rumah bantuan bukan hanya angka

46
Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana Aceh Katahati Institute Januari, 2007 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh Rumah Bantuan Bukan Angka hanya

Upload: katahati-institute

Post on 08-Apr-2016

218 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Rumah bantuan bukan hanya angka

Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana Aceh

Katahati InstituteJanuari, 2007

Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh

Rumah BantuanBukan Angkahanya

Page 2: Rumah bantuan bukan hanya angka
Page 3: Rumah bantuan bukan hanya angka

Rumah Bantuan, Bukan (hanya) AngkaHousing Assistance, Not (just) Numbers

Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana AcehLearning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh

Page 4: Rumah bantuan bukan hanya angka

Katahati Institute berdiri pada tanggal 22Juni 2001 dengan fokus aktifitas padapenguatan partisipasi publik,`hak asasimanusia dan perwujudan tata pemerintahanyang baik (good governance).

Katahati Institute bersifat nirlaba, non-partisan, serta memiliki komitmen untukikut serta sebagai`kelompok masyarakatyang ingin mewujudkan tatanan kehidupanmasyarakat madani yang berkualitas.

Secara khusus Katahati Institute bekerjadalam isu Demokratisasi dan TataPemerintah.

Katahati Institute was foundin June 22, 2001 with focus to

strengthening public participation,human rights, and good

governance.

Katahati Institute is a nonprofit andnon-parties organization, and hasstrong commitment to be involved

as community group to realize agood quality of civil society.

Katahati Institute is specificallyworks in Democratization and

Governance issues.

Katahati Institute

Page 5: Rumah bantuan bukan hanya angka

Rumah Bantuan,Bukan (hanya) Angka

Housing Assistance,Not (just) Numbers

Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana AcehLearning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh

Kertas AnalisisAnalysis Paper

Katahati InstituteJanuari 2007

Page 6: Rumah bantuan bukan hanya angka
Page 7: Rumah bantuan bukan hanya angka

Daftar Isi | Contents

Rekomendasi

Ringkasan Eksekutif

Pengantar

Metodelogi

Komitmen sebagai Landasan & Motivasi Kerja Donor

Pentingnya suatu mekanisme

Membangun rumah juga ada kendala

Bagaimana Budaya kita Paska Bencana

Keinginan & Aspirasi

8

10

12

18

20

23

27

27

29

30

31

32

34

36

40

Material yang tersendat-sendat |

Ketersediaan Lahan

Koordinasi antar Donor

Piliih rumah dan pilih donor |

Janji dan Komitmen Implementor |

Masyarakat tolak rumah tak bermutu

|

|

|

Perilaku; Adakah yang berubah |

Konflik Sosial dalam Proses Pembangunan Rumah |

Donor |

Masyarakat |

LSM Lokal |

36

38

40

41

43

Recommendation

Executive Summary

Introduction

Methodology

Commitment as Donor's Basic and Motivation to Work

The Importance of Mechanism

Building Houses are Troublesome Too

Our Culture After the Disaster

Expectation tension and Aspiration

Retarded Material

Land Availability

Donors Coordination

Choosing Houses and Donors

Implementer's Pledges andCommitments

Community's Refusal to LowQuality Houses

Behavior; Any changes?

Social Conflictin House Building Process

Donors

Community

Local NGO

07Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Page 8: Rumah bantuan bukan hanya angka

Untuk BRR NAD-Nias

Membangun koordinasi lebih baik dengan para donorimplementor sehubungan dengan perencanaan tataruang daerah, plotting lokasi dan alokasi jumlahbantuan, mekanisme pelaksanaan pembangunan,dan limit waktu penyelesaian pekerjaan.

Mencarikan solusi mengenai keminiman material danjuga transportasi yang dapat digunakan oleh donoruntuk mempercapat realisasi bantuan perumahan.

Lebih serius memperhatikan masalah kelebihan dankekurangan jumlah rumah di setiap daerah, gunamemperkecil terjadinya ketidakseimbangan bantuandengan jumlah beneficaries.

Turut membantu mencari penyelesaian terhadapberbagai pergeseran nilai, budaya dan perilaku yangterjadi di tengah-tengah masyarakat dalampelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Menegakkan supremasi hukum terhadap berbagaikasus dan pelanggaran yang dilakukan oleh semuapihak yang terlibat sebagai pelaku rehabilitasi danrekonstruksi.

To BRR NAD-Nias

To build a better coordination withimplementator donors regarding the districtarchitecture, location plotting and assistanceallocation, development implementationmechanism, and time limitation for theimplementation.

To find solution on limited material availableand its transportation for the donors to be ableto fasten the housing assistance project.

To be more serious in handling the excess andshortages numbers of houses in every district,to minimize the inbalance of total assistanceand beneficiaries.

To be involve in solving the matter of changesof value, culture, and behaviour in thecommunity during the rehabilitation andreconstruction implementation activities.

To strengthen law supremacy in many casesand infringements by all parties related to therehabilitation and reconstructionimplementation

Untuk Pemerintah Daerah

Membantu para donor agar lebih memperhatikanprinsip-prinsip tata ruang guna mendukung programpembangunan yang berbasis manajemen lingkungandan penanganan bencana.

Membantu para donor sehubungan ketiadaanlahan/lokasi pembangunan rumah gunamempercepat relokasi masyarakat yang hingga hariini masih menempati hunian sementara.

Turut berperanserta untuk mengawasi pembangunanyang tidak merugikan masyarakat dan sumberdayaalam yang ada di Aceh, seperti konservasi sungai,laut, hutan, dan air.

Megendalikan dan mengawasi apratur pemerintahandi tingkat desa, agar tidak menyalahgunakankewenangan untuk mencari keuntungan pribadi danmerugikan masyarakat di tengah-tengah prosesrehab-rekon.

To Government

To help donors to be aware of city interiordesign principals in order to support theprogram development which based onenvironmental and disaster handling.To be support donors regarding the lackland/location for the project to fasten thecommunity relocation which until today is still inthe temporary house.

To participate in the development supervision,for not making any damages to community andnatural resources in Aceh, i.e. river, ocean,forest, and water conservation.

To control and supervise the governmentaparature in village level, to avoid anyinfringement that lead to personal benefit anddamage community during the reconstructionprocess.

RekomendasiRecommendation

08 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 9: Rumah bantuan bukan hanya angka

Untuk Donor & NGO Implementor

Agar tetap menjaga komitmen untuk menuntaskanpembangunan guna mengurangi keresahanmasyarakat terhadap rumah-rumah yangditelantarkan donor begitu saja.

Mengutamakan informasi dan akuntabilitas proyeksebagai bagian dari sistem transparansi untukmeminimalisir praktek korupsi.

Agar menggunakan mekanisme pembangunanpartisipatif agar masyarakat lebih percaya dan ikutbertanggungjawab terhadap jalannya pembangunan.

Tetap mejalin koordinasi dengan pihak terkait, sepertipemerintah daerah/desa, masyarakat, danpengusaha lokal guna terwujudnya pembangunanyang terpadu dan ramah lingkungan.

Turut berusaha mencarikan jalan keluar gunamembantu masyarakat yang tidak memiliki tanahuntuk dapat memiliki rumah

Agar ikut mengantisipasi terjadinya pergeseran nilai,perilaku dan budaya masyarakat setempat.

For Donors and ImplementingNGOs

To keep the commintment to finish thedevelopment in order to reduce community'scomplaints on unfinished donor's housingproject.

To prioritize project information andaccountability as part of transparation, in orderto minimize corruption.

To use community participation mechanism inorder to have community's trust and to havetheir accountibility in the development process

To build coordination with related stakeholders;i.e. region/village government, community, andlocal bussinessman, in order to have aharmony and environment friendlydevelopment.

To find solution for comminity who do notposses land to build a house.

To anticipate any changes in value, behaviourand culture in local community.

Untuk Masyarakat

Agar tetap mengedepankan perilaku jujur dalamsegala hal, guna menghambat praktek penipuan danmanipulasi data yang berdampak padaketidakseimbangan antara kebutuhan rumah di satudaerah dan dearah lain.

Untuk dapat menerima dan bekerjasama untukmembantu donor mencari jalan keluar terhadapberbagai permasalahan yang terjadi, sehinggamempercepat proses relokasi masyarakat dari huniansementara.

Berpartisipasi aktif untuk mengawasi pekerjaan donorguna mengantisipasi praktek korupsi sekaligusmenyelesaikan rumah dengan mutu dan waktu yangsecepat mungkin.

For the Community

To prioritze honest in every aspects, to preventany kind of data deception and manipulationwhich leads to inbalance of housing needs inone area and another.

To accept and cooperate with donors in findingsolution of many problems encounters, in orderto fasten the relocation proces from temporaryhouses.

To participate in supervision of donor'sperformance, in order to avoid any corruptionand at the same time to finish the house ingood quality as fast as possible.

09Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Rekomendasi | Recommendation

Page 10: Rumah bantuan bukan hanya angka

Analisa ini diangkat dari permasalahan yang berhasildiidentifikasi oleh kegiatan advokasi dan fasilitasilapangan yang dilakukan oleh Focal Point KatahatiInstitute, serta analisa media yang dilakukansehubungan dengan pemberitaan media tentangproses rehabilitasi dan rekonstruksi yangmenghasilkan bahwa bantuan rumah adalahpermasalahan utama. Untuk mempelajari hal tersebutdigunakan model penelitian lapangan melalui teknikwawancara oleh peneliti Katahati Institute terhadappihak-pihak terkait di 10 (sepuluh) wilayah kerja FocalPoint dalam program Clearing House AdvokasiKebijakan (Proses Rehabilitasi dan RekonstruksiAceh).

Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwapersoalan pembangunan rumah bukan sekedarmemenuhi kebutuhan angka-angka. Berbagai faktor

This analysis is based on the problems whichidentified from field avocations and facilitationsby Focal Point Katahati Institute, and mediaanalysis regarding rehabilitation andreconstruction project which concluded thathousing project is the main problem. We usefield study methodology by interview withrelated stakeholders by Katahati Instituteresearchers in 10 (ten) Focal Point workingarea, under Clearing House Advocacy Policyprogram (Aceh Rehabilitation andReconstruction).

Based on the study, the main problem ofhousing project is not only to fulfill thenumbers. Some factors that contribute in theslow process that took two years are; a)material supply retard, b) lack of land, c) lack

Rumah Bantuan, Bukan (hanya) AngkaHousing Assistance, Not (just) Numbers

Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana AcehLearning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh

Katahati InstituteJanuari 2007

Ringkasan EksekutifExecutive Summary

10 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 11: Rumah bantuan bukan hanya angka

yang menyebabkan lambatnya realisasi bantuanrumah hingga merangkak pada waktu 2 (dua) tahunadalah; a) Tersendatnya pasokan material, b)Ketiadaan tanah atau lahan, c) Tidak ada koordinasiantar donor, d) Masyarakat mulai memilih donor danrumah bantuan, e) Kurangnya Komitmen NGOimplementor dilapangan, f) Penolakan masyarakatterhadap kualitas rumah yang dibawah standar.

Selain itu penelitian ini menyajikan analisa terhadappergeseran nilai dan budaya masyarakat yangmenjadi faktor penghambat kesuksesanpembangunan itu sendiri, seperti; a) Perubahanperilaku masyarakat, korban dan donor pascatsunami, b) Terjadinya konflik sosial dalam prosespembangunan rumah, c) Munculnya pola hidupkonsumtif masyarakat Aceh pasca tsunami, d) Mulaimerapuhnya aspek sosial budaya.

Dengan demikian mewujudkan bantuan rumah adalahsuatu program yang komprehensif, dan bukansekedar mengejar perimbangan angka antara jumlahrumah dan kebutuhan pengungsi. Berbagai persoalanberada di belakang itu, sehingga terlihat ada donorbermasalah di mata masyarakat, bahkan ada jugadonor yang baik karena berhasil membangun rumahdengan predikat memuaskan. Persoalan budaya jugasangat penting ditengarai, mengingat beberapakeadaan telah membuktikan bahwa telah terjadipergeseran nilai dan juga perilaku khususnya dalampranata sosial masyarakat Aceh semenjakdigulirkannya proyek rehabilitasi dan rekonstruksi ini,dan ini menjadi tanggungjawab kita bersama untukmengatasinya.

of coordination between donors, d)community's preference for donors andhousing type, e) lack of NGO implementer'scommitment in the field, f) community'sresentment toward housing quality whichbelow their standard.

The research also provide analysis onchanges of value and culture in the communitywhich brings obstacles for the developmentitself, i.e.; a) change of behaviors in thecommunity, donors, and tsunami victims, b)social conflict in the housing developmentprocess, c) consumptive lifestyle after tsunamidisaster, d) Decreasing of socio-cultureaspects in the community.

Based on that, housing project is acomprehensive program and it is not only to fillnumbers between houses needed andnumbers of IDP's. There are actually manyproblems behind that; in result that somedonors still have problems according tocommunity's perspective, although there aresome donors which succeeded in their projectwith good approval from the community.Cultural problems are also important to beaware of, considering there are provenchanges of value and behavior in Aceh afterthe launching of rehabilitation andreconstruction project. It is our responsibility tohandle this matter.

11Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Ringkasan Eksekutif | Executive Summary

Page 12: Rumah bantuan bukan hanya angka

Gempa bumi yang berkekuatan 9,0 skala richter yangterjadi pada 26 Desember 2004 lalu, diiringi olehgelombang tsunami menghancurkan lebih dari180.000 unit rumah masyarakat di Aceh, yangmengakibatkan sekitar 500.000 jiwa masyarakatkehilangan tempat tinggal mereka. Untuk mengatasikrisis tempat tinggal tersebut (emergency),masyarakat korban tsunami direlokasi ke tenda-tendadarurat, dan kemudian berangsur-angsur dialihkan kebarak dan rumah bongkar pasang yang disebutdengan Hunian Sementara (Huntara).

Berbagai pihak berkomitmen untuk merelokasimasyarakat dengan membuatkan kembali rumah-rumah bagi mereka (rehabilitasi dan rekonstruksi),akan tetapi langkah ini terlihat sangat lambat,sehingga 2 tahun setelah tsunami masih banyakmasyarakat yang tinggal di hunian sementara. Hal initerbukti, menurut catatan pihak Badan Rekonstruksidan Rehabilitasi (BRR) NAD–Nias hingga Juni 2006sebanyak 41.734 unit rumah telah dibangun dari120.000 rumah yang dibutuhkan.

Sektor perumahan sangat penting artinya bagimasyarakat korban tsunami disamping berbagaisektor penting lainnya seperti bidang kesehatan,matapencaharian, makanan, dan langkah-langkahprevensi lainnya. Dengan tersedianya perumahanyang memadai, diharapkan masyarakat dapat

Earth quake with 9.0 Richter scale onDecember 26th, 2004, followed by hugetsunami which destroyed more than 180,000houses and caused around 500,000 people lefthomeless. In respond of the emergency crisis,tsunami victims were relocated to emergencytents, and slowly moved to baracks and knock-down house or temporary houses.

Many parties were committed to relocate thetsunami IDPs by building houses (rehabilitationand reconstruction), but this seems to go veryslow, that until 2 years after tsunami still thereare many IDPs who live in the temporaryhouses. According to Reconstruction andRehabilitation Agency (BRR) NAD-Nias record,up to June 2006 there are only 41,743 housesout of 120,000 expected.

Housing is a very crucial factor for thecommunity aside from health, livelihood, food,and other prevention measures. It is expectedthat by living in a decent house, they would beable to keep their health and do their job, andbe able to find their place in the social activitymore convincingly.

This is also stated in form of vision andoperational mission of Housing and SettlementDeputy BRR NAD-Nias, which is “To rebuild a

PengantarIntroduction

12 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 13: Rumah bantuan bukan hanya angka

menjaga kesehatan dan menggeluti pekerjaandengan baik, serta menatap berbagai pranata sosialdengan mantap.

Hal ini juga dituangkan dalam bentuk visi dan misioperasional Deputi Perumahan dan PermukimanBRR NAD-Nias, yaitu “Untuk membangun kembalikawasan permukiman yang lebih baik di Aceh danNias secara tepat dan terpadu dengan berbasis padakemufakatan dengan masyarakat korban bencana”,maka dilakukan;

1. Merumahkan kembali para korban yangkehilangan tempat tinggal secara cepat;

2. Membangun dan mempersiapkan pertumbuhankawasan permukiman yang lebih baik dan aman;

3. Memperkuat peranan masyarakat dalampengambilan keputusan dan pengelolaan kawasanpermukimannya;

4. Mengoptimalkan kinerja investasi;

5. Mendukung pertumbuhan perekonomian dansumberdaya lokal.

Sungguhpun demikian, hingga Desember 2006 masihbanyak masyarakat yang mengeluhkan bahwamereka belum punya rumah. Hal ini juga diterimadengan jelas dari catatan informasi yang diperolehdari rangkaian perjalanan kerja program ClearingHouse Advokasi Kebijakan (Proses Rehabilitasi danRekonstruksi Aceh) oleh Katahati Institute, yang telahmenempatkan 10 (sepuluh) orang Focal Point di 10(sepuluh) wilayah barak sejak September 2006 lalu.Informasi utama yang diperoleh bahwa“kebutuhan yang sangat mendesak bagimasyarakat korban tsunami saat iniadalah rumah”.

Demikian juga dari hasil pemantauan(Analisa Media), diperoleh informasibahwa sektor perumahan menempatirangking pemberitaan tertinggi selamabeberapa waktu ini, bahkan memilikipotensi konflik yang cukup tinggi,sebagaimana yang telah terakumulasidengan demo yang berakhir secaraanarkis di kantor BRR NAD-Niasbeberapa bulan lalu.

better environment in Aceh and Nias in preciseand harmonic way based on tsunami victimsagreement”, with following actions;

1. to return the victims to their houses assoon as possible;

2. to build and prepare the new developmentof a better and safer housing area;

3. to strengthen community participatory indecision making and managing the houseenvironment;

4. to optimize infestations performance;

5. to support the growth of local economy andresources.

However, complaints still heard in December2006 from the victims about not getting houseassistance. Some of these were recordedduring field visit under Clearing HouseAdvocacy Policy Program (Aceh Rehabilitationand Reconstruction) by Katahati Institute,which placed its 10 members to 10 differentbarracks since September 2006. The maininformation was “The most urgent need fromtsunami victims is housing”.

Also from monitoring result (Media Analysis),report on housing has been the highest issueso far. In fact it has high conflict potential,which accumulated in demonstration endedwith violance in BRR NAD-Nias office a fewmonths ago.

13Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Pengantar | Introduction

Page 14: Rumah bantuan bukan hanya angka

“Until now we still don't get any housingassistance like the ones that other area receive.Previously we moved to Camat office, andthere were some people who moved to theirrelatives, and some went back to their housesand fix their wood (wooden wall). Keuchik(Head of Village) ever came here and askedwhere do we want our house to build, I saidhere, but up to now none came to build, somesay the developer had ran away.”

[Woman, community of barrack inBlang Geulumpang

Idi Rayeuk village, November 9th, 2006]

“City government told me that we would onlystay in the barrack for 2 years, and after that wewill receive a house, so up to now there is noconclusion whether we will move to a house,well… of course this is because the lateness ofthe government!”

[Man, community of barrack in Mon Geudong(originally from Pusong Baro village),Lhokseumawe, November 11th, 2006]

Pengalaman masyarakat yang belum dapat rumah bantuanCommunity's experiences who still do not receive house assistance

“Hingga saat ini kami tidak memiliki rumah bantuanseperti yang dibangun untuk masyarakat di daerahlain. Dulu kami mengungsi ke kantor Camat, terusada juga masyarakat yang mengungsi ke tempatsaudara, dan ada juga yang kembali ke rumahnyadengan memperbaiki papannya yang sudah jatuh.Ada datang Pak Keuchik ke sini nanya dimana maudibuatkan rumah, kata saya di sini, tapi sampaisekarang tidak datang-datang yang mau bangun, adayang bilang kalau pengurusnya udah lari”.

[Perempuan, Warga BarakDesa Blang Geulumpang

Idi Rayeuk, 9 November 2006]

“Kata pemerintah kota, kami cuma 2 tahun tinggal dibarak ini, dan setelah itu kami akan mendapatkanrumah, jadi sampai saat ini belum ada kesimpulanuntuk pindah ke rumah, ya… ini karenaketerlambatan pemerintah setempat lah…!”.

[Laki-Laki, Warga Barak Mon Geudong(asal Desa Pusong Baro), Lhokseumawe,

11 November 2006]

Page 15: Rumah bantuan bukan hanya angka

Permasalahan yang sering mewarnai pemenuhankebutuhan masyarakat terhadap perumahan inidiantaranya adalah;

1. Kekurangan bahan bangunan.

2. Ketiadaan tanah/lahan yang layak untuk dibangun.

3. Sengketa antar donor yang berhak membangun.

4. Sengketa antara donor dan masyarakat mengenaimutu bangunan yang diperuntukkan kepadamereka, dan

5. Persoalan donor-donor yang terkesan berlepastangan atas bangunan-bangunan rumah yangterbengkalai.

Permasalahan yang paling tinggi pada proses realisasibantuan perumahan ini adalah lantaran mutu bangunanyang dihandalkan donor dinilai masyarakat sangatrendah, sehingga beberapa kasus memperlihatkanbahwa masyarakat enggan menempati rumah tersebut(menolak), dan ada juga yang mencoba menempatirumah tersebut karena tidak ada rumah, walaupunpada intinya mereka sangat tidak puas.

Demikian juga dengan para donor yang membiarkansaja bangunan rumah terlantar begitu saja tanpasegera menyelesaikannya.

Masyarakat mengeluhkan hal ini karena sudah duatahun mereka masih menunggu realisasi bantuan yangtidak kunjung selesai. Disamping itu ada juga diantaradonor yang bermasalah dengan upah tukang, sehinggatukangpun berhenti bekerja, bahkan ada yang berganti-ganti tukang beberapa kali hanya untuk satu rumah.

Perlu dipahami juga bahwa informasi data di mediaterkadang terkesan sangat subjektif, bahkan hanyamemihak pada opini korban saja,sehingga berbagai keluhan yangdirasakan oleh donor tidak diberitakandengan baik. Hal ini penting mengingatbahwa pembangunan rumah bukanhanya masalah masyarakat, tapi jugapermasalahan donor yang harus bekerjadi masa dan medan yang tingkatkesulitannya tinggi.

Problems that mainly happen in fulfilling thecommunity needs are:

1. lack of material

2. lack availability of land to build a house

3. dispute over which donors should build inwhere

4. dispute between donors and communityover house quality, and

5. donors which seen to be irresponsible withtheir neglected houses

The biggest problem in housing projectimplementation is the low quality of donor'shouses, which caused community to bereluctant (refuse) to stay in the house, some stayin the house because they do not have houses,although bottom-line they are not satisfy with thehouse.

Also, some donors just neglect their houseswithout finishing it. Community complaint aboutthis because they have waited for two years tohave their houses finished. Some donors alsohave problems with labor, which caused thelabors quit, and even in some cases it tookseveral changes of labor only to build one house.

It is important to keep in mind that datainformation in media sometimes can be verysubjective, some even take side on the victimsonly that donor's complains are sometimes kindof unheard. This is important consideringhousing project is not only community's problem,but also donors in which they have to work inhigh level of difficulties in time and situation.

Sengketa Antar Donor

Sengketa Mutu Bangunan

Donor Terkesan Berlepas Tangan

Keterlambatan Koordinasi

Kekurangan Logistik

Sengketa/Ketiadaan Lahan

15Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Pengantar | Introduction

Page 16: Rumah bantuan bukan hanya angka

Penelitian ini mencoba mengangkat beberapa fenomenadasar yang menyebabkan keterlambatan realisasi bantuanrumah bagi masyarakat korban tsunami. Dan seobjektifmungkin diusahakan agar berbagai penyebab yang melatariproblema masyarakat yang hingga saat ini belum memilikirumah, dapat dijadikan acuan agar semua pihak terus berfikirke depan guna mempercepat proses pembangunan tersebut.

Untuk itu perlu disusun beberapa hipotesis sehubungandengan tema penelitian tentang fenomena keterlambatanbantuan rumah ini;

Komitmen dan realisasi pembangunan oleh donor;

• Bagaimana komitmen dasar para donor dapatberpengaruh pada masing-masing program pembangunanrumah bantuan yang mereka laksanakan

• Apakah komitmen tersebut berpengaruh pada jumlah dankualitas rumah bantuan yang sedang atau telah merekaselesaikan.

• Apakah strategi yang dilakukan itu sudah baik, atau perlupenyempurnaan ke masa yang akan datang.

Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan bantuan rumah;

• Apa saja kendala yang dihadapi para donor untukmewujudkan rumah bagi masyarakat korban tsunami.

• Bagaimana kendala itu mereka hadapi hingga masyarakattidak kecewa dengan hal itu.

Pengaruh bantuan terhadap kondisi sosial dan budayamasyarakat saat ini;

• Apa saja faktor-faktor sosial yang dapat membantupercepatan pembangunan rumah oleh donor.

• Apa saja faktor-faktor sosial yang dapat menghalangiproses realisasi bantuan rumah tersebut.

• Bagaimana proses perubahan sosial terjadi pada masapelaksanaan proyek bantuan rumah korban tsunami

Penelitian ini mencoba menemukan berbagai hal yangmenjadi penyebab keterlambatan realisasi bantuan rumahbagi masyarakat korban tsunami, baik pada diri donor sendiri,maupun terhadap berbagai fenomena sosial dan budaya yangberkembang di tengahtengah masyarakat, sehinggapermasalahan yang dilihat dalam hal ini memiliki hubunganketerkaitan satu sama lain.

Penelitian ini memiliki dugaan kuat bahwa hubungan sebab-akibat itu selalu terjadi dimanapun dan kapanpun, termasukpada saat penelitian ini membuat pertanyaan, mengapahingga dua tahun setelah tsunami masyarakat ada yangbelum memiliki rumah bantuan. Sehingga bagian penting daripenelitian ini juga diperuntukkan kepada masyarakat Acehsehubungan dengan beberapa kendala sosial yang selalumeliputi percepatan realisasi dimaksud.

This analysis also raises some basicphenomenal which caused the delay ofhousing assistance for tsunami victims. Thisanalysis is also try to be as objective aspossible to find out the cause of housingproject delays, and furthermore it wouldfasten the process.

Therefore there are hypothesis about thedelay of housing assistance;

Donor's commitment and implementation;

Challenges in housing implementation:

Effect of assistance towards the recentcommunity's social and culture:

This analysis is trying to find out the cause ofhousing project implementation for tsunamivictims delay, both in donors and socio-culture phenomena in the community. Fromhere on we can see that the problem hasmuch connectivity from one to another.

The analysis also has a strong assumptionthat mutual relation always happenwhenever and wherever; including whenthis analysis is questioning why after twoyears of tsunami there are still manycommunity who do not get any housingassistance. Therefore part of this analysis isalso for Acehnese regarding some socialdifficulty which always seems to besurrounding the process.

• How donor's basic commitmentsinfluence the housing project

• Whether the commitment gave influenceon numbers and quality of the houses theyhave or are building.

• Whether the implementation strategy isthe best, or whether it needs anyimprovement in the future

• What are the challenges that donors haveto deal in the implementation process

• How to deal with it so that community willnot be disappointed

• What social factors that can fastendonor's housing project

• What social factors that might obstacle theimplementation process

• How social changes occurred during thehousing project implementation

16 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 17: Rumah bantuan bukan hanya angka
Page 18: Rumah bantuan bukan hanya angka

Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Sifat & Jenis Penelitian

Lokasi Penelitian

Responden & Alasan pemilihannya

Penelitian ini menempatkan data dan informasi darilapangan sebagai data utama, sehingga analisa yangdiberikan lebih didominasi oleh data-data kualitatifdibandingkan dengan data-data yang bersifatkuantitatif. Selanjutnya data kualitatif tersebut dipilihsebagai kasus riil yang terjadi di masyarakatsehubungan dengan keterlambatan realisasi bantuanrumah bagi korban tsunami saat ini. Dengan sendirinyapenelitian ini diarahkan pada model studi kasus (casestudy) pada fenomena lapangan yang dialami olehmasyarakat yang hingga saat ini masih tinggal di huniansementara.

Penelitian ini dilakukan di 10 (sepuluh) wilayah kerjaprogram Clearing House Advokasi Kebijakan (ProsesRehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh) Katahati Institute,yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireun, AcehUtara/ Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Jaya, AcehBarat/ Nagan Raya,Aceh Singkil, dan Simeulue.

Setiap peneliti mewawancarai beberapa respondenpenting sehubungan dengan satu kasus yang sedangdipelajari. Sebagai responden utama adalahmasyarakat korban tsunami yang masih tinggal di hun ian sementara (belum punya rumah), dan kepada mereka ditanyakan berbagai hal dan pengalamanmereka sehubungan dengan perolehan rumahbantuan yang hingga saat ini belum mereka terima.Setelah itu penggalian informasi terkait dilakukandengan para tokoh masyarakat, sehingga diperolehgambaran yang lebih lengkap sehubungan denganpersoalan rumah bagi korban tsunami yang belumterselesaikan.

Dari informasi yang disampaikan masyarakat, dicobauntuk mengidentifikasi salah satu atau beberapadonor yang terkait sebagai pihak pembangunanrumah di lokasi tersebut. Setelah dipastikan keterlibatan mereka, kepada para donorimplementor perumahan tersebut jugadilakukan serangkaian diskusi untuk melihatberbagai alasan sehubungan denganketerlambatan penyelesaian tugasmereka.

Analysis Type and Purpose

Research Location

Respondent and Reasons

The research is using field data and informationas the main data, thus analysis will be dominatedby qualitative data rather than quantitative data.The qualitative data was chosen based on realcases in the community, related to the delay ofhousing realization for tsunami victims.Therefore this research tends to case studymodel which happens in the field, where peopleare still living in their temporary houses.

The research was conducted in 10 ClearingHouse Advocacy Policy Program (AcehRehabilitation and Reconstruction) underKatahati Institute working area; Banda Aceh,A c e h B e s a r, P i d i e , B i r e u e n , A c e hUtara/Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Jaya,Aceh Barat/Nagan Raya, Aceh Singkil, andSimeulue.

Every researcher interviewed some respondentsregarding case they studied. Main respondentsare those who still live in the temporary houses(homeless), and were asked about theirexperiences on how they got their housingassistance which they do not receive yet.Information was also taken from community'sfigure, thus there would be a complete picture ofunfi

MetodelogiMethodology

18

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 19: Rumah bantuan bukan hanya angka

Hasil wawancara tersebut secara umum akandibandingkan dengan keterangan yang diberikan olehLembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, mengingatmereka memiliki tugas sebagai lembaga kontrol sosialterhadap setiap pembangunan yang dilaksanakan,termasuk di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi paskabencana tsunami. Dari LSM lokal didapatkanketerangan tentang berbagai fenomena pembangunanrumah yang terjadi di wilayah kerja mereka, bahkan jugafenomena sosial masyarakat Aceh dalam scopepenerimaan bantuan pada umumnya.

Penelitian juga membutuhkan informasi dari respondenlain, khususnya untuk mempelajari berbagai kondisisosial yang berkembang saat ini tentang masalahperumahan. Untuk itu para peneliti juga melakukanwawancara dengan sosiolog dan budayawan Acehuntuk melihat beberapa faktor sosial yang terkadangdapat menjadi faktor pendukung dan juga penghambatproses pemberian bantuan rumah, bahkan penelitian inijuga ingin menemukan bentuk-bentuk pergeseranbudaya masyarakat Aceh di masa rehab rekon ini. Adabudaya yang bersifat konstruktif sehingga dapatmembantu proses rehab-rekon, dan juga ada budayayang bersifat dekonstruktif yang diyakini sebagaipenyebab terjadinya bias dalam pelaksanaanrehabilitasi dan rekonstruksiAceh saat ini.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakanteknik wawancara. 3 (tiga) orang peneliti utama turun kelapangan dan bekerjasama dengan para Focal PointKatahati Institute yang berada di lapangan, hinggamenemukan suatu kasus dengan baik. Beberapa kasusyang ditemukan di bahas oleh para peneliti denganmewawancarai berbagai pihak yang terkait dengankasus tersebut hingga permasalahannya terjawabdengan tuntas.

Un tuk memudahkan peng i l us t r as i an danpendeskripsian hasil penelitian, maka penulisandilakukan menggunakan analisa induktif, dimanadengan berangkat dari kasuskasus yang terjadi dibeberapa lokasi penelitian, diharapkan dapat dilakukangeneralisasi pada kasus-kasus yang sama yang sedangterjadi di daerah lain.

Alasan pemilihan teknik analisa ini adalah karenapertimbangan banyaknya permasalahan yang terjadisehubungan dengan keterlambatan realisasi bantuanrumah, maka hanya beberapa permasalahan utamasaja yang dipelajari untuk dijadikan sebagai gambaranumum.

Teknik Pengumpulan Data

Analisa Masalah & Penulisan

nished housing project problems.

From the community's information, we tried toidentify one or some related donors as theimplementer. After it confirmed, we arrangeddiscussion with the implementing NGO to find outany reasons behind their delay.

Generally, the result of discussion will becompared with any information to local LembagaSwadaya Masyarkat (LSM), considering theyhave the duty as social control organization onevery development, including post tsunamirehabilitation and reconstruction. From localLSM we get the information of housing projectphenomena in their working area, as well asAcehnese social phenomena in the scope ofbeneficiaries in general.

It also required other information from otherrespondents, especially to study the growingsoc ia l cond i t ion in hous ing pro jec timplementation nowadays. Researchers alsoheld an interview with Aceh sociologist andcultural observer to see some other social factorsthat might support and/or obstacle the housingproject process. In fact, this research also findsmany cultural changes during the rehabilitationand reconstruction project. There are cultureswhich considered to be deconstructive andbelieved to be the source of bias in the process ofrehabilitation and reconstruction inAceh.

Data collecting was done by interview. Threemain researchers went for field visit incooperation with Katahati's Focal Point Institutein the field, until they found interesting case. Anycases found then discussed among theresearchers by interviewing some relatedpersons to the case, until the case solved.

To make it easier on illustration and description ofresearch result, report writing will be usinginductive analysis. This means that it will be startwith some cases in the field, and furthermorebecame more general to similar cases in otherareas.

Reason why this analysis technique was chosenwas because many things contribute in the delayof housing project, so there's only the mainproblem to be studied as the general picture.

Data Collecting Technique

Problem Analysis and Writing

19Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Metodelogi | Methodology

Page 20: Rumah bantuan bukan hanya angka

Komitmen sebagai Landasan Motivasi Kerja DonorCommitment as Donor's Basic and Motivation to Work

Secara umum, setiap donor memiliki komitmen yang baikuntuk mewujudkan pembangunan rumah bagi korbantsunami. Semua komitmen tersebut terkait erat denganmekanisme pembangunan yang mereka lakukan, sertarealisasi yang sudah dicapai hingga dua tahunpelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah bagimasyarakat korban tsunami.

Kedua indikator ini dianggap penting mengingatbagaimanapun komitmen donor dalam menanganimasalah penyediaan perumahan bagi korban tsunami,akan tetapi hingga saat ini masih banyak masyarakatyang tinggal di barak-barak dan rumah hunian sementara.

Terlepas dari berbagai komitmen yang dinyatakan olehdonor, masyarakat menganggap bahwa yang terpentingitu adalah sejauh mana komitmen tersebut telahdiwujudkan dengan baik oleh donor di lapangan. Donorjuga diharapkan tidak sekedar membangun masyarakatsecara fisik, akan tetapi yang terpenting adalahpembangunan masyarakat secara menyeluruh setelahsemuanya hancur paska bencana.

Dari komitmen tersebut, setiap donor juga memiliki janji(pledged) yang telah mereka sesuaikan dengankemampuan finansial mereka sebagai donor, dan hal inimerupakan suatu aturan yang diberlakukan sama olehBRR NAD-Nias kepada donor mana saja yangberkeinginan untuk membantu masyarakat dalam bidangperumahan. Dan dari janji yang telah diajukan pada BRRNAD-Nias hingga September 2006, terlihat bahwasebagian besar donor belum menyelesaikanpembangunan rumah mereka.

In general, every donor has theircommitment to realize the housing projectfor tsunami victims. Those commitmentsare closely related to their developmentmechanism, and what they have done sofar two years after the disaster.

Both indicators are very importantconsidering that however donorscommitted, the fact now is that many stilllive in barracks and temporary houses.

Aside from many commitment that donorsstated, community only put their attentionon how far does the commitment comes torealization. Donors were expected to re-build the community not only physically, butalso to re-build the community generally,after everything was ruined and damagedpost tsunami.

From the commitment, every donor havepledged according to their financial budgetas donors. This was one of the rules madeby BRR NAD-Nias to all and every donorwho wished to deliver their assistance onhousing project. From the pledges to BRRNAD-Nias which submitted up untilSeptember 2006, it was obvious that manydonors still had not finished their job.

20 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 21: Rumah bantuan bukan hanya angka

International Organization for Migration(IOM) sebagai salah satu donor yang

dinilai masyarakat paling cepatmenangani permasalahan rumah bagi

masyarakat korban tsunami meletakkankebutuhan rumah ini sebagai kebutuhanyang sangat penting. Bagi IOM “Rumah

lebih penting dari matapencaharian”,karena rumah adalah modal masyarakat

untuk dapat merencanakan dan menatapkehidupan lebih baik.

Demikian juga dengan Caritas Swiss,yang menyatakan bahwa “Rumah adalah

segalagalanya dan tempat berteduh”.Rumah adalah pusat penataan kehidupan

sosial di masyarakat, sehingga seluruhaktifitas penataan hidup dimulai dengantersedianya rumah yang layak. Dengan

menyadari hal ini, diharapkan para donordapat mewujudkan rumah yang baik danlayak agar masyarakat dapat merasakan

betapa berartinya rumah bagi mereka,walaupun rumah bantuan.

Bagi pihak Badan Rehabilitasi danRekonstruksi (BRR) NAD-Nias sendiri“Perumahan yang baik akan membuat

masyarakat hidup layak, tenang dansehat” dijadikan sebuah motto untuk

merealisasikan apa yang disebut bantuanperumahan bagi masyarakat. Jadi kata-

kata layak di sini menandakan bahwasebuah rumah merupakan pusat

pengembangan kehidupan Masyarakat.

International Organization for Migration(IOM) is one of the internationalorganization which seen by thecommunity to be the fastest in handlingthe problems and complaints, and putthis assistance project as their mostimportant project. For IOM, “house ismore important than job,” becausehouse is the capital where people canstart with planning in it, and will be ableto see the future clearly.

According to Caritas Swiss, whichstated that, “House is everything andthe place to stay”. House is the centerof social order in the community, so allof life-arrangement activities start froma proper house. It is expected thatdonors realize the importance of ahouse is, and thus will build a goodhouse for the tsunami victims, so thatthey would understand how precioustheir houses are, although was givenas assistance.

For BRR NAD-Nias, “Good settlementwill make community to live in proper,peace, and healthy” is their motto toimplement the housing assistance forthe community. Thus, concluded that ahouse is the center of community's livedevelopment.

Pernyataan donorTentang apa itu

“Bantuan Rumah”

Donors' statementAbout what is“Housing Assistance”

Page 22: Rumah bantuan bukan hanya angka

Berikut ini dapat dilihat beberapa donor dengan targetpenyelesaian pembangunan rumah di beberapa daerahyang ditemukan;

Below is the data of donors' percentagein finishing their housing projects insome areas;

Sumber |Wawancara dengan para donor November 2006 |

source:Interview with donors on November 2006

Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar donorbelum dapat menyelesaikan bantuan rumah yangmereka janjikan dan keadaan ini menjadi fenomenaumum proyek pembangunan rumah di seluruh daerah(kabupaten) di Aceh. Ironinya terkadang adamasyarakat yang mendapatkan jumlah rumah melebihikebutuhan, namun juga ada yang belum dapat samasekali.

Permasalahan ini juga tidak berdiri sendiri, dimanaantara satu donor dengan donor lainpun tentu memilikipermasalahan tersendiri sehubungan denganketerlambatan mereka dalam menyelesaikan pekerjaanmereka. Akan tetapi mereka tetap berharap, bahwadengan mekanisme dan model pelaksanaan yang lebihbaik, akan diperoleh hasil yang baik pula.

From the table, it was shown that mostdonors can not finish their promisedhouses, and this situation is a commonphenomenon in housing project acrossAceh districts. Ironically, some receivemore than they need, while others donot even get one.

The problem does not stand alone,where even between donors havesimilarities in the cause of delays. Butthey are still optimistic that with goodmechanism and implementation, theresult will be good also.

22 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 23: Rumah bantuan bukan hanya angka

Pentingnya suatu mekanismeThe importance of a Mechanism

To implement their housing project,donors have their own mechanism whichbest for them. Some donors involvedmany stakeholders for the implementersand supervisor in order to get the bestquality, while other donors only involvingone or two other stakeholders in theirmechanism, so sometimes it caused abigger problem, or even the other wayaround.

The main problem is actually not only onthe mechanism, but more to thesynchronization on the implementation,which combine good concept and goodexecution. It is impossible that housingproject can be done fast if the material isretarded, and also impossible for thecommunity to accept a house which isunder their standard quality and health.

Some donors try to implement communitybase development principal, as to involvethe community participation, while othersstill using their conventional principalswhich rely on local contractor/developerability to finish the project. However, thefinal result of this project is to have a goodhouse which supports community's lifeimprovement as mentioned before.

Although this mechanism is seen to be agood way for Multi Donors Fund (MDF),but still, there are some parts of thesystems which ran uncontrollable, andraised many complaints.

Untuk mengerjakan proyek bantuan rumah, pada umumnyamasing-masing donor menggunakan mekanisme yangmenurut mereka baik. Terkadang ada satu donormelibatkan berbagai pihak guna pelaksanaan danpengawasan untuk mencapai mutu bangunan yang baik,dan terkadang ada juga donor yang hanya melibatkan satuatau dua pihak saja dalam mekanisme pembangunan,sehingga memiliki masalah yang cenderung lebih besardibandingkan dengan yang melibatkan banyak pihak, danbahkan bisa juga sebaliknya.

Permasalahan utama sebenarnya bukan terletak padamekanisme yang digunakan saja, akan tetapi lebih padasinkronisasi dalam sistem pembangunan yangdilaksanakan, yaitu pada konsep dan pelaksanaan yangbaik. Tidak mungkin pembangunan rumah dapatdiselesakan dengan cepat jika material dan transportasinyatersendat, demikian juga tidak mungkin bahwa masyarakatakan menerima semua rumah jika rumah itu tidak sesuaidengan standar mutu dan kesehatan bagi mereka.

Beberapa donor mencoba menerapkan prinsipPembangunan yang berbasiskan Komunitas (CommunityBase Development) sebagai usaha untuk mewujudkanpembangunan yang partisipatif, sementara sebagianlainnya masih menerapkan prinsip konvensional denganmengandalkan kemampuan kontraktor/developer lokaluntuk mempercepat pembangunan. Namun demikian tujuanakhir yang ingin dicapai adalah untuk mewujudkan rumahyang dapat menunjang segala kebutuhan hidup masyarakatsebagaimana yang telah dijelaskan.

Walaupun mekanisme tersebut telah dianggap cukupmemadai oleh Multi Donor Fund (MDF), akan tetapi masihterlihat ada bagian-bagian dari sistem tersebut yang tidakterkontrol, sehingga menimbulkan berbagai keluhan.

23Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Page 24: Rumah bantuan bukan hanya angka

“We received much subtle sand so we usecements lavishly, also they sent iron with size12 while we needed size 10. That goes also

with bricks, usually it costs Rp. 390 per piece,but they bought with Rp. 270 and so the

quality is not good.”

“The bricks used for my house is not the goodones, it's very vulnerable, and many materials

were taken from other places, so when Iasked the receipt which is actually my right to

ask, they didn't give it, it looks like thecommittee played a game”.

As a result of the bad material control,community complains about the quality of thehouse.

Thus, general supervision mechanism is veryimportant, in particular by involvingbeneficiaries to participate as the caretaker oftheir own decision. Community wanted to bepart of the whole implementation, although inthe other hand they have to be aware of thedonor's financial ability to implement theirwish, so by communication that built betweendonors and beneficiaries will result in a moreparticipative development.

The less participative developments aregenerally raised many problems, both fromdonors and beneficiaries. In particular donorswho use partnership as their projectimplementer, in which beneficiaries areplaying their only role as beneficiaries only.

“Banyak bahan pasir yang dikirim adalah pasir halus,sehingga penggunaan semen harus boros, demikian

juga dengan besi yang seharusnya berukuran 12 yangdikirim ukuran 10. hal tersebut juga terjadi dengan batu

bata, yang seharusnya dengan harga Rp. 390, dibeliseharga Rp. 270, sehingga mutunya kurang baik”.

“Bata yang digunakan untuk rumah saya tidak baik,karena sangat rapuh, dan juga banyak material yangdiadakan dipinjam dari tempat lain, sehingga ketikasaya minta lihat bon pembelian sebagai hak saya,mereka tidak mau kasi, jadi kelihatannya panitia itu

semua bermain”.

Sebagai akibat dari tidak baiknya pengontrolan materialini, masyarakat mengeluhkan mutu rumah bantuan itusendiri.

Dengan demikian, mekanisme pengawasan menyeluruhitu tetap penting, terlebih lagi dengan melibatkanbeneficaries sendiri sebagai penanggungjawab terhadapkeputusan yang diambil. Masyarakat menginginkanpelibatan mereka di setiap tahap pelaksanaanpembangunan secara utuh, walaupun di beberapa sisimereka juga harus menyadari sejauh mana kemampuandonor dengan aturan dasar pembangunan yang merekapaparkan, sehingga dengan komunikasi yang dibangunantara donor dan beneficaries akan terwujudpembangunan yang lebih partisipatif.

Pembangunan yang kurang partisipatif pada umumnyabanyak menuai masalah, baik pada tubuh donor,maupun dari beneficaries sendiri, terlebih lagi padadonor yang memanfaatkan pihak rekanan sebagai pihakpelaksana pembangunan, sehingga beneficaries benar-benar berperan sebagai penerima bantuan.

24 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 25: Rumah bantuan bukan hanya angka

Multi Donor Fund (MDF), mencoba menerapkanmekanisme pertisipatif dengan melibatkan peran aktif

komunitas sejak awal (Re-Kompak). Mulai daripengumpulan dan verifikasi data diserahkan padamasyarakat sebagai team penilai (team 9) dengan

harapan dapat memperekecil maniulasi databeneficaries. Pelaksanaan dan penyediaan materialbangunan juga diawasi langsung oleh beneficaries

dengan menetapkan ketua kelompok (KP) untukmaksimal 10 unit rumah, sehingga mutu dan waktupenyelesaian bangunan dapat diusahakan secepatmungkin. Selain itu Re-Kompak juga menggunakan

sistem pengontrolan yang berada di tingkat kecamatanuntuk melaporkan pekerjaan yang sedang berjalanyang dilakukan oleh Fasrum di setiap kecamatan.

Multi Donors Fund (MDF) tried theparticipative mechanism which involvingcommunity's participation from the beginning(Re-Kompak). Started from data collectionand verification, were involving community asjudging team (team 9) with expectation that itwould minimize beneficiaries datamanipulation. The implementation andmaterial supply also supervised bybeneficiaries by choosing 1 Chief of Group(KP) for each maximum 10 houses unit, tokeep its quality in the limited time. Re-Kompak also uses controlling system in sub-district level to report the on going works toFasrum in every sub-district.

Model Re-Kompak Re-Kompak Model

Page 26: Rumah bantuan bukan hanya angka

Temuan terakhir oleh Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) adalah; sebanyak 1.409 rumah BRR NAD-Niasbermasalah. Diantara masalah itu disebutkan bahwamasyarakat tidak mau menghuni ratusan rumahbantuan BRR NADNias karena mutunya yang sangatmenyedihkan, dan banyak juga rumah yang masihterbengkalai, tapi semua dana telah ditarik olehkontraktor.

Mekanisme ini juga diikuti oleh para donor lainnya,dengan mekanisme yang mereka miliki sendiri. Akantetapi hanya sebagian kecil donor yang menggunakanmekanisme rekanan sebagai solusi percepatanpembangunan, bahkan banyak donor yang menanganisendiri rumah bantuan yang mereka buat dari awalhingga selesainya pembangunan. Walaupun masihbanyak terdapat kekurangan di sana-sini, namun

The latest finding from Financial SupervisionAgency (BPK) is; total 1,409 BRR NAD-Niasnhousing projects are still in trouble. It wasstated that some of the problem was manypeople refuse to stay in hundreds housesfrom BRR NAD-Nias because of its sadquality and there are many houses neglected,but all funding have been withdrawn bycontractor.

This mechanism was followed by otherdonors, similar but based on their own rules.But only small numbers of donors usepartnership as their mechanism to fasten theirdevelopment. In fact, many donors managedtheir own development from the beginning.

Pelibatan masyarakat hanyalah pada tahap verifikasi data yang dilakukanoleh bagian Asistensi Perumahan dan Pemukiman (Asperkim) dengan kepala

desa tempat pembangunan direncanakan, setelah data diperoleh BRRmenyerahkan data dan pembangunan kepada kontraktor yang telah lulusverifikasi, dan ketika itu pula beneficaries tidak memiliki kesempatan lagi

untuk berperanserta dalam proses pembangunan, walaupun katanyamasyarakat berkesempatan untuk komplain atas ketidakberesan pekerjaanpihak rekanan, akan tetapi sekali lagi itu hanyalah hak untuk komplain, dan

bukan partisipasi.

Community involvement was only up until data verification which was done byHousing and Settlement Assistance (Asperkim) together head of village. Afterthey got the data, then they handled it to selected contractor/developer. Afterthat, community did not have any kind of participation and involvement in thedevelopment process. Although it said that community are free to send their

complaints of any in order partnership, but again, it was only the right tocomplain, not participation.

Rekanan sebagai solusi BRR NAD-NiasPartnership is BRR NAD-Nias solution

26 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 27: Rumah bantuan bukan hanya angka

Membangun rumah juga ada KendalaBuilding Houses are Troublesome Too

Material yang tersendat-sendat

Fenomena ini terjadi di desa Kuala PeudawaPuntong, kecamatan Idi Rayeuk (Aceh Timur),dimana donor dalam hal ini yaitu BRR NAD-Nias,kesulitan untuk mendapatkan pasir sungai karenafaktor cuaca (hujan). Pasir di daerah ini harus diambildari sungai Arakundo, dan kemungkinan baru bisadilakukan pada bulan Maret 2007 karena pada bulanNovember, Desember, dan Januari masih sering turunhujan, sementara pembangunan sudah berjalansampai 60 %. Hal ini sepatutnya tidak bisa dibiarkanterus-menerus, dengan menunggu membaiknyacuaca, masyarakat juga masih berada di huniansementara.

Hal serupa juga terjadi didaerah-daerah lain, sepertidi desa Mon Kelayu, Kecamatan Gandapura(Bireuen), dimana lambatnya produksi kusenmembuat tukang harus menunggu lama untukmembangun rumah masyarakat. Kusen di daerah inidiproduksi oleh satu produsen saja sehinggaprosesnya menjadi lambat, sehingga pihak Re-Kompak dalam hal ini sebagai donor harus turun kelapangan meluruskan kembali proses bantuanberbasis komunitas ini, sehingga semua komunitas

Stagnant Material

This phenomenon happened in KualaPeudawa Puntong village, Idi Rayeuk sub-district, Aceh Timur, where BRR NAD-Nias asdonor, had difficulty to get river sand becauseof the weather (rain). Sand should be takenfrom Arakundo river, and possibly could bedone by March 2007 because on November,December, and January are still rainingseason, while the implementation progressis already reached 60%. This should not letbe happening; while waiting for the goodweather, people still live in the temporaryhouses.

Similar in other areas, i.e. in Mon Kelayuvillage, Gandapura sub-district, Bireuen,where the stagnancy of material supplycaused the labor to wait a long time to buildhouses. In this area, frames are producedonly by one factory that makes theimplementation slower, Re-Kompak as donorhad to the field to straightening thecommunity base program process, wherecommunity can be part of the process as

27Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Page 28: Rumah bantuan bukan hanya angka

masyarakat yang ada di desa tersebut bisa ikutberpartisipasi dalam pembangunan, baik dengan memasoklogistik bangunan maupun menjadi tukang. Dengandemikian akan membuat produksi kusen tidak lagi menjadihambatan.

Selanjutnya di Simeulue, rumah bantuan yang dibangunoleh CARE District Simeulu juga menghadapi masalah,donor kesulitan dalam mendapatkan logistik bangunanseperti yang terjadi di desa Latiung (Simeulu), merekamendapatkan masalah dalam pengadaan kayu yangdibutuhkan CARE sejumlah 400m3. Adapun langkah yangtelah mereka ambil adalah dengan berupaya memasok kayudari Jakarta sebanyak 200 M3, dari dataran Aceh sebanyak100 M3 dan dari Simeulue sendiri sebanyak 100 M3 sebagaibukti komitmen mereka dalam hal pengadaan kayu ini makaCARE sendiri saat ini sedang melakukan proses awal tenderdi Banda Aceh sehingga kayu bisa secepatnya dipasok danpembangunan dapat dilanjutkan kembali.

Berbagai langkah strategis sangat perlu dilakukan,mengingat masyarakat sudah sangat lama tinggal di barak,bahkan tenda. Hal yang sama juga harus dipikirkan pihakCARE terhadap masyarakat barak di desa Lambaro Skep(Banda Aceh), sehingga secara menyeluruh pembangunanrumah itu dapat diselesaikan oleh mereka.

logistic supplier or even labor. Thatmade frame production was no longera problem.

In Simeulue, housing project by CAREDistrict Simeulue also deals withproblems; donor has the difficulty toget building logistics. In Latiung,Simeulue, the had difficulty in gettingsupply of 400 m3 woods. They tried toget the supply from Jakarta for 200 m3and Aceh mainland for 100 m3, andfrom Simeulue for 100 m3. As theircommitment to build houses with,CARE now is having tender for woodsupplier in Banda Aceh, to avoid anylack of supply in the future.

Many strategic steps need to beexecuted, considering people havelived for too long in the barracks oreven tents. CARE should also thinkabout people who live in barracks inLambaro Skep, Banda Aceh in theirstrategic plan, so that overalldevelopment can be achieved.

Tukang juga sumber masalah

Perginya kepala tukang tanpa memberi tahujuga menjadi sebab terhambatnya proses

pembangunan rumah di desa BlangGeulumpang Kec. Idi rayeuk sebagaimana

yang diceritakan oleh ibu Azizah salahseorang warga desa tersebut, informasi ini

didapatkan dari anak-anak muda desatersebut yang juga bekerja sebagai kernet

bangunan di desa itu.

Labors are also troublesome

Head of labors who went awaywithout any notification is also one thecauses of delays in BlangGeulumpang vilage, Idi Rayeuk, asmentioned by Ibu Azizah, a localcommunity. This information wastaken from youths in the village whoalso work as building labors in thevillage.

28 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 29: Rumah bantuan bukan hanya angka

Ketersediaan Lahan

Sejak Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004,banyak tanah-tanah masyarakat yang ikut terendam olehair laut, bahkan tidak layak untuk didiami lagi. Masyarakatbetul-betul kehilangan tempat tinggalnya bahkankampung halamannya sendiri, sehingga mereka harustinggal di lokasi lain yang bukan tempat asalnya.Ketiadaan tanah sebagai tempat relokasi korban menjadimasalah yang cukup signifikan ketika adakontraktor/donor yang terganjal untuk membangun rumah.

Fenomena ketiadaan lahan ini terlihat di desa KualaPeudawa Puntong, Kecamatan Idi Rayeuk (Aceh Timur),dimana ada masyarakat yang sebelum tsunami tinggaldengan meminjam tanah orang lain dipinggir pantai untukmendirikan gubuk-gubuk dari kayu mendapatkan bantuanrumah, namun mereka tidak memiliki tanah sehinggakontraktor harus menunggu sampai mereka memilikitanah sendiri.

Selain itu ada juga masyarakat yang memang sebelumtsunami memiliki rumah di kampungnya, namun setelahtsunami kampung mereka tidak bisa ditempati lagidikarenakan hancur dan terlalu dekat dengan pesisir. Halini juga membuat pemerintah daerah dan donormengalami kesulitan dalam proses relokasi masyarakat kedaerah yang baru untuk membebaskan tanah yang akandijadikan tempat relokasi seperti yang terjadi di desaTanoh Darat (Aceh Barat), namun lokasi yang baru initidak cocok bagi masyarakat Padang Serahet, Lapang,Cukok Marek dan Alpen karena mereka mengeluh akibattempat tersebut terlalu jauh dari pesisir pantai, dan rata-rata masyarakat tersebut mengeluhkan jauhnyaperjalanan yang harus ditempuh untuk menuju pantai,mengingat notabene profesi masyarakat tersebut adalahnelayan.

Hingga saat ini kita masih melihat adanya barak-barakpengungsian yang masih penuh terisi oleh masyarakatkorban tsunami, ada berbagai faktor lainnya yangmenyebabkan masyarakat bersikeras untuk tetap tinggaldi barak pengungsian, selain itu faktor tidak sempurnanyabangunan rumah juga memicu masyarakat untuk tetaptinggal dibarak dari pada tinggal di bangunan rumah yangdapat mengancam keselamatan jiwa mereka.

Land Availibility

Since tsunami hit Aceh on December26, 2004, many land were drowning bysea, or some even not possible to livein. People lost not only their theirhouses, but also their villages, that theyhave to live in other area from theirorigin. The lack of land to be relocationplace is a significant problem whencontractor had to start to build thehouse.

The lack of land phenomena can beseen in Kuala Pendawa Puntong village,Idi Rayeuk, Aceh Timur. People lived ina rented land before tsunami, and builttheir hut nearby the coast line. Sincethey do not owe any land, contractorhad to wait until the community actuallyhave their own land.

Some people had their land beforetsunami, but as tsunami hit Aceh, theycan not go back to their land eitherbecause it is impossible to live in, or tooclose to the coast line. Government anddonors have difficulties to find the newrelocation land for them, like whathappened in Tanoh Darat, Aceh Barat.In this new relocation land, relocatedpeople are from Padang Serahet,Lapangm Cukok Malek, and Alpen, andthey complain because the distance ofthe new place from the shore madethem hard to go to work. Mainly they arefisherman.

Until today we can still see manytsunami victims live in the barracks.There are many reasons why theyprefer to stay in the barracks. Aside fromits low quality, also they prefer to live inthe barracks rather that to live in ahouse where they do not feel secure.

29Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Membangun rumah juga ada Kendala | Building Houses are Troublesome Too

Page 30: Rumah bantuan bukan hanya angka

Rumah enggan ditempati karena mutu rendah

Hal ini terjadi pada Rumah Yayasan Berkati Indonesia (YBI) di desa AlueDeah Teungoh, dimana sebahagian besar masyarakat menolak untuk

menempati rumah bantuan tersebut dikarenakan kualitas kayu yang tidakbagus masyarakat juga menambahkan bahwa “rumah bantuan dari YBI

tersebut jika sudah datang angin kencang rumah tersebut bisa-bisa robohkarena kualitas kayu yang tidak sesuai dengan speck yang telah dijanjikan.”

People are reluctant because of the low quality

It happened to Indonesia Blessed Foundation (YBI) housing project in AlueDeah Teungoh, where mainly community refuse to live in the assistance

house. They say that wood quality is not good and, “In YBI's house, when itcomes a big wind, the house might crash down because the wood quality is

not according to what they've promissed.”

Koordinasi antar donor

Proses pemberian bantuan tanpa sebuah koordinasiakan membuat bantuan tersebut tumpang tindih danterkesan lamban, hal ini terjadi di barak Mon Geudong(Lhokseumawe) dimana pada awalnya Caritasmenjanjikan bantuan rumah kepada masyarakat barakMon Geudong yang berasal dari desa Pusong Baro,namun yang meletakkan material bangunan dilokasipembangunan di desa Blang Crum adalah pihakTagana, karena pihak Tagana mengklaim bahwamereka yang akan membangun rumah masyarakatbarak tersebut. Sehingga per 11 November 2006material bangunan tersebut masih terletak di sanatanpa diketahui kapan akan dibangun.

BRR NAD-Nias dalam hal ini sebagai pihak yangberwenang untuk melakukan pengawasan rehab danrekon di Aceh seharusnya lebih intens lagi dalammelakukan pengawasan terhadap ketumpangtindihanplotting lokasi pembangunan seperti di atas, sehinggamasyarakat lagi-lagi tidak menjadi korban yang larutdalam penantian bantuan rumah yang tidak kunjungtiba.

Donor's Coordination

Assistance process without coordinationwould only make the process overlappingone another and retarded. This happenedin Mon Geudong (Lhokseumawe) barrack,where initially Caritas pledged to buildhouses for Mon Geudong barracksoccupants who came from Pusong Barovillage. But then Tagana placed theirmaterial in Blang Crum, because Taganaclaimed that they will build houses for thebarrack community. Until November 11,2006, there was no clarification over whowill build houses and the materials remainin the same place.

In this case BRR NAD-Nias which hasauthority to do rehabilitation andreconstruction supervision in Aceh shouldbe intensely supervise to avoid overlappingin location plotting. Again, the victims arecommunity who does not know when theimplementation will take place.

30 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 31: Rumah bantuan bukan hanya angka

Pilih rumah dan Pilih donor

Rumah bantuan yang diberikan kepada korban tsunamibegitu beragam karena kemampuan masing-masingdonorpun berbeda, sehingga pada akhirnya masyarakatberkesempatan pula melakukan seleksi terhadap pihakmana dan rumah model apa yang akan diperuntukkankepada mereka. Hal ini merupakan buah darikecemburuan sosial yang berkembang di tengah-tengahmasyarakat, karena bukan saja dari segi modelnya yangberbeda, tetapi ada beberapa rumah bantuan itu memilikiyang lebih besar dari yang lainnya, seperti yang terjadi didesa Kuala, Kecamatan Blang Mangat (Aceh Utara),dimana masyarakat lebih memilih menanti rumah bantuanBRR NAD-Nias yang permanen pada tahap kedua daripada Rumah bantuan IOM yang bertipe knouckdown,dengan alasan rumah BRR NAD-Nias lebih kuat.

Choosing house and choosingdonors

There are many variation of housingassistance for tsunami victims because ofthe different of donor's financial ability.This may give options to the community todo selection of which houses they prefer.But these also raise jealousy, becausesome will get bigger than others. In Kualavillage, Blang Mangat, Aceh Utara, peopleprefer to wait for BRR NAD-Nias housingproject rather than IOM's housingassistance because BRR build permanenthouses while IOM build knockdownhouses.

Rumah tidak ada,pemerintah desa pusing…!

No housing,village apparatuses got dizzy

Minimnya pengetahuan masyarakat tentang siapa sajayang berhak menerima rumah bantuan menjadikan

masalah tersendiri didalam pemerintahan desa tersebut,dimana kepala desa selalu dijadikan “kambing hitam”

atas tidak meratanya bantuan rumah bagi masyarakatdesa setempat, sebabagaimana diceritakan oleh kepala

desa Lantik Kecamatan Teupah Barat.

Hal yang sama juga terjadi di desa Blangcut, kecamatanBlang Mangat Kota Lhokseumawe dimana IOM mau

membantu sebanyak 62 unit rumah ternyata pada saatdibangun hanya 38 unit saja, jadi sisanya adalah 24 unitlagi belum dibangun sampai dengan saat ini, sedangkanrumah sudah disurvey semuanya, bahkan sudah dibuatbatas-batasnya saat ada warga yang sudah menebang

pohon kelapa agar lahan dapat digunakan untukmembangun rumah, dan mereka yang tersisa ini

menuntut haknya ini kepada Geuchik, “jadi keuchiktermasuk beresiko juga sedikit” imbuh mukhtar syahakepala desa Blangcut, ada warga yang punya pohon

kelapa tersebut menuntut kepada geuchik, agar geuchikmembayar pohon kelapa yang sudah ditebang tersebut

seharga Rp.40 juta per batangnya, ini akan menjadibeban bagi seorang geuchik sebagai seorang pengayom

bagi masyarakatnya.

With the minimum knowledge about thebeneficiaries for housing assistance putanother problem to the village authority,whereas the village head would be the“black goat” for the unfair distribution ofhousing assitsnce, as told by Keuchik ofLantik villag, Teupah Barat.

Similarly happened in Bangcut village,Blangmangat, Lhokseumawe. IOM pledgedto build 62 houses units but in fact there areonly 38 houses. Up to now, the remaining24 houses are still not built yet, althoughthey have been surveyed villagers alreadymark their land bounderies in preparation tobuild a house, they who are left not gettingassistance ask for their right to Keuchik “SoKeuchik (title) is a bit risky”, added MukhtarSyaha, Keuchik of Blangcut. There are alsosome people who ask for compensation toKeuchik because they have tear down theircoconut tree to mark the house border, RP.40 million per tree. This would be a weighton Keuchik as the one who considered to awise man in his village.

Membangun rumah juga ada Kendala | Building Houses are Troublesome Too

Page 32: Rumah bantuan bukan hanya angka

Pada akhirnya alokasi yang diberikan IOM kepadamasyarakat korban tsunami tersebut dialihkan kepadamasyarakat yang memiliki rumah tidak layak huni, danmereka mau menerimanya, sehingga ketika rumah bantuanBRR NAD-Nias tidak juga dibangun maka masyarakat yangsebetulnya terkena dampak tsunami menjadi tidak terbantu,dan mereka terus mempertanyakan ini kepada geuchik,sehingga hal ini membuat geuchik kewalahan di satu sisi.

At the end, IOM housing allocation wasfor those who do not have properhouses, and they are willing to accept.So when BRR NAD-Nias still hasn'tstarted building the houses, tsunamivictims who initially the mainbeneficiaries became a side, and theystart to ask about this to Keuchik.

Janji dan Komitmen Implementor

Dari hasil pantauan Focal Point Katahati Institutediperlihatkan bahwa banyak NGO implementor dilapanganmenjanjikan kepada masyarakat untuk membangunbeberapa unit rumah namun realisasinya jauh berbeda dariyang dijanjikan. Seperti yang terjadi di desa MeunasahTunong, kecamatan Blang Mangat (Aceh Utara), dimanaIOM menjanjikan akan membangun sebanyak 62 unitrumah namun yang dibangun hanya sebanyak 54 unitsaja.

Masalah serupa juga terjadi di desa Alue Deah Teungoh(Banda Aceh) dimana per Oktober 2006 YBI menghentikanprogram bantuan perumahan kepada masyarakat secarasepihak dengan alasan kurangnya dana untukmerealisasikan bantuan. Mereka terkendala dengan alokasianggaran dana yang tidak memadai, sehingga merekahanya sanggup melakukan pembangunan sesuai denganbudget yang ada, sedangkan untuk tanah timbun yangmenyerap dana mereka cukup banyak membuat merekaberalasan tidak sanggup lagi melakukan pembangunan.Pada akhirnya saat ini masyarakat desa tersebut tidakpercaya lagi kepada pihak-pihak atau lembaga-lembagamanapun yang datang ke masyarakat untuk melakukanpendataan. Hal ini tampak seperti yang diungkapkan olehKeuchik Pusong Baro, bahwa “Saya sudah malas openlah(peduli) terhadap orang yang datang cuma mendata-mendata aja”.

Sebenarnya transparansi dan musyawarah merupakansolusi untuk menengahi masalah ini, ketika NGO atauDonor terkendala dalam melakukan pembangunan, langkahkoordinatif bersama dengan pihak desa bisa meredamprasangka-prasangka buruk terhadap NGO ataupun donorterkait, namun kesan yang didapat selama ini adalahbahwasannya donor terkesan menutup-nutupi masalahyang terjadi sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya

Implementer's pledges andcommitments

Based on Katahati Institute's Focal Pointmonitoring in the field, it shows thatmany implementing NGOs promised tobuild certain numbers of houses but unreality is far from that. In MeunasahTunong, Blang Mangat, Aceh Utara,IOM pledged to build 62 units but inreality it is only 54.

Similarly, it happened in Alue DeahTeungoh village, Banda Aceh, where perOctober 2006, YBI stopped theirassistance by the reason that they arerunning out of budget to finish theproject. YBI could only finish theirproject according their existing money,and the can not afford to build for landcongeries. Now the community do nottrust any institution nor parties whocame to do data collection. According toKeuchik Pusong Baro, “I don't care now,they come only to do data (collection).”

Transparancy and discussion(musyawarah) actually are the solutionto solve the problem. When donors orNGOs deal with problem during theirimplementation, a coordinative actioncould deem community;s prejudicetowards donors and NGOs. Theperspective so far is that donors areseen to hide their problems that causedthe community to wonder which finallycan only be surrended by faith. Donors

32 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 33: Rumah bantuan bukan hanya angka

sampai akhirnya mereka hanya bisa pasrah pada keadaanyang terjadi. Seharusnya donor harus lebih bijak dalammengambil keputusan untuk membantu masyarakatsehingga masyarakat tidak terkatung-katung dalampenantian yang tidak pasti. Saat ini masyarakat sangatmembutuhkan rumah untuk membina hidup yang lebihmandiri.

should be more wise in decision makingwithout leaving community in uncertainty.It is urget for the tsunami victims to beable to start an independent life.

Donor lambat, masyarakat punya “inisiatif”

Untuk menyikapi tidak jelasnya akses informasi tehadap lambannyapembangunan rumah korban tsunami oleh CARE Banda Aceh,

maka masyarakat Lambaro Skep melalui pemerintah desamengambil inisiatif untuk menurunkan bendera kaplingan CARE

setengah tiang, langkah ini dimaksudkan bahwasannya masyrakatmemberikan kesempatan kepada NGO lain yang mau membantu

mendirikan rumah di wilayah mereka.

(Yuli, Ely & Fardiansyah, hasil wawancara dengan warga barakLambaro Skep Kec. Kuta Alam tanggal 7 Desember 2006)

Donors came late, community have “inisiative”

In respond of CARE Banda Aceh retarded implementation, LambaroSkep community through village authority inisiatively pulled down

CARE flag half mast. This action means that community is open foranother chance for other NGOs to help them for house assistance.

(Yuli, Ely & Firdiansyah, interview with Lambaro Skep barrackscommunity, Kuta Alam, on December 7, 2006)

33Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Membangun rumah juga ada Kendala | Building Houses are Troublesome Too

Page 34: Rumah bantuan bukan hanya angka

Masyarakat tolak rumah tak “bermutu”

Dalam proses realisasi bantuan rumah bagi masyarakat, tidaksedikit yang membuahkan hasil dalam bentuk cibiran darimasyarakat akibat dari kinerja pihak-pihak dilapangan yangtidak sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini terbuktiberdasarkan hasil laporan Focal Point Katahati Institute padatanggal 10 Oktober 2006 mengenai rumah bantuan yangdibangun oleh Yayasan Berkati Indonesia (YBI) yangkantornya berdomisili di kawasan Peunayong (Banda Aceh).Menurut masyarakat rumah yang dibangun YBI tidak layakhuni dan tidak sesuai dengan standar mutu rumah yang telahditetapkan.

Temuan ini ditindaklanjuti dengan melakukan pengamatan dilapangan pada tanggal 12 Oktober 2006, yang hasilnyaditemukan bahwasannya keengganan masyarakat untukmenempati rumah bantuan YBI (yang dibangun di desa AlueDeah Teungoh dan desa Deah Baro) tersebut, karena prosespembangunan tidak sesuai dengan bestek. Sebagian kayuyang digunakan memakai kayu yang berkualitas rendah,sehingga kayu penutup dinding rumah telah berserbuk danhampir semuanya lapuk dimakan rayap, ditambah lagi denganpenyelesaian bangunan yang tidak mencapai 100 %, namunrumah-rumah tersebut telah diresmikan oleh Kepala BRRNAD-Nias dan Koordinator YBI.

Disamping fenomena itu, tidak semua bentuk bantuan rumahditolak oleh penerima manfaat, masih ada bantuan rumahyang diterima dengan baik oleh masyarakat. seperti rumahbantuan dari NGO Budha Tsu-Chi.

Budha Tsu-Chi melakukan penanganan terhadap korbantsunami mulai dari barak pengungsian sampai kepada prosespembangunan rumah yang tertata rapi dan asri di desaPanteriek. Budha Tsu-Chi membangun rumah dengan type 36(yang anti gempa ?) dengan luas lahan 160 m2. Mereka jugamembangun berbagai fasilitas pendukung seperti mendirikansebuah masjid, sekolah (TK dan SMP) dan fasilitas olah ragadi areal perumahan. Menariknya pihak Budha Tsu-Chi jugamelengkapi setiap rumah bantuan itu dengan 4 unit kursi dan 1unit meja juga ditambah dengan 2 buah kasur tidur untuk duakamar dan menyerukan pemilik rumah untuk menanam bungaatau pohon-pohonan sehingga ketika kita memasuki arealperumahan ini kita merasakan suasana yang sangat asri.

Sebagai bukti perhatiannya Budha Tsu-Chi kepadamasyarakat setiap dua mingguan mereka melakukanpengontrolan terhadap rumah. Pada malam hari arealperumahan ini sangatlah terang dimana hampir disetiapjalannya terpancang tiang lampu sorot yang menambahelegannya suasana.

Community refuse low-qualityhouses

In fact, many houses only got jeered from thecommunity because the implementation isnot in accordance with the existed rules. Itshows from Katahati Institute's Focal Pointreport on October 10, 2006 about YBI'shousing project which office is inPeunayong, Banda Aceh. Community thinkthat YBI houses are inproper and notaccording to the agreeable housingstandard.

This finding followed by field visit on October12, 2006, and found out that people arereluctant to stay in YBI houses (in Alue DeahTeungoh and Deah Baro village) becausethe implementation was not according toplan. Some wood materials were using lowquality wood, so the wooden walls aresawing and almost all parts were musted bytermite, plus the houses were not fully 100%finished. But yet, those houses were allalready officially handed from BRR NAD-Nias to YBI Coordinator.

But still, many houses are willingly acceptedby community, like houses from NGO BudhaTsu-Chi.

Budha Tsu-Chi supported the tsunamivictims even from the barrack refugee up tobuild neat and nice houses in Panteriekvillage. Budha Tsu-Chi built Type-36 houses(anti-earthquake?) in 160 m2 land. They alsobuilt supporting facilities, i.e. mosque, school(kindergarten and junior high), and sportfacilities. Interestingly, Tsu-Chi also putsome furniture in every houses; 4 chairs, 1table, 2 beds. They also asked thecommunity to plant trees and flowers so theenvironment is very beautiful.

Budha Tsu-Chi also conduct controlmonitoring once every two weeks as a proofof their attention and commitment. At night,the surroundings are bright because they putlights along the street, adding elegance tothe environment.

34 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 35: Rumah bantuan bukan hanya angka

Kisah YBI di Desa Alue Deah Teungoh

YBI masuk ke desa Alue Deah Teungoh denganniat untuk membangun beberapa unit rumah. Hal

ini dinilai baik pada awalnya oleh masyarakat.Masyarakat menilai pada waktu itu rumah YBImerupakan rumah idaman untuk dihuni, maka

diadakanlah musyawarah gampong untukmembicarakan hal tersebut. Selanjutnya YBI

meminta Kepala Desa untuk melakukan pendataanterhadap siapa saja masyarakat yang akan dibantu.

Masyarakat melihat adanya kejanggalan-kejanggalan dalam proses pembangunan, seperti

material yang digunakan tidak sesuai dengan yangtertuang di dalam perjanjian dan ini terus dikerjakan.

Namun setelah rampung pada Oktober 2006masyarakat mengeluhkan rumah bantuan dari YBI

(hal ini telah dilaporkan kepada YBI sejak prosespembangunan masih 50%) tetapi hingga Oktober

2006 belum ada tindakan apa-apa dari YBI, namunkonfirmasi dari Ridwan Mangatur (Office Manager YBI)

bahwa YBI tidak bertanggung jawab terhadapkerusakan yang terjadi setelah rumah resmi diserahkankepada masyrakat dan menjadi tanggung jawab pemilik.

(wawancara 18 Nopember 2006). Namun menurutpernyataan masyarakat bahwasannya mereka menerima

kunci rumah dan berkewajiban menandatangani suratpenerimaan rumah tanpa melihat terlebih dahulu kondisi

bangunan rumah yang menurut YBI telah selesaidikerjakan.

Dalam pembangunan rumah YBI juga tidakmemperlihatkan RAB pembangunannya kepada pihak

desa sehingga masyarakat tidak tahu berapa jumlahalokasi anggaran per-satu unit rumah, pembangunanlangsung dikerjakan oleh YBI sendiri, dan masyarakat

hanya melakukan pengawasan terhadap pembangunanMCK saja pada progres tahap kedua.

Hari ini masyarakat lebih memilih untuk tinggal di barakdaripada di rumah bantuan dengan tak berkualitas. Saat ini

banyak rumah bantuan YBI terbengkalai dan terusmengalami kebocoran pada saat hujan.

YBI story in Alue Deah Teungohvillage

YBI or Indonesian Blessing Foundation came toAlue Deah village with purpose to build somehouses. Community thought that thisfoundation was really nice and that it wouldbuild a good houses. So they held a villagediscussion about it. YBI then asked to have adata collection of who should be eligible asbeneficiaries. Community saw that there weremany infringement in the implementation, thatsome materials were not according to theprevious agreement, and that it was going onand on and on.

When the houses finished in October 2006,community complained to YBI (even whenthe development was about 50% finished)but there was no respond from YBI. YBIOffice Manager, Ridwan Mangaturconfirmed that YBI do not responsible onany damages after the houses werehanded to the community. (Interviewed onNovember 18, 2006) According tocommunity, they only receive the key andhad to sign an agreement letter withoutchecking first on the house condition.

In the process, YBI never shared theirbudget plans to the community, thuscommunity did not know how muchbudget per houses did YBI build. Theimplementation was all done by YBI,and community were only involved inMCK development on the secondstage of progress.

Today, community prefer to stay in thebarracks than in the assist-ancehouse because of its low quality. NowYBI's housing assistance areneglected and leaking from theceiling when the rain comes.

Page 36: Rumah bantuan bukan hanya angka

Bagaimana Budaya kita pasca BencanaOur Culture after the disaster

Perilaku; adakah yang berubah

Perilaku umum masyarakat di daerah bencanamerupakan sebuah fenomena khusus yang selalupenuh dengan interaksi berbagai pihak. Perubahan danpergeseran nilai selalu menjadi momok dan ketakutantersendiri selain ketakutan tidak mendapat bagian dariprosesi per-bantuan yang ada.

Budaya hidup ketimuran dengan prinsip-prinsipefisiensi, tenggang rasa dan gotong royong menjadicatatan sejarah saja di wilayah interaksi paska bencana.Sebagai contoh, harga sewa rumah meningkat tajamsekitar 10 hingga 20 kali lipat (kadang-kadang lebih).Sebuah rumah yang memiliki empat kamar di BandaAceh yang biasanya berharga Rp 10 juta sebelumtsunami sekarang berubah menjadi sekitar Rp 100hingga 200 juta. Lembaga pemberitaan Inggris, BritishBroadcasting Corporation (BBC) tidak sendiri dalammembayar sebanyak Rp 1 juta per hari untuk sewarumah, beberapa media dan kelompok-kelompoklainnya juga melakukan tindakan “kriminal sosial” ini.Secara psikologis pengaruh yang disebabkan terjadinyatindakan kriminal sosial akan berdampak langsungterhadap tatanan kehidupan masyarakat seperti poladan perilaku akan semakin jauh dari garis-garis sosialbudaya masyarakat Aceh.

Perubahan perilaku itu tidak hanya berhubungandengan pola konsumtif namun juga berimbas kepadadegradasi moral, seperti manipulasi data dan penipuan-penipuan lain yang terencana oleh masyarakat, korban,aparatur pemerintah dan donor sendiri. Di Desa Tibang

Behaviour; Any changes?

General behaviour in disasterous area is aspecial phenomena which always full ofinteraction from different parties. Changesand shifts in value are always part ofcommunity's fear, aside from fear of notgetting any assitance.

Eastern culture with the principle ofefficinecy, empathy, and cooperation(gotong royong) are only in history in thepost-disaster area. For example, rate ofhouse rent is up 10 to 20 times moreexpensive than usual (or even more). Ahouse with four bed rooms in Banda Acehusualy rated around Rp. 10 million, but nowit is around Rp. 100 million to 200 million.English news institution, BritishBroadcasting Corporation (BBC) is not theonly one which pay for Rp 1 million per dayto rent a house. Some other media andgroups also do the same “social criminal”.Psychologycally, influence from socialcriminal will effect on community's life, i.e.behaviour and pattern will surely away fromAcehnese cultural line.

The change of behaviour is not only relatedto consumtive life-style, but also on moraldegradation, like data manipulation andother planned deception by community,victims, government aparture, and even

36 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 37: Rumah bantuan bukan hanya angka

Kecamatan Syiah Kuala (Banda Aceh), 323 rumahyang dibangun telah melampaui kebutuhanmasyarakat yang hanya berjumlah 300. Berdasarkaninformasi di lapangan akan ada 30 rumah lagi yangakan dibangun BRR NAD-Nias tahun ini. Namunanehnya masih terdapat 6 KK lagi yang hingga saat inibelum memperoleh rumah bantuan. Fenomena inidisinyalir karena kedekatan warga dengan aparatdesa, ada warga yang bisa mendapatkan rumahbantuan lebih dari satu.

BRR NAD-Nias juga diharapkan mampu bertindaktegas pada setiap bentuk penyelewengan padaproyek-proyek rehab rekon Aceh, termasuk jikaterbukti adanya praktek penipuan dan kolusi untukmendapatkan rumah lebih dari satu. Hal ini terjadikarena lemahnya pengawasan pembangunan rumahbantuan untuk korban tsunami.

donors. In Tibang village, Syiah Kuala, BandaAceh, 323 houses were built over 300inhabitants. Based on information, there wil beanother 30 houses build bu BRR NAD-Niasthis year. Ironically, there are 6 household whostill don't get house assistance from it. Thisphenomena is seemengly because of the closerelation to village authority, because there aresome communities who receive more than onehouse assistance.

BRR NAD-Nias is expected to be firm in everyinfringements occurred in rehabilitation andreconstruction in Aceh, including if there weredeception and collusion to get more than 1house. This might happen because of lacksupervision in housing project for tsunamivictims.

Korban Tsunami dapat 10 rumah

Penipuan yang terencana seperti temuan KPK yang mengungkapkan adanya salahseorang korban tsunami di Kelurahan Kampung Mulia memiliki 10 unit rumah bantuan.

Ketika adanya bantuan pembangunan rumah di Kelurahan Kampung Mulia untukkorban tsunami, Ny. Darwati memanggil ke sembilan penyewa rumahnya dimintaifotocopy KTP guna didaftarkan sebagai korban untuk memperoleh rumah bantuan

tersebut.

Para mantan penyewa diberikan konpensasi untuk menempati rumah bantuan tersebutselama tujuh tahun tanpa membayar sewa, setelah itu berlaku kembali uang sewa.

Tsunami victims got 10 houses

Planned deception according to KPK finding shows that there is one tsunami victimreceive 10 houses.

When there was a data collection for eligible beneficiaries, Ms Darwati collected her 9house-rental IDs to be copied and submitted those as beneficiaries.

The 9 house-rental will be free of charge for seven years, but they will have to pay afterthe 7th year.

37Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Bagaimana Budaya kita pasca Bencana | Our Culture after the disaster

Page 38: Rumah bantuan bukan hanya angka

Konflik Sosial dalamProses Pembangunan Rumah

Persaingan dalam tatanan kehidupan bermasyarakatsudah menjadi rahasia umum baik dari segi harta, tahtahingga strata hidup. Persaingan ini memang tidaksemuanya akan bermuara kepada konflik sesamamasyarakat, tetapi ada juga persaingan yangmenumbuhkan rasa introspeksi diri. Konflik dalam tatanankehidupan masyarakat itu timbul karena terjadinyakesenjangan sosial yang dilakukan oleh oknum pengambilkebijakan mulai dari level atas sampai ke level bawah.Rasa keadilan selalu dijadikan variable penyebabtimbulnya kesenjangan sosial. Pasca tsunami, konfliksosial yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakatbermacam ragam seperti perselisihan pembangunanrumah bantuan diatas kuburan tanpa izin ahli waris didusun Ulee Cot, Deah Glumpang, Kecamatan Meraxa(Banda Aceh).

Pembangunan terhadap rumah bantuan korban tsunamiyang sempat memicu konflik juga dialami masyarakat diDesa Lantik Kecamatan Teupah Barat (Simeulue). Darihasil assesment dan verifikasi lapangan, BRR NAD-Niastelah menyetujui pambangunan 89 unit rumah. Namunketika kontraktor sedang mengerjakan pembangunan,pihak BRR NAD-Nias berencana ingin mengalihkan 25unit rumah bantuan ke daerah lain, dengan alasan adanyatuntutan dari masyarakat lain yang mengatakan bahwatidak semua masyarakat Desa Lantik berhak mendapatrumah bantuan. Kebijakan BRR NAD-Nias tersebut tidakmendapat persetujuan dari masyarakat karena sebelumproses pembangunan pihak BRR NAD-Nias telahmelakukan verifikasi lapangan.

Social Conflict in HousingDevelopment Process

Competition in community has been ageneral secret, both in posession andstatus in society. Competition is not alwayslead to community conflict, becausesometimes it can growth a selfintrospection. Conflict in society is alsopart of social gap in society by policymaker in the higest level to the lowestlevel. Justice has always been the variablethat triggers the social gap. Conflict post-tsunami is various, like the dispute overhousing development on cemetary landwithout any permission from the heritancein Ulee Cot, Deah Glumpang, Meuraxa,Banda Aceh.

Housing project for tsunami victims alsoraised conflict in Lantik village, TeupahBarat, Simeulue. Nased on fieldassesment and verification, BRR NAD-Nias has agreed upon 89 houseassistances. During the implementation,BRR NAD-Nias planned to move theallocation of 25 houses to other area,because there were demands fromcommunity in other area that not all Lantikvillagers should receive the assistance.BRR NAD-Nias policy to shift was stronglyrejected by community, because before thedevelopment BRR have already conductedfield verification.

38 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 39: Rumah bantuan bukan hanya angka

Tanah kuburanpundisengketakan

Pihak ahli waris pemilik kuburan (CutNyak Salma dan HT. Raja Itam Azwar,

SH) meminta agar rumah yang dibangundiatas kuburan tersebut segera dibongkar

dan mengembalikan kuburan sepertisediakala. Diatas kuburan itu tidak hanya

4 unit rumah yang telah dibangun tapidirencanakan sampai 28 unit.

Menurut Keucik desa Alue Deah Tengoh,Azhari, beliau sudah pernah melarang

untuk pembongkaran dan pembangunanrumah diatas kuburan tersebut. Namunpihak penerima rumah (Rahmad Muda)

menjamin bahwa semua menjaditanggung jawabnya, karena tanah

tersebut milik kakek dan bapaknya secaraturuntemurun dan bila ada gugatan

dikemudian hari dia tidak akan melibatkanperangkat desa, hal ini ditulis dalam surat

pernyataan yang bermaterai.

Meredam perselisihan tersebut CamatMeuraxa, Drs. Tarmizi memanggil

Keuchik desa Deah Glumpang, Mahmuduntuk memberikan penjelasan tentang 4

unit rumah bantuan tsunami yangdibangun diatas kuburan milik keluarga

besar Alm. Uleebalang VI Peukan Bada.Selain Cut Nyak Salma, HT. Raja Itam

Azwar, SH dan Rahmad Muda juga adakeluarga Gade yang mengklaim tanah

tersebut milik keluarganya secara turun-temurun.

(Serambi Indonesia,25,26 dan 28 September 2006)

Cemetery is even beingdisputed

Heritance of the cemetary landlord(Cut Nyak Salma and HT Raja ItamAzwar, SH), asked to tear down thehouse which built on their cemetaryland, and to return it as in originalcondition. There are not only fourhouses build on the land, there are28 houses are planned to be build.

According to Keuchik Alue DeahTengoh village, Azhari, he alreadywarned the house owner not tobuild house on the disputed land.But the house owner (RahmadMuda) guaranted that all will beunder his responsibility, becausethe land belong to his family asheritance. And if there's anylawsuit, he would not involve villageauthorities. It was stated in theletter of agreement.

To redeem the dispute, Camat ofMeuraxa called Keuchik DeahGlumpang village, Mahmud, to giveexplanation about the 4 houses fortsunami victims built on the landwhich belong to Uleebalang VIPeukan Bada family. Other thanCut Nyak Salma, HT Raja ItamAzwar, SH and Rahmand Muda,there is also Gade family who claimthat the land belongs to his familyas herritance.

(Serambi Indonesia,25, 26 and 28 of September, 2006)

Page 40: Rumah bantuan bukan hanya angka

Keinginan & AspirasiWishes and Aspiration

Donor

Masalah yang paling besar dialami oleh donorinternasional khususnya dalampembangunan`perumahan layak huni untuk korbantsunami adalah pengadaan material kayu yang sulitdidapatkan seperti yang dialami oleh Care International.Menurut koordinator Care International Distric KabupatenSimeulue pihaknya tidak mau menggunakan kayu ilegallogging untuk membangun rumah di Simeulue. Prosespembangunan rumah Care International menggunakansistem berbasis masyarakat, namun setelah melihatbanyak permasalahan yang dihadapi seperti penggunaanmaterial yang tidak jelas asalnya maka dialihkanpembangunan dengan sistem tukang. Dalammenghadapi permasalah pembangunan pihak CareInternational telah mengundang pihak kontraktor danpengusaha untuk pengadaan kayu sebanyak 400 m3.

Lain halnya dialami oleh pihak Australia Red Crossseperti diungkapkan oleh Shinta (koordinator lapangan),dalam proses pembangunan rumah bagi pengungsiKuala Babek (Simeulue). Pihak Australia Red Crossmerencanakan akan membangun 200 unit rumah tetapisampai saat ini pembangunan belum dilaksanakankarena pengungsi yang menempati lokasi shelter/barakpengungsian banyak yang bukan korban tsunami. Dalamhal ini pihak Australia Red Cross sedang melakukan

Donors

The biggest challeng that international donorhave to deal with in order to build a properhouse is wood material supply, like the onethat CARE International had to experiencedin Simeulue. According to CAREInternational coordinator, the organizationwould not use any illegal logging to buildhouse in Simeulue. Initially, the housingproject was using a community-basemechanism, but as there were manyproblems encountered and unidentifiedsource of material, it decided to shift themechanism by using labors. CAREInternational have contacted manycontractors and bussinessman to supplywood material in total of 400 m3.

Other experiences by Australian Red Cross,as confirmed by Shinta, the field coordinato,where Australian Red Cross planned to build200 houses for IDPs in Kuala Bebek,Simeulue. But up to now it has not beenimplemented yet, because most IDPs arenot tsunami victims. Now Australian RedCross is doing data assesment andverification of conflict victims of who shouldbe eligible to be beneficiaries. It is expected

40 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 41: Rumah bantuan bukan hanya angka

assessment dan verifikasi data korban tsunami yangberhak menerima bantuan rumah dari Australia RedCross, namun diharapkan masyarakat pengungsi yangtinggal di lokasi pengungsian harus benar-benar jujurdalam memberikan data.

Irfan, ST (Divisi Perumahan BRR NAD-Nias Regional VAceh Barat), menilai kendala dari lambatnya prosespembangunan rumah bantuan di Aceh Barat karena datapenerima bantuan sering berubah-ubah, bila data sudahvalid dan pembebasan tanah sudah dilakukanpembangunan rumah segera dilaksanakan.

that the refugees would give the datahonestly and correctly.

Irfan, ST (Housing Division Regional VAceh Barat, BRR NAD-Nias) said that thecause of delay is the often changes ofbeneficiaries data. When data is valid andland is executed, housing project mayproceed.

Masyarakat

Masyarakat yang menempati barak Lambaro Skep(Banda Aceh) sangat mengharapkan agar rumah bantuanbisa segera dimilikinya karena sudah hampir 2 tahunmereka tinggal dibarak apalagi masa sewa lahan barakcuma 2 tahun.

Lain halnya pembangunan rumah korban tsunami di DesaLantik Kecamatan Teupah Barat yang di bangun oleh BRRNAD-Nias sebanyak 89 unit sedang menuaipermasalahan besar, berdasarkan pengaduan darimasyarakat desa lain kepada BRR NAD-Nias bahwa tidaksemua masyarakat di desa Lantik Kec. Teupah Baratberhak menerima rumah bantuan, sehingga BRR NAD-Nias akan mengalihkan 25 unit rumah bantuan tersebutke daerah lain. Menurut Matnasah Kepala Desa LantikKec. Teupah Barat, masyarakat desa Lantik tidak setujudengan keputusan BRR NAD-Nias yang akanmengalihkan 25 unit rumah bantuan ke daerah lain karenasemula telah dilakukan assessment dan verifikasi dataterhadap korban tsunami yang berhak menerima bantuanrumah dan BRR NAD-Nias telah menyetujui sebanyak 89unit rumah. Persoalan ini hanyalah bersifat provokatif daridaerah lain yang tidak mendapat bantuan rumah, merekamemprovokasi pihak BRR NAD-Nias.

Permasalahan pembangunan rumah juga dialami olehdesa Labuhan Bakti Kecamatan Teupah Selatan(Simeulue) yang merupakan salah satu daerah terparahditerjang tsunami, menurut pengakuan Iskandar KepalaDesa Labuhan Bakti, sampai saat ini desa tersebut belumtersentuh pembangunan baik perumahan maupuninfrastruktur publik lainnya. Desa Labuhan Bakti pernahdidatangi oleh Care International dan Re- Kompak,mereka berjanji akan membangun rumah untuk korban

Community

Community in Lambaro Skep (BandaAceh) barracks really wish that they wouldget their house assistance, because theyhave been living in the barracks foralmost 2 years and the rent is only for 2years.

On the other hand, a story from Lantikvillage, Teupah Barat, where BRR NAD-Nias raised big complaints. Total of 89houses built by BRR was complained byother village community because not allvillager in Lantik should receive theassistance, so BRR allocated 25 of the 89houses for other villages. According tohead of Village, Matnasah, Lantik villagersdisagree with BRR decision to change theallocation for Lantik village, because BRRalready conducted data assesment andverification and from there on the decidedto build 89 houses. This is more toprovocation action from other villageswhich do not receive housing assistance.

Housing problem also occurred inLabuhan Bakti village, Teupah Selatan,Simeulue, which was one of the mostdamaged area of tsunami. According toIskandar, the village head of LabuhanBakti, up to now there has been nohousing assistance nor publicinfrastructure in the area. CAREInternational and Re-Kompak had visitedthe area and promised to build them

41Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Keinginan & Aspirasi | Wishes and Aspiration

Page 42: Rumah bantuan bukan hanya angka

tsunami, setelah masyarakat menyediakan lahan untukpembangunan rumah yang telah dijanjikan oleh CareInternational dan Re-Kompak, namun sampai saat inirumah yang dijanjikan itu belum terealisasikan. Padahalmasyarakat telah menghabiskan dana Rp. 3.000.000,-untuk mempersiapkan lahan dan administrasi, alasan dariCare International membatalkan pembangunan rumahkarena pihak Re-Kompak akan membangun rumah didesa Labuhan Bakti. Masyarakat Labuhan Bakti berharapsebelum dibangun rumah, agar mereka bisa diberikanshelter untuk sementara, karena sudah 2 tahunmasyarakat tinggal ditenda. Kebutuhan rumah di desaLabuhan Bakti sebanyak 258 KK sudah termasuk KepalaKeluarga tambahan, sebelum tsunami jumlah KKsebanyak 218 KK sampai saat ini tidak ada satupunrumah yang dibangun. BRR NAD-Nias juga pernahberjanji akan melakukan survey lapangan, namun sampaisaat ini juga belum dilakukan.

Keterlambatan pembangunan rumah di Aceh Singkil jugadiungkapkan oleh Edi Manik dan Wahyuni penduduk DesaLahan Baru Siti Ambia (Aceh Singkil), keterlambatan ituberawal disebabkan pembebasan tanah warga yang agaklama mengingat keterbatasan dana dari pemerintahdaerah kemudian setelah pemerintah membebaskantanah warga, pihak Caritas juga belum bisa melaksanakanpembangunan rumah karena jalan untuk mengantarlogistik tidak bisa dilewati mobil berat. Pembangunanrumah di Desa Teluk Ambon dan Takal Pasir lumayanbagus karena kayu yang digunakan bagus dan rumahsesuai dengan keinginan masyarakat yang lengkapdengan listrik, kamar mandi dan tanki penampung air.

Dari Aceh Barat persoalan pembangunan rumah bantuanseperti diungkapkan oleh Afrila Wakil Ketua Barak PadangSerahet yang sudah menempati barak sejak tanggal 1 Juli2005, warga sangat kecewa atas kinerja NGO yangmenangani rumah mereka karena sampai saat ini belumselesai juga, padahal lahan pembangunan rumah sudahada. Khusus untuk Rumah bantuan masyarakat Padangserahet dibangun oleh NGO Caritas, sedangkan bagiyang statusnya penyewa dibangun oleh Budha Tsu-Chi.Hal yang sama juga diutarakan oleh M. Dahlan KetuaBarak Ceukok Malek masyarakat yang menepati barakCeukok Malek yang sampai saat ini juga belum memilikirumah bantuan.

house, but it did not happen. Communityhave spent Rp. 3 million on administrativeand to prepared land. CARE Internationalrefused because Re-Kompak will buildthem house in Labuhan Bakti. LabuhanBakti community only hope that evenbefore donors build house, they would builttemporary shelter. Community has beenliving in tents for almost 2 years now.Community needs houses for 258households, which is already includingadditional householde, which previouslybefore tsunami was 218 households.Today, there are still no houses built. BRRNAD-Nias ever promised to conduct fieldsurvey, but it hasn't been implemented upto now.

Delays on housing implementation alsostated by Edi Manik and Wahyuni,communities of Lahan Baru Siti Ambiavillage (Aceh Singkil). Delay was causedby the long process to free the landconsidering there were limitation in thegovernment's budget. After governmentsettled the land, Caritas could not start theimplementation immediately because thelocation is hard to reach by hard vehicles.Housing project in Teluk Ambon and TakalPasir are according to community's desire,because it has good quality of wood, alongwith electricity, bathroom, and water tank.

Another housing project problem fromAceh Barat. According to Afrila, vice chiefof Padang Serahek barrack, peoplealready live in the barrack since July 1st,2005, but the houses are not ready yet.They are very dissapoint with NGOs, whilethey have already provided the land. Forthose who had house before tsunami, willget housing assistance from Caritas, andthose who rent house will get houseassistance from Budha Tsu-Chi. M.Dahlan, chief of Ceukok Malek barracksexpressed the same thing, that up to nowCeukok Malek community still have notreceived any housing assistance yet.

42 Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh

Kertas Analisis | Analysis Paper

Page 43: Rumah bantuan bukan hanya angka

LSM Lokal

Jairahim, Koordinator Solidaritas Anti Korupsi Simeulue(SAKSI), proses pembangunan rumah bantuan bagikorban tsunami di Kabupaten Simeulue mempunyaikendala yang sangat besar seperti kedudukan satuankerja (satker) untuk Kabupaten Simeulue di tempatkan diSubulussalam (Aceh Singkil), sehingga antara pengambilkebijakan dengan kontraktor pelaksana proyek posisinyasaling berjauhan. Dalam hal ini kontraktor jelasmengeluarkan biaya perjalananan yang cukup besarharus hilirmudik dari Simeulue ke Aceh Singkil, otomatisseperti kita ketahui bersama kontraktor tidak mau rugikarena mereka adalah orang yang mencari keuntungan.Kami mengharapkan kepada BRR sebelum mengadakankontrak pembangunan rumah terlebih dahulu BRRmelakukan perencanaan yang matang seperti verifikasidata faktual terhadap calon penerima bantuan danlainnya, sehingga tidak terjadi keterlambatan seperti ini.

Lebih lanjut ungkapan terhadap proses rahabilitasi danrekonstruksi diungkapkan oleh Hafidh (Perwakilan LSMMaTA wilayah Aceh Utara/Bireuen) yang mengharapkanLSM/NGO Implementor memaksimalkan controllingterhadap pelaksanaan proses pembangunan rehabilitasidan rekonstruksi Aceh, agar sesuai dengan tujuan yangdiharapkan. Sedangkan masyarakat sendiri diharapkanagar lebih partisipatif terhadap proses pengawasanpembangunan perumahan mereka sendiri sehinggapembangunan sesuai dengan bastek yang telahditetapkan.

Local NGO

Jairahim, coordinator of Simeulue Anti-Corruption Solidarity (SAKSI) said thathousing development process for tsunamivictims in Simeulue has big problembecause the working unit (Satker) is placedin Subussalam (Aceh Singkil). It means thatthe y have wide distance between decisionmaker and policy implementator(contractor) in the field. Obviously,contractor has to spent more to transportbetween Simeulue and Aceh Singkil backand forth. Common sense, contractor wouldnever want to have themselves lossbecause they always seek for benefit. Wehope that BRR would conduct a wellplanning, like factual data verification to thebeneficiaries candidates, so there won't beany delays as such.

Moreover, expression toward Acehrehabilition and reconstruction came fromHafidh (representative of local NGO MaTAin Aceh Utara/Bireuen) who wish thatimplementing NGO should maximize theircontrol in the process, so that it would stickto the initial objection. Community are alsoexpected to be more participative in thesupervision process, so the developmentwould go according to plan.

43Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers

Keinginan & Aspirasi | Wishes and Aspiration

Page 44: Rumah bantuan bukan hanya angka
Page 45: Rumah bantuan bukan hanya angka
Page 46: Rumah bantuan bukan hanya angka