spacial economic model of sustainability scuba diving

15
ECSOFiM: Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59 e-ISSN: 2528-5939 Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.ecsofim.2021.009.01.04 45 Cite this as: Solihin, L et al. (2021). Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area, Indonesia. ECSOFiM: Economic and Social of Fisheries and Marine Journal. 09(01): 45-59. Available online at http://ecsofim.ub.ac.id/ SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING TOURISM AT GILI MATRA CONSERVATION AREA, INDONESIA MODEL SPASIAL EKONOMI WISATA SELAM BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI GILI MATRA, INDONESIA Lalu Solihin *1,5) , Tiridoyo Kusumastanto 2,4) , Akhmad Fauzi 2) , and Fredinan Yulianda 3) 1) Graduate Program in Tropical Ocean Economics, IPB University, Bogor, Indonesia 2) Department of Environmental Resource Economic, Faculty of Economic and Management, IPB University, Bogor, Indonesia 3) Department of Aquatic Resorce Management, Faculty of Fisheries and Marine Science, IPB University, Bogor, Indonesia 4) Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB University, Bogor, Indonesia 5) Graduate Program in Universitas Nusa Bangsa, Bogor, Indonesia Received: January 25, 2021 / Accepted: October 28, 2021 ABSTRACT The development of the marine tourism sector in conservation areas creates a dilemma in its management. When economic interests are prioritized, it will have a negative impact on ecological aspects, so it is necessary to have a balance between environmental conservation activities and tourist activities. Therefore, the purpose of this study is to design a sustainable tourist allocation management model in conservation areas and the optimal economic value of each dive tourism site. The results of the analysis of the carrying capacity of the area per dive location point are then analyzed using dynamic models to predict the growth in tourism demand and supply, so that the economic value of each dive tourism site can be known. The results of the analysis show that not all conservation areas are suitable for diving tourism sites and appropriate locations have varying carrying capacities, depending on the area of the area. The number of offers from each dive tourism location some are more than the capacity and some are still below the capacity, so that in order to achieve sustainable diving tourism management, the allocation of requests is carried out proportionally and does not exceed the level of the area's carrying capacity (supply). Keyword: carrying capacity, scuba diving, spatial economic model. ABSTRAK Perkembangan sektor pariwisata bahari di Kawasan konservasi menimbulkan dilema dalam pengelolaannya. Ketika kepentingan ekonomi yang diutamakan, maka akan berdampak negatif terhadap aspek ekologi, sehingga perlu keseimbangan antara kegiatan menjaga kelestarian lingkungan dengan aktivitas wisatawan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendisain model pengelolaan alokasi wisatawan selam di dalam kawasan konservasi yang berkelanjutan dan besaran nilai ekonomi optimal dari masing-masing titik lokasi wisata selam. Hasil analisis daya dukung kawasan per titik lokasi penyelaman kemudian dianalisis dengan menggunakan model dinamik untuk memprediksi pertumbuhan permintaan dan penawaran wisata, sehingga dapat diketahui nilai ekonomi dari masing-masing titik lokasi wisata selam. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua kawasan konservasi layak dijadikan lokasi wisata selam dan lokasi yang layak pun memiliki daya dukung yang beragam, tergantung dari luas kawasan. Jumlah penawaran dari masing-masing lokasi wisata selam ada yang melebihi kapasitas dan ada yang masih di bawah kapasitas, sehingga untuk mencapai pengelolaan wisata selam yang berkelanjutan, alokasi permintaan dilakukan secara proporsional dan tidak melebihi tingkat daya dukung kawasan (penawaran). Kata kunci: daya dukung, wisata selam, model ekonomi spasial. * Corresponding author: Lalu Solihin, [email protected] Graduate Program in Tropical Ocean Economics, IPB University, Bogor, Indonesia Graduate Program in Universitas Nusa Bangsa, Bogor - Indonesia

Upload: others

Post on 14-May-2022

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

ECSOFiM: Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59 e-ISSN: 2528-5939 Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.ecsofim.2021.009.01.04

45 Cite this as: Solihin, L et al. (2021). Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area, Indonesia. ECSOFiM: Economic and Social of Fisheries and Marine Journal. 09(01): 45-59. Available online at http://ecsofim.ub.ac.id/

SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING TOURISM AT GILI MATRA CONSERVATION AREA, INDONESIA

MODEL SPASIAL EKONOMI WISATA SELAM BERKELANJUTAN DI KAWASAN

KONSERVASI GILI MATRA, INDONESIA

Lalu Solihin*1,5), Tiridoyo Kusumastanto2,4), Akhmad Fauzi2), and Fredinan Yulianda3)

1) Graduate Program in Tropical Ocean Economics, IPB University, Bogor, Indonesia

2) Department of Environmental Resource Economic, Faculty of Economic and Management, IPB University, Bogor, Indonesia 3) Department of Aquatic Resorce Management, Faculty of Fisheries and Marine Science, IPB University, Bogor, Indonesia

4) Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB University, Bogor, Indonesia 5) Graduate Program in Universitas Nusa Bangsa, Bogor, Indonesia

Received: January 25, 2021 / Accepted: October 28, 2021

ABSTRACT

The development of the marine tourism sector in conservation areas creates a dilemma in its management. When economic interests are prioritized, it will have a negative impact on ecological aspects, so it is necessary to have a balance between environmental conservation activities and tourist activities. Therefore, the purpose of this study is to design a sustainable tourist allocation management model in conservation areas and the optimal economic value of each dive tourism site. The results of the analysis of the carrying capacity of the area per dive location point are then analyzed using dynamic models to predict the growth in tourism demand and supply, so that the economic value of each dive tourism site can be known. The results of the analysis show that not all conservation areas are suitable for diving tourism sites and appropriate locations have varying carrying capacities, depending on the area of the area. The number of offers from each dive tourism location some are more than the capacity and some are still below the capacity, so that in order to achieve sustainable diving tourism management, the allocation of requests is carried out proportionally and does not exceed the level of the area's carrying capacity (supply). Keyword: carrying capacity, scuba diving, spatial economic model.

ABSTRAK

Perkembangan sektor pariwisata bahari di Kawasan konservasi menimbulkan dilema dalam pengelolaannya. Ketika kepentingan ekonomi yang diutamakan, maka akan berdampak negatif terhadap aspek ekologi, sehingga perlu keseimbangan antara kegiatan menjaga kelestarian lingkungan dengan aktivitas wisatawan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendisain model pengelolaan alokasi wisatawan selam di dalam kawasan konservasi yang berkelanjutan dan besaran nilai ekonomi optimal dari masing-masing titik lokasi wisata selam. Hasil analisis daya dukung kawasan per titik lokasi penyelaman kemudian dianalisis dengan menggunakan model dinamik untuk memprediksi pertumbuhan permintaan dan penawaran wisata, sehingga dapat diketahui nilai ekonomi dari masing-masing titik lokasi wisata selam. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua kawasan konservasi layak dijadikan lokasi wisata selam dan lokasi yang layak pun memiliki daya dukung yang beragam, tergantung dari luas kawasan. Jumlah penawaran dari masing-masing lokasi wisata selam ada yang melebihi kapasitas dan ada yang masih di bawah kapasitas, sehingga untuk mencapai pengelolaan wisata selam yang berkelanjutan, alokasi permintaan dilakukan secara proporsional dan tidak melebihi tingkat daya dukung kawasan (penawaran). Kata kunci: daya dukung, wisata selam, model ekonomi spasial.

* Corresponding author: Lalu Solihin, [email protected]

Graduate Program in Tropical Ocean Economics, IPB University, Bogor, Indonesia Graduate Program in Universitas Nusa Bangsa, Bogor - Indonesia

Page 2: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

46 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak kawasan pesisir dan lautan yang

memiliki potensi wisata bahari, khususnya wisata selam. Sektor ini menyediakan sumber pekerjaan

dan pendapatan yang penting bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir dan pedesaan, sehingga

diperkirakan sekitar 14 hingga 16 juta orang Indonesia secara langsung dipekerjakan dalam

kegiatan terkait pesisir dan laut (Hanson et al., 2003). Dari sisi efisiensi, sektor pariwisata merupakan

sektor yang paling efisien dalam bidang kelautan yang ditunjukkan dengan nilai Incremental Capital

Output Ratio (ICOR) sebesar 3,10 (Kusumastanto, 2003), artinya setiap tambahan 1 input akan

menghasilkan 3 output. Oleh karena itu, industri pariwisata bahari merupakan kontributor utama bagi

perekonomian Australia, dengan perkiraan kontribusi tahunan lebih dari $1,5 milyar (Harriott et al.,

2003). Sebagai salah satu contoh adalah ekonomi wisata selam di Gili Indah yang melakukan

simulasi perhitungan nilai dengan hasil potensi nilai ekonomi yang optimal, yaitu sebesar Rp 12,7

milyar/hari (Yulianda et al., 2018). Di tempat lain seperti di Taiwan melakukan artifisial terumbu

karang buatan sebagai tempat ikan berkembang biak. Dari terumbu karang buatan ini dapat

diperoleh nilai ekonomi dari kegiatan wisata sebesar US$52 milyar/tahun dari wisata selam dan

US$37 milyar/tahun dari kegiatan wisata memancing (Chen et al., 2013).

Kegiatan wisata selam tidak hanya dapat dilakukan di perairan umum, tetapi juga dapat

dilakukan di kawasan konservasi dengan tingkat pemanfaatan yang terbatas. Sampai saat ini,

Indonesia memiliki 11 kawasan konservasi dengan status sebagai taman wisata perairan, salah

satunya adalah Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Indah, Gili Trawangan, dan Gili Air dengan total

luasan 2.954 ha, ketiga pulau kecil tersebut kemudian disingkat Gili Matra (Direktorat Konservasi

Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan, 2013). Kawasan konservasi Gili Matra yang

diperuntukkan untuk kegiatan wisata, tidak hanya memberikan dampak positif bagi masyarakat,

namun juga menimbulkan dampak negatif (eksternalitas negatif). Potensi dampak negatif dari wisata

selam terhadap kerusakan ekosistem sumberdaya kelautan berasal dari wisata massal (mass

tourism) (Dimmock dan Musa, 2015).

Sumberdaya kelautan sangat rentan terhadap dampak negatif dari kegiatan wisata selam,

termasuk ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, meskipun posisi terumbu karang berada

pada kedalaman 40 meter (Valenko et al., 2016). Dari kegiatan wisata selam tersebut, setidaknya

ada empat aktivitas wisatawan yang dapat merusak ekosistem sekitar perairan yaitu menginjak

terumbu karang, mengambil terumbu karang, menendang terumbu karang, dan memegang terumbu

karang (Muhidin, 2017). Ini berarti bahwa ekowisata merupakan pariwisata yang sangat

mengandalkan makhluk hidup di alam dalam kegiatannya (Tisdell, 1996). Penurunan kualitas produk

wisata akibat kerusakan lingkungan menyebabkan penurunan permintaan akan produk wisata

bahari (Tisdell, 1998).

Wisata selam tidak akan berkelanjutan tanpa dukungan dari pengelola kawasan, masyarakat

lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan lembaga akademik sekitarnya (Lucrezi et al.,

2017). Secara umum, dalam pemanfaatan kawasan untuk wisata selam masih didominasi oleh

Page 3: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

47 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

pengusaha asing, termasuk sebagian pekerja profesional pada musim tertentu juga didominasi dari

tenaga kerja asing. Hasil penelitian Zimmerhackel et al. (2018), menunjukkan bahwa meskipun

jumlah pekerja lokal yang terserap dalam industri wisata selam lebih banyak dibanding pekerja

asing, namun secara rata-rata pendapatan pekerja asing lebih besar dibanding dengan pekerja

lokal. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan model spasial

pengelolaan kawasan wisata selam yang berkelanjutan berbasis daya dukung masing-masing titik

lokasi penyelaman di kawasan konsevasi Gili Matra, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Dalam kawasan

konsevasi Gili Matra terdapat 23 titik lokasi wisata selam. Pada penelitian ini diambil sampel

sebanyak 12 titik lokasi selam (KKP, 2013).

Lokasi Penelitian

Kawasan ini mulai ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1990, dikelola oleh

BKSDA Kementerian Kehutanan (Gambar 1). Dalam kawasan ini tidak hanya dipergunakan untuk

wisata pantai, tetapi juga ada wisata selam, wisata memancing, snorkeling, dan boating. Hingga

tahun 2012, jumlah dive shop sebanyak 28 unit (KKP, 2013).

Metode Pengumpulan Data

Data primer diperoleh melalui observasi kondisi tutupan terumbu karang, kedalaman terumbu

karang, kecerahan perairan, jenis life form, jenis ikan karang, dan kecepatan arus (Yulianda, 2007).

Selanjutnya data sekunder didapatkan data jumlah pengunjung, jenis jasa wisata yang diminta, jenis

jasa wisata yang ditawarkan, lama waktu penyelaman, harga jual, dan data pendukung lainnya yang

diperoleh dari tiga dive shop (toko peralatan selam) yang ada di tiga pulau dalam kawasan koservasi.

Tiga dive shop merupakan representasi dari 29 dive shop yang ada di kawasan konservasi.

Kemudian data berupa jumlah pengunjung, asal wisatawan, dan terkait lainnya diperoleh pada

Gambar 1. Lokasi Penelitian

(Sumber: KKP, 2013)

Page 4: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

48 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

instansi terkait seperti Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Utara, Badan Pusat Statistik,

pemerintah Desa Gili Indah, dan dari hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini.

Metode Analisis Penawaran (Daya Dukung Kawasan: DDK)

Analisis DDK merupakan representasi dari penawaran jasa wisata selam di TWP Gili Matra.

Analisis daya dukung lokasi wisata selam dapat dilakukan dengan pendekatan standar kenyamanan

individu dalam melakukan suatu aktivitas rekreasi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk

mengetahui daya dukung kawasan adalah dengan mengacu pada analisis daya dukung yang

diformulasikan (Yulianda, 2007). Daya dukung kawasan dihitung menggunakan formulasi sebagai

berikut:

DDK = K x [Lp

Lt] x [

Wt

Wp] (1)

Keterangan:

DDK : = Daya Dukung Kawasan

K : = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area

Lp : = Luas area atau panjang area yang dimanfaatkan

Lt : = Luas unit area untuk kategori tertentu

Wt : = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari

Wp : = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Zimmerhackel et al. (2018), telah

menghitung nilai ekonomi langsung dan tidak langsung dari kegiatan wisata selam Maldives, baik

bagi pengusaha jasa wisata selam maupun bagi masyarakat sekitarnya. Dalam penelitian ini akan

menghitung nilai ekonomi total diperolah melalui perhitungan nilai ekonomi dari masing-masing titik

lokasi selam. Nilai ekonomi diperoleh dari jumlah permintaan di masing-masing lokasi wisata selam

dikalikan dengan jenis jasa wisata yang diminta:

𝑁𝐸𝑖 = 𝑃𝑖(∑ 𝐷𝑥𝑖𝑛𝑖=1 ) (2)

Dimana 𝑃𝑖 merupakan harga jasa wisata dan 𝐷𝑥𝑖 merupakan permintaan jasa wisata. Jenis jasa

wisata selam yang ditawarkan antara lain 𝐷𝑃1 = fun dive, 𝑃2 = night dive, 𝑃3= refresher, 𝑃4 =

introduction dive, 𝑃5 = open water course, 𝑃6 = advanced open water course, 𝑃7 = advance, 𝑃8 =

nitrox specialty, 𝑃9 = deep specialty, 𝑃10 = EFR+rescue course, 𝑃11 = divemaster course.

Harga masing-masing jasa wisata berbeda-beda, produk jasa wisata termurah adalah 𝑃1 atau

fun dive yaitu Rp 490 ribu/trip dan termahal adalah divemaster course yaitu Rp 12 juta/paket, harga

tersebut diperoleh tahun 2014. Harga jual dari masing-masing dive shop adalah sama untuk jenis

jasa wisata yang sama. Jumlah permintaan jasa wisata selam dalam satu kawasan konservasi

disimbolkan dengan 𝐷𝑥1 = Han’s reef, 𝐷𝑥2 = air home reef, 𝐷𝑥3 = air wall, 𝐷𝑥4 = bongkas meno,

𝐷𝑥5 = turtle heaven, 𝐷𝑥6 = sunset point, 𝐷𝑥7 = biorock. Permintaan secara keseluruhan (𝐷𝑖) dapat

dimodelkan sebagai berikut:

𝐷𝑖 = ∑ 𝐷𝑥1 + 𝐷𝑥2 + 𝐷𝑥3 + 𝐷𝑥4 + 𝐷𝑥5 + 𝐷𝑥6 + 𝐷𝑥7 (3)

Page 5: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

49 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Besaran total nilai ekonomi kawasan wisata selam ditentukan oleh harga jual jasa wisata

dikalikan dengan jumlah permintaan di masing-masing lokasi penyelaman, formulasi yang

digunakan adalah sebagai berikut:

𝑁𝐸𝑋1 = (𝑃1. 𝐷𝑋1.1) + (𝑃2. 𝐷𝑋1.2) + ⋯ … . . (𝑃𝑛. 𝐷𝑋1.𝑛) (4)

𝑁𝐸𝑋2 = (𝑃1. 𝐷𝑋2.1) + (𝑃2. 𝐷𝑋2.1) + ⋯ … . . (𝑃𝑛. 𝐷𝑋2.𝑛) (5)

𝑁𝐸𝑋7 = (𝑃1. 𝐷𝑋11.1) + (𝑃11. 𝐷𝑋11.2) + ⋯ … . . (𝑃𝑛. 𝐷𝑋11.𝑛) (6)

Nilai total ekonomi kawasan (𝑇𝑁𝐸𝑋) adalah sebagai berikut:

𝑇𝑁𝐸𝑋 = ∑ (𝑁𝐸𝑋1)𝑛𝑘=0 + ∑ (𝑁𝐸𝑋2)𝑛

𝑘=0 + ⋯ … . . ∑ (𝑁𝐸𝑋𝑛)𝑛𝑘=0 (7)

Keterangan:

𝑁𝐸𝑋 = Nilai ekonomi wisata selam di titik lokasi tertentu

𝑃𝑖 = Harga jual jasa wisata selam untuk jenis jasa wisata selam tertentu

𝐷𝑋 = Permintaan jasa wisata selam di titik lokasi di lokasi tertentu

𝑇𝑁𝐸𝑋 = Nilai ekonomi total dari kawasan wisata selam

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Penawaran

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian kawasan wisata selam, kawasan yang dapat

ditawarakan menjadi kawasan wisata selam adalah kawasan yang memenuhi syarat kesesuaian.

Kawasan tersebut antara lain Han’s reef, air home reef, air wall, bongkas meno, turtle heaven,

biorock, dan sunset point. Konsekuensi dari ketidaksesuaian suatu kawasan menyebabkan tingkat

penawaran jasa wisata selam di TWP Gili Matra menjadi berkurang dengan total daya dukung yang

semula 4.702 orang/hari, turun menjadi 2.302 orang/hari dengan asumsi jumlah waktu pemanfaatan

perhari sebanyak 8 jam. Apabila total waktu pemanfaatan ditingkatkan menjadi 10 jam, maka DDK

meningkat menjadi 2.877 orang akibat adanya jenis jasa wisata menyelam malam (night dive).

Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Daya Dukung Kawasan dengan Skenario 8 Jam dan 10 Jam Waktu Pemanfaatan

No. Lokasi P

(m) L

(m) K

LP (m2)

LT (m2)

WT (jam)

WP (jam)

DDK (orang/hari)

WT (jam)

DDK (orang/hari)

X1 Han's Reef 283 127 2 35.941 2.000 8 2 144 10 180

X2 Air Home Reef 516 57 2 29.412 2.000 8 2 118 10 147

X3 Air Wall 770 156 2 120.120 2.000 8 2 480 10 601

X4 Bongkas Meno 265 90 2 23.850 2.000 8 2 95 10 119

X5 Turtle Heaven 353 238 2 84.014 2.000 8 2 336 10 420

X6 Sunset Point 998 269 2 268.462 2.000 8 2 1.074 10 1.342

X7 Biorock 213 64 2 13.632 2.000 8 2 55 10 68

Jumlah 575.431 56 2.302 2.877

Sumber: Hasil Analisis Data, 2018

Keterangan: P = Panjang area (meter) L = Luas area (meter) K = Potensi ekonologi pengunjung satuan unit area (orang/m2) LP = Luas area per panjang area (m2)

Page 6: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

50 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

LT = Unit area untuk kategori tertentu (m2) WT = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam) WP = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu (jam) DDK = Daya Dukung Kawasan

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa titik lokasi yang memiliki luasan paling luas adalah pada

sunset point dengan total luasan 268.462 m2, sehingga mampu menampung 1.074 orang/hari.

Dengan memanfaatkan 10 jam waktu yang disediakan, maka setiap trip mampu menampung 268

orang/trip pada siang hari, dan 268 orang pada trip penyelaman malam. Dari 7 lokasi wisata selam

yang dimanfaatkan dengan durasi 8 jam/hari berpotensi menghasilkan nilai ekonomi yang optimal

sebesar Rp 10,96 milyar/hari dan potensi ekonomi sebesar Rp 11,31 milyar/hari dengan durasi

pemanfaatan 10 jam/hari. Nilai tersebut diperoleh dari jumlah permintaan pada masing-masing

lokasi penyelaman dikalikan dengan harga jual untuk masing-masing jenis jasa wisata selam yang

ditawarkan. Harga jual dari jenis jasa wisata selam sangat beragam, mulai dari Rp 490 ribu hingga

Rp 12 juta. Harga yang ditawarkan oleh masing-masing operator wisata adalah sama dengan

fasilitas penyelaman yang sama, termasuk lama waktu penyelaman yaitu maksimal 2 jam per trip.

Hasil analisis DDK pada Tabel 1 merupakan representasi dari sisi penawaran jasa wisata

selam di TWP Gili Matra. Penawaran (supply) didefinisikan sebagai hubungan statis yang

menunjukkan beberapa banyak suatu komoditas yang ditawarkan (untuk dijual) pada suatu tempat

dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga ketika faktor lain tidak berubah (Tomek dan

Robinson, 1990). Begitu juga dengan Levi et al. (2017), yang mengatakan bahwa kuantitas yang

diminta di pasar tergantung pada harga yang diberikan terhadap produk tersebut. Sebaliknya, harga

produk sangat bergantung pada total rata-rata fungsi biaya yang secara langsung terkait dengan

jumlah pasokan. Penawaran jasa wisata berbasis DDK ini merupakan konsep ecotourism atau

kebalikan dari konsep wisata massal (masstourism). Dalam konsep ecotourism lebih mementingkan

kualitas wisata daripada kuantitas pengunjung. Berbeda halnya dengan teori penawaran dalam

ekonomi konvensional, dimana semakin tinggi penawaran, maka harga akan turun.

Keterbatasan kemampuan suatu kawasan untuk menampung wisatawan menyebakan perlunya

pengaturan pemanfaatan suatu kawasan. Setiap peningkatan wisatawan juga dapat menimbulkan

risiko tinggi yakni pencemaran lingkungan dan gangguan ekosistem (Kusumastanto, 1995). Titik

lokasi Han’s reef merupakan lokasi yang paling banyak ditawarkan oleh para operator wisata selam

di TWP Gili Matra. Jadwal penyelaman dari masing-masing operator wisata selam juga sama yaitu

empat kali dalam sehari. Maka, pada waktu yang sama, setiap operator wisata membawa tamu

mereka menyelam di titik lokasi yang sama tanpa melalui proses koordinasi. Berdasarkan hal

tersebut, tingkat kepuasan dari wisatawan yang menyelam menjadi berkurang dan tingkat tekanan

terhadap sumberdaya dan biota yang ada di titik lokasi tersebut menjadi lebih tinggi.

Konsekuensinya adalah tingkat kerusakan akan lebih cepat dan lebih besar. Umumnya para

wisatawan selam melakukan 2 kali penyelaman per hari, walaupun ada juga yang melakukan

penyelaman hingga 4 kali sehari. Selain frekuensi penyelaman tersebut, jumlah hari mereka

menyelam juga beragam, ada yang hanya satu hari, ada juga yang melakukan hingga 6 hari.

Page 7: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

51 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Wisatawan yang melakukan penyelaman selama 6 hari ini adalah wisatawan yang mengambil paket

open watercourse dengan biaya sebesar Rp 5,5 juta.

Analisis Permintaan

Jumlah pengunjung ke Gili Matra pada tahun 2015 sebanyak 434.074 orang, angka ini lebih

besar dari tahun-tahun sebelumnya (Dinas Pariwisata, 2015). Wisata selam merupakan salah satu

alternatif bagi para wisatawan dalam berwisata. Wisata selam ini termasuk wisata minat khusus dan

memiliki pangsa pasar yang terbatas pada kalangan tertentu. Untuk bisa menikmati jenis wisata ini

membutuhkan keahlian khusus dan dalam pengawasan instruktur. Cardwell (2011) dalam Dimmock

dan Musa (2015), mencatat bahwa pengembangan kompetensi scuba diving membutuhkan

instruktur yang kompeten dengan jangkauan pengalaman internasional. Menurut Davis dan Tisdell

(1995), selain sebagai olahraga yang istimewa, faktor lain yang memengaruhi permintaan terhadap

wisata selam adalah untuk mendapatkan pengalaman di alam laut, karena di dalamnya terdapat

pemandangan alam bawah air tertentu seperti formasi geologis, bangkai kapal atau kehidupan

hewan laut seperti hiu dan spesies lainnya seperti ikan dan karang.

Hasil penelitian Arbieu et al. (2017), menunjukkan hubungan yang positif antara penawaran

dengan jumlah permintaan. Hasil analisis permintaan dan penawaran terhadap jasa wisata selam di

TWP Gili Matra menunjukkan bahwa secara umum jumlah penawaran masih lebih besar

dibandingkan dengan permintaan. Namun pada beberapa titik tertentu sudah mengalami over

supply (permintaan berlebih). Salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan terahadap jasa

wisata selam adalah tingkat tutupan dan kualitas terumbu karang serta biota yang berasosiasi

dengannya. Terumbu karang penting bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya (Wongthong dan Harvey, 2014). Secara umum, wisata selam masih berpeluang untuk

meningkatkan permintaan sehingga dampak ekonomi dari kegiatan wisata selam akan semakin

besar. Dengan demikian, berdasarkan kriteria permintaan optimal, maka permintaan jasa wisata

selam di kawasan konservasi Gili Matra belum optimal.

Jumlah permintaan per jenis wisata selam yang digambarkan dalam Gambar 2Gambar 1

merupakan permintaan aktual berdasarkan tren permintaan per jenis jasa wisata selam. Aktivitas

wisata untuk jenis wisata selam yang ditawarkan dapat dilakukan di setiap lokasi wisata selam yang

tersedia. Dari 7 lokasi wisata selam yang sesuai, masing-masing memiliki DDK yang beragam,

tergantung dari luas kawasan. Dari lokasi tersebut, semua jenis jasa wisata dalam dilaksanakan,

kecuali introduction dive yang hanya bisa dilakukan di kolam renang. Introduction dive merupakan

jenis jasa wisata selam bagi pemula, sehingga mereka tidak bisa langsung memanfaatkan ruang

laut untuk menyelam.

Page 8: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

52 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Gambar 1. Permintaan per Jenis Jasa Wisata Selam pada 12 Lokasi Penyelaman

Mempertahankan kondisi sumberdaya alam agar tetap lestari bukanlah urusan yang mudah,

karena setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda. Menurut Lucrezi dan Saayman (2017),

faktor yang menghambat dalam pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan adalah lemahnya

sistem yang ada, minimnya infrastruktur penunjang, dan kurangnya dukungan dari pihak pemerintah.

Gambar 2. Model Permintaan Optimal Jasa Wisata Selam di TWP Gili Matra

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa nilai optimal diperoleh apabila garis permintaan

dan penawaran bersinggungan, atau dengan kata lain jumlah permintaan sama dengan jumlah

penawaran. Data kunjungan wisatawan yang berkunjung ke TWP Gili Matra menunjukkan tren yang

terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara teoritis, jika permintaan ini naik maka harga juga akan

naik. Namun tidak demikian halnya dengan hubungan permintaan harga terhadap jasa wisata selam

di TWP Gili Matra ini. Harga jual jasa wisata selam saat ini ditentukan oleh GIDA (asosiasi wisata

selam Gili Indah). Harga ini berlaku bagi seluruh operator jasa wisata selam yang beroperasi di TWP

1.000 940

434 438 410 308

376 405 322

70 -

200

400

600

800

1.000

1.200

Ju

mla

h P

erm

inta

an

Jenis Jasa Layanan

Permintaan Jasa Wisata Selam (orang/tahun)

Page 9: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

53 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Gili Matra. Penentuan harga secara seragam ini berdampak terhadap meningkatnya tekanan

terhadap sumberdaya di dalam kawasan TWP Gili Matra.

Nilai Ekonomi Spasial

Menurut Rau et al. (2018), temporal dinamik dibagi menjadi tiga yaitu linier dinamik, periodik

dinamik, dan non linier event. Dalam analisis ini hanya menghitung nilai ekonomi linier dinamik

secara spasial temporal. Nilai ekonomi secara temporal untuk masing-masing lokasi wisata selam

menunjukkan tren yang beragam. Dengan tingkat pertumbuhan yang diasumsikan sama pada setiap

lokasi, maka dapat diketahui bahwa masing-masing titik lokasi penyelaman hampir tidak ada yang

bersinggungan, kecuali nilai ekonomi pada titik lokasi air home reef artinya setiap lokasi tumbuh secara

proporsional sesuai dengan DDK masing-masing titik lokasi penyelaman (Gambar 4). Pada titik

lokasi air home reef, terjadi pertumbuhan yang relatif melambat dibanding dengan titik lokasi lainnya.

Begitu juga dengan jenis jasa wisata yang ditawarkan, masing-masing jenis jasa wisata diasumsikan

tumbuh sebesar 5% mengikuti target pertumbuhan kunjungan wisatawan secara nasional.

Gambar 4 diasumsikan bahwa masing-masing lokasi wisata selam mengalami pertumbuhan

yang sama yaitu sebesar 5% per tahun. Hal ini sesuai dengan skenario penyebaran atau distribusi

wisatawan yang secara proporsional berdasarkan DDK masing-masing lokasi selam. Hal ini untuk

menghindari terjadinya over capacity pada satu lokasi tertentu dan nilai ekonomi yang diperoleh

merata dari setiap lokasi wisata selam, khususnya yang memiliki status sesuai dan sangat sesuai.

Begitu juga dengan besaran nilai ekonomi masing-masing lokasi wisata cukup beragam, sangat

bergantung pada luasan kawasan. Dengan tingkat pertumbuhan yang sama yaitu sebesar 5%, maka

pertumbuhan nilai ekonomi juga bersifat linier hingga batas maksimum kawasan atau DDK tercapai.

Besaran nilai ekonomi dari masing-masing lokasi wisata selam dipengaruhi oleh jenis jasa

wisata yang dominan di masing-masing lokasi wisata selam. Jenis jasa wisata selam yang dilakukan

di lokasi tersebut akan berimplikasi terhadap harga jual dari jenis jasa wisata tersebut. Secara grafis,

nilai ekonomi dari masing-masing lokasi selam dapat terlihat pada Gambar 4. Pola ini mengikuti pola

permintaan jasa wisata selam di masing-masing titik lokasi selam. Jika permintaan meningkat pada

lokasi tersebut, maka nilai ekonominya akan ikut meningkat, dan sebaliknya. Besaran nilai ekonomi

akan menurun apabila batas maksimum pengunjung telah tercapai.

Nilai ekonomi per lokasi penyelaman dalam jangka panjang untuk masing-masing lokasi

penyelaman mengalami fluktuasi. Ketika satu lokasi mengalami penurunan pengunjung, maka lokasi

lain akan mengalami peningkatan, dan sebaliknya. Pola permintaan ini secara otomatis akan diikuti

dengan nilai ekonomi untuk masing-masing lokasi penyelaman. Selain akibat pola permintaan yang

berfluktuasi, nilai ekonomi kawasan Gili Matra juga berpotensi berfluktuasi akibat kawasan ini

memiliki tingkat kerentanan yang rendah menuju moderat. Kerentanan ini diukur berdasarkan

perubahan garis pantai, perubahan kawasan terumbu karang, perubaan terumbu karang hidup, dan

pembangunan Kawasan (Kurniawan et al., 2016).

Page 10: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

54 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Gambar 4. Model Tren Nilai Ekonomi di Setiap Lokasi Wisata Selam

Jenis jasa wisata selam yang memiliki potensi ekonomi yang paling tinggi adalah dive master

cource dan advance open water cource. Tingginya nilai ekonomi ini disebakan karena harga jual

yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jasa wisata lainnya. Meskipun dari tren

permintaan jasa wisata selam di TWP Gili Matra menunjukkan bahwa permintaan terhadap jenis

jasa wisata selam ini relatif kecil dibandingkan dengan jenis jasa wisata lainnya, namun karena harga

jualnya lebih besar menjadikannya mampu melebihi nilai ekonomi dari jenis jasa wisata lainnya.

Kebijakan Pengelolaan Jasa Wisata Selam

Berdasarkan pembahasan Daya Dukung Kawasan (DDK) sebelumnya, maka dapat dibuat

suatu skenario pengalokasian wisatawan secara proporsional pada setiap titik lokasi penyelaman.

Dengan skenario pengelolaan ini diharapkan tidak lagi terjadi over capacity pada titik lokasi tertentu.

Dari masing-masing titik lokasi penyelaman setelah diketahui total luasan yang sesuai dan diketahui

total daya daya dukung masing-masing lokasi penyelaman, maka dapat dialokasikan secara manual

kuota jumlah wisatawan yang dapat melakukan penyelaman pada titik lokasi tertentu. Strategi

pembatasan jumlah pengunjung ini mirip dengan kebijakan muck diving yang dijelaskan oleh

(Brauwer et al., 2017) dimana dalam muck diving ini lebih mengutamakan wisatawan yang sangat

berpengalaman dalam menyelam, paruh baya, berpendidikan baik, dan memiliki penghasilan tinggi.

Hal ini sejalan dengan Hammerton (2017), yang menyarankan perlunya pendidikan dan pelatihan

kepada wisatawan selam yang menyelam di kawasan sensitif sebagai alternatif untuk menjaga

kelestarian biota yang ada di dalamnya.

Begitu juga dengan pembagian lokasi penyelaman secara spasial dilakukan secara manual

dengan mempertimbangkan tingkat kesesuaian masing-masing kawasan, sehingga jumlah daya

dukung masing-masing kawasan ditentukan dari hasil pembagian spasial tersebut. Dengan

demikian, ada kawasan yang tidak sesuai untuk wisata selam terdapat dua pilihan, pertama yaitu

jika lokasi tersebut dimanfaatkan untuk wisata selam, maka kawasan tersebut dialokasikan untuk

jenis jasa selam selain untuk wisata selam, seperti kegiatan refresher dan kursus selam. Pilihan

kedua adalah menutup lokasi tersebut untuk sementara waktu sampai kondisi lokasi tersebut sesuai

untuk lokasi wisata selam.

Page 11: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

55 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Tidak adanya koordinasi dari masing-masing operator wisata dalam membawa wisatawan ke

titik lokasi penyelaman menyebabkan tidak meratanya distribusi para wisatawan terhadap titik-titik

lokasi penyelaman. Masyarakat lokal sering kali bertindak berlebihan sebagai bagian stakeholder

dalam pengelolaan dan keberlanjutan destinasi wisata selam (Dimmock dan Musa, 2015). Lebih

lanjut Schianetz dan Kavanagh (2008) dalam Dimmock dan Musa (2015), mengatakan pola umum

dari permintaan dan penawaran dari jasa wisata selam merupakan interaksi antara lingkungan dan

sistem sosial termasuk masyarakat lokal. Ada titik lokasi penyelaman yang melebihi daya dukung,

dan ada juga titik lokasi yang justru mengalami kekurangan pengunjung, salah satu penyebabnya

karena tidak adanya koordinasi antar operator wisata selam dalam memanfaatkan lokasi wisata

selam yang ada. Guna mencapai pemanfaatan sumberdaya wisata selam yang berkelanjutan, maka

perlu adanya pengaturan mengenai jadwal pemanfaatan dan jumlah maksimal pengunjung yang

boleh menyelam pada setiap titik lokasi penyelaman. Agar jumlah penyelaman pada suatu titik lokasi

penyelaman dapat terkontrol dengan baik.

Tabel 2. Skenario Penawaran Jasa Wisata Selam di TWP Gili Matra Per Hari Per Lokasi Penyelaman

Jenis Jasa Layanan Harga

Lokasi Penyelaman

Sunset Point

Turtle Heaven

Han's Reef

Air Home Reef

Bongkas Meno

Bio-rock

Fun Dive 490.000 128 58 8 14 12 10

Night dive 600.000 120 40 15 16 8 8

Refresher 900.000 128 58 8 14 12 10

Open Water Course 5.500.000 122 48 16 12 12 6

Advanced Open Water Course

4.500.000 120 36 17 12 13 8

Advance 6.000.000 100 20 14 10 8 2

Nitrox specialty 2.850.000 112 24 16 14 9 3

Deep Specialty 4.500.000 120 28 14 14 9 4

EFR+Rescue Course 7.000.000 74 24 16 12 12 4

Divemaster Course 12.000.000 50 0 0 0 0 0

Jumlah 1.074 336 124 118 95 55

Sumber: Hasil Analisis Data, 2018

Pada Tabel 2 di atas menggambarkan skenario sebaran wisatawan berdasarkan daya dukung

masing-masing titik lokasi wisata selam. Pembagian dilakukan secara proporsional sesuai dengan

tingkat permintaan dan luasan kawasan. Makin luas kawasan pada suatu titik penyelaman maka

kuota penyelaman juga semakin besar. Pembagian kuota per lokasi penyelaman akan menentukan

nilai ekonomi dari masing-masing titik lokasi penyelaman, dengan catatan kuota tersebut terserap

seluruhnya. Kuota tersebut akan dievaluasi secara berkala apabila ada penyimpangan antara

perkiraan dengan permintaan aktual. Secara teoritis terdapat hubungan yang positif antara jumlah

komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut (Nuryanti, 2005). Batas

maksimum jumlah jasa yang ditawarkan di seluruh lokasi penyelaman adalah sebanyak 846.360

orang/tahun, dengan asumsi jumlah permintaan maksimum di seluruh lokasi sebanyak 4.702

Page 12: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

56 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

orang/hari dengan 5 trip/hari, dan dalam satu bulan terdapat 20 hari efektif, sehingga dalam setahun

hanya dihitung 9 bulan efektif.

Kawasan TWP Gili Matra yang sudah dihitung tingkat kesesuaian dan jumlah data dukung

masing-masing lokasi penyelaman kemudian dapat bagi ruang secara proporsional menurut luasan

masing-masing. Pembagian lokasi selam berbasis spasial merupakan strategi yang paling efektif

dalam pengelolaan wisata selam di kawasan Gili Matra. Mengacu pada pengalaman penelolaan

selama ini, dalam satu lokasi sering terjadi tumpang tindih kegiatan wisata. Misalnya pada titik lokasi

Han’s reef memiliki luasan seluas 35.941 m2 atau 3,5 ha, dengan luasan ini dapat menampung 144

orang wisatawan perhari dengan waktu pemanfaatan 8 jam per hari. Jika waktu pemanfaatan perhari

ditambah menjadi 10 jam (karena ada penyelaman malam), maka daya dukung kawasan bertambah

menjadi 180 orang perhari. Dari 35.941 m2 dibagi 2 jam penyelaman sama dengan 36 orang. Dengan

demikian ada penambahan 36 orang perhari dengan adanya penambahan waktu penyelaman.

Keseimbangan Permintaan dan Panawaran

Konsep permintaan dan penawaran telah digunakan dalam konteks keanekaragaman hayati

yang memberikan informasi tentang bagaimana orang mempersepsikan dan menghargai

keanekaragaman hayati (Christie et al., 2006; Martín-López et al., 2007) dalam (Arbieu et al., 2017).

Berasarkan hasil analisis daya dukung kawasan (supply) dan analisis permintaan jasa wisata di atas

menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara permintaan dengan penawaran jasa wisata selam

di beberapa titik lokasi penyelaman di TWP Gili Matra. Akibatnya banyak lokasi-lokasi wisata selam

yang disediakan menjadi tidak termanfaatkan dengan optimal, dan disisi lain ada beberapa lokasi

yang mengalami kelebihan permintaan, atau jumlah pengunjung melebihi dari daya dukung

kawasan yang tersedia.

Alokasi wisatawan tidak merata ini disebabkan oleh dua hal yaitu pertama karena atas

permintaan dari wisatawan sendiri untuk menyelam pada titik tertentu, dan kedua atas tawaran dari

pihak operator wisata selam, terutama penawaran yang dilakukan melalui media online.

Ketimpangan terjadi karena pasar bersifat persaingan sempurna, artinya permintaan dan

penawaran terjadi secara bersamaan dalam satu lokasi dan waktu yang sama. Hal ini menyebabkan

wisatawan bisa meminta berwisata selam di satu titik lokasi yang sama dengan yang diminta oleh

wisatawan lain, dan secara kebetulan dive shop yang satu juga menawarkan lokasi penyelaman

yang sama dan dalam waktu yang sama dengan dive shop yang lain. Maka akan terjadi penumpukan

(over capacity) pada titik tertentu dan jam tertentu karena terjadi aktivitas penyelaman yang sama.

Keseimbangan antara supply dan demand akan tercapai apabila jumlah permintaan tidak

melebihi daya dukung kawasan yang telah ditetapkan (Gambar 5). Masing-masing titik lokasi

penyelaman memiliki tingkat permintaan yang berbeda-beda. Permintaan terhadap lokasi wisata

ditentukan oleh keanekaragaman hayati yang ada di masing-masing lokasi penyelaman. Begitu juga

dengan penawaran terhadap masing-masing lokasi sangat ditentukan oleh luasan kawasan dan

frekuensi pemanfaatan perhari. Dari keseimbangan supply dengan demand ini akan menentukan

nilai ekonomi dari setiap lokasi penyelaman.

Page 13: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

57 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Gambar 5. Model Permintaan dan Penawaran Jasa Wisata Selam

Jika dalam sebulan diasumsikan hanya efektif 20 hari penyelaman dan dalam sehari terdapat

5 trip penyelaman, maka dalam setahun diperkirakan total jumlah permintaan sebesar 137.200

orang/tahun untuk 12 lokasi penyelaman. Sedangkan jumlah penawaran pada 12 lokasi tersebut

sebesar 805.560 orang/tahun. Melalui pengalokasian jumlah wisatawan secara proporsional pada

masing-masing titik lokasi penyelaman, diharapkan akan mampu mengurangi kelebihan kapasitas

jumlah wisatawan pada titik-titik lokasi penyelaman tertentu. Pengalokasian jumlah wisatawan selam

ini dilakukan secara manual untuk masing-masing jenis wisata selam. Dengan demikian, di dalam

setiap titik lokasi penyelaman dapat diisi dengan semua jenis jasa wisata selam yang ditawarkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pambahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi ketimpangan antara

permintaan dengan penawaran wisata di beberapa titik lokasi penyelaman di kawasan konservasi

Gili Matra. Hal ini menyebabkan adanya titik lokasi penyelaman yang mengalami tekanan lebih

dibanding lokasi penyelaman lainnya. Selain itu, ketidakseimbangan ini berdampak terhadap nilai

ekonomi kawasan, dimana ada lokasi selam yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam jangka

pendek, namun dalam jangka panjang nilai ekonominya bisa menjadi nol karena ekosistem terumbu

karang sebagai daya tarik wisata di lokasi tersebut sudah rusak akibat kelebihan kapasitas, dan

sebaliknya titik lokasi yang nilai memiliki daya dukung yang tinggi namun nilai ekonominya rendah

akibat tidak mendapat alokasi wisatawan.

Saran

Agar sumberdaya yang ada di masing-masing titik lokasi penyelaman dapat terjaga lestari,

maka perlu diatur pendistribusian jumlah pengunjung yang datang tidak melebihi daya dukung dari

masing-masing titik lokasi penyelaman. Lokasi wisata selam yang mengalami kelebihan permintaan

harus dialokasikan kepada titik lokasi selam yang kekurangan permintaan. Jika wisatawan tidak

Page 14: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

58 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

bersedia dialihkan kepada lokasi yang lain, maka jadwal penyelaman harus diatur dan harga jual

terhadap lokasi penyelaman yang memiliki permintaan berlebih harus lebih mahal dari biasanya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Utara, Kepala

Desa Gili Indah, Dive Center di Gili Matra, dan LPDP atas bantuan dana penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arbieu, U., Grünewald, C., Lópezc, B. M., Schleuning, M., & Gaese, K. B. (2017). Mismatches between supply and demand in wildlife tourism: Insightsfor assessing cultural ecosystem services. Ecological Indicators 78, 282–291.

Brauwer, M. D., Harvey, E. S., McIlwain, J. L., Hobbs, J.-P. A., Jompa, J., & Burton, M. (2017). The economic contribution of the muck dive industry to tourism in Southeast Asia. Marine Policy 83, 92-99.

Chen, J. L., Chuang, C. T., Jan, R. Q., Liu, L. C., & Jan, M. S. (2013). Recreational Benefits of Ecosystem Services on and around Artificial Reefs: A Case Study in Penghu, Taiwan. Ocean & Coastal Management, 58-64.

Davis, D., & Tisdell, C. (1995). Recreational scuba-diving and carrying capacity in marine protected areas. Ocean & Coastal Management, 19-40.

Dimmock, K., & Musa, G. (2015). Scuba DivingTourism System: A Framework for Collaborative Management and Sustainability. Marine Policy, 52-58.

Dinas Pariwisata, K. (2015). Kunjungan Wiatawan ke Gili Matra. Tanjung: Dinas Pariwisata KLU.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan, P. d.-p. (2013). Informasi Kawasan Konservasi Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hammerton, Z. (2017). Determining the variables that influence SCUBA diving impacts in eastern Australian marine parks. Ocean & Coastal Management 142, 209-217.

Hanson, A. J., Augustine, I., Courtney, C. A., Fauzi, A., Gammage, S., & Koesoebiono. (2003). An Assessment of The Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia. Jakarta: CRMP is an Initiative of The Government of Indonesia and USAID. Implemented by The Coastal Resources Center, University of Rhode Island.

Harriott, V., Cook, J., Goggin, L., Barnett, B., & Schaffelke, B. (2003, Queensland). Marine Tourism on the Great Barrier Reef. CRC Reef Research Centre. Queensland, Australia: CRC Reef Research Centre.

KKP. (2013). Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Wisata Perairan Gili Ayer, Gili Meno, Gili Trawangan Tahun 2014-2034. Kupang: Direktorat KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kurniawan, F., Adrianto, L., Bengen, D. G., & Prasetyo, L. B. (2016). Vulnerability assessment of small islands to tourism: The case of the Marine Tourism Park of the Gili Matra Islands, Indonesia. Global Ecology and Conservation, 308–326.

Kusumastanto, T. (1995). Investasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kompas.

Kusumastanto, T. (2003). Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Levi, A., Sabuco, J., & Sanjuan, M. A. (2017). Supply based on demand dynamical model. Communications in Nonlinear Science and Numerical Simulation, doi: 10.1016/j.cnsns.2017.10.008.

Page 15: SPACIAL ECONOMIC MODEL OF SUSTAINABILITY SCUBA DIVING

Solihin, L et al: Spacial Economic Model of Sustainability Scuba Diving Tourism at Gili Matra Conservation Area …

59 ECSOFiM Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine. 2021. 09(01): 45-59

Lucrezi, S., & Saayman, M. (2017). Sustainable scuba diving tourism and resource use: Perspectives and experiences of operators in Mozambique and Italy. Journal of Cleaner Production, doi: 10.1016/j.jclepro.2017.09.041.

Lucrezi, S., Milanese, M., Markantonatou, V., Cerrano, C., Sara, A., Palma, M., & Saayman, S. (2017). Scuba diving tourism systems and sustainability: Perceptions by the scuba diving industry in two Marine Protected Areas. Tourism Management, 385-403.

Muhidin. (2017). Kajian Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan Potensi Dampak Wisata Bahari di Kelurahan Pulau Panggang Kepulaun Seribu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nuryanti, S. (2005). Analisa Keseimbangan Sistem Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 71081.

Rau, A. R., Wehrden, H. V., & Abson, D. J. (2018). Temporal Dinamycs of Ecosystem Services. Ecological Economics 151, 122-13-.

Tao Lv, F. L., Sajid, M., & Li, X. (2016). Optimization for China’s coal flow based on matching supply and demand sides. Resources, Conservation and Recycling, http://dx.doi.org/10.1016/j.resconrec.2016.08.013.

Tisdell, C. (1996). Ecotourism, economic, and the environment: Observation from China. Journal of Travel Recearch, 11-19.

Tomek, W. G., & Robinson, K. L. (1990). Agricultural Product Prices. 2nd Edition. Ithaca and London: Cornell University Press.

Valenko, D., Mezgec, Z., Pec, M., & Golob, M. (2016). Dynamic Model of Scuba Diver Buoyancy. Ocean Engineering, 188–198.

Wongthong, P., & Harvey, N. (2014). Integrated coastal management and sustainable tourism: A case study of the reef-based SCUBA dive industry from Thailand. Ocean & Coastal Management, 138-146.

Yulianda, F. (2007). Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Bogor: MSP IPB.

Yulianda, F., Solihin, L., Fauzi, A., & Kusumastanto, T. (2018). Nilai Ekonomi Spasial Dalam Pemanfaatan Taman Wisata Perairan Gili Matra Untuk Wisata Selam Di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat . Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan , 17-28 .

Zimmerhackel, J. S., Kragt, M. E., Rogers, A. A., Ali, K., & Meekan, M. G. (2018). Evidence of increased economic benefits from shark-diving tourism in the Maldives. Marine Policy, https://doi.org/10.1016/j.marpol.2018.11.004.