teori budaya organisasi-ok
TRANSCRIPT
Teori Budaya OrganisasiBerdasarkan penelitian Clifford Geertz, Michael Pacanowsky, dan Nick O'Donnell-Trujillo(Diterjemahkan Dari Buku “Introducing Communication Theory : Analysis and Application 3nd ed. Richard West
dan Lynn H. Turner. Dari Sub Judul Organization Culture)Oleh : Muslih Aris Handayani, sumadi, Mukti Ali
Pengantar Cerita:
Sebagai karyawan dari Grace'sJewelers, Fran Calahan tahu bahwa
pekerjaannya berbeda dengan pekerjaan teman-temannya.
Perusahan ini mempekerjakan 150 karyawan di 26 toko di Amerika Serikat
bagian Tenggara dan target utama mereka adalah gadis remaja yang sering
berkunjung ke mal Pendiri perusahaan ini,GraceTalmage, selalu
mengunjungi karyawannya setiapminggu, membuat mereka merasa
nyaman bekerja di perusahaan kecil itu.
Hubungan Fran dengan Gracese lama ini cukup baik. Mengapa tidak?
la menerima komisi yang Sangat bagus dan paket perawatan kesehatan
yang memadai (termasuk perawatan mata dan gigi) dan ia juga dapat
bergaul dengan baik dengan supervisornya. Selain itu, Fran dan
karyawan lainnya dapat memakai pakaian casual ketempat kerja mereka,
dan hah'ni membuat karyawan lain di mal itu iri.Semua hal ini mungkin
dapat menjelaskan mengapa Fran telah bekerja untuk preusan ini selama
hampir sembilan tahun dan mengapa ia tidak me'miliki rencana untuk
pindah—hingga saat ini.
Setelah berbisnis selama tiga puluh tahun, Grace memutuskan
telah tiba saatnya bagi dirinya untuk menjual bisnisnya dan pensiun.
Karena perusahaan Grace telah menunjukkan keuntungan yang cukup
besar selama bertahun-tahun, Jewelry Plus, sebuah toko ritel perhiasan
yang besar, memutuskan untuk menawar perusahaan tersebut. Walaupun
sebenarnya Grace tidak ingin menjual perusahannya pada perusahaan
reta/'/yang begitu besar, penawaran mereka terlalu menarik untuk
dilewatkan. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menjual bisnisnya, dan
hal ini mengundang kekecewaan para karyawan. Fran benar-benar
1
khawatirsetelah mendengargosip mengenai perlakuan perusahaan besar
ini terhadap karyawannya dan cara perusahaan ini menjalankan kegiatan
sehari-hari perusahaan. Ia diam-diam bertanya-tanya seberapa banyak
perubahan akan terjadi begitu Grace menjual tokonya. Ia sangat
membutuhkan pekerjaan ini, dan karenanya memutuskan untuk tetap
tinggal.
Insting Fran ternyata benar. Begitu masa transisi perusahaan telah
selesai, ia harus menjalani orientasi "karyawan baru", yang artinya adalah
berdiri di depan seluruh karyawan baru yang ada dan menjelaskan
mengapa ia melamar di perusahaan tersebut. Salah satu dari peraturan
perusahaan itu adalah peraturan berpakaian yang baru dan kebijakan baru
untuk pengembalian barang. Fran tidak lagi dapat memakai pakaian kasual;
sekarang ia harus memakai seragam perusahaan dan sepatu hitam berhak
rendah.
Sehubungan dengan pengembalian barang, kebijakan perusahaan
berubah dari "kepuasan dijamin atau 100% uang kembali" menjadi
"barang yang telah dibeli harus dikembalikan dalam jangka waktu 10 hari
dengan menunjukkan nota pembelian". Walaupun Fran merasa bahwa
kebijakan baru ini akan membuat banyak pelanggan berpaling, kesuksesan
Jewelry Plus merupakan bukti yang cukup bahwa kebijakan ini telah
berhasil sebelumnya.
Akhirnya, dengan perusahaan yang baru ini, paket perawatan
kesehatannya tidak lagi mencakup penggantian biaya perawatan gigi dan
mata. Kurangnya penggantian biaya ini menyebabkan terjadinya
perputaran gosip. Salah satu cerita yang didengar Fran selama masa
orientasinya adalah bahwa seorang karyawan kehilangan dua gigi
belakangnya karena ia tidak dapat membiayai perawatan giginya!
Dengan semua perubahan yang ada dalam kebijakan toko, peraturan
berpakaian, dan filosofi perusahaan, Fran dan banyak rekan kerjanya
merasa kewalahan. Bahkan, banyak rekan kerja Fran yang telah bekerja
2
bersamanya selama sembilan tahun belakangan memutuskan untuk keluar.
Sebagai seorang orang tua tunggal dari pekerjaannya.
Namun lebih dari itu semua, atasan barunya benar-benar sebuah
bencana! Fran dan rekan sekerjanya menamainya "Si Bayangan" karena ia
selalu ada di belakang mereka ketika mereka sedang melayani pelanggan.
Adanya seorang supervisor yang selalu mengamati apa pun yang yang ia
lakukan sangatlah mengganggu, dan bagi Fran ini adalah hal yang sia-sia,
terutama karena kebanyakan pelanggannya adalah remaja dan mereka
sering kali berubah dalam perilaku pembelian mereka.
Walaupun terdapat banyak kekhawatiran, Frans mengikuti piknik
perusahaan yang pertama. Ia sebenarnya tidak begitu ingin, tetapi ia
merasa bahwa ia harus memberikan kesempatan ini pada perusahaan.
Ketika ia dan rekan kerjanya yang baru dan lama minum es the dan makan
hot dog, mereka ternyata cocok. Mantan karyawan Grace Jeweler’s
bercerita pada karyawan besar itu mengenai keadaan yang dulu pernah
ada. Mereka tampaknya benar-benar tertarik mendengarkan orang-orang
seperti Gabby, seorang pensiunan berusia 70 tahun yang tidak bisa
berhenti berbicara dengan pelanggan. Bersama-sama mereka banyak
tertawa mengenai masa lalu yang menyenangkan.
Hari itu berakhir tidak seperti yang dibayangkan Frans sebelumnya. Ia
telah memiliki beberapa teman baru, mengenang masa lalu, dan merasa
sedikit lebih nyaman dengan masa depannya. Walaupun ia tahu bahwa
atasannya akan sulit untuk dihadapi, Frans memutuskan bahwa ia akan
mencoba untuk mendapatkan yang terbaik dari pekerjaannya. Paling tidak
ia berpikir, ia memiliki beberapa orang yang dapat dipercaya.
Sekilas Teori Budaya Organisasi : Orang-orang adalah seperti laba-laba yang tergantung di dalam jaring yang mereka ciptakan di tempat kerja. Sebuah budaya organisasi terdiri atas simbol yang dimiliki
3
bersama, dan tiap-tiap simbol ini memiliki makna yang unik. Kisah-kisah perusahaan, ritual, dan serangkaian ritusnya merupakan contoh dari budaya perusahaan.
4
A. Pendahuluan
Setelah Anda lulus dari universitas, sangat mungkin bahwa
banyak dari Anda akan bekerja untuk sebuah organisasi.
Kehidupan organisasi dicirikan dengan banyak perubahan
dibandingkan hal lainnya. Perubahan biasanya ditandai dengan
adanya semangat, kekhawatiran, rasa trustrasi, dan rasa tidak
percaya. Emosi-emosi ini biasanya akut pada masa-masa penuh
tekanan; misalnya, ketika perusahaan mengadakan pemutusan
hubungan kerja.
Cobalah Anda pergi ke toko buku mana saja di
kampus atau di mal, dan Anda pasti akan melihat banyak buku
mengenai kehidupan organisasi. Pendekatan budaya pop ini
terhadap dunia korporasi Amerika ada di mana-mana. Beberapa
penulis mengatakan pada kita bahwa ada 10 Cara Mudah untuk
Mendapatkan Kenaikan Caji atau ada 8 Langkah Aman untuk
Dipromosikan. Beberapa penulis lainnya menghasilkan jutaan dolar
dengan menulis mengenai pentingnya Berkomunikasi dengan
Orang-orang yang Sulit dan Bekerja untuk Hidup dan Hidup untuk
Bekerja. Kebanyakan dari buku-buku ini berpusat pada apa yang
dapat dilakukan orang untuk membuat hidup mereka lebih mudah
di tempat kerja. Masalahnya adalah bahwa kehidupan organisasi
sangat kompleks. Lebih aman untuk mengatakan bahwa hanya ada
sedikit "cara mudah" untuk apa pun di dalam organisasi.
Untuk memahami kehidupan organisasi melampaui
budaya pop—termasuk nilai-nilai, kisah, tujuan, praktik, dan filosofi
perusahaan—Michael Pacanowsky dan Nick O'Donnell Trujillo
(1982, 198, 1990) mengonseptualisasikan Teori Budaya Organisasi
(Organizational Culture Theory). Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo
merasa bahwa organisasi dapat paling baik dipahami dengan
menggunakan lensa budaya, sebuah ide yang mulanya
dikemukakan oleh seorang antropolog bernama Clifford Geertz.
Mereka percaya bahwa para peneliti terbatas dalam pemahaman
mereka mengenai organisasi ketika mereka mengikuti metode
ilmiah, sebuah proses yang telah.kami jabarkan dalam Bab 4.
Menurut Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo, metode ilmiah dibatasi
dengan adanya pengukuran dibandingkan menemukan sesuatu
yang baru. Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo (1982) berargumen
bahwa Teori Budaya Organisasi mengundang para peneliti "untuk
mengamati, mencatat dan memahami perilaku komunikatif dari
anggota-anggota organisasi" (hal. 129). Mereka menganut
"totalitas atau pengalaman nyata dalam organisasi" (Pacanowsky,
1989, hal. 250). Para teoretikus menorehkan guratan kuas yang
lebar dalam pemahaman mereka akan organisasi dengan
menyatakan bahwa "budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh
organisasi; budaya adalah sesuatu yang merupakan organisasi itu
sendiri" (Pacanowsky & O'Donnell Trujillo, 1982, hal. 146). Budaya
dikonstruksi secara komunikatif melalui praktik-praktik dalam
organisasi, dan budaya adalah nyata di dalam organisasi. Bagi
para teoretikus, memahami satu organisasi lebih penting daripada
menggeneralisasi sekelompok perilaku atau nilai dari banyak
organisasi. Pemikiran ini membentuk latar belakang dari teori ini.
Jelaslah bahwa inti dari kehidupan organisasi ditemukan di
dalam budayanya. Dalam hal ini, budaya tidak mengacu pada
keanekaragaman ras, etnis, dan latar belakang individu, perspektif
yang telah didiskusikan dalam Bab 2. Melainkan, menurut
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo (1983), budaya adalah suatu cara
hidup di dalam sebuah organisasi. Budaya organisasi mencakup
iklim atau atmosfer emosional dan psikologis. Hal ini mungkin
mencakup semangat kerja karyawan, sikap, dan tingkat
produktivitas (Schrodt, 2002). Budaya organisasi juga mencakup
semua simbol (tindakan, rutinitas, percakapan, dan seterusnya)
dan makna-makna yang dilekatkan orang pada simbol-simbol ini.
Makna dan pemahaman budaya dicapai melalui interaksi yang
terjadi antar karyawan dan pihak manajemen. Kita memulai diskusi
mengenai Teori Budaya Organisasi dengan pertama-tama
menginterpretasikan budaya dan kemudian mengajukan tiga
asumsi dari teori ini.
B. Pengertian Budaya Organisasi
Sebelum melangkah pada pengertian tentang budaya organisasi,
alangkah baiknya kita jelaskan dulu pengertian dari budaya itu sendiri.
Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda dari manusia
dalam alam dunia. Manusia pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya
untuk mencapai sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan dengan demikian
nilai kemanusiannya menjadi lebih nyata. Melalui kegiatan kebudayan sesuatu
yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka diwujudkan dan
diciptakan yang baru. Dalam kebudayaan manusia mengakui alam dalam arti
yang seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan
dirinya, yang identik dengan kebudayaan alam. Kebudayaan singkatnya
adalah penciptaan penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani. Berdasarkan
titik tolak penelitian, kebudayaan didefinisikan secara beragam. Ahli sosiologi
megatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kecakapan-
kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki manusia
sebagai subjek masyarakat. Ahli sejarah menekankan pertumbuhan
kebudayaan dan mendefinisikan sebagai warisan sosial atau tradisi. Ahli filsafat
menekankan aspek normatif, kaidah kebudayaan dan terutama pembinaan
nilai dan realisasi cita-cita. Antropologi melihat kebudayaan sebagai tata hidup,
pandangan hidup, dan kelakuan. Psikologi mendekati kebudayaan dari segi
penyesuaian manusia kepada alam sekelilingnya atas syarat-syarat hidup.
Arkheologi menaksir kebudayaan sebagai hasil artefact dan kesenian.
Berdarakan pengertian kebudayaan di atas, budaya organisasi itu didasarkan pada suatu konsep bangunan pada tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan Asumsi Dasar (Basic Assumption), kemudian Tingkatan Nilai (Value), dan Tingkatan Artifact yaitu sesuatu yang ditinggalkan. Tingkatan asumsi dasar itu merupakan hubungan manusia dengan apa yang ada di lingkungannya, alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, hubungan itu sendiri, dan hal ini, asumsi dasar bisa diartikan suatu philosophy, keyakinan, yaitu suatu yang tidak bisa dilihat oleh mata tapi ditanggung bahwa itu ada. Tingkatan yang berikutnya Value, Value itu dalam hubungannya dengan perbuatan atau tingkah laku, untuk itu, value itu bisa diukur (ditest) dengan adanya perubahan-perubahan atau dengan melalui konsensus sosial. Sedangkan artifact adalah sesuatu yang bisa dilihat tetapi sulit untuk ditirukan, bisa dalam bentuk tehnologi, seni, atau sesuatu yang bisa didengar (Schein, 1991: 14).
Budaya organisasi merupakan bentuk keyakinan, nilai, cara yang bisa dipelajari untuk mengatasi dan hidup dalam organisasi, budaya organisasi itu cenderung untuk diwujudkan oleh anggota organisasi (Brown, 1998: 34). Robbins, (2003: 525) menjelaskan bahwa budaya organisasi itu merupakan suatu system nilai yang
dipegang dan dilakukan oleh anggota organisasi, sehingga hal yang sedemikian tersebut bisa membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem nilai tersebut dibangun oleh 7 karakteristik sebagai sari (essence) dari budaya organisasi, 7 karakteristik adalah:
1. Inovasi dan pengambilan risiko (Innovation and risk taking). Tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk berinovasi dan mengambil risiko.
2. Perhatian yang rinci (Attention to detail). Suatu tingkatan dimana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis dan perhatian kepada rincian.
3. Orientasi hasil (Outcome orientation). Tingkatan dimana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
4. Orientasi pada manusia (People orientation). Suatu tingkatan dimana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil – hasil pada orang–orang anggota organisasi itu.
5. Orientasi tim (Team orientation). Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di sekitar tim – tim, bukannya individu – individu.
6. Keagresifan (Aggressiveness). Suatu tingkatan dimana orang – orang (anggota organisasi) itu memiliki sifat agresif dan kompetitif dan bukannya santai – santai.
7. Stabilitas (Stability). Suatu tingkatan dimana kegiatan organisasi menekankan di pertahankannya status quo daripada pertumbuhan.
Perspektif interpretif (subjektif) melihat budaya organisasi
sebagai proses-proses pembentukan pemahaman yang
membentuk realitas organisasi dan dengan demikian memberi
makna kepada keanggotaannya. Konsep pembentukan
pemahaman ini penting bagi perspektif interpretif, sama
pentingnya dengan pemahaman yang dilaksanakan (enacted
sense making) bagi teori Weick mengenai pengorganisasian.
Peraga dan indikator budaya organisasi tidak muncul begitu saja.
Semua ini harus dikonstruksi dan makna yang diberikan kepada
peraga dan indikator tersebut harus dibangkitkan dan
dibangkitkan ulang dalam interaksi. Peraga dan indikator (kisah-
kisah, ritus-ritus, ritual) lebih dianggap sebagai tindakan daripada
sebagai benda. Pacanowsky da O`Donnel-Trujillo (1982)
berpendapat bahwa ketika para anggota mewujudkan konstruk-
konstruk, praktik-praktik, dan ritual ini merupakan pencapaian
kecil yang termasuk dalam pencapaian yang lebih besar lagi
dalam budaya organisasi. Istilah kuncinya adalah pencapaian
dalam arti bahwa hal itu menunjukkan tindakan, dan tindakan
yang terus berlangsung dalam tindakan itu. Peraga dan indikator
budaya dapat pula dimasukkan ke dalam rubrik luas yang disebut
simbolisme organisasi. Yang penting dalam konsep pemahaman
budaya ini adalah makna simbolisme untuk anggota-anggota
organisasi ketika mereka membentuk realitas organisasi dan
ketika mereka dibentuk oleh konstruk-konstruk mereka sendiri.
Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi
dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi
efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut
beberapa ahli :
a. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn
(2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan
nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun
perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
b. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar
(2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir,
berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada
dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu
persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar
yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan
masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang
baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan
merasakan masalah yang dihadapi.
e. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi
merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara
pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi
dalam
penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh
anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja
dan berperilaku dari para anggota organisasi.
Sumber-sumber Budaya Organisasi
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar
(2001:264), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu:
1. Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya
sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
2. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat
luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
3. Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam
mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan
mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil.
Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan
dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai
berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu
organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota
organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang
lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-
standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi
adalah:
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan
didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan
menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil
bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai
hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan
sekitar tim-tim, ukannya individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya
organisasi yang sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini,
akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu.
Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama
yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana
urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota
berperilaku (Robbins, 1996 : 289).
Tipologi Budaya
Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-
291), ada empat tipe budaya organisasi :
1. Akademi
Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas,
memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian
mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus.
Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan
mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah.
2. Kelab
Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim
dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang
dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga
menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang
tinggi serta mengutamakan kerja sama tim.
3. Tim Bisbol
Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator,
perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh
karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif.
Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari
segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan
insentif finansial yang sangat
besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.
4. Benteng
Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah
baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan
rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena
merek memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan
berada dalam masa peralihan.
Budaya Organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber
daya manusia dan teori organisasi. Manajemen budaya organisasi
dilihat diri aspek prilaku, sedangkan Teori organisasi dilihat dari
aspek sekelompok individu yang berkerjasama untk mencapai
tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu
bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai
tujuan.
Dalam pekembangannya, pertama kali budaya organisasi dikenal di
Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya :
Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of
Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga
seorang Ketua kelompok Studi Organisasi 1972-1981, serta
Konsultan budaya organisasi pada berbagai perusahaan di Amerika
dan Eropa. Salah satu karya ilmiahnya Organizational Culture and
Leadership.
Di Indonesia budaya organisasi mulai dikenal pada tahun 80
sampai 90-an, saat banyak dibicarakan tentang konflik budaya,
bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta
pembudayaan nilai-nilai baru.
Bersamaan dengan itu para akademisi mulai mengkajinya dan
memasukkannya ke dalam kurikulum berbagai pendidikan formal
dan infomal.
Kroeber dan Kluchon tahun 1952 menemukan 164 definisi
Budaya. Akan tetapi pengertian yang penulis kemukakan di sini
hanya yang terkait dengan BO.
Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi
mengemukakan pendapat Edward Burnett dan Vijay Sathe sebagai
berikut:
Culture or civilization, take in its wide technografhic sense, is that
complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law,
custom and any other capabilities and habits acquired by men as a
member of society.
Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu
pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt
istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang
didapat sebagai anggoa masyarakat.
VijaySathe:Culture is the set of important assumption (opten
unstated) that members of a community share in common.
Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang
dimiliki bersama anggota masyarakat.
Edgar H. Schein :
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan,
ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai
pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan
integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh
karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru
sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan
terkait degan masalah-masalah tersebut.
UNSUR-UNSUR BUDAYA :
1. Ilmu Pengetahuan
2. Kepercayaan
3. Seni
4. Moral
5. Hukum
6. Adat-istiadat
7. Perilaku/kebiasaan (norma) masyarakat
8. Asumsi dasar
9. Sistem Nilai
10. Pembelajaran/Pewarisan
11. Masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal
Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi tiga sudut
pandang berkaitan dengan budaya, sebagai mana dikemukakan
Graves, 1986, sebagai berikut :
1. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi
beroperasi, peraturan yang menekan, dsb.
2. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam
organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda
dengan organisasi yang terdesentralisasi.
3. Budaya merupakan produk sikap orang orang dalam pekerjaan
mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu
dengan organisasi.
ORGANISASI
J.R. Schermerhorn
Organization is a collection of people working together in a division
of labor to achieve a common purpose.
Organisasi adalah kumpulan orang yang bekerjasama untuk
mencapai tujuan bersama.
Philiph Selznick
Organisasi adalah pengaturan personil guna memudahkan
pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi
fungsi dan tanggung jawab.
UNSUR-UNSUR ORGANISASI
1. Kumpulan orang
2. Kerjasama
3. Tujuan bersama
4. Sistem Koordinasi
5. Pembagian tugas adntanggung jawab
6. Sumber Daya Organisasi.
BUDAYA ORGANISASI
Peter F. Drucker
BO adalah pokok penyelesaian masalah-masalah ekternal dan
internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh
suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada angota-
anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami,
memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait
sepeti di atas.
Phithi Sithi Amnuai
BO adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut
oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan dan
diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal
dan masalah-masalah integrasi internal.
Edgar H. Schein
BO mengacu ke suatu system makna bersama, dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap
organisasi lain.
Daniel R. Denison
BO adalah nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang
merupakan landasan bagi system dan praktek-praktek manajemen
serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan perinsip-
perinsip tersebut.
Robbins,
BO dimaknai sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi
kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah.
Lebih lanjut Robbins (2001) menyatakan bahwa sebuah sistem
makna bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus
menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan
bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai
organisasi. Dalam hal ini Robbins memberikan 7 karakteristik
budaya organisasi sebagai berikut :
1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko
2. Perhatian terhadap detail
3. Berorientasi pada hasil
4. Berorientasi kepada manusia
5. Berorientasi pada tim
6. Agresivitas
7. Stabilitas
Ahob dkk (1991) mengemukakan 7 dimensi budaya organisasi,
sebagai berikut :
1. Konformitas
2. Tanggungjawab
3. Penghargaan
4. Kejelasan
5. Kehangatan
6. Kepemimpinan
7. Bakuan mutu
Berdasarkan berbagai uaraian di atas, penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa BO merupakan sistem nilai yang diyakini dan
dapat dipelajari, dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus
menerus. BO juga berfungsi sebagai perkat, pemersatu, identitas,
citra, brand, pemacu-pemicu (motivator ), pengengmbangan yang
berbeda dengan organisasi lain yang dapat dipelajaridan
diwariskan kepada generasi berikutnya, dan dapat dijadikan acuan
prilaku manusia dalam organisasi yang berorientasi pada
pencapaian tujuan atau hasil/target yang ditetapkan.
UNSUR-UNSUR BO
1. Asumsi dasar
2. Seperangkat nilai dan Keyakinan yang dianut
3. Pemimpin
4. Pedoman mengatasi masalah
5. Berbagai nilai
6. Pewarisan
7. Acuan prilaku
8. Citra dan Brand yang khas
9. Adaptasi
Unsur Budaya Menurut Susanto :
1. Lingkungan Usaha
2. Nilai-nilai
3. Kepahlawanan
4. Upacara/tata cara
5. Jaringan Cultural
Tingkatan Budaya Organisasi
1. Artifact ( Physical Characteristics; Behavior; Public Dcocuments ).
2. Espoused Value ( Strategies; Goals; Philosophies).
3. Basic Underlying Assumptions ( Biliefs; Percption; Feeling;
Aspects of behavior; Internal & external relationships )
Level BO yg lain :
1. Assumsi dasar
2. Value
3. Norma Prilaku
4. Perilaku
5. Artefact
.
JENIS-JENIS BO
1. Berdasarkan Proses Informasi
a. Budaya Rasional
b. Budaya Idiologis
c. Budaya Konsensus
d. Budaya Hierarkis
2. Berdasarkan Tujuannya
a. Budaya Organisasi Perusahaan
b. Budaya Organisasi Publik
c. Budaya Organisasi Sosial
FUNGSI DAN DINAMIKA BUDAYA ORGANISASI
Fungsi BO
1. Perasaan Identitas dan Menambah Komitmen Organisasi
2. Alat Pengorganisasian Anggota
3. Menguatkan Nilai-Nilai dalam Organisasi
4. Mekanisme Kontrol Prilaku ( Nelson dan Quick,1997)
TIPE BO
1. Budaya Birokrasi
2. Budaya Inovatif
3. Budaya Suporatif
Sementara itu Robbins, 2001 mengemukakan Fungsi BO, sebagai
berikut :
1. Pembeda antara satu organisasi dengan organisasi laiannya
2. Membangun rasa identitas bagi anggota organisasi
3. Mempermudah tumbuhnya komitmen
4. Meningkatkan kemantapan system social, sebagai perekat
social, menuju integrasi organisasi.
Karakteristik BO
1. Inisiatif Individual
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko
3. Pengarahan
4. Integrasi
5. Dukungan manajemen
6. Kontrol
7. Identitas
8. Sistem Imbalan
9. Toleransi terhadap konflik
10. Pola komunikasi
Pembentukan BO
Deal & Kennedi, mengemukakan lima unsur pemben BO :
1. Ligkungan Usaha
2. Nialai-nilai
3. Pahlawan
4. Ritual
5. Jaringan budaya
Proses Pembentukan BO
Proses pembentukan BO dapat di analisis dari tiga teori sebagai
berikut :
1. Teori Sociodynamic
2. Teori Kepemimpinan
3. Teori pembelajaran
Menururt Kotter dan Haskett proses pembentukan BO, sebagai
berikut :
1. Manager Puncak
2. Perilaku Organisasi
3. Hasil
4. Budaya
Berdasarkan pendapat tersebut, penulis dapat menyimpulkan
proses pemebentukan BO, sbb. :
1. Dari Atas ( Memilik dan manajemen )
2. Dari Bawah ( masyarakat atau karyawan )
3. Kompromi dari atas dan dari bawah.
Mempertahankan BO
a. Praktek Seleksi
b. Manajemen Puncak
c. Sosialisasi dan Internalisasi
ASUMSI DASAR BO
1. Artifak dan Kreasi ( semua fenomena/gejala ).
2. Nilai-nilai ( filosofi, Visi dan misi, tujuan, larangan-larangan,
standar.
3. Asumsi dasar ( hubungan dengan lingkungan, hakikat, waktu
dan ruang, sifat manusia, aktivitas mansia dll)
4. Simbol atau lambang-lambang
5. Perspektif ( Norma sosial dan peraturan baik tertulis/tidaktertulis
yang mengatur
Organisasi sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang
berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana,
terorganisasi, terpimpin danterkendali, dalam memanfaatkan
sumber daya organisasi ( uang, material, mesin, metode,
lingkungan, sarana-parasarana, data, dll ) secara efisien dan efektif
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kerjasama dimaksud
adalah kerjasama yang terarah pada pencapaian tujuan. Kerjasama
yang terarah tersebut dilakukan dengan mengikuti pola interaksi
antar setiap individu atau kelompok. Pola interaksi tersebut
diselaraskan dengan berbagai aturan, norma, keyakinan, nilai-nilai
tertentu sebagaimana ditetapkan oleh para pendiri organisasi itu.
Keseluruhan pola interaksi tersebut dalam waktu tertentu akan
membentuk suatu kebiasaan bersama atau membentuk budaya
organisasi.
Menurut pendapat Tika ( 2006 : 1 ) ? Budaya Organisasi merupakan
bagian dari kuriukulum Manajemen Sumber Daya manusia dan
Teori Organisasi ?. Budaya organisasi dalam MSDM, ditemukan saat
mengkaji aspek prilaku, sedangkan Budaya Organisasi dalam Teori
organisasi, ditemukan saat mengkaji aspek sekelompok individu
yang berkerjasama untuk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai
wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis
untuk mencapai tujuan.
Dalam pekembangannya, pertama kali Budaya Organisasi dikenal
di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya :
Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of
Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga
seorang Ketua kelompok Studi Organisasi 1972-1981, serta
Konsultan Budaya Organisasi pada berbagai organisasi di Amerika
dan Eropa. Salah satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and
Leadership.
Di Indonesia Budaya Organisasi menurut Ndraha ( 1997 : 3)
mengemukakan bahwa sejak tahun 80-an saat sektor swasta
berkesempatan mengembangkan usaha di bidang non-migas,
kebutuhan akan pembudayaan nilai-nilai baru tentang
kewirausahaan dan amanejemen. Alvin dan Heide Toffler
menyebutnya ?wave?. Kemudian pada tahun 90-an banyak
dibicarakan tentang kebutuhan niali-nilai baru, konflik budaya, dan
bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta
pembudayaan nilai-nilai baru.Bersamaan dengan itu para
akademisi mulai mengkajinya dan memasukkannya ke dalam
kurikulum berbagai pendidikan formal dan infomal. Salah satu
pakar yang cukup gigih mengembangkan Budaya Organisasi
adalah Taliziduhu Ndraha, seorang pakar Ilmu Pemerintahan.
2.1.6.1. Pengertian Budaya Organisasi
1. Pengertian Budaya
Kajian terhadap konsep budaya, peneliti memulainya dengan
pendapar Koentjaraningrat (2004 : 9), menurutnya, istilah budaya
berasal dari kata bahasa latin colere yang berarti mengolah,
mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian
dalam bahsa ingris disebut Culture. Menurut Kotter dan Haskett
(1992 :3) menyatakan, bahwa perhatian masyarakat akademik
terhadap budaya berasal dari studi antropologi sosial yang pada
akhir abad 19 melakukan studi terhadap masyarakat ?primitif?
seperti Eskimo, Afrika dan penduduk asli Amerika. Studi tersebut
mengungkapkan, bahwa cara hidup anggota-anggota masyarakat
initidak hanya berbeda dengan cara hidup masyarakat maju
teknologi di Eropa damn Amerika Utara, tetapi juga berbeda
diantara masing-masing masyarakat primitif tersebut.
Kroeber dan Kluchon tahun 1952 telah menemukan tidak urang
dari 164 definisi Budaya. Akan tetapi pengertian yang peneliti
kemukakan di sini hanya yang terkait dengan Budaya Orgaisasi.
Ndraha ( 1997 : 43 ) ) mengemukakan pendapat Edward Burnett
dan Vijay Sathe, sebagai berikut :
Edward Burnett Tyllor (1832-1917)
Culture or civilization, take in its wide technografhic sense, is that
complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law,
custom and any other capabilities and habits acquired by men as a
member of society.
Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu
pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt
istiadat, dan berbagai kemampuan
Vijay Sathe ( 1985)
Culture is the set of important assumption (opten unstated) that
members of a community share in common. dan kebiasaan lainnya
yang didapat sebagai anggoa masyarakat.
Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama
anggota masyarakat.
Edgar H. Schein ( 1992)
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan,
ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai
pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan
integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh
karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru
sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan
terkait degan masalah-masalah tersebut.
Hofstede (dalam Pheysey, 1993 : 4) mengartikan budaya sebagai ?
nilai ? nilai (values) dan kepercayaan (beliefs) yang memberikan
orang-orang suatu cara pandang terprogram (programmed way of
seeing). Dengan demikian budaya merupakan suatu cara pandang
yang sama bagi sebahagian besar orang. Selanjutnya Pheysey
(1993 : 4) menartikan nilai-nilai sebagai ? segala sesuatu yang
dimuliakan ( esteemed), dijunjung (prized), atau dihargai
(appreciated) dalam budaya tersebut?. Sedangkan kepercayaan
diartikan sebagai ?apa yang seseorang anggap benar (true) ?.
Dengan demikian sebagai bentuk atau wujud dari pengertian
budaya dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu : Pertama bahwa budaya
itu absatrak (ideal), budaya itu merupakan kepercayaan, asumsi
dasar, gagasan, ide,moral, norma, adapt-istiadat, hokum atau
peraturan; Kedua budaya itu berupa sikap yang merupakan pola
prilaku atau kebiasaan dari kegiatan manusia dalam lngkungan
komunitas masyarakat, yang menggambarkan kemempuan
beradaftasi baik secara internal maupun eksternal; Ketiga budaya
itu nampak secara fisik yang merupakan bentuk fisik dari hasil
karya manusia.
Beberapa pemikir dan peneliti telah mengadopsi tiga sudut
pandang berkaitan dengan budaya, sebagai mana dikemukakan
Graves, 1986, sebagai berikut :
4. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi
beroperasi, peraturan yang menekan, dsb.
5. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam
organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda
dengan organisasi yang terdesentralisasi.
6. Budaya merupakan produk sikap orang orang dalam pekerjaan
mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu
dengan organisasi.
Ndraha ( 1997 : 45 ) mengemukakan fungsi budaya, sebagai
berikut :
a. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat.
b. Sebagai pengikat suatu masyarakat.
c. Sebagai sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya.
d. Sebagai kekuatan penggerak.
e. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah.
f. Sebagi pola prilaku.
g. Sebagai warisan.
h. Sebagai pengganti formalisasi.
i. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan.
j. Sebagai proses menjadikan bangsa kongruen dengan negara,
sehingga
tebentuk nation ? state.
Manusia, baik secara individu-individu , di dalam kelompok dan
organisasi memiliki naluri keinginan untuk dikenal oleh manusia
lainnya atau oleh lingkungannya. Oleh karena itu menusia akan
selalu berusaha melakukan sesuatu yang berbeda baik dalam sikap
atau prilaku yang khas , maupun dalam bentuk hasil karya
tertentu, sehingga kemudian orang lain atau orang-orang
disekitarnya akan segera mengenalnya. Prilaku tertentu atau hasil
karya tertentu, akan menjelma menjadi identitas dan citra manusia
baik secara individu, kelompok, organisasi bahkan komunitas
masyarakat tertentu. Sebagai contoh, kita mengenal sikap atau
perilaku orang Jawa yang ?lamban? dan ?sopan?. Orang Batak yang
tegas; Orang Barat yang rasional. Kemudian secara fisik kita
mengenal rencong dari Aceh; Keris dari Yogyakarta, Batik dari Solo,
Kain borderan dari Tasikmalayan, dll. Kita mengenal produk-produk
barang dengan merek tertentu, seperti merek Air Minum Dalam
kemasan ? Aqua? ?Ades? dan lain sebagainya. Kita juga menegnal
orang Betawi asli dari logat bahasanya atau kata-kata atau
kalimatnya diakhirir huruf ?e? : mau kemane ?. Kita juga mengenal
orang Jawa, orang sunda, orang batak, salah satunya kita kenal dari
bahasanya atau cara merelk berkata atau berbicara. Zaman
dimana kita hidup ini (abad 21 ) sering disebut sebagai abad
modern. Salah satunya disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mengasilkan barang-barang serba ?canggih?
dan hal tersebut merupakan cirri atau identitas dari sutu
peradamab yang modern. Kita mengenal sustu Negara di dunia
antara laian karena identitas atau cirri atau citra dari Negara
tersebut. Amerika, Indonesia, Cina atau Negara manapun di dunia,
dikenal dengan bahasanya, lambang negaranya, idiologinya, cirri
fisiknya, warna kulitnya, perilaku atau gaya hidunya. Dll.
Budaya dalam konteks komunitas manusia, baik itu dalam bentuk
kelompok, organisasi, suku bangsa atau Negara memiliki fungsi
yang strategis,yaitu sebagai pengikat, perekat hingga membentuk
satu kesatuan yang utuh sebagai suatu kelompok, organisasi, suku
tertentu dan bahkan Negara. Akibat kita kita mengenal budaya
Cina, maka dimanapun mereka, kita pasti mengetakan dia orang
Cina. Kemudian kita juga meganal orang Indonesia dengan ragam
budayanya yang dikenal dengan ?Bhineka Tunggal Ika?.
Budaya menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya.
Bagi siapapun terutama bagi kalangan internal suatu komunitas
suku tertentu, budaya akan menjadi sumber inspirasi dalam
menggembangkan dan memberdayakan budayanya sehingga
menjdi kebanggaan bagi sukutertentu bahkan lebih luas lagi bagi
Negara dimana suku bangsa tersebut eksis. Kita mengenal budaya
suku minangkabau, suku Papua, Suku Jawa, Suku Batak, Aceh,
Palembang, Suku Bali. Dari keragaman budaya tersebut, muncul
ide untuk mengembangkan budaya tersebut sebagai komoditi
dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan. Tidak sedikit, suatu daerah bisa sejahteran karena
kebanggaan dan pemebrdayaan budayanya, bahka budaya telah
menjadi unsure utama komoditas bisnis pariwisata.
Budaya juga menjadi kekuatan penggerak yang mampu
membangkitkan semangat juang untuk memerdekakan dan
memajukan sutu daerah atau suatu Negara. Dalam era Globalisasi,
dimana, salah satu cirinya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yag demikian cepat. Sebagai produk atau wujud budaya,
kemajuan IPTEK tersebut mendorong manusia di berbagai dunia
untuk bergerak maju lebih cepat dari Negara lain. Globalisasi telah
memunculkan budaya baru, yaitu budaya kompetisi, budaya
persaingan, budaya cepat dan akurat, budaya teknologi
komunikasi. Setiap Negara berusaha untuk mengaksesnya dan
berusaha mencari keunggulan masing-masing agar menjadi
pemenang dalam kancah kompetisi tersebut. Setiap Negara
berusaha dengan berbagai upaya dan mengerahkan sumber
dayanya agar eksis dalam bidang tertentu.
Saat ini kita mengenal adanya budaya jawa, sunda, betawi, dll. Hal
itu sebagai akibat dari adanya proses pewarisan atau proses
dimana telah terjadi tranformasi budaya dari maktu ke waktu dari
satu generasi ke genarasi yang lain, baik disengaja atau
terprogram mauopun secara alamiah. Mugkin, tanpa disadari, kita
sendiri telah menjadi bahaguan dari proses tersebut, dan ini telah ,
sedang dan akan terus terjadi, selama manusia masih memiliki rasa
ego atau kebanggaan akan jati dirinya. Saya bangga menjadi salah
seorang putra daearah. Saya bangga menjdadi sal;ah seorang
oputra Indonesia. Nampaknya secara formal, lembaga pendidikan,
telah menjelma menjadi mesin pengolah dan pendistribusi, dan
agen dari proses pewarisan budaya tertentu.
Budaya juga berfungsi sebagai mekanisme dalam berdadaptasi
dengan berbagai perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di
luar organisasai. Proses adaptasi tersebut, dibutuhnya agar tidak
terjadi konflik antar budaya. Mekanisme adaptasi, menjadi cirri
kedewasaan individu, kelompok, organisasi bahkan masyarakat
suatu Negara tertentu. Kepentinga-kepentingan individu,
golongsan, bahkan dalam skala nasional, tidak menjadikan ?egois?
menutup diri, terisolir dari kemajuan yang terjadi di sekitarnya,
justru mekanisme adaptasi yang berjalan dengan tepat dan ditak
akan merugikan dirinya dan juga orang lain. Dengan dayua
adaptasi, kehidupan dapat berjalan secara harmonis, tenteram
aman dan damai. Karena esesnsi adaptasi sesungguhnya adalah
saling menghargai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dapat pula dikatakan bahwa budaya merupakan asset yang sangat
berharga yang dapat digunakan sebagai modal dasar dalam
membangun dan mengembangkan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sejahtera, adil dan bermartabat. Karena dengan
budaya kita bisa dikenal, bisa hidup berdampingan secara sehat
dan harmonis. Budaya sebagai proses telah menghantarkan atau
menjadikan suatu komunitas masyarakat atau suatu bangsa
kongruen dengan negara, sehingga tebentuk Negara bangsa atau
sebuah nation ? state yang dikenal dan dicintai karena
komitmennya pada nialai-nulai , perilaku atau sikapnya dan kerana
karya terbaiknya.
2. Pengertian Organisasi
Berbagai kebutuhan hidup yang tidak terbatas dan kemampuan
yang terbataslah yang mendorong manusia untuk berhubungan
dengan manusia lainnya. Hal ini diperkuat dengan pendapat,bahwa
manusia merupakan mahluk social. Sejalan dengan tingkat
kematangan (keinginan dan kemampuannya), hubungan tersebut
terus bergerak dinamis dimuali dari tingkat yang sederhana,
hingga tingkat hubungan yang modern. Organisasi, merupakan
wadah atau alat dimana segenap keinginan dan kemampuan
sejumlah atau sekumpulan orang bersatu, mengikat diri dalam
rangka usaha memenuhi kebutuhannya. Jika dilihat dari proses
terbentuknya dan kegunaannya, organisasi juga merupakan salah
satu fungsi Budaya, yaitu sebagai pengikat suatu masyarakat,
berisi pola prilaku,dll. Hal ini sejalan dengan pendapat Ndraha
( 1997 : 53) yang menyimpulkan pendapat beberapa pakar yang
menyebutkan bahwa Organisasi sebagai gejala social dan sebagai
living organism, dan untuk lebih jelasnya , berikut ini definisi
organisasi yang dikemukakan oleh para pakar tersebut :
Robbins (1990 : 4 ) mengartikan organisasi sebagai ? A consciously
coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary
that functions on a relatively continous basis to achieve a common
goal or set of goals ?.
Brown and Moberg (1980 :6), mendefinisikan sebagai berikut :
?Organization are relatively permanent social entities characterized
by goal-oriented behavior, specialization and structure?. Barnard
mendefinisikan Organisasi sebagai ? Cooperation of two or more
persons, a sytems of consciously coordinated personnel activites or
forces?.
Selznick, mengatakan Organisasi sebagai ? The arrangement of
personnel for facilitating the accomplishment of some agree
purpose through the allocation of function and responsibilities:
Brdasakan pengertian oraginasi tersebut, peneliti berkesimpulan
bahwa Organisasi merupakan sekumpulan orang yang
bekerjasama dengan pembagian atau alokasi tugas dan tanggung
jawab tertentu dalam system koordinasi dan pengaturan guna
memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti menentukan unsur-
unsur organisasi, sebagai beriku :
1. Kumpulan orang
2. Kerjasama
3. Tujuan bersama
4. Sistem Koordinasi
5. Pembagian/alokasi tugas dan tanggung jawab
6. Sumber daya organisasi ( material, uang, informasi, metode,
lingkungan, budaya,dll ).
Sebagai salah satu bentuk atau wujud dari organisasi tersebut,
adalah negara. Hal ini sesuai dengan pendapat Salam ( 2002 : 40 )
yang menyatakan bahwa :
?Negara merupakan suatu bentuk organisasi kekuasaan
masyarakat yang berupaya mengatur interaksi atar anggota
masyarakat atau penduduknya dalam suatu wilayah hokum
tertentu berdasarkan kesepakatan diantara mereka baik mengenai
cara pencapaan maupuntujuanyang akan di capai agar mereka
dapat hidup sedcara harmonis dan meninkat kesejahteraanna
secar adil makmur. sesuai dengan kajian ilmu pemerintahan?.
Pendapat tersebut, mempertegas, bahwa yang dimaksud
organisasi dalam kajian pustaka ini adalah Negara. Salah satu
unsur Negara adalah pemerintah, yang menjadi objek forma ilmu
pemerintahan. Sedangkan yang menjadi objek material ilmu
pemerintahan adalah kegiatan dan hubungan hubungan
pemeritahan.
3. Perspektif, Pengertian dan Peran Budaya Organisasi
Intensitas kajian terhadap budaya organisasi ternyata berbeda-
beda atar satu pakar dengan pakar lainnya. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh presfektif atau aliran dalam teori organisasi. Dari
nama aliran juga terdapat perbedaan, akan tetapi dari segi
substansi bahasan terdapat tumpang tindih. Misalkan, Hatch ( 2000
: 5 ) menyajikan empat prespektf yaitu : Classical, Modern,
Syimboloic iterpretatif dan Postmodern. Shafritz dan Ott ( 2001 :
viii), menyajikan sembilan aliran, yaitu : Classical organization
theory, Neoclassical organization theory, Human resources theory
atau Organizational behavior theory, Modern structural
organization theory, Syaytem theory and organizational economics,
Power and politics organizational theory, Organizational culture and
sense making, Organizational culture reform movement dan
Postmodernism and the Information age.
Budaya organisasi dalam prespektif Hatch membahas perspektif
symbolic interpretative, sedangkan menurut Shafritz dan Ott,
budaya organisasi secara khusus dibahas pada prespektif ke tujuh
yaitu Organizational Culture and Sense making dan pada perpektif
ke delapan, yaitu : Organizational Culture Reform Movements.
Hatch, Shafirtz dan Ott mempunyai kesamaan pada penamaan
prespektif awal sebagai prespektif klasik dan juga pada prespektif
akhir, yaitu postmodern, namanja berbeda dalam penamaan
perspektif lainnya. Selanjutnya Brown (1998 : 5) mengajukan
empat aliran dalam teori organisasi dan sejauhmana pengaruh
masing-masing aliran ini terhadap perkembangan budaya
organisasi, yaitu : aliran Human relation, Modern structural theory,
System theori dan power and politics.
Aliran human relation berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-
an yang dipelopori oleh Chris Argyris dan Warren Bennis. Kemudian
aliran ini dikembangkan atas dasar teori baru tentang motivasi dan
dinamika kelompok. Aliran ini menekankan bahwa organisasi eksis
untuk melayani kebutuhan manusia. Sumbangan aliran ini kepada
teori organisasi, khususnya terhadap budaya organisasi adalah
tentang pengkajian konmsep-konsep : belief, values dan attitude
yang turut mempertajam perspektif budaya.
Sedangkan aliran modern struktural theory yang dipeloporioleh
Lawrence dan Lors pada tahun 1960-an menekankan pada
organisasi yang rasional, berorientasi pada tujuan dan bersifat
mekanistis, dengan issu utamany adalah wewenang dan hierarki
yang tercermin dari struktur organisasi. Aliran ini menekankan
pada konsep-konsep diferensiasi dan integrasi dimana para teoritis
budaya terlibat juga di dalamnya, tetapi aliran ini hanya
mempunyai pengaruh minimal terhadap perkembangan prespektip
budaya.
Aliran systems theory diperkuat oleh Katz dan Kahn pada tahun
1996. Aliran ini menyatakan bahwa cara terbaik mempelajari
organisasi adalah dengan sistem interdepedensi yang mengaitkan
inputs-outputs dan feedback. Kecenderungan para ahli budaya
yang membahas budaya sebagai suatu ?sistem budaya? dari pada
budaya yang merupakan pengaruh dari aliran ini. Prespektif
budaya terpengaruh oleh aliran ini anatara laian pada konsep-
konsep analisa organisasi terhadap lingkungan, ketidakpastian,
dan keterbatasan lingkup pekerja.
Aliran power politics dimulai pada tahun 1970-an yang dipelopori
oleh antara lain Pfeffer yang menyatakan bahwa organisasi adalah
kompleksitas individu-individu dan koalisi-koalisi yang berbeda dan
sering berkompetisi dalam nilai, kepentingan dan preferensi. Aliran
ini memiliki dengan prespektif budaya antara lain pada pendapat
bahwa adakalanya bertindak irasional dan bahwa tujuan dan
sasaran timbul melalui proses negosiasi dan pengaruh terhadap
organisasi dan kewlompok-kelompok. Pada tahun 1970-an ini,
Cartwright ( 1999 :6 ) menyatakan ? Xenikon dan Furnham
menyatakan bahwa ide budaya organisasi mulai memasuki literatur
manajemen pada tahun 1970-an?. Akan tetapi, Peter dan
Waterman ( 1997 :2002 ) mengungkap bahwa ada peneliti
sebelumnya/pendahulu ynag mnyempaikan laporan penelitian
tentang budaya organisasi, sebagaimana terungkap pada
pernyataan sebagai berikut :
There?s nothing new under the sun. Selznick and Barnard talked
about culture and value shaping forty years ago. Herbert Simon
began talking about limits to rationality at the same time. Chander
began writing about environment linkage thirty years ago. Weick
began writing about evolutionary analogues fifteen years ago.
Ungkapan tersebut menyatakan bahwa studi budaya organisasi
telah ada sejak tahuan 50-an, sebelum kedua peneliti tersebut
melakukan penelitian terhadap perusahaan Amerika Serikat yang
hasilnya ditulis dalam buku In Search of Excelence tahun 1980.
Kemudian pada thun 80-an ini budaya oragnsiasi secara intensif
dikaji kembali yang ditandai dengan terbitnya 4 (empat) buku
monumental. Kempat buku tersebut masing-masing ditulis oleh
Wiliam Ouchi (1981) yang berjudul Theory Z, Pascale dan Athos
(1981) yang berjudul The Art Of Japanese Managemen, Deal dan
Kenedi (1981) yang berjudul corporate Culture, dan Peter dan
Waterman (1982) yang berjudul In Search Of Exelence. Dengan
adanya empat buku yang dilanjutkan dengan buku-buku lain, maka
studi terhadap budaya tidak lagi menjadi monopoli studi
Antropologi social dan entografi. Budaya menjadi salah satu konsep
penting dalam membahas teori organisasi selain Phisical structure,
technology dan social structure.
Rosenbloom dan Goldman (2005 : 491-501) menilai empat asumsi
Leonard D. White tentang administrasi negara yakni ?a single
process? , ?management not law?, ?the heart of Government? ,
dan ?art and science? sebagai budaya administrasi lama. Keempat
asumsi White mendapat sanggahan dari Rosenbloom dan
Goldman. Kedepan budaya administrasi baru menurut kedua
peneliti ini adalah: recognition of complexity, personal
responsibility, protection of Constitutional Right, Representation,
participation dan information.
Pollitt dan Bouckaert (2000 : 52-53) menyatakan ? dalam rangka
reformasi administrasi public mengidentifikasikan dua pola nilai-
nilai dan asumsi-asumsi administrasi public yang disebut sebagai
filsafat dan budaya kepemerintahan. Dua budaya administrasi
tersebut adalah Rechtsstaat dan public interest?. Dalam perspektif
Rechtsstaat Negara adalah pusat integrasi kekuatan dalam
masyarakat dan sangat perduli terhadap persiapan, sosialisasi dan
pelaksanaan hukum. Dari pegawai paling atas sampai kepada
bawahan dilatih disosialisasikan hukum. Sistem ini menghendaki
suatu hirakhi pengadilan administratif seperti Counseil d?Etat di
Prancis dan Bundesverwaltungsgericht di Jerman dalam persepektif
?publik interest? tentu saja semua penduduk tunduk dibawah
hukum, akan tetapi hukum lebih banyak menjadi latar belakang
dari pada latar depan dan banyak pegawai senior yang tidak
berpendidikan khusus.
Saat ini, pada dekade awal tahun 2000-an, perhatian terhadap
budaya organisasi masih tetap tinggi. Pemerintah Indonesia
melalui Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam
rangka meningkatkan kinerja departemen pemerintahaan
menyusun buku Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur
Pemerintah ( KEPMENPAN Nomor : 25/KEP/M.PAN/4/2002).
Kemudian berbagai program study pascasarjana di berbagai
Perguruan Tinggi juga telah mencantumkan matakuliah Budaya
Organisasi, yang dalam lima tahun sebelumnya belum pernah
ditawarkan sebagai suatu mata kuliah sendiri. Lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta berupaya untuk merumuskan visi dan misi
lembaga masing-masing sebagai artifak yakni salah satu unsur
dalam konsep budaya organisasi. Presiden Republik Indonesia
dalam berbagai kesempatan mengharapkan budaya unggul dari
rakyat Indonesia dan menegaskan penghentian budaya komisi,
mark-up, dan pengadaan barang fiktif.
Selanjutnya, salah satu konsep tentang budaya organisasi yang
menjadi rujukan dalam mempelajari teory organisasi pada
umumnya dan budaya organisasi pada khususnya adalah apa yang
oleh Peters dan Waterman ( 1982 : 42) disebut sebagai McKYNSEY
7-S FRAMEWORK, yang terdiri dari tujuh buah konsep yang saling
terkait laksana sebuah mutiara. Enam buah konsep dalam bentuk
lingkaran yang dihubungkan dengan tali-temali, masing-masing
Strategy, Structure, Style, Staff dan Skill saling terkait dan
ditenggahnya adalah lingkaran ShareValues yang tidak lain adalah
budaya organisasi yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2
McKINSEY 7-S FRAMEWORK
Peter dan Waterman ( 1982 : 139) menyatakan, bahwa dalam
pengertian organisasi, budaya atau shared values adalah cerita-
cerita, mitos, legenda yang muncul menjadi sangat penting dalam
kehidupan suatu organisasi. Tanpa pengecualian, dominasi dan
koherensi budaya telah membuktikan sebagai kualitas pokok
tersendiri. Lagi pula makin kuat suatu budaya organisasi, dan
makin diarahkan kearah tempat pemasaran, maka makin kurang
kebutuhan kebijakan, bagan organisasi dan aturan serta prosedur
terinci.
Menurut Senge ( 1990 : 208) menyabutkan istilah Visi bersama ?
(Shared Vision)? sangat penting dalam sebuah organisasi, karena
visi yang dimiliki bersama mendorong anggota organisasi, karena
visi yang dimiliki bersama mendorong anggota organisasi bersedia
berkorban dalam mencapai tujuan bersama di dalam organisasi.
Dengan mengambil contoh kisah Spartacus, seorang pemimpin
budaya yang berontak ingin bebas dari kekuasaan Romawi, yang
pada mulanya menang terhadap tentara Romawi, akan tetapi pada
akhirnya ia kalah. Jendral Romawi, Marcus Crassus, secara lantang
menyatakan kepada para budak yang telah dikalahkan ?Katakan
kepadaku siapa Spartacus?, maka setelah hening sejenak
Spartacus pun menjawab: ?Sayalah Spartacus?. Namun dalam
waktu yang hampir bersamaan setiap budak mengaku dirinya
sebagai Spartacus, walaupun mereka tahu akibat mengaku sebagai
Spartacus ganjarannya adalah hukum salib sampai mati. Mengapa
anak buah Spartacus berani menantang hukum salib tersebut ?
jawabannya tidak lain adalah semua budak-semua anggota
organisasi- mempunyai visi yang sama, bahwa jika mereka menang
mereka akan menjadi manusia yang bebas. Loyalitas anak buah
Spartacus bukan kepada pribadi Spartacus tetapi kepada visi
bersama. Selanjutnya Senge ( 1990 : 205) mengemukkan
?But the loyalty of Spartacus?s army was not to Spartacus the man.
Their loyality was to shared vision which Spartacus has inspired-
the idea that they could be free-man. The vision was so compelling
that no man could bear to give it up and return to slavery?.
Visi bersama adalah visi yang betul-betul dimiliki bersama, bukan
visi individual pemimpin. Ini berarti bahwa apa yang dilihat seorang
pemimpin juga dilihat oleh seluruh anggota organisasi. Visi yang
sama akan mengakibatkan komitmen bersama tentang gambar
yang sama yang akan dicapai dimasa yang akan dating. Pemimpin
dan angota organisasi diikat bersama oleh aspirasi yang sama.
Dalam sejarah perkembangan Islam, seorang budak yang bernama
Bilal bin Rabbah, karena Shared Vision yang dilihatnya kedepan
bahwa ia akan terbebas dari perbudakan, dan ia akan mempunyai
derajat yang sama dengan sesama muslim tanpa melihat warna
kulitnya. Berdasarkan visi ini, maka ia berani menantang maut
ditindih dengan batu besar, ia tetap pada pendirianya.
Selanjutnya Senge menyatakan, bahwa visi bersama adalah awal
yang memungkinkan angota organisasi yang selama ini tidak saling
mempercayai menjadi bekerja sama. Visi bersama merupakan
kemudi dalam menghadapi keraguan dan tekanan-tekanan, dan
merupakan pengungkapan cara berpikir. Visi bersama
menciptakan suatu identitas, tingkatpaling basis dari kesamaan
sesama anggota organisasi, dan merupakan dorongan luar biasa
untuk melaksanakan tugas. Ungkap Presiden J.F. Keneddy pada
awal tahun 1960-an: ?to have man on the moon by the end of the
decade? menjadi visi bersama yang mendorong seluruh pimpinan
dan staf NASA untuk menyelesaikan tugas mereka, mendaratkan
orang di bulan sebelum akhir decade. Dan terbukti NASA berhasil
mendaratkan Apollo di permukaan bulan pada tahun 1969.
mengapa amerika menang dati rusia dalam perlombaan ruang
angkasa ini ? . Kaitannya dengan haltersebut Shafritz dan Russel
( 1997 : 43 ), mengatakan :
The American wan because they head managers, public
administratiors, who whre not nesesssharily more capable as
individual but decidely capable whith political, organizational, and
cultural and vironment. NASA not only won they Space race, but it
became the national exemplar of managerial Exellence.
Setelah memahami prespektif budaya organisasi sebagaimana
kajian di atas, maka untuk lebih memahami budaya organisasi,
peneliti mengemukakan dan mengkaji beberapa pengertian
budaya organisasi yang befrhasil dihimpun oleh Andreas Lako
( 2004 : 29 ? 33 ), sebagai berikut :
1) Luthans (1998)
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai
yangmengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota
akan berprilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima
oleh lingkungannya.
2) Sarplin ( 1995)
Budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan
kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksidengan
struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma
perilaku organisasi.
3) Stoner ( 1995)
Budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang
meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan harapan-harapan yang
disumbangkan oleh anggota organisasi.
4) Davis (1984)
Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai
organisasi yang difahami, dijiwaidan dipraktikkan oleh organisasi
sehingga pola tersebut memberikan artitersendiri dan menjadi
dasar aturan berprilaku dalamorganisasi.
5) Schein (1992)
Budaya ofrganisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar
yang ditemukan, diciptakan, atau dikembangkan oleh suatu
kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar
mengatasi atau menanggulangi maslah-masalahnya yagtimbul
akibat aaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan
dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada angota-
anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami,
memikiran dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah
tersebut.
6) Monde dan Noe (1996)
Budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling
berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-
norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan
standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan
menentukan arah organisasi secara keseluruhan.
7) Hodge (1996)
Budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat
karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan
(observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level
observable, Budaya Organisasi mencakup beberapa aspek
organisasi seperti arsitektur, seragam, pola prilaku, peraturan,
legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan organisasi.
Sementara pada level unobservable, Budaya Organisasi mencakup
shared values, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para
anggota organisasi untuk mengelola masalah-masalah dan
keadaan-keadaan di sekitarnya. Budaya Organisasi juga dianggap
sbagai alat untuk menentukan arah organisasi. Mengarahkan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan
sumber daya dan mengelola sumber daya organisasi, dan sebagai
alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan.
Peneliti mensikapi beberapa p-engertian Budaya Organisasi di atas,
bahwa secara garis bessar budaya organisasi memiliki dua sifat,
yaitu budaya organisasi yangbersifat kasatmata, jelas terlihat,
berupa seragam, logo dll., dan budaya organisasi yang tidak
terlihat berupa nilai-niali yang ada, difahami dan dilaksanakan oleh
sebagahagian besar orang dalam organisasi. Kedua sifat tersebut
berfungsi sebagai identitas organisasi, sehingga orang diluar
organisasi akan mudah mengenal organisasi dari identitas
tersebut, dan juga penentu arah setiap perilaku orang-orang dalam
organisasi.
Selanjutnya Lako (2004), secara lebih sistematis berdasrkan tahun
perkembangan pemahaman budaya organisasi, menginventarisir
dari beberapa referensi tentang pendapat para pakar dalam ruang
lingkup arti, deskripsi dan unsur-unsur budaya organisasi sebagai
berikut :
1. E.B. Taylor ( 1871 )
? Keseluruhan kompleksitas yang meliputi pengetahuan ,
kepercayaan, seni dan moral, hokum adapt dan setiap kemampuan
dan kebiasaan laian yang dibutuhkan manusia sebagai anggota
masyarakat
Unsur-unsur :
i. Pengetahuan
ii. Kepercayaan
iii. Seni, moral, hokum dan adapt
iv. Kemampuan dan kebiasaan.
2. C.I. Barnard ( 1939)
? Nilai dan pemahaman bersama yang telah diterima oleh anggota
organisasi dapat merupakan sistem pengawasan yang kuat,lebih
kat dari pengawasan melalui hadiah materi atau penghukuman?
Unsur-Unsur :
1) Nilai bersama
2) Pemahaman bersama.
3. Sudjatmoko ( 1954)
? Masalah pembangunan nasional adalah masalah budaya?
Unsur-unsur :
Budaya adalah unsure penting dalam pembangunan bangsa.
4. Cliford Geertz, mengutip pendapat Clyde Clukhon ( 1975 )
Jalan hidup total rakyat
1) Peninggalan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya
2) Cara berfikir, merasakan dan mempewrcayai
3) Abstarksi dari prilaku
4) Sebuah teori dalam antropologi tentang cara kelompok mansia
berprilaku.
5) Sebuah gudang pembelajaran.
6) Seperangkat orientasi baku untuk masalah yang erulang.
7) Perilaku
8) Sebuah mekanisme untukregulasi dari prilaku
9) Seperangkat tehnik untuk menyesuaikan lingkungan luar dan
manusia lain, serta endapan sejarah.
5. Schwartz H. And Davis S.M (1981, dalam Andrew Brown,1998 :
71 )
? Pola keperecayaan dan harapan-harapan yang dimiliki oleh
anggota
organisasi yang menghasilkan norma yang mempertajam prilaku
individu dan kelompok dalam organisasi?.
Unsur-Unsur :
1) Kepercayaan
2) Harapan
3) Norma.
6. Kilman et al ( 1985, dalam Shafritz & Otto )
? Enersi sosial yang mendorong manusia untuk bernuat?
Unsur- unsur :- Enersi social
7. James Q Wilson ( 1989 )
? Cara berfikir yang gigih dan terpola tentang tugas pokok dan
hubungan manusia dalam organisasi?
Unsur-unsur :
1) Gigih
2) Terpola
8. Charles Humpdent ? Tuner ( 1990 : 14 )
? Sebagai perbuatan penyeimbang antara gonjangan dan stabilitas,
antara kesinambungan dan perubahan, sebagai kekuatan dan
pengarah pada saat terjadik angina pasang-pasang?.
Unsur-unsur :
1) Alat penyeimbang
2) Kekuatan
3) Pengarah
9. Gerald M Goldhaber ( 1990 )
Budaya secara khas merujuk pada kepercayaan ritual, nilai, mitos,
adapt istiadat, dan cerita yang membedakan sutu organisasi
dengan lainnya, yang dimilikioleh anggota.
Budaya adalah pola kepercayaan dan nilai yang dimiliki oleh
anggota organisasi.
Unsur-unsur :
1) Kepercayaan
2) Ritual, Nilai, Mitos
3) Adat istiadat
4) Cerita.
10. Edgar H. Schein ( 1992 )
? Budaya ofrganisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar
yang ditemukan, diciptakan, atau dikembangkan oleh suatu
kelompok tertentu
dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau
menanggulangi
maslah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan
integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga
perlu diajarkan
kepada angota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk
memahami, memikiran dan merasakan berkenaan dengan
masalah-masalah tersebut?
? Budaya organisasi terdiri dari tiga lapis, yaitu : Artifk, Nilai-nilai
yang menyertai dan asumsi dasar?
Unsur-unsur :
1) Pola asumsi dasar bersama
2) Nilai dan Cara untuk melihat, berfikir dan merasakan.
3) Artifak
11. Jones ( 1995 )
1) Srangkat nilai bersama yang mengawasi anggota organisasi
berinteraksi sesame anggota, pelanggan, rekanandan rang lain di
luar organisasi.
2) Sebagai alat control cara anggota mengambil kepuusan,
caraanggota
mengatur ligkungan organisasi, apa yang mereka buat dengan
informasi dan bagaimana mereka melaksanakannya.
Unsur-unsur :
1) Seperangkat nilai bersama
2) Alat kontrol
12. Adrew Brown ( 1998 )
? Pola kepercayaan, nilai dan cara yang telah dipelajari berdasrkan
pengalaman yang telah berkembang sepanjang sejarah organisasi
dan yang cenderung terwujud pada penyelesaian materin dan
dalam perilaku anggota organisasi?.
Unsur-unsur :
1) Pola kepercayaan
2) Pola nilai
3) Cara menyelesaikan masalah
13. Jeff Cartwright ( 1999)
? Keseluruhan rentangan sistematis dan aktivitas mansia yang
dialihkan dari generasi ke generasi melaluiberbagai proses
pembelajaran untuk menciptakan cara hidup tertentu yang sedapat
mungkin sesuai dengan lingkungan?.
Unsur-unsur :
1) Rentangan sistematis
2) Prosespembelajaran
3) Menciptakancara hidup
4) Sesuai lingkungan
14. Francis Fukuyama ( 2000 )
? Perangkat nilaiatau norma yang secara sedketika dimiliki
bersama anggota kelompok yang memungkinkan mereka
bekerjasma satu sama lain. Jika naggota kelompok menyatakan
kepada yang laian akan bertindak dapat dipercaya dan jujur, maka
mereka akan saling mempercayai satu sam lain. Kepercayaan
adalah pelumas yang membuat kelompok atau organisasi berjalan
secara lebih efisien?.
Unsur-unsur :
1) Norma seketika
2) Sebagai pelumas mencapai efieien.
15. J.M. Shafritz & Steven Otto ( 2001 )
? Budaya terdiri dari fenomena tak terab seperti nilai, kepercayaan,
asumsi, persepsi, norma perilaku, artifak dan pola-pola perilaku.
Budaya adalah kekuatan yang takterlihat dan tak teramati yang
selalu berada di belakang aktivitas organisasi, yang dapat dilihat
dan dapat diamati?
Unsur-unsur:
1) Nilai
2) Kepercayaan
3) Asumsi
4) Persepsi
5) Norma perilaku
6) Kekuatan yang tidak terliaht dan tidak teramati
7) Selalu dibelakang aktivitas organisasi yang dapat dilihat dan
diamati.
16. Geert Hopstede ( 2001 )
? Dilambangkan sebagai diagram bawang yang terdiri dari symbol-
simbol, pahlawan-pahlawan, ritual-ritualdan nilai-nilai?.
Unsur-unsur :
1) Simbol
2) Pahlawan
3) Ritual
4) Nilai
17. Stephen Robbins ( 2003 )
? Suatu system pemahaman bersama yang dianut oleh anggota
organisasi yang membedakannya dari organisasi lain?.
Unsur-unsur :
- Sistem pemahaman bersama
- Yang memebedakannya dari organisasi lain.
18. David H. Rossenbloom and Robert S. Kravchuk ( 2005)
? Pengawasan terhadap cara berfikir dan perilaku anggota
individual terutama terdiri dari kepercayaan, asumsi, dan nilai
merupakan budaya organisasi?.
Unsur-unsur :
1) Kepercayaan
2) Asumsi
3) Norma
4) Nilai.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, peneliti
menyimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan salah satu
asset atau sumber daya organisasi yang menjadikan organisasi
dinamis dengan karakteristik fisik (observable) maupun non-fisik
(unobservable) yang khas berisi asumsi-asumsi, nilai-nilai, norma,
komitmen dan kepercayaan, bermanfaat untuk mendorong dan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi publik maupun
privat. Pendapat peneliti tersebut, sejalan dengan pendapat dari
Hal ini sejalan dengan pendapat Piti Sithi-Amnuai, (dalam Ndraha,
1997 :102) mendefinisikan budaya organisasi : ? Aset of basic
assumptions and beliefs that are shared by members of an
organization, being developed as they learn to cope with problems
of eksternal adaption and internal itegration.
Deninson (1990 : 2), mengartikan budaya organisasi adalah nilai-
nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan
landasan bagi system dan praktek-praktek manajemen serta
perilaku yang meningkatkan dan menguatkan perinsip-perinsip
tersebut. Kemudian Robbins (Dalam Versi Bahasa Indonesia, 2002 :
247), mengartikan budaya organisasi sebagai ?suatu persepsi
bersama yang dianut oleh angota-anggota organisasi; suatu sistem
dari makna bersama?. Kemudian A.B. Susanto (1997 :3),
mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu nilai-nilai yang
menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi
permaslahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam
organisasi, sehingga masing-masing anggota organisasi harus
memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus
bertindak atau berprilaku.
Pengertian-pengertaian tersebut mempertajam kajian peneliti
terhadap budaya organisasi yang memperjelas bahwa budaya
organisasi juga merupakan identitas khas yang membedakan
organisasi yang satu dengan organisasi lainnya, bahkan budaya
organisasi juga merupakan keyakinan setiap orang di dalam
organisasi akan jati diri yang secara idiologis dapat memperkuat
eksistensi organisasi baik ke dalam sebagai pengikat atau simpul
organisasi dan keluar sebagai identitas sekaligus kemampuan
untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi yang dapat
merugikan atau menguntungkan organisasi. Dengan memahami
lebih dalam tentang budaya organiasi, peneliti sepakat dengan
pendapat Robbins ( Alih bahsa oleh Jusuf Udaya, 1994 : 505 ),
bahwa dengan budaya organisasi, suatu prganisasi memiliki
kepribadian, sebagaimana kepribadian, sebagaimana halnya
individu.
McNamara ( 1999 : 2) menyebut budaya organisasi sebagai ?
kepribadian organisasi?. Dengan demikian, memandang organisasi
dalam prespektif budaya sama dengan memandang sosok
manusia, dengan segala karekteristiknya. Organisasi bisa sakit bisa
juga sehat. Organisasi bisa imun juga bisa rentan terhadap
penyakit organisasi. Organisasi bisa juga timbuh berkenbang, bisa
juga mati perlahan agau cepat hilang, musnah dilikuidasi atau
dibunuh. Organisasi juga bisa belajar ( lerning organization).
Karena itu bebagai definisi budaya organisasi yang banyak
diutarakan para pakar, cenderung lebih mengutamakan
komponen-komponen kognitif seperti asumsi, kepercayaan, dan
nilai. Walaupun ada juga definisi lainya yang menyentuh komponen
atau aspek perilaku dan artifak ( artifact), yang kemudian
menimbulkan perbedaan antara tingkatan-tingakatan budaya
organisasi yang nampak (visible), dan yang tersembunyi (hidden).
Kajian terhadap pengertian budaya organisasi juga mempertegas
dan memperjelas peran budaya organisasi sebagai alat untuk
menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan dan memanage
sumber daya organisasional ( SDM, Teknologi. Uang, Material,
Informasi, Metode, dll ), dan juga sebagai alat untuk menghadapi
masalah dan peluang yang datang dari lingkungan organisasi,
terutama kekuatan ini bersumber dari nilai-nilai fundamental
organisasi, Martin, 1992 ( dalam Lako, 2004 : 31), berpendapt
bahwa budaya organisasi mrupakan sensitivitas terhadap
kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima
resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide
baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan
bertanggung jawab.
Kajian terhadap pengertian budaya organisasi tersebut,
disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur atau elemen budaya
organisasi, sebagai berikut :
1) Lingkungan organisasi, meliputi : lingkungan intern ( SDM,
Teknologi, Peraturan-peraturan, Material, Strktur Organisasi, Tugas
pokok dan fungsi, dll). Lingkungan ekternal
( IPOLEKSOSBUDHANKAM, dll ).
2) Karakteristik Organisasi yang kelihatan dan yangtidak kelihatan.
3) Jaringan cultural : unsur ini secara informal dapat dikatakan
sebagai jaringan komunikasi dalam organisasi yang dapat dijadikan
sebagai alat untuk menyebarkan nilai-nilai budaya organisasi.
4) Kepahlawanan : unsur ini sering dimanfaatkan untuk mengajak
seluruh karyawan untuk mengikuti nilai-nilai budaya organisasi
yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk sebagai
tokoh.
5) Upacara/tatacara tertentu yang dilakukan secara rutin dalam
rangka mensosialisaikan dan menginternalisasikan nilai-nilai
karakteristik budaya organisasi.
Unsur ? unsure budaya organisasi tersebut berinteraksi satu sama
lain, saling mempengaruhi, saling menguatkan atau melemahkan
tergantung dari tingkat keselarasan diantara unsur-unsur tersebut.
Namun secara bersama-sama unsur-unsur tersebut membentuk
corak budaya kerja suatu oragnisasi baik di tingkat satuan kerja
maupun di tingkat organisasi secara keseluruhan.
Untuk lebih mendalami kajian terhadap pengertian budaya
organisasi, peneliti mengutip definisi budaya organisasi yang
dikemukakan oleh Drucker, Amnuai (1989) dan Schein ( 1992)
( dalam Tika, 2006 : 5), sebagai berikut :
1) Peter F. Drucker dalam buku Robert G Owens, Organization
Behavior in Education :
? Organization culture is the body of solution to external and
internal problems than has worked consistenly for a group and that
is therefore tought to new members as the correct way to perceive,
think about and feel in relation to those problrms?. ( Budaya
organisasi adalah pokok penyesuaian masalah-masalah eksternal
dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh
suau kelompok yang kemudian mewariskan kepada angota-
anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami,
memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah terkaiat
seperti di atas).
2) Phithi Sithi Amnuai (1989)
?Organization culture is a sett of basic assumptions and beliefs that
are shared by members of an organization, being developed as
they learn to cope with problems of external adaptation and
internal integration?.(Budaya organisasi adalah seperangkat
asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota ? anggota
organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna
mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah
integrasi internal).
Berdasarkan definisi tersebut, Tika ( 2006 : 5), mengemukakan
unsur-unsur budaya organisasi, sebagai berikut :
1) Asumsi dasar
2) Keyakinan yang dianut
3) Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya
organisasi
4) Pedoman mengatasi masalah
5) Berbagi nilai
6) Pewarisan
7) Penyesuaian
4. Fungsi Budaya Organisasi
Berkaiatan dengan fungsi budaya organisasi ini, peneliti akan
mengemukakan beberapa pendapat para pakar, sebagai berikut :
1). Robbins (1996 : 642)
v. Menetapkan batasan/Menegaskan posisi organisasi secara
berkesinambungan
vi. Mencetuskan atau menunjukkan identitas diri para
anggotaorganisasi.Mewakili kepentingan orang banyak.
vii. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada
kepentingn individual sesorang.
viii. Meningkatkan stabilitas sosial.
ix. Menyediakan mekanisme pengawasan yang dapat menuntun,
membentuk tingkah laku anggota organisasi dan sekaligus
menunjukkanhal-hal apa saja yang dilarang dan diperbolehkan
untuk dilakukan dalam organisasi.
b. Luthans(1998) (dalam Lako 2004 : 31)
i. Memberi sence of identity kepada anggota organisasi untuk
memahami visi, misi dan menjadi bagian integral dari organisasi.
ii. Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi
organisasi.
iii. Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk
mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakantugas dan
tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama. ( Noe
dan Mondy, 1996)
iv. Membangun dalam mendesain kembali sistem pengendalian
manajemen organisasi, yaitu sebagai alat untuk menciptakan
komitmen agar para manajer dan karyawan mau melaksanakan
perencanaan strategis programing, budgetting, controlling,
monitoring, evaluasi dan lainnya (Merchant 1998, Anthony dan
Goviandarajan 1996).
v. Membantgu manajemen dalam menyususn skema sistem
kompensasi manajemen untuk eksekutif dan karyawan.
vi. Sebagai sumber daya kompetitif organisasi apabila dikelola
secara baik.
Kajian lebih mendalam terhadap fungsi budaya organisasi, peneliti
mengutip pendapat Schein (1992) ; Ouchy
B. Metafora Budaya: Jaring Laba-laba dan Organisasi
Awal mula dari kata culture (kultur, budaya) sungguh menarik. Kata
culture awalnya merujuk pada menyiapkan tanah untuk merawat
tanaman dan hewan. Kata ini diinterpretasikan sebagai
mendukung terjadinya pertumbuhan. Pacanowsky dan O'Donnell
Trujillo (1982) percaya bahwa budaya organisasi
"mengindikasikan apa yang nienyusun dunia nyata yang ingin
diselidiki" (hal. 122). Dengan kata lain, budaya organisasi
(organizational culture) adalah esensi dari kehidupan organisasi.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mereka menerapkan
prinsip-prinsip antropologi untuk mengonstruksi teori mereka.
Secara khusus, mereka mengadopsi pendekatan Interpretasi
Simbolikyang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dalam
model teoretis mereka. Geertz menyatakan bahwa orang-orang
adalah hewan "yang tergantung di dalam jaringan kepentingan"
(hal. 5). la menambahkan bahwa orang membuat jaring mereka
sendiri. Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo (1982) memberikan
komentar terhadap metafora Geertz:
Jaring ini tidak hanya ada, melainkan sedang dipintal. Jaring ini
dipintal ketika orang sedang menjalankan bisnis mereka membuat
dunia mereka menjadi dapat dipahami—maksudnya, ketika mereka
berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis sebuah naskah
drama, menyanyi, menari, pura-pura sakit, mereka sedang
berkomunikasi, dan mereka sedang mengonstruksi budaya
mereka. Jaring ini merupakan residu dari proses komunikasi (hal.
147). Tujuan
utama dari para peneliti adalah untuk memikirkan mengenai
semua konfigurasi (fitur) menyerupai jaring yang mungkin di dalam
organisasi. Geertz menggunakan gambaran mengenai laba-laba
bukan tanpa tujuan. la yakin bahwa budaya seperti sebuah jaring
yang dipintal oleh laba-laba. Maksudnya, jaring ini terdiri atas
desain yang rumit, dan tiap jaring berbeda dengan yang lainnya.
Bagi Geertz, budaya juga seperti ini. Dengan mendasarkan
kesimpulannya pada bermacam budaya di seluruh dunia, Geertz
berargumen bahwa budaya-budaya semuanya berbeda dan
keunikan ini harus dihargai. Untuk memahami budaya, Geertz
percaya bahwa para peneliti harus mulai dengan berfokus pada
makna yang dimiliki bersama di dalamnya. Kita akan mempelajari
lebih jauh mengenai keyakinan Geertz ini nanti.
Pacanowsky dan O'Donnell
Trujillo (1983) menerapkan prinsip-prinsip dasar ini pada
organisasi. Baik karyawan maupun manajer memintal jaring
mereka sendiri. Orang-orang memegang peranan penting dalam
organisasi, dan karenanya, sangat penting untuk mempelajari
perilaku mereka sehubungan dengan keseluruhan organisasi.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo menyatakan bahwa anggota-
anggota dari organisasi terlibat di dalam banyak perilaku
komunikasi yang memberikan kontribusi bagi budaya perusahaan.
Mereka dapat melakukan ini melalui bergosip, bergurau, menjegal,
atau terlibat secara romantis dengan orang lain.
Budaya organisasi di Jewelry Plus dapat diuraikan dalam
beberapa cara. Anda mungkin dapat mengingat bahwa Fran tahu
mengenai pemilikyang baru melalui gosip dan bahwa piknik
perusahaan merupakan salah satu cara baginya untuk belajar
lebih jauh mengenai budaya perusahaan yang baru. Tak diragukan
bahwa ia akan mengalami budaya organisasi dalam pekerjaan
barunya yang berbeda dari yang ia alami dengan Grace's Jewelers.
Perusahaan telah berubah, muncul banyak wajah baru, dan
peraturan-peraturan juga mencerminkan kepemilikan yang baru.
Fran juga memberikan kontribusi dalam pemintalan
jaring .organisasi baik dengan memberikan respons pada cerita-
cerita mengenai perusahaan dan meneruskannya kepada yang
lain. Singkatnya, jaring dari sebuah budaya organisasi telah dipintal.
Perspektif yang luas ini menggarisbawahi mengapa Pacanowsky
dan O'Donnell Trujillo berargumen bahwa budaya organisasi
"bukanlah sebuah potongan puzzle; budaya adalah puzzle-nya" (hal.
146).
Aplikasi Teori Dalam Kelompok : Pada jantung dari Teori Budaya Organisasi
adalah keyakinan bahwa organisasi memiliki berbagai simbol, ritual, dan
nilai yang membuatnya unik. Dalam kelompok kecil, diskusikan apakah
sebuah organisasi dapat memiliki simbol, ritual, dan nilai yang dapat
merusak budaya dari organisasi tersebut. Berikan contoh yang spesifik
untuk menjelaskan pemikiran Anda dan jelaskan konsekuensi yang
mungkin timbul bagi budaya organisasi.
C. Asumsi Teori Organisasi
Terdapat tiga asumsi yang mengarahkan Teori Budaya Organisasi.
Saat Anda membaca ketiga asumsi ini, ingatlah adanya
keberagaman dan kompleksitas dari kehidupan organisasi. Selain
itu, pahamilah bahwa ketiga asumsi ini menekankan pada
pandangan mengenai proses dari sebuah organisasi yang
dikemukakan oleh Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo:
Anggota-anggota organisasi menciptakan dan
mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai
realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih
baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi.
Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam
budaya organisasi.
Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda,
dan interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam.
Asumsi pertama berhubungan dengan pentingnya orang di dalam
kehidupan organisasi. Secara khusus, individu saling berbagi
dalam menciptakan dan mempertahankan realitas. Individu-
individu ini mencakup karyawan, supervisor, dan atasan. Pada inti
dari asumsi ini adalah nilai yang dimiliki oleh organisasi. Nilai
(value) adalah standar dan prinsip-prinsip dalam sebuah budaya
yang memiliki nilai intrinsik dari sebuah budaya. Nilai menunjukkan
kepada anggota organisasi mengenai apa yang penting.
Pacanowsky (1989) melihat bahwa nilai berasal dari "pengetahuan
moral" (hal. 254) dan bahwa orang menunjukkan pengetahuan
moral mereka melalui narasi atau kisah. Kisah-kisah yang didengar
dan dibagikan oleh Fran, misalnya, akan berdampak dalam
pemahamannya akan nilai-nilai perusahaan.
Orang berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan.
Menjadi anggota dari sebuah organisasi membutuhkan partisipasi
aktif dalam organisasi tersebut. Makna dari simbol-simbol tertentu
—misalnya, mengapa sebuah perusahaan terus melaksanakan
wawancara terhadap calon karyawan ketika terdapat sebuah
rencana pemutusan hubungan kerja besar-besaran—
dikomunikasikan baik oleh karyawan maupun oleh pihak
manajemeri. Makna simbolik dari menerima karyawan baru ketika
yang lainnya dipecat tidak akan dilewatkan oleh pekerja yang
cerdik; mengapa memberikan uang pada karyawan baru ketika
yang lama kehilangan pekerjaan mereka? Pacanowsky dan O'Donnell
Trujillo (1982) yakin bahwa karyawan memberikan kontribusi dalam
pembentukan budaya organisasi. Perilaku mereka sangatlah
penting dalam. menciptakan dan pada akhirnya mempertahankan
realitas organisasi.
Realitas (dan budaya) organisasi juga sebagiannya ditentukan oleh
simbol-simbol, dan ini merupakan asumsi kedua dari teori ini. Tadi
kita telah mengetahui bahwa Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo
mengadopsi perspektif Interpretasi Simbolik dari Geertz.
Perspektif ini menggarisbawahi penggunaan simbol di dalam
organisasi, dan sebagaimana telah disebutkan di dalam Bab 1,
simbol merupakan representasi untuk makna. Anggota-anggota
organisasi menciptakan, menggunakan dan menginterpretasikan
simbol setiap hari. Simbol-simbol ini, karenanya, sangat penting
bagi budaya perusahaan. Mary Jo Hatch (1997) memperluas
pemikiran mengenai simbol dalam diskusinya mengenai kategori-
kategori makna simbolik (Tabel 16.1).
Simbol-simbol mencakup komunikasi verbal dan nonverbal di
dalam organisasi. Sering kali, simbol-simbol ini mengomunikasikan
nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki
makna. Contohnya, perusahaan-perusahaan memiliki slogan—di
masa lalu maupun di masa kini—yang menyimbolkan nilai-nilai
mereka, termasuk Motorola ("Intelligence Everywhere"), The New
York Times ("AH News That's Fit to Print"), dan Disneyland ("The
Happiest Place on Earth"). Sejauh mana simbol-simbol ini efektif
bergantung tidak hanya pada media tetapi pada bagaimana
karyawan perusahaan mempraktikkannya. Misalnya, keyakinan
Disneyland bahwa ia adalah tempat paling bahagia di seluruh
dunia akan menjadi aneh jika karyawannya tidak tersenyum, atau
apabila mereka kasar dan tidak sopan.
Untuk bukti akan adanya simbol verbal di sebuah organisasi,
pertimbangkan cerita ini. Seorang supervisor bernama Derrick
sering kali berkomunikasi mengenai nilai dalam perbincangan
santai dengan karyawannya. Derrick sering kali menceritakan
cerita-cerita panjang mengenai bagaimana ia menangani suatu
hal tertentu di tempat kerja sebelumnya. la sering bercerita
dengan sangat mendetail mengenai bagaimana, contohnya, ia
berhasil memperjuangkan agar para karyawannya mendapatkan
bonus di akhir tahun. Cerita-ceritanya selalu dimulai dengan kisah
singkat mengenai bagaimana ia dibesarkan di Arkansas dan selalu
berakhir dengan adanya moral cerita. Mulanya, karyawannya tidak
yakin bagaimana harus menghadapi jenis komunikasi ini. Seiring
dengan berjalannya waktu, mereka segera menyadari bahwa Derrick
sedang berusaha untuk menjalin kedekatan dengan para
karyawannya dan untuk menunjukkan bahwa walaupun masalah
mungkin seperti tidak ada habisnya, ia tahu bagaimana mengatasi
hal tersebut. Melalui banyak ceritanya, ia sedang mengomunikasikan
bahwa ia peduli terhadap isu-isu mengenai perusahaan dan
mengenai karyawannya; ia juga mengomunikasikan sebuah
pandangan baru mengenai bagaimana seharusnya sebuah budaya
organisasi itu. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pentingnya
simbol lisan, lihatlah Catalan Penelitian.
Tabel 16.1 Simbol Budaya Organisasi
Katagori Umum Tipe/Contoh Spesifik
Simbol Fisikseni/desain/logobangunan/dekorasipakaian/penampilan benda material
Simbol Perilakuupacara/ritualtradisi/kebiasaan penghargaan/hukuman
Simbol Verbalanekdot/lelucon/jargon/nama/namsebutan penjelasankisah/mitos/sejarah metafora
Asumsi kita yang ketiga mengenai Teori Budaya Organisasi berkaitan
dengan keberagaman budaya organisasi. Sederhananya, budaya
organisasi sangatlah bervariasi. Persepsi mengenai tindakan dan
aktivitas di dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu
sendiri. Coba kita pikirkan apa yang dirasakan Fran ketika ia pindah
dari Grace's Jewelers ke Jewelry Plus. Beberapa contoh yang
menggarisbawahi berbagai isu budaya dalam tiap perusahaan
telah diberikan. Persepsi Fran dan partisipasinya dalam budaya
yang satu mungkin akan berbeda dalam budaya yang lain.
Beberapa orang mungkin malah akan senang dengan adanya
perubahan budaya setelah bekerja selama sembilan tahun untuk
perusahaan kecil yang sama.
Sebagai karyawan di sebuah toko perhiasan kecil, Fran tahu bahwa
masalah toko dapat dengan cepat diselesaikan dan bahwa saran-
saran untuk perubahan dapat diterima dan segera dilaksanakan.
Budaya dalam toko tersebut adalah karyawan didorong untuk
membuat keputusan cepat, sering kali tanpa persetujuan supervisor.
Pengecualian mengenai kebijakan pengembalian barang di toko itu,
misalnya, ditangani oleh semua karyawan. Pendiri toko tersebut
merasa bahwa karyawan berada dalam posisi terbaik untuk
menangani masalah sulit yang membutuhkan solusi dengan cepat.
Selain itu, penghargaan bagi karyawan untuk pelayanan pelanggan
juga rutin diberikan dan mediasi konflik dan program manajemen
kemarahan disediakan baik bagi karyawan maupun bagi pihak
manajemen. Praktik-praktik organisasi ini mengomunikasikan
pentingnya rasa kebersamaan dalam realitas organisasi di antara
para karyawan. Para karyawan di Grace's Jewelers sering
berkumpul bersama untuk F.A.C.—Friday Afternoon Club (Klub
Jumat Siang)—di sebuah restoran lokal. Aktivitas-aktivitas ini
mengomunikasikan semangat kebersamaan di dalam perusahaan
ini. Para karyawan di Graces merupakan anggota dari budaya
organisasi yang "menyusun dan menunjukkan budaya mereka
pada diri mereka sendiri dan pada orang lain" (Pacanowsky &
O'Donnell Trujillo, 1982, hal. 131).
Budaya organisasi di Jewelry Plus sangat berbeda dari budaya
organisasi Graces, dan pengalaman-pengalaman Fran dengan
Jewelry Plus sangat berbeda dengan pengalaman-pengalamannya
dengan Grace's Jewelers. Perusahaan raksasa ini tidak memiliki
pengecualian dalam kebijakan pengembalian barangnya dan
setiap saran untuk perbaikan toko harus dimasukkan ke dalam
kotak saran untuk karyawan atay dikirim melalui e-mail ke kantor
pusat. Rasa komunitas tidak didukung di Jewelry Plus karena
tugas-tugas yang ada dengan jelas mendukung adanya otonomi.
Memang terdapat beberapa usaha untuk memastikan bahwa
karyawan berkumpul bersama pada saat tertentu—baik melalui
waktu istirahat, makan siang, berkumpul bersama saat liburan—
tetapi kesempatan ini terlalu terbatas untuk mendorong tpriadinva
kekeluargaan di antara karvawan. TanDa rasa kekeluargaan, kisah-
kisah, ritual, dan ritus juga dibatasi. Jelas sekali tampak perbedaan
dari budaya organisasi di Grace's dan Jewelry Plus.
Tiga asumsi dari Teori Budaya Organisasi telah dijelaskan. Tiap
asumsi didasari oleh keyakinan bahwa ketika para peneliti
mempelajari budaya organisasi, mereka akan menemukan jaring
yang kompleks dan rumit. Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo yakin
bahwa perspektif interpretasi simbolik memberikan gambaran
realistis mengenai budaya sebuah perusahaan. Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik bagaimana mereka
mempelaj ari organisasi, kita sekarang akan membahas mengenai
metodologi utama yang mereka gunakan dalam penelitian mereka
dan juga dalam penelitian pendahulu mereka, Clifford Geertz:
etnografi.
D. Pemahaman Etnografi: Mendasarkannya pada yang Mendalam
Seorang peneliti dalam kajian komunikasi dan performa, Dwight
Conquergood (1992, 1994) mempelajari salah satu dari topik paling
provokatif dalam komunikasi: komunikasi geng. Dalam usahanya
untuk memahami komunikasi geng, Conquergood pindah ke sebuah
bangunan kumuh di Chicago yang pada saat itu dikenal sebagai "Big
Red". la tinggal di dalam bangunan itu selama hampir dua tahun,
mengamati dan berpartisipasi dalam semua bagian kehidupan yang
dijalani oleh anggota geng. Melalui pengamatan, partisipasi, dan
pencatatan, penelitian Conquergood menawarkan sebuah
pandangan mengenai komunikasi geng yang selama ini dilewatkan
oleh media. la menemukan banyak ritual dan simbol privat, dan
kajiannya memungkinkan populasi geng untuk memiliki "suara"
yang sebelumnya tidak pernah dituliskan dalam bidang ilmu
komunikasi. Usahanya dalam menggali kisah-kisah yang berkaitan
dengan geng kepada orang lain merupakan bagian dari etnografi,
metodologi yang mendasari Teori Budaya Organisasi.
Anda akan mengingat bahwa Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo
mendasarkan banyak bagian dari karya mereka pada karya Geertz.
Karena karya Geertz merupakan karya etnografi, berikut secara
singkat dibahas orientasi etnografis Geertz dan penjelasan mengenai
hubungannya dengan teori ini.
Geertz (1973) berargumen bahwa untuk memahami budaya,
seseorang harus melihatnya dari sudut pandang anssota budaya
tersebut. Untuk melakukan hal ini, Geertz percaya bahwa para
peneliti harus menjadi etnograf. Dalam Bab 4 kita telah
mengidentifikasi etnografi sebagai metodologi kualitatif yang
mengungkap dan menginterpretasikan artefak, kisah-kisah, ritual,
dan praktik untuk menemukan makna dalam sebuah budaya. Para
etnograf sering kali menyatakan kajian mereka merupakan
penelitian naturalistik di mana mereka yakin bahwa cara yang
mereka gunakan dalam mempelajari budaya lebih natural
dibandingkan cara yang digunakan oleh para peneliti kuantitatif.
Dengan mengingat hal ini, Geertz menyatakan bahwa etnografi
bukan ilmu eksperimental melainkan sebuah metodologi yang
menguak makna. Menemukan makna merupakan hal yang paling
penting bagi seorang etnograf. Geertz, dan kemudian
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo melaksanakan pengamatan
langsung, wawancara, dan observasi partisipan dalam
menemukan makna dalam budaya.
Sebagai seorang etnograf, Geertz menghabiskan bertahun-tahun
mempelajari berbagai budaya. Tulisannya telah membahas
beragam subjek, mulai dari Buddhisme Zen hingga kehidupan di
kepulauan Indonesia. Selama ia tinggal di tempat-tempat ini, ia
bergantung sepenuhnya pada catatan lapangan dan menyimpan
sebuah jurnal lapangan (field journal), mencatat semua
perasaan dan idenya mengenai interaksinya dengan anggota-
anggota dari budaya tertentu. Dalam tulisannya, Geertz (1973)
menyimpulkan bahwa etnografi merupakan sejenis deskripsi
tebal (thick description), atau penjelasan mengenai lapisan-lapisan
rumit dari makna yang mendasari sebuah budaya. Para etnograf,
karenanya, berusaha untuk memahami deskripsi tebal dari
sebuah budaya dan untuk "menyelidiki makna yang tidak
tampak dari sesuatu" (hal. 26). Hal yang menarik, Geertz percaya
bahwa tidak ada analisis budaya yang lengkap karena semakin
dalam seseorang berusaha masuk, semakin kompleks budaya
tersebut. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin untuk
sepenuhnya pasti mengenai sebuah budaya dan norma atau
nilainya.
Geertz (1983) menyatakan bahwa metodologi kualitatif ini tidak
ekuivalen dengan berjalan sejauh satu mil di dalam sepatu orang
yang sedang diteliti. Pemikiran ini hanya menyebabkan munculnya
"mitos pekerja lapangan bunglon, yang sepenuhnya terpaku
pada lingkungan sekitarnya yang eksotis, sebuah keajaiban
berjalan yang memiliki empati, kepekaan, kesabaran, dan
kosmopolitanisme" (hal. 56). Geertz menyatakan bahwa sebuah
keseimbangan harus dipertahankan antara mengamati secara
natural dan mencatat perilaku dan mengintegrasikan nilai-nilai
peneliti dalam proses tersebut. la menyatakan bahwa "triknya
adalah untuk memahami apa yang mereka pikir akan mereka
lakukan" (hal. 58). Hal ini, sebagaimana dapat Anda bayangkan,
dapat menjadi hal yang cukup sulit bagi para etnograf.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo tertarik dengan pengalaman
etnografis Geertz dan pemikirannya mengenai pentingnya
observasi, analisis, dan interpretasi. Pengalaman penelitian mereka
sendiri mengenai kobudaya yang berbeda-beda terbukti tak
ternilai. Misalnya, Pacanowsky (1983) mengamati polisi di lembah
Salt Lake [Utah], dan Trujillo (1983) mempelajari penjualan mobil
baru dan bekas. Keberagaman pengalaman mereka dalam
budaya-budaya yang lebih kecil ini di Amerika Serikat mendorong
mereka untuk menyatakan bahwa performa budaya, atau apa yang
kita sebut sebagai penceritaan kisah, merupakan hal yang penting
dalam mengomunikasikan budaya organisasi. Kita akan kembali
pada topik mengenai performa setelah ini.
Teori Budaya Organisasi berakar pada etnografi, dan budaya
organisasi hanya dapat dilihat dengan mengadopsi prinsip-prinsip
etnografi. Kita akan mengeksplorasi etnografi dengan
menggunakan contoh mengenai Fran Callahan. Jika para etnograf
tertarik untuk mempelajari budaya dari tempat kerja barunya di
Jewelry Plus, mereka mungkin akan mulai dengan mengamati
beberapa area: Misalnya, peraturan perusahaan baru apa yang
diterapkan? Apa yang dipikirkan oleh para karyawan baru seperti
Fran mengenai hal tersebut? Strategi jenis apa yang digunakan
untuk memudahkan transisi bagi karyawan seperti Fran? Apakah
terdapat filosofi atau ideologi perusahaan? Apakah ada masalah
dengan semangat kerja karyawan? Bagaimana hal ini diatasi?
Apakah perusahaan memberikan respons terhadap keluhan
karyawan? Jika ya, bagaimana? Jika tidak, mengapa? Pertanyaan-
pertanyaan ini dan masih banyak lagi yang lainnya akan memulai
proses etnografi untuk memahami budaya organisasi di Jewelry
Plus.
Menariknya etnografi tidak dapat digambarkan dalam ruang yang
terbatas ini. Akan tetapi, Anda diharapkan memiliki dasar mengenai
proses dasar yang dikaitkan dengan etnografi dan memiliki
pemahaman mengapa Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo
menggunakan metodologi ini dalam kajian mereka mengenai
budaya organisasi. Sekarang akan dibahas lebih lanjut topik
mengenai performa, sebuah komponen penting dalam Teori Budaya
Organisasi.
E. Performa Komunikasi
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo (1982) menyatakan bahwa
anggota organisasi melakukan performa komunikasi tertentu yang
berakibat pada munculnya budaya organisasi yang unik.
Performa (performance) adalah metafora yang menggambarkan
proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam
sebuah organisasi. Performa organisasi sering kali memiliki unsur
teatrikal, di mana baik supervisor maupun karyawan memilih untuk
mengambil peranan atau bagian tertentu dalam organisasi mereka.
Walaupun sistem kategori tidak selamanya eksklusif, Anda akan
mendapatkan gambaran sejauh mana organisasi bervariasi dalam
hal bagaimana perilaku manusia dapat dipahami. Para teoretikus
menjabarkan lima performa budaya: ritual, hasrat, sosial, politik,
dan enkulturasi. Tabel 16.2 mengidentifikasi kelima performa ini.
Saat Anda membaca materi ini, ingatlah bahwa performa-performa
ini dapat dilaksanakan oleh anggota mana pun dalam organisasi.
1. Performa Ritual
Semua performa komunikasi yang terjadi secara teratur dan
berulang disebut performa ritual (ritualperformance). Ritual terdiri
atas empat jenis: personal, tugas, sosial, dan organisasi. Ritual
personal (personal ritual) mencakup sernua hal yang Anda lakukan
secara rutin di tempat kerja. Misalnya, banyak anggota organisasi
secara teratur mengecek pesan suara atau e-mail mereka ketika
mereka bekerja tiap hari. Ritual tugas (task ritual) adalah perilaku
rutin yang dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Ritual tugas
membantu menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, ritual tugas seorang
karyawan di Departemen Kendaraan Bermotor termasuk
mengeluarkan ujian mata dan tertulis, mengambil foto dari calon
pengemudi, melaksanakan ujian mengemudi, memverifikasi
asuransi mobil, dan menerima pembayaran. Ritual sosial (social
ritual) adalah rutinitas verbal dan nonverbal yang biasanya
mempertimbangkan interaksi dengan orang lain. Misalnya,
beberapa anggota organisasi berkumpul bersama untuk
menghabiskan waktu bersama di bar pada hari Jumat, merayakan
akhir pekan. Mengenai ritual sosial Anda sendiri, ingatlah kembali
rutinitas sosial di kelas Anda. Banyak dari Anda datang lebih awal
untuk bertemu dengan teman sekelas dan bercerita mengenai apa
yang telah terjadi selama Anda tidak bertemu dan kemudian Anda
akan meneruskan ritual sosial ini baik selama waktu istirahat atau
setelah kelas usai. Ritual sosial juga dapat mencakup perilaku
nonverbal di dalam organisasi, termasuk Jumat kasual dan
penghargaan karyawan terbaikbulan ini. Yang terakhir, yaitu ritual
organisasi (organizational ritual) adalah kegiatan perusahaan
yang sering dilakukan seperti rapat divisi, rapat fakultas, dan
bahkan piknik perusahaan seperti yang diikuti oleh Fran Callahan.
tabel 16.2 Performa Budaya dalam Organisasi
Performa Ritual
ritual personal—;mengecek pesan suara dan e-mail; ritual tugas-mengeluarkan tiket, menerima
pembayaran; ritual social-acara kumpul karyawan; ritual organisasi—rapat departemen,
piknik perusahaan___
Performa Hasrat
penceritaan kisah, metafora, dan pembicaraan yang berlebihan—"ini adalah perusahaan yang paling tidak menghargai karyawan," "ikuti mata
rantai perintah yang diberikan, jika tidak perintah itu akan membelit lehermu"
Performa tindakan santun dan sopan; perpanjangan etiket—
Sosiat mengucapkan tarima kasih pada pelanggan, obrolan di dekat pendingin air, menjaga "muka"
orang lain
Performa Politis
menjalankan kontrol, kekuasaan, dan pengaruh—bos yang galak, ritual intimidasi, penggunaan
informan, tawar-menawarPerforma Enkultura
si
Kompetensi yang didapat dari karir dalam organisasi-peranan belajar/mengajar, orientasi,
wawancara
2. Performa Hasrat
Kisah-kisah mengenai organisasi yang sering kali
diceritakan secara antusias oleh para anggota organisasi
dengan orang lain disebut performa hasrat (passion
performance). Sering kali, orang dalam organisasi menjadi
begitu menggebu-gebu dalam bercerita. Lihat pengalaman
Adam, yang bekerja di sebuah toko ritel nasional. Adam dan
rekan sekerjanya mendengar dan menceritakan kembali
kisah-kisah mengenai supervisor departemen mereka.
Ceritanya adalah bahwa atasan mereka selalu berjalan di
seputar departemen mereka setiap tiga puluh menit sekali
untuk mendapatkan gambaran yang maenyeluruh
mengenai para pekerja dan pelanggan. Jika supervisor ini
melihat sesuatu yang menurutnya tidak biasa, ia akan
memanggil si karyawan ke ruang belakang, melihat kembali
rekaman video dari kejadian tersebut, dan menanyakan
pada si karyawan apa yang akan ia lakukan untuk
memperbaiki masalah yang mungkin muncul di masa
depan. Adam dan semua temannya menceritakan kembali
kisah ini baik kepada karyawan baru maupun lama. Bahkan,
setelah enam tahun, hasrat Adam untuk berbagi kisah ini
masih sama dengan ketika ia menceritakannya untuk
pertama kali.
3. Performa Sosial
Jika performa hasrat seperti yang dilakukan Adam memiliki
sedikit kepedulian mengenai orang yang menjadi inti cerita,
performa sosial (socialperformance) merupakan
perpanjangan sikap santun dan kesopanan untuk
mendorong kerja sama di antara anggota organisasi.
Pepatah yang mengakatan "hal kecil memulai hal yang
besar" berhubungan langsung dengan performa ini. Baik
dengan senyuman atau sapaan "selamat pagi," menciptakan
suatu rasa kekeluargaan sering kali merupakan bagian dari
budaya organisasi.
Akan tetapi, sering kali sangat sulit untuk bersikap
sopan. Ketika suasana sedang tegang, sungguh merupakan
hal yang sulit dan terkadang menjadi tidak tulus untuk
tersenyum dan mengucapkan "selamat pagi" pada orang
lain. Kebanyakan organisasi menginginkan untuk
mempertahankan perilaku yang profesional, bahkan di
masa yang sulit, dan performa sosial membantu
tercapainya hal ini.
4. Performa Politis
Ketika budaya organisasi mengomunikasikan performa
politis (politicalperformance), budaya ini sedang
menjalankan kekuasaan atau kontrol. Mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan dan kontrol merupakan ciri
dari kehidupan korporat di Amerika Serikat. Walaupun
demikian, karena kebanyak organisasi bersifat hierarkis:
Harus ada seseorang dengan kekuasaan untuk mencapai
segala sesuatu dan memiliki cukup kontrol untuk
mempertahankan dasar-dasar yang ada.
Ketika anggota organisasi terlibat dalam performa
politis, mereka mengomunikasikan keinginan untuk
memengaruhi orang lain. Hal ini bukanlah selalu merupakan
hal yang buruk. Mari kita lihat pengalaman sekelompok
perawat, misalnya, di Rumah Sakit Spring Valley. Selama
bertahun-tahun, para perawat cukup puas dengan status
kelas dua mereka bila dibandingkan dengan para dokter.
Baru-baru ini, para perawat memutuskan untuk
menyuarakan perlakuan ini. Mereka berbicara kepada para
dokter, kepada staf medis lainnya, dan kepada pasien.
Dalam hal ini, mereka sedang menjalankan lebih banyak
kekuasaan terhadap pekerjaan mereka. Performa politis
budaya mereka berpusat pada pengakuan akan
kompetensi mereka sebagai tenaga medis profesional dan
untuk komitmen mereka terhadap misi dari rumah sakit
tersebut. Tujuan mereka adalah untuk dilegitimasi di rumah
sakit oleh para dokter, rekan sekerja, dan para pasien.
Performa mereka, tak diragukan lagi, sangat penting dalam
membangun budaya organisasi yang berbeda.
5. Performa Enkulturasi
Tipe performa yang kelima yang diidentifikasi oleh
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo disebut sebagai performa
enkulturasi. Performa enkulturasi (enculturation
performance) merujukpada bagaimana anggota
mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk dapat
menjadi anggota organisasi yang mampu berkontribusi.
Peforma-performa ini dapat berupa sesuatu yang berani
maupun hati-hati, dan performa ini mendemonstrasikan
kompetensi seorang anggota dalam sebuah organisasi.
Misalnya, beberapa performa akan dilakukan untuk
mengenkulturasi Fran ke dalam posisinya yang baru. la
akan mengamati dan mendengarkan kolega-koleganya
menampilkan pemikiran dan perasaan mereka terhadap
beb" erapa isu: di antaranya jam kerja, diskon karyawan,
dan newsletter perusahaan,. Singkatnya, Fran akan mulai
untuk mengetahui budaya organisasi tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, performa-
performa ini dapat saling tumpang tindih. Sangat mungkin,
karenanya, untuk menganggap performa sosial sebagai
performa ritual.
Coba pikirkan, misalnya, memberikan salam "Selamat pagi"
kepada seorang rekan sekerja atau membuatkan kopi untuk
seorang yang lain di hari berikutnya. Dalam contoh ini,
tindakan kesopanan dianggap personal (dan bahkan tugas)
ritual. Oleh karenanya, performa tersebut dapat menjadi
sosial maupun ritual.
Selain itu, performa dapat muncul dari keputusan yang
dibuat secara sadar untuk melakukan apa yang dipikirkan
atau dirasakan mengenai suatu isu, seperti dalam contoh
kita mengenai para perawat di Rumah Sakit Spring Valley.
Atau performa ini dapat menjadi lebih intuitif, seperti di
dalam contoh kita mengenai Fran Callahan. Jelaslah bahwa
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo yakin bahwa performa
komunikatif sangat penting bagi budaya suatu organisasi.
F. Kritik dan Penutup
Teori Budaya Organisasi, dicetuskan
oleh Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo, merupakan teori
yang memiliki pengaruh penting dalam teori dan penelitian
di bidang komunikasi organisasi. Untuk mengevaluasi
efektivitas teori ini, akan didiskusikan tiga kriteria:
heurisme, kegunaan, dan konsistensi logis.
Heurisme
Daya tarik Teori Budaya Organisasi
telah begitu luas dan jauh, sehingga menyebabkan teori ini
bersifat heuristik. Misalnya saja, teori ini telah membingkai
penelitian yang mengkaji karyawan Muslim (Alkhazraji,
1997), petugas penegak hukum (Frewin & Tuffin, 1998), dan
karyawan yang sedang mengandung (Halpert & Burt,
1997). Teori ini telah memengaruhi banyak ilmuwan untuk
mempertimbangkan mengenai budaya organisasi dan
bagaimana mereka mengajarkan mengenai hal ini di dalam
kelas (Morgan, 2004). Dan relevan bagi kita yang berada di
dalam bidang pendidikan, teori ini telah digunakan untuk
mempelajari cerita-cerita mengenai mahasiswa dan
persepsi mereka akan penyesuaian diri di kampus (Kramer
& Berman, 2001).
Kegunaan
Teori ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada
hampir semua karyawan di dalam sebuah organisasi.
Pendekatan ini berguna karena banyak informasi dari teori
(misalnya, simbol, kisah, ritual) memiliki hubungan langsung
pada bagaimana karyawan bekerja dan identifikasi mereka
terhadap lingkungan kerja mereka (Schrodt, 2002). Karena
karya para teoretikus ini didasarkan pada organisasi yang
nyata dan karyawan yang benar-benar ada, para peneliti ini
telah membuat teori ini menjadi lebih berguna dan praktis.
Konsistensi Logis
Konsistensi. logis dari model ini juga tidak boleh
dilewatkan. Coba ingat kembali bahwa konsistensi logis
merujuk pada pemikiran bahwa teori harus mengikuti
pengaturan logis dan tetap konsisten. Pacanowsky dan
O'Donnell Trujillo berusaha untuk memegang teguh
keyakinan mereka bahwa budaya organisasi sangat kaya
dan beragam; mereka merasa bahwa mendengarkan
performa komunikatif dari anggota organisasi adalah titik
awal bagi kita untuk
memahami "budaya korporat". Ini merupakan dasar dari
mana banyak bagian dari teori ini mendapatkan
momentumnya.
Walaupun demikian, beberapa yakin bahwa teori ini
kurang dalam hal konsistensi. Eric Eisenberg dan H.L.
Goodall (2004) misalnya, mengamati bahwa Teori Budaya
Organisasi bergantung sepenuhnya pada makna yang
dimiliki bersama oleh anggota-anggota organisasi. Mereka
menyatakan bahwa kisah, contohnya, tidak dimiliki secara
mirip di antara karyawan: "cerita yang berbeda mengenai
organisasi diceritakan oleh narator yang berbeda pula" (hal.
134). Maksudnya, walaupun teori ini menyatakan bahwa
kisah diceritakan dan diceritakan ulang dan memberikan
kontribusi pada budaya sebuah organisasi, kisah-kisah ini
mungkin tidak akan memiliki makna yang sama bagi semua
orang.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo merupakan dua dari
beberapa peneliti komunikasi yang mempelajari mengenai
kehidupan organisasi dengan melihat baik pada karyawan
dan perilaku mereka. Mungkin melihat budaya organisasi
dengan cara ini akan membuat para peneliti mampu
menghargai pentingnya berhubungan dengan orang dan
performa mereka di tempat kerja.***
DAFTAR PUSTAKA
Adizes, Ichak. 1988. Corporate Lifecycles: How and Why Corporations Grow and Die and What to do About It. New Jersey: Prentice Hall.
Armanu Thoyib. 2004. Strategi Manajemen Konflik Dalam Organisasi Multibudaya, Jurnal Manajemen & Bisnis (JMB), Vol.1, No.1.
Armanu Thoyib. (Eds) 2003. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Formulasi,Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Pembangunan Daerah di Kalimantan Timur, ISBN: 979 – 3506 – 04 – 0. Malang: PPsUB.
————-, Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Kepemimpinan Dan Motivasi Di Era Otonomi Daerah Propensi Kalimantan Timur, ISBN: 979 -3506-05-9. Malang: PPsUB.
————-, Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Pengembangan Sumberdaya Manusia Dan Pemberdayaan Aparatur Negara Di Wilayah Propensi Kalimantan Timur, ISBN: 979 –3506-6-7. Malang: PPsUB.
Baron, R. A., and J. Greenberg. 1990. Behavior in Organization: Understanding and Managing the Human Side of Work, Third Edition. Toronto: Allyn and Bacon.
Brown, A. 1998. Organizational Culture. Singapore: Prentice Hall..
Bakker, J.W.M, 1984, 2006, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius
Pace, R. Wayne, Don F. Faules, Komunikasi Organisasi, terj. Bandung: PT Rosda karya
http://ismailrasulong.wordpress.com/2009/02/12/kepemimpinan-budaya-organisasi/http://cokroaminoto.blogetery.com/2008/06/10/budaya-organisasi-dalam-peningkatan-kinerja/
file:///media/hd2/Working-Directory/Documents/teori