seminar jurnal gadar fix
DESCRIPTION
Seminar Jurnal Gadar FIXTRANSCRIPT
LAPORAN ANALISIS JURNAL KEPERAWATAN
“ACCURACY OF STROKE DIAGNOSIS BY REGISTERED NURSES USING
THE ROSIER TOOL COMPARED TO DOCTORS USING NEUROLOGICAL
ASSESSMENT ON A STROKE UNIT: A PROSPECTIVE AUDIT”
OLEH
KELOMPOK III A
Putu Hena Pramonia Cita (0902105009)
Ni Kadek Diah Purnamayanti (0902105005)
I Gusti Ayu Meila Satria Dewi (0902105025)
I Putu Agus Prawita Styawan (0902105068)
Ni Made Dwiyanti (0902105072)
Putu Rudi Mahardikaputra (0902105023)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Stroke adalah cerebrovaskular accident yang menyebabkan gangguan suplai darah ke
otak sehingga perfusi oksigen dan nutrisi menjadi terganggu. Gangguan perfusi ini
menyebabkan kerusakan jaringan. Adapun tanda yang paling sering muncul adalah bentuk
wajah yang asimetris, kelemahan pada ekstremitas, dan suara yang terdengar pelo. Tanda
klinis lainnya juga meliputi kesulitan dalam bicara dan memahami pembicaraan, gangguan
pengglihatan pada salah satu atau kedua mata, nyeri kepala, gangguan koordinasi, dan
gangguan kesadaran. Meski demikian manifestasi klinis dipengaruhi oleh bagian jaringan
otak yang mengalami kerusakan (WHO, 2013).
Stroke merupakan keadaan gawat darurat karena menyebabkan mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. WHO dalam David (2013) menyatakan setiap tahun ada 15 juta
orang terserang stroke, 5 juta diantaranya meninggal dan 5 juta orang mengalami cacat
permanen. Kegawatdaruratan dapat terjadi pada stroke karena adanya gangguan saraf pusat
yang mengatur pusat pernapasan serta defisit neurologis yang mengganggu saluran napas dan
fungsi ventilasi. Sementara itu angka morbiditas stroke disebabkan oleh defek neurologis
pada saraf sensoris dan motorik yang memerlukan perawatan dan rehabilitasi yang panjang.
Secara garis besar stroke dibedakan menjadi stroke hemoragi dan stroke iskemi.
Adapun insidensi stroke iskemi yang disebabkan oleh thrombosis dan emboli lebih sering
terjadi dibandingkan stroke hemoragi (Edward, 2013). Pengobatan terkini pada stroke iskemi
adalah dengan pemberian recombinant tissue-type plasminogen activator (rt-PA) melalui
intravena. Pemberian rt-PA yang paling efektif dalam waktu 90 menit dari timbulnya gejala
stroke dari 6900 pasien stroke di 10 pusat stroke di Eropa. Para peneliti menemukan bahwa
pasien dengan skore 7-12 pada National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) memiliki
hasil yang lebih baik ketika trombolitik diberikan dalam satu jam pertama dari timbulnya
onset stroke menunjukkan outcome yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang
diberikan terapi pada 90-270 menit pasca gejala. Penelitian prospektif pada 3 bulan terapi
trombolitik menunjukkan pemberian trombolitik lebih awal adalah kecacatan yang lebih
ringan atau bahkan tanpa gejala sisa.
Adapun permasalahan yang saat ini sering terjadi adalah penundaan pemberiaan
terapi trombolisis karena proses diagnosis stroke yang lambat. Salah satu solusi yang perlu
menjadi pengkajian adalah keterampilan pengambilan keputusan klinis di emergency
department sebagai penerima pertama pasien stroke. Perawat sebagai tenaga kesehatan dapat
menjadi agen yang berperan penting untuk melakukan pengkajian dan menentukan rencana
intervensi pada pasien dengan stroke. ROSIER tool merupakan salah satu alat pengkajian
yang dapat digunakan dalam unit emergency untuk mengetahui lebih awal pasien dengan
kecuriagaan stroke sehingga dapat mengadvokasi pemberian terapi trombolitik pada pasien
dengan stroke iskemi (B. Byrne et al ,2010).
B. TUJUAN
Berdasarkan latar belakang di atas dan jurnal yang akan dianalisis, maka dapat dibuat
rumusan masalah:
1. Bagaimanakah analisis PICOT dari jurnal “Accuracy of Stroke Diagnosis by Registered
Nurses Using The ROSIER Tool Compared to Doctors Using Neurological Assessment
On A Stroke Unit: A Prospective Audit”?
2. Apa sajakah implikasi keperawatan yang dapat diperoleh dari jurnal “Accuracy of Stroke
Diagnosis by Registered Nurses Using The ROSIER Tool Compared to Doctors Using
Neurological Assessment On A Stroke Unit: A Prospective Audit”?
3. Apa sajakah hambatan dalam aplikasi penggunaan ROSIER tool pada perawat di unit
gawat garurat?
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan rumusan masalah yang ditentukan, maka tujuan dari analisis jurnal ini adalah:
1. Menganalisis PICOT dari jurnal “Accuracy of Stroke Diagnosis by Registered Nurses
Using The Rosier Tool Compared to Doctors Using Neurological Assessment On A
Stroke Unit: A Prospective Audit”.
2. Mengetahui implikasi keperawatan yang dapat diperoleh dari jurnal “Accuracy of
Stroke Diagnosis by Registered Nurses Using The Rosier Tool Compared to Doctors
Using Neurological Assessment On A Stroke Unit: A Prospective Audit”.
3. Mengidentifikasi hambatan dalam aplikasi penggunaan ROSIER tool pada perawat di
unit gawat garurat.
D. MANFAAT
1. Dari segi teoritis
Dapat dijadikan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu
keperawatan khususnya keperawatan gawat darurat mengenai penggunaan ROSIER tool
untuk pengkajian dan penegakkan diagnosa stroke dengan cepat sehingga dapat
mengadvokasi pemberian terapi trombolitik pada pasien dengan stroke iskemi.
2. Dari segi praktis
Analisis jurnal ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tambahan bagi
pembaca mengenai penggunaan ROSIER tool untuk pengkajian dan penegakkan
diagnosa stroke serta dapat diaplikasikan di unit gawat darurat sehingga dapat
mengadvokasi pemberian terapi trombolitik pada pasien dengan stroke iskemi lebih awal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR STROKE
1. Pengertian
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah tanda-tanda klinis yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab
lain selain vaskuler (Rumantir, 2007). Stroke dibagi menjadi dua, yaitu stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik. Menurut Christopher (2007), Stroke hemoragik adalah pecahnya
pembuluh darah otak yang menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang
cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut
menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh
hematoma yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan
intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang
otak. Sedangkan stroke non hemoragik atau stroke iskemik adalah gangguan peredaran darah
pada otak yang dapat berupa penyumbatan pembuluh darah arteri sehingga menimbulkan
infark atau iskemik. Umumnya terjadi pada saat penderita istirahat. Tidak terjadi perdarahan
dan kesadaran umumnya baik (American Society of Health-System Pharmacist, 2004).
2. Epidemiologi
Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga setelah penyakit jantung dan
keganasan. Stroke diderita oleh ± 200 orang per 100.00 penduduk per tahunnya. Stroke
merupakan penyebab utama cacat menahun. Pengklasifikasiannya adalah 65-85% merupakan
stroke non hemoragik (± 53% adalah stroke trombotik, dan 31% adalah stroke embolik)
dengan angka kematian stroke trombotik ± 37%, dan stroke embolik ± 60%. Presentase
stroke non hemoragik hanya sebanya 15-35%. ± 10-20% disebabkan oleh perdarahan atau
hematom intraserebral, dan ± 5-15% perdarahan subarachnoid. Angka kematian stroke
hemoragik sebelum ditemukannya CT scan mencapai 70-95%, setelah ditemukannya CT
scan mencapai 20-30%.
Prevalensi stroke di USA adalah 200 per 1000 orang pada rentang usia 45-54 tahun,
60 per 1000 pada rentang usia 65-74 tahun, dan 95 per 1000 orang pada rentang usia 75-84
tahun. Dengan presentase kematian mencapai 40-60%. (American Society of Health-System
Pharmacist, 2004). Angka kejadian stroke meningkat secara dramatis seiring usia. Setiap
penambahan usia 10 tahun sejak usia 35 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat. Sekitar
lima persen orang berusia di atas 65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali stroke.
Berdasarkan data, prevalensi hipertensi sebagai faktor risiko utama yang tidak terkendali di
Indonesia adalah sekitar 95 %, maka para ahli epidemiologi meramalkan bahwa saat ini dan
masa yang akan datang sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang berumur diatas 35 tahun
mempunyai potensi terkena serangan stroke
3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Gejala Klinis Stroke Hemoragik
Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi pendarahan dan jumlah
jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul tiba-tiba, tanpa peringatan, dan
sering selama aktivitas. Gejala mungkin sering muncul dan menghilang, atau perlahan-
lahan menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu.
Gejala stroke hemoragik bisa meliputi:
Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).
Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.
Kesulitan menelan.
Kesulitan menulis atau membaca.
Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk,
atau kadang terjadi secara tiba-tiba.
Kehilangan koordinasi.
Kehilangan keseimbangan.
Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan
salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik.
Mual atau muntah.
Kejang.
Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal atau
kesemutan.
Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.
2) Gejala Klinis Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
tergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi gangguan
peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah :
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna
Buta mendadak (Amaurosis fugaks).
Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila
gangguan terletak pada sisi yang dominan.
Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (Hemiparesis kontralateral) dan
dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.
Gangguan mental.
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan eliminasi urine dan alvi.
Bisa terjadi kejang-kejang.
c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media
Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila tidak
di pangkal maka lengan lebih menonjol.
Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (Aphasia)
d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar
Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
Meningkatnya refleks tendon.
Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala terasa
berputar (vertigo).
Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien sulit
bicara (disartria).
Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara lengkap
(strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat terhadap
lingkungan (disorientasi).
Gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola
mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis),
kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan
kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
Gangguan pendengaran.
Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
Koma.
Hemiparesis kontralateral.
Ketidakmampuan membaca (aleksia).
Kelumpuhan saraf kranial ketiga
f. Gejala akibat gangguan fungsi otak
Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia motorik adalah
ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya
sendiri sementara kemampuannya untuk mengerti pembicaraan orang lain tetap
baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan
orang lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar walau
sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak.
Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak. Dibedakan
dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal alexia adalah
ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf. Lateral alexia
adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika
terjadi ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak.
Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah
terjadinya kerusakan otak.
Right-left disorientation & agnosia jari (body image) adalah sejumlah tingkat
kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan, gerakan yang
sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini
sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari penderitadiminta
menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat
jarinya).
Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan
melaksanakan berbagai perintah yang berhubungan dengan ruang.
Syndrome lobus frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat kerusakan
pada korteks motor dan premotor dari hemisfer dominan yang menyebabkan
terjadinya gangguan bicara.
Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis,
infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak.
Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah
kemampuan.
4. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah rutin dalam kasus stroke penting dilakukan untuk mencari faktor-
faktor risiko stroke agar dapat mencegah terjadinya stroke berulang dan mencari
kemungkinan penyebab lain dari gejala yang menyerupai atau mirip dengan stoke.
Beberapa jenis pemeriksaan darah yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis stroke
adalah pemeriksaan darah rutin (pemeriksaan jumlah sel eritrosit, lekosit, dan trombosit),
pemeriksaan sedimentasi eritrosit, pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan kadar
lemak dalam darah, dan pemeriksaan serologis penyakit infeksi tertentu.
2) Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan rutin yang relative murah dan mudah
dilakukan terhadap penderita stroke. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai adanya
kelainan aritmia jantung dan penyakit jantug yang mungkin pernah diderit sebelumnya.
3) CT Scan
Pemeriksaan CT Scan sangat diprioritaskan pada penderita stroke ketika pertama kali tiba
di rumah sakit karena pemeriksaan CT Scan amat sensitive untuk memeriksa stroke tipe
iskemik maupun perdrahan.
4) MRI
Pemeriksaan MRI amat bermanfaat bagi penderita stroke. Prinsip kerja alat ini mirip
dengan CT Scan.
5) Pemeriksaan Angiografi
Kelainan yang terjadi pada pembuluh darah penderita stroke dapat dideteksi melalui
pemeriksaan angiografi. Selain berfungsi untuk kepentingan diagnostic angiografi juga
berperan dalam perencanaan terapi stroke.Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui
apakah pembuluh darah yang mengalami kerusakan dapat dioperasi atau diterapi dengan
metode lainnya.
5. Penatalaksanaan
Pada umumnya, penanganan strok hemoragik dan stroke iskemik adalah sama, yaitu :
Elevasi kepala 30º.
Posisi lateral dekubitus kiri bila disertai muntah.
Boleh dimulai mobilisasi bertahap bila hemodinamik stabil.
Bebaskan jalan napas.
Bila perlu berikan oksigen 1- 2 L/menit.
Kandung kemih dikosongkan.
Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus.
Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi.
Suhu tubuh harus dipertahankan normal (sebaiknya 36,50 C).
Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
Gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran menurun dianjurkan melalui pipa
nasogastrik.
Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan.
Pemberian cairan intravena berupa cairan kristaloid atau koloid, hindari yang
mengandung glukosa murni atau hipotonik.
Bila ada dugaaan trombosis vena, beri heparin IV drip/LMWH subkutan, bila tidak ada
kontraindikasi.
Mobilisasi dan rehabilitasi dini bila tidak ada kontraindikasi
B. RECOGNITION OF STROKE IN THE EMERGENCY DEPARTMENT (ROSIER)
TOOL
1. Definisi
ROSIER (Recognition of Stroke in the Emergency Room) adalah penilaian yang
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan stroke dalam keadaan
gawat darurat. Penilaian dengan ROSIER lebih rinci dibandingkan dengan penilaian
FAST (Face Arm and Speech Test). Tujuan dari alat penilaian ini adalah untuk
memungkinkan staf medis dan keperawatan untuk membedakan pasien dengan stroke
dan yang menyerupai stroke.
2. Skala Penilaian ROSIER dalam Pemeriksaan Stroke
Pada penilaian dengan menggunakan ROSIER yang dinilai apakah pasien ada riwayat
penuruan kesadaran atau pingsan, apakah pasien ada riwayat kejang, apakah ada
kelemahan wajah asimetris, kelemahan lengan asimetris, kelemahan kaki asimetris,
gangguan berbicara, dan cacat visual. Masing-masing item tersebut memiliki skor
masing-masing dan total skor yang didapatkan adalah antara -2 sampai 5. Apabila total
skor lebih dari 0 maka kemungkinan stroke semakin besar sedangkan apabila total skor
kurang dari atau sama dengan 0 maka kemungkinan stroke kecil namun tidak sepenuhnya
dieksklusi.
C. NEUROLOGICAL ASSESSMENT
Pemeriksaan neurologis adalah suatu proses yang membutuhkan ketelitian dan pengalaman
yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan pada fungsi yang sangat spesifik. Meskipun
pemeriksaan neurologis sering terbatas pada pemeriksaan yang sederhana, namun
pemeriksaan ini sangat penting dilakukan oleh pemeriksa, sehingga mampu melakukan
pemeriksaan neurologis dengan teliti dengan melihat riwayat penyakit dan keadaan fisik
lainnya. Banyak fungsi neurologik yang dapat dikaji selama pengkajian riwayat dan
pengkajian riwayat fisik rutin. Salah satuya adalah mempelajari tentang pola bicara, status
mental, gaya berjalan, cara berdiri, kekuatan motorik, dan koordinasinya (Smeltzer dan Bare,
2002). Pemeriksaan neurologis meliputi :
1) Fungsi Cerebral
Dengan menkaji keadaan umum dan tingkat kesadaran yang umumnya dikembangkan
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS digunakan untuk menentukan tingkat
perkembangan kesadaran untuk memperhatikan respon penderita terhadap rangsangan
dan memberikan nilai pada respon tersebut. Cara menghitung GCS adalah :
Refleks membuka mata (E) : 4 (membuka secara spontan), 3 (mdengan rangsangan)
suara, 2 (membuka dengan rangsangan nyeri), 1 (tidak ada respon).
Refleks verbal (V) : 5 (orientasi baik), 4 (kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan
membingungkan) 3 (kata-kata baik tapi kalimat tidak baik), 2 (kata-kata tidak dapat
dimengerti, hanya mengerang), 1 (tidak keluar suara).
Refleks motorik (M) : 6 (melakukan perintah dengan benar), 5 (mengenali nyeri lokal
tapi tidak melakukan perintah dengan benar), 4 (dapat menghindari rangsangan
dengan tangan fleksi), 3 (hanya dapat melakukan fleksi), 2 (hanya dapat melakukan
ekstensi), 1 (tidak ada gerakan)
Tingkat kesadaran antara lain :
Sadar : Dapat berorientasi dan berkomunikasi.
Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik/verbal
kemudian terlelap lagi. Gelisah atau tenang.
Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri,
pendengaran dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi
tapi terbatas pada satu atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.
Semi koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang
menghindar (contoh mnghindari tusukan).
Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus.
Kualitas kesadaran :
Compos mentis : bereaksi secara adekuat.
Abstensia drowsy/kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada. Perhatian
terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk.
Bingung/confused : disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu.
Delerium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dan bergerak sesuai dengan
kekacauan pikirannya.
Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa.
Gangguan fungsi cerebral meliputi : Gangguan komunikasi, gangguan intelektual,
gangguan perilaku dan gangguan emosi Pengkajian status mental/kesadaran meliputi :
GCS, orientasi (orang, tempat dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.
2) Fungsi Nervus Cranialis
Cara pemeriksaan nervus cranialis :
N.I - Olfaktorius (daya penciuman) : Pasien memejamkan mata, disuruh
membedakaan bau yang dirasakaan (kopi, tembakau, alkohol,dan lainnya).
N.II - Optikus (Tajam penglihatan : Dengan snelen chart, funduscope, dan periksa
lapang pandang.
N.III - Okulomotorius (gerakan kelopak mata ke atas, kontriksi pupil, gerakan otot
mata) : Tes putaran bola mata, menggeserkan konjungtiva, palpebra, refleks pupil dan
inspeksi kelopak mata.
N.IV - Trochlearis (gerakan mata ke bawah dan ke dalam) : sama seperti N.III.
N.V - Trigeminus (gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah dan gigi, refleks kornea
dan refleks kedip) : menggerakan rahang ke semua sisi, pasien memejamkan mata,
sentuh dengan kapas pada dahi dan pipi. Reaksi nyeri dilakukan dengan benda
tumpul. Reaksi suhu dilakukan dengan air panas dan dingin, menyentuh permukaan
kornea dengan kapas.
N.VI - Abducend (deviasi mata ke lateral) : sama sperti N.III.
N.VII - Facialis (gerakan otot wajah, sensasi rasa 2/3 anterior lidah ) : senyum,
bersiul, mengerutkan dahi, mengangkat alis mata, menutup kelopak mata dengan
tahanan. Menjulurkan lidah untuk membedakan gula dengan garam.
N.VIII - Vestibulocochlearis (pendengaran dan keseimbangan) :test Webber dan
Rinne.
N.IX - Glosofaringeus (sensasi rsa 1/3 posterio lidah) : membedakan rasa manis dan
asam (gula dan garam).
N.X - Vagus (refleks muntah dan menelan) : menyentuh pharing posterior, pasien
menelan ludah/air, disuruh mengucap “ah…!”
N.XI - Accesorius (gerakan otot trapezius dan sternocleidomastoideus) : palpasi dan
catat kekuatan otot trapezius, suruh pasien mengangkat bahu dan lakukan tahanan
sambil pasien melawan tahanan tersebut. Palpasi dan catat kekuatan otot
sternocleidomastoideus, suruh pasien meutar kepala dan lakukan tahanan dan suruh
pasien melawan tahan.
N.XII - Hipoglosus (gerakan lidah) : pasien suruh menjulurkan lidah dan
menggerakan dari sisi ke sisi. Suruh pasien menekan pipi bagian dalam lalu tekan dari
luar, dan perintahkan pasien melawan tekanan tadi.
3) Fungsi Motorik
Otot
Ukuran : atropi / hipertropi.
Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan.
Kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi.
Derajat kekuatan motorik :
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktivitas.
4 : Ada gerakan tapi tidak penuh.
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi.
2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi.
1 : Hanya ada kontraksi.
0 : Tidak ada kontraksi sama sekali.
Gait (keseimbangan) : dengan Romberg’s test
4) Fungsi Sensorik
Test : Nyeri, Suhu, Raba Halus, Gerak, Getar, Sikap, Tekan, Refered pain.
5) Refleks
a. Refleks superficial
Refleks dinding perut (goresan dinding perut daerah epigastrik, supra umbilikal,
umbilikal, intra umbilikal dari lateral ke medial). Respon : kontraksi dinding
perut.
Refleks Cremaster (goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah).
Respon : elevasi testes ipsilateral.
Refleks gluteal (goresan atau tusukan pada daerah gluteal). Respon : gerakan
reflektorik otot gluteal ipsilateral.
b. Refleks tendon / periosteum
Refleks Biceps (BPR), ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada
tendon m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku. Respon :
fleksi lengan pada sendi siku
Refleks Triceps (TPR), ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada
sendi siku dan sedikit pronasi. Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku.
Refleks Periosto Radialis, ketukan pada periosteum ujung distal os radial, posisi
lengan setengah fleksi dan sedikit pronasi. Respon : fleksi lengan bawah di sendi
siku dan supinasi krena kontraksi m.brachiradialis.
Refleks Periostoulnaris (ketukan pada periosteum prosesus styloid ilna, posisi
lengan setengah fleksi dan antara pronasi supinasi). Respon : pronasi tangan
akibat kontraksi m.pronator quadrates.
Refleks Patela (KPR), ketukan pada tendon patella. Respon : plantar fleksi kaki
karena kontraksi m.quadrisep femoris.
Refleks Achilles (APR), ketukan pada tendon Achilles. Respon : plantar fleksi
kaki krena kontraksi m.gastroenemius.
Refleks Klonus lutut (pegang dan dorong os patella ke arah distal). Respon :
kontraksi reflektorik m.quadrisep femoris selama stimulus berlangsung.
Refleks Klonus kaki (dorsofleksikan kki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di
sendi lutut). Respon : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung.
c. Refleks patologis
Babinsky (penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior).
Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.
Chadock (penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis
dari posterior ke anterior). Respon : seperti babinsky.
Oppenheim (pengurutan krista anterior tibia dari proksiml ke distal). Respon :
seperti babinsky.
Gordon (penekanan betis secara keras). Respon : seperti babinsky.
Schaefer (memencet tendon achilles secara keras). Respon : seperti babinsky
Gonda (penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4). Respon : seperti
babinsky.
Stransky (penekukan (lateral) jari kaki ke-5). Respon : seperti babinsky.
Rossolimo (pengetukan pada telapak kaki). Respon : fleksi jari-jari kaki pada
sendi interfalangeal.
Mendel-Beckhterew (pengetukan dorsum pedis pada daerah os coboideum).
Respon : seperti rossolimo.
Hoffman (goresan pada kuku jari tengah pasien). Respon : ibu jari, telunjuk dan
jari lainnya fleksi.
Trommer (colekan pada ujung jari tengah pasien). Respon : seperti Hoffman.
Leri (fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap lengen diluruskan
dengan bgian ventral menghadap ke atas). Respon : tidak terjadi fleksi di sendi
siku.
Mayer (fleksi maksimal jari tengah pasien ke arah telapak tangan). Respon : tidak
terjadi oposisi ibu jari.
d. Refleks primitif
Sucking refleks (sentuhan pada bibir). Respon : gerakan bibir, lidah dan rahang
bawah seolah-olah menyusu.
Snout refleks (ketukan pada bibir atas). Respon : kontraksi otot-otot disekitar
bibir/di bawah hidung.
Grasps refleks (penekanan/penekanan jari pemeriksa pada telapak tangan pasien).
Respon : tangan pasien mengepal.
Palmo-mental refleks (goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian
thenar. Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi lateral).
Selain pemeriksaan tersebut di atas juga ada beberapa pemeriksaan lain seperti pemeriksaan
fungsi luhur, yaitu:
a. Apraxia : hilangnya kemampuan untuk melakukan gerakan volunter atas perintah.
b. Alexia : ketidakmampuan mengenal bahasa tertulis.
c. Agraphia : ketidakmampuan untuk menulis kata-kata.
d. Fingeragnosia: kesukaran dalam mengenal, menyebut, memilih dan membedakan jari-
jari, baik punya sendiri maupun orang lain terutama jari tengah.
e. Disorientasi kiri-kanan: ketidakmampuan mengenal sisi tubuh baik tubuh sendiri maupun
orang lain.
f. Acalculia : kesukaran dalam melakukan penghitungan aritmatika sederhana.
Algoritma Pengkajian Stroke di Unit Emergency
BAB III
PEMBAHASAN
A. ANALISIS JURNAL BERDASARKAN PICOT
Population (P)
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang dicurigai menderita stroke
yang datang ke stroke unit di sebuah rumah sakit di Northern Ireland. Dari 106 pasien
yang dicurigai menderita stroke, 78 pasien diantaranya didiagnosa menderita stroke atau
TIA Transient Ischemic Attack) dan 28 pasien diantaranya memiliki diagnosis alternatif
lain. Enam pasien dengan TIA dieksklusikan karena tidak menunjukkan gejala
(asimptomatik) pada saat pengkajian sehingga subjek penelitian (sampel) dalam
penelitian ini menjadi 100 pasien.
Intervention (I)
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif yang dilakukan setelah 20 perawat
bergelar RN di stroke unit dengan pengalaman sebagai perawat yang bervariasi dari 6
bulan hingga 30 tahun diberikan pengenalan dan pelatihan pengkajian ROSIER.
Tindakan yang dilakukan pada pasien adalah pengkajian untuk menegakkan diagnosa
stroke oleh perawat dengan menggunakan ROSIER tool dan dengan menggunakan
pengkajian neurologis oleh dokter.
Pasien yang datang ke stroke unit akan didiagnosa oleh perawat RN dengan
menggunakan ROSIER tool. ROSIER tool ini menuntut penggunanya untuk memberikan
skor terhadap ada atau tidaknya gejala klinis yang terdapat pada format pengkajian, yaitu
kehilangan kesadaran atau syncope, kejang, wajah asimetris atau kelemahan ekstremitas,
gangguan berbicara, dan gangguan lapang pandang. Pengkajian dengan ROSIER tool ini
dilakukan dalam waktu 5 sampai 10 menit.
Setelah itu, pasien akan didiagnosa oleh dokter dengan menggunakan pengkajian
neurologis klinis sesuai standar Stroke Integrated Care Pathway tanpa mengetahui hasil
skor ROSIER yang diperoleh perawat. Hasil pengkajian tersebut memberikan empat
pilihan pada dokter yaitu definite, probable, possible, dan other. Tiga pilihan pertama
dianggap pasien positif menderita stroke atau TIA. Biasanya pengkajian ini memerlukan
waktu 10 hingga 20 menit.
Comparison (C)
Hasil dari jurnal ini menjelaskan bahwa dengan menggunakan skala ROSIER,
Perawat memiliki persentase sensitivitas diagnostik untuk stroke dan nilai prediksi positif
(PPV) yang cukup besar yaitu 98% untuk sensitivitas diagnostik dan 83% untuk nilai
prediksi positif (PPV). Hasil jurnal ini didukung juga oleh penelitian yang berjudul “The
Recognition of Stroke in the Emergency Room (ROSIER) scale: development and
validation of a stroke recognition instrument” yang dilakukan oleh Azlisham Mohd
Nor,dkk yang membandingkan ROSIER dengan CPSS, FAST, dan instrumen LAPSS.
Pada jurnal pendukung ini CPSS didefinisikan positif jika terdapat kelemahan wajah,
kelemahan lengan, atau terdapat gangguan berbicara (atau kombinasi dari semuanya).
FAST didefinisikan positif jika terdapat kelemahan wajah, kelemahan lengan, atau
gangguan berbicara dan Glasgow Coma Score lebih dari 6. Sedangkan LAPSS
didefinisikan positif jika terdapat kelemahan lengan, kelemahan genggaman, atau
Kelemahan wajah dan glukosa darah dalam kisaran 2,8 -22 · 2 mmol / L, usia lebih dari
45 tahun, tidak ada aktivitas kejang, gejala hadir selama kurang dari 24 jam, dan pasien
tidak menggunakan kursi roda atau terbaring di tempat tidur. Perbandingan sensitivitas,
spesifitas, ppv dan npv dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh He Mingfeng, dkk (2012) juga
mendukung hasil jurnal ini dengan membandingkan skala ROSIER dengan CPSS
didapatkan nilai sensitivity diagnostik sebesar 89,97% (95% CI 87,44-92,64%),
specificity sebesar 83,23% (95% CI 80,08-86,38%), PPV dari 92.66% (95% CI 90,46-
94,86%), NPV dari 77,91% (95% CI 74,41-81,41%) dan r 0,584 dengan menggunakan
skala ROSIER. Sedangkan menggunakan CPSS didapatkan nilai sensitivity diagnostik
88,77% (interval kepercayaan 95% [CI] 86,11-91,43%), specificity dari 68,79% (95% CI
% 64,88-72,70), PPV 87,40% dari (95% CI% 85,97-88,83) , NPV 71,52% (95% CI
67,71-75,33%) dan r sebesar 0,503.
Outcome (O)
Hasil dari jurnal ini menjelaskan bahwa dengan menggunakan skala ROSIER,
Perawat memiliki persentase sensitivitas diagnostik untuk stroke sebesar 98% (95%
confidence Interval 88-99), dan nilai prediksi positif (PPV) 83% (95% confidence
interval 73-90). Jika dibandingkan dengan dokter yang menggunakan penilaian
neurologis standar memiliki sensitivitas diagnostik sebesar 94% (95% confidence interval
86-98), PPV 80% (95% confidence interval 70-88). Waktu rata-rata dari penilaian awal
oleh perawat yang menggunakan skala Rosier, sampai penilaian oleh dokter pada unit
stroke selama 75 menit (SD = 65,8 menit).
Time (T)
Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan, yaitu pada bulan Juli 2008 sampai
dengan Februari 2009.
B. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Stroke merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan dengan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Terkait dengan peningkatan kejadian stroke, salah satu hal yang dapat
dilakukan sebagai perawat khususnya perawat emergency adalah dengan memberikan
pelayanan yang cepat dan tepat guna mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Dalam
unit gawat darurat perawat merupakan penerima pasien pertama sehingga dibutuhkan suatu
kemampuan untuk dapat mengkaji dan mendiagnosis masalah klien dengan akurat, efektif
dan efisien sehingga pelayanan yang diberikan dapat dilakukan dengan maksimal. Terkait
dengan stroke, stroke terjadi akibat penurunan aliran darah ke otak yang dapat disebabkan
salah satunya oleh adanya emboli dan sumbatan pada pembuluh darah di otak. Apabila tidak
ditangani dengan cepat gangguan tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak yang berujung
pada kematian. Terapi yang dianjurkan sebagai standard pengobatan pada pasien dengan
stroke iskemik adalah pemberian obat trombolisis yang dapat membantu mengurangi
sumbatan pada pembuluh darah otak sehingga dapat membantu mengembalikan suplai aliran
darah ke otak dan memberika hasil yang lebih baik bagi pasien. Pemberian obat tersebut
seringkali ditunda akibat keterlambatan diagnosis stroke sehingga hasilnya pun kurang
maksimal.
Terkait dengan jurnal, salah satu penemuan yang saat ini bisa ditelaah lebih lanjut
bagi perawat adalah penggunaan Recognition of Stroke in Emergency Room (ROSIER) tool.
ROSIER tool merupakan salah satu bentuk pengkajian untuk menegakkan diagnosis stroke
secara efektif dan efisien. Dengan menggunakan pengkajian ROSIER hasil diagnosis yang
didapat sama efektif dengan pengkajian neurologi klinis yang dilakukan dokter dan terbukti
akurat. Pengkajian ROSIER yang dilakukan oleh perawat membutuhkan waktu hanya sekitar
10 menit dan memberikan kesempatan untuk mempercepat pemberian terapi yang tepat
sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi pasien.
Dalam dunia keperawatan khususnya keperawatan gawat darurat atau emergency, secara
umum implikasi dari penggunaan pengkajian ROSIER bagi pasien yang dicurigai mengalami
stroke iskemik antara lain:
1. Dengan menggunakan pengkajian ROSIER untuk mengkaji pasien yang dicurigai
mengalami stroke, seorang perawat dapat mendiagnosis stroke iskemik dengan tingkat
akurasi yang sama jika dibandingkan dengan dokter yang menggunakan pengkajian
neurologi klinis.
2. Dengan melatih perawat menggunakan pengkajian ROSIER untuk mengkaji pasien yang
dicurigai mengalami stroke iskemik, dapat berpotensi mengurangi keterlambatan
diagnosis stroke dan penundaan pemberian terapi trombolitik yang seharusnya diberikan
dengan cepat dalam jangka waktu kurang dari 3 jam. Dengan pemberian terapi
trombolitik dalam waktu dan indikasi yang tepat maka akan lebih memberikan manfaat
bagi pasien.
3. Dengan diagnosis melalui pengkajian ROSIER maka waktu dapat diminimalisir dan
jumlah pasien yang diterapi dapat lebih maksimal sehingga output yang didapat akan
lebih baik.
Implikasi Keperawatan
1. Peran Perawat sebagai Care Giver
Perawat sebagai care giver khususnya di unit gawat darurat adalah memberikan
pelayanan yang cepat dan tepat untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian klien.
Dalam hal ini perawat menerapkan asuhan keperawatan gawat darurat mulai dari
melakukan pengkajian sampai dengan evaluasi. Terkait jurnal, kemampuan yang
ditekankan dalam pemberian asuhan keperawatan adalah kemampuan melakukan
pengkajian stroke dengan cepat, tepat dan efektif dengan menggunakan pengkajian
ROSIER. Dengan menggunakan pengkajian tersebut perawat akan mampu mengkaji
dengan cepat sehingga penanganan yang diberikan terhadap klien dengan stroke iskemik
yaitu pemberian terapi trombolitik dapat diberikan dengan efektif dan efisien sehingga
outcome pada pasien semakin baik.
2. Perawat sebagai Pengambil Keputusan Klinik (Clinical Judgement)
Terkait dengan jurnal, salah satu manfaat jika perawat mampu menggunakan pengkajian
ROSIER untuk mendiagnosis stroke dengan lebih cepat dan tepat adalah perawat dapat
berlaku sebagai pengambil keputusan klinik. Sebagai pengambil keputusan klinik
perawat dapat menegakkan diagnosis stroke melalui hasil pengkajian yang valid dan
mengusulkan terapi yang dapat diberikan pada pasien. Peran ini akan sangat diperlukan
apabila perawat berada di lingkungan unit gawat darurat yang masih kurang tenaga
dokter.
3. Perawat sebagai Pembela Klien (Client Advocate)
Sesuai kode etik keperawatan, perawat bertugas dan bertanggung jawab untuk
memastikan klien mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, dan efektif. Perawat
memastikan klien didiagnosis secara tepat dan diberikan terapi yang tepat sesuai dengan
keluhan yang dialaminya.
4. Perawat sebagai Pembaharu dan Peneliti
Perawat diharapkan dapat mempelajari penggunaan pengkajian ROSIER di unit gawat
darurat, khususnya penggunaannya di Indonesia, sehingga dapat diterapkan dan dapat
meningkatkan pelayanan pada pasien. Selain itu, perawat diharapkan dapat mencari
literatur-literatur terbaru terkait dengan pengkajian dan diagnosis stroke serta intervensi
yang dapat diberikan sehingga dapat memberikan wawasan baru dan tambahan ilmu bagi
perawat khususnya di unit gawat darurat dan apabila memungkinkan dapat melakukan
riset lebih lanjut mengenai penerapan pengkajian ROSIER di unit gawat darurat di
Indonesia.
C. HAMBATAN DAN TANTANGAN DALAM APLIKASI PENGGUNAAN ROSIER
TOOL PADA PERAWAT DI UNIT GAWAT GARURAT
Disamping adanya manfaat dari pengkajian ROSIER terdapat pula beberapa hambatan dan
tantangan dalam menggunakan metode tersebut di Unit Gawat Darurat khususnya di
Indonesia antara lain:
1. Pengkajian ROSIER tidak dapat digunakan untuk mengkaji pasien yang dicurigai
mengalami Transient Ischemic Attack (TIA) yang memiliki gejala mirip stroke dan
sering disebut dengan mini-stroke.
2. Pengkajian ROSIER akan kurang bermanfaat jika diterapkan pada pasien yang dicurigai
mengalami stroke namun onset atau gejalanya sudah berlangsung > 3 jam.
3. Untuk dapat menerapkan pengkajian ini di Indonesia maka harus dibuat dan divalidasi
kembali serta harus dilakukan pembuatan lembar pengkajian yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
4. Untuk dapat menerapkan metode pengkajian ROSIER maka harus dilakukan penelitian
lanjutan sehingga didapat hasil bahwa pengkajian tersebut valid jika digunakan dalam
unit gawat darurat di Indonesia.
5. Terkait dengan tenaga keperawatan sendiri dibutuhkan pelatihan untuk penggunaan dan
pemahaman metode pengkajian dan scoring dengan menggunakan pengkajian ROSIER
selain itu apabila dibandingkan dengan jurnal dimana perawat yang melakukan
pengkajian ROSIER adalah registered nurse atau setara dengan S1 Keperawatan
sementara kondisi di lapangan sendiri masih banyak tenaga keperawatan yang belum
memenuhi kriteria sampai ke jenjang sarjana keperawatan.
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Recognition of Stroke in Emergency Room (ROSIER) adalah tindakan pengkajian
yang dilakukan pada pasien untuk menegakkan diagnosa stroke, dimana tindakan pengkajian
ini dilakukan oleh perawat dengan menggunakan ROSIER tool dan dengan menggunakan
pengkajian neurologis yang dilakukan oleh dokter.
Hasil dari jurnal ini menjelaskan bahwa dengan menggunakan skala ROSIER,
Perawat memiliki persentase sensitivitas diagnostik untuk stroke sebesar 98% (95%
confidence Interval 88-99), dan nilai prediksi positif (PPV) 83% (95% confidence interval
73-90). Jika dibandingkan dengan dokter yang menggunakan penilaian neurologis standar
memiliki sensitivitas diagnostik sebesar 94% (95% confidence interval 86-98), PPV 80%
(95% confidence interval 70-88). Waktu rata-rata dari penilaian awal oleh perawat yang
menggunakan skala Rosier, sampai penilaian oleh dokter pada unit stroke selama 75 menit
(SD = 65,8 menit).
Implikasi keperawatan pada jurnal ini adalah peran perawat sebagai Care Giver,
perawat sebagai pengambil keputusan klinik (Clinical Judgement), perawat sebagai pembela
klien (Client Advocate) dan perawat sebagai pembaharu dan peneliti. Dimana implikasi ini
lebih menitik beratkan pada kemampuan perawat dalam menggunakan pengkajian ROSIER
untuk mengkaji stroke dengan cepat, tepat dan efektif dengan asuhan keperawatan yang
tepat, sehingga penanganan yang diberikan terhadap klien dengan stroke iskemik berupa
pemberian terapi trombolitik dapat diberikan dengan efektif dan efisien sehingga outcome
pada pasien semakin baik.
Hambatan dalam menggunakan metode ROSIER di Unit Gawat Darurat khususnya di
Indonesia antara lain adalah pengkajian ini tidak dapat digunakan untuk mengkaji pasien
yang dicurigai mengalami Transient Ischemic Attack (TIA), pengkajian ROSIER akan
kurang bermanfaat jika diterapkan pada pasien yang dicurigai mengalami stroke namun onset
atau gejalanya sudah berlangsung > 3 jam, lalu perlu dilakukan validasi kembali dalam
pembuatan lembar pengkajian dalam bahasa Indonesia, serta dibutuhkan pelatihan pada
tenaga perawat untuk penggunaan dan pemahaman metode pengkajian dan scoring dengan
menggunakan pengkajian ROSIER ini.
B. SARAN
a) Bagi Perawat
Perawat sebaiknya memberikan perhatian yang besar pada pengkajian ROSIER dan lebih
mendalami pengkajian ini, karena pengkajian ini dapat digunakan untuk mengkaji stroke
dengan cepat, tepat dan efektif dengan asuhan keperawatan yang tepat, sehingga
penanganan yang diberikan terhadap klien dengan stroke iskemik dapat diberikan dengan
efektif dan efisien sehingga outcome pada pasien semakin baik. Mengingat juga bahwa
pengkajian dengan cara ini memiliki persentase sensitivitas diagnostik untuk stroke
sebesar 98% dan dengan waktu yang relatif singkat.
b) Bagi Rumah Sakit
Rumah sakit diharapkan memiliki pertimbangan yang lebih terhadap pengkajian ROSIER
ini mengingat sensitivitas diagnostik yang tinggi untuk mengkaji stroke serta memiliki
rentang waktu yang relative singkat untuk melakukan diagnostik dengan melakukan
beberapa pemecahan terhadap beberapa hambatan yang ditemukan, seperti misalnya
membuatan lembar pengkajian ROSIER yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesian hingga pada pelatihan untuk penggunaan dan pemahaman metode pengkajian
dan scoring dengan menggunakan pengkajian ROSIER
c) Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lanjutan yang lebih
spesifik lagi mengenai keefektifan metode pengkajian dan scoring dengan menggunakan
pengkajian ROSIER, sehingga didapatkan hasil bahwa pengkajian ini valid dan layak jika
digunakan dalam unit gawat darurat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Health-System Pharmacist. 2004. AHFS Drugs Information. USA :
American Society of Health-System Pharmacist.
Azlisham Mohd Nor, John Davis, Bas Sen, Dean Shipsey, Stephen J Louw, Alexander G Dyker,
Michelle Davis, Gary A Ford. 2005. The Recognition of Stroke in the Emergency
Room (ROSIER) scale: development and validation of a stroke recognition
instrument
B. Byrne et al. 2010. Accuracy of stroke diagnosis by registered nurses using the ROSIER tool
compared to doctors using neurological assessment on a stroke unit:A prospective
audit. (online), http://pure.qub.ac.uk/portal/files/833248/Accuracy%20of %20stroke
%20diagnosis%20by%20registered%20nurses%20using%20the%20ROSIER
%20tool%20compared%20to%20doctors%20using%20neurological%20assessment
%20on%20a%20stroke%20unit%20-%20A%20prospective%20audit.pdf,
International Journal of Nursing Studies 48 (2011) 979–985.
David. 2013. Hemorrhagic Stroke Clinical Presentation. (online), http://emedicine.medscape.
com/article/1916662-clinical diakses pada 24 September 2013.
Edward. 2013. Ischemic Stroke. (online), http://emedicine.medscape.com/article/1916852
overview diakses pada 24 September 2013
Ginsberg, L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga.
Goetz Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical
Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders.
He Mingfeng, Wu Zhixin, Guo Qihong, Li Lianda, Yang Yanbin, and Feng Jinfang. 2012.
Validation of the use of the ROSIER scale in prehospital assessment of stroke
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Pinzon, R. 2010. AWAS STROKE!: Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan dan Pencegahan.
Yogyakarta: ANDI.
Rumantir. 2007. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-1985.
Wahyu, G.G. 2010. Stroke Hanya Menyerang Orang Tua?. Jakarta: PT. Mizan Publika.
WHO. 2013. Stroke, Cerebrovascular Accident. (online), http://www.who.int/topics/
cerebrovascular_accident/en/, diakses pada 24 September 2013
Emerg Med J. 2012. Remote Specialist Assessment for Intravenous Thrombolysis of Acute
Ischaemic Stroke by Telephone. (online),
http://www.medscape.com/viewarticle/769760_2 , diakses pada 24 September 2013