the performance of high resolution neutron powder
TRANSCRIPT
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
PEMBANGUNAN INKLUSIF DI SEKTOR PERTANIAN II
Penyunting:
Tomy Perdana
Iwan Setiawan
Agriani H. Sadeli
Hesty N. Utami
Sara Ratna Qanti
Mahra Arari Heryanto
Sulistyodewi Nur Wiyono
Desain Cover dan Tata Letak:
Mahra Arari Heryanto
ISBN: 978-602-70388-2-0
Izin diberikan untuk bebas menyalin dan mendistribusikan sebagian atau seluruh
dari isi buku ini dengan menggunakan kaidah pengutipan (sitasi) dalam karya tulis
ilmiah. Buku atau produk turunan atau salinan dari buku ini tidak untuk
diperjualbelikan atau digunakan untuk keperluan mencari keuntungan.
Penerbit:
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Gedung Sosek Lantai 2 Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor
Telepon: 022-7796318
Faksimili: 022-7796316
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ijin dan perkenan-
Nya kegiatan Seminar Nasional dan Workshop βPembangunan Inklusif di Sektor
Pertanian IIβ telah dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan ini dapat
diselenggarakan atas kerja sama antara Departemen Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dengan Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Jawa Barat.
Tujuan utama dari kegiatan Seminar Nasional dan Workshop ini adalah
terdiseminasikannya berbagai metodologi dan ilmu untuk melibatkan petani,
khususnya petani kecil dalam pembangunan nasional sehingga memiliki kesempatan
yang sama untuk meningkatkan pendapatannya. Selain itu, bagi para pelaku
agribisnis, akademisi, pemerintah dan masyarakat merupakan media pembelajaran dan
patok duga (benchmarking) untuk melihat perkembangan sektor pertanian di
Indonesia.
Buku ini adalah prosiding kegiatan yang secara garis besar berisi rumusan hasil
seminar nasional berupa hasil pemikiran dari para peserta seminar yang dapat
dijadikan rujukan dalam pengembangna sektor pertanian yang inklusif. Kami
mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kehadiran
seluruh peserta dalam kegiatan ini.
Secara khusus ucapan terima kasih kami sampaikan kepada narasumber dalam
seminar, kepada Soeko Wardojo (Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia kantor
perwakilan Jawa Barat) yang telah bersedia menjadi pembicara kunci, dan kepada Dr.
Stephan Onggo (Lancaster Management School, Inggris), Heru Pribadi (Direktur
Rantai Pasok dan Logistik PT Hero Group), serta Prof. Ganjar Kurnia (Kepala Pusat
Studi Dinamika Pedesaan, Universitas Padjadjaran) sebagai narasumber utama dalam
acara seminar nasional. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh
pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini, khususnya kepada Rektor
Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, serta
kepada Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Padjadjaran.
Terakhir, kami berharap kegiatan ini dapat memberi kontribusi yang berarti
kepada pembangunan pertanian di Indonesia. Terima kasih.
Jatinangor, Februari 2016
Panitia Pelaksana
ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
MAKALAH SEMINAR NASIONAL PEMBANGUNAN INKLUSIF
DI SEKTOR PERTANIAN II
Analisis Rantai Nilai Industri Mangga Offgrade Olahan Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat Lokal1 Khonsa Shofwatun Najah1*, Gema Wibawa Mukti2 ........................................... 1
Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Pengusaha Tanaman Hias Skala
Menengah (Studi Kasus pada Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia di
Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Jawa Barat) Pratiwi Adilvina1*, Gema Wibawa Mukti2 ........................................................ 15
Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok Kentang Pasar Terstruktur di Kelompok
Tani Katata, Pangalengan, Jawa Barat Nadia Shafarina1), Tomy Perdana2) ................................................................... 25
Perubahan Struktur dan Perilaku Pemasaran Sayuran dan Buah di Indonesia
dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Buah dan Sayuran di Pasar
Tradisional Asma Sembiring ................................................................................................ 31
Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kopra Indonesia di Pasar Internasional Salman Faris Rinaldi, S.P1*, Tuti Karyani2 ....................................................... 37
Efektivitas Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT.
Coca - Cola Bottling Indonesia Cut Putri Pohan1, Anne Charina2 ...................................................................... 55
Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani
Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) di Desa Cihideung Kecamatan
Parongpong Kabupaten Bandung Barat Dini Rochdiani, Sara Ratna Qanti ..................................................................... 61
Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor
Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya Elly Rasmikayati1*, Asep Faisal2....................................................................... 71
Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang Eti Suminartika .................................................................................................. 81
iv
Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel
Modern (Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung
Selatan) Fauziah TantryΒΉ, Sara Ratna Qanti2................................................................... 87
Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Dalam Pengembangan Rantai Pasok
Komoditas Bawang Merah (Allium cepa L.) di Kabupaten Brebes Fernianda Rahayu Hermiatin1, Tomy Perdana1, Eddy Renaldi1 ....................... 97
Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L) di Sentra
Produksi Cikajang Kabupaten Garut Dety Sukmawati1, Lies Sulistyowati2, Maman H.Karmana2, E Kusnadi Wikarta2
......................................................................................................................... 103
Perbandingan Pendapatan Petani untuk Komoditas Jagung Manis (Zea mays
Saccharata Sturt.) dan Bawang Merah (Alium cepa L.) (Studi Kasus di Desa
Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) Muhammad Arief Budiman, Rizki Eka Firdaus ............................................ 109
Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu
Sumedang (Studi Kasus di Industri Kecil Sari Kedele, Kecamatan Jatinangor,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat) Amy Fauziah1*, Kuswarini Kusno2 ................................................................. 119
Pemodelan Dinamika Sistem Kemitraan Pada Rantai Pasok Kentang di
Kabupaten Bener Meriah Lukman Hakim1), Tomy Perdana2), Maman Haeruman K.2), Yosini
Deliana2) .......................................................................................................... 133
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh Indonesia (Periode 1980 β
2013) Ady Trynugraha1 dan Muhammad Arief Budiman2 ....................................... 141
Analisis Daya Saing Usahatani Tembakau Mole (Studi Kasus Desa Sukasari,
Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) Septian Rindiarto1, M. Arief Budiman1 .......................................................... 147
Analisis Risiko Produksi Bunga Mawar Potong (Rosa hybrida) (Studi Kasus di
Rosalia Flowers, Desa Cihideung, Kecamatan Parompong, Kabupaten Bandung
Barat) Dery Luvitasari1, Sara Ratna Qanti1................................................................ 155
Pelaksanaan Program Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA)
Cireundeu (Studi Kasus di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi
Selatan, Kota Cimahi) Dessy Silviani1, Anne Charina2....................................................................... 163
v
Analisis Pendapatan Pelaku Agroindustri Keripik Tempe di Desa Buluh
Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu Shorea Khaswarina1) ........................................................................................ 171
Farmersβ Knowledge, Perception, And Practices in Organic Paddy Farming
Concept Tinjung Mary Prihtanti dan Maria................................................................... 181
Analisis Persepsi dan Sikap Petani Terhadap Lembaga Pembiayaan Formal dan
Informal (Suatu Kasus Di Gapoktan Sami Mulya Kec. Sedong, Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat) Yeni Hendriyani 1), Tuti Karyani2) .................................................................. 189
Faktor Internal dan Eksternal yang Berperan Dalam Usahatani Tembakau
(Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus pada Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa
Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut) Erizka Pramuditya1, Lucyana Trimo1 .............................................................. 197
Bauran Pemasaran dan Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak Arabika
Malabar Mountain (Studi Kasus di PT. Sinar Mayang Lestari, Desa
Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa
Barat) Ghina Davita Ramdhayani1, Dhany Esperanza1 .............................................. 209
Pengaruh Bantuan Modal Kerja PUAP Terhadap Kesejahteraan Petani di
Provinsi Sulawesi Tengah Yennita Sihombing .......................................................................................... 221
Manajemen Resiko Rantai Pasok Komoditas Padi (Oryza sativa) di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat Tetep Ginanjar 1), Tomy Perdana1), Eddy Renaldi1) ........................................ 233
Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Dalam Pengembangan
Padi Organik (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi,
Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya) Elena Yanti K.Y.S, Yayat Sukayat .................................................................. 241
Efektivitas Iklan Melalui Media Sosial (Website) Sebagai Media Promosi CV
Cihanjuang Inti Teknik Dengan Menggunakan EPIC Model Ni Luh Putu Diyasani Belawi1*, Rani Andriani Budi Kusumo1...................... 247
Apakah Kinerja dan Pengungkapan Lingkungan Berpengaruh terhadap
Kinerja Ekonomi Perusahaan? (Analisis pada Perusahaan Agroindustry yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Arisha Nursyamti Pramidyar1, Dika Supyandi1 .............................................. 255
vi
Identifikasi Faktor Pendukung Keberhasilan Transfer Teknologi Pada Industri
Kecil Menengah Berbasis Potensi Lokal Dengan Pendekatan Makroergonomi
(Study Kasus : UKM Keripik Ubi Cilembu Desa Cileles Jatinangor Dan IKM
Keripik di Desa Pagedangan Indramayu ) Devi Maulida Rahmah .................................................................................... 263
The Role of Communication Networks in Group Sustainability: A Case Study in
Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia Jaka Sulaksana ................................................................................................ 271
Analisis Keputusan Berkunjung Serta Kepuasan Konsumen Agrowisata
Cilangkap Efrizal Saputra1*, Tuti Karyani1, M.Gunardi Judawinata1 .............................. 283
Upaya Peningkatan Kinerja Sistem Logistik Komoditas Sayuran di Kelompok
Tani Katata, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan Tika Dewi Lenggana1, Tomy Perdana1, .......................................................... 293
Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta Jangkung Handoyo M.1,2*, Dwidjono H. Darwanto1, Setiawan Suryo K. J.3,
Sugiyarto1, Arif Wahyu W.4............................................................................ 299
Dampak Agrowisata Desa Cihideung Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial Budaya,
dan Lingkungan (Studi Kasus di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong,
Kabupaten Bandung Barat) Anita Putri Kemala1, Rani Andriani Budi Kusumo1 ....................................... 311
Pola Kemitraan Petani Paprika Dengan Koperasi Mitra Sukamaju Dalam
Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Nur Syamsiyah ................................................................................................ 325
Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani Jagung di Kabupaten Serang Dian Anggraeni1 , Tuhpawana P. Sendjaja2, Tomy Perdana2, Anne Nuraini2 333
Kajian Kemitraan Petani Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica L.) dengan
CV. Sumber Buah (SAE) (Studi Kasus pada Petani Mangga di Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat) Siti Nur Azizah Syah1, Lies Sulistyowati1 ...................................................... 341
Pertukaran Nilai Pemasaran Dalam Pemasaran Relasional Sebagai Upaya
Menekan Risiko Pemasaran Pada Komoditas Bernilai Tinggi Tuti Karyani1, Agriani H. Sadeli1, Hesty N. Utami1, Sulistyodewi NW 1 ...... 351
Risiko Pemasaran Mangga di Petani yang Mengambil Risiko dan Menghindari
Resiko Yosini Deliana ................................................................................................. 357
vii
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia, Periode
Tahun 1984 Sampai 2013 Taufiq Nur Tadjudin 1*, Muhammad Arief Budiman 1 .................................... 363
viii
1
Analisis Rantai Nilai Industri Mangga Offgrade Olahan Berbasis Pemberdayaan
Masyarakat Lokal
Value Chain Analysis of Offgrade Processed Mango Industry Based on Local
Community Empowerment
Khonsa Shofwatun Najah1*, Gema Wibawa Mukti2
1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang, [email protected] 2 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang
A B S T R A K
Kata Kunci:
Rantai nilai
Mangga Gedong Gincu
Offgrade
Nilai tambah
Manfaat
Penelitian ini bertujuan 1) memetakan rantai nilai dari Fruits Up, 2) analisis manfaat
ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dari rantai nilai Fruits Up, 3) identifikasi
hambatan dan opsi peningkatan yang tepat sebagai upaya optimalisasi rantai.
Penelitian ini menggunakan desain kualitatif sedangkan teknik penelitian yang
digunakan adalah teknik studi kasus dengan menggunakan analisis rantai nilai, analisis
biaya dan pendapatan, analisis nilai tambah, analisis derajat keberdayaan dengan
pendekatan model Fujikake 2 tahap, serta analisis manfaat dan resiko lingkungan
deskriptif sederhana. Hasil analisis rantai nilai terdapat empat aktor dalam rantai nilai
secara keseluruhan: petani mangga di berbagai daerah sebagai pemasok mangga
Gedong Gincu segar, pengepul, pihak pengolah sebagai pengolah mangga Gedong
Gincu segar menjadi puree, Fruits Up. Proporsi keuntungan paling tinggi dalam rantai
nilai diperoleh Pengepul. Proporsi nilai tambah paling tinggi dalam rantai nilai
diperoleh Pengolah. Derajat keberdayaan menurut pendekatan model Fujikake 2 tahap
ialah: Petani (tipe 1), Pengepul (tipe 2), Pengolah (tipe 3), Fruits Up (tipe 3). Kategori
resiko kegiatan dalam bisnis masing-masing pelaku di rantai nilai dalam mencemari
lingkungan hidup ialah: Petani (tinggi), Pengepul (sedang), Pengolah (rendah), Fruits
Up (rendah). Hambatan dari sisi ekonomi paling besar dirasakan oleh Pengolah,
sedangkan hambatan dari sisi sosial paling besar dirasakan oleh Petani.
ABSTRACT
Keywords:
Value chain
Mango Gedong Gincu
Offgrade
Added value
Benefits
The purpose of this research were to 1) map the value chain of Fruits Up, 2) analyze
financial, social, and environmental benefit in the value chain, 3) identify the barriers
and upgrading options so it can minimize the hindrance in the value chain. This
research used descriptive design with case study technique that used value chain
analysis, analysis of costs and revenues, added value analysis, analysis of the degree
of empowerment using Fujikake Model approach in two stages, as well as analysis of
the benefits and risks of environment in descriptive. The results showed that there are
four actors in the whole Fruits Up value chain as follows: farmers, collectors,
processing firm, and Fruits Up. The greatest profit sharing obtained by the collector.
The greatest added value was given by the processing firm. The degree of
empowerment according to the model approach Fujikake 2 stages are: farmer (type
1), collectors (type 2), processing firm (type 3), Fruits Up (type 3). The risk of business
activities to pollute the environment are: farmer (high), collectors (medium),
processing firm (low), Fruits Up (low). The most substantial economic barriers felt by
processing firm, while largest social barriers perceived by the farmer.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
2
PENDAHULUAN
Sektor pertanian memiliki peran vital dalam
pembangunan ekonomi negara. Beberapa alasan
yang mendukung pernyataan tersebut, diantaranya
adalah menyediakan lapangan pekerjaan,
menghasilkan devisa, menjadi basis pertumbuhan
sektor agroindustri dan perdagangan, hingga menjadi
salah satu upaya peningkatan kesejahteraan rakyat
(Kementerian Pertanian, 2014). Dari sudut pandang
sektor pertanian, agroindustri yang semakin
berkembang diyakini bisa berperan strategis dalam
upaya menopang pengembangan daya saing bangsa
yang bertumpu pada kekayaan sumber daya
nusantara (Baharsjah, 1993).
Agroindustri ini, dengan perhatian khusus
terhadap komoditas hortikultura buah-buahan
potensial, memiliki peluang investasi yang bernilai
cukup tinggi. Menurut Direktorat Jenderal Industri
Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009),
empat komoditas buah-buahan yang potensial untuk
dikembangkan adalah mangga, jeruk, nanas, dan
markisa. Potensi buah mangga ditunjukkan oleh data
produksi nasional mangga yang mencapai 2,3 juta ton
tercatat sebagai produksi buah terbanyak. Sedangkan
luas areal panen buah mangga terbesar se-nasional
dengan 219.667 hektar (Kementerian Pertanian,
2014). Data konsumsi juga menunjukkan adanya tren
peningkatan konsumsi buah mangga setiap tahunnya.
Varietas mangga yang menjadi unggulan di Jawa
Barat sendiri salah satunya adalah mangga Gedong
Gincu.
Kendati luas areal panen dan produksi nasional
mangga meningkat setiap tahunnya, laporan
perkembangan harga menunjukkan bahwa harga jual
mangga di Jawa Barat sendiri masih tetap
berfluktuasi tajam akibat produksi yang tidak
kontinyu (musiman). Ketika pasokan langka di
pasaran, harga jual mangga melambung. Sebaliknya,
ketika pasokan berlimpah, harga jual mangga turun
dan bahkan pernah mencapai persentase penurunan
hampir 86% (Kementerian Pertanian, 2014).
Buah mangga dengan kategori buah mangga
off-grade sendiri pernah turun signifikan. Pada saat
off-season, harga dapat berada di kisaran Rp7000/kg,
sedangkan pada saat on-season harga bisa turun
hingga Rp1000/kg (Kementerian Pertanian, 2014).
Jumlah mangga kategori off-grade sendiri dapat
mencapai 30% dari total produksi mangga di Jawa
Barat setiap tahunnya (Supriatna, 2005).
Fakta mengenai terjadinya fluktuasi harga
buah mangga yang menyertai sifat musiman dan
sosialisasi yang belum gencar mengenai kegiatan
pemberian nilai tambah yang tepat sejak dari cara
panen, sortasi, penyimpanan, hingga pengolahan,
tentunya dapat melenyapkan peluang untuk
mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi
(Baharsjah, 1993). Terlebih, dengan adanya
fenomena sulitnya akses bagi petani kecil dan seluruh
aktor/pelaku yang terlibat untuk berpartisipasi. Serta
sulitnya petani berkolaborasi di bisnis pertanian
komersial dan produksi komoditas bernilai tinggi
(Catelo dan Costales, 2008; Pletcher, 2000;
Seshamani, 1998). Konsekuensinya, pergeseran
fokus kegiatan dari produk primer ke berbagai
produk bernilai tambah menjadi penting bagi
pengembangan agribisnis komoditas buah mangga.
Langkah ini dapat menjadi pilihan yang baik untuk
menanggulangi masalah kerugian petani mangga
sebagai implikasi dari anjloknya harga jual buah
mangga di musim panen, terutama untuk buah
mangga yang tidak laku di pasaran (Habibie, 1993).
Fruits Up hadir sebagai salah satu pelaku
agroindustri yang memiliki fokus utama memenuhi
permintaan harian tersebut dengan prinsip kolaborasi
di sepanjang rantai nilai produk mangga olahan
miliknya. Fruits Up yang didirikan pada Juli 2014,
menggunakan konsep social-technopreneurship.
Fruits Up merupakan salah satu bisnis yang
mengaplikasikan inovasi βThe Fruters Modelβ. The
Fruters Model adalah salah satu contoh model bisnis
yang sejalan dengan konsep agribisnis inklusif dan
3P. βThe Fruters Modelβ dikembangkan oleh
Universitas Padjadjaran selama bertahun-tahun
(Putri dan Purnomo, 2015). Usaha produk puree buah
dengan model βThe Fruters Modelβ berasal dari
sebuah riset panjang. Riset ini mensinergikan
berbagai kegiatan pertanian dari hulu
(pengembangkan praktek pertanian dan perkebunan),
pengolahan hasil hingga hilir dimana hasil pertanian
tersebut diolah menjadi produk pertanian dan dijual
dengan harga premium.
Berlandaskan model bisnis ini, Fruits Up
memiliki prinsip memberikan nilai dan manfaat
dalam setiap rantai yang dilalui produk mulai dari
awal berupa buah mangga hingga ke produk akhir
berupa puree mangga kemasan siap minum. Fruits
Up memaksimalkan potensi buah mangga off-grade
yang ditolak pasar tersebut agar lebih bernilai dengan
menggunakan teknologi pengolahan pasteurisasi dan
pencampuran dengan bahan-bahan lainnya diiringi
dengan proses kreatif didalamnya sebagai langkah
penambahan nilai.
Selain menerapkan konsep rantai nilai, Fruits
Up juga menjalankan bisnisnya dengan melakukan
proses pemberdayaan masyarakat berprinsip
kolaborasi yang berpusat pada manusia (people-
centered development) dalam kerangka besar βThe
Fruters Modelβ. Pemberdayaan pada tingkat petani
sampai pengolah sudah diinisasi terlebih dahulu oleh
pihak Universitas Padjadjaran dan telah melahirkan
inovasi yaitu model bisnis The Fruters Model itu
sendiri. Hal inilah yang kemudian melandasi upaya
3
pengembangan bisnis Fruits Up dengan wawasan
pengelolaan sumberdaya lokal (community-based
resources management).
Proses pengelolaan sumberdaya lokal dalam
bisnis Fruits Up sendiri terletak pada proses produksi
di tempat produksi yang memanfatkan sumber daya
manusia yang berasal dari masyarakat sekitar dan
proses distribusi produk jadi melalui reseller mitra,
yaitu ibu-ibu rumah tangga yang dimotivasi agar
memiliki penghasilan sampingan dari penjualan
produk Fruits Up. Sedangkan, komoditas lokal yang
diangkat ialah buah Mangga Gedong Gincu off-grade
yang berasal dari berbagai daerah sentra di Jawa
Barat seperti Kabupaten Cirebon, Indramayu,
Majalengka, dan Kuningan yang telah tergabung
dalam Masyarakat Kluster Buah (Masterbu). Hingga
saat ini tim Fruits Up secara langsung telah
membantu dalam program pemberdayaan
masyarakat sekitar dengan adanya pemberian
coaching kepada komunitas bisnis kreatif yang
didirikan di Bandung. Komunitas bisnis kreatif ini
adalah komunitas yang menjadi wadah diskusi dan
sharing pelaku bisnis yang rata-rata masih berusia
muda dan baru memulai bisnisnya.
Di proses pemasarannya, yang menjadi target
pasar Fruits Up adalah masyarakat perkotaan yang
memiliki gaya hidup modern, peduli dengan
kesehatan, dan juga orang-orang yang peduli dengan
proses pemberdaayaan dibaliknya. Setiap bulannya
Fruits Up menjual sekitar 4800 botol kemasan puree
mangga siap minum dengan omzet bulanan mencapai
Rp90.000.000. Hal ini merupakan jumlah yang tidak
sedikit, mengingat Fruits Up adalah usaha rumahan
yang belum lama berdiri dan masih terus melakukan
inovasi.
Dalam hasil pemetaan rantai nilai awal,
beberapa pihak yang berkolaborasi di dalam rantai
nilai Fruits Up adalah: petani mangga sebagai
produsen, petani pengepul, pabrik pengolahan buah
mangga segar menjadi puree mangga sebagai
UMKM, Fruits Up sendiri, sebagai UMKM
pengemasan puree mangga menjadi puree mangga
siap minum sekaligus sebagai komunitas kreatif,
pihak akademisi (dosen dan mahasiswa) yang terlibat
dalam proses pemberdayaan di tingkat petani dan
pengolah, serta pemerintah daerah. Meskipun begitu,
semangat dalam memberdayakan dan keselarasan
tujuan antar pelaku utama (petani, pengepul,
pengolah, Fruits Up) belum ditemukan. Hal ini tentu
menjadi suatu problema karena pelaku utama baik itu
Fruits Up, pengolah, pengepul, maupun petani masih
belum merasa memiliki pandangan dan tujuan besar
yang sama.
Dalam artian lain, kekuatan dan kesolidan
sebagai buah dari manfaat-manfaat dalam rantai nilai
Fruits Up masih belum diteliti. Sehingga,
seberapapun besarnya tujuan Fruits Up untuk
pembangunan masyarakat pedesaan hingga
perkotaan tetap tidak akan optimal menuju hasil
karena tidak didukung oleh cita-cita dan usaha yang
sama besarnya dari pelaku lainnya.
Untuk itulah mengapa analisis rantai nilai yang
diterapkan Fruits Up memberikan manfaat yang
nyata untuk seluruh pelaku yang terlibat, baik
manfaat secara ekonomi, sosial, maupun dari sisi
lingkungan hidup, menarik untuk dilakukan. Selain
karena analisis rantai nilai ini dapat digunakan untuk
bahan evaluasi, analisis ini juga akan berguna untuk
para pelaku Fruits Up untuk terus konsisten berupaya
memaksimalkan potensi lokal daerah, salah satunya
dengan cara memahami hubungan dengan seluruh
aktor yang berkolaborasi.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
Konsep Agribisnis Inklusif
Menurut Budi (2015) konsep agribisnis
inklusif merupakan sebuah sistem yang secara adil
merangkul semua pelaku dalam proses agribisnis
untuk terlibat dalam pembangunan pertanian; sebuah
system yang dibentuk untuk mengupayakan hak-hak
petani yang pada umumnya masih dalam kondisi
tetinggal. Agribisnis inklusif merupakan sistem
dalam sektor pertanian yang diharapkan dapat
menjadi pintu masuk pembangunan Indonesia.
Sedangkan pembangunan yang inklusif adalah
pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan
yang memperhitungkan sekaligus pertumbuhan (pro-
growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job),
mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan
memperhatikan lingkungan (pro-environment)
(Daryanto, 2015).
Pemahaman mengenai agribisnis inklusif ini
sejalan dengan teori John Elkington (1994) tentang
βPeople, Planet, Profitβ yang pada akhirnya diadopsi
oleh Shellβs. βPeopleβ memiliki artian bahwa bisnis
yang adil dan menguntungkan harus memperhatikan
tenaga kerja, komunitas lokal, dan daerah setempat.
βPlanetβ memiliki artian bahwa kegiatan bisnis harus
sesuai aman untuk lingkungan hidup sekitarnya,
tidak membahayakan dan meminimalisir pencemaran
lingkungan. Sedangkan, βProfitβ memiliki artian
bahwa kegiatan bisnis harus menghasilkan nilai
dengan meminimalisir biaya seluruh input.
Pengertian βProfitβ dalam 3P ini memang sedikit
berbeda dari pengertian βprofitβ pada umumnya
(Elkington, 1997).
Konsep Analisis Rantai Nilai
Dalam konsep agribisnis inklusif dan 3P,
aspek yang dilihat dalam konsep tidak hanya aspek
ekonomi, namun juga aspek sosial dan lingkungan
hidup, dengan menggunakan analisis rantai nilai.
4
Analisis rantai nilai atau Value Chain Analysis
(VCA) atau analisis rantai nilai merupakan salah satu
konsep bagaimana menambah aktivitas dan
memperbesar nilai produk secara maksimal dalam
tatanan rantai pasok (Stringer, 2009). Sebuah analisis
rantai nilai menjadi alat identifikasi sebagai cara
untuk menciptakan diferensiasi melalui
pengembangan nilai (Raras, 2009). Seluruh aktor
yang terlibat dalam kegiatan usaha dianalisis secara
mendetail untuk mengetahui titik terlemah rantai
nilai tersebut.
Kerangka Porter
Analisis rantai nilai yang digunakan sesuai
dengan kerangka Porter (1985), yang membagi
seluruh kegiatan dalam rantai nilai menjadi dua
kegiatan yaitu kegiatan utama (logistik masuk,
operasional, logistik keluar, pemasaran dan
penjualan, dan pelayanan) dan kegiatan pendukung
(pembelian, pengembangan teknologi, manajemen
sumber daya manusia, dan infrastruktur perusahaan).
Kegiatan utama adalah kegiatan yang secara
langsung berkontribusi menambahkan nilai pada
produk atau layanan yang dihasilkan. Kegiatan
pendukung,adalah kegiatan yang membawa efek tak
langsung terhadap nilai akhir suatu produk.
Gambar 1. Kerangka Porter.
Sumber: Michael E. Porter (1985)
Manfaat Secara Ekonomi
Dalam menganalisis manfaat dalam rantai nilai
dari sisi ekonomi, digunakan analisis biaya dan
pendapatan, serta analisis nilai tambah. Analisis
manfaat secara ekonomi tersebut meliputi:
1. Keseluruhan nilai tambah yang terjadi pada
setiap tingkatan rantai.
2. Biaya produksi dan pemasaran, serta struktur
biaya pada setiap aktivitas rantai.
3. Kinerja pelaku rantai (penggunaan kapasitas
yang produktif, produktivitas, dan
keuntungan).
Manfaat Secara Sosial
Konsep keberdayaan masyarakat mengenai
evaluasi pemberdayaan masyarakat mencakup
beberapa aspek indikator seperti kemampuan
mengambil keputusan, kemandirian, dan
kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan
(Widjajanti, 2011). Hal ini mendukung konsep
Pranarka dan Vidhyandika (1996) yang menyatakan
bahwa keberdayaan masyarakat berkaitan dengan
kemandirian masyarakat. Dalam menganalisis
manfaat rantai nilai Fruits Up dari sisi sosial,
digunakan analisisi derajat keberdayaan sesuai
dengan konsep pemberdayaan dan indikator-
indikator tersebut menggunakan pendekatan model
Fujikake 2 tahap.
Manfaat Bagi Lingkungan Hidup
Untuk menganalisis manfaat rantai nilai Fruits
Up terhadap lingkungan hidup digunakan analisis
manfaat dan resiko lingkungan secara deskriptif.
METODE PENELITIAN
Upaya Optimalisasi Rantai Nilai Fruits Up
Peluang agroindustri buah mangga di Indonesia
Hambatan pengembangan industri mangga olahan:
Sifat musiman buah mangga
Teknologi pengolahan minim
Petani kurang akses terhadap informasi
Program terpadu belum diterapkan
Minimnya kolaborasi antar pelaku usaha
Analisis rantai nilai agroindustri buah mangga off-grade olahan milik Fruits Up sebagai upaya
pengembangan agroindustri
Analisis Manfaat dalam Rantai Nilai Fruits Up
Pelaku yang Terlibat, Kegiatan Spesifik, Alur Produk dan
Informasi, Tata Kelola, Pola
Hubungan dan Koordinasi
Aspek ekonomi Aspek sosial
Analisis
Pendapatan
Analisis Nilai
Tambah
Analisis
Deskriptif
Derajat
Keberdayaan
Pelaku dengan
Pendekatan
Model Fujikake
Hambatan Hambatan
Aspek lingkungan
Analisis
Manfaat dan
Resiko
Lingkungan
Sederhana
5
Penelitian ini menggunakan dua jenis data,
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui diskusi dengan pihak manajemen
Fruits Up, pengolah, pengepul, hingga ke petani dan
wawancara secara mendalam (indepth interview)
dengan bantuan kuesioner. Data sekunder diperoleh
dari literatur kepustakaan yang relevan dan catatan
atau dokumen lain dari instansi-instansi atau
lembaga-lembaga terkait seperti Kantor Dinas
Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura
provinsi Jawa Barat, Badan Pusat Statistik (BPS),
Dinas Pertanian, Balai Besar Pascapanen (BB
Pascapanen), Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian (BBP Mektan), dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan topik yang dibahas.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan berupa studi kasus
(case study) yaitu penelitian yang terinci tentang
seseorang atau suatu unit selama kurun waktu
tertentu. Penentuan informan ditentukan dengan cara
sengaja (purposive) dengan penentuan sumber data
yaitu pelaku yang terlibat dalam aktivitas rantai nilai
Fruits Up. Pemetaan dan penelusuran dilakukan
untuk melihat ada tidaknya koordinasi vertikal
maupun horizontal antara pelaku di hilir dan pelaku
di hulu serta besarnya nilai tambah dan
pendistribusiannya antar pelaku.
Kegiatan observasi dan survei digunakan
untuk meninjau dan mengumpulkan informasi dari
aktivitas jaringan rantai nilai Fruits Up, mulai dari
pasokan bahan baku yakni mangga Gedong Gincu
offgrade, proses pengepulan, proses pengolahan
mangga Gedong Gincu menjadi puree di tingkat
pengolah, hingga proses distribusi dan proses
pemasaran produk olahan dari Fruits Up, serta
penentuan pelaku-pelaku yang terlibat dalam rantai
nilai tersebut. Wawancara terhadap manajemen
Fruits Up dan pembagian kuesioner kepada informan
(pemasok dari Fruits Up) untuk mengumpulkan data
pengelolaan rantai nilai, dan mengidentifikasi
manfaat yang diterima masing-masing pelaku, serta
mengidentifikasi hambatan yang selama ini terjadi
dalam rantai nilai perusahaan, baik secara kualitas
maupun kuantitas dan dijadikan acuan untuk
merumuskan opsi peningkatan yang tepat
(upgrading) dalam meminimalisir hambatan yang
terjadi.
Analisis rantai nilai yang dilakukan mencakup
seluruh informasi berikut: pelaku yang terlibat,
kegiatan spesifik, alur produk dan informasi, tata
kelola, pola hubungan dan koordinasi. Sedangkan
analisis manfaat ekonomi yang dilakukan ialah
analisis biaya dan pendapatan dengan formulasi:
Biaya Produksi
TC = FC + VC
Dimana:
TC = Biaya Total (Total Cost)
FC = Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost)
VC = Biaya Variabel Total (Total Variabel Cost)
Penerimaan
TR = Y x Hy
Dimana :
TR = Total Penerimaan (Total Revenue)
Y = Total Produksi
Hy = Harga Jual/Unit
Pendapatan
II = TR β TC
Dimana :
II = Pendapatan/Keuntungan
TR = Total Penerimaan (Total Revenue)
TC = Biaya Total (Total Cost)
RC Ratio
RC ratio = Penerimaan / Total Biaya
Kriteria :
1. R/C Ratio > 1, maka usaha tersebut layak untuk
diusahakan (untung)
2. R/C Ratio < 1, maka usaha tersebut tidak layak
untuk diusahakan (Rugi)
3. R/C Ratio = 1, maka usaha tersebut tidak untung
dan tidak rugi (impas)
Analisis Nilai Tambah
Nilai tambah (value added), merupakan hasil
dari penerimaan dikurangi biaya input tingkat
menengah sebagai indikator finansial yang
menunjukkan besaran imbalan kesejahteraan atas
korbanan tenaga kerja dan manajemen dalam
menghasilkan nilai tambah, sementara keuntungan
(profit) merupakan pendapatan bersih (penerimaan
dikurangi total biaya) dari hasil usaha yang dilakukan
para pelaku usaha dalam rantai nilai Fruits Up.
Prinsip perhitungan nilai tambah ialah
penerimaan atau nilai penjualan (harga x volume)
yang diperoleh para pelaku dalam rantai dan barang-
barang tingkat menengah, pemasukan dan jasa
operasional yang dihasilkan oleh pemasok yang
bukan merupakan bagian inti dari rantai nilai tersebut
(Perdana dan Purwanti dalam Noor, 2011). Total
nilai yang dibayar dan dihabiskan oleh konsumen
akhir dibedakan antara nilai tambah dan barang-
barang tingkat menengah kemudian lebih lanjut
6
merupakan pembagian antara barang setengah jadi
dan barang jadi yang dihasilkan oleh pelaku dari
bagian sebelumnya dalam rantai nilai yang sama, dan
pemasukan lainnya yang disediakan oleh pelaku
eksternal.
Analisis Deskriptif Derajat Keberayaan Dengan
Pendekatan Model Fujikake Dua Tahap
Data-data kualitatif yang dibutuhkan meliputi
data-data hasil pengamatan dan wawancara
mendalam. Data disajikan dalam bentuk tabel dan
diagram dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan
hasil dari wawancara terhadap informan mengenai:
a) Tingkat pendidikan pelaku usaha dalam
rantai nilai Fruits Up
b) Tingkat partisipasi (interaksi dalam jaringan
sosial/kerja) pelaku usaha dalam rantai nilai
Fruits Up
c) Perubahan perilaku atau kesadaran pelaku
usaha dalam rantai nilai Fruits Up
d) Tingkat kerjasama dan kepercayaan pelaku
usaha dalam rantai nilai Fruits Up
e) Kemampuan manajerial pelaku usaha dalam
rantai nilai Fruits Up
f) Kemampuan pengambilan keputusan pelaku
usaha dalam rantai nilai Fruits Up
g) Kemampuan memanfaatkan usaha untuk
masa depan para pelaku usaha dalam rantai
nilai Fruits Up.
Gambar 3. Tiga Tipe Hasil Pemberdayaan.
Sumber: Fujikake, 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemetaan Rantai Nilai Fruits Up
Gambar 4. Pelaku dalam Rantai Nilai Fruits Up.
Pemetaan Kegiatan Spesifik Pelaku dalam Setiap
Aktivitas
Penanaman
a. Pelaku: petani perorangan dan kelompok tani
b. Kegiatan Spesifik: menanam, memanen
buah mangga, penyimpanan
Pengepulan
a. Pelaku: petani pengepul
b. Kegiatan Spesifik: melakukan proses sortasi
dan grading menjadi 3 grade (A, B, C),
penyimpanan, pemeraman, bongkar muat,
distribusi mangga
Pengolahan
a. Pelaku: pengolah
b. Kegiatan Spesifik: mengolah bahan baku
menjadi puree mangga, penyimpanan puree
mangga dalam cold storage, kendali mutu,
bongkar muat, distribusi puree.
Pengemasan
a. Pelaku: Fruits Up
b. Kegiatan Spesifik: pencampuran bahan
baku, mengemas puree mangga menjadi
puree mangga siap minum, pelabelan,
kendali mutu, penyimpanan, creative
branding
Tabel 1. Alur Produk dalam Rantai Nilai
Proses Penanaman
Mangga
Gedong
Gincu
Pengepulan Pengolahan Pengemasan
Bentuk
Input
dan
Sarana
Produksi
Bibit,
Lahan,
Pupuk,
Pestisida,
Tenaga
Kerja
Buah
Mangga
Gedong
Gincu,
Asetilen
Buah Mangga
Gedong Gincu
Grade B-C,
Alat Washing,
Alat Pengirisan,
Pulper,
Screener,
Pasteurizer,
Kemasan, Cold
Storage,
Tenaga Kerja,
Gedung Pabrik
Puree
Mangga,
Alat mixing,
Bahan
tambahan,
Kemasan,
Label
Bentuk
Output
Mangga
Gedong
Gincu
Mangga
Gedong
Gincu
Puree Mangga Puree
Mangga Siap
Minum
(botolan)
Tabel 2. Buah Mangga Gedong Gincu Kualitas Baik
Menurut Pelaku Petani Pengepul Pengolah
Warna buah Kemerahan Kemerahan Kemerahan
Ukuran buah Besar Besar Besar
Bentuk buah Bulat, sedikit
berlekuk
Bulat,
berlekuk
Bulat, sedikit
berlekuk
Tingkat
kemasakan
75% 70-75% 70-75%
Tabel 3. Puree Mangga Kualitas Baik Menurut Pelaku
Pengolah Pengemasan Konsumen
Warna Puree Cerah Cerah Cerah
Rendeman 40-50% 40-45% -
Tipe 1
β’Pencapaian tujuan
β’Kepuasan terhadap hasil
β’Terjadinya perubahan (bersifat kuantitatif)
Tipe 2
β’Lebih dari sekedar pencapaian tujuan
β’Kepuasan dan pengakuan terhadap proses
β’Terjadinya perubahan (bersifat kualitatif dan kuantitatif)
Tipe 3
β’Kepuasan dan pengakuan terhadap strategi
β’Terjadinya perubahan (bersifat kualitatif dan kuantitatif)
Petani Pengepul Pengolah Fruits Up
7
Pengolah Pengemasan Konsumen
Rasa Manis Manis Manis
Tekstur Tergantung
pesanan
Lembut Lembut
Tabel 4. Jenis Informasi Di Tiap Mata Rantai Nilai Fruits Up
Pelaku Petani Pengepul Pengolah Pengemasan
Jenis
alur
informasi
Tingkat
kualitas
buah
mangga
yang
diinginkan,
harga jual,
waktu
permintaan
Tingkat
kualitas
buah
mangga
yang
diinginkan,
harga jual,
waktu
permintaan
Tingkat
kualitas
puree
mangga
yang
diinginkan,
harga jual,
waktu
permintaan,
food
standard
Tingkat
kualitas
puree
mangga yang
diinginkan,
harga jual,
waktu
permintaan,
food
standard
Alur informasi berwujud abstrak. Alur
informasi dalam rantai nilai tidak seimbang.
Beberapa informasi bisa didapatkan di mata rantai
tertentu namun tidak untuk mata rantai yang lain.
Ditunjukkan dengan gradasi warna biru, informasi di
tingkat Petani lebih sedikit dibandingkan dengan
informasi di tingkat Pengepul. Begitu pula yang
terjadi untuk selanjutnya. Hal ini dapat dipahami
karena kebutuhan informasi untuk produksi masing-
masing usaha berbeda-beda. Aliran informasi yang
tidak baik atau terhambat dapat menyebabkan
terhambatnya kegiatan agribisnis. Jenis alur
informasi di tiap mata rantai berbeda-beda tergantung
kebutuhan akan jenis produknya. Keseluruhan
informasi biasanya dimiliki oleh pihak yang
seimbang hubungannya baik dengan pemasok
maupun dengan pasar. Dalam rantai nilai Fruits Up,
Pengolah dan Fruits Up dianggap memiliki informasi
yang hampir sama. Sedikit kelebihan Pengolah ialah
memiliki informasi yang lebih banyak dari Pengepul.
Sedangkan, kelebihan Fruits Up adalah memiliki
informasi yang lebih banyak dari konsumen akhir
modernnya
Pemetaan Hubungan Keterkaitan Antara Pelaku
dalam Rantai Nilai
Hubungan keterkaitan antar pelaku dalam
rantai nilai (Gambar 4) dibagi menjadi dua jenis
hubungan, yaitu, hubungan yang terus menerus
terjalin dan hubungan yang terbentuk di pasar (spot
market) atau hubungan yang hanya ada ketika
transaksi jual beli. Secara keseluruhan struktur
hubungan ini membentuk struktur vertical yaitu
hubungan antara produsen dengan pemasok-
pemasoknya. Hal ini disebabkan setiap pelaku dalam
mata rantai memiliki jenis usaha yang berbeda-beda
akibat perubahan produk dalam setiap mata rantai.
Meskipun begitu, khusus untuk petani dan pengepul,
struktur hubungannya bisa vertikal dan bisa
horizontal karena petani dan pengepul sama-sama
menjual produk yang sama.
Gambar 4. Hubungan Keterkaitan Antar Pelaku.
Gambar 5. Proporsi Nilai Tambah Setiap Pelaku.
Dari setiap pelaku dalam rantai nilai,
Pengolah memiliki peran terbesar dalam memberikan
nilai tambah terhadap produk dengan persentase
sebesar 44,17%. Sedangkan, Pengepul memiliki
persentase terendah sebesar 7,52%. Hal ini sangat
beralasan, yaitu karena Pengolah melakukan aktivitas
bernilai tambah dengan biaya yang lebih besar
dengan yang lain atau sama dengan usaha
memberikan nilai tambah terhadap produk akhir
sangat besar. Produk awal berupa mangga Gedong
Gincu di tangan Pengolah diubah menjadi puree
mangga dengan rendemen 43-50%. Lain halnya
dengan Pengepul yang paling sedikit memberikan
Petani (23,94%)
Pengepul (7,52%)
Pengolah (44,17%)
Fruits Up (24,37%)
8
nilai tambah karena tidak banyak usaha yang
dilakukan Pengepul. Bahan baku awal berupa
mangga Gedong Gincu tidak mengalami perubahan
apapun dalam segi bentuk, hanya saja nilai tambah
Pengepul terbatas pada distribusi produk. Artinya,
Pengepul memiliki peran dalam membawa bahan
baku lebih dekat kepada konsumen (Pengolah dan
pasar).
Gambar 6. Proporsi Keuntungan Setiap Pelaku.
Keuntungan yang diperoleh setiap pelaku rantai
nilai tidak selalu beriringan dengan besar nilai
tambah yang diberikan kepada produk. Fenomena ini
ditunjukkan oleh persentase keuntungan yang
diperoleh pengepul yaitu sebesar 58,89% yang
meraup proporsi keuntungan tertinggi dibandingkan
dengan pelaku lainnya dalam rantai nilai. Berbanding
terbalik dengan pengolah, yang memiliki proporsi
pemberian nilai tambah tertinggi namun proporsi
keuntungannya paling rendah yaitu sebesar 4,55%.
Beberapa alasan yang menyebabkan fenomena ini
dapat terjadi ialah: a) Pengepul tidak banyak
mengeluarkan biaya dalam aktivitas yang memberi
nilai tambah namun bahan bakunya paling banyak,
sehingga penjualannya pun lebih banyak yang
memungkinkan untuk menjadikan pengepul
mendapat keuntungan yang juga besar. b) Pengolah
banyak melakukan aktivitas pemberian nilai tambah
terhadap produk. Hal ini ditunjukkan dengan dua hal
utama yaitu perubahan bentuk produk (mangga
menjadi puree mangga) dan ketahanan produk (cepat
rusak menjadi lebih lama bertahan dengan metode
pasteurisasi). Namun, karena biaya aktivitas tersebut
juga besar, maka keuntungan yang didapatkan oleh
pengolah tidak terlalu tinggi.
Analisis Derajat Keberdayaan dengan
Pendekatan Model Fujikake Dua Tahap
Tingkat Pendidikan
Gambar 7. Tingkat Pendidikan Pelaku.
Tingkat Partisipasi Pelaku
Gambar 8. Partisipasi Pelaku Rantai Nilai.
Dalam rantai nilai fruits up, 75% dari para
pelaku merasa sudah berkontribusi/berpartisipasi
dengan baik terhadap arah kerja dan kebijakan dalam
rantai nilai. Sedangkan 25% merasa tingkat
partisipasinya masih kurang. Alasan pelaku ialah
karena merasa alur informasi belum merata. Pelaku
yang merasa sudah berpartisipasi ialah pengepul,
pengolah dan fruits up. Pelaku yang merasa belum
berpartisipasi penuh ialah petani.
Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama
Gambar 9. Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama Pelaku.
Tingkat kepercayaan dan kerjasama para
pelaku dalam rantai nilai fruits up dalam
mendinamisasi dan mengendalikan hubungan antar
pelaku belum merata. Artinya, ada interaksi antar
rantai tertentu yang sudah baik kepercayaan dan
kerjasamanya dan ada juga yang belum baik. Arah
Petani (31,43%)
Pengepul (58,89%)
Pengolah (4,55%)
Fruits Up (5,13%)
Series1,
SD, 1, 12%
Series1,
SMK, 1,
13%
Series1,
S1, 6,
75%
Tingkat Pendidikan
SD
SMK
S1
Series1, Sudah
Berpartisipasi, 3, 75%
Series1, Belum, 1,
25%
Partisipasi Pelaku
Sudah Berpartisipasi
Belum
Series1, Percaya, 2, 50%
Series1,
Kurang, 2, 50%
Tingkat Kepercayaan dan Kerjasama
Percaya
Kurang
9
kerjasama dalam mata rantai dilihat dari dua arah
yaitu hubungan ke pemasok (supplier linkage)
masing-masing dan hubungan ke konsumen
(customer linkage) masing-masing. Fenomena yang
terjadi ialah tingkat kepercayaan tinggi antara dua
pihak yang berbeda tingkat pendidikan. Di tingkat
petani dan pengepul, tingkat kepercayaan dan
kerjasama tinggi hanya ketika terjadi transaksi
namun tidak berkelanjutan. Di tingkat pengepul dan
pengolah, tingkat kepercayaan dan kerjasama sangat
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hubungan karib
atau informal antara pengepul dan petani meskipun
sedang tidak ada transaksi. Di tingkat pengolah dan
fruits up, tingkat kepercayaan dan kerjasama masih
harus ditingkatkan. Hal ini terjadi karena kurangnya
kesepahaman dan komunikasi yang baik antar dua
pelaku namun fenomena ini masih minor, dalam
artian tidak sering terjadi.
Kemampuan Manajerial
Gambar 10. Kemampuan Manajerial.
Menurut respon para pelaku dalam rantai
nilai fruits up, 75% merasa kemampuan
manajerialnya bertambah dan 25% sisanya masih
belum merasa ada perubahan. Kemampuan
manajerial yang dimaksud disini adalah keterampilan
dalam mengolah administrasi, inventarisasi
dokumen-dokumen kegiatan, dan pengarsipan.
Pelaku yang merasa belum bertambah
kemampuannya ialah petani. Hal ini dikarenakan
petani tidak terbiasa melakukan pencatatan
administrasi yang rapi dan merasa belum memiliki
kebutuhan untuk melakukan hal itu. Di tingkat
pengepul manajerial usaha yang dilakukan sebatas
pada pencatatan arus kas. Sedangkan kemampuan
manajerial pengolah sudah lebih baik, tidak hanya
melakukan pencatatan arus kas, namun juga
melakukan dokumentasi kegiatan untuk kepentingan
pemasaran, pengarsipan, hingga ke level forecasting
berkat adanya pencatatan dan pengarsipan yang baik.
Di tingkat fruits up, pada pelaksanaannya,
kemampuan manajerial sebenarnya masih belum
sebaik pengolah. Namun fruits up dalam
perjalanannya hingga saat ini terus melakukan
berkembang dalam melakukan pencatatan
administrasi dan pengarsipan dan menjadi lebih baik
dari waktu ke waktu. Hal ini terbukti dengan,
menurunnya biaya kehilangan (loss) akibat
manajerial usaha yang belum baik.
Kemampuan Pengambilan Keputusan
Gambar 11. Kemampuan Pengambilan Keputusan.
Pengambilan keputusan dalam menentukan
pemanfaatan dana dan prioritas kegiatan yang
dilakukan masing-masing pelaku dalam rantai nilai
Fruits Up rata-rata sudah baik, jika hanya dilihat
sebatas skala masing-masing usaha. Namun respon
pelaku menunjukkan bahwa tidak semua merasa
mampu dalam mengambil keputusan dalam
bisnisnya sendiri, terutama di tingkat Petani dan
Pengolah. Petani merasa tidak ada keputusan yang
harus diambil terkait dengan kebutuhan ekonomi.
Meskipun biaya perawatan pohon mangga mahal,
namun kebutuhan perawatan akan tetap sama
proposinya kendati nilai biayanya meningkat.
Sedangkan, Pengolah merasa tidak ada perubahan
karena Pengolah merasa sejak awal sudah memiliki
cita-cita usaha jangka panjang dan seluruh keputusan
dan penentuan prioritas sejak awal sampai saat ini
masih sama.
Kemampuan Memanfaatkan Usaha
Gambar 12. Kemampuan Memanfaatkan Usaha
Kemampuan memanfaatkan usaha pelaku rantai nilai
Fruits Up ditunjukkan dengan peningkatan skala
usaha dan rencana jangka panjang masing-masing
pelaku. 75% pelaku usaha (Pengepul, Pengolah,
Fruits Up) merasa lebih mampu memanfaatkan usaha
terkait dengan peningkatan profit dan jejaring.
Series1, Lebih
mampu, 3, 75%
Series1, Tidak ada perubahan, 1, 25%
Kemampuan Manajerial
Lebih mampu
Tidak adaperubahan
Series1, Lebih
Mampu, 2, 50%
Series1, Tidak Ada Perubahan, 2, 50%
Kemampuan Pengambilan Keputusan
Lebih Mampu
Tidak AdaPerubahan
Series1, Lebih
Mampu, 3, 75%
Series1, Tidak Ada Perubahan, 1, 25%
Kemampuan Memanfaatkan Usaha
Lebih Mampu
Tidak AdaPerubahan
10
Sedangkan, 25% pelaku usaha (Petani) merasa tidak
ada perubahan karena usaha yang dilakukan hanya
sebatas budidaya mangga dan meskipun ada
pemanfaatan usaha yang lain dan ada sedikit
peningkatan skala usaha, tetap usaha budidaya
mangga Petani tidak lebih banyak meningkat dan
membuahkan banyak usaha lain.
Perubahan Perilaku dan Kesadaran
Gambar 13. Perubahan Perilaku dan Kesadaran.
Menurut hasil penelitian, secara garis besar
setiap pelaku tetap ada perubahan perilaku dan
kesadarannya meskipun tidak dapat dihitung dengan
besaran angka. Namun jika melihat respon pelaku
sendiri, 75% pelaku merasa sudah berubah
dibandingkan dengan sebelumnya dari berbagai
aspek yang telah dijabarkan sebelumnya. 25%
sisanya, merasa tidak ada perubahan. Tidak ada
perubahan tidak selalu berarti buruk menurut
informan, karena informan merasa dengan perilaku
seperti ini informan sudah cukup merasa berdaya.
Hasil penyesuaian respon pelaku dan
penelitian dengan Model Fujikake berbeda-beda di
setiap mata rantai.
a. Petani digolongkan ke tipe 1, yaitu hanya
sebatas mencapai tujuan usaha (profit),
puas terhadap hasil usaha, dan hanya
terjadi perubahan kuantitatif atau aspek
ekonomi.
b. Pengepul digolongkan ke tipe 2, yaitu
usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian
tujuan usaha (profit) karena sudah mulai
memikirkan bagaimana cara usaha
tersebut bermanfaat bagi sesama dan
masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan
pengakuan terhadap proses bisnis yang
dilakukan namun belum sampai ke level
pengakuan terhadap strategi bisnis,
terjadi perubahan yang bersifat ekonomi
(profit dan nilai tambah) dan sosial
(keberdayaan pelaku serta efek langsung
dan tidak langsung kepada
pemberdayaan masyarakat sekitar)
c. Pengolah digolongkan ke tipe 3, yaitu
usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian
tujuan usaha (profit) karena sudah mulai
memikirkan bagaimana cara usaha
tersebut bermanfaat bagi sesama dan
masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan
pengakuan terhadap strategi bisnis yang
dilakukan, terjadi perubahan yang
bersifat ekonomi (profit dan nilai
tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku
serta efek langsung dan tidak langsung
kepada pemberdayaan masyarakat
sekitar)
d. Fruits Up digolongkan ke tipe 3, yaitu
usaha ini tidak hanya sekedar pencapaian
tujuan usaha (profit) karena sudah mulai
memikirkan bagaimana cara usaha
tersebut bermanfaat bagi sesama dan
masyarakat sekitar, adanya kepuasan dan
pengakuan terhadap strategi bisnis yang
dilakukan, terjadi perubahan yang
bersifat ekonomi (profit dan nilai
tambah) dan sosial (keberdayaan pelaku
serta efek langsung dan tidak langsung
kepada pemberdayaan masyarakat
sekitar)
Analisis Manfaat dan Resiko Lingkungan
Sederhana
Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan
bahwa kemungkinan pencemaran lingkungan paling
tinggi ada di tingkat Petani. Ini terjadi karena
penggunaan bahan kimia dan pestisida yang banyak
dan belum sepenuhnya petani-petani mangga yang
sudah mengubah pola tanam dan perawatannya
menjadi organik dan ramah lingkungan. Pengepul
berada di tingkat sedang, karena limbah dihasilkan
ialah mangga rusak dan busuk. Sistem penanganan
limbah di tingkat Pengepul masih belum ada kendati
limbah mangga masih bisa diurai oleh lingkungan.
Gambar 14. Kemungkinan Pencemaran Lingkungan.
Di tingkat Pengolah dan Fruits Up, limbah
bahan baku dan persediaan bisa dijadikan pemasukan
sampingan, sehingga dapat disimpulkan
kemungkinan pencemaran lingkungannya rendah
bahkan bisa menghasilkan keuntungan dari limbah
Series1, Merasa
Berubah, 3, 75%
Series1, Belum , 1,
25%
Perubahan Perilaku dan Kesadaran
Merasa Berubah
Belum
Pelaku dalam
Rantai Nilai, Tinggi, 1
Pelaku dalam
Rantai Nilai, Sedang, 1
Pelaku dalam
Rantai Nilai, Rendah, 2
Kemungkinan Pencemaran Lingkungan
Tinggi Sedang Rendah
11
aktivitas bisnisnya. Maka dapat disimpulkan kegiatan
bisnis dalam rantai nilai keseluruhan memiliki
tingkat manfaat terhadap lingkungan hidup yang
baik, namun, masih harus ditingkatkan lagi di tingkat
Petani.
Gambar 15. Upaya Zero Wasting dalam Bisnis Pelaku.
Hambatan Spesifik dalam Pelaku Rantai Nilai
Fruits Up
Hambatan yang paling utama dalam rantai nilai
ialah
a. Aspek ekonomi usaha
1) Petani: Biaya perawatan yang besar
dan kerusakan tinggi di musim
panen, masih ada biaya kehilangan
akibat pencatatan administrasi dan
pengarsipan yang belum baik, harga
jual yang musiman (seasonal).
2) Pengepul: Harga mangga musiman,
biaya besar pada aktivitas pengadaan
dari Petani, masih ada biaya
kehilangan akibat pencatatan
administrasi dan pengarsipan yang
belum baik.
3) Pengolah: Bahan baku musiman,
Biaya bahan baku yang tinggi,
kapasitas produksi yang sering tidak
diiringi dengan kapasitas
penyimpanan, pengembangan
produk sedikit terkendala dengan
kemampuan suplai pemasok
(Pengepul), biaya fasilitas listrik
tinggi, kesalahan manusia (human
error) pada saat processing yang
menyebabkan produk cacat (retur).
4) Fruits Up: Biaya bahan baku tinggi,
masih ada biaya kehilangan akibat
pencatatan administrasi dan
pengarsipan yang belum baik dan
mekanisme produksi yang baku
dengan sistem operasional produksi
(SOP) masih belum diterapkan.
b. Aspek sosial usaha
a. Petani: Manfaat sosial adanya rantai
nilai Fruits Up masih minim
dirasakan oleh Petani. Hal ini
dikarenakan belum dirangkulnya
Petani secara penuh oleh setiap
pelaku dalam rantai nilai dan
keberlanjutan upaya merangkul
petani tersebut. Interaksi dalam
rantai nilai dengan Petani juga masih
kurang, kecuali untuk Pengepul
sehingga tujuan besar
kebermanfaatan adanya rantai nilai
masih belum optimal dari sisi petani.
b. Pengepul: Pengepul tidak memiliki
hambatan yang berarti dilihat dari
aspek sosial. Namun, keberdayaan
Pengepul dari sisi kemampuan
manajerial usahanya masih harus
dioptimalkan.
c. Pengolah: Interaksi antara Pengolah
dengan Fruits Up harus ditingkatkan
lagi untuk mengurangi
miskomunikasi.
d. Fruits Up: Interaksi antara Pengolah
dengan Fruits Up harus ditingkatkan
lagi untuk mengurangi
miskomunikasi.
Opsi Peningkatan Sebagai Upaya Optimalisasi
Rantai Nilai
a. Petani:
1) Adanya peningkatan upaya produksi di
tingkat Petani
2) Pengenalan budidaya mangga Gedong
Gincu Organik.
3) Adanya pendampingan yang
berkelanjutan.
4) Pelatihan keterampilan manajerial.
b. Pengepul:
1) Penjadwalan aktivitas pengadaan dari
Petani yang lebih efisien dengan
penjadwalan berdasarkan regional
tertentu.
2) Pelatihan keterampilan manajerial.
c. Pengolah:
1) Pengaturan jadwal hari produksi dan
penambahan hari produksi disesuaikan
dengan order dari konsumen agar bisa
dibuat penjadwalan penyimpanan yang
efektif dan efisien.
2) Alokasi fokus kegiatan kepada quality
control produk.
3) Pelatihan pekerja agar dapat
mengurangi resiko human error.
4) Pelatihan keterampilan manajerial.
Series1,
Ada, 3,
75%
Series1,
Tidak, 1,
25%
Upaya Zero Wasting
Ada
Tidak
12
5) Pembentukan kontrak formal untuk
Pengepul agar barang cacat dapat di
retur.
d. Fruits Up:
1) Pembelian asset baru agar dapat
menambah kapasitas produksi seiring
dengan meningkatnya permintaan.
2) Pembuatan pencatatan untuk setiap
barang masuk dan barang keluar agar
biaya kehilangan (loss) dapat
diminimalisir.
Pembentukan kontrak formal yang
mencakup keseluruhan biaya dengan tetap menjaga
hubungan informal untuk Pengolah dengan Fruits Up
agar kerjasama yang diciptakan tetap kondusif
seiring dengan tingkat kepercayaan berbisnis yang
tinggi dengan masing-masing pelaku.
PENUTUP
Pemetaan pelaku dalam rantai nilai Fruits Up
adalah sebagai berikut: Petani β Pengepul β Pengolah
β Fruits Up. Proporsi nilai tambah dalam rantai nilai
paling besar diperoleh Pengolah yaitu sebesar
44,17%. Proporsi keuntungan dalam rantai nilai
paling besar diperoleh Pengepul yaitu sebesar
58,89%. Derajat keberdayaan menurut pendekatan
model Fujikake 2 tahap ialah: Petani (tipe 1),
Pengepul (tipe 2), Pengolah (tipe 3), Fruits Up (tipe
3). Kategori resiko kegiatan bisnis masing-masing
pelaku rantai nilai dalam mencemari lingkungan
hidup ialah: Petani (tinggi), Pengepul (sedang),
Pengolah (rendah), Fruits Up (rendah). Hambatan
ekonomi paling besar dirasakan oleh Pengolah,
sedangkan hambatan sosial paling besar dirasakan
oleh Petani.
Manfaat ekonomi yang diterima oleh
masing-masing pelaku ialah: peningkatan
pendapatan, peningkatan perolehan nilai tambah.
Manfaat sosial yang diterima masing-masing pelaku
ialah: kemampuan kerjasama meningkat (50%),
kemampuan manajerial meningkat (75%),
kemampuan pengambilan keputusan meningkat
(50%), kemampuan memanfaatkan usaha meningkat
(75%). Sehingga dapat disimpulkan manfaat sosial
yang dirasakan Petani masih rendah, Pengepul
sedang, dan untuk Pengolah dan Fruits Up sudah
tinggi.
Opsi peningkatan dalam rantai nilai
diantaranya adalah: (1) Di level petani: adanya
peningkatan upaya produksi, pengenalan budidaya
mangga Gedong Gincu organik, adanya
pendampingan yang berkelanjutan, serta pelatihan
keterampilan manajerial. (2) Di level Pengepul:
Penjadwalan aktivitas pengadaan dari Petani yang
lebih efisien dengan penjadwalan berdasarkan
regional tertentu dan pelatihan keterampilan
manajerial. (3) Di level Pengolah; pengaturan jadwal
hari produksi dan penambahan hari produksi
disesuaikan dengan order dari konsumen agar bisa
dibuat penjadwalan penyimpanan yang efektif dan
efisien, alokasi fokus kegiatan kepada quality control
produk, pelatihan pekerja agar dapat mengurangi
resiko human error, serta pelatihan keterampilan
manajerial dan pembentukan kontrak formal untuk
Pengepul agar barang cacat dapat di retur. (4) Di level
Fruits Up: pembelian asset baru agar dapat
menambah kapasitas produksi seiring dengan
meningkatnya permintaan, pembuatan pencatatan
untuk setiap barang masuk dan barang keluar agar
biaya kehilangan (loss) dapat diminimalisir,
pembentukan kontrak formal yang mencakup
keseluruhan biaya dengan tetap menjaga hubungan
informal untuk Pengolah dengan Fruits Up agar
kerjasama yang diciptakan tetap kondusif seiring
dengan tingkat kepercayaan berbisnis yang tinggi
dengan masing-masing pelaku.
Besarnya nilai yang diterima masing-masing
pelaku belum sesuai dengan besarnya usaha pelaku
untuk member nilai tambah. Oleh karena itu
disarankan untuk Pengolah membuat inovasi
terhadap bisnisnya sehingga bisnis tersebut bisa lebih
menguntungkan. Minimnya manfaat sosial yang
dirasakan oleh Petani perlu diteliti lebih lanjut,
mengingat konsep model bisnis The Fruters Model
yang sudah sangat baik namun pelaksanaannya masih
belum berkelanjutan. Analisis rantai nilai yang lebih
menyeluruh dengan memperhitungkan besarnya efek
multiplier kepada pelaku pendukung seperti
pemerintah dan akademisi menarik untuk diteliti
lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika. 2013. Produksi Tanaman
Mangga Seluruh Provinsi Tahun 2006-2012.
Badan Pusat Statistika.
Baharsjah, Sjarifuddin. 1993. Hortikultura Sebagai
Sumber Pertumbuhan Baru Sektor Pertanian.
Jakarta: Penerbit Bangkit.
Budi, Nugroho. 2010. Konsep Pembangunan Inklusif
Apakah Perlu. Diakses pada tanggal 20 Juli
2015 di:
http://karinakas.org/id/index.php?option=com_
content&task=view&id=29
Catelo, M., dan A. Costales. 2008. Contract Farming
And Other Market Institutions As Mechanisms
For Integrating Smallholder Livestock
Producers In The Growth And Development Of
The Livestock Sector In Developing Countries.
PPLPI Working Paper.
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia
Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap
13
Industri Pengolahan Buah. Departemen
Perindustrian.
Elkington, John. 1997. Cannibals with Forks: The
Triple Bottom Line of Twenty-First Century
Business. Oxford: Capstone.
Fujikake, Yoko. 2008. Qualitative Evaluation:
Evaluating Peopleβs Empowerent. Japanese
Journal of Evaluation Studies, Vol 8 No 2, 2008,
pp 25 β 37. Japan Evaluation Society
Habibie, B.J. 1993. Peranan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dalam Pengembangan Agroindustri.
Jakarta: Penerbit Bangkit.
Noor, Trisna. 2011. Pengaruh Agroindustrialisasi
Perberasan Terhadap Pembangunan Pertanian
Berdasarkan Agroekosistem di Jawa Barat.
Disertasi Doktor dalam Bidang Ilmu Pertanian,
Universitas Padjadjaran.
Pletcher, J. 2000. The Politics of Liberalizing
Zambiaβs Maize Markets. World Development,
28(1): 129-142.
Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage
of Nations. New York: The Free Press.
Porter, Michael E. 1980. Competitive Strategy. New
York: The Free Press.
Pranarka dan Vidhyandika, 1996. Pemberdayaan
dalam Onny S.P dan AMW. Pranarka (ed).
1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: Center for Strategic and
International Studies (CSIS).
Putri, Selly Harnesa dan Dwi Purnomo, 2015.
Pengembangan Model Usaha Produk Puree
Buah Hasil Sinergitas Kurikulum dan
Pengembangan Sistem Pendukung Kolaborasi
Technopreneurship. Fakultas Teknologi
Industri Pertanian Universitas Padjadjaran.
Raras, A.TS. 2009. Menjadi Manager Sukses,
Melalui Empat Aspek Perusahaan. Bandung:
Alfabeta.
Seshamani, V. 1998. The Impact of Market
Liberalisation On Food Security in Zambia.
Food Policy 23(6): 539-551.
Stringer, R. 2009. Value Chain Analysis. Workshop
Value Chain Analysis Tanggal 5 -7 Juni 2009 di
Mataram NTB. Badan Litbang Pertanian.
Supriatna, A. 2005. Kinerja Dan Prospek Pemasaran
Komoditas Mangga (Studi Kasus Petani
Mangga di Propinsi Jawa Barat). Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian (BBP2TP).
Widjajanti, Kesi. 2011. Model Pemberdayaan
Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan
Volume 12, Nomor 1, Juni 2011, hlm.15-27.
14
15
Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Pengusaha Tanaman Hias Skala
Menengah (Studi Kasus pada Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia di
Desa Cihideung Kecamatan Parongpong Kabupaten Jawa Barat)
Analysis of Business Development Strategy on Medium Scale of Entrepreneurs
Ornamental Plants. (Case Study in Rosalia Flower, Bunga Barokah, and Dahlia Desa
Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat)
Pratiwi Adilvina1*, Gema Wibawa Mukti1
1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jl. Raya Bandung β
Jatinangor Km 21,5
A B S T R A K
Kata Kunci:
Strategi
Tanaman Hias
SWOT
QSPM
Skala Menengah
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi
pengembangan usaha tanaman hias di Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dan
menganalisis strategi pengembangan usaha terbaik yang dapat diterapkan oleh ketiga
perusahaan tersebut. Alat analisis yang digunakan yaitu matriks IFE dan EFE untuk
mengetahui bagaimana posisi perusahaan saat ini, matriks I-E untuk mengetahui
faktor-faktor strategi sebuah perusahaan dari lingkungan internal dan lingkungan
eksternal, matriks SWOT untuk mengetahui strategi alternatif pengembangan usaha,
dan metode QSPM untuk menentukan prioritas strategi bagi ketiga perusahaan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis internal terdapat 8
kekuatan dan 4 kelemahan, sedangkan hasil analisis eksternal terdapat 4 peluang dan
3 ancaman bagi ketiga pengusaha. Prioritas strategi pengembangan usaha berdasarkan
metode QSPM adalah mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau agar
mampu bersaing (5,728); menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam
memperkenalkan sekaligus mempromosikan produk (5,432); meningkatkan produksi
dengan penggunaan teknologi dalam budidaya (4,982); mempertahankan kerjasama
dan hubungan baik dengan pelanggan (4,570), mempertahankan hubungan baik antara
atasan dengan bawahan (3,696), membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi
terarah dan teratur (3,379); dan membuat laporan keuangan yang baik (3,017).
ABSTRACT
Keywords:
Strategy
Ornamental Plants
SWOT
QSPM
Medium Scale
This study aims to identify factors that influence the business development of
ornamental plants in Rosalia Flower, Flower Barokah, and Dahlia and analyze the
best business development strategies that can be applied by all the three companies.
An instrument of the analysis used is IFE and EFE matrix to find out companyβs
current position, I-E matrix to determine the factors of a company strategy from its
internal and external environment, SWOT matrix to determine alternative strategies,
and QSPM methods to determine the priorities of the strategy for the three companies.
The results showed, based on the results of the internal analysis, there are eight
strengths and four weaknesses, wheras the external analysis results are four
opportunities and three threats for the three entrepreneurs. The priority business
development strategies based QSPM method is to maintain product quality and
affordable prices in order to compete (5.728); using information technology and
telecommunications to introduce and promote the product (5.432); increase
production with the use of technology in the cultivation (4.982); maintaining
cooperation and good relations with customers (4.570), maintaining good relations
between leaders and workers (3.696), making SOP in production activities become
directed and organized (3.379); and make good financial statement (3,017).
Email: [email protected]
16
PENDAHULUAN
Tanaman hias memberikaan kontribusi
terhadap PDB dan pendapatan petani, sehingga
mempunyai prospek yang cukup cerah di Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan karena luas lahan dan
persyaratan kesuburan tanah yang dimanfaatkan
untuk budidaya tanaman hias relatif kecil
dibandingkan dengan luas tanah yang dimanfaatkan
untuk jenis tanaman lainnya, serta tanaman hias
memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat (Direktorat
Bina Produksi Hortikultura, 2003).
Permintaan tanaman hias terus meningkat
baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor,
membuat semakin bertambahnya pelaku usaha
tanaman hias mulai skala kecil sampai menengah.
Melihat hal tersebut, tanaman hias dapat diposisikan
sebagai komoditas perdagangan yang penting di
dalam negeri maupun di pasar global. (Direktorat
Budidaya Tanaman Hias, 2008).
Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu
Provinsi penghasil tanaman hias selain Povinsi
Sumatera Utara, Riau, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat,
Kalimatan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Gorontalo. Provinsi Jawa Barat mempunyai peluang
dalam pengembangan tanaman hias dikarenakan
kondisi agroklimatnya yang mendukung khususnya
Kabupaten/Kota Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut
dan Bandung Barat. (Direktorat Bina Hortikultura,
2008).
Secara keseluruhan, produksi tanaman hias
di Provinsi Jawa Barat hampir selalu mengalami
kenaikan tiap tahunnya. Perubahan produksi yang
meningkat, biasanya didasari dengan perubahan luas
panen yang meningkat pula. Berdasarkan Jawa Barat
dalam Angka Tahun 2014, luas panen terluas
tanaman hias di provinsi Jawa Barat adalah di
Kabupaten Bandung Barat dengan luas panen
99.678.540 Ha.
Selain perubahan luas panen, permintaan
konsumen akan tanaman hias juga tinggi. Dengan
semakin meningkatnya konsumen tanaman hias,
semakin meningkat pula kesadaran masyarakat akan
estetika dan yang paling utama tingkat pendapatan
masyarakat juga meningkat sehingga mereka mulai
mengalokasikan pendapatannya untuk membeli
tanaman hias tersebut.
Salah satu daerah di Kabupaten Bandung
Barat yang memiliki kemajuan dalam usaha tanaman
hias yaitu Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong.
Desa Cihideung merupakan salah satu desa yang
dikenal dengan sebutan daerah wisata bunga. Desa
1 www.bandungbaratkab.go.id
Cihideung merupakan salah satu daerah pusat
pertanian dan perdagangan bunga yang ada di
Kabupaten Bandung. Hampir seluruh penduduk di
Desa Cihideung mengandalkan hidupnya dari
pertanian khususnya tanaman hias. Kebanyakan
usaha tanaman hias di Desa Cihideung merupakan
usaha keluarga yang sudah turun temurun dan sudah
berdiri selama berpuluh-puluh tahun. Lebih dari 80%
warga desa Cihideung menjadi petani bunga, dimana
terdiri dari 30% petani bunga potong, dan 50%.
petani bunga hias1. Kawasan Cihideung, memang
bisa dibilang pemasok terbesar di nusantara untuk
bibit bunga hias. Setidaknya seminggu dua kali, truk-
truk besar datang mengambil bibit-bibit tanaman,
untuk dipasarkan keberbagai daerah seperti Bandung,
Jakarta, Surabaya, Malang bahkan hingga ke luar
pulau Jawa.
Pengusaha tanaman hias di Desa Cihideung,
Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat
terbagi menjadi 3 pengusaha yang didasarkan atas
luas lahan yang diusahakan untuk bercocok tanam
tanaman hias. Pertama yaitu pengusaha tanaman hias
skala kecil dengan luas lahan kurang dari 150 m2
sampai dengan 300 m2 dimana biasanya mereka
menanam tanaman hias hanya dipekarangan rumah
namun bertujuan untuk dijual ke konsumen. Kedua
yaitu pengusaha tanaman hias skala
sedang/menengah dimana mereka yang memiliki
luas lahan antara 300 m2 sampai dengan 1000 m2 dan
yang terakhir yaitu pengusaha tanaman hias skala
besar yang mana memiliki luas lahan diatas 1000 m2.
Di Desa Cihideung kebanyakan pengusaha
merupakan pengusaha skala menengah dan skala
kecil. Pengusaha skala besar hanya terdapat 6
pengusaha, dimana ketiga pengusaha tersebut adalah
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia.
Usaha dibidang tanaman hias, dirasakan
pengusaha lebih menguntungkan dari pada bisnis
pertanian lainnya yang bisa dikembangkan di daerah
ini. Selain budidayanya mudah, bagi tanaman hias
setiap hari adalah musim tanam dan masa berbunga.
Disamping itu, pula untuk menanam bunga tidak
perlu lahan luas seperti halnya sayuran dan tanaman
padi.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
Perumusan strategi pengembangan usaha di
Desa Cihideung dimulai dengan mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha di Desa
Cihideung, lalu mengidentifikasi apa yang menjadi
visi, misi, serta tujuan kegiatan usaha yang dilakukan
masing-masing pengusaha. Pengenalan akan visi,
misi, dan tujuan dari kegiatan usaha yang dijalankan
akan membantu pengusaha untuk mengarahkan
17
kegiatan usaha hanya pada visi, misi, dan tujuan yang
ingin dicapai. Selanjutnya, melakukan identifikasi
dan analisis lingkungan internal dan eksternal yang
dimiliki masing-masing pengusaha guna mencapai
tujuannya. Analisis lingkungan internal dilakukan
dengan pendekatan fungsional (pemasaran,
keuangan, produksi operasi, sumberdaya manusia,
dan sistem informasi manajemen), untuk mengetahui
apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Analisis
lingkungan eksternal perusahaan mencakup faktor-
faktor dalam lingkungan umum yaitu situasi
kebijakan pemerintah, ekonomi, sosial budaya,
teknologi, dan lingkungan industri (lingkungan
mikro) yang terdiri dari pesaing potensial, daya tawar
pemasok, produk substitusi, dan daya tawar pembeli
guna mengetahui peluang dan ancaman yang
dihadapi.
Variabel-variabel eksternal dan internal yang
telah dianalisis kemudian dirangkum dan dijabarkan
ke dalam matriks EFE dan IFE. Hasil matriks EFE
dan IFE kemudian digambarkan dalam matriks I-E
untuk mengetahui posisi perusahaan saat ini,
kemudian untuk mengetahui posisi perusahaan pada
saat ini, kemudian untuk mengetahui strategi
alternatif apa saja yang dapat digunakan dengan
kondisi usaha saat ini adalah dengan menggunakan
analisis SWOT. Tahap terakhir adalah dengan
menganalisis pengambilan keputusan akan strategi
usaha mana yang dianggap paling baik bagi Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dengan
menggunakan metode QSPM.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan teknik penelitian yang
digunakan berupa studi kasus. Cara pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, wawancara,
kuesioner, dan studi literatur. Data yang diperoleh
dari analisis lingkungan internal dan eksternal
kemudian diolah dengan alat analisis matriks IFE dan
matriks EFE untuk mengetahui bagaimana posisi dari
perusahaan saat ini. Selanjutnya, hasil dari analisis
tersebut akan digabungkan kedalam matriks IE
kemudian akan dioah dengan matriks SWOT untuk
mengetahui alternatif strategi yang diperoleh dari
matriks SWOT kemudian akan diolah dengan metode
QSPM untuk menentukan sasaran strategi alternatif
mana yang terbaik dan merupakan strategi prioritas
bagi perusahaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Faktor Internal
Berdasarkan kondisi lingkungan internal
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal yang
menjadi kekuatan dan kelemahan bagi Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:
1. Kekuatan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan
Dahlia:
A. Komunikasi yang baik antara atasan dengan
bawahan. (Manajemen)
Hubungan yang terjalin antara pemimpin
dengan pekerjanya adalah sangat dekat,
sehingga tercipta komunikasi yang baik
antara keduanya.
B. Perolehan bibit yang mudah. (Produksi)
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
mampu membudidayakan perbanyakan bibit
sendiri. Tetapi jika ada bibit jenis baru, harus
membeli ke toko maupun keluar daerah.
C. Produk/jenis tanaman yang beragam.
(Produksi)
Produk tanaman hias yang dijual di Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terdiri
dari berbagai macam tanaman hias, seperti
bonsai, cemara, dll. Jenis tanaman yang
cukup banyak ditawarkan, akan membuat
konsumen memiliki banyak pilihan dan
bebas untuk memilih tanaman hias yang
diinginkan.
D. Kapasitas produksi yang dapat memenuhi
permintaan konsumen. (Produksi)
Kapasitas produksi di Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia dengan permintaan
konsumen dapat terimbangi, meskipun
terkadang Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia tidak dapat memenuhi
permintaan yang mendadak tetapi mitra dari
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
dapat menutupi kekurangan jumlah tanaman.
E. Letak yang strategis.
Letak Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan
Dahlia terletak di desa wisata dimana akan
banyak pengunjung yang berdatangan.
Selain itu, letak Green House Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia terletak
dipinggir jalan yang dapat dengan mudah
diakses oleh konsumen sebagai pengunjung
Desa Cihideung untuk berwisata.
F. Mutu produk yang baik. (Pemasaran produk)
Produk yang dihasilkan oleh Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia memiliki mutu
yang baik karena media tanam yang
digunakan merupakan media tanaman yang
baik sehingga tanaman juga dapat tumbuh
dengan baik. Tanaman hias yang diproduksi
termasuk kedalam Grade B.
G. Bukan produk musiman.
Produk-produk tanaman hias yang dijual di
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
bukanlah produk musiman karena dapat
18
diproduksi kapan saja, sehingga dapat tetap
tumbuh sepanjang tahun dan dengan
berbagai kondisi cuaca.
H. Harga tanaman hias yang murah. (Pemasaran
Harga)
Harga produk yang dijual di Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia terbilang murah
dan dapat dijangkau oleh pelanggan, baik
dari pasar terstruktur maupun pasar tidak
terstruktur, baik perorangan hingga ritel.
Harga yang terjangkau merupakan salah satu
alasan para konsumen banyak yang memilih
untuk membeli tanaman hias di Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia.
2. Kelemahan Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan
Dahlia
A. Belum mempunyai SOP (Standard
Operating Procedure) dalam kegiatan
produksi. (Produksi)
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
Belum mempunyai SOP (Standard
Operating Procedure) dalam kegiatan
produksinya, seperti dalam waktu
penyiraman tanaman yang tidak menentu,
pemberian pupuk yang tidak menentu, dan
hal yang lainnya. Perlunya SOP
dimaksudkan agar kegiatan peroduksi lebih
terarah dan teratur.
B. Menggunakan cara tradisional dalam
budidaya. (Produksi)
Budidaya tanaman hias yang dilakukan di
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
masih menggunakan cara yang sederhana
karena belum menggunakan teknologi
seperti kultur jaringan, yang mampu
mempercepat waktu anakkan hingga
tanaman siap dijual sehingga meningkatkan
jumlah produksi.
C. Tenaga kerja yang tidak menetap. (SDM)
Hampir seluruh penduduk di desa Cihideung
mengandalkan hidupnya dari pertanian
khususnya tanaman hias, sehingga tenaga
kerja yang tersedia pun banyak. Hal ini
seharusnya menjadi suatu kemudahan
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
dalam memproduksi tanaman hias. Namun
sayangnya banyak tenaga kerja yang tidak
menetap sehingga menyebabkan kehilangan
tenaga kerja yang terlatih.
D. Belum memiliki laporan keuangan yang
baik. (Keuangan) Laporan keuangan yang dimiliki Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia tidaklah
lengkap, hal ni terlihat dari tidak berjalannya
laporan keuangan selama kurang lebih dua
tahun. Laporan mengenai pengeluaran dan
pemasukan Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia tidak dicatat kedalam laporan
keuangan, melainkan hanya menyimpan
bukti-bukti transaksi seperti bon dan bukti
transfer. Laporan keuangan yang baik akan
membantu Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia dalam menggambarkan kondisi
ekonomi dan dapat memilih kebijakan dalam
menggunakan uang untuk kepentingan
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia.
Berdasarkan faktor-faktor internal yang
menjadi kekuatan dan kelemahan Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dibuatlah matriks
IFE (Internal Factor Evaluation).
Tabel 1. Matriks IFE Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia
Faktor Internal Bobot Peringkat Total
Bobot
KEKUATAN
Komunikasi yang
baik antara atasan
dengan bawahan
(A)
0,075 3 0,225
Perolehan bibit
yang mudah. (B) 0,076 4 0,304
Produk/jenis
tanaman yang
beragam (C) 0,076 3 0,228
Kapasitas produksi
yang dapat
memenuhi
permintaan
konsumen (D)
0,070 4 0,280
Letak strategis (E) 0,078 3 0,234 Mutu produk baik
(F) 0,077 3 0,231
Bukan produk
musiman (G) 0,080 3 0,240
Harga tanaman hias
yang murah (H) 0,087 4 0,348
KELEMAHAN Belum mempunyai
SOP (I) 0,103 1 0,103
Menggunakan cara
tradisional dalam
budidaya (J) 0,090 2 0,180
SDM yang tidak
menetap (K) 0,089 1 0,089
Belum memiliki
laporan keuangan
yang baik (L) 0,101 1 0,101
19
Faktor Internal Bobot Peringkat Total
Bobot
TOTAL 1 2,563 Hasil dari analisis matriks IFE dapat diketahui
bahwa skor bobot total untuk faktor internal adalah
2,563 yang menggambarkan bahwa faktor internal
berada dalam posisi rata-rata, dimana kondisi internal
cukup baik atau kuat.
Analisis Faktor Eksternal
Berdasarkan kondisi lingkungan eksternal
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor eksternal
yang menjadi peluang dan ancaman bagi Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:
1. Peluang Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia
A. Kondisi infrastruktur jalan yang membaik.
(Ekonomi)
Jalan Desa Cihideung merupakan sebuah
jalanan alternatif bagi para masyarakat yang
ingin pergi ke daerah Lembang. Dengan
demikian, pengunjung akan semakin banyak
berdatangan, terlebih lagi kondisi jalan yang
semakin baik.
B. Meningkatnya pembangunan gedung
perkantoran, hotel, perumahan, real estate
dan vila. (Sosial Budaya)
Pembangunan gedung perkantoran, hotel,
dan perumahan semakin maraknya terutama
dikota-kota besar. Pemanfaatan tanaman hias
pada dekorasi taman, sudah menjadi
butuhkan dalam pembangunan gedung untuk
menambah nilai estetika.
C. Berkembangnya teknologi budidaya,
informasi, dan telekomunikasi (Teknologi)
Perkembangan budidaya seperti kultur
jaringan belum dapat dimanfaatkan oleh
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia,
namun merupakan sebuah peluang untuk
meningkatkan produksi dan mempercepat
proses anakan hingga tanaman siap dijual.
Sedangkan teknologi yang dimanfaatkan
oleh Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan
Dahlia adalah teknologi informasi dan
telekomunikasi seperti penggunaan website,
handphone, dan smartphone untuk
mempromosikan dan berkomunikasi dengan
para konsumen maupun mitra.
D. Program pemerintah yang mendukung.
(Kebijakan Pemerintah)
Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan,
banyaknya program yang direncanakan oleh
pemerintah sudah seharusnya menjadi
peluang bagi Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia dalam mendukung
keberlangsungan usaha. Program-program
yang sudah direncanakan oleh pemerintah
menjadi suatu keuntungan jika program
tersebut berjalan sesuai rencana.
2. Ancaman Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia
E. Harga bahan baku yang fluktuatif (Ekonomi)
Harga bahan baku yang dapat naik sewaktu-
waktu dapat membuat harga produksi juga
meningkat, sedangkan pihak Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia tidak mungkin
menaikkan harga produk.
F. Selera tren tanaman hias yang tidak dapat
diprediksi. (Sosial Budaya)
Selera konsumen dan tren tanaman hias
tidaklah menetap, namun berubah-ubah
sehingga tidak dapat diprediksi. Hal ini dapat
menyebabkan tanaman yang diproduksi
tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
pasar
G. Berkembangnya pesaing lama dan
munculnya pesaing baru. (Pesaing)
Para pesaing tanaman hias kini juga sudah
mulai mengembangkan usahanya,
khususnya dalam penerapan teknologi.
Pesaing baru yang bermunculan juga
semakin banyak dengan harga penjualan
yang dibawah Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia.
Berdasarkan faktor-faktor eksternal yang
menjadi peluang dan ancaman Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia, maka dibuatlah matriks
EFE (External Factor Evaluation).
Tabel 2. Matriks EFE Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia
Faktor Eksternal Bobot Peluang Skor
Bobot
PELUANG
Kondisi
infrastruktur jalan
yang membaik. (A)
0,119 1 0,119
Meningkatnya
pembangunan
gedung
perkantoran, hotel,
perumahan, real
estate dan vila (B)
0,139 4 0,556
Berkembangnya
budidaya,
informasi, dan
telekomunikasi (C)
0,119 2 0,238
20
Faktor Eksternal Bobot Peluang Skor
Bobot
Program
pemerintah yang
mendukung (D)
0,111 2 0,222
ANCAMAN
Harga bahan baku
yang fluktuatif (E) 0,175 3 0,525
Selera tren tanaman
hias yang tidak
dapat diprediksi (F)
0,155 2 0,31
Pesaing yang lebih
berkembang dan
munculnya pesaing
baru (G)
0,182 2 0,364
TOTAL 1,000 2,334
Hasil dari analisis matriks EFE dapat diketahui
bahwa skor bobot total untuk faktor eksternal adalah
2,334 yang menunjukkan bahwa faktor-faktor
eksternal tersebut berpengaruh menengah, dimana
peluang dan ancaman tidak terlalu berpengaruh bagi
usaha Rosalia Flower, Bunga Barokah dan Dahlia.
Analisis Evaluasi Faktor I-E (Internal-External)
Berdasarkan hasil evaluasi faktor internal
dan eksternal diperoleh total nilai bobot sebesar
2,563 dan 2,334 untuk faktor eksternal. Hasil total
bobot skor digabungkan dengan menempatkan total
bobot skor IFE pada sumbu X dan total bobot skor
EFE pada sumbu Y, sehingga posisi Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia berada pada sel V seperti
yang terlihat pada Gambar 1.
Total Bobot Nilai IFE
Kuat
3.0-
4.0
Rata-
rata
2.0-
2.99
Lemah
1.0-
1.99
To
tal b
ob
ot n
ilai E
FE
4.0 3.0 2.0 1.0
I
II
III
Tinggi
3.0
IV V VI
Menengah
2.0
VII VIII IX
Rendah
1.0
Gambar 1. Matriks I-E Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia.
David (2006) menyatakan bahwa sel V
merupakan posisi pertahankan dan pelihara (hold and
maintain). Strategi yang dapat dikembangkan oleh
perusahaan adalah strategi penetrasi pasar (market
penetration) dan pengembangan produk (product
developmnet). Strategi penetrasi pasar adalah suatu
strategi yang bertujuan untuk meningkatkan pangsa
pasar produk maupun jasa perusahaan yang sudah
ada lewat usaha pemasaran yang lebih gencar. Usaha
yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan
pelayanan yang lebih baik sehingga konsumen
merasa nyaman bekerjasama dengan perusahaan.
Analsis Matriks SWOT
Analisis SWOT merupakan tahapan
pencocokan untuk menghasilkan alternatif strategi
yang tepat dilakukan oleh perusahaan berdasarkan
dari identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Alternatif strategi tersebut merupakan penggabungan
dari kekuatan dengan peluang (S-O), kelemahan
dengan peluang (W-O), kekuatan dengan ancaman
(S-T), dan kelemahan dengan ancaman (W-T) yang
didasarkan pada strategi utama yang diperoleh dari
analisis perhitungan matriks IE. Rosalia Flower,
Bunga Barokah, dan Dahlia berada pada posisi
pertahankan dan pelihara sehingga perusahaan dapat
merumuskan strategi berdasarkan posisi yang pada
saat ini yaitu strategi penetrasi pasar dan
pengembangan produk. Diagram Matriks SWOT
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Internal
Eksternal
STRENGTHS (S)
1. Komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan
2. Bahan baku produksi yang didapat dengan mudah
3. Produk/jenis tanaman yang beragam
4. Kapasitas produksi yang dapat memenuhi permintaan konsumen
5. Letak strategis 6. Mutu produk
yang baik
7. Bukan produk musiman
8. Harga tanaman hias yang murah
WEAKNESSES (W)
1. Belum mempunyai SOP
2. Menggunakan cara tradisional dalam budidaya
3. SDM yang tidak menetap
4. Belum memiliki laporan keuangan yang baik
OPPORTUNITIE
S (O)
1. Kondisi infrastruktur jalan yang membaik.
2. Meningkatnya pembangunan
STRATEGI SO
1. Menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam memperkenalkan produk.
STRATEGI WO
1. Membuat SOP dalam kegiatan produksi menjadi terarah dan teratur
2. Meningkatkan produksi
21
gedung perkantoran, hotel, perumahan, real estate dan vila
3. Berkembangnya budidaya, informasi, dan telekomunikasi
4. Program pemerintah yang mendukung
dengan penggunaan teknologi dalam budidaya
THREATHS (T)
1. Harga bahan baku yang fluktuatif
2. Selera tren tanaman hias yang tidak dapat diprediksi
3. Pesaing yang lebih berkembang dan munculnya pesaing baru
STRATEGI ST
1. Mempertahankan kerjasama dan hubungan baik dengan pelanggan
2. Mempertahankan mutu produk dan harga yang terjangkau
STRATEGI WT
1. Membuat laporan keuangan yang baik
2. Mempertahankan hubungan baik antara atasan dengan bawahan
Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT pada
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka
alternatif strategi yang dapat digunaka dalam
pengembangan usaha tanaman hias di Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:
1. Strategi S-O
a. Menggunakan teknologi informasi dan
telekomunikasi dalam memperkenalkan
produk.
2. Strategi W-O
a. Membuat SOP dalam kegiatan produksi
menjadi terarah dan teratur
b. Meningkatkan produksi dengan penggunaan
teknologi dalam budidaya
3. Strategi S-T
a. Mempertahankan kerjasama dan hubungan
baik dengan pelanggan
b. Mempertahankan mutu produk dan harga
yang terjangkau
4. Strategi W-T
a. Membuat laporan keuangan
b. Mempertahankan hubungan baik antara
atasan dengan bawahan
Analisis QSP (Quantitative Strategic Planning)
Tahap akhir dari perumusan strategi adalah
pemilihan strategi terbagi dengan menggunakan alat
analisis QSPM yang berdasarkan pada hasil analisis
SWOT. Penggunaan QSPM bertujuan untuk
memperoleh strategi alternatif terbaik yang dapat
diimplementasikan perusahaan berdasarkan arah
kebijakan dan kondisi riil perusahaan.
Faktor-faktor kunci dalam QSPM
merupakan seluruh lingkup faktor strategis internal-
eksternal Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan
Dahlia yang memberikan gambaran riil serangkaian
peluang dan ancaman serta serangkaian kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki perusahaan. Bobot didalam
QSPM besarnya sama dengan bobot pada faktor-
faktor dalam matriks EFE dan IFE.
Nilai AS menunjuk pada daya tarik masing-
masing strategi terhadap faktor kunci yang dimiliki.
Nilai AS diperoleh melalui kuisioner yang ditujukan
kepada informan yaitu masing-masing pemimpin
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia yang
memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses
manajemen dan aktivitas sehari-hari perusahaan.
Nilai TAS merupakan hasil perkalian antara bobot
dan nilai AS dari tiap faktor kunci strategis.
Alternatif strategi dari matriks SWOT yang dapat
dihasilkan adalah:
Strategi 1:Menggunakan teknologi informasi dan
telekomunikasi dalam memperkenalkan
produk.
Strategi 2:Membuat SOP dalam kegiatan produksi
menjadi terarah dan teratur
Strategi 3: Meningkatkan produksi dengan
penggunaan teknologi dalam
budidaya
Strategi 4: Mempertahankan kerjasama dan
hubungan baik dengan pelanggan
Strategi 5: Mempertahankan mutu produk dan harga
yang terjangkau
Strategi 6: Membuat laporan keuangan yang baik
Strategi 7: Mempertahankan hubungan baik antara
atasan dengan bawahan
Berdasarkan hasil penilaian dari pemimpin
Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, maka
diperoleh urutan strategi dari yang paling menarik
untuk diimplementasikan pada perusahaan. Urutan
strategi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan mutu produk dan harga
yang terjangkau (5,728)
2. Menggunakan teknologi informasi dan
telekomunikasi dalam memperkenalkan
produk (5,432)
3. Meningkatkan produksi dengan penggunaan
teknologi dalam budidaya (4,982)
4. Mempertahankan kerjasama dan hubungan
baik dengan pelanggan (4,570)
5. Mempertahankan hubungan baik antara
atasan dengan bawahan (3,696)
6. Membuat SOP dalam kegiatan produksi
menjadi terarah dan teratur (3,379)
7. Membuat laporan keuangan yang baik
(3,017)
22
Tiga strategi yang menjadi prioritas utama
untuk diterapkan oleh Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia adalah mempertahankan mutu
produk dan harga yang terjangkau, menggunakan
teknologi informasi dan telekomunikasi dalam
memperkenalkan produk, dan meningkatkan
produksi dengan penggunaan teknologi dalam
budidaya. Strategi tersebut merupakan strategi yang
tepat untuk diterapkan sebagai pelaksanaan strategi
penetrasi pasar dan pengembangan produk.
Bagi manajemen perusahaan, strategi
mempertahankan mutu produk dan harga yang
terjangkau merupakan strategi yang sangat penting
untuk diterapkan saat ini. Semakin meningkatnya
persaingan usaha di industri tanaman hias menuntut
perusahaan untuk mempertahankan kekuatan yang
dipunyai perusahaan. Mutu produk yang baik serta
harga tanaman hias yang murah merupakan suatu
kekuatan yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia agar tidak kalah bersaing
dengan adanya perusahaan sejenis yang lebih unggul
serta perusahaan sejenis yang baru bermunculan.
Bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
loyalitas pelanggan sangat penting karena
berpengaruh terhadap perkembangan tingkat
penjualan perusahaan. Agar tingkat penjualan
perusahaan tetap tinggi bahkan meningkat maka
perusahaan perlu melakukan usaha yaitu menjaga
loyalitas pelanggan melalui mutu produk yang baik
serta harga yang masih terjangkau dengan pelanggan.
Manajemen Rosalia menyadari bahwa salah
satu kelemahan utama perusahaan adalah belum
memanfaatkan majunya teknologi dalam
memasarkan produk. Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia menyadari bahwa peluang
dalam bidang jasa tanaman hias (landscaping,
maintenance, dan rental tanaman) sangat besar dan
prospek ke depannya juga tetap cerah. Di sisi lain,
strategi promosi yang dilakukan perusahaan belum
efektif dan efisien. Untuk itu, diperlukan teknologi
dalam memasarkan produk, seperti membuat web
perusahaan yang berisi tentang profil usaha dan
produk perusahaan.
Strategi ketiga yang menjadi prioritas
manajemen Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan
Dahlia adalah meningkatkan produksi dengan
penggunaan teknologi dalam budidaya. Kelemahan
lain yang dimiliki Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia adalah masih menggunakan cara
berbudidaya yang tradisional sedangkan peluang
akan penggunaan teknologi dalam produksi cukup
besar. Dalam hal ini, perlu adanya peran pemerintah
agar strategi ini berhasil diterapkan yaitu dengan
penyuluhan dan subsidi yang sudah diprogramkan
pemerintah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengembangan usaha tanaman hias Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia adalah:
a. Faktor internal yang merupakan
kekuatan bagi Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia adalah komunikasi
yang baik antara atasan dengan
bawahan; perolehan bibit yang mudah;
produk/jenis tanaman yang beragam;
permintaan konsumen yang selalu
terpenuhi; letak strategis, mutu produk
yang baik; bukan produk musiman;
harga tanaman hias yang murah.
Sedangkan yang menjadi kelemahan
bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia adalah belum mempunyai
SOP; menggunakan cara tradisional
dalam budidaya; SDM yang tidak
menetap; belum memiliki laporan
keuangan yang baik.
b. Faktor eksternal yang menjadi peluang
bagi Rosalia Flower, Bunga Barokah,
dan Dahlia adalah kondisi infrastruktur
jalan yang membaik; meningkatnya
pembangunan gedung perkantoran,
hotel, perumahan, real estate dan vila;
berkembangnya budidaya, informasi,
dan telekomunikasi; program
pemerintah yang mendukung.
Sedangkan yang menjadi ancaman
adalah harga bahan baku yang fluktuatif;
selera tren tanaman hias yang tidak dapat
diprediksi; pesaing yang lebih
berkembang dan munculnya pesaing
baru.
2. Tiga prioritas strategi pengembangan usaha
berdasarkan metode QSPM adalah
mempertahankan mutu produk dan harga
yang terjangkau agar mampu bersaing;
menggunakan teknologi informasi dan
telekomunikasi dalam memperkenalkan
sekaligus mempromosikan produk;
meningkatkan produksi dengan penggunaan
teknologi dalam budidaya.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap
strategi pengembangan usaha tanaman hias Rosalia
Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia, saran yang
dapat diberikan adalah:
23
1. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
sebaiknya mengadakan kontrak dengan para
tenaga kerja agar komitmen dan konsistensi
tenaga kerja terjamin, sehingga tidak terjadi
lagi kehilangan tenaga kerja ahli.
2. Rosalia Flower, Bunga Barokah, dan Dahlia
sebaiknya benar-benar memanfaatkan
teknologi sebagai sarana untuk
mempromosikan dan memasarkan produk
agar jumlah pelanggan meningkat serta tidak
menutup kemungkinan untuk bekerja sama
dengan instansi besar sehingga dapat
menguntungkan bagi Rosalia Flower, Bunga
Barokah, dan Dahlia.
Perusahaan perlu membenahi manajemen
perusahaan khususnya manajemen pengelolaan
keuangan karena hal ini menjadi kelemahan utama
perusahaan. Perusahaan perlu menerapkan
pencatatan keuangan secara akuntansi sehingga tidak
terjadi pencampuran antara keuangan perusahaan
dengan keuangan pribadi pemilik perusahaan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Melalui kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada orang tua, abang
dan adik yang selalu memberikan dukungan,
semangat, kasih sayang dan doa kepada penulis.
Selain itu penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang atas bantuan yang diberikan selama proses
penulisan kepada :
1. Gema Wibawa Mukti, S.P.,M.P. sebagai dosen pembimbing sekaligus dosen wali atas segala kesabaran, bimbingan, saran, semangat dan dorongannya.
2. Dr. Dra. Elly Rasmikayati, M.Sc. sebagai dosen penelaah atas bimbingan, koreksi dan saran yang diberikan.
3. Dr. Eti Suminartika, Ir.,M.Si. sebagai dosen penelaah atas koreksi dan saran yang diberikan.
4. Semua teman-teman yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan jurnal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ayers, Chuck. 2014. The History of Floriculture.
Ehow Contribution
David, F. R. 2004. Manajemen Strategis. Edisi
Sembilan. Terjemahan. Prenhallindo.
Jakarta.
Nurhadi. 2008. Analisis Strategi Pengembangan
Usaha Tanaman Hias Pada PT. Kusuma
Floracipta, Taman Anggrek Ragunan,
Jakarta.
Nurhayati, Nunung. 2011. Analisis Kelayakan Usaha
dan Strategi Pengembangan Usaha Industri
Kecil Tahu di Kabupaten Kuningan Jawa
Barat.
Ramdhani, Renata Nur. 2011. Analisis Strategi
Pengembangan Usaha Sayuran Organik
(Studi Kasus pada Mekar Tani Jaya, Desa
Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat).
Pearce, J. A. Dan R. B. Robinson. 1997. Manajemen
Strategik: Formulasi, Implementasi, dan
Pengendalian. Binarupa Aksara. Jakarta.
Porter, Michael E. 2007. Strategi Bersaing: Teknik
Menganalisis Industri dan Pesaing.
KARISMA Publishing Group. Tangerang.
Pusdalisbang. 2013. Jawa Barat Dalam Angka.
Satudata Pembangunan Jawa Barat.
Pusponingtiyas, Mita. 2008. Analisis Lingkungan
Usaha Dan Formulasi Strategi Bersaing
Perusahaan Dalam Industri Tanaman Hias.
(Studi Kasus PT. Godongijo Asri, Sawangan,
Depok).
Rangkuti, F. 2005. Analisis SWOT Teknik Membedah
Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta.
Robbins, S. P. 1991. Management. Third Edition.
Prentice-Hall. New Jersey.
Samosir, Hestia Vina. 2013. Analisis Strategi
Pengembangan Usaha Tanaman Hias (Studi
Kasus pada Family Cactus Nursery, Desa
Langensari, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa
Barat).
Sidauruk, Febriando. 2010. Analisis Strategi
Pengembangan Usaha Tanaman Hias Pada
PT. Godongijo Asri, Sawangan, Depok,
Jawa Barat.
Soekartawi, 2000. Pengantar Agroindustri.
Rajagrafindo Pustaka. Jakarta
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pedidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: ALFABETA.
www.bandungbaratkab.go.id, 2015. Dinas Pertanian
Perkebunan dan Kehutanan, diakses pada
tanggal 26 Juli 2015.
www.pelita.or.id, 2015. Produk Hortikultura Secara
Nasional Tingkatkan PDB (Ekonomi dan
Keuangan), diakses pada tanggal 13 April
2015.
24
25
Manajemen Risiko Pada Rantai Pasok Kentang Pasar Terstruktur di Kelompok
Tani Katata, Pangalengan, Jawa Barat
Risk Management in Structured Market of Poetatoes Supply Chain at Katata Farmer
Group, Pangalengan, Jawa Barat
Nadia Shafarina1), Tomy Perdana2)
1,2 Fakultas Pertanian Unpad, Jl. Raya Bandung β Jatinangor Km 21,5
A B S T R A K
Kata Kunci:
Kentang,
Manajemen Risiko
Rantai Pasok,
Pasar Terstruktur,
HOR (House of Risk),
Rapid Agricultural
Supply Chain Risk
Assessment
Kentang adalah salah satu komoditas sayuran di Indonesia. Tiap tahunnya kebutuhan
kentang meningkat, tetapi sampai sekarang produksi kentang petani tidak dapat
memenuhi seluruh permintaan kentang di Indonesia. Ketidakmampuan itu disebabkan
oleh rendahnya produksi benih kentang. Mahalnya harga benih kentang adalah alasan
utama petani memproduksi benihnya sendiri. Risiko lainnya yang terjadi pada produksi
kentang adalah sangat bergantung pada iklim dan cuaca, biaya produksi tinggi, kriteria
dari pasar terstruktur sehingga petani harus melakukan manajemen risiko untuk
mencegah kerugian bagi petani. Penelitian ini bertujuan antara lain untuk
mengidentifikasi risiko-risiko dan untuk melakukan mitigasi pada rantai pasok kentang
pada Kelompok Tani Katata yang mempunyai tujuan pasar terstrukturnya
menggunakan metode Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment dan HOR
(House of Risk). Hasil dari penelitian menunjukkan 27 risiko yang terjadi dan 11
diantaranya masuk ke dalam risiko prioritas. Sebelas risiko tersebut dapat
menyebabkan 82.56% risiko keseluruhan. Untuk mengatasi risiko-risiko tersebut,
terdapat sebelas strategi mitigasi yang dapat dilakukan Kelompok Tani Katata.
ABSTRACT
Keywords:
Potato, Supply Chain
Risk Management,
Structured Market,
House of Risk (HOR),
Rapid Agricultural
Supply Chain Risk
Assesment.
Potato is one of the important vegetable commodities in Indonesia. Every year the need
for potato increasing, but until now the production of potatoes from the farmers cannot
fulfilled the demand potatoes in Indonesia. Relatively expensive price of certified seed
is the main reason the farmers apply the seed produced by themselves. Another risks
that happened on the productivity of potato is highly depends on the weather, high
production costs, specifications of the market structured so the farmers must doing risk
management to prevent a decrease in their income. This researchβs objectives are to
identify and to mitigate the risks of potato supply chain in Farmers Group Katata
which already have structured market objectives using Rapid Agricultural Supply
Chain Risk Assessment and House of Risk (HOR) method. The results of this research
identify 27 risk events and 11 of all the risk agents identified are categorized as
prioritized risk agents. Eleven of all the risk agents identified are categorized as
prioritized risk agents that cause 82.56% of risk events. To cope the risks agent
priority, there are eleven risk mitigation strategies that could be done by Farmers
Group Katata.
26
PENDAHULUAN
Kentang merupakan salah satu komoditas
sayuran yang penting di Indonesia. Masyarakat
Indonesia pada umumnya mengkonsumsi beras
sebagai makanan pokoknya, keberadaan kentang
dapat dijadikan salah satu alternatif yang dapat
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Dalam
program diversifikasi pangan pengganti beras, posisi
kentang menjadi sangat penting. (Wagih dan
Wiersema, 1996).
Lahan petani kentang di Indonesia saat ini
mencapai 70.000 hektare seharusnya membutuhkan
benih umbi kentang berkualitas sekitar 130.000 ton
per tahun dalam rangka membangun ketahanan
pangan nasional. Total kebutuhan kentang nasional
130.000 ton per tahun, sedangkan ketersediaan benih
berkualitas dan bersertifikat kurang dari 15 persen.
(PT East West Seeds Indonesia (Ewindo), 2014).
Petani kentang selalu berupaya
mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk
memperoleh hasil yang tinggi. Walaupun demikian
hasil kentang yang dicapai petani masih jauh
dibawah potensi yang ada.. Penyebab utamanya
adalah petani tidak menggunakan benih unggul
bersertifikat tetapi menggunakan benih produksi
sendiri atau benih impor yang sudah beberapa
turunan sehingga daya hasilnya rendah
(Soegihartono, 2005).
Sentra produksi utama kentang di Indonesia
terletak di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Sumatera Utara (Wattimena, 2000). Jawa Barat
adalah salah satu pemasok terbesar untuk produksi
kentang dari beberapa sentra di Indonesia. Tahun
2008-2013 menunjukkan data produktivitas dan
produksi kentang di Jawa Barat cenderung
mengalami fluktuatif (Badan Pusat Statistik, 2013).
Klaster agribisnis sayuran Pangalengan
mengembangkan komoditas seperti kentang,
zucchini, baby kenya bean (Buncis), white radish
(Lobak) dan tomat. Klaster ini telah bekerja sama
dengan beberapa mitra seperti PT. X, PT. Y, dan
PT.Z, serta dengan beberapa supplier ritel modern
dan pemerintah (BI dan BKP Jawa Barat). Kelompok
tani yang mengelola klaster ini ialah Kelompok Tani
Katata.
Kelompok Tani Katata telah memiliki
beberapa pasar terstruktur yang bekerjasama untuk
memenuhi permintaan produk pertanian salah
satunya adalah kentang yang dikirim ke Giant. Pasar
terstruktur adalah alternatif pasar yang dapat dipilih
produsen sayuran skala kecil untuk menghindari
risiko fluktuasi harga karena pasar tersebut
mengadakan perjanjian terlebih dahulu (Perdana,
2012). Karakteristik pasar terstruktur adalah adanya
kesepakatan antara produsen dan pembeli secara
formal ataupun informal berupa komitmen untuk
memasok sayuran secara konsisten, baik kuantitas
maupun kualitas dengan harga bersaing dengan
pemasok lainnya yang memiliki skala ekonomi lebih
besar.
Permasalahan yang muncul adalah pada
proses grading, petani membagi kentang berdasarkan
ukuran-ukuran yang telah ditentukan. Ukuran
kentang saat panen bervariasi (tidak seragam).
Sedangkan jika para mitra meminta hasil produksi
dengan level grading dengan persyaratan tertentu
yang diinginkan maka akan sulit bagi petani untuk
memenuhinya.
Petani juga mengalami kesulitan dalam hal
mendapatkan benih yang berkualitas baik dan
bersertifikat. Dibutuhkan waktu sedikitnya 2 tahun
dan proses panjang untuk menghasilkan benih
berkualitas, sehingga dapat berpotensi menimbulkan
risiko dan merupakan pokok permasalahan benih
kentang di Kelompok Tani Katata. Produktivitas
benih kelas G4 di penangkar masih rendah, berkisar
antara 3-13 ton per hektar, hal ini sangat jauh dari
harapan, padahal biaya produksi untuk menghasilkan
benih sangat tinggi, berkisar antara 60 β 70 juta
rupiah/ha. Dengan biaya produksi tinggi dan
produktivitas yang rendah, maka harga benih G4
untuk petani menjadi tinggi.
Kelompok Tani Katata masih belum mampu
memenuhi permintaan dari pasar terstruktur, dan
dapat terjadi reject karena tidak sesuai dengan kritera
yang diminta mitranya. Menurut Marimin dan Nurul
Maghfiroh (2010), dalam suatu rantai pasok jika satu
pelaku mengalami masalah dalam rantai pasok, maka
akan berpengaruh, baik secara langsung atau tidak
langsung kepada mitra dalam jaringan rantai
pasokan. Begitupun dengan risiko akibat dari
permasalahan tersebut, sehingga terjadi interaksi
antar risiko yang menyebabkan kerugian secara
menyeluruh dalam jaringan pasokan.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan : 1.
mengetahui risiko-risiko yang dihadapi dalam proses
rantai pasok kentang di Kelompok Tani Katata 2.
sejauh mana Kelompok Tani Katata menerapkan
manajemen risiko didalamnya 3. memberikan
rekomendasi atau jalan alternatif penanganan risiko.
METODE
Objek penelitian ini adalah risiko pada rantai pasok
kentang. Penelitian ini dilakukan di Kelompok Tani
Katata yang terletak di di Desa Margamekar,
27
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,
Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian ini dirancang
sebagai studi kasus (case study) untuk mencari
informasi secara mendalam mengenai proses rantai
pasok kentang. Metode analisis data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah metode RapAgRisk dan
House of Risk (HOR). RapAgRisk ialah sebuah
kombinasi data kuantitatif dan kualitatif informasi
yang bersumber dan dianalisis berdasarkan tipe risiko
mulai dari faktor internal maupun eksternal yang
bertujuan membantu pembuat keputusan untuk
meningkatkan strategi manajemen risiko. Metode
HOR ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu HOR1 dan
HOR2. HOR1 digunakan untuk menentukan mana
agen risiko yang harus diberikan prioritas untuk
diberikan penanganan prepentif. HOR2 digunakan
untuk memberikan prioritas pada penanganan yang
dianggap efektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Kelompok Tani Katata rantai pasok
kentang dimulai dari petani penangkar sebagai
pemasok bibit. Bibit yang dihasilkan antara lain
benih G2 dan G3. Sebagian besar bibit tersebut
ditanam dan sebagian lainnya dijual untuk umum.
Selanjutnya untuk memenuhi permintaan mitra
Kelompok Tani Katata juga bermitra dengan petani
kentang lainnya.
Hasil panen kentang lalu dibawa ke
packinghouse untuk disortasi dan grading.
Sebelumnya kentang dicuci dan juga dikeringkan
dengan pengawasan dari KAPALINDO. Pihak
KAPALINDO mengawasi dan juga mencatat semua
kegiatan di packinghouse. Penanganan pascapanen
dan perlogistikan sendiri dibantu oleh pihak
KAPALINDO. Setelah itu kentang dikirim
menggunakan mobil pick-up kepada pihak Giant.
Pemetaan aktivitas rantai pasok dilakukan
menggunakan metode SCOR (Supply Chain
Operation Reference) di Kelompok Tani Katata yang
terdiri dari plan (perencanaan), source (pengadaan),
make (produksi), deliver (distribusi), dan return
(pengembalian). Masing-masing kegiatan dilakukan
oleh pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kentang
di Kelompok Tani Katata yaitu pada tingkat
kelompok tani dan petani.
Kriteria Kentang Kelompok Tani Katata untuk Giant
Pasar Grade Standar Kualitas
Giant A (cuci ,
packaging
20kg/pcs)
Kulit kuat tidak lecet,
Usia kentang tua 100
-120 hst, Mata
dangkal, dan tidak
hijau, luka fisik,
busuk mata, per kg
nya sekitar 6-8 buah
Sumber : Data Primer, 2015.
Pihak mitra biasanya melakukan PO
(Purchase Order) 3 hari sebelum kentang dikirim.
Perjalanan memakan waktu kurang lebih 4 jam dan
membutuhkan biaya Rp. 700.000,- untuk biaya
transportasi dan upah tenaga kerja berjumlah 2 orang.
Kentang yang di reject biasanya dikembalikan dan
dijual ke pasar tradisional diantaranya Pasar Andir
dan Pasar Caringin.
Setelah mengidentifikasi kegiatan rantai
pasok di Kelompok Tani Katata dilakukan
pengelompokkan berdasarkan tipe risiko dan pelaku
dalam rantai pasok dengan RapAgrisk.
Tujuan utama RapAgRisk adalah untuk
membantu para pengambil keputusan memahami
risiko-risiko yang timbul dari sumberdaya internal
maupun sumber daya eksternal pasokan pertanian,
peserta rantai dan untuk meningkatkan strategi
manajemen risiko. Perlu dilakukan wawancara secara
mendalam kepada ketua Kelompok Tani Katata
sebagai pemegang keputusan dan aktor yang terlibat
dalam rantai pasok, untuk mengetahui faktor-faktor
yang menyebabkan risiko dan menngelompokkan
risiko-risiko tersebut.
Selain nilai tingkat kemungkinan munculnya
risiko dan kemampuan menjalankan risiko,
selanjutnya juga ditentukan seberapa sering risiko
tersebut terjadi. Melalui skala Kemungkinan
Munculnya Risiko maka dapat ditentukan tingkat
kemungkinan munculnya risiko tersebut. Hasilnya
Kelompok Tani Katata Petani Anggota
Petani Mitra
Giant KAPALINDO
Alur Rantai Pasok Kentang
28
Potensi Dampak Keparahan
Skala
Kemungkinan
Munculnya
Risiko
S J K P HTP
Tinggi
Logistik,
Kualitas
kentang,
Spek
mitra
Sedang
Kesepakatan antar
anggota
Harga kentang,
Ketersediaa
n saprodi, kontrak
dengan
mitra
Tenaga kerja,
Biaya
perawatan
Persediaan kentang,
Ketersedia
an obat-obatan
untuk
mencegah
hama/penyakit
Rendah Pendapatan menurun
Peralatan yang
terpakai
Pola tanam, benih,
brand,
manajemen yang baik,
Biaya
produksi
Prioritas 3
Prioritas 2
Prioritas 1
dapat diketahui dampak keparahan dari masing-
masing risiko yang terjadi pada rantai pasok kentang
di Kelompok Tani Katata.
Nilai Keparahan Dampak Risiko (Severity)
ARP adalah kalkulasi antara nilai keparahan
dampak peristiwa risiko atau severity (S), nilai
kemungkinan terjadinya agen risiko atau occurrence
(O), dan nilai hubungan keduanya atau correlation
(R). ARP dihitung untuk mengetahui agen risiko
mana yang memiliki pengaruh/dampak paling besar
terhadap aktivitas rantai pasok dan menjadi prioritas
untuk lebih dulu ditangani.
Setelah dihitung dan diurutkan mulai dari
Nilai ARP tinggi ke rendah, didapat nilai ARP
tertinggi adalah 2730 untuk agen A5, agen A5 sendiri
yaitu iklim dan cuaca yang tidak menentu. Hal ini
paling berisiko bagi petani karena tidak dapat
diprediksi dan petani maupun kelompok harus
mempunyai berbagai cara agar dapat menghasilkan
kentang yang kontinu untuk dikirimkan kepada
mitra.
Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok Kelompok
Tani Katata
1. Bantuan pengadaan sarana produksi bagi
petani dari pihak Kelompok Tani Katata. (PA1)
2. Penerapan SOP penanaman kentang
disesuaikan dengan iklim dan cuaca. (PA2)
3. Perbaikan sarana prasarana khususnya untuk
penanganan pascapanen. Khusus untuk
kentang dibutuhkan blower yang lebih banyak
untuk menghemat waktu. (PA3)
4. Perjanjian antara pihak Katata dengan mitra
disesuaikan dengan kesanggupan petani untuk
memproduksi kentang dalam jumlah tertentu.
(PA4)
5. Antisipasi ketersediaan obat untuk mencegah
hama atau penyakit pada tanaman kentang.
(PA5)
6. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan
kentang harus diimbangi dengan persediaan
benih kentang, karena sulitnya mendapatkan
benih kentang yang berkualitas maka
dibutuhkan waktu yang lebih banyak untuk
mengembangkan benih kentang. (PA6)
7. Dibutuhkan tenaga ahli untuk pengembangan
benih kentang, saat ini jumlah tenaga ahli
dalam pembenihan di Kelompok Tani Katata
hanya ada 4 orang. (PA7)
8. Dibutuhkan informasi dari pasar untuk
perbandingan harga. (PA8)
9. Peningkatan manajemen oleh pihak Kelompok
Tani Katata dengan PAL agar rantai pasok
kentang dapat berjalan dengan efisien. (PA9)
10. Peningkatan kualitas tenaga kerja khususnya
dalam penanganan pascapanen, karena
berkaitan dengan spek yang diminta oleh pihak
mitra. (PA10)
11. Perlunya kendaraan yang lebih besar untuk
mengangkut kentang. Sekaligus pencegahan
penyusutan kentang selama perjalanan. (PA11)
KESIMPULAN
1. Pada rantai pasok kentang di Kelompok Tani
Katata dimulai dari petani penangkar yang
menghasilkan benih dari mulai G0 sampai
dengan G3, untuk memenuhi permintaan pasar
terstruktur Kelompok Tani Katata juga
bermitra dengan petani kentang lainnya.
Selanjutnya kentang dibawa ke packinghouse
untuk dilakukan persiapan pengiriman ke
pasar terstruktur. Setelah diidentifikasi
terdapat 27 risiko pada proses rantai pasok
kentang di Kelompok Tani Katata. Risiko-
risiko yang terjadi antara lain 8 risiko yang
terjadi pada perencanaan (plan), 6 risiko yang
Dafatar Agen Risiko dan Kemungkinan
Terjadinya
29
terjadi pada pengadaan (source), 7 risiko yang
terjadi pada produksi (make), 4 risiko yang
terjadi pada pengiriman (deliver), dan 2 risiko
yang terjadi pada pengembalian (return).
2. Manajemen risiko yang dilakukan oleh
Kelompok Tani Katata masih belum optimal.
Terdapat 11 risiko krusial yang mempengaruhi
keberlangsungan rantai pasok kentang di
Kelompok Tani Katata, yaitu sebesar 82,56%.
Jika risiko tersebut tidak segera ditangani akan
menyebabkan kerugian yang besar bagi
Kelompok Tani Katata.
3. Strategi mitigasi yang dapat dilakukan
Kelompok Tani Katata ialah sebanyak 11
strategi mitigasi.
SARAN
1. Pihak Kelompok Tani Katata dengan
KAPALINDO lebih memperhatikan dampak
risiko dan mengidentifikasi permasalahan
yang terjadi selama proses rantai pasok untuk
memperkecil barang tolakan.
2. Salah satu permasalahan krusial pada rantai
pasok kentang adalah mendapatkan benih yang
berkualitas. Oleh karena itu kelompok dibantu
oleh pihak KAPALINDO hendaknya mencari
solusi untuk permasalahan tersebut misalnya
mengusulkan bantuan kepada pemerintah atau
mengadakan pelatihan terkait.
3. Strategi mitigasi yang akan dilakukan
disesuaikan dengan peristiwa risiko yang
terjadi di lapangan.
DAFATAR PUSTAKA
Briendly, Claire. 2004. Supply Chain Risk: A Reader.
Hampshire: Ashgate Publishing Limited.
Marimin dan Nurul Maghfiroh. 2010. Aplikasi Teknik
Pengambilan Keputusan dalam Manajemen
Rantai Pasok. Institut Pertanian Bogor.
Pujawan dan Geraldin. 2009. βHouse of Risk: a
model for proactive supply chain risk
management.β Business Process Management
Journal, Vol. 15, No.6, pp. 953-967.
Schoenher. 2008. βAssessing Supply Chain Risks
with the Analytic Hierarchy Process:
Providing decision sipport for the offshore
decision by a US manufacturing company.
βJournal of Purchasing and Supply Chain
Management. Vol.10.
Steven Jaffee, Paul Siegel, and Colin Andrews. 2008.
Melalui
<http://siteresources.worldbank.org/INTCOM
RISMAN/Resources/RapidAgriculturalSuppl
yChainRiskAssessmentConceptualFramewor
k.pdf> [25/01/15]
30
Lampiran
Proses Rantai Pasok Sub-proses Peristiwa Risiko (Risk Event) Kode
Perencanaan (Plan) Menjalin Kontrak dengan Mitra Harga tidak sesuai keinginan E1
Perencanaan Pengadaan Pengadaan benih kentang E2
Pengadaan saprodi oleh kelompok tani kurang E3
Perencanaan Produksi Ketidakseragaman ukuran kentang E4
Varietas tanam yang dipilih tidak cocok E5
Biaya produksi tinggi E6
Perencanaan Distribusi Jumlah kontainer yang dipersiapkan kurang E7
Perencanaan Pengembalian Pengembalian kontainer tertunda E8
Pengadaan (Source) Pengadaan saprodi Pengadaan alat penyemprot terbatas E9
Pembayaran Pembayaran dari mitra terlambat E10
Pascapanen Proses pengeringan kentang (jumlah blower) E11
Kentang susut diperjalanan (dari lahan menuju packing house) E12
Kentang yang diterima tidak sesuai dengan kentang yang diminta E13
Proses di packinghouse Kentang busuk E14
Produksi (Make) Budidaya Tanaman terserang hama E15
Tanaman terserang penyakit E16
Tanaman mati layu E17
Produksi (Make) Sortasi Kentang rusak saat sortasi E18
Sortasi tidak teliti E19
Spek dari mitra (Giant) E20
Sortasi tidak tepat waktu E21
Distribusi (Deliver) Pengiriman kentang ke Mitra Kentang susut diperjalanan E22
Mobil dalam kondisi tidak layak pakai (perjalanan jauh) E23
Terlambat mengirim kentang ke mitra (Giant) E24
Kentang rusak saat pengiriman E25
Pengembalian (Return) Pengembalian kentang dari Mitra Kentang yang dikembalikan E26
Kentang terbuang E27
Kode Agen Risiko (Risk Agent)
Kurangnya negosiasi di tingkat petani
π΄2 Manajemen produksi kurang tepat
π΄3 Kurang koordinasi dengan formulator bibit
π΄4 Jarak pengiriman jauh
π΄5 Iklim dan cuaca yang tidak tentu
π΄6 Kebutuhan petani yang mendesak
π΄7 Transportasi terbatas
π΄8 Tenaga kerja kurang
π΄9 Standardisasi mitra tinggi
π΄10 Hari raya
π΄11 Perjanjian pembayaran dengan mitra
π΄12 Modal/pembiayaan kurang
π΄13 Kelalaian SDM (Sumber Daya Manusia)
π΄14 Pasar tradisional tidak menerima kentang yang dikirim
π΄15 Kecurangan oleh pesaing
π΄16 Harga di pasar tradisional sedang tinggi
π΄17 Disimpan bersama komoditas lain
π΄18 Kurang teknologi pascapanen
π΄19 Hubungan antara petani anggota dan kelompok
π΄20 Kurangnya lembaga pembiayaan usaha tani
π΄21 Pengiriman kentang tidak kontinu
π΄22 Huru-hara
π΄23 Kondisi infrastruktur jalan
π΄24 Pengadaan kelompok tani terbatas
31
Perubahan Struktur dan Perilaku Pemasaran Sayuran dan Buah di Indonesia
dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan Kualitas Buah dan Sayuran di Pasar
Tradisional
Changes of Structure and Conduct of Vegetables and Fruitsβ Marketing in Indonesia and
the Impact to Quality Improvement of the Products in Traditional Market
Asma Sembiring
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jawa Barat [email protected]
A B S T R A K
Kata Kunci:
Struktur pasar
Perilaku pasar
Diferensiasi produk,
Pasar tradisional
Sayuran
Pasar tradisional menjadi tempat utama penjualan sayuran dan buah bagi petani
Indonesia. Sementara itu, mayoritas konsumen Indonesia berbelanja sayuran dan buah
di pasar tradisional. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perubahan
struktur dan perilaku pemasaran sayuran dan buah di Indonesia selama tahun 2007
sampai 2014 dan pengaruhnya terhadap perbaikan kualitas sayur dan buah di pasar
tradisional. Perubahan struktur dilihat dari perubahan jumlah petani dan pedagang,
skala produksi dan diferensiasi produk. Sementara itu, perubahan perilaku dilihat dari
perubahan hubungan petani, akses petani terhadap informasi pasar dan kredit serta
strategi pemasaran. Penelitian dilakukan dari Januari hingga Juli 2014 menggunakan
data sekunder. Hasil penelitian menujukkan dari aspek struktur, terjadi peningkatan
jumlah petani sayuran dan buah serta skala produksi. Petani juga melakukan
diferensiasi produk berdasarkan pasar tujuan. Dari aspek perilaku, relasi petani
menjadi lebih kuat, akses informasi pasar yang lebih terbuka, perbaikan strategi
pemasaran dan membaiknya relasi petani, pedagang/agen pemasaran. Secara umum,
kualitas sayuran dan buah di pasar tradisional belum membaik karena sayur dan buah
berkualitas bagus ditujukan untuk ekspor dan supermarket. Implikasi ke depan adalah
mendorong petani menghasilkan buah bermutu dan melakukan penyortiran produk
yang dijual ke pasar tradisional.
ABSTRACT
Keywords:
Market structure
Market conduct
Product differentiation
Traditional market
Vegetable
A traditional market is an ultimate vegetables and fruits destination market for
Indonesian farmers. Meanwhile, majority of Indonesian consumers buy vegetables
and fruits in the market. The objective of the study is to observe changes of structure
and conduct on vegetables and fruitsβ marketing in Indonesia during 2007 to2014 and
impacts to the improvement of vegetables and fruitsβ quality. The changes of structure
are observed from numbers of farmers and traders, production scale and product
differentions. Meanwhile, the changes of conducts are seen from changes of farmersβ
relationship, farmers access to market information, credit and marketing strategy. The
study was conducted from January to July 2014. The result showed that from the
structure, there are increasing numbers of vegetable and fruitβs farmers and the scale
production. Farmers also differentiate their products based on a market destination.
From the conduct, the relationship among farmers are stronger, there are more
access on market information and credit, improvements of marketing strategies and
farmers-traders/marketing agentsβ relationship. As the general, the quality of
vegetables and fruits in traditional market have not been improved yet as the high
quality of vegetables and fruits are sold for export and supermarket. Implications to
the future studies are to support farmers to produce high quality of vegetables and
fruits and advice them to sort their products before selling the products to the
traditional markets.
Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
32
PENDAHULUAN
Pasar tradisional menjadi aset sangat penting
bagi perekonomian Indonesia, utamanya untuk
memasarkan produk-produk lokal seperti buah dan
sayuran. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan
perputaran uang di pasar tradisional. Selama kurun
tahun 2004 hingga 2008, perputaran uang di pasar
tradisional meningkat sebesar 44,3 %, yaitu dari
108,7 triliun rupiah menjadi 156,9 triliun rupiah
(Kementrian Perdagangan, 2010). Penjualan produk
di retail-retail tradisional market ke depannya
diperkirakan meningkat, mencapai 816 triliun rupiah
di tahun 2015 disebabkan meningkatnya pengeluaran
makanan (Minot et al., 2013). Dari total pengeluaran
makanan, 34% dialokasikan untuk pengeluaran buah
dan sayuran (Euro-monitor International dalam
Agricultural and agrifood Kanada, 2011). Sebanyak
4,2 juta petani buah dan sayuran lokal bergantung
pada pasar tradisional (Kementan, 2013) dan 12,6
juta pedagang bergantung pada 13.450 pasar
tradisional yang ada di Indonesia (Ariawan, 2014).
Kontribusi buah dan sayuran terhadap
pendapatan perkapita Indonesia mencapai 2,7%
ditahun 2012 (Pusdatin, 2013). Kedepannya
diperkirakan kontribusinya meningkat akibat
meningkatnya konsumsi buah dan sayuran
masyarakat (Pusdatin, 2014). Dari sisi produksi,
penanaman buah dan sayuran juga meningkat karena
menguntungkan petani (Cholic & Ambarsari, 2009).
Selama kurun waktu 2009 hingga 2012,
kontribusi buah terhadap pendapatan perkapita
Indonesia mencapai 5,63%, sementara untuk sayuran
mencapai 6,77% (Pusdatin, 2013). Produksi buah
dan sayuran nasional ditahun 2013 mencapai 18,3
juta dan 11,6 juta ton (Statistik Pertanian, 2014).
Sementara dari sisi konsumen, alokasi pengeluaran
untuk buah dan sayuran ditahun 2013 mencapai 5,1%
dan 9,6% dari total pengeluaran pangan masyarakat
Indonesia (Pusdatin, 2014).
Mayoritas petani Indonesia (kurang lebih
90%) menjual buah dan sayuran mereka ke pasar
tradisional (Minot et al., 2013). Pasar tradisional
menjadi tujuan utama penjualan buah dan sayuran
lokal karena petani dapat dengan fleksibel memilih
pembeli dan menawarkan harga (Asmon 2004),
mudah dalam persyaratan kualitas dan kuantitas
(Ismail et al., 2013) dan biaya pemasaran rendah.
Lebih lanjut, hubungan dagang antar petani dan
pedagang menjadi faktor penting petani bagi petani
dalam memutuskan tujuan penjualan buah dan
sayuran mereka karena umumnya petani memiliki
keterbatasan terhadap lahan, akses modal, produksi
serta persoalan kompleks terkait dengan manajemen
produksi (Asmon, 2004).
Namun demikin, pasar tradisional
memberikan keuntungan lebih kecil bagi petani
(Sahara et al., 2012) dibanding tujuan pemasaran
lainnya disebabkan karena panjangnya rantai
pemasaran, harga produk ditentukan oleh pedagang
yang memiliki akses terhadap informasi yang
berkaitan dengan jumlah produksi, kualitas buah dan
sayuran yang beredar di pasar serta jumlah
permintaan pasar. Sementara itu, petani memiliki
keterbatasan terhadap informasi tersebut dan juga
akses terhadap kredit. Akibatnya petani mendapatkan
keuntungan yang lebih kecil dari pada pedagang
(Prayitno et al., 2013).
Sementara itu, konsumen Indonesia pada
umumnya memilih membeli buah dan sayuran di
pasar tradisional dengan alasan lebih murah, segar,
bisa ditawar dan beraneka ragam (Minot et al., 2013;
Izza, 2010). Akan tetapi kecendrungan saat ini dan
kedepan, konsumen Indonesia semakin peduli
dengan kualitas saat membeli buah dan sayuran
(Barus, 2008). Konsumen Indonesia menginginkan
buah dan sayuran yang mereka beli di pasar
tradisional juga merupakan buah dan sayuran
berkualitas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan ingin melihat
perubahan struktur, perilaku dan performa pemasaran
sayuran dan buah di Indonesia selama kurun waktu
2007-2014 dan pengaruhnya terhadap kualitas
sayuran dan buah di pasar tradisional Indonesia.
Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Juli
2014 dengan menggunakan data sekunder yang
berasal dari hasil-hasil penelitian tesis, disertasi,
jurnal lokal dan internasional, data statistik serta
laporan lembaga-lembaga internasional.
Aspek perubahan dilihat dari struktur dan
perilaku (Reardon et al., 2012). Aspek struktur
mencakup jumlah produsen (petani) dan pembeli
(pedagang), skala produksi, differensiasi produk.
Perilaku mencakup hubungan antar petani, akses
petani terhadap informasi pasar dan kredit, strategi
pemasaran serta hubungan petani dengan
pedagang/agen pemasaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan pemasaran sayuran dan buah
Indonesia di pasar tradisional dipengaruhi kehadiran
pasar modern seperti supermarket di Indonesia
(World Bank, 2007; Shepherd, 2005), yang dipicu
oleh perubahan gaya hidup dan pendidikan kalangan
ekonomi menengah ke atas yang semakin sadar akan
pentingnya kesehatan dan menginginkan makanan
sehat berkualitas termasuk untuk buah dan sayuran.
Kehadiran supermarket membuat tersebut secara
33
langsung atau tidak mempengaruhi perubahan
struktur, perilaku maupun performa pemasaran
sayuran dan buah di Indonesia.
Perubahan Struktur
a. Ditingkat Petani
Jumlah Petani
Jumlah petani sayuran dan buah Indonesia
selama tahun 2007-2011 berfluktuasi namun
menunjukkan terjadinya peningkatan (Kementan,
2013).
Tabel 1. Jumlah petani sayuran dan buah Indonesia
tahun 2007-2011 (000 ton)
Perubahan permintaan pasar membuat petani
juga mengubah jenis tanaman yang mereka tanam,
dari tanaman pangan menjadi tanaman buah dan
sayuran bernilai ekonomis tinggi seperti tomat,
kentang, bawang merah, cabai dan mangga (World
Bank, 2007). Data Kementrian Pertanian tahun 2013
menyebutkan terjadi peningkatan produksi untuk
seluruh jenis buah dan sayuran untuk memenuhi
permintaan konsumen yang meningkat
Skala produksi
Terjadi peningkatan permintaan buah dan
sayuran yang berakibat pada upaya peningkatan
produksi buah dan sayuran melalui intensifikasi
pertanian maupuan ekstensifikasi. Sebagai
contohnya, untuk memenulhi permintaan pasar,
sejumlah petani mangga di Pemalang, Jawa Tengah
memperluas areal penanaman mangga mereka ke
lahan-lahan berbiaya murah untuk meningkatkan
skala produksi (Sahara, 2012; Natawidjaja et al.,
2007). Luas tanam para petani tersebut meningkat
dari 36 hektar menjadi 45 hektar. Cara lain yang
digunakan dalam memperluas skala produksi adalah
dengan membentuk kelompok tani mandiri. Sekitar
65% dari produksi mangga tersebut dijual ke pasar
tradisional dan sisanya dijual ke supermarket
(Natawidjaja et al., 2007).
Diferensiasi produk
Beberapa penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa petani tidak menyortir panen
mereka karena tidak ada perbedaan harga yang
diterima oleh petani untuk buah yang disortir dengan
yang tidak (Saptana et al., 2006). Namun hasil
penelitian lain menyebutkan bahwa diferensiasi
produk memberikan harga yang berbeda pada
sayuran dan buah. Sebagai contoh adalah terdapat
kelompok tani melon di Desa Kajungan, Pekalongan
yang menyortir hasil panen mereka berdasarkan
tujuan pasar melon. Melon terbaik di ekspor, melon
kualitas menengah di jual ke pasar induk dan kualitas
paling bawah dijual ke pasar tradisional (Saptana et
al., 2006). Hal yang sama juga dilakukan oleh petani
mangga di Pemalang, dimana buah kualitas terbaik
dijual ke supermarket dan sisanya dijual ke pasar
tradisional (Natawidjaja et al., 2007).
b. Pedagang/Agen pemasaran
Perubahan perlahan terjadi di antara sesama
pedagang. Banyak pedagang/agen pemasaran,
terutama perusahaan mencoba menghubungkan
petani buah dan sayuran ke pasar, terutama ke pasar
supermarket dan ekspor. Bekerjasama dengan
pedagang, perusahaan menyediakan bimbingan
teknis untuk produksi, pengolahan lahan, teknologi,
penanganan paska panen serta membantu petani buah
dan sayuran dalam penyediaan input, kredit dan
informasi pasar (Natawdjaja, et al., 2007 ; Saptana et
al., 2006). Melalui bantuan teknis tersebut, produk
buah dan sayuran yang dihasilkan petani mampu
memenuhi kualitas tinggi yang diminta pasar.
Perubahan Perilaku a. Ditingkat Petani
Hubungan antar petani
Meningkatnya keterlibatan petani dalam
kelompok tani membawa perubahan terhadap
hubungan antar petani. Sebelumnya, petani
cenderung bekerja sendirian, yang membuat mereka
lemah dan memiliki posisi tawar rendah. Melalui
kelompok tani, petani secara bersama membeli input,
membangun kesepakatan untuk menerapkan
manajemen produksi pertanian untuk menjaga agar
harga buah dan sayuran stabil serta bekerjasama
dengan agen pemasaran untuk memasarkan produk
mereka. Upaya-upaya tersebut membuat posisi tawar
petani menjadi meningkat saat bernegosiasi dengan
pembeli (Hastuti, 2008; Natawidjaja et al., 2007).
Akses terhadap informasi pasar
Berkaitan dengan informasi pasar seperti
harga, pedagang memiliki informasi yang lebih baik
dibanding petani, menyebabkan petani banyak
menggantungkan dirinya pada pedagang untuk
mendapatkan informasi pasar (Prayitno et al., 2013;
Sahara, 2012). Karena hal ini pedagang kerap
mengambil keuntungan atas petani untuk
menetapkan harga jual serta mendapatkan
keuntungan yang lebih baik (Asmon, 2004).
Semakin kemari, kerjasama kelompok tani
dan pedagang berkembang menjadi lebih baik dan
membuat petani memiliki akses yang sama dengan
pedagang untuk mendapatkan informasi pasar
Komoditas 2007 2008 2009 2010 2011
Sayuran 2.837,4 2.843,4 2.975,1 3.104,2 3.425,5
Buah 898,4 901,5 942,2 765,8 884,2
34
(Sahara, 2012). Kerjasama petani-pedagang ini
sangat penting untuk menjamin ketersediaan sayuran
dan buah, terutama untuk mengisi permintaan
supermarket. Untuk mencapai hal tersebut, perlu
dibina transparansi antar mereka (Natawidjaja et al.,
2007). Penyebarluasan informasi terkait harga oleh
agen pemasaran kepada petani menjadi salah satu
bentuk transparansi. Contohnya untuk kasus mangga
di Pemalang, Jawa Tengah. Transparansi informasi
pasar menjadi sangat penting mengingat Bimandiri
sebagai agen pemasaran menerima 5% dari total
penjualan mangga sebagai fee agen pemasar
(Natawidjaja et al., 2007).
Strategi Pemasaran
Mayoritas petani buah dan sayuran
Indonesia masih bergantung pada pengumpul desa
untuk menjual produk mereka. Petani menjual
produk mereka tanpa melakukan penyortiran. Untuk
menjual produk langsung ke konsumen, para petani
harus melalui dua hingga tiga pedagang perantara
danmembutuhkan biaya besar. Berfungsinya
kelompok tani serta adanya kerjasama dengan agen
pemasaran memperpendek saluran pemasaran
(Natawidjaja et al., 2007). Buah dan sayuran petani
langsung dikirim ke pasar tujuan melalui agen
pemasaran (Natawidjaja et al., 2007; Saptana et al.,
2006). Petani juga mulai melakukan penyortiran,
mengelompokkan buah dan sayuran berdasarkan
ukuran dan mengemas produk sesuai permintaan
pasar. Pemasaran baru ini memberikan dua
keuntungan bagi petani yakni 1) dengan menjual
langsung pada agen pemasaran, rantai pemasaran
dipersingkat. Hal ini berarti mengurangi biaya
pemasaran petani 2) dengan melakukan
differensiasi/pembedaan produk sesuai tujuan pasar,
perbedaan harga dapat diberlakukan. Bila pasar yang
dituju adalah supermarket dan ekspor, petani
mendapatkan keuntungan yng lebih baik
dibandingkan dengan pasar tradisional.
b. Petani, pedagang dan agen pemasaran
Perubahan juga terjadi dalam hubungan
petani dan pedagang dalam pemasaran buah dan
sayuran. Sebelumnya para pedagang cenderung
mengambil keuntungan atas petani karena
keterbatasan terhadap modal dan informasi pasar
(Asmon, 2004). Tetapi hal tersebut telah berubah.
Saat ini, pedagang memandang petani sebagai
partner yang saling menguntungkan, yang perlu
mendapat dukungan untuk mencapai tujuan
pemasaran bersama lebih efektif. Kerjasama seperti
ini telah memberikan manfaat kepada kedua belah
pihak yang terlibat (Natawidjaja et al., 2007). Contoh
kolaborasi yang berhasil dilakukan oleh dan
Bimandiri serta petani dan UD Mekar Buah
(Natawidjaja et al., 2007; Saptana et al., 2006).
Kedua perusahaan ini memberikan bantuan hal dalam
input, modal dan teknologi untuk memproduksi buah
dan sayuran berkualitas tinggi untuk memenuhi
permintaan supermarket dan pasar luar negeri
membawa manfaat bagi seluruh stakeholder. Selain
itu, informasi harga pasar disampaikan secara
terbuka. Keterbukaan ini membuat kedua belah
pihak, baik dari petani maupun agen pemasaran
merasa nyaman dalam melakukan transaksi usaha.
Petani juga dapat memperkirakan penghasilan yang
mereka terima dari usaha kerjasama ini (Mukti et al.,
2014).
Perubahan struktur dan perilaku pada pasar
tradisional adalah adanya upaya-upaya untuk
memperpendek rantai pemasaran buah dan sayuran
di pasar tradisional sehingga mampu mengurangi
biaya pemasaran total dan meningkatkan penerimaan
petani (Hardesty & Leff, 2009; Lemeilleur &
Codron,2011). Petani menerima penghasilan yang
lebih baik dengan melakukan diferensiasi produk
berdasarkan tujuan pemasaran. Petani tak hanya
menjual buah dan sayurannya ke pasar tradisional
saja, tapi juga ke supermarket dan ekspor.
PENUTUP
Terdapat hubungan yang kuat antara
perubahan struktur dan perilaku pemasaran terhadap
kualitas buah dan sayuran lokal Indonesia, terutama
untuk produk-produk berorientasi supermarket dan
ekspor. Hal ini didukung oleh peranan agen
pemasaran yang berbagi informasi pasar secara
terbuka dengan petani mengenai sayuran dan buah
yang diinginkan konsumen serta informasi mengenai
harga produk. Selain itu, dukungan dalam bentuk
modal dan input serta adanya perubahan relasi agen
pemasaran yang memperlakukan petani sebagai
partner setara yang membuat kerja sama kedua belah
pihak membaik. Namun semua perubahan pemasaran
yang terjadi tidak banyak mempengaruhi kualitas
buah dan sayuran yang dipasarkan ke pasar
tradisional mengingat buah dan sayuran yang masuk
ke pasar tradisional adalah kualitas terbawah, yaitu
yang tidak diterima di pasar supermarket dan ekspor.
Kalaupun petani menjual sayuran dan buah mereka
ke pasar tradisional, petani menjual dalam bentuk
campuran (tidak disortir), sehingga nilai tambah yang
diterima petani yang menjual sayur dan buah ke pasar
tradisional terbilang kecil meskipun konsumen
terbesar terdapat pada segmen pasar ini.
Implikasi ke depan dari penelitian ini adalah
pemerintah melalui kelembagaan terkait bekerjasama
dengan petani sayur dan buah untuk menghasilkan
produk bermutu melalui melalui pengenalan varietas
unggul dan teknologi produksi serta mendorong
35
petani melakukan penyortiran produk yang akan
dijual ke pasar tradisional agar petani sayuran dan
buah juga mendapatkan nilai tambah ekonomi saat
menjualan sayuran dan buah mereka ke pasar
tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Agricultural and Agri-Food Canada. (2011). The
Indonesian Consumer, behavior, attitudes
and perceptions toward food products,
Market Analysis Report, prepared by
Agricultural and Agri-Food Canada, Canada.
Diambil 20 April 2014, dari
http://www5.agr.gc.ca/resources/prod/Intern
et-Internet/MISB-DGSIM/ATS-
SEA/PDF/5715-eng.pdf
Ariawan, A. (2014, 29 Januari ), Jumlah pasar
tradisional terus menyusut.
Suaramerdeka.com, 2014, viewed 25 April
2014, dari
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/
news/2014/01/29/189066
Asmon, D. (2004). Kajian ekonomi dan kelembagaan
usahatani sayur daun-daunan (leavy
vegetables) di Kota Pekan Baru (Master
thesis). Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Barus, S. (2008). Analisis sikap dan minat konsumen
dalam pembelian buah-buahan di Carrefour,
Plaza Medan Fair dan supermarket
Brastagi, Medan (Tesis master) . Universitas
Sumatra Utara, Medan, Indonesia
Cholic, A., dan Ambarsari, I. (2009). Prospek
usahatani tanaman sayuran di Kabupaten
Brebes. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 12 (2),
135-145.
Hastuti, EY. (2008).Pengaruh penerapan system
agribisnis terhadap peningkatan pendapatan
petani sayuran di Kabupaten Boyolali (Tesis
master). Universitas Diponegoro. Semarang.
Indonesia.
Hardesty,SD., & Leff, P. (2009). Determining
marketing costs and returns in alternative
marketing channels. Renewable
Agricultural and Food Systems, 25 (1), 24-
34.
Ismail, M., Kavoi, MM., Eric, BK. (2013), Factors
influencing the choice of supermarket
channel by smallholder vegetable farmer
suppliers in Nairobi and Kiambu Counties,
Kenya, Journal of Agricultural Economics
and Development, 2 (9), 333-344.
Izza, N. (2010). Pengaruh pasar modern terhadap
pedagang pasar tradisional : Studi pengaruh
Ambarukmo Plaza terhadap perekonomian
pedagang pasar Desa Caturtunggal
Nologaten, Depok-Sleman, Yogyakarta
(undergraduate thesis). Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Indonesia.
Kementan. (2014). Statistik Pertanian 2014
Kementrian Pertanian. (2013). Buku saku data
hortikultura 2008-2013. Kementrian
Pertanian, Direktorat Jendral Hortikultura,
Jakarta.
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.(
2010). Rencana strategis Kementrian
Perdagangan periode 2010-2014. Diambil
20 April 2014,dari
http://www.satupemerintah.net/publics/Rens
tra_Kementerian_Perdagangan_2010-
2014.pdf
Lemeilleur, S., & Codron, JM. (2011). Marketing
cooperative vs. Commission agent: The
Turkish dilemma of the modern fresh fruits
and vegetable market, Food Policy 36, 272-
279. Minot, N., Stinger, R., Reardon, T., Umberger, W.,
Wahida, Natawidjaja, R., Suprehatin, Toiba, H.,
Perkasa, HW., Rum, IA., Wicaksena, B. and
Fradilla, H. (2013). Markets for high-value
commodities in Indonesia: Promoting
competitiveness and inclusiveness, ACIAR
report, October.
Mukti, GW., & Kusumo, RAB . (2014). Kolaborasi bisnis
petani skala kecil dan suplier dalam pengadaan
sayuran berkualitas bagi konsumen modern,
Prosiding Seminar Nasional PERHORTI 2014.
Malang 5-7 November 2014, 595-602.
Nawidjaja, RS., Deliana, Y., Rusastra, W., Perdana,
T., Napitupulu, TA., Sulistyoningrum, H., &
Rahayu, YM. (2007). Indonesia, The
transparent margin partnership model:
Linking mango farmers to dynamic markets.
Center for Agricultural Policy and
Agribusiness Studies (CAPAS) report.
Padjadjaran University.
Prayitno, AB., Hasyim, AI., & Situmorang, S.
(2013). Efisiensi pemasaran cabai merah di
Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pringsewu
Provinsi Lampung. JIIA, 1(1), 53-59.
Pusdatin. (2014). Buletin Konsumsi Pangan, 5 (1)
Pusdatin. (2013). Analisis PDB sektor pertanian
tahun 2013. Diambil 31 March 2014, dari
http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymc
puk/gambar/file/Analisis_PDB_2013.pdf
Sahara. (2012), The transformation of modern food
retails in Indonesia: opportunities and
challanges for smallholder farmers
(Doctoral Dissertation). The University of
Adelaide. South Australia.
36
Saptana, Mayrowani, H., Agustian, A., & Sunarsih.
(2006). Analisis kelembagaan kemitraan
rantai pasok komoditas hortikultura.
Makalah seminar hasil penelitian, Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Shepherd. (2007). The implications of supermarket
development for horticulture farmers and
traditional marketing systems in Asia,
Agricultural Management, Marketing and
Finance Service. FAO. Rome.
World Bank. (2007). Producers and supermarket
development in Indonesia, Republic of
Indonesia, World Bank Report No.38543-
ID. Jakarta.
37
Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kopra Indonesia di Pasar Internasional
Analysis of Competitiveness Advantage of Indonesian Copra Export Commodities in The
International Market
Salman Faris Rinaldi, S.P1*, Tuti Karyani2
1*Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Jatinangor, [email protected] 2Staff Pengajar sekaligus Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci: Daya Saing
Ekspor
Kopra
Indonesia
Besarnya pangsa pasar dan nilai ekspor neto yang dimiliki oleh Indonesia, posisi Indonesia yang
menempati eksportir kopra terbesar pertama di dunia dan peran kopra, minyak kelapa dan minyak
goreng kelapa yang termasuk dalam lima belas besar komoditas yang berperan dalam ekspor
Indonesia pada kelompok kelapa dan kelapa sawit menjadi potensi Indonesia untuk meningkatkan
daya saing. Namun sebelum menentukan strategi untuk meningkatkan daya saing, Indonesia
harus mengetahui terlebih dahulu struktur pasar yang dijalani dan posisi daya saing yang dimiliki
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : a) menganalisis struktur pasar kelompok komoditi
kopra yang dihadapi Indonesia dalam perdagangan kopra internasional, b) menganalisis posisi
daya saing ekspor kelompok komoditi kopra Indonesia di pasar internasional. Ruang lingkup
penelitian ini terbatas pada : a) komoditi kopra yang dimaksud adalah kopra, minyak kelapa,
minyak goreng kelapa. b) negara pembanding yang digunakan adalah Belanda, Filipina, India,
Malaysia dan Vietnam, c) periode analisis penelitian dari tahun 2009 sampai 2013. Desain
penelitian menggunakan desain kualitatif dengan teknik penelitian deskriptif. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang berupa data deret waktu (time series) selama lima tahun dari
tahun 2009 sampai tahun 2013 dan data primer. Teknik pengumpulan data yaitu wawancara dan
studi kepustakaan. Rancangan analisis data menggunakan Concentration Ratio (CR4), Herfindahl
Index (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Porterβs Diamond. Hasil penelitian
menunjukkan struktur pasar ketiga komoditas (kopra, minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa)
berupa pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi pasar yang tinggi. Indonesia memiliki daya
saing yang kuat dari segi keunggulan komparatif pada seluruh komoditas yang diteliti, ditandai
dengan nilai Indeks RCA yang lebih besar dari satu. Keunggulan komparatif yang paling besar
ada pada minyak kelapa. Dari segi keunggulan kompetitif, Indonesia memiliki keunggulan pada
SDA dan kuantitas SDM yang banyak dan peluang pada peningkatan populasi negara pengimpor,
peningkatan pendapatan perkapita di negara pengimpor, potensi pengolahan oleh industri,
diversifikasi produk menjadi produk turunan lainnya, dan liberalisasi perdagangan. Namun
Indonesia masih memiliki kendala dalam kualitas SDM, permodalan, infrastruktur dan intervensi
kebijakan pemerintah pada kelapa yang minim
ABSTRACT
Keywords: Competitiveness
Export
Copra
Indonesia
The bigest of market share and netto export value the Indonesia country own; the Indonesia
position which is the first bigest exportir in the world and the function of copra, crude coconut
oil and edible coconut oil which is included in the fifteen best Indonesiaβs eksport comodity for
the copra and palm oil in Indonesia are being Indonesiaβs potency to increase Indonesiaβs
competitiveness advantage. However, the strategic to increase Indonesiaβs competitiveness
advantage should now the market structur it self and the positioning competitor own of Indonesia.
This study aims to a) to analyze the structure of copraβs market in international copra trade, b)
analyze the competitive position of Indonesian copra export commodities in the international
market. The scope of this study is limited to: a) within the meaning of copra are copra, crude
coconut oil and edible coconut oil. b) Comparator country to needed is Netherlands, Philippines,
India, Malaysia and Vietnam, c) the research analizes period from from 2009 until 2013. This
study used qualitative descriptive study. This study uses secondary data such as time series data
for five years from 2009 until 2013 and primary data. Data collection techniques are interviews
38
and literature study. The design of data analysis using the Concentration Ratio (CR4), Herfindahl
Index (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA) and Porter's Diamond. The research results
showed that three commodities (copra, coconut oil, and coconut oil) has oligopolist tied market
structure with a high level of concentration. Indonesia had a comparative advantage in that
commodities. Which characterized by RCA index value is greater than one. The greatest
comparative advantage is crude coconut oil. In terms of competitive advantage, Indonesianβs
advantage are on natural resources and quantity of human resources. and a lot of opportunities
to increase the population of the importing country, the increase in per capita income in the
importing country, the potential of processing industry, product diversification, and trade
liberalization. But Indonesia has obstacle in human resourches quality, product quality, financial
capital, infrastructure and minimize intervention goverment policy to copra..
39
PENDAHULUAN
Kelapa memiliki banyak sekali manfaat
dikarenakan seluruh bagian tanaman tersebut dapat
dimanfaatkan. Salah satu bagian dari kelapa yang
bermanfaat adalah daging kelapa yang dapat
dijadikan daging kelapa parut dan kopra. Kopra yang
merupakan produk turunan setengah jadi dari kelapa
ini merupakan salah satu penghasil devisa yang dapat
diandalkan. Komoditi ini menjadi salah satu usaha
andalan pemerintah karena memberikan pangsa pasar
ekspor cukup besar diantara komoditi pertanian
lainnya. Jumlah ekspor produk kopra umumnya
menunjukkan trend yang meningkat lalu menurun
(Gambar 1).
Daya saing komoditi kopra suatu negara produsen
kopra dapat dikaji secara umum dari kinerja
pertumbuhan ekspor kopranya. Menurut UN
Comtrade (United Nation β Comodity Trade),
komoditi kopra Indonesia menguasai 31,9 persen
pangsa pasar dunia dan menempati urutan pertama
negara pengekspor terbesar di dunia pada tahun 2013.
Jumlah pangsa pasar yang besar ini menjadi sangat
penting karena memberi manfaat secara ekonomi
bagi negara yaitu kontribusi terhadap devisa negara
serta posisi daya saing kopra Indonesia di dunia.
Gambar 1. Grafik Perubahan Volume Ekspor Kopra
Indonesia dengan Beberapa Negara Produsen kopra
lainnya (dalam juta kg)
Jumlah ekspor kopra Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2012 lalu
mengalami penurunan di tahun berikutnya (Gambar
1). Menurut Donatus Gede Sabu, Sekretaris Jenderal
Forum Komunikasi Perkelapaan Indonesia (dalam
koran bisnis online, Kontan.co.id, 2013), penurunan
pada tahun 2013 ini disebabkan musim hujan di
beberapa wilayah Indonesia yang membuat petani
kelapa kesulitan menjemur kelapa sehingga sulit
mendapatkan kopra yang bagus.
Meski mengalami jumlah ekspor terendah,
Indonesia tetap menempati posisi ekspor terbesar
pertama. Hal ini dikarenakan dunia sedang
mengalami penurunan ekspor kopra secara drastis
terutama dari pesaing berat Indonesia di komoditas
kopra yaitu Vietnam (Gambar 1).
Jika diurutkan berdasarkan data UN Comtrade
(United Nation Comodity Trade) urutan jumlah
ekspor dari yang terbesar adalah minyak kelapa,
Minyak Goreng Kelapa, dan yang terakhir adalah
Kopra (Tabel 1).
Komoditi
Ekspor
2009
2010
2011
2012
2013
Kopra
15.7
32.6
83
21.4
50.7
75
31.8
62.8
05
31.6
36.9
02
18.6
02.6
30
Minyak Kelapa
267.9
06.5
06
357.2
37.5
57
530.9
41.6
12
639.6
48.2
36
315.9
15.9
94
Minyak Goreng Kelapa
119.4
53.2
72
208.8
30.4
41
406.8
14.6
32
308.0
95.6
51
211.6
17.9
43
Tabel 1. Jumlah Ekspor Kopra Indonesia dan Produk
Turunannya di Indonesia tahun 2009-2013 (dalam kg)
Sumber : UN Comtrade (United Nation β Comodity
Trade), diolah (2015)
Komoditi
Impor
2009
2010
2011
2012
2013
Kopra
54.7
40
54.5
34
14.8
03
65.5
76
189.9
28
Minyak Kelapa
53.2
29
n.a
n.a
316
1.9
95.4
09
Minyak Goreng Kelapa
326.5
77
329.0
19
69.9
64
286.6
29
178.7
36
Tabel 2. Nilai Impor Kopra Indonesia dan Produk
Turunannya tahun 2009-2013 (kg)
Keterangan : n.a = Data tidak tersedia
Sumber : UN Comtrade (United Nation Comodity
Trade), diolah (2015)
0
50
100
150
200
250
2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3
Vo
lum
e Ek
spo
r (
juta
kg)
TahunBelanda Filipina India
Indonesia Malaysia Vietnam
40
Menurut United Nation Comodity Trade (2015),
Indonesia adalah produsen dan eksportir komoditi
kopra terbesar di dunia. Meskipun sebagai negara
produsen kopra terbesar di dunia, tetapi impor
beberapa jenis produk kopra dan turunannya masih
ada di Indonesia seperti yang terlihat dalam Tabel 2.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2007:9), impor seperti itu biasanya
dilakukan untuk pengamanan cadangan penggunaan
dalam negeri jika suatu saat diperlukan. Hal ini
dikarenakan jumlah produksi kopra tidak stabil setiap
bulannya yang disebabkan oleh faktor cuaca.
Dibandingkan ekspornya, volume impor
Indonesia untuk produk kopra dan turunannya jauh
lebih rendah (Tabel 1 dan Tabel 2). Secara implisit
ini berarti Indonesia masih merupakan pengekspor
neto produk-produk kopra dan turunannya seperti
pada Tabel 3.
Komoditi
Ekspor Neto
2009
2010
2011
2012
2013
Kopra
15.6
77.9
43
21.3
96.2
41
31.8
48.0
02
31.5
71.3
26
18.4
12.7
02
Minyak Kelapa
267.8
53.2
77
#V
AL
UE
!
#V
AL
UE
!
639.6
47.9
20
313.9
20.5
85
Minyak Goreng Kelapa
119.1
26.6
95
208.5
01.4
22
406.7
44.6
68
307.8
09.0
22
211.4
39.2
07
Tabel 3. Nilai Ekspor Neto Kopra Indonesia dan Produk
Turunannya Thn 2009-2013 (kg)
Keterangan : Ekspor Neto = Ekspor β Impor ;
#VALUE! = data tidak tersedia
Sumber : Tabel 1 dan Tabel 2, diolah (2015)
Besarnya nilai ekspor kopra Indonesia dan produk
turunannya dibandingkan nilai impornya dipandang
sebagai potensi untuk meningkatkan daya saing agar
dapat menghasilkan produk kopra yang semakin
kompetitif di pasar internasional. Peningkatan daya
saing komoditi merupakan tantangan bagi komoditi
kopra di Indonesia untuk bisa tetap bertahan di era
perdagangan bebas.
Besarnya pangsa pasar dan nilai ekspor neto yang
dimiliki oleh Indonesia, posisi Indonesia yang
menempati eksportir kopra terbesar pertama di dunia
dan peran ketiga komoditas yang termasuk dalam
lima belas besar komoditas yang berperan dalam
ekspor Indonesia pada kelompok kelapa dan kelapa
sawit menjadi potensi Indonesia untuk meningkatkan
daya saing. Namun sebelum menentukan strategi
untuk meningkatkan daya saing, Indonesia harus
mengetahui terlebih dahulu struktur pasar yang
dijalani dan posisi daya saing yang dimiliki
Indonesia.
Tujuan Penulisan:
1. Menganalisis struktur pasar kelompok negara
komoditi kopra yang dihadapi Indonesia dalam
perdagangan kopra internasional.
2. Menganalisis posisi daya saing ekspor kelompok
komoditi kopra Indonesia di pasar internasional
RUANG LINGKUP PENELITIAN 1. Yang dimaksud dengan komoditi kopra pada penelitian
ini adalah Kopra (HS 120300); Minyak Kelapa (HS
151311); Minyak Goreng kelapa (HS 151319). Hal ini
dikarenakan minyak kelapa dan minyak goreng kelapa
merupakan produk turunan dari kopra yang masuk
pada lima belas besar sub kelompok hasil industri
pengolahan kelapa/kelapa sawit Kementerian
Perindustrian. Sementara untuk sub turunan kopra
yang lain seperti Chocochemical dan pakan ternak
tidak termasuk karena peran mereka tidak terlalu besar
kepada total ekspor hasil industri pengolahan
kelapa/kelapa sawit.
2. Pada penelitian ini menggunakan pembanding negara
Belanda, Filipina, India, Malaysia dan Vietnam.
Pemilihan negara-negara tersebut berdasarkan empat
besar negara dengan jumlah ekspor terbesar selama
tahun 2009-2013 pada Kopra, Minyak Kelapa dan
Minyak Goreng kelapa.
3. Batasan periode analisis penelitian dari tahun 2009
sampai 2013 karena keterbatasan ketersediaan data
beserta keterbatasan ketersediaan waktu penelitian
KERANGKA TEORI
Menurut Simanjuntak (1992:45) dalam
Febriyanthi (2008:30), daya saing merupakan
kemampuan suatu produsen untuk memproduksi
suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah
sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar
internasional, kegiatan produksi tersebut
menguntungkan. Pendekatan yang dapat digunakan
untuk mengukur daya saing suatu komoditi menurut
beliau, adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan
dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut.
Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan
privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi
pengusahaan komoditi dapat dari tingkat keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif.
41
Menurut Tambunan (2001:98), keunggulan
komparatif dapat diukur salah satunya dengan
menggunakan Balassa's Revealed Comparative
Advantage Index (yang selanjutnya disebut RCA),
yang bertujuan untuk membandingkan pangsa pasar
ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa
pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnya.
Kelemahan metode RCA adalah mengukur
keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan
asumsi perdagangan bebas dan produk homogen,
serta mengesampingkan pentingnya permintaan
domestik, ukuran pasar domestik, dan
perkembangannya. Selain itu, metode ini juga tidak
dapat membedakan antara peningkatan di dalam
faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan
perdagangan yang sesuai (Silalahi, 2007). Sehingga
untuk menutupi kelemahan metode RCA ini,
digunakan pendekatan keunggulan kompetitif
menggunakan Porterβs Diamods yang mengukur
peningkatan di dalam faktor sumber daya dan
penerapan kebijakan yang sesuai.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
deskriptif. Software Microsoft Excel 2013 digunakan
untuk pengolahan data dalam penelitian. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berupa data deret waktu (time series) selama
lima tahun dari tahun 2009 sampai tahun 2013.
Sumber data diperoleh dari Kementerian
Perindustrian, Departemen Pertanian, Badan Pusat
Statistik, Asian Pacific Coconut Community (APCC),
yang ditelusuri melalui jaringan internet.
Analisis Struktur Pasar
Pada penelitian ini digunakan Concentration
Ratio dan Herfindahl Index (HI) untuk mengetahui
tingkat konsentrasi pasar kopra secara internasional.
Dari analisis tingkat konsentrasi pasar akan dapat
diketahui struktur atau bentuk pasar yang dihadapi
dari perdagangan komoditi kopra yang pada akhirnya
dapat menentukan tingkat persaingan yang dihadapi.
Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan
menggunakan formula sebagai berikut:
Sij = Xij / TXj
Dimana, Sij = Pangsa pasar kopra negara i di pasar
internasional ; Xij = Nilai ekspor kopra negara i di
pasar internasional ; TXj = Total nilai ekspor kopra
di pasar internasional.
Formula yang sama kemudian digunakan untuk
mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu
negara dalam perdagangan kopra internasional, yaitu
sebagai berikut:
HI = Sij12 + Sij2
2 + Sij32 + β¦ + Sijn
2
Dimana, HI = Herfindahl Index; Sij = pangsa
pasar komoditi i (dalam hal ini adalah kopra) negara
j di pasar internasional ; n = jumlah negara produsen
kopra di pasar internasional
Kisaran nilai Herfindahl Index yang diperoleh
adalah antara 0 dan 1 (atau 10000 yang merupakan
kuadrat dari 100 persen). Jika nilai HI mendekati 0
berarti struktur pasar industri yang bersangkutan
cenderung mengarah kepada pasar persaingan
(competitive market). Kemudian, jika nilai HI
mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar
industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Rasio
konsentrasi pasar dirumuskan sebagai berikut:
CR4 = Sij1 + Sij2 + Sij3 + Sij4
Dimana: CR4 = nilai konsentrasi pasar empat
negara produsen utama kopra di pasar internasional ;
Sij = pangsa pasar negara ke-i penghasil kopra di
pasar internasional
Menurut Internet Center For Management and
Business Administration (2007), Bentuk Struktur
pasar yang dirumuskan dari nilai Herfindahl Index
dan CR4 adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan
nilai CR4 yang berkisar antara 80 hingga 100
persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara
1800 hingga 10000. Bentuk pasar yang mungkin
untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli
atau sedikit monopoli yang cenderung oligopoli.
2. Konsentrasi pasar sedang dicirikan dengan nilai
CR4 antara 50 hingga 80 persen dan nilai HI yang
berkisar antara 1000 hingga 1800. Bentuk pasar
untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih
banyak oligopoli.
3. Konsentrasi pasar rendah dicirikan dengan nilai
CR4 antara 0 dan 50 persen dan HI antara 0 dan
1000. Bentuk pasar yang sangat ekstrim adalah
persaingan sempurna, namun sekurang-
kurangnya adalah persaingan monopolistik
42
Analisis Daya Saing
Menurut Tambunan (2001:98), keunggulan
komparatif dapat diukur salah satunya dengan
menggunakan Balassa's Revealed Comparative
Advantage Index. Untuk menutupi kelemahan
metode RCA ini, digunakan pendekatan keunggulan
kompetitif menggunakan Porterβs Diamods yang
mengukur peningkatan di dalam faktor sumber daya
dan penerapan kebijakan yang sesuai.
Formula RCA dapat dirumuskan sebagai berikut:
π πΆπ΄ =
[πππ
β ππππ]
[πππ€
β πππ€π]
Dimana :
X ij = nilai ekspor komoditas kopra dari negara
j
β X ij = total nilai ekspor seluruh komoditas dari
negara j
X iw = nilai ekspor komoditas kopra dari seluruh
dunia
βX iw = total nilai ekspor seluruh komoditas dari
seluruh dunia
Apabila nilai RCA produk suatu negara lebih
besar dari 1, maka negara tersebut memiliki
keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat pada
produk tersebut. Apabila nilai RCA kurang dari 1,
maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan
komparatif dalam produk tersebut atau mempunyai
daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA
maka daya saing suatu negara akan semakin kuat.
Menurut Porter (1998:87), terdapat empat atribut
yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif suatu
industri nasional, yaitu kondisi faktor (factor
conditions), kondisi permintaan (demand
conditions), industri pendukung dan terkait (related
and supporting industry), serta strategi perusahaan,
struktur, dan persaingan (firms strategy, structure,
and rivalry). Keempat atribut tersebut saling
berkaitan dan berhubungan satu sama lain sehingga
membentuk suatu sistem yang dikenal dengan
Porterβs Diamond (Internet Center For Management
and Business Administration, 2014). Selain itu,
tedapat dua variabel tambahan yang secara tidak
langsung mempengaruhi daya saing suatu industri
atau pengusahaan suatu komoditas dalam suatu
negara seperti terlihat pada Gambar 2.
Sumber: Michael E.Porter. (1998)
Keterangan:
Garis ( ), menunjukkan hubungan antara
atribut utama
Garis ( ), menunjukkan hubungan antara
atribut tambahan terhadap atribut utama
Gambar 2. The National Diamond System
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. ANALISIS STRUKTUR PASAR
1.1. Analisis Struktur Pasar Komoditas Kopra
(HS 120300)
Nilai Herfindahl Index kopra dunia selama
periode 2009-2013 relatif stabil jika dibandingkan
pada nilai Herfindahl Index komoditas minyak
kelapa yaitu berkisar antara 1.814 hingga 2.272
dengan nilai rata-ratanya sebesar 2.091,1 (Tabel 4).
Hal ini menunjukkan bahwa komoditas kopra di
pasar internasional mengarah pada struktur pasar
oligopoli ketat.
Tabel 4.Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio
Konsentrasi Komoditas Kopra (HS 120300) di Pasar
Internasional Tahun 2009-2013
Tahun
Jumlah
Negara
Eksportir
Nilai
Herfindahl
Index
Nilai
CR4
(%)
2009 28 1.814 83,9
2010 27 2.141 81,4
2011 31 2.268 81,6
2012 31 1.960 83,5
2013 33 2.272 91,8
Rerata 30 2091,1 84,5
Sumber : United Nations Commodity Trade
Statistics Database, (Diolah) 2015
Pada periode 2009-2013, jumlah negara yang
bertindak sebagai eksportir kopra cenderung
mengalami peningkatan dari 28 negara hingga
mencapai 33 negara dengan rata-rata 30 negara per
tahunnya (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan bahwa
dalam perdagangan kopra di pasar internasional
persaingannya semakin ketat seiring dengan
bertambah banyaknya negara yang terlibat dalam
perdagangan tersebut.
Pada Tabel 4 juga dapat dilihat hasil analisis
konsentrasi pasar dari empat negara produsen
terbesar kopra di dunia. Selama periode 2009-2013,
rata-rata nilai CR4 yang diperoleh adalah sebesar
84,5 persen. Hal ini berarti 84,5 persen dari seluruh
pangsa pasar ekspor kopra dunia dikuasai oleh empat
negara terbesar tersebut dan sisanya 15,5 persen
dikuasai oleh 26 negara eksportir lainnya (rata-rata
30 negara dikurangi 4 negara). Sehingga dapat
diketahui bahwa struktur pasar kopra dunia memiliki
tingkat konsentrasi pasar yang tinggi dimana rasio
43
konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai
CR4 yang lebih dari empat puluh persen dan
mendekati seratus persen.
Tabel 5. Pangsa Pasar Empat Negara Produsen Kopra
Terbesar di Dunia
Rank Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
1 India*
(22,3%)
Vietnam*
(36,7%)
Vietnam*
(38,7%)
Indonesia*
(27,6%)
Indonesia*
(31,9% )
2 Vietnam*
(21,9%)
Indonesia*
(17,2%)
Indonesia*
(16,3%)
Kep.
Solomon (24,9%)
India*
(23,7%)
3 Indonesia* (19,9%)
Mesir (15,1%)
India* (13,9%)
India* (16,5%)
Vietnam* (21,1%)
4 Mesir
(19,9%) India*
(12,4%)
Kep. Solomon
(12,7%)
Vietnam* (14,5%)
Mesir (15,1%)
Keterangan :
Didalam tanda kurung merupakan pangsa pasar
masing-masing negara ; Negara dengan tanda *
merupakan negara anggota APCC
Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics
Database, (Diolah) 2015
Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index
yang menunjukkan pasar kopra internasional berupa
pasar oligopoli ketat dan konsentrasi pasar yang lebih
dari 80 persen dapat diambil kesimpulan bahwa pasar
komoditas kopra internasional berupa pasar oligopoli
ketat dengan rasio konsentrasi pasar yang tinggi.
1.2. Analisis Struktur Pasar Komoditas Minyak
Kelapa (HS 151311)
Nilai Herfindahl Index komoditas minyak kelapa
dunia selama periode 2009-2013 cenderung
berfluktuatif, berkisar antara 3.873-5.127 dengan
nilai rata-rata Herfindahl Index sebesar 4.281,4
(Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa komoditas
minyak kelapa di pasar internasional mengarah pada
struktur pasar oligopoli ketat.
Tabel 6. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio
Konsentrasi Komoditas Minyak Kelapa (HS 151311) di
Pasar Internasional Tahun 2009-2013
Tahun Jumlah Negara
Eksportir
Nilai Herfindahl
Index
Nilai
CR4(%)
2009 63 3.923 92,9
2010 64 5.127 95,9
2011 62 3.873 91,8
2012 71 4.026 94,1
2013 70 4.457 94,0
Rerata 66 4.281,4 93,8
Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics
Database, (Diolah) 2015
Pada periode 2009-2013, berdasarkan data yang
diperoleh dari United Nations Commodity Trade
(2015), jumlah negara yang bertindak sebagai
eksportir minyak kelapa cenderung berfluktuatif
mulai dari yang tersedikit sebanyak 62 negara hingga
yang terbanyak mencapai 71 negara dengan rata-rata
66 negara per tahunnya (Tabel 6). Hal ini
mengindikasikan bahwa cukup banyak negara yang
tertarik dan terlibat dalam perdagangan minyak
kelapa di pasar internasional. Dibandingkan dengan
kopra, negara-negara di dunia lebih tertarik
berkecimpung di minyak kelapa. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah rata-rata negara eksportir minyak
kelapa yang lebih besar dari jumlah rata-rata negara
eksportir kopra.
Tabel 7 Pangsa Pasar Empat Negara Produsen
Komoditas Minyak Kelapa Terbesar di Dunia Pering
kat
Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
1 Filipina*
(52,2%)
Filipina*
(67,2%)
Filipina*
(54,2%)
Filipina*
(44,9%)
Filipina*
(57,5%)
2 Indonesia*
(34,3%)
Indonesia*
(24,5%)
Indonesia*
(29,9%)
Indonesia*
(44,6%)
Indonesia*
(33,9%)
3 Belanda
(4,1%)
Belanda
(3,1%)
Papua*
(5,1%)
Malaysia*
(2,5%)
Sri Lanka
(1,4%)
4 Malaysia*
(2,4%)
Malaysia*
(1,2%)
Belanda
(2,6%)
Papua*
(1,9%)
Belanda
(1,3%)
Keterangan : Didalam tanda kurung merupakan
pangsa pasar masing-masing negara.
Negara dengan tanda * merupakan negara anggota
APCC
Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics
Database, (Diolah) 2015
Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index
yang menunjukkan pasar minyak kelapa
internasional mengarah pada pasar oligopoli ketat
dan rata-rata konsentrasi pasar yang mencapai 93,8
persen dapat diambil kesimpulan bahwa pasar
komoditas minyak kelapa internasional berupa pasar
oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar yang tinggi.
1.3. Analisis Struktur Pasar Komoditas Minyak
Goreng Kelapa (HS 151319)
Nilai Herfindahl Index minyak goreng kelapa
(HS 151319) dunia selama periode 2009-2013 relatif
stabil jika dibandingkan dengan minyak kelapa, yaitu
berkisar antara 1.967-2.262 dengan nilai rata-rata
Herfindahl Index sebesar 2.152,8 (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas minyak goreng
kelapa di pasar internasional mengarah pada struktur
pasar oligopoli ketat.
44
Tabel 8. Hasil Analisis Herfindahl Index dan Rasio
Konsentrasi Komoditas Minyak Goreng Kelapa (HS
151319) di Pasar Internasional Tahun 2009-2013
Tahun
Jumlah
Negara
Eksportir
Nilai Herfindahl
Index
Nilai
CR4
(%)
2009 85 1.967 85,1
2010 86 2.176 89,2
2011 82 2.213 90,8
2012 83 2.146 88,4
2013 80 2.262 87,2
Rerata 83 2.152,8 88,1
Sumber : United Nations Commodity Trade
Statistics Database, (Diolah) 2015
Pada periode 2009-2013, berdasarkan data yang
diperoleh dari UN Comtrade (United Nation
Comodity Trade) (2015), jumlah negara yang
bertindak sebagai eksportir minyak goreng kelapa
cenderung mengalami penurunan dari 85 negara
hingga mencapai 80 negara dengan rata-rata 83
negara per tahunnya (Tabel 8). Hal ini menunjukkan
bahwa dalam perdagangan minyak goreng kelapa di
pasar internasional persaingannya semakin βlonggarβ
seiring dengan berkurangnya negara yang terlibat
dalam perdagangan tersebut. Hal ini diduga karena
adanya peralihan preferensi konsumen dari minyak
goreng berbahan baku kelapa ke minyak goreng
berbahan baku kelapa sawit dan berkembangnya
industri chocochemical yang masih merupakan
produk turunan dari minyak kelapa.
Pada Tabel 8 juga dapat dilihat hasil analisis
konsentrasi pasar dari empat negara produsen
terbesar minyak goreng kelapa di dunia. Selama
periode 2009-2013, rata-rata nilai CR4 yang
diperoleh adalah sebesar 88,1 persen. Hal ini berarti
88,1 persen dari seluruh pangsa pasar ekspor minyak
goreng kelapa dunia dikuasai oleh empat negara
terbesar tersebut dan sisanya 11,9 persen dikuasai
oleh 79 negara eksportir lainnya (rata-rata 83 negara
dikurangi 4 negara). Dari hasil nilai CR4 tersebut
dapat diketahui bahwa struktur pasar minyak goreng
kelapa dunia mengarah pada struktur pasar oligopoli
ketat dimana rasio konsentrasi pasar yang tinggi
dicirikan dengan nilai CR4 yang lebih dari empat
puluh persen dan mendekati seratus persen.
Tabel 9. Pangsa Pasar Empat Negara Produsen
Komoditas Minyak Goreng Kelapa Terbesar di
Dunia
Rank Tahun
2009 2010 2011 2012 2013
1 Filipina*
(30,8%)
Filipina*
(32,3%)
Filipina*
(29,8%)
Filipina*
(29,9%)
Filipina*
(35,8%)
2 Indonesia*
(19,7%)
Indonesia*
(23,5%)
Indonesia*
(26,2%)
Indonesia*
(24,7%)
Belanda
(22,8%)
3 Belanda
(19,4%)
Belanda
(19,3%)
Belanda
(20,8%)
Belanda
(22,2%)
Indonesia*
(18,3%)
4 Malaysia*
(15,3%)
Malaysia*
(14,2%)
Malaysia*
(14,1%)
Malaysia*
(11,6%)
Malaysia*
(10,3%)
Keterangan : didalam tanda kurung merupakan
pangsa pasar masing-masing negara
Negara dengan tanda * merupakan negara anggota
APCC
Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics
Database, (Diolah) 2015
Dari hasil perhitungan nilai Herfindahl Index
yang menunjukkan pasar minyak goreng kelapa
internasional mengarah pada pasar oligopoli ketat
dan konsentrasi pasar yang mencapai 91,4 persen
dapat diambil kesimpulan bahwa struktur pasar
komoditas minyak goreng kelapa (HS 151319)
internasional berupa pasar monopoli dengan
konsentrasi pasar yang tinggi.
1.3 Analisis Daya Saing
Untuk mengalisis daya saing pada penelitian ini,
peneliti menggunakan analisis keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif mengingat
pendekatan melalui keunggulan komparatif memiliki
beberapa kelemahan sehingga ditutupi dengan
pendekatan keunggulan kompetitif
1.4. Analisis Keunggulan Komparatif
1) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas
Kopra
Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada
diperoleh hasil bahwa selama periode 2009-2013
Indonesia memiliki daya saing yang kuat (Indeks
RCA Indonesia lebih dari satu) pada komoditas
kopra. Hal ini berarti bahwa Indonesia memiliki
keunggulan komparatif pada komoditas kopra. Jika
dibandingkan dengan negara pembanding lainnya,
nilai Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua
terbesar setelah Vietnam yang menempati urutan
pertama (Gambar 3).
45
Pada tahun 2011, kopra Indonesia mempunyai
nilai Indeks RCA terendah selama periode 2009-
2013 yaitu sebesar 14,2. Nilai Indeks RCA ini
mengalami penurunan sebesar 2 poin dari tahun
sebelumnya yang sebesar 16,2. Hal ini disebabkan,
walaupun jumlah ekspor kopra Indonesia sedang
mengalami titik tertinggi di periode tersebut (yaitu
sebesar 31,8juta US) namun peningkatan ini juga
diiringi dengan peningkatan ekspor kopra dari negara
lain sehingga pangsa pasar Indonesia untuk
komoditas kopra menjadi kecil dan paling kecil jika
dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya (Tabel 5).
Sumber : Lampiran 9 (diolah), 2015
Gambar 3. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas
Kopra (HS 120300) Tahun 2009-2013
Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara
Indonesia dan Filipina cenderung meningkat
(Gambar 3). Berbeda dengan empat negara
sebelumnya, indeks nilai RCA negara Vietnam, India
dan Malaysia berfluktuatif sementara negara Belanda
terlihat tidak memiliki daya saing pada komoditas
kopra yang ditandai dengan nilai RCA yang nol.
Daya saing negara Belanda yang sangat rendah
pada komoditas kopra diduga karena Belanda lebih
tertarik untuk mengolah produk kopra yang relatif
masih berbentuk mentah menjadi produk setengah
jadi dan produk jadi seperti minyak kelapa dan
minyak goreng kelapa. Hal ini ditandai dengan
jumlah ekspor belanda pada komoditas kopra lebih
kecil daripada jumlah ekspor Belanda pada
komoditas minyak goreng kelapa (Lampiran 3, 4 dan
5). Negara Belanda pun termasuk empat besar negara
yang memiliki pangsa pasar terbesar pada produk
minyak kelapa (Tabel 7) dan minyak goreng kelapa
(Tabel 9)
2) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas
Minyak Kelapa
Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada
Lampiran 10 diperoleh hasil bahwa selama periode
2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat
(Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada
komoditas minyak kelapa. Hal ini berarti bahwa
Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada
komoditas minyak kelapa. Jika dibandingkan dengan
nilai rata-rata negara pembanding lainnya, nilai rata-
rata Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua
terbesar setelah Filipina yang menempati urutan
pertama (Lampiran 10).
Nilai RCA Indonesia masih terpaut jauh dengan
Filipina (Gambar 4). Hal ini dikarenakan nilai ekspor
minyak kelapa Filipina selalu lebih besar dari
Indonesia (Lampiran 4), dan jumlah ekspor dari
minyak kelapa rata-rata menyumbang sebanyak 1%
dari total ekspor seluruh komoditas di Filipina setiap
tahunnya. Sementara komoditas minyak kelapa
Indonesia hanya menyumbang antara 0,2% sampai
0,3% kepada total ekspor seluruh komoditas
Indonesia.
Sumber : Lampiran 10 (diolah), 2015
Gambar 4. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas
Minyak Kelapa (HS 151311) Tahun 2009-2013
Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara
Indonesia dan Malaysia relatif stabil. Sementara
negara Belanda cenderung menurun. Berbeda dengan
tiga negara sebelumnya, indeks nilai RCA negara
Filipina berfluktuatif dan negara vietnam
menunjukkan trend peningkatan walau masih sedikit.
Sementara negara India terlihat tidak memiliki daya
saing pada komoditas Minyak Kelapa yang ditandai
dengan nilai RCA yang nol (Gambar 4).
Daya saing negara India yang sangat rendah pada
komoditas minyak kelapa diduga karena India lebih
memfokuskan diri untuk ekspor pada bentuk mentah
(kopra) dan produk jadi (Minyak Goreng Kelapa)
dari pada produk setengah jadi (minyak kelapa). Hal
ini ditandai dengan jumlah ekspor India pada
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3
pan
gsa
pas
ar
tahun
Indonesia Vietnam Filipina
Belanda Malaysia India
0
50
100
150
200
250
2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3
Pan
gsa
Pas
ar
Tahun
Belanda Filipina India
Indonesia Malaysia Vietnam
46
komoditas kopra dan minyak goreng kelapa jauh
lebih besar daripada jumlah ekspor komoditas
minyak kelapa (Lampiran 3, 4 dan 5).
3) Analisis Keunggulan Komparatif Komoditas
Minyak Goreng Kelapa (HS 151319)
Berdasarkan perhitungan Indeks RCA pada
Lampiran 11 diperoleh hasil bahwa selama periode
2009-2013 Indonesia memiliki daya saing yang kuat
(Indeks RCA Indonesia lebih dari satu) pada
komoditas minyak goreng kelapa. Hal ini berarti
bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif
pada komoditas minyak goreng kelapa. Jika
dibandingkan dengan negara pembanding lainnya,
Nilai Indeks RCA Indonesia menempati posisi kedua
terbesar setelah Filipina. Sementara yang terkecil
adalah Vietnam yang memiliki nilai rata-rata Indeks
RCA sebesar nol selama tahun 2009 sampai 2013.
Nilai RCA Indonesia masih terpaut jauh
dengan Filipina (Lampiran 11). Hal ini dikarenakan
nilai ekspor minyak goreng kelapa Filipina selalu
lebih besar dari Indonesia (Lampiran 5), dan jumlah
ekspor dari minyak goreng kelapa Filipina rata-rata
menyumbang sebanyak 0,7% dari total ekspor
seluruh komoditas di Filipina setiap tahunnya.
Sementara komoditas minyak kelapa Indonesia
hanya menyumbang 0,1% kepada total ekspor
seluruh komoditas Indonesia.
Sumber : Lampiran 11 (diolah), 2015
Gambar 5. Nilai RCA Enam Negara Eksportir Komoditas
Minyak Goreng Kelapa (HS 151319) Tahun 2009-2013
Dari tahun ke tahun, nilai indeks RCA negara
Filipina dan Belanda menunjukkan tren meningkat
sementara nilai indeks RCA negara Malaysia
cenderung menurun. Nilai Indeks RCA negara
Indonesia dan India relatif stabil. Sementara negara
Belanda terlihat tidak memiliki daya saing pada
komoditas minyak goreng kelapa yang ditandai
dengan nilai rata-rata RCA-nya yang nol. (Gambar
4.4)
Daya saing negara Vietnam yang sangat rendah
pada komoditas minyak goreng kelapa diduga karena
Vietnam lebih tertarik untuk langsung mengekspor
kopra yang dimilikinya dalam bentuk mentah
daripada mengolah produk kopra menjadi produk
jadi seperti minyak goreng kelapa. Hal ini ditandai
dengan jumlah ekspor kopra Vietnam jauh lebih
besar daripada jumlah ekspor Vietnam pada
komoditas minyak kelapa dan minyak goreng kelapa
(Lampiran 3, 4 dan 5).
Dari hasil analisis ketiga komoditas (kopra,
minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa),
Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang
kuat pada seluruh komoditas tersebut. Ditandai
dengan nilai Indeks Revealed Comparative
Advantage yang selalu lebih besar dari satu. Dan nilai
rata-rata Indeks RCA pada minyak kelapa adalah
yang paling besar dibandingkan kopra dan minyak
goreng kelapa. Pangsa pasar untuk minyak kelapa
juga yang terbesar dibandingkan dengan komoditas
yang lain. Artinya, Minyak kelapa Indonesia
memiliki keunggulan komparatif yang paling besar.
Kuatnya daya saing dan tingginya pangsa pasar
kopra Indonesia dan produk turunannya di pasar
internasional menunjukkan bahwa Indonesia
mempunyai posisi yang cukup tangguh serta
berpotensi untuk menjadi pemimpin dalam
perdagangan kopra dan produk turunannya di pasar
internasional.
Untuk mengefisiensikan bentuk ekspor,
pemerintah sebaiknya fokus pada minyak kelapa
karena memiliki kenggulan komparatif yang paling
besar ditunjukkan dengan nilai indeks RCA dan
pangsa pasar paling besar. Namun melihat kondisi
kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang
dimiliki Indonesia yang tergolong rendah
(berdasarkan penelitian Turukay tahun 2008),
pemerintah lebih disarankan untuk tetap mengekspor
kopra dalam bentuk kopra dan minyak kelapa karena
nilai rata-rata Indeks RCA kopra menempati posisi
terbesar kedua setelah minyak kelapa sementara nilai
rata-rata Indeks RCA minyak goreng kelapa
Indonesia menempati urutan terkecil. Hal ini berarti
kopra memiliki keunggulan komparatif terbesar
kedua setelah minyak kelapa. Sedangkan minyak
goreng kelapa memiliki keunggulan komparatif yang
paling kecil.
2.2. Analisis Keunggulan Kompetitif
1) Faktor Sumberdaya
Komponen sumberdaya yang merupakan
potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengusahaan
0
20
40
60
80
100
120
140
2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4
Belanda Filipina India
Indonesia Malaysia Vietnam
47
kopra antara lain sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, sumberdaya modal, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta sumberdaya infrastruktur.
(1) Sumberdaya Alam
Pertanaman kelapa di Indonesia merupakan
yang terluas di dunia dengan pangsa 31,2% dari total
luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki
Filipina (25,8%), disusul India (16,0%), Sri Langka
(3,7%) dan Thailand (3,1%) Pertanaman kelapa
tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun
2005, total areal meliputi 3,29 juta ha, yakni
terdistribusi di pulau Sumatera 33,8%, Jawa 22,4%,
Bali, NTB dan NTT 5,9%, Kalimantan 6,8%,
Sulawesi 22,1%, Maluku dan Papua 9%. Produk
utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah
kopra dan minyak; di Jawa kelapa butir; Bali, NTB
dan NTT kelapa butir dan minyak; Kalimantan
kopra; Sulawesi minyak; Maluku dan Papua kopra.
Komposisi keadaan tanaman secara nasional
meliputi: tanaman belum menghasilkan (TBM)
seluas 16,2% (0,63 juta ha), tanaman menghasilkan
(TM) 73,6% (2,87 juta ha), dan tanaman tua/rusak
(TT/TR) 10,1% (0,39 juta ha) (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2007 : 1). Menurut catatan
Dewan Kelapa Indonesia (Dekindo) (dalam
Direktorat Jenderal Industri Agro, 2014), rata-rata
produksi buah kelapa Indonesia per tahun adalah 15,5
miliar butir, dimana 60% penggunaannya dalam
bentuk kopra dan minyak dan 40% dalam bentuk
lainnya (seperti kelapa segar, dan lain lain). Menurut
data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2014),
provinsi yang memiliki tingkat produksi tertinggi
ialah Provinsi Riau dan yang sedikit ialah Provinsi
DKI Jakarta. Produksi kelapa Indonesia relatif stabil
setiap tahunnya
(2) Sumberdaya Manusia
Perkebunan kelapa merupakan salah satu sektor
pertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja.
Hal ini tercermin dari luasnya areal perkebunan
rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta ha dan
melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani
di tahun 2007 (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2007 : 1).
Berdasarkan data Direktorat Pangan dan
Pertanian (2014:120), usahatani kelapa mampu
menghidupi sejumlah 37,2 juta orang di tahun 2013
(meningkat 1000% dalam 7 tahun sejak tahun 2007)
apabila 1 KK diasumsikan terdiri dari 5 anggota
keluarga. Dan menghidupi 22,3juta orang apabila
diasumsikan 60% dari seluruh petani kelapa
memproduksi kopra (menurut catatan DEKINDO
(Dewan Kelapa Indonesia), dari total produksi
kelapa, 60% kelapa diproduksi dalam bentuk kopra).
Jumlah tersebut belum termasuk masyarakat yang
terlibat dalam rantai pasok perniagaan kelapa dan
industri perkelapaan.
Banyaknya jumlah petani dalam perkebunan
rakyat kelapa belum sepenuhnya ditunjang dengan
kualitas sumberdaya manusia yang baik. Kualitas
tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan
tanaman kelapa ditentukan oleh kemampuan petani
dalam menerapkan dan memanfaatkan teknologi
serta teknik penanaman yang baik. Menurut
penelitian dari Turukay (2008:12) menyatakan
bahwa dalam hal penggunaan dan penerapan
teknologi pada pengusahaan kopra masih minim.
yang ditandai dengan masih digunakannya metode
pengasapan untuk menghasilkan kopra dan masih
jarangnya pelatihan dan penyuluhan yang diberikan
oleh Kementerian Pertanian. Padahal metode
pengasapan akan menghasilkan kopra yang bermutu
rendah. Menurut Har Adi Basri, Sekertaris Jenderal
Dewan Kelapa Indonesia (dalam bisnis.com, 2014),
Indonesia masih memerlukan peningkatan kualitas
SDM. Selama ini ekspor Indonesia sangat
mengandalkan faktor-faktor keunggulan komparatif
sebagai penentu utama daya saingnya, terutama daya
saing harga, seperti upah buruh murah dan sumber
daya alam (SDA) berlimpah sehingga murah biaya
pengadaannya. Ketersediaan kuantitas sumberdaya
manusia mampu mendukung peningkatan daya saing
kopra Indonesia di pasar internasional tetapi kualitas
sumberdaya manusianya (merujuk pada penelitian
Turukay (2008)) perlu ditingkatkan sehingga
produktivitas, kualitas dan daya saing kopra
Indonesia dapat meningkat.
(3) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Pada sub bab sebelumnya telah dijelaskan
bahwa sistem budidaya kopra Indonesia sebagian
besar berupa perkebunan rakyat. Teknologi yang
digunakan pun masih tergolong tradisional dan dalam
skala kecil. Untuk meningkatkan produktivitas
tanaman yang saat ini tergolong rendah maka
diperlukan bibit unggul yang berasal dari kebun
induk, terutama kebun induk kelapa dalam komposit
(KIKDK). Saat ini sumber benih kelapa yang
digunakan belum berasal dari kebun induk yang
dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar,
tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai
daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi
(BPT). Walaupun benih yang berasal dari BPT lebih
baik daripada benih sapuan, ke depan perlu dibangun
KIKDK sebagai sumber benih. Penggunaan kelapa
dalam unggul komposit akan meningkatkan produksi
kelapa dalam dari rata-rata 1,5 ton kopra/ha/tahun
48
menjadi minimal 2,25 ton kopra/ha/tahun dengan
pemeliharaan semi intensif.
Peran kelembagaan sangat menentukan dan
mendukung adanya ketersediaan pengetahuan dan
informasi tersebut. Lembaga penelitian memegang
peranan penting dalam memberikan pendampingan
dan bimbingan serta inovasi teknologi dalam
peningkatan daya saing komoditi kopra Indonesia.
Salah satu lembaga internasional yang terkait dengan
perkopraan nasional dan dunia adalah Asian and
Pacific Coconut Community (APCC) yang berada di
bawah naungan Komisi Ekonomi dan Sosial untuk
Asia dan Pasific - PBB atau United Nations
Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific (UN-ESCAP).
Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari
perguruan tinggi, media, dan jurnal-jurnal penelitian
melalui penelitian mengenai ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkaitan dengan budidaya ataupun
aspek sosial ekonomi. Dalam hal basis data peranan
lembaga statistik seperti Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia juga penting dan dibutuhkan dalam
mengolah data statistik perkebunan kopra. Namun
dikarenakan 98% produsen kelapa (merujuk pada
data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertaian
(2007)) adalah petani tradisional yang minim
pendidikan, potensi teknologi kopra ini masih belum
dapat dimaksimalkan.
(4) Sumberdaya Modal
Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan
(2008:15), modal usaha yang dimiliki petani untuk
melakukan budidaya secara baku teknis masih
terbatas dari milik petani sedangkan penghasilan
petani kopra masih minim dan belum adanya kredit
khusus untuk pembiayaan usaha kopra dari pihak
perbankan sebagai penyedia kredit dan memberikan
bantuan modal.
Berdasarkan Panel Petani Nasional yang
dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian (2006:xix) cara pembayaran
sarana produksi yang dibeli lazim dibayar secara
tunai terutama untuk pupuk anorganik dan pestisida.
Sementara untuk bibit umumnya adalah hasil
produksi sendiri karena harga bibit kelapa adalah
yang paling mahal jika dibandingkan dengan bibit
komoditas perkebunan lain seperti teh, kopi dan
karet. Pedagang sarana produksi dan pedagang hasil
usahatani juga berfungsi sebagai lembaga
permodalan selain peran utama mereka sebagai
pedagang. Meski petani kelapa jarang meminjam
modal (karena usahatani kelapa rakyat berupa
usahatani sampingan yang diperlakukan
βseadanyaβ), jika petani ingin meminjam modal
sarana produksi dan uang, mereka dapat meminjam
kepada pedagang sarana produksi dan pedagang hasil
usahatani yang lokasinya berada didalam desa dan
tanpa menggunakan agunan (jaminan). Sedangkan
jika meminjam kepada lembaga keuangan formal
seperti bank umum dan bank perkreditan rakyat
selain harus menggunakan agunan (jaminan), lokasi
lembaga keuangan formal yang berada relatif jauh
(berada diluar desa) ditambah kondisi jalan yang
masih banyak dijumpai dalam bentuk tanah membuat
petani cenderung enggan meminjam.
(5) Sumberdaya Infrastruktur
Berdasarkan Panel Petani Nasional yang
dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiii),
permukaan jalan utama di desa berbasis perkebunan
khususnya kelapa pada umumnya aspal dan
diperkeras. Namun jalan tanah masih banyak
dijumpai sehingga ada yang tidak dapat dilalui motor.
Senada dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, menurut Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (2007 : 13) untuk daerah-
daerah tertentu terutama di luar Jawa kondisi
infrastruktur pendukung seperti jalan raya kurang
memadai. Dampak dari hal ini biaya usahatani
menjadi tinggi dan harga jual menjadi kurang
bersaing. Sebagai contoh, di salah satu daerah sentra
produksi kelapa di Indragiri Hilir hanya memiliki
satu alternatif transportasi, yaitu transportasi air.
Kondisi tersebut mengakibatkan kelembagaan
penunjang cenderung menekan petani. Sebagai
ilustrasi, kelembagaan pemasaran cenderung
monopsoni (banyak penjual, satu pembeli),
kelembagaan keuangan didominasi sistim barter
(tukar menukar) yang merugikan petani, dan akses
petani terhadap informasi teknologi dan informasi
pasar ekspor tidak berjalan karena kurangnya sarana
dan prasarana dan minimnya pendidikan yang
dimiliki oleh petani.
Untuk wilayah yang infrastrukturnya sudah
berkembang seperti di Jawa, kelapa masih cenderung
dikonsumsi dalam bentuk kelapa segar, yang mana
konsumen utamanya adalah masyarakat perkotaan.
Kondisi yang demikian mengakibatkan transportasi
yang mahal dan rantai tataniaga yang panjang, pada
gilirannya harga tingkat petani juga tertekan. (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007 : 13).
2) Kondisi Permintaan
Menurut Wiliawan Twishsri selaku direktur
Asia and Pasific Coconut Community (dalam koran
49
bisnis online, Bisnis.com, 2014), perolehan ekspor
produk kelapa Indonesia masih lebih rendah
dibandingkan dengan perolehan negara pesaing
utama Filipina. Sebanyak 78,9% dari total
perdagangan produk kelapa dunia didominasi oleh
Indonesia dan Filipina. Namun, rerata nilai ekspor
produk kelapa RI per tahun adalah US$1,355 juta
atau lebih rendah dari Filipina yang mencapai
US$1,544 juta.
Berdasarkan hasil penelitian Turukay (2008:4),
Harga merupakan faktor yang sangat penting dalam
permintaan kopra karena harga ekspor berpengaruh
terhadap permintaan ekspor kopra. Menurut
Wiliawan Twishsri selaku direktur Asia and Pasific
Coconut Community (dalam koran bisnis online,
Bisnis.com, 2014), harga kopra Indonesia mengikuti
kesepakatan harga yang telah ditentukan oleh Asia
and Pasific Coconut Community. Meski Indonesia
memiliki kuantitas ekspor yang banyak, namun
Indonesia tidak dapat menentukan harga secara
sepihak karena Indonesia sudah menjadi anggota
Asia and Pasific Coconut Community. Jika Indonesia
melanggar kesepakatan tersebut, Indonesia akan
mendapatkan sangsi dari Asia and Pasific Coconut
Community.
Berdasarkan penelitian Turukay (2008:5), Bagi
petani dalam memproduksi dan menjual kopra tidak
melihat pada pengaruh naik turunnya nilai tukar
rupiah dan naik turunnya harga jual kopra, Hal ini
disebabkan produksi kopra 98% dihasilkan oleh
perkebunan rakyat. Sehingga jika nilai tukar turun
atau naik dan jika harga jual naik atau turun mereka
tetap menjual hasil produksinya. Bagi petani asalkan
bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka sudah cukup. Masih menurut Turukay
(2008:5), Nilai RCA kopra juga memiliki keterkaitan
dengan permintaan ekspor kopra Indonesia di pasar
dunia (Turukay menggunakan analisa regresi
berganda, pada tingkat kepercayaan 99 % untuk
variabel indeks Revealed Comparative Advantage)
Selain itu menurut Turukay (2008:5), Periode
peralihan minyak kelapa ke minyak sawit sebagai
bahan baku industri minyak goreng menunjukkan
pengaruh yang signifikan pada ekspor kopra
Indonesia (Turukay menggunakan analisa regresi
berganda, pada tingkat kepercayaan 99 % untuk
variabel peralihan minyak kelapa ke minyak sawit),
hal ini berarti ketika permintaan minyak sawit
meningkat untuk industri minyak goreng dalam
negeri berarti permintaan kopra untuk industri
minyak goreng dalam negeri berkurang sehingga
ekspor kopra dapat ditingkatkan. Minyak sawit
sebagai barang subtitusi kopra untuk bahan baku
industri minyak goreng dalam negeri mampu
mempengaruhi ekspor kopra Indonesia.
Kondisi permintaan kopra baik permintaan
domestik dan luar negeri juga merupakan salah satu
aspek yang sangat menentukan daya saing kopra
Indonesia di pasar dunia. Perdagangan kopra
Indonesia umumnya lebih berorientasi ekspor
daripada untuk konsumsi domestik ditandai dengan
adanya ekspor neto
Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri
yang semakin berkurang selama tahun 2009 hingga
2012 (ditandai dengan meningkatnya jumlah ekspor
minyak kelapa, lihat Lampiran 4) diduga terkait
dengan perubahan preferensi konsumen domestik
yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa
sawit karena harganya lebih murah. Indonesia
sebagai salah satu negara produsen kopra yang lebih
berorientasi ekspor, juga mengimpor produk kopra.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. (2007:9), hal itu biasanya dilakukan untuk
pengamanan cadangan penggunaan dalam negeri.
Dari uraian kondisi permintaan di atas, apabila
dilihat dari segi permintaan domestik, maupun
permintaan luar negeri, kopra Indonesia memiliki
potensi yang besar dalam perdagangan kopra
internasional. Kondisi permintaan tersebut dapat
memberikan dukungan terhadap peningkatan daya
saing komoditi kopra Indonesia di pasar dunia
walaupun masih terdapat sedikit kendala dalam
kualitas kopra yang dihasilkan.
3) Eksistensi Industri Terkait dan Industri
Pendukung
Industri yang terkait produksi kopra adalah
industri minyak kelapa dan bungkil kopra. Industri
yang terkait produksi minyak kelapa adalah industri
minyak kelapa sawit (sebagai industri substitusi),
industri minyak goreng kelapa dan cocochemical
(bahan kimia yang terbuat dari minyak kelapa).
Sedangkan yang terkait produksi minyak goreng
kelapa adalah pedagang partai besar, eksportir, dan
industri lainnya yang menggunakan minyak goreng
kelapa. Untuk industri dan lembaga pendukung
produksi kopra, minyak kelapa dan minyak goreng
kelapa antara lain industri sarana produksi, industri
mesin dan peralatan, organisasi pemberantasan
hama, penyuluhan dan organisasi petani.
Berdasarkan Panel Petani Nasional yang
dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiii), industri
pendukung yang paling berperan dalam usahatani
kopra adalah kios sarana produksi. Peranan kios
sarana produksi di Jawa lebih besar daripada diluar
50
Jawa. Jasa pengolahan tanah merupakan kegiatan
yang paling jarang dilakukan.
Industri terkait yang paling berperan adalah
pedagang hasil panen dan jasa pasca panen. Karena
kopra dapat diolah menjadi minyak kelapa dan
bungkil kopra dan minyak kelapa dapat diolah
menjadi minyak goreng kelapa dan cocochemical
(bahan kimia yang terbuat dari minyak kelapa).
Peranan pedagang hasil panen dan jasa pasca panen
di luar Jawa lebih besar daripada di Jawa (Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(PASEKP), 2006:xiv)
Masih menurut Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian (PASEKP) (2006:xiv),
lembaga penunjang usahatani yang keberadaanya
paling menonjol adalah organisasi pemberantasan
hama, penyuluhan dan organisasi petani. Namun
keberadaan lembaga-lembaga tersebut pada
umumnya banyak yang tidak aktif terutama
organisasi petani dan pemberantasan hama.
Dalam kenyataanya, menurut Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. (2007:9), peran
industri perbenihan dalam mendukung pengusahaan
kopra di Indonesia masih kurang. Hal ini dapat dilihat
dari minimnya jumlah Kebun Induk Kelapa Dalam
Komposit (KIKDK) yang memasok benih dan bibit
unggul pada petani. Saat ini sumber benih kelapa
yang digunakan belum berasal dari kebun induk yang
dibangun khusus sebagai kebun induk yang benar,
tetapi dipilih dari pertanaman yang ada di berbagai
daerah yang disebut dengan blok penghasil tinggi
(BPT). Selain itu, menurut Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PASEKP)
(2006:xiv), petani lebih memilih memproduksi benih
kelapa sendiri karena harga benih kelapa yang paling
mahal jika dibandingkan dengan benih tanaman
perkebunan yang lain seperti teh, karet, dan kopi
4) Struktur, Persaingan, dan Strategi
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2007 : 11) sebanyak 98% petani kopra
Indonesia adalah petani rumah tangga yang tersebar
di seluruh Indonesia. Pendidikan mereka relatif
rendah dan usahatani kopra pada umumnya hanya
usaha sampingan. Sehingga βpotensiβ yang ada pada
kopra belum dapat dimaksimalkan seutuhnya. Para
eksportir hanya mengekspor jika ada kiriman
βbarangβ dari petani kopra, peralatan yang digunakan
petani pun masih tergolong sederhana. Meski
kualitas kopra yang dihasilkan oleh para petani
kelapa kurang memuaskan, namun menurut catatan
dari United Nation Comodity Trade (2015), dari segi
kuantitas kopra Indonesia menjadi yang terbanyak di
dunia pada tahun 2012 dan 2013.
Persaingan minyak kelapa terlihat jelas dengan
barang substitusinya yaitu minyak sawit. Menurut
Turukay (2008:8), periode peralihan minyak kelapa
ke minyak sawit sebagai bahan baku industri minyak
goreng di Indonesia memiliki pengaruh yang
signifikan pada ekspor kopra Indonesia. Ketika
permintaan minyak sawit meningkat untuk industri
minyak goreng dalam negeri berarti permintaan
kopra untuk industri minyak goreng dalam negeri
berkurang sehingga ekspor kopra dapat ditingkatkan.
Minyak sawit sebagai barang subtitusi kopra untuk
bahan baku industri minyak goreng dalam negeri
mampu mempengaruhi ekspor kopra Indonesia.
Menurut Turukay (2008:29), belum ada strategi
bersaing yang inovatif dari para petani kelapa dan
eksportir kopra Indonesia untuk menguasai pangsa
pasar kopra dunia. Para eksportir kopra hanya dapat
mengekspor jika petani memproduksi kopra dan
tidak mengekspor jika petani tidak memproduksi
kopra. Sehingga ekspor kopra Indonesia terkesan
βseadanyaβ.
5) Peran Pemerintah
Dalam peningkatan daya saing komoditi kopra di
pasar internasional peranan pemerintah baik melalui
Kementerian Pertanian maupun Pemerintah Daerah
masih sangat terbatas dalam pengembangan tanaman
kopra mulai dari produksi hingga pasca panen. Pada
komoditas ini belum pernah diberlakukan kebijakan
harga output (price policy). Penentuan harga jual
output selama ini diserahkan pada mekanisme pasar.
Status komoditas yang bukan merupakan kebutuhan
dasar dan tingkat penggunaan per kapita yang relatif
rendah dapat menjadi faktor penjelas belum adanya
urgensi intervensi kebijakan harga pada produk
kelapa. (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2007 : 14)
Intervensi kebijakan pemerintah baru dilakukan
pada kegiatan impor. Intervensi tersebut berupa
penetapan bea masuk barang impor dan pajak
penjualan yang selain memberikan pemasukan bagi
negara juga dimaksudkan untuk melindungi para
produsen di dalam negeri. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2007 : 14)
Tabel 10. Kebijakan Perdagangan Kelapa Di Indonesia
Tahun 2003
Jenis produk
Ekspor Impor
Pajak Ekspor
Pajak lain
Bea Masuk
Pajak Penjualan
Copra Nil Nil Nil Nil
Crude Coconut Oil Nil Nil 5% 10%
51
Jenis produk
Ekspor Impor
Pajak
Ekspor
Pajak
lain
Bea
Masuk
Pajak
Penjualan
Refined Coconut Oil Nil Nil Nil 10%
Copra Meal Nil Nil 5% 10%
Desiccated Coconut Nil Nil 5% 10%
Coconut Cream Nil Nil 15% 10%
Products Nil Nil 5% 10%
Shell Charcoal Nil Nil 10% 10%
Activated Carbon Nil Nil 20% 10%
Keterangan : nil : tidak ada kebijakan
Sumber : Departemen Keuangan, (2004) dalam
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
(2007 : 14)
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2007 : 37) dukungan kebijakan yang
diperlukan untuk usahatani kelapa adalah penyediaan
kredit modal untuk intensifikasi, rehabilitasi dan
peremajaan; pembinaan teknis dan kelembagaan
produksi; penyediaan informasi teknologi dan pasar;
peningkatan status hukum atas kepemilikan lahan
usaha; dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan
menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian (2005:9), rumusan kebijakan
dalam pengembangan produk agroindustri kelapa,
yaitu: 1. Perbaikan produktivitas dan kualitas bahan
baku; 2. Insentif Ekspor 3. Promosi ekspor
6) Peran Peluang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Turukay (2008:8) peningkatan populasi negara
pengimpor sebesar 1% akan menyebabkan
penambahan ekspor kopra Indonesia sebesar 15,8346
% dengan asumsi faktor lain tetap, Hal ini
menunjukan peningkatan populasi memberikan
kontribusi besar untuk ekspor kopra Indonesia
kepasar dunia. Populasi penduduk sebagai indikasi
konsumsi suatu negara, berpengaruh signifikan
terhadap ekspor kopra Indonesia, ini menunjukan
penggunaan kopra sebagai salah bahan baku industri
pangan dan non pangan.
Turukay (2008:8) juga menuturkan bahwa
peningkatan pendapatan perkapita sebesar 1% akan
menyebabkan peningkatan ekspor kopra Indonesia
sebesar 10,72252%, dengan asumsi faktor penentu
lain tetap (pada a=5% alias tingkat kepercayaan
95%). Pendapatan yang meningkat diharapkan akan
meningkatkan daya beli rata-rata penduduk, sehingga
bagian yang bisa dibelanjakan juga lebih banyak.
Data Asia Pasific Coconut Community (dalam
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2007:20) menunjukkan bahwa konsumsi kelapa
segar penduduk Indonesia sekitar 36
butir/kapita/tahun atau 7,92 milyar butir (51,1%).
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2007:20) Bila produksi buah kelapa
nasional sebanyak 15,5 milyar butir/tahun, maka
buah kelapa yang dapat diolah di sektor industri
adalah 7,58 milyar butir (48,9%). Jumlah ini dapat
memenuhi kebutuhan 29 unit industri dengan
kapasitas 1 juta butir/hari
Sekitar 90% dari bahan baku daging kelapa
digunakan untuk menghasilkan Minyak Kelapa
Mentah dan sisanya terbagi untuk produk lainnya,
tetapi kecenderungan untuk menghasilkan Minyak
Kelapa Mentah tersebut semakin menurun,
sedangkan produk turunan lainnya semakin
meningkat. Sesuai dinamika pasar produk,
kecenderungan untuk menghasilkan produk
oleokimia (turunan dari minyak kelapa mentah)
tampak semakin tinggi. Ini merupakan peluang bagi
Indonesia untuk mengembangkan potensi kopra
Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2007:20).
PENUTUP
Kesimpulan
1) Berdasarkan hasil penelitian, struktur pasar kopra,
minyak kelapa, dan minyak goreng kelapa berupa
pasar oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi
yang tinggi. Ditunjukkan dengan nilai rata-rata
Herfindahl Index yang diatas 1.800 dan rata-rata
nilai CR4 diatas 80 persen pada ketiga komoditas
tersebut. Kopra dan minyak kelapa menunjukkan
tren peningkatan jumlah negara eksportir dengan
rata-rata masing-masing komoditas sebanyak 30
negara dan 66 negara eksportir setiap tahunnya.
Sementara minyak goreng kelapa menunjukkan
tren penurunan jumlah negara eksportir dengan
rata-rata 83 negara eksportir setiap tahunnya.
2) Indonesia memiliki daya saing yang kuat dari segi
keunggulan komparatif pada kopra, minyak
kelapa dan minyak goreng kelapa. Namun
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dari
segi keunggulan kompetitif.
(1) Keunggulan komparatif ditunjukkan dengan
nilai Indeks Revealed Comparative
Advantage yang selalu lebih besar dari satu.
Dari ketiga komoditas (kopra, minyak
kelapa, dan minyak goreng kelapa),
Indonesia memiliki keunggulan komparatif
yang paling besar pada minyak kelapa.
(2) Indonesia memiliki keunggulan kompetitif
pada kuantitas sumber daya alam dan
kuantitas sumber daya manusia yang banyak
dan peluang yang tersedia seperti
peningkatan populasi negara pengimpor,
peningkatan pendapatan perkapita di negara
pengimpor, potensi pengolahan oleh industri,
52
diversifikasi produk menjadi produk turunan
lainnya, dan liberalisasi perdagangan.
Namun memiliki kelemahan kompetitif dari
segi kualitas sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang kurang berkualitas,
modal yang minim, infrastruktur yang
minim, dukungan dari industri terkait dan
industri pendukung yang minim, belum
adanya strategi bersaing yang inovatif,
persaingan yang ketat dengan barang
substitusi, dan intervensi kebijakan
pemerintah yang minim.
Saran
1) Untuk mengefisiensikan bentuk ekspor,
pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada
pasar minyak kelapa karena : 1) Keunggulan
komparatif minyak kelapa adalah yang terbesar
dibandingkan ketiga komoditas yang lain; 2)
Pangsa pasar untuk minyak kelapa juga yang
terbesar dibandingkan dengan komoditas yang
lain. 3) Dunia menunjukkan ketertarikan pada
pasar minyak kelapa yang ditandai dengan
peningkatan jumlah negara eksportir. Namun
melihat kondisi kualitas sumber daya manusia dan
teknologi yang dimiliki Indonesia yang tergolong
rendah (berdasarkan penelitian Turukay tahun
2008), maka pemerintah lebih disarankan untuk
tetap mengekspor kopra dalam bentuk kopra dan
minyak kelapa karena keunggulan komparatif
kopra menempati posisi terbesar kedua setelah
minyak kelapa. Caranya dengan: (1) Penyediaan
informasi teknologi dan informasi pasar; (2)
Pengembangan infrastruktur; (3) Perbaikan
produktivitas dan kualitas bahan baku; (4) Insentif
Ekspor (5) Promosi ekspor
2) Indonesia dapat menggunakan kekuatan dan
peluang yang tersedia untuk meminimalisir
kelemahan yang ada. Diantaranya yaitu:
(1) Untuk para petani eksportir sebaiknya
menggunakan pola produksi yang lebih
teratur. Jika terdapat kelebihan produksi,
sebaiknya disimpan dan dijual ketika sedang
kekurangan jumlah produksi agar kuantitas
penjualan menjadi lebih stabil.
(2) Untuk para eksportir sebaiknya
menggunakan strategi bersaing yang inovatif
seperti bersaing melalui pelayanan yang
prima, bersaing melalui pemasaran,
merangkul pesaing, dan lain sebagainya.
(3) Untuk penelitian selanjutnya dapat
melakukan riset mengenai strategi yang
paling tepat untuk meningkatkan daya saing
kopra Indonesia di pasar internasional.
(4) Pemerintah diharapkan dapat membuat
kebijakan seperti yang telah penulis sarankan
pada saran point 1
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada PT.
Minamas Plantation yang telah membiayai penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asian and Pacific Coconut Community. About Us.
Diunduh dari www.apccsec.org/about.html .
Diakses tanggal 09 April 2015.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2007. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kelapa. Edisi Kedua. Jakarta :
Departemen Pertanian
Bisnis.com. 2014. Ekspor Kelapa RI Kalah Dari
Filipina. Melalui bisnis.com diakses pada 06
Februari 2015
Direktorat Jenderal Industri Agro. 2014. Potensi RI
Kuasai Pasar Kelapa Dunia. Melalui
http://agro.kemenperin.go.id diakses pada 27
Desember 2015
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Produksi
Perkebunan Menurut Provinsi dan Jenis
Tanaman. Badan Pusat Statistik Indonesia
Direktorat Pangan dan Pertanian. 2014. Analisis
Rumah Tangga, Lahan, Dan Usaha Pertanian
Di Indonesia : Sensus Pertanian 2013. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional
Febriyanthi, Sri Anna. 2008. Analisis Daya Saing
Ekspor Komoditi Teh Indonesia di Pasar
Internasional. Skripsi Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Internet Center For Management and Business
Administration. 2007. Herfindahl Index.
www.quickmba.com. Diakses tanggal 15
Desember 2014
Internet Center For Management and Business
Administration. 2007. Porterβs Diamond
National Advantage. www.quickmba.com.
Diakses tanggal 15 Desember 2014.
Kementerian Perindustrian. 2012. Peran Ekspor
Kelompok Hasil Industri Pengolahan
Kelapa/Kelapa Sawit Terhadap Total Ekspor
Hasil Industri. Diakses dari
http://www.kemenperin.go.id pada 20
Desember 2015
Kementerian Perindustrian. 2012. Perkembangan
Ekspor Indonesia Berdasarkan Sektor. Diakses
53
dari http://www.kemenperin.go.id/ pada 20
Desember 2015
Kontan.co.id. 2013. Harga kopra naik. Edisi 10
Desember 2013 Diakses dari
http://industri.kontan.co.id pada 06 Februari
2015
Kotler, Philip.2000. Manajemen Pemasaran. Jilid I.
Edisi terjemah. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Porter, Michael E. 1998. The Competitive Advantage
of Nations. London: Macmillan Press
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. 2006. Panel Petani Nasional
(PATANAS) : Analisis Indikator Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan. Bogor : Departemen
Pertanian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. 2005. Laporan Akhir : Prospek
Pengembangan Agroindustri Dalam
Meningkatkan Daya Saing dan Ekspor
Berdasarkan Permintaan Jenis Produk
Komoditas Perkebunan Utama. Bogor :
Departemen Pertanian
Silalahi, Bayu Geo S. 2007. Daya Saing Komoditas
Nenas dan Pisang Indonesia di Pasar
Internasional. Skripsi Program Sarjana Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Tambunan, Tulus. 2001. Industrialisasi di Negara
Sedang Berkembang Kasus Indonesia. Jakarta :
Ghalia Indonesia
Turukay, Martha. 2008. Analisis Permintaan Ekspor
Kopra Indonesia Di Pasar Dunia. Jurnal
Agroforestri. Volume III No. 2. Hlm 1. Juni
United Nation Statistics. 2015. United Nations
Commodity Trade (UN COMTRADE) Statistics
Database. http://unstats.un.org/unsd/Comtrade8.
Diakses 16 Januari 2015.
54
55
Efektivitas Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT.
Coca - Cola Bottling Indonesia
The Effectiveness of Corporate Social Responsibility (CSR) of PT. Coca-Cola Bottling
Indonesia (Case Study on Coke Farm, PT. CCBI Rancaekek, West Java)
Cut Putri Pohan1, Anne Charina2
1Universitas Padjadjaran, Bandung, [email protected] 2Universitas Padjadjaran, Bandung
A B S T R A K
Kata Kunci:
Evaluasi
CSR
CCBI
Efektivitas
Kendala
Adanya Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan mendorong semua perusahaan untuk melaksanakan Corporate Social
Responsibility (CSR). PT. CocaβCola Bottling Indonesia (CCBI), adalah perusahaan
yang telah menjalankan peraturan pemerintah tersebut dan memiliki berbagai jenis
program CSR. Salah satu program CSR PT. CCBI berfokus pada bidang pertanian
yang dikenal dengan Coke Farm. Coke Farm sudah menunjukkan eksistensinya
dengan berhasil meraih beberapa penghargaan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi tingkat efektivitas pelaksanaan CSR Coke Farm dan mengidentifikasi
kendala yang dihadapi selama pelaksanaan CSR. Desain penelitian yang digunakan
desain kualitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Informan dalam penelitian ini
adalah dua orang karyawan divisi Corporate Affairs dan empat orang petani binaan
Coke Farm. Data yang digunakan data primer dan sekunder. Analisis data
menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
efektivitas Coke Farm tergolong dalam kategori cukup efektif, dengan skor maksimum
sebesar 142. Total skor ini diperoleh berdasarkan hasil penilaian empat petani binaan
yang berperan sebagai objek penerima program CSR Coke Farm.
ABSTRACT
Keywords:
Evaluation
CSR
CCBI
Efectiveness
Contsraint
The Regulation No. 47/2012 on Social and Environmental Responsibility encourages
all companies to implement Corporate Social Responsibility (CSR). PT. Coca-Cola
Bottling Indonesia (CCBI), is the company that has implemented the regulation. PT.
CCBI has various types of CSR program, one of them focuses on agriculture, well
known as Coke Farm. Coke Farm has demonstrated its existence by successfully won
several awards. This study aimed to evaluate the effectiveness of Coke Farm
implementation afterward identify the constraints that were encountered during the
program implementation. The research design was qualitative with case study
technique. Informants were two employees of Corporate Affairs division and four
assisted farmers of Coke Farm.The data used primary and secondary data. Data was
analyzed by using descriptive analysis. The results showed that the effectiveness of
Coke Farm is classified in the quite effective category, got total score worth 142. The
total score was obtained based on the assessment of four fostered farmers who act as
the objects of the CSR program.
* Cut Putri Pohan β Universitas Padjadjaran
Alamat e-mail: [email protected]
56
PENDAHULUAN
Adanya kebijakan pemerintah yang diatur dalam
UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan
Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan, mendorong semua
perusahaan untuk menjalankan peraturan tersebut
dengan cara mendirikan program Corporate Social
Responsibility (CSR) di berbagai bidang.
PT. Coca-Cola Bottling Indonesia, merupakan
salah satu perusahaan industri minuman ringan
terkemuka di Indonesia yang sudah menjalankan
peraturan tersebut sebagai bentuk tanggung jawab
sosial dan lingkungan. PT. CCBI memiliki berbagai
macam program CSR, salah satu program CSR PT.
CCBI Rancaekek berfokus di bidang pertanian,
dikenal dengan istilah Coke Farm.
Wilayah operasional yang pertama kali
menjalankan CSR dalam bentuk Coke Farm adalah
PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat tepatnya pada
tahun 2009. Coke Farm Rancaekek tersebut memiliki
beberapa sub program yang dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Kegiatan yang Dilakukan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek 2015
No Nama Kegiatan
1 Fishpond Pembudidayaan ikan
2 Penanaman
bibit Pohon
Pembibitan dan budidaya
tanaman keras.
3 Tea Leaves-
Composting.
Pembuatan kompos dari
ampas teh frestea.
4 Solid Waste
Recycling
Kegiatan mendaur ulang
botol sisa dari PT. CCBI.
5
Organic-
Green House
Pengelolaan lahan
perkebunan organik.
Sumber: Coke Farm PT. CCBI 2015.
Coke Farm PT. CCBI Rancaekek menunjukkan
eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR
yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM. Coke
Farm berhasil meraih beberapa penghargaan sejak
mulai berdiri sampai saat ini. Namun, eksistensi Coke
Farm terebut belum tentu berbanding lurus dengan
harapan dan manfaat yang didapatkan oleh objek
yang menerimanya.
Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti
berniat untuk melakukan evaluasi terhadap program
CSR tersebut dengan cara menganalisis tingkat
efektivitas program CSR Coke Farm berdasarkan
sudut pandang petani, selaku objek yang
menerimanya, yang diukur dengan menggunakan
Model Evaluasi Kickpatrick.
Selanjutnya akan ditinjau lebih lanjut lagi apa
saja kendala dan masalah yang dihadapi PT. CCBI
Rancaekek dalam menjalankan kegiatan CSR Coke
Farm yang digambarkan dengan menggunakan
Fishbone Diagram, serta akan dicari solusi yang
tepat untuk menanggulanginya.
Tabel 1. Kegiatan yang Dilakukan di Coke Farm PT. CCBI
Rancaekek 2015
No Nama Kegiatan
1 Fishpond Pembudidayaan ikan
2 Penanaman
bibit Pohon
Pembibitan dan
budidaya tanaman
keras. 3 Tea Leaves-
Composting
.
Pembuatan kompos dari
ampas teh frestea.
4 Solid Waste
Recycling
Kegiatan mendaur ulang
botol sisa dari PT. CCBI.
5 Organic-
Green House
Pengelolaan lahan
perkebunan organik.
Sumber: Coke Farm PT. CCBI 2015.
Coke Farm PT. CCBI Rancaekek menunjukkan
eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan
CSR yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM.
Coke Farm berhasil meraih beberapa penghargaan
sejak mulai berdiri sampai saat ini. Namun,
eksistensi Coke Farm terebut belum tentu
berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang
didapatkan oleh objek yang menerimanya.
Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti berniat
untuk melakukan evaluasi terhadap program CSR
tersebut dengan cara menganalisis tingkat
efektivitas program CSR Coke Farm berdasarkan
sudut pandang petani, selaku objek yang
menerimanya, yang diukur dengan menggunakan
Model Evaluasi Kickpatrick.
KERANGKA TEORI / KERANGKA KONSEP
Adanya kebijakan pemerintah yang diatur
dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas
dan Peraturan Pemerintah No. 47/2012 tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, mendorong
semua perusahaan khususnya yang bergerak dalam
bidang industri menjalankan peraturan tersebut
dengan melaksanakan CSR dengan berbagai macam
bidang seperti bidang pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, pengembangan usaha mikro, pertanian
dan lain sebagainya.
PT. Coca-Cola Bottling Indonesia,
merupakan salah satu perusahaan industri minuman
ringan terkemuka di Indonesia yang sudah
menjalankan peraturan pemerintah sebagai bentuk
tanggung jawab sosial dan lingkungan. PT. CCBI
57
memiliki berbagai macam program CSR, bahkan ada
salah satu program CSR PT. CCBI yang berfokus
pada dunia pertanian, dikenal dengan istilah Coke
Farm. Wilayah operasional yang pertama kali
menjalankan CSR dalam bentuk Coke Farm adalah
PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat tepatnya pada
tahun 2009.
PT. CCBI Rancaekek, tentunya melibatkan
masyarakat, khususnya petani sekitar pabrik dalam
mengolah program CSR Coke Farm tersebut. Coke
Farm sebagai salah satu program CSR yang sudah
dijalankan PT. CCBI Rancaekek menunjukkan
eksistensinya pada beberapa ajang penghargaan CSR
yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun
LSM. Coke Farm berhasil meraih beberapa
penghargaan sejak mulai berdiri sampai saat ini.
Namun, eksistensi Coke Farm terebut belum tentu
berbanding lurus dengan harapan dan manfaat yang
didapatkan oleh objek yang menerimanya.
Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti
berniat untuk melakukan analisis efektivitas pada
program CSR di Coke Farm berdasarkan sudut
pandang petani, selaku objek yang menerimanya,
yang diukur dengan menggunakan Model Evaluasi
Kickpatrick. Dari hasil analisis ini, akan didapatkan
nilai yang menggambarkan tingkat efektivitas
pelaksanaan program CSR tersebut yang dirasakan
oleh petani binaan.
Selanjutnya akan ditinjau lebih lanjut lagi
apa saja kendala dan masalah yang dihadapi PT.
CCBI Rancaekek dalam menjalankan kegiatan CSR
Coke Farm dengan menggunakan Fishbone
Diagram, serta bagaimana solusi untuk menghadapi.
Hal ini berguna dalam membantu PT. CCBI
Rancaekek untuk melakukan evaluasi lebih lanjut
berkaitan tingkat efektivitas pelaksanaan program
CSR di Coke Farm tersebut.
METODE PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini adalah petani binaan
Coke Farm PT. CCBI Rancaekek. Penelitian
dilakukan di Coke Farm PT. Coca-Cola Bottling
Indonesia yang berlokasi di Jalan Raya Bandung-
Garut KM 26, Rancaekek. Jawa Barat Indonesia.
PT. CCBI Rancaekek, Jawa Barat dipilih karena
merupakan perusahaan di sektor industri yang
program CSR-nya didedikasikan untuk dunia
pertanian. Program CSR yang dipilih dalam
penelitian kali ini adalah Coke Farm. Coke Farm
dipilih selain karena berfokus pada dunia pertanian,
penulis juga mengamati adanya hubungan yang
saling berkaitan antar kegiatan didalamnya.
Coke Farm PT. CCBI di wilayah operasional
Jawa Barat dipilih karena merupakan inisiator
pembentukan Coke Farm. Coke Farm pertama kali
didirikan di wilayah operasional Jawa Barat pada
tahun 2009 kemudian diikuti oleh wilayah
operasional lainnya pada tahun-tahun berikutnya.
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah desain kualitatif. Teknik yang
digunakan adalah studi kasus. Yin (2008)
menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian
studi kasus tidak sekedar untuk menjelaskan seperti
apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan
bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut
dapat terjadi.
Cara Menentukan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Informan
dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
dianggap tahu, terlibat dan telah merasakan dampak
dari adanya program CSR Coke Farm, yang
diantaranya dua orang karyawan divisi Corporate
Affairs PT. CCBI Rancaekek dan empat orang petani
binaan Coke Farm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Efektivitas Program CSR Coke Farm PT.
CCBI Rancaekek
Analisis efektivitas Program CSR Coke Farm PT.
CCBI Rancaekek diukur dengan menggunakan
model evaluasi Kirkpatrick. Model ini mencakup
empat level evaluasi, diantaranya reaction, learning,
behavior, dan result. Model ini digunakan sebagai
acuan penulis dalam membuat daftar pertanyaan dan
mencari informasi dari informan.
(1) Reaksi (Reaction)
Tabel 2. Banyaknya Informan yang Memberikan Reaksi
Informan terhadap Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015
Keterangan:
Skala 3 untuk jawaban baik, Skala 2 untuk jawaban cukup baik
No Variabel Skala Skor
3 2 1 Aktual Ideal
1 Bobot materi yang
disampaikan
pemberdaya
2 2 0 10 12
2 Kesigapan dalam
menyediakan sarana
input
0 0 4 4 12
3 Bantuan yang
didapatkan petani 1 0 3 6 12
4 Penentuan jadwal
pelatihan 1 1 2 7 12
5 Ketertarikan terhadap
kegiatan di Coke Farm 4 0 0 12 12
TOTAL 39 60
58
Skala 1 untuk jawaban tidak baik
(2) Pembelajaran (Behaviour)
Tabel 3. Banyaknya Informan yang Memberikan Nilai
Pembelajaran yang Didapatkan dari Program CSR Coke Farm
PT.CCBI 2015
Keterangan:
Skala 3 untuk jawaban baik
Skala 2 untuk jawaban cukup baik
Skala 1 untuk jawaban tidak baik
(3) Perilaku (Behaviour) Tabel 4. Banyaknya Informan yang Merasakan Perubahan
Perilaku Akibat Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015
Keterangan:
Skala 3 untuk jawaban baik
Skala 2 untuk jawaban cukup baik
Skala 1 untuk jawaban tidak baik
(4) Hasil Akhir (Result) Tabel 5. Banyaknya Informan yang Merasakan Hasil Akhir dari
Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015
Keterangan:
Skala 3 untuk jawaban baik
Skala 2 untuk jawaban cukup baik
Skala 1 untuk jawaban tidak baik
Tabel 6. Rekapitulasi Tanggapan Informan terhadap Efektivitas Program CSR Coke Farm PT.CCBI 2015
Diperoleh total skor efektivitas pelaksanaan
program CSR Coke Farm PT. CCBI Rancaekek
dengan cara menjumlahkan total skor pada tabel 2
sampai dengan tabel 5. Menurut perhitungan skala
likert, interval nilai antara 76 β 126,6 tergolong
dalam kategori tidak efektif, sedangkan interval nilai
antara 126,7 β 177,2 tergolong dalam kategori cukup
efektif dan interval nilai antara 177,2 β 228 dapat
dikatakan efektif.
Total skor keseluruhan yang diperoleh dari
tingkat efektivitas program CSR Coke Farm PT.
CCBI Rancaekek adalah sebesar142 dari skor ideal
228. Dengan total skor tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa program CSR Coke Farm PT.
CCBI Rancaekek termasuk dalam kategori cukup
efektif. Penilaian ini diperoleh berdasarkan hasil
persepsi empat informan yang mana berperan sebagai
objek yang menerima program CSR tersebut selaku
petani binaan di Coke Farm PT. CCBI Rancaekek.
PENUTUP
Kesimpulan Hasil penelitian mengenai tingkat efektivitas
menunjukkan bahwa program CSR Coke Farm PT.
CCBI Rancaekek tergolong dalam kategori cukup
efektif, dengan persentase 62,2 %. Dari keempat poin
yang digunakan untuk mengukur efektivitas
berdasarkan model evaluasi Kickpatrick,
pembelajaran (learning) merupakan poin yang paling
efektif yang dapat diterima oleh informan (75%).
Sementara hasil akhir (result) mendapatkan nilai
terendah (48,3%).
Saran 1) PT. CCBI Rancaekek diharapkan dapat
membentuk badan pengawasan khusus untuk
Coke Farm, yang mana pihak tersebut harus
berasal dari pihak PT. CCBI Rancaekek agar
No Variabel Skala Skor
3 2 1 Aktual Ideal
1 Penerapan pertanian
organik 0 0 4 4 12
2
Penyampaian
pengetahuan pertanian
organik
4 0 0 12 12
3
Respon petani lain
terhadap pertanian
organik
0 1 3 5 12
4
Percobaan
berwirausaha bibit
tanaman keras
2 0 2 8 12
5
Penyampaian
informasi wirausaha
bibit tanaman keras
1 3 0 9 12
TOTAL 38 60
No Variabel Skala Skor
3 2 1 Aktual Ideal
1
Peningkatan
pengetahuan
pertanian organik
4 0 0 12 12
2
Peningkatan
pengetahuan pe-
ngembangan usaha
tani
4 0 0 12 12
3
Peningkatan
pengetahuan dalam
teknologi pertanian
0 0 4 4 12
4
Peningkatan
kemampuan
berkomuni-kasi
2 0 2 8 12
TOTAL 36 48
No Variabel Skala Skor
3 2 1 Aktual Ideal
1 Peningkatan hasil
panen 0 0 4 4 12
2
Kemampuan
mengajak petani
lain bergabung 0 1 3 5 12
3 Peningkatan profit 2 0 2 8 12
4 Kerjasama antar
petani binaan 0 4 0 8 12
5 Peningkatan
solidaritas 0 0 4 4 12
TOTAL 29 60
N
o Variabel
Skor Persentase
Aktual Ideal
1 Reaksi (Reaction) 39 60 65%
2 Pembelajaran (Learning) 36 48 75%
3 Perubahan Perilaku
(Behaviour) 38 60
63%
4 Hasil Akhir (Result) 29 60 48,3%
TOTAL SKOR 142 228 62,2%
59
dapat melaksanakan tanggung jawab dan
fungsinya dengan lebih netral.
2) Dalam melakukan evaluasi program CSR suatu
Perseroan Terbatas (PT), pemerintah sebaiknya
juga memperhatikan tingkat efektivitasnya dari
sudut pandang pihak yang menerima, bukan
hanya dari ide dan gagasan yang disampaikan pihak pelaksana.
3) Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
melakukan penelitian sejenis dengan
menggunakan variabel penelitian yang lebih
operasional dengan cara melakukan evaluasi
program CSR Coke Farm dengan lebih terfokus
pada setiap sub-program CSR agar hasil
penelitiannya lebih teliti. Selain itu, dalam
menentukan skala pengukuran sebaiknya
diperhatikan dan diperjelas lagi apa saja
indikator yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam menentukan baik, cukup baik atau tidak
baiknya suatu variabel.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Mulya dan Wicaksono Sarosa. 2008. CSR
Untuk Penguatan Kohesi Sosial. Jakarta:
Indonesia Business Links.
Asniwaty, Besse. 2012. Evaluasi Pelaksanaan
Corporate Sosial Responsibility (CSR) PT.
Pupuk Kaltim. Bandung: Unpad.
Bappenas. 2009. Analisis dan Formulasi Kebijakan
Pemanfaatan Sumber-sumber Pendanaan
Pembangunan Non-APBN (Optimalisasi
Pelaksanaan KPS dan CSR. Jakarta: Jurnal
Info Kajian Bappenas.
Dewi, Friska Meriana. 2013. Tinjauan Terhadap
Efektivitas Pelatihan Kerja Karyawan
Bagian Produksi Pabrik Gula Sumberharjo
Pemalang. Salatiga: Skripsi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen
Satya Wacana.
Gaspersz, V. dan A. Fontana. 2011. Integrated
Management Problem Solving Panduan bagi
Praktisi Bisnis dan Industri. Vinchristo
Publication.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/
artikel/418-artikel-soft-competency/10999-
teknik-ilustrasi-masalah-fishbone-diagrams
(Diakses pada 9 Mei 2015)
Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responsibility,
Transformasi Konsep Susainability
Management dan Implementasi di Indonesia.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Muh. Aris Marfaβi. 2005. Moralitas Lingkungan
Refleksi Kritis Atas Kritis Lingkungan
Berkelanjutan. Cetakan kedua. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Nasution, S. 2003. Metode Research. Cetakan
keenam. Jakarta: Bumi Aksara.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Cetakan
kelima. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Prabowo, Angga. 2009. Kajian Efektivitas Program
CSR Yayasan Unilever Indonesia. Jakarta.
Purba, H.H. 2008. Diagram fishbone dari Ishikawa.
http://hardipurba.com/2008/09/25/diagram-
fishbone-dari-ishikawa.html (Diakses pada 9
Mei 2015)
Rajagukguk, Erman. 1994. Kontrak Dagang
Internasional dalam Praktik diIndonesia.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Rinaldy, Yosua., 2014. Pengaruh Pengungkapan
Corporate Social Responsibility terhadap
Kepemilikan Institusional Pada Perusahaan
Berkategori High-Profile yang Listing Di
Bursa Efek Indonesia. Semarang:
Universitas Diponegoro. (Diakses pada 11
Januari 2015).
Soehartono, Irawan. 2002. Metode Penelitian Sosial.
Cetakan kelima, Bandung: PT. Remaja
Rosadakarya Bandung.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Divisi Buku Perguruan
Tinggi PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiono. 2014. Perubahan Lahan Pertanian
Produktif Menjadi Non Produktif Akibat
Industri Genteng Di Pejagoan Kebumen
Dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta:
Skripsi UIN. (Diakses pada 20 Desember
2014)
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kualitatif,
Kuantitatif dan R&D. Cetakan ke-13.
Bandung: Alfabeta Cv Bandung.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif.
Cetakan kesepuluh. Bandung: Alfabeta Cv.
Supraidinata, Wahyu. 2013. Analisis Efektivitas CSR
Dalam Menyelesaikan Masalah Sosial
Lingkungan Perusahaan. Bandung.
Tague, N. R. 2005. The quality toolbox. Milwaukee,
Wisconsin: ASQ Quality Press.
http://asq.org/quality-press/display
item/index.html?item=H1224 (Diakses pada
9 Mei 2015)
Tuwu, Alimuddin. 1998. Pengantar Metode
Penelitian. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
60
Untung, Hendrik Budi. 2008. Corporate Social
Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.
Wibisono, Yusuf., Membedah Konsep dan Aplikasi
CSR. 2007. Gresik: Fascho Publishing.
Widoyoko, Eko Putro. 2012. Evaluasi Program
Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi
Pendidik dan Calon Pendidik.
61
Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung pada Asosiasi Petani
Pedagang Tanaman Hias Cihideung (APPTHC) di Desa Cihideung Kecamatan
Parongpong Kabupaten Bandung Barat
Ornamental Plants Marketing that is done by Farmers who are members of Cihideung
Ornamental Plants Farmers and Sellers Association (APPTHC) in Cihideung Village
Parongpong District, West Bandung
Dini Rochdiani, Sara Ratna Qanti
Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang Km 21 Jatinangor βSumedang Jawa Barat
A B S T R A K
Kata Kunci:
Tanaman hias
Pemasaran
APPTHC
Diversifikasi konsentrik
Penetrasi pasar
Permintaan terhadap tanaman hias di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
baik, terbukti dengan meningkatnya peringkat Indonesia dari urutan ke 51 menjadi
urutan ke 48 sebagai negara pengekspor tanaman hias dunia. Peningkatan ini
berpengaruh kepada keinginan petani pedagang tanaman hias untuk dapat memenuhi
tingginya permintaan terhadap tanaman hias tersebut. Dalam usaha untuk memenuhi
tingginya permintaan, petani pedagang tanaman hias mengalami beberapa kendala
dalam proses agibisnis tanaman hias, yaitu permasalahan dalam pemasaran yaitu
pengiriman tanaman hias kepada konsumen yang tidak begitu cepat. Terhambatnya
aspek distribusi yang tidak cepat dan tidak efisien disebabkan sifat tanaman hias yang
mudah rusak dan kualitas yang tidak bisa dipertahankan dengan baik. Penelitian ini
menggunakan metode analisis SWOT dengan teknik analisis matriks Eksternal Factor
Evaluation (EFE) dan matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Hasil penelitian
menunjukan beberapa hasil sebagai berikut: (1) nilai dari matriks EFI sebesar 2.40
yang artinya di bawah nilai rata-rata 2.50, (2) nilai dari matriks EFE sebesar 2.68 yang
artinya di atas nilai rata-rata 2.50. Alternatif strategi yang dirumuskan dari faktor
internal dan faktor eksternal pemasaran APPTHC pada matriks QSP menghasilkan tiga
prioritas strategi yang dapat dilakukan perusahaan, yaitu strategi diversifikasi
konsentrik, strategi pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar.
ABSTRACT
Keywords:
Ornamental plans
Marketing
APPTHC
Concentric
diversification
Market penetration
Demand for ornamental plants in Indonesia has increased significantly. It is showed
by the increasing world rank of Indonesia as an ornamental plant exporting country
from 48 in 2009 to 46 in 2013. This increasing affects farmerβs willingness to fulfill
the demand. In attemp to meet the increasing demand, there are several issues that are
faced by the farmers, mainly on the product delivery and distrubution. Inefficient
distribution that is caused by the nature of the ornamental plants. SWOT analysis with
Eksternal Factor Evaluation (EFE) and Internal Factor Evaluation (IFE) matrixes are
used in this study. This study shows several results as follows: (1) EFI matrix point at
2.40 which is below the average point at 2.50, (2) EFE matrix point at 2.68 which is
below the average point at 2.50. Alternative strategies that are formulated from the
internal and external marketing factors of APPTHC on the QSP matrix are consentrict
diversification strategy, product development strategy, and market penetration
strategy.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
62
1. PENDAHULUAN
Bisnis tanaman hias nasional dalam periode
lima tahun terakhir menunjukkan kinerja yang
menggembirakan. Agribisnis tanaman hias memiliki
keragaman tanaman meliputi tanaman hias angrek,
gerbera, kenanga, krisan, mawar, melati dan sedap
malam. Bisnis tanaman hias semakin semarak di
berbagai daerah yang ditandai dengan meningkatnya
luas area tanam, nilai transaksi penjualan, jangkauan
pemasaran dan tumbuhnya industri jasa penunjang.
Pemasaran tanaman hias dilakukan di dalam dan luar
negeri. Pengusaha tanaman hias nasional turut
berkontribusi pada pasar internasional yang bernilai
180 milyar dollar US pada tahun 2009. Jika pada
tahun 2009 Indonesia menempati urutan ke 48
pengekspor tanaman hias dunia, pada tahun 20013
peringkat tersebut meningkat menjadi urutan ke 46
dunia (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2013).
Tabel 1. Produksi Tanaman Hias di Propinsi Jawa Barat,
Tahun 2009-2013.
Sumber : Dinas Pertanian Jabar, 2013.
Tabel 1 memperlihatkan produksi tanaman hias di
propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan dari
tahun 2009 sampai tahun 2011 dan tahun 2011
sampai 2012 terjadi penurunan jumlah produksi
tanamana hias. Hal ini disebabkan turunnya
permintaan terhadap tanaman hias anggrek, sedap
malam dan mawar lebih dari satu juta tangkai. Pada
tahun 2009 total produksi tanaman hias mencapai 53
juta tangkai, sedangkan pada tahun 2013 total
produksi tanaman hias meningkat menjadi 81 juta
tangkai. Antara tahun 2009 sampai 2013 terjadi
peningkatan produksi tanaman hias 28 juta tangkai.
Tanaman hias yang diperdagangkan di Indonesia
sangat menarik dapat dilihat dari jumlah, variasi jenis
dan penampilan. Besarnya permintaan terhadap
tanaman hias menjadikan prospek bisnis tanaman
hias cukup menjanjikan. Mengenai jumlah tanaman
hias dan bunga potong distribusinya disajikan pada
Tabel 2.
Salahsatu sentra produksi tanaman hias di
Jawa Barat yaitu Desa Cihideung Kecamatan
Parongpong Kabupaten Bandung Barat dan para
petaninya tergabung dalam Asosiasi Petani Pedagang
Tanaman Hias Cihideung (APPTHC). Tanaman hias
yang dihasilkan oleh para petani yang tergabung ke
dalam APPTHC harus dapat terjual kepada
konsumen secara kontinyu dengan harga yang dapat
menguntungkan petani. Meningkatnya produksi
tanaman hias yang dihasilkan oleh petani tanaman
hias, terutama krisan dan mawar menjadi
permasalahan utama dalam memenuhi permintaan
konsumen. Oleh karena itu, APPTHC sebagai
organisasi bisnis harus dapat memasarkan tanaman
hias yang dihasilkan oleh petani tanaman hias.
APPTHC perlu meninjau kembali strategi
pemasarannya sebagai upaya untuk meningkatkan
penjualan dan mempertahankan kelangsungan
usahatani tanaman hias. APPTHC sangat dirasakan
manfaatnya bagi petani-pedagang tanaman hias,
terutama dalam membantu pemasaran tanaman hias
para petani. Permasalahan distribusi yang
dihadapi APPTHC dalam usaha tanaman hias adalah
pengiriman tanaman hias kepada konsumen tidak
begitu cepat. Terhambatnya aspek distribusi yang
tidak cepat dan tidak efisien disebabkan sifat
tanaman hias yang mudah rusak dan kualitas yang
tidak bisa dipertahankan dengan baik. Selain itu
APPTHC kurang melakukan kegiatan promosi
produk tanaman hias dengan lancar, APPTHC
seharusnya perlu menambahkan strategi pemasaran
yang lebih baik agar volume penjualan meningkat.
Strategi pemasaran yang tepat berkaitan dengan
produk (product), harga (price), tempat (place) dan
promosi (promotion) yang dilakukan oleh APPTHC,
terutama para petani sebagai anggotanya.
Berdasarkan uraian diatas, maka menarik untuk
dilakukan penelitian mengenai sejauhmana
Pemasaran Tanaman Hias Petani yang tergabung
pada Asosiasi Petani Pedagang Tanaman Hias
Cihideung (APPTHC) dilihat dari strategi pemasaran
yang dilakukannya.
N
o
Tanaman
Hias
Tahun (ribu tangkai)
2009 2010 2011 2012 2013
1 Anggrek
765
2.342
4.307
1.659
5.618
2 Anthuriu
m
805
1.060
789
924
851
3 Gerbera
3.329
3.789
4.643
4.536
3.471
4 Gladiol 14.86
6
10.85
9
7.562
8.754
5.844
5 Krisan 23.38
7
36.75
0
46.21
9
47.09
1
51.451
6 Heliconia
285
457
746
667
1.230
7 Melati
(ribu Kg)
165
145
137
356
200
8 Palem
(ribu
pohon)
99
193
247
352
322
9 Sedap
Malam
5.612
7.864
9.223
7.719
5.064
10 Mawar
2.268
6.968
8.649
7.292
4.852
11 Anyelir
1.420
1.498
238
1.153
1.559
12 Dracaena
786
658
607
1.733
1.133
Total 53.78
7
72.58
2
83.36
8
82.23
6
81.593
63
Tabel 2. Jumlah Tanaman Hias dan Bunga Potong yang Terjual Setiap Minggu di Beberapa Wilayah di Indonesia (ribuan
tangkai)
Jenis
tanaman Jakarta Medan Bandung Surabaya Malang Denpasar Makasar Jumlah
Anggrek 225,5 15 6,2 4 5,5 6 10,2 271,1
Mawar 330,9 - 35 7 7 8,8 - 388,7
Krisan 58,7 10 10 4,7 6 0,9 - 91,1
Gerbera 149,2 40 15 29 25 - - 278,2
Gladiol 54,7 15 12,5 11 10 14 - 127,2
Anthurium 19,2 19 10 5,7 2,8 5 - 62,7
Jumlah 855,5 109 103,7 65,4 65 37,7 10,2 1.219
Sumber : ASBINDO, 2012
2. KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
2.1. Agribisnis Tanaman Hias
Tanaman hias merupakan salah satu komoditi
hortikultura yang mencakup semua tanaman, baik
berbentuk terna, merambat, semak, perdu, ataupun
pohon, yang sengaja ditanam orang untuk dinikmati
keindahannya. Industri tanaman hias meliputi
budidaya tanaman dalam pot, bunga potong dan
bunga hias lainnya. Rahardi (2002) mengatakan,
bahwa tanaman hias meliputi tanaman pot, bunga
potong, kaktus, bonsai, dan tanaman hidroponik.
Tanaman hias juga merupakan semua jenis tanaman
yang mempunyai nilai hias baik hias bunga, hias
daun, hias tajuk, hias cabang, hias buah, maupun hias
aroma. Pengelompokkan tanaman hias berdasarkan
jenisnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengelompokan Tanaman Hias Berdasarkan
Jenisnya
Tanaman Hias
Bunga
Tanaman Hias Daun Tanaman Hias
Batang
Azela,
Begonia, Bougenville,
Krisan, Cinta
abadi, Pisang
hias, Bakung, Hortensia,
Bunga pukul
empat,
Geranium, African violet,
Gloxinia
Sri rejeki, Kuping
gajah, Cemara, Norfolk, Kaki gajah,
Begonia, Daun keladi,
Meranti macan, Lili
paris, puring, Jawer kotok, Andong,
Bintang timur, Rumput
paying, Belonceng,
Hanjuang, Cuphorbia, Fittonia, Beringin,
Karet kerbau, Daun
beludru, Sambang
darah, Arairut, Monster, sirih-sirihan,
Philo, Daun mutiara,
Lidah mertua,
Walisongo, Sirih belanda, Mega
mendung, Suplir,
Asparagus, Sikas,
Palem wregu, Palem kipas
Palem merah,
Palem kuning, Palem botol,
Kaktus
Sumber : ASBINDO, Tahun 2012.
Tanaman hias bunga mempunyai daya tarik
pada bunga dengan warna yang menarik, bentuk yang
indah dan mempesona, bau yang harum, atau ukuran
bunganya yang istimewa. Sedangkan tanaman hias
daun memiliki daya tarik tersendiri pada bagian
daunnya. Daya tarik tanaman hias daun disebabkan
karena keadaan, bentuk, warna, maupun komposisi
daun dengan batang yang indah dan bernilai estetik
yang tinggi. Tanaman hias batang mengandalkan
keindahan batang yang ditampilkan dalam bentuk
dan warna yang menarik.
Secara diagramatis, mata rantai agribisnis
dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini :
Gambar 1. Mata Rantai Agribisnis
Sumber : Departemen Pertanian, 2010
Adapun teknologi yang dilakukan pada
agribisnis tanaman hias menurut Dinas Pertanian
Tanaman Pangan (2002) meliputi :
Penyiapan Lahan Lahan adalah salah satu faktor produksi yang
ketersediaannya merupakan salah satu syarat untuk
dapat berlangsungnya proses produksi di bidang
pertanian. Produktivitas dari lahan sangat
dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah, tekstur
tanah, serta ketersediaan air dan iklim yang cocok.
Penyediaan Bibit
Bibit tanaman hias yang digunakan berasal
dari pembiakan generatif (biji atau benih) dan
vegetatif (stek, cangkok, okulasi). Umumnya, bibit
vegetatif lebih cepat dipetik daripada bibit generatif.
Bibit vegetatif yang baik adalah bibit yang
mempunyai daya kecambah lebih dari 90 %,
Subsist
em
sarana produk
si
Subsistem
usahat
ani/
produ
ksi
Subsistem
pemas
aran
Subsistem
agroind
ustri
pengola
han
Domes
tik
Ekspor
64
sedangkan bibit generatif yang baik, berasal dari
induk tanaman yang baik pertumbuhannya dan cukup
umur (Rahardi, 2002).
Pupuk
Pupuk digunakan dalam budidaya tanaman
hias terdiri atas pupuk organik dan pupuk anorganik.
Pupuk organik bersifat memperbaiki struktur tanah,
menaikkan daya serap tanah terhadap air dan
menaikkan kondisi hidup dalam tanah. Jenis-jenis
pupuk organik antara lain pupuk kandang, pupuk
hijau, kompos, dan humus, sedangkan pupuk
anorganik dapat dibedakan atas pupuk yang
mengandung satu macam zat hara misalnya Urea,
TSP, KCL dan DS, serta pupuk yang mengandung
lebih dari satu macam zat hara misalnya NPK,
Megamp plus KPK, dan Dekaform (Rahardi, 2002).
Pestisida
Pestisida adalah racun untuk membunuh hama
dan penyakit pengganggu tanaman. Jenisnya
bermacam-macam yakni insektisida, fungisida,
herbisida, namatisida, bakterisida, dan akarisida.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih
pestisida yaitu zat/bahan aktif, merek, dosis, bentuk
dan cara kerjanya pengertian bahan aktif sangant
berbeda dengan merk, dimana merek biasanya
terlihat jelas, sedangkan bahan aktif terdapat didaftar
komposisi. Orang membeli pestisida kebanyakan
memilih merek, padahal yang terpenting adalah
bahan aktifnya karena bahan aktif tertentu
membunuh hama atau penyakit tertentu (Rahardi,
2002).
2.2. Strategi Pemasaran
Menurut Kotler (1991), strategi pemasaran
adalah suatu rangkaian tujuan kebijaksanaan dengan
caranya tersendiri sebagai pedoman untuk
memasarkan hasil produksinya pada waktu yang
akan datang sebagai pedoman untuk meningkatkan,
mengkombinasikan dan mengalokasikan dalam
menghadapi perubahan-perubahan dan
memperhatikan lingkungan serta persaingan yang
ada, yaitu dapat dijabarkan dalam bauran pemasaran
(marketing mix).
Dalam menyusun kebijakan pemasaran, hal
penting yang perlu ditentukan untuk pasar sasaran
adalah dengan cara segmentasi pasar. Segmentasi
pasar merupakan suatu usaha untuk meningkatkan
ketepatan pemasaran (Sutisna, 2001). Perusahaan
dapat menciptakan penawaran produk atau jasa yang
selaras dan mengenakan harga yang pantas bagi
kelompok sasaran tertentu.Menurut Kotler (1991),
para pemasar menggunakan sejumlah alat untuk
mendapatkan tanggapan yang diinginkan dari pasar
sasaran mereka. Alat-alat itu membentuk suatu
bauran pemasaran. Definisi dari bauran pemasaran
adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan
perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan
pasarnya di pasar sasaran. Kotler (2002),
mempopulerkan sebuah klasifikasi yang dikenal
dengan empat P (four Ps), yaitu : Product (produk),
Price (harga), Place (tempat atau distribusi), dan
Promotion (promosi).
3. METODE PENELITIAN
Obyek penelitian ini adalah pemasaran
tanaman hias yang dilaksanakan oleh petani yang
tergabung di APPTHC di Desa Cihideung
Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat.
Tempat penelitian ini dipilih dengan pertimbangan
bahwa APPTHC merupakan sentra penghasil dan
pemasok tanaman hias di Kabupaten Bandung Barat.
Untuk mengetahui strategi pemasaran tanaman
hias, menggunakan analisis SWOT dengan melihat
lingkungan eksternal perusahaan untuk memberi
gambaran tentang kondisi usahatani tanaman hias
lokal dan mendapatkan hasil berupa peluang dan
ancaman yang dihadapi perusahaan, dan analisis
lingkungan internal perusahaan untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki APBI. Dalam hal ini menggunakan teknik
analisis matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)
dan matriks Internal Factor Evaluation (IFE).
Tabel 4. Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE)
Faktor-faktor
Eksternal
Bobot Rating Skor
Pembobotan
Peluang
Ancaman
Total
Tabel 5. Matriks Internal Factor Evaluation (EFI)
Faktor-faktor
Eksternal
Bobot Rating Skor
Pembobotan
Kekuatan
Kelemahan
Total
Matriks SWOT dapat menggambarkan secara
jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks
ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan
alternatif strategis (Rangkuti, 2008).
65
Tabel 6. Matriks SWOT
Faktor
Internal
Faktor
Eksternal
Kekuatan
(Strength)
Kelemahan
(Weaknesses)
Peluang
(Oppurtunities)
Strategi
Kekuatan-Peluang
Menggunakan
kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
Strategi
Kelemahan-Peluang
Mengambil
keuntungan
dari peluang dalam
memperbaiki
kelemahan
Ancaman
(Threats)
Strategi
Kekuatan-
Ancaman Menggunakan
kekuatan untuk
menghadapi
ancaman
Strategi
Kelemahan-
Ancaman Mengurangi
kelemahan
untuk
menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti, 2008.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Faktor Lingkungan Internal
Faktor lingkungan internal merupakan faktor-
faktor yang berasal dari intern perusahaan yang dapat
mempengaruhi arah dan tindakan perusahaan dalam
menjalankan usahanya. Faktor-faktor internal
perusahaan yang diidentifikasi merupakan bagian
dari strategi yang dijalankan perusahaan. Termaksuk
kedalam faktor-faktor internal perusahaan adalah
sumber daya manusia, produksi/operasional dan
bauran pemasaran.
4.1.1 Sumber Daya Manusia
APPTHC saat ini memiliki anggota berjumlah
45 orang. Untuk mengetahui sumber daya manusia
yang dimiliki lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
7. Tabel 7. Sumber Daya Manusia Petani di Desa Cihideung
berdasarkan Pendidikan.
Pendidikan
terakhir
Jumlah (orang) Persentase (%)
SD 12 26,7
SMP 10 22,2
SMA 20 44,4
D3/S1 3 6,7
Total 45 100
Sumber: APPTHC, 2013.
Untuk mempertahankan konsistensi dalam
menjalankan usahatani tanaman hias pihak APPTHC
setiap tahunnya melakukan pendidikan dan pelatihan
SDM. Selain itu adanya kesadaran dari anggota
APPTHC untuk mengembangkan kemampuan dalam
memproduksi dan mendekorasi tanaman hias
menjadikan usahatani tanaman hias tetap bertahan.
Kemampuan memproduksi dan mendekorasi petani
APPTHC dapat dikatakan sangat baik, hal ini terbukti
dengan adanya kunjungan dari petani di berbagai
daerah untuk studi banding seperti petani dari daerah
Semarang dan Lampung. Selain itu petani APPTHC
pernah dipercaya untuk menjadi tutor praktek
lapangan budidaya tanaman hias bagi para Penyuluh
Pertanian perwakilan Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota di 13 provinsi di Indonesia yaitu
Bali, NTT, Aceh, Papua, dan lain-lain.
4.2. Faktor Lingkungan Eksternal
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam analisis lingkungan eksternal adalah faktor-
faktor yang berada diluar perusahaan yang dapat
menimbulkan peluang yang menguntungkan
perusahaan dan ancaman yang harus dihindari.
4.2.1. Lingkungan Makro
Lingkungan makro adalah lingkungan
eksternal perusahaan yang terdiri dari ekonomi,
sosial budaya dan teknologi.
Ekonomi Krisis ekonomi global yang melanda banyak
negara memiliki dampak negatif bagi petani
pedagang tanaman hias. Krisis ini menyebabkan
omset penjualan mengalami penurunan. Peminat dan
pecinta beberapa jenis tanaman hias seperti
anthurium, aglonema dan lainnya menjadi berkurang
bahkan seakan menghilang. Peminat yang semakin
berkurang membuat pendapatan petani pedagang
Desa Cihideung mengalami penurunan. Tanaman-
tanaman hias yang setahun lalu menjadi kegemaran
masyarakat, kini sekedar menjadi pajangan yang
kurang bernilai tinggi. Krisis ekonomi global yang
terjadi membuat terhambatnya pembangunan yang
telah dirancang oleh pemerintah baik daerah maupun
pemerintah pusat. Program pembangunan kompleks
perumahan rakyat, renovasi gedung pemerintahan
dan pembuatan taman kota menjadi terhambat.
Program pembangunan tersebut membutuhkan
tanaman hias yang dipasok dari beberapa daerah
termasuk Desa Cihideung. Pembangunan yang
terhambat menyebabkan permintaan tanaman hias
Desa Cihideung mengalami penurunan. Permintaan
yang menurun membuat petani pedagang Desa
Cihideung menjual tanaman hias dengan harga yang
relatif murah dan tidak mempunyai standar harga jual
tanaman hias yang disepakati.
Sosial Budaya
Usahatani tanaman hias yang dilakukan
petani pedagang bukan hanya sekedar untuk
mendapatkan keuntungan semata, lebih dari itu para
pelaku usahatani tanaman hias biasanya menjadikan
kegiatan ini juga sebagai hobi. Umumnya petani dan
pedagang tanaman hias Desa Cihideung yang
66
melakukan usahatani tanaman hias memulainya dari
kegemaran terhadap tanaman hias. Walaupun
sebagian lainnya melakukan usahatani taman hias
karena alasan bisnis.
Teknologi Penerapan teknologi yang dilakukan petani
pedagang Desa Cihideung dapat dikatakan masih
sederhana. Penerapan teknologi dalam proses
produksi dilakukan petani pedagang tanaman hias
Desa Cihideung dengan pembuatan bedengan,
penggunaan pompa air untuk penyiraman,
penggunaan paranet (alat peneduh) sebagai
pengganti rumah kaca. Penggunaan teknologi yang
sederhana ini disebabkan karena keterbatasan modal
usaha yang dimiliki oleh petani pedagang tanaman
hias Desa Cihideung.
4.2.2. Lingkungan Mikro
Lingkungan mikro terdiri dari pelanggan dan
pesaing.
Pelanggan Pelanggan adalah pasar sasaran suatu
perusahaan yang menjadi konsumen atas barang atau
jasa yang ditawarkan perusahaan baik itu individu-
individu, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi,
dan sebagainya. Konsumen yang jadi pelanggan
petani pedagang Dessa Cihideung biasanya adalah
pedagang pengecer dari Kabupaten Cianjur, Jakarta,
dan Bogor. Selain itu petani pedagang tanaman hias
Desa Cihideung juga menjual tanaman hias kepada
pengusaha besar yang mengekspor tanaman hias ke
luar negeri seperti Belanda, Korea Selatan, Kuwait
dan Singapore. Volume pembelian tanaman hias oleh
pengusaha besar biasanya sebanyak lima trek
tanaman hias dan pemesanannya tidaklah rutin,
biasanya satu tahun sekali.
Pesaing Tingkat persaingan usaha tanaman hias di
Desa Cihideung sangatlah tinggi, dapat dilihat dari
jumlah petani pedagang yang ada di Desa Cihideung
bahwa jumlah pedagang tanaman hias 2.357 orang.
4.3. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan,
Peluang dan Ancaman
1. Kekuatan
a) Sumber daya manusia yang mempunyai
pengalaman dan kemampuan budidaya
tanaman hias yang baik.
b) Tanaman hias yang dihasilkan berkualitas,
karena kondisi alam yang mendukung.
c) Lokasi usaha yang strategis dan dekat
dengan objek wisata.
d) Sebagai sentral supplyer tanaman hias.
2. Kelemahan
a) Sistem manajemen perusahaan yang tidak
berjalan dengan baik.
b) Tidak ada upaya untuk mengembangkan
keanggotaan.
c) Tidak memiliki dana operasional yang
memadai.
d) Standar harga tanaman hias yang tidak ada.
e) Pembinaan sumber daya manusia tidak
intensif.
3. Peluang
a) Kebutuhan masyarakat terhadap tanaman
hias sebagai hobi.
b) Kepercayaan pelanggan terhadap kualitas
tanaman hias yang berasal dari Kabupaten
Bandung.
c) Teknologi informasi yang berkembang
seperti media cetak dan elektronik.
4. Ancaman
a) Munculnya petani pedagang tanaman hias
lain disekitar Desa Cihideung sebagai pesaing,
b) Pemerintah setempat yang kurang
memberikan dukungan dan perhatian, c)
Pembangunan yang sedang lesu, akibat krisis
ekonomi global.
4.4. Evaluasi Faktor Internal Perusahaan
Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
digunakan untuk mempertimbangkan dan
mengevaluasi faktor-faktor kunci internal yang
terkait dengan kekuatan dan kelemahan perusahaan
dalam menyusun strategi pemasarannya.
Berdasarkan hasil pembobotan dan peratingan,
nampak jelas bahwa APPTHC memiliki empat faktor
yang menjadi kekuatan kunci dan lima faktor yang
menjadi kelemahan kunci dalam mengembangkan
usahanya yang terkait dengan strategi pemasaran
perusahaan.
Matriks EFI (Tabel 8) memberikan nilai 2.40
yang artinya total nilai di bawah rata-rata dari nilai
rata-rata yaitu 2.50. Nilai di bawah rata-rata
menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi internal,
perusahaan memiliki posisi internal yang lemah.
4.5. Evaluasi Faktor Eksternal Perusahaan
Matriks External Factor Evaluation (EFE)
digunakan untuk mempertimbangkan dan
mengevaluasi faktor-faktor kunci eksternal yang
terkait dengan peluang dan ancaman perusahaan
dalam menyusun strategi pemasarannya.
Berdasarkan hasil pembobotan dan peratingan,
terlihat jelas bahwa perusahaan memiliki tiga faktor
yang menjadi peluang kunci dan tiga faktor yang
menjadi ancaman kunci dalam mengembangkan
usahanya yang berkaitan dengan strategi pemasaran
perusahaan.
67
Tabel 8. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE).
No Faktor Internal Bobot Nilai Total
Nilai
Kekuatan (strengths)
1. Sumber daya manusia
yang berpengalaman.
0.13 4 0.52
2. Tanaman hias yang
dihasilkan berkualitas.
0.13 3 0.39
3. Lokasi usaha yang
strategis dan dekat dengan objek wisata.
0,10 4 0.40
4. Sebagai sentral supplyer tanaman hias.
0,09 3 0.27
Kelemahan (weakness)
1. Sistem manajemen
perusahaan yang tidak berjalan.
0,14 1 0.14
2. Tidak ada upaya untuk mengembangkan
keanggotaan.
0,09 2 0.18
3. Tidak memiliki dana
operasional yang
memadai.
0,14 1 0.14
4. Standar harga tanaman
hias yang tidak ada.
0,09 2 0.18
5. Pembinaan sumber daya
manusia tidak intensif.
0,09 2 0.18
Total 1.00 2.40
Tabel 9. Matriks External Factor Evaluation (EFE).
Matriks EFE memberikan nilai 2.68 yang
artinya total nilai cukup tinggi karena berada di atas
rata-rata dari nilai rata-rata yaitu 2.50. Menunjukkan
bahwa berdasarkan kondisi eksternal, perusahaan
merespon dengan baik terhadap peluang dan
ancaman dengan cara memanfaatkan peluang dan
menghindari ancama dari luar.
4.6. Alternatif Strategi Pemasaran Analisis
SWOT
Menentukan strategi pemasaran yang tepat
bagi perusahaan dapat digambarkan secara jelas pada
matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman
(SWOT) dengan tujuan mengetahui peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan agar
dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan
yang dimilikinya. Menurut David (2006), tidak
semua strategi yang dikembangkan matriks SWOT
akan dipilih untuk diimplementasi. Berdasarkan
analisis matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-
Ancaman yang dihadapi APPTHC maka diperoleh
enam strategi dalam pemasaran perusahaan yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
perusahaan:
Strategi Kekuatan-Peluang
1. Memanfaatkan tingkat kepercayaan pelanggan
terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari
Kabupaten Bandung Barat dengan
mengembangkan bentuk tanaman hias yang lebih
unik lagi melalui kemampuan petani dalam
membudidayakan tanaman hias. (S1, O2)
2. Meningkatkan volume penjualan tanaman hias
saat hari libur dengan pemberian diskon ataupun
potongan harga bagi konsumen. (S3, O1)
Strategi Kelemahan-Peluang
1. Memudahkan pelanggan untuk mendapatkan
produk tanaman hias ataupun jasa pembuatan
taman dengan pengiriman produk yang tepat
waktu. (W1,O2)
2. Memasang iklan di surat kabar dan membuat
website perusahaan yang dilengkapi forum
pelanggan. (W1, O3)
Strategi Kekuatan-Ancaman
Lebih meningkatkan lagi kualitas tanaman hias
yang dihasilkan agar kepercayaan pelanggan
terhadap tanaman hias yang dihasilkan tetap
terjaga. (S2, T1)
Strategi Kelemahan-Ancaman
Membuka spot penjualan tanaman hias di daerah
lain yang penjual tanaman hiasnya relatif masih
sedikit. (W2, T1)
Strategi-strategi tersebut merupakan strategi
pemasaran yang dapat diterapkan secara spesifik
pada APPTHC dari hasil perumusan pada matriks
SWOT. Keseluruhannya mencakup strategi penetrasi
pasar, strategi pengembangan pasar, strategi
pengembangan produk, dan strategi diversifikasi
konsentrik.
No Faktor Eksternal Bobot Nilai Total
Nilai
Peluang (opportunities)
1. Kebutuhan masyarakat terhadap tanaman hias
sebagai hobi.
0.13 4 0.52
2. Kepercayaan
pelanggan terhadap
kualitas tanaman hias
yang berasal dari Kabupaten Cianjur.
0.16 3 0.48
3. Teknologi informasi yang berkembang
seperti media cetak dan
elektronik.
0.16 1 0.16
Ancaman (threats)
1. Munculnya petani
pedagang tanaman hias
lain disekitar Desa
Cimacan sebagai pesaing.
0.18 2 0.36
2. Pemerintah setempat yang kurang
memberikan dukungan
dan perhatian.
0.21 4 0.84
3. Pembangunan yang
sedang lesu, akibat krisis ekonomi global.
0.16 2 0.32
Total 1.00 2.68
68
Tabel 10. Matriks SWOT APPTHC
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Kekuatan (S)
1. Sumber daya manusia yang
berpengalaman.
2. Tanaman hias yang dihasilkan berkualitas.
3. Lokasi usaha yang strategis dan dekat
dengan objek wisata.
4. Sebagai sentral supplyer tanaman hias.
Kelemahan (W)
1. Sistem manajemen perusahaan yang
tidak berjalan.
2. Tidak ada upaya untuk mengembangkan keanggotaan.
3. Tidak memiliki dana operasional yang
memadai.
4. Standar harga tanaman hias yang tidak ada.
5. Pembinaan sumber daya manusia tidak
intensif.
Peluang(O)
1. Kebutuhan masyarakat
terhadap tanaman hias sebagai
hobi. 2. Kepercayaan pelanggan
terhadap kualitas tanaman hias
yang berasal dari Kabupaten
Cianjur. 3. Teknologi informasi yang
berkembang seperti media
cetak dan elektronik.
Strategi Kekuatan-Peluang
1. Strategi pengembangan produk:
Memanfaatkan tingkat kepercayaan
pelanggan terhadap kualitas tanaman hias yang berasal dari Kabupaten Cianjur
dengan mengembangkan bentuk tanaman
hias yang lebih unik lagi melalui
kemampuan petani dalam membudidayakan tanaman hias. (S1,
O2).
2. Strategi diversifikasi konsentrik:
Meningkatkan volume penjualan tanaman hias saat hari libur dengan
pemberian diskon ataupun potongan
harga bagi konsumen. (S3, O1)
Strategi Kelemahan-Peluang
3. Strategi diversifikasi kosentrik:
Memudahkan pelanggan untuk
mendapatkan produk tanaman hias ataupun jasa pembuatan taman dengan
pengiriman produk yang tepat waktu.
(W1,O2)
4. Strategi penetrasi pasar: Memasang iklan di surat kabar dan
membuat website perusahaan yang
dilengkapi forum pelanggan. (W1, O3)
Ancaman (T) 1. Munculnya petani pedagang
tanaman hias lain disekitar Desa Cimacan sebagai pesaing.
2. Pemerintah setempat yang
kurang memberikan dukungan
dan perhatian. 3. Pembangunan yang sedang lesu,
akibat krisis ekonomi global.
Strategi Kekuatan-Ancaman
5. Strategi pengembangan produk :
Lebih meningkatkan lagi kualitas tanaman hias yang dihasilkan agar
kepercayaan pelanggan terhadap
tanaman hias yang dihasilkan tetap
terjaga. (S2,T1)
Strategi Kelemahan-Ancaman
6. Strategi pengembangan pasar :
Membuka spot penjualan tanaman hias di daerah lain yang penjual tanaman hiasnya
relatif masih sedikit. (W2,T1)
Pemilihan Strategi Pemasaran
Dalam pemilihan alternatif strategi yang tepat
bagi kondisi dan posisi perusahaan sebagai pemain
baru dalam bisnis ini, dipilih tiga strategi utama dari
empat strategi yang telah dihasilkan pada Matriks
SWOT. Ketiga strategi utama itu dipilih karena
dianggap strategi pemasaran yang menjadi prioritas
APPTHC dalam rangka meningkatkan volume
penjualan. Tiga strategi pemasaran utama itu antara
lain: Strategi diversifikasi konsentrik, strategi
pengembangan produk, dan strategi penetrasi pasar.
Alternatif-alternatif strategi tersebut dapat
dianalisis kembali dengan menggunakan Matriks
Quantitatives Strategic Planning (QSP) untuk
menentukan strategi yang paling tepat sebagai
prioritas utama bagi perusahaan. Daftar bobot
peluang atau ancaman eksternal dan kekuatan atau
kelemahan internal perusahaan yang sudah ada pada
matriks IFE dan EFE kemudian dihitung dengan nilai
daya tarik (AS). Bila faktor sukses tersebut
mempengaruhi strategi pilihan yang akan
dirumuskan maka strategi harus dibandingkan relatif
terhadap faktor kunci. Semakin tinggi Total
Attractive Score (TAS) maka strategi itu semakin baik
untuk diterapkan karena mempertimbangkan seluruh
faktor eksternal dan internal perusahaan.
Berdasarkan nilai total TAS pada masing-
masing strategi dalam matriks QSP maka dapat
disusun prioritas strategi pemasaran APPTHC pada
Tabel 11 berikut.
Tabel 11. Alternatif Strategi Prioritas
No. Alternatif Strategi Pemasaran Total Nilai
1. Strategi diversifikasi konsentrik 4.05
2. Strategi pengembangan produk 3.65
3. Strategi penetrasi pasar 2.91
Tabel 11 menunjukkan dua strategi prioritas
perusahaan yakni strategi diversifikasi konsentrik
(4.05) dan strategi pengembangan produk (3.65),
Pada saat tingkat kesadaran masyarakat untuk
membeli tanaman hias sudah tinggi, maka langkah
yang ditempuh adalah membuat terobosan baru
dengan melakukan inovasi dan modifikasi terhadap
69
tanaman hias yang diproduksi untuk meningkatkan
volume penjualan perusahaan. Modifikasi tanaman
hias yang dihasilkan berkaitan dengan strategi imitasi
yang penting dilakukan karena strategi imitasi
produk dapat menjadi strategi yang lebih
menguntungkan daripada strategi inovasi yang belum
tentu diterima konsumen tanaman hias pada awalnya.
Setelah berada dalam posisi yang tepat, perusahaan
dapat menjalankan strategi prioritas ketiga untuk
mendukung volume penjualan tanaman hias dengan
berbagai aktivitas yang menarik banyak pelanggan.
Strategi penetrasi pasar sebagai strategi prioritas
ketiga dilakukan dengan pemasaran yang lebih
gencar lagi, seperti menaikkan jumlah tenaga
penjualan, meningkatkan anggaran iklan dan
meningkatkan aktivitas publisitas terhadap tanaman
hias yang dihasilkan.
PENUTUP
Penelitian ini memberi kesimpulan, bahwa
1. Nilai dari matriks EFI sebesar 2.40 yang artinya
di bawah nilai rata-rata 2.50 dan nilai dari
matriks EFE sebesar 2.68 yang artinya di atas
nilai rata-rata 2.50.
2. Alternatif strategi yang dirumuskan dari faktor
internal dan faktor eksternal pemasaran
APPTHC pada matriks QSP menghasilkan tiga
prioritas strategi yang dapat dilakukan
perusahaan, yaitu strategi diversifikasi
konsentrik, strategi pengembangan produk, dan
strategi penetrasi pasar
APPTHC dapat meningkatkan volume
penjualan dengan melakukan:
1. Melakukan aktivitas pemasaran yang lebih
gencar lagi, seperti menaikkan jumlah tenaga
penjualan, meningkatkan anggaran iklan dan
meningkatkan aktivitas publisitas terhadap
tanaman hias yang dihasilkan.
2. Mengadakan kegiatan pelatihan budidaya dan
seni potong tanaman hias yang intensif dengan
melibatkan seluruh petani pedagang yang
tergabung dalam APPTHC.
DAFTAR PUSTAKA
David, Fred R. (2006). Manajemen Strategi : Konsep
Edisi 10. Diterjemahkan oleh Paulyn Sulistio
dan Harryadin Muhardika. Salemba Empat.
Jakarta.
Kotler, Philip. (1991). Manajemen Pemasaran. Edisi
kelima. Erlangga. Jakarta.
___________. (2002). Dasar-Dasar Pemasaran.
Indeks. Jakarta.
Krisnamurthi, B. dan L. Fausia. (2006). Langkah
Sukses Melalui Agribisnis. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Nazir, Moh. (1999). Metode Penelitian Cetakan IV.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Rahardi, F., dkk. (2002). Agribisnis Tanaman Hias.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Rangkuti, Freddy. (2008). Bussiness Plan : Teknik
Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis
Kasus. PT. Gramedia. Jakarta.
Rodjak, Abdul. (2005). Manajemen Usahatani.
Pustaka Giratuna. Bandung.
Saladin, D. (2006). Manajemen Pemasaran :
Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan, dan
Pengendalian. Linda Karya. Bandung.
Sidik, Abdul. (2008).
http://blogspot.com/2008/11/kawasan-
agropolitan-kabupaten-cianjur.html. Diakses
pada Hari Rabu Tanggal 23 Desember 2009.
Soekarno dan Nampiah. 1990. Mawar. Jakarta :
Penebar Swadaya.
Stanton, J. W. (1996). Prinsip Pemasaran. Erlangga.
Jakarta.
Sutisna. (2001). Perilaku Konsumen dan komunikasi
Pemasaran. Remaja Posdakarya. Bandung.
Swastha, B. dan Irawan. (2005). Manajemen
Pemasaran Modern. Liberti. Yogyakarta.
Sugiono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta.
Jakarta.
Wikipedia Ensklipedia Bebas. (2010).
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanaman_hias.
Diakses pada Hari Minggu Tanggal 17
November 2010.
Winardi. (1993). Azas-Azas Marketing. Mandar
Maju. Bandung
70
71
Dinamika Produktivitas Padi Ditinjau dari Fluktuasi Susut Hasil serta Faktor
Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhinya
Dynamics of Rice Productivity Seen from Fluctuation of Rice Yield Losses and Social,
Economic and Cultural Factors that Determine Its
Elly Rasmikayati1*, Asep Faisal2
1Departemen Sosektan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor 2Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura, Kota Bandung
A B S T R A K
Kata Kunci:
Produktivitas padi
Susut hasil padi
Faktor sosial
Faktor ekonomi
Faktor budaya
Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam rangka mencapai
swasembada pangan masih terus dilakukan. Namun di sisi lain, kehilangan akibat tingkat susut
hasil padi yang tinggi menjadi salah satu permasalahan nyata yang harus segera diatasi.
Tujuan dari artikel ini adalah mengidentifikasi dinamika produktivitas padi Jawa Barat,
memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di Jawa Barat dan mengidentifikasi faktor-
faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil padi. Metode yang digunakan
adalah two-phase mixed method. Hasil penelitian mengungkapkan terjadinya fluktuasi yang
lebih tajam dan laju pertumbuhan yang lebih lambat pada produtivitas padi Jawa Barat
dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur, kemudian dinamika variasi susut hasil di Jawa
Barat masih cukup memprihatinkan dan belum ada kecenderungan untuk turun, selama kurun
waktu 3 tahun selalu berada di level tertinggi pada 11,46 %. Hasil analisis jalur menunjukkan
bahwa terdapat faktor-faktor non teknis yang menjadi determinan terhadap susut hasil padi
yaitu faktor pendapatan usahatani, luas lahan, perasaan, norma dan penggilingan. Implikasi
kebijakan untuk mengatasi tingkat susut hasil gabah dan beras antara lain mendorong petani
untuk lebih memperhatian pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca panen padi untuk
menurunkan susut hasil. Memberikan bantuan modal untuk petani yang luas lahannya
kurang dari 0,7 hektar. Melakukan pendekatan budaya untuk merubah perilaku panen dan
pasca panen petani ke arah yang lebih baik namun tidak mengakibatkan disharmoni diantara
petani dan buruh tani (buruh panen). Memodernisasi penanganan panen dan pasca panen
melalui pemberian bantuan fasilitas alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi dari I Phase
menjadi II Phase dan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.
ABSTRACT
Keywords:
Rice productivity
Rice yield losses
Social factor
Economics factor
Culture factor
Government efforts to increase food production in order to achieve food self-sufficiency is still underway. But on the other hand, the loss due to high yield losses of rice to
be one of the real problems that must be addressed immediately. The purpose of this article
is to reveal the dynamics rice production in West Java, reveal the dynamics of variation of
losses rice result in West Java, and identifies non-technical factors that influence rice yield
losses. The method used is a two-phase mixed method. Results of the study revealed that occur
the sharper fluctuation and slower growth rate in rice productifity in West Java compared to
Central Java and East Java, then the dynamics of the variation of losses results in West Java
is still quite alarming and there is no tendency to go down, during a period of 3 years has
always been at the highest level at 11.46%. The path analysis result showed that there are
non-technical factors that determine rice yield losses including farm income, land area,
feelings, norms and milling factors. The implication policies to overcome rice yield losses are
encouraging farmers to pay more attention for the cost of harvest/post-harvest treatment to
reduce rice yield losses. Give the financial aid for farmers with land area below 0.7 hectares.
Perform a cultural approaches to change behavior of harvest and post-harvest farmers
towards the better, but do not lead to disharmony among farmers and farm workers (harvest
laborers). Modernize the harvest and post-harvest handling through the provision of facilities
alsintan especially revitalizing rice milling from Phase I into Phase II and technical guidance
to improve the quality of its human resources.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
72
PENDAHULUAN
Pertambahan penduduk selalu berdampak
pada peningkatan kebutuhan akan pangan, hal ini
mendorong berbagai upaya untuk meningkatkan
produksi pangan. Dalam upaya meningkatkan
swasembada pangan khususnya beras, saat ini
pemerintah sedang melakukan berbagai upaya
peningkatan produksi beras melalui perluasan areal
dan optimalisasi lahan, peningkatan produktivitas
padi melalui bantuan benih, pupuk, alat mesin
pertanian dan revitalisasi penggilingan padi dan
upaya-upaya lainnya.
Dalam 10 tahun terakhir (2004-2014), Jawa
Barat merupakan penyumbang produksi padi terbesar
kedua setelah Jawa Timur dengan rata-rata
produksinya sebesar 10.775.158 ton per tahun.
Berdasarkan Gambar 1, yang paling mencolok adalah
produksi padi Jawa Barat tahun 2009-2011 yang
lebih besar dari Jawa Timur, bahkan pada tahun 2011
pada saat Jawa Timur dan Jawa Tengah mengalami
penurunan produksi yang sangat mencolok, Jawa
Barat hanya mengalami penurunan yang sangat
sedikit. Namun demikian dari 2012 sampai sekarang,
produksi padi Jawa Timur selalu di atas Jawa Barat
dengan selisih yang terlihat cukup mencolok.
Gambar 1. Grafik Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur periode 2004-2014 Sumber: Data BPS, diolah 2015
Turunnya produktivitas Jawa Barat
dibandingkan Jawa Timur ini bisa disebabkan oleh
banyak faktor diantaranya karena tidak maksimalnya
penggunaan input pertanian seperti benih, pupuk,
pestisida dan teknologi produksi lainnya. Selain itu
fenomena perubahan iklim juga turut
mempengaruhinya. Menurut Rasmikayati (2014)
terdapat kecenderungan bahwa tindakan adiptif dan
mitigatif terhadap perubahan iklim petani Jawa
Timur lebih baik dari pada Jawa Barat. Penyebab lain
yang sangat rasional adalah terjadinya susut hasil
padi yang cukup tinggi di Jawa Barat.
Susut hasil dapat terjadi sejak panen hingga
pascapanen. Panen dan pascapanen padi adalah
tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan
(pemanenan) malai padi, perontokan, pembersihan,
pengangkutan, pengeringan, penggilingan,
penyimpanan sampai beras siap dipasarkan atau
dikonsumsi. Apabila susut hasil dapat ditekan
serendah mungkin, maka upaya peningkatan
produksi padi dan beras dapat dicapai lebih efektif
serta tidak akan mengeluarkan biaya yang terlalu
besar.
Hasil penelitian Setyono (2008) menunjukkan
bahwa Jawa Barat dibandingkan dengan Jawa
Tengah, Lampung, Bali dan Kalimantan Selatan
masih tertinggi persentase susut hasil padinya.
Dengan persentase susut hasil Jawa Barat yang diatas
10% ini merupakan angka yang sangat tinggi dan
jelas akan berdampak pada jumlah produksi padi
yang dihasilkan Jawa Barat.
Tabel 1. Perbandingan Susut Hasil, Jabar, Jateng, Lampung, Bali
dan Kalsel
Tahapan Persentase Susut Hasil (%)
Jabar Jateng Lampung Bali Kalsel
Panen 3,56 1,88 2,80 1,34 1,53
Perontokan 3,64 2,85 4,45 4,20 0,32
Pembersihan - 0,65 1,52 - -
Pengangkutan 1,13 0,49 1,40 0,67 1,46
Pengeringan 1,82 2,18 1,49 1,90 1,15
Penggilingan 2,14 2,57 1,51 1,22 1,58
Penyimpanan 1,65 - - 1,75 1,35
Jumlah 13,94 10,62 13,24 11,08 7,39
Sumber: Setyono, (2008) ,
Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya
terus berupaya untuk menekan persentase susut hasil
ini melalui bantuan fasilitasi alat dan mesin pertanian
(alsintan) serta bimbingan tehnis penanganan panen
dan pascapanen dengan target agar susut hasil gabah
dan beras dapat ditekan untuk mencapai target 1%
per tahun. Namun faktanya susut hasil berfluktuasi
dan kalaupun turun jarang mencapai angka 1%.
Dengan demikian, upaya-upaya pemerintah dalam
menekan susut hasil padi ini belum begitu berjalan
dengan baik ditingkat petani, Kelompok Tani
maupun Gapoktan. Hal itu menunjukan bahwa selain
faktor teknis terdapat juga faktor-faktor non teknis
yang mempengaruhi tingginya persentase susut hasil
padi dan beras.
Faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
petani merupakan faktor-faktor non teknis yang
mungkin dapat mempengaruhi perilaku petani, buruh
tani, maupun penggarap. Sistem sosial ekonomi dan
budaya ini sukar untuk berubah, meskipun berbagai
introduksi teknologi maupun inovasi baru terus
dilakukan, dahulu adanya penolakan mekanisasi di
beberapa daerah misalnya. Kemudian sistem panen
keroyokan, pengasag, remi, odong-odong, dan
ngeprek merupakan salah satu budaya dari
masyarakat petani yang masih terjadi sampai saat ini.
73
Pemilik lahan, petani, petani penyakap atau petani
penggarap tidak bisa mencegah perilaku tersebut
karena itu telah ada dan merupakan budaya dari
masyarakat petani. Pertanyataannya adalah faktor-
faktor non teknis apa saja yang mempengaruhi
tingginya persentase susut hasil padi dan beras.
Selanjutnya, dari Tabel 1 didapatkan bahwa
rata-rata persentase susut hasil padi berdasarkan hasil
penelitian Setyono (2008) adalah sebesar 13,94 %.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kita telah
kehilangan hasil produksi padi dengan angka yang
cukup besar. Kehilangan produksi padi ini harus
dicegah atau diturunkan sampai seminimal mungkin
agar dapat mencapai peningkatan produksi. Oleh
karena itu tujuan dari artikel ini adalah 1)
Memaparkan dinamika dan komparasi produktivitas
padi Jawa Barat dari dahulu hingga saat ini; 2)
Memaparkan dinamika variasi susut hasil padi di
Jawa Barat; dan 3) Mengidentifikasi faktor-faktor
non teknis apa saja yang mempengaruhi susut hasil
padi sehingga dari sini kita dapat menentukan
implikasi kebijakan untuk mengatasi susut hasil.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
Jawa Barat memang masih merupakan
provinsi yang termasuk ke dalam 3 besar provinsi
penyumbang produksi padi nasional. Namun
demikian produksi padinya selalu mengalami
fluktuasi naik turun. Terdapat beberapa faktor yang
dapat menjadi penyebabnya diantaranya tidak
maksimalnya input pertanian yang digunakan,
terjadinya fenomena perubahan iklim dan yang
terakhir adalah angka susut hasil padi Jawa Barat
yang cukup besar. Untuk mengatasi susut hasil ini
berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah,
namun hasilnya masih jauh dari target.
Faktor-faktor non teknis seperti faktor sosial,
ekonomi, budaya seperti: umur, pendidikan,
pendapatan, luas lahan, pengalaman berusahatani,
pengawasan, perasaan, kepercayaan, sangsi sosial,
norma dan sikap mempengaruhi perilaku petani
dalam melaksanakan penanganan panen dan pasca
panen gabah dan beras. Kemudian juga teknologi
petani mempengaruhi perilaku petani dalam
melaksanakan penanganan panen dan pasca panen
gabah dan bears. Hal itu tercermin dari masih
tingginya persentase susut hasil padi dan beras,
meskipun inovasi dan teknologi dalam bentuk
bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen
gabah dan beras mulai panen, perontokan,
pengeringan dan pengggilingan setiap tahun
diadakan, begitu juga fasilitasi alsintan panen dan
pasca panen padi dan beras yang terus dilaksanakan
setiap tahun. Menurut Setyono (2008) titik kritis
susut hasil padi dan terletak pada sistem pemanen dan
perontokan.
Berdasarkan hal tersebut, perbaikan sistem
penerapan panen dan pasca panen padi dan beras
dalam upaya menekan susut hasil gabah dan beras
harus mencakup seluruh sistem agribisnis dan aspek
teknis, sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan
petani / kelompok tani / Gapoktan setempat.
Perbaikan tersebut harus menguntungkan semua
pihak yang terlibat, baik petani pemilik, buruh panen,
dan pengusaha jasa panen dan perontok. Dengan
demikian, diperlukan pendekatan yang menyeluruh
terhadap komponen-komponen sistem agar dapat
menemukan sifat-sifat penting dalam sistem,
sehingga diperoleh berbagai alternatif perbaikan
keluaran yang dikehendaki. Karena itu, strategi
untuk mengatasi susut hasil ini harus lebih dilihat dari
bagaimana cara mengatasi faktor-faktor non teknis
petani itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah two-
phase mixed method (Creswell et. al., 2008). Fase
pertama pada metode ini dimulai dengan
pengumpulan literatur-literatur berupa dokumentasi
berbagai instansi terkait seperti Dinas Pertanian,
BPS dan instansi lainnya serta hasil-hasil penelitian
dengan topik yang sama mengenai produktivitas dan
susut hasil padi lalu dibandingkan dan dikaji secara
mendalam untuk menggambarkan dinamika
produktivitas dan variasi susut hasil padi di Jawa
Barat.
Selanjutnya pada fase berikutnya digunakan
data hasil survey pada daerah yang lebih spesifik
untuk menghitung susut hasil dan menentukan
faktor-faktor non teknis yang menentukan susut hasil
padi. Data tersebut adalah data yang bersumber dari
petani yang melakukan panen, perontokan,
pengeringan dan penggilingan padi di kabupaten
Indramayu pada musim tanam 2014/2015. Data
mengenai susut hasil didapatkan dengan
pengujian/pengukuran langsung di sawah milik
petani yang bersangkutan, sedangkan data mengenai
faktor-faktor non teknis didapatkan melalui
wawancara.
Penghitungan susut hasil mengikuti prosedur
baku yang telah dikembangkan oleh BPS dan Deptan
(2008). Rumus penghitungan susut hasil merupakan
penjumlahan dari susut saat melakukan panen, susut
saat melakukan perontokan, susut pengeringan dan
susut penggilingan.
Metode analisis yang digunakan untuk
menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi susut
hasil adalah analisis jalur (path analysis) dengan
persamaan struktural yang berisi 15 buah variabel
eksogen π1, π2, β¦ , π15 dan sebuah variabel endogen
yaitu π persamaan struktural tersebut adalah:
74
π = ππ.π₯1π1 + ππ.π₯2π2 + β― + ππ.π₯15π15 + Π
Keterangan :
π = Susut hasil gabah dan beras (kg)
π1 = umur (tahun)
π2 = Pendidikan
π3 = Pengalaman usahatani (tahun)
π4 = Tingkat pendapatan (Rp)
π5 = Luas lahan (hektar)
π6 = Pengawasan
π7 = Perasaan
π9 = Sanksi sosial
π10 = Norma
π11 = Sikap
π13 = Perontokkan
π14 = Pengeringan
π15 = Penggilingan
ππ.π₯π = Koefisisen beta dari π1 sampai π15
Π = Kesalahan (disturbance term)
Selanjutnya, untuk menyusun strategi
menanggulangi susut hasil gabah dan beras akibat
dari faktor-faktor non teknis seperti perilaku sosial
ekonomi, budaya dan teknologi petani pada setiap
tahapanya, dilakukan analisis kualitatif dengan
mengacu kepada identifikasi perilaku sosial
ekonomi, budaya dan teknologi petani dalam
melaksanakan panen dan pasca panen yang
signifikan mempengaruhi susut hasil kemudian
dilakukan kajian lebih mendalam dengan analisis
kebijakan Timberben.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dinamika Produksi Padi Jawa Barat
Jawa Barat merupakan salah satu sentra utama
padi nasional, kontribusinya pada tahun 2014 sekitar
16 %. Rata-rata produksi padi Jawa Barat selama
1993-2014 tahun terakhir ini adalah sebesar
10.994.835 ton per tahun dengan rata-rata luas area
panen seluas 1.927.089 hektar dan rata-rata
produktivitas sebesar 5,70 ton/hektar.
Dalam hal produktivitas padi seperti tersaji
pada Gambar 2, selama periode 1993-2014 rata-rata
produktivitas padi Jawa Barat adalah 5,29 ton/hektar
dengan standard deviation sebesar 0,43 ton/hektar.
Jawa Tengah juga mempunyai rata-rata produktivitas
padi yang hampir sama yaitu 5,285 ton/hektar namun
mempunyai standard deviation yang lebih kecil yaitu
0,22 ton/hektar, ini menandakan variasi naik
turunnya produktivitas padi Jawa Barat lebih
berfluktuasi dari pada Jawa Tengah. Selanjutnya
Jawa Timur adalah provinsi dengan rata-rata
produktivitas padi paling tinggi yaitu 5,44 ton/hektar
dengan standard deviation sebesar 0,35 ton/hektar di
mana angka ini lebih kecil dari Jawa Barat.
Gambar 2. Garafik Produktivitas Padi Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur periode 1993-2014 dalam
kuintal per hektar
Sumber: Data BPS, diolah 2015
Dengan rata-rata produktivitas yang lebih kecil
dan standard deviation yang lebih besar dari Jawa
Timur mengindikasian bahwa terdapat penurunan
produktivitas padi yang sangat tajam atau laju
pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat di Jawa
Barat. Seperti pada tahun 1998 di mana hampir
semua daerah mengalami penurunan produktivitas
namun Jawa Barat mengalami penurunan
produktivitas yang sangat tajam hingga hanya
mencapai 4,5 ton/hektar.
Jawa Barat sebenarnya awalnya pada tahun
1993 merupakan yang paling rendah
produktivitasnya diantara Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Namun walaupun saat ini produktivitas Jawa
Barat masih lebih rendah dibandingkan Jawa Timur
namun saat ini sudah lebih tinggi dari Jawa Tengah.
Dinamika Variasi Susut Hasil Padi
Persentase susut hasil padi di Jawa Barat
ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Persentase Susut Hasil Padi di Jawa Barat Tahun 2009,
2010, dan 2011
Tahapan
Persentase Susut Hasil (%)
Tahun 2009 Tahun
2010
Tahun 2011
Panen 3.48 2.29 3.07
Perontokan 3.82 3.06 3.2
Pengeringan 2.35 3.31 3.06
Penggilingan 1.69 2.39 2.13
Jumlah 11.34 11.05 11.46
Sumber: Diperta Provinsi Jawa Barat, (2012)
Dengan tingkat susut hasil sebesar 11,46%,
gabah yang tercecer sebesar 1.447.138,4 ton berasal
pada saat panen 387.671,44 ton GKP, perontokan
404.087,51 ton GKP, pengeringan 386.408,68 ton
GKP dan penggilingan 268.970,75 ton GKG. Susut
hasil ini, jika dikonversikan ke dalam luas areal
sawah dengan rata-rata produksi Gabah Kering
Panen (GKP) di Jawa Barat yang sebesar 5,6 ton per
hektar sama dengan 258.417,5 ha sawah tidak
75
dipanen. Kemudian jika dikonversikan ke dalam
Harga Pembelian Petani (HPP) GKP Rp 3.300
ditingkat petani dan GKG Rp 4.200 per kg di Perum
BULOG (Inpres No.3. Tahun 2012) dari panen,
perontokan dan pengeringan, Gabah Kering Panen
(GKP) yang tercecer setara dengan Rp
3,887,953,179,000,-, sedangkan untuk penggilingan
Gabah Kering Giling yang tercecer (GKG) setara
dengan Rp 1,129,677,150,000,-.
Berdasarkan Tabel 2, dinamika variasi susut
hasil cenderung relative tetap pada level 11 - 12 %
dengan standard deviation sebesar 0,21 %. Angka ini
jelas masih terlalu tinggi dan belum terlihat
kecenderungan untuk menurun. Maka dari itu, angka
susut hasil ini harus segera diturunkan agar program
peningkatan produksi padi di Jawa Barat dapat
berjalan lebih efisien dan efektif. Selain itu, jika
permasalahan susut hasil padi di Jawa Barat yang
angkanya cukup tinggi ini dapat diatasi dengan baik
maka produktivitas padi Jawa Barat dapat lebih baik
lagi dan berpeluang untuk mengungguli Jawa Timur.
Dinamika Produktivitas dan Susut Hasil di
Indramayu
Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten
penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Selama
periode 2009-2013, rata-rata produksi padi
Indramayu adalah 1.311.664 ton, disusul oleh
kabupaten Karawang dan Subang dengan 1.098.891
ton dan 1.013.195 ton (Disperta Jabar, 2014).
Gambar 2. Grafik Produktivitas Padi Kabupaten Indramayu,
Subang dan Karawang periode 2009-2013 dalam
kuintal per hektar Sumber: Disperta Provinsi Jawa Barat, diolah 2015
Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam hal
produktivitas padi, Kabupaten Indramayu memiliki
rata-rata produktivitas tertinggi. Selama periode
2009-2013 angkanya mencapai 6,09 ton/hektar di
atas Karawang dan Subang yang masing-masing
sebesar 5,98 ton/hektar dan 5,86 ton/hektar.
Namun demikian, jika dilihat dari nilai
standard deviation produktivitasnya dalam periode
yang sama, Indramayu memiliki nilai standard
deviation yang lebih besar dari pada Karawang dan
Subang. Nilai standard deviation produktivitas padi
Indramayu adalah 0,25 ton/hektar, Subang sebesar
0,23 ton/hektar dan Karawang sebesar 0,12. Dalam
hal ini Kabupaten Indramayu adalah yang paling
tinggi fluktuasi naik turunnya. Kejadian susut hasil
tidak bisa dikecualikan sebagai salah satu
penyebabnya. Untuk itu, hasil survey mengenai susut
hasil di Indramayu akan dipaparkan dan dianalisis
lebih jauh.
Hasil penghitungan susut hasil di Kabupaten
Indramayu disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil Penghitungan Susut Hasil di Kabupaten
Indramayu
Statistik Susut Hasil (kg)
Panen Perontokan Pengeringan Penggilingan
Rata-rata 2.68 13.43 0.47 0.034
Simpangan
baku 1.92 4.27 1.99 0.045
Sumber: Data Primer diolah, (2015)
Faktor utama dari masih tinginya susut hasil
gabah pada saat panen disebabkan petani masih
mengunakan sistem keroyokan. Dalam sistem
keroyokan berkisar antara 20 - 30 orang pemanen
yang seringkali dilakukan malam hari pemanen
dengan menggunakan sabit biasa berebut memotong
padi, akibatnya banyak rumpun padi yang terinjak
dan patah. Pengunaan sabit biasa menyebabkan
tekanan terhadap rumpun padi sangat besar ketika
batang padi dipotong sehingga banyak butir gabah
yang jatuh. Berbeda halnya jika menggunakan sabit
bergerigi, karena tekanan terhadap rumpun padi
ketika batang padi dipotong lebih rendah daripada
sabit biasa. Menurut Damarjati et al, (1990) sabit
bergerigi bisa menekan kehilangan hasil pada saat
pemotongan padi sebesar 3%. Selain itu, padi yang
telah dipanen dikumpulkan ditengah sawah dengan
alas terpal plastik untuk dirontokan di pagi hari,
penundaan perontokan ini akan mempengaruhi
kualitas gabah dan peningkatkan risiko kehilangan
hasil.
Berdasarkan Tabel 3, rata-rata susut hasil pada
saat perontokan adalah yang paling tinggi
dibandingkan tahapan lainnya. Hal ini terjadi karena
di lokasi penelitian atau umumnya di Indramayu padi
dirontokan dengan alat banting bertirai tanpa
penghalang, jumlah batang padi seringkali lebih
besar dari genggaman tangan sehingga tidak
terbanting dengan baik, jumlah bantingan antara 2-4
kali sehingga masih terdapat butir padi yang
menempel di malainya dan batang padi yang
berjatuhan. Selain itu, ketika panen berakhir diikuti
oleh pengeprek (padi diorek-orek) atau remi (ngorek-
76
nogrek jerami) yang di drop per mobil antara 10-15
orang yang berasal dari Desa sekitarnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Momo 34
tahun (2013) salah satu pengeprek hasilnya dapat
mencapai 30-60 kg per bau gabah bernas per
orangnya. Hasil ngeprek dijual kepada bandar
pemilik mobil dengan harga Rp 3000 - Rp 3500 per
kg. Ngeprek sudah menjadi kebiasaan di Indramayu
dan jika pemilik sawah melarang maka seringkali
padi yang siap panen diganggu.
Kemudian pada proses pengeringan, padi
dikeringkan ditengah sawah atau atau dihalaman
rumah, sambil dijemur biasa dibersihkan. Petani
menggunakan karung plastik atau terpal plastik
sebagai alasnya. Disamping terjadi susut hasil karena
tercecer juga seringkali adanya gangguan dari burung
dan ayam yang biasa berkeliaran disekitar rumah.
Namun demikian dari Tabel 2 didapatkan nilai
simpangan baku susut hasil pengeringan sebesar 1,99
yang jauh lebih tinggi dari pada rata-ratanya, hal ini
menunjukkan sangat bervariasinya tingkat susut hasil
petani pada saat melakukan pengeringan hasil panen.
Kemudian yang terakhir pada proses
penggilingan nilai susut hasilnya adalah yang paling
kecil. Pada tahapan ini, susut hasilnya berupa gabah
yang tercecer disekitar mesin penggiling, dan menir
(beras patah) banyaknya beras patah ini disebabkan
oleh kadar air yang kurang dari 14% atau lebih dari
14%. Biasa petani dalam mengeringkan gabah antara
12-15% akibatnya banyak terjadi butir hijau, butir
mengapur (chalky), dan menir (beras patah). Namun
demikian, susut hasil penggilingan ini merupakan
keuntungan bagi pemilik penggilingan. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Wagiono (2013) salah satu
pemilik penggilingan padi menir dan dedak
merupakan keuntungan pemilik penggilingan padi
disamping biaya penggilingan. Menir diayak dengan
ayakan halus menjadi tiga bagian yaitu menir patah
dua dijual Rp 600,0,- per kg, menir patah tiga Rp
4,500 per kg dan menir bebek (> patah 3) dijual Rp
4,000 per kg sementara dedak dijual Rp 2,500 per kg.
Faktor-Faktor Non Teknis yang Mempengaruhi
Susut Hasil Padi
Berikut adalah hasil estimasi faktor-faktor non
tenis yang menjadi determinan terhadap pendapatan
petani mangga setelah memenuhi asumsi-asumsi
klasik dan goodness of fit. Dari hasil analisis akhir
didapatkan 5 faktor yang mempengaruhi susut hasil
(π) secara nyata yaitu tingkat pendapatan usahatani
(π4), luas lahan (π5), perasaan (π7), norma (π10) dan
penggilingan (π15).
Tabel 4. Faktor-faktor Non Teknis yang Menjadi Determinan
terhadap Susut Hasil
Variabel
Koefisien Jalur
(ππ.π₯π)
Tingkat
Signifikansi Status
π4 0,877 0,000*** Signifikan
π5 -0,468 0,020** Signifikan
π7 0,357 0,010*** Signifikan
π10 -0,368 0,005*** Signifikan
π15 0,357 0,007*** Signifikan
Uji-F 0,000** Signifikan
π 2 = 0,383
Ket : (*) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 90% (**) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%
(***) Signifikan dengan tingkat kepercayaan 99%
Sumber: Data Primer diolah, (2015)
Tabel 5. Matriks Korelasi Antar Variabel
ππ₯ππ₯π Y X4 X5 X7 X10 X15
Y 1,000 0,361 0,169 0,071 -0,172 0,161
X4 0,361 1,000 0,761 -0,203 0,128 -0,113
X5 0,169 0,761 1,000 0,066 0,014 -0,136
X7 0,071 -0,203 0,066 1,000 0,010 -0,205
X10 -0,172 0,128 0,014 0,010 1,000 0,239
X15 0,161 -0,113 -0,136 -0,205 0,239 1,000
Sumber: Data Primer diolah, (2015)
Dari Tabel 4 dan Tabel 5 didapatkan nilai
pengaruh langsung dan tidak langsung dari ke-5
faktor tersebut.
Tabel 6. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Pendapatan (π4) terhadap
Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras
Pengaruh langsung 0,7688
Pengaruh tidak langsung : Melalui π5 -0,3124
Melalui π7 -0,0634
Melalui π10 -0,0413
Melalui π15 -0,0353
Pengaruh total π4 ke π 0,3162
Berdasarkan Tabel 6, secara langsung
peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 76,88% ditentukan oleh faktor tingkat
pendapatan. Namun jika dilihat dari pengaruh total
tidak langsung faktor tingkat pendapatan melalui luas
lahan, perasaan, norma dan penggilingan berubah
menjadi -45,25% yang berarti menurunnya tingkat
susut hasil gabah dan beras sebesar 45,25%
ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan berbagai
aspek dari faktor luas lahan, perasaan, norma dan
penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini
mengurangi total pengaruh pendapatan terhadap
tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi 31,62%,
jadi meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan
beras sebesar 31,62% secara total ditentukan oleh
faktor tingkat pendapatan.
77
Hasil analisis mengungkapkan bahwa
peningkatan pendapatan berkontribusi pada
meningkatnya susut hasil. Dalam hal ini tinggnya
pendapatan ini disebabkan karena petani kurang
menganggarkan biaya untuk sistem budidaya yang
lebih baik dan perlakuan panen dan pasca panen yang
baik. Untuk itu, petani harus didorong untuk lebih
memperhatikan pembiayaan pada sistem
budidaya/produksi untuk meningkatkan
produktivitas dan perlakuan panen dan pasca panen
untuk menurunkan susut hasil. Sehingga walaupun
hal ini akan meningkatkan biaya produksi namun
akan tertutup oleh meningkatkan hasil dan sedikitnya
susut hasil padi.
Tabel 7. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Luas Lahan (π5) terhadap
Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras
Pengaruh langsung 0,2194
Pengaruh tidak langsung Melalui π4 -0,3124
Melalui π7 -0,0111
Melalui π10 0,0023
Melalui π15 0,0228
Pengaruh total π5 ke π -0,0790
Berdasarkan Tabel 7, secara langsung
peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 21,94% ditentukan oleh faktor luas lahan.
Namun jika melihat pengaruh total tidak langsung
faktor luas lahan melalui tingkat pendapatan,
perasaan, norma dan penggilingan bernilai negatif -
29,84% yang berarti penurunan tingkat susut hasil
gabah dan beras sebesar 29,84% secara tidak
langsung ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan
faktor-faktor pendapatan, perasaan, norma dan
penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini
mengurangi total pengaruh luas lahan terhadap
tingkat susut hasil gabah dan beras menjadi -7,90%,
jadi menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 7,90% secara total ditentukan oleh faktor luas
lahan.
Berdasarkan hasil analisis, menurunkan susut
hasil disebabkan karena semain luasnya lahan petani.
Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa petani
dengan luas lahan β₯ 0,7 hektar cenderung berupaya
untuk memaksimalkan biaya produksi dan
menggunakan teknologi baik untuk produksi, panen
dan pasca panen untuk mendapatkan hasil panen
yang maksimal. Untuk itu, petani dengan luas lahan
kurang dari 0,7 hektar yang kebanyakan bermodal
seadanya perlu mendapatkan perhatian dengan
adanya bantuan permodalan agar dapat melakukan
hal dilakukan petani yang luas lahannya lebih dari 0,7
hektar.
Tabel 8. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Perasaan (π7) terhadap Tingkat
Susut Hasil Gabah dan Beras
Pengaruh langsung 0,1275
Pengaruh tidak langsung Melalui π4 -0,0634
Melalui π5 -0,0111
Melalui π10 -0,0014
Melalui π15 -0,0262
Pengaruh total π7 ke π 0,0254
Tabel 8 menunjukan bahwa secara langsung
peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar
12,75% ditentukan oleh faktor perasaan. Namun jika
dilihat dari pengaruh total tidak langsung perasaan
melalui faktor pendapatan, luas lahan, norma dan
penggilingan berpengaruh negatif sebesar -10,21%
yang berarti secara tidak langsung penurunan tingkat
susut hasil gabah dan beras sebesar 10,21%
ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari
faktor faktor tingkat pendapatan, luas lahan, norma
dan penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini
mengurangi total pengaruh perasaan terhadap tingkat
susut hasil gabah dan beras menjadi 2,54%, jadi
meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 2,54% secara total ditentukan oleh faktor
perasaan.
Tabel 9. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Norma (π10) terhadap Tingkat
Susut Hasil Gabah dan Beras
Pengaruh langsung 0,1351
Pengaruh tidak langsung Melalui π4 -0,0413
Melalui π5 0,0023
Melalui π7 -0,0014
Melalui π15 -0,0314
Pengaruh total π10 ke π 0,0634
Tabel 9 menunjukan bahwa secara langsung
peningkatan tingkat susut gabah dan beras sebesar
13,51% ditentukan oleh faktor norma. Namun jika
dilihat dari pengaruh tidak langsung faktor norma
melalui pendapatan, luas lahan, perasaan, dan
penggilingan berpengaruh negatif sebesar β7,18%
yang berarti penurunan tingkat susut hasil gabah dan
beras sebesar 7,18% secara tidak langsung
ditentukan oleh perbaikan dan peningkatan dari
faktor pendapatan, luas lahan, perasaan, dan
penggilingan. Pengaruh total tidak langsung ini
mengurangi total pengaruh norma terhadap tingkat
susut hasil gabah dan beras menjadi 6,34%. Jadi
meningkatnya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 6,34% secara total ditentukan oleh faktor
norma.
Jika dibandingkan antara pengaruh tidak
langsung perasaan -10,21% dengan total pengaruh
78
perasaan 2,54% jauh lebih besar pengaruh total tidak
langsung, artinya sebenarnya dengan meningkatkan
rasionalitasnya dan mengurangi unsur menjaga
perasaan petani seperti membatasai jumlah pemanen,
menggunakan perontok mesin, mengeringkan dalam
lamporan, dan menggiling di penggilingan besar
mereka dapat menurunkan susut hasilnya. Namun
hal ini tidak dilakukan. Di lokasi penelitian sudah
biasa siapa saja bisa ikut panen meskipun pemilik
sawah tidak menyuruhnya, bahkan ketika panen
sedang berlangsung orang bisa langsung ikut panen.
Pemilik sawah menyadari hal itu merugikan karena
semakin banyak jumlah pemanen maka kerusakan
padi akibat terinjak karena berebut akan semakin
banyak, namun tidak bisa melarangnya karena karena
empati terhadap orang lain dan takut orang tersebut
akan tersinggung dan marah.
Artinya kesadaran akan kerugian dengan
mempertahankan norma-norma yang berlaku ketika
melaksanakan sistem panen, perontokan pengeringan
dan penggilingan ada. Namun kesadaran ini tidak
dinyatakan dalam tindakan karena norma-norma itu
sudah menjadi kebiasaan. Sangat sulit untuk merubah
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat
pedesaan, karena itu sudah lama terjadi dan sudah
menjadi patokan dalam perilaku sehari-hari
seseorang yang melanggar norma akan dikenai sangsi
sosial dari masyarakat disekitarnya.
Tabel 10. Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan
Pengaruh Total Faktor Penggilingan (π15) terhadap
Tingkat Susut Hasil Gabah dan Beras
Pengaruh langsung 0,1276
Pengaruh tidak langsung Melalui π4 -0,0353
Melalui π5 0,0228
Melalui π 7 -0,0262
Melalui π10 -0,0314
Pengaruh total π15 ke π 0,0575
Tabel 10 menunjukan secara langsung
peningkatan tingkat susut hasil gabah dan beras
ditentukan oleh faktor penggilingan sebesar 12,76%.
Namun jika dilihat dari pengaruh total tidak langsung
penggilingan melalui faktor pendapatan, luas lahan,
perasaan, dan norma sebesar -7,01%. Jadi pengaruh
langsung penggilingan terhadap tingkat susust hasil
gabah dan beras yang tadinya positif setelah melalui
faktor pendapatan, perasaan, dan norma berubah
menjadi negatif, namun tetap positif ketika melalui
faktor luas lahan meskipun sangat kecil. Ini berarti
bahwa secara tidak langsung tingkat susut hasil
gabah dan beras sebesar 7,01% dapat diturunkan
melalui perbaikan dan peningkatan dari faktor faktor
pendapatan, perasaan, dan norma. Pengaruh total
tidak langsung ini mengurangi total pengaruh
langsung penggilingan terhadap tingkat susut hasil
gabah dan beras menjadi 5,75%. Jadi secara total
faktor penggilingan dapat meningkatkan tingkat
susut gabah dan beras sebesar 5,75%.
Hal itu terjadi karena sebagian besar petani
dilokasi penelitian menggiling padinya ke
Penggilingan Padi Kecil (PPK) dengan kategori I
Phase milik petani lainnya atau milik kelompok
taninya yang sudah berumur tua dan proses
penyosohannya secara abrasif. Menurut Nugraha dan
Tim, (2008) mesin penggilingan I Phase adalah
pengilingan padi dimana mesin pemecah kulit
(husker) menyatu dengan mesin penyosoh (polisher).
Gabah dimasukan ke dalam hooper hasilnya beras
pecah kulit, kemudian dimasukan lagi hasilnya
menjadi beras. Implikasi kebijakan dapat difokuskan
pada modernisasi di bidang pertanian melalui
bimbingan teknis penanganan panen dan pasca panen
gabah dan beras dan fasilitasi alsintan terutama
revitalisasi pengilingan padi dari I Phase menjadi II
Phase.
PENUTUP
Dinamika produktivitas padi di Jawa Barat
cenderung memiliki fluktuasi yang lebih tajam dan
laju pertumbuhan yang lebih lambat pada
produtivitas padi Jawa Barat dibandingkan Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Tinjauan dari segi variasi
susut hasil pun cenderung relative masih terlalu
tinggi dan belum ada kecenderungan untuk menurun.
Susut hasil ini harus segera diatasi agar program
peningkatan produksi padi dapat berjalan lebih
efisien dan efektif.
Berdasarkan analisis simultan faktor
pendapatan, luas lahan, perasaan, norma dan
penggilingan mempengaruhi tingkat susut hasil
gabah dan beras sebesar 38,34%, dan 61,66%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar penelitian
ini. Dari variabel ekonomi diwakili oleh faktor
pendapatan dan luas lahan. Peningkatan tingkat susut
hasil gabah dan beras sebesar 31,62% secara total
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, namun
menurunnya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 7,90% secara total dipengaruhi oleh faktor
luas lahan. Dari variabel teknologi petani diketahui
bahwa naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras
sebesar 5,75% secara total dipengaruhi oleh faktor
penggilingan. Sedangkan dari variabel budaya
naiknya tingkat susut hasil gabah dan beras sebesar
2,54% secara total dipengaruhi oleh faktor perasaan,
dan sebesar 6,34% secara total dipengaruhi oleh
faktor norma.
Berdasarkan uraian di atas, untuk mengatasi
penurunan produktivitas karena tingginya tingkat
susut hasil dapat dibuat implikasi kebijakan
diantaranya:
79
1) Petani harus didorong untuk lebih memperhatian
pembiayaan untuk perlakuan panen dan pasca
panen padi untuk menurunkan susut hasil.
2) Memberikan bantuan modal untuk petani yang
luas lahannya kurang dari 0,7 hektar.
3) Melakukan pendekatan budaya yang dapat
merubah penanganan panen dan pasca panen
menjadi lebih baik dan tidak mengakibatkan
disharmoni diantara petani dan buruh tani (buruh
panen) dan saling menguntungkan kedua belah
pihak.
4) Memodernisasi penanganan panen dan pasca
panen melalui pemberian bantuan fasilitas
alsintan terutama revitalisasi pengilingan padi
dari I Phase menjadi II Phase dan bimbingan
teknis untuk meningkatkan kualitas SDM-nya.
DAFTAR PUSTAKA
BPS dan Departemen Pertanian. (2008). Laporan
Hasil Survei Susut Panen Dan Pasca Panen
Gabah/Beras. Kerjasama Badan Pusat Statistik
Dan Departemen Pertanian. Jakarta.
BPS. (2015). Luas Lahan, Produktivitas, dan
Produksi Padi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Melalui situs www.bps.go.id.
Creswell, J.W. and V.L.P. Clark. (2008). Designing
and Conducting Mixed Methods Research. Sage
Publications. London.
Damardjati, Djoko Said. (2010). Kebijakan
Pemerintah Dalam Peningkatan Mutu dan Nilai
Tambah Pengolahan Gabah/Beras. Direktur
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional.
Diperta Provinsi Jawa Barat. (2014). Luas Tanam,
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi
Sawah Menurut Kabupaten Dan Kota Tahun
2009 - 2013 di Jawa Barat. Melalui situs
http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMe
nu/1780.
Enrico. (2012). Teknologi Penanganan Panen Dan
Pasca Panen Padi Dalam Menekan Susut Hasil.
Makalah. (BPPP) Balai Besar Penelitian Pasca
Panen, Bogor.
Iswari, K. (2012). Kesiapan Teknologi Panen dan
Pascapanen Padi dalam Menekan Kehilangan
Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras. Jurnal
Litbang Pertanian.
Nhamo, N., J. Rodenburg, N. Zenna, G. Makombe
and A.L. Kihupi. (2014). Narrowing the rice
yield gap in East and Southern Africa: Using
and Adapting Existing Technologies. Elsevier.
Nugraha, Sigit dan Tim. (2008). Metode Menekan
Kehilangan Hasil Padi. Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Oerke, E.C., H.W. Dehne, E. Schonbeck, and A.
Weber. (1999). Crop Producing and Crop
Protection: Estimated Lossing in Major Food
and Cash Crop. Elsevier. Netherland.
Raharjo, B., D. Hadiyanti, dan K. A. Kodir. (2012).
KajianKehilangan Hasil Pada Pengeringan dan
Penggilingan Padi di Lahan Pasang Surut
Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal.
Vol. 1, No.1: 72-82.
Rasmikayati, E. (2014). Perubahan Iklim:
Dampaknya Terhadap Perilaku Serta
Pendapatan Petani. Bandung.
Setyono, Agus. (2008). Teknologi Penanganan
Pasca Panen Padi. Makalah. Disampaikan Pada
Lokakarya Kegiatan Pengkajian Pemanfaatan
Alat Dan Mesin Pertanian (Alsintan Pasca
Panen Padi Sawah. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Barat,
Bandung Desember 2008.
80
81
Pola Pembiayaan Usahatani Manggis di Kabupaten Subang
Financing of Mangoestain Farming in Kabupaten Subang
Eti Suminartika
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Padajdajran
A B S T R A K
Kata Kunci:
Manggis,
pembiayaan
usahatani,
kelembagaan
pembiayaan,
pola pembiayaan
Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri, namun
hanya 10 persen saja manggis kita yang dapat diekspor. Budidaya tanaman manggis
masih sangat tradisional, jarang dipupuk, dibersihan dan dipangkas. Masih sedikit
petani yang menerapkan standar operasional prosedur (SOP), demikian pula halnya di
kabupaten Tasikmalaya dan Subang. Rendahnya upaya pemeliharaan tanaman
manggis dapat disebabkan oleh keterbatasan dana yang ada di petani.
Tujuan umum penelitian ini adalah mencari bentuk skim pembiayaan usahatani
manggis, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: (1) Menganalisis kendala apakah
sehingga petani kurang memelihara kebunnya (2) Menganalisis kelembagaan
pembiayaan yang diikuti petani (3) Menganalisis pola pembiayaan usahatani manggis
(4) Menganalisis kemampuan financial petani untuk pemeliharaan kebun manggis
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer yang diperoleh dari petani
dengan menggunakan metoda survey. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif
dan kualitatif dengan menggunakan analisis matematik dan ekonometrik. Penelitian
dilaksanakan di sentra produksi manggis Jawa Barat yaitu di kabupaten Tasikmalaya
dan Kabupaten Subang. Kendala yang dihadapi petani manggis sehingga kurang
memelihara kebunnya adalah permodalan, Kendala teknis terutama cara pemanenan
hasil yang kurang baik. Bentuk kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani
umumnya mereka memperoleh modal terutama dari sendiri, sebagian pinjaman dari
luar terutama dari bandar. Pola pembiayaan usahatani tani manggis, mereka
mengeluarkan dana saat pohon manggis mau berbunga (untuk penyiangan), saat panen
(untuk biaya panen), setelah panen (untuk pemupukan). Dana yang digunakan untuk
membiayai usahatani menggis relatif kecil. Kemampuan financial petani dalam
pemeliharaan kebun manggis sangat rendah karena hasil panen manggis yang sedikit
dan usaha ini merupakan usaha sampingan.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail:
82
LATAR BELAKANG
Komoditas hortikultura menyumbang PDB
sekitar 21,17 % dari PDB sector pertanian dan
menduduki urutan kedua setelah subsector tanaman
pangan (Ditjen Hortikultura, 2009). Salah satu
komoditas hortikultura yang mempunyai prospek
cerah untuk tujuan ekspor maupun pasar dalam
negeri adalah manggis (Garcinia mangostona, L).
Ekspor manggis menempati urutan pertama ekspor
buah Indonesia yang kemudian diikuti oleh nenas dan
jeruk.
Pusat penamanam manggis di Indonesia
adalah di Kaltim, Kalteng, Jawa Barat, Jawa Timur,
Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Sulawesi
Utara. Sedangkan sentra produksi manggis terbesar
berada di Jawa Barat yang memberikan kontribusi
38% terhadap produksi nasional. Sentra produksi
manggis manggis di Jawa Barat adalah Kabupaten
Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya.
Kontribusi produksi manggis dari empat kabupaten
tersebut sebesar 90% terhadap total produksi Jawa
Barat dan 29 %.terhadap produksi nasional sebesar.
Meskipun manggis sudah dapat diekspor, namun
belum didukung oleh ketersediaan buah dengan mutu
yang tinggi. Relatif rendahnya mutu buah manggis di
sentra produksi, dikarenakan pengelolaan kebun
bersifat tradisional dan system produksinya masih
bergantung pada alam. Pada umumnya tanaman
manggis sudah tua berumur lebih dari 100 tahun dan
warisan orang tua. Sedangkan, peremajaan tanaman
baru dilakukan akhir 1990-an. Oleh karena itu buah
manggis yang dapat diekspor kurang dari 10% dari
total produksi.
Pangsa pasar manggis masih terbuka lebar baik di
dalam maupun di luar negeri. Permintaan dari kedua
pasar tersebut melebihi produksinya. Untuk pasar
luar negeri, jumlah produsen/pemasok manggis
masih terbatas seperti Malaysia, Thailand dan
negara-negara Amerika latin. Negara tujuan ekspor
manggis dari Indonesia adalah Cina, Hongkong,
Taiwan, Timur Tengah dan Eropa. Thailand sebagai
negara potensial penghasil manggis dunia mampu
memberikan harga yang lebih murah, hal ini dapat
mengancam pasar ekspor manggis kita. Untuk
memenangkan persaingan maka harga harus lebih
murah dan kualitas harus lebih baik
Oleh karena itu untuk mempertahankan dan
meningkatkan pangsa ekspor maka perlu perbaikan
kualitas manggis Indonesia. Untuk meningkatkan
kualitas manggis perlu adanya dana untuk membiayai
usahatani manggis, oleh karena itu perlu dikaji hal-
hal yang erat kaitannya dengan dana yang bisa
digunakan untuk usaha tersebut.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan
dalam penelitian ini adalah
(1) Bagaimanakah kelembagaan pembiayaan yang
diikuti petani?
(2) Bagaimanakah pola pembiayaan usahatani
manggis yang dilakukan petani?
(3) Bagaimanakah kemampuan financial petani
untuk pemeliharaan kebun
manggis
METODE PENELITIAN
Teknik Penarikan Sampel
Kabupaten Subang merupakan salah satu
sentra manggis Jawa Barat, Sentra produksi manggis
berada di kecamatan Sagala Herang yaitu di desa
Dayeuhkolot dan desa Sukamandi, pengambilan
sampel dilakukan secara random dengan presentase
masing yaitu 10 persen dari jumlah populasi, menurut
Gaspersz (1991) apabila peneliti tidak ada
pengetahuan tentang besarnya ragam populasi (S)
atau proporsi populasi (P) dan tidak dapat
memperkirakannya, maka ukuran sampel (n) dapat
diambil 5 persen, 10 persen, dan 25 persen.dari
jumlah populasi. Selanjutnya menurut Gaspersz
(1991), untuk ukuran contoh yang lebih besar dari 30
maka sebaran data dalam contoh akan menyebar
mendekati sebaran normal, selain pertimbangan di
atas pengambilan sampel didasarkan pula pada
ketersediaan dana dan tenaga yang dimiliki.
Penarikan sampel mengikut pola sbb:
Alat analisis untuk kendala yang dihadapi petani
Untuk mengungkap kendala petani terutama
tidak memelihara kebunnya yang berkaitan dengan
keterbatasan dana akan dianalisis secara deskriptif,
dengan cara menjelaskan kendala-kendala yang
dihadapi petani, kenapa mereka kurang memelihara
kebunnya. Kendala dibagi dua kelompok yaitu
kendala yang dihadapi petani manggis (pengekspor)
dan petani manggis untuk tujuan pasar local
Analisis untuk mengungkap kelembagaan
pembiayaan petani dalam membiaya
usahataninya
Untuk mengungkan kelembagaan
pembiayaan di petani yang berkaitan dengan
usahatani manggis, maka akan dideskripsi mengenai
cara-cara petani mendapatkan dana baik dana dari
dalam maupun dari luar, dari mana sumber dana
tersebut, bagaimana mensolusikan permasalahan
dana, aturan apa yang diikuti untuk mendapatkan
dana tersebut, dll. Kelembagaan akan dibedakan
dalam dua bentuk yaitu kelembagaan yang diikuti
petani manggis (pengekspor) dan petani manggis
untuk tujuan pasar local
83
Analisis untuk mengungkap pola pembiayaan
petani dalam membiaya usahataninya
Untuk mengungkan pola pembiayaan di
petani yang berkaitan dengan usahatani manggis,
maka akan dideskripsi mengenai besarnya dana yang
diperlukan, besarnya dana yang diaplikasikan, kapan
waktu dana dibutuhkan, dll
Pola pembiayaan mencakup dua pola yaitu pola
pembiayaan yang dilakukan petani manggis
(pengekspor) dan petani manggis untuk tujuan pasar
local
Alat analisis untuk mengukur kemampuan
financial petani dalam pemeliharaan kebun
manggis
Mampu atau tidaknya petani dalam
memelihara kebun didasarkan pada kemampuan
dalam menciptakan surplus pendapatan keluarga.
Karena adanya surplus pendapatan memungkinkan
petani melakukan pemeliharaan pohon manggis nya.
Surplus pendapatan keluarga merupakan selisih
antara pendapatan dan pengeluaran keluarga yang
diformulasikan sebagai berikut:
Sf = Yj - Ci
dengan batasan:
Sf
Yj
Ci
: surplus pendapatan keluarga (Rp)
: pendapatan keluarga (Rp)
: pengeluaran konsumsi (Rp)
Jika didapatkan nilai Sf 0, maka petani
dikatakan tidak memiliki kemampuan memelihara
pohon, dan jika nilai Sf 0, maka dikatakan petani
memiliki kemampuan memelihara pohon
Pendapatan petani manggis terdiri dari
berbagai sumber di antaranya: pendapatan dari usaha
manggis dan pendapatan sampingan. Sedangkan
pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan
kemasyarakatan. Selain ada tidaknya kemampuan
memelihara pohon juga akan dilihat aspek lainnya
yang erat kaitannya dengan modal usahatani manggis
meliputi besar modal sendiri, sumber modal petani
Dihasilkan informasi tingkat kemampuan
financial petani dalam pemeliharaan kebun manggis,
sehingga dapat diprediksi apakah memerlukan
bantuan modal dari luar (kredit)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola pembiayaan Petani Manggis
Pola pembiayaan meliputi besarnya biaya
(dana) yang dimiliki petani untuk usahatani manggis,
waktu penggunaan dan sumber pembiayaan
itusendiri. Pola pembiayaan yang dilakukan petani
manggis kabupaten Subang meliputi:
Besarnya biaya yang digunakan petani
manggis adalah 25.519,51 rupiah per pohon (Tabel
1), petani mengeluarkan biaya tersebut dalam
usahatai manggis mulai saat pohon manggis mau
berbuah yaitu digunakan untuk pemupukan,
penyiangan dan pemanenan. Petani di Kabupaten
Subang tidak secara husus mengeluarkan dana untuk
perluasan kebun dikarenakan lahan yang dimilki
sudah terbatas.
Tabel 1. Biaya, Penerimaan dan Pendapatan petani
dari Usahatani Manggis
Item Nilai
(Rp)
Persentase
(%)
Nilai per
pohon
Penerimaan 4.336.969,7 100,0 135.658,76
Biaya
variabel
593.366.7 72,6 18.542,71
Biaya tetap 223.257 27,3 6.976,79
Total biaya 816.624 100,0 25.519,51
Pendapatan 3.650.345,5 84,2 110.010,79
Jumlah dana yang digunakan untuk
pemupukan adalah 9.867 rupiah per pohon (tabel 2),
dana pemupukan digunakan pada bulan Mei,
pemupukan tersebut dilakukan sekali (dilakukan oleh
50 % responden) dalam setahun hanya sebagian kecil
(3% responden) yang memupuk dua kali dalam
setahun, sisanya 47 % petani tidak memupukpohon
manggisnya. Minimnya penggunaan dana untuk
pemupukan dikarenakan nimnya dana yang dimiliki
petani dan usahatani manggis merupakan usaha
sampingan. Pupuk yang digunakan umumnya pupuk
kandang yang harganya relatif lebih murah. Pupuk
diberikan sekarung per pohon manggis berbuah.
Pohon manggis yang belum berbuah umumnya tidak
diberi pupuk, walaupun diberi pupuk tapi hanya
sedikit dan dilakukan oleh sebagian kecil petani. Jadi
secara umum petani memupuk pohon manggis yang
akan berbuah (sudah terlihat bunga) dengan harapan
buahnya banyak. Minimnya pemupukanyang
dilakukan petani menyebabkan bauah manggis yang
dihasilkan relatif kecil ukuranya.
Tabel 2. Biaya bahan Usahatani Manggis
Dana untuk penyiaangan digunakan sebesar
12.893 rupiah per pohon, penyiangan dilakukan dua
kali dalam setahun (dilakukan oleh 61% responden).
Sisanya sekali setahun atau lebih Minimya kegiatan
penyiangan yang dilakukan petani karena kebiasaan
Jenis bahan Nilai
(Rp)
Persentase
(%)
pupuk 62.597 7,5
Pestisida 17.276 2,0
total 78.253 9,5
84
mereka kebun manggis dibiarkan, merupakan kebun
campuran, dana yang dimiliki terbatas dan usahatani
manggis merupakan usaha sampinga. Dampak
minimnya dana penyiangan maka kebun petani
dipenuhi ilalang, kelihatan kurang terawat. Mereka
melakukan penyiangan menjelang pohon manggis
berbuah dimaksudkan agar memudahkan saat panen
nanti. Petani membiarkan kebunnya karena selain
usahatani merupakan usaha sampingan, mereka juga
terbatas dana untuk penyiangan.
Tabel 3. Biaya Tenaga Kerja Usahatani Manggis Jenis kegiatan Nilai
(Rp)
Persentase
(%)
Nilai per
pohon
Penyiangan 201.212 24,6
Pemangkasan 10.606 1,2
Pemupukan 105.151 12,9
Pemberantasan
HPT
15.151 1,8
Pemanenan 94.954 11,5
Pengangkutan 94.954 11,5
total 511.424 62,6 15.982,00
Penyiangan biasanya dilakukan di sekitar
pohon manggis. Penyiangan dilakukan secara
manual, yaitu dilakukan pembabatan gulma dengan
menggunakan parang. Biaya tetap (termasuk
peralatan) yang dikeluarkan petani setahun sebesar
6.979,29 rupiah
Tabel 4. Biaya Tetap Usahatani Manggis Jenis
biaya
Nilai
(Rp)
Persentase
(%)
Nilai Per
pohon
Biaya
alat
130.000 15,9 4.062,50
PBB 93.257 11,3 2.914,29
Biaya
tetap
223.257 27,3 6.976,79
Biaya panen terbagi dua yaitu dengan
mengikuti sistim tebasan, biaya panen di tanggung
penebas, oleh penebas biaya panen tersebut
dibebankan kepada harga beli yang diberikan kepada
petani manggis. Tebasan dilakukan petani
dikarenakan simpel nya sitem tersebut, petani tidak
usah memetik, mengangkut dan mencari pembeli.
Dengan sistim tebasan petani langsung menerima
dana dari penebas walaupun harga jual manggis yang
diterima petani lebih rendah. penerimaan yang
diterima petani dengan sistim tebasan sekitar 124.024
rupiah per pohon, sementara penerimaan yang
diterima petani dengan sistim dikilo 151.358 rupiah
per pohon (harga jual per kilo 5.304 rupiah, satu
pohon menghasilkan sekitar 28,5 kilogram). Tabel 5. Penerimaan Usahatani Manggis
Sistim
tebasan Satuan
Nilai
(Rp) Keterangan
Jumlah
pohon
pohon 39,25 60 %
responden
Harga per
pohon
Rupiah 124.203,80
Penjualan di kilo
Jumlah
berat
kilogram 489,29 40 %
responden
Harga per
kilogram
Rupiah/
kilogram
5.304
Penerimaan
Nilai
penerimaan
4.336.969,70
Rata-rata
Jumlah
pohon
32
Penerimaan
per pohon
135.658,76
Biaya panen dengan mengikut penjualan
dikilo biasanya dikeluarkan jika petani menggunkan
orang lain untuk panen, besarnya biaya tersebut
mengikut sistim borongan yaitu 750 rupiah per
kilogram manggis yang dipanen dan 750 rupiah per
kilogram manggis yang di angkut. Biaya panen ini
lebih kurang 30 persen dari harga jual yang diterima
petani (5.304 rupiah per kilogram). Sistim panen
borongan ini berpengaruh pada kualitas manggis
yang dihasilkan karena pemborong pemetik
mengejar jumlah petikan ataupun pengangkutan, hal
ini berpengaruh pada kualitas manggis yang dipetik,
mengingat kualitas manggis salah satunya ditentukan
oleh sistim pemanenan. Banyaknya buah manggis
yang memar akan menurunkan harga jual.
Kelembagaan Pembiayaan
Kelembagaan pembiayaan yang diikuti
petani manggis, petani mengandalkan biaya sendiri
untuk usahatani manggis atau seadanya atau relatif
tanpa adanya sumber dana dari luar. Akibatnya,
petani berada dalam keadaan kekurangan dana untuk
kebunnya. Kelembagaan informal (penyandang
dana) yang diakses petani adalah pinjaman dari
bandar dengan menjaminkan usahataninya misal saat
pohon manggis nya sedang berbuah maka
dijaminkanlah untuk meminjam uang ke bandar
dengan sarat penjualan dilakukan ke bandar dengan
harga yang ditentukan bandar (baik mengikut sistim
tebasan atau sistim dikilo) tentunya dengan harga
yang lebih rendah. Petani meminjam uang ke bandar
bukan untuk memelihara kebunnya namun lebih
banyak digunakan untuk kebutuhan lainnya, sebagian
kecil saja dana pinjaman dari bandar itu untuk biaya
panen.
Kelembagaan formal yang bisa diikuti petani
sangat terbatas, meliputi koperasi dan perbankan
85
(BRI). Koperasi yang ada berupa koperasi simpan
pinjam namun kurang berjalan karena terbatasnya
modal. Keberadaan koperasi sangat minim, koperasi
biasanya berupa simpan pinjam, diikuti olah sedikit
petani karena pinjaman yang bisa diberikan terbatas,
akatifitas lainnya koperasi menjual barang-barang
kebutuhan petani (kebutuhan sehari-hari, kebutuhan
usahatani). Dengan demikian keberadaan koperasi
kurang berjalan.
Perbankan (BRI) yang ada berada dekat kota
kecamatan. Lembaga perbankan tersebut hanya
memberikan pinjaman untuk usaha dagang atau
untuk tujuan lainnya, bukan menghususkan untuk
usahatani manggis. Relatif jarangnya petani
meminjam ke bank karena prosudur yang rumit
dibandingkan meminjam ke bandar, juga jarak yang
relatif jauh.
Kemampuan finansial petani
Pendapatan keluarga petani manggis per
tahun sebesar 22.434.242,42 rupiah yang terdiri dari
berbagai sumber: usahatani non manggis yang
meliputi usahatani (sawah, usahatani tegalan) dan
diluar usahatani (pensunan, wiraswasta dll).
Pendapatan usaha tani manggis ternyata hanya
merupakan pendapatan samingan mengingat
kontribusinya hanya 13,9 persen terhadap
pendapatan keluarga. Sisanya sebesar 86,1 persen
berasal dari pendapatan diluar usahatani manggis.
Pendapatan keluarga terlihat seperti di tabel Tabel 6. Pendapatan Keluarga Petani Manggis
Jenis
pendapatan
Nilai
(Rp)
Persentase
(%)
Usahatani
manggis
3.650.345,50 13,9
Usaha non
manggis
22.434.242,42 86,1
26.084.587,88 100,0
Pengeluaran keluarga petani manggis per
tahun sebesar 19.740.788rupiah yang sebagian besar
(79,38) digunakan untuk kebutuhan pokok, besarnya
persentase pendapatan keluarga untuk kebutuhan
pokok mencerminkan tingkat kesejahteraan mereka
yang masih rendah.
Tabel 7. Pengeluaran Keluarga Petani Manggis Jenis
Pengeluaran
Nilai
(Rp)
Presentas
e
(%)
keterangan
Kebutuhan
pokok
Listrik dan air
Pendidikan
kesehatan
15.730.550,
0
1.553,891,5
446.363,7
909.090,9
79,38
7,84
2,25
4,59
3,72
Pengeluara
n
didominasi
untuk
Jenis
Pengeluaran
Nilai
(Rp)
Presentas
e
(%)
keterangan
Sandang
Kemasyarakat
an
737.878,8
438.125,0
2,21 kebutuhan
pokok
Jumlah 19.740.788 100,00
Petani hanya memiliki kemampuan finansial
yang sangat rendah, hal tersebut terlihat dari surplus
pendapatan sebesar 6.343.800,00 rupiah per tahun,
namun demikian hanya sebagian responden (61 %)
yang memeiliki surplus, sisanya 39 % petani dalam
kondisi defisit. Petani alainnya dalam kondisi pas-
pasan dan dalam kondisi kekurangan. Rendahnya
kemampuan finansial tersebut karena usahatani yang
mereka ikuti skalanya kecil, usahtani manggis
merupakan usaha sampingan, pendapatan dari
sumber lain terbatas. Berikut disajiakan nilai surplus
pendapatan petani
Tabel 8. Surplus Pendapatan Keluarga Petani
Manggis
Unsur Nilai (Rp) Persentase
(%)
Pendapatan keluarga 26.084.587,88 100,0
Pengeluaran keluarga 19.740.788,88 73,0
Surplus pendapatan
keluarga
6.343.800,00 27,0
KESIMPULAN 1) Pola pembiayaan petani manggis mengikut
kegiatan usahatani yang dilakukan, biaya
dikeluarkan saat sebelum pohon manggis
berbubunga, yaitu dilakukan penyiangan pada
bulan Juni dan Oktober, selanjutnya pemanenan
dari bulan Februar sampai bulan Mei dan selesai
panen mereka memupuk pohon manggis pada
bulan Mei. Dana yang dikeluarkan untuk
usahatani manggis jumlahnya sangat minim,
berasal dari dana pribadi.
2) Kelembagaan pembiayaan yang diikuti petani
adalah kelembagaan non formal (pinjam ke
bandar) jika mereka kekurangan dana untuk
kebutuhan keluarga dengan jaminan tanaman
yang akan dipanen (termasuk menjaminkan
pohon manggis)
3) Kemampuan finansial pertani Manggis sangat
rendah sehingga mereka menterlantarkan kebun
manggis memiliki, mereka mengeluarkan dana
yang sangat terbatas untuk memelihara kebun
manggis, disamping itu usaha manggis
memberikan kontribusi yang sangat kecil
terhadap pendapatan keluarga
86
SARAN
1) Perlunya dukungan dana dari luar sehingga
petani dapat membiayai kebun manggisnya
2) Perlunya dorongan dari pihak terkait agar petani
memanen sendiri, mengikuti sistim penjualan
secara dikilo, mengingat sistim ini dapat
memperbaiki mutu manggis dan memberikan
harga jual yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bagi, F. S and I. .J Singh. 1974. A Microeconomic
Model of Farm Decisions in an LDC: A
Simultaneous Equation Approach. Occasional
Paper. No.207. Department of Agricultural
Economics and Rural Sociology. The Ohio State
University. Columbus-Ohio.
Becker, Gary S. 1965. A Theory of the Allocation of
Time. Journal of Economic, Vol. LXXV (299),
September 1965. Columbia.
Departemen Pertanian. (2007). Profil Manggis Di
Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta
Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya. (2012).
Potensi Tanaman Buah-buahan. Melalui:
www.tasikmalayakota.go.id
Dinas Pertanian Kabupaten Subang. (2012) Potensi
Pertanian Melalui: www.subang.go.id
Eti Suminartika (1997). Kemampuan Petani PIR The
dan Kelapa Sawit dalam Peremajaan Tanaman.
IPB, Bogor.
Eti Suminartika (2006). Kemampuan Pembentukan
Modal Usaha pada Industri Pengolah Kedele di
Kota Bandung. UNPAD, Bandung.
Gaspez, Vincent. (1991). Tehnik pengambilan
Contoh untuk Penelitian Survei. Tarsito,
Bandung.
Kadarsan. (1992). Keuangan Pertanian dan
Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Koutsoyiannis, A. (1977). Theory of Econometrics:
An Introductory Exposition of Econometrics
Methods. 2nd Edition. The MacMillan Press Ltd.
New York.
Nelson, A. (1976). Agricultural Finance. The Iowa
State University Press, Ames.
Pindyk, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld 1991.
Econometric Models and Economic Forecast.
McGraw-Hill. New York.
Putri Hedya (2011). Pengaruh Penerapan Standar
Operasional prosedur terhadap pendapatan
Petani Maanggis di kecamatan Puspahiyang
Tasikmalaya. Fakultas Pertanian Unpad.
Bandung
Singh, I. J., L. Squire and J. Strauss. (1986). The
Basic Model: Theory, Empirical Result and
Policy Conclusions in Agricultural Household
Models: Extensions, Applications and Policy.
The John Hopkins University Press. Baltimore.
87
Persepsi dan SikapPedagang Beras di Pasar Traditional Terhadap Ritel Modern
(Studi Kasus di Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan)
Rice Seller Perception and Attitude in Traditional Market toward Modern Ritel (Case
Study in Pasar Tradisional Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan)
Fauziah TantryΒΉ, Sara Ratna Qanti2
ΒΉMahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21,
Jatinangor, Sumedang 45363, Indonesia 2Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian,Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21,
Jatinangor, Sumedang 45363, Indonesia
ABSTRAK
Kata Kunci:
Persepsi
Sikap
Pedagang beras
Ritel modern
Pasar tradisional
Tingkat konsumsi beras di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
negara di Asia lainnya. Saat ini penjualan beras tidak hanya terjadi di pasar tradisional
saja, tetapi juga di ritel modern yang mulai berkembang pesat dengan berbagai macam
format. Persamaan produk yang dijual di ritel modern dan juga pasar tradisional, salah
satunya beras, membuat munculnya berbagai persepsi dan sikap dari pedagang beras.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap para pedagang beras
akibat adanya ritel modern sehingga dapat memberikan bukti empiris terjadi tidaknya
pembangunan inklusif di sektor ritel produk pertanian. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik studi kasus yang
dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Responden pada penelitian ini adalah
seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional Kordon. Penelitian ini menunjukkan
bahwa pedagang beras tidak merasa terganggu dengan adanya ritel modern karena
mereka berpersepsi bahwa dengan adanya ritel modern tidak mempengaruhi besarnya
pendapatan mereka dan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan tawar menawar dan
praktik kasbon. Akan tetapi untuk variabel sikap, sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh
pedagang beras mengenai pandangan terhadap ritel modern yang menjual beras saat
ini dan sikap tidak mendukung ditunjukkan para pedagang beras terhadap
keberlanjutan ritel modern yang lokasinya terlalu dekat dengan lokasi penjualan
mereka.
ABSTRACT
Keywords:
Perception
Attitude
Rice seller
Modern retail
Traditional retail
The rice consumption level in Indonesia is relatively high compared to other countries
in Asia. Currently, rice is not only sold in traditional market, but also available in
various formats of modern retails. Infact, it makes many perceptions and attitudes of
rice sellesr. This study aims to determine the perceptions and attitudes of rice sellers
due to the existence of modern retail and to give empirical evidence whether or not
inclusive development occurred in agricultural products retail sector. The method that
is used in this research is descriptive qualitative, using case study technique. The data
is analyzed using descriptive analysis. Respondents in this study were rice sellers
located in Pasar Traditional Kordon, Bandung. The results show that traditional retail
rice sellers do not bothered by the presence of modern retail, their income are not
affected by the existence of modern market around their selling location, bargaining
and post transaction payment βkasbonβ are two common activities that are still occur
in the traditional market and those are not affected by the modern market. On the
contrary, for attitude variable, hesitation are shown by rice sellers regarding to the
outlook of the modern retail selling rice and they donβt support the existence of modern
retails that are located too close with their location.
Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
88
PENDAHULUAN
Beras merupakan salah satu komoditas
pangan paling penting bagi masyarakat di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena beras merupakan bahan
pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari setengah
penduduk dunia, dan konsumsi beras menyumbang
asupan lebih dari 20 persen kalori. Lebih dari 90
persen beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh 6
negara Asia (China, India, Indonesia, Bangladesh,
Vietnam dan Jepang). Berdasarkan data hasil
SUSENASβBPS tahun 2014,saat ini tingkat
konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke tahun
cenderung mengalami penurunan.
Untuk memenuhi konsumsi beras
masyarakat di Indonesia saat ini beras tersedia
dengan berbagai jenis dan merk beras yang beredar
di pasaran. Saat ini penjualan beras pun tidak hanya
di pasar tradisional saja, tetapi juga tersedia di ritel
modern yang saat ini mulai berkembang dengan
cukup pesat dengan berbagai macam format.
Berdasarkan penelitian dari Business Watch
Indonesia (BWI), perkembangan ritel modern di
Indonesia sejak tahun 2000 semakin pesat yakni
sebesar 20% dan pada tahun 2007 naik menjadi 40%.
Di kota Bandung, berdasarkan data dari Aprindo
(2013) menunjukkan bahwa penjualan ritel modern
meningkat sebesar 18-22% per tahunnya.
Pesatnya perkembangan ritel modern saat ini
menimbulkan berbagai dampak, salah satunya yaitu
persaingan dengan pasar tradisional. Berdasarkan
data dari Aprindo (2013), dalam beberapa tahun
terakhir pertumbuhan minimarket sangat pesat, yaitu
pada awal tahun 2009 berjumlah 350 unit menjadi
500 unit hingga Maret 2010. Sedangkan jumlah pasar
tradisional di Jawa Barat terus berkurang setiap
tahunnya. Pada tahun 2005, di Jawa Barat masih
berdiri sekitar 700 pasar, tetapi seiring mulai
maraknya ritel modern, jumlah pasar tradisional pun
berkurang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir,
lebih dari 100 pasar tradisional di Jawa Barat yang
tutup.
Pesatnya perkembangan ritel modern di
Indonesia saat ini pun membuat munculnya berbagai
macam persepsi yang ditimbulkan oleh berbagai
pihak, termasuk para pedagang di pasar tradisional.
Salah satunya yaitu pedagang beras di Pasar Kordon,
Buah Batu, yang merupakan salah satu pasar
tradisional di Kota Bandung yang di sekitarnya
berdiri cukup banyak berdiri ritel modern dengan
berbagai format. Hal ini dikarenakan beras
merupakan salah satu komoditas pertanian pokok
yang saat ini tidak hanya dijual di pasar tradisional,
tetapi juga dijual di ritel modern besar, sedang,
maupun kecil (minimarket). Di Pasar Tradisional
Kordon sendiri penjualan beras mengalami fluktuasi
dari segi omzet, volume penjualan,dan jumlah
pembeli. Akan tetapi memang saat ini penjualan
beras di Pasar Tradisional Kordon memang dirasa
cukup berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Untuk lebih jelas mengenai penjualan
beras di Pasar Tradisional Kordon dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 1. Data Penjualan Beras di Pasar Tradisional Kordon
Tahun Data Penjualan Per Hari
Omzet
(juta
rupiah)
Volume
Penjualan
(ton)
Jumlah
Pembeli
(orang)
2008-2011 10 1,5 100
2012-sekarang 10 1 70
Tabel 1 di atas merupakan rata-rata
penjualan per hari dari seluruh pedagang beras di
Pasar Kordon. Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat
jika dari tahun 2008 sampai saat ini volume penjualan
beras dan juga jumlah pembeli per harinya cenderung
mengalami penurunan. Data tersebut menunjukkan
adanya suatu hal yang menyebabkan penurunan
volume penjualan dan jumlah pembeli per harinya.
Pasar Tradisional Kordon dikelilingi cukup
banyak ritel modern di sekitarnya, yang rata-rata
berjarak kurang dari 2 km dari pusat pasar. Ritel
modern tersebut diantaranya adalah Carrefour, Griya,
Borma, Alfamart, Indomart, dan Yomart. Ritel
modern tersebut termasuk dalam ritel modern besar,
sedang, dan kecil (minimarket). Ritel modern
besarnya adalah Carrefour Kiaracondong yang sudah
berdiri sejak tahun 2007 dan berjarak sekitar 1,1 km
dari pusat Pasar Kordon. Selanjutnya ritel modern
sedang yaitu Borma Ciwastra dan Griya Buah Batu
yang telah berdiri sejak tahun 2000 dan masing-
masing berjarak sekitar 2 km dari pusat pasar.
Selanjutnya ritel modern kecil yaitu Yomart dan
Alfamart yang telah berdiri sekitar tahun 2008 dan
masing-masing berjumlah dua gerai dengan jarak
rata-rata berjarak 500 m dari pusat pasar, bahkan ada
salah satu Gerai Yomart yang berlokasi tepat di
sebelah salah satu akses masuk Pasar Kordon. Ritel
modern kecil (minimarket) ini mulai berkembang di
sekitar Pasar Tradisional Kordon sejak 5 tahun
terakhir.
Banyaknya ritel modern yang berdiri di
sekitar Pasar Tradisional Kordon menjadi salah satu
alasan pemilihan tempat penelitian. Pemilihan tempat
penelitian ini dilakukan karena Pasar Kordon
merupakan salah satu pasar tradisional di Bandung
yang sudah berdiri lebih lama dibandingkan pasar
lain di sekitarnya dan masih tetap bertahan sampai
89
saat ini ditengah marak berdirinya ritel modern di
sekitarnya, seperti Carrefour, Griya, Borma, dll.
Persepsi yang ditimbulkan dari para
pedagang beras tersebut nantinya akan
mempengaruhi sikap apa yang akan dilakukan terkait
dengan adanya ritel modern. Sikap positif atau
negatif akan tergantung dari persepsi para pedagang
beras terhadap adanya ritel modern yang menjual
beras. Persepsi dan sikap dari para pedagang di Pasar
Tradisional Kordon terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh pesatnya pertumbuhan ritel modern
di sekitar pasar merupakan faktor yang sangat
penting terkait dalam perkembangan ritel modern
maupun pasar tradisional itu sendiri.
Persepsi dan sikap dari para pedagang sangat
terkait dengan besar kecilnya atau positif negatifnya
dampak yang diperoleh para pedagang dari pesatnya
pertumbuhan ritel modern di sekitar pasar tradisional.
Ritel modern yang saat ini sudah berkembang cukup
pesat pun tidak mungkin dapat dihilangkan, untuk itu
diperlukan adanya keselarasan dalam persaingan
yang terjadi antara ritel modern dan juga pasar
tradisional. Oleh karena itu, sangat pentingnya
persepsi dan sikap yang ditimbulkan oleh para
pedagang yang dapat mempengaruhi perkembangan
ritel modern dan juga eksistensi dari para pedagang
beras dalam menjalankan usaha bisnis penjualan
beras agar keduanya dapat berjalan secara selaras.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
1. Persepsi
Menurut Gibson (2000), persepsi adalah
proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang
untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.
Robbins (2006) menyatakan bahwa persepsi adalah
proses yang digunakan individu dalam
mengorganisasi dan menafsirkan kesan yang
ditangkap oleh indra mereka untuk memberi makna
kepada lingkungan mereka. Menurut Atkinson
(1997), persepsi adalah proses dimana kita
mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus yang
ada di sekitar kita ke dalam lingkungan. Persepsi juga
merupakan proses penggabungan sensasi. Sensasi ini
merupakan tahap paling awal dalam penerimaan
infomasi.Jadi dapat disimpulkan, persepsi adalah
sebuah proses pengenalan terhadap suatu objek
(benda, manusia, gagasan, gejala, dan peristiwa)
yang dapat memberi makna dan nilai kepada suatu
objek dengan menonjolkan sifat khas dari suatu objek
serta hasil dari persepsi bisa berupa tanggapan atau
penilaian yang berbeda dari setiap individu.
2. Sikap
Menurut Zanna & Rempel (1988), sikap
merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak
disukai terhadap sesuatu atau seseorang,
menunjukkan kepercayaan, perasaan, atau
kecenderungan perilaku seseorang. LaPierre (1934)
mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku,
tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara
sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus
sosial yang telah terkondisikan. Berdasarkan definisi
di atas, dapat dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang
terhadap suatu hal yang bersifat mendekati (positif)
atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif &
kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku
tertentu.
Menurut Azwar (2012), sikap terdiri dari tiga
komponen yang saling menunjang yaitu :
1. Komponen kognitif berhubungan dengan
kepercayaan dan keyakinan, ide, konsep. Bagian
dari kognitif yaitu: persepsi, stereotype, opini
yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
2. Komponen afeksi berhubungan dengan
kehidupan emosional seseorang, menyangkut
perasaan individu terhadap objek sikap dan
menyangkut masalah emosi. Afeksi merupakan
komponen rasa senang atau tidak senang pada
suatu objek.
3. Komponen perilaku/konatif merupakan
komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku
terhadap objek sikap.
3. Keberadaan Ritel Tradisional dan Ritel
Modern
Berdasarkan hasil penelitian Amin (2011),
dampak negatif dari keberadaan supermarket
dirasakan oleh para pedagang di pasar tradisional
terutama untuk barang-barang sembako kering,
seperti beras, gula, telur, minyak, dll. Sedangkan
untuk komoditas basah seperti ikan, daging dan
sayuran relatif tidak banyak berpengaruh. Hal ini
disebebkan ritel modern juga menyediakan
komoditas sejenis, sehingga para pedagang
tradisional terkena dampak negatif akibat adanya ritel
modern. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian
Suryadarma dkk (2007), di Pasar Pamoyanan,
Bandung, para pedagang juga menyatakan bahwa
dampak supermarket tidak sesignifikan akibat atau
dampak yang ditimbulkan oleh masalah internal yang
kerap mereka alami di pasar. Selain itu, mereka juga
mengakui bahwa ada sedikit perbedaan dalam hal
karakteristik pembeli yang datang ke pasar
90
tradisional dan modern, misalnya, para pedagang
keliling dan pemilik warung/toko kecil masih
memilih untuk berbelanja di pasar tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian dari Minten
(2007), dalam The International Food Policy
Research Institute (IFPRI), pedagang beras di pasar
tradisional terancam keberadaannya semenjak
hadirnya ritel modern di Madagaskar, yang
menyebabkan konsumen beralih membeli beras di
supermarket. Hal ini dikarenakan tingkat kesediaan
konsumen untuk membayar beras dengan kualitas
yang baik serta berbelanja di tempat yang nyaman
yang disediakan oleh supermarket sangatlah tinggi.
Madagaskar bisa menjadi perbandingan dengan
kondisi ritel di Indonesia, karena memiliki kesamaan
sebagai negara berkembang. Selain itu, menurut
penelitian dari IFPRI Madagaskar juga merupakan
salah satu negara yang telah berdiri banyak ritel
global selama lebih dari satu dekade terakhir.
Temuan-temuan tersebut berkaitan pada
penentuan variabel dalam penelitian ini. Berdasarkan
temuan-temuan sebelumnya, diperoleh variabel
pendapatan, jumlah pembeli, volume penjualan,
durasi berjualan, dll. Untuk lebih jelasnya akan
dijelaskan pada bab pembahasan.
METODE PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah desain kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu
metode-metode penelitian untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
kelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial
atau kemanusiaan (John W . Creswell, 2009).Teknik
penelitian yang digunakan berupa studi kasus (case
study) yaitu penelitian yang terinci tentang seseorang
atau suatu unit selama kurun waktu tertentu
(Sugiyono, 2007).
Objek penelitian ini adalah para pedagang
beras yang berada di dalam Pasar Tradisional
Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan. Data
diperoleh dari informan dan responden. Informan
dalam penelitian ini diantaranya adalah para
pengelola pasar dan orang-orang yang tinggal
disekitar pasar yang mengetahui sejarah pasar, serta
pemerintah daerah setempat. Responden dalam
penelitian ini adalah seluruh pedagang beras di Pasar
Tradisional Kordon, yaitu berjumlah 5 orang
pedagang beras.
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah jenis data
yang diperjelas dari tanggapan- tanggapan para
pedagang beras yang berada di Pasar Tradisional
Kordon, Buah Batu, Bandung Selatan, yang
kemudian akan diolah menjadi data kuantitatif
dalam sebuah persentase yang disajikan dalam
bentuk chart.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai
persepsi dan sikap pedagang beras terhadap
keberadaan ritel serta kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan keberadaan ritel tradisional dan
modern.
1. Persepsi Para Pedagang Beras Terhadap
Dampak Ritel Modern
a. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Dampak
Ritel Modern
80 persen responden menyatakan tidak terlalu
khawatir dengan ritel modern yang juga menjual
beras. Hal ini dikarenakan sebagian besar para
pedagang beras tersebut mengetahui jika beras yang
dijual di pasar tradisional dan ritel modern memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, selain itu
pangsa pasarnya pun berbeda sehingga para
pedagang beras tidak terlalu khawatir tersaingi
dengan ritel modern yang saat ini menjual beras.
Gambar 1. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel
Modern Yang Juga Menjual Beras
Menurut responden, konsumen yang menjadi
langganan mereka adalah konsumen yang berniat
menjual lagi berasnya atau konsumen yang
menggunakan beras sebagai bahan baku untuk
usahanya (seperti penjual warung makanan siap saji).
Konsumen jenis ini sepertinya memilih ritel
tradisional karena mereka bisa membeli dalam
jumlah yang relatif fleksibel (dari eceran sampai
dengan dalam karungan sebesar 25 kg) jika
dibandingkan dengan membeli di ritel modern
dimana hanya menjual beras dalam kemasan sebesar
3kg, 5kg, 10 kg, dan 20 kg.
Selain menawarkan keleluasaan dalam membeli
kuantitas beras, pedagang di ritel tradisional juga
menawarkan harga jual yang lebih murah untuk jenis
beras yang sama jika dibandingkan dengan harga di
ritel modern. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 2 berikut
ini.
80%
20%
Persepsi Pedagang Beras Terhadap Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras
91
Tabel 2. Perbandingan Harga Jual Beberapa Jenis Beras
yang Dijual di Pasar Kordon dan Ritel Modern Sekitarnya
b. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Pendapatan Usaha
Sebagian besar responden (80%)
menganggap adanya ritel modern saat ini yang juga
menjual beras tidak berpengaruh terhadap
pendapatan yang mereka dapat. Mereka
mengungkapkan bahwa pendapatan usaha yang
didapatkan masih tetap sama sebelum ataupun
sesudah adanya ritel modern yang menjual beras.
Mereka merasa yang mempengaruhi turunnya
pendapatan usaha penjualan beras mereka bukanlah
berasal dari ritel modern yang juga menjual beras,
tetapi dari menurunnya volume penjualan yang
disebabkan oleh banyaknya isu yang belakangan
beredar di masyarakat saat ini seperti isu beras
plastik. Hal tersebut lah yang membuat pendapatan
mereka sempat anjlok.
Berdasarkan hasil wawancara dan juga
pengamatan peneliti, adanya perbedaan pendapatan
yang didapat oleh para pedagang beras di Pasar
Tradisional Kordon bukan disebabkan oleh ritel
modern, akan tetapi lebih dikarenakan perbedaan
ketersediaan jenis beras yang dijual dan juga lokasi
kios. Pedagang Beras 1 dan 4 merupakan pedagang
beras yang hanya menjual beras yang mengaku per
harinya mendapatkan omzet sebesar Rp 10.000.000,-
. Menurut peneliti hal ini dikarenakan ketersediaan
jenis beras yang lebih lengkap dibandingkan dengan
pedagang lain. Selain itu, Pedagang Beras 3 juga
mengaku omzet per hari dari menjual beras bisa
mencapai Rp 10.000.000.-. Menurut peneliti hal ini
dikarenakan Pedagang Beras 3 memiliki lokasi kios
yang paling strategis. Meskipun Pedagang Beras 3
memiliki ketersediaan jenis beras yang kurang
lengkap jika dibandingkan dengan Pedagang Beras 1
dan 4, akan tetapi Pedagang Beras 3 memiliki lokasi
kios di pinggir jalan raya sehingga merupakan tempat
paling strategis karena selalu dilewati banyak orang.
Pedagang Beras 5 yang merupakan pedagang
beras dengan omzet paling kecil, menurut peneliti hal
ini dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis beras
yang kurang lengkap dan juga lokasi yang kurang
strategis, sehingga membuat Pedagang Beras 5 hanya
mendapat omzet sebesar Rp 6.000.000 per harinya.
Untuk Pedagang Beras 2, pedagang beras yang
mengaku cukup sulit untuk mendapatkan omzet
sebesar Rp 10.000.000,- per harinya ini menurut
peneliti dikarenakan ketersediaan ketersediaan jenis
beras yang kurang lengkap.
Gambar 2. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Pendapatan Usaha
c. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Volume Penjualan Beras
Seluruh responden mengganggap adanya
ritel modern yang saat ini menjual beras tidak
berpengaruh signifikan terhadap perubahan volume
penjualan beras di toko beras mereka. Menurut
pengakuan para pedagang beras, volume penjualan
beras masih relatif sama dari sebelum ataupun
sesudah adanya ritel modern yang juga menjual
beras, yaitu sebesar kurang lebih 1 ton per harinya.
Kalaupun ada perubahan volume penjualan, lebih
disebabkan karena isu mengenai beras plastic
beberapa waktu lalu.
d. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Jumlah Pembeli
Seluruh pedagang beras di Pasar Kordon
menunjukkan persepsi ragu-ragu terhadap pengaruh
jumlah pembeli akibat adanya ritel modern. Para
pedaganh;lg beras di Pasar Tradisional Kordon
mengakui adanya penurunan jumlah pembeli saat ini
dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.
Akan tetapi mereka tidak yakin hal ini disebabkan
karena adanya ritel modern di sekitar pasar. Mereka
mengakui saat ini rata-rata pembeli beras per hari
sekitar 70 orang pembeli per hari. Padahal pada
80%
20%
Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Pendapatan Usaha
TidakBerpengaruh
Berpengaruh
92
tahun-tahun sebelumnya mereka mengakui jumlah
pembeli per hari bisa lebih dari 100 orang pembeli.
Pendapat ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2,
3.
e. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Jam Operasional Usaha
Sebagian besar pedagang beras di Pasar
Kordon (80%) menyatakan adanya ritel modern tidak
berpengaruh terhadap perubahan jam operasional
usaha. Mereka memang mengakui adanya perubahan
jam operasional usaha saat ini, tetapi bukan
disebabkan karena adanya ritel modern. Hal ini
diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 4 dan 5. Mereka
mengakui melakukan perubahan jam operasional
karena memang sudah menurunnya jumlah pembeli
saat ini sehingga harus menutup tokonya lebih awal.
Akan tetapi terdapat satu responden yang
menyatakan adanya ritel modern berpengaruh
terhadap jam operasional usaha toko berasnya.
Pedagang beras tersebut sengaja merubah jam
operasional usahanya untuk membedakan dengan
jam operasional usaha dari ritel modern.
Gambar 3. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Jam Operasional Usaha
f. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Jarak Ritel Modern dengan Pasar Kordon
Seluruh pedagang beras memberikan
persepsi tidak setuju terhadap jarak ritel modern di
sekitar Pasar Kordon yang terlalu dekat dengan pusat
pasar. Hal ini dapat ditunjukkan dari persepsi seluruh
pedagang beras yang mengungkapkan bahwa jarak
ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar dapat
mengganggu eksistensi dari para pedagang di Pasar
Tradisional Kordon itu sendiri.
Seluruh pedagang beras beranggapan
demikian, karena tidak setuju dengan pemerintah
daerah setempat yang memberikan izin kepada
peritel modern yang mendirikan ritel modern dengan
jarak terlalu dekat dengan pusat pasar, bahkan
terdapat salah satu minimarket yang letaknya hanya
berjarak sekitar 100 meter dari salah akses masuk
Pasar Tradisional Kordon. Hal ini tidak sesuai
dengan Perda Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009,
yang salah satu pasalnya menyatakan bahwa
minimarket berjarak minimal 0,5 Km dari pasar
tradisional dan 0,5 Km dari usaha kecil sejenis yang
terletak di pinggir kolektor/arteri serta supermarket
dan departement store berjarak minimal 1,5 Km dari
pasar tradisional yang terletak di pinggir
kolektor/arteri. Untuk lebih jelasnya mengenai
Peraturan Daerah Kota Bandung akan dibahas pada
sub bab selanjutnya.
g. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Budaya Tawar Menawar Pedagang dan
Pembeli
Persepsi dari seluruh pedagang beras
terhadap pengaruh budaya penjualan juga
menyatakan bahwa adanya ritel tidak berpengaruh
terhadap budaya tawar-menawar antar pedagang dan
pembeli. Seluruh pedagang beras beranggapan tidak
ada perbedaan budaya penjualan yang dilakukan dari
sebelum dan sesudah adanya ritel modern yang saat
ini menjual beras. Budaya penjualan seperti budaya
tawar menawar antar pedagang dan pembeli juga
masih tetap ada hingga saat ini.
Berdasarkan hasil penelitian ini, budaya
tawar menawar antar pedagang dan pembeli masih
akan tetap ada, hal ini dikarenakan budaya tawar
menawar merupakan salah satu ciri khas dari pasar
tradisional. Selain itu adanya interaksi sosial yang
tercipta antar pedagang dan pembeli pada saat proses
tawar menawar itu terjadi lah yang menjadi salah satu
ciri khas pasar tradisional. Hal tersebut tidak akan
dapat ditemui di ritel modern, dimana pembeli
diharuskan menjadi konsumen yang mandiri.
h. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Fasilitas Yang Ditawarkan
Sebagian besar pedagang beras (60%)
mengakui adanya ritel modern saat ini berpengaruh
terhadap fasilitas yang ditawarkan kepada pembeli.
Salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah delivery
order. Menurut pengakuan dari para pedagang beras
yang merasa adanya ritel modern berpengaruh
terhadap fasilitas yang ditawarkan ini menganggap
adanya ritel modern mendorong mereka untuk
melakukan hal ini. Jadi para pembeli yang sudah
mengenal para pedagang beras dapat memesan beras
melalui telepon dan beras akan diantarkan ke rumah
pembeli dengan menggunakan motor ataupun mobil,
tergantung pada volume pembelian beras yang dibeli.
Fasilitas ini diakui dijadikan sebagai salah satu
strategi usaha. Mereka mengakui ini sebagai salah
20%
80%
Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh Jam Operasional Usaha
Berpengaruh
TidakBerpengaruh
93
satu keunggulan pasar tradisional, jika dibandingkan
dengan ritel modern karena dapat melakukan
pembelian lewat telepon.
Gambar 4. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas
yang Ditawarkan
i. Persepsi Pedagang Beras Terhadap Pengaruh
Budaya Kasbon
Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional
beranggapan bahwa adanya ritel modern tidak
berpengaruh terhadap budaya kasbon. Mereka
mengakui bahwa budaya kasbon masih tetap ada dari
sebelum adanya ritel modern sampai saat ini. Hal ini
seperti diungkapkan oleh Pedagang Beras 4. Beliau
mengatakan bahwa, βAda aja sih orang yang kasbon
mah gak berubah dari dulu juga. Malah ada juga
yang cuma ambil beras tapi bayarnya mah nggak.β
2. Sikap Para Pedagang Beras Akibat Adanya
Ritel Modern Yang Juga Menjual Beras
a. Sikap Pedagang Beras Mengenai Pandangan
Terhadap Ritel Modern Yang Menjual Beras
Saat ini
Sebagian besar para pedagang beras (80%) di
Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang
ragu-ragu terhadap ritel modern yang saat ini menjual
beras. Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan para
pedagang ini dapat terjadi karena mereka memang
merasa adanya ritel modern saat ini tidak
mengganggu tetapi pada dasarnya mereka juga
merasa khawatir jika nantinya ritel modern yang saat
ini juga menjual beras akan mempengaruhi eksistensi
penjualan beras mereka.
b. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan
Keberlanjutan Ritel Modern
Sebagian besar para pedagang beras (60%) di
Pasar Tradisional Kordon menunjukkan sikap yang
ragu-ragu terhadap dukungan keberlanjutan ritel
modern, dan selebihnya sebanyak 2 responden
menunjukkan sikap tidak setuju terhadap dukungan
keberlanjutan ritel modern. Hal ini dikarenakan pada
dasarnya mereka merasa khawatir jika nantinya ritel
modern dapat merugikan mereka.
Gambar 6. Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan
Keberlanjutan Ritel Modern
c. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan
Melakukan Strategi Usaha
Sebagian besar responden (60%) mengaku
tidak melakukan strategi apapun terkait dengan
adanya ritel modern di sekitar Pasar Kordon saat ini.
Hal ini diungkapkan oleh Pedagang Beras 1, 2, dan
3. Seperti contoh diungkapkan oleh Pedagang Beras
2. Beliau menyatakan, βNggak sih gak ngelakuin
strategi apa-apa. Tapi sebenernya mah pengen gitu
kayak kasih harga diskon atau kualitas beras jadi
tambah bagus tapi belom terlaksana sih.β Pada
dasarnya Pedagang Beras 2 mau melakukan strategi
usaha guna meningkatkan pelayanan terhadap
konsumen. Akan tetapi keterbatasan modal yang
dimiliki Pedagang Beras 2 sehingga ia tidak memiliki
biaya khusus untuk memberikan diskon kepada para
pelanggan dan juga meningkatkan kualitas beras.
Gambar 7. Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan
Melakukan Strategi
d. Sikap Pedagang Beras Terhadap
Penyampaian Keluhan
Seluruh pedagang beras di Pasar Tradisional
Kordon menunjukkan sikap yang negatif terhadap
penyampaian keluhan akibat terlalu pesatnya
perkembangan ritel modern di sekitar pasar
tradisional saat ini. Dalam hal ini keluhan utama yang
60%
40%
Persepsi Pedagang Beras Terhadap Fasilitas yang Ditawarkan
Berpengaruh
TidakBerpengaruh
60%
40%
Sikap Pedagang Beras Terhadap Dukungan Keberlanjutan Ritel Modern
Tidak Setuju
Ragu-ragu
40%
60%
Sikap Pedagang Beras Terhadap Tindakan Melakukan Strategi Usaha
MelakukanStrategi
TidakMelakukanStrategi
94
muncul ada mengenai jarak ritel modern yang terlalu
dekat dengan Pasar Tradisional Kordon.
Pada dasarnya keluhan seringkali terucap
oleh para pedagang beras di Pasar Tradisional
Kordon mengenai sikap kurang setuju terhadap
berdirinya ritel modern yang jaraknya terlalu dekat
dengan pasar, tetapi keluhan ini tidak pernah mereka
sampaikan pada pemerintah daerah setempat. Mereka
mengakui bahwa tidak memiliki akses dan tidak
mengetahui bagaimana cara untuk menyalurkan
keluhan tersebut kepada pemerintah daerah setempat
sehingga belum pernah menyampaikan keluhan
sampai saat ini.
3. Kebijakan Pemerintah
a. Lokasi dan Jarak Ritel Modern
Berdasarkan isi dari Peraturan Daerah Kota
Bandung Nomor 02 tahun 2009, menyatakan jika
jarak ritel modern kecil (minimarket) seharusnya
adalah 0,5 km dari pasar tradisional. Hal ini sangat
tidak sesuai dengan keadaan di lingkungan Pasar
Tradisional Kordon. Untuk minimarket, di sekitar
Pasar Tradisional Kordon terdapat empat buah
minimarket, yaitu Yomart dan Alfamart yang
masing-masih berjumlah dua gerai dan berjarak rata-
rata 500 m dari pusat pasar.
Dengan tidak sesuainya Peraturan Daerah
Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2009 yang mengatur
tentang ritel modern dan pasar tradisional, dengan
keadaan saat ini di lingkungan Pasar Tradisional
Kordon, maka menimbulkan adanya berbagai
persepsi dari para pedagang beras. Seperti telah
dibahas dalam sub bab sebelumnya, seluruh
pedagang beras menyatakan tidak setuju dengan
jarak ritel modern yang terlalu dekat dengan pasar.
Hal ini dikarenakan mereka merasa jika nantinya ritel
modern akan mempengaruhi eksistensi mereka
sebagai pedagang di Pasar Tradisional Kordon.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya salah satu
pedagang beras mengungkapkan jika harusnya jarak
ritel modern tidak terlalu dekat dengan pasar
tradisional seperti keadaan saat ini di Pasar
Tradisional Kordon.
b. Jam Operasional
Selain jarak dan lokasi kios, jam operasional
usaha juga termasuk salah satu hal yang diatur dalam
Perda Kota Bandung. Salah satu hal yang diatur
dalam Perda Kota Bandung adalah mengenai
maksimal jam oeprasional usaha yaitu hanya 12 jam.
Akan tetapi nyatanya saat ini masih banyak ritel
modern yang beroperasi lebih dari 12 jam. Untuk
keadaan ritel modern di sekitar Pasar Tradisional
Kordon, masih ada beberapa ritel modern yang
melanggar peraturan tersebut dengan durasi
operasional melebihi 12 jam. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel3. Jam Operasional Ritel Modern
No. Ritel Modern Jam Operasional Durasi
1. Carrefour 09.00-22.00 13 jam
2. Borma 08.00-21.00 13 jam
3. Griya 09.00-21.00 12 jam
4. Yomart 07.00-22.00 15 jam
5. Indomaret 08.00-22.00 14 jam
6. Alfamart 08.00-23.00 15 jam
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat jika
sebagian besar ritel modern yang ada disekitar Pasar
Tradisional Kordon melanggar ketentuan Perda Kota
Bandung. Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jika
Yomart dan Alfamart adalah dua ritel modern kecil
yang memiliki durasi berjualan paling lama.
Ketidaksesuaian ini menimbulkan adanya berbagai
persepsi dari para pedagang beras di Pasar
Tradisional Kordon. Seperti telah dibahas
sebelumnya, terdapat salah satu pedagang beras yang
mengungkapkan jika ia sengaja membuka tokonya
lebih awal sebagai salah satu strategi bisnis usahanya.
Sampai saat ini jam operasional usaha ritel
modern yang berada di sekitar Pasar Tradisional
Kordon masih sama yaitu sebagian besar beroperasi
lebih dari 12 jam. Untuk itu seharusnya pemerintah
daerah setempat dapat lebih tegas menindak ritel
modern yang beroperasi lebih dari 12 jam, karena
dikhawatirkan nantinya ritel modern dapat
memusnahkan pasar tradisional dan juga toko
kelontong disekitarnya.
PENUTUP
Berdasarkan persepsi dari para pedagang beras,
adanya ritel modern yang menjual beras tidak
mengganggu usaha mereka. Dalam sektor ekonomi,
berdasarkan persepsi para pedagang beras
menunjukkan adanya ritel modern saat ini tidak
berpengaruh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
berpengaruhnya ritel modern terhadap pendapatan
usaha, volume penjualan, jumlah pembeli dan jam
operasional usaha. Akan tetapi mereka merasa
terganggu terhadap jarak ritel modern yang terlalu
dekat dengan pasar. Dalam sektor sosial budaya,
adanya ritel modern juga tidak berpengaruh. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak berpengaruhnya budaya
tawar menawar dan juga budaya kasbon. Akan tetapi
persepsi pedagang beras terhadap pengaruh fasilitas
yang diberikan akibat adanya ritel modern
menunjukkan hasil positif. Berdasarkan hasil
penelitian ini, ritel modern berpengaruh terhadap
persepsi pedagang beras terkait fasilitas yang
95
diberikan para pedagang beras terhadap para
pembeli. Hal ini menjadikan keunggulan pedagang
beras di Pasar Tradisional Kordon. Hal ini
menunjukkan bahwa ternyata adanya ritel modern
saat ini tidak merubah unsur sosial budaya pada pasar
tradisional.
Sikap ragu-ragu ditunjukkan oleh pedagang
beras mengenai pandangan terhadap ritel modern
yang menjual beras saat ini. Selain itu sikap tidak
mendukung ditunjukkan para pedagang beras
terhadap keberlanjutan ritel modern, mereka tidak
setuju dengan keberlanjutan ritel modern saat ini.
Tindakan melakukan strategi terhadap usahanya
menunjukkan hasil jika ritel modern tidak
mendorong mereka untuk melakukan strategi
apapun. Pada variabel sikap penyampaian keluhan
pun menunjukkan hasil jika hadirnya ritel modern
tidak mempengaruhi para pedagang beras untuk
menyampaikan keluhan mereka kepada pemerintah
daerah setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Danial El. 2011. Dampak Pasar Modern
Terhadap Pedagang di Pasar Tradisional di
Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon.
Tesis Magister Ekonomi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia.
Approach. Upper Saddle River :Prentice
Hall Intl,Inc.
Atkinson, R. L., Atkinson, R.C. 1997.Pengantar
Psikologi 1. Judul asli Introduction to
Psychology eighth edition.. Jakarta, Penerbit
Erlangga.
Azwar, Saifuddin. 2012. Metode Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gibson, James,L. 2000. Organisasi, Perilaku,
Struktur dan Proses. Edisi ke-5. Cetakan ke-
3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Minten, Bart (2007). The Food Retail Revolution in
Poor Countries: Is It Coming or Is It Over?
Evidence from Madagascar. New Delhi:
International Food Policy Research Institute
β IFRI.
Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku Organisasi.
Edisi kesepuluh. Jakarta: PT Indeks
Kelompok Gramedia
Suryadarma, dkk. 2007. Laporan Penelitian :
Dampak Supermarket terhadap Pasar dan
Pedagang Ritel Tradisional di Daerah
Perkotaan di Indonesia. Lembaga Penelitian
SMERU.
http://www.smeru.or.id/report/research/supe
rmarket/supermarket_ind.pdf
96
97
Identifikasi dan Pemetaan Stakeholder Dalam Pengembangan Rantai Pasok
Komoditas Bawang Merah (Allium cepa L.) di Kabupaten Brebes
Stakeholders Identification and Mapping in Shallots Supply Chain Development in
Brebes District
Fernianda Rahayu Hermiatin1, Tomy Perdana1, Eddy Renaldi1
Fakultas Pertanian, Agribisnis Universitas Padjadjaran
Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang
A B S T R A K
Kata Kunci:
komoditas Bawang
Merah,
Stakeholder, Business
Social Resposibility
(BSR)
Komoditas bawang merah merupakan komoditas yang memiliki kompleksitas dan
karakteristik yang cenderung dinamis, sehingga diperlukan pengembangan klaster
bawang merah yang lebih terkoordinir dan terintegrasi dengan baik. Dimana
pengembangan klaster tersebut melibatkan banyak pihak yang terkait yang memiliki
tujuan dan keinginan masing-masing. Oleh karena itu, munculnya perbedaan
kepentingan dan setiap pelaku masing-masing cenderung lebih berusaha untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Atas dasar tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi
dan pemetaan stakeholder yang terlibat pada rantai pasok komoditas bawang merah.
Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani Mekar Jaya, Desa Klampok, Kecamatan
Wanasari Kabupaten Brebes dengan metode analisis menggunakan Business Social
Resposibility (BSR) untuk mengetahui dan mengidentifikasi peranan masing-masing
pelaku yang terlibat pada kegiatan rantai pasok bawang merah. dari hasil analisis,
terdapat 5 (lima) pelaku yang terlibat dalam kegiatan rantai pasok komoditas bawang
merah di Kelompok Tani Mekar Jaya, pelaku tersebut antara lain adalah kelompok tani
Mekar Jaya, perbankan, industry pengolahan bahan makanan, Bank Indonesia, dan
Universitas Padjadjaran. Setiap pelaku yang terlibat berperan sesuai dengan tugas dan
tanggungjawab masing-masing pelaku.
ABSTRACT
Keywords:
Shallots,
Stakeholder,
Business Social
Responsibility (BSR)
Shallots is one of the commodity who has complexity and characteristics that tend to
be dynamic. That is necessitating development of shallots clusters which have
coordinated and integrated. Clusters development is involved multi stakeholders who
has goals and desires of each stakeholder. Therefore, this multi stakeholder
development has of many interests and every actors strives to meet their respective
goals than the common interest. Based on this situations, it would require to the
stakeholders identifying and mapping which are involved in shallots supply chain. This
research is carried in Mekar Jaya farmer groups, Klampok village, Wanasari, Brebes
district with applied Business Social Responsibility (BSR) analysis to develop
sustainable business strategies and solutions through consulting, research, and cross-
sector collaboration. This results identified 5 (five) actors who involved in the shallots
supply chain in Mekar Jaya farmer groups. Those actors are Mekar Jaya farmer
groups, bank, food processing industry, Central Bank of Indonesia, and Padjadjaran
University and every stakeholders has private goals and interest.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
98
PENDAHULUAN
Pengembangan kegiatan pertanian pada
umumnya melibatkan banyak pihak seperti pada teori
yang dikemukakan oleh Simchi-Levi et al, (2000).
Rantai pasok merupakan suatu sistem yang terdiri
dari pemasok (supplier), pabrik (Manufacturer),
distributor, dan pengecer (retailer) sebagai bagian
dari pelaku rantai pasok yang mengolah atau
memproses raw material menjadi suatu produk, yang
kemudian disalurkan atau didistibusikan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen. Banyaknya pihak
yang terlibat dalam suatu kegiatan rantai pasok
menimbulkan adanya perbedaan kepentingan
sehingga pencapaian outcome bersama tidak dapat
terealisasikan. Perbedaan kepentingan dari setiap
masing-masing pelaku dalam suatu rantai pasok
dapat dilihat ketika masing-masing pelaku rantai
pasok lebih berusaha untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing. Hal tersebut terjadi dikarenakan
setiap pelaku yang terlibat dalam suatu rantai pasok
bertindak secara perorangan berdasarkan pada
pandangan lokal dan tingkah laku yang oportunis
(Chopra dan Meindl, 2007).
Setiap pelaku yang terlibat dalam sebuah
rantai pasok pertanian memiliki peranan dan
tanggungjawab masing-masing sesuai dengan
kemampuan dan kapasitas pelaku dalam kegiatan
pertanian tersebut. Pada umumnya, setiap pelaku
rantai pasok memiliki tujuan dan peranan masing-
masing. Peranan tersebut ada yang berkeinginan
lebih kuat namun pemahamannya kurang ataupun
sebaliknya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
kolaborasi yang sesuai dan seimbang dalam
pengembangan kegiatan rantai pasok pertanian.
Dalam realisasinya, setiap pelaku yang terlibat dalam
suatu rantai pasok tidak hanya tergantung pada
rasionalitas namun juga memerlukan keterlibatan
emosi, maksud-maksud tersembunyi dan
ketidakrasionalan (Howard,1999).
Sektor pertanian merupakan sektor yang
memiliki tingkat kompleksitas dan karakteristik yang
cenderung dinamis dimana dalam pengembangan
rantai pasok pertanian diperlukan pengembangan
inovasi kelembagaan (Institutional collaboration)
berupa peraturan yang dikembangkan dan dibuat
untuk setiap pelaku yang terlibat dalam rantai pasok
pertanian yang mampu untuk mereduksi seluruh
aktivitas rantai pasok dan biaya transaksi yang timbul
akibat keterbatasan petani. Inovasi kelembagaan
tersebut dapat terbentuk akibat interaksi yang
dibangun antara petani dan pasar, interaksi dengan
perbankan, universitas, swasta, dan pemerintah
(Perdana, 2011).
Sejalan dengan yang di kemukakan oleh
Vermuelen, et all (2008) untuk terbentuknya outcome
yang paling baik untuk petani, maka dibutuhkan
kolaborasi dengan pihak lain seperti pemerintah,
Universitas, pihak swasta, dan organisasi masyarakat
lainnya dimana kolaborasi tersebut dikenal dengan
nama Tree way deal. Kolaborasi multi stakeholders
menggambarkan suatu proses yang bertujuan untuk
pengambilan keputusan dan kegiatan komunikasi
terhadap suatu masalah (Hemmati, 2002).
Salah satunya adalah komoditas bawang
merah yang dianggap sebagai komoditas hortikultura
yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan salah satu
komoditas penyumbang inflasi. Komoditas bawang
merah memiliki karakteristik yang cukup kompleks
dan dinamis. Fluktuasi harga jual bawang merah di
pasar tradisional sangatlah tinggi dan berpengaruh
terhadap kegiatan perekonomian petani bawang
merah di Kabupaten Brebes yang merupakan
kabupaten terbesar penghasil komoditas bawang
merah di Indonesia. Proses kegiatan on farm hingga
off farm belum dilakukan secara sinergi dan
terkoordinir.
Oleh karena itu, diperlukan pengembangan
manajemen rantai pasok bawang merah di Kabupaten
Brebes yang melibatkan petani, pasar, dan pihak
ketiga seperti Bank Indonesia/lembaga penelitian dan
pemberdayaan lainnya yang dirasa perlu dilakukan
untuk membantu peningkatan kapasitas produksi dan
kemampuan petani dalam menyediakan produk yang
berkualitas sesuai dengan permintaan pasar.
Pengembagan rantai pasok yang terintegrasi
tersebut salah satunya diterapkan dengan membentuk
suatu klaster komoditas bawang merah yang
dikembangkan pada kelompok tani Mekar Jaya yang
berlokasi di Gang Mushola, Desa Klampok,
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes. Dimana
kelompok tani Mekar Jaya pada saat ini tengah
berkolaborasi dengan beberapa pihak lain seperti
industri pengolahan bahan makanan sebagai
pengembangan pasar terstruktur untuk pemasaran
bawang merah, Bank Indonesia dan perbankan
sebagai lembaga pembiayaan rantai pasok komoditas
bawang merah di Kabupaten Brebes.
Pengembangan klaster dalam suatu kegiatan
rantai pasok dimaksudkan agar setiap pelaku yang
terlibat didalamnya mendapatkan pendapatan yang
lebih efisien dengan inovasi yang dirangsang dari
kegiatan kerjasama dalam suatu kelompok untuk
memperkuat kegiatan rantai pasok dalam
menghadapi berbagai persaingan (Hill dan Brenna,
2000). Sehingga dalam hal tersebut, pengembangan
klaster komoditas bawang merah di Kelompok Tani
Mekar Jaya di inisiasi oleh Universitas Padjadjaran
yang berkolaborasi dengan Bank Indonesia.
Pengembangan klaster komoditas bawang
merah di Kabupaten Brebes telah terjalin suatu
99
kolaborasi multi stakeholder, sehingga memicu
munculnya permasalahan baik di tingkat petani
maupun pihak pasar terstruktur yaitu industri
pengolahan bahan makanan dan Bank selaku pelaku
yang terlibat dalam rantai pasok komoditas bawang
merah di Kabupaten Brebes. Hal tersebut membuat
kolaborasi antara stakeholder, perbankan, dan petani
dalam klaster komoditas bawang merah belum
berjalan dan terkoodrinir dengan baik. Akibat yang
ditimbulkan yaitu setiap masing-masing pelaku
rantai pasok bawang merah belum dapat memberikan
kepuasan sesuai dengan harapan masing-masing
pelaku. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis
perilaku, analisis pengaruh masing-masing pelaku,
dan peranan keterlibatan masing-masing pelaku
rantai pasok komoditas bawang merah di Kabupaten
Brebes.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan diKelompok Tani
Mekar Jaya Gang Mushola Desa Klampok
Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah yang dilaksanakan sejak Mei β Agustus
2015. Sumber data penelitian diperoleh dari data
primer dan sekunder dengan melibatkan responden
secara refresentatif dari seluruh stakeholder yang
terlibat dalam rantai pasok komoditas bawang merah.
Desain penelitian yang dilakukan menggunakan
desain kualitatif dan teknik penelitian yang
digunakan adalah studi Analisis data yang digunakan
untuk mengetahui peran dan keterlibatan stakeholder
dalam rantai pasok komoditas bawang merah di
Kelompok tani Mekar Jaya dengan menggunakan
Business Social Responsibility (BSR) Stakeholder
Mapping yang dikembangkan oleh Olson, et. ,al
(2011). Metode BSR digunakan untuk
mengumpulkan seluruh pelaku yang terlibat dalam
setiap proses baik secara internal ataupun eksternal.
Tahap selanjutnya yaitu untuk melihat
keterlibatan masing-masing aktor, yang akan dibuat
kerangka pikir kelompok tani, industri pengolahan
bahan makanan, dan perbankan. kasus. Sumber data
diperoleh dari data sekunder dan primer dengan
responden terpilih adalah responden yang mewakili
seluruh stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok
bawang merah yang memiliki pengetahuan dan
pengalamanan yang cukup dan mampu menjelaskan
keadaan sebenarnya mengenai obejk penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran Keterlibatan Stakeholder dengan
Menggunakan Business Social Responsibility
(BSR) Stakeholder Mapping
Langkah awal dalam penerapan Business
Social Responsibility (BSR) adalah mengetahui
sejarah, tingkat ambisi, memahami tingkat ambisi
setiap stakeholder, taktik setiap stakeholder, dan
kemudian melakukan pemetaan stakeholder.
Stakeholder Mapping merupakan tahap kedua
dalam langkah-langkah pengembangan Business
Social Responsibility (BSR) dengan tujuan untuk
memahami setiap pelaku rantai pasok yang dianalisis
dari hasil diskusi, penelitian, dan debat.
a. Identifikasi Stakeholder
Identifikasi stakeholder merupakan langkah awal
dalam analisis pemetaan stakeholder untuk
memahami dan mengidentifikasi setiap peranan
stakeholder. Hasil pada pemetaan tersebut bersifat
statis dan dapat berupah sewaktu-waktu.
b. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder mengacu pada hasil identifikasi
stakeholder. Setiap pelaku rantai pasok diidentifikasi
dan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana
keterlibatan setiap pelaku rantai pasok komoditas
bawang merah. Analisis tersebut menggunakan
penilaian dengan menggunakan penilaian berupa
tingg, sedang, dan kecil setiap pelaku rantai pasok
untuk mengenentukan peranan setiap pelaku
c. Pemetaan Stakeholder
Pemetaan stakeholder adalah visualisasi dari
pelaksanaan dan sebagai alat analisis yang dapat
digunakan untuk menentukan stakeholder mana yang
lebih berperan dalam keterlibatan kegiatan pada
rantai pasok komoditas bawang merah. Pada
pemetaan stakeholder dapat dilihat pengaruh yang
selanjutnya diberikan penilaian pada setiap
stakeholder dengan indikator penilaian berdasarkan
keinginan (willingness) dan keahlian (Expertise),
sehingga dapat terlihat peranan dari masing-masing
pelaku rantai pasok komoditas bawang merah.
100
Tabel 1. Identifikasi Multi Stakeholder
No Stakeholder Tujuan Potensi Rencana Pembaharuan
1
Kelompok Tani
Mendapatkan
kepastian harga jual
yang lebih kompetitif
dan stabil
Pengembangan produk
bermutu dan berdaya
saing, menjaga
kontinuitas pasokan
Sistem pertanian yang lebih terintegrasi
dengan menerapkan konsep VCF (Value
Chain Financing) untuk memberikan
keunggulan kompetitif.
2
Industri
Pengolahan
Bekerjasama untuk
memenuhi kebutuhan
bawang merah
Penyediaan bahan baku
bermutu dan
terstandarisasi, menjaga
kestabilan harga di petani
Memasok komoditas bawang merah yang
berstandar nasional dan internasional yang
mengacu pada penyediaan bahan pangan
sesuai dengan standarisasi keamanan
pangan internasional
3
Perbankan Pemberi kredit Memberikan kredit sesuai
kebutuhan petani
Perluasan pemberian kredit mikro bagi
pelaku usaha skala menengah terutama
pada pelaku yang terlibat dalam kegiatan
pertanian
4
Bank Indonesia Menstabilkan nilai
rupiah
Memberi dukungan bagi
petani
Pengembangan pilot project
implementation dengan konsep VCF (Value
Chain Financing) sebagai upaya dalam
meminimalisir tingkat inflasi yang
diakibatkan oleh komoditas pertanian
5
Universitas
Padjadjaran Fasilitator petani
Pengembangan pertanian
yang lebih terstruktur dan
terintegrasi
Pemberian arahan dan pengembangan
penelitian VCF (Value Chain Financing)
dalam membantu Bank Indonesia untuk
menekan laju inflasi dari komoditas
pertanian, dan pengembangan sektor
pertanian Indonesia agar lebih berdaya
saing dan terintegrasi
Table 2. Analisis Penilaian Multi Stakeholder
Stakeholder Kontribusi Legitimasi Kesediaan
Untuk terlibat Pengaruh
Pentingnya
dalam
keterlibatan
Kelompok Tani H H H M H
Industri Pengolahan L M L L H
Perbankan M M L H H
Bank Indonesia M H H H M
Universitas Padjadjaran H H H H M
Keterangan : H : High M : Medium L : Low
KESIMPULAN DAN SARAN
Komoditas bawang merah di Kelompok tani
Mekar Jaya Kabupaten Brebes memiliki tingkat
kompleksitas dan melibatkan banyak stakeholder.
Stakeholder yang terlibat antara lain petani, industry
pengolahan bahan makanan, perbankan, Bank
Indonesia, dan Universitas Padjadjaran. Setiap
stakeholder memiliki peranan dan tujuan masing-
masing, sehingga dengan demikian, seluruh ihak
yang terlibat memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
Pelaku rantai pasok yang memiliki peranan
cukup tinggi adalah Universitas Padjadjaran yang
berperan sebagai fasilitator, didukung dengan
keterlibatan Bank Indonesia sebagai lembaga
pendukung dalam pengembangan klaster komoditas
bawang merah di Kabupaten Brebes. Kemudian
pihak yang memiliki peranan kuat adalah kelompok
tani sebagai objek pengembangan dan sekaligus
sebagai pelaku pengembangan klaster didukung
dengan perbankan sebagai pihak penyedia jasa
keuangan yang menyediakan sejumlah kredit yang
sesuai dengan kebutuhan kredit klaster bawang
merah. Kemudian pihak yang terlibat adalah pasar
sebagai pihak yang membeli hasil panen bawang
merah di Kelompok Tani Mekar Jaya. Industri
pengolahan bahan makanan yang terlibat memiliki
101
peranan dalam mendukung keberlangsungan
usahatani bawang merah yang dilakukan di
Kelompok Tani Mekar Jaya dan sebagai pihak yang
memberikan kepastian harga yang lebih konpetitif
bagi kelompok tani.
Masing-masing pelaku yang terlibat memiliki
peranan dan tujuannya yang harus dijalankan secara
berkesinambungan dan terintegrasi agara
keberlangsungan kegiatan usahatani di Kelompok
Tani Mekar Jaya dapat terus berlanjut dan lebih
terintegrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chopra, Sunil dan Peter Meindl. 2001. Supply Chain
Management: Strategy, Planning, and
Operations. Prentice Hall Inc., Upper
Saddle River, New Jersey.
Howard, N. 1996. Negotiation as Drama : βHow
Games Become Dramaticβ International
Negotiation Journal, Vol1, 125-152.
Lambert, D.M., Emmelhainz, M.A. dan Gardner, J.T.
1996. Developing and Implementing
Supply Chain Partnership. Jurnal
Internasional Manajemen Logistik, Vol. 7,
No.2, pp. 1-17.
Oliver, keith. 2003. When Will Supply Chain
Management Grow Up?. UK: Tim Laseter
Olson, E., Prepscius, J., Baddache, F. 2011. Business
Social Responsibility (BSR) Stakeholder
Mapping. Diakses melalui www.bsr.org
Perdana, Tommy. 2012. Model Manajemen Logistik
dalam Meningkatkan Daya Saing Produsen
Sayuran Skala Kecil untuk Memenuhi
Permintaan Pasar Terstruktur. Diakses
melalui
www.tommyperdana.blogspot.com pada
29 Februari 2014.
Morris, Jonathan. 2012. Back to Basics : How to
Make Stakeholder Engagement Meaningful
for Your Company. Diakses dari
www.BSR.org.
Lampiran
Sumber : Data Primer, 2015
Grafik 1. Mapping BSR Multi Stakeholder
High
High Low
Keahlian
Keinginan
n
Unpad Kelompok
Tani
Bank
BI
Industri
Pengolahan
102
103
Efisiensi Pemasaran Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L) di Sentra
Produksi Cikajang Kabupaten Garut
Marketing Efficiency of Curly-Red Chili (Capsicum annum L) in Production Base Area
Cikajang Kabupaten Garut
Dety Sukmawati1, Lies Sulistyowati2, Maman H.Karmana2, E Kusnadi Wikarta2
1Universitas Winaya Mukti, Tanjung Sari, Sumedang 2Universitas Padjadajran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci: Efisiensi Pemasaran,
Marjin,
Monopoli Indeks,
Cabai merah keriting,
Sentra Produksi
Peranan pemasaran pada komoditas cabai merah memberikan kontribusi penting dalam
peningkatan kinerja usahatani komoditas cabai merah secara keseluruhan mengingat
sifat unik komoditas hortikultura secara umum seperti mudah busuk, mudah rusak,
volumenious , produksinya bersifat musiman sementara konsumsi terjadi sepanjang
tahun. Secara empiris dilapangan seringkali dijumpai bahwa para petani produsen
tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga terutama saat panen, dan para
pedaganglah yang dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga yang lebih tinggi,
oleh karena itu, peningkatan produksi komoditas pertanian termasuk cabai merah perlu
diiringi dengan perbaikan pada sistem pemasarannya, sehingga pihak petani sebagai
produsen komoditas ini diharapkan dapat memperoleh bagian harga yang memadai
bagi peningkatan usahataninnya (Adang agustian dan Iwan Setiajie A, 2008). Untuk
itu perlu diketahui bagaimana struktur pasar yang terjadi, dan yang menyebabkan
pasar tidak efisien bisa diketahui dengan monopoli indeks di setiap pelaku pasar .
Analisis data dilakukan melalui metode kuantitatif dan kualitatif berdasar data analisis
pemasaran hasil Analisis Pasar Hasil Pertanian Sentra Produksi Cikajang Garut Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Barat 2014. Untuk mengetahui efisiensi pemasaran diketahui
dengan marjin pemasaran pelaku pemasaran menggunakan analisis Margin = H eceran
- Harga produsen dan monopoli indeks. Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa
Struktur pasar cabai merah keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran,
saluran pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui oleh petani, dikarenakan
volume penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan, keterikatan
ekonomi dan sosial , sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal yang efisien.
Saluran kedua saluran yang tidak begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran
bandar sangat menentukan dan pasar induk merupakan penetap harga bagi harga sentra
produksi. Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui oleh petani, dalam hal ini
petani mempunyai posisi sebagai bandar juga. Indeks monopoli terbesar berada pada
pedagang pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya
pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting.
ABSTRACT
Keywords: Marketing
Efficiency,
Margin, Monopoly Index,
Curly Red Chili,
Production Center
The role of marketing in the commodity red peppers make an important contribution
in improving the performance of farm commodities as a whole red chili given the
unique nature of horticultural commodities in general such as nonperishable, easily
damaged, volumenious, production is seasonal while consumption occurs throughout
the year. Empirically field often found that farmers producers apparently still face
price fluctuations, especially at harvest time, and the pedaganglah that can be access
in order to obtain a higher price, therefore, an increase in the production of
agricultural commodities including red chili needs to be accompanied by
improvements in marketing system, so that the farmers as commodity producers is
expected to obtain an adequate part of the price for increased usahataninnya (Adang
Agustian and Iwan Setiajie A, 2008). For that to know how the structure of the market
place, and that led to inefficient markets can be known with the index monopoly in any
market participants. Data analysis was performed through quantitative and qualitative
methods of analysis of data based on the marketing of Agricultural Products Market
Analysis Production Centers Cikajang Garut, West Java Provincial Agriculture Office
2014. To determine the efficiency of marketing known perpetrator marketing
104
marketing margin analysis Margin = H retail - and the producer price index monopoly
,
Results and discussion shows that the market structure of curly red chili in production
centers Cikajang consists of three channels, the first channel is the channel most
traversed by farmers, due to the volume of sales of small farmers, the distance location
of the farm to point of sale, attachment to economic and social development, so that
the role of port for farmers is efficient. The second channel is the channel that is not
so much traversed by farmers, these channels will determine the role of the city and
the main market is setting prices for the price of production centers. The third channel
is a channel that is a little traversed by farmers, in this case the farmers have a position
as a city as well. Index is the biggest monopoly traders, traders are located in the
centers of production, meaning that traders dominant influence in the marketing of
curly red chili.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
105
PENDAHULUAN
Peranan pemasaran pada komoditas cabai
merah memberikan kontribusi penting dalam
peningkatan kinerja usahatani komoditas cabai
merah secara keseluruhan mengingat sifat unik
komoditas hortikultura secara umum seperti mudah
busuk, mudah rusak, volumenious , produksinya
bersifat musiman sementara konsumsi terjadi
sepanjang tahun. Secara empiris dilapangan
seringkali dijumpai bahwa para petani produsen
tampaknya tetap saja menghadapi fluktuasi harga
terutama saat panen, dan para pedaganglah yang
dapat lebih akses untuk dapat memperoleh harga
yang lebih tinggi, oleh karena itu, peningkatan
produksi komoditas pertanian termasuk cabai merah
perlu diiringi dengan perbaikan pada sistem
pemasarannya, sehingga pihak petani sebagai
produsen komoditas ini diharapkan dapat
memperoleh bagian harga yang memadai bagi
peningkatan usahataninnya (Adang agustian dan
Iwan Setiajie A, 2008).
Secara umum sistem pemasaran komoditas
pertanian termasuk hortikultura masih menjadi
bagian yang lemah dari aliran komoditas . Masih
lemahnya pemasaran komoditas pertanian tersebut
karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem
pemasaran yang efisien harus mampu memenuhi dua
persyaratan yaitu (1) mengumpulkan hasil pertanian
dari produsen ke konsumen dengan biaya serendah-
rendahnya, (2) mampu mendistribusikan pembagian
balas jasa yang adil dari keseluruhan harga konsumen
akhir kepada semua pihak yang terlibat mulai dari
kegiatan produksi hingga pemasaran (Mubyarto,
1989).
Pada umumnya besarnya marjin pemasaran
merupakan indikator yang paling sering digunakan
untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran
yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak
sempurna. Namun perlu digarisbawahi bahwa marjin
pemasaran yang tinggi tidak selalu mencerminkan
adanya kekuatan monopsoni yang secara teoritis
ditunjukkan oleh adanya keuntungan pedagangyang
berlebihan (non zero profit).
Beberapa indikator empirik yang sering digunakan
dalam pengkajian efisiensi pemasaran di antaranya
adalah margin pemasaran dan transmisi harga dari
pasar konsumen kepada petani atau ke pasar
produsen. Sistem pemasaran semakin efisien apabila
besarnya marjin pemasaran yang merupakan jumlah
dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang
semakin kecil. Dengan kata lain, perbedaan antara
harga yang diterima petani dan harga yang dibayar
konsumen semakin kecil. Adapun transmisi harga
yang rendah mencerminkan inefisiensi pemasaran
karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan harga
yang terjadi di tingkat konsumen tidak seluruhnya
diteruskan kepada petani, dengan kata lain transmisi
harga berlangsung secara tidak sempurna. Pola
transmisi harga seperti ini biasanya terjadi jika
pedagang memiliki kekuatan monopsoni sehingga
mereka dapat mengendalikan harga beli dari petani.
Pada pasar persaingan sempurna selisih
antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang
diterima petani lebih rendah dibanding pada kondisi
pasar monopsoni, dengan kata lain, marjin pemasaran
akan semakin besar jika terdapat kekuatan
monopsoni. Pada kondisi pasar monopsoni transmisi
harga dari pasar konsumen kepada petani juga
berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi
harga seperti ini menyebabkan korelasi harga di
tingkat konsumen dan di tingkat petani akan semakin
rendah dan fluktuasi harga di pasar produsen akan
lebih rendah daripada di pasar konsumen. Fluktuasi
harga yang tinggi merupakan salah satu isu sentral
yang sering muncul dalam pemasaran komoditas
hortikultura (Bambang Irawan, 2007).
Harga produk pertanian tergolong sangat
fluktuatif dengan rentang tingkat harga yang sangat
lebar, apalagi setelah dikaitkan dengan future
trading. Pada waktu tertentu, seperti musim panen
dan musim hujan harganya bisa sangat rendah namun
pada saat yang lain bisa sangat tinggi. Harga yang
sangat fluktuatif secara teoritis akan menyulitkan
prediksi bisnis, baik dalam perhitungan rugi laba
maupun manajemen resiko. Harga yang demikian
seringkali hanya menguntungkan para spekulan yang
umumnya para pedagang tertentu yang mampu
mengelola stok secara baik dan cermat. Pengendalian
fluktuasi ini merupakan tantangan tersendiri
khususnya dalam perumusan kebijakan yang tepat
terutama menyangkut kebijakan proteksi pasar
domestik dan perlindungan harga di tingkat petani
(Mohamad Ismet.2009). Untuk itu perlu diketahui
bagaimana struktur pasar yang terjadi, dan yang
menyebabkan pasar tidak efisien bisa diketahui
dengan monopoli indeks di setiap pelaku pasar .
METODE
Analisis data dilakukan melalui metode
kuantitatif dan kualitatif berdasar data analisis
pemasaran hasil Analisis Pasar Hasil Pertanian
Sentra Produksi Cikajang Garut Dinas Pertanian
Provinsi Jawa Barat 2014. Untuk mengetahui
efisiensi pemasaran diketahui dengan marjin
pemasaran pelaku pemasaran menggunakan analisis
Margin = H eceran - Harga produsen dan monopoli indeks.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persaingan sempurna adalah suatu model
struktur pasar dari sebuah industri, sementara
monopoli adalah model lain . Suatu keadaan
monopoli terdapat bila hanya terdiri satu perusahaan
106
tunggal. Bila perusahaan itu mampu mendepak
pesaing-pesaing karena biaya-biaya produksinya
lebih rendah, keadaan itu disebut βmonopoli
alamiahβ (natural monopoly). Tetapi tidak semua
monopoli bersifat alamiah. Suatu sumber monopoli
lain yang penting adalah fasilitas istimewa yang
diberikan pemerintah, seperti hak monopoli
(franchised) atau hak paten (Hirshleifer,1984).
Pemasaran berfungsi sebagai intermediasi
antara produsen dengan konsumen. Data empiris
menunjukkan masih lemahnya posisi petani dalam
menetapkan harga jualnya karena lemahnya posisi
tersebut diantaranya petani bertindak secara individu,
kecil kepemilikan asset, jarak yang jauh antara petani
dengan konsumen akhir, ketergantungan dana pada
pedagang, dan struktur pasar yang didominasi oleh
pedagang. Karakteristik ini berdampak terhadap
tidak efisiennya sistem pemasaran. Karena
permintaan pada petani (farm gate prices) merupakan
permintaan turunan dari permintaan pada tingkat
konsumen (retail prices), petani mendapatkan risiko
perubahan harga yang paling besar. Instrumen non
konvesional sudah seharusnya dikembangkan dan
dilaksanakan untuk mengurangi kerugian atas
perubahan harga tersebut. Dengan commodity based
instruments seperti pasar berjangka (future markets)
efisien pemasaran akan lebih ditingkatkan.
instrumen ini sedikit membutuhkan intervensi
pemerintah (Dedi Budiman Hakim, 2009).
Sampai saat ini belum ada kebijakan
tataniaga komoditas cabai sehingga pergerakan
harganya sangat ditentukan oleh mekanisme pasar.
Fluktuasi harga cabai terjadi karena produksi cabai
bersifat musiman. Lebih lanjut harga cabai dapat
berfluktuasi karena faktor hujan , biaya produksi dan
panjangnya saluran distribusi ( Farid dan Nugroho,
2012).
Struktur pasar cabai merah keriting di sentra
produksi Cikajang terdiri dari tiga saluran, saluran
pertama adalah saluran yang paling banyak dilalui
oleh petani, dikarenakan volume penjualan petani
kecil, jarak lokasi usahatani ke tempat penjualan,
keterikatan ekonomi dan sosial , sehingga peran
bandar bagi petani merupakan hal yang efisien. Pada
saluran pertama terlihat jelas bahwa harga petani
merupakan turunan dari harga konsumen akhir dalam
hal ini pasar induk atau pasar pengecer, pasar induk
dari lokasi usahatani berjarak jauh dari sentra
produksi, tetapi cikajang atau sentra produksi cabai
merah keriting dari garut memasok lima pasar
strategis.
Saluran kedua saluran yang tidak begitu
banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran bandar
sangat menentukan dan pasar induk merupakan
penetap harga bagi harga sentra produksi, bandar
harus mengirim produk dalam jumlah yang banyak,
seperti untuk pengiriman ke pasar induk kramat jati
ongkos trasportasinya Rp 700.000 dengan memakai
kendaraan ukuran grand max dengan volume angkut
50 karung 9 1 karung kurang lebih berisi sudah
ditetapkan pasar induk, petani menjual produksinya
dengan volume kecil, hal ini merupakan kondisi yang
tidak memungkinkan petani dalam posisi tawar yag
rendah.
Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit
dilalui oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai
posisi sebagai bandar juga. Saluran ketiga ini terdapat
1 atau 2 bandar saja. Dan petani yang menjadi bandar
dalam kondisi lapangannya sulit diketahui,
dikarenakan terkadang petani menjadi bandar dan
sebaliknya. Adapun struktur pasar cabai merah
keriting bisa dilhat pada gambar dibawah ini.
Indeks monopoli menunjukkan seberapa
besar tingkat dominasi suatu lembaga pemasaran
dalam rantai pemasaran , dimana semakin besar nilai
indeks monopoli maka semakin dominan pengaruh
lembaga pemasaran tersebut dalam rantai pemasaran
(Kuntandi dan Jamhari, 2012). Adapun indeks
monopoli cabai merah keriting dari sentra produksi
Cikajang dapat dilihat pada Tabel Indeks Monopoli.
Indeks monopoli terbesar berada pada pedagang
pengumpul, pedagang pengumpul ini berada di sentra
produksi, artinya pedagang pengumpul dominan
pengaruhnya dalam pemasaran cabai merah keriting.
Hal ini terlihat dalam penentuan harga cabai merah
keriting pedagang pengumpul dominan menentukan
harga yang informasi harga langsung dari pasar
induk. Pedagang pengumpul mempunyai peran yang
paling tinggi dalam pemasaran cabai merah keriting
yaitu pedagang pengumpul jumlahnya tidak banyak,
hanya 2, petani menjual produknya ke pedagang
pengumpul dalam jumlah yang sedikit sehingga ada
keterikatan dalam jual beli disamping petani
mengambil sarana produksi dari pedagang
pengumpul, pedagang pengumpul mempunyai
keterikatan langsung dengan pedagang di pasar induk
kramat jati, terkadang dia juga sebagai pedagang di
kramat jati, pedagang kramat jati mempunyai
keterikatan dalam hal jual beli dengan bentuk
penyimpanan modal untuk pengiriman produk agar
supaya pedagang di pasar induk selalu tersedia
produk yang dijualnya.
107
1.
2.
3.
ProdusenPetani
Tengkulak BandarPI/
GrosirPsr. Eceran/Tradisional
Rp. 15.000/Kg Rp. 17.000/Kg Rp. 18.000/Kg Rp. 19.000/Kg Rp. 25.000/Kg
ProdusenPetani
PIBandar 1-2
PetaniBandar
Pedagang IPI
Pedagang II
Rp. 9.000/Kg(Vol 3000 Kg)
Rp. 10.000/Kg Rp. 11.000/Kg
STRUKTUR PASAR CABAI MERAH KERITING
Tabel Indeks Monopoli Pasar Cabai Merah Keriting.
Uraian
Lembaga Pemasaran ke- i
Indeks Monopoli
Gabungan Pedagang
Pengumpul
Pedagang
Besar
Pedagang
Pengecer
Rata-rata Harga Beli (Rp) 17.000 18.000 25.000
Total Biaya Variabel (Rp) 64.800 1.400.000 2.800.000 4.264.800
Rata-rata Keuntungan (Rp) 1.196 825 6.774
Marjin Pemasaran ke βi (Rp) 2.000 7.000 10.000 19.000
Indeks Monopoli 0,03 0,005 0,0035 0,0044
SIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa Struktur pasar cabai merah
keriting di sentra produksi Cikajang terdiri dari tiga
saluran, saluran pertama adalah saluran yang paling
banyak dilalui oleh petani, dikarenakan volume
penjualan petani kecil, jarak lokasi usahatani ke
tempat penjualan, keterikatan ekonomi dan sosial ,
sehingga peran bandar bagi petani merupakan hal
yang efisien. Saluran kedua saluran yang tidak
begitu banyak dilalui oleh petani, saluran ini peran
bandar sangat menentukan dan pasar induk
merupakan penetap harga bagi harga sentra produksi.
Saluran ketiga adalah saluran yang sedikit dilalui
oleh petani, dalam hal ini petani mempunyai posisi
sebagai bandar juga. Indeks monopoli terbesar
berada pada pedagang pengumpul, pedagang
pengumpul ini berada di sentra produksi, artinya
pedagang pengumpul dominan pengaruhnya dalam
pemasaran cabai merah keriting.
DAFTAR PUSTAKA
Adang Agustian dan Iwan Setiajie A. 2008. Analisis
Perkembangan Harga dan Rantai
Pemasaran Komoditas Cabai Merah di
Provinsi Jawa Barat Seminar Nasional
Dinamika Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan kebijakan Pertanian Departemen
Pertanian. Bogor.
Bambang Irawan . 2007. Fluktuasi Harga , Transmisi
Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran dan
Buah. Analisis kebijakan Pertanian vol 5 no
4 : 358-373. Pusat Analisis Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Dedi Budiman Hakim.2009. Manajemen Resiko
dalam Pemasaran Pertanian dalam Bunga
Rampai Agribisnis Seri
Pemasaran.Departemen Agribisnis Fakultas
Ekonomi dan Manajemen.IPB.Bogor.
Ebban Bagus Kuntadi dan Jamhari. 2012. Efisiensi
Pemasaran Cabai Merah Melalui Pasar
108
Lelang Spot di Kabupaten Ponorogo,
Yogyakarta. Jurnal Sosial Ekonomi
Pertanian, vol 1, no 1 : 95-101.Hirshleifer,
Jack. 1984. Price Theory and Applications.
Prentice-Hall, Inc.,Englewood Cliffs, New
Jersey.07632.
Mubyarto.1989. Pengantar Ekonomi Pertanian.
LP3ES, Jakarta.
Mohamad Ismet.2009. Strategi dan Kebijakan
Pemasaran Produk Agribinis dalam Bunga
Rampai Agribinis Seri pemasaran.
Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi
dan Manajemen IPB. Bogor
Miftah Farid,Nugroho Ari Subekti.2012. Tinjauan
Terhadap Produksi , Konsumsi, Distribusi
dan Dinamika Harga Cabe di Indonesia.
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan vol 6 no
2 : 211-233. Jakarta.
109
Perbandingan Pendapatan Petani untuk Komoditas Jagung Manis (Zea mays
Saccharata Sturt.) dan Bawang Merah (Alium cepa L.) (Studi Kasus di Desa
Arjasari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)
Comparison of Revenue Sweet Corn (Zea mays saccharata Sturt.) And Shallots (Alium
cepa L.) (Case Study in Arjasari Village, District Arjasari, Bandung regency, West Java
Province)
Muhammad Arief Budiman, Rizki Eka Firdaus
Fakultas Pertanian Unpad, Bandung,
ABSTRAK
Kata kunci:
Perbandingan,
Pendapatan,
Jagung Manis,
Bawang
Merah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keragaan jagung manis dan bawang
merah di Desa Arjasari, serta menganalisis pendapatan usahataninya untuk mengetahui mana
yang paling menguntungkan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Arjasari, Kecamatan Arjasari,
Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden sebanyak 4 petani jagung manis
dan 4 petani bawang merah. Penelitian ini menggunakan metode desain kualitatif dengan teknik
studi kasus. Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh deskripsi mengenai keragaan
usahatani jagung manis dan bawang merah di Desa Arjasari. Metode pengolahan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis usahatani untuk meganalisis besar pendapatan
petani jagung manis dan bawang merah. Keragaan usahatani jagung manis dan bawang merah
di Desa Arjasari masih tergolong sederhana. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang
masih rendah menyebabkan pola pikir pengambilan keputusan masih mengikuti kecenderungan
dari banyak petani disekitarnya dan belum dapat mengambil keputusan sendiri. Dari kedua
usahatani ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua usahatani
ini akan menghasilkan keuntungan dan layak untuk dijalankan. Jagung manis dirasa lebih
menguntungkan karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk
bawang merah membutuhkan biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik
budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada
bawang merah.
ABSTRACT
Keywords:
Comparison,
Revenue, Sweet
Corn, Onion.
This study aims to determine how the performance of sweet corn and onions in the village
Arjasari, and analyze their farming income to determine which are the most profitable. The
research was conducted in the village Arjasari, District Arjasari, Bandung regency, West Java
Province. The number of respondents as much as 4 sweet corn growers and 4 onion farmers.
This study used a qualitative design method with a case study technique. Descriptive analysis
is used to obtain a description of the performance of farming sweet corn and onions in the
village Arjasari. Data processing method used in this research is the analysis of a large farming
for farmers' income meganalisis sweet corn and onions. Performance of sweet corn farming
and onion in the village Arjasari still relatively simple. It can be seen from the low levels of
education lead to the mindset of decision-making still follows the trend of many farmers around
him and has not been able to make their own decisions. From the farm is the value of R / C
ratio of each greater than 1, which means the farm will generate profits and feasible. Sweet
corn is considered more advantageous because production costs are not too large, while for
onion require greater production costs. And the problem is felt sweet corn cultivation
techniques to farmers in the village of Arjasari easier to do than onions.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
110
PENDAHULUAN Produksi jagung yang sangat tinggi di kabupaten
Bandung tidak lepas dari peran sentra produksi
jagung di Kabupaten Bandung. Salah satu sentra
produksi jagung terdapat disalah satu kecamatan di
Kabupaten Bandung yaitu kecamatan Arjasari.
Kecamatan Arjasari menjadi salah satu sentra
produksi jagung di Kabupaten Bandung
(http://www.bandungkab.go.id/). Desa Arjasari yang
berada di Kecamatan Arjasari menjadi salah satu
desa penyumbang produksi jagung terbesar, sebagian
besar wilayahnya terdiri dari daerah pertanian
(http://desaarjasari.org/). Dengan daerah yang
seperti itu Desa Arjasari sangat memungkinkan untuk
menjadi salah satu sentra produksi jagung.
Pernyataan tersebut dapat dilihat dari data Dinas
PertanianKab.Bandung.
Meskipun dalam permintaanya terus meningkat
tanaman jagung kurang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi. Oleh sebab itu untuk meningkatkan
pendapatannya petani di Desa Arjasari mencari solusi
lain untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut,
yaitu dengan cara beralih komoditas. Komoditas
tersebut yaitu tanaman hortikultura yang mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi seperti pada tanaman
bawang merah.
Bawang merah mempunyai nilai ekonomis yang
cukup tinggi, pernyataan tersebut dapat dibuktian
dari data BPS yang menyebutkan pada tanggal 17
januari 2014 harga bawang merah Rp. 14.000, pada
tanggal 20 januari 2014 menagalami penurunan
harga menjadi Rp. 12.000, pada tanggal 24 januari
2014 harga bawang merah melonjak naik menjadi
Rp. 20.000, dan pada tanggal 30 januari 2014 harga
bawang merah turun menjadi Rp. 10.000. Bawang
merah memiliki fluktuasi dan sensitivitas harga yang
cukup tinggi terutama karena perubahan permintaan
dan penawaran oleh karena itu bawang merah dilihat
petani dapat lebih meningkatkan pendapatannya.
Dalam produksinya bawang merah juga mengalami
fluktuasi, dari data BPS menyatakan bahwa produksi
bawang merah di Provinsi Jawa Barat tidak selalu
meningkat. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada
tabel 3. Mengenai produksi bawang merah di
Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu empat tahun
terakhir.
Meskipun dalam permintaanya terus meningkat
tanaman jagung kurang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi. Oleh sebab itu untuk meningkatkan
pendapatannya petani di Desa Arjasari mencari
terobosan baru untuk meningkatkan pendapatan
petani tersebut, terobosan baru tersebut adalah
dengan cara beralih komoditas. Komoditas tersebut
yaitu tanaman hortikultura yang mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi seperti pada tanaman bawang
merah.
Beberapa petani tersebut mencoba beralih ke
tanaman hortikulutra bawang merah dengan tujuan
untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut.
Tentunya setelah petani tersebut melihat tingginya
harga bawang merah dan melihat dari kemampuan
petani tersebut untuk menanam bawang merah.
Permasalahannya adalah banyak para petani belum
mengetahui pengetahuan tentang memilih tanaman
yang memiliki tanaman nilai ekonomi tinggi dan juga
masih minimnya pengetahuan tentang budidaya
bawang merah. Dengan alasan seperti itu petani bisa
tidak dapat memperoleh pendapatan yang tinggi dan
ada juga yang gagal panen yang diakibatkan kurang
mengetahui pengetahuan tentang tanaman yang
dipilihnya. Padahal jika petani dapat memilih
tanaman yang tepat maka pendapatan petani bisa
meningkat. Dengan potensi pertanian di Desa
Arjasari yang cukup besar meliputi tanaman bahan
pangan, sayur-sayuran, perkebunan dan buah-buahan
serta pemanfaatan lahan di pegunungan berupa
kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan wisata
dan perkebunan sedangkan di wilayah kaki bukit
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman hortikultura
(terutama sayuran). Para petani di Desa Arjasari
dapat meningkatkan pendapatan petani itu sendiri.
Identifikasi Masalah
1. Bagaimana keragaan usahatani jagung manis dan
bawang merah di Desa Arjasari?
2. Bagaimana pendapatan jagung manis dan bawang
merah di Desa Arjasari?
Kegunaan Penelitian
1. Memberikan informasi kepada para pelaku dan
calon pelaku agribis akan peluang usaha pertanian
komoditas jagung manis dan bawang merah.
1. Memberikan pilihan kepada para petani agar lebih
efisien dan memilih komoditas mana yang harus
di tanam demi pendapatan para petani yang paling
tinggi.
2. Memberikan informasi kepada pihak-pihak
terkait seperti pemerintah dalam penyempurnaan
dan evaluasi regulasi dimasa yang akan datang
sebagai upaya untuk mendukung kebijakan yang
akan diambil agar dapat meningkatkan
pendapatan para petani dan pelaku usahatani di
dalamnya.
KERANGKA DAN KONSEP Komoditas Jagung Manis
Sistematika dari tanaman jagung manis dalam
(Purwono dan Hartono, 2007 dalam Sianipar, 2012)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
111
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Graminales
Family : Graminaceae
Genus : Zea
Species : Zea mays Saccharata Sturt.
Komoditas Bawang Merah
Menurut Tjitrosoepomo (1993) dalam Bangun
(2010) klasifikasi dari tanaman bawang merah
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Liliaceae
Family : Liliales
Genus : Allium
Species : Allium ascalonicum L.
Usahatani
Usahatani adalah sebagian dari kegiatan di
permukaan bumi dimana seorang petani, sebuah
keluarga atau manajer yang digaji bercocok tanam
atau memelihara ternak. Petani yang berusaha tani
sebagai suatu cara hidup, melakukan pertanian
karena dia seorang petani. Apa yang dilakukan petani
ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Dalam arti
petani meluangkan waktu, uang serta dalam
mengkombinasikan masukan untuk menciptakan
keluaran adalah usahatani yang dipandang sebagai
suatu jenis perusahaan. (Maxwell L. Brown, 1974
dalam Soekartawi 2002, dalam Warsana 2007).
Empat unsur pokok yang selalu bekerja dalam
usahatani yakni, alam, tenaga kerja, modal dan
pengolaan (manajemen) keempat unsur tersebut juga
dapat disebut faktor-faktor produksi. Alam
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
usahatani. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua
yakni, faktor tanah yang mencakup jenis tanah dan
kesuburan tanah, serta faktor alam sekitar yang
mencakup iklim yang juga berkaitan dengan
ketersedian air, suhu, dan lain sebagainya. Tanah
merupakan faktor produksi yang penting karena
tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak
dan usahatani keseluruhannya. Faktor tanah juga
tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya yaitu
sinar matahari, curah hujan, angin dan sebagainya.
Iklim yang juga menjadi bagian dari faktr alam
sekitarnya sangat berpengaruh pada jenis tanaman
atau komoditas yang akan diusahakan.
2.2.1 Konsep Biaya Usahatani
Menurut Rodjak (2005) dalam Audita (2012)
biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomi
yang dapat diperkirakan dan yang dapat diukur untuk
menghasilkan sesuatu produk. Atau secara singkat
dapat dikatakan bahwa biaya adalah semua nilai
faktor produksi yang dipergunakan untuk
menghasilkan suatu produk dalam satu periode
produksi tertentu. Biaya ini biasanya dinyatakan
dalam nilai uang tertentu misalnya rupiah, dollar,
rupee, peso, dan sebagainya. Biaya usahatani dapat
dibedakan atas dua macam yaitu biaya tetap (fixed
cost) dan (variable cost).
1) Biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak
mempengaruhi pada hasil produksi. Yang
termasuk biaya tetap antara lain adalah pajak,
sewa tanah, dan penyusutan alat-alat pertanian
yang tahan lama atau modal tetap.
2) Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya
yang besar kecilnya mempunyai pengaruh
langsung pada hasil produksi. Yang termasuk
biaya tidak tetap (biaya variabel) antara lain biaya
sarana produksi, upah tenaga kerja, pestisida, dll.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya biaya usahatani adalah sebagai berikut:
1) Keadaan fisik dan luas usahatani.
2) Jenis tanaman yang diusahakan.
3) Jenis teknologi yang diterapkan, antara teknologi
tradisional dan teknologi modern menimbulkan
perbedaan biaya usahatani.
4) Waktu melaksanakan usahatani, pada musim
hujan dan musim kemarau akan berbeda.
5) Tingkat intensitas pengelolaan usahatani, untuk
tanaman yang sama apabila pengelolaannya
berbeda akan menimbulkan perbedaan biaya
usahatani.
6) Perubahan harga input dan upah tenaga kerja
usahatani, dan waktu pembelian input.
Konsep Penerimaan Usahatani
Penerimaan dapat diartikan sebagai nilai produk
total dalam jangka waktu tertentu baik yang
dipasarkan maupun tidak (Soekartawi, 2002).
Penerimaan juga dapat didefinisikan sebagai nilai
uang yang diterima dari penjualan. Penerimaan
usahatani yaitu penerimaan dari semua sumber
usahatani meliputi nilai jual hasil, penambahan
jumlah inventaris, nilai produk yang dikonsumsi
petani dan keluarganya. Penerimaan adalah hasil
perkalian antara produksi yang diperoleh dengan
harga jual produk. Pernyataan ini dapat dituliskan
sebagai berikut:
TR = Py.Y
Dimana :
TR = Total Revenue (penerimaan usahatani)
Py = Price (harga output)
Y = Output (produksi yang diperoleh dalam
usahatani)
112
Konsep Pendapatan Usahatani
Menurut Audita (2012) pendapatan usahatani
adalah selisih antara penerimaan usahatani yang
diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Besarnya
usahatani yang diterima merupakan balas jasa untuk
tenaga kerja, modal keluarga yang dipakai dan
pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh keluarga.
Bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi
yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari
dan memberikan kemampuan petani agar dapat
melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan
digunakan untuk mencapai keinginannya dan
memenuhi kewajibannya. Dengan demikian
pendapatan yang dterima petani akan dialokasikan
pada berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan
cara menggunakan inilah yang menentukan tingkat
hidup petani.
Berusahatani sebagai suatu kegiatan untuk
memperoleh produksi dilahan pertanian, pada
akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan
dan penerimaan yang di peroleh. Selisih keduanya
merupakan pendapatan dari kegiatan usahatani.
I = TR β TC
Dimana:
I = Income (pendapatan)
TR = Total Revenue (penerimaan)
TC = Total Cost (total biaya)
Alur Pemikiran
Desa Arjasari merupakan salah satu sentra
produksi jagung di Kabupaten Bandung dengan
keadaan iklim yang mendukung untuk melakukan
budidaya jagung manismakahampir secara
keseluruhan petani di Desa Arjasari menanam
komoditas jagung manis.Meskipun Desa Arjasari
menjadi salah satu sentra produksi jagung harga jual
pada jagung manis yang didapat masih tergolong
rendah yang berdampak tingkat pendapatan petani
tersebut juga rendah. Dengan alasan seperti itu petani
mecari terobosan baru untuk meningkatkan
pendapatannya. Terobosan baru tersebut adalah
dengan cara beralih komoditas yang memiliki
permintaan pasar dan harga jual yang tinggi.
Peralihan komoditas tersebut didasari dari
beberapa petani untuk melakukan terobosan baru
untuk meingkatkan pendapatan petani itu sendiri.
Alasan petani beralih ke bawang merah dikarenakan
bawang merah memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi, sehingga para petani tersebut beralih dengan
tujuan meningkatkan hasil pendapatan petani
tersebut.Dengan alasan petani tersebut dapat
menimbulkan suatu pertanyaan apakah budidaya
bawang merah akan menghasilkan pendapatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan menanam jagung
manis? Pendapatan usahatani adalah selilih antara
penerimaan dan semua biaya. Metode ini digunakan
untuk mengetahui pendapatan yang akan diperoleh
petani jagung manis dan bawang merah.
METODE PENELITIAN
Objek dan Tempat Penelitian
Objek penelitian ini adalah Perbandingan
Pendapatan Usahatani Jagung Manis dan Bawang
Merah di Desa Arjasari Kecamatan Ajasari
Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Adapun
penentuan tempat penelitian ini dilakukan secara
sengaja.Penelitian ini dilakukan di Desa Arjasari
untuk mengetahui bagaimana keragaan usahatani
jagung manis dan bawang merah, kemudian
menganalisis pendapatan usahatani Jagung Manis
dan Bawang Merahdi Desa Arjasari, dan mengetahui
mana yang paling menguntungkan antara jagung
manis dan bawang merah dilihat dari budidaya dari
masing-masing komoditas tersebut untuk
memberikan pilihan yang terbaik bagi petani Desa
Arjasari.
Desain dan Teknik Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain
kualitatif. Teknik penelitian yang digunakan adalah
studi kasus yaitu objek peristiwanya pada peristiwa
terjadi sekarang dan hanya satu unit kasus, dapat
berupa kesatuan sosial tertentu, orang-orang, satu
keluarga, satu kelompok atau organisasi dalam suatu
masyarakat suatu komunitas tertentu dan sebagainya
dan penelitiannya bersifat eksploratif mendalam
(Rusidi, 1996) (dalam Ifu, 2011).
Data/Informasi yang diperlukan (Operasionalisai
Variabel)
Ada beberapa variabel yang digunakan dalam
penelitian ini, dengan sebagai penjelasan sub variabel
adalah sebagai berikut:
1) Keragaan usahatani
2) Faktor produksi
3) Proses produksi
4) Pasca panen
5) Biaya usahatani
6) Biaya tetap.
7) Biaya variabel
8) Produksi
9) Penerimaan
10) Pendapatan/keuntungan
Rancangan Analisis Data/Informasi
Dalam penelitian ini untuk mengetahui,
menjelaskan, dan menjawab permasalahan terhadap
data yang diperoleh maka analisis yang akan
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Untuk keragaan usahatani jagung manis dan
bawang merah dianalisis secara deskriptif yang
berisi uraian karakteristik usahatani, faktor
113
produksi, pengadaan faktor produksi, dan proses
produksi.
2. Analisis Pendapatan Usahatani
Untuk mengetahui besarnya pendapatan dan
keuntungan usahatani jagung manis dan bawang
merah digunakan analisis pendapatan usahatani
berdasarkan total pengeluaran biaya produksi dan
penerimaan, serta R/C yang mengedinkasikan
bahwa usaha tersebut menguntungkan atau tidak
untuk dilakukan.
a) Penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan
produk jagung manis maupun bawang merah:
R = P . X
R = revenue (penerimaan)
P = harga jual per kilogram (Rp/Kg)
X = berat komoditas yang dihasilkan (Kg)
b) Perhitungan biaya dari usahatani jagung manis
maupun bawang merah adalah
TC = TFC+TVC
TC = total cost (biaya total)
TFC = total fixed cost (biaya tetap total)
TVC = total variabel cost (biaya variabel total)
c) Perhitungan keuntungan usaha dengan metode
R/C ratio:
R/C
R = penerimaan total
C = biaya total
Jika: R/C > 1 usahatani mengalami keuntungan
R/C < 1 usahatani mengalami kerugian
R/C = 1 usahatani dalam titik impas
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Jagung Manis
Pola budidaya yang diterapkan petani tergolong
masih sederhana, namun telah mengalami beberapa
perubahan. Perubahan telah terjadi dikarenakan para
petani belajar berdasarkan pengalaman masa lalu dari
petani itu sendiri atau petani pendahulunya. Teknik
budidaya yang diterapkan petani responden jagung
manis adalah monokultur atau satu tanaman dalam
satu areal tanam.Secara keseluruhan petani
responden jagung manis melakukan teknik
budidayanya secara mandiri, atau biasa para petani
tersebut menyebutnya dengan kata berdikari atau
berdiri dengan kaki sendiri. Berikut dijelaskan
tentang budidaya jagung manis secara umumnya di
Desa Arjasari.
Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah bertujuan untuk: memperbaiki
kondisi tanah, dan memberikan kondisi
menguntungkan bagi pertumbuhan akar. Melalui
pengolahan tanah, drainase dan aerasi yang kurang
baik akan diperbaiki.
Penanaman
Pertama buat lubang tanam dengan alat tugal.
Kedalaman lubang perlu di perhatikan agar benih
tidak terhambat pertumbuhannya. Kedalaman lubang
tanam antara: 3-5 cm, dan tiap lubang hanya diisi 1
butir benih.
Jarak tanam jagung disesuaikan dengan umur
panennya, semakin panjang umurnya, tanaman akan
semakin tinggi dan memerlukan tempat yang lebih
luas. Pada umumnya di Desa Arjasari ini digunakan
jarak tanam 20 x 25 cm karena jagung berumur
sedang (panen 80-100 hari).
Pemupukan
Pemupukan dapat dilakukan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama (pupuk dasar), pupuk diberikan
bersamaan dengan waktu tanam. Pada tahap kedua
(pupuk susulan I), NPK majemuk , Urea dan TSP
diberikan setelah tanaman jagung berumur 12 hari
setelah tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara
membuat lubang menggunakan tugal sedalam 5 cm
dengan jarak dari tanaman 10 cm. Lalu dilakukan
pemupukan kembali (pupuk susulan II) sekitar 30
HST atau sekitar 4 minggu setelah tanam.
Pemeliharaan
Penyiangan
Penyiraman
Pembumbunan
Pengendalian Hama dan Penyakit
Panen dan Pasca Panen
Keragaan Usahatani Bawang Merah
Teknik budidaya yang diterapkan petani
responden bawang merah adalah monokultur atau
satu tanaman dalam satu areal tanam. Berikut
dijelaskan tentang budidaya bawang merah secara
umumnya di Desa Arjasari.
Persiapan Lahan
Pengolahan dilakukan dengan mencangkul tanah
sedalam 20 cm dibuat bedengan-bedegan dengan
lebar 80 cm tinggi 25 cm sedangkan panjangnya
disesuaikan dengan kondisi lahan. Setelah tanah
diolah lalu tanah dicampurkan dengan pupuk
kandang. Diamkan lahan selama kurang lebih 2-3
hari.
Penanaman
Siapkan benih atau umbi bawang merah yang
siap tanam. Apabila umur umbi masih kurang dari 2
bulan, lakukan pemogesan terlebih dahulu.
Pemogesan adalah pemotongan bagian ujung umbi,
sekitar 0,5 cm. Fungsinya untuk memecahkan masa
dorman dan mempercepat tumbuhnya tanaman.
Jarak tanam untuk budidaya bawang merah
dibuat hingga 20Γ20 cm. Benih bawang merah
ditanam dengan cara membenamkan seluruh bagian
umbi kedalam tanah.
114
Pemupukan
Pupuk dasar dilakukan sebelum waktu tanam,
pupuk yang digunakan yaitu pupuk kandang. Lalu
dilakukan kembali pemupukan susulan I yaitu pada
saat tanaman berumur 13-15 hari setelah tanam lalu
pemupukan susulan II dilakukan pada saat tanaman
berumur 30-40 hari setelah tanam, pupuk yang
diguanakan pada saat pemupukan susulan yaitu
pemupukan anorganik.
Pemeliharaan :
Pengairan
Penyiangan
Pengendalian Hama dan Penyakit
Panen dan Pasca Panen
Bawang merah dipanen pada saat berumur 60-70
hari setelah tanam, untuk bawang konsumsi, waktu
panen ditandai dengan 60-70% daun telah rebah,
sedangkan untuk bibit kerebahan daun lebih dari
90%. Panen dilakukan waktu udara cerah. Pada
waktu panen, bawang merah diikat dalam ikatan-
ikatan kecil (1-1.5 kg/ikat), Lalu petani langsung
menjual ke tengkulak.
Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Manis
dan Bawang Merah
Analisis usahatani jagung manis dan bawang
merah di Desa Arjasari menggambarkan penerimaan,
total pengeluaran biaya, dan pendapatan petani.
Kegiatan usahatani bertujuan untuk memperoleh
pendapatan yang optimal, sebagai imbalan atas usaha
dan kerja, dan peralatan pertanian yang digunakan
selama kegiatan usahatani jagung manis dan bawang
merah berlangsung. Berikut ini akan dianalisis
kegiatan usahatani jagung manis dan bawang merah
berdasarkan:
Biaya Produksi
Biaya dalam usahatani segala pengorbanan yang
dilakukan oleh petani untuk menghasilkan produksi.
Biaya yang dikeluarkan petani terdiri dari biaya tetap
dan biaya variabel/ biaya tetap terdiri atas biaya
penyusutan alat pertanian yang digunakan antara lain
adalah cangkul, handsprayer, kored, emrat, dan
pisau. Biaya variabel terdiri dari biaya pengadaan
pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Penggunaan biaya
produksipada usahatani jagung manis dan bawang
merah dari masing-masing petani di Desa Arjasari
dapat dilihat pada Tabel 5. dan 6.
Tabel 5. Biaya produksi usahatani jagung manis No Luas
Lahan
Biaya
Variabel
Biaya
Tetap
Biaya
Produksi
1 0.14
Ha
Rp
158.102
Rp
1.413.000
Rp
1.571.102
2 0.7 Ha Rp
2.005.370
Rp
3.543.000
Rp
5.548.370
3 1 Ha Rp
2.508.102
Rp
5.147.000
Rp
7.655.102
No Luas
Lahan
Biaya
Variabel
Biaya
Tetap
Biaya
Produksi
4 1 Ha Rp
2.508.657
Rp
5.308.500
Rp
7.817.157
Berdasarkan Tabel 13. menunjukan bahwa biaya
produksi usahatani jagung manis berbeda-beda yang
dikarenakan luas lahan yang berbeda-beda juga.
Biaya produksi terbesar pada luas lahan 1 Ha dengan
biaya produksi sebesar Rp 7.817.157,-.
Tabel 6. Biaya produksi usahatani bawang merah No Luas
Lahan
Biaya
Variabel
Biaya
Tetap
Biaya
Produksi
1 0.14
Ha
Rp
75.880
Rp
6.147.000
Rp
6.222.880
2 0.14
Ha
Rp
77.130
Rp
6.271.500
Rp
6.348.630
3 0.14
Ha
Rp
76.296
Rp
5.826.000
Rp
5.902.296
4 0.14
Ha
Rp
75.880
Rp
5.928.500
Rp
6.004.380
Biaya produksi yang dikelauarkan petani untuk
usahatani bawang merah di Desa Arjasari tidak jauh
berbeda dengan masing-masing petani dikarenakan
luas lahan yang digunakan sama. Berdasarkan Tabel
14. biaya produksi bawang merah yang paling besar
Rp 6.348.630,-.
Penerimaan
Pada usahatani jagung manis dan bawang merah
penerimaan petani diperoleh dari banyaknya
produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga
yang berlaku. Harga jual jagung manis dan bawang
merah yang berlaku di pasaran berbeda jauh. Harga
jual yang berlaku di pasaran untuk jagung manis
dengan harga Rp 2.000,- setiap kilogram, sedangkan
bawang merah dijual dengan harga Rp 15.000,-
setiap kilogram. Harga jual bawang merah lebih
tinggi dibandingkan dengan harga jual jagung manis.
Harga jual yang jauh berbeda ini dikarenakan oleh
permintaan akan bawang merah yang tinggi. Pada
Tabel 7. dan 8. akan terlihat penerimaan yang
tertinggi dan terendah yang diperoleh petani jagung
manis dan bawang merah.
Tabel 7. Penerimaan usahatani jagung manis No Luas
Lahan
Produksi Harga Penerimaan
1 0.14
Ha
2.000 Kg Rp
2.000
Rp 4.000.000
2 0.7 Ha 10.000
Kg
Rp
2.000
Rp 20.000.000
3 1 Ha 14.000
Kg
Rp
2.000
Rp 28.000.000
4 1 Ha 14.000
Kg
Rp
2.000
Rp 28.000.000
Hasil produksi per musim tanam untuk
usahatani jagung manis yang paling tinggi adalah
sebesar 14.000 kg dengan luas lahan 1 Ha dan dengan
115
harga jual Rp 2.0000,- per kilo mendapatkan hasil
total penrimaan yaitu sebesar Rp 28.000.000,-.
Tabel 8. Penerimaan usahatani bawang merah No Luas
Lahan
Produksi Harga Penerimaan
1 0.14
Ha
1.500 Kg Rp
10.000
Rp 15.000.000
2 0.14
Ha
1.500 Kg Rp
10.000
Rp 15.000.000
3 0.14
Ha
1.500 Kg Rp
10.000
Rp 15.000.000
4 0.14
Ha
1.500 Kg Rp
10.000
Rp 15.000.000
Sedangkan untuk hasil produksi per musim
tanam untuk usahatani bawang merah dengan luas
lahan 0.14 adalah sebesar 1.500 kg dengan harga jual
Rp 10.000,- per kilo medapatkan hasil total
penerimaan yaitu sebesar Rp 15.000.000,-
4.2.1 Pendapatan
Pendapatan petani dipeoleh dari hasil
penerimaan dikurangi dengan keseluruhan total biaya
yang dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh adalah
keuntungan yang diteriman oleh petani jagung manis
dan bawang merah. Berikut adalah Pendapatan
Tertinggi Usahatani Jagung Manis dan Bawang
Merah.
Tabel 9. Pendapatan usahatani jagung manis No Luas
Lahan
Penerimaan Biaya
Produksi
Pendapatan
1 0.14
Ha
Rp
4.000.000
Rp
1.571.102
Rp
2.428.898
2 0.7 Ha Rp
20.000.000
Rp
5.548.370
Rp
14.451.630
3 1 Ha Rp
28.000.000
Rp
7.655.102
Rp
20.344.898
4 1 Ha Rp
28.000.000
Rp
7.817.157
Rp
20.182.843
Pada Tabel 9. Menunjukan hasil pendapatan
usahatani jagung manis, pendapatan tertinggi terlihat
pada petani dengan luas lahan 1 Ha, yaitu dengan
total pendapatan Rp 20.344.898,-.
Dari hasil penelitian menunjukan petani
komoditas jagung manis yang memiliki lahansebesar
Β±1 Ha memiliki hasil yang cukup besar. Akan tetapi
dari hasil analisis yang dilakukan terhadap petani
bawang merah, memiliki potensi pendapatan yang
lebih besar dibandingkan petani jagung manis jika
dalam luasan lahan yang sama.
Tabel 10. Pendapatan usahatani bawang merah No Luas
Lahan
Penerimaan Biaya
Produksi
Pendapatan
1 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
6.222.880
Rp
8.777.120
2 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
6.348.630
Rp
8.651.370
No Luas
Lahan
Penerimaan Biaya
Produksi
Pendapatan
3 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
5.902.296
Rp
9.097.704
4 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
6.004.380
Rp
8.995.620
Pada tabel 10. menunjukan pendapatan usahatani
bawang merah dengan luasan yang sama yaitu 0.14
Ha. Pendapatan tertinggi pada luasan lahan yang
sama yaitu sebesar Rp 9.097.704,-.
4.2.2 Rasio R/C Usahatani Jagung Manis dan
Bawang Merah
Untuk mengetahui kelayakan suatu usahatani
dapat dilihat dengan menggunakan analisis R/C. R/C
didapatkan dari perbandingan antara penerimaan
total dengan biaya total. Layak atau tidaknya suatu
usaha dapat dilihat dari nilai R/C, jika R/C >1
usahatani mengalami keuntungan dan R/C<1
usahatani mengalami kerugian.
Tabel 11. Perhitungan R/C jagung manis No Luas
Lahan
Penerimaan Biaya
Produksi
Pendapatan R/C
1 0.14 Ha
Rp 4.000.000
Rp 1.571.102
Rp 2.428.898
2,54
2 0.7 Ha
Rp 20.000.000
Rp 5.548.370
Rp 14.451.630
3,60
3 1 Ha Rp 28.000.000
Rp 7.655.102
Rp 20.344.898
3,65
4 1 Ha Rp 28.000.000
Rp 7.817.157
Rp 20.182.843
3,58
Tabel 12. Perhitungan R/C bawang merah No Luas
Lahan
Penerimaan Biaya
Total
Pendapatan RC
1 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
6.222.880
Rp
8.777.120
2,41
2 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
6.348.630
Rp
8.651.370
2,36
3 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
5.902.296
Rp
9.097.704
2,54
4 0.14
Ha
Rp
15.000.000
Rp
6.004.380
Rp
8.995.620
2,50
Usahatani jagung manis untuk lahan 0.14 Ha
pada petani jagung manis 1 memiliki R/C sebesar
2,54 yang berarti mengalami keuntungan. Untuk
petani jagung manis 2 yang memiliki lahan 0.7 Ha
mendapatkan R/C sebesar 3,60 yang artinya
mengalami keuntungan. Pada petani jagung manis 3
yang memiliki lahan 1 Ha mendapatkan R/C sebesar
3,65 yang artinya mengalami keuntungan. Pada
petani jagung manis 4 yang memiliki lahan 1 Ha
mendapatkan R/C sebesar 3,58 yang artinya juga
mengalami keuntungan.Sedangkan untuk usahatani
bawang merah memiliki nilai R/C rata-rata 2,45
menunjukan bahwa usahatani bawang merah
mengalami keuntungan.
Dari kedua usahatani ini nilai R/C yang dimiliki
masing-masing besar dari 1 yang artinya kedua
usahatani ini akan menghasilkan keuntungan dan
116
layak untuk dijalankan, namun jika dibandingkan
besar nilai R/C dari kedua usahatani ini maka
usahatani jagung manis akan lebih menguntungkan
dibandingkan dengan usahatani bawang merah
meskipun pada hasil pendapatan memang lebih tinggi
untuk bawang merah dibandingkan dengan jagung
manis. Jagung manis dirasa lebih menguntungkan
karena biaya produksi yang dikeluarkan tidak terlalu
besar sedangkan untuk bawang merah membutuhkan
biaya produksi yang lebih besar. Dan dalam masalah
teknik budidaya jagung manis dirasa para petani di
Desa Arjasari lebih mudah dilakukan daripada
bawang merah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah dijelaskan, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1) Dari hasil R/C jagung manis lebih
menguntungkan daripada bawang merah karena
jagung manis tidak membutuhkan biaya produksi
yang banyak dalam usahataninya. Berbeda
dengan bawang merah yang membutuhkan biaya
produksi yang lebih besar. Dari kedua usahatani
ini nilai R/C yang dimiliki masing-masing besar
dari 1 yang artinya kedua usahatani ini akan
menghasilkan keuntungan dan layak untuk
dijalankan, namun jika dibandingkan besar nilai
R/C dari kedua usahatani ini maka usahatani
jagung manis akan lebih menguntungkan
dibandingkan dengan usahatani bawang merah
meskipun pada hasil pendapatan memang lebih
tinggi untuk bawang merah dibandingkan dengan
jagung manis. Jagung manis dirasa lebih
menguntungkan karena biaya produksi yang
dikeluarkan tidak terlalu besar sedangkan untuk
bawang merah membutuhkan biaya produksi
yang lebih besar. Dan dalam masalah teknik
budidaya jagung manis dirasa para petani di Desa
Arjasari lebih mudah dilakukan daripada bawang
merah.
2) Keadaan ekonomi masing-masing petani jagung
manis dan bawang merah dilihat dari sisi
pendapatannya dan dari hasil wawancara
ditempat penelitian, pendapatan para petani
berada pada posisi berkecukupan pada kehidupan
sehari-hari.
SARAN
Dari hasil pembahasan dan kesimpulan yang
didapat, maka dapat dikemukakan saran sebagai
berikut:
1) Petani di Desa Arjasari yang tadinya pindah ke
bawang merah, lebih baik beralih kembali pada
komoditas jagung manis. Karena jagung manis
tidak membutuhkan banyak biaya produksi dan
dalam masalah budidaya jagung manis lebih
mudah dibudidayakan dibandingkan bawang
merah.
2) Perlu diadakannya penyuluhan mengenai
budidaya jagung manis kepada parapetani agar
petani lebih dapat meningkatkan kembali
produksi jagung manisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Audita, Rosarita. 2012. Analisis Pendapatan
Usahatani Bawang Daun Sistem Organik dan
Bawang Daun Sistem Anorganik (Studi Kasus
di Kelompok Tani Sutan, Desa Tugu Utara,
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat). Skripsi. Jatinangor: Universitas
Padjadjaran.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(Badan Litbang Pertanian). Pembinaan
Kelompoktani dalam Pengembangan
Kelembagaan Tani (2007). BPTP Jakarta.
Diakses dari jakarta.litbang.deptan.go.id
Bangun, Febriani. 2010. Analisis Pertumbuhan dan
Produksi Beberapa Varietas Bawang Merah
(Allium ascalonicum L.) Terhadap Pemberian
Pupuk Organik dan Anorganik. Skripsi.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Badan Pusat Statistik. Penduduk 15 Tahun Ke Atas
yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan
Utama, 2010 β 2013. Diakses dari
www.BPS.go.id
Badan Pusat Statistik. Produksi Bawang Merah
Provinsi Jawa Barat, 2009-2012. Diakses dari
www.BPS.go.id
Badan Pusat Statistik. Produksi Jagung Provinsi
Jawa Barat, 2009-2013 Provinsi Jawa Barat.
Diakses dari www.BPS.go.id
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat.
Produksi jagung di Kabupaten dan Kota di
Provinsi Jawa Barat periode, 2009-2013.
Diakses dari http://diperta.jabarprov.go.id/
Khaerizal, Hendra. 2008. Analisis Pendapatan dan
Faktor-faktor Produksi Usahatani Komoditi
Jagung Hibrida dan Bersari Bebas (lokal)
(Kasus Desa Saguling, Kecamatan Batujajar,
Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat).
Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Ifu, Amerina. 2013. Studi kelayakan Usahatani
Tumpangsari Cabai Rawit Merah (Capsium
Frutescens), Kubis (Brassica Var. Capitata L)
Dan Selada (Lactuca Satva L) Studi Kasus Di
Desa Cihanjung Rahayu Kecamatan
Parongpong Kabupaten Bandung Barat
Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Jatinangor:
Universitas Padjadjaran.
117
Sianipar, Rimna Regina. 2012. Tanggap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung
Manis (Zea Mays Saccharata Sturt) Terhadap
Pemberian Pupuk Anorganik Daun. Skripsi.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. Malang:
Universitas Brawijaya
Soekartawi, 1995, Analisis Usaha Tani, UI-Press,
Jakarta.
Togatorop, Rodo Berlianan Br. 2010. Analisis
Efisiensi Produksi dan Pendapatan Pada
Usahatani jagung Di Kecamatan Wirosari,
Kabupaten Bogor. Semarang: Universitas
Diponogoro.
Warsana. 2007. Analaisis Efisiensi Dan Keuntungan
Usaga Tani Jagung (Studi Di Kecamatan
Randublatung Kabupaten Blora). Tesis.
Semarang: Universitas Diponogoro.
Zuraida, Rismarini. 2010. Usahatani Padi dan
Jagung Manis Pada Lahan Tadah Hujan
Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Di
Kalimantan Selatan (Kasus Di Kec. Landasan
Ulin Kotamadya Banjarbaru). Diakses dari
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/ima
ges/stories/p77.pdf
118
119
Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai Sebagai Bahan Baku Tahu Sumedang
(Studi Kasus di Industri Kecil Sari Kedele, Kecamatan Jatinangor,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)
Analysis of Inventory Control of Soybean As Raw Material of βTahu Sumedangβ (A
Case Study in Small Industry βSari Kedeleβ, Jatinangor Sub District, Sumedang District,
West Java)
Amy Fauziah1*, Kuswarini Kusno2
1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung,
2 Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bandung
A B S T R A K
Kata Kunci:
Kedelai
Tahu Sumedang
Keragaan
Proses Produksi
Model Economic Order
Quantity.
Tahu sumedang adalah produk olahan kedelai yang merupakan makanan khas
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Terdapat ratusan produsen tahu sumedang di
kabupaten Sumedang ini. Penelitian dilakukan di Industri Kecil Sari Kedele yang
terletak di Kecamatan Jatinangor karena permintaan terhadap produknya cukup tinggi
sehingga perlu pengendalian persediaan. Ada dua tujuan dalam penelitian ini; yang
pertama adalah untuk mengetahui keragaan proses produksi tahu sumedang yang
dilakukan oleh Industri Kecil Sari Kedele dan yang kedua adalah untuk mengetahui
kuantitas persediaan kedelai yang ekonomis serta biaya persediaannya. Desain
penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif dengan teknik penelitian studi kasus. Untuk
mencapai tujuan yang pertama dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk
mencapai tujuan ke dua digunakan model kuantitatif Economic Order Quantity
(EOQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan yang digunakan dalam proses
produksi adalah kedelai impor, penggumpal, bawang putih, garam dan minyak goreng.
Proses produksi meliputi pencucian dan perendaman, penggilingan, perebusan,
penyaringan, pemadatan, pencetakan, pemotongan, perendaman dalam bumbu, serta
penggorengan. Selanjutnya, industri kecil hanya perlu melakukan pemesanan kedelai
10 kali dalam satu tahun sebanyak 9.481 kg per sekali pesan. Akibatnya, industri kecil
dapat menghemat biaya persediaan 9,6% dalam satu tahun. Dengan demikian, proses
produksi menjadi lebih efisien, sehingga industri kecil dapat menjadi lebih kompetitif
dalam jangka panjang.
ABSTRACT
Keywords:
Soybean
βTahu Sumedangβ
Performance
Production Process
Model Economic Order
Quantity.
βTahu sumedangβ is a processed soybean product which is a typical food of Sumedang
District, West Java. There are hundreds of producers of βtahu sumedangβ in
Sumedang District. The study was conducted in Small Industry βSari Kedeleβ located
in Jatinangor Sub District as the demand for its product is high enough so that the
inventory control is necessary. There are two objectives in this study. The first one is
to determine the performance of the production process of βtahu sumedangβ applied
by a small industryβSari Kedeleβ,and the second one is to determine the economic
order quantity of soybean inventory as well as the cost of the inventory. Design of the
research was qualitative and quantitative, with a case study research technique. To
achieve the first objective, it is used a descriptive analysis, while for the second, a
quantitative model : Economic Order Quantity (EOQ). The results showed that the
materials used in the production process are imported soybean, coagulant, garlic,salt
and cooking oil. The production process includes washing and soaking, grinding,
boiling, filtering, compacting, printing, cutting, soaking in seasoning and frying. The
small industry just have to order soybean 10 times in one year, a total of 9481 kg per
one order. As a result, the small industriy can save the cost of inventory 9.6% in one
year.Thus,the production process becomes more efficient so that the small industry can
be more competitive in the long run. * Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected], [email protected]
120
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas
pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Kedelai termasuk dalam kelompok legum
pangan dimana sekitar 90% kedelai yang tersedia di
Indonesia digunakan sebagai bahan pangan, dan
sisanya untuk pakan ternak dan benih (FAO, 2005
dalam Ginting, dkk. 2009). Di Indonesia, produksi
kedelai pada tahun 2013 adalah 779,99 ribu ton biji
kering. Angka ini menurun 63,16 ribu ton atau 7,49
% dibandingkan pada tahun 2012. Hal ini disebabkan
oleh penurunan luas panen seluas 16,83 ribu hektar
atau 2,97% dan penurunan produktivitas sebesar 0,69
kwintal/ hektar.
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas
dan Produksi Kedelai Menurut Wilayah
Uraian 2012 2013
1. Luas Panen (ha)
Pulau Jawa 382.039 342.796
Luar Pulau Jawa 185.585 207.997
Indonesia 567.624 550.793
2. Produktivitas
(kw/ha)
Pulau Jawa 15,80 15,23
Luar Pulau Jawa 12,91 12,41
Indonesia 14,85 14,16
3. Produksi (ton)
Pulau Jawa 603.641 521.954
Luar Pulau Jawa 239.512 258.038
Indonesia 843.153 779.992
Keterangan: Bentuk produksi kedelai adalah biji
kering
Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2013
Banyak makanan khas Indonesia yang
berbahan dasar kedelai, seperti tahu dan tempe.
Makanan ini dianggap sebagai sumber protein selain
daging. Selain itu makanan yang berasal dari kedelai
memilki harga yang lebih terjangkau dibandingkan
dengan harga daging. Produk olahan kedelai dapat
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu makanan
non fermentasi dan terfermentasi. Produk fermentasi
hasil industri tradisional yang populer adalah tempe,
kecap dan tauco, sedangkan produk non fermentasi
hasil industri tradisional adalah tahu dan kembang
tahu.
Tabel 2. Konsumsi Kedelai dan Produk Turunannya
per kapita (Kg/Tahun)
Uraian 2009 2010 2011 2012 2013
Kacang
Kedelai 0,052 0,052 0,052 0,052 0,052
Tahu 7,039 6,987 7,404 6,987 7,039
Tempe 7,039 6,935 7,300 7,091 7,091
Sumber: Susenas Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 2, total konsumsi kedelai
dan produk turunannya dapat dikatakan stabil dari
tahun ke tahun hingga tahun 2013, dengan rata-rata
kenaikan yang sangat kecil yakni 0,154%. Dari itu
pula dapat diketahui bahwa selama lima tahun
tersebut rata-rata total konsumsi pada per kapita
adalah sebesar 14,24 kg/tahun.
Tahu sumedang adalah salah satu produk
olahan kedelai yang menjadi makanan khas
Kabupaten Sumedang. Tahu sumedang merupakan
tahu yang dijajakan dalam bentuk sudah digoreng,
tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang
berwarna putih. Tahu sumedang mempunyai kulit
luar yang berintik-bintik yang khas membedakan dari
jenis tahu lainnya. (Supriatna, 2005 dalam Yusup,
2012).
Industri kecil tahu sumedang Sari Kedele
merupakan salah satu tempat yang menjual tahu
sumedang sekaligus rumah makan dan pabrik
pembuatan tahu sumedang. Permintaan tahu
sumedang pada industri kecil ini cukup tinggi. Dalam
satu hari industri ini dapat memproduksi tahu hingga
250 ancak atau 42.250 buah tahu sumedang. Setiap
harinya industri ini selalu dipadati oleh konsumen
dari luar Kabupaten Sumedang maupun masyarakat
sekitar. Berikut produksi tahu sumedang pada bulan
Maret hingga Mei 2015.
Tabel 3. Produksi Tahu Sumedang Industri Kecil
Sari Kedele
Bulan
Jumlah Produksi
Tahu Sumedang
(Buah)
Maret 697.801
April 698.815
Mei 798.271
Sumber: Data Produksi Tahu Sumedang Industri
Tahu Sumedang Sari Kedele Tahun 2014
Pada Tabel 3 di atas dapat dilihat besarnya
produksi tahu sumedang pada industri kecil ini.
Untuk menghasilkan tahu sumedang dengan jumlah
yang besar seperti itu tentunya dibutuhkan kuantitas
kedelai yang sangat besar dalam satu bulannya.
Tabel 4. Pengelolaan Persediaan Kedelai di Industri
Kecil Tahu Sumedang Sari Kedele
Uraian Jumlah Aktual
Jumlah Pemesanan 6.000 kg
Kebutuhan Kedelai dalam
Satu Hari
273 kg
Frekuensi Pemesanan 16 kali
121
Jeda waktu antar tiap
pemesanan
21 hari
Waktu Tenggang Pemesanan 1-2 hari
Sumber: Hasil wawancara dengan Industri Kecil
Tahu Sumedang Sari Kedele. Tahun 2015
Dalam sehari industri kecil ini dapat
menghabiskan 273 kg kedelai atau bahkan lebih.
Kedelai yang dipesan sebanyak 9.000 kg
didistribusikan 6.000 kg ke cabang Jatinangor dan
3.000 kg ke cabang Limbangan. Penentuan kuantitas
ini didasarkan pada perkiraan kebutuhan dalam
sehari, dan juga disebabkan industri hanya memiliki
gudang dengan kapasitas kecil. Luas gudang milik
Sari Kedele hanya 16 m2 dan hanya mampu
menampung kedelai kurang lebih 9.000 kg. Kuantitas
tersebut juga tidak memenuhi satu gudang penuh
namun hanya ΒΎ bagiannya saja. Hal ini disebabkan
ΒΌ bagian lainnya digunakan sebagai ruang kosong
tempat keluar-masuknya kedelai dan agar ada ruang
udara sehingga tidak cepat lembab.
Kuantitas sebesar 6.000 kg hanya akan
memenuhi kebutuhan produksi selama 22 hari. Pada
hari ke-21 industri kecil ini harus melakukan
pemesanan kembali sebelum persediaan kedelai di
gudang habis. Pemesanan kedelai hanya akan
dilakukan jika kedelai di gudang ada 200 kg atau
dapat memenuhi kebutuhan produksi untuk esok
harinya. Sistem pengadaan kedelai yang diterapkan
tersebut membuat gudang tidak pernah kekosongan
kedelai dan juga membuat kualitas kedelai tidak
menurun. Gudang yang mampu menampung kedelai
hingga 9.000 kg cendurung tidak dimanfaatkan
secara optimal. Akibatnya, terjadi biaya tambahan
seperti biaya pemesanan yang mana seharusnya hal
ini tidak akan terjadi jika kuantitas pemesanan
kedelai dapat dioptimalkan.
Sebagai salah satu usaha yang
mengutamakan produk tahu sumedangnya, industri
kecil tahu sumedang Sari Kedele ini belum
menerapkan model pengendalian persediaan tertentu
untuk menjaga keberlangsungan produksi tahunya.
Sebagai industri tahu yang setiap harinya
berproduksi, seharusnya Sari Kedele selalu menjaga
ketersediaan kedelai sebagai bahan bakunya. Melihat
situasi tersebut, dibutuhkan manajemen
pengendalian persediaan kedelai sebagai bahan baku
utama dalam pembuatan tahu sumedang. Hal ini
dilakukan agar kedelai dapat selalu tersedia tanpa
perlu ada penambahan biaya persediaan akibat
melakukan pemesanan kembali dengan jadwal yang
tidak teratur. Selain itu, industri kecil tahu sumedang
yang sangat banyak di Kabupaten Sumedang, yakni
282 buah (Deperindag, 2014) memungkinkan
terjadinya persaingan bisnis yang ketat. Karena itu,
penting mengantisipasi situasi ini dengan
merencanakan manajemen persediaan kedelai secara
terstruktur agar Industri Kecil Sari Kedele dapat
memenangkan kompetisi dalam jangka panjang.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul βAnalisis
Pengendalian Persedian Kedelai Sebagai Bahan
Baku Tahu Sumedang (Studi Kasus pada Industri
Kecil Sari Kedele di Kecamatan Jatinangor,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)β.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
Kedelai
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa
semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine
ururiencis, merupakan kedelai yang menurunkan
berbagai kedelai yang dikenal sekarang kedelai
(Glycine max (L.) Merrill). Kedelai dibudidayakan di
Indonesia mulai abad ke-17 sebagai tanaman
makanan dan pupuk hijau. Penyebaran tanaman
kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo
menyebar ke daerah Mansyuria : Jepang (Asia
Timur) dan negara-negara lain di Amerika dan
Afrika. (AAK,1989 dalam Wiwin Nilasari, 2012).
Di salah satu negara bagian Amerika Serikat,
terdapat areal pertumbuhan kedelai yang sangat luas
sehingga menghasilkan 57% produksi kedelai dunia.
Di Indonesia, saat ini kedelai banyak ditanam di
dataran rendah yang tidak banyak mengandung air,
seperti di pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Sulawesi Utara (Gorontalo), Lampung,
Sumatera Selatan dan Bali. Kedelai (Glycine max (L)
merrill) merupakan salah satu tanaman budidaya
dengan kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya
mengandung protein 30-50% (Richard et al., 1984
dalam Nilasari, 2012). Kandungan protein yang
tinggi memberi indikasi bahwa tanaman kedelai
memerlukan hara nitrogen yang tinggi pula. Di
Indonesia sampai saat ini produksi kedelai belum
dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri.
Tahu Sumedang
Tahu Sumedang merupakan makanan khas
Kabupaten Sumedang. Tahu sumedang pertama kali
dikenalkan di Sumedang oleh imigran dari Cina yang
bernama Ong Kin No pada tahun 1900-an. Ong Kin
No membuat tahu di kota Sumedang untuk
mengenang kebiasaan di kampung halamannya.
Keharuman tahu yang dibuatnya ternyata menarik
perhatian seorang pangeran Sumedang untuk datang
ke rumahnya di kawasan pusat kota Sumedang.
Kadang-kadang orang mengatakan bahwa
tahu sumedang adalah tahu pong atau tahu kosong
tanpa isi. Penilaian tentang tahu sumedang tersebut
tercemari oleh tahu sumedang yang banyak dibuat
oleh pabrik tahu yang tidak menjamin kualitasnya.
Tahu sumedang berkualitas rendah tersebut banyak
122
dijajakan oleh pedagang di dalam bis umum yang
melintasi kota Sumedang.
Tahu sumedang yang benar adalah tahu yang
dijajakan dalam bentuk sudah digoreng, tidak pong
atau tidak kosong, dan masih berisi sari kedelai yang
masih putih. Sari kedelai tersebut memberikan rasa
khas perpaduan rasa kulit tahu yang sudah kering
digoreng dengan bagian dalam yang tidak kering.
Tahu sumedang mempunyai kulit luar yang berintik-
bintik atau curintik (bahasa Sunda) yang khas
membedakannya dari jenis tahu lainnya. (Dadang
Supriatna, 2005).
Persediaan
Persediaan merupakan salah satu unsur
paling aktif dalam operasi perusahaan yang secara
continue diperoleh, diubah, yang kemudian dijual
kembali. Sebagian besar sumber-sumber perusahaan
juga sering dikaitkan dengan persediaan yang akan
digunakan dalam perusahaan pabrikasi. Nilai dari
persediaan harus dicatat, digolong-golongkan
menurut jenisnya yang kemudian dibuatkan
perincian dari masing- masing barangnya dalam
suatu periode yang bersangkutan, pada akhir sutu
periode. Pengalokasian biaya-biaya dapat
dibebankan pada aktivitas yang terjadi dalam periode
tersebut dan untuk aktivitas mendatang juga harus
ditentukan atau dibuat. (Assauri, 1993)
Menurut Handoko (1984) dalam pembuatan
setiap keputusan yang akan mempengaruhi besarnya
(jumlah) persediaan, biaya-biaya variabel yang harus
dipertimbangkan sebagai berikut :
1. Biaya penyimpanan (holding cost) terdiri atas
biaya-biaya yang bervariasi secara langsung
dengan kuantitas pesediaan. Biaya penyimpanan
per periode akan semakin besar apabila kuantitas
bahan yang dipesan semakin banyak, atau rata-
rata persediaan semakin tinggi.
2. Biaya pemesanan (order cost) yaitu biaya yang
timbul di saat aktivitas pemesanan.
Manajemen Persediaan
Manajemen persediaan merupakan hal yang
mendasar dalam penetapan keunggulan kompetatif
jangka panjang. Mutu, rekayasa, produk, harga,
lembur, kapasitas berlebih, kemampuan merespon
pelanggan akibat kinerja kurang baik, waktu
tenggang (lead time) dan profitabilitas keseluruhan
adalah hal-hal yang dipengaruhi oleh tingkat
persediaan. Perusahaan dengan tingkat persediaan
yang lebih tinggi daripada pesaing cenderung berada
dalam posisi kompetitif yang lemah. Kebijaksanaan
manajemen persediaan telah menjadi sebuah senjata
untuk memenangkan kompetitif.
Pengendalian Persediaan
Menurut Assauri (1993) pengendalian
persediaan merupakan suatu kegiatan untuk
menentukan tingkat dan komposisi persediaan
komponen rakitan, bahan baku dan barang hasil
(produk) sehingga perusahaan dapat melindungi
kelancaran produksi dan penjualan serta kebutuhan-
kebutuhan pembelanjaan perusahaan dengan efektif
dan efisien.
Model Economic Order Quantity
Handoko (1984) mengungkapkan bahwa,
metode manajemen persedian yang paling terkenal
adalah model-model Economic Order Quantity
(EOQ). Metode-metode ini dapat digunakan baik
untuk barang-barang yang dibeli maupun yang
diproduksi sendiri. Model EOQ sendiri adalah nama
yang biasa digunakan untuk barang-barang yang
dibeli. Model ini digunakan untuk menentukan
kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan
biaya langsung penyimpanan persediaan dan biaya
kebalikan (inverse cost) pemesanan persediaan.
Model EOQ di atas dapat diterapkan bila anggapan-
anggapan berikut ini dipenuhi:
Permintaan akan produk adalah konstan,
seragam dan diketahui (deterministik).
1. Harga per unit produk adalah konstan.
2. Biaya penyimpanan per unit per tahun (H) adalah
konstan.
3. Biaya pemesanan per pesanan (S) adalah
konstan.
4. Waktu antara pesanan dilakukan dan barang-
barang diterima (lead time) adalah konstan.
5. Tidak terjadi kekurangan barang atau (back
orders).
Alur Pemikiran
Permintaan tahu sumedang di Industri Kecil
Sari Kedele cukup tinggi. Keadaan ini dapat dilihat
dari kuantitas kedelai yang dihabiskan dalam sehari
seperti tampak pada Tabel 4. Untuk memenuhi
permintaan tersebut maka persediaan kedelai di
dalam gudang tidak boleh kosong. Karena itu
dibutuhkan pengelolaan persediaan yang baik untuk
menghindari kehabisan persediaan. Salah satu
caranya adalah dengan menerapkan model
persediaan. Tujuan dari penggunaan model
persediaan ini adalah untuk mendapatkan kuantitas
pemesanan kedelai yang optimal, yang berarti bahwa
biaya haruslah minimum.
METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah keragaan proses
produksi tahu sumedang dan pengendalian persedian
kedelai dalam aktivitas bisnis tahu sumedang pada
Industri Kecil Sari Kedele. Penelitian dilakukan di
123
industri kecil tahu sumedang tersebut, yang
bertempat di Jalan Raya Ir. Soekarno No. 21,
Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
meliputi dua jenis data, yaitu:
1. Data primer diperoleh dari informan yang
ditentukan secara sengaja (purposive). Cara
memperoleh data dan informasi primer dilakukan
dengan wawancara langsung menggunakan
panduan wawancara, dan observasi lapangan.
Informan dalam penelitian ini adalah pemilik,
manajer operasional dan tenaga kerja di industri
kecil tahu sumedang Sari Kedele.
2. Data sekunder, diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Pemerintahan terkait, studi
kepustakaan, dan penelusuran pustaka atau
laporan dari instansi terkait yang relevan.
Berikut merupakan rancangan analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Untuk mengetahui bagaimana keragaan produksi
tahu sumedang, dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan alat analisis berupa tabel-
tabel.
2. Untuk mengetahui kuantitas pemesanan kedelai
yang ekonomis (optimal dimana biaya
persediaannya minimum), dianalis dengan
menggunakan model EOQ yaitu:
πΈππ = β2 π·π
π»πΆ
dimana
D :Jumlah kedelai yang dibutuhkan selama satu
periode tertentu (kg)
O : Biaya pemesanan per sekali pesan
H : Harga pembelian per unit per tahun
C : Biaya penyimpanan dan pemeliharaan gudang
per unit per tahun dinyatakan dalam persen
Sementara itu, biaya yang dikeluarkan untuk
pemesanan yang ekonomis adalah:
ππΆ = (π·
ππ) Γ π + (
ππ
2+ ππ ) Γ (πΆπ»)
dimana:
TC : Total biaya pemesanan yang ekonomis
D : Jumlah kebutuhan setahun
Qe : Jumlah pesanan yang ekonomis
Ss : Persediaan pengaman yang seharusnya
H : Haga bahan per kilogram
O : Biaya pemesanan
C : Biaya penyimpanan per tahun
Rasio Sensitivitas adalah tingkat
perbandingan antara total biaya persediaan yang
dikeluarkan pada tingkat persediaan yang tidak
optimal dibandingkan dengan total biaya persediaan
pada tingkat persediaan optimal.
(π ππ ππ ππππ ππ‘ππ£ππ‘ππ (ππΆ
ππΆβ)
=(
π·π) Γ π + (
π2 + ππ ) Γ πΆπ»
(π·πβ) Γ π + (
πβ
2 + ππ ) Γ πΆπ»)
Sedangkan biaya marjinal adalah biaya
tambahan yang harus ditanggung oleh industri kecil
karena jumlah persediaan yang ada tidak optimal.
Berikut ini adalah rumusnya :
π΅πππ¦π ππππππππ = (πππ ππ π πππ ππ‘ππ£ππ‘ππ β 1)
Γ π‘ππ‘ππ ππππ¦π ππππ ππππππ
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Industri Kecil Tahu
Sumedang Sari Kedele
Industri kecil tahu sumedang Sari Kedele
merupakan salah satu industri kecil tahu sumedang
yang mengembangakan usahanya menjadi rumah
makan. Industri kecil ini sendiri memiliki beberapa
cabang yang tersebar hingga Pulau Kalimantan dan
Sumatera, sedangkan di daerah Jawa Barat sendiri,
hanya memiliki satu cabang yaitu di Kecamatan
Limbangan, Kabupaten Garut. Industri kecil ini
sudah berjalan sejak tahun 1994 dimana pemiliknya
masih menjajakan tahunya di wilayah pemukiman
warga yang jauh dari jalan raya. Pada tahun 2000,
dibangun gerai sederhana yang letaknya tepat di
pinggir jalan propinsi. Posisi gerai yang dekat dengan
jalan raya membuat tahu sumedang yang diproduksi
semakin diminati konsumen. Jalan raya tersebut
merupakan jalur alternatif yang ramai dilewati
konsumen dari luar Kabupaten Sumedang, sehingga
mudah bagi konsumen untuk mencari oleh-oleh khas
Sumedang. Pada tahun 2014, Sari Kedele ini
memperluas usahanya menjadi Rumah Makan Tahu
Sumedang Sari Kedele. Hal ini disebabkan banyak
konsumen yang ingin makan tahu sumedang panas
dan renyah di tempat dengan nyaman; tidak hanya
dibawa sebagai oleh-oleh saja.
Seperti umumnya industri kecil yang lain,
Sari Kedele ini belum memiliki struktur organisasi
124
yang paten, namun alur koordinasinya sudah
terbentuk dengan cukup baik. Biasanya, si pemilik
tidak mengarahkan langsung para karyawannya di
lapangan, tetapi ada seorang manajer operasional
yang mengarahkan dan mengawasi kerja karyawan
baik di rumah makan maupun di pabrik. Berikut ini
adalah alur koordinasi yang terjadi :
Gambar 1. Alur Koordinasi Industri Kecil Tahu
Sumedang Sari Kedele
Di pabrik, manajer operasional tidak selalu
mengawasi karyawan, tetapi lebih banyak
mengawasi di bagian gerai dan rumah makan. Hal ini
dilakukan karena terdapat Tim Inti yang sudah
dianggap mampu untuk membuat tahu sesuai dengan
arahan dari pemilik. Tenaga kerja di pabrik adalah
laki-laki semua yang berasal dari daerah sekitar.
Tenaga kerja itu sendiri terdiri dari dua kelompok
yang masing-masing terdiri dari lima hingga enam
orang. Setiap kelompok terdiri dari 2 orang tenaga
inti pembuat tahu dan 3 hingga 4 orang tenaga kenek.
Jumlah tenaga kerja pabrik tahu adalah 13
orang, dimana semuanya merupakan tenaga kerja
borongan. Para tenaga kerja mulai membuat tahu
pada pukul 03.00 pagi hingga pukul 16.00, tetapi
waktu pulang para tenaga kerja tersebut tidak dapat
ditentukan dengan pasti, karena permintaan
konsumen yang tidak pernah tetap.
Keragaan Proses Produksi Tahu Sumedang
Sebagai produk makanan yang
mengutamakan rasa, tahu sumedang memerlukan
komposisi bahan yang baik. Selain kedelai sebagai
bahan baku utamanya, digunakan pula bahan
pendukung yang menunjang cita rasa dari tahu itu
sendiri, yakni bawang putih dan garam. Berikut
penjelasan mengenai komposisi bahan dalam proses
produksi tahu sumedang.
1. Kedelai
Kedelai yang digunakan adalah kedelai impor.
Penggunaan kedelai impor ini disebabkan kedelai
impor selalu tersedia dan waktu pembekuannya lebih
singkat jika dibandingkan dengan kedelai lokal.
Dalam satu hari, industri kecil ini melakukan 21 kali
penggilingan kedelai dengan kuantitas 13 kg untuk
setiap kali penggilingan, sehingga total kuantitas
kedelai yang digunakan adalah 273 kg.
2. Penggumpal
Penggumpal merupakan komponen penting
dalam pembekuan tahu. Penggumpal berfungsi untuk
mengendapkan bagian protein tahu dari sari kedelai.
Penggumpal ini berasal dari air biang yang dibuat
dengan menambahkan cuka agar menjadi asam.
Penambahan cuka ini dimaksudkan agar tahu dapat
cepat membeku, namun saat ini air biang yang
digunakan berasal dari air rebusan kedelai. Air
rebusan tahu yang tersisa kemudian dipisahkan pada
sebuah drum plastik besar yang nantinya akan diberi
air biang yang telah diendapkan selama beberapa
hari. Setelah itu, air rebusan tersebut diendapkan
selama beberapa hari yang nantinya akan menjadi air
biang penggumpal. Untuk satu kali proses produksi,
penggumpal yang digunakan adalah 24 liter.
3. Bahan Pendukung
Bawang putih dan garam adalah bahan
pendukung yang berperan untuk menciptakan rasa
gurih tahu sumedang. Bawang putih yang digunakan
sebanyak 0,07 kg, sedangkan garamnya 7,1 kg untuk
proses produksi selama satu hari. Sebelum dijadikan
larutan bumbu untuk merendam tahu, bawang putih
terlebih dahulu dihaluskan; setelah itu dimasukan ke
dalam bak air bersama dengan garam.
4. Minyak Goreng
Minyak goreng digunakan untuk menggoreng
tahu. Tahu yang telah matang dengan warna
kecoklatan dinamai tahu sumedang. Minyak goreng
yang digunakan adalah jenis minyak goreng curah
dengan kualitas yang paling baik, karena kualitas
minyak berpengaruh pada kerenyahan dan tekstur
garing dari tahu sumedang. Dalam satu hari, proses
produksi dapat menghabiskan minyak goreng hingga
85 kg .
Berikut ini disajikan rincian penggunaan
bahan baku dan bahan pendukung dalam proses
produksi tahu sumedang untuk satu hari.
Tabel 5. Bahan yang Digunakan dalam Proses
125
Produksi Tahu Sumedang
Jenis Bahan Jumlah
Bahan Baku Kedelai Impor 273 kg
Bahan
Pendukung
Penggumpal 24 liter
Bawang Putih 0,07 kg
Garam 7,1 kg
Minyak Goreng 85 kg
Untuk mengolah bahan-bahan menjadi tahu
sumedang dibutuhkan alat-alat. Setiap tahapan dalam
proses produksi tahu sumedang memerlukan alat
yang berbeda dan bermacam-macam. Sebagian besar
alat yang digunakan masih termasuk alat
konvensional. Berikut penjelasan alat-alat yang
digunakan dalam proses produksi tahu sumedang:
1. Timbangan
Timbangan digunakan untuk menakar jumlah
kedelai yang akan digiling. Satu kali proses
penggilingan dibutuhkan 13 kg kedelai.
Penimbangan dilakukan sebelum kedelai
dibersihkan.
2. Wadah dan Ember Plastik
Pada proses ini wadah plastik besar digunakan
sebagai tempat perendaman kedelai. Sedangkan
ember plastik digunakan sebagai tempat menyimpan
bubur kedelai yang keluar dari mesin giling.
3. Mesin Giling
Mesin giling bertenaga diesel digunakan
dalam proses penggilingan kedelai yang telah
direndam untuk dijadikan bubur kedelai. Terdapat
dua buah mesin giling milik sendiri di pabrik.
4. Kuali
Kuali perebus terbuat dari bahan alumunium
dengan diameter kurang lebih 90 cm dengan
kedalaman 40 cm. Kuali ini digunakan untuk
merebus bubur kedelai hingga matang. Terdapat dua
buah kuali perebus yang letaknya bersebelahan.
Kuali untuk menggoreng sedikit berbeda
dengan kuali untuk merebus dalam ukurannya, tetapi
terbuat dari alumunium juga. Kuali ini berukuran
lebih kecil dari kuali untuk merebus. Kapasitas kuali
penggoreng ini adalah 2 ancak atau 338 potong tahu.
Terdapat dua kuali penggorengan di industri kecil ini.
5. Tungku
Tungku perebus terbuat dari bahan konstruksi
seperti batu bata, pasir dan semen. Tungku dibuat
menyatu dengan kuali agar saat proses pengadukan,
kuali tidak ikut bergerak. Terdapat empat tungku
namun yang digunakan hanya dua saja. Tungku
penggorengan terbuat dari bahan konstruksi yang
sama namun dilapisi dengan lembaran seng.
Penggunaan lembaran seng di sekeliling tungku
bertujuan agar minyak dapat dengan mudah
dibesihkan.
6. Pengaduk
Pengaduk yang digunakan dalam proses
perebusan terbuat dari bahan alumunium dengan
diameter yang cukup lebar. Hal ini bertujuan agar
mudah dalam mengaduk bubur kedelai dan mudah
pula untuk memindahkan susu kedelai ke dalam
tahang.
7. Tahang
Tahang merupakan wadah penyaringan antara
susu dan ampas kedelai. Alat ini terbuat dari kayu
yang tidak mudah lapuk. Jumlah tahang yang
digunakan adalah dua buah.
8. Kain Saring
Kain saring digunakan untuk memisahkan
susu dari ampas kedelai. Kain saring ini selain
digunakan pada saat pemisahan antara susu dan
ampas kedelai, juga saat pencetakan kedelai.
Penggunaan kain sarung ketika proses pencetakan
bertujuan agar tahu yang sudah dicetak dapat dengan
mudah dipindahkan ke dalam ancak dan tahu tidak
menempel di cetakan.
9. Drum Plastik
Drum plastik digunakan untuk menampung
sisa air yang ada pada susu kedelai. Sisa air akan
dijadikan penggumpal untuk keesokan harinya
dengan menambahkan biang asam. Terdapat banyak
drum plastik di pabrik tahu yang berisi bahan
penggumpal.
10. Cetakan
Cetakan terbuat dari kayu pada bagian
pinggirnya dan anyaman bambu pada bagian alasnya.
Cetakan ini berukuran 54x54 cm. Pola anyaman
bambu di bagian bawah akan secara otomatis
membentuk pola segi empat yang nantinya dijadikan
acuan dalam proses pemotongan. Alat ini terdiri dari
bingkai, alas dan penutup.
11. Ancak
Ancak merupakan tempat untuk meletakan
tahu mentah yang telah dicetak untuk dipotong
nantinya. Alat ini terbuat dari bambu untuk bagian
alasnya dan kayu untuk bagian pinggirannya. Ancak
berfungsi untuk meniriskan air yang masih tersisa
pada tahu baik sebelum maupun setelah dimasukan
ke dalam larutan bumbu. Selain itu ada pula ancak
yang bagian dasarnya berlapis seng. Ancak ini
digunakan di gerai sebagai tempat penyajian tahu.
12. Penggaris Bambu dan Pisau
Kedua alat ini digunakan dalam proses
pemotongan tahu. Penggaris yang terbuat dari bambu
tidak memiliki angka seperti pada penggaris pada
umunya. Penggaris ini hanya digunakan sebagai alat
126
yang akan menjaga potongan tahu agar tetap lurus.
13. Saringan Alumunium
Saringan alumunium ini berbentuk jaring-
jaring. Jaring-jaring tersebut berfungsi untuk
meniriskan minyak sisa penggorengan sebelum tahu
dipasarkan.
14. Keranjang Bambu atau Bongsang
Bongsang merupakan kemasan tahu sumedang
yang terbuat dari anyaman bambu yang kecil dan
tipis. Kapasitas bongsang bermacam-macam yaitu
25-100 buah tahu sumedang tergantung dari ukuran
bongsang itu sendiri. Sebelum tahu dimasukkan ke
dalam bongsang, biasanya bongsang dilapisi dengan
daun pisang agar serbuk kulit tahu tidak berserakan.
Tempat Proses Produksi Tahu Sumedang
Proses produksi tahu sumedang dilakukan di
sebuah pabrik yang letaknya tidak jauh dari gerai dan
rumah makan. Pabrik dan tempat penggorengan tidak
berada dalam satu tempat yang sama. Tempat
penggorengan tahu berada di bangunan yang terpisah
dimana letaknya lebih dekat dengan gerai dan rumah
makan.
Pabrik tahu berupa sebuah bangunan
berbentuk kubus persegi panjang dengan sebuah
gudang penyimpanan persediaan kedelai di
dalamnya. Pabrik dibangun sedemikian rupa agar
rapi dan dapat memuat alat-alat produksi yang
berukuran besar. Pada sekeliling pabrik terdapat
tempat penyimpanan ampas tahu dan serbuk gergaji.
Tahu Sumedang Sari Kedele memiliki ciri
khas yaitu renyah kulit tahunya dan gurih rasanya.
Hal ini disebabkan pemilihan kedelai yang baik dan
kualitas dari air yang digunakan pada saat proses
produksi juga baik. Untuk menjadi tahu sumedang
yang enak dan gurih kedelai harus melalui beberapa
tahapan proses produksi seperti perendaman,
penggilingan, perebusan, hingga teknik penyajian
yang baik. Alur proses produksi tahu sumedang
sendiri dapat di lihat pada Gambar 2.. Berikut
penjelasan dari tahapan-tahapan proses produksi tahu
sumedang:
1. Tahap Pencucian dan Perendaman
Kedelai yang akan diproses harus ditimbang
terlebih dahulu untuk menyesuaikan komposisi resep
pembuatan tahu. Kedelai ditimbang 13 kg untuk satu
kali proses penggilingan yang dipisahkan
menggunakan wadah plastik besar. Sebelum masuk
ke proses penggilingan, kedelai harus terlebih dahulu
dicuci hingga bersih di air mengalir. Setelah itu
kedelai direndam di air bersih selama 2 jam hingga
teksturnya melunak dan mengembang.
2. Tahap Penggilingan
Setelah direndam dan tekstur dari kedelai
sudah berubah menjadi lunak, maka kedelai siap
untuk digiling. Proses penggilingan menggunakan
mesin giling yang dinyalakan dengan mesin diesel.
Di atas mesin penggilingan terdapat pipa air bersih
untuk mengalirkan air selama proses penggilingan.
Maksud dari pemberian air selama proses
penggilingan adalah agar kedelai dapat digiling
hingga halus. Kedelai dimasukan ke dalam mesin
penggilingan sedikit demi sedikit agar kedelai tidak
menggunduk selama proses penggilingan
berlangsung dan memudahkan air masuk sehingga
kedelai lebih cepat halus dan menjadi bubur kedelai.
3. Tahap Perebusan
Pada tahap ini bubur kedelai direbus di dalam
sebuah tungku yang besar dengan api yang terbentuk
dari serbuk gergaji. Bubur kedelai direbus selama 40
menit sambil terus diaduk hingga mendidih. Proses
pengadukan selama bubur kedelai direbus dilakukan
agar output susu kedelai nantinya tidak banyak
berbusa dan gosong.
4. Tahap Penyaringan
Setelah rebusan bubur kedelai mendidih,
adonan dapat dipindahkan ke dalam tahang kayu
yang besar dimana pada bagian permukaan tahang
sudah dilapisi kain saring. Hal tersebut dilakukan
untuk memisahkan ampas dari susu kedelai. Ampas
tahu dipisahkan dan ditempatkan ke wadah lain dan
dilakukan pemadatan ampas tahu. Setelah padat,
ampas dimasukkan ke dalam karung lalu disimpan
untuk dijual ke peternak sapi.
5. Tahap Pemadatan
Susu kedelai kemudian dicampur air biang
untuk membekukan tahu. Susu kedelai diendapkan
beberapa menit yang kemudian sisa air yang ada pada
susu kedelai dipisahkan untuk dijadikan biang tahu
yang didiamkan selama beberapa hari.
6. Tahap Pencetakan
Susu kedelai yang sudah membeku dapat
disebut tahu dan siap untuk dicetak. Cetakan tahu
berbentuk persegi empat yang terbuat dari bahan
kayu dan anyaman bambu. Di bagian dalam cetakan
dilapisi dengan kain saring. Tahu dimasukkan ke
dalam cetakan hingga penuh setelah itu tahu
didiamkan sekitar 15 menit hingga sisa air dalam tahu
turun. Setelah sisa air pada tahu sudah tidak menetes
maka tahu dapat dipindahkan pada ancak bambu dan
didiamkan hingga dingin.
7. Tahap Pemotongan dan Perendaman dalam
Bumbu
Pemotongan tahu dilakukan setelah tahu
menjadi dingin dan padat, dengan menggunakan
pisau dan penggaris bambu. Satu ancak tahu dapat
127
menghasilkan 169 buah tahu. Setelah tahu dipotong
tahu direndam di dalam larutan air, garam, dan
bawang putih selama kurang lebih dua menit lalu di
angkat dan ditiriskan.
8. Tahap Penggorengan
Tahu yang sudah tiris dapat digoreng dalam
minyak panas sembari diaduk agar tahu tidak
menempel satu sama lain. Penggorengan dilakukan
sampai warna tahu berubah menjadi kecokelatan lalu
tahu siap diangkat dan ditiriskan.
Gambar 2. Alur Proses Produksi Tahu Sumedang
Pengadaan Persediaan Kedelai Pemesanan kedelai dilakukan saat
persediaan kedelai di dalam gudang sudah hampir
habis atau hingga menyisakan sejumlah kebutuhan
untuk esok harinya yaitu sekitar 200 kg. Hal ini
dilakukan untuk menjaga kualitas kedelai agar tidak
menumpuk di gudang terlebih lagi luas gudang hanya
dapat memuat sekitar 9.000 kg kedelai. Setiap
bulannya kedelai dipesan melalui telepon ke
distributor sehingga dalam satu tahun Industri
melakukan 16 kali pemesanan. Kuantitas kedelai
dalam satu kali pemesanan adalah sebesar 6.000 kg,
penentuan kuantitas ini didasarkan pada perkiraan
kebutuhan kedelai untuk satu bulan.
Jeda waktu antara pemesanan dan barang
datang adalah satu hari sehingga rata-rata jeda waktu
atau lead time adalah 1 hari. Jeda waktu ini terbilang
singkat karena distributor berada di kota dan
distributor tersebut merupakan saudara dari pemilik
industri kecil.
Kedelai yang digunakan merupakan kedelai
impor dari Amerika Serikat. Seperti telah disebutkan
bahwa kedelai diperoleh dari distributor yang berada
di Kota Sumedang dimana hubungan antara
distributor dan pemilik adalah saudara. Hal ini
membuat kedua pihak lebih mudah dalam melakukan
pemesanan dan transaksi kedelai. Berikut alur
pengadaan kedelai dari negara pengimpor hingga ke
gudang industri kecil Sari Kedele :
Gambar 3. Alur Pengadaan Kedelai
Penyimpanan kedelai yang diterapkan di
industri kecil ini masih sangat sederhana, Tidak ada
sistem keamanan gudang maupun adminstrasi
keluar-masuknya kedelai dari gudang. Sistem
pemakaian kedelai yang diterapkan adalah metode
First In First Out yaitu kedelai yang pertama masuk
ke gudang akan menjadi yang pertama kali
digunakan. Kedelai dikemas di dalam karung plastik
putih dengan berat setiap karungnya 50 kg. Kedelai
yang sudah tiba akan segera diangkut dan disimpan
di dalam gudang. Karung-karung kedelai ditumpuk
sampai memenuhi tiga per empat bagian gudang.
Gudang berada di dalam pabrik tahu dengan luas 2Γ8
meter persegi. Gudang hanya memiliki satu saluran
udara dari pintu masuk dan sebuah lampu sebagai
penerang.
Biaya-Biaya Persediaan
1. Biaya Pemesanan
Pemesanan kedelai dilakukan melalui
telepon dengan distributor dan dilakukan 16 kali
dalam satu tahun. Setelah itu distributor akan
menyiapkan sejumlah kedelai yang dipesan dan
segera diantar sesuai dengan permintaan. Biaya yang
dikeluarkan untuk pemesanan kedelai ini hanya
terdiri dari biaya komunikasi sebesar Rp 3.750.
2. Biaya Penyimpanan
Penyimpanan kedelai dalam gudang
bertujuan untuk menjaga kualitas kedelai agar tidak
cepat rusak. Biaya yang ditimbulkan akibat
penyimpanan kedelai ini hanya biaya penyusutan
gudang selama 20 tahun dan biaya listrik saja.
Tabel 6. Biaya Penyimpanan Kedelai
Jenis Biaya
Penyimpanan
Jumlah (%)
Biaya Penyusutan
Gudang
0,05%
Biaya Listrik 0,05%
Total 0,1%
Biaya penyimpanan kedelai dalam hal ini
dinyatakan dalam bentuk persentase dari nilai
persediaan, sehingga diperoleh biaya penyimpanan
Tahap Pencucia
n dan Perenda
man
Tahap Penggilin
gan
Tahap Perebusa
n
Tahap Penyarin
gan
Tahap Pemadata
n
Tahap Pencetak
anTahap Pemotongan dan Perenda
man dalam Bumbu
Tahap Penggore
ngan
Amerika Serikat
Importir di
Banten
Distributor di
Sumedang
Sari Kedele
128
kedelai sebesar Rp 8,2/kg/tahun.
Perhitungan Persediaan Kedelai dengan Model
Economic Order Quantity (EOQ)
Perhitungan persediaan kedelai dengan
menggunakan model EOQ ditujukan untuk
memperoleh kuantitas pesanan kedelai yang
meminimalkan total biaya persediaan dan biaya-
biaya pemesanannya. Untuk mengetahui hal tersebut
maka dilakukan perbandingan antara perhitungan
persediaan aktual dengan perhitungan persediaan
dengan model EOQ.
Tabel 7. Perbandingan Persediaan Kedelai Aktual
dengan Berdasarkan Model EOQ pada
Tahun 2014
Uraian Aktual EOQ
Jumlah
Pemesanan (Q) 6.000 kg 9.481 kg
Frekuensi
Pemesanan (F) 16 kali 10 kali
Jeda waktu
antar tiap
pemesanan (T)
22 hari 37 hari
Biaya Total
Persediaan
(TC)
Rp 86.025 Rp 77.744
Selisih Biaya
Total
Persediaan
Rp 8.281
Pada Tabel 7 dapat dilihat perbedaan hasil
perhitungan antara pengelolaan persediaan aktual
dengan pengelolaan persediaan berdasarkan model
EOQ. Hasil perhitungan dengan model EOQ
diperoleh bahwa industri kecil melakukan
pemesanan kedelai 9.481 kg per sekali pesan, dengan
frekuensi 10 kali pemesanan dalam satu tahun.
Sedangkan pada perhitungan aktual, industri kecil
melakukan pemesanan 16 kali dalam satu tahun
dengan kuantitas 6.000 kg setiap kali pemesanan.
Selanjutnya, hasil perhitungan dengan model EOQ
menunjukkan bahwa frekuensi pemesanan dalam
satu tahun lebih kecil dibandingkan frekuensi
pemesanan aktual, namun kuantitas yang dipesan
lebih besar 58% dari kuantitas aktualnya. Frekuensi
pemesanan yang lebih kecil ini akan mengurangi
beban biaya pemesanan 62,5% dari biaya pemesanan
aktual. Dengan demikian, kuantitas sebesar 9.481 kg
akan mengoptimalkan kapasitas gudang yang pada
kondisi aktual hanya dimanfaatkan untuk 6.000 kg
kedelai saja; padahal sesungguhnya gudang tersebut
dapat menampung lebih dari 6.000 kg. Selain itu,
seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
bahwa kebutuhan kedelai dalam satu bulan untuk
memproduksi tahu sumedang mencapai angka 8.190
kg sedangkan industri kecil memesan kedelai hanya
6.000 kg untuk satu bulan. Sementara itu, menurut
model EOQ industri kecil seharusnya memesan
9.481 kg kedelai untuk satu kali pemesanan. Artinya,
model EOQ ini dapat memenuhi kebutuhan kedelai
selama satu bulan dalam satu kali pemesanan.
Total biaya persediaan berdasarkan model
EOQ adalah Rp 77.744 sedangkan total biaya
persediaan aktualnya adalah Rp 86.025. Terdapat
selisih antara keduanya yaitu Rp 8.281. Artinya, jika
industri kecil memesan 9.481 kg kedelai, total biaya
persediaannya akan lebih hemat 9,6% dibandingkan
dengan total biaya persediaan aktualnya.
Gambar 4. Grafik Persediaan dalam Model EOQ
Berdasarkan Gambar 4, jarak waktu antar
pesanan (T) adalah 37 hari dengan waktu tenggang
atau lead time 1 hari. Titik pemesanan kembali atau
Re-Order Point adalah pada 1 hari sebelum masa
pemesanan kedelai yang pertama selesai. Dengan
demikian, pemesanan kembali menurut model EOQ
dilakukan pada hari ke 36, 73 dan seterusnya.
Pada saat persediaan kedelai mencapai nol
pesanan baru dapat diterima sehingga tingkat
persediaan kedelai kembali naik ke titik Q sebesar
9.481 kg. Perlu diketahui bahwa model EOQ ini tidak
mempertimbangkan adanya keterlambatan
datangnya kedelai ke gudang sehingga kedelai selalu
datang tepat waktu sebelum atau saat persediaan di
gudang habis.
Kedelai sebagai bahan segar memiliki masa
kadaluarsa yang perlu menjadi bahan pertimbangan.
Untuk menjaga kualitas tahu maka kedelai sebaiknya
tidak disimpan terlalu lama di dalam gudang yang
akan menyebabkan kedelai cepat berbau apek. Oleh
karena itu, perhitungan dengan model persediaan
perlu mempertimbangkan waktu kadaluarsa kedelai
yang diharapkan mampu memberikan tingkat
pemesanan dan persediaan kedelai yang optimal.
Pada industri kecil Sari Kedele ini tidak
129
ditemukan kedelai yang kadaluarsa. Penggunaan
kedelai yang tidak berhenti setiap harinya membuat
kedelai di gudang tidak tersimpan dalam waktu yang
lama. Tidak adanya persediaan pengaman membuat
industri kecil ini tidak menyimpan sejumlah kedelai,
sehingga gudang hanya terisi oleh sejumlah kedelai
untuk produksi esok harinya.
Analisis Sensitivitas dan Biaya Marjinal
Untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu
persediaan perlu dihitung rasio senditivitas dan biaya
marjinalnya. Menurut Maβarif dan Tanjung (2003)
rasio sensitivitas adalah tingkat perbandingan antara
total biaya persediaan yang dikeluarkan pada tingkat
persediaan yang tidak optimal dibandingkan dengan
total biaya persediaan pada tingkat persediaan
optimal. Sementara itu biaya marjinal adalah biaya
tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan
karena jumalh persediaan yang tidak optimal.
Biaya persediaan akan optimal jika rasio
sensitivitasnya adalah 1. Apalabila rasio
sensitivitasnya lebih besar dari 1 maka biaya
persediaan tersebut tidak optimal atau dengan kata
lain perusahaan menanggung biaya marjinal.
Tabel 8. Hasil Perhitungan Rasio Sensitivitas dan
Biaya Marjinal
Model EOQ
Rasio Sensitivitas 1,11
Biaya Marjinal Rp 8.552
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa rasio
sensitivitas dari model EOQ adalah 1,11. Angka
tersebut diperoleh dari membagi total biaya
persediaan aktual industri kecil sebesar Rp 86.025
dengan total biaya persediaan hasil perhitungan
model EOQ sebesar Rp 77.744. Rasio sensitivitas
yang melebihi satu menunjukkan bahwa persediaan
yang diterapkan industri kecil belum efisien. Dengan
kata lain, industri kecil menanggung biaya tambahan
sebesar 0,11 kali lebih besar dari yang seharusnya,
akibat tidak efisiennya pengelolaan persediaan. Oleh
karena itu, industri kecil menanggung biaya marjinal
sebesar Rp 8.552 karena tidak mengelola persediaan
kedelai secara optimal.
Implikasi Terhadap Perusahaan
Menurut Maβarif dan Tanjung (2003), jika
keadaan memungkinkan boleh melakukan pesanan
10% diatas jumalh EOQ atau 10% dibawah jumlah
EOQ. Tidak ada kendala bagi perusahaan untuk
menerapkan manajemen persediaan bahan aku
dengan metode EOQ selama ketersediaan pasokan
kedelai selalu ada serta memiliki hubungan baik
dengan supplier. Untuk mengetahui implikasi
terhadap perusahaan dilakukan agara kondisinya
seimbang sehingga sesuai untuk dibandingkan.
Perhitungan biaya marjinal yang harus ditanggung
perusahaan karena tidak mengelola persediaan secara
optimal sebesar Rp 8.552 berimplikasi pada
pelaksanaan manajemen persediaan industri. Jika
manajemen persediaan kedelai industri tidak
diperbaiki, maka akan terjadi pemborosan sebesar Rp
8.552 hanya dari kedelai belum termasuk bahan-
bahan pendukung lainnya.
Tabel 9. Pengaruh Perubahan Kuantitas Pemesanan
Kedelai Di Atas dan Di Bawah Sepuluh
Persen dari Kuantitas Pemesanan yang
Ekonomis
Total Biaya Persediaan pada
Tingkat
TC
(100%)
TC
(90%)
TC
(110%)
Kedelai Rp 77.744 Rp 78.176 Rp 78.098
Selisih Rp 0 Rp 432 Rp 354
% terhadap
EOQ 100% 0,56% 0,46%
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat implikasi
pada industri kecil akibat melakukan pemesanan
kedelai di atas maupun di bawah 10% dari kuantitas
pemesanan yang ekonomis yaitu 9.481 kg. Apabila
industri kecil menurunkan jumlah pemesanan kedelai
10% atau melakukan pemesanan kedelai 90% dari
9.481 kg justru membuat biaya total persediaan
meningkat Rp 432 atau 0,56%. Sementara itu,
melakukan pemesanan dengan meningkatkan jumlah
pesanan 10% atau melakukan pemesanan 110% dari
9.481 kg juga akan meningkatkan biaya total
persediaan sebesar Rp 354 atau 0,46%. Baik dengan
meningkatkan ataupun menurunkan jumlah
pemesanan sebesar 10% dari 9.481 kg tidak ada yang
menurunkan biaya total persediaan. Karena itu,
industri kecil tidak direkomendasikan untuk
menambah atau mengurangi jumlah persediaan
kedelai dari kuantitas pemesanan yang ekonomis
sebesar 9.481 kg.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Industri kecil Sari Kedele menggunakan kedelai
impor sebagai bahan baku utama pembuatan tahu
sumedang, dan beberapa bahan pendukung lainnya
seperti bawang putih, garam serta minyak goreng.
130
Untuk menghasilkan tahu sumedang yang gurih
dan renyah, kedelai melewati beberapa tahapan
proses produksi yaitu pencucian dan perendaman,
penggilingan, perebusan, penyaringan, pemadatan,
pencetakan, pemotongan dan perendaman dalam
bumbu, serta penggorengan.
2. Dengan menggunakan model EOQ, kuantitas
kedelai yang dipesan adalah 9.481 kg atau lebih
besar 58% dari pada kuantitas aktualnya, dan biaya
total persediaannya adalah Rp 77.744 atau lebih
hemat 9,6%. Manajemen persediaan yang
dilakukan industri kecil ini belum efisien. Hal ini
dibuktikan dengan angka rasio sensitivitas yang
lebih besar dari 1.
Saran
Berdasakan pembahasan dan kesimpulan,
dapat disarankan bahwa Industri Kecil Sari Kedele
sebaiknya menggunakan model EOQ untuk
menentukan jumlah persediaan kedelainya.
Konsekuensinya adalah gudang tempat menyimpan
kedelai perlu diperluas agar dapat memuat kedelai
sebanyak 9.481 kg. Seberapa besar tepatnya
perluasan gudang ini dapat dihitung dengan teori
Tata Letak Pabrik, sehingga diperlukan penelitian
lanjutan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu dalam pembuatan karya
ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asssauri, Sofjan. (2008). Manajemen Produksi dan
Operasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Bulanan Data
Sosial Ekonomi Edisi 51 Agustus 2014.
www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 18 Januari
2015
Erlina. 2002. Manajemen Persediaan.
repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 23
Desember 2014.
Ginting, Erliana, Sri Satya Antarlina dan Sri
Widowati. 2009. Varietas Unggul Kedelai
Untuk Bahan Baku Industri Pangan.
http://pustaka.litbang.pertanian.go.id. Diakses
pada tanggal 20 Agustus 2015.
Handoko, T.Hani. 1984. Dasar-Dasar Manajemen
Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE
Kementerian PPN/Bappenas Direktorat Pangan dan
Pertanian. Studi Identifikasi Ketahanan Pangan
dan Preferensi Konsumen Terhadap Konsumsi
Bahan Pangan Pokok Kedelai dalam Upaya
Mengembangkan Naskah Kebijakan Sebagai
Masukan Pada RPJMN 2015 β 2019.
www.greenclimateproject.org. Diakses pada
tanggal 19 Februari 2015.
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan
Kedelai (Teori dan Praktek).
tekpan.unimus.ac.id. Diakses pada tanggal 18
Januari 2015.
Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. (2014).
www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 23
Desember 2014.
Maβarif, M. Syamsul, Henri Tanjung. 2003.
Manajemen Operasi. Jakarta: Grasindo.
Nilasari, Wiwin. 2012. Uji Efektivitas Isolat Rhizobia
Asal Tanah Mineral dan Tanah Gambut Pada
Tanaman Kedelai (Glycine max(L.) Merrill).
http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal
23 Desember 2014.
Perangin-angin, B. H. 2013. Pengaruh Konsentrasi
Larutan Kitosan Jeruk Nipisdan Lama
Penyimpanan terhadap Mutu Tahu Segar.
Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses
pada tanggal 23 Desember 2014.
Produksi Tanaman Pangan 2013. (2013). Badan
Pusat Statistik: Jakarta. Diakses pada tanggal 20
Januari 2014.
Rahmawati, Fitri. 2013. Teknologi Proses
Pengolahan Tahu dan Pemanfaatan
Limbahnya. Jurusan Pendidikan Teknik Boga
dan Busana. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta. Diakses pada tanggal 23 Desember
2014.
Sipahutar, Marlon. 2010. Kajian Manajemen
Persediaan Kedelai sebagai Bahan Baku
Pembuatan Kedelai Bubuk Instan. Jatinangor:
Universitas Padjadjaran.
Stephyna, Happy Ganadial. 2011. Analisis Kinerja
Manajemen Persediaan Pada PT. United
Tractors, Tbk Cabang Semarang.
eprints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 05
Oktober 2014.
Sukmawati, Dety. 2011. Kebutuhan Kedelai dan
Kapasitas Produksi Tahu pada Pengrajin Tahu
di Kabupaten Sumedang . e-
journal.winayamukti.ac.id. Diakses pada
tanggal 04 Januari 2015.
Suswardji, Edi, Eman, Ria Ratnaningsih. 2012.
Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Pada PT. NT Piston Ring Indonesia di
131
Karawang. www.jurnal.feunsika.ac.id. Diakses
pada tanggal 05 Oktober 2014.
Wijaya, Dilzar Dian. 2006. Analisis Pengendalian
Persediaan Bahan Baku Susu Kental Manis
Pada PT. Indomilk. repository.ipb.ac.id.
Diakses pada tanggal 23 Desember 2014.
Yusup, Imam Ahmad Maulana. 2012. Keragaan
Agroindustri Tahu Sumedang (Studi Kasus
Pada Agroindustri Tahu Bungkeng).
132
133
Pemodelan Dinamika Sistem Kemitraan Pada Rantai Pasok Kentang di
Kabupaten Bener Meriah
System Dynamics Modelling Partnership In The Potato Su pply Chain
In Bener Meriah District
Lukman Hakim1), Tomy Perdana2), Maman Haeruman K.2), Yosini Deliana2)
1)Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, [email protected] 2)Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung
A B S T R A K
Kata Kunci:
Dinamika Sistem
Sistem Kemitraan
Rantai Pasok Kentang
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi kentang di Kabupaten Bener Meriah
dimana petani melakukan kerjasama kemitraan pemasaran kentang dengan pihak
industri pengolahan. Penelitian bertujuan untuk memahami dan memodelkan sistem
kemitraan formal dan nonformal pada rantai pasok kentang di Kabupaten Bener
Meriah. Pendekatan dinamika sistem digunakan untuk membangun model kemitraan
pada rantai pasok kentang yang dinamis dan kompleks. Sebuah sistem termasuk
dinamika sistem, memuat sejumlah komponen dan hubungan diantara komponen-
komponennya menggunakan hubungan simpal kausal sebagai dasar dalam mengenali
dan memahami perilaku dinamis dari sebuah sistem yang kompleks. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hubungan kemitraan nonformal dalam rantai pasok kentang
berawal dari kesenjangan kepemilikan modal antara petani dan pedagang perantara,
sehingga memunculkan motivasi untuk mengontrol petani melalui pinjaman modal.
Petani penerima pinjaman harus berkomitmen menjual kentang hanya kepada pemberi
pinjaman modal. Hal ini menyebabkan hilangnya kesempatan menjual kentang ke
pihak lain, dan terjadi tekanan terhadap harga jual kentang petani. Petani menghadapi
asimetri informasi harga jual kentang yang berlaku dipasar. Pada kemitraan formal
berawal dari adanya motivasi pihak industri untuk memperoleh bahan baku yang
memenuhi persyaratan kualitas secara berkesinambungan. Pada kemitraan formal
terjadi transfer teknologi dari mitra kepada petani. Petani memperoleh kepastian
pemasaran dan kepastian harga, akses pemasaran yang lebih luas dan memiliki peluang
memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.
ABSTRACT
Keywords:
System Dynamics
Partnership System
Potato Supply Chain
This research was conducted in potato production centers in Bener Meriah district where
farmers have done in marketing partnership with a potato processing industry. The
research aims to understand and to modelling the system of formal and informal
partnerships on potato supply chain in Bener Meriah district. The approach used to build
the system dynamics model of supply chain partnership of potato that is dynamic and
complex. A system including the system dynamics, contains a number of components and
the relationships among its components using a causal relationship as the basis for
identifying and understanding the dynamic behavior of a complex system. Based on the
results, it can be argued that informal partnerships in the supply chain begins with a
potato cash gap between farmers and middlemen, so the motivation to control the farmers
by way of providing financial assistance to farmers. Farmers borrower must commit to
sell only to dealers potato financial loans. This leads to the loss of opportunity to sell
potato to the other party, and there is pressure on the selling prices of potato farmers.
Farmers face the asymmetry of information, especially regarding the selling prices
prevailing in the market. While the formal partnership originated from the motivation of
the industry to obtain raw materials that meet the quality requirements on an ongoing
basis. In a formal partnership occurs technology transfer to farmers of partners. Farmers
obtain marketing certainty and certainty of price, access a broader marketing and have
the opportunity to earn higher profits.
134
PENDAHULUAN
Kentang (Solanum Tuberosum L) merupakan
salah satu komoditas yang banyak di tanam
masyarakat sekaligus menjadi komoditas unggulan
yang dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lokal
dan manca negara. Karena itu pengembangan
komoditas kentang tersebut akan berdampak luas
bagi ekonomi rakyat. Di Indonesia kentang di
konsumsi sebagai sayur dan belakangan ini sudah
mulai di konsumsi sebagai makanan alternatif yang
disukai dalam bentuk french fries atau potato chips
sebagai makanan ringan. Besarnya peluang ini
disebabkan harga kentang relatif stabil, potensi
bisnisnya tinggi, segmen usaha dapat dipilih sesuai
dengan modal, pasar terjamin dan pasti. Selain itu
kentang juga memiliki sifat produk yang cukup tahan
lama jika disimpan. Kestabilan harga jual disebabkan
karena permintaan akan produk yang cukup tinggi.
Kabupaten Bener Meriah merupakan daerah
sentra produksi kentang yang terletak pada
ketinggian 800-2.600 m dari permukaan laut, selain
terkenal dengan kopi arabika, juga sangat potensial
terhadap komoditas kentang seluas 55.483 ha, terdiri
lahan sawah, tegalan dan lahan lain yang belum
dimanfaatkan. Produktivitas rata-rata yang dicapai
petani saat ini yaitu 20-25 ton/ha dengan
menggunakan bibit unggul varietas Granola yang
disediakan oleh BBI dengan harga terjangkau.
Kentang merupakan komoditas unggulan di
Kabupaten Bener Meriah. Budidaya kentang di
Kabupaten Bener Meriah terus berkembang pesat
yaitu dengan luas areal tanaman kentang saat ini
1.200 ha dengan produktivitas 20 ton/ha. Potensi
lahan yang dapat dikembangkan seluas 7.975 ha
dengan ketinggian rata-rata 1.200-1.700 dpl. Lahan
dimaksud tersebar di 6 wilayah kecamatan yakni di
Kecamatan Permata (2.567 ha), Mesidah (2.716 ha),
Bener Kelifah (987 ha), Bandar (165 ha), Bukit
(1.350 ha) dan Wih Pesam (190 ha)
termasuk kawasan lahan kering dan basah (Dirjen
Hortikultura, 2010).
Dewasa ini petani kentang menghadapi
permasalahan yang kompleks, baik masalah yang
sifatnya internal maupun eksternal. Permasalahan
internal antara lain adalah masalah minimnya
ketersediaan bibit kentang yang berkualitas,
penguasaan lahan pertanian yang semakin sempit,
akses terhadap permodalan, teknologi dan pasar yang
masih sangat terbatas. Permasalahan eksternal
mencakup masalah perubahan iklim dan cuaca,
serangan hama dan penyakit tanaman, serta masalah
fluktuasi harga yang tajam. Permasalahan tersebut
dapat menimbulkan risiko dan ketidakpastian bagi
petani, baik yang sifatnya risiko produksi maupun
risiko pasar atau harga. Hal tersebut menuntut adanya
perubahan strategi pemasaran yang dilakukan petani.
Salah satu strategi pemasaran yang di pandang dapat
meningkatkan daya saing agribisnis kentang adalah
melalui kerjasama kemitraan dalam pemasaran.
Dengan mengikuti pola kemitraan diharapkan petani
memperoleh kepastian harga dan pemasaran hasil.
Kenyataan di lapangan beberapa petani hortikultura
yang telah bermitra memperoleh harga yang belum
sesuai dengan yang diharapkan, karena harga
ditentukan oleh pihak yang lebih kuat dari sisi
permodalan. Kemitraan seharusnya diselenggarakan
sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan, tidak boleh
ada pihak yang mengalami marjinalisasi dalam
prosesnya, serta masing-masing pelaku dalam rantai
pasok memperoleh balas jasa yang berkeadilan.
Keunggulan pada pola kemitraan usaha antara
lain adalah: efisiensi dalam pengumpulan hasil
tinggi, efisiensi dalam pengangkutan tinggi, harga
relatif stabil karena harga ditetapkan dengan sistem
kontrak, mampu mendorong petani untuk
menghasilkan produk berkualitas, serta menjamin
kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra. Strategi
pengembangan kelembagaan kemitraan harus
dilakukan melalui proses sosial yang matang dengan
dasar saling percaya antara pelaku agribisnis,
sehingga diharapkan dapat membantu meningkatkan
daya saing agribisnis kentang secara berkelanjutan
(Saptana et al. 2009).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
penulis mencoba merancang sebuah model kemitraan
pada rantai pasok kentang. Model kemitraan tersebut
diharapkan dapat menjadi salah satu usulan bagi
pemerintah dalam membuat kebijakan dengan tujuan
untuk meningkatkan posisi tawar petani kentang agar
mampu setara dengan mitra sehingga petani bisa
memperoleh penerimaan sesuai dengan
pengorbanannya, dengan demikian keadaan ekonomi
petani kentang dapat ditingkatkan.
KERANGKA TEORI
Sebuah kemitraan adalah hubungan bisnis
berdasarkan saling percaya, keterbukaan, berbagi
risiko dan imbalan bersama yang menghasilkan
keuntungan kompetitif, sehingga menghasilkan
kinerja bisnis yang lebih besar dari yang dicapai oleh
perusahaan secara individual (Lambert et al. 1996).
Kemitraan adalah pola kerjasama antara dua
usaha individu/kelompok atau lebih dengan dasar
saling menutupi kelemahan dengan keunggulan
masing-masing. Kemitraan adalah kerjasama usaha
antara usaha kecil dengan usaha menengah atau
usaha besar disertai dengan pembinaan dan
pengembangan oleh usaha menengah atau usaha
besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan (Badan Agribisnis, 1998).
135
Menurut Widyahartono (1996) kemitraan
usaha/aliansi bisnis muncul sebagai alternatif untuk
menanggapi pasar yang makin mendiversifikasi dan
lingkungan yang dinamis. Untuk itu diperlukan
pengembangan organisasi yang bertujuan
mengefektifkan proses produksi melalui perbaikan
struktur, dan keterkaitan semua elemen (orang,
teknologi dan faktor produksi lain) dalam organisasi.
Tujuan petani melakukan kemitraan, selain untuk
memperoleh kepastian pemasaran dan harga,
sebenarnya petani telah menunjukkan motivasi yang
kuat agar dapat memperoleh bantuan teknis dan input
pertanian terutama dari mitra. Bagi petani,
ketidakpastian pasar input tidak kalah pentingnya
dibandingkan dengan ketidakpastian pasar output
dalam keputusan petani untuk bermitra. Di pasar input,
petani menganggap bahwa bermitra merupakan cara
untuk mengurangi resiko dari permasalahan pasokan
input dan ketidakpastian benih. Pada pasar input
tersebut, petani kecil dibatasi oleh beberapa masalah,
seperti tidak tersedianya (kualitas) input, kurangnya
informasi untuk mendapatkan input, lalu bagaimana
menggunakannya, serta kurangnya akses terhadap
kredit untuk membeli input tersebut (Darwis et al.
2013).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
dinamika sistem. Dasar pemikiran metodologi
dinamika sistem adalah berfikir sistem (system
thinking), yaitu cara berfikir dimana setiap
masalah dipandang sebagai sebuah sistem, yaitu
keseluruhan interaksi antar unsur-unsur dari
sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu
yang bekerja untuk mencapai tujuan. Dinamika
sistem merupakan pendekatan yang menggunakan
perspektif berdasarkan umpan balik informasi dan
delays untuk memahami dinamika perilaku yang
kompleks dari sistem fisika, sistem biologis dan
sistem sosial.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten
Bener Meriah yang merupakan daerah sentra
produksi sayur-sayuran di provinsi Aceh yang
didukung oleh keadaan iklim dan kondisi lahan
pertanian yang subur. Identifikasi kebutuhan untuk
model kemitraan pada rantai pasok kentang
dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara
kepada masing-masing pelaku dalam rantai pasok
kentang yang terlibat dalam prosedur penyediaan
input, produksi, dan pemasaran output kentang. Data
yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan berdasarkan
observasi, diskusi atau FGD (Focus Group
Discussion) melalui wawancara mendalam (depth
interview) dengan responden. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dari
berbagai sumber literatur, buku, jurnal ilmiah serta
publikasi-publikasi yang berkaitan dengan penelitian
ini. Formulasi model kemitraan pada rantai pasok
kentang dilakukan dengan software simulasi yaitu
Veneta Simulation PLE (Vensim).
Subjek penelitian ini adalah sistem
kemitraan pada rantai pasok kentang di
Kabupaten Bener Meriah dalam upaya
meningkatkan posisi tawar petani dan fluktuasi
harga kentang. Pelaku rantai pasok kentang yang
dianalisis meliputi: petani kentang, koperasi
petani kentang, pedagang perantara yang terdiri
dari bandar, grosir dan pedagang pengecer
kentang. Pengumpulan informasi dari responden
yang terpilih, mempergunakan daftar pertanyaan
yang telah terstruktur sesuai dengan keperluan
analisis dan tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam agribisnis kentang di Kabupaten Bener
Meriah, ditinjau dari ruang lingkup petani terdapat
dua jenis kemitraan yang terjalin antara petani dan
pelaku lainnya dalam rantai pasok kentang, yaitu
kemitraan yang bersifat formal dan non formal.
Kemitraan yang bersifat formal yaitu yang tertuang
dalam bentuk kontak kerjasama yang telah disepakati
dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bermitra.
Apabila ada pihak yang melanggar kesepakatan,
maka akan dikenai sanksi yaitu dikeluarkan dari
anggota koperasi. Kemitraan formal yang terjalin
saat ini hanya kerjasama kemitraan dalam pemasaran
hasil antara petani kentang dengan pihak Koperasi
Gayo Land. Sedangkan kemitraan dengan pihak
industri pengolahan kentang masih dalam bentuk
home industry (industri rumah tangga). Adapun
kemitraan yang bersifat non formal adalah kemitraan
yang tidak tertulis secara resmi dalam lembaran
perjanjian kontrak, apabila ada pihak yang melanggar
maka sanksinya berupa putusnya hubungan
kemitraan. Kemitraan jenis ini biasanya terjadi antara
petani dengan bandar dan antara petani dengan
pedagang grosir kentang di pasar lokal/pasar induk.
Model hubungan kemitraan yang terjalin pada
rantai pasok kentang di Kabupaten Bener Meriah
dapat diklasifikasikan ke dalam dua sub model yaitu:
(1) Hubungan kemitraan formal koperasi dan
industri; dan (2) Hubungan kemitraan non formal
petani dan bandar.
136
Hubungan Kemitraan Formal Koperasi dan Industri
Gambar 1.Diagram Simpal Kausal Menjalin Kemitraan Formal Koperasi dan Industri dalam Pemasaran
Kentang
Berdasarkan Gambar 1, pada simpal kausal
yang pertama dapat dijelaskan bahwa kemitraan
formal berawal dari keterbatasan kas petani, kas
petani dapat meningkatkan ketersediaan biaya
pemasaran, ketersediaan biaya pemasaran dapat
meningkatkan akses pemasaran. Akses pemasaran
meningkat dapat menurunkan ketergantungan pada
pedagang perantara (bandar), ketergantungan pada
pedagang perantara meningkat, dapat meningkatkan
tekanan terhadap harga jual kentang. Tekanan harga
jual meningkat, dapat menurunkan harga kentang
sehingga petani sering menerima harga yang relatif
lebih rendah dari harga yang berlaku dipasaran saat
itu, serta seringnya menghadapi fluktuasi harga
sehingga petani selalu menghadapi ketidakpastian
penerimaan.
Adanya kesamaan nasib di antara petani
kentang karena kesulitan mengakses pasar
meningkatkan kemauan untuk berbagi informasi
mengenai harga dan kepada siapa harus menjual.
Seringnya berbagi informasi meningkatkan rasa
saling percaya di antara petani kentang, adanya rasa
saling percaya meningkatkan motivasi untuk
berkelompok membentuk koperasi agar dapat
melakukan kemitraan dan memperluas pemasaran.
Dengan berkoperasi yang merupakan lembaga
berbadan hukum, maka dapat meningkatkan
pemasaran melalui kerjasama kemitraan formal,
karena pihak mitra dalam hal ini dimisalkan pada
industri pengolahan keripik kentang hanya bersedia
bermitra dengan lembaga berbadan hukum, bukan
dengan perorangan.
Menjalin kemitraan dapat meningkatkan
kepastian dalam pemasaran kentang. Meningkatnya
kepastian pemasaran bagi petani, dapat
meningkatkan keharusan koperasi atau petani
berkomitmen hanya menjual kepada industri/mitra.
Komitmen ini dapat meningkatkan pengiriman
kentang ke industri. Dengan demikian petani
mendapatkan kepastian harga jual yang berpengaruh
positif terhadap penerimaan petani kentang,
penerimaan berpengaruh positif terhadap kas petani.
Pada Gambar 1, keterkaitan antar variabel pada
simpal kausal yang pertama memiliki umpan balik
positif, dapat diartikan melalui kemitraan petani
memperoleh kepastian pemasaran, kepastian harga
jual, kepastian penerimaan sehingga diharapkan kas
petani akan bertambah, dengan bertambahnya kas
petani maka petani memiliki kemampuan untuk
memperluas pemasaran dan meningkatkan produksi
kentang.
Berdasarkan simpal kausal yang kedua,
hubungan antar variabel menghasilkan umpan balik
negatif, artinya dengan adanya kemitraan dalam
pemasaran kentang, dapat meningkatkan transfer
teknologi budidaya kentang sehingga pengetahuan
petani mengenai teknik budidaya kentang yang benar
bertambah, dengan bertambahnya pengetahuan
Motivasi membentukkoperasi
Kemitraanpemasaran kentang Kepastian dalam
pemasaran
Komitmen hanya menjual
kentang kepada pihak industri
Pengiriman kentangke industri
Kesempatan menjualke pihak lain
Transparansi informasi
harga kentang di pasaran
Asimetri informasiperkembangan harga kentang
kepada petani
Harga jual kentang
petani sesuai kontrakPenerimaanpetani
Keuntungan petani
Kas / Modal petanikentang
Ketersediaanbiaya pemasaran
Akses pemasaran
kentang
Kemauan berbagi
informasi
KepercayaanTransferteknologi
Pengetahuan
petani kentang
Pemahaman teknologi
budidaya kentang petani
Budidaya sesuai
SOP
Kualitas hasil
kentang petani
Pemahaman teknologipascapanen kentang
petani
Produksikentang petani
Biaya produksi
Kuantitas hasilkentang
Terpenuhi kualitaskentang sesuai spek
industri
Terpenuhi kebutuhankentang utk bahan baku
pembuatan keripik kentang
++
+
+
-
+
-
-
++
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
R1
B2
R3
R4
R5
R6
+
+
Motivasi utk memperoleh kentangsebagai bahan baku pembuatan
keripik secara kontinu
+
+
137
petani maka petani dapat menerapkan teknik
budidaya kentang sesuai standard operational
procedure (SOP) dari mitra. Dengan diterapkan
budidaya sesuai SOP maka produktivitas kentang
akan meningkat sehingga akan meningkatkan
kuantitas hasil kentang. Kuantitas atau volume
kentang yang meningkat dapat meningkatkan
penerimaan petani. Selanjutnya penerimaan
bertambah dapat meningkatkan kas petani.
Peningkatan kas petani dapat meningkatkan
ketersediaan biaya pemasaran. Ketersediaan biaya
pemasaran dapat meningkatkan akses pasar. Akses
pemasaran menurunkan motivasi berkoperasi.
Motivasi berkoperasi untuk meningkatkan
pemasaran dapat meningkatkan kemitraan.
Pada simpal kausal yang ketiga, interaksi antar
variabelnya menghasilkan umpan balik positif,
artinya melalui kemitraan dapat meningkatkan
transfer teknologi. Transfer teknologi dapat
meningkatkan pemahaman budidaya kentang sesuai
SOP. Pemahaman budidaya sesuai SOP dapat
meningkatkan pelaksanaan budidaya kentang sesuai
SOP. Budidaya kentang sesuai SOP meningkatkan
produktivitas tanaman kentang, produktivitas
meningkat maka kuantitas hasil meningkat. Kuantitas
hasil meningkat dapat meningkatkan pengiriman
kentang ke industri. Pengiriman kentang ke industri
mengurangi pengiriman ke pihak lain. Kesempatan
menjual ke pihak lain meningkatkan transparansi
harga kentang. Transparansi menurunkan asimetri
informasi harga kentang. Asimetri informasi harga
kentang menurunkan harga kentang di tingkat petani.
Harga kentang dapat meningkatkan penerimaan
petani, penerimaan petani dapat meningkatkan kas
petani. Kas petani dapat meningkatkan ketersediaan
biaya pemasaran, ketersediaan biaya pemasaran
meningkatkan akses pemasaran. Kemudahan dalam
mengakses pasar dapat menurunkan kepercayaan di
antara petani. Kepercayaan meningkatkan motivasi
untuk berkoperasi, motivasi berkoperasi
meningkatkan jalinan kemitraan dalam pemasaran
kentang.
Pada simpal kausal yang keempat, dapat
dijelaskan bahwa motivasi untuk memperoleh
kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik
kentang secara kontinu, dapat meningkatkan jalinan
kemitraan antara industri dengan petani. Jalinan
kemitraan dapat meningkatkan transfer teknologi
kepada petani sehingga pemahaman teknik budidaya
yang benar sesuai SOP meningkat. Pemahaman
teknik budidaya menyebabkan penerapan budidaya
kentang sesuai SOP meningkat. Budidaya kentang
sesuai SOP dapat meningkatkan produktivitas
kentang. Produktivitas meningkat menyebabkan
kuantitas hasil kentang meningkat. Kuantitas hasil
kentang meningkat menyebabkan kentang yang
dapat dikirim ke industri semakin meningkat,
sehingga secara kuantitas kebutuhan kentang industri
untuk bahan baku pembuatan keripik kentang
terpenuhi. Kebutuhan bahan baku kentang terpenuhi
dapat meningkatkan motivasi untuk bermitra.
Keterkaitan variabel-variabel pada simpal kausal
tersebut membentuk umpan balik positif. Artinya
semakin tinggi motivasi untuk memperoleh kentang
sebagai bahan baku pembuatan keripik kentang
secara kontinu, maka semakin tinggi keinginan pihak
industri untuk menjalin kemitraan dalam pemasaran
dengan petani kentang.
Pada simpal kausal yang kelima, dapat
dijelaskan bahwa transfer teknologi kepada petani
mengakibatkan pemahaman teknologi pascapanen
petani meningkat sehingga petani dapat
meningkatkan kualitas hasil kentang. Semakin tinggi
kualitas kentang yang dihasilkan maka semakin
terpenuhi kualitas kentang sesuai yang
dipersyaratkan oleh industri. Terpenuhinya kualitas
kentang sesuai yang dipersyaratkan oleh industri
maka semakin terpenuhi kebutuhan kentang untuk
bahan baku pembuatan keripik kentang. Umpan balik
yang terjadi pada keterkaitan antar variabel pada
simpal kausal tersebut merupakan umpan balik
positif. Artinya semakin tinggi motivasi untuk
memperoleh kentang berkualitas sebagai bahan baku
pembuatan keripik kentang secara kontinu, maka
semakin tinggi motivasi untuk bermitra dengan
petani kentang dikemudian hari, sehingga kebutuhan
kentang sebagai bahan baku pembuatan keripik
kentang secara kualitas terpenuhi.
Pada simpal kausal yang keenam, hubungan
antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.
Adanya motivasi untuk memperoleh bahan baku
pembuatan keripik kentang dapat meningkatkan
kemitraan dengan petani, kemitraan dalam
pemasaran kentang dapat meningkatkan komitmen
hanya menjual kentang kepada industri. Komitmen
menjual kentang hanya kepada industri
meningkatkan pengiriman kentang ke industri.
Pengiriman kentang ke industri menyebabkan
semakin terpenuhinya kebutuhan kentang untuk
bahan baku pembuatan keripik. Terpenuhinya
kebutuhan kentang untuk bahan baku pembuatan
keripik dapat meningkatkan motivasi pihak industri
untuk bermitra dengan petani kentang.
138
Hubungan Kemitraan Non Formal Petani dan Bandar
Gambar 2. Diagram Simpal Kausal Menjalin Kemitraan Non Formal Petani dan Bandar dalam Pemasaran
Kentang
Sebagian besar petani yang tidak tergabung
dalam koperasi, untuk memasarkan kentang
melakukan hubungan kemitraan non formal dengan
pedagang perantara yaitu dengan bandar dan
pedagang grosir kentang di pasar lokal/pasar induk.
Kemitraan ini terjalin karena adanya hubungan
timbal balik yang saling membutuhkan. Hubungan
timbal balik pada kemitraan non formal antara petani
dengan bandar dan grosir dalam rantai pasok kentang
di Kabupaten Bener Meriah, berawal di satu pihak
adanya keterbatasan kas petani kentang, dan di pihak
lain adanya kepemilikan modal yang relatif besar
yaitu di pihak bandar dan pedagang grosir di pasar
lokal/pasar induk. Hal tersebut memunculkan
motivasi di pihak pedagang untuk mengontrol atau
mengendalikan petani agar pedagang memperoleh
keuntungan dengan cara mengikat petani dengan
memberi pinjaman modal kepada petani baik untuk
usaha budidaya kentang maupun untuk keperluan
lainnya, dengan tujuan agar petani yang diberi
pinjaman berkomitmen hanya menjual kentang
tersebut kepada pedagang pemberi pinjaman.
Berdasarkan Gambar 2, pada simpal kausal
yang pertama hubungan antar variabelnya
menghasilkan umpan balik negatif. Adanya
kepemilikan kas yang relatif besar di pedagang
perantara kentang meningkatkan motivasi untuk
mengontrol petani agar pedagang lebih mudah
memperoleh kentang. Motivasi mengontrol petani
dapat meningkatkan pemberian pinjaman keuangan
kepada petani. Pemberian pinjaman dapat
meningkatkan komitmen petani hanya menjual ke
pedagang pemberi pinjaman.
Komitmen hanya menjual ke pedagang
pemberi pinjaman meningkatkan pengiriman
kentang ke pedagang pemberi pinjaman. Pengiriman
kentang ke pedagang pemberi pinjaman menurunkan
kesempatan penjualan kentang ke pedagang lain.
Kesempatan menjual ke pedagang lain meningkatkan
transparansi informasi harga kentang. Transparansi
harga kentang menurunkan asimetri informasi harga
kentang. Asimetri informasi harga kentang
meningkatkan tekanan harga kentang di petani.
Tekanan harga kentang menurunkan harga jual
kentang di tingkat petani. Harga jual kentang
meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani
meningkatkan kas petani. Kas petani dapat
meningkatkan pembayaran utang petani ke
pedagang. Pembayaran utang petani meningkatkan
penurunan utang petani. Penurunan utang petani
meningkatkan kas pedagang, kas pedagang
meningkatkan motivasi mengontrol petani.
Pada simpal kausal yang kedua hubungan
antar variabelnya menghasilkan umpan balik negatif.
Komitmen hanya menjualkepada pedagangpemberi pinjaman
Pengiriman kentangke pedagang pemberi
pinjaman
Kesempatan menjual
ke pedagang lain
Transparansi informasi
harga kentang
Asimetri informasi hargakentang di pasaran umum
Tekanan terhadap hargajual kentang petani
Harga jual
kentang petani
Penerimaan petani
mitra pedagang
Keuntungan petanimitra pedagang
Biaya produksi kentang
petani mitra pedagang
Volume produksikentang petanimitra pedagang
Produksi kentangpetani mitra pedagang
Kas / Modal petanikentang mitra pedagang
Pinjaman keuangan
dari pedagang
Kepercayaan pedagang
kepada petani
Pembayaran utangpetani ke pedagangpemberi pinjaman
Penurunan utangpetani ke pedagangpemberi pinjaman
Kas / Modalpedagang
Motivasi untuk
mengontrol petani+
+
+
+
-
+
-
+
-
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
++
+
+
+
B1
B2
R3
R4
R5 R6
139
Motivasi mengontrol petani dapat meningkatkan
pemberian pinjaman keuangan kepada petani.
Pemberian pinjaman dari pedagang dapat
meningkatkan kas/modal petani. Kas petani
digunakan untuk modal memproduksi kentang,
sehingga meningkatkan produksi kentang, produksi
kentang meningkat, dapat meningkatkan volume
kentang yang dihasilkan. Volume kentang yang
dihasilkan meningkat, dapat meningkatkan
pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman.
Pengiriman kentang ke pedagang pemberi pinjaman
menurunkan kesempatan menjual kentang ke
pedagang lain.
Kesempatan menjual ke pedagang lain
meningkatkan transparansi informasi harga kentang.
Transparansi harga kentang menurunkan asimetri
informasi harga kentang. Asimetri informasi
meningkatkan tekanan terhadap harga kentang di
petani. Meningkatnya tekanan harga dapat
menurunkan harga jual kentang di tingkat petani.
Harga jual kentang meningkatkan penerimaan petani,
penerimaan petani meningkatkan kas petani. Kas
petani dapat meningkatkan pembayaran utang petani
ke pedagang. Pembayaran utang petani
meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan
utang petani meningkatkan kas pedagang. Kas
pedagang meningkatkan motivasi mengontrol petani.
Pada simpal kausal yang ketiga, hubungan
antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.
Kas pedagang meningkatkan motivasi untuk
mengontrol petani, motivasi mengontrol petani
meningkatkan pemberian pinjaman dari pedagang ke
petani. Pemberian pinjaman meningkatkan kas
petani. Kas petani meningkatkan pembayaran utang
petani ke pedagang. Pembayaran utang petani
meningkatkan penurunan utang petani ke pedagang
pemberi pinjaman. Penurunan utang petani
meningkatkan kas pedagang. Kas pedagang
meningkat maka akan semakin meningkatkan
motivasi mengontrol petani.
Harga jual kentang berpengaruh positif
terhadap penerimaan petani, bila harga jual tinggi
maka penerimaan akan tinggi dan sebaliknya.
Penerimaan dari hasil penjualan kentang dapat
meningkatkan jumlah kas petani, uang dari kas
digunakan untuk pembayaran utang petani ke bandar
atau grosir. Pembayaran utang kepada pedagang
menyebabkan utang petani berkurang dan kas
pedagang semakin bertambah. Dengan
bertambahnya kas pedagang maka semakin tinggi
motivasi pedagang untuk mengontrol petani,
sehingga dikemudian hari akan meningkatkan
pemberian bantuan kepada petani. Demikian
seterusnya sehingga petani kentang akan selalu
terikat kepada pedagang.
Pada simpal kausal yang keempat, hubungan
antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.
Pinjaman modal dapat meningkatkan kas petani
sehingga petani dapat menggunakan uang dari kas
untuk biaya memproduksi kentang. Kas petani
meningkat akan meningkatkan proses produksi
kentang. Proses produksi dapat meningkatkan
volume kentang yang dihasilkan, volume kentang
yang dihasilkan akan meningkatkan penerimaan
petani. Penerimaan petani meningkatkan kas petani,
kas petani meningkat dapat meningkatkan
pembayaran utang petani. Pembayaran utang dari
petani dapat meningkatkan penurunan utang petani
ke pedagang, penurunan utang petani akan
meningkatkan kas pedagang, kas pedagang
meningkat akan meningkatkan kepercayaan
pedagang kepada petani, karena dengan naiknya kas
pedagang akibat penurunan utang petani
mengindikasikan pinjaman ke petani telah kembali
ke pedagang, sehingga di musim berikutnya
pedagang akan memberi pinjaman keuangan yang
lebih besar lagi kepada petani.
Pada simpal kausal yang kelima, hubungan
antar variabelnya menghasilkan umpan balik positif.
Dana pinjaman dari pedagang dapat meningkatkan
kas petani, kas petani meningkatkan pembayaran
utang petani ke pedagang, pembayaran utang
meningkatkan penurunan utang petani. Penurunan
utang petani ke pedagang dapat meningkatkan kas
pedagang. Naiknya kas pedagang akan meningkatkan
kepercayaan pedagang terhadap petani, kepercayaan
dapat meningkatkan pinjaman dari pedagang ke
petani.
Pada simpal kausal yang keenam, hubungan
antar variabel menghasilkan umpan balik positif.
Peningkatan kas petani dapat meningkatkan proses
budidaya kentang, budidaya kentang meningkatkan
volume hasil kentang. Volume hasil kentang
meningkatkan penerimaan petani, penerimaan petani
meningkatkan kas petani.
Sebuah kemitraan dalam perdagangan yang
berdasarkan dialog, transparan, saling menghormati,
berusaha adanya kesetaraan dari masing-masing
pelaku, berusaha mengamankan hak-hak produsen,
saat ini harus dikembangkan untuk mengganti
praktek perdagangan yang konvensional dimana
pelaku yang lebih kuat akan menekan pelaku yang
posisinya lemah. Dewasa ini kolaborasi antar pelaku
dalam rantai pasok pertanian sangat dibutuhkan
untuk membangun kemitraan yang saling
menguntungkan. Kebutuhan untuk meningkatkan
dukungan keuangan bagi petani kecil menyebabkan
munculnya bentuk-bentuk kemitraan yang baru, yang
mana antar pelaku memiliki kesetaraan tidak ada
pelaku yang lebih kuat sehingga dapat menekan
140
pelaku lainnya, semua pelaku harus bekerjasama
saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.
PENUTUP
Pemasaran kentang di Kabupaten Bener
Meriah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu pasar yang terstruktur dan tidak
terstruktur. Adapun karakteristik pasar terstruktur
berupa kemitraan formal dalam pemasaran kentang
adalah: adanya kepastian dalam pemasaran hasil,
tidak terjadi fluktuasi harga karena harga jual petani
berlaku secara tetap sesuai kontrak, pengumpulan
hasil lebih mudah, pengangkutan lebih efisien,
terdapat transfer teknologi dari mitra, tetapi posisi
tawar petani lebih rendah dari mitra sehingga masih
ada tekanan terhadap harga jual kentang petani
dimana harga ditentukan oleh mitra. Harga jual
kentang dari petani kepada mitra ditentukan oleh
mitra/industri. Karakteristik pasar
terstrukturkemitraan non formal adalah: adanya
kepastian pemasaran, terjadi fluktuasi harga, tidak
ada transfer teknologi, pengumpulan dan
pengangkutan hasil tidak efisien, ada tekanan harga
dari pedagang. Sedangkan karakteristik pasar tidak
terstruktur adalah: tidak ada kepastian pemasaran,
terjadi fluktuasi harga, tidak ada transfer teknologi,
pengumpulan dan pengangkutan tidak efisien, saat
panen raya kesulitan mencari pembeli, sehingga
petani seringkali tidak bisa menjual kentang yang
dihasilkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Agribisnis. (1998). Kebijaksanaan dan
Penjelasan Pola Kemitraan Usaha Pertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Darwis, Valerina, M. Iqbal. (2013). Keragaan
Pemanfaatan dan Sumber Pinjaman Usahatani
Padi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Dirjen Hortikultura. (2010). Produksi tanaman
sayuran di Indonesia periode 2003- 2008.
Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen
Pertanian. Jakarta. http://www.deptan.go.id. [15
April 2015 : Pukul 16:15 WIB].
Lambert, Douglas M, Margaret A. Emmelhainz, John
T. Gardner. (1996). Developing and
Implementing Supply Chain Partnerships. The
International Journal of Logistics Management
Vol 7 No 2.
Saptana, Daryanto A, Heny KD, Kuncoro. (2009).
Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka
Peningkatan Daya Saing Agribisnis Cabai
Merah di Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balitbang
Deptan. Jakarta.
Widyahartono B. (1996). Strategi Kemitraan antara
Usaha Besar dan Usaha Kecil-Menengah
(UKM), Penerapannya di Indonesia.
Manajemen Usahawan Bisnis Indonesia. No.
09/thXXV, September 1996. Hal 23-26.
141
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Teh Indonesia (Periode 1980 β
2013)
Analysis of Factors Affecting Tea Export in Indonesia (Period 1980 β 2013)
Ady Trynugraha1 dan Muhammad Arief Budiman2
1Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jl. Jatiwangi Raya No. 54, Antapani,
Bandung, 40291, Indonesia, [email protected] 2 Dosen Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
ABSTRAK
Kata kunci:
harga dunia
nilai ekspor
nilai tukar rupiah
produktivitas
teh.
Dalam era globalisasi indonesia harus mewujudkan pembangunan yang terintegrasi. Sektor
perkebunan sebagai sub-sektor pertanian mampu memberikan pertumbuhan indeks ekspor yang
besar dalam memasuki pasar global. Teh sebagai salah satu komoditas perkebunan dapat
bersaing dengan komoditas lainnya dari sisi produktivitas. Produktivitas yang tinggi memiliki
peluang untuk menambah jumlah teh yang akan diekspor. Kegiatan ekspor tersebut dihitung
berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Selain itu, harga teh dunia mampu merubah
besaran nilai dari produk ekspor teh Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui
seberapa besar pengaruh produktivitas teh Indonesia, harga teh dunia dan nilai tukar rupiah
terhadap nilai ekspor teh Indonesia dan hubungannya secara parsial maupun simultan. (2)
Mengetahui respon nilai ekspor teh Indonesia berdasarkan perubahan produktivitas, nilai tukar
rupiah dan harga teh dunia.. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian kuantitatif
dengan teknik suatu kasus. Data yang diperlukan merupakan data deret waktu sebanyak 34
tahun. Alat analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan empat
variabel dan perhitungan elastisitas berdasarkan model regresinya. Model regresinya adalah Y
= -62.640 + 64,402X1 + 69,721X2 + 551,782X3. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara
simultan produktivitas teh indonesia, nilai tukar dan harga teh dunia memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Namun, secara parsial hanya nilai tukar saja yang
tidak signifikan terhadap nilai ekspor teh Indonesia. Berdasarkan analisis tingkat responnya,
nilai ekspor teh Indonesia tidak respon terhadap harga teh dunia, produktivitas maupun nilai
tukar rupiah.
ABSTRACT
Keywords:
exchange rate
export value
tea
world price
yield.
In the age of globalization Indonesia must realize about integrated development. Plantations,
as one of agricultural sector, are capable for providing large growth of export indices in
entering global markets. Tea, as one of the plantation commodities, can compete with other
commodities in terms of yield. High yield has the opportunity to increase the amount of tea to
be exported. Export activity is calculated by exchange rate. In addition, the world tea price is
able to change the amount of the value of Indonesian tea export products. This study aims to:
(1) Determine how much influence of Indonesian tea yield, world tea prices and exchange rate
on Indonesian tea export value and its relationship partially or simultaneously. (2) Determine
the response of Indonesian tea export value based on changes in yield, exchange rate and world
tea price. The design is a quantitative research technique of a case. Necessary data is time
series as many as 34 years. Tools of analysis in this study using multiple regression analysis
with the four variables and elasticity calculations based on regression models. Model
regression is Y = -62.640 + 64,402X1 + 69,721X2 + 551,782X3. The results showed that
productivity of Indonesian tea, exchange rates and world tea prices have a significant effect
simultaneously on the value of Indonesian tea export. However, only exchange rate are not
significant partially to the tea export value of Indonesia. Based on the analysis of response rate,
the export value of Indonesian tea gives no response to the world tea prices, yield and the
exchange rate.
142
PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan salah satu dari
sekian banyak negara di dunia yang memiliki
kekayaan alam yang melimpah. Menurut Tities K.H.
(2008), Indonesia merupakan negara agraris.
Sehingga, sektor pertanian memiliki peranan yang
penting dalam pertumbuhan perekonomian
Indonesia, terutama pada wilayah-wilayah di
pedesaan. Sektor pertanian memegang peran penting
dalam penyediaan pangan bagi konsumsi domestik,
penghasil tenaga kerja bagi keberadaan sektor
industri dan pangsa pasar bagi hasil produksi dan
meningkatkan pendapatan domestik. Dengan kata
lain, keunggulan Indonesia memiliki keunggulan
komparatif karena Indonesia merupakan negara
agraris.
Tabel 1. Ekspor Pertanian menurut Sub Sektor Periode 2001-2004, 2005-2009, 2010-2013
Indonesia memiliki berbagai macam komoditas
perkebunan yang dibudidayakan. Secara umum,
terdapat 12 komoditas perkebunan yang paling
berkontribusi. Berdasarkan produktivitasnya, tahun
2013 teh menempati urutan ke 3 setelah tebu dan
kelapa sawit. Berikut merupakan grafik berdasarkan
produktivitasnya.
Gambar 1. Produktivitas Perkebunan Indonesia (kg/ha)
Selama ini, Indonesia telah mengekspor teh
ke berbagai negara. Selama tiga tahun terakhir
Indonesia mengekspor lebih dari 10 negara di Dunia.
Mengingat penawaran memiliki berbagai
faktor yang mempengaruhinya, terdapat beberapa hal
yang perlu diamati dalam kegiatan ekspor teh di
Indonesia. Produktivitas merupakan kekuatan utama
dalam produksi teh Indonesia. Selain hasil dari input
produksi (Yamit, 2005), produktivitas yang tinggi
akan menghasilkan produksi yang banyak pula.
Sehingga, barang yang akan diekspor akan
bertambah pula. Selain itu, faktor utama dari segi
penawarannya adalah harga barang itu sendiri.
Kebijakan pemerintah, baik penekanan produksi
maupun proteksi dapat mempengaruhi jumlah barang
yang ditawarkan, karena pemerintah dapat
menggerakan industri hulu ke hilir. Dikarenakan
ekspor merupakan transaksi internasional, penukaran
nilai mata uang (kurs) menjadi salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi nilai ekspor. Konversi nilai
mata uang tersebut merupakan faktor penentu
mengenai besar kecilnya nilai ekspor yang didapat.
BAHAN DAN METODE
Metode yang digunakan merupakan desain penelitian
kuantitatif dengan teknik suatu kasus dengan
penggunaan sampel data kurun waktu (Time series).
Data kurun waktu yang diperlukan merupakan data
01,0002,0003,0004,0005,0006,000
Sub-Sektor Satuan Tahun Tahun Tahun Rata-rata
Pertumbuhan
Indeks Ekspor (%) 2001-2004 2005-2009 2010-2013
Tan Pangan Volume
(Ton) 3.413.476 4.583.067 2.265.734 -9,21
Nilai (000
US$) 839.706 1.510.122 1.379.112 -2,83
Hortikultura Volume
(Ton) 1.372.472 2.206.133 1.547.226 0,45
Nilai (000
US$) 762.815 1.533.268 1.826.326 7,8
Perkebunan Volume
(Ton) 37.003.238 114.973.716 117.247.779 57,24
Nilai (000
US$) 20.107.515 93.549.730 133.371.668 74,11
Peternakan Volume
(Ton) 586.613 2.012.280 1.783.158 3,04
Nilai (000
US$) 1.056.321 3.437.079 3.675.504 3,92
143
periode 1980-2013 mengenai nilai ekspor teh
Indonesia, hasil ekspor teh Indonesia, nilai tukar
rupiah terhadap dolar dan harga teh dunia. Data yang
diperoleh tersebut dianalisis secara regresi dengan
menggunakan model ekonometrik untuk mengetahui
seberapa besar kontribusinya terhadap ekspor teh di
Indonesia. Model rumusan variabel penelitian
diformulasikan dalam persamaan berikut:
οΏ½οΏ½ = π½0 + π½1π1 + π½2π2 + π½3π3 + π
Keterangan:
Y = Nilai ekspor teh Indonesia (0.000$)
X1 = Produktivitas teh (Kg / Ha)
X2 = Nilai tukar rupiah (Rp / $)
X3 = Harga Internasional Teh (sen / Kg)
π½ = Konstanta
π = Faktor error / disturbance
Perhitungan respon berdasarkan rumus
elastisitas dapat menggunakan model sebagai
berikut:
πΈ =βπ
βππ₯
οΏ½οΏ½
π¦
Ket:
Es : Elastisitas βπ
βπ : Koefisien variabel independennya (π½1, π½2,
π½3dan π½4)
οΏ½οΏ½ : Rata-rata variabel independen
οΏ½οΏ½ : Rata-rata nilai ekspor teh (variabel dependen)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh menurut
faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor teh, berikut
merupakan hasil dari regresinya:
οΏ½οΏ½ = β62.640ββ + 64,402π1ββ β 69,721π2
+ 551,782π3ββ + π
Keterangan:
Y = Nilai ekspor teh Indonesia (.000$)
X1 = Hasil produksi teh Indonesia (kg / ha)
X2 = Nilai tukar rupiah (Rp / $)
X3 = Harga teh dunia (sen / kg)
π = Faktor error / disturbance
Berdasarkan analisis respornnya, berikut
merupakan data yang diperlukan dengan hasil
koefisien elastisitas atau nilai responnya: Tabel 3. Koefisien, -Rata-rata dan Nilai E Hasil Penelitian
Variabel Koefisien
(ππ¦ππ₯
β ) Rata-rata E
Nilai Ekspor
Teh Indonesia
- 130.034,88 -
Produktivitas
Teh Indonesia
64,402 1.396,88 0,69
Nilai Tukar
Rupiah
-69,721 62,20 0,03
Harga Teh
Dunia
551,782 194,01 0,82
Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk
mengetahui seberapa baik model yang dihasilkan
dalam analisis penelitian ini. Model yang baik harus
memenuhi seluruh uji tersebut. Sehingga, model
regresinya dapat dikatakan Best Linear Unbiased
Estimator (BLUE)
Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan mengamati
grafik P-Plot dari output SPSS. Berikut merupakan
gambar P-Plot dari data yang dianalisis:
Gambar 2. Grafik P-Plot untuk Uji Normalitas
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa data
tersebar di sepanjang garis diagonal terhadap variabel
dependennya (Nilai Ekspor Teh Indonesia). Maka,
dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan dalam
penelitian ini memenuhi asumsi normalitas, yaitu
data tersebar secara normal
Uji Multikolinearitas
Uji ini diamati dengan mengamati nilai VIF
(Variance Inflation Factor). Hasil VIF ketiga
variabel tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 4. Nilai VIF untuk Uji Multikolinearitas
No Variabel VIF
1 Hasil Produksi Teh Indonesia 1,142
2 Nilai Tukar Rupiah 1,386
3 Harga Teh Dunia 1,231
Seluruh variabel yang digunakan memiliki
nilai VIF dibawah 10, berarti data yang digunakan
tidak terdapat multikolinearitas
Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan dengan cara
autoregresive dengan mengamati nilai durbin watson
(DW). Batasan nilai DW yang diperoleh adalah
sebagai berikut:
dL : 1,2576
dU : 1,6511
4-dU : 2,3489
4-dL : 2,7424
Berdasarkan nilai batasannya, nilai DW yang
didapat berada diantara dU dan 4-dU, yaitu sebesar
1,838. Jadi, data analisis ini tidak mengandung data
autokorelasi atau tidak terdapat korelasi serial
144
Uji Heteroskedastisitas
Uji ini dilakukan dengan mengamati nilai
*ZPRED untuk sumbu X dan *SRESID untuk sumbu
Y pada SPSS. Berdasarkan hal tersebut, berikut
scatter plot yang dihasilkan dari data-data yang
dianalisis:
Gambar 3. Scatter Plot Untuk Uji Multikolinearitas
Grafik tersebut menunjukan bahwa tidak
terdapat pola khusus. Plot yang digambarkan
tersebar, baik diatas sumbu x atau y maupun
dibawahnya. Sehingga, data yang digunakan sudah
cukup homoskedastisitas.
Analisis Hasil Regresi dan Nilai Respon
Berdasarkan fungsi tersebut, terdapat
beberapa hal yang dapat diinterpretasikan terkait
analisis sebelumnya maupun analisis regresi beserta
dengan teorinya. Interpretasi berikut ini menjelaskan
juga hipotesis dari hubungan setiap variabel secara
parsial. Berikut merupakan penjelasan setiap variabel
dalam model tersebut:
- Koefisien produktivitas teh Indonesiayang
dihasilkan adalah sebesar 64,402 dan bernilai
positif, sama halnya dengan nilai t hitung yang
menjelaskan hubungan yang signifikan. Artinya,
produktivitas teh indonesia memiliki hubungan
yang berbanding lurus terhadap nilai ekspor teh
Indonesia. Dalam kurun waktu pertahunnya, bila
variabel nilai tukar dan harga teh dunia dianggap
tetap, maka setiap kenaikan satu kg di setiap areal
tanam teh di Indonesia, maka akan menambahkan
nilai ekspor teh Indonesia sebesar 64.402 dolar US.
- Koefisien nilai tukar rupiah yang dihasilkan adalah
sebesar -69,721 dan bernilai negatif, sama halnya
dengan nilai t hitung yang menjelaskan hubungan
yang tidak signifikan. Artinya, nilai tukar nominal
ini memiliki hubungan yang berbanding terbalik
dengan nilai ekspor teh Indonesia. Dalam kurun
waktu pertahunnya, bila variabel produktivitas teh
Indonesia dan harga teh dunia dianggap tetap,
maka setiap kenaikan nilai tukar rupiah sebesar
satu rupiah setiap dolarnya, akan menurunkan nilai
ekspor teh Indonesia sebesar 69.721 dollar US.
- Koefisien harga teh dunia yang dihasilkan adalah
sebesar 551,782 dan bernilai positif, sama halnya
dengan nilai t hitungnya yang menginterpretasikan
hubungan yang signifikan. Artinya, semakin besar
harga dunia yang terjadi, maka akan semakin besar
pula nilai ekspor teh Indonesia yang didapat.
Dalam kurun waktu pertahunnya, bila variabel
produktivitas teh Indonesia, dan nilai tukar rupiah
dianggap tetap, maka setiap kenaikan harga teh
sebanyak satu cent (0,01US$) setiap kilogramnya,
maka akan menghasilkan nilai ekspor teh Indonesia
sebesar 551.782US$.
- Secara keseluruhan, nilai respon (koefisien
elastisitas) tersebut berada dibawah angka satu.
Artinya, setiap variabel yang digunakan bersifat
inelastis terhadap perubahan nilai ekspor teh
Indonesia. Dengan demikian, nilai ekspor teh
Indonesia tidak respon terhadap produktivitas teh
Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh dunia.
Persentase perubahan pada produktivitas teh
Indonesia, nilai tukar rupiah atau harga teh dunia
akan menghasilkan perubahan yang lebih kecil dari
pada persentasenya terhadap nilai ekspor teh
Indonesia. Namun demikian, hasil tingkat respon
yang terbesar dihasilkan oleh harga teh dunia.
Setiap kenaikan 1% harga teh dunia dalam cent di
setiap kilogramnya akan menaikan nilai ekspor teh
Indonesia sebesar 0,8232% dalam ribu dolar US.
Analisis Ekonomi terhadap Hasil Regresi dan
Nilai Respon
(1) Produktivitas terhadap Nilai Ekspor Teh Sebagai interpretasi faktor produksi,
produktivitas mampu menerangkan seberapa baiknya
faktor input yang digunakan (Yamit, 2005). Angka
yang semakin tinggi dalam produktivitas teh
Indonesia memiliki arti sebagai penggunaan faktor
produksi yang semakin baik. Dalam hal ini,
produktivitas teh yang baik dapat meningkatkan
peluang untuk produksi teh yang lebih banyak, baik
untuk dikonsumsi dalam negri maupun untuk ekspor.
Sehingga, semakin besar prodiktivitasnya, maka
peluang untuk memproduksi teh dalam negeri akan
semakin besar. Kemudian peluang untuk ekspor pun
akan bertambah juga. Sehingga, saat dikonversikan
terhadap nilai ekspor, nilainya akan semakin tinggi.
Mengingat produksi dalam negeri, peluang untuk
menambah nilai ekspor dari produktivitas pun dapat
disesuaikan. Hal tersebut dapat dikarenakan oleh
kondisi konsumsi dalam negeri yang cenderung stabil
atau tidak mengalami kenaikan. Selain itu, dalam
memproduksi teh terdapat perbedaan kualitas antara
yang dikonsumsi dalam negeri maupun produk
ekspornya. Perbedaan jenis konsumsi itu mungkin
145
dapat dijadikan suatu alasan mengapa peningkatan
produksi per hektarnya memiliki peluang untuk
menambah jumlah ekspornya. Maka dari itu, upaya
peningkatan nilai ekspor teh di Indonesia dapat
dilakukan dengan meningkatkan produktivitas teh di
Indonesia.
(2) Nilai Tukar Rupiah terhadap Nilai Ekspor
Mendongkrak ekspor yang sebanyak
banyaknya dapat memperkuat nilai rupiah dalam
mata uang asing. Hal tersebut dimaksudkan agar
menambah nilai ekspor yang didapat. Sehingga, nilai
ekspor tersebut dapat menghasilkan devisa negara
(Mankiew, 2006). Neraca yang defisit, dalam artian
impor yang lebih besar bila dibandingkan dengan
ekspor, akan melemahkan nilai rupiah di mata uang
asing. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung
pihak eksportir dari berbagai cara agar menambah
produksinya. Sehingga akan semakin banyak pula
ekspor yang didapat.
Dalam kegiatan ekspor teh Indonesia,
tentunya faktor produksi yang digunakan
menggunakan mata uang rupiah dengan kurs yang
berlaku tersebut. Bila nilai rupiah melemah, yang
berarti nominal nilai tukarnya bertambah untuk setiap
satu dolarnya, maka biaya pengorbanan untuk faktor
produksi tersebut belum tergantikan dengan nilai
dolarnya. Sehingga, hal ini justru mengurangi nilai
barang itu sendiri berdasarkan pertukaran kurs yang
terjadi.
(3) Harga teh dunia terhadap Nilai Ekspor
Dalam kasus penawaran, harga merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya
penawaran (Rahardja, 2008) Dalam kegiatan ekspor,
tentunya harga internasional yang dijadikan acuan.
Harga internasional dalam analisis memiliki satuan
sen/kg. Namun, pada variabel yang menjadi
pengamatan ini, harga dunia teh Indonesia
merupakan hasil harga teh Indonesia yang berlaku
untuk diekspor.
Berdasarkan analisisnya, hubungan harga
dunia dengan nilai ekspor merupakan hubungan yang
berbanding lurus. Semakin besar harga teh yang
terjadi, maka semakin besar nilai ekspor yang
didapat. Jika dikaitkan dengan hukum permintaan,
harga akan bertambah seiring dengan penambahan
permintaan yang kemudian diseimbangkan dengan
penawaran dari pihak eksportir. Kenaikan harga yang
terjadi pada produk ekspor teh Indonesia dapat
dikarenakan oleh banyaknya permintaan impor teh ke
negara Indonesia. Bila kemampuan produksi yang
berjalan cenderung tetap, yang artinya produksi
cenderung tetap, maka harga akan bertambah karena
untuk menyeimbangi penawaran dari pihak eksportir.
Dengan demikian, nilai dari barang itu sendiri pun
akan bertambah.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis melalui berbagai
uji dan metode perhitungannya, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Secara simultan, nilai ekspor teh Indonesia
dipengaruhi oleh produktivitas teh Indonesia,
nilai tukar rupiah dan harga teh dunia. Namun,
secara parsial hubungan signifikan hanya
ditunjukan oleh produktivitas teh Indonesia dan
harga dunia. Setiap kenaikan harga teh sebesar 1
sen di setiap kilogramnya mampu menaikan nilai
ekspor teh sebesar 551.760US$ dalam kurun
waktu pertahunnya. Hal ini dapat dikarenakan
oleh jumlah permintaan terhadap teh Indonesia
cenderung naik. Lalu, setiap kenaikan satu rupiah
setiap dolarnya mampu mengurangi nilai ekspor
teh Indonesia sebesar 69.721US$ pertahunnya,
karena biaya pengorbanan untuk setiap produksi
ekspor teh tidak tergantikan oleh dolar yang
menguat akibat kenaikan nilai tukar rupiah.
Kemudian, setiap kenaikan produksi teh
sebanyak satu kg di setiap ha areal tanam teh di
Indonesia, mampu menaikan nilai ekspor teh
Indonesia sebesar 64.402US$ per tahunnya.
Peningkatan produktivitas teh mampu
menambah jumlah produksi nasionalnya.
Sehingga, produksi teh memiliki peluang untuk
menambah jumlah ekspor yang kemudian
dikonversikan dalam bentuk nilai.
2. Nilai ekspor teh tidak memiliki respon terhadap
produktivitas teh Indonesia, nilai tukar rupiah
dan harga teh dunia. Hal tersebut dikarenakan
oleh nilai elastisitasnya dibawah satu yang
berarti inelastis. Artinya setiap persentase
perubahan yang terjadi dalam produktivitas teh
Indonesia, nilai tukar rupiah dan harga teh,
menghasilkan persentase perubahan nilai ekspor
teh yang lebih kecil lagi. Hal ini dapat
disebabkan oleh pelaku eksportir yang kurang
peka atau masih lamban dalam merespon nilai
ekspor teh melalui keadaan produktivitas, nilai
tukar dan harga dunia yang terjadi. Namun, dari
ketiga faktor tersebut, harga teh dunia
memberikan nilai elastisitas atau respon yang
paling besar terhadap nilai ekspor teh Indonesia.
Setiap perubahan atau kenaikan harga teh dunia
sebanyak 1% dalam satuannya ($/Kg), maka
akan menghasilkan perubahan nilai ekspor teh
Indonesia sebesar 0,8232% dalam satuannya
($0.000)
SARAN
Terkait dengan hasil ouput yang didapat,
maka ada beberapa kebijakan yang perlu
146
diperhatikan dalam meningkatkan nilai ekspor teh di
Indonesia, yaitu:
1. Penetapan kuota impor teh Indonesia. Bila
penetapan tarif bea masuk masih belum bisa
mengurangi jumlah impor, maka penetapan
kuota impor perlu dikendalikan dan
diseimbangi denga kebutuhan negara. Hal ini
diharapkan dapat mengurangi neraca
perdagangan yang defisit akibat banyaknya
impor di berbagai komoditasnya.
2. Penerapan program intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan teh, baik perkebunan
rakyat, negara maupun swasta. Sehingga
jumlah permintaan yang belum tertutupi
akibat penetapan kuota impor dapat dipenuhi
karena produksi yang meningkat.
DAFTAR PUSTAKA BPS. (2014). Ekspor Teh Menurut Negara Tujuan
Utama, 2000-2013. [Online]. Tersedia di:
http://www.bps.go.id
/webbeta/frontend/linkTabelStatis/view/id/1016
#accordion-daftar-subjek2 (diakses pada tanggal
15 Februari 2015)
Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar
Ekonometrika. Buku 2. Jakarta : Salemba
Empat.as
Mankiw, N., Gregory. (2006). Principles of
Economics: Pengantar Ekonomi Makro. Edisi
Ketiga. Diterjemahkan oleh: Chriswan
Sungkono. Jakarta: Salemba Empat.
Mankiw, N., Gregory. (2006). Principles of
Economics: Pengantar Ekonomi Mikro. Edisi
Ketiga. Diterjemahkan oleh: Chriswan
Sungkono. Jakarta: Salemba Empat.
Rahardja, Prathama dan Manurung, Mandala. (2008).
Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan
Makroekonomi). Edisi ketiga. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Sukirno, Sadono. 2011. Makroekonomi Teori
Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yamit, Zulian . (2005). Manajemen Kualitas Produk
dan Jasa. Ed. 1, Cet. 4. Yogyakarta: Ekonisia
Kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta
147
Analisis Daya Saing Usahatani Tembakau Mole (Studi Kasus Desa Sukasari,
Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
Competitiveness Analysis of Tobacco Farming Mole
Septian Rindiarto1, M. Arief Budiman1
1Program Studi Agribisnis, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang
A B S T R A K
Kata Kunci: Daya Saing
Tembakau
PAM
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tembakau. ekspor tembakau
mengalami tren penurunan mulai dari tahun 2010 hingga 2014. Penurunan produksi
tembakau dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Perlu adanya peninjauan mengenai
kondisi daya saing tembakau mengingat Indonesia merupakan pengekspor tembakau
dan kebijakan merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan ekspor tembakau.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daya saing usahatani dengan melihat
keuntungan privat dan keuntungan sosial pada tingkat harga aktual atau harga pasar,
mengetahui transfer effect atau dampak kebijakan pemerintah dengan menganalsisi
daya saing dari tingkat privat (petani) dan sosial (internasioanl, dan mengetahui
implikai kebijakan pemerintah setelah dilakukannya analisis PAM. Desain penelitian
yang digunakan adalah desain kuantitatif dengan teknik penelitian survey. Analisis
data menggunakan analisis deskritif dengan alat analisis Policy Analysis Matrix
(PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tembakau Desa Sukasari memiliki daya
saing baik keunggulan kompetitif maupun komparatif. Hal tersebut dibuktikan dengan
nilai PCR < 1 dan DRCR < 1 sedangkan kebijakan pemerintah dinilai menghambat
ekspor output dan adanya proteksi terhadap input lokal. Kebijakan tersebut dibuktikan
dengan nilai NPCO < 1 dan NPCI < 1. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah
menyudutkan petani tembakau. Namun, tingginya harga tembakau dunia diduga
membantu meningkatkan daya saing tembakau dalam negeri.
ABSTRACT
Keywords: Competitiveness
Tobacco
PAM
Indonesia is one of the tobacco exporting countries. Tobacco exports experienced a
downward trend from 2010 to 2014. The decline in tobacco production are affected by
government policies. Need for a review of the competitiveness of tobacco because
Indonesia is an exporter of tobacco and policies is a factor affecting the decline in
tobacco exports. The purpose of this study was to determine the competitiveness of
farming with a view of private profits and social benefits at the level of the actual price
or market price, knowing the transfer effect or impact of government policies with
menganalsisi competitiveness of the level of private (farmer) and social (on
international, and knowing implikai government policy after doing an analysis of
PAM. The research design is the design of quantitative research techniques survey.
The data analysis using descriptive analysis with analysis tools Policy Analysis Matrix
(PAM). The results showed that the tobacco village Sukasari competitiveness both
competitive advantage and comparative. It evidenced by the PCR values <1 and DRCR
<1 whereas government policies impeded the export of output and the protection of
local input. This policy is evidenced by NPCO values <1 and NPCI <1. Overall
government policy cornering tobacco farmers. However, the high price of tobacco the
world thought to help improve the competitiveness of domestic tobacco.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
148
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara pengekspor
tembakau. Akan tetapi ekspor tembakau Indonesia
mengalami penurunan yang signifikan mulai dari
tahun 2010 hingga 2014. Faktor utama dari
penurunan produksi tembakau adalah kebijakan
pemerintah yang membatasi produksi nasional.
Kondisi tersebut harus disesuaikan oleh pihak-pihak
terkait terutama petani. Peningkatan daya saing
mengingat produksi tembakau yang dibatasi
merupakan tantangan yang harus diselesaikan.
Tembakau merupakan salah satu komoditas
ekspor primer perkebunan. Terdapat 12 komoditas
ekspor primer perkebunan. Dalam segi volume
tembakau bukan merupakan 5 besar pemegang
ekspor terbesar diantara komoditas yang lain.
Kendati bukan termasuk 5 besar pengekspor terbesar
dalam segi volume, tembakau juga mengalami
penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2010 ke
2011. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah.
Kebijakan pemerintah sangat menekan
keberadaan tembakau dalam negeri. Hal tersebut
diduga membuat kondisi tembakau Indonesia
memiliji tren menurun pada 5 tahun terahir.
Tabel 1. Ekspor Komoditas Primer Perkebunan Sumber: BPS
Pembatasan produksi, perizinan, dan
pengujian merupakan isu utama dalam penurunan
ekspor tembakau. Seperti pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012
mengenai Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif Berupa Produk tembakau bagi Kesehatan.
Kebijakan mengenai pembatasan produksi
tembakau sangat menyudutkan pihak petani. Dengan
kondisi yang tidak menguntungkan untuk petani
(dilihat dari bentuk kebijakan pemerintah dan
keadaan ekspor tembakau) maka perlu adanya
peninjauan mengenai daya saing tembakau dan
dampak kebijakan pemerintah yang diterapkan pada
tembakau.
Daya saing dan dampak kebijakan pemerintah
akan dilihat dari sudut pandang petani yang
dilakukan di Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari,
Kabupaten Sumedang mengingat provinsi Jawa
Barat merupakan provinsi terbesar ketiga dalam
memproduksi tembakau dalam negeri. Desa Sukasari
memiliki potensi yang baik didukung dengan luas
areal lahan terbesar di Kabupaten Sumedang,
memiliki pasar khusus tembakau dimana hanya
terdapat 2 di seluruh Indonesia dan memliki
tembakau khusus yaitu tembakau mole
METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah daya saing
tembakau Indonesia dengan melihat salah satu petani
sebagai representatif usahatani yang diteliti yaitu di
Desa Sukasari, Kecamatan Tanjung Sari, Kab,
Sumedang, Sumedang, Jawa Barat. Pemilihan lokasi
dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan
mempertimbangkan bahwa Desa Sukasari
merupakan penghasil tembakau dan memiliki
kelompok tani terbanyak di Kabupaten Sumedang.
Desain penelitian yang digunakan adalah kuantitatif
dengan teknik penelitian metode survey. Menurut
Zikmund (1997) metode penelitian survei adalah satu
bentuk teknik penelitian sampel berupa orang melalui
pertanyaan-pertanyaan. Menurut Bailey (1982)
metode penelitian survei merupakan satu metode
penelitian yang teknik pengambilan datanya
dilakukan melalui pertanyaan β tertulis atau lisan.
Alat analisis yang digunakan adalah Policy
Analysist Matrix (PAM) untuk mengukur daya saing
dan dampak kebijakan pemerintah.
Data yang digunakan adalaha data primer dan
sekunder dimana primer didapat dari hasil
wawancara petani sebagai responden dan sekunder
didaptkan dari referensi yang representatif.
Cara mendapatkan data primer dengan
menggunakan kuesioner yang disusun secara
terstruktur yang memuat pertanyaan terkait biaya
pengeluaran sampai pemasaran produk.
Cara Menentukan Responden
Dua tahap dalam menentukan responden yaitu
dengan menggunakan rumus Slovin dan perhitungan
proporsional sampling.
Slovin digunakan untuk menentukan jumlah
responden yang akan diwawancarai. Dalam hal ini
terdapat 35 responden dari populasi sebesar 184 jiwa.
Kemudian proporsional sampling digunakan untuk
mendaptkan proporsi petani yang seimbang dari tiap
kelompok tani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Harga Privat
Harga privat adalah harga yang didasarkan pada
harga aktual. Harga tersebut mencerminkan keadaan
usahatani dari rata-rata pendapatan dan biaya atau
perilaku petani saat ini. Hasil survey lapangan
memperoleh harga privat input dan output di tingkat
petani disajikan pada tabel. 13. Rata-rata harga NPK
adalah Rp. 8772,727/kg, dan Za Rp. 2760/lt. Harga
insektisida Rp. 200.000,00/lt untuk curacron, dan
fungisida Rp. 120.000,00/lt untuk antrakol.
Upah tenaga kerja petani bervariasi
tergantung pada petani yang memiliki modal. Upah
tenaga kerja laki-laki untuk kegiatan di lapangan
mulai dari penanaman hingga panen berkisar pada
Rp. 40.000,00 β Rp. 70.000,00. Masing-masing
tenaga kerja membawa peralatan kerja sendiri.
149
Rata-rata sewa lahan yang dikeluarkan
petani berkisar Rp. 300.000,00 hingga Rp.
500.000,00 bergantung jenis sewa lahan yang
dipakai. Ada 2 jenis lahan yang dipakai yaitu lahan
kering dan lahan sawah (wawancara petani). Harga
lahan sawah lebih besar dibanding lahan kering
karena tembakau lebih baik ditanam pada lahan
sawah.
Tabel 2. Harga Privat dan Harga Sosial
Harga Sosial
Penentuan harga sosial hanya bisa dilakukan
dengan pendugaan (approximation). Pendugaan
harga sosial untuk barang tradabel, baik untuk
barang-barang impor maupun ekspor, untuk output
maupun input adalah sama. Harga sosial untuk
produk tersebut adalah border price (harga impor
untuk importabes, dan harga ekspor untuk
eksportables). Harga sosial barang tradabel (benih,
NPK, Za, insektisida, fungisida) disajikan pada tabel
13. Harga sosial untuk benih tembakau sebesar Rp.
613,00/pohon, pupuk NPK sebesar Rp. 7.809,00/Kg,
pupuk Za sebesar Rp. 6.385,00/Kg, insektisida
sebesar Rp. 313.192,00/Lt, dan fungisida sebesar Rp.
156.746,00/Kg. Harga sosial untuk barang non-
tradabel di asumsikan sama dengan harga privatnya.
Perhitungan harga sosial tembakau dijelaskan pada
lampiran 7 dengan nilai sebesar Rp. 156.746/Kg.
Harga sosial untuk tenaga kerja diduga sama
dengan harga privatnya karena tidak ditemui distorsi
kebijakan akan ketengakerjaan petani tembakau.
Asumsi ini didasarkan pada informasi yang didapat
dari informan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah
yang mempegaruhi langsung mengenai biaya
ketenagakerjaan.
Matrix PAM
Komponen Pendapatan Input
Keuntungan Tradable Non-Tradable
Privat 2130966667 345403708 645274167 1140288792
Sosial 27260219347 535170069 645274167 26079775111
Divergensi -25129252680 -189766361 0 -24939486319
Data pada tabel matrix PAM diatas diperoleh dari
bujet usahatani yang dibahas pada subbab
sebelumnya. Perhitungan bujet privat menghasilkan
nominal yang digunakan dalam perhitungan matrix
PAM. Hal serupa juga dilakukan pada tingkat sosial.
Kedua nominal yang dihasilkan pada masing-masing
bujet privat akan dianalisis dengan melihat distorsi
atau divergensi antara bujet privat dan bujet sosial.
Keuntungan privat didefinisikan sebagai pengukur
daya saing pada tingkat harga aktual atau petani.
Keuntungan sosial didefinsikan sebagai pengukur
efisiensi pada tingkat harga sosial.
Divergensi Input dan Ouput Tradable
Suatu divergensi akan menyebabkan harga
aktual berbeda dengan harga efisiensi. Divergensi
timbul karena salah satu dari dua sebab β kegagalan
pasar atau distorsi kebijakan. Kegagalan pasar terjadi
apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive
outcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar
pada umumnya adalah monopoli, externality dan
faktor (produksi) domestik tidak sempurna.
Kebijakan distortif adalah intervensi pemerintah
yang menyebabkan harga asar berbeda dengan harga
efisiensinya.
Menghitung Keuntungan
Menghitung keuntungan merupakan langkah
untuk mengukur keuntungan yang dihasilkan
usahatani dalam satu musim tanam per hektarnya.
Ada 2 jenis perhitungan yaitu pada tingkat petani
(privat) dan pada tingkat internasional (sosial).
Kategori Uraian Satuan Harga
Privat Sosial
Input
Tradable
Benih Rp/Pohon 1778,33 612,892
Pupuk
a. NPK Rp/Kg 8772,73 7.809,41
b. Za Rp/Kg 2760 6.385,75
Pestisida
a.
Insektisida Rp/Lt 200000 313.192,00
c. Fungisida Rp/Kg 120000 156.746,00
Input
Non-
Tradable
Peralatan
a. Cangkul Rp/Unit 100000 100000
b. Arit Rp/Unit 20000 20000
c. kored Rp/Unit 25000 25000
d. rajang Rp/Unit 200000 200000
e. sasag Rp/Unit 4000 4000
f.
semprotan Rp/Unit 800000 800000
g. amril Rp/Unit 60000 60000
h. rimagan Rp/Unit 300000 300000
i. osreng Rp/Unit 42000 42000
j. parang Rp/Unit 80000 80000
k. pompa
air Rp/Unit 3100000 3100000
Tenaga
Kerja Rp/HOK 39892,9 39892,86
Sewa Lahan 400000 400000
150
1. Keuntungan Privat (PP)
Keuntungan privat merupakan hasil
pengurangan pendapatan privat dengan biaya
tradabel dan non-tradabel privat. Pada tabel
matrix PAM dapat dilihat bahwa keuntungan
menunjukkan angka positif sebesar Rp.
32.579.679,00/hektar. Nominal yang dihasilkan
merupakan rata-rata dari penghasilan 35
responden yang telah diolah. Hasil positif
keuntngan privat berarti secara finansial
kegiatan usahatani mengalami keuntungan.
2. Keuntungan Sosial (SP)
Keuntungan sosial merupakan hasil
pengurangan pendapatan sosial dengan biaya
tradabel dan non-tradabel sosial. Tabel matrix
PAM menunjukkan angka positif sebesar Rp.
118.298.670,00/hektar. Hal tersebut
menunjukkan secara ekonomi pengusahaan
komoditas tembakau mengalami keuntungan.
Keuntungan yang diperoleh dari 2 tingkat harga
memiliki perbedaan yang signifikan. Pada umumnya,
kondisi lapangan memberikan informasi yang sesuai
dengan hasil perhitungan penerimaan privat. Hasil
perhitungan tingkat sosial menunjukkan nominal
yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan petani
menerima keuntungan yang tidak seharusnya.
Diduga perbedaan harga tembakau penyebab distorsi
keuntungan pada kedua tingkat.
Menghitung Efisiensi (Keunggulan Komparatif
dan Kompetitif)
Daya saing dapat dilihat dari tingkat efisiensi
yang menyebakan suatu usahatani memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif. Keunggulan
kompetitif dihitung melalui rasio biaya privat (PCR)
sedangkan keunggulan komparatif dihitung melalui
rasio biaya sumber daya (DRC).
1. Rasio Biaya Privat (PCR)
Perhitungan rasio biaya privat menggunakan
nominal pada matrix PAM dengan hasil 0,361
yang dimana menunjukkan usahatani tembakau
memiliki keunggulan kompetitif.
2. Rasio Biaya Sumber Daya (DRC)
Perhitungan rasio biaya sumber daya
menggunakan nominal pada matrix PAM
dengan hasil 0,024 yang dimana menunjukkan
usahatani tembakau memiliki keunggulan
komparatif.
Nilai PCR dan PP dalam analisis keunggulan
kompetitif merupakan indikator yang menunjukkan
tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat
keuntungan pengusahaan tembakau secara finansial.
Nilai PCR sebesar 0,361 menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan nilai tambah output tembakau sebesar
satu satuan, diperlukan tambahan biaya faktr
domestik sebesar 0,361 satuan. Hal tersebut
menggambarkan bahwa komoditas tembakau mampu
bersaing dengan komoditas sejenis dari produk impor
dalam negeri maupun ekspor mancanegara.
Nilai DRC dan SP merupakan indikator yang
menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan
sumberdaya secara ekonomi. Nilai DRC pada lokai
penelitian adalah 0,024. Nilai ini menunjukkan
bahwa untuk meningkatkan nilai tambah output
tembakau di Desa Sukasari sebesar satu satuan
diperlukan biaya tambahan faktor domestik sebesar
0,024 satuan. Hal tersebut menggambarkan bahwa
komoditas tembakau Desa Sukasari mampu hidup
tanpa bantuan pemerintah dan memiliki peluang
ekspor yang besar. Indikator lainnya adalah
keuntungan sosial. Apabila keuntungan sosial
bernilai positif maka petani menerima keuntungan
sosial dari biaya perhitungan sosial. Oleh karena itu,
bila dilihat dari hasil analisis DRC dan SP petani
mampu untuk mandiri tanpa ada intervensi
pemerintah.
Dapat disimpulkan dengan melihat nilai PCR
dan DRC bahwa tembakau Desa Sukasari memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif.
Menghitung Dampak Kebijakan Pemerintah
Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu
aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif
maupun negatif terhadap pelaku dari sistem tersebut.
Kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dapat
menentukan keberhasilan pengembangan usaha
dalam rangka meningkatkan devisa. Kebijakan dapat
mempengaruhi keuntungan maupun produktivitas
suatu kegiatan ekonomi. Dampak kebijakan
pemerintah dapat dilihat dari analisis matriks PAM
melalui beberapa indikator yaitu kebijakan terhadap
output, kebijakan terhadap input, dan kebijakan
terhadap input-output.
1. Kebijakan Output
a. Transfer Output (TO)
Nilai transfer output menunjukkan besarnya
intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai
transfer output yang dihasilkan dari matrix PAM
sebesar negatif Rp. 717.978.648,00/hektar yang
berarti masyarakat mengeluarkan biaya yang
lebih kecil, lebih kecil dari harga yang
seharusnya dibayarkan dan produsen menerima
harga yang lebih rendah dari harga yang
seharusnya diterima.
b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)
NPCO menilai kebijakan pemerintah yang
menghambat atau mendukung ekspor melalui
pajak. Matrix PAM menunjukkan hasil sebesar
0,078 yang berarti ada kebijakan pemerintah
151
yang menghambat ekspor output yang berupa
pajak.
2. Kebijakan Input
a. Transfer Input (TI)
Transfer input menjelaskan besaran penerimaan
pemerintah yang ditandai positif atau negatifnya
nominal yang dihasilkan matrix PAM. Matrix
PAM menunjukkan nominal sebesar negatif Rp.
5.421.896,00/hektar yang berarti kebijakan
pemerintah mengakibatkan keuntungan yang
diterima secara finansial lebih kecil
dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)
Hasil matrix PAM menunjukkan nominal
sebesar 0,645 yang berarti adanya hambatan
ekspor yang menyebabkan produksi
menggunakan input lokal. Hal ini
mengindikasikan adanya subsidi yang diberikan
pemerintah terhadap input tradabel sehingga
petani mengeluarkan biaya yang lebih rendah
dibanding biaya input tradabel sosialnya.
3. Transfer Faktor (TF)
Nilai transfer faktor menunjukkan besarnya
subsidi terhadap input non-tradabel. Hasil
matrix PAM menunjukkan nominal sebesar 0
yang berarti tidak ada subsidi pemerintah pada
input non-tradabel.
Kebijakan pemerintah dapat berupa
meningkatkan ataupun menghambat. Kebijakan itu
berupa subsidi/pajak. Dampak kebijakan pemerintah
dilihat dari nilai TO dan NPCO. Secara keseluruhan
kebijakan pemerintah memberikan hambatan beupa
pajak dilihat dari nilai NPCO sebesar 0,078 dan
secara implisit terdapat transfer dari konsumen
kepada produsen tembakau di Desa Sukasari.
Besarnya dampak kebijakan pemerintah
terhadap input produksi tembakau dilihat dari nilai
TI, NPCI dan TF. Nilai TI menunjukkan harga input
tradabel pada struktur harga privat lebih rendah
dibandingkan pada struktur harga sosial. Diduga
pemerintah melakukan subsidi terhadap input
tradabel sehingga biaya input petani berkurang tetapi
keuntungan pemerintah berkurang. TF memiliki nilai
sebesar 0 yang berarti bahwa petani membayar biaya
input domestik setara dengan struktur sosialnya.
Hasil analisis menunjukkan nilai NPCI sebesar
0,645. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap input mendorong peningkatan
daya saing komoditas tembakau di lokasi penelitian.
NPCI yang bernilai kurang dari 1 menggambarkan
bahwa harga privat input tradabel
lebih rendah dibanding harga sosialnya sebesar
64,5%.
Menghitung Kebijakan Input-Output
1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC)
EPC menunjukkan arah kebijakan pemetintah
apakah bersifat melindung atau menghambat
produksi domestik secara efektif. Hasil matrix
PAM menunjukkan angka sebesar 0,066 yang
berarti rendahnya proteksi yang diberlakukan
pemerintah dalam sistem produksi.
2. Transfer Bersih (TB)
Transfer bersih menunjukkan ketidakefisienan
dalam sistem produksi. Matrix PAM
menujukkan nilai transfer bersih sebesar negatif
Rp. 712.556.752,00/Hektar yang berarti adanya
kerugian finansial produsen yang disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada
input dan output.
3. Koefisien Keuntungan (PC)
PC menunjukkan dampak kebijakan pemerintah
terhadap keuntungan yang diterima oleh
produsen. Matrix PAM menunjukkan nilai PC
sebesar 0,044 yang berarti kebijakan pemerintah
mengakibatkan keuntungan yang diterima
produsen lebih besar daripada tanpa adanya
kebijakan.
4. Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
Matrix PAM menunjukkan nilai SRP sebesar
negatif 0,956 yang berarti kebijakan pemerintah
menyebabkan produsen mengeluarkan biaya
produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk
berproduksi.
Analisis Sensitivitas
Untuk mengukur sensitivitas hasil analisis
terhadap berubahnya asumsi nilai tukar, digunakan
tiga kemungkinan nilai tukar. Sebagai basis, nilai
tukar yang dipakai adalah nilai tukar per 8 agustus
2015 sebesar Rp. 13.604,00/Dollar. Analisis
sensitivitas dilakukan dengan mengukur dampak
berubahnya nilai tukar terhadap keuntungan sosial.
Komponen Pendapatan
Input
Keuntungan Keuntungan
Privat Perbandingan
Tradabel
Non-
Tradabel
Apresiasi 19992638736 575938800 409812500 19006887436 12331195827 154,137
Depresiasi 24540214813 494620362,7 409812500 23635781951 12331195827 191,675
152
Dua kemungkinan yang digunakan adalah Rp.
14.964,00 diumpamakan apabila nilai tukar
mengalami apresiasi dan Rp. 12.244,00
diumpamakan apabila nilai tukar mengalami
depresiasi. Nilai apresiasi dan depresiasi tersebut
berkisar 10 persen dari nilai tukar basis.
Tabel 3. Matrix Kuntungan dengan Asumsi Apresiasi
dan Depresiasi Nilai Tukar
Hasil analisis menunjukkan betapa sensitifnya
usahatani tembakau terhadap perubahan nilai tukar.
Keuntungan sosial akan menurun apabila nilai tukar
menguat dan sebaliknya, keuntungan sosial akan
meningkat apabila nilai tukar menurun. Hal ini
diakibatkan tingkat harga internasional tembakau
yang tinggi bilai dibandingkan dengan harga privat
(petani).
Implikasi Kebijakan
Hasil analisis menunjukkan petani memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif apabila dilihat
dari keuntungan sosial dan keuntungan privat serta
kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor
tembakau dan menimbulkan ketidakefisienan pada
input dan output tembakau.
Pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan
terhadap faktor input dan output. Hasil analisis matix
PAM menunjukkan bahwa ada beberapa poin akibat
penerapan kebijakan pemerintah.
1. Keuntungan yang diterima pemerintah secara
finansial lebih kecil dibandingkan tanpa adanya
kebijakan.
2. Adanya proteksi yang menyebabkan petani
menggunakan produksi dalam negeri.
3. Tidak ada subsidi terhadap input non-tradabel.
4. Rendahnya proteksi terhadap sistem produksi.
5. Adanya ketidakefisienan dalam sistem produksi
karena kebijakan yang diterapkan pada input
dan output.
6. Kebijakan pemerintah menyebabkan produsen
mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari
biaya imbangan untuk berproduksi.
7. Nilai tukar memiliki tingkat sensitivitas yang
tinggi terhadap keuntungan sosial.
Pemerintah memiliki kebijakan yang ketat terhadap
komoditas tembakau. Seperti yang telah dijelaskan
pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 109 Tahun 2012 bahwa ada 3 pokok
pembahasan dalam peraturan pemerintah yaitu
pembatasan, perizinan dan pengujian. Pembatasan
tersebut dikenakan pada produksi tembakau sampai
pada pemasaran produk olahan tembakau atau rokok.
Pembatasan ini akan mempengaruhi secara
signifikan terhadap keuntungan privat para petani
karena apabila permintaan ekspor turun maka
perusahaan pengolah tembakau akan sulit untuk
memasarkan hasil olahan tembakaunya. Oleh karena
itu, petani pun akan mengurangi hasil produksi hasil
tembakau dan pemasukannya pun akan berkurang1.
Selain itu, pembatasan iklan hasil olahan tembakau
dan area bebas rokok akan mengurangi konsumsi
masyarakat terhadap rokok. Besarnya biaya input
pun akan memperkecil keuntungan yang diterima
petani.
Perizinan yang dimaksud adalah bahwa untuk
memproduksi tembakau produsen harus memiliki
izin yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan. Pengujian yang dimaksud adalah semakin
ketatnya pengedaran tembakau tanpa hasil pengujian
laboratorium terakreditasi sehingga seluruh produsen
tembakau wajib menguji kadar kandungan yang
dimiliki tembakau yang dihasilkannya (Departemen
Kesehatan, 2012). Keadaan tersebut akan
mempersulit petani-petani kecil karena kebanyakan
petani yang belum mengetahui pengetahuan
mengenai perizinan dan pengujian tembakau terlebih
hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran petani.
Subsidi dan pajak pun sangat berpengaruh
terhadap pendapatan petani. Hal tersebut dijelaskan
pada hasil analisis Matrix PAM yang menjabarkan
bahwa terjadi ketidakefisienan dalam sistem
produksi. Ketidakefisienan tersebut terlihat dari
perbedaan keuntungan sosial dan keuntungan privat
dan didukung dengan kondisi petani yang sulit
berkembang walaupun menurut salah satu responden
βtembakau jarang merugiβ.
Pemerintah juga melakukan proteksi terhadap
bahan-bahan produksi dalam negeri. Ketentuan
tentang besarnya tarif impor mendukung hasil
analisis tersebut. Tingginya tarif impor menyebabkan
petani menggunakan bahan-bahan produksi dalam
negeri.
Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai
pembatasan, perijinan, pengujian, subsidi, pajak
hingga proteksi secara keseluruhan menyudutkan
pihak petani. Responden penelitian pun menjelaskan
bahwa banyak kebijakan pemerintah yang tidak
mendukung petani tembakau. akan tetapi, tembakau
masih menjadi andalan Indonesia dengan pemasukan
pajak hasil olahannya yang besar tiap tahunnya.
Dengan kata lain, walaupun kebijakan pemerintah
tidak berpihak pada petani tembakau pemerintah
masih membutuhkan peran petani tembakau dengan
hasil olahannya. Oleh karena itu, perlu ada
pembahasan lebih lanjut mengenai kebijakan yang
lebih berperan netral dan saling mendukung diantara
kedua pihak.
Sejauh ini petani masih terbantu oleh harga
interansional tembakau yang tinggi sehingga harga
jual tembakau daerah pun masih bisa menutupi
kebijakan pajak. Hasil analisis matrix PAM juga
153
menunjukkan tembakau masih memiliki keunggulan
kompetitif dan komparatif. Keadaan tersebut harus
dipertahankan untuk tetap bersaing di pasar
internasional.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil
analisis, maka kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian adalah:
1. Usahatani tembakau di Desa Sukasari memiliki
keunggulan kompetitif dan komparatif.
Keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan
nilai PCR < 1. Nilai PCR pada hasil analisis
adalah 0,361. Hal ini menunjukkan usahatani
tembakau memiliki keunggulan kompetitif.
Keunggulan komparatif ditunjukkan dengan
nilai DRCR < 1 yaitu 0,024 yang berarti
menunjukkan usahatani tembakau memiliki
keunggulan komparatif.
2. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari
nilai NPCO dan NPCI. NPCO yang didapat
sebesar 0,078 yang berarti ada kebijakan
pemerintah yang menghambat ekspor ouput
berupa pajak. NPCI yang didapat sebesar 0,645
yang berarti adanya proteksi terhadap input
lokal dan mengindikasikan adanya subsidi
terhadap input tradabel sehingga petani
mengeluarkan biaya yang lebih rendah
dibandingkan biaya input tradabel sosialnya.
3. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah
menyudutkan pihak petani seperti pembatasan,
perijinan, pengujian dan pajak. Akan tetapi,
tingginya harga tembakau dunia diduga
membantu meningkatkan daya saing tembakau
dalam negeri.
Saran
Berdasarkan pada kesimpulan, maka saran
dari peneliti adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya penyuluhan secara merata untuk
menjaga keunggulan baik kompetitif maupun
komparatif karena secara umum tembakau Desa
Sukasari sudah memiliki daya saing sehingga
langkah untuk menjaganya menjadi prioritas.
Penyuluhan yang diberikan bisa berupa materi
teknis budidaya maupun mengenai sudut
pandang atau cara berpikir untuk mengetahui
potensi yang dimiliki desa.
2. Perlu adanya peninjauan kembali tentang
kebijakan pajak yang dibebankan pada
tembakau. Nilai NPCO yang sangat kecil
menunjukkan peran pajak yang sangat besar
dalam menghambat ekspor tembakau.
Peninjauan pajak dilakukan untuk mengetahui
porsi yang tepat untuk diberikan kepada ekspor
output tembakau sehingga petani dapat
mengembangkan usaha tembakau.
3. Perlu adanya antisipasi pemerintah seperti
diversifikasi olahan tembakau dengan
mengembangkan teknologi baru karena
tingginya tingkat harga tidak akan selamanya
membantu menjaga daya saing tembakau.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. dan Soedarmanto. 1982. Budidaya
Tembakau. Jakarta: CV. Yasaguna
Adisewojo, R.S. 1962. Bercocok Tanaman
Tembakau. Bandung: Sumur Bandung
BP3K. 2011. Data Jumlah Kelembagaan Petani.
http://bp3ktanjungsari.blogspot.com/2011/03/
data-keadaan-kelompok-tani.html. diakses
pada 09/05/2015 pukul 1.31
Cahya Indah Franiawati, Wan Abbas Zakaria dan
Umi Kalsum. 2013. Daya Saing Jagung di
Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur.
Darsono dan Ashari. 2004. Manajemen Keuangan.
Yogyakarta: BPFE
Departemen Kesehatan. 2012. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012
Tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan.
(Http://Pppl.Depkes.Go.Id/_Asset/_Regulasi/
47_Pp%20nomor%20109%20tahun%202012.
Pdf) diakses pada 22/08/2015
Ini Rahmatika, Venti. 2011. Analisis Daya Saing
Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX
(Persero) Kebun Getan/Assinan Kabupaten
Semarang. Surakarta
Drs. Hendra Halwani, M.A. dan DR. H. Prijono
Tjiptoherijanto. Perdagangan Internasional
Pendekatan Ekonomi Mikro dan Makro.
Ghalia Indonesia: 1993
Fendi. 2013. Pembatasan Produksi Tembakau.
http://www.hukumonline.com (Diakses pada
tanggal 2 Maret 2015)
Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek
Pertanian. Edisi Kedua. Universitas
Indonesia. Jakarta
Hamidi, Hirwan. 2007. Daya Saing Tembakau
Virginia Lombok di Pasar Ekspor. Raja Empat
Halwani, Hendra & Tjitorerijanto, Prijono. 1993.
Perdagangan Internasional: Pendekatan
Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Krisna Setiawan, Slamet Hartono dan Any
Suryantini. 2014. Analisis Daya Saing
Komoditas Kelapa di Kabupaten Kupang.
Kupang: Politeknik Pertanian Negeri Kupang
Nurhayat, Wiji. 2013. Ini 6 Negara Penghasil
Tembaau Terbesar di Dunia.
154
www.detikfinance.com (Diakses pada tanggal
27 Februari 2015)
Pearson, S, Carl Gotsch. 2005. Aplikasi Policy
Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia.
Terj. SjaifulBahri (ed). Jakarta: Penerbit
Yayasan Obor Indonesia.
Pusat Data dan Sistemb Informasi Pertanian
Sekretariat Jenderal β Kementrian Pertanian.
2014. Ooutlook Tembakau 2014.
Saptana, Sunarsih dan Kurnia Suci Indraningsih.
2006. Mewujudkan Keunggulan Komparatif
Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui
Pengembangan Kemitraan Usaha
Hortikultura. Bogor: Laporan Hasil Penelitian.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24
No. 1, Juli 2006 : 61 β 76.
Saptana, Supena Friyatno dan Tri Bastuti P. 2013.
Analisis Dayasaing Komoditi Tembakau
Rakyat di Klaten Jawa Tengah. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian
Simatupang, P. 1990. Comparative Advantage and
Government Protection Structure of Soybean
Production in Indonesia. Comparative
Advantage and Protection Structures of
Livestock and Feedstuff Subsector in
Indonesia (Ed. F. Kasryno and P.
Simatupang). Bogor: Center for Agrieconomic
Research, AARD.
Sudaryanto, T dan P. Simatupang. 1993. Arah
Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan
Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif
Pengembangan Agribisnis di Indonesia.
Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, IPB.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suwarto dan Y. Octavianty. 2010. Budidaya 12
Tanaman Perkebunan Unggulan. Jakarta:
Swadaya
Rahmatika, Venti Dini. 2011. Analisis Daya Saing
Kopi (Coffea sp) PT Perkebunan Nusantara IX
(PERSERO) Kebun Getas/Assinan Kabupaten
Semarang. Surakarta: Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Warr, P. G. 1992. Comparative Advadtage and
Protection in Indonesia. Bulletin of Indonesia
Economic Studies, 28 (3), 41-70.
155
Analisis Risiko Produksi Bunga Mawar Potong (Rosa hybrida) (Studi Kasus di
Rosalia Flowers, Desa Cihideung, Kecamatan Parompong, Kabupaten Bandung
Barat)
Risk Analysis of Roses Production (Rosa hybrida) (A case study of Rosalia Flowers in
Cihideung, Parongpong District, West Bandung Regency)
Dery Luvitasari1, Sara Ratna Qanti1
Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci:
Analisis Risiko,
Produksi,
Mawar,
Diagram Tulang Ikan,
FMEA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko produksi pada bunga mawar potong
di Rosalia Flowers. Desain penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dan
teknik penelitian studi kasus. Identifikasi risiko menggunakan Fish Bone Diagram
untuk mengetahui penyebab kegagalan dan akibat terjadinya risiko berdasarkan
sumber risiko produksi. Analisis risiko menggunakan metode FMEA (Failure Mode
and Effect Analysis), menghasilkan risiko berdasarkan nilai RPN dan RSV tertinggi
yang harus segera dilakukan penanganan yaitu serangan hama dan penyakit, SOP tidak
terdokumentasikan dengan baik, kelalaian tenaga kerja dalam proses pasca panen, dan
pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana. Strategi mitigasi risiko serangan
hama dan penyakit dengan melakukan perawatan dan pemeliharaan greenhouse secara
berkala. Strategi mitigasi untuk risiko SOP yang tidak terdokumentasikan dengan baik
adalah dengan membuat dokumentasi SOP untuk budidaya bunga mawar potong di
Rosalia Flowers. Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian tenaga kerja dalam proses
pasca panen yaitu dengan mengadakan program pelatihan untuk karyawan. Strategi
mitigasi untuk pengadaan bahan baku produksi yang tidak terencana adalah dengan
membuat jadwal tanam, membuat peramalan permintaan untuk mengetahui jumlah
kebutuhan bahan baku, dan menggunakan metode Economic Order Quantity (EOQ)
untuk mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti pupuk, pestisida, dan bibit yang
harus dipesan agar dapat meminimumkan total biaya persediaan dan menentukan
pembelian yang optimal.
ABSTRACT
Keywords:
Risk Analysis,
Production,
Roses,
Fishbone Diagram,
FMEA
The aims of this research is to determine risk of roses production at Rosalia Flowers.
Design of this research is qualitative descriptive and case study method. Risk
identification using Fish Bone Diagram to find out the causes of the failure and the
consequent occurrence of risk based on risk of production. Risk analysis method using
FMEA (Failure Mode and Effect Analysis), resulting in a risk based on the value of
the RPN (Risk Priority Number) and RSV (Risk Score Value) the highest should be
immediately to be eliminated, and those are pest and disease attack, SOP
undocumented, the omission of labor in post-harvest processes, and procurement of
raw materials production is not planned. Mitigation strategies risk pests and diseases
with the care and maintenance of the greenhouse at regular intervals. Mitigation
strategies for undocumented SOP is to make the documentation of SOP for the
cultivation of roses in Rosalia Flowers. Mitigation strategies for risk neglect labor in
post-harvest processes is to implement a training program for employees. Mitigation
strategies for procurement of raw material production is not planned is to schedule
planting roses, create demand forecasting to know the amount of raw material
requirements, and using the method of Economic Order Quantity (EOQ) to find out
how many raw materials such as fertilizer, pesticides, and seeds must be ordered to be
minimising the total cost of the inventory and determine the optimal purchases.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
156
PENDAHULUAN
Subsektor hortikultura terdiri dari sayuran,
buah-buahan, florikultura serta tanaman obat.
Komoditas agribisnis florikultura meliputi tanaman
hias daun,bunga potong, serta bunga pot. Saat ini
bunga potong merupakan bunga yang paling banyak
digunakan seperti untuk acara pernikahan,
keagamaan, kelahiran, ucapan selamat sampai acara
kematian. Fungsi tanaman hias tersebut tidak hanya
itu, banyak industri yang memanfaatkan tanaman
hias sebagai bahan makanan, minuman, pewangi,
maupun kerajinan tertentu. Hal tersebut menjadikan
bisnis tanaman hias merupakan salah satu bisnis yang
mempunyai peluang usaha yang cukup menjanjikan.
Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan
produksi di setiap tahunnya.
Tabel 1. Luas panen, Produksi, dan Produktivitas
Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2011-
2013
Sumber : BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura
(2014).
Salah satu jenis bunga yang sudah dikenal
dan banyak disukai oleh konsumen adalah mawar
(Rosa hybrida L.). Bunga mawar merupakan salah
satu komoditas agribisnis florikultura yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek usaha
yang cerah. Hal ini dikarenakan permintaan yang
banyak, baik pasar dalam maupun luar negeri. Mawar
juga merupakan salah satu bunga yang paling banyak
diminati masyarakat karena penampilannya yang
cantik dan indah serta aromanya yang harum dan
khas, sehingga dijuluki queen of flower. Bunga
mawar dapat dibudidayakan menjadi bunga potong,
bunga pot, dan tanaman penghias taman. Bagi para
produsen bunga potong mawar di Indonesia, bunga
potong mawar merupakan salah satu pilihan utama
untuk ditanam, selain karena merupakan salah satu
primadona bunga potong, bunga mawar bersifat
universal yang diminati oleh semua kalangan baik
remaja, dewasa dan orang tua.
Jawa Barat merupakan sentra produksi
bunga mawar potong. Salah satu daerah yang
memiliki luas panen dan produksi terbesar di Jawa
Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten
Bandung Barat menyumbangkan sebanyak 72,8
persen dari total produksi mawar di Jawa Barat.
Kecamatan parongpong merupakan kecamatan di
Kabupaten Bandung Barat yang paling banyak dalam
memproduksi bunga mawar, hal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Luas Tanam, Panen, dan Produksi Tanaman
Mawar Menurut Kecamatan Tahun 2012
No Kecamatan Luas
Tanam
(m2)
Luas
Panen
(m2)
Produksi
(kg)
1 Ngamprah 14.500 6.500 25.000
2 Parongpong 160.000 10.000 2.980.250
3 Lembang 165.000 80.000 1.340.000
4 Cisarua 95.000 60.000 1.700.000
Total 434.500 156.500 6.045.250
Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)
Salah satu daerah di Kecamatan Parongpong
yang memiliki kemajuan usaha tanaman hias dan
merupakan sentra tanaman hias adalah Desa
Cihideung. Desa Cihideung merupakan ikon pusat
agrowisata yang menampilkan pemandangan
berbagai jenis bunga yang asri dan indah. Desa
Cihideung dengan keunggulan tanaman hiasnya,
menjadikan desa tersebut disebut sebagai βKawasan
Wisata Bungaβ. Bunga mawar merupakan tanaman
hias yang menjadi komoditi utama dan primadona di
daerah tersebut. Mawar memiliki bentuk bunga yang
indah dan nilai jual yang tinggi. Bunga mawar dari
Desa Cihideung sangat populer di kalangan
masyarakat dan bagi turis domestik maupun
mancanegara.
Perusahaan yang membudidayakan bunga
mawar potong di desa tersebut adalah Rosalia
Flowers. Rosalia Flowers adalah perusahaan yang
mempunyai lahan paling besar disekitar tempat
tersebut dengan luas sekitar 3.850 m2. Bunga mawar
potong sebagai komoditas unggulan di Rosalia
Flowers. Target produksi perusahaan yaitu sebesar
1400 kodi per bulan, namun hasilnya berfluktuasi di
setiap bulannya. Hal tersebut dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3. Produksi Bunga Mawar Potong di Rosalia
Flowers Tahun 2015
No. Bulan Target
(Kodi)
Produksi
(Kodi)
Persentase
Grade
(A,B) (C)
1 Januari
2015
1400 1610 70% 30%
2 Februari
2015
1400 1359 68% 32%
3 Maret
2015
1400 1641 70% 30%
4 April
2015
1400 1710 80% 20%
5 Mei 2015 1400 1418 82% 18%
Sumber : Rosalia Flowers (2015)
Fluktuasi yang terjadi diakibatkan oleh
proses perencanaan dan pemeliharaan dalam
kegiatan produksi yang kurang optimal. Menurut
Kountur (2004) risiko produksi sangat penting untuk
Tahun
2011 2012 2013
Luas Panen
(m2)
27.182.451 28.275.476 30.087.328
Produksi
(tangkai)
513.102.12
4
643.334.448 718.557.786
Produktivitas
(tangkai/m2)
191,27 210,94 228,12
157
diperhatikan karena pengelolaan risiko yang tidak
baik akan menimbulkan kerugian yang sangat besar
dan menyebabkan terganggunya keseluruhan
aktivitas bisnis pada suatu perusahaan atau usahatani.
Adanya fluktuasi produksi yang terjadi di Rosalia
Flowers menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji
dan menjadi alasan untuk melakukan penelitian.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis dan
mengelola risiko produksi dalam usahatani bunga
mawar potong di Rosalia Flowers, sehingga dapat
diambil keputusan yang tepat untuk dapat
menghindari atau mengurangi risiko yang dihadapi
oleh perusahaan tersebut.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
Bunga mawar merupakan salah satu
komoditas agribisnis florikultura yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi dan prospek usaha yang cerah.
Rosalia Flowers merupakan salah satu usaha dalam
bidang agribisnis yang memproduksi bunga mawar
potong. Dalam proses produksinya Rosalia Flowers
dihadapkan pada kendala fluktuasi produksi
komoditas bunga mawar potong sehingga
mengindikasikan adanya risiko produksi. Penelitian
ini menggunakan fishbone untuk mengindentifikasi
sumber-sumber yang menyebabkan risiko produksi.
Penilaian risiko menggunakan FMEA (Failure Mode
and Effect Analysis) dengan memberikan nilai/score
pada setiap sumber risiko tersebut untuk selanjutnya
diberikan strategi pengendalian risiko yang baik
untuk Rosalia Flowers. Kerangka pemikiran dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah
metode kualitatif deskriptif. Untuk mengindentifikasi
sumber-sumber risiko menggunakan Fishbone dan
menganalisis risiko produksi bunga mawar potong
menggunakan analisis FMEA (Failure Mode and
Effect Analysis). Teknik penelitian yang digunakan
adalah studi kasus. Penentuan sumber data/informasi
158
dilakukan secara sengaja (Purposive) dengan
pertimbangan karena anggapan bahwa informan
dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan
yang menjadi sumber informasi mengenai penelitian
ini.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Teknik
pengumpulan data diperoleh dari observasi,
wawancara, dan studi pustaka. Data primer diperoleh
melalui pengamatan langsung, pencatatan, dan
wawancara dengan pemilik perusahaan dan manajer
bagian produksi di Rosalia Flowers. Pemilik
perusahaan dipilih karena dianggap paling
mengetahui tentang kondisi perusahaan pada saat ini
dengan menyuluruh, dan manajer produksi dipilih
karena dianggap mengetahui informasi mengenai
penyebab-penyebab adanya risiko produksi pada
perusahaan dengan menyeluruh. Data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber data penunjang,
seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen
Pertanian, perpustakaan serta situs-situs yang terkait
dengan penelitian dan literatur yang relevan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rosalia Flowers terletak di Desa Cihideung,
Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Secara geografis Desa Cihideung berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian tersebut cocok untuk budidaya bunga mawar potong. Suhu udara rata-rata di Rosalia Flowers adalah 20-35oC. Banyaknya curah hujan adalah sebesar 3.500-5.000 mm per tahun, dengan kelembaban udara 84,63%. Bunga mawar memerlukan penyinaran matahari 5-6 jam setiap harinya. Berdasarkan besarnya suhu, curah hujan dan kelembaban udara di lokasi tersebut kurang baik untuk budidaya mawar potong karena memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi.
Sementara kelembaban udara yang dibutuhkan untuk budidaya mawar adalah 70-80%, suhu 16-300C, dan curah hujan berkisar 1500-3000 mm/tahun (Dirjen Hortikultura).
Rosalia Flowers memiliki luas lahan sebesar 3.850m2 yang terdiri dari tiga greenhouse dan lahan untuk pembibitan. Status lahan yang dimiliki adalah lahan milik pribadi sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sewa lahan. Modal yang digunakan untuk memulai usahatani bunga mawar adalah modal pribadi sebesar Rp 350.000.000.
Struktur organisasi di Rosalia Flowers dipimpin oleh pimpinan utama yang membawahi bagian produksi, bagian pemasaran, dan bagian keuangan. Bagian produksi dan pemasaran masing-masing memiliki tenaga kerja yang turut membantu. Pembagian tugas dan wewenang di Rosalia Flowers dilakukan secara informal. Sehingga meskipun terdapat tugas masing-masing, namun semua bagian di Rosalia Flowers ikut turun langsung dalam kegiatan bisnis, khususnya membantu pada proses produksi. IDENTIFIKASI RISIKO
Sumber risiko merupakan sumber utama penyebab terjadinya suatu kegagalan. Indikasi adanya risiko produksi ditunjukkan oleh adanya fluktuasi atau variasi jumlah produksi ataupun produktivitas yang dihasilkan (Ercilia, 2013). Hal ini tampak terlihat jelas pada jumlah produksi di Rosalia Flowers yang mengalami fluktuasi. Sumber risiko produksi di Rosalia Flowers diidentifikasi menggunakan diagram sebab-akibat (fishbone diagram). Bagian dari kepala ikan yang berada disebelah kanan adalah masalah atau topik yang akan di cari tahu penyebabnya. Pada bagian tulang ikan (garis diagonal) berisi kategori yang bisa berpengaruh terhadap risiko produksi yang merupakan sebab utama. Garis-garis kecil dari garis diagonal adalah sub-sebab.
Gambar 2. Fish Bone Diagram
159
Sumber risiko produksi di Rosalia Flowers
diidentifikasi berdasarkan faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal di kategorikan menjadi
manusia, metode, manajemen dan material.
Sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi
lingkungan.
Manusia merupakan faktor internal yang
berperan penting dalam proses produksi. Kendala
yang terjadi di Rosalia Flowers adalah kedisiplinan,
kelalaian, dan keterampilan tenaga kerja.
Kurang sesuainya lingkungan tumbuh bunga
mawar potong di Rosalia Flowers juga menjadi
risiko, seperti suhu udara, kelembaban, dan curah
hujan yang tinggi. Hal tersebut juga akan memicu
terhadap pertumbuhan hama dan penyakit yang
menyerang bunga mawar potong di Rosalia Flowers.
Selain itu angin kencang yang sering terjadi di
Rosalia Flowers menjadi risiko karena akan merusak
fasilitas-fasilitas produksi, seperti greenhouse.
Kategori metode merupakan sumber risiko
internal dari risiko produksi. Risiko yang dihadapi
yaitu ketidaksesuaian jumlah pestisida dengan
kebutuhan tanaman, karena pestisida yang diberikan
dicampurkan secara keseluruhan tidak sesuai dengan
kebutuhan dari tanaman tersebut. Selain itu SOP
yang diterapkan tidak terdokumentasikan dengan
baik, dan ketidaksesuaian jumlah air yang diberikan
karena perusahaan tersebut kesulitan untuk
mendapatkan air.
Kategori material merupakan faktor internal
dari proses produksi. Greenhouse merupakan salah
satu fasilitas produksi di Rosalia Flowers. Apabila
greenhouse mengalami kerusakan maka fungsi
greenhouse untuk menghindari dan memanipulasi
kondisi lingkungan akan terganggu, sehingga akan
menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman. Material
harus dikontrol secara kontinu agar proses produksi
menjadi optimal. Kerusakan greenhouse diakibatkan
oleh kurangnya pemeliharaan dan perlakuan
pembaharuan secara berkala. Selain itu Saluran air
yang tersumbat sering terjadi di Rosalia Flowers hal
tersebut akan berisiko bagi proses produksi
khususnya apabila sedang musim penghujan dengan
curah hujan yang tinggi. Saluran tersebut tersumbat
oleh sisa-sisa daun yang rontok atau sisa-sisa daun
dari proses pemangkasan yang tidak terbuang.
Kendala Rosalia Flowers dalam hal
manajemen yaitu pemberian tugas dan wewenang
yang kurang jelas, sehingga semua pekerjaan yang
ada dikerjakan oleh seluruh bagian yang ada di
Rosalia Flowers, sehingga tidak dapat fokus dengan
tugas dan wewenangnya masing-masing. Pengadaan
input produksi yang tidak terencana juga menjadi
risiko, hal tersebut meliputi tidak adanya jadwal
khusus untuk pembelian input produksi sehingga
biaya untuk membeli input produksi menjadi lebih
tinggi. Selain itu perencanaan jadwal tanam yang
kurang baik, masa produktif untuk bunga mawar
adalah sekitar 3-5 tahun dan harus segera dilakukan
penggantian dengan tanaman mawar yang baru,
namun Rosalia Flowers sudah 6 tahun tidak
melakukan pergantian terhadap bunga mawar
tersebut.
ANALISIS RISIKO
Setelah dilakukan identifikasi risiko dengan
menggunakan fishbone diagram, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis risiko
menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect
Analysis). Pada Tabel 4 terdapat jumlah skor untuk
kejadian, skor keparahan, dan skor kemampuan
mendeteksi yang berisikan permasalahan penyebab
kegagalan yang merupakan risiko produksi bunga
mawar potong di Rosalia flowers.
Tabel 4. Skor Kejadian, Skor Keparahan, dan Skor
Deteksi pada Risiko Produksi Bunga
Mawar Potong di Rosalia Flowers
Setelah dilakukan rincian mengenai risiko
produksi di Rosalia Flowers, kemudian dilakukan
analisis mengenai beberapa risiko yang memiliki
nilai RPN dan RSV yang tertinggi. RPN dihitung
untuk mengetahui nilai prioritas risiko yang harus
segera ditangani. RSV dihitung untuk mengetahui
nilai penyebab risiko yang paling tinggi di Rosalia
Flowers. Risiko yang memiliki nilai RPN paling
tinggi merupakan penyebab yang berpengaruh
terhadap seluruh aktivitas yang terjadi di Rosalia
Flowers
160
Tabel 5. Risk Priority Number (RPN) Tertinggi dari
Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di
Rosalia Flowers
Tabel 6. Risk Score Value (RSV) Tertinggi dari
Risiko Produksi Bunga Mawar Potong di
Rosalia Flowers
Berdasarkan tabel 5 dan tabel 6
memperlihatkan perhitungan RPN dengan nilai
tertinggi yang berarti merupakan permasalahan yang
memiliki prioritas lebih besar untuk segera dilakukan
penanganan dan RSV dengan nilai tertinggi
merupakan penyebab paling tinggi terjadinya suatu
kegagalan. RPN dan RSV yang paling tinggi adalah
serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan
penyakit akan menimbulkan banyak kerugian bagi
perusahaan. Kerugian yang dialami perusahaan mulai
dari gagal panen, jumlah produksi menurun,
kerusakan pada fisik sehingga akan terjadi penurunan
nilai ekonomis dari bunga tersebut, dan pertumbuhan
tanaman akan terganggu.
Berdasarkan nilai RPN dan RSV yang
tertinggi kemudian langkah selanjutya adalah
membuat Grafik Pareto. Analisis Pareto digunakan
untuk memperjelas risiko mana yang menjadi
prioritas dan penyebab risiko paling tinggi yang
menyebabkan terjadinya kegagalan. Grafik Pareto
untuk Risk Priority Number (RPN) dan Risk Score
Value (RSV) adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Grafik Pareto Risk Priority Number
Gambar 4. Grafik Pareto Risk Score Value
Menurut prinsip pareto dengan aturan 80/20
menggambarkan bahwa 80% kejadian risiko yang
muncul berasal dari 20% agen risiko yang
menyebabkannya. Oleh karena itu berdasarkan grafik
pareto dari nilai RPN dan RSV akan ditentukan risiko
terpilih yang termasuk kedalam 20% penyebab utama
munculnya risiko yang terjadi adalah serangan hama
penyakit dan SOP yang tidak terdokumentasikan
dengan baik.
Berdasarkan pada grafik pareto yang telah
ditentukan, nilai kritis untuk Risk Priority Number
(RPN) adalah 357 dan nilai kritis untuk Risk Score
Value (RSV) adalah 56. Sehingga dibuat diagram
pencar (scatter plot) untuk Risk Priority Number
(RPN) dan Risk Score Value (RSV) dengan tujuan
untuk menemukan persimpangan kedua nilai kritis.
Risiko dengan nilai tertinggi dapat segera diambil
pencegahannya terlebih dahulu. Diagram pencar
dapat dilihat pada Gambar 5.
161
Gambar 5. Pengelompokkan Risiko Berdasarkan RPN dan RSV
Daerah kanan atas merupakan risiko dengan
kemungkinan terjadi dan keparahan yang besar serta
kemampuan dekteksi yang rendah karena memiliki
RPN dan RSV yang tinggi, sehingga merupakan
risiko mendesak yang memerlukan penanganan
secepatnya. Pada daerah tersebut terdapat empat
risiko yang terdiri dari serangan hama dan penyakit,
SOP tidak terdokumentasikan dengan baik, kelalaian
tenaga kerja dalam proses pasca panen, dan
pengadaan bahan baku yang tidak terencana. Risiko-
risiko tersebut merupakan yang paling kritis karena
memiliki dampak yang besar terhadap kelangsungan
produksi bunga mawar potong di Rosalia Flowers.
STRATEGI MITIGASI RISIKO
Strategi mitigasi untuk mengurangi serangan
hama dan penyakit dengan melakukan perbaikan dan
pemeliharaan/perawatan greenhouse secara berkala,
penambahan fasilitas dan melengkapi greenhouse
dengan pemasangan indikator kelembaban, dan alat
pengukur suhu.
Strategi mitigasi untuk SOP yang tidak
terdokumentasikan dengan baik adalah dengan
membuat dokumentasi SOP budidaya mawar potong
di Rosalia Flowers. Dengan mendokumentasikan
SOP dengan baik akan menghasilkan kualitas dan
teknis yang konsisten dan sesuai dengan kebutuhan
perusahaan untuk tetap bersaing di dunia bisnis
bunga mawar potong.
Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian
tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan
mengadakan program pelatihan untuk karyawan.
Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan
kuantitas dan kualitas produktivitas, membentuk
sikap, loyalitas, dan kerja sama yang lebih
menguntungkan, memenuhi kebutuhan perencanaan
sumber daya manusia, mengurangi frekuensi dan
biaya kecelakaan kerja, dan membantu karyawan
dalam peningkatan dan pengembangan pribadi.
Strategi mitigasi untuk masalah pengadaan
input produksi yang tidak terencana adalah dengan
melakukan peramalan permintaan dengan melihat
pola data kebutuhan bahan baku produksi,
sebelumnya dilakukan penjadwalan tanam untuk
bunga mawar potong. Selanjutnya menggunakan
metode Economic Order Quantity (EOQ) untuk
mengetahui berapa jumlah bahan baku seperti bibit,
pupuk, dan pestisida yang harus dipesan, metode ini
dapat meminimumkan total biaya persediaan dan
menentukan pembelian yang optimal.
PENUTUP
Sumber-sumber risiko yang terdapat di
Rosalia Flowers dilihat dari faktor eksternal dan
internal. Faktor internal di kategorikan menjadi
manusia, metode, manajemen dan material.
Sedangkan faktor eksternal dikategorikan menjadi
lingkungan. Berdasarkan diagram pencar terdapat
risiko yang harus diprioritaskan yaitu serangan hama
dan penyakit, SOP tidak terdokumentasikan dengan
baik sebesar, kelalaian tenaga kerja pada saat proses
pasca panen, dan pengadaan bahan baku produksi
tidak terencana.
Strategi mitigasi risiko eksternal yaitu
serangan hama dan penyakit dengan melakukan
perawatan dan pemeliharaan greenhouse secara
berkala, serta penambahan fasilitas dan melengkapi
greenhouse dengan pemasangan indikator
kelembaban, dan alat pengukur suhu. Strategi
mitigasi untuk SOP tidak terdokumentasikan dengan
baik adalah dengan membuat dokumentasi SOP
untuk budidaya bunga mawar potong di Rosalia
Flowers, dengan mendokumentasikan SOP dengan
baik pihak perusahaan akan memiliki perencanaan
162
yang lebih strategis yaitu efisiensi pada setiap proses
kerja dalam setiap unit kerja di perusahaan Rosalia
Flowers.
Strategi mitigasi untuk risiko kelalaian
tenaga kerja dalam proses pasca panen yaitu dengan
mengadakan program pelatihan untuk karyawan,
dengan menggunakan metode on the job training.
Strategi mitigasi untuk pengadaan bahan baku
produksi yang tidak terencana adalah dengan
membuat jadwal tanam bunga mawar, membuat
peramalan permintaan untuk mengetahui jumlah
kebutuhan bahan baku, dan menggunakan metode
Economic Order Quantity (EOQ) untuk mengetahui
berapa jumlah bahan baku seperti pupuk, pestisida,
dan bibit yang harus dipesan agar dapat
meminimumkan total biaya persediaan dan
menentukan pembelian yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2014). Statistik Produksi
Hortikultura. http://bps.go.id (diakses
pada tanggal 5 Desember 2014).
Darmawi, Herman. (2006). Manajemen Risiko.
Jakarta: Bumi Aksara.
Fahmi, Irham.(2010). Manajemen Risiko: Teori,
Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
Harwood, J.; Heifner, R.; coble, K.; Perry, J. and
Somwaru, A. Managing Risk in
Farming:Concepts,Research, and
Analysis. USA.
Kountur R. (2004). Manajemen Risiko: Memahami
Cara Mengelola Risiko Operasional
Perusahaan. Jakarta: PPM.
Situngkir, Ercilia. (2013). Analisis Sumber-Sumber
Risiko pada Proses Produksi Jamur
Tiram Putih. Institut Pertanian Bogor.
163
Pelaksanaan Program Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA)
Cireundeu (Studi Kasus di Kampung Adat Cireundeu, Kecamatan Cimahi
Selatan, Kota Cimahi)
Implementation of Food Security Tourism Village Cireundeu (Case Study at Cireundeu
Village, South Cimahi Sub District, Cimahi District
Dessy Silviani1, Anne Charina2
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21
A B S T R A K
Kata Kunci: Cireundeu,
DEWITAPA,
program,
kendala,
wisata
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi program terlaksana dan tidak
terlaksana pada DEWITAPA Cireundeu. Selain itu, akan dicari kendala dari
pengembangan DEWITAPA Cireundeu. Desain penelitian yang digunakan adalah
kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Informan ditentukan dengan sengaja
(purposive). Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data
menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan
program DEWITAPA terdiri dari program terlaksana dan tidak terlaksana. Program
yang terlaksana antara lain sosialisasi dan FGD DEWITAPA, peningkatan
kelembagaan lokal serta penguatan nilai tambah produk olahan dan kewirausahaan.
Program tidak terlaksana antara lain pola kemitraan, pemetaan wilayah, penataan seni,
promosi dan launching DEWITAPA. Program yang tidak sepenuhnya terlaksana
berdampak pada Cireundeu yang belum siap menjadi sebuah kawasan wisata. Kendala
yang dihadapi oleh Cireundeu sebagai sebuah kawasan wisata antara lain sarana dan
prasarana, keterlibatan masyarakat sekitar, promosi yang belum dilakukan, serta
keterlibatan pihak swasta maupun pemerintah.
ABSTRACT
Keywords: Cireundeu,
DEWITAPA,
program,
constraints,
tourism
The objective of this research to identify programs implemented and not implemented
in DEWITAPA Cireundeu. Moreover, it will look for the constraints of development
DEWITAPA Cireundeu.. The research design used qualitative method specifically the
case study technique. This research was conducted in Cireundeu Village, South Cimahi
Sub District, Cimahi District. Informants were selected purposively. The data used
primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis.The
result showed that the implementation of the program consists of courses DEWITAPA
implemented and not implemented. The program has been completed including
socialization and FGD DEWITAPA, local institutional improvement and
strengthening value-added processed products and entrepreneurship. The program
was not implemented, among others, a partnership, regional mapping, the
arrangement of art, promotion and launching DEWITAPA. Programs that do not fully
materialize impact on Cireundeu not yet ready to become a tourism area. Constraints
faced by Cireundeu as a tourism area among other facilities and infrastructure,
involvement of local communities, the promotion of which has not been done, and the
involvement of the private sector and government.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
164
PENDAHULUAN
Salah satu komoditas pangan yang mempunyai
arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia adalah
beras, karena beras merupakan makanan pokok
hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Hampir
97% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras
sebagai makanan pokok utama. Hal ini
mengindikasikan ketergantungan terhadap beras
sangat tinggi (Louhenapessy, dkk.2010).
Konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia
tahun 2013 mencapai 97,4 kg/kapita/tahun.
Meskipun cenderung mengalami penurunan jumlah
rata-rata konsumsi dari tahun ke tahun, namun
Indonesia masih merupakan negara dengan tingkat
konsumsi beras tertinggi pertama di Asia. Konsumsi
Beras di Korea mencapai 40 kg/perkapita/tahun,
Jepang 50 kg/kapita/thn, Malaysia 80 kg/kapita/thn
dan Thailand 70 kg/kapita/thn. Tingginya angka
konsumsi beras nasional dikarenakan beras
merupakan budaya pangan yang sudah mendarah
daging di kalangan masyarakat Indonesia. Pada
Tabel 1 disajikan data perkembangan konsumsi
bahan makanan yang mengandung beras di rumah
tangga.
Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Bahan Makanan
yang Mengandung Beras di Indonesia Tahun Konsumsi Pertumbu
han (kg/kapita/
minggu)
(kg/kapita/
tahun)
2002 2,0656 107,7057
2003 2,0789 108,4018 0,65
2004 2,0520 106,9991 -1,29
2005 2,0190 105,2770 -1,61
2006 1,9945 103,9980 -1,21
2007 1,9188 100,0507 -3,80
2008 2,0116 104,8909 4,84
2009 1,9603 102,2146 -2,55
2010 1,9321 100,7453 -1,44
2011 1,9728 102,8661 2,11
2012 1,8727 97,6455 -5,08
2013 1,8680 97,4045 -0,25
Sumber: SUSENAS, BPS diolah Pusdatin (2013)
Image atau citra bahwa pangan hanya
disimbolkan dengan beras semata merupakan inti
permasalahannya. Masyarakat Indonesia dominan
mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Disisi
lain masih banyak sumber panganyang berpotensi
menggantikan beras. Contohjagung, kentang, ubi
jalar, sagu, dan masih banyak alternatif lainnya yang
nilai gizinya tidak kalah dengan beras. Pola konsumsi
beras yang tinggi dibandingkan pangan alternatif lain
disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu
beberapa macam Bahan Pangan Pokok 2010-2013
Sumber: Badan Pusat Statistika (2013)
Kampung Adat Cireundeu dihuni oleh
masyarakat yang menganut kepercayaan sunda
wiwitan yang masih menjalankan tradisi leluhur.
Budaya dan kesenian sunda masih dilestarikan oleh
masyarakat Cireundeu hingga sekarang. Masyarakat
adat menjalankan tradisi leluhur dalam kehidupan
sehari-hari tidak terkecuali pada sistem pertanian.
Berbagai ritual dilakukan pada saat setiap kegiatan
agraris dari mulai penanaman singkong hingga
kegiatan pasca panen.
Masyarakat Cireundeu memenuhi kebutuhan
pangan masyarakatnya dari hasil budidaya singkong
dengan memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya.
Hasil panen singkong tersebut digunakan untuk
memenuhi lumbung singkong tiap keluarga terlebih
dahulu, jika ada sisa barulah dijual keluar.
Masyarakat tidak menjual singkong dalam bentuk
segar namun diolah dulu menjadi RASI, tepung aci
maupun opak. Kebutuhan masyarakat akan singkong
selalu terpenuhi bahkan masyarakat bisa menjual
olahan singkong tersebut ke luar daerah. Hal tersebut
menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai Desa
Mandiri Pangan.
Kampung Adat Cireundeu memiliki banyak
keunikan yang dapat dijadikan sebagai daya tarik
masyarakat luar untuk berkunjung ke Cireundeu.
Keunikan Kampung Adat Cireundeu yang berbeda
dari desa lainnya antara lain: budaya mengkonsumsi
singkong yang dilakukan sejak 1918, merupakan
Desa Mandiri Pangan dengan komoditas songkong,
dihuni oleh masyarakat adat sunda wiwitan yang
masih melestarikan tradisi leluhur, memiliki atraksi
kesenian sunda yang bernilai seni tinggi, serta
terdapat beberapa olahan yang berpotensi untuk
dikembangkan.
Beragam keunikan yang ada di Kampung
Cireundeu belum banyak dikenal oleh masyarakat
luar Cireundeu. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran dari
pihak luar untuk membantu mengembangkan potensi
tersebut serta memberitahukannya kepada
masyarakat luas. Sehingga peran Pemerintah Kota
dibutuhkan dalam pengembangan serta
penyebarluasan keunikan yang dimiliki oleh
Cireundeu.
Jenis Bahan
Makanan Sat. 2010 2011 2012 2013
Beras lokal/ketan
Kg 1,733 1,721 1,675 1,642
Jagung Basah
dengan kulit
Kg 0,018 0,012 0,011 0,011
Jagung
pocelan/
pipilan
Kg 0,030 0,023 0,029 0,025
Ketela Pohon Kg 0,097 0,111 0,069 0,067
Ketela
Rambat Kg 0,044 0,055 0,045 0,045
165
Pemerintah Kota Cimahi melihat keunikan
Cireundeu sehingga Cireundeu diarahkan menjadi
sebuah kawasan wisata. Melihat potensi dan
keunikan Cireundeu Pemkot Cimahi menjadikan
Cireundeu sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan.
Cireundeu belum siap untuk dijadikan sebuah
kawasan wisata, sehingga dibutuhkan program
pembangunan dan pengembangan daerah untuk
dijadikan kawasan wisata. Pemkot Cimahi
melakukan perencanaan program kerja DEWITAPA
yang kemudian diaplikasikan di Cireundeu.
Pembangunan Desa Wisata Ketahanan Pangan
merupakan program kerja 3 tahun yang mulai
dilakukan pada tahun 2010. Program DEWITAPA
Cireundeu melibatkan beberapa pihak antara lain
Pemkot Cimahi, UNPAD, UNJANI serta masyarakat
Cireundeu. Pada pelaksanaanya, program kerja
DEWITAPA terdapat beberapa program yang tidak
terlaksana.
Setelah adanya pengembangan kawasan
wisata, kini Cireundeu bisa menjadi salah satu
alternatif untuk melakukan wisata budaya. Wisata
budaya merupakan salah satu wisata yang cukup
menarik, karena budaya dari setiap daerah memiliki
ciri khas sendiri.Tabel 3 di bawah ini menunjukan
desa wisata budaya berupa kampung adat di Jawa
Barat.
Tabel 1.Wisata Kampung Adat di Jawa Barat
No. Nama Kampung Adat Lokasi
1 Kampug Urug Kab. Bogor
2 Kampung Ciptagelar Kab. Sukabumi
3 Kampung Adat Mahmud Kab. Cipatik
4 Kampung Pulo Kab. Garut
5 Kampung Naga Kab. Tasik
6 Kampung Kuta Kab. Ciamis
7 Kampung Dukuh Kab. Garut
8 Kampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar
Kab. Sukabumi
9 Kampung Adat Sirna Resmi Kab. Sukabumi
10 Kampung Adat Cireundeu Kab. Cimahi
Sumber: disparbud.jabarprov.go.id
Beragam kampung adat yang tersebar di Jawa
Barat memiliki keunikan atau potensi sendiri.
Beberapa diantaranya seperti Kampung Naga yang
mempertahankan bentuk bangunan rumah yang
terbuat dari kayu, bambu, atap dan ijuk serta
mempertahankan salah satu tradisi yaitu Upacara
Gusaran.2 Kampung Adat Ciptagelar yang masih
mempertahankan tradisi terutama upacara adat pada
saat menanam padi.3 Sedangkan Kampung Adat
Cireundeu memiliki keunikan yaitu budaya
masyarakat yang mengolah dan menjadikan
2 Maulana, Rizal. 2015. Keunikan Wisata Kampung Naga
di Tasikmalaya. log.viva.co.id (Diakses pada Maret 2015).
singkong sebagai makanan pokok serta
masyarakatnya yang kental dengan budaya sunda.
Kampung Adat Cireundeu dikenal dengan
budaya mengkonsumsi beras singkong (RASI) yang
masih dipertahankan dan harus disebarluaskan
pemanfaatannya. Selain Kampung Adat Cireundeu,
beberapa Desa Wisata yang memiliki potensi dari
segi pangan lokal antara lain dapat dilihat pada Tabel
4.
Tabel 2. Desa Wisata yang Memiliki Potensi Pangan
Lokal
Desa Wisata Lokasi Potensi
Pangan Pangan Olahan
Desa Wisata
Rumah Dome Sleman
Ketela
pohon
Brownies ketela, tape singkong,
keripik belut
daun singkong,
dll
Desa Wisata
Pagergunung Ngablak
Magelang Ketela,
Jagung
Balok ketela,
marning jagung, ceriping ketela
Desa Wisata Jelok
Gunung Kidul
Jantung pisang
Gudeg jantung pisang
Sumber: Diolah Penulis (2015)
Program pengembangan DEWITAPA yang
belum tunas pun akan berdampak pada kurang
optimalnya pengembangan Cireundeu menjadi
sebuah kawasan wisata. Sehinga akan diteliti lebih
lanjut kendala pengembangan Cireundeu sebagai
kawasan wisata yang dapat menjadi acuan untuk
pembenahan Kampung Adat Cireundeu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Adat
Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Barat. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif
dan teknik penelitian studi kasus.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara,
observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Penelitian
ini menggunakan analisis deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tahapan Pembentukan DEWITAPA Program DEWITAPA dilakukan sejak tahun
2010 dengan pelaksanaan program dibagi kedalam 3
tahapan. Kegiatan pada pelaksanaan tahun ke satu
difokuskan pada kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
di beberapa bidang sebagai hasil dari identifikasi
masalah yang diperoleh pada kegiatan Forum Grup
Diskusi. Kegiatan utama yang dilakukan di kampung
ini terutama menyangkut peningkatan nilai tambah
ekonomi terhadap pangan pokok masyarakat, yaitu
Rasi. Berikut merupakan tahapan program
pembangunan DEWITAPA:
3 Anonim. 2012. Masyarakat Adat Desa Ciptagelar.
wacananusantara.org (Diakses pada Maret 2012).
166
Gambar 1. Tahapan Program DEWITAPA
Cireundeu
Program yang terlaksana maupun ada program
yang tidak terlaksana. Dapat dilihat pada Tabel 15
program yang terlaksana dan program tidak
terlaksana pada pelaksanaan pembangunan
DEWITAPA Cireundeu:
Tabel 3. Status Program Pembangunan
DEWITAPA No. Program Status
1. Sosialisasi dan FGD
DEWITAPA
Terlaksana
2. Peningkatan Kelembagaan
Lokal
Terlaksana
3. Penguatan nilai tambah produk
olahan dan kewirausahaan
Terlaksana
4. Pola Kemitraan Tidak
Terlaksana
5. Pemetaan Wilayah Tidak
Terlaksana
6. Penataan Seni Tidak
Terlaksana
7. Promosi dan Launching
DEWITAPA
Tidak
Terlaksana
Sumber: Database Pemkot Cimahi (2015)
Program Terlaksana
1. Kegiatan Sosialisasi dan FGD
Kegiatan sosialisasi dan FGD ini dimaksudkan
untuk memberikan penjelasan segala sesuatu
mengenai program Desa Ketahanan Pangan di
Kampung Cireundeu. Hasil kegiatan Sosialisasi dan
FGD menunjukan bahwa respon masyarakat cukup
tinggi terhadap program DEWITAPA.
2. Peningkatan Kelembagaan Lokal untuk
DEWITAPA Cireundeu
Dalam kegiatan ini dikembangkan kelompok-
kelompok usaha yang terdiri dari kelompok
pengolahan pangan, budidaya ikan, ternak, dan
pertanian. Kelembagaan dalam bentuk kelompok
lokal pada DEWITAPA diharapkan dapat melakukan
aktivitas dengan menjalankan fungsi manajemen,
sehingga tujuan kelompok dapat diraih. Jenis
kegiatan yang dilakukan antara lain berupa pelatihan
atau workshop dan pendampingan.
Peningkatan kelembagaan lokal bidang
pangan memiliki tema Diversifikasi Pangan yang
Berasal dari Rasi. Pelatihan pengolahan pangan
berbahan Rasi diberikan dalam bentuk buku resep
yang berisi resep produk yang dibuat dengan bahan
dasar Rasi. Hasil nya ialah lebih dari 10 jenis produk
inovasi telah dihasilkan dengan produk unggulan egg
roll. Ada juga pelatihan pengemasan dilakukan untuk
memperbaiki kemasan produk yang sudah ada dan
membuat design yang lebih menarik.
Aktivitas yang dilakukan dalam peningkatan
kelembagaan bidang peternakan antara lain ialah
peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam
bidang breeding, feeding, dan management budidaya
kambing perah PE serta peningkatan hasil panen.
Namun budidaya kambing perah PE tidak terlepas
dari kendala, dimana kendala utamanya ialah soal
pakan ternak.
Program peningkatan kelembagaan lokal
khususnya bidang pangan melahirkan 1 kelompok
unit usaha tambahan dan menciptakan beberapa
inovasi produk olahan singkong. Sekitar 10 jenis
produk inovasi telah dihasilkan dan Egg Roll kini
menjadi produk unggulan di daerah ini. Program
peningkatan kelembagaan lokal juga memberikan
inovasi produk antara lain dendeng dari kulit
singkong. Hal tersebut tentu memberikan nilai
tambah singkong, sehingga semua bagian singkong
kini bisa dimanfaatkan dan memberikan keuntungan
tambahan.
Selain itu, dengan adanya pelatihan kemasan
memberikan keuntungan kepada wirausaha
masyarakat sekitar yang menjual produk olahan
singkong. Dengan adanya design kemasan yang
menarik, memberikan nilai tambah pada produk.
Dengan adanya kemasan meningkatkan angka
penjualan serta sebagai promosi produk olahan khas
Cireundeu.
Program peningkatan kelembagaan lokal
dinilai masyarakat sudah cukup baik. Hal tersebut
dilihat dari manfaat yang telah dirasakan setelah
TAHAP 1
Identifikasi Masalah
Pembentukan Kelompok
Transfer Tekhnologi
Pola Kemitraan/ Jejaring
Penguatan nilai tambah
produk olahan dan
kewirausahaan
TAHAP 2 Pemetaan wilayah dan
Site Plan kampung wisata
Penguatan kepastian
hukum
Penataan seni-budaya
Penyusunan Grand Design
DEWITAPA
Merancang Penyediaan
Komponen Wisata
TAHAP 3
Komersialisasi dan Promosi
Home Industry
Promosi DEWITAPA
Uji Coba Kunjungan Wisata
ke DEWITAPA
Perbaikan dan Perancangan
Kesinambungan
DEWITAPA
Launching DEWITAPA
PROGRAM
DEWITAPA
167
adanya program tersebut. Kini terdapat 3 unit usaha
olahan pangan yang aktif membuat dan memasarkan
produk olahan singkong sehingga produk khas
Cireundeu bisa dikenal oleh masyarakat diluar daerah
Cireundeu, memperluas lapangan kerja serta
meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.
3. Peningkatan Usaha dan Entrepreuneurship
Para pelaku usaha mikro pada umumnya tidak
mengetahui secara rinci biaya produksi dari produk
yang dihasilkan. Sehingga permasalahan yang
muncul adalah sulit menentukan harga jual serta
keuntungan/ laba dari usaha yang mereka jalankan.
Oleh karena itu, dibutuhkan pemberian materi serta
pelatihan keterampilan dalam penentuan harga pokok
produk perlu diberikan pada para pelaku usaha mikro
sebagai dasar penentuan harga jual produk. Peserta
pelatihan adalah para pengusaha mikro yang
berjumlah 25 orang. Adapun materi yang
disampaikan adalah sebagai berikut:
Pengertian Harga Pokok Produk
Manfaat Harga Pokok Produk
Unsur biaya pembentuk Harga Pokok
Produk
Contoh sederhana perhitungan Harga
Pokok Produk
Praktik menghitung Harga Pokok Produk
Pelatihan penentuan harga pokok produk
sangat bermanfaat bagi para pelaku mikro di
Cireundeu. Sekarang para pelaku usaha mikro sudah
mulai membuat pembukuan sederhana usaha mereka.
Bagi pelaku usaha mikro di bidang olahan singkong
penentuan HPP cukup bermanfaat dikarenakan harga
bahan baku yaitu tepung aci kini cukup tinggi yaitu
Rp. 8.000,- berbeda dengan dulu sekitar 3 tahun yang
lalu yaitu Rp. 5.000,-. Kenaikan harga tersebut tentu
memberikan peningkatan pada biaya produksi
sehingga pelaku usaha harus pintar dalam
menentukan harga jual.
4. Pembangunan Salad Park
Pembangunan Salad Park dilakukan dalam
bentuk pembangunan green house pertanian organic
berukuran Β± 6m x 3m untuk memproduksi benih/
bibit lalaban, dan tanaman pangan non beras lainnya.
Tanaman tersebut terdiri dari seledri, pakcoy dan
tanaman salad lain yang ditanam didalam poly bag.
Beberapa keluarga bertugas unt
uk menyiram 10 tanaman yang ada di poly bag.
Program ini bertujuan untuk menambah daya tarik
terhadap pengunjung namun pada kenyataanya
dilapang mengalami banyak kendala. Kendala yang
dialami menurut persepsi salah seorang masyarakat
ialah tidak adanya pendampingan yang berkelanjutan
sehingga menyulitkan masyarakat dalam
pemeliharaan tanaman. Selain itu, faktor cuaca juga
menyebabkan banyaknya tanaman yang mati
sehingga masyarakat kurang merasakan manfaat dari
program pembuatan salad park tersebut.
1.2 Program Tidak Terlaksana
Program-program pada tahap 1 telah
sepenuhnya dilakukan. Pada tahap 2 dan 3 banyak
program yang tidak dilakukan. Berikut ini program-
program DEWITAPA yang tidak dilaksanakan:
1. Kegiatan Pemetaan Lahan dan Sosial
2. Menjalin Kemitraan dengan Salah Satu Toko Kue
3. Kegiatan Promosi dan Launching DEWITAPA
Kegiatan tersebut diatas belum atau tidak
dilaksanakan dikarenakan kebutuhan dana yang
diperlukan untuk melakukan program DEWITAPA
mengalami kendala. Namun dana yang seharusnya
direncanakan untuk program yang tidak
dilaksanakan, dialihfungsikan untuk kegiatan lain,
diantaranya: (a) Pelatihan pengemasan produk
olahan pangan, (b) menunjang kegiatan tahun ke-2
yaitu membangun salad park, dalam bentuk
pembangunan green house pertanian organik untuk
memproduksi benih/ bibit lalaban, dan tanaman
pangan non beras lainnya.
Kegiatan penataan wilayah serta promosi dan
launching merupakan kegiatan yang penting namun
tidak dilakukan. Meskipun tidak dilaksanakannya
program promosi dan launching, masyarakat luas
sudah mengenal Cireundeu sebagai desa
wisata.Banyak masyarakat terutama dari luar Jawa
Barat yang datang untuk belajar mengenal budaya
masyarakat Cireundeu yaitu mengkonsumsi
singkong dan melihat atraksi kesenian sunda.
1. Kendala Pengembangan DEWITAPA Cireundeu
Pengembangan Cireundeu sebagai sebuah
kawasan wisata dinilai belum optimal. Hal tersebut
dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang
masih fluktuatif, sarana dan prasarana yang masih
minim serta serta pengelolaan desa wisata masih
belum terstruktur. Hal tersebut sungguh disayangkan
mengingat Cireundeu memiliki peluang untuk
menjadi sebuah kawasan pariwisata yang
berkembang. Peluang tersebut diantaranya :
1. Wisata edukasi yang ditawarkan cocok untuk
target pasar sekolah-sekolah yang ada di daerah
Cimahi maupun di luar Cimahi. Tinggal
bagaimana masyarakat menyampaikan edukasi
semenarik mungkin sehingga memberikan
kesan kepada pengunjung.
2. Adanya dorongan dari pemerintah pusat untuk
belajar mengenal budaya keunikan daerah
sehingga dapat menjadi motivasi tersendiri bagi
Cireundeuuntuk melakukan promosi.
3. Adanya kasus βBeras plastikβ dan isu
βIndonesia akan rawan panganβ pada tahun
2025 sehingga semakin mendorong masyarakat
untuk tidak bergantung pada beras dan budaya
168
Cireundeu akan semakin menarik untuk kita
pelajari dan dipahami.
4. Sudah banyaknya pengunjung yang datang ke
Cireundeu bisa dimanfaatkan oleh masyarakat
Cireundeu sebagai ajang promosi agar
Cireundeu lebih dikenal oleh masyarakat luas.
Pada kenyataan di lapangan, Cireundeu masih
memiliki kendala dalam pengembangan sebagai
kawasan wisata diantaranya antara lain :
1. Sarana dan prasarana yang belum memadai di
Cireundeu untuk dijadikan kawasan wisata.
Tempat khusus untuk penginapan seperti kos-
kosan belum tersedia serta fasilitas umum
seperti toilet umum belum memadai.
2. Masyarakat belum seluruhnya ikut berkontribusi
dalam kegiatan pariwisata sehingga pengelolaan
masih belum terstruktur dengan baik. Dapat
dilihat dari belum ada pembagian tugas yang
jelas antar SDM, belum adanya paketan-paketan
wisata yang disuguhkan, dll.
3. Belum adanya upaya promosi yang dilakukan
oleh masyarakat sehingga pengunjung yang
datang fluktuatif.
4. Kurangnya keterlibatan pihak swasta maupun
pemerintah sehingga pembangunan kawasan
pariwisata dinilai belum optimal.
SIMPULAN
1. Program DEWITAPA pada kenyataan di
lapangan hanya efektif pada tahun pertama
dilihat dari program pada tahap 1 hampir semua
program terlaksana. Tahun kedua dan ketiga
terdapat beberapa program yang tidak terlaksana
seperti: pemetaan wilayah, menjalin kemitraan
dengan pihak luar, serta promosi dan launching.
2. Kendala yang dihadapi Cireundeu dalam
pengembangan sebagai kawasan pariwisata
antara lain : sarana prasana, keterlibatan
masyarakat sekitar, promosi yang belum
dilakukan, serta keterlibatan pihak swasta
maupun pemerintah.
SARAN
1. Cireundeu memiliki keunikan serta potensi yang
cukup banyak sehingga dibutuhkan keterlibatan
pihak luar yang lebih paham terhadap pariwisata
untuk melakukan pembangunan dan
pengembangan potensi yang ada.
2. Diperlukan tindak lanjut mengenai program
DEWITAPA ini oleh pihak yang berwenang
sehingga program kerja DEWITAPA dapat
sepenuhnya terlaksana
3. Perlu adanya kesadaran dari seluruh masyarakat
untuk bekerjasama dalam seluruh aktivitas
pariwisata di Cireundeu sehingga tidak
menimbulkan kecemburuan sosial di
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ali. 2010. Kearifan Lokal. Jurnal
Multicultural dan Multiregional Volume 9
Tahun 2010.
Azhari, Delima Hasri. 2008. Ketahanan dan
Stabilitas Pasokan, Permintaan dan Harga
Komoditas Pangan. Analisis Kebijakan
Pertanian Volume 6 No.2 Bulan Juli 2008.
Halaman 114-139.
Badan Ketahanan Pangan. 2006. Direktori
Pengembangan Konsumsi Pangan Pusat
Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta:
Departemen Pertanian
Budi, Cahyo Utomo dkk. Dampak Pengembangan
Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial di
Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Budiarto,Tri. 2013. Sebuah Pengantar untuk Anda
tentang Diversifikasi Pangan.
www.kompasiana.com(Diakses 13 Januari
2015)
Hadari, Nawawi. 2003. Manajemen Sumber Daya
Manusia Untuk Bisnis yang Kompetitif.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Halimi. 2013. Kearifan Lokal dalam Upaya
Ketahanan Pangan di Kampung Adat Urug
Bogor.Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif.
Hidayah, Nurul. 2012. Kesiapan Psikologis
Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan
Menghadapi Diversifikasi Pangan Pokok.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
Hurmayeni, Nia. 2014. Dampak Objek Wisata
Pemandian Bukit Jariang Punai Pada
Masyarakat Sekitar Kampung Baliak Koto
Kenagarian Pelangai Kaciak, Kecamatan
Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan.
STKIP PGRI Padang.
Irianto. 2011. Dampak Pariwisata Terhadap
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di
Gili Trawangan Kecamatan Pemenang
Kabupaten Lombok Utara. Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan. Vol. 7 No.3.
Irianingsih, Lilis.2014.One Day No Rice Alat untuk
Diversifikasi Pangan.
www.bkpd.jabarprov.go.id (Diakses 13
Januari 2015).
Lastinawati, Endang. 2010. Diversifikasi Pangan
dalam Mencapai Ketahanan Pangan. Dalam
AgronobiS, Vol.2 No.4, Sepetember 2010.
169
Martiani, D. 2005. Pengembangan Diversifikasi
Konsumsi Pangan. Bappenas.Jakarta.
Nugratama, Sony. 2013. Faktor Penghambat
Perkembangan Objek Wisata. Region Vol 5
No 1 Maret 2013.
Nurhaedar, Jafar. 2012. Diversifikasi Konsumsi dan
Ketahanan Pangan Masyarakat. Universitas
Hassanudin.
Nurochsyam, Mikka Wildha. 2011. Kearifan Lokal
di Tengah Modernisasi. Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata Republik
Indonesia 2011.Halaman 86. Jakarta.
Oka, Yoeti. 1997. Perencanaan dan Pengembangan
Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita
Pitana, I Gde dan Putu G Gayatri. 2007. Sosiologi
Pariwisata.Yogyakarta: Andi.
Pitana I,Gde dan I Ketut surya diarta.2009.
Pengantar Ilmu Pariwisata.
Yogyakarta:Andi Yogyakarta
Rachman, Handewi P.S. dan Mewa Arini. 2008.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan di
Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk
Kebijakan Program. Analisis Kebijakan
Pertanian Volume 6 No.2 Bulan Juli 2008. Hal
140-154.
Scarvada, A.J., Tatiana Bouzdine-Chameeva, Susan
Mayer Goldstein, Julie M. Hays, Arthur V.
Hill.2004. A Review of the Causal Mapping
Practice and Reaserch Literature. Second
World Conference on POM and 15th Annual
POM Conference, Cancun, Mexico, April 30
β May 3, 2004
Silverman, Steven N. Dan Lori L.Silverma. 1994.
Using Total Quality Tool for Marketing
Research: A Qualitative Approach for
Collecting, Organizing, and Analyzing
Verbal Response Data.
Sudiarta, Made. 2005. Dampak fisik, Ekonomi, Sosial
Budaya terhadap Pembangunan Pariwisata
di Desa Serangan Denpasar Bali. Jurnal
Manajemen dan Pariwisata Vol. 4 No. 2,
2005.
Sugiyono.2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suhardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi
Konsumsi Pangan dalam Rangka Ketahanan
Pangan. Disampaikan pada Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta.
Sulihantu.2013.Diversifikasi Pangan Harus di
Genjot.http://www.neraca.co.id//(Diakses
tanggal 13 Januari 2015)
Supadi. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan:
Masalah dan Upaya Mengatasinya.Icased
Working Paper No. 45 Bulan Maret 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.Bogor
Waluya, Jaka. 2013. Dampak Pengembangan
Pariwisata. Jurnal Region Volume V No. 1
Maret 2013. Universitas Islam 45 Bekasi.
170
171
Analisis Pendapatan Pelaku Agroindustri Keripik Tempe di Desa Buluh Rampai
Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu
Income analysis of entrepreneur agroindustry crispy chips tempe in Buluh Rampai
village Seberida district Indragiri Hulu Regency
Shorea Khaswarina1)
1Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru
A B S T R A K
Kata Kunci: keripik tempe,
agroindustri,
biaya produksi,
pendapatan,
efisiensi
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis biaya produksi dan pendapatan
pengusaha keripik tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten
Indragiri Hulu. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan April 2014 hingga
Juli 2014. Penelitian dilakukan dengan metode sensus pada 3 orang pengusaha
agroindustri keripik tempe di Desa Buluh Rampai. Pengambilan sampel dengan
mengambil pengusaha dengan menggunakan metode sensus pada agroindustri keripik
tempe di Desa Buluh Rampai Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu . Analisis
data yang digunakan berupa analisis biaya dan pendapatan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada bulan Mei 2014 total biaya terbesar dikeluarkan oleh
pengusaha 2 yaitu sebesar Rp.23.012.109. penerimaan yang diperoleh pengusaha 1
terbesar yaitu Rp.45.216.004,24 dan keuntungan yang diperoleh pengusaha 1 juga
terbesar yaitu Rp.22.631.270,11. Usaha agroindustri keripik tempe sudah efisien
karena nilai R/C rasio terbesar oleh pengusaha 1 lebih dari satu yaitu sebesar 2,00
berarti bahwa setiap Rp.1.00 biaya yang dikeluarkan dalam usaha agroindustri keripik
tempe akan memberikan pendapatan sebesar Rp.2,00.
ABSTRACT
Keywords:
chrispy chips tempe,
agroindustry,
production cost,
income,
efficiency
The purpose of this study were to determine the amount of production costs, and
income of the entrepreneur crispy chips tempe in Buluh Rampai village, Seberida
district Indragiri Hulu Regency. This research was for 3 month conducted from April
2014 until July 2014. The data collection technique was census method to agroindustry
entrepreneur of 3 entrepreneur crispy chips tempe in Buluh Rampai village. The
analysis scopes of this research were costs and revenue. The results of this research
showed that at Mei 2014 the total cost crispy chips tempe greatest by second
entreprenur was Rp. 23.012.109. Revenue greatest to first entrepreneur was
Rp.45.216.004,24 and profit to first entrepreneur by greatest was Rp.22.631.270,11.
Profitability value meant that crispy chips tempe was a profitable industry because the
first entrepreneur the value of profitability be more than one Ratio of R/C value is 2,00
meant that every Rp.1,00 costs in the production process of crispy chips tempe will
provide Rp.2,00 income.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
172
PENDAHULUAN
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki
beberapa sektor yang menjadi andalan yang mampu
menopang kehidupan masyarakat. Salah satu sektor
yang menjadi andalan tersebut adalah sektor
pertanian. Pengembangan sektor pertanian ini
selanjutnya tidak hanya untuk meningkatkan jumlah
produksi saja, tetapi juga meningkatkan kualitas
hasil, meningkatkan penyerapan tenaga kerja,
meningkatkan keterampilan pengusaha serta dapat
meningkatkan pendapatan produksi dari produk
tersebut yaitu dengan cara melakukan usaha
agroindustri.
Agroindustri merupakan industri pengolahan
yang berbahan baku utama dari produk pertanian.
Agroindustri berperan sebagai penghubung antara
sektor pertanian dan sektor industri, yang dalam
pengembangannya tidak terlepas dari dukungan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selain itu sektor ini
merupakan salah satu subsistem agribisnis yang
memiliki peranan besar dalam meningkatkan
pendapatan, penyerapan tenaga kerja lebih banyak,
memberikan dampak positif terhadap sektor lain,
serta meningkatkan devisa negara.
Salah satu produk agroindustri yang
keberadaannya cukup populer dan bersahabat dengan
kondisi perekonomian kebanyakan kalangan
masyarakat yaitu agroindustri keripik tempe yang
berbahan baku kedelai yang telah diolah menjadi
tempe. Keripik tempe merupakan makanan ringan
yang banyak disukai kalangan masyarakat. Keripik
tempe ini merupakan oleh-oleh khas dari daerah
Belilas khususnya Desa Buluh Rampai, selain itu
keripik tempe ini biasanya dijadikan cemilan dan
sesajian acara. Oleh karena itu keripik tempe ini
selalu digemari masyarakat karena kepraktisannya,
gizi yang tinggi, mengandung banyak vitamin dan
protein serta harga yang relatif terjangkau oleh
masyarakat.
Agroindustri keripik tempe memiliki potensi
yang seharusnya layak untuk dikembangkan karena
memiliki keunggulan dan memiliki prospek yang
baik untuk kedepannya. Namun agroindustri yang
ada masih berskala kecil dan rumah tangga dengan
penggunaan teknologi yang sederhana serta
kepemilikan modal yang terbatas sehingga
produksinya belum memadai secara kualitas maupun
kuantitas. Berdasarkan kondisi lokasi penelitian
maka perlu dilakukan penelitian dengan fokus
permasalahan pada besarnya biaya produksi serta
pendapatan yang diterima pengusaha keripik tempe.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
biaya produksi dan pendapatan yang diterima oleh
pengusaha keripik tempe di Desa Buluh Rampai
Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu.
KERANGKA TEORI
Tempe
Tempe merupakan bahan makanan yang sangat
digemari, walaupun dahulu pernah diremehkan
sebagai bahan makanan untuk kaum miskin. Selain
merupakan makanan sehari-hari sebagai pengganti
ikan atau daging, tempe juga digunakan sebagai
makanan selingan pada waktu-waktu tertentu dalam
bentuk tempe goreng dan keripik tempe. Selain
harganya relatif murah, proses pembuatannya
sederhana dan mudah, kandungan gizinya pun cukup
tinggi.
Tempe merupakan makanan tradisional yang
berpotensi sebagai makanan fungsional. Beberapa
khasiat tempe bagi kesehatan antara lain memberikan
pengaruh hipokolesterolemik, antidiare khususnya
karena bakteri E. coli enteropatogenik dan
antioksidan. Beberapa jenis peptide yang terdapat
pada tempe telah diketahui merupakan senyawa
bioaktif yang mempunyai fungsi penting bagi
kesehatan, misalnya untuk meningkatkan penyerapan
kalsium dan zat besi, sebagai senyawa anti-
trombotik, menurunkan kolesterol, meracuni sel
tumor, dan sebagainya (Cahyadi, 2007).
Keripik tempe merupakan makanan ringan yang
dapat dikonsumsi semua kalangan masyarakat
diantaranya digunakan sebagai pelengkap berbagai
kegiatan pada waktu luang seperti menyaksikan
siaran televisi maupun berbincang-bincang dengan
keluarga maupun rekan dan teman. Selain itu keripik
tempe merupakan biasa dijadikan oleh-oleh dari
Belilas khususnya Desa Buluh Rampai.
Keripik tempe merupakan makanan yang
terbuat dari bahan baku kedelai yang telah diolah
menjadi tempe dan beberapa bahan penunjang
lainnya. Keripik tempe adalah jenis makanan ringan
hasil olahan tempe. Kadar protein keripik tempe
cukup tinggi yaitu berkisar antara 23%-25%. Keripik
ini dikenal dengan nama keripik tempe karena
berasal dari bahan baku tempe.
Menurut Soekartawi (2000), bahwa agroindustri
dapat diartikan dua hal, yaitu: Pertama, agroindustri
adalah industri yang berbahan baku utama dari
produk pertanian dengan menekankan pada
manajemen pengolahan makanan dalam suatu
perusahaan produk olahan dimana minimal 20% dari
jumlah bahan baku yang digunakan adalah dari
pertanian. Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan
pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan
pertanian, tetapi sebelum tahapan pembangunan
tersebut mencapai tahapan pembangunan industri.
Agroindustri
Menurut Soekartawi (2000), bahwa agroindustri itu
penting karena (1) dapat meningkatkan nilai tambah,
173
(2) dapat meningkatkan kualitas hasil, (3)
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (4)
meningkatkan keterampilan pengusaha dan (5)
meningkatkan pendapatan produksi. Menurut
Saragih dan Yasin dalam Yenti (2005), bahwa
agroindustri dapat dijadikan sebagai suatu sektor
yang memimpin dalam pembangunan jangka panjang
tahap kedua. Selanjutnya diungkapkan juga beberapa
kegiatan agroindustri yang meliputi:(1) industri
pengolahan hasil pertanian dalam bentuk setengah
jadi menjadi produk akhir; (2) industri penanganan
hasil produksi pertanian segar dan sebagainya;
(3) industri pengadaan alat dan mesin pertanian serta
agroindustri lainnya.
Menurut Soekartawi (2001) dalam Praptiwi
(2015), industri skala rumah tangga dan industri kecil
yang mengolah hasil pertanian mempunyai peranan
penting yaitu: a) Meningkatkan nilai tambah, b)
Meningkatkan kualitas kerja,c) Meningkatkan
penyerapan tenaga kerja, d) Meningkatkan
keterampilan produsen, e) Meningkatkan pendapatan
produsen.
Aspek Teknis pada Proses Produksi Tempe 1, 2,
dan 3
Pengusaha 1, 2, dan 3 menyediakan bahan baku
pembuatan keripik tempe sendiri, yaitu dengan
membuat dan mengolah tempe sendiri. Adapun
tahapan dalam pembuatan tempe yang dilakukan oleh
pengusaha 1, 2, dan 3 adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tempe
pengusaha 1.
Pembeda pembuatan tempe antara pengusaha 1, 2
dan 3 adalah pada pengusaha 1 dilakukan kegiatan
pemukulan sehingga tempe yang dihasilkan
berbentuk lembaran. Sedangkan pengusaha 2 dan 3
tidak melakukan kegiatan pemukulan sehingga
tempe yang dihasilkan tebal yang kemudian
dilakukan pengirisan untuk menghasilkan tempe
yang tipis pada pembuatan keripik tempe.
Aspek Teknis Proses Produksi Keripik Tempe
Pengusaha 1, 2, dan 3
pengusaha 2 dan 3 secara manual melakukan
pengirisan tempe dengan menggunakan pisau.
Kemudian irisan-irisan tempe ini digoreng sehingga
menjadi keripik tempe. Adapun tahapan dalam
pembuatan keripik tempe yang dilakukan oleh
pengusaha adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Tahapan Pembuatan Keripik Tempe 1, 2
dan 3
Bahan Baku dan Bahan Penunjang pada Pembuatan
Tempe
Bahan baku pembuatan tempe adalah kedelai
impor. Harga bahan baku yang digunakan yaitu harga
bulan Mei 2014. Jumlah produksi tergantung
banyaknya permintaan konsumen dan kebutuhan
bahan baku tergantung produksi yang dilakukan
pengusaha. Pengusaha tidak mengalami kesulitan
dalam mendapatkan bahan baku karena pengusaha
menyimpan atau membuat stok bahan baku. Tabel 1
menunjukkan bahwa pengusaha 2 paling banyak
menggunakan bahan baku yaitu 360 kg pada bulan
Mei 2014. Hal ini dikarenakan banyaknya kebutuhan
bahan baku yang diperlukan dalam satu kali
produksi. Semua produk yang dihasilkan dalam satu
kali produksi merupakan pesanan pelanggan dan
selalu habis dalam satu hari. Walaupun bahan baku
pengusaha 2 terbanyak dibanding pengusaha 1 dan 3
namun tidak menjadikan Pengusaha 2 memproduksi
tempe terbanyak.
Kedelai
Perebusan (30 menit)
Pembelahan biji kedelai (15 menit)
Penirisan dan pencucian 1 (15 menit)
Air bersih
Pemisahan (10 menit)
Pengukusan (30 menit)
Pencucian II (10 menit)
Penirisan dan pendinginan (+ 300C)
(15 menit)
Inokulasi (5 menit)
Pembungkusan (5 menit)
Pengadukan (10 menit)
Pemukulan (1 menit)
Fermentasi t=250-30
0 C (20 jam)
Plastik
Ragi tempe
Air
Tempe
Perendaman (10 jam)
Tempe
Pemotongan dan pembuatan adonan
Penggorengan
Pengemasan
174
Bahan Baku dan Bahan Penunjang pada
Agroindustri Keripik Tempe pengusaha 1, 2 dan
3
Bahan baku dalam pembuatan keripik tempe adalah
tempe yang diukur dalam satuan kilogram.
Banyaknya kebutuhan bahan baku tergantung
banyaknya produksi yang dilakukan dalam membuat
tempe serta banyaknya permintaan konsumen.
Pengusaha tidak mengalami kesulitan dalam
mendapatkan bahan karena pengusaha melakukan
produksi tempe sendiri sebagai bahan baku.
Tabel 1. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penunjang dan Produksi pada Pembuatan Tempe oleh Pengusaha 1,
2, dan 3 pada Bulan Mei 2014
1
Penggunaan Bahan Baku pada
Pembuatan Tempe
Intensitas Produksi (kali/bln) 24
Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 342
Harga (Rp) 10.000
Total Biaya(Rp) 3.420.000
Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi,
Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada
Pembuatan Tempe
Total (Kg/Bln) 71,52
Harga (Rp) 95.000
Total Biaya (Rp/Bln) 1.649.600
Produksi tempe
Produksi (Kg/bln) 513
Harga Jual (Rp) 20.000
Nilai (Rp) 10.260.000
2
Penggunaan Bahan Baku pada
Pembuatan Tempe
Intensitas Produksi (kali/bln) 30
Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 360
Harga (Rp) 10.000
Total Biaya(Rp) 3.600.000
Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi,
Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada
Pembuatan Tempe
Total (Kg/Bln) 12,45
Harga (Rp) 372.000
Total Biaya (Rp/Bln) 531.000
Produksi tempe
Produksi (Kg/bln) 504
Harga Jual (Rp) 20.000
Nilai (Rp) 10.080.000
3
Penggunaan Bahan Baku pada
Pembuatan Tempe
Intensitas Produksi (kali/bln) 30
Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 300
Harga (Rp) 10.000
Total Biaya(Rp) 3.000.000
Penggunaan Bahan Penunjang (Ragi,
Plastik, Kayu, Gas dan Bensin) pada
Pembuatan Tempe
Total (Kg/Bln) 10,35
Harga (Rp) 642.000
Total Biaya (Rp/Bln) 582.300
Produksi tempe
Produksi (Kg/bln) 420
Harga Jual (Rp) 20.000
Nilai (Rp) 8.400.000
Tabel 2. Penggunaan Bahan Baku, Bahan Penunjang dan Produksi pada Pembuatan Keripik Tempe oleh
Pengusaha 1, 2, dan 3 pada Bulan Mei 2014
1
Bahan Baku (Tempe)
Intensitas Produksi (kali/bln) 24
Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 513
Harga (Rp) 20.000
Total Biaya(Rp) 10.260.000
Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur,
Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan
Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu,
Gas, Label)
Total (Kg/Bln) 1.075,2
Harga (Rp) 129.000
Total Biaya (Rp/PP) 433.530
Total Biaya (Rp/Bln) 10.404.720
Produksi tempe
Produksi (Kg/bln) 989,10
Harga Jual (Rp) 45.714,29
Nilai (Rp) 45.216.004,24
2 Bahan Baku (Tempe)
Intensitas Produksi (kali/bln) 30
Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 504
Harga (Rp) 20.000
Total Biaya(Rp) 10.080.000
Total (Kg/Bln) 947,17
175
Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur,
Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan
Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu,
Gas, Label)
Harga (Rp) 395.000
Total Biaya (Rp/PP) 299.721
Total Biaya (Rp/Bln) 8.991.642
Produksi tempe
Produksi (Kg/bln) 878,08
Harga Jual (Rp) 35.714,29
Nilai (Rp) 31.360.003,76
3
Bahan Baku (Tempe)
Intensitas Produksi (kali/bln) 30
Bahan Baku Kedelai (Kg/bln) 420
Harga (Rp) 20.000
Total Biaya(Rp) 8.400.000
Bahan Penunjang (Tepung Beras, Telur,
Minyak Goreng, Bumbu Adonan dan
Penyedap Rasa Plastik Bungkus, Kayu,
Gas, Label)
Total (Kg/Bln) 671,17
Harga (Rp) 654.000
Total Biaya (Rp/PP) 233.035,71
Total Biaya (Rp/Bln) 6.991.071,43
Produksi tempe
Produksi (Kg/bln) 776,53
Harga Jual (Rp) 32.857,14
Nilai (Rp) 25.514.554,92
Tabel 2 menunjukkan bahwa pengusaha 1
menggunakan bahan baku terbanyak sehingga
banyak pula menggunakan bahan penunjang. Harga
yang ditetapkan oleh pengusaha 1 juga paling tinggi.
Hal ini karena biaya produksi yang digunakan oleh
pengusaha 1 terbesar, selain itu pengusaha telah
memiliki izin usaha dan memiliki label sehingga
dapat menaikkan harga jual.
Tenaga Kerja
Agroindustri keripik tempe menggunakan
Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan
menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK)
dengan satuan Hari Orang Kerja (HOK). Upah untuk
satu HOK yang dilakukan pengusaha adalah dengan
pembayaran harian yaitu sebesar Rp. 30.000.
Tabel 3. Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada
Pembuatan Tempe Pengusaha 1, 2 dan 3
Pengusaha Kegiatan TKDK TKLK
HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp)
1 Pembuatan Tempe 0,29 15.000 - -
Pemukulan - - 3,57 15.000
2 Pembuatan Tempe 1 30.000 - -
3 Pembuatan Tempe 1 30.000 - -
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua pengusaha
dalam penggunaan tenaga kerja untuk pembuatan
tempe menggunakan Tenaga Kerja Dalam Keluarga
(TKDK) dengan HOK pengusaha 1 sebanyak 0,29
HOK per proses produksi dengan biaya Rp.15.000.
Penggunaan
HOK pengusaha 1 hanya 0,29 dikarenakan
pembuatan tempe hanya membutuhkan waktu 2 jam
kerja sehingga 2 jam dari 7 jam kerja yaitu 0,29
HOK. HOK pengusaha 2 dan 3 sebanyak 1 HOK per
proses produksi dengan biaya Rp.30.000.
Tabel 4. Total Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Dan Tenaga Kerja Luar Keluarga Pada Agroindustri
Keripik Tempe Pada Bulan Mei 2014
Pengusaha Kegiatan TKDK TKLK
HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp)
1
Pemotongan 0,86 15.000 - -
Penggorengan - - 3,43 15.000
Pengemasan - - 1 15.000
2 Pengirisan 1 30.000 - -
176
Pengusaha Kegiatan TKDK TKLK
HOK Upah (Rp) HOK Upah (Rp)
Penggorengan 1 30.000 - -
Pengemasan 1 30.000 - -
3
Pengirisan 1 30.000 - -
Penggorengan 1 30.000 - -
Pengemasan 1 30.000 - -
Analisis Usaha Tempe
Analisis usaha pembuatan tempe menggunakan
empat analisis data. Pertama, analisis biaya,
pendapatan kotor, dan pendapatan bersih untuk
mengetahui keuntungan yang diperoleh oleh
pengusaha. Kedua, analisis Return Cost Ratio (RCR)
untuk mengetahui efisiensi usaha agroindustri
pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengusaha.
Ketiga, analisis titik balik modal atau Break Event
Point (BEP) untuk mengetahui kondisi hasil usaha
yang diperoleh sama dengan modal yang
dikeluarkan. Keempat, analisis nilai tambah untuk
mengetahui nilai tambah bahan baku kedelai yang
diolah menjadi tempe.
Pendapatan Bersih
Pendapatan bersih adalah jumlah keuntungan
atau laba yang diperoleh dari selisih antara
pendapatan kotor dengan total biaya produksi. Biaya
produksi terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap.
Biaya tetap meliputi biaya penyusutan peralatan dan
biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK).
Sedangkan biaya variabel meliputi biaya bahan baku,
biaya bahan penunjang dan biaya Tenaga Kerja Luar
Keluarga (TKLK)
Tabel 5. Pendapatan Bersih Efisiensi Usaha Pada Pembuatan Tempe Pada Bulan Mei 2014 No Uraian Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3
1 Biaya Variabel (Rp) 6.335.314 4.131.000,00 3.582.300,00
A Biaya Bahan Baku (Rp) 3.420.000 3.600.000 3.000.000
B Biaya Bahan Penunjang (Rp) 1.629.600 531.000,00 582.300,00
C Biaya TKLK 1.285.714 - -
2 Biaya Tetap (Rp) 115.268,76 902.320,51 902.638,89
A Biaya Penyusutan (Rp) 12.411,62 2.320,51 2.638,89
B Biaya TKDK (Rp) 102.857 900.000 900.000
3 Total Biaya Produksi (Rp) 6.450.583,04 5.033.320,51 4.484.938,89
4 Produksi (Kg) 513 504 420
5 Harga (Rp) 20.000 20.000 20.000
6 Pendapatan Kotor (Rp) 10.260.000 10.080.000 8.400.000
7 Pendapatan Bersih (Rp) 3.809.416,96 5.046.679,49 3.915.061,11
8 Return Cost Ratio (RCR) 1,59 2,00 1,87
9 BEP Produksi 15,07 76,44 78,69
10 BEP Biaya 301.338,13 1.528.894,06 1.573.814,61
Tabel 5 menunjukkan biaya produksi untuk
biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1, hal ini
dikarenakan besarnya biaya bahan penunjang yang
digunakan oleh pengusaha 1 sehingga menyebabkan
biaya veriabel pengusaha 1 lebih besar jika dibanding
dengan pengusaha 2 dan 3. Biaya tetap terbesar oleh
pengusaha 3, hal ini dikarenakan besarnya biaya
penyusutan dan biaya TKDK. Biaya penyusutan
pengusaha 1 terbesar dibanding dengan pengusaha 2
dan 3 namun biaya TKDK pengusaha 1 terkecil
karena pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK
dalam melakukan proses produksi pembuatan tempe
sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan
biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2
dan 3.
Pendapatan kotor yang diperoleh pengusaha 1
terbesar yaitu sebesar Rp.10.260.000 hal ini
dikarenakan produksi yang dilakukan pengusaha 1
terbesar dibanding pengusaha lainnya. Pendapatan
kotor diperoleh dari hasil kali produksi pengusaha
dengan harga produk. Sedangkan pendapatan bersih
pengusaha 2 terbesar yaitu sebesar Rp.5.046.679,49
yang diperoleh dari pengurangan pendapatan kotor
dengan total biaya produksi. Hal ini karena
pengusaha 1 menggunakan biaya produksi lebih kecil
dibanding dengan pengusaha 1 sehingga
mempengaruhi perolehan pengusaha 2 dan
menyebabkan pengusaha 2 memiliki pendapatan
bersih terbesar.
Tingkat produksi menentukan pendapatan pada
pembuatan tempe. Semakin tinggi tingkat produksi
177
maka semakin tinggi pula pendapatan yang
diperoleh. Tingkat produksi tergantung pada
permintaan konsumen terhadap permintaan akan
keripik tempe karena tempe ini merupakan bahan
baku utama dalam pembuatan keripik tempe.
Efisiensi Usaha
Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa
usaha pembuatan tempe oleh pengusaha 2
mendapatkan nilai RCR terbesar jika dibanding
dengan pengusaha 1 dan 3 yaitu 2,00. Artinya setiap
Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan
pendapatan Rp.2,00 dan pendapatan bersih sebesar
Rp.1,00. Ini menunjukan bahwa usaha pembuatan
tempe menguntungkan untuk terus diusahakan.
Analisis BEP merupakan analisis balik modal
dimana pada saat kondisi tersebut usaha yang
dijalankan tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga
tidak mengalami kerugian (impas). Analisis BEP
terbaik dilakukan oleh pengusaha 1 karena pada saat
pengusaha memproduksi tempe sebesar 15,07 kg dan
pada saat mengeluarkan biaya sebesar Rp.301.338,13
pengusaha 1 telah memperoleh titik impas.
Analisis Usaha Agroindustri Keripik Tempe
Pendapatan Bersih
Tabel 6 menunjukkan biaya produksi untuk
biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1 yaitu
Rp.22.259.006. Hal ini dikarenakan besarnya biaya
bahan baku yang digunakan oleh pengusaha 1
sehingga menyebabkan biaya variabel pengusaha 1
lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3.
Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini
dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya
TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar
dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya
TKDK pengusaha 1 terkecil.
Tabel 6. Pendapatan Bersih Efisiensi Usaha Pada Agroindustri Keripik Tempe Pada Bulan Mei 2014
No Uraian Pengusaha 1 Pengusaha 2 Pengusaha 3
1 Biaya Variabel (Rp) 22.259.006 20.309.143 16.328.571
A Biaya Bahan Baku (Rp) 10.260.000 10.080.000 8.400.000
B Biaya Bahan Penunjang (Rp) 10.404.720 10.229.143 7.928.571
C Biaya TKLK 1.594.286 - -
2 Biaya Tetap (Rp) 325.728 2.702.966,35 2.702.854,17
A Biaya Penyusutan (Rp) 17.156,99 2.966,35 2.854,17
B Biaya TKDK (Rp) 308.571 2.700.000 2.700.000
3 Total Biaya Produksi (Rp) 22.584.734 23.012.109 19.031.426
4 Produksi (Kg) 989,10 878,08 776,53
5 Harga (Rp) 45.714,29 35.714,29 32.857,14
6 Pendapatan Kotor (Rp) 45.216.004,24 31.360.003,76 25.514.554,92
7 Pendapatan Bersih (Rp) 22.631.270,11 8.347.894,56 6.483.129,33
8 Return Cost Ratio (RCR) 2,00 1,36 1,34
9 BEP Produksi 14,03 214,77 228,48
10 BEP Biaya 641.553,27 7.670.446,27 7.507.320,38
Hal ini dikarenakan pengusaha 1 banyak
menggunakan TKLK dalam melakukan proses
produksi pembuatan tempe sehingga menyebabkan
pengusaha 1 menggunakan biaya tetap terkecil
dibanding dengan pengusaha 2 dan 3.
Pendapatan Bersih
Tabel 6 menunjukkan biaya produksi untuk
biaya variabel terbesar oleh pengusaha 1 yaitu
Rp.22.259.006. Hal ini dikarenakan besarnya biaya
bahan baku yang digunakan oleh pengusaha 1
sehingga menyebabkan biaya variabel pengusaha 1
lebih besar jika dibanding dengan pengusaha 2 dan 3.
Biaya tetap terbesar oleh pengusaha 3, hal ini
dikarenakan besarnya biaya penyusutan dan biaya
TKDK. Biaya penyusutan pengusaha 1 terbesar
dibanding dengan pengusaha 2 dan 3 namun biaya
TKDK pengusaha 1 terkecil. Hal ini dikarenakan
pengusaha 1 banyak menggunakan TKLK dalam
melakukan proses produksi pembuatan tempe
sehingga menyebabkan pengusaha 1 menggunakan
biaya tetap terkecil dibanding dengan pengusaha 2
dan 3.
Pendapatan kotor yang diperoleh pengusaha 1
terbesar yaitu sebesar Rp.45.216.004,24 hal ini
dikarenakan harga yang ditetapkan pengusaha
terbesar dibanding pengusaha lainnya. Penetapan
harga tertinggi merupakan strategi yang dilakukan
oleh pengusaha 1 guna memperoleh keuntungan yang
tinggi. Hal ini karena pengusaha telah melakukan
pengemasan yang baik, telah memiliki label dan telah
178
memiliki izin usaha. Pendapatan kotor diperoleh dari
hasil kali produksi pengusaha dengan harga produk.
Pendapatan bersih pengusaha 1 juga terbesar
yaitu sebesar Rp.22.631.270,11 yang diperoleh dari
pengurangan pendapatan kotor dengan total biaya
produksi. Sedangkan pendapatan bersih pengusaha 4
terkecil karena besarnya total biaya produksi dan
produksi yang terkecil bila dibanding dengan
pengusaha 2 dan 3 sehingga mempengaruhi
perolehan pendapatan bersih.
Tingkat produksi menentukan pendapatan pada
pembuatan tempe. Semakin tinggi tingkat produksi
maka semakin tinggi pula pendapatan yang
diperoleh. Tingkat produksi tergantung pada
permintaan konsumen terhadap permintaan akan
keripik tempe karena tempe ini merupakan bahan
baku utama dalam pembuatan keripik tempe.
Efisiensi Usaha
Efisiensi usaha tempe dapat dianalisis
menggunakan Return Cost Ratio (RCR).
Berdasarkan perhitungan RCR terhadap pembuatan
tempe yang dilakukan oleh semua pengusaha bahwa
kelayakan usaha pembuatan tempe sebagai bahan
baku agroindustri keripik tempe masih dapat bersaing
atau kompetitif.
Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa
usaha pembuatan tempe oleh pengusaha 1
mendapatkan nilai RCR terbesar jika dibanding
dengan pengusaha 2 dan 3 yaitu 2,00. Artinya setiap
Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan
pendapatan Rp.2,00 dan pendapatan bersih sebesar
Rp.1,00. Ini menunjukan bahwa usaha pembuatan
tempe menguntungkan untuk terus diusahakan.
RCR diperoleh dari pendapatan kotor dibagi
dengan total biaya produksi. RCR pengusaha 1
terbesar dikarenakan pendapatan kotor lebih besar 2
kali lipat dari total biaya produksi. Sedangkan RCR
terkecil oleh pengusaha 3 yaitu sebesar 1,34. Artinya
setiap Rp.1 biaya yang dikeluarkan akan memberikan
pendapatan sebesar Rp.1,34 dan pendapatan bersih
sebesar Rp.0,34. Usaha tempe pengusaha 3
menguntungkan untuk terus diusahakan namun RCR
pengusaha 3 terkecil jika dibandingkan dengan
pengusaha 1 dan 2.
Analisis BEP merupakan analisis balik modal
dimana pada saat kondisi tersebut usaha yang
dijalankan tidak mendapatkan keuntungan tetapi juga
tidak mengalami kerugian (impas). Analisis BEP
terbaik dilakukan oleh pengusaha 1 karena pada saat
pengusaha memproduksi tempe sebesar 14,03 kg dan
pada saat mengeluarkan biaya sebesar Rp.641.553,27
pengusaha 1 telah memperoleh titik impas.
Analisis BEP semua usaha pembuatan tempe
yang dijalankan oleh pengusaha telah mendapatkan
titik balik modal atau impas. Artinya tidak
mendapatkan keuntungan tetapi juga tidak
mengalami kerugian pada pendapatan tertentu.
Analisis keuntungan tempe pada bulan Mei 2014.
KESIMPULAN
Hasil penelitian memberikan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Proses pengolahan keripik tempe melalui
tahapan pembuatan tempe dengan bahan baku
kedelai, pengolahan tempe menjadi keripik
tempe hingga proses pengemasan. Pengusaha
memproduksi keripik tempe setiap hari.
2. Total biaya terbesar yang dikeluarkan oleh
pengusaha 2 yaitu sebesar Rp.23.012.109.
Namun pendapatan bersih terbesar oleh
pengusaha 1 sebesar Rp.22.631.270,11 per
bulan. Agroindustri keripik tempe pengusaha 1
efisien dimana efisien usaha atau RCR lebih
besar dari 1 yaitu 2,00. BEP yang dilakukan oleh
Pengusaha yaitu pada saat pengusaha 1
mengeluarkan biaya sebesar Rp.641.553,27 dan
saat memproduksi keripik tempe sebesar 14,03
kg pengusaha telah memperoleh titik balik
modal.
SARAN
1. Agroindustri keripik tempe pengusaha 1
menunjukkan RCR paling tinggi jika
dibandingkan dengan pengusaha lainnya.
Pengusaha diharapkan lebih mengembangkan
usaha (memperbesar produksi) keripik tempe
ini.
2. Bahan baku kedelai dan tempe yang digunakan
dalam agroindustri keripik tempe
mempengaruhi pendapatan maka penambahan
jumlah bahan baku dapat dipertimbangkan yang
nantinya juga akan berpengaruh terhadap
keuntungan yang diperoleh.
3. Pelatihan dan pembinaan bagi para pengusaha
diharapkan dapat rutin dilakukan, sebab pada
pengolahan agroindustri keripik tempe ini masih
terkendala dalam penggunaan Sumber Daya
Manusia (SDM). Potensi yang ada di Desa
Buluh Rampai diharapkan dapat berkembang
dengan maksimal serta meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan pengusaha.
4. Pengusaha sebaiknya memiliki izin usaha,
sertifikat dari dinas kesehatan dan memiliki
label agar produk keripik tempe dapat lebih
leluasa memasuki pasar yang lebih besar dan
agar keripik tempe lebih dikenal oleh konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat Dan
Teknologi. Jakarta. Bumi Aksara.
179
Praptiwi, Ari Nurhayati.2015. Analisis Pendapatan
dan Nilai Tambah Agroindustri Tape
Singkong Di Kota Pekanbaru. Skripsi
Fakultas Pertanian Universitas
Riau.Pekanbaru (Tidak Dipublikasikan).
Soekartawi. 2000. Pengantar agroindustri. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada..
Soekartawi. 2001. Pengantar agroindustri. Jakarta.
PT. RajaGrafindo Persada.
.2005.Agroindustri Dalam Perspektif Sosial
Ekonomi. PT.Raja grafindo Persada. Jakarta.
. 2005. Agribisnis teori dan aplikasinya.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Yusmarini. dan Usman Pato.2004. Teknologi
Pengolahan Hasil Tanaman Pangan.
Pekanbaru. UNRI Press.
180
181
Farmersβ Knowledge, Perception, And Practices in Organic Paddy Farming
Concept
Pengetahuan, Persepsi, Dan Praktek Petani Dalam Konsep Usahatani Padi Organik
Tinjung Mary Prihtanti dan Maria
Agribusiness Department, Faculty of Agriculture and Bussines, Satya Wacana Christian University
A B S T R A K
Kata Kunci:
pertanian padi,
pengetahuan petani,
konsep pertanian
organik,
praktek organik
Pertanian padi saat ini sangat tergantung pada bahan kimia pertanian, baik pupuk
sintetis dan pestisida, serta mengabaikan dampak negatif lingkungan. Pertanian
organik adalah salah satu dari beberapa pendekatan untuk pertanian berkelanjutan.
Makalah ini meneliti pengetahuan dan persepsi serta praktek pertanian padi organik,
yang sangat berguna untuk mengatur agenda penelitian, strategi kampanye
perencanaan dan mengembangkan pesan untuk dikomunikasikan kepada petani.
Penelitian ini dilakukan di Desa Pereng dan Gentungan, Mojogedang Kecamatan,
Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Sebanyak 60 petani organik dan
konvensional termasuk dalam survei ini. Sebagian besar petani-responden
mendefinisikan pertanian organik sebagai tidak adanya bahan kimia yang digunakan
dalam pertanian, dan ada beberapa petani-responden mendefinisikan pertanian organik
sebagai aplikasi tingkat yang sangat rendah dari pupuk kimia. Hanya sebagian kecil
petani padi organik yang menerapkan bibit lokal dan pengelolaan irigasi di praktek
pertanian dan tidak ada petani padi organik yang rotasi tanaman. Oleh karena itu
pemerintah harus meningkatkan upaya dalam menyebarluaskan informasi yang tepat
pada pertanian organik yang sesuai dengan prinsip-prinsip pertanian organik sebagai
Organik Sistem Pangan SNI untuk petani untuk menjamin keberlanjutan program
pertanian organik.
ABSTRACT
Keywords:
paddy farming,
farmer knowledge,
organic farming
concept,
organic practices
The current industrial paddy farming promotes the reliance on agrochemicals, both
synthetic fertilizers and pesticides, while neglecting to consider their negative effects
on the environment. Organic farming is one of several approaches to sustainable
agriculture. This paper examined farmersβ knowledge and perception of organic paddy
farming practices, which is especially useful to set research agendas, for planning
campaign strategies and developing messages for communication. The study
conducted at Pereng village and Gentungan, Mojogedang sub-district, Karanganyar
regency, Central Java Province. A total of 60 organic and conventional farmers were
included in this survey. Majority of the farmer-respondents define organic farming as
the absence of chemicals used in farming, and there is some farmer-respondent define
organic farming as a very low level application of chemicals fertilizer. Only a small
proportion of organic paddy farmers were apply local seeds and managing irrigation
in farming practices and there was none of organic paddy farmers do the crop rotation.
The government must therefore increase its efforts in disseminating the proper
information on organic agriculture corresponding the principles of organic
agriculture as Organic Food Systems SNI to the farmer to ensure the sustainability of
the organic agriculture program.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
182
INTRODUCTION
Paddy is most important food crop and a
primary source of food for Indonesian people. The
current paddy farming system promotes the reliance
on agrochemicals, both synthetic fertilizers and
pesticides, while neglecting to consider their negative
effects on the environment. Excessive use of
chemical fertilizers has led to a decline soil quality
and output productivity (Las et. al, 2006). This
causes the so called βsoil hungryβ in which the soil
requires more chemical substances. As result, to
sustain crop productivity, farmers have to be
dependent on chemical fertilizers. In addition,
fertilizer is usually scarce and difficult to obtain by
the farmers.
A strategic option to accelerate development
realization of the agribusiness competitive,
sustainable and environmentally farming in order to
improve the welfare of the people, especially
farmers, is organic farming. Organic farming is
recognized as an important system of agriculture and
food production, that is environmentally sustainable
and can generate several positive impacts to rural
society. The World Board of the International
Federation of Organic Agriculture Movements
(IFOAM) approved the Organic agriculture is a
production system that sustains the health of soils,
ecosystems and people. It relies on ecological
processes, biodiversity and cycles adapted to local
conditions, rather than the use of inputs with adverse
effects. Organic agriculture combines tradition,
innovation and science to benefit the shared
environment and promote fair relationships and good
quality of life for all involvedβ.
Organic farming in Indonesia, still rare.
Organic agriculture program in Indonesia has been
initiated since its launched "Go-Organic 2010"
program by the Ministry of Agriculture in 2000.
Based on SOEL survey in Daniele (2005), mentioned
that the organic farming area in Indonesia was around
40,000 hectares (0.09 per cent to total area or equal
to 0.33 per cent of total paddy area). By
implementing organic farming practices, Indonesia
farmers are expected to reduce their dependence on
chemical fertilizers as well as preserving
environmental sustainability (Syarif and Lesmana,
2011).
Until recently, farmersβ knowledge of
organic farming has been ignored by researchers
because decreasing dissemination. Scialabbaβs and
Hattamβs (2002) review of developing countries
efforts in organic agriculture points out the weakness
of institutional support for existing knowledge and
exchane in organic agriculture. Singh and George
(2012) conclude that even farmers are aware of some
of the basic facts of farming but they were not aware
of all aspects related to certification and standards
given by different agencies Triyuyun research results
(2011) showed that the perception of stakeholders in
Karanganyar towards organic farming systems and
the attributes of the technology is low, awareness of
stakeholders on the environmental and economic
benefits of organic farming are not always followed
by changes in the behavior of farmers in adopting
organic farming.
In Sub-district Mojogedang there is a small
group of farmers practicing organic paddy farming.
The sub-district of Mojogedang height is about 380
m above sea level, and lots of precipitation 2590
mm/year. Irrigation is available throughout the year
led farmers can cultivate three times during the year.
People in Pereng who cultivate organic paddy
embodied in a farmer groups, Rukun Makaryo, while
organic paddy farmers in the village of Gentungan
incorporated in the Tani Mulyo. Results of
observation and learn from earlier studies tend a
reduction in the number of organic paddy farmers.
This paper intends to contibute to the
existing literature by providing an empirical analysis
of farmersβ perceptions and practice in organic
farming, and comparing them with conventional
farmers.
METHODS
This study was conducted in Pereng and
Gentungan viilage, Mojogedang sub-district,
Karanganyar regency. The results presented in this
paper are based on qualitative and quantitative
methods of primary data collection and inquiry. In
order to study the differences of two paddy farming
systems, total of 60 farmers whom 30 farmers are
dealing with organic farming and other 30 farmers
from conventional farming were subjected for the
interview in this study. Furthermore, qualitative and
quantitative methods such as semi-structured and in-
depth interviews, identification of key-informants,
focus group discussion (FGD) and field visits were
used to fulfill the necessary data needed in this study.
Descriptive statistics were used to investigate both
organic and conventional farms.
RESULTS AND DISCUSSION
Farm Characteristics
As shown in Table 1, the average age of
organic paddy farmers are relatively younger than the
conventional paddy farmers, and statistically
significantly different. Education of organic paddy
farmers relatively higher than conventional paddy
farmer, and statistically significantly different.
183
Education and age affect farmer knowledge
and acceptance of the new technologies. A study by
Jamison and Lau (1982) mentioned that the success
of Thailand, Korea and Malaysia in increasing the
productivity of their agriculture sector was by
education.The average organic paddy farm size is
about 2,480 m2 which is lower than the average of
the conventional farm. The analysis showed the farm
size between both farming system was statistically
significant different. Syarif and Lesmana (2011)
revealed in most countries, organic farming is
typically small scale. Promoting organic farming on
a small scale is intended to avoid food shortages in
the short run.
Table 1. Farm Characteristics
Characteristic Orgaic Farming Conventional Farming
Total % Total %
Age (years)
β€ 29 2 6.67 0 0.0
30 β 39 2 6.67 4 13.33
40 β 49 12 40 7 23.33
50 - 59 8 26.67 6 20.0
β₯ 60 6 20.0 13 43.33
Mean 48,47 years 56,40 years
St-dev 11,97 13,63
t-test 2,39*
Education
Uneducated 0 0.00 7 23.33
Primary school 14 46.67 14 46.67
Junior high School 6 20.00 2 6.67
Higher School 7 23.33 6 20.00
Diploma 1 3.33 1 3.33
University 2 6.67 0 0.00
Mean 8.33 years
(junior high school)
6.07 years
(primary school)
St-dev 2.92 4.49
t-test 2.32*
Farm size
< 2,500 m2 18 60.00 11 36.67
2,500 β 5,000 m2 10 33.33 10 33.33
< 5,000 m2 2 6.67 9 30.00
Mean 2,480 m2 4,589.67 m2
St-dev 2,430.04 4,658.68
t-test 2,19*
Note : * significant at 5% level, respectively
Farmer Perception and Knowledge in Organic
Farming Concept
Result of this study found that there was
different knowledge and perceptions among farmers
towards organic concepts, as showed at Figure 1.
Majority of the organic farmer-respondent define
organic agriculture as the absence of chemicals used
in farming. Most farmers (83.3%) declared organic
farming is farming without chemicals fertilizer and
pesticide. However, not all organic paddy farmers
had same perception, which 16.67% of farmers were
assume that organic farming is the use of manure and
pesticide material from plants.
About 30% of conventional paddy farmers
assume that organic farming is farming without
chemical inputs, both fertilizers and pesticides, but
20% farmers said that organic farming is only
without chemical pesticides and still allowed to use
chemical fertilizers in low doses. What is interesting
that as many as 23.33% of conventional paddy
farmers answered do not know about organic
farming.
The survey has shown that organic farmers
perception about organic farming was not fully in
accordance with the appropriate standards of organic
farming. None of organic farmers was answering that
local seed selection, management of irrigation and
rotation is important aspect in organic farming. It
should be noted that majority of farmers were not
aware about the recommmended marketing practices
184
for organic products, because the lack of organic
markets.
Figure 1. Farmersβ Perceptions in Organic Farming
Results of interviews proved that
conventional farmers did not familiar with organic
farming accurately, although on the other hand quite
a lot of conventional farmers declared that the
organic farming is absence of chemical inputs.
Conventional farmers assume that organic farming
requires fertilizers and pesticides that are difficult to
make.
Organic paddy farmer were mainly
knowledgable about what fertlizer and the kind of
pesticide to use, but they were not knowledgable ini
seeds to use. about organic concept can be seen by
their farming practices. Table 2 depicts the
respondentsβ practices toward paddy farming
conducted at study sites.
This research found that some organic paddy
farmers respondents apply local seed and did not
aware with crop rotation aspect and management of
irrigation and post-harvest treatment and marketing
their farm products. This results is similar with
Pindozo et al (2014) which revealed that paddy
farmers have only low to medium level of awareness
on organic farming activties and markets for organic
products.
Table 2. Differences between Organic and Conventional Paddy Farming Practice
Production stage Explanation
Organic Farming Conventional Farming
Pre-cultivation stage Farm location near from the viilage Disperse
Cultivation stage
1. Use of Fertilizer Manure formulated with MOL (local
microorganisms) were producing with
members of farmer groups, amount of
fertilizer 1,35 tons/ha
Urea (315,26 kg/ha), SP36 (250,79
kg/ha), Phonska (330,21 kg.ha), ZA
(238,33 kg/ha)
2. Use of Pesticide Pesticide from plant materials Chemicals pesticide
3. Use of Seed Dominated menthik, black rice, and IR 64 Dominated use of IR 64 and ciherang
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
Organic Farming
Conventional Farming
185
Production stage Explanation
Organic Farming Conventional Farming
4. Aspects of land
management and
irrigation
Farmers plant paddy three times a year in
their fields
Farmers plant paddy three times a year
5. Crop rotation Farmers do not perform rotation for paddy
cultivation
Farmers do not perform rotation for
paddy cultivation
Post-harvest stage
1. Packing and storage Farmers didnβt aware with packing and
storage for organic products
Farmers do their own packing and
storage
2. Marketing Aspects Most farmers market through farmer
groups, and few farmer had sold production
to the paddy milling independently
Some farmers do marketing through
paddy mills and traders around the
village
Important Factors Influencing Adoption of
Organic Farming
Organic paddy farmers motivation adopted
organic farming practices, primarily because of low
cost of production under organic system (56.67% of
farmers). The next biggest reason why farmers want
to do organic farming is health concern factors,
farmers feels responsible for the environment, land,
and human health in the long term (23.33% of
farmers). Farmer respondent in this study were
knowledgeable in producing in their own input. Since
organic farming encourages the use of indigenous
materials, lower costs are incurred. Farmers are
encouraged to produce their own inputs using
materials that can be easily found from their farm
surroundings, such as manure. This study found only
17% farmers respondent didnβt have livestock
Figure 2. Farmersβ Motivation in Organic Farming
Farmer respondent in this study were
knowledgeable in producing in their own input. Since
organic farming encourages the use of indigenous
materials, lower costs are incurred. Farmers are
encouraged to produce their own inputs using
materials that can be easily found from their farm
surroundings, such as manure. This study found only
17% farmers respondent didnβt have livestock.
Conventional paddy farmers motivation did
not adopt organic farming were yields uncertainty
(46.67%), complicated production system (20%), did
not familiar to cultivate in organic farming (10%),
conventional cultivation has been hereditary (10%),
did not know how to sale proceeds if the organic
(6.67%), as well as long development of plants and
feel the paddy of organic results are not different
from conventional farming (respectively 3.33%).
Cost efficiency56.67%
Improve soil fertility3.33%
Worker efficiency
3.33%
Healthy environment
23.33%
Scarcity of chemical fertilizer
6.67%
Input can provide
manually6.67%
186
These results are similar to studies
Prompathansombat et al (2011) that important factors
on decision of adoption of organic farming that were
positively significant included farm-gate ppaddy and
attitude to conventional production problems, also
water accessibility. Schneeberger et al (2002)
revealed that Austrian farmers did not adopt organic
practices due to fear of decreased income and
marketing problems. Niemeyer and Lombard (2003)
revealed that in South Africa, the lack of marketing
opportunities, no premium ppaddys, and the lack of
subsidies had kept the farmers from adopting organic
practices. Kennvidy (2011) revealed that farmers
shifted to organic farming in order to reduce the
expenses on synthetic fertilizers, to avoid the
negative effects of synthetic fertilizers to health, to
utilize the available resources in the neighborhood, to
conserve the environment as well as soil and water
quality and to acquire the beneficial ppaddys on
organic products.
Information about organic rice farming is
very important for the farmers to change their
practice, enhance knowledge on farming and
production. Mahamud (2005) mentioned significant
factors affecting the acceptance of organic rice
production as level of organic agriculture knowledge
and extension measures received from involved
agencies. Pornpratansombat et al (2011) mentioned
approximately 60 percent of organic rice farmers
have got information from extension agents
(government and NGOs agents), in form of group
meeting. In addition, 18 percent of organic farms
have got information from their neighbouring
farmers (relatives and friends), while mass media
(TV and radio) takes about 14 percent.
Information about organic rice farming is
very important for the farmers to change their
practice, enhance knowledge on farming and
production. Mahamud (2005) mentioned significant
factors affecting the acceptance of organic rice
production as level of organic agriculture knowledge
and extension measures received from involved
agencies. Pornpratansombat et al (2011) mentioned
approximately 60 percent of organic rice farmers
have got information from extension agents
(government and NGOs agents), in form of group
meeting. In addition, 18 percent of organic farms
have got information from their neighbouring
farmers (relatives and friends), while mass media
(TV and radio) takes about 14 percent. The study
found that farmersβ major sources of knowledge on
organic farming was farmer group leader.
Approximately 60% of respondents organic farmer
replied the farmer group chairman Pereng elder
farmer in the village is the first and primary resources
that recognize the organic.
Figure 3. Conventional Farmer Reason
In process0.00%
Not profitable0.00%
Low yields and uncertain46.67%Difficulty in
selling6.67%
Uniffecient cost
0.00%
Complicated practice20.00%
Don't know how to farm
10.00%
Long period growth3.33%
There is no difference
price compare with chemical
farming3.33%
Tradition10.00%
187
Figure 4. Source of Information of Organic Farming
The emergence of farmers in the district
Mojogedang organk greatly influenced the role of an
elder farmer who pioneered and disseminate
information about the farm without chemicals. Mbah
Paimanhadi time immemorial is the chairman of
farmer groups in the village Pereng Makaryo Pillars,
which seeks to transmit the understanding and
practice of organic on group members. His efforts led
to their farmer groups receive recognition from an
organic certification organization. Echoes of organic
farming village Pereng even spread to other villages,
namely Gentungan Village, District Mojogedang,
and farmer groups Tani Mulyo also received organic
certification in 2014. Government agencies and non-
governmental organizations have a role in assisting
the organic farmer groups, the standards and
requirements untu certified organic products.
However, the farmers themselves play a key role
since the farmer group leader gained knowledge
through his own resources and initiatives.
CONCLUSIONS
The result of the study showed organic paddy
farmers have different characteristics with
konvensonal paddy farmers, where farmers padid
organi relatively younger age, more educated, but
more narrow area of land tenure. The survey shows
an understanding of organic farmers though not fully
in accordance with the appropriate standards of
organic farming. There are conventional farmers who
do not know about organic farming accurately.
Farmersβ major sources of knowledge on organic
farming is farmer group leader.
It takes effort more intensive dissemination
of information about organic farming, either through
extension program and direct demonstrations, or
through mass media, newspaper or electronic media.
Government and related institution can help farmers
to restore the use of traditional or local seed varieties.
REFERENCES
Kennvidy SA. 2011. Organic Paddy Farming
Systems in Camodia: Socio-Economic
Impact of Smallholder Systems in Takeo
Province. IJERD International Journal of
Environmental and Rural Development
2011 (2-1): 115-119.
Mahamud, R. 2005. Innovation in agricultural
resource management for organic
agriculture: case study of organic rice
farmers group, Amphoe Kudchum,
Changwat Yasothon. Thesis, Kasetsart
University, Bangkok.
Piadozo, MES. F. Lantican. IM Pabuayon. AR
Quicoy. AM Suyat. PKB Maghirang. 2014.
Paddy Farmersβ Concept and Awareness of
Organic Agriculture: Implications for
Sustainability of Philippine Organic
Agriculture Program. Journal ISSAAS Vo.
20. No. @:142-156
Pompratansombat P., Bauer B. Boland H. 2011. Tha
Adoption ofOrganic Paddy Farming in
Northeastern Thailand. Journal of Organic
Systems 6 (3).
Schneeberger. WI. Darnhofer and M. Eder. 2002.
Barriers to Adoption of Organic Farming
by Cash-Crop Producers in Austria.
American Journal. Alternative Agriculture
17(01): 24-51.
Sciablabba, N. And C. Hattam. 2002. Organic
Agriculture, Environment and Food
Security, Environment and Natural
Resources Series No. 4. Food and
Agriculture Organization. Rome.
Singh, S. And RI. George. 2012. Organic Farming
Awareness and Beliefs of Farmers in
Uttarakhand, India. Journal Human
Ecology. 37(2): 139-149.
0.00%10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%70.00%
farmer groupleader/ sesepuh
petani
agriculturalextension staff/
agriculral bereau
non grovernmentorganization
188
Triyuyun. 2011. Stakeholders Perception Study and
Conducet in Paddy Organic Agriculture
Systems in Karanganyar Regency. Thesis.
Diponegoro University.
189
Analisis Persepsi dan Sikap Petani Terhadap Lembaga Pembiayaan Formal dan
Informal (Suatu Kasus Di Gapoktan Sami Mulya Kec. Sedong, Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat)
Perception and Farmerβs Behaviour Analysis towards Formal and Informal Financing
Institution
Yeni Hendriyani 1), Tuti Karyani2)
1)Program Studi Agribisnis, Universitas Bale Bandung
2Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
A B S T R A K
Kata Kunci:
Modal,
Aksesibiitas terhadap
LKP,
Persepsi,
Sikap
Modal adalah satu dari faktor produksi yang harus ada dalam usahatani. Tinggi
rendahnya produksi baik dari segi kualitas dan kuantitas, ditentukan oleh besar
kecilnya modal yang dimiliki oleh petani. Keterbatasan modal seringkali menjadi
kendala bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya. Untuk mengatasi kendala
tersebut, diperlukan bantuan modal dari pihak luar, dalam hal ini lembaga keuangan
perdesaan (LKP). Namun, ketersediaan LKP seringkali tidak mampu menyelesaikan
persoalan petani, karena rendahnya daya aksesibilitas petani terhadap LKP. Hal ini
tidak terlepas dari persepsi dan sikap yang dimiliki oleh petani terhadap LKP tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi dan sikap petani
terhadap LKP baik formal maupun informal. Metode yang digunakan adalah metode
kuantitatif dengan pendekatan survey. Responden penelitian adalah para petani
mangga gedong gincu yang tergabung dalam Gapoktan Sami Mulya. Data dianalisis
dengan Metode Multiatribut Fishbein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani
menganggap penting atribut kemudahan persyaratan baik LKP formal dan informal,
dan memberikan skor tertinggi untuk atribut citra lembaga keuangan terhadap LKP
formal serta skor tertinggi untuk atribut biaya administrasi terhadap LKP informal.
Hasil lain, petani memberikan sikap kepercayaan lebih tinggi kepada LKP informal
dibandingkan dengan formal.
ABSTRACT
Keywords:
Capital,
Accessibility to RFI,
Perception,
Attitude
Capital is one of the factors of production that have to available in the farm business.
The level of production in terms of both quality and quantity, is determined by the size
of the capital owned by the farmers. Capital constraints are often an obstacle for
farmers in improving productivity.To overcome these obstacles, the necessary capital
assistance from outsiders, in this case the rural financial institutions (RFI). However,
the availability of RFI are often unable to resolve the problems of farmers, because
farmers are low accessibility to the RFI. Low access to financial institutions due to
perceptions and attitudes of farmers towards the RFI. This study aims to determine
how the perceptions and attitudes of farmers towards both formal and informal RFI.
The method used is quantitative method with a survey approach. Respondents of this
research is βgedong gincuβ mango farmers who are members of the Gapoktan Sami
Mulya. Data will be analyzed using the methods Multiatribut Fishbein. The results
showed that farmers consider important is easy the requirements attributes for formal
and informal RFI, and the highest score to the image attributes of the formal RFI,
and the highest score to administrative costs attribute for informal RFI. Another
result, farmers provide higher confidence attitude to the informal than the formal RFI
* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]
190
PENDAHULUAN
Permodalan merupakan salah satu faktor
produksi penting dalam usaha pertanian. Namun,
dalam operasional usahanya tidak semua petani
memiliki modal yang cukup. Aksesibilitas petani
terhadap sumber-sumber permodalan masih sangat
terbatas, terutama bagi petani-petani yang menguasai
lahan sempit yang merupakan komunitas terbesar
dari masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak
jarang ditemui bahwa kekurangan biaya merupakan
kendala yang menjadi penghambat bagi petani dalam
mengelola dan mengembangkan usahatani.
Kelembagaan ekonomi perdesaan tidak
berkembang baik akibat terlalu berbelitnya sistem
birokrasi pemerintah. Lemahnya peranan
kelembagaan pembiayaan pertanian tersebut
membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses
petani terhadap sumber-sumber pembiayaan
(Syukur et al., 2003). Disamping itu, kondisi
informasi yang tidak simetris antara sebagian besar
masyarakat (dalam hal ini petani) dengan kelompok
masyarakat lainnya membawa implikasi yang luas
berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis
terhadap sumberdaya modal, teknologi, peningkatan
kemampuan, informasi pasar dan lain sebagainya
(Syukur dan Windarti, 2001).
Akses pelaku agribisnis yang rendah pada
sumber modal memerlukan kreasi lembaga
pembiayaan yang tepat bagi sektor ini. Dukungan
kebijakan yang kuat sangat diperlukan guna
menciptakan terbentuknya lembaga pembiayaan
yang kuat dan sehat guna mendukung pengembangan
agribisnis dan agroindustri di pedesaan (Endang
Lestari Hastuti & Supadi, 2007)
Kelembagaan ekonomi pedesaan yang
kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tidak
berkembang karena kooptasi yang berlebihan dari
sistem birokrasi pemerintahan. Kondisi ini ternyata
lebih banyak melumpuhkan kelembagaan lokal yang
selama ini berkembang dengan baik di masyarakat
dan berperan dalam pemertaan pendapatan
(Sudaryanto dan Syukur, 2000).
Pentingnya kredit dalam pembangunan
pertanian Indonesia terkait dengan tipologi petani
yang sebagian besar merupakan petani kecil dengan
penguasaan lahan yang sempit, sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan pemupukan modal
untuk investasi pada teknologi baru. Dengan
demikian dukungan pembiayaan harus dilakukan.
Syukur dkk, (1988 dan 1999) menyatakan bahwa
peran kredit sebagai pelancar pembangunan
pertanian antara lain:
(1) Membantu petani kecil dalam mengatasi
keterbatsan modal dengan bunga yang relatif
ringan,
(2) Mengurangi ketergantungan petani dengan
pedagang perantara dan pelepas uang, dengan
demikian berperan dalam memperbaiki struktur
dan pola pemasaran hasil pertanian,
(3) Mekanisme tranfer pendapatan diantara
masyarakat untuk mendorong pemerataan,
(4) Insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi
usahatani.
Pemilikan lahan yang sempit dan
kelembagaan skim pembiayaan bagi usaha agribisnis
dan agroindustri tidak fleksibel, menyebabkan
masyarakat tani tidak dapat akses secara mudah pada
sumber pembiayaan saat ini. Kebijakan pembiayaan
untuk mendukung sektor agibisnis dan agroindustri
dirasakan sangat lemah dan sektor ini cenderung
terabaikan.
Dukungan lembaga keuangan sangat
berarti terhadap keberlanjutan rantai pasok, karena
secara umum jejaring yang dibangun melalui rantai
pasok ini sering tidak mampu bertahan karena
terganggunya cash flow
keuangan sebagai akibat tertundanya pembayaran
dari pelaku hilir. Ketika pembayaran tertunda dari
hilir (misal super market, eksportir) maka efek
dominonya akan terasa sampai ke hulu (petani).
Biaya-biaya langsung yang berkaitan dengan
produksi, maupun pemasaran menjadi menumpuk
dan hal ini membuat keperluan atas modal kerja
semakin besar, dan bila tidak mampu memenuhinya
banyak pelaku tidak mampu untuk terlibat lagi dalam
rantai pasok ini. Oleh karena itu menarik untuk
dikaji secara lebih mendalam, terutama menyangkut
cara pembayaran, besarnya biaya-biaya dan jenisnya
yang diperlukan oleh pelaku yang terlibat. Dengan
diketahuinya biaya-biaya tersebut dan pola cash flow
dari usaha para pelaku, maka pola pembiayaan yang
tepat untuk setiap pelaku dapat dikembangkan dalam
rantai pasok mangga.
Sementara di lain pihak sebenarnya di
perdesaan terdapat beberapa sumber pembiayaan
yang dapat dijadikan alternatif pemilihan sumber
modal oleh petani mangga. Namun sumber
pembiayaan yang ada di perdesaan ini seolah tidak
mampu menjangkau kebutuhan petani.
Kelembagaan pembiayaan perdesaan tidak
berkembang baik akibat terlalu banyaknya campur
tangan yang cenderung berlebihan dari sistem
birokrasi pemerintah. Tindakan ini, pada
kenyataannya telah melumpuhkan sebagian
kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan
berperanan di masyarakat dalam pemerataan
pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan
pertanian (Sudaryanto dan Syukur, 2000).
Lemahnya peranan kelembagaan
pembiayaan pertanian tersebut membawa
191
konsekuensi semakin terbatasnya akses petani
terhadap sumber-sumber pembiayaan (Syukur et
al., 2003). Disamping itu, campur tangan
pemerintah yang berlebihan juga menciptakan
kondisi informasi yang tidak simetris antara
sebagian besar masyarakat (dalam hal ini petani)
dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini
membawa implikasi yang luas berupa rendahnya
aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya
modal, teknologi, peningkatan kemampuan,
informasi pasar dan lain sebagainya (Syukur dan
Windarti, 2001).
Pada kenyataannya, hanya sebagian kecil
masyarakat perdesaan yang memiliki akses terhadap
sumber-sumber permodalan yang disediakan
Padahal, akses terhadap kredit permodalan
merupakan hak dasar manusia yang fundamental
dalam meningkatkan usahanya, pendapatannya dan
kebutuhan dasarnya.
Di wilayah perdesaan, terdapat dua
jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan
(Syukur et al., 2003), yaitu pasar pembiayaan formal
dan pasar pembiayaan informal. Pembiayaan
formal (khususnya untuk kegiatan non program)
beroperasi di pedesaan yang dalam mekanisme
pengajuan dan penyalurannya mengikuti
mekanisme pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan
diberlakukan secara formal, seperti tingkat bunga
yang dibebankan adalah tingkat bunga komersial
dan dilayani oleh lembaga formal. Selain itu, masih
banyak lagi program-program serupa yang telah
diimplementasikan, termasuk program
pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha
pertanian di pedesaan. Dalam pelaksanaan program
tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan
yang dihadapi.
Bersamaan dengan itu, lembaga
pembiayaan informal juga beroperasi dalam
perekonomian masyarakat termasuk masyarakat
pertanian. Pemberdayaan Lembaga Keuangan
Mikro termasuk lembaga pembiayaan informal
merupakan langkah yang tepat dalam upaya
mengentaskan kemiskinan dan pengembangan
ekonomi rakyat (Krisnamurti, 2005). Sebagai
penyedia dana bagi petani, lembaga informal dinilai
sangat fleksibel dan relatif mudah diakses karena
tidak memerlukan prosedur administrasi yang rumit
seperti halnya lembaga pembiayaan formal.
Keberadaan lembaga pembiayaan formal
dan informal di perdesaan merupakan pilihan bagi
petani. Proses pemilihan yang dilakukan petani
terhadap lembaga keuangan formal maupun
informal tidak terlepas dari persepsi dan sikap yang
dimiliki oleh petani terhadap lembaga-lembaga
tersebut. Disinilah perlu dianalisis bagaimana sikap
dan persepsi yang dimiliki oleh petani terhadap
lembaga-lembaga keuangan yang ada di perdesaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan terhadap petani gedong
gincu yang tergabung dalam Gapoktan Sami Mulya
di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Metode
yang digunakan adalah metode deskriptif analisis
dengan menggunakan pendekatan metode survey.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
para petani gedong gincu yang tergabung ke dalam
Gapoktan Sami Mulya, yang merupakan pemasok
kebutuhan mangga terhadap perusahaan eksportir di
Cirebon. Teknik Sampling yang digunakan adalah
simple random sampling, dimana dari populasi yang
berjumlah 250 diambil sampling sebanyak 53 orang
petani.
ANALISIS DATA
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Analisis Multiatribut Fishbein.
Model sikap Fishbein ini berfokus pada prediksi
sikap yang dibentuk seseorang terhadap obyek
tertentu. Secara simbolis rumus tersebut dapat
diekspresikan sebagai berikut :
Ao = β bi ei
i=l
Dimana :
Ao : Sikap Terhadap Obyek
Bi : Kekuatan Kepercayaan Bahwa
Obyek memiliki atribut i
ei : Evaluasi mengenai atribut i
n : Jumlah atribut yang menonjol
Komponen ei, yang menggambarkan
evaluasi atribut, di ukur secara khas pada sebuah
skala evaluasi lima angkayang berjajar dari βsangat
pentingβ hingga βtidak pentingβ. Sebagai contoh :
Jaminan Keamanan pada lembaga
keuangan formal adalah :
Sangat penting : : : : : Tidak penting
+2 +1 0 -1 -2
Atribut β atribut dari lembaga keungan pada
penelitian ini adalah: Jaminan keamanan,
Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, Citra
lembaga keuangan di masyarakat, Kecepatan
Pelayanan. Lokasi yang strategis, Tingkat Suku
Bunga, Biaya Administrasi, Tenggang Waktu
Pemabayaran. Variable dalam penelitian ini terbagi
dalam 2 (dua) kelompok variable, yaitu : variable
192
untuk kelompok yang pertama adalah kekuatan
kepercayaan bahwa usahatani yang menggunakan
lembaga keuangan formal maupun non formal
memiliki ke sepuluh atribut tersebut.
Setiap responden diminta untuk
menyatakan sikap terhadap pertanyaan apakah
lembaga keuangan formal dan non formal, yang
memiliki atribut : 1. Jaminan keamanan, 2.
Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, 3.
Citra lembaga keuangan di masyarakat, 4.
Kecepatan Pelayanan, 5. Lokasi yang strategis, 6.
Tingkat Suku Bunga, 7. Biaya Administrasi, 8.
Tenggang Waktu Pemabayaran, dalam 5 angka
skala, mulai dari +2 yang berarti sangat baik sampai
β 2 yang berarti sangat buruk. Variable untuk
kelompok yang kedua adalah variable evaluasi
terhadap sepuluh atribut lembaga Keuangan
(variable ei), yang terdiri atas sepuluh buah
pertanayaan, yaitu : 1. Jaminan keamanan, 2.
Kemudahan Syarat menjadi anggota/ nasabah, 3.
Citra lembaga keuangan di masyarakat, 4.
Kecepatan Pelayanan, 5. Lokasi yang strategis, 6.
Tingkat Suku Bunga, 7. Biaya Administrasi, 8.
Tenggang Waktu Pemabayaran. Setiap responden
diminta untuk menyatakan sikapnya atau
mengevaluasi terhadap atribut lembaga keuangan
dalam 5 angka skala, mulai dari +2 yang berarti
sangat penting sampai β 2 yang berarti sangat tidak
penting
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Evaluasi
Atribut-atribut yang dinilai adalah jaminan
keamanan, tenggang waktu pembayaran, tingkat
suku bunga, kecepatan, kemudahan persyaratan,
biaya administrasi dan lokasi yang strategis serta
citra lembaga keuangan.
Tabel 1. Skor Evaluasi Tingkat Kepentingan (ei) Atribut Lembaga Keuangan (n=53)
Tabel 1 menyajikan secara lengkap hasil
penilaian konsumen terhadap atribut evaluasi (ei)
terhadap semua atribut dari lembaga keuangan. Dari
Tabel 1, terlihat bahwa atribut yang memiliki skor
tertinggi adalah kemudahan persyaratan (1,55),
disusul dengan evaluasi terhadap kecepatan
pelayanan (1,53), tingkat suku bunga (1,47),
tenggang waktu pembayaran (1,40). biaya
administrasi (1,23). lokasi yang strategis (1,13),
jaminan keamanan ((1,11) dan terakhir citra lembaga
keuangan (0,79). Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa kemudahan persyaratan adalah atribut yang
paling penting bagi petani. Kemudahan persyaratan
dianggap paling penting mengingat petani seringkali
tidak mampu menghadapi birokrasi yang berbelit-
belit.
Fakta lain dapat dilihat bahwa selain
kemudahan persyaratan, kecepatan pelayanan
menjadi urutan kedua yang dianggap penting oleh
petani, kemudian disusul oleh tingkat suku tenggang
waktu pembayaran, dan seterusnya. Sebuah
fenomena menarik bahwa atribut citra lembaga
lembaga keuangan yang memiliki skor terkecil,
membuktikan bahwa menurut petani citra lembaga
keuangan bukanlah sesuatu hal yang mutlak, selama
lembaga keuangan itu mampu memberikan
pelayanan baik, cepat, bunga ringan maka petani
tidak akan memperhatikan citra lembaga keuangan.
Penilaian Kepercayaan Atribut Pada Lembaga
Keuangan Formal
Setelah skor evaluasi kepentingan atribut
diperoleh maka selanjutnya diperlukan skor
kepercayaan (bi) atribut oleh petani terhadap
lembaga keuangan formal. Dengan diketahuinya
penilaian kinerja atribut (bi) oleh petani maka dapat
diketahui pilihan atau penilaian terhadap lembaga
keuangan formal tersebut.
Penilaian kinerja atribut (bi) oleh konsumen
akan dilakukan pada delapan atribut lembaga
keuangan formal, meliputi jaminan keamanan,
tenggang waktu pembayaran, tingkat suku bunga,
kecepatan pelayanan, kemudahan persyaratan, biaya
administrasi, lokasi strategi dan citra lembaga
keuangan. Dari hasil penelitian diperoleh data
sebagai berikut :
Total Rata-rata
2 1 0 -1 -2 (ei) (ei)
Jaminan Keamanan 23 14 15 1 0 59 1.11
Tenggang Waktu Pembayaran 28 18 7 0 0 74 1.40
Tingkat Suku Bunga 31 17 4 1 0 78 1.47
Kecepatan Pelayanan 35 13 3 2 0 81 1.53
Kemudahan Persyaratan 35 14 2 2 0 82 1.55
Biaya Administrasi 21 23 9 0 0 65 1.23
Lokasi yang Strategis 17 27 8 1 0 60 1.13
Citra Lembaga Keuangan 10 25 15 3 0 42 0.79
Skor Evaluasi Atribut Lembaga Keuangan
193
Tabel 2.Frekuensi Skor Tingkat Kepercayaan (bi) Atribut Lembaga Keuangan Formal (n = 53)
Dari Tabel 2, terlihat bahwa atribut citra
lembaga keuangan mendapat skor tertinggi (1,60),
artinya petani memberi apresiasi yang baik terhadap
lembaga keuangan formal yang diketahuinya.
Sedangkan skor kedua tertinggi adalah untuk atribut
tenggang waktu pembayaran (1,21), hal ini
dimungkinkan mengingat biasanya petani diberikan
tenggang waktu selama 1 tahun untuk peminjaman,
selama 1 tahun tersebut petani merasa cukup waktu
untuk mengembalikan pinjaman tersebut.
Atribut lembaga keuangan selanjutnya yang
diberi apresiasi baik oleh petani adalah biaya
administrasi (1,06). Apresiasi dari petani ini
disebabkan karena beberapa diantara petani pernah
menjadi nasabah BRI untuk pinjaman kredit program
pemerintah, dan mereka merasa bahwa biaya
administrasi yang ditentukan cukup layak untuk
pinjaman yang didapat.
Atribut selanjutnya yang mendapat kesan
cukup bagus setelah biaya administrasi adalah
jaminan keamanan (1,04), artinya untuk jaminan
keamanan ini petani merasa cukup aman
mengagunkan jaminan untuk disimpan di lembaga
keuangan yang memberikan pinjaman kepada
mereka. Setelah jaminan keamanan, atribut
selanjutnya yang berada di bawah urutan jaminan
keamanan adalah tingkat suku bunga (0,85). Dari
angka ini dapat dijelaskan bahwa petani merasa
cukup puas dengan tingkat suku bunga yang
ditetapkan untuk pinjaman yang diperolehnya.
Lokasi strategis, adalah atribut lembaga
keuangan yang menduduki peringkat ke-6 yaitu
sebesar 0,81. Dari hasil wawancara diperoleh bahwa
mereka merasa dilayani cukup puas justru untuk BRI
yang berada di kabupaten, dibandingkan dengan BRI
yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.
Karenanya, bagi petani lokasi strategis tidak menjadi
jaminan akan memberi pelayanan yang cukup baik.
Setelah lokasi strategis, atribut selanjutnya
adalah kemudahan persyaratan (0,08). Angka ini
menggambarkan bahwa petani merasa persyaratan
yang ditetapkan oleh lembaga keuangan cukup ribet,
tidak mudah. Inilah mungkin yang menyebabkan
banyak petani yang memutuskan untuk tidak
menggunakan jasa lembaga keuangan formal sebagai
sumber pembiayaan usahataninya.
Terakhir yang menduduki peringkat paling
rendah adalah atribut kecepatan pelayanan (0,06).
Angka ini menunjukkan bahwa petani merasa tidak
dilayani dengan cepat, mulai dari proses pengajuan
sampai pencairan. Dari hasil wawancara diperoleh
keterangan bahwa biasanya waktu yang dibutuhkan
untuk mengajukan pinjaman, mulai dari pengajuan
sampai dengan pencairan itu adalah minimal 14 hari
kerja. Sementara penyemprotan pohon mangga tidak
dapat ditunda-tunda.
Penilaian Kepercayaan Atribut Pada Lembaga
Keuangan Non Formal
Setelah mengetahui penilaian kinerja atribut
(bi) lembaga keuangan formal, maka selanjutnya
akan dilakukan penilaian kinerja atribut (bi) pada
lembaga keuangan non formal. Untuk lebih jelasnya
hasil dair penilaian kinerja atribut (bi) dapat dilihat
pada Tabel 3 :
Total Rata-rata
2 1 0 -1 -2 (ei) (ei)
Jaminan Keamanan 22 18 8 3 2 55 1.04
Tenggang Waktu Pembayaran 25 16 10 2 0 64 1.21
Tingkat Suku Bunga 15 22 10 5 1 45 0.85
Kecepatan Pelayanan 8 14 10 15 6 3 0.06
Kemudahan Persyaratan 6 15 15 11 6 4 0.08
Biaya Administrasi 17 25 8 3 0 56 1.06
Lokasi yang Strategis 12 27 8 4 2 43 0.81
Citra Lembaga Keuangan 34 17 2 0 0 85 1.60
Atribut Lembaga KeuanganSkor Evaluasi
194
Tabel 3. Frekuensi Skor Tingkat Kepercayaan (bi) Atribut Lembaga Keuangan Non Formal (n = 53)
Dari Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa atribut
biaya administrasi (1,64) menjadi kriteria utama
dalam membentuk sikap terhadap lembaga keuangan
non formal, dan dinilai paling kecil adalah citra
lembaga keuangan (0,02) dan jaminan keamanan
(0,02), hal ini menandakan bahwa semakin bagus
citra lembaga kuangan justru petani akan semakin
takut untuk menggunakan lembaga keuangan
tersebut karena berbagai macam alasan, seperti
persyaratan yang diberikan oleh lembaga keuangan
tersebut akan semakin sulit. Selain citra lembaga
keuangan, juga atribut jaminan keamanan yang
merupakan skor terkecil, hal ini menandakan bahwa
petani beranggapan tidak terlalu penting untuk
memberikan jaminan apapun kepada lembaga
tersebut karena mereka hanya bermodalkan
kepercayaan saja.
Atribut lembaga keuangan yang mendapat
skor kedua terbesar adalah tingkat suku bunga (1,51).
Hal ini disebabkan karena beberapa diantara mereka
yang pernah mendapatkan bantuan pinjaman dari
lembaga keuangan non formal, seperti perusahaan
eksportir CV. Sumber Buah Sae tidak pernah
dikenakan bunga, sehingga petani mengapresiasi
cukup baik terhadap atribut tingkat suku bunga ini.
Setelah tingkat suku bunga, atribut lembaga
keuangan yang selanjutnya mendapat skor tinggi
adalah kemudahan persyaratan (1,38). Seperti yang
kita ketahui, lembaga keuangan non formal dapat
dikatakan hampir tidak memiliki prosedur baku,
semua dilakukan hanya berlandaskan kepercayaan
dan saling membutuhkan. Selanjutnya adalah atribut
tenggang waktu pembayaran (1,34). Atribut lembaga
keuangan ini mendapat skor yang cukup baik
mengingat selama ini para petani yang mendapat
pinjaman dari lembaga keuangan non formal
diberikan keleluasaan untuk membayar pinjaman,
asalkan pada akhir tahun lunas.
Atribut berikutnya adalah kecepatan
pelayanan (0,64), atribut ini tidak mendapatkan skor
cukup baik, mengingat petani merasa pengajuan
pinjaman terhadap lembaga keuangan non formal
sangat tergantung dengan ketersediaan dana di pihak
eksportirnya itu sendiri. Selanjutnya adalah atribut
lokasi yang strategis (0,04), dimana atribut ini
merupakan nilai terendah kedua. Dari skor tersebut
dapat dijelaskan bahwa petani tidak bermasalah
mengenai lokasi dimana saja sumber keuangan
formal itu berada. Artinya, selama ada komunikasi,
mudah untuk diakses, lokasi bukanlah suatu
hambatan yang berarti.
4. Analisis Sikap Petani
Petani responden telah menilai tingkat
kepentingan dan tingkat kepercayaan atribut,
selanjutnya didapatkan nilai sikap terhadap lembaga
keuangan formal dan non formal. Nilai sikap
dianalisis untuk melihat bagaimana pandangan petani
terhadap lembaga keuangan formal maupun lembaga
keuangan non formal. Untuk memperoleh sikap (Ao)
petani terhadap lembaga keuangan formal maupun
lembaga keuangan non formal maka langkah
selanjutnya adalah mengalikan antara skor
kepentingan (ei) dengan skor kepercayaan (bi) pada
masing-masing jenis lembaga keuangan yaitu
lembaga keuangan formal dan lembaga keuangan
non formal. Hasil perhitungan nilai sikap (Ao) dapat
dilihat pada tabel berikut :
Total Rata-rata
2 1 0 -1 -2 (ei) (ei)
Jaminan Keamanan 10 12 10 11 10 1 0.02
Tenggang Waktu Pembayaran 22 28 2 1 0 71 1.34
Tingkat Suku Bunga 34 12 7 0 0 80 1.51
Kecepatan Pelayanan 15 12 18 8 0 34 0.64
Kemudahan Persyaratan 28 17 8 0 0 73 1.38
Biaya Administrasi 37 13 3 0 0 87 1.64
Lokasi yang Strategis 8 6 19 20 0 2 0.04
Citra Lembaga Keuangan 12 9 11 10 11 1 0.02
Atribut Lembaga KeuanganSkor Evaluasi
195
Tabel 4. Nilai Rata-Rata Sikap Kepercayaan Petani Terhadap Lembaga Keuangan Formal dan Non Formal
Dari perhitungan Tabel 4, diperoleh Ao
(sikap petani) secara keseluruhan untuk lembaga
keuangan formal adalah 7,78. Untuk lembaga
keuangan non formal adalah 9,30. Dengan demikian
secara keseluruhan konsumen lebih menyukai
lembaga keuangan non formal daripada lembaga
keuangan formal.
Hasil dari analisis sikap (Ao) pada lembaga
keuangan formal yang memiliki skor tertinggi adalah
atribut tenggang waktu pembayaran (1,69).
Sedangkan urutan kedua yaitu atribut biaya
administrasi (1,30). Atribut yang memiliki skor
terendah dari analisis sikap pada lembaga keuangan
formal yaitu atribut kecepatan pelayanan (0,06),
disusul pada urutan terendah kedua adalah atribut
kemudahan persyaratan (0,08). Dari hasil analisis
tersebut dapat dilihat bahwa petani menilai bahwa
kecepatan pelayanan di lembaga keuangan formal
sangatlah minim, didukung pula dengan kemudahan
persyaratan yang dinilai petani sangat sulit dipenuhi
oleh petani.
Berbeda dengan lembaga keuangan formal,
hasil analisis sikap di lembaga keuangan non formal
yang memiliki skor tertinggi adalah tingkat suku
bunga (2,22), hal ini dimungkinkan karena eksportir
yang menjadi lembaga keuangan non formal tidak
pernah menetapkan bunga dari pinjaman yang
diberikan kepada petani. Analisis sikap yang
memiliki skor terendah adalah citra lembaga
keuangan (0,01), ini dimungkinkan karena tidak
setiap petani mangga dapat dengan mudah
mendapatkan pinjaman dari eksportir, sehingga
petani tidak memberikan sikap yang cukup baik
terhadap citra lembaga keuangan non formal.
Secara garis besar, hasil analisis sikap yang
dilakukan terhadap petani untuk lembaga keuangan
baik formal maupun non formal, penilaian petani
lebih menyukai lembaga keuangan non formal
dibandingkan lembaga keuangan formal, karena
petani menilai secara umum citra lembaga keuangan
lembaga keuangan non formal lebih baik bila
dibandingkan dengan lembaga keuangan formal.
Bagi sebagian petani keistimewaan lembaga
keuangan non formal adalah lebih mudah dalam
persyaratan dan cepat dalam pelayanan.
SIMPULAN
1. Dari hasil analisis sikap yang dilakukan terhadap
petani untuk lembaga keuangan baik formal
maupun non formal, penilaian petani lebih
menyukai lembaga keuangan non formal (nilai Ao
= 9,30), dibandingkan lembaga keuangan formal
(nilai Ao = 7,78), karena petani menilai secara
umum citra lembaga keuangan lembaga keuangan
non formal lebih baik bila dibandingkan dengan
lembaga keuangan formal. Bagi sebagian petani
keistimewaan lembaga keuangan non formal
adalah lebih mudah dalam persyaratan dan cepat
dalam pelayanan., dimana lembaga keuangan
nonformal memiliki skor 2,13 dibanding formal
(0,12).
2. Berdasarkna atribut yang dinilai petani terhadap
lembaga keuangan bahwa yang paling penting
adalah kemudahan persyaratan, kecepatan
pelayanan dan biaya administrasi , adapun atribut
lokasi yang strategis, citra lembaga keuangan dan
yang lainnya tidak menjadi bahan pertimbangan
utama.
SARAN
1. Perlu adanya usaha proaktif dari lembaga
keuangan formal perdesaan setempat, lebih
persuasif dalam memahami kebutuhan petani
mangga di daerahnya. Sehingga para petani
mangga merasakan keberadaan lembaga
keuangan pedesaan yang ada di wilayah
sekitarnya.
2. Persyaratan dan kecepatan pelayanan perlu
ditingkatkan oleh lembaga keuangan, agar lebih
banyak lagi petani dapat dilayani kebutuhan
modalnya yang pada gilirannya dapat
ei
(evaluasi) bi ei bi bi ei bi
Jaminan Keamana 1.11 1.04 1.16 0.02 0.02
Tenggang Waktu Pembayaran 1.40 1.21 1.69 1.34 1.87
Tingkat Suku Bunga 1.47 0.85 1.25 1.51 2.22
Kecepatan Pelayanan 1.53 0.06 0.09 0.64 0.98
Kemudahan Persyaratan 1.55 0.08 0.12 1.38 2.13
Biaya Administrasi 1.23 1.06 1.30 1.64 2.01
Lokasi yang Strategis 1.13 0.81 0.92 0.04 0.04
Citra Lembaga Keuangan 0.79 1.60 1.27 0.02 0.01
Sikap Kepercayaan
Ao = β bi ei
Atribut Lembaga Keuangan
7.78 9.30
LK Formal LK Non Formal
196
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani.
DAFTAR PUSTAKA
Hastuti, E.L. & Supadi, 2007. Aksesibilitas
Masyarakat Terhadap Kelembagaan
Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. P3SEP.
Sudaryanto, T dan M. Syukur, 2001. Pengembangan
Lembaga Keuangan Alternatif Mendukung
Pembangunan Ekonomi Pedesaan. P3SEP.
Balitbang. Departemen Pertanian.
Syukur, M & H. Windarti, 2001. Karya Usaha
Mandiri : Sebuah Skim Pembiayaan Mikro
dalam Pengembangan Ekonomi Lokal.
PPSE. Bogor.
Syukur, M, dkk. 2003. Kinerja Kredit Pedesaan &
Alternatif Penyempurnaannya Untuk
Pengembangan Pertanian. PPSE. Bogor.
197
Faktor Internal dan Eksternal yang Berperan Dalam Usahatani Tembakau
(Nicotiana tabacum L.) (Studi Kasus pada Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa
Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut)
Internal and External Factors that Had A Role in Tobacco Farming (Nicotiana
tabacum L.) (Case study on Mukti Satwa Farmer Group at Rancabango Village,
Tarogong Kaler District, Garut Regency)
Erizka Pramuditya1, Lucyana Trimo1
1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci:
Faktor internal dan
eksternal
Keberlanjutan
Kebijakan
Tembakau
Usahatani
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karaktersitik petani, faktor internal dan
eksternal yang berperan dalam usahatani tembakau, pendapatan usahatani tembakau,
faktor penghambat dalam usahatani tembakau, serta keberlanjutan usahatani tembakau
di Desa Rancabango. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain
kualitatif dengan metode studi kasus. Data diperoleh dari informan yang dipilih secara
sengaja. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari ke sepuluh informan, faktor internal yang berperan dalam
usahatani tembakau adalah pendidikan, luas lahan, pengalaman usahatani, status
kepemilikan lahan, dan tradisi. Faktor eksternal yang berperan adalah keadaan alam,
budidaya, penyuluhan, dan peluang pasar. Pendapatan usahatani tembakau terbilang
cukup besar karena dapat menghasilkan pendapatan bersih 3-4 kali lipat dari modal
awal yang dikeluarkan oleh petani. Faktor penghambat dalam usahatani tembakau
adalah sarana produksi dan permodalan. Serta dapat dipastikan usahatani tembakau di
Desa Rancabango akan terus berlanjut melihat faktor internal dan eksternal yang
mendukung usahatani tembakau di desa tersebut.
ABSTRACT
Keywords:
Internal and external
factors
Sustainable
Policies
Tobacco
Farming
The aims of this research is to identify the characteristics of farmers, internal and
external factors which play a role in tobacco farming, tobacco farm income, inhibiting
factors in the farming of tobacco, as well as the sustainability of tobacco farming in
the Rancabango village. The design used in this study is a qualitative design with the
method of case study. Data obtained from informants selected intentionally. Data were
analyzed descriptively. The results showed that of the ten informants, characteristics
of tobacco farmer at Rancabango village, such as age ranged between 35-44 years
(50%), education only up to primary school (50%), the land area more than 1 ha
(40%), and farming experience ranged between 11-29 years (70%). Internal factors
that play a role in the farming of tobacco are education, land, farming experience,
tenure, and tradition. External factors that have a role are nature, cultivation,
education, and market opportunities. Tobacco farm income is quite high because it can
generate net income 3-4 times higher than the initial capital incurred by the farmer.
Inhibiting factors in tobacco farming is the production tools and capital. It can be
ascertained tobacco farm in the village of Rancabango will continue looking from the
internal and external factors that support the tobacco farm in the village.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
198
PENDAHULUAN Tembakau (Nicotiana tabacum L.)
merupakan salah satu komoditas perkebunan
unggulan di Indonesia, hal ini terkait dengan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor
511/Kpts/PD.310/9/2006 tanggal 12 September 2006
tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat
Jenderal Perkebunan, terdapat 127 komoditas binaan.
Prioritas penanganan difokuskan pada 15 komoditas
strategis yang menjadi unggulan nasional, yaitu
karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, jambu
mete, teh, cengkeh, jarak pagar, kemiri sunan, tebu,
kapas, tembakau, dan nilam.
Tembakau merupakan salah satu komoditas
perkebunan penting di Indonesia, hal ini terlihat dari
besarnya produksi tembakau Indonesia pada tahun
2010 yang menempatkan Indonesia masuk ke dalam
10 besar negara produsen tembakau di dunia dengan
peringkat keenam dunia (Tabel 1).
Tabel 4. Sepuluh Besar Negara Produsen
Tembakau di Dunia Tahun 2010 No. Negara Produksi (Ton)
1. China 3.005.753
2. Brazil 780.942
3. India 755.500
4. Amerika Serikat 326.008
5. Malawi 215.000
6. Indonesia 135.678
7. Argentina 123.300
8. Pakistan 119.323
9. Zimbabwe 109.737
10. Italia 97.200
11. Lainnya 1.445.452
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2012:
Tembakau, 2011, Kementerian Pertanian.
Kontribusi tembakau untuk perekonomian
Indonesia dapat dilihat dari volume ekspor tembakau
di Indonesia. Hampir setiap tahunnya mengalami
peningkatan volume ekspor, namun terjadi
penurunan pada tahun 2011 sebesar 38.905 ton dan
pada tahun 2012 sebesar 37.700 ton. Dilihat dari
perkembangan volume ekspor tembakau di Indonesia
dari rentang tahun 2008 sampai dengan tahun 2012
terus mengalami peningkatan, yang terbesar adalah
peningkatan dari tahun 2009 ke tahun 2010 (Tabel 2).
Tabel 5. Perkembangan Volume Ekspor Tembakau
di Indonesia Tahun 2008-2012 Tahun Ekspor (ton)
2008 50.268
2009 52.515
2010 57.408
2011 38.905
2012 37.700
Total 236.796
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013. Tembakau memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi negara, baik dari tenaga kerja
maupun pendapatan negara melalui cukai. Hal ini
dipicu dengan keadaan alam dan sumber daya yang
mendukung Indonesia menjadi negara penghasil
tembakau berkualitas.
Tak dipungkiri bahwa prospek pasar
tembakau dalam negeri pun sangatlah berpotensi,
karena masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa
mengkonsumsi tembakau dalam bentuk olahan
rokok, sehingga produsen rokok dalam negeri pun
terbilang cukup banyak dan bersaing untuk
memenuhi permintaan rokok dalam negeri dengan
berbagai produk yang ditawarkan yang dapat
menarik minta konsumen untuk membelinya.
Provinsi Jawa Barat memiliki objek
unggulan pada komoditas perkebunan dan tembakau
merupakan salah satu komoditas unggulan nasional
asal Jawa Barat. Produktivas tembakau di Jawa Barat
adalah yang terbaik, karena luas areal tanam
tembakau sama dengan luas tanaman tembakau yang
bisa menghasilkan. Kabupaten Garut merupakan
salah satu wilayah di Jawa Barat yang mempunyai
potensi sangat besar dalam mengembangkan
komoditi tembakau dan merupakan sentra produksi
tembakau di Jawa Barat karena Kabupaten Garut
memiliki luas areal dan produksi komoditi tembakau
terbesar di Jawa Barat, yaitu sebesar 4.099 Ha
berdasarkan Data Statistik Perkebunan Jawa Barat,
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Tahun 2013.
Desa Rancabango merupakan salah satu desa
yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler yang
sangat terkenal dengan daerah penghasil tembakau di
wilayah Kabupaten Garut. Mayoritas masyarakat di
desa ini bermatapencaharian sebagai petani
tembakau. Berusahatani tembakau di desa ini sudah
menjadi mata pencaharian turun temurun yang
diwarisi oleh nenek moyang mereka.
Pemerintah mengeluarkan peraturan
pemerintah yang menentang produk olahan
tembakau, salah satunya adalah PP No. 109 Tahun
2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung
zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Petani tembakau di beberapa daerah mengalami
masalah akibat ditetapkannya PP No. 109 Tahun
2012, karena berdampak pada usahatani tembakau
mereka yang sekaligus sebagai mata pencaharian
utama. Hal tersebut tidak membuat petani-petani di
Desa Rancabango ini beralih dari usahatani tembakau
ke komoditas lain atau beralih matapencaharian ke
sektor nonpertanian. Masyarakat Desa Rancabango
masih bertahan untuk berusahatani tembakau, justru
komoditas tembakau inilah yang menjadi komoditas
199
utama yang diusahakan oleh masyarakat di Desa
Rancabango.
KERANGKA TEORI
Tembakau merupakan salah satu komoditas
perdagangan penting di dunia. Indonesia masuk ke
dalam 10 besar negara produsen tembakau di dunia
dengan peringkat keenam dunia. Tembakau sebagai
penyumbang devisa negara dan menyerap tenaga
kerja yang cukup besar.
Pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan yang berkaitan dengan tembakau. Salah
satu kebijakan yang dikeluarkan adalah PP No. 109
Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang
mengandung zat adiktif berupa produk tembakau
bagi kesehatan. Pemerintah berusaha melindungi
masyarakat dari bahaya zat adiktif yang terkandung
dalam rokok yang berbahan baku dari daun
tembakau. Sudah banyak petani di beberapa daerah
yang mengalami gulung tikar akibat disahkannya PP
No. 109 Tahun 2012 ini. Namun, hal ini tidak terjadi
kepada para petani tembakau di Desa Rancabango.
Desa Rancabango merupakan salah satu desa
yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler,
Kabupaten Garut. Desa Rancabango sudah sangat
terkenal sebagai daerah penghasil tembakau
berkualitas, tidak hanya terkenal di daerah Garut saja,
namun sudah terkenal sampai ke Temanggung, Jawa
Tengah. Para petani di Desa Rancabango sudah sejak
lama melakukan kerjasama dengan tengkulak
tembakau di Temanggung. Sehingga tidak sulit untuk
memasarkan hasil panen tembakau. Maka dari itu,
peneliti ingin mengetahui faktor apa yang membuat
petani tembakau masih tetap bertahan berusahatani
tembakau walaupun sudah terdapat peraturan atau
kebijakan yang terkait dengan tembakau yang
dikeluarkan pemerintah yang menyebabkan petani di
beberapa daerah mengalami gulung tikar. Peneliti
ingin mengetahui besarnya pendapatan petani dari
usahatani tembakau itu sendiri, serta mengetahui
faktor internal dan eksternal dalam ushataani
tembakau, serta faktor-faktor penghambat dalam
usahatani tembakau. Ketiga aspek, akan menentukan
keberlanjutan usahatani tembakau di Desa
Rancabango.
Gambar 1. Alur Pemikiran
200
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan Kelompok Tani
Mukti Satwa yang terletak di Desa Rancabango,
Kabupaten Garut, Jawa Barat Penelitian ini
menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian
berupa studi kasus.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara
yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabel-
variabel yang berkaitan dengan penelitian, serta
dengan cara observasi pastisipasif, menggunakan
dokumentasi, dan studi pustaka. Identifikasi
karakteristik petani, faktor internal dan eksternal,
faktor penghambat, dan keberlangsungan usahatani
tembakau menggunakan analisis deksripstif, serta
pendapatan usahatani tembakau menggunakan
analisis pendapatan usahatani.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keadaan Umum Tempat Penelitian
Desa Rancabango merupakan salah satu desa
yang berada di Kecamatan Tarogong Kaler,
Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Desa Rancabango berada pada ketinggian
718 meter di atas permukaan laut (dpl) dan suhu rata-
rata harian berkisar antara 24-28oC. Wilayah ini
cukup sesuai untuk ditanami komoditas perkebunan
tembakau. Tembakau yang diusahakan di Desa
Rancabango merupakan jenis tembakau lokal, seperti
Darwati, Adung, Dasep, Kedungnani, Kedug olog
dan Kedung tamru. Jenis tembakau darwati yang
paling digemari oleh penduduk Desa Rancabango
karena kualitasnya yang baik dan aromanya yang
wangi.
Desa Rancabango memiliki luas wilayah
sebesar 1.002,591 Ha. Luas wilayah tersebut dibagi
menjadi beberapa penggunaan lahan dan luas lahan
terbesar adalah 440 Ha digunakan sebagai lahan
perkebunan. berdasarkan Data Profil Desa
Rancabango Tahun 2013. Sebagian besar masyarakat Desa
Rancabango bermatapencaharian di bidang
pertanian, yaitu sebanyak 500 orang bekerja sebagai
petani dan sebanyak 3.200 orang bekerja sebagai
buruh tani berdasarkan Data Profil Desa Rancabango
Tahun 2013.
Pertanian merupakan sektor yang sangat
penting bagi masyarakat Desa Rancabango. Luas
wilayah di Desa Rancabango sebagian besar
digunakan untuk lahan pertanian. Adapun tiga
komoditas unggulan di Desa Rancabango, yaitu
kedelai dengan luas lahan sebsar 130 Ha, tembakau
dengan luas lahan 90 Ha, dan padi dengan luas lahan
45 Ha berdasarkan Data Profil Desa Rancabango
Tahun 2014.
Banyaknya jenis tembakau dan kedelai yang
ditanam oleh masyarakat, menunjukkan bahwa
petani di Desa Rancabango mengandalkan kedua
jenis komoditas tersebut sebagai sektor utama
pertanian di daerah mereka. Terutama komoditas
tembakau yang memberikan pendapatan yang cukup
besar bagi para petani di Desa Rancabango.
2. Karakteristik Petani
(1) Umur petani
Tabel 3. Distribusi Umur Petani
Kelompok Umur
(Tahun)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
β€ 25 tahun 0 0
25-34 tahun 1 10
35-44 tahun 5 50
45-54 tahun 2 20
55-64 tahun 2 20
β₯ 64 tahun 0 0
Jumlah 10 100
Berdasarkan penelitian, diperoleh umur petani
yang menjadi informan paling banyak berada pada
kelompok umur 35-44 tahun sebesar 50% (Tabel 3).
Umur informan yang paling muda berusia 30 tahun
dan umur informan yang paling tua berusia 64 tahun.
(2) Pendidikan
Tabel 4. Distribusi Tingkat Pendidikan Petani
Tingkat
Pendidikan
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Tidak Sekolah 1 10
SD 5 50
SMP 1 10
SMA 3 30
Perguruan Tinggi 0 0
Jumlah 10 100
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera
pada Tabel 4, diperoleh informasi, bahwa dari
sepuluh informan hanya tiga orang yang menamatkan
sekolah hingga ke SMA, satu orang menamatkan
sekolah hanya sampai ke jenjang SMP, lima orang
hanya dapat menamatkan SD, serta satu orang tidak
bersekolah. Dapat disimpulkan, bahwa tingkat
pendidikan 10 petani tembakau yang termasuk ke
dalam Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa
Raancabango masih rendah, yaitu 50% dari seluruh
informan berlatar belakang pendidikan SD.
(3) Jumlah Tanggungan Keluarga
201
Tabel 5. Distribusi Jumlah Tanggungan
Keluarga
Jumlah Tanggungan
Keluarga (Orang)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
0-3 3 30
4-5 5 50
> 5 2 20
Jumlah 10 100
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada
Tabel 5, diperoleh hasil rata-rata dari 10 informan
petani tembakau di Desa Rancabango yang termasuk
ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa memiliki
jumlah tanggungan keluarga antara 4-5 orang, yaitu
sebesar 50%. Artinya, rata-rata dari 10 informan
merupakan keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak. Besar kecilnya keluarga akan memotivasi
dan mempengaruhi rumah tangga dalam menentukan
besar kecilnya konsumsi dan pendapatan. Semakin
besar keluarga, maka akan semakin besar pula
pendapatan sekaligus konsumsi rumah tangganya,
begitupun sebaliknya.
(4) Luas Lahan
Tabel 6. Distribusi Luas Lahan Petani
Luas Lahan
(Ha)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
< 0,5 3 30
0,5-1 2 30
>1 5 40
Jumlah 10 100
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera
pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa rata-rata dari 10
informan memiliki luas lahan >1 ha sebanyak 40%.
Hal ini menunjukkan bahwa keadaan penguasaan
lahan dari 10 petani relatif luas. Semakin besar lahan
yang digunakan untuk berusahatani tembakau, maka
dibutuhkan tenaga kerja dan modal yang semakin
banyak pula. Tenaga kerja sendiri akan sangat sulit
ditemukan karena pada waktu tanam petani tembakau
yang termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti
Satwa di Desa Rancabango akan menanam tembakau
pada saat yang bersamaan dengan petani tembakau
yang lain dengan pemakaian tenaga kerja dalam satu
waktu.
(5) Pengalaman Usahatani
Tabel 7. Distribusi Pengalaman Usahatani
Pengalaman
Usahatani (Tahun)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
β€ 10 1 10
11-29 7 70
β₯ 30 2 20
Jumlah 10 100
Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa
sebagian besar dari informan memiliki pengalaman
usahatani tembakau selama 11 hingga 29 tahun.
Usahatani tembakau merupakan suatu tradisi turun
temurun bagi masyarakat Desa Rancabango dan
sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka.
Sebagian besar informan sudah mulai berusahatani
tembakau sejak usia dini, mereka ikut berpartisipasi
dan meneruskan usahatani yang dijalankan oleh
orang tuanya. Oleh karena itu, rata-rata dari 10
informan petani tembakau yang termasuk ke dalam
Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango
memiliki pengalaman usahatani tembakau lebih dari
10 tahun.
3. Faktor Internal yang Berperan dalam
Usahatani Tembakau
Faktor internal merupakan faktor-faktor
yang berasal dari dalam diri petani atau keluarga.
(1) Umur petani
Berdasarkan hasil penelitian, petani yang
berada pada usia produktif kemampuan kerjanya
masih cukup baik dalam mengelola usahatani
tembakau. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian,
diperoleh umur petani yang menjadi informan paling
banyak berada pada kelompok umur 35-44 tahun,
yaitu dengan persentase sebesar 50% (Tabel 3).
Umur informan yang paling muda berusia 30 tahun
dan umur informan yang paling tua berusia 64 tahun.
Dari ke sepuluh informan petani tembakau yang
termasuk ke dalam Kelompok Mukti Satwa Desa
Rancabango, rata-rata berada pada usia produktif
untuk bekerja. Artinya, kinerja atau usaha yang
dilakukan oleh petani dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan akan semakin maksimal karena berada
pada usia produktif. Kemampuan kerja produktif
akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia
petani. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa petani-
petani yang lebih tua tampaknya kurang cenderung
melakukan difusi inovasi pertanian dari pada mereka
yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih
muda biasanya akan lebih bersemangat dibanding
dengan petani yang lebih tua, dengan demikian ada
kecenderungan bahwa umur petani akan
mempengaruhi motivasi dalam menerapkan
usahatani yang berdampak pada produktivitas
usahataninya.
(2) Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4),
diperoleh informasi, bahwa dari sepuluh informan
hanya tiga orang yang menamatkan sekolah hingga
ke SMA, satu ornag menamatkan sekolah hanya
sampai ke jenjang SMP, lima orang hanya dapat
menamatkan SD, serta satu orang tidak bersekolah.
Dapat disimpulkan, bahwa tingkat pendidikan 10
petani tembakau yang termasuk ke dalam Kelompok
202
Tani Mukti Satwa di Desa Raancabango masih
rendah, yaitu 50% dari seluruh informan berlatar
belakang pendidikan SD. Kondisi ini terjadi karena
di masa lalu sarana dan prasarana pendidikan masih
sangat minim di Desa Rancabango, serta
keterbatasan ekonomi masyarakat menyebabkan para
informan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, dan lebih bergantung untuk
menjadi petani tembakau saja meneruskan tradisi
turun temurun keluarga.
Selain pendidikan formal, pendidikan non
formal pun penting untuk menunjang keahlian
maupun kemampuan petani. Petani mendapatkan
pendidikan non formal, yaitu berupa pelatihan yang
diberikan oleh penyuluh dari Dinas Perkebunan
Kabupaten Garut maupun UPTD. Sebelum anggota
resmi menjadi anggota kelompok tani, biasanya akan
diberikan pelatihan berupa SLPHT (Sekolah Latihan
Pengendalian Hama Terpadu).
(3) Jumlah Tanggungan Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian yang tertera
pada Tabel 5, diperoleh hasil rata-rata dari 10
informan petani tembakau di Desa Rancabango yang
termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa
memiliki jumlah tanggungan keluarga antara 4-5
orang, yaitu sebesar 50%. Artinya, rata-rata dari 10
informan merupakan keluarga kecil yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak. Besar kecilnya keluarga akan
memotivasi dan mempengaruhi rumah tangga dalam
menentukan besar kecilnya konsumsi dan
pendapatan. Semakin besar keluarga, maka akan
semakin besar pula pendapatan sekaligus konsumsi
rumah tangganya, begitupun sebaliknya.
(4) Luas Lahan
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6), dapat
diketahui bahwa rata-rata dari 10 informan memiliki
luas lahan >1 ha sebanyak 40%. Hal ini
menunjukkan bahwa keadaan penguasaan lahan dari
10 petani relatif luas. Berdasarkan hasil
penelitian, diperoleh informasi bahwa luas lahan
memang berperan dalam usahatani tembakau ini,
namun tidak menjadi masalah apabila lahan yang
diusahakan sempit atau luas, karena dari 10 informan
terdapat berbagai macam luas lahan yang dimiliki
informan, dari yang sempit hingga luas. Intinya
sempit atau luas lahan yang dimiliki tetap saja akan
ditanami oleh tembakau sebagai komoditas utamanya
dan sudah menjadi ciri khas Desa Rancabango
sebagai desa penghasil tembakau.
(5) Pengalaman Usahatani
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
(Tabel 7), diperoleh hasil bahwa lama pengalaman
usahatani tembakau sepuluh informan berkisar antara
10-40 tahun. Sebagian besar dari informan memiliki
pengalaman usahatani tembakau selama 11 hingga 29
tahun. Usahatani tembakau merupakan suatu tradisi
turun temurun bagi masyarakat Desa Rancabango
dan sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka.
Sebagian besar informan sudah mulai berusahatani
tembakau sejak usia dini, mereka ikut berpartisipasi
dan meneruskan usahatani yang dijalankan oleh
orang tuanya. Oleh karena itu, rata-rata dari 10
informan petani tembakau yang termasuk ke dalam
Kelompok Tani Mukti Satwa di Desa Rancabango
memiliki pengalaman usahatani tembakau lebih dari
10 tahun.
(6) Status Kepemilikan Lahan
Tabel 8. Status Kepemilikan Lahan Status Kepemilikan
Lahan
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
Milik 7 70
Milik dan Sewa 1 10
Milik dan Sakap 2 20
Jumlah 10 100
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa
sebagian besar informan memiliki lahan untuk
usahatani tembakau sengan status milik. Hal ini
disebabkan informan merupakan orang asli Desa
Rancabango yang sejak lahir tinggal di sana, dan
orang tuanyapun bekerja sebagai petani tembakau,
sehingga banyak yang mendapatkan lahan yang
diwarisi oleh orang tuanya untuk melanjuti usahatani
tembakau.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui
bahwa petani yang masuk ke dalam Kelompok Tani
Mukti Satwa harus mempunyai lahan sendiri dengan
mempunyai sertifikat lahannya tersebut. Namun,
terdapat beberapa petani yang mempunyai lahan
tambahan dengan status sewa ataupun sakap. Status
kepemilikan lahan milik sendiri tentunya memiliki
banyak keuntungan dibanding dengan sewa maupun
sakap. Lahan milik sendiri hanya mengeluarkan
biaya untuk pajak lahan setiap tahunnya, sedangkan
untuk sewa dan sakap perlu membayar lahan tersebut
dengan uang maupun bagi hasil panen tembakau.
Lahan milik sendiri mendukung petani untuk terus
mengusahakan tembakau, yang biasanya merupakan
lahan warisan dari orang tua petani, sehingga
memudahkan petani untuk terus melanjutkan
usahatani tembakau di Desa Rancabango.
(7) Tradisi
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh
informasi bahwa usahatani tembakau di Desa
Rancabango merupakan usahatani turun temurun dari
keluarga yang sudah ada sejak jaman nenek moyang
yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Keadaan
alam maupun iklim di Desa Rancabango sudah
sangat cocok dan mendukung untuk usahatani
203
tembakau sehingga masyarakatnya masih bertahan
untuk berusahatani tembakau dan merupakan mata
pencaharian utama bagi para petani.
4. Faktor Eksternal yang Berperan dalam
Usahatani Tembakau
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang
berasal dari luar petani dan keluarganya, seperti
budidaya, keadaan alam, ketersediaan sarana dan
prasarana, modal, penyuluhan, harga, dan peluang
pasar.
1. Keadaan Alam
1) Suhu
Tanaman tembakau pada umumnya tidak
menghendaki iklim yang kering ataupun iklim yang
basah. Suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan
tanaman tembakau berkisar antara 21-32oC. Desa
Rancabango memiliki suhu rata-rata harian berkisar
antara 24-28oC. Maka dari itu, wilayah ini cukup
sesuai untuk ditanami komoditas perkebunan
tembakau karena mempunyai suhu yang ideal untuk
ditanami tembakau, tidak terlalu panas maupun
dingin.
2) Ketinggian Tempat
Tanaman tembakau dapat tumbuh pada
dataran rendah maupun dataran tinggi bergantung
pada varietasnya. Ketinggian tempat yang paling
cocok untuk pertumbuhan tanaman tembakau adalah
0-900 mdpl. Desa Rancabango berada pada
ketinggian 718 mdpl, Demikian dapat dikatakan
tembakau sangat cocok untuk ditanam di Desa
Rancabango.
3) Penyinaran Matahari
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui
bahwa di Desa Rancabango penyinaran bagi
pertumbuhan tembakau cukup baik, karena tembakau
yang sudah ditanaman di lahan tidak terhalangi oleh
tanaman-tanaman besar yang dapat menghalangi
penyinaran dari tembakau. Setiap kali musim tanam
lahan dibersihkan dari tanaman-tanaman besar yang
dapat menghalangi penyinaran tembakau, sehingga
tembakau dapat tumbuh dengan baik.
4) Kesuburan Tanah
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
diketahui bahwa Desa Rancabango memiliki lahan
yang subur sehingga petani tembakau tidak sulit
untuk membudidayakan tanaman tembakau. Lahan
yang hendak ditanami tembakau hanya perlu
dibersihkan dari gulma yang mengganggu dan
digemburkan saja agar tanahnya menjadi lebih subur
dan mudah untuk ditanamani tembakau.
2. Budidaya
Pemeliharaan tembakau terbilang mudah.
Petani tidak perlu melakukan penyiraman karena
tanaman tembakau hanya mengandalkan air hujan
sebagai sumber kebutuhan air pada tembakau.
Pemeliharaan cukup dengan membersihkan lahan
dari gulma yang mengganggu. Pengendalian hama
dan penyakit dilakukan dengan memberikan
pestisida pada tanaman tembakau. Tembakau sering
terkena hama, yaitu kutu tembakau dan ulat yang
menyerang tembakau. Petani menggunakan pestisida
untuk mengatasi masalah hama tersebut. Pestisida
yang biasa digunakan oleh petani pada Kelompok
Tani Mukti Satwa adalah pestisida berbahan aktif
imidaklorid.
Tembakau baru bisa dipanen setelah
mencapai umur 30β40 hari setelah tanam (HST).
Pemanenan tembakau dilakukan dengan cara
memetik daun mulai dari bagian bawah sampai
bagian atas. Dalam 1 pohon dapat dipanen daun
basah sebanyak 4β5 kali panen. Kegiatan pemanenan
biasanya dilakukan sekitar bulan JuniβAgustus. Jika
tembakau yang dihasilkan bagus, dalam 1 pohon
dapat menghasilkan 1 kg tembakau basah, namun
jika hasil kurang bagus, dalam 1 pohon hanya dapat
menghasilkan Β½ kg tembakau basah saja. Jadi, dalam
1 ha lahan yang ditanami 14.000 pohon tembakau
dapat menghasilkan 14 ton (kualitas bagus) atau 7 ton
(kualitas rendah).
3. Ketersediaan Sarana Produksi
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui
bahwa ketersediaan sarana produksi pertanian
cukuplah baik, namun untuk pupuk dirasakan sulit
oleh petani karena terkadang pada saat musim tanam
tembakau, pupuk di pasaran itu langka dan bantuan
dari Dinas Perkebunan tidak rutin. Hal ini dapat
terlihat bahwa Kelompok Tani Mukti Satwa
mengajukan proposal bantuan kepada Dinas
Perkebunan Kabupaten Garut pada tahun 2013 dan
bantuannya baru terealisasikan pada tahun 2014
kemarin. Sehingga petani tidak dapat mengandalkan
bantuan dari dinas saja, petani harus mencari
kebutuhan untuk membudidayakan tembakau
sendiri.
4. Modal
Menurut 10 informan petani tembakau yang
termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa,
modal untuk berusahatani tembakau mereka
dapatkan sendiri, yaitu dengan cara menabung (sisa
pendapatan dari tanaman yang sebelumnya
diusahakan) maupun dengan cara meminjam kepada
orang-orang terdekat. Peminjaman yang dilakukan
berbeda-beda, ada yang meminjam dalam bentuk
barang, seperti pupuk dan ada juga dalam bentuk
uang yang nantinya akan diganti pada saat sudah
mendapatkan hasil dari panen tembakau. Tidak
adanya peran dari lembaga keuangan, seperti
koperasi maupun bank membuat petani kesulitan
dalam hal permodalan untuk memulai usahataninya.
Walalupun modal yang dimiliki sedikit para petani
204
ini tetap akan menanam tembakau, yang berbeda
hanyalah dari berapa banyak pohon yang bisa
ditanam karena jumlah pohon menentukan pula
banyaknya pupuk yang akan digunakan.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui
bahwa modal awal untuk usahatani tembakau tidak
terlalu besar dibandingkan dengan tanaman lain.
Modal awal yang dikeluarkan hanyalah untuk
kebutuhan saprodi, seperti pupuk dan pestisida, pajak
lahan, serta tenaga kerja. Tidak ada perawatan
khusus, sehingga petani tidak perlu mengeluarkan
biaya tambahan. Modal awal yang kecil dari
usahatani tembakau mampu memberikan
penghasilan yang cukup besar bagi petani, hal inilah
yang mendorong petani untuk tetap bertahan
mengusahakan tembakau di Desa Rancabango.
5. Penyuluhan
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan
di lapangan diketahui bahwa kegiatan penyuluhan
biasa dilakukan setiap sebulan sekali. Penyuluh
berasal dari Dinas Perkebunan Kabupaten Garut.
Tempat penyuluhan biasa dilakukan di rumah Ketua
Kelompok Tani Mukti Satwa, di lahan maupun di
gudang milik kelompok tani. Metode yang digunakan
penyuluh untuk memberikan penyuluhan kepada
anggota kelompok tani cukup mudah, yaitu dengan
cara mempresentasikan terlebih dahulu, lalu
dipraktikan langsung di lapangan. Penyampaian
penyuluhan tidak hanya satu arah, namun dua arah
agar terjalinnya komunikasi timbal balik serta supaya
saling mengeluarkan pendapatan dan pikiran,
sehingga tidak hanya petani yang mendapatkan ilmu
dari penyuluh, namun penyuluh pun mendapatkan
ilmu dari petani.
6. Peluang Pasar
1) Permintaan
Permintaan berhubungan dengan pembeli.
Permintaan tembakau setiap tahunnya meningkat
(menurut Pak Tatang selaku Ketua Kelompok Tani
Mukti Satwa yang mengelola pemasaran tembakau
ke daerah Temanggung). Hal ini terlihat dari para
tengkulak dari Temanggung yang semakin banyak
berdatangan dan meminta kerja sama dengan
kelompok tani. Tembakau Rancabango sudah sangat
terkenal, jadi tak heran jika para pembeli berdatangan
untuk membeli tembakau dari Rancabango ini.
Tembakau Rancabango sudah terkenal dengan merk
βGunung Putriβ sampai ke daerah Jawa Tengah.
Namun, permintaan dari Temanggung yang
tinggi belum dapat tercukupi oleh petani di
Rancabango, sehingga kelompok tani harus
mengambil tembakau dari daerah lain, seperti
Sumedang serta daerah Garut dan sekitarnya.
2) Penawaran
Penawaran berhubungan dengan penjual.
Sehubungan dengan permintaan tembakau yang
selalu meningkat setiap tahunnya, maka harus
ditunjang dengan penawaran tembakau yang tinggi
pula guna memenuhi permintaan tersebut. Menurut
Pak Tatang selaku Ketua Kelompok Tani, produksi
tembakau di kelompok tani terus meningkat karena
terus adanya pembinaan dari dinas maupun dari
kesadaran para petani itu sendiri. Tembakau
memiliki prospek yang sangat menjanjikan, sehingga
seberapapun luas lahan yang dimiliki petani, petani
akan berusaha keras untuk menghasilkan tembakau-
tembakau berkualitas dan volume produksi yang
besar pula. Tembakau di sini hanya bisa ditanam
setahun sekali, tak heran bila petani sangat berharap
pada tanaman tembakau, karena pendapatan yang
dihasilkan dari tembakau terbilang cukup besar dan
lebih besar dari komoditas lain yang ditanam oleh
petani di Rancabango.
3) Harga
Masalah harga ditentukan oleh pembeli dan
kelompok tani dan Pak Tatang selaku Ketua harus
memusyawarahkannya dengan anggota kelompok
serta ketua mengetahui harga pasaran tembakau. Jika
sudah ada kecocokan harga, maka dibentuklah
perjanjian dalam bentuk MOU antara pembeli dan
kelompok tani. Pihak Temanggung akan melakukan
survey terlebih dahulu ke Rancabango pada saat
musim tanam, sehingga mereka bisa melihat kondisi
tembakau yang ditanam dan bisa menego harga.
5. Pendapatan Usahatani Tembakau
Tabel 9. Distribusi Pendapatan Usahatani
Tembakau
Infroman (TR) (TC) (Y)
1 Rp 98,000,000 Rp 24.342.800 Rp 73.657.200
2 Rp 22,050,000 Rp 5,507,150 Rp 16,542,850
3 Rp 26,950,000 Rp 6,553,550 Rp 20,396,450
4 Rp 7,350,000 Rp 1,882,700 Rp 5,467,300
5 Rp 7,350,000 Rp 1,882,700 Rp 5,467,300
6 Rp 41,650,000 Rp 10,023,450 Rp 31,626,550
7 Rp 36,750,000 Rp 8,726,000 Rp 28,024,000
8 Rp 34,300,000 Rp 8,224,000 Rp 26,076,000
9 Rp 7,350,000 Rp 1,882,700 Rp 5,467,300
10 Rp 24,500,000 Rp 5,903,150 Rp 18,596,850
Terlihat pada Tabel 9, bahwa tembakau sangatlah
menguntungkan. Pendapatan bersih bisa mencapai 4-
5 kali lipat dari modal yang dikeluarkan untuk
berusahatani tembakau. Tak heran masyarakat di
Desa Rancabango tetap bertahan untuk berusahatani
205
tembakau, karena sangat menguntungkan. Modal
yang tidak terlalu besar dan budidaya yang tidak sulit
dibandingkan dengan komoditas lainnya.
6. Faktor Penghambat dalam Usahatani
Tembakau
Tabel 10. Faktor Penghambat dalam Usahatani
Tembakau di Desa Rancabango No. Faktor
Penghambat
Menghambat/Tidak
1. Perubahan iklim Tidak menghambat
2. Budidaya Tidak menghambat
3. Sarana produksi Menghambat
4. Permodalan Menghambat
5. Tenaga kerja Tidak menghambat
6. Menurunnya
lahan pertanian
Tidak menghambat
7. Perubahan harga Tidak menghambat
8. Kebijakan Tidak menghambat
Berdasarkan hasil penelitian yang dicantumkan
dalam tabel di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
dari delapan faktor penghambat dalam usahatani
tembakau hanya dua faktor yang menghambat
usahatani tembakau, yaitu dari segi penyeiaan sarana
produksi dan permodalan. Penyediaan sarana
produksi, khususnya pada pupuk dirasakan sulit
karena pada saat musim tanam tembakau pupuk
langka di pasaran, hal ini diprediksi oleh petani
karena adanya penyumbatan pada pihak tengkulak
pupuk. Permasalahan ini membuat petani kesulitan
mencari pupuk hingga keluar desa, kalaupun ada
pupuk di pasaran dijual dengan harga yang jauh lebih
tinggi. Maka dari itu, petani harus menyimpan stok
pupuk sebelum musim tanam tiba, sehingga ketika
musim tanam tembakau, petani tidak kesulitan
mencari pupuk ataupun kekurangan pupuk karena
akan berpengaruh pada pertumbuhan maupun
kualitas daun tembakau itu sendiri. Faktor
selanjutnya yang menghambat ialah permodalan.
Pendapatan petani dari tembakau memang terbilang
besar, namun petani di Desa Rancabango belum
dapat mengelola keuangan mereka dengan baik dan
petani bersifat konsumtif, yaitu ketika sudah
memiliki uang dari hasil panen tembakau, mereka
langsung memberlanjakan uang tersebut tanpa
memikirkan keberlanjutan usahataninya, sehingga
pada saat akan menanam tembakau kembali, petani
kekurangan modal. Tidak ada peran dari lembaga
keuangan, seperti koperasi maupun bank memacu
petani untuk tidak mengelola keuangannya dengan
baik. Tidak adanya koperasi di desa maupun dalam
kelompok tani, serta para petani yang tidak mau
berurusan dengan bank karena dirasakan sulit untuk
melakukan pinjaman kepada pihak bank dan
prosedurnya pun sulit. Sumber permodalan petani
biasa dari pribadi, yaitu uang mereka bergulir karena
mengusahakan komoditas selain tembakau. Jika
petani kekurangan modal, petani akan meminjam
kepada sanak saudara dalam bentuk uang atau kepada
para pedangang toko, namun yang dipinjamkan
dalam bentuk barang seperti pupuk atau pestisida.
7. Keterkaitan Karakteristik Petani dengan
Faktor Internal dan Eksternal dalam
Usahatani Tembakau
Berdasarkan karakteristik petani serta faktor
internal dan eksternal yang terdapat pada petani Desa
Rancabango dapat diambil kesimpulan bahwa ketiga
variabel ini berkaitan satu sama lain mendukung
usahatani tembakau di Desa Rancabango. Ketiga
variabel inilah yang mendorong petani untuk terus
mengusahakan tembakau walaupun terdapat
beberapa penghambat dalam mengusahakan
tembakau. Penghambat tersebut tidak menjadi
penghalang bagi petani untuk berhenti berusahatani
tembakau. Justru petani tembakau di Desa
Rancabango masih bertahan dan terus melanjutkan
usahatani tembakau yang sudah ada sejak jaman
nenek moyang yang diturunkan oleh keluarga yang
sudah menjadi tradisi untuk terus dilestarikan sebagai
mata pencaharian utama masyarakat Desa
Rancabango.
8. Keberlanjutan Usahatani Tembakau di Desa
Rancabango
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
di Desa Rancabango, petani tembakau di desa
tersebut tidak mengalami dampak akibat
pemberlakuan PP No. 109 Tahun 2012 tentang
pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif
berupa produk tembakau bagi kesehatan yang
dikeluarkan pemerintah. Petani tembakau di Desa
Rancabango masih bertahan untuk mengusahakan
tembakau yang sekaligus sebagai komoditas utama di
desa ini. Adanya peran dari penyuluh, UPTD,
maupun Dinas Perkebunan Kabupaten Garut justru
mendukung pengembangan komoditas tembakau di
Desa Rancabango. Faktor internal dan faktor
eksternal yang terdapat pada petani tembakau yang
termasuk ke dalam Kelompok Tani Mukti Satwa juga
berperan dalam mendukung keberlanjutan usahatani
tembakau di Desa Rancabango. Tidak hanya faktor
internal dan faktor eksternal saja yang berperan
dalam usahatani tembaku di Desa Rancabango,
namun terdapat faktor penghambat yang dapat
menghambat usahatani tembakau di Desa
Rancabango. Faktor penghambat yang didapatkan
dari hasil penelitian, yaitu penyediaan pupuk (sarana
produksi) dan permodalan. Belum ada solusi pasti
dari pihak petani, kelompok tani, maupun dinas
terkait untuk menanggulangi masalah tersebut.
Namun sejauh ini, usahatani tembakau di Desa
206
Rancabango masih tetap berjalan walaupun ada
faktor yang menghambatnya.
Diasumsikan, jika Indonesia selamanya tidak
meratifikasi FCTC (Framework Convention on
Tobacco Control) karena PP No. 109 Tahun 2012
mengacu pada FCTC, maka usahatani tembakau
dapat dipastikan terus berlanjut karena dapat
memberikan pendapatan yang cukup besar bagi
petani, serta usahatani tembakau ini merupakan
tonggak utama bagi industri rokok untuk
menjalannya usahanya. Serta didukung oleh faktor
internal dan eksternal yang sudah cukup baik dalam
keberlanjutan usahatanu tembakau di Desa
Rancabango.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor internal yang berperan dalam usahatani
tembakau adalah pendidikan, luas lahan,
pengalaman usahatani, status kepemilikan lahan,
dan tradisi.
2. Faktor eksternal yang berperan dalam usahatani
tembakau adalah keadaan alam, budidaya,
penyuluhan, dan peluang pasar.
3. Pendapatan usahatani tembakau terbilang cukup
besar karena dapat menghasilkan pendapatan
bersih 3-4 kali lipat dari modal awal yang
dikeluarkan oleh petani tembakau.
4. Faktor penghambat dalam usahatani tembakau di
Desa Rancabango adalah dalam penyediaan
sarana produksi dan permodalan.
5. Usahatani tembakau di Desa Rancabango dapat
terus berlanjut dikarenakan tidak ada dampak dari
PP No. 109 Tahun 2012 kepada petani tembakau
di desa tersebut, serta didukung oleh faktor
internal dan eksternal yang ada. Jika diasumsikan
pemerintah tidak meratifikasi FCTC (Framework
Convention on Tobacco Control), usahatani
tembakau di Desa Rancabango dapat terus
berlanjut.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Petani harus berinovasi dalam budidaya tembakau
contohnya dengan menggunakan benih
bersertifikat, menggunakan pupuk organik,
pembuatan pestisida organik dari sisa tembakau
(batang), dan hormon perangsang tumbuh supaya
hasil produksi meningkat agar dapat memenuhi
permintaan tembakau dari Temanggung yang
selama ini belum terpenuhi dengan baik sehingga
pendapatannya pun aka meningkat.
2. Perlu adanya pembinaan kepada petani mengenai
produk olahan selain rokok, yaitu pestisida
organik yang terbuat dari sisa tembakau seperti
batang pohon tembakau. Sehingga tembakau
tidak hanya dijual daun basahnya saja sebagai
bahan utama rokok, namun petani dapat menjual
pestisida organik dari batang tembakau dari
pohon tembakau yang mereka miliki.
3. Penyuluh hendaknya memberikan penyuluhan
mengenai cara mengelola keuangan yang baik
agar petani dapat mengetahui dan mengelola
keuangannya dengan baik dan benar sehingga
tidak terjadi kekurangan modal ketika petani akan
menanam tembakau di musim berikutnya.
4. Perlu adanya pembinaan kelompok tani dengan
dibuatnya sebuah koperasi sebagai lembaga
pembiayaan usahatani bagi anggota kelompok
tani untuk membantu petani dalam memanajemen
keuangan mereka dengan cara iuran atau
menabung pada koperasi tersebut sehinga dapat
meminimalisir kesulitan dalam hal permodalan
serta koperasi tersebut dapat membantu dalam hal
penyediaan sarana produksi sehingga usahatani
tembakau bisa berjalan dengan baik.
5. Pemerintah diharapkan membuat kebijakan-
kebijakan mengenai tembakau dengan
memperhatikan nasib petani tembakau sehingga
tidak ada petani tembakau yang harus mengalami
gulung tikar karena tembakau merupakan
komoditas penting yang dapat memberikan devisa
bagi negara dan menyerap tenaga kerja yang
cukup banyak.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi
dalam membantu kelancaran penyelesaian
makalah. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Dr. Ir. Lucyana Trimo, MSIE. selaku dosen
pembimbing.
2. Kepala Desa Rancabango dan seluruh
perangkat Desa Rancabango.
3. Pak Tatang selaku ketua Kelompok Tani Mukti
Satwa.
4. Para anggota Kelompok Tani Mukti Satwa
Desa Rancabango.
5. Pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat
dan Dinas Perkebunan Kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Anton Sulistyo. 2006. Analisis Usahatani
Tembakau. Skripsi Sarjana Pertanian,
207
Agribisnis. Universitas Muhammadiyah
Malang.
Andityo Triutomo. 2014. βPerlukah Indonesia
Meratifikasi FCTCβ.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014
/05/04/perlukah-indonesia-meratifikasi-fctc-
framework-convention-on-tobacco-control-
653496.html. Diakses pada tanggal 18
September 2014.
Anwas, Adiwilaga. 1982. Ilmu Usaha Tani. Alumni:
Bandung.
Bachraen Saeful, 2012. Penelitian Sistem Usaha
Pertanian di Indonesia. Bandung : IPB
Press.
Badan Pusat Statistika, 2012. Perkembangan Volume
Ekspor Tembakau di Indonesia Tahun 2008-
2012. Jakarta : Badan Pusat Statistika.
Cahyono, Bambang, 2011. Untung Selangit dari
Usaha Bertanam Tembakau. Yogyakarta :
Cahya Atma Pustaka.
Damanik, Arianty Lediana; Chalil, Diana; Ayu, Sri
Fajar. -. Faktor-faktor Pendorong dan
Penarik Alih Fungsi Usaha Perkebunan
Kopi Robusta ke Kopi Arabica. Jurnal
Universitas Sumatera Utara.
Departemen Perindustrian, 2009. Roadmap Industri
Pengolahan Tembakau. Jakarta : Direktorat
Jenderal Industri Agro dan Kimia.
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, 2013.
Statistik Perkebunan Jawa Barat Tahun
2013. Bandung : Dinas Perkebunan Provinsi
Jawa Barat.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011. Statistik
Perkebunan Indonesia 2008-2009 dan 2009-
2011. Jakarta : Kementrian Pertanian.
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012. Statistik
Perkebunan Indonesia 2010-2012. Jakarta :
Kementrian Pertanian.
Food and Agriculture Organization Corporate
Statistical, 2010.
http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx.
Diakses pada tanggal 24 November 2014.
Hanum, C, 2008. Teknik Budidaya Tanaman.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Hasan, Fuad; Darwanto, Dwidjono Hadi, 2013.
Prospek dan Tantangan Usahatani
Tembakau Madura. SEPA : Vol. 10 No.1
September 2013 : 63β70.
Husin, Sofyan, 2009. Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Produktivitas Usahatani dan
Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Petani.
Tesis Magister Ekonomi. Fakultas Ekonomi.
Universitas Indonesia.
Isaskar, Riyanti, 2014. Modul 1. Pendahuluan:
Pengantar Usaha Tani, Laboratorium
Analisis dan Manajemen Agribisnis.
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Kartikaningsih, Anita. 2009. Analisis Faktor-faktor
yang Mmempengaruhi Motivasi Petani
dalam Berusahatani Tebau. Skripsi Sarjana
Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Khanisa, Fatma Artati. -. Analisis Pendapatan Petani
Tembakau di Desa Menggoro Kecamatan
Tembarak Kabupaten Temanggung. Jurnal
UGM :
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/art
icle/viewFile/106/103. Diakses pada tanggal
26 Januari 2015.
Kementrian Keuangan, 2013. Nota Keuangan &
Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2013.
Jakarta : Kementrian Keuangan Republik
Indonesia.
Nurnanaf, Rozany. Lembaga Informal Pembiayaan
Mikro Lebih Dekat dengan Petani. Jurnal
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian :
http://pse.litbang.pertanian.go.id/. Diakses
pada tanggal 9 Maret 2015.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2012. Potensi
Sumber Daya Alam. Jabarprov.go.id.
Diakses pada tanggal 27 Desember 2014.
PT. Televisi Madiun Media Visual Utama. 2013.
Tolak PP No. 109 Tahun 2012, Ribuan
Petani Tembakau Demo. www.sakti.tv.
Diakses pada tanggal 16 Januari 2015.
Rachmat, Muchjidin; Nuryanti, Sri. 2009. Dinamika
Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2.
Desember 2009 : 73-91.
Rodjak, Abdul, 2006. Manajemen Usahatani,
Bandung : Pustaka Giratuna.
Sanusi. 2014. βGappri : Cukai Naik, Industri Rokok
Terancam Gulung Tikarβ.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/
10/gappri-cukai-naik-industri-rokok-
terancam-gulung-tikar. Diakses pada tanggal
26 Oktober 2014.
Saragih, B, dan Y, B, Krisna Murthi. 1993.
Pengembangan Agribisnis Berskala Kecil.
Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian.
Bogor.
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press:
Malang.
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta:
Rajawali.
Sugiyono, 2014. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
208
Susanti, Lisana Widi. 2008. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Petani dalam Penerapan Pertanian Padi
Organik. Skripsi Sarjana Pertanian. Fakultas
Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
TCSC. 2013. Indonesia Tobacco Atlas Edisi 2013.
Jakarta : Tobacco Control Support Center-
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia.
Urber, Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial.
Bandung : PT. Refika Aditama.
Utari, Trinanda. 2011. Faktor Penarik dan
Pendorong Petani dalam Mengusahakan
Tembakau di Luar Desa Asal. Skripsi
Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian.
Universitas Padjadjaran.
WHO. Framework Convention on Tobacco Control,
Fifty-Sixth World Health Assembly. 21 May
2003.
Widyastuti, Atiek. 2013. Peraturan Pemerintah
Risaukan Petani Tembakau Klaten.c
krjogja.com. Diakses pada tanggal 16
Januari 2015.
209
Bauran Pemasaran dan Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain (Studi Kasus di PT. Sinar Mayang Lestari, Desa Margamulya,
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)
Marketing Mix And Sales Growth of Malabar Mountain Arabica Civet Coffee (Case Study at PT. Sinar Mayang Lestari, Margamulya Village, Pangalengan Sub-
district, Bandung District, Jawa Barat Province)
Ghina Davita Ramdhayani1, Dhany Esperanza1
1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ABSTRAK
Kata Kunci:
Kopi Luwak
Bauran
Saluran
Kopi luwak merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di
samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi reguler Robusta. PT. Sinar Mayang
Lestari adalah salah satu perusahaan yang memproduksi, menangani sendiri kegiatan
produksi kopi luwak dari hulu sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan binatang
luwak secara mandiri. Tujuan penelitian ini yaitu: (1) diperoleh gambaran bauran
pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain (2) mengidentifikasi dan menganalisis
saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain yang paling efisien (3)
mengidentifikasi dan menganalisis pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain. Penelitian dilakukan di PT. Sinar Mayang Lestari yang berlokasi di Desa
Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Desain penelitian yang
digunakan adalah desain kualitatif, sedangkan teknik penelitian yang digunakan adalah
studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan alat analisis efisiensi
pemasaran dan analisis trend. Hasil penelitian menunjukkan produk kopi luwak yang
dijual dengan jenis greenbeans coffee, roasted coffee, dan grounded coffee dengan
berbagai ukuran dengan harga yang kompetitif dan kegiatan promosi yang dilakukan
masih belum efektif. Terdapat tiga pola saluran pemasaran untuk Kopi Luwak Malabar
Mountain, dilihat dari farmerβs share ketiga saluran pemasaran tergolong efisien.
Pertumbuhan penjualan satu tahun terakhir memiliki trend positif.
ABSTRACT
Keywords:
Civet Coffee,
Marketing Mix
Marketing Channel
In addition to Arabica and Robusta as a regular coffee commodity, civet coffee is another
effort to increase coffee commodity value. PT. Sinar Mayang Lestari is a company which
is solely producing and handling a production of civet coffee from the beginning to a
finishing touch, also the company has been successfully cultivating luwak (animal)
independently. The purpose of this study are including: (1) to obtain the marketing mix of
Malabar Mountainβs Arabica Civet Coffee, (2) to identify and analyze the most efficient
marketing channel of Malabar Mountainβs Arabica Civet Coffee, and (3) to identify and
analyze the sales growth of Malabar Mountainβs Arabica Civet Coffee. This research took
place in PT. Snar Mayang Lestari which is located at Margamulya village, Pangalengan
Sub-district, Bandung District. This research is a case study research. The obtained datas
this research analyzed using the analytical tools which analyze marketing efficiency and
trend. The result of this research showed that luwak coffee products sold which includes
greenbeans coffee, roasted coffee, and grounded coffee with a variety sizes, competitive
prices, and promotional activity is still not effective. There are three marketing channel
patterns for Malabar Mountainβs Arabica Civet Coffee, seen from the farmerβs share
perspective, those three marketing channels relatively efficient. This past year sales
growth had a possitive trend.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail:[email protected]
210
PENDAHULUAN Sektor perkebunan memiliki komoditas
pertanian dunia yang mampu bertahan sejak pertama
kali ditemukan sejak abad ke-9, komoditas tersebut
adalah kopi. Kopi mampu menjadikan sumber devisa
untuk Indonesia karena Indonesia salah satu negara
terbesar penghasil kopi di dunia. Menurut
International Coffee Organization (ICO), konsumsi
kopi meningkat dari tahun ke tahun sehingga
peningkatan produksi kopi di Indonesia merupakan
peluang besar untuk mampu mengekspor kopi ke
negara-negara pengkonsumsi kopi dunia seperti Uni
Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.
Tabel 6.Total Produksi Tahunan Negara Eksportir
Kopi
Negara Total Produksi (x 1000 bags)
2012 2013 2014
Brazil 50826 49152 45342
Vietnam 25000 27500 27500
Indonesia 13048 11667 9000
Columbia 9927 12124 12500
Sumber: International Coffee Organization (2015)
Catatan: 1 bags = 60 kg
Negara Indonesia berada di peringkat ketiga
setelah Brazil dan Vietnam dan total produksi kopi
untuk di ekspor dari tahun ke tahun mengalami
fluktuatif. Walaupun pada tahun 2012 Indonesia
mengalami peningkatan yang sangat tinggi sebanyak
79,03%, namun kembali menurun pada tahun 2013
sebesar 10,58% dan terus menurun sampai tahun
2014. Padahal Indonesia memiliki luas areal
perkebunan kopi yang mencapai 1,2 juta hektar ini
tersebar di berbagai daerah nusantara bagi pasar
internasional yang menjadikan salah satu peluang
Indonesia untuk melebihi Brazil dan Vietnam sebagai
penghasil kopi terbesar di dunia.
Perkembangan produksi ekspor kopi di
Indonesia dalam berbagai jenis produk olahan masih
fluktuatif. Pada tahun 2012, terdapat peningkatan
jumlah volume kopi sebanyak 47,09% dan
peningkatan nilai ekspor kopi di Indonesia sebanyak
41,27%, ini disebabkan karena pemerintah Indonesia
ingin menjadikan kopi sebagai komoditas yang
bernilai ekonomi tinggi. Maka, Indonesia terus
meningkatkan produksi kopi dalam berbagai
jenis/bentuk/variasi produk olahan untuk mengisi
pasar kopi di dunia. (Tabel 2)
Tabel 7. Perkembangan Ekspor Kopi di Indonesia
Tahun Tahun Volume Nilai
2007 336 686
2008 491 1.078
Tahun Volume Nilai
2009 518 882
2010 440 855
2011
2012
354
520
1.086
1.534
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013.
Catatan: Volume dalam 000 Ton, Nilai dalam 000 US $
Beberapa provinsi di Indonesia yang
mengembangkan perkebunan kopi salah satunya
yaitu Provinsi Jawa Barat. Jawa barat memiliki iklim
yang sesuai dengan persyaratan tumbuh kopi maka
diharapkan kopi dapat tumbuh dengan optimal.
perkembangan luas areal dan produksi kopi di Jawa
Barat dari tahun ke tahun terus menunjukan
peningkatan. Sedangkan untuk produktivitas kopi
mengalami fluktuatif. Kabupaten Bandung masih
menjadi kabupaten dengan luas lahan serta jumlah
produksi kopi terbesar di Jawa Barat, dengan rata-
rata wilayah yang terletak di dataran tinggi maka hal
itu akan menjadi penunjang tumbuh suburnya
tanaman kopi arabika di Kabupaten Bandung. Jenis
kopi yang cocok ditanam di tanah Jawa Barat ini
yaitu kopi arabika.
Kebijakan Gubernur Jawa barat yang
mengharuskan adanya alih komoditas pada tahun
2002, sehingga tanaman kopi di Kabupaten Bandung
ditanam diatas lahan hutan milik Perum Perhutani
yang dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH). LMDH memiliki program yaitu PHBM
(Program Hutan Bersama Masyarakat) yang
merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya
hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani
dan masyarakat desa.
Kecamatan Pangalengan terdapat Desa
Margamulya merupakan sentra penghasil kopi
terbanyak di Kecamatan Pangalengan. Berkat
pengembangan tanaman kopi dan hadirnya pabrik
pengolahan biji kopi di Desa Margamulya, arus
urbanisasi masyarakat dari desa ke kota terus
berkurang.
Industri kopi di Indonesia terus marak
dengan semakin bertambah dan meningkatnya
produksi kopi olahan yang dihasilkan oleh
pengolahan kopi. Tingkat konsumsi kopi dalam
negeri mencapai 1,0 kilogram/kapita/tahun (AEKI,
2013). Dengan terus bertambahnya tingkat konsumsi
dalam negeri maka diperkirakan kebutuhan kopi pun
meningkat. Melihat perkembangan ini, berbisnis kopi
merupakan peluang usaha yang sangat baik sekarang
ini karena sudah banyak masyarakat yang
mengkonsumsi kopi. Saat ini terdapat kopi yang
terbilang sedang marak digandrungi oleh para
penikmat dan pencinta kopi di pasar dunia maupun
211
lokal yaitu kopi luwak, sehingga seringkali disebut
sebagai primadona kopi saat ini.
Kopi luwak merupakan salah satu upaya
meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di
samping komoditas kopi reguler Arabika dan kopi
reguler Robusta. Dengan proses produksi yang
terbilang sangat unik, yaitu dari biji kopi berbentuk
buah cherry yang telah dimakan dan diproses melalui
proses pencernaan seekor luwak yang kemudian
dapat menghasilkan kopi dengan rasa yang sangat
khas dan juga spesial, menjadikan kopi luwak
sebagai kopi termahal yang ada di dunia saat ini.
Salah satu perusahaan yang memproduksi
kopi luwak adalah PT. Sinar Mayang Lestari yang
berada di Desa Margamulya, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Perusahaan ini telah menjalankan bisnis kopi luwak
dari tahun 2014. PT. Sinar Mayang Lestari
menangani sendiri kegiatan produksi dari hulu
sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan
binatang luwak secara mandiri. PT. Sinar Mayang
Lestari juga sudah memiliki merek dagang dengan
nama Malabar Mountain.
Guna menciptakan tujuan pemasaran dan
pertumbuhan penjualan yang tinggi maka,
perusahaan dibutuhkan adanya bauran pemasaran
yang optimal yang terdiri dari empat elemen yaitu
produk, harga, tempat (saluran distribusi), dan
promosi secara optimal. Perusahaan perlu memiliki
bauran pemasaran yang berbeda dari para pesaing,
karena bauran pemasaran merupakan suatu alat yang
digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan
pemasaran sesuai dengan pasar sasaran yang telah
ditetapkan. Dengan bauran pemasaran yang optimal
akan meningkatkan daya tarik konsumen untuk
memilih dan membeli produk Kopi Luwak Malabar
Mountain tanpa memilih produk kopi luwak yang
lain.
Proses pendistribusian Kopi Luwak Malabar
Mountain ke konsumen dilakukan melalui proses
pemasaran. Proses pemasaran yang efisien sangat
dibutuhkan dalam memasarkan produksi Kopi
Luwak Malabar Mountain. Salah satu indikator
keberhasilan pemasaran suatu produk adalah sistem
pemasaran yang terjadi berlangsung secara efisien.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam
mewujudkan pemasaran yang efisien adalah tinggi
rendahnya tingkat harga yang diterima produsen
yang erat kaitannya dengan pola saluran pemasaran
yang terbentuk dan besarnya marjin pemasaran,
sehingga untuk meningkatkan pemasaran ini dapat
dicapai apabila pola saluran pemasaran dan penyebab
tingginya marjin pemasaran diketahui. Selain itu,
besar kecilnya bagian yang diterima produsen
(farmerβs share) akan menunjukkan apakah suatu
sistem pemasaran berjalan efisien.
Dari yang sudah dijelaskan diatas dan akan
mempengaruhi pertumbuhan penjualan perusahaan
khususnya kopi luwak. Menurut Swastha dan
Handoko (2005), perusahaan dapat dikatakan
mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih baik jika
terdapat peningkatan yang konsisten dalam aktivitas
utama operasinya. Sehingga akan berpengaruh besar
untuk kemajuan PT. Sinar Mayang Lestari. Hal ini
pun akan mempengaruhi pertumbuhan penjualan
produk kopi luwak yang kontinyu.
KERANGKA TEORI
Komoditas kopi merupakan komoditas
sektor perkebunan yang mampu menjadikan sumber
devisa untuk Indonesia, dan kopi merupakan
komoditas ekspor yang laku dan memiliki harga jual
tinggi. Sentra kopi arabika saat ini berfokus di
beberapa tempat, salah satunya yaitu di Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung karena sebagai
penghasil biji kopi terbanyak dibandingkan dengan
daerah lain. Dan mampu memiliki iklim yang sesuai
dengan persyaratan tumbuh kopi maka diharapkan
kopi dapat tumbuh dengan optimal.
Industri kopi di Indonesia terus marak
dengan semakin bertambah dan meningkatnya
produksi kopi olahan yang dihasilkan oleh
pengolahan kopi. Dengan terus bertambahnya tingkat
konsumsi dalam negeri maka diperkirakan kebutuhan
kopi pun meningkat. Hal ini pun ditandai dengan
semakin suburnya produsen kopi di Indonesia.
Jenis kopi yaitu kopi luwak sedang marak
digandrungi oleh para penikmat dan pencinta kopi di
pasar dunia maupun lokal. Kopi luwak merupakan
salah satu upaya meningkatkan nilai tambah
komoditas kopi, di samping komoditas kopi reguler
Arabika dan kopi reguler Robusta. Maka, banyak
perusahaan yang tertarik untuk memproduksi kopi
luwak. PT. Sinar Mayang Lestari adalah salah satu
perusahaan yang memproduksi kopi luwak dan
arabica specialty coffee. PT. Sinar Mayang Lestari
menangani sendiri kegiatan produksi dari hulu
sampai hilir dan telah berhasil membudidayakan
binatang luwak secara mandiri. PT. Sinar Mayang
Lestari juga sudah memiliki merek dagang dengan
nama Malabar Mountain.
PT. Sinar Mayang Lestari menghasilkan
produksi kopi luwak yang jumlahnya terbatas tak
sebanding dengan kopi arabika reguler. Akibatnya
harga kopi luwak melambung tinggi. Hal ini
disebabkan karena kegiatan pemasaran yang belum
berjalan optimal, dalam artian belum mampu
menyampaikan hasil pertanian dari produsen kepada
konsumen dengan biaya yang murah.
212
Guna menciptakan tujuan pemasaran dan
tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi maka,
perusahaan dibutuhkan adanya bauran pemasaran
yang optimal yang terdiri dari empat elemen yaitu
produk, harga, tempat (saluran distribusi), dan
promosi secara optimal. Perusahaan perlu memiliki
bauran pemasaran yang berbeda dari para pesaing,
karena bauran pemasaran merupakan suatu alat yang
digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan
pemasaran sesuai dengan pasar sasaran yang telah
ditetapkan. Bauran pemasaran banyak memainkan
peran sangat penting dalam mempengaruhi
konsumen
Proses pendistribusian Kopi Luwak Malabar
Mountain ke konsumen dilakukan melalui proses
pemasaran. Proses pemasaran yang efisien sangat
dibutuhkan dalam memasarkan produksi Kopi
Luwak Malabar Mountain. Salah satu indikator
keberhasilan pemasaran suatu produk adalah sistem
pemasaran yang terjadi berlangsung secara efisien.
Permasalahan yang sering dihadapi dalam
mewujudkan pemasaran yang efisien adalah tinggi
rendahnya tingkat harga yang diterima produsen
yang erat kaitannya dengan pola saluran pemasaran
yang terbentuk dan besarnya marjin pemasaran,
sehingga untuk meningkatkan pemasaran ini dapat
dicapai apabila pola saluran pemasaran dan penyebab
tingginya marjin pemasaran diketahui. Selain itu,
besar kecilnya bagian yang diterima produsen
(farmerβs share) akan menunjukkan apakah suatu
sistem pemasaran berjalan efisien.
Gambar 1. Alur Pemikiran
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Tani
Mukti Satwa yang terletak di PT. Sinar Mayang
Lestari yang berlokasi di Jalan Kampung Cigendel
RT 03/12, Desa Margamulya, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung. Penelitian ini
menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian
berupa studi kasus.
213
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara
yang berisi pertanyaan yang terdiri dari variabel-
variabel yang berkaitan dengan penelitian, serta
dengan cara observasi pastisipasif, menggunakan
dokumentasi, dan studi pustaka. Identifikasi
mengenai bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika
Malabar Mountain menggunakan analisis deksripstif,
saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain yang paling efisien menggunakan alat
analisis marjin, serta analisis pertumbuhan penjualan
Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain
menggunakan analisis trend.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Tempat Penelitian
Desa Margamulya merupakan salah satu
desa yang terletak di wilayah Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa
Barat. Desa Margamulya terbagi kedalam 24 Rukun
Warga (RW) dan 110 Rukun Tetangga (RT) yang
terdiri dari 5.046 Kepala Keluarga. Desa
Margamulya berjarak 1 kilometer dari pusat
pemerintahan Kecamatan Pangalengan dan bisa
ditempuh dengan waktu kira-kira 3 menit. Akses
menuju Desa Margamulya dapat ditempuh baik
menggunakan kendaraan roda dua maupun roda
empat dengan infrastruktur jalan yang relatif baik.
Desa Margamulya memiliki luas wilayah
sebesar 1.294,36 Ha dengan ketinggian rata-rata
1.415 mdpl yang terdiri dari pegunungan, hutan, dan
ladang. Berdasarkan keadaan iklim, Desa
Margamulya memiliki rata-rata curah hujan
2.350mm/tahun, jumlah bulan hujan yaitu 6 bulan,
kelembaban 20,5atm, dan suhu udara sekitar 18-
23β. Namun saat ini seperti daerah lain pada
umumnya 50 intensitas hujan dan perkiraan waktu
turun hujannya sulit diprediksi sehingga berpengaruh
pada kondisi kehidupan masyarakat, khususnya
aktivitas masyarakat yang bergerak pada sektor
pertanian. Luas wilayah perkebunan di Desa
Margamulya berada pada peringkat pertama yaitu
437,119 Ha/m2 (47,7%) dibandingkan dengan luas
wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan bahwa di Desa
Margamulya banyak sekali wilayah perkebunan teh
dan kopi berdasarkan Data Profil Desa Margamulya
Tahun 2014.
Desa Margamulya memiliki jumlah
penduduk 10.230 jiwa yang terdiri dari 5.251 orang
laki-laki (51,33%) dan 4.979 orang perempuan
(48,67%) yang terbagi atas Kepala Keluarga
sebanyak 3.259 KK dengan kepadatan penduduk 200
jiwa/km2 berdasarkan Data Profil Desa Margamulya
Tahun 2014.
Desa Margamulya memiliki penduduk
dengan usia produktif (angkatan kerja) sebanyak
10.202 orang. Sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai buruh tani 1.824 orang (92,68%)
dan petani 144 orang (7,31%). Sektor pertanian
masih dominan bagi penduduk Desa Margamulya
dibandingkan dengan mata pencaharian yang lain.
Hal tersebut membuktikan bahwa sektor pertanian
masih memiliki daya tarik bagi penduduk Desa
Margamulya untuk dijadikan mata pencaharian.
Gambaran Umum Perusahaan
Sejarah PT. Sinar Mayang Lestari
Tabel 3. Sejarah Perusahaan
Tahun Sejarah Perusahaan
2012 Berdiri PT. Sinar Mayang Lestari
2013 Pembentukan Malabar Mountain Cafe di
Bogor
2014 Menjalankan Bisnis Kopi Luwak
2014 Ekspor Perdana Ke Korea Selatan
2015 Bisnis Roaster Berlaku
PT. Sinar Mayang Lestari berdiri pada
tanggal 8 November 2012. Pada awalnya Bapak
Slamet Prayoga seorang pensiunan asal Kalimantan,
beliau ingin menjadi seorang petani di Jawa Barat
maka datanglah beliau ke daerah Lembang untuk
mengunjungi kerabatnya. Setelah berdiskusi dengan
kerabatnya, maka beliau ingin bergerak dibidang
usaha perkebunan dan mencari lahan yang cocok
untuk usaha perkebunan yaitu di Pangalengan.
Di Pangalengan Bapak Slamet Prayoga
bertemu dengan Bapak Supriatnadinuri yaitu Ketua
Kelompok Tani Hutan Rahayu. Beliau banyak
belajar tentang perkebunan yaitu komoditas kopi dari
Bapak Supriatnadinuri, karena awalnya Bapak
Slamet Prayoga tidak memiliki ilmu pengetahuan
tentang kopi. Dan pada akhirnya, Bapak Slamet
Prayoga mendirikan perusahaan yang menggeluti
bisnis kopi arabika dan luwak mulai dari hulu sampai
hilir dengan slogan βKopi yang diproses dari kebun
sendiriβ. Selain memproduksi kopi arabika yang
memiliki kualitas tinggi dan berkualitas sesuai
dengan standar dan ketentuan specialty coffee, PT.
Sinar Mayang Lestari juga memproduksi kopi luwak.
Hal ini sepenuhnya perusahaan ingin melestarikan
budidaya luwak, dimana hewan sejenis musang
tersebut sekarang ini hampir punah, maka perusahaan
ingin mengembangkan produk kopi luwak. Menurut
Specialty Coffee Association of America (SCAA) jika
kopi termasuk dalam klasifikasi specialty maka kopi
tersebut harus memiliki Q Grade dengan nilai di atas
8.5.
214
Visi dan Misi PT. Sinar Mayang Lestari
Visi : Berbakti sepenuh jiwa untuk maju bersama
Misi : Memberdayakan kebersamaan antara
petani, produsen dan konsumen
Bauran Pemasaran
Produk
Keragaman produk Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain dikatakan sangat beragam. PT. Sinar
Mayang Lestari memproduksi kopi luwak dengan
berbagai macam sesuai dengan keinginan dan
permintaan konsumen. Keragaman produk kopi
luwak yang dijual PT. Sinar Mayang Lestari
merupakan produk yang dijual terbagi dalam 3 jenis,
yaitu: greenbeans coffee, roasted coffee, dan
grounded coffee. Perusahaan memperhatikan
berbagai aspek seperti kebersihan kandang luwak,
kesehatan luwak, nutrsi luwak, serta tidak
menjadikan hewan luwak sebagai mesin produksi
untuk memproduksi kopi luwak secara terus
menerus. Perusahaan pun berkomitmen
menghasilkan kopi berkualitas dengan dengan
prinsip penanganan pasca panen yang baik dan benar
(Good Handling Practices - GHP) dan telah
memperoleh berbagai sertifikat. Merek produk kopi
luwak PT. Sinar Mayang Lestari yaitu Kopi Luwak
Arabika Malabar Moutain. Nama merek tersebut
diambil berdasarkan indikasi lokasi kopi tersebut
ditanam, lokasi budidaya kopi luwak, dan tempat
pengolahan kopi yang terdapat di Desa Margamulya,
Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,
dimana lokasi tersebut tepat berada di kaki Gunung
Malabar sehingga kata Malabar Mountain dalam
merek mengindikasikan nama Gunung Malabar.
Desain produk yang dipakai oleh Kopi Luwak
Arabika Malabar Mountain sangat khas, ini
dimaksudkan agar masyarakat mengenal dan mudah
mengingat produk Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain. Jenis bahan kemasan yang dipakai untuk
produk Kopi Luwak Arabika Malabar Mountain
yaitu kemasan siap pakai berbahan baku alumunium
foil untuk roasted dan grounded, plastik bening untuk
kopi dalam bentuk greenbeans jika kurang dari 5
kilogram, dan karung goni untuk kopi dalam bentuk
greenbeans jika lebih dari 5 kilogram. Ukuran
produk kopi luwak roasted dan grounded tersedia
dalam kemasan yang berukuran 10 gram, 100 gram,
250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram. Sementara
untuk produk kopi luwak greenbeans tersedia dalam
ukuran 1 hingga 5 kilogram.
Harga
Tabel 4. Daftar Harga Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain
Jenis Ukuran (Gram) Harga (Rp)
Green beans 1000 800.000
Sangrai
(Roasted) dan
Bubuk
(Grounded)
100 177.500
250 434.000
500 857.000
1000 1.300.00
Penetapan harga yang dilakukan oleh perusahaan
sesuai dengan pangsa pasar dan keinginan
perusahaan, hal tersebut dilakukan untuk menarik
lebih banyak konsumen serta menstabilkan
kedudukannya di pasaran dilihat dari merek dan jenis
kualitas produk kopi luwak yang ditawarkan.
Perusahaan pun tidak memberikan potongan harga
kepada konsumen walaupun pembelian dengan
jumlah yang banyak.
Distribusi
Proses produksi kopi luwak dari on farm seluruhnya
dilakukan di kantor PT. Sinar Mayang Lestari.
Pemilihan lokasi produksi kopi luwak ini sangat tepat
dikarenakan letak topografi wilayah yang
mendukung. Dari kantor menuju areal kebun kopi
ditempuh melalui jalan perkebunan teh PTPN VIII
dengan jarak Β± 3 km. Transportasi yang digunakan
adalah kendaraan roda dua (motor) dan kendaraan
roda empat (mobil). Lembaga pemasaran yang
terlibat dalam pemasaran kopi luwak Malabar
Mountain dapat dikatakan masih sedikit dan rantai
pemasarannya relatif pendek. Pendeknya rantai
pemasaran belum tentu akan menghasilkan marjin
pemasaran yang kecil dan farmerβs share yang besar.
Saluran pemasaran I dan III tidak membutuhkan
perantara dalam memasarkannya kepada pihak
konsumen akhir. Hal ini disebabkan bahwa
konsumen utama kopi luwak Malabar Mountain
terbagi menjadi dua yaitu masyarakat dan instansi-
instansi pemerintah. saluran pemasaran II melalui
middleman atau konsumen perantara karena
konsumen akhir kopi luwak Malabar Mountain
berasal dari luar kota, seperti Samarinda,
Pekalongan, dan Jakarta.
Keterangan: Jenis Greenbeans
Jenis Roasted dan
Grounded
Gambar 2. Pola Saluran Pemasaran Kopi Luwak
Malabar Mountain
215
Promosi
Alat promosi yang telah dilakukan oleh perusahaan
seperti periklanan dan publisitas dengan cara
memproduksi video Kopi Luwak Malabar Mountain
lalu dimasukan secara media online ke youtube dengan
viewer 1000 pada masing-masing video, facebook
dengan followers sebanyak 250 orang, website
perusahaan. Sedangkan media cetak yaitu dengan
brosur maupun artikel-artikel dengan liputan
bertemakan kuliner atau bisnis. Hal ini terkait untuk
membangun βcitra perusahaanβ yang baik dan
menangani atau menyingkirkan gosip, cerita dan
peristiwa yang dapat merugikan perusahaan. Penjualan
personal juga dilakukan oleh perusahaan dengan cara
interaksi langsung dengan calon pembeli dengan
tujuan pembelian Kopi Luwak Malabar Mountain
biasanya dilakukan di kantor ataupun Malabar
Mountain Cafe. Selain itu, promosi penjualan yang
telah dilakukan oleh perusahaan ini langkah insentif
jangka panjang untuk mendorong pembelian atau
penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain, maka dari
itu dengan pembuatan Malabar Mountain Cafe salah
satu langkah insentif jangka panjang untuk promosi.
Perusahaan pun sering mengikuti pameran-pameran
yang diadakan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Mengikuti pameran disertai dengan memberi
penawaran kopi espresso gratis kepada pengunjung.
Walaupun, pemasukan dan pengeluaran berbeda jauh
akan tetapi pengunjung mengetahui dan mengenal
produk Malabar Mountain Coffee, sehingga akhirnya
tidak. Perusahaan menganggap bahwa alat promosi
yang efektif yang telah dilakukan dan tidak
membutuhkan biaya yang banyak yaitu menggunakan
media online seperti facebook dan media cetak seperti
artikel-artikel dengan liputan bertemakan kuliner atau
bisnis. Selain itu promosi dari mulut ke mulut pun
menjadikan produk Malabar Mountain Coffee lebih
diketahui dan dikenal masyarakat. Tenaga kerja yang
melakukan kegiatan promosi Kopi Luwak Malabar
Mountain masih sangat kurang. Saat ini tenaga kerja
yang telah melakukan kegiatan promosi yaitu tenaga
kerja manajemen perusahaan berjumlah 7 orang,
sedangkan perusahaan membutuhkan sales promotion
khusus untuk memasarkan produk sebanyak 10 orang.
Sehingga untuk kegiatan promosi masih belum
optimal.
3. Biaya, Keuntungan, dan Marjin Pemasaran
Kopi Luwak Malabar Mountain
Tabel 5. Komponen Harga Jual Kopi Luwak Malabar
Mountain di Setiap Tingkat Lembaga Pemasaran
Saluran
Pemasaran
Harga Jual (Rp/Kg)
Greenbeans Roasted
dan Grounded
I 800.000 -
II 500.000 -
III - 1.300.000
Harga jual greenbeans Kopi Luwak Malabar
Mountain yang ditawarkan oleh produsen di saluran
pemasaran I pada saat ini yaitu Rp 800.000/kg. Tetapi,
harga jual greenbeans Kopi Luwak Malabar Mountain
yang ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran II
lebih rendah yaitu Rp 500.000/kg. Harga jual roasted
dan grounded Kopi Luwak Malabar Mountain yang
ditawarkan oleh produsen di saluran pemasaran III
yaitu Rp 1.300.000/kg. Produsen tidak menjual roasted
dan grounded kepada konsumen perantara karena
konsumen perantara bisa melakukan proses itu secara
mandiri. Sebagian besar produsen menjual ke
konsumen perantara di saluran pemasaran II karena
produsen merasa lebih mudah dalam hal cara
penjualan. Ini memberikan kepastian penjualan dan
tidak mengeluarkan biaya pemasaran yang banyak
karena sudah ditanggung oleh konsumen perantara.
Tabel 6. Biaya-Biaya Pemasaran Kopi Luwak Malabar
Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran
Pemasaran Saluran
Pemasaran Biaya Pemasaran (Rp/Kg)
I 120.000
II 6000
III 80.000
Biaya pemasaran terkecil yaitu saluran
pemasaran II karena saluran pemasaran yang pendek
dan kuantitas penjualan yang besar sehingga bisa
menekan biaya pemasaran. Pada setiap saluran
pemasaran tidak diperlukan biaya pengangkutan
karena biasanya konsumen maupun pihak perantara
datang langsung ke kebun untuk membeli Kopi
Luwak Malabar Mountain. Biaya pemasaran oleh
produsen terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya
pengemasan, dan biaya operasional produksi.
Tabel 7. Rata-Rata Keuntungan Kopi Luwak Malabar
Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran
Pemasaran
Saluran
Pemasaran
Harga Jual (Rp/Kg)
Greenbeans Roasted
dan Grounded
I 680.000 -
II 440.000 -
III - 1.220.000
216
Rata-rata keuntungan jenis roasted dan
grounded lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
greenbeans disebabkan jenis roasted dan grounded
sudah memiliki nilai tambah yang lebih membuat
keuntungan lebih tinggi. Pada saluran pemasaran I
terlihat keuntungan yang didapat lebih tinggi dari
saluran pemasaran II. Hal tersebut terkait dengan
adanya perbedaan harga jual pada saluran pemasaran I
dan saluran pemasaran II.
Tabel 8. Jumlah Pembelian Kopi Luwak Malabar
Mountain yang Dikeluarkan Pada Setiap Saluran
Pemasaran
Saluran
Pemasaran
Harga Jual (Rp/Kg)
Greenbeans Roasted
dan Grounded
I 3 -
II 60 -
III - 5
Pihak produsen cenderung menjual ke pihak
perantara pada saluran pemasaran II dengan jumlah
pembelian 60 kg, cukup jauh bila dibandingkan
dengan saluran pemasaran I dan saluran pemasaran
III. Frekuensi pembelian dari saluran pemasaran I yaitu
sebanyak 3 kg dan saluran pemasaran III sebanyak 5
kg untuk setiap pembelian. Maka, pihak produsen lebih
memilih saluran pemasaran II, walaupun sifatnya
menunggu pesanan dari konsumen perantara karena
konsumen perantara pun menunggu pesanan dari
konsumen.
Hal ini berbeda dengan jumlah pembelian
pada saluran pemasaran I dan saluran pemasaran III
yang relatif sedikit juga disebabkan karena konsumen
akhir membeli ke pihak produsen di Pangalengan
dengan waktu yang sangat jarang. Dalam keadaan
demikian, produsen merasa dirugikan jika tidak
adanya saluran pemasaran II dan pembelian dengan
jumlah yang banyak ini akan berakibat kepada
saluran pemasaran yang lainnya sehingga harus
mencari pasar Kopi Luwak Malabar Mountain.
4. Efisiensi Pemasaran Kopi Luwak Malabar
Mountain
Berdasarkan hasil penelitian, total marjin di
setaiap saluran pemasaran, maka marjin yang diterima
saluran pemasaran II lebih kecil dari ketiga saluran
tersebut (Saluran II < Saluran III < Saluran I). Tingkat
efisiensi saluran pemasaran jenis greenbean, saluran
pemasaran I menghasilkan total marjin pemasaran
yang besar yaitu Rp 800.000/kg (15%) dengan biaya
pemasaran Rp 120.000/kg dan keuntungan pemasaran
Rp 680.000/kg. Sedangkan, saluran pemasaran II
memiliki tingkat efisiensi saluran pemasaran yang
semakin tinggi. Hal ini ditujukkan dengan total marjin
pemasaran yang lebih kecil yaitu Rp 500.000/kg (12%)
dengan biaya pemasaran Rp 60.000/kg dan keuntungan
pemasaran Rp 440.000/kg. Sedangkan, tingkat
efisiensi saluran pemasaran jenis roasted dan grounded
memiliki total marjin pemasaran yaitu Rp
1.300.000/kg (6,15%) dengan biaya pemasaran Rp
80.000/kg dan keuntungan pemasaran Rp
1.220.000/kg. Berdasarkan perhitungan, maka saluran
pemasaran II memiliki marjin terkecil dan kombinasi
keuntungan dan biaya pemasaran yang kecil juga.
Tabel 9. Marjin Pemasaran Kopi Luwak Malabar
Mountain Berdasarkan Saluran Pemasaran (Rp/kg) Rincian Biaya
dan
Keuntungan
Pemasaran
Saluran Pemasaran
I II III
Biaya
Pemasaran 120.000 60.000 80.000
Keuntungan
Pemasaran
680.000 440.000 1.220.000
Total Marjin 800.000 500.000 1.300.000
Persentase
Marjin
15% 12% 6,15%
Bagian yang diterima produsen (farmerβs
share) pada saluran pemasaran I yaitu 85%. Bagian
yang diterima produsen (farmerβs share) pada saluran
pemasaran II yaitu 88%. Bagian yang diterima
produsen (farmerβs share) paling besar pada saluran
pemasaran III yaitu 93,84%. Hal ini terjadi karena, ada
nilai tambah dari produk sehingga konsumen rela
menempuh jarak yang cukup jauh ke lokasi kebun di
Pangalengan. Nilai tambah dari Kopi Luwak Malabar
Mountain yang dibeli pada saluran pemasaran III
tersebut antara lain jenis roasted dan grounded.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bagian
saluran pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain
yang terjadi adalah efisien, dimana bagian harga yang
diterima produsen berkisar antara 85% sampai 93%
atau rata-rata 88,94%.
Tabel 10. Nilai Farmerβs Share Kopi Luwak Malabar
Mountain Berdasarkan Saluran Pemasaran Saluran
Pemasaran
Hp
(Rp/kg)
He
(Rp/kg)
Farmerβs
Share (%)
I 680.000 800.000 85%
II 440.000 500.000 88%
III 1.220.000 1.300.000 93,84%
217
5. Pertumbuhan Penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain
Analisis pertumbuhan penjualan Kopi
Luwak Malabar Mountain yang dilakukan pada
PT. Sinar Mayang Lestari diawali dengan
mengambil data dalam rentang waktu 1 tahun
yang dimulai dari bulan Mei 2014 sampai Mei
2015. Data yang digunakan merupakan data
penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain dalam
satuan gram dan merupakan data bulanan
perusahaan. Dari data deret waktu penjualan Kopi
Luwak Malabar Mountain akan menggambarkan
pola data yang membantu menentukan pola data
yang terbentuk dari data penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain PT. Sinar Mayang Lestari.
Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kopi Luwak
Malabar Mountain
Dengan adanya penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain yang masih berfluktuatif selama
bulan Mei 2014 sampai bulan Mei 2015 seperti yang
sudah tertera pada Gambar 18. Volume penjualan
tertinggi terjadi pada bulan April 2015 sebesar 62.600
gram, hal ini dikarenakan kebutuhan konsumen dan
permintaan akan Kopi Luwak Malabar Mountain
sedang banyak. Pada bulan Juli 2014 tidak ada
penjualan yang dilakukan, hal ini dikarenakan
permintaan kopi yang tidak stabil.
Perkembangan penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain meningkat pada bulan Agustus
2014 mencapai 30.020 gram, namun mengalami
penurunan penjualan pada bulan September yaitu
sebesar 26.860 gram. Penjualan Kopi Luwak Malabar
Mountain kembali mengalami peningkatan kembali
pada bulan Oktober 2014 sebanyak 58.960 gram, dan
kembali mengalami penurunan penjualan pada bulan
November 2014 yaitu sebanyak 58.320 gram. Pada
bulan Desember 2014 mengalami peningkatan kembali
sebanyak 56.320 gram. Pada bulan Januri 2105
penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain kembali
mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yaitu
sebanyak 59.580 gram, mengalami peningkatan
kembali pada bulan Februari 2015. Dan pada bulan
Maret 2015 mengalami penurunan yang sangat besar
yaitu 290 gram dan kembali mengalami peningkatan
pada bulan April sebanyak 62.350 gram, dan kembali
menurun pada bulan Mei 2015 sebanyak 62.100 gram.
Volume penjualan Kopi Luwak Malabar
Mountain pada bulan Agustus 2014, Oktober 2014,
Desember 2014, Februari 2015, dan April 2015
dikarenakan permintaan greenbeans dari pihak
konsumen perantara sedang banyak karena sedang
terkait kontrak penjualan domestik dengan salah satu
ritel besar yaitu LOKA, kontrak ini dimulai pada bulan
Agustus 2014 dan pengiriman 2 bulan sekali.
Sedangkan di bulan-bulan lainnya dipengaruhi faktor
permintaan kopi yang tidak stabil dikarenakan adanya
persaingan. Persaingan produk kopi luwak menjadi
ketat dengan munculnya produsen-produsen baru,
tidak hanya produsen baru tetapi produsen yang lebih
dulu memproduksi kopi luwak menjadikan persaingan
begitu ketat. Selain itu terdapat faktor musiman yaitu
cuaca yang mempengaruhi pemetikan buah cherry
kopi dan faktor hasil fermentasi luwak yang berakibat
pada produksi Kopi Luwak Malabar Mountain.
Persamaan garis trend linier volume penjualan
Kopi Luwak Malabar Mountain hasil dari analisis
adalah Y = 19.504,61 + 1.698,35X. Persamaan ini
menunjukkan besarnya nilai koefisien trend adalah
sebesar 1.698,35 gram yang berarti bahwa penjualan
Kopi Luwak Malabar Mountain setiap bulannya
mengalami peningkatan sebesar 1.698,35 gram.
Peningkatan trend tersebut menunjukkan selama satu
tahun terakhir yaitu dari bulan Mei 2014 sampai Mei
2015 koefisien arah dan trend penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain adalah positif. Sementara nilai
intersep hasil dari analisis trend didapatkan sebesar
19.504,61 yang berarti bahwa rata-rata penjualan Kopi
Luwak Malabar Mountain selama satu tahun terakhir
adalah sebesar 19.504,61 gram.
Dengan menggunakan persamaan tersebut,
dapat diramalkan volume penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain untuk beberapa bulan kedepan.
Untuk penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada
bulan Juni tahun 2015, maka Y = 19.504,61 +
22.078,55 = 41.583,16. Artinya, volume penjualan
Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan Juni 2015
diperkirakan sebesar 41.583,16 gram. Dan untuk
penjualan Kopi Luwak Malabar Mountain pada bulan
Juli tahun 2015, maka Y = 19.504,61 + 23.776,9 =
43.281,51. Artinya, volume penjualan Kopi Luwak
Malabar Mountain pada bulan Juli 2015 diperkirakan
sebesar 43.281,51 gram.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
218
6. Bauran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari adalah:
a. Produk: Keragaman produk kopi luwak yang
dijual terbagi dalam 3 jenis yaitu greenbeans
coffee, roasted coffee, dan grounded coffee.
Kemasan yang dipakai berbahan baku
alumunium foil, plastik dan karung goni.
Ukuran produk tersedia ukuran 10 gram, 100
gram, 250 gram, 500 gram, dan 1 kilogram
hingga 5 kilogram.
b. Harga: Penetapan harga yang dilakukan oleh
perusahaan sesuai dengan pangsa pasar dan
keinginan perusahaan. Tidak ada standar harga
dunia untuk kopi luwak.
c. Distribusi: Terdapat tiga pola saluran
pemasaran Kopi Luwak Malabar Mountain
dan rantai pemasaran relatif pendek.
d. Promosi: Alat promosi yang telah dilakukan
oleh perusahaan seperti memproduksi video
Kopi Luwak Malabar Mountain lalu dimasukan
ke youtube, facebook, website, brosur maupun
artikel-artikel dengan liputan bertemakan
kuliner atau bisnis penjualan personal,
pembuatan MM Cafe salah satu langkah insentif
jangka panjang untuk promosi, mengikuti
pameran-pameran.
2. Saluran pemasaran Kopi Luwak Arabika Malabar
Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari yang
paling efisien jenis greenbeans yaitu saluran
pemasaran II dan memiliki nilai farmerβs share
lebih dari 50% yaitu 85%.
3. Pertumbuhan penjualan Kopi Luwak Arabika
Malabar Mountain di PT. Sinar Mayang Lestari
satu tahun terakhir yaitu bulan Mei 2014 β Mei
2015 memiliki trend positif.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Perlu melakukan pengukuran efektifitas promosi
yang telah dan sedang dilakukan dan sales
promotion yang khusus guna memasarkan produk
Malabar Mountain Coffee.
2. Tim manajemen perusahaan tidak perlu
melakukan semua pekerjaan, karena di dalam
manejemen yang baik perlu melakukan pekerjaan
sesuai dengan jobdesk masing-masing.
3. Untuk mempermudah peramalan penjualan
disarankan agar perusahaan menggunakan
perangkat lunak (software) seperti Microsoft
Excel.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam
membantu kelancaran penyelesaian makalah. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
6. Dhany Esperanza, SP., MBA.. selaku dosen
pembimbing.
7. Kepala Desa Margamulya dan seluruh perangkat
Desa Margamulya.
8. Pak Slamet Prayoga selaku Direktur Utama PT.
Sinar Mayang Lestari.
9. Para karyawan PT. Sinar Mayang Lestari.
10. Pihak Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dan
Dinas Perkebunan Kabupaten.
DAFTAR PUSTAKA
Andi, Supangat. 2007. Statistika dalam Kajian
Deskriftif, Inferensi dan Nonparametrik.
Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia.
2013. Konsumsi Kopi di Indonesia.
Melalui http://www.aeki-aice.org/ [Diakses
pada tanggal 7 Maret 2015]
Badan Pusat Statistik. 2006. Analisis Profil
Perusahaan/Usaha Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Ekspor
Kopi Indonesia. Melalui
http://www.bps.go.id/ [Diakses pada
tanggal 20 Januari 2015]
Badan Standarisasi Nasional. 2007. Spesifikasi
Persyaratan Mutu Biji Kopi. SNI No 01-
2907-1999.
Basu Swastha, DH dan Irawan. 2004. Manajemen
Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty.
Basu Swastha, DH. 2005. Manajemen Penjualan.
Yogyakarta: Liberty.
Choiri, Achmad dan Aro Fajar Sunartomo. 2008.
Keragaan Agribisnis dan Prospek
Pemasaran Kopi Rakyat. Jurnal J-Sep Vol.
2 No. 3 Jember.
Ciptadi, W dan Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan
Kopi. Fakultas Teknologi Institut Pertanian
Bogor.
Darmawati. 2005. Analisis Pemasaran Mendong di
Kabupaten Sleman. Skripsi. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta. Tidak
dipublikasikan.
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. 2012.
Daerah Unggulan Penghasil Kopi di
Provinsi Jawa Barat.
Dirjen Perkebunan. 2012. Luas Lahan dan Produksi
Kopi Indonesia. Kementrian Perkebunan.
219
Higgins, Robert C, 2003. Analysis for Financial
Management, Seventh Edition. McGraw-
Hill, Singapore.
Hutagaol, Vici Kristina. 2002. Pengaruh Bauran
Pemasaran Terhadap Keputusan
Pembelian Produk Minuman Kopi di
Potluck Coffee Bar and Library Bandung.
Skripsi Program Studi Manajemen.,
Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama
Bandung.
International Coffee Organization. 2015. Total
Produksi Tahunan Negara Eksportir Kopi.
Melalui http://www.ico.org/ [Diakses pada
tanggal 12 Februari 2015]
Kharisma, Dimas, Endang Siti Rahayu, Setyowati.
2013. Analisis Efisiensi Pemasaran Jagung
di Kabupaten Grobogan. Jurnal Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kotler, P dan Keller. 2007. Manajemen Pemasaran
Jilid II, Edisi Keduabelas. Jakarta:
Erlangga.
Kuswarak. 2010. Analisis Bauran Pemasaran
Terhadap Volume Penjualan Nata De Coco
Ukuran 220 Gr Pada PT. Keong Nusantara
Abadinatar Lampung Selatan. Fakultas
Ekonomi Universitas Sang Bumi Ruwa
Jurai.
Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian.
Jakarta: LP3ES.
M. Yahmadi. 2000. βSejarah Kopi Arabika di
Indonesiaβ. Warta Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia. Vol 16, No.3, p.180.
Najiyati, Sri dan Danarti. 2004. Kopi, Budidaya dan
Penanganan Pascapanen. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Panggabean, Edy. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta:
Agromedia Pustaka
Soekartawi, 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian
Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. UMM
Press. Malang
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Cv.
Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran, Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Andi.
Wachjar, A. 2013. Pengantar Budidaya Kopi.
Fakultas Pertanian, Bogor.
Zaini, Achmad. 2011. Analisis Prospek Pemasaran
Ayam Petelur Di Kalimantan Timur. Jurnal
EEP.Vol.8.No 1 Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas
Mulawarman Samarinda.
220
221
Pengaruh Bantuan Modal Kerja PUAP Terhadap Kesejahteraan Petani di
Provinsi Sulawesi Tengah
Influence of PUAP Working Capital Program towards Farmerβs Welfare in Provinsi
Sulawesi Tengah
Yennita Sihombing
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor
A B S T R A K
Kata Kunci: Sektor Pertanian,
Modal Kerja,
Penguatan,
Kelembagaan Gapoktan
PUAP,
LKM-A
Sektor pertanian memegang peran penting bagi pembangunan nasional. Selain
menyediakan pangan bagi penduduk secara nasional juga mampu menyediakan devisa
bagi negara serta menyediakan bahan baku bagi industri. Modal kerja menjadi salah
satu kendala bagi sebagian besar petani di Indonesia dalam rangka meningkatkan
produktivitas hasil usaha tani. Oleh karena itu Kementerian Pertanian melalui Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) berupaya untuk mengatasi
persoalan modal kerja petani dengan cara menyalurkan dana sebesar Rp 100 juta
kepada setiap Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) untuk penguatan modal pada
usaha budidaya pertanian (on-farm) dan usaha non budidaya pertanian (off-farm).
Untuk mendapatkan gambaran secara utuh tentang penerapan PUAP ini di Provinsi
Sulawesi Tengah, telah dilakukan analisis secara kuantitatif dengan memanfaatkan
data primer dan sekunder dari Dinas Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, BPTP, Pusat Statistik (BPS), PMT Kabupaten
di seluruh Provinsi Sulawesi Tengah, dan instansi terkait lainnya Hasilnya
memperlihatkan bahwa Kabupaten Donggala memiliki nilai aset yang paling besar
yaitu sebanyak Rp.13.616.307.000,- dengan jumlah Gapoktan sebanyak 126 dan
anggota yang telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 10.020 orang. Sedangkan
kabupaten yang memiliki nilai aset yang paling kecil adalah Kabupaten Sigi sebesar
Rp.8.414.631.000,- dengan jumlah Gapoktan 80 dan anggota yang telah
memanfaatkan dana PUAP sebanyak 12.322. Agar program ini lebih efektif disarankan
agar pemerintah daerah mendukung kebijakan, pengadaan sarana prasarana dan
insentif kepada kelompok tani sehingga terbentuk Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA).
ABSTRACT
Keywords: Agricultural sector,
Venture capital,
Strengthen,
Farmer Group Institution
of PUAP,
LKM-A
Agricultural sector plays a main role in the national development such as for national
food security purposing, as basic material for industries and as the foreign exchange.
In this regards, venture capital is one of the obstacles for most of the Indonesian
farmers in increasing their agricultural productivity. In order to solve this problem,
Agricultural Department of the Republic of Indonesia has a program called β Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)β. This idea is purposing to
undertake problems faced by farmers by providing funding as much as one hundred
million rupiah (Rp 100 juta) for every group of farmers (Gabungan Kelompok Tani or
Gapoktan). The funding is to strengthen the venture capital for both on-farm and off-
farm farmersβ activities. Qualitative analysis has been done by employed both primary
and secondary data from Agricultural Department, Food Plant Agriculture and
Horticulture Department BPTP, (BPS), PMT in the district of Sulawesi Tengah
province, and other related institutions. The outcome of the analysis shows that
Donggala District has the biggest asset which is Rp.13.616.307.000,-. This district has
126 Gapoktan includes 10.020 members has used the PUAP funding. On the other
hand, Sigi District has the smallest amount of PUAP funding which is
Rp.8.414.631.000,-. There are 80 group of farmers in this district but the interesting
thing is 12.322 members have used PUAP funding. Support of local government is
222
crucially needed to make this program more effective namely by constructing policy,
infrastructure, insentif for group of farmer so that LKMA could be realized.
* Korespondensi Penulis,
alamat e-mail: [email protected]
223
PENDAHULUAN
Upaya pemerintah Indonesia dalam
pengembangan pertanian berbasis agribisnis
merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan
untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Ada
beberapa faktor penting yang menyebabkan kesulitan
dalam menilai dampak dari kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah, yaitu tidak tepatnya dalam
menetapkan sasaran, tidak berurutan waktu
programnya, kurang pahamnya tenaga pemerintah
dalam melaksanakan, termasuk korupsi, kurangnya
persiapan tenaga dalam mendampingi program,
kecilnya bentuk bantuan dan kurangnya informasi.
Melihat kendala tersebut pemerintah
berusaha untuk mengatasi dengan melakukan
penekanan pada pembangunan daerah berbasis
agribisnis perdesaan secara berkelanjutan. Untuk
menunjang upaya tersebut, maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan dengan menggalakkan
program-program pemberdayaan masyarakat, yaitu
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP).
Progam PUAP merupakan program nasional
dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia
untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran
pada sektor pertanian. Melalui Program ini
mempermudah petani dalam akses permodalan,
karena pemerintah memberikan fasilitas berupa
bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik
petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun
rumah tangga tani yang dikoordinasi oleh Gapoktan
(Gabungan Kelompok Tani). Bantuan dana berupa
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). PUAP mulai
dikucurkan pada tahun 2008 dengan maksud agar
dana BLM-PUAP dapat mendorong perekonomian di
pedesaan dan meningkatkan pendapatan petani
sehingga petani keluar dari kemiskinan.
Tujuan program PUAP antara lain:
1) Untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan
pengangguran melalui penumbuhan dan
pengembangan kegiatan usaha agribisnis di
perdesaan sesuai dengan potensi wilayah.
2) Meningkatkan kemampuan pelaku usaha
agribisnis, pengurus Gapoktan, penyuluh dan
penyelia mitra tani
3) Memberdayakan kelembagaan petani dan
ekonomi perdesaan untuk pengembangan
kegiatan usaha agribisnis.
4) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi
petani menjadi jejaring atau mitra lembaga
keuangan dalam rangka akses ke permodalan.
Berdasarkan tujuan PUAP tersebut, maka
ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor:273/Kpts/OT.160/4/2007 yang menjelaskan
tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
Pada dasarnya keputusan tersebut menjelaskan
tentang upaya pengembangan kelompok tani yang
diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam
melaksanakan fungsinya terutama dalam
peningkatan kemampuan para anggota, terutama
dalam hal agribisnis. Pada akhirnya organisasi
tersebut menjadi lebih terarah, profesional, dan
mandiri. Untuk menindak lanjuti keputusan tersebut,
pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 tentang Tim
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
menyebutkan bahwa Gapoktan merupakan lembaga
yang berfungsi sebagai pelaksana PUAP.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di
atas, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja
kelembagaan Gapoktan. Penilaian ini dilakukan oleh
Tim Teknis PUAP yang ditetapkan melalui peraturan
Kementerian Pertanian
Nomor:29/Permentan/CT.140/5/20. Upaya ini
merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi
Gapoktan yang berprestasi dalam kerangka
meningkatkan kinerja dan produktivitas usaha
agribisnisnya yang sekaligus dapat mengelola dana
PUAP melalui Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis
(LKM-A). Penghargaan tersebut, sekaligus
diharapkan untuk mendorong Gapoktan dalam
meningkatkan kualitas serta kuantitas fungsi-fungsi
sebagai kelembagaan tani pelaksana PUAP.
Berbagai upaya pembinaan dan
pendampingan yang dilakukan baik dari Tim
Pelaksana PUAP maupun penyuluh pendamping dan
Penyelia Mitra Tani (PMT) untuk meningkatkan
kemampuan Gapoktan PUAP masih terus dilakukan.
Meningkatkan kemampuan Gapoktan PUAP tersebut
merupakan upaya dalam pengembangan
kelembagaan Gapoktan, sehingga diharapkan
Gapoktan PUAP dapat berperan serta berfungsi
sebagai unit usaha tani, unit usaha pengolahan, unit
usaha sarana dan prasarana produksi dan unit usaha
keuangan mikro serta unit jasa penunjang lainnya,
serta menyediakan berbagai informasi yang
dibutuhkan petani sehingga mampu membentuk
Gapoktan yang kuat dan mandiri yang menjadi
wadah bagi kelompok tani dan para petani
melakukan usaha agribisnis.
Kegiatan evaluasi dalam pengembangan
program PUAP merupakan proses untuk
menyempurnakan kegiatan-kegiatan yang sedang
berjalan, membantu dalam sistem perencanaan,
penyusunan program dan system pengambilan
keputusan yang bersifat antisipatif, sehingga di masa
depan dapat dikembangkan program PUAP yang
progresif dan dinamis. Model pembiayaannya
dilakukan berdasarkan skema Lembaga Keuangan
Mikro Agribisnis (LKM-A) yang dalam
224
pelaksanaannya didirikan, dimiliki dan dikelola
sendiri oleh petani/masyarakat. Oleh karena itu
kedepan keberadaan Lembaga Keuangan Mikro ini
diharapkan dapat memperoleh modal pembangunan
sector pertanian di Indonesia. Kemudian untuk
evaluasinya menurut Suryahadi (2007) dibagi
menjadi 2 jenis, yakni: menurut waktu pelaksanaan
yangmerupakan evaluasi formatif dan evaluasi
summative. Kemudian menurut tujuan terdiri atas:
evaluasi proses, evaluasi biaya-manfaat, dan evaluasi
dampak.
Berdasarkan survei di Kabupaten bahwa
ternyata pelaksanaan program PUAP pada
Kabupaten belum berhasil, karena masih ada
Gapoktan PUAP yang perkembangan dana PUAP
belum mencapai tujuan dari program PUAP yaitu
belum membentuk Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis (LKMA). Oleh karena itu dilakukan
evaluasi terkait kinerja Gapoktan PUAP dalam
perkembangan dana PUAP dalam membentuk
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang
tangguh, untuk itu perlu adanya contoh sebagai
pembanding, supaya yang perkembangan dana pada
Gapoktan PUAP di Kabupaten Grobogan tersebut
yang belum berhasil dalam membentuk LKMA
supaya dapat berhasil dalam membentuk LKMA.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan suatu strategi alternatif PUAP yang
dapat membantu Gapoktan PUAP di setiap provinsi
di Indonesia dalam membentuk LKMA yang
tangguh, sehingga pelaksanaan program PUAP dapat
berhasil.
KERANGKA TEORI
Gambaran Umum Bentuk Bantuan Modal Pada
Pertanian Bentuk program bantuan penguatan modal
yang diperuntukkan bagi petani pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1964 dengan nama
Bimbingan Massal (BIMAS). Tujuan dibentuknya
program tersebut adalah untuk meningkatkan
produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru
dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan
secara nasional. Dalam perjalanannya, program
BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami
banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan
dengan perkembangan teknologi dan kebijakan
(Hasan,1979 dalam Lubis 2005).Pada tahun 1985,
kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit
Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari
sistem kredit massal BIMAS, dimana pola
penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah
melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Sejalan dengan
perkembangannya, ternyata pola yang demikian
banyak menemui kesulitan, utamanya dalam
penyaluran kredit. Hal ini lebih disebabkan karena
tingkat tunggakan pada musim tanam sebelumnya
sangat tinggi. Namun dalam kenyataannya, banyak
kelompok tani yang berada dalam wilayah KUD
yang tidak menerima dana KUT, padahal mereka
yang berada di wilayah KUD tersebut justru memiliki
kemampuan yang baik dalam pengembalian kredit.
Untuk mengatasi hal tersebut, tahun 1995
pemerintah mencanangkan skim kredit KUT pola
khusus. Pada pola ini, kelompok tani langsung
menerima dana dari bank pelaksana. Berbeda dari
pola sebelumnya (pola umum) dimana kelompok tani
menerima kredit dari KUD. Sepanjang
perkembangannya, timbul masalah lain dalam
penyaluran KUT yaitu terjadi tunggakan yang besar
di sebagian daerah yang menerima dana program
tersebut. Beberapa penyebab besarnya tunggakan
tersebut antara lain karena rendahnya harga gabah
yang diterima petani, faktor bencana alam, dan
penyimpangan yang terjadi dalam proses penyaluran
serta pemanfaatan dana tersebut. Salah satu
contohnya adalah sebagian petani mengalihkan dana
KUT dari yang tadinya untuk keperluan usaha tani,
digunakan untuk keperluan konsumsi rumah tangga.
Tahun 2008, pemerintah melalui
Departemen Pertanian RI mencanangkan program
baru yang diberi nama Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan
bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri
melalui bantuan modal usaha dalam
menumbuhkembangkan usaha agribisnis sesuai
dengan potensi pertanian desa sasaran. Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri adalah
program pemberdayaan masyarakat yang ditujukan
untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesempatan kerja. Jadi dapat dikatakan bahwa PUAP
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri. Kebijakan Departemen Pertanian
dalam pemberdayaan masyarakat diwujudkan
dengan penerapan pola bentuk fasilitasi bantuan
penguatan modal usaha untuk petani anggota, baik
petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun
rumah tangga tani. Operasional penyaluran dana
PUAP dilakukan dengan memberikan kewenangan
kepada Gapoktan sebagai pelaksana PUAP untuk
dalam hal penyaluran dana penguatan modal kepada
anggota. Agar mencapai hasil yang maksimal dalam
pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh
tenaga penyuluh pendamping dan penyelia mitra tani,
dan diharapkan dapat menjadi kelembagaan ekonomi
yang dimiliki dan dikelola oleh petani (Deptan,
2008).
225
Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP)
Salah satu program kebijakan pembangunan
pertanian dalam rangka pengentasan kemiskinan,
ketahanan pangan, dan mewujudkan kesejahteraan
petani dan perdesaan adalah Program Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP). Program PUAP
merupakan program bantuan langsung masyarakat
(BLM) sebagai implementasi dari program PNP
Mandiri, beserta program lainnya seperti Primatani,
DEATI, PIDRA, P4M2I, program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), program Pemberdayaan Daerah
Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
(PDMDKE), Bantuan Perbenihan (BLBU), LM3,
BMT, Desa Mandiri Pangan, dan sebagainya. Pada
dasarnya tingkat kemiskinan suatu masyarakat
berhubungan erat dengan kesenjangan distribusi
pendapatan. Artinya, kesenjangan distribusi
pendapatan berkorelasi positif dengan besarnya
proporsi rumah tangga miskin pada suatu komunitas.
Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) merupakan kebijakan pemerintah
dalam mengalakan program pemberdayaan
masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan
pengangguran. Kegiatan PUAP merupakan bentuk
fasilitasi bantuan modal kelompok tani/Gapoktan,
yang selanjutnya akan diberikan kepada petani
anggota,baik petani pemilik, petani penggarap, buruh
tani maupun rumah tangga tani sebagai bantuan
modal dalam kegiatan usaha pertanian. Pemerintah
memberikan bantuan modal untuk kegiatan usaha di
bidang agribisnis yang sesuai dengan potensi
pertanian desa sasaran, selain itu nantinya juga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pedoman
Umum PUAP, 2008).
Menurut Pedoman Umum PUAP (2012),
Program ini menyalurkan dana Bantuan Langsung
Mandiri (BLM) PUAP ke desa miskin terjangkau.
Dana BLM-PUAP yang diterima masing-masing
desa tersebut sebesar Rp 100 juta untuk
mengembangkan agribisnis perdesaan melalui
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Tujuan
program PUAP yaitu: (1) Mengurangi kemiskinan
dan pengangguran melalui penumbuhan dan
pengembangan kegiatan usaha agribisnis di pedesaan
sesuai dengan potensi wilayah;(2) Meningkatkan
kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus
Gapoktan, penyuluh dan penyelia mitra tani;(3)
Memberdayakan kelembagaan petani dan ekonomi
perdesaan untuk pengembangan kegiatan usaha
agribisnis;(4) Meningkatkan fungsi kelembagaan
ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga
keuangan dalam rangka akses ke permodalan.
Sasaran yang diharapkan dari program
PUAP adalah; (1) Berkembangnya usaha agribisnis
di desa terutama desa miskin terjangkau sesuai
dengan potensi pertanian desa;(2) Berkembangnya
Gapoktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani
untuk menjadi kelembagaan ekonomi;(3)
Meningkatnya kesejahteraan rumah tangga tani
miskin, petani atau peternak (pemilik dan atau
penggarap) skala kecil, buruh tani;(4)
Berkembangnya usaha agribisnis petani yang
mempunyai siklus usaha harian, mingguan maupun
musiman.
Berdasarkan tujuan PUAP tersebut, maka
ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian
(KEPMENTAN) Nomor:273/Kpts/OT.160/4/2007
yang menjelaskan tentang Pedoman Pembinaan
Kelembagaan Petani menyebutkan bahwa
pengembangan kelompok tani diarahkan pada
peningkatan kemampuan kelompok tani dalam
melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan
para anggota dalam mengembangkan agribisnis,
penguatan kelompok tani menjadi organisasi petani
yang kuat dan mandiri. Menindak lanjuti peraturan
tersebut, pemerintah mengeluarkan peraturan dari
Menteri Pertanian dengan Nomor
545/Kpts/OT.160/9/2007, mengenai Tim
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan yang
terdiri dari Gapoktan yang merupakan kelembagaan
tani pelaksana PUAP.
Menunjang upaya tersebut, maka dilakukan
penilaian untuk mengetahui kinerja kelembagaan
Gapoktan. Penilaian ini dilakukan oleh Tim Teknis
PUAP. Berdasarkan peraturan diatas untuk
menunjang hal tersebut, maka di tetapkan peraturan
Kementerian Pertanian Nomor :
29/Permentan/CT.140/5/2011. Upaya ini merupakan
salah satu bentuk yaitu dengan memberikan
penghargaan bagi Gapoktan yang terpilih sebagai
Gapoktan berprestasi, sehingga dapat meningkatkan
kinerja dan produktivitas usaha agribisnisnya
sekaligus dapat mengelola dana PUAP melalui
Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA).
Penghargaan tersebut, diharapkan Gapoktan PUAP
terdorong untuk meningkatka kualitas serta kuantitas
fungsi-fungsi sebagai kelembagaan tani pelaksanaan
PUAP (Pedoman Penilaian Gapoktan PUAP
Berprestasi, 2011).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Propinsi Sulawesi
Tengah dengan pertimbangan bahwa lokasi ini
merupakan salah satu propinsi yang sejak tahun 2008
mendapat dana bantuan permodalan bagi petani
melalui program PUAP. Sementara ini dalam
pelaksanaanya belum pernah dilakukan evaluasi
secara maksimal pada hal secara nasional Propinsi
Sulawesi Tengah akan diproyeksikan sebagai
226
lumbung padi. Atas dasar pertimbangan itu maka
dilakukan penelitian untuk mengkaji perkembangan
pelaksanaannya.
Analisis Data
Penelitian dilaksanakan selama tujuh bulan,
terhitung mulai bulan Januari sampai Juli 2014
dengan memanfaatkan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh berdasarkan
kuisioner yang dikirimkan ke BPTP Sulawesi Tengah
yang kemudian diteruskan ke masing-masing PMT di
seluruh kabupaten. Sedangkan data sekunder diambil
dari laporan PMT dan instansi terkait antara lain dari
lembaga tingkat desa hingga kecamatan, Dinas
Pertanian di Provinsi Sulawesi Tengah (Toli-Toli,
Poso, Molowali, Sigi, Tojo Una-Una, dan Donggala),
Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Sulawesi Tengah, Dinas
Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi
Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik (BPS), dan
instansi terkait lainnya. Sebanyak 582 Gapoktan
yang memperoleh dana PUAP tahun 2008 -2013.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan PUAP Hasil penghitungan terhadap pelaksanaan
program PUAP di propinsi Sulawesi Tengah
memperlihatkan bahwa dari total 582 Gapoktan,
terdapat 65.399 orang anggota yang telah
memanfaatkan dana PUAP dengan total nilai asset
sebesar Rp. 60.679.000- (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah Dana PUAP di Kabupaten Sulawesi Tengah Hingga Akhir Tahun 2013
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui
bahwa Kabupaten Donggala, dari 126 jumlah
Gapoktan yang tercatat, 10.200 orang diantaranya
telah memanfaatkan dana PUAP dengan total asset
sebesar Rp.13.616.307.000,- Dengan demikian rata-
rata per orang telah memanfaatkan dana sebesar
Rp1.335.000. Berbeda dengan Kabupaten Sigi,
dengan 80 Gapoktan, jumlah anggota yang
memanfaatkan dana ini sebanyak 12.322 orang
dengan total asset sebesar Rp. 12.322.000. Dengan
demikian rata-rata per orang hanya separuhnya, yaitu
sebesar Rp. 682,900.000. Jika kemudian di urutkan
berdasarkan jumlah orang yang memanfaatkan, maka
Kabupaten Poso yang terbanyak di ikuti Kabupaten
Morowali, Toli-toli, Donggala dan Tojo una-una.
Berdasarkan manajemen pengelolaannya
dana keuangan diserahkan sepenuhnya kepada
Gapoktan, yang selanjutnya dialokasikan ke masing-
masing kelompok tani sesuai dengan rencana usaha
dari masing-masing Kelompok. Penyusunan
Rencana Usaha tersebut didasarkan atas
pertimbangan potensi di masing-masing daerah.
Penerapan pengelolaan dana dilaksanakan dengan
pendekatan simpan pinjam yang kemudian tingkat
bunga pengembalian serta waktu pengembaliannya
diseuaikan berdasarkan atas kesepakatan kelompok.
Keragaan Kinerja Gapoktan
Secara garis besar kinerja Gapoktan
didasarkan atas Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD dan ART) yang mengatur
masalah-masalah vital yang harus dibuat pada awal
organisasi tersebut dibentuk, antara lain mencakup
landasan organisasi, perangkat-perangkat organisasi,
peran dan fungsi organisasi, tujuan organisasi dan
keuangan organisasi. Sedangkan ART secara teknis
mengatur tatacara pelaksanaan sebuah organisasi,
seperti wewenang ketua, pembubaran, syarat-syarat
keanggotaan, dan lain-lain. Dengan demikian
organisasi semacam Gapoktan ini harus mempunyai
catatan-catatan tertulis tentang segala aktivitas
organisasi yang tertata rapi.
No KABUPATEN JLH
GAPOKTAN
JUML ANGGOTA YANG
TELAH
MEMANFAATKAN
DANA PUAP (ORG)
NILAI ASET YANG
DIKELOLA S.D AKHIR
2013 (Rp. 000)
1 TOLI - TOLI 80 10.531 8.782.000
2 POSO 97 13.022 9.574.147
3 MOROWALI 106 11.365 10.603,000
4 SIGI 80 12.322 8.414.631
5 TOJO UNA-UNA 93 8.139 9.689.852
6 DONGGALA 126 10.020 13.616.307
JUMLAH 582 65.399 60.679.937
227
Tabel 2. Kinerja Gapoktan di Provinsi Sulawesi Tengah
No KABUPATEN JLH
GAPOKTAN
JUML ANGGOTA
YANG TELAH
MEMANFAATKAN
DANA PUAP
(ORG)
NILAI ASET
YANG
DIKELOLA
S.D
AKHIR 2013
(Rp. 000)
KLASIFIKASI
JLH USP JLH
LKM-A
1 TOLI - TOLI 80 10.531 8.782.000 5 75
2 POSO 97 13.022 9.574.147 0 97
3 MOROWALI 106 11.365 10.603.000 98 8
4 SIGI 80 12.322 8.414.631 80 0
5
TOJO UNA-
UNA 93 8.139 9.689.852 84 9
6 DONGGALA 126 10.020 13.616.307 120 6
JUMLAH 582 65.399 60.679.937 387 195
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
Hasil evaluasi kinerja terhadap 582 Gapoktan
dari total 1.037 Gapoktan yang ada di provinsi
Sulawesi Tengah menunjukan bahwa PUAP telah
berhasil membentuk 195 LKM-A, sementara sisanya
387 unit masih dalam bentuk USP (Tabel 2). Masing-
masing Kabupaten memiliki jumlah USP dan LKM-
A yang berbeda-beda. Misalnya Kabupaten
Donggala tercatat memiliki 120 USP, jauh lebih
besar dibandingkan dengan kabupaten Poso yang
sama sekali tidak memiliki USP karena telah berhasil
membentuk LKM-A. Perbedaan ini disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain:
a) Sebagian pengurus gapoktan kawatir apabila
dana PUAP dikelola LKM-A akan terjadi
penyimpangan;
b) Sebagian pengurus gapoktan merasa belum siap
dengan pembentukan LKM-A;
c) Gapoktan belum banyak yang mengetahui tentang
konsep LKM-A dan cara menjalankannya;
d) Pemangku kepentingan dan pendamping masih
belum sepenuh hati mendorong penumbuhan
LKM-A karena belum ada petunjuk, arah dan
dasar hukum yang jelas.
Terkait dengan LKM-A adalah sebuah
Lembaga Keuangan Mikro merupakan kelembagaan
usaha yang mengelola jasa keuangan untuk
membiayai usaha dalam skala mikro, baik berbentuk
formal maupun non formal. Pembentukan lembaga
ini diprakarsai oleh masyarakat atau pemerintah.
Karena yang dituju adalah LKM bagi petani, maka
usaha yang dimaksudkan juga usaha pertanian.10
Dalam hal ini, LKM-A yang dimaksudkan adalah
merupakan lembaga keuangan mikro yang
ditumbuhkan dari Gapoktan pelaksana PUAP dengan
fungsi utamanya adalah untuk mengelola aset dasar
dari dana PUAP dan dana keswadayaan angggota.2
Beberapa faktor penting yang dipergunakan
untuk mengukur kemajuan Gapoktan, menurut
Bustaman et al (2011)11, adalah Gapoktan PUAP
yang berpotensi membentuk kelembagaan ekonomi
petani (LKM-A). Keberhasilan tersebut diukur
melalui kriteria: (a) memiliki modal kelompok (iuran
wajib, pokok, dan atau simpanan sukarela); (b)
memiliki unit simpan pinjam dan unit usaha lainnya
(sarana input, pengolahan, dan pemasaran hasil); (c)
memiliki kantor yang terpisah dari rumah ketua
Gapoktan; (d) menunjukkan peningkatan
produktivitas, termasuk produksi dan pendapatan
pelaku usahatani (penguatan modal petani); (e)
mendapat dukungan Pemda Propinsi/Kabupaten atas
usaha Gapoktan untuk mendirikan lembaga ekonomi
petani/LKM-A (surat keputusan).
Berdasarkan evaluasi kelembagaannya,
kabupaten yang berhasil membentuk LKM-A
terbanyak adalah Poso (sebanyak 97 unit), kemudian
disusul kabupaten Toli β Toli. Sedangkan kabupaten
Sigi sama sekali tidak berhasil membentuk LKM-A
(Gambar 2).
Keberhasilan Gapoktan PUAP di Kabupaten Poso
dapat dibuktikan dari peningkatan jumlah anggota,
nilai aset yang dimiliki dan telah memiliki LKM-A.
Hal ini karena Gapoktan telah memiliki struktur
organisasi, AD/ART dan rencana kerja. Petani
penerima dana PUAP dipilih secara selektif oleh
pengurus dan Gapoktan telah memiliki kerjasama
dengan pemangku kepentingan. Berbeda dengan
Gapoktan PUAP di Kabupaten Sigi yang ditunjukkan
dari berkurangnya jumlah anggota serta tidak
ditunjukkan adanya kenaikan nilai aset yang cukup
signifikan. Besar kemungkinan hal ini disebabkan
kurangnya kemampuan pengurus Gapoktan dalam
memfasilitasi dan mengelola modal usaha anggota,
kekeliruan persepsi dari anggota bahwa pinjaman
228
dana PUAP tidak perlu dikembalikan, dana pinjaman
tidak digunakan sesuai kebutuhan usahanya. Seleksi
dan verifikasi kurang memperhatikan kelayakan
usaha anggota dan pembinaan serta pendampingan
dari tim pembina dan tim teknis kurang intensif
dilakukan.12
Kemitraan dan Badan Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
tahun 2012 tentang Perkoperasian dan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, Gapoktan PUAP yang telah
berhasil membentuk LKM-A wajib memiliki Badan
Hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas (PT).
Pengurusan Badan Hukum LKM-A dapat dilakukan
melalui notaris atau koperasi. Biaya pengurusan
Badan Hukum melalui notaris relatif lebih mahal bila
dibandingkan dengan koperasi, namun kebanyakan
petani masih belum dapat menerima LKM-A menjadi
koperasi.
Pada dasarnya prinsip pertumbuhan Gapoktan
adalah kebebasan, kesempatan, keswakarsaan,
partisipatif, keterpaduan, kemitraan dan
keberlanjutan. Gapoktan bebas mengembangkan unit
jasa/usaha otonom sesuai kebutuhan unit usaha tani,
pengolahan, pemasaran, saprodi, simpan-
pinjam/keuangan mikro dan jasa penunjang lainnya.
Gambar 1. Grafik Kemitraan dan Badan Hukum Gapoktan di Kabupaten yang Ada Di Provinsi
Sulawesi Tengah
Dari Gambar 1. dapat dilihat bahwa Kabupaten
Donggala telah berhasil membangun hubungan
kemitraan dengan pihak ke tiga sebanyak 22 unit dan
memiliki 3 unit koperasi yang sudah berbadan hukum
namun belum memiliki akta notaris. Kabupaten Toli
- Toli berhasil membangun hubungan kemitraan
dengan pihak ke tiga sebanyak 16 unit, belum
memiliki koperasi yang sudah berbadan hukum
namun sudah memiliki 6 unit akta notaris. Kabupaten
Sigi berhasil membangun hubungan kemitraan
dengan pihak ke tiga sebanyak 7 unit, belum
memiliki koperasi yang sudah berbadan hukum dan
hanya memiliki 1 unit akta notaris, Kabupaten
Morowali berhasil membangun hubungan kemitraan
dengan pihak ke tiga sebanyak 10 unit, memiliki 4
unit koperasi yang sudah berbadan hukum dan 4 unit
akta notaris.
Sedangkan kabupaten yang belum menjalin
kemitraan dengan pihak lain yaitu Kabupaten Tojo
Una-Una, namun sudah memiliki 1 unit koperasi
yang berbadan hukum dan 2 unit yang memiliki akta
notaris. Kabupaten Poso adalah kabupaten di
provinsi Sulawesi Tengah yang belum menjalin
kemitraan dengan pihak lain, belum memiliki
koperasi yang berbadan hukum dan belum memiliki
akta notaris.
Salah satu modal utama dalam kinerja
pengelolaan LKM-A adalah kemitraan dengan pihak
lain seperti pemerintah daerah, lembaga keuangan
bank seperti Bank BRI maupun non bank seperti
pengecer pupuk, pengusaha dan pengumpul jagung.
Kemitraan dilaksanakan dengan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan.13
.
Aspek Ekonomi (Usaha) PUAP di Provinsi
Sulawesi Tengah Penyaluran pinjaman dana PUAP dinilai melalui
pelayanan Gapoktan dalam merealisasikan kegiatan
simpan pinjam dan sejauh mana jangkauan pelayanan
simpan pinjam mampu menyentuh kebutuhan para
petani dalam menjalankan usaha taninya. Dana
PUAP tersebut disalurkan pada anggota Gapoktan
masing-masing dengan harapan dapat menambah
modal usaha baik tanaman pertanian (pangan),
KEMITRAAN
KOPERASI
AKTA NOTARIS
229
peternakan, perkebunan, maupun pengadaan sarana
produksi pertanian.
Keragaan alokasi penggunaan dana
Gapoktan PUAP di provinsi Sulawesi Tengah pada
tahun 2008-2013 berdasarkan jenis usahanya ialah
usaha tani tanaman pangan (41%), peternakan (8%),
perkebunan (28%), hortikultura (7%) dan off-farm
(16%) yang disajikan pada Gambar 2.
a. Budidaya pertanian (on farm)
Meliputi budidaya sub sektor tanaman pangan, sub
sektor hortikultura, sub sektor peternakan,
dan sub sektor perkebunan. Berdasarkan Tabel 3,
diketahui bahwa sektor on-farm khususnya di sektor
tanaman pangan, mendominasi pengajuan pinjaman
kredit usaha. Hal ini dapat dilihat dari persentase
pengajuan pinjaman dari Rencana Usaha Anggota
(RUA). Kebanyakan para petani mempergunakan
dana pinjaman tersebut untuk menambah modal
usaha seperti pembelian pupuk dan bibit pada saat
masa tanam.
Gambar 2. Persentase Usaha Produktif yang dibiayai PUAP di Provinsi Sulawesi Tengah Hingga
Akhir Tahun 2013
Tabel 3. Alokasi Penggunaan dana PUAP Untuk Usaha Budidaya Pertanian di Provinsi Sulawesi
Tengah Sampai Akhir Tahun 2013
No KABUPATEN JUMLAH
GAPOKTAN
JUML ANGGOTA
YANG TELAH
MEMANFAATKA
N DANA PUAP
(ORG)
ALOKASI PENGGUNAAN DANA UNTUK USAHA
PRODUKTIF
TANAMAN
PANGAN
(Rp.000)
PERKEBUNA
N (RP.000)
HORTIKULTURA
(Rp.000)
PETERNAK
AN (Rp.000)
1 TOLI -
TOLI 80 10.531 3.735.000 3.220.000 185.000 580.000
2 POSO 97 13.022 4.254.058 3.644.541 483.049 189.494
3 MOROWALI 106 11.365 2.440.000 2.400.000 20.000 455.000
4 SIGI 80 12.322 2.696.705 1.176.105 547.789 451.708
5 TOJO UNA
- UNA 93 8.139 4.778.274 862.250 1.411.776 992.800
6 DONGGALA 126 10.020 3.810.286 3.314.458 781.092 21.45.750
JUMLAH 582 65.399 21.714,323 14,617,354 3.428.706 4.814.752
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
Pada sektor usaha budidaya pertanian (on-
farm), jenis usaha yang paling banyak adalah usaha
tani padi. Usaha tani padi ini merupakan usaha yang
paling lama ditekuni yaitu sekitar 21-25 tahun. Hal
ini dikarenakan usaha ini tidak hanya sekedar usaha
untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan sudah
menjadi budaya masyarakat.
b. Usaha Off Farm
Non budidaya (Off farm), meliputi usaha industri
rumah tangga pertanian/industri pengolahan hasil
230
pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan dan usaha
lain berbasis pertanian
Penduduk di Provinsi Sulawesi Tengah
sudah mulai melakukan kegiatan-kegiatan diluar
pertanian (off-farm) sebagai penghasilan tambahan.
Hal ini didorong karena adanya tuntutan kebutuhan
hidup sehari-hari yang tidak dapat terus-menerus
menggantungkan hidup dari hasil kegiatan budidaya
seperti bertani yang harus menunggu beberapa bulan
ke depan untuk memperoleh hasil. Maka dari itu
mulai berkembang usaha-usaha non budidaya seperti
usaha pengadaan saprotan, pengolahan, pengemasan,
pengolahan tepung beras, pembuatan roti, pembuatan
kue kering dan basah, dagang bakso, dagang sayuran
dan buah, usaha warung sembako kecil-kecilan, serta
pemasaran produk hasil pertanian. Usaha ini sudah
banyak dilakukan oleh penduduk karena tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk menikmati
hasilnya.
Kegiatan usaha ini banyak dilakukan oleh
penduduk desa yang tidak memiliki lahan pertanian
atau hanya memiliki sedikit lahan untuk ditanami
tanaman pertanian. Usaha pengadaan saprotan ini
dikelola oleh gapoktan diprovinsi Sulawesi Tengah
meliputi pengadaan benih dan pupuk. Saprotan ini
dijual kepada para petani di desa dengan sistem
pembayaran setelah panen.
Sifat inovatif dan sifat kepemimpinan dari
pengurus Gapoktan berhubungan positif dengan
keberhasilan outcome dan dengan keberhasilan
benefit. Hasil analisis berdasarkan alokasi
penggunaan dana PUAP untuk usaha off farm yang
ditunjukkan pada Tabel 4. Memperlihatkan bahwa
jumlah dana hasil off farm sebesar Rp.
8.015.488.000,- (16%). Hasil analisis ini juga
memperlihatkan bahwa pengurus Gapoktan di
masing β masing kabupaten di provinsi Sulawesi
Tengah secara signifikan telah mampu meningkatkan
kemampuan petani, buruh tani, dan tumah tangga tani
dan Gapoktan sendiri untuk mengembangkan modal
dan jenis usaha agribisnisnya, dan mampu membuka
peluang usaha di bidang off farm, sehingga manfaat
dari adanya program PUAP dapat dirasakan
manfaatnya oleh petani, buruh tani, dan tumah tangga
di lokasi program PUAP dilaksanakan.
Tabel 4. Alokasi Penggunaan dana PUAP Untuk Usaha Off Farm di Provinsi Sulawesi Tengah Sampai
Akhir Tahun 2013
No KABUPATEN JLH
GAPOKTAN
JUML ANGGOTA YANG
TELAH
MEMANFAATKAN DANA
PUAP (ORG)
JUMLAH
PERGULIRAN
/PENYALURAN
(berapa kali)
OFF-FARM
(Rp.000)
1 TOLI - TOLI 80 10.531 250 200.000
2 POSO 97 13.022 189 175.489
3 MOROWALI 106 11.365 152 2.490.000
4 SIGI 80 12.322 380 2.682.685
5
TOJO UNA -
UNA 93 8.139 186
1.254.900
6 DONGGALA 126 10.020 47 1.212.414
JUMLAH 582 65.399 1.204 8.015.488
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
Strategi Alternatif PUAP
Strategi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP) pada dasarnya ditujukan untuk:
a. Pemberdayaan masyarakat dalam mengelola PUAP,
yang dapat dilaksanakan melalui:
i) Pelatihan bagi petugas pembina dan pendamping
PUAP;
ii) Rekrutmen dan pelatihan bagi Penyuluh dan PMT;
iii) Pelatihan bagi pengurus Gapoktan; dan
iv) Pendampingan bagi petani oleh penyuluh dan
PMT.
b. Optimalisasi potensi agribisnis di desa miskin dan
tertinggal, dilaksanakan melalui:
i Identifikasi potensi desa;
ii Penentuan usaha agribisnis (hulu, budidaya dan
hilir) unggulan; dan
iii Penyusunan dan pelaksanaan RUB berdasarkan
usaha agribisnis unggulan.
c. Menguatkan modal petani kecil, buruh tani dan
rumah tangga tani miskin kepada sumber
permodalan, dilaksanakan melalui:
i) Penyaluran BLM PUAP kepada pelaku agribisnis
melalui Gapoktan;
ii) Fasilitasi pengembangan kemitraan dengan
sumber permodalan lainnya.
231
d. Melakukan pendampingan bagi Gapoktan,
dilaksanakan melalui:
i) Penempatan dan penugasan Penyuluh
Pendamping di setiap gapoktan; dan
ii) Penempatan dan penugasan PMT di setiap
kabupaten/kota.
PENUTUP Dari hasil pengkajian diperoleh bahwa
Kabupaten Donggala memiliki nilai aset yang paling
besar yaitu sebanyak Rp.13.616.307.000,- dengan
jumlah Gapoktan sebanyak 126 dan anggota yang
telah memanfaatkan dana PUAP sebanyak 10.020
orang. Sedangkan Kabupaten yang memiliki nilai
aset yang paling kecil adalah Kabupaten Sigi yaitu
sebesar Rp.8.414.631.000,- dengan jumlah Gapoktan
sebanyak 80 dan anggota yang telah memanfaatkan
dana PUAP sebanyak 12.322 orang. Dari data
tersebut terbukti bahwa sifat inovatif dan sifat
kepemimpinan dari pengurus Gapoktan berhubungan
positif dengan keberhasilan outcome dan dengan
keberhasilan benefit dan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terbentuknya LKM-A yang
sukses. Pemerintah Daerah diharapkan dapat
memberikan fasilitasi dalam pemupukan modal,
kepemilikan badan hukum, pembentukan asosiasi
gapoktan, dan penyiapan langkah exit strategy
keberlanjutan program PUAP. Bapeluh atau BP4K
dapat menjadi leading agency dan menjadikan
program PUAP sebagai program unggulan daerah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Bapak Sjahrul
Bustaman, M.Si dari BBP2TP atas bimbingannya
dalam penulisan KTI.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Penumbuhan
Dan Pengembangan Kelompok Tani Dan
Gabungan Kelompok Tani. Jakarta:
Departemen Pertanian RI
Elfindri, 2005, Kajian Tingkat Kemiskinan di
Pedesaan dan Perkotaan Sumatera Barat,
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat,
Lembaga Pengkajian Ekonomi
Pembangunan (LPEP), Fakultas Ekonomi
Universitas Andalas, Padang.
Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Umum
Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) 2013. Jakarta:
Kementerian Pertanian. 40 hlm.
Peraturan Menteri Pertanian No.
273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman
Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok
tani dan Gabungan Kelompok tani.
Keputusan Menteri Pertanian (KEPMENTAN)
Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 Tentang
Pembentukan Tim Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
29/Permentan/OT.140/5/2011 Tanggal: 30
Mei 2011. Pedoman Penilaian Gabungan
Kelompok Tani (GAPOKTAN)
Pengembangan Usaha Agribisnis Usaha
Agrbisnis iPedesaan (PUAP) Berprestasi
Tahun Anggaran 2011.
Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2011. Pedoman
Penilaian Gapoktan PUAP Berprestasi.
Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana
Pertanian. Kementerian Pertanian.
BBP2TP dan Direktorat Pembiayaan Pertanian.
2013. Data base Gapoktan PUAP 2008-
2011. Kerja Sama BBP2TP dengan
Direktorat Pembiayaan Kementerian
Pertanian.
Pasaribu dkk. (2011). Penentuan Desa Calon Lokasi
PUAP 2011 dan Evaluasi Pengembangan
Usaha Agribisnis Perdesaan. Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Bogor.
Suryahadi, Asep. (2007). Kumpulan Bahan Latihan
Pemantauan Evaluasi Program-Program
Penanggulangan Kemiskinan. Modul 4 :
Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang
Baik. Bappenas,Jakarta.
www.ditpk.bappenas.go.id
Bustaman, S., M. Mardiharini, A. Djauhari., S.S.
Tan. 2011. Pengkajian Pola dan Metode
Rating Gapoktan PUAP (Grade A, B, C)
Dalam Upaya Meningkatkan Hasil
Komoditas Unggulan (Padi, Sapi Potong dan
Kakao) > 20 % Melalui Percepatan Adopsi
Teknologi Pertanian. Laporan Hasil
Pengkajian (belum dipublikasi).
Hendayana, R. 2011. Penguatan modal petani pada
gabungan kelompok tani penerima BLM
PUAP. hlm 13-24. Dalam K.Subagyono,
R. Hendayana, S. Bustaman (Penyunting).
Petani Butuh Modal. Badan Litbang
Pertanian.
Suprapto. A. 2012. Pokok-pokok bahasan terhadap
pelaksanaan PUAP. Makalah disampaikan
pada workshop PUAP di Botani Square 8
Agustus 2012.
Permentan No 81/Permentan/OT.140/8/2013.
Pedoman pembinaan kelompok tani (Poktan)
232
dan gabungan kelompok tani (Gapoktan). 26
Agustus 2013.
233
Manajemen Resiko Rantai Pasok Komoditas Padi (Oryza sativa) di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat
Risk Management Of The Agribusiness Supply Chain On Commodity Paddy (Oryza
Sativa ) In Indramayu District West Java
Tetep Ginanjar 1), Tomy Perdana1), Eddy Renaldi1)
Pusat Studi Rantai Pasok dan Sistem Logistik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
A B S T R A K
Kata Kunci: Manajeman resiko,
agen resiko,
rantai pasok,
aksi mitigasi resiko
Sumber mata pencaharian penduduk Indonesia sebagian besar berada pada sector
pertanian. Selain itu, sector pertanian pun berada pada posisi kedua setelah sector
industry pengolahan sebagai penyumpang PDB terbesar. Walaupun demikian, sector
pertanian masih menghadapi beberapa kendala, terutama aspek pembiayaan. Secara
nasional, kredit yang disalurkan pada sektor pertanian sangat rendah dibandingkan
total kredit perbankan, yaitu hanya sekitar 5,54% saja. Dari total kredit perbankan
sector pertanian, hanya sekitar 4,3 % saja yang diserap subsector pangan (BI, 2013).
Rendahnya total kredit perbankan terhadap sector pertanian salah satunya disebabkan
tingginya risiko di sector pertanian yang dihadapi bank maupun debitur. Berdasarkan
hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi resiko dan upaya mitigasinya. Hal ini
untuk memberikan informasi bagi bank/kreditur mengenai resiko dalam sector
pertanian serta cara meninimimalisasinya. Meningkatnya pemahaman pihak kreditur
mengenai aksi mitigasi risiko dalam rantai pasok dan proses bisnis yang dilakukan di
sektor pertanian, akan meningkatkan kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur
dalam memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha di sektor pertanian. Penelitian
dilakukan di Kabupaten Indramayu yang merupakan sentra produksi padi di Provinsi
Jawa Barat dan sekaligus di Indonesia. Dalam mencapai tujuan penelitian, digunakan
alat pemetaan Value Stream Mapping dan House of Risk (HOR). Rantai pasok padi di
Kabupaten Brebes melibatkan petani, bandar, dan pengusah RMU (Rice Milling Unit).
Dari hasil analisis teridentifikasi 8 titik kritis risiko di tingkat RMU, 3 titik kritis risiko
di tingkat bandar, dan 3 titik kritis risiko di tingkat petani disertai aksi mitigasi resiko
di masing-masing pelaku.
ABSTRACT
Keywords: risk management,
risk agent,
supply chain,
mitigation risk actions
The largest Indonesian livelihood is came from agricultural sector. Futhermore, the
agricultural was to be second position after the processing industry as the largest
contributors to GDP. Nevertheless, the agricultural still faces several obstacles,
especially in financing aspects. Nationally, lending to the agricultural is very low if it's
compared with total bank credits. Credits to agricultural amounted only 5,54% from
total bank credits as much as 4,3% devoted to foods (BI, 2013). The lowest of total
bank credits for agricultural is due to the high risks of agricultural to the faced of
banks or other credit institutions. Based on this case, it is necessary to efforts of risk
identified and mitigation. That is to give information to the bank or crediturs about
risk agricultural sector and how to minimize that risk. The increasing of crediture
comprehention about risk mitigation in agricultural supply chain business will be
increased of credibility from creditures to give some credits to the farmers and the
other of agriculturalists. This research conducted in Indramayu district as one of the
largest paddy producer in West java and indonesia. To achieve the aim of this
research, used research instruments value stream mapping and house of risk (HOR).
Paddy supply chain in indramayu district involve farmers, middleman, and rice milling
unit. This analysis was identified 8 critical points of risk in RMU, 3 critical points of
risk in middleman, and 3 critical points of risk in farmers which is accompanied with
mitigation risk for each actors.
* Korespondensi Penulis, alamat e-mail: [email protected]
234
PENDAHULUAN
Sumber mata pencaharian penduduk Indonesia
sebagian besar berada pada sector pertanian. Sekitar
40 Juta orang (35 %) penduduk Indonesia bermata
pencaharian di sector pertanian. Selain itu, sector
pertanian pada triwulan III tahun 2014 berada pada
posisi kedua (15,25% %) setelah sector industry
pengolahan (23,35 %) sebagai penyumpang PDB
terbesar (BPS, 2014). Hal ini menunjukan bahwa
sector pertanian memegang peranan yang sangat
strategis dalam perekonomian nasional. Walaupun
demikian perkembangan sector pertanian mengalami
banyak kendala. Kendala-kendala tersebut berada
pada aspek penerapan teknologi budidaya pertanian,
penanganan pascapanen, informasi pasar dan
pemasaran, serta aspek permodalan. Aspek
permodalan merupakan persoalan klastik yang
dihadapi para pelaku di sector pertanian, terutama
para petani.
Data statistik kredit perbankan menunjukkan
bahwa secara nasional kredit yang disalurkan pada
sektor pertanian sangat rendah dibandingkan total
kredit perbankan, Namun menunjukkan peningkatan.
Pada akhir tahun 2010, kredit pada sektor pertanian
sebesar Rp85,0 triliun atau 4,97% dari total kredit
perbankan. Namun pada akhir 2013, kredit sektor
pertanian meningkat menjadi Rp174,4 triliun atau
5,54%.
Tabel 1. Perkembangan Kredit Perbankan Sektor
Pertanian (Triliun Rp)
Keterangan 2010 2011 2012 2013
Total Kredit
Perbankan
1.711,7 2.117,5 2.585,1 3.146,1
Pertanian,
Perkebunan
dan
Kehutanan
85,0 107,9 139,9 174,4
Persentase
(%)
4,97 5,09 5,41 5,54
Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum (LBU)
Berdasarkan Tabel 1, apabila dilihat secara lebih
mendalam kepada masing-masing sub sektor
pertanian, maka pangsa kredit terbesar masih
didominasi oleh sektor perkebunan yang pada akhir
tahun 2013 mencapai Rp145,0 triliun atau 83,2% dari
total kredit pertanian. Sementara penyaluran kredit
pada sub sektor pangan pada periode yang sama
hanya sebesar Rp7,3 triliun atau 4,2% dari total kredit
pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa akses
keuangan untuk produksi pertanian, di luar sub sektor
perkebunan, bukan merupakan hal yang mudah.
Salah satu subsector pertanian yang memiliki
realisasi penyaluran kredit rendah, yaitu subsector
pangan, terutama komoditas beras sebagai makanan
pokok masyarakat Indonesia.
Hasil penelitian Bank Indonesia (2011)
menyebutkan bahwa salah satu penyebab rendahnya
akses keuangan untuk produksi pertanian yaitu
tingginya risiko di sector pertanian yang dihadapi
bank maupun debitur. Berdasarkan hal tersebut maka
perlu dilakukan identifikasi resiko dan upaya
mitigasinya. Hal ini untuk memberikan informasi
bagi bank/kreditur mengenai resiko dalam sector
pertanian serta cara meninimimalisasinya.
Meningkatnya pemahaman pihak kreditur mengenai
risiko dalam rantai pasok dan proses bisnis yang
dilakukan di sektor pertanian akan meningkatkan
kepercayaan serta keyakinan pihak kreditur dalam
memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha di
sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena melalui
pemahaman terhadap risiko yang mungkin terjadi di
dalam usaha yang dibiayai akan memungkinkan
pihak kreditur untuk menyalurkan pembiayaan ke
sektor pertanian yang selama ini dianggap memiliki
risiko tinggi.
METODE PENELITIAN Penelitian studi kasus ini menggunakan desain
kasus tunggal terjalin dengan pertimbangan bahwa
pada objek penelitian yaitu rantai pasok dan risiko
rantai pasok. Dalam rantai pasok diperlukan analisis
perorangan dalam proses penelitian. Analisis
perorangan yang dimaksud adalah melihat
bagaimana peranan dan dampak setiap pelaku/link
dalam rantai. Selanjutnya tahap penting dalam desain
penelitian kasus tunggal ini diperlukan unit analisis.
Unit analisis yang dipilih dituangkan dalam teknik
penelitian.
Teknik penelitian yang digunkanan dalam
desain kasus tunggal ini adalah deskriptif kualitatif
dengan dipadukan dengan uji kuantitatif. Sumber-
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer, merupakan data yang diperoleh
secara langsung dari objek penelitian melalui
wawancara langsung dengan informan. Data
sekunder, merupakan data yang diperoleh dari buku,
majalah, penelusuran internet, jurnal, lembaga-
lembaga terkait, dan penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan penelitian ini. Data/informasi
yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data
primer dan data sekunder. Oleh karena itu, teknik
pengumpulan data/informasi yang digunkan adalah
teknik wawancara, teknik observasi, dan studi
kepustakaan.
235
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Rantai Pasok Komoditas Padi di Kabupaten
Indramayu
Berdasarkan gambar, dapat diketahui para pelaku
dalam sistem rantai pasok beras di Kabupaten
Indramayu. Dalam sistem rantai pasok tersebut,
terdiri dari anggota primer dan anggota pendukung.
Anggota primer terdiri dari para pelaku utama dalam
sistem rantai pasok yang terdiri dari RMU (Rice
Milling Unit), Bandar. dan petani. Sedangkan
anggota pendukung meliputi Badan Ketahanan
Pangan dan Penyuluhan Pertanian (BKP3) Kab.
Indramayu, Balai Penyuluhan Pertanian di masing-
masing kecamatan, PT. Syngenta, PT. Pertani, kios-
kios pertanian, bank, Bulog, dan pedagang pasar
induk.
2. Manajemen Resiko Rantai Pasok Padi di
Kabupaten Indramayu
Agen desiko dalam rantai pasok padi terlebih
dahulu diidentikasi pada setiap pelaku. Setelah
diketahui agen resikonya, dilakukan pemilihan agen
resiko prioritas. Pemilihan agen risiko prioritas
diperlukan, karena tidak semua agen risiko
mendapatkan sebuah penanganan. Hal tersebut
dilakukan salah satunya karena faktor biaya yang
dibutuhkan untuk penanganan dan dampak yang
ditimbulkan terlalu kecil. Pemilihan agen risiko
prioritas sesuai dengan Hukum Pareto (80:20).
Menurut Kontur (2008), pada aplikasi hukum pareto,
risiko 80 persen kerugian disebabkan oleh hanya 20
persen risiko yang krusial. Jika 20 persen risiko
krusial tersebut dapat ditangani, maka pelaku bisnis
dapat menghindari 80 persen kerugian.
Gambar 1. Alur Rantai Pasok Komoditas Padi di Kabupaten Indramayu
Manajemen Resiko Rantai Pasok Padi di
Kabupaten Indramayu
Agen desiko dalam rantai pasok padi terlebih
dahulu diidentikasi pada setiap pelaku. Setelah
diketahui agen resikonya, dilakukan pemilihan agen
resiko prioritas. Pemilihan agen risiko prioritas
diperlukan, karena tidak semua agen risiko
mendapatkan sebuah penanganan. Hal tersebut
dilakukan salah satunya karena faktor biaya yang
dibutuhkan untuk penanganan dan dampak yang
ditimbulkan terlalu kecil. Pemilihan agen risiko
prioritas sesuai dengan Hukum Pareto (80:20).
Menurut Kontur (2008), pada aplikasi hukum pareto,
risiko 80 persen kerugian disebabkan oleh hanya 20
persen risiko yang krusial. Jika 20 persen risiko
krusial tersebut dapat ditangani, maka pelaku bisnis
dapat menghindari 80 persen kerugian.
Setelah diketahui agen prioritas, dilakukan upaya
mitigasi untuk mengatasinya. Aksi mitigasi resiko
yang diperoleh kemudian didiskusikan dengan
pelaku untuk mengetahui skala tingkat kesulitan (Dk)
dalam realisasi mitigasi tersebut. Setelah diketahui
skala tingkat kesulitannya, dilakukan perhitungan
effectiveness to difficulty ratio of action (ETD). Aksi
mitigasi dengan nilai ETD tertinggi merupakan aksi
yang paling efektif dan memungkinkan untuk
dilakukan.
236
a. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di
Tingkat RMU
1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat
RMU Tabel 2. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di
Tingkat RMU
Berdasarkan Tabel 2 terdapat delapan agen
risiko yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen
risiko kategori prioritas memiliki andil sebesar 82 %
dari total dampak risiko yang dialami oleh RMU.
Oleh karena itu, penanganan risiko dilakukan pada
agen risiko yang termasuk kedalam kategori
prioritas.
2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat
RMU
Hasil diskusi menunjukan bahwa terdapat 7 aksi
mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk
meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut
adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat RMU
Sumber Risiko Prioritas Aksi Mitigasi
SDM lalai saat mengolah gabah,
mengoperasikan mesin, dan
mencatat (A10)
Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan
Cuaca tidak menentu (intensitas
hujan terlalu tinggi) sehingga
pasokan gabah tidak stabil dan
kualitas gabah rendah (A11)
Off farm: pengembangan gudang dan
pengering
On farm : Pengembangan Teknologi
budidaya adaptif
Pengembangan infrastruktur irigasi
Kondisi jalan yang rusak (A14) Penggunaan logistik multimodal
Modal kurang (A2) Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan
Pengembangan akses pembiayaan
Pengembangan infrastruktur irigasi
Penggunaan logistik multimodal
Jalur distribusi yang jauh dan
rawan macet (A4)
Penggunaan logistik multimodal
Pengembangan akses pembiayaan
Pembayaran dari pedagang pasar
induk macet (A3)
Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan
Pengembangan akses pembiayaan
Penggunaan logistik multimodal
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan
Sumber Risiko Prioritas Aksi Mitigasi
Terjadinya perselisihan
pembagian sumber air (irigasi)
disekitar lokasi produksi (A13)
Pengembangan infrastruktur irigasi
Penggunaan logistik multimodal
On farm : Pengembangan Teknologi
budidaya adaptif
Pasar induk memiliki standarisasi
produk yang tinggi (A6)
Off farm: pengembangan gudang dan
pengering
Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan
Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan
Pengembangan akses pembiayaan
3) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat
RMU
Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk RMU
dalam rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu.
Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah
dilakukan verfikasi dengan RMU.
Tabel 4. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat
Kesulitan Aksi Mitigasi
Kode Aksi Mitigasi
Difficulty of
Performing
Action K
(DK)
P1 On farm : Pengembangan
Teknologi budidaya adaptif H(5)
P2 Off farm: pengembangan gudang
dan pengering
H(5)
P3 Konsolidasi dan pendampingan
sistem industri perberasan
H(5)
P4 Konsolidasi kelembagaan, pasar
dan pembiayaan M(4)
P5 Pengembangan akses pembiayaan M(4)
P6 Pengembangan infrastruktur
irigasi
M(4)
P7 Penggunaan logistik multimodal H(5)
Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness
to difficulty ratio of action (ETD) yaitu sebagai
berikut
Tabel 5. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat RMU
Risk
Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP
Risk Agent Priority
A10 3 9 3 3 3150
A11 9 9 3 3 3 9 3 3150
A14 3 1 3 9 2611
A2 3 9 3 9 9 9 1778
AGENT CODE ARP RANK % ARP % KUM ARP CATEGORY
A10 3150 1 14.2% 14.2%
PRIORITAS
A11 3150 2 14.2% 28.4%
A14 2611 3 11.8% 40.2%
A2 1778 4 8.0% 59.7%
A4 1638 5 7.4% 67.1%
A3 1350 6 6.1% 73.1%
A13 1040 7 4.7% 77.8%
A6 924 8 4.2% 82.0%
A1 920 9 4.2% 86.2%
NON PRIORITAS
A7 837 10 3.8% 89.9%
A5 832 11 3.8% 93.7%
A9 810 12 3.7% 97.3%
A12 540 13 2.4% 99.8%
A8 48 14 0.2% 100.0%
22162 100%
237
Risk
Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP
A4 1 1 1 9 9 1638
A3 3 9 9 9 9 1350
A13 9 3 3 9 9 3 9 1040
A6 1 9 9 9 9 3 924
Te 38634 60258 86859 48859 87303 47472 97425
Dk 5 5 5 4 4 4 5
ETD 7727 12052 17372 12214.8 21825.8 11868 19485
Ranking 7 5 3 4 1 6 2 7
Berdasarakan nilai ETD pada tabel diatas,
maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan
memungkinkan untuk dilakukan RMU yaitu :
1) Pengembangan akses pembiayaan (P5)
2) Penggunaan logistik multimodal (P7)
3) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri
perberasan (P3)
4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
(P4)
5) Off farm: pengembangan gudang dan pengering
(P2)
6) Pengembangan infrastruktur irigasi (P6)
7) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya
adaptif (P1)
b. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di
Tingkat Bandar
1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat
Bandar
Tabel 6. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai Pasok di
Tingkat Bandar AGENT CODE
ARP RANK %ARP % KUM ARP KATEGORI
A8 3360 1 24.7% 24.7%
PRIORITAS A2 3248 2 23.9% 48.6%
A3 3032 3 22.3% 70.9%
A4 1386 4 10.2% 81.1%
NON PRIORITAS
A1 1044 5 7.7% 88.8%
A9 546 6 4.0% 92.8%
A6 540 7 4.0% 96.7%
A7 282 8 2.1% 98.8%
A5 162 9 1.2% 100.0%
13600 100.0%
Berdasarkan Tabel 4 terdapat tiga agen risiko
yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko
kategori prioritas memiliki andil sebesar 70,9 % dari
total dampak risiko yang dialami oleh bandar. Oleh
karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen
risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas.
2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat
Bandar
Hasil diskusi menunjukan bahwa terdapat 7 aksi
mitigasi yang dapat dan telah dilakukan untuk
meminimalisasi agen risiko. Aksi mitigasi tersebut
adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat
Bandar Risk Agent Aksi Mitigasi
Cuaca yang tidak
menentu
(intensitas hujan
terlalu tinggi) (A8)
Off farm: pengembangan gudang
dan pengering
Konsolidator, Pendampingan
sistem industri perberasan,
Konsolidasi kelembagaan, pasar
dan pembiayaan
Pengembangan infrastruktur
irigasi
Penggunaan logistik multimodal
Modal untuk
membeli gabah
kurang (A2)
Konsolidator, Pendampingan
sistem industri perberasan,
Konsolidasi kelembagaan, pasar
dan pembiayaan
Pengembangan akses
pembiayaan
Penggunaan logistik multimodal
Pembayaran yang
dari RMU macet
(A3)
Konsolidator, Pendampingan
sistem industri perberasan,
Konsolidasi kelembagaan, pasar
dan pembiayaan
Pengembangan akses
pembiayaan
3) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat
Bandar
Terdapat 7 (tujuh) aksi mitigasi untuk Bandar
dalam rantai pasok padi di Kabupaten Indramayu.
Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah
dilakukan verfikasi dengan bandar.
Tabel 8. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat
Kesulitan Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar
Kode Aksi Mitigasi
Difficulty of
Performing
Action K (DK)
P1 On farm : Pengembangan
Teknologi budidaya adaptif M(4)
P2 Off farm: pengembangan
gudang dan pengering
H(5)
P3 Konsolidasi dan pendampingan
sistem industri perberasan
M(4)
238
Kode Aksi Mitigasi
Difficulty of
Performing
Action K (DK)
P4 Konsolidasi kelembagaan, pasar
dan pembiayaan L(3)
P5 Pengembangan akses
pembiayaan
L(3)
P6 Pengembangan infrastruktur
irigasi
L(3)
P7 Penggunaan logistik multimodal M(4)
Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness
to difficulty ratio of action (ETD) yaitu sebagai
berikut
Tabel 9. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat Bandar
Risk
Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP
Risk Agent Priority
A8 1 9 9 9 3 9 9 3360
A2 1 9 9 9 3 9 3248
A3 1 3 9 9 9 3 3032
Te 6392 42584 86760 86760 66600 39984 68568
Dk 4 5 4 3 3 3 4
ETD 1598 8516.8 21690 28920 22200 13328 17142
Rangking 7 6 3 1 2 5 4
Berdasarkan nilai ETD pada tabel diatas,
maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan
memungkinkan untuk dilakukan bandar yaitu :
a) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan (P4)
b) Pengembangan akses pembiayaan(P5)
c) Konsolidasi dan pendampingan sistem industri
perberasan (P3)
d) Penggunaan logistik multimodal (P7)
e) Pengembangan infrastruktur irigasi (P6)
f) Off farm: pengembangan gudang dan pengering
(P2)
g) On farm : Pengembangan Teknologi budidaya
adaptif (P1)
c. Manajemen Risiko Rantai Pasok Padi di
Tingkat Petani
1) Pengukuran Risiko Rantai Pasok di Tingkat
Petani
Tabel 10. Perhitungan Pareto Agen Risiko Rantai
Pasok di Tingkat Petani AGENT
CODE ARP % ARP
% ARP
KUMULATIF KATEGORI
A2 2700 39.12 39.12
PRIORITAS A4 1765 25.58 64.7
A6 888 12.87 77.57
A3 750 10.87 88.44 NON
PRIORITAS A1 630 9.13 97.57
A5 84 1.22 98.79
A7 84 1.22 100
TOTAL 6901 100
Berdasarkan Tabel 10 terdapat tiga agen risiko
yang masuk kedalam kategori prioritas. Agen risiko
kategori prioritas memiliki andil sebesar 77,57 % dari
total dampak risiko yang dialami oleh petani. Oleh
karena itu, penanganan risiko dilakukan pada agen
risiko yang termasuk kedalam kategori prioritas.
2) Aksi Mitigasi Risiko Rantai Pasok di Tingkat
Petani
Terdapat 7 aksi mitigasi yang dapat dan telah
dilakukan untuk meminimalisasi agen risiko. Aksi
mitigasi tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Aksi Mitigasi Agen Resiko di Tingkat
Petani
Risk Agent Aksi Mitigasi Revisi
Perubahan iklim dan
cuaca yang tidak
menentu (A2)
On farm : Pengembangan
Teknologi budidaya adaptif
Konsolidator, Pendampingan
sistem industri perberasan,
Konsolidasi kelembagaan,
pasar dan pembiayaan
Pengembangan akses
pembiayaan
Pengembangan infrastruktur
irigasi
Penggunaan logistik
multimodal
Pengetahuan petani
rendah (A4)
Konsolidasi, Pendampingan
sistem industri perberasan,
Konsolidasi kelembagaan,
pasar dan pembiayaan
Pengembangan akses
pembiayaan
Pengembangan infrastruktur
irigasi
Penggunaan logistik
multimodal
239
Risk Agent Aksi Mitigasi Revisi
Ego para petani (A6) On farm : Pengembangan
Teknologi budidaya adaptif
Konsolidasi, Pendampingan
sistem industri perberasan,
Konsolidasi kelembagaan,
pasar dan pembiayaan
Pengembangan akses
pembiayaan
4) Aksi Mitigasi Resiko yang Efektif di Tingkat RMU
Masing-masing aksi mitigasi tersebut memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda-beda setelah dilakukan
verfikasi dengan petani.
Tabel 12. Daftar Hasil Penilaian Skala Tingkat Kesulitan
Aksi Mitigasi
Kode Aksi Mitigasi
Difficulty of
Performing
Action K (DK)
P1
On farm :
Pengembangan
Teknologi budidaya
adaptif
M(4)
P2
Off farm:
pengembangan
gudang dan
pengering
M(4)
P3
Konsolidasi dan
pendampingan
sistem industri
perberasan
H(5)
P4
Konsolidasi
kelembagaan, pasar
dan pembiayaan
M(4)
P5 Pengembangan akses
pembiayaan
L(3)
P6 Pengembangan
infrastruktur irigasi
L(3)
P7 Penggunaan logistik
multimodal H(5)
Selanjutnya dilakukan perhitungan effectiveness
to difficulty ratio of action (ETD).
Berdasarakan nilai ETD pada tabel diatas,
maka urutan aksi mitigasi yang paling efektif dan
memungkinkan untuk dilakukan petani yaitu :
1. Pengembangan akses pembiayaan (P5)
2. Pengembangan infrastruktur irigasi (P6)
3. Konsolidasi kelembagaan, pasar dan pembiayaan
(P4)
4. Konsolidasi dan pendampingan sistem industri
perberasan (P3)
5. On farm : Pengembangan Teknologi budidaya
adaptif (P1)
6. Penggunaan logistik multimodal (P7)
7. Off farm: pengembangan gudang dan pengering
(P2)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem rantai pasok padi di Kabupaten
Indramayu terdiri dari petani, bandar, RMU,
pedagang pasar induk, calo, hingga konsumen
langsung.
2. Titik kritis resiko pada rantai pasok padi dapat
diidentifikasi dari setiap pelaku dalam rantai
pasok tersebut, yaitu sebagai berikut :
a) Titik kritis resiko di tingkat RMU yaitu : 1)
SDM lalai saat mengolah gabah,
mengoperasikan mesin, dan mencatat, 2)
cuaca tidak menentu (intensitas hujan terlalu
tinggi) sehingga pasokan gabah tidak stabil
dan kualitas gabah rendah, 3) kondisi jalan
yang rusak, 4) modal kurang, 5) jalur
distribusi yang jauh dan rawan macet, 6)
pembayaran dari pedagang pasar induk
macet, 7) terjadinya perselisihan pembagian
sumber air (irigasi) disekitar lokasi produksi,
dan 8) pasar induk memiliki standarisasi
produk yang tinggi.
b) Titik kritis resiko di tingkat bandar yaitu : 1)
Cuaca yang tidak menentu (intensitas hujan
terlalu tinggi), 2) modal untuk membeli
gabah kurang, dan 3) pembayaran yang dari
RMU macet.
c) Titik kritis resiko di tingkat petani yaitu : 1)
perubahan iklim dan cuaca yang tidak
menentu, 2) Pengetahuan petani rendah, dan
3) ego para petani.
3. Hasil perhitungan effectiveness to difficulty
ratio of action (ETD), menunjukan urutan aksi
mitigasi yang paling efektif dan memungkinkan
untuk dilakukan oleh masing-masing pelaku
yaitu sebagai berikut :
a) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif
untuk dilakukan RMU yaitu :
1) Pengembangan akses pembiayaan.
2) Penggunaan logistik multimodal.
3) Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan.
4) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan.
5) Off farm: pengembangan gudang dan
pengering.
6) Pengembangan infrastruktur irigasi.
240
7) On farm : Pengembangan Teknologi
budidaya adaptif.
b) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk
dilakukan bandar yaitu :
1) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan.
2) Pengembangan akses pembiayaan.
3) Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan.
4) Penggunaan logistik multimodal.
5) Pengembangan infrastruktur irigasi.
6) Off farm: pengembangan gudang dan
pengering.
7) On farm : Pengembangan Teknologi
budidaya adaptif.
c) Urutan aksi mitigasi yang paling efektif untuk
dilakukan petani yaitu :
1) Pengembangan akses pembiayaan.
2) Pengembangan infrastruktur irigasi.
3) Konsolidasi kelembagaan, pasar dan
pembiayaan.
4) Konsolidasi dan pendampingan sistem
industri perberasan.
5) On farm : Pengembangan Teknologi
budidaya adaptif.
6) Penggunaan logistik multimodal.
7) Off farm: pengembangan gudang dan
pengering.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat
diberikan sebagai berikut:
1. Perlu dibangun skema pembiayaan yang sesuai
dengan kondisi pelaku rantai pasok. Sebaiknya
pembiayaan diberikan kepada petani, bandar,
dan RMU yang berada dalam satu rantai pasok
yang sama untuk meminimalisir resiko.
2. Perlu dibangun hubungan antar pelaku yang
baik, agar terjalin kerjasama dan kepercayan
yang baik antar pelaku pada rantai pasok.
3. Koperasi/gapoktan perlu menyediakan sarana
produksi yang dibutuhkan oleh petani, sehingga
petani mendapatkan akses yang mudah terhadap
penyedia saprodi resmi.
4. Pemerintah perlu menetapkan batas harga dasar
bagi komoditas padi untuk menanggulangi
risiko kerugian petani akibat harga gabah yang
anjlok.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. Distribusi Persentase PDB
Triwulan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Lapangan Usaha. 2000-2014.
Badan Pusat Statistik. Penduduk Berumur 15 Tahun
ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama.
2004-2014.
Sumber internet :
- Bank Indonesia. Melalui:<www.bi.go.id.>
[3/4/2014]
- Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2009 β
2013. Melalui:<www.pertanian.go.id.>[6/6/2014]
Tabel 13. Tabel Perhitungan ETD Aksi Mitigasi di Tingkat Petani Risk
Mitigation P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 ARP
Risk Agent Priority
A2 9 1 9 9 9 9 9 2700
A4 3 9 9 9 9 9 1765
A6 9 9 9 9 1 3 888
Te 37587 2700 48277 48177 48177 41073 42849
Dk 4 4 5 4 3 3 5
ETD 9396.75 675 9655.4 12044.25 16059 13691 8569.8
Rangking 5 7 4 3 1 2 6
241
Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani Penggarap Dalam Pengembangan
Padi Organik (Studi Kasus Pada Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi,
Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya)
Relationship Model of Farmer and Sharecropper in Organic Paddy Development (Case
Study in Cidahu Farmer Group, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten
Tasikmalaya)
Elena Yanti K.Y.S, Yayat Sukayat
1Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padajdjaran
A B S T R A K
Kata Kunci:
Padi Organik,
Hubungan,
Petani Penggarap
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model hubungan petani pemilik dan
penggarap dalam pengembangan padi organik. Penelitian dilakukan di Kelompok Tani
Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Subjek
penelitian ini adalah petani pemilik, petani penggarap, pengurus Kelompok Tani
Cidahu, BPP. Metode yang digunakan kualitatif dengan teknik study kasus.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara langsung, studi
kepustakaan, kemudian data yang diperoleh kemudian dianalisis.
Hasil dari penelitian ini bahwa model hubungan pemilik dan penggarap di Kelompok
Tani Cidahu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) model hubungan pertukaran
yang didorong oleh prinsip R>C, 2) model hubungan keseimbangan nilai karena
adanya pertalian darah antara pemilik dan penggarap, 3) model hubungan propinquiti
yang tercipta karena kedekatan tempat tinggal antara kedua petani.
ABSTRACT
Keywords:
Organic Paddy,
Relationship,
Sharecropper
The aim for this research is to know the model of farmer- peasant relationship for the
organic paddy devoloping. This research did in Kelompok Tani Cidahu, Mekarwangi
Village, Cisayong Subdistrict, Tasikmalaya District. Subjects of this research are
farmers, peasants/share-coppers, crews in Cidahu Farm Group, BBP. This research
used a qualitative method along with case study technique. The data was collected
through observations, interviews, and literature study, then was later analyzed
From the results of the research show that the the model of farmer-peasent relationship
can be devided in three models, i.e: 1)exchange relastionship model with based on
R>C, 2)value balance model based on the ties of blood kinship/genealogic, 3)
propinquity model based on the nearness of both of domicile.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
242
PENDAHULUAN
Petani dalam pertanian adalah salah satu
sumberdaya yang penting, selain lahan modal dan
manajemen (Shinta, 2011). Petani dalam pertanian
dapat dikelompokkan menjadi petani lapisan atas,
menengah dan miskin berdasarkan modal berupa
lahan yang dimiliki (Fingki, 2013). Jumlah petani
saat ini mencapai 31.705.337 orang dan jumlah
petani pertanian pangan kurang lebih 20.399.139
(BPS, 2013). Adanya lapisan petani ini membuat
petani berusaha untuk saling bekerjasama dalam
mempertahankan keberlangsungan hidupnya
khususnya bagi petani penggarap yang bergantung
kepada petani pemilik dalam memenuhi kebutuhan
lahan. Pada hubungan kerja sama antara petani
pemilik dan penggarap ini akan terjadi pertukaran
kekuasaan tanah ataupun lahan. Lahan yang awalnya
dikuasai penuh oleh pemilik sekarang berbagi dengan
penggarap. Hubungan ini juga didorong dengan
adanya reward dan cost, ketika petani pemilik
meminjamkan lahannya untuk penggarap maka akan
ada suatu imbalan yang diharapkam oleh petani
pemilik, dan begitu sebaliknya petani penggarap juga
berharap keuntungan beruapa matapencaharian dari
tenaga yang dia keluarkan. Pertukaran ini terjadi
ketika adanya perbedaan struktur sosial petani, yaitu
adanya pemilik dan penggarap yang menimbulkan
keseimbangan antara kedua petani (Jhonson, 1990).
Hubungan antara petani pemilik dan
penggarap ini juga terjadi di usahatani padi organik.
Usahatani padi organik saat ini sangat
menguntungkan, pada tahun 2002 pemerintah
mendukung pertanian organik dengan mengeluarkan
program βGo Organic 2010β (Departemen Pertanian
Indonesia, 2002). Lokasi pengembangan padi
organik salah satunya berada di Jawa Barat di
Kabupaten Tasikmalaya sejak tahun 2002 dan saat ini
produknya sudah mencapai pasar ekspor. Adanya
petani-petani yang sudah berpengalaman dan
bertahan dalam mengembangkan padi berdampak
positif bagi pertanian padi organik di Tasikmalaya.
Tabel 1. Perkembangan Padi Organik di Tasikmalaya
Tahun
Tanam (ha) Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)
Konven-
sional Organik
Konven-
sional Organik
Konven-
sional Organik
Konven-
sional Organik
2005 125.078 346 120.201 346 648.740 2.587 53,97 74,77
2006 98.456 691 103.825 691 574.568 2.708 55,34 78,26
2007 115.685 1.180 108.170 1.180 653.888 12.277 60,45 75,83
2008 115.123 5.074 103.636 5.074 658.171 25.802 63,51 73,80
2009 111.141 5.472 111.494 5.472 711.220 45.631 63,79 77,20
2010 130.322 5.539 131.989 4.040 851.351 31.412 64,50 77,74
2011 126.958 8.755 127.602 8.493 823.422 67.089 64,53 78,60
2012 122.024 8.693 112.135 7.562 747.087 59.619 66,62 78,84
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya (2013)
Petani pertanian organik di Tasikmalaya
bergabung dalam Gapoktan Simpatik yang dibentuk
sebagai wadah untuk memasarkan padi organik dan
wadah belajar usahatani padi organik. Kelompok tani
yang bergabung dalam Gapoktan ini ada 11
kelompok tani, jumlah 410 petani laki-laki dan 111
petani perempuan dengan luas lahan 377,67 ha yang
telah disertifikasi IMO.
Kecamatan Cisayong adalah salah satu daerah
yang menjadi tempat produksi padi organik yaitu di
Desa Mekarwangi. Ada empat kelompok tani yang
terdapat di Desa Mekarwangi yaitu Kelompok Tani
Batu Ampar, Kelompok Tani Makmur, Kelompok
Tani Cidahu, Kelompok Tani Sejahtera. Kelompok
Tani Cidahu adalah salah satu kelompok tani yang
menjadi tempat pertama kali penerapan padi organik
dan yang sampai saat ini bertahan memproduksi padi
organik di Desa Mekarwangi. Beberapa anggota
Kelompok Tani Cidahu ini juga sudah lama
mengusahakan padi organik dan terdapat tokoh
petani yang telah sudah mahir dalam memproduksi
padi organik.
Petani padi organik di Kelompok Tani Cidahu
ini mayoritas status kepemilikan lahannya adalah
sebagai penggarap, yang pemilik lahannya ada di
dusun tersebut maupun di luar dusun Cidahu.
Menurut data BPP Cisayong bahwa persentasi
pemilik dan penggarap adalah 40% dan 60 %.
Keuntungan yang cukup tinggi baik dalam hal
perbaikan kualitas lahan dan keuntungan dalam
produktifitas ketika mengusahakan usahatani padi
organik ini akan mempengaruhi hubungan pemilik
dan penggarap tersebut, ketika hasil usahatani
meningkat, maka penggarap akan mendapatkan
keuntungan yang lebih tinggi dan begitu juga
pemilik. Usahatani padi organik tidak sama dengan
pertanian padi konvensional yang menggunakan
pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik pada padi
243
organik lebih membutuhkan usaha dan keinginan
kuat dari petani. Pada kondisi ini jika petani pemilik
tidak memberikan dukungan maka petani penggarap
cenderung mau kembali pada penggunaan sistem
konvensional lagi.
Banyaknya petani penggarap dibandingkan
petani pemilik di Kelompok Tani Cidahu yang
mengusahakan padi organik membuat penulis
tertarik meniliti bagaimana model hubungan petani
pemilik dan penggarap dalam pengembangan
usahatani padi organi di Kelompok Tani Cidahu,
Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat
Sumber: Gapoktan Simpatik 2014
Keterangan 2014 merupakan angka sementara
Gambar 1. Grafik Ekspor Beras Organik Tasikmalaya (2009-2014)
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Kelompok Tani
Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dan yang
menjadi objek penelitian adalah hubungan petani
pemilik dan penggarap. Desain penlitian yang
digunakan adalah desain penelitian kualitasti sesuai
dengan kondisi alamiah (natural setting) dan
menggunakan teknik penelitian studi kasus (case
study).
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari
data primer yang diperoleh langsung melalui
observasi di lapangan dan wawancara mendalam dan
data sekunder dari studi literatur, jurnal, dokumen-
dokumen dari lembaga ataupun instansi yang terkait.
Data yang diperoleh langsung dilapangan dari
informan sebagai berikut: petani pemilik, petani
penggarap, pengurus Kelompok Tani Cidahu,
pengurus Gapoktan Simpatik, badan penyuluh
pertanian Kecataman Cisayong.
PEMBAHASAN
Model Hubungan Petani Pemilik dan Petani
Penggarap
Model hubungan pemilik dan penggarap
dalam pengembangan padi organik di Kelompok tani
organik dapat dibedakan menjadi tiga bentuk. Pada
setiap model ini petani pemilik dan penggarap
mendapatkan hasil dari lahan mereka milik dan
usahakan dengan sistem bagi hasil atau maro, dengan
perbandingan 50:50 antara petani pemilik dan petani
penggarap, setelah pengurangan biaya produksi dari
hasil panen seluruhnya. Perbedaan dalam setiap
model yang dipaparkan di bawah adalah hal yang
mendasari mereka melakukan hubungan.
Model Pertukaran
Model hubungan pertukaran petani pemilik
dan penggarap terjadi karena adanya perjanjian atau
kesepakatan dari awal antara penggarap untuk
menggarap lahan petani petani. Kesepatakan ini
didorong adanya reward dan cost dari kerjasama
kedua petani tersebut. Reward adalah hal-hal positif
yang berguna dalam meningkatkan hubungan petani
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jula
h P
engi
rim
an
Tahun Pengiriman
EKSPOR BERAS ORGANIK GAPOKTAN SIMPATIK KABUPATEN TASIKMALAYA
Negara USA
Negara Malaysia
Negara Jerman
Negara Singapura
Negara Dubai
Negara Belanda
Negara Italia
244
pemilik dengan penggarap berupa keuntungan dari
hasil lahan. Cost adalah hal-hal yang dikorbankan
dalam sebuah hubungan untuk mencapai keuntungan
tersebut, hal ini dapat menjadi hal negatif dalam
hubungan petani. Petani pemilik dalam hubungan ini
memperoleh reward karena lahan yang dimilikinya
dapat digarap oleh petani penggarap dan memperoleh
hasil lahan tanpa harus mengusahakannya,
sedangkan costnya berupa lahan dipinjamkan
tersebut. Bagi petani penggarap reward yang
diperoleh adalah ia memiliki kesempatan untuk
menggarap lahan untuk menjadi mata
pencahariannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari dan cost yang ia korban adalah tenaga, sarana
produksi lain.
Kedua petani ini akan memiliki hubungan
yang baik dan panjang jika R > C, yaitu ketika kedua
petani ini memperoleh keuntungan yang lebih besar
daripada biaya yang mereka keluarkan, sehingga
dalam hal ini reward dapat menutupi besarnya cost
maka jalinan hubungan antara kedua petani ini akan
langgeng.
Teori pertukaran menurut Homans
menyebutkan ada cost dan reward ataupun dalam
bahasa sehari-harinya disebut dengan hak dan
kewajiban yang dikorban dan diperoleh. Pada
hubungan patron dan klien di Kelompok Tani Cidahu
ini terdapat juga hak dan kewajiban pemilik dan
penggarap dalam hubungan yang dijalani.
Tabel 17. Pembagian Reward/Hak dan
Cost/Kewajiban antara pemilik dan penggarap Hak dan
Kewajiba
n
Pemilik Penggarap
Hak 1. Menerima
tenaga dari
penggarap untuk
mengolah lahan
miliknya
1. Menerima
seluas lahan
untuk digarap
tanpa ada
penentuan
menanam
komoditas
tertentu
2. Menerima
kembali tanah
jika waktu
menggarap
sudah selesai
ataupun
penggarap tidak
lagi menggarap
lahan tersebut
2. Menjadi hak
milik yang utuh
Β½ hasil panen
dari lahan
tersebut.
3. Menerima Β½
dari hasil panen
lahan miliknya
3. Sebagian
penggarap
mendapatkan
sarana produksi
dari pemilik
4. Menerima
kepercayaan/tru
st dari
penggarap
4. Menerima
kepercayaan/tru
st dari pemilik.
Kewajiba
n
1. Menyediakan
lahan untuk
diusahakan oleh
penggarap
1. Memberikan
tenaga untuk
mengerjakan
lahan sebaik-
baikinya
2. Membayar
pajak tanah
yang digarapkan
ke orang lain
2. Memberikan Β½
dari hasil panen
lahan tersebut.
3. Ikut mengalami
kerugian jika
hasil panen dari
penggarap lebih
sedikit dari
biasanya.
3. Menyerahkan
kembali tanah
pemilik jika
waktu
menggarap
sudah selesai
ataupun
penggarap tidak
lagi menggarap
lahan tersebut
4. Sebagian
menyediakan
sarana produksi
bagi penggarap
4. Sebagian besar
penggarap
mengusahakan
sendiri sarana
produksi yang
digunakan
dalam usahatani
tersebut
Sumber: Hasil Wawancara Dengan Patron dan Klien
Model Keseimbangan
Model hubungan keseimbangan atau
kesamaan nilai ini terbentuk karena adanya hubungan
pertalian darah/Geneologis yang mengikat petani
pemilik dan penggarap. Adanya ikatan kekeluargaan
ini menimbulkan empati, ikatan perasaan yang
mendalam oleh pemilik dan penggarap lahan,
sehingga mempermudah kedua belah pihak untuk
melakukan hubungan.
Pada kelompok tani Cidahu umumnya bentuk
ikatan relasional ini seperti hubungan orangtua
dengan anak, hubungan pertalian persaudaraan
(sepupu), dll. Pemilik yang mungkin adalah orangtua
ataupun saudara membantu anak ataupun
sepupu/saudara dengan meminjamkan lahan mereka
untuk digarapkan. Pada model hubungan
keseimbangan nilai ini sebelumnya antar petani
sudah memiliki rasa kepercayaan/trust sehingga
mudah bagi keduanya untuk membuat komitmen
untuk mendukung jalannya usahatani padi organik
ini, karena sudah ada relasi yang baik sebelumnya.
Pada hubungan keseimbangan nilai ini juga
diterapkan sistem bagi hasil seperti yang dilakukan
petani pemilik dan penggarap lainnya, hasil panen
245
padi organik dibagi dua kepada pemilik dan
penggarap. Pada penerapan hubungan keseimbangan
nilai di Kelompok Tani Cidahu ada dua macam,
pertama pemilik memberikan bantuan untuk
memulai usaha tani seperti benih, pupuk, kemudian
dari hasil panen lahan tersebut langsung dibagi dua
hasilnya. Kedua adalah semua modal awal untuk
menyediakan input produksi berasal dari penggarap,
kemudian setelah panen hasil panen yang diperoleh
dikurangkan dengan biaya usahatani yang
dikeluarkan dan kemudian sisanya dibagi dua kepada
pemilik dan penggarap.
Model Kedekatan tempat tinggal (Propinquity)
Model hubungan antara petani pemilik dan
peggarap ini dapat terjadi karena kedekatan tempat
tinggal atau domisili diantara kedua petani ini.
Kedekatan tempat tinggal ini menciptakan hubungan
yang positif karena antara kedua petani memiliki
ruang yang sama dan kesempatan untuk lebih sering
melihat, menemui dan melakukan interaksi sosial
hingga membuat hubungan antar petani semakin erat.
Efek propinquity ini akan membuat petani pemilik
dapat membantu petani penggarap yang merupakan
tetangganya.
Pada peribahasa sunda disebutkan βAkur jeung
batur sakasur, batur sadapur, batur sasumur, batur
salemburβ ini merupakan tradisi sunda yang artinya
dimana dalam ikatan suami istri saling tolong
menolong (sakasur), ikatan dalam satu keluarga yaitu
antara orangtua dengan anak ataupun saudara saling
tolong menolong (sadapur), ikatan antar tetangga
dengan tetangga dalam wilayah yang berdekatan
yang saling tolong menolong (sasumur), ikatan
antara orang yang tinggal dalam satu dusun,
kampung yang saling tolong menolong (salembur).
Implikasinya dalam hubungan pemilik dan
penggarap dimana kedua petani ini yang hidup
berdekatan dapat menjalin kehidupan sosial dan
saling mendukung satu sama lain. Efek propinquity
di Kelompok Tani Cidahu memiliki efek positif
dalam pengembangan usahatani padi organik
tersebut.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari penelitian model
hubungan petani pemilik dan penggarap dalam
pengembangan padi organik di Kelompok tani
Cidahu adalah:
1. Hubungan antara pemilik dan penggarap
berlaku R>C. Penggarap merasa diuntungkan
dengan adanya kesempatan dan peluang untuk
menggarap lahan yang hasil lahannya dapat
menjadi sumber matapencaharian dari
penggarap. Demikian juga dengan pemilik
merasa diuntungkan karena lahan yang ia miliki
digarap oleh orang lain dan ia memperoleh hasil
tanpa melakukan usahatani.
2. Hubungan antara pemilik dan penggarap
menganut azas keseimbangan nilai, hubungan
tersebut di dorong karena antara kedua petani
masih ada ikatan darah (Geneologis).
3. Hubungan antara pemilik dan penggarap terjadi
karena didasarkan oleh kedekatan tempat
tinggal
SARAN
Peran kedekatan secara emosional antara
petani pemilik dan penggarap perlu lebih diterapkan
dalam pengembangan usahatani padi organik di
Kelompok Tani Cidahu. Kedekatan ini akan
meningkatkan kepedulian, kepercayaan dan
komitmen keduanya pada saat melakukan kerja sama
dalam usahatani padi organik.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika. 2013. Laporan Bulanan Data
Sosial Ekonomi. Melalui
<http://www.bps.go.id/download_file/IP_
April_2014.pdf> [04/20/2014]
Badan Pusat Statistika. 2014. Sensus Pertanian 2013.
Melalui
<http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php>
[04/09/2014]
Fingki Ardiansyah. 2013. Peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat dalam
Pengembangan Petani di Desa Ciaruteun
Ilir. Skripsi Sarjana Sains. Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Haryanto Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari
Klasik Hingga Postmodern. Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Johnson Paul Doely. 1990. Teori Sosoiologi Klasik
dan Modern. Jakarta: Pt Grmadeia Pustka
Utama.
Junizar Arya Pinandita, 2013. Profil Petani Padi
Organik SRI Studi Kasus Petani pada
Kelompok Tani Cidahu, Desa Mekarwangi,
Kecamatan Cisayong, Kabupaten
Tasikmalaya. Skripsi Sarjana Pertanian
Program Studi Agribisnis, Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran.
Kementrian Pertanian. 2002. βProspek Pertanian
Organik di Indonesia.β Melalui
<http://www.litbang.deptan.go.id/berita/on
e/17/> [03/24/2014]
Shinta Agustina. 2011. Ilmu-ilmu Usahatani.
Universitas Brawijaya Press.
246
247
Efektivitas Iklan Melalui Media Sosial (Website) Sebagai Media Promosi CV
Cihanjuang Inti Teknik Dengan Menggunakan EPIC Model
Effectiveness of Advertising Through Social Media (Website) as Promotion in CV
Cihanjuang Inti Teknik Using EPIC Model
Ni Luh Putu Diyasani Belawi1*, Rani Andriani Budi Kusumo1
1Universitas Padjajaran, Sumedang,
A B S T R A K
Kata Kunci:
Efektivitas
EPIC Model
Periklanan
Promosi
Periklanan digital mulai menjadi tren di era internet ini. Website merupakan salah satu
media sosial terluas dan tercepat untuk menyebarkan suatu informasi melalui internet.
Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui penggunaan media sosial di CV Cihanjuang
Inti Teknik, 2) mengetahui efektivitas iklan melalui media sosial (website) sebagai
media promosi pada CV Cihanjuang Inti Teknik. Penelitian dilakukan dengan
wawancara dan penyebaran kuesioner kepada 30 responden di gerai CV Cihanjuang
Inti Teknik dan 30 responden melalui online pada website CV Cihanjuang Inti Teknik
dengan menggunakan teknik accidental sampling. Variabel yang diteliti untuk
mengukur efektivitas adalah empati, persuasi, dampak, dan komunikasi. Hasil
penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa CV Cihanjuang Inti Teknik
menggunakan media sosial untuk promosi melalui facebook dan website. Dari total
skor rataan seluruh pendapat responden atas didapat hasil 4,17 untuk pertanyaan-
pertanyaan yang mengukur dimensi empati, 4,25 untuk dimensi persuasi, 4,04 untuk
dimensi dampak dan 4,13 untuk dimensi komunikasi. Nilai EPIC Rate 4,15, nilai
tersebut menunjukan bahwa secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa iklan produk
βHanjuangβ dinilai efektif.
ABSTRACT
Keywords:
Effectiveness
EPIC Model
Advertising
Promotion
Digital advertising began to be a trend in this era of the internet. Website is one of the
largest and fastest growing social media to disseminate information through the
Internet. The purpose of this study is 1) to use social media in CV Cihanjuang Inti
Teknik, 2) determine the effectiveness of advertising through social media (website) as
a media campaign on the CV Cihanjuang Inti Teknik. The study was conducted by
interviewing and distributing questionnaires to 30 respondents in outlets CV
Cihanjuang Inti Teknik and 30 respondents through an online CV Cihanjuang Inti
Teknik using accidental sampling technique. Variables examined to measure the
effectiveness is empathy, persuasion, impact and communications. Results of research
conducted showed that CV Cihanjuang Inti Teknik using social media for promotion
through facebook and website. Of the total skor rataan of the entire opinion of
respondents has result 4.17 for the questions that measure dimensions of empathy, 4.25
for dimensional persuasion, 4.04 to 4.13 for the dimensions of the impact and
dimension of communication. EPIC Rate value is 4.15, this value indicates that overall
it can be concluded that the advertising product "Hanjuang" considered effective.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
248
PENDAHULUAN
Periklanan digital mulai menjadi tren di era
internet ini. Perkembangan internet sangat pesat di
dunia, hal ini disebabkan karena internet tidak
mengenal kalangan untuk menggunakannya, dari
yang muda hingga yang tua dapat menggunakan
internet dengan mudah.
Menurut We Are Social4 dalam survei β2014
Asia-Pasific Digital Overviewβ memperlihatkan
bahwa penduduk Indonesia yang menggunakan
internet sebanyak 71,2 juta orang dari total populasi
penduduk Indonesia sebanyak 251,2 juta orang. Dan
dari 71,2 juta orang tersebut yang menggunakan
media sosial adalah 70 juta orang.
Media sosial merupakan media online, yang
membuat para penggunanya dapat dengan mudah
berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Menurut
Kaplan dan Haelien (2009) media sosial merupakan
"sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang
membangun di atas dasar ideologi dan teknologi
yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran
user-generated content". Media sosial ini meliputi
website, blog, jejaring sosial seperti facebook, twitter,
instagram, dll.
Website merupakan media sosial terluas dan
tercepat untuk menyebarkan informasi. Menurut
survei dan statistik Pingdom5 pada βInternet 2012 in
Numberβ, terdapat 634 juta jumlah website hingga
Desember 2012 dan sebanyak 51 juta jumlah website
yang baru dibuat selama tahun 2012. Dari data survei
diatas cukup terlihat bahwa semakin banyak individu
maupun perusahaan yang mulai menggunakan
website untuk menginformasikan produk dan
jasanya.
CV Cihanjuang Inti Teknik juga
mempromosikan produk bandrek dan bajigurnya
melalui iklan di website. Website CV Cihanjuang Inti
Teknik yaitu www.hanjuang.com ini telah beredar
sejak pertengahan tahun 2006. CV Cihanjuang Inti
Teknik melakukan perubahan dalam periklanan
melalui media sosial website agar lebih efektif untuk
mempromosikan produk bandrek dan bajigur
tersebut.
Fenomena promosi baru ini menjadi suatu
dasar pemikiran untuk meneliti efektivitas iklan
melalui media sosial agar dapat memberi gambaran
efektif atau tidaknya iklan yang dilakukan oleh
perusahaan CV Cihanjuang Inti Teknik.
KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP
Perkembangan teknologi yang semakin
maju, khususnya internet memberikan fasilitas dan
segala kemudahannya dengan media sosial. Salah
satunya adalah website. Maraknya pengguna website
memudahkan para penggunanya untuk mendapatkan
informasi.
Salah satu pelaku industri makanan dan
minuman yang melihat peluang tersebut adalah CV
Cihanjuang Inti Teknik (CINTEK) yang berlokasi di
Kota Cimahi, Jawa Barat. CV Cihanjuang Inti Teknik
melakukan kegiatan promosi salah satunya dengan
menggunakan iklan melalui website.
Efektif tidaknya iklan yang telah dijalankan
pada CV Cihanjuang Inti Teknik tersebut dapat
diketahui dengan mengukur kinerja iklan melalui
EPIC Model (Empathy, Persuation, Impact,
Communication). Dengan demikian, tingkat
efektivitas efektivitas iklan melalui media sosial
(website) sebagai media promosi CV Cihanjuang Inti
Teknik dapat diketahui. Kerangka Pemikiran
Konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada
bagan berikut ini:
4 We Are Social merupakan sebuah lembaga yang berdiri
pada Juni 2008 bergerak di bidang global conversation
berlokasi di Singapura (http://wearesocial.sg/who/) 5 Pingdom merupakan perusahaan situs web dan
pemantauan kinerja didedikasikan untuk membuat web
lebih cepat dan lebih dapat diandalkan. telah menerima
kepercayaan dari pengguna lebih dari 500.000 di lebih dari
200 negara termasuk Spotify, Microsoft, Instagram,
Twitter, Ebay, GitHub, MailChimp, dan banyak lagi.
(https://www.pingdom.com/about/)
249
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
OBJEK DAN TEMPAT PENELITIAN Objek pada penelitian ini adalah efektivitas
iklan melalui media sosial (website) sebagai media
promosi CV Cihanjuang Inti Teknik. Penelitian ini
dilakukan pada konsumen CV Cihanjuang Inti
Teknik, mereka telah membeli produk bandrek dan
bajigur CV Cihanjuang Inti Teknik.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan dasar pertimbangan
bahwa CV Cihanjuang Inti Teknik merupakan salah
satu UKM di Jawa Barat yang memproduksi produk
olahan minuman tradisional yaitu bandrek dan
bajigur dengan kemasan yang menarik dan
merupakan salah satu UKM yang tergolong sukses di
Cimahi yang telah menerima banyak penghargaan
baik dalam skala nasional maupun skala regional.
Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian dengan
topik yang sama di CV Cihanjuang Inti Teknik ini.
DESAIN DAN TEKNIK PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah
berupa desain kualitatif dengan teknik penelitian
yang digunakan adalah studi kasus (case studi)
karena penyelidikan yang dilakukan untuk
memperoleh fakta-fakta yang ada pada informan
dengan melakukan wawancara langsung kepada
responden dengan menggunakan suatu alat analisis
yaitu kuisioner.
DEFINISI DAN OPERASIONALISASI
VARIABEL
Karakteristik konsumen CV Cihanjuang Inti
Teknik yaitu gambaran mengenai keadaan konsumen
yang membeli produk CV Cihanjuang Inti Teknik.
Adapun variabelnya adalah usia, jenis kelamin, status
marital, pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan,
dan EPIC Model (Empathy, Persuation, Impact,
Communication).
SUMBER DATA DAN CARA
MENENTUKANNYA
Data yang digunakan dalam penelitian ini
berupa data kualitatif yang terdiri atas data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden
melalui wawancara langsung dengan sumber yang
terpecaya. Data sekunder diperoleh dari literatur
kepustakaan, catatan, maupun dokumen dari instansi-
instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik,
Kementrian Industri, internet dan referensi
kepustakaan lainnya.
Teknik yang digunakan dalam memilih
sampel adalah Purposive sampling dengan
menggunakan teknik Accidental Sampling yang
250
didasarkan pada kemudahan (convenience). Sampel
dapat terpilih karena berada pada waktu, situasi, dan
tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah, 2006).
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data yang digunakan
oleh peneliti adalah obsevasi, wawancara, dan studi
literatur.
RANCANGAN ANALISIS DATA
Analisis deskriptif ini merupakan metode
analisis data dimana peneliti mengumpulkan,
mengklasifikasikan, menganalisis, dan
menginterpretasikan data untuk memberikan
gambaran umum tentang data yang telah diperoleh.
Efektivitas iklan yang berkaitan dengan
pengingatan dan persuasi daoat diukur melalui EPIC
Model yang dikembangkan oleh AC. Nielsen, salah
satu perusahaan peneliti pemasaran terkemuka di
dunia (Durianto, 2003) mencakup empat dimensi
kritis, yaitu Empathy, Persuation, Impact, dan
Communication.
Kemudian dari keempat dimensi tersebut,
data dianalisis dengan menggunakan skor rata-rata
berbobot, yaitu setiap jawaban respoden diberikan
bobot. Cara menghitung skor adalah menjumlahkan
seluruh hasil kali nilai masing-masing bobotnya
dibagi dengan jumlah total frekuensi (Durianto,
2003).
Ξ£Ζi . wi
X =
Ξ£Ζi
Keterangan :
X = rata-rata berbobot
Ζi = frekuensi
wi = bobot
Langkah selanjutnya adalah menggunakan
rentang skala. Penilaian untuk menentukan posisi
tanggapan responden dengan menggunakan nilai
skor setiap variabel. Bobot alternatif jawaban yang
terbentuk dari teknik skala peringkat dengan
menggunakan skala antara 1 hingga 5 yang
menggambarkan posisi sangat negatif ke positif yang
sangat positif. Rentang skala dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Durianto, 2003).
R
Rs =
M
Keterangan :
Rs = rentang skala
R = bobot terbesar β bobot terkecil
M = banyaknya kategori bobot
Skala yang digunakan adalah skala likert,
yaitu skala 1 hingga 5, maka rentang skala
penilaiannya adalah sebesar 0,8. Hal ini didapat dari
hasil rumus berikut:
5 β 1
Rs = = 0,8
5
Rentang skala (Rs) tersebut kemudian
digunakan ke dalam rentang skala keputusan sebagai
bahan pengambilan keputusan dari hasil analisis
EPIC Model. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rentang Skala Keputusan EPIC Model
Kriteria Rentang Skala
Sangat Tidak Efektif 1,00 β 1,80
Tidak Efektif 1,81 β 2,60
Cukup Efektif 2,61 β 3,40
Efektif 3,41 β 4,20
Sangat Efektif 4,21 β 5,00
Sumber: Durianto dkk, (2003)
Langkah terakhir adalah menentukan nilai
EPIC Rate dengan rumus sebagai berikut (Durianto,
2003).
XE+XP+XI+XC
EPIC Rate =
N
Keterangan :
N = Banyaknya variabel rataan berbobot
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PROFIL USAHA
CV Cihanjuang Inti Teknik berdiri pada
tahun 1998 oleh Eddy Permadi. Pada awalnya CV
Cihanjuang Inti Teknik memulai usaha pembuat alat
dan mesin produksi, pupuk, dan pengecoran logam.
Pada tahun 2000 perusahaan ini mulai merintis
pengolahan makanan dan minuman dengan
menggunakan hasil dari daerah sekitar. Tanggal 3
Agustus 2000 Cihanjuang Inti Teknik memperoleh
izin usaha yang sah dengan bentuk Perusahaan. Pada
tanggal 23 Agustus 2005 dengan Akte Notaris Ny.
Gina Riswara Koswara, S.H. Nomor 24, memperoleh
izin usaha dengan bentuk badan, yaitu Perseroan
Comanditer atau βCV. Cihanjuang Inti Teknikβ.
Gambar 2. Logo Perusahaan
251
4.2 KARAKTERISTIK KONSUMEN
Karakteristik konsumen pada CV
Cihanjuang Inti Teknik adalah berjenis kelamin, pria
dengan pada gerai 53,30% dan pada online 66,70%,
berusia 31-39 tahun dengan 31,67% dan pada gerai
sebanyak 33,30% konsumen berusia >40 tahun,
berstatus sudah menikah, yaitu pada gerai 97,30%
dan online 56,70%, berpendidikan sarjana dengan
pada gerai sebesar 43,40% dan pada online sebesar
50,00%, bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak
56,70% pada gerai dan 33,30% pada online, dan
berpendapatan Rp.1.800.000 β Rp. 2.500.000
sebanyak 46,70% pada gerai dan 40,00% pada
online.
4.3 ANALISIS EFEKTIVITAS IKLAN
BERDASARKAN EPIC MODEL
Tabel 2. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan
Dimensi Empathy
Sumber : Data Primer (Diolah)
Dari total skor rataan pendapat responden
atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi
empathy didapat hasil sebesar 4,05 untuk responden
di gerai dan sebesar 4,28 untuk responden melalui
online. Nilai untuk responden gerai berada pada
rentang skala dimana dimensi empathy suatu iklan
dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20), sedangkan
nilai untuk responden online berada pada rentang
skala dimana dimensi empathy suatu iklan
dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini
dapat diartikan bahwa konsumen βHanjuangβ
melalui online lebih mengetahui dan menyukai iklan
yang dilakukan oleh βHanjuangβ menggunakan
website www.hanjuang.com sebagai promosi produk
minuman khas Jawa Barat tersebut dibandingkan
dengan konsumen di gerai.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan
Dimensi Persuation
Atribu
t
Gerai Online
Ξ£Ζi.w
i
X XP Ξ£Ζi.w
i
X XP
1 123 4,1
0
4,12
5
128 4,2
7
4,3
8
Atribu
t
Gerai Online
Ξ£Ζi.w
i
X XP Ξ£Ζi.w
i
X XP
2 126 4,2
0
133 4,4
3
3 123 4,1
0
133 4,4
3
4 123 4,1
0
132 4,4
0
Sumber : Data Primer (Diolah)
Dari total skor rataan pendapat responden
atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi
persuation didapat hasil sebesar 4,125 untuk
responden di gerai dan sebesar 4,38 untuk responden
melalui online. Nilai untuk responden gerai berada
pada rentang skala dimana dimensi persuation suatu
iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20),
sedangkan nilai untuk responden online berada pada
rentang skala dimana dimensi persuation suatu iklan
dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00). Hal ini
dapat diartikan bahwa setelah melihat website
www.hanjuang.com konsumen βHanjuangβ
berkeinginan untuk mencari lokasi dan membeli
produk βHanjuangβ, serta konsumen βHanjuangβ
juga lebih percaya terhadap produk βHanjuangβ dan
lebih percaya untuk mengkonsumsi produk
βHanjuangβ dibandingkan dengan produk sejenis
lainnya.
Tabel 4. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan
Dimensi Impact
Sumber : Data Primer (Diolah)
Dari total skor rataan pendapat responden
atas pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi
impact didapat hasil sebesar 3,98 untuk responden di
gerai dan sebesar 4,12 untuk responden melalui
online. Nilai untuk responden gerai dan melalui
online berada pada rentang skala dimana dimensi
impact suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai
4,20). Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan
sudah berhasil dalam mempromosikan produknya
karena iklan βHanjuangβ dalam website
www.hanjuang.com dinyatakan efektif, yaitu
memberikan dampak yang positif bagi para
konsumen βHanjuangβ, konsumen jadi mengetahui
Atribut Gerai Online
Ξ£Ζi.wi X XE Ξ£Ζi.wi X XE
1 120 4,00
4,05
122 4,07
4,28
2 122 4,07 132 4,40
3 125 4,17 136 4,53
4 124 4,13 134 4,47
5 121 4,03 124 4,13
6 116 3,87 117 3,90
7 123 4,10 135 4,50
Atribut Gerai Online
Ξ£Ζi.wi X XI Ξ£Ζi.wi X XI
1 120 4,00
3,98
124 4,13
4,12
2 123 4,10 128 4,27
3 125 4,17 128 4,27
4 118 3,93 121 4,03
5 119 3,97 125 4,17
6 114 3,80 112 3,73
7 117 3,90 128 4,27
252
manfaat dan ciri khas produk βHanjuangβ, yang
membuat mereka dapat membedakan mana produk
βHanjuangβ dengan produk sejenis lainnya.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Total Skor Rataan
Dimensi Communication
Sumber : Data Primer (Diolah)
Dari total skor rataan pendapat responden atas
pertanyaan-pertanyaan yang mengukur dimensi
communication didapat hasil sebesar 3,97 untuk
responden di gerai dan sebesar 4,29 untuk responden
melalui online. Nilai untuk responden gerai berada
pada rentang skala dimana dimensi communication
suatu iklan dinyatakan efektif (3,41 sampai 4,20),
sedangkan nilai untuk responden online berada pada
rentang skala dimana dimensi communication suatu
iklan dinyatakan sangat efektif (4,21 sampai 5,00).
Hal ini dapat diartikan bahwa bahwa perusahaan
sudah berhasil dalam mempromosikan produknya
karena iklan βHanjuangβ dalam website
www.hanjuang.com dinyatakan efektif dan sangat
efektif. Iklan yang ditampilkan dalam website
www.hanjuang.com memaparkan informasi yang
jelas tentang produk βHanjuangβ dan dapat
dimengerti oleh para konsumen βHanjuangβ.
4.4 HASIL PERHITUNGAN EPIC MODEL
Setelah menghitung seluruh skor rataan semua
dimensi yang berada pada gerai maupun online dapat
dilihat pada Gambar 18. Mengindikasikan bahwa
semakin titik-titik sudut segi empat dekat dari posisi
0,0, maka iklan yang diukur efektivitasnya dapat
dinyatakan tidak efektif ditinjau dari masing-masing
dimensi dalam EPIC Model, jika sebaliknya semakin
jauh titik-titik sudut segi empat dari titik 0,0, maka
kesimpulan yang diperoleh adalah efektif.
Gambar 2. Skala EPIC Rate Setiap Dimensi
Setelah melakukan perhitungan dan analisis
terhadap masing-masing dimensi yang diukur dalam
EPIC Model, langkah yang terakhir adalah
menghitung nilai EPICrate yaitu penilaian efektivitas
iklan secara keseluruhan.
XE + XP + XI + XC
EPICrate =
N
= 4,17+4,25+4,04+4,13
4
= 4,15
Gambar 3. Rentang Skala EPIC Rate
Nilai EPICrate 4,15 yang diperoleh dari hasil
perhitungan diatas menunjukan bahwa secara
keseluruhan dapat disimpulkan iklan produk
βHanjuangβ dinilai efektif, hal ini dapat dilihat pada
gambar rentang skala EPICrate pada Gambar 19.
Dalam skala efektif berarti perusahaan sudah berhasil
dalam mempromosikan produk βHanjuangβ di dalam
website www.hanjuang.com, namun perusahaan
masih harus meningkatkan efektivitas iklannya dari
skala efektif menuju sangat efektif agar tercapai
tujuan perusahaan untuk mempromosikan produk
βHanjuangβ kepada konsumen sesuai dengan yang
diharapkan oleh perusahaan untuk meningkatkan
penjualan produk βHanjuangβ.
KESIMPULAN
Dari hasil dan analisis data serta pembahasan
pada bab sebelumnya mengenai efektivitas iklan
melalui media sosial (website) sebagai media
promosi CV Cihanjuang Inti Teknik dengan
menggunakan EPIC Model, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Penggunaan media sosial di CV Cihanjuang Inti
Teknik menggunakan facebook dan website
www.hanjuang.com yang dikekola oleh salah satu
mirta dari CV Cihanjuang Inti Teknik.
Pengelolaan website ini menggunakan sistem
pemasaran Search Engine Optimization (SEO)
yang dapat memudahkan konsumen untuk
mencari website www.hanjuang.com.
2. Hasil analisis tingkat efektivitas iklan melalui
media sosial (website) sebagai media promosi CV
Cihanjuang Inti Teknik dengan menggunakan
EPIC Model menunjukan bahwa kegiatan
promosi βHanjuangβ di website
www.hanjuang.com untuk dimensi empathy pada
Atribut Gerai Online
Ξ£Ζi.wi X XC Ξ£Ζi.wi X XC
1 117 3,90
3,97
131 4,37
4,29 2 119 3,97 125 4,17
3 121 4,03 130 4,33
253
gerai mencapai tingkat efektif dan melalui online
mencapai tingkat sangat efektif, untuk dimensi
persuation pada gerai dan melalui online
mencapai tingkat efektif, untuk dimensi impact
pada gerai mencapai dan melalui online mencapai
tingkat efektif, dan untuk dimensi communication
pada gerai mencapai tingkat efektif dan melalui
online mencapai tingkat sangat efektif. Hasil
analisis keseluruhan tingkat efektivitas iklan di
CV Cihanjuang Inti Teknik pada gerai dan
melalui online mencapai tingkat efektif. Hal ini
berarti bahwa perusahaan sudah berhasil dalam
mempromosikan produk βHanjuangβ di dalam
website www.hanjuang.com, namun perusahaan
masih harus meningkatkan efektivitas iklannya
dari skala efektif menuju sangat efektif agar
tercapai tujuan perusahaan untuk
mempromosikan produk βHanjuangβ kepada
konsumen sesuai dengan yang diharapkan oleh
perusahaan untuk meningkatkan penjualan
produk βHanjuangβ.
SARAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan,
beberapa saran yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi pihak CV Cihanjuang Inti Teknik
adalah sebagai berikut :
1. CV Cihanjuang Inti Teknik perlu memperbaharui
atau mengupdate iklan dan informasi tentang
produk βHanjuangβ yang terdapat dalam website
www.hanjuang.com, sehingga akan merangsang
ingatan konsumen untuk terus mengingat produk
βHanjuangβ itu sendiri, contohnya dengan
menambahkan slogan-slogan yang menarik agar
konsumen mudah mengingat produk βHanjuangβ.
2. Melakukan perbaikan tampilan website misalnya
dalam segi warna tampilan agar lebih menarik
untuk dilihat, karena dari hasil penelitian kegiatan
promosi melalui media sosial (website) ini
mempunyai dampak efektif dalam meningkatkan
penjualan.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
mengetahui bagaimana cara berpromosi yang
lebih efektif dilakukan dalam bidang usaha
minuman tradisional ini.
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi, Durianto, C., & Liana. 2003. Inovasi pasar
dengan iklan yang efektif. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka.
Hanjuang. 2015. Minuman Tradisional Khas
Priangan. Diambil dari
www.hanjuang.com diakses pada 20 Mei
2015.
Kaplan, A.M., & Haenlein, M. 2010. Users of the
world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media. Business
Horizons, 53(1), 59- 68
Pingdom. 2013. Internet 2012 in Number. Diambil
dari
http://royal.pingdom.com/2013/01/16/inter
net-2012-in-numbers/ diakses pada 18
Februari 2015.
Prasetyo, B & Jannah, L.M. 2006. Metode Penelitian
Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
We Are Social. 2014. Social, Digital & Mobile in
2014. Diambil dari
http://wearesocial.sg/blog/2014/01/social-
digital-mobile-2014/ diakses pada tanggal
18 Februari 2015.
254
255
Apakah Kinerja dan Pengungkapan Lingkungan Berpengaruh terhadap
Kinerja Ekonomi Perusahaan? (Analisis pada Perusahaan Agroindustry yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)
Are Environmental Performance and Disclosure Influence Companyβs Economic
Performance? (Analysis on Agroindustry Companies Listed in Indonesian Stock
Exchange)
Arisha Nursyamti Pramidyar1, Dika Supyandi1
1 Prodi Agribisnis Universitas Padjadjaran, Bandung
A B S T R A K
Kata Kunci:
Environmental
performance
Environmental disclosure
Economic performance
Socio Economic
Accounting
Regresi data panel
Perusahaan dengan tingkat resiko lingkungan yang tinggi di Indonesia adalah
perusahaan yang bergerak di bidang pengusahaan hutan (pemegang
HPH/HPHTI), perkebunan dan pertambangan umum yang bergelut secara
langsung dengan lingkungan di mana bahan baku produksi diambil langsung
dari alam. Perilaku perusahaan terhadap lingkungan ini dikontrol Socio
Economic Accounting (SEA) untuk mengatasi dampak external diseconomy atau
social cost yang ditimbulkan perusahaan. Bentuk pertanggungjawaban
akuntansi ini dilihat dari pengungkapan, kinerja lingkungan dan economic
perusahaan. Tujuan kajian ini adalah menguji pengaruh antara economic
performance terhadap environmental disclosure dan environmental
performance. Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan agroindustri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia serta mengikuti PROPER selama periode
2010-2014. Pengolahan data menggunakan analisis regresi data panel. Hasil
kajian menunjukkan environmental performance dan environmental disclosure
tidak berpengaruh signifikan positif terhadap economic performance perusahaan
agroindustri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
ABSTRACT
Keywords:
Environmental
performance
Environmental disclosure
Economic performance
Socio Economic
Accounting
Regression of data panel
Companies with high levels of environmental destruction risk in Indonesia are
forestry (holders of HPH/HPHTI), plantation and mining companies that deals
with the environment directly where the resource is taken from the nature. The
companiesβ behavior on environment is controlled by Socio Economic
Accounting (SEA) to overcome the impact of external diseconomy or social
cost inflicted by company. The accountancy responsibility is approached by
disclosure, environmental performance and economic performance of the
companies. The purpose of the research is to examine the impact of
environmental disclosure and environmental performance to economic
performance. Population in this research is agroindustry companies which are
listed in the Indonesia stock exchange and follow the PROPER during the
period of 2010-2014. The processing of data is using data regression panel
analysis. The result of this research indicates that environmental performance
and environmental disclosure are not giving positive significant effect on
economic performance in agroindustry companies which are listed in the
Indonesia stock exchange.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected], [email protected]
256
PENDAHULUAN
Dalam era industrialisasi ini, perusahaan
dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan
banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut
pendekatan teori akuntansi tradisional yang dijelaskan
oleh Henny dan Murtanto (dalam Miranti, 2009)
perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat
memberikan sumbangan yang maksimum kepada
masyarakat. Keuntungan yang diberikan perusahaan
bagi masyarakat antara lain adalah perusahaan
menyediakan lapangan kerja, perusahaan
menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat
untuk dikonsumsi, perusahaan membayar pajak pada
pemerintah serta memberikan sumbangan. Hal tersebut
yang membuat perusahaan mendapatkan kekuatan
untuk beroperasi dan menggunakan sumber daya yang
dibutuhkan.
Dalam perannya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, perusahaan perlu memperhatikan kinerja
ekonominya. Perusahaan membutuhkan perencanaan
yang akurat dan realistis yang sesuai dengan kondisi
perusahaan, sehingga dari perencanaan tersebut dapat
diprediksi kinerja ekonominya. Kinerja ekonomi
perusahaan merupakan kinerja perusahaan secara
relatif (berubah-berubah dari tahun ke tahun) dalam
suatu kelompok industri (perusahaan yang bergerak
dalam bidang yang sama) yang ditandai dengan
besarnya return tahunan perusahaan tersebut (Almilia
dan Wijayanto, 2007).
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia) menyebutkan bahwa aktor perusak
lingungan hidup yang utama di Indonesia adalah
perusahaan dan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
Gambar 1. yang memperlihatkan besarnya persentase
peran aktor tersebut dalam merusak lingkungan.
Gambar 1. Diagram Aktor Perusak/ Pencemar Lingkungan Hidup Tahun 2013 (sumber: Saturi, 2014)
Dari gambar tersebut tampak perusahaan
ikut andil 31% dalam merusak lingkungan, diikuti
dengan perusahaan dan pemerintah yang berperan
23% dalam merusak/mencemari lingkungan. Dari
sini terlihat bahwa hubungan perusahaan dengan
lingkungannya bersifat non-reciprocal yang artinya
transaksi itu tidak menimbulkan prestasi timbal-balik
dari pihak yang berhubungan.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia yang memiliki segala kekayaan alam dan
sumber daya manusia yang dimiliki merupakan
negara yang berpotensi besar dan sangat penting di
kawasan Asia pada khususnya dan dunia pada
umumnya. Data Kementerian Kehutanan
menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang
6 Anonim (2014) dalam http://www.wwf.or.id
tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah
habis ditebang.6
Karena besarnya dampak buruk yang
disumbangkan perusahaan kepada masyarakat
beserta lingkungan hidup di sekitarnya, maka perlu
adanya kontrol agar external diseconomy atau social
cost yang ditimbulkannya tidak semakin besar.
Kontrol tersebut berupa ilmu akuntansi yang
mencatat, mengukur, melaporkan segala bentuk
externalities yang dikenal dengan Socio Economic
Accounting (SEA) (Harahap, 2002) dengan tiga
aspek persoalan penting yaitu: keberlanjutan aspek
ekonomi, lingkungan dan kinerja sosial (Jaβfar dan
Arifah, 2006 dalam Handayani, 2010).
Penelitian empiris mengenai hubungan
antara environmental performance, economic
257
performance dan environmental disclosure secara
umum telah mempertimbangkan kekuatan hubungan
diantara variabel-variabel tersebut. Penelitian
Bragdon dan Marlin (1972), Spicer (1978), Freedman
dan Jaggi (1992) dan Ignatius Bondan Suratno,
Darsono, Siti Mutmainah (2006) dalam Almilia dan
Wijayanto (2007) menemukan hubungan positif
signifikan antara economic performance dengan
environmental performance.
Penelitian Al Tuwaijri, SA., Christensen,
T.E. dan Hughes II, K.E. (2004) meneliti tentang
hubungan antara environmental performance,
environmental disclosure dan economic
performance. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa environmental performance, environmental
disclosure dan economic performance secara statistik
signifikan, namun hanya hubungan economic
performance dengan environmental performance
yang mempunyai interelasi potensial. Anggraini
(2008) dalam Handayani (2010) meneliti tentang
environmental disclosure, environmental
performance dan return saham yang mewakili
economic performance. Hasil penelitiannya
menunjuk-kan bahwa environmental performance
tidak berpengaruh signifikan terhadap environmental
disclosure, tetapi berpengaruh signifikan terhadap
return saham. Sedangkan environmental disclosure
mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap
return saham.
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai hubungan environmental disclosure,
environmental performance dan economic
performance yang masih kontradiktif dan
menunjukkan hasil yang berbeda-beda menarik
untuk dilakukan kajian kembali khususnya mengenai
environmental disclosure, environmental
performance dan economic performance. Tujuan
dalam kajian ini adalah menguji pengaruh antara
economic performance terhadap environmental
disclosure dan environmental performance.
KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP
Dalam operasionalnya, perusahaan memiliki
dampak secara positif dan negatif. Dampak positif
dengan adanya perusahaan antara lain memberikan
lapangan kerja, menyediakan barang/jasa,
pemasukan jasa dan memberikan sumbangan pada
masyarakat. Selain adanya dampak positif tersebut,
adanya perusahaan juga menyumbang dampak
negatif yaitu menghasilkan limbah padat dan cair
serta polusi air dan udara. Limbah padat dan cair ini
hendaknya diolah terlebih dahulu sebelum dilepas ke
lingkungan. Limbah padat dan cair yang tidak
menjalani proses pengolahan (penetralan) akan
membentuk lingkungan yang rusak/tercemar. Hal ini
membentuk hubungan non-reciprocal antara
perusahaan dengan lingkungan yang maksudnya
tidak terdapat hubungan timbal balik antara
keduanya, hanya perusahaan yang membutuhkan
lingkungan sedangkan lingkungan tidak
membutuhkan perusahaan.
Hubungan non-reciprocal ini kemudian
dipelajari dengan teori Socio Economic Accounting
(SEA) yang didalamnya membahas hubungan antara
pengungkapan, kinerja lingkungan dan kinerja
ekonomi perusahaan. Berdasarkan teori SEA inilah
terbentuk dugaan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan positif antara environmental performance
dan environmental disclosure terhadap economic
performance perusahaan.
258
Gambar 2. Kerangka konsep
METODE PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini adalah
environmental performance, environmental
disclosure dan pengaruhnya terhadap economic
performance pada perusahaan sektor Agroindustri
yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia dan
mengikuti PROPER serta mengeluarkan laporan
tahunannya pada tahun 2010-2014.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuantitatif. Data dan informasi dalam
penelitian ini berupa data sekunder dan data primer.
Teknik pengambilan sampel dipilih dengan
menggunakan teknik sensus dan diperoleh 16
perusahaan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian adalah dengan studi
pustaka.
Rancangan analisis data menggunakan analisis
deskriptif untuk menjelaskan karakteristik
perusahaan dalam setiap variabel. Analisis regresi
data panel dengan bantuan Eviews7 berguna untuk
melihat dampak ekonomis yang tidak terpisahkan
antar setiap individu dalam beberapa periode (cross
section dan time series). Dengan model regresi data
panel:
Y = Ξ± + π1π1it + π2π2it + e
Keterangan:
Y = Variabel dependen (Economic
Performance)
Ξ± = Konstanta
π1 = Variabel independen 1 (Environmental
Performance)
π2 = Variabel independen 2 (Environmental
Disclosure)
b(1β¦2) = Koefisien regresi masing-masing variabel
independen
e = Error term
t = Waktu
i = Perusahaan
Pemilihan model regresi data panel dilakukan
untuk mendapatkan model yang tepat untuk
penelitian ini. Model dengan pengaruh individu
untuk penaksirannya dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan fixed effect dan
259
random effect. Untuk memilih model tersebut
dilakukan dengan uji Hausman. Pengujian uji
Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut:
π»0 : Random Effect (RE) Model
π»1 : Fixed Effect (FE) Model
Terhadap analisis regresi data panel ini
dilakukan pengujian asumsi klasik (uji autokorelasi,
multikolinieritas dan heteroskedastisitas). Selain itu,
terdapat uji kelayakan model (koefisien determinasi
dan uji F) dan Uji Hipotesis menggunakan uji t.
Hipotesis:
H1 : Environmental performance berpengaruh
signifikan positif terhadap economic
performance
H2 : Environmental disclosure berpengaruh
signifikan positif terhadap economic
performance
H3 : Environmental performance dan
environmental disclosure berpengaruh
signifikan positif terhadap economic
performance
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengolahan data statistik deskriptif,
untuk environmental performance pada umumnya
perusahaan sampel meraih peringkat biru dalam
PROPER dan peringkat tertinggi diduduki oleh
perusahaan dengan kode INRU yang meraih
peringkat hijau selama 4 tahun berturut-turut dari
2010-2013. Environmental disclosure poin tertinggi
18 diperoleh perusahaan dengan kode UNSP dan
poin pengungkapan terendah diperoleh perusahaan
dengan kode TBLA. Hal yang paling banyak
diungkapkan perusahaan dalam laporan tahunannya
adalah mengenai inisiatif untuk mengurangi dampak
buruk pada lingkungan akibat oleh produk dan jasa
(daftar ceklis GRI poin ke 26). Economic
performance perusahaan dengan kode FASW
memiliki nilai ROE -16,00% di tahun 2013 dan pada
tahun yang sama, perusahaan dengan kode TIRT
memiliki nilai ROE sebesar 78,4% yang merupakan
ROE tertinggi di antara 16 perusahaan tersebut
selama periode 2011-2014.
Pemilihan Model Regresi Data Panel
Nilai probabilitas (Prob.) cross-section
random sebesar 0,5813 yang nilainya > 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa model RE lebih tepat
dibandingkan dengan model FE untuk kajian ini. Hal
ini sebenarnnya sudah ditunjukkan oleh karakter data
panel yang memiliki jumlah waktu (2010-2014) lebih
kecil dibandingkan dengan jumlah entitas (16
perusahaan) yang oleh beberapa ahli ekonometrika
disarankan menggunakan metode random effect.
Uji Asumsi Klasik
1. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji
apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi
antara kesalahan pengganggu periode t dengan
kesalahan pengganggu pada periode t-1 (periode
sebelumnya). Dilihat melalui nilai Durbin-Watson.
Jika nilai Durbin-Watson (DW) terletak antara batas
atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol, dengan kata
lain tidak ada autokorelasi. Tabel 12. Data pengujian autokorelasi
Nilai dU
(N=64
K=2)
Nilai
Durbin
Watson
4-dU Keterangan
1,65 1,959 2,34 Tidak ada
autokorelasi
Berdasarkan tabel tersebut terlihat pada data
penelitian ini tidak terjadi masalah autokorelasi.
2. Multikolinieritas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi
antara variabel independen. Untuk menguji masalah
multikolinearitas dapat melihat matriks korelasi dari
variabel bebas, jika terjadi koefisien korelasi lebih
dari 0,80 maka terdapat multikolinearitas. Nilai
koefisien korelasinya antar variabel independen
dibawah 0,80 yaitu 0,0288. Dengan demikian data
dalam penelitian ini tidak terjadi masalah
multikolinearitas.
3. Heteroskedastisitas
Model RE sudah menggunakan Generalize
Least Square (GLS) yang merupakan salah satu
teknik penyembuhan regresi. Karena penelitian ini
menggunakan metode Random Effect maka tidak
perlu lagi di uji heteroskedastisitas.
Uji Kelayakan Model
1. Uji F
Pengujian secara simultan dilihat melalui nilai
Uji F yang terdapat pada tabel berikut:
Tabel 14. Hasil Uji Simultan (Uji F)
F-statistic 1.342596
Prob(F-statistic) 0.268774
Berdasarkan Tabel 14. didapatkan nilai p-
value > alpha 0,05 yaitu 0,268 > 0,05 sehingga terima
Ho yang dapat disimpulkan bahwa semua variabel
independen secara simultan tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen.
260
2. Koefisien Determinasi R-square
Koefisien determinasi digunakan untuk
mengukur sejauh mana besar keragaman variabel tak
bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas.
Koefisisen determinasi dilihat dari nilai π 2. Nilai π 2
yang didapatkan dari memodelkan regresi panel
dengan pendekatan Random Effect Model (REM)
pada penelitian ini adalah sebesar 0.042164. Hal ini
menunjukkan bahwa keragaman nilai Economic
Performance hanya dapat dijelaskan oleh
Environmental disclosure dan Environmental
Performance sebesar 4,22%, selebihnya dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian
ini.
Uji Hipotesis
Pengujian secara parsial dilihat dari nilai uji
t yang terdapat pada tabel berikut:
Tabel 15. Hasil uji t
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ED -0.685289 0.523109 -1.310031 0.1951
EP -3.461120 3.551855 -0.974454 0.3337 C 30.72347 12.05030 2.549601 0.0133
Apabila nilai Prob. lebih kecil daripada 0,05,
maka hipotesisnya diterima yang artinya variabel
independen tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependennya dan begitu
sebaliknya.
Variabel environmental disclosure
mempunyai nilai koefisien -0,685 yang berarti
variabel environmental disclosure berpengaruh
negatif terhadap economic performance. Nilai sig t
sebesar 0,1951 lebih besar dari Ξ± 5% sehingga
hipotesis yang menyatakan environmental disclosure
berpengaruh signifikan positif terhadap economic
performance, ditolak.
Variabel environmental performance
mempunyai nilai koefisien -4,664 yang berarti
variabel environmental performance berpengaruh
negatif terhadap economic performance. Nilai sig t
sebesar 0,333 lebih besar dari Ξ± 5% sehingga
hipotesis yang menyatakan environmental
performance berpengaruh signifikan positif terhadap
economic performance, ditolak.
PEMBAHASAN
1. Hipotesis 1 : Environmental performance
berpengaruh signifikan positif terhadap
economic performance
Berdasarkan hasil analisis dengan regresi data
panel, menunjukkan bahwa variabel environmental
performance tidak berpengaruh signifikan positif
terhadap variabel economic performance dari
perusahaan agroindustri. Perilaku variabel
environmental performance pada perusahaan
agroindustri ternyata bukan salah satu faktor yang
menentukan besarnya return on equity pada
perusahaan. Sebagai contoh, perusahaan dengan
kode TIRT pada tahun 2012 mendapatkan peringkat
PROPER merah, namun ROE perusahaan pada tahun
2013 dapat tetap tinggi mencapai 78,4%. Sebaliknya,
perusahaan dengan kode KBRI mendapatkan
peringkat biru pada PROPER tahun 2010 mempunyai
economic performance (ROE) yang negatif di tahun
2011 yaitu -2.88%. Hal tersebut diduga karena
kondisi yang terjadi di Indonesia sebagai negara
berkembang berbeda dengan yang terjadi di beberapa
negara lain, terutama negara maju terkait perilaku
investor di Indonesia.
Hubungan yang tidak signifikan positif antara
environmental performance dan economic
performance disebabkan karena economic
performance atau kinerja ekonomi suatu perusahaan
tidak dilihat oleh investor dari kinerja di dalam
lingkungan perusahaan (environmental
performance). Investor kurang memperhatikan apa
yang dilakukan perusahaan, dan hanya
memperhatikan bagaimana kondisi perusahaan di
dalam pasar apakah menguntungkan atau tidak bila
dilakukan investasi. Diduga bahwa para pelaku pasar
modal di Indonesia dalam menentukan investasi pada
perusahaan terbuka yang terdaftar di bursa efek
melihatnya dari sejumlah aspek atau variabel sebagai
contoh: rasio keuangan, ukuran perusahaan, dan
kategori investasi apakah perusahaan merupakan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) ataukah
penanaman modal asing (PMA). Selain itu peneliti juga menduga hubungan
yang tidak signifikan positif antara environmental
performance dan economic performance ini
dikarenakan Indonesia masih sebagai negara
berkembang. Hasil penelitian serupa pada beberapa
negara maju yaitu Canada, Jepang dan Eropa
menunjukkan hubungan yang signifikan positif
seperti halnya penelitian Marcus Wagner dan Stefan
Schaltegger (2004) yang menemukan hubungan yang
positif antara environmental dengan economic
performance pada perusahaan-perusahaan
manufaktur di Eropa. Pada penelitiannya yang lain,
Marcus mengungkapkan bahwa perusahaan yang
memiliki strategi pengembangan lingkungan akan
memiliki hubungan yang lebih positif dengan
economic performance perusahaannya di bandingkan
dengan perusahaan yang tidak memiliki strategi.
Begitu pula hasil yang didapatkan oleh Jean-Francois
Henry (2009) pada perusahaan-perusahaan di
Canada, surveinya menunjukkan pengelolaan
261
lingkungan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap economic performance perusahaan. Hasil
yang sama juga di peroleh pada perusahaan-
perusahaan manufaktur di Jepang yaitu terdapat
hubungan yang signifikan positif antara
environmental performance dan economic
performance perusahaan. Ketiga hasil penelitian di
negara maju tersebut menjadi landasan atas dugaan
bahwa perbedaan negara maju dan negara
berkembang bila dilihat dari sisi ekonomi
menyebabkan perilaku serta pola pikir investor di
kedua negara tersebut akan berbeda.
2. Hipotesis 2 : Environmental disclosure
berpengaruh signifikan positif terhadap
economic performance Berdasarkan hasil analisis dengan regresi data
panel, menunjukkan bahwa variabel environmental
disclosure tidak berpengaruh signifikan positif
terhadap variabel economic performance dari
perusahaan agroindustri. Pada beberapa perusahaan
sampel, banyaknya pengungkapan tidak menjamin
economic performance perusahaan menjadi baik.
Sebagai contoh, ketika perusahaan dengan kode
FASW mengungkapkan 16 item atau sekitar 53%
dari item GRI yang harus diungkapkan, nilai ROE
yang merupakan proksi dari economic performance
perusahaan bernilai -16%. Berbeda dengan
perusahaan sampel lainnya yang item
pengungkapannya di bawah 53% namun memiliki
nilai ROE yang positif. Hal ini memperlihatkan
banyak tidaknya pengungkapan tidak mempengaruhi
nilai ROE perusahaan agroindustri (perusahaan
sampel).
Selain itu, ekonomi suatu perusahaan tidak
dilihat melalui pengungkapan yang dilakukan
perusahaan tetapi kebanyakan hanya dilihat melalui
keuntungan yang diperoleh perusahaan. Apa yang
dilakukan perusahaan di dalam dan di luar
perusahaan cenderung tidak terlalu diperhatikan oleh
pelaku pasar dan investor. Apa saja yang
diungkapkan perusahaan mengenai lingkungannya
tidak mempengaruhi kinerja ekonomi suatu
perusahaan secara positif karena pelaku
pasar/investor tidak melihat apa yang diungkapkan
oleh perusahaan mengenai lingkungan
perusahaannya, tetapi pasar hanya melihat return
yang dihasilkan oleh perusahaan tiap tahunnya.
Berbeda lagi dengan kecenderungan yang terjadi di
Indonesia dimana para pelaku pasar di Indonesia
cenderung hanya melihat dan merespon informasi
yang terjadi di pasar sebatas informasi yang
diberikan dan kurang melihat dari kinerja ekonomi
dari suatu perusahaan (Handayani, 2010).
Sembiring (2006) dalam Wibisono (2011),
menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi,
salah satu argumentasi dalam hubungan antara
profitabilitas dan tingkat kinerja sosial adalah ketika
perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi
perusahaan menganggap tidak perlu melaporkan hal-
hal yang dapat menganggu informasi tentang sukses
keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat
profitabilitas rendah mereka berharap para pengguna
laporan akan membaca good news kinerja
perusahaan, misalnya dalam lingkup
lingkungan/sosial dan dengan demikian investor
akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut.
Sehingga secara garis besar ketika perusahaan
memperoleh profit yang tinggi (economic
performance perusahaan dalam keadaan baik) maka
pengungkapan yang dipaparkan perusahaan dalam
annual report-nya tidak terlalu banyak, namun ketika
perusahaan memperoleh profit yang rendah
(economic performance perusahaan tidak dalam
keadaan baik) perusahaan berusaha memaparkan hal-
hal baik dalam annual report dengan tujuan
menarik/mempertahankan investor. Hal ini dapat
menjadi alasan mengapa environmental disclosure
tidak berpengaruh signifikan positif terhadap
economic performance perusahaan agroindustri yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3. Hipotesis 3 : Environmental performance dan
environmental disclosure berpengaruh
signifikan positif terhadap economic
performance.
Secara simultan, environmental performance
dan environmental disclosure juga tidak signifikan
mempengaruhi economic performance perusahaan
agroindustri. Seperti yang telah dijelaskan dalam
pembahasan hipotesis 1 dan hipotesis 2, economic
performance atau kinerja ekonomi suatu perusahaan
tidak dilihat oleh investor dari kinerja di dalam
lingkungan perusahaan (environmental
performance). Investor biasanya akan melihat
economic perusahaan dari return yang dihasilkan
perusahaan, ukuran perusahaan, modal perusahaan
dan posisi perusahaan.
Investor juga tidak melihat kinerja ekonomi
suatu perusahaan dari banyaknya disclosure yang
dilakukan perusahaan dalam annual report
perusahaan karena menurut teori legitimasi secara
garis besar ketika perusahaan memperoleh profit
yang tinggi (economic performance perusahaan
dalam keadaan baik) maka pengungkapan yang
dipaparkan perusahaan dalam annual report-nya
tidak terlalu banyak. Hal ini mengakibatkan investor
tidak data melihat kinerja ekonomi perusahaan hanya
dari laporan tahunannya.
262
Dua hal tersebut menjadikan environmental
performance dan environmental disclosure secara
bersamaan tidak dapat mempengaruhi economic
performance perusahaan secara siginifikan positif.
Hasil penelitian pada hipotesis 3 ini, tidak
mendukung temuan Al Tuwaijri, SA., Christensen,
T.E. dan Hughes II, K.E. (2004) yang menemukan
bahwa hubungan environmental performance,
environmental disclosure dan economic performance
secara statistik signifikan.
PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan,
disimpulkan sejumlah hal berikut:
1. Environmental performance tidak memiliki
pengaruh secara signifikan positif terhadap
economic performance perusahaan agroindustri.
2. Environmental disclosure tidak memiliki
pengaruh secara signifikan positif terhadap
economic performance dari perusahaan
agroindustri.
3. Secara simultan, environmental performance dan
environmental disclosure tidak memiliki pengaruh
secara signifikan positif terhadap economic
performance perusahaan agroindustri.
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat
diberikan sebagai berikut :
1. Untuk penelitian selanjutnya penggunaan lingkup
perusahaan yang lebih luas (tidak hanya bidang
agroindustri) sangat disarankan agar hasil yang
diperoleh lebih beragam.
2. Selain itu tahun penelitian hendaknya memiliki
rentang tahun yang lebih lama agar diperoleh hasil
yang mendetil mengenai kinerja perusahaan.
Dalam menilai pengungkapan yang dilakukan
perusahaan, dapat digunakan daftar checklist lain
seperti yang bersumber dari Bapepam,
Crismawati dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Almilia, Luciana Spica dan Dwi Wijayanto. (2007).
Pengaruh Environmental Performance dan
Environmental Disclosure terhadap
Economic Performance. The 1st Accounting
Conference Faculty of Economics
Universitas Indonesia.
Al-Tuwaijri S.A., Christensen T.E. dan Hughes K.E.
(2004). The Relations Among
Environmental disclosure, Environmental
performance and Economic performance: a
simultaneous equations approach. Journal
Accounting Organizations and Society,
29(4), 447-471. doi: 10.1016/S0361-
3682(03)00032-1
Anonim. (2014). Kehutanan. http://www.wwf.or.id.
(Di akses pada Tanggal 7 April 2015)
Baltagi, Bagi (2005). Econometric Analysis of Panel
Data, Third Edition. John Wiley & Sons.
Harahap, Sofyan Syafri. (2002). Teori Akuntansi.
Edisi revisi. Jakarta Raja Grafindo Persada
Hidemichi Fujii, dkk. (2012). Corporate
Environmental and Economic Performance
of Japanese Manufacturing Firms: Empirical
Study for Sustainable Development.
Business Strategy and the Environment
Jornal, 22(3), 187β201.
Jean-Francois Henry. (2009). Eco-control: The
influence of management control systems on
environmental and economic performance.
Journal Accounting, Organization and
Society, 35, 63-80.
Lindrianasari. (2007). Hubungan Antara Kinerja
Lingkungan Dan Kualitas Pengungkapan
Lingkungan Dengan Kinerja Ekonomi
Perusahaan Di Indonesia. Jurnal Akuntansi
dan Auditing Indonesia, 11(2),
Marcus Wagner and Stefan Schaltegger. (2004). The
Effect of Corporate Environmental Strategy
Choice and Environmental Performance on
Competitiveness and Economic
Performance: An Empirical Study of EU
Manufacturing. European Management
Journal, 22(5), 557β572.
Martin Freedman and Bikki Jaggi. (1988). An
Analysis of the Association between
Pollution Disclosure and Economic
Performance. Accounting, Auditing &
Accountability Journal, 1(2).
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuntitatif,
Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung.
Susi Sarumpaet. (2005). The Relationship Between
Environmental Performance And Financial
Performance of Indonesian Companies.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 7(2), 89-
98.
Wagner, dkk. (2001). The Relationship between the
Environmental and Economic Performance
of Firms. An empirical analysis of the
European paper industry. Journal Corporate
Social - Responsibility and Environmental
Management , 9, 133.
263
Identifikasi Faktor Pendukung Keberhasilan Transfer Teknologi Pada Industri
Kecil Menengah Berbasis Potensi Lokal Dengan Pendekatan Makroergonomi
(Study Kasus : UKM Keripik Ubi Cilembu Desa Cileles Jatinangor Dan IKM
Keripik di Desa Pagedangan Indramayu )
Success Factor Identification in Small Medium Enterprise (SME)βsTechnology Transfer
Based on Local Resources Using Ergonomimacro Approache
Devi Maulida Rahmah
Departemen Teknik dan Manajemen Industri Pertaian, FakultasTeknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran
A B S T R A K
Kata Kunci:
Makroergonomi,
perbaikan sistem kerja
di UKM
Industri Rumah Tangga merupakan sektor terdepan yang mampu
mengembangkan perekonomian suatu daerah secara mandiri. Keberadaannya menjadi
penting, karena mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Upaya pengembangan industri rumah tangga tidak terlepas dari penerapan teknologi
baik berupa penyediaan sarana prasarana, perbaikan metode penyimpanan barang,
pengolahan, pengemasan hingga pemasaran. Oleh karenanya mengidentifikasi factor
pendukung keberhasilan transfer teknologi pada industry rumah tangga sangat penting
sebagai sebuah referensi bagi penerapan teknologi yang efektif pada industry rumah
tangga. Karena pada kenyataannya tak jarang ditemuai proses transfer teknologi tidak
bejalan secara efektif.
Pendekatan makroergonomi merupakan sebuah pendekatan dalam melakukan
perbaikan system kerja dengan mempertimbangkan semua aspek dalam proses
perbaikannya. Sehingga pendekatan inpun relevan jika diterapkan pada perbaikan
system kerja di IKM yang pada proses pengembangannya tak terlepas dari proses
transfer teknologi. Faktor dalam makroergonomi adalah Pekerja, Mesin atau
Teknologi, Lingkungn kerja, dan Organisasi kerja serta proses interaksi antara semua
elemen di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk Memetakan faktor β faktor
makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses transfer teknologi pada industry
kecil menengah berbasis potensi local. Penelitian dilakukan di UKM aneka keripik di
desa Cileles Jatinangor dan IKM keripik di desa Pagedangan Indramayu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa factor utama yang memperngaruhi keberhasilan
proses transfer teknologi secara berurutan berdasarkan tingkat kepentingannya adalah:
Organisasi kerja, SDM, Lingkungan kerja, serta Teknologi. Dengan pendekatan
makroergonomi terlihat bahwa teknologi yang akan diterapkan bukan menjadi focus
utama dalam pengembangan IKM. Justru kesiapan organisasi kerja SDM serta
Lingkungan kerja patut menjadi factor yang dipertimbangkan ketika proses transfer
teknologi akan dilakukan..
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
264
PENDAHULUAN
Sistem kerja merupakan kumpulan elemen
dari sebuah rangkaian aktifitas pekerjaan yang saling
berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan pekerjaan
yang ingin dicapai.Sistem kerja dalam sebuah
aktifitas pekerjaan baik di industri dengan skala
makro dan mikro diantaranya pekerja, mesin,
lingkungan kerja, dan organisasi kerja. Dalam
Perbaikansistemkerja pertimbangan ke empat elemen
tersebut serta proses interaksinya tidak bisa
dilepaskan dalam proses pengambilan kebijakan
dalam perbaikan sistem kerja. Ada beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan dalam melakukan
perbaikan sebuah sistem kerja, diantaranya
pendekatan makroergonomi, mikro ergonomi, dan
pendekatan rekayasa engineering.
Pendekatan makroergonomi merupakan
sebuah pendekatan dalam melakukan intervensi
ergonomi dengan mempertimbangkan semua aspek
dalam proses perbaikannya. Aspek tersebut
diantaranya Pekerja, Mesin atau Teknologi,
Lingkungn kerja, dan Organisasi kerja serta proses
interaksi antara semua elemen di dalamnya. Aspek
pekerja meliputi tingkat pendidikan pekerja,
karakteristik pekerja dalam menerima masukan
perbaikan, serta etos kerja. Aspek teknologi meliputi
karakteristik teknologi, kemudahan untuk
dioperasikan dengan tingkat pendidikan pekerja,
keamanan dan kenyamanan ketika digunakan, serta
fleksibilitas teknologi. Aspek lingkungan kerja
meliputi kondisi sosial ekonomi pekerja, lingkungan
sekitar tempat pekerja, dan iklim kerja. Sedangkan
aspek organisasi kerja meliputi karakteristik
manajemen, dan penerapan semua aturan kerja.
Pendekatan mikroergonomi merupakan
pendekatan dalam intervensi ergonomi yang hanya
mempertimbangkan aspek pekerja dan teknologi.
Perbaikan yang dilakukan dalam skala makro
maupun mikro didasarkan pada pertimbangan dari
aspek pekerja dan teknologi yang akan diterapkan
atau diperbaiki, baik itu perbaikan dimensi stasiun
kerja, dimensi alat atau mesin,perbaikan sikap kerja,
dll. Sedangkan pendekatan rekayasa engineering
didasarkan pada perhitungan secara kuantitatif
produktifitas yang dihasilkan oleh mesin/ teknologi
yang akan diterapkan.
Menurut Carayon dan Smith (2000)
pertimbangan organisasi kerja dan ergonomi akan
berpengaruh signifikan terhadap performansi pekerja
yang pada akhirnya berdampak pada produktifitas
kerja yang dihasilkan. Hal ini menjadi realistis karena
dalam organisasi kerja terdapat pertimbangan dari
aspek manajemen. Aspek manajemen menjadi kunci
dalam penerapan setiap intervensi ergonomi dalam
perbaikan sistem kerja, karena dalam perbaikan
sistem kerja tidak cukup hanya menerapkan sebuah
teknologi dalam memperbaiki produktifitas, namun
perbaikan dari sisi pengelolaan manajemen dan
perbaikan berupa kebijakan β kebijakan yang hanya
dapat dilakukan oleh pihak manajemen juga akan
berdampak luas pada proses perbaikan yang terjadi.
Oleh karenanya pendekatan macroergonomi dinilai
sangat layak untuk diterapkan dalam proses
perbaikan sistem kerja yang menyeluruh baik pada
tingkat usaha makro dan mikro.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Memetakan faktor β faktor makroergonomi
yang berpengaruh terhadap proses transfer
teknologi pada Industri kecil menengah berbasis
potensi lokal
2. Memetakan perbaikan sistem kerja pada masing
β masing aspek yang berpengaruh yang dinilai
mampu memperbaiki produktifitas kerja yang
memungkinkan untuk diterapkan pada Industri
Kecil Menengah (IKM)
METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan di IKM aneka keripik di desa
Cileles Jatinangor dan IKM Krips aneka keripik
Pisang di Desa Pagedangan, Indramayu. UKM yang
dijadikan objek penelitian merupakan jemis UKM
dengan mekanisme sistem produksi secara mandiri.
Artinya pemilik usaha melakukan produksi secara
mandiri. Metode yang dilakukan dalam pendekatan
makroergonomi adalah dengan observasi (field
study) dan wawancara semi struktur. Dua metode ini
menurut Hendrick dan Kleiner (2002) relevan untuk
diterapkan pada pendekatan makroergonomi. Karena
dalam makroergonomi terdapat penggabungan antara
aspek sosial, teknikal, dan sosioteknikal. Keuntungan
yang diperoleh dari pendekatan observasi adalah
diperoleh data riil di lapangan, mengenai aspek
penerapan kebijakan manajemen d lapangan, pekerja,
proses kerja, serta lingkungan kerja yang mungkin
secara spesifik tidak akan diperoleh dari hasil
wawancara.
Tahapan dalam proses penelitian
Berikut ini adalah tahapan penelitian yang dilakukan
:
265
Gambar 1. Tahapan proses penelitian
Tahapan Diskusi dan Studi literatur
Penentuan faktor makroergonomi yang
berpengaruh terhadap perbaikan sistem kerja yang
nantinya akan dijadikan kategorisasi dalam proses
koding, dilakukan melalui diskusi dengan ahli dan
studi literatur. Proses perbaikan sistem kerja tidak
terlepas dari sebuah proses transfer teknologi,
Jupriyanto(2012) merumuskan faktor β faktor
makroergonomi yang berpengaruh terhadap proses
transfer teknologi diantaranya
a. Karakteristik teknologi (Teknologi)
b. Karakteristik komunitas yang akan menerima
transfer teknologi, sepertiskill, tingkat
pendidikan dan pengetahuan, sikap dalam
bekerja (Karakteristik pekerja)
c. Karakteristiksosio β ekonomi (Karakteristik
Pekerja)
d. Karakteristikmanajerial (karakteristik
Organisasi kerja)
e. Sikapdalam bekerja dan dalam organisasi
(Karakteristik Pekerja)
f. Karakteristik Budaya Perusahaan, seperti sikap
dalam bekerja, sikap dalam teknologi, sikap dan
kebiasaan dalam organisasi kerja, orientasi dan
motivasi untuk sukses dan maju (Karakteristik
organisasi kerja)
MenurutAbarghouei (2012) proses evaluasi
kinerja dan intervensi ergonomi hingga tercipta
proses intervensi ergonomi yang menyeluruh di
dasarkan pada empat hal, yaitu : Daya dukung
manjemen dan logistic, daya dukung pengetahuan
atau peningkatan kemampuan, partisipasi dan
evaluasi pegawai, serta pengembangan SDM.
Menurut Kleiner (1999) makroergonomi
merupakan sub disiplin ilmu kebaruan dalam proses
intervensi ergonomi yang menggabungkan antara
faktor teknologi, manusia(pekerja, organisasi kerja,
dan lingkungan kerja serta interaksi antara empat
komponen dalam makroergonomi sistem tersebut.
Berdasarkan proses diskusi dan literatur tersebut,
maka peneliti mencoba mengelompokan faktor
makro ergonomi dalam proses transfer teknologi
kedalam setiap aspek elemen dalam makroergonomi.
Berikut adalah pengelompokannya :
Tabel 1. Pengelompokan faktor dan elemen dalam
makroergonomi untuk sistem koding
Tabel diatas dijadikan sebagai acuan untuk
pengkodean pada proses analisis data.
Tahapan Analisis Data
Analisis yang diakukan adalah analisis kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif. Data coding atau
pengodean data memegang peranan penting dalam
proses analisis data, dan menentukan kualitas
abstraksi data hasil penelitian. Hal ini mengacu pada
metode penelitian yang digunakan. Sistem coding
dilakukan untuk mengkategorisasi dan memetakan
faktor β faktor yang berpengaruh terhadap proses
perbaikan sistem kerja dengan pendekatan
makroergonomi. Berikut adalah tahapan proses
analisis data :
Gambar 2. Tahapan analisis data
Faktor Elemen dalam faktor
Etos kerja
Karakteristik sosial budaya
Skill dalam bekerja
Kemampuan menerima perubahan
Tingkat pendidikan
Manajemen
Visi organisasi
aturan kerja
Sarana prasarana
Budaya Kerja
Sifat Organisasi
Teknologi Sifat teknologi
dukungan pihak luar
Keberpihakan pemerintah setempat
Budaya masyarakat setempat
penerimaan masyarakat terhadap aktifitas IKM
SDM
Organisasi Kerja
Lingkungan Kerja
Survey kondisi
eksisting di
lapangan
Identifikasi masalah
secara umum
Interview dengan
pihak manajemen dan
pengrajin
Observasi kondisi di
tingkat pengrajin
Mendeskripsikan hasil
wawancara dan temuan di
lapangan
Mengkategorisasi secara khusus
berdasarkan elemendalam setiap
faktor makroergonomi
Mengkategorikan elemen kedalam
faktor 4 faktor dalam makroergonomi
Studi Literatur
266
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbaikan system kerja tidak terlepas dari
proses transfer teknologi yang ada di dalamnya.
Proses transfer teknologi pada skala industri kecil
dan menengah (IKM) pada prinsipnya memiliki
tuuan yang sama seperti proses transfer teknologi
pada industri skala besar, yaitu memberikan nilai
tambah pada produk yang dihasilkan serta mampu
meningkatkan keuntungan dan keunggulan dari
usaha yang dilakukan. Namun ada beberapa aspek
yang membedakan. Hal ini dikarenakan IKM
memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan
dengan industri skala besar. Berikut adalah
karakteristik UKM berbasis olahan pangan menurut
Rahmah dan Purnomo (2014):
Tabel 2. Karakteristik UKM di level pedesaan
Gambar 2. Kategori Organisasi kerja
SDM MODAL MANAJEMEN BAHAN BAKU TEKNOLOGIPROSES
PRODUKSI
Skill rendah Masih minim,
dan terkadang
bergantung
pada pihak
luar
Belum kuat
menerapkan
aturan organisasi
kerja
Masih
bergantung pada
musim panen
Penggunaan
teknologi masih
minim
Berbasis
pemberdayaa
n masyarakat
sekitar
Tingkat
pendidikan
rendah
Belum
berorientasi pada
sistem produksi
bersih dan aman
pada lantai
produksinya
Belum memiliki
sistem
penyimpanan
bahan baku yang
baik
Penggunaan
masih
berorientasi
pada
produktifitas,
bukan pada sisi
lainnya
(Keamanan
kerja pekerja)
Pemahaman yang
rendah terkait
proses produksi
yang berorientasi
kualitas
Visi dan misi tidak
terdokumentasika
n dengan jelas
Kemampuan
mengadopsi
teknologi baru
atau cara baru
rendah
267
Pernyataan Kategori KodeSub Kode
alat produksi terbatas Teknologi Sifat teknologi Kapasistas produksi
sistem kerja produksi masih acak dan tidak
mempertimbangkan aspek ergonomi dalam proses Organisasi kerja aturan kerja design sistem kerja
Belum memiliki gerai produk Organisasi kerja Sarana prasarana Sarana pendukung
kurangnya dukungan dari aparat pemerintah desa Lingkungan kerja dukungan pemerintah dukungan pemerintah
standarisasi kualitas produk secara tertulis belum Organisasi kerja aturan kerja Standari kualitas produk
Adanya keinginan memiliki produk dengan label dan
desain kemasan yang baikOrganisasi kerja Budaya kerja Etos Kerja
kemudahan menerima saran dan masukan dari
pendampingOrganisasi kerja Sifat organisasi Penerimaan terhadap hal baru
Prosedur keamanan kerja belum ada Organisasi kerja aturan kerja Prosedur kerja
Belum adanya manajemen persediaan bahan baku Organisasi kerja Manajemen Manajemen persediaan
Belum adanya sistem produksi berorientasi pada
kualitasOrganisasi kerja Manajemen Manajemen proses
Lingkungan masyarakat sekitar yang dapat diajak
kerjasamaLingkungan kerja budaya lingkungan kerja Budaya kerjasama
lingkungan sekitar yang memiliki banyak pengrajin Lingkungan kerja budaya lingkungan kerja Budaya berwirausaha
Kebutuhan akan pelatihan dan peningkatan skill Organisasi kerja Sifat Organisasi Kemampuan menerima hal baru
Belum memiliki visi dan misis dari usaha yang
dilakukanOrganisasi kerja visi organisasi Perencanaan jangka panjang
Ada upaya memperbaiki kualitas produk SDM Kemampuan menerima
perubahanMotivasi pribadi
Pernyataan Kategori Kode Sub Kode
Adanya motivasi dalam diri sendiri untuk maju dan SDM Etos kerja Motivasi pribadi
Pengrajin tidak saling berkordinasi dan bekerjasama SDM Karakteristik sosial Budaya Budaya kerjasama
pengrajin bebas menghasilkan produk tanpa adanya
perencanaan dalam segmentasiOrganisasi kerja visi organisasi Segmentasi pasar
Pengetahuan akan teknologi masih sangat rendah SDM Skill dalam bekerjaKemampuan dalam mengetahui
teknologi baru
Teknologi yang digunakan masih manual Teknologi Sifat teknologi Teknologi sederhana
Mampu menerima teknologi yang mudah digunakan
dan biaya terjangkauSDM
Kemampuan menerima
perubahan Motivasi pribadi
Adanya pelatihan dalam penggunaan teknologi baru
dari pihak luar sebagai pendampingLingkungan kerja Pendampingan
Pendampingan
Tingkat pendidikan rendah SDM Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Mengharapkan adanya pendampingan berkelanjutan Lingkungan kerja PendampinganPendampingan dalam proses
adopsi teknologi
Mengharapkan adanya kerjasama dalam pemasaran Lingkungan kerja Pendampingan Pendampingan pemasaran
Mengharapkan dibukakan jejaring dalam pemasaran Lingkungan kerja Pendampingan Pendampingan pemasaran
Belum memiliki aturan dalam bekerja Organisasi kerja Manajemen Aturan kerja
belum memiliki labeling produk Organisasi kerja visi organisasi brandingBelum memiliki alat untuk menghasilkan kemasan
dan produk yang lebih baikTeknologi Sifat teknologi
Teknologi sederhana
Adanya keinginan memperbaiki kemasan produk
hingga layak pasar yang lebih luasSDM
Kemampuan menerima
perubahan Motivasi pribadi
belum memiliki pengetahuan akan desain produk
yang baikSDM Skill dalam bekerja
Kemampuan dalam mengetahui
teknologi baru
sistem produksi masih berdasarkan pesanan Organisasi kerja Manajemen manajemen produksi
belum memiliki jejaring kerjasama dengan pihak lain Organisasi kerja Manajemen Manajemen pemasaran
Belum memiliki struktur organisasi kerja Organisasi kerja Manajemen Manajemen organisasi
memiliki kemampuan dalam menciptakan produk
baru yang bervariasiSDM Skill dalam bekerja
Kemampuan dalam mengetahui
teknologi baru
bahan baku dari potensi lokal setempat Organisasi kerja ManajemenManajemen persediaan bahan
baku
sebagian bahan baku diperoleh dari kebun milik
sendiri atau kerabatOrganisasi kerja Manajemen
Manajemen persediaan bahan
baku
belum ada kerjasama dengan pemiliki lahan yang
menyediakan bahan bakuOrganisasi kerja Manajemen
Manajemen persediaan bahan
baku
ongkos produksi tinggi karena produksi berdasarkan
pesananOrganisasi kerja Manajemen manajemen produksi
268
Gambar 3. Kategori sumberdaya manusia Gambar 4. Kategori Lingkungan Kerja
Dari hasil pengkodean diperoleh kombinasi
faktor dalam makroergonomi yang mempengaruhi
sebuah transfer teknologi dalam perbaikan sistem
kerja dalam Gambar 4 di atas. Aspek organisasi kerja
memegang peranan yang sangat penting dalam
mendukung keberhasilan proses transfer teknologi
yaitu sebesar 51 %. Hal ini berarti bahwa
keberhasilan dari sebuah proses transfer teknologi
pada IKM akan ditentukan pada kesiapan organisasi
kerja pada IKM. Berikut adalah penjabaran mengenai
aspek Organisasi kerja yang dimaksud adalah aspek
manajemen, visi organisasi, Aturan kerja, Sifat
organisasi, Budaya kerja, serta sarana dan prasarana.
Aspek sumberdaya manusia menjadi aspek
penting lainnya yang harus menjadi pertimbangan
dalam sebuah transfer teknologi. Hal ini menunjukan
bahwa aspek SDM memiliki posisi strategis dalam
proses transfer teknologi, beberapa hal yang menjadi
pertimbangan adalah terlihat bahwa sub aspek dalam
kategori SDM yang memiliki tingkat kepentingan
terbesar adalah kemampuan menerima perubahan
(hal baru), serta skill atau kemampuan dalam bekerja.
Hal ini tentu menjadi landasan teoritis bagi metode
yang akan diterapkan dalam pengembangan IKM.
Pendekatan secara menyeluruh serta pola β pola
pendampingan menjadi catatan penting bagi proses
transfer teknologi agar mampu diterima
perubahannya oleh IKM. Kemampuan dalam bekerja
pun sangat berpengaruh, karena
Sedangkan aspek Teknologi menjadi aspek
terkecil sebagai factor penentu keberhasilan dari
penerapan teknologi. Hal ini tentu memberikan
penjelasan tersendiri bahwa melalui pendekatan
makroergonomi,dalam proses pengembangan IKM
dengan transfer teknologi, teknologi itu sendiri
seharusnya tidak menjadi fokus bagi pelaku IKM
atau pendamping IKM. Namun penyiapan aspek
organisasi kerja, SDM, serta lingkungan kerja,
menjadi hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan IKM.
Rekomendasi alternative teknologi atau perbaikan yang akan di transfer dengan pendekatan
makroergonomi
Tabel 4. Rekomendasi perbaikan sistem kerja
KESIMPULAN
1. Terdapat beberapa factor dalam proses
transfer teknologi pada IKM berbasis
komoditas local melalui pendekatan
makroergonomi, yaitu organisasi kerja,
SDM, Lingkungan kerja dan Teknologi.
Faktor Alternatif teknologi atau perbaikan yang di transfer
Membuat dan menerapkan aturan dalam bekerja secara tertulis
Membuat kerjasama dengan penyedia bahan baku
Membuat visi organisasi yang jelas
Melakukan kerjasama dengan pihak pendamping dalam menjejaringkan pemasaran produk
Membuat program peningkatan softskill dan hardskill dalam menciptakan produk baru
Membuat program peningkatan softskill dan hardskill dalam menciptakan produk baru
Ciptakan suasana kerja yang nyaman bagi pekerja
Jalin komunikasi yang baik dengan aparat pemerintah setempat
Berikan program pemberdayaan bagi masyarakat setempat
Pendampingan yang berkelanjutan
Perhatikan kemudahan teknologi bagi calon pengguna
Dilakukan penjelasan akan pentingnya teknologi yang akan ditransfer
Lakukan pendampingan dalam pengoperasian dan pemeliharaan
Organisasi kerja
SDM
Lingkungan kerja
Teknologi
269
2. Hasil penelitian menunjukkan, factor yang
memegang tingkat kepentingan yang cukup
besar dalam proses transfer teknologi adalah
organisasi kerja dan SDM. Tentu hal ini
menjadi pertimbangan yang harus
diperhatikan dalam proses transfer teknologi
pada IKM.
3. Faktor teknologi menjadi faktor terakhir
yang memiliki tingkat kepentingan yang
paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa
melalui pendekatan makroergonomi
penerapan teknologi baru bukan menjadi satu
β satunya cara yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki sistem kerja guna
meningkatkan produktifitas pada IKM
DAFTAR PUSTAKA
Abarghouei, Nasab. 2012. An Ergonomic Evaluation
and Intervention Model: Macro ergonomic
approach. International Journal of
Scientific & Engineering Research,
Volume 3, Issue 2
Carayonand Smith. 2000. Work organization and
ergonomics. Applied Ergonomics 31
(2000) 649}662
Juprianto, Iridiastadi, Zutalaksana, and Nur Bahagia
S. 2013. Indonesian Technology Transfer
Successful Model with a Macroergonomics
Framework. Journal of Applied Sciences
Research, 9(4): 2520-2525.
Kleiner, 1999. Macroergonomic Analysis and Design
for improve safety and Quality
Performance. International Journal Of
Occupational Safety and Ergonomic. Vol :
5, No.2, 217-245.
Stanton, et all. 2005. Handbook of Human Factors
and Ergonomics Method.Washington DC :
CRC Press.
270
271
The Role of Communication Networks in Group Sustainability: A Case Study in
Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia
Jaka Sulaksana
Faculty of Agriculture, Majalengka University, Majalengka
ABSTRACT
Keywords:
Communication
network
collective action
sub leader
cut-point
bridge
The research was conducted in Majalengka Regency, West Java Province, Indonesia.
The Mekar Jaya Group underwent four phases in its lifetime. Each phase had its own
characteristics and processes, including the election and succession of a leader,
collective action and conflict. These characteristics and processes implied that there
was a communication network within the group in each phase. The current study
describes the network, the role of the leader in the network and the role of the network
in group sustainability. The results show that there were some bridges in the network
that helped the group to survive after conflict. Most of the bridges or cut-points were
sub-leaders. There is also a shift of basis of clique formation from neighborhood to
closeness of relationship
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
272
INTRODUCTION
Group sustainability has become an
important condition for the continuity of society-
empowerment programs in relation with poverty-
reduction programs. One model of group
sustainability is the Mekar Jaya Group (MJG), which
is located in Majalengka regency, West Java
Province, Indonesia.
The MJG experienced four group leader
successions, resulting in four group phases of life.
These leaders were involved in cooperating with the
outer part. Along that time, the Mekar Jaya Group
(MJG) was a farmers group that accepted external
aid. Since 1989, the Mekar Jaya Group accepted aid
from university and the local government.
Cooperation with outer part demonstrated that there
was a communication process flowed from the
outside to the inside of the group. It was then
delivered to all members in the group..
The following question remains: how did the
group manage the communication network to
implement programs and solve conflict and then
enter the latter phase? In order to answer this
question, it is important to observe the
communication network in each phase.
Therefore, the current work addresses the
following questions:
1. What was the communication
network structure within the group in each
phase?
2. Did within group communication
patterns influence the groupβs sustainability?
3. What was the role of the leader in the
within group communication flow in each
phase?
A social network is a structure that is composed
of a set of actors, some of whom are connected by a
set of one or more relations. Social structures can be
represented as networks, sets of nodes (or social
system members) and sets of ties depicting their
interconnections (Wellman & Berkowitz, 1988, p.4).
Historical overviews of the origins and diffusions of
network principles have been presented by Freeman
(2004), Scott (2000), and Knox, Savage, and Harvey
(2006).
In Bavelasβ design (Bavelas, 1950), each in-
group individual is given certain information. The
group is given the task of assembling this
information, using it to make a decision, and then
issuing orders based on this decision. The critical
feature of the design is that the group members are
separated from one another and can communicate
only through channels that can be opened or closed
by the member. This feature implies that the
communication network is the main element of the
social network. Jacobson and Seashore (1951)
proposed that the structure of an organization can be
conceptualized and described in terms of the regular,
work-related, interpersonal communication patterns
that are established between pair of individuals.
The methodology for the approach and a set of
structural concepts for classifying network data was
described in detail by Weiss and Jacobson (1955) in
a report on an application of the procedure in a
government agency. There are several steps in
network analysis. The first step is to obtain a record
of regular dyadic linkages by asking members to list
the names of persons in the organization with whom
they work most closely. Next, the reported contacts
are compared against each other in a matrix to
determine reciprocation of contact (mutual choice)
among respondents. Only reciprocated contacts are
used to define the communication network. The last
step in the process allows one to separate out the
groups and to classify all members of the
organization into one of the following role types:
group member, brokerage (bridge), and isolate.
Rogers and Kincaid (1981) stated that a
communication network is the pattern of varying
communication elements that are demonstrated by
communication flow patterns in a system. The
analysis of a communication network may include
the following: (1) identifying a clique in the system;
(2) identifying the role of a person in the system; and
(3) measuring communication network indicators,
such as the degree of openness and the integration of
the system, including centrality degree.
In order to measure or analyze the network, the
following process is conducted. As mentioned, the
first step is to obtain a record of regular dyadic
linkages by asking members to list the names of the
persons in the organization with whom they work
most closely. Next, the reported contacts are
compared against each other in a matrix to determine
reciprocation of contact (mutual choice) among
respondents. This matrix is called the adjacency
matrix with symmetric relationships. An example is
displayed in table 1.
Table 1. The adjacency matrix
1 2 3 4 5 6 7
1 - 1 1 0 0 1 1
2 1 - 1 1 1 1 0
3 1 1 - 1 1 0 0
4 1 1 1 - 1 1 0
5 1 0 1 1 - 0. 1
6 1 1 0 1 0 - 1
7 1 0 0 0 1 0 -
273
Table 1 shows the relationships among
members. When one member has a reciprocal
relationship with another member, the line is coded
as 1 for both individuals (e.g., the relationship
between node 1 and 2 is a reciprocal relationship).
However, if one member has no reciprocal
relationship with another member, the line is coded
as 1 and 0 (e.g., the relationship between node 1 and
node 4). From this matrix, we can display the digraph
of the communication network. Every member is
symbolized by a node and connected with a line.
In relation to the nodes of relationships in the
network structure, the concept of the star is also
typically used. Ognyanova, et al (2010) stated that the
star is the actor or node that has many connections or
is highly central. In cliques, many stars should exist
because there is a leader in a clique, and that leader
was the star. However, an absolute definition of the
star for this paper is needed because numerous nodes
have many connections. Therefore, the number of
connections that the star can have should be
determined. It can be seen from the adjacent table that
several nodes could be stars.
Table 2. The Distribution Connections of Nodes Number of
reciprocal
connections
Number of nodes
Phase I Phase II Phase
III Phase IV
0 0 0 2 0
1 0 11 23 7
2 2 9 8 15
3 15 4 6 6
4 2 7 4 2
5 0 4 1 0
6 1 1 0 1
7 0 0 0 0
8 2 0 0 0
9 1 0 0 0
10 1 2 1 1
11 0 1 0 0
12 0 0 1 1
13 0 0 0 0
Total
Number of
Stars
5 4 2 3
Source: Primary data, 2002 and 2011
Based on Table 2, the total number of stars in
each phase can be defined and reflect the opinion
leader in each phase in reality after combining the
result of visual graph analysis in result section and
qualitative research in the field. In phase I, there was
a leader of group (node 1) and there were 4 opinion
or sub leaders (node 8,9,22, and 28). These leaders
have their own cliques. The leader has 8 mutual
connections in group. The sub leader 8 has 10 mutual
connections, the sub leader 9 has 6 mutual
connections, the sub leader 22 has 8 mutual
connections, the sub leader 28 has 9 mutual
connections. Therefore, the total number of star is 5.
In phase II, there were still five opinion leaders
and one of them became a group leader. The sub
leader 1 has 6 mutual connections, the sub leader 8
has 11 mutual connections, the sub leader 9 has 5
mutual connections, the sub leader 22 has 10 mutual
connections, the sub leader 28 has 10 mutual
connections. However, only 4 cliques occurred in
group because the opinion leader 1 and 9 united in
one clique in this phase and the sub leader 1 became
the clique leader. The sub leader 9 tends to have a
function as coordinator or facilitator among the sub
leaders. Therefore the total number of stars in phase
II is 4.
In phase III, there was a decrease of sub leader
number which is reflected by the decrease of the
clique number. In this phase, only there are two
cliques and two sub leaders. They were node 9 and
22. Node 1 and 8 were not the sub leaders again
because the conflict between them and their follower
joined to another clique and in the reality, these ex-
sub leaders reduced their activity in group, especially
the node 8, he started inactive at the end of phase III
and became fully inactive in phase IV. The ex sub
leader 28 also has loss their followers because most
of his followers are the free riders. The sub leader 9
has 10 mutual connections and the sub leader 22 has
12 mutual connections. It is clearly that these nodes
are the stars.
In phase IV, there were three sub leaders. They
were the sub leader 9,22,28. The sub leader 9 has 6
mutual connections, the sub leader 22 has 12 mutual
connections, and the sub leader 28 has 10 mutual
connections. These leaders are the leader of their
cliques and became the stars.
Clique analysis to investigate group structures
helps researchers understand how cohesion benefits
group members by providing advice and instrumental
support and how an extensive reliance on cliques
restricts. A clique is a maximal complete sub-graph
of three or more nodes, all of which are directly
connected to one another, with no other node in the
network having direct ties to every member of the
clique (Knoke & Yang, 2008).
Rogers and Kincaid (1981) defined the clique
as a subsystem whose elements interact with each
other relatively more frequently than with other
members of the communication system. Individuals
are placed into cliques based on the following three
criteria:
1. Each clique must have a minimum of three
members.
2. Each clique member must have at least 50
percent of his/her links within the clique (the
average number of links within the clique is
274
taken from the number of links and then divided
by the number of clique members).
3. All clique members must be directly or
indirectly connected by a continuous chain of
dyadic links within the clique.
The current paper used the term clique
proposed by both Knoke and Yang and Rogers and
Kincaid, but with modifications on the third criteria
that all clique members are directly or indirectly
connected by reciprocal links or non-reciprocal links
within the clique. However, exceptions occur in real-
life situations. If one criterion is not satisfied, but the
other criteria are satisfied, the network can be
considered to be a clique.
The network analysis field has devoted
considerable energy to developing methods for
identifying central nodes in a network that are
important to diffusion and other actions that occur in
networks (Borgatti and Everett, 2006). In contrast,
Granovetter (1973) introduced the concept of
bridging, which emphasizes the importance of
structural bridges for diffusion. According to
Granovetter (1973, 1982), bridges reduce the overall
distance between individuals in a network, enabling
information to spread more rapidly throughout the
network.
In the present paper, the bridge is the link, and
the node is referred to as the cut-point. Furthermore,
the definition of the bridge is expanded to not only
connect two cliques, but also to connect one node and
the network. The expansion is made because there
were some nodes (free riders) in the phase III group
that connect to the group through members that
functioned as cut-points. Thus, the types of bridge in
this paper are the following: 1) clique-bridges that
connect between clique and clique and 2) node-
bridges that connect a node and network. Here, a
node is an isolated member if it is disconnected from
the network. It can be concluded that a cut-point is a
node that has the line that can connect between a
network and isolated node or clique and clique. A
bridge is a line that belongs to a cut-point that can
connect between the network and isolated node or
clique and clique.
The current paper also presents a description of
the communication network in one group along its
life (over the long term) and explains the influence of
the network on group sustainability. The specific
method used was some questions about the closeness
of the relationship of members in each phase. This
study presents an explanation of the relationship
between collective action and network change within
a group. It continues the previous study by Tacaks,
Janky and Flache (2008). They studied network
change over time and its relationship with collective
action through research on the connected theme and
proposed the model of social control and collective
action. The previous paper was a secondary case
study, whereas the current paper is a field work study.
In fact, none of the previous studies on network
change over the life span utilized field work.
MATERIALS AND METHODS
This case study generates a descriptive
explanation of a group communication network. The
location of research was Cangkring hamlet of
Kadipaten Village, Kadipaten Subdistrict,
Majalengka Regency, West Java Province. The
location was chosen because there were many
programs and internal conflicts within the group that
were resolved by the communication network.
The research population included all 69
members of the Mekar Jaya Group. The research
sample included the entire population, which
increased the significance of the results (complete
enumeration). The number of members varied
according to the phase to which they belonged. The
unit of analysis was the communication network in-
group.
The data were collected through interviews,
field work and focus group discussions. Surveys were
administrated as in-person interviews with an
emphasis on the memberβs description or explanation
on a questionnaire that was tested with selected
members in each leadership era (the group
experienced four leadership changes). Members were
asked to recall the relationship structure within the
group. The primary questions were as follows: 1)
Who were the people in the subgroup (neighborhood)
with whom you often discussed matters important to
you? 2) Who were the people in another subgroup
(neighborhood) with whom you often discussed
matters important to you? Respondents were also
asked how often they talked to each individual, on
average, and the various types of role relations
(relative, neighbor, and friend) present in those cases.
The reliability analysis was conducted using
repeated method and produced Jaccardβs coefficient.
In the first interview, the informant who was checked
was 10% of the original sample (i.e., 7 names). The
second interview yielded 6 names, and 5 persons
were chosen at both interviews. Jaccardβs coefficient
= 5/(5+2+1) = 0.63. The reliability result also
reflected the validity of items. The informants should
be weighted by their reliability (Knoke & Yang,
2008).
Furthermore, group discussions were held to
gather qualitative information about the group. The
field work was conducted by the researcher. Data
collection took place in 2002 and was updated in
275
2011. A visual (graph) display was used to show and
analyze the network using Netdraw.
The goal of this research was to determine
how the communication network structure occurs
within a group. This structure is important because it
is expected that the communication network structure
had a strong influence on how the group overcame
conflict and maintained the group process.
The last step in the process allowed us to
separate out the groups and to classify all members of
the organization into one of the following role types:
group member, brokerage (bridge), and isolate. Next,
calculations such as centrality degree were
conducted.
Centrality Degree (CD) measures the extent
to which a node connects to all other nodes in a social
network. For a non-directed graph with g actors, the
degree of centrality for actor (node) i is the sum of iβs
direct ties to the g β 1 other actors. In matrix notation,
g
CDA (Ni) = βxij (I β j)
J=1
Where CDA (Ni) denotes centrality degree for
node i and βxij counts the number of direct ties that
node i has to the g β 1 other j nodes ( I β j excludes
iβs relation to itself). After calculating the centrality
degree of actors, we calculated the group centrality
degree. Unlike actor centrality degree, group
centrality degree measures the extent to which the
actors in a social network differ from one another in
their individual centrality degree. The centrality
degree of group closely resembles measures of
dispersion in descriptive statistics, such as the
standard deviation, that indicate the amount of
variation or spread around a central tendency value.
Freeman (1979) proposed a generic measure of group
centrality degree:
g
β [CA (N*) β CA (Ni)]
i=1
CDG = _________________________
g
Max β [CA (N*) β CA (Ni)]
i=1
Where CA (N*) denotes the largest actor
centrality degree observed in a network, and the CA
(Ni) are the centrality degrees of the g-1 other actors.
Thus, the numerator sums the observed differences
between the largest actor centrality and all others.
The denominator is the theoretically maximum
possible sum of those differences.
GROUP DESCRIPTION
Group Collective Action
The Mekar Jaya Group life history includes
four phases of group life. Each phase had its own
collective action as one of manifestation of network
communication.
In phase I (1989-1994), the collective action
was the planting of trees that had leaves for feeding.
Trees were planted along the Cilutung River. Some
of the small trees could be harvested within six
months to one year, whereas others could be
harvested after several years.
Another collective action, gathering and
selling sheep feces, was also started in phase I. Many
farmers in the upland area needed it for become
fertilizer. They typically stacked the feces near a stall
and let it dry. After drying, it would be placed in
sacks, collected by the sub group leader, and sold to
the buyer. The group members agreed to a price of
IDR 15,000 per sack. The frequency of feces
collection was once every three months. One stall
could produce six sacks, on average, resulting in 180
sacks from all stalls owned by the active members.
The last collective action was the group
meeting. During group meetings, all or a
representative of sub-group members met and
discussed the issues that the group faced. Meetings
were held every month. The selection of a new group
leader was also facilitated by the group meeting, as
the incumbent suggested a new name and the
members voted for him.
In phase II (1995-1997), the collective action
was preparing the grass for sheep feeding. Because of
the large number of sheep, the group planted grass
along the river bank. The land along the river bank
was owned by the village. The group could plant
grass on this land through the approval of the village
head. The land use was divided and distributed to
subgroup members.
The group meeting was also conducted in
phase II, but it was not held as often as was the case
in phase I. The group meeting was held when the
members approved the new leader in this phase.
Then, at the end of the phase, the succession of the
phase II leader occurred, resulting in the beginning of
phase III.
In phase III (1997-2002), the utilization of
land for planting grass did not seem to satisfy the
necessity of sheep feeding, especially when the dry
season arrived. The group initiated grass collection
from remote locations with an abundance of grass
stock. The chosen location was Sumber village, at
Sumber sub district, Cirebon. They often used the
truck that was owned by the sugar factory, but also
sometimes rented a truck that was owned by the
villagers to travel to Sumber. They left in the morning
and returned in the afternoon.
276
In phase III, the other collective action was
the arisan. Arisan or ROSCA (rotary savings and
credit association) was conducted in the third year of
the project. Each member paid IDR 5,000 per month
to the sub leader. Every month, the group held a raffle
in which four members won. However, the
implementation of arisan could not exist in the long
term because group conflict arose.
The group meeting was again promoted. It
started with the succession of the leader from phase
II to the new leader in phase III, followed by the
division of the group into sub-groups to make the
program run effectively. However, halfway through
phase III, conflict arose when the return of aid did not
run smoothly. The impact was that the program could
not be implemented effectively.
From phase IV until now, the group has
revitalized the group size. In phase IV (2002-2009),
the group meeting was held when the group decided
to revitalize the group size by reducing the group
membership. Planting grass at the river bank
continued to satisfy the needs of feeding. The last
action that is still ongoing was the gathering of sheep
feces and selling it to the farmers in the upland area
of Majalengka.
The Change in Group Members
The Mekar Jaya Group experienced four
periods of change in size. The phase I group included
30 people (all of them were active members until
phase IV), the phase II group included 50 people
(consisting of 30 people of phase I and 20 new
members, 12 of which became active members and 8
of which became inactive members), the phase III
group included 69 people (consisting of 30 people of
phase I, 20 people of phase II and 19 new members
who became inactive and left the group in the latter
phase) and the phase IV group included 34 people.
These data were updated in 2011 as following.
Data were collected in 2002, 2009, and 2011.
In 2002, 69 individuals (all members) were
interviewed, and the units of analysis were group
dynamics and the group communication network. In
2009, 42 people (phase IV group) were interviewed,
and the unit of analysis was group dynamics. In the
2009 data collection, the phase IV group included 39
individuals, with 27 people from the phase I group
and 12 people from the phase II group. In 2011, 34
people (phase IV group) were interviewed, and the
unit analysis was the group communication network.
This final membership in Phase IV included the
Phase I group (24 people) and the Phase II group (10
people). Six members from phase I recently passed
away and 2 members from phase II are no longer
members, as they have moved to another village
since 2010. No members from the Phase III group
remained in the group.
RESULTS AND DISCUSSION
Communication Network in Phase I
The group accepted aid (in the form of sheep)
from Bogor Agricultural University. The leader of
phase I was elected in the group meeting. The
meeting was held at hamlet hall (Cangkring hamlet
hall). All of the members attended the meeting and
not exception the BAU officer. This meeting is called
musyawarah. βMusyawarahβ is a term in Indonesian
culture that means a group discussion for solving a
problem. In musyawarah, there is no voting. The
members release the issue, and then by some
considerations, all of the members agree on a choice
through their opinion leaders, even if all members
attend the meeting. In the MJG meeting, the
members agreed to choose leader A (phase I leader)
as the group leader. One reason for this choice was
that leader A actively encouraged the villagers to
make a group. Another reason was that leader A was
assumed as the brave man in the hamlet. He typically
did not hesitate to release the opinion and statement
for the deed. However, this characteristic later
became his weakness in the conflict between him and
the village apparatus. He made a choice that was
contrary to the decision of the village head.
Later, the group meeting was used to discuss
any issue that the group faced, and this was
encouraged by the BAU officer. He often used the
group meeting to deliver his knowledge and new
innovation to the members. The group meeting was
typically conducted monthly in leader Aβs house.
The members of the group were the
Cangkring hamlet residents. Some people were
invited by leader A, supported by the BAU officer to
build the group. They invited their neighbor, who was
also involved in sheep husbandry, from a different
neighborhood or Rukun Tetangga (RT). This
decision was based on the suggestion of the BAU
officer to increase the economic community. Of the
6 RTs in the Cangkring hamlet, 4 RTs were chosen
because the residents were primarily farmers and
husbandries. The other RTsβ residents were primarily
vegetable traders and small shop traders. Then, 22
husbandries met together and built the group. They
felt that the group was not complete without the
relationship with sheep traders. Thus, they also
invited 8 sheep traders in the hamlet to join. The final
membership totaled 30 people.
When the group cooperated with the BAU
officer, several programs were planned in relation
with the aid, including planted trees. The group also
had a division of roles. The leader chose one
277
1
2
3
4
56
7
8
9
10
11
12
13
1415
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
secretary and one treasurer to manage the project.
After they chose the leader, secretary and treasurer,
they chose the group location near an irrigation pool.
The group meeting (musyawarah) and the structure
of the group demonstrate the flow of communication
in the group.
The communication network feature in phase
I is shown by figure 1. Each node represents a
member. The leader A is node 1, the secretary is node
9 and the treasurer is node 8. Figure 4 shows that
there was no bridge in the network. The network was
stable. Figure 1 also shows that there were some stars
within the group. The stars are node 1, 8, 9, 22, and
28. Focus group discussion revealed that all of these
nodes became the opinion leader in their sub groups.
In phase I, the sub groups were informal.
Note: :RT 03 ; : RT 04 ; : RT 05; : RT 06
;
: non-reciprocal tie;
: reciprocal tie
Fig 1. Communication Network in Phase I
There were four cliques in phase Iβs network
structure (refer to the criteria for cliques in the
introduction):
1. Clique 1: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10
2. Clique 2: 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16
3. Clique 3: 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23
4. Clique 4: 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30
Four cliques were constructed because there
was a dyadic or reciprocal relationship (composition
of complete sub-graph) among some members and
separated with another member. One clique had the
main complete of sub-graphs. The clique could
consist of the main complete of sub-graphs (e.g.,
clique 2, clique 3, and clique 4) or it could consist of
the main complete of sub-graphs and non-complete
of sub-graphs because of non-reciprocal ties (e.g.,
clique 1). Clique 1 had main complete of sub-graphs.
That is, the sub-graphs were built from the triangle 1-
2-4, 1-2-3, 1-3-9, and 1-9-10. However, other
triangles were built from non-reciprocal ties,
including 1-4-5, 1-5-6, and 1-7-1, but these triangles
were also connected with the main sub-graphs of
clique 1. Thus, they were included in clique 1. The
basis of clique formation was the RT. There were
four RTs (RT 03, RT 04, RT 05, RT 07) as the basis
of clique formation.
The clique criteria were not completely
satisfied perfectly. Of the three criteria, only two
criteria were fully satisfied. However, it was
considered as one clique. Node 22 in clique 5 did not
satisfy the second clique criteria because the average
link was only 0.4. However, because it satisfied the
third criteria, it was included in clique 5.
Every opinion leader was linked to the group
leader (node 1). This is clearly shown by the close
relationships among opinion leaders, which tend to
appear as a clique (node 1, 8, 9, 22, 28). It was easier
for the leader to coordinate with other members.
Every program in phase I (the returning of sheep and
the planting of trees) succeeded. In 1995, there was a conflict between leader A and
village apparatus. The resulting group conflict led to a
succession of leadership.
The conflict between Leader A and the village
administrators was due to the plan to move the
location. Leader A, who was not liked by the village
administrators, accused them of seeking a profit from
the land used for housing. The village administrators
realized that if the location of the stalls was moved to
a specific area, the group would receive aid from the
local government. The situation became complicated,
and most of the members supported the plan to move.
Finally, the leader gave up but, he did not want to
continue as the leader because he did not want to be
viewed as a loser, and he nominated his replacement.
However, he retained power in the group, and he
remained active even after the conflict with the
village administrators. He gave his position to the
secretary. This was the beginning of a new phase and
new network structure within the group.
Furthermore, from Table 3 to Table 6 it seen clearly
about total sheep industry which were produced in
group and sheep ownership of cut-points.
IV.2 Communication Network in Phase II
The leader of phase II (leader B) continued
to lead the group after leader A resigned. Leader A
gave his position to leader B (node 9) after the
moving plan conflict. The location was moved to the
land near the Cilutung river bank. Leader B began as
leader after the membersβ approval at the meeting.
In this phase, the friendship between leader
B and the treasurer (node 8) became closer. Leader B
felt that the treasurer had more knowledge on
278
1
23
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1819
20
2122
23
2425
26
27
28
29
30
31
32
33
3435
3637
38
39
40
41
4243
4445
46
47
48
49
50
managing the group. Due to the treasurerβs
experience in group internships and close association
with a government officer, leader B and another
member often requested his suggestions. Through his
mediation, the group accepted aid from the family
planning coordination body (BKKBN).
In this period, the membership increased
from 30 to 50 people. The additional individuals were
invited by the members. Relative and friendship
relations became the choice of consideration. All of
the opinion leader in the group, including leader B,
the secretary, and the treasurer, invited people from
their neighborhood into the group.
Note: : RT 03; : RT 04; : RT 05; : RT 06;
: non-reciprocal tie;
: reciprocal tie
Fig 2. Communication Network in phase II
There were 5 stars in the network: nodes 1,
8, 9, 22, and 28. As shown in figure 2, there were 6
cut-points in the new structure. These cut-points are
the blue nodes (node 14, 11, 13, 37, 27 and 46). They
appeared when the membership increased and were
some of the individuals who invited new members
into the group. For example, node 46 invited node 47
and node 13 invited node 42. All of the bridges in
phase II were node-bridges. As previously stated, the
relative and friend relation became the consideration
by the members of the group. There were several
reasons for this. First, it was easier to coordinate with
them; second, there was a desire to help brothers and
friends achieve a better life; and third, the priority
was a farmer or husbandry.
The increase in the member population
resulted in the increase in the clique member
population. The basis of clique formation remained
the RT. However, due to the new members invited by
the cut-points, the clique member population
increased. However, a shift occurred when two
members of one RT became members of another
clique (nodes 5 and 10 became members of another
clique). This occurred because of their friendship
relationship.
The cliques were the following:
1. Clique 1: 1, 2, 3,4, 6, 7, 9
2. Clique 2: 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 39, 40, 41,
42, 43, 49, 50
3. Clique 3: 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 44, 45,
46, 47, 48
4. Clique 4: 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34, 35, 36, 37, 38, 5, 10
Figure 2 also displays that in-group
communication flowed through the opinion leader.
Nodes 8, 9, 22, and 28 helped leader B coordinate the
group. Node 1 also helped leader B. Although node 1
was not active in the management team, his opinion
was considered by those close to him. Therefore,
their close relationship appears as a clique. However,
a comparison of figure 2 and figure 1 shows that
figure 2 is less stable than figure 1. The chain of
communication became longer due to the increasing
group size.
Communication Network in Phase III
The period of phase II was only two years
(1995 β 1997). After the completion of the project,
the aid from BKKBN, the treasurer offered the group
aid from the livestock office, Majalengka regency
government. Leader B and the members accepted it.
At the same time, leader B suggested to the group that
the treasurer would be a proper leader. Leader B
considered himself as the interim leader from leader
A. The members accepted this change in leadership,
and the treasurer became the phase III leader, or
leader C.
In phase III, the group accepted aid from
livestock office of regency. In this period of aid, the
membership increased from 50 to 69 people. The
recruitment of new members was not as effective as
was previously the case. In phase II, one of the
considerations for recruitment was the position of
farmer or husbandry; however, in phase III, this
position was not necessary to become a member.
The goal covered the number that was requested by
the aid.
To facilitate the distribution and use of aid, the
group divided into four formal subgroups. Each
subgroup had a sub leader that was the opinion leader
in the earlier phase. One sub-leader then became the
group leader. He was the phase III leader (the sub-
leader of subgroup 1). The sub-leader of subgroup 2
was the phase II leader, and the sub-leader of
subgroup 3 was the phase IV leader. The sub-leader
of subgroup 4 never became the group leader. The
leader of phase I was not involved in group
management because he had another side job as
security in the sugar factory.
279
1
2
3
4
5
6
7
89
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
2829
30
3132
33
34
3536
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62 63
64
65
66 67
68
69
Figure 6 shows the communication network
structure within the group. There were 11 cut-points
in the group: points 9, 14, 17, 22, 28, 29, 41, 50, 64,
66, and 67. This is an important position for an
individual because if they were omitted, the network
would be disconnected.
Many free riders are clearly displayed in the
figure, such as nodes 31, 32, 37, and 38. They did
not have a strong intention of being a group member.
Figure 6 also shows the isolated members, node 55
and 65. They did not have a relationship with any of
the other members. They were unskilled and less
motivated members, and none of them owned sheep.
As membership increased, the centrality of
the group dispersed. In addition, an internal conflict
arose and made the condition worse than it had
previously been. At the end of the group phase, it was
difficult to maintain control, and members were
divided into several cliques.
Figure 6 demonstrates that node 9 and 22 had
the most reciprocated relationships with the other
members. They were the leader of subgroups. Node
9 was the leader of phase II, and node 22 was the
leader of phase IV. These nodes became the stars.
Thus, the number of stars decreased from that in the
earlier phase because of the reduced power of the
opinion leader and the increased number of free
riders. These free riders were not active in the group.
Nodes 9 and 22 were also clique-bridges that
connected two cliques, clique 2 and clique 3. This
indicates that they had relationships with members
who were not in their clique. It also implies that they
had a strong influence on the communication flow
within the group. They had the ability to influence the
opinion of their clique members and other clique
members.
Figure 6 also shows that only node 8, the sub
leader, did not act as the bridge. He was the leader C.
The internal conflict began due to a conflict between
the leader of phase I (node 1) and the leader of phase
III (node 8) concerning new member recruitment.
Note: : RT 03 ; : RT 04 ; : RT 05 ; : RT 06
;
: non-reciprocal tie ;
: reciprocal tie
Fig.3. Communication Network in Phase III
after the conflict
The basis of clique formation had shifted. In previous
phases, the basis was RT (phase I) and RT with
expanded members (phase II). In phase III, the basis
was effectiveness of relationships. Friends who were
not from the same RT were involved in the group.
The cliques were the following:
1. Clique 1: 1, 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 24, 26, 27, 35,
36, 28, 25, 5, 37, 30, 31, 32, 38, 29, 34, 33
2. Clique 2: 8, 9, 22, 15, 16, 19, 40, 39
3. Clique 3: 13, 39, 42, 22, 23, 21, 18, 44, 14,
17, 58, 20, 45, 46, 56, 61, 48, 49, 47, 59, 43,
54, 12, 60, 50, 41, 53, 11, 52, 64, 66, 51, 69,
63, 62, 68, 67, 57
The number of cliques was only three,
although there were four formal subgroups in the
beginning of phase III. Clique 3 increased in size
after the conflict between leader A and leader C
began, as the conflict resulted in the deterioration of
the group. The conflict resulted in the decreased
power of both leader C and leader A. Furthermore,
Leader C gradually retreated from the group.
Therefore, the clique of leader C dispersed, and most
of its members joined another clique, making a large
clique whose leader was node 22. This also happened
in another clique. Node 28 (Sub-leader) could not
maintain his clique after the conflict because of the
free riders; therefore, he and his followers joined
another clique, which was led by node 9. The
coordination among the opinion leaders was
happened in clique 2 even the leader C (node 8)
tended to be inactive in the end of phase III.
After the conflict, the collective action
implementation decreased. Practically, the action
was selling the feces and gathering grass from the
river bank or remote locations. Arisan ended, and
group meetings were rarely held. If a group meeting
was held, the meeting leader was node 22, not node
8.
In phase III, the configuration of the
network was the least stable. There were genuine
cliques, which refer to clique theory in the
introduction, and followers who joined the cliques.
These followers were the free riders who became the
inactive members. The example of a genuine clique
is node 9, 7, 3, but they had many followers, thus
constituting clique 1.
280
1
23
5
7
9
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
27
28
29
30
37
41
50
51
53
68
67
58
59
In Table 5, it seen that in total, population of
sheep was continue to decrease. There was a
decreasing of sheep number in high and medium
category, then move to add the population in low
category. Furthermore, the number of inactive
member was upward. The economic crisis actually
reached its peak in this phase when the raise of fuel
has been implemented for the first time, therefore the
member has beaten by the impact of its crisis. Beside
the free riders or inactive members who did not spend
the loan to buy the sheep mother, some of active
members also use part of their money to fulfill their
needs.
IV.4 Communication Network in Phase IV
The leader of phase IV (leader D) was
prepared by leader C to be the next leader. He was
the youngest among the sub-leaders. Leader C felt
that it was the proper time for regeneration in the
group. The other leadership consideration was a
native villager of Cangkring hamlet, so there was no
reason to doubt his intention towards the group.
Leader C was accused of not having good intentions
in managing the group because he was not a native
villager in the hamlet. Leader Cβs proposal of leader
D was supported by the opinion leaders.
Leader D, with another sub-leader, revitalized
the group. All of the active members were re-
gathered. All of the inactive members, including the
free riders, were excluded from the group.
In phase IV, there was no new innovation in
the groupβs collective action. The action continued
from the previous phase, such as planting grass and
selling feces. They accepted aid from the village
government for sheep fattening with the same system
as that in phase I. The project was completed in 2010.
Figure 7 displays that three stars existed in
the network. They were nodes 9, 22, and 28.
Although node 28 experienced a decrease in power in
phase III, he became a star again in phase IV due to
the group revitalization. The free riders were
excluded from the group.
Note: : RT 03 ; : RT 04 ; : RT 05 ; : RT 06
;
: non-reciprocal tie ;
: reciprocal tie
Fig 4. Communication Network in Phase IV
There was one bridge in the network: node
28. He was the clique-bridge that connected clique 3
with cliques 1 and 2. There were three cliques in
phase IV. Clique 1 was the largest, as it continued
from the previous phase. There was also one clique
that became smaller because it spread into two
cliques, that is, the clique with the leader node 9 and
the clique with the leader node 28. The cliques were
the following:
1. Clique 1: 22, 19, 23, 15, 16, 17, 21, 18, 20,
58, 67, 59, 51, 14, 11, 50, 12, 51, 68, 53, 41
2. Clique 2: 1, 2, 3, 7, 9
3. Clique 3: 28, 10, 26, 5, 27, 30, 37, 25, 29
The basis of clique formation was the same
as that in phase III: the effectiveness of relationships.
Clique 2 became smaller than it had previously been.
After the conflict and the group revitalization, the
power of leaders A and B decreased. In contrast, the
power of leader D increased from the end of phase
III. In phase IV, there were also close relationships
among the sub-leaders or opinion leaders, who
created a clique. These nodes were 9, 22 and 28.
Centrality Degree of Network in the Group
The two main explanations of the results are
the communication network pattern and the centrality
degree of the network in each phase because the
group underwent four phases in its lifetime. The
centrality degree is important in describing the
effectiveness of the network chain within the group.
Table 3. Centrality of network
Phase
I
Phase
II
Phase
III
Phase
IV
Centr
ality
Degre
e
34.73 19.13 15.28 32.58
Source: Primary data, 2011
Table 3 shows that the centrality degree
fluctuated in value. In phase I, the centrality degree
value was the highest of all of the phases at 34.73%.
This indicates that there was no absolute power in the
group. There were also some opinion leaders in the
group besides the group leader (leader A); however,
the group leader coordinated with the opinion
leaders.
281
The centrality degree value decreased in
phase II due to the increased number of members
demanded by the aid. However, the appearance of the
cut-points (bridge lines) maintained the
communication flow between the leaders and the
members.
The centrality degree continued to decrease
in phase III, when the membership continued to
increase. It was deteriorated by the conflict between
leader A (leader of phase I) and leader C (leader of
phase III). However, when the research was
conducted, the followers of these leaders decreased
from the earlier phase. Leader C and leader A
reduced their group activity. Thus, the power of
another sub leader controlled the network within the
group.
The reduction of membership to revitalize
the group increased the centrality degree in phase IV.
Although the centrality value was smaller than that in
phase I, it was greater than that in phase II and III,
when the leader controlled the coordination within
the group. Although there was a change in the basis
of clique communication network structure from RT
to friendship or relative (clearly shown by phase I and
phase IV as the climax), the centrality degree was
high due to unity of the group. It was no matter what
of the basis of clique formation.
CONCLUSION
In each phase, the communication network
pattern within the group changed. The pattern
changed from a network without bridges, and then
connected through many bridges, to a network with
only one bridge in the last phase. The existence of
bridges in the communication network within the
group was very important. The nodes that had bridges
were the cut-points. If they did not remain in the
group, the network would have been broken. Some of
the cut-points were the sub-group leaders who later
became the group leader. They were an important key
to delivering the group from phase II to phase III and
phase IV.
The position of the cut-point was also
important to deliver the information from the leader
to the members especially, when the number
increased. As the membership increased, the
centrality in network decreased. The centrality value
decreased from phase I to phase III, and then rose
again in phase IV, when membership was reduced. In
term of sheep ownership, the population of sheep
which owned by the star has experienced the
fluctuation. Peak performance of sheep population
has reached in phase I, then decreased and reached
peak declining in phase III. It was upward again in
phase IV.
There is a reciprocal relationship between
the network and collective action. The network
changed in every phase, especially since phase II
until phase IV. The network often changed to adjust
to the program and make the program easier to
conduct. In contrast, some collective action was
carried out through adjustments in the existing
network. In relation with network basis, the value of
centrality degree was not affected because the main
point of centrality degree is unity, not the basis of the
network.
ACKNOWLEDMENT
Special thanks to Professor Takenori
Matsumoto, Supervising professor, who provided
much support, especially for his kindness and
willingness to intensively discuss the paper. I am also
thankful for the great support from the Directorate
General and Higher Education, Ministry of National
Education of Indonesia, which provided financial aid
for the research.
REFERENCES
Bavelas, A. (1950). Communication patterns in task-
oriented groups. J. Acoustical Soc. America
22, 725-730.
Borgatti, S.P., & Everett, M.G., (2006). A graph-
theoritic perspective on centrality. Social
Networks 28, 466-484.
Freeman, L.C. (2004). The Development of Social
Network Analysis : A Study in the sociology
of Sciences. Vancouver, Canada:Empirical
Press.
Knoke and Yang. (2008). Social Network Analysis :
Second Edition. California: Sage
Publications.
Knox, H., Savage, M., & Pattison, P. (2006). Social
Networks and the study of relations:
Networks as Method, metaphor and form.
Economy and Society, 35, 113-140.
Ognyanova, K., et al. (2010). Team assembly and
scientific collaboration on nanoHub, Sunbelt
XXX: International Sunbelt Social Network
Conference, Riva del Garda, Trento, Italy.
Rogers and Kincaid. (1981). Communication
Network : Toward a New Paradigm for
Research. New York: The Free Press, A
Division of Macmillan Publishing Co., Inc.
Scott, John. (1991). Social Network Analysis : A
handbook, Second Edition. London: Sage
Publications.
Sulaksana, Jaka. (2011). The Process of Motivational
change Process in Farmerβs Groups : A case
Study in West Java Province. Journal of
Applied Sciences. volume 11, number 14,
282
2500-2512, 2011.
Takacs, Karoly., Janky, Bela., Flache, Andreas.
(2008). Collective Action and Network
Change. Social Networks 30 ,177-189.
283
Analisis Keputusan Berkunjung Serta Kepuasan Konsumen Agrowisata
Cilangkap
The Analysis on Decision to Visit and Customer Satisfaction at Cilangkap Agrotourism
Efrizal Saputra1*, Tuti Karyani1, M.Gunardi Judawinata1
1Universitas Padjadjaran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci:
Agrowisata Cilangkap
Keputusan Konsumen
Kepuasan Konsumen
Agrowisata Cilangkap merupakan salah satu agrowisata di Provinsi DKI Jakarta yang
memilki potensi untuk dikembangkan. Munculnya persaingan antar agrowisata di
Jakarta membuat Agrowisata Cilangkap perlu mengetahui keinginan dan kebutuhan
konsumen untuk mempertahankan konsumennya dan penetapan strategi kedepannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi Agrowisata Cilangkap, proses
keputusan berkunjung, dan kepuasan konsumennya. Desain penelitian yang digunakan
adalah desain kuantitatif yang didukung desain kualitatif dengan jumlah responden 70
orang. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, analisis crosstab,
analisis Importance Performance, dan analisis Customer Satisfaction Index. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) Agrowisata Cilangkap menerapkan sistem free
entrance serta memiliki fasilitas kebun bibit dan hidroponik center sebagai daya tarik.
Konsumennya dominan laki-laki, berdomisili di Jakarta dan bekerja sebagai pegawai
swasta (2) Motivasi konsumen berkunjung yaitu rekreasi dan memutuskan berkunjung
ke Agrowisata Cilangkap karena alasan kemudahan mencapai lokasi (3) Konsumen
masuk dalam kategori cukup puas terhadap kualitas pelayanan jasa Agrowisata
Cilangkap.
ABSTRACT
Keywords:
Cilangkap Agrotourism
Consumer Decision
Customer Satisfaction
Cilangkap Agrotourism is one of agrotourisms in Jakarta which has the potential to
be developed. The emergence of competition among agrotourisms in Jakarta makes
Cilangkap Agrotourism need to obtain the knowledge of the desires and needs of
consumers to retain its customers and to determine the future strategy. This research
aims to know the condition of Cilangkap Agrotourism, the decision process to visit,
and customer satisfaction. The design of this research is quantitative design and
supported by qualitative design with 70 respondents. This research uses descriptive
analysis method, crosstab analysis, Importance Performance analysis, and Customer
Satisfaction Index analysis. The results show that (1) Cilangkap Agrotourism applies
free entrance system and has seed farm facility and hydroponic center as the attraction.
The visitors are mainly male, having the domicile in Jakarta and working as private
employees (2) Consumers visit motivation is for leisure and the reason to visit because
of easy access to the location (3) Visitors are categorized into fairly satisfactory with
the service quality of Cilangkap Agrotourism
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
284
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara agraris dimana
sektor pertanian merupakan salah satu sumber
penting perekonomian nasional. Indonesia sebagai
negara agraris juga dapat dilihat dari sebaran tenaga
kerja nya yang mengandalkan sektor pertanian
sebagai mata pencahariannya. Menurut data Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja di
sektor pertanian pada tahun 2013 mencapai 35,16%.
Selain sektor pertanian, kekayaan alam yang
melimpah serta beragam jenis budaya di Indonesia
menjadikan negara ini memiliki potensi besar untuk
mengembangkan sektor pariwisata. Peluang
pengembangan sektor pariwisata juga dapat dilihat
dari minat wisatawan domestik maupun wisatawan
mancanegara yang mengunjungi objek-objek wisata
di Indonesia. Data kunjungan wisatawan domestik
dan wisatawan mancanegara yang mengunjungi
Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Indonesia Pada Tahun 2011-2013
Jenis Wisatawan Data Kunjungan (orang)
2011 2012 2013
Domestik 236.752.000 245.290.000 250.036.000
Mancanegara 7.649.731 8.044.462 8.802.129
Sumber: Pusdatin Kemenparekraf dan BPS (2014)
Setiap daerah di Indonesia memiliki potensi
dan keunggulan pariwisata nya masing-masing
termasuk Provinsi DKI Jakarta. Jakarta yang
merupakan ibukota negara Republik Indonesia
sekaligus kota metropolitan yang luas dan besar
dengan populasi penduduknya yang ramai dan cukup
padat.
Seiring dengan perkembangan zaman,
pengetahuan dan pola pikir wisatawan semakin
berkembang serta bergerak secara dinamis.
Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya lingkungan alam menjadikan preferensi
serta motivasi wisatawan juga berkembang.
Maraknya slogan-slogan seperti back to nature
ataupun go green saat ini telah mengubah
kecenderungan dan motivasi wisatawan dengan
menikmati obyek-obyek wisata bernuansa alam
dengan keindahan pemandangan alamnya, udaranya
yang sejuk serta berkaitan dengan pertanian modern.
Preferensi tersebut merupakan signal terhadap
meningkatnya permintaan akan wisata agro atau
agrowisata dan menjadikan obyek wisata jenis ini
menjadi trend di masyarakat.
Agrowisata di Jakarta juga dapat berperan
sebagai ruang terbuka hijau dan daerah resapan air
yang harus dipertahankan dan dikembangkan. Dinas
Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta mencatat,
selama kurun waktu 2001 hingga 2012, luas ruang
terbuka hijau (RTH) di Ibu Kota hanya 2.718,33 ha.
Angka ini sama saja dengan 10% dari total luas DKI
Jakarta, yaitu 66.233 ha. Padahal Undang-Undang
No. 26 Tahun 2007 mensyaratkan bahwa sebuah kota
harus memiliki RTH minimal sebesar 30% dari total
luas kota secara keseluruhan .
Keterbatasan lahan hijau di Jakarta
menjadikan kota ini menerapkan konsep pertanian
kota atau urban farming yang memanfaatkan lahan
hijau yang tersedia untuk dijadikan areal pertanaman
pertanian. Hal utama yang menyebabkan munculnya
aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi
pada ketahanan pangan, menambah penghasilan
masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan
hobi (Enciety, 2011). Kepadatan penduduk yang
tinggi di Kota Jakarta dengan segudang kegiatannya
menimbulkan kebutuhan akan ruang hijau atau
kawasan pertanian sebagai tujuan wisata untuk
melepas penat. Agrowisata di Jakarta dapat dijadikan
usaha diversifikasi dari konsep pertanian kota yang
nantinya akan dinikmati penduduk Jakarta.
Melihat peluang tersebut Dinas Kelautan
Pertanian dan Ketahanan PanganProvinsi DKI
Jakarta sebagai instansi pertanian menawarkan kebun
pertaniannya yang disulap menjadi wisata agro yaitu
Agrowisata Cilangkap sebagai alternatif pilihan
agrowisata di Jakarta. Agrowisata ini berlokasi di
Jalan Raya Cilangkap No. 45 Kelurahan Cilangkap,
Jakarta Timur.
Perkembangan agrowisata di daerah Jakarta
dan sekitarnya menimbulkan persaingan yang ketat
diantara sesama pengusaha agrowisata. Terdapat
beberapa agrowisata di Jakarta seperti Taman
Anggrek Indonesia Permai dan Taman Anggrek
Ragunan dengan keunggulan produk dan fasilitasnya
masing-masing. Melihat posisi Agrowisata
Cilangkap yang masih berkembang ini, nampaknya
konsumen belum menjadi suatu hal yang penting
untuk diperhatikan bagi Agrowisata Cilangkap.
Padahal konsumen merupakan unsur penting dalam
usaha wisata termasuk agrowisata. Perilaku
konsumen dalam berkunjung dapat dijadikan bahan
evaluasi dan strategi pengembangan suatu agrowisata
ke depannya.
Dengan harapan adanya peningkatan
pengunjung, meningkatkan daya tarik pengunjung
untuk menikmati fungsi edukasi, Agrowisata
Cilangkap perlu memahami proses keputusan
konsumen berkunjung baik dilihat dari proses
pengambilan keputusan saat akan berkunjung dan
kepuasan konsumen setelah berkunjung yang dapat
mendorong konsumen untuk melakukan kunjungan
ulang. Dalam upaya mempertahankan dan terus
menarik perhatian konsumen, pihak Agrowisata
Cilangkap dapat mencari tahu apa yang diinginkan
dan apa yang dibutuhkan konsumen sehingga jumlah
konsumen dapat terus meningkat dan memiliki daya
285
saing jangka panjang untuk usaha agrowisata.
KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP
Agrowisata Cilangkap merupakan salah satu
agrowisata di Provinsi DKI Jakarta yang
menawarkan kebun pembibitan dan hidroponiknya
kepada konsumen. Sebagai agrowisata yang masih
dan terus berkembang, Agrowisata Cilangkap
memiliki berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada
konsumen.
Untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan
konsumen, maka perlu dilakukan survey konsumen.
Melalui survey konsumen, maka pihak Agrowisata
Cilangkap dapat mengetahui bagaimana keputusan
konsumen berkunjung ke Agrowisata Cilangkap dan
bagaimana kepuasan konsumen terhadap kualitas
pelayanan yang diberikan oleh Agrowisata
Cilangkap.
Proses keputusan konsumen berkunjung ke
Agrowisata Cilangkap dianalisis menggunakan
analisis deskriptif. Ada lima tahapan yang akan
dianalisis yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian
informasi, evaluasi alternatif, keputusan berkunjung,
dan evaluasi pasca berkunjung. Dalam pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor
perbedaan individu, dan faktor psikologis.
Kepuasan konsumen terhadap kualitas
pelayanan Agrowisata Cilangkap dianalisis
menggunakan Analisis Importance dan Performance
serta Analisis Customer Satisfaction Index. Analisis
IPA membandingkan antara nilai harapan konsumen
dan nilai kinerja dari Agrowisata Cilangkap. Analisis
CSI untuk pengukuran indeks kepuasan konsumen.
Atribut yang akan dinilai merupakan kualitas
pelayanan yang terdiri dari dimensi bukti fisik
(tangible), dimensi keandalan (reliability), dimensi
daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance),
dan empati (emphaty).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Agrowisata
Cilangkap yang terletak di Jalan Raya Cilangkap No.
45 Kelurahan Cilangkap, Jakarta Timur.Desain
penelitian ini menggunakan desain penelitian
kuantitatif dan desain kualitatif dengan metode
survey. Dalam mengambil responden, penelitian ini
menggunakan pendekatan probability sampling di
mana teknik ini memberi peluang yang sama bagi
setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi
anggota sample. Teknik sampling yang dipilih adalah
systematic sampling dimana pengambilan sampel
berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah
diberi nomor urut (Sugiyono, 2012). Banyak
responden dalam penelitian ini yaitu 70 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan alat bantu kuesioner yang berisi
pertanyaan yang terdiri dari variabel-variabel yang
berkaitan dengan penelitian serta dengan
mengobservasi dan melakukan wawancara.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif, crosstab, Importance Performance
Analysis serta analisis Customer Satisfaction Index.
1) Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi Agrowisata Cilangkap,
karakteristik pengunjung, dan keputusan konsumen
berkunjung ke Agrowisata Cilangkap. Analisis
Deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran
secara sistematis, aktual, dan akurat mengenai fakta-
fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang
diselediki.
2) Analisis Crosstab
Analisis Crosstab merupakan ringkasan data
dua variabel dalam satu tabel. Tabulasi silang mampu
menjelaskan keterkaitan antar variabel. Variabel
yang dianalisis menggunakan tabulasi silang ada
antara variabel karakteristik responden dengan
variabel keputusan konsumen.
3) Importance Performance Analysis (IPA)
Analisis IPA dapat digunakan untuk
membandingkan antara nilai harapan konsumen
terhadap kinerja suatu produk/jasa. Dalam kerangka
analisis tingkat kepentingan dan kinerja, ada
beberapa analisis yang dapat digunakan yaitu analisis
tingkat kesesuaian dan analisis kuadran.
4) Customer Satisfaction Index (CSI)
Analisis CSI digunakan untuk melihat tingkat
kepuasan konsumen secara menyeluruh. Pengukuran
terhadap indeks kepuasan pelanggan diperlukan
karena dapat digunakan sebagai acuan untuk
menentukan sasaran-sasaran di tahun-tahun
mendatang. Cara menghitung indeks kepuasan
pelanggan adalah: Cara menghitung indeks kepuasan
pelanggan adalah: 1) Menghitung weighted factor
yaitu mengubah nilai rata-rata tingkat kepentingan
menjadi angka persen, sehingga didapatkan total
weighting factor 100%; 2) Menghitung weighting
score, yaitu nilai perkalian antara nilai rata-rata
tingkat kinerja dengan weighting factor; 3)
Menghitung weighted total, yaitu menjumlahkan
weighted score dari semua atribut; 4) Menghitung
satisfaction index, yaitu weighted total dibagi skala
maksimal yang digunakan (dalam penelitian ini skala
maksimum yang digunakan adalah 5) kemudian
dikali 100%.
Adapun indikator untuk mengukur kriteria
kepuasan konsumen adalah sebagai berikut:
286
Tabel 2. Kriteria Indeks Kepuasan Konsumen
Nilai CSI Kriteria CSI
0,81 β 1,00 Sangat Puas
0,66 β 0,80 Puas
0,51 β 0,65 Cukup Puas
0,35 β 0,50 Kurang Puas
0,00 β 0,34 Tidak Puas Sumber: Sukardi dan Cholidis (2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Gambaran Umum Tempat Penelitian
a. Sejarah dan Perkembangan
Pada tahun 1983-1984 kawasan Agrowisata
Cilangkap merupakan tempat pembuangan sampah
(TPS) di daerah Cilangkap. Setelah tahun 1984
sampai tahun 2000 kawasan tersebut dilimpahkan
kepada pemerintah (dinas pertanian) menjadi lahan
pertanian (persawahan) yang merupakan salah satu
kawasan central padi di Jakarta.
Pada tahun 2000 tanaman padi dipindahkan
semua ke kebun daerah Jakarta Utara dan di kebun
Cilangkap mulai dibudidayakan bibit buah dan
sayuran. Pada tahun 2001 kawasan tersebut dijadikan
agrowisata dengan penambahan fasilitas penunjang
dan danau buatan. Agrowisata Cilangkap dikelola
oleh UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi
Tanaman dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan
Ketahanan Pangan.Pada tahun 2007 Agrowisata
Cilangkap membangun kawasan Hidroponik Center
Cilangkap dengan fasilitas greenhouse.
b. Keberadaan
Agrowisata Cilangkap berada di Jalan Raya
Cilangkap No.45, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan
Cipayung, Kotamadya Jakarta Timur, Provinsi DKI
Jakarta. Agrowisata Cilangkap memiliki luas lahan
secara keseluruhan Β± 19,5 hektar.
Lokasi Agrowisata Cilangkap berada Β± 1,6 km
dari Markas Besar TNI dan Β± 7 km dari Bumi
Perkemahan Cibubur (Jambore). Agrowisata
Cilangkap juga berada Β± 6,4 km dengan jalan tol
lingkar luar Jakarta dan Taman Mini Indonesia Indah.
Kawasan ini mudah dijangkau karena terletak di
pinggir Jalan Raya Cilangkap dan dilalui oleh
kendaraan umum.pada bagian ini bisa juga
menggunakan nama lain yang relevan dengan topik
tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan
pembahasan serta interpretasi terhadap data.
Umumnya memuat hasil penelitian berupa temuan
dan hasil analisis dalam berbagai bentuk dan
berhubungan dengan masalah. Pembahasan berisi
hasil penelitian/hasil pemikiran berdasarkan
kerangka yang digunakan.
Guna mendukung analisa dan tampilan hasil,
maka diperkenankan menggunakan gambar ataupun
tabel dengan ketentuan sebagai berikut.
Gambar 1. Denah Lokasi Agrowisata Cilangkap
2) Deskripsi Kondisi Agrowisata Cilangkap
a. Gambaran kondisi
Agrowisata Cilangkap memiliki daya tarik
wisata kebun hidroponik dimana terdapat tanaman
kangkung, bayam hijau, dan bayam merah yang
dibudidayakan tanpa media tanah atau menggunakan
media air di dalam greenhouse dan juga danau buatan
yang cukup luas dan dikelilingi jogging track.
Agrowisata Cilangkap juga memiliki daya tarik
aktivitas pertaniannya yaitu sistem hidroponik
maupun pembibitan tanaman sebagai wisata edukasi
pertanian.
Agrowisata Cilangkap yang terletak dipinggir
Jalan Raya Cilangkap dapat dengan mudah diakses
pengunjung baik dengan kendaraan pribadi maupun
kendaraan umum (Angkot KWK T02 dan KWK
T14). Agrowisata Cilangkap memiliki berbagai
fasilitas untuk pengunjungnya seperti kantor
pengelola, kebun bibit, rumah tanaman, RM Agro,
danau buatan, playground, gazebo, mushola,
hidroponik center, greenhouse, dan packing house.
Gambar 2. Denah Fasilitas Agrowisata
Cilangkap
Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT
Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman
dan berada dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan
Ketahanan Pangan. Bapak Amit sebagai PJ Kebun
Bibit memiliki 12 staff yang terdiri dari 6 PHL, 4
security, dan 2 cleaning service. Sedangkan Bapak
287
Sidik sebagai PJ Kebun Hidroponik memiliki 10 staff
yang terdiri dari 7 PHL, 2 security, dan 1 cleaning
service.
b. Gambaran Bauran Pemasaran
Produk berupa barang meliputi berbagai
tanaman buah, tanaman hias, maupun tanaman
pelindung yang ada di kebun bibit serta tanaman
sayuran buah dan sayuran daun yang ada di kebun
hidroponik. Tanaman yang paling yaitu komoditas
buah mangga dan rambutan yang merupakan
tanaman produktif dan memiliki nilai ekonomi cukup
tinggi. Produk berupa jasa meliputi atraksi edukasi
pertanian dimana pengunjung dapat berkeliling
kebun serta kunjungan lapangan untuk belajar sistem
hidroponik.
Gambar 3. Hidroponik Center Agrowisata Cilangkap
Agrowisata Cilangkap belum mengenakan
harga tiket masuk atau free entrance karena belum
adanya Perda Distribusi untuk pengunjung. Untuk
segmentasi, Agrowisata Cilangkap membidik semua
kalangan dengan berasaskan pada pelayanan dan
penyuluhan kepada masyarakat. Agrowisata
Cilangkap juga melakukan penetapan harga bibit
tanaman Rp 15.000,- (tinggi tanaman 50 cm) dan Rp
20.000,- (tinggi tanaman 100 cm).
Agrowisata Cilangkap sebagai sebuah objek
agrowisata berada di lokasi yang cukup strategis
dimana berada cukup dekat dengan Mabes TNI dan
Perkemahan Bumi Cibubur serta Taman Mini
Indonesia Indah dan juga jalan tol lingkar luar Jakarta
sehingga memberikan keuntungan tersendiri untuk
usaha promosi yang dijalankan.
Agrowisata Cilangkap melakukan kegiatan
promosi secara langsung melalui beberapa event
yang dihadiri dan promosi tidak langsung melalui
internet, artikel, dan brosur yang ada di perpustakaan
BBI (Balai Benih Induk) Jakarta.
3) Karakteristik Konsumen Agrowisata Cilangkap
Karakteristik konsumen Agrowisata
Cilangkap dominan berjenis kelamin laki-laki,
berusia 19-29 tahun, sudah menikah, berdomisili di
Jakarta, memiliki pendidikan terakhir sarjana,
bekerja sebagai pegawai swasta, dan memiliki
penghasilan Rp 2.500.001 β Rp 5.000.000. Data
karakteristik konsumen seara umum dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Konsumen
Identitas n Presentase
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
43
27
61%
39%
Usia
19-29
30-40
41-51 52-62
32
26
11 1
46%
37%
16% 1%
Pernikahan Menikah
Belum
47
23
67%
33%
Domisili
Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah Jawa Timur
64
4
1 1
92%
6%
1% 1%
Pendidikan SD
SMP
SMA
Diploma Sarjana
Pasca Sarjana
1
2
25
10 30
2
1%
3%
36%
14% 43%
3%
Pekerjaan
PNS
TNI/POLRI
Dosen/Guru
Pegawai Swasta
Wiraswasta
Pelajar/Mahasiswa
Lainnya
6
1
5
22
9
12
15
9%
1%
7%
32%
13%
17%
21%
Penghasilan (Rp)
0 1-2.500.00
2.500.001-5.000.000
5.000.001-7.500.000
7.500.001-10.000.000 > 10.000.000
23 9
26
3
8 1
33% 13%
37%
4%
12% 1%
4) Analisis Keputusan Konsumen Berkunjung ke
Agrowisata Cilangkap
Proses keputusan berkunjung dimulai dari
tahap pengenalan kebutuhan dengan motivasi yaitu
rekreasi, mencari manfaat refreshing. Tahap
pencarian informasi melalui teman/pasangan dengan
fokus berupa kemudahan mencapai lokasi. Tahap
evaluasi alternatif dengan atribut yang
dipertimbangkan yaitu lokasi dan Agrowisata
Cilangkap menjadi prioritas. Tahap keputusan
dengan alasan kemudahan mencapai lokasi, cara
memutuskan terencana dari rumah, dipengaruhi diri
sendiri, menggunakan motor, berkunjung bersama
keluarga, berkunjung saat waktu luang, dan frekuensi
kunjungan sudah yang keempat/lebih. Tahap evaluasi
pasca berkunjung dengan pengunjung merasa puas,
niat melakukan kunjungan ulang, harga tidak
mempengaruhi kunjungan, dan fasilitas yang
diharapkan kedepannya yaitu toilet.Proses keputusan
288
konsumen berkunjung dapat dilihat secara lengkap
pada Tabel 4. Tabel 4. Proses Keputusan Konsumen
Tahap Jawaban
1. Pengenalan Kebutuhan
Motivasi berkunjung Manfaat yang dicari
Keterlibatan perasaan
Rekreasi Refreshing
Biasa saja
2. Pencarian Informasi
Sumber informasi
Fokus perhatian informasi
Teman/pasangan
Kemudahan mencapai
lokasi
3. Evaluasi Alternatif
Atribut yang dipertimbangkan
Prioritas Agrowisata
Cilangkap
Lokasi
Ya
4. Keputusan Berkunjung
Alasan berkunjung
Cara memutuskan berkunjung
Yang mempengaruhi
berkunjung
Alat transportasi Teman berkunjung
Ketersediaan waktu
Frekuensi berkunjung
Kemudahan mencapai
lokasi Terencana
Diri sendiri
Motor
Keluarga
Saat waktu luang
Empat kali atau lebih
5. Evaluasi Pasca Berkunjung
Kepuasan konsumen
Niat melakukan kunjungan
ulang
Pengaruh kenaikan harga
Fasilitas yang diharapkan
Puas
Ya
Tidak Toilet
5) Analisis Kepuasan Konsumen Agrowisata
Cilangkap
a. Tingkat Kesuaian
Tingkat kesesuaian yang paling tinggi yaitu
atribut keindahan panorama. Konsumen yang merasa
puas menilai bahwa view dari pemandangan di
Agrowisata Cilangkap memanjakan mata seperti
banyaknya pepohonan dan beragam tanaman seperti
pohon mangga, rambutan, dan durian serta danau
buatan yang dikelilingi jogging track. Selain itu
dengan adanya tanaman kangkung dan bayam
hidroponik menambah keindahan alam di
Agrowisata Cilangkap.
Tingkat kesesuaian yang paling rendah yaitu
atribut keahlian pegawai. Konsumen mengharapkan
adanya pegawai khusus guide yang memiliki
kehalian dibidangnya karena Agrowisata Cilangkap
belum memiliki pegawai khusus guide sehingga
setiap pegawai memiliki tugas juga sebagai guide
untuk pengunjung. Nilai tingkat kesesuaian secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Analisis Tingkat Kesesuaian
No Atribut Tingkat Kesesuaian
(TKi)
1 Kelengkapan Fasilitas 79%
2 Kenyamanan Tempat 84%
3 Keindahan Panorama 92%
4 Perhatian Pegawai 79%
5 Kecepatan Pegawai 78%
6 Kesiapan dan Kesediaan Pegawai
79%
7 Keahlian Pegawai 74%
8 Keramahan Pegawai 87%
9 Pegawai Memahami
Kebutuhan dan Harapan
Pengunjung
76%
b. Analisis Kuadran
Atribut yang terletak di kuadran II
merupakan kekuatan perusahaan yaitu atribut
kelengkapan fasilitas, kenyamanan tempat, keindahan
panorama, dan keramahan pegawai. Atribut tersebut
dianggap penting bagi konsumen dan kinerja nya
sudah memuaskan. Atribut tersebut harus
dipertahankan kinerjanya oleh Agrowisata Cilangkap.
Atribut yang terletak di kuadran III
merupakan prioritas rendah perusahaan yaitu
perhatian, kecepatan, kesiap-sediaan, keahlian, dan
empati pegawai. Atribut tersebut dianggap kurang
penting pengaruhnya bagi konsumen dan pada
kenyataannya pelaksanaan atribut tersebut juga biasa
saja dan belum memenuhi harapan konsumen. Atribut
tersebut harus ditingkatkan kinerjanya. Analisis
kuadran kualitas pelayanan jasa Agrowisata
Cilangkap dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Analisis Kuadran Atribut Kualitas Pelayanan
Jasa Agrowisata Cilangkap
c. Analisis CSI
Hasil dari perhitungan Customer Satisfaction
Index dapar dilihat pada Tabel 6.
289
Tabel 6. Hasil Perhitungan Customer Satisfaction Index
No Atribut Rata-rata Skor
Kepentingan
Weighting
Factor
Rata-rata Skor
Kinerja
Weighted
Score
1 Kelengkapan Fasilitas 3,68 0,12 2,9 0,35
2 Kenyamanan Tempat 3,51 0,11 2,96 0,32
3 Keindahan Panorama 3,44 0,11 3,17 0,35
4 Perhatian Pegawai 3,18 0,1 2,52 0,25
5 Kecepatan Pegawai 3,28 0,11 2,55 0,28
6 Kesiapan dan
Kesediaan Pegawai
3,38 0,11
2,67 0,29
7 Keahlian Pegawai 3,41 0,11 2,51 0,28
8 Keramahan Pegawai 3,6 0,12 3,14 0,38
9 Empati Pegawai 3,3 0,11 2,51 0,28
Jumlah Total 30,78 1,00 24,93 2,78
πΆππΌ = Total Weighted Score
Maximum Scale x 100%
πΆππΌ = 2,78
5 x 100%
πΆππΌ = 55,6%
Hasil perhitungan menunjukkan nilai CSI
sebesar 0,556 atau 55,6%. Nilai tersebut berada
diantara nilai 0,51-0,65 yang berarti masuk dalam
kategori cukup puas. Secara umum konsumen sudah
mencapai tingkatan cukup puas terhadap atribut
kualitas pelayanan Agrowisata Cilangkap.
Agrowisata Cilangkap harus dapat meningkatkan
kinerjanya agar konsumen dapat merasa puas bahkan
sangat puas dimasa yang akan datang. Jika
dihubungkan dengan hasil analisis IPA, nilai CSI
yang masih dibawah kategori puas dapat disebabkan
oleh atribut yang berada pada kuadran III yaitu
perhatian pegawai, kecepatan pegawai, kesiap-
sediaan pegawai, keahlian pegawai, dan empati
pegawai. Atribut tersebut harus ditingkatkan
kinerjanya agar bisa menjadi prioritas seperti atribut
yang ada di kuadran II. Untuk atribut yang ada di
kuadran II meliputi kelengkapan fasilitas,
kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan
keramahan pegawai harus dipertahankan kinerjanya.
Jika dihubungkan dengan keputusan
berkunjungnya, nilai CSI yang masih berada dibawah
kategori puas juga dapat dijelaskan karena adanya
perbedaan motivasi konsumen saat berkunjung.
Konsumen yang memiliki motivasi rekreasi
menyatakan Agrowisata Cilangkap sudah memenuhi
kebutuhan mereka dengan adanya berbagai fasilitas
yang ditawarkan dan harga yang terjangkau. Jika
dilihat dari motivasi konsumen yang ingin mencari
pengetahuan Agrowisata Cilangkap belum
sepenuhnya dapat menjawab kebutuhan dan
keinginan mereka. Hal tersebut dikarenakan
Agrowisata Cilangkap masih belum mengoptimalkan
fasilitas edukasi pertaniannya. Hal tersebut juga
didukung dari beberapa pernyataan konsumen yang
mengharapkan adanya penambahan fasilitas edukasi
pertanian seperti taman edukasi yang dapat dijadikan
tempat praktek langsung konsumen untuk menanam,
memelihara, dan memanen hasil pertanian.
PENUTUP
Bagian Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Agrowisata Cilangkap dikelola oleh UPT Pusat
Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman
dibawah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan
Pangan. Agrowisata Cilangkap menerapkan sistem
free entrance serta memiliki fasilitas kebun bibit dan
hidroponik center sebagai daya tarik. Agrowisata
Cilangkap terletak diposisi yang cukup strategis dan
dilewati kendaraan umum. Konsumen Agrowisata
Cilangkap dominan laki-laki, berdomisili di Jakarta
dan bekerja sebagai pegawai swasta.
2. Motivasi konsumen berkunjung yaitu rekreasi dan
memutuskan berkunjung ke Agrowisata Cilangkap
karena alasan kemudahan mencapai lokasi.
Konsumen berkunjung bersama keluarganya
menggunakan kendaraan motor yang sudah
direncanakan dari rumah. Konsumen akan
melakukan kunjungan ulang dan tidak terpengaruh
kenaikan harga di masa yang akan datang. Fasilitas
yang paling diharapkan konsumen yaitu toilet.
3. Konsumen masuk dalam kategori cukup puas
terhadap kualitas pelayanan jasa Agrowisata
Cilangkap dengan atribut yang paling sesuai yaitu
keindahan panorama dan atribut yang paling tidak
sesuai yaitu keahlian pegawai. Agrowisata Cilangkap
290
memiliki kekuatan di atribut kelengkapan fasilitas,
kenyamanan tempat, keindahan panorama, dan
keramahan pegawai. Selain itu Agrowisata
Cilangkap memiliki prioritas rendah di atribut
perhatian pegawai, kecepatan pegawai, kesiap-
sediaan pegawai, keahlian pegawai, dan empati
pegawai. ini berisi Kesimpulan dan Saran atau
Rekomendasi berkaitan dengan tujuan tulisan yang
dikemukakan pada bagian pendahuluan. Pada bagian
akhir penutup bisa ditambahkan Implikasi Kebijakan
atau konsekuensi yang ditimbulkan dari penerapan
atas kesimpulan dan saran yang dituliskan.
Adapun saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan sebagai berikut:
1. Pengelola Agrowisata Cilangkap sebaiknya
melakukan perbaikan dan perawatan fasilitas toilet
seperti meningkatkan frekuensi pembersihan agar
pengunjung lebih nyaman.
2. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan dan
mengoptimalkan fungsi edukasi pertanian, sebaiknya
pengelola Agrowisata menambah atraksi wisata
pertanian seperti taman edukasi pertanian dimana
konsumen dapat melakukan kegiatan bertani
(menanam, menyiram, dan panen).
3. Pengelola Agrowisata Cilangkap sebaiknya
mengadakan event rutin yang dapat dijadikan ciri
khas seperti event terkait pengenalan sistem
hidroponik dengan harapan dapat diterapkan
masyarakat. Event tersebut nantinya juga dapat
dijadikan ajang promosi.
4. Agrowisata Cilangkap sebaiknya memiliki
pegawai khusus guide untuk pengunjung sehingga
tidak ada pegawai yang double jobdesc. Untuk
memenuhi harapan pengunjung sebaiknya pegawai
lebih interaktif dan care dengan pengunjung.
DAFTAR PUSTAKA
Asdhiana, I Made. 2014. PAD Pariwisata DKI
Jakarta Meningkat. http://travel.kompas.com
(Diakses pada tanggal 14 Januari 2015).
Badan Pusat Statistik. 2014. Nilai PDB Menurut
Lapangan Usaha Tahun 2011-2013.
http://www.bps.go.id (Diakses pada tanggal 14
Januari 2015).
Budi. 2013. Promosi Enjoy Jakarta Gandeng
Bloggers Singapura. http://www.jakarta.go.id
(Diakses pada tanggal 14 Januari 2015).
Chatzigeorgiou, Chryssoula; Evangelos Christou;
Panagiotis Kassianidis; dan Marianna Sigala.
2009. βExamining The Relationship Between
Emotions, Customer Satisfaction and Future
Behavioural Intentions in Agrotourismβ. An
International Multidisciplinary Journal Of
Tourism. Vol 4, p. 145-161.
Diana, Marin; Petroman I; Popescu M; Petroman
Cornelia; Josim Iasmina; Ciolac Ramina;
Dumitrescu Carmen dan Lozici Ana. 2013.
βFactors That Influence Consumer Of Rural and
Farm Tourism Behaviorβ. LucrΔri ΕtiinΕ£ifice.
Vol. 4, p. 81-85.
Dr. Graham A. Miller. 2012. βConsumerism in
Sustainable Tourism : A Survey of UK
Consumersβ.
Gulid, Nak; Aurathai Lertwannawit dan Rattana
Saengchan. 2010. βTourist Consumer Behaviour
and Destination Positioning for Chainat
Provinceβ. EABR & ETLC Conference
Proceedings. p. 1-9.
Hanspari, Christ. 2013. Analisis Prioritas Strategi
Bauran Pemasaran Pada Agrowisata Cilangkap.
Skripsi. Jatinangor : Fakultas Pertanian.
Universitas Padjadjaran.
Harikusmawan, Gusti Bagus Darma dan Kastawan
Mandala. 2014. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Keputusan Wisatawan
Menginap di Villa Akasha Beach Estate
Kerobokan Badung. p. 1182-1196.
Hartawan, Tony. 2013. Ruang Terbuka Hijau 10
Persen Dari Luas Jakarta. http://www.tempo.co
(Diakses pada tanggal 6 Maret 2015).
Hawkins, Del I dan David L. Mothersbaugh. 2013.
Consumer Behaviour Building Marketing
Strategy. USA : The McGraw-Hill Companies.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2014.
Statistik Wisatawan Mancanegara dan
Nusantara. http://www.parekraf.go.id (Diakses
pada tanggal 14 Januari 2015).
Kotler, P. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta :
Prenhallindo.
Lita, Ratni Prima. 2010. Pengaruh Implementasi
Bauran Pemasaran Jasa Terhadap Proses
Keputusan Wisatawan Mengunjungi Objek
Wisata Di Kota Padang. Jurnal Manajemen. Vol
2 No. 2, p. 91-99.
Malkanthi, S.H. Pushpa dan Jayant K. Routray. 2012.
βVisitor Satisfaction in Agritourim and Its
Implications for Agritourism Farmers in Sri
Lankaβ. International Journal of Agricultural
Management. Vol 2, p. 17-30.
Masang, Luther. 2006. Strategi Pengembangan
Agrowisata Obat Tradisional Taman Sringanis,
291
Bogor. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Mowen, John C dan Michael Minor. 2002. Perilaku
Konsumen Jilid 2. Jakarta : PT. Erlangga.
Nugroho, Ardi. 2008. Analisis Proses Keputusan
Konsumen Berkunjung ke Agrowisata Stroberi
di Saung Sari. Skripsi. Jatinangor : Fakultas
Pertanian. Universitas Padjadjaran.
Prambodo, Rickky. 2007. Analisis Penilaian Kualitas
Pelayanan Untuk Mengukur Tingkat Kepuasan
Konsumen Pada Kusuma Agro Wisata Batu
Malang. Skripsi. Jawa Timur : Fakultas
Ekonomi. Universitas Jember.
Rusidi et.al. 2006. Buku Panduan Skripsi
(Bimbingan, Penyusunan, dan Penulisan,
Seminar, Kolokium, serta Ujian Komprehensif).
Cetakan I. Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Pertanian Universitas Padjadjaran.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA.
Sukardi dan C. Chandrawatisma. 2006. Analisis
Tingkat Kepuasan terhadap Produk Corned
Pronas Produksi PT CIP, Denpasar-Bali. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian 18(2):106-107.
Sulistyawati, Eka ; Titiek Multifiah dan Armanu
Thoyib. 2010. Analisis Perilaku Keputusan
Konsumen Dalam Pembelian Produk Patung
Kayu Pada Toko Kerajinan (Art Shop)
Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali.
WACANA. Vol 13 No. 1, p. 84-99 .
Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran.
Yogyakarta : ANDI.
Utama, I Gusti Bagus Rai. 2012. Agrowisata Sebagai
Pariwisata Alternatif Indonesia. DenpasarDaftar
Pustaka (bibliography) dan Kutipan (citation)
berdasarkan gaya Harvard Format APA
(American Psychological Association) Format
penulisan dilihat pada: Panduan Penulisan
Daftar Pustaka APA Citation Style (dapat
diunduh pada www.sosek.agribusiness-
unpad.org).
292
293
Upaya Peningkatan Kinerja Sistem Logistik Komoditas Sayuran di Kelompok
Tani Katata, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan
Improving Logistics System Performance of Vegetables in Katata Farmers Group,
Margamekar Village, Pangalengan District
Tika Dewi Lenggana1, Tomy Perdana1,
1Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor,
Sumedang
A B S T R A K
Kata Kunci:
sistem logistik
kehilangan hasil
logistik pertanian
system thinking
diagram sebab akibat
Sistem logistik untuk produk pertanian memiliki fungsi pengelolaan pascapanen.
Penanganan pascapanen yang buruk dapat menyebabkan kehilangan hasil. Tujuan dari
sistem logistik sendiri adalah menyampaikan produk ke tangan konsumen pada waktu
yang tepat dengan kualitas dan kuantitas yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur kehilangan hasil yang terjadi selama aktivitas logistik dan menganalisis
hubungan kausalitas sistem logistik di Kelompok Tani Katata. Kelompok Tani Katata
merupakan kelompok tani yang memasarkan produknya ke pasar terstruktur dengan
tiga komoditas unggulan yaitu tomat, wortel baby dan kentang. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan system thinking yang digambarkan dalam diagram sebab
akibat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kehilangan hasil berupa
penyusutan di Kelompok Tani Katata maksimal mencapai 2,5%, sedangkan tingkat
reject produk berada di kisaran 25%-40% untuk komoditas wortel baby dan 5% untuk
komoditas tomat. Berdasarkan analisis system thinking, beberapa hal yang
menyebabkan kehilangan hasil selama aktivitas logistik adalah pengemasan yang
kurang tepat, lamanya produk terpapar suhu tinggi, dan kurangnya ketelitian pada
proses sortasi.
ABSTRACT
Keywords:
logistics system
post-harvest losses
agricultural logistics
system thinking
causal loop diagram
Logistic system has the function in terms of post-harvest management of agricultural
products. Bad post-harvest handling would lead to the post-harvest losses. Logistic
systemβs goal is delivering products into the hands of the consumers at the right time
with the optimal quality and quantity. This research aimed to measure the post-harvest
losses that have occurud during logistics activities and to analysed the causality of
logistics system in Katata. Katata is a farmers group which markets their products to
the structured market with three main commodities, they are tomatoes, baby carrots
and potatoes. The approach used the system thinking approach which described by
causal loop diagram. The result showed that the rate of post-harvest losses reached
2,5%, while the reject rate of product ranging from 25% to 40% for baby carrots and
5% for tomatoes. Based on the analysis of system thinking, there are few things that
caused post-harvest losses that have occured during logistics activities, they are the
lack of proper packaging, the length of the product is exposed to high temperatures,
and the lack of attention in the sorting process.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
294
PENDAHULUAN
Sayuran merupakan salah satu produk
pertanian yang permintaannya terus meningkat,
produksi sayuran di Indonesia pun setiap tahunnya
terus mengalami peningkatan (BPS, 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa komoditas sayuran memiliki
peluang dan prospek yang baik untuk dikembangkan.
Salah satu sentra atau pemasok kebutuhan sayuran
terbesar di Indonesia adalah Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung Provinsi Jawa
Barat. Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat
(2014), sayuran yang diunggulkan di Kecamatan
Pangalengan adalah kentang, kubis, sawi, wortel, dan
tomat. Keunggulan tersebut dilihat berdasarkan luas
tanam dan hasil produksi sayuran yang tinggi.
Kelompok Tani Katata merupakan sebuah
kelompok tani di Kecamatan Pangalengan yang
memiliki tiga komoditas unggulan, yaitu tomat
(tomat tw dan beef), kentang, dan wortel baby.
Berbeda dengan petani kebanyakan, Kelompok Tani
Katata memasarkan hasil produksi pertaniannya ke
pasar terstruktur. Pasar terstruktur menurut Perdana
(2012) adalah alternatif pasar yang dapat dipilih
produsen sayuran skala kecil untuk menghindari
risiko fluktuasi harga karena pasar tersebut
mengadakan perjanjian mengenai harga terlebih
dahulu, baik perjanjian yang dilakukan secara formal
maupun informal.
Kestabilan harga yang ditawarkan pasar
terstruktur dimanfaatkan oleh Kelompok Tani
Katata. Namun, memasok sayuran ke pasar
terstruktur bukan hal yang mudah bagi petani karena
adanya perjanjian atau kontrak dalam pemasaran ke
pasar terstruktur, petani diharuskan untuk
menghasilkan produk dengan kuantitas dan kualitas
yang diminta secara kontinyu. Lebih dari itu, bukan
hanya menghasilkan produk yang berkualitas dengan
kuantitas yang diperlukan, petani perlu
mempertahankan kualitas dan kuantitas tersebut
hingga akhirnya produk sampai ke pasar terstruktur.
Hal yang berperan penting dalam
mempertahankan kualitas dan kuantitas produk
setelah dipanen adalah penanganan pascapanen.
Proses penanganan pascapanen merupakan hal yang
cukup vital dalam penanganan produk pertanian,
khususnya sayuran yang memiliki karakteristik
perishable (mudah rusak). Penyusutan hasil saat
pasca panen dapat lebih dari 40%. Hal tersebut akibat
dari kurangnya pengetahuan petani mengenai
perlakuan saat panen dan penyimpanan sementara,
juga buruknya bahkan tidak adanya fasilitas
penyimpanan dan penanganan pascapanen yang
layak ( Gebresenbert dan Bosana, 2012).
Permasalahan kehilangan hasil panen baik dari
segi kuantitas maupun kualitas dapat menjadi
hambatan petani dalam memasarkan produknya ke
pasar terstruktur. Oleh karena itu, untuk
mengatasinya petani memerlukan pengelolaan
pascapanen yang terstruktur, yaitu dengan sistem
logistik pertanian. Sistem logistik untuk produk
pertanian khususnya sayuran memiliki fungsi pada
area pengelolaan pasca panen, penyimpanan
sementara dan transportasi. Saat ini, Kelompok Tani
Katata sudah menerapkan sistem logistik dalam
usahataninya. Sistem logistik di kelompok tani
tersebut dikelola secara khusus oleh Katata PAL
Indonesia (Kapalindo). Sistem logistik diterapkan
kelompok tani dengan harapan dapat
memaksimalkan pemenuhan permintaan pasar
terstruktur yang bekerjasama dengan kelompok tani.
Pengelolaan logistik pertanian di kelompok
tani yang mengusahakan komoditas sayuran ini
masih tergolong baru sehingga masih diperlukan
pengembangan lebih lanjut. Artikel ini membahas
permasalahan kehilangan hasil pada aktivitas logistik
dan juga sistem logistik yang ada di Kelompok Tani
Katata. Pembahasan mengenai hal tersebut dapat
membantu kelompok tani untuk meningkatkan
kinerja sistem logistik yang sekarang diterapkan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini berawal dari adanya permintaan
sayuran dari pasar terstruktur, dimana permintaannya
tersebut memiliki spesifikasi tertentu. Kondisi ini
kemudian membuat Kelompok Tani Katata
menerapkan sistem logistik yang ternyata dalam
penerapannya masih memiliki beberapa masalah
seperti tingginya tingkat reject dan adanya
penyusutan bobot sayuran. Permasalahan ini
kemudian dianalisis oleh pendekatan system thinking.
Pendekatan system thinking digunakan agar
hubungan kausalitas setiap komponen dalam sistem
logistik dapat dipahami, sehingga dapat dilakukan
upaya-upaya peningkatan kinerja sistem logistik agar
permasalahan logistik teratasi dan permintaan pasar
terpenuhi. Kerangka pemikiran penelitian ini
singkatnya digambarkan pada Gambar 1.
295
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah sistem logistik
komoditas sayuran yang dipasok Kelompok Tani
Katata ke pasar terstruktur. Metode penelitian ini
dirancang sebagai studi kasus (case study) untuk
mencari informasi secara mendalam yang
menjelaskan sistem logistik sayuran.
Sumber data penelitian diperoleh dari data
primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan adalah studi lapangan (wawancara,
observasi, dokumentasi) dan studi pustaka.
Teknik pemodelan sistem logistik
menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan
pemodelan system thinking. Pemodelan tersebut
kemudian digambarkan dalam diagram sebab akibat
(causal loop diagram).
HASIL DAN PEMBAHASAN
KEHILANGAN HASIL SELAMA AKTIVITAS
LOGISTIK
Kehilangan hasil pada produk sayuran dapat
dibagi menjadi dua, yaitu dari segi kualitas dan
kuantitas. Kehilangan hasil dari segi kuantitas dapat
ditunjukkan dengan penurunan bobot sayuran,
sedangkan kehilangan hasil dari segi kualitas dapat
ditunjukkan dengan penurunan kualitas baik dari segi
warna, bentuk fisik, tingkat kematangan, dan rasa.
Kehilangan hasil tersebut terjadi dari semenjak
produk dipanen hingga akhirnya sampai di pasar.
Penanganan pascapanen yang baik dan sesuai
karakteristik produk akan mempertahankan kualitas
komoditas hingga sampai di pasar, sehingga
kehilangan hasil tersebut dapat diminimalisir.
Kegiatan pascapanen di Kelompok Tani
Katata dilakukan di rumah pengemasan (packing
house) milik kelompok tani. Saat ini, Kelompok Tani
Katata menerapkan zero stock (tidak ada persediaan).
Jumlah produk yang dipanen disesuaikan dengan
jumlah produk yang dikirim ke pasar terstruktur.
Pemanenan produk pun dilakukan mendekati hari
pengiriman atau bahkan apabila jarak pengiriman dan
penanganan produk singkat, pemanenan dilakukan di
hari yang sama. Hal ini mengakibatkan waktu simpan
produk di packing house sangat singkat.
Tingkat kehilangan hasil di Kelompok Tani
Katata dapat dilihat pada Tabel 1. Kehilangan hasil
produk sayuran riskan terjadi pada saat penyimpanan
dan proses transportasi. Oleh karena itu, data yang
disajikan pada Tabel 1 adalah tingkat kehilangan
hasil berupa penyusutan bobot selama penyimpanan
dan transportasi. Kehilangan hasil secara kualitas
sendiri ditunjukkan oleh tingkat reject produk,
dimana produk yang ditolak (reject) adalah produk
yang kualitasnya tidak sesuai permintaan pasar
terstruktur baik segi dari bentuk, ukuran, maupun
warna.
Tabel 1. Kehilangan Hasil selama aktivitas Logistik
Kehilangan hasil selama penyimpanan
sementara hanya dialami oleh dua komoditas, yaitu
tomat beef dan kentang. Hal ini terjadi karena
komoditas lain dipanen dihari yang sama dengan
waktu pengiriman. Tomat beef mengalami
penyusutan bobot sebesar 2% selama satu minggu
Produ
k Pasar
Tingkat Kehilangan
Hasil Tingk
at
Reject Penyimpan
an
sementara
Transport
asi
Tomat
TW
PT.X
(57km)
- 0,5% 5%
Tomat
TW
PT.Y
(152k
m)
- 1,5% -
Tomat
Beef
PT.Y
(152k
m)
2% 1,5% -
Kentan
g
PT.Y
(152k
m)
2% 1% -
Wortel
Baby
PT.Z
(71km)
- 2-2,5% 25-
40%
296
disimpan, sedangkan kentang mengalami penyusutan
bobot sebesar 2% selama tiga hari disimpan.
Kehilangan hasil selama transportasi paling
tinggi dialami oleh wortel baby yang menempuh
perjalanan sejauh 71km. Tingkat reject yang paling
tinggi pun dialami oleh wortel baby, yaitu berkisar.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, karena bila
dilihat dari segi jarak, komoditas yang menempuh
jarak paling jauh adalah komoditas yang dipasok ke
PT.Y.
Banyaknya kehilangan hasil yang dialami
komoditas wortel baby, pertama disebabkan oleh
penanganan pascapanen yang belum maksimal.
Berbeda dengan komoditas lainnya, komoditas
wortel baby tidak mengalami sortasi di packing
house jadi sortasi hanya dilakukan di kebun saja
padahal sesampainya di packing house wortel dicuci
menggunakan mesin, yang mana dalam prosesnya
wortel bisa saja patah. Kedua, fisik jalan yang dilalui
saat pengiriman wortel baby tidak sebagus fisik jalan
yang dilalui saat pengiriman komoditas lain. Jalan
yang perlu ditempuh ke PT.X dan PT.Y adalah jalan
bebas hambatan (jalan tol) dan jalan raya, sedangkan
jalan yang perlu ditempuh ke PT.Z selain kedua jalan
tersebut adalah jalan desa yang sedikit berlubang.
Fisik jalan yang kurang bagus tersebut menyebabkan
goncangan yang dialami komoditas selama
pengiriman lebih besar dan akhirnya menyebabkan
kerusakan sayuran.
Susut bobot dan permasalahan off grade pada setiap
komoditas sangat erat kaitannya dengan perlakuan
selama transportasi. Jika kerusakan mekanis pasca
transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif
besar maka penguapan dan kehilangan air dapat
terjadi lebih cepat. Sebaliknya jika kerusakan
mekanis pasca transportasi yang terjadi pada
permukaan buah relatif kecil maka penguapan dan
kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan akan
lebih lambat. Kerusakan yang terjadi pada
permukaan buah mengakibatkan buah mengalami
kehilangan pelindung alaminya, sehingga kegiatan
transpirasi berlangsung lebih cepat. Selain faktor
tersebut, suhu ruang penyimpanan juga
mempengaruhi laju penurunan susut bobot. Semakin
tinggi suhu ruang penyimpanan maka akan semakin
tinggi laju penurunan bobot buah (Hasiholan, 2008).
ANALISIS SYSTEM THINKING SISTEM
LOGISTIK SAYURAN
Sistem logistik memiliki fungsi pengelolaan
pascapanen. Logistik sendiri dimulai dari kegiatan
pemanenan produk hingga akhirnya produk sampai
di tangan konsumen, yaitu dalam kasus ini adalah
pasar terstruktur. Kausalitas dalam sistem logistik di
Kelompok Tani Katata dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan tiap unsur yang ada dalam
sistem logistik sayuran saling terkait dan memberi
efek bagi unsur lainnya.
Pada umpan balik negatif pertama (B1),
digambarkan apabila keuntungan petani meningkat,
maka kecenderungan modal yang dimiliki petani juga
akan meningkat. Peningkatan pada modal akan
meningkatkan usaha penanaman baru petani, yang
akhirnya akan meningkatkan produksi sayuran.
Namun apabila produksi sayuran meningkat, biaya
produksi akan meningkat dan hal ini justru akan
mengurangi keuntungan yang didapatkan petani.
Pada umpan balik negatif kedua (B2),
digambarkan bahwa pendapatan petani meningkat
akan meningkatkan keuntungan petani yang
selanjutnya seperti pada umpan balik negatif pertama
(B1) akan meningkatan produksi sayuran. Namun
selain meningkatkan biaya produksi, pada B2
digambarkan bahwa produksi sayuran akan
meningkatkan volume panen dan volume panen yang
meningkat akan meningkatkan sayuran on grade.
Peningkatan jumlah sayuran on grade, akan
meningkatkan biaya yang diperlukan untuk
pengelolaan pascapanen produk tersebut yang
disebut biaya logistik. Biaya logistik yang meningkat
akan mengurangi pendapatan petani.
Pada umpan balik negatif ketiga (B3), biaya
logistik yang meningkat juga akan meningkatkan
biaya produksi. Seperti yang sudah dijelaskan pada
B1, biaya produksi meningkat akan mengurangi
keuntungan padahal keuntungan yang meningkat
dapat meningkatkan modal petani sehingga dapat
meningkatkan produksi sayuran.
Umpan balik negatif keempat (B4)
menggambarkan hubungan kausal pendapatan dari
pasar tradisional. Pada umpan balik sebelumnya,
telah dibahas bahwa pendapatan yang meningkat
pada akhirnya akan meningkatkan produksi sayuran
karena pendapatan dapat meningkatkan modal petani
untuk melakukan penanaman baru. Produksi sayuran
yang meningkat kemudian akan meningkatkan
volume panen. Volume panen yang meningkat akan
meningkatkan jumlah sayuran yang on grade,
dimana apabila sayuran on grade meningkat jumlah
sayuran off grade akan menurun. Sayuran off grade
adalah sayuran yang tidak sesuai spesifikasi pasar
terstruktur, sehingga dijual ke pasar tradisional.
Penjualan ke pasar tradisional akan meningkat
apabila jumlah sayuran yang off grade meningkat.
Penjualan ke pasar tradisional ini juga akan
meningkatkan pendapatan.
297
Gambar 2. Causal Loop Diagram Sistem Logistik Kelompok Tani Katata
Umpan balik positif pertama (R1)
menggambarkan hubungan kausal antara sayuran off
grade dan sayuran on grade. Sayuran yang dipanen
akan melalui proses sortasi dimana sayuran
dipisahkan sesuai spesifikasi yang diminta pasar.
Sayuran yang sesuai dengan spesifikasi pasar disebut
sayuran on grade. Peningkatan jumlah sayuran on
grade akan mengurangi jumlah sayuran yang off
grade. Begitu juga sebaliknya, peningkatan jumlah
sayuran yang off grade akan mengurangi jumlah
sayuran yang off grade.
Umpan balik positif kedua (R2) dan umpan
balik positif ketiga (R3) sama-sama menggambarkan
hubungan kausal pendapatan dengan penjualan ke
pasar terstruktur. Pada R2 digambarkan bahwa
volume panen yang meningkat akan meningkatkan
pengiriman ke pasar terstruktur lalu akan
meningkatkan jumlah sayuran yang diterima oleh
pasar terstruktur. Semakin banyak sayuran yang
diterima oleh pasar terstruktur, semakin tinggi pula
pendapatan dari pasar terstruktur. R3 juga
menggambarkan hubungan yang hampir mirip
dengan R2, hanya perbedaanya terletak di volume
panen. Pada R3, volume panen yang meningkat akan
meningkatkan jumlah sayuran yang on grade, baru
selanjutnya akan meningkatkan jumlah pengiriman
ke pasar terstruktur dan pada akhirnya meningkatkan
pendapatan.
Pada umpan balik negatif kelima (B5),
kualitas sumber daya manusia yang meningkat akan
meningkatkan ketelitian pada proses sortasi.
Ketelitian pada proses sortasi menandakan proses
sortasi dilakukan dengan baik dimana apabila terjadi
peningkatan dalam proses ini, jumlah sayuran reject
akan berkurang. Sayuran reject yang meningkat
nantinya akan meningkatkan keluhan pelanggan.
Keluhan pelanggan yang meningkat akan
meningkatkan perbaikan quality control pada
pascapanen. Terjadinya perbaikan quality control
akan meningkatkan ketelitian pada proses sortasi.
Perbaikan quality control juga akan
meningkatkan pengemasan sayuran dengan tepat.
Terjadinya pengemasan sayuran dengan tepat akan
mengurangi kerusakan fisik sayuran selama
transportasi. Kerusakan fisik selama transportasi
dapat menyebabkan sayuran reject meningkat yang
akan meningkatkan keluhan pelanggan dan
perbaikan quality control pascapanen. Hal ini
digambarkan pada umpan balik negatif keenam (B6).
Umpan negatif ketujuh (B7)
menggambarkan penyusutan bobot sayuran. Bermula
dari hal yang sama dengan B6, kerusakan fisik
Produksi sayuran
Volume Panen
Sayuran On Grade
Pengiriman ke pasar
terstruktur Sayuran diterima
pasar terstruktur
Pemenuhan
permintaan
Pendapatan
+
+
+
+
+
+
+
Sayuran Off Grade
-
-
Pasar tradisional+
+
Ketelitian proses
sortasi
+
Sayuran reject
+
-
Keluhan pelanggan
Kepuasan
pelanggan
Service Level
+
-
+
Perbaikan quality
control pascapanen
Penyusutan bobot
sayuran
-
+
Pengemasan sayuran
dengan tepat
+
+
+
Kerusakan fisik
sayuran
Kehilangan kadar
air sayuran
-
+
+
Kualitas SDM
+
+
B5
B7
Jarak pengiriman
Lama persiapan
pengiriman
Lama pengiriman
Sayuran terpapar
suhu ruang
+
+
+
+
+
R1+
biaya logistik
+
+
-
On time delivery-
-
+
Penanaman baru
+
-
-+
+
+ Biaya produksi
Keuntungan
Modal petani
+
+
+
+
-
+
B6
B1
B3
B2
B4
R2
R3
298
sayuran dapat meningkatkan kehilangan kadar air
pada sayuran. Meningkatnya kehilangan kadar air
sayuran akan meningkatkan penyusutan bobot pada
sayuran. Penyusutan bobot sayuran yang meningkat
akan menyebabkan perbaikan quality control
pascapanen.
Keseluruhan loop tersebut saling berhubungan
dengan dihubungkan oleh variabel-variabel lain.
Seperti contohnya pada variabel modal petani. Modal
petani dapat meningkat apabila keuntungan petani
meningkat. Keuntungan petani sendiri dapat
meningkat apabila pendapatan petani meningkat.
Peningkatan pada pendapatan petani dapat terjadi
apabilia pemenuhan permintaan juga meningkat.
Pemenuhan permintaan pasar nantinya akan
menyebabkan peningkatan kepuasan pelanggan.
Pemenuhan permintaan sendiri disebabkan oleh
jumlah sayuran yang diterima pasar yang memiliki
hubungan langsung dengan jumlah sayuran on grade.
Jumlah sayuran on grade juga memiliki hubungan
kausalitas dengan volume panen dan proses sortasi,
dimana proses sortasi memiliki hubungan kausalitas
dengan permasalahan jumlah sayuran reject dan
penyusutan bobot. Permasalahan sayuran reject akan
memiliki implikasi terhadap keluhan pelanggan dan
menyebabkan kepuasan pelanggan menurun.
PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bebrapa hal, yaitu:
1. Tingkat kehilangan hasil berupa penyusutan
bobot selama aktivitas logistik di Kelompok
Tani Katata ternyata maksimal hanya
mencapai angka 2,5%. Tingkat reject produk
hanya dialami dua komoditas yaitu tomat tw
untuk PT.X sebesar 5% dan wortel baby yang
nilainya cukup besar yakni mencapai 25-40%.
2. Faktor yang dapat menyebabkan kerusakan
produk dan penyusutan produk antara lain,
pengemasan yang kurang tepat, lamanya
produk terpapar suhu tinggi, kurangnya
ketelitian pada proses sortasi.
Berdasarkan simpulan tersebut, rekomendasi
yang diberikan adalah penerapan Standard
Operating Procedure (SOP) logistik dalam aktivitas
logistik. SOP logistik ini nantinya mengatur segala
hal yang berhubungan dengan handling produk
seperti cara pengemasan yang tepat dan ketelitian
pada proses sortasi sehingga jumlah produk yang
ditolak dan penyusutan bobot dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Bowersox, Donald J. 2006. Manajemen Logistik:
Integrasi Sistem-Sistem Manajemen Distribusi
Fisik dan Manajemen Material. Terj. Hasymi
Ali (ed). Jakarta. BumiAksara.
Gebresenbet, G & Techane, B. 2012. Logistics and
Supply Chain in Agriculture and Food.
Department of Energy and Technology,
Swedish University of Agricultural Science,
Uppsala, Swedia. Melalui :
www.intechopen.com. Diakses pada 29
Oktober 2014.
Pantastico, Er. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen,
Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan
dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika.
(Diterjemahkan oleh Kamariyani; editor G.
Tjitrosoepomo). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Parfitt, J., M. Barthel and S. Macnaughton (2010)
βFood waste within food supply chains:
quantification and potential for change to
2050β. Philosophical Transactions of the
Royal Society β Biological Sciences: 3065-
3081, UK.
Perdana, T. 2012. Model Manajemen Logistik dalam
Meningkatkan Daya Saing Produsen Sayuran
Skala Kecil Untuk Memenuhi Permintaan
Pasar. Artikel Seputar System Dynamic dan
Agribisnis.
299
Komersialisasi Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta
Agricultural Commercialization in Yogyakarta Special Region
Jangkung Handoyo M.1,2*, Dwidjono H. Darwanto1, Setiawan Suryo K. J.3, Sugiyarto1, Arif Wahyu
W.4
1 Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, [email protected] 2 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
3 Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 4 Peneliti pada Lab. Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
A B S T R A K
Kata Kunci:
komersialisasi,
marketable surplus,
perdagangan,
subsisten,
usahatani
Kebanyakan petani Indonesia berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pangan
rumahtangga dengan membudidayakan tanaman pangan. Kegiatan perdagangan
dilakukan rumahtangga tani untuk memperoleh barang dan jasa yang tidak dapat
dipenuhi oleh produksi pertanian. Dalam perdagangan, petani membutuhkan uang
tunai untuk melakukan pertukaran. Uang tunai diperoleh petani dengan berbagai cara,
seperti melakukan pekerjaan sampingan di bidang off-farm, non-farm, dan melakukan
komersialisasi produksi pertanian yang memiliki surplus yang dapat dipasarkan
(marketable surplus). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menghitung tingkat
komersialisasi produksi pertanian dan (2) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan petani terhadap tingkat komersialisasi usahatani. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: (1) tingkat komersialisasi usahatani sebesar 70,16%,
dan (2) faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani terhadap tingkat
komersialisasi pertanian adalah pengalaman bertani kepala rumahtangga, tingkat
pendidikan kepala rumahtangga, ukuran lahan pertanian, perbandingan harga gabah
terhadap harga bawang merah, perbandingan harga gabah terhadap harga bawang
putih, perbandingan harga gabah terhadap harga beras, perbandingan harga gabah
terhadap harga minyak goreng, perbandingan harga gabah terhadap harga gula,
perbandingan harga gabah terhadap harga cabai, perbandingan harga gabah terhadap
harga mie instan, perbandingan harga gabah terhadap harga tempe, dan perbandingan
harga gabah terhadap harga ayam.
ABSTRACT
Keywords:
commercialization,
farming,
marketable surplus,
subsistence,
trade
Most of the Indonesian peasant oriented to meet the needs of household foods by
cultivate food crops (self-sufficient). Trading activities carried out farm households to
acquire goods and services that cannot be met by agricultural production. In trade,
farmers need cash to exchange. Cash obtained farmers in various ways, such as doing
a side job in the field of off-farm, non-farm, and perform commercialization of
agricultural production that has marketable surplus. This study aims to: (1) calculate
the level of commercialization of agricultural production and (2) analyze the factors
that influence the decision of farmers on agriculture commercialization levels. The
results showed that: (1) the level of commercialization is 70,16%, and (2) factors
affecting decisions of agricultural commercialization are household head farming
experience, education level of household head, agricultural land size, paddy price
compared to onion price, paddy price compared to garlic price, paddy price compared
to the price of rice, paddy price compared to the price of cooking oil, paddy price
compared to sugar price, paddy price compared to chili price, paddy price compared
to the price of instant noodles, paddy price compared to the price of tempeh, and paddy
price compared to the price of chicken.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
300
PENDAHULUAN
Gambaran mengenai usahatani subsisten identik
dengan kecilnya skala usaha, tenaga kerja utama
berasal dari dalam keluarga, kekurangan mesin
pertanian, kesulitan dalam membeli input produksi
dan memasarkan produk (diasumsikan petani dalam
keadaan marketable surplus), serta tidak melakukan
usaha untuk memperoleh nilai tambah pada
komoditas utama. Secara lebih umum, karakteristik
usahatani subsisten adalah bahwa petani
memproduksi pangan untuk keluarganya dan tidak
memiliki orientasi komersil (Lerman, 2004).
Banyak petani di negara-negara miskin
berorientasi subsisten, yaitu petani hanya
memproduksi untuk konsumsi rumahtangga saja dan
potensi terjadinya surplus produksi yang dapat
dipasarkan sangat kecil. Petani melakukan hal ini
karena adanya keterbatasan sumberdaya pertanian,
atau rintangan yang menghalangi mereka untuk
membawa surplus produksi ke pasar terlalu tinggi. Di
Albania, hanya 48% dari responden yang melakukan
penjualan surplus produksi pertanian. Hal serupa
juga terjadi di Republik Ceko, sebesar 49%
rumahtangga tani belum terdaftar sebagai petani yang
menjual hasil panennya (Mathijs, 2002).
Dalam penjualan usahatani, semakin tinggi
harga produk relatif terhadap harga barang lain maka
semakin sedikit jumlah produk yang dijual ke pasar
karena mampu untuk membeli barang lain dengan
hanya menjual produk pada jumlah yang lebih sedikit.
Sebaliknya semakin rendah harga produk relatif
terhadap barang lain, petani akan menjual semakin
banyak agar mampu membeli barang lain yang
dibutuhkan rumahtangga. Dengan demikian jika harga
produk relatif lebih rendah dari harga barang lain maka
kemampuan rumahtangga petani untuk membeli
barang lain menurun yang berarti pula menurun tingkat
kesejahteraannya (Darwanto, 2005).
Dengan menggolongkan komoditas pertanian
tertentu sebagai komoditas subsisten maka produk
yang dihasilkan (Q) digunakan untuk memenuhi
konsumsi keluarga petani (C) dan selebihnya dijual
ke pasar (M). Secara matematis alokasi tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut (Toquero et al., 1975
dalam Darwanto, 2005) :
Q = C + M
Gambaran ekonomi untuk alokasi Q serta C
dan M secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1,
Sumbu horizontal (0F) menggambarkan jumlah
produk komoditas subsisten dan sumbu tegak (0Cn)
menggambarkan konsumsi barang atau produk lain
yang tidak diproduksi oleh rumahtangga tani.
Panjang sumbu datar 0F menggambarkan total
produk (Q) dengan alokasi untuk konsumsi
rumahtangga (C) dan untuk dijual ke pasar (M)
(Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005).
0F
X0
A0
A1
A2
Cn
U0
U1
U2
E0
E1
E2
MC0
Konsumsi RT Dijual ke PasarQ
Output
PPP
Gambar 1. Model Alokasi Output Petani Subsisten
untuk Konsumsi dan Dijual Sumber: Toquero et al., (1975) dalam Darwanto (2005)
Dengan anggapan bahwa produksi pertanian
mempunyai kontribusi yang relatif besar terhadap
pendapatan rumahtangga maka untuk produk sebesar
Q0 tersebut akan dialokasikan untuk konsumsi
rumahtangga sebesar C0 dan selebihnya sejumlah M0
untuk dijual ke pasar untuk memaksimalkan utility
atau kesejahteraan rumahtangga (U0). Teori klasik
menyatakan bahwa jumlah hasil yang dijual ke pasar
oleh rumahtangga petani akan tergantung pada
tingkat harga produk, yaitu semakin tinggi harga
produk maka akan semakin besar jumlah produk
yang dijual. Namun, untuk produk komoditas
subsisten ini pertimbangan harga produk tersebut
bukanlah satu-satunya pertimbangan petani untuk
memutuskan besaran jumlah barang yang dijual ke
pasar tetapi masih akan mempertimbangkan pula
harga barang kebutuhan lain yang tidak diproduksi
oleh rumahtangga petani tersebut. Dengan kata lain
besaran jumlah hasil yang dijual ke pasar tersebut
akan tergantung pada besarnya kebutuhan uang tunai
untuk membeli produk barang atau jasa yang tidak
dihasilkan oleh rumahtangga petani tersebut. Untuk
gambaran tersebut maka dapat dikemukakan
pertimbangan harga tersebut dicerminkan oleh
perbandingan harga yaitu Pi = Pr/Pnr dengan r = rice
dan nr = barang lain atau sebagai koefisien arah dari
garis anggaran (budget line) pada Gambar 2.2.
(Toquero et al., 1975 dalam Darwanto, 2005).
301
Mathijs and Noev (2002) menemukan bahwa
share penjualan produksi pertanian pada empat
negara berbeda-beda, di Rumania share penjualan
sebesar 36%, Bulgaria sebesar 38%, Hungaria
sebesar 57%, dan Albania sebesar 84%. Beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkat penjualan
pertanian pada rumahtangga subsisten tersebut
diantaranya yaitu usia kepala rumah tangga,
penerimaan rumahtangga tani, kepemilikan mobil,
keikutsertaan petani dalam koperasi pertanian, luas
lahan yang dikuasai petani, kepemilikan mesin-mesin
pertanian, jumlah ternak yang dimiliki petani, dan
jarak antara rumah petani dengan kota pemerintahan
yang paling dekat.
Meskipun petani di Indonesia identik dengan
orientasi subsistennya, kebutuhan ekonomi manusia
yang semakin komplek menuntut petani
meningkatkan produktivitas sehingga hasil yang
diperoleh selain digunakan untuk memenuhi
kebutuhan juga dapat dijual agar petani memiliki alat
tukar untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam
kegiatan penjualan usahatani, petani terlebih dahulu
akan menggunakan hasil pertaniannya untuk
memenuhi kebutuhan rumahtangga. Penjualan terjadi
ketika terdapat surplus produksi pertanian. Apabila
surplus tidak terjadi, maka pemenuhan kebutuhan
rumahtangga tani akan dipenuhi dari sumber lain
seperti tabungan hasil panen sebelumnya, pendapatan
yang berasal dari luar usahatani, maupun pinjaman
dari tetangga atau sanak saudara.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menghitung tingkat penjualan/komersialisasi
produksi pertanian.
2. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat penjualan/komersialisasi usahatani.
KERANGKA TEORI/KERANGKA KONSEP
Pendapatan rumahtangga tani pada umumnya
dapat berasal dari usahatani (komersialisasi dan
konsumsi sendiri) dan luar usahatani (baik dengan
bekerja pada sektor pertanian/off-farm maupun non
pertanian/non-farm). Di samping beberapa sumber
tersebut, rumahtangga tani juga dapat memperoleh
pendapatan dari transfer maupun bantuan dari
pemerintah, namun hal ini tidak dialami oleh banyak
rumahtangga tani. Pendapatan yang diperoleh petani
akan digunakan untuk belanja yang merupakan
pengeluaran dan untuk ditabung (saving).
Komersialisasi usahatani merupakan suatu
kegiatan penjualan yang dilakukan petani terhadap
produk pertanian yang dihasilkan. Bagi petani kecil
di Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar
membudidayakan tanaman pangan, kegiatan
usahatani sangat berpengaruh terhadap ketahanan
pangan rumahtangga. Oleh karena itu, produksi
pangan yang terbatas harus diprioritaskan untuk
pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga.
Bahkan, beberapa petani akan menabung hasil panen
mereka untuk berjaga-jaga apabila terjadi krisis
pangan, terutama yang diakibatkan gagal panen atau
suatu keadaan yang membuat petani tidak melakukan
usahatani (misal terjadi kekeringan atau bencana
alam lainnya). Petani akan melakukan kegiatan
komersialisasi usahatani apabila terdapat excess dari
produksi pangan mereka dan biasanya digunakan
untuk dapat mengakses kebutuhan pangan lain dari
pasar.
Pendapatan LUT
Pendapatan RT
Komersialisasi UT
Pendapatan UT
Konsumsi RT
Jarak Rumah-Kota
Pendidikan KK
Lama Berusahatani
Luas Lahan UT
Ukuran RT
Harga GKP/Harga Bawang Merah
Harga GKP/Harga Bawang Putih
Harga GKP/Harga Minyak Goreng
Harga GKP/Harga Gula
Harga GKP/Harga Cabe
Harga GKP/Harga Mie Instan
Harga GKP/Harga Tempe
Harga GKP/Harga Ayam
Produksi Pertanian
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
METODE PENELITIAN
1. Metode Sampling
Data yang digunakan dalam studi ini adalah
sebagian data dari dua riset berjudul βSubsistensi dan
Komersialisasi pada Usahatani di Daerah Istimewa
Yogyakartaβ dan βKesenjangan Distribusi
Pendapatan dan Ketahanan Pangan Rumahtangga
Tani di Daerah Istimewa Yogyakartaβ, Hibah
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada tahun
2013. Pengambilan data primer melibatkan 72
rumahtangga tani di Daerah Istimewa Yogyakarta,
terdiri dari 35 sampel dari petani Kabupaten
Gunungkidul dan 37 sampel petani dari Kabupaten
Sleman yang dipilih secara acak.
302
2. Metode Analisis
Untuk menjawab tujuan 1 (satu) mengenai
tingkat komersialisasi rumahtangga tani digunakan
analisis kuantitatif. Yaitu dari masing-masing
rumahtangga tani yang menjadi responden dihitung
nilai perbandingan antara kuantitas produksi yang
dijual dengan total produksi. Menurut Starsberg,
Jayne, Yamano, Nyoro, Karanja, and Strauss (1999)
serta Okezie, Sulaiman, and Nwosu (2012), secara
matematis deskripsi perhitungan komersialisasi
usahatani adalah sebagai berikut:
π =π
ππ π₯ 100 %
Keterangan :
X
S
TP
:
:
:
share penjualan rumahtangga tani (%)
kuantitas produksi yang dikonsumsi/ disimpan
total produksi rumahtangga tani
Selanjutnya, agar didapat satu nilai dari seluruh
responden, dicari nilai rata-rata share produksi
pertanian yang dikonsumsi atau disimpan untuk
seluruh rumahtangga tani.
Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi komersialisasi
usahatani di Yogyakarta digunakan metode analisa
ekonometri berupa regresi Logit. Sedangkan
software yang digunakan untuk menganalisa adalah
Eviews dengan metode enter, yaitu metode
pemilihan variabel dengan cara memasukkan semua
variabel dalam perhitungan (single step).
Penggunaan model regresi Logit untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan
keputusan petani untuk menjual output pertanian
yang pemilihannya didasarkan pada jenis data
variabel dependen yang merupakan data dummy atau
biner yang mengasumsikan hanya ada dua nilai pada
variabel dependen. Model regresi untuk menganalisa
hipotesis kedua ini sebagai berikut :
Com = c + ln DisHC + ln ExpHH + ln EduHH +
ln Income + ln Land + ln NumFM + ln
PP/PO + ln PP/PG + ln PP/PFO + ln PP/PS
+ ln PP/PCl + ln PP/PM + ln PP/PT + ln
PP/PCh + Β΅ Keterangan :
Com = tingkat orientasi petani
Com = 1, jika rumahtangga tani bersifat komersil
Com = 0, jika rumahtangga tani bersifat
subsisten DisHC = jarak rumah ke kota pemerintahan
ExpHH = lama pengalaman berusahatani
EduHH = lama pendidikan petani
Income = total pendapatan petani
Land = luas lahan pertanian
NuFM = ukuran rumahtangga
PP/PO = perbandingan harga gabah dan bawang merah
PP/PG = perbandingan harga gabah dan bawang putih
PP/PFO = perbandingan harga gabah dan minyak goreng PP/PS = perbandingan harga gabah dan gula
PP/PCl = perbandingan harga gabah dan cabe
PP/PM = perbandingan harga gabah dan mie instan
PP/PT = perbandingan harga gabah dan tempe
PP/PCh = perbandingan harga gabah dan ayam
c = konstanta
Β΅ = error term
a) Pengujian Model
Pengujian model Logit yaitu menggunakan
Maximum Likelihood Estimastion (MLE) untuk
menghitung nilai Likelihood Ratio Index (LRI) yang
setara dengan koefisien determinasi (R2) pada regresi
OLS, uji Likelihood Ratio (LR) yang setara dengan
uji F pada regresi OLS dan uji Wald (Z-Statistics)
yang setara dengan uji t pada regresi OLS (Green,
1993). Namun dalam regresi logistik tidak
mengasumsikan hubungan linear antara variabel
bebas dan terikat, tidak membutuhkan normalitas
dalam distribusi variabel dan juga tidak
mengasumsikan homoskedastisitas varians.
b) Goodness of Fit Test
Tiga pengujian goodness of fit dari model regresi
Logit yang umum dilakukan adalah pengujian
Likelihood Ratio Index (Pearson R2), pengujian
Likelihood Ratio Test (LR), dan Wald Test (Z).
1) Likelihood Ratio Index (LRI)
LRI ini sama dengan Pseudo R2 atau Mc.
Faddenβs R2 (Borooah, 2002). LRI pada regresi
logistik ini lebih ditujukan untuk mengukur
kekuatan hubungan (strengh of association).
Nilainya berkisar dari 0 hingga 1, dimana 0
mengindikasikan bahwa variabel independen tidak
dapat digunakan untuk untuk memprediksi variabel
dependen (have no usefulness in predicting).
2) Uji Likelihood Ratio (LR)
Uji LR digunakan untuk mengetahui tingkat
pengaruh semua variabel independen secara
bersama-sama terhadap variabel dependen. Dalam
hal ini formulasi LR menurut Theil (1971) sebagai
berikut :
LR = nβ(R2) / 2 (1-R2)
Keterangan:
nβ : jumlah sampel dikurangi jumlah variabel bebas
R2 : koefisien determinasi
Adapun formula hipotesisnya sebagai berikut :
303
Ho: Ξ²1 = Ξ²2 = .... = Ξ²i = 0, artinya tidak ada
pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen.
Ha: salah satu Ξ²i β 0, artinya ada pengaruh
variabel independen terhadap variabel
dependen.
LR dibandingkan dengan Chi Square tabel
(X2). Jika LR hitung > Chi Square tabel berarti Ho
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen.
3) Wald Test (Z)
Uji ini digunakan untuk menguji pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen melalui perubahan odds.
Adapun formula hipotesisnya (Green, 1993;
Widarjono, 1992) adalah sebagai berikut :
Ho : Ξ²i = 0 atau Ho : ORi (odd ratio) = 1, artinya
tidak ada pengaruh variabel independen ke-i
terhadap dependen (ketahanan pangan rumah
tangga tani)
Ha : Ξ²i β 0, artinya ada pengaruh variabel
independen ke-i terhadap dependen
(ketahanan pangan rumah tangga tani)
W hitung (Wald) = (Ξ²/SE)2 = Z
W hitung dibandingkan dengan Chi Square
tabel (X2). Jika W hitung lebih besar daripada Chi
Square tabel (X2) berarti Ho ditolak atau variabel
independen yang diuji secara individu berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tingkat Komersialisasi Usahatani
Total produksi pertanian rumahtangga tani di
Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum
terdistribusi untuk memenuhi kebutuhan pangan
internal rumahtangga dan sisanya dijual untuk
mencukupi berbagai keperluan lain seperti modal
usahatani musim tanam berikutnya, kebutuhan
pangan rumahtangga yang tidak dapat diproduksi
sendiri maupun kebutuhan non pangan. Besaran nilai
penjualan produksi pertanian dapat menentukan
status petani. Berdasarkan pada teori Mosher (1970)
dalam Kostov and Lingard (2004) serta Davidova,
Fredriksson, and Bailey (2009) menyebutkan bahwa
petani subsisten adalah petani yang menjual kurang
dari 50% total produksinya sedangkan yang
dimaksud dengan petani komersil adalah petani yang
melakukan penjualan lebih dari 50% nilai
produksinya. Kegiatan penjualan/ komersialisasi
usahatani merupakan bentuk perdagangan yang dapat
menjadi jembatan bagi petani untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Sebab, pada masa seperti
sekarang ini hampir tidak mungkin sebuah
rumahtangga dapat memenuhi seluruh kebutuhannya
tanpa melalui proses perdagangan.
Berdasarkan Tabel 1, tanaman semusim
memberikan kontribusi tertinggi baik yang
dialokasikan untuk konsumsi rumahtangga tani
maupun komersialisasi. Dalam hal konsumsi,
tanaman semusim khususnya padi memberikan hasil
produksi pangan yang dibutuhkan rumahtangga tani
sehingga wajar apabila sebagian besar produksi
dialokasikan untuk dikonsumsi sendiri. Produksi
usahatani yang tidak digunakan untuk konsumsi
merupakan produk marketable surplus yang dimiliki
oleh sebagian petani. Petani memanfaatkan
marketable surplus tersebut untuk disimpan sebagai
cadangan pangan rumahtangga atau dipasarkan untuk
menambah pendapatan. Sub sektor peternakan dan
perikanan juga turut berkontribusi terhadap konsumsi
rumahtangga maupun pada penjualan usahatani. Pada
usahatani peternakan, nilai produksi terbesar terjadi
karena adanya penambahan nilai ternak dan hasil
produksi seperti telur dan kotoran ternak yang
dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk kandang.
Nilai penjualan ternak tidak begitu tinggi sebab tidak
banyak petani yang menjual ternak mereka. Pada sub
sektor perikanan diketahui bahwa sebagian besar
produksi dimanfaatkan untuk konsumsi
rumahtangga. Produksi perikanan terbilang cukup
besar karena pada area sampling rata-rata
rumahtangga memanfaatkan sebagian lahan
pekarangan sebagai kolam. Adanya sumber air di
Kecamatan Ponjong dan supply air yang relatif
banyak di Kecamatan Sayegan sangat membantu
petani dalam melakukan budidaya ikan.
Berdasarkan data pada Tabel 1 diketahui bahwa
sebagian besar produksi usahatani dikelola untuk
konsumsi rumahtangga, yaitu sebesar 53%.
Sedangkan sisanya (47%) dialokasikan untuk dijual
untuk menambah pendapatan keluarga. Dengan
demikian maka dapat disimpulkan bahwa secara
umum usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta
bersifat subsisten.
Besarnya proporsi usahatani untuk dikonsumsi
menunjukkan tingginya kebutuhan pangan
rumahtangga, terutama yang dapat dihasilkan oleh
usahatani. Disamping itu, produksi usahatani yang
dicapai oleh petani tidak cukup besar bila
dibandingkan dengan kebutuhan internal
rumahtangga sehingga marketable surplus yang
dialokasikan petani untuk dijual hanya sedikit.
Adanya kegiatan komersialisasi memiliki dampak
304
positif bagi rumahtangga tani. Kegiatan penjualan
usahatani menyebabkan terciptanya orientasi pasar
yang lebih besar dari produksi pertanian petani
(Okezie et al., 2012). Semakin tinggi proporsi
penjualan terhadap produksi usahatani maka akan
semakin besar pula orientasi pasar petani. Orientasi
pasar akan memicu petani memiliki usahatani dengan
produktivitas tinggi dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
komersialisasi usahatani juga dikemukakan oleh
beberapa pakar. von Braun and Kennedy (1994)
dalam Abera (2009) menyebutkan bahwa
komersialisasi memainkan peranan yang signifikan
dalam meningkatkan pendapatan dan merangsang
tumbuhnya perdesaan melalui peningkatan
kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas
pertanian perdesaan, pendapatan langsung bagi
pekerja dan pemilik lahan, meningkatkan suplai
makanan dan berpotensi dalam peningkatan status
gizi masyarakat desa. Pendapat tersebut juga
didukung oleh Timmer (1997) yang menyatakan
bahwa komersialisasi usahatani berhubungan erat
dengan produktivitas yang lebih tinggi, spesialisasi
usahatani yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih
besar. Lebih lanjut disebutkan bahwa hasil yang
didapatkan tersebut memberikan jalan bagi petani
untuk dapat memperbaiki tingkat ketahanan pangan,
pengurangan tingkat kemiskinan, dan turut
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Manfaat komersialisasi juga dikaji dengan
sudut pandang yang berbeda yaitu kaitannya dengan
tingkat ketahanan pangan. Sebagai contoh, von
Braun (1995) menyatakan bahwa komersialisasi
memiliki efek langsung pada tingkat pendapatan
rumahtangga yang dapat menyebabkan peningkatan
pengeluaran pangan dan non pangan. Strasberg et al.
(1999) memperkuat pendapat tersebut bahwa untuk
mendapatkan akses makanan yang lebih baik,
rumahtangga bergantung pada pertumbuhan
pendapatan, khususnya bagi rumahtangga yang
sumber pendapatan utamanya berasal dari usahatani.
Hal ini berarti bahwa dengan meningkatkan tingkat
partisipasi pasar dapat memiliki dampak yang besar
pada status ketahanan pangan petani.
2. FaktorβFaktor yang Mempengaruhi
Keputusan Komersialisasi Usahatani
Pengkajian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani
dilakukan dengan metode analisis Logit dan
menggunakan bantuan software Eviews 4.0. Sebelum
mengkaji hasil regresi yang didapatkan, perlu
dibahas terlebih dahulu pengujian terhadap asumsi-
asumsi yang ada pada metode regresi Logit, yaitu uji
determinasi dan uji Likelihood Rasio Statistik.
Kemudian untuk menarik kesimpulan akhir analisis
regresi Logit fungsi komersialisasi dilihat dari hasil
analisa secara parsial dengan melihat signifikansi
dari masing-masing variabel independen secara
individual untuk menjelaskan variabel dependen
pada model dengan menggunakan uji Z.
a) Uji Determinasi
Uji determinasi pada model regresi Logit tidak
menggunakan R2, namun menggunakan McFadden
R-Squared atau R2McF (Eviews, 2001). Berdasarkan
analisis regresi fungsi komersialisasi pada Tabel 2,
diketahui bahwa angka R2 McF adalah sebesar
0,6433 yang berarti variasi tingkat komersialisasi
usahatani dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang
termasuk dalam fungsi tingkat komersialisasi
usahatani sebesar 64,33 %. Sedangkan sisanya
Tabel 1. Tingkat Produksi, Konsumsi dan Komersialisasi
Usahatani di Daerah Istimewa Yogyakarta
No Jenis
Usahatani
Produksi
(Rp)
Penjualan
(Rp)
Konsumsi
(Rp)
1 Tanaman Semusim
a. Padi 3.818.681 1.481.412 2.337.269
b. Kcg Tanah 366.563 329.913 36.649
c. Jagung 325.660 312.361 13.299
d. Kedelai 79.819 77.222 2.597
Total Tan. Semusim 4.590.722 2.200.908 2.389.814
2 Peternakan
a. Sapi 1.009.028 496.528 512.500
b. Kambing 1.023.125 524.514 498.611
c. Ayam 640.521 301.465 339.056
Total Peternakan 2.672.674 1.322.507 1.350.167
3 Perikanan
a. Lele 279.514 159.125 120.389
b. Gurame 540.972 156.250 384.722
c. Nila 302.750 77.257 225.493
Total Perikanan 1.123.236 392.632 730.604
TOTAL 8.386.632 3.916.047 4.470.585
PERSENTASE 100% 47% 53%
Sumber : Analisa data primer, 2014
305
sebesar 35,77 % dijelaskan oleh faktor-faktor di
luar model yang diteliti.
b) Uji Likelihood Rasio Statistik
Berdasarkan hasil perhitungan oleh program
Eviews pada Tabel 2 diketahui bahwa nilai
probability dari Likelihood Ratio Statistic (LR Stat)
pada fungsi komersialisasi dengan menggunakan
model regresi Logit jauh berada di bawah tingkat
kesalahan (Ξ±) 0,10, yaitu 0,000 atau F hitung
signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh
terhadap keputusan petani untuk menjual atau tidak
menjual hasil pertaniannya.
c) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputus-
an Petani pada Tingkat Komersialisasi
Usahatani
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa
variabel-variabel independen yang berpengaruh
secara signifikan terhadap komersialisasi usahatani
di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengacu
nilai Z-statistic dan angka probabilitasnya pada
output perhitungan regresi Logit oleh Eviews yaitu,
pengalaman bertani kepala keluarga, pendidikan
kepala keluarga, luas lahan pertanian, perbandingan
harga GKP terhadap harga bawang merah,
perbandingan harga GKP terhadap harga bawang
putih, perbandingan harga GKP terhadap harga
minyak goreng, perbandingan harga GKP terhadap
harga gula, perbandingan harga GKP terhadap
harga cabe, perbandingan harga GKP terhadap
harga mie instan, perbandingan harga GKP
terhadap harga tempe, perbandingan harga GKP
terhadap harga daging ayam, dan konstanta.
Variabel independen lainnya yang tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap
komersialisasi usahatani di Daerah Istimewa
Yogyakarta antara lain jarak rumah ke kota
pemerintahan terdekat, pendapatan total keluarga,
dan jumlah anggota keluarga.
Deskripsi dari masing-masing variabel
independen, baik yang berpengaruh signifikan
maupun yang tidak berpengaruh signifikan
diterangkan sebagai berikut :
1) Jarak rumah ke kota
Jarak antara rumah petani dengan kota
pemerintahan terdekat tidak berpengaruh signifikan
terhadap keputusan petani untuk melakukan
penjualan produksi pertanian. Kota pemerintahan
digambarkan sebagai tempat terdekat bagi petani
untuk dapat melakukan kegiatan penjualan
produksi pertanian. Namun, pada saat ini ternyata
petani dalam melakukan penjualan produksi
pertanian tidak lagi bergantung pada lokasi kota.
Penjualan usahatani dapat dilakukan secara lebih
praktis karena pelaku pemasaran memfasilitasi
petani untuk membeli hasil pertanian dari lahan
maupun dari rumah petani. Pelaku pemasaran
seperti tengkulak, saat ini semakin bersaing dan
berani menjemput hasil pertanian petani. Selain itu,
sistem penjualan seperti ijon juga memudahkan
petani untuk melakukan penjualan usahtani tanpa
harus memindahkan hasil pertanian.
2) Pengalaman bertani kepala keluarga
Hasil uji parsial menunjukkan pengalaman
bertani kepala keluarga memiliki pengaruh
signifikan terhadap penjualan usahatani pada
tingkat kepercayaan 90 % dengan tanda positif
sesuai dengan tanda harapan. Meningkatnya
pengalaman bertani kepala keluarga akan semakin
memantapkan keputusannya dalam melakukan
penjualan usahatani untuk memperoleh pendapatan
yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan
rumahtangga. Pengalaman berusahatani merupakan
faktor utama penentu komersialisasi usahatani
sehingga berpengaruh signifikan dan bertanda
positif (Kirui and Njiraini, 2013; dan Aderemi,
Omonona, Yusuf, and Oni, 2014). Hasil ini
Tabel 2. Hasil Regresi Logit Fungsi Komersialisasi
Usahatani di D. I. Yogyakarta
Variabel Tanda
Harapan
Koefisien
Regresi z-stat Prob.
ln DisHC 0,065 0,079 ns 0,540
ln ExpHH + 2,721 1,736 * 0,083
ln EduHH + 1,639 2,793 *** 0,005
ln Income 1,491 0,964 ns 0,335
ln Land + 2,319 2,110 ** 0,035
ln NuFM + -2,023 -1,054 ns 0,292
ln PP/PO -23,944 -2,719 *** 0,007
ln PP/PG -6,403 -2,447 ** 0,014
ln PP/PFO -7,308 -1,787 * 0,074
ln PP/PS -21,383 -2,485 ** 0,013
ln PP/PCl -5,515 -2,611 *** 0,009
ln PP/PM -23,604 -2,365 ** 0,018
ln PP/PT -10,721 -2,413 ** 0,016
ln PP/PCh -10,517 -2,113 ** 0,035
Konstanta 119,924 *** 0,008
LR Statistic 54,737 *** 0,000
McFadden R-Squared (R2McF) 0,6433
Sumber : Analisa data primer, 2014
Keterangan :
*** = signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %
** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %
* = signifikan pada tingkat kepercayaan 90 % ns = tidak signifikan
306
menunjukkan bahwa penambahan tahun
pengalaman petani akan berdampak pada
peningkatan probabilitas petani melakukan
komersialisasi. Pengalaman diketahui sebagai
faktor yang mendorong tercapainya kesempurnaan
dalam melakukan kegiatan usahatani. Pengalaman
menghasilkan wujud peningkatan pengetahuan
teknis ataupun bentuk lainnya yang dapat
digunakan petani dalam usahatani (Agwu,
Anyanwu, and Mendie, 2012). Hussain, Chauhan,
Singh, and Yousuf (2009) menambahkan bahwa
pengalaman berusahatani merupakan alat praktis
bagi petani untuk membedakan antara teknologi
tradisional dan modern dan karena itu, merupakan
faktor yang signifikan dengan menimbang tingkat
adopsi petani terhadap teknologi. Petani komersil
percaya bahwa penggunaan teknologi akan
memberi lebih banyak produksi dan produksi yang
banyak akan memberi lebih banyak pendapatan,
sedangkan petani subsisten percaya pada teknologi
tradisional untuk memproduksi pertanian sampai
pada tingkat subsisten saja.
3) Lama pendidikan kepala keluarga
Merujuk pada hasil regresi Logit, umur kepala
keluarga berpengaruh terhadap keputusan petani
dalam melakukan penjualan usahtani dengan tanda
positif sesuai dengan teori dan signifikan pada
tingkat kepercayaan 99 %. Lama pendidikan formal
yang dimiliki oleh petani akan berpengaruh
terhadap pengelolaan produksi pertanian baik pada
jumlah yang disimpan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga maupun yang dijual untuk memperoleh
pendapatan. hal ini didukung oleh Rahut,
Castellanos, and Sahoo (2010) yang menyatakan
bahwa pendidikan kepala keluarga berdampak
signifikan terhadap komersialisasi usahatani karena
kepala keluarga yang lebih berpendidikan memiliki
kesadaran yang lebih tinggi akan nilai
komersialisasi dari tanaman yang diusahakan dan
membudidayakan tanaman tersebut dengan sebaik-
baiknya sehingga menghasilkan pendapatan yang
lebih tinggi. FAO (2014) berpendapat bahwa
pendidikan merupakan investasi dalam
meningkatkan orientasi komrsial petani. Dari hasil
analisa, banyak petani yang tertarik untuk
melakukan komersialisasi usahatani namun tidak
didasari oleh keterampilan perencanaan dan
pemasaran. Pengetahuan dan kemampuan untuk
bereaksi terhadap perubahan di pasar adalah pilar
untuk mengembangkan dan menerapkan strategi
manajemen pertanian yang berorientasi komersial.
4) Pendapatan total keluarga
Berdasarkan hasil regresi Logit didapatkan
bahwa besarnya pendapatan total keluarga tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan
petani menjual produksi usahatani. Tingginya
kebutuhan rumahtangga menyebabkan pendapatan
total petani tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap keputusan penjualan produksi pertanian.
Penjualan produksi pertanian lebih dipengaruhi
oleh harga barang-barang kebutuhan pokok
rumahtangga dan harga produk pertanian itu
sendiri. Pendapatan per kapita menggambarkan
tingkat kesejahteraan dari suatu rumahtangga tani.
Semakin tinggi pendapatan per kapita suatu
rumahtangga tani maka seharusnya penjualan
produksi pertanian semakin rendah karena modal
untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lebih
tinggi sehingga tidak perlu melakukan
komersialisasi usahatani. Namun, pada
kenyataannya kebutuhan petani yang tinggi serta
pendapatan yang terbatas memaksa petani untuk
melakukan penjualan produksi pertanian.
5) Luas lahan pertanian
Hasil analisa menunjukkan bahwa luas lahan
pertanian memiliki pengaruh yang signifikan pada
keputusan petani melakukan penjualan produksi
pertanian dengan tanda positif sesuai tanda harapan
dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Luas
lahan pertanian merupakan aset petani yang
berguna dalam memproduksi hasil pertanian.
Semakin luas lahan pertanian yang dimiliki oleh
petani maka semakin banyak hasil pertanian yang
didapatkan petani sehingga semakin banyak pula
marketable surplus dari output pertanian tersebut.
Besar marketable surplus yang dimiliki petani akan
berpengaruh pada besarnya probabilitas petani
menjual hasil pertanian. Menurut Wiggins, Kodhek,
Leavy, and Poulton (2011), luas lahan pertanian
yang kecil membatasi komersialisasi dengan tidak
memberikan kesempatan petani untuk
memproduksi dengan tujuan komersil. Rahut et al.
(2010) menambahkan, aset berupa lahan
merupakan hal yang penting dalam komersialisasi.
Semakin luas lahan yang dimiliki berarti
memungkinkan petani untuk dapat memproduksi
lebih banyak surplus yang dapat dijual ke pasar.
6) Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap keputusan petani untuk
melakukan penjualan produksi pertanian. Secara
teori, semakin banyak anggota rumahtangga maka
semakin tinggi pula kegiatan usahatani yang dapat
dilakukan oleh rumahtangga sehingga semakin
besar produksi usahatani dengan surplus produksi
yang dapat dipasarkan. Namun, kebanyakan
anggota rumahtangga tani lebih memilih untuk
melakukan kegiatan di luar usahatani untuk dapat
307
menambah pendapatan keluarga. Hal ini
menyebabkan produksi pertanian tidak bertambah
sehingga surplus produksi pertanian relatif tidak
dipengaruhi oleh ukuran rumahtangga.
7) Perbandingan harga GKP terhadap harga
barang pokok lainnya
Harga gabah menjadi acuan variabel
perbandingan harga produk pertanian terhadap
harga produk kebutuhan pokok lainnya karena
hampir seluruh petani memproduksi. Rata-rata
petani di Daerah Istimewa Yogyakarta
menghasilkan 128 kg beras/tahun dan 677 kg
GKP/tahun yang setara dengan 425 kg beras/tahun
setelah dikonversi dengan angka 62,74% sesuai
angka acuan konversi gabah kering ke beras oleh
BPS dan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian, Kementerian Pertanian. Kajian
mengenai tanda harapan pada variabel
perbandingan harga gabah terhadap harga barang
kebutuhan lainnya dapat dijelaskan melalui Tabel 3
dimana rata-rata rumahtangga tani memproduksi
sebesar 553 kg beras/tahun sedangkan konsumsi
rata-rata mencapai 556 kg/tahun. Berdasarkan
perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
secara umum rumahtangga tani bertindak sebagai
net consumer untuk produk gabah/beras. Melalui
perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa
produksi beras akan terlebih dahulu dialokasikan
oleh petani guna pemenuhan kebutuhan
rumahtangga, apabila terdapat kelebihan produksi
(marketable surplus) barulah petani
memanfaatkannya untuk dijual. Sehingga,
perbandingan harga antara gabah dan barang pokok
lainnya memiliki tanda harapan (expected sign)
negatif. Bagi petani, prioritas utama pemenuhan
kebutuhan beras rumahtangga lebih penting
daripada penjualan karena dengan kondisi defisit
beras (net consumer) maka seandainya petani
melakukan penjualan gabah atau beras akan
menyebabkan petani mengalami defisit beras yang
lebih besar, sebagai akibatnya petani harus membeli
beras dikemudian hari. Hal ini menyebabkan petani
tidak merespon harga gabah/beras, tetapi harga
barang kebutuhan pokok lainnya yang tidak
dihasilkan usahatani.
Analisa mengenai pengaruh harga gabah
relatif terhadap harga barang lain memberikan hasil
yang baik. Dari 8 (delapan) variabel perbandingan
harga yang dianalisa memberikan hasil yang
signifikan, yaitu perbandingan harga GKP terhadap
harga bawang merah, perbandingan harga GKP
terhadap harga bawang putih, perbandingan harga
GKP terhadap harga minyak goreng, perbandingan
harga GKP terhadap harga gula, perbandingan
harga GKP terhadap harga cabe, perbandingan
harga GKP terhadap harga mie instan,
perbandingan harga GKP terhadap harga tempe,
perbandingan harga GKP terhadap harga daging
ayam. Variabel perbandingan harga gabah terhadap
harga barang lain berpengaruh signifikan karena
dalam melakukan penjualan usahatani, petani
melihat harga barang lain. Hal ini ditujukan untuk
mengetahui daya beli petani. Apabila harga barang
pokok lainnya mahal, maka petani akan menjual
lebih banyak gabah agar dapat membeli barang lain
dengan jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan
rumahtangga. Sebaliknya, bila harga barang lain
turun, maka daya beli petani akan meningkat
sehingga jumlah gabah yang dijual akan menurun.
Barang lain yang dianalisa pada model ini
merupakan barang kebutuhan pokok rumahtangga
sehingga hampir dikonsumsi oleh suluruh
rumahtangga. Mathur and Ezekiel (1961) dalam
Murbyarto (1965) menjelaskan bahwa karena
sektor pertanian kecil jarang yang menguangkan
produksi pertanian, petani memiliki tendensi untuk
bereaksi terbalik terhadap perubahan harga.
Dihipotesiskan bahwa pada suatu periode waktu
tertentu petani membutuhkan uang cash untuk
membeli komoditas yang tidak dapat diproduksi,
untuk membayar sewa, dan lain-lain. Hasilnya
adalah peningkatan harga produk akan diikuti
dengan penurunan jumlah produk yang ditawarkan,
karena jumlah yang lebih sedikit ini akan dapat
memenuhi kebutuhan akan uang cash. Petani
kemudian lebih memilih untuk menyimpan dalam
bentuk produk, keputusan ini diperkuat oleh
ketidakpastian di masa mendatang. Petani merasa
lebih aman dengan padian di gudang mereka
daripada uang di tabungan. Hal ini diperkuat oleh
Bardhan (1970) yang menjelaskan bahwa harga
padian memiliki efek negatif terhadap marketable
surplus. Harga produk yang lebih tinggi
menyebabkan kenaikan permintaan untuk
menyimpan produk menjadi besar.
Tabel 3. Balance Produksi dan Konsumsi Beras
Rata-Rata Rumahtangga Tani di DIY Rerata Produksi Beras
(Kg/RT/Tahun)
Rerata Konsumsi Beras
(Kg/RT/Tahun)
553 556 Sumber : Analisis data primer, 2014
308
KESIMPULAN
a) Petani di Daerah Istimewa Yogyakarta
memiliki orientasi subsisten dengan tingkat
konsumsi sebesar 53 %.
b) Rumahtangga tani di Daerah Istimewa
Yogyakarta berstatus sebagai net consumer
untuk produk beras.
c) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
penjualan produksi pertanian antara lain
pengalaman bertani kepala keluarga,
pendidikan kepala keluarga, luas lahan
pertanian, perbandingan harga GKP terhadap
harga bawang merah, perbandingan harga
GKP terhadap harga bawang putih,
perbandingan harga GKP terhadap harga
minyak goreng, perbandingan harga GKP
terhadap harga gula, perbandingan harga GKP
terhadap harga cabe, perbandingan harga GKP
terhadap harga mie instan, perbandingan harga
GKP terhadap harga tempe, dan perbandingan
harga GKP terhadap harga daging ayam.
SARAN
a) Adanya kesempatan bekerja, terutama pada
sektor non formal akan membantu petani kecil
untuk memperoleh kesempatan bekerja disela
kegiatan usahatani sehingga dapat
meningkatkan pendapatan rumahtangga tani.
Pendapatan yang lebih besar tersebut dapat
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
rumahtangga sehingga petani dapat
menyimpan lebih banyak, baik dalam bentuk
tabungan maupun produk pertanian.
b) Stabilitas harga bahan pangan pokok serta
perlindungan harga output pertanian sangat
diperlukan karena terkait dengan pendapatan
petani serta kemampuan petani dalam
memenuhi kebutuhan pokok rumahtangga.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Fakultas Pertanian UGM yang telah memberikan
research grant untuk penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abera, G. (2009). Commercialization of smallholder
farming : Determinants and welfare outcomes
(Master Thesis). Norway: University of Agder.
Aderemi, E. O., Omonona, B. T., Yusuf, S. A., and
Oni, O. A. (2014). Determinants of output
commercialization among crop farming
households in South Western Nigeria. American
Journal of Food Science and Nutrition
Research, 1 (4), 23-27.
Agwu, N. M., Anyanwu, C. I., and Mendie, E. I.
(2012). Socio-economics determinants of
commercialization among smallholder farmers
in Abia State, Nigeria. Greener Journal of
Agricultural Sciences, 2 (8), 392-397.
Bardhan, K. (1970). Price and output response of
marketed surplus of foodgrains : a cross-
sectional study of some North Indian Villages.
American Journal of Agricultural Economics,
52 (1), 51-61.
Borooah, V. K. (2002). Logit and Probit, Ordered
and Multinomial Model. London, Thousand
Oaks: Sage Publications, Inc.
Darwanto, D. H. (2005). Ketahanan pangan berbasis
produksi dan kesejahteraan petani. Ilmu
Pertanian, 12 (2), 152-164.
Davidova, S., Fredriksson, L., and Bailey, A. (2009).
Subsistence and semi-subsistence farming in
selected EU New Member States. Agricultural
Economics, 40 (1), 733-744.
Eviews. 2001. Eviews 4.0 Userβs Guide. USA:
Quantitative Micro Software.
FAO. (2014). Understanding smallholder farmer
attitudes to commercialization : the case of
maize in Kenya. Rome.
Green, W. H. (1993). Econometric Analysis. New
York: Macmillan Publishing Company.
Hussain, A., Chauhan, J., Singh, A. K. and Yousuf,
S. (2009). A study on adooption behaviour of
farmers in Kashmir Valley. Indian Res. J. Ext.
Edu, 9 (2), 46-49.
Kirui, O. K. and Njiraini, G. W. (2013).
Determinants of agricultural commerciali-
zation among the rural poor : the role of ICT
and collective action iniciatives and gender
perspective in Kenya. Hammanet, Tunisia:
AAAE Fourth International Conference,
September 22-25.
Kostov, P. and Lingard, J. (2004). Subsistence
farming in transitional economies : its roles and
determinants. Journal of Agricultural
Economics, 55 (3), 565-579.
Lerman, Z. (2004). Policies and institutions for
commercialization of subsistence farms in
transition countries. Journal of Asian
Economics, 15 (3), 461-479.
309
Mathijs, E. (2002). Micro-economic analysis of farm
restructuring in central and Eastern Europe: an
overview of major results. Agricultural
Economics Journal, 48 (5).
Mathijs, E. and Noev, N. (2002). Commercialization
and subsistence in transaction agriculture:
empirical evidence from Albania, Bulgaria,
Hungary and Romania. Paper Prepared for
Presentation at the Xth EAAE Congress
βExploring Diversity in the European Agri-Food
Systemβ, Zaragoza (Spain), 28-31 August 2002.
Murbyarto. (1965). The elasticity of the marketable
surplus of rice in Indonesia : a study in Java-
Madura (Doctoral dissertation). Iowa: Iowa
State University.
Okezie, C. A., Sulaiman, J., and Nwosu, A. C.
(2012). Farm-level determinants of agriculture
commercialization. International Journal of
Agriculture and Forestry, 2 (2), 1-5.
Rahut, D. B., Castellanos, I. V., and Sahoo, P. (2010).
Commercialization of agriculture in the
Himalayas. Chiba, Japan: Institute of
Developing Economies (IDE) Paper No. 265.
Starsberg, P. J., Jayne, T. S., Yamano, T., Nyoro, J.,
Karanja, D., and Strauss, J. (1999). Effect of
agricultural commercialization on food crop
input use and productivity in Kenya (Working
Paper No. 71). East Lansing, Michigan:
Department of Agricultural Economics,
Department of Economics, Michigan State
University.
Theil, H. (1971). Principles of Econometrics. New
York: Wiley Publication.
Timmer, C. P. (1997). Farmers and markets: the
political economy of new paradigms. American
Journal of Agricultural Economics, 79 (2), 621-
627.
von Braun, J. (1995). Agricultural commercializa-
tion: impact on income and nutrition and
implication for policy. Food Policy, 20 (3), 187-
202.
Widarjono, A. (1992). Ekonometrika: Teori dan
Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Penerbit
Ekonisia, Yogyakarta.
Wiggins, S., Kodhek, G. A., Leavy, J. and Poulton,
C. (2011). Small farm commercialization in Africa :
Reviewing the issues. Research Paper. Future
Agricultures.
310
311
Dampak Agrowisata Desa Cihideung Terhadap Aspek Ekonomi, Sosial Budaya,
dan Lingkungan (Studi Kasus di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong,
Kabupaten Bandung Barat)
Impact of Cihideung Village Agrotourism Based on Economic, Social Cultural, and
Environment (Case Study at Cihideung Village, Parongpong Sub District, West Bandung
District)
Anita Putri Kemala1, Rani Andriani Budi Kusumo1
1Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci:
Agrowisata
Dampak
Ekonomi
Sosial Budaya
Lingkungan
Desa Cihideung memiliki keunggulan dalam bidang pertanian sebagai penghasil bunga
sehingga menjadi agrowisata bunga. Agrowisata memberikan dampak terhadap
masyarakat dan lingkungan sekitarnya..Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
1) dampak positif agrowisata Desa Cihideung (2) dampak negatif agrowisata Desa
Cihideung dilihat dari aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan serta 3) kendala
dalam pengembangan agrowisata Desa Cihideung. Desain penelitian yang digunakan
adalah kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Informan ditentukan dengan
sengaja. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data
menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agrowisata
Desa Cihideung memberikan dampak positif yaitu adanya peningkatan pendapatan
masyarakat, meluasnya kesempatan kerja, peningkatan sarana dan prasarana desa,
meningkatkan keberagaman mata pencaharian, dan mempertahankan tradisi,
sedangkan dampak negatif agrowisata yaitu meningkatkan harga lahan, merubahan
gaya hidup menjadi konsumtif, menimbulkan terjadinya migrasi baik ke dalam
maupun ke luar Desa Cihideung, mengurangi tingkat kerukunan, meningkatkan
kriminalitas, menimbulkan polusi air, udara, suara, limbah padat, dan menimbulkan
kemacetan. Kendala dalam pengembangan agrowisata yaitu sarana dan prasarana
belum memadai, kurangnya kesadaran sumber daya manusia, kurangnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah, kurangnya atraksi wisata, dan investor yang kurang
mendukung agrowisata.
ABSTRACT
Keywords:
Agrotourism
Impact
Economic
Social Cultural
Environment
Cihideung Village has agricultural advantage as producer of flowers so it is really
potential to be an agrotourism area. Agrotourism influences the social environtment
in this village. The objective of this research to identify 1) the positive impact of
agrotourism 2) the negative impact of agrotourism based on economic, social culture,
and social environtment and 3) the constraint in the development of agrotourism. The
research design used qualitative method specifically the case study technique. This
research was conducted in Cihideung Village, Parongpong Sub District, West
Bandung District. Informants were selected purposively. The data used primary and
secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis. The result
showed that the positive impact of agrotourism were increasing income, increasing
jobs opportunity, improving infrastructure, expanding livelihood, and preseving
tradition. The negative impact of agrotourism were increasing the price of land,
changing lifestyle become consumptive, fuel migration to the outside and into
Cihideung Village, reducing the level of harmony, increasing the number of crime,
pollution, and traffic. The constraint in the development of agrotourism are lack of
infrastructure, lack of human resources awarness, lack of public confidence to
government, lack of tourist attractions, and investor are less support of agrotourism.
* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]
312
PENDAHULUAN
Sektor pariwisata merupakan sektor yang
menyumbang devisa dalam perekonomian di
Indonesia. Sejak tahun 2010, devisa sektor pariwisata
di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya
hingga menduduki peringkat ke-4 pada tahun 2013
yang sebelumnya menduduki peringkat ke-5 sebagai
penghasil devisa terbesar di Indonesia.
Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2014)
Gambar 1. Ranking devisa 5 terbesar di Indonesia tahun 2010 β
2013.
Pariwisata unggulan di Indonesia yaitu
wisata alam karena Indonesia adalah negara agraris
yang kaya akan pertanian. Sektor pertanian selain
menghasilkan manfaat dari aspek produk
pertaniannya, juga memiliki keindahan alam yang
dapat dikembangkan sebagai objek wisata alam
satunya yaitu dijadikan agrowisata. Agrowisata
menurut Tinaprilla dan Elang (2008) adalah wisata
khusus perpaduan antara budidaya pertanian dan
pariwisata yang merupakan rekayasa dari objek
pertanian untuk dijadikan objek wisata.
Desa Cihideung merupakan salah satu
agrowisata yang berada di Kabupaten Bandung
Barat. Desa Cihideung merupakan agrowisata alami
yang dikelola oleh masyarakatnya sendiri. Hal ini
berbeda dengan agrowisata lainnya di Kabupaten
Bandung Barat yang pada umumnya dikelola oleh
pihak swasta. Desa Cihideung dijadikan agrowisata
karena mayoritas masyarakatnya bermata
pencaharian sebagai petani bunga yaitu lebih dari 80
persen warga Desa Cihideung menjadi petani bunga
(Disparbud Jabar, 2011). Berdasarkan Perda
Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung
Barat Tahun 2009-2029, Desa Cihideung termasuk
kedalam kawasan pariwisata yang diarahkan untuk
mewujudkan pengembangan kawasan wisata alam
berdasarkan potensi dan kearifan lokal dalam
pelestarian lingkungan.
Saat ini jumlah petani bunga di Desa
Cihideung terancam karena semakin sedikit para
generasi muda yang berkeinginan untuk meneruskan
untuk menjadi petani bunga. Hal ini karena
banyaknya usaha milik investor yang didirikan di
Desa Cihideung untuk memenuhi sarana penunjang
wisatawan ke Desa Cihideung seperti perhotelan dan
restoran sehingga mereka lebih memilih untuk
bekerja di sektor tersebut. Hal ini juga membuat
lahan untuk membudidayakan bunga di Desa
Cihideung semakin berkurang karena para penerus
yang seharusnya menjadi petani bunga memilih
untuk menjual lahan tersebut sehingga lahan tersebut
sudah beralih ke sektor non pertanian. Walaupun
dengan adanya usaha milik investor akan membuka
lapangan pekerjaan di Desa Cihideung, tetapi apabila
para generasi muda ikut mengambil kesempatan
tersebut dengan memilih untuk bekerja di sektor jasa
dibandingkan menjadi petani bunga maka akan
mengancam kelangsungan petani bunga di Desa
Cihideung termasuk agrowisata Desa Cihideung
karena agrowisata tersebut tidak terlepas dari para
petani bunga di Desa Cihideung.
Kegiatan wisata secara langsung menyentuh
dan melibatkan masyarakat di mana keterlibatan
masyarakat tersebut dihasilkan dari adanya interaksi
antara masyarakat, wisatawan, dan pemerintah yang
ditimbulkan suatu kawasan wisata sehingga
menimbulkan dampak terhadap masyarakat. Dengan
adanya pengembangan Desa Cihideung sebagai
kawasan agrowisata akan menimbulkan dampak
terhadap masyarakat di Desa Cihideung baik dari
aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan di
mana dampak tersebut dapat berupa dampak positif
maupun dampak negatif. Dari pemaparan di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dampak positif yang
ditimbulkan dari agrowisata Desa Cihideung
2. Mengidentifikasi dampak negatif yang
ditimbulkan dari agrowisata Desa Cihideung
3. Mengidentifikasi kendala pengembangan
agrowisata Desa Cihideung.
KERANGKA TEORI/ KERANGKA KONSEP
Pengertian Agrowisata
Agrowisata menurut Tinaprilla dan Elang
(2008) adalah wisata khusus perpaduan antara
budidaya pertanian dan pariwisata yang merupakan
rekayasa dari objek pertanian untuk dijadikan objek
wisata. Objek wisata kunjungan pertanian yang
dimaksud di sini berupa kunjungan wisata untuk
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
45,000
2010 2011 2012 2013
Minyakdan GasBumi
Batu Bara
MinyakKelapaSawit
KaretOlahan
Pariwisata
Tahun
juta
US
$
Ranking Devisa 5 Terbesar di Indonesia Tahun 2010 - 2013
313
memperkenalkan sistem budidaya pertanian baik
tradisional maupun modern.
Agrowisata menurut Adisukarjo (2006)
adalah wisata yang sarananya adalah pertanian,
perkebunan, atau kehutanan. Agrowisata biasanya
dikembangkan di daerah pegunungan yang udaranya
cukup sejuk.
Agrowisata menurut Bappenas (2004) adalah
pengembangan industri wisata alam yang bertumpu
pada pembudidayaan kekayaan alam. Industri ini
mengandalkan pada kemampuan budidaya baik
pertanian, peternakan, perikanan atau pun kehutanan.
Dampak Agrowisata
(1) Dampak Ekonomi
Menurut Yoeti (2008), dilihat dari aspek
ekonomi, pariwisata memberikan dampak yaitu
meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan
kesempatan berusaha, meningkatkan pendapatan
masyarakat, meningkatkan penerimaan pajak
pemerintah dan retribusi daerah, meningkatkan
pendapatan nasional, meningkatkan devisa negara,
meningkatkan harga tanah, dan memberikan dampak
efek pengganda atau multiplier effect. Waluya (2013)
menambahkan adanya pariwisata dapat mendorong
pembangunan didaerah berupa perbaikan sarana dan
prasarana di lingkungan daerah karena pemerintah
mendapat income yang dapat digunakan untuk
pembangunan sarana dan prasarana yang kurang
memadai.
Menurut Deptan (2002) atraksi wisata juga
dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta
masyarakat di sekitarnya. Wisatawan yang
berkunjung akan menjadi konsumen produk
pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil
menjadi lebih efisien. Selain itu, dengan adanya
kesadaran petani akan arti petingnya kelestarian
sumber daya, maka kelanggengan produksi menjadi
lebih terjaga yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat
sekitar, dengan banyaknya kunjungan wisatawan,
mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha
dengan menyediakan jasa dan menjual produk yang
dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.
Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak
lain untuk belajar atau magang dalam pelaksanaan
kegiatan budidaya ataupun atraksi-atraksi lainnya
sehingga dapat menambah pendapatan petani.
(2) Dampak Sosial Budaya
Menurut Pitana (2009) pariwisata dari segi
sosial budaya akan menimbulkan dampak dalam
bentuk perubahan perilaku manusia akibat interaksi
di dalam masyarakat antara wisatawan dengan
penduduk lokal dan pemerintahan setempat.
Perubahan perilaku tersebut diakibatkan adanya
kegiatan meniru perilaku wisatawan. Hal ini akan
memberikan dampak negatif apabila masyarakat
meniru perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku di masyarakat daerah wisata.
Masyarakat yang meniru perilaku wisatawan
dikarenakan adanya dorongan masyarakat untuk
mengejar sesuatu yang mereka tak punya, sesuatu
yang baru, dan tampak baik yang dikenakan atau
dilakukan oleh wisatawan.
Pariwisata juga memberikan dampak
terhadap kerukunan masyarakat di daerah tujuan
wisata. Keberadaan orang baru di suatu wilayah akan
mengakibatkan terjadinya keseimbangan baru pada
sistem sosial di wilayah tersebut. Keseimbangan baru
tersebut dapat dicapai baik malalui mekanisme damai
atau konflik. Tingkat penerimaan atau akseptabilitas
komunitas lokal terhadap datangnya wisatawan pada
suatu kawasan wisata akan menimbulkan reaksi pada
tingkat kerukunan masyarakat (damai atau konflik)
dalam derajat tertentu.
Cohen (dalam Pitana, 2009) mengatakan
bahwa dampak pariwisata terhadap sosial budaya
masyarakat adalah adanya dampak terhadap migrasi
dari dan ke daerah pariwisata. Hal tersebut
mengakibatkan jumlah penduduk di daerah wisata
menjadi padat. Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya migrasi tersebut karena adanya
kesempatan bekerja di sektor pariwisata sehingga
menarik pendatang untuk tinggal di daerah wisata.
Menurut Pizam et al (dalam Pitana, 2009)
pariwisata berpotensi sebagai faktor penentu
munculnya berbagai bentuk kriminal. Kriminalitas
dapat terjadi karena adanya wisatawan yang datang
ke daerah wisata dan dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk memperoleh hal yang tidak mereka miliki
namun dimiliki oleh para wisatawan. Dampak
lainnya yaitu perubahan mata pencaharian karena
adanya potensi untuk dapat bekerja dalam memenuhi
kebutuhan wisatawan ataupun untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya..
Menurut Budi (1993) pariwisata dapat
menggairahkan perkembangan budaya dan tradisi
asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur
budaya yang hampir dilupakan. Di lain pihak
pariwisata dapat mengubah corak berbagai unsur
kebudayaan. Misalnya kesenian dan upacara tradisi
yang semula dilakukan karena motivasi tradisional
dan spiritual yang berakar sangat kuat dalam
kebudayaan masyarakat, menjadi lepas dari motivasi
asli. Hal ini karena adanya tuntutan komersial. Tidak
menutup kemungkinan juga dengan adanya
pariwisata akan memudarkan tradisi di masyarakat.
314
(3) Dampak Lingkungan
Menurut Nugroho (2011), kegiatan sektor
pariwisata dapat menghasilkan polusi berwujud
seperti emisi, kebisingan, sampah, limbah, minyak
dan bahan kimia, atau gangguan pemandangan.
Polusi dapat berwujud sampah (padat) adalah
fenomena umum dari sektor pariwisata. Karena
perilaku yang lebih konsumtif dibanding penduduk
lokal, volume sampah pada wilayah tujuan wisata
akan sangat tinggi. Sampah-sampah tersebut
walaupun terdegradasi, namun tetap mempengaruhi
kualitas air, udara, dan tanah yang menyebabkan
kematian biota-biota di dalamnya.
Polusi lain dari aktivitas wisata adalah
limbah atau air kotor dan gangguan estetika. Limbah
mengalir dari berbagai aktifitas selama konstruksi
hingga digunakannya berbagai sarana dan prasarana
wisata. Air tersebut akan mengalir ke badan-badan
air seperti sungai, danau, pantai, hingga lautan.
Karakteristik kimia dan lingkungan air akan
terganggu dan dapat mengakibatkan kematian flora
dan fauna, kerusakan terumbu karang, dan ancaman
kesehatan terhadap manusia.
Menurut Pitana (2009) pariwisata dari segi
lingkungan akan menimbulkan dampak terhadap
penurunan kualitas lingkungan apabila terjadi
penurunan kebersihan alam lingkungan dan
timbulnya kadar polusi lingkungan seperti air dan
udara. Selain itu dampak yang ditimbulkan adalah
kemacetan lalu lintas di kawasan wisata karena
banyaknya jumlah wisatawan yang datang ke tempat
wisata.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Yoeti
(2008), dampak yang ditimbulkan dari adanya
pariwisata adalah sumber-sumber hayati menjadi
rusak yang menyebabkan Indonesia kehilangan daya
tariknya untuk jangka panjang. Selain itu juga
menimbulkan dampak terhadap ramainya lalu lintas.
Namun menurut Deptan (2002) dengan adanya
pariwisata khususnya agrowisata juga dapat
melestarikan sumber daya alam. Maka dari itu
agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata
ekologi (ecotoursm), yaitu kegiatan perjalanan wisata
dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan
tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan
alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan
alaminya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa
Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat Penelitian ini
menggunakan desain kualitatif dan teknik penelitian
studi kasus.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara,
observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Informan
ditentukan dengan sengaja (purposive). Informan
penelitian ini yaitu Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat,
aparatur pemerintahan Desa Cihideung, tokoh
seni dan budaya Desa Cihideung, Pertahanan
Sipil Desa Cihideung, Ketua Kelompok Tani di
Desa Cihideung. Dan masyarakat Desa
Cihideung sebanyak sebelas orang. Data yang
digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis
data menggunakan analisis deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Dampak Positif Agrowisata
(1) Aspek Ekonomi
a. Pendapatan
Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata membuat pendapatan masyarakat
meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1. Pendapatan tersebut merupakan
pendapatan kotor yang diperoleh masyarakat Desa
Cihideung yang memanfaatkan agrowisata untuk
memperoleh pendapatan.
Tabel 1.Perubahan Pendapatan Masyarakat Desa
Cihideung Akibat Agrowisata
Sebelum Masyarakat
Memanfaatkan Agrowisata
Setelah Masyarakat
Memanfaatkan Agrowisata Pening-
katan
Penda-
patan
(%) Mata
Pencaharian
Pendapatan
(Rp/bulan)
Mata
Pencaharian
Pendapatan
(Rp/bulan)
Petani
bunga 13.500.000
Petani bunga
dan penjual
souvenir
19.000.000 28,95
Petani
bunga 3.000.000
Petani bunga
dan
pengusaha
rumah makan
33.400.000 91,02
Petani
bunga 5.000.000
Petani bunga
dan
pengusaha
kost-kostan
14.000.000 64,29
Petani
bunga dan
pendekorasi
bunga
9.000.000
Petani bunga
dan
pendekorasi
bunga
13.000.000 30,77
Petani
bunga 9.000.000
Petani bunga
dan bandar 18.000.000 50,00
Petani
bunga 14.000.000
Petani bunga
dan pemandu
wisatawan
16.400.000 14,63
Penjual
buah 6.000.000
Pengusaha
rumah makan
dan warung
21.000.000 71,43
315
Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata membuat pendapatan masyarakat
meningkat karena adanya kedatangan wisatawan ke
Desa Cihideung yang secara langsung menjadi
konsumen bunga dan memberikan peluang kepada
masyarakat untuk membuka usaha seperti rumah
makan, warung, kost-kostan, menjual souvenir, dan
menjadi pemandu wisatawan. Selain itu pendapatan
meningkat juga dikarenakan semakin terkenalnya
Desa Cihideung sebagai penghasil bunga sehingga
petani meningkatkan kuantitas bunganya untuk
memenuhi permintaan konsumen. Oleh karena itu
dengan adanya agrowisata dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat Desa Cihideung.
b. Kesempatan Kerja
Menurut Yoeti (2008) dengan datangnya
wisatawan akan membuka lapangan pekerjaan di
daerah wisata. Setelah Desa Cihideung menjadi
kawasan agrowisata memberikan peluang kerja yang
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan Kesempatan Kerja di Desa
Cihideung Akibat Agrowisata Kesempatan Kerja
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Kesempatan kerja
belum banyak
tersedia di Desa Cihideung.
Kesempatan kerja meluas dengan
adanya kesempatan kerja untuk
bekerja di sektor jasa milik investor dan memberikan peluang
kepada masyarakat untuk
membuka usaha seperti warung,
rumah makan, souvenir, dan kost-kostan, juga meluasnya
kesempatan kerja sebagai buruh
tani.
Terserapnya tenaga kerja lokal akibat
pariwisata menunjukkan bahwa sektor pariwisata
menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk
setempat. Para pendatang yang berasal dari daerah
lain juga mendapat kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan di daerah wisata. Dengan demikian,
pengembangan agrowisata Desa Cihideung akan
memperluas kesempatan kerja karena usaha ini dapat
menyerap tenaga kerja dari masyarakat di Desa
Cihideung sehingga dapat menahan atau mengurangi
arus urbanisasi dan mengurangi pengangguran.
Menurut Gusti (2012) agrowisata dapat mengurangi
urbanisasi karena dengan adanya agrowisata di
pedesaan, kaum muda tidak perlu pergi ke kota untuk
bekerja.
c. Sarana dan Prasarana Menurut Waluya (2013) unsur pokok yang
harus mendapat perhatian guna menunjang
pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata
yaitu sarana dan prasarana wisata. Adanya
perubahan sarana dan prasarana di Desa
Cihideung setelah Desa Cihideung menjadi
kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 3. Pengembangan pariwisata akan berhasil jika
didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana
wisata yang baik. Fasilitas yang tepat dan dipadu
dengan pelayanan yang baik oleh semua pihak baik
pemerintah maupun swasta yang berhubungan
dengan wisatawan akan sangat menunjang
keberhasilan kawasan wisata tersebut. Perbaikan
sarana dan prasarana di Desa Cihideung bertujuan
untuk menunjang kegiatan agrowisata di Desa
Cihideung dengan memfasilitasi pengunjung agar
tertarik untuk datang ke Desa Cihideung. Agrowisata
tidak dapat berdiri sendiri namun harus di dukung
dengan sarana dan prasarana yang memadai. Dengan
adanya pembangunan sarana dan prasarana di Desa
Cihideung juga memberikan dampak terhadap
pembangunan desa.
Tabel 3. Perubahan Sarana dan Prasarana di Desa
Cihideung Akibat Agrowisata Sarana dan Prasarana
Sebelum Desa
Cihideung
Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Sarana dan
prasarana belum
mendukung agrowisata Desa
Cihideung.
Berkembangnya sarana dan prasarana
untuk mendukung agrowisata di Desa
Cihideung seperti perbaikan jalan, bantuan pot tanaman, pembangunan
gapura agrowisata, munculnya Tourist
Information Centre, dan munculnya
hotel, villa, dan usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.
(2) Aspek Sosial Budaya
a. Mata Pencaharian
Menurut Gusti (2012) agrowisata dapat
meningkatkan gairah untuk meningkatkan usaha
karena wisatawan bersentuhan langsung dengan
penduduk lokal di mana objek tersebut
dikembangkan. Setelah Desa Cihideung menjadi
kawasan agrowisata membuat mata pencaharian di
Desa Cihideung yang mayoritas sebagai petani bunga
semakin beragam karena memunculkan usaha baru
yang sebelumnya tidak ada misalnya dengan
membuka rumah makan dan warung karena
diharapkan banyaknya wisatawan yang mampir ke
rumah makan dan warung tersebut akibat semakin
banyaknya wisatawan yang datang ke Desa
Cihideung, juga menjual souvenir kepada wisatawan.
Keunikan wilayah Desa Cihideung sebagai
kawasan agrowisata membuat banyaknya investor
316
yang mendirikan usaha di Desa Cihideung seperti
perhotelan dan wisata lainnya. Usaha tersebut
membuat masyarakat Desa Cihideung memiliki mata
pencaharian di sektor jasa karena sebagian tenaga
kerja diambil dari masyarakat Desa Cihideung
walaupun masyarakat Desa Cihideung yang bekerja
di usaha tersebut bukan untuk tenaga kerja ahli. Hal
inilah yang membuat masyarakat membuka usaha
baru seperti usaha penyewaan kost-kostan dan rumah
kontrakan karena beberapa tenaga kerja yang bekerja
di tempat milik investor didatangkan dari luar Desa
Cihideung. Biasanya yang membuat kost-kostan atau
rumah kontrakan adalah petani yang memiliki lahan
luas sehingga menggunakan sebagian lahannya untuk
mendirikan usaha tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa agrowisata dapat menghidupkan sektor lain
yang mendukung agrowisata.
b. Tradisi
Ritual Irung-irung merupakan ritual di Desa
Cihideung yang dilakukan setiap bulan Agustus.
Irung-irung merupakan salah satu sumber mata air
bagi masyarakat Desa Cihideung. Tradisi Irung-irung
merupakan ritual yang bertujuan agar masyarakat
merawat sumber mata air dan juga merupakan bentuk
rasa syukur karena telah dikaruniai sumber mata air
yang tidak pernah surut. Perubahan tradisi Irung-
irung yang terjadi setelah Desa Cihideung menjadi
kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan Tradisi di Desa Cihideung
Akibat Agrowisata Tradisi
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Tradisi Mata Air
Irung-Irung dilakukan
karena kepercayaan masyarakat. Acara
kegiatan hanya
menampilakan atraksi
dan kesenian sunda.
Tradisi Mata Air Irung-irung
diangkat menjadi Festival
Cihideung sehingga tradisi tersebut tetap bertahan. Tujuannya selain
karena kepercayaan masyarakat
yang harus dilakukan sekaligus
untuk mempromosikan agrowisata Desa Cihideung dengan kegiatan
acara kesenian Sunda dan lomba
dekorasi bunga
Menurut Budi (1993) pariwisata dapat
mengakibatkan budaya lokal menjadi komoditas
yang dapat diperdagangkan ketika suatu ritual
diadakan untuk permintaan dan kepuasan wisatawan.
Misalnya kesenian dan upacara tradisi yang semula
dilakukan karena motivasi tradisional dan spiritual
yang berakar sangat kuat dalam kebudayaan
masyarakat menjadi lepas dari motivasi asli. Hal ini
karena adanya tuntutan komersial. Tidak menutup
kemungkinan juga dengan adanya pariwisata akan
memudarkan tradisi di masyarakat. Namun
pariwisata juga dapat menggairahkan perkembangan
budaya dan tradisi asli, bahkan dapat juga
menghidupkan kembali unsur budaya yang hampir
dilupakan.
Diangkatnya tradisi Mata Air Irung-Irung ke
rangkaian acara Cihideung Festival membuat tradisi
tersebut tetap bertahan. Mereka tetap
mempertahankan tradisi tersebut tanpa ada unsur
memperdagangkan tradisi mereka karena tradisi
tersebut memang suatu keharusan dan kepercayaan
masyarakat Desa Cihideung untuk selalu
dilaksanakan setiap tahunnya.
2. Dampak Negatif Agrowisata
(1) Aspek Ekonomi
a. Harga Tanah
Menurut Yoeti (2008) pariwisata dapat
meningkatkan harga tanah di daerah wisata seperti
yang terjadi di Desa Cihideung. Kenaikan harga
tanah di Desa Cihideung terjadi setelah Desa
Cihideung berkembang menjadi kawasan agrowisata
karena para investor tertarik untuk menginvestasikan
tanah di Desa Cihideung yang nantinya akan mereka
bangun untuk mendirikan usaha. Kenaikan harga
tanah di Desa Cihideung dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perubahan Harga Tanah di Desa Cihideung
Akibat Agrowisata
Tanah
Harga (Rupiah/meter)
Sebelum Desa
Cihideung
Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung
Menjadi Kawasan
Agrowisata
Jual Rp75.000 Rp500.000 β Rp4.000.000
Sewa - Rp2.000 β Rp10.000/tahun
Agrowisata memberikan dampak terhadap
tingginya harga tanah di Desa Cihideung yang
berakibat banyaknya petani yang tergiur untuk
menjual tanahnya sehingga tanah di Desa Cihideung
dikuasai oleh investor. Hal ini akan mengancam para
petani apabila lahan-lahan milik investor sudah
dibangun sehingga tidak tersedia lahan lagi untuk
disewa oleh petani yang tidak mempunyai lahan.
Petani yang tidak memiliki lahan ataupun tidak
sanggup menyewa lahan yang semakin tinggi
harganya dapat memberikan dampak terhadap petani
untuk berpindah mata pencaharian atau pindah ke
luar Desa Cihideung karena sudah tidak tersedia
lahan lagi di Desa Cihideung. Hal ini tentu akan
mengancam para petani bunga di Desa Cihideung di
mana ciri khas Desa Cihideung adalah
masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani bunga.
317
(2) Aspek Sosial Budaya
a. Migrasi
Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata menimbulkan terjadinya migrasi
masyarakat Desa Cihideung ke luar Desa Cihideung.
Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Perpindahan penduduk ke luar Desa
Cihideung terjadi karena masyarakat yang menjual
seluruh tanahnya kepada investor memilih
menggunakan uang hasil menjual tanahnya di Desa
Cihideung untuk membeli tanah di daerah lain di luar
Desa Cihideung seperti ke daerah Pangalengan,
Ciwidey, Subang, Garut, dan Cianjur lalu menetap di
sana. Mereka pindah ke daerah tersebut karena harga
tanah di daerah tersebut lebih murah dibandingkan
dengan di Desa Cihideung sehingga mereka
mendapatkan keuntungan dari hasil menjual tanah di
Desa Cihideung.Adanya persaingan antara petani
bunga di Desa Cihideung juga menimbulkan adanya
perpindahan penduduk ke luar Desa Cihideung.
Masyarakat Desa Cihideung yang merasa lebih
menguntungkan untuk menjadi petani bunga di luar
Desa Cihideung karena terlalu padatnya petani bunga
di Desa Cihideung lebih memilih untuk pindah ke
luar Desa Cihideung seperti ke daerah Sumatera dan
Jawa. Tabel 6. Perubahan Migrasi di Desa Cihideung Akibat
Agrowisata
Migrasi
Sebelum Desa Cihideung
Menjadi Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung
Menjadi Kawasan
Agrowisata
Ke Luar
Desa
Cihideung
Ke Dalam
Desa
Cihideung
Ke Luar
Desa
Cihideung
Ke Dalam
Desa
Cihideung
Migrasi
terjadi
karena
keperluan
pendidikan dan akibat
adanya
pernikahan.
Migrasi
terjadi
akibat
adanya
pernikahan.
Migrasi terjadi
karena
keperluan
pendidikan
dan pernikahan,
juga akibat
masyarakat
menjual seluruh
tanahnya di
Desa
Cihideung dan karena adanya
persaingan
sesama petani
bunga.
Migrasi
terjadi akibat
adanya
pernikahan
dan karena tersedianya
kesempatan
kerja di Desa
Cihideung.
Perpindahan penduduk ke Desa Cihideung
terjadi karena tidak sedikit buruh tani yang
didatangkan dari luar Desa Cihideung. Masyarakat
Desa Cihideung sangat sedikit yang berkeinginan
untuk bekerja sebagai buruh tani. Mereka lebih
memilih untuk menjadi petani dibandingkan harus
bekerja untuk petani lain. Para pendatang tersebut
didatangkan dari Jawa, Sukabumi, Cililin, dan
Subang.
Banyaknya bermunculan sarana pendukung
agrowisata yang didirikan oleh investor juga
menimbulkan kedatangan masyarakat di luar Desa
Cihideung ke Desa Cihideung. Beberapa pekerja
yang bekerja di perusahaan yang didirikan oleh
investor didatangkan dari luar Desa Cihideung
karena tidak semua pekerja merekrut tenaga kerja di
Desa Cihideung. Hal tersebut karena adanya
kebutuhan merekrut tenaga ahli yang tidak tersedia di
Desa Cihideung. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Aryunda (2011) daerah tujuan wisata banyak
didatangi oleh tenaga kerja karena terbukanya
peluang dan kesempatan kerja yang tercipta oleh
adanya kegiatan yang berhubungan dengan
pariwisata.
Gambar 2 menunjukkan persentase
perpindahan penduduk Desa Cihideung pada tahun
2014. Banyaknya migrasi ke luar Desa Cihideung
yang ditimbulkan setelah Desa Cihideung menjadi
kawasan agrowisata dapat mengakibatkan jumlah
penduduk Desa Cihideung yang mayoritas sebagai
petani bunga semakin berkurang apabila masyarakat
Desa Cihideung yang melakukan migrasi tersebut
adalah petani. Hal ini dapat mengancam agrowisata
Desa Cihideung karena agrowisata tidak terlepas dari
para petani bunga di Desa Cihideung. Sedangkan hal
yang dapat terjadi akibat adanya perpindahan
penduduk ke Desa Cihideung dapat menimbulkan
kepadatan penduduk di Desa Cihideung apabila
jumlah penduduk tidak sebanding dengan kapasitas
luas Desa Cihideung.
Sumber: Laporan Mutasi Penduduk Desa Cihideung (2014)
Gambar 2.Perpindahan Penduduk Desa Cihideung
Tahun 2014.
b. Gaya Hidup
Adanya hubungan wisatawan dengan
masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap
gaya hidup masyarakat daerah tujuan wisata.
Perubahan gaya hidup yang terjadi setelah
64%
36%
Perpindahan Penduduk Desa Cihideung
Tahun 2014
Ke luar Desa Cihideung Ke dalam Desa Cihideung
318
berkembangnya Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perubahan Gaya Hidup di Desa Cihideung
Akibat Agrowisata Gaya Hidup
Sebelum Desa
Cihideung
Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Gaya hidup
masyarakat
Desa Cihideung
yaitu sesuai dengan
masyarakat
pedesaan yang
memiliki gaya hidup
sederhana.
Tidak terpengaruhnya gaya hidup
wisatawan terhadap masyarakat Desa
Cihideung yang dianggap tidak sesuai
dengan budaya masyarakat Desa Cihideung. Namun gaya hidup berubah
menjadi konsumtif karena adanya
peningkatan pendapatan seperti memiliki
barang mewah dan munculnya sarana dalam memenuhi kebutuhan wisatawan
sehingga masyarakat masih beraktivitas di
malam hari.
Perubahan gaya hidup dapat memberikan
pengaruh positif atau negatif bagi yang
menjalankannya, tergantung pada bagaimana orang
tersebut menjalaninya. Menurut Sudiarta (2005)
dampak sosial yang ditimbulkan dari kawasan
pariwisata yaitu adanya gaya hidup mewah
masyarakat desa yang sudah terangkat secara
ekonomi.
c. Kerukunan Kerukunan dapat dilihat dengan tidak adanya
konflik yang terjadi di masyarakat. Perubahan
kerukunan yang terjadi akibat berkembangnya Desa
Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan Kerukunan di Desa Cihideung
Akibat Agrowisata Kerukunan
Sebelum Desa
Cihideung
Menjadi Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Tidak adanya
konflik antar
masyarakat dengan
wisatawan ataupun
investor karena
belum adanya
wisatawan dan
investor yang datang ke Desa
Cihideung.
Masyarakat
dengan
Wisatawan
Masyarakat
dengan
Pendatang
(Investor)
Konflik terjadi
karena ada perbedaan
perilaku
wisatawan yang
tidak sesuai dengan budaya
masyarakat di
Desa
Cihideung.
Konflik terjadi
karena investor membuka usaha
yang tidak sesuai
dengan budaya
masyarakat Desa Cihideung.
Terjadinya konflik antara wisatawan
dengan masyarakat Desa Cihideung dikarenakan
adanya perbedaan perilaku wisatawan yang tidak
sesuai dengan budaya masyarakat di Desa Cihideung.
Wisatawan yang datang di mana mereka adalah
masyarakat perkotaan yang identik dengan sifat
individualis memiliki sifat yang berbeda dengan
masyarakat desa yang masih bersifat kekeluargaan.
Masyarakat yang tidak menerima budaya wisatawan
yang datang ke Desa Cihideung akan merasa
terganggu dengan kehadiran wisatawan. Selain itu
pelaku investor yang hanya mementingkan
keuntungan tanpa memikirnya budaya yang ada di
Desa Cihideung juga dapat menimbulkan konflik
seperti membuat usaha yang tidak sesuai dengan
budaya di Desa Cihideung ataupun mengadakan
kegiatan yang dapat mengganggu kenyamanan
masyarakat Desa Cihideung.
Banyaknya investor yang tertarik untuk
memiliki tanah di Desa Cihideung juga dapat
menimbulkan konflik ketika masyarakat Desa
Cihideung menjual tanahnya kepada investor namun
tanah tersebut berada di daerah sumber mata air yang
biasa dilakukan dalam pelaksanaan tradisi mata air
Irung-irung di Desa Cihideung. Dibelinya tanah di
sekitar mata air Irung-Irung menimbulkan
tertutupnya akses untuk ke sumber mata air tersebut
karena tanah yang dibeli disekat oleh investor. Hal ini
menimbulkan aksi protes warga karena mereka tidak
setuju apabila tradisi yang dilakukan turun temurun
di Desa Cihideung menjadi terhambat karena telah
dibelinya tanah tersebut oleh investor.
Menurut Pitana (2009), keberadaan orang
baru di suatu wilayah akan mengakibatkan terjadinya
keseimbangan baru pada sistem sosial di wilayah
tersebut. Keseimbangan baru tersebut dapat dicapai
baik malalui mekanisme damai atau konflik. Tingkat
penerimaan masyarakat terhadap datangnya
wisatawan pada suatu kawasan wisata akan
menimbulkan reaksi pada tingkat kerukunan
masyarakat. Apabila semakin tinggi konflik yang
terjadi akibat datangnya wisatawan dapat
mengakibatkan masyarakat lokal semakin tidak
mengharapkan datangnya wisatawan. Hal ini akan
berdampak tidak baik karena kawasan agrowisata
yang tujuannya mendatangkan wisatawan, apabila
masyarakatnya sendiri tidak mendukung maka
agrowisata tersebut tidak akan berkembang karena
hadirnya agrowisata harus didukung oleh masyarakat
daerah tujuan wisata.
d. Kriminalitas
Bentuk kriminalitas yang terjadi di suatu
kawasan pariwisata dapat berupa kejahatan terhadap
wisatawan ataupun kejahatan yang dialami oleh
masyarakat penyedia objek wisata. Terjadinya
319
kriminalitas setelah Desa Cihideung menjadi
kawasan agrowisata dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perubahan Kriminalitas di Desa Cihideung
Akibat Agrowisata Kriminalitas
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Jarang terjadi kriminalitas di Desa
Cihideung.
Meningkatnya kriminalitas di Desa Cihideung sekitar 50 persen seperti
pencurian kendaraan yang disertai
dengan aksi kekerasan. Selain itu
juga adanya kasus pencurian bunga.
Maraknya pencurian motor yang terjadi di
Desa Cihideung terjadi setelah Desa Cihideung
menjadi kawasan agrowisata karena perekonomian
masyarakat semakin meningkat sehingga memiliki
barang-barang mewah. Hal ini menjadi sasaran untuk
melakukan pencurian. Selain itu maraknya pencurian
bunga dikarenakan bunga yang diletakkan di
pekarangan ataupun di ladang tidak ditutupi dengan
pagar. Bunga-bunga tersebut dibiarkan terbuka
sehingga memudahkan para pencuri untuk
mengambil bunga. Selain itu pada malam hari bunga-
bunga tersebut tidak disinari oleh penerangan.
Banyaknya pencurian tanaman yang terjadi di Desa
Cihideung juga dilakukan oleh para pedagang bunga.
Menurut Priono (2011), pariwisata dapat
meningkatkan angka kriminalitas. Apabila
kriminalitas semakin meningkat dapat membuat
masyarakat Desa Cihideung ataupun wisatawan
merasa tidak aman untuk berada di Desa Cihideung.
Hal ini bisa saja membuat masyarakat Desa
Cihideung memilih untuk pindah ke tempat yang
lebih aman. Selain itu juga dapat membuat
berkurangnya jumlah wisatawan yang datang ke
Desa Cihideung karena merasa tidak aman.
(3) Aspek Lingkungan
a. Polusi Air
Air yang digunakan oleh masyarakat Desa
Cihideung berasal dari mata air yang berasal dari
Desa Cihideung sebanyak delapan sumber mata air.
Perubahan yang terjadi akibat berkembangnya Desa
Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai
polusi air dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Perubahan Kondisi Air di Desa Cihideung
Akibat Agrowisata Polusi Air
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Setelah Desa Cihideung
Menjadi Kawasan Agrowisata
Air melimpah dan
jernih
Air di sumber mata air berkurang
karena adanya pembangunan
sarana pendukung agrowisata,
namun air masih jernih.
Setelah Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata membuat adanya ketertarikan investor
untuk mendirikan usaha di Desa Cihideung. Hal
tersebut memberikan dampak terhadap penurunan
banyaknya air dikarenakan banyaknya investor yang
mendirikan bangunan untuk mendirikan usaha yang
menyebabkan daya resapan air berkurang karena
Desa Cihideung termasuk ke dalam kawasan resapan
air di Kawasan Bandung Utara (KBU). Namun untuk
kualitas air di Desa Cihideung tidak mengalami
perubahan. Apabila hal ini terus dibiarkan akan
mengancam masyarakat Desa Cihideung dalam
memenuhi kebutuhan air karena peran air di Desa
Cihideung sangat penting. Selain untuk keperluan
sehari-hari, air sangat dibutuhkan karena mayoritas
masyarakat Desa Cihideung bermata pencaharian
sebagai petani bunga sehingga membutuhkan air
untuk kelangsungan tanamannya.
b. Polusi Suara
Polusi suara yang ditimbulkan setelah Desa
Cihideung menjadi kawasan agrowisata dapat terlihat
dari kebisingan yang terjadi di Desa Cihideung.
Perubahan yang terjadi setelah Desa Cihideung
menjadi kawasan agrowisata mengenai polusi suara
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Perubahan Kondisi Suara di Desa
Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Suara
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Setelah Desa Cihideung
Menjadi Kawasan
Agrowisata
Tidak adanya kebisingan
karena belum banyaknya
kendaraan yang datang ke
Desa Cihideung dan belum munculnya sarana-
sarana pendukung
agrowisata.
Adanya kebisingan yang
ditimbulkan dari banyaknya
kendaraan yang datang ke Desa
Cihideung dan akibat dari adanya kegiatan yang diadakan
hingga larut malam di tempat-
tempat sarana pendukung
agrowisata.
Menurut Nugroho (2011), kegiatan sektor
pariwisata dapat menimbulkan kebisingan. Dampak
kebisingan tersebut mengakibatkan manusia atau
fauna mengalami stress. Kebisingan ini tentunya
mengganggu kenyamanan masyarakat Desa
320
Cihideung ketika masyarakat membutuhkan
ketenangan saat beristirahat ataupun melakukan
aktivitas lainnya.
c. Polusi Udara
Polusi udara menurut Karmana (2007)
adalah penambahan komponen udara yang
keberadaannya dapat merugikan dan membahayakan
organisme. Perubahan yang terjadi setelah Desa
Cihideung menjadi kawasan agrowisata mengenai
polusi udara dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Perubahan Kondisi Udara di Desa
Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Udara
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Setelah Desa Cihideung
Menjadi Kawasan Agrowisata
Polusi udara
ditimbulkan dari adanya pembakaran
sampah.
Polusi udara ditimbulkan dari
semakin banyaknya kendaraan yang datang ke Desa Cihideung
sehingga menimbulkan asap
kendaraan ditambah masih
banyaknya masyarakat yang menghilangkan sampah dengan
cara dibakar.
Menurut Hurmayeni (2014) alat transportasi
menjadi sumber utama polusi udara dari pariwisata
karena menghasilkan gas CO2 yang mencemari udara
dan menyebabkan pemanasan global. Namun
banyaknya bunga yang dibudidayakan di Desa
Cihideung dapat menanggulangi polusi udara karena
daun pada tanaman memiliki kemampuan
mengurangi zat pencemar udara termasuk Karbon
Dioksida (CO2) yang melayang di udara dan
penghasil Oksigen (O2). Disamping itu tanaman
memiliki fungsi dan peran sebagai penyerap panas
sehingga dapat mendinginkan suhu pada saat
berfotosintesis yang memerlukan sinar matahari dan
Karbon Dioksida (CO2) sehingga dengan demikian
keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi
Karbon Dioksida (CO2) di udara dan dapat
menurunkan suhu. Hal ini membuat keadaan udara di
Desa Cihideung tetap sejuk walaupun polusi udara
meningkat.
d. Kondisi Lalu Lintas
Polusi Lalu lintas adalah sarana untuk
bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Perubahan
yang terjadi akibat berkembangnya Desa Cihideung
menjadi kawasan agrowisata mengenai kondisi lalu
lintas dapat dilihat pada Tabel 13.
Menurut Yoeti (2008), pariwisata dapat
menimbulkan dampak terhadap ramainya lalu lintas
sehingga menimbulkan kemacetan. Kemacetan
tersebut dapat merugikan petani apabila petani
menjadi terhambat dalam memasarkan bunganya.
Tabel 13. Perubahan Keadaan Lalu Lintas di Desa
Cihideung Akibat Agrowisata Kondisi Lalu Lintas
Sebelum Desa
Cihideung
Menjadi
Kawasan
Agrowisata
Setelah Desa Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Tidak terjadi
kemacetan karena tidak
banyak
kendaraan yang
datang ke Desa Cihideung.
Terjadi kemacetan karena banyaknya
wisatawan yang datang ke Desa Cihideung dan tidak tersedianya lahan
parkir untuk wisatawan ataupun untuk
petani yang men-drop bunganya
sehingga banyak kendaraan yang memarkirkan kendaraan di pinggir jalan.
Hal ini juga didukung dengan kondisi
jalan di Desa Cihideung yang tidak
terlalu luas dan tidak tersedianya trotoar untuk pejalan kaki. Selain itu Desa
Cihideung merupakan jalan penghubung
untuk ke daerah lainnya yang diminati
wisatawan sehingga sering terjadi pelimpahan kendaraan yang
menyebabkan kemacetan.
e. Polusi Limbah Padat
Polusi limbah padat dari adanya kegiatan
agrowisata merupakan timbulnya sampah di Desa
Cihideung setelah Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata. Perubahan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 14.
Tabel 14. Perubahan Kondisi Limbah Padat di Desa
Cihideung Akibat Agrowisata Polusi Limbah Padat
Sebelum Desa
Cihideung Menjadi
Kawasan Agrowisata
Setelah Desa Cihideung
Menjadi Kawasan
Agrowisata
Sampah berasal dari
budidaya tanaman seperti sisa polybag dan sisa-sisa
tanaman dari
pemeliharaan, dan
kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Sampah selain dihasilkan dari
sisa polybag, sisa-sisa pemeliharaan tanaman, dan
kebutuhan masyarakat sehari-
hari, juga karena adanya
kunjungan wisatawan sehingga meningkatkan volume sampah
sekitar 50 persen.
Terjadinya penumpukan sampah dapat
mempengaruhi lingkungan sekitar seperti terjadinya
penyumbatan saluran air yang sebelumnya tidak
pernah terjadi di Desa Cihideung. Walaupun sampah
yang diakibatkan Desa Cihideung menjadi kawasan
agrowisata semakin meningkat, namun sampah
tersebut masih dapat teratasi dengan adanya bantuan
dari Gubernur Jawa Barat ataupun dengan cara
dibakar oleh petani di Desa Cihideung. Menurut
Nugroho (2011) sampah adalah fenomena umum dari
sektor pariwisata. Volume sampah pada wilayah
tujuan wisata akan meningkat. Menurut Sudarmadji
dan Widyastuti (2014) adanya peningkatan jumlah
321
kunjungan wisatawan cenderung meningkatkan
volume sampah.
3. Kendala Pengembangan Agrowisata Desa
Cihideung
(1) Sarana dan Prasarana
Menurut Bappenas (2004), kawasan
agrowisata harus memiliki sarana prasarana dan
infrastruktur yang memadai untuk mendukung
pengembangan agrowisata. Setelah Desa Cihideung
menjadi kawasan agrowisata, sarana dan prasarana
mengalami perbaikan untuk mendukung agrowisata.
Namun sarana dan prasarana tersebut masih belum
memadai misalnya seperti belum tersedianya tempat
parkir untuk para wisatawan sehingga membuat arus
kendaraan terhambat karena banyaknya wisatawan
yang memarkirkan kendaraan di pinggir jalan. Tidak
tersedianya lahan parkir dikarenakan tingginya harga
lahan di Desa Cihideung sehingga terhalang biaya
untuk menyediakan lahan parkir. Selain itu Tourist
Information Centre sebagai sarana penyedia
informasi bagi wisatawan tidak berjalan dengan baik
sehingga menjadi penghambat bagi wisatawan dalam
memperoleh informasi.
(2) Sumber Daya Manusia
Kawasan agrowisata harus memiliki sumber
daya manusia yang berkemauan dan berpotensi untuk
mengembangkan kawasan agrowisata (Bappenas,
2004). Namun saat ini kurangnya kesadaran
masyarakat Desa Cihideung terhadap
keberlangsungan agrowisata. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya masyarakat yang menjual lahan yang
digunakan untuk membudidayakan bunga kepada
para investor sehingga lahan tersebut beralih fungsi
ke sektor non pertanian. Mereka tergiur dengan harga
jual tanah yang tinggi tanpa memikirkan
keberlangsungan agrowisata bunga Desa Cihideung.
Para generasi muda juga lebih tertarik untuk bekerja
di sektor non pertanian dengan banyaknya
bermunculan usaha-usaha milik investor di sektor
industri dan jasa yang berada di Desa Cihideung.
(3) Masyarakat-Pemerintah
Pemain kunci di dalam agrowisata adalah
masyarakat penyedia wisata, wisatawan, dan
pemerintah. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator
dalam mendukung berkembangnya agrowisata.
Harus adanya interaksi positif diantara mereka untuk
menuju kesuksesan dalam pengembangan
agrowisata. Namun tidak sedikit masyarakat Desa
Cihideung yang menganggap negatif terhadap
pemerintah dalam mengembangkan agrowisata
sehingga menjadi penghambat dalam pengembangan
agrowisata.
(4) Atraksi Wisata
Dalam agrowisata dibutuhkan kegiatan
atraksi wisata yang dapat menjadi penambah daya
tarik bagi wisatawan untuk datang ke agrowisata.
Namun saat ini wisata yang ditawarkan belum
maksimal karena masih sedikitnya masyarakat yang
menyediakan atraksi wisata untuk wisatawan yang
datang ke agrowisata Desa Cihideung sehingga
wisatawan yang datang ke Desa Cihideung biasanya
hanya sebatas untuk membeli bunga. Hal ini karena
kurang diberdayakannya masyarakat dalam
memanfaatkan agrowisata untuk dijadikan peluang
dalam memberikan atraksi kepada wisatawan.
(5) Investor
Agrowisata dapat merangsang tumbuhnya
investasi bagi kawasan agrowisata sehingga
menghidupkan ekonomi lokal (Bappenas, 2004).
Namun investasi yang dilakukan oleh para investor
belum mengarah ke sektor pertaniannya, tetapi ke
sektor industri jasa seperti perhotelan, restoran,
bahkan membuat wisata lainnya di daerah
agrowisata. Hal ini membuat agrowisata Desa
Cihideung bersaing dengan wisata lainnya dimana
seharusnya wisata yang ditonjolkan di Desa
Cihideung adalah agrowisatanya.
PENUTUP
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Dampak positif agrowisata Desa Cihideung yaitu
adanya peningkatan pendapatan masyarakat,
meluasnya kesempatan kerja, peningkatan sarana
dan prasarana desa, meningkatkan keberagaman
mata pencaharian, dan mempertahankan tradisi
2. Dampak negatif agrowisata Desa Cihideung yaitu
meningkatkan harga tanah, merubah gaya hidup
menjadi konsumtif, menimbulkan terjadinya
migrasi baik ke dalam maupun ke luar Desa
Cihideung, mengurangi tingkat kerukunan,
meningkatkan kriminalitas, menimbulkan polusi
air, udara, suara, limbah padat, dan menimbulkan
kemacetan
3. Kendala dalam pengembangan agrowisata Desa
Cihideung yaitu sarana dan prasarana belum
memadai, kurangnya kesadaran sumber daya
manusia, kurangnya kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah, kurangnya atraksi wisata, dan
investor yang kurang mendukung agrowisata.
Saran dari hasil penelitian ini yaitu:
1. Perlu adanya penyusunan strategi pengembangan
jangka panjang agrowisata Desa Cihideung
dengan melibatkan masyarakat Desa Cihideung
dalam pengembangan agrowisata.
322
2. Pihak pemerintah sebaiknya memaksimalkan
dampak positif dan meminimalisasi dampak
negatif agrowisata misalnya dengan memperketat
perizinan pembangunan di Desa Cihideung yang
dapat merugikan masyarakat di Desa Cihideung
khususnya petani.
3. Sebaiknya masyarakat Desa Cihideung sadar akan
pentingnya keberlangsungan pertanian di Desa
Cihideung karena pertani bunga merupakan mata
pencaharian utama masyarakat di Desa
Cihideung.
DaFTAR PUSTAKA
Adisukarjo, Sudjatmoko. 2006. Horizon Ilmu
Pengetahuan Sosial. Yudhistira.
Aryunda, Hanny. 2011. Dampak Ekonomi
Pengembangan Kawasan Ekowisata
Kepulauan Seribu. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, Vol. 22 No. 1, April
2011, hlm.1 β 16. Magister Rancang Kota
Institut Teknologi Bandung.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat.
2014. Kecamatan Parongpong dalam
Angka Tahun 2014. BPS Kabupaten
Bandung Barat.
Budi, Cahyo Utomo dkk. Dampak Pengembangan
Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial di
Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Departemen Pertanian. 2003. Agrowisata
Meningkatkan Pendapat Petani.
Departemen Pertanian. Diambil 10 Januari
2015, dari http://database.deptan.go.id.
Departemen Pertanian. 2010. Agrowisata di
Kabupaten Bandung Barat. Departemen
Pertanian. Diambil 10 Januari 2015, dari
http://database.deptan.go.id
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat. 2014. Data Potensi Objek dan Daya
Tarik Wisata Jawa Barat Tahun 2014.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
Jawa Barat.
Dinas Perkebunan Jawa Barat. 2014. Potensi
Agrowisata Perkebunan Jawa Barat. Dinas
Perkebunan Jawa Barat. Diambil 1
November 2014, dari
http://disbun.jabarprov.go.id.
Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan
Tertinggal. 2004. Tata Cara Perencanaan
Pengembangan Kawasan Untuk
Percepatan Pembangunan Daerah. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Diambil 10 Februari 2015, dari
http://perpustakaaan.bappenas.go.id.
DPRD Kabupaten Bandung Barat. 2012. Perda
Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun
2012 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kab. Bandung Barat. DPRD
Kabupaten Bandung Barat. Diambil 14
Februari 2015, dari https://www.pu.go.id/.
Gusti, I Bagus Rai Utama. 2012. Agrowisata Sebagai
Pariwisata Alternatif di Indonesia: Solusi
Masif Pengentasan Kemiskinan. Bali.
Hurmayeni, Nia. 2014. Dampak Objek Wisata
Pemandian Bukit Jariang Punai Pada
Masyarakat Sekitar Kampung Baliak Koto
Kenagarian Pelangai Kaciak, Kecamatan
Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan.
STKIP PGRI Padang.
Karmana, Oman. 2007. Cerdas Belajar Biologi.
Bandung: Grafindo Media Pratama.
Kementerian Pariwisata. 2014. Rangking Devisa
Pariwisata terhadap Komoditas Ekspor
Lainnya. Diambil 14 Februari 2015, dari
http://www.parekraf.go.id/.
Nugroho, Iwan. 2011. Ekowisata dan Pembangunan
Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Pemda Kabupaten Bandung Barat. 2015. Visi dan
Misi Kabupaten Bandung Barat. Pemda
Kabupaten Bandung Barat. Diambil 8
Februari 2015, dari
http://www.bandungbaratkab.go.id.
Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2007. Sosiologi
Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
Pitana, I Gde, 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.
Yogyakarta: Andi.
Priono, Yesser. 2011. Studi Dampak Pariwisata
Bukit Batu Kabupaten Kasongan Ditinjau
Dari Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Jurnal Perspektif Arsitektur. Volume 6
No.2, Desember 2011. Universitas
Palangka Raya.
Rimba, Ahmad Dirgantara. 2012. Dampak Taman
Safari Indonesia 1 Cisarua Bogor
Terhadap Ekonomi, Sosial Budaya dan
Lingkungan. Elemen dan Sistem
Kepariwisataan. PP5102. Institut
Teknologi Bandung.
Sudarmadji dan Widyastuti. 2014. Dampak dan
Kendala Wisata Waduk Sermo dari Aspek
Lingkungan Hidup dan Risiko Bencana.
Jurnal Teknosains. Vol. 3 No.2, 22 Juni
2014, halaman 181-166. Universitas
Gadjah Mada.
323
Sudiarta, Made. 2005. Dampak fisik, Ekonomi, Sosial
Budaya terhadap Pembangunan
Pariwisata di Desa Serangan Denpasar
Bali. Jurnal Manajemen dan Pariwisata
Vol. 4 No. 2, 2005.
Tinaprilla, Netti dan Illik, Elang Martawijaya. 2008.
Punya Bisnis Sendiri Itu Nikmat. Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara.
Tri, A. Tugaswati. Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan. Komisis Penghapusan Bensin
Bertimbel. Diambil 1 Mei 2015, dari
http://www.kpbb.org/.
Waluya, Jaka. 2013. Dampak Pengembangan
Pariwisata. Jurnal Region Volume V No. 1
Maret 2013. Universitas Islam 45 Bekasi.
Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi Pariwisata, Introduksi,
Informasi, dan Implementasi. Jakarta: Kompas.
324
325
Pola Kemitraan Petani Paprika Dengan Koperasi Mitra Sukamaju Dalam
Upaya Peningkatan Pendapatan Petani
The Partnering Pattern betwen Paprika Farmers With Koperasi Mitra Sukamaju in
Increasing The Farmerβs Income
Nur Syamsiyah
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran,Jl.Raya Jatinangor Km.21
A B S T R A K
Kata Kunci:
Kemitraan,
Paprika,
Pendapatan
Tujuan Penulisan ini adalah mengkaji pola kemitraan usaha yang dilakukan petani
paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju dalam meningkatkan pendapatan petani
paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Pola
Kemitraan yang terjadi adalah pola dagang umum dengan sistem penyerahan hasil
produksi petani ke Koperasi Mitra Sukamaju. Petani paprika berada pada subsistem
kegiatan produksi dan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem pemasaran hasil
produksi. Metode penelitian dilakukan dengan desain kualitatif dengan melakukan
teknik studi kasus (case study). Keunggulan pola kemitraan kemitraan ini adalah
peningkatan pendapatan bagi petani paprika dan Koperasi Mitra Sukamaju. Kendala
dan manfaat dari kemitraan usaha, kendala teknis berkaitan dengan faktor cuaca yang
tidak menentu dan serangan hama thrips. Manfaat yang diperoleh dari proses
kemitraan bagi petani adalah adanya kepastian pasar dan harga, pendapatan petani
relatif stabil, peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalam memproduksi
paprika, pengembangan skala Usaha. Peningkatan pendapatan petani dilihat dari
margin yang diterima petani sebesar 42,16 persen dan margin yang diterima Koperasi
Mitra Sukamaju sebesar 57,84 persen.
ABSTRACT
Keywords: Partnership,
paprika,
Farmerβs Income
The main objective of studies to analyse business partnership paprika farmers and
Koperasi Mitra Sukamaju in increasing the farmers incomes in Pasirlangu Village,
Cisarua West Java Regency. Types partnership general trade with submit result
production from paprika farmers to Koperasi Mitra Sukamaju, paprika farmer in a
place production subsystem and Koperasi Mitra Sukamaju in marketing product
subsystem. This research design was qualitative and used case study research
technique. The advantages of business partnership are increasing income for paprika
farmers and Koperasi Mitra Sukamaju, contraints and benefit of partnership, technical
contraints be related to uncertainty weather and thrips attack. Benefit of partnership
for paprika farmers, market and price assurance, increasing incomes, increasing
knowledge and skills, business scale development. Distribution of margin on every
offender partnership. Farmers margin 42,16 percent and Koperasi Mitra Sukamaju
margin 57,84 percent.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
326
PENDAHULUAN
Permintaan produk hortikultura semakin
meningkat sebagai bentuk perubahan selera
mayarakat yang semakin berkembang. Kebutuhan
akan manfaat nutrisi dari produk hortikultura
meningkat seiring peningkatan kesadaran masyarakat
terhadap hidup sehat dan berkualitas. Hortikultura
memiliki kandingan nutrisi yang berguna sebagai
sumber energi, karbohidrat, vitamin, mineral dan
antioksidan. Pada dasarnya komoditas hortikultura
dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama
yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan
biofarmaka (tanaman obat-obatan).
Paprika merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang memiliki prospek yang cerah
peluang pasar yang luas. Tingginya permintaan
masyarakat baik di dalam maupun luar negeri
mengakibatkan semakin besar peluang produsen
untuk dapat terus meningkatkan produksinya. Desa
Pasirlangu sebagai pemasok terbesar untuk
komoditas paprika petani yang tergabung dalam
Koperasi Mitra Sukamaju sebagai pemasok paprika
untuk PT. Alamanda Sejati Utama maupun ke Pasar
Lokal.
Pengembangan usahatani paprika potensial
karena kondisi lahan dan iklim yang sesuai dengan
syarat tumbuh tanaman paprika. Kabupaten Bandung
Barat memiliki beberapa sentra produksi paprika,
salah satunya adalah Desa Pasirlangu
Usahatani paprika di Desa Pasirlangu
dilakukan dengan sistem kemitraan dengan Koperas,
Kelompok Tani, Bandar maupun Pedagang
Pengumpul. Melalui pola kemitraan yang terjalin
diantara petani dan Koperasi Mitra Sukamaju
diharapkan petani dan supplier dapat mengambil
manfaatnya sehingga kerjasama yang terjalin adalah
kerjasama yang saling menguntungkan dan bersama-
sama dalam mengatasi kendala yang dihadapi baik
faktor kualitas, kuantitas, kontinuitas, pemasaran dan
permodalan. Sebelum adanya kemitraan petani tidak
memiliki kepastian pasar dan harga, petani menjual
produknya ke tengkulak.
Koperasi Mitra Sukamaju merupakan salah
satu badan usaha agribisnis yang bergerak di bidang
pemasaran hasil pertanian di Desa Pasirlangiu. Atau
dapat juga disebut sebagai rumah kemasan (packing
house). Awalnya koperasi hanya membantu petani
dalam pemasaran hasil saja, namun karena
permintaan semakin meningkat baik kualitas maupun
kontinuitasnya, maka Koperasi Mitra Sukamaju
memberikan bantuan permodalan baik dana talangan
maupun sarana produksi.
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi pola kemitraan antara petani
paprika dengan Koperasi Mitra Suka Maju.
2. Mengidentifikasi kendala dan manfaat yang
diperoleh dari kemitraan yang dilakukan antara
petani paprika dan Koperasi Mitra Sukamaju.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian adalah desain kualitatif,
teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus
(case study). penentuan lokasi penelitian ditentukan
dengan sengaja didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut : Desa Pasirlangu Merupakan salah
satu sentra produksi paprika terbesar di Kabupaten
Bandung Barat dan Koperasi Mitra Sukamaju
merupakan koperasi agribisnis yang berkembang di
wilayah Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua
Kabupaten Bandung Barat.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data primer yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah analisis usahatani paprika, data
sekunder yang diperlukan adalah berupa pola
kemitraan, informasi harga, hak dan kewajiban dalam
kemitraan. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka, instansi terkait seperti : Kementrian
Pertanian, Dirjen Hortikultura, Kementrian
Perdagangan dan perindustrian dan lainnya.
Teknik Pengambilan Data
Responden dalam penelitian ini ialah petani
paprika yang tergabung dalam Koperasi Mitra
Sukamaju di sentra produksi paprika Desa Pasirlangu
Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat. Dan
Pengurus Koperasi Mitra Sukamaju. Teknik
pengambilan data dilakukan melalui observasi,
wawancara yang dilakukan terhadap petani paprika
yang menjadi anggota Koperasi Mitra Sukamaju
Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua Kabupaten
Bandung Barat.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis
kualitatif yang digunakan dalam menganalisis pola
kemitraan yang dilakukan kedua belah pihak.
Dimana kegiatan kemitraan dijabarkan secara
deskriptif dan terperinci sehingga menggambarkan
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
bermitra, pembagian hasil, sanksi yang diberikan
bagi pihak yang melanggar.
Kendala dan manfaat dianalisis berdasarkan
kendala aspek ekonomi, teknis maupun sosial baik di
tingkat petani maupun perusahaan mitra selama
327
melakukan kemitraan. Dalam bidang ekonomi
peningkatan pendapatan dilihat dari perolehan
margin rantai nilai pada setiap pelaku kemitraan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam
menganalisis biaya dan margin adalah sebagai
berikut :
1) menghitung biaya-biaya yang dikeluarkkan
masing-masing pelaku kemitraan.
2) menghitung penerimaan per pelaku kemitraan.
Penerimaan dihitung dengan mengalikan volume
terjual (Q) dengan harga jual (P).
3) menghitung rasio keuangan yaitu
a. pendapatan bersih.
b. Margin Bersih Margin bersih adalah pendapatan bersih per
produk, margin bersih dihitung dengan
membagi pendapatan bersih pelaku dengan
keseluruhan jumlah produk yang terjual (Q).
4) Posisi Keuangan Relatif para Pelaku dalam Rantai
nilai. Tujuan dari langkah ini adalah mengambil
simpulan tentang posisi keuangan antara lain
pembagian biaya, penerimaan, pendapatan bersih
(laba), dan margin antara para pelaku kemitraan
dibandingkan dengan pelaku lainnya di dalam
rantai. Cara yang dapat digunakan untuk
menyajikan posisi keuangan para pelaku
kemitraan adalah dalam bentuk tabel.
Tabel 1. Perhitungan Margin Rantai Nilai Para
Pelaku Kemitraan Pelaku Petani Supplier Total
Biaya Total
Biaya/kg
A B C = A+B
% Biaya/kg A/C B/C 100
Penerimaan Harga/kg D E
Laba Laba/kg D-A E-B F=(D-
A)+(E-B)
% Laba
Total
(DA)/F (E-B)/F 100
Total Margin Margin/kg D E-D E
%
Margin/kg
D/E (E-D)/E 100
Sumber : ACIAR (2012)
5) Peningkatan pendapatan petani paprika diketahui
dengan perbedaan pendapatan antara menjual
keseluruhan jumlah produksinya ke pasar lokal
dan menjual ke Koperasi Mitra Sukamaju dilihat
dari margin pada rantai nilai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Kemitraan Usaha
Pola kemitraan yang terjalin antara petani
paprika dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah
pola dagang umum, dimana petani berada pada
subsistem produksi dan Koperasi Mitra Sukamaju
pada subsistem pemasaran hasil produksi. Petani
diharapkan dapat fokus pada kegiatan produksi
sehingga mampu meningkatkan produktivitas
paprika yang dihasilkan. Koperasi Mitra Sukamaju
juga bertanggungjawab pada pengelolaan petani
mitra sehingga mampu meningkatkan produksi dan
pendapatan petani mitra.
Petani mitra koperasi dibekali dengan
pengetahuan akan kualitas yang sesuai dengan
permintaan pasar. Kualitas yang diinginkan Koperasi
dalam memenuhi pasar ekspor adalah grade A dan
grade B dengan berat 1 ons β 2 ons per buah.
Penetapan harga dilakukan dengan kontrak kerja
antara Koperasi dan Ekportir mapun dengan supplier
lainnya dalam memenuhi pasar lokal. harga paprika
tergantung dari warna. Paprika hijau dibeli dengan
harga Rp 18.000 per kg, paprika merah Rp 23.000 per
kg, paprika kuning Rp 26.000 per kg dan paprika
orange Rp 28.000 per kg.
Keberhasilan kemitraan yang dilakukan
antara petani dengan Koperasi Mitra Sukamaju dapat
dilihat dari kedua belah pihak dalam menjalankan
aturan hak dan kewajiban yang telah disepakati.
Pihak yang terlibat secara langsung adalah Petani
Paprika Desa Pasirlangu dan Koperasi Mitra
Sukamaju. Masing-masing pelaku menjalankan
kegiatan yang berbeda-beda.
Gambar 1. Kegiatan Petani Paprika
β’ menyiapkan input produksi,
β’ Lahan, alat, bahan (bibit, pupuk pestisida, dll)
β’ Persemaian
Persiapan Budidaya
β’Pengolahan lahan
β’PenanamanPenanaman
β’Penyiraman
β’Pemangkasan
β’Pengajiran
β’Penyiangan dan pemberiaan pupuk dan pestisida
Pemeliharaan
β’Memanen
β’Mengumpulkan dan memberikan identitas pada hasil panen
Pemanenan
Pendapatan Bersih =
Penerimaan β Biaya Variabel - Biaya Tetap
328
Aktivitas yang dilakukan oleh petani paprika
adalah fokus pada kegiatan budidaya, mulai dari
persiapan lahan, tenaga kerja, ketersediaan air, benih
dan agroinput. Budidaya paprika memerlukan
investasi yang tinggi, seperti pembuatan green house
dan perlengkapannya membutuhkan dana sekitar Rp
75.000 per m2 sampai dengan Rp. 250.000 per m2.
Petani yang bekerjasama dengan Koperasi
Mitra Sukamaju melakukan Persiapan budidaya
secara bersama-sama dalam menentukan pola tanam
agar panen dapat dilakukan berkesinambungan setiap
hari sesuai dengan permintaan pasar.
Gambar 2. Kegiatan Koperasi Mitra Sukamaju
Berdasarkan gambar 2 Rangkaian aktivitas
yang dilakukan Koperasi Mitra Sukamaju adalah
pengangkutan paprika dari kebun ke Packing House
menggunakan mobil pick up, Penimbangan dan
pencatatan identitas paprika untuk mengetahui asal
paprika, Sortasi dan grading dilakukan dengan
memisahkan paprika yang mengalami kerusakan
pada saat proses pengangkutan dari kebun ke packing
house dan melakukan grading untuk memisahlan
paprika berdasarkan jenis, warna kematangan,
penampakan sesuai dengan grade A, grade B dan
grade C. Pengemasan (penimbangan dan Pencatatan)
dilakukan untuk menghitung berapa perolehan untuk
masing-petani untuk paprika dengan grade A. Grade
B dan grade C, Pengiriman dari Packing House Ke
Eksportir dan Supplier lain untuk pasar modern
maupun tradisional.
Ekportir adalah PT. Alamanda Sejati Utama,
sedangkang untuk Supplier Lokal Koperasi Mitra
Sukamaju Bekerjasama dengan supplier yang
memasok ke pasar modern/ supermaket dan pasar
tradisional. Hak dan kewajiban petani dan Koperasi
dalam kemitraan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Hak dan Kewajiban Petani dan Koperasi
Mitra Sukamaju
Keterangan
Pihak
Petani Mitra Koperasi Mitra Sukamaju
Hak 1. Mendapatkan jaminan pasar
sesuai dengan
harga yang telah
ditetapkan 2. Menerima hasil
penjualan tepat
waktu dan tidak
melewati masa jatuh tempo.
3. Menerima SHU
1. Mendapatkan jaminan pasokan
paprika, baik
kualitas,
kuantitas dan kontinuitas.
2. Memperoleh 10
persen dari hasil
penjualan paprika.
Kewajiban
1. Melaksanakan
budidaya paprika
dengan benar.
2. Melaksanakan panen tepat
waktu.
3. Menyerahkan
seluruh hasil panen.
4. Membayar iuran
10 persen / kg
dari paprika yang dihasilkan.
1. Menerima
seluruh paprika
hasil produksi
petani dengan harga
kesepakatan.
2. Membayar hasil
penjualan petani tepat waktu.
3. Memberikan
informasi dengan
transparan kepada seluruh
anggota.
4. Memberikan
bantuan permodalan
untuk anggota
yang
membutuhkan.
Pelaksanaan kemitraan antara petani paprika dengan
Koperasi Mitra Sukamaju terjalin berdasarkan
kekeluargaan. Tidak adanya kontrak kerja secara
tertulis mengenai pembagian hasil, kualitas, kuantitas
dan kontinuitas paprika semuanya bersifat lisan.
Walaupun demikian hingga saat ini kemitraan yang
terjalin masih sangat baik karena masing-masing
pihak melaksanakan hak dan kewajibannya dengan
baik dan saling menjaga kepercayaan masing-masing
anggota Koperasi Mitra Sukamaju.
Pembagian hasil dilakukan berdasarkan
kuantitas paprika yang dikirim petani, harga
ditentukan berdasarkan kesepakatan sehingga tidak
ada pihak yang dirugikan dalam kemitraan ini.
Koperasi dan petani mitra bersikap saling pengertian
sehingga jika harga dipasar sedang tinggi maka
Koperasi Mitra Sukamaju akan melakukan
kesepakatan baik dengan ekportir maupun dengan
supplier lain untuk memberikan kenaikan harga
paprika kepada petani dan ketika hasil produksi
petani menurun karena serangan hama, koperasi
berusaha agar petani anggota tidak mengalami
kerugian.
PengangkutanPenimbangan dan
Pencatatan Sortasi dan
Grading
PengemasanPengiriman
329
Proses pembayaran yang dilakukan eksportir
maupun supplier menggunakan sistem tempo,
pembayaran biasanya dilakukan setiap tanggal 5 dan
20 tiap bulannya. Selama melakukan kemitraan baik
petani maupun koperasi belum pernah ada yang
melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Jika
mengalami keterlambatan pembayaran dari eksportir
dan supplier maka koperasi akan meyampaikannya
kepada seluruh anggota koperasi namun biasanya
koperasi memberikan bantuan berupa dana talangan
yang diperoleh dari kerjasama koperasi dengan
perbankan.
Pembayaran dilakukan Koperasi Mitra
Sukamaju tepat waktu bahkan petani dapat
meminjam modal dari koperasi untuk usahataninya.
Petani juga selalu memberikan pasokan paprika
sesuai dengan grade yang dibutuhkan. Apabila petani
melanggar kesepakatan maka koperasi akan
memberikan sanki tidak lagi menjalin kemitraan
dengan petani tersebut, dan apabila koperasi telat
dalam proses pembayaran maupun tidak ada
transparansi dan kesesuaian harga maka petani tidak
lagi memasok paprika ke Koperasi Mitra Sukamaju.
Gambar 3. Pola Kemitraan antara Petani Paprika
dengan Koperasi Mitra Sukamaju
Petani paprika di Desa Pasirlangu
Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung Barat
mengetahui pasar tujuan untuk paprika yang
dihasilkannya. Koperasi Mitra Sukamaju
memasarkan parika yang dihasilkan petani ke
Eksportir yaitu PT. Alamanda Sejati Utama dan Pasar
Lokal baik langsung maupun melalui supplier lain.
Kendala dan Manfaat Kemitraan Petani Paprika
dengan Koperasi Mitra Sukamaju.
Proses kemitraan terjadi bukan tanpa
kendala, kendala yang terjadi dalam proses kemitraan
yang terjalin antara petani paprika dengan Koperasi
Mitra Sukamaju meliputi kendala teknis, ekonomi
dan sosial.
a. Kendala teknis
Kendala teknis di tingkat petani dan koperasi
berbeda karena kegiatan yang dilakukan oleh
masing-masing pelaku kemitraan berbeda.
Adapun kendala teknis yang dihadapi petani
paprika adalah dalam menghasilkan paprika yang
sesuai dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas
yang diiinginkan koperasi. Kendala ini berkaitan
dengan alam, karena budidaya paprika sangat
tergantung oleh alam, walaupun dibudidayakan di
green house faktor cuaca masih sangat
menentukan keberhasilan produksi paprika. Pada
saat musin hujan paprika sangat mudah terserang
busuk buah atau antracnose dan hama thrips.
Kendala teknis yang dihadapi koperasi
berhubungan dengan pasokan paprika dari petani,
jika pasokan menurun maka pasokan kepada
eksportir dan supplier lain kan menurun. Kendala
lain adalah dalam penyimpanan hasil dimana
paprika hasil panen masih disimpan dengan
menggunakan plastik bening dan proses
pengangkutan hasil koperasi belum memiliki alat
transportasi dengan pendingin sehingga saat
proses pengangkutan paprika dari kebun ke
koperasi beberapa paprika mengalami kerusakan.
b. Kendala Ekonomi
Kendala ekonomi biasanya dialami koperasi
dalam menerima hasil penjualan dari eksportir
maupun supplier lainnya, namun agar proses
kemitraan berjalan dengan baik, koperasi tetap
memberikan kepada petani sesuai dengan masa
jatuh temponya. Kendala ekonomi yang dialami
koperasi ini biasanya diatasi dengan
menghentikan sementara pasokan kepasa supplier
yang mengalami keterlambatan pembayaran dan
pasokan kembali akan dipenuhi ketika supplier
tersebut telah melakukan pembayaran.
c. Kendala Sosial
Kendala dalam aspek sosial ini dialami oleh
koperasi dimana koperasi tidak hanya menerima
paprika sesuai dengan grade A untuk memnuhi
pasar ekspor namun seluruh grade yang
dihasilkan petani, sehingga petani tidak
mengalami kerugian untu paprika yang dihasilkan
tidak sesuai dengan permintaan kualitas untuk
pasar ekspor. Koperasi tidak hanya
mementingkan keuntungan saja, namun
memikirkan pula petani anggotanya karena
pengurus koperasi merupakan petani paprika juga
sehingga ada rasa kekelurgaan didalamnya.
Petani
Paprika
Koperasi Mitra Sukamaju
Eksportir
Penyerahan Hasil Panen
Memasarkan hasil
Pasar Lokal (Pasar Modern dan Tradisional)
330
Manfaat Kemitraan antara Petani Paprika
dengan Koperasi Mitra Sukamaju.
Kemitraan merupakan salah satu bentuk
kerjasama dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan. Kata saling dimaknai bahwa dalam
proses kemitraan masing-masing pelaku
mendapatkan manfaat bagi setiap pelaku. Manfaat
proses kemitraan yang terjalin antara petani paprika
dengan Koperasi Mitra Sukamaju adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat bagi petani
a. Adanya kepastian pasar dan harga.
b. Penerimaan dan pendapatan relatif Stabil
c. Peningkatan kemampuan petani dalam
memproduksi paprika.
d. Pengembangan skala Usaha.
2. Manfaat bagi Koperasi Mitra Sukamaju.
a. Terjaminnya Pasokan paprika untuk
memenuhi pasar ekspor maupun lokal.
b. Mendapatkan hasil produksi paprika dengan
kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang
sesuai dengan permintaan pasar.
c. Peningkatan kesejahteraan anggotanya.
d. Pengembangan skala usaha tidak hanya
dikembangkan petani, Koperasi juga
mengembangkan skala usaha melalui volume
penjualan dan jenis produk yang dihasilkan
petani yang memiliki produktivitas yang
tinggi dan terus meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya.
Margin Rantai Nilai Pada Pelaku Kemitraan
Petani dan Koperasi Mitra Sukamaju
menanggung biaya masing-masing sesuai dengan
kegiatan yang dilakukannya. Biaya yang ditanggung
oleh para pelaku kemitraan dapat dilihat pada Tabel
3.
Tabel 3. Tanggungan Biaya Pelaku Kemitraan
Petani Paprika Koperasi Mitra
Sukamaju
Biaya Tetap Biaya Tetap
- Bambu
- Plastik UV
- Polybag
- Plastik Mulsa
- Polynet
- Benang Kasar
- Paku
- Kawat Tali
- Pompa Listrik
- Timbangan
- Tenaga kerja
- Alat pengepakan.
- transportasi
- Pajak
- Listrik
- Service
transportation
- Container
- Instalasi pembuatan
greenhouse
- Pajak Bumi
- Listrik
Biaya Variabel Biaya Variabel
- Benih
- Nutrisi
- Arang Sekam
- Pestisida
- Tenaga Kerja
- Plastik pengemasan
- Streoform
- Isolasi Bening.
- Resiko kerusakan
Paroduk
Berdasarkan perhitungan biaya produksi,
penerimaan dan pendapatan masing-masing pelaku
memperoleh keuntungan berdasarkan margin yang
diterima adalah sebagai berikut :
331
Tabel 4. Posisi Keuangan Relatif Para Pelaku Kemitraan
Pelaku dalam Rantai Nilai Petani Koperasi Total
Biaya Total Biaya/kg 9.450,68 8.365,61 17.816,29
% Biaya /kg 53,0451626 46,9548374 100
Penerimaan Rp/kg 20.450 48.500
Laba Laba / kg 13.029,32 42.640,50 55.669,82
% laba Total 23,40463828 76,59536172 100
Total Margin Margin/kg 20.450 28.050 48.500
%Margin/kg 42,16494845 57,83505155 100
Tabel 5. Selisih Pendapatan Petani Paprika Bermitra
dan Tidak Bermitra Per Musim Tanam
N
o
Pendapatan Non
Kemitraan
Pendapatan
Kemitraan
Selisih
(Rp)
1 15.850.000 93.122.500 77.272.500
2 45.475.000 116.575.000 71.100.000
3 13.126.500 60.350.750 47.224.250
4 14.826.400 63.835.000 49.008.600
5 30.311.500 83.893.000 53.581.500
Tabel diatas menjelaskan bahwa rata-rata
pendapatan petani mengalami peningkatan setelah
melakukan kemitraan dengan Koperasi Mitra
Sukamaju berdasarkan perhitungan biaya produksi,
penerimaan dan pendapatan terlihat pendapatan
petani paprika meningkat mencapai dua kali lipat dari
pendapatan sebelum melakukan kemitraan. Selisih
pendapatan diperolah dari pendapatan yang bermitra
dengan Koperasi Mitra Sukamaju dengan petani yang
hanya menjual paprika ke pasar tradisional.
Selisih ini dikarena ada perbedaan harga jual
paprika, Koperasi memberikan harga yang berbeda
untuk masing masih jenis dan kualitas paprika.
Karena Koperasi memiliki pasar yang beragam
sehingga semua grade dapat dipasarkan ke beberapa
pasar yang berbeda. Harga yang lebih tinggi
diperoleh untuk grade A untuk memenuhi pasar
ekspor yaitu paprika hijau Rp 18.000, paprika merah
Rp 23.000, paprika kuning Rp 26.000 dan Rp 28.000
untuk paprika orange, sedangkan harga jual parika di
pasar tradisional hanya Rp 10.000 β Rp 12 000 untuk
setiap jenis paprika.
Koperasi Mitra Sukamaju penerapkan
komisi 10 persen untuk keberlanjutan koperasi
namun ketika ada sisa maka akan dikembalikan lagi
ke anggota sebahai SHU (Sisa hasil Usaha).
Peningkatan pendapatan juga dikarenakan adanya
peningkatan produksi karena kemampuan petani
dalam melakukan usahatani menjadi meningkat.
Petani mampu membeli kebutuhan usahataninya
karena adanya harga dan pasar yang jelas setelah
melakukan kemitraan. Kemitraan yang terjadi sangat
menguntungkan baik bagi petani maupun Koperasi
ini dibuktikan dengan peningkatan produksi, adanya
jaminan pasar, harga jual yang tinggi dan bagi
Koperasi Mitra Sukamaju tersedianya pasokan
paprika sesuai dengan kualitas, kuantitas dan
kontinuitas sehingga dapat memenuhi permintaan
pasar lokal maupun eksport.
KESIMPULAN
Mekanisme kemitraan usaha antara petani
paprika Desa Pasirlangu Kecamatan Cisarua
Kabupaten Bandung Barat dengan Koperasi Mitra
Sukamaju adalah adalah petani paprika berada pada
subsistem kegiatan produksi dalam usahatani paprika
sedangkan Koperasi Mitra Sukamaju pada subsistem
pemasaran hasil. Koperasi hanya menerima seluruh
paprika yang dihasilkan anggota koperasi dan
memasarnya sesuai dengan pasar yang tersedia.
Harga jual paprika untuk grade A adalah Rp 18.000
untuk paprika hijau, Rp 23.000 untuk paprika merah,
Rp 26.000 untuk paprika kuning dan Rp 28.000 untuk
paprika orange. Dimana Grade A biasanya untuk
memasok eksportir, sedangkan grade B dan C untuk
memasok pasar lokal baik modern maupun pasar
tradisional.
Kendala yang dihadapi dalam proses
kemitraan antara petani paprika dengan Koperasi
Mitra Sukamaju adalah kendala teknis (kualitas dan
kuantitas) karena kondisi cuaca yang tidak stabil,
hama thrips. Manfaat yang diperoleh dari proses
kemitraan adalah adanya kepastian pasar dan harga,
penerimaan dan pendapatan petani relatif stabil,
peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani
dalam memproduksi paprika, pengembangan skala
Usaha. Peningkatan pendapatan petani dilihat dari
margin yang diterima petani sebesar 42,16 persen dan
margin yang diterima Koperasi Mitra Sukamaju
sebesar 57,84 persen.
332
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono D. 2017. Cabai Paprika Teknik Budidaya
dan Analisis Usahatani. Yogyakarta. Kanisius
Haeruman, Herman. 2001. Kemitraan dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan
Desa-Kota.
Lambert, Douglas M, Margaret A Emmelhainz, John
T Gardner. 1996. Developing and
Implementing Supply Chain Partnerships. The
International Journal of Logistics Manajement
vol.7 No:2.
M4P.2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak
Pada Kaum Miskin : Buku pegangan bagi
Praktiisi analisis rantai nilai. ACIAR
Monogragraph No. 148. Australian Centre For
International Agriculture Research : Canbera
Porter M. E. 1985. Competitive Advantages :
Creating and Sustaining Superior
Perfomance. New York : The Free Press.
Prowse, Martin. 2012. Contract Farming in
Developing Countries. Institute of
Development Policy and Managemet.
University of Antwerp.
Rodjak, Abdul. 2005. Manajemen Usahatani.
Penerbit : Giratuna. Bandung.
Saptana, dkk. 2006. Analisis Kelembagaan
Kemitraan Rantai Pasok Komoditas
Hortikultura. Bogor : Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Sumardjo, Jaka S., dan Wahyu A.D. 2004. Teori dan
Praktik Kemitraan Agribisnis. Jakarta:
Penebar Swadaya.
333
Analisis Pendapatan dan Risiko Usahatani Jagung di Kabupaten Serang
The Analysis Of Farm Income And The Risk Of Corn Farming In The District Of Serang
Dian Anggraeni1 , Tuhpawana P. Sendjaja2, Tomy Perdana2, Anne Nuraini2
1Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang 2Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci:
Pendapatan usahatani,
Biaya,
Risiko,
Jagung
Jagung merupakan komoditas pangan kedua setelah padi dan sumber kalori atau
makanan pengganti beras disamping itu juga sebagai pakan ternak. Kebutuhan jagung
akan terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan peningkatan taraf hidup
ekonomi masyarakat dan kemajuan industri pakan ternak. Kasryno (2006),
mengemukakan bahwa jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan, pakan dan bahan
baku industri.Tingginya permintaan untuk jagung tua (pipilan) di daerah Banten, tidak
secara langsung mendorong petani untuk melakukan pemanenan jagung tua (pipilan).
Fenomena menunjukan masih banyak petani yang melakukan pemanenan jagung
muda, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan diantara aspek pendapatan dan
pendeknya waktu panen.
Komoditas pertanian berbeda dengan komoditas sektor lain, salah satunya adalah
tingginya risiko yang harus diterima petani, sedangkan secara umum petani kecil
biasanya memiliki sifat menghindar dari risiko, dengan demikian walaupun
permintaan untuk komoditas jagung pipilan tinggi, petani jagung di daerah Banten,
tetap masih banyak yang melakukan pemanenan jagung muda, dengan alasan
usahatani tersebut masih memberikan keuntungan, dan layak untuk dikembangkan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pendapatan usahatani jagung dan (2)
tingkat risiko usahatani jagung di Kabupaten Serang. Metode penelitian yang
digunakan survey eksplanatori. Penentuan sampel menggunakan multistage random
sampling dengan total sampel sebanyak 101 petani jagung. Data dianalisis dengan
menggunakan rumus pendapatan usahatani dan standar deviasi dari penerimaan
usahatani jagung.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan usahatani jagung menunjukan
keadaan yang lebih besar dibanding dengan panen jagung muda, walaupun diikuti oleh
biaya yang lebih tinggi. Risiko pada usahatani jagung panen pipilan, lebih besar
dibanding panen jagung muda.
ABSTRACT
Keywords: Farming Income,
Costs,
Risks ,
Corn
Corn is the second food commodity after rice and a source of calories or food instead
of rice as it also as animal feed. Corn demand will continue to increase from year to
year, in line with the improvement of living standards of the local economy and the
progress of the animal feed industry. Kasryno (2006), suggests that corn can be used
for food, feed and industrial raw materials.
High demand for old corn (shelled) in Banten, not directly encourage farmers to
harvest the old corn (shelled). The phenomenon shows there are still many farmers
who were harvesting young corn, this is due to several reasons among the aspects of
revenue and the short harvest time.
Agricultural commodities is different with other sectors commodities, one of the
difference is that the high risk to be received by farmers, while generally small farmers
usually avoid the risk, thus even if the demand for old corn commodities is high, many
of corn farmers in Banten is still harvesting young corn, with the reason that farming
is still profitable, and deserves to be developed.
334
This study aims to determine (1) corn farm income and (2) the risk level of corn farming
in the District of Serang. An explanatory survey was applied in this study by
interviewing respondents. The samples using multistage random sampling with a total
sample of 101 corn farmers. The data were analyzed by using farming income analysis
and standar deviation analysis of corn farming revenue.
The results of study indicated that farming income of shelled corn is greater than the
young corn farming income, though followed by higher costs. Risks involved in farming
shelled corn crop, bigger than young corn harvest. This study, hopefully, would
contribute upon agribusiness development, especially on farming theory.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
335
PENDAHULUAN
Jagung merupakan komoditas pangan kedua
setelah padi dan sumber kalori atau makanan
pengganti beras disamping itu juga sebagai pakan
ternak. Kebutuhan jagung akan terus meningkat dari
tahun ke tahun, sejalan dengan peningkatan taraf
hidup ekonomi masyarakat dan kemajuan industri
pakan ternak. Kasryno (2006), mengemukakan
bahwa jagung dapat dimanfaatkan untuk pangan,
pakan dan bahan baku industri.
Tingginya permintaan untuk jagung tua
(pipilan) di daerah Banten, tidak secara langsung
mendorong petani untuk melakukan pemanenan
jagung tua (pipilan). Fenomena menunjukan masih
banyak petani yang melakukan pemanenan jagung
muda, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan
diantaranya aspek pendapatan dan faktor risiko
usahatani.
Risiko adalah suatu variabel dari hasil yang
dapat terjadi selama periode tertentu. Sedangkan
Kountur (2004), menyatakan bahwa risiko adalah
ketidaktentuan yang mungkin melahirkan peristiwa
kerugian. Ada juga yang mendefinisikan bahwa
resiko adalah penyebaran atau penyimpangan hasil
aktual dari hasil yang diharapkan.
Pengertian pendapatan adalah selisih antara
nilai hasil yang diperoleh dengan biaya yang
dikeluarkan. Purwatiningdyah DN (2003),
menyatakan bahwa pendapatan petani dapat
diperhitungkan dari total penerimaan yang berasal
dari nilai penjualan produksi dikurangi dengan total
nilai pengeluaran.
Besar kecilnya pendapatan yang diperoleh
menjadi dasar dalam pengambilan keputusan bagi
seorang petani dalam melakukan usahatani,
disamping faktor risiko yang ada.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Serang Provinsi
Banten, dengan waktu penelitian pada Musim Tanam
kedua bulan Agustus 2013.
Jenis, Teknik Pengumpulan Data dan Sumber
Data
Data yang dipergunakan merupakan data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik
wawancara langsung terhadap petani jagung yang
mengacu pada kuesioner yang telah disiapkan.
Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara
menelaah laporan hasil penelitian terdahulu, laporan
dari instansi terkait, maupun publikasi lain yang
relevan.
Metode Pengambilan Sampel
Sampel ditentukan dengan cara multistage cluster
random sampling, dengan tiga tahapan. Tahap
pertama menentukan Kecamatan sebagai sentra
komoditas jagung. Tahap kedua memilih desa yang
dijadikan sebagai secondary sampling unit (SSU) dan
tahap tiga memilih petani sebagai sampel dalam
penelitian ini dengan menggunakan simple random
sampling.
Metode Analisis Data
Untuk menentukan besarnya pendapatan usahatani
jagung menggunakan rumus Ο = R β C. Dimana R
adalah Revenue(penerimaan) dan C adalah Cost
(Total biaya usahatani).
Untuk menentukan besarnya risiko pada usahatani
jagung digunakan rumus standar deviasi dengan
formulasi sebagai berikut :
s2 = β(xi β x)2
n β 1
Dimana s2 adalah standar deviasi dari penerimaan
usahatani jagung, xi merupakan penerimaan dari
usahatani jagung, x merupakan rata-rata penerimaan
dan n adalah jumlah sampel pada usahatani jagung.
Untuk mengetahui karakter petani jagung yang
melakukan panen muda dan panen pipilan
dilakukan secara deskriptif analisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Biaya , Penerimaan, dan Pendapatan
Usahatani Jagung di Kabupaten Serang
Biaya produksi rata-rata per hektar untuk
usahatani jagung dengan sistem panen muda berbeda
dengan sistem panen tua (pipilan).Perbedaan yang
nampak pada biaya variabel karena pada waktu
panen tua/pipilan terdapat penanganan pasca panen
(pemipilan dan penjemuran), sehingga terdapat
penambahan tenaga kerja yang berdampak terhadap
meningkatnya biaya tenaga kerja khususnya. Proses
penanganan pasca panen pada jagung pipilan
merupakan salah satu upaya petani dalam menyiasati
harga. Proses pengolahan yang optimal,
menyebabkan jagung pipilan dapat disimpan lama,
dengan demikian petani dapat menjualnya pada saat
harga tinggi. Perbedaan lain dari aspek penggunaan
pupuk baik itu urea, TSP atau pun pupuk kandang,
usahatani jagung pipilan lebih tinggi. Aspek
penggunaan benih juga untuk usahatani jagung waktu
panen pipilan memerlukan biaya yang lebih tinggi
walaupun bedanya tidak terlalu besar.
Berkaitan dengan biaya dan pendapatan
usahatani jagung waktu panen muda dan panen
pipilan per hektar per musim tanam dapat dilihat
lebih jelasnya pada Tabel 1.
336
Tabel 1. Biaya Produksi dan Pendapatan Usahatani Jagung Waktu Panen Muda dan Panen Pipilan Per Hektar
Per Musim Tanam
No Keterangan Satuan Waktu Panen
Muda
(Rp)
Pipilan
(Rp)
Perbedaan
(Rp)
1. Biaya Tetap Rp 164.342,00 211.461,00 47.119,00
2. Biaya Variabel Rp 5.179.608,00 5.550.750,00 371.142,00
3. Total Biaya produksi Rp 5.343.950,00 5.762.211,00 418.261,00
4. Penerimaan Total Rp 15.561.361,00 16.430.775,00 869.414,00
5. Pendapatan Bersih Rp 10.217.411,00 10.668.564,00 451.153,00
Berdasarkani Tabel 1. dapat dijelaskan
bahwa terdapat perbedaan biaya tetap antara
usahatani jagung waktu panen muda dengan panen
pipilan , hal ini disebabkan, pada usahatani jagung
panen muda komponen terbesar digunakan untuk
pajak tanah, sementara pada usahatani jagung
pipilan, selain untuk pajak, responden ada yang
melakukan sewa tanah. Komponen biaya variabel
dari usahatani jagung panen muda lebih kecil dari
jagung panen pipilan, hal ini disebabkan adanya
perbedaan dari aspek penggunaan pupuk, baik pupuk
buatan ataupun pupuk kandang, dan penggunaan
tenaga kerja, dimana pada usahatani jagung panen
pipilan terdapat proses penanganan pasca panen, dan
sebaliknya.
Adanya perbedaan dalam penerimaan antara
usahatani jagung panen muda dengan panen pipilan
adalah karena produksi dari usahatani jagung panen
muda per hektarnya lebih tinggi dari panen pipilan,
namun dari aspek harga output, jagung pipilan lebih
mahal, sehingga penerimaan yang diperoleh petani
lebih besar dibanding usahatani jagung panen muda.
Hasil perhitungan ternyata pada luasan lahan yang
sama usahatani jagung panen pipilan memberikan
pendapatan yang lebih besar dibanding usahatani
jagung panen muda ,walaupun terdapat beberapa hal
dan kendala yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan usahatani jagung panen pipilan tersebut,
namun banyak aspek positif yang diperoleh petani
dari usaha bersangkutan.
Kelebihan melakukan panen jagung pipilan
adalah keterjaminan dan kepastian pasar, dari aspek
harga juga lebih tinggi, dari aspek produksi bahwa
jagung pipilan ini bisa disimpan lebih lama asal
dalam proses pengeringan harus benar-benar sudah
maksimal. Beberapa aspek yang merupakan kendala
dan tantangan yang harus diperhatikan petani
diantaranya berkaitan MOU dengan pihak pemakai
(pabrik pakan ternak) belum adanya kejelasan yang
pasti, hal ini disebabkan bahwa petani belum bisa
mensuplai jagung sesuai dengan permintaan pabrik.
Permasalahan lain adalah dari aspek kualitas,
kandungan air, dll cenderung masih banyak produk
yang belum memenuhi standar permintaan, apalagi
kalau usahatani tersebut dilakukan pada musim
Tanam ke-1, karena pada saat itu cenderung hujan
banyak turun, sehingga akan berdampak terhadap
kualitas jagung (proses penjemuran kurang
maksimal).
Petani sangat membutuhkan alat pengering
(oven) yang bisa membantu petani untuk proses
pengeringan jagung pipilan. Permasalahan lain yang
muncul di masyarakat kalau penanaman jagung
dilakukan pada musim tanam ke-2, di lapangan
cenderung kekurangan air, sehingga masyarakat
enggan untuk melakukan penanaman jagung, padahal
momen itu sangat tepat untuk melakukan panen
jagung pipilan. Sampai saat ini masyarakat sangat
berharap bantuan pemerintah berupa pompa pantek
untuk mengairi tanaman jagung pada saat musim
kemarau tiba.
Beberapa hal tersebut menjadi alasan
masyarakat atau petani jagung untuk selalu enggan
berusahatani dengan melakukan panen jagung
pipilan, walaupun dari aspek pasar sudah tersedia dan
dari aspek pendapatan memberikan tingkat yang
relatif lebih tinggi dibanding panen jagung muda.
Aspek lain yang menjadi kendala bagi petani dalam
usahatani jagung panen pipilan adalah besarnya biaya
produksi yang harus dikeluarkan petani. Berkaitan
dengan biaya usahatani jagung secara lebih jelas
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rincian Biaya Tetap dan Biaya Variabel
Per Hektar Usahatani Jagung di
Kabupaten Serang Biaya Waktu Panen
Muda
(Rp)
Pipilan
(Rp)
Perbedaan
(%)
Jenis Sarana Produksi
a. Benih 840.180,00 848.000,00 0,92
b. Pupuk
kandang
1.366.246,00 1.603.000,00 14,76
337
Biaya Waktu Panen
Muda
(Rp)
Pipilan
(Rp)
Perbedaan
(%)
dan buatan
c. Pestisida 145.574,00 100.500,00 30,96
Tenaga
kerja
2.827.608,00 2.999.250,00 5,72
Biaya tetap 164.342,00 211.461,00 22,28
5.343.950,00 5.762.211,00 7,25
Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa
perbedaan biaya yang sangat mencolok adalah biaya
sarana produksi khususnya pestisida sebesar 47,68%,
hal ini disebabkan pada usahatani jagung panen muda
pada saat penelitian terjadinya serangan hama yang
lebih tinggi dibanding pada usahatani jagung panen
pipilan, yang berdampak terhadap meningkatnya
penggunaan pestisida pada usahatani tersebut. Pada
penggunaan pupuk, baik pupuk kandang atau pupuk
buatan, pemakaian benih dan penggunaan tenaga
kerja, juga terdapat perbedaan walaupun
prosentasenya tidak terlalu tinggi.
Penerimaan dan Standar Deviasi Usahatani
Jagung Panen Muda dan Panen Pipilan
Besarnya rata-rata produksi untuk usahatani
jagung panen muda adalah 5.402 kg per rata-rata luas
lahan garapan atau 10.805 kg per hektar, dengan rata-
rata harga produksi Rp.1490,00 per kg. Besarnya
rata-rata produksi usahatani jagung panen pipilan
4.440,7 kg per rata-rata luas lahan garapan atau 5.921
kg per hektar dengan rata-rata harga produksi
Rp.2.775,00 per kg.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya
rata-rata penerimaan usahatani jagung panen muda
per rata-rata luas lahan garapan sebesar
Rp.7.780.680,00 dengan standar deviasi Rp.
3.927.490,66. Besarnya rata-rata penerimaan
usahatani jagung panen pipilan per rata-rata luas
lahan garapan Rp.12.323.081,00 dengan standar
deviasi Rp. 8.346.639,74. Lebih jelasnya berkaitan
dengan penerimaan dan standar deviasi ditunjukkan
pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Penerimaan Usahatani Jagung per
luas lahan garapan dan Standar Deviasinya. No Waktu
Panen
Rata-rata
Penerimaan Per
Luas Lahan
Garapan (Rp)
Standar
Deviasi
(Rp)
1. Muda 7.780.680,00 3.927.490,66
2. Pipilan 12.323.081,00 8.346.639,74
Berdasarkan Tabel 3. rata-rata penerimaan
dan standar deviasi untuk usahatani jagung sistim
panen pipilan menunjukan keadaan yang lebih besar
dari usahatani jagung sistim panen muda. Besarnya
nilai standar deviasi dari penerimaan suatu usaha
menunjunkan besarnya risiko yang ada pada usaha
tersebut.
Hasil analisis menujukkan bahwa standar
deviasi dari usahatani jagung panen pipilan
menunjukan nilai yang lebih besar dari sistim panen
jagung muda, dengan demikian resiko pada usahatani
jagung panen pipilan lebih tinggi dari panen jagung
muda.
Dalam penelitian ini petani jagung
dihadapkan kepada risiko produksi, risiko pasar, dan
risiko keuangan. Berbagai upaya telah dilakukan
petani dalam upaya mengatasi berbagai masalah
tersebut diantaranya, dari aspek produksi mereka
selalu memperhatikan waktu tanam yang tepat,
dalam penggunaan input produksi pun mereka
berupaya menggunakannya sesuai dengan yang
dianjurkan. Berkaitan dengan risiko pasar, untuk
petani yang memanen jagung pipilan dengan
melakukan penyimpanan terlebih dahulu samapai
harga di pasaran tinggi.
Hasil analisis menunjukan bahwa petani
jagung yang melakukan sistim panen pipilan
menunjukan petani yang menyukai risiko (risk
taker), dan petani jagung yang melakukan panen
muda menunjukan petani yang tidak menyukai resiko
(risk aventer).Secara lengkap ciri dari kedua
kelompok petani tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Ciri-ciri Petani Jagung yang Menyukai
Resiko (risk taker) dan Petani Tidak
Menyukai Resiko (risk aventer) No Keterangan Petani
Jagung Yang
Menyukai
Resiko
Petani Jagung
Yang Tidak
Suka Resiko
1 Pendidikan
Formal
SLTA- PT SD
2 Luas Lahan > 0,5 ha < 0,5 ha
3 Permodalan Lebih besar Lebih kecil
4 Umur Lebih tua Lebih muda
5 Pengalaman Lebih sedikit Lebih lama
6 Penerimaan Lebih besar Lebih sedikit
7 Tingkat
Resiko
Lebih tinggi Lebih rendah
8 Daya Inovasi Kelompok
Inovator
Sulit
mengadopsi
inovasi
Berdasarkan Tabel di atas terdapat beberapa
perbedaan karakter petani. Hasil penelitian
menunjukan bahwa petani yang melakukan panen
pipilan mempunya ciri sebagai berikut :
1. Selalu bersifat inovatif, terlihat dari upaya
mereka dalam mengikuti kegiatan yang
338
diadakan pemerintah setempat, misalnya
mengikuti SLPTT, mengikuti penyuluhan
tentang penanganan pasca panen khususnya
untuk komoditas jagung dll.
2. Menyangkut aspek pendidikan, khususnya
pendidikan formal, petani yang melakukan
sistim panen pipilan, yang mendapat
pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi
lebih banyak (10%) dibanding petani yang
melakukan sistim panen muda, yaitu hanya
8,2 persen.
3. Berkaitan aspek luas lahan, penguasaan
lahan diatas 0,5 hektar, petani yang
melakukan sistim panen pipilan lebih banyak
(57,5%) dibanding petani yang melakukan
panen muda sekitar 36,07%.
4. Dari aspek permodalan, petani mereka lebih
banyak mengeluarkan modal daripada petani
yang melakukan sistem panen muda. Dalam
kontek penelitian ini modal identik dengan
jumlah biaya yang dikeluarkan dalam
usahatani jagung. Besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk sistem panen pipilan
adalah Rp. 5.762.211,00 per hektar per
musim tanam.
5. Dari aspek penerimaan, petani yang
melakukan panen pipilan menunjukan
keadaan yang lebih besar dibanding petani
yang memanen jagung muda yaitu
Rp.12.323.081,00 per musim tanam.
6. Dilihat dari tingkat risiko yang ada,
menunjukan keadaan yang lebih tinggi.
Besarnya resiko dilihat dari standar
deviasinya Rp.8.346.639,74 menunjukan
keadaan yang lebih tinggi dibanding
usahatani jagung dengan sistem panen muda.
7. Dilihat dari aspek umur, petani yang
melakukan panen pipilan cenderung lebih
tua dibanding petani yang melakukan panen
muda, hal ini menunjukan bahwa umur
memiliki pengaruh yang cukup tinggi dalam
pengambilan keputusan. Semakin tua
cenderung lebih berhati hati dalam
memperhitungkan berbagai aspek,
diantaranya berkaitan aspek keuntungan,
biaya, bahkan risiko yang akan ditimbulkan
dalam usaha tersebut.
8. Aspek pengalaman, hasil analisis
menunjukan keadaan bahwa ternyata dari
aspek pengalaman petani yang menyukai
risiko tidak terlalu lama dibanding petani
yang yang memanen jagung muda.
Sementara petani yang melakukan sistim panen
muda termasuk kepada golongan yang kurang atau
tidak menyukai risiko (risk aventer). Adapun
beberapa karakteristik dari petani tersebut
diantaranya adalah :
1. Susah untuk menerima inovasi yang ada
2. Dihadapkan kepada masalah keuangan dan
permodalan yang terbatas. Modal dalam hal
ini identik dengan total biaya yang
dikeluarkan untuk usahatani, yiatu
Rp.5.343.950,00 per hektar per musim
tanam.
3. Dari aspek penguasaan lahan petani yang
melakukan panen muda kepemilikan lahan
yang diusahakan mayoritas dibawah 0,5
hektar.
4. Dalam melakukan kegiatan usahatani selalu
mengikuti kebiasaan lama yang sudah
mereka lakukan, karena kebiasaan itu
dianggap sebagai tradisi dan budaya mereka.
5. Dari aspek pendidikan, khususnya
pendidikan formal mayoritas tamatan
Sekolah Dasar.
6. Dari aspek penerimaan, hasil analisis
menunjukan keadaan yang lebih sedikit yaitu
Rp. 7.780.680,00 per musim tanam.
7. Dilihat dari tingkat risiko, untuk usahatani
jagung sistem panen muda lebih kecil, hal ini
ditunjukan oleh besarnya standar deviasi
yang diperoleh Rp. 3.927.490,00
8. Berbagai upaya dalam meningkatkan
pengetahuan dan wawasan jarang mereka
lakukan.
9. Dari aspek umur, petani yang tidak
menyukai resiko cenderung mayorotas masih
muda. Hasil analisis menunjukan bahwa
96,72% petani berusia produktif ( 15-64 th).
10. Dari aspek pengalaman, petani jagung yang
tidak menyukai risiko memiliki pengalaman
yang lebih lama dibanding petani yang suka
risiko. Hal ini disebabkan bahwa dengan
lamanya pengalaman, maka akan
membentuk karakter dan budaya yang susah
untuk dirubah. Kepraktisan dalam sistem
panen muda mendorong petani jagung untuk
tetap tidak melakukan panen pipilan.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Pendapatan usahatani panen jagung pipilan
per hektar per musim tanam sebesar
Rp.10.668.564,00. Sementara pendapatan
usahatani panen jagung muda sebesar Rp.
10.217.411,00.
339
2. Tingkat risiko pada usahatani panen jagung
pipilan menunjukan keadaan yang lebih
besar dibanding usahatani panen jagung
muda,terutama berkaitan dengan risiko
harga.
Petani yang melakukan panen jagung pipilan
termasuk kepada golongan yang lebih
menyukai risiko (risk taker), sementara
petani yang memanen jagung muda
cenderung sebagai petani penghindar risiko
(risk aventer) dengan karakteristik tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Anwas Adiwilaga. 1992. Ilmu Usahatani. Cetakan
ke-III. Alumni, Bandung
Hernanto, Fadholi.1985. Ilmu Usahatani. Penebar
Swadaya, Jakarta.Kasim,A.1995. Teori
Pembuatan Keputusan. Jakarta. Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Mangkusubroto,K dan L.Trisnadi.1987. Analisis
Keputusan Pendekatan Sistem dalam
Manajemen Usaha dan Proyek.
Bandung.Ganesa Exact.
Mohamad Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan ekonomi dan Sosial (LP3ES)
Edisi ke-3. Jakarta
Purwatiningdyah, D.N., 2003. Faktor Internal dan
Ekternal Yang Mempengaruhi Tingkat
Penerapan Teknologi dan Dampaknya
Terhadap Produktivitas dan Pendapatan
pada Usahatani Padi Sawah. Bandung.
Tesis tidak dipublikasikan. Program
Pasacasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode
Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta.
Teken, Sofyan Asnawi, 2002. Teori Ekonomi Mikro,
Bogor, IPB
Thohir, K.A. 1967. Seuntai Pengetahuan Tentang
Usahatani Indonesia, Jakarta. Bina Aksara.
Kasryno, F. 2006. Suatu Penilaian Mengenai
Prospek Masa Depan Jagung di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Seminar dan
Lokakarya Nasional Jagung, 29-30
September 2006. Balai Penelitian Tana
340
341
Kajian Kemitraan Petani Mangga Gedong Gincu (Mangifera Indica L.) dengan
CV. Sumber Buah (SAE) (Studi Kasus pada Petani Mangga di Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat)
The Study of Partnership between Gedong Gincu Mango Farmers (Mangifera Indica L)
and CV. Sumber Buah (SAE) (Case Study on Mango farmers at Cirebon Regency, West
Java)
Siti Nur Azizah Syah1, Lies Sulistyowati1
1Universitas Padjadjaran, Bandung,
A B S T R A K
Kata Kunci:
Mangga Gedong Gincu,
Kemitraan,
Teori Drama
Penelitian yang dilakukan mengenai kajian kemitraan yang bertujuan untuk
mengetahui kendala dan manfaat kemitraan dan kinerja usaha yang dilakukan petani
mangga. Selain itu, disajikan pula model kemitraan ideal sebagai solusi dari kendala
kemitraan. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kualitatif dengan teknik
penelitian studi kasus. Informan dari penelitian ini adalah perusahaan CV. Sumber
Buah (SAE), ketua Gapoktan Samimulya dan Kelompok Tani Sukamulya sebagai
petani mitra, ketua Kelompok Tani Dunia Buah dan Ki Gebang sebagai petani yang
sudah tidak bermitra. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis
data menggunakan analisis deskriptif dengan alat analisis model teori drama. Hasil
penelitian mengenai kendala bahwa petani merasakan kesulitan di teknik budidaya,
kurangnya informasi pasar, pengembalian produk, lamanya dan waktu pembayaran.
Namun petani merasakan manfaat dari aspek ekonomi, teknis, dan sosial. Melalui
kerangka pikir bersama didapat resolusi mengenai pengembalian produk, standar
kualitas buah manga dan proses pembayaran. Kemitraan pada kenyataannya belum
dapat menjamin kinerja usaha kelompok tani binaannya.
ABSTRACT
Keywords:
Mango Gedong Gincu,
Partnership,
Drama Theory
Research conducted a study regarding partnership to determine the constraints and
benefits of the partnership and mango farmers cooperation. In addition, presented an
ideal partnership model as a solution of the partnership constraints. The research
design was qualitative with case study technique. Informants were head of partnership
management of CV. Sumber Buah (SAE), head of Gapoktan Samimulya and Sukamulya
Farmer Group as partner farmers, and also head of Dunia Buah and Ki Gebang
farmer group as the farmer groups who had no longer partnership. The data used
primary and secondary data. The data was analyzed by using descriptive analysis with
the aid of drama theory model.The Result showed the contraints are the farmers
encounter difficulties in farming techniques, a lack of market information, products
return, and the delay in paymen. However, the farmers obtain the benefits in terms of
economi, social and technology. Through a joint framework that was based on the
threats and the offers consideration between the actors, it obtains no longer products
return, mango fruit quality standards, and payment process. In the fact, partnership
could not guarantee the performance of businesses farmer groups auxiliaries.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
342
PENDAHULUAN
Keberadaan mangga di Indonesia jumlahnya
melimpah. Indonesia merupakan negara produsen
mangga terbesar kelima di dunia dengan produksi
sebesar 2.376.339 ton pada tahun 2012 di bawah
India, Cina, Kenya dan Thailand. (FAOSTAT, 2014).
Dalam rangka mendorong dan meningkatkan
pengembangan usahatani buah dan mengatasi
berbagai kendala yang dihadapi oleh petani, terutama
dibidang permodalan, produksi, dan pemasaran,
maka dilaksanakan program kemitraan antara Usaha
Besar dan Usaha Menengah dengan Usaha Kecil.
Pelaksanaan kemitraan ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
1997 tentang kemitraan, kemitraan adalah suatu
kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah
atau usaha besar yang disertai pembinaan dan
pengembangan oleh usaha menengah atau usaha
besar dengan memperhatikan prinsip saling
memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan.
CV.Sumber Buah (SAE) telah melakukan
kegiatan ekspor selama kurang lebih tujuh tahun.
Namun program kemitraan yang dilaksanakan belum
terlihat optimal khususnya dalam hal memenuhi
kebutuhan permintaan pasar internasional.
CV.Sumber Buah (SAE) masih harus mencari
produk buah mangga dari petani mangga diluar
petani mitra demi memenuhi permintaan pasar. Pada
perkembangannya terdapat cukup banyak petani
yang kemudian tidak lagi menjual hasil produksinya
ke CV. Sumber Buah (SAE) namun menjual hasil
produksinya ke bandar, tengkulak, ataupun
perusahaan eksportir lain.
Selain salah satu kelompok tani yang tergabung
dalam Gapoktan Samimulya yaitu Kelompok Tani
Sukamulya yang hingga saat ini merupakan mitra
dari CV. Sumber Buah (SAE), sebelumnya terdapat
beberapa kelompok tani yang pernah melakukan
kerjasama usaha dengan CV. Sumber Buah (SAE)
namun mengundurkan diri diantaranya yaitu
Kelompok Tani Dunia Buah dan Kelompok Tani Ki
Gebang.
Ketertarikan inilah yang mendorong peneliti
berniat untuk melakukan kajian terhadap kemitraan
yang dilakukan CV.Sumber Buah (SAE) dengan cara
mengetahui kinerja kelompok tani yang masih
bermitra dan kelompok tani yang sudah tidak
bermitra, serta kendala serta manfaat kemitraan yang
dirasakan oleh petani yang masih bermitra.
Selanjutnya akan dirumuskan solusi alternatif
kemitraan ideal bagi petani yang masih bermitra
dengan CV. Sumber Buah (SAE) dengan
menggunakan alat analisis model teori drama.
KERANGKA KONSEP
CV. Sumber Buah (SAE) merupakan salah
satu perusahaan yang bergerak dibidang jasa ekspor,
khususnya ekspor komoditas pertanian. CV.Sumber
Buah (SAE) telah aktif memasarkan buah mangga ke
pasar internasional sejak tahun 2008. Diantaranya
Timur Tengah, Singapura dan Hongkong yang
menjadi tujuan ekspor komoditas mangga yang
dilakukan CV.Sumber Buah (SAE). Cukup
banyaknya permintaan buah mangga di pasar ekspor
membuat CV. Sumber Buah (SAE) perlu melakukan
kegiatan kemitraan dengan petani mangga untuk
memenuhi kebutuhan permintaan pasar.
Diantaranya Kelompok Tani Sukamulya yang
tergabung dalam Gapoktan Samimulya dan
merupakan kelompok tani yang bermitra dengan
CV.Sumber Buah (SAE). CV. Sumber Buah (SAE)
juga mengadakan kerjasama usaha dengan kelompok
tani yang lain seperti Kelompok Tani Dunia Buah
dan Kelompok Tani Ki Gebang. Namun pada
perkembangannya kedua kelompok tani tersebut
hanya mengirimkan hasil produksi buah mangganya
ke CV. Sumber Buah (SAE) dalam jangka waktu satu
tahun dan kemudian mengundurkan diri dari kegiatan
kerjasama usaha tersebut.
Hal tersebut yang membuat peneliti merasa
tertarik untuk menganalisis mengenai kemitraan yang
terjadi antara CV. Sumber Buah (SAE) dengan
kelompok tani mangga.
METODE PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini adalah petani mitra
dan non mitra. Penelitian dilakukan di CV. Sumber
Buah (SAE), Gapoktan Samimulya, Kelompok Tani
Sukamulya, Kelompok Tani Dunia Buah, dan
Kelompok Tani Ki Gebang yang berlokasi di
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.
Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah desain kualitatif. Teknik yang
digunakan adalah studi kasus. Suharsini (2006)
menyatakan bahwa studi penelitian yang dilakukan
secara terinci dan mendalam terhadap suatu
organisasi, lembaga, atau gejala tertentu. Ditinjau
dari wilayahnya, maka studi kasus hanya meliputi
daerah atau subjek yang sangat sempit.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan data sekunder. Informan
dalam penelitian ini adalah para pelaku yang
melakukan program kemitraan dengan CV. Sumber
Buah (SAE) diantaranya Ketua Gapoktan Samimulya
dan Ketua Kelompok Tani Sukamulya sebagai petani
mitra serta Ketua Kelompok Tani Dunia Buah dan
343
Kelompok Tani Ki Gebang sebagai kelompok tani
yang sudah tidak bermitra.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Usaha Kelompok Tani
1) Kelompok Tani Sukamulya
(1) Lahan
Lahan yang diusahakan Kelompok Tani
Sukamulya seluas 12 hektar. Lahan tersebut
merupakan lahan kelompok dan seluruhnya berlokasi
di Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Lahan
tersebut ditanami kurang lebih 1200 pohon mangga
gedong gincu.
(2) Anggota Kelompok Tani
Awalnya kelompok tani Sukamulya memiliki 25
orang anggota kelompok tani. Namun pada
perkembangannya anggota tersebut berkurang
hingga saat ini hanya tersisa 8 orang anggota
kelompok tani.
(3) Teknologi
Alat-alat pertanian yang dimiliki oleh
Kelompok Tani Sukamulya diantaranya adalah
packing house, keranjang plastik, mobil bak, dan
hand sprayer. Sedangkan untuk teknologi
penanaman kelompok tani telah menggunakan
teknologi off season pada sistem penanaman.
(4) Sumber Modal
Modal usahatani berasal dari mitra, yaitu CV.
Sumber Buah (SAE), kredit Bank BRI, dan kredit
pada program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi
(KKPE) dari Bank BJB.
(5) Jumlah Produksi
Tabel 1. Jumlah Produksi Kelompok Tani Sukamulya (Kg)
Indikator Kinerja Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Produksi
Grade A 9146 12170 14390 13856 16103 16792
Grade B 4573 6085 7195 6928 8052 8396
Grade C 1524 2028 2398 2309 2684 2799
Total Produksi 15244 20284 23984 23094 26839 27986
Produktivitas 12.7 17 20 19 22,3 23,3
Dari jumlah produksi yang diungkapkan Tabel
1 kurang lebih sekitar sembilan puluh persen hasil
produksinya dapat dikategorikan sebagai grade A dan
grade B sehingga dapat langsung disalurkan ke
eksportir dalam hal ini CV. Sumber Buah (SAE) dan
sepuluh persen lainnya biasanya disalurkan ke
industri pengolahan yang ada di wilayah sekitar
kelompok tani Sukamulya yaitu industri pengolahan
manisan mangga.
(6) Harga
Harga tertinggi buah mangga ditingkat petani
pada saat panen off season yaitu sekitar bulan Mei
hingga Agustus yaitu Rp. 15.000 per kilogram untuk
kategori tua pohon grade A dan kategori matang
pohon grade A yaitu Rp. 30.000 per kilogram.
Sedangkan pada masa on season yaitu sekitar bulan
September hingga November harga tertinggi adalah
Rp. 7.500 per kilogram untuk kategori grade A tua
pohon. Sedangkan untuk tingkat kelompok tani,
harga lebih tinggi Rp. 1.000 per kilogramnya.
Kelebihan harga tersebut dipergunakan untuk uang
kas Kelompok Tani Sukamulya.
2) Kelompok Tani Dunia Buah
(1) Lahan
Kelompok Tani Dunia Buah memiliki 48
hektar lahan dengan kurang lebih 4.800 pohon
mangga gedong gincu yang ditanam menggunakan
pola polikutur dengan tanaman padi atau sawah.
Kebun mangga gedong gincu milik Dunia Buah ini
berlokasi dekat dengan danau buatan yang cukup luas
sehingga akses untuk mendapatkan air untuk proses
pemeliharaan seperti penyemprotan menjadi relatif
mudah dan efisien.
(2) Anggota Kelompok
Anggota kelompok merupakan petani yang
menjual hasil produksinya ke kelompok. Anggota
Kelompok Tani Dunia Buah berjumlah 25 orang dari
awal pembentukan hingga sekarang.
(3) Teknologi
Sama hal nya dengan Kelompok Tani
Sukamulya, Kelompok Tani Dunia Buah juga telah
menerapkan teknologi off season pada proses
pemeliharaan pohon mangga. Alat-alat pertanian
yang dimiliki Kelompok Tani Dunia Buah
diantaranya adalah packing house, cool storage,
mobil berpendingin, keranjang plastik, power
sprayer, hand sprayer, timbangan yang masing-
2006
344
masing berjumlah 1 unit dan berasal dari program
bantuan pemerintah.
(4) Sumber Modal
Modal usaha yang dijalani oleh Kelompok
Tani Dunia Buah merupakan modal sendiri. Hal
tersebut karena kelompok tani Dunia Buah belum
mendapatkan kepercayaan dari perbankan untuk
mendapatkan pinjaman modal dengan jumlah besar.
(5) Jumlah Produksi
Tabel 2. Jumlah Produksi Kelompok Tani Dunia Buah (Kg)
Indikator Kinerja Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Produksi
Grade A 171009 136807 162800 211640 152381 192000
Grade B
Grade C 42752 34202 40700 52910 38095 48000
Total Produksi 213761 171009 203500 264550 190476 240000
Produktivitas 44,5 35,6 42,4 55 39,7 50
Dari total produksi yang dihasilkan, kelompok
tani Dunia Buah memasarkan ke pasar domestik dan
pasar internasional. Melalui eksportir kelompok tani
Dunia Buah memasarkan hasil produksinya sekitar
20% dari jumlah total produksi grade A dan grade B.
Sisanya disalurkan ke pasar domestik.
(6) Harga
Kelompok Tani Dunia Buah hanya menjual
buah mangga dengan kategori tua pohon. Harga
tertinggi ditingkat petani untuk kategori grade A tua
pohon pada masa off season adalah Rp. 14.000 per
kilogram sedangkan ditingkat kelompok tani adalah
Rp. 20.000 per kilogram. Pada masa on season atau
panen raya harga tertinggi ditingkat petani untuk
kategori yang sama adalah sebesar Rp. 7.000 per
kilogram sementara ditingkat kelompok tani adalah
Rp. 10.000 per kilogramnya. Perbedaan harga
tersebut dikarenakan kelompok tani harus
menanggung biaya transportasi dalam proses
pemasaran.
3) Kelompok Tani Ki Gebang
(1) Lahan
Kelompok tani Ki Gebang melakukan
produksi buah mangga di lahan seluas 40 hektar.
Lahan tersebut merupakan gabungan antara pohon
mangga gedong gincu, arumanis, dan cengkir. Lahan
gedong gincu sendiri yaitu seluas 16 hektar dengan
jumlah pohon sekitar 1.600 pohon.
(2) Anggota Kelompok
Anggota kelompok tani Ki Gebang awalnya
berjumlah 22 orang. Namun, kini telah berkurang
menjadi 15 orang. Hal tersebut dikarenakan anggota
yang mengundurkan diri dari kelompok ingin
membuat kelompok tani yang baru bersama dengan
anggota lainnya.
(3) Teknologi
Kelompok tani Ki Gebang juga mendapatkan
bantuan berupa sarana dan prasana bagi proses
produksi buah manga diantaranya packing house,
keranjang, alat pemetik buah, power sprayer, hand
sprayer, timbangan, dan alat perangkap lalat buah.
Sama halnya dengan dua kelompok tani sebelumnya,
Kelompok Tani Ki Gebang juga menggunakan
teknologi off season pada pohon mangganya.
(4) Sumber Modal
Ketua kelompok memulai usahanya dengan
berjualan mangga di Jakarta. Setelah usahanya mulai
berkembang baru memulai untuk membeli kebun
mangga dan mencoba membudidayakan buah
mangga dan mendirikan kelompok tani. Untuk itu
sumber modal yang digunakan adalah modal pribadi.
(5) Jumlah Produksi
Tabel 3. Jumlah Produksi Kelompok Tani Ki Gebang (Kg)
Indikator Kinerja Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Produksi
Grade A 20764 18688 22426 25789 20632 23520
Grade B
Grade C 8899 8009 9611 11053 8842 10080
345
Indikator Kinerja Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014
Total Produksi 29664 26697 32037 36842 29474 33600
Produktivitas 18,5 16,7 20 23 18,4 21
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa
hasil tingkat produksi buah mangga grade C masih
relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan
kelompok tani Sukamulya dan Dunia Buah. Bahkan
jika hasil produksi buah mangga grade B yang
dihasilkan oleh kelompok tani Ki Gebang dikirimkan
ke eksportir seringkali masih mendapatkan reject
produk karena dinilai kurang memenuhi standar
kualitas.
(6) Harga
Sama halnya dengan Kelompok Tani Dunia
Buah, Kelompok Tani Ki Gebang hanya memasarkan
buah mangga dengan kondisi tua pohon. Harga
tertinggi ditingkat petani untuk kategori grade A tua
pohon pada masa off season adalah Rp. 15.000 per
kilogram dan dijual dengan harga Rp.25.000 per
kilogram di Toko Antowijaya. Sedangkan pada masa
on season harga tertinggi dengan kategori yang sama
adalah Rp. 7.000 per kilogram di tingkat petani dan
Rp. 10.000 per kilogram di Toko Antowijaya.
Dari hasil kinerja usaha, Kelompok Tani
Dunia Buah dapat dikatakan lebih unggul dari segi
jumlah pohon, anggota kelompok, produktivitas, dan
teknologi.
2. Deskripsi Kemitraan Petani Mangga dengan
CV. Sumber Buah (SAE)
Dimulai dari suksesnya percobaan pertama
CV. Sumber Buah (SAE) melakukan kegiatan ekspor
buah mangga menjadikan CV. Sumber Buah (SAE)
mulai melakukan kontrak kemitraan dengan petani
mangga. Gapoktan Samimulya yang didalamnya
terdapat Kelompok Tani Sukamulya merupakan
kelompok tani mitra yang hingga saat ini masih
melakukan kemitraan dengan CV. Sumber Buah
(SAE). Ketua kelompok beralasan karena CV.
Sumber Buah (SAE) merupakan satu-satunya
eksportir yang berlokasi paling dekat dengan
kelompok tani sehingga lebih mudah dalam akses
trasnportasi.
Sedangkan Kelompok Tani Dunia Buah dan
Kelompok Tani Ki Gebang yang semula juga
melakukan kerjasama usaha dengan CV. Sumber
Buah (SAE) saat ini tidak lagi melakukan kerjasama
tersebut dikarenakan tidak adanya keinginan untuk
melakukan kontrak kerjasama secara tertulis karena
harga, kuantitas dan kualitas yang tidak dapat
diterima oleh keduanya.
1) Kendala Kemitraan
Kendala yang terjadi dipihak perusahaan
adalah dari segi kualitas buah mangga yang
dihasilkan oleh petani mitra, kuantitas produk yang
dikirimkan oleh petani mitra, serta kontinuitas
kerjasama petani mitra yang masih belum terjamin.
Untuk kendala ditingkat petani diantaranya
kesulitasn di teknik budidaya, kurangnya informasi
pasar, pengembalian produk reject, serta lamanya
waktu pembayaran.
2) Manfaat Kemitraan
Pada hakikatnya kemitraan yang dilakukan
oleh Kelompok Tani Sukamulya dengan CV. Sumber
Buah (SAE) memberikan manfaat yang berarti bagi
kedua belah pihak. Manfaat kemitraan sendiri dapat
dilihat dari aspek ekonomi, teknis, sosial dan
manajemen (Departemen Pertanian, 2000).
(1) Manfaat Ekonomi
Manfaat yang dirasakan petani mitra secara
ekonomi diantaranya adalah produktivitas yang
meningkat setiap tahunnya dan kepastian harga dari
perusahaan. Selain itu juga pendapatan usahatani jika
dibandingkan dengan petani non mitra.
Tabel 4. Analisis Usahatani Petani Mitra dan Petani
Non Mitra per Ha dalam 1 Tahun Keterangan Petani Mitra Petani Non-Mitra
Biaya Variabel
Pupuk
Kandang Rp 2.213.388 Rp 4.259.259
SP36 Rp 95.736 Rp 429.629
Urea Rp 110.163 Rp 520.000
KCL Rp 122.403 Rp 140.000
NPK Rp 510.012 Rp 169.445
Organik Cair Rp 6.120 Rp 6.222
Paclobutrazol Rp 102.002 Rp 103.704
Giberelin Acid Rp 38.401 Rp 49.778
Pestisida Rp 5.712.132 Rp 5.807.407
HOK Rp 3.620.891 Rp 8.497.777
Biaya Tetap
Biaya Penyusutan Alat Rp 174.999 Rp 125.833
Jumlah Biaya Rp 12.706.247 Rp 20.109.054
346
Penjualan hasil produksi
Total produksi 5.000kg 5.000kg
Harga Rp 15.000 Rp 13.000
Total penerimaan Rp 75.000.000 Rp 65.000.000
Keuntungan Rp 62.293.753 Rp 44.890.946
(2) Manfaat Teknis
Hampir seluruh petani mitra menguasai
teknologi off season untuk budidaya pohon
mangganya. Selain itu beberapa bantuan pemerintah
diberikan kepada petani yang memiliki potensi untuk
dikembangkan, dan salah satu syaratnya adalah
memiliki akses pasar yang pasti atau melakukan
kemitraan dengan perusahaan pemasaran misalnya
pihak eksportir. Sebagai contoh adanya program
bantuan pola insentif two in one yang dilakukan
melalui hubungan kemitraan antara perusahaan inti
dan petani plasma.
(3) Manfaat Sosial
Manfaat kemitraan secara sosial dapat dilihat
melalui sikap saling percaya dan kekeluargaan yang
dirasakan oleh kedua belah pihak. Hal ini yang
menjadikan kedua belah pihak tetap menginginkan
kontinuitas dalam kerjasama usaha.
(4) Manfaat Manajemen
Manfaat kemitraan secara sosial dapat dilihat
melalui sikap saling percaya dan kekeluargaan yang
dirasakan oleh kedua belah pihak. Hal ini yang
menjadikan kedua belah pihak tetap menginginkan
kontinuitas dalam kerjasama usaha.
3. Model Kemitraan Ideal
1) Dilema dalam Kemitraan
(1) Dilema Konfrontasi
Dilema ancaman terjadi ketika Beberapa
petani mitra menjual hasil panen nya ke pihak lain
dan tidak mengembalikan modal yang sebelumnya
telah dipinjamkan oleh perusahaan. CV. Sumber
Buah (SAE) memberikan teguran atau peringatan
kepada petani agar mengembalikan modal pinjaman
atau panen musim yang akan datang harus
mengirimkan hasil produksi buah mangganya ke CV.
Sumber Buah (SAE).
Namun pada kenyatannya ancaman yang
diberikan oleh CV. Sumber Buah (SAE) tidak
ditanggapi dengan serius oleh petani mangga. Hal ini
dikarenakan petani merasa harga yang diberikan oleh
CV. Sumber Buah (SAE) terlalu rendah dan petani
memiliki posisi tawar yang menguntungkan.
Dilema posisi terjadi karena petani merasa
keberatan jika salah satu kegiatan pasca panen yaitu
sortasi dan grading dilakukan di perusahaan dan
ingin bertukar posisi untuk melakukan sortasi dan
grading sendiri di tempat petani. Petani beranggapan
bahwa jika grading dan sortasi dilakukan di tempat
petani, maka barang yang di reject tidak akan terjadi
lagi. Karena resiko yang dirasakan petani untuk
menghadapi barang reject cukup sulit karena petani
harus mencari lagi pasar.
Sedangkan dilema kerjasama terjadi pada
petani mitra saat mereka lebih tertarik untuk
bekerjasama dengan pihak lain padahal mereka telah
diikat secara kontrak oleh CV. Sumber Buah (SAE).
Adanya tawaran dari pihak lain yang menjanjikan
harga yang lebih tinggi dan pembayaran secara tunai
membuat petani dihadapkan dengan pilihan. Selain
itu petani merasa belum puas dengan manfaat yang
diberikan saat bermitra dengan CV. Sumber Buah
(SAE) sehingga petani masih tertarik untuk menjalin
kerjasama usaha dengan pihak lain.
2) Tahap Awal (Scene Setting)
(1) Kerangka Pikir Petani
Gambar 4. Kerangka Pikir Petani
(2) Kerangka Pikir Perusahaan
Gambar 5. Kerangka Pikir Perusahaan
347
2) Kerangka Pikir Bersama (Build Up)
(1) Pengambalian Produk (Reject)
Gambar 6. Gambaran Situasi Konflik dengan
Menggunakan Perangkat Lunak Confrontation
Manager
Melalui gambar tersebut digambarkan bahwa
pihak CV. Sumber Buah (SAE) berpendapat bahwa
tidak seluruh buah mangga yang dikirimkan oleh
petani ke perusahaan lolos dalam proses sortasi dan
grading sehingga perlu adanya pengembalian produk
kepada petani. Sebaliknya apabila CV. Sumber Buah
(SAE) terus melakukan pengembalian produk
(rejected) kepada petani, Gapoktan Samimulya akan
mencari pasar yang lain untuk menjual hasil produksi
buah mangganya. Hal tersebut merupakan ancaman
bagi perusahaan (diperlihatkan dengan simbol t pada
matriks).
Melalui berbagai pertimbangan atas tawaran
tersebut, maka diputuskan menerima seluruh hasil
produksi buah mangga petani merupakan hal yang
paling ideal. Dengan catatan, CV. Sumber Buah
(SAE) berhak atas penentuan harga produk buah
mangga yang tidak lolos dalam proses sortasi dan
grading. Berdasarkan keinginan-keinginan yang
telah diungkapkan oleh Gapoktan Samimulya dan
CV. Sumber Buah (SAE) maka dapat digambarkan
kerangka referensi bersama sebagai berikut:
Gambar 7. Gambaran Refensi Bersama CV. Sumber
Buah (SAE) dan Gapoktan Samimulya mengenai
Pengembalian Produk (reject)
(2) Penurunan Standar Mutu
Pengembalian produk rejected oleh
perusahaan kepada petani membuat petani
beranggapan bahwa standar mutu atau kualitas yang
ditargetkan perusahaan pada hasil produksi buah
mangga terlalu tinggi. Hal ini mendorong petani
untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan agar
perusahaan dapat menurunkan standar mutu buah
mangga yang dapat diterima perusahaan.
Gambar 8. Situasi Konflik CV. Sumber Buah (SAE)
dengan Gapoktan Samimulya Mengenai Standar
Kualitas
Hal ini akan lama kelamaan akan
menyebabkan kehilangan pasar karena standar mutu
yang rendah. Menyadari hal itu petani sepakat untuk
CV. Sumber Buah (SAE) tetap menerapkan standar
mutu dan kualitasnya yang tinggi. Namun dengan
harapan CV. Sumber Buah (SAE) dapat memberikan
pelatihan teknologi atau menjadi jembatan dalam
program bantuan pemerintah atau lembaga
pendidikan dan penyuluhan.
Gambar 9. Referensi Bersama CV. Sumber Buah
(SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai
Standar Kualitas
CV. Sumber Buah (SAE)
melakukan pengembalian (reject) produk
menerima seluruh produk
Gapoktan Samimulya
mencari pasar yang lain
C Gt
CV. Sumber Buah (SAE)
melakukan pengembalian (reject) produk
menerima seluruh produk dengan harga yang ditentukan perusahaan
Gapoktan Samimulya
mencari pasar yang lain
tetap bermitra dengan CV. Sumber Buah (SAE)
C Ga
CV. Sumber Buah (SAE)
standar kualitas tetap
menurunkan standar kualitas
Gapoktan Samimulya
menjual hasil panen ke pihak lain
C Gt
CV. Sumber Buah (SAE)
standar kualitas tetap
menurunkan standar kualitas
menjembatani bantuan dan pelatihan dari pihak lain
Gapoktan Samimulya
menjual hasil panen ke pihak lain
C Ga
348
(3) Lamanya Proses Pembayaran
Gambar 10. Situasi Konflik CV. Sumber Buah
(SAE) dengan Gapoktan Samimulya Mengenai
Lamanya Pembayaran
CV. Sumber Buah (SAE) selama ini berusaha
memberikan modal apabila petani perlu dalam proses
produksi. Hal tersebut dilakukan oleh perusahaan
karena selain perusahaan berusaha mengikat petani
mitra untuk menjual hasil produksi buah mangganya
ke perusahaan juga sebagai pembayaran awal buah
mangga yang nantinya akan dikirimkan ke
perusahaan. Perusahaan menganggap peminjaman
modal merupakan proses pembayaran buah mangga
petani di awal selagi arus kas yang dimiliki
perusahaan masih cukup untuk memberikan
pinjaman modal. Namun CV. Sumber Buah (SAE)
sepakat akan berusaha untuk melakukan pembayaran
secara tunai ataupun maksimal tiga hari setelah
pengiriman.
Gambar 11. Kerangka Pikir Bersama CV. Sumber Buah (SAE) dengan Gabungan Kelompok Tani
Samimulya
Gambar 11 merupakan kerangka pikir bersama
dari kedua pelaku kemitraan. Setelah memahami
kondisi dan posisi setiap pelaku, maka kemitraan
yang dapat membentuk suatu win-win solution ialah
dimulai dari pembentukan Gabungan Kelompok Tani
Samimulya sebagai sarana kelompok tani untuk
bertukar informasi, membangun kepercayaan dan
kekeluargaan. Gapoktan juga akan berperan sebagai
penyalur pinjaman modal yang berasal dari CV.
Sumber Buah (SAE) dan sebagai jembatan dalam
program-program pemerintah seperti penyuluhan,
bantuan, dan pelatihan teknologi serta budidaya yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan, penelitian dan
pengembangan.
CV. Sumber Buah (SAE) berperan sebagai
mitra dengan kontrak kerjasama memberikan
pinjaman modal, tidak melakukan reject produk buah
mangga yang diberikan oleh gapoktan, dan berusaha
melakukan pembayaran maksimal tiga hari setelah
pengiriman produk buah mangga. Disisi lain,
CV. Sumber Buah (SAE)
pembayaran ditunda 1-2 minggu
pembayaran paling lambat 3 hari setelah kirim
Gapoktan Samimulya
mencari pasar dengan pembayaran cash
C Gt
349
gabungan kelompok tani perlu mengelola kelompok-
kelompok tani serta petani mitra dibawahnya agar
tidak melakukan pelanggaran terhadap kontrak
kemitraan dan memberikan sanksi dan peringatan
kepada pihak yang melanggar.
KESIMPULAN
1) Kelompok tani Sukamulya sebagai kelompok
tani yang melakukan kemitraan dengan CV.
Sumber Buah (SAE) belum dapat dikatakan
sebagai kelompok dengan kinerja yang lebih
baik dibandingkan kelompok tani Dunia Buah
dan kelompok tani Ki Gebang karena dari sisi
produktivitas dan keanggotaan yang tidak lebih
baik dari dua kelompok lainnya. Berdasarkan
hal tersebut dapat dikatakan bahwa kemitraan
dengan CV.Sumber Buah (SAE) belum dapat
memberikan pengaruh pada kinerja usaha
kelompok tani mitra jika dibandingkan dengan
kelompok tani non mitra.
2) Kendala kemitraan yang dirasakan oleh CV.
Sumber Buah (SAE) berupa kualitas produk
yang dihasilkan oleh petani serta kuantitas
produk yang dikirimkan oleh petani. Sedangkan
kendala yang dirasakan oleh petani diantaranya
adalah kesulitan dalam teknik budidaya,
pengembalian produk reject,dan lamanya waktu
pembayaran yang dilakukan perusahaan.
Manfaat kemitraan dari aspek ekonomi,
pendapatan dan kepastian harga jual yang relatif
lebih tinggi petani mitra daripada petani non
mitra. Aspek teknologi, petani mitra melakukan
off season dan menerima bantuan berupa
teknologi pertanian. Aspek sosial petani mitra
merasakan adanya ikatan kekeluargaan antara
petani dengan perusahaan dan kepercayaan akan
pemasaran dan aspek manajemen, manfaat
kemitraan belum banyak dirasakan oleh petani
mitra karena pada kenyataannya petani mitra
belum dapat secara mandiri melakukan
manajemen usahataninya.
3) Model kemitraan ideal melalui teori drama
menghasilkan alternatif pada permasalahan
yang terjadi, diantaranya mengenai:
(1) Pengembalian produk tidak perlu lagi
dilakukan dengan catatan penentuan harga
produk yang tidak lolos dalam proses
sortasi dan grading ditentukan oleh
perusahaan.
(2) Standar mutu produk tidak perlu
diturunkan melainkan petani perlu
memperbaiki tingkat kemampuan produksi
buah mangga melalui bantuan instansi
pendidikan, pelatihan, ataupun
pemerintahan yang dijembatani oleh
perusahaan.
(3) Perusahaan akan mengusahakan untuk
melakukan pembayaran kepada petani
secara tunai atau paling lambat 3 hari
setelah pengiriman.
SARAN
1) Petani mangga sebaiknya lebih bertanggungjawab
dalam melaksanakan komitmen kemitraan dan
menjadikan perbandingan sebagai solusi dalam
permasalahan petani mitra dengan perusahaan.
2) CV. Sumber Buah (SAE) sebaiknya melakukan
kemitraan dengan pihak lain selain Gapoktan
Samimulya. Hal tersebut karena belum
mampunya Gapoktan Samimulya memenuhi
permintaan pasar. Selain itu CV. Sumber Buah
(SAE) disarankan untuk melakukan pembinaan
manajemen dan melakukan usaha untuk
menjembatani petani mitra dengan pihak-pihak
seperti peneliti dan pengembangan guna
meningkatkan produktivitas dan manfaat
manajemen kemitraan.
3) Pemerintah sebaiknya mengontrol dan
mengadakan badan pengawasan dan sanksi yang
jelas dalam pelanggaran kesepakatan kemitraan.
DAFTAR PUSTAKA
Alviany, Yulia. 2014. Analisis Manajemen Risiko
Usahatani Mangga di Kabupaten
Indramayu Jawa Barat. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Boediono, Wayan Koster. 2002. Teori dan Aplikasi
Statistika dan Probabilita, Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Bryant, J and Darwin (2004). βExploring Inter-
organizational relationship in the health
service: an immersive drama approachβ
Dharma S. 2004. Manajemen Kinerja; Falsafah,
Teori dan penerapannya. Jakarat:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen PendidikanNasional.
Deptan. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No
273/kpts/OT.160/4/2007. Departemen
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Fletcher, Keint L. 1987. The Law of Partnership. The
Law Book Company Limited: Sidney.
Hafsah, Mohammad Jafar. 2003. Kemitraan Usaha:
Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
Herawati, Augustin Rina. 2011. Sistem Kemitraan
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) β
350
Usaha Besar dengan Pemodelan Systems
Archetype. Jakarta: Universitas Indonesia.
Howard, N. (1996). βNegotiation as drama: how
games become dramaticβInternational
Negotiation Journal, Vol. 1, 125-152.
Lies Sulistyowati, Ronnie S. Natawidjaja, Zumi
Saidah. 2013. Faktor-Faktor Sosial
Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan
Petani Mangga Terlibat dalam Sistem
Informal dengan Pedagang Pengumpul.
Bandung: Universitas Padjadjaran.
Linton, Ian. 1997. Kemitraan Meraih Keuntungan
Bersama. Jakarta: Hailarang.
Moloeng, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Monica, Dina. 2006. Analisis Sosial Ekonomi Sistem
Kemitraan Pengelolaan Wana Curug
Nangka KPH Bogor Perum Perhutani Unit
III Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Nasution. 2003. Metode Research. Jakarta : PT.
Bumi Aksara.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian Edisi keenam.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Nurhayati. 2013. Analisis Kolaborasi Antar Pelaku
dalam Rantai Pasok pada Klaster Cabai
Merah (Capsicum annum L.). Jatinangor:
Universitas Padjadjaran
Nur Syamsiah, Lies Sulistyowati. 2014. βKemitraan
Usaha dalam Peningkatan Daya Saing dan
Dampak Kebijakan Mangga di Kabupaten
Cirebon, Jawa Barat.β Seminar Nasional
Pembangunan Inklusif di Sektor Pertanian.
Jatinangor: Jurusan Agribisnis Universitas
Padjadjaran.
Pracaya. 2004. Bertanam Mangga. Edisi Revisi.
Jakarta: Penebar Swadaya
Prihatman, Kemal. 2000. Budidaya Pertanian
Mangga (Mangifera Indica L).Jakarta:
Deputi Menegristek Bidang
Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
Puspitasari, A. 2009. Pengaruh Kemitraan Terhadap
Produktivitas Dan Pendapatan Petani
Kakao. Skripsi. Departemen Agribisnis.
Fakultas Ekonomi Dan Manajemen.
Institut Pertanian Bogor.
Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan
Kebudayaan. Jakarta: CV Rajawali. Rochmawan, Sony. 2013. Pengaruh Pola Kemitraan
dengan PT. BISI Terhadap Pendapatan
Petani Jagung di Kecamatan Banyakan
Kabupaten Kediri. Jurnal Manajemen
Agribisnis.
Rodjak, Abdul. 2006. Manajemen Usahatani.
Bandung : Pustaka Giratuna.
Saptana, Arief Daryanto, Henry K. Daryanto,
Kuntjoro. 2009. Strategi Kemitraan Usaha
dalam Rangka Peningkatan Daya Saing
Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah.
Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Saptana, Kurnia Suci Indraningsih, Endang L.
Hastuti. 2007. Analisis Kelembagaan
Kemitraan Usaha di Sentra Produksi
Sayuran. Bogor: Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Scott, James. C. 1981. Moral Ekonomi Petani.
Jakarta: PT Intermasa.
Soekartawi, dkk. 1985. Ilmu Usahatani dan
Penelitian Untuk Pengembangan Petani
Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suharsini, Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Tika MP. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan
Kinerja Perusahaan. Jakarta:PT Bumi
Aksara.
Usman, Rukiyati. 2013. Efektivitas Kemitraan
Antara Koperasi dengan Kelompok Tani
Penyuling Minyak Kayu Putih. Maluku
Utara: Universitas Muhammadyah.
Veronica, Natalia. 2001. Formulasi Pola Kemitraan
Agribisnis Pada PT. Agrobumi Puspa Sari
dengan Petani Krisan. Skripsi. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Wahyuni., S dan R. Hendayana, 2001. Laporan
Pengkajian Kinerja dan Arah
Pengembangan BPP Jawa Timur. Badan
Urusan Ketahanan Pangan- Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor
351
Pertukaran Nilai Pemasaran Dalam Pemasaran Relasional Sebagai Upaya
Menekan Risiko Pemasaran Pada Komoditas Bernilai Tinggi
Marketing Value Exchange In Relational Marketing In Order To Reduce Marketing Risk
For High Value Commodity
Tuti Karyani1, Agriani H. Sadeli1, Hesty N. Utami1, Sulistyodewi NW 1
1Departemen Sosek Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor
A B S T R A K
Kata Kunci:
Pemasaran
relasional
Risiko pemasaran
Pertukaran nilai
Komoditas mangga
Buah - buahan eksotis asli Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh
negara lain sehingga menjadi potensial untuk dipasarkan tidak hanya di pasar lokal namun
juga pasar internasional. Potensi dan peluang ini masih mengalami kendala pengembangan
usaha diantaranya yang terkait dengan kendala dan risiko pemasaran sebagai gerbang akhir
komersialisasi produk. Kendala pemasaran dapat diindikasi salah satunya oleh masih
fluktuatifnya produksi mangga di sentra produksi mangga seperti Jawa Barat. Risiko
pemasaran ini bila tidak mampu diindentifikasi dan selanjutnya dikelola dengan baik maka
akan menjadi tidak efektif untuk program pemasaran yang akan dilakukan. Penelitian ini
menggunakan metode analisis rich picture diagram untuk mengidentifikasi risiko. Pemasaran
relasional dinilai mampu menjadi solusi dalam mengantisipasi risiko pemasaran antar pelaku
melalui pertukaran nilai antara para pelaku yang terlibat dalam agribisnis mangga. Pertukaran
nilai ini berupa (1) Managed Value berupa pengaktifan kelompok tani dalam kegiatan
pemasaran yang berorientasi jangka panjang, (2) Interactive Value berupa pembuatan
kesepakatan antara petani dengan konsumen berupa kontrak kerjasama, (3) Emergent Value
berupa penyampaian informasi mengenai permintaan dan karakteristik pasar kepada petani.
ABSTRACT
Keywords:
Relational
marketing
Marketing risk
Exchange Value
Mango
Original exotic fruits from Indonesia has a comparative advantages comparing to other
countries so that it becomes a potential not only for local market but also the international
market. This opportunity still have obstacle including the business development related to
marketing constraints and marketing risks as the final gate for product commercialization.
Marketing constraints could be indicated by the fluctuation of mango production at the mango
production centers such as West Java. The incapability to identified marketing risk and
followed by improperly well managed, it would be ineffective for a marketing program that
will be carried out. This study uses a rich picture diagram analysis method to identify risks.
Marketing relational assessed could be a solution in anticipation of the marketing risk
between mango businesses through the exchange of values between the actors involved in
agribusiness mango. The exchange value of the form (1) Managed Value with activation of
farmer groups in long-term oriented marketing activities, (2) Interactive Value with making
an agreement between farmers and consumers in the form of the contract, and (3) Emergent
Value with sharing informations regarding demand and market characteristics to farmers.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
352
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan usaha agribisnis dalam
negeri saat ini tengah banyak dilakukan oleh berbagai
pihak untuk lebih mengembangkan potensi dan
peluang komoditas agribisnis baik di dalam negeri
maupun di pasar internasional. Komoditas buahβ
buahan Indonesia saat ini sudah mulai menjadi target
pengembangan pemerintah Indonesia sebagai salah
satu upaya strategis pembangunan agribisnis
Indonesia. Kondisi pendukung usaha tani seperti
kondisi tanah, iklim, serta letak geografis yang
berada di jalur khatulistiwa memberikan keuntungan
bagi Indonesia untuk memiliki keunggulan
komparatif bagi pengembangan industri pertanian
diantaranya untuk buahβbuahan. Salah satu buah
lokal yang menjadi komoditas unggulan adalah
mangga.
Buah mangga merupakan salah satu diantara
beberapa buahβbuahan tropis produksi Indonesia
yang saat ini sudah mampu dipasarkan ke pasar
modern baik ke ritel modern maupun untuk diekspor
ke luar negeri. Bahkan jenis buah ini juga menjadi
primadona exotic fruit ekspor buah dari Indonesia.
Buah ini memiliki ke-khasan tersendiri yang menjadi
daya tarik bagi konsumen tidak hanya konsumen
lokal namun juga konsumen luar negeri yang berbeda
dengan produk buah sejenis yang dihasilkan oleh
negara lain.
Gambar 2 Perkembangan Produksi Mangga Indonesia Tahun
2008 - 2012
Sumber : BPS dan Dirjen Hortikultura Kementan RI (2012)
Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa
produksi mangga nasional volumenya berfluktuasi
selama lima tahun terakhir. Bahkan pada tahun 2010
terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan,
meskipun pada dua tahun berikutnya mengalami
peningkatan kembali. Meskipun demikian fluktuasi
volume produksi mengindikasikan masih belum
terstrukturnya kontinuitas produksi mangga nasional
sehingga permintaan yang kontinu selalu tidak dapat
dipenuhi oleh petani maupun suplier sebagai
penyalur distribusi mangga ke pasar bisnis.
Gambar 3 Perkembangan Produksi Komoditas Mangga di
Jawa Barat Tahun 2009 - 2012
Sumber: *http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/924
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
sentra produksi buah - buahan tropis di Indonesia
termasuk mangga yang saat ini sudah mulai
berorientasi ekspor. Bila dilihat pada gambar 2 maka
kondisi perkembangan produksi mangga dari Jawa
Barat memiliki fluktuasi yang sama dengan
perkembangan mangga nasional yang tidak menentu
setiap tahunnya. Namun demikian permintaan
terhadap mangga selalu ada karena komoditas
mangga yang dihasilkan oleh Jawa Barat memiliki
cita rasa yang berbeda dengan mangga yang
dihasilkan oleh daerah lain. Keunggulan yang
dimiliki oleh buah - buahan eksotis Indonesia seperti
mangga inilah yang disebut sebagai keunggulan
komparatif yang dimiliki oleh komoditas tersebut dan
tidak dimiliki oleh komoditas buah - buahan lain
yang diproduksi oleh negara lain, sehingga buah ini
cukup menarik pasar ekspor yang juga menawarkan
harga yang pasar yang cukup tinggi. Semakin
banyaknya perkembangan ritel modern juga memicu
permintaan baru untuk memasok ke ritel modern
untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Peluang ini
menjadi salah satu faktor penarik pelaku usaha
agribisnis mangga di Jawa Barat untuk
mengembangkan pemasaran produk ke pasar
modern.
Saat ini petani memasarkan mangga hasil
produksinya baik ke pasar modern maupun pasar
tradisional melalui bandar secara transaksional.
Dimana penjualan dengan cara transaksional ini
hanya berdasarkan keuntungan semata tanpa
memperhatikan hubungan jangka panjang dan
loyalitas konsumen. Selain itu hubungan yang hanya
berdasarkan transaksi saja tidak dapat menekan
353
resiko yang mungkin dapat timbul pada agribisnis
mangga. Saat ini agribisnis mangga masih memiliki
risiko - risiko usaha yang masih belum bisa dihindari
oleh para pelaku yang terlibat di dalamnya terutama
oleh produsen atau petani. Salah satu risiko usaha
yang harus mampu diminimalisir dan diantisipasi
adalah risiko pemasaran, karena pemasaran
merupakan gerbang akhir dari komersialisasi suatu
produk untuk sampai ke pasar. Tinggi rendahnya
risiko pemasaran akan turut mempengaruhi
efektivitas aktivitas program pemasaran yang
dilakukan oleh para pelaku. Selain itu, dengan
rendahnya risiko pemasaran petani akan lebih
menarik untuk didanai oleh lembaga keuangan
dimana dana tersebut dapat digunakan untuk
pengembangan bisnis mangga yang digeluti. Oleh
karena itu penelitian ini memiliki tujuan untuk
memberikan rekomendasi untuk menekan risiko
pemasaran yang dapat terjadi dan merugikan petani.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di salah satu sentra
produksi mangga Jawa Barat yaitu di wilayah
Majalengka melalui desain penelitian deskriptif
kualitatif. Sementara itu metode analisis yang
digunakan berupa rich picture diagram untuk
mengidentifikasi risiko. Rich picture diagram
merupakan visualiasi penggambaran kondisi
permasalahan secara tidak terstruktur atas situasi
yang terjadi. Metode ini bertujuan untuk
merepresentasikan konsep dan hubungan melalui
gambar dan simbol yang memiliki makna informasi.
(Checkland dalam Pidd, 2004)
Gambar 4 Kerangka Pikir Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Petani mangga melakukan aktivitas penjualan
mangga langsung ke bandar oles dan bandar, tidak
terdapat aktivitas pertambahan nilai pada proses
pasca panen. Kualitas mangga yang dihasilkan petani
di Kabupaten Majalengka berdasarkan pada
budidaya terpadu yang tidak dilakukan pada produksi
mangga di wilayah Kabupaten Indramayu. Proses
bisnis antara petani dan bandar dilakukan secara
transaksional. Bandar menguasai informasi pasar dan
merupakan penentu harga beli mangga di tingkat
petani. Petani belum memiliki pengetahuan
mengenai kondisi pasar dan akses terhadap informasi
pasar yang terbatas. Bandar kemudian mengirim
mangga ke pasar modern melalui supplier untuk
mangga kualitas tinggi dan pedagang pasar
tradisional untuk mangga kualitas rendah. Tidak
terdapat kontrak pemasaran dalam hubungan antara
Bandar dan Supplier pasar modern. Ketika terdapat
barang yang tidak sesuai standar produk yang
ditetapkan pasar modern maka barang dikembalikan
ke Bandar. Bandar mengirim barang yang
dikembalikan ke pasar tradisional yang menerima
seluruh tingkatan kualitas barang. Pengembalian
barang juga masih terjadi di tingkat supplier yang
mengirim barang ke eksportir. Masih kurangnya
pemahaman mengenai standar produk negara tujuan
ekspor menjadi hambatan supplier untuk dapat
memenuhi kuantitas permintaan eksportir.
Permasalahan dan risiko dalam relasional
pemasaran mangga di Kabupaten Majalengka lebih
lanjut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Risiko pemasaran dapat ditekan dengan
melakukan pemasaran relasional yang baik dengan
konsumen. Menurut Gronroos (2004), pemasaran
relasional yang baik selain dapat meminimalkan
risiko, dapat memberikan rasa perasaan aman kepada
konsumen, meningkatkan kontrol dan kepercayaan
diri, dan akhirnya akan mengurangi biaya (Gronroos,
2004). Sedangkan menurut Wilson (1995)
mengemukakan bahwa pemasaran relasional
dilakukan berdasarkan hubungan kepercayaan yang
ditandai dengan rendahnya tingkat risiko yang
dirasakan. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemasaran relasional berdasarkan penciptaan nilai
tambah sehingga dapat menekan resiko yang
dirasakan oleh petani.Menurut Gronroos (2000)
prespektif pemasaran relasional didasarkan pada
hubungan antara kedua pihak untuk menciptakan
nilai tambah dari produk atau jasa dipertukarkan.
354
Gambar 5 Rich Picture Relasional Pemasaran Buah Bernilai Tinggi di Kabupaten Majalengka
Pemasaran relasional memiliki tiga asumsi
nilai tukar oleh Christopher et al (2002) dalam
Ballantyne (2003). Perspektif tiga nilai adalah
sebagai berikut:
- Managed Value
Nilai yang diciptakan sebagai hasil dari transaksi
yang dilakukan berulang-ulang dalam manajemen
dan pemasok (Christopher et al dalam Ballantyne,
2003). Petani sebaiknya dapat melakukan transaksi
untuk menjual mangganya kepada konsumen dengan
tujuan jangka panjang sehingga hubungan dengan
konsumen harus terus dijaga agar berjalan dengan
baik. Perlu dilakukan budaya pelayanan pelanggan
dan pelaksanaan proses pemasaran yang interaktif
(Gronoos, 1990), hal ini dapat menjadi kekuatan
petani untuk menarik konsumen. Dengan transaksi
yang dilakukan secara berulang dari waktu ke waktu
akan meningkatkan tingkat loyalitas konsumen
dimana akan meningkatkan keuntungan jangka
panjang bagi petani.
- Interactive Value
Nilai yang diciptakan melalui proses interaktif dan
berbagi satu sama lain melalui beberapa kontrak
perjanjian (Christopher et al dalam Ballantyne,
2003). Kontrak pemasaran yang berupa kesepakatan
dan pengikatan konsumen dengan petani merupakan
hal yang dapat diterapkan agar adanya kepastian dan
jaminan bagi petani. Kepastian ini dapat berupa
kepastian harga, kuantitas yang diminta, dan kualitas
yang harus dipenuhi oleh petani. Walaupun tidak
menutup kemungkinan kontrak ini untuk
diperbaharui dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati.
- Emergent Value
Nilai yang diciptakan dari interaksi yang timbul dari
hubungan pada jaringan(Christopher et al dalam
Ballantyne, 2003). Informasi yang didapatkan suplier
buah baik dari eksportir, maupun pasar modern
sebagai konsumen bisnis yang memiliki kualifikasi
tinggi untuk produk mangga, sebaiknya
diinformasikan kepada petani. Gronoos (1990)
mengemukakan bahwa informasi pelanggan yang
diperoleh harus digunakan dan melibatkan seluruh
anggota organisasi pada kegiatan pemasaran.
Kelompok tani dapat menjadi media seluruh
anggotanya dalam mendapatkan informasi pasar dan
pertukaran pengetahuan budidaya produksi. Hal
tersebut dapat meningkatkan pengetahuan petani
mengenai informasi pelanggan untuk terlibat dalam
kegiatan pemasaran dalam upaya memenuhi
kebutuhan konsumen bisnis yang akan memasarkan
produknya kepada konsumen akhir.
PENUTUP
Keterlibatan kelompok tani dalam relasional
pemasaran dapat memberikan manfaat pada
peningkatan pendapatan, aplikasi teknologi budidaya
tepat guna, meminimalisasi potensi produk kualitas
rendah, dan inovasi pasca panen mangga.
Pemasaran relasional dinilai mampu menjadi
solusi dalam mengantisipasi risiko pemasaran antar
pelaku usaha mangga di Kabupaten Majalengka
melalui pertukaran nilai antara para pelaku yang
terlibat dalam agribisnis mangga. Pertukaran nilai ini
berupa (1) Managed Value berupa pengaktifan
kelompoktani dalam kegiatan pemasaran yang
355
berorientasi jangka panjang, (2) Interactive Value
berupa pembuatan kesepakatan antara petani dengan
konsumen berupa kontrak kerjasama, (3) Emergent
Value berupa penyampaian informasi baik dari
konsumen bisnis maupun konsumen akhir kepada
petani sehingga petani memiliki pengetahuan
mengenai permintaan dan karakteristik pasar yang
dihadapi, sehingga informasi perilaku konsumen
tidak hanya dimililki oleh suplier maupun pelaku
pemasaran saja namun juga dimiliki oleh petani. Hal
ini akan sangat membantu untuk memudahkan proses
penyampaian permintaan dan keinginan pasar yang
dapat langsung diketahui oleh produsen, sehingga
proses panen dan paskapanen akan lebih optimal
karena produsen tahu apa yang diinginkan oleh pasar
dan akan mengurangi produk yang gagal diterima
pasar terutama untuk pasar modern.
DAFTAR PUSTAKA
Ballantyne, D., Christopher,M., and Payne, A.
(2003), Relationship Marketing: Looking
Back, Looking Forward.SAGE Volume 3 (I):
159-166. www.sagepublications.com)
BPS dan Dirjen Hortikultura Kementan RI (2012).
Perkembangan Produksi Buah Indonesia
Tahun 2007-2011.
Pidd, Michael. 2004. Systems Modelling: Theory and
Practices. West Sussex: John Wiley & Sons
Ltd.
Wilson DT (1995). An integrated model of buyer-
seller relationships. J. Acad. Mark. Sci., 23:
335-345.
Gronroos, Christian. (1990). Relationship
Approach to The Marketing Function in
Service contexts: The marketing and
organizational behavior interface. Journal of
Business Research.29 (1): 3-12
_______________. (2000). Creating a Relationship
Dialogue: Communication, Interaction, Value.
Marketing Review.Vol. 1 No.1, pp 5 β 14.
Westburn Publishers
________________. (2004). The Relationship
Marketing Process: Communication,
Interaction, Dialogue, Value. Journal of
Business & Industrial Marketing vol. 19 No 2
pp 99-113. Emerald Group Publishing.
Perkembangan Produksi Buah dan Sayur di Jawa
Barat Tahun 2009 β 2012. Sumber:
**http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/su
bMenu/924
356
357
Risiko Pemasaran Mangga di Petani yang Mengambil Risiko dan Menghindari
Resiko
Mango Marketing Risk of Risk Taker and Risk Averter Farmers
Yosini Deliana
Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Jl.Raya Jatinangor Km.21 Sumedang
A B S T R A K
Kata Kunci: Risiko pemasaran
mangga,
petani risk taker
risk averter
Petani risk taker adalah petani yang berani mengambil risiko, sedangkan petani risk
averter adalah petani yang menghindari risiko. Petani risk taker menjual mangga
kepada pedagang yang bisa memberikan harga lebih tinggi dari sekitarnya.Menurut
Casseres (2001) melakukan transaksi dengan banyak orang (transaksi bebas) lebih
baik daripada berjualan dengan satu orang, akan tetapi tidak demikian halnya dengan
pemasaran jagung di Jawa Timur (Deliana, 2004). Penelitian ini mengungkapkan
bahwa berjualan dengan banyak orang (transaksi bebas) keuntungannya tidak jauh
berbeda dengan berjualan dengan satu orang. Hal ini karena pelaku pasar sudah
mengetahui informasi harga dengan baik, komoditi yang diperjual belikannya tahan
lama, dan bisa disimpan. Keuntungan dari komoditi yang bisa disimpan adalah bisa
dijual pada saat harga tinggi. Lalu bagaimana halnya dengan komoditi yang tidak tahan
lama seperti halnya mangga (Mangifere indica). Penelitian ini menarik untuk dikaji
apakah pendapat Casseres ini berlaku juga untuk petani manggayang risk taker dan
risk averter. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai dengan September
2014dari 50 petani di Kecamatan Sedonglor dan Kecamatan Dukupuntang Kabupaten
Cirebon.Data harga diamati langsung dari petani dan akan dianalisis dengan melihat
varianse. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa petani yang risk taker variance
harganya lebih tinggi daripada petani yang risk averter. Faktor yang mendorong petani
menjual mangga ke supplier (petani risk averter)) adalah kepastian harga, keeratan
hubungan dan kemudahan mendapatkan informasi teknologi. Sedangkan faktor
pendorong petani menjual mangga ke pasar bebas (petani risk taker) adalah kepraktisan
dalam menjual,risiko mangga yang dikembalikannya sedikit, , dan kemudahan sistim
pembayaran.
ABSTRACT
Keywords: Marketing risk,
mango,
risk taker farmers and risk
averter farmers
Risk taker farmers are farmers who dare to take a risk , while the risk averter farmers
are farmers who avoid risk. Risk taker farmers often sell mango to traders who can
offer higher prices than themarket price.According to Casseres (2001), the transaction
with many people (free transaction ) is better than selling to one person, but it was not
the same with corm marketing in East Java (2004). The research showed that the
profit of transaction with many people (free transaction) is not much different with the
transaction with one person.This is because marketing agent already know well the
price information, not perishable product, and can be stored.The advantage of not
perishable product is to be sold at a high price.So how about the perishable product
such as mango (Mangifere indica).This research is interesting to know whether this
Casseres opinion also applies to mango farmers who risk taker and risk averter. The
study was conducted with survey from July to September 2014 wiith 50 farmers in
Sedonglor and Dukupuntang District- Cirebon Regency.Observable price data directly
from farmers and the data will be analyzed with variance. The study showed that risk
taker farmers more variance than risk averter. The factors that influence farmers to
sell their mango to supplier are price certainltly, close relatioship, and easy to get the
technology information. Meanwhile the factors that influence farmers to sell their
mango to free market are easy to sell, only few mango should be return and easy
payment system.
* Korespondensi Penulis, Alamat e-mail: [email protected]
358
PENDAHULUAN
Varietas mangga banyak, akan tetapi hanya
empat varietas mangga yang banyak di pasar dan
dikenal konsumen yaitu mangga gedong gincu,
mangga aromanis, mangga cengkir dan mangga
kweni. Kabupetan terbesar penghasil mangga di
Jawa Barat adalah Kabupaten Cirebon, Majalengka
dan Indramayu. Varietas mangga gedong gincu dan
Harumanis paling banyak dihasilkan Kabupaten
Cirebon, sedangkan mangga cenkir banyak
dihasilkan oleh Kabupaten Indramayu dan mangga
kweni tersebar merata di tiga kabupaten tersebut.
Jumlah produksi mangga gedong gincu di Cirebon
pada tahun 2013 sebesar 49.737 ton, produksi
mangga gedong gincu di kabupaten Majalengka
41.717 ton dan di kabupaten Indramayu sekitar
26.939 ton (Dinas Pertanian Jawa Barat, 2013)
Petani mangga gedong gincu dalam
memasarkan mangganya tidak langsung ke
supermarket akan tetapi melalui supplier (5%).
Supplier ini yang akan mendistribusikan mangga ke
eksportir, supermarket dan yang tidak memenuhi
kriteria dipasarkan kembali ke pasar tradisional. Pada
umumnya (95%) dipasarkan ke pasar tradisional, ke
pusat pasar di Bandung dan Jakarta seperti Caringin
dan Kramat Jati. Selain itu juga didistribusikan ke
perdagangan antar daerah seperti ke Jawa Tengah,
Jawa Timur, Lampung dan lainnya. Harga menjadi
faktor utama petani dalam menjual mangganya. Pada
pasar persaingan sempurna berlaku hukum satu harga
dan sebaliknya pada pasar persaingan tidak sempurna
tidak berlaku hukum satu harga (Yogi, 1996). Pelaku
pasar beusaha tidak terjadinya βsatu hargaβ karena
terjadinya excess profit pada pasar persaingan
sempurna yang akan jatuh ke petani atau produsen.
Untuk mempertahankan tidak terjadinya excess
profitbagi petani maka diusahakan harga tidak
transparan diantaranya dengan menghambat
informasi harga.
Informasi harga hanya dinikmati oleh
kelompok pedagang, bukan petani. Adanya teknologi
komunikasi yang lebih canggih cenderung
memperlemah barier to entry bagi setiap pedagang
untuk memasuki pasar. Diantara pedagang besar
mangga banyak yang memiliki saudara, sehingga
tidak menutup kemungkinan terjadi kolusi dalam
menentukan harga beli ke pedagang pengumpul.
Tingkah laku pasar (market conduct) dalam
pemasaran mangga gedong gincu mengakibatkan
petani sering sebagai pihak yang selalu kalah, petani
menerima apa saja yang asimetrik yang
menimbulkan struktur harga yang tidak bersaing atau
bahkan keberadaan pasar tidak terwujud (missing
market)
Identifikasi Masalah.
1. Bagaimana risiko pemasaran mangga pada
petani risk taker dan risk averter ?
2. Faktor apa yang mendorong petani menjual
mangga ke supplier dan pasar bebas ?
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan
data yang diperoleh dari kelompok tani yang menjual
mangganya kepada satu atau dua pedagang, dan
kelompok tani yang menjual mangganya lebih bebas.
Kelompok tani ini menjual mangganya kepada
pembeli yang memberikan harga lebih tinggi dari
pasar atau sekitarnya. Selain itu dilakukan indepth
study kepada key person, stakeholder dan instansi
terkait.Sedangkan data sekunder dari Badan Pusat
Statistik, dan sumber data lainnya. Data yang
dianalisis hanya data mangga gedong gincu dengan
alasan harga mangga gedong gincu sebagai trend
setter bagi harga mangga lainnya
Hipotesis :
H0 :π1 β π2 β₯ 0 (Rata-rata risiko petani risk teker
lebih kecil atau sama dengan petani risk averter
di tingkat populasi)
H1 :π1 β π2> 0 (Rata-rata risiko harga petani risk
taker lebih besar daripada petani risk averter di
tingkat populasi)
dimana:
π1 : rata-rata risiko harga petani risk taker di tingkat
populasi
π2 : rata-rata risiko harga petani risk averter di tingkat
populasi
Menentukan Titik.nilai kritis : dengan tingkat
kepercayaan sebesar 99 % atau
πΌ = 0,01 maka z tabel = 2,32
Identifikasi masalah satu dianalisis dengan melihat
risiko harga dari petani risk taker dan risk averter.
Identifikasi masalah kedua dianalisis secara
deskriftif.Untuk mengukur risiko harga adalah
sebagai berikut :
π§βππ‘π’ππ =(οΏ½οΏ½1 β οΏ½οΏ½2) β (π1 β π2)
β(π 1
2
π1+
π 22
π2)
dimana:
οΏ½οΏ½1 : rata-rata rata risiko hargapetani risk taker di
tingkat sampel
οΏ½οΏ½2 :rata-rata risiko harga petani risk averter di
tingkat sampel
359
π 12 : varians risiko harga petani risk taker di
tingkat sampel
π 22 : varians risiko harga petani risk averter di
tingkat sampel
π1 : ukuran sampel risiko harga petani risk taker
π2 : ukuran sampel risiko harga petani risk averter
Kriteria Penolakan
Tolak π»0 jika π§βππ‘π’ππ > π§π‘ππππ
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Umumnya pedagang pengumpul maupun pedagang
besar merangkap sebagai petani. Petani risk averter
membudidayakan mangga dengan baik, juga
memperhatikan pasca panen. Pemetikan dilakukan
pagi hari antara jam 9 β 11 pagi, karena apabila
dilakukan pemetikan di siang hari maka getah
mangga banyak yang mengotori kulit buah. Hal ini
menjadikan harga mangga jatuh karena
penamplannya tidak menarik, selain kotor juga
getahnya kemana mana. Petani risk taker kurang
memperhatikan hal ini, karena korbanan (biaya) tidak
seimbang dengan hasilnya. Petani risk taker focus
pada pemasaran, kurang focus untuk menjaga
kualitas.
Risiko Pemasaran Mangga pada Petani Risk
Taker dan Risk Averter Risiko adalah derajat ketidakpastian dalam
situasi tertentu (Heishher dan Robinson, 1985).
Dalam perkembangannya model-model risiko oleh
Young (1979) dibagi dalam tiga macam yaitu (1)
pengambilan keputusan tanpa informasi peluang, (2)
pengambilan keputusan yang menggunakan asas rasa
aman (safety-first rules) dan (3) pengambilan
keputusan dengan memaksimumkan kegunaan
harapan (expected utility). Mangkusubroto dan
Trisnadi (1985) mengemukakan bahwa sikap
seseorang dalam menghadapi suatu persoalan yang
mengandung risiko pada dasarnya dibedakan
menjadi tiga yaitu penghindar risiko(averter risk),
netral (indifferent to risk) dan sikap penggemar risiko
(prefer torisk). Hal ini sependapat dengan Doll dan
Orazem (1978) dan Penson (1980).
Risiko adalah selisih dari nilai optimal dengan nilai
aktualnya (Saptana dkk, 2010). Dalam hal ini, risiko
harga diberikan nilai mutlak untuk menunjukkan
besarannya dengan angka positif untuk setiap item
atau periode. Rumus risiko harga dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
π ππ πππ= ππ β πΈ(π)
dimana:
π ππ πππ = Risiko Harga Petani Mangga (Rp)
ππ = Harga mangga pada periode ke-π (π =1,..,π) (Rp)
πΈ(π) = Expected Price (nilaiharga rata-rata)
PengujianHipotesis Beda Rata-Rata DuaPopulasi
Setelah data dianalisis didapatkan hasil sebagai
berikut:
οΏ½οΏ½1 = Rp 2.971
οΏ½οΏ½2 = Rp 2.411
π 12 = Rp 3.586.369
π 22 = Rp 2.398.003
π1 = 105
π2 = 105
π§βππ‘π’ππ =(οΏ½οΏ½1 β οΏ½οΏ½2) β (π1 β π2)
β(π 1
2
π1+
π 22
π2)
=(2.971 β 2.411) β (0)
β(3.586.369
105+
2.398.003105
)
==560
238,73= 2,35
Keputusan
Karena π§βππ‘π’ππ = 2,35 > 2,32 = π§π‘ππππ maka π»0
ditolak dan π»1 diterima
Kesimpulan : Risiko harga petani risk taker lebih
besar daripada petani risk averter
Faktor yang mendorong Petani Menjual Mangga
ke Supplier dan Pasar bebas
Petani yang menjual ke supermarket tidak ada yang
langsung, akan tetapi semuanya melalui bandar atau
supplier.Supplier ini ada yang memasarkan mangga
untuk ekspor (5%) ada juga untuk supermarket di
sekitar Cirebon seperti Alfamart, Grage super Mall,
indo grosir, yogya regency dan lain lain. Supplier
harus memilik modal besar, karena harus membayar
cash ke petani sedangkan oleh supermarket
pembayarannya ditunda 2 minggu β 1 bulan. Menurut
supplier keuntungan dari pemasaran mangga ini
cukup besar sekitar 15 % dari modal pokok. Jumlah
ini lebih besar bila dibandingkan dengan suku bunga
bank yang 8 % per tahun.pengirimannya 30 β 50
kuintal per hari (85 %), Faktor yang mendorong
petani menjual ke supplier dan pasar bebas adalah
sbb :
360
Tabel 1. Faktor yang Mendorong Petani Menjual
Mangga ke Supplier dan Pasar Bebas
Dari Tabel 1. terungkap bahwa petani yang tujuan
pasarnya supplier karena faktor kepastian harga (58
%), kedekatan hubungan (56%) dan kemudahan
mendapatkan informasi teknologi (72 %), sedangkan
petani yang tujuan pasarnya pasar bebas karena
faktor risiko dikembalikan mangganya kecil (36%),
kepraktisan dalam menjual (78%) dan kemudahan
sistim pembayaran (82 %).
Risiko mangga dikembalikan : mangga yang
didistribusikan ke supplier tidak semuanya diterima,
ada sekitar 30 % sampai 35 % yang tidak bisa
diterima (BS). Sedangkan kalau ke pasas bebas
diantaranya ke pasar tredisional, ke perdagangan
antar daerah dan antar pulau, kualitas mangga tidak
begitu ketat. Walaupun dilakukan grade dan sortasi
tapi produksi bisa diserap pasar. Untuk beberapa
kasus ada juga pedagang yang nakal dengan
memasukkan mangga tidak berkualias ditengah-
tengah peti kemasan sehingga pedagang yang
membeli mendapat kerugian.
Kepraktisan menjual : mangga untuk tujuan supplier
mensyaratkan beberapa ketentuan selain kualitas
yang baik, dilakukan sortasi dan grading, getah tidak
menempel di buah sehingga perlu diperhatkan waktu
petik. Sedangkan untuk pasar bebas petani bisa
menjual dengan tanpa harus memenuhi ketentuan
tersebut
Kepastian harga : petani risk taker menerima harga
yang pasti dari supplier walaupun belum ada kontrak
penjualan. Sedangkan petani risk taker tidak ada
kepastian harga. Harga yang terjadi berdasarkan
mekanisme supply dan demand. Keadaan di
lapangan menunjukkan bahwa kualitas yang baik
tidak selalu mendapatkan harga yang tinggi. Hal ini
disebabkan pada saat yang sama datang mangga dari
daerah lain (Jawa Timur atau Jawa Tengah) sehingga
harga mangga jatuh.
Kemudahan sistim pembayaran : harga di supplier
lebih terjamin daripada di pasar tradisional, karena
harga sudah ditentukan sebelumnya. Walaupun
demikian pembayarannya tidak cash, menunggu 2
minggu sampai 1 bulan, sehingga bandar harus
menanggulangi dulu pembayaran ke petani.
Sedangkan untuk tujuan pasar tradisional harga tidak
terjamin, harga yang terjadi sesuai dengan
mekanisme supply dan demand. Hasil penelitian
World Bank (2006) mengungkapkan hal yang sama
bahwa petani lebih mudah bertransaski dengan
bandar (middlemen) daripada langsung ke pasar
modern. Seharusnya supermarket memberikan
pelayanan terbaik dalam hal harga ke
supplier,komitmen bisnis dan ketaatan pembayaran.
Layanan lain seperti akses keberlanjutan,penjualan
yang tinggi, sedikit produk yang di-reject,kriteria
kualitas yang diharapkan , cara mempertahankan
kualitas, bantuan teknis, kredit, promosi, komitmen
bisnis yang lebih baik , pelunasan pembayaran dan
waktu pembayaran.
Kedekatan hubungan : kedekatan hubungan diantara
petani, bandar maupun pedagang lainnya karena
adanya kepercayaan. Karena sudah saling percaya
maka petani menerima saja harga yang terjadi,
bargaining position petani menjadi lemah. Walaupun
demikian petani tetap menjual ke bandar tersebut
karena tidak ada pilihan lain, petani tidak memiliki
pasar baru.
Kemudahan mendapatkan informasi teknologi
:keuntungan lain petani risk averter mendistribusikan
mangganya ke supplier karena mudahnya
mendapatkan informasi teknologi. Supplier selalu
meningkatkan pengetahuan dalam teknologi
budidaya, pasca panen dan pemasaran. Sedangkan
petani risk taker tidak demikian keadaannya.
Walaupun bertransaksi dengan banyak orang, akan
tetapi hanya sebatas menjual mangga. Hal ini tidak
terjadi transfer of knowledge mengenai teknologi,
pasca panen mapun pemasaran
SIMPULAN
1. Pernyataan Casseres bahwa bertransaki dengan
banyak orang lebih baik daripada bertransaksi
dengan satu orang tidak sejalan dengan keadaan
pemasaran mangga di daerah penelitian.
Kenyataannya bertransaki dengan banyak orang
di pasar bebas varians harganya lebih tinggi
artinya lebih beresiko.
2. Petani risk taker memiliki varian harga lebih
tinggi daripada petani risk averter
Variable
Supplier
(%)
Pasar Bebas
(%)
Risiko mangga
dikembalikan 64 36
Kepraktisan
menjual 22 78
Kepastian
harga 58 42
Kemudahan
sistim
pembayaran
18 82
Kedekatan
hubungan 56 44
Kemudahan
mendapatkan
informasi
teknologi
72 28
361
3. Petani risk averter, walaupun ada kepastian
harga seringkali petani tidak memiliki posisi
tawar.
4. Faktor yang mendorong petani menjual mangga
ke supplier (petani risk averter)) adalah
kepastian harga, keeratan hubungan dan
kemudahan mendapatkan informasi teknologi.
5. Faktor pendorong petani menjual mangga ke
pasar bebas (petani risk taker) adalah
kepraktisan dalam menjual, risiko mangga yang
dikembalikannya sedikit, dan kemudahan sistim
pembayaran
SARAN
1. Diberdayakannya kelopmpok tani dalam
mengembangkan keterampilan mulai dari
budidaya, pasca panen, pemasaran, teknologi,
dengan harapan petani memiliki posisi tawar
lebih baik
2. Adanya pendampingan petani terutama petani
risk taker untuk melakukan penetrasi pasar
danmencari pasar baru lainnya. Sedangkan
petani risk averter diharapkan bisa menentukan
harga dengan menjaga kuantitas, kualitas dan
kontinuitas mangga.
DAFTAR PUSTAKA
Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production
Economics.Theory with Application. John
Wiley and Son Inc. New York.
Heiser, B and L.J. Robinson. 1985. Appplication of
Decision Theory and Measurement of
Attitudes Toward Risk in Farm Management
Research in Industrialized and Third World
Setting. MSU International Development
Papers. Departement of Agricultural
Economics, Michigan State University.
Mangkusubroto dan Trisnadi. 1985. Analisis
Keputusan. Pendekatan Sistem dalam
Manajemen Usaha dan Proyek. Ganeca
Exact. Bandung
Penson., John B and Davis A Lins. 1980.
Accounting for Risk in Investment Decision
Making. Prentice Hall International, Inc.
Saptana, A.Daryanto. K. Heny Daryanto, dam
Kuntjoro. 2010. Analisis Efisiensi Teknis
Produksi Usahatani Cabai Merah dan
Perilaku Petani dalam Menghadapi Risiko.
Journal Agro Ekonomi, Vol.28 No.2 : 153-
188. Bogor.
World Bank Indonesia. 2006. Study on Indonesian
Smallholder and Modern Supply Chains.
Final Report. World Bank Indonesia
collaboration with Center for Agricultural
Policy and Agribusiness Studies,
Padjadjaran University
Yogi. 1997. Perbaikan Struktur Pasar Sebagai
Alternatif Peningkatan Posisi Tawar Petani.
Majalah Ilmiah Universitas Winaya Mukti.
Desember 1997.Volume 6. Sumedang
____ 1999. Pasar Terhadap Katerkaitan Harga di
Tingkat Petani. Majalah Ilmiah Universitas
Winaya Mukti. Agustus 1999. Volume 11
Sumedang
Young.,D.L. 1979. Risk Preference of Agriculture
Producers : Their Use in Extension and
Research. American Journal of Agriculture
Economics. 6 : 1063- 1070
362
363
Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Biji Kakao Indonesia, Periode
Tahun 1984 Sampai 2013
Some of the Factors That Affect the Volume of Indonesian Cocoa Beans Exports,
Analysis 1984-2013 Time Periode
Taufiq Nur Tadjudin 1*, Muhammad Arief Budiman 1
1 Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor,
A B S T R A K
Kata Kunci: ekspor biji kakao
Indonesia
harga domestik
pajak ekspor
nilai tukar rupiah.
Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian
setiap negara di dunia. Biji kakao Indonesia termasuk dalam komoditas andalan yang
memiliki peranan yang cukup penting dalam kegiatan ekspor Indonesia karena
termasuk kedalam salah satu komoditi unggulan yang memberikan kontribusi dalam
upaya peningkatan devisa Indonesia. penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi
seberapa besar pengaruh faktor jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar
rupiah, harga biji kakao Indonesia dan pajak ekspor terhadap jumlah ekspor biji kakao
Indonesia baik secara simultan maupun partial dan Dapat mengidentifikasi faktor mana
yang paling berperan diantara jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai tukar rupiah,
pajak ekspor dan harga biji kakao Indonesia baik secara simultan maupun partial.
Desain penelitian yang di gunakan adalah dengan desain kuantitatif sifatnya suatu
kasus dengan tehnik studi kepustakaan (Deks Study) menggunakan data sekunder,
sampel data yang digunakan bersifat kurun waktu (time series) selama 30 tahun.
Penelitian ini menggunakan model ekonometrika untuk mencerminkan hasil dari
pembahasan yang akan dinyatakan dengan angka, teknik analisis yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dan metode yang di gunakan
adalah metode kuadrat terkecil atau method of ordinary least square (OLS), yang
merupakan metode yang digunakan untuk mengkoreksi persamaan regesi diantara
variabel-variabelnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa Secara simultan Variabel
Jumlah Produksi Kakao Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Harga Domestik Biji Kakao
Indonesia dan Pajak Eksport memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia. Secara partial Variabel Jumlah
Produksi Kakao Indonesia, Nilai Tukar Rupiah, Harga Domestik Biji Kakao Indonesia
memiliki pengaruh yang signifikan dan pajak ekspor secara partial memiliki pengaruh
yang tidak signifikan terhadap perkembangan volume ekspor biji kakao Indonesia.
ABSTRACT
Keywords: Indonesian cocoa beans
exports
domestic prices
export taxes
exchange rate
International trade is one of the important aspects in every country around the world.
Indonesian cocoa beans included in the priority which has a very important role in
export activities including in Indonesia as one of the primary commodity which would
contribute to an increase in foreign exchange for Indonesia. The writing is aimed to
identify how big the influence of the total production of Indonesian cocoa beans, The
rupiah exchange rate, The Indonesian cocoa beans price and And the export tax to the
amount of Indonesia ' s exports of cocoa both simultaneously or partial and to identify
which are the most instrumental factor between the number of Indonesian cocoa
production, the exchange rate, export taxes and price of Indonesian cocoa beans either
simultaneously or partial. This study design are using a quantitative research Her
technique desk study with a case study using secondary data, the sample data used are
time series for 30 years. This research using model econometrics to reflect the outcome
of the discussions to be expressed in numbers, The analysis technique used in this study
is multiple regression analysis and methods used is the method of ordinary least square
(OLS), which is the method used to correct regesi equation between the variables. The
results show that the simultaneous variable the production of Indonesian cocoa,
Exchange Rate, Domestic Prices of Indonesian cocoa beans and Export Tax has a
significant influence on the development of Indonesian cocoa beans exports volume. A
364
partial variable the production of Indonesian cocoa, Exchange Rate, Domestic Prices
of Indonesian cocoa beans has a significant influence and the partial export tax has
no significant effect on the development of Indonesian cocoa exports volume.
* Korespondensi Penulis
Alamat e-mail: [email protected]
365
LATAR BELAKANG
Perdagangan internasional merupakan salah
satu aspek penting dalam perekonomian setiap
negara di dunia. Dengan perdagangan internasional,
perekonomian akan saling terjalin dan tercipta suatu
hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi suatu
negara dengan negara lain serta lalu lintas barang dan
jasa akan membentuk perdagangan antar bangsa.
Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar
penduduknya adalah petani yang secara geografis
merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam yang melimpah, termasuk
komoditas kakao yang merupakan andalan yang
memiliki peranan cukup penting dalam kegiatan
ekspor Indonesia karena temasuk kedalam salah satu
komoditi unggulan yang memberikan kontribusi
dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Dari segi
kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao
dunia dimana bila dilakukan fermentasi dengan baik
dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang
berasal dari Ghana dan kakao Indonesia mempunyai
kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok
bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan
keunggulan tersebut, perkebunan kakao Indonesia
mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun
1980-an dan pada tahun 2002 sertapeluang pasar
kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun
kebutuhan dalam negeri.
Tabel 1. Data vol ekspor biji kakao indonesia menurut negara tujuan tahun 2008-2013 (ton).
Negara
Tujuan
Tahun
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Cina 15.928,5 7.147,6 15.394,9 8.764,2 6.962,1 8.670,2
Thailand 8.116,2 7.405,5 6.716,3 6.037 8.049,4 7.713,4
Singapura 45.195,5 56.403,4 53.933,3 34.839,4 40.879,4 33.146,9
Malaysia 211.470,3 183.539,1 203.847,7 143.296 102.350,1 134.774,4
Amerika
Serikat 53.689,6 120.304,1 89.306,5 9.841 143,3 7.208,7
Kanada 13.000 5.200,3 3.500 5.500 - -
Jepang - - - - - 118,2
India 650 1.900 4.055,5 4.848,00 7.000 5700
Belanda 239,6 2.452 5.847,5 776 510,6 187,5
Jerman 500,7 7.161,4 12.336,5 293,8 369,8 490,5
Lainnya 33.886,1 48.894,3 38.690,1 543,9 5.721,6 3.494,9
Jumlah 382.676,5 440.407,7 433 628,3 214.739,3 171.986,3 201.504,7
Sumber : Badan Pusat Statistik 2014
Sejak tahun 2008 sampai 2010 produksi kakao
indonesia mengalami peningkatan namun tidak
signifikan dan mulai menurun pada tahun 2011
sekitar 18 % penurunan jumlah produksi ini di
sebabkan oleh beberapa faktor yaitu Semakin
menurunnya luas lahan, Iklim yang tidak menentu
menyebabkan produktifitas menurun,Kondisi
tanaman yang sudah tidak produktif karena terlalu
tua kebanyakan sudah ditanam sejak 1980-an
sehingga sudah tidak produktif (Direktorat Jenderal
Perkebunan 2012).
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Berapa besar nilaifaktor jumlah produksi
kakao Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak
eksport dan harga biji kakao Indonesia
mempengaruhi volume ekspor biji kakao
Indonesia baik secara simultan
maupunpartial.
2. Faktor mana yang paling berperan dalam
perkembangan ekspor biji kakao diantara
jumlah produksi biji kakao Indonesia, nilai
tukar rupiah, pajak ekspor dan harga biji
kakao Indonesia baik secara simultan dan
partial.
TEORI DAN KONSEP
Teori Perdagangan Internasional
Teori Keunggulan Absolut (Absolute Advantage)
Dasar teori keungguan absolut adalah suatu
negera akan memperoleh keuntungan dari
perdagangan dengan negara lain apabila negara
tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat
diproduksi di negaranya dengn lebih efisien
366
(mempeunyai keunggulan absolut) dan mengimpor
komoditas yang kurang efisien. Teori keunggulan
absolut ini menyatakan bahwa, meskipun suatu
negara mengalami kerugian atau tidak diunggulkan
dalam memproduksi kedua komoditi jika
dibandingkan dengan negara lain, namun
perdagangan internasional yang saling
menguntungkan bisa tetap berlangsung. Setiap
negara akan memperoleh manfaat perdagangan
karena melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang negera tersebut memiliki
keunggulan mutlak, serta mengimpor barang-barang
jika negara tersebut mimiliki ketidakunggulan
mutlak (Drs. Halwani,M.A dan Dr, H. Prijono
Tjiptoheridjanto .1993).
Teori Keunggulan Komparatif (Comparative
Advantage)
Dalam bukunya Pricipless of Political
Economy (1817), Ricardo menyebutkan bahwa suatu
negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan
internasional jika melakukan spesialisasi produksi
dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat
berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor
barang dimana negara tersebut berproduksi relatif
kurang atau tidak efektif.
METODE PENELITIAN
Objek, Desain Penelitian dan Rancangan Analisis
Faktor
Objek dari penelitian yang akan di teliti
adalah beberapa faktor yang mempengaruhi volume
ekspor biji kakao Indonesiayaitu jumlah produksi
kakao Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika Serikat, pajak ekspordanharga domestik
biji kakao Indonesia. Desain penelitian yang di
gunakan adalah dengan desain kuantitatif sifatnya
suatu kasus dengan teknik penelitian studi
kepustakaan (Deks Study)menggunakan data
sekunder sampel data yang digunakan bersifat kurun
waktu (time series) data yang di perlukan yaitu
jumlah produksi biji kakaoindonesia, nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat,pajak
ekspordanharga domestik biji kakao Indonesiayang
merupakan data tahunan selama 30 tahun dari tahun
1984 sampai tahun 2013. Data yang diperoleh
tersebut akan di regres menggunakan beberapa model
untuk mengetahui faktor mana yang berpengaruh
terhadap volume ekspor biji kakao Indonesia baik
secara simultan maupun partial.model rumusan
variabel yang akan di gunakan di formulasikan dalam
persamaan sebagai berikut :
Ε· = π½0 + π½1π1 + π½2π2 + π½3π3 + π½4π4
Keterangan :
Ε· : Volume Ekspor Biji Kakao (VEX)
π1 : Jumlah Produksi Kakao indonesia
(JPKI)
π2 : Nilai Tukar Rupiah (NTR)
π3 : Harga DomestikBiji Kakao
Indonesia (HDBKI)
π4 : Pajak Eksport (PE)
π½ : Konstanta
Penelitian ini menggunakan model
ekonometrika untuk mencerminkan hasil dari
pembahasan yang akan dinyatakan dengan angka,
teknik analisis yang di gunakan dalam penelitian ini
adalah analisis regresi berganda dan metode yang di
gunakan adalah metode kuadrat terkecil atau method
of ordinary least square (OLS)yang merupakan
metode yang digunakan untuk mengkoreksi
persamaan regesi diantara variabel-variabelnya.
Operasional pengolahan data dilakukan dengan
software SPSS (Statistik Package For Social
Science) versi 20, metode OLS memiliki beberapa
keunggulan yaitu secara teknis mudah dalam menarik
interpretasi, perhitungan dan penaksiran BLUE (Best
Linear Unbiased Estimator)
(Gujarati, 2012).
Selain itu dalam proses menganalisis data
digunakan uji statistik dan uji asumsi klasiksebagai
alat bantu untuk mengestimasi volume ekspor biji
kakao (dependen variable) dan faktor-faktor yang di
perkirakan mempengaruhinya (independen
variable). Uji ststistik meliputi uji koefisien
determinasi uji-F dan Uji-T, sedangkan uji asumsi
klasik meliputi uji normalitsa, uji multikolienaritas,
uji autokorelasi dan uji Heterokedastisitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Model Yang Digunakan
Model yang dirumuskan yaitu model regresi
linier berganda dengan metode Ordinary Least
Square (OLS) dan diperoleh model regresi sebagai
berikut:
ΕΆ = 35,188+ 0,518 X1 + 19,215 X2+ 0,001 X3β
0,018X4+ e
Berdasarkan model regresi yang dihasilkan
bisa dijelaskan hubungan antara variabel X dan Y
secara spesisfik sebagai berikut:
1. X1 =setiap kenaikan seribu ton produksi
kakao maka volume ekspor biji kakao
bertambah 0,518 ribu ton atau 518 ton.
2. X2 =setiap kenaikan seribu mata uang Rupiah
terhadap Dolar atau terdepresiansinya
Rupiah terhadap Dolar maka volume ekspor
biji kakao indonesia akan bertambah sebesar
19,215 ribu ton atau 19.215 ton.
3. X3 =setiap kenaikan seribu rupiah pajak
ekspor maka akan menyebabkan
367
meningkatnya volume ekspor biji kakao
sebesar 0.001 ribu ton atau 1 ton.
4. X4 =setiap kenaikan seribu rupiah harga biji
kakao dalam negri maka akan menyebabkan
menurunnya volume ekspor biji kakao
sebesar 0,018 ribu ton atau 18 ton.
Analisis Uji Statistik
Uji Koefisien Determinan (R2)
Dari hasil regresi data dengan menggunakan
SPSS di peroleh nilai koefisien R2 sebesar 0,844. Hal
ini menunjukan bahwa sebesar 84,4% volume ekspor
biji kakao di pengaruhi oleh variabel-variabel bebas
yang terdapat dalam persamaan, yaitu produksi
kakao domestik, nilai tukar rupiah, pajak eksport dan
harga domestik. Sisanya yaitu sebesar 15,6% di
pengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak
termasuk dalam persamaan.
Tabel 28 Hasil Perhitungan R dan Dw
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Durbin-
Watson
1 ,919a ,844 ,819 57,207256 1,827
Sumber : hasil perhitungan data menggunakan SPSS 20.
Variabel-variabel yang tidak masuk dalam
persamaan yaitu luas lahan kakao Indonesia dan
harga internasional biji kakao, variabel tersebut
merupakan variabel yang tidak termasuk ke dalam
persamaan dalam penelitian ini dan di duga memiliki
pengaruh terhadap volume ekspor biji kakao
Indonesia dengan alasan, luas lahan perkebunana
kakao di indonesia sangat mempengaruhi terhadap
produksi kakao Indonesia karena apabila luas lahan
sedikit maka produksi kakao akan sedikit dan apabila
luas lahan kakao cukup besar maka produksi kakao
akan besar juga, jumlah produksi berhubungan
dengan volume ekspor semakin banyak produksi
peluang ekspor biji kakao semakin banyak pula dan
semakin sedikit produksi maka peluang eksporbiji
kakao semakin sedikit. Selanjutnya harga
internasional mempengaruhi volume ekspor biji
kakao karena berhubungan dengan permintaan dan
penawaran jika harga biji kakao di tingkat dunia
mahal maka permintaan konsumen terhadap biji
kakao akan sedikit dan penawaran produsen terhadap
biji kakao akan tinggi karena harga yang cukup
mahal dan sebaliknya apabila harganya rendah maka
permintaan konsumen terhadap biji kakao akan tinggi
dan penawaran produsen terhadap biji kakao akan
rendah, halini berhubungan dengan volume ekspor
biji kakao Indonesia jika harga tinggi Indonesia akan
mengekspor sebanyak-banyaknya biji kakao dan
apabila harga rendah Indonesia akan mengurangi
ekspor biji kakao. Di duga 15,6% di pengaruhi oleh
variabelluas lahan dan harga internasional.
Uji F Statistik
Dari hasil analisis ini bisa disimpulkan
bahwa produksi kakao domestik, nilai tukar rupiah,
pajak eksport dan harga domestik secara simultan
mempengaruhi volume ekspor biji kakao
Indonesia.Hal ini mengindikasikan bahwa model
dianggap mampu merepresentasikan volume ekspor
biji kakao Indonesia.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji F Statistik
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 441571,954 4 110392,988 33,732 ,000b
Residual 81816,757 25 3272,670
Total 523388,711 29
Sumber : hasil perhitungan data menggunakan SPSS 20.
368
Uji T Statistik
Tabel 4. Nilai T Hitung
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 35187,605 20188,028 1,743 ,094
X1 ,518 ,107 1,110 4,842 ,000
X2 19,215 7,953 ,549 2,416 ,023
X3 ,001 ,000 ,116 1,166 ,255
X4 -,018 ,004 -,938 -4,755 ,000
Sumber : Hasil perhitungan data dengan SPSS 20.
Uji t pada variabel X3 (pajak ekspor) di dapat
t hitung sebesar 1,116 dan nilai signifikannya adalah
0,255 serta nilai t tabel sebesar 2,055. Maka t hitung
lebih kecil dari t tabel dan nilai signifikannya lebih
besar dari 0,05 (t hitung < t tabel dan 0,255 > 0,05)
sehingga terima H0 tolak H1 kesimpulannya faktor
pajak ekspor secara partial tidak berpengaruh yang
signifikan terhadap volume ekspor biji kakao
Indonesia.Walaupun secara partial nilainya tidak
signifikan akan tetapi pajak ekspor memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan
volume ekspor biji kakao Indonesia walaupun
pengaruhnya sangat kecil.
Tolak H0 terima H1 kesimpulannya faktor
pajak ekspor secara partial berpengaruh signifikan
dengan nilai negatif terhadap volume ekspor biji
kakao Indonesia dengan artian pajak ekspor memiliki
pengaruh yang negatif terhadap perkembangan
volume ekspor biji kakao Indonesia.
Analisis Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
Kesimpulannya dari hasil uji normalitas denganMetode
Kolmogorov Smirnov dan diagram scater plot dapat
disimpulakan nilai residula sudah terdistribusi dengan normal
karena pada uji Kolmogorov Smirnovnilai Asymp. Sig. (2-
tailed)lebih besar dari 0,05 dan pada diagram scater plot
sebarannya berada pada sepanjang garis diagonal atau
mengikuti garis lurus.
Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada
atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik
autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara
residual pada satu pengamatan dengan pengamatan
lain pada model regresi. Prasyarat yang harus
terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam
model regresi. Metode yang digunakan dalam uji
Autokorelasi adalah Uji Durbin Watson.
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Dengan Metode
Kolmogorov Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 30
Normal
Parametersa,b
Mean 0,0000000
Std. Deviation 53115,60464840
Most Extreme
Differences
Absolute 0,139
Positive 0,139
Negative -0,105
Kolmogorov-Smirnov Z 0,764
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,604
Sumber : Hasil perhitungan data dengan SPSS 20.
Uji Multikolinieritas
Tabel 69. Hasil Perhitungan VIF
Correlations Collinearity Statistics
Zero-
order Partial Part Tolerance VIF
0,831 0,696 0,383 0,119 8,408
0,791 0,435 0,191 0,121 8,255
0,225 0,227 0,092 0,636 1,573
0,574 -0,689 -0,376 0,161 6,229
Sumber : Hasil Penghitungan Data Dengan SPSS.
Dari nilai VIF setiap masing-masing variabel
X1,X2,X3 dan X4nilai variabelnya tidak lebih dari
10 atau lebih kecil dari 10yang berarti sehingga tidak
terjadi masalah Multikolinieritas.
369
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan
model regresi linier berganda dan metode Ordinary
Least Square dapat disimpulkan bahwa:
1. Faktor produksi kakao Indonesia mampu
menaikan volume ekspor biji kakao
Indonesia sebesar 518 ton apabila produksi
kakao dalam negri meningkat sebesar 1000
ton, faktor nilai tukar rupiah mampu
menaikan volume ekspor biji kakao
Indonesia sebesar 19.215 ton setiap
terdepresiasinya nilai mata uang rupiah Rp
1000/$, faktor pajak ekspor mampu
menaikan volume ekspor sebesar 1 ton setiap
kenaikan 1000 rupiah pajak ekspor dan
faktor harga domestik akan meneurunkan
volume ekspor biji kakao sebesar 18 ton
setiap kenaikan Rp 1000 harga domestik.
Secara simultan variabel produksi kakao
Indonesia, nilai tukar rupiah, pajak ekspor,
harga domestik berpengaruh signifikan dan
secara partial hanya variabel pajak ekspor
yangtidak signifikan nilainya, akan tetapi
tetap memiliki pengaruh terhadap
perkembangan volume ekspor biji kakao
Indonesia walaupun pengaruhnya sangat
kecil.
2. Faktor yang paling berperan dalam
perkembangan volume ekspor biji kakao
Indonesia dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah Nilai Tukar Rupiah, Produksi
Kakao Indonesia, Harga Domestik Biji
Kakao dan Pajak ekspor.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka
peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:
1. Dengan mengetahui variabel yang berpengaruh
terhadap perkembangan ekpor biji kakao
indonesia diharapkan pemerintah dapat
meningkatkan produksi kakao dalam negri dan
mengatasi masalah-masalah dalam
mengambangkan komoditas kakaodi indonesia.
2. Di harapkan Perusahaan perkebunan, petani
kakao, eksportir kakao, dan instansi terkait agar
selalu menjaga kualitas ekspor biji kakao supaya
konsumen memberikan harga yang tinggi atas
eksporbiji kakaoIndonesia.
3. Pemerintah dapat mengembangkan industri
kakao dalam negri agar biji kakao yang di
ekspor memiliki nilai lebih di bandingkan
eksporbiji kakao mentah, hal ini dapat
meningkatkan devisa negara dalam
eksporkomoditas perkebunan.
DAFTAR PUSTAKA
Anni Rahimah, SAB, MAB. 2010. Administrasi
Kepabean dan Ekspor Impor.Bisnis
Internasional Universitas Brawijaya.
Agroforstry and forestry Sulawesi. 2013. Panduan
Budidaya Kakao untuk petani kecil.Journal no
6.
Balittri .2012.Peningkatan Produksi dan
Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.)
di Indonesia. vol 3 (1).
Dinan Arya Putra. 2013. Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Ekspor Tembakau Indonesia
ke Jerman. Universitas Negeri Semarang.
Abdoellah, S. 2009. Perkembangan Penelitian.
Dalam βPaduan Lengkap Kakaoβ
(Wahyudi et al., eds.). Penyebar Semangat.
Jakarta.
Dewi Anggraini. 2006. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kopi
Indonesia dari Amerika Serikat. Tesis
Magister Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan Universitas
Diponegoro Semarang
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian. 2014. Statistik Ekspor Impor
Komoditas Pertanian Tahun 2001-2013.
Jakarta: Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.
Drs. Halwani,M.A dan Dr, H. Prijono
Tjiptoheridjanto. 1993. Perdagangan
Internasional pendekatan Ekonomi Mikro dan
Makro. Ghalia Indonesia.
FloraFelina Aditasari. (2011) Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Eksport Karet Indonesia ke
RRC (Republik Rakyat Cina) Tahun 1999-
2009.Universitas Sebels msret Surakarta.
Gujarati, Damodar. 2009. Dasar-dasar
Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat.
Hady, Hamid. 2001. Ekonomi Internasional: Teori
dan Kebijakan Perdagangan Internasional.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Won Koo. 2005. Internasional Trade And
Agriculture. Vicotria: Blackwell Publishing.
Krugman, P.R. and M. Obstfeld; diterjemahkan
Faisal H. Basri. 2003. Ekonomi
Internasional: Teori dan Kebijakan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Laporan Kementrian Keuangan. 2012. Peraturann
Mentri Keuangan republik Indonesia ,
Penetapan Barang Ekspor Yang Di kenakan
Tarif Keluar Dan Tarif Bea Keluar.
Lapoaran Kementerian Perdagangan Indonesia.
Ekspor biji kakao Indonesia Berdasarkan
Negara Tujuan 2013.
370
Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS). 2013. Perkembangan
Perekonomian Indonesia Triwulan 1 tahun
2013.
Lapoaran Kementerian Perdagangan Indonesia.
Perkembangan Ekspor Pertanian Indonesia
Tahun 2004-2013.
Laporan Food Association Organization (FAO).
Produksi biji kakao Dunia Tahun 2008-
2013.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses
pada tanggal 22 februari 2013.
Laporan Food Association Organization (FAO).
Volume ekspor biji kakao Indonesia tahun
1984-2013.http://faostat3.fao.org/home/Edi
akses pada tanggal 22 februari 2013.
Laporan Food Association Organization (FAO).
Produksi biji kakao Indonesia Tahun1984-
2103.http://faostat3.fao.org/home/Edi akses
pada tanggal 22 februari 2013.
Laporan Food Association Organization (FAO).
Luas lahan perkebunan kakao tahun1984-
2013 .http://faostat3.fao.org/home/Edi akses
pada tanggal 22 februari 2013.
Laporan Kementerian Perdagangan Indonesia.
Perkembengan Ekspor Migas dan Nonmigas
Indonesia Tahun 2004-2013.
Rahardja, Pratama. Mandala Manurung. 2008.
Pengantar Ilmu Ekonomi: Miroekonomi dan
Makroekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Rubiyo dan Susanto. 2012. Peningkatan produksi dan
pengembangan kakao indonesia. buletin
RISTRI vol 3 (1) 2012.
Oktaviani R dan Novianti T. 2009. Teori
Perdagangan Internasional dan Aplikasinya
di Indonesia. Bogor: IPB Press.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sadono Sukirno. 2011. Makroekonomi Teori
Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Tambunan, Tulus. 2005. Perdagangan Internasional
dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan
Empiris. Jakarta: LP3S.
Tim Peneliti. 2014. Statistik Indonesia: Indonesia
Dalam Angka 1996-2014. Jakarta: Badan
Pusat Statisitk Indonesia.
Adera Verena. 2014. Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Ekspor Manggis Indonesia.
Jatinangor: Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran.
Yustika, A., E. (2012). Peran Sektor Luar Negeri
Pada Perekonomian Indonesia. Majalah
Tempo edisi 12-19 November 2012.