pengaruh penambahan susu kedelai dan gula...
TRANSCRIPT
1
PENGARUH PENAMBAHAN SUSU KEDELAI DAN GULA BERKALORI RENDAH UNTUK PRODUK COKLAT TRUFFLE
SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL
IMPACT OF SOYA MILK INCREASE AND LOW CALORIE SUGAR
FOR TRUFFLES CHOCOLATE PRODUCT AS FUNCTIONAL FOOD.
Fitrah Pangerang, Maryati Bilang, Amran Laga
Bagian Proses Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi :
Fitrah Pangerang Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar Hp. 081354818171 Email : [email protected]
2
Abstrak Polifenol dan isoflavon merupakan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional . Tujuan penelitian ini membuat inovasi produk olahan coklat sebagai pangan fungsional. Penelitian ini dilakukan di laboratorium analisa dan pengawasan mutu ITP dan laboratorium farmasi Unhas. Sampel yang digunakan pasta, lemak dan bubuk kakao yang dperoleh dari industri Madani Palopo yang difermentasi dan tanpa fermentasi, gula semut dan susu kedelai bubuk. Variabel yang diukur melihat konsentrasi yang terbaik dari tiap bahan dan pengaruh interaksi konsentrasi bahan yang ditambahkan, aktivitas antioksidan dan total polifenol dari coklat truffle. Metode Pengukuran yang digunakan uji organoleptik hedonik, pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, penentuan total polifenol Folin-Ciocalteu. Metode statistik dengan SPSS versi 16 RAL faktorial. Hasil penelitian penambahan gula rendah kalori (gula semut) tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur coklat truffle. Tetapi berpengaruh nyata terhadap aroma dan tekstur coklat truffle. Perlakuan 37,5% (30 g) dengan 18,75% (20 g) tidak berbeda nyata terhadap aroma tetapi dengan 31,25% (25 g) berbeda nyata sedangkan 18,75% (20 g) dengan 31,25% (25 g) berbeda nyata terhadap aroma. Sedangkan pada rasa coklat truffle perlakuan 37,5% (30 g) dengan 18,75% (20 g) berpengaruh nyata tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar tetapi dengan perlakuan 31,25% (25 g) sangat berbeda nyata sedangkan perlakuan 18,75% (20 g) dengan 31,25% (25 g) tidak beda nyata terhadap rasa. Penambahan susu kedelai bubuk dan interaksinya tidak berpengaruh terhadap tekstur, aroma dan rasa coklat truffle. Total polifenol pada formula terpilih (a2b2, a2b3, a2b3) dengan aktivitas antioksidan masing-masing a2b1 (1,25% dengan EC50 0,04 mg/ml), a2b2 (2,122% dengan EC50 0,017 mg/ml) dan a2b3 (2,059% dengan EC50 0,03 mg/ml). Total kalori kalori yang dihasilkan masing-masing sampel adalah a2b1 203,4 kkal/100 g, a2b2 233,0 kkal/100 g, dan a2b3 262,7 kkal/100g. Di simpulkan bahwa produk coklat truffle a2b2 memiliki sifat fungsional dan sensorik yang terbaik yang dapat diterima oleh konsumen.
Kata Kunci : Pangan fungsional, coklat truffle, DPPH, polifenol.
Abstract Polyphenols and isoflavones are compounds that are considered to have specific physiological functions in the functional food. The purpose of this study makes innovative products processed chocolate as functional food. The research was conducted in the laboratory analysis and quality control laboratory and pharmacy Unhas ITP. The sample used pasta, fat and cocoa powder dperoleh Madani industry Palopo fermented and unfermented, sugar ants and soy milk powder. Measured variables see the best concentration of each material and the interaction effect of the concentration of material is added, total polyphenols and antioxidant activity of chocolate truffles. The measurement method used hedonic organoleptic tests, measurement of antioxidant activity by DPPH method, determination of total polyphenols Folin-Ciocalteu. Statistical method with SPSS version 16 CRD factorial. The results adding low-calorie sugar (sugar ants) did not significantly affect the texture of chocolate truffles. But the real impact on flavor and texture of chocolate truffles. Treatment of 37.5% (30 g) with 18.75% (20 g) was not significantly different to the aroma but with 31.25% (25 g) were significantly different, while 18.75% (20 g) with 31.25% ( 25 g) significantly different scents. While the chocolate truffle treatment 37.5% (30 g) with 18.75% (20 g) significant but the effect is not too big but with treatment of 31.25% (25 g) were significantly different from treatment while 18.75% (20 g) with 31.25% (25 g) no significant difference to the taste. The addition of soy milk powder and interaction does not affect the texture, aroma and taste of chocolate truffle. Total polyphenols in selected formula (a2b2, a2b3, a2b3) with antioxidant activity of each a2b1 (1.25% with EC50 0.04 mg / ml), a2b2 (EC50 2.122% with 0.017 mg / ml) and a2b3 (2.059% with EC50 0.03 mg / ml). The resulting total calories calories each sample was 203.4 kkal/100 g a2b1, a2b2 kkal/100 233.0 g, and 262.7 a2b3 kkal/100g. Concluded that chocolate truffle products a2b2 functional and sensory properties of the best that can be accepted by consumers. Keywords: Functional food, chocolate truffles, DPPH, polyphenols.
3
PENDAHULUAN
Sulawesi menyumbang ± 71 % ekspor kakao Indonesia yang merupakan devisa
Negara non migas. Pada saat ini sebagian besar produksi kakao diekspor dalam bentuk
biji (bahan baku) sedangkan ekspor dalam bentuk olahan baru mencapai 17-20%.
Padahal nilai tambah terbesar diperoleh dari produksi olahannya seperti pasta, lemak,
bungkil dan bubuk untuk makanan dan minuman (Widyotomo dan Sri Mulato, 2004).
Produk kakao baik itu berupa bubuk kakao, lemak kakao ataupun pasta kakao
merupakan sumber bahan baku dari semua produk berbasis coklat. Komposisi bubuk
coklat atau pasta coklat antara lain polifenol dan flavonoid yang bersifat sebagai
antioksidan dan bermanfaat bagi kesehatan (Ross, 2001). Kandungan metil santin
(kafein, theobromin dan teofilin) dalam produk kakao merupakan stimulan system saraf
pusat dan memperkuat aktivitas jantung.
Beberapa penelitian tentang polifenol melaporkan bahwa polifenol
menunjukkan anti-karsinogenik (Agarwal dan Mukhtar, 1996), meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, menurunkan resiko pengerasan arteri, penyakit jantung dan tekanan
darah tinggi (Ferlina, 2009).
Buah kakao memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan manusia, maka
diperlukan alternatif pengolahan tanaman ini menjadi suatu pangan yang dikenal oleh
masyarakat luas. Salah satu cara pemanfaatan buah kakao adalah dengan membuat
coklat “truffle”. Seperti pada kebanyakan produk pangan manis (sweet foods), nilai
citarasa merupakan karakteristik dasar yang sangat penting pada produk coklat.
Penggunaan gula yang banyak dan susu bubuk “full cream” serta mentega dalam
produk coklat umumnya merupakan komponen yang tidak diinginkan oleh konsumen
yang menghindari masalah obesitas.
Masyarakat mulai menyadari akan pentingnya kualitas hidup yang tinggi.
Kesadaran dalam diri masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat dengan gizi
seimbang mulai timbul. Salah satu indikatornya adalah semakin tingginya permintaan
produk pangan rendah kalori. Pengaturan komsumsi kalori yang mulai diterapkan
masyarakat melalui diet yang rendah kalori, diharapkan risiko terkena penyakit
degeneratif seperti diabetes mellitus dapat dihindari.
Coklat “truffle” rendah kalori merupakan jenis coklat dimana seluruh komponen
gula (sukrosa) diganti dengan gula semut bernilai gizi yang terbuat dari nira kelapa
yang dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis, dengan kalori
4
yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada gula (sukrosa). Disamping itu penggunaan
susu kedelai bubuk menggantikan susu hewan yang kaya kandungan isoflavon,
membantu mempertahankan kualitas khas yang dimiliki produk coklat pada umumnya
(tekstur, kepadatan dan citarasa) dan penggunaan produk olahan kakao berupa lemak
kakao, pasta kakao ataupun bubuk kakao yang memiliki kandungan polifenol dan
flavanoid yang tinggi merupakan sumber bahan baku pembuatan coklat “truffle”
sebagai makanan fungsional.
Pembuatan coklat “truffle” ini diharapkan dapat menambah keragaman pangan,
juga dapat dikembangkan sebagai industri kecil atau rumah tangga sehingga dapat
meningkatkan pendapatan petani. Disamping itu, pemanfaatan produk olahan kakao
dalam bentuk coklat “truffle” rendah kalori merupakan sumber pangan fungsional yang
berbasis bahan baku lokal, dapat memberikan alternatif pilihan makanan coklat
terhadap diet dan penderita penyakit tertentu.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian dan Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan,
ITP dan Laboratorium Farmasi unhas Universitas Hasanuddin. Jenis penelitian yang
digunakan adalah eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial.
Populasi dan Sampel
Pasta, lemak dan bubuk kakao diperoleh dari perusahaan industri coklat
Palopo Madani dengan bahan baku (kakao) yang didatangkan dari kabupaten Luwu,
kabupaten Palopo dan sekitarnya. Produk pasta, lemak dan bubuk kakao yang dipilih
memiliki polifenol yang tinggi yang berasal dari biji kakao difermentasi dan tanpa
difermentasi. Susu kedelai bubuk diperoleh di apotek terdekat dan gula semut
diperoleh dari toko bahan kue.
Pasta, lemak, bubuk kakao, susu kedelai bubuk dan gula semut merupakan
bahan yang digunakan dalam pembuatan coklat truffle. Perlakuan yang diberikan
yaitu menentukan metabolit sekunder (konsentrasi yang terbaik dari tiap bahan dan
pengaruh interaksi konsentrasi bahan yang ditambahkan, aktivitas antioksidan dan total
polifenol) dari coklat truffle.
Pengumpulan Data
5
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan rangking hedonik. Uji
ini dilakukan terhadap 10 panelis dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan
konsumen terhadap produk yang diuji. Parameter yang diuji pada uji hedonik meliputi
uji kesukaan terhadap warna, aroma, dan rasa. Skala hedonik yang digunakan
mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1) sampai dengan skala
sangat suka (skala numerik = 7). Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan Metode
DPPH dan Penentuan Total Polifenol Folin-Ciocalteu (Waterhouse, 1999).
Analisis Data
Karakteristik sampel diolah dengan menggunakan SPSS for windows versi 16
dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial. Pengolahan data dilakukan untuk
mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan dengan uji lanjutan menggunakan
Duncan.
HASIL
Penelitian Pendahuluan
Berdasarkan hasil pengujian penelitian pendahuluan terhadap tekstur
menunjukkan bahwa respon terhadap tekstur formula D (pasta coklat 50% : lemak :
30%, gula semut : 15%, susu kedelai bubuk 5%) lebih disukai oleh panelis, formula
yang lain yang memiliki respon agak disukai oleh panelis sementara formula E ( pasta :
40%, lemak : 40%, gula semut : 15%, susu bubuk 5%) respon panelis biasa. Terhadap
aroma formula coklat truffle A dan B agak disukai oleh panelis, formula coklat truffle
C, D dan formula E disukai oleh panelis. Terhadap rasa formula E agak tidak disukai
oleh panelis, formula A, B dan C rasa yang ditimbulkan biasa (netral), formula D agak
disukai oleh panelis.
Penelitian Utama
Tekstur
Berdasarkan pengujian sensori terhadap interaksi konsentrasi gula semut dan
konsentrasi susu kedelai bubuk terhadap tekstur pada gambar 1 menunjukkan bahwa
nilai tingkat kesukaan tekstur coklat “truffle” berdasarkan uji hedonik dapat diketahui
bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur coklat “truffle” berkisar antara 5.25 -
5.85 (agak suka - disukai). Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan a2b3 (perbandingan
gula semut 37,5% dengan 25% susu kedelai bubuk), sedang nilai terendah pada
perlakuan a1b1 (perbandingan gula semut 18,75% dengan 12,5 % susu kedelai bubuk).
6
penambahan susu kedelai bubuk dan gula semut dapat meningkatkan kepadatan coklat
“truffle”.
Aroma
Berdasarkan pengujian sensori terhadap interaksi konsentrasi gula semut dan
konsentrasi susu kedelai bubuk terhadap aroma pada gambar 2 menunjukkan bahwa
nilai tingkat kesukaan aroma coklat “truffle” berdasarkan uji hedonik dapat diketahui
bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma coklat “truffle” berkisar antara 5,7 –
6,45 (disukai). Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan a2b3 (perbandingan gula semut
31,25% dengan 25% susu kedelai bubuk) dengan nilai 6,45 sedang nilai terendah
terdapat pada perlakuan a3b1 (perbandingan gula semut 37,5% dengan 12,5% susu
kedelai bubuk) dengan nilai 5,7.
Rasa
Berdasarkan pengujian sensori terhadap interaksi konsentrasi gula semut dan
konsentrasi susu kedelai bubuk terhadap rasa pada gambar 3 menunjukkan bahwa nilai
tingkat kesukaan rasa coklat “truffle” berdasarkan uji hedonik dapat diketahui bahwa
tingkat kesukaan panelis terhadap rasa coklat “truffle” berkisar antara 4.65- 6.5 (agak
suka - disukai). Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan a2b2 (perbandingan gula semut
31,25% dengan 18,75% susu kedelai bubuk) dengan nilai sebesar 6,4 sedang nilai
terendah terdapat pada perlakuan a1b2 (perbandingan gula semut 18,75% dengan
18,75% susu kedelai bubuk) dengan nilai sebesar 4,65.
Uji Aktivitas Antioksidan
Diantara ketiga sampel yang diuji a2b2 (perbandingan gula semut 31,25%
dengan 18,75% susu kedelai bubuk) merupakan coklat “truffle” yang paling kuat
aktivitas penangkapannya terhadap radikal bebas DPPH. Hal ini dapat dilihat rendahnya
nilai EC50nya yaitu 0,017 mg/ml. selanjutnya kemampuan aktivitas penangkapan
radikal bebas DPPH diikuti oleh a2b3 (perbandingan gula semut 31,25% dengan 25%
susu kedelai bubuk) sebesar 0,032 mg/ml dan a2b1 (perbandingan gula semut 31,25%
dengan 12,5% susu kedelai bubuk) sebesar 0,039 mg/ml.
Uji Total Polifenol
Hasil yang diperoleh dari Gambar 4 menunjukkan bahwa total polifenol yang
tertinggi terdapat pada perlakuan a2b2 (perbandingan gula semut 31,25% dengan
18,75% susu kedelai bubuk) sebesar 2,122%, kemudian diikuti a2b3 (perbandingan gula
semut 31,25% dengan 25% susu kedelai bubuk) dengan total polifenol sebesar 2,059%.
7
Sedangkan total polifenol yang terendah pada perlakuan a2b1 (perbandingan gula semut
31,25% dengan 12,5% susu kedelai bubuk) sebesar 1,25%.
Total Kalori
Hasil analisis kalori pada coklat “truffle” dengan metode nutrisurvey for
windows adalah 203,4 kkal/ 100g pada coklat “truffle” dengan penambahan gula semut
31,25% (25g) dengan susu kedelai bubuk 12,5% (10g) 233,0 kkal/ 100 g pada coklat
“truffle” dengan penambahan gula semut 31,25% (25g) dengan susu kedelai bubuk
18,75% (15g) dan 262,7 kkal/ 100 g dengan penambahan gula semut 31,25% (25g)
dengan susu kedelai bubuk 25% (20g).
PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan bahwa tekstur, aroma dan rasa formula coklat truffle
sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusunnya. Lemak kakao sangat
berpengaruh terhadap kelembutan produk. Pemberian lemak kakao dalam jumlah
sedikit akan menghasilkan tekstur yang kurang lembut dan memiliki karakteristik
pencairan yang lambat pada suhu tubuh saat dikomsumsi. Pemberian lemak kakao
dalam jumlah besar menghasilkan tekstur yang mudah meleleh sebelum dikomsumsi,
sementara pemberian lemak dalam jumlah yang sesuai (tepat) akan menghasilkan
tekstur yang lembut, memberikan pencairan yang cepat pada suhu tubuh saat
dikomsumsi.
Pada analisis sidik ragam, penambahan gula semut dan susu kedelai bubuk tidak
berpengaruh terhadap tekstur coklat “truffle”, demikian pula interaksinya. Tekstur
coklat “truffle” yang padat, lembut dan lumer disebabkan karena adanya pasta dan
lemak kakao serta proses conching yang memberikan karakteristik tekstur coklat truffle
yang baik. Menurut Minifie (1999), lemak kakao memberikan sifat tekstur pada produk
dengan memberikan konstribusi pada karakteristik pelelehan dan kristalisasi sehingga
meleleh cepat pada suhu tubuh saat dikomsumsi. Disamping itu proses refining dan
conching sangat membantu dalam memperbaiki tekstur dan citarasa coklat (Bixler dan
Morgan 1998; Siregar et.al., 2007).
Pada analisis sidik ragam, penambahan gula semut berpengaruh terhadap aroma
coklat “truffle”, Hasil uji Duncan diperoleh bahwa penambahan gula semut 18,75%
(20gr) berbeda nyata dengan penambahan gula semut 31,25% (25gr), begitupun dengan
penambahan gula semut 37,5% (30gr) berbeda nyata dengan 31,25% (25gr). Sedangkan
8
penambahan gula semut 18,75% (20gr) tidak berbeda nyata dengan penambahan gula
semut 37,5% (30gr). Perbedaan ini disebabkan oleh prosentase gula semut yang
berbeda. Penambahan gula semut dalam prosentase 31,25% (25gr) merupakan
penambahan yang paling sesuai (tepat) sehingga interaksi dengan senyawa lain dari
komponen bahan penyusun lainnya (pasta dan lemak kakao) mampu meningkatkan
aroma. Menurut Dachlan (1984) pada umumnya gula mampu mengikat aroma dan
mempertahankan aroma volatil dan flavor sehingga aroma yang dihasilkan terasa kuat.
disamping itu gula semut memiliki aroma yang khas (Goutara dan Wijandi, 1985).
Sedangkan penambahan gula semut dalam jumlah besar 37,5% (30gr) menghasilkan
aroma yang kurang kuat. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya reaksi maillard
pada gula dalam jumlah yang besar sehingga kemampuan gula semut dalam mengikat
aroma berkurang, begitupun dengan penambahan gula semut 18,75% (20gr) merupakan
jumlah yang sedikit sehingga kemampuan mengikat aroma dari senyawa-senyawa
komponen bahan penyusun (pasta dan lemak kakao) lainnya juga berkurang.
Aroma khas coklat sangat dipengaruhi oleh kualitas biji kakao dan proses
roasting atau penyangraian. Selama penyangraian, senyawa-senyawa calon pembentuk
citarasa bereaksi satu sama lain melalui reaksi maillard, menghasilkan komponen-
komponen mudah menguap dan beraroma khas coklat. Biji kakao yang digunakan
dalam pembuatan pasta dan lemak kakao dalam penelitian ini adalah biji kakao
fermentasi. Proses penyangraian biji kakao dilakukan pada suhu maksimal 150oC
selama 10-35 menit. Menurut Brito (2002), proses yang paling berperan dalam
pembentukan flavor pada produk kakao adalah proses roasting, senyawa pyrazine mulai
terbentuk pada temperatur 70 OC dan waktu proses 30 menit diproses pada suhu tinggi
di atas 100°C. Selama proses roasting ini terjadi reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gula
pereduksi (reducing sugar) dan asam amino yang merupakan prekusor pembentukan
flavor pada kakao. Diantara komponen pyrazine, methylpyrazine yang terdiri dari 2-
methyl pyrazine dan 2,3,5,6- tertramethyl pyrazine merupakan komponen yang paling
berperan dalam menghasilkan flavor kakao yang kuat (Perego, P., dkk., 2004).
Pada analisis sidik ragam, tidak signifikan terhadap penambahan susu kedelai
tetapi penambahan gula semut berpengaruh terhadap rasa coklat “truffle”. Hasil uji
Duncan diperoleh penambahan gula semut 18,75% (20gr) berbeda sangat nyata dengan
penambahan 31,25% (25gr), begitupun dengan penambahan 37,5% (30gr) berbeda
nyata dengan penambahan 18,75% (20gr) tapi tingkat perbedaannya tidak terlalu besar.
9
Sedangkan penambahan 31,25% (25gr) dengan 37,5% (30gr) tidak berbeda nyata.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan prosentase gula semut. Penambahan gula
semut dalam jumlah yang sesuai tepat 31,25% (25gr) akan menghasilkan rasa manis,
dengan sedikit rasa pahit. Hal ini disebabkan karena penambahan gula semut 31,25%
(25gr) dapat larut lebih baik dalam lemak kakao sehingga komponen rasa dari gula
semut berinteraksi dengan komponen rasa dari pasta dan lemak kakao, mengakibatkan
peningkatan intensitas rasa yang lebih tinggi. Proses conching juga sangat membantu
dalam proses penyempurnaan citarasa. Menurut Siregar, et.al., (2007), conching
membantu dalam penyempurnaan citarasa, penurunan viskositas adonan, pengurangan
bau-bau tidak enak dan peningkatan aroma khas coklat yang optimun. Sedangkan
penambahan gula dalam jumlah besar 37,5% (30gr) tidak bisa larut dalam lemak kakao
secara keseluruhan sehingga rasa manis yang dihasilkan tidak berbeda dengan
penambahan 31,25% (25gr.) Sedangkan penambahan gula dalam jumlah yang sedikit
18,75% (20gr) menghasilkan rasa manis yang belum bisa menetralisir rasa pahit dan
sepat dari bahan utama (pasta dan lemak kakao) sehingga rasa pahit masih terasa jelas.
Disamping itu faktor tingkat usia panelis diduga ada hubungannya dengan respon
panelis terhadap rasa. Respon tersebut diduga akan berbeda jika umur panelis yang
semakin tua, akan memberikan penilaian terhadap tingkat kemanisan produk tersebut
dapat diterima dengan baik.
Komponen citarasa khas coklat terbentuk selama roasting atau penyangraian
dari calon-calon pembentuk citarasa seperti asam amino, peptida, gula pereduksi dan
kuinon bereaksi satu sama lain melalui reaksi maillard. Menurut Misnawi (2005),
Selama penyangraian, senyawa-senyawa calon pembentuk citarasa bereaksi satu sama
lain melalui reaksi Maillard, menghasilkan komponen-komponen mudah menguap dan
beraroma khas coklat, termasuk di dalamnya golongan alkohol, eter, furan, tiazol, piron,
asam, ester, aldehida, imin, amin oksazol, pirazin dan pirol. sementara rasa pahit dan
sepat berasal dari bubuk coklat dan pasta coklat. Penyebab rasa pahit adalah Senyawa
polifenol, kandungan metil santin (kafein, theobromin dan teofilin) dan rasa sepat
berasal dari senyawa tannin (Ross, 2001).
Berdasarkan pengujian organoleptik secara hedonik maka dipilih tiga perlakuan
terbaik untuk mewakili penerimaan konsumen terhadap mutu sensorik coklat “truffle”
yang dihasilkan yang akan dilanjutkan dalam pengujian sifat fungsionalnya berdasarkan
10
pengujian aktivitas antioksidan dan total polifenol serta total kalori produk yang
dihasilkan.
Secara umum produk coklat “truffle” mempunyai nilai EC50 yang rendah yaitu
dibawah 0,04 mg/ml. Rendahnya EC50 ini menunjukkan bahwa produk coklat “truffle”
yang dihasilkan efektif dalam menangkap radikal bebas DPPH yang diketahui sebagai
salah satu penyebab terjadinya atherosklerosis. Suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan sangat kuat apabila nilai EC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai
EC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai EC50 berkisar antara 0,10-0,15
mg/ml, dan lemah apabila nilai EC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004).
Menurut klasifikasi ini, ketiga formula coklat “truffle” tersebut memiliki aktivitas
antioksidan sangat kuat karena nilai EC50-nya kurang dari 0,05 mg/ml.
Tinggi rendahnya aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH dipengaruhi oleh
kandungan polifenol yang terdapat pada coklat “truffle. Komponen lain yang
berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan radikal bebas DPPH diluar polifenol
diduga kandungan gula yang ada dalam coklat “truffle” dapat mempengaruhi tinggi
rendahnya aktivitas penangkapan terhadap radikal bebas DPPH. Pemanasan yang lama
selama pengolahan coklat “truffle” memungkinkan terbentuk senyawa turunan polifenol
yang baru seperti produk hasil reaksi antara senyawa karbonil dengan asam amino,
reaksi antara produk oksidasi lipida dengan protein dan karbohidrat sehingga senyawa
ini dikenal sebagai senyawa antioksidan.
Pada analisis sidik ragam, penambahan susu kedelai dan gula semut tidak
berpengaruh terhadap total kandungan polifenol pada coklat truffle. Kandungan total
polifenol diperoleh dari bahan utama (pasta dan lemak dan bubuk coklat). Hal ini sesuai
dengan penyataan Lee et.al (2003), bahwa kakao kaya akan senyawa polifenol.
Kandungan polifenol pada kakao lebih tinggi dibandingkan dengan anggur, teh hitam
dan teh hijau.
Kalori merupakan standar pengukuran energi yang sering digunakan dalam
makanan. Satu kalori menyatakan banyaknya panas yang dibutuhkan untuk menaikkan
suhu 1 g air sebesar 1oC. Kalori adalah standar pengukuran energi yang sering
digunakan dalam pengertian energi potensial yang terkandung dalam makanan.
Penghitungan nilai kalori bahan penting untuk mendapat gambaran umum mengenai
jumlah kalori/gram bahan pangan. Penambahan gula semut 31,25% (25g) dengan susu
kedelai bubuk 25% (20g) menghasilkan jumlah kalori yang lebih besar yaitu 262,7
11
kkal/100 g dibandingkan dengan coklat truffle dengan penambahan 31,25% (25g)
dengan susu kedelai 18,75% (15g) yaitu (233 kkal/ 100 g) dan coklat truffle dengan
penambahan gula semut 31,25% (25g) dengan susu kedelai 12,5% (10g) (203,4 kkal/
100 g). Hasil ini memenuhi standar coklat truffle rendah kalori dengan jumlah kalori
yang dihasilkan dibawah 300 kkal/100 g. Menurut BPOM (2004), yang menyatakan
bahwa klaim pangan tinggi kalori (pangan berkalori) apabila pangan tersebut dapat
memberikan minimum 300 kkal/100 g per hari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penambahan gula semut 31,25% (25gr) yang paling optimal dalam pembuatan
coklat truffle sedangkan penambahan susu kedelai bubuk tidak berpengaruh nyata
terhadap sifat sensori (tekstur, aroma dan rasa) coklat truffle yang dihasilkan dan
formula coklat truffle yang terbaik dari segi mutu sensorik dan sifat fungsional adalah
formula a2b2 (gula semut 31,25%, susu kedelai 18,75%). Saran dalam penelitian ini
adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai umur simpan coklat truffle, jenis
kemasan dan proses pengemasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Argawal, R., dan Mukhtar, H. (1996). Cancer Chemoprevention by Polyphenols in Green Tea and Artichoke. In N. Back, I.R.Cohen, D. Lajtha, A. Lajtha, dan R.Paoletti, Dietary phytochemicals in cancer prevention and treatment (pp.35-50). New York: Plenum Press.
Bixler, R.G dan Morgan, J.N. (1999). Cacao bean and chocolate processing. Di dalam : Knight I, editor. Chocolate and Cocoa, Health and Nutrition. USA: Blackwell Science Ltd.43-60.
Brito, E.S., N. Narain, Pezoa García N.H, L.P. Antonio, Valente, G.F. Pini. 2002. Effect of Glucose and Glycine Addition to Cocoa Mass Before Roasting on Maillard
12
Precusor Consumption and Pyrazine Formation. Journal of The Science of Food and Agriculture 0022-5142.
Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM. 2004. Pedoman Pangan Fungsional Edisi I. Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM. Jakarta.
Ferlina, S., 2009. Khasiat Susu Kedelai. www.khasiatku.com (7 Oktober 2009) Goutara dan Wijandi. (1985). Dasar-dasar Pengolahan Gula II. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian. Fateta IPB, Bogor. Lee, K.W., Y.J. Kim, H.J. Lee, and C.Y. Lee. 2003. Cocoa has more phenolic
phytochemical and higher antioxidant capacity than teas and red wine. J Agric Food Chem 51:7292-7295.
Misnawi,. (2005). Pemanfaatan biji kakao sebagai sumber antioksidan alami. Laporan Penelitian RUT tahap I Tahun 2005. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Minifie, W. Beinard, (1999). Chocolate, Cocoa, and Confectionery Sains Technology. An Aspen Publication. London.
Molyneux P. 2004. The use of the free radical diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J. Sci. Technol 26 (2): 211-219.
Perego, P., B. Fabiano, M. Cavicchioli dan M. Del Borghi. 2004. Cocoa Quality and rocessing : A Study by Solid-Phase Microextraction and Gas Chromatography Analysis of ethylpyrazines, Institution of Chemical Engineers.
Siregar, T.H.S., S. Riyadi dan L. Nuraeni. 2007. Pembudiyaan, Pengolahan, dan Pemasaran Cokelat. Cetakan ke-19. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Widyotomo, S dan Sri-Mulato. (2004). Rekayasa Proses dan Alat – Mesin Pengolahan Produk Hilir Kakao untuk Skala Usaha Kecil Menengah. Simposium Kakao 2004. Jogjakarta 4-5 Oktober 2004.
13
LAMPIRAN
Gambar 1. Pengaruh penambahan susu kedelai bubuk dan gula semut terhadap tingkat kesukaan tekstur coklat truffle
Gambar 2. Pengaruh penambahan susu kedelai bubuk dan gula semut terhadap tingkat kesukaan aroma coklat truffle
Gambar 3. Pengaruh penambahan susu kedelai bubuk dan gula semut terhadap tingkat kessukaan rasa coklat truffle
4.85
5.25.45.65.8
6
18,75% : 12,5 %
18,75% :
18,75%
18,75% : 25%
31,25% : 12,5%
31,25% :
18,75%
31,25% : 25%
37,5% : 12,5%
37,5% :
18,75%
37,5% : 25%
5.255.4
5.65.4
5.7 5.85 5.6 5.7 5.8
Rata
-rat
a kes
ukaa
n te
kstu
r
Gula semut : Susu Kedelai Bubuk
5
5.5
6
6.5
18,75% : 12,5 %
18,75% :
18,75%
18,75% : 25%
31,25% : 12,5%
31,25% :
18,75%
31,25% : 25%
37,5% : 12,5%
37,5% :
18,75%
37,5% : 25%
5.85 5.95 6.1 6.2 6.4 6.45
5.6 5.75.9
Rata
-rat
a kes
ukaa
n ar
oma
Gula semut : Susu Kedelai Bubuk
0
5
10
18,75% : 12,5
%
18,75% :
18,75%
18,75% : 25%
31,25% : 12,5%
31,25% :
18,75%
31,25% : 25%
37,5% : 12,5%
37,5% :
18,75%
37,5% : 25%
5.2 4.65 5.55 6.35 6.4 6.25 5.75 5.25 5.1
Rata
-rat
a ke
suka
an ra
sa
Gula semut : Susu kedelai bubuk
14
Gambar 4. Hasil Pengukuran Total Polifenol pada tiga formula terpilih
0
0.5
1
1.5
2
2.5
31.25% : 12.5% 31.25% : 18.75% 31.25% : 25%
1.25
2.122 2.059
Tota
l pol
ifeno
l (%
/ 1
00%
bah
an)
Gula semut : Susu Kedelai Bubuk