preskes tb-dm fix

Upload: cupit19903568

Post on 06-Apr-2018

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    1/47

    PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS PADA

    PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II

    Oleh:

    Aditya Iqbal Maulana G0007028

    Cupuwatie Cahyani G0007053

    I Putu Kharisma

    Raisa Amini G0007135

    Melisa Esti G000

    Pembimbing

    dr. Jatu Aphridasari , Sp. P

    KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT PARU

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

    S U R A K A R T A

    2011

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    2/47

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

    infeksi Mycobacterium tuberculosis complex, yang terkait erat dengan mortalitas

    di seluruh dunia. TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

    dunia, sehingga pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)

    mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Diperkirakan sekitar sepertiga

    penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. 1

    Pada tahun 2004, WHO menyatakan adanya 8.8 juta kasus barutuberculosis pada tahun 2002 dengan 3.9 juta kasus diantaranya adalah kasus BTA

    (Basil Tahan Asam) positif. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 2-3

    juta setiap tahun, dengan jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia

    Tenggara sebanyak 625.000 orang. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%

    kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang.1

    Sekitar 75% pasien TB tergolong ke dalam kelompok usia produktif (15-

    50 tahun), sehingga TB juga memberikan dampak buruk dalam bidang ekonomi.

    Selain itu, TB juga memberikan dampak buruk secara sosial akibat stigma yang

    ditimbulkan olehnya.1

    Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat

    di Indonesia. Data WHO tahun 2006 menyatakan bahwa Indonesia sebagai

    penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah

    kasus baru sekitar 539.000 kasus dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang

    pertahun. Selain itu, setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita

    TBC dengan BTA (+) (Barnawi, 2004). Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor

    satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga

    setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut. Diperkirakan pada tahun

    1995 terdapat 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh

    dunia. Kira-kira 95% dari kasus TB dan 98% kematian akibat TB di seluruh dunia

    terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.1,2

    Diabetes diasosiasikan dengan risiko tinggi tuberkulosis rekurens. Di India

    sekitar 4,3% (20.707.639) penduduk menderita diabetes dan 939.064 mempunyai

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    3/47

    tuberkulosis paru, sekitar 575.900 BTA positif. Pada meta analisis oleh Jeon dan

    Murray, ditemukan bahwa pasien diabetes memilki resiko mengidap tuberkulosis

    3 kali lipat dibanding pasien non-diabetes. Hal tersebut diakibatkan oleh

    terjadinya perubahan status imunitas pada pasien diabetes, yaitu ditemukan

    depresi dari jumlah limfosit T (imunitas seluler) dan produksi sitokin. Makrofag

    alveolar tidak teraktivasi oleh M.tuberculosis sehingga tidak terjadi sekresi nitric

    oxide yang dapat membunuh M. tuberculosis.2

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    4/47

    BAB II

    STATUS PASIEN

    A. IDENTITAS

    Nama : Tn. P

    Umur : 66 th

    Jenis kelamin : Laki-laki

    Pekerjaan : Supir

    Alamat : Bakalan 4/3, Nguter, Sukoharjo

    No. RM : 01.08.48.58

    Agama : Islam

    Masuk RS : 12 September 2011

    Pemeriksaan : 12 September 2011

    B. DATA DASAR

    ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis, tanggal19 Juli 2011)

    1. Keluhan Utama

    Batuk

    2. Riwayat Penyakit Sekarang

    Pasien adalah kiriman dari Rumah Sakit Afiyah Insani Sukoharjo,

    datang dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Batuk

    terjadi kumat-kumatan, batuk disertai dahak berwarna kehijauan, batuk

    darah (-). Pasien juga mengeluh demam sumer-sumer, keringat malam

    hari, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan dalam satu bulanterakhir terakhir. Sesak nafas (-), nyeri dada (-), banyak minum (+),

    banyak buang air kecil (+). Pasien mengaku belum pernah memeriksakan

    diri ke puskesmas dan hanya membeli obat batuk sendiri namun batuk

    belum berhenti. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, pasien

    memeriksakan diri ke puskesmas Nguter karena batuk semakin parah,

    kemudian pasien diminta melakukan pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-

    sewaktu didapatkan hasil BTA +3. Pasien kemudian dimondokkan di

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    5/47

    rumah sakit Afiyah Insani Sukoharjo dan karena keadaan umum pasien

    makin lemah, pasien akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Moewardi.

    3. Riwayat Penyakit Dahulu

    Riwayat Asma : (-) disangkal

    Riwayat Alergi : (-) disangkal

    Riwayat DM : (+) diketahui sejak 5 tahun yang lalu, tetapi

    tidak terkontrol

    Riwayat Hipertensi : (-) disangkal

    Riwayat penyakit jantung : (-) disangkal

    Riwayat terapi OAT : (-) disangkal

    Riwayat kontak TB : (-) disangkal

    Riwayat mondok : (-) disangkal

    4. Riwayat Penyakit Keluarga

    Riwayat penyakit serupa : disangkal

    Riwayat hipertensi : disangkal

    Riwayat diabetes mellitus : disangkal

    Riwayat penyakit jantung : disangkal

    Riwayat asma : disangkal

    Riwayat alergi : disangkal

    Riwayat terapi OAT : disangkal

    Riwayat lingkungan sakit serupa : disangkal

    5. Riwayat Kebiasaan

    Riwayat merokok : disangkal

    6. Riwayat Sosial dan Ekonomi

    Pasien adalah seorang laki-laki berusia 66 tahun dengan pekerjaan

    sebagai supir. Pasien kini tinggal dengan istrinya. Rumahnya berdinding

    semen dan berlantai terbuat dari semen Pasien dirawat di RSDM dengan

    fasilitas SKTM.

    7. Riwayat Gizi

    a. Berat badan : 39 kg

    b. Tinggi badan : 164 cm

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    6/47

    c. Indeks masa tubuh: 14,5

    d. Kebiasaan makan: Pasien biasa makan dua hingga tiga kali sehari

    dengan lauk tahu dan tempe. Pasien merasa nafsu makan menurun dan

    disertai penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir.

    C. ANAMNESA SISTEMIK

    Keluhan utama : Sesak nafas

    Kulit : Sawo matang, kering (-), pucat (-), menebal

    (-), gatal (-), luka (-), kuning (-).

    Kepala : Sakit kepala (-), pusing (-), rambut mudah

    dicabut (-), rambut mudah rontok (-)

    Mata : Pandangan kabur (-/-),pandangan dobel

    (-/-), pandangan berputar-putar (-/-),

    berkunang-kunang (-/-).

    Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-),

    gatal (-).

    Telinga : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).

    Mulut : Terasa kering (-), bibir biru (-), pucat (-),

    sariawan (-), gusi berdarah (-), gigi

    berlubang (-), bibir pecah-pecah (-), luka

    pada sudut bibir (-).

    Tenggorokan : Sakit menelan (-), gatal (-).

    Sistem Respirasi : Sesak nafas (-), batuk (+), dahak (+) warna

    kehijauan, mengi (-).

    Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa tertekan (-), rasa

    berdebar (-), sesak nafas karena aktivitas (-)

    Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun

    (+), penurunan BB (+), BAB (+) normal,

    perut sebah (-), nyeri ulu hati (-), mbeseseg

    (-), kembung (-), tinja warna kuning.

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    7/47

    Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-),

    nanah (-), anyang-anyangan(-), sering

    menahan kencing (-), BAK warna seperti

    teh(-).

    Sistem Muskuloskeletal : Lemas (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-),

    bengkak sendi (-).

    Ekstremitas : Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-),

    tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung

    jari dingin (-).

    Bawah Kanan/Kiri: Luka (-), nyeri (-),

    tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung

    jari dingin (-).

    Neuropsikiatri : Kejang (-), emosi tidak stabil (-),

    kesemutan (-), lumpuh (-), gelisah (-),

    menggigau(-).

    D. PEMERIKSAAN FISIK

    Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 12 September 2011

    Keadaan umun :

    Keadaan umum : lemah

    Derajat kesadaran : compos mentis

    Status gizi :

    Berat badan : 39 kg

    Tinggi badan : 164 cm

    Indeks masa tubuh: 14,5

    Vital Sign : Tensi : 110/70

    Nadi : 80x/menit, reguler, kuat, isi dan tegangan

    cukup

    RR : 24x/menit, reguler, tipe thorakoabdominal

    Suhu : 36,0oC

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    8/47

    Kulit : kulit sawo matang, kelembaban cukup, ujud kelainan kulit

    (-),sianosis (-), eritem (-), ikterik (-)

    Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut

    Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya

    (+/+),pupil (isokor 3mm/3mm),

    Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)

    Telinga : sekret (-/-)

    Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)

    Tenggorok : uvula ditengah, tonsil membesar (-), faring hiperemis (-),

    Leher : limfonodi tidak membesar, JVP tidak meningkat.

    Thorax : Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal (-), spider

    nevi (-), pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-)

    , pembesaran KGB axilla (-/-).

    Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

    Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat di SIC IV

    linea midclavicularis sinistra

    Perkusi :

    - Kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra

    - Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra

    - Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra

    - Kiri bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra

    Kesan batas jantung kesan tidak melebar

    Auskultasi : Bunyi jantung I II intensitas normal,

    reguler, bising (-).

    Pulmo depan : Inspeksi : statis : simetris;

    dinamis : pengembangan dada kanan = kiri

    Palpasi : fremitus taktil kiri < kanan

    Perkusi : sonor / sonor cenderung redup

    Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah

    kasar

    (+/+)

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    9/47

    Pulmo belakang : Inspeksi : statis : simetris;

    dinamis : pengembangan dada kanan = kiri

    Palpasi : fremitus taktil kiri < kanan

    Perkusi : sonor / sonor cenderung redup

    Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah

    kasar (+/+)

    Abdomen :Inspeksi : dinding perut // dinding dada, venektasi (-)

    Auskultasi : peristaltik (+) normal

    Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

    Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak

    teraba

    Extremitas : Akral dingin

    Oedema

    E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Pemeriksaan Laboratorium Darah

    12/09/11 14/09/11 15/09/11 16/09/11 Satuan nilai rujukan

    Hb 11,6 () Gr/dl 13,5-18,00

    Hct 33 () % 40-54

    AE (uL) 4,1 () 106

    /uL 4,5-5,9

    AL 4,5 103/uL 4,5.103-11.103

    AT 282 103/Ul 150-440

    Gol darah O

    GDS 125 () Pukul 05.00

    120 ()

    Pukul 22.00

    160 ()

    Pukul 05.00

    117 ()

    Pukul 22.00

    174 ()

    mg/dL 80-110

    GDP 120 () 122() mg/dL 70-110

    - -

    - -

    - -

    - -

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    10/47

    GDP 2 jam PP 130 () mg/dL 80-140

    Ureum 30 mg/dl 10-50

    Kreatinin 0,6 mg/dl 0,6-1,3

    Albumin 4,0 g/dl 3,5-5,2

    Na+ 136 134 136 mmol/L 132-146

    K+ 2,7 () 2,8 () 3,2 () mmol/L 3,5-5,1

    Cl 96 99 103 mmol/L 98-106

    HbsAg Negatif

    SGOT 29 UI/L 10-40

    SGPT 19 UI/L 10-37

    Bilirubin total 0,9 mg/dl 0,0-1

    Pemeriksaan Radiologis

    Foto thoraks PA (7 September 2011)

    Cor : Kesan tidak membesar

    Pulmo : Corakan bronkovaskuler meningkat

    Tampak bercak-bercak infiltrat dengan bayangan multicavitas di

    kedua Pulmo

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    11/47

    Sudut costophrenicus kanan baik, kiri tertutup perselubungan

    Kesan : Gambaran proses spesifik dupleks

    Gambaran efusi pleura kiri

    Foto thoraks lateral sinistra dan right lateral decubitus (12 September 2011)

    Kesan:

    TB paru lesi luas

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    12/47

    F. RESUME

    Pasien datang dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 2 tahun yang

    lalu. Batuk terjadi kumat-kumatan, batuk disertai dahak berwarna kehijauan.

    Pasien juga mengeluh demam sumer-sumer, keringat malam hari, penurunan

    nafsu makan dan penurunan berat badan dalam satu bulan terakhir terakhir.

    Sesak nafas (-), nyeri dada (-), banyak minum (+), banyak buang air kecil (+).

    3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien memeriksakan diri ke puskesmas

    nguter karena batuk semakin parah, kemudian pasien diminta melakukan

    pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-sewaktu didapatkan hasil BTA +3. Pasien

    punya riwayat diabetes mellitus 5 tahun yang lalu.

    Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, composmentis,

    tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/ menit, respirasi rate 24x/menit dan

    suhu 36,0 C. Pada pemeriksaan fisik paru anterior dan posterior ditemukan

    adanya kelainan berupa fremitus taktil yang menurun di lapang paru kiri dan

    suara tambahan berupa ronkhi basah kasar di kedua lapang paru. Pada

    pemeriksaan laboratorium tanggal 12 September 2011 didapatkan penurunan

    Hemoglobin, Hct, Eritrosit, Kalium, dan kenaikan kadar GDS, GDP, GDP 2

    jam PP.

    ABNORMALITAS

    Anamnesis:

    1. Batuk lama lebih dari 2 tahun

    2. Dahak berwarna kehijauan

    3. Demam sumer-sumer

    4. Keringat malam hari

    5. Nafsu makan menurun, serta penurunan BB

    6. Riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu

    Pemeriksaan fisik:

    1. Tampak lemas

    2. RR= 24 x/menit

    3. Fremitus taktil yang menurun di lapang paru kiri

    4. RBK (+/+)

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    13/47

    Pemeriksaan penunjang:

    5. Pemeriksaan BTA +3

    6. Penurunan angka Hb, Hct, Eritrosit, Kalium, dan peningkatan kadar

    GDS, GDP, GDP 2 jam PP.

    7. Foto thoraks PA (7 September 2011) kesan gambaran proses spesifik

    dupleks dan gambaran efusi pleura kiri.

    8. Foto thoraks (8 September 2011) kesan TB paru lesi luas.

    G. ANALISIS DAN SINTESIS

    Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8 Klinis TB paru kasus baru dengan

    Diabetes Mellitus Tipe II tidak

    terkontrol.

    K. DIAGNOSIS

    TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan Multiple

    Cavitas dengan Diabetes Mellitus Tipe II.

    L. TERAPI

    1. 1. O2 3 liter/menit (k/p)

    2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm

    3. Infus KCl 1 flash dalam RL 20 tpm

    4. R/H/Z/E = 300/300/750/750

    5. Ambroxol 3 x 30 mg

    6. Vitamin B Complex 3 x 1

    7. OBH syrup 3 x Cth 1

    M. PLANNING

    1. DR2

    2. Kultur BTA

    3. Konsul interna dan gizi

    4. Edukasi

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    14/47

    N. PROGNOSIS

    Ad vitam :dubia ad bonam

    Ad sanam :dubia ad bonam

    Ad fungsionam :dubia ad malam

    FOLLOW UP

    13 September 2011

    S : sesak - batuk (+)

    O : lemah, compos mentis

    VS : T= 110/70mmHg N=82x/mnt Rr=20x/mnt t=36,5oC

    Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

    Leher : JVP meningkat, KGB membesar

    Thorax : retraksi (-)

    Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

    Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri

    P: fremitus raba kiri < kanan

    P: sonor/sonor cenderung redup

    A: SDV (+/+),RBK (+/+)

    Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba

    W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan

    Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II

    Hipokalemi

    Terapi :

    1. O2 3 liter/menit (k/p)

    2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm

    3. R/H/Z/E = 300/300/750/750

    4. Ambroxol 3 x 30 mg

    5. Vitamin B Complex 3 x 1

    6. OBH syrup 3 x Cth 1

    Plan :

    KCl 1 flash dalam RL 1 flab 20 tpm

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    15/47

    14 September 2011

    S : batuk (+)

    O : lemah, compos mentis

    VS : T= 110/70mmHg N=80x/mnt Rr=20x/mnt t=36,5oC

    Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

    Leher : JVP meningkat, KGB membesar

    Thorax : retraksi (-)

    Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

    Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri

    P: fremitus raba kiri < kanan

    P: sonor/sonor cenderung redup

    A: SDV (+/+), ST (+/+)

    Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba

    W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan

    Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II

    Terapi :

    1. O2 3 liter/menit (k/p)

    2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm

    3. R/H/Z/E = 300/300/750/750

    4. Ambroxol 3 x 30 mg

    5. Vitamin B Complex 3 x 1

    6. OBH syrup 3 x Cth 1

    Elektrolit post koreksi KCL 14 September 2011 pukul 19.00:

    Na : 134 Mmol/L

    K : 2,8 Mmol/L ()

    Cl : 99 Mmol/L

    15 September 2011

    S : batuk (+)

    O : lemah, compos mentis

    VS : T= 110/70mmHg N=100x/mnt Rr=28x/mnt t=36,7o

    C

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    16/47

    Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

    Leher : JVP meningkat, KGB membesar

    Thorax : retraksi (-)

    Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

    Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri

    P: fremitus raba kanan= kiri

    P: sonor/sonor cenderung redup

    A: SDV (+/+), ST (-/-)

    Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba

    W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan

    Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II

    Terapi :

    1. O2 3 liter/menit (k/p)

    2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm

    3. R/H/Z/E = 300/300/750/750

    4. Ambroxol 3 x 30 mg

    5. Vitamin B Complex 3 x 1

    6. OBH syrup 3 x Cth 1

    GDS 15 September 2011

    - Pukul 05.00 : 120 mg/dl

    - Pukul 22.00 : 160 mg/dl

    GDS 16 September 2011

    - Pukul 05.00 : 117 mg/dl

    16 September 2011

    S : batuk (+)

    O : Baik, compos mentis

    VS : T= 120/70mmHg N=80x/mnt Rr=18x/mnt t=36,5oC

    Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

    Leher : JVP meningkat, KGB membesar

    Thorax : retraksi (-)

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    17/47

    Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

    Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri

    P: fremitus raba kanan= kiri

    P: sonor/sonor

    A: SDV (+/+), ST (-/-)

    Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba

    W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan

    Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II

    Terapi :

    1. O2 3 liter/menit (k/p)

    2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm

    3. R/H/Z/E = 300/300/750/750

    4. Ambroxol 3 x 30 mg

    5. Vitamin B Complex 3 x 1

    6. OBH syrup 3 x Cth 1

    GDS 16 September 2011

    - Pukul 22.00 : 174 mg/dl

    GDS 17 September 2011

    - Pukul 05.00 : 153 mg/dl

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    18/47

    BAB III

    TINJAUAN PUSTAKA

    I TUBERCULOSIS

    A. DEFINISI2,3

    Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

    Mycobacterium tuberculosis complex. Yang termasuk dalam kompleks ini

    adalah M. tuberculosis, Varian Asia, Varian Afrika, Varian Afrika II, dan M.

    bovis.

    B. MORFOLOGI DAN STRUKTUR BAKTERI2

    Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit

    melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar

    0,3-0,6 m dan panjang 1-4 m. Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis

    ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang

    disebut cord factor, dan myobacterial sulfolipids yang berperan dalam

    virulensi. Faktor cord ini menghambat migrasi leukosit, menyebabkan

    granuloma kronis, dan dapat berfungsi sebagai adjuvant imunologik. Asam

    mikolat merupakan asam lemak berantai panjang yang dihubungkan dengan

    arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh

    jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri

    tersebut polisakarida. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut

    menyebabkan bakteri M. tuberculosisbersifat tahan asam. Sifat tahan asam ini

    tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin.

    C. PATOGENESIS3,4

    Penularan TB terutama terjadi melalui udara, apabila penderita batuk,

    bersin, atau meludah. Droplet yang dikeluarkan bersifat infeksius, dan

    dikeluakan dalam jumlah besar dengan potensi penularan di setiap dropletnya.

    Penularan hanya dapat berlangsung dari orang yang menderita TB aktif, bukan

    laten. Kemungkinan transmisi tergantung dari jumlah droplet infeksius, lama

    paparan, serta virulensi strain. Produksi dan perkembangan lesi serta

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    19/47

    penyembuhan atau progresifitasnya terutama ditentukan oleh (1) jumlah

    mikobakterium dalam inokulum dan multiplikasi berikutnya, dan (2) resistansi

    dan hipersensitivitas pejamu.

    Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan

    paru, masuk dan bereplikasi di dalam makrofag. Tuberkulosis digolongkan

    sebagai salah satu kondisi inflamasi granulomatosa. Sel-sel seperti makrofag,

    limfosit T, limfosit B dan fibroblast akan beragregasi membentuk suatu

    granuloma, dengan limfosit yang berkumpul mengelilingi makrofag.

    Granuloma tersebut berfungsi untuk mencegah penyebaran kuman, dan

    menyediakan lingkungan untuk komunikasi sel imun. Di dalam granuloma,

    limfosit T akan mensekresikan sitokin-sitokin seperti IFN gamma, yang akan

    mengaktivasi makrofag untuk menghancurkan bakteria. Walaupun begitu,

    bakteri tidak selalui dapat dieliminasi sepenuhnya oleh granuloma, tetapi bisa

    berubah menjadi keadaan dorman, menyebakan adanya infeksi laten. Selain

    itu, pusat granuloma juga dapat terjadi nekrosis, membentuk suatu nekrosis

    perkijuan (kaseosa).

    Kuman TB akan membentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang

    atau afek primer. Sarang ini dapat timbul pada seluruh bagian paru. Dari

    sarang primer, akan terjadi peradangan saluran limfe menuju hilus (limfangitis

    lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di

    hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis

    regional dikenal sebagai kompleks primer. Selanjutnya kompleks primer dapat

    berkembang menjadi, antara lain:

    1. Sembuh tanpa cacat

    2. Sembuh dengan sedikit bekas (sarang Ghon, garis fibrotik, sarang

    perkapuran di hilus)

    3. Menyebar:

    a. Perkontinuitatum

    b. Bronkogen

    c. Hematogen dan limfogen

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    20/47

    Tuberkulosis post primer dapat tibul bertahun-tahun sesudah tuberkulosis

    primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Bentuk TB ini menjadi suatu masalah

    kesehatan karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer

    dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apical lobus

    superior atau lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang

    pneumoni kecil, dengan perjalanan:

    1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa cacat

    2. Meluas, namun segera mengalami penyembuhan dengan penyebukan

    jaringan fibrosis. Selanjutnya akan mengalami pengapuran dan sembuh

    dalam bentuk perkapuran. Sarang dapat menjadi aktif kembali dengan

    membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan

    dibatukkan keluar.

    3. Meluas dan membentuk jaringan keju (kaseosa). Apabila jaringan

    dibatukkan keluar akan muncul kavitas. Kavitas awalnya berdinding tipis,

    kemudian akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan

    menjadi:a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru

    b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) dan disebut

    tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengalami perkapuran dan

    menyembuh, tetapi mungkin aktif kembali, mencair dan menjadi

    kavitas lagi.

    c. Bersih dan menyembuh, disebut sebagai open healed cavity, atau

    kavitas menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.

    Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut

    sehingga kelihata seperti bintang (stellate shaped)

    D. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS3,5,6

    1. Berdasarkan organ tubuh yang terkena:

    a. Tuberkulosis paru

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    21/47

    Adalah tuberkulosis yang menyerang parenkim paru, tidak

    termasuk pleura dan kelenjar pada hilus.

    b. Tuberkulosis ekstraparu

    Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

    misalnya pleura, selaput otak, perikardium, kelenjar limfe, tulang,

    persendian, kulit, usus, ginjal, traktus urinarius, genitalia, dan lain-

    lain.

    2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, untuk TB paru:

    a. Tuberkulosis paru BTA (+)

    Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-

    Pagi-Sewaktu (SPS) menunjukkan hasil BTA positif

    Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak SPS menunjukkan

    BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran

    tuberkulosis aktif

    Hasil pemeriksana satu spesimen dahak SPS menunjukkan

    BTA positif dan biakan positif

    b. Tuberkulosis paru BTA (-)

    Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

    Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis

    Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

    OAT

    Ditentukan (dipertimbangkan) oleh doker untuk diberi

    pengobatan

    3. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

    a. TB paru BTA negatif foto thoraks positif

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    22/47

    Ringan

    Berat: gambaran foto thoraks memperlihatkan gambaran

    kerusakan paru yang luas, dan atau keadaan umum pasien buruk

    b. TB ekstra paru

    Ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang

    (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal

    Berat: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis

    eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran

    kemih dan genitalia.

    4. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (tipe pasien):

    a. Kasus baru

    Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT

    atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

    b. Kasus kambuh (relaps)

    Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

    pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

    lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif atau biakan positif.

    c. Kasus putus obat atau drop out

    Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak

    mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

    pengobatannya selesai.d. Kasus gagal

    Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

    menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

    pengobatan) atau akhir pengobatan.

    e. Kasus kronik

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    23/47

    Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah

    selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan

    pengawasan yang baik.

    f. Kasus bekas TB

    Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi

    paru menunjukkan lesi TB yang tidak akif, atau foto serial

    menunjukkan gambaran yang menetap.

    Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan

    telah mendapatkan pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks

    ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

    E. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS3,6

    Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

    fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang

    lainnya.

    1. Gejala klinis

    Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan

    gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal

    ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

    a. Gejala respiratori

    Batuk 2 minggu: batuk baru timbul apabila proses

    penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh

    karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada

    bronkus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini

    berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan.

    Batuk darah: batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh

    darah. berat dan ringannya batuk darah yang timbul, tergantung

    dari besar kecilnya PD yang pecah.

    Sesak napas: ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    24/47

    kerusakan paru yang cukup luas.

    Nyeri dada: timbul apabila sistem persarafan yang terdapat

    di pleura terkena.

    Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada

    gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

    Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus

    belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada

    gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan

    selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

    b. Gejala sistemik

    Demam: demam merupakan gejala pertama dari TB paru,

    biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai keringat mirip

    demam influenza yang segera mereda. Demam ini hilang timbul

    dan makin lama makin panjang masa serangannya. Demam dapat

    mencapai suhu 40 derajat C.

    Gejala sistemik lain adalah malaise: dapat terjadi rasa tidak

    enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, berat badan

    menurun, sakit kepala, dan mudah lelah.

    c. Gejala TB ekstraparu

    Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya

    pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak

    nyeri dari KGB, pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis,

    sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang

    nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

    2. Pemeriksaan fisik

    Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

    organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    25/47

    kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit

    umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru

    pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks

    dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).

    Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas

    bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah halus, tanda-tanda

    penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.

    Ronki basah halus ditemukan waktu inspirasi dalam yang diikuti

    dengan ekspirasi dalam, terdengar di daerah lesi. Tanda tersebut didapat

    terutama di daerah puncak paru. Pada stadium lebih lanjut yang mana

    proses penyakit makin meluas, kelainan yang ditemukan juga akan makin

    jelas.

    Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari

    banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada

    auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi

    yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran KGB,

    tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran

    kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.

    3. Pemeriksaan Mikrobiologis

    Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

    keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan

    ini mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.

    Spesimen dahak berupa 3 spesimen dahak dalam 2 hari kunjungan yang

    berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu menggunakan pewarnaan Ziehl-

    Nielsen. Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan

    adalah:

    a. 3 atau 2 kali positif, 1 kali negatif: BTA positif

    b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali:

    o Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    26/47

    o Bila 3 kali negatif BTA negatif

    4. Pemeriksaan Biakan Kuman

    Dengan metode konvensional, antara lain:

    a. Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh

    b. Agar base media: Middlebrook

    5. Pemeriksaan Radiologi

    Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas

    indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT scan. Pada sebagian besar TB

    paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara

    mikroskopik dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi

    tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai engan indikasi

    sebagai berikut:

    a. Hanya 1 dari 3 spesimen BTA hasilnya positif

    b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif sete;ah diulang, dan tidak

    ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

    c. Dugaan komplikasi sesak napas berat yang memerlukan penanganan

    khusus (pneumotoraks, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau

    efusi pleura), dan pasien yang mengalami hemoptisis berat

    6. Pemeriksaan Khusus

    Dalam perkembangan kini, tersedia beberapa teknik yang lebih baru

    dan dapat mengidentifikasi kuman TB secara lebih cepat:a. Pemeriksaan BACTEC

    b. PCR

    c. Serologi: belum dipakai untuk pegangan diagnosis

    o ELISA

    o ICT

    o Mycodot

    o Uji peroksidase anti peroksidase

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    27/47

    o IgG TB

    7. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

    a. Analisis cairan pleura

    Dilakukan analisis cairan pleura dan uji Rivalta. Hasil yang

    mendukung adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta

    pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa

    rendah

    b. Pemeriksaan histopatologi jaringan

    c. Pemeriksaan darah

    Pemeriksaan darah rutin sebenarnya kurang spesifik sebagai

    indikator tuberkulosis. Laju endap darah (LED) dapat digunakan

    sebagai indikator penyembuhan.

    d. Uji Tuberkulin

    Hasil yang positif menunjukkan adanya infeksi, namun karenaprevalensi tuberkulosis yang tinggi di Indonesia, kegunaannya sebagai

    alat bantu diagnostik pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai

    maknak bila didapatkan konversi, bula, atau apabila positif bermakna.

    Uji ini dapat memberikan hasilfalse negative pada keadaan tertentu.

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    28/47

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    29/47

    F. PENATALAKSANAAN3,5,6,7,8

    Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

    kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

    mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

    Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai

    berikut:

    1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

    jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan

    gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis

    Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

    2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

    langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

    Menelan Obat (PMO).

    3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

    a. Tahap awal (intensif)

    Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan

    perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

    obat.

    Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

    biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu

    2 minggu.

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    30/47

    Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

    (konversi) dalam 2 bulan.b. Tahap Lanjutan

    Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

    namun dalam jangka waktu yang lebih lama

    Tahap lanjutan penting untuk membunuh kumanpersistersehingga

    mencegah terjadinya kekambuhan

    Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

    Tuberkulosis di Indonesia:

    1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

    2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

    3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

    4. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

    Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket

    berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak

    sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini

    terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

    disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket

    untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari

    Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk

    blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

    pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat

    Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk

    memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)

    pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)

    masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan

    TB:

    1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

    efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

    2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko

    terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    31/47

    3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat

    menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

    Panduan OAT dan peruntukannya.

    1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

    a. Pasien baru TB paru BTA positif.

    b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

    c. Pasien TB ekstra paru

    2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

    sebelumnya:

    a.Pasien kambuh

    b. Pasien gagal

    c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    32/47

    Catatan:

    Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk

    streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

    Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

    Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan

    aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

    3. OAT Sisipan (HRZE)

    Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif

    kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    33/47

    Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida

    (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan

    kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut

    jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga

    meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

    G. PROGNOSIS7,8

    Apabila penderita TB memakan obat dengan tepat waktu sesuai anjuran

    dokter, makan-makanan yang bergizi dan menghirup udara yang bersih,

    prognosisnya dapat sembuh. Walaupun sudah sembuh masih tetap ada kuman

    dorman dalam tubuh maka harus menjaga tubuh agar imunitas tidak menurun.

    Apabila sudah pernah terkena penyakit TB dapat berulang bila imunitas turun.

    Kematian dapat terjadi apabila terjadi penyebaran M. Tuberculosa ke organ

    lain.

    II TUBERKULOSIS PADA DIABETES

    Hubungan diabetes mellitus (DM) dan tuberkulosis telah diketahui sejak

    lama. Semakin banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa DM merupakan

    faktor risiko penting berkembangnya tuberkulosis dan mungkin berpengaruh

    terhadap klinis penyakit serta respons terapi. Diabetes terkontrol buruk dapat

    menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi, antara lain penyakit vaskuler,

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    34/47

    neuropati dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Tuberkulosis sendiri

    dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol kadar

    glukosa darah pada pasien DM.9,10,11

    Diabetes mellitus merupakan kelainan metabolik, dimana kemampuan untuk

    mengoksidasikan karbohidrat menjadi kurang atau hilang sama sekali, oleh karena

    adanya kegagalan aktivitas pankreas, terutama pulau-pulau Langerhans, dan

    dengan konsekuensi gangguan mekanisme pembentukan insulin yang normal.12

    Secara epidemiologi, di India tahun 2000, terdapat sekitar 481.573.000 penduduk

    berusia di atas 25 tahun. Sekitar 4,3% (20.707.639) menderita diabetes dan

    939.064 mempunyai tuberkulosis paru, dan sekitar 575.900 BTA positif.12

    Risiko terjadinya tuberkulosis aktif merupakan proses dengan dua tahapan.

    Tahap pertama dimulai dengan pajanan awal dan infeksi tuberkulosis. Penelitian

    biasanya hanya meneliti tentang terjadinya tuberkulosis aktif pada pasien DM.

    Penelitian lain menunjukkan kejadian TB laten yang cukup tinggi pada pasien

    DM meskipun mungkin hal ini dipengaruhi bias usia dan tidak adanya kelompok

    kontrol. Penelitian di HongKong oleh Leung dkk10 terhadap 42.000 individu

    berusia tua menunjukkan risiko tuberkulosis aktif lebih tinggi pada pasien

    diabetes dibanding individu tanpa diabetes. Peningkatan risiko tersebut hanya

    terjadi pada konsentrasi hemoglobin A1c (HbA1c) lebih besar dari 7%. Penelitian

    metaanalisis yang dilakukan Dooley dkk menunjukkan risiko terjadinya

    tuberkulosis pada pasien DM tiga kali lebih besar dibanding subjek kontrol.10 Pada

    meta analisis oleh Jeon dan Murray, ditemukan bahwa pasien diabetes memilki

    resiko mengidap tuberkulosis 3 kali lipat dibanding pasien non-diabetes.9 Hal

    tersebut diakibatkan oleh terjadinya perubahan status imunitas pada pasien

    diabetes yaitu ditemukan depresi dari jumlah limfosit T (imunitas seluler) dan

    produksi sitokin.12 Makrofag alveolar tidak teraktivasi oleh M.tuberculosis

    sehingga tidak terjadi sekresi nitric oxide yang dapat membunuh M.

    tuberculosis.9,10,12

    Penurunan resistensi alamiah merupakan faktor penting yang menyebabkan

    peningkatan insidensi tuberkulosis pada diabetes. Perubahan kondisi biokimia di

    darah dan jaringan serta penurunan pembentukan antibodi menyebabkan

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    35/47

    penurunan resistensi terhadap basil tuberkulosis.13 Tuberkel pada diabetes lebih

    mudah menyebar dan lebih banyak basil di dalamnya. Penelitian Long dan

    Vorwald10 menunjukkan peningkatan availabilitas gliserol yang berperan pada

    multiplikasi basil di jaringan pasien diabetes.13

    Infeksi tuberkulosis pada DM secara keseluruhan terjadi karena adanya

    defek fungsi fagosit dan CMI.13 Diabetes melitus berpengaruh terhadap fungsi

    makrofag dan limfosit sehingga kemampuan untuk menahan infeksi tuberkulosis

    melemah. Sel efektor penting untuk menahan infeksi tuberkulosis adalah fagosit

    (makrofag alveolar dan monosit prekursor) dan limfosit. Diabetes menyebabkan

    gangguan kemotaksis monosit dan defek ini tidak mengalami perbaikan dengan

    insulin. Gangguan kemotaksis monosit timbul apabila defek respons imun terjadi

    pada granulosit polimorfonuklear atau aktifitas subset limfosit.10,14

    Penelitian pada pasien DM dan tuberkulosis menunjukkan makrofag

    alveolar sulit teraktivasi dan terjadi penurunan produksi hidrogen peroksida.

    Makrofag teraktivasi berperan sebagai APC untuk inisiasi aktivasi limfosit,

    menfagosit antigen untuk pemrosesan dan presentasi via reseptor. Makrofag

    teraktivasi akan menghasilkan IL-2 dan meningkatkan proliferasi sel T. Satu

    penelitian terhadap pasien non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)

    menunjukkan produksi IL-2 oleh monosit dan reseptor dalam jumlah normal

    namun terjadi penurunan populasi monosit yang membawa CR3 sehingga

    perlekatan terhadap antigen berkurang dan fagositosis menurun.10 Bybee dan

    Rogers11 menunjukkan defek fungsional fagosit terjadi karena diabetes dengan

    kontrol glukosa darah yang buruk. Penelitian tersebut menunjukkan kontrol yang

    baik menyebabkan pemulihan defek fagosit.14

    Diabetes mengganggu produksi IFN- oleh sel T, pertumbuhan, fungsi

    dan proliferasi sel T. Interferon- sendiri berperan untuk memperkuat nitric oxide

    dependent intracellular killing activity makrofag. Penelitian pada model hewan

    menunjukkan penurunan produksi IL-12 oleh makrofag, yang merupakan faktor

    untuk menstimulasi sel T. Sesuai penemuan tersebut, penelitian Goto Kakizaki10

    terhadap model tikus non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    36/47

    menunjukkan penurunan produksi IFN , IL-12 dan NO sebagai respons terhadap

    pajanan tuberkulosis.10

    Erokhin dan Gedymin14 menemukan defek pada mekanisme pertahanan

    pejamu akibat makrofag alveolar, sel alveoli tipe II dan fibroblas pada paru pasien

    tuberkulosis dan diabetes. Tskaguchi dkk14 mengukur produksi IL1, TNF dan

    IL-6 dari darah perifer pasien tuberkulosis dan diabetes, menemukan gangguan

    produksi sitokin tersebut sehingga diduga ada hubungan erat antara imunitas

    tuberkulosis dan diabetes.14

    Malnutrisi juga berperan dalam menurunkan aktifitas metabolik

    makrofag dan IL-1 sehingga menyebabkan penyakit bertambah berat. Disfungsi

    hepar juga menyebabkan penekanan glikogen dan hipovitaminosis yang berperan

    penting dalam timbulnya tuberkulosis pada pasien diabetes. Kass14 melaporkan

    disfungsi hipofise yang meningkatkan kerentanan terhadap tuberkulosis. Produksi

    adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan kortikosteroid yang meningkat akan

    menyebabkan bertambahnya respons inflamasi namun pembentukan jaringan

    granuloma mengalami penurunan.14

    Durasi penyakit DM memegang peranan penting dalam perkembangan

    komplikasi diabetes kronik karena terjadi perubahan faal sistem pernapasan dan

    neuropati otonomik diabetes yang dapat menyebabkan penurunan reaktivasi

    bronkus dan bronkodilatasi sehingga terjadi peningkatan risiko infeksi saluran

    napas, termasuk TB pada pasien DM.15 Studi di Turki menerangkan bahwa DM

    tidak mempengaruhi gejala TB dan hanya berkaitan dengan menculnya lesi pada

    lapang paru bawah pada pasien wanita dan pasien lanjut usia. Studi di Rusia

    menjelaskan bahwa pasien TB dengan DM tipe 1 memiliki gejala TB yang akut,

    progresif cepat, dan pembentukan lesi luas dengan kavitas multipel, namun

    terdapat klirens basil dan penyembuhan kavitas yang lebih cepat dibandingkan

    pada penderita TB dengan DM tipe 2.16

    Deshmukh et al menjelaskan gejala pasien DM dengan TB paru berupa

    penurunan keadaan umum yang cepat dengan demam persisten, dan penurunan

    berat badan yang signifikan.Foto rontgen toraks memberikan gambaran atipikal,

    melibatkan lapangan baru bawah, dan sering dengan kavitas.

    Studi di Meksiko

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    37/47

    menerangkan bahwa lesi didapatkan pada lapang paru bawah dan lebih banyak

    kavitas, sedangkan studi di Arab Saudi menjelaskan tidak terdapat perbedaan

    klinis maupun gambaran radiologis antara pasien TB dengan DM dan pasien TB

    non-DM.17,18

    Penggunaan insulin untuk mengontrol gula darah dapat memperbaiki

    status proteksi imun dan sintesis Th1-relatedsitokin. Sehingga pada DM tipe 2,

    insulin digunakan untuk mengontrol gula darah selama masa pengobatan TB,

    setelah selesai pengobatan, dilanjutkan dengan anti diabetik oral.19 Paduan OAT

    pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah

    terkontrol.Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat

    dilanjutkan sampai 9 bulan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek

    samping etambutol pada mata; sedangkan pasien dm sering mengalami

    komplikasi kelainan pada mata.18,20

    Kebanyakan obat anti OAT di metabolisme di hati. Rifampisin akan

    menginduksi enzim sitokrom p450 hati sehingga eliminasi sulfonylurea di hati

    meningkat. Selain itu, OAT akan berefek pada metabolik & endokrin, misalnya

    rifampisin dapat menyebabkan gagal adrenal akut dalam beberapa minggu setelah

    terapi di mulai, isoniazid dan rifampisin menyebabkan gangguan metabolisme

    vitamin D dan hipokalsemia.18,19,20

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    38/47

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    Diagnosis TB pada pasien ini dapat ditegakkan dengan hasil anamnesis,

    pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang antara lain:

    1. Batuk berdahak sejak dua bulan yang lalu, dahak warna kehijauan.

    2. Berkeringat saat malam hari.

    3. Nafsu makan berkurang dan berat badan turun.

    4. Fremitus raba hemithorax kiri lebih menurun dibanding hemithorax kanan.

    5. Suara dasar vesikuler hemithorax kiri terdengar lebih rendah daripada

    hemithorax kanan.

    6. Terdengar suara tambahan ronkhi basah kasar dikedua lapang paru, dan

    amforik pada auskultasi hemithorax kanan.

    7. Pemeriksaan radiologik menunjukkan ada infiltrat di hemithorax kanan,

    dan multipel cavitas di hemithorax kiri.

    8. BTA +3

    Diagnosis TB terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak

    mikroskopis. Cara pengeluaran dahak perlu diperhatikan, sebab tidak jarang

    terjadi kesulitan dalam pengeluaran dahak. Cara yang dapat membantu antara lain

    tarik napas dalam ataupun minum obat yang mampu mengeluarkan dahak. Tiga

    spesimen dahak dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berurutan, yang terdiri

    dari:

    - Sewaktu: dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

    pertama. Saat pulang suspek membawa pot dahak.

    - Pagi: dahak dikumpulkan pada hari kedua segera setelah bangun tidur. Pot

    dibawa dan diserahkan kepada petugas UPK.

    - Sewaktu: dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan

    dahak pagi.

    Hasil pemeriksaan ini dicatat dan dilaporkan apakah hasilnya 1+,2+,3+, atau

    negatif (neg). Pemeriksaan ini juga dilakukan pada pasien TB sebagai

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    39/47

    pemeriksaan dahak ulang, biasanya dilakukan satu minggu sebelum satu masa

    pengobatan berakhir. Pemeriksaan lain seperti foto thorak, biakan, dan uji

    kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan

    indikasinya.

    Pada pemeriksaan juga ditemukan beberapa abnormalitas yaitu pasien

    menderita DM tipe 2, hiponatremi, dan hipokalemi. Diabetes pada pasien diterapi

    dengan diet 1700 kkal per hari. Penderita TB dengan DM akan memiliki respon

    terapi yang lebih rendah dibanding TB non DM, serta meningkatkan angka

    resistensi, relaps, dan kematian. Tuberculosis juga berdampak terhadap terapi

    DM, antara lain:

    Kontrol indeks glikemik buruk

    Kontrol diabetes lebih sulit

    Gangguan absorpsi di saluran pencernaan

    Hiperglikemia mengurangi kadar obat dalam jaringan, sehingga obat tidak

    dapat bekerja secara adekuat

    Gangguan fungsi makrofag alveolar dan sel CD4+

    Penyebab yang mungkin meningkatkan tuberkulosis paru pada pasien

    diabetes adalah fungsi imunitas. Imunitas yang terlibat adalah cell mediateddari

    sistem imun. Juga, derajat hiperglikemia telah ditemukan mempunyai hubungan

    pada fungsi makrofag. Ini didasarkan adanya pengamatan pada diabetes yang

    tidak terkontrol, dengan kadar glycated haemoglobin , tuberkulosis diikuti dengan

    destruksi dan berhubungan dengan kenaikan mortalitas. Abnormalitas dari

    fisiologi pulmoner juga telah didokumentasi pada pasien diabetes yang

    berkontribusi untuk menunda clearance dan penyebaran infeksi dalam host.

    Infeksi dengan tuberkel akan cenderung terjadi gangguan sitokin, monosit-

    makrofag,dan sel T CD4 / CD8. Keseimbangan limfosit sel CD4/CD8 memiliki

    peran yang penting pada modulasi dari pertahanan host melawan Mycobacterium

    dan memilki pengaruh pada tuberkulosis pulmoner yang aktif.

    Pada pasien ini lokasi TB berada pada paru dengan hapusan dahak BTA

    (+) dan belum pernah diobati dengan OAT sebelumnya, sehingga definisi kasus

    pada pasien ini adalah TB paru BTA (+) kasus baru. Sehingga dimasukkan

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    40/47

    kedalam kategori I pada pengobatan TB, dengan fase intensif 2HRZE dan fase

    lanjutan 4HR.

    Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

    samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

    pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

    selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek

    samping yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat simptomatis dan

    pemberian OAT dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi

    maka OAT dihentikan. Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis

    dilakukan dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-tanda efek

    samping, menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat

    penderita mengambil OAT, melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT,

    bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila

    menggunakan pirazinamid) untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping

    pengobatan, pemeriksaan visus dan uji buta warna jika ada keluhan / setiap bulan

    (bila menggunakan ethambutol).

    Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi

    adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor

    kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah

    mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia

    persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar

    GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    41/47

    Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama,

    efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat

    mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi

    sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat

    mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan

    sulfonilurea. Walaupun jarang INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek

    metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di

    usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea

    pada DM dengan TB paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit

    dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena

    pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun

    dan adanya malabsorbsi glukosa, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan

    insulin.

    Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga

    mempunyai spektrum luas terhadap organisme lain, termasuk beberapa bakteri

    gram positif dan gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum.

    Aktifitas bakterisidal dari rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan

    memblok sintesis, dengan mengikat dan menginhibisi secara spesifik sintesis

    RNA pada DNA dependent RNA polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik

    yang bersifat larut lemak dan terdistribusi dengan baik pada seluruh jaringan

    tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama

    melalui saluran empedu dan sirkulasi enterohepatik, sedangkan 30-40%

    diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara umum rifampisin ditoleransi

    dengan baik, namun efek samping yang paling sering adalah masalah

    gastrointestinal. Pasien dengan penyakit hepar, terutama dengan alkoholisme dan

    usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping serius yaitu

    hepatitis. Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang poten

    sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa obat, dimana salah

    satunya adalah obat hipoglikemik oral.6

    Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali

    diberikan pada bukan DM type I dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    42/47

    insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah

    pada DM type I, DM type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan

    obat hipoglikemik oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan, nefropati diabetik

    tipe B3 dan Be, gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis

    diabetik, operasi, patah tulang, underweight, dan penyakit graves).

    Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama

    yang disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin

    kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid,

    humulin NPH, kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang

    dikombinasi antara kerja pendek dan sedang adalah insulin mixtard, yang terdiri

    monotard 70% dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin

    murni atau human insulin yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan

    mempunyai kerja lebih cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan insulin

    babi. Di indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml.

    Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada

    kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar.

    Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti

    actrapid atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum

    makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal

    pemberian insulin dapat diubah sesuai respon pasien.

    Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah

    membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja

    menengah seperti monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total

    insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari

    maka cukup pemberian insulin kerja menengah cukup diberikan sekali perhari dan

    apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu

    2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam.

    Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa

    darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya

    mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan

    dilakukan 15 menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    43/47

    terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggabungkan antara lente insulin dengan

    NPH karena zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan

    menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur

    dengan insulin lainnya karena pH rendah akan saling mengencerkan.

    Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap

    individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumnya pada

    pemberian awal diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan

    insulin kerja pendek untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan

    tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik dan

    tipe insulin yang dipakai. Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit

    sebelum makan khusus untuk insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah

    makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin

    tidak efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial.

    Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti

    DM dengan TB paru maka perlu monitor kadar glukosa darah sendiri. Untuk

    memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa

    meter. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat

    dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan

    sesuai dengan standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan

    meter atau reagen perlu dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu

    pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur

    untuk menilai resiko hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah

    makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari.

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    44/47

    BAB V

    PENUTUP

    A. KESIMPULAN

    Manajemen pasien tuberkulosis dengan faktor komorbid menderita penyakit

    diabetes melitus memerlukan pemantauan dan monitoring khusus mulai dari

    pemeriksaan sampai terapi.

    B. SARAN

    Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas diperlukan pemeriksaan lebih cermat

    di setiap jenjang unit pelayanan kesehatan.

    Edukasi kepada pasien mengenai pengetahuan tentang penyakit, gejala, dan

    komplikasi dan penatalaksanaannya.

  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    45/47

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Menkes RI 2010. Diunduh dari http://kabar.in/2010/indonesia-

    headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-

    tb-capai-884-persen.html pada 17 September 2011

    2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional

    Penanggulangan Tuberkulosis. 2007: 20-4

    3. Aditama TY, Soedarsono, Thabrani Z, Wirokusumo HS, Sembiring H, Rai

    IBN, dkk. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan diIndonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta: 2006.

    4. Handayani S. 2002. Respon Imunitas Seluler pada Infeksi Tuberkulosis

    Paru. Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No.137

    5. Mansjoer A, et al, editors. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta:

    Media Aesculapius; 2000, h. 472-6.

    6. Raviglione MC, OBrien RJ. Tuberculosis. In: Braunwald et al, editors.

    Harrisons principles of internal medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill;

    2005.

    7. Pelatihan DOTS. Jakarta, 22-23 Agustus 2008. Departemen Pulmonologi

    dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.

    8. Rani HA, Soegondo S, Nasir AU, editor. Pedoman pelayanan medik ilmu

    penyakit dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSCM,

    2004:87-89.

    9. Jeon CY, Murray MB. Diabetes Mellitus Increase the Risk of Active

    Tuberculosis; A Systematic Review 0f 13 Observational Studies. [cited 2008]

    Available from : URL : http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?

    Artid =2459204.

    10. Dooley KE, Chalsson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus:

    convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis 2009; 9: 737-46.

    11. Sidibe el H. Pulmonary tuberculosis and diabetes: aspects of its

    epidemiology, pathophysiology, and symptoms. [cited Jan 2007] Available

    http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011
  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    46/47

    from : URL : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17897899?

    ordinalpos=12&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.

    Pubmed_DefaultReportPanel.Pubmed_RVDocSum.

    12. Sen T, Joshi SR, Udwadia ZF. Tuberculosis and Diabetes Mellitus :

    Merging Epidemics. JAPI May 2009 vol. 57diunduh dari : http://www.japi.org

    /may_2009 /article_07.pdf

    13. Ramamurti T. Pathology of mycobacterial infection. Int J Diab Dev

    Countries 1999; 19: 56-60

    14. Prasad CE. Immunodeficiencies in diabetes and mycobacterial infection.

    Int J Diab Dev Countries 1999; 19: 52-5.

    15. Alisjahbana B,Sahiratmadja E, Nelwan EJ,Purwa AM, Ahmad

    Y, Ottenhoff TH, et al. The effect of type II diabetes mellitus on the treatment

    response of pulmonary tuberculosis.Clin Infect Dis. 2007 Aug 15;45(4):428-

    35.

    16. Comparative cytological study of lymph node tuberculosis in HIV infected

    individuals and in patients with diabetes in a developing country. Kossii Iu E,

    Karachunskii MA, Kaminskaia GO, et al. Pulmonary tuberculosis in patientswith different types of diabetes mellitus. Probl Tuberk 2002; 5: 21-4.

    17. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary

    tuberculosis in adult Pakistani Patients with co-existing diabetes mellitus.

    Eastern Mediterranean Health Journal,vol.12,no.5.2006.

    18. Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ, et al.

    Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment outcome of

    pulmonary tuberculosis. Edipemiol Infect 2009 Feb;137(2):203-10.

    19. Yamashiro S, Kawakami K, Uezu K, et al. Lower expression of Th1-

    related cytokines and inducible nitr oxide synthase in mice with

    streptozotocin-induced diabetes mellitus infected with Mycobacterium

    tuberculosis. Clin Exp Immunol. 2005;139(1):57-64

    20. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. Impact of diabetes

    mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J

    Trop Med Hyg 2009 Apr;80(4):634-9.

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Alisjahbana%20B%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Sahiratmadja%20E%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Nelwan%20EJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Purwa%20AM%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ottenhoff%20TH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Wang%20CS%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Yang%20CJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chen%20HC%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chuang%20SH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chong%20IW%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Hwang%20JJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Alisjahbana%20B%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Sahiratmadja%20E%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Nelwan%20EJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Purwa%20AM%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ottenhoff%20TH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Wang%20CS%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Yang%20CJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chen%20HC%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chuang%20SH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chong%20IW%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Hwang%20JJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlus
  • 8/3/2019 Preskes TB-DM Fix

    47/47

    1. Membelahnya lambat

    2. Dindingnya banyk protein so sulit ditembus beta laktam,sefalosporin..

    Populasi :

    A. SANGAT cepat membelah

    B. Cukup cepat

    C. Intermitten (kdng membelah kdng tdur)

    D. Dorman

    KUMAN INI KALO diberikan obat tunggl akan resisten

    Rifampisin bekerja di semua populasi dan fase sehingga dipake di awal dan

    akhir terapi. Dan bersama INH lebh poten lagi

    Kita tdk bisa memberikan hanya rifmpisin karena basil ini bisa naturallyresisten terhdp OAT (bawaannya resisten)

    Naturally : tdk dipengaruhi OAT sblmnya

    Etambutol juga melindungi naturally high risk.

    Kenapa harus 6 bulan??? Krna sft kumannya resisten dan ada strain tertentu

    yg sulit untuk dibasmi

    Strain Beijing yg paling parah

    TB harus hati2 dan berikan edukasi efek smping dan cra minum obat