s42763-validasi uji.pdf
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
VALIDASI UJI TOKSISITAS AKUT METODE
ORGANIZATION FOR ECONOMIC COOPERATION AND
DEVELOPMENT (OECD) 425 PADA MENCIT BETINA
MENGGUNAKAN TEMBAGA (II) SULFAT PENTAHIDRAT
SKRIPSI
SRI RAHAYU WIDYA NINGRUM
0806328114
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI
DEPOK
JULI 2012
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
VALIDASI UJI TOKSISITAS AKUT METODE
ORGANIZATION FOR ECONOMIC COOPERATION AND
DEVELOPMENT (OECD) 425 PADA MENCIT BETINA
MENGGUNAKAN TEMBAGA (II) SULFAT PENTAHIDRAT
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi
SRI RAHAYU WIDYA NINGRUM
0806328114
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI
DEPOK
JULI 2012
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar.
Nama : Sri Rahayu Widya N
NPM : 0806328114
Tanda Tangan :
Tanggal : Juli 2012
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, Juli 2012
Sri Rahayu Widya Ningrum
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
v
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Sri Rahayu Widya Ningrum
NPM : 0806328114
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization
For Economic Cooperation And Development
(OECD) 425 Pada Mencit Betina Menggunakan
Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
Pembimbing I : Dra. Juheini Amin, M.Si., Apt.
Pembimbing II : Yayah Rodiana, M.Sc.
Penguji I : Dra.Retnosari Andrajati., M.S., Ph.D., Apt.
Penguji II : Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt.
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : Juli 2012
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) 425 pada Mencit Betina menggunakan Tembaga (II)
Sulfat Pentahidrat”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Departemen
Farmasi Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dra. Juheini Amin, M.Si., Apt. Selaku pembimbing pertama skripsi dan
Yayah Rodiana., M.Sc. selaku pembimbing kedua skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, saran,
dan nasehat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini;
2. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S., Apt. selaku ketua Departemen Farmasi
Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia yang
telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan penelitian;
3. Dra. Maryati K, M.Si., Apt, selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan ijin untuk dapat melakukan penelitian dan penyusunan
skripsi ini;
4. drh. Cynthia Devy Irawati selaku Penyelia Lab Patologi Balai Besar
Pengembangan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) serta Bapak
Mustapa Kamal yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga, dan
pikirannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, serta saran
yang bermanfaat selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;
5. Seluruh dosen pengajar, laboran,staf, dan karyawan Departemen Farmasi
Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia yang
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
vii
telah membantu kelancaran dalam perkuliahan, penelitian, dan penyusunan
skripsi ini;
6. Seluruh pegawai, analis, maupun karyawan di Pusat Sarana Pengendalian
Dampak Lingkungan-Kementerian Lingkungan Hidup (Pusarpedal-KLH) dan
Balai Besar Pengembangan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH)
yang telah membantu kelancaran dalam penelitian serta penyusunan skripsi
ini;
7. Keluarga saya tercinta: ayah, mama, adik-adiku tersayang, yang telah
memberikan do’a dan dukungan penuh selama masa perkuliahan dan seluruh
keluarga besar untuk kasih sayang, kesabaran, dukungan, dan doa yang tiada
hentinya;
8. Teman-teman Farmasi angkatan 2008 beserta para sahabat yang telah
berjuang dan menghabiskan waktu bersama di farmasi sehingga membuat
masa-masa perkuliahan menjadi menyenangkan; serta
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan yang telah turut serta menjadi
bagian dalam terselesainya perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang
telah membantu. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
farmasi.
Penulis,
2012
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sri Rahayu Widya Ningrum NPM : 0806328114 Program Studi : Farmasi Departemen : Farmasi Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jenis karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization For Economic Cooperation And Development (OECD) 425 Pada Mencit Betina Menggunakan Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juli 2012
Yang menyatakan
(Sri Rahayu Widya Ningrum)
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
ix Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Sri Rahayu Widya Ningrum
Program Studi : Farmasi
Judul : Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization For
Economic Cooperation And Development (OECD) 425 pada
Mencit Betina Menggunakan Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
Hingga saat ini di Indonesia belum ada metode uji toksisitas akut limbah
yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Organization for
Economic Cooperation & Development (OECD) merupakan salah satu organisasi
yang sudah mengeluarkan prosedur standar pengujian toksisitas lingkungan
OECD 425 secara internasional. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis
apakah metode OECD 425 memenuhi persyaratan validasi yaitu akurasi dan
presisisi serta dapat digunakan sebagai metode standar pengujian toksisitas akut
limbah di Indonesia. Pada penelitian ini digunakan tembaga (II) sulfat pentahidrat
sebagai reference toxicant untuk mengetahui nilai LD50 dan pengaruh pemberian
larutan tersebut pada hati dan ginjal. Hewan uji berupa mencit betina galur DDY
sebanyak 120 ekor. Kelompok perlakuan diberi tembaga (II) sulfat pentahidrat
dengan dosis berturut-turut 840 dan 2150 mg/kg bb, sedangkan kelompok kontrol
diberi akuades. Nilai LD50 ditentukan dengan software AOT425StatPgm, kemdian
dilakkan validasi nilai LD50 tersebut. Hasil uji toksisitas akut oral OECD 425
menunjukkan nilai LD50 tembaga (II) sulfat pentahidrat 1344 mg/kg bb yang
sesuai dengan literatur. Pemeriksaan histologi hati dan ginjal menunjukkan
adanya pengaruh pemberian dosis 840 mg/kg bb dan 2150 mg/kg bb. Metode
pengujian toksisitas akut oral OECD 425 memenuhi persyaratan akurasi dan
presisi serta dapat menjadi metode acuan untuk pengujian toksisitas akut oral
limbah di Indonesia.
Kata kunci : Limbah, OECD 425, Reference Toxicant, Tembaga (II)
Sulfat Pentahidrat, Uji Toksisitas Akut, Validasi.
xvi + 96 halaman : 27 gambar; 15 tabel; 17 lampiran
Daftar Pustaka : 63 (1975-2012)
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
x Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Sri Rahayu Widya Ningrum
Programe Study : Pharmacy
Title : Validation of Acute Oral Toxicity Organization For Economic
Cooperation And Development (OECD) 425 Method in
Female Mice Using Copper (II) Sulphate Pentahydrate.
Up to this time in Indonesia, an acute oral toxicity test of waste hasn’t been
accreditated by the National Accrediatation Committee (KAN). Organization for
Economic Cooperation & Development (OECD) is one of the organization which
published an OECD 425 guideline method for environmental toxicology testing
internationally. This study was intended to find out whether the OECD 425
method can satisfy the accuracy and precision of validation criteria and can be
used as the standard acute toxicity test for waste in Indonesia. Copper (II) sulphate
pentahydrate was used as a reference toxicant in order to determine the LD50 value
and determine the effect of the solution on liver and kidney. One hundred and
twenty DDY female mice were used in the trial. Treated groups were given the
reference toxicant solution of copper (II) sulphate pentahydrate with dose of 840
and 2150 mg/kg bw, while control group was given the aquadest. LD50 value was
determined by AOT425StatPgm software. The results of the acute oral toxicity
OECD 425 test showed that LD50 value of copper (II) sulphate pentahydrate was
1344 mg/kg bw which was in agreement with literature. The histology
examinations data showed that administration of the reference toxicant solution
dose 840 mg/kg bw and 2150 mg/kg bw affect the liver and kidney of mice. Acute
oral toxicity OECD 425 method has proved its accuracy and precision of
validation criteria, thus can be used as the reference acute toxicity method for
waste in Indonesia.
Key Words : Acute Toxicity Test, Copper (II) Sulphate Pentahydrate, OECD
425, Reference Toxicant, Validation, Waste.
xvi + 96 pages : 27 pictures; 15 tables; 17 appendices
Bibliography : 63 (1975-2012)
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.....................................iv
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................viii
ABSTRAK .........................................................................................................ix
ABSTRACT .......................................................................................................x
DAFTAR ISI ......................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xvi
1. PENDAHULUAN ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.. ...........................................................................................1
1.1 Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup.. ..................................................3
1.1 Jenis Penelitian dan Metode yang Digunakan.. ...........................................4
1.1 Tujuan Penelitian.. .......................................................................................4
1.1 Manfaat Penelitian.. .....................................................................................4
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................5
2.1 Validasi Metode ...........................................................................................5
2.2 Toksisitas. ....................................................................................................8
2.3 Metode Uji Toksisitas Akut (Organization for Economic Cooperation
and Development) OECD ............................................................................10
2.4 Reference Toxicant .......................................................................................14
2.5 Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat ...................................................................16
2.6 Hati...... .........................................................................................................18
2.7 Ginjal... .........................................................................................................20
3. METODE PENELITIAN .............................................................................23
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.. .....................................................................23
3.2 Bahan.............. .............................................................................................23
3.3 Peralatan.. .....................................................................................................24
3.4 Cara Kerja.. ..................................................................................................25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................32
4.1 Pengujian Nilai LD50 Metode OECD 425.. ................................................32
4.2 Pembuatan Control Chart Uji Toksisitas Akut Metode OECD 425.. ..........33
4.3 Pengamatan Perilaku Mencit selama Uji Toksisitas Akut.. .........................34
4.4 Pengaruh Reference Toxicant terhadap Berat Badan Mencit selama Uji
Toksisitas Akut.. ..........................................................................................36
4.5 Pengamatan Makroskopik Organ.. ................................................................37
4.6 Pengamatan Mikroskopik Organ.. ...............................................................40
4.7 Keterbatasan Penelitian.. ..............................................................................45
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
xii Universitas Indonesia
5. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................47
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................47
5.2 Saran .............................................................................................................48
DAFTAR ACUAN ............................................................................................ 49
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Tahap-tahap Penelitian .................................................................. 54
Gambar 4.2 Tembaga (II) sulfat pentahidrat .....................................................55
Gambar 4.3 Diagram control chart LD50 hasil pengujian toksisitas Akut
metode OECD 425... .....................................................................34
Gambar 4.4 Perubahan berat badan mencit tiap kelompok Perlakuan ..............37
Gambar 4.5 Morfologi hati mencit tiap perlakuan pada pengamatan 7 hari...56
Gambar 4.6 Morfologi hati mencit tiap perlakuan pada pengamatan 14 hari.56
Gambar 4.7 Diagram batang persen bobot basah rata-rata organ hati
terhadap berat tubuh mencit tiap perlakuan ...................................57
Gambar 4.8 Diagram batang persen bobot basah rata-rata organ ginjal
terhadap berat tubuh mencit tiap perlakuan .................................. .57
Gambar 4.9 Morfologi ginjal mencit tiap perlakuan pada pengamatan 7 hari..58
Gambar 4.10 Morfologi ginjal mencit tiap perlakuan pada pengamatan 14 hari.58
Gambar 4.11 Prosedur histologi jaringan.............................................................59
Gambar 4.12 Gambaran histologis hati mencit kontrol normal dengan perbesaran
400x pada pengamatan 7 hari.........................................................61
Gambar 4.13 Gambaran histologis hati mencit kontrol normal dengan perbesaran
400x pada pengamatan 14 hari .......................................................61
Gambar 4.14 Gambaran histologis hati mencit dosis 840 mg/kg bb dengan
perbesaran 400x pada pengamatan 7 hari .......................................62
Gambar 4.15 Gambaran histologis hati mencit dosis 840 mg/kg bb dengan
perbesaran 400x pada pengamatan 14 hari .....................................62
Gambar 4.16 Gambaran histologis hati mencit dosis 2150 mg/kg bb dengan
perbesaran 400x pada pengamatan 7 hari .......................................63
Gambar 4.17 Gambaran histologis hati mencit dosis 2150 mg/kg bb dengan
perbesaran 400x pada pengamatan 14 hari .....................................63
Gambar 4.18 Diagram batang rata-rata diameter vena sentralis hati mencit tiap
perlakuan ........................................................................................64
Gambar 4.19 Diagram batang persentase derajat kerusakan hati mencit tiap
perlakuan ........................................................................................64
Gambar 4.20 Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
kontrol normal dengan perbesaran 400x pada pengamatan 7
hari..................................................................................................65
Gambar 4.21 Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
kontrol normal dengan perbesaran 400x pada pengamatan 14
hari..................................................................................................65
Gambar 4.22 Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 840 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 7
hari ..................................................................................................66
Gambar 4.23 Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 840 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 14
hari ..................................................................................................66
Gambar 4.24 Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 2150 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 7
hari ..................................................................................................67
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
xiv Universitas Indonesia
Gambar 4.25 Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 2150 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 14
hari ..................................................................................................67
Gambar 4.26 Diagram batang rata-rata diameter glomerulus ginjal mencit tiap
perlakuan ........................................................................................68
Gambar 4.27 Diagram batang rata-rata jarak ruang antara glomerulus dan
kapsula bowman mencit tiap perlakuan .........................................68
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
xv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia/bahan/senyawa
berdasarkan nilai LD50................................................................. 9
Tabel 2.2 Perbedaan metode uji toksisitas akut oral yang dikeluarkan oleh
OECD....................................................................................... 14
Tabel 3.1 Komposisi larutan yang digunakan dalam pembuatan sediaan
histologi....................................................................................... 24
Tabel 4.1 Data hasil pengujian nilai LD50 ........................................................33
Tabel 4.2 Gejala toksisitas yang muncul setelah pajanan larutan reference
toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat ...........................................35
Tabel 4.3 Data persen berat basah hati terhadap bobot tubuh mencit tiap
kelompok perlakuan ........................................................................39
Tabel 4.4 Data berat basah ginjal terhadap bobot tubuh mencit tiap
kelompok perlakuan .........................................................................40
Tabel 4.5 Data rata-rata diameter vena sentralis hati mencit tiap perlakuan ...42
Tabel 4.6 Data rata-rata diameter glomerulus ginjal mencit tiap perlakuan ....44
Tabel 4.7 Data rata-rata jarak ruang antara glomerulus dan kapsula bowman
ginjal mencit tiap perlakuan .............................................................45
Tabel 4.8 Hasil berat badan dan persen bobot basah hati dan ginjal terhadap
berat badan mencit tiap kelompok perlakuan pada 7 hari
pengamatan.......................................................................................69
Tabel 4.9 Hasil pengukuran rata-rata diameter vena sentralis hati, derajat
kerusakan hati, diameter glomerulus ginjal, dan rata-rata jarak
ruang antara glomerulus dan kapsula bowman pada 7 hari
pengamatan.......................................................................................72
Tabel 4.10 Hasil berat badan dan persen bobot basah hati dan ginjal terhadap
berat badan mencit tiap kelompok perlakuan pada 14 hari
pengamatan.......................................................................................75
Tabel 4.11 Hasil pengukuran rata-rata diameter vena sentralis hati, derajat
kerusakan hati, diameter glomerulus ginjal, dan rata-rata jarak
ruang antara glomerulus dan kapsula bowman pada 14 hari
pengamatan.......................................................................................76
Tabel 4.12 Hasil repitabilitas dan akurasi nilai ld50 tembaga (ii) sulfat
pentahidrat menggunakan metode OECD 425 “Up-and-Down
Procedure” .......................................................................................77
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
xvi Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kriteria penghentian pengujian toksisitas akut oral metode
OECD 425 ...................................................................................78
Lampiran 2. Tabel konversi perhitungan dosis.......................................... 81
Lampiran 3. Dosis konversi tembaga (II) sulfat pentahidrat ...........................82
Lampiran 4. Pembuatan larutan tembaga (II) sulfat pentahidrat .....................83
Lampiran 5. Daftar pemeriksaan fisik dan pengamatan hewan dalam uji
toksisitas akut metode OECD ......................................................84
Lampiran 6. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan I ..................85
Lampiran 7. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan II .................86
Lampiran 8. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan III ................87
Lampiran 9. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan IV ...............88
Lampiran 10. Hasil pengujian toksisitas akut oral Berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan V .................89
Lampiran 11. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 14 hari ................................90
Lampiran 12. Log book suhu dan kelembapan ruangan ketika uji toksisitas
akut metode OECD 425...............................................................91
Lampiran 13. Surat izin melakukan penelitian di laboratorium toksikologi
Pusarpedal-KLH ..........................................................................92
Lampiran 14. Surat izin melakukan penelitian di laboratorium Patologi
BBPMSOH ..................................................................................93
Lampiran 15. Sertifikat analisis tembaga (II) sulfat pentahidrat dari Wako
Pure Chemical Industries, Ltd .....................................................94
Lampiran 16. Sertifikat hewan uji......................................................................95
Lampiran 17. Cara pengukuran diameter vena sentralis dan Glomerulus .........96
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan pembangunan umumnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan
hidup rakyat dan dilaksanakan melalui rencana pembangunan jangka panjang
yang bertumpu pada pembangunan di bidang industri. Hal ini bisa dilihat dari
pertumbuhan industri yang terjadi selama tahun 2010. Data Kementerian
Perindustrian menunjukkan pertumbuhan industri pada triwulan II tahun 2010
telah mencapai 4,91%. Angka ini lebih tinggi dari target pertumbuhan industri
yang ditetapkan sebesar 4,65% untuk seluruh tahun 2010 (Kementrian
Perindustrian Republik Indonesia, 2010).
Pembangunan di bidang industri dapat bermanfaat bagi kesejahteraan
hidup rakyat, tetapi di lain pihak, kegiatan industri tersebut juga akan
menghasilkan limbah. Diantara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri
tersebut terdapat limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Limbah B3
yang dibuang langsung ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu,
pemerintah membuat suatu regulasi tentang pengelolaan limbah B3 dengan
memeriksa setiap limbah yang dihasilkan oleh industri (Peraturan Pemerintah
Nomor 18, 1999).
Pada umumnya, sebelum dibuang ke lingkungan, limbah industri akan
diuji secara kimia untuk mengetahui apakah konsentrasi senyawa-senyawa kimia
yang terdapat didalam limbah tersebut berada dibawah baku mutu yang
dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengujian
secara kimia ini dikenal dengan istilah chemical-specific approach (Whitehouse
P, 2001). Kelemahan chemical-specific approach adalah karakteristik limbah
yang terdiri dari berbagai macam campuran bahan baku dan pereaksi sehingga
mengakibatkan kesulitan dalam mengukur konsentrasi seluruh senyawa kimia
yang mungkin ada didalam limbah. Pada tahun 1984, United States Protection
Agency (US EPA) mengeluarkan suatu metode pengujian berdasarkan efek toksik
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
2
Universitas Indonesia
yang terdapat dalam limbah. Pendekatan tersebut dikenal dengan toxicity-based
approach (Jin H, Yang X, Yin D & Yu H, 1999).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 juncto No. 85 tahun
1999 tentang Pengolahan Limbah B3, uji toksikologi merupakan uji terakhir yang
dilakukan apabila limbah tidak terdapat dalam daftar sumber spesifik dan dibawah
baku mutu uji karakteristik dari uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching
Procedure). Uji toksisitas digunakan untuk mengetahui sifat racun akut dan kronis
suatu senyawa. Dengan uji ini, dapat diketahui pengaruh senyawa kimia atau zat
pencemar terhadap organisme yang diuji (William dan Burson, 1995). Salah satu
uji toksikologi yang dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah
dengan penentuan sifat akut limbah melalui uji hayati untuk mengukur hubungan
dosis-respons antara limbah dengan kematian hewan uji, untuk menetapkan nilai
LD50.
Di Indonesia, hingga saat ini belum ada laboratorium toksikologi dan
metode uji toksisitas akut limbah yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi
Nasional (KAN). Oleh karena itu, Pusarpedal sebagai unit teknis Kementrian
Lingkungan Hidup dan laboratorium rujukan nasional di bidang lingkungan hidup
berusaha mempersiapkan laboratorium toksikologi beserta metode uji toksisitas
akut limbah yang sesuai guna memenuhi Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999
juncto No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan
Beracun (Pusarpedal, 2011).
Organization for Economic Cooperation & Development (OECD)
merupakan salah satu organisasi yang sudah mengeluarkan prosedur standar
pengujian toksisitas lingkungan secara internasional, didirikan pada tahun 1948
dan beranggotakan 31 negara yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Eropa.
Dari beberapa metode uji toksisitas akut yang dikeluarkan oleh OECD, metode
penentuan toksisitas akut yang banyak digunakan adalah metode OECD 425
(Acute Oral Toxicity: Up-and-Down Procedure) karena menggunakan lebih
sedikit hewan uji (maksimal delapan hewan uji tiap pengujian), serta
menggunakan software untuk menghitung nilai LD50 (Rispin et al., 2001).
Validasi metode perlu dilakukan oleh laboratorium terhadap metode non
standar, metode yang dikembangkan sendiri, metode standar yang dimodifikasi,
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
3
Universitas Indonesia
dan metode standar untuk mempertegas dan mengkonfirmasikan bahwa metode
tersebut sesuai dengan penggunaannya. Hasil validasi metode selain untuk
mendukung pengujian sesuai peraturan perundang-undangan lingkungan hidup
yang berlaku serta hasil yang diperoleh diharapkan dapat sebagai bahan rumusan
Standar Nasional Indonesia (SNI) (Hadi, 2007).
Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap reference toxicant yang
direkomendasikan dalam pengujian toksisitas oleh United States Environmental
Protection Agency (US EPA) untuk penjaminan kualitas (USEPA, 2002b).
Tembaga (II) sulfat pentahidrat dipilih sebagai reference toxicant karena tembaga
termasuk kedalam daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), namun
penggunaan tembaga (II) sulfat pentahidrat dalam lingkungan juga sebagai
fungisida, herbisida, algasida, dan bahan tambahan untuk penyubur tanaman
(Sinkovic A, Strdin A, Svensek F, 2008). Tembaga (II) sulfat pentahidrat juga
diberikan secara langsung pada hewan ternak sebagai tambahan pakan (Arifin,
2007).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka dilakukan validasi metode uji
toksisitas akut yang dikeluarkan oleh OECD di laboratorium Toksikologi
Pusarpedal. Penelitian dilakukan pada sejumlah hewan uji mencit betina galur
DDY yang diberi larutan reference toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat.
Penentuan nilai LD50 dilakukan menggunakan software Acute Oral Toxicity
(Guideline 425) Statistical Program (AOT425StatPgm). Data histologi hati dan
ginjal mencit setelah perlakuan dengan reference toxicant juga diperlukan sebagai
data pendukung (OECD,2001a). Validasi dilakukan dengan melihat akurasi dan
presisi dari hasil pengujian. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh
metode uji toksisitas akut yang tervalidasi di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Masalah yang diangkat dalam penelitian adalah belum adanya metode uji
toksisitas akut limbah yang tervalidasi di Indonesia. Oleh karena itu, dilakukan
pengkajian tentang metode uji toksisitas akut 425 yang dipublikasikan oleh OECD
menggunakan Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat. Ruang lingkup penelitian ini
adalah Toksikologi Lingkungan (Environmental Toxicology).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
4
Universitas Indonesia
1.3 Jenis Penelitian dan Metode yang Digunakan
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengujian toksisitas akut oral metode
OECD 425 menggunakan tembaga (II) sulfat pentahidrat sebagai reference
toxicant.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk:
1. Menganalisis apakah metode OECD 425 tersebut memenuhi persyaratan
validasi yaitu akurasi dan presisisi serta dapat digunakan sebagai metode
standar pengujian toksisitas akut limbah di Indonesia.
2. Menganalisis apakah mencit betina dapat digunakan sebagai hewan uji untuk
uji toksisitas akut metode OECD 425.
3. Menganalisis apakah ada perbedaan hasil antar pengamatan 7 hari dan 14 hari
dalam uji toksisitas akut metode OECD 425.
4. Menganalisis gambaran histologi ginjal dan hati mencit setelah uji toksisitas
akut menggunakan reference toxicant.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan data awal uji toksisitas akut kepada
Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka Revisi Peraturan Pemerintah No.
18 jo. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
5 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah proses di mana suatu metode ditetapkan
melalui serangkaian uji laboratorium untuk mengetahui bahwa parameter metode
yang diuji memenuhi persyaratan untuk penerapan metode yang dimaksud.
Tujuan utama validasi adalah untuk menjamin metode analisis yang digunakan
mampu memberikan hasil yang cermat, handal, dan dapat dipercaya. Dalam
ISO/IEC 17025:2005, parameter metode analisis adalah kecermatan (akurasi),
repitabilitas (presisi), selektivitas, linearitas, rentang, batas kuantitasi (LOQ) dan
batas deteksi (LOD), ketangguhan, dan kekuatan (Horwitz, 1975; Hadi, 2007).
2.1.1 Akurasi
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Biasanya
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali atau recovery. Cara untuk
menentukan kecermatan dalam ISO/IEC 17025:2005 adalah dengan pengujian
menggunakan CRM (Certified Reference Material) setidak-tidaknya dilakukan 7
kali pengulangan analisis tiap CRM. Kriteria akurat diberikan jika hasil analisis
memberikan nilai antara 98%-102%. Untuk sampel biologis dan nabati, syarat
akurasi yang baik adalah ± 10% dari syarat akurasi untuk sediaan (98%-102%)
(Fifield & Kealey, 2000; Hadi, 2007).
2.1.2 Presisi
Repitabilitas atau presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual yang diukur melalui penyebaran hasil
individu dari hasil rata-rata jika prosedur ditetapkan secara berulang pada sampel-
sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Ganjar & Rohman, 2007).
Cara untuk menentukan repitabilitas dalam ISO/IEC 17025:2005 adalah dengan
pengujian sampel setidak-tidaknya dilakukan 7 kali pengulangan analisis tiap
sampel (Hadi, 2007).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
6
Universitas Indonesia
2.1.3 Selektivitas
Yang dimaksud dengan selektivitas suatu metode adalah kemampuan dari
metode tersebut untuk mengukur analit tertentu saja secara cermat dan seksama
dengan adanya komponen lain yang mungkin ada di dalam matriks sampel.
Selektivitas sering kali dinyatakan sebagai derajat penyimpangan metode yang
dilakukan terhadap sampel dengan penambahan cemaran, hasil urai, senyawa
sejenis, atau senyawa asing lain ke dalamnya. Hasil dari sampel tersebut
dibandingkan dengan hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain
yang ditambahkan (Fifield & Kealey, 2000).
2.1.4 Linearitas
Yang dimaksud dengan linearitas adalah kemampuan metode analisis
untuk memberikan respon secara langsung atau dengan bantuan transformasi
matematika yang baik dan proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel.
Linearitas dapat diperoleh dengan mengukur konsentrasi standar yang berbeda,
minimal lima konsentrasi. Data yang diperoleh kemudian diproses menggunakan
regresi linier, sehingga diperoleh nilai slope, intersep, dan koefisien korelasi. Nilai
koefisien korelasi di atas 0,9990 sangat diharapkan untuk suatu metode analisis
yang baik. Selain koefisien korelasi, simpangan baku residual (Sy) juga harus
dihitung. Semua perhitungan matematika tersebut dapat diukur dengan
menggunakan kalkulator atau perangkat lunak komputer (Anderson, 1999).
2.1.5 Rentang (Range)
Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang
sudah ditunjukkan dan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan
linearitas yang dapat diterima (Burgess, 2000).
2.1.6 Batas Kuantitasi (LOQ) dan Batas Deteksi (LOD)
Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan
sebagai jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria
cermat dan seksama. Batas deteksi adalah jumlah analit terkecil dalam sampel
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
7
Universitas Indonesia
yang masih dapat dideteksi dan masih memberikan respon yang signifikan bila
dibandingkan dengan blanko (Khopkar, 1990).
2.1.7 Reprodusibilitas (Ruggedness)
Dalam ISO/IEC 17025:2005, pengujian reprodusibilitas dilakukan oleh
operator yang berbeda (biasanya melalui uji banding antar laboratorium).
Pengulangan pengujian dilakukan oleh analis yang berbeda, laboratorium yang
berbeda, dan menggunakan peralatan yang berbeda (Hadi, 2007).
2.1.8 Ketahanan (Robustness)
Untuk validasi ketahanan suatu metode perlu dibuat perubahan metodologi
yang kecil dan terus-menerus, mengevaluasi respon analitik, dan efek pada presisi
dan akurasi. Identifikasi sekurang-kurangnya tiga faktor analisis yang dapat
mempengaruhi hasil bila nanti diubah atau diganti (Burgess, 2000).
2.1.9 Validasi Metode Uji Toksisitas
Parameter validasi dibidang pengujian toksikologi lingkungan, hanya
memungkinkan untuk dilakukan uji akurasi dan presisi. Kriteria validasi untuk uji
toksikologi mencakup (NIEHS, 1997) :
a. Ketersediaan data mengenai alasan penggunaan dan tujuan metode;
b. Hubungan end point kepada efek biologis hewan uji harus dideskripsikan
pada pembahasan hasil pengujian;
c. Ketersediaan protokol yang jelas dari metode uji dan harus mencakup
deskripsi dari senyawa uji yang digunakan, bagaimana metode tersebut
dilakukan, tersedia kontrol positif maupun kontrol negatif, deskripsi
mengenai pengolahan dan analisa data, serta deskripsi mengenai limit/
batas uji;
d. Evaluasi mengenai presisi metode uji di laboratorium tempat
dilangsungkannya penelitian;
e. Pada pelaksanaan uji, harus digunakan reference toxicant yang telah
diketahui data toksikologinya;
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
8
Universitas Indonesia
f. Keterbatasan penelitian harus dicantumkan pada hasil pengujian dengan
metode tersebut;
2.2 Toksisitas
Suatu keadaan yang menandai adanya efek toksik atau racun yang terdapat
pada suatu bahan sebagai sediaan dosis tunggal atau campuran, dapat diartikan
sebagai toksisitas (Hodgson, 2010). Untuk mengetahui tingkat toksisitas terhadap
organisme hidup dapat dilakukan cara uji hayati atau uji toksisitas. Uji hayati
adalah percobaan yang menggunakan organisme hidup untuk
mengetahui/mengukur adanya pengaruh dari suatu senyawa, limbah, faktor
lingkungan dan kombinasi lainnya (APHA, 1975). Dengan uji ini dapat diketahui
pengaruh senyawa kimia/zat pencemar (daya racun dan efek samping) terhadap
organisme yang diuji, misalnya:
a. Hambatan pada pertumbuhan,
b. Tingkat kematian serta gambaran informasi gejala lain seperti perubahan
perilaku,
c. Abnormalitas fungsi organ tubuh,
d. Gangguan-gangguan fisiologis lainnya.
Informasi tersebut dapat digunakan secara analog untuk mengetahui
bagaimana pengaruh limbah beracun terhadap manusia (Klaassen & Doull 1996).
Uji toksisitas dapat digunakan sebagai suatu penelitian dasar untuk
mendeteksi, mengevaluasi, dan mengurangi pengaruh pencemaran. Kegunaan uji
toksisitas ini erat sekali hubungannya dengan penentuan toksisitas buangan
industri dan untuk mengetahui efisiensi pengolahan limbah industri. Selain itu, uji
toksisitas ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
suatu baku mutu kualitas lingkungan terhadap senyawa/limbah. Umumnya
pencantuman batas toksisitas (LC50 dan LD50) dalam peraturan yang dibuat,
ditujukan untuk melindungi lingkungan (Yossa, 2008).
Uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu uji toksisitas umum dan uji
toksisitas khusus. Uji toksisitas umum dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan
efek umum suatu obat pada hewan uji melalui uji toksisitas akut,
subakut/subkronis, kronis. Uji toksisitas khusus dirancang untuk mengevaluasi
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
9
Universitas Indonesia
dengan rinci tipe toksisitas secara khusus, seperti uji teratogenik, uji mutagenik,
dan uji karsinogenik (Lu, 2009).
Langkah pertama yang biasa digunakan dalam penentuan keamanan suatu
zat kimia/zat pencemar terhadap organisme adalah uji toksisitas dengan
menentukan nilai LD50 (median lethal dose), yaitu suatu uji sederhana dari
tingkatan toksisitas suatu zat/bahan/senyawa terhadap hewan uji yang diteliti. Uji
ini telah diterima oleh para ilmuwan pada umumnya (Lu, 2009). berdasarkan
penentuan nilai LD50 oral, telah diklasifikasikan tingkat toksisitas seperti tertera
pada Tabel 2.1 terkait dengan bahaya yang disebabkan oleh zat
kimia/bahan/senyawa (Lu, 2009).
Tabel 2.1. Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia/bahan/senyawa berdasarkan
nilai LD50
Tingkat
Toksisitas
Kriteria Toksik LD50 Oral
(mg/kg bb)
1 Sangat beracun (Extremely Toxic) <1
2 Berdaya racun kuat (Highly Toxic) 1 – <50
3 Beracun (Toxic) 50 – <500
4 Berdaya racun lemah (Slightly Toxic) 500 – <5000
5 Hampir tidak beracun (Practically non Toxic) 5000 – <15000
6 Relatif tidak membahayakan (Relatively
harmless)
>15000
[Sumber: Yossa, 2008]
2.2.1 Toksisitas Akut
Efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat
setelah pemajanan atau pemberiannya dengan takaran tertentu dapat ditentukan
dengan uji toksisitas akut. Uji ini dikerjakan dengan cara memberikan dosis
tunggal senyawa uji pada hewan uji. Suatu senyawa diberikan melalui jalur yang
akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan manusia terpajani
dengan senyawa tersebut. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali
pada kasus tertentu selama 3-14 hari. Pengamatan tersebut meliputi gejala-gejala
klinis, jumlah hewan yang mati, histopatologi organ (Loomis, 2001; Sinta, 2007).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji toksisitas akut ini adalah LD50,
sedangkan data kualitatifnya berupa penampakan klinis dan morfologis efek
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
10
Universitas Indonesia
toksik senyawa uji. Data LD50 yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui
potensi ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu, juga
dapat digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya
(Donatus, 2001).
2.3 Metode Uji Toksisitas Akut Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD)
Beberapa metode uji toksisitas akut oral untuk senyawa kimia telah
dipublikasikan oleh OECD. Masing-masing metode yang dikeluarkan oleh OECD
memiliki kelebihan dan keterbatasan (Sitzel. K & Carr. G, 1999). Berikut
dijabarkan masing-masing metode uji toksisitas akut oral OECD:
2.3.1 Metode Standar OECD 401 Acute Oral Toxicity (AOT)
Pedoman uji toksisitas akut oral yang pertama kali dikeluarkan oleh
OECD adalah pedoman nomor 401 (Acute Oral Toxicity). Prinsip uji toksisitas
akut oral OECD 401 adalah mengelompokkan hewan uji dengan jenis kelamin
yang sama ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah ditetapkan. Setiap
kelompok terdiri dari 5 hewan uji dengan jenis kelamin yang sama. Pemberian
dosis dilakukan secara oral dan dengan dosis yang bertingkat untuk setiap
kelompok. Setelah uji selesai, dilakukan uji kembali dengan hewan uji dari jenis
kelamin berbeda (OECD, 1987; Sitzel & Carr, 1999).
Sebagai uji toksisitas akut oral yang masih tradisional, LD50 dari senyawa
uji ditentukan dari dosis yang memberikan 50% kematian pada hewan uji. Metode
penentuan LD50 pun mengikuti metode dari Bliss, Litchifield & Wilcoxon,
Finney, Weil, Thompson, maupun Miller & Tainter. Kurva dosis respon dapat
dilinearkan dengan persen respon untuk log dosis ke dalam grafik probit (OECD,
1987; Sitzel & Carr, 1999).
Hewan uji yang digunakan adalah tikus atau mencit (rodentia) dengan
jenis kelamin yang sama. Setidaknya menggunakan 5 hewan uji untuk masing-
masing kelompok dosis.
Kelemahan dari metode ini adalah menggunakan banyak hewan uji
(minimal 20 hewan uji untuk setiap uji senyawa) sehingga metode ini sudah
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
11
Universitas Indonesia
dihapuskan oleh OECD pada Desember 2002 dan tidak lagi digunakan (Schelde,
Elke, Gisela, & Detlev, 2005).
2.3.2 Metode Standar OECD 420 Fixed Dose Procedure (FDP)
Pada tahun 2001, beberapa metode uji tokisistas akut oral untuk
menggantikan metode OECD 401 telah dipublikasikan oleh OECD. Salah satu
metode yang dipublikasikan oleh OECD adalah pedoman nomor 420 (Fixed Dose
Procedure). Metode standar OECD 420 ini pertama kali diusulkan oleh British
Toxicology Society pada tahun 1984 sebagai alternatif untuk menggantikan
metode OECD 401 (Barile, 2008).
Prinsip uji toksisitas akut oral OECD 420 adalah mengelompokkan hewan
uji dengan jenis kelamin yang sama ke dalam beberapa kelompok dosis yang telah
ditetapkan yaitu 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg dengan 5 hewan uji tiap kelompok
(OECD, 2001c; Sitzel & Carr, 1999). Sebelum dilakukan uji utama, dilakukan uji
pendahuluan terlebih dahulu untuk menentukan dosis awal menggunakan satu
hewan uji pada tiap dosis. Hewan uji yang digunakan adalah tikus atau mencit
(rodentia) dengan jenis kelamin betina. Hewan uji jantan tidak diikutsertakan
karena menurut beberapa penelitian menyatakan bahwa hewan uji betina (tikus
maupun mencit) lebih sensitif dalam pengujian (OECD, 2001a,b,c). Setidaknya
menggunakan 5 hewan uji untuk masing-masing kelompok dosis namun
dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu.
Dosis yang diberikan pun sudah ditetapkan yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/
kg bb (OECD, 2001b). Nilai LD50 ditentukan dengan rentang dosis (bukan
merupakan suatu nilai pasti) (Sitzel & Carr, 1999; Barile, 2008).
Metode OECD 420 ini memberikan informasi tentang senyawa berbahaya
(hazardous) dan senyawa tersebut dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dari
GHS (Globally Harmonized System) atau di Indonesia berada dalam
pengelompokan limbah B3 (OECD, 2001c; Yossa, 2008). Pada metode ini,
digunakan lebih sedikit hewan uji dan rasa sakit yang ditimbulkan lebih sedikit
bagi hewan uji dibanding metode uji LD50 konvensional OECD 401 (Barile,
2008).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
12
Universitas Indonesia
2.3.3 Metode Standar OECD 423 Acute Toxic Class Method (ATC)
Pada tahun 2001, OECD mengeluarkan pedoman uji toksisitas akut oral
yang lain yaitu OECD 423 sebagai alternatif untuk uji toksisitas akut oral yang
dapat menggantikan metode 401 (Schelde, Elke, Gisela, & Detlev, 2005; OECD
2001c).
Prinsip dari metode toksisitas akut oral ini adalah hewan uji yang
digunakan lebih sedikit (3 hewan uji dengan jenis kelamin yang sama tiap tahap
uji) dan menggunakan kematian hewan uji sebagai endpoint (Barile, 2008).
Kelompok hewan uji (3 hewan uji) diberikan dosis awal dan dilihat respon
kematian dan respon fisiologisnya. Pemberian dosis selanjutnya mengikuti respon
dari hewan uji yang diberikan dosis awal. Jika jumlah hewan uji yang mati lebih
dari satu, maka dosis untuk uji berikutnya diturunkan, begitupun sebaliknya
(OECD, 2001c).
Sebelum dilakukan uji utama, dilakukan uji pendahuluan terlebih dahulu
untuk menentukan dosis awal menggunakan satu hewan uji pada tiap dosis.
Hewan uji yang digunakan adalah tikus atau mencit (rodentia) dengan jenis
kelamin betina. Hewan uji jantan tidak diikutsertakan karena menurut beberapa
penelitian menyatakan bahwa hewan uji betina (tikus maupun mencit) lebih
sensitif dalam pengujian (OECD, 2001a,b,c). Setidaknya menggunakan 3 hewan
uji untuk masing-masing kelompok dosis namun dilakukan uji pendahuluan
terlebih dahulu.
Dosis yang diberikan pun sama dengan dosis pada pedoman OECD 420
yaitu 5, 50, 300, dan 2000 mg/ kg bb. Perbedaannya hanya pada jumlah mencit
tiap dosis (OECD, 2001b,c). Nilai LD50 ditentukan dari jumlah hewan uji yang
mati pada kelompok dosis yang diberikan.
2.3.4 Metode Standar OECD 425 Up-and-Down Procedure (UDP)
Dalam metode standar OECD 425, hewan uji diberi seri dosis dengan
faktor pengalian 3,2 dan dosis yang dipilih harus berada dalam jarak LD50 dari
acuan. Pengamatan atas respon hewan uji dan kematian hewan uji dilakukan
hingga 14 hari setelah pemberian dosis (OECD, 2001a; USEPA, 2002a; Barile,
2008). Hewan uji yang digunakan adalah tikus atau mencit (rodentia) dengan jenis
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
13
Universitas Indonesia
kelamin betina. Hewan uji jantan tidak diikutsertakan karena menurut beberapa
penelitian menyatakan bahwa hewan uji betina (tikus maupun mencit) lebih
sensitif dalam pengujian (OECD, 2001a,b,c). Setidaknya menggunakan 1 hewan
uji untuk masing-masing dosis.
Pemberian dosis selanjutnya dilakukan berdasarkan status dosis
sebelumnya setelah 48 jam. Jika hewan uji hidup, maka dosis selanjutnya
dinaikkan dengan faktor kenaikan 3,2. Jika hewan uji mati, maka dosis
selanjutnya diturunkan dengan faktor penurunan 3,2. Uji dihentikan bila
memenuhi kriteria (Lampiran 1):
a. Tiga hewan hidup pada batas atas uji (5000 mg/kg);
b. Lima pengulangan muncul pada 6 hewan yang diujikan. Dimulai dari dosis
terendah saat ditemukan hewan uji yang hidup, setelah itu dilakukan uji pada
konsentrasi diatas dosis terendah tersebut dan uji pada kedua konsentrasi ini
dilakukan sebanyak 2x (vice versa);
c. Penghentian dihentikan jika ditemukan 3x kematian pada 4 konsentrasi yang
sama.
Nilai LD50 ditentukan dengan program AOT425StatPgm.
AOT425StatPgm (Acute Oral Toxicity (Guideline 425) Statistical Program)
adalah perangkat lunak untuk menghitung nilai LD50. Tujuan dari prosedur ini
adalah untuk menguji toksisitas jangka pendek dari suatu senyawa kimia yang
diberikan pada hewan pengerat. Informasi yang dimasukkan ke dalam aplikasi
AOT425StatPgm adalah dosis dan respon hewan uji (mati/hidup). Prosedur
perhitungan LD50 dengan AOT425StatPgm berlangsung secara bertahap.
Pengguna aplikasi AOT425StatPgm dapat memasukkan hasil uji untuk satu
hewan uji, menyimpan data, dan memasukkan data kembali untuk hewan uji
kedua pada hari yang berbeda. Ketika seluruh uji selesai, program
AOT425StatPgm menggunakan hasil tersebut untuk menghitung LD50.
Kelebihan dari Program AOT425StatPgm adalah dapat menghitung dosis
rekomendasi untuk hewan berikutnya, kapan waktu untuk menghentikan
pemberian dosis hewan , dan estimasi statistik LD50 (Westat, 2001).
Pada limbah yang belum diketahui nilai LD50 nya, maka dosis yang
diberikan ke hewan uji mengikuti faktor kelipatan dosis dari OECD yaitu 1,75;
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
14
Universitas Indonesia
5,5; 17,5; 55; 175; 550; 1750; 5000 mg/kg bb (OECD 2001a; Rispin et al. 2002;
USEPA 2002a).
Tabel 2.2. Perbedaan metode uji toksisitas akut oral yang dikeluarkan oleh OECD
Kriteria OECD 401
“AOT”
OECD 420
“FDP”
OECD 423
“ATC”
OECD 425
“UDP”
Jenis
Kelamin
Hewan Uji
Rodentia, jenis
kelamin sama
Rodentia, jenis
kelamin betina
Rodentia, jenis
kelamin betina
Rodentia, jenis
kelamin betina
Jumlah
Hewan Uji
Minimal 20. 5
hewan uji
masing-masing
kelompok
dosis
5 hewan uji
masing-masing
kelompok
dosis
3 hewan uji
masing-masing
kelompok
dosis
Maksimal 8
hewan uji. 1
hewan uji tiap
pemberian
dosis.
Dosis Maksimal
2000 mg/kg bb
Kelompok
dosis 5, 50,
300, dan 2000
mg/ kg bb
Kelompok
dosis 5, 50,
300, dan 2000
mg/ kg bb
Mengikuti
faktor
pengalian 3,2.
Dosis
maksimal 2000
mg/kg bb atau
5000 mg/kg bb
Masa
berlaku
metode
Dihapuskan
tahun 2002
Masih berlaku Masih berlaku Masih berlaku
End point Kematian
hewan uji
Kematian
hewan uji
Kematian
hewan uji
Kematian
hewan uji (48
jam) & Hewan
uji yg hidup
(48 jam)
Pengamatan
hewan uji
Perubahan
berat badan,
gejala
toksisitas,
patologi
Perubahan
berat badan,
gejala
toksisitas,
patologi
Perubahan
berat badan,
gejala
toksisitas,
patologi
Perubahan
berat badan,
gejala
toksisitas,
patologi
[Sumber: OECD, 2001a,b,c, telah diolah kembali]
2.4 Reference Toxicant
Kualitas untuk seluruh uji toksisitas ditentukan dengan melakukan uji
dengan menggunakan reference toxicant untuk memonitor variasi inter-batch
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
15
Universitas Indonesia
dalam respon hewan uji untuk sesama toksikan. Uji dengan reference toxicant
digunakan untuk memeriksa kesehatan dan sensitivitas hewan uji dari batch yang
berbeda, dan untuk mendeterminasi reprodusibilitas hasil uji dari waktu ke waktu
(USEPA, 2002b; ASTM, 1980).
Respon dari populasi uji sebagai variabel yang sudah diketahui dan kontrol
positif ditentukan dengan reference toxicant. Pengujian dengan reference toxicant
direkomendasikan dalam uji toksisitas oleh United States Environmental
Protection Agency (US EPA) untuk penjaminan kualitas (USEPA, 2002b).
Sensitivitas dan kesehatan hewan uji dapat diprediksi dengan adanya reference
toxicant serta juga dapat digunakan untuk membandingkan pencapaian yang
berbeda dari hewan uji dengan hasil dari laboratorium (Jop et al, 1986).
Karakteristik reference toxicant yang ideal dijabarkan oleh Lee (1980) dan
mencakup toksisitas umum, kelarutan, persitensi dan stabilitas, toksisitas pada
konsentrasi rendah, dosis mematikan, dan dosis yang dapat dihitung dan
dikuantifikasi. Banyak senyawa yang sudah digunakan sebagai reference toxicant
termasuk kromium, kadmium, natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCl),
kadmium klorida (CdCl2), tembaga sulfat (CuSO4), natrium dodesil sulfat (SDS),
dan kalium dikromat (K2Cr2O7) (Lee,1980; USEPA, 2002b).
Pengujian dengan reference toxicant harus memenuhi dua tujuan; yaitu
mengevaluasi sensitivitas hewan uji, dan untuk menguji performa metode di
laboratorium. Kedua tujuan tersebut dapat dicapai bersamaan dengan setiap batch
dari sampel yang diujikan pada waktu yang sama dalam laboratorium. Pengujian
reference toxicant secara bersamaan tersebut, adalah satu-satunya metode yang
menghasilkan kontrol positif yang sebenarnya untuk uji toksisitas (USEPA,
2002b).
Hasil uji dengan reference toxicant diplot ke dalam grafik yang disebut
control chart yang memplot LD50 dari batch yang berbeda dalam 1 spesies hewan
uji dengan 1 reference toxicant dari waktu ke waktu dan dibandingkan dengan
batas dari control chart.. Batas dari control chart menggunakan mean ± dua
standar deviasi, dan minimum 5 data untuk membuat sebuah control chart. Dua
standar deviasi dibawah mean adalah lower control limit (LCL), dan dua standar
deviasi diatas mean adalah upper control limit (UCL). Respon hewan uji yang
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
16
Universitas Indonesia
baik harus berada dalam jarak antara LCL dan UCL (USEPA, 2002c; Gad &
Changelis, 1990).
2.5 Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
Menurut Ganiswara (1995), Tembaga (Cu) merupakan mikroelemen
esensial bagi tubuh. Oleh karena itu, tembaga harus selalu ada di dalam makanan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar kadar tembaga di dalam tubuh
tidak berkurang dan juga tidak berlebihan. Kebutuhan tubuh per hari akan
tembaga adalah 0,05 mg/kg berat badan. Pada kadar tersebut tidak terjadi
akumulasi tembaga (Cu) pada tubuh manusia normal.
Dalam industri, tembaga banyak digunakan dalam industri cat dan
fungisida. Pada bahan makanan, cemaran logam tembaga (Cu) dapat terjadi akibat
penggunaan pestisida secara berlebihan (Dewi, 2011).
Tembaga (Cu) bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi
larutan di atas 0,1 ppm dan bersifat racun bagi domba pada konsentrasi di atas 20
ppm. Konsentrasi Cu yang aman bagi air minum manusia tidak lebih dari 1 ppm..
Konsentrasi normal komponen ini di tanah berkisar 20 ppm dengan tingkat
mobilitas sangat lambat karena ikatan yang sangat kuat dengan material organik
dan mineral tanah liat. Kehadiran tembaga pada limbah industri biasanya dalam
bentuk ion bivalen Cu(II) sebagai hydrolitic product. Beberapa industri seperti
pewarnaan, kertas, minyak, industri pelapisan melepaskan sejumlah tembaga yang
tidak diharapkan. Tembaga dalam konsentrasi tinggi (22-750 mg/kg tanah kering)
dijumpai pada sedimen di laut Hongkong dan pada sejumlah pelabuhan-pelabuhan
di Inggris (Widaningrum, Miskiyah & Suismono, 2007).
Adanya tembaga (Cu) dalam jumlah yang besar dalam tubuh dapat
menyebabkan gejala-gejala yang akut. Keracunan tembaga dapat menyebabkan
gangguan pencernaan seperti sakit perut, mual, muntah, dan diare, serta gangguan
sistem peredaran darah. Beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal
ginjal dan kematian (Darmono, 1995).
Tembaga (II) sulfat atau garam tembaga baik yang dilarutkan maupun
tidak dilarutkan dipakai luas dalam bidang pertanian sebagai bahan insektisida
(Adiwisastra, 1985). Tembaga sulfat digunakan sebagai reference toxicant karena
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
17
Universitas Indonesia
tembaga memenuhi banyak karakteristik dari reference toxicant yang ideal yaitu:
kelarutan, toksisitas pada konsentrasi rendah, kematian cepat (rapid lethality), dan
dapat dihitung dan dikuantifikasi (Lee, 1980).
Dalam Material Safety Data Sheet yang dikeluarkan oleh Wako
Chemicals, diketahui LD50 akut oral tembaga (II) sulfat adalah 960 mg/kg pada
tikus dan 2000 mg/kg dermal pada tikus. Sedangkan dari literatur, LD50 akut oral
tembaga (II) sulfat juga sebesar 960 mg/kg bb tikus (WHO Food Additives Series
17, 2012). Konsentrasi tembaga yang diperbolehkan berada di lingkungan dalam
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 adalah 10,0 mg/l.
2.5.1 Metabolisme Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
Tembaga yang mungkin terdapat dalam makanan melalui saluran
pencernaan diserap dan diangkut melalui darah. Segera setelah masuk peredaran
darah, unsur tembaga akan berikatan dengan protein albumin kemudian
diantarkan dan dilepaskan ke jaringan-jaringan di hati dan ginjal lalu berikatan
dengan protein membentuk enzim-enzim, terutama enzim seruloplasmin yang
mengandung 90-94% tembaga dari total kandungan tembaga dalam tubuh.
Ekskresi utama unsur ini ialah melalui empedu, sedikit bersama air seni dan
dalam jumlah yang relatif kecil bersama keringat dan air susu. Jika terjadi
gangguan-gangguan pada rute pembuangan empedu, unsur ini akan dieksresi
bersama air seni (Inoue Y, Osawa, Matsui, Asai, Murakami, Matsui, Yano, 2002).
2.5.2 Gejala Toksisitas oleh Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
Dalam penentuan toksisitas akut metode standar OECD 425, diperlukan
adanya pengamatan fisiologis dan gejala intoksikasi dari senyawa yang diujikan.
Secara umum, gejala toksisitas tembaga sulfat adalah muntah yang disebabkan
iritasi lokal dan aksi ion tembaga pada lambung dan usus. Muntah biasanya
setelah 5 menit sampai dengan 10 menit (dalam keadaan lambung kosong), tetapi
bila lambung sedang penuh dengan makanan, maka muntah akan terjadi antara 0,5
jam sampai satu jam lebih (Adiwisastra, 1985).
Gejala keracunan akut tembaga sulfat antara lain rasa terbakar di mulut
dan tenggorokan, muntah, diare berdarah dan berair, tenesmus, hemolisis,
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
18
Universitas Indonesia
hematuria, anuria, kerusakan hati dengan ikterus, hipotensi, kolaps dan konvulsi
(Dreisbach, 1982).
Keracunan oleh tembaga menunjukkan sifat-sifat yang agak kurang
beracun dibandingkan dengan logam berat lainnya yang dapat meluas terhadap
kerusakan serabut-serabut darah (kapiler), kerusakan ginjal,dan diikuti pula
dengan depresi (Adiwisastra, 1985).
2.6 Hati
2.6.1 Anatomi dan Fisiologi Hati
Organ hati merupakan organ tubuh terbesar yaitu sekitar 2% dari berat
tubuh manusia dewasa. Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta
sebagian besar obat dan toksikan. Secara keseluruhan bentuk hati setiap spesies
tidak identik. Pada tikus dan mencit, hati terbagi atas beberapa lobus, sedangkan
pada hati manusia hati hanya terbagi dalan dua lobus saja. Hati terletak dibawah
diafragma dan diselimuti oleh kapsul tipis yang secara mekanik berfungsi untuk
melekatkan hati pada diafragma. Kira-kira 80% darah yang masuk ke hati berasal
dari vena porta dan sekitar 20% sisanya berasal dari arteri hepatik (Lu, 2009).
Unsur utama struktur hati adalah sel-sel hati atau hepatosit yang
bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel hati
berkelompok dalam susunan-susunan yang saling berhubungan sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu unit struktural yang dinamakan lobulus hati (Leeson &
Thomas, 1990; Lu, 2009). Tiap-tiap sel hati atau hepatosit dapat melakukan
berbagai fungsi metabolik tubuh, kecuali aktivitas fagositik yang dilakukan oleh
sel Kupffer. Setiap hepatosit berhubungan langsung dengan darah dari dua
sumber, yaitu darah vena dari saluran pencernaan dan darah arteri dari aorta
(Sherwood, 2001).
2.6.2 Histologi Hati
Dilihat dari segi histologi, struktur dan komponen selular hati mencit pada
dasarnya sama seperti struktur pada mamalia lainnya. Hati terdiri atas beberapa
komponen selular, seperti hepatosit (sel parenkim), sel-sel sinusoidal (sel endotel,
sel Kuppfer, fat-storing dan sel pit), sel hematopoietik, sel saraf, pembuluh darah
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
19
Universitas Indonesia
dan limfe. Lobus hati dibungkus oleh kapsula. Lobus hati terdiri atas kapsula
fibrosa dan kapsula serosa. Kapsula dibungkus oleh peritoneum, namun ada
beberapa area kapsula yang dapat berhubungan langsung dengan diafragma dan
organ visera pada dinding abdomen posterior.
Hepatosit berbentuk polihedral, intinya bulat terletak di tengah, terdapat
satu atau lebih nukleolus dengan kromatin yang menyebar. Sering pula terlihat
adanya dua inti sebagai hasil pembelahan yang tidak sempurna dari sitoplasma
Hepatosit tersusun atas lempeng-lempeng sel hati yang mengelilingi vena sentralis
(Dellman & Brown, 1992).
Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus yang
membawa darah dari arteri dan vena interlobular, kemudian menuju vena
sentralis. Dinding sinusoid memiliki banyak celah karena dindingnya terdiri
atasendotel dan sel-sel makrofag besar yang aktif, yang disebut dengan sel
Kuppfer yang berasal dari monosit. Darah meninggalkan lobulus melalui vena
sentralis atau vena hepatika terminalis yang dilapisi oleh endotel dengan lamia
basalis dan adventisia tipis, kemudian langsung berhubungan dengan sinusoid.
Vena sentralis berhubungan dengan vena sublobular atau vena interkalatus
di tepi lobulus. Kedua vena tersebut terdapat di sepanjang basis lobulus, dimana
sebagian bergabung membentuk vena penampung (collecting vein) yang nantinya
bergabung menjadi vena hepatika (Dellman & Brown, 1992).
2.6.3 Intoksikasi Hati
Kerusakan yang terjadi pada hati biasanya disebabkan oleh racun. Ada dua
hal yang menyebabkan hati terkena racun. Pertama, hati menerima kurang lebih
80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem
gastrointestinal, sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang berasal dari
tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral, dan zat-zat kimia lain yang diserap ke
darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim
yang mampu melakukan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen
maupun endogen untuk dieliminasi oleh tubuh (Carlton & Mc Gavin, 1995).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
20
Universitas Indonesia
Kegagalan fungsi hati kemungkinan baru terjadi setelah sebagian besar
(70%) sel-sel parenkim hati atau hepatosit mengalami kerusakan. Dalam fungsi
detoksifikasi, senyawa yang memiliki sifat meracuni sel-sel tubuh oleh hati akan
diubah menjadi senyawa yang lebih polar dan larut air untuk kemudian oleh darah
dibawa ke ginjal dan diekskresikan (Frank & Lu, 2009).
Mekanisme kerusakan dan kematian sel hati dapat disebabkan oleh proses
apoptosis maupun nekrosis sel. Nekrosis dapat menyebabkan swelling dan
hilangnya integritas membran sel. Biasanya nekrosis merupakan kerusakan akut.
Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis pada
hati (Zimmerman, 1982). Apoptosis sebenarnya merupakan kerusakan sel yang
sudah terprogram dan dikhususkan untuk sel yang sudah tidak terpakai lagi. Pada
keadaan tertentu, kadang-kadang menguntungkan. Jika terjadi kegagalan, seperti
apoptosis yang terlalu dini maka akan menyebabkan kerusakan sel hati yang
selanjutnya dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati. Nekrosis dan apoptosis ini
berbahaya bagi hati tetapi tidak selalu bermakna secara klinik karena hati
mempunyai kapasitas pertumbuhan (regenerasi) yang cepat (Sherwood, 2001).
2.7 Ginjal
2.7.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Organ ginjal merupakan organ berwarna kemerahan yang berbentuk
seperti kacang. Pada manusia terdapat pada daerah diatas pinggang di antara
parietal peritoneum dan dinding posterior abdomen atau disebut sebagai
retroperitoneal dengan panjang 10 cm sampai 12 cm, lebar mencapai 5 cm sampai
7,5 cm dan ketebalan 2,5 cm (Tortora & Nicholas, 1990). Ginjal menghasilkan
urin yang turun melewati ureter ke kandung kemih untuk disimpan sementara dan
akhirnya secara periodik dikeluarkan melalui uretra (Sherwood, 2001).
Struktur ginjal dengan potongan memanjang memberi gambaran dua
daerah yang cukup jelas. Daerah perifer yang berwarna lebih gelap disebut
korteks dan selebihnya yang agak cerah disebut medula, berbentuk piramida
terbalik. Tiap bagian medula yang berbentuk piramida dengan jaringan korteks
yang membentuk tudung pada dasar serta menutup sisinya membentuk lobus yang
merupakan unit anatomi ginjal. Dalam ginjal terdapat kurang lebih satu juta
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
21
Universitas Indonesia
nefron, tiap nefron terdiri dari glomerulus dan serangkaian tubulus. Pada saat
darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas protein
menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowmann (Dellman, 1992).
Fungsi utama ginjal adalah untuk mengeksresikan air dan produk-produk
sisa metabolisme tubuh (urea, asam urat, dan kreatinin). Glomerulus ginjal
menyaring antaraa 10% sampai 30% dari plasma, ketika darah mengalir melalui
arteri ginjal kemudian mengalir sampai tubula sebagai filtrat, maka hasil ikutan
metabolisme yang tidak dikehendaki seperti urea dan kreatinin tetap tertahan
dalam tubula. Ginjal juga mengatur keseimbangan komposisi cairan tubuh dan
elektrolit serta asam basa dengan reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non
elektrolit (Sherwood, 2001; Bevelander & Ramaley, 1988).
2.7.2 Histologi Ginjal
Ginjal dibagi menjadi dua daerah utama, yaitu korteks di bagian luar dan
medula di bagian dalam (Guyton & Hall, 1997). Secara normal korteks berwarna
merah gelap hingga coklat. Medula berwarna abu-abu pucat dan meiliki papila.
Ginjal manusia terdiri atas enam papila. Mencit hanya memiliki satu papila.
Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel, dan seluruh glomerulus dibungkus
oleh kapsula Bowmann. Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke
dalam kapsula Bowmann dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang
terletak pada korteks ginjal (Guyton & Hall, 1997).
Cairan dari tubulus proksimal mengalir ke ansa Henle yang masuk ke
dalam medula renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden.
Di tengah perjalanan kembali cabang asenden dari lengkung tersebut menuju
korteks, dindingnya menjadi tebal seperti bagian lain dari sistem tubular. Ujung
cabang asenden yang pendek yang tebal merupakan bagian yang pendek, dan
dikenal sebagai makula densa. Setelah makula densa, cairan memasuki tubulus
distal yang terletak pada korteks renal, seperti tubulus proksimal. Setelah melalui
tubulus distal kemudian dilanjutkan dengan tubulus rektus dan tubulus
kolingentes kortikal, yang menuju ke duktus kolingentes kortikal. Duktus
kolingentes bergabung membentuk duktus yang lebih besar secara progresif yang
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
22
Universitas Indonesia
akhirnya mengalir menuju pelvis renal melalui ujung papila renal. Pada akhirnya
urin yang terbentuk akan diekskresikan melalui ureter (Guyton & Hall, 1997).
2.7.3 Intoksikasi Ginjal
Ginjal adalah organ utama yang memiliki toksisitas spesifik karena
keunikan fungsinya dalam filtrasi, metabolisme, dan mengeksresi senyawa
xenobiotik. Ginjal juga memiliki kemampuan untuk memisahkan ikatan protein
dengan racun. Beberapa zat kimia bersifat toksik terhadap ginjal apabila telah
masuk ke dalam sel epitel tubulus ginjal. Senyawa-senyawa tersebut diekskresi
bersama urin melalui ginjal (Seely, 1999).
Peranan ginjal dalam homeostasis tubuh sangat vital sehingga setiap
gangguan fungsinya segera dicerminkan dalam gangguan cairan tubuh, bahkan
bisa disertai kematian apabila gangguan tersebut sudah sangat parah (Spector &
Spector, 1993). Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah
mengalami luka akibat iskemia dan zat toksik. Hal ini dikarenakan pada tubulus
proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi, sehingga kadar zat toksik lebih
tinggi (Lu, 2009).
Proses kematian sel epitel tubulus ginjal juga dapat terjadi melalui dua
proses, yaitu nekrosis dan apoptosis. Nekrosis dapat diketahui dengan jelas karena
adanya eosinofil sitoplasma yang kuat dan perubahan bentuk inti sel menjadi
piknosis atau karyoreksis. Adapun apoptosis pada sel epitel tubulus ginjal
mengalami kematian yang bersifat fisiologis (perkembangan normal) dan
patologis (akibat agen penginfeksi atau toksikan) serta melibatkan sel secara
individu tanpa menghasilkan produk sel (sitokin) pra peradangan (Cheville,
2006).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
23 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi Pusat Sarana
Pengendalian Dampak Lingkungan (PUSARPEDAL) atau “Environment
Management Center”, Kementerian Lingkungan Hidup, Komplek Puspiptek
Gedung 210, Serpong, Banten dan Laboratorium Patologi Balai Besar
Pengembangan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Gunung Sindur,
Bogor dari bulan Februari hingga Mei 2012.
3.2 Bahan
3.2.1 Hewan Uji
Pada penelitian ini, hewan uji yang digunakan adalah mencit betina galur
DDY berumur 6 minggu dengan berat badan 20 – 30 gram sebanyak 120 ekor.
Hewan uji diperoleh dari bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hewan uji yang digunakan pada penelitian
ini adalah mencit putih betina galur DDY yang berumur 6 minggu dengan berat
badan 20 – 30 gram sebanyak 120 ekor. Pemilihan hewan uji dilakukan secara
acak satu hari sebelum perlakuan dimulai, guna menjamin homogenitas kelompok
dalam berat badan.
Mencit dipilih sebagai hewan uji karena mencit mudah untuk dibiakkan,
tersedia data toksikologis, harganya relatif murah, memiliki variasi inter spesies
yang lebih sedikit, dan secara teknis mudah ditangani (Gad & Changelis, 1990;
Ingglis, 1980; Lu, 2009; Barile, 2008). Pada penelitian ini, mencit jantan tidak
diikutsertakan karena menurut beberapa penelitian menyatakan bahwa hewan uji
betina (tikus maupun mencit) lebih sensitif dalam pengujian (OECD, 2001a,b,c).
3.2.2 Bahan Uji
Pada penelitian, bahan uji yangdigunakan adalah serbuk standar tembaga
(II) sulfat pentahidrat (Wako Chemicals),
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
24
Universitas Indonesia
3.2.3 Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan berupa larutan natrium klorida (NaCl) 0,9 %
(Merck), larutan formalin (Merck), alkohol absolut (Merck), alkohol teknis 70%,
alkohol teknis 90%, alkohol teknis 95%, benzil benzoat (teknis), benzol (Merck),
parafin (Merck), albumin Mayer (Merck), xilol (Merck), asam klorida (HCl) 1%,
Hematoksilin Bohmer (Merck), Eosin (Merck), entelan (Merck), air suling dan
akuades.
Tabel 3.1 Komposisi larutan yang digunakan dalam pembuatan sediaan histologi
No Nama Larutan Komposisi Zat Jumlah zat
1. Larutan NaCl 0,9 % NaCl
Akuades
9 g
1000 ml
2. Larutan Formalin
10%
Formalin 40%
Akuades
125 ml
ad 500 ml
3. Albumin Mayer Putih telur
Gliserin
10 ml
10 ml
4. Larutan Hematoksilin
Bohmer
Kristal Hematoksilin*
Potasium alum**
Alkohol 70%
Akuades
5 g
100 g
60 ml
1000 ml
5. Larutan Eosin Y Eosin Y
Akuades
1 g
100 ml
[Sumber: Luna, 1968; Clark, Coalson & Nordquist, 1973]
Keterangan:
* Kristal Hematoksilin dilarutkan dalam alkohol
** Potasium Alum dilarutkan dalam akuades
3.3 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
3.3.1 Alat
Pada penelitian ini digunakan slide warmer (Sakura), rotary processor
(Sakura), mikrotom geser (Yamato Kohki), ultra histo dyer (Sakura), paraffin hot
vat (Sakura), mikroskop Nikon Eclipse 80i, timbangan (KERN pcb), sonde
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
25
Universitas Indonesia
lambung, spuit 1 ml (Terumo), plate, cawan, gunting dan pisau bedah, pipet, kaca
objek dan kaca penutup, gelas Erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas ukur 10 ml, 25
ml dan 50 ml, labu takar 50,0 ml dan 100,0 ml, botol semprot, pinset, timer, rak
kandang, kandang hewan uji, botol minum, sarung tangan, dan wadah pakan.
3.3.2 Perangkat Lunak
Perangkat Lunak berupa AOT425StatPgm (Westat, U.S Environmental
Protection Agency) dan NIS Elements D 4.00.00 (Nikon).
3.4 Cara kerja
3.4.1 Persiapan Hewan Uji
Mencit diaklimatisasi terlebih dahulu selama 1 minggu (minimal 5 hari)
dengan tujuan mengadaptasikan mencit dengan lingkungan yang baru serta
meminimalisir efek stres pada mencit yang dapat mempengaruhi penelitian. Pada
tahap ini dilakukan pengamatan terhadap keadaan umum hewan uji (OECD,
2001a,b,c; Barile, 2008).
Mencit yang diikutsertakan dalam percobaan adalah mencit yang sehat
dengan ciri-ciri mata merah jernih, bulu tidak berdiri, bertingkah laku normal,
mengalami peningkatan berat badan dalam batas tertentu yang diukur secara
rutin. Mencit ditimbang beratnya secara berkala untuk mengontrol berat badan.
Untuk membedakan masing-masing mencit perlakuan, dilakukan penandaan
mencit menggunakan spidol permanen. Mencit diberi makan dengan takaran
pakan 5 gram/ekor/hari serta diberi minum secukupnya (ad libitum).
Kondisi ruangan tempat dilangsungkannya percobaan juga dijaga setiap
hari. Suhu ruangan diatur pada kisaran 27 + 2 °C, kelembaban ruangan berada
pada kisaran 50-70 %, serta pencahayaan diatur pada 12 jam terang dan 12 jam
gelap mengikuti aturan OECD (Lampiran 12) (OECD, 2001a,b,c).
3.4.2 Penetapan Dosis Reference Toxicant Tembaga (II) Sulfat
Dosis yang digunakan mengikuti panduan OECD 425. Dosis awal yang
diberikan adalah setengah dosis lebih rendah dari LD50 yang tertera pada Material
Safety Data Sheet. Dalam Material Safety Data Sheet yang dikeluarkan oleh
Wako Chemicals, diketahui LD50 akut oral tembaga (II) sulfat adalah 960 mg/kg
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
26
Universitas Indonesia
pada tikus dan 2150 mg/kg bb setelah dikonversikan ke dosis mencit. Faktor
pengalian antar dosis yang ditetapkan oleh OECD 425 adalah 3,2. Sehingga jika
nilai LD50 sudah diketahui, maka untuk menghitung dosis pertama dan dosis
kedua, cukup mengalikan dan membagi dengan 1,6 (faktor pengalian 3,2 dibagi 2
= 1,6). Dosis awal yang diberikan adalah 840 mg/kg bb (Lampiran 4). Dosis yang
diberikan selanjutnya tergantung hasil dari dosis pertama. Jika hewan uji mati,
maka dosis pada hewan uji selanjutnya diturunkan. Sebaliknya, jika hewan uji
hidup, maka dosis pada hewan uji selanjutnya dinaikkan.
3.4.3 Persiapan Bahan
3.4.3.1 Larutan Tembaga (II) Sulfat
Tembaga (II) Sulfat dilarutkan dalam larutan akuades sesuai dengan
perhitungan dosis.
3.4.4 Pelaksanaan Penelitian
Pada percobaan ini dilihat apakah terjadi efek toksik yang ditimbulkan
akibat pemberian larutan reference toxicant. Efek toksik yang ditimbulkan dapat
berupa kematian atau perubahan perilaku hewan uji. Pemberian larutan uji
dilakukan dengan dosis tunggal secara oral menggunakan sonde lambung. Nilai
LD50 ditentukan dengan menghitung jumlah mencit yang mati dan hidup tiap
pengujian pada maksimal 48 jam setelah perlakuan. Tahapan dari pengujian
toksisitas akut oral OECD 425 adalah:
1. Sebelum perlakuan mencit dipuasakan dahulu 4 jam sebelumnya.
2. Ketika perlakuan, mencit kontrol hanya diberi akuades sebanyak volume
larutan yang diberikan pada mencit yang diberi perlakuan dosis reference
toxicant.
3. Mencit diberi dosis secara bertahap dalam selang waktu 48 jam. Perlakuan pada
mencit selanjutnya menunggu setelah mencit sebelumnya dipastikan
hidup/mati.
4. Pada pengujian pertama, mencit pertama diberi dosis awal 840 mg/kg bb
tembaga (II) sulfat. Jika hewan pertama hidup, maka hewan kedua diberikan
pada dosis yang lebih tinggi. Jika mencit pertama mati atau sekarat, mencit
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
27
Universitas Indonesia
yang kedua diberikan pada dosis yang lebih rendah. Pemberian dosis dengan
cara ini dilakukan berulang-ulang hingga memenuhi kriteria yang ditentukan
oleh OECD.
5. Pengujian dihentikan bila memenuhi kriteria (Lampiran 1):
Tiga hewan hidup pada batas atas pengujian (5000 mg/kg); Lima pengulangan
muncul pada 6 hewan yang diujikan. Dimulai dari dosis terendah saat
ditemukan hewan uji yang hidup, setelah itu dilakukan uji pada konsentrasi
diatas dosis terendah tersebut dan uji pada kedua konsentrasi ini dilakukan
sebanyak 2x (vice versa) dan penghentian dihentikan jika ditemukan 3x
kematian pada 4 konsentrasi yang sama.
6. Pengujian dilakukan triplo.
3.4.5 Pengamatan Hewan Uji
Pengamatan hewan uji dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian
reference toxicant terhadap aktivitas dan gejala toksisitas mencit. Pengamatan
pertama dilakukan secara individual sedikitnya 30 menit hingga 3 jam setelah
pemberian. Kemudian pengamatan dilakukan berulang pada 24 jam kemudian
sampai 7 hari kecuali jika hewannya mati maka pengamatan dihentikan.
Berdasarkan OECD 425, waktu pengamatan adalah 14 hari, maka dilakukan pula
uji toksisitas akut metode OECD 425 dengan waktu pengamatan 14 hari sebagai
data pembanding. Pengamatan gejala klinis berdasarkan kriteria yang ditentukan
oleh OECD 425 (2001a) (Lampiran 5), yang nantinya akan menjadi data
kualitatif. Mencit tampak sehat adalah berdasar pengamatan luar, meliputi gerak
aktif dan nafsu makan normal. Data dan pelaporan hasil pengujian disajikan
dalam bentuk tabel meliputi jumlah hewan, berat badan, saat kematian, parameter
gejala toksisitas yang terjadi.
3.4.6 Perhitungan Nilai LD50
Nilai LD50 ditentukan secara statistik mengikuti prinsip maximum
likelihood method. Seluruh dosis dan respon hewan uji dimasukkan ke dalam
software AOT425StatPgm untuk menentukan estimasi nilai LD50.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
28
Universitas Indonesia
3.4.7 Pembuatan Control Chart
Dalam pembuatan control chart, diperlukan minimal 5 kali pengujian
toksisitas akut oral untuk melihat presisi dari nilai LD50. Seluruh data pengujian
toksisitas akut oral kemudian diolah kedalam bentuk grafik control chart.
3.4.8 Pembuatan Sediaan Histologi Dengan Metode Parafin (Tanzil, 1996;
Junquiera, 1997)
3.4.8.1 Pengambilan Organ
Pembedahan mencit dilakukan 7 hari setelah pemberian larutan uji atau
setelah mencit mengalami kematian. Sebelum pembedahan mencit dibius terlebih
dahulu dengan eter, lalu diletakkan telentang pada papan bedah. Keempat kakinya
diikat, bagian dada dan perut dibasahi dengan alkohol 70% lalu dada dibuka.
Organ hati dan ginjal yang telah diambil kemudian dibersihkan dari lemak yang
membungkusnya dan dicuci dengan larutan natrium klorida 0,9%.
3.4.8.2 Penyiapan Preparat Organ
Setelah organ hati dan ginjal dibersihkan dan dicuci dengan larutan
natrium klorida 0,9%, kemudian organ hati dan ginjal dipotong dengan ketebalan
± 0,5 cm dan dimasukkan ke dalam tissue cassette. Tahapan selanjutnya dilakukan
pembuatan preparat histologis.
Tahap pembuatan sediaan tersebut diantaranya adalah:
a. Fiksasi
Organ hati dan ginjal yang sudah dimasukkan ke dalam tissue cassette
kemudian dimasukkan ke dalam chamber yang berisi larutan formalin 10%
selama 24 jam.
b. Dehidrasi
Organ hati dan ginjal direndam dalam alkohol seri konsentrasi naik,
diantaranya alkohol 70% selama 1 jam, alkohol 80% selama 1 jam, lalu alkohol
90% selama 1 jam, dan alkohol absolut selama 1 jam sebanyak 2 kali.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
29
Universitas Indonesia
c. Penjernihan
Organ hati dan ginjal direndam dalam larutan benzil benzoat selama 24
jam hingga organ terlihat transparan, kemudian organ hati dimasukkan dalam
larutan benzol selama 15 menit sebanyak 2 kali ulangan.
d. Infiltrasi
Parafin dicairkan terlebih dahulu dalam oven (titik leleh 58-72°C).
Kemudian organ hati direndam dalam parafin tersebut selama 1 jam sebanyak 2
kali ulangan. Proses infiltrasi dilakukan pada suhu tetap 72°C. Proses fiksasi,
dehidrasi, penjernihan, dan infiltrasi menggunakan alat Rotary Processor yang
sudah disetel otomatis.
e. Penanaman (Embedding)
Potongan-potongan organ hati dan ginjal yang ada di dalam tissue cassette
dimasukkan ke dalam alat logam berbentuk kotak berisi parafin yang telah
dicairkan, kemudian dibiarkan hingga parafin dingin dan mengeras. Apabila
terdapat gelembung udara di dalam parafin, dapat dihilangkan dengan cara
menyentuhkan sonde panas pada gelembung tertentu. Proses penanaman
(embedding) menggunakan alat Paraffin Hot Vat. Peletakan organ pada parafin
harus sesuai dengan bidang pemotongan yang diinginkan. Hasil cetakan blok
tersebut disimpan dalam refrigerator (4-6° C).
f. Penyayatan (Sectioning)
Parafin yang berisi organ hati dikeluarkan dari tissue cassette , kemudian
organ disayat menggunakan mikrotom. Parafin tersebut diletakkan pada besi
pemegang, kemudian dipasang pada mikrotom. Penyayatan dilakukan dengan
ketebalan 3µm.
g. Penempelan pada Gelas Obyek (Mounting)
Setelah dipotong, jaringan tersebut diletakkan diatas air hangat agar
jaringan tidak mengkerut, kemudian hasil sayatan organ ditempel pada gelas
objek yang sudah diusap dengan albumin Meyer (campuran putih telur dan
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
30
Universitas Indonesia
gliserin dengan perbandingan 1:1) dan ditetesi akuades, kemudian sayatan
dipanaskan di atas paraffin stretcher pada suhu 46°C hingga jaringan
mengembang dan dibiarkan hingga kering (selama 24 jam).
h. Deparafinasi
Tujuan deparafinasi adalah untuk menghilangkan parafin yang melekat
pada sayatan dan sekitarnya pada gelas obyek. Cara yang dilakukan adalah
dengan merendam gelas obyek dalam larutan xilol selama 5 menit sebanyak 2 kali
ulangan.
i. Hidrasi
Proses hidrasi dilakukan dengan menggunakan larutan alkohol seri
konsentrasi menurun. Materi sayatan pada gelas obyek yang sudah dibersihkan,
direndam dalam larutan alkohol seri konsentrasi turun berturut-turut alkohol
absolut, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3 menit.
j. Pewarnaan (staining)
Pewarnaan dilakukan di dalam staining jar, dengan cara merendam
sediaan tersebut dalam larutan pewarna Hematoksilin Bohmer 1% selama 4 menit,
kemudian dicuci dengan akuades atau air mengalir. Apabila warna terlihat terlalu
pekat, dilakukan pelunturan dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam larutan
asam klorida (HCl) 1% dengan 1 kali celup, selanjutnya sediaan diwarnai dengan
Eosin Y 1% selama 4 menit.
k. Dehidrasi
Dalam hal ini, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol seri konsentrasi naik,
pada alkohol 70% ,80%, 90%, dan absolut selama masing-masing selama 3 menit.
l. Penjernihan
Sediaan direndam ke dalam larutan xilol sebanyak 2 kali, masing-masing
selama 3 menit. Proses deparafinasi, hidrasi, pewarnaan, dehidrasi, dan
penjernihan menggunakan alat Ultra Histo Dyer yang sudah disetel otomatis.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
31
Universitas Indonesia
m. Penutupan
Xilol dan kotoran yang tersisa di sekitar jaringan pada sediaan dibersihkan
dengan kertas tisu, kemudian ditetesi satu atau dua tetes entelan tepat di atas
sayatan dan ditutup dengan kaca penutup. Apabila terdapat gelembung udara pada
kaca penutup tekan-tekan sedikit agar gelembung hilang, selanjutnya sediaan
tersebut dibiarkan mengering pada suhu kamar.
3.4.9 Pengamatan Makroskopik Organ Hati dan Ginjal
Pada penelitian ini, pengamatan makroskopik dilakukan pada organ-
organ vital yaitu organ hati dan ginjal. Pengamatan dilakukan dengan cara
membandingkan berat basah organ hati dan ginjal terhadap bobot tubuh mencit
kontrol dengan mencit yang diberi perlakuan.
3.4.10 Pengamatan Mikroskopik Organ Hati dan Ginjal
Pengamatan dilakukan terhadap sampel dengan menggunakan
mikroproyektor yang dipasang pada lensa okuler mikroskop cahaya dengan
perbesaran 400x. Pengamatan organ dilakukan dengan cara membandingkan
preparat histologi mencit kontrol dengan mencit perlakuan menggunakan
mikroskop cahaya.
Penilaian derajat kerusakan lobulus hati dilakukan dengan mengukur
diameter vena sentralis dan mencatat kerusakan-kerusakan yang terjadi. Derajat
kerusakan dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu degenerasi <20% (nekrosis
ringan), degenerasi 20%-40% (nekrosis sedang) dan degenerasi lebih dari 40%
(nekrosis berat). Untuk mengetahui besarnya kerusakan yang terjadi pada ginjal
maka dilakukan pengukuran diameter glomerulus dan jarak ruang antara
glomerulus dan kapsula Bowmann.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
32 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Nilai LD50 Menggunakan Metode OECD 425
Pada pengujian pertama, mencit yang diberikan dosis 840 mg/kg bb tidak
ditemukan kematian baik pada pengamatan jangka pendek (48 jam) maupun
jangka panjang (7 hari). Setelah 48 jam, maka dilakukan peningkatan dosis yaitu
2150 mg/kg bb pada mencit yang berbeda. Pada pemberian dosis 2150 mg/kg bb,
dalam waktu kurang dari 48 jam keseluruhan mencit yang diberi perlakuan
mengalami kematian. Pemberian dosis pada mencit berikutnya kembali pada dosis
awal yaitu 840 mg/kg bb. Hasil pada dosis ini, kembali tidak ditemukan kematian
baik pada pengamatan jangka pendek (48 jam) maupun jangka panjang (7 hari).
Mencit berikutnya diberikan dosis yang lebih tinggi yaitu 2150 mg/kg bb, dalam
waktu 4 jam (kurang dari 48 jam) keseluruhan mencit yang diberi perlakuan dosis
mengalami kematian. Pemberian dosis seperti ini dilakukan sebanyak 3x dosis
840 mg/kg bb (dosis yang tidak menyebabkan kematian) dan 3x dosis 2150 mg/kg
bb (dosis yang menyebabkan kematian) menurut hasil dari uji pendahuluan.
Data dari hasil uji toksisitas akut metode OECD 425 kemudian
dimasukkan ke dalam software AOT425StatPgm yang dikeluarkan oleh US
Environmental Protection Agency (USEPA, 2002a). Estimasi nilai LD50 tembaga
(II) sulfat pentahidrat pada mencit yang didapat dari software tersebut adalah
1344 mg/kg bb (Tabel 4.1 dan 4.12; Lampiran 6, 7, 8, 9, 10 dan 11) dengan
tingkat kepercayaan 95%. Setelah dikonversikan ke dosis tikus, diperoleh hasil
LD50 yang sama dengan literatur yaitu 960 mg/kg bb pada tikus. Hal ini
membuktikan bahwa uji toksisitas akut metode OECD 425 ini memiliki akurasi
yang baik.
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Biasanya
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali atau recovery (Hadi, 2007). Namun,
dalam pengujian menggunakan hewan uji, tidak dimungkinkan untuk melakukan
uji perolehan kembali (UPK) sehingga cukup membandingkan hasil uji dengan
nilai LD50 hasil konversi ke dosis mencit yaitu 1344 mg/kg bb.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
33
Universitas Indonesia
Pengamatan jangka panjang dalam OECD 425 adalah 14 hari. Oleh karena
itu, dilakukan pula uji toksisitas akut oral OECD 425 dengan pengamatan 14 hari
sebagai data pembanding untuk melihat ada tidaknya perbedaan hasil nilai LD50
yang dihasilkan. Hasil nilai LD50 pada pengamatan 7 hari dan 14 hari sama-sama
bernilai 1344 mg/kg bb.
Tabel 4.1 Data hasil pengujian nilai LD50
Mencit Dosis Hasil Jangka pendek
(2 hari)
Hasil Jangka Panjang
(7 hari)
1 840 O O
2 2150 X X
3 840 O O
4 2150 X X
5 840 O O
6 2150 X X
Estimasi LD50 = 1344 mg/kg bb
Dosis O X Total Hewan Uji
840 3 - 3
2150 - 3 3
Seluruh dosis 3 3 6
Estimasi LD50 = 1344 mg/kg bb Keterangan : O = hidup
X = mati
4.2 Pembuatan Control Chart Uji Toksisitas Akut Metode OECD 425
Hasil pengujian dengan reference toxicant selama 5 kali pengulangan pada
waktu yang berbeda diplot ke dalam grafik yang disebut control chart yang
memplot LD50 dari batch yang berbeda dalam 1 spesies hewan uji dengan 1
reference toxicant dari waktu ke waktu dan dibandingkan dengan batas dari
control chart. Batas dari control chart menggunakan mean ± dua standar deviasi,
dan minimum 5 data untuk membuat sebuah control chart. Dua standar deviasi
dibawah mean adalah lower control limit (LCL), dan dua standar deviasi diatas
mean adalah upper control limit (UCL). Respon hewan uji yang baik harus berada
dalam jarak antara LCL dan UCL (USEPA, 2002c; Gad & Changelis, 1990).
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
34
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Diagram Control Chart LD50 Hasil Pengujian Toksisitas
Akut Metode OECD 425
Hasil grafik control chart berbentuk lurus dikarenakan nilai LD50 pada
ulangan pertama sampai kelima menunjukkan hasil yang sama yaitu 1344 mg/kg
bb (Gambar 4.3) sehingga standar deviasi yang didapatkan adalah nol dengan nilai
mean = 1344 mg/kg bb. Pada penentuan nilai LD50 menggunakan metode OECD
425, jarak antar dosis adalah 3,2 dan angka yang dimasukkan ke dalam software
adalah angka yang telah mengalami pembulatan sehingga hasil LD50 dari kelima
pengujian menghasilkan nilai yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengujian
toksisitas akut oral OECD 425 menunjukkan presisi yang baik (Lampiran 6, 7, 8,
9, dan 10; Tabel 4.10). Presisi atau keseksamaan diukur sebagai simpangan baku
atau simpangan baku relatif (koefisien variasi).
4.3 Pengamatan Perilaku Mencit selama Uji Toksisitas Akut
Hasil pengamatan gejala klinis berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh
OECD 425 (2001a) (Lampiran 5) akan menjadi data kualitatif dalam penelitian
ini. Pada mencit yang hanya diberi akuades (kontrol normal) tidak menimbulkan
gejala toksisitas. Mencit tampak sehat dengan gerak aktif, dan nafsu makan
normal. Mencit yang diberi perlakuan dosis 840 mg/kg bb dan 2150 mg/kg bb
memperlihatkan gejala toksisitas yang cukup jelas untuk diamati (Tabel 4.2).
1340
1341
1342
1343
1344
1345
1346
1347
1348
1349
1350
12/03/12 22/03/12 01/04/12 11/04/12 21/04/12 01/05/12
Nila
i LD
50
Tanggal Pengujian
LD50
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
35
Universitas Indonesia
Pengamatan jangka panjang dalam OECD 425 adalah 14 hari. Oleh karena
itu, dilakukan pula uji toksisitas akut oral OECD 425 dengan pengamatan 14 hari
sebagai data pembanding untuk melihat ada tidaknya perbedaan gejala toksisitas
yang dihasilkan.
Pada mencit yang diberi perlakuan dosis 840 mg/kg bb, gejala toksisitas
yang terjadi adalah kehilangan nafsu makan setelah pajanan reference toxicant
yang berlangsung selama hari pertama hingga hari keempat pengujian, aktivitas
motorik juga mengalami penurunan, diare, serta pada 4 jam awal setelah pajanan
reference toxicant terlihat pernapasan yang tidak teratur pada mencit, serta nafsu
makan yang menurun, baik pada pengamatan 7 hari maupun pengamatan 14 hari.
Pada mencit yang diberi perlakuan dosis 2150 mg/kg bb, terlihat gejala
toksisitas seperti pernafasan tidak teratur, aktivitas motorik menurun, tersedak
kemudian muntah dan diare. Gejala toksisitas lain yang terlihat adalah berkeliling
tanpa arah (setelah 2 jam pajanan larutan reference toxicant), konvulsi, setelah itu
diikuti dengan kematian pada jam keempat, baik pada pengamatan 7 hari maupun
pengamatan 14 hari.
Tabel 4.2 Gejala toksik yang muncul setelah pajanan larutan reference
toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat
Mencit Gejala Toksisitas
Kontrol normal -
Dosis I Kehilangan nafsu makan, aktivitas motorik turun muntah,
pernafasan tidak teratur, diare.
Dosis II Aktivitas motorik turun, muntah, pernafasan tidak teratur,
berkeliling tanpa arah, gelisah, diare, konvulsi, diikuti
kematian
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Hal ini disebabkan karena iritasi lokal dan aksi ion tembaga pada lambung
dan usus. Muntah biasanya setelah 5 menit sampai dengan 10 menit (dalam
keadaan lambung kosong), tetapi bila lambung sedang penuh dengan makanan,
maka muntah akan terjadi antara 0,5 jam sampai satu jam lebih (Adiwisastra,
1985; Dreisbach, 1982). Gejala klinis keracunan tembaga sangat bergantung pada
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
36
Universitas Indonesia
jumlah yang masuk ke dalam tubuh. Untuk dosis yang kecil antara 15 mg dan 1
gram (untuk manusia), gejala yang menonjol adalah pada gastrointestinal. Jika
tembaga yang masuk ke dalam tubuh melebihi 1 gram, maka akibat fatal
keracunan tembaga akan terjadi. Gejala toksisitas yang terjadi adalah rasa logam
yang terasa pada mulut, rasa panas dalam perut, muntah, dan diare, perdarahan
pada gastriontestinal, haemolisis dan jaundice (Gunay., et al, 2006; Franchitto., et
al, 2008).
4.4 Pengamatan Terhadap Berat Badan Mencit selama Uji Toksisitas
Akut
Selama pelaksanaan uji toksisitas akut oral OECD 425 “Up-and-Down
Procedure”, perubahan berat badan mencit selalu diamati (OECD, 2001a,b,c).
Pengamatan jangka panjang dalam OECD 425 adalah 14 hari. Oleh karena itu,
dilakukan pula uji toksisitas akut oral OECD 425 dengan pengamatan 14 hari
sebagai data pembanding untuk melihat ada tidaknya perbedaan berat badan
setelah uji toksisitas akut.
Larutan reference toxicant yang diberikan kepada mencit memperlihatkan
perubahan berat badan, baik pada mencit dengan perlakuan dosis 840 mg/ kg bb
maupun mencit dengan perlakuan dosis 2150 mg/kg bb. Berat badan rata-rata
mencit kelompok kontrol normal mengalami peningkatan. Mencit dengan
perlakuan dosis 840 mg/kg bb memperlihatkan penurunan berat badan yang cukup
signifikan baik pada pengamatan 7 hari maupun pengamatan 14 hari, sedangkan
mencit dengan perlakuan dosis 2150 mg/kg bb mengalami sedikit kenaikan berat
badan baik pada pengamatan 7 hari maupun pengamatan 14 hari. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.8 dan 4.10.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
37
Universitas Indonesia
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Gambar 4.4. Perubahan Berat Badan Mencit Tiap Kelompok Perlakuan
Penurunan berat badan pada mencit dengan perlakuan dosis 840 mg/kg bb
ini dikarenakan efek toksik dari logam Cu yang masuk ke dalam tubuh mencit
mengakibatkan gangguan pada gastrointestinal sehingga menyebabkan rasa sakit
untuk menelan makanan dan diikuti dengan hilangnya nafsu makan sehingga berat
badan mencit pun menurun (Franchitto., et al, 2008). Sedangkan pada mencit
yang diberi perlakuan dosis 2150 mg/kg bb, yaitu dosis yang menyebabkan
kematian pada mencit dalam waktu 4 jam mengalami sedikit kenaikan
kemungkinan karena volume larutan tembaga (II) sulfat pentahidrat yang masuk
ke dalam tubuh mencit.
4.5 Pengamatan Makroskopik Organ
Pengamatan makroskopik pada organ diperlukan untuk melihat adanya
pengaruh pemberian reference roxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat terhadap
bobot organ dan kelainan yang terjadi. Organ yang diamati dalam penelitian ini
adalah organ hati dan ginjal. Pengamatan jangka panjang dalam OECD 425
adalah 14 hari. Oleh karena itu, dilakukan pula uji toksisitas akut oral OECD 425
dengan pengamatan 14 hari sebagai data pembanding untuk melihat ada tidaknya
perbedaan makroskopik organ setelah uji toksisitas akut. Dari hasil pengamatan
0
5
10
15
20
25
30
Kontrol I II
Pe
rub
ahan
Be
rat
Bad
an (
gram
)
Kelompok Perlakuan
BB Awal
BB Akhir
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
38
Universitas Indonesia
makroskopik organ hati dan ginjal mencit terlihat beberapa organ mengalami
kelainan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelainan tersebut terjadi pada
kelompok mencit yang diberi perlakuan dosis 840 mg/kg bb dan 2150 mg/kg bb.
4.6.1 Pengamatan Makroskopik Organ Hati
Hati merupakan organ tubuh terbesar dan organ metabolisme yang paling
kompleks di dalam tubuh. Organ tubuh ini terlibat dalam metabolisme zat
makanan serta sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 2009). Oleh sebab itu, hati
menjadi organ yang sangat potensial menderita keracunan terlebih dahulu
sebelum organ lain (Robbin & Kumar, 1995).
Pengamatan makroskopik organ hati setelah dilakukan pembedahan
menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap kelompok perlakuan. Berdasarkan
hasil pengamatan secara kualitatif organ hati mencit kelompok kontrol normal
berwarna merah segar (PANTONE 181 PC) menandakan hati normal, baik pada
pengamatan 7 hari maupun 14 hari. Warna hati mencit kelompok dosis 840 mg/kg
bb berwarna merah kecoklatan dan terlihat lebih gelap dibanding mencit kontrol
normal (PANTONE 1815 PC), baik pada pengamatan 7 hari maupun 14 hari,
sedangkan warna hati mencit kelompok dosis 2150 mg/kg bb berwarna merah
coklat gelap (PANTONE 4695 PC), baik pada pengamatan 7 hari maupun 14 hari
(Gambar 4.5 dan 4.6).
Perbedaan warna organ hati tersebut kemungkinan disebabkan oleh
kongesti pada organ hati tersebut. Kongesti adalah peningkatan cairan pada suatu
tempat yang terjadi karena proses pasif yang disebabkan kegagalan aliran cairan
keluar dari jaringan, misalnya pada kerusakan vena. Jika dilihat secara visual
maka daerah jaringan atau organ yang mengalami kongesti akan berwarna lebih
merah (ungu) dan secara mikroskopik kapiler-kapiler dalam jaringan melebar
penuh berisi darah. Terdapat dua mekanisme timbulnya kongesti, yaitu kenaikan
jumlah darah yang mengalir ke daerah tersebut dan penurunan jumlah darah yang
mengalir dari daerah tersebut. Kongesti dapat terjadi pada daerah yang mengalami
peradangan (Greaves, 2000). Hasil makroskopik organ hati mencit kontrol normal
dan perlakuan disajikan pada Gambar 4.5, 4.6,dan 4.7 dan Tabel 4.3, 4.8 dan 4.10.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
39
Universitas Indonesia
Tabel 4.3 Data persen berat basah hati terhadap bobot tubuh mencit tiap
perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Persen Berat Basah Hati
terhadap bobot tubuh ± SD (%)
Kontrol normal 5,75 ± 0,20
Dosis I 7,22 ± 0,12
Dosis II 6,07 ± 0,10
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Dari Tabel 4.3 terihat bahwa persen berat basah hati terhadap bobot tubuh
mencit antar kelompok perlakuan memiliki perbedaan. Pada mencit yang diberi
perlakuan dosis, persen berat basah hati terhadap bobot tubuh mengalami
peningkatan akibat kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa reference toxicant menimbulkan kerusakan pada hati
mencit dilihat dari peningkatan berat basah hati terhadap bobot tubuh mencit dan
kongesti yang dapat dilihat secara makroskopik.
4.6.2 Pengamatan Makroskopik Organ Ginjal
Ginjal adalah salah satu organ vital yang merupakan jalur utama eksresi
sebagian besar toksikan. Ginjal menerima kurang lebih 25% darah dari jantung,
hal ini mengakibatkan ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi,
menyaring dan mengkonsentrasi toksikan pada filtrat oleh glomerulus, membawa
toksikan melalui sel tubulus dan dapat mengaktifkan toksikan tertentu (Baron,
1993; Lu, 2009). Berdasarkan hal tersebut maka perubahan-perubahan yang
terjadi pada fungsi organ ginjal diamati pada penelitian ini sebagai data
pendukung dalam pengujian toksisitas akut.
Setelah dilakukan pembedahan, makroskopik organ ginjal juga
menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap perlakuan. Berdasarkan hasil
pengamatan secara kualitatif organ ginjal mencit kelompok kontrol normal
berwarna merah segar (PANTONE 181 PC) menandakan ginjal normal, baik pada
pengamatan 7 hari maupun 14 hari. Warna ginjal mencit kelompok dosis 840
mg/kg bb berwarna merah kecoklatan dan terlihat lebih gelap dibanding mencit
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
40
Universitas Indonesia
kontrol normal (PANTONE 1815 PC), baik pada pengamatan 7 hari maupun 14
hari, sedangkan warna ginjal mencit kelompok dosis 2150 mg/kg bb berwarna
merah coklat gelap (PANTONE 483 PC), baik pada pengamatan 7 hari maupun
14 hari (Gambar 4.7 dan 4.8).
Perbedaan warna organ ginjal juga kemungkinan disebabkan oleh kongesti
pada organ tersebut. Hasil makroskopik organ ginjal mencit kontrol normal dan
perlakuan disajikan pada Gambar 4.7 dan 4.8; Tabel 4.4, 4.8 dan 4.10.
Tabel 4.4 Data persen berat basah ginjal terhadap bobot tubuh mencit tiap
perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Persen Berat Basah Ginjal
terhadap bobot tubuh ± SD (%)
Kontrol normal 1,37 ± 0,17
Dosis I 1,96 ± 0,21
Dosis II 1,69 ± 0,05
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Dari Tabel 4.4 terihat bahwa persen berat basah hati terhadap bobot tubuh
mencit antar kelompok perlakuan memiliki perbedaan. Hal ini menunjukkan
bahwa reference toxicant menimbulkan kerusakan pada ginjal mencit dilihat dari
peningkatan berat ginjal mencit dan kongesti yang dapat dilihat secara
makroskopik sama hal nya seperti pada pengamatan makroskopik organ hati.
4.7 Pemeriksaan Mikroskopik Organ
Selain pengamatan makroskopik organ, pengamatan mikroskopik organ
juga diperlukan untuk melihat adanya pengaruh pemberian reference roxicant
tembaga (II) sulfat pentahidrat terhadap bobot organ dan kelainan yang terjadi
(OECD,2001a). Organ yang hati dan ginjal yang sudah diamati secara
makroskopik kemudian dibuat preparat histologinya untuk dianalisa secara
mikroskopik. Pengamatan jangka panjang dalam OECD 425 adalah 14 hari. Oleh
karena itu, dilakukan pula uji toksisitas akut oral OECD 425 dengan pengamatan
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
41
Universitas Indonesia
14 hari sebagai data pembanding untuk melihat ada tidaknya perbedaan
mikroskopik organ setelah uji toksisitas akut.
Proses pembuatan sediaan histologi dimulai dari fiksasi yang bertujuan
untuk mengawetkan dan mencegah perubahan organ dengan menginaktivasi
enzim autolisis dan membunuh bakteri. Larutan formalin dipilih sebagai cairan
fiksatif karena merupakan cairan fiksatif umum, cepat berpenetrasi ke jaringan
dan nukleus serta jaringan ikat akan terwarnai dengan baik. Tahap kedua adalah
proses dehidrasi yang bertujuan menarik air dari dalam jaringan agar proses
pembenaman jaringan dalam paraffin solid cair (yang tidak dapat bercampur
dengan air) berlangsung dengan baik. Selanjutnya dilakukan infiltrasi dan
penanaman dalam paraffin yang bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan
sewaktu disayat. Jaringan yang telah tertanam disayat dengan ketebalan 3µm.
Kemudian dilakukan penempelan pada gelas obyek. Paraffin yang tersisa di
sekitar gelas obyek dilarutkan menggunakan larutan xilol. Tahap selanjutnya
adalah hidrasi yang bertujuan agar jaringan dapat terwarnai. Pewarnaan jaringan
menggunakan teknik Hematoksilin dan Eosin yang merupakan larutan polar
(hematoksilin larut dalam air dan eosin larut dalam alkohol). Setelah diwarnai, air
dihilangkan kembali dengan alkohol dan xilol agar sediaan histologis bertahan
untuk waktu lama, kemudian dilakukan penjernihan dan pengamatan (Tanzil,
1996; Bevelander & Ramaley, 1979). Prosedur pembuatan preparat histologi
jaringan dapat dilihat dalam Gambar 4.9.
4.7.1 Pemeriksaan Histologi Hati
Pada pemeriksaan histologi hati dapat dilihat beberapa parameter untuk
melihat ada atau tidaknya kerusakan hati. Beberapa parameternya adalah derajat
kerusakan sel hati dan diameter vena sentralis (Leeson & Thomas, 1990). Sel hati
(hepatosit) digunakan sebagai parameter kerusakan karena sel hati memiliki
peranan penting dalam metabolisme (Leeson & Thomas, 1990). Pelebaran vena
sentralis digunakan untuk mengetahui derajat kerusakan sel hati.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
42
Universitas Indonesia
4.7.1.1 Diameter Vena Sentralis
Diameter rata-rata hati mencit setelah masa pajanan larutan reference
toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat adalah pada kelompok kontrol normal
diperoleh 28,84 ± 0,56 µm; pada dosis 840 mg/kg bb diperoleh 41,83 ± 0,94 µm;
dan pada dosis 2150 mg/kg bb diperoleh 33,86 ± 1,04 µm. Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 4.5, 4.9 dan 4.11; Gambar 4.12, 4.13, 4.14, 4.15, 4.16,
4.17, 4.18 dan 4.19.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok kontrol normal memiliki
rata-rata ukuran diameter terkecil dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu
sebesar 28,84 µm (Tabel 4.5). Hasil pengamatan mikroskopik memperlihatkan
bahwa sel hati pada kelompok normal berbentuk polihedral dan batas antara sel
terlihat jelas (Gambar 4.12 dan 4.13). Hasil pengamatan yang didapat sesuai
dengan pernyataan Leeson & Thomas (1990) bahwa sel hati berbentuk polihedral,
yang tersusun secara radial dalam lobulus hati dan batas antar sel terlihat dengan
jelas serta memiliki satu atau dua inti berbentuk bulat atau lonjong, yang berada
ditengah sel.
Tabel 4.5 Data rata-rata diameter vena sentralis hati mencit tiap perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Rata-rata Diameter Vena Sentralis
Hati ± SD (µm)
Kontrol normal 28,84 ± 0,56
Dosis I 41,83 ± 0,94
Dosis II 33,86 ± 1,04
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Pada kelompok perlakuan dosis 840 mg/kg bb menunjukkan kerusakan
hati akibat pemberian larutan reference toxicant, baik pada pengamatan 7 hari
maupun 14 hari (Gambar 4.14 dan 4.15). Ukuran rata-rata diameter vena sentralis
pada kelompok dosis 840 mg/kg bb jauh lebih besar daripada kedua kelompok
lainnya yaitu 41,83 µm. Hasil pengamatan sesuai dengan pernyataan Leeson &
Thomas (1990) yang menyatakan bahwa kerusakan hati diawali dari sel-sel
endotel yang mengalami lisis pada vena sentralis, sehingga mengakibatkan
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
43
Universitas Indonesia
pelebaran vena sentralis. Pada kelompok perlakuan dosis 2150 mg/kg bb juga
menunjukkan kerusakan hati. Ukuran rata-rata diameter vena sentralis pada
kelompok ini lebih besar daripada kelompok kontrol normal namun masih lebih
kecil dari kelompok dosis 840 mg/kg bb yaitu 33,86 µm (Gambar 4.16 dan 4.17).
Perbedaan antara kelompok kontrol normal dengan kedua kelompok
lainnya menunjukkan bahwa terjadi kerusakan pada organ hati mencit yang diberi
perlakuan dosis yang dilihat dari ukuran rata-rata diameter vena sentralis. Hal ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan sebelumnya bahwa kerusakan hati diawali
dari sel-sel endotel yang mengalami lisis pada vena sentralis, sehingga
mengakibatkan pelebaran vena sentralis.
4.7.1.2 Derajat Kerusakan Hati
Jumlah rata-rata kerusakan sel hati pada mencit setelah masa pajanan
larutan reference toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat adalah pada derajat
kerusakan <20% (nekrosis ringan) diperoleh oleh kelompok kontrol normal. Pada
derajat kerusakan 20-40 % (nekrosis sedang) diperoleh kelompok perlakuan dosis
840 mg/kg bb, dan pada tingkat kerusakan >40% (nekrosis berat) diperoleh oleh
kelompok perlakuan Dosis 2150 mg/kg bb. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 4.9 dan 4.11; Gambar 4.12, 4.13, 4.14, 4.15, 4.16, 4.17, 4.18 dan 4.19.
Pada mencit kelompok kontrol normal, rata-rata derajat kerusakan hati
adalah sekitar 5% (Gambar 4.12 dan 4.13). Hal ini diakibatkan adanya degenerasi
melemak pada hepatosit yang mungkin disebabkan oleh pengaruh dari luar yaitu
makanan atau dari mencit itu sendiri karena mencit yang digunakan bukan mencit
pathogen free animal sehingga wajar jika ditemukan gangguan metabolisme yang
bersifat tidak spesifik. Kerusakan yang terjadi pada kelompok dosis 840 mg/kg bb
meliputi sel-sel endotel vena sentralis yang mengalami lisis, pelebaran diameter
vena sentralis, terjadi pembendungan darah dan haemorrhage atau perdarahan
pada jaringan (lebih sedikit dibanding dengan kelompok dosis 2150 mg/kg bb)
(Gambar 4.14 dan 4.15). Pada kelompok dosis 2150 mg/kg bb kerusakan yang
terjadi adalah kongesti, infiltrasi limfosit, dan nekrosis (Gambar 4.16 dan 4.17).
Kerusakan hati pada kelompok mencit yang diberi perlakuan disebabkan karena
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
44
Universitas Indonesia
pusat homeostasis Cu ada di dalam hati dan sejumlah besar Cu diabsorbsi pertama
kali di organ ini (Mercer, 2001).
4.7.2 Pemeriksaan Histologi Ginjal
Parameter utama yang digunakan untuk menganalisis adanya kerusakan
ginjal adalah dengan pemeriksaan mikroskopis preparat jaringan ginjal terutama
glomerulus sebagai alat filtrasi utama. Pemeriksaan ini dilakukan melalui
pengukuran diameter glomerulus dan jarak ruang antara glomerulus dan kapsula
bowmann.
4.7.2.1 Pengukuran rata-rata diameter glomerulus ginjal
Diameter rata-rata hati mencit setelah masa pajanan larutan reference
toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat adalah pada kelompok kontrol normal
diperoleh 23,80 ± 0,95µm; pada dosis 840 mg/kg bb diperoleh 30,21 ± 1,23 µm;
dan pada dosis 2150 mg/kg bb diperoleh 30,21 ± 1,23µm. Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 4.6, 4.9 dan 4.11; Gambar 4.20, 4.21, 4.22, 4.23, 4.24,
4.25, 4.26 dan 4.27.
Tabel 4.6 Data rata-rata diameter glomerulus ginjal mencit tiap perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Rata-rata Diameter Glomerulus
Ginjal ± SD (µm)
Kontrol normal 33,20 ± 1,39
Dosis I 23,80 ± 0,95
Dosis II 30,21 ± 1,23
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Perbedaan antara kelompok kontrol normal dengan kedua kelompok
lainnya menunjukkan bahwa terjadi kerusakan pada organ ginjal mencit yang
diberi perlakuan dosis yang dilihat dari ukuran rata-rata diameter glomerulus
ginjal. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jika terjadi kerusakan pada glomerulus,
maka akan terlihat adanya pengerutan akibat sel-selnya yang lisis dan mati. Bila
terjadi pengerutan maka diameter glomerulus akan mengecil dan jarak ruang
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
45
Universitas Indonesia
antara glomerulus dan kapsula bowmann akan semakin membesar jika
dibandingkan dengan kontrol normal (Himawan & Tim Patologi, 1994).
4.7.2.2 Pengukuran rata-rata jarak ruang antara glomerulus dan kapsula bowmann
Rata-rata jarak ruang antara glomerulus dan kapsula bowmann mencit
setelah masa pajanan larutan reference toxicant tembaga (II) sulfat pentahidrat
adalah pada kelompok kontrol normal diperoleh 1,48 ± 0,24 µm; pada dosis 840
mg/kg bb diperoleh 3,43 ± 0,15 µm; dan pada Dosis 2150 mg/kg bb diperoleh
2,35 ± 0,25 µm. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.7, 4.9 dan 4.11;
Gambar 4.20, 4.21, 4.22, 4.23, 4.24, 4.25, 4.26 dan 4.27.
Tabel 4.7 Data rata-rata jarak ruang antara glomerulus dan kapsula
bowmann ginjal mencit tiap perlakuan
Kelompok Perlakuan Rata-rata Jarak Ruang antara Glomerulus
dan Kapsula Bowmann ± SD (µm)
Kontrol normal 1,48 ± 0,24
Dosis I 3,43 ± 0,15
Dosis II 2,35 ± 0,25
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Perbedaan pada tiap kelompok tersebut sesuai dengan teori yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa jika terjadi kerusakan pada glomerulus, maka akan
terlihat adanya pengerutan akibat sel-selnya yang lisis dan mati. Bila terjadi
pengerutan maka diameter glomerulus akan mengecil dan jarak ruang antara
glomerulus dan kapsula bowmann akan semakin membesar jika dibandingkan
dengan kontrol normal (Himawan & Tim Patologi, 1994).
4.8 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini, terdapat keterbatasan yang dipengaruhi oleh adanya
faktor-faktor seperti kemungkinan hewan uji yang mengidap penyakit lain atau
hewan uji tidak berasal dari sumber yang baik sehingga membuat hasil
pengamatan mikroskopik organ hati pada kelompok kontrol normal mengalami
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
46
Universitas Indonesia
kerusakan sebesar 5%, kemungkinan juga dari faktor makanan mencit yang
kurang sesuai untuk kebutuhan nutrisi mencit, kemudian pengaruh kondisi
ruangan (suhu ruangan yang berubah karena rusaknya Air Conditioner ketika
dilakukan penelitian), dan kemungkinan bias pada saat pembacaan preparat
histologis.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
47 Universitas Indonesia
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan:
1. Metode pengujian toksisitas akut oral OECD 425 memenuhi persyaratan
akurasi dan presisi sehingga dapat menjadi metode acuan untuk pengujian
toksisitas akut oral limbah di Indonesia.
2. Hewan uji mencit dapat digunakan sebagai hewan uji untuk uji toksisitas akut
metode OECD 425.
3. Tidak ada perbedaan hasil antar 7 hari pengamatan dengan 14 hari pengamatan
padauji toksisitas akut metode OECD 425 .
4. a. Pemberian larutan reference toxicant Tembaga (II) sulfat pentahidrat secara
oral pada mencit dengan dosis 840 mg/kg bb, menyebabkan perubahan
gambaran makroskopik dan mikroskopik hati dan ginjal yang ditandai dengan
penambahan berat basah organ per bobot tubuh, sel-sel endotel vena sentralis
yang mengalami lisis, pelebaran diameter vena sentralis, terjadi pembendungan
darah dan kongesti, serta diameter glomerulus yang mengecil dibandingkan
kontrol normal.
b. Pemberian larutan reference toxicant Tembaga (II) sulfat pentahidrat secara
oral pada mencit dengan dosis 2150 mg/kg bb, menyebabkan perubahan
gambaran makroskopik dan mikroskopik hati dan ginjal yang ditandai dengan
penambahan berat basah organ per bobot tubuh, infiltrasi limfosit serta
nekrosis dibandingkan kontrol normal.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
48
Universitas Indonesia
5.2 Saran
1. Hewan uji yang digunakan untuk penelitian berikutnya disarankan berasal
dari sumber yang baik dan bersertifikat untuk penelitian.
2. Perlu adanya second observer dalam pengamatan mikroskopik histologi
organ untuk menghindari adanya bias dalam pembacaan.
3. Perlu dibuat komite etik sebagai persyaratan pengujian hewan di Pusarpedal –
KLH.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
49 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Adiwisastra, A. (1985). Keracunan: sumber, bahaya serta penanggulangannya.
Bandung: Penerbit Angkasa, 63-64.
Anderson, K. (1999). Analytical Techniques for Inorganic Contaminants.
Gaitherburg : AOAC International.
Arifin, Z. (2007). Pentingnya mineral tembaga (Cu) dalam tubuh hewan dalam
hubungannya dengan penyakit. Jurnal Wartazoa Vol. 17 No. 2 Thn 2007,
93-94.
ASTM (American Society for Testing and Materials) oleh Lee, D. R. (1980).
Reference toxicants in quality control of aquatic bioassays. Am. Soc. Test.
Philadelphia: ASTM.
APHA. (1975). Standard methods for the examination of waste. Ed ke-2.
American Public Health Association. Washington DC., 22-30.
Barile, F.A. (2008). Principles of toxicology testing. Boca Raton: CRC Press, 75,
77-78.
Baron, D.N. (1993). Kapita selekta patologi klinik edisi IV. Terj. Dari A Short
Textbook of chemical pathology 4th
edition, oleh Adrianto P & Gunawan J.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 109-111.
Bevelander, G & Ramaley, JA. (1988). Dasar-dasar histologi edisi VIII. Terj.
Dari Essentials of histology 8th
Edition, oleh Gunarso W. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 287-298, 316-336.
Burgess, C. (2000). Valid Analytical Methods and Procedures. UK: The Royal
Society of Chemistry, 223.
Cheville. (2006). Cell death and cell recovery in Introduction to veterinary
pathology 3th
ed. United State: Blackwell Publishing., 15-44.
Darmono. (1995). Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI-
Press, 51-57.
Dellman. (1992). Buku teks histologi veteriner edisi III.Terj. dari Text Book of
Hystology Veteriner oleh R.Hartono. Jakarta: UI Press, 411-445.
Dewi. (2011). Analisis cemaran logam timbal (Pb), tembaga (Cu), dan kadmium
(Cd) dalam tepung gandum secara spektrofotometri serapan atom. Skripsi
Departemen Farmasi Universitas Indonesia, 16.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
50
Universitas Indonesia
Donatus, I.A. (2001). Toksikologi dasar. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi
dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, 36.
Dreisbach, R.H. (1982). Handbook of poisoning: prevention, diagnosis, and
treatment 11th
edition. California: Lange Medical Publications, 469.
Fifield, F.W., & Kealey, D. (2000). Principles and Practice of Analytical
Chemistry. London: University of Kingston, 446.
Gad, S.C & Changelis, C.P. (1990). Acute toxicology testing ed-2. California:
Academic Press, 170-178.
Greaves, P. (2000). Histopathology of preclinical toxicity studies interpretation
and relevance in drug safety evaluation 2nd
Ed. Amsterdam : Elsevier
Publisher, 372-380.
Gunay, et al. (2006). A series of patients in the emergency department diagnosed
with copper poisoning: recognition equals treatment. Tohoku J Exp Med,
209, 243-248.
Guyton, A.C., Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran edisi ke-9. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC., 156-168, 244-260.
Hadi, A. (2007). Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025:2005 Persyaratan
Umum Kompetensi, Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 88-90.
Harada, T., Enomoto, A., Boorman, G.A., Maronpot, R.R. (1999). Liver and
gallblader dalam Pathology of the Mouse: Reference and Atlas 1th
Ed oleh
Maronpot R.R.. Cache River Press., 119-135.
Himawan S. & Tim Patologi. (1996). Kumpulan kuliah patologi FK UI. Jakarta:
Bagian Patologi Anatomi FK UI, 281-282.
Hodgson, E. (2010). A Textbook of modern toxicology 4th
edition. North Carolina :
A John Wiley & Sons. Inc., Publication, 225 – 236.
Horwitz, W. (1975). Official Methods of Association of Officials Analytical
Chemistry. 12th
ed. New York: McGraw-Hill, 224.
Inoue, Y., T. Osawa, A. Matsui, Y. Asai, Y. Murakami, T. Matsui, dan H. Yano.
(2002). Changes of serum mineral concentration in horses during
excercise. Asian Aust. J. Anim. Sci. 15(4), 531-536.
Jin H, Yang X, Yin D, & Yu H. (1999). A case study on identifying the toxicant
in effluent discharged from a chemical plant. Buletin Marine Pollution, 39,
122.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Jop, K. M., Rodgers, J. H., Dorn, P. B., & Dickson, K. L. (1986). Use of
hexavalent chromium as a reference toxicant in aquatic toxicity tests. In T.
M. Poston & R, 6-12.
Khopkar, S. M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 88.
Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. (2011). Media industri:
industrialisasi untuk kehidupan yang lebih baik No. 01.2011. Jakarta: Biro
Umum dan Hubungan Masyarakat Kementerian Perindustrian., 16.
Lee, D. R. (1980). Reference toxicants in quality control of aquatic bioassays. Am.
Soc. Test. Mater., Spec. Tech. Publ., 188-199.
Leeson, C.R & Thomas, S.L. (1990). Buku ajar histologi. Edisi V (terj) oleh Staf
Ahli Histologi FKUI. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 159-168, 198-203,
383-395, 407-425 dan 427-450.
Loomis, T. A. (2001). Toksikologi dasar (edisi 3) .Terj. dari Essentials of
Toxicology, oleh Imono Argo Donatus. Semarang: IKIP Semarang Press,
225-233.
Lu, F.C. (2009). Basic Toxicology: Fundamentals, Target Organs, and Risk
Assesment 5th
ed. New York: Informa Healthcare USA, Inc., 85, 108, 188-
190.
Mercer, J.F. (2001). The molecular basis of copper transport diseases. TRENDS in
Molecular Medicine Vol 7 No. 2 Feb, 64-66
NIEHS (National Institute of Environmental Health Sciences). (1997). Validation
and Regulatory Acceptance of Toxicological Test Methods. California:
NIH Publication, 10. http://iccvam.niehs.nih.gov/parts/iccvam.html
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (1987).
OECD Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 401: Acute Oral
Toxicity. Paris: OECD, 1-6.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2001a).
OECD Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 425: Acute Oral
Toxicity: Up-and-Down Procedure. (http://lysander.sourceoecd.org/).
Paris: OECD, 1-26.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2001b)
OECD Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 420: Acute Oral
Toxicity: Fixed Dose Procedure. Paris: OECD, 4-8.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
52
Universitas Indonesia
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (2001c)
OECD Guidelines for Testing of Chemicals. Test No. 423: Acute Oral
Toxcity—Acute Toxic Class Method. Paris: OECD, 3-6.
Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun. Jakarta: Menteri Negara Sekretaris Negara
Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah 85 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun. Jakarta: Menteri Negara Sekretaris Negara
Republik Indonesia.
Pusarpedal. (2012). Sekilas Mengenai Pusarpedal. 24 Januari 2012.
(httpp://www.pusarpedal.mlh.go.id)
Rispin, A., et al. (2002). "Alternative methods for the median lethal dose (LD(50))
test: the up-and-down procedure for acute oral toxicity." Institute of
laboratory animal resources journal 43(4), 233-43.
Robin, S.L & V.M.D Kumar. (1995). Patologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 556-560.
Schelde E, Elke, horst, Gisela, & Detlev. (2005). Oral acute toxic class method: a
successful alternative to the oral LD50 test. Jour. Reg. Toxic. and Pharm
42, 15-23.
Seely, J.C. (1999). Kidney dalam Pathology of the Mouse: Reference and Atlas 1th
Ed oleh Maronpot R.R. Cache River Press., 119-135.
Sherwood. L. (2001). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Terj. Dari Human
Physiology: from Cells to Systems. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 568, 570.
Sinkovic A, Strdin A, Svensek F. (2008). Severe acute copper sulphate poisoning:
a case report. Arh. Hig. Rada. Toksikol. 2008 : 59, 31-32.
Sinta, M.S, (2007). Logam berat dan antagonis. Dalam Sulistia Gan Gunawan,
Rianto Setiabudy, Nafrialdi, dan Elysabeth (Ed.). Farmakologi dan terapi
(hal 481-495). (Ed. ke-5). Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 854-855.
Sitzel, K & G. Carr. (1999). Statistical basis for estimating acute oral toxicity
comparison of OECD guidelines 401, 420, 423, and 425. Up-andDown
Procedure Peer Panel Report, O3-O10.
Spector,W.G., Spector, T.D. (1993). Pengantar Patologi Umum Edisi ke-3.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press., 44-48.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
53
Universitas Indonesia
Tanzil R. (1996). Berbagai Masalah Pembuatan Sediaan Histologis. Bagian
Histologis Fakultas Kedokteran UI, 56-62.
Tortora GJ. & Nicholas PA. (1990). Principles of Anatomy and Physiology 6th
Edition. New York: Biological Science Textbooks Inc, A and P Textbooks
Inc & Elia-Sparta Inc., 825-841.
U.S. EPA (2002a). Health effects test guidelines OPPTS 870.1100 Acute Oral
Toxicity. US Environmental Protection Agency, Document no.
EPA/712/C- 02/190, Washington, DC, USA, 22-24.
U.S. EPA (2002b). A review of the reference dose and reference concentration
processes. US Environmental Protection Agency, Document no.
EPA/630/P- 02/002F, Washington, DC, USA, 5.
U.S. EPA (2002c). Methods for Measuring the Acute Toxicity of Effluents and
Receiving Waters to Freshwater and Marine Organisms. US
Environmental Protection Agency, Document no. EPA/821/R-02/012,
Washington, DC, USA, 1-12.
Westat. (2001). Acute oral toxicity software program; AOT425StatPgm;
AOT425StatPgm Program User’s Manual; and Simulation Results for the
AOT425StatPgm Program. 12 Februari 2012.
(http://iccvam.niehs.nih.gov/methods/updocs/udprpt/udp_ciprop.htm).
Whitehouse, P. (2001). Measures for protecting water quality: current approaches
and future developments. Jour. Ecotox. and Env. Safe., 50, 115.
Widaningrum, Miskiyah & Suismono. (2007). Bahaya kontaminasi logam berat
dalam sayuran dan alternatif pencegahan cemarannya. Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian Vol. 3 2007, 4-6.
William PL , Burson JL. (1995). The basic science of toxicity. Ed ke-3. Macmillan
Publ.Co, New York, 54.
Yossa, I. (2008). Profil toksisitas limbah kerak kilang minyak (green coke)
terhadap mencit (Mus musculus). Thesis Program Studi Biokimia Institut
Pertanian Bogor, 4-10, 24-32.
Zimmerman., H.J. (1982). Chemical hepatic injury and its detection in toxicology
of the liver. Eds. GL. Plaa and WR. Hewitt. New York: Raven Press, 198-
200.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
GAMBAR
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
54
5x
Penentuan LD 50 menggunakan
software AOT425StatPgm Pengulangan metode sebanyak
5x
Dilakukan pembedahan untuk
mengetahui fisik dari organ
mencit
Hati dan Ginjal ditimbang lalu
dianalisa makroskopik organ
Reference toxicant (Tembaga
(II) Sulfat Pentahidrat)
Reference toxicant dicekokkan
pada mencit sesuai dosis tertentu
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
55
Gambar 4.1. Tahap-tahap penelitian
Gambar 4.2. Serbuk Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat
Hati dan Ginjal dibuat preparat
histologis
Analisa mikroskopik histologi
hati dan ginjal sampel.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
56
Keterangan: A = mencit kelompok kontrol, B = mencit kelompok perlakuan dosis 840 mg/kg bb,
C = mencit kelompok perlakuan dosis 2150 mg/kg bb
Gambar 4.5. Morfologi hati mencit tiap perlakuan pada pengamatan 7 hari
Keterangan: A = mencit kelompok kontrol, B = mencit kelompok perlakuan dosis 840
mg/kg bb, C = mencit kelompok perlakuan dosis 2150 mg/kg bb
Gambar 4.6. Morfologi hati mencit tiap perlakuan pada pengamatan 14
hari
1
c
m
1 cm 1
c
m
A
B C
1 cm
A
B
1 cm
C
1 cm
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
57
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Gambar 4.7. Diagram batang persen bobot basah rata-rata organ hati
terhadap bobot tubuh mencit tiap perlakuan
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Gambar 4.8 Diagram batang persen bobot basah rata-rata organ ginjal
terhadap bobot tubuh mencit tiap perlakuan
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
58
Keterangan: A = mencit kelompok kontrol, B = mencit kelompok perlakuan dosis 840 mg/kg bb,
C = mencit kelompok perlakuan dosis 2150 mg/kg bb
Gambar 4.9 Morfologi ginjal mencit tiap perlakuan pada pengamatan 7 hari
Keterangan: A = mencit kelompok kontrol, B = mencit kelompok perlakuan dosis 840 mg/kg bb,
C = mencit kelompok perlakuan dosis 2150 mg/kg bb
Gambar 4.10 Morfologi ginjal mencit tiap perlakuan pada pengamatan 14 hari
A
1 cm
1 cm 1 cm
C B
1 cm
B
A
1 cm
1 cm
C
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
59
6. Deparafinasi, Hidrasi,
Pewarnaan, Dehidrasi, dan
Penjernihan
4. Penyayatan (sectioning)
3. Penanaman (embedding)
2. Dehidrasi, penjernihan, dan
infiltrasi.
1. Penyiapan organ dan
fiksasi.
5. Penempelan pada Gelas
Obyek (mounting)
mencit
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
60
Gambar 4.11 Prosedur histologi jaringan
Keterangan Alat :
2. Automatic Rotary Tissue Processor (Sakura RH 12 DM II)
3. Mikrotom Geser (Yamato Kohki)
4. Paraffin Hot Vat (Hirasawa)
5. Slide warmer (Sakura model PS-C2)
6. Ultra Histo Dyer (Sakura)
8. Mikroskop Nikon Eclipse 80i dan program NIS Elements D 4.00.00
7. Penutupan 8. Analisa mikroskopik histologi
hati dan ginjal sampel.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
61
Keterangan: A = vena sentralis dengan sel endotel normal, B = Hepatosit (sel hati) dengan inti sel
normal, C = sinusoid. Perbesaran 400 x
Gambar 4.12 . Gambaran histologis hati mencit kontrol normal pada pengamatan
7 hari.
Keterangan: A = vena sentralis dengan sel endotel normal, B = Hepatosit (sel hati) dengan inti sel
normal, C = sinusoid. Perbesaran 400 x.
Gambar 4.13 . Gambaran histologis hati mencit kontrol normal pada pengamatan
14 hari
A
C
B
B
C A
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
62
Keterangan: A = vena sentralis dengan sel endotel lisis, B = Hepatosit (sel hati) dengan inti sel
mengerut, C = sinusoid yang melebar, D = haemorrhage.
Gambar 4.14. Gambaran histologis hati mencit dosis 840 mg/kg bb dengan
perbesaran 400 x pada pengamatan 7 hari
Keterangan: A = vena sentralis dengan sel endotel lisis, B = Hepatosit (sel hati) dengan inti sel
mengerut, C = sinusoid yang melebar.
Gambar 4.15. Gambaran histologis hati mencit dosis 840 mg/kg bb dengan
perbesaran 400 x pada pengamatan 14 hari.
B
A
C D
A
B
C
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
63
Keterangan: A = vena sentralis dengan sel endotel lisis dan timbul kongesti, B = Hepatosit (sel
hati) dengan inti sel mengerut, C = sinusoid yang melebar, D = haemorrhage.
Gambar 4.16 . Gambaran histologis hati mencit dosis 2150 mg/kg bb dengan
perbesaran 400x pada pengamatan 7 hari
.
Keterangan: A = vena sentralis dengan sel endotel lisis dan timbul kongesti, B = Hepatosit (sel
hati) dengan inti sel mengerut, C = sinusoid yang melebar, D = haemorrhage.
Gambar 4.17 . Gambaran histologis hati mencit dosis 2150 mg/kg bb dengan
perbesaran 400x pada pengamatan 14 hari.
A
B
D
C
C
B
A
D
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
64
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Gambar 4.18 Diagram batang persen rata-rata diameter vena sentralis hati
mencit tiap perlakuan
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis
840 mg/kg bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb
Gambar 4.19 Diagram batang persentase derajat kerusakan hati mencit
tiap perlakuan
.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
65
Keterangan: A = glomerulus normal, B = ruang antara glomerulus dan kapsula bowmann normal,
C= tubulus distal normal, D= tubulus proksimal normal
Gambar 4.20. Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
kontrol normal dengan perbesaran 400x pada pengamatan 7 hari.
Keterangan: A = glomerulus normal, B = ruang antara glomerulus dan kapsula bowmann normal,
C= tubulus distal normal, D= tubulus proksimal normal
Gambar 4.21. Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
kontrol normal dengan perbesaran 400x pada pengamatan 14 hari.
A B
C
D
A
C
B
D
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
66
Keterangan: A = glomerulus, B = ruang antara glomerulus dan kapsula bowmann normal yang
melebar, C= degenerasi tubulus distal, D= degenerasi tubulus proksimal
Gambar 4.22. Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 840 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 7
hari.
Keterangan: A = glomerulus, B = ruang antara glomerulus dan kapsula bowmann normal yang
melebar, C= degenerasi tubulus distal, D= degenerasi tubulus proksimal
Gambar 4.23 . Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 840 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 14 hari.
A
B C
D
A
B
C
D
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
67
Keterangan: A = glomerulus yang mengalami pengerutan, B = ruang antara glomerulus dan
kapsula bowmann, C= degenerasi tubulus kontortus distal, D= degenerasi
tubulus kontortus proksimal, E= infiltrasi limfosit.
Gambar 4.24. Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 2150 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan 7 hari.
Keterangan: A = glomerulus yang mengalami pengerutan, B = ruang antara glomerulus dan
kapsula bowmann, C= degenerasi tubulus kontortus distal, D= degenerasi
tubulus kontortus proksimal.
Gambar 4.25. Gambaran histologis kompleks jukstaglomerulus ginjal mencit
dosis 2150 mg/kg bb dengan perbesaran 400x pada pengamatan
14 hari
C
D
E B
A
C
D B
A
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
68
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840
mg/kg bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Gambar 4.26 Diagram batang rata-rata diameter glomerulus ginjal mencit
tiap perlakuan
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Gambar 4.27 Diagram batang rata-rata jarak ruang antara glomerulus dan
kapsula bowmann ginjal mencit tiap perlakuan
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
TABEL
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
69
Tabel 4.8. Hasil berat badan dan persen bobot basah hati dan ginjal terhadap
bobot badan mencit tiap kelompok perlakuan pada 7 hari pengamatan.
Kelompok
Perlakuan
Berat Badan
Awal Mencit
(gram)
Berat Badan
Akhir Mencit
(gram)
Berat Basah
Hati
terhadap bobot
tubuh (gram)
Berat Basah
Ginjal
terhadap bobot
tubuh (gram)
Kontrol normal
23,44
24,36
27,12
26,02
25,27
24,37
26,61
25,44
23,07
25,52
22,81
23,29
25,63
25,57
24,21
22,69
25,02
23,65
23,12
22,29
22,96
22,41
22,17
25,12
22,38
23,93
22,12
22,08
23,05
23,00
25,40
26,40
28,92
25,92
26,18
25,43
25,37
25,81
25,14
25,47
24,75
25,67
28,13
26,56
25,95
24,84
26,83
22,94
25,68
24,56
24,13
24,83
24,61
26,39
25,40
25,00
22,62
23,52
24,40
25,02
5,82
5,90
5,87
5,63
5,99
5,89
5,55
5,46
5,52
5,65
5,85
6,07
5,79
5,68
5,89
5,71
5,85
5,84
5,64
5,41
5,38
5,43
5,52
5,87
5,98
5,56
5,92
6,16
5,65
5,87
1,57
1,36
1,51
1,77
1,33
1,14
1,37
1,31
1,67
1,37
1,41
1,55
1,45
1,20
1,65
1,12
1,22
1,43
1,40
1,42
1,24
1,20
1,09
1,17
1,41
1,20
1,45
1,19
1,47
1,27
Rata-rata ± SD
23,95 ± 1,45
(gram)
25,39 ± 1,30
(gram)
5,75 ± 0,20 (%)
1,37 ± 0,17 (%)
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
70
Kelompok
Perlakuan
Berat Badan
Awal Mencit
(gram)
Berat Badan
Akhir Mencit
(gram)
Berat Basah
Hati
terhadap bobot
tubuh (gram)
Berat Basah
Ginjal
terhadap bobot
tubuh (gram)
Dosis I
22,57
25,50
24,79
24,70
23,79
24,46
23,46
23,93
23,88
23,70
24,34
26,03
23,38
24,06
24,14
21,81
23,21
22,17
23,54
23,96
24,03
23,74
23,42
23,68
23,47
22,73
23,68
21,73
21,98
22,56
21,26
22,86
22,55
21,76
22,37
22,52
22,25
22,68
22,41
22,28
21,92
22,40
22,63
22,42
23,30
18,50
20,52
20,91
21,31
20,16
20,10
21,43
19,30
18,67
20,74
20,48
18,18
19,56
25,01
24,14
15,24
19,06
18,20
18,68
18,46
18,37
20,83
24,34
20,49
20,97
19,27
18,26
17,70
18,38
20,64
21,98
16,17
18,54
18,56
20,98
18,58
18,58
20,28
19,42
20,52
17,45
18,59
19,15
18,23
19,37
7,18
7,01
7,12
7,08
7,24
7,26
7,04
7,46
7,28
7,13
7,08
7,09
7,25
7,11
7,33
7,21
7,24
7,25
7,38
7,25
7,13
7,15
7,31
7,22
7,53
7,26
7,00
7,28
7,29
7,31
7,09
7,29
7,28
7,48
7,05
7,10
7,31
7,39
7,05
7,01
7,22
7,15
7,31
7,35
7,22
2,05
1,99
2,00
2,06
1,83
2,33
1,77
2,22
2,03
2,16
1,90
1,92
1,99
2,07
2,11
2,36
1,99
1,86
2,35
1,73
1,79
2,59
2,42
1,61
1,90
2,02
1,86
2,03
1,68
1,93
2,00
1,79
1,83
1,72
1,85
1,77
1,66
1,87
2,11
1,70
1,54
1,88
1,98
1,97
1,96
Rata-rata ± SD
(gram)
23,20 ± 1,04 19,65 ± 1,89 7,22 ± 0,12
1,96 ± 0,21
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
71
Kelompok
Perlakuan
Berat Badan
Awal Mencit
(gram)
Berat Badan
Akhir Mencit
(gram)
Berat Basah
Hati
terhadap bobot
tubuh (gram)
Berat Basah
Ginjal
terhadap bobot
tubuh (gram)
Dosis II
26,53
26,33
25,87
25,54
24,80
27,57
26,76
26,31
25,07
24,81
25,51
24,67
24,38
24,39
24,07
24,31
24,10
24,58
24,66
23,40
23,57
22,00
22,03
21,84
22,54
22,81
23,34
22,82
23,30
22,42
22,02
22,12
21,38
24,51
23,33
22,67
21,11
21,87
21,16
22,19
22,42
22,16
24,17
23,17
23,33
26,64
26,40
26,18
25,95
25,79
27,59
26,84
27,52
25,79
25,43
25,86
25,52
24,86
24,62
24,51
24,72
24,64
25,05
24,79
23,55
24,06
22,32
22,59
22,31
22,76
22,95
23,99
23,33
23,93
22,99
22,20
22,98
21,98
24,94
23,44
22,97
21,94
21,89
21,58
22,47
22,65
22,84
24,94
23,22
23,88
6,19
5,87
5,84
6,01
6,04
6,01
6,14
6,10
6,20
6,01
6,03
6,19
6,15
6,01
6,24
6,14
6,08
6,06
6,05
5,94
5,94
6,13
6,06
6,14
6,01
6,10
5,83
6,00
5,93
5,95
6,03
6,04
6,00
6,13
6,22
6,05
6,10
6,03
6,07
6,31
6,18
6,17
6,29
6,20
6,11
1,76
1,70
1,79
1,77
1,62
1,77
1,71
1,74
1,70
1,65
1,66
1,76
1,64
1,70
1,67
1,69
1,70
1,79
1,65
1,61
1,62
1,61
1,68
1,70
1,71
1,74
1,70
1,62
1,62
1,65
1,62
1,65
1,68
1,80
1,70
1,65
1,64
1,64
1,66
1,73
1,72
1,70
1,72
1,67
1,67
Rata-rata ± SD
(gram)
23,73 ± 1,62 24,16 ± 1,62 6,07 ± 0,10
1,69 ± 0,05
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
72
Tabel 4.9. Hasil pengukuran rata-rata diameter vena sentralis hati, derajat
kerusakan hati, diameter glomerulus ginjal, dan rata-rata jarak ruang
antara glomerulus dan kapsula bowman pada 7 hari pengamatan.
Kelompok
Rata-rata
Diameter Vena
Sentralis Hati
(µm)
Derajat
Kerusakan
Hati
Rata-rata
Glomerulus
Ginjal (µm)
Rata-rata Jarak
Ruang antara
Glomerulus dan
Kapsula
Bowman (µm)
Kontrol normal
29,44
30,19
28,62
28,74
29,35
28,53
28,15
28,92
29,67
29,11
29,02
29,13
28,20
29,63
28,11
28,59
29,09
28,69
28,27
28,98
29,39
28,43
28,34
28,12
29,05
29,86
28,25
29,00
28,49
28,09
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
32,84
33,43
33,92
34,9
32,94
33,86
31,03
32,97
33,17
34,03
31,24
32,54
30,54
31,93
33,41
33,52
33,21
32,83
34,18
34,61
34,13
30,53
33,62
30,85
32,57
34,2
33,15
34,82
36,52
34,55
1,44
1,38
1,68
1,38
1,64
1,87
1,46
1,88
1,18
1,34
1,68
1,34
1,98
1,41
1,28
1,03
1,17
1,81
1,48
1,38
1,42
1,54
1,38
1,41
1,42
1,03
1,72
1,34
1,77
1,72
Rata-rata ± SD
(µm)
28,84 ± 0,56 - 33,20 ± 1,39 1,48 ± 0,24
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
73
Kelompok
Rata-rata
Diameter Vena
Sentralis Hati
(µm)
Derajat
Kerusakan
Hati
Rata-rata
Glomerulus
Ginjal (µm)
Rata-rata Jarak
Ruang antara
Glomerulus dan
Kapsula
Bowman (µm)
Dosis I
40,56
41,15
41,15
40,55
41,64
40,39
42,32
41,39
42,28
40,98
42,72
42,21
41,98
40,86
40,99
42,23
41,42
42,54
41,39
42,15
41,55
42,01
42,17
41,51
41,67
40,48
42,75
40,86
42,81
42,28
42,19
43,15
41,43
43,30
40,44
42,39
42,61
42,89
40,01
41,57
43,23
43,81
42,32
43,67
40,64
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
25,03
22,35
24,59
23,51
24,07
26,68
24,5
25,05
23,82
23,82
24,88
24,16
23,81
25,01
23,46
22,88
24,61
24,57
23,96
23,57
24,16
24,78
23,16
23,72
23,21
25,03
24,16
24,13
22,68
24,51
22,61
23,18
24,05
22,12
23,19
22,51
23,43
22,49
23,32
24,94
23,27
22,47
24,35
22,69
22,59
3,38
3,36
3,14
3,33
3,31
3,21
3,46
3,52
3,59
3,37
3,38
3,66
3,28
3,39
3,4
3,22
3,36
3,38
3,33
3,26
3,39
3,23
3,46
3,65
3,35
3,64
3,26
3,78
3,46
3,49
3,53
3,88
3,45
3,38
3,44
3,67
3,53
3,46
3,42
3,61
3,33
3,46
3,38
3,6
3,44
Rata-rata ± SD
(µm)
41,83 ± 0,94 - 23,80 ± 0,95 3,43 ± 0,15
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
74
Kelompok
Rata-rata
Diameter Vena
Sentralis Hati
(µm)
Derajat
Kerusakan
Hati
Rata-rata
Glomerulus
Ginjal (µm)
Rata-rata Jarak
Ruang antara
Glomerulus dan
Kapsula
Bowman (µm)
Dosis II
33,19
34,62
35,74
34,35
33,55
34,15
33,92
35,67
35,11
33,02
33,13
34,39
37,31
34,59
33,67
35,24
34,92
33,18
33,88
32,89
32,39
33,04
33,18
35,55
32,41
32,71
34,48
32,66
34,05
33,85
32,83
34,47
33,92
34,36
33,32
32,64
34,34
32,47
34,34
32,94
33,17
34,21
33,51
33,28
33,36
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
29,80
28,22
30,77
30,56
30,12
29,64
32,06
29,75
29,81
28,81
29,51
30,02
29,66
28,40
30,34
28,75
30,22
29,07
30,36
31,75
31,94
28,57
32,65
30,25
28,74
31,55
31,19
28,19
30,80
28,95
31,56
31,33
31,99
29,64
28,59
31,55
32,11
29,55
29,05
31,05
29,72
32,74
30,18
29,93
30,42
2,18
2,28
1,98
2,10
2,14
2,12
2,89
2,14
2,12
2,10
2,41
2,32
2,24
2,10
2,76
2,98
2,57
2,12
2,65
2,24
2,34
2,28
2,32
2,60
2,89
2,87
2,22
2,28
2,10
2,12
2,12
2,24
2,56
2,38
2,64
2,22
2,34
2,56
2,28
2,48
2,76
2,38
2,12
2,34
2,15
Rata-rata ± SD
(µm)
33,86 ± 1,04 - 30,21 ± 1,23 2,35 ± 0,25
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
75
Tabel 4.10. Hasil berat badan dan persen bobot basah hati dan ginjal terhadap
bobot badan mencit tiap kelompok perlakuan pada 14 hari
pengamatan.
Kelompok
Perlakuan
Berat Badan
Awal Mencit
(gram)
Berat Badan
Akhir Mencit
(gram)
Berat Basah Hati
terhadap bobot
tubuh (gram)
Berat Basah
Ginjal
terhadap bobot
tubuh (gram)
Kontrol
normal
25,06
24,46
25,31
26,22
25,14
24,62
26,26
25,72
26,14
27,51
26,38
26,08
5,88
5,90
5,87
5,73
5,78
5,76
1,54
1,56
1,51
1,67
1,56
1,44
Rata-rata ± SD
(gram)
25,13 ± 0,62 26,35 ± 0,61 5,82 ± 0,07
1,55 ± 0,07
Dosis I
25,44
25,36
25,12
24,08
24,13
24,88
26,61
26,56
26,14
22,05
23,00
22,98
24,16
23,98
23,88
24,61
25,11
24,34
6,98
7,02
6,89
7,24
7,33
7,08
6,96
7,14
7,02
2,05
1,87
1,96
2,21
1,68
1,73
2,16
2,00
1,88
Rata-rata ± SD
(gram)
25,37 ± 0,94 23,79 ± 0,95 7,07 ± 0,14
1,95 ± 0,18
Dosis II
26,00
26,18
26,26
25,88
25,69
25,34
24,48
24,93
24,16
26,01
26,21
26,30
25,91
25,70
25,58
24,60
25,00
24,20
6,16
6,22
6,06
5,09
5,78
5,92
6,36
6,44
6,68
1,66
1,72
1,78
1,81
1,68
1,72
1,69
1,51
1,77
Rata-rata ± SD
(gram)
25,43 ± 0,76 25,50 ± 0,74 6,08 ± 0,46
1,70 ± 0,08
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
76
Tabel 4.11. Hasil pengukuran rata-rata diameter vena sentralis hati, derajat
kerusakan hati, diameter glomerulus ginjal, dan rata-rata jarak ruang
antara glomerulus dan kapsula bowman pada 14 hari pengamatan.
Kelompok
Rata-rata
Diameter Vena
Sentralis Hati
(µm)
Derajat
Kerusakan Hati
Rata-rata
Glomerulus Ginjal
(µm)
Rata-rata Jarak
Ruang antara
Glomerulus dan
Kapsula Bowman
(µm)
Kontrol normal
28,20
28,16
27,98
28,62
28,27
28,39
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
ringan
32,88
33,06
33,12
31,88
32,47
32,68
1,47
1,32
1,61
1,57
1,43
1,24
Rata-rata ± SD
(µm)
28,27 ± 0,22 - 32,68 ± 0,46
1,44 ± 0,14
Dosis I
33,21
33,06
33,14
33,26
32,98
33,16
32,87
32,96
33,77
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
30,01
29,98
30,11
28,98
30,06
30,12
30,11
29,16
29,00
3,01
3,00
2,98
3,16
3,22
3,12
3,08
3,01
3,11
Rata-rata ± SD
(gram)
33,16 ± 0,26
- 29,72 ± 0,51
3,07 ± 0,08
Dosis II
30,21
30,14
30,36
31,31
30,68
31,97
32,88
30,01
30,00
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
berat
30,44
31,22
31,31
30,96
30,67
31,24
30,00
30,04
30,12
2,66
2,48
2,36
2,35
2,31
2,44
2,51
2,48
2,63
Rata-rata ± SD
(gram)
30,84 ± 1,01 - 30,67 ± 0,54
2,46 ± 0,12
Keterangan: Kontrol normal: akuades; Dosis I: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 840 mg/kg
bb; Dosis II: tembaga (II) sulfat pentahidrat dosis 2150 mg/kg bb.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
77
Tabel 4.12. Hasil akurasi dan presisi nilai LD50 tembaga (II) sulfat pentahidrat
menggunakan metode OECD 425 “Up-and-Down Procedure”
Tanggal LD50
literatur
(mencit)
1 2
(duplo)
3
(triplo)
18/03/12 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb
27/03/12 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb
04/04/12 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb
14/04/12 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb
23/04/12 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb 1344 mg/kg bb
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
LAMPIRAN
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
78
Lampiran 1. Kriteria penghentian uji toksisitas akut oral OECD 425
a. Tiga hewan hidup pada batas atas pengujian (5000 mg/kg);
[Sumber: OECD, 2001a, telah diolah kembali]
Stop setelah hewan #6 karena 3 hewan hidup pada batas 5000 mg/kg (#4-#6)
Abaikan semua kotak perhitungan. Tidak ada pengulangan dalam kolom yang dituju
Perhitungan Maximum Likelihood tidak dapat dilakukan. LD50 lebih dari 5000 mg/kg
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
79
b. Lima pengulangan muncul pada 6 hewan yang diujikan. Dimulai dari dosis
terendah saat ditemukan hewan uji yang hidup, setelah itu dilakukan uji pada
konsentrasi diatas dosis terendah tersebut dan uji pada kedua konsentrasi ini
dilakukan sebanyak 2x (vice versa);
[Sumber: OECD, 2001a, telah diolah kembali]
Stop setelah hewan #7 karena 5 pengulangan muncul dalam 6 hewan yang diuji (#2-#7)
Perhitungan otomatis tidak relevan dalam kasus ini
Estimasi akhir muncul dari Kalkulasi Maximum Likelihood
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
80
c. Penghentian dihentikan jika ditemukan 3x kematian pada 4 konsentrasi yang
sama.
[Sumber: OECD, 2001a, telah diolah kembali]
Stop ketika kriteria LR tercapai, pada hewan uji #9. Cek kriteria LR dimulai pada hean #6
Estimasi akhir muncul dari Kalkulasi Maximum Likelihood
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
81
Lampiran 2. Tabel konversi perhitungan dosis (Laurence & Bacharach, 1964)
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
82
Lampiran 3. Dosis konversi tembaga (II) sulfat pentahidrat
Menurut Material Saftey Data Sheet Tembaga (II) Sulfat Pentahidrat,
diketahui LD50 akut oral adalah 960 mg/kg bb (tikus). Adapun konversi dosis
pada tikus dengan berat 200 g ke mencit 20 g adalah 0,14 (Laurence & Bacharach,
1964).
Perhitungan dosis :
LD50 untuk tikus (200 g) = 960 mg/kg bb x 200 𝑔
1000 𝑔 = 192 mg/200 g
Konversi dosis tikus (200 g) ke mencit (20 g) = 192 mg/200 g x 0,14 = 26,88
mg/20 g atau 1344 mg/kg bb mencit.
Faktor pengalian antar dosis yang ditetapkan oleh OECD 425 adalah 3,2.
Sehinnga jika nilai LD50 sudah diketahui, maka untuk menghitung dosis pertama
dan dosis kedua, cukup mengalikan dan membagi dengan 1,6 (faktor pengalian
3,2 dibagi 2 = 1,6).
Dosis awal yang diberikan adalah setengah dosis (1,6 kali lebih rendah
daripada nilai LD50) yang tertera pada literatur (Material Saftey Data Sheet) yaitu
840 mg/kg bb mencit atau 16,8 mg/20 g. Karena volume maksimal yang dapat
diberikan pada mencit secara oral adalah 1,0 ml, maka konsentrasi tembaga (II)
sulfat yang diberikan adalah 12% (120 mg/ml).
Volume yang diberikan = 16.8 𝑚𝑔
120 𝑚𝑔 /𝑚𝑙 = 0,14 ml (untuk 20 gram mencit)
Dosis kedua yang diberikan adalah setengah dosis (1,6 kali lebih tinggi
daripada nilai LD50) yang tertera pada literatur (Material Saftey Data Sheet) yaitu
2150 mg/kg bb mencit atau 43 mg/20 g. Karena volume maksimal yang dapat
diberikan pada mencit secara oral adalah 1,0 ml, maka konsentrasi tembaga (II)
sulfat yang diberikan adalah 12% (120 mg/ml).
Volume yang diberikan = 43 𝑚𝑔
120 𝑚𝑔 /𝑚𝑙 = 0,36 ml (untuk 20 gram mencit)
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
83
Lampiran 4. Pembuatan larutan tembaga (II) sulfat pentahidrat
Serbuk standar tembaga (II) sulfat pentahidrat ditimbang sebanyak 12,0 g
secara saksama kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 ml dan
dilarutkan dengan akuades hingga larut lalu dicukupkan volumenya hingga batas.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
84
Lampiran 5. Daftar pemeriksaan fisik dan pengamatan hewan dalam uji
toksisitas akut metode OECD 425 (OECD, 2001a)
1. Perubahan Kulit dan Bulu
2. Mata dan Membran mukosa
3. Aktivitas motorik
Aktivitas motorik menurun
Aktivitas motorik meningkat
4. Reaksi yang aneh
Berkeliling tanpa arah
Menyeruduk
Gerakan menyodok hidung
Gerakan berputar- putar
5. Ekor abnormal
Ekor kaku
Ekor lemas
6. Konvulsi
7. Diare
7. Lethargi
8. Respon somatik
Mencakar
Menggeliat
9. Kelemahan
Lesu
10. Hilang kesadaran
11. Tremor
12. Pernapasan
Laju pernafasan naik
Laju pernapasan turun
Kedalaman pernapasan naik
Kedalaman pernafasan turun
Pernapasan tidak teratur
13. Tidak berefek
14. Kematian
Keterangan:
Pengamatan pertama dilakukan secara individual sedikitnya 30 menit
hingga 3 jam setelah pemberian. Kemudian pengamatan dilakukan berulang pada
24 jam kemudian sampai 7 hari kecuali jika hewannya mati maka pengamatan
dihentikan.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
85
Lampiran 6. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan I
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
86
Lampiran 7. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan II
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
87
Lampiran 8. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan III
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
88
Lampiran 9. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan IV
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
89
Lampiran 10. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 7 hari ulangan V
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
90
Lampiran 11. Hasil pengujian toksisitas akut oral berdasarkan software
AOT425StatPgm pada pengamatan 14 hari
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
91
Lampiran 12. Log book suhu dan kelembapan ruangan ketika uji toksisitas akut
metode OECD 425
Tanggal Suhu (°C) Kelembapan
ruangan (%)
10/03/2012
11/03/2012
12/03/2012
13/03/2012
14/03/2012
15/03/2012
16/03/2012
17/03/2012
18/03/2012
19/03/2012
20/03/2012
21/03/2012
22/03/2012
23/03/2012
24/03/2012
25/03/2012
26/03/2012
27/03/2012
28/03/2012
29/03/2012
30/03/2012
31/03/2012
01/04/2012
02/04/2012
03/04/2012
04/04/2012
05/04/2012
06/04/2012
07/04/2012
08/04/2012
09/04/2012
10/04/2012
11/04/2012
12/04/2012
13/04/2012
14/04/2012
15/04/2012
16/04/2012
17/04/2012
18/04/2012
19/04/2012
20/04/2012
21/04/2012
22/04/2012
23/04/2012
24/04/2012
25/04/2012
27
27
28
27
27
27
27
27
26
27
27
27
27
27
26
26
27
27
27
27
27
27
28
28
27
27
27
27
27
27
27
27
27
26
27
27
27
26
27
27
27
27
27
27
26
26
27
63
64
62
64
65
63
63
63
63
70
63
61
63
64
64
63
64
63
64
64
63
61
63
62
65
63
63
63
64
63
63
66
64
63
64
64
64
63
63
64
64
63
63
62
63
62
63
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
92
Lampiran 13. Surat Izin melakukan penelitian di laboratorium toksikologi
Pusarpedal-KLH
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
93
Lampiran 14. Surat izin melakukan penelitian di laboratorium patologi
BBPMSOH
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
94
Lampiran 15. Sertifikat analisis tembaga (II) sulfat pentahidrat dari Wako Pure
Chemical Industries,Ltd.
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
95
Lampiran 16. Sertifikat hewan uji
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012
96
Lampiran 17. Cara pengukuran diameter vena sentralis dan Glomerulus
Misalkan kedua gambar diatas adalah dua bentuk (elips dan lingkaran)
penampang vena sentralis dan glomerulus yang terlihat pada mikroproyektor.
Diameter vena sentralis dan glomerulus diukur dengan cara menjumlahkan
panjang garis a (vertikal) dan panjang garis b (horizontal), kemudian jumlah
tersebut dibagi 2 (Widiastuti, 1998).
𝑑 =𝑎 + 𝑏
2
b a
a
b
Validasi uji..., Sri Rahayu Widya Ningrum, FMIPA UI, 2012