penatalaksanaan krisis hipertensi
TRANSCRIPT
Penatalaksanaan Krisis Hipertensi
Endang Susalit
Naskah ini merupakan makalah Simposium Penataksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam II di Hotel Sahid 30-31 Maret 2002
Pendahuluan
Pembagian hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah sudah disepakati oleh WHO-ISH
Guidelines Committee untuk mengadopsi batasan dan klasifikasi The Joint National Committee on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VI), seperti terlihat pada Tabel 1.
Sebagian besar pasien hipertensi tergolong pasien hipertensi derajat 1 (ringan) dan derajat 2
(sedang) dan hanya sebagian kecil yang tergolong derajat 3 (berat).
Sebagian besar pasien hipertensi dengan pengobatan yang efektif selama bertahun-tahun umumnya
asimtomatik. Pada sebagian kecil pasien hipertensi dapat terjadi krisis hipertensi. Pada pasien krisis
hipertensi terjadi peningkatan tekanan darah yang mencolok tinggi, umumnya tekanan darah sistolik
lebih dari 220 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 120-130 mmHg, dan
peningkatannya terjadi dalam waktu yang relatif pendek. Selain itu, dalam penatalaksanaan, yang
lebih penting daripada tingginya tekanan darah adalah adanya tanda kerusakan akut organ target.
Dengan pemakaian obat antihipertensi baru yang bekerja jangka panjang dengan efek samping yang
minimal, jumlah pasien krisis hipertensi menjadi lebih sedikit, dengan angka prevalensi sekitar 1%
pada pasien hipertensi. Hal ini berbeda sekali jika dibandingkan dengan era sebelum dipakai obat
antihipertensi baru dengan insidens hipertensi maligna sekitar 7% pada pasien hipertensi yang tidak
diobati.
Sebagian pasien krisis hipertensi datang dalam keadaan gawat sehingga perlu dikenali dan ditangani
secara khusus. Penanganan yang dianjurkan oleh para ahli tidak selalu sama dan dipengaruhi oleh
pengalamannya dengan obat antihipertensi tertentu yang lebih banyak daripada obat lain.
Ketersediaan obat antihipertensi parenteral di suatu negara juga merupakan faktor penting dalam
cara penanggulangan yang dilakukan.
Kegawatan Hipertensi dan Hipertensi Mendesak
Ditinjau dari segi prognosis dan penatalaksanaan krisis hipertensi dapat dibagi menjadi kegawatan
hipertensi (hypertensive emergencies) dan hipertensi mendesak (hypertensive urgencies).
Kegawatan hipertensi (hypertensive emergencies) adalah hipertensi berat yang disertai disfungsi
akut organ target, seperti iskemia koroner, strok, perdarahan intraserebral, edema paru, atau gagal
ginjal akut, seperti terlihat pada Tabel 2. Kegawatan hipertensi memerlukan penurunan tekanan
darah yang segera, dalam beberapa jam, dengan obat antihipertensi secara intravena. Hipertensi
mendesak (hypertensive urgencies) adalah hipertensi berat yang tidak disertai tanda disfungsi organ
target. Pada hipertensi mendesak penurunan tekanan darah dapat dilakukan secara lebih perlahan
dalam beberapa jam atau hari, dengan obat antihipertensi secara per oral, atau kadang-kadang
parenteral.
Patofisiologi
Penyebab krisis hipertensi masih belum jelas. Diduga peninggian mendadak resistensi vaskuler
sistemik, yang dapat terjadi pada pasien yang tidak patuh minum obat antihipertensi, meningkatkan
kadar zat vasokonstriktor seperti norefinefrin, angiotensin II, dan hormon antinatriuretik. Sebagai
akibat peninggian tekanan darah yang mencolok terjadi nekrosis fibrinoid arteriol yang akan
menyebabkan kerusakan endotel, pengendapan platelet dan fibrin, serta kehilangan fungsi
autoregulasi, yang akhirnya menimbulkan iskemia organ target. Iskemia akan merangsang
pengeluaran zat vasoaktif lebih lanjut sehingga terjadi proses sirkulus visiosa vasokonstriksi dan
proliferasi miointima. Jika tidak dikendalikan akan terjadi ekstravasasi pada organ target dan atau
terjadi infark.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menurunkan resistensi vaskular sistemik Pada kegawatan hipertensi
tekanan darah arteri rata-rata diturunkan secara cepat, sekitar 25% dibandingkan dengan tekanan
darah sebelumnya, dalam beberapa menit atau jam. Penurunan tekanan darah selanjutnya dilakukan
secara lebih perlahan. Sebaiknya penurunan tekanan darah secara cepat tersebut dicapai dalan 1- 4
jam, dilanjutkan dengan penurunan tekanan darah dalam 24 jam berikutnya secara lebih perlahan
sehingga tercapai tekanan darah diastolik sekitar 100 mmHg. Seperti sudah disebutkan di atas, pada
kegawatan hipertensi diberikan obat antihipertensi parenteral yang memerlukan titrasi secara hati-
hati sesuai dengan respons klinik. Setelah penurunan tekanan darah secara cepat tercapai dengan
pemberian obat antihipertensi parenteral, dimulai pemberian obat antihipertensi oral. Jika tekanan
darah makin menurun dengan penambahan obat antihipertensi oral tersebut, dilakukan titrasi
penurunan dosis obat antihipertensi parenteral sampai dihentikan. Pengukuran tekanan darah yang
berkesinambungan dapat dilakukan dengan menggunakan alat monitor tekanan darah osilometrik
otomatik.
Sebaiknya tekanan darah tidak diturunkan sampai normal atau hipotensi, kecuali pada diseksi aorta,
karena akan mengakibatkan terjadinya hipoperfusi organ target. Penurunan tekanan darah sampai
normal dapat dilaksanakan pada saat pasien berobat jalan.
Obat Antihipertensi Parenteral
Obat antihipertensi parenteral yang dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah secara cepat
pada kegawatan hipertensi dapat dilihat pada tabel 3, seperti yang dilaporkan oleh The Joint National
Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VI).
Obat pilihan yang banyak digunakan pada kegawatan hipertensi adalah natrium nitroprusid. Obat ini
bekerja sangat kuat dan cepat dalam menurunkan tekanan darah.
Nitrogliserin merupakan obat pilihan untuk menurunkan tekanan darah secara cepat jika disertai
iskemia atau infark miokard karena obat ini mempunyai efek vasodilator koroner. Nitrogliserin juga
melebarkan pembuluh darah otak sehingga dapat menimbulkan sakit kepala yang kadang-kadang
hebat. Respons penurunan tekanan darah pada pemberian nitrogliserin seperti halnya natrium
nitroprusid tidak dapat diramalkan. Pemakaian jangka panjang nitrogliserin dapat menimbulkan
toleransi.
Fenoldopam adalah suatu agonis dopamin-1 yang bekerja di perifer. Stimulasi reseptor dopamin-1
akan menurunkan tekanan darah yang disebabkan oleh vasodilatasi arterial. Obat ini unik karena
dapat memelihara bahkan meningkatkan aliran darah ginjal meski terjadi penurunan tekanan darah.
Selain itu, obat ini dapat menimbulkan natriuresis langsung lewat tubulus ginjal sehingga dapat
bermanfaat pada hipertensi berat yang disertai insufisiensi ginjal.
Sebagian besar pasien krisis hipertensi mengalami deplesi volume yang disebabkan oleh diuresis
akibat peninggian tekanan darah. Pada keadaan deplesi volume ini peningkatan diuresis akan makin
mempertinggi tekanan darah dan makin memperberat insufisiensi ginjal. Oleh karena itu, pemberian
diuretik dan pembatasan cairan hanya dilakukan pada pasien yang secara klinis mengalami kelebihan
cairan yang jelas.
Ensefalopati Hipertensi
Ensefalopati hipertensi yang tidak jarang dijumpai pada masa sebelum dipakainya obat antihipertensi
baru, disebabkan oleh edema otak akibat kegagalan autoregulasi aliran darah otak. Keadaan ini
biasanya terjadi pada pasien hipertensi kronik yang mengalami peninggian tekanan darah yang
mencolok.
Gejala yang bisa timbul pada pasien ensefalopati hipertensi adalah sakit kepala, mual, muntah,
gangguan penglihatan, pusing, rasa lemah setempat, dan umum. Tanda klinik yang ditemukan adalah
disorientasi, defisit neurologik fokal, kejang fokal dan umum, dan retinopati termasuk papiledema.
Diagnosis ensefalopati hipertensi ditegakkan dengan menyingkirkan strok, perdarahan subaraknoid,
massa di otak, kelainan lain yang menimbulkan kejang, vaskulitis, dan ensefalitis. Salah satu ciri yang
khas pada ensefalopati hipertensi adalah kepulihannya yang terjadi cepat, 1 sampai 12 jam, jika
tekanan darah dikendalikan baik. Pengendalian tekanan darah yang lambat dapat menyebabkan
terjadinya defek sisa.
Tujuan pengobatan adalah menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sekitar 25% dalam 1 jam atau
sampai tekanan darah diastolik 100 mmHg. Tekanan darah tidak diturunkan sampai 50% karena akan
menimbulkan hipoperfusi otak, terutama pada pasien usia lanjut. Jika selama pengobatan terjadi
penurunan fungsi neurologik, tekanan darah sebaiknya dibiarkan meningkat. Selanjutnya penurunan
tekanan darah dilakukan secara lebih perlahan.
Komplikasi Neurologik
Penurunan tekanan darah yang cepat pada strok, perdarahan intraserebral, atau perdarahan
subaraknoid masih diperdebatkan. Peninggian tekanan darah dapat sebagai penyebab atau akibat
kelainan neurologik dan kadang-kadang intervensi yang minimal saja dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah. Selain itu, autoregulasi aliran darah otak di daerah infark dapat terganggu dan bisa
terjadi perdarahan. Oleh karena itu, tidak dianjurkan penurunan tekanan darah yang terlalu cepat,
kecuali jika terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat mencolok. Tekanan darah diturunkan
sekitar 25% secara bertahap atau sampai tekanan diastolik kurang dari 120 mmHg dalam waktu 24
jam.
Iskemia atau Infark Miokard
Iskemia atau infark miokard merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi berat.
Tekanan darah harus diturunkan sampai rasa nyeri dada berkurang atau sampai tekanan diastolik
mencapai 100 mmHg. Obat pilihan adalah nitrat yang diberikan secara intravena yang dapat
menurunkan resistensi sistemik perifer dan memperbaiki perfusi koroner. Obat lain yang dapat
dipakai adalah labetalol.
Gagal Jantung Kongestif
Peningkatan resistensi vaskular sistemik yang mencolok dapat menimbulkan gagal jantung kiri.
Natrium nitroprusid yang diberikan bersama-sama dengan oksigen, morfin, dan diuretik merupakan
obat pilihan karena dapat menurunkan preload dan afterload. Nitrogliserin yang juga dapat
menurunkan preload dan afterload merupakan obat pilihan yang lain.
Diseksi Aorta Akut
Diseksi aorta harus dipikirkan pada pasien dengan peninggian tekanan darah yang mencolok yang
disertai dengan nyeri di dada, punggung, dan perut. Untuk menghentikan perluasan diseksi tekanan
darah harus segera diturunkan. Tekanan darah diastolik harus segera diturunkan sampai 100 mmHg,
atau lebih rendah asal tidak menimbulkan hipoperfusi organ target. Obat pilihan adalah vasodilator
seperti nitroprusid yang diberikan bersama penghambat reseptor b. Labetalol adalah obat pilihan
yang lain.
Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal akut dapat sebagai penyebab atau akibat peninggian tekanan darah yang
mencolok. Pada pasien cangkok ginjal peninggian tekanan darah dapat disebabkan stenosis arteri
pada ginjal cangkok, siklosporin, kortikosteroid, dan sekresi renin yang tinggi oleh ginjal asli.
Penatalaksanaan adalah dengan cara menurunkan resistensi vaskular sistemik tanpa mengganggu
aliran darah ginjal. Antagonis kalsium seperti nikardipin dapat dipakai pada keadaan ini.
Eklampsia
Pada eklampsia dijumpai hipertensi, edema, proteinuria, dan kejang pada kehamilan setelah 20
minggu. Penatalaksanaan definitif adalah dengan melahirkan bayi atau mengeluarkan janin.
Hidralazin digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena tidak mengganggu aliran darah
uterus. Labetalol juga dapat dipakai pada keadaan ini.
Krisis Katekolamin
Krisis katekolamin terjadi pada feokromositoma dan kelebihan dosis kokain. Pada intoksikasi obat
tersebut biasanya disertai kejang, strok, dan infark miokard. Fentolamin adalah obat pilihan klasik
pada krisis katekolamin, meski labetalol juga terbukti efektif.
Alternatif Obat Antihipertensi di Indonesia
Hanya sebagian kecil obat antihipertensi pada tabel 3 secara resmi beredar di Indonesia, sehingga
pilihan bagi kita sebenarnya tidak banyak. Di Indonesia klonidin merupakan obat pilihan yang cukup
banyak dipakai. Klonidin diberikan dalam 250 ml larutan infus dekstrosa 5% yang berisi 900 mg.
Digunakan tetesan mikro dengan kecepatan sesuai respons tekanan darah dan dosis total tidak
melebihi 900 mg/24 jam. Jika target tekanan darah sudah tercapai diberi klonidin oral dan tetesan
infus klonidin diperlambat sampai berhenti. Obat antihipertensi parenteral lain yang juga bisa
dipakai di sini adalah nitrogliserin.
Hipertensi Mendesak
Hipertensi mendesak dijumpai pada pasien dengan hipertensi berat yang pada anamnesis,
pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak menunjukkan tanda adanya disfungsi akut organ target.
Rekomendasi yang umumnya dianjurkan adalah menurunkan tekanan darah secara cepat dengan
obat antihipertensi oral seperti nifedipin yang bekerja jangka pendek atau klonidin, karena dianggap
mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami komplikasi akut. Penelitian membuktikan bahwa
penurunan tekanan darah dengan cara tersebut tidak memperbaiki prognosis jangka pendek maupun
panjang. Sebaliknya, ada yang melaporkan pemberian nifedipin sublingual menurunkan tekanan
darah terlalu cepat sehingga terjadi strok atau infark miokard. Oleh karena itu, penurunan tekanan
darah yang cepat tidak dianjurkan pada hipertensi mendesak. Jika pasien sebelumnya sudah minum
obat antihipertensi tapi tidak patuh, obat tersebut harus dimulai lagi. Jika pasien sudah patuh minum
obat dosis obat harus dinaikkan atau ditambahkan obat lain. Jika pasien belum pernah minum obat
diberi obat antihipertensi jangka panjang.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization-International Society of Hypertension. Guidelines for the management
of hypertension. Guidelines subcommittee. J Hypertens 1999;17:151-83.
2. National Institutes of Health. The sixth report of the joint national committee on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH Publication;1997.
3. Calhoun DA. Hypertensive crisis. Dalam: Oparil S, Weber MA, editor. Hypertension: A companion
to brenner and rector’s the kidney. St. Louis: WB Saunders Co; 2000. p.715-8.
4. Spitalewitz S, Porush JG. Hypertensive emergencies and urgencies. Dalam: Glassock RJ editor.
Current therapy in nephrology and hypertension, 4th ed. St Louis: Mosby-Year Book Inc; 1998. p.323-
7.
5. Kaplan NM. Hypertensive crisis. Dalam: Kaplan NM editor. Clinical hypertension. 6th ed.
Baltimore: Williams & Wilkins; 1994. p.281-97.
6. Sidabutar RP. Kegawatan hipertensi. Makalah Simposium Kedaruratan Ginjal dan Hipertensi;
1995 Juni 17; Jakarta, Indonesia.
7. Susalit E. Efek amlodipin terhadap faktor yang berperan pada penurunan fungsi ginjal yang
disebabkan oleh siklosporin pada resipien transplantasi ginjal [disertasi]. Jakarta: Universitas
Indonesia; 1996.