pelaksanaan the five c s of credit analisis...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
IMPLEMENTASI PUNGUTAN PAJAK AIR BAWAH TANAH
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI
KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI JAWA TIMUR
Disusun oleh
Supriyono, S.H.,M.Hum.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS COKROAMINOTO
YOGYAKARTA
Juli 2016
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Implementasi Pungutan Pajak Air Bawah Tanah
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Di
Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur
2. Bidang Ilmu Penelitian : Ilmu Hukum
3. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Supriyono, S.H.,M.Hum.
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIDN : 0506127801 :
d. Pangkat/Golongan : -
e. Jabatan : Tenaga Pengajar
f. Fakultas/Jurusan : Hukum
4. Jumlah Tim Peneliti : 1 (satu) orang
5. Lokasi Penelitian : Probolinggo Jawa Timur
7. Waktu Penelitian : 4 (empat) bulan
8. Biaya : Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah)
Yogyakarta, 19 Juli 2016
Mengetahui,
Dekan FH UCY Ketua Peneliti,
Hj. Iin Suny Atmadja, S.H.,M.H. Supriyono, S.H.,M.Hum.
NIDN: 0518085801 NIDN: 0506127801
Implementasi Pungutan Pajak Air Bawah Tanah Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Air Di Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur
ABSTRAK
Pajak Air Bawah Tanah merupakan pajak yang sangat prospektif di masa
mendatang. Sumber air bersih yang tersedia di alam di antaranya adalah air
tanah,dimana ketergantungan pasokan lain seperti air permukaan memerlukan
biaya pengolahan yang mahal sedangkan untuk memperoleh air dari sumber air
tanah yang operasionalnya relatif murah. Selain itu pengambilan air tanah dapat
dilakukan secara tertutup sehingga cenderung membuka peluang bagi masyarakat
untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam pemanfaatan air tanah.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang
diperoleh melalui penelitian lapangan dengan menggunakan alat pengumpul data
berupa pedoman wawancara. Data sekunder diperoleh melalui penelitian
kepustakaan dengan menggunakan alat berupa studi dokumen. Data yang
diperoleh dari penelitian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan
pendekatan hukum normatif. Mengenai laporan hasil penelitian bersifat deskriptif
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diundangkannya Undang-
undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan retribusi Daerah haruslah
pemakaian air bawah tanah dan air permukaan diatur dalam undang-undang.
Pemungutan Pajak Pengambilan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan di Probolinggo diatur dalam Perda No. 5 Tahun 2002 tentang
Pengelolaan Air Bawah Tanah yang kemudian diganti dengan diundangkannya
Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak
Daerah. Pengaturan mengenai pengenaan tariff dan cara penghitungan pajak air
tanah di Kota Probolinggo diatur dalam Pasal 58 Perda No.2 Tahun 2011.
Hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah di Kota Probolinggo diantaranya adalah : Realisasi pengawasan
peraturan daerah tentang pajak daerah relative lemah; Sentralisasi kekuasaan
pemerintah pusat dalam pengawasan pemungutan pajak daerah; Kurangsiapnya
daerah dalam menangani sengketa pajak. Kendala-kendala dalam pelaksanaan
pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah di Kota
Probolinggo antara lain : Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang
sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya. Kurangnya pembinaan
antara pajak daerah dengan pajak nasional.
.
Kata Kunci : Pungutan Pajak, Sumber Daya Air.
Implementation of Tax Levy Groundwater in Water Resources Management
in Probolinggo, East Java Province
ABSTRACT
Groundwater tax is a tax that is prospective in the future. Available
sources of clean water in nature of which is ground water, where the dependence
of surface water supplies such as requiring expensive processing costs while to
obtain water from groundwater sources that are relatively inexpensive operation.
Besides the extraction of ground can be done in private so that tends to open up
opportunities for people to violate the rules and regulations applicable in the
utilization of ground water.
The research is a juridical empirical research. It uses primary data from
field research through interview guideline, and secondary data from library
research through document study. It applies qualitative method and legal
normative approach in data analysis. It discusses the research results in qualitative
descriptive reporting.
Result of research indicate that after the enactment of Law No.34 Year
2000 on Regional Taxes and levies must use ground water and surface water
regulated by law. Utilization of Tax Withholding Intake of Groundwater and
Surface Water in Probolinggo set out in Local Government. 5 of 2002 on the
Management of Groundwater which is then replaced with the promulgation of
Regulation Probolinggo District No. 2 of 2011 on Regional Taxes. Arrangements
regarding the imposition of tariff and tax calculation of ground water in
Probolinggo regulated in Article 58 of Regulation 2 of 2011. Constraints in the
collection of tax collection and utilization of underground water in Probolinggo
are: Realization of the regulatory oversight of local taxation is relatively weak
central government's centralization of power in the supervision of local taxation;
unprepared areas in dealing with tax disputes. Constraints in the implementation
of tax collection and utilization of underground water in Probolinggo include:
Various regulations implementing the laws that are often not consistent with its
laws. Lack of training among the local tax with a national tax.
Key words: Tax levies, Water Resources
KATA PENGANTAR
Segala puji dan Syukur kepada ALLAH SWT karena atas segala karunia
serta kehendak-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan dengan judul:
” Implementasi Pungutan Pajak Air Bawah Tanah Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Air Di Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Timur”.
Dengan segala keterbatasan yang kami miliki, tentunya hasil penelitian
ini masih jauh dari sempurna baik di dalam cara penulisan maupun materi
perkuliahan yang disajikan. Untuk itu kami mengharapkan saran dan masukan
sehingga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak terkait.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
Yth. Ibu Hj. Iin Suny Atmadja, S.H.,M.H. selaku dekan Fakultas Hukum,
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta yang telah memberikan masukan dan
waktu bagi tim peneliti untuk memilih judul ini.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kegiatan penelitian, sehingga proses maupun pelaksanaan penelitian
dapat dilakukan dengan baik
Yogyakarta, 19 Juli 2016
Peneliti
DAFTAR ISI
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN .................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 8
E. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 8
F. Metode Penelitian....................................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pajak ............................................................................... 18
1. Pengertian Pajak ................................................................................... 18
2. Subjek dan Objek Pajak ....................................................................... 22
3. Fungsi Pajak ......................................................................................... 22
4. Jenis-jenis Pajak ................................................................................... 23
5. Sistem Pemungutan Pajak .................................................................... 25
6. Perencanaan Pajak ................................................................................ 26
B. Tinjauan Pajak Daerah ............................................................................... 28
1. Pengertian Pajak Daerah ...................................................................... 28
2. Jenis-jenis Pajak Daerah ...................................................................... 30
3. Tarif Pajak Daerah ............................................................................... 31
4. Fungsi Pajak Daerah ............................................................................ 32
C. Tinjauan tentang Pendapatan Asli Daerah ................................................. 32
D. Tinjauan tentang Pajak Air Bawah Tanah ................................................. 34
1. Pengertian Pajak Air Bawah Tanah ..................................................... 34
2. Objek dan Subjek Pajak Air Bawah Tanah .......................................... 36
3. Dasar Pengenaan Pajak Air Bawah Tanah ........................................... 37
4. Sistem Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah....................................... 37
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prosedur Penerapan Kebijakan Pajak Air Bawah Tanah ........................... 38
1. Latar Belakang Penerapan Pajak Air Bawah Tanah ............................ 38
2. Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan Pajak ......................... 42
3. Pengaturan Masa dan Saat Terhutangnya Pajak .................................. 43
B. Pelaksanaan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah di Kota Probolinggo .. 43
1. Dinas Pendapatan Daerah Kota Probolinggo sebagai Instansi
Pengumpul ........................................................................................... 43
2. Pelaksanaan Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah ........................................................................................ 44
3. Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah ........................................................................................ 47
4. Komponen Perhitungan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah ........................................................................................ 51
C. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Pemungutan Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah di Kota Probolinggo ......................... 54
1. Hal-hal yang Melemahkan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah .......
2. Kendala Pemungutan Pajak.................................................................. 59
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 75
B. Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa pajak merupakan iuran wajib dari rakyat
kepada negara. Dari pajak ini, nantinya akan digunakan negara untuk membiayai
kegiatan pemerintahan, dan dengan pajak ini pula, pemerintah menggunakannya
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan negara dalam
bidang ekonomi dan sosial.
Pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan
menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah, sedangkan Pajak Daerah terbagi dalam
Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Dengan adanya kebijakan otonomi
daerah yang berlaku di Indonesia memberikan perubahan mendasar terhadap
penyelenggaraan pemerintahan, ditandai melalui suatu proses penyerahan
sejumlah kekuasaan dan kewenangan, baik secara rinci maupun secara umum,
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk selanjutnya dijalankan
oleh Pemerintah Daerah secara mandiri. Ditetapkannya Undang-undang Nomor
25 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tanggal 15 Oktober
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, tentu
memberikan pengaruh yang cukup besar pada daerah otonom untuk melaksanakan
kewenangan yang telah diserahkan tersebut. Dan daerah otonom tersebut tentunya
harus memiliki dana yang memadai.
Kemampuan pembiayaan merupakan salah satu segi atau kriteria penting
untuk menilai secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengelola
rumah tangga sendiri. Tanpa adanya pembiayaan yang cukup, maka tidak
mungkin suatu daerah secara optimal mampu menyelenggarakan tugas dan
kewajiban serta segala kewenangan yang melekat dengannya untuk mengatur
rumah tangganya sendiri.1
Formula anggaran daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(selanjutnya digunakan istilah APBD) dicerminkan melalui kemampuan keuangan
daerah. Anggaran disusun dengan memperhatikan semua potensi daerah yang ada
sehingga formulasi anggaran benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif
daerah.2Salah satu sumber penerimaan dalam APBD sebagai bentuk partisipasi
masyarakat lokal dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dikenakan dengan
Pendapatan Asli Daerah (selanjutnya digunakan istilah PAD).
1 Achmad Lutfi, “Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah : suatu upaya
dalam optimalisasi penerimaan PAD”, (Volume XIV, Nomor 1, Januari 2006) dalam Jurnal Administrasi dan Organisasi: Bisnis & Birokrasi, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, hlm. 1
2 Pheni Cahalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi: Tantangan dan Hambatan,
(Jakarta: Kemitraan, 2005), hlm. 10
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tanggal 15 Oktober
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas:
1. Pendapatan Asli Daerah
a. Pajak daerah.
b. Retribusi daerah.
c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah
d. Lain-lain PAD yang sah:
1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.
2) Jasa Giro.
3) Pendapatan bunga.
4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualandan atau bentuk lain sebagai akibat dari penjulan
dan/ataupengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
e. Dana perimbangan
f. Lain-lain pendapatan
Sumber dana yang diharapkan mampu menunjang daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mandiri adalah PAD. Dalam rangka untuk
menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam bentuk
kewenangan fiskal maka daerah harus mengenali kapasitas fiskalnya atau sumber-
sumber yang dimiliki serta mampunyai kemampuan untuk menyerap penghasilan
daerah baik dalam bentuk pajak maupun dalam bentuk lainnya dari sumber yang
ada.3 Salah satu sumber pemasukan bagi kas daerah adalah berasal dari pajak
daerah, yang merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam
penyelenggaran otonomi daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2001 tentang
Pajak Daerah, menyebutkan bahwa pengertian dari Pajak Daerah adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, salah satu Pajak Daerah yang dipungut oleh pemerintah propinsi Jawa
Timur adalah Pajak Air BawahTanah.
3 Wahyu Tumaka, Upaya Daerah Meningkatkan Pajak, Retribusi dan Dampaknya, (Volume
II/Nomor 03 Tahun 2005), dalam Majalah Indonesia Tax Review, hlm. 29
Pajak Air Bawah Tanah merupakan pajak yang sangat prospektif di masa
mendatang. Sumber air bersih yang tersedia di alam di antaranya adalah air
tanah,dimana ketergantungan pasokan lain seperti air permukaan memerlukan
biaya pengolahan yang mahal sedangkan untuk memperoleh air dari sumber air
tanah yang operasionalnya relatif murah. Selain itu pengambilan air tanah dapat
dilakukan secara tertutup sehingga cenderung membuka peluang bagi masyarakat
untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam pemanfaatan air tanah.
Kota Probolinggo, merupakan kawasan yang subur dan memiliki
persediaan air yang melimpah. Hal ini terlihat dari letak geografis Kota
Probolinggo yang terletak di lereng gunung-gunung yang membujur dari Barat
keTimur, yakni Pegunungan Tengger, Gunung Lamongan dan Gunung Argopuro.
Wilayah kabupaten Probolinggo terletak pada ketinggian 0 - 2500 m diatas
permukaan laut,tanahnya berupa tanah vulkanis yang banyak mengandung
mineral yang berasal dariledakan gunung berapi berupa pasir dan batu, lumpur
bercampur dengan tanah liat yang berwarna kelabu kekuning-kuningan.
Keadaan geografis Probolinggo menunjukkan bahwa Kota Ptobolinggo
merupakan Kota dengan Sumber Daya Air yang cukup baik. Hal ini tentu saja
akan menimbulkan keuntungan bagi Pemerintah Kota Probolinggo untuk dapat
memberdayakan sebaik mungkin atas Sumber Daya Air yang ada. Hal ini pula
yang membuat Kota Probolinggo berkembang dengan jumlah penduduk yang
besar dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, memberikan peranan yang
sangat besar bagi perkembangan industri-industri dan perusahaan.Perkembangan
ini menuntut adanya usaha yang proaktif dari Dinas PendapatanDaerah
(Dispenda) Kota Probolinggo dalam mengelola, memonitor, dan mengevaluasi
sistem pemungutan Pajak Air Bawah Tanah. Untuk itu diperlukan sistem
pemungutan pajak yang transparan dan efisien, agar memudahkan fiskus untuk
melakukan check and balance.
Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di wilayah Kota
Probolinggo perlu dilakukan koordinasi dengan Kantor Pendapatan Daerah Dinas
Pendapatan Kota Probolinggo, melalui kantor Samsat Kota Probolinggo.Kantor
Samsat Kota Probolinggo merupakan bagian pelayanan Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Timur yang melakukan pelayanan penyetoran pajak bagi
masyarakat yang berdomisili di Kota Probolinggo. Hubungan antara Samsat Kota
Probolinggo dengan Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Timur adalah,
kantor Samsat Kota Probolinggo sebagai pemungut pajak yang salah satunya
pajak air bawah tanah yang berada di wilayah Kota Probolinggo.
Mekanisme pemungutan Pajak Air Bawah Tanah berjalan sesuai dengan
sistemdan prosedur yang sudah ada. Dalam pelaksanaan kegiatan pemungutan
Pajak Air Bawah Tanah pada Kantor Pendapatan Daerah melibatkan beberapa
instansi, yaitu Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) sebagai unit yang
menetapkan besarnya pajak terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi dan
Kota Probolinggo yang berwenang di bidang pengawasan dan pengendalian
lingkungan dalam pemanfaatan air bawah tanah, serta Dinas Pertambangan
sebagai instansi yang berwenang memberikan izin eksplorasi,
pengawasan/pengendalian dan penertiban pemanfaatan air bawah tanah.
Masing-masing instansi tersebut memiliki kewenangan dan kepentingan
sendiri-sendiri yang terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjadi payung hukum dalam pelaksanaan kegiatan instansi tersebut. Oleh sebab
itu untuk mendukung optimalisasi penerimaan Pajak Air Bawah Tanah diperlukan
koordinasi secara efektif dan efisien dari instansi-instansi yang terkait dalam
pengambilan dan pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah, sehingga para pemilik
sumur bor (wajib pajak) dapat didata secara rinci guna memperkecil peluang
terjadinya pencurian air bawah tanah yang dapat mengancam lingkungan dan
penghindaran pajak yang berkaitan dengan pembayaran pajak air bawah
tanah.Belum optimalnya koordinasi dalam pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah ini akan menyebabkan terhambatnya penerimaan Pajak Air Bawah
Tanah dan bahkan dapat menjadikan potensi terjadinya penghindaran Pajak
Daerah yang seharusnya diterima oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Penerimaan pajak Propinsi tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat
(1)Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, menegaskan bahwa sebagian
penerimaan tersebut diperuntukkan bagi daerah Kabupaten/Kota di wilayah
Propinsi yangbersangkutan, dengan aturan sebagai berikut
Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
dan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada Daerah
Kabupaten/Kota paling sedikit 30%. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit
70%.Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit
70%, dengan demikian 30% menjadi hak dari Propinsi.
Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai salah satu objek pajak
daerah di Propinsi Jawa Timur umumnya dan di Kota Probolinggo khususnya,
tentu tidak lepas dari permasalahan dalam penyelenggaraannya. Permasalahan
tersebut baik di kalangan instansi yang memiliki kewenangan sesuai dengan tugas
dan fungsinya maupun di kalangan masyarakat sebagai pihak yang memiliki hak
dan kewajiban dalam pembayaran pajak air bawah tanah, sehingga tidak jarang
timbul ketidaktahuan di antara masing-masing instansi dan masyarakat serta
muncul sikap pro dan kontra masyarakat terhadap pelaksanaannya. Oleh karena
itu perlu ada aturan atau ketentuan yang jelas yang mengatur hubungan kerja
antara instansi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan pemungutan
Pajak Air Bawah Tanah. Demikian pula terhadap masyarakat perlu diberikan
penjelasan tentang hak dan kewajiban melalui pemahaman terhadap ketentuan
yang mengatur pajak daerah khususnya pajak air bawah tanah, sehingga pada
akhirnya Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan akan dapat memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap PAD.
Pengendalian pemanfaatan air bawah tanah merupakan pencerminan dari
implementasi suatu kebijaksanaan publik yang mengakibatkan timbulnya konflik
antar berbagai kepentingan masyarakat yang sangat kompleks dan harus ditangani
secara bijaksana agar supaya tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama yang
menyangkut kepentingan industri dan masyarakat. Pengawasan dan pengendalian
dalam pemanfaatan air bawah tanah oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan
bijaksana, karena menyakut tanggung-jawab banyak instansi pusat dan daerah
maka penyelenggaraannya harus dikoordinasikan.secara bijaksana agar supaya
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama yang menyangkut kepentingan
industri dan masyarakat. Pengawasan dan pengendaliandalam pemanfaatan air
bawah tanah oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan bijaksana, karena
menyakut tanggung jawab banyak pihak, baik instansi di pusat maupun instansi di
daerah.
Dalam meningkatkan optimalisasi Pajak Air Bawah Tanah, Dispenda
dalam hal ini dituntut untuk mampu mengupayakan peningkatan koordinasi.
Kewenangan daerah untuk memungut Pajak Daerah, salah satunya Pajak Air
Bawah Tanah bukanlah suatu hal yang mudah. Dengan adanya suatu prinsip atau
asas yang berlaku di Indonesia, yaitu ”objek pajak pusat tidak dapat ditetapkan
sebagai objek pajak daerah, demikian sebaliknya objek pajak daerah tidak dapat
ditetapkan menjadi objek pajak pusat, dan objek pajak propinsi tidak dapat
dijadikan objek.
Berdasar latar belakang yang telah penulis jelaskan tersebut, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “IMPLEMENTASI
PUNGUTAN PAJAK AIR BAWAH TANAH DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA AIR DI KABUPATEN PROBOLINGGO, PROPINSI
JAWA TIMUR”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, adapun permasalahan
yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimana implementasi pungutan Pajak Air Bawah Tanah yang
dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Timur?
2. Bagaimana menerapkan timbal balik yang efektif antara instansi di Dinas
Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Timur dalam pemungutan Pajak Air
Bawah Tanah?
3. Hambatan apa saja yang terdapat selama proses pelaksanaan pemungutan
Pajak Air Bawah Tanah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan
masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam
proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai penulis adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pemungutan Pajak Air Bawah
Tanah yang dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa
Timur.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis timbal balik yang efektif dalam
pemungutan pajak air bawah tanah di Dinas Pendapatan Propinsi Jawa
Timur dalam pemungutan Pajak Air Bawah Tanah.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yang ada dalam
pelaksanaan pemungutan Pajak Air Bawah Tanah di Probolinggo.
2. Tujuan Subyektif
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang hukum
perdata di Indonesia khususnya mengenai pemungutan Pajak Air Bawah
Tanah di Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat baik secara teoretis
maupun secara praktis, antara lain :
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan dan wawasan bagi kalangan akademisi yang mendalami
bidang perpajakan khususnya Pajak Daerah dalam pelaksanaan
pemungutan Pajak Air Bawah Tanah di Dinas Pendapatan Provinsi Jawa
Timur. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat mendukung penelitian
sebelumnya dengan konsep dan pemikiran yang berbeda.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
dan bahan pertimbangan dalam pemecahan masalah dan pembuatan
kebijakan bagi Dispenda Probolinggo dalam usaha meningkatan
penerimaan Pajak Daerah dari sektor Pajak Air Bawah Tanah.
E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Konsep
a. Implementasi
Kata “Implementasi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
Online,4 memiliki arti “penerapan, pelaksanaan”. Sementara itu, menurut
4http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh tanggal 5 Februari 2012.
Munir Yusuf,5menyatakan bahwa secara sederhana implementasi bisa
diartikan pelaksanaan atau penerapan. Dari definisi tersebut dapat
diartikan bahwa implementasi yang dimaknai sebagai penerapan dapat
diartikan sebagai kegiatan melakukan sesuatu sebagaimana yang
diperintahkan.
b. ImplementasiKebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam
proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus
diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Dunn. William,6 menganjurkan bahwa setiap tahapan implementasi
kebijakan, penting dilakukan analisa. Analisa di sini tidak identik dengan
evaluasi, karena dari tahapan penyusunan agenda hingga Policy
Evaluation sudah harus dilakukan analisa. Ungkapan Dunn yang terkenal
adalah lebih baik perumusan masalah publik benar tapi pelaksanaan salah,
daripada perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar. Hal ini
memberi arti penting kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk
implementasi yang tepat bagi perubahan status desa menjadi kelurahan
dimana diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan publik berupa
solusi yang tepat melalui implementasi.
Seperti diketahui bahwa kebijakan publik pada dasarnya
merupakan suatu proses yang kompleks yang berangkatan dari tahap
pendefinisian masalah hingga evaluasi kebijakan. Oleh karena itu,
implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap sejak dari sekian
tahap kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan
hanya merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap
keberhasilan suatu kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan
publik. Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak
variabel atau faktor dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama sama lain.
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier sebagaimana dikutip
Agustino Leo7, mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam
bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-
perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalaah yang ingindiatasi, menyebutkan
secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya”.
5http://www.muniryusuf.com/?s=penerapan, diunduh tanggal 5 Februari 2012
6 Dunn, William N. 1999, Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada Press,Yogyakarta, hlm.24-25
7 Agustino Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Alfabeta, Bandung, hlm.139
Van Meter dan Van Horn sebagaimana dikutip Agustino Leo8,
mengatakan bahwa implementasi kebijakan sebagai :
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu
atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
kebijakan itu sendiri. Kesalahan dalam mengimplementasikan kebijakan
akan menyebabkan dua hal yaitu pelaksanaan tanggung jawab yang tidak
tepat pada waktunya dan juga pemborosan biaya.
c. Kebijakan Perpajakan
Kebijakan perpajakan terkait dengan sistem perpajakan sebagai
elemen dalam kebijakan perpajakan. Dimana sistem perpajakan
merupakan salah satu instrumen penting yang dapat dipakai dalam
mencapai sasaran kebijakan pembangunan. Suatu sistem perpajakan yang
tepat untuk suatu negara bukanlah masalah sesuai atau tidaknya sistem
yang bersangkutan dengan kriteria-kriteria tersebut, melainkan sistem
tersebut harus mengakomodasi faktor-faktor khusus, antara lain kondisi
ekonomi, politik dan administratif pada waktu ini, tujuan kebijakan publik
pada waktu ini, serta tersedianya instrumen-instrumen kebijakan di
samping pajak dan instrumen-instrumen lainnya (moneter dan
pembangunan). Kebijakan pajak positif merupakan alternatif yang nyata-
nyata dipilih dari berbagai pilihan lain, agar dapat dicapat sasaran yang
hendak dituju sistem perpajakan.9
d. Pajak Daerah
Pajak ditinjau dari fungsinya merupakan sumber anggaran
pendapatan negara yang terpenting atau merupakan salah satu alat untuk
mencapai suatu tujuan tertentu di luar bidang keuangan yang lazimnya
disebut kebijaksanaan fiskal. Kata fiskal dalam hal ini digunakan dalam
arti kata yang luas, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan keuangan
negara dan bukan yang semata-mata berhubungan dengan pajak.10
Menurut Saragih, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
8Ibid.,
9 R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND-HILL Co, 1996, hlm. 18
10Roechmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan. Bandung: PT. Eresco, 1988, hlm. 245
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah11
.
Sementara itu menurut Josef Riwu Kaho, pajak daerah adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk Public Investment.
Badan hukum publik dalam rangka membiayai rumah tangganya. Dengan
kata lain pajak daerah adalah : pajak yang wewenang pungutannya ada
pada daerah dan pembangunan daerah hal ini dikemukakan oleh Yasin.
Sementara itu Davey mengemukakan pendapatnya tentang pajak daerah
yaitu:12
1) Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan peraturan
daerah sendiri.
2) Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tapi
pendapatan tarifnya dilakukan oleh Pemda.
3) Pajak yang dipungut atau ditetapkan oleh Pemda.
4) Pajak yang dipungut dan di administrasikan oleh pemerintah pusat
tetapi pungutannya kepada, dibagi hasilkan dengan atau dibebani
pungutan tambahan (opsen) oleh Pemda.
2. KerangkaTeori
Menurut Sicat, kebijakan fiskal (fiscal policy) berkaitan dengan
pemanfaatan gabungan pengeluaran pemerintah, perpajakan dan utang
pemerintah untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Kebijakan fiskal yang
aktif dirancang untuk membantu meredakan goncangan liar siklus dunia usaha
(business cycles) agar perekonomian menjadi lebih stabil. Kebijakan fiskal
juga harus dirancang guna memantapkan pertumbuhan pendapatan dari waktu
ke waktu, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan keadilan
pembagian pendapatan dan kekayaan.13
Sebagaimana telah disebutkan di atas
bahwa kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Menurut
Mansury kebijakan pajak ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran, distribusi penghasilan yang lebih adil, dan stabilitas14
.
Menurut pendapat Mansury, bahwasanya sistem perpajakan itu sendiri
terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu:15
1) Kebijakan Perpajakan (tax policy)
11
Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.61
12 Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.
13 Gerardo P Sicat dan H. W. Arndt, Ilmu Ekonomi untuk Konteks Indonesia, diterjemahkan oleh Nirwono, Jakarta: LP3S, 1991, hlm. 313
14 R. Mansury, Op. Cit., hlm. 5
15Ibid.
Menurut Devereux, isu-isu penting dalam kebijakan pajak adalah
sebagai berikut; (i)What should the tax base be: income, expenditure, or a
hybrid?; (ii)What should the tax rate schedule be?; (iii)How should
international income flows be taxed?; dan (iv)How should environmental
taxes be designed?16
2) Undang-Undang Perpajakan (tax laws)
Undang-undang perpajakan adalah seperangkat peraturan
perpajakan yang terdiri dari undang-undang beserta peraturan
pelaksanaannya. Konsistensi dan kejelasan antara Undang-undang
perpajakan dengan peraturan di bawahnya haruslah dijaga dengan baik
agar tidak menimbulkan ambigu yang pada akhirnya akan
membingungkan wajib pajak. Ketidakjelasan peraturan akan menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak.17
3) Administrasi Perpajakan (tax administration)
Administrasi pajak dalam arti luas meliputi fungsi, sistem dan
organisasi/kelembagaan. Sebagai suatu sistem, kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia juga marupakan salah satu tolak ukur kinerja
administrasi pajak. Administrasi perpajakan memegang peranan yang
sangat penting karena seharusnya bukan saja sebagai perangkat laws
enforcement, tetapi lebih penting dari itu, yakni sebagai service point yang
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus pusat
informasi perpajakan.18
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan
memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi.19
Maka penelitian ini bisa
disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan
menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan cara penelitian deskriptif kualitatif,
yaitu memberikan gambaran metode analisis dengan memaparkan secara
16
Michael P. Devereux, Editor, The Economics of Tax Policy. New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 9-21
17 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 97
18Ibid, hlm. 98
19 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 6
runtut untuk mendapatkan pemahaman dan sistematika terhadap
permasalahan.
Sementara itu, menurut Maman,20
penelitian deskriptif berusaha
menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi.
Metode kualitatif ini memberikan informasi yang mutakhir sehingga
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat
diterapkan pada berbagai masalah.21
Sedangkan penelitian ini lebih
memfokuskan pada studi kasus yang merupakan penelitian yang rinci
mengenai suatu obyek tertentu selama kurun waktu tertentu dengan cukup
mendalam dan menyeluruh. Menurut Vredenbregt,22
Studi kasus ialah suatu
pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari
obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari
sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, di mana tujuannya adalah untuk
memperkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai obyek yang
bersangkutan yang berarti bahwa studi kasus harus disifatkan sebagai
penelitian yang eksploratif dan deskriptif.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder:
a. Data Primer.
Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh
secara langsung melalui penelitian lapangan, baik dengan cara wawancara
atau studi lapangan secara langsung dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan keterangan atau fakta yang tidak
diperoleh secara langsung dari lapangan, melainkan diperoleh dari studi
kepustakaan berbagai buku, arsip, dokumen, peraturan perundang-
undangan, hasil penelitian ilmiah dan bahan-bahan kepustakaan lainnya
yang berkaitan dengan permasalahan yang telah diteliti.
3. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.23Dalam penelitian
ini, Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan model interaktif.
20
Maman Kh, 2002, Menggabungkan Metode Penelitian Kuantitatif dengan Kualitatif, Makalah Pengantar Filsafat Sain, Program Pasca Sarjana/S3, IPB
21 Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 81
22 Vredenbregt J., 1987. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia, Jakarta, hlm. 38
23 Lexy J.Maleong, Metodelogi penelitian kualitatif, Remaja Rosada Karya, Bandung, 2002, hlm. 103
Menurut Sutopo,24model interaktif yaitu komponen reduksi data dan penyajian
data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data
terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan
dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali
mengumpulkan data lapangan.
Model analisis interaktif maksudnya peneliti tetap bergerak di antara tiga
komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan
pengumpulan data berlangsung. Tiga tahap tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah bagian analisis, berbentuk mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan
mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
dilakukan.25Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data dari field not. Reduksi data berlangsung
terus-menerus sepanjang pelaksanaan penelitian lapangan sampai laporan
akhir lengkap tersusun.
b. Penyajian Data
Suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi
yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Selain itu,
penyajian data sebagai kumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian-penyajian yang lebih merupakan suatu cara yang utama bagi
analisis kualitatif yang valid.26
c. Menarik Kesimpulan
Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari
arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi
yang mungkin, alur sebab akibat dan proposi. Kesimpulan akan ditangani
dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan telah disediakan,
mula-mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan
pokok.
Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian
berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang
melintas dalam pemikiran Penganalisis selama ia menulis, atau mungkin
dengan seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali.27
G. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini penulis menggunakan sistematika penulisan
yang terdiri dari empat bab, yaitu setelah pertama, dilanjutkandengan bab berikutnya.
24
H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, 2002, hlm. 8 25
Ibid., hlm. 12 26
Tjetjep Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1992, hlm. 17
27 H.B. sutopo, Op. Cit., hlm. 97
Bab kesatu, menguraikan tentang pendahuluan yang berisi Latar Belakang
Penelitian, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitan, dan Cara
Penelitian.
Setelah menguraikan Bab I tentang pendahuluan sebagaimana diatas,maka
sistematika penulisan dalam Bab kedua berisi tentang tinjauan pustaka yang terdiri
dari beberapa sub-bab. Sub-bab kesatu yang secara garis besar menguraikan tinjauan
umum tentang pajak; sub-bab kedua, secara garis besar menguraikan tinjauan
mengenai Pajak Daerah; sub-bab ketiga menguraikan tinjauan tentang Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan; sub-bab keempat menguraikan tinjauan tentang Pajak Air
Bawah Tanah.
Bab ketiga berisikan uraian analisis terhadap data penelitian yang diperoleh
dari hasil penelitian secara kualitatif, baik primer maupun sekunder terhadap tinjauan
kekuatan hukum polis asuransi kerugian yang terdiri dari beberapa sub-bab
permasalahan dalam penelitian ini. Sub-bab kesatu,permasalahan mengenai ide dasar
atau latar belakang tinjauan prosedur penerapan kebijakan pajak air bawah tanah; sub-
bab kedua, permasalahan mengenai pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah
di Kota Probolinggo, Provinsi Jawa Timur; dan sub-bab ketiga permasalahan
mengenai hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pemungutan pajak air bawah tanah
di Probolinggo.
Bab keempat merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulandan saran-
saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pajak
1. Pengertian Pajak
Sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar, sektor
pajak merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang keberhasilan
pembangunan suatu negara. Oleh karena itu hal yang paling utama untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat indonesia adlaha
dengan adanya partisipasi rakyat dalam membayar pajak.
Untuk negara pajak adalah salah satu penerimaan penting yang
berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Sedangkan bagi
perusahaan, umumnya pengusaha mengidentikan pembayaran pajak sebagai
beban sehingga akan berusaha meminimalkan beban tersebut guna
mengoptimalkan laba. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing
perushaan harus menekan biaya seoptimal mungkin.Untuk meminimalkan
kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih
memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan
perpajakan (unlawful). Upaya dalam melakukan penghematan pajaksecara
legal dapat dilakukan melaluiperencanaan pajak.
Secara umum pengertian pajak adalah pemindahan harta atau hak milik
kepada pemerintah dan digunakan oleh pemerintah untuk pembiayaan
pembangunan negara yang berdasarkan peraturan yang berlaku sehingga dapat
dipaksakan.
Bagi suatu Negara, pajak memegang peranan yang penting yaitu
sebagaisumber penerimaan yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan –
kegiatanpemerintahan dan pembangunan serta sebagai alat regulasi. Sebagai
regulasi pajakdipergunakan sebagai redistribusi pendapatan, stabilitas
ekonomi, realokasi sumber-sumber ekonomi.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam bukunya Pengantar singkat Hukum
Pajak,28
Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya adadalam
masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu
waktuberkumpul untuk tujuan tertentu.Masyarakat terdiri dari individu.Dan
individumempunyai hidup sendiri dan kepentingan sendiri, yang dapat
dibedakan dari hidupmasyarakat dan kepentingan masyarakat.Namun individu
tidak mungkin hidup tanpaadanya masyarakat.Negara adalah masyarakat yang
mempunyai tujuan tertentu,kelangsungan hidup Negara berarti juga
kelangsungan hidup masyarakat dankepentingan masyarakat.Untuk
kelangsungan hidup masing-masing diperlukanbiaya. Biaya hidup individu
menjadi beban dari individu yang bersangkutan,sedangkan biaya hidup Negara
adalah untuk kelangsungan hidup alat-alat Negara,administrasi Negara,
lembaga – lembaga Negara, dan seterusnya yang harus dibiayaidari
penghasilan Negara.29
Penghasilan Negara berasal dari rakyatnya melalui pungutan pajak dan
ataudari hasil kekayaan alam yang ada dalam Negara itu.Dua sumber tersebut
merupakansumber yang sangat penting bagi peneriman Negara, dan
penghasilan itu untukmembiayai kepentingan umum yang pada akhirnya juga
mencakup kepentinganpribadi individu seperti kesehatan masyarakat,
pendidikan, kesejahteraan, dan lainsebagainya. Jadi dimana ada kepentingan
masyarakat disitu akan timbul pungutanpajak sehingga dapat dikatakan bahwa
pajak adalah senyawa dengan kepentinganumum. Pungutan Pajak mengurangi
penghasilan /kekayaan individu, tetapi sebaliknya merupakan penghasilan
masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepadamasyarakat melalui
pengeluaran – pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunanyang akhirnya
kembali lagi kepada seluruh masyarakat, yang bermanfaat bagi rakyat,baik
yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak.
Sedangkan pengertian pajak menurut Adriani yang diterjemahkan
olehBrotodihardjo dan dikutip oleh Waluyo yaitu, pajak adalah iuran kepada
28
Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992 29
Erly Suandy; Hukum Pajak; Jakarta; Salemba Empat, 2002; hlm 7.
Negara(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yangwajib membayarnya
menurutperaturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapatditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umumberhubung dengan tugas Negara yang
menyelenggarakan pemerintahan.30
Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul
“PajakBerdasar Azas Gotong Royong”, Universitas Padjadjaran Bandung,
berpendapat bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang
dipungut oleh penguasa berdasar norma-norma hukum guna menutup biaya
produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum.31
Menurut Prof.Dr.H.Miyasto, secara historis pajak sudah lama menjadi
bagianyang menyatu dalam kehidupan suatu bangsa. Adam Smith, David
Ricardo, JohnStuart Mill dan Thomas Malthus, berpendapat bahwa pajak
sudah menjadi bagianyang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan suatu
Negara.Dari pajak inilah Negara membiayai kegiatan-kegiatan
administrasipemerintahan, angkatan perang dan pembangunan serta dapat
dipergunakan sebagaiinsrumen penting untuk membangun keunggulan-
keunggulan strategi suatu bangsadibandingkan dengan bangsa lain.32
Menurut S.J.Djajadiningrat,33
dalam bukunya “Perpajakan Teori Dan
Kasus”, mendefinisikan bahwa Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan
sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,
kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksaan tetapi tidak ada timbal balik dari negara secara langsung untuk
memelihara kesejahteraan secara umum.
30
Waluyo & Illyar Wirawan.B; Perpajakan Indonesia, Jakarta, Salemba Empat, Jakarta, 2003, hlm 4 31
Erly Suandy,Op.Cit, hlm. 9. 32
Miyasto, Sistim Perpajakan Nasional Dalam Era Globalisasi,Semarang; Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Dalam Ilmu Ekonomi; 1997, hal : 2.
33S.J. Djajadiningrat, 2003, Analisis Ekonomi Lingkungan dan Audit Lingkungan, Makalah Kursus Pengantar Audit Lingkungan Angkatan V, PPSMI, Jakarta, hlm.3
Pengertian Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib
kepadaNegara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkanUndang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dandigunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar – besarnya
kemakmuran rakyat.
Pajak Daerah menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 adalah
iuranwajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah,
tanpa imbalanlangsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undanganyang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraanPemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah.
Dari beberapa pengertian tentang definisi Pajak sebagaimana tersebut
diatas,maka dapat disimpulkan bahwa Pajak merupakan :
a. Iuran atau kontribusi (di dalam Undang-Undang lebih ditekankan pada
istilah “peran serta”) yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
yang berakibat adanya sanksi.
b. Yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang tidak mendapatkan imbalan
secara langsung.
c. Yang oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi ataupun
Pemerintah Kabupaten/Kota, dipergunakan untuk membiayai
pengeluaran dalam penyelenggaraan negara/pemerintahan.
Ciri-ciri pajak berdasar pengertian tentang pajak berdasar pendapat
para ahli sebagaimana telah dijelaskan di atas antara lain adalah :\
a. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang atau badan ke
pemerintah.
b. Pajak dipungut oleh negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah.
c. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
d. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
e. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan umum.
2. Subjek dan Objek Pajak
Menurut Erly Suandy,34
dalam bukunya “Hukum Pajak”, pengertian
subjek dan objek pajak secara umum adalah subjek pajak adalah pihak-pihak
(orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak, sedangkan objek pajak
adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak.Dari pengertian tersebut,
jelas bahwa subjek pajak itu menyangkut orang perorangan atau badan sebagai
sasaran pajak, sedangkan objek pajak menyangkut segala sesuatu yang akan
menjadi target dikenakannya pajak.
3. Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak, yaitu :
a. Fungsi Budgeter
Pajak sebagai sumber danabagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran yang bersifat rutin.fungsi budgetair disebut juga
fungsi fiskal (fiscal function),35
dimana pajak berfungsi sebagai alat untuk
memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, fungsi
budgetair memberikan pembenaran bahwa negara mempunyai hak
memungut pajak untuk mengisi kas negara.
b. Fungsi Regulered
Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi
tambahan,36
dimana pajak berfungsi sebagai alat pemerintah untuk
34
Erly Suandy, Op.Cit, hlm.33 35
Safri Nurmantu, 2003, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta, hal.30 36
Ibid, hal.36
mencapai tujuan tertentu.Dalam hal ini, pajak berlaku sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pembangunan dalam bidang sosial
dan ekonomi.
4. Jenis-jenis Pajak
Menurut Siti Resmi,37
dalam buku “Perpajakan Teori Dan Kasus”
menyatakan bahwa pembagian pajak dapat dilakukan berdasarkan :
a. Berdasarkan Sifat
b. Berdasarkan Golongan
c. Berdasarkan Wewenang Pemungut
Pembagian pajak berdasarkan sifat dibagi menjadi dua yaitu Pajak
Langsung dan Pajak Tidak Langsung, berdasarkan golongan terbagi pula
menjadi dua yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
a. Menurut Sifatnya
1) Pajak Subjektif
Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan pada keadaan
pribadisubjek pajak.Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
2) Pajak Objektif
Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan pada objeknya
baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang
mengkibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak tanpa
memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak maupun tempat
tinggal.Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB)
b. Menurut Golongannya
1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh
wajibpajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada
orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan
2) Pajak tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya
dapatdibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh :
Pajak Pertambahan Nilai.
37
Siti Resmi, 2003, Perpajakan, Salemba Empat,Jakarta, hlm.6
c. Menurut Lembaga Pemungutannya
1) Pajak Negara (Pusat)
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara.Contoh : PPh, PPN, PPn
BM, PBB dan Bea Materai
2) Pajak Daerah
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas :
a) Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi),
Contoh : Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan BBNKB.
b) Pajak daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota)
Contoh : Pajak Hotel&Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan.
5. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Dr.Mardiasmo,38
dalam bukunya “Perpajakan”, menyatakan
bahwa Sistem pemungutan pajak yang digunakan di Indonesia dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) sistem yaitu:
a. Official Assessment System.
b. Self Assessment System.
c. With Holding System.
Pengertian dan ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak yang terdapat di
atas adalah sebagai berikut :
a. Official Assessment System
38
Mardiasmo, 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi , Yogyakarta, hal.5
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
2) Wajib pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assessment System
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yangmemberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak terutang.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri.
2) Wajib pajak pasif, mulai dari menghitung, menyetor, dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ke 3 (tiga).Untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak.Ciri-cirinya: Wewenang menentukan
besarnya pajak yang terutang pada pihak ketiga.
6. Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak merupakan upaya untuk membuat agar beban pajak
yang harus dibayar serendah mungkin namun harus sesuai dengan peraturan
Undang-Undang Perpajakan. Mohammad Zain,39
mendefinisikan bahwa :
39
Mohammad Zain. 2005. Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta, hal.43
“Perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha Wajib
Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga uatang
pajaknya, baik wajib pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya,
berada dalam posisi yang paling minimal sepanjang hal ini
dimungkinkan oleh ketentuan perundang-undangan perpajakan
maupun secara komersial.”
Mohammad Zain menambahkan bahwa Perencanaan pajak adalah
merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi
pajaknya, yang tekanannya kepada pengedalian setiap transaksi yang ada
konsekuensi pajaknya.Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
perencanaan pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk
menekan setiap transaksi yang dilakukan agar beban pajak yang harus dibayar
oleh perusahaan dapat diminimalkan.
Agar Perencanaan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka
perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap.
Menurut Erly Suandi,40
tahap-tahap perencanaan adalah sebagai berikut:
a. Analisis informasi yang ada
b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak
c. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak
d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana
pajak.
e. Mutakhirkan rencana pajak.
Dari hal-hal yang disebutkan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Menganalisis informasi yang ada.
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah
menganalisis komponenyang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu
proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus
ditanggung.
b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkian besarnya pajak.
40
Erly Suandi, Op.Cit, hal.14
Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih
atas tindakan tindakan berikut :
1) Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan
atau hubungan internasional.
2) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau
menjadi residen dari negara tersebut.
3) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak.
Perencanaan pajak adalah suatu perencanaan yang merupakan
bagian kecil dan seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu
perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan
suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak tersebut akan dihitung
dengan mengunakan hipotesis sebagai berikut :
1) Bagaimana jika perencanaan pajak tidak dilaksanakan.
2) Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan dan
berhasil dengan baik.
3) Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan tetapi
gagal.
d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana
pajak.
Pembuatan suatu rencana sebaiknya disertai dengan gambaran atau
perkiraan berapa peluang kesuksesan dan berapa laba setelah pajak
yangakan diperoleh jika berhasil maupun kerugian jika terjadi kegagalan.
e. Memuktahirkan rencana pajak.
Dengan membiarkan perhatian terhadap perkembangan yang akan
datang maupun situasi yang terjadi saat ini. Seorang manajer akan mampu
mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan dan pada saat
yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh
manfaat potensial.
B. Tinjauan Pajak Daerah
1. Pengertian Pajak Daerah
Pajak Daerah dan Pajak Nasional merupakan suatu sistem perpajakan
Indonesia yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat, sehingga perlu
dijaga agar kebijakan tersebut dapat memberi beban yang adil.Pajak Daerah
adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi ataubadan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapatdipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yangdigunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah danpembangunan
Daerah.
Sistem pemungutan pajak daerah yang dipergunakan dalam
pemungutan Pajak Air Bawah Tanah yaitu Sistem Official Assessment.Sistem
Official Assessment adalah pemungutan pajak berdasarkan penetapan Kepala
Daerahdengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau
dokumenlainnya yang dipersamakan.Wajib Pajak setelah menerima SKPD
atau dokumenlainnya yang dipersamakan tinggal melakukan pembayaran
menggunakan SuratSetoran Pajak Daerah (SSPD) pada Kantor Pos atau Bank
Persepsi. Jika WajibPajak tidak atau kurang membayar akan ditagih
menggunakan Surat TagihanPajak Daerah (STPD).
Kriteria Pajak Daerah tidak jauh berbeda dengan kriteria pajak secara
umum,yang membedakan antara keduanya adalah pihak pemungutnya. Kalau
PajakUmum atau biasa disebut Pajak Pusat, yang memungut adalah
Pemerintah Pusat, sedangkan Pajak Daerah yang memungut adalah
Pemerintah Daerah, baikPemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Secara spesifik Kriteria Pajak Daerah diuraikan oleh K.J.
Davey,41
dalambukunya “Financing Regional Government”, terdiri dari 4
(empat) hal yaitu:
a. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah berdasarkan pengaturan
daridaerah sendiri.
41
K.J. Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, UI Press, Jakarta, 1988
b. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan Pemerintah Pusat tetapi
penetapantarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
c. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.
d. Pajak yang dipungut dan di administrasikan oleh Pemerintah Pusat
tetapi hasilpungutannya diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Pajak Daerah diatur dalam :
a. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang pajak daerah dan
retribusi daerah.
b. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud Daerah menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun
2000adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya tidak ada perbedaan
pengertian yang pokok antara pajak pusat dan pajak daerah mengenai prinsip-
prinsip umum hukumnya. Perbedaan yang ada hanya pada objek pajak, aparat
pemungut dan pengguna pajak.
Dalam Pasal 2 ayai 1 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000
TentangPerubahan atas Undang – Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang
Pajak Daerahdan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa Jenis-jenis Pajak
Provinsi terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
2. Jenis Pajak Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah dijelaskan bahwa pajak daerah terdiri dari beberapa jenis
yaitu :
a. Pajak Propinsi yang terdiri dari :
1) Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air.
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air.
3) Pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
4) Pajak pengambilan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan.
b. Pajak Kabupaten/Kota yang terdiri dari :
1) Pajak Hotel.
2) Pajak Restoran.
3) Pajak Hiburan.
4) Pajak Reklame.
5) Pajak Penerangan Jalan.
6) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
7) Pajak Parkir.
8) Pajak Lain-lain.
Dari dalam suatu daerah, apabila dirasakan perlu untuk menetapkan
jenis pajak selain yang diatas, dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan
jenis pajak lain yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Bersifat sebagai pajak bukan retribusi.
b. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
c. Potensi memadai.
d. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
e. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
f. Menjaga kelestarian lingkungan.
Ruang lingkup pajak daerah hanya terbatas pada objek yang belum
dikenakan oleh Negara (Pusat).Disamping itu ada ketentuan bahan Pajak dari
daerah yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh memasuki objek pajak dari
daerah yang lebih tinggi tingkatannya.Tarif pajak daerah ditentukan oleh
Pemerintah Daerah.
3. Tarif Pajak Daerah
Tarif jenis pajak sebagaimana disebutkan diatas ditetapkan paling
tinggi sebesar :
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air sebesar 5%.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air
sebesar 5%.
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor sebesar 5%.
d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan sebesar 20%.
e. Pajak Hotel sebesar 10%.
f. Pajak Restoran sebesar 10%.
g. Pajak Hiburan sebesar 35%.
h. Pajak Reklame sebesar 25%.
i. Pajak Penerangan Jalan sebesar 10%.
j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C sebesar 20%.
k. Pajak Parkir sebesar 20%.
4. Fungsi Pajak Daerah
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa pajak daerah merupakan salah
satu faktor dalam pendapatan daerah, berikut fungsi dari pajak daerah antara
lain :
a. Sebagai tiang utama pelestarian otonomi terhadap penyelenggaraan
pemerintah daerah.
b. Sebagai sumber dana yang sangat berarti dalam rangka pembiayaan
pembangunan daerah.
C. Tinjauan tentang PAD (Pendapatan Asli Daerah)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat penting sebagai modal
dasarpelaksanaan pemerintah dan pembangunan, oleh karena itu perlu
untukdimobilisasi dengan cermat agar dapat ditingkat mantapkan melalui
intensifikasidan ekstensifikasi. Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2004Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
125Tahun 2004), Sumber-sumber Pendapatan Daerah terdiri atas :
1. Pendapatan Asli Daerah
a. Hasil Pajak Daerah,
b. Hasil Retribusi Daerah,
c. Hasil perusahaan milik Daerah dan Hasil pengelolaan Kekayaan
Daerah yang dipisahkan,
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah, dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah
Sebagai modal dasar pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
daerah,peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangatlah penting sehingga
perludimobilisasi dengan cermat agar dapat ditingkatmantapkan melalui
intensifikasidan ekstensifikasi.
Kebijakan yang ditempuh dalam rangka peningkatan PAD khususnya
darisektor pajak daerah dan retribusi daerah, digariskan bahwa pada
dasarnyadilaksanakan tanpa harus membebani masyarakat. Hal ini dapat ditempuh
dengancara penyederhanaan mekanisme pemungutan, memperkecil jenis
pungutan danmenegakkan sanksi hukum bagi wajib pajak yang lalai.
Secara umum garis kebijakan umum yang ditempuh dan dilaksanakan
adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan dan mengamankan kebijakan Pemerintah Daerah pada
umumnya dan anggaran pendapatan pada khususnya, secara optimal.
2. Melakukan penetapan target PAD yang realistis sesuai dengan potensi riil
sumber-sumber pendapatan yang ada pada masing – masing satuan kerja
perangkat daerah penghasil/pengelola pendapatan.
3. Mengembangkan sumber-sumber pendapatan yang ada serta
mengupayakan sumber-sumber PAD yang baru dengan tidak memberatkan
masyarakat.
4. Meningkatkan pelayanan pajak dan retribusi daerah dengan membangun
sarana prasarana dan sistim serta prosedur/mekanisme administrasi
pelayanan.
5. Mengoptimalkan pendayagunaan asset-asset daerah yang dapat
menghasilkan PAD.
6. Mengoptimalkan hubungan yang seimbang antara anggaran belanja
dengan anggaran pendapatan masing-masing satuan kerja perangkat
daerah, guna terciptanya keselarasan kemampuan keuangan daerah.
7. Memobilisir potensi sumber daya masyarakat secara berkelanjutan, adil
dan merata.
D. Tinjauan tentang Pajak Air Bawah Tanah
1. Pengertian Pajak Air Bawah Tanah
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan adalah pungutan daerah atas pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan.Sebagaimana telah disampaikan dalam bab-
bab sebelumnya bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 Tentang Perubahan atasUndang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur mengenai jenis Pajak
Provinsi sebagai berikut :
a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB),
b. Pajak Kendaraan Bermotor Di Atas Air (PKBDA),
c. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB),
d. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Diatasa Air (BBNKBDA),
e. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (BBKB).
f. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (P3ABT),
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air permukaan (P2AP).
Mekanisme pemungutan Pajak Air Bawah Tanah berjalan sesuai
dengan sistemdan prosedur yang sudah ada. Dalam pelaksanaan kegiatan
pemungutan Pajak AirBawah Tanah pada Kantor Pendapatan Daerah
melibatkan beberapa instansi, yaitu:Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)
sebagai unit yang menetapkan besarnyapajak terutang dengan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), BadanPengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Provinsi dan Kota Probolinggo yangberwenang di bidang
pengawasan dan pengendalian lingkungan dalampemanfaatan air bawah tanah,
serta Dinas Pertambangan sebagai instansi yangberwenang memberikan izin
eksplorasi, pengawasan/pengendalian dan penertibanpemanfaatan air bawah
tanah.
Masing-masing instansi tersebut memiliki kewenangan dan
kepentingansendiri-sendiri yang terkait dengan ketentuan peraturan
perundang-udangan yangmenjadi payung hukum dalam pelaksanaan kegiatan
instansi tersebut. Oleh sebabitu untuk mendukung optimalisasi penerimaan
Pajak Air Bawah Tanah diperlukankoordinasi secara efektif dan efisien dari
instansi-instansi yang terkait dalampengambilan dan pemanfaatan Pajak Air
Bawah Tanah, sehingga para pemiliksumur bor (wajib pajak) dapat didata
secara rinci guna memperkecil peluangterjadinya pencurian air bawah tanah
yang dapat mengancam lingkungan danpenghindaran pajak yang berkaitan
dengan pembayaran pajak air bawah tanah.Belum optimalnya koordinasi
dalam pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanahini akan menyebabkan
terhambatnya penerimaan Pajak Air Bawah Tanah danbahkan dapat
menjadikan potensi terjadinya penghindaran Pajak Daerah yangseharusnya
diterima oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Sementara itu, mengenai objek yang diatur dalam pajak air bawah
tanah antara lain adalah pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta
air permukaan. Sedangkan subjek dari pajak air bawah tanah adalah orang
pribadi atau badan yang mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan
air permukaan. Hal ini dengan pengecualian yang antara lain adalah :
a. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan
oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang
khusus didirikan untuk menyelenggarakan usaha eksploitasi dan
pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber
air.
c. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan
untuk kepentingan pertanian rakyat.
d. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan
lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
2. Objek dan Subjek Pajak Air Bawah Tanah
Adapun objek pajaknya sebagai berikut :
a. Pengambilan air bawah tanah dan air permukaan.
b. Pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
c. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan.
Yang dikecualikan dari objek pajak sebagai berikut :
a. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
b. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan
oleh pemerintah untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat.
c. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah serta air permukaan
untuk keperluan dasar rumah tangga.
d. Pengambilan dan pemenfaatan air bawah tanah serta air permukaan
untuk keperluan peribadatan.
e. Pengambilan dan pemenfaatan air bawah tanah serta air permukaan
untuk oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) yang khusus didirikan untuk usaha eksploitasi
dan pemeliharaan pengairan.
Sementara itu, Subjek dari Pajak Air Bawah Tanah adalah :
a. Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil atau
memanfaatkan air bawah tanah serta air permukaan.
b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil atau
memanfaatkan air bawah tanah serta air permukaan.
3. Dasar Pengenaan Pajak Air Bawah Tanah
a. Dasar pengenaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah
serta air permukaan adalah Nilai Perolehan Air (NPA)
b. Nilai perolehan air sebagaimana yang dimaksud pada poin 1 (satu)
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung menurut sebagian atau seluruh
faktor :
1) Jenis sumber air
2) Lokasi sumber air
3) Volume air yang diambil dan dimanfaatkan.
4) Kualitas air
5) Musim pengambilan air
4. Sistem Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah
a. Self Assesment System, wajib pajak menghitung sendiri, membayar dan
melaporkan sendiri pajak terutang. Sedangkan fiskus dalam
pelaksanaannya hanya memberi bimbingan, pengarahan dan
mengawasinya.
b. Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak terutang. Pemungutan pajak daerah berdasarkan
penetapan kepala daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD).
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Prosedur Penerapan Kebijakan Pajak Air Bawah Tanah.
1. Latar Belakang Penerapan Pajak Air Bawah Tanah
Air merupakan Sumber daya alam yang penting untuk kehidupan
sehari hari, yang jika tidak dipantau atau dibatasi pemakaiannya, serta tidak
dikelola dengan baik akan meyebabkan menipisnya cadangan air bawah tanah.
Air bawah tanah merupakan barang milik bersama (common goods), jika
pemakai air bawah tanah hanya mementingkan kepentingan pribadi dan tidak
mau bekerja sama dan saling menjaga antar pemakai air bawah tanah,
misalnya dengan cara menghemat pemakaian air, maka pemakaian air bawah
tanah yang tidak terkendali dapat menyebabkan persediaan air bawah tanah
semakin menipis, dan akibat selanjutnya pemakaian air tanah akan turun, lalu
dapat terjadi tanah longsor, banjirdan penyusupan air laut ke daratan yang
semakin jauh. Dalam hal ini pemerintah provinsi Jawa Timur harus dapat
mengendalikan pemakaian air bawah tanah di Probolinggo, yaitu dengan cara
membatasi pemakaian air bawah tanah, dengan cara membatasi pemakaian air
bawah tanah, dan salah satu cara untuk membatasi penggunaan air bawah
tanah tersebut adalah dengan mengenakan pajak kepada orang pribadi atau
badan yang mengambil, memanfaatkan air bawah tanah. Pengguna air bersih
dapat dikategorikan atas rumah tangga dan non rumah tangga.
Air bersih untuk rumah tangga dapat bersumber dari PAM, air tanah
dangkal(sumur galian) dan dengan cara membeli. Sedangkan untuk non rumah
tangga biasanya bersumber dari PAM, dan air tanah dalam (sumur bor).
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 16 Tahun 2001 tentang
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
air bawah tanah diartikan sebagai air yang berada diperut bumi, termasuk air
yang muncul diatas permukaan tanah. Menurut Direktorat Geologi Tata
Lingkungan, air tanah di Indonesia beberapa tahun terakhir mulai dirasakan
sebagai masalah yang perlu ditangani secara serius, begitu pula dengan
wilayah Probolinggo. Hal ini terlihat jelas dari semakin menurunnya muka air
tanah, instrusi air laut yang sudah mencapai 15 km dari pantai, penurunan
muka tanah dibeberapa bagian kota serta penurunan kualitas maupun kuantitas
air tanah. Dugaan kuat terjadinya masalah ini, terutama menyangkut
penurunan kuantitas air tanah adalah pengambilan air bawah tanah yang
terlampau berlebihan, baik air bawah tanah dangkal maupun dalam.
Dari uraian tersebut diatas, maka diperlukan upaya konservasi air
tanah yang bertujuan untuk melindungi sumber daya air tanah dari
pencemaran serta pengambilan air tanah yang berlebihan sebagai berikut
dibawah ini.
a. Pengendalian pengisian air tanah,
Yaitu upaya utuk memperbesar kuantitas air hujan yang terserap ke
dalam air tanah melalui penetapan zona konservasi/proteksi air tanah dan
memperkecil penguapan (evapotranspirasi).
b. Pengendalian pemakaian air tanah (membatasi pemakaian),
Yaitu dengan mengalihkan pengunaan air bawah tanah menjadi
penggunaan PAM dan membatasi penggunaan air tanah melalui
pendekatan ekonomi. Dalam hal ini air bawah tanah bukan sebagai barang
yang bebas, namun dipandang sebagai komoditi ekonomi dengan cara
menetapkan harga riel air bawah tanah.
c. Pengendalian kualitas air bawah tanah dengan melakukan pencegahan
tercemarnya air bawah.
Pada awalnya pendapatan daerah dari pajak dan retribusi daerah
diatur dalam Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1957 Tentang
Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Undang-undang No.12 Tahun 1957
tentang ketentuan Umum Retribusi Daerah. Jenis-jenis pajak daerah
berdasarkan ketentuan ini sangat banyak sekali, akan tetapi sebagai
sumber dana yang cukup besar hanya beberapa saja. Pajak daerah dengan
penerimaan yang cukup besar yang dipungut Pemerintah Tingkat I antara
lain Pajak Kendaraan Bermotor serta Bea Balik Nama, sedangkan yang
dipungut Pemerintah Tingkat II yaitu Pajak Reklame, Pajak Tontonan,
Pajak Pembangunan I (Penginapan dan rekreasi), Pajak Potong Hewan,
Pajak Penerangan Jalan dan Pajak Pendaftaran Perusahaan. UU Darurat
No. 11 Tahun 1957 mengatur bahwa mengadakan, mengubah dan
meniadakan pajak daerah ditetapkan dengan peraturan pajak
daerah.Kemudian yang menjadi lapangan pajak daerah adalah lapangan
pajak yang belum digunakan pemerintah diatasnya.Pengaturan pajak
daerah ditetapkan dalam peraturan daerah. Pajak daerah yang diatur dalam
peraturan daerah pengesahannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
setelah melalui dengar pendapat dan ditetapkan oleh DPRD yang
bersangkutan.Begitu pula halnya dengan retribusi.Pemerintah Daerah
dapat memungut retribusi yang diatur dalam Perda dan disahkan oleh
Menteri Dalam Negeri setelah melalui dengar pendapat dan ditetapkan
oleh DPRD yang bersangkutan.Dengan landasan ini maka pemakaian air
bawah tanah di Propinsi Jawa Timur yang sebenarnya tidak dikenakan
pungutan apapun dikenakan retribusi.Pemungutan retribusi ini menjadi
wewenang Dinas Pertambangan. Sesuai dengan pelayanannya maka tarif
retribusi dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu tarif retribusi
pelayanan penerimaan dan tarif retribusi atas pemakaian atau pengambilan
air bawah tanah.Pemungutan retribusi yang dilakukan Dinas
Pertambangan terhadap kegiatan Pengeboran erat kaitannya dengan
pelayanan perizinan termasuk perpanjangan izinnya dan pelayanan atas
pemakaian atau pengambilan air bawah tanah itu sendiri. Berbeda dengan
prinsip pajak, dalam pemungutan retribusi harus ada jasa pelayanan yang
disediakan dan dibayarkan kepada pembayar retribusi. Dengan demikian
dalam pelayanan jenis terakhir ini, yaitu pemakaian air bawah tanah
hakikatnya tidak tepat jika dipungut dalam bentuk retribusi karena tidak
ada pelayanan atau jasa yang diberikan ataupun disediakan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat.
Setelah diundangkannya Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang
Pajak dan retribusi Daerah haruslah pemakaian air bawah tanah dan air
permukaan diatur dalam undang-undang. Pemungutan pajak ini dalam
pelaksanaannya menjadi wewenang Pemerintah Daerah Tingkat I dalam hal
ini masih digabungkan antara air permukaan dengan air bawah tanah. Dalam
perkembangannya Undang-undang No.34 Tahun 2000 diganti dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dimana penggantian ini
mengakibatkan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah yang
semula wewenang pemungutannnya berada di Pemerintah Daerah Tingkat II
dengan digabungkan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air
permukaan, dikembalikan kepada Pemerintah Propinsi (Pemerintah Daerah
Tingkat I).
Pemungutan Pajak Pengambilan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan di Probolinggo diatur dalam Perda No. 5 Tahun 2002 tentang
Pengelolaan Air Bawah Tanah yang kemudian diganti dengan
diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo Nomor 2 Tahun
2011 tentang Pajak Daerah. Perda ini mengatur aspek penyelenggaraan
perpajakan yang termasuk mengenai pajak air tanah yang melingkupi
perizinan dan pengendalian di bawah Dinas Pertambangan untuk air bawah
tanah di wilayah pemerintahan daerah Kota Probolinggo. Sedangkan aspek
administrasi pajaknya dibawah wewenang Dinas Pendapatan Daerah.
Pengaturan kembali Pajak Pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah
ini selain dimaksudkan meningkatkan pendapatan daerah dari sektor
penyelenggaraan, juga dimaksudkan untuk kepentingan fungsi regulerend
berupa pengendalian lingkungan dalam rangka mempertahankan ekosistem
serta pembiayaan kompensasi pemulihan kerusakan lingkungan dan
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
2. Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Dalam Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 2 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah telah dijelaskan bahwasanya atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah yang dilakukan akan dikenakan pajak yang dinamakan
Pajak Air Tanah. Namun dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah
tangga, rumah ibadah, badan sosial, pengairan pertanian dan perikanan rakyat.
Pengaturan mengenai pengenaan tarif dan cara penghitungan pajak air
tanah di Kota Probolinggo, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Perda No.2
Tahun 2011 antara lain adalah :
a. Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah,
dengan menggunakan Official Assesment;
b. Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan
sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
1) jenis sumber air;
2) lokasi sumber air;
3) tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
4) volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
5) kualitas air; dan
6) tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
dan/atau pemanfaatan air.
c. Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Pasal 60 Perda Kota Probolinggo No.2 Tahun 2011 Besaran pokok
Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
segi pengaturan perundang-undangan yang digunakan untuk mengatur
mengenai pelaksanaan pemungutan pajak daerah di Kota Probolinggo telah
secara jelas memberikan arahan bagi aparatur yang berwenang dalam
pemungutan untuk melakukan pemungutan pajak kepada tiap-tiap subjek
pajak dengan menggunakan dasar hukum yang jelas.
3. Pengaturan Masa dan Saat Terutangnya Pajak
Pasal 62 Perda Kota Probolinggo No.2 Tahun 2011 tentang Pajak
Daerah telah memberikan dasar mengenai pengaturan masa dan saat
terutangnya pajak air bawah tanah, yaitu :
a. Masa Pajak Air Tanah adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu)
bulan kalender;
b. Pajak Air Tanah yang terutang terjadi pada saat pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah atau sejak diterbitkan SKPD.
B. Pelaksanaan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah di Kota Probolinggo.
1. Dinas Pendapatan Daerah Kota Probolinggo sebagai Instansi
Pengumpul
Dinas Pendapatan Daerah merupakan unsur pelaksana Pemerintah
Daerah dibidang pendapatan daerah.Dinas Pendapatan Daerah mempunyai
tugas menyelenggarakan pemungutan pendapatan daerah dan mengadakan
koordinasi dengan instansi lain dalam perencanaan, pelaksanaan serta
pengendalian pemungutan pendapatan daerah. Hal tersebut menegaskan,
bahwa instansi yang berwenang melakukan pemungutan pendapatan daerah di
Kota Probolinggo adalah Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA) Kota
Probolinggo. Dipenda mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Perumusan kebijakan teknis dibidang pendapatan daerah.
b. Penyusunan rencana dan program kegiatan dibidang pendapatan
daerah.
c. Penelitian, pengkajian evaluasi, penggalian dan pengembangan
pendapatan daerah.
d. Pembinaan pelaksanaan kebijakan pelayanan dibidang pemungutan
pendapatan daerah.
e. Penyelenggaraan pelayanan dan pemungutan pendapatan daerah.
f. Pengkoordinasian pelaksanaan pemungutan dana perimbangan.
g. Pemberian izin tertentu dibidang pendapatan daerah.
h. Evaluasi, pemantauan dan pengendalian pungutan pendapatan daerah.
i. Pengelolaan dukungan teknis dan administratif.
j. Pembinaan teknis pelaksanaan kegiatan Suku Dinas dan Unit
Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor.
Terakhir, disetiap kecamatan dibentuk Seksi Dinas Pendapatan Daerah
yang juga bertugas melaksanakan pemungutan pajak daerah khususnya pajak
hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak reklame sesuai dengan batas
kewenangan yang sudah ditentukan.Terhadap pelaksanaan pemungutan Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah, untuk sementara ini Seksi
Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan bertugas sebatas melakukan pencatatan
terhadap pemakaian air bawah tanah setiap bulan di wilayah kecamatan
masing-masing.
2. Pelaksanaan Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah
Dipenda Kota Probolinggo, dalam melakukan kegiatan-kegiatan
pengelolaan pemungutan pajak daerah, melibatkan semua bagian/unit
organisasi yang ada didalamnya.Untuk hal-hal yang bersifat perencanaan
dan pengembangan, pengendalian, evaluasi dan penagihan aktif serta hal-
hal lain yang bersifat kebijakan yang berkaitan dengan pendapatan daerah,
dilaksanakan pada tingkat Balai Dinas.Sedangkan untuk hal-hal yang
bersifat langsung pelaksanaan pemungutan, dikerjakan oleh Sudipenda
dibantu Seksi Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan (DPDK) sesuai
dengan batas kewenangannya.
Pelaksanaan pemungutan masing-masing pajak daerah tersebut
(termasuk Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah), tidak
khusus proses pemungutannya berada pada satu unit/bagian organisasi.
Hal ini disebabakan tugas masing-masing unit tersebut tidak berdasarkan
masing-masing objek pajak, namun berdasarkan fungsi seperti pendapatan/
pendaftaran, penetapan, pemeriksaaan dan penagihan.
Berikut di bawah ini seksi-seksi pada Sudipenda Kotamadya yang
terlibat dalam proses pelaksanaan pemungutan pajak daerah khususnya
pajak hiburan, pajak restoran, pajak hotel, pajak reklame dan termasuk
juga Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah.
a. Sub bagian Tata Usaha
Antara lain bertugas melaksanakan urusan kepegawaian,
melaksanakan urusan keuangan, dan melaksanakan urusan
perlengkapan dan lain-lain. Memang, sub bagian ini tidak terlibat
langsung dalam pelaksanaan pemungutan, karena tugasnya adalah
sebagai penunjang keberhasilan pemungutan yang dilakukan oleh
seksi-seksi lain yang terlibat langsung dalam proses pemungutan.
b. Seksi Penatausahaan dan Pelaporan Pendapatan Daerah
Bertugas antara lain membuat buku induk daftar subjek dan objek
pajak, Menerbitkan dan mendistribusikan surat ketetapan pajak
daerah dan Memproses penerbitan, pencabutan dan penghapusan
NPWPD.
c. Seksi Penetapan
Mempunyai tugas antara lain membuat risalah perhitungan pajak
terhutang, Membuat nota perhitungan, dan Melegalisasi tanda
masuk/ karcis pajak hiburan dan bon/ bill penjualan.
d. Seksi Penagihan dan Keberatan
Bertugas antara lain ;melaksanakan penagihan piutang,
pembayaran dan tunggakan, melakukan pencocokan/verifikasi
pembayaran pajak dan Melakukan penagihan pasif.
e. Seksi Pemeriksaan,
Bertugas antara lain melakukan pemeriksaan, Melakukan
pendataan dan pemeriksaan subjek dan objek pajak daerah.
f. Seksi DPDK,
Mempunyai tugas antara lain melakukan pendataan, penetapan dan
pemeriksaan terhadap pajak daerah, khususnya pajak hiburan,
pajak hotel, pajak restoran dan pajak reklame. Melakukan
penagihan pasif, dan Mencatat pemakaian air bawah tanah setiap
bulan.
Khusus pelaksanakan pemungutan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah, karena masih merupakan pajak daerah
yang fungsi regulernya cukup kental/dominan, maka dalam pelaksanaan
pemungutannya Dipenda Kota Probolinggo melakukan koordinasi dengan
:
a. Dinas Pertambangan Kota Probolinggo, dalam aspek data
pelanggan (wajib pajak), aspek pengendalian air bawah tanah dan
perizinannya;
b. Kantor Pengelola Tekhnologi Informasi (KPTI) untuk penerbitan/
pencetakan SKPD Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah;
c. Bank Jatim atau tempat lain yang ditunjuk, dalam hal ini pelayanan
pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah di Kota Probolinggo mulai tanggal 1 sampai dengan tanggal
15 setiap bulan;
d. Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah (KPKD) dalam melayani
pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah mulai dari tanggal 16 setiap bulan.
Proses pelaksanaan pemungutan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah untuk sementara ini, masih sedikit berbeda
dengan pemungutan pajak daerah lainnya seperti pajak hotel, pajak
restoran, pajak hiburan, dan pajak reklame. Hal ini disebabkan sebagai
pajak baru. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah masih
memerlukan campur tangan Balai Dinas terutama dalam hal melakukan
koordinasi dengan Dinas Pertambangan Kota Probolinggo dan KPTI.
3. Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah
Berikut ini diuraikan mekanisme pemungutan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah diawali dari pencatatan pemakaian air bawah
tanah, SKPD sampai dengan pembayaran/ penyetoran Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah terhutang.
a. Kegiatan Pencatatan Meter Air
Adapun tahapan kegiatan pencatatan meter air yang dilakukan oleh
Dinas Pertambangan yaitu meliputi :
1) Dinas Pertambangan menyampaikan data kepelanggan (SIPA,
Mutasi, dan lain-lain) pengambilan / pemanfaatan air bawah tanah
kepada Dinas Pendapatan Daerah.
2) Data kepelangganan tersebut dibukukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah dan digunakan sebagi dasar dalam pencatatan meter air.
3) Dinas Pendapatan Daerah atau pihak ketiga yang ditunjuk sesuai
dengan ketentuan peraturan tang berlaku melakukan pencatatan
meter air antara tanggal 1 sampai 15 setiap bulannya dan dibuatkan
daftar rekapitulasi paling lambat tanggal 17 tiap bulannya.
4) Dalam masa transisi pengalihan pelaksanaan pencataatan meter air
dari Dinas Pertambangan ke pihak ketiga, pencataatan meter air
sementara dilaksanakan oeh Dinas Pertambangan bersama-sama
dengan Dinas Pendapatan Daerah / DPDK.
5) Hasil pencatatan meter air dibuatkan laporan dalam rangkap 2 yang
digunakan rangkap 1 sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) oleh
Dinas Pendapatan Daerah dan rangkap 2 disampaikan kepada
Dinas Pertambangan untuk pengendalian pemakaaian air.
6) Dinas Pendapatan Daerah menyampaikan daftar rekapitulasi hasil
pencatatan air sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ke Kantor
Pengelola Teknologi Informasi (KPTI) paling lambat tanggal 18
setiap bulannya, dengan Berita Acara.
b. Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Adapun
tahapan Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
yaitu meliputi :
1) Kantor Pengelola Teknologi Informasi (KPTI) menerima datar
rekapitulasi hasil pencatatan meter dari Dinas Pendapatan Daerah,
dan berdasarkan daftar tersebut membuat/ mencetak SKPD
rangkap 4, terdiri dari lembar ke 1 untuk wajib pajak, lembar ke 2
untuk Dinas Pendapatan Daerah, lembar ke 3 untuk Kantor
Perbendaharaan dan Kas Daerah (KPKD), lembar ke 4 untuk Bank
Jatim atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan
Gubernur.
2) Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dalam rangkap 4 beserta
daftar rekapitulasinya dari Kantor Pengelola Teknologi Informasi
(KPTI) disampaikan kepada Dinas Pendapatan Daerah paling
lambat tanggal 25 setiap bulannya, dengan Berita Acara.
3) Perhitungan pajak dalam Surat ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
berdasarkan daftar rekapitulasi hasil pencatatan meter air harus
sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku.
c. Kegiatan Pencocokan/Meneliti Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
Adapun tahapan kegiatan pencocokan/ meneliti Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD) yaitu meliputi :
1) Dinas Pendapatan Daerah setelah menerima Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD) dari kantor Pengelola Teknologi Informasi (KPTI),
dan melakukan penelitian dan pencocokan Surat Ketetapan Pajak
Daerah (SKPD) dengan daftar rekapitulasi.
2) Dalam hal terdapat ketidakcocokan berdasarkan penelitian yang
dilakukanoleh Dinas Pendapatan Daerah, maka Surat Ketetapan
Pajak Daerah (SKPD) dikembalikan kepada Kantor pengelola
Teknologi Informasi untuk dilakukan perbaikan.
3) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang telah sesuai dengan daftar
rekapitulasi diproses pengesahannya sebagai Surat Ketetapan Pajak
Daerah.
d. Perbaikan Penerbitan SKPD adapun tahapan kegiatan perbaikan
penerbitan SKPD yaitu meliputi :
1) Kantor Pengelola Teknologi Informasi (KPTI) menerima koreksi
SKPD dan daftar rekapitulasinya dari Dinas Pendapatan Daerah,
paling lambat tanggal 28 setiap bulannya.
2) Berdasarkan data koreksi tersebut, Kantor Pengelola teknologi
informasi (KPTI) membuat/ mencetak kembali SKPD yang telah
dikoreksi dan disampaikan kembali kepada Dinas Pendapatan
Daerah paling lambat tanggal 29 setiap bulannya beserta daftar
rekapitulasinya dan Berita Acara.
e. Penyampaian Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Adapun tahapan
kegiatan penyampaian Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yaitu
meliputi :
1) Dinas Pendapatan Daerah menerima Surat Ketetapan Pajak
Daerah(SKPD) rangkap 4 beserta daftar rekapitulasinya dari kantor
Pengelola Teknologi Informasi (KPTI) termasuk Surat Ketetapan
Pajak Daerah (SKPD) yang telah dikoreksi paling lambat tanggal
29 setiap bulannya.
2) Dinas Pendapatan Daerah menyampaikan SKPD rangkap 4 dan
rekapitulasi SKPD kepada Bank Jatim atau tempat lain yang
ditunjuk berdasarkan keputusan Gubernur paling lambat akhir
bulan yang bersangkutan.
f. Pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
(PPABT)
Adapun tahapan kegiatan pembayaran Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah (PPABT) yaitu meliputi :
1) Bank Jatim atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan
Gubernur, menerima SKPD rangkap 4 dan daftar rekapitulasinya
dari Dinas Pendapatan Daerah.
2) Setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setiap bulannya Bank
Jatim atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan keputusan
Gubernur melayani dan menerima pembayaran pajak.
3) Bank Jatim atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan
Gubernur memberikan tanda lunas/ validasi atau pembayaran pajak
tersebut, dan untuk selanjutnya seluruh pembayaran pajak PPABT
dimasukan kedalam rekening Kantor Perbendaharaan dan Kas
Daerah (KPKD).
4) Terhadap SKPD yang telah dilunasi pembayaran pajaknya, Bank
DKI atau tempat lain yang ditunjuk berdasarkan Keputusan
Gubernur menyampaikan lembar ke 1 untuk wajb pajak. Lembar
ke 2 untuk Dinas Pendapatan Daerah, lembar ke 3 untuk Kantor
Perbendaharaan dan Kas Daerah, dan lembar ke 4 untuk arsip Bank
Jatim.
5) Setiap tanggal 16, Bank Jatim atau tempat lain yang ditunjuk
berdasarkan Keputusan gubernur mengembalikan SKPD rangkap 4
yang tidak/ belum dibayar dan membuat laporan beserta daftar
rekapitulasinya kepada Dinas Pendapatan Daerah.
6) Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah (KPKD) melayani dan
menerima pembayaran pajak PPABT sejak tanggal 16 berdasarkan
SKPD dan atau Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) yang
diterbitkan.
7) Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah (KPKD) memberikan
tanda lunas/validasi atas pembayaran pajak tersebut dan
menyampaikan laporan penerimaan dengan tembusan kepada
Dinas Pendapatan Daerah.
g. Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)
Adapun tahapan kegiatan Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah
(STPD) yaitu meliputi :
1) Dinas Pendapatan Daerah menerima SKPD rangkap 4 yang tidak/
belum dibayar dari Bank Jatim atau tempat lain yang ditunjuk
berdasarkan Keputusan Gubernur, tanggal 16 setiap bulannya.
2) Berdasarkan SKPD tersebut, Dinas Pendapatan Daerah melakukan
penagihan pajak dengan menerbitkan STPD rangkap 4, lembar ke 1
untuk Wajib Pajak, dan lembar ke 2 untuk Unit Penagihan Aktif
pendapatan Daerah, lembar ke 3 untuk Kantor Perbendaharaan dan
Kas Daerah, dan lembar ke 4 untuk arsip Dinas Pendapatan
Daerah.
3) Wajib Pajak yang tidak/ belum melunasi pajak sampai dengan
tanggal 15 setiap bulannya, maka mulai tanggal 16 dapat
mengambil sendiri SKPD dan STPD pada Dinas Pendapatan
Daerah untuk dibayar pada Kantor Perbendaharaan dan Kas
Daerah.
4) Dinas Pendapatan Daerah menginformasikan daftar wajib pajak
yang tidak/belum melunasi pajak PPABT kepada Dinas
Pertambangan sebagai bahan untuk pengendalian pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah.
4. Komponen Perhitungan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah
a. Nilai Perolehan Air (NPA)
Nilai Perolehan Air adalah nilai air bawah tanah yang telah diambil
dan dikenai Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah, yang
besarannya sama dengan volume air yang diambil dikalikan dengan harga
dasar air. Besarnya Nilai Perolehan Air ditentukan oleh sebagian atau
seluruh faktor sebagai berikut :
1) Jenis sumber air
2) Lokasi sumber air
3) Kualitas sumber air
4) Volume air yang diambil
5) Luas areal tempat pemakaian air
6) Musim pengambilan air
7) Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
air dan/ atau pemanfaatan air.
8) Tujuan pengambilan air.
b. Volume Air
Volume air adalah jumlah air yang diambil yang dihitung dalam
satuan meter kubik (m³). Volume air dibedakan secara progresif yaitu :
1) 0 m³ sampai dengan 50 m³
2) 51 m³ sampai dengan 500 m³
3) 501 m³ sampai dengan 1000 m³
4) 10001 m³ sampai dengan 2500 m³
5) > 2.500 m³
c. Harga Dasar Air (HDA)
Harga Dasar Air adalah harga air bawah tanah per satuan volume
yang akan dikenai Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah,
besarnya sama dengan harga air baku dikalikan dengan faktor nilai air.
Harga Dasar Air dihitung dalam satuan rupiah per m3 air yang diambil.
Harga Dasar Air memuat unsur prosentase sumber daya alam air bawah
tanah dan biaya pemulihan kerusakan lingkungan sebagai berikut :
Tabel 3.1
Pembobotan Harga Dasar Air
No. UNSUR BOBOT
1. Sumber Daya Alam 60%
2. Biaya Pemulihan (Kompensasi) 40%
Sumber: DIPENDA Propinsi DKI Jakarta
Dari tabeldiatas terlihat bahwa dalam perhitungan harga dasar air
terdapat dua komponen yaitu sumber daya alam dan biaya pemulihan
(kompensasi).Dalam kedua komponen tersebut memilki nilai bobot
sebagai dasar perhitungannya. Komponen unsur sumber daya alam memiki
bobot sebesar 60 % dan komponen unsur biaya pemulihan (kompensasi )
memiliki bobot sebesar 40%. Mengenai besaran pembobotan Harga Dasar
air ini dan juga besaran-besaranan pembobotan yang lainnya terdapat
kutipan pernyataan yang disampaikan oleh salah seorang informan dari
Aparat Sub Dinas Perencanaan dan Pengembangan Dinas Pendapatan
Kota Probolinggo bahwasanya pembobotan yang terjadi didasarkan
mengacu pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1451 K/ 10/MEM/ 2000
yang memuathitungan-hitungan bobot, yang mengandung bobot air,
artinya kalau diambil terus akan merusak lingkungan.
d. Faktor Nilai Air
Faktor Nilai Air adalah suatu bobot dari komponen sumber daya
alam dan kompensasi pemulihan, peruntukan dan pengelolaan, yang
besarnya ditentukan berdasarkan subyek kelompok pengguna air serta
volume pengambilannya. Faktor Nilai Air meliputi 3 komponen yaitu :
1) Komponen Sumber Daya Alam
2) Komponen Kompensasi Pemulihan
3) Komponen Peruntukan dan Pengelolaan
e. Harga Air Baku
Harga Air Baku adalah harga rata-rata air bawah tanah persatuan
volume yang besarnya sama dengan nilai eksploitasi atau investasi untuk
mendapatkan air bawah tanah dibagi volume air yang di hasilkan dan
diproduksi.
C. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Pemungutan Pajak Air Bawah
Tanah di KotaProbolinggo.
Pentingnya pajak sebagai fondasi kekuatan ekonomi dan kinerja sistem
pemerintahan negara bahwa di beberapa negera berkembang pajak menempati
posisi terpenting sebagai stabilisator kekuatan ekonomi dan kinerja sistem
pemerintahan negara. Pajak menempati posisi terpenting di sebagian besar negara
berkembang karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa
pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.Penggunaan
uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan
berbagai proyek pembangunan.Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan
dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat.Setiap
warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati
fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang
yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak
bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda
pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Untuk mengumpulkan uang dari sektor pajak tersebut tentu bukan suatu
pekerjaan yang mudah, sehingga diperlukan suatu kesadaran yang tinggi baik oleh
masyarakat wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan
didukung oleh aparatur perpajakan yang tangguh serta sistem administrasi
perpajakan yang memadai disamping juga adanya piranti hukum yang
memberikan rasa keadilan serta kepastian hukum.
Kewajiban untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu atau
membayar pajak kepada negara merupakan suatu kewajiban bagi warga negara,
mengingat negara mempunyai kekuatan untuk memaksa warga negara agar
membayar pajak atas dasar Undang-Undang sehingga menjamin adanya kepastian
hukum dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan. Problematika yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini ialah
kurangnya kesadaran warga negara akan kewajiban pembayaran pajak, bahkan
bagi sebagian orang, pemungutan pajak dirasa sebagai suatu pemaksaan bagi
warga negara. Memang ketika membayar pajak, wajib pajak tidak mendapatkan
jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara
langsung, namun perlu kita ketahui bahwa kewajiban untuk membayar pajak
tersebut diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan, yang
artinya bahwa pemungutan pajak tersebut tidak lain diperuntukkan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat termasuk wajib pajak tersebut.
Dalam pemungutan pajak harus dilakukan sesuai dengan syarat-syarat
pemungutan pajak yang telah ditetapkan, mengingat membebankan pajak kepada
masyarakat bukanlah suatu hal yang mudah. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan
enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak
akan berjalan karena dana yang kurang. Pemungutan pajak harus dilaksanakan
secara adil yang berarti bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan
mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap
warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak, serta adanya sanksi atas
pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran.Selain syarat keadilan dalam pemungutan pajak, Pemungutan pajak
harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian,
pemungutan pajak harus efisien dan sistem pemungutan pajak harus dilakukan
dengan sederhana.Jika pemungutan pajak dilakukan tanpa mengabaikan syarat-
syarat pemungutan tersebut di atas maka dapat terjadi kemungkinan adanya
berbagai hambatan dalam pemungutan pajak di Indonesia.
Pemungutan pajak di Indonesia dilakukan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pajak yang kewenangan pemungutannya berada di tangan
pemerintah pusat dinamakan pajak negara, sedangkan pajak yang kewenangan
pemungutannya berada di tangan pemerintah daerah disebut dengan pajak daerah.
Secara umum perpajakan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak pusat dan
pajak daerah.Pajak pusat adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat (Dirjen
Pajak) dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai APBN. Contohnya pajak
penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang
mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea materai. Sedangkan
pajak daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin
serta pembangunan daerah (APBD).
Setiap pemungutan pajak harus meliputi seluruh wajib pajak. Tidak
seorang atau sebuah badan yang lolos dari pengenaan pajak. Pengenaan pajaknya
tidak boleh diskriminasi, harus sama dan diterapkan peraturan pajak yang sama,
sebagaimana dimaksud dalam teori keadilan secara horisontal.42
Dalam
pemungutan pajak diperlukan mekanisme yang tepat baik dari aparat yang
melakukan pengawasan pemungutan pajak maupun kendala- kendala yang
dihadapi dalam mekanisme pengawasan pemungutan pajak, masih banyak kendala
yang dihadapi para aparat pengawas pemungutan pajak dalam usaha intensifikasi
pemungutan pajak menjadi suatu hal yang melemahkan pemungutan pajak baik
pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah.
Pajak daerah di Indonesia dapat di golongkan berdasarkan tingkatan
Pemerintah Daerah, yaitu pajak daerah tingkat Provinsi dan pajak daerah tingkat
Kabupaten/Kota. Penggolongan pajak seperti tersebut di atas diatur dalam
Undang-undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dalam Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-undang Republik
Indonesia tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2 ayat 1 dan 2) serta
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan
Pemerintah tersebut mengatur tentang obyek, subyek, dasar pengenaan pajak dan
ketentuan tarif dari pajak daerah yang berlaku, baik sebelum maupun sesudah
berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Selanjutnya Pajak Daerah
saat ini yang hak kewenangan pemungutnya dapat diklasifikasikan menurut
wilayah pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :
1. Jenis Pajak Propinsi terdiri dari:
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air
permukaan.
2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:
Menurut Undang-undang No.34 tahun 2000, tentang pajak daerah dan
retribusi daerah, menyebutkan jenis-jenis pajak kabupaten terdiri dari :
a. Pajak Hotel.
42
B.Boediono, 2000, Perpajakan di Indonesia, Diadit Media, Jakarta, hal. 46
Pajak hotel merupakan pajak yang dipungut atas pelayanan hotel.
Obyek pajaknya adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan
pembayaran hotel. Seperti fasilitas penginapan atau tempat tinggal
dalam waktu sementara atau jangka pendek. Subyek pajak dari pajak
hotel adalah orang pribadi atau badan usaha yang melaksanakan
pembayaran atas pelayanan hotel. Sedang wajib pajaknya adalah
pengusaha hotel.
b. Pajak Restoran.
Pajak restoran merupakan pajak yang dipungut atas pelayanan yang
disediakan restoran, seperti makanan dan minuman. Subyek pajaknya
adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan pembayaran atas
pelayanan restoran.Sedangkan wajib pajaknya adalah pengusaha
restoran.
c. Pajak Hiburan.
Pajak hiburan merupakan pajak yang dipungut dari semua jenis
pertunjukan permainan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk
apapun yang ditonton, dinikmati oleh setiap orang. Obyek pajaknya
adalah penyelenggaraan hiburan, subyek pajaknya adalah orang
pribadi atau badan yang mendengar, menonton dan atau menikmati
hiburan.Sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan
yang menyelenggarakan hiburan.
d. Pajak Reklame.
Pajak reklame merupakan pajak yang dipungut atas penyelenggaraan
reklame. Obyek pajaknya adalah penyelenggaraan reklame, subyek
pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang
menyelenggarakan reklame atau memesan reklame. Sedangkan wajib
pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang
menyelenggarakan reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan.
Pajak penerangan jalan merupakan pajak yang dipungut atas
penyelenggaraan penerangan jalan, yakni setiap penggunaan tenaga
listrik. Obyek pajaknya adalah setiap pengguanaan tenaga listrik,
subyeknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang menggunakan
tenaga listrik. Sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau
badan hukum yang menjadi pelanggan tenaga listrik.
f. Pajak Pengambilan bahan Galian Golongan C.
Pajak pengambilan bahan galian golongan C merupakan pajak yang
dipungut atas kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C. Obyek
pajaknya adalah kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C,
misalnya asbes, batu, granit, garam batu dll. Subyek pajaknya adalah
orang pribadi atau badan hukum yang mengeksploitasi atau mengambil
bahan galian golongan C. Wajib pajaknya adalah orang pribadi atau
badan hukum yang menyelenggarakan eksploitasi.
g. Pajak Parkir.
Pajak parkir merupakan pungutan atas tempat atau lahan yang
digunakan parkir untuk kendaraan baik roda dua (2) atau roda empat
(4). Obyek pajaknya adalah tempat penyelenggaraan parkir, wajib
pajaknya adalah orang pribadi yang mendapatkan fasilitas parkir
Di samping yang telah disebutkan di atas, masih dimungkinkan adanya
pajak kabupaten/kota yang lain asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
oleh Undang-Undang seperti misalnya sifatnya pajak dan bukan restribusi, objek
pajaknya bukan menjadi objek pajak propinsi, dan sebagainya
1. Hal-Hal Yang Melemahkan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pasal 7 ayat (1)
pemungutan pajak daerah dilakukan dengan penetapan Kepala Daerah atau
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Disini terlihat, bahwa ada 2 (dua) pilihan
dalam pemungutan pajak, yaitu :
a. Dilakukan dengan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan
Surat Ketetapan Pajak Daerah
b. Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan.
Dokumen lain yang digunakan dalam pemungutan pajak daerah
tersebut adalah Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding.
Pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan pemungutan, mengenai tata
cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang
dipersamakan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembentulan,
dan Surat Keputusan Keberatan diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
Demikian pula mengenai tata cara pengisian dan penyampaian Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah, penerbitan Surat dalam pemungutan pajak
daerah dapat digunakan pemungutan berdasarkan penetapan Kepala Daerah
(Bupati) atau Wajib Pajak membayar sendiri.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 mengatur berbeda
mengenai pemungutan pajak daerah sebagaimana yang telah diatur oleh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, dimana dalam pemungutan pajak
daerah dengan penetapan Kepala Daerah maupun Wajib Pajak membayar
sendiri, keduanya menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah sebagai
dokumen dalam pendaftaran Wajib Pajak.
Salah satu tugas negara adalah penagihan uang pajak dan
pengelolaan dana tersebut untuk kepentingan pembiayaan tugas-tugas
negara, sehingga negara bisa memaksa setiap warganya untuk
mentunaikan pembayaran pajak yang diatur dengan Undang-Undang,
namun bagi petugas pajak daerah tidak semudah apa yang diamanahkan
dalam undang-undang, seringkali petugas pajak daerah menjumpai kendala-
kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak daerah, hal-hal yang
melemahkan pemungutan pajak daerah tersebut antara lain :
a. Realisasi pengawasan peraturan daerah tentang pajak daerah relatif
lemah.
Ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2000 mengamanatkan bahwa
peraturan daerah tentang pajak dan restribusi yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat, yaitu ke
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 (lima belas)
hari sejak ditetapkan. Berdasarkan pemantauan, tidak semua provinsi dan
kabupaten/kota menyampaikan peraturan daerah ke pemerintah pusat,
masih banyak provinsi dan kabupaten/kota yang tidak memperhatikan
amanat dalam ketentuan Undang-Undang tersebut.
Sebagai contohnya, selama kurun waktu Agustus 2001 sampai
dengan Januari 2003 terdapat 9 provinsi dan 83 kabupaten/kota yang telah
menyampaikan peraturan daerah dengan jumlah peraturan daerah masing-
masing adalah 27 peraturan daerah provinsi dan 861 peraturan daerah
kabupaten/kota. Provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mengirimkan
peraturan daerahnya adalah 21 dari 30 jumlah provinsi dan 287 dari 370
jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia atau dengan presentase masing-
masing asalah 70% dan 77,6%. Data tersebut memperlihatkan bahwa
kesadaran daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/kota untuk memenuhi
amanat undang-undang berkaitan dengan kewajiban mengirim atau
menyampaikan peraturan daerahnya kepada Menteri Keuangan masih
relatif rendah.43
Kurangnya kesadaran Provinsi maupun Kabupaten/kota dalam
memenuhi amanat undang-undang tersebut pastinya melemahkan
pemungutan pajak daerah, dengan tidak adanya penyampaian peraturan
daerah tersebut dapat terjadi kmungkinan terbitnya peraturan daerah yang
di kemudian hari ternyata bermasalah karena kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila peraturan
perundang-undangan yang dijadikan dasar atau acuan dalam pemungutan
pajak tidak sesuai dengan kepentingan umum, maka akan melemahkan
pemungutan pajak daerah.
43
Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, hlm.119-120
b. Sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dalam pengawasan
pemungutan pajak daerah.
Semua aktivitas pelaksanaan pemerintahan di daerah tetap
diperlukan adanya suatu sistem pengawasan dari pemerintah pusat namun
pengawasan hendaknya tidak lagi menyisakan celah bagi pemerintah pusat
untuk menerapkan sentralisasi kekuasaan yang nantinya dapat
menimbulkan konflik antarpusat dan daerah atau antar provinsi dan
kabupaten/kota, karena jika demikian makna otonomi daerah menjadi
kabur.
Pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang terlalu ketat dapat
melemahkan pemungutan pajak dikarenakan dengan adanya pengawasan
Pemerintah Pusat yang terlalu ketat dapat membatasi keleluasaan
pemerintah dan masyarakat daerah sehingga pemerintah daerah tidak
dapat mandiri dalam mengelola aspek kehidupannya sesuai dengan
aspirasi, rasa keadilam dan budaya masing-masing.
c. Kurang siapnya daerah dalam menangani sengketa pajak.
Daerah kabupaten dan kota telah diberikan wewenang untuk
menetapkan jenis pajak daerah dan restribusi daerah sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Permasalahan yang timbul dalam sengketa pajak pada umumnya ialah
bagaimana menentukan jenis pajak daerah yang tepat dikenakan (langsung
atau tidak langsung) , kepada siapa dan di tingkat pemerintahan mana
(kabupaten atau kota). Sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul
dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dan
pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan
atas pelaksanaan penagihan berdasar Undang-Undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa. Adanya sengketa pajak tersebut baik sengketa
regulasi, sengketa ketetapan pajak maupun sengketa pelaksanaan
penagihan pajak secara otomatis melemahkan pemungutan pajak.
d. Pemberian perizinan, rekomendasi dan pelaksanaan pelayanan
umum yang kurang atau tidak sesuai dengan ruang lingkup tugasnya;
e. Kurangnya pembinaan terhadap seluruh perangkat Dinas;
f. Kurangnya pengkoordinasian pendapatan terhadap unit kerja penghasil
pendapatan daerah.
g. Kurangnya kemampuan untuk mendengar, menanggapi dan mencari
solusi dari keluahan staf, baik yang bertugas sebagai pendata,
penganalisis data, perhitungan, penerbitan SKPD, ataupun
penagihan
h. Belum dapat diterapkannya sistem self assessment system dalam
pemungutan pajak daerah.
2. Kendala Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak
daerah, seringkali terdapat kendala-kendala yang melemahkan dalam
pemungutan pajak. Kendala-kendala tersebut antara lain:
a. Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak
konsisten dengan undang-undangnya.
Melaksanakan tax reform lebih pelik dan makan waktu
dibandingkan dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang,
apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan
aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan
mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak.
b. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional.
Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan
Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga
perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan
beban yang adil.Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan
pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak
nasional.Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus, terutama
mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak
daerah saling melengkapi.
c. Database yang masih jauh dari standar Internasional.
Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang
masih jauh dari standar internasional. Padahal database sangat menentukan
untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-
assessment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan
oleh pemerintah digunakan secara boros atau dikorup, juga menimbulkan
kendala untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Berbagai
pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah, yang
membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan
penerimaan pajak.
d. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan
membayar pajak bagi penyelenggara negara.
Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat yang
berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi,
jaksa, hakim dan sebagainya.Tidak kalah penting untuk disoroti
pelaksanaan hukum di lingkungan birokrasi, khususnya badan
pemerintahan di bidang perpajakan dalam melakukan pemeriksaan
terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum ada
gebrakannya.Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam
mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih.44
Penegakan hukum pajak dilakukan dalam bentuk penjatuhan sanksi
terhadap pelanggar hukum pajak untuk melindungi kepentingan Negara
44
Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, 2004, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditaman, Bandung, hlm.129-130
untuk memperoleh pembiayaan dari sector pajak mengingat hukum pajak
tidak melindungi kepentingan wajib pajak tetapi bahkan melindungi
sumber pendapatan Negara yang terokus pada pemenuhan kewajiban
wajib pajak untuk membayar lunas pajak yang terutang. Penegakan hukum
di bidang perpajakan dapat dikatakan masih lemah, hal ini dapat dilihat
dari banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak, maraknya
kejahatan korupsi di bidang perpajakan dan para penegak hukum yang
tidak becus dalam menegakkan hukum. Kasus korupsi Gayus merupakan
salah satu contoh lemahnya penegakan hukum di Indonesia, dengan
adanya kasus korupsi tersebut berdampak negatif bagi pemungutan pajak
di Indonesia, timbul anggapan bahwa membayar pajak nantinya tidak
sampai ke negara tetapi hanya akan dikorupsi oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab seperti Gayus.
Sampai saat ini belum terlihat bagaimana Ditjen Pajak menyikapi
secara terbuka mengenai kepatuhan membayar pajak (tax compliance)
para penyelenggara Negara (dalam hal dilakukaknnya pemeriksan oleh
KPKPN terhadap para penyelenggara Negara dikaitkan dengan kepatuhan
membayar pajak).Seharusnya Ditjen pajak dapat memanfaatkan
momentum itu dalam melakukan pemeriksaan berdasarkan kriteria
menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Seperti itu karena
tidak tertutup kemungkinan di samping ada indikasi ketidakwajaran dalam
LKPN yang diserahkan kepada KPKPN, juga tidak tertutup kemungkinan
Laporan SPT-nya juga bermasalahn, karena perlu diketahui daftar
kekayaan dalam LKPN seharusnya sama dengan laporan dalam Lampiran
SPT.45
Penegakan hukum pajak sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik
yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor-faktor itu
dapat berupa sebagai sarana pendorong atau sarana penghambat terhadap
bekerjanya system hukum sebagai suatu proses yang dikatakan oleh
Lawrence M. Friedman terdiri dari; 1)Substansihukum; 2)Struktur
45
Ibid,
hukum;dan 3)Budaya hukum. Hal ini juga dikemukakan oleh Soerjono
Soekento bahwa ada lima faktor yang dapat mempengaruhi penegakan
hukum. Kelima faktor tersebut adalah :46
1) Faktor hukumnya sendiri (dibatasi pada undang-undang saja);
2) Penegak hukum; yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hokum;
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; dan
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut dirasa belum mendukung sepenuhnya dalam
pemungutan pajak di Indonesia yang kemudian menjadi kendala dalam
pemungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah.
e. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat
Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk
memenuhi kewajiban kenegaraan.Kurangnya atau tidak adanya kesadaran
masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara
mengakibatkan timbulnya perlawanan atau terhadap pajak yang
merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan
berkurangnya penerimaan kas negara.
Perlawanan terhadap pajak tersebut terdiri dari perlawanan aktif
dan perlawanan pasif, yaitu :
1) Perlawanan Pasif.
Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri
tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak
itu.Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang
mempersukar pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan
46
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.114-115
struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektual dan moral
penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.47
a) Struktur ekonomi
Struktur ekonomi suatu Negara mempengaruhi pemungutan
pajak di negara tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan
pendapatan netto oleh wajib pajak sesuai dengan norma
perhitungannya.
b) Perkembangan moral dan intelektual penduduk
Perlawanan pasif yang timbul dari lemahnya sistem kontrol
yang dilakukan oleh fiscus ataupun karena objek pajak itu sendiri
sulit untuk dikontrol.
c) Cara hidup masyarakat di suatu Negara
Cara hidup masyarakat di suatu negara mempengaruhi
besar kecilnya penghasilan yang mereka peroleh dan besar
kecilnya penghasilan tersebut mempengaruhi besar kecilnya
penerimaan kas negara.
d) Teknik pemungutan pajak.
Cara perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan
pengisian formulir yang rumit menyebabkan adanya penghindaran
pajak, prosedur yang berbelit-belit yang menyulitkan pembayar
pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara petugas dan
pembayar pajak juga dapat mengakibatkan adanya penghindaran
pajak, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari
adanya perlawanan pasif terhadap pajak.
2) Perlawanan aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal
dari wajib pajak itu sendiri.Hal ini merupakan usaha dan perbuatan
yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk
47
R.Santoso Brotodiharjo. 1986, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, hlm. 13
menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya
dibayar. Ada tiga cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu:
a) Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam
kerangka peraturan perpajakan.Penghindaran pajak terjadi sebelum
SKP keluar.Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara
jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan
jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan pembuat undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan
dengan tiga cara, yaitu:
(1) Menahan Diri, yang dimaksud dengan menahan diri yaitu
wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai
pajak.
(2) Pindah Lokasi, yaitu memindahkan lokasi usaha atau
domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang
tarif pajaknya rendah.
(3) Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga
perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya
dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan
undang-undang.Hal inilah yang memberikan dasar potensial
penghindaran pajak secara yuridis.Celah undang-undang
merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.Suatu
undang-undang dirumuskan tidak jelas karena kesengajaan maupun
ketidaksengajaan pembuat Undang-Undang.Kesengajaan pembuat
undang-undang terjadi karena latar belakang pembuat undang-
undang tersebut adalah pemerintah dan parlemen, di mana
parlemen mewakili berbagai kepentingan yang berbeda dan bisa
saling bertolak belakang antara satu dan yang lainnya. Dua
kepentingan yang paling dominan di parlemen adalah anggota
parlemen yang mewakili kelompok buruh dan pemilik modal.
Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua pihak
tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi
masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut
kepentingan yang berbeda. Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap
perumuasn yang bisa diterima oleh semua pihak. Masing-masing
pihak bebas menafsirkan undang-undang tersebut sesuai dengan
kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, undang-undang
tersebut mengambang. Bisa saja wajib pajak menafsirkan sesuai
kepentingannya dan fiscus menafsirkan sesuai dengan kepentingan
negara.
b) Pengelakan Pajak (Tax Evasion)
Pengelakan pajak dilakukan dengan cara-cara yang
melanggar Undang-Undang. Pengelakan pajak terjadi sebelum
SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari
pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara
menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di
setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari
multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan
penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional
bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri,
pengacara yang bekerja sendiri, dll).
Secara umum tindakan yang dilakukan untuk mengelakkan
diri dari pajak adalah sebagai berikut:48
(1) Pergeseran, yaitu menggeserkan beban pajak kepada pihak
lain seperti yang berlaku dalam Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dengan sistem mekanisme kredit pajak.
(2) Kapitalisasi, yaitu pengurangan harga objek pajak sama
dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh
48
Hilarious Abut, 2005, Perpajakan, Diadit Media, Jakarta, hlm. 24-25
pembeli seperti yang berlaku dalam Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
(3) Transformasi, yaitu pengelakan pajak yang dilakukan oleh
perusahaan industri dengan cara menanggung beban pajak
yang dikenakan terhadapnya. Penghindaran ini lebih
dikenal dengan mekanisme transfer pricing (pemindahan
hak) dimana harga jual diturunkan sesuai dengan
kepentingannya sehingga pajak dikenakan terhadapnya.
Penghindaran ini lebih dikenal dengan mekanisme transfer
pricing (pemindahan hak) dimana harga jual diturunkan
sesuai dengan kepentingannya sehingga pajak yang dibayar
oleh pembeli menjadi lebih kecil
(4) Tax avoidance, yaitu penghindaran pajak dengan cara-cara
yang legal dan diperbolehkan menurut peraturan perpajakn
melalui celah-celah atau peluang dalam pelaksanaan
peraturan perpajakan sehingga pajak yang dibayar menjadi
kecil.
(5) Tax Evasion, yaitu penghindaran pajak dengan cara
menghilangkan data-data keuangan serta pengecilan omset ,
memperbesar biaya sehingga labanya menjadi kecil,.
Pengelakan seperti ini akan dikenakan dengan sanksi yang
berat.
c) Melalaikan Pajak
Melalaikan pajak dilakukan dengan cara menolak
membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi
formalitas yang harus terpenuhi. Melalaikan pajak terjadi setelah
SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak
yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-
formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara
menghalangi penyitaan.
Selain bentuk-bentuk perlawanan di atas, H. J. Hofstra, ahli
hukum pajak dari Belanda, menambahkan bahwa salah satu bentuk
perlawanan aktif pajak yaitu pelimpahan pajak. Hal ini biasa
dilakukan oleh wajib pajak dengan melimpahkan kewajiban pajak
langsungnya ke pihak lain atau pihak ke tiga. Hal ini adalah
pelanggaran undang-undang karena pajak langsung dikenakan
kepada wajib pajak untuk wajib pajak itu sendiri tidak boleh
dilimpahkan kepada orang lain. Karena wajib pajak itu sendiri
merupakan destinator.
Reaksi lain sebagai gejala perlawanan terhadap pajak yaitu
kompensasi pajak secara negatif. Kompensasi pajak secara negatif
yaitu melepaskan pekerjaan sampingan untuk menghindari tarif
pajak yang lebih tinggi.Kompensasi pajak secara positif bukan
merupakan perlawanan terhadap pajak.Hal ini bahkan
menguntungkan bagi kas negara.
Pajak Pemanfaatan dan Pengambilan Air Bawah Tanah di Kota
Probolinggo merupakan Pajak Daerah yang secara langsung dipungut oleh pihak
Pemerintah Daerah Kabupaten Probolinggo.Dalam pelaksanaan pemungutan
pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah di Kota Probolinggo, banyak
kendala-kendala yang secara garis besar telah di uraikan oleh penulis. Akan tetapi,
selain disebabkan oleh hal-hal yang tersebut di atas, hambatan dalam pemungutan
pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah di Kota Probolinggo juga
dapat disebabkan karena adanya ketidakjelasan undang-undang atau peraturan
yang mengatur. Celah undang-undang merupakan dasar potensial penghindaran
pajak secara yuridis. Suatu undang-undang dirumuskan tidak jelas karena:
1. Kesengajaan pembuat undang-undang
Hal ini terjadi karena latar belakang pembuat undang-undang
tersebut adalah pemerintah dan parlemen, di mana parlemen mewakili
berbagai kepentingan yang berbeda dan bisa saling bertolak belakang
antara satu dan yang lainnya. Dua kepentingan yang paling dominan di
parlemen adalah anggota parlemen yang mewakili kelompok buruh dan
pemilik modal. Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua
p;ihak tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi
masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut kepentingan
yang berbeda.Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap perumuasn yang
bisa diterima oleh semua pihak. Masing-masing pihak bebas menafsirkan
undang-undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing
pihak.Pada akhirnya, undang-undang tersebut mengambang. Bisa saja
wajib pajak menafsirkan sesuai kepentingannya dan fiscus menafsirkan
sesuai dengan kepentingan negara.
2. Ketidaksengajaan pembuat undang-undang
Contoh: Pada akhir tahun 1800an, undang-undang anti-trust atau
undang-undang anti monopoli di Amerika Serikat yang ditujukan untuk
pemilik modal yang berbunyi “Apabila ada yang menghambat atau
menghalangi perdagangan antar negara bgaian, bisa dijatuhi hukuman
berdasarkan undang-undang ini”.
Pada suatu kasus, serikat buruh pada perusahaan transportasi
melakukan pemogokan sehingga perdagangan antar negara bagian
terhambat. Pemimpin serikat buruh ini ditangkap dan dihukum
berdasarkan undang-undang anti monopoli karena dianggap menghambat
perdagangan antar negara bagian. Seharusnya undang-undang ini
ditujukan untuk pemilik modal, bukan untuk kaum buruh. Karena itu, pada
pemilu berikutnya kaum buruh memilih wakil-wakil mereka yang memang
dalam hidupnya membela kepentingan kaum buruh. Setelah pemilu,
mereka berhasil mendominasi kursi di parlemen. Sehingga, mereka
menambahkan undang-undang anti trust tersebut dengan kalimat “undang-
undang ini tidak ditujukan untuk kaum buruh”.
Akibat-akibat yang mungkin timbul dari adanya pengelakan atau
perlawanan terhadap pembebanan pajak yang sudah di tetapkan antara lain adalah
:
1. Dalam bidang keuangan
Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena
dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-
konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif
pajak, dan keadaan inflasi.
2. Dalam bidang ekonomi
Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di antara
para pengusaha. Maksudnya, pengusaha yang melakukan pengelakan
pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga,
perusahaan yang mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih
besar dibandingkan pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan
produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang
lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur.
Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan
ekonomi atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan
pengelakan pajak, mereka tidak akan meningkatkan produktifitas mereka.
Untuk memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan
pengelakan pajak.
Langkanya modal karena wajib pajak berusaha menyembunyikan
penghasilannya agar tidak diketahui fiscus.Sehingga mereka tidak berani
menawarkan uang hasil penggelapan pajak tersebut ke pasar modal.
3. Dalam bidang psikologi
Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama
saja membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Jika wajib
pajak menggelapkan pajak, maka wajib pajak mendapatkan keuntungan
bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar undang-undang
tidak diketahui oleh fiscus, maka dia akan senang karena tidak terkena
sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu
lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada
pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang yang
lainnya.
Reaksi lain sebagai gejala perlawanan terhadap pajak yaitu
kompensasi pajak secara negatif. Kompensasi pajak secara negatif yaitu:
melepaskan pekerjaan sampingan untuk menghindari tarif pajak yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, A adalah seorang akuntan yang bekerja full time di
sebuah perusahaan. Gaji per tahunnya Rp 40 juta. Menurut UU PPh, tarif
pajaknya 25%. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya
menjadi Rp 60 juta/tahun. Karena kenaikan ini, tarif pajaknya menjadi
35%.Karena terkena tarif pajak yang lebih tinggi, maka dia melepas
pekerjaan sampingan tersebut.Akan tetapi, Kompensasi pajak secara
positif bukan merupakan perlawanan terhadap pajak.Hal ini bahkan
menguntungkan bagi kas negara. Contoh ;B adalah seorang akuntan di
sebuah perusahaan dengan pendapatan Rp 40 juta/tahun. Setelah
mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60
juta/tahun. Namun, dia tetap mengambil pekerjaan itu walaupun tarif
pajaknya naik karena berpikir bahwa pendapatannya juga meningkat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setelah diundangkannya Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang
Pajak dan retribusi Daerah haruslah pemakaian air bawah tanah dan air
permukaan diatur dalam undang-undang. Pemungutan Pajak Pengambilan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Probolinggo diatur
dalam Perda No. 5 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah
yang kemudian diganti dengan diundangkannya Peraturan Daerah
Kabupaten Probolinggo Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
2. Pengaturan mengenai pengenaan tariff dan cara penghitungan pajak air
tanah di Kota Probolinggo diatur dalam Pasal 58 Perda No.2 Tahun 2011
antara lain adalah :
d. Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah,
dengan menggunakan Official Assesment;
e. Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan
sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
7) Jenis sumber air;
8) Lokasi sumber air;
9) Tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
10) volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
11) kualitas air; dan
12) tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan
dan/atau pemanfaatan air.
f. Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud padaayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
3. Dipenda Kota Probolinggo selaku unsur pelaksana Pemerintah Daerah
dibidang pendapatan daerah mempunyai fungsi sebagai berikut :
k. Perumusan kebijakan teknis dibidang pendapatan daerah.
l. Penyusunan rencana dan program kegiatan dibidang pendapatan
daerah.
m. Penelitian, pengkajian evaluasi, penggalian dan pengembangan
pendapatan daerah.
n. Pembinaan pelaksanaan kebijakan pelayanan dibidang pemungutan
pendapatan daerah.
o. Penyelenggaraan pelayanan dan pemungutan pendapatan daerah.
p. Pengkoordinasian pelaksanaan pemungutan dana perimbangan.
q. Pemberian izin tertentu dibidang pendapatan daerah.
r. Evaluasi, pemantauan dan pengendalian pungutan pendapatan daerah.
s. Pengelolaan dukungan teknis dan administratif.
t. Pembinaan teknis pelaksanaan kegiatan Suku Dinas dan Unit
Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor.
4. Mekanisme pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah di Kota Probolinggo adalah :
a. Kegiatan pencatatan meter air;
b. Kegiatan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
c. Kegiatan Pencocokan/Meneliti Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
d. Perbaikan Penerbitan SKPD
e. Penyampaian Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
f. Pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah
(PPABT)
g. Penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)
5. Hambatan-hambatan dalam pemungutan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah di Kota Probolinggo diantaranya adalah :
a. Realisasi pengawasan peraturan daerah tentang pajak daerah relative
lemah;
b. Sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dalam pengawasan
pemungutan pajak daerah;
c. Kurangsiapnya daerah dalam menangani sengketa pajak;
6. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pemungutan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah di Kota Probolinggo antara lain :
a. Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak
konsisten dengan undang-undangnya.
b. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional.
c. Database yang masih jauh dari standar Internasional.
d. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan
membayar pajak bag penyelenggara negara.
e. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat.
B. Saran
1. Agar pemerintahkota Probolinggo, dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah
dapat untuk lebih luas dalam mensosialisasikan mengenai pengenaan pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah di Kota Probolinggo,
sehingga dapat dimengerti dan di dapatkan kejelasan maksud atas
pengenaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah di Kota
Probolinggo, guna menghindari adanya perlawanan pengenaan pajak.
2. Agar pemerintah Kota Probolinggo senantiasa melakukan pengawasan
yang intens terhadap sarana dan prasarana yang digunakan dalam
pelaksanaan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah di Kota Probolinggo, sehingga tidak menjadi anggapan bagi
masyarakat bahwasanya pemerintah hanya mengambil pajak dengan tidak
memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat.
3. Agar Pemerintah Kota Probolinggo dalam merumuskan peraturan
perundang-undangan mengenai pemungutan pajak pengambilan dan
pemanfaatan air bawah tanah tidak membiarkan adanya celah di dalam
peraturan untuk terjadinya penyelewengan pajak yang mungkin dapat
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Lutfi, 2006, “Penyempurnaan Administrasi Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah : suatu upaya dalam optimalisasi penerimaan PAD”, (Volume
XIV, Nomor 1, Januari 2006) dalam Jurnal Administrasi dan Organisasi:
Bisnis & Birokrasi, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik.
Agustino Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Alfabeta, Bandung.
B.Boediono, 2000, Perpajakan di Indonesia, Diadit Media, Jakarta.
Dunn, William N. 1999, Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada
Press,Yogyakarta.
Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta.
Gerardo P Sicat dan H. W. Arndt, 1991, Ilmu Ekonomi untuk Konteks Indonesia,
diterjemahkan oleh Nirwono, LP3S, Jakarta.
H.B. Sutopo, 2002, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta.
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, 2005, Perpajakan Teori dan Aplikasi, PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Hilarious Abut, 2005, Perpajakan, Diadit Media, Jakarta.
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh tanggal 5 Februari 2012.
http://www.muniryusuf.com/?s=penerapan, diunduh tanggal 5 Februari 2012.
Husein Umar, 1999, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Penerbit
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Josef Riwu Kaho, 1985, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, Bina
Aksara, Jakarta.
Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
K.J. Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek-Praktek
Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, UI Press, Jakarta.
Lexy J.Maleong, 2002, Metodelogi penelitian kualitatif, Remaja Rosada Karya,
Bandung.
Maman Kh, 2002, Menggabungkan Metode Penelitian Kuantitatif dengan
Kualitatif, Makalah Pengantar Filsafat Sain, Program Pasca Sarjana/S3,
IPB.
Mardiasmo, 2002, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi , Yogyakarta.
Michael P. Devereux, Editor, 1996, The Economics of Tax Policy. New York:
Oxford University Press.
Miyasto, 1997, Sistim Perpajakan Nasional Dalam Era Globalisasi; Pidato
Pengukuhan Guru Besar Madya Dalam Ilmu Ekonomi. ,Semarang.
Mohammad Zain. 2005. Manajemen Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Pheni Cahalid, 2005, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi: Tantangan
dan Hambatan, Kemitraan, Jakarta.
R. Mansury, 1996, Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: IND-HILL Co.
R.Santoso Brotodiharjo. 1986, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung.
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung.
Roechmat Soemitro, 1988, Pajak dan Pembangunan, PT. Eresco. Bandung.
S.J. Djajadiningrat, 2003, Analisis Ekonomi Lingkungan dan Audit Lingkungan,
Makalah Kursus Pengantar Audit Lingkungan Angkatan V, PPSMI,
Jakarta.
Safri Nurmantu, 2003, Pengantar Perpajakan, Granit, Jakarta.
Siti Resmi, 2003, Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada
Ensiklopedi Indonesia, Jakarta.
Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, 2004, Hukum Pajak dan Permasalahannya,
Refika Aditaman, Bandung.
Tjetjep Rohendi Rohidi, 1992, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia
Press, Jakarta.
Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing,
Jakarta.
Vredenbregt J., 1987. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Gramedia,
Jakarta.
Wahyu Tumaka, Upaya Daerah Meningkatkan Pajak, Retribusi dan Dampaknya,
(Volume II/Nomor 03 Tahun 2005), dalam Majalah Indonesia Tax
Review.
Waluyo & Illyar Wirawan.B, 2003, Perpajakan Indonesia, Jakarta, Salemba
Empat, Jakarta.