sacred rhythms - irama kudus : mengarahkan hidup kita bagi transformasi rohani
DESCRIPTION
Apakah Anda merindukan suatu kedalaman dan perubahan mendasar dalam kehidupan Anda dengan Tuhan? Apakah Anda juga merindukan suatu relasi yang begitu intim bersama Tuhan? Disiplin rohani adalah sebuah aktifitas yang membuka diri kita bagi transformasi kasih Allah dan perubahan yang hanya dapat diberikan oleh Allah dalam hidup kita.TRANSCRIPT
Literatur Perkantas Jawa timur
SACRED RHYTHMS (Irama Kudus)
Mengarahkan Hidup Kita Bagi Transformasi Rohani
oleh Ruth Haley Barton
Originally published by InterVarsity Press asSacred Rhythms by Ruth Haley Barton
Copyright © 2006 by Ruth Haley BartonTranslated and printed by permission of InterVarsity PressP.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515-1426, USA
Alih Bahasa: Paksi Ekanto PutroEditor: Milhan K. Santoso, Bayu Pandu Purwadianto
Penata Letak: Milhan K. SantosoDesain Sampul: Meliana S. Dewi
Hak cipta terjemahan Indonesia:Literatur Perkantas Jawa Timur
Tenggilis Mejoyo KA-10, Surabaya 60292Telp. (031) 8413047, 8435582; Faks. (031) 8418639
E-mail: [email protected]
Literatur Perkantas Jatim adalah sebuah divisi pelayanan literatur di bawah naungan Persekutuan
Kristen Antar Universitas (Perkantas) Jawa Timur. Perkantas Jawa Timur adalah sebuah kegerakan
yang melayani siswa, mahasiswa, dan alumni di sekolah dan universitas di Jawa Timur.
Perkantas Jatim adalah bagian dari Perkantas Indonesia. Perkantas sendiri adalah anggota dari
pergerakan International Fellowship of Evangelical Students (IFES). Untuk informasi lebih lanjut
mengenai kegiatan yang ada secara lokal maupun regional di Jawa Timur dapat menghubungi melalui
e-mail: [email protected], atau mengunjungi Website Perkantas Jatim di www.perkantasja-
tim.org
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN: 978-602-18547-4-7
Cetakan Pertama: April 2013
Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik, fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa ijin dari penerbit.
D A F TA R I S I
Kata Pengantar ........................................................................ 7
1 KERINDUAN AKAN SESUATU YANG LEBIH: Sebuah Undangan Menuju Transformasi Rohani ..................... 17
2 SOLITUDE: Menyediakan Ruang bagi Allah .......................... 29
3 KITAB SUCI: Menjumpai Allah Melalui Lectio Divina ............ 47
4 DOA: Memperdalam Keintiman dengan Allah ........................ 65
5 MENGHORMATI TUBUH: Kerohanian Darah dan Daging .... 83
6 PEMERIKSAAN DIRI: Membawa Seluruh Hidup di Hadapan Allah ................................................................. 97
7 PENCARIAN HIKMAT: Mengenali dan Merespons Hadirat Allah ....................................................................... 119
8 SABAT: Menjaga Keseimbangan Irama Kerja dan Istirahat ..... 141
9 ATURAN HIDUP: Menumbuhkan Irama bagi Terjadinya Transformasi Rohani ............................................ 159
Sebuah Catatan Ucapan Syukur ............................................... 181
Lampiran A: Menempuh Perjalanan Bersama ........................... 183
Lampiran B: Memimpin Sebuah Kelompok Pengalaman ........... 198
Lampiran C: Memilih Disiplin Rohani yang Sesuai dengan Kebutuhan Kita ............................. 201
Catatan .................................................................................... 204
K ATA P E N G A N TA R
Seseorang dapat memulai pencarian (rohani) dengan menemukan hasrat
hatinya, baik secara personal maupun komunal. Roh mengungkapkan diri
melalui harapan kita yang tulus bagi diri kita sendiri dan dunia. Seberapa
besarkah nyala api dari hasrat akan hubungan kasih dengan Tuhan,
dengan orang lain, dengan dunia? Apakah kita sadar bahwa mengingini
dan mencari Tuhan adalah sebuah pilihan yang selalu tersedia bagi kita?
E L I Z A B E T H D . R E Y E R
Bertahun-tahun yang lalu, saya hadir di sebuah rapat staf sebuah gereja
yang saya layani; tujuan dari rapat itu adalah membahas bagaimana kami
bisa menarik lebih banyak orang masuk ke dalam gereja. Pada satu titik,
seseorang mengukur persyaratan keanggotaan gereja yang sudah diper-
siapkan dan mengajukan penemuan yang mengejutkan di mana jumlah
kehadiran antara lima sampai sembilan kali per minggu menjadi syarat
bagi mereka yang ingin menjadi anggota gereja!
Secara lahiriah, saya berupaya mendukung tujuan rapat itu, tetapi se-
cara batiniah saya menjerit, Siapa yang mau mendaftar untuk ini? Saya sa-
dar akan SKK (Sindrom Kelelahan Kristen) dalam hidup saya sendiri dan
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika hal yang sama terjadi
pada orang lain.
Kesadaran yang menyeruak pada saat itu membuat saya mulai lebih
8 | S AC RED RH Y T H M S
jujur tentang betapa hidup kekristenan saya telah tereduksi. Sementara
saya berusaha lebih keras dan melakukan lebih banyak, ternyata ada ke-
hampaan menganga di dalam batin di mana tak satu pun aktivitas, baik
kristiani maupun sekuler, yang bisa mengisinya. Sama sekali tidak ada be-
danya bahwa saya sudah menjadi orang Kristen selama hidup saya, bahwa
saya sudah bergabung dalam pelayanan Kristen sejak saya memasuki usia
dewasa awal, atau bahwa saya selama ini sibuk melayani di setiap kesem-
patan yang dianugerahkan Allah demi tujuan mulia. Semakin saya meno-
lak mengakui kerinduan akan suatu hal yang lebih, semakin mendalam
dan meluaslah kekosongan itu jadinya—hingga hampir menelan saya.
Di tengah-tengah segala kekeringan itu, sulit bagi saya membayangkan
apa yang Yesus maksudkan ketika Ia berfirman, “Aku datang, supaya me-
reka memunyai hidup, dan memunyainya dalam segala kelimpahan.”
(Yoh. 10:10b). Tanggapan terbaik saya atas semua khotbah dan renungan
yang memakai ayat ini adalah bersikap sinis. Bagi saya, hidup kekristenan
rasanya jauh dari itu.
Sulit untuk tahu kepada siapa harus berbicara tentang realitas yang
menggelisahkan ini. Kehidupan di dalam dan di sekitar komunitas Kris-
ten kurang membantu kita memerhatikan kerinduan-kerinduan sema-
cam ini, untuk percaya bahwa jauh di kedalaman batin ada sesuatu
yang harus didengar. Atau, untuk memberi harapan bahwa kerinduan
terdalam semacam ini bisa membawa kita ke suatu tempat yang baik.
Pada satu waktu, kerinduan batin kita yang terdalam dienyahkan seba-
gai sebuah idealisme belaka—perkara semacam itu ada di luar jangkauan
wilayah yang nyaman. Di waktu lain, kecemasan atau ketidaknyamanan
terselubung muncul dalam bentuk ekspresi-ekspresi kemanusiaan kita.
Penekanan pada kejatuhan manusia oleh banyak kalangan agama mem-
buat kita sulit mengerti apakah ada sesuatu di dalam diri kita yang masih
bisa dipercaya.
Terkadang, bahasa yang menggambarkan kerinduan hati digunakan
untuk mengaduk-aduk emosi orang banyak, tetapi seringkali apa yang di-
berikan berlimpah pada awalnya justru ditemukan kosong pada akhirnya.
Kerinduan kita akan kasih dipenuhi dalam hubungan yang bersifat saling
KATA P EN G A N TA R | 9
mengambil untung dan berisiko hancur berantakan di bawah tekanan.
Kerinduan kita akan kesembuhan dan transformasi dipenuhi dengan
pesan-pesan motivasi pengembangan diri yang membuat kita terinspirasi
sejenak, tetapi terbebani oleh tekanan untuk mencoba memperbaiki diri
dengan teknik atau keterampilan baru. Kerinduan kita akan pandangan
hidup yang efektif seringkali dipenuhi dengan makin banyaknya aktivi-
tas, yang sayangnya menjadi penyebab dari banyak tekanan dan kereng-
gangan yang terjadi di budaya Barat.
Respons awal saya terhadap kesadaran akan kerinduan ini adalah de-
ngan mencoba memperbaiki jadwal, yaitu belajar berkata tidak dengan
lebih tegas dan mengadopsi alat manajemen waktu terbaru. Tetapi, ada
saatnya ketika hasrat begitu mendalam sehingga memperbaiki jadwal saja
tidak cukup. Akhirnya, saya melepaskan semua upaya itu. Saya membuat
pilihan untuk secara radikal menyusun ulang hidup demi mendengar
kerinduan batin terdalam dan mengatur hidup bagi pencarian rohani. Ini
adalah saat-saat mengungkapkan keterbukaan, saat-saat mempertanyakan
hampir segala hal, saat-saat membiarkan berbagai perangkap hidup—teru-
tama hidup rohani saya—berguguran sampai terlihat kerinduan terdalam,
yang tertanam di dalam esensi kemanusiaan kita, mulai terungkap dalam
segala keindahan dan kekuatan murninya. Kerinduan akan makna, kerin-
duan akan kasih, kerinduan akan perubahan yang mendalam dan funda-
mental, kerinduan akan pandangan hidup yang efektif, kerinduan untuk
berhubungan secara nyata, dan bahkan naluriah, dengan Pribadi yang
melampaui diri kita—kerinduan-kerinduan inilah yang mengarahkan saya
untuk mencari praktik-praktik rohani dan membangun irama kehidupan
yang menjanjikan sesuatu yang lebih.
MEMBUKA MISTERI TRANSFORMASI ROHANI
Mungkin salah satu hal paling mendasar yang perlu kita pahami tentang
transformasi rohani bahwa hal itu penuh misteri. Kita terbuka untuk
mengalaminya tetapi kita tidak bisa melakukannya sendiri. Paulus me-
nyinggung hal ini dalam surat-suratnya dengan menggunakan dua meta-
fora. Yang pertama adalah proses di mana embrio terbentuk di dalam
10 | S AC RED RH Y T H M S
rahim ibunya: “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit ber-
salin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (Gal. 4:19).
Keajaiban dari pemahaman tentangnya, pembentukan dari embrio dan
proses kelahiran itu sendiri bersifat alami tetapi juga penuh misteri. Meski
saya pernah mengandung dan melahirkan tiga anak, meski saya mengagu-
mi foto-foto embrio yang terbentuk di rahim ibunya, meski saya berpikir
bahwa saya banyak mengerti fakta-fakta kehidupan, namun ada sesuatu
yang berada di sepanjang proses itu akan tetap menjadi misteri bagi saya,
sesuatu yang tidak bisa saya kendalikan atau ciptakan. Keajaiban proses
persalinan selalu adalah sebuah mujizat. Itu adalah pekerjaan Tuhan. Se-
tiap detiknya.
Hal yang sama terjadi pada proses metamorfosis. Dalam Roma 12:2a,
Paulus mengacu pada proses ini ketika ia berkata, “Janganlah kamu
menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah (metamorphoo) oleh
pembaruan budimu…” Kata Yunani metamorphoo berarti “metamorfosis”:
sebuah proses di mana seekor ulat memasuki gelapnya kepompong, ke-
mudian muncul dan berubah menjadi sesuatu yang hampir tidak bisa
dikenali lagi. Perubahan ini begitu agung, di mana si ulat melampaui
eksistensi sebelumnya untuk mengambil bentuk yang sama sekali lain
dan dengan kapasitas yang sama sekali berbeda. Saya ragu apakah si ulat
memiliki pemahaman tentang proses itu atau tentang produk akhirnya.
Sesuatu yang bersifat jauh lebih mendasar sedang bekerja. Sesuatu yang
berada di dalam esensi makhluk kecil ini berkata, Sekaranglah waktunya.
Dan si ulat menuruti desakan batin yang tak terjelaskan itu, lalu masuk
ke dalam kepompong.
Kedua metafora ini menempatkan proses transformasi rohani tepat
dalam kategori yang kita sebut misteri: sesuatu yang berada di luar jang-
kauan aktivitas manusia normal dan pemahaman yang hanya dapat di-
mengerti melalui wahyu ilahi dan dikerjakan oleh aktivitas ilahi.
Apa artinya hal ini bagi kita yang rindu mengalami proses transfor-
masi rohani yang lebih penuh dan konkret? Artinya, entah apapun yang
kita pikir bahwa kita mungkin mengetahuinya, keputusan memberi diri
untuk mengalami transformasi rohani membawa kita ke ujung dari segala
KATA P EN G A N TA R | 11
hal yang kita ketahui dan berhadapan dengan apa yang tidak kita ketahui.
Meskipun wajar bagi setiap orang yang telah ditebus untuk mengalami
transformasi rohani, namun hal tersebut akan selalu menjadi misteri bagi
kita. Adalah satu hal untuk mampu memperbaiki dan mengendalikan
perilaku eksternal; tetapi, mengalami pergeseran dahsyat secara internal
yang mengubah cara saya hidup di dalam dunia adalah hal yang sama
sekali berbeda—dari seekor ulat yang merayap di atas perut saya, menjadi
kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya menuju ke langit. Itu adalah
jenis perubahan yang hanya sanggup dilakukan oleh Allah.
Pada akhirnya, ini adalah hal yang paling bisa kita katakan tentang
transformasi rohani: Saya tidak bisa mengubah diri saya sendiri, atau diri
siapa pun. Apa yang bisa saya lakukan adalah menciptakan kondisi di
mana transformasi rohani dapat terjadi, yaitu dengan mengembangkan
dan mempertahankan irama praktik rohani yang membuat saya terbuka
dan tersedia bagi Allah.
SEBUAH PERJALANAN PENCARIAN
Ketika kita terhubung dengan kerinduan terdalam kita (bukan sekadar
terusik oleh manifestasi di permukaannya), serangkaian pilihan yang ber-
beda terbuka. Lebih dari sekadar termotivasi oleh rasa bersalah atau kewa-
jiban—seperti “Saya harus melakukan saat teduh” atau “Saya harus lebih
banyak berdoa”—kita justru terdorong untuk mencari cara hidup yang
sesuai dengan hasrat terdalam kita. Terkadang, hal ini terasa berisiko dan
seringkali membuka serangkaian pertanyaan baru tetapi inilah arti se-
sungguhnya dari transformasi rohani: memilih cara hidup yang membuka
diri bagi kehadiran Allah pada tempat di mana hasrat paling murni dan
kerinduan paling dalam kita berada. Penemuan-penemuan ini terbuka
bagi kita ketika kita jujur dalam menyatakan hal-hal yang tidak efektif,
sehingga kita dapat menyusun cara hidup yang lebih cocok dengan hasrat
terdalam kita.
Perjalanan dimulai ketika kita belajar untuk memerhatikan hasrat kita
di hadapan Allah, membiarkan hasrat itu menjadi dorongan untuk mem-
perdalam perjalanan rohani kita. Ini adalah substansi dari bab pertama
12 | S AC RED RH Y T H M S
dan tidak boleh dianggap remeh atau dibaca dengan cepat sebagai penda-
hulu dari disiplin-disiplin sesudahnya. Jika kita melewatkan bagian dari
proses ini, usaha kita tidak akan lebih dari sekadar sebuah program yang
berlandaskan dorongan eksternal atau motivasi yang dangkal. Tetaplah
bergumul dengan bab ini selama yang Anda perlukan untuk memba-
ngun dasar yang kokoh di dalam diri Anda, untuk menemukan apa yang
sungguh-sungguh Anda inginkan. Baru setelah kita memiliki hasrat yang
kokoh dan menyatakannya di hadirat Allah, kita siap dibimbing masuk
ke dalam praktik-praktik rohani yang akan membuka diri kita untuk
menerima apa yang dirindukan hati kita.
Pergerakan dari hasrat batin menjadi disiplin rohani adalah penting:
Hal yang membentuk tindakan kita pada dasarnya juga membentuk hasrat
kita. Hasrat batin membuat kita bertindak dan ketika kita bertindak maka apa
yang kita lakukan akan mengarahkan kita, entah pada integrasi atau disinte-
grasi yang lebih besar dalam kepribadian, pikiran, dan tubuh kita—dan pada
penguatan atau penghancuran hubungan kita dengan Allah, orang lain, serta
dunia. Kebiasaan dan disiplin yang kita gunakan untuk membentuk hasratlah
yang menjadi dasar bagi kerohanian kita.1
Setiap bab berikutnya memberi panduan praktis untuk memasuki
berbagai disiplin utama dari iman Kristen, sehingga semuanya terkait
dengan hasrat paling konsisten dan kuat dari jiwa manusia. Pada akhir
setiap bab terdapat bagian praktik yang memberi panduan konkret untuk
mengalami masing-masing disiplin, sehingga Anda bisa mulai menerap-
kannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika Anda adalah jenis orang yang
tidak bisa membaca seluruh isi buku, silahkan saja; namun, faedah terbe-
sar akan datang ketika Anda membaca kembali seluruh bagian perlahan-
lahan dan benar-benar mempraktikkan setiap disiplin selama yang Anda
perlukan sampai terasa nyaman dengan disiplin itu dan mengalaminya
sebagai ekspresi alami dari keintiman Anda dengan Tuhan.
Buku ini bukan, juga tidak akan bisa menjadi, sebuah kitab lengkap
dari segala jenis disiplin rohani yang telah digunakan para pencari rohani
di sepanjang sejarah umat manusia. Disiplin rohani yang dieksplorasi di
KATA P EN G A N TA R | 13
sini adalah disiplin paling mendasar dan paling dibutuhkan sebagai lang-
kah awal—seperti langkah-langkah dasar sebuah tarian atau melodi dasar
sebuah lagu. Setelah menjelajahi gerakan-gerakan dasar ini dalam hubungan
kita dengan Allah, bab sembilan memberi kesempatan untuk menem-
patkannya bersama-sama secara khusus, sehingga kita bergerak melebihi
pendekatan yang acak dan serampangan dalam kehidupan rohani. Dalam
tradisi Kristen, pengaturan terstruktur dari praktik rohani ini disebut se-
bagai “aturan hidup.” Aturan hidup adalah cara menyusun hidup di seki-
tar nilai-nilai, praktik-praktik, dan hubungan-hubungan yang membuat
kita tetap terbuka dan tersedia bagi karya transformasi rohani yang hanya
sanggup dikerjakan oleh Allah. Singkatnya, aturan hidup menyediakan
struktur dan ruang bagi pertumbuh-
an kita.
Ungkapan “irama rohani” adalah
cara lain dalam membantu mem-
bahas konsep penting ini, karena
memberi kelegaan atas beberapa
pendekatan kehidupan rohani yang
berat dan kaku seperti yang dialami
banyak orang. Istilah ini mengacu
pada kesan irama alami dari cip-
taan: peristiwa pasang dan surut
gelombang laut, yang terus datang
dan pergi tetapi penuh variasi dan
kreativitas tak terbatas. Ketetapan
pergantian musim, sekaligus kein-
dahan dan variasi baru yang meme-
sona kita setiap saat. Irama yang
indah, yang membuat musik dan
tarian menjadi suatu pengalaman
paling menyenangkan dan spontan yang kita nikmati, meskipun pengua-
saan tangga nada dan gerakan dasar tetap diperlukan jika kita ingin benar-
benar menikmatinya.
Seekor ulat harus menyerahkan
kehidupan yang selama ini ia kenal
dan berserah pada misteri dalam
transformasi. Hal ini lahir dari proses
perubahan bentuk, dengan sayap-
sayap yang memberinya kebebasan
untuk terbang.... Aturan hidup
memberi kita jalan untuk masuk ke
dalam proses transformasi pribadi
seumur hidup. Disiplin rohaninya
membantu kita melepaskan “manusia
lama” yang sudah akrab tetapi
membatasi, dan memungkinkan
“manusia baru” kita di dalam Kristus
untuk dibentuk—yaitu, manusia sejati
yang secara alami tertarik kepada
terang Allah.
MARJORIE THOMPSON, SOULFEAST
14 | S AC RED RH Y T H M S
Disiplin rohani adalah komponen dasar dari irama keintiman dengan
Tuhan, yang memelihara dan merawat jiwa, membuat kita tetap terbu-
ka dan tersedia bagi inisiatif Allah yang mengejutkan dalam hidup kita.
Setelah mempelajari disiplin-disiplin itu, ada kreativitas tak terbatas dalam
menempatkannya bersama-sama dalam sebuah irama yang cocok bagi kita
dan kebebasan untuk menambahkan disiplin serta elemen kreatif lainnya.
SEBUAH AJAKAN BAGI KOMUNITAS
Meskipun penekanan buku ini adalah pada disiplin rohani pribadi, na-
mun perjalanan rohani tidak pernah dimaksudkan untuk dijalani sen-
dirian. Kitab Suci menjelaskan hal ini, tetapi kehidupan Yesus secara
khusus memberi kita teladan menakjubkan. Pada awal pelayanan Yesus,
setelah berdoa dan mendengarkan Allah sepanjang malam, Ia memben-
tuk sebuah komunitas kecil yang terdiri dari dua belas murid—“…orang-
orang yang dikehendaki-Nya…” demikian kata Kitab Suci. Ia memilih
mereka pertama-tama “…untuk menyertai Dia…” (Mrk. 3:13-14) dan
kemudian, untuk melakukan pelayanan. Ajakan Yesus bagi mereka per-
tama-tama adalah untuk berada bersama dengan-Nya dalam komunitas,
dibentuk oleh pengajaran dan kepemimpinan-Nya, dan Ia pun tetap setia
terhadap hubungan ini sampai akhir hidup-Nya.
Komitmen kita pada komunitas dan persahabatan rohani di dalam
komunitas adalah sebuah disiplin yang sangat penting bagi kehidupan ro-
hani. Persahabatan rohani bukanlah hubungan sosial yang tercipta demi
acara makan siang atau bermain golf. Bukan hubungan rekan sejawat
yang berfokus utama pada masalah pekerjaan atau proyek pelayanan.
Ini bukan hubungan swadaya yang berfokus pada pemecahan masalah
atau membangun akuntabilitas. Bahkan, bukan pula kelompok belajar
Alkitab. Relasi ini terutama berfokus pada hubungan kita dengan Tuhan
dalam konteks hasrat kita akan Dia. Dengan teman seperjalanan semacam
itu, kita berbagi hasrat terdalam hati kita, sehingga kita bisa menopang
satu sama lain dalam mengatur kehidupan dengan cara yang sesuai de-
ngan apa yang paling diinginkan oleh hati kita. Bersama-sama, kita meng-
hormati cara Tuhan mempertemukan kita dalam konteks praktik rohani
KATA P EN G A N TA R | 15
yang membantu kita untuk menemukan-Nya.
Komunitas adalah sebuah unsur penting dari proses pembentukan
yang akan dibahas sebagai tema di sepanjang buku ini. Selain itu, Anda
juga diajak untuk mengalami komunitas dengan memilih seorang atau
dua orang teman atau bahkan sebuah kelompok kecil dengan siapa Anda
menempuh perjalanan ini, dengan menggunakan panduan yang diberi-
kan dalam lampiran “Menempuh Perjalanan Bersama.” Lampiran ini akan
memandu Anda dalam mengalami setiap disiplin rohani bersama-sama
orang lain dan menyediakan pertanyaan untuk membantu mendiskusi-
kan pengalaman Anda. Dengan demikian, disiplin rohani membentuk
dasar bagi interaksi Anda dengan orang lain dalam komunitas. Dan ke-
hidupan Anda dalam komunitas menjadi tempat yang aman untuk mela-
tih pola dan perilaku yang membawa perubahan yang sesungguhnya. Jika
Anda memiliki teman-teman yang terlihat memiliki kapasitas dan hasrat
yang sama untuk memasuki perjalanan rohani lebih dalam, ajaklah me-
reka bergabung dengan Anda sehingga tak seorang pun dari Anda harus
menempuh perjalanan ini sendirian.
Ada saat-saat dalam hidup ketika kita berseru dalam hati, Aku tidak
peduli apa yang orang lain katakan; kehidupan Kristen pasti lebih dari ini!
Buku ini adalah untuk Anda yang berada pada saat-saat hidup seperti itu.
Ini adalah tentang mendengar Yesus berbicara langsung pada saat-saat
seperti itu dengan bisikan penuh pengertian dan harapan: “Ada hasrat
di dalam dirimu yang begitu dalam, murni, dan terhubung pada siapa
arti dirimu sesungguhnya; itu adalah hasrat yang ingin Kupenuhi—dan
bukan hanya secukupnya, tetapi berlimpah-limpah.”
Biarlah Yesus Kristus sendiri yang menemui kita di tempat pencarian
rohani kita.
1
K E R I N D U A N A K A N S E S U AT U YA N G L E B I H
Sebuah Undangan Menuju Transformasi Rohani
Alasan kita tidak dapat melihat Tuhan adalah karena lemahnya
kerinduan kita.
M E I S T E R E C K H A RT
Salah satu hal yang masih mengejutkan saya, dalam hidup saya sejauh
ini adalah bagaimana, kapan, serta dengan kuasa apa kerinduan hati saya
teraduk. Pada waktu-waktu tertentu, hal itu dapat diprediksi—waktu di
mana saya lelah karena perjalanan dan merindukan rumah serta keluarga,
waktu di mana saya terlalu sibuk dan rindu berada bersama Allah dan
hanya untuk Allah itu sendiri, dan waktu di musim liburan ketika saya
lapar akan pengalaman yang lebih mendalam tentang makna dari segala
sesuatu ini. Pada beberapa hal, saya sudah terbiasa dengan kerinduan
semacam ini dan tahu apa yang harus dilakukan terhadapnya. Tetapi, ada
saat-saat lain ketika kerinduan menyergap saya dengan satu kekuatan
yang tampaknya lebih dari segala sesuatu yang ada pada saat itu; keadaan
itu mencetuskan kesadaran saya bahwa sesuatu yang ada di dalam diri
saya menuntut perhatian saya. Meski pengalaman kerinduan dan has-
18 | S AC RED RH Y T H M S
rat itu seringkali terasa pahit sekaligus manis, hal itu mengingatkan saya
bahwa saya hidup dengan cara yang saya ingini.
Beberapa tahun lalu, putri kami Bethany merayakan ulang tahunnya
yang kelima belas. Saat itu bulan September pada tahun pertamanya di
sekolah menengah dan ia ingin mengadakan pesta bersama lima puluh
sahabat terdekatnya. (Itu setelah ia dengan cermat dan saksama menyisir
serta memilah dari daftar tujuh puluh lima orang!) Sementara memang
agak menakutkan berpikir tentang mengadakan pesta pertama di tahun
itu untuk lima puluh anak seusia sekolah menengah pertama, itu adalah
apa yang Bethany inginkan oleh karena itu seluruh keluarga kami berlom-
ba-lomba membantunya. Kakak Bethany, Charity (yang duduk di bangku
sekolah menengah atas waktu itu), menghimpun teman-temannya untuk
mengatur dan menjadi juri kompetisi karaoke. Sangat keren. Saya mem-
persiapkan dan menyajikan makanan. Suami saya, Chris, berpatroli di
seluruh ruangan untuk mencegah para tamu membawa obat terlarang
di dalam pesta. Si bungsu, Haley, hanya berusaha untuk menjauh atau
mengacaukan pesta.
Pada suatu waktu di malam itu, saya terjaga pada kenyataan bahwa
sesuatu yang penting sedang terjadi, sesuatu yang terhubung dengan ke-
rinduan terdalam hati saya. Ketika anak-anak sedang berbaris di jalur an-
trean makanan dan mengambil hamburger serta hot dog, mereka semua
sangat sopan. Tetapi, ada seorang anak muda yang ekspresi rasa hormat-
nya begitu tulus sampai-sampai saya berhenti dari apa yang saya lakukan
dan memerhatikannya. Ia berkata, “Terima kasih karena mengizinkan
kami berpesta di sini, Nyonya Barton. Ini sangat menyenangkan!”
Saya mendongak, menatap matanya, dan berkata, “Terima kasih kem-
bali. Kami benar-benar senang menyambut kalian!”
Dia berhenti menuangkan saus, membalas tatapan saya, dan berkata
dengan ragu, “Benarkah?” Seolah-olah ia tidak terbiasa disambut dengan
hangat.
Tanggapan yang polos digabung dengan ketidakpercayaan dan ke-
takjuban itu begitu manis hingga membuat saya terkesiap oleh kesadaran
dan tiba-tiba saya melihat hidup saya dengan cara yang belum pernah
KERi N D uA N A KA N S ES uAT u YA N G LEb i H | 19
saya lihat sebelumnya. Sesuatu yang ada di dalam diri saya bangkit berdi-
ri dan berkata, “Inilah arti hidupku.” Inilah bagaimana rasanya berada
di sini daripada selalu merindukan sesuatu yang lain di sana. Inilah arti
hidupku yang kuhidupi di dalam Allah.
Momentum itu berlalu secepat kedatangannya, salah satu dari sekian
banyak hal yang membuat malam itu menyenangkan. Seluruh keluarga
kami telah bersatu untuk melakukan sesuatu yang istimewa bagi salah
seorang dari kami dan rasanya menyenangkan. Ketika pesta berakhir,
kami merebahkan diri di ruang keluarga, benar-benar kelelahan, dan me-
renungkan kembali malam itu. Kami tertawa tentang kontes karaoke itu
dan memberi komentar siapa yang bisa menyanyi dan siapa yang tidak.
Kami melihat-lihat sekilas pada kado-kado yang diterima Bethany. Kami
berbincang tentang bagaimana bersukacitanya semua orang dan bagaima-
na mereka menunjukkan penghargaan juga kesantunan. Dan pikiran itu
datang lagi: Inilah diriku yang terbaik. Inilah diri yang kuinginkan untuk
semakin menjadi lebih dan lebih lagi, oleh kasih karunia Allah. Inilah
saat-saat yang ingin kuingat di ranjang kematianku sambil berkata, “Itu-
lah alasan mengapa aku diciptakan.”
Kemudian, hal itu menyergap saya—yaitu, kerinduan saya. Sebuah
doa yang menggenang dari kedalaman diri saya, sebuah doa yang begitu
penuh hasrat sampai hampir tak sanggup terkatakan: “Ya Allah, berilah
aku saat-saat seperti ini lagi—saat-saat ketika aku sepenuhnya hadir bagi-
Mu dan orang lain dalam kasih. Saat-saat di mana aku terhubung dengan
apa yang paling murni dan paling autentik di dalam diriku dan mampu
merespons kehadiran-Mu di tempat itu. Aku ingin menjalani hidupku
dengan cara di mana ada lebih banyak lagi hal seperti ini!”
Ada saat-saat lain juga, ketika kerinduan teraduk-aduk. Pernah ada
musim panas yang menakutkan ketika saya berusia empat puluh tahun.
Ketika hari ulang tahun saya hampir tiba dan pesta sedang direncanakan,
saya sadar bahwa saya tidak ingin pesta di mana semua orang berkeliling
sambil memegang minuman dan berbasa-basi. Kali ini, kerinduan akan
kasihlah yang mengejutkan saya. Ketika saya sungguh-sungguh mende-
ngarkan, saya menyadari bahwa yang paling saya inginkan adalah mem-
20 | S AC RED RH Y T H M S
beri dan menerima kasih—sungguh—pada hari itu. Saya ingin berada
bersama teman-teman dan keluarga. Saya ingin punya waktu. Saya ingin
berbagi dari hati terdalam, dan mengetahui bahwa kami saling melihat
dan saling mendengar serta menyatakan lewat kata-kata betapa kami ber-
arti bagi satu sama lain. Betapa mengejutkannya melihat bahwa di balik
segala kebisingan dan aktivitas “dewasa” saya, keinginan yang sederhana
dan lembut itu terus teraduk.
Dan itulah yang kami lakukan. Kami membatalkan pestanya dan se-
bagai gantinya saya memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu
sepanjang hari secara pribadi dengan orang-orang yang paling berharga
bagi saya: sarapan, makan siang, makan malam, dan semua waktu di sela-
selanya! Betapa indah hari itu—satu hari penuh akan kasih yang diberi-
kan dan diterima.
Lalu, ada saat-saat ketika saya sadar akan kehancuran saya dan suatu
kerinduan akan perubahan mendasar yang nyata merintih di dalam diri
saya. Dalam satu musim hidup saya, saya mengalami pengkhianatan yang
begitu mendalam hingga untuk beberapa lama saya hampir tidak sang-
gup berhubungan dengan siapa pun di luar lingkaran paling intim saya,
yaitu keluarga dan teman. Sementara saya mengalami perasaan marah
dan dendam, sedih dan duka, ternyata ada kerinduan yang lebih men-
dalam—kerinduan untuk dipulihkan. Saya sadar bahwa saya telah ber-
paling ke dalam diri dan menutup hati. Ketidakpercayaan dan kecurigaan
telah membuat saya berhati keras dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Saya mendapati diri saya sedang menangis dan meminta Tuhan untuk
mengerjakan sesuatu di dalam saya yang tidak bisa saya kerjakan bagi diri
saya sendiri. Sesuatu yang akan memampukan saya lagi, sekali lagi, untuk
memberi diri kepada Allah dan kepada orang lain—sejenis kepercayaan
yang saya kenal sebelum terjadinya pengkhianatan itu.
Terlepas dari rasa pedih yang saya alami, saya tidak ingin hidup sela-
manya dalam keadaan keras hati dan rusak. Untuk pertama kalinya, doa
si pemungut cukai—yang diucapkan oleh seseorang yang hancur hati di
hari-hari Kristus di bumi—mulai terucap doa dengan sendirinya di dalam
diri saya tanpa diminta: Tuhan Yesus Kristus, kasihanilah aku orang ber-
KERi N D uA N A KA N S ES uAT u YA N G LEb i H | 21
dosa ini. Aku tahu bahwa segala hal yang perlu dibereskan dalam diriku,
Tuhan akan membereskannya, karena aku tidak mampu membereskan-
nya sendiri.
MENAMAI HASRAT KITA DALAM HADIRAT KRISTUS
Kapankah terakhir kali Anda merasakannya—maksudnya, kerinduan
Anda sendiri? Kerinduan Anda akan kasih, kerinduan Anda akan Allah,
kerinduan Anda untuk menjalani hidup sebagaimana dimaksudkan un-
tuk dihidupi di dalam Allah? Kapankah terakhir kalinya Anda merasakan
kerinduan akan pemulihan dan perubahan mendasar yang merintih di
dalam diri Anda?
Jangan terburu-buru melewatkan pertanyaan ini; ini mungkin per-
tanyaan paling penting yang pernah Anda tanyakan. Tetapi, saya tahu ini
sulit. Dalam lingkup kehidupan rohani, kita lebih terbiasa membungkam
hasrat dan menjauhkan diri darinya, karena kita curiga dan takut pada
kekuatannya. Bukankah ada sesuatu yang lebih baik yang bisa saya laku-
kan dengan waktu saya? Demikian kita bertanya kepada diri sendiri. Se-
suatu yang kurang berbahaya dan lebih bisa dipastikan? Sesuatu yang ti-
dak mementingkan diri sendiri dan lebih rohani? Selain itu, hasrat adalah
sesuatu yang mudah berubah-ubah. Bukankah hasrat saya mengarah
langsung pada dusta manusia dan dorongan dosa? Bagaimana jika hasrat
itu menguasai saya dan mendorong saya ke jalan di mana saya tidak se-
harusnya berada? Lebih parah lagi, bagaimana jika saya memerhatikan kerin-
duan dan hasrat dalam diri saya, lalu membiarkan diri saya benar-benar
menyelaminya, hanya untuk menemukan bahwa keinginan-keinginan itu
tidak dapat dipenuhi? Lalu, apa yang akan saya lakukan? Bagaimana saya
bisa hidup dengan hasrat yang terjaga dan hidup daripada hasrat yang
tertidur dan ditekan?
Ini adalah beberapa pertanyaan terdalam dari jiwa manusia dan per-
tanyaan-pertanyaan ini menolak segala jawaban yang terlalu menyeder-
hanakan. Di tengah-tengah rasa tidak nyaman saya sendiri terhadap per-
tanyaan-pertanyaan tajam seperti itu, saya mendapati secara mengejutkan
sekaligus meneguhkan. Ketika kita masuk ke dalam cerita Alkitab dan me-
22 | S AC RED RH Y T H M S
nemukan bahwa Yesus sendiri secara rutin mengajukan pertanyaan kepada
orang-orang di mana pertanyaan tersebut akan menolong mereka untuk
berhubungan dengan hasrat mereka dan menamai hasrat itu di hadapan-
Nya. Dia sering mencetuskan fokus dan kejelasan dalam interaksinya de-
ngan orang-orang yang lapar rohani dengan bertanya kepada mereka, “Apa
yang kau inginkan? Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?”
Pertanyaan semacam itu memiliki kuasa untuk menarik refleksi yang sangat
jujur dan men dalam dari orang-orang yang mendapat pertanyaan-perta-
nyaan tersebut, serta membuka jalan bagi Kristus untuk memimpin mereka
ke tingkat kebenaran rohani dan pemulihan yang lebih dalam.
Dalam kisah perjumpaan Yesus dengan Bartimeus yang buta di jalan-
an kota Yeriko, misalnya, pertanyaan tentang kerinduan menjadi titik
pusatnya. Kita tidak tahu berapa lama Bartimeus sudah menghabiskan
hari-harinya mengemis di pinggir jalan, tetapi pada hari itu Bartimeus
mendengar bahwa Yesus lewat dan dia merasakan adanya kemungkinan
pembaruan rohani yang baru. Mungkin Yesus dapat berbuat sesuatu ba-
ginya yang tidak bisa diperbuat orang lain. Mungkin Yesus bisa melaku-
kan apa yang ia sudah harapkan dan mimpikan sekian lama.
Tapi, pada hari itu kota begitu bising dan ramai. Pasti akan sulit untuk
mendapatkan perhatian siapa pun, apalagi Orang sesibuk dan sepenting
Guru muda yang sedang populer ini yang tampaknya selalu dikelilingi
oleh murid-murid dan para penanya. Untuk mendapatkan perhatian Ye-
sus dari segala hiruk-pikuk kerumunan, Bartimeus harus menjangkau
jauh ke dalam, menjamah tempat kebutuhan dan hasrat terdalam manu-
sia, lalu menjerit dari tempat itu. “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”
Dan Yesus mendengarnya pada hari itu, lebih dari semua suara lain
yang juga berteriak-teriak demi mendapatkan perhatian-Nya. Kejujuran,
keputusasaan, dan kemanusiawian dari jeritan itu benar-benar merebut
perhatian. Orang-orang di sekelilingnya malu oleh ekspresi jujur akan
kebutuhan semacam itu dan berusaha membungkamnya, tetapi tangisan
jiwa Bartimaeus begitu menarik perhatian Yesus sampai-sampai meng-
hentikan-Nya di tengah jalan. Dia berhenti di tengah jalan dan memang-
gil Bartimeus. Saat mereka berdiri berhadapan, Yesus mengajukan perta-
KERi N D uA N A KA N S ES uAT u YA N G LEb i H | 23
nyaan yang meminta Bartimeus untuk menamai keinginannya: “Apa yang
kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?”
Sekarang, seandainya saya ada di posisi Bartimaeus, saya mung-
kin tidak sabar dengan pertanyaan yang jawabannya begitu jelas. “Apa
maksud-Mu, ‘Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?’ Bu-
kankah sudah jelas? Selain itu, ini mulai terdengar agak pribadi, bukan?
Kita belum seakrab itu!”
Tetapi di tingkat berbeda, tingkat di mana perjalanan rohani sedang
tersingkap, itu adalah pertanyaan yang menembus ke inti keberadaan
kita. Dan itu memang sangat, sangat pribadi. Pertanyaan itu membawa
kita berhadapan muka dengan muka dengan sisi manusiawi kita, keren-
tanan kita, dan kebutuhan kita. Jika kita mengizinkannya, pertanyaan
itu akan menelanjangi lapisan kepura-puraan dan kedangkalan kita demi
mengungkap apa yang paling sejati di dalam diri kita. Dan itu adalah
tempat yang sangat lembut.
Hasrat Anda untuk lebih lagi menikmati Allah daripada saat ini, ke-
rinduan Anda akan kasih, kebutuhan Anda akan tingkat transformasi ro-
hani yang lebih dalam daripada yang Anda alami sejauh ini adalah hal yang
paling sejati tentang Anda. Anda mungkin berpikir bahwa luka atau dosa
Anda adalah hal paling sejati tentang diri Anda. Atau mungkin berpikir
bahwa bakat Anda, tipe kepribadian Anda, jabatan karir Anda, identitas
Anda sebagai suami atau istri, ibu atau ayah, entah bagaimana, mendefinisi-
kan diri Anda. Namun dalam kenyataannya, hasrat Anda akan Allah dan
kapasitas Anda untuk menjangkau lebih lagi Allah daripada yang ada saat
inilah yang merupakan esensi terdalam diri Anda. Ada sebuah tempat di
dalam setiap kita yang hakikatnya bersifat rohani, tempat di mana Roh Al-
lah dan roh kita menyaksikan tentang identitas paling sejati dari diri kita. Di
sinilah Roh Allah tinggal bersama roh kita dan di sinilah hasrat paling sejati
kita dikenali. Dari tempat inilah kita berseru kepada Allah akan perseku-
tuan yang lebih mendalam dengan Dia dan orang lain.
HASRAT MANUSIA SEBAGAI AWAL PERJALANAN ROHANI
Ketika kita memerhatikan kerinduan kita dan mengizinkan pertanyaan-per-
24 | S AC RED RH Y T H M S
tanyaan tentang kerinduan kita mengupas lapisan luar definisi diri kita,
kita memasuki dinamika terdalam kehidupan rohani. Proses teraduk-
aduknya hasrat rohani menunjukkan bahwa Roh Allah telah bekerja di
dalam kita, yang menarik kita kepada-Nya. Kita mengasihi Allah karena
Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Kita merindukan Allah karena Ia
terlebih dahulu merindukan kita. Kita menjangkau Allah karena Ia ter-
lebih dahulu menjangkau kita. Tidak ada apa pun dalam kehidupan ro-
hani yang berasal dari diri kita. Semuanya berasal dari Allah.
Jadi, kehidupan rohani berawal dari tempat yang paling tidak disang-
ka-sangka ini. Kehidupan rohani dimulai dengan kerinduan yang meng-
aduk-aduk di dalam batin kita, di lapisan bawah kebisingan, aktivitas,
dan dorongan kehidupan kita. Tetapi tidaklah selalu nyaman untuk meng-
akui kerinduan semacam itu. Dan arah ke mana pengakuan semacam itu
akan membawa kita, adalah berbeda-beda bagi setiap orang.
Ketika Yakobus dan Yohanes (dan kemudian ibu mereka) menjawab
pertanyaan Yesus tentang keinginan mereka supaya mereka diberi po-
sisi penting di Kerajaan-Nya—yang seorang di sebelah kanan-Nya dan
seorang lagi di sebelah kiri-Nya—jawaban itu mengemukakan ambisi
palsu yang merusak mereka dan komunitas para murid. Demikian pula,
ada hasrat dalam diri kita yang berlawanan dengan kehidupan Roh di
dalam diri kita—hasrat-hasrat yang berakar pada ambisi egois, kesom-
bongan, nafsu, rasa takut, pengasingan diri, dan banyak lagi motif yang
tak terdeteksi. Hasrat-hasrat ini mengintai di dalam setiap diri kita dan
itulah alasan mengapa memberi perhatian terhadap hasrat rasanya seperti
membuka kotak Pandora. Tetapi adalah lebih berisiko untuk menolak
mengakui apa yang nyata terjadi di dalam batin kita. Karena entah kita
mengakuinya atau tidak, dinamika ini sedang bekerja memegang kendali
bawah sadar kita. Semakin lama kita membungkamnya, kekuatannya jus-
tru bertambah kuat. Betapa jauh lebih aman bagi kita dan semua orang di
sekitar kita, jika kita membuka hasrat-hasrat kita di hadapan Yesus dan
membiarkan-Nya menolong kita untuk memilah-milahnya.
Sebagaimana demikian mengganggu karena dipaparkan dengan cara
semacam ini, terkadang justru inilah yang kita butuhkan. Sehingga Yesus
KERi N D uA N A KA N S ES uAT u YA N G LEb i H | 25
dapat dengan lembut menanggalkan apa yang salah dan apa yang meru-
sak di dalam hasrat kita dan mengobarkan hasrat-hasrat yang baik dan
benar.
Dengan mendengarkan respons Yesus pada Yakobus dan Yohanes,
Anda dapat merasakan belas kasih dan cinta-Nya bagi mereka. “Kamu ti-
dak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang
harus Kuminum?” (Mat. 20:22). Kemampuan para murid untuk menjadi
jujur seperti ini terhadap Yesus mengenai dinamika batin yang teraduk
dalam diri mereka adalah jenis keintiman baru yang membuka jalan bagi-
Nya untuk memulai proses mengarahkan ke dalam kebenaran dari apa
yang tidak benar dalam diri mereka. Seseorang bisa melihat bahwa ko-
mentar dan pertanyaan tajam seperti itu mulai melepaskan murid-murid
dari keinginan yang tidak sejati. Jika mereka tidak pernah jujur dengan
Yesus tentang apa yang terjadi di dalam batin, hasrat-hasrat mereka yang
gelap akan bekerja di bawah tanah dan mungkin akan menghancurkan
hubungan mereka dengan murid-murid lain serta pelayanan mereka.
Membuka hasrat kita di hadapan Allah—bahkan ketika kita tidak ya-
kin mana yang benar dan mana yang salah—adalah menghinakan diri,
tetapi hal itu akan memberi Allah kesempatan untuk menolong kita me-
milah semuanya itu. Ada kemungkinan lain. Terkadang, ketika membu-
ka hasrat kita di hadapan Kristus, kita mendapati bahwa diri kita perlu
membedakan yang mana bagian kita dan yang mana bagian Allah dalam
proses menjalani hidup sesuai dengan hasrat terdalam hati kita. Ketika
Yesus bertemu dengan orang lumpuh di Kolam Betesda, pertanyaan-Nya
tentang hasrat manusia bahkan lebih runcing. Ia bertanya dalam Yohanes
5:6: “Maukah engkau sembuh?” Dengan kata lain, Seberapa besar kau
menginginkannya? Apakah kau begitu menginginkannya sehingga berse-
dia melakukan sesuatu untuk memperolehnya?
SEBERAPA BESAR KAU MENGINGINKANNYA?
Saya telah menghabiskan banyak waktu di pinggir lapangan sepak bola
anak-anak dan menyaksikan segala macam kejengkelan para orang tua.
Tetapi, begitu seringnya sekelumit kebenaran menampakkan diri di tempat
26 | S AC RED RH Y T H M S
tak terduga ini. Suatu hari, seorang ayah yang sombong berteriak pada
dua anak perempuan kelas empat sekolah dasar yang sedang berebut
bola demi tim mereka. Dalam upayanya untuk memotivasi, ia berteriak
(di antara berbagai hal lain yang ia lakukan), “Seberapa besar kau meng-
inginkan bolanya? Kau harus benar-benar menginginkannya!”
Meskipun saya merasa terganggu dengan emosi tak terkendali dari
seorang dewasa dalam permainan anak-anak, saya terpana oleh kebenaran
yang terkandung dalam pernyataannya. Kedalaman dari sebuah hasrat
berhubungan erat dengan hasil yang kita peroleh dalam hidup. Sering-
kali, orang-orang yang meraih apa yang mereka inginkan dalam hidup
bukanlah mereka yang paling berbakat, paling pandai, atau yang memi-
liki peluang paling besar. Seringkali, yang berhasil adalah mereka yang
paling merasakan sebesar apa mereka menginginkan apa pun yang mereka
inginkan; mereka adalah orang-orang yang secara konsisten menolak un-
tuk dihalangi oleh rintangan-rintangan, di mana banyak dari kita meng-
izinkannya untuk menjadi alasan.
Orang lumpuh itu punya banyak alasan: “Tuhan, tidak ada orang yang
menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan
sementara aku menuju ke kolam itu,
orang lain sudah turun mendahului
aku.” Kata Yesus kepadanya: “Ba-
ngunlah, angkatlah tilammu dan
berjalanlah.” (Yoh. 5:7,8). Kemu-
dian orang lumpuh itu menjangkau
ke dalam dirinya di mana hasrat dan
iman yang mendalam berada, lalu
melakukan apa yang diperintahkan
kepadanya. Dan kebersediaannya un-
tuk mengikuti hasrat hatinya membuka jalan baginya untuk mengalami
kuasa penyembuhan Yesus.
Interaksi Yesus dengan orang-orang yang berelasi dengan-Nya selama
keberadaan-Nya di bumi, menjelaskan bahwa hasrat dan kemauan untuk
menamai hasrat itu di hadapan Kristus adalah unsur pencetus kehidupan
Semakin autentik hasrat-hasrat kita,
semakin mereka menyentuh identitas
kita dan juga realitas Allah di jantung
keberadaan kita. Hasrat paling
autentik kita bersumber dari sumur
batin terdalam di mana kerinduan
akan Allah mengalir dengan bebas.
PHILLIP SHELDRAKE, BEFRIENDING OUR DESIRES
KERi N D uA N A KA N S ES uAT u YA N G LEb i H | 27
rohani. Ini adalah salah satu motivator terkuat bagi hidup yang kon-
sisten dijalani secara sadar dan terfokus. Lebih dari itu, kemauan untuk
membuka wilayah yang lembut dan terkadang bergejolak ini di hadapan
Kristus adalah bagian dari keintiman yang kita cari. Hal ini menciptakan
kemungkinan bagi Kristus untuk berada bersama-sama kita dengan cara
yang memenuhi kebutuhan paling sejati kita. Hal ini memampukan kita
untuk bangkit dari tempat kita di pinggir jalan, menjadi berada tepat di
jalan menuju transformasi rohani dan mengikuti Kristus.
PRAKTIK
Duduklah dalam posisi nyaman yang memungkinkan Anda tetap terja-
ga. Tariklah napas dalam-dalam pada saat ini sebagai cara melepaskan
ketegangan yang mungkin menggenggam Anda dan sadarilah kehadiran
Allah, yang lebih dekat daripada napas Anda sendiri. Izinkan diri Anda
menikmati kehadiran Allah dalam keheningan selama beberapa saat.
Ketika Anda merasa siap, bayangkan diri Anda berada dalam kisah
Bartimeus seperti yang ada di Markus 10:46-52 atau bayangkan diri Anda
berada di wilayah kebutuhan Anda sendiri. Bacalah cerita itu perlahan-la-
han, sambil melihat diri Anda sebagai orang yang membutuhkan sesuatu
dari Kristus dan berteriak memanggil-Nya dari kerumunan yang ramai.
Bagaimana Anda mendekati-Nya atau berupaya mendapatkan perhatian-
Nya? Kata-kata apa yang Anda gunakan? Emosi apa yang Anda rasakan?
Bayangkan bahwa dalam menanggapi seruan Anda, Yesus berpaling
kepada Anda. Sekarang Anda saling berhadapan satu sama lain. Biarkan
diri Anda menyadari sepenuhnya bahwa Anda mendapatkan perhatian
sempurna dari Yesus (karena Anda memang mendapatkannya!) dan men-
dengar pertanyaan-Nya tertuju kepada Anda: “Apa yang kau kehendaki
supaya Aku perbuat bagimu?”
Jangan takut akan adanya emosi; penting bagi Anda membiarkan diri
merasakan seberapa dalam kerinduan Anda. Anda mungkin perlu duduk
merenungkan pertanyaan itu dan respons Anda selama beberapa saat
sebelum Anda sepenuhnya berhubungan dengan hasrat hati Anda atau
sepenuhnya sanggup mengungkapkannya. Ulangi pertanyaan ini dan
28 | S AC RED RH Y T H M S
jawabannya selama waktu yang Anda butuhkan. Anda mungkin ingin
pergi berjalan-jalan dulu dengan pertanyaan ini, rebahan di atas rum-
put dan merasakan kehangatan matahari, meringkuk di bawah selimut,
mencatat tanggapan Anda dalam jurnal, atau terlibat penuh dalam tulis-
menulis ataupun melakukan ekspresi artistik.
Jika Anda memilih mencatatnya ke dalam jurnal, mungkin membantu
kalau memulai dengan pernyataan “Tuhan, yang paling aku butuhkan/
inginkan dari-Mu saat ini adalah…”dan biarkan pikiran Anda mengalir.
Dengarkan respons Kristus.
Jangan merasa seolah-olah Anda harus melakukan sesuatu; cukuplah
menikmati keintiman dan kekayaan yang menghampiri, ketika kita mam-
pu menjadi “apa adanya” di hadapan Allah.