedangkan harga jual parika di

pasar tradisional hanya Rp 10.000 – Rp 12 000 untuk

setiap jenis paprika.

Koperasi Mitra Sukamaju penerapkan

komisi 10 persen untuk keberlanjutan koperasi

namun ketika ada sisa maka akan dikembalikan lagi

ke anggota sebahai SHU (Sisa hasil Usaha).

Peningkatan pendapatan juga dikarenakan adanya

peningkatan produksi karena kemampuan petani

dalam melakukan usahatani menjadi meningkat.

Petani mampu membeli kebutuhan usahataninya

karena adanya harga dan pasar yang jelas setelah

melakukan kemitraan. Kemitraan yang terjadi sangat

menguntungkan baik bagi petani maupun Koperasi

ini dibuktikan dengan peningkatan produksi, adanya

jaminan pasar, harga jual yang tinggi dan bagi

Koperasi Mitra Sukamaju tersedianya pasokan

paprika sesuai dengan kualitas, kuantitas dan

kontinuitas sehingga dapat memenuhi permintaan

pasar lokal maupun eksport.

KESIMPULAN

Mekanisme kemitraan usaha antara petani

paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua

Kabupaten Bandung Barat dengan Koperasi Mitra

Sukamaju adalah adalah petani paprika berada pada

subsistem kegiatan produksi dalam usahatani paprika

sedangkan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem

pemasaran hasil. Koperasi hanya menerima seluruh

paprika yang dihasilkan anggota koperasi dan

memasarnya sesuai dengan pasar yang tersedia.

Harga jual paprika untuk grade A adalah Rp 18.000

untuk paprika hijau, Rp 23.000 untuk paprika merah,

Rp 26.000 untuk paprika kuning dan Rp 28.000 untuk

paprika orange. Dimana Grade A biasanya untuk

memasok eksportir, sedangkan grade B dan C untuk

memasok pasar lokal baik modern maupun pasar

tradisional.

Kendala yang dihadapi dalam proses

kemitraan antara petani paprika dengan Koperasi

Mitra Sukamaju adalah kendala teknis (kualitas dan

kuantitas) karena kondisi cuaca yang tidak stabil,

hama thrips. Manfaat yang diperoleh dari proses

kemitraan adalah adanya kepastian pasar dan harga,

penerimaan dan pendapatan petani relatif stabil,

peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani

dalam memproduksi paprika, pengembangan skala

Usaha. Peningkatan pendapatan petani dilihat dari

margin yang diterima petani sebesar 42,16 persen dan

margin yang diterima Koperasi Mitra Sukamaju

sebesar 57,84 persen.

Page 344: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

332

DAFTAR PUSTAKA

Cahyono D. 2017. Cabai Paprika Teknik Budidaya

dan Analisis Usahatani. Yogyakarta. Kanisius

Haeruman, Herman. 2001. Kemitraan dalam

Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga

Rampai. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan

Desa-Kota.

Lambert, Douglas M, Margaret A Emmelhainz, John

T Gardner. 1996. Developing and

Implementing Supply Chain Partnerships. The

International Journal of Logistics Manajement

vol.7 No:2.

M4P.2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak

Pada Kaum Miskin : Buku pegangan bagi

Praktiisi analisis rantai nilai. ACIAR

Monogragraph No. 148. Australian Centre For

International Agriculture Research : Canbera

Porter M. E. 1985. Competitive Advantages :

Creating and Sustaining Superior

Perfomance. New York : The Free Press.

Prowse, Martin. 2012. Contract Farming in

Developing Countries. Institute of

Development Policy and Managemet.

University of Antwerp.

Rodjak, Abdul. 2005. Manajemen Usahatani.

Penerbit : Giratuna. Bandung.

Saptana, dkk. 2006. Analisis Kelembagaan

Kemitraan Rantai Pasok Komoditas

Hortikultura. Bogor : Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan

Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Sumardjo, Jaka S., dan Wahyu A.D. 2004. Teori dan

Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Page 345: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

333

Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani Jagung di Kabupaten Serang

The Analysis Of Farm Income And The Risk Of Corn Farming In The District Of Serang

Dian Anggraeni1 , Tuhpawana P. Sendjaja2, Tomy Perdana2, Anne Nuraini2

1Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang 2Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci:

Pendapatan usahatani,

Biaya,

Risiko,

Jagung

Jagung merupakan komoditas pangan kedua setelah padi dan sumber kalori atau

makanan pengganti beras disamping itu juga sebagai pakan ternak. Kebutuhan jagung

akan terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan peningkatan taraf hidup

ekonomi masyarakat dan kemajuan industri pakan ternak. Kasryno (2006),

mengemukakan bahwa jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan dan bahan

baku industri.Tingginya permintaan untuk jagung tua (pipilan) di daerah Banten, tidak

secara langsung mendorong petani untuk melakukan pemanenan jagung tua (pipilan).

Fenomena menunjukan masih banyak petani yang melakukan pemanenan jagung

muda, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan diantara aspek pendapatan dan

pendeknya waktu panen.

Komoditas pertanian berbeda dengan komoditas sektor lain, salah satunya adalah

tingginya risiko yang harus diterima petani, sedangkan secara umum petani kecil

biasanya memiliki sifat menghindar dari risiko, dengan demikian walaupun

permintaan untuk komoditas jagung pipilan tinggi, petani jagung di daerah Banten,

tetap masih banyak yang melakukan pemanenan jagung muda, dengan alasan

usahatani tersebut masih memberikan keuntungan, dan layak untuk dikembangkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pendapatan usahatani jagung dan (2)

tingkat risiko usahatani jagung di Kabupaten Serang. Metode penelitian yang

digunakan survey eksplanatori. Penentuan sampel menggunakan multistage random

sampling dengan total sampel sebanyak 101 petani jagung. Data dianalisis dengan

menggunakan rumus pendapatan usahatani dan standar deviasi dari penerimaan

usahatani jagung.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan usahatani jagung menunjukan

keadaan yang lebih besar dibanding dengan panen jagung muda, walaupun diikuti oleh

biaya yang lebih tinggi. Risiko pada usahatani jagung panen pipilan, lebih besar

dibanding panen jagung muda.

ABSTRACT

Keywords: Farming Income,

Costs,

Risks ,

Corn

Corn is the second food commodity after rice and a source of calories or food instead

of rice as it also as animal feed. Corn demand will continue to increase from year to

year, in line with the improvement of living standards of the local economy and the

progress of the animal feed industry. Kasryno (2006), suggests that corn can be used

for food, feed and industrial raw materials.

High demand for old corn (shelled) in Banten, not directly encourage farmers to

harvest the old corn (shelled). The phenomenon shows there are still many farmers

who were harvesting young corn, this is due to several reasons among the aspects of

revenue and the short harvest time.

Agricultural commodities is different with other sectors commodities, one of the

difference is that the high risk to be received by farmers, while generally small farmers

usually avoid the risk, thus even if the demand for old corn commodities is high, many

of corn farmers in Banten is still harvesting young corn, with the reason that farming

is still profitable, and deserves to be developed.

Page 346: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

334

This study aims to determine (1) corn farm income and (2) the risk level of corn farming

in the District of Serang. An explanatory survey was applied in this study by

interviewing respondents. The samples using multistage random sampling with a total

sample of 101 corn farmers. The data were analyzed by using farming income analysis

and standar deviation analysis of corn farming revenue.

The results of study indicated that farming income of shelled corn is greater than the

young corn farming income, though followed by higher costs. Risks involved in farming

shelled corn crop, bigger than young corn harvest. This study, hopefully, would

contribute upon agribusiness development, especially on farming theory.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 347: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

335

PENDAHULUAN

Jagung merupakan komoditas pangan kedua

setelah padi dan sumber kalori atau makanan

pengganti beras disamping itu juga sebagai pakan

ternak. Kebutuhan jagung akan terus meningkat dari

tahun ke tahun, sejalan dengan peningkatan taraf

hidup ekonomi masyarakat dan kemajuan industri

pakan ternak. Kasryno (2006), mengemukakan

bahwa jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan,

pakan dan bahan baku industri.

Tingginya permintaan untuk jagung tua

(pipilan) di daerah Banten, tidak secara langsung

mendorong petani untuk melakukan pemanenan

jagung tua (pipilan). Fenomena menunjukan masih

banyak petani yang melakukan pemanenan jagung

muda, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan

diantaranya aspek pendapatan dan faktor risiko

usahatani.

Risiko adalah suatu variabel dari hasil yang

dapat terjadi selama periode tertentu. Sedangkan

Kountur (2004), menyatakan bahwa risiko adalah

ketidaktentuan yang mungkin melahirkan peristiwa

kerugian. Ada juga yang mendefinisikan bahwa

resiko adalah penyebaran atau penyimpangan hasil

aktual dari hasil yang diharapkan.

Pengertian pendapatan adalah selisih antara

nilai hasil yang diperoleh dengan biaya yang

dikeluarkan. Purwatiningdyah DN (2003),

menyatakan bahwa pendapatan petani dapat

diperhitungkan dari total penerimaan yang berasal

dari nilai penjualan produksi dikurangi dengan total

nilai pengeluaran.

Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh

menjadi dasar dalam pengambilan keputusan bagi

seorang petani dalam melakukan usahatani,

disamping faktor risiko yang ada.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Serang Provinsi

Banten, dengan waktu penelitian pada Musim Tanam

kedua bulan Agustus 2013.

Jenis, Teknik Pengumpulan Data dan Sumber

Data

Data yang dipergunakan merupakan data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik

wawancara langsung terhadap petani jagung yang

mengacu pada kuesioner yang telah disiapkan.

Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara

menelaah laporan hasil penelitian terdahulu, laporan

dari instansi terkait, maupun publikasi lain yang

relevan.

Metode Pengambilan Sampel

Sampel ditentukan dengan cara multistage cluster

random sampling, dengan tiga tahapan. Tahap

pertama menentukan Kecamatan sebagai sentra

komoditas jagung. Tahap kedua memilih desa yang

dijadikan sebagai secondary sampling unit (SSU) dan

tahap tiga memilih petani sebagai sampel dalam

penelitian ini dengan menggunakan simple random

sampling.

Metode Analisis Data

Untuk menentukan besarnya pendapatan usahatani

jagung menggunakan rumus Ο€ = R – C. Dimana R

adalah Revenue(penerimaan) dan C adalah Cost

(Total biaya usahatani).

Untuk menentukan besarnya risiko pada usahatani

jagung digunakan rumus standar deviasi dengan

formulasi sebagai berikut :

s2 = βˆ‘(xi βˆ’ x)2

n βˆ’ 1

Dimana s2 adalah standar deviasi dari penerimaan

usahatani jagung, xi merupakan penerimaan dari

usahatani jagung, x merupakan rata-rata penerimaan

dan n adalah jumlah sampel pada usahatani jagung.

Untuk mengetahui karakter petani jagung yang

melakukan panen muda dan panen pipilan

dilakukan secara deskriptif analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Biaya , Penerimaan, dan Pendapatan

Usahatani Jagung di Kabupaten Serang

Biaya produksi rata-rata per hektar untuk

usahatani jagung dengan sistem panen muda berbeda

dengan sistem panen tua (pipilan).Perbedaan yang

nampak pada biaya variabel karena pada waktu

panen tua/pipilan terdapat penanganan pasca panen

(pemipilan dan penjemuran), sehingga terdapat

penambahan tenaga kerja yang berdampak terhadap

meningkatnya biaya tenaga kerja khususnya. Proses

penanganan pasca panen pada jagung pipilan

merupakan salah satu upaya petani dalam menyiasati

harga. Proses pengolahan yang optimal,

menyebabkan jagung pipilan dapat disimpan lama,

dengan demikian petani dapat menjualnya pada saat

harga tinggi. Perbedaan lain dari aspek penggunaan

pupuk baik itu urea, TSP atau pun pupuk kandang,

usahatani jagung pipilan lebih tinggi. Aspek

penggunaan benih juga untuk usahatani jagung waktu

panen pipilan memerlukan biaya yang lebih tinggi

walaupun bedanya tidak terlalu besar.

Berkaitan dengan biaya dan pendapatan

usahatani jagung waktu panen muda dan panen

pipilan per hektar per musim tanam dapat dilihat

lebih jelasnya pada Tabel 1.

Page 348: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

336

Tabel 1. Biaya Produksi dan Pendapatan Usahatani Jagung Waktu Panen Muda dan Panen Pipilan Per Hektar

Per Musim Tanam

No Keterangan Satuan Waktu Panen

Muda

(Rp)

Pipilan

(Rp)

Perbedaan

(Rp)

1. Biaya Tetap Rp 164.342,00 211.461,00 47.119,00

2. Biaya Variabel Rp 5.179.608,00 5.550.750,00 371.142,00

3. Total Biaya produksi Rp 5.343.950,00 5.762.211,00 418.261,00

4. Penerimaan Total Rp 15.561.361,00 16.430.775,00 869.414,00

5. Pendapatan Bersih Rp 10.217.411,00 10.668.564,00 451.153,00

Berdasarkani Tabel 1. dapat dijelaskan

bahwa terdapat perbedaan biaya tetap antara

usahatani jagung waktu panen muda dengan panen

pipilan , hal ini disebabkan, pada usahatani jagung

panen muda komponen terbesar digunakan untuk

pajak tanah, sementara pada usahatani jagung

pipilan, selain untuk pajak, responden ada yang

melakukan sewa tanah. Komponen biaya variabel

dari usahatani jagung panen muda lebih kecil dari

jagung panen pipilan, hal ini disebabkan adanya

perbedaan dari aspek penggunaan pupuk, baik pupuk

buatan ataupun pupuk kandang, dan penggunaan

tenaga kerja, dimana pada usahatani jagung panen

pipilan terdapat proses penanganan pasca panen, dan

sebaliknya.

Adanya perbedaan dalam penerimaan antara

usahatani jagung panen muda dengan panen pipilan

adalah karena produksi dari usahatani jagung panen

muda per hektarnya lebih tinggi dari panen pipilan,

namun dari aspek harga output, jagung pipilan lebih

mahal, sehingga penerimaan yang diperoleh petani

lebih besar dibanding usahatani jagung panen muda.

Hasil perhitungan ternyata pada luasan lahan yang

sama usahatani jagung panen pipilan memberikan

pendapatan yang lebih besar dibanding usahatani

jagung panen muda ,walaupun terdapat beberapa hal

dan kendala yang harus diperhatikan dalam

pelaksanaan usahatani jagung panen pipilan tersebut,

namun banyak aspek positif yang diperoleh petani

dari usaha bersangkutan.

Kelebihan melakukan panen jagung pipilan

adalah keterjaminan dan kepastian pasar, dari aspek

harga juga lebih tinggi, dari aspek produksi bahwa

jagung pipilan ini bisa disimpan lebih lama asal

dalam proses pengeringan harus benar-benar sudah

maksimal. Beberapa aspek yang merupakan kendala

dan tantangan yang harus diperhatikan petani

diantaranya berkaitan MOU dengan pihak pemakai

(pabrik pakan ternak) belum adanya kejelasan yang

pasti, hal ini disebabkan bahwa petani belum bisa

mensuplai jagung sesuai dengan permintaan pabrik.

Permasalahan lain adalah dari aspek kualitas,

kandungan air, dll cenderung masih banyak produk

yang belum memenuhi standar permintaan, apalagi

kalau usahatani tersebut dilakukan pada musim

Tanam ke-1, karena pada saat itu cenderung hujan

banyak turun, sehingga akan berdampak terhadap

kualitas jagung (proses penjemuran kurang

maksimal).

Petani sangat membutuhkan alat pengering

(oven) yang bisa membantu petani untuk proses

pengeringan jagung pipilan. Permasalahan lain yang

muncul di masyarakat kalau penanaman jagung

dilakukan pada musim tanam ke-2, di lapangan

cenderung kekurangan air, sehingga masyarakat

enggan untuk melakukan penanaman jagung, padahal

momen itu sangat tepat untuk melakukan panen

jagung pipilan. Sampai saat ini masyarakat sangat

berharap bantuan pemerintah berupa pompa pantek

untuk mengairi tanaman jagung pada saat musim

kemarau tiba.

Beberapa hal tersebut menjadi alasan

masyarakat atau petani jagung untuk selalu enggan

berusahatani dengan melakukan panen jagung

pipilan, walaupun dari aspek pasar sudah tersedia dan

dari aspek pendapatan memberikan tingkat yang

relatif lebih tinggi dibanding panen jagung muda.

Aspek lain yang menjadi kendala bagi petani dalam

usahatani jagung panen pipilan adalah besarnya biaya

produksi yang harus dikeluarkan petani. Berkaitan

dengan biaya usahatani jagung secara lebih jelas

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rincian Biaya Tetap dan Biaya Variabel

Per Hektar Usahatani Jagung di

Kabupaten Serang Biaya Waktu Panen

Muda

(Rp)

Pipilan

(Rp)

Perbedaan

(%)

Jenis Sarana Produksi

a. Benih 840.180,00 848.000,00 0,92

b. Pupuk

kandang

1.366.246,00 1.603.000,00 14,76

Page 349: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

337

Biaya Waktu Panen

Muda

(Rp)

Pipilan

(Rp)

Perbedaan

(%)

dan buatan

c. Pestisida 145.574,00 100.500,00 30,96

Tenaga

kerja

2.827.608,00 2.999.250,00 5,72

Biaya tetap 164.342,00 211.461,00 22,28

5.343.950,00 5.762.211,00 7,25

Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa

perbedaan biaya yang sangat mencolok adalah biaya

sarana produksi khususnya pestisida sebesar 47,68%,

hal ini disebabkan pada usahatani jagung panen muda

pada saat penelitian terjadinya serangan hama yang

lebih tinggi dibanding pada usahatani jagung panen

pipilan, yang berdampak terhadap meningkatnya

penggunaan pestisida pada usahatani tersebut. Pada

penggunaan pupuk, baik pupuk kandang atau pupuk

buatan, pemakaian benih dan penggunaan tenaga

kerja, juga terdapat perbedaan walaupun

prosentasenya tidak terlalu tinggi.

Penerimaan dan Standar Deviasi Usahatani

Jagung Panen Muda dan Panen Pipilan

Besarnya rata-rata produksi untuk usahatani

jagung panen muda adalah 5.402 kg per rata-rata luas

lahan garapan atau 10.805 kg per hektar, dengan rata-

rata harga produksi Rp.1490,00 per kg. Besarnya

rata-rata produksi usahatani jagung panen pipilan

4.440,7 kg per rata-rata luas lahan garapan atau 5.921

kg per hektar dengan rata-rata harga produksi

Rp.2.775,00 per kg.

Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya

rata-rata penerimaan usahatani jagung panen muda

per rata-rata luas lahan garapan sebesar

Rp.7.780.680,00 dengan standar deviasi Rp.

3.927.490,66. Besarnya rata-rata penerimaan

usahatani jagung panen pipilan per rata-rata luas

lahan garapan Rp.12.323.081,00 dengan standar

deviasi Rp. 8.346.639,74. Lebih jelasnya berkaitan

dengan penerimaan dan standar deviasi ditunjukkan

pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Penerimaan Usahatani Jagung per

luas lahan garapan dan Standar Deviasinya. No Waktu

Panen

Rata-rata

Penerimaan Per

Luas Lahan

Garapan (Rp)

Standar

Deviasi

(Rp)

1. Muda 7.780.680,00 3.927.490,66

2. Pipilan 12.323.081,00 8.346.639,74

Berdasarkan Tabel 3. rata-rata penerimaan

dan standar deviasi untuk usahatani jagung sistim

panen pipilan menunjukan keadaan yang lebih besar

dari usahatani jagung sistim panen muda. Besarnya

nilai standar deviasi dari penerimaan suatu usaha

menunjunkan besarnya risiko yang ada pada usaha

tersebut.

Hasil analisis menujukkan bahwa standar

deviasi dari usahatani jagung panen pipilan

menunjukan nilai yang lebih besar dari sistim panen

jagung muda, dengan demikian resiko pada usahatani

jagung panen pipilan lebih tinggi dari panen jagung

muda.

Dalam penelitian ini petani jagung

dihadapkan kepada risiko produksi, risiko pasar, dan

risiko keuangan. Berbagai upaya telah dilakukan

petani dalam upaya mengatasi berbagai masalah

tersebut diantaranya, dari aspek produksi mereka

selalu memperhatikan waktu tanam yang tepat,

dalam penggunaan input produksi pun mereka

berupaya menggunakannya sesuai dengan yang

dianjurkan. Berkaitan dengan risiko pasar, untuk

petani yang memanen jagung pipilan dengan

melakukan penyimpanan terlebih dahulu samapai

harga di pasaran tinggi.

Hasil analisis menunjukan bahwa petani

jagung yang melakukan sistim panen pipilan

menunjukan petani yang menyukai risiko (risk

taker), dan petani jagung yang melakukan panen

muda menunjukan petani yang tidak menyukai resiko

(risk aventer).Secara lengkap ciri dari kedua

kelompok petani tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Ciri-ciri Petani Jagung yang Menyukai

Resiko (risk taker) dan Petani Tidak

Menyukai Resiko (risk aventer) No Keterangan Petani

Jagung Yang

Menyukai

Resiko

Petani Jagung

Yang Tidak

Suka Resiko

1 Pendidikan

Formal

SLTA- PT SD

2 Luas Lahan > 0,5 ha < 0,5 ha

3 Permodalan Lebih besar Lebih kecil

4 Umur Lebih tua Lebih muda

5 Pengalaman Lebih sedikit Lebih lama

6 Penerimaan Lebih besar Lebih sedikit

7 Tingkat

Resiko

Lebih tinggi Lebih rendah

8 Daya Inovasi Kelompok

Inovator

Sulit

mengadopsi

inovasi

Berdasarkan Tabel di atas terdapat beberapa

perbedaan karakter petani. Hasil penelitian

menunjukan bahwa petani yang melakukan panen

pipilan mempunya ciri sebagai berikut :

1. Selalu bersifat inovatif, terlihat dari upaya

mereka dalam mengikuti kegiatan yang

Page 350: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

338

diadakan pemerintah setempat, misalnya

mengikuti SLPTT, mengikuti penyuluhan

tentang penanganan pasca panen khususnya

untuk komoditas jagung dll.

2. Menyangkut aspek pendidikan, khususnya

pendidikan formal, petani yang melakukan

sistim panen pipilan, yang mendapat

pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi

lebih banyak (10%) dibanding petani yang

melakukan sistim panen muda, yaitu hanya

8,2 persen.

3. Berkaitan aspek luas lahan, penguasaan

lahan diatas 0,5 hektar, petani yang

melakukan sistim panen pipilan lebih banyak

(57,5%) dibanding petani yang melakukan

panen muda sekitar 36,07%.

4. Dari aspek permodalan, petani mereka lebih

banyak mengeluarkan modal daripada petani

yang melakukan sistem panen muda. Dalam

kontek penelitian ini modal identik dengan

jumlah biaya yang dikeluarkan dalam

usahatani jagung. Besarnya biaya yang

dikeluarkan untuk sistem panen pipilan

adalah Rp. 5.762.211,00 per hektar per

musim tanam.

5. Dari aspek penerimaan, petani yang

melakukan panen pipilan menunjukan

keadaan yang lebih besar dibanding petani

yang memanen jagung muda yaitu

Rp.12.323.081,00 per musim tanam.

6. Dilihat dari tingkat risiko yang ada,

menunjukan keadaan yang lebih tinggi.

Besarnya resiko dilihat dari standar

deviasinya Rp.8.346.639,74 menunjukan

keadaan yang lebih tinggi dibanding

usahatani jagung dengan sistem panen muda.

7. Dilihat dari aspek umur, petani yang

melakukan panen pipilan cenderung lebih

tua dibanding petani yang melakukan panen

muda, hal ini menunjukan bahwa umur

memiliki pengaruh yang cukup tinggi dalam

pengambilan keputusan. Semakin tua

cenderung lebih berhati hati dalam

memperhitungkan berbagai aspek,

diantaranya berkaitan aspek keuntungan,

biaya, bahkan risiko yang akan ditimbulkan

dalam usaha tersebut.

8. Aspek pengalaman, hasil analisis

menunjukan keadaan bahwa ternyata dari

aspek pengalaman petani yang menyukai

risiko tidak terlalu lama dibanding petani

yang yang memanen jagung muda.

Sementara petani yang melakukan sistim panen

muda termasuk kepada golongan yang kurang atau

tidak menyukai risiko (risk aventer). Adapun

beberapa karakteristik dari petani tersebut

diantaranya adalah :

1. Susah untuk menerima inovasi yang ada

2. Dihadapkan kepada masalah keuangan dan

permodalan yang terbatas. Modal dalam hal

ini identik dengan total biaya yang

dikeluarkan untuk usahatani, yiatu

Rp.5.343.950,00 per hektar per musim

tanam.

3. Dari aspek penguasaan lahan petani yang

melakukan panen muda kepemilikan lahan

yang diusahakan mayoritas dibawah 0,5

hektar.

4. Dalam melakukan kegiatan usahatani selalu

mengikuti kebiasaan lama yang sudah

mereka lakukan, karena kebiasaan itu

dianggap sebagai tradisi dan budaya mereka.

5. Dari aspek pendidikan, khususnya

pendidikan formal mayoritas tamatan

Sekolah Dasar.

6. Dari aspek penerimaan, hasil analisis

menunjukan keadaan yang lebih sedikit yaitu

Rp. 7.780.680,00 per musim tanam.

7. Dilihat dari tingkat risiko, untuk usahatani

jagung sistem panen muda lebih kecil, hal ini

ditunjukan oleh besarnya standar deviasi

yang diperoleh Rp. 3.927.490,00

8. Berbagai upaya dalam meningkatkan

pengetahuan dan wawasan jarang mereka

lakukan.

9. Dari aspek umur, petani yang tidak

menyukai resiko cenderung mayorotas masih

muda. Hasil analisis menunjukan bahwa

96,72% petani berusia produktif ( 15-64 th).

10. Dari aspek pengalaman, petani jagung yang

tidak menyukai risiko memiliki pengalaman

yang lebih lama dibanding petani yang suka

risiko. Hal ini disebabkan bahwa dengan

lamanya pengalaman, maka akan

membentuk karakter dan budaya yang susah

untuk dirubah. Kepraktisan dalam sistem

panen muda mendorong petani jagung untuk

tetap tidak melakukan panen pipilan.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Pendapatan usahatani panen jagung pipilan

per hektar per musim tanam sebesar

Rp.10.668.564,00. Sementara pendapatan

usahatani panen jagung muda sebesar Rp.

10.217.411,00.

Page 351: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

339

2. Tingkat risiko pada usahatani panen jagung

pipilan menunjukan keadaan yang lebih

besar dibanding usahatani panen jagung

muda,terutama berkaitan dengan risiko

harga.

Petani yang melakukan panen jagung pipilan

termasuk kepada golongan yang lebih

menyukai risiko (risk taker), sementara

petani yang memanen jagung muda

cenderung sebagai petani penghindar risiko

(risk aventer) dengan karakteristik tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anwas Adiwilaga. 1992. Ilmu Usahatani. Cetakan

ke-III. Alumni, Bandung

Hernanto, Fadholi.1985. Ilmu Usahatani. Penebar

Swadaya, Jakarta.Kasim,A.1995. Teori

Pembuatan Keputusan. Jakarta. Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Mangkusubroto,K dan L.Trisnadi.1987. Analisis

Keputusan Pendekatan Sistem dalam

Manajemen Usaha dan Proyek.

Bandung.Ganesa Exact.

Mohamad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian.

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan

Penerangan ekonomi dan Sosial (LP3ES)

Edisi ke-3. Jakarta

Purwatiningdyah, D.N., 2003. Faktor Internal dan

Ekternal Yang Mempengaruhi Tingkat

Penerapan Teknologi dan Dampaknya

Terhadap Produktivitas dan Pendapatan

pada Usahatani Padi Sawah. Bandung.

Tesis tidak dipublikasikan. Program

Pasacasarjana Universitas Padjadjaran,

Bandung.

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode

Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta.

Teken, Sofyan Asnawi, 2002. Teori Ekonomi Mikro,

Bogor, IPB

Thohir, K.A. 1967. Seuntai Pengetahuan Tentang

Usahatani Indonesia, Jakarta. Bina Aksara.

Kasryno, F. 2006. Suatu Penilaian Mengenai

Prospek Masa Depan Jagung di Indonesia.

Makalah disampaikan pada Seminar dan

Lokakarya Nasional Jagung, 29-30

September 2006. Balai Penelitian Tana

Page 352: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

340

Page 353: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

341

Kajian Kemitraan Petani Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica L.) dengan

CV. Sumber Buah (SAE) (Studi Kasus pada Petani Mangga di Kabupaten

Cirebon, Jawa Barat)

The Study of Partnership between Gedong Gincu Mango Farmers (Mangifera Indica L)

and CV. Sumber Buah (SAE) (Case Study on Mango farmers at Cirebon Regency, West

Java)

Siti Nur Azizah Syah1, Lies Sulistyowati1

1Universitas Padjadjaran, Bandung,

A B S T R A K

Kata Kunci:

Mangga Gedong Gincu,

Kemitraan,

Teori Drama

Penelitian yang dilakukan mengenai kajian kemitraan yang bertujuan untuk

mengetahui kendala dan manfaat kemitraan dan kinerja usaha yang dilakukan petani

mangga. Selain itu, disajikan pula model kemitraan ideal sebagai solusi dari kendala

kemitraan. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kualitatif dengan teknik

penelitian studi kasus. Informan dari penelitian ini adalah perusahaan CV. Sumber

Buah (SAE), ketua Gapoktan Samimulya dan Kelompok Tani Sukamulya sebagai

petani mitra, ketua Kelompok Tani Dunia Buah dan Ki Gebang sebagai petani yang

sudah tidak bermitra. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis

data menggunakan analisis deskriptif dengan alat analisis model teori drama. Hasil

penelitian mengenai kendala bahwa petani merasakan kesulitan di teknik budidaya,

kurangnya informasi pasar, pengembalian produk, lamanya dan waktu pembayaran.

Namun petani merasakan manfaat dari aspek ekonomi, teknis, dan sosial. Melalui

kerangka pikir bersama didapat resolusi mengenai pengembalian produk, standar

kualitas buah manga dan proses pembayaran. Kemitraan pada kenyataannya belum

dapat menjamin kinerja usaha kelompok tani binaannya.

ABSTRACT

Keywords:

Mango Gedong Gincu,

Partnership,

Drama Theory

Research conducted a study regarding partnership to determine the constraints and

benefits of the partnership and mango farmers cooperation. In addition, presented an

ideal partnership model as a solution of the partnership constraints. The research

design was qualitative with case study technique. Informants were head of partnership

management of CV. Sumber Buah (SAE), head of Gapoktan Samimulya and Sukamulya

Farmer Group as partner farmers, and also head of Dunia Buah and Ki Gebang

farmer group as the farmer groups who had no longer partnership. The data used

primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis with

the aid of drama theory model.The Result showed the contraints are the farmers

encounter difficulties in farming techniques, a lack of market information, products

return, and the delay in paymen. However, the farmers obtain the benefits in terms of

economi, social and technology. Through a joint framework that was based on the

threats and the offers consideration between the actors, it obtains no longer products

return, mango fruit quality standards, and payment process. In the fact, partnership

could not guarantee the performance of businesses farmer groups auxiliaries.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 354: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

342

PENDAHULUAN

Keberadaan mangga di Indonesia jumlahnya

melimpah. Indonesia merupakan negara produsen

mangga terbesar kelima di dunia dengan produksi

sebesar 2.376.339 ton pada tahun 2012 di bawah

India, Cina, Kenya dan Thailand. (FAOSTAT, 2014).

Dalam rangka mendorong dan meningkatkan

pengembangan usahatani buah dan mengatasi

berbagai kendala yang dihadapi oleh petani, terutama

dibidang permodalan, produksi, dan pemasaran,

maka dilaksanakan program kemitraan antara Usaha

Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil.

Pelaksanaan kemitraan ini sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

1997 tentang kemitraan, kemitraan adalah suatu

kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah

atau usaha besar yang disertai pembinaan dan

pengembangan oleh usaha menengah atau usaha

besar dengan memperhatikan prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan.

CV.Sumber Buah (SAE) telah melakukan

kegiatan ekspor selama kurang lebih tujuh tahun.

Namun program kemitraan yang dilaksanakan belum

terlihat optimal khususnya dalam hal memenuhi

kebutuhan permintaan pasar internasional.

CV.Sumber Buah (SAE) masih harus mencari

produk buah mangga dari petani mangga diluar

petani mitra demi memenuhi permintaan pasar. Pada

perkembangannya terdapat cukup banyak petani

yang kemudian tidak lagi menjual hasil produksinya

ke CV. Sumber Buah (SAE) namun menjual hasil

produksinya ke bandar, tengkulak, ataupun

perusahaan eksportir lain.

Selain salah satu kelompok tani yang tergabung

dalam Gapoktan Samimulya yaitu Kelompok Tani

Sukamulya yang hingga saat ini merupakan mitra

dari CV. Sumber Buah (SAE), sebelumnya terdapat

beberapa kelompok tani yang pernah melakukan

kerjasama usaha dengan CV. Sumber Buah (SAE)

namun mengundurkan diri diantaranya yaitu

Kelompok Tani Dunia Buah dan Kelompok Tani Ki

Gebang.

Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti

berniat untuk melakukan kajian terhadap kemitraan

yang dilakukan CV.Sumber Buah (SAE) dengan cara

mengetahui kinerja kelompok tani yang masih

bermitra dan kelompok tani yang sudah tidak

bermitra, serta kendala serta manfaat kemitraan yang

dirasakan oleh petani yang masih bermitra.

Selanjutnya akan dirumuskan solusi alternatif

kemitraan ideal bagi petani yang masih bermitra

dengan CV. Sumber Buah (SAE) dengan

menggunakan alat analisis model teori drama.

KERANGKA KONSEP

CV. Sumber Buah (SAE) merupakan salah

satu perusahaan yang bergerak dibidang jasa ekspor,

khususnya ekspor komoditas pertanian. CV.Sumber

Buah (SAE) telah aktif memasarkan buah mangga ke

pasar internasional sejak tahun 2008. Diantaranya

Timur Tengah, Singapura dan Hongkong yang

menjadi tujuan ekspor komoditas mangga yang

dilakukan CV.Sumber Buah (SAE). Cukup

banyaknya permintaan buah mangga di pasar ekspor

membuat CV. Sumber Buah (SAE) perlu melakukan

kegiatan kemitraan dengan petani mangga untuk

memenuhi kebutuhan permintaan pasar.

Diantaranya Kelompok Tani Sukamulya yang

tergabung dalam Gapoktan Samimulya dan

merupakan kelompok tani yang bermitra dengan

CV.Sumber Buah (SAE). CV. Sumber Buah (SAE)

juga mengadakan kerjasama usaha dengan kelompok

tani yang lain seperti Kelompok Tani Dunia Buah

dan Kelompok Tani Ki Gebang. Namun pada

perkembangannya kedua kelompok tani tersebut

hanya mengirimkan hasil produksi buah mangganya

ke CV. Sumber Buah (SAE) dalam jangka waktu satu

tahun dan kemudian mengundurkan diri dari kegiatan

kerjasama usaha tersebut.

Hal tersebut yang membuat peneliti merasa

tertarik untuk menganalisis mengenai kemitraan yang

terjadi antara CV. Sumber Buah (SAE) dengan

kelompok tani mangga.

METODE PENELITIAN

Objek dalam penelitian ini adalah petani mitra

dan non mitra. Penelitian dilakukan di CV. Sumber

Buah (SAE), Gapoktan Samimulya, Kelompok Tani

Sukamulya, Kelompok Tani Dunia Buah, dan

Kelompok Tani Ki Gebang yang berlokasi di

Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.

Desain penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah desain kualitatif. Teknik yang

digunakan adalah studi kasus. Suharsini (2006)

menyatakan bahwa studi penelitian yang dilakukan

secara terinci dan mendalam terhadap suatu

organisasi, lembaga, atau gejala tertentu. Ditinjau

dari wilayahnya, maka studi kasus hanya meliputi

daerah atau subjek yang sangat sempit.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data primer dan data sekunder. Informan

dalam penelitian ini adalah para pelaku yang

melakukan program kemitraan dengan CV. Sumber

Buah (SAE) diantaranya Ketua Gapoktan Samimulya

dan Ketua Kelompok Tani Sukamulya sebagai petani

mitra serta Ketua Kelompok Tani Dunia Buah dan

Page 355: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

343

Kelompok Tani Ki Gebang sebagai kelompok tani

yang sudah tidak bermitra.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Usaha Kelompok Tani

1) Kelompok Tani Sukamulya

(1) Lahan

Lahan yang diusahakan Kelompok Tani

Sukamulya seluas 12 hektar. Lahan tersebut

merupakan lahan kelompok dan seluruhnya berlokasi

di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Lahan

tersebut ditanami kurang lebih 1200 pohon mangga

gedong gincu.

(2) Anggota Kelompok Tani

Awalnya kelompok tani Sukamulya memiliki 25

orang anggota kelompok tani. Namun pada

perkembangannya anggota tersebut berkurang

hingga saat ini hanya tersisa 8 orang anggota

kelompok tani.

(3) Teknologi

Alat-alat pertanian yang dimiliki oleh

Kelompok Tani Sukamulya diantaranya adalah

packing house, keranjang plastik, mobil bak, dan

hand sprayer. Sedangkan untuk teknologi

penanaman kelompok tani telah menggunakan

teknologi off season pada sistem penanaman.

(4) Sumber Modal

Modal usahatani berasal dari mitra, yaitu CV.

Sumber Buah (SAE), kredit Bank BRI, dan kredit

pada program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi

(KKPE) dari Bank BJB.

(5) Jumlah Produksi

Tabel 1. Jumlah Produksi Kelompok Tani Sukamulya (Kg)

Indikator Kinerja Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Jumlah Produksi

Grade A 9146 12170 14390 13856 16103 16792

Grade B 4573 6085 7195 6928 8052 8396

Grade C 1524 2028 2398 2309 2684 2799

Total Produksi 15244 20284 23984 23094 26839 27986

Produktivitas 12.7 17 20 19 22,3 23,3

Dari jumlah produksi yang diungkapkan Tabel

1 kurang lebih sekitar sembilan puluh persen hasil

produksinya dapat dikategorikan sebagai grade A dan

grade B sehingga dapat langsung disalurkan ke

eksportir dalam hal ini CV. Sumber Buah (SAE) dan

sepuluh persen lainnya biasanya disalurkan ke

industri pengolahan yang ada di wilayah sekitar

kelompok tani Sukamulya yaitu industri pengolahan

manisan mangga.

(6) Harga

Harga tertinggi buah mangga ditingkat petani

pada saat panen off season yaitu sekitar bulan Mei

hingga Agustus yaitu Rp. 15.000 per kilogram untuk

kategori tua pohon grade A dan kategori matang

pohon grade A yaitu Rp. 30.000 per kilogram.

Sedangkan pada masa on season yaitu sekitar bulan

September hingga November harga tertinggi adalah

Rp. 7.500 per kilogram untuk kategori grade A tua

pohon. Sedangkan untuk tingkat kelompok tani,

harga lebih tinggi Rp. 1.000 per kilogramnya.

Kelebihan harga tersebut dipergunakan untuk uang

kas Kelompok Tani Sukamulya.

2) Kelompok Tani Dunia Buah

(1) Lahan

Kelompok Tani Dunia Buah memiliki 48

hektar lahan dengan kurang lebih 4.800 pohon

mangga gedong gincu yang ditanam menggunakan

pola polikutur dengan tanaman padi atau sawah.

Kebun mangga gedong gincu milik Dunia Buah ini

berlokasi dekat dengan danau buatan yang cukup luas

sehingga akses untuk mendapatkan air untuk proses

pemeliharaan seperti penyemprotan menjadi relatif

mudah dan efisien.

(2) Anggota Kelompok

Anggota kelompok merupakan petani yang

menjual hasil produksinya ke kelompok. Anggota

Kelompok Tani Dunia Buah berjumlah 25 orang dari

awal pembentukan hingga sekarang.

(3) Teknologi

Sama hal nya dengan Kelompok Tani

Sukamulya, Kelompok Tani Dunia Buah juga telah

menerapkan teknologi off season pada proses

pemeliharaan pohon mangga. Alat-alat pertanian

yang dimiliki Kelompok Tani Dunia Buah

diantaranya adalah packing house, cool storage,

mobil berpendingin, keranjang plastik, power

sprayer, hand sprayer, timbangan yang masing-

2006

Page 356: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

344

masing berjumlah 1 unit dan berasal dari program

bantuan pemerintah.

(4) Sumber Modal

Modal usaha yang dijalani oleh Kelompok

Tani Dunia Buah merupakan modal sendiri. Hal

tersebut karena kelompok tani Dunia Buah belum

mendapatkan kepercayaan dari perbankan untuk

mendapatkan pinjaman modal dengan jumlah besar.

(5) Jumlah Produksi

Tabel 2. Jumlah Produksi Kelompok Tani Dunia Buah (Kg)

Indikator Kinerja Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Jumlah Produksi

Grade A 171009 136807 162800 211640 152381 192000

Grade B

Grade C 42752 34202 40700 52910 38095 48000

Total Produksi 213761 171009 203500 264550 190476 240000

Produktivitas 44,5 35,6 42,4 55 39,7 50

Dari total produksi yang dihasilkan, kelompok

tani Dunia Buah memasarkan ke pasar domestik dan

pasar internasional. Melalui eksportir kelompok tani

Dunia Buah memasarkan hasil produksinya sekitar

20% dari jumlah total produksi grade A dan grade B.

Sisanya disalurkan ke pasar domestik.

(6) Harga

Kelompok Tani Dunia Buah hanya menjual

buah mangga dengan kategori tua pohon. Harga

tertinggi ditingkat petani untuk kategori grade A tua

pohon pada masa off season adalah Rp. 14.000 per

kilogram sedangkan ditingkat kelompok tani adalah

Rp. 20.000 per kilogram. Pada masa on season atau

panen raya harga tertinggi ditingkat petani untuk

kategori yang sama adalah sebesar Rp. 7.000 per

kilogram sementara ditingkat kelompok tani adalah

Rp. 10.000 per kilogramnya. Perbedaan harga

tersebut dikarenakan kelompok tani harus

menanggung biaya transportasi dalam proses

pemasaran.

3) Kelompok Tani Ki Gebang

(1) Lahan

Kelompok tani Ki Gebang melakukan

produksi buah mangga di lahan seluas 40 hektar.

Lahan tersebut merupakan gabungan antara pohon

mangga gedong gincu, arumanis, dan cengkir. Lahan

gedong gincu sendiri yaitu seluas 16 hektar dengan

jumlah pohon sekitar 1.600 pohon.

(2) Anggota Kelompok

Anggota kelompok tani Ki Gebang awalnya

berjumlah 22 orang. Namun, kini telah berkurang

menjadi 15 orang. Hal tersebut dikarenakan anggota

yang mengundurkan diri dari kelompok ingin

membuat kelompok tani yang baru bersama dengan

anggota lainnya.

(3) Teknologi

Kelompok tani Ki Gebang juga mendapatkan

bantuan berupa sarana dan prasana bagi proses

produksi buah manga diantaranya packing house,

keranjang, alat pemetik buah, power sprayer, hand

sprayer, timbangan, dan alat perangkap lalat buah.

Sama halnya dengan dua kelompok tani sebelumnya,

Kelompok Tani Ki Gebang juga menggunakan

teknologi off season pada pohon mangganya.

(4) Sumber Modal

Ketua kelompok memulai usahanya dengan

berjualan mangga di Jakarta. Setelah usahanya mulai

berkembang baru memulai untuk membeli kebun

mangga dan mencoba membudidayakan buah

mangga dan mendirikan kelompok tani. Untuk itu

sumber modal yang digunakan adalah modal pribadi.

(5) Jumlah Produksi

Tabel 3. Jumlah Produksi Kelompok Tani Ki Gebang (Kg)

Indikator Kinerja Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Jumlah Produksi

Grade A 20764 18688 22426 25789 20632 23520

Grade B

Grade C 8899 8009 9611 11053 8842 10080

Page 357: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

345

Indikator Kinerja Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Total Produksi 29664 26697 32037 36842 29474 33600

Produktivitas 18,5 16,7 20 23 18,4 21

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa

hasil tingkat produksi buah mangga grade C masih

relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan

kelompok tani Sukamulya dan Dunia Buah. Bahkan

jika hasil produksi buah mangga grade B yang

dihasilkan oleh kelompok tani Ki Gebang dikirimkan

ke eksportir seringkali masih mendapatkan reject

produk karena dinilai kurang memenuhi standar

kualitas.

(6) Harga

Sama halnya dengan Kelompok Tani Dunia

Buah, Kelompok Tani Ki Gebang hanya memasarkan

buah mangga dengan kondisi tua pohon. Harga

tertinggi ditingkat petani untuk kategori grade A tua

pohon pada masa off season adalah Rp. 15.000 per

kilogram dan dijual dengan harga Rp.25.000 per

kilogram di Toko Antowijaya. Sedangkan pada masa

on season harga tertinggi dengan kategori yang sama

adalah Rp. 7.000 per kilogram di tingkat petani dan

Rp. 10.000 per kilogram di Toko Antowijaya.

Dari hasil kinerja usaha, Kelompok Tani

Dunia Buah dapat dikatakan lebih unggul dari segi

jumlah pohon, anggota kelompok, produktivitas, dan

teknologi.

2. Deskripsi Kemitraan Petani Mangga dengan

CV. Sumber Buah (SAE)

Dimulai dari suksesnya percobaan pertama

CV. Sumber Buah (SAE) melakukan kegiatan ekspor

buah mangga menjadikan CV. Sumber Buah (SAE)

mulai melakukan kontrak kemitraan dengan petani

mangga. Gapoktan Samimulya yang didalamnya

terdapat Kelompok Tani Sukamulya merupakan

kelompok tani mitra yang hingga saat ini masih

melakukan kemitraan dengan CV. Sumber Buah

(SAE). Ketua kelompok beralasan karena CV.

Sumber Buah (SAE) merupakan satu-satunya

eksportir yang berlokasi paling dekat dengan

kelompok tani sehingga lebih mudah dalam akses

trasnportasi.

Sedangkan Kelompok Tani Dunia Buah dan

Kelompok Tani Ki Gebang yang semula juga

melakukan kerjasama usaha dengan CV. Sumber

Buah (SAE) saat ini tidak lagi melakukan kerjasama

tersebut dikarenakan tidak adanya keinginan untuk

melakukan kontrak kerjasama secara tertulis karena

harga, kuantitas dan kualitas yang tidak dapat

diterima oleh keduanya.

1) Kendala Kemitraan

Kendala yang terjadi dipihak perusahaan

adalah dari segi kualitas buah mangga yang

dihasilkan oleh petani mitra, kuantitas produk yang

dikirimkan oleh petani mitra, serta kontinuitas

kerjasama petani mitra yang masih belum terjamin.

Untuk kendala ditingkat petani diantaranya

kesulitasn di teknik budidaya, kurangnya informasi

pasar, pengembalian produk reject, serta lamanya

waktu pembayaran.

2) Manfaat Kemitraan

Pada hakikatnya kemitraan yang dilakukan

oleh Kelompok Tani Sukamulya dengan CV. Sumber

Buah (SAE) memberikan manfaat yang berarti bagi

kedua belah pihak. Manfaat kemitraan sendiri dapat

dilihat dari aspek ekonomi, teknis, sosial dan

manajemen (Departemen Pertanian, 2000).

(1) Manfaat Ekonomi

Manfaat yang dirasakan petani mitra secara

ekonomi diantaranya adalah produktivitas yang

meningkat setiap tahunnya dan kepastian harga dari

perusahaan. Selain itu juga pendapatan usahatani jika

dibandingkan dengan petani non mitra.

Tabel 4. Analisis Usahatani Petani Mitra dan Petani

Non Mitra per Ha dalam 1 Tahun Keterangan Petani Mitra Petani Non-Mitra

Biaya Variabel

Pupuk

Kandang Rp 2.213.388 Rp 4.259.259

SP36 Rp 95.736 Rp 429.629

Urea Rp 110.163 Rp 520.000

KCL Rp 122.403 Rp 140.000

NPK Rp 510.012 Rp 169.445

Organik Cair Rp 6.120 Rp 6.222

Paclobutrazol Rp 102.002 Rp 103.704

Giberelin Acid Rp 38.401 Rp 49.778

Pestisida Rp 5.712.132 Rp 5.807.407

HOK Rp 3.620.891 Rp 8.497.777

Biaya Tetap

Biaya Penyusutan Alat Rp 174.999 Rp 125.833

Jumlah Biaya Rp 12.706.247 Rp 20.109.054

Page 358: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

346

Penjualan hasil produksi

Total produksi 5.000kg 5.000kg

Harga Rp 15.000 Rp 13.000

Total penerimaan Rp 75.000.000 Rp 65.000.000

Keuntungan Rp 62.293.753 Rp 44.890.946

(2) Manfaat Teknis

Hampir seluruh petani mitra menguasai

teknologi off season untuk budidaya pohon

mangganya. Selain itu beberapa bantuan pemerintah

diberikan kepada petani yang memiliki potensi untuk

dikembangkan, dan salah satu syaratnya adalah

memiliki akses pasar yang pasti atau melakukan

kemitraan dengan perusahaan pemasaran misalnya

pihak eksportir. Sebagai contoh adanya program

bantuan pola insentif two in one yang dilakukan

melalui hubungan kemitraan antara perusahaan inti

dan petani plasma.

(3) Manfaat Sosial

Manfaat kemitraan secara sosial dapat dilihat

melalui sikap saling percaya dan kekeluargaan yang

dirasakan oleh kedua belah pihak. Hal ini yang

menjadikan kedua belah pihak tetap menginginkan

kontinuitas dalam kerjasama usaha.

(4) Manfaat Manajemen

Manfaat kemitraan secara sosial dapat dilihat

melalui sikap saling percaya dan kekeluargaan yang

dirasakan oleh kedua belah pihak. Hal ini yang

menjadikan kedua belah pihak tetap menginginkan

kontinuitas dalam kerjasama usaha.

3. Model Kemitraan Ideal

1) Dilema dalam Kemitraan

(1) Dilema Konfrontasi

Dilema ancaman terjadi ketika Beberapa

petani mitra menjual hasil panen nya ke pihak lain

dan tidak mengembalikan modal yang sebelumnya

telah dipinjamkan oleh perusahaan. CV. Sumber

Buah (SAE) memberikan teguran atau peringatan

kepada petani agar mengembalikan modal pinjaman

atau panen musim yang akan datang harus

mengirimkan hasil produksi buah mangganya ke CV.

Sumber Buah (SAE).

Namun pada kenyatannya ancaman yang

diberikan oleh CV. Sumber Buah (SAE) tidak

ditanggapi dengan serius oleh petani mangga. Hal ini

dikarenakan petani merasa harga yang diberikan oleh

CV. Sumber Buah (SAE) terlalu rendah dan petani

memiliki posisi tawar yang menguntungkan.

Dilema posisi terjadi karena petani merasa

keberatan jika salah satu kegiatan pasca panen yaitu

sortasi dan grading dilakukan di perusahaan dan

ingin bertukar posisi untuk melakukan sortasi dan

grading sendiri di tempat petani. Petani beranggapan

bahwa jika grading dan sortasi dilakukan di tempat

petani, maka barang yang di reject tidak akan terjadi

lagi. Karena resiko yang dirasakan petani untuk

menghadapi barang reject cukup sulit karena petani

harus mencari lagi pasar.

Sedangkan dilema kerjasama terjadi pada

petani mitra saat mereka lebih tertarik untuk

bekerjasama dengan pihak lain padahal mereka telah

diikat secara kontrak oleh CV. Sumber Buah (SAE).

Adanya tawaran dari pihak lain yang menjanjikan

harga yang lebih tinggi dan pembayaran secara tunai

membuat petani dihadapkan dengan pilihan. Selain

itu petani merasa belum puas dengan manfaat yang

diberikan saat bermitra dengan CV. Sumber Buah

(SAE) sehingga petani masih tertarik untuk menjalin

kerjasama usaha dengan pihak lain.

2) Tahap Awal (Scene Setting)

(1) Kerangka Pikir Petani

Gambar 4. Kerangka Pikir Petani

(2) Kerangka Pikir Perusahaan

Gambar 5. Kerangka Pikir Perusahaan

Page 359: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

347

2) Kerangka Pikir Bersama (Build Up)

(1) Pengambalian Produk (Reject)

Gambar 6. Gambaran Situasi Konflik dengan

Menggunakan Perangkat Lunak Confrontation

Manager

Melalui gambar tersebut digambarkan bahwa

pihak CV. Sumber Buah (SAE) berpendapat bahwa

tidak seluruh buah mangga yang dikirimkan oleh

petani ke perusahaan lolos dalam proses sortasi dan

grading sehingga perlu adanya pengembalian produk

kepada petani. Sebaliknya apabila CV. Sumber Buah

(SAE) terus melakukan pengembalian produk

(rejected) kepada petani, Gapoktan Samimulya akan

mencari pasar yang lain untuk menjual hasil produksi

buah mangganya. Hal tersebut merupakan ancaman

bagi perusahaan (diperlihatkan dengan simbol t pada

matriks).

Melalui berbagai pertimbangan atas tawaran

tersebut, maka diputuskan menerima seluruh hasil

produksi buah mangga petani merupakan hal yang

paling ideal. Dengan catatan, CV. Sumber Buah

(SAE) berhak atas penentuan harga produk buah

mangga yang tidak lolos dalam proses sortasi dan

grading. Berdasarkan keinginan-keinginan yang

telah diungkapkan oleh Gapoktan Samimulya dan

CV. Sumber Buah (SAE) maka dapat digambarkan

kerangka referensi bersama sebagai berikut:

Gambar 7. Gambaran Refensi Bersama CV. Sumber

Buah (SAE) dan Gapoktan Samimulya mengenai

Pengembalian Produk (reject)

(2) Penurunan Standar Mutu

Pengembalian produk rejected oleh

perusahaan kepada petani membuat petani

beranggapan bahwa standar mutu atau kualitas yang

ditargetkan perusahaan pada hasil produksi buah

mangga terlalu tinggi. Hal ini mendorong petani

untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan agar

perusahaan dapat menurunkan standar mutu buah

mangga yang dapat diterima perusahaan.

Gambar 8. Situasi Konflik CV. Sumber Buah (SAE)

dengan Gapoktan Samimulya Mengenai Standar

Kualitas

Hal ini akan lama kelamaan akan

menyebabkan kehilangan pasar karena standar mutu

yang rendah. Menyadari hal itu petani sepakat untuk

CV. Sumber Buah (SAE) tetap menerapkan standar

mutu dan kualitasnya yang tinggi. Namun dengan

harapan CV. Sumber Buah (SAE) dapat memberikan

pelatihan teknologi atau menjadi jembatan dalam

program bantuan pemerintah atau lembaga

pendidikan dan penyuluhan.

Gambar 9. Referensi Bersama CV. Sumber Buah

(SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai

Standar Kualitas

CV. Sumber Buah (SAE)

melakukan pengembalian (reject) produk

menerima seluruh produk

Gapoktan Samimulya

mencari pasar yang lain

C Gt

CV. Sumber Buah (SAE)

melakukan pengembalian (reject) produk

menerima seluruh produk dengan harga yang ditentukan perusahaan

Gapoktan Samimulya

mencari pasar yang lain

tetap bermitra dengan CV. Sumber Buah (SAE)

C Ga

CV. Sumber Buah (SAE)

standar kualitas tetap

menurunkan standar kualitas

Gapoktan Samimulya

menjual hasil panen ke pihak lain

C Gt

CV. Sumber Buah (SAE)

standar kualitas tetap

menurunkan standar kualitas

menjembatani bantuan dan pelatihan dari pihak lain

Gapoktan Samimulya

menjual hasil panen ke pihak lain

C Ga

Page 360: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

348

(3) Lamanya Proses Pembayaran

Gambar 10. Situasi Konflik CV. Sumber Buah

(SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai

Lamanya Pembayaran

CV. Sumber Buah (SAE) selama ini berusaha

memberikan modal apabila petani perlu dalam proses

produksi. Hal tersebut dilakukan oleh perusahaan

karena selain perusahaan berusaha mengikat petani

mitra untuk menjual hasil produksi buah mangganya

ke perusahaan juga sebagai pembayaran awal buah

mangga yang nantinya akan dikirimkan ke

perusahaan. Perusahaan menganggap peminjaman

modal merupakan proses pembayaran buah mangga

petani di awal selagi arus kas yang dimiliki

perusahaan masih cukup untuk memberikan

pinjaman modal. Namun CV. Sumber Buah (SAE)

sepakat akan berusaha untuk melakukan pembayaran

secara tunai ataupun maksimal tiga hari setelah

pengiriman.

Gambar 11. Kerangka Pikir Bersama CV. Sumber Buah (SAE) dengan Gabungan Kelompok Tani

Samimulya

Gambar 11 merupakan kerangka pikir bersama

dari kedua pelaku kemitraan. Setelah memahami

kondisi dan posisi setiap pelaku, maka kemitraan

yang dapat membentuk suatu win-win solution ialah

dimulai dari pembentukan Gabungan Kelompok Tani

Samimulya sebagai sarana kelompok tani untuk

bertukar informasi, membangun kepercayaan dan

kekeluargaan. Gapoktan juga akan berperan sebagai

penyalur pinjaman modal yang berasal dari CV.

Sumber Buah (SAE) dan sebagai jembatan dalam

program-program pemerintah seperti penyuluhan,

bantuan, dan pelatihan teknologi serta budidaya yang

dilakukan oleh lembaga pendidikan, penelitian dan

pengembangan.

CV. Sumber Buah (SAE) berperan sebagai

mitra dengan kontrak kerjasama memberikan

pinjaman modal, tidak melakukan reject produk buah

mangga yang diberikan oleh gapoktan, dan berusaha

melakukan pembayaran maksimal tiga hari setelah

pengiriman produk buah mangga. Disisi lain,

CV. Sumber Buah (SAE)

pembayaran ditunda 1-2 minggu

pembayaran paling lambat 3 hari setelah kirim

Gapoktan Samimulya

mencari pasar dengan pembayaran cash

C Gt

Page 361: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

349

gabungan kelompok tani perlu mengelola kelompok-

kelompok tani serta petani mitra dibawahnya agar

tidak melakukan pelanggaran terhadap kontrak

kemitraan dan memberikan sanksi dan peringatan

kepada pihak yang melanggar.

KESIMPULAN

1) Kelompok tani Sukamulya sebagai kelompok

tani yang melakukan kemitraan dengan CV.

Sumber Buah (SAE) belum dapat dikatakan

sebagai kelompok dengan kinerja yang lebih

baik dibandingkan kelompok tani Dunia Buah

dan kelompok tani Ki Gebang karena dari sisi

produktivitas dan keanggotaan yang tidak lebih

baik dari dua kelompok lainnya. Berdasarkan

hal tersebut dapat dikatakan bahwa kemitraan

dengan CV.Sumber Buah (SAE) belum dapat

memberikan pengaruh pada kinerja usaha

kelompok tani mitra jika dibandingkan dengan

kelompok tani non mitra.

2) Kendala kemitraan yang dirasakan oleh CV.

Sumber Buah (SAE) berupa kualitas produk

yang dihasilkan oleh petani serta kuantitas

produk yang dikirimkan oleh petani. Sedangkan

kendala yang dirasakan oleh petani diantaranya

adalah kesulitan dalam teknik budidaya,

pengembalian produk reject,dan lamanya waktu

pembayaran yang dilakukan perusahaan.

Manfaat kemitraan dari aspek ekonomi,

pendapatan dan kepastian harga jual yang relatif

lebih tinggi petani mitra daripada petani non

mitra. Aspek teknologi, petani mitra melakukan

off season dan menerima bantuan berupa

teknologi pertanian. Aspek sosial petani mitra

merasakan adanya ikatan kekeluargaan antara

petani dengan perusahaan dan kepercayaan akan

pemasaran dan aspek manajemen, manfaat

kemitraan belum banyak dirasakan oleh petani

mitra karena pada kenyataannya petani mitra

belum dapat secara mandiri melakukan

manajemen usahataninya.

3) Model kemitraan ideal melalui teori drama

menghasilkan alternatif pada permasalahan

yang terjadi, diantaranya mengenai:

(1) Pengembalian produk tidak perlu lagi

dilakukan dengan catatan penentuan harga

produk yang tidak lolos dalam proses

sortasi dan grading ditentukan oleh

perusahaan.

(2) Standar mutu produk tidak perlu

diturunkan melainkan petani perlu

memperbaiki tingkat kemampuan produksi

buah mangga melalui bantuan instansi

pendidikan, pelatihan, ataupun

pemerintahan yang dijembatani oleh

perusahaan.

(3) Perusahaan akan mengusahakan untuk

melakukan pembayaran kepada petani

secara tunai atau paling lambat 3 hari

setelah pengiriman.

SARAN

1) Petani mangga sebaiknya lebih bertanggungjawab

dalam melaksanakan komitmen kemitraan dan

menjadikan perbandingan sebagai solusi dalam

permasalahan petani mitra dengan perusahaan.

2) CV. Sumber Buah (SAE) sebaiknya melakukan

kemitraan dengan pihak lain selain Gapoktan

Samimulya. Hal tersebut karena belum

mampunya Gapoktan Samimulya memenuhi

permintaan pasar. Selain itu CV. Sumber Buah

(SAE) disarankan untuk melakukan pembinaan

manajemen dan melakukan usaha untuk

menjembatani petani mitra dengan pihak-pihak

seperti peneliti dan pengembangan guna

meningkatkan produktivitas dan manfaat

manajemen kemitraan.

3) Pemerintah sebaiknya mengontrol dan

mengadakan badan pengawasan dan sanksi yang

jelas dalam pelanggaran kesepakatan kemitraan.

DAFTAR PUSTAKA

Alviany, Yulia. 2014. Analisis Manajemen Risiko

Usahatani Mangga di Kabupaten

Indramayu Jawa Barat. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Boediono, Wayan Koster. 2002. Teori dan Aplikasi

Statistika dan Probabilita, Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Bryant, J and Darwin (2004). β€œExploring Inter-

organizational relationship in the health

service: an immersive drama approach”

Dharma S. 2004. Manajemen Kinerja; Falsafah,

Teori dan penerapannya. Jakarat:

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Departemen PendidikanNasional.

Deptan. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No

273/kpts/OT.160/4/2007. Departemen

Kementerian Pertanian. Jakarta.

Fletcher, Keint L. 1987. The Law of Partnership. The

Law Book Company Limited: Sidney.

Hafsah, Mohammad Jafar. 2003. Kemitraan Usaha:

Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan

Herawati, Augustin Rina. 2011. Sistem Kemitraan

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) –

Page 362: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

350

Usaha Besar dengan Pemodelan Systems

Archetype. Jakarta: Universitas Indonesia.

Howard, N. (1996). β€œNegotiation as drama: how

games become dramatic”International

Negotiation Journal, Vol. 1, 125-152.

Lies Sulistyowati, Ronnie S. Natawidjaja, Zumi

Saidah. 2013. Faktor-Faktor Sosial

Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan

Petani Mangga Terlibat dalam Sistem

Informal dengan Pedagang Pengumpul.

Bandung: Universitas Padjadjaran.

Linton, Ian. 1997. Kemitraan Meraih Keuntungan

Bersama. Jakarta: Hailarang.

Moloeng, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Monica, Dina. 2006. Analisis Sosial Ekonomi Sistem

Kemitraan Pengelolaan Wana Curug

Nangka KPH Bogor Perum Perhutani Unit

III Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta : PT.

Bumi Aksara.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian Edisi keenam.

Bogor: Ghalia Indonesia.

Nurhayati. 2013. Analisis Kolaborasi Antar Pelaku

dalam Rantai Pasok pada Klaster Cabai

Merah (Capsicum annum L.). Jatinangor:

Universitas Padjadjaran

Nur Syamsiah, Lies Sulistyowati. 2014. β€œKemitraan

Usaha dalam Peningkatan Daya Saing dan

Dampak Kebijakan Mangga di Kabupaten

Cirebon, Jawa Barat.” Seminar Nasional

Pembangunan Inklusif di Sektor Pertanian.

Jatinangor: Jurusan Agribisnis Universitas

Padjadjaran.

Pracaya. 2004. Bertanam Mangga. Edisi Revisi.

Jakarta: Penebar Swadaya

Prihatman, Kemal. 2000. Budidaya Pertanian

Mangga (Mangifera Indica L).Jakarta:

Deputi Menegristek Bidang

Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi.

Puspitasari, A. 2009. Pengaruh Kemitraan Terhadap

Produktivitas Dan Pendapatan Petani

Kakao. Skripsi. Departemen Agribisnis.

Fakultas Ekonomi Dan Manajemen.

Institut Pertanian Bogor.

Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan

Kebudayaan. Jakarta: CV Rajawali. Rochmawan, Sony. 2013. Pengaruh Pola Kemitraan

dengan PT. BISI Terhadap Pendapatan

Petani Jagung di Kecamatan Banyakan

Kabupaten Kediri. Jurnal Manajemen

Agribisnis.

Rodjak, Abdul. 2006. Manajemen Usahatani.

Bandung : Pustaka Giratuna.

Saptana, Arief Daryanto, Henry K. Daryanto,

Kuntjoro. 2009. Strategi Kemitraan Usaha

dalam Rangka Peningkatan Daya Saing

Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah.

Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian.

Saptana, Kurnia Suci Indraningsih, Endang L.

Hastuti. 2007. Analisis Kelembagaan

Kemitraan Usaha di Sentra Produksi

Sayuran. Bogor: Pusat Analisis Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Scott, James. C. 1981. Moral Ekonomi Petani.

Jakarta: PT Intermasa.

Soekartawi, dkk. 1985. Ilmu Usahatani dan

Penelitian Untuk Pengembangan Petani

Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharsini, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Tika MP. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan

Kinerja Perusahaan. Jakarta:PT Bumi

Aksara.

Usman, Rukiyati. 2013. Efektivitas Kemitraan

Antara Koperasi dengan Kelompok Tani

Penyuling Minyak Kayu Putih. Maluku

Utara: Universitas Muhammadyah.

Veronica, Natalia. 2001. Formulasi Pola Kemitraan

Agribisnis Pada PT. Agrobumi Puspa Sari

dengan Petani Krisan. Skripsi. Bogor :

Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni., S dan R. Hendayana, 2001. Laporan

Pengkajian Kinerja dan Arah

Pengembangan BPP Jawa Timur. Badan

Urusan Ketahanan Pangan- Pusat Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian, Bogor

Page 363: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

351

Pertukaran Nilai Pemasaran Dalam Pemasaran Relasional Sebagai Upaya

Menekan Risiko Pemasaran Pada Komoditas Bernilai Tinggi

Marketing Value Exchange In Relational Marketing In Order To Reduce Marketing Risk

For High Value Commodity

Tuti Karyani1, Agriani H. Sadeli1, Hesty N. Utami1, Sulistyodewi NW 1

1Departemen Sosek Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor

A B S T R A K

Kata Kunci:

Pemasaran

relasional

Risiko pemasaran

Pertukaran nilai

Komoditas mangga

Buah - buahan eksotis asli Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh

negara lain sehingga menjadi potensial untuk dipasarkan tidak hanya di pasar lokal namun

juga pasar internasional. Potensi dan peluang ini masih mengalami kendala pengembangan

usaha diantaranya yang terkait dengan kendala dan risiko pemasaran sebagai gerbang akhir

komersialisasi produk. Kendala pemasaran dapat diindikasi salah satunya oleh masih

fluktuatifnya produksi mangga di sentra produksi mangga seperti Jawa Barat. Risiko

pemasaran ini bila tidak mampu diindentifikasi dan selanjutnya dikelola dengan baik maka

akan menjadi tidak efektif untuk program pemasaran yang akan dilakukan. Penelitian ini

menggunakan metode analisis rich picture diagram untuk mengidentifikasi risiko. Pemasaran

relasional dinilai mampu menjadi solusi dalam mengantisipasi risiko pemasaran antar pelaku

melalui pertukaran nilai antara para pelaku yang terlibat dalam agribisnis mangga. Pertukaran

nilai ini berupa (1) Managed Value berupa pengaktifan kelompok tani dalam kegiatan

pemasaran yang berorientasi jangka panjang, (2) Interactive Value berupa pembuatan

kesepakatan antara petani dengan konsumen berupa kontrak kerjasama, (3) Emergent Value

berupa penyampaian informasi mengenai permintaan dan karakteristik pasar kepada petani.

ABSTRACT

Keywords:

Relational

marketing

Marketing risk

Exchange Value

Mango

Original exotic fruits from Indonesia has a comparative advantages comparing to other

countries so that it becomes a potential not only for local market but also the international

market. This opportunity still have obstacle including the business development related to

marketing constraints and marketing risks as the final gate for product commercialization.

Marketing constraints could be indicated by the fluctuation of mango production at the mango

production centers such as West Java. The incapability to identified marketing risk and

followed by improperly well managed, it would be ineffective for a marketing program that

will be carried out. This study uses a rich picture diagram analysis method to identify risks.

Marketing relational assessed could be a solution in anticipation of the marketing risk

between mango businesses through the exchange of values between the actors involved in

agribusiness mango. The exchange value of the form (1) Managed Value with activation of

farmer groups in long-term oriented marketing activities, (2) Interactive Value with making

an agreement between farmers and consumers in the form of the contract, and (3) Emergent

Value with sharing informations regarding demand and market characteristics to farmers.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 364: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

352

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan usaha agribisnis dalam

negeri saat ini tengah banyak dilakukan oleh berbagai

pihak untuk lebih mengembangkan potensi dan

peluang komoditas agribisnis baik di dalam negeri

maupun di pasar internasional. Komoditas buah–

buahan Indonesia saat ini sudah mulai menjadi target

pengembangan pemerintah Indonesia sebagai salah

satu upaya strategis pembangunan agribisnis

Indonesia. Kondisi pendukung usaha tani seperti

kondisi tanah, iklim, serta letak geografis yang

berada di jalur khatulistiwa memberikan keuntungan

bagi Indonesia untuk memiliki keunggulan

komparatif bagi pengembangan industri pertanian

diantaranya untuk buah–buahan. Salah satu buah

lokal yang menjadi komoditas unggulan adalah

mangga.

Buah mangga merupakan salah satu diantara

beberapa buah–buahan tropis produksi Indonesia

yang saat ini sudah mampu dipasarkan ke pasar

modern baik ke ritel modern maupun untuk diekspor

ke luar negeri. Bahkan jenis buah ini juga menjadi

primadona exotic fruit ekspor buah dari Indonesia.

Buah ini memiliki ke-khasan tersendiri yang menjadi

daya tarik bagi konsumen tidak hanya konsumen

lokal namun juga konsumen luar negeri yang berbeda

dengan produk buah sejenis yang dihasilkan oleh

negara lain.

Gambar 2 Perkembangan Produksi Mangga Indonesia Tahun

2008 - 2012

Sumber : BPS dan Dirjen Hortikultura Kementan RI (2012)

Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa

produksi mangga nasional volumenya berfluktuasi

selama lima tahun terakhir. Bahkan pada tahun 2010

terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan,

meskipun pada dua tahun berikutnya mengalami

peningkatan kembali. Meskipun demikian fluktuasi

volume produksi mengindikasikan masih belum

terstrukturnya kontinuitas produksi mangga nasional

sehingga permintaan yang kontinu selalu tidak dapat

dipenuhi oleh petani maupun suplier sebagai

penyalur distribusi mangga ke pasar bisnis.

Gambar 3 Perkembangan Produksi Komoditas Mangga di

Jawa Barat Tahun 2009 - 2012

Sumber: *http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/924

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu

sentra produksi buah - buahan tropis di Indonesia

termasuk mangga yang saat ini sudah mulai

berorientasi ekspor. Bila dilihat pada gambar 2 maka

kondisi perkembangan produksi mangga dari Jawa

Barat memiliki fluktuasi yang sama dengan

perkembangan mangga nasional yang tidak menentu

setiap tahunnya. Namun demikian permintaan

terhadap mangga selalu ada karena komoditas

mangga yang dihasilkan oleh Jawa Barat memiliki

cita rasa yang berbeda dengan mangga yang

dihasilkan oleh daerah lain. Keunggulan yang

dimiliki oleh buah - buahan eksotis Indonesia seperti

mangga inilah yang disebut sebagai keunggulan

komparatif yang dimiliki oleh komoditas tersebut dan

tidak dimiliki oleh komoditas buah - buahan lain

yang diproduksi oleh negara lain, sehingga buah ini

cukup menarik pasar ekspor yang juga menawarkan

harga yang pasar yang cukup tinggi. Semakin

banyaknya perkembangan ritel modern juga memicu

permintaan baru untuk memasok ke ritel modern

untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Peluang ini

menjadi salah satu faktor penarik pelaku usaha

agribisnis mangga di Jawa Barat untuk

mengembangkan pemasaran produk ke pasar

modern.

Saat ini petani memasarkan mangga hasil

produksinya baik ke pasar modern maupun pasar

tradisional melalui bandar secara transaksional.

Dimana penjualan dengan cara transaksional ini

hanya berdasarkan keuntungan semata tanpa

memperhatikan hubungan jangka panjang dan

loyalitas konsumen. Selain itu hubungan yang hanya

berdasarkan transaksi saja tidak dapat menekan

Page 365: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

353

resiko yang mungkin dapat timbul pada agribisnis

mangga. Saat ini agribisnis mangga masih memiliki

risiko - risiko usaha yang masih belum bisa dihindari

oleh para pelaku yang terlibat di dalamnya terutama

oleh produsen atau petani. Salah satu risiko usaha

yang harus mampu diminimalisir dan diantisipasi

adalah risiko pemasaran, karena pemasaran

merupakan gerbang akhir dari komersialisasi suatu

produk untuk sampai ke pasar. Tinggi rendahnya

risiko pemasaran akan turut mempengaruhi

efektivitas aktivitas program pemasaran yang

dilakukan oleh para pelaku. Selain itu, dengan

rendahnya risiko pemasaran petani akan lebih

menarik untuk didanai oleh lembaga keuangan

dimana dana tersebut dapat digunakan untuk

pengembangan bisnis mangga yang digeluti. Oleh

karena itu penelitian ini memiliki tujuan untuk

memberikan rekomendasi untuk menekan risiko

pemasaran yang dapat terjadi dan merugikan petani.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di salah satu sentra

produksi mangga Jawa Barat yaitu di wilayah

Majalengka melalui desain penelitian deskriptif

kualitatif. Sementara itu metode analisis yang

digunakan berupa rich picture diagram untuk

mengidentifikasi risiko. Rich picture diagram

merupakan visualiasi penggambaran kondisi

permasalahan secara tidak terstruktur atas situasi

yang terjadi. Metode ini bertujuan untuk

merepresentasikan konsep dan hubungan melalui

gambar dan simbol yang memiliki makna informasi.

(Checkland dalam Pidd, 2004)

Gambar 4 Kerangka Pikir Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Petani mangga melakukan aktivitas penjualan

mangga langsung ke bandar oles dan bandar, tidak

terdapat aktivitas pertambahan nilai pada proses

pasca panen. Kualitas mangga yang dihasilkan petani

di Kabupaten Majalengka berdasarkan pada

budidaya terpadu yang tidak dilakukan pada produksi

mangga di wilayah Kabupaten Indramayu. Proses

bisnis antara petani dan bandar dilakukan secara

transaksional. Bandar menguasai informasi pasar dan

merupakan penentu harga beli mangga di tingkat

petani. Petani belum memiliki pengetahuan

mengenai kondisi pasar dan akses terhadap informasi

pasar yang terbatas. Bandar kemudian mengirim

mangga ke pasar modern melalui supplier untuk

mangga kualitas tinggi dan pedagang pasar

tradisional untuk mangga kualitas rendah. Tidak

terdapat kontrak pemasaran dalam hubungan antara

Bandar dan Supplier pasar modern. Ketika terdapat

barang yang tidak sesuai standar produk yang

ditetapkan pasar modern maka barang dikembalikan

ke Bandar. Bandar mengirim barang yang

dikembalikan ke pasar tradisional yang menerima

seluruh tingkatan kualitas barang. Pengembalian

barang juga masih terjadi di tingkat supplier yang

mengirim barang ke eksportir. Masih kurangnya

pemahaman mengenai standar produk negara tujuan

ekspor menjadi hambatan supplier untuk dapat

memenuhi kuantitas permintaan eksportir.

Permasalahan dan risiko dalam relasional

pemasaran mangga di Kabupaten Majalengka lebih

lanjut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Risiko pemasaran dapat ditekan dengan

melakukan pemasaran relasional yang baik dengan

konsumen. Menurut Gronroos (2004), pemasaran

relasional yang baik selain dapat meminimalkan

risiko, dapat memberikan rasa perasaan aman kepada

konsumen, meningkatkan kontrol dan kepercayaan

diri, dan akhirnya akan mengurangi biaya (Gronroos,

2004). Sedangkan menurut Wilson (1995)

mengemukakan bahwa pemasaran relasional

dilakukan berdasarkan hubungan kepercayaan yang

ditandai dengan rendahnya tingkat risiko yang

dirasakan. Oleh karena itu perlu dilakukan

pemasaran relasional berdasarkan penciptaan nilai

tambah sehingga dapat menekan resiko yang

dirasakan oleh petani.Menurut Gronroos (2000)

prespektif pemasaran relasional didasarkan pada

hubungan antara kedua pihak untuk menciptakan

nilai tambah dari produk atau jasa dipertukarkan.

Page 366: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

354

Gambar 5 Rich Picture Relasional Pemasaran Buah Bernilai Tinggi di Kabupaten Majalengka

Pemasaran relasional memiliki tiga asumsi

nilai tukar oleh Christopher et al (2002) dalam

Ballantyne (2003). Perspektif tiga nilai adalah

sebagai berikut:

- Managed Value

Nilai yang diciptakan sebagai hasil dari transaksi

yang dilakukan berulang-ulang dalam manajemen

dan pemasok (Christopher et al dalam Ballantyne,

2003). Petani sebaiknya dapat melakukan transaksi

untuk menjual mangganya kepada konsumen dengan

tujuan jangka panjang sehingga hubungan dengan

konsumen harus terus dijaga agar berjalan dengan

baik. Perlu dilakukan budaya pelayanan pelanggan

dan pelaksanaan proses pemasaran yang interaktif

(Gronoos, 1990), hal ini dapat menjadi kekuatan

petani untuk menarik konsumen. Dengan transaksi

yang dilakukan secara berulang dari waktu ke waktu

akan meningkatkan tingkat loyalitas konsumen

dimana akan meningkatkan keuntungan jangka

panjang bagi petani.

- Interactive Value

Nilai yang diciptakan melalui proses interaktif dan

berbagi satu sama lain melalui beberapa kontrak

perjanjian (Christopher et al dalam Ballantyne,

2003). Kontrak pemasaran yang berupa kesepakatan

dan pengikatan konsumen dengan petani merupakan

hal yang dapat diterapkan agar adanya kepastian dan

jaminan bagi petani. Kepastian ini dapat berupa

kepastian harga, kuantitas yang diminta, dan kualitas

yang harus dipenuhi oleh petani. Walaupun tidak

menutup kemungkinan kontrak ini untuk

diperbaharui dalam jangka waktu tertentu yang telah

disepakati.

- Emergent Value

Nilai yang diciptakan dari interaksi yang timbul dari

hubungan pada jaringan(Christopher et al dalam

Ballantyne, 2003). Informasi yang didapatkan suplier

buah baik dari eksportir, maupun pasar modern

sebagai konsumen bisnis yang memiliki kualifikasi

tinggi untuk produk mangga, sebaiknya

diinformasikan kepada petani. Gronoos (1990)

mengemukakan bahwa informasi pelanggan yang

diperoleh harus digunakan dan melibatkan seluruh

anggota organisasi pada kegiatan pemasaran.

Kelompok tani dapat menjadi media seluruh

anggotanya dalam mendapatkan informasi pasar dan

pertukaran pengetahuan budidaya produksi. Hal

tersebut dapat meningkatkan pengetahuan petani

mengenai informasi pelanggan untuk terlibat dalam

kegiatan pemasaran dalam upaya memenuhi

kebutuhan konsumen bisnis yang akan memasarkan

produknya kepada konsumen akhir.

PENUTUP

Keterlibatan kelompok tani dalam relasional

pemasaran dapat memberikan manfaat pada

peningkatan pendapatan, aplikasi teknologi budidaya

tepat guna, meminimalisasi potensi produk kualitas

rendah, dan inovasi pasca panen mangga.

Pemasaran relasional dinilai mampu menjadi

solusi dalam mengantisipasi risiko pemasaran antar

pelaku usaha mangga di Kabupaten Majalengka

melalui pertukaran nilai antara para pelaku yang

terlibat dalam agribisnis mangga. Pertukaran nilai ini

berupa (1) Managed Value berupa pengaktifan

kelompoktani dalam kegiatan pemasaran yang

Page 367: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

355

berorientasi jangka panjang, (2) Interactive Value

berupa pembuatan kesepakatan antara petani dengan

konsumen berupa kontrak kerjasama, (3) Emergent

Value berupa penyampaian informasi baik dari

konsumen bisnis maupun konsumen akhir kepada

petani sehingga petani memiliki pengetahuan

mengenai permintaan dan karakteristik pasar yang

dihadapi, sehingga informasi perilaku konsumen

tidak hanya dimililki oleh suplier maupun pelaku

pemasaran saja namun juga dimiliki oleh petani. Hal

ini akan sangat membantu untuk memudahkan proses

penyampaian permintaan dan keinginan pasar yang

dapat langsung diketahui oleh produsen, sehingga

proses panen dan paskapanen akan lebih optimal

karena produsen tahu apa yang diinginkan oleh pasar

dan akan mengurangi produk yang gagal diterima

pasar terutama untuk pasar modern.

DAFTAR PUSTAKA

Ballantyne, D., Christopher,M., and Payne, A.

(2003), Relationship Marketing: Looking

Back, Looking Forward.SAGE Volume 3 (I):

159-166. www.sagepublications.com)

BPS dan Dirjen Hortikultura Kementan RI (2012).

Perkembangan Produksi Buah Indonesia

Tahun 2007-2011.

Pidd, Michael. 2004. Systems Modelling: Theory and

Practices. West Sussex: John Wiley & Sons

Ltd.

Wilson DT (1995). An integrated model of buyer-

seller relationships. J. Acad. Mark. Sci., 23:

335-345.

Gronroos, Christian. (1990). Relationship

Approach to The Marketing Function in

Service contexts: The marketing and

organizational behavior interface. Journal of

Business Research.29 (1): 3-12

_______________. (2000). Creating a Relationship

Dialogue: Communication, Interaction, Value.

Marketing Review.Vol. 1 No.1, pp 5 – 14.

Westburn Publishers

________________. (2004). The Relationship

Marketing Process: Communication,

Interaction, Dialogue, Value. Journal of

Business & Industrial Marketing vol. 19 No 2

pp 99-113. Emerald Group Publishing.

Perkembangan Produksi Buah dan Sayur di Jawa

Barat Tahun 2009 – 2012. Sumber:

**http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/su

bMenu/924

Page 368: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

356

Page 369: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

357

Risiko Pemasaran Mangga di Petani yang Mengambil Risiko dan Menghindari

Resiko

Mango Marketing Risk of Risk Taker and Risk Averter Farmers

Yosini Deliana

Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran

Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang

A B S T R A K

Kata Kunci: Risiko pemasaran

mangga,

petani risk taker

risk averter

Petani risk taker adalah petani yang berani mengambil risiko, sedangkan petani risk

averter adalah petani yang menghindari risiko. Petani risk taker menjual mangga

kepada pedagang yang bisa memberikan harga lebih tinggi dari sekitarnya.Menurut

Casseres (2001) melakukan transaksi dengan banyak orang (transaksi bebas) lebih

baik daripada berjualan dengan satu orang, akan tetapi tidak demikian halnya dengan

pemasaran jagung di Jawa Timur (Deliana, 2004). Penelitian ini mengungkapkan

bahwa berjualan dengan banyak orang (transaksi bebas) keuntungannya tidak jauh

berbeda dengan berjualan dengan satu orang. Hal ini karena pelaku pasar sudah

mengetahui informasi harga dengan baik, komoditi yang diperjual belikannya tahan

lama, dan bisa disimpan. Keuntungan dari komoditi yang bisa disimpan adalah bisa

dijual pada saat harga tinggi. Lalu bagaimana halnya dengan komoditi yang tidak tahan

lama seperti halnya mangga (Mangifere indica). Penelitian ini menarik untuk dikaji

apakah pendapat Casseres ini berlaku juga untuk petani manggayang risk taker dan

risk averter. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai dengan September

2014dari 50 petani di Kecamatan Sedonglor dan Kecamatan Dukupuntang Kabupaten

Cirebon.Data harga diamati langsung dari petani dan akan dianalisis dengan melihat

varianse. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa petani yang risk taker variance

harganya lebih tinggi daripada petani yang risk averter. Faktor yang mendorong petani

menjual mangga ke supplier (petani risk averter)) adalah kepastian harga, keeratan

hubungan dan kemudahan mendapatkan informasi teknologi. Sedangkan faktor

pendorong petani menjual mangga ke pasar bebas (petani risk taker) adalah kepraktisan

dalam menjual,risiko mangga yang dikembalikannya sedikit, , dan kemudahan sistim

pembayaran.

ABSTRACT

Keywords: Marketing risk,

mango,

risk taker farmers and risk

averter farmers

Risk taker farmers are farmers who dare to take a risk , while the risk averter farmers

are farmers who avoid risk. Risk taker farmers often sell mango to traders who can

offer higher prices than themarket price.According to Casseres (2001), the transaction

with many people (free transaction ) is better than selling to one person, but it was not

the same with corm marketing in East Java (2004). The research showed that the

profit of transaction with many people (free transaction) is not much different with the

transaction with one person.This is because marketing agent already know well the

price information, not perishable product, and can be stored.The advantage of not

perishable product is to be sold at a high price.So how about the perishable product

such as mango (Mangifere indica).This research is interesting to know whether this

Casseres opinion also applies to mango farmers who risk taker and risk averter. The

study was conducted with survey from July to September 2014 wiith 50 farmers in

Sedonglor and Dukupuntang District- Cirebon Regency.Observable price data directly

from farmers and the data will be analyzed with variance. The study showed that risk

taker farmers more variance than risk averter. The factors that influence farmers to

sell their mango to supplier are price certainltly, close relatioship, and easy to get the

technology information. Meanwhile the factors that influence farmers to sell their

mango to free market are easy to sell, only few mango should be return and easy

payment system.

* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]

Page 370: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

358

PENDAHULUAN

Varietas mangga banyak, akan tetapi hanya

empat varietas mangga yang banyak di pasar dan

dikenal konsumen yaitu mangga gedong gincu,

mangga aromanis, mangga cengkir dan mangga

kweni. Kabupetan terbesar penghasil mangga di

Jawa Barat adalah Kabupaten Cirebon, Majalengka

dan Indramayu. Varietas mangga gedong gincu dan

Harumanis paling banyak dihasilkan Kabupaten

Cirebon, sedangkan mangga cenkir banyak

dihasilkan oleh Kabupaten Indramayu dan mangga

kweni tersebar merata di tiga kabupaten tersebut.

Jumlah produksi mangga gedong gincu di Cirebon

pada tahun 2013 sebesar 49.737 ton, produksi

mangga gedong gincu di kabupaten Majalengka

41.717 ton dan di kabupaten Indramayu sekitar

26.939 ton (Dinas Pertanian Jawa Barat, 2013)

Petani mangga gedong gincu dalam

memasarkan mangganya tidak langsung ke

supermarket akan tetapi melalui supplier (5%).

Supplier ini yang akan mendistribusikan mangga ke

eksportir, supermarket dan yang tidak memenuhi

kriteria dipasarkan kembali ke pasar tradisional. Pada

umumnya (95%) dipasarkan ke pasar tradisional, ke

pusat pasar di Bandung dan Jakarta seperti Caringin

dan Kramat Jati. Selain itu juga didistribusikan ke

perdagangan antar daerah seperti ke Jawa Tengah,

Jawa Timur, Lampung dan lainnya. Harga menjadi

faktor utama petani dalam menjual mangganya. Pada

pasar persaingan sempurna berlaku hukum satu harga

dan sebaliknya pada pasar persaingan tidak sempurna

tidak berlaku hukum satu harga (Yogi, 1996). Pelaku

pasar beusaha tidak terjadinya β€œsatu harga” karena

terjadinya excess profit pada pasar persaingan

sempurna yang akan jatuh ke petani atau produsen.

Untuk mempertahankan tidak terjadinya excess

profitbagi petani maka diusahakan harga tidak

transparan diantaranya dengan menghambat

informasi harga.

Informasi harga hanya dinikmati oleh

kelompok pedagang, bukan petani. Adanya teknologi

komunikasi yang lebih canggih cenderung

memperlemah barier to entry bagi setiap pedagang

untuk memasuki pasar. Diantara pedagang besar

mangga banyak yang memiliki saudara, sehingga

tidak menutup kemungkinan terjadi kolusi dalam

menentukan harga beli ke pedagang pengumpul.

Tingkah laku pasar (market conduct) dalam

pemasaran mangga gedong gincu mengakibatkan

petani sering sebagai pihak yang selalu kalah, petani

menerima apa saja yang asimetrik yang

menimbulkan struktur harga yang tidak bersaing atau

bahkan keberadaan pasar tidak terwujud (missing

market)

Identifikasi Masalah.

1. Bagaimana risiko pemasaran mangga pada

petani risk taker dan risk averter ?

2. Faktor apa yang mendorong petani menjual

mangga ke supplier dan pasar bebas ?

METODE PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder. Data primer merupakan

data yang diperoleh dari kelompok tani yang menjual

mangganya kepada satu atau dua pedagang, dan

kelompok tani yang menjual mangganya lebih bebas.

Kelompok tani ini menjual mangganya kepada

pembeli yang memberikan harga lebih tinggi dari

pasar atau sekitarnya. Selain itu dilakukan indepth

study kepada key person, stakeholder dan instansi

terkait.Sedangkan data sekunder dari Badan Pusat

Statistik, dan sumber data lainnya. Data yang

dianalisis hanya data mangga gedong gincu dengan

alasan harga mangga gedong gincu sebagai trend

setter bagi harga mangga lainnya

Hipotesis :

H0 :πœ‡1 βˆ’ πœ‡2 β‰₯ 0 (Rata-rata risiko petani risk teker

lebih kecil atau sama dengan petani risk averter

di tingkat populasi)

H1 :πœ‡1 βˆ’ πœ‡2> 0 (Rata-rata risiko harga petani risk

taker lebih besar daripada petani risk averter di

tingkat populasi)

dimana:

πœ‡1 : rata-rata risiko harga petani risk taker di tingkat

populasi

πœ‡2 : rata-rata risiko harga petani risk averter di tingkat

populasi

Menentukan Titik.nilai kritis : dengan tingkat

kepercayaan sebesar 99 % atau

𝛼 = 0,01 maka z tabel = 2,32

Identifikasi masalah satu dianalisis dengan melihat

risiko harga dari petani risk taker dan risk averter.

Identifikasi masalah kedua dianalisis secara

deskriftif.Untuk mengukur risiko harga adalah

sebagai berikut :

π‘§β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘›π‘” =(οΏ½οΏ½1 βˆ’ οΏ½οΏ½2) βˆ’ (πœ‡1 βˆ’ πœ‡2)

√(𝑠1

2

𝑛1+

𝑠22

𝑛2)

dimana:

οΏ½οΏ½1 : rata-rata rata risiko hargapetani risk taker di

tingkat sampel

οΏ½οΏ½2 :rata-rata risiko harga petani risk averter di

tingkat sampel

Page 371: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

359

𝑠12 : varians risiko harga petani risk taker di

tingkat sampel

𝑠22 : varians risiko harga petani risk averter di

tingkat sampel

𝑛1 : ukuran sampel risiko harga petani risk taker

𝑛2 : ukuran sampel risiko harga petani risk averter

Kriteria Penolakan

Tolak 𝐻0 jika π‘§β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘›π‘” > π‘§π‘‘π‘Žπ‘π‘’π‘™

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Umumnya pedagang pengumpul maupun pedagang

besar merangkap sebagai petani. Petani risk averter

membudidayakan mangga dengan baik, juga

memperhatikan pasca panen. Pemetikan dilakukan

pagi hari antara jam 9 – 11 pagi, karena apabila

dilakukan pemetikan di siang hari maka getah

mangga banyak yang mengotori kulit buah. Hal ini

menjadikan harga mangga jatuh karena

penamplannya tidak menarik, selain kotor juga

getahnya kemana mana. Petani risk taker kurang

memperhatikan hal ini, karena korbanan (biaya) tidak

seimbang dengan hasilnya. Petani risk taker focus

pada pemasaran, kurang focus untuk menjaga

kualitas.

Risiko Pemasaran Mangga pada Petani Risk

Taker dan Risk Averter Risiko adalah derajat ketidakpastian dalam

situasi tertentu (Heishher dan Robinson, 1985).

Dalam perkembangannya model-model risiko oleh

Young (1979) dibagi dalam tiga macam yaitu (1)

pengambilan keputusan tanpa informasi peluang, (2)

pengambilan keputusan yang menggunakan asas rasa

aman (safety-first rules) dan (3) pengambilan

keputusan dengan memaksimumkan kegunaan

harapan (expected utility). Mangkusubroto dan

Trisnadi (1985) mengemukakan bahwa sikap

seseorang dalam menghadapi suatu persoalan yang

mengandung risiko pada dasarnya dibedakan

menjadi tiga yaitu penghindar risiko(averter risk),

netral (indifferent to risk) dan sikap penggemar risiko

(prefer torisk). Hal ini sependapat dengan Doll dan

Orazem (1978) dan Penson (1980).

Risiko adalah selisih dari nilai optimal dengan nilai

aktualnya (Saptana dkk, 2010). Dalam hal ini, risiko

harga diberikan nilai mutlak untuk menunjukkan

besarannya dengan angka positif untuk setiap item

atau periode. Rumus risiko harga dihitung dengan

rumus sebagai berikut :

π‘…π‘–π‘ π‘˜π‘ƒπ‘–= 𝑃𝑖 βˆ’ 𝐸(𝑃)

dimana:

π‘…π‘–π‘ π‘˜π‘ƒπ‘– = Risiko Harga Petani Mangga (Rp)

𝑃𝑖 = Harga mangga pada periode ke-𝑖 (𝑖 =1,..,𝑛) (Rp)

𝐸(𝑃) = Expected Price (nilaiharga rata-rata)

PengujianHipotesis Beda Rata-Rata DuaPopulasi

Setelah data dianalisis didapatkan hasil sebagai

berikut:

οΏ½οΏ½1 = Rp 2.971

οΏ½οΏ½2 = Rp 2.411

𝑠12 = Rp 3.586.369

𝑠22 = Rp 2.398.003

𝑛1 = 105

𝑛2 = 105

π‘§β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘›π‘” =(οΏ½οΏ½1 βˆ’ οΏ½οΏ½2) βˆ’ (πœ‡1 βˆ’ πœ‡2)

√(𝑠1

2

𝑛1+

𝑠22

𝑛2)

=(2.971 βˆ’ 2.411) βˆ’ (0)

√(3.586.369

105+

2.398.003105

)

==560

238,73= 2,35

Keputusan

Karena π‘§β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘›π‘” = 2,35 > 2,32 = π‘§π‘‘π‘Žπ‘π‘’π‘™ maka 𝐻0

ditolak dan 𝐻1 diterima

Kesimpulan : Risiko harga petani risk taker lebih

besar daripada petani risk averter

Faktor yang mendorong Petani Menjual Mangga

ke Supplier dan Pasar bebas

Petani yang menjual ke supermarket tidak ada yang

langsung, akan tetapi semuanya melalui bandar atau

supplier.Supplier ini ada yang memasarkan mangga

untuk ekspor (5%) ada juga untuk supermarket di

sekitar Cirebon seperti Alfamart, Grage super Mall,

indo grosir, yogya regency dan lain lain. Supplier

harus memilik modal besar, karena harus membayar

cash ke petani sedangkan oleh supermarket

pembayarannya ditunda 2 minggu – 1 bulan. Menurut

supplier keuntungan dari pemasaran mangga ini

cukup besar sekitar 15 % dari modal pokok. Jumlah

ini lebih besar bila dibandingkan dengan suku bunga

bank yang 8 % per tahun.pengirimannya 30 – 50

kuintal per hari (85 %), Faktor yang mendorong

petani menjual ke supplier dan pasar bebas adalah

sbb :

Page 372: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

360

Tabel 1. Faktor yang Mendorong Petani Menjual

Mangga ke Supplier dan Pasar Bebas

Dari Tabel 1. terungkap bahwa petani yang tujuan

pasarnya supplier karena faktor kepastian harga (58

%), kedekatan hubungan (56%) dan kemudahan

mendapatkan informasi teknologi (72 %), sedangkan

petani yang tujuan pasarnya pasar bebas karena

faktor risiko dikembalikan mangganya kecil (36%),

kepraktisan dalam menjual (78%) dan kemudahan

sistim pembayaran (82 %).

Risiko mangga dikembalikan : mangga yang

didistribusikan ke supplier tidak semuanya diterima,

ada sekitar 30 % sampai 35 % yang tidak bisa

diterima (BS). Sedangkan kalau ke pasas bebas

diantaranya ke pasar tredisional, ke perdagangan

antar daerah dan antar pulau, kualitas mangga tidak

begitu ketat. Walaupun dilakukan grade dan sortasi

tapi produksi bisa diserap pasar. Untuk beberapa

kasus ada juga pedagang yang nakal dengan

memasukkan mangga tidak berkualias ditengah-

tengah peti kemasan sehingga pedagang yang

membeli mendapat kerugian.

Kepraktisan menjual : mangga untuk tujuan supplier

mensyaratkan beberapa ketentuan selain kualitas

yang baik, dilakukan sortasi dan grading, getah tidak

menempel di buah sehingga perlu diperhatkan waktu

petik. Sedangkan untuk pasar bebas petani bisa

menjual dengan tanpa harus memenuhi ketentuan

tersebut

Kepastian harga : petani risk taker menerima harga

yang pasti dari supplier walaupun belum ada kontrak

penjualan. Sedangkan petani risk taker tidak ada

kepastian harga. Harga yang terjadi berdasarkan

mekanisme supply dan demand. Keadaan di

lapangan menunjukkan bahwa kualitas yang baik

tidak selalu mendapatkan harga yang tinggi. Hal ini

disebabkan pada saat yang sama datang mangga dari

daerah lain (Jawa Timur atau Jawa Tengah) sehingga

harga mangga jatuh.

Kemudahan sistim pembayaran : harga di supplier

lebih terjamin daripada di pasar tradisional, karena

harga sudah ditentukan sebelumnya. Walaupun

demikian pembayarannya tidak cash, menunggu 2

minggu sampai 1 bulan, sehingga bandar harus

menanggulangi dulu pembayaran ke petani.

Sedangkan untuk tujuan pasar tradisional harga tidak

terjamin, harga yang terjadi sesuai dengan

mekanisme supply dan demand. Hasil penelitian

World Bank (2006) mengungkapkan hal yang sama

bahwa petani lebih mudah bertransaski dengan

bandar (middlemen) daripada langsung ke pasar

modern. Seharusnya supermarket memberikan

pelayanan terbaik dalam hal harga ke

supplier,komitmen bisnis dan ketaatan pembayaran.

Layanan lain seperti akses keberlanjutan,penjualan

yang tinggi, sedikit produk yang di-reject,kriteria

kualitas yang diharapkan , cara mempertahankan

kualitas, bantuan teknis, kredit, promosi, komitmen

bisnis yang lebih baik , pelunasan pembayaran dan

waktu pembayaran.

Kedekatan hubungan : kedekatan hubungan diantara

petani, bandar maupun pedagang lainnya karena

adanya kepercayaan. Karena sudah saling percaya

maka petani menerima saja harga yang terjadi,

bargaining position petani menjadi lemah. Walaupun

demikian petani tetap menjual ke bandar tersebut

karena tidak ada pilihan lain, petani tidak memiliki

pasar baru.

Kemudahan mendapatkan informasi teknologi

:keuntungan lain petani risk averter mendistribusikan

mangganya ke supplier karena mudahnya

mendapatkan informasi teknologi. Supplier selalu

meningkatkan pengetahuan dalam teknologi

budidaya, pasca panen dan pemasaran. Sedangkan

petani risk taker tidak demikian keadaannya.

Walaupun bertransaksi dengan banyak orang, akan

tetapi hanya sebatas menjual mangga. Hal ini tidak

terjadi transfer of knowledge mengenai teknologi,

pasca panen mapun pemasaran

SIMPULAN

1. Pernyataan Casseres bahwa bertransaki dengan

banyak orang lebih baik daripada bertransaksi

dengan satu orang tidak sejalan dengan keadaan

pemasaran mangga di daerah penelitian.

Kenyataannya bertransaki dengan banyak orang

di pasar bebas varians harganya lebih tinggi

artinya lebih beresiko.

2. Petani risk taker memiliki varian harga lebih

tinggi daripada petani risk averter

Variable

Supplier

(%)

Pasar Bebas

(%)

Risiko mangga

dikembalikan 64 36

Kepraktisan

menjual 22 78

Kepastian

harga 58 42

Kemudahan

sistim

pembayaran

18 82

Kedekatan

hubungan 56 44

Kemudahan

mendapatkan

informasi

teknologi

72 28

Page 373: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

361

3. Petani risk averter, walaupun ada kepastian

harga seringkali petani tidak memiliki posisi

tawar.

4. Faktor yang mendorong petani menjual mangga

ke supplier (petani risk averter)) adalah

kepastian harga, keeratan hubungan dan

kemudahan mendapatkan informasi teknologi.

5. Faktor pendorong petani menjual mangga ke

pasar bebas (petani risk taker) adalah

kepraktisan dalam menjual, risiko mangga yang

dikembalikannya sedikit, dan kemudahan sistim

pembayaran

SARAN

1. Diberdayakannya kelopmpok tani dalam

mengembangkan keterampilan mulai dari

budidaya, pasca panen, pemasaran, teknologi,

dengan harapan petani memiliki posisi tawar

lebih baik

2. Adanya pendampingan petani terutama petani

risk taker untuk melakukan penetrasi pasar

danmencari pasar baru lainnya. Sedangkan

petani risk averter diharapkan bisa menentukan

harga dengan menjaga kuantitas, kualitas dan

kontinuitas mangga.

DAFTAR PUSTAKA

Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production

Economics.Theory with Application. John

Wiley and Son Inc. New York.

Heiser, B and L.J. Robinson. 1985. Appplication of

Decision Theory and Measurement of

Attitudes Toward Risk in Farm Management

Research in Industrialized and Third World

Setting. MSU International Development

Papers. Departement of Agricultural

Economics, Michigan State University.

Mangkusubroto dan Trisnadi. 1985. Analisis

Keputusan. Pendekatan Sistem dalam

Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca

Exact. Bandung

Penson., John B and Davis A Lins. 1980.

Accounting for Risk in Investment Decision

Making. Prentice Hall International, Inc.

Saptana, A.Daryanto. K. Heny Daryanto, dam

Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis

Produksi Usahatani Cabai Merah dan

Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko.

Journal Agro Ekonomi, Vol.28 No.2 : 153-

188. Bogor.

World Bank Indonesia. 2006. Study on Indonesian

Smallholder and Modern Supply Chains.

Final Report. World Bank Indonesia

collaboration with Center for Agricultural

Policy and Agribusiness Studies,

Padjadjaran University

Yogi. 1997. Perbaikan Struktur Pasar Sebagai

Alternatif Peningkatan Posisi Tawar Petani.

Majalah Ilmiah Universitas Winaya Mukti.

Desember 1997.Volume 6. Sumedang

____ 1999. Pasar Terhadap Katerkaitan Harga di

Tingkat Petani. Majalah Ilmiah Universitas

Winaya Mukti. Agustus 1999. Volume 11

Sumedang

Young.,D.L. 1979. Risk Preference of Agriculture

Producers : Their Use in Extension and

Research. American Journal of Agriculture

Economics. 6 : 1063- 1070

Page 374: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

362

Page 375: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

363

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia, Periode

Tahun 1984 Sampai 2013

Some of the Factors That Affect the Volume of Indonesian Cocoa Beans Exports,

Analysis 1984-2013 Time Periode

Taufiq Nur Tadjudin 1*, Muhammad Arief Budiman 1

1 Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor,

A B S T R A K

Kata Kunci: ekspor biji kakao

Indonesia

harga domestik

pajak ekspor

nilai tukar rupiah.

Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian

setiap negara di dunia. Biji kakao Indonesia termasuk dalam komoditas andalan yang

memiliki peranan yang cukup penting dalam kegiatan ekspor Indonesia karena

termasuk kedalam salah satu komoditi unggulan yang memberikan kontribusi dalam

upaya peningkatan devisa Indonesia. penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi

seberapa besar pengaruh faktor jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar

rupiah, harga biji kakao Indonesia dan pajak ekspor terhadap jumlah ekspor biji kakao

Indonesia baik secara simultan maupun partial dan Dapat mengidentifikasi faktor mana

yang paling berperan diantara jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar rupiah,

pajak ekspor dan harga biji kakao Indonesia baik secara simultan maupun partial.

Desain penelitian yang di gunakan adalah dengan desain kuantitatif sifatnya suatu

kasus dengan tehnik studi kepustakaan (Deks Study) menggunakan data sekunder,

sampel data yang digunakan bersifat kurun waktu (time series) selama 30 tahun.

Penelitian ini menggunakan model ekonometrika untuk mencerminkan hasil dari

pembahasan yang akan dinyatakan dengan angka, teknik analisis yang di gunakan

dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dan metode yang di gunakan

adalah metode kuadrat terkecil atau method of ordinary least square (OLS), yang

merupakan metode yang digunakan untuk mengkoreksi persamaan regesi diantara

variabel-variabelnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa Secara simultan Variabel

Jumlah Produksi Kakao Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Harga Domestik Biji Kakao

Indonesia dan Pajak Eksport memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia. Secara partial Variabel Jumlah

Produksi Kakao Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Harga Domestik Biji Kakao Indonesia

memiliki pengaruh yang signifikan dan pajak ekspor secara partial memiliki pengaruh

yang tidak signifikan terhadap perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia.

ABSTRACT

Keywords: Indonesian cocoa beans

exports

domestic prices

export taxes

exchange rate

International trade is one of the important aspects in every country around the world.

Indonesian cocoa beans included in the priority which has a very important role in

export activities including in Indonesia as one of the primary commodity which would

contribute to an increase in foreign exchange for Indonesia. The writing is aimed to

identify how big the influence of the total production of Indonesian cocoa beans, The

rupiah exchange rate, The Indonesian cocoa beans price and And the export tax to the

amount of Indonesia ' s exports of cocoa both simultaneously or partial and to identify

which are the most instrumental factor between the number of Indonesian cocoa

production, the exchange rate, export taxes and price of Indonesian cocoa beans either

simultaneously or partial. This study design are using a quantitative research Her

technique desk study with a case study using secondary data, the sample data used are

time series for 30 years. This research using model econometrics to reflect the outcome

of the discussions to be expressed in numbers, The analysis technique used in this study

is multiple regression analysis and methods used is the method of ordinary least square

(OLS), which is the method used to correct regesi equation between the variables. The

results show that the simultaneous variable the production of Indonesian cocoa,

Exchange Rate, Domestic Prices of Indonesian cocoa beans and Export Tax has a

significant influence on the development of Indonesian cocoa beans exports volume. A

Page 376: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

364

partial variable the production of Indonesian cocoa, Exchange Rate, Domestic Prices

of Indonesian cocoa beans has a significant influence and the partial export tax has

no significant effect on the development of Indonesian cocoa exports volume.

* Korespondensi Penulis

Alamat e-mail: [email protected]

Page 377: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

365

LATAR BELAKANG

Perdagangan internasional merupakan salah

satu aspek penting dalam perekonomian setiap

negara di dunia. Dengan perdagangan internasional,

perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu

hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi suatu

negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan

jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa.

Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar

penduduknya adalah petani yang secara geografis

merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan

sumberdaya alam yang melimpah, termasuk

komoditas kakao yang merupakan andalan yang

memiliki peranan cukup penting dalam kegiatan

ekspor Indonesia karena temasuk kedalam salah satu

komoditi unggulan yang memberikan kontribusi

dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Dari segi

kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao

dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik

dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang

berasal dari Ghana dan kakao Indonesia mempunyai

kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok

bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan

keunggulan tersebut, perkebunan kakao Indonesia

mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun

1980-an dan pada tahun 2002 sertapeluang pasar

kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun

kebutuhan dalam negeri.

Tabel 1. Data vol ekspor biji kakao indonesia menurut negara tujuan tahun 2008-2013 (ton).

Negara

Tujuan

Tahun

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Cina 15.928,5 7.147,6 15.394,9 8.764,2 6.962,1 8.670,2

Thailand 8.116,2 7.405,5 6.716,3 6.037 8.049,4 7.713,4

Singapura 45.195,5 56.403,4 53.933,3 34.839,4 40.879,4 33.146,9

Malaysia 211.470,3 183.539,1 203.847,7 143.296 102.350,1 134.774,4

Amerika

Serikat 53.689,6 120.304,1 89.306,5 9.841 143,3 7.208,7

Kanada 13.000 5.200,3 3.500 5.500 - -

Jepang - - - - - 118,2

India 650 1.900 4.055,5 4.848,00 7.000 5700

Belanda 239,6 2.452 5.847,5 776 510,6 187,5

Jerman 500,7 7.161,4 12.336,5 293,8 369,8 490,5

Lainnya 33.886,1 48.894,3 38.690,1 543,9 5.721,6 3.494,9

Jumlah 382.676,5 440.407,7 433 628,3 214.739,3 171.986,3 201.504,7

Sumber : Badan Pusat Statistik 2014

Sejak tahun 2008 sampai 2010 produksi kakao

indonesia mengalami peningkatan namun tidak

signifikan dan mulai menurun pada tahun 2011

sekitar 18 % penurunan jumlah produksi ini di

sebabkan oleh beberapa faktor yaitu Semakin

menurunnya luas lahan, Iklim yang tidak menentu

menyebabkan produktifitas menurun,Kondisi

tanaman yang sudah tidak produktif karena terlalu

tua kebanyakan sudah ditanam sejak 1980-an

sehingga sudah tidak produktif (Direktorat Jenderal

Perkebunan 2012).

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Berapa besar nilaifaktor jumlah produksi

kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak

eksport dan harga biji kakao Indonesia

mempengaruhi volume ekspor biji kakao

Indonesia baik secara simultan

maupunpartial.

2. Faktor mana yang paling berperan dalam

perkembangan ekspor biji kakao diantara

jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai

tukar rupiah, pajak ekspor dan harga biji

kakao Indonesia baik secara simultan dan

partial.

TEORI DAN KONSEP

Teori Perdagangan Internasional

Teori Keunggulan Absolut (Absolute Advantage)

Dasar teori keungguan absolut adalah suatu

negera akan memperoleh keuntungan dari

perdagangan dengan negara lain apabila negara

tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat

diproduksi di negaranya dengn lebih efisien

Page 378: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

366

(mempeunyai keunggulan absolut) dan mengimpor

komoditas yang kurang efisien. Teori keunggulan

absolut ini menyatakan bahwa, meskipun suatu

negara mengalami kerugian atau tidak diunggulkan

dalam memproduksi kedua komoditi jika

dibandingkan dengan negara lain, namun

perdagangan internasional yang saling

menguntungkan bisa tetap berlangsung. Setiap

negara akan memperoleh manfaat perdagangan

karena melakukan spesialisasi produksi dan

mengekspor barang negera tersebut memiliki

keunggulan mutlak, serta mengimpor barang-barang

jika negara tersebut mimiliki ketidakunggulan

mutlak (Drs. Halwani,M.A dan Dr, H. Prijono

Tjiptoheridjanto .1993).

Teori Keunggulan Komparatif (Comparative

Advantage)

Dalam bukunya Pricipless of Political

Economy (1817), Ricardo menyebutkan bahwa suatu

negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan

internasional jika melakukan spesialisasi produksi

dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat

berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor

barang dimana negara tersebut berproduksi relatif

kurang atau tidak efektif.

METODE PENELITIAN

Objek, Desain Penelitian dan Rancangan Analisis

Faktor

Objek dari penelitian yang akan di teliti

adalah beberapa faktor yang mempengaruhi volume

ekspor biji kakao Indonesiayaitu jumlah produksi

kakao Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar

Amerika Serikat, pajak ekspordanharga domestik

biji kakao Indonesia. Desain penelitian yang di

gunakan adalah dengan desain kuantitatif sifatnya

suatu kasus dengan teknik penelitian studi

kepustakaan (Deks Study)menggunakan data

sekunder sampel data yang digunakan bersifat kurun

waktu (time series) data yang di perlukan yaitu

jumlah produksi biji kakaoindonesia, nilai tukar

Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat,pajak

ekspordanharga domestik biji kakao Indonesiayang

merupakan data tahunan selama 30 tahun dari tahun

1984 sampai tahun 2013. Data yang diperoleh

tersebut akan di regres menggunakan beberapa model

untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh

terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia baik

secara simultan maupun partial.model rumusan

variabel yang akan di gunakan di formulasikan dalam

persamaan sebagai berikut :

Ε· = 𝛽0 + 𝛽1𝑋1 + 𝛽2𝑋2 + 𝛽3𝑋3 + 𝛽4𝑋4

Keterangan :

Ε· : Volume Ekspor Biji Kakao (VEX)

𝑋1 : Jumlah Produksi Kakao indonesia

(JPKI)

𝑋2 : Nilai Tukar Rupiah (NTR)

𝑋3 : Harga DomestikBiji Kakao

Indonesia (HDBKI)

𝑋4 : Pajak Eksport (PE)

𝛽 : Konstanta

Penelitian ini menggunakan model

ekonometrika untuk mencerminkan hasil dari

pembahasan yang akan dinyatakan dengan angka,

teknik analisis yang di gunakan dalam penelitian ini

adalah analisis regresi berganda dan metode yang di

gunakan adalah metode kuadrat terkecil atau method

of ordinary least square (OLS)yang merupakan

metode yang digunakan untuk mengkoreksi

persamaan regesi diantara variabel-variabelnya.

Operasional pengolahan data dilakukan dengan

software SPSS (Statistik Package For Social

Science) versi 20, metode OLS memiliki beberapa

keunggulan yaitu secara teknis mudah dalam menarik

interpretasi, perhitungan dan penaksiran BLUE (Best

Linear Unbiased Estimator)

(Gujarati, 2012).

Selain itu dalam proses menganalisis data

digunakan uji statistik dan uji asumsi klasiksebagai

alat bantu untuk mengestimasi volume ekspor biji

kakao (dependen variable) dan faktor-faktor yang di

perkirakan mempengaruhinya (independen

variable). Uji ststistik meliputi uji koefisien

determinasi uji-F dan Uji-T, sedangkan uji asumsi

klasik meliputi uji normalitsa, uji multikolienaritas,

uji autokorelasi dan uji Heterokedastisitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Yang Digunakan

Model yang dirumuskan yaitu model regresi

linier berganda dengan metode Ordinary Least

Square (OLS) dan diperoleh model regresi sebagai

berikut:

ΕΆ = 35,188+ 0,518 X1 + 19,215 X2+ 0,001 X3–

0,018X4+ e

Berdasarkan model regresi yang dihasilkan

bisa dijelaskan hubungan antara variabel X dan Y

secara spesisfik sebagai berikut:

1. X1 =setiap kenaikan seribu ton produksi

kakao maka volume ekspor biji kakao

bertambah 0,518 ribu ton atau 518 ton.

2. X2 =setiap kenaikan seribu mata uang Rupiah

terhadap Dolar atau terdepresiansinya

Rupiah terhadap Dolar maka volume ekspor

biji kakao indonesia akan bertambah sebesar

19,215 ribu ton atau 19.215 ton.

3. X3 =setiap kenaikan seribu rupiah pajak

ekspor maka akan menyebabkan

Page 379: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

367

meningkatnya volume ekspor biji kakao

sebesar 0.001 ribu ton atau 1 ton.

4. X4 =setiap kenaikan seribu rupiah harga biji

kakao dalam negri maka akan menyebabkan

menurunnya volume ekspor biji kakao

sebesar 0,018 ribu ton atau 18 ton.

Analisis Uji Statistik

Uji Koefisien Determinan (R2)

Dari hasil regresi data dengan menggunakan

SPSS di peroleh nilai koefisien R2 sebesar 0,844. Hal

ini menunjukan bahwa sebesar 84,4% volume ekspor

biji kakao di pengaruhi oleh variabel-variabel bebas

yang terdapat dalam persamaan, yaitu produksi

kakao domestik, nilai tukar rupiah, pajak eksport dan

harga domestik. Sisanya yaitu sebesar 15,6% di

pengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak

termasuk dalam persamaan.

Tabel 28 Hasil Perhitungan R dan Dw

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

Durbin-

Watson

1 ,919a ,844 ,819 57,207256 1,827

Sumber : hasil perhitungan data menggunakan SPSS 20.

Variabel-variabel yang tidak masuk dalam

persamaan yaitu luas lahan kakao Indonesia dan

harga internasional biji kakao, variabel tersebut

merupakan variabel yang tidak termasuk ke dalam

persamaan dalam penelitian ini dan di duga memiliki

pengaruh terhadap volume ekspor biji kakao

Indonesia dengan alasan, luas lahan perkebunana

kakao di indonesia sangat mempengaruhi terhadap

produksi kakao Indonesia karena apabila luas lahan

sedikit maka produksi kakao akan sedikit dan apabila

luas lahan kakao cukup besar maka produksi kakao

akan besar juga, jumlah produksi berhubungan

dengan volume ekspor semakin banyak produksi

peluang ekspor biji kakao semakin banyak pula dan

semakin sedikit produksi maka peluang eksporbiji

kakao semakin sedikit. Selanjutnya harga

internasional mempengaruhi volume ekspor biji

kakao karena berhubungan dengan permintaan dan

penawaran jika harga biji kakao di tingkat dunia

mahal maka permintaan konsumen terhadap biji

kakao akan sedikit dan penawaran produsen terhadap

biji kakao akan tinggi karena harga yang cukup

mahal dan sebaliknya apabila harganya rendah maka

permintaan konsumen terhadap biji kakao akan tinggi

dan penawaran produsen terhadap biji kakao akan

rendah, halini berhubungan dengan volume ekspor

biji kakao Indonesia jika harga tinggi Indonesia akan

mengekspor sebanyak-banyaknya biji kakao dan

apabila harga rendah Indonesia akan mengurangi

ekspor biji kakao. Di duga 15,6% di pengaruhi oleh

variabelluas lahan dan harga internasional.

Uji F Statistik

Dari hasil analisis ini bisa disimpulkan

bahwa produksi kakao domestik, nilai tukar rupiah,

pajak eksport dan harga domestik secara simultan

mempengaruhi volume ekspor biji kakao

Indonesia.Hal ini mengindikasikan bahwa model

dianggap mampu merepresentasikan volume ekspor

biji kakao Indonesia.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji F Statistik

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 441571,954 4 110392,988 33,732 ,000b

Residual 81816,757 25 3272,670

Total 523388,711 29

Sumber : hasil perhitungan data menggunakan SPSS 20.

Page 380: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

368

Uji T Statistik

Tabel 4. Nilai T Hitung

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients T Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 35187,605 20188,028 1,743 ,094

X1 ,518 ,107 1,110 4,842 ,000

X2 19,215 7,953 ,549 2,416 ,023

X3 ,001 ,000 ,116 1,166 ,255

X4 -,018 ,004 -,938 -4,755 ,000

Sumber : Hasil perhitungan data dengan SPSS 20.

Uji t pada variabel X3 (pajak ekspor) di dapat

t hitung sebesar 1,116 dan nilai signifikannya adalah

0,255 serta nilai t tabel sebesar 2,055. Maka t hitung

lebih kecil dari t tabel dan nilai signifikannya lebih

besar dari 0,05 (t hitung < t tabel dan 0,255 > 0,05)

sehingga terima H0 tolak H1 kesimpulannya faktor

pajak ekspor secara partial tidak berpengaruh yang

signifikan terhadap volume ekspor biji kakao

Indonesia.Walaupun secara partial nilainya tidak

signifikan akan tetapi pajak ekspor memiliki

pengaruh yang positif terhadap perkembangan

volume ekspor biji kakao Indonesia walaupun

pengaruhnya sangat kecil.

Tolak H0 terima H1 kesimpulannya faktor

pajak ekspor secara partial berpengaruh signifikan

dengan nilai negatif terhadap volume ekspor biji

kakao Indonesia dengan artian pajak ekspor memiliki

pengaruh yang negatif terhadap perkembangan

volume ekspor biji kakao Indonesia.

Analisis Uji Asumsi Klasik

Uji Normalitas

Kesimpulannya dari hasil uji normalitas denganMetode

Kolmogorov Smirnov dan diagram scater plot dapat

disimpulakan nilai residula sudah terdistribusi dengan normal

karena pada uji Kolmogorov Smirnovnilai Asymp. Sig. (2-

tailed)lebih besar dari 0,05 dan pada diagram scater plot

sebarannya berada pada sepanjang garis diagonal atau

mengikuti garis lurus.

Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada

atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik

autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara

residual pada satu pengamatan dengan pengamatan

lain pada model regresi. Prasyarat yang harus

terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam

model regresi. Metode yang digunakan dalam uji

Autokorelasi adalah Uji Durbin Watson.

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Dengan Metode

Kolmogorov Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized

Residual

N 30

Normal

Parametersa,b

Mean 0,0000000

Std. Deviation 53115,60464840

Most Extreme

Differences

Absolute 0,139

Positive 0,139

Negative -0,105

Kolmogorov-Smirnov Z 0,764

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,604

Sumber : Hasil perhitungan data dengan SPSS 20.

Uji Multikolinieritas

Tabel 69. Hasil Perhitungan VIF

Correlations Collinearity Statistics

Zero-

order Partial Part Tolerance VIF

0,831 0,696 0,383 0,119 8,408

0,791 0,435 0,191 0,121 8,255

0,225 0,227 0,092 0,636 1,573

0,574 -0,689 -0,376 0,161 6,229

Sumber : Hasil Penghitungan Data Dengan SPSS.

Dari nilai VIF setiap masing-masing variabel

X1,X2,X3 dan X4nilai variabelnya tidak lebih dari

10 atau lebih kecil dari 10yang berarti sehingga tidak

terjadi masalah Multikolinieritas.

Page 381: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

369

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan

model regresi linier berganda dan metode Ordinary

Least Square dapat disimpulkan bahwa:

1. Faktor produksi kakao Indonesia mampu

menaikan volume ekspor biji kakao

Indonesia sebesar 518 ton apabila produksi

kakao dalam negri meningkat sebesar 1000

ton, faktor nilai tukar rupiah mampu

menaikan volume ekspor biji kakao

Indonesia sebesar 19.215 ton setiap

terdepresiasinya nilai mata uang rupiah Rp

1000/$, faktor pajak ekspor mampu

menaikan volume ekspor sebesar 1 ton setiap

kenaikan 1000 rupiah pajak ekspor dan

faktor harga domestik akan meneurunkan

volume ekspor biji kakao sebesar 18 ton

setiap kenaikan Rp 1000 harga domestik.

Secara simultan variabel produksi kakao

Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor,

harga domestik berpengaruh signifikan dan

secara partial hanya variabel pajak ekspor

yangtidak signifikan nilainya, akan tetapi

tetap memiliki pengaruh terhadap

perkembangan volume ekspor biji kakao

Indonesia walaupun pengaruhnya sangat

kecil.

2. Faktor yang paling berperan dalam

perkembangan volume ekspor biji kakao

Indonesia dari yang terbesar sampai yang

terkecil adalah Nilai Tukar Rupiah, Produksi

Kakao Indonesia, Harga Domestik Biji

Kakao dan Pajak ekspor.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka

peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:

1. Dengan mengetahui variabel yang berpengaruh

terhadap perkembangan ekpor biji kakao

indonesia diharapkan pemerintah dapat

meningkatkan produksi kakao dalam negri dan

mengatasi masalah-masalah dalam

mengambangkan komoditas kakaodi indonesia.

2. Di harapkan Perusahaan perkebunan, petani

kakao, eksportir kakao, dan instansi terkait agar

selalu menjaga kualitas ekspor biji kakao supaya

konsumen memberikan harga yang tinggi atas

eksporbiji kakaoIndonesia.

3. Pemerintah dapat mengembangkan industri

kakao dalam negri agar biji kakao yang di

ekspor memiliki nilai lebih di bandingkan

eksporbiji kakao mentah, hal ini dapat

meningkatkan devisa negara dalam

eksporkomoditas perkebunan.

DAFTAR PUSTAKA

Anni Rahimah, SAB, MAB. 2010. Administrasi

Kepabean dan Ekspor Impor.Bisnis

Internasional Universitas Brawijaya.

Agroforstry and forestry Sulawesi. 2013. Panduan

Budidaya Kakao untuk petani kecil.Journal no

6.

Balittri .2012.Peningkatan Produksi dan

Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.)

di Indonesia. vol 3 (1).

Dinan Arya Putra. 2013. Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Ekspor Tembakau Indonesia

ke Jerman. Universitas Negeri Semarang.

Abdoellah, S. 2009. Perkembangan Penelitian.

Dalam β€œPaduan Lengkap Kakao”

(Wahyudi et al., eds.). Penyebar Semangat.

Jakarta.

Dewi Anggraini. 2006. Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kopi

Indonesia dari Amerika Serikat. Tesis

Magister Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi

dan Studi Pembangunan Universitas

Diponegoro Semarang

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Pertanian. 2014. Statistik Ekspor Impor

Komoditas Pertanian Tahun 2001-2013.

Jakarta: Kementerian Pertanian Republik

Indonesia.

Drs. Halwani,M.A dan Dr, H. Prijono

Tjiptoheridjanto. 1993. Perdagangan

Internasional pendekatan Ekonomi Mikro dan

Makro. Ghalia Indonesia.

FloraFelina Aditasari. (2011) Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Eksport Karet Indonesia ke

RRC (Republik Rakyat Cina) Tahun 1999-

2009.Universitas Sebels msret Surakarta.

Gujarati, Damodar. 2009. Dasar-dasar

Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat.

Hady, Hamid. 2001. Ekonomi Internasional: Teori

dan Kebijakan Perdagangan Internasional.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Won Koo. 2005. Internasional Trade And

Agriculture. Vicotria: Blackwell Publishing.

Krugman, P.R. and M. Obstfeld; diterjemahkan

Faisal H. Basri. 2003. Ekonomi

Internasional: Teori dan Kebijakan. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Laporan Kementrian Keuangan. 2012. Peraturann

Mentri Keuangan republik Indonesia ,

Penetapan Barang Ekspor Yang Di kenakan

Tarif Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

Lapoaran Kementerian Perdagangan Indonesia.

Ekspor biji kakao Indonesia Berdasarkan

Negara Tujuan 2013.

Page 382: THE PERFORMANCE OF HIGH RESOLUTION NEUTRON POWDER

370

Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(BAPPENAS). 2013. Perkembangan

Perekonomian Indonesia Triwulan 1 tahun

2013.

Lapoaran Kementerian Perdagangan Indonesia.

Perkembangan Ekspor Pertanian Indonesia

Tahun 2004-2013.

Laporan Food Association Organization (FAO).

Produksi biji kakao Dunia Tahun 2008-

2013.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses

pada tanggal 22 februari 2013.

Laporan Food Association Organization (FAO).

Volume ekspor biji kakao Indonesia tahun

1984-2013.http://faostat3.fao.org/home/Edi

akses pada tanggal 22 februari 2013.

Laporan Food Association Organization (FAO).

Produksi biji kakao Indonesia Tahun1984-

2103.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses

pada tanggal 22 februari 2013.

Laporan Food Association Organization (FAO).

Luas lahan perkebunan kakao tahun1984-

2013 .http://faostat3.fao.org/home/Edi akses

pada tanggal 22 februari 2013.

Laporan Kementerian Perdagangan Indonesia.

Perkembengan Ekspor Migas dan Nonmigas

Indonesia Tahun 2004-2013.

Rahardja, Pratama. Mandala Manurung. 2008.

Pengantar Ilmu Ekonomi: Miroekonomi dan

Makroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Rubiyo dan Susanto. 2012. Peningkatan produksi dan

pengembangan kakao indonesia. buletin

RISTRI vol 3 (1) 2012.

Oktaviani R dan Novianti T. 2009. Teori

Perdagangan Internasional dan Aplikasinya

di Indonesia. Bogor: IPB Press.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan

Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sadono Sukirno. 2011. Makroekonomi Teori

Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Tambunan, Tulus. 2005. Perdagangan Internasional

dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan

Empiris. Jakarta: LP3S.

Tim Peneliti. 2014. Statistik Indonesia: Indonesia

Dalam Angka 1996-2014. Jakarta: Badan

Pusat Statisitk Indonesia.

Adera Verena. 2014. Analisis Faktor yang

Mempengaruhi Ekspor Manggis Indonesia.

Jatinangor: Fakultas Pertanian Universitas

Padjadjaran.

Yustika, A., E. (2012). Peran Sektor Luar Negeri

Pada Perekonomian Indonesia. Majalah

Tempo edisi 12-19 November 2012.