standar internasional penanganan tbc
DESCRIPTION
penanganan TBCTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman untuk
penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang peduli
terhadap tuberkulosis yaitu World Health Organization (WHO), Ducth Tuberculosis
Foundation (KNCV), American Thoracic Society (ATS), International Union Against
Tuberculosis and Lung Diseases (IUTLD), US Center for Diseases Control and
Prevention (CDC) dan Stop TB Partnership.1
Program ISTC ini edisi pertama dikeluarkan pada tahun 2006 dan telah
direvisi kembali 3 tahun setelah yaitu pada tahun 2009. Perubahan ini tidak merubah
prinsip yang dipakai pada edisi sebelumnya, tetapi edisi ke dua ini merupakan
penyempurnaan dari edisi sebelumnya yang berfungsi untuk memudahkan baik untuk
tenaga profesi ataupun masyarakat dalam pendekatan dan penatalaksanaan terhadap
masalah – masalah TB yang ada saat ini.
ISTC telah disepakati oleh IDI dan organisasi profesi yang terkait untuk
diterapkan dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia. Meskipun demikian
mengingat keterbatasan dalam hal sarana, prasarana, dan letak geografis serta belum
meratanya sumber daya manusia (SDM) dan masih terdapatnya penyulit penyakit
selain TB yang mengenai para paien tersebut, maka dalam pelaksanaannya ISTC ini
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada demi kepentingan terbaik
pasien.1,2
Tuberkulois (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia, diperkirakan sepertiga dari penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis.
1
Sekitar 75 % pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis ( 15 – 50 tahun ).1,2 Penyebab utama meningkatnya masalah TB antara lain
adalah :
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti negara – negara yang
kurang berkembang.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh :
- Tidak memadai komitmen politik dan pendanaan.
- Tidak memadainya akses pelayanan TB
- Tidak memadainya tatalaksana kasus.
- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
- Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara – negara yang mengalami
krsis ekonomi dan pergolakan masyarakat.
Perubahan demgrafik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan
Dampak pandemi infeksi HIV
Situasi TB didunia semakin memburuk dan meningkat, menyikapi hal tersebut
pada tahun 1993, World Health Organization ( WHO ) telah merencanakan TB
sebagai Global Emergency.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan
pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.
Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk.2,3
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas Kepanitriaan
Klinik Senior (KKS) di stase Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran
Komunitas di FK UNSRI. Serta makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
2
tentang penerapan “ISTC” sehingga dapat menangani penyakit Tuberkulosis dengan
baik sehingga dapat menekan angka prevalensi serendah mungkin.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Permasalahan
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis.
Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai
organ-organ tertentu. Cara penularan TB paru dapat terjadi secara langsung melalui
percikan dahak yang mengandung kuman TB, terisap oleh orang sehat melalui jalan
napas dan kemudian berkembang biak di paru. Dapat juga terjadi secara tidak
langsung bila dahak yang dibatukkan penderita ke lantai atau tanah kemudian
mengering dan menyatu dengan debu, lalu beterbangan di udara; bila terisap orang
sehat akan dapat menjadi sakit. Berdasarkan cara-cara penularan ini, TB paru juga
dimasukkan dalam golongan airbone disease.4
Tujuan International Standards for Tuberculosis (ISTC) adalah untuk
mendeskripsikan suatu tingkatan pelayanan yang dapat diterima secara luas seperti
dokter, pemerintah, dan pihak swasta dalam mencapai keberhasilan manajemen
pasien tuberculosis atau suspek tuberculosis. Standar tersebut ditujukan untuk
memfasilitasi ikatan pelayan kesehatan untuk menciptakan pelayanan berkualitas
tinggi bagi pasien dari semua usia, BTA sputum negative atau positif, tuberculosis
ekstrapulmonal, dan tuberculosis akibat resisten obat M. tuberculosis, dan komorbid
HIV.1,5,6
Prinsip dasar dari pasien dengan atau suspek tuberculosis adalah sama di
seluruh dunia: diagnosis ditegakkan secara tepat dan akurat; tatalaksana standar
dengan dukungan dan supervise; dan respon terapi harus dimotor; serta harus ada
tanggung jawab dari puskesmas. 1,4,5,6
4
ISTC ditujukan sebagai pelengkap kebijakan control tuberculosis nasional dan
lokal yang konsisten dengan rekomendasi WHO. ISTC bukan dibuat untuk
mengganti pedoman lokal dan ditulis untuk mengakomodasi perbedaan lokal dalam
pelaksanaannya. Fokus ISTC dalam kontribusi pelayanan klinik pasien dengan atau
suspek tuberculosis membuat control tuberculosis berbasis populasi. Pendekatan yang
seimbang bermanfaat dalam mengurangi beban morbiditas dan beban ekonomi akibat
tuberculosis. 1,3,4
ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari standar diagnosis (standar 1-6),
standar terapi / pengobatan (standar 7-13), standar Penanganan TB dengan infeksi
HIV dan kondisi komorbid lain (standar 14-17), dan standar kesehatan masyarakat
(standard 18-21).1,5
2.2 Standar Diagnosis
Tidak semua pasien dengan gejala pernapasan mendapatkan evaluasi yang
cukup memadai untuk penyakit tuberkulosis Diagnosis dini dan akurat sangat penting
untuk perawatan dan pengontrolan tuberkulosis, meskipun pemeriksaan dahak (atau
spesimen lain), mikroskop BTA merupakan tes yang banyak tersedia untuk
menegakan diagnosis mikrobiologi.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kegagalan dalam mengidentifikasi
kasus awal adalah faktor penyulit utama dalam upaya untuk mengendalikan penyakit.
Kegagalan untuk diagnosis awal pada penderita tuberkulosis ini yang sering
mengakibatkan besarnya peningkatan penularan Mycobacterium tuberculosa ke
anggota keluarga dan orang lain dalam masyarakat,.7,8
Adapun standar untuk mendiagnosis TB adalah sebagai berikut :
Standar 1
Semua orang dengan batuk produktif yang berlangsung selama 2 – 3 minggu
atau lebih,yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Pasien batuk dengan durasi 2 - 3 minggu berfungsi sebagai kriteria untuk
menentukan tersangka tuberkulosis dan digunakan dalam pedoman internasional dan
5
nasional, terutama di daerah yang sedang sampai prevalensi tinggi tuberkulosis
sebagai indikasi untuk memulai evaluasi penyakit tuberkulosis.
Meskipun kebanyakan pasien dengan TB paru batuk, gejala tersebut tidak
spesifik untuk TB, melainkan dapat terjadi dalam berbagai kondisi pernapasan,
termasuk akut Infeksi saluran pernapasan, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis. 1,9,10,11
Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak-anak yang mampu menghasilkan
dahak) diduga menderita tuberkulosis paru, harus menjalani pemeriksaan dahak
minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium kualitas yang terjamin.Jika mungkin,
paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Kegagalan untuk melakukan evaluasi diagnosis yang tepat, sebelum memulai
pengobatan untuk TB berpotensi mengekspos risiko pasien untuk mendapatkan
pengobatan yang tidak bermanfaat. Maka dari itu diperlukan pemeriksaan dahak pada
pasien untuk menegakan diagnosis TB agar tidak terjadi kesalahan dalam terapi
pasien.1,12
Standar 3
Untuk semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita TB
ekstra paru, spesimen dari bagin tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk
pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi.
Pada kasus TB ekstra paru seperti pleuritis TB, limfadenitis TB, meningitis
TB dan lainnya diperlukan pengambilan spesimen walaupun sulit dalam
pengambilannya tetap harus dilakukan untuk pemeriksaan bakteri Mycobacterium
tuberculosa.1,13
Standar 4
Semua orang dengan temuan foto thorak diduga tuberkulosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
Foto thorak merupakan tes yang sensitif tetapi tidak spesifik untuk mendeteksi
tuberkulosis. Sehingga foto thorak tidak dapat berdiri sendiri untuk menegakan
6
diagnosti. Jadi diperlukan pemeriksaan dahak kembali untuk menegakan diagnostik
TB. Tetapi foto thoraks berguna untuk mengevaluasi orang yang dicuragai dengan
gejala TB tapi sediaan apus dahak negatif.1,14 (lihat pada standar 5)
Standar 5
Diagnosis TB paru dengan sediaan apus dahak negatif harus didasarkan
kriteria berikut : minimal 2 kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif (termasuk
minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto thoraks sesuai TB; tidak ada respons
terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena
aktif terhadap M.tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat
pada penderita TB). Untuk pasien ini biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang
sakit berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV, evaluasi diagnosis harus
disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukund ke arah TB, pengobatan TB
harus dimulai.1
Standar 6
Pada semua anak yang diduga menderita TB intrathoraks (yakni paru, pleura,
dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis harus
dilakukan dengan pemeriksan dahak (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau
induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan. Jika hasil bakteriologis
negatif, diagnosis TB harus didasar kan pada kelaianan radiografi thoraks sesuai TB,
pajanan kepada kasus TB yang menular, bukti infeksi TB (uji tuberkulin positif atau
interferon gamma release assay) dan temuan klinis yang mendukund ke arah TB.
Untuk anak yang diduga menderita TB ekstra paru, spesimen dari lokasi yang
dicuriga harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan
histopatologis.
Diagnosis TB pada anak bergantung pada penilaian cermat dan seksama
terhadap semua bukti yang berasal dari riwayat medis, klinis pemeriksaan, uji
tuberkulin (atau hasil dari gamma interferonrilis assay), radiografi dada, dan evaluasi
mikrobiologi.1,15
7
2.3 Standar Untuk Pengobatan
Pengobatan untuk penderita tuberkulosis tidak hanya menjadi masalah
individu kesehatan, tapi juga merupakan masalah publik kesehatan. Jadi, semua
penyedia pelayanan, publik dan swasta, yang melakukan terapi / pengobatan pada
pasien TB, harus memiliki pengetahuan untuk meresepkan standar pengobatan dan
sarana untuk menilai kepatuhan dan ketidakpatuhan pasien untuk memastikan
pengobatannya selesai.
Adapun standar untuk pengobatan TB adalah sebagai berikut :
Standar 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung
jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih
lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi
tidak hanya memberikan paduan obat yang tepat, tetapi juga memanfaatkan
pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lainnya, jika memungkinkan, untuk
menilai kepatuhan pasien dan untuk mengatasi ketidakpatuhan bila terjadi.
Pengobatan penderita TB bukan hanya maslah penyakit individu, jadi semua
penyedia pelayanan, publik dan swasta, yang melakukan terapi / pengobatan pada
pasien TB, harus memiliki pengetahuan untuk meresepkan standar pengobatan dan
sarana untuk menilai kepatuhan dan ketidakpatuhan pasien untuk memastikan
pengobatannya selesai.1,10
Standar 8
Semua pasien (termasuk mereka dengan infeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan
obat bioavailabilitas telah diketahui. Fase inisial harus terdiri dari 2 bulan isoniazid
(INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA), dan etambutol (EMB). Fase lanjutan
harus terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan. Dosis obat
antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.
Kombinasi dosis tetap (FDC) yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan
8
rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dan 4 obat (isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) obat sangat direkomendasikan.1,16
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu
pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara
kesehatan,seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan
harusnya berbasis individu dan harus memanfaatkan bermacam – macam intervensi
yang direkomendasikan dan layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling
dan penyuluhan pasien. Element utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien
adalah penggunaan cara – cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap
panduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara – cara ini seharusnya
dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien
dan penyelenggara pelayanan. Cara – cara ini dapat mencakup pengawasan langsung
menelan obat (directly obsreved therapy-DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi
pengawas dan penelan obat (untuk TB dan,jika memungkinkan, untuk HIV) yang
dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan system kesehatan. Insetif dan dukungan,
termasuk dukungan keuangan untuk kepatuhan.
Pendekatan yang dijelaskan dalam standar ini dirancang untuk mendorong dan
memfasilitasi kemitraan positif antara penyedia dan pasien, bekerja sama untuk
meningkatkan kepatuhan. Kepatuhan terhadap pengobatan adalah faktor penting
dalam menentukan keberhasilan pengobatan.1,16,17
Standar 10
Respon terhadap terapi pada pasien TB paru harus dimonitor dengan
pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) waktu fase inisial berakhir (2
bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa lagi
setelah 3 bulan dan, jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan
rifampisin harus dilakukan. Pada pasien Tb ekstra paru dan pada anak, penilaian
respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.
9
Pemantauan pasien dan pengawasan pengobatan adalah dua fungsi yang
terpisah. Pemantauan pasien digunakan untuk mengevaluasi respon terapi terhadap
penyakit serta untuk mengetahui apakah ada efek samping obat yang mengganggu.
Dan untuk menilai respon pengobatan terhadap TB paru, metode yang paling cepat
adalah dengan pemeriksaan dahak mikroskopik, di mana kualitas laboratorium telah
terjamin.
Selain dari itu penilaian radiografi, dan klinis pun dapat digunakan untuk
engetahui respon obat meskipun digunakan umumnya, telah terbukti dapat diandalkan
untuk mengevaluasi respon pengobatan terhadap TB paru. Sedangkan pasien dengan
TB ekstra paru dan pada anak-anak, evaluasi klinis mungkin menjadi satu-satunya
tersedia sarana menilai respon terhadap pengobatan.1,14
Standar 11
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi
resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan
pada semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahaknya tetap
positif setelah pengobatan 3 bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat,
atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat.
Untuk pasien dengan kemungkinan resisensi obat, biakan dn uji sensitivitas/resistensi
obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksankan segera
untuk meminimalkan penularan. Cara – cara pengontrolan infeksi yang memadai
seharusnya dilakukan.1
Standar 12
Pasien yang menderita atau kemungkinan menderita TB yang disebabkan
kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat
khusus yang mengandung obat anti TB lini kedua. Paduan obat yang dpilih dapat
distandarisasi tau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah
terbukti. Paling tidk harus digunakan 4 obat yang masih efektif, termasuk obat suntik,
harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara – cara yang
10
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam
pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan.
Standar 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis,
dan efek samping seharusnya disimpan untuk pasien.
Rekam medik pasien adalah hal yang penting, karena untuk memberikan
informasi pengobatan jika pasien berpindah tempat, mengetahui riwayat pengobatan
pasien (seperti MDR/XDR) dan efek samping obat yang diderita pasien.1,18
2.4 Standar Penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi Komorbid lain
Pada pasien dengan infeksi HIV dapat meningkatkan kemungkinan terkena
tuberkulosis yang dapat terlihat dari manifestasi klinis yang ada.
Beberapa standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid yaitu :
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien TB yang
menderita atau diduga menderita TB. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari
manajemen rutin bagi semua pasien didaerah dengan prevalensi infeksi HIV yang
tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang
berhubungan dengan HIV dan pasien dengan riwayat resiko tinggi terpajan HIV.
Karena terdapat hubungan yang erat antara TB dan infeksi HIV, pada daerah dengan
prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk
pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.1
Standar 15
Semua pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
mentukan perlu/tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan TB.
Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral seharusnya dibuat untuk
pasien yank memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB
11
tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol
sebagi pencegahan infeksi lain.1
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi laten dengan isoiazid selama 6
– 9 bulan.
Menurut data terbaru pasien dengan HIV infeksi tanpa terdapat TB aktif
diberikan isoniazid dapat menurunkan resiko tuberculosis hingga 30%. Dan dalam
pemberian isoniazid ini harus benar – benar dipastikan bahwa pasien bukan penderita
TB aktif, karena bisa salah satu factor pemicu terjadinya resistensi obat.1,15
Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilainan yang
menyeluruh terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil
pengobatan TB. Saatn rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara
kesehatan harus mengidentifikasi layanan – layanan tambahan yang dapat
mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan –
layanan ini pada penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada
penyakit – penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes melitus,
program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau layanan –
layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.1
2.5 Standar untuk Kesehatan Masyarakat
Ketidakmampuan untuk melakukan diagnosis dan terapi TB secara tepat dapat
menyebabkan tingginya kasus TB yang ada, terutama pada anak – anak, sebab itu
diperlukan evaluasi tehadap masyarakat.
Berikut ini adalah standar untuk pelayanan kesehatan :
Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya memastikan
bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien TB menular
12
seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecenderungan bahwa
kontak :1) menderita yang tidak terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita TB jika
terinfeksi; 3) berisiko menderita TB berat jika penyakit berkembang; dan 4) berisiko
inggi terinfeksi oleh pasien.
Prioritas tertinggi evaluas kontak adalah :
Orang yang dengan gejala mendukung ke arah TB.
Anak berusia <5 tahun.
Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya
infeksi HIV.
Kontak dengan pasien MDR/XDR
Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah.1
Standar 19
Anak berusia <5 tahun dan orang dari semua usia dengan infeksi HIV yang
memiliki kontak erat dengan pasien dan setelah divaluasi dengan seksama, tidak
menderita TB aktif, harus diobati sebagai infeksi laten TB dengan isoniazid.
Anak kecil <5 tahun dan penderita HIV merupakan kelompok yang rentan
terinfeksi TB oleh sebab itu perlu dilakukan evaluasi terhadap mereka jika memiliki
kontak erat dengan penderita TB.1
Standar 20
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien menderita atau
diduga menderita TB harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengontrolan
infeksi TB yang memadai.1
Pengendalian infeksi untuk TB terdiri dari kegiatan manajerial meurut
tingkatan fasilitanya. Urutan dari ketiga kategori tindakan pengendalian termasuk:
Administrasi kontrol (paling penting),
Kontrol lingkungan
Penggunaan respirator (masker khusus dirancang untuk melindungi
pemakainya).
13
Standar 21
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus TB baru
maupun kasus pengobata ulang serta hasil pengobatannya ke kantor Dinas Kesehatan
setempat dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.1
14
BAB III
SIMPULAN
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman untuk
penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang peduli
terhadap tuberculosis, yang berfungsi untuk menjelaskan ke semua kalangan baik
praktisi, pemerintah dan swasta, dalam penanganan dan perawatan tuberkulosis serta
memfasilitasi hubungan kerjasama yang efektif antar provider dalam memberikan
pelayanan bermutu tinggi kepada pasien TB :
Semua usia
BTA positif atau negatif
Ekstra paru
MDR/XDR
Ko – infeksi TB – HIV
ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari :
Standar diagnosis (standar 1-6)
Standar terapi / pengobatan (standar 7-13)
Standar Penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain
(standar 14-17)
Standar kesehatan masyarakat (standard 18-21)
15
DAFTAR PUSTAKA
1. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC), Eds 2, 20092. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia 2011.
Jakarta, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia , 2011.3. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Parofisiologi Konsep Klis Prose –
Proses Penyakit Eds 6. Jakarta, EGC, 2005 : Vol 2 852 – 8624. Hopewell PC, Pai M. Tubeculosis, vulnerbility, and access to quality care.
JAMA 2005;293(22):2790-3.5. Hopewell PC, Pai M, Maher D, Uplekar M, Raviglione MC. International
Standard for Tuberculosis Care. Lancet Infect Dis 2006;6(11):710-256. Storla DG, Yimer S, Bjune GA. A systematic review of delay in the diagnosis
and treatment of tuberculosis. BMC Public Health 2008;8:157. Centers for Disease Control and Prevention. Updated Guidelines for the Use
of Nucleic Acid Amplification Test in the Diagnosis of Tuberculosis. MMWR 2009(58):7-10.
8. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: guidelines. 4th ed. Geneva: World Health Organization, 2009. WHO/HTM/TB/2009.420.
9. Enarson DA, Rieder HL, Arnodottir T, Trebucq A. Management of Tuberculosis. A guide for low income countries. 5th edition. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2000.
10. World Health Organization. Toman’s tuberculosis: Case detection, treatment, and monitoring. 2nd ed. Geneva: World Health Organization, 2004.WHO/HTM/TB/2004.334
11. Harries A. What is the additional yield from repeated sputum examination by microscopy and culture? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004.
12. Mtei L, Matee M, Herfort O, et al. Hight rates of clinical and subclinical tuberculosis among HIV – infected ambulatory subjects in tanzani. Clin Infect Dis 2005;40(10) : 1500-7
13. Koppaka R, Bock N. How relieable is chest radography? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd. Geeva: World Health Organization, 2004: 51 – 60.
14. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis progammes on the management of tuberculosis in children. Geneva: WHO, 2006. WHO/HTM/TB/2006.371.
15. Amirican Thoracic society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Disease Society of America. Treatment of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2003;167(4):603-62
16
16. World Health Organization . Adherence to long term therapies: Evidence for action. Geneva: World Health Organization, 2003. WHO/MNC/03.01.
17. Santha T. How can the progree of treatment be monitored? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 250-252.
18. Maher D, Raviglione MC. Why is a recording and reporting system needed, and what system is recommended? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring , 2nd Edition. Geneva: World Health Organiztion, 2004:270-273
17