presus anak demam tifoid

16
MINI REFERAT DEMAM TIFOID Penguji: dr. Supriyanto, Sp.A Disusun Oleh : Venny Tiursani S G1A008026 Dwi Putra Ramadhani G1A008031 Sekar Niti W. G1A008032 M. Nur Hanief G1A008033 Prima Aditya W. G1A008034 Rahmah Fitri U. G1A008035 Rachma Dewi A. G1A008036

Upload: prima-aditya-wicaksana

Post on 18-Feb-2015

24 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Presus Anak Demam Tifoid

MINI REFERAT

DEMAM TIFOID

Penguji:

dr. Supriyanto, Sp.A

Disusun Oleh :

Venny Tiursani S G1A008026

Dwi Putra Ramadhani G1A008031

Sekar Niti W. G1A008032

M. Nur Hanief G1A008033

Prima Aditya W. G1A008034

Rahmah Fitri U. G1A008035

Rachma Dewi A. G1A008036

STASE ILMU KESEHATAN ANAK

BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE III

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2011

Page 2: Presus Anak Demam Tifoid

DEMAM TIFOID

1. Definisi

Demam tifoid ( enteric fever ) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh

Salmonella thypi dan biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang

lebih dari satu minggu , gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.

2. Epidemiologi

Data WHO pada tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam thypoid

di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara

berkembang, kasus demam thypoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana sebanyak

95% merupakan kasus rawat jalan, sehingga insidensi yang sebenarnya 15- 25 kali lebih

besar dari laporan rawat inap dirumah sakit. Kasus demam thypoid di Indonesia menyebar

secara merata diseluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000

penduduk/tahun, dan didaerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun, atau sekitar 600.00

dan 1,5 juta kasus pertahun. Umur yang terkena kasus ini di Indonesia dilaporkan antara

usia 3 – 9 tahun pada 91% kasus.

3. Etiologi

Penyebab demam tifoid dan paratifoid adalah :

a. S. thypi , S. parathypi B dan S. parathypi C

b. Bakteri – bakteri Salmonella ( gram negatif bacillus dari famili enterobacteriaceae)

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman salmonella thyposa dan mempunyai masa

inkubasi selama 7 – 14 hari. Salmonella thypi hanya dapat menyebabkan gejala demam

thypoid pada manusia. Salmonella thypi termasuk bakteri family enterobacteriaceae dari

genus salmonella. Kuman berspora, motil , berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada

suhu optimal 37O C , bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang

mengandung empedu. Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S. thypi sebanyak 105 - 109

yang tertelan melalui makan dan minuman.

4. Diagnosis

a. Metode diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat

oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai

Page 3: Presus Anak Demam Tifoid

penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode

terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.

b. Manifestasi Klinis

Demam > 7 hari ( step ladder temperature chart), biasanya dimulai demam yang

meninggi, pada minggu kedua demam tinggi terus menerus terutama malam hari,

pada siang hari suhu agak menurun tapi suhu tidak pernah mencapai nilai normal

( intermitten).

Gejala konstitusional : nyeri kepala, malaise, mialgia, anoreksia

Gejala gastrointestinal : obstipasi, diare, mual, muntah atau kembung

Gangguan saraf sentral : apatis, kesadaran menurun, mengigau, delirium

Hepatomegali ringan

Splenomegali

Skibala

Lidah kotor tepi hiperemis

Bradikardi relatif

Rose spot ( dijumpai pada orang kulit putih)

Dalam minggu pertama , keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada

umumnya yaitu , demam nyeri kepala, pusing , nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,

obstipasi, dan diare, perasaan tidak enak pada perut. Pada pemeriksaan fisik hanya

didapatkan suhu badan meningkat.

Pada minggu kedua gejala – gejala semakin jelas berupa demam, brakikardi relatif,

lidah yang khas ( kotor dibagian tengah, tepi dan ujung lidah merah serta tremor),

hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor,

koma, delirium, atau psikosis, rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1 – 6 mm dan

dapat timbul di kulit dada dan abdomen tetapi jarang timbul pada orang Indonesia.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan darah rutin

Leukopeni ( 47% dari kasus) 2000 – 3000 mm3 sampai dengan 5000 mm3. Bila

ada leukositosis ( 4% dari kasus) hati – hati ada penyulit, perforasi atau infeksi

sekunder.

Limfositosis relatif ( pasien tetap leukopeni tetapi persentasi leukosit lebih

banyak dari normal)

Page 4: Presus Anak Demam Tifoid

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia

dapat pula terjadi kadar leukosit atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi

walaupun tanpa disertai oleh infeksi sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan

anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat

terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat

meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi

normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak perlu penanganan khusus.

2) Pemeriksaan bakteriologik

a) Biakan Gall, biakan dapat diambil dari :

Sum – sum tulang pada minggu ke I dan II

Darah pada minggu ke I dan II ( 70 % - 90% ), pada minggu ke

II dan III ( 30% - 40% ).

b) Biakan pada agar Salmonella thypi, diambil dari :

Tinja pada minggu ke II sampai minggu ke III

Urine pada minggu ke III sampai minggu ke IV

Bila Gall positif diagnosa pasti dari thypoid tetapi bila negatif belum tentu bebas

dari thypoid, tergantung dari tehnik pengambilan bahan, waktu, perjalanan penyakit

dan post vaksinasi. Pada pemeriksaan feses mikroskopis dari pasien demam thypoid

terkadang dapat ditemukan fecal monocytes.

3) Pemeriksaan Serologik

Uji Widal

Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.thypi. pada uji

Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Thypi dengan antibodi

yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi

Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal

adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam

thypoid yaitu aglutinin O ( dari tubuh kuman) , aglutinin H (flagela kuman) , dan

aglutinin Vi ( simpai kuman).

Dari ketiga agluitinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam thypoid. Semakin tinggi titernya semakin tinggi kemungkinan

infeksi kuman nya.Interpretasi hasil pemeriksaan pada uji Widal adalah :

Page 5: Presus Anak Demam Tifoid

Positif jika titer O meningkat lebih dari 1/160 atau peningkatan > 4x pada

pengambilan serum yang berangkaian.

Nilai titer O 1/180 menunjukan suggestif thypoid.

Nilai positif titer H adalah > 800 semua hasil tersebut dengan syarat tidak

menerima vaksinasi thypoid dalam 6 bulan terakhir.

Peninggian titer H 1/160 menunujukan bahwa penderita pernah divaksinasi atau

terinfeksi S. Thypi.

Titer Vi ( antigen kapsul) meninggi pada pembawa kuman atau karier.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu :

Pengobatan dini dengan antibiotik

Gangguan pembentukan antibodi,dan pemberian kortikosteroid

Waktu pengambilan darah

Daerah endemik atau non – endemik

Riwayat vaksinasi

Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam

thypoid akibat infeksi demam thypoid masa lalu atau vaksinasi.

Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain

Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna

diagnostik untuk demam thypoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan

saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai

laboratoium..

5. Patogenesis

Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya organisme yang

mengontaminasi air atau makanan. Dosis infeksinya ialah 103-106 unit koloni. Kondisi

yang menurunkan baik keasaman lambung (umur <1 tahun atau penyakit aclorhdric) atau

integritas usus (Inflamatory bowel disease, atau perubahan flora usus karena pemberian

antibiotik) meningkatkan resiko untuk terinfeksi salmonella (Fauci. Et. Al. 2008).

Ketika salmonella mencapai usus kecil, mereka melakukan penetrasi ke lapisan

mukosa usus dan masuk kedalam lapisan usus melewati sel M yang berada di Plak Peyer.

Setelah melewati membran epitel dari usus kecil, S. Typhi dan S. Paratypi akan difagosit

oleh makrofag. Salmonella ini bertahan di lingkungan antimikroba dari makrofag dengan

Page 6: Presus Anak Demam Tifoid

menangkap sinyal dari lingkungan yang memicu perubahan dalam sistem bakteri fagosit

(Fauci. Et. Al. 2008).

Ketika sudah di fagosit, terjadi multiplikasi didalam sel mononuklear. Monosit tidak

mampu menghancurkan basil pada proses awal sehingga bakteri dapat masuk kedalam

limfonodi mesenterika yang selanjutnya mencapai duktus thorasikus (Ashkenazi, Shai dan

Clearly, Thomas G, 2000). Salmonella disebarkan keseluruh tubuh dalam makrofag

melalui limfatik dan hematogen lalu melakukan proliferasi, Setelah itu salmonela akan

membuat infeksi sekunder dan menjajah jaringan retikulpendotelial seperti (Hepar, lien,

Limfonodi, dan sum-sum tulang) serta dapat menetap di empedu dan usus. Salmonella

yang menetap di usus yang menyebabkan luka pada plak peyeri (Fauci. Et. Al, 2008).

Bakteri yang berada dalam darah akan menyebabkan Bakteremia yang akan menyebabkan

demam karena pelepasan toksin dari salmonella tersebut.

6. Patofisiologi

Tanda dan gejala sepeti demam dan sakit perut biasanya terjadi akibat pelepasan

sitokin oleh makrofag dan sel epitel sebagai respon produk bakteri yang dikenali oleh

reseptor imun bawaan saat jumlah bakteri semakin banyak setelah bereplikasi.

Selanjutnya, perkembangan hepatoslenomegali dihubungkan dengan perekrutan sel-sel

monosit dan pengembangan respon imun spesifik kepada koloni S. Typhy.

Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin (suatu lipopolisakarida

penyebab leukopeni) yang bersama-sama Salmonella typhi merangsang leukosit di

jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen. Nadi terjadi bradicardi relatif

(normalnya frekuensi nadi akan meningkat sebanyak 18x/menit pada setiap peningkatan

suhu tubuh sebanyak 1o C, pada demam typoid denyut nadi akan lebih lambat dari

perhitungan yang seharusnya), hal ini disebabkan oleh karena efek endotoksin pada

miokard.

Lidah, typhoid tongue, dengan warna lidah putih kotor kecoklatan dengan ujung dan

tepi hiperemis dan terdapat tremor. Kulit, Rose spot, adalah suatu rash yang khas untuk

tipoid, terjadi pada akhir minggu ke I sampai minggu ke III terutama pada dinding dada

dan perut. Hal ini terjadi karena infiltrasi oleh sel monosit pada ujung-ujung kapiler yang

disebabkan oleh infiltrasi kuman Salmonella typhi pada kulit, yang menyebabkan

terjadinya proses radang, sehingga terjadi perembesan dari sel eritrosit, karena

permeabilitas kapiler meningkat.

Page 7: Presus Anak Demam Tifoid

Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid

7. Penatalaksanaan Demam Tifoid

1. Tirah baring

Pada pasien demam tifoid dilakukan tirah baring secara sempurna untuk mencegah

terjadinya komplikasi perdarahan dan perforasi usus. Apabila terjadi gangguan

kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah pada waktu tertentu untuk mencegah

terjadinya pneumonia hipostatik dan dekubitus. Setelah keadaan klinis membaik

mobilisasi bertahap dilakukan sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Hindari

pemasangan kateter apabila tidak benar-benar dibutuhkan.

S. Typhi/ S. Paratyphi

Multiplikasi di dalam sel mononuklear

Penetrasi ke mukosa dan di fagosit

Mecapai RES (Hepar, Lien, Sumsum tulang)

Peredaran darah

limfonodi mesenterica Duktus thorasicus

Saluran pencernaan dan menempel di Usus (sel M di plak Peyeri)

Kulit Pelepasan endotoksin

Usus

Rose Spot Perlukaan pada plak peyer

Nyeri Perut, mual, muntah.

DemamHepatopsplenomegali

Ulserasi

Perdarahan dan Perforasi

Anemia dan peritonitis

Kekurangan volume cairan

Page 8: Presus Anak Demam Tifoid

2. Diet

a. Harus cukup kalori, protein, cairan dan elektrolit.

b. Mudah dicerna dan halus.

c. Tipe diet :

1) Tipe I : Bubur susu/cair tidak diberikan pada pasien yang demam tanpa

komplikasi.

2) Tipe II : Bubur saring.

3) Tipe III : Bubur biasa.

4) Tipe IV : Nasi tim.

d. Prinsip pengelolaan dietetik pada typhoid padat dini, rendah serat/rendah selulosa.

e. Typoid diet biasanya dimulai dari tipe II, setelah 3 hari bebas demam menjadi tipe

III, sampai 3 hari kemudian dapat diganti kembali menjadi tipe IV.

f. Harus diberikan rendah serat karena pada typoid abdominalis ada luka di ileum

terminale bila banyak selulosa maka akan menyebabkan peningkatan kerja usus,

hal ini menyebabkan luka makin hebat.

3. Terapi simptomatik

a. Demam

Analgetik-antipiretik : Paracetamol

b. Muntah : Prochlorperazine (Stemetil) dengan dosis 3 x 5mg atau 3 x 10 mg

c. Diare : Diphenoxylate hydrochloride (Lomotil, Reasec) 4 x 2 tab

d. Laxantia untuk memudahkan BAB

e. Dexamethasone 3 mg/kgBB IV, selanjutnya 1 mg/kgBB setiap 6 jam sebanyak 8

kali. Diberikan pada pasien dengan gangguan kesadaran serta demam yang tak

membaik.

4. Terapi antimikroba

a. Lini pertama

1) Kloramfenikol (50 – 100 mg/kgBB/hari maksimal 2 gr selama 14 hari dosis

terbagi 4).

2) Ampisillin atau Amoxicillin (100 mg/kgBB/hari selama 10 hari)

3) Trimetroprim-Sulfametoksazol (TMP 6 – 10 mg/kgBB/hari, SMX 30 – 50

mg/kgBB/hari selama 10 hari)

b. Lini kedua

1) Seftriakson (80 mg/kgBB/hari maksimal 2 – 4 gr/hari selama 3 – 5 hari dosis

tunggal).

Page 9: Presus Anak Demam Tifoid

2) Cefixime (15 – 20 mg/kgBB/hari selama 10 hari dosis terbagi 2)

3) Quinolone (2x500 mg selama 7 hari namuntidak dianjurkan pada usia < 18

tahun).

8. Komplikasi

1. Tifoid toksik

Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan

kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.

2. Syok septic

Penderita dengan sindrom demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia

yang berat. Didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus

dan cepat, keringatan serta akral dingin.

3. Perdarahan dan perforasi

Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoshezia dan pemeriksaan feses.

Perforasi ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas

dalam rongga abdomen yang dibantu dengan pemeriksaan foto polos 3 posisi.

4. Hepatitis tifosa

Hepatitis tifosa merupakan suatu diagnosis klinis yang ditandai dengan ikterus,

hepatomegali, serta kelainan fungso hati.

5. Pancreatitis tifosa

Pancreatitis tifosa merupakan diagnosis klinis yang ditandai dengan gejala pancreatitis

akut dengan peningkatan enzim lipase dan amylase. Pemeriksaan dapat dibantu

menggunakan USG dan CT scan.

6. Pneumonia

Didapatkan tanda dan gejala pneumonia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan foto

polos thoraks.

9. Pencegahan

1. Penatalaksanaan yang adekuat sehingga mencegah terjadinya kasus relaps, karier dan

resistensi tifoid.

2. Perbaikan sanitasi lingkungan

3. Peningkatan hygiene makanan dan minuman

4. Peningkatan hygiene perorangan

5. Pencegahan dengan imunisasi

Page 10: Presus Anak Demam Tifoid

a. Vaksin Oral Ty 21a Vivotif Berna

Vaksin ini mempunyai daya proteksi 36% - 66% dan memiliki lama proteksi 5

tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, anak <6

tahun, dan penderita imunokompromais.

b. Vaksin Parenteral sel utuh

Vaksin ini terdiri dari 2 jenis yaitu K Vaccine dengan daya proteksi 79% - 89%

dan L vaccine dengan daya proteksi 51% - 66%.

c. Vaksin Polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux

Vaksin ini mempunyai daya proteksi 60% - 70% pada orang dewasa dan anak

diatas 5 tahun. Vaksin ini memiliki lama proteksi 3 tahun dan dikontraindikasikan

pada keadaan hipersensitif, demam, anak 2 tahun, wanita hamil dan menyusui.

(Kemenkes, 2006)

10. Prognosis

Mortalitas 20% - 50%, dimana hal ini dipengaruhi oleh:

1. Umur.

2. Keadaan umum sebelum pembedahan.

3. Diagnosa yang lambat (>24 jam).

4. Terdapat sepsis intraperitoneal.

5. Perforasi ulang atau penyulit lainnya.

Page 11: Presus Anak Demam Tifoid

DAFTAR PUSTAKA

Ashkenazi, Shai dan Clearly, Thomas G. 2000. Infeksi Salmonella dalam Nelson: Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Edisi 15. Jakarta: EGC.

Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.

Fauci. Et. Al. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine: Salmonellosis. 17th Edition. McGraw-Hill Companies. USA

Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43

Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.

Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2002. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 367-375

http://kemenkesri//go.id