poliandri pada masyarakat kabupaten padang …
TRANSCRIPT
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
179
POLIANDRI PADA MASYARAKAT
KABUPATEN PADANG PARIAMAN:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
Makmur Syarif
Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract
The purpose of this research is to determine factors that cause Poliandry
cases, both lead some people to chooce and facilitate poliandry in Padang
Pariaman. Qualitative research by using normative law or doctrinal law
methods was used. data taken from interview to some informants was
analyzed thematically based on the indicators of the study. The result of the
study showed that some factors may facilitate people to have poliandry. They
are the low educational level, the willingness to make the marital
commitement, both the view of figh and positive law. The cases of Poliandry
especially for write recorded marriage, and divorce are due to the the lack of
comprehension on the a marriage legallity and illegallity beside the
knowledge limitattion related with the ban in a marriage before a divorce
formally or legally approved. It could be considered by the the office of
religious court to educate its societies on the effect of Poliandry. Keywords: Poliandri, pencatatan nikah, perceraian, dan hukum perkawinan.
A. Pendahuluan
Hukum perkawinan (munakahat) dalam Islam mempunyai
kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu ketentuan tentang
perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan rinci, baik
dalam nash maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, (Anshori & Harahab, 2008). Undang-Undang Perkawinan
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 menjelaskan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
180
Maha Esa. Sedangkan dalam pasal 3 dijelaskan, “Pada asasnya
seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh memiliki seorang suami. Sementara itu, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 40 tentang larangan kawin menjelaskan:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu: Pertama, karena wanita
yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
Kedua, seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain;
Ketentuan pasal ini tidak menutup peluang bagi suami untuk
beristeri lebih dari satu karena Indonesia menganut asas poligami
terbuka. Suami yang ingin memiliki dua isteri atau lebih harus
meminta “izin” dari pengadilan dan izin beristeri lebih dari seorang itu
dapat diterima apabila suami telah memenuhi ketentuan Pasal 4
Undang-Undang Perkawinan. Bagi suami yang ingin berpoligami
harus memenuhi persyaratan alternatif dan komulatif sehingga
perkawinan yang dijalani merupakan perkawinan yang sah, baik dalam
pandangan agama maupun pandangan hukum, (Maryani, 2016).
Sedangkan ketentuan bersuami satu orang bagi isteri, hal ini bukan
hanya sebuah peraturan perundang-undangan namun merupakan
ketentuan nash yang mewajibkan isteri hanya memiliki seorang suami,
(Sabiq, 1997). Kecuali apabila perkawinan itu telah disudahi (bercerai)
dan isteri telah menjalani masa iddah. Alasannya sebagaimana yang
dijelaskan dalam QS an-Nisa (4): 24.
Keenggangan beberapa kalangan untuk mencatatkan perkawinan
dinilai sebagai sebuah sikap yang “abai” kepada ketentuan perundang-
undangan. Di daerah Kabupaten Padang Pariaman, para pihak yang
melakukan perkawinan tidak tercatat cenderung menikah sesuka hati
mereka. Apabila salah satu pasangan (isteri) sudah ditinggal suaminya
dan tidak diketahui lagi keberadaannya, maka pihak keluarga akan
meminta isteri tersebut untuk menikah lagi dengan laki-laki lain atau
sebaliknya. Begitu juga ketika mantan suami/isteri yang telah berpisah
itu bertemu dengan laki-laki atau perempuan lain yang mereka sukai
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
181
maka mereka akan menikah lagi tanpa mempedulikan pernikahan
pertama atau kedua itu sudah sah dimata hukum atau tidak. Atau
apabila suami yang membenci isterinya kemudian mengatakan,
“engkau sudah aku ceraikan tiga kali”, maka pernyataan itu sudah
dianggap sebagai “ucapan cerai” oleh pasangan suami isteri itu
sehingga mantan suami/mantan isteri berhak menikah lagi dengan
pasangan baru.
Kesalahan dalam memahami hakikat dan makna dari perkawinan
itu, baru diketahui oleh masing-masing pasangan pada saat mereka
membutuhkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari pemerintah, mengurus
akta kelahiran atau pada saat anak-anak sudah memasuki usia sekolah.
Umumnya mereka tidak mampu menunjukkan akta nikah atau akta
cerai sebagai persyaratan umum untuk melengkapi syarat administrasi.
Terdesaknya para pihak yang mencukupkan pernikahan mereka
dilakukan menurut ritual agama saja mengharuskan mereka untuk
berurusan ke Pengadilan Agama, baik untuk mengistbatkan nikah
mereka atau memperoleh akta cerai dari Pengadilan.
Para hakim di Pengadilan Agama Pariaman, tidak serta merta
mengistbatkan semua permohonan istbat nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama. Hanya perkawinan tidak tercatat yang mencukupi
rukun dan syarat pernikahan saja yang dapat diistbatkan nikahnya.
Pada umumnya, penyesalan para pihak baru muncul pada saat mereka
telah melakukan kekeliruan yang besar dalam perkawinan mereka.
Pada saat pembuktian di depan sidang pengadilan, hakim Pengadilan
Agama Pariaman menjumpai fakta bahwa banyak terjadi perkawinan
poliandri, perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari seorang
laki-laki, yang dilakukan masyarakat di wilayah hukumnya.
Terkuaknya fakta tersebut karena dampak dari perkawinan tidak
tercatat dan kesalahan penggunaan “stigma” yang dilakukan
masyarakat. Orang tua yang anak perempuannya ditinggalkan oleh
suaminya atau diceraikan suaminya kemudian menyarankan lagi
supaya anak perempuannya itu menikah lagi. Atau perempuan yang
ditinggal suaminya kemudian menjumpai laki-laki lain yang menarik
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
182
hatinya untuk dinikahi, maka perempuan tersebut akan menikah lagi
tanpa mempersoalkan perkawinannya terdahulu. Sebab dalam
anggapannya perkawinannya terdahulu sudah berakhir.
Tindakan masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinan atau
perceraian, sedangkan perkawinan sudah dilakukan berkali-kali, secara
hokum belum dipandang sebagai perkawinan atau perceraian yang
sah. Begitu juga, perkawinan tidak dipandang sah apabila perkawinan
yang memiliki akta nikah, namun akta nikah itu dikeluarkan oleh
pejabat yang tidak ditunjuk undang-undang, misalnya akta nikah yang
sengaja dibuat-buat. Begitu juga, perceraian yang dilakukan secara siri
tanpa memiliki akta cerai kemudian perkawinan kedua dilangsungkan
kembali tanpa dibuktikan dengan akta cerai dengan suami pertama dan
akta nikah dengan suami kedua, maka hal ini yang dimaksud dengan
poliandri dalam penelitian ini (perempuan yang secara hukum belum
sah bercerai dengan suaminya kemudian melakukan pernikahan kedua,
ketiga dan keempat yang tidak tercatat).
Kondisi yang terjadi pada sebagian masyarakat Kabupaten
Padang Pariaman ini pada hakikatnya sama dengan konsep poliandri
secara sosiologis-antropologis, karena sama-sama merupakan
perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan dua/lebih
laki-laki dalam waktu bersamaan.
B. Metode Penelitian
Untuk menyelesaikan isu hukum dalam penelitian ini maka jenis
penelitian ini adalah “Metode Penelitian Hukum Normatif atau
Metode Penelitian Hukum Doktrinal”. Metode ini merupakan metode
kepustakaan Anglo-Amerika yang disebut dengan legal research. Tipe
utama dari Metode Penelitian Hukum Normatif ini adalah “penelitian
yang berupa usaha penemuan hukum inconcreto yang sesuai untuk
diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu,
(Soemitro, 1983). Pada penelitian ini diambil beberapa kasus pada
putusan pengadilan agama Kabupaten Padang Pariaman dengan ciri
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
183
spesifik perkara istbat nikah yang berdampak pada munculnya praktek
poliandri liar (satu isteri dengan beberapa orang suami) di Kabupaten
Padang Pariaman.
1. Sumber Penelitian Hukum.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder. Sumber-sumber penelitian hukum ini yaitu: Pertama, bahan
hukum primer adalah perundang-undangan yang terdiri dari Undang-
Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, PP No.9/1975 tentang
Pelaksanaan UU No.1/1974, UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama
jo. UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama (One Roof System),
jo. UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Intruksi Presiden
No.1/1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam; Kedua, bahan-bahan
sekunder berupa semua publikasi tentang hukum (buku teks penulis dari
Eropa Kontinental, yaitu Belanda dan buku-buku penulis Anglo-
Amerika). Di samping buku teks bahan hukum sekunder dapat berupa
tulisan-tulisan tentang hukum seperti jurnal, artikel, karya ilmiah seperti
skripsi, tesis, disertasi, dan komentar atas putusan Pengadilan.
Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti
semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah/ sebagai
inspirasi bagi penulis, (Soekanto, 2004). Dalam hal ini adalah putusan
pengadilan agama tentang perkawinan tidak tercatat; Ketiga,
wawancara, merupakan proses tanya jawab secara lisan dimana dua
orang atau lebih berhadapan secara fisik. Wawancara penting dilakukan
untuk menunjang pengumpulan informasi dalam penulisan, (Subagyo,
1991). Kegiatan wawancara (interview) ini dilakukan dengan
mempergunakan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan
sebelumnya yang disebut dengan interview guide, (Soemitro, 1983) .
Untuk menyelesaikan penulisan penelitian ini, maka wawancara
dilakukan kepada hakim yang menyidangkan perkara, petugas PPN-
KUA dan para pihak yang terlibat perkawinan poliandri liar.
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
184
2. Karakteristik Penelitian Hukum
Data dan informasi lainnya diperoleh dengan beberapa metode,
yaitu: Pertama, induktif yaitu suatu metode dalam melakukan
penelitian yang diambil dari informasi khusus kemudian ditarik
generalisasi-generalisasi yang bersifat umum, (Hadi, 1985). Metode
induksi berangkat dari fakta (gejala) tertentu yang diabstraksikan
untuk mencari prinsip apa yang telah dikuasainya sehingga dapat
dibangun suatu hipotesis. Apabila gejala tersebut sudah dikumpulkan
barulah informasi tersebut dianalisis atau diolah. Dalam hal ini
penelitian beranjak dengan menelaah efektifitas aturan hukum dalam
kehidupan masyarakat, peranan lembaga (KUA, BP4 dan wali nagari)
menyikapi tentang banyaknya terjadi nikah siri dan perkawinan tidak
tercatat sehingga memunculkan persoalan sosial dan kasus hukum
baru; Kedua, deduktif yaitu suatu metode pembahasan yang bertitik
tolak dari keterangan-keterangan dan pengetahuan yang bersifat umum
kemudian diarahkan kepada hal-hal yang bersifat khusus. Secara
khusus karakteristik penelitian ini dimulai dengan memperhatikan
premis mayor. Premis mayor adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 2 dan 3 dan KHI Pasal 7 dan 40. Sedangkan premis
minornya adalah banyaknya terjadi pernikahan siri dan tidak tercatat
yang menimbulkan masalah sosial baru dan kasus hukum baru.
Sedangkan isu hukum yang menjadi topik pembicaraan adalah
poliandri liar dalam perkawinan tidak tercatat.
3. Teknik Analisis Data
Untuk menyelesaikan penelitian ini dilakukanlah analisis
kualitatif. Analisis kualitatif pada dasarnya menggunakan pemikiran
logis, analisa dengan logika, dengan induksi, deduksi dan analogi,
(Amirin, 1990). Analisis deskriptif kualitatif digunakan karena teori
masih menjadi alat penelitian sejak memilih dan menemukan
masalah, membangun hipotesis maupun melakukan pengamatan di
lapangan sampai dengan menguji data, (Bungin, 2007).
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
185
4. Pendekatan Dalam Penelitian Hukum.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan yaitu: Pertama,
Pendekatan Undang-Undang (statute approach). Dilakukan dengan
menelaah Undang-Undang yang berkaitan dengan isu hukum yang
sedang diteliti. Dalam hal ini penulis menelaah Undang-Undang
Perkawinan Pasal 2 ayat 1 dan pasal 3, Kompilasi Hukum Islam Pasal
2 - 7, khususnya pasal 7 ayat 3 dan pasal 40; Kedua, Pendekatan kasus
(case approach). Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang sedang dihadapi yang
telah menjadi putusan pengadilan dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Yang menjadi bahan pokok di dalam pendekatan kasus
adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan
untuk sampai kepada suatu putusan. Penelitian kasus ini bertujuan
untuk mengetahui faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya
perkawinan tidak tercatat dan terjadinya poliandri liar. Apabila pada
kenyataannya masih banyak pihak yang belum memahami tentang
perkawinan tercatat dan orang-orang yang boleh/tidak boleh dinikahi,
maka perlu dilakukan sosialisasi tentang undang-undang perkawinan
kepada masyarakat untuk menumbuhkan pengetahuan masyarakat
akan pentingnya pencatatan perkawinan.
C. Temuan Penelitian dan Pembahasan
Kasus poliandri di Kabupaten Padang Pariaman terungkap dalam
perkara yang diajukan sejumlah pemohon ke Pengadilan Agama
Pariaman. Beberapa kasus poliandri yang ditemukan di lapangan
dilakukan seorang isteri dengan beberapa orang laki-laki yang menjadi
suaminya. Kasus ini terungkap dari permohonan masyarakat ke
Pengadilan Agama Pariaman terkait soal istbat nikah/akta nikah
(persyaratan sah perkawinan pemohon I (suami) dengan pemohon II
(isteri). Istbat nikah tersebut dijadikan bukti sah/bukti otentik untuk:
mengurus kartu keluarga, mengurus akta kelahiran/kematian, dan
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
186
pembagian harta bersama/warisan. Hal ini terlihat dalam beberapa
kasus yang diterima oleh panitera Pengadilan Agama Pariaman, yaitu:
1. Kasus No. 0019/Pdt.P/2015/PA.Prm, tanggal 9 Maret 2015
Kasus ini terjadi di Korong Paguah Dalam Nagari Kurai Taji
Kecamatan Nan Sabaris antara Suami sebagai pemohon I dan isteri
sebagai pemohon II. Antara pemohon I dan II telah melaksanakan
pernikahan tanggal 29 Agustus 2008 di rumah orang tua pemohon II
Yang bertindak sebagai wali nikah pemohon II adalah kakak kandung
pemohon II yang dihadiri 2 orang saksi. Pada saat pernikahan,
pemohon I berstatus duda cerai hidup yang diputus oleh Pengadilan
Agama Payakumbuh No.250/AC.2007/PA.Pyk tanggal 29 Oktober
2007 dan telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Sedangkan pemohon II
berstatus janda cerai hidup yang diputus oleh Pengadilan Agama
Pariaman No, akta cerai 0244/AC/2014/PA.Prm tanggal 20 Mai 2014
dan dikaruniai satu orang anak.
Bukti nikah pemohon I dan II tidak ada karena tidak memiliki
Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Nan Sabaris. Pemohon I dan II sangat membutuhkan Penetapan
Pengesahan Akta Nikah dari Pengadilan Agama Pariaman guna
dijadikan alat bukti otentik untuk: Bukti nikah Pemohon I dan II; serta
untuk mengurus akta kelahiran anak pemohon I dan II.
Ketika pemohon I dan II menikah pada tanggal 29 Agustus
2008, pemohon II masih berstatus sebagai isteri suami pertama. Oleh
karena itu majelis Hakim menyatakan bahwa terdapat halangan
perkawinan antara pemohon I dan II. Majelis Hakim menyarankan dan
memberi nasehat agar pemohon I dan II mengulang nikah kembali di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Nan Sabaris Padang
Pariaman. Atas saran dan nasehat dari majelis hakim pemohon I dan II
menyatakan secara lisan untuk mencabut perkaranya yang telah di
daftarkan. Kemudian pemohon I dan II mencabut perkara yang
sebelum tahapan persidangan memasuki tahap mengajukan
permohonan.
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
187
Analisis Kasus:
Perkawinan yang dilakukan pemohon I dan II dipandang tidak
sah karena perkawinan itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Nan Sabaris, dengan sendirinya pemohon tidak memiliki
Kutipan Akta Nikah. Tindakan ini bertentangan dengan amanat
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 2 ayat (1) yang mengatakan bahwa Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping itu, pada saat pemohon II menikah dengan pemohon
I, pemohon II masih dalam ikatan perkawinan dengan suami pertama
dan belum menerima akta cerai dari Pengadilan Agama. Hal ini
merupakan salah satu larangan perkawinan yang dijelaskan dalam
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu Pasal 9 bahwa, “Seorang
yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi.” Oleh karena itu, pemohon II merupakan orang-orang yang
secara hukum berada dalam posisi terlarang untuk dikawini.
Berkaitan dengan pemohon I dan II mencabut perkaranya, hal ini
dapat dibenarkan karena hal ini telah sesuai dengan maksud Pasal 271-
272 RV, meskipun ketentuan ini tidak berlaku lagi, namun untuk
kepentingan beracara dan ketertiban beracara maka ketentuan ini
masih diperlukan sehingga hakim mengabulkan pemohon I dan II
untuk mencabut perkaranya. Tujuannya supaya pemohon II dapat
mengurus terlebih dahulu akta cerai dengan suami pertama.
2. Kasus No. 0169/Pdt.P/2015/PA.Prm, tanggal 16 Noverber 2015
Perkara istbat nikah diajukan oleh pemohon I dan II tanggal 20
Oktober 2015. Pemohon I dan II telah melangsungkan pernikahan di
masjid Nurul Huda Durian Jantung Nagari III Koto Aur Malintang.
Yang bertindak sebagai wali Nikah pemohon II adalah ayah
kandungnya dengan 2 orang saksi. Pada saat melangsungkan
pernikahan, pemohon I berstatus duda cerai mati tanggal 25 Januari
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
188
1990 berdasarkan surat keterangan kematian yang dikeluarkan wali
nagari III Koto Aur Malintang. Dari perkawinan pertama itu pemohon
I dikaruniai 2 orang anak.
Sedangkan pemohon II berstatus janda cerai hidup yang
dilakukan di bawah tangan (talak liar) pada tahun 1995. Namun
pemohon II telah bercerai secara resmi dengan suami I di Pengadilan
Agama Pariaman tanggal 14 Juli 2015 dengan bukti akta cerai nomor
278/AC/2015/PA.Prm tanggal 10 Agustus 2015 dan dikaruniai 4
orang anak.
Bukti nikah antara pemohon I dan II tidak ada karena pemohon
I dan II tidak pernah mendaftarkan perkawinan di Kantor Urusan
Agama Kecaman IV Koto Aur Malintang. Sedangkan saat ini
pemohon membutuhkan Penetapan Pengesahan Nikah dari Pengadilan
Agama Pariaman guna dijadikan bukti: Nikah antara pemohon I dan
II serta untuk mengurus akta kelahiran anak pemohon I dan II.
Pemohon I dan II tidak memiliki bukti nikah, maka Hakim
menyarankan untuk mengurus terlebih dahulu bukti nikahnya di
Kantor Urusan Agama di tempat perkawinan dilangsungkan. Sebelum
persidangan masuk ke pokok perkara, pemohon I dan II mencabut
perkaranya karena pada saat pernikahan yang terjadi antara pemohon I
dan II tanggal 4 Januari 1997, pemohon II masih berstatus istri dari
suami pertama dan belum pernah bercerai secara resmi di Pengadilan
Agama. Sedangkan pemohon II baru bercerai secara resmi di
Pengadilan Agama Pariaman tanggal 10 Agustus 2015. Oleh karena
itu perkawinan pemohon I dan II memiliki halangan perkawinan
secara hukum.
Analisis Kasus:
Perkawinan yang dilakukan pemohon I dan II dipandang tidak
sah karena perkawinan itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
Pernikahan pemohon I dan II tidak memiliki akta nikah karena tidak
mendaftarkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) III Koto
Aur Malintang. Tindakan ini bertentangan dengan amanat Undang-
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
189
Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 2
ayat (1) yang mengatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu. Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal yang perlu ditelaah dalam putusan ini adalah perkawinan
yang dilakukan pemohon dengan qadhi nikah yang tidak ditunjuk
langsung oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam
Undang-Undang NO. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,Talak
dan Rujuk. Pasal 1.(1) menjelaskan bahwa,”Nikah yang dilakukan
menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh
pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau
pegawai yang ditunjuk olehnya.”
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b juga menjelaskan
tentang wali hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Di samping itu,
sesuai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan juga
menjelaskan, “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi.” Oleh karena itu, perkawinan yang
dilakukan Pemohon memiliki cacat hukum karena tidak dilakukan
oleh wali hakim yang ditunjuk oleh Menteri Agama, tidak dicatatkan
dan secara hukum formal pemohon II merupakan perempuan yang
dilarang untuk dinikahi karena berada dalam ikatan perkawinan
dengan suami pertama yang belum diputus oleh Pengadilan. Inilah
alasan yang menjadikan perkawinan ini dipandang tidak sah dan
ditolak istbat nikahnya oleh hakim di Pengadilan.
Pada dasarnya hakim akan mengabulkan permohonan penetapan
istbat nikah pemohon apabila semua rukun dan syarat telah dipenuhi.
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
190
Namun, pada kasus ini, meskipun kelihatannya perkawinan tidak
mendapat gangguan dari pihak III, tidak ada yang pindah agama dan
telah mu’asyarah bi ma’ruf, alasan hakim tidak mengabulkan
permohonan istbat nikah ini adalah pada saat pembuktian di depan
pengadilan, barulah diketahui bahwa pernikahan pemohon I dan II
dilakukan tanggal 4 Januari 1997, sedangkan akta cerai Pemohon II
(isteri) dengan suami pertama dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Pariaman tanggal 14 Januari 2015. Dengan itu, dapat dipahami, bahwa
pernikahan yang terjadi antara pemohon I dan II, tidak dapat
dibenarkan karena masih terikat dengan suami pertama.
Membaca telaah di atas ada beberapa masalah yang ditemukan
dalam putusan ini sehingga hakim menolak istbat nikah dan
perkawinan pemohon II disebut poliandri, yaitu: (a) Pernikahan
dilakukan oleh wali hakim yang tidak ditunjuk Menteri Agama; (b)
Pernikahan dilakukan pada saat pemohon II masih berstatus istri suami
pertama karena secara hukum formal Pemohon II belum memiliki akta
cerai, namun sudah menikah dengan pemohon I.
Terkait dengan pemohon I dan II mencabut perkaranya, hal ini
dapat dibenarkan karena hal ini telah sesuai dengan maksud Pasal 271-
272 RV, meskipun ketentuan ini tidak berlaku lagi, namun untuk
kepentingan beracara dan ketertiban beracara maka ketentuan ini
masih diperlukan sehingga hakim mengabulkan Pemohon I dan II
untuk mencabut perkaranya. Tujuannya supaya Pemohon II dapat
mengurus terlebih dahulu akta cerai dengan suami pertama.
3. Kasus No. 0195/Pdt.P/2015/PA.Prm, tanggal 16 Desember 2015
Pernikahan yang dilangsungkan antara suami sebagai pemohon I
dan isteri sebagai Pemohon II pada tanggal 20 Juli 2009 di Korong
Kampung Cubadak Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago. Yang
bertindak sebagai wali nikah pemohon II adalah ayah kandung
pemohon II dihadapan qadhi nikah yang bernama Tuanku Zuar dengan
menghadirkan 2 orang saksi. Pada saat pernikahan pemohon I
berstatus jejaka sedangkan pemohon II berstatus janda cerai hidup
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
191
yang diputus oleh Pengadilan Agama Sijunjung tanggal 20 Desember
2011 dengan akta cerai nomor 2014/AC/2012/PA.Sjj dan dikarunia
anak perempuan tanggal 26 Januari 2016. Bukti pernikahan pemohon I
dan II tidak ada karena tidak pernah mendaftarkan perkawinan di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Padang Sago. Pemohon I dan II
membutuhkan penetapan Akta Nikah dari Pengadilan Agama
Pariaman untuk bukti nikah pemohon I dan II dan untuk mengurus
akta kelahiran anak pemohon I dan II.
Analisis Kasus:
Perkawinan pemohon I dan II pada tanggal 20 Juli 2009
dipandang sah sesuai dengan kajian fikih, karena pernikahan
dilakukan oleh wali yang berhak, yaitu ayah kandung pemohon II, dan
menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki. Di samping itu, antara
pemohon I dan II tidak ada hubungan darah, sesusuan serta memenuhi
syarat.
Antara pemohon I dan II juga telah bergaul –mu’asyarah bil
ma’ruf dan telah dikaruniai seorang anak perempuan. Di samping itu,
selama masa perkawinan itu tidak seorangpun yang menggugat
perkawinan pemohon dan pemohon sama-sama beragama Islam.
Namun, hal yang perlu ditelaah dalam putusan ini adalah
perkawinan yang dilakukan Pemohon dengan qadhi nikah yang tidak
ditunjuk langsung oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Undang-Undang NO. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah,Talak dan Rujuk. Pasal 1.(1) menjelaskan bahwa,”Nikah yang
dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi
oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau
pegawai yang ditunjuk olehnya.”
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b juga menjelaskan
tentang wali hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Oleh karena itu,
perkawinan yang dilakukan pemohon memiliki cela dan cacat secara
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
192
hukum karena tidak dilakukan oleh wali hakim yang ditunjuk oleh
Menteri Agama, tidak dicatatkan dan secara hukum formal pemohon II
merupakan perempuan yang dilarang untuk dinikahi karena berada
dalam ikatan perkawinan suami pertama yang belum diputus oleh
pengadilan. Inilah alasan yang menjadikan perkawinan ini dipandang
tidak sah dan ditolak istbat nikahnya oleh hakim di pengadilan.
Membaca telaah di atas ada beberapa masalah yang ditemukan
dalam putusan ini sehingga hakim menolak istbat nikah dan
perkawinan pemohon II disebut Poliandri: Pertama, pernikahan
dilakukan oleh wali hakim yang tidak ditunjuk Menteri Agama;
Kedua, pernikahan dilakukan pada saat Pemohon II masih berstatus
istri suami pertama karena secara hukum formal Pemohon II belum
memiliki akta cerai, namun sudah menikah dengan Pemohon I.
4. Kasus No. 0041/Pdt.P/2016/PA.Prm tanggal 14 Maret 2016
Kasus ini terjadi di Kecamatan Batang Anai Nagari Kasang
Dusun Tangah Korong Kasai antara suami sebagai pemohon I dan
isteri sebagai pemohon II. Antara pemohon I dan II telah
melaksanakan pernikahan di rumah Qadhi nikah Perumnas Palapa
Korong Pasa Usang pada tanggal 12 Desember 2012. Yang bertindak
sebagai wali nikah pemohon II adalah adik kandung pemohon II
dengan dihadiri dua orang saksi.
Pada saat pernikahan dilangsungkan pemohon I berstatus duda
karena cerai mati tanggal 7 Januari 2012 sedangkan pemohon II
berstatus janda dengan cerai hidup yang diputus oleh Pengadilan
Agama Pariaman tanggal 20 Februari 2013 dengan akta cerai tanggal
20 Maret 2016.
Selama masa pernikahan pemohon I dan II tidak ada pihak
ketiga yang menggangu gugat pernikahan pemohon I dan II dan belum
pernah bercerai. Hal yang rancu dalam pernikahan ini yaitu bahwa
bukti pernikahan pemohon I dan II tidak ada karena tidak pernah
mendaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Batang Anai.
Sedangkan saat ini pemohon membutuhkan Penetapan Pengesahan
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
193
Nikah dari Pengadilan Agama Pariaman guna dijadikan bukti otentik:
bukti nikah pemohon I dan II, mengurus kartu keluarga, mengurus
akta kelahiran anak-anak pemohon I dan II.
Analisis Kasus:
Perkawinan pemohon I dan II pada tanggal 12 Desember 2012
dipandang sah sesuai dengan kajian fikih munakahat, karena
pernikahan dilakukan oleh wali yang berhak, yaitu adik kandung
pemohon II karena ayah kandung pemohon II telah meninggal. Di
samping itu, antara pemohon I dan II tidak ada hubungan darah,
sesusuan serta memenuhi syarat pernikahan. Baik menurut ketentuan
hukum Islam maupun ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, hal yang perlu ditelaah dalam putusan ini adalah
perkawinan yang dilakukan pemohon dengan qadhi nikah yang tidak
ditunjuk langsung oleh Menteri Agama, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Undang-Undang NO. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah,Talak dan Rujuk.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b juga menjelaskan
tentang wali hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Di samping itu,
sesuai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 9 Undang-Undang Perkawinan
juga menjelaskan, “Seorang yang terikat tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi.” Oleh karena itu, perkawinan yang
dilakukan pemohon memiliki cela dan cacat dimata hukum karena
tidak dilakukan oleh wali hakim yang ditunjuk oleh Menteri Agama,
tidak dicatatkan, dan secara hukum formal pemohon II merupakan
perempuan yang dilarang untuk dinikahi karena berada dalam ikatan
pperkawinan suami pertama yang belum diputus oleh pengadilan
Dengan beberapa cacat yang dimiliki dalam perkawinan ini,
maka berakibat langsung pada penolakan hakim sehingga dalam amar
putusan ditulis, “Tidak Menerima Permohonan Pemohon I dan II.”
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
194
Pada dasarnya hakim akan mengabulkan permohonan penetapan
istbat nikah pemohon apabila semua rukun dan syarat telah dipenuhi.
Alasan hakim tidak mengabulkan permohonan istbat nikah ini karena
saat pembuktian di depan pengadilan, diketahui kondisi pemohon II
masih dalam status perkawinan dengan suami pertamanya, sehingga
dalam hukum perdata Indonesia, pernikahan yang dilakukan pemohon
II adalah pernikahan dengan dua orang suami pada masa satu ikatan
perkawinan.
5. Kasus No. 0005/Pdt.P/2016/PA.Prm tanggal 27 Januari 2016
Kasus yang terjadi di Padang Kabau Mandahiling Nagari Gasan
Gadang Kecamatan Batang Gasan Kabupaten Padang Pariaman antara
suami sebagai pemohon I dan isteri sebagai pemohon II. Antara
pemohon I dan II telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 11
Januari 1992 di KUA Kecamatan Lubuk Baja Kota Batam Propinsi
Kepulauan Riau. Yang bertindak sebagai wali nikah adalah ayah
kandung pemohom II dengan menghadirkan 2 orang saksi. Pada saat
pernikahan pemohon I berstatus jejaka dan pemohon II berstatus
gadis. Bukti pernikahan pemohon I dan II tidak ada karena pemohon
I dan II tidak mengambil buku nikah tersebut di Kantor Uusan Agama
Lubuk Baja Batam. Di KUA Lubuk Baja Batam data tentang
perkawinan pemohon I dan II tidak ditemukan. Kemudian pemohon I
dan II mengajukan permohonan pengesahan nikah bukti nikah antara
pemohon I dan II dan untuk mengurus akta kelahiran anak-anak
pemohon I dan II.
Namun, sebelum permohonan pemohon I dan II dibacakan,
pemohon I dan II mencabut perkaranya karena sebenarnya status
pemohon II sewaktu melangsungkan pernikahan adalah janda cerai
hidup. Sedangkan bukti cerai pemohon II dengan mantan suami
pemohon II belum ada.
Analisis Kasus:
Hal yang menarik dalam putusan ini adalah bukti pernikahan
pemohon I dan II tidak ada karena pemohon I dan II tidak mengambil
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
195
buku nikah tersebut di Kantor Uusan Agama Lubuk Baja Batam. Pada
saat pemohon I menanyakan ke KUA Lubuk Baja Batam, ternyata
data tersebut tidak ditemukan lagi. Selain itu, pernikahan yang terjadi
antara pemohon I dan II, kondisi pemohon II masih berstatus isteri dari
suami pertamanya karena pada saat pernikahan dilakukan, pemohon II
belun memiliki akta cerai dari Pengadilan Agama. Oleh karena itulah
perkara ini dicabut karena pemohon II akan mengurus terlebih dahulu
akta cerainya dengan suami pertama. Setelah akta cerai dari suami
pertama diperoleh, barulah istbat nikah pemohon I dan II diajukan
kembali.
Dari ke 5 kasus di atas, telah terjadi: Pertama, pernikahan tidak
dicatatkan, yang dilakukan oleh qadhi desa (wali hakim yang tidak
ditunjuk oleh Menteri Agama); Kedua, perceraian tidak dilakukan
secara resmi di Pengadilan Agama; Ketiga, status nikah, cerai, bujang
dan gadis tidak jelas bahkan ada yang didustakan.
Dari beberapa poin di atas, telah terjadi poliandri, yaitu
pernikahan yang dilakukan oleh 1 orang isteri dengan beberapa orang
suami dalam 1 ikatan perkawinan. Penyebab terjadinya poliandri pada
beberapa kasus tersebut, disebabkan oleh: Pertama, status perkawinan
yang tidak jelas, yang dialami oleh sebagian masyarakat membawa
akibat terjadinya poliandri; Kedua, kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai pencatatan perkawinan; Ketiga, kurangnya
kesadaran hukum masyarakat disebabkan kekokohan menjalankan
tradisi (menikah dengan Qadhi desa dan tidak dicatatkan); Keempat,
lemahnya pengawasan aparat pemerintahan dalam hal ini, wali
Korong, wali nagari, camat dan khususnya pegawai KUA dalam
mengontrol dan mengawasi masyarakatnya, Kelima, terjadi pembiaran
yang dilakukan wali Korong, wali nagari, camat dan khususnya
pegawai KUA tentang perkawinan tidak tercatat; Keenam, kurangnya
kesadaran dan minat masyarakat untuk menerima penyuluhan hukum
sekalipun penyuluhan hukum itu diadakan di tingkat kecamatan.
Akibat dari perkawinan tidak dicatatkan dan tidak mempunyai
alat bukti resmi, masyarakat menjumpai kesulitan di dalam mengurus
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
196
istbat nikah, akta nikah dan akta kelahiran anak. Semua hal ini
disebabkan kurangnya koordinasi dari pejabat pemerintah. Dari
beberapa kasus yang ditemui ini, tampaknya pelaku poliandri tidak
mengetahui tentang larangan perkawinan bagi isteri yang status
perceraiannya belum jelas.
6. Konsep Poliandri Secara Antropologi, Fikih dan Hukum
Positif.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan pandangan dalam memahami
hakikat poliandri, baik poliandri dalam kacamata sosiologis-
antropologis, fikih maupun hukum positif. Sebab ketiga-tiganya
merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan oleh seorang
perempuan dengan dua/lebih laki-laki pada waktu bersamaan. Namun,
kalau dilakukan telaah lebih mendalam kepada apa yang terjadi pada
sebagaian pelaku poliandri di Kabupaten Padang Pariaman, terdapat
tiga jenis poliandri: Pertama, poliandri yang dilakukan oleh
perempuan dimana perkawinan pertamanya sah dan dicatatkan, namun
ketika akan bercerai tidak dicatatkan. Kemudian, perkawinan kedua
juga tidak dicatatkan. Pada kondisi ini, pengadilan dapat
mengistbatkan perkawinan kedua, jika perkawinan kedua itu dilakukan
dengan melengkapi rukun dan syarat perkawinan di pengadilan agama.
Kedua, poliandri yang dilakukan oleh perempuan dimana
perkawinan pertama cerai dan perkawinan keduanya dilakukan dengan
melengkapi rukun dan syarat perkawinan yang sah secara hukum
agama, akan tetapi tidak dicatatkan. Pada kondisi ini pengadilan
agama dapat mengabulkan permohonan isbat nikah dengan cara
mengurus/mengistbatkan pernikahan pertama terlebih dahulu, lalu
memperoleh akta cerai dengan suami pertama dan barulah
memperoleh istbat nikah dengan suami kedua. Dalam kondisi ini,
poliandri terjadi pada perempuan yang dalam kacamata hukum Islam
masih terikat perkawinan dengan suami pertama, tetapi sudah menikah
lagi dengan suami kedua.
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
197
Ketiga, poliandri yang dilakukan oleh perempuan yang mana
perkawinan pertama cerai dan perkawinan keduanya dilakukan tanpa
melengkapi rukun dan syarat perkawinan yang sah secara hukum
agama, dan juga tidak dicatatkan. Pada kondisi ini pengadilan agama
tidak mengabulkan permohonan isbat nikah disebabkan tidak
lengkapnya rukun dan syarat perkawinan itu. Pada kondisi ini
perempuan juga memiliki suami pada saat yang bersamaan.
Secara umum poliandri yang terjadi di Kabupaten Padang
Pariaman merupakan perkawinan/perceraian yang tidak tercatat.
Sehingga kitika mereka menikah yang kedua juga tidak tercatat,
akibatnya secara hukum mereka melakukan poliandri, memiliki dua
suami pada waktu yang bersamaan karena belum memiliki akta cerai
dari pengadilan dengan suami pertama. Senanda dengan itu poliandri
adalah sebuah system dimana seorang wanita mempunyai lelaki
sebagai suaminya pada waktu yang bersamaan, (Luintel, 2004).
Sementara itu, penelitian lain menemukan bahwa poliandri adalah
strategi untuk meningkatkan vitalitas reproduksi, (Starkweather &
Hames, 2012).
Munculnya poliandri tidak terlepas dari norma atau kaidah.
Norma atau kaidah bermula dari pandangan-pandangan mengenai apa
yang dianggap baik dan buruk, yang lazim disebut dengan nilai.
Norma atau kaidah timbul dari pola perilaku manusia sebagai suatu
abtraksi dari perilaku berulang-ulang yang nyata (Soekanto, 2004).
Menurut (Kansil & Kansil, 2011) dalam pergaulan hidup dibedakan 4
macam norma atau kaidah, yaitu: Pertama, norma agama, yaitu
peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan dan anjuran
yang berasal dari Tuhan; Kedua, norma kesusilaan, yaitu peraturan
hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Peraturan
itu berupa bisikan kalbu atau suara batin yang diakui dan diinsyafi
oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
Ketiga, norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan segolongan manusia. Peraturan itu diikuti dan ditaati
sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia yang ada
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
198
disekitarnya; Keempat, norma hukum, yaitu peraturan hidup yang
dibuat oleh badan resmi yang berkuasa yang harus dipatuhi oleh
anggota masyarakat yang memiliki sanksi dan bersifat memaksa.
7. Faktor yang Melanggengkan Poliandri di Kabupaten Padang
Pariaman.
Apabila membahas persoalan tentang faktor yang
“melanggengkan” suatu tindakan terlarang (poliandri) sehingga
dilakukan, berarti pada tindakan tersebut terdapat suatu pembiaran dan
ketidakpedulian sebagian masyarakat atas perilaku menyimpang
masyarakat tersebut. Dalam ilmu hukum kondisi ini berkaitan erat
dengan kesadaran hukum masyarakat yang sangat menentukan
terlaksana/tidaknya ketentuan hukum.
Terdapat beberapa hal yang “melanggengkan” poliandri di
Kabupaten Padang Pariaman yang dapat dirangkum, yaitu: Pertama,
rendahnya pendidikan pelaku poliandri dan kurang serius dalam
memperhatikan persoalan perkawinan, baik secara hukum fikih
maupun hukum positif; Kedua, terjadinya poliandri disebabkan juga
oleh kurangnya kesadaran pelaku poliandri tentang pencatatan
perkawinan dan perceraian di pengadilan serta kurangnya pemahaman
masyarakat tentang akibat hukum perkawinan tidak bercatat dan
perceraian di luar pengadilan; Ketiga, kurangnya pemahaman pelaku
poliandri tentang ketidak-sah-an perceraian di luar pengadilan serta
rendahnya pemahaman pelaku poliandri tentang larangan perkawinan
bagi perempuan khususnya dalam status sedang kawin (belum bercerai
secara resmi).
Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan tidak tercatat dan
perceraian yang dilakukan di luar pengadilan yaitu kesulitan dalam
pengurusan istbat nikah, pengurusan akta kelahiran anak, kesulitan
dalam memperoleh hak di hadapan hukum, memperoleh pekerjaan,
hak untuk bersekolah, kesehatan, harta bersama dan kewarisan seta
hak-hak lainnya. Sebagian anak yang lahir dalam perkawinan tidak
Makmur Syarif/ Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender
Vol.VI No.2 Tahun 2016
199
tercatat orang tuanya dan perkawinan itu tidak dapat dibuktikan ke-
sah-annya, maka anak yang lahir dalam ikatan tersebut dinasabkan
kepada ibu dan keluarga ibunya. Akibat lain, anak-anak akan
mengalami kegelisahan, perasaan malu dan tidak percaya diri yang
ditimbulkan dari hubungan nasab yang telah ditetapkan secara hukum
tersebut.
D. Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Disamping itu
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu, perkawinan poliandri bukanlah
perkawinan yang sah, dan perbuatan melanggar hukum. Hal ini,
merupakan akibat dilangsungkannya perkawinan tidak tercatat.
Melihat kondisi itu, maka koordinasi antar berbagai pihak mutlak
diperlukan agar tidak terjadi poliandri dan kawin tidak bercatat.
Masyarakat harus punya kepedulian terhadap pentingnya kawin
bercatat di KUA dan perceraian di pengadilan dengan memiliki sikap
antusias untuk mengikuti penyuluhan hukum yang disampaikan di
kantor Kecamatan. Diperlukan rasa kepedulian antar sesama
masyarakat untuk saling mengawasi dan mengingatkan akan akibat
dan bahaya perkawinan dan perceraian tidak tercatat. Oleh karena itu
perlu ditingkatkan koordinasi secara terus menerus antara berbagai
pihak sehingga tercipta penegakan dan kepastian hukum yang lebih
terjamin dan terealisasi bagi masyarakat.
Poliandri pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Pariaman
200
Referensi
Amirin, M. (1990). Tatang. Menyusun Rencana Penelitian.
Anshori, A. G., & Harahab, Y. (2008). Hukum Islam: dinamika dan
perkembangannya di Indonesia. Total Media.
Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya.
Hadi, S. (1985). Metodologi Research I dan II. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Kansil, C. S., & Kansil, C. S. (2011). Pengantar ilmu hukum
Indonesia. Rineka Cipta.
Luintel, Y. R. (2004). GENDER RELATIONS IN POLYANDRY IN
NEPAL HIMALAYA. Contributions to Nepalese Studies,
31(1), 43–83.
Maryani, M. (2016). Perceraian Sirri Menurut Kompilasi Hukum
Islam (Studi Kasus di Desa Parit Kecamatan Sungai Gelam
Kabupaten Muaro Jambi). In Al-Risalah: Forum Kajian
Hukum dan Sosial Kemasyarakatan (Vol. 15).
Sabiq, S. (1997). Fikih Sunnah Jilid 6. Bandung: Al Ma’arif.
Soekanto, S. (2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Ed. 1 Cet. 5, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Soemitro, R. H. (1983). Metodologi Penelitian Hukum.
Starkweather, K. E., & Hames, R. (2012). A survey of non-classical
polyandry. Human Nature, 23(2), 149–172.
Subagyo, P. J. (1991). Metode Penelitian: dalam teori dan praktek.
Rineka Cipta.