perubahan penggunaan lahan dan klasifikasi … · the actual land suitability classes for food...
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
218
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KLASIFIKASI
KESESUAIAN LAHAN DI PANGKOH IX, KABUPATEN PULANG
PISAU, KALIMANTAN TENGAH
M. Anang Firmansyah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jl. G. Obos km 5 Palangka Raya
No. HP. 081352738525 E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Perubahan penggunaan lahan alami umumnya berdapak negatif terhadap lingkungan, meskipun tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Survai klasifikasi kesesuaian lahan dapat membantu menyusun arahan pengembangan komoditas dan mengetahui kendalanya guna menilai kelayakan dan juga kelestariannya. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Perubahan tata guna lahan dilihat dalam tiga periode sebelum tahun 1980, tahun 1987 dan tahun 2013, sedangkan penetapan kelas kesesuaian lahan dengan mencocokkan persyaratan tumbuh komoditas tanaman dengan karakteristik lahan dalam setiap titik pengamatan. Hasil menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem yang ditandai hilangnya lapisan tanah gambut yang sebelum 1980 masih dijumpai pada jarak 2,5 km dari Sungai Kahayan, maka pada tahun 2003 lapisan gambut hilang dan dijumpai pada jarak 9,5 km dari Sungai Kahayan. Perubahan tutupan lahan yang sebelumnya hutan kini telah berubah menjadi pemukiman hingga perkebunan. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman pangan lebih rendah yaitu kelas S3 (Sesuai Marjinal) hingga N (Tidak Sesuai), sedangkan untuk komoditas tanaman perkebunan lebih tinggi yaitu kelas S2 (Cukup Sesuai) hingga N (Tidak Sesuai). Kelas N umumnya terdapat pada lokasi pengamatan yang memiliki kedalaman gambut 2 meter atau lebih. Kata kunci: kesesuaian lahan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, Pangkoh
IX
ABSTRACT
LAND USE CHANGE AND LAND SUITABILITY CLASSIFICATION IN PANGKOH IX, PULANG PISAU REGENCY, CENTRAL KALIMANTAN. Natural land use change have a negative impact to the environment, although the aim was to improve the welfare of the community. Survey of land suitability classification can be implemented in order to set direction of development areas and determine the constraints in order to assess the feasibility and sustainability. The study was conducted in Pangkoh IX, district of Maliku, Pulang Pisau regency, Central Kalimantan. The land use changes was evaluated during the three years period before 1980, 1987 and 2013, while determination of land suitability class by matching the crop requirements of food crops with soil characteristics within each ground point of observation. The results show that ecosystem has been changed, with loss of peat soil layer. This is still found before 1980 at a distance of 2.5 km from Kahayan river. However, in 2003, the
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
219
peat layer became disappear and found at a distance of 9.5 km from the river. In relation to land cover changes, this area was previously forest and it has been changed into settlement to estate areas . The actual land suitability classes for food crops were lower namely class S3 (marginally suitable) to N (not suitable), while for plantation crops, they have higher class namely S2 (moderately suitable) to N (not suitable). Class N is mainly found in the observation areas that have peat depth more than 2 meters. Key words: land suitability, food crops, plantation crops, Pangkoh IX.
PENDAHULUAN
Pengembangan komoditas pertanian berupa komoditas tanaman pangan
dan tanaman perkebunan memerlukan kajian terhadap persyaratan tumbuh
tanaman, antara lain karakteristik iklim, ketersediaan air hingga manajemen
lahan. Semakin banyak karakteristik tersebut mendukung pengembangan
komoditas yang akan ditanam, maka input yang diberikan relatif rendah dan
produksi relatif tinggi, serta sustainable dari sisi kelestarian lingkungan.
Sebaliknya, jika karakteristik tersebut banyak yang tidak mendukung, maka input
dalam mengelola lahan semakin besar agar produksi cukup baik, serta
kelestarian lingkungan rawan terdegradasi.
Lokasi Pangkoh IX tergolong lahan rawa. Noor (2004) rawa adalah
kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok
masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya
pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa sebagai lahan yang mendapatkan
pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada musim hujan lahan
tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering
bahkan muka air tanah turun mencapai > 50 cm dari permukaan tanah.
Tanah gambut tergolong sangat marjinal, berbagai upaya untuk
meningkatan produktivitas tanah tersebut banyak dikaji. Masganti et al., (2005)
ameliorasi tanah gambut menggunakan CaCO3 43,8%, abu gambut 43,8% dan
abu gambut 2,5% maka kadar P dan kadar Ca, Mg dan K tertukar akan
meningkat pada tanah gambut saprik.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perubahan ekosistem sebelum
dan sesudah ada penempatan transmigrasi serta penetapan kelas kesesuaian
lahan untuk tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Pangkoh IX,
Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
220
METODOLOGI
Penelitian dimulai pada bulan Mei – Agustus 2013 di wilayah UPT
Pangkoh IX Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan
Tengah. Lokasi penelitian dilakukan sejajar dengan saluran utama Pangkoh IX
dari hilir hingga hulu, yang melintasi 3 desa, yaitu Desa Purwodadi, Desa
Wonoagung, dan Desa Kanamit Barat. Panjang saluran utama sebagai saluran
drainase yang bermuara di Sungai Kahayan tersebut sembilan kilometer.
Tipologi luapan lahan rawa di areal survai umumnya tergolong tipologi C, yaitu
pasang besar dan pasang kecil tidak masuk kelahan namun permukaan air tanah
pada kedalaman 50 cm atau kurang.
Penelitian ini terbagi dua tahapan, yaitu: perubahan ekosistem dan
klasifikasi kesesuaian lahan. Penelitian tahap pertama menginventarisasi
perubahan ekosistem dilakukan dalam tiga bagian: 1) dari sebelum dibukanya
lokasi tersebut untuk transmigrasi berdasarkan wawancara narasumber
masyarakat lokal yang berdiam sebelum unit pemukiman transmigrasi Pangkoh
IX dibuka sekitar tahun 1980-an hingga kondisi terakhir saat survai dilakukan, 2)
saat tahun 1987 dimana transmigrasi telah mulai dihuni berdasarkan penelitian
Djaenuddin dan Suwardjo (1987), dan 3) juga berdasarkan kondisi terakhir
berdasarkan survai dan verifikasi lapang secara transek pada tahun 2013. Pada
tahap ke tiga ini juga dilakukan pendugaan Karbon tersimpan (C Stock) di tanah
gambut (bellow ground) menggunakan persamaan Dariah et al. (2013) yaitu Y =
5,534x, dimana Y=C stock (t/ha) dan x=kedalaman gambut (m). Penelitian
tahap kedua adalah penentuan klasifikasi kesesuaian lahan untuk berbagai
komoditas pada beberapa titik pewakil
Kajian yang umum digunakan untuk menentukan pengembangan
komoditas tersebut adalah Klasifikasi Kesesuaian Lahan. Klasifikasi tersebut
umumnya menggolongkan lahan dalam tingkat ordo sesuai (Suitable) dan tidak
sesuai (Non suitable), sedangkan tingkat kelas maka ordo sesuai terbagi lagi
menjadi tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai
marjinal (S3). Kelas sangat sesuai (S1) lahan tidak mempunyai faktor pembatas
yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor
pembatas lahan tidak akan menurunkan produktivitas lahan secara nyata. Kelas
cukup sesuai (S2) lahan memiliki faktor pembatas, dan faktor pembatas ini
berpengaruh terhadap produktivitas, sehingga memerlukan input, namun
umumnya petani mampu mengatasi kendala ini. Kelas sesuai marjinal (S3)
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
221
lahan mempunyai faktor pembatas berat, memerlukan input lebih banyak
dibandingkan kelas S2 sehingga memerlukan campur tangan pemerintah atau
pihak swasta. Kelas tidak sesuai (N) lahan mempunyai faktor pembatas yang
sangat berat dan sulit diperbaiki. Karakteristik lahan yang umum digunakan
dalam menetapkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas
adalah temperatur (tc), ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), media
perakaran (rc), retensi hara (nr), bahaya sulfidik (xs), bahaya erosi (eh), bahaya
banjir (fh), dan penyiapan lahan (lp).
Contoh tanah yang diambil dari lokasi penelitian dianalisis di laboratorium
Balittra Banjarbaru, antara lain: Kapasitas Tukar Kation (KTK), C organik, dan pH
tanah. Karakteristik tanah untuk tanaman pangan diambil pada lapisan 0-30 cm,
sedangkan untuk tanaman perkebunan pada kedalaman 0-60 cm. Sedangkan
karakteristik lainnya dilakukan penukuran langsung dilapang, sedangkan data
sekunder seperti iklim digunakan dari data rata-rata bulanan dari Stasiun
Meteorologi Tjilik Riwut.
Penetapan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas
adalah mencocokkan karakteristik lahan untuk tanaman pangan dengan kriteria
kebutuhan hidup tanaman mengacu pada Djaennuddin et al. (2001). Kelas
kesesuaian lahan yang digunakan dalam penyusunan klasifikasi kesesuaian
lahan digunakan dalam kondisi kelas kesesuaian lahan aktual atau eksisting
dengan mengacu kepada kondisi lapang saat penelitian dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Ekosistem
Kurun waktu lebih dari 30 tahun telah menunjukkan perubahan ekosistem
secara nyata. Sebelum ada penempatan pemukiman transmigrasi di wilayah
Pangkoh IX secara umum merupakan hutan belantara yang memiliki jenis tanah
gambut dengan ketebalan gambut diperkirakan 3 meter atau lebih, dan
ketinggian muka air hingga 1 m di atas permukaan tanah. Kondisi tersebut pada
tahun 2013 telah berubah total. Pembuatan saluran sekunder sepanjang 9 km
dengan lebar hingga 30 m telah membuat kehilangan air berlebihan (over
drainaed). Gambut yang sebelum tahun 1980 memiliki ketebalan 3 m ditemukan
pada jarak 2,5 km dari Sungai Kahayan, kini kebanyakan habis. Gambut pada
saat ini mulai ditemukan pada jarak 8,6 km hingga 11,4 km dari Sungai Kahayan.
Penggunaan lahan yang dulu hutan belantara kini telah berubah menjadi lahan
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
222
pemukiman, pekarangan, hingga perkebunan ( Gambar 1, Tabel 1-2).
Gambar 1. Titik transek lokasi penelitian di Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.
Berkurangnya lahan gambut saat tahun 2013 dibandingkan sebelum
tahun 1980 utamanya diduga karena dibuatnya saluran drainase yang membelah
Pangkoh IX. Hardjowigeno (1993) pembuatan saluran drainase tersebut
merupakan upaya awal agar tanah gambut dapat dimanfaatkan untuk pertanian.
Namun demikian pembuatan saluran drainase dilahan gambut menyebabkan
gambut mengalami penyusutan volume, gambut mengering dan mengalami
kebakaran. Kebakaran merupakan peristiwa bencana yang berpotensi merusak
ekosistem gamut secara cepat. Peristiwa kebakaran lahan gambut di Desa
jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau menunjukkan
peristiwa yang sama. Pembuatan saluran drainase menyebabkan gambut
mengering dimusim kemarau dan terjadi kebakaran yang berulang kali pada
tahun 2005, 200, dan 2012. Putung rokok yang menyala nampaknya berpotensi
penyebab kebakaran gambut meluas ( Firmansyah et al., 204)
Penyusutan ketebalan gambut umumnya terjadi setelah terjadinya alih
fungsi dari ekosistem hutan ke non ekosistem hutan. Beberapa lokasi gambut di
Indonesia mengalami hal yang serupa. Di Delta Upang sebelum hutan dibuka
pada tahun 1969 dan setelah hutan dibuka pada tahun 1977 mengalami
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
223
penurunan permukaan tanah gambutnya mencapai 2-5 cm per tahun (Chambers,
1976). Di Demplot ICCTF Jabiren, dengan penggunaan kebun karet umur 5
tahunan dalam kurun waktu pengukuran4 bulan telah mengalami penurunan
permukaan tanah gambut hingga 7 cm pada posisi yang berjarak 25 m dari
saluran drainase dan 3 cm yang berjarak 100m dari saluran drainase
(Firmansyah dan Mokhtar, 2012). Daerah yang mengalami penurunan terbesar
adalah daerah yang digunakan untuk peruntukan pertanian intensif. Hal tersebut
diperkuat oleh penelitian Muntalib et al., (1991 dam Ritung et al., 2013) faktor
yang mempengaruhi penurunan permukaan gambut antara lain: (1) pembakaran
waktu pembukaan dan setelah panen, (2) oksidase karena drainase berlebihan,
(3) dekomposisi dan pengolahan tanah, dan (4) pencucian.
Tabel 1. Perubahan Ekosistem Sebelum tahun 1980 dan Tahun 2013 di UPT Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah
No Jarak dari
S. Kahayan (km)
Jenis Tanah (m) Tutupan lahan
< 1980 1987 2013 < 1980 1987 2013
1 2,5 Gambut Mineral Mineral Hutan LU Rumput ternak BH
2 3,7 Gambut Mineral Mineral Hutan LU Semak belukar
3 4,8 Gambut Gambut Mineral Hutan LU Pekarangan 4 6,1 Gambut Gambut Mineral Hutan LU Karet TM 5 7,2 Gambut Gambut Mineral Hutan LU Rumput
ternak BH 6 8,6 Gambut Gambut Bergambut Hutan LU Kelapa sawit
TBM 7 9,5 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Kelapa sawit
TBM 8 9,9 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Semak
belukar 9 10,3 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Kebun
campuran 10 11,4 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Kelapa sawit
TBM
Keterangan: LU = Lahan Usaha, BH = Brachiaria humidicola ; TBM = Tanaman Belum Menghasilkan, TM = Tanaman Menghasilkan
Lokasi kajian di wilayah Pangkoh IX terletak di daerah aliran sungai
Kahayan saat ini memiliki pola penyebaran tanah mineral dan tanah gambut.
Lahan yang memiliki tanah mineral umumnya terletak di wilayah yang mendekati
Sungai Kahayan yaitu Desa Purwodadi dan Desa Wonoagung, sedangkan makin
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
224
kearah menjauhi sungai Kahayan yaitu di Desa Kanamit Barat kondisi lahan
umumnya terdiri dari tanah gambut.
Kondisi tersebut menunjukkan degradasi sumber daya lahan, terjadinya
deforestasi alih fungsi hutan menjadi berbagai penggunaan lahan serta
degradasi dengan meluasnya tanah gambut yaang hilangnya. Disisi lain kondisi
ekosistem rawa menjadi lahan kering. Indriyanto (2006) vegetasi yang umum
menyusun hutan gambut merupakan spesies-spesiesyang selalu hijau
(evergreen), antara lain: Alstonia spp., Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium
spp., Tristania spp., Eugenia spp., Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra,
Dactylocladus stenostachys, Diospyros spp., Myristica spp., dan Gonystylus spp
Dirjen PLA (2006) utan gambut pada umumnya sumber daya lahan yang
ada saat ini kondisinya telah mengalami degradasi baik dalam tahap awal
maupun telah mencapai taraf yang lanjut, akibat praktek pengelolaan yang tidak
sesuai dengan daya dukungnya. Hal itu ditandai akibat adanya deforestasi yang
berdampak lebih lanjut pada kerusakan ekologi (Salim, 2006).
Page and Rieley (1998) lahan gambut tropika memiliki peranan yang
besar dalam fungsi sumber daya alam. Namun pembukaan lahan gambut yang
dimulai dengan penebangan hutan dan pembuatan saluran drainase dan tidak
memahami sifat fisik dan kimia tanahnya akan menimbulkan dampak serius
terhadap lingkungan.
Berdasarkan pengamatan lapang nampak terlihat pembuatan saluran
drainase yang cukup intensif telah menyebabkan air di lahan mengalir ke luar
menuju saluran drainase utama. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan
kondisi drainase, yang semula berdrainase buruk yang sesuai untuk padi
menjadi berdrainase baik yang lebih sesuai untuk tanaman perkebunan.
Perubahan jenis tanaman dari tanaman pangan khusunya padi ke tanaman
perkebunan diakibatkan pembuatan saluran-saluran drainase tidak dilengkapi
pintu air. Kondisi penurunan permukaan air di lahan akibat pembuatan saluran
drainase tersebut menyebabkan gambut mengering dan berpotensitinggi terjadi
kebakaran. Hilangnya tanah gambut memang dipicu oleh pembuatan saluran
drainase yang tanpa dilengkapi pintu air, namun kehilangan yang sangat besar
dan cepat diakibatkan dari kebakaran lahan gambut, baik sengaja maupun tanpa
disengaja.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
225
Tabel 2. Data Morfologi Lokasi Penelitian Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.
No Posisi Lapang Tebal
Gambut (m)
Muka Air
Tanah (m)
pH air parit
pH air tanah
Topsoil Sub-
sratum Pirit (m) Landuse Desa
Latitute Longitute
D M S D M S
1 2 53 41,6 114 9 47,9 0 0,1 4,4 4,8 Liat Liat >0,75 Rumput BH Purwodadi
4 2 52 56,1 114 8 56,4 0 0,6 3,1 3,8 Liat Liat - Semak Belukar Wonoagung
13 2 52 37,9 114 8 23,9 0 0,6 3,1 3,3 Liat Liat - Pekarangan Wonoagung
14 2 52 31,0 114 7 40,9 0 0,6 3,0 2,9 Liat Liat - Karet TM Wonoagung 15 2 52 17,7 114 7 6,9 0 0,3 3,4 3,6 Liat Liat - Rumput BH Wonoagung
16 2 52 12,7 114 6 22,0 0,56 0,3 3,6 3,7 Gambut Liat 0,60 Kelapa Sawit TBM Kanamit Barat
17 2 52 7,1 114 5 53,9 1,27 0,7 3,8 3,9 Gambut Liat 1,30 Kelapa Sawit TBM Kanamit Barat
18 2 52 5,7 114 5 41,8 1,37 0,2 3,8 3,9 Gambut Liat 1,40 Semak Belukar Kanamit Barat
19 2 52 11,8 114 5 24,2 1,35 0,9 3,3 3,5 Gambut Liat 1,40 Kebun Campuran Kanamit Barat
20 2 51 52,6 114 4 56,5 6,00 0,02 4,6 4,7 Gambut Liat 6,10 Kelapa Sawit TBM Kanamit Barat
Keterangan: TBM = Tanaman Belum Menghasilkan, TM = Tanaman Menghasilkan, S = Saprik (matang), H = Hemik (setengah Matang), F = Fibrik (mentah).
225
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
226
Hasil hipotesis dan dugaan C stock (Karbon tersimpan) di dalam tanah
(bellow ground) di lokasi Pangkoh IX pada tiga periode waktu menunjukkan
adanya penurunan. C Stock tertinggi ditunjukkan pada periode sebelum tahun
1980 atau sebelum kawasan tersebut di buka untuk lokasi transmigrasi yang
masih hutan belantara. Setelah penepatan transmigrasi selama kurang lebih 7
tahun, maka C stock menunjukkan penurunan, dan pada tahun 2013 penurunan
C Stock makin tajam (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
ekosistem telah berlangsung intensif, ditandai makin menurunnya C stock pada
tanah gambut.
Model sederhana untuk mengkonversi C stock yang hilang dari lahan
gambut dengan membagi berat molekul CO2 dan berat atom C yaitu 3,6667,
maka pada tahun 1987 dan 2013 teremisikan gas rumah kaca secara rata-rata
sekitar 5.783 t/ha CO2 dan 7.508 t/ha CO2.
Khusus untuk kondisi hidrologi, pada sekitar titik no 17 yang telah
memasuki Desa Kanamit Barat, telah dijumpai aqiufer, dimana air memancar dari
dalam tanah jika dilakukan pemboran sekitar 20 meter. Meskipun air yang keluar
jernih, namun memiliki aroma besi belerang dan jika diendapkan akan nampak
endapan besi (Gambar 3). Menurut warga setempat, pancaran air yang lekuar
dari dalam tanah sudah agak melemah dibandingkan pada saat awal pembukaan
lokasi UPT Pangkoh IX. Hal ini diduga tekanan yang terdapat di dalam tanah
mulai berkurang. Fenomena unik ini yang umm ada di daerah karst ternyata
terdapat di lahan awa, dan terkait penurunan daya semburan aquifer
menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan hidrologi di wilayah
Pangkoh IX.
Gambar 2. Hipotesis dan dugaan C stock pada jarak tertentu dari sungai Kahayan dalam tiga periode waktu di Pangkoh IX.
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
2,5 3,7 4,8 6,1 7,7 8,6 9,5 9,9 10,3 11,4
C
Sto
ck (
t/h
a)
Jarak dari Sungai Kahayan (km)
<1980
1987
2013
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
227
Gambar 3. Air aquifer menyembul tak henti di permukaan lahan rawa Pangkoh IX Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Hasil dari kajian kegiatan berupa karakteristik iklim dan tanah untuk
tanaman pangan dan tanaman perkebunan (Tabel 3-4), dan juga klasifikasi
kesesuaian lahan utuk tanaman pangan dan perkebunan (Tabel 5). Kriteria
kesesuaian lahan untuk komoditas mengacu pada Djaenuddin et al., (2001).
Tanah lokasi penelitian terdiri dari tanah gambut (Organosol) dan tanah
yang mengandung pirit, dan sebagiannya pirit (Aluvial Gleisol) ditemukan pada
kedalaman kurang dari 75 cm. Tanah-tanah tersebut tergolong marjinal.
Hardjowigeno (2003) tanah di daerah-daerah transmigrasi umumnya tergolong
tanah marjinal. Pada lokasi rawa maka umum ditemukan tanah gambut dan
tanah berpotensi sulfat masam. Tanah gambut yang tebal (> 2 m) tergolong
gambut tidak subur karena berasal dari vegetasi yang miskin hara, sedangkan
tanah yang mengandung bahan sulfidik (pirit) bila teroksidasi akan berubah
menjadi sulfat yang sangat masam (pH <3,5) dan dapat mematikan tanaman.
Berdasarkan klasifikasi kesesuaian lahan, nampaknya tanaman padi, ubi
kayu dan ubi jalar memiliki kelas kesesuan lahan S2, sedangkan tanaman
pangan lainnya yaitu jagung, kacang tanah dan kedelai kebanyakan memiliki
kelas kesesuaian lahan S3, kecuali di gambut dalam semuanya masuk N karena
merupakan kawasan konservasi.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
228
Tabel 3. Karakteristik Lahan Untuk Tanaman Pangan Berdasarkan Titik Sample Survai di Wilayah Pangkoh IX, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah
Karakteristik Lahan
Wilayah Titik Bor Pengamatan
1 4 13 14 15 16 17 18 19 20
tc Suhu rerata (oC)
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
wa Crh hujan (mm) Kelembaban (%) Bulan kering < 75 mm
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
1.823 84,4
2
Oa drainase
at
at
at
at
at
at
-
-
-
-
rc Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tnh (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Sisipan Kematangan
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
- - - -
56 -
- - -
127 - -
- - -
600 -
hmk
- - -
500 -
hmk
- - -
487 -
hmk
nr KTK KB pH H2O C Organik (%)
47,5
- 5,04 24,7
57,5
- 4,94 8,1
41,5
- 5,19 7,3
42,5
- 5,18 7,4
30,0
- 4,37 9,2
32,5
- 4,73 5,15
30,0
- 4,66 6,0
145,0
- 3,93 40,7
232,5
- 4,16 56,0
190,0
- 4,35 51,8
xs Kedalaman sulfidik (cm)
>100
>100
>100
>100
>100
>100
>100
40
155
225
eh Lereng (%) Bahaya erosi
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
fh Genangan
F0
F0
F0
F0
F0
F0
F4
F1
F2
F2
lp Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Keterangan: at=agak terhambat, h=halus, hmk=hemik, sr=sangat rendah, h=halus; sr=sangat ringan; F0 = (tanpa), F1 (ringan); F3 (agak berat);F4=berat.
Sumber: Djaenuddin et al., (2001)
Nampak bahwa padi masih layak untuk dikembangkan, namun demikian
terjadi kompetisi dengan tanaman perkebunan yang lebih mudah
pengelolaannnya dan resiko kegagalan yang lebih rendah. Di lapangan terlihat
bahwa karet telah banyak menggantikan lahan yang dulu ditanami padi. Dan
kurang lebih 5 tahun kebelakang komoditas kelapa sawit makin banyak
dikembangkan masyarakat. Berdasarkan potensi kesesuaian lahan, maka karet
umumnya memiliki kelas S3, namun kelapa sawit memiliki kelas S2. Tak heran
jika di kawasan survai banyak ditemukan kebun-kebun kelapa sawit rakyat.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
229
Upaya penyelamatan lahan-lahan sentra atau berpotensi padi adalah
memberikan sosialisasi SKPD terkait yang melakukan pembuatan dan
pemeliharaan saluran drainase untuk membuat pintu air. Pintu-pintu air tersebut
bertujuan mengatur ketinggian air di saluran dainase dan dilahan. Untuk
kawasan yang berpotensi tinggi bagi pengembangan komoditas padi, maka
pembuatan pintu air dapat menyediakan air yang cukup selama pertanaman
padi, sedangkan untuk lahan-lahan yang telah terlanjur atau berpotensi untuk
tanaman perkebunan, maka pembuatan pintu air merupakan upaya konservasi
air dan mengupayakan lahan dalam kondisi lembab untuk mencegah kebakaran
saat memasuki musim kemarau.
Tabel 4. Karakteristik lahan untuk tanaman perkebunan berdasarkan titik sampel survei di wilayah Pangkoh IX, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah
Karakteristik Lahan
Wilayah Titik Pengamatan
1 4 13 14 15 16 17 18 19 20
tc Suhu rerata (
oC)
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
27,2
wa Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Bulan kering <75mm
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
1.82
3 84,4
2
oa drainase
at
at
at
at
at
at
t
-
-
-
rc Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tnh (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Sisipan Kematangan
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
h -
>100 - - -
- - -
35 -
hmk
- - -
148 -
hmk
- - -
215 -
hmk
nr KTK KB pH H2O C Organik (%)
37,5
- 4,92 17,4
57,0
- 4,90 7,2
49,5
- 4,96 7,5
51,3
- 4,86 6,3
32,0
- 4,41 9,5
32,5
- 4,39 5,5
55,0
- 4,33 6,6
96,3
- 3,87 24,9
220,0
- 4,20 55,8
186,3
- 4,25 54,3
xs Kedalaman sulfidik (cm)
>100
>10
0
>10
0
>10
0
>10
0
>10
0
>10
0
40
155
225
eh Lereng (%) Bahaya erosi
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
<3 sr
fh Genangan
F0
F0
F0
F0
F0
F0
F4
F1
F2
F2
lp Batuanpermukaan (%) Singkapan batuan (%)
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Keterangan: at=agak terhambat, h=halus, hmk=hemik, sr=sangat rendah, h=halus; sr=sangat ringan; F0 = (tanpa), F1 (ringan); F3 (agak berat);F4=berat.
Sumber: Djaenuddin et al., (2001).
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
230
Tanaman perkebunan terutama kelapa sawit umumnya memiliki kelas
kesesuaian lahan S2 dan S3, kecuali pada lokasi gambut yang memiliki
kedalaman lebih dari 2 m (Gambar 4). Hal ini sejalan dengan penelitian
Erningpraja et al., (2005) lahan-lahan potensial bukaan baru didominasi oleh
kelas S3 (86%) dan S2 (14%) yang berdasarkan sentra baru pengembangan
kelapa sawit mengarah ke Indonesia bagian tegah dan Indonesia bagian timur.
Tabel 5. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman pangan dan perkebunan
di wilayah Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.
Komoditas Wilayah Titik Pengamatan
1 4 13 14 15 16 17 18 19 20
Padi S2nr S3nr S2nr S2nr S3nr S3nr S3nr S3rc,xs,nr
S3rc,nr
Nrc
Jagung S3wa,nr
S3wa,nr
S3wa, nr
S3wa, nr
S3wa, nr
S3wa,nr
Nfh S3wa, rc,xs
Nfh Nrc,fh
Kedelai S3wa,nr
S3wa,nr
S3wa, nr
S3wa, nr
S3wa, nr
S3wa,nr
N fh S3wa, fh,nr
Nfh Nrc,fh
Kacang tanah
S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa, nr
S3wa,nr
Nfh Nfh,.xs Nfh Nrc,fh
Ubi jalar S2tc,wa,rc
S2tc,wa,rc
S2tc,wa,rc
S2tc,wa,rc
S3nr S3nr Nfh S3tc,wa,fh
Nfh Nrc,fh
Ubi kayu S2rc,nr
S2rc,nr
S2rc,nr
S2rc,nr S3nr S3nr Nfh Nfh Nfh Nrc,fh
Karet S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa Noa ,fh
Nxs S3wa,rc,fh
Nrc
Kelapa sawit
S2wa,oa,nr
S2wa,oa,nr
S2wa, oa,nr
S2wa, oa,nr
S3nr S3nr Nfh Nxs S3rc, fh,nr
Nrc
Lokasi pengamatan yang memiliki ketebalan gambut lebih dari 2 atau 3
meter umumnya masuk ke dalam kelas tidak sesuai (N). Djaenuddin dan
Suwardjo (1987) rendahnya potensi pertanan pada jarak 5 km dari Sungai
Kahayan selain karena merupakan kubah (dome) gambut yang sangat masam,
kejenuhan basa rendah, juga tidak ada pengaruh pasang surut. Sejak dibangun
saluran drainase telah terjadi perubahan fisik akibat kesulitan memperoleh air.
Las et al., (2012); Mulyani dan Noor (2011) ketebalan gambut yang lebih dari 3
meter untuk pengembangan komoditas tanaman secara agronomis dan
ekonomis masih menguntungkan, namun dari segi lingkungan dan dampaknya
kedepan sebaiknya tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi (hidrologis
dan resapan air).
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
231
KESIMPULAN
Perubahan ekosistem sebelum tahun 1980-an dan 2013 ditandai dengan
terdegradasinya lahan gambut hingga jarak 8,6 km dari Sungai Kahayan dan
makin menurunnya C stock tanah gambut. Kondisi hutan belantara sebelum
tahun 1980-an saat ini di tahun 2013 telah berubah menjadi pekarangan hingga
perkebunan karet atau kelapa sawit. Kelas kesesuaian lahan aktual di Pangkoh
IX nampaknya memiliki tingkat kesesuaian sedang hingga marjinal, namun pada
posisi gambut dalam tergolong tidak sesuai untuk penggunaan lahan pertanian
dan perkebunan. Pembuatan pintu air di saluran drainase diperlukan untuk
mengatur ketinggian air tanah untuk peruntukan komoditas yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Ilmu tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 286 hal. Basuni, S. Hardjowigeno, H. Subagyo, M. Sukardi, Ismangun, Ds. Marsudi, N.
Suharta, L. Hakim, Widagdo, J. Dai, V. Suwandi, S. Bachri, dan E.R. Jordens. 2001. Kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian dan kehutanan. Land Resource Evaluation and Planning Project. Center For Soil And Agroclimate Research. 50p.
Chambers, M.J. 1979. Rate of peat loss on the Upang transmigration Project
South Sumatra. Makalah A17. The Third Symposiumon Tidal Swamp Land Development Aspects. Palembang, 5-10 Pebruari 1979.
Dairiah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga
simpanan carbon pada tanah gambut. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Badan Litbang Pertanian. Hal.: 213-221.
Dirjen PLA. 2006. Arah dan strategi pengelolaan lahan dan air mendukung
revitalisasi pertanian. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006. Hal.:5-18.
Djaenudin, D., dan H. Suwarjo. 1987. Evaluasi lokasi bermasalah di daerah
Transmigrasi Pangkoh, Kalimantan Tengah. Jurnal Litbang Pertanian. 4(3):73-79.
Erningparja, L., A. Kurniwan, dan H. Santoso. 2005. Kaitan daya dukung
wilayah dan daya tarik pengembangan perkebunan kelapa sawit di areal bukaan baru. Warta PPKS. 13(1)1-9.
Firmansyah, M.A., dan M.S. Mokhtar. 2012. Profil ICCTF di Kalimantan Tengah:
Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. Palangka Raya. 32 hal.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian
232
Hardjowigeno, S. 2006. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika
Pressindo. Jakarta. 274 hal. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hal. Las, I., M. Sarwani, A. Mulyani, dan M.F. Saragih. 2012. Dilema dan rasionalisai
kebijakan pemanfaatan lahan gambut untuk areal pertanian. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Badan Litbang Pertanian. Hal.: 12-27.
Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2005. Perbaikan
sifat kimia gambut pedalaman yang ditanami jagung dengan metode amelioran. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya Tanah dan Iklim. Bogor, 14-14 September 2004. Hal: 233-246.
Mulyani, A., dan M. Noor. 2011. Evaluasi kesesuaian lahan untuk
pengembangan pertanian di lahan gambut. Editor: N.L. Nurida, A. Mulyani, dan F. Agus. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Hal: 27-43.
Noor. M. 2004. Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat
Masam. Raja Grafindo Persada. 241 hal. Page, S.E., and J.O. Rieley. 1998. Tropical peatlands: a review of their natural
resource functions, with particular reference to Southeast Asia. International Peat Journal. 8:95-106.
Ritung, S., Wahyunto, dan K. Nugroho. 2012. Karakterisasi dan sebaran lahan
gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Badan Litbang Pertanian. Hal.: 47-61.
Salim, E. 2006. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan membangun RI
2025. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006. Hal:1-3.
W.A. Nugroho, A. Anto, A. Bhermana, dan M.S. Mokhtar. 2014. Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi melalui Inovasi Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 36 hal.