refer at

41
MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI Ocisa Zakiah*, Donni Indra Kusuma** ABSTRACT Pain is a sensory and emotional experience unpleasant due to damage or threat of damage to the network. Postoperative pain is pain that is felt as a result of surgical outcomes. Postoperative pain not only occur after a major operation, but also after minor surgery. Pain can be acute and may also occur in chronic felt by the patient. early identification of patients at risk of post-operative pain are useful in therapeutic interventions and better management. Key Word: Postoperative pain, Pain Management ABSTRAK Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Nyeri pasca operasi merupakan nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Nyeri pasca operasi tidak hanya terjadi setelah operasi besar, tetapi juga setelah operasi kecil. Nyeri dapat terjadi secara akut dan juga dapat dirasakan terjadi secara kronik oleh penderita. Identifikasi awal pada pasien dengan resiko 1

Upload: ocisa-zakiah

Post on 16-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kjojk;pl;llj

TRANSCRIPT

MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI Ocisa Zakiah*, Donni Indra Kusuma**

ABSTRACTPain is a sensory and emotional experience unpleasant due to damage or threat of damage to the network. Postoperative pain is pain that is felt as a result of surgical outcomes. Postoperative pain not only occur after a major operation, but also after minor surgery. Pain can be acute and may also occur in chronic felt by the patient. early identification of patients at risk of post-operative pain are useful in therapeutic interventions and better management.

Key Word: Postoperative pain, Pain Management

ABSTRAKNyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Nyeri pasca operasi merupakan nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Nyeri pasca operasi tidak hanya terjadi setelah operasi besar, tetapi juga setelah operasi kecil. Nyeri dapat terjadi secara akut dan juga dapat dirasakan terjadi secara kronik oleh penderita. Identifikasi awal pada pasien dengan resiko nyeri pasca operatif berguna dalam intervensi dan manajemen terapi yang lebih baik.

Kata kunci: Nyeri pasca operasi, manajemen nyeri

*Coassistant Anestesiologi FK Trisakti**Dokter spesialis Anastesiologi BLU RSUD Kota Semarang

PENDAHULUANNyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1,2 Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3 Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2

DEFINISI NYERIThe International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. 1,5

KLASIFIKASI NYERIBerdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:3,61. Nyeri somatik luarNyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi2. Nyeri somatik dalamNyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat3. Nyeri viseralNyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeriAksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeriAksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)Aksis IV : awitan terjadinya nyeriAksis V : etiologi nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:7a. Nyeri nosiseptifKarena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.b. Nyeri neurogenikNyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.c. Nyeri psikogenikNyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:2a. Nyeri akutNyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah yang tampak seperti menyeringai atau menangis

Bentuk nyeri akut dapat berupa:1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral

b. Nyeri kronikNyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:2a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita tidur.c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

Gambar 1. Mekanisme Nyeri6

FISIOLOGI DAN ANATOMI NYERISalah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen :6

Gambar 2. Lintasan Impuls Nyeri6

a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawl respon).g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis.

JALUR NYERIRangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:7

MODULATIONTRANSMISSIONTRANSDUCTIONPERCEPTION

Gambar 3. Proses perjalanan nyeri10

1. TranduksiAdalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.7,8

2. TransmisiAdalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.7,8,9Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk nyeri cepat spontan dan traktus paleospinothalamic untuk nyeri lambat.Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A- dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores.Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon.Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic.Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala.Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.8.9

3. ModulasiMerupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.7,9

4. PersepsiImpuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri. Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleks.Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. 8Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi.Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.8,10SENSITISASI SENTRALSuatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.5,6,9Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.9

Gambar 4. Skema sensitasi sentral11

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.10,11Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.11Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.9,11

SISTEM INHIBISI TERHADAP NYERITidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti :2,3,51. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.2. Serat inhibisi desendens.Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleusc. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger WesphalKetiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.

3. Betha endorphin.Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.4. OpioidPAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.

PENGUKURAN INTENSITAS NYERINyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit.Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain :1,7,121. Verbal Rating Scale (VRSs)Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu: - tidak nyeri (none) - nyeri ringan (mild) - nyeri sedang (moderate) - nyeri berat (severe) - nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. 0menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 5. Numeric pain intensity scale7

3. Visual Analogue Scale (VASs)Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 6. Visual Analog scale7

5. The Faces Pain ScaleMetoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 7. Faces Pain Scale7

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol

PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.1. Obat analgetika non-narkotika.Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS). Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang. Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul, sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler, dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan. Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah kehilangan darah. Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.4,5

Kontraindikasi AINS Riwayat tukak peptik Insufisiensi ginjal atau oliguria Hiperkalemia Transplantasi ginjal Antikoagulasi atau koagulopati lain Disfungsi hati berat Dehidrasi atau hipovolemia Terapi dengan frusemide Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

Gunakan AINS dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada : Pasien > 65 tahun Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit pembuluh darah ginjal Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat. Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal.Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.5,14.

2. Obat analgetika narkotikObat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma, Delta dan Epsilon.Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi. Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik intra muskuler maupun intravena.Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga tersedia dalam kemasan supositoria. Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi pengawas penggunaan obat-obat narkotika.Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis medulla spinalis di tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang epidural atau kedalam ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang digunakan menjadi sangat kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan durasi analgesia yang sangat lama/panjang.Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat kecil.4,5,143. Kelompok obat anestesia lokal.Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal.ObatMaksimum untuk filtrasi lokalMaksimum untuk anestesi pleksus

Lidocaine (lignocaine)

3mg/kg4mg/kg

Lidocaine dengan Adrenalin

5mg/kg7mg/kg

Bupivacaine

1,5mg/kg2mg/kg

Bupivacaine dengan adrenalin

2mg/kg3,5mg/kg

Prilocaine

5mg/kg7mg/kg

Prilocaine dengan adrenalin5mg/kg8mg/kg

Tabel 1. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.5,9Komplikasi bisa terjadi: Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang menyertai blok saraf besar. Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan henti jantung. Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan mediko-legal. Ekstra hati-hati diperlukan ketika memberikan obat.14

ANALGESIA BALANSObat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu mudah dapat dikerjakan.2 Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang.6Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari. Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan AINS, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat analgetika non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.7,14

ANALGESIA PREEMTIFDiatas sudah dijelaskan bahwa bila seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang masuk.Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan dari sensari nyeri diketahui.

KESIMPULANNyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita juga diatasi. Pengobatan yang direncanakan untuk menangulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang mendasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Pemahaman tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford: Appleton and Lange, 1996, 274-316.2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Jakarta, 2001.4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-255. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonicas Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-656. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain Management and Intensive Care, London, 2003, 78-1027. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 20058. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif, Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.9. Melati,, Endang, Pediatric Pain Management In Trauma,, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 2003.10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makasar, 2002.12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.13. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-37.14. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif, Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420

3