sistem religi kejawen dalam novel perjanjian dengan maut
TRANSCRIPT
1
Sistem Religi Kejawen dalam Novel Perjanjian dengan Maut Karya Harijadi S. Hartowardojo: Kajian Sosiologi Sastra
Novinka Praramadona Putri, Sunu Wasono
Indonesian Studies Program, Faculty of Humanities, University of Indonesia, UI Campus Depok 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak
Melalui novel Perjanjian dengan Maut (PDM) karya Harijadi S. Hartowardojo, pembaca mampu mendapatkan penggambaran mengenai dunia religi Kejawen, suatu religi yang dianut oleh orang Jawa. Hal ini mengingat bahwa dengan membaca karya sastra pembaca mampu mempelajari berbagai “dunia” karena karya sastra mencerminkan realitas. Berbagai konsep dan keyakinan terkandung dalam religi tersebut. Dalam tulisan ini penulis bermaksud mendeskripsikan dan menjelaskan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel PDM. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsep dan keyakinan religi tersebut didominasi oleh hal-hal bersifat mistik.
Concepts and Beliefs of Kejawen in Perjanjian dengan Maut By Harijadi S. Hartowardojo: Analysis of Sociology of Literature
Abstract
Through Perjanjian dengan Maut (PDM) by Harijadi S. Hartowardojo readers are able to get information about the world of religion of Kejawen, a Javanese people religion. This is because literature reflects the reality, so readers can learn “world” by reading literature. Kejawen consist of many concepts and beliefs. This study describes and explains those concepts and beliefs based on PDM. The result shows that concepts and beliefs are dominated by mystical things. Keywords: Religion of Kejawen, Mystical, Javanese People
Pendahuluan
Mulai dari masa Balai Pustaka hingga dewasa ini, berbagai macam kehidupan
masyarakat tradisional Indonesia dijadikan sebagai latar cerita novel-novel Indonesia. Pada
masa awal lahirnya sastra Indonesia modern, latar budaya Minang sangat mendominasi. Sitti
Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, dan Salah Pilih
(1928) karya Nur Sutan Iskandar merupakan beberapa novel yang berlatarkan kehidupan
masyarakat Minang. Pada masa berikutnya, khazanah sastra Indonesia diperkaya dengan
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
2
terbitnya novel-novel, seperti Widyawati (1949) karya Arti Purbani dan Perjanjian dengan
Maut (PDM)1 (1976) karya Harijadi S. Hartowardojo yang berlatarkan kehidupan masyarakat
Jawa, Sang Guru (1973) karya Gerson Poyk yang berlatarkan kehidupan masyarakat Ternate,
Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan yang berlatarkan kehidupan masyarakat Dayak,
dan Tarian Bumi (2007) karya Oka Rusmini yang berlatarkan kehidupan masyarakat Bali.2
Dengan membaca novel-novel tersebut, pembaca mampu mendapatkan gambaran
berbagai kehidupan masyarakat tradisional. Misalnya, jika membaca novel-novel berlatarkan
masyarakat Minang, pembaca dapat mengetahui bagaimana kehidupan sosial masyarakat
Minang. Begitu pula ketika membaca novel yang berlatarkan kehidupan masyarakat Jawa,
pembaca dapat mengetahui bagaimana kehidupan sosial orang Jawa. Hal ini dapat terjadi
karena pada dasarnya karya sastra, khususnya novel “menyajikan kehidupan”, dan
“kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, sebagaimana dikatakan oleh Wellek
dan Warren (2014:98). Dengan kata lain, apa yang diceritakan dalam karya sastra merupakan
cermin dari realitas atau berasal dari kenyataan.
Mayoritas novel-novel berlatarkan kehidupan tradisional menceritakan permasalahan
adat terkait pernikahan. Hal ini dapat ditemukan dalam Sitti Nurbaya (1922), Salah Asuhan
(1928), Salah Pilih (1928), Upacara (1978), dan Tarian Bumi (2007). Meskipun begitu, di
antara novel-novel yang mengisahkan persoalan pernikahan itu, ada novel yang mengisahkan
dunia religi. Novel tersebut adalah PDM (1976). Dunia religi yang dikisahkan dalam novel
tersebut adalah dunia religi Kejawen3 yang menurut Koentjaraningrat (1984:312) merupakan
suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik
yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Kisah mengenai dunia religi
seperti yang diceritakan dalam novel PDM jarang sekali ditemukan dalam karya-karya sastra
Indonesia. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahasnya dalam penelitian ini.
Studi terhadap karya sastra dapat menggunakan kajian sosiologi sastra. Kajian ini
menurut Damono (2010:2) merupakan suatu pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Melalui kajian ini penelitian menyoroti aspek-
aspek sosial yang terdapat dalam suatu karya sastra. Ada tiga pendekatan yang dapat
digunakan dalam meneliti suatu karya sastra dengan kajian sosiologi sastra, yakni pendekatan
1 Selanjutnya digunakan singkatan PDM untuk menyebut novel Perjanjian dengan Maut dalam tulisan ini. 2 Lihat A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1989, hlm. 184—187 dan Maman S. Mahayana dkk., Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, PT Grasindo, Jakarta, 1995, hlm. 6 dan 15. 3 Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebutkan religi tersebut, antara lain “Kejawen” atau “Kejawaan” atau “Jawanisme” (Mulder, 2001); “Agami Jawi” (Koentjaraningrat, 1984); dan “Islam Kejawen” (Hariwijaya, 2006). Dalam tulisan ini, digunakan istilah “Kejawen” untuk menyebut religi tersebut.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
3
terhadap pengarang, isi karya sastra, dan pembaca karya sastra. Dalam mengkaji novel PDM
penulis menggunakan pendekatan terhadap isi karya sastra. Dengan menggunakan pendekatan
itu, karya sastra dikaji dalam rangka melihat hubungan karya sastra dengan hal yang diacunya
di luar karya sastra. Penelitian ini dilandasi oleh adanya kenyataan bahwa setiap orang dapat
meneliti berbagai “dunia” dalam sebuah karya sastra: dunia cinta dan perkawinan, dunia
bisnis, dunia rohaniawan, dan dunia profesi, sebagaimana dikatakan oleh Wellek dan Waren
(2014:111). “Dunia” yang dapat diteliti melalui novel tersebut adalah dunia religi Kejawen.
Adapun sebagai suatu sistem religi, Kejawen memiliki berbagai konsep dan keyakinan.
Berdasarkan hal tersebut, muncullah permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini,
yaitu apa sajakah konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel PDM
karya Harijadi S. Hartowardojo dan bagaimanakah konsep dan keyakinan tersebut
digambarkan oleh pengarang dalam novel PDM? Dengan permasalahan yang demikian,
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang
digambarkan dalam novel PDM karya Harijadi S. Hartowardojo dan menjelaskan
penggambaran konsep dan keyakinan tersebut.
Tinjauan Teoretis
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan
dalam novel PDM. Dalam mengungkap hal tersebut, pertama-tama dibahas unsur intrinsik
novel PDM. Unsur intrinsik dibahas karena pada dasarnya karya sastra merupakan suatu
struktur yang dibangun oleh berbagai unsur sehingga hal tersebut perlu dibahas dalam
penelitian ini. Melalui analisis unsur intrinsik, yakni analisis tokoh dan penokohan, alur, dan
latar, dapat ditemukan sejumlah hal yang berkaitan dengan religi Kejawen. Dengan kata lain,
analisis unsur intrinsik pun digunakan sebagai alat untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel tersebut.
Tokoh merupakan pelaku cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita tidaklah terlepas dari
adanya penokohan. Nurgiyantoro (2013:248) menjelaskan bahwa “penokohan” lebih luas
artinya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah
cerita. Tokoh dalam cerita dapat dibagi atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Dengan
melakukan analisis penokohan dapat diketahui kedudukan tokoh dalam cerita. Melalui
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
4
analisis tersebut diketahui bahwa tokoh utama novel PDM adalah tokoh laki-laki bernama
Wardjo, sedangkan tokoh tambahannya terdiri atas tokoh manusia, seperti Ling Ling; dan
tokoh makhluk halus, seperti Nyai Loro Kidul.
Secara sederhana, alur atau plot berarti jalan cerita. Di dalam alur terdapat berbagai
peristiwa. Menurut Kenney, plot reveals events to us, not only in their temporal, but also in
their causal relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in a
temporal series but also as an intricate pattern of cause and effect (1966:13—14). Alur
terbagi atas tiga tahap. Kenney (1966:14—19) menyebutkan bahwa alur terdiri atas beginning
(tahap awal), middle (tahap tengah), dan end (tahap akhir). Alur tidaklah selalu berturut-turut
dimulai dari tahap awal hingga tahap akhir. Namun, terkadang dapat dimulai pada tahap
tengah, tahap awal, dan diakhiri tahap akhir; atau dimulai dari tahap akhir, tahap awal, tahap
tengah, kembali ke tahap awal, dan diakhiri dengan tahap akhir. Alur yang demikian disebut
oleh Nurgiyantoro (2013:215) sebagai plot campuran. Lebih jelas, Nurgiyantoro (2013:215)
mengatakan bahwa plot dalam sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya,
betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik. Tahapan alur yang
seperti itu dapat ditemukan dalam novel PDM.
Unsur intrinsik yang selanjutnya dibahas dalam penelitian ini adalah latar atau setting.
Kenney (1966:38) mengatakan bahwa the term “setting” refers to the points in time and
space at which the events of the plot occur. Selain itu, Kenney (1966:40) juga menyebutkan
bahwa the religious, moral, intellectual, social, and emotional environtment of the characters
termasuk latar cerita. Dalam penelitian ini, dibahas latar tempat, waktu, dan sosial. Dalam
novel PDM, berbagai tempat di Pulau Jawa digunakan sebagai latar tempat terjadinya
berbagai peristiwa, sedangkan waktu yang memiliki kaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia
dijadikan sebagai latar waktu, dan kehidupan sosial masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh
ajaran religi Kejawen dijadikan sebagai latar sosial.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, penelitian ini terfokus pada pembahasan
mengenai konsep dan keyakinan religi Kejawen. Pembahasan mengenai hal tersebut
dilakukan dengan merujuk apa yang dibicarakan dalam novel PDM dengan hal-hal di luar
novel tersebut. Grebstein (Damono, 2010:6) pernah menyatakan bahwa karya sastra tidak
dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan
atau peradaban yang telah menghasilkannya. Berdasarkan hal itu, pembahasan terkait sistem
religi Kejawen dilakukan dengan melakukan studi literatur mengenai Kejawen.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
5
Melalui studi literatur tersebut didapati bahwa dalam Kejawen terkandung berbagai
bentuk konsep dan keyakinan. Koentjaraningrat (1984:319) menyebutkan bahwa dalam
sistem religi tersebut terdapat konsep dan keyakinan sebagai berikut.
Setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa, terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin akan adanya Allah, yakin bahwa Mohammad adalah Pesuruh Allah, yakin akan adanya nabi-nabi lain, yakin akan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat, yakin akan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, eskatologi, yakin akan adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek-moyang yang sudah meninggal, yakin akan adanya roh-roh penjaga, yakin akan adanya setan, hantu dan raksasa, dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta ini.
Selain itu, didapati pula bahwa penganut religi Kejawen meyakini adanya perjanjian atau
kontrak kerja yang dibuat oleh manusia dengan makhlus halus, adanya pernikahan yang
terjadi antara manusia dengan makhluk halus, adanya konsep sangkan paraning dumadi4,
adanya tempat-tempat keramat, adanya benda-benda bertuah atau jimat, dan konsep mengenai
Ratu Adil. Sejumlah hal yang telah disebutkan dapat ditemukan dalam novel PDM, antara lain
melalui penggambaran tokoh, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan penggunaan tempat-
tempat tertentu sebagai latar peristiwa
Metode Penelitian
Penelitian yang menjadikan novel PDM karya Harijadi S. Hartowardojo sebagai bahan
analisis ini menggunakan metode deskriptif analitik sebagai metode penelitian. Metode
deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul
dengan analisis, sebagaimana dikatakan oleh Ratna (2013:53). Dalam penelitian ini, pertama-
tama penulis mengumpulkan fakta-fakta dari novel PDM terkait unsur intinsik maupun
konsep dan keyakinan religi Kejawen. Kemudian fakta-fakta tersebut dianalisis dengan
dilandasi oleh hasil kajian kepustakaan.
Konsep dan Keyakinan Religi Kejawen dalam PDM
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dalam penelitian ini
dilakukan analisis terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik novel PDM. Pada bagian ini, secara 4 Sangkan paraning dumadi (Jw.): asal dan kembalinya segala makhluk hidup. (Utomo, 2009:414)
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
6
berurutan akan dipaparkan hasil penelitian serta pembahasan tokoh dan penokohan, alur, dan
latar novel PDM. Hasil penelitian dan pembahasan konsep dan keyakinan religi Kejawen
yang digambarkan dalam novel tersebut akan dipaparkan setelahnya.
Hasil analisis tokoh dan penokohan menunjukkan bahwa tokoh novel tersebut terdiri
atas satu tokoh utama dan sejumlah tokoh tambahan. Tokoh yang dimunculkan tidak hanya
tokoh manusia saja, tetapi ada pula tokoh makhluk halus. Berikut tabel yang memperlihatkan
hasil analisis tokoh dan penokohan novel PDM. Tabel 1. Tokoh dan Penokohan Novel PDM Nama Tokoh Keterangan Tokoh Utama
Wardjo - Seorang pelajar Sekolah Pelayaran Tegal yang kemudian menjadi anggota Barisan Keamanan Rakyat (BKR)
- Tokoh yang bersumpah kepada Nyai Loro Kidul dan menikahinya
- Tokoh yang dianggap sebagai Ratu Adil Tokoh Tambahan
Lelaki tua dan perempuan setengah tua
- Tokoh yang memberikan pertolongan kepada Wardjo
Embah Slamet - Tokoh makhluk halus yang memberikan pertolongan dan memberikan tongkat galih asam kepada Wardjo
Nyai Loro Kidul - Tokoh makhluk halus yang memberikan pertolongan kepada Wardjo
- Tokoh yang membuat Wardjo meyakini adanya Tuhan Ling Ling - Tokoh yang membuat Wardjo melanggar sumpahnya Dokter Fadil, Bu Sastro, dan Tong Dji
- Tokoh-tokoh yang mempertemukan Wardjo dengan Ling Ling
Ibu Wardjo, Bu Marto, dan Babah Jitu
- Tokoh-tokoh yang melarang Wardjo menikahi Ling Ling
Pater Sudijono - Tokoh yang membaptis Wardjo Sebagaimana ditunjukkan melalui tabel tersebut tokoh utama novel PDM adalah
Wardjo. Menurut Nurgiyantoro (2013:258), tokoh utama merupakan tokoh yang tergolong
penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita.
Wardjo tergolong sebagai tokoh utama dalam novel PDM karena Wardjo adalah tokoh
penting dalam novel tersebut. Pentingnya keberadaan Wardjo dibuktikan dengan
kehadirannya yang terus-menerus dalam cerita dan pada dasarnya cerita menyoroti segala hal
yang terjadi pada Wardjo. Pada awal kemunculannya, ia digambarkan sebagai seorang pelajar
Sekolah Pelayaran Tegal milik Jepang yang melakukan pembakaran kapal latih sekolah
tersebut. Aksi itu membuatnya menjadi buronan polisi Jepang sehingga ia harus hidup
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
7
berpindah tempat agar tidak tertangkap. Aksi pemberontakkannya itu pun membuatnya
dianggap sebagai sosok Ratu Adil. Ketika hidup berpindah tempat ia bertemu dengan
sejumlah tokoh yang tergolong tokoh tambahan. Salah satunya adalah Nyai Loro Kidul.
Pertemuannya dengan tokoh mitos Jawa itu membuatnya jatuh cinta sehingga pernikahan di
antara keduanya terjadi tanpa direncanakan dan ia pun mengucapkan sumpah yang dilarang
untuk diucapkan kepada Nyai Loro Kidul. Pada bagian lain dari cerita PDM, Wardjo berperan
sebagai anggota BKR yang selalu selamat dalam pertempuran revolusi karena memiliki
tongkat galih asam yang diberikan oleh Embah Slamet dan mendapat petunjuk-petunjuk untuk
memenangkan pertempuran dari Nyai Loro Kidul.
Sepanjang cerita, tokoh utama berinteraksi dengan sejumlah tokoh tambahan.
Sebagaimana tertera pada tabel tersebut, tokoh tambahan novel PDM terdiri atas lelaki tua,
perempuan setengah tua, Embah Slamet, Nyai Loro Kidul, Ling Ling, Dokter Fadil, Bu Sastro,
Tong Dji, Narto, Ibu Wardjo, Bu Marto, Babah Jitu, dan Pater Sudijono. Nurgiyantoro
(2013:258) menjelaskan bahwa tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek. Berdasarkan hal tersebut tokoh-tokoh tersebut memanglah tergolong tokoh
tambahan karena mereka tidak menjadi fokus penceritaan. Ada beberapa tokoh yang hanya
dimunculkan pada awal atau akhir cerita dan ada yang hanya sesekali. Dengan kata lain,
tokoh-tokoh itu memiliki porsi penceritaan yang pendek. Tokoh-tokoh tambahan dalam novel
PDM itu pun memiliki peran sebagai pendukung tokoh utama.
Tokoh lelaki tua, perempuan setengah tua, dan Embah Slamet adalah tokoh yang
hanya dimunculkan pada bagian awal cerita. Keduanya berperan sebagai tokoh yang
memberikan pertolongan pada Wardjo selama menjadi buronan polisi Jepang. Tidak sekadar
memberikan pertolongan kepada Wardjo, Embah Slamet yang merupakan tokoh makhluk
halus dalam novel PDM juga memberikan tongkat galih asam yang merupakan jimat
keselamatan. Ketika Wardjo menjadi anggota BKR, tongkat tersebut selalu
menyelamatkannya dalam pertempuran melawan Belanda.
Tokoh Nyai Loro Kidul jugalah tokoh makhluk halus dalam novel PDM. Tokoh yang
dimunculkan beberapa kali dalam cerita itu pun berperan sebagai tokoh yang memberikan
pertolongan kepada Wardjo. Pertolongan diberikan tidak hanya ketika Wardjo sedang menjadi
buronan Jepang, tetapi juga ketika Wardjo menjadi anggota BKR. Selain itu, tokoh makhluk
halus itu juga berperan sebagai tokoh yang membuat Wardjo menyatakan sumpah bahwa laki-
laki itu akan selalu mencintainya dan tidak akan pernah mencintai bahkan menikahi
perempuan lain.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
8
Dalam novel PDM diceritakan bahwa Wardjo tidak dapat memenuhi janjinya setelah
ia bertemu dengan tokoh Ling Ling yang baru muncul mulai dari pertengahan cerita. Wardjo
dipertemukan dengan Ling Ling atas bantuan tokoh Dokter Fadil, Bu Sastro, dan Tong Dji.
Dengan adanya pertemuan itu, Wardjo mulai jatuh cinta pada perempuan itu. Pada akhirnya,
ia pun menikahi Ling Ling. Dengan kata lain, ia telah melanggar sumpahnya sehingga ia
terkena kutukan yang membuatnya hampir meninggal. Jika saja Nyai Loro Kidul tidak
menyelamatkan Wardjo dari kematian dengan cara membantu laki-laki itu menemukan
keyakinan akan keberadaan Tuhan, Wardjo tidak akan selamat. Sebenarnya, Wardjo bisa saja
tidak terkena kutukan asalkan ia menuruti perkataan ibunya, Narto, Bu Marto, dan Babah Jitu
untuk tidak menikahi Ling Ling.
Sebelum Wardjo mendapat bantuan dari Nyai Loro Kidul dalam menemukan
keyakinan akan keberadaan Tuhan, Wardjo telah lebih dahulu dibaptis oleh Pater Sudijono
atas kemauannya sendiri. Hal ini karena ia meyakini bahwa Jesus adalah Tuhan yang
dimaksud oleh Nyai Loro Kidul. Namun ternyata, keyakinannya tidaklah sesuai dengan yang
dimaksud Nyai Loro Kidul.
Sementara itu, analisis alur menunjukkan bahwa alur novel PDM berplot campuran.
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, plot campuran merupakan jenis alur
cerita yang mengandung sejumlah sorot balik di sela-sela jalan cerita yang berjalan progresif.
Secara garis besar, alur novel tersebut memiliki urutan sebagai berikut ini.
A—B1—C1—B2—C2—E2—C3—D—E1—E2
A merupakan tahap awal dari cerita tersebut. Tahap itu dimulai dengan kisah Wardjo
membakar kapal latih Sekolah Pelayaran Tegal hingga bersembunyi di gua karang yang ada di
Pantai Laut Selatan karena menjadi buronan polisi Jepang. B1 merupakan tahap tikaian.
Bagian tersebut dimulai dengan menceritakan pertemuan Wardjo dengan Nyai Loro Kidul
untuk pertama kalinya hingga menceritakan pertemuan Wardjo dengan Ling Ling untuk
pertama kalinya. Bagian itu termasuk pada tahap tikaian karena konflik sudah mulai muncul.
Terkait hal itu, Kenney (1966:17) menjelaskan bahwa we move from the end of the beginning
to the beginning of the middle as the elements tending towards instability in the initial
situation group themselves into what we recognize as a pattern of conflict. Konflik itu berupa
terjadinya pernikahan antara Wardjo dengan Nyai Loro Kidul tanpa direncanakan dan
terucapnya sumpah terlarang oleh Wardjo kepada Nyai Loro Kidul.
Seharusnya setelah B1, cerita masuk ke B2 yang mengisahkan jatuh cintanya Wardjo
kepada Ling Ling. Namun, sebelum masuk pada bagian itu, terlebih dahulu cerita masuk pada
C1 yang merupakan bagian dari tahap rumitan. Bagian itu termasuk tahap rumitan karena
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
9
terdapat konflik yang lebih kompleks atau rumit dibanding konflik yang terjadi pada tahap
sebelumnya. Terkait hal itu, Kenney (1966:18) menjelaskan bahwa the movement from the
initial statement of conflict to the climax is often referred to as complication. C1 menceritakan
kegundahan hati atau konflik batin dalam diri Wardjo karena ketika ia sudah membuat
sumpah kepada Nyai Loro Kidul bahwa ia tidak akan pernah mencintai perempuan lain, ia
justru mulai mencintai Ling Ling. Baru setelahnya, dengan sorot balik cerita masuk pada B2
yang mengisahkan awal mula Wardjo mencintai Ling Ling. Melanjutkan C1, awal bagian C2
mengisahkan konflik batin pada diri Wardjo. Bagian itu diakhiri dengan terjadinya
pertentangan antara Wardjo dengan sejumlah tokoh tambahan karena ia berniat menikahi Ling
Ling, padahal ia sudah bersumpah kepada Nyai Loro Kidul.
Setelahnya, cerita langsung masuk ke E2 yang merupakan tahap akhir cerita. E2
tergolong bagian tahap akhir karena di dalamnya berisi penyelesaian cerita. Terkait hal itu,
Kenney (1966:19) menyebutkan bahwa in our three-part division of the work of fiction, the
end consists of everything from the climax to the denouement, or outcome of the story.
Perpindahan tahap alur dari C2 ke E2 memberikan kesan ada bagian cerita yang hilang. Hal ini
karena E2 menceritakan apa yang terjadi pada Wardjo setelah menikahi Ling Ling. Padahal,
peristiwa menikahnya Wardjo dengan Ling Ling belum diceritakan. Bagian yang terkesan
hilang itu barulah diceritakan setelah E2. Dengan sorot balik cerita masuk ke C3. Bagian itu
menceritakan konflik yang terjadi antara tokoh utama dengan tokoh tambahan dan konflik
dalam diri tokoh utama sendiri karena berniat menikahi Ling Ling. Konflik-konflik tersebut
hampir mencapai puncak kerumitannya. Begitu konflik tersebut mencapai kerumitannya,
masuklah pada tahap D, yakni tahap klimaks, yang menceritakan peristiwa menikahnya
Wardjo dengan Ling Ling. D merupakan klimaks karena pada bagian itu konflik sudah
mencapai puncak kerumitannya sehingga perlu segera diselesaikan. Terkait hal itu, Kenney
(1966:18) menjelaskan bahwa the climax is reached when the complication attains its highest
point of intensity, from which point the outcome of the story is inevitable. Dari D, cerita pun
masuk pada tahap E1 yang merupakan awal tahap akhir sebelum E2 diceritakan pada bagian
sebelumnya. Bagian ini mengisahkan Wardjo dan Ling Ling yang sedang berada di Bandung
untuk berbulan madu. Cerita pun diakhiri dengan E2. Awal bagian ini menceritakan kisah
ditembaknya Wardjo oleh para pemberontak APRA. Sementara itu, akhir bagian ini
menceritakan keberhasilan Wardjo dalam menemukan keyakinan akan adanya Tuhan.
Analisis unsur intrinsik yang terakhir adalah analisis latar. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, latar yang dibahas dalam penelitian ini adalah latar tempat, waktu,
dan sosial. Hasil analisis latar ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
10
Tabel 2. Hasil Analisis Latar Keterangan Latar Tempat - Berbagai kota di Pulau Jawa
- Gunung Slamet dan Laut Selatan - Alam gaib
Latar Waktu Tahun 1945—1950 yang berkaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia
Latar Sosial Masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh ajaran religi kejawen Sesuai dengan yang ditunjukkan pada tabel, latar tempat yang digunakan dalam novel
PDM adalah berbagai tempat di Pulau Jawa. Berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah,
bahkan Jawa Timur dijadikan sebagai latar tempat dalam novel tersebut. Kota yang
mendominasi adalah Kota Solo. Selain kota, Gunung Slamet yang ada di Jawa Tengah dan
Laut Selatan yang ada di selatan Pulau Jawa juga dijadikan sebagai latar tempat. Gunung
Slamet dijadikan sebagai latar tempat bertemunya Wardjo dengan Embah Slamet. Sementara
itu, Laut Selatan dijadikan sebagai tempat terceburnya Wardjo ke laut sebelum ia bertemu
dengan Nyai Loro Kidul untuk pertama kalinya. Alam gaib, yang menurut Anwar dan MZ.
(1995:11) adalah alam yang tidak bisa dilihat dengan panca indera biasa, dijadikan pula
sebagai latar tempat terjadinya peristiwa. Peristiwa bertemunya Wardjo dengan Nyai Loro
Kidul merupakan peristiwa yang terjadi di alam gaib, tepatnya di keraton yang menjadi
tempat tinggal Nyai Loro Kidul.
Sementara itu, latar waktu yang digunakan dalam novel tersebut adalah latar waktu
yang berkaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia antara tahun 1945—1950. Latar waktu
tersebut tidaklah digunakan sekadar sebagai “tempelan”. Latar waktu itu justru mengikat
segala perbuatan yang dilakukan tokoh-tokohnya. Ketika terjadi suatu peristiwa sejarah,
tokoh-tokoh dalam novel tersebut ikut mengalami akibat dari peristiwa tersebut. Misalnya,
ketika terjadi peristiwa pemberontakan APRA di Bandung pada tahun 1950, tokoh utama
menjadi korban dari pemberontakan itu.
Terakhir adalah latar sosial. Dalam novel tersebut latar sosial yang digunakan adalah
kehidupan masyarakat Jawa yang dipengaruhi oleh ajaran religi Kejawen. Secara tersurat
dikatakan bahwa tokoh memang hidup di antara orang-orang yang menganut Kejawen.
[. . .] Sebelum terlelap Wardjo mencoba juga berdoa. Meski ayah Wardjo seorang haji, ia disekolahkan di sekolah Zending atas permintaan ibunya. Ibu Wardjo pernah dipungut anak oleh seorang domine dan mendapat pendidikan yang matang dalam agama Kristen. Nasib jugalah yang mempertemukan dua orang yang berlainan agama itu, hingga menjadi sepasang suami isteri. Ayah Wardjo baru mengetahui, bahwa isterinya memeluk agama Kristen sesudah pernikahan mereka. Kakek Wardjo dari pihak ibu memang mengaku
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
11
beragama Islam, walau tidak pernah menjalankan ibadah selain menjalankan puasa dalam bulan Ramadan. Tapi sebagian cara hidup kakek dan nenek dari pihak ibu itu dikuasai oleh tradisi Kejawen yang tidak jelas lagi pangkal ujungnya. Ada unsur-unsur kuat berasal dari agama Islam. Sebaliknya, tidak sedikit kebiasaan sehari-hari yang menunjukkan pengaruh agama Hindu, Buddha bahkan juga pengaruh animisme dan dinamisme. (Hartowardojo, 1976:25)
Dengan adanya pengaruh ajaran religi tersebut, tokoh-tokoh yang dimunculkan memercayai
adanya makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib.
Dari analisis intrinsik yang dilakukan terhadap novel PDM diperoleh sejumlah
informasi yang memiliki kaitan dengan konsep dan keyakinan religi Kejawen. Ada delapan
konsep dan keyakinan religi Kejawen yang digambarkan dalam novel tersebut. Berikut tabel
yang memperlihatkan kedelapan hal tersebut. Tabel 3. Konsep dan Keyakinan Religi Kejawen dalam Novel PDM No. Konsep dan Keyakinan Religi
Kejawen
Penggambaran Konsep dan Keyakinan Religi
Kejawen dalam Novel PDM
1. Keyakinan akan adanya
makhluk halus
Muncul dua tokoh makhluk halus, yakni Embah
Slamet dan Nyai Loro Kidul yang diyakini dapat
memberikan keselamatan pada manusia
2. Keyakinan akan adanya
perjanjian antara manusia
dengan makhluk halus
Sumpah yang dikatakan oleh Wardjo (manusia)
kepada Nyai Loro Kidul (makhluk halus)
3. Keyakinan akan adanya
pernikahan antara manusia
dengan makhluk halus
Peristiwa menikahnya Wardjo (manusia) dengan
Nyai Loro Kidul (makhluk halus)
4. Konsep mengenai Tuhan Penyataan Nyai Loro Kidul mengenai sosok “Dia”
5. Konsep mengenai sangkan
paraning dumadi
Pernyataan Nyai Loro Kidul mengenai akan
kembalinya ia ke “alam Yang Telah
Menjadikannya” atau “alam asali abadi”
6. Keyakinan akan adanya tempat
keramat
Penggunaan Gunung Slamet dan wilayah Laut
Selatan yang dianggap keramat sebagai latar tempat
7. Keyakinan akan adanya benda
bertuah
Adanya tongkat galih asam dan jimat-jimat lain
yang mampu memberikan keselamatan bagi
pemiliknya
8. Konsep mengenai Ratu Adil Pemberian gelar Ratu Adil terhadap Wardjo
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
12
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel tersebut, konsep dan keyakinan religi Kejawen yang
digambarkan dalam novel PDM terdiri atas keyakinan akan adanya makhluk halus, keyakinan
akan adanya perjanjian antara manusia dengan makhluk halus, keyakinan akan adanya
pernikahan antara manusia dengan makhluk halus, konsep mengenai Tuhan, konsep mengenai
sangkan paraning dumadi, keyakinan akan adanya tempat keramat, keyakinan akan adanya
benda bertuah, dan konsep mengenai Ratu Adil.
Poin pertama adalah keyakinan akan adanya makhluk halus. Orang Jawa sangatlah
memercayai adanya makhluk halus yang tidak kasatmata. Hal ini terbukti dengan adanya
penggolongan jenis makhluk halus ke dalam lima kelompok. Geertz (2013:23) menyebutkan
bahwa orang Jawa membagi makhluk halus menjadi golongan memedi, lelembut, tuyul, demit,
dan danyang. Dalam novel PDM, keyakinan terhadap hal tersebut diwujudkan dengan adanya
tokoh-tokoh makhluk halus, yakni Embah Slamet dan Nyai Loro Kidul. Kedua makhluk halus
tersebut merupakan danyang. Geertz (2013:23) menjelaskan bahwa danyang tinggal di suatu
tempat yang disebut pundhèn5. Sebagaimana ditunjukkan dalam novel PDM, kedua makhluk
halus itu tinggal di tempat keramat. Embah Slamet tinggal di Gunung Slamet yang ada di
Jawa Tengah sedangkan Nyai Loro Kidul tinggal di Laut Selatan yang ada di selatan Pulau
Jawa. Geertz (2013:23) pun mengatakan bahwa danyang tidak menyakiti orang, hanya
bermaksud melindungi. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Embah Slamet, sesuai
dengan namanya “Slamet” yang berarti ‘selamat’, mampu memberikan keselamatan kepada
manusia. Hal tersebut diakui oleh tokoh itu dalam pernyataannya berikut ini.
“Bukan sembarangan gunung ini dinamakan Gunung Slamet. Kalau bukan karena kesalahan sendiri, aku tak pernah membiarkan orang mendapat celaka di puncak gunungku ini. Nah, aku mau kembali ke gubukku di dalam kawah. Selamat tinggal dan selamat jalan untukmu. Sampaikan salamku kepada Nyai Loro Kidul.” (Hartowardojo, 1976:48)
Sama halnya dengan Embah Slamet, Nyai Loro Kidul pun juga demikian. Meskipun banyak
kisah menceritakan bahwa sosok Nyai Loro Kidul adalah sosok yang kejam, dalam novel
PDM ia justru digambarkan sebagai sosok yang baik hati dan memiliki niat untuk
menyelamatkan manusia. Penyelamatannya terhadap manusia salah satunya terjadi ketika ia
membantu Wardjo memenangkan pertempuran revolusi.
Di antara peristiwa-peristiwa yang aneh-aneh itu, hanya pasukan di bawah pimpinan Wardjo yang tetap utuh. Seperti juga dalam pengalamannya yang pertama di pinggiran kota sebelah Timur kota Bandung, tiap kali menghadapi saat yang kritis, ia selalu mendengar suara gamelan yang merdu dan merayu-rayu. Kemudian terdengar petunjuk-petunjuk Nyai Loro Kidul di telinganya. (Hartowardojo, 1976:85)
5 Pundhèn (Jw.): tempat keramat yang sangat dihormati. (Utomo, 2009:389)
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
13
Pada kenyataannya, orang Jawa yakin bahwa Nyai Loro Kidul adalah makhluk halus yang
berhati baik. Seorang paranormal di Jawa Tengah (Twikromo, 2000:61) pun menyatakan
bahwa sebenarnya Kanjeng Ratu itu sangat welas asih (penuh belas kasihan) pada manusia.
Yang sering menimbulkan korban itu Nyai Blorong dan prajurit Kanjeng Ratu. Nyai Blorong
sering memba-memba (bersalin wujud menyerupai) Kanjeng Ratu.
Hal kedua yang digambarkan dalam novel tersebut adalah keyakinan akan adanya
perjanjian antara manusia dengan makhluk halus. Keyakinan pada hal tersebut diwujudkan
dengan terucapnya sumpah atau “perjanjian dengan maut”. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, Wardjo (manusia) bersumpah kepada Nyai Loro Kidul (makhluk halus) bahwa ia
akan selalu mencintai makhluk halus itu dan tidak akan pernah mencintai perempuan lain.
Jika ia melanggarnya, ia siap menemui ajalnya dan ia siap menjadi budak makhluk halus itu
untuk selama-lama.
“Sebelum aku pergi, terimalah dahulu sumpahku. Akan kuberikan hatiku kepadamu seorang,” keluh Wardjo. Terlambat! Terlambat sudah! Ia tak sempat meletakkan jari telunjuk ke bibir pemuda itu. “Biarlah kutukmu jatuh atas diriku, jika aku mengkhianati sumpahku.” “Kelirulah kau, hai manusia yang tak kenal kelemahan dirinya,” kata Nyai Loro Kidul dengan suara seram. “Sumpahmu sudah terucapkan, tak dapat kau menariknya kembali. Baiklah, aku menerima sumpahmu. Karena itu dengarkan pesanku yang terakhir. Janganlah kauberikan hatimu kepada gadis mana pun sebelum kau mencapai umur dua puluh lima tahun. Jika kau mampu memenuhi syaratku ini, maka kutukku tidak akan turun atas dirimu.” (Hartowardojo, 1976:60)
Sumpah itu pun dibalas oleh Nyai Loro Kidul dengan kesediaannya melindungi Wardjo dari
bahaya.
[. . .] Nyai Loro Kidul masih sempat berkata kepadanya: “Dalam menghadapi bahaya, aku akan berada di sampingmu. Sebelum bahaya datang, aku akan memperingatkanmu. Jika berada dalam kesulitan, asal kaupanggil aku, tidak akan kuingkari panggilanmu.” (Hartowardojo, 1976:61)
Penganut Kejawen meyakini bahwa perjanjian antara manusia dengan makhluk halus
dapat terjadi. Dalam perjanjian itu terdapat kesepakatan. Manusia menjanjikan suatu hal
kepada makhluk halus dan sebagai gantinya makhluk halus melakukan sesuatu untuk manusia.
Endraswara menyebutkan hal semacam ini sebagai kontrak kerja. Ia menyatakan bahwa
kontrak kerja tak harus dibayar uang. Kontrak dapat dibayar dengan barang dan nyawa
(2004:116).
Ketika perjanjian sudah dibuat, baik manusia maupun makhluk halus harus melakukan
tugas masing-masing sesuai dengan yang dijanjikan. Endraswara mengatakan bahwa pada
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
14
saat melaksanakan eksekusi, hantu akan menjalankan semua kesepakatan awal. Dia tak akan
menambah dan mengurangi sedikitpun (2004:117). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
makhluk halus akan melaksanakan tugasnya sesuai perjanjian dan tidak ada kemungkinan ia
akan mengingkari perjanjian itu. Namun, ada kemungkinan pihak manusia mengingkarinya.
Umumnya, pengingkaran itu terjadi karena manusia sudah tidak mampu lagi melakukan yang
dijanjikan. Oleh karena itu, orang yang melakukan kontrak kerja dengan makhluk halus
haruslah yang memiliki kesiapan fisik dan batin untuk melakukan apa yang disepakati sampai
masa kontrak kerja itu berakhir. Jika manusia mengingkari kontak kerja itu, ia haruslah siap
menanggung risikonya. Endraswara (2004:117) menyebutkan bahwa andaikata janji atau
kesepakatan tak ditepati oleh pihak user (manusia), tentu hantu itu akan berbalik
menyerangnya. Pengingkaran janji yang disebutkan oleh Endraswara terjadi dalam novel
PDM. Pernikahan yang terjadi antara Wardjo dengan Ling Ling merupakan wujud dari
pengingkaran sumpah yang diucapkan oleh Wardjo. Akibatnya, Wardjo pun hampir
meninggal setelah menjadi korban pemberontakan APRA.
Unsur religi Kejawen yang ditampilkan dalam novel PDM berikutnya adalah
keyakinan akan adanya pernikahan antara manusia dengan makhluk halus. Hal ini diwujudkan
melalui terjadinya pernikahan antara Wardjo (manusia) dengan Nyai Loro Kidul (makhluk
halus) sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut ini.
Gelombang laut bergulung masuk menyambar mereka dan menghempaskan mereka ke atas pelaminan. Hanya menambah kemarahan Nyai Loro Kidul belaka. Dan dalam kemurkaannya itu ia mencoba menolak terkaman gelombang laut, yang biasa tunduk kepada perintahnya. Yang tertangkap dalam genggamannya hanyalah Wardjo, yang tanpa dia sadari telah diremas, diredamkan, dan dilumatkannya. (Hartowardojo, 1976:58)
Para penganut Kejawen meyakini hal tersebut memang dapat terjadi. Keyakinan tersebut
berawal dari adanya kisah cinta antara Panembahan Senopati, Raja Kerajaan Mataram II,
dengan Nyai Loro Kidul yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi. Pada Babad Tanah Jawi
terdapat kalimat yang mengatakan bahwa Sang Senopati berada di Laut Selatan selama tiga
hari tiga malam, hidup sebagai suami-istri dengan Rara Kidul (Twikromo, 2000:63). Hal itu
menandakan bahwa telah terjadi pernikahan antara Panembahan Senopati (manusia) dengan
Nyai Loro Kidul (makhluk halus). Sampai saat ini, pernikahan itu diyakini oleh orang Jawa
sebagai suatu yang benar-benar terjadi.
Pembahasan mengenai religi tidaklah terlepas dari pembahasan mengenai konsep
Tuhan. Melalui novel PDM dapat diperoleh penjelasan mengenai konsep Tuhan. Penjelasan
tersebut dapat ditemukan melalui berbagai pernyataan Nyai Loro Kidul kepada Wardjo
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
15
mengenai Tuhan dan pendeskripsian wujudnya ketika Wardjo berhasil memiliki keyakinan
akan keberadaan Tuhan. Sebenarnya, dalam novel PDM Nyai Loro Kidul tidak sekali pun
menyebut kata “Tuhan”. Namun, ia sering kali menyebut kata “Dia”. Penulisan kata “Dia”
dengan menggunakan huruf d kapital (D) tentu merupakan suatu cara yang digunakan oleh
Nyai Loro Kidul untuk menyebut Tuhan.
Ada empat konsep Tuhan yang disebutkan dalam novel tersebut, yakni Tuhan Yang
Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Pencipta, Tuhan terletak di hati setiap manusia, dan Tuhan
Yang Maha Besar. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep Tuhan dalam pandangan
Kejawen. Sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat (1984:322) keyakinan orang Jawa
yang beragama Agami Jawi terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal itu dituangkan dalam
suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos. Istilah tersebut memiliki maksud
bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa. Koentjaraningrat (1984:322) pun menyebutkan
bahwa para penganut Agami Jawi dari daerah pedesaan mempunyai konsep yang sangat
sederhana, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta. Selanjutnya, Koentjaraningrat (1984:323)
menjelaskan bahwa Tuhan adalah keseluruhan alam dunia ini yang dilambangkan dengan
wujud makhluk dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati
sanubari orang, Tuhan sekaligus juga besar dan luas seperti samudra, tidak berujung dan tidak
berpangkal seperti angkasa.
Masih berkaitan dengan konsep Tuhan, orang Jawa meyakini pula akan adanya konsep
sangkan paraning dumadi atau konsep asal-muasal manusia. Konsep ini menyatakan bahwa
manusia berasal dari Tuhan dan suatu saat nanti akan kembali kepada Tuhan. Terkait hal ini,
Adiwardoyo (Hariwijaya, 2006:76) pun menyebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dalam
konsep Jawa merupakan asal-muasal dan tujuan seluruh penciptaan, atau sangkan paraning
dumadi. Konsep ini tidak hanya berlaku untuk manusia saja, tetapi juga berlaku untuk
makhluk halus yang jugalah makhluk ciptaan Tuhan. Hal tersebut dimunculkan dalam novel
PDM. Kemunculannya diwujudkan melalui pernyataan Nyai Loro Kidul yang mengaku
bahwa ia ingin kembali ke “alam Yang Telah Menjadikannya”.
Dalam hati Nyai Loro Kidul mengeluh, karena ia tahu ia terbebas dari kematian. Satu-satunya harapan yang ada ialah agar selekasnya diperkenankan pulang ke alam Yang Telah Menjadikannya. Berkali-kali ia sujud sesudah itu, jawab yang diperolehnya hanyalah kain layar putih mengembang di depan mata. (Hartowardojo, 1976:59—60)
Sebagaimana manusia, bagi makhluk halus Tuhan jugalah asal-muasal dan tujuan “hidup”-
nya. Oleh karena itu, ketika waktunya tiba, makhluk halus pun akan kembali pada Tuhan.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
16
Keyakinan yang dimunculkan dalam novel PDM berikutnya adalah keyakinan akan
adanya tempat keramat atau pundhèn. Bentuk keyakinan terhadap hal tersebut diwujudkan
melalui penggunaan Gunung Slamet dan Laut Selatan sebagai latar tempat dalam novel PDM.
Pada kenyataannya, kedua tempat tersebut merupakan tempat keramat bagi para penganut
religi Kejawen. Keduanya dianggap keramat karena di sana berdiri keraton makhluk halus
yang tidak kasatmata, tempat tinggal makhluk halus. Terkait keberadaan keraton makhluk
halus itu, Twikromo menjelaskan bahwa Keraton Laut Selatan digambarkan mirip dengan
keraton yang ada di dunia nyata. Di dalam keraton tersebut terdapat istana, alun-alun,
tumbuh-tumbuhan, hewan, jalan, abdi dalem, dan sebagainya (2000:72). Hal demikian
berlaku pula untuk keraton makhluk halus yang ada di gunung-gunung berapi seperti Gunung
Slamet. Dalam novel PDM pun digambarkan bahwa Gunung Slamet ditempati oleh Embah
Slamet (makhluk halus) sedangkan Laut Selatan ditempati oleh Nyai Loro Kidul (makhluk
halus). Selain itu, digambarkan pula bahwa pertemuan Wardjo dengan Nyai Loro Kidul untuk
pertama kalinya terjadi di gubuk milik Nyai Loro Kidul yang berada di alam gaib. Dalam hal
ini, kata “gubuk” mengacu pada keraton makhluk halus yang menjadi tempat tinggal Nyai
Loro Kidul.
“Selamat datang ke gubukku yang buruk ini, pahlawanku. Dari tongkat yang kaubawa, dari jantung pohon asam, tahulah aku siapa yang mengirimmu kemari.” (Hartowardojo, 1976:54)
Dalam novel PDM dimunculkan pula keyakinan akan adanya benda bertuah atau jimat.
Triyogo (2005:8) menyatakan bahwa tuah artinya makna atau arti, tetapi bisa juga diartikan
sebagai manfaat. Bentuk keyakinan ini diwujudkan melalui adanya tongkat galih asam yang
dapat mendatangkan keselamatan bagi pemiliknya. Tongkat tersebut dimiliki oleh Wardjo. Ia
mendapatkannya dari Embah Slamet. Ketika terlibat dalam pertempuran revolusi, tongkat itu
selalu Wardjo bawa ke medan pertempuran dan digunakannya sebagai senjata. Tidak ada
senjata api maupun senjata tajam yang dibawa oleh Wardjo saat itu. Namun, ia selalu selamat
dan tidak terluka sedikit pun. Padahal, ia hanya membawa tongkat galih asam.
Tidak lagi ia membawa senjata. Pistol tidak, granat pun tidak. Hanya tongkatnya, yang menjadi suatu perlambang yang agung dan tempat pasukannya mempertaruhkan semua kepercayaannya. [. . .] (Hartowardojo, 1976:84)
Tongkat itu memanglah salah satu benda bertuah. Sebagaimana dikatakan oleh Embah
Slamet dalam novel tersebut, di dalam tongkat itu terdapat kekuatan gaib yang membuatnya
dapat memberikan keselamatan bagi pemiliknya.
“Hm, hm. Ya, aku yang keliru. Mengenai tongkat ini, ia akan jadi penyelamat bagimu sepanjang jalan. Dengan hidup dari Prana saja, aku mampu memasukkan tenaga gaib
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
17
ke dalam tongkat jantung asam itu, yang kelak akan memberikan jalan yang selamat kepada siapa pun yang membawanya.” (Hartowardojo, 1976:46)
Pada kenyataannya pun Triyogo (2005:38—107,117—132) menyatakan bahwa benda bertuah
dapat berupa bambu dari berbagai jenis, kayu dari berbagai jenis pohon, dan batu. Salah
satunya adalah galih asam atau teras pohon asam. Triyogo menjelaskan bahwa manfaat dari
teras ini bisa dimanfaatkan sebagai piandel6 dan bertuah untuk keselamatan. Selain itu,
mampu menolak jin jahat, dapat menolak tenung (santet), dan merupakan antidaya negatif
(2005:58).
Konsep terakhir yang dimunculkan dalam novel PDM adalah konsep mengenai Ratu
Adil. Konsep ini diwujudkan melalui pemberian gelar Ratu Adil untuk Wardjo oleh sejumlah
orang Jawa yang dimunculkan dalam novel tersebut. Ia mendapatkan gelar itu karena ia
pernah melakukan aksi kepahlawanan, yaitu membakar kapal latih Sekolah Pelayaran Tegal
yang telah dikuasai oleh Jepang. Ratu Adil memanglah sosok yang diyakini memiliki sifat
kepahlawanan. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika Wardjo mendapatkan gelar tersebut.
Koentjaraningrat (1984:332) menyebutkan bahwa sejak berabad-abad dalam alam pikiran
orang Jawa pada umumnya (kadang-kadang lebih, kadang-kadang kurang) ada suatu
keyakinan terpendam mengenai adanya seorang Ratu Adil yang akan tiba membawa keadilan
dan keteraturan di dunia ini. Bahkan, Aziz (2014:25) mengatakan bahwa historiografi
Nusantara mengenal kisah tentang Ratu Adil sebagai simbol untuk menolong bangsa ini dari
kegelapan menuju ke cahaya terang. Dengan kata lain, sosok Ratu Adil selalu memiliki
keterkaitan dengan keadaan carut-marut atau kehidupan yang sengsara. Ketika situasi
kehidupan sedang carut-marut, orang Jawa secara sadar ataupun tidak sadar mengharapkan
kedatangannya. Hal itu pun menjadi alasan mengapa istilah Ratu Adil muncul dalam novel
yang berlatarkan masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Kesimpulan
Tidaklah dapat dipungkiri bahwa religi Kejawen erat kaitannya dengan hal-hal mistik.
Hal ini karena dari delapan unsur religi tersebut, sekiranya ada lima keyakinan yang memiliki
hubungan dengan makhluk halus. Melalui novel PDM tergambarkan bahwa orang Jawa
sangatlah bergantung pada hal-hal mistik itu. Ketergantungan itu sangat jelas terlihat melalui
pemilihan tempat bersembunyi tokoh utama saat menjadi buronan polisi Jepang, yakni di
6 Piandel (Jw.): tanggung jawab, kepercayaan, yang dipercaya. (Utomo, 2009:373)
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
18
Gunung Slamet dan wilayah Laut Selatan. Kedua tempat itu dipilih sebagai tempat
bersembunyi karena adanya anggapan bahwa keduanya merupakan tempat keramat yang
dapat mendatangkan keselamatan bagi orang yang berada di sana. Selain itu, tokoh utama pun
sangat memasrahkan keselamatan dirinya pada tongkat galih asam yang bertuah dan petunjuk-
petunjuk yang diberikan oleh Nyai Loro Kidul ketika ia ikut pertempuran revolusi.
Memang hal-hal mistik itu dapat mendatangkan keselamatan. Namun, sebagaimana
ditunjukkan dalam novel PDM, hal-hal itu juga dapat mendatangkan kerugian. Dalam novel
tersebut diceritakan bahwa sumpah yang diucapkan oleh Wardjo kepada Nyai Loro Kidul
awalnya memberikan manfaat baginya karena Nyai Loro Kidul selalu menolongnya ketika
dalam bahaya. Hanya saja, pada akhirnya sumpah itu justru membuatnya hampir meninggal
karena ia tidak sanggup memenuhinya. Melalui penggambaran itu secara tersurat maupun
tersirat menimbulkan kesan bahwa manusia tidak seharusnya bergantung pada hal-hal mistik
itu, tetapi pada Tuhan.
Dalam novel PDM diceritakan bahwa Nyai Loro Kidul meminta Wardjo untuk
menemukan keyakinan pada Tuhan agar laki-laki itu dapat membatalkan sumpahnya. Setelah
menemukan keyakian pada Tuhan yang sesuai dengan konsep-konsep mengenai Tuhan dalam
pandangan Kejawen, Wardjo pun terbebas dari sumpahnya sehingga ia selamat dari kematian.
Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah penyelamat manusia yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka Anwar, Gatot M. Sahid dan Labib MZ. 1995. Ilmu Trawangan Meraga Sukma: Ajian
Penakluk dan Kadigdayan Disertai Cara Mempelajarinya. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Aziz, Munawir. 2014. “Ratu Adil dan Simbol Pemimpin”. Suara Merdeka. 22 Juni 2014. http://epaper.suaramerdeka.com/read/2014/06/22/25EM22F14MGU.pdf (diakses pada 19 April 2015).
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Endraswara, Suwardi. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Hariwijaya, M. 2006. Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Hartowardojo, Harijadi S. 1976. Perjanjian dengan Maut. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015
19
Kenney, William. 1966. How To Analyze Fiction. New York: Monarch Press.
Koentjaraningrat. 1984. Seri Etnografi Indonesia No. 2: Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahayana, Maman S. dkk. 1995. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: PT Grasindo.
Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern Jilid II. Jakarta: Pustaka Jaya.
Triyogo, Anan Hajid. 2005. Magis dan Kekuatan Gaib. Yogyakarta: Narasi.
Twikromo, Y. Argo. 2000. Ratu Kidul. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Utomo, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sistem religi..., Novinka Praramadona Putri, FIB UI, 2015