page | 2jurnal rekayasa lingkungan vol.17/no.1/april...
TRANSCRIPT
Page | 5
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
PEMETAAN TINGKAT AKSESIBILITAS DESA
TERHADAP INFRASTRUKTUR AIR MINUM
DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN DOMESTIK
(STUDI KASUS KABUPATEN CILACAP)
Nino Heri Setyoadi1, Primanda Kiky Widyaputra2 1)Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2)Fakultas Teknologi Sumberdaya Alam
Institut Teknologi Yogyakarta
INTISARI Pemanfaatan data Potensi Desa (PODES) BPS dalam perencanaan
pembangunan infrastruktur air minum di sebagian daerah masih kurang optimal.
Bisa jadi hal ini terkait dengan keterbatasan SDM dalam mengolah data-data
tersebut menjadi informasi yang bermanfaat. Pengolahan data PODES yang
dipadukan dengan analisis informasi spasial melalui SIG dapat mendatangkan
keluaran yang lebih informatif. Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memetakan tingkat aksesibilitas air minum dalam pemenuhan kebutuhan
domestik melalui pemanfaatan data PODES dan teknologi dalam SIG.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat mixed methods.
Metode yang digunakan dalam menyusun peta tingkat aksesibilitas desa terhadap
air minum menggunakan metode spasial dan kuantitatif.Metode kuantitatif
digunakan untuk mengukur waktu pengumpulan/penyaluran air dari desa-desa
dengan sumber air minum yang tidak layak (unimproved) ke desa-desa terdekat
dengan sumber air minun layak.Sementara untuk menggambarkan
pendayagunaan infrastruktur air minum menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Unit analisis yang digunakan pada level makro wilayah Kabupaten
Cilacap. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi dokumentasi data
sekunder dan wawancara dengan narasumber. Berdasarkan analisis yang dilakukan, tingkat aksesibilitas desa terhadap
infrastruktur air minum di Kabupaten Cilacap adalah: 14 desa tergolong tidak
ada akses, 9 desa tergolong akses dasar, 45 desa tergolong akses menengah, dan
216 desa tergolong akses optimal. Secara umum distribusi air minum tergolong
cukup baik dengan 4,92% yang tergolong tidak ada akses, 3,16% akses dasar,
15,84% akses menengah, dan 91,54% akses optimal. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat aksesibilitas terhadap infrastruktur air minum di
Kabupaten Cilacap adalah faktor geografis berupa topografi dan infrastruktur
jalan.
Kata Kunci: Infrastruktur, Air Minum, SIG
MAPPING THE LEVEL OF VILLAGE ACCESSIBILITY IN
DRINKING WATER INFRASTRUCTURE IN FULFILLING
DOMESTIC NEEDS (CASE STUDY CILACAP REGENCY)
ABSTRACT The PODES Data from BPS in planning and developingdrinking water
infrastructure in some areas is not optimally used yet. The main problem is
related to the scarce of human resources to process those data subsequently.
PODES data processing integrated with the Geographic Information System
Page | 6
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
(GIS) may bring more informative resultBased on the condition, this research
aims to map and analyze the level of accessibility of drinking water
infrastructure for domestic needs through the use of PODES data and GIS.
The method used in this research was mixed methods, which applied
overlay of the level of accessibility village to the drinking water using the spatial
and quantitativeapproach.Quantitative method was used for measuring time
collection / channeling water from villages to the source of drinking water or to
villagearround the fresh water source. The utilization of drinking water
infrastructure is described by using descriptive qualitative method.Unit analysis
used in this research is at the level of macro area in the level of
kabupaten/regency. Data collection method was conducted through documentation of
secondary data and some interviews with the reliable sources. The result of this
research shows the level of villageaccessibility to drinking water infrastructure
in kabupaten cilacap as follows: 14 villages could be classified as not in access,
9 villages are in basicaccess, 45 villages are in mediumaccess, and 216
villagesare in optimalaccess. In general, the percentage distribution of drinking
water is 4.92 % in no access, 3.16 % in basic access, 15.84 % in medium access,
and 91.54 % in optimal access.Factors that influence the level of accessibility to
drinking water infrastructure in Cilacap Regency are geographic, topography
and road infrastructure.
Keywords: Infrastructure, Drinking Water, GIS
A. PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia
berkomitmen untuk mempercepat
target pencapaian tujuan pem-
bangunan berkelanjutan (SDGs).
Seluruh pemangku kepentingan di
daerah didorong untuk melakukan
percepatan pencapaian target SDGs.
Salah satu target yang harus segera
dicapai adalah menurunkan proporsi
penduduk tanpa akses ke sumber air
minum yang aman dan berkelanjutan
serta sanitasi dasar pada tahun 2019.
Untuk akses terhadap air minum,
gerakan yang ingin dicapai pada
tahun 2019 sebesar 100 % jumlah
penduduk. Kondisi ini menjadi
perhatian serius dari pemerintah dan
pemangku kepentingan terkait.
Upaya percepatan pem-bangunan
air minum dibutuhkan perencanaan
yang efektif dan efisien. Proses
perencaan ini membutuhkan data
yang akurat tentang tingkat
aksesibilitas penduduk terhadap
infrastruktur air minum. Pada tataran
makro, data dan informasi yang
tersedia seyogyanya bisa
menggambarkan tingkat aksesibilitas
penduduk tiap desa untuk sebuah
wilayah kabupaten/kota. Dengan
demikian para pengambil keputusan
di daerah terbantu untuk
memutuskan lokasi mana saja yang
harus didorong aksesibilitasnya
dengan cepat. Sementara pengambil
kebijakan ditingkat pusat dapat
terbantu menyeleksi ketepatan
lokasi-lokasi yang diusulkan
pemerintah daerah untuk
mendapatkan alokasi program
pembangunan air minum seperti dana
alokasi khusus (DAK) air minum dan
Pamsimas.
Page | 7
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
Badan Pusat Statistik (BPS) telah
melakukan survey potensi desa
(PODES) secara periodik. Salah satu
indikator yang disurvey berupa
infrastruktur air bersih yang
digunakan penduduk desa dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Data dasar ini akan lebih bernilai jika
bisa ditransformasikan menjadi data
dan informasi tingkat aksesibilitas
desa terhadap infrastruktur air
minum. Dengan tranformasi data ini,
kualitas informasi yang disajikan
menjadi lebih bermakna dalam
konteks perencanaan percepatan
akses penduduk terhadap air minum.
Saat ini, berbagai data dan
informasi yang bereferensi geografis
termasuk pelayanan infrastruktur air
bersih dapat disajikan secara spasial.
Tabel 1. Tingkat Aksesibilitas Air
Minum Tingkat
Layanan
Jarak /
Waktu
Kemungkina
n Volume
Air yang
didapatkan
Resiko
Kesehatan
Masyarak
at
Tidak
ada
akses
Lebih
dari 1 km
/ lebih
dari 30
menit
satu
putaran
Sangat
rendah
hingga 5 liter
per kapita per
hari
Sangat
Tinggi
Praktik
higiene
terganggu
Konsumsi
dasar
mungkin
terganggu
Akses
dasar
Dalam 1
km /
dalam 30
menit
satu
putaran
Rata-rata 20
liter per
kapita per
hari
Tinggi
Higiene
mungkin
terganggu
Mencuci
baju
mungkin
berlangsun
g diluar
lokasi
distribusi
air
Akses
menenga
h
Air yang
disediaka
n
ditempat
(halaman
Rata-rata 50
liter per
kapita per
hari
Rendah
Higiene
seharusnya
tidak
terganggu
) melalui
sedikitny
a 1 keran
(jarak 1
m)
Mencuci
baju
mungkin
berlangsun
g dilokasi
distribusi
air
Akses
optimal
Pasokan
air
melalui
beberapa
keran
masuk
didalam
rumah
Sekitar 100-
200 liter per
kapita per
hari
Very low
Higiene
seharusnya
tidak
terganggu
Mencuci
baju
mungkin
berlangsun
g dilokasi
distribusi
air
Sumber: Diadopsi dari Guidelines for
Drinking Water Quality
(WHO, 2011)
Bantuan SIG dan referensi terkait
lainnya diharapkan data dasar
tentang sumber air bersih di dalam
data potensi desa dapat diolah
menjadi data baru yang
menggambarkan tingkat aksesibilitas
desa terhadap infrastruktur air bersih.
Upaya ini diharapkan mampu
membantu pengambil keputusan
dalam perencanaan dan monitoring
pembangunan air minum secara
efektif dan efisien.
Pemanfaatan Data PODES BPS
dalam perencanaan pembangunan
infrastruktur air minum di sebagian
daerah kurang optimal. Bisa jadi hal
ini terkait dengan keterbatasan SDM
dalam mengolah data-data tersebut
menjadi informasi yang bermanfaat.
Dengan pemanfaatan data tersebut,
pemerintah daerah sebenarnya bisa
menghemat anggaran karena tidak
perlu melakukan survey/observasi
lapangan sendiri keseluruh wilayah
dikabupaten/kota. Pengolahan data
Page | 8
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
PODES yang dipadukan dengan
analisis informasi spasial melalui
SIG dapat mendatangkan keluaran
yang lebih informatif.
Berdasarkan uraian tersebut,
tulisan ini bertujuan untuk
memetakan tingkat aksesibilitas air
minum dalam pemenuhan kebutuhan
domestik melalui pemanfaatan data
PODES dan teknologi dalam SIG.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tingkat Aksesibilitas Air
Minum
Badan-badan dunia seperti WHO
dan UNICEF memandang penting
tingkat aksesibilitas air minum
sebagai indikator keberhasilan dalam
program penyediaan air minum.
Menurut WHO, akses mudah
terhadap air minum yang aman
didefinisikan sebagai “a proxy that
assesses the use of improved
drinking-water sources by
households”. “Improved drinking-
water sources” didefinisikan sebagai
sumber air minum yang secara alami
atau buatan mampu melindungi dari
pencemaran termasuk dari limbah
feses manusia (WHO, 2011). Sumber
air minum yang layak dalam batasan
WHO terdiri dari: sambungan rumah
tangga (perpipaan PDAM),
hidran/kran umum, sumur bor, sumur
gali terlindungi, mata air terlindungi
dan penampungan air hujan. Untuk
sumber air minum diluar kategori
tersebut seperti mata air tidak
terlindungi, air permukaan, dan air
minum yang diangkut dengan mobil
tanki (biasanya untuk bantuan)
dikategorikan kedalam unimproved
drinking-water sources.
Menilai tingkat aksesibilitas
dibutuhkan indikator jarak penduduk
terhadap sumber air yang layak,
waktu tempuh dalam pengumpulan
air bersih, dan volume air bersih
yang dikumpulkan. WHO (2011)
telah membangun konsep
aksesibilitas menggunakan ketiga
indikator tersebut. Dengan ketiga
indikator tersebut, terdapat empat
kategori aksesibilitas. Adapun
kategori aksesibilitas dapat dilihat
pada Tabel 1. Kuantitas air yang
didapatkan dan digunakan rumah
tangga umumnya ditentukan oleh
jarak ke sumber air dan waktu
penyaluran yang diperlukan oleh
konsumen.
Berbagai pakar menekankan
pentingnya jarak dan waktu dalam
melihat tingkat aksesibilitas air
minum. Prost dan Negrel (1989), dan
Gorter et al., (1991) menyatakan
waktu penyaluran/pengumpulan air
minum ≤ 30 menit dengan jarak ≤
500 meter dapat mengurangi resiko
penyakit diare dan trachoma
(penyakit mata). Waktu
penyaluran/pengumpulan air minum
lebih dari 30 menit dapat mengurangi
volume air secara tajam dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan
minimum (Aiga dan Umenai, 2002;
Mara, 2003). Aiga dan Umenai
(2002) menjelaskan suatu konsep
bahwa dengan peningkatan suplai air
minum, akan memberikan manfaat
Page | 9
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
berupa penghematan waktu.
Kemudahan dalam memperoleh
suplai air minum akan mengurangi
jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
memperoleh air minum, sehingga
waktu yang tersebut dapat digunakan
untuk keperluan lain seperti bekerja
dan mengurus rumah tangga.
Berdasarkan hal tersebut, faktor
determinan dalam menilai tingkat
aksesibilitas yang digunakan adalah
waktu penyaluran/pengumpulan air.
2. Konsumsi Domestik Air
Minum
Konsumsi air minum dibedakan
menjadi konsumsi domestik (rumah
tangga) dan non-domestik. Konsumsi
non domestik berupa konsumsi
industri, komersial, institusional dan
pertanian (Ratnayaka et al., 2009).
Pada kegiatan rumah tangga,
beberapa pakar membedakan tipe
konsumsi air minum menjadi 4 jenis
(White et al., 1972; Thompson et al.,
2001 dalam Aiga, 2003). Adapun 4
jenis konsumsi domestik meliputi :
a. Ingestion use (hidrasi/minum
dan memasak makanan),
b. Hygiene use (cuci tangan, cuci
bahan makanan, mandi,
kebersihan toilet, and cuci
pakaian),
c. Amenity use (cuci mobil,
menyiram tanaman, dan
rekreasi) dan
d. Productive use (pertanian
dipekarangan, minuman ternak,
dan sebagainya)
Kemampuan konsumsi air minum
memiliki hubungan erat dengan
tingkat aksesibilitas yang
ditampilkan pada Tabel 1. Hutton
dan Bartram (2003) menegaskan
bahwa berbagai bukti menunjukkan
bahwa volume air yang dikumpulkan
untuk memenuhi kebutuhan
domestik tertentu tergantung dari
akses yang ditentukan berdasarkan
jarak dan waktu penyaluran/
pengumpulan air minum.
Wilayah tidak ada akses,
kemampuan konsumsi untuk hygiene
sangat rendah. Untuk kebutuhan
minum mungkin dapat dipenuhi
dengan volume yang terbatas.
Namun frekuensi kegiatan mandi dan
mencuci pakaian berkurang secara
signifikan (Thompson et al., 2001
dalam Hutton dan Bartram, 2003).
Pada wilayah akses dasar, rumah
tangga dinyatakan memiliki tingkat
keamanan dasar dalam konsumsi
domestik. Pada wilayah ini, praktik
higiene seperti mandi dan mencuci
pakaian dilakukan ditempat/lokasi
sumber air seperti keran
umum/hidran umum. Namun tidak
semua kebutuhan domestik bisa
dipenuhi di wilayah ini. Padahal,
tersedianya air minum yang terjaga
kualitas, kuantitas, dan
kontinuitasnya dapat meningkatkan
meningkatkan kesehatan masyarakat
atau lingkungan, yakni berperan
dalam menurunkan angka penderita
penyakit khususnya penyakit yang
berkaitan dengan air (waterborne
Page | 10
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
diseases), dan berperan dalam
mengingkatkan standar hidup (living
standard) masyarakat (Said, 1999).
Pada wilayah akses menengah
memiliki tingkat keamanan konsumsi
domestik. Berbagai tipe konsumsi
domestik sudah bisa dipenuhi dengan
kualitas air yang lebih terjamin.
Namun kontinuitas suplai air minum
tidak bisa dijamin sepenuhnya.
Gangguan-gangguan distribusi pada
jaringan perpipaan sangat mungkin
terjadi. Namun diasumsikan
masyarakat bisa mengantisipasi
dengan me-manfaatkan
penampungan air didalam rumah.
Terakhir pada wilayah akses optimal
dinyatakan rumah tangga memiliki
tingkat keamanan konsumsi
domestik yang efektif. Pada wilayah
ini, kuantitas, kualitas dan
kontinyuitas pasokan air mampu
memenuhi berbagai jenis konsumsi
domestik (Hutton dan Bartram,
2003).
C. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan
bersifat mixed methods. Metode yang
digunakan dalam menyusun peta
tingkat aksesibilitas desa terhadap air
minum menggunakan metode
kuantitatif. Metode kuantitatif
digunakan untuk mengukur waktu
pengumpulan/penyaluran air dari
desa-desa dengan sumber air minum
yang tidak layak (unimproved) ke
desa-desa terdekat dengan sumber air
minun layak. Sementara untuk
menggambarkan pendayagunaan
infrastruktur air minum
menggunakan metode deskriptif
kualitatif.
2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada
Tahun 2013. Unit analisis yang
digunakan yaitu pada level makro
wilayah Kabupaten Cilacap, yang
meliputi 24 kecamatan.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
digunakan meliputi dokumentasi data
sekunder dan wawancara dengan
nara sumber. Data sekunder
digunakan untuk menyusun peta
tingkat aksesibilitas. Data sekunder
yang digunakan berupa data PODES
2011 yang di keluarkan oleh BPS.
Selain itu dalam proses pemetaan
menggunakan peta jaringan jalan
Kabupaten Cilacap yang dikeluarkan
Badan Informasi Geospasial. Peta
tersebut berperan dalam mengukur
waktu pengumpulan / penyaluran air.
Dokumen-dokumen lainnya juga bisa
digunakan seperti laporan-laporan
program penyediaan air minum yang
dilaksanakan oleh dinas/instansi
terkait. Dalam hal ini, dokumen yang
dijadikan rujukan yakni dokumen
Laporan Keberlanjutan Pamsimas
2008 – 2011 Kabupaten Cilacap.
Wawancara dengan narasumber
berguna untuk mendapatkan
gambaran pendayagunaan
infrastruktur air minum dalam
pemenuhan kebutuhan domestik.
Narasumber yang diwawancarai
Page | 11
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
meliputi unsur Pemerintah
Kabupaten Cilacap seperti Bappeda,
Dinas Cipta Karya, dan PDAM.
Selain itu wawancara dilakukan
kepada tokoh masyarakat, fasilitator
Pamsimas dan pengurus Badan
Pengelola Sistem Penyediaan Air
Minum (BP-SPAM) di tingkat desa.
4. Metode Pemetaan
Proses pemetaan tingkat
aksesibilitas menggunakan alat bantu
olah data dan pemetaan. Untuk
mengolah data PODES alat bantu
yang digunakan adalah microsoft
access (MS-Access). Untuk
pengukuran waktu pengumpulan /
penyaluran air dan pembuatan peta
tingkat aksesibilitas menggunakan
perangkat lunak ArGIS 10. Adapun
prosedur pembuatan peta tingkat
aksesibilitas ini sebagai berikut (lihat
Gambar 1) :
Gambar 1. Prosedur Pemetaan Tingkat
Aksesibilitas Air Minum
5. Analisis Data
a. Kategorisasi Sumber Air Minum
PODES 2011 terdapat data
tentang sumber air bersih untuk
kebutuhan minum/memasak oleh
mayoritas penduduk desa. Sumber
air tersebut terdiri dari ; air kemasan,
PDAM, pompa air listrik/tangan,
sumur, mata air, sungai/danau/kolam,
air hujan, dan lain-lain. Mengacu
pada pedoman kualitas air minum
WHO (2011), sumber air bersih
tersebut dapat dikategorisasikan
kedalam sumber air yang terlindungi
dan tidak terlindungi. Panduan
kualitas air minum WHO (2011)
menyatakan sumber air minum yang
terlindungi terdiri; sambungan rumah
tangga (PDAM), kran/hidran umum,
sumur gali, sumur gali terlindungi,
mata air terlindungi, penampungan
air hujan. Sementara untuk sumber
air tidak terlindungi terdiri: sumur
tidak terlindungi, mata air tidak
terlindungi, air yang dijajakan, air
botolan, tangki air penyalur air.
Berdasarkan kriteria tersebut,
sumber air PDAM, pompa air
listrik/tangan, dan sumur
dikategorikan dalam sumber air
terlindungi. Sementara untuk sumber
air yang berasal dari
sungai/danau/kolam, mata air, dan air
hujan dikategorikan dalam sumber
air tidak terlindungi. Untuk sumber
air berupa sungai/danau/kolam
secara umum dalam kondisi keruh,
apalagi Kabupaten Cilacap secara
geografis berada diwilayah hilir
sehingga berpotensi menerima beban
sedimentasi dan pencemaran dari
wilayah tengah atau hulu DAS.
Berdasarkan penelusuran buku LP2K
Pamsimas Kabupaten Cilacap 2011,
Page | 12
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
untuk mata air secara umum tidak
dapat berfungsi optimal pada musim
kemarau. Kekeringan terjadi
sebagian desa-desa dengan sumber
mata air sehingga biaya untuk
mencari air bersih menjadi mahal.
b. Analisis OD Cost Matrix
Pembuatan peta sebaran
infrastruktur air bersih dilakukan
setelah mengkategorikan sumber air
bersih di tiap desa. Berdasarkan
sebaran tersebut, maka dapat
dibangun asumsi-asumsi untuk
mengukur waktu penyaluran /
pengumpulan air minum. Asumsinya
penduduk di desa-desa dengan
sumber air minum tidak terlindungi
mencari air bersih di desa-desa
dengan sumber air minum
terlindungi. Preferensi yang
digunakan penduduk dalam mencari
sumber air terlindungi didasarkan
pada waktu tempuh terpendek.
Analisis OD cost matrix
digunakan untuk mengukur waktu
tempuh dan jarak dari titik asal
(origin) ke titik tujuan (destination).
Desa-desa dengan sumber air tidak
terlindungi merupakan titik origin
sedangkan desa-desa disekelilingnya
dengan sumber air terlindungi
merupakan titik destination. Hasil
dari analisis melakukan OD cost
matrix berupa jarak dan waktu
tempuh dari origin ke destination.
c. Penentuan Tingkat Aksesibilitas
Proses kategorisasi tingkat
aksesibilitas mengacu kepada
ketentuan WHO (2011) yang
terdapat dalam Tabel 1. Untuk desa-
desa dengan sumber air PDAM dan
Pompa Listrik dikategorikan dalam
akses optimal karena pasokan air
keran masuk di dalam rumah. Desa-
desa dengan sumber air sumur gali
terlindungi dan hidran / keran umum
(sebagian besar disediakan program
Pamsimas) dikategorikan dalam
akses menengah. Sementara desa-
desa dengan sumber air mata air dan
sungai bisa dikategorikan dalam
akses dasar atau tidak ada akses,
tergantung dari waktu
pengumpulan/penyaluran air.
d. Analisis Faktor
Analisis faktor yang ber-
pengaruh terhadap aksesibilitas
dilakukan dengan memanfaatkan
pengolahan data spasial meliputi peta
aksesibilitas desa terhadap
infrastruktur air bersih, peta
topografi dan citra satelit. Peta
topografi diperoleh dari Kontur Peta
Rupa Bumi Indonesia yang
selanjutnya dibangun menjadi data
DEM dan Lereng. Analisis terhadap
kondisi infrastruktur air minum
dibantu dengan data Pamsimas.
Pemanfaatan infrastruktur air minum
dideskripsikan dari data wawancara
dan pengamatan lapangan.
Wawancara dilakukan dengan unsur
pemerintah daerah (dinas / instansi
terkait), tokoh masyarakat, akademisi
setempat. Dengan mendeskripsikan
pemanfaatan infrastruktur air minum,
dapat dilihat kecenderungan pola
pemanfaatannya pada setiap tingkat
aksesibilitas.
Page | 13
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Aksesibilitas penduduk terhadap
sumber air minum terlindungi
menjadi indikator kunci dalam
menilai keberhasilan program
penyediaan infrastruktur air minum.
Sumur gali merupakan sumber air
bersih mayoritas yang digunakan
warga desa yang tersebar di 198 desa
(69,72 %). Berikutnya berupa mata
air yang tersebar di 34 desa (11,97
%), sumur pompa 26 desa (9,15 %),
PDAM 25 desa (8,80 %), dan sungai
1 desa (0,35 %). Gambaran distribusi
sumber air minum di Kabupaten
Cilacap dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sebaran Sumber Air Minum
Berdasarkan peta (Gambar 2),
desa-desa dengan sumber air mata air
(warna kuning) dan sungai (warna
coklat), merupakan titik origin.
Desa-desa tersebut secara umum
terletak di wilayah kecamatan
Deyeuhluhur, Wanareja, Majenang,
Cimanggu, Karangpucung dan
Cipari. Sebagian kecil berada di
wilayah Kecamatan Kampung Laut
dan Jeruklegi. Secara geografis,
sebagian besar wilayah ini
merupakan daerah perbukitan kecuali
di Kampung Laut. Penduduk yang
tinggal di desa-desa tersebut
menggantungkan ketersediaan air
pada sumber mata air, dimana pada
musim kemarau ketika debit mata air
menurun, kekurangan air berpotensi
terjadi. Penduduk desa harus mencari
alternatif sumber air lainnya
termasuk mencari sumber air di desa
sekitarnya yang masih baik. Desa-
desa disekitar titik origin dengan
warna biru, biru muda, dan krem
menjadi desa tujuan (titik
destination).
Dengan menggunakan analisis
OD Cost Matrix dan asumsi waktu
tempuh dari panjang jalan yang
dilalui (Tabel 2), desa-desa origin
harus menempuh jarak lebih dari 1
kilometer untuk mencapai sumber air
dari destination terdekat. Jarak
tempuh antar desa origin dan
destination terdekat adalah 4039,46
meter (>4 km) dengan jarak terjauh
mencapai lebih dari 30 km dan waktu
tempuh berkisar antara 17 – 139,9
menit.
Tabel 2. Hasil Analisis OD Cost Matrix Sebagian Desa di Kabupaten Cilacap
Desa Origin Desa
Destination
Waktu
(menit)
Jarak
(meter)
Desa
Origin
Desa
Destination
Waktu
(menit)
Jarak
(meter)
Cilumping Bolang 35,04 9005,00
Pegadingan Sidasari 19,69 4877,03
Sumpinghayu Jambu 27,81 6953,55
Ujunggaga
k Grugu 139,99 34999,193
Page | 14
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
Sadahayu Sepatnunggal 22,53 7513,21
Mendala Jambusari 22,21 6758
Pengadegan Sepatnunggal 19,37 4922,49
Prapagan Jambusari 15,53 4039,46
Sadabumi Sepatnunggal 19,32 4851,34
Citepus Kalijeruk 25,18 6295,85
Datar Bingkeng 28,12 7031,43
Hanum Dayeuh Luhur 17,3 4324,23
Panulisan
Barat Matenggeng 20,3 5983,43
Palugon Dayeuh Luhur 38,62 10290,05
Cigintung Limbangan 24,58 6145,74
Negarajati Cisalak 20,07 6175,52
Tambaksari Dayeuh Luhur 17,56 5753,52
Pamulihan Babakan 29,34 7336,91
Hasil analisis OD Cost Matrix
setelah dikombinasikan dengan
variabel jenis sumber air minum
(terlindung/ tidak terlindung),
kemudian diperoleh kategori
aksesibilitas air minum. Kategorisasi
aksesibilitas (Gambar 3)
menunjukkan terdapat 14 desa
(4,92%) yang termasuk dalam
kategori tingkat aksesibilitas paling
rendah (tidak ada akses), 9 desa
tergolong akses dasar (3,16%), 45
desa tergolong akses menengah
(15,84%), dan 216 desa tergolong
akses optimal (91,54%).
Secara spasial, sebaran desa-desa
dengan sumber air dari mata air
terdapat pada bagian utara
Kabupaten Cilacap yang merupakan
daerah dengan topografi perbukitan
dan pegunungan. Faktor topografi
berpengaruh dalam ketersediaan air
bersih. Berdasarkan hasil
superimpose peta topografi dengan
peta aksesibiltas air bersih, dapat
dilihat bahwa desa-desa yang
tergolong tingkat akses rendah
hingga tidak ada akses sebagian
besar terdapat pada topografi
berbukit dan bergunung.
Distribusi airtanah yang terdapat
dalam suatu cekungan hidrogeologi
sangat dipengaruhi oleh kondisi
geologi dan topografi (Goderniaux et
al., 2013). Teori ini sesuai dengan
apa yang dijumpai di Kabupaten
Cilacap, dimana beberapa desa yang
terletak di topografi berbukit dan
bergunung tidak memiliki akses air
minum (Gambar 4). Pada gambar
tersebut, warna merah menunjukkan
elevasi tinggi, sedangkan warna hijau
menunjukkan elevasi rendah.
Sementara pada gambar, warna hijau
muda menunjukkan tidak ada akses
air bersih, warna hijau tua
menunjukkan akses optimal air
minum.
Page | 15
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
Gambar 3. Peta Tingkat Aksesibilitas
Air Minum
Topografi dan lereng menjadi
salah satu penentu apakah pada suatu
lokasi memiliki airtanah yang mudah
diakses.Air hujan cenderung lebih
banyak bergerak sebagai aliran
permukaan ketimbang mengisi
sistem airtanah.Sebaliknya, daerah
yang lebih datar cenderung lebih
banyak menyimpan airtanah
sehingga banyak dijumpai sumur
gali. Dari segi infrastruktur, topografi
berbukit/ bergunung menjadi
hambatan dalam penyediaan air
bersih melalui perpipaan, sehingga
tidak semua lokasi dengan karakter
topografi seperti itu dapat dijangkau
oleh jaringan perpipaan (PDAM).
Gambar 4. Topografi dan Akses Air Bersih
Kondisi topografi daerah tersebut
yang tergolong berbukit (kemiringan
lebih dari 21°) menyebabkan akses
jalan panjang dan berkelok-kelok,
sehingga menambah waktu tempuh
dalam mencapai sumber air minum.
Page | 16
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
Dalam hal ini, desa yang memiliki
sumber air tak terlindungi
(unimproved) memerlukan jalur jalan
menuju desa dengan sumber air
terlindungi (improved). Hanya saja,
kenampakan topografi yang berbukit
dan bergunung berpengaruh terhadap
jalur jalan yang cenderung berliku
menyesuaikan kondisi topografi
tersebut. Sebagaimana terlihat dalam
Gambar 5, beberapa desa (misal:
Cilumping, Sumpinghayu, Datar,
Sadahayu, Sadabumi, dan
Pengadegan) dengan jalan yang
cenderung berliku membutuhkan
waktu tempuh yang lebih lama dan
jarak yang lebih jauh untuk mencapai
desa tujuan terdekat.
Gambar 5. Jaringan Jalan Beberapa Desa di Kabupaten Cilacap
Temuan lain dijumpai pada
beberapa desa yang tidak terdapat
pada topografi terjal namun masuk
dalam klasifikasi tidak ada akses air
minum, yaitu Desa Mendala,
Citepus, dan Ujunggagak. Desa
Ujunggagak terdapat pada daerah
sekitar pesisir, sedangkan Desa
Mendala dan Citepus terdapat di
bawah lereng kaki perbukitan.
Berdasarkan analisis Best Route
(Tabel 3), jarak tempuh optimal antar
Desa Ujunggagak dengan desa
terdekat yaitu Grugu dan Panikel.
Analisis menunjukkan bahwa rute
terdekat adalah menuju Desa Panikel
sejauh 600 meter, sedangkan untuk
Desa Mendala, rute paling optimal
adalah menuju Desa Dondong sejauh
1639 meter, sementara untuk Desa
Citepus adalah menuju Desa
Mentasan dengan jarak 5573 meter.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh
faktor jalan yang mempengaruhi
tingginya waktu dan jarak tempuh
(Gambar 6). Hasil tersebut sekaligus
mempertegas bahwa faktor
infrastruktur jalan sangat
berpengaruh terhadap kemudahan
memperoleh air bersih. Untuk itu
diperlukan alternatif rute paling
optimal sebagai jalur pengambilan
air bersih.
Tabel 3. Hasil Analisis Best Route
Desa
Origin
Desa
Destination
Jarak
(meter)
Alternatif
(Best
Route)
Jarak
(meter)
Page | 17
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
Mendala Jambusari 7106 Dondong 1639
Citepus Kalijeruk 6646 Mentasan 5573
Ujungga
gak Grugu 10947 Panikel 600
Gambar 6. Analisis Best Route Beberapa Desa di Kabupaten Cilacap
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Tingkat aksesibilitas desa
terhadap infrastruktur air minum
di Kabupaten Cilacap adalah
sebagai berikut: 14 desa
tergolong tidak ada akses, 9 desa
tergolong akses dasar, 45 desa
tergolong akses menengah, dan
216 desa tergolong akses optimal.
Secara umum distribusi air
minum tergolong cukup baik
dengan 4,92% yang tergolong
tidak ada akses, 3,16% akses
dasar, 15,84% akses menengah,
dan 91,54% akses optimal.
b. Faktor-faktor yang mem-
pengaruhi tingkat aksesibilitas
terhadap infrastruktur air minum
di Kabupaten Cilacap adalah
faktor geografis berupa topografi
dan infrastruktur jalan.
2. Saran
a. Pemanfaatan data PODES dan
SIG perlu dioptimalkan dalam
mendukung perencanaan
infrastruktur air minum yang
berkelanjutan dan terdistribusi
dengan baik.
Page | 18
JURNAL REKAYASA LINGKUNGAN VOL.17/NO.1/April 2017
b. Penelitian ini hanya mengacu
pada data sekunder dan spasial,
sehingga selanjutnya dapat
dikembangkan penelitian lanjutan
dengan melakukan survei
lapangan dan pengambilan data
primer untuk memperoleh hasil
yang lebih representatif.
Penelitian lanjutan juga
diperlukan untuk memetakan
kondisi saat ini yang telah
mengalami perkembangan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Aiga, H.& Umenai, T. 2002. Impact
of improvement of water
supply on household
economy in a squatter
area of Manila. Social
Science & Medicine 55
(2002) 627–641
Aiga, H. 2003. Household Water
Consumption and The
Incident of Diarrhoea.
WHO/EMRO Consultation
Meeting on Minimum
Household Water Security
Requirements and Health.
Amman.
Goderniaux, P., et al. 2013.
Partitioning a regional
groundwater flow system
into shallow local and
deep regional flow
compartments. Water
Resources Research, Vol.
49, 1–13. Doi:
Doi:10.1002/Wrcr.20186
Gorter, AC., Sandiford,P., Smith,
GD., et al. 1991. Water
Supply, Sanitation and
Dirrhoeal Disease in
Nicaragua (Result from a
Case-Control
Study).International
Journal of Epidemiology.
20 (2):527-533
Hurton, G., Barrtram, J. 2003.
Domestic Water Quantity,
Service Level and Health.
Geneva:WHO
Mara, D.D. 2003. Water, Sanitation
and Hygiene for The
Health of Developing
Nations. Journal of The
Royal Institute of Public
Health. 117:452-456
Prost, A., Negrel AD. 1989. Water,
trachoma, and
conjunctivitis. Bulletin of
WHO. 67 (1):9-18
Ratnayaka, D. D., Brandt, M.J., dan
Johnson, K.M.
2009.Twort’s Water
Supply. Burlington:
Elsevier Ltd.
Said, N.I dan Wahyono, H. D.
1999.Teknologi
Pengolahan Air Bersih
Dengan Proses Saringan
Pasir Lambat, Kelompok
Teknologi Pengolahan Air
Bersih dan Limbah Cair.
BPPT- Lingkungan,
Jakarta
WHO. 2011. Guidelines for Drinking
Water Quality-4th Edition.
Geneva: WHO Press