paradoks kriminalisasi korupsi: suatu ancaman

26
PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN PENYELENGGARAAN PELA Y AN AN PUBLIK DALAM SEKTOR TELEKOMUNlKASI Edmon Makarim I Abstract The definition of telecommunications is a means to communicate so that the operation of telecommunications is truly a mission to answer the state of human rights of everyone to communicate and an informed proficiency level. If we look at re-definition of the paradigm of conventional telecommunications regulation in the law will at least look at two things, namely (i) aspects of the organization of communication activities that include how the transmission and delivery of information to the activities of receiving information, and (ii) aspects of the implementation activities sarananya.Sebagai form of public service in which the government does not invest directly in the provision of facilities and networks, the legal certainty of return on investment for entrepreneurs certainly should get legal protection Based on the Telecommunications Act. Can not be denied that the imposition of the criminalization of corruption against MCC Indosat 1M2 potentially damaging to the rule of law and businesses in the telecommunications industry, but it is also a direct violation of human rights which the telecommunications industry becomes threatened public services to accommodate human rights to be able to communicate and an informed. Keywords: telecommunications, public services, corruption Abstrak Patut dicatat bahwa sesuai definisinya telekomunikasi adalah saran a untuk berkomunikasi sehingga penyelenggaraan telekomunikasi sesungguhnya adalah misi negara untuk menjawab HAM setiap orang untuk berkomunikasi dan berinformasi tesebut. Jika kita mencermati kembali definisinya maka paradigma pengaturan dalam hukum telekomunikasi konvensional setidaknya akan melihat kepada dua hal, yakni (i) aspek aktivitas penyelenggaraan berkomunikasi yakni mencakup bagaimana pemancaran dan pengiriman informasi sampai dengan kegiatan penerimaan informasi, dan (iO aspek aktifitas penyelenggaraan sarananya. Sebagai bentuk pelayanan publik dimana pemerintah tidak melakukan investasi langsung dalam penyediaan sarana dan jaringannya, maka kepastian hukum untuk pengembalian investasi pelaku usaha tentunya harus mendapatkan perlindungan hukum berdasakan UU Telekomun ikasi. Tidak dapat ditampik bahwa pemaksaan kriminalisasi I Dosen Inti Penelitian Bidang Hukum Telematika FHUI. Alamat kontak: edmon_ [email protected].

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN PENYELENGGARAAN PELA Y AN AN PUBLIK DALAM SEKTOR

TELEKOMUNlKASI

Edmon Makarim I

Abstract

The definition of telecommunications is a means to communicate so that the operation of telecommunications is truly a mission to answer the state of human rights of everyone to communicate and an informed proficiency level. If we look at re-definition of the paradigm of conventional telecommunications regulation in the law will at least look at two things, namely (i) aspects of the organization of communication activities that include how the transmission and delivery of information to the activities of receiving information, and (ii) aspects of the implementation activities sarananya.Sebagai form of public service in which the government does not invest directly in the provision of facilities and networks, the legal certainty of return on investment for entrepreneurs certainly should get legal protection Based on the Telecommunications Act. Can not be denied that the imposition of the criminalization of corruption against MCC Indosat 1M2 potentially damaging to the rule of law and businesses in the telecommunications industry, but it is also a direct violation of human rights which the telecommunications industry becomes threatened public services to accommodate human rights to be able to communicate and an informed.

Keywords: telecommunications, public services, corruption

Abstrak

Patut dicatat bahwa sesuai definisinya telekomunikasi adalah saran a untuk berkomunikasi sehingga penyelenggaraan telekomunikasi sesungguhnya adalah misi negara untuk menjawab HAM setiap orang untuk berkomunikasi dan berinformasi tesebut. Jika kita mencermati kembali definisinya maka paradigma pengaturan dalam hukum telekomunikasi konvensional setidaknya akan melihat kepada dua hal, yakni (i) aspek aktivitas penyelenggaraan berkomunikasi yakni mencakup bagaimana pemancaran dan pengiriman informasi sampai dengan kegiatan penerimaan informasi, dan (iO aspek aktifitas penyelenggaraan sarananya. Sebagai bentuk pelayanan publik dimana pemerintah tidak melakukan investasi langsung dalam penyediaan sarana dan jaringannya, maka kepastian hukum untuk pengembalian investasi pelaku usaha tentunya harus mendapatkan perlindungan hukum berdasakan UU Telekomun ikasi. Tidak dapat ditampik bahwa pemaksaan kriminalisasi

I Dosen Inti Penelitian Bidang Hukum Telematika FHUI. Alamat kontak: edmon _ [email protected].

Page 2: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

92 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

korupsi terhadap PKS 1ndosat dengan 1M2 berpotensi merusak kepastian hukum dan bisnis dalam industri telekomunikasi, selain itu secara langsung juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dimana industri jasa telekomun ikasi merljadi terancam pelayanannya untuk mengakomodasi HAM masyarakat untuk dapat berkomunikasi dan berin[ormasi.

Kata kunci: telekomunikasi, pelayanan pUblik, korupsi

I. Pendahuluan

Belakangan ini publik terhenyak dengan suatu dakwaan korupsi yang diterapkan dalam sektor Industri Telekomunikasi. Dugaan adanya korupsi dilayangkan oleh suatu Lembaga Konsumen Telekomunikasi kepada Kejaksaan Agung yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung terhadap suatu pe~janjian kerjasama antara Indosat selaku penyelenggara jaringan telekomunikasi ("Operator") dengan 1M2 selaku penyelenggaraan jasa telekomunikasi multimedia untuk internet (Internet Service Provider/"ISP"). Kerugian negara yang didakwakan mencapai jumlah trilyunan rupiah, yang semata-mata didasarkan atas perhitungan jumlah pembayaran atas izin frekwensi yang harus dibayarkan kepada negara. Hal tersebut uniknya seakan didukung oleh BPKP yang menghitung berdasarkan atas permintaan pihak Kejaksaan Agung tanpa melihat terlebih dahulu apakah secara hukum memang telah dapat dinyatakan adanya kerugian negara dalam konteks itu.2

Suatu hal yang menarik dicatat oleh masyarakat bahwa mengikuti kasus ini sempat bergulir juga laporan dari pihak yang sarna mengajukan dugaan korupsi dalam PKS antara Research In Motion ("BB It) selaku penjual smartphone BlackBerry dengan beberapa Operator yang berbasiskan Teknologi GSM. Namun kasus ini terhenti karena Pelapor ternyata terbukti tertangkap tangan melakukan pemerasan kepada salah satu Operator yang sebelumnya diancam akan diadukan kepada Kejaksaan Agung dengan menyebutkan kesuksesannya memperkarakan pada laporan sebelumnya tersebut. 3 Fenomena tersebut ternyata telah menimbulkan keresahan pada pelaku usaha Telekomunikasi yang sebenarnya membutuhkan kepastian hukum dalam perlindungan investasinya dalam rangka menjalankan pelayanan publik tersebut sebagaimana dijamin dalam Pasal 2 dalam UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ("UU Telekomunikasi").

Keiaksaan memandang bahwa ISP selaku Penyelenggara Jasa Telekomunikasi telah merugikan negara karena seharusnya membayar izin penggunaan frekwensi sebagaimana layaknya Operator. Menurut K~iaksaan 1M2 dan INDOSAT telah terbukti secara bersama-sama menggunakan suatu frekuensi yang menurut PP No.53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum

2 Dirangkum dari beberapa kutipan media masa.

3 www.detik.com

Page 3: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 93

Frekwensi Radio dan Orbit Satelit ("PP Spektrum Frekwensi") dim ana masing­masing seharusnya memiliki izin penggunaan frekuensi, Sementara menurut mereka, peraturan kementrian yang ada hanya memperkenankan kerjasama penyewaan jaringan terbatas antara ISP dengan Operator Jaringan Tetap bukan dengan Operator Jaringan Bergerak Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa PKS antara 1M2 dan Indosat adalah perbuatan secara melawan hukum yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara sehingga memenuhi Pasal 2 dan Pasal3 UU Korupsi,

Sementara pendapat berbeda justru disampaikan oleh administrasi negara yang berwenang yaitu Kementrian Komunikasi dan Informatika serta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ("BRT!"). Menurut mereka kerjasama antara ISP dengan Operator diperkenankan oleh Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi dan tidak ada penggunaan frekuensi secara bersama dalam konteks itu. Ukuran-ukuran penggunaan secara bersama suatu frekuensi telah ditentukan dalam PP Spektrum Frekwensi itu sendiri dimana harus dilihat berdasarkan ukuran ruang (coverage), waktu dan teknologi yang dipergunakan. Oleh karena itu dinyatakan secara tegas oleh Kemkominfo PKS tersebut tidak melanggar UU Telekomunikasi dan tidak merugikan negara. Hal yang terjadi justru hal yang lazim dalam praktek bisnis telekomunikasi karena yang dituju adalah efisiensi dan consumer objectives untuk mendapatkan pelayanan publik yang relatif murah. Pada sisi yang lain baik komunitas pelaku usaha maupun konsumen pengguna jasa telekomunikasi, melihat bahwa ada upaya pemaksaan dari Kejaksaan terhadap kasus ini. Hal tersebut seakan mengindikasikan adanya penyalahgunaan kewenangan dan kesengajaaan untuk mengganggu investor dan imbasnya adalah gangguan terhadap kelancaran pelayanan publik.

Kasus tersebut di atas setidaknya memperlihatkan adanya pertentangan kewenangan dan keberlakuan hukum yang diterapkan antara UU Korupsi dengan UU Telekomunikasi, yang jika dilihat dengan prinsip lex specialist tampaknya telah terjadi tarik menarik kewenangan dan pemberlakuan hukum khusus antara aparat penegak hukum dengan administrasi negara yang berwenang. Kedua UU tersebut memang dapat dikatakan sarna-sarna bernilai sebagai suatu hukum yang bersifat khusus, namun sayangnya seakan menjadi saling bertentangan satu sarna lain hanya karena penegakan hukum korupsi yang menafikan kekhususan hukum dalam penyelenggaraaan Telekomunikasi. Fenomena kasus tesebut di atas menarik untuk diteliti karena mempunyai dampak strategis tidak hanya terhadap kepastian perlindungan investasi melainkan juga kelancaran pelayanan publik itu sendiri serta kepastian hukum dalam kekhususan sektor industri jasa telekomunikasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah spektrum frekwensi adalah barang milik negara dim ana setiap penggunaan frekuensi tanpa izin adalah merupakah suatu kerugian negara?

2. Apakah telah terjadi perbuatan secara melawan hukum yang memenuhi un sur perilaku korup berdasarkan UU Korupsi dalam konteks PKS

Page 4: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

94 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

antara Operator dengan ISP akibat penggunaan frekwensi secara bersama?

3. Apakah dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh laksa dalam memaksakan keberlakuan UU Korupsi terhadap lingkup suatu kewenangan administratif dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban hukum dalam perspektif pelayanan publik?

Dalam menjawab pokok permasalahan tersebut, maka perlu dipahami terlebih dahulu landasan teori dan dasar pemikiran tentang amanat publik pengelolaan spektrum frekwensi sebagai kewajiban negara untuk menjawab HAM berkomunikasi dari setiap warga negara dalam rangka menyelenggarakan urusan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Relevan dengan kasus maka terdapat beberapa hal yang perlu dicermati secara mendalam untuk menjawab ketiga pertanyaan dalam pokok permasalahan yakni; Korelasi Hak Asasi Manusia dengan Spektrum Frekwensi, Perlindungan Kepentingan Umum dalam bentuk kepastian hukum untuk investasi dan kelancaran Pelayanan Publik, serta pengembanan amanat aparat penegak hukum untuk menjaga kepentingan publik tersebut.

II. Pengelolaan Spektrum memenuhi HAM Kemakmuran Rakyat

Frekuensi adalah Kewajiban Negara untuk Berkomunikasi demi sebesar-besarnya

Sesuai Pasal 28F konsitusi UUD Negara Republik Indonesia, dan juga Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), tegas dinyatakan bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan salah satu hak asasi manusia, dimana dalam ayat (1) Pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

Selanjutnya dalam ayat (2) juga dinyatakan bahwa dalam haknya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, setiap orang berhak untuk menggunakan segal a jenis saran a yang tersedia. Konsekwensinya adalah baik Negara, pemerintah atau organisasi apapun berkewajiban untuk melindungi hak asasi tersebut karena pengingkaran terhadap hak asasi manusia sarna dengan mengingkari martabat manusia itu sendiri.

Patut dicatat bahwa sesuai definisinya telekomunikasi4 adalah sarana untuk berkomunikasi sehingga penyelenggaraan telekomunikasi sesungguhnya

4 T elekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.

Page 5: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 95

adalah misi negara untuk menjawab HAM setiap orang untuk berkomunikasi dan berinformasi tesebut. Hal tersebut sepatutnya dipahami termasuk dalam lingkup pelayanan publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (3) huruf (c) UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik).

Pasal5 (1) Ruang lingkup pelayanan publik

meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait.

(3) Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengadaan dan penyaluran

barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara danlatau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara danlatau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

c. pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak

Pasal5 Ayat (I)

Ayat (2)

Ayat (3) Hurufa

Cukupjelas

Cukup jelas

Barang publik yang disediakan oleh instansi pemerintah dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah ditujukan untuk mendukung program dan tugas instansi tersebut, sebagai contoh:

I. penyediaan Tamiflu untuk flu burung yang pengadaannya menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara di Departemen Kesehatan;

2. kapal penumpang yang dikelola oleh PT (Persero) PELNI untuk memperlancar pelayanan perhubungan an tar pulau yang pengadaannya Inenggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara di Departemen Perhubungan; dan

3. penyediaan infrastruktur transportasi perkotaan yang pengadaannya menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Hurufb Barang publik yang ketersediaannya merupakan hasil dari kegiatan badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah yang mendapat pelimpahan tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik (public service obligation), sebagai contoh:

1. listrik hasil pengelolaan PT (Persero) PLN; dan

2. air bersih hasil pengelolaan pcrusahaan daerah air min urn.

Huruf c M isi negara adalah kcbijakan untuk mengatasi permasaIahan tertentu, kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak, sebagai contoh: 1. kebijakan menugaskan PT (Persero)

Pertamina dalam menyalurkan bah an bakar min yak jenis premium dengan harga yang sarna untuk eceran di seluruh Indonesia;

2. kebijakan memberikan subsidi agar harga pupuk dijual lebih murah guna mendorong petani berproduksi;

3. kebijakan memberantas at au mengurangi

Page 6: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

96 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara danlatau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang­undangan.

(4) Pelayanan at as jasa publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyediaan jasa publik oleh

instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara danlatau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

b. penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara danlatau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

c. penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara danlatau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam

penyakit gondok yang dilakukan melalui pemberian yodium pad a setiap garam (di luar garam industri);

4. kebijakan menjamin harga jual gabah di tingkat pctani melalui penetapan harga pembelian gabah yang dibcli oleh Perum Badan Usaha Logistik;

5. kebijakan pengamanan cadangan pangan melalui pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan dan distribusi pangan kepada golongan masyarakat tertentu; dan

6. kebijakan pengadaan tabung gas tiga kilo gram untuk kelompok masyarakat tertentu dalam rangka konversi min yak tanah ke gas.

Ayat (4) Hurufa Jasa publik dalam ketentuan ini sebagai contoh, an tara lain pelayanan keschatan (rumah sakit dan puskesmas), pelayanan pendidikan (sekolah dasar, sekolah mcnengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi), pelayanan navigasi laut (mercu suar dan lampu suar), pelayanan peradilan, pelayanan kelalulintasan (Iampu lalu lintas), pelayanan keamanan (jasa kepolisian), dan pelayanan pasar. Hurufb Jasa publik dalam ketentuan ini adalah jasa yang dihasilkan oleh badan usaha milik negaralbadan usaha milik daerah yang mendapat pelimpahan tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik (public service obligation), sebagai contoh, antara lain jasa pelayanan transportasi angkutan udarallaut/darat yang dilakukan oleh PT (Persero) Garuda Indonesia, PT (Persero) Merpati Airlines, PT (Persero) PELNI, PT (Persero) KAI, dan PT (Persero) DAMRI, sertajasa penyediaan air bersih yang dilakukan oleh perusahaan daerah air minum. Hurufc Misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang ban yak, sebagai contoh: I. jasa pelayanan kesehatan bagi masyarakat

miskin oleh rumah sakit swasta; 2. jasa penyelenggaraan pendidikan oleh pihak

swasta harus mengikuti ketentuan penyelenggaraan pendidikan nasional;

3. jasa pclayanan angkutan bus antarkota at au dalam kota, rute dan tarifnya ditentukan oleh pemcrintah;

4. jasa pelayanan angkutan udara kelas ekonomi, tarif batas atasnya ditetapkan oleh pemerintah; jasa pendirian panti-panti sosial; dan jasa pelayanan keamanan.

Ayat (5) Skala kegiatan adalah besaran biaya tertentu yang digunakan dan merupakan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan sebagai ukuran untuk dikategorikan sebagai pelayanan publik.

Page 7: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 97

peraturan perundang­undangan.

(5) Pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi skala kegiatan yang didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.

(6) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

(7) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tindakan administratif

pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.

b. tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.

Ayat (6) Cukupjelas

Ayat (7) Hurufa Tindakan administratif pemerintah merupakan pelayanan pemberian dokumen oleh pemerintah, antara lain yang dimulai dari seseorang yang lahir mcmperoleh akta kelahiran hingga meninggal dan memperoleh akta kematian, tcrmasuk segala hal ihwal yang diperlukan oleh penduduk dalam menjalani kehidupannya, seperti memperoleh izin mendirikan bangunan, izin usaha, sertifikat tanah, dan surat nikah.

Hurufb Tindakan administratif nonpemerintah merupakan pelayanan pemberian dokumcn oleh instansi di luar pemcrintah, an tara lain urusan perbankan, asuransi, kesehatan, keamanan, pcngelolaan kawasan industri, dan pengclolaan kegiatan sosial.

Selanjutnya, sesuai Pasal 2 UU Telekomunikasi dinyatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi didasarkan atas asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. Sebagai bentuk pelayanan publik dimana pemerintah tidak melakukan investasi langsung dalam penyediaan sarana dan jaringannya, maka kepastian hukum untuk pengembalian investasi pelaku usaha tentunya harus mendapatkan perlindungan hukum berdasakan UU Telekomunikasi. Oleh

Page 8: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

98 Jllrnai Hllkllm dan Pembangllnan Tahlln ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

karena itu terhadap setiap upaya penyalahgunaan kewenangan yang dapat mengganggu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Pelaku U saha untuk kepentingan pelayanan publik maka menjadi dapat dipersepsikan sebagai tindak pidana dalam konteks pelayanan publik.

Patut dicermati, bahwa terdapat kesalahan pemahaman mendasar dalam memahami Hukum Telekomunikasi jika terdapat asumsi bahwa setiap penggunaan frekwensi selalu harus mendapatkan izin pemerintah. Adalah suatu hal yang alamiah bahwa setiap orang dalam komunikasi verbal dengan menggunakan suara pasti akan menggunakan frekwensi. Lalu apakah hal tersebut berarti harus meminta izin penggunaan frekwensi? Jawabannya tentu tidak karena sesungguhnya setiap orang yang berbicara meskipun akan memancarkan gelombang suara untuk berkomunikasi dengan frekwensi tertentu namun ia tidak membuat interferensi. Lalu siapakah sesungguhnya pemilik frekwensi itu? Terhadap setiap pemancaran frekwensi, maka tentu pemiliknya adalah pihak yang bersangkutan karena ia yang memancarkan gelombang tersebut kepada pihak lain sebagai konsekwensi pemakaian energi yang dikeluarkannya. Lalu dimanakah letaknya pemahaman bahwa frekwensi adalah barang umum atau pun sumber daya negara (resources) sehingga harus adanya izin untuk hal tersebut?

Disinilah letak kekhususan hukum telekomunikasi. Jika kita mencermati kembali definisinya maka paradigma pengaturan dalam hukum telekomunikasi konvensional setidaknya akan melihat kepada dua hal, yakni (i) aspek aktivitas penyelenggaraan berkomunikasi yakni mencakup bagaimana pemancaran dan pengiriman informasi sampai dengan kegiatan penerimaan informasi, dan (ii) aspek aktifitas penyelenggaraan sarananya. Dalam perkembangannya kemudian selaras dinamika konvergensi telematika maka pola pengaturan tersebut akan bertambah pada satu hal baru, yakni mencakup kepada lingkup penyelenggaraan konten berikut sistem aplikasinya.

Dalam konteks telekomunikasi penggunaan radio ataupun pemancaran gelombang elektromagnetik adalah infrastruktur pengiriman informasi yang tentunya tidak akan dapat melepaskan dari pembicaraan tentang frekwensi. Apa sebenamya frekwensi itu? Umumnya frequency digunakan untuk melihat berapa sering (rata-rata) ditemukannya sesuatu dalam suatu periode waktu pengamatan. Ia merepresentasikan kekuatan signal gelombang itu. Rentang kekuatan signal tersebut dikenal dengan istilah spektrum frekwensi mulai dari sekian 3000 Hz sampai dengan sekian 300 GHz. Spektrum memperlihatkan bahwa seakan-akan terdapat ruas atau ruang dalam pemanfaatan frekwensi. 5

5 Pita frekuensi radio adalah bagian dari spektrum frekuensi radio yang mempunyai lebar tertentu; Kanal frekuensi radio adalah bagian dari pita frekuensi radio yang ditetapkan untuk suatu stasiun radio;

Page 9: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 99

t'11l' 1H- ](I' 10 W' W' 10 1 In' 10 \II III Hl II I' IH - III ' 10 ](I

I ELF I \1' I \1." I 1.1' I \IF I III' I \111' I till' I Sill' I 1:11 F I

I'''''''r and 1<'I"ph",1<' Radi" \licfI.wa\t! Inrnll'('d \hilll" ){ltt~1.il1l!.l.!.uwr;'lfur''' t<.adill'" ':Ind tdt\i,;i(ln .. Rad.;~1' I .. a~'f' li~ht \Iu ... it.'al in ... fl'Ullltnf, t:lfd,"unk luhl .... ,rknn·la\t all It'll II,. ... (;lIickd lIIi ...... il{· ... \ HIt:l' mi4..TUI)holH'" Intl'1,!rah·d dn·ui .... '[4Iglll'.rllll~ Rilngj·linder ....

('dlular rd('phj'n~

'{"btNll'air ~)Pli";~ Fiher

('"axi,,1 ('"hi,·

,YaH!.:n!!th in 'pn .. ' ... (I\ll'!t'r,.

I I I . HI'

H.F = Ex[remdy In", fr"4l1l"lc'Y YF = V"k,-jic'lucncy \' LF = V,-ry Ie", rrL'<.luclh'~

LF = L,m ti,,''!ucncy

~ .\\1 Radi .. F:\I Radio Tern..,lri,,1

and T\' ;II,d S""'lIitt'

I Tran ... nli"':It;jon

I I I I I I I I I I I . 10" W'\ 10,1 W,J III'~ Itr' III'''

[vII' = MeJiUIl1 fl\.'ljllcncy HF = Hll'h f''''luene) VHF = \\-ry high jkqlll-nc~

II H F = Ult,ahigh fr,-que"c) SHF = SUI''''high in."lu,'nc'v ElIF = E\lrcll1,'I~ high frequcn,~

Visualisasi Spektrum Frekuensi 6

IS

Dalam penjelasan Pasal 33 ayat (2) UU Telekomunikasi dijelaskan bahwa Frekuensi radio adalah jumlah gelombang getaran elektromagnetik untuk satu peri ode, sedangkan spektrum frekuensi radio adalah kumpulan dari rentang frekuensi radio. Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh satu pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang, jumlah getaran, dan lebar yang sama atau berhimpitan akan saling mengganggu. Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa gangguan maka penggunaan frekuensinya harus diatur. Pengaturan frekuensi antara lain mengenat pengalokasian pita frekuensi 7 dan

6 Ibid,

7 Alokasi frekuensi radio adalah pencantuman pita frekuensi tertentu dalam tabel alokasi frekuensi untuk penggunaan oleh satu atau lebih dinas komunikasi radio teresterial atau dinas komunikasi radio ruang angkasa atau dinas radio astronomi berdasarkan persyaratan tertentu. Istilah alokasi perlu dibedakan dengan penjatahan (allotment) dan penetapan (assignment). Allocation (of a ji-equency band): Entry in the Table of Frequency Allocations of a given ji-equency band for the pUipose of its use by one or more terrestrial or space radiocommunication services or the radio astronomy service under specified conditions. This term shall also be applied to the ji-equency band concerned. Allotment (of a radio ji-equency or radio ji-equency channel): EntlY of adesignated frequency channel in an agreed plan, adopted by a competent conference, for use by one or more administrations jar a terrestrial or space radiocommunication service in one or more ident!fied countries or geographical areas and under specified conditions, Assignment (of a radio frequency or radio ji-equency channel):

Page 10: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

1()() Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

peruntukannya. Selanjutnya dalam PP spektrum frekwensi dijelaskan bahwa Penetapan (assignment) pita frekuensi radio atau kanal frekuensi radio adalah otorisasi yang diberikan oleh suatu administrasi dalam hal ini Menteri kepada suatu stasiun radio untuk menggunakan frekuensi radio atau kanal frekuensi radio berdasarkan persyaratan tertentu

Dalam konteks telekomunikasi, spektrum frekwensi sesuai sifatnya adalah terbatas maka setiap pemancaran frekwensi harus diatur agar tidak terjadi tabrakan atau inteferensi satu dengan yang lainnya. Spektrum frekwensi dapat dipersepsikan sebagaimana layaknya jalan raya untuk dilalui oleh berbagai kendaraan, dim ana spektrum adalah rentang ruas-ruas ruang di jalan raya sementara pemancaran signalnya adalah kendaraan yang lewat pada ruas tersebut. Oleh karena itu sebagaimana layaknya jalan umum, maka spektrum frekwensi sering dianalogikan sebagai public good.8 Namun, perlu dipahami bahwa spektrum frekwensi bukanlah barang milik negara karena ia tidak identik dengan tanah yang dilalui menjadi jalan raya. Jalan raya secara fisik memang negara terlibat dalam keberadaannya sementara frekwensi negara hanya melakukan pengawasan monitoring saja. Visualisasinya sebagai sumber daya yang terbatas adalah ruang at as ruas imaginer dari rentang kekuatan frekuensi itu sendiri (baca pita dan kanal dalam frekwensi).

Selanjutnya pemancaran frekwensi tersebut menjadi sarana untuk berkomunikasi jarak jauh dimana pihak yang melakukan pemancaran tadi seperti menyediakan pipa atau saluran komunikasi bagi hak berkomunikasi setiap orang yang menggunakannya. Sarana tersebut tidak akan tercipta jika yang bersangkutan tidak diberikan hak ekslusif untuk dapat menduduki jalur sesuai alokasi ruas atau ruang tersebut. Dan berikutnya, agar dapat dimanfaatkan dengan baik maka demi kepentingan publik, dalam teknis penyelenggaraannya dibebankanlah aturan tentang standar mutu pelayanannya. Dalam konteks itu lah kemudian dikenal struktur industrinya menjadi penyelenggara Janngan, penyelenggara Jasa dan berikutnya adalah penyelenggara konten dan aplikasinya.

Dengan kata lain sesungguhnya spektrum frekwensi adalah global common good dim ana tidak ada satu pun pihak baik individu maupun badan hukum tertentu serta negara yang dapat dikatakan memilikinya karena keberadaannya secara naturalia adalah kepentingan umum seluruh bangsa untuk terjadinya suatu sarana komunikasi. Sebagai konsekwensi kedaulatan negara dan perekonomian yang didasarkan atas kedaulatan rakyat sesuai Pasal 33 UU Negara RI Tahun 1945, maka kewenangan pemerintah yang diturunkan dalam Pasal 4 UU Telekomunikasi justru memperlihatkan adanya amanat kewajiban untuk menata kelola spektrum frekwensi tersebut agar pemanfaatannya dapat ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Authorization given by an administration for a radio station to use a radio frequency or radio ji-equency channel under specified conditions.

8 Dalam perkembangannya hal tersebut dikatakan sebagai Global Common Good karena alokasi spektrum adalah untuk kepentingan global semua bangsa dan negara. Penataan ruas dan rung tersebut disepakati secara intemasional dan diadministrasikan oleh Pemerintah.

Page 11: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 101

The ocean, the air, and space are common natural resources shared by the nations of the world. So is the radio frequency spectrum - no individual or govenments owns it; neither is its development or use controlled by anyone country or group countries. Rather, the world community has the collective responsibility of ensuring the wise and equitable use of this vital international resource.

Spectrum allocation, a process adopted both internationally and domestically, allocates frequencies among the above types of uses and users of wireless services. The process is designed to prevent radio congestion, which can lead to interference. Inteference is caused by radio signals of two 0 more users interacting and disrupting the transmission and reception of messages. Spectrum allocation slices the radio spectrum into bands of frequencies that are then chosen for use of particular types of radio services or classes of users, such as broadcast, television, and satellites. 9

Konstitusi UUD 45 Pasal33 (1) Perekonomian

disusun sebagai usaha bersama berdasar at as asas kekeluargaan.

(2) Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

UU Telekomunikasi Pasal4 (1) Telekomunikasi

dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.

(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyel enggaraan te1ekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.

(3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana

Penjelasan Ayat (I) Mengingat telekomunikasi mcmpakan salah satu cabang produksi yang penting dan stratcgis dalam kchidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara yang dalam penyclenggaraannya ditujukan untuk sebesar-bcsamya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.

Ayat (2) Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, pcmmusan mengenai pcrencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional.

Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat UI11UI11

dan/atau teknis operasional yang antara lain, tcrcermin dalal11 pengaturan penzlI1an dan persyaratan dalal11 penyelcnggaraan telekol11unikasi.

Fungsi pengendalian dilakukan bempa pengarahan dan bil11bingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

9 Amit K. Maitra, "Wireless Spectrum Management ", (New York: McGraw-Hilll, 2004), hal. 1.

Page 12: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

102 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ****)

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenm pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. ****)

dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran pandangan berkembang

dan yang

dalam masyarakat serta perkembangan global.

Penjelasan:

Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. telmasuk pengawasan tcrhadap penguasaan. pengusahaan. pemasukan. perakitan. penggunaan frekuensi dan orbit satelit. selia alat. perangkat. sarana dan prasarana telekomunikasi.

Fungsi penetapan kebijakan. pengaturdn. pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan. fungsi pengaturan. pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.

Dalam rangka efektivitas pembinaan. pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait. penyelenggara telekomunikasi. dan mengikutseltakan peran masyarakat.

Ayat (3) Cukup jelas

Oleh karen a itu, Sesuai peranan negara dalam Welfare State, maka nilai ekonomis yang dapat dikelola oleh negara sebagai akibat nilai kelangkaan terhadap spektrum frekwensi (scare resources) sepatutnya pengambilan nilai ekonomisnya ataupun pembebanan biaya terhadapnya adalah berbanding lurus dengan biaya pengadministrasian itu sendiri bukan dengan tuiuan untuk meningkatkan sebesar-besamya pendapatan kas negaranya, melainkan selayaknya adalah untuk memberikan penyelenggaraan semurah-murahnya layanan publik demi kemakmuran rakyat itu sendiri. Hal tersebut iuga berarti bahwa Kerugian negara terbesar iustru teriadi manakala spektrum frekwensi tidak termanfaatkan dengan baik atau tidak dikelola alokasinya secara optimal atau bahkan cenderung mubazir karena tidak diurus atau terabaikan sehingga hak bangsa dan negara itu sendiri yang iustru dirugikan karena adanya potential loss akibat mensia-siakan resources yang ada. Konsekwensi logis kebiiakannya tidak diiual dengan model bisnis lisensi kepada pelaku usaha dengan kompensasi sebagaimana layaknya royalti dalam melakukan pertambangan.

Sesuai dinamika konvergensi telematika, hampir semua negara mengarahkan kebiiakannya bukan untuk memberikan pembebanan biaya di muka yang akan mengakibatkan biaya penyelenggaraan telekomunikasi yang tinggi melainkan berupaya untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan publik berkomunikasinya meniadi murah. Demikian pula model style regulasi yang dianut, bukan hanya berfokus kepada ex-ante rezulation namun lebih mengarah kepada ex-post rezulation, dimana pemerintah akan meminta pertanggungjawaban yang sangat ketat jika temyata terjadi penyelenggaraan

Page 13: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 103

yang tidak layak, gangguan atau bahkan sekiranya terjadi penyalahgunaan atas amanat kepentingan publik tersebut.

Telecommunications Regulation

Administration of Regulation

SociaJ.& Policy Objectives

Control of Monopoly & Prevention of Monopoly Abuse

Visualisasi Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi 10

Berdasarkan uraian tersebut tampak terjadi suatu kekeliruan dimana pihak kejaksaan dan BPKP justru memandangnya sebagai sesuatu yang termasuk dalam lingkup Keuangan N egara berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ("UU Keuangan Negara") sehingga semua pihak yang terbukti menggunakan frekwensi harus membayar kepada negara. Padahal frekwensi bukanlah milik negara dan bukan terlahir dari investasi negara sehingga juga tidak termasuk dalam lingkup perbendaharaan negara. Mereka tidak memperhatikan Pasal 1 angka (1) UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Bendahara Negara).

Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

Semangat mereka adalah mengembalikan kerugian negara yang ditudingkan, padahal kebijakan yang sesungguhnya bukanlah untuk mencari pendapatan negara melainkan bagaimana menjalankan kewajiban negara untuk

10 John J. Bauckley, "Telecommunication Regulation", (London: The Institution of Engineering and Technology, 2003), hal. 38.

Page 14: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

104 Jurnal Huf..:um dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

menyelenggarakan semurah mungkin demi memfasilitasi kepentingan HAM warga negaranya. Mereka tidak menegakan semangat Pasal 3 ayat (l) UU Keuangan Negara itu sendiri yang menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara juga harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

UU Keuangan Negara Pasal 1 angka (l)

Pasal 2

Keuangan N egara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi:

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c.Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e.Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negaralkekayaan

daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara! perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan danlatau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pasal 3 (1) Keuangan Negara dikelola secara

tertib, taat pada peraturan perundang-

Pen.ielasan Pasal I

Cukupjelas Pasal 2

Hurufa Cukupjelas

Hurufb Cukup jelas

Hurufc Cukupjelas

Hurufd Cukup jelas

Huruf e Cukup jelas

Huruff Cukupjelas

Hurufg Cukupjelas

Hurufh Cukupjelas

Hurufi

Pasal 3

Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang at au badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan­yayasan di lingkungan kementerian negarallembaga, atau perusahaan negaraldaerah.

Ayat (I) Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan,pengawasan, dan pertanggung-jawaban.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukupjelas

Ayat (4) Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan menganduI1&.

Page 15: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 105

undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.

(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4) APBNI APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.

(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.

(7) Surplus penerimaan negaraldaerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negaraldaerah tahun anggaran berikutnya.

(8) Penggunaan surplus penerimaan negaraldaerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan NegaraiDaerah harus memperoleh persetujuan terIebih dahulu dari DPRlDPRD

arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pad a tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

Ayat (5) Cukupjelas

Ayat(6) Cukupjelas

Ayat (7) Cukupjclas

Ayat (8) Cukupjelas

III. PKS Operator dan ISP Tidak Bersifat Melawan Hukum.

Adalah suatu keanehan hahwa dakwaan "nerhuatan melawan hukum" sehaQai dasar untuk nernherlakuan Pasal 2 dan Pasal 1 1 Jl J 1 Jl J No.11 Tahun 1999 vanQ kernudian diuhah denQan lJlJ No.20 tahun 2001 tentanQ Pernherantasan Tindak Pidana Komnsi ("lJU Komnsi"t dialarnatkan terhadan keheradaan Perianiian Keriasa Sarna antara Onerator dan TSP vanQ sehenamva leQal rnenumt keberlakuan Pasal 9 ayat (2) UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

UU Korupsi Penjelasan UU Korupsi UU T elekomunikasi Pasal2 Pasal2 Pasal9 (1). Setiap orang yang secara Ayat (1) (1) Penyelenggara jaringan

melawan hukum melakukan Yang dimaksud dengan telekomunikasi perbuatan memperkaya diri "secara melawan hukum" sebagaimana dimaksud

Page 16: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

106 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan terse but dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pi dana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Pasa13 Kata "dapat" dalam ketentuan ini diartikan sarna

(2)

(3)

(4)

(5)

dalam Pasal 8 ayat (I) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi. Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan danlatau menyewa jaringan te1ekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk: a. keperluan sendiri; b. keperluan

pertahanan keamanan negara;

c. keperluan penyiaran.

Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan: a. perseorangan; b. instansi pemerintah; c. dinas khusus; d. badan hukum.

Ketentuan mengenm persyaratan penyelenggaraan te1ekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 17: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 107

sendiri atau orang lain atau dengan Penjelasan Pasal 2. suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesem2atan, atau sarana yang ada Qadanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang daQat merugikan keuangan negara atau Qerekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pi dana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluhjuta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Kejaksaan memandang bahwa berdasarkan Pasal 14 PP Spektrum Frekwensi seharusnya Indosat dan 1M2 dinyatakan sebagai penggunaan frekwensi secara bersama, dimana Penggunaan frekwensi yang digunakan oleh Operator juga dianggap digunakan oleh ISP. Konsekwensinya ISP juga harus mempunyai izin frekwensi yang digunakannya sendiri sebagaimana layaknya Operator. Pelanggaran hal tersebut dianggap telah terjadi perbuatan melawan hukum yang didasari suatu niatan jahat untuk mengakibatkan kerugian negara. Ironisnya, pemikiran tersebut justru bertentangan dengan ketentuan hukum Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi yang memperkenankan ISP untuk menyewa jaringan kepada Operator. Hal tersebut juga telah diterangkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika serta Badan Regulasi Telekomukasi Indonesia (BR TI) selaku instansi atau administrasi negara yang mempunyai kewenangan untuk mengatur hal tersebut. N amun hal tersebut tenyata diabaikan oleh pihak Kejaksaan.

Penulis melihat bahwa Kejaksaan tidak memahami bahwa terdapat perbedaan hakiki antara "penggunaan frekwensi" dengan "penggunaan spektrum frekwensi" yang dilakukan dengan penetapan. Penggunaan frekwensi adalah hak setiap orang sementara penggunaan spektrum frekwensi barulah harus menempuh perijinan dengan penetapan pemerintah.

Pasal14 PP Spektrum Frekwensi (1) Menteri dapat menetapkan penggunaan

bersama pita frekuensi radio dan at au kanalfrekuensi radio.

(2) Penetapan pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio yang digunakan secara bersama sebagaimana dimaksud

Penjelasan Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penggunaan bersama (sharing) adalah penggunaan frekuensi radio yang sarna untuk dua atau lebih dinas komunikasi radio. Ayat (2)

Page 18: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

108 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

dalam ayat (I) harus dikoordinasikan dengan pengguna yang sudah ada atau antar pengguna.

(3) Penetapan penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kana I frekuensi radio harus memenuhi prinsip efisiensi dan tidak saling mengganggu.

(4) P e laksanaan penetapan penggunaan bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)mengikuti ketentuan internasional.

Pasal15 Penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio dapat berbentukpembedaan waktu, wilayah, atau teknologi.

Pasal30 Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penggunaan bersama pita frekuensiradio dan atau kana I frekuensi radio dibebankan secara penuh kepada masing­masmg pengguna.

Pasal31 (I) Penggunaan spektrum frekuensi radio

untuk penyelenggaraan yang tidakdikenakan penggunaan spektrum meliputi:

telekomunikasi biaya hak

frekuensi radio

a. telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara;

b. telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas khusus;

c. telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah yang digunakan olehperwakilan negara asing di Indonesia ke dan atau dari negara asal berdasarkan azas

Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan internasional yang dimaksud merujuk kepada peraturan-peraturan yangditetapkan oleh International Telecommunication Union.

Pasal15 Yang dimaksud dengan pembedaan waktu (time separation) untuk penggunaan bersamaantara lain adalah pembedaan waktu pengoperasian perangkat radio. Dan pembedaan wilayah (spatial separation) antara lain adalah pembedan lokasi dan pembedaan arah pola radiasi antena. Serta pembedaan teknologi (technology separation) antara lain adalah pembedaan polarisasi dan pembedaan kode akses (Code Division Multiple Acces/CDMA).

Pasal30 Cukupjelas

Pasal31 Ayat (1)

Hurufa Cukupjelas

Hurufb Jenis penggunaan spektrum frekuensi radio untuk keperluan dinas khususmeliputi antara lain astronomi, navigasi pelayaran dan penerbangan, pencarian dan pertolongan (SAR), balai monitoring frekuensi nasional, keselamatan penerbangan, keselamatan pelayaran, meteorologi dan geofisika, dan penginderaan j arak j auh.

Hurufc

Yang dimaksud dengan azas timbal balik adalah kesepakatan bersama antara negara Indonesia dengan negara lain untuk saling membebaskan biaya penggunaan spektrum frekuensi radio untuk hubungan ke dan atau dari negara asal.

Yang dimaksud dengan perwakilan negara asing termasuk di antaranya badanlorganisasi dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa dan organisasi resmi regional seperti ASEAN.

Ayat (2) Cukup jelas

Page 19: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 109

Fenomena tersebut di atas, jelas memperlihatkan adanya suatu kekeliruan pemahaman atau setidaknya pemaksaan penerapan UU Korupsi yang dianggap lex-specialist dengan tidak mengindahkan sarna sekali karakteristik kekhususan sektor telekomunikasi dan juga penghargaan kewenangan administrasi negara terkait yang telah diatur dalam Pasal 4 UU Telekomunikasi.

Sesuai karakteristik industrinya, secara teknis kejaksaan juga telah keliru karena fokus sesungguhnya bukanlah pada tindakan penggunaan frekwensi melainkan kepada hak pemanfaatan spektrum frekwensi tertentu yang hal tersebut jelas merupakan domain penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bukan merupakan domain jasa telekomunikasi. Keberadaan jaringan ISP bukanlah jaringan telekomunikasi tetap atau bergerak melainkan adalah suatu Value Added Network untuk kepentingan jasa multimedia yang dalam konteks koneksinya adalah untuk komunikasi antar jaringan komputer secara global.

Anggapan Kejaksaan Agung bahwa 1M2 bertindak sebagai penyelenggara jaringan yang melakukan penggunaan bersama pita frekuensi 2, I GHz dengan PT Indosat jelas merupakan suatu kekeliruan, karena secara teknis telekomunikasi hal tersebut harus dilihat sesuai konteksnya yakni dengan melihat (i) temp at, (ii) teknologi dan (iii) waktu. Contoh yang nyata dari Pasal tersebut adalah dalam konteks penggunaan spektrum frekwensi demi kepentingan penyiaran. Katakanlah pada suatu spektrum tertentu, telah digunakan oleh Stasiun A untuk coverage Jawa Barat kemudian stasiun B menggunakan spektrum frekwensi yang sarna untuk coverage J awa Tengah. Dengan sendirinya hal tersebut jelas terlihat bahwa masing-masing Stasiun A dan Stasiun B adalah bertindak sendiri-sendiri untuk mengurus perizinannya. Sementara dalam kasus Indosat dengan 1M2, baik terhadap ukuran tempat, waktu maupun teknologi, maka ukuran adanya penggunaan frekwensi adalah tercermin pada identifikasi gelombang frekwensi yang dipancarkan oleh stasiun pemancar berikut penerimaannya. Dalam konteks ini pemancaran dilakukan oleh transmitter Indosat dimana SIM-Card yang digunakan pun adalah milik PT. Indosat. Dengan demikian tidak terbukti adanya penggunaan spektrum frekwensi oleh ISP, melainkan penggunaan frekwensi yang dipancarkan oleh Indosat dimana hanya Indosat yang perlu mengurus ijin spektrum frekwensi bukan ISP yang berkerjasama dengannya.

Berdasarkan hal tersebut temyata 1M2 jelas tidak menggunakan spektrum frekwensi secara bersama-sama sebagaimana yang dimaksudkan oleh PP Spektrum Frekwensi. Demikian pula halnya terhadap Pasal 30 PP Spektrum Frekwensi yakni tentang pengenaan BHP bahwa Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penggunaan bersama pita frekuensi radio dan atau kanal frekuensi radio dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna, maka dengan sendirinya menjadi tidak berlaku.

Uniknya, pihak Kejaksaan Agung bahkan menafikan kenyataan bahwa 1M2 tidak hanya telah memegang izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Tertutup dan Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Berbasis Packed & Switched saja, tetapi juga izin Penyelenggaraan Jasa Akses Internet Service Provider. Jadi, dalam perjanjian kerjasama ini 1M2 tidak berkedudukan sebagai penyelenggara jaringan melainkan hanya menjadi penyelenggara jasa

Page 20: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

110 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

telekomunikasi yang telah memegang izin untuk menye1enggarakan jasa akses internet service provider sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UU Telekomunikasi. 1M2 tidak dapat dikatakan melakukan penggunaan spektum frekwensi secara bersama (spectrum sharing) melainkan hanya menggunakan dan atau menyewa jaringan milik penyelenggarajaringan telekomunikasi yang telah ada.

Kekeliruan tersebut semakin jelas terlihat pada tuduhan Kejaksaan Agung yang tidak sesuai konteksnya, dimana pemahamannya berangkat dari Pasal 33 ayat (1) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi yang menyatakan bahwa, "Penyelenggaraan jaringan tetap tertutup diwajibkan untuk membangun jaringan untuk disewakan". Menurut tafsir JPU, konsekwensi pasal tersebut adalah 1M2 hanya dapat menggunakan jaringan tetap tertutup, padahal pasal tersebut tidak melarang sarna sekali bagi penyelenggara jasa telekomunikasi untuk menggunakan jaringan selain jaringan tetap tertutup. Substansi pasal tersebut jutru tidak ada kaitannya dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar ketentuan tentang adanya penentuan jenis jaringan yang hanya boleh digunakan oleh ISP sehingga ISP dilarang untuk menggunakan jaringan bergerak. Hal ini menjadi pertanyaan di muka publik, siapakah sesungguhnya yang berwenang mentafsirkan suatu kebijakan, apakah kejaksaan ataukah administratur negara yang bersangkutan?

Ketentuan mengenai jenis jaringan sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 9 UU Telekomunikasi dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang memberikan kemungkinan bahwa penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi dapat menggunakan baik J aringan Tetap maupun J aringan Bergerak, dimana j aringan bergerak seluler pun otomatis telah termasuk di dalamnya. Demikian pula halnya, dalam ketentuan-ketentuan teknis lebih lanjut dalam peraturan­peraturan pelaksananya, tidak pernah diatur limitasi jenis jaringan apa saja yang dapat digunakan dan atau disewa oleh penyelenggara jasa internet. Justru jika ada ketentuan seperti itu maka aturan hukum dapat dikatakan menjadi salah karen a menghambat netralitas dan dinamika teknologi yang ada.

Dengan mempertimbangkan semua dalil dan bukti praktek teknis yang terjadi, maka jelas terlihat bahwa kasus tersebut sangat dipaksakan. Hal yang seharusnya tak terbukti ternyata dipaksakan menjadi satu kasus oleh Kejaksaan, hal mana mungkin saja terjadi karen a Kejaksaan ingin menyatakan bahwa keberhasilannya memperkarakan atau setidaknya memenuhi target kwantitatifnya dalam jumlah penuntutan. Mungkin saja, hal tersebut adalah imbas dari UKP4 yang memberikan target kwantitatif bagi Kejaksaan. Ternyata hal tersebut menjadi pemaksaan kasus oleh Kejaksaan. Menjadi pelajaran tentunya, apakah sudah sesuai ukuran Key Performance Indicator tersebut terhadap perfoma kejaksaan. Dikhawatirkan justru hal tersebut terjadi karena kesalahan hakiki pembebenan nilai kinerja yang salah alamat tersebut. Kinerja kejaksaan tidak harus digantungkan pada ukuran kwantitatif karena sesungguhnya mereka melakukan kinerja kwalitatif yakni selain penegakan hukum juga memberikan keadilan bagi masyarakat.

Page 21: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradaks Kriminalisasi Karupsi dalam Sektar Telekamunikasi, Makarim 111

IV. Paradoks Lingkup Kriminalisasi Korupsi dan Keuangan Negara bagi Telekomunikasi

Tidak dapat ditampik bahwa pemaksaan kriminalisasi korupsi terhadap PKS Indosat dengan 1M2 bepotensi merusak kepastian hukum dan bisnis dalam industri telekomunikasi, selain itu secara langsung juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dimana industri jasa telekomunikasi menjadi terancam pelayanannya untuk mengakomodasi HAM masyarakat untuk dapat berkomunikasi dan berinformasi.

Bahkan lebih jauh dari itu, jika dikaji lebih mendalam maka telah membuat ketakutan atau kekhawatiran tidak hanya bagi pelaku usaha melainkan juga kepada administrasi negara terkait itu sendiri. Sudah menjadi keniscayaan bahwa sesuai dinamika konvergensi telematika, hampir semua negara melakukan beberapa penyesuaian kebijakan dan regulasi dalam sektor telekomunikasi. Hal tersebut digantungkan kepada kewenangan dan kesigapan administrasi negara untuk melaikukan diskresi dan juga pengaturan yang senafas dengan dinamika teknologi yang teIjadi. Berdasarkan regulasi, Pelaku Usaha diperkenankan melakukan skema bisnis dimana penyelenggara jasa telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya dapat menggunakan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan lain. I I Hal tersebut bukan suatu perbuatan melawan hukum sebagaimana menjadi syarat dalam penerapan Pasal 2 UU Korupsi. Kerjasama tersebut merupakan efisiensi dan upaya pengembalian investasi sehingga selayaknya bukan merupakan suatu perbuatan tercela karen a tidak bertentangan dengan norma masyarakat, rasa keadilan dan sesuai kelaziman dalam praktek bisnis yang berlaku bahkan dipayungi oleh regulasi administrasi yang berwenang untuk itu.

Dalam pola kerjasama seperti itu pula, sesungguhnya tidak terjadi kerugian negara atau merugikan perekonomian negara, karena kewajiban pembayaran lisensi transmisi pada spektrum frekwensi telah dibayarkan oleh Operator selaku penyelenggara jaringan. Justru malahan akan menjadi pungutan berganda manakala ISP harus membayar lagi untuk transmisi frekwensi tersebut. Bahkan dalam prakteknya, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia. 12 Berbeda dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang kegiatannya menyediakan rangkaian perangkat telekomunikasi yang memungkinkan dilakukannya telekomunikasi dan dapat pula menyediakan jasa telekomunikasi, ISP selaku penyelenggara jasa telekomunikasi justru lebih mengkhususkan dirinya pada penyediaan jasa

II Pasal 9 ayat (2) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi jo. Pasal 13 Peraturan Pemrintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi jo. Pasal 5 Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa T elekomunikasi.

12 Pasal12 PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Page 22: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

112 Jllrnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

telekomunikasi yang bukan jaringan konvensional melainkan jaringan komputer global. Konsep ini dilakukan agar penyelenggara jasa telekomunikasi yang notabene adalah perusahaan kecil dapat menyediakan jasa telekomunikasi kepada masyarakat tanpa harus diberatkan dengan biaya membangun jaringan. Dengan demikian, masyarakat akan semakin mudah berkomunikasi dan berinfonnasi karena akan banyak tersedia bebagai jenis jasa layanan telekomunikasi itu sendiri.

Sangat lumrah jika kemudian industri telekomunikasi menjadi resah, karena hal yang legal menurut UU Telekomunikasi dipaksakan menjadi illegal menurut paradigma sepihak UU Korupsi. Sementara pada era modem seperti ini akses internet sudah tidak dapat dielakkan. Infrastruktur untuk menyediakan akses internet dengan kecepatan tinggi atau yang dikenal dengan nama broadband menjadi semakin penting dalam penyelenggaran telekomunikasi. UU Telekomunikasi telah memberikan ruang bagi penyelenggara ISP untuk dapat menyewa pada Operator, namun tampaknya Kejaksaaan justru memaksa ISP untuk menjadi Operator.

Kejaksaan telah abai memahami secara utuh tujuan dari United Nations Convention Against Corruption 2003 ("UNCAC"), dim ana menyiratkan bahwa perang terhadap korupsi adalah sesungguhnya bertujuan untuk memberikan kelancaran pelayanan publik dim ana tercapainya biaya penyelenggaraan yang murah (consumer objectives), iklim usaha yang sehat (fair competition) dan terlepas dari memperdagangkan pengaruh jabatan (trading in influence) sehingga menghambat akses pasar dan merendahkan mutu layanan publik itu sendiri. Yang terjadi justru kejaksaan menyalahgunakan kewenangan, dengan berdalih menerima bentuk partisipasi masyarakat yang justru telah terbukti melakukan pemerasan kepada industri.13

Kejaksaan terbukti tidak arif dalam menerima aduan masyarakat, apalagi yang jelas terlihat adanya benturan kepentingan. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 44 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa LSM tersebut harus memenuhi syarat (antara lain terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen). lelas terlihat adanya suatu kejanggalan atau setidaknya inkonsistensi pemikiran karena menarik korelasi antara Perlindungan Konsumen dengan dugaan Korupsi.

Sesuai definisi Konsumen selaku pengguna akhir maka pada dasarnya gerakan perlindungan hak konsumen berada pada sisi hilir dari suatu industri. Hal-hal yang reI evan untuk perlindungan konsumen pada sisi hulu adalah desakan kepada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang bersifat preventif untuk perlindungan konsumen (ex-ante regulation) agar eksploitasi konsumen dapat dicegah dan penyelenggaraan telekomunikasi dapat lebih bertanggung jawab. Yang justru terjadi adalah pennasalahan hukum yang berada pada sisi hulu yang akan lebih sarat muatannya kepada kepentingan pelaku usaha dengan iklim kompetisinya ketimbang perlindungan konsumen itu sendiri. Selayaknya Kejaksaan justru harus memeriksa terlebih dahulu

13 www.detik.com.

Page 23: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

pQ1'adoh Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 113

tentang kemungkinan adanya benturan kepentingan dari pihak pelapor. Dalam konteks judicial, hal tersebut telah dijalan oleh Mahkamah Agung dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung yang memberikan persyaratan tehadap gugatan perwakilan oleh masyarakat (class-action) antara lain kejelasan persyaratan pihak-pihak yang mengajukankan perkara agar dapat terjamin bahwa upaya penegakan hukum atas nama masyarakat bersih dari benturan kepentingan. Semua pihak tentunya berharap kewenangan penegakan hukum tidak disalahgunakan akibat adanya benturan kepentingan. Sayangnya belum ada sistem di Indonesia yang dapat menelusuri adanya suatu benturan kepentingan dalam penegakan hukum sehingga belum memenuhi semangat UNCAC.

Kejaksaan selanjutnya juga telah menetapkan kedua perusahaan yakni Indosat dan 1M2 sebagai korporasi yang merugikan negara, padahal keduanya justru memberikan efisiensi pelayanan publik yang diperkenankan oleh regulasi administrasi negara yang menaunginya. Hal tersebut mengakibatkan iklim yang tidak kondusif bagi investasi karena Indosat adalah perusahaan publik ang tercatat dalam pasar modal internasional.

Ringkasnya, dalam paradigma socio-techno business perspective tidak ditemukan sifat perbuatan melawan hukum dalam kerjasama antara Operator dan ISP tersebut. Baik berdasarkan teknologi, praktek bisnis yang berkembang, maupun hukum yang berlaku (UU, PP dan Peraturan Menteri). Berdasarkan best practices dalam industri jasa telekomunikasi consumer objectives dan fair competition untuk efisiensi terselenggaraanya telekomunikasi yang murah kepada publik. Dengan tidak ditemukan adanya un sur secara melawan hukum dalam konteks ini, lalu dimanakah kepastian hukum pada Pasal 2 UU Telekomunikasi itu? siapakah yang sebenarnya mempunyai kewenangan untuk mengatur struktur industri berikut regulasinya jika kewenangan Kemkominfo diabaikan begitu saja oleh pihak Kejaksaan? Siapakah pula yang berwenang melakukan penafsiran terhadap suatu peraturan menteri, apakah menteri yang bersangkutan ataukah kejaksaan? Pertanyaan selanjutnya justru menjadi semakin menarik, apakah kejaksaan sesungguhnya mempunyai kapasitas untuk turut mengatur penyelenggaraan telekomunikasi itu? Fakta permasalahan ini justru mempermalukan penegakan hukum dimata para investor asing.

Permasalahan tesebut memperlihatkan adanya paradoks antara harapan dengan kenyataan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Penulis melihat bahwa begitu luasnya cakupan unsur perbuatan melawan hukum dalam UU Korupsi dan UU Keuangan Negara justru terbukti telah menjadi saran a penzaliman ataupun penyalahgunaan jika dilakukan tanpa mengindahkan karakteristik sektor tertentu. Mungkin hal tersebut sangat dibutuhkan oleh KPK untuk dapat memberangus semua perilaku korup para pejabat dan korporasi terkait, namun ternyata menjadi suatu kesalahan yang sangat fatal jika berada pada tangan orang yang salah. Kecenderungan pemerasan dan indikasi adanya penyalahgunaan telah nyata di depan mata.

Upaya Kejaksaan Agung untuk mengkriminalisasi bentuk kerjasama seperti itu jelas merupakan tindakan yang terlalu jauh dari kapasitas dan kewenangannya. Selain merugikan para terdakwa dan tersangka, juga akan

Page 24: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

114 Jurnal Hukllm dan Pembangllnan Tahlln ke-43 No.1 Janllari-Maret 2013

mempersulit penyelenggaraan telekomunikasi itu sendiri. UU Telekomunikasi tidak dianggap sebagai suatu kekhususan sehingga tidak pemah dipandang sebagai suatu sistem yang utuh. UU Telekomunikasi tidak hanya mengatur mengenai standar penyelenggaraan telekomunikasi melainkan juga mengatur mengenai penegakan hUkumnya. Dalam UU Telekomunikasi diatur mengenai jalur hukum apa saja yang ditempuh dalam hal terjadi sengketa dan atau pelanggaran berkenaan dengan undang-undang ini, yaitu hukum perdata (Pasal 15), hukum administrasi (Pasal 45-46), dan hukum pidana (Pasal 47-59). Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap isi undang-undang in beserta peraturan pelaksananya, maka berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali penegakan hukum yang harus ditempuh adalah penegakan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, bukan undang-undang lainnya.

Secara administratif dapat dipahami bahwa jika yang diperrnasalahkan adalah "pembayaran BHP Telekomunikasi, usa maupun BHP Spektrum Frekuensi Radio", maka menurut UU Telekomunikasi masalah ini adalah sengketa antara Administrasi Negara dengan Pelaku Usaha tidak dengan sendirinya merljadi suatu delik atau kejahatan yang merupakan lingkup hukum pidana korupsi. Sedangkan jika kasus ini adalah "penggunaan spektrum frekuensi radio yang tidak sesuai peruntukannya", maka berdasarkan Pasal 45 jo. Pasal 33 ayat (2) UU Telekomunikasi pun dianggap sebagai suatu delik yang secara in casu pun masih merupakan Tindak Pidana di Bidang Telekomunikasi, bukan Tindak Pidana Korupsi.

Kejaksaan Agung semestinya tidak dapat begitu saja menerapkan peraturan mengenai tindak pidana korupsi dalam masalah ini jika yang diperrnasalahkan adalah mengenai tidak dipenuhinya pembayaran up-front fee dan BHP Penggunaan Spektrum Frekuensi. Jika memang benar apa yang dituduhkan oleh Kejaksaan Agung, maka masalah ini pun selayaknya merupakan bagian hukum administrasi negara dalam lingkup sektor telekomunikasi. 14 Oleh karena itu seharusnya Menteri Komunikasi dan Inforrnatika sebagai Pembina, regulator, pengawas, dan pengendali di bidang telekomunikasi atau yang lebih khusus lagi dalam penggunaan spektrum frekuensi radio yang berwenang menentukan apakah ada pe1anggaran yang dilakukan oleh 1M2 selaku ISP dengan Indosat selaku Operator. 15 Dalam hal terjadi pelanggaran, maka Menteri Komunikasi dan Inforrnatika akan memberikan peringatan tertulis yang bila tidak diindahkan maka akan berujung pada sanksi administratif berupa pencabutan izin. 16 Setelah penegakan hukum administrasi dilakukan, barulah dapat dilakukan penegakan hukum pidana karena permasalahan mengenai penggunaan spektrum fekuensi radio yang tidak dengan izin pemerintah dan tidak sesuai dengan peruntukannya

14 Pasal45 jo. Pasal34 jo. Pasal33 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

15 Pasal 2 jo. Pasal 3 PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.

16 Pasal46 UU No, 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Page 25: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

Paradoks Kriminalisasi Korupsi dalam Sektor Telekomunikasi, Makarim 115

sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (l) dan (2) UU Telekomunikasi. Hal ini pun sebenarnya tidak terjadi dalam kasus ini.

v. Penutup

Akhirnya perlu dipahami bahwa Spektrum frekwensi bukanlah barang milik negara dimana setiap penggunaan frekuensi tanpa izin tidaklah serta merta merupakan suatu kerugian negara. Mengingat karakteristik khusus sektor telekomunikasi maka kriminalisasi korupsi terhadap PKS antara pelaku usaha telekomunikasi tidaklah sesuai dengan semangat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi itu sendiri.

Terhadap PKS tidak terjadi perbuatan secara melawan hukum yang memenuhi unsur perilaku korup atau niatan jahat untuk merugikan keuangan negara, karena telah sesuai dengan best practices ataupun kelaziman pengaturan telekomunikasi global dan sesuai dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku berdasarkan kebijakan dan regulasi dari administrasi negara yang membidanginya.

Terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa dalam memaksakan keberlakuan UU Korupsi terhadap lingkup suatu kewenangan administratif sulit dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban hukum dalam perspektifpelayanan publik.

Dalam prakteknya, harapan terakhir para praktisi telekomunikasi sangat digantungkan kepada kebijaksanaan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang hendaknya secara cermat dan berhati-hati memeriksa masalah ini. Namun sayangnya penegakan sistem hukum korupsi dan keuangan negara justru menjadi ketidak adilan karena proses penegakan hukum yang didominasi oleh ego sektoril yang terkesan sangat memaksakan suatu kasus yang bertentangan dengan kelaziman dan keadilan masyarakat. Pada akhirnya HAM masyarakat untuk berkomunikasi dan berinformasi yang akan menjadi korban karena terganggunya semangat pelayanan publik yang murah.

Dengan melihat semua pemikiran tersebut di atas dapat dilihat bahwa Kejaksaan telah melakukan pengabaian tidak hanya kewenangan Kominfo melainkan juga hak publik untuk memperoleh saluran telekomunikasi, Sekiranya putusan hakim menyatakan bahwa Operator dan ISP tidak bersalah, maka oknum yang memaksakan kasus ini berjalan selayaknya juga dituntut telah menyalahgunakan kewenangan yang berakibat terganggunya pelayanan publik. Pemaksaan kasus yang justru malahan telah membuat citra kejaksaan mejadi semakin rendah jelas sangat disayangkan oleh semua pihak. Oleh karena itu tindakan tegas kepada yang bersangkutan adalah hal yang akan menjadi penyelamat citra institusi kejaksaan masa mendatang agar dapat meraih kembali kepercayaan publik nantinya. Tidak ada kata lain, bangkitnya komunitas telematika untuk meluruskan kembali penerapan hukum yang adil adalah menjadi kata kuncinya. Jangan salahkan masyarakat jika menjadi bangkit bersama untuk melawan suatu tirani ketidakadilan.

Page 26: PARADOKS KRIMINALISASI KORUPSI: SUATU ANCAMAN

116 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-43 No.1 Januari-Maret 2013

Daftar Pustaka

Buckley, John. Telecommunications Regulation, United Kingdom; The Institution of Engineering and Technology, 2003.

Maitra, Amit K. Wireless Spectrum Management, United States of America: McGraw Hill , 2004.

Edward, Chris, Nigel Savage, and Ian Walden. Information Technology and Law, London: Macmillan 1990.

Belitsos, Byron, and Jay Misra. Business Telematics, United State of America: McGraw Hill, 1986.

Republik Indonesia, Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

-----------------------, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

-----------------------, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

-----------------------, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

-----------------------, UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU. No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

-----------------------, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pe1ayanan Publik.