standar internasional penanganan tbc

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman untuk penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang peduli terhadap tuberkulosis yaitu World Health Organization (WHO), Ducth Tuberculosis Foundation (KNCV), American Thoracic Society (ATS), International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUTLD), US Center for Diseases Control and Prevention (CDC) dan Stop TB Partnership. 1 Program ISTC ini edisi pertama dikeluarkan pada tahun 2006 dan telah direvisi kembali 3 tahun setelah yaitu pada tahun 2009. Perubahan ini tidak merubah prinsip yang dipakai pada edisi sebelumnya, tetapi edisi ke dua ini merupakan penyempurnaan dari edisi sebelumnya yang berfungsi untuk memudahkan baik untuk tenaga profesi ataupun masyarakat dalam pendekatan dan penatalaksanaan terhadap masalah – masalah TB yang ada saat ini. ISTC telah disepakati oleh IDI dan organisasi profesi yang terkait untuk diterapkan dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia. Meskipun demikian mengingat 1

Upload: intansari25

Post on 01-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

penanganan TBC

TRANSCRIPT

Page 1: Standar Internasional Penanganan TBC

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman untuk

penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang peduli

terhadap tuberkulosis yaitu World Health Organization (WHO), Ducth Tuberculosis

Foundation (KNCV), American Thoracic Society (ATS), International Union Against

Tuberculosis and Lung Diseases (IUTLD), US Center for Diseases Control and

Prevention (CDC) dan Stop TB Partnership.1

Program ISTC ini edisi pertama dikeluarkan pada tahun 2006 dan telah

direvisi kembali 3 tahun setelah yaitu pada tahun 2009. Perubahan ini tidak merubah

prinsip yang dipakai pada edisi sebelumnya, tetapi edisi ke dua ini merupakan

penyempurnaan dari edisi sebelumnya yang berfungsi untuk memudahkan baik untuk

tenaga profesi ataupun masyarakat dalam pendekatan dan penatalaksanaan terhadap

masalah – masalah TB yang ada saat ini.

ISTC telah disepakati oleh IDI dan organisasi profesi yang terkait untuk

diterapkan dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia. Meskipun demikian

mengingat keterbatasan dalam hal sarana, prasarana, dan letak geografis serta belum

meratanya sumber daya manusia (SDM) dan masih terdapatnya penyulit penyakit

selain TB yang mengenai para paien tersebut, maka dalam pelaksanaannya ISTC ini

dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada demi kepentingan terbaik

pasien.1,2

Tuberkulois (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

dunia, diperkirakan sepertiga dari penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis.

1

Page 2: Standar Internasional Penanganan TBC

Sekitar 75 % pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara

ekonomis ( 15 – 50 tahun ).1,2 Penyebab utama meningkatnya masalah TB antara lain

adalah :

Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti negara – negara yang

kurang berkembang.

Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh :

- Tidak memadai komitmen politik dan pendanaan.

- Tidak memadainya akses pelayanan TB

- Tidak memadainya tatalaksana kasus.

- Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

- Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara – negara yang mengalami

krsis ekonomi dan pergolakan masyarakat.

Perubahan demgrafik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan

struktur umur kependudukan

Dampak pandemi infeksi HIV

Situasi TB didunia semakin memburuk dan meningkat, menyikapi hal tersebut

pada tahun 1993, World Health Organization ( WHO ) telah merencanakan TB

sebagai Global Emergency.

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah

pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina

dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan

pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang.

Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk.2,3

1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas Kepanitriaan

Klinik Senior (KKS) di stase Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran

Komunitas di FK UNSRI. Serta makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan

2

Page 3: Standar Internasional Penanganan TBC

tentang penerapan “ISTC” sehingga dapat menangani penyakit Tuberkulosis dengan

baik sehingga dapat menekan angka prevalensi serendah mungkin.

3

Page 4: Standar Internasional Penanganan TBC

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Permasalahan

Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, khas ditandai dengan terjadinya pembentukan granuloma dan nekrosis.

Infeksi ini paling sering mengenai paru, akan tetapi dapat juga meluas mengenai

organ-organ tertentu. Cara penularan TB paru dapat terjadi secara langsung melalui

percikan dahak yang mengandung kuman TB, terisap oleh orang sehat melalui jalan

napas dan kemudian berkembang biak di paru. Dapat juga terjadi secara tidak

langsung bila dahak yang dibatukkan penderita ke lantai atau tanah kemudian

mengering dan menyatu dengan debu, lalu beterbangan di udara; bila terisap orang

sehat akan dapat menjadi sakit. Berdasarkan cara-cara penularan ini, TB paru juga

dimasukkan dalam golongan airbone disease.4

Tujuan International Standards for Tuberculosis (ISTC) adalah untuk

mendeskripsikan suatu tingkatan pelayanan yang dapat diterima secara luas seperti

dokter, pemerintah, dan pihak swasta dalam mencapai keberhasilan manajemen

pasien tuberculosis atau suspek tuberculosis. Standar tersebut ditujukan untuk

memfasilitasi ikatan pelayan kesehatan untuk menciptakan pelayanan berkualitas

tinggi bagi pasien dari semua usia, BTA sputum negative atau positif, tuberculosis

ekstrapulmonal, dan tuberculosis akibat resisten obat M. tuberculosis, dan komorbid

HIV.1,5,6

Prinsip dasar dari pasien dengan atau suspek tuberculosis adalah sama di

seluruh dunia: diagnosis ditegakkan secara tepat dan akurat; tatalaksana standar

dengan dukungan dan supervise; dan respon terapi harus dimotor; serta harus ada

tanggung jawab dari puskesmas. 1,4,5,6

4

Page 5: Standar Internasional Penanganan TBC

ISTC ditujukan sebagai pelengkap kebijakan control tuberculosis nasional dan

lokal yang konsisten dengan rekomendasi WHO. ISTC bukan dibuat untuk

mengganti pedoman lokal dan ditulis untuk mengakomodasi perbedaan lokal dalam

pelaksanaannya. Fokus ISTC dalam kontribusi pelayanan klinik pasien dengan atau

suspek tuberculosis membuat control tuberculosis berbasis populasi. Pendekatan yang

seimbang bermanfaat dalam mengurangi beban morbiditas dan beban ekonomi akibat

tuberculosis. 1,3,4

ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari standar diagnosis (standar 1-6),

standar terapi / pengobatan (standar 7-13), standar Penanganan TB dengan infeksi

HIV dan kondisi komorbid lain (standar 14-17), dan standar kesehatan masyarakat

(standard 18-21).1,5

2.2 Standar Diagnosis

Tidak semua pasien dengan gejala pernapasan mendapatkan evaluasi yang

cukup memadai untuk penyakit tuberkulosis Diagnosis dini dan akurat sangat penting

untuk perawatan dan pengontrolan tuberkulosis, meskipun pemeriksaan dahak (atau

spesimen lain), mikroskop BTA merupakan tes yang banyak tersedia untuk

menegakan diagnosis mikrobiologi.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa kegagalan dalam mengidentifikasi

kasus awal adalah faktor penyulit utama dalam upaya untuk mengendalikan penyakit.

Kegagalan untuk diagnosis awal pada penderita tuberkulosis ini yang sering

mengakibatkan besarnya peningkatan penularan Mycobacterium tuberculosa ke

anggota keluarga dan orang lain dalam masyarakat,.7,8

Adapun standar untuk mendiagnosis TB adalah sebagai berikut :

Standar 1

Semua orang dengan batuk produktif yang berlangsung selama 2 – 3 minggu

atau lebih,yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

Pasien batuk dengan durasi 2 - 3 minggu berfungsi sebagai kriteria untuk

menentukan tersangka tuberkulosis dan digunakan dalam pedoman internasional dan

5

Page 6: Standar Internasional Penanganan TBC

nasional, terutama di daerah yang sedang sampai prevalensi tinggi tuberkulosis

sebagai indikasi untuk memulai evaluasi penyakit tuberkulosis.

Meskipun kebanyakan pasien dengan TB paru batuk, gejala tersebut tidak

spesifik untuk TB, melainkan dapat terjadi dalam berbagai kondisi pernapasan,

termasuk akut Infeksi saluran pernapasan, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis. 1,9,10,11

Standar 2

Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak-anak yang mampu menghasilkan

dahak) diduga menderita tuberkulosis paru, harus menjalani pemeriksaan dahak

minimal 2 kali yang diperiksa di laboratorium kualitas yang terjamin.Jika mungkin,

paling tidak satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Kegagalan untuk melakukan evaluasi diagnosis yang tepat, sebelum memulai

pengobatan untuk TB berpotensi mengekspos risiko pasien untuk mendapatkan

pengobatan yang tidak bermanfaat. Maka dari itu diperlukan pemeriksaan dahak pada

pasien untuk menegakan diagnosis TB agar tidak terjadi kesalahan dalam terapi

pasien.1,12

Standar 3

Untuk semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita TB

ekstra paru, spesimen dari bagin tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk

pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi.

Pada kasus TB ekstra paru seperti pleuritis TB, limfadenitis TB, meningitis

TB dan lainnya diperlukan pengambilan spesimen walaupun sulit dalam

pengambilannya tetap harus dilakukan untuk pemeriksaan bakteri Mycobacterium

tuberculosa.1,13

Standar 4

Semua orang dengan temuan foto thorak diduga tuberkulosis seharusnya

menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Foto thorak merupakan tes yang sensitif tetapi tidak spesifik untuk mendeteksi

tuberkulosis. Sehingga foto thorak tidak dapat berdiri sendiri untuk menegakan

6

Page 7: Standar Internasional Penanganan TBC

diagnosti. Jadi diperlukan pemeriksaan dahak kembali untuk menegakan diagnostik

TB. Tetapi foto thoraks berguna untuk mengevaluasi orang yang dicuragai dengan

gejala TB tapi sediaan apus dahak negatif.1,14 (lihat pada standar 5)

Standar 5

Diagnosis TB paru dengan sediaan apus dahak negatif harus didasarkan

kriteria berikut : minimal 2 kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif (termasuk

minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto thoraks sesuai TB; tidak ada respons

terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena

aktif terhadap M.tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat

pada penderita TB). Untuk pasien ini biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang

sakit berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV, evaluasi diagnosis harus

disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukund ke arah TB, pengobatan TB

harus dimulai.1

Standar 6

Pada semua anak yang diduga menderita TB intrathoraks (yakni paru, pleura,

dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis harus

dilakukan dengan pemeriksan dahak (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau

induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan. Jika hasil bakteriologis

negatif, diagnosis TB harus didasar kan pada kelaianan radiografi thoraks sesuai TB,

pajanan kepada kasus TB yang menular, bukti infeksi TB (uji tuberkulin positif atau

interferon gamma release assay) dan temuan klinis yang mendukund ke arah TB.

Untuk anak yang diduga menderita TB ekstra paru, spesimen dari lokasi yang

dicuriga harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan

histopatologis.

Diagnosis TB pada anak bergantung pada penilaian cermat dan seksama

terhadap semua bukti yang berasal dari riwayat medis, klinis pemeriksaan, uji

tuberkulin (atau hasil dari gamma interferonrilis assay), radiografi dada, dan evaluasi

mikrobiologi.1,15

7

Page 8: Standar Internasional Penanganan TBC

2.3 Standar Untuk Pengobatan

Pengobatan untuk penderita tuberkulosis tidak hanya menjadi masalah

individu kesehatan, tapi juga merupakan masalah publik kesehatan. Jadi, semua

penyedia pelayanan, publik dan swasta, yang melakukan terapi / pengobatan pada

pasien TB, harus memiliki pengetahuan untuk meresepkan standar pengobatan dan

sarana untuk menilai kepatuhan dan ketidakpatuhan pasien untuk memastikan

pengobatannya selesai.

Adapun standar untuk pengobatan TB adalah sebagai berikut :

Standar 7

Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung

jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih

lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi

tidak hanya memberikan paduan obat yang tepat, tetapi juga memanfaatkan

pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lainnya, jika memungkinkan, untuk

menilai kepatuhan pasien dan untuk mengatasi ketidakpatuhan bila terjadi.

Pengobatan penderita TB bukan hanya maslah penyakit individu, jadi semua

penyedia pelayanan, publik dan swasta, yang melakukan terapi / pengobatan pada

pasien TB, harus memiliki pengetahuan untuk meresepkan standar pengobatan dan

sarana untuk menilai kepatuhan dan ketidakpatuhan pasien untuk memastikan

pengobatannya selesai.1,10

Standar 8

Semua pasien (termasuk mereka dengan infeksi HIV) yang belum pernah

diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan

obat bioavailabilitas telah diketahui. Fase inisial harus terdiri dari 2 bulan isoniazid

(INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA), dan etambutol (EMB). Fase lanjutan

harus terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan. Dosis obat

antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.

Kombinasi dosis tetap (FDC) yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan

8

Page 9: Standar Internasional Penanganan TBC

rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dan 4 obat (isoniazid,

rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) obat sangat direkomendasikan.1,16

Standar 9

Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu

pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan

pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara

kesehatan,seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan

harusnya berbasis individu dan harus memanfaatkan bermacam – macam intervensi

yang direkomendasikan dan layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling

dan penyuluhan pasien. Element utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien

adalah penggunaan cara – cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap

panduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara – cara ini seharusnya

dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien

dan penyelenggara pelayanan. Cara – cara ini dapat mencakup pengawasan langsung

menelan obat (directly obsreved therapy-DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi

pengawas dan penelan obat (untuk TB dan,jika memungkinkan, untuk HIV) yang

dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan system kesehatan. Insetif dan dukungan,

termasuk dukungan keuangan untuk kepatuhan.

Pendekatan yang dijelaskan dalam standar ini dirancang untuk mendorong dan

memfasilitasi kemitraan positif antara penyedia dan pasien, bekerja sama untuk

meningkatkan kepatuhan. Kepatuhan terhadap pengobatan adalah faktor penting

dalam menentukan keberhasilan pengobatan.1,16,17

Standar 10

Respon terhadap terapi pada pasien TB paru harus dimonitor dengan

pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) waktu fase inisial berakhir (2

bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa lagi

setelah 3 bulan dan, jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid dan

rifampisin harus dilakukan. Pada pasien Tb ekstra paru dan pada anak, penilaian

respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.

9

Page 10: Standar Internasional Penanganan TBC

Pemantauan pasien dan pengawasan pengobatan adalah dua fungsi yang

terpisah. Pemantauan pasien digunakan untuk mengevaluasi respon terapi terhadap

penyakit serta untuk mengetahui apakah ada efek samping obat yang mengganggu.

Dan untuk menilai respon pengobatan terhadap TB paru, metode yang paling cepat

adalah dengan pemeriksaan dahak mikroskopik, di mana kualitas laboratorium telah

terjamin.

Selain dari itu penilaian radiografi, dan klinis pun dapat digunakan untuk

engetahui respon obat meskipun digunakan umumnya, telah terbukti dapat diandalkan

untuk mengevaluasi respon pengobatan terhadap TB paru. Sedangkan pasien dengan

TB ekstra paru dan pada anak-anak, evaluasi klinis mungkin menjadi satu-satunya

tersedia sarana menilai respon terhadap pengobatan.1,14

Standar 11

Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan

terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi

resisten obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan

pada semua pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahaknya tetap

positif setelah pengobatan 3 bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat,

atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat.

Untuk pasien dengan kemungkinan resisensi obat, biakan dn uji sensitivitas/resistensi

obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksankan segera

untuk meminimalkan penularan. Cara – cara pengontrolan infeksi yang memadai

seharusnya dilakukan.1

Standar 12

Pasien yang menderita atau kemungkinan menderita TB yang disebabkan

kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat

khusus yang mengandung obat anti TB lini kedua. Paduan obat yang dpilih dapat

distandarisasi tau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah

terbukti. Paling tidk harus digunakan 4 obat yang masih efektif, termasuk obat suntik,

harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara – cara yang

10

Page 11: Standar Internasional Penanganan TBC

berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam

pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan.

Standar 13

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis,

dan efek samping seharusnya disimpan untuk pasien.

Rekam medik pasien adalah hal yang penting, karena untuk memberikan

informasi pengobatan jika pasien berpindah tempat, mengetahui riwayat pengobatan

pasien (seperti MDR/XDR) dan efek samping obat yang diderita pasien.1,18

2.4 Standar Penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi Komorbid lain

Pada pasien dengan infeksi HIV dapat meningkatkan kemungkinan terkena

tuberkulosis yang dapat terlihat dari manifestasi klinis yang ada.

Beberapa standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid yaitu :

Standar 14

Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien TB yang

menderita atau diduga menderita TB. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari

manajemen rutin bagi semua pasien didaerah dengan prevalensi infeksi HIV yang

tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang

berhubungan dengan HIV dan pasien dengan riwayat resiko tinggi terpajan HIV.

Karena terdapat hubungan yang erat antara TB dan infeksi HIV, pada daerah dengan

prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk

pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.1

Standar 15

Semua pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk

mentukan perlu/tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan TB.

Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral seharusnya dibuat untuk

pasien yank memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB

11

Page 12: Standar Internasional Penanganan TBC

tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol

sebagi pencegahan infeksi lain.1

Standar 16

Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama, tidak

menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi laten dengan isoiazid selama 6

– 9 bulan.

Menurut data terbaru pasien dengan HIV infeksi tanpa terdapat TB aktif

diberikan isoniazid dapat menurunkan resiko tuberculosis hingga 30%. Dan dalam

pemberian isoniazid ini harus benar – benar dipastikan bahwa pasien bukan penderita

TB aktif, karena bisa salah satu factor pemicu terjadinya resistensi obat.1,15

Standar 17

Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilainan yang

menyeluruh terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil

pengobatan TB. Saatn rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara

kesehatan harus mengidentifikasi layanan – layanan tambahan yang dapat

mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan –

layanan ini pada penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada

penyakit – penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes melitus,

program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau layanan –

layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.1

2.5 Standar untuk Kesehatan Masyarakat

Ketidakmampuan untuk melakukan diagnosis dan terapi TB secara tepat dapat

menyebabkan tingginya kasus TB yang ada, terutama pada anak – anak, sebab itu

diperlukan evaluasi tehadap masyarakat.

Berikut ini adalah standar untuk pelayanan kesehatan :

Standar 18

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya memastikan

bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien TB menular

12

Page 13: Standar Internasional Penanganan TBC

seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.

Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecenderungan bahwa

kontak :1) menderita yang tidak terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita TB jika

terinfeksi; 3) berisiko menderita TB berat jika penyakit berkembang; dan 4) berisiko

inggi terinfeksi oleh pasien.

Prioritas tertinggi evaluas kontak adalah :

Orang yang dengan gejala mendukung ke arah TB.

Anak berusia <5 tahun.

Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya

infeksi HIV.

Kontak dengan pasien MDR/XDR

Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah.1

Standar 19

Anak berusia <5 tahun dan orang dari semua usia dengan infeksi HIV yang

memiliki kontak erat dengan pasien dan setelah divaluasi dengan seksama, tidak

menderita TB aktif, harus diobati sebagai infeksi laten TB dengan isoniazid.

Anak kecil <5 tahun dan penderita HIV merupakan kelompok yang rentan

terinfeksi TB oleh sebab itu perlu dilakukan evaluasi terhadap mereka jika memiliki

kontak erat dengan penderita TB.1

Standar 20

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien menderita atau

diduga menderita TB harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengontrolan

infeksi TB yang memadai.1

Pengendalian infeksi untuk TB terdiri dari kegiatan manajerial meurut

tingkatan fasilitanya. Urutan dari ketiga kategori tindakan pengendalian termasuk:

Administrasi kontrol (paling penting),

Kontrol lingkungan

Penggunaan respirator (masker khusus dirancang untuk melindungi

pemakainya).

13

Page 14: Standar Internasional Penanganan TBC

Standar 21

Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus TB baru

maupun kasus pengobata ulang serta hasil pengobatannya ke kantor Dinas Kesehatan

setempat dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.1

14

Page 15: Standar Internasional Penanganan TBC

BAB III

SIMPULAN

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman untuk

penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang peduli

terhadap tuberculosis, yang berfungsi untuk menjelaskan ke semua kalangan baik

praktisi, pemerintah dan swasta, dalam penanganan dan perawatan tuberkulosis serta

memfasilitasi hubungan kerjasama yang efektif antar provider dalam memberikan

pelayanan bermutu tinggi kepada pasien TB :

Semua usia

BTA positif atau negatif

Ekstra paru

MDR/XDR

Ko – infeksi TB – HIV

ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari :

Standar diagnosis (standar 1-6)

Standar terapi / pengobatan (standar 7-13)

Standar Penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain

(standar 14-17)

Standar kesehatan masyarakat (standard 18-21)

15

Page 16: Standar Internasional Penanganan TBC

DAFTAR PUSTAKA

1. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC), Eds 2, 20092. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia 2011.

Jakarta, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia , 2011.3. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Parofisiologi Konsep Klis Prose –

Proses Penyakit Eds 6. Jakarta, EGC, 2005 : Vol 2 852 – 8624. Hopewell PC, Pai M. Tubeculosis, vulnerbility, and access to quality care.

JAMA 2005;293(22):2790-3.5. Hopewell PC, Pai M, Maher D, Uplekar M, Raviglione MC. International

Standard for Tuberculosis Care. Lancet Infect Dis 2006;6(11):710-256. Storla DG, Yimer S, Bjune GA. A systematic review of delay in the diagnosis

and treatment of tuberculosis. BMC Public Health 2008;8:157. Centers for Disease Control and Prevention. Updated Guidelines for the Use

of Nucleic Acid Amplification Test in the Diagnosis of Tuberculosis. MMWR 2009(58):7-10.

8. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: guidelines. 4th ed. Geneva: World Health Organization, 2009. WHO/HTM/TB/2009.420.

9. Enarson DA, Rieder HL, Arnodottir T, Trebucq A. Management of Tuberculosis. A guide for low income countries. 5th edition. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2000.

10. World Health Organization. Toman’s tuberculosis: Case detection, treatment, and monitoring. 2nd ed. Geneva: World Health Organization, 2004.WHO/HTM/TB/2004.334

11. Harries A. What is the additional yield from repeated sputum examination by microscopy and culture? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004.

12. Mtei L, Matee M, Herfort O, et al. Hight rates of clinical and subclinical tuberculosis among HIV – infected ambulatory subjects in tanzani. Clin Infect Dis 2005;40(10) : 1500-7

13. Koppaka R, Bock N. How relieable is chest radography? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd. Geeva: World Health Organization, 2004: 51 – 60.

14. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis progammes on the management of tuberculosis in children. Geneva: WHO, 2006. WHO/HTM/TB/2006.371.

15. Amirican Thoracic society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Disease Society of America. Treatment of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2003;167(4):603-62

16

Page 17: Standar Internasional Penanganan TBC

16. World Health Organization . Adherence to long term therapies: Evidence for action. Geneva: World Health Organization, 2003. WHO/MNC/03.01.

17. Santha T. How can the progree of treatment be monitored? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 250-252.

18. Maher D, Raviglione MC. Why is a recording and reporting system needed, and what system is recommended? In: Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring , 2nd Edition. Geneva: World Health Organiztion, 2004:270-273

17