oseana_xxix(1)19-26

8
Oseana, Volume XXIX, Nomor 1, Tahun 2004 : 19 - 26 ISSN 0216-1877 PENANGANAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN PESISIR INDONESIA: SUATU PROGRAM YANG SANGAT MENDESAK Oleh Pramudji 1) ABSTRACT HANDLING FOR MANGROVE FOREST IN THE COASTAL ZONE OF INDONE- SIA: A VERY URGENT PROGRAM. As population pressures increase and the speed of economic development accelerates, these mangroves are increasingly degradated or destroyed and their ecological functions impaired. Because of the economic importance of these areas convert coastal and other wetlands to alterna- tive uses will increase in the twenty century. The mangrove ecosystem is just one of the coastal wetlands habitats that are affected by this development pressure. Since mangrove forest are such an integral part of the coastal zone, their utilization and management should be considered within the framework of a broader coastal zone management strategy, in which equal attention is given to both near shore areas and the terrestrial hinterland. A national mangrove management plan should be part of an integrated national coastal zone management plan which is an integral part of the national strategy for biodiversity. PENDAHULUAN Hutan mangrove di Indonesia tumbuh dan tersebar hampir di sepanjang kawasan pesisir, namun hanya terkonsentrasi pada kawasan pesisir pulau-pulau besar, misalnya Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Halmahera, Pulau Jawa dan Pulau Irian. Pada pulau-pulau besar tersebut, terdapat aliran sungai yang besar dan pada umumnya di kawasan muaranya terbentuk delta yang beragam bentuk dan ukurannya. Kondisi kawasan delta tersebut memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan berkembangnya hutan mangrove di kawasan pantai, bahkan ukuran ketebalannya mencapai puluhan kilo- meter ke arah darat. Sedangkan pada pulau- pulau kecil atau pada gugusan pulau, seperti Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, Kepulauan Natuna dan Kepulauan Riau, hutan mangrove tumbuh seperti gerumbulan tipis dengan struktur yang sederhana dan bahkan sering hanya berupa tegakan tunggal. Sebagai sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir, hutan mangrove mempunyai fungsi strategis sebagai produ- sen primer yang mampu menopang dan sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Upload: riskahmappile

Post on 04-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ecology

TRANSCRIPT

Page 1: oseana_xxix(1)19-26

Oseana, Volume XXIX, Nomor 1, Tahun 2004 : 19 - 26 ISSN 0216-1877

PENANGANAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN PESISIR INDONESIA: SUATU PROGRAM YANG SANGAT MENDESAK

Oleh

Pramudji 1)

ABSTRACT

HANDLING FOR MANGROVE FOREST IN THE COASTAL ZONE OF INDONE-SIA: A VERY URGENT PROGRAM. As population pressures increase and the speed of economic development accelerates, these mangroves are increasingly degradated or destroyed and their ecological functions impaired. Because of the economic importance of these areas convert coastal and other wetlands to alterna-tive uses will increase in the twenty century. The mangrove ecosystem is just one of the coastal wetlands habitats that are affected by this development pressure. Since mangrove forest are such an integral part of the coastal zone, their utilization and management should be considered within the framework of a broader coastal zone management strategy, in which equal attention is given to both near shore areas and the terrestrial hinterland. A national mangrove management plan should be part of an integrated national coastal zone management plan which is an integral part of the national strategy for biodiversity.

PENDAHULUAN

Hutan mangrove di Indonesia tumbuh dan tersebar hampir di sepanjang kawasan pesisir, namun hanya terkonsentrasi pada kawasan pesisir pulau-pulau besar, misalnya Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Halmahera, Pulau Jawa dan Pulau Irian. Pada pulau-pulau besar tersebut, terdapat aliran sungai yang besar dan pada umumnya di kawasan muaranya terbentuk delta yang beragam bentuk dan ukurannya. Kondisi kawasan delta tersebut memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan berkembangnya

hutan mangrove di kawasan pantai, bahkan ukuran ketebalannya mencapai puluhan kilo-meter ke arah darat. Sedangkan pada pulau-pulau kecil atau pada gugusan pulau, seperti Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, Kepulauan Natuna dan Kepulauan Riau, hutan mangrove tumbuh seperti gerumbulan tipis dengan struktur yang sederhana dan bahkan sering hanya berupa tegakan tunggal.

Sebagai sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir, hutan mangrove mempunyai fungsi strategis sebagai produ-sen primer yang mampu menopang dan

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 2: oseana_xxix(1)19-26

menstabilkan ekosistem darat maupun perairan di sekitarnya. Fungsi tersebut antara lain adalah dalam menyediakan pakan, tempat berlindung dan bertelor, serta sebagai tempat hidup bagi berbagai organisme akuatik yang hidup di sekitarnya. Kebenaran dari pernyataan tersebut telah dibuktikan oleh para pakar, misalnya SASEKUMAR et al (1992) dan BURHANUDIN (1993) mengungkapkan bahwa berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi tmggi, menggunakan mangrove sebagai habi-tat dalam siklus hidupnya DAVIES & CLARIDGE (1993) melaporkan bahwa jenis ikan kakap (Lates calcarifer), kepiting bakau (Scylla serrata) dan ikan salmon (Polynemus shehdani), serta berbagai jenis udang dan moluska merupakan jenis biota yang hidupnya bergantung pada hutan mangrove.

Secara ekologis, hutan mangrove juga berperan dalam menstabilkan wilayah pantai, karena sistem perakarannya mampu sebagai perangkap substrat lumpur. Rhizophora sp., Avicennia sp. dan Sonneratia sp. adalah jenis-jenis tumbuhan mangrove yang mampu mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, serta menahan gempuran badai yang datang dari laut (DAVIES & CLARIDE, 1993; OTHMAN, 1994). Sedangkan bagi ekosistem daratan, mangrove berperan sebagai penyangga aktivitas ekonomi manusia, serta sebagai stabilisator pantai. Disamping peran tersebut, hutan mangrove secara langsung juga berperan sebagai sumberdaya yang mampu menghasilkan berbagai produk, yaitu arang, bahan bangunan kayu ekstrak tanin, bahan pulp dan kerjas.

Berdasarkan hasil inventarisasi yang telah dilakukan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia adalah sekitar 8,6 juta hektar yang terdiri atas 3,8 hektar terdapat di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar terdapat di luar kawasan hutan. Namun demikian, informasi tersebut nampaknya sangat kontradiktif dengan yang dilaporkan

oleh DARSIDI (1984) dan BIPRAN (dalam PARRY, 1996) yang memaparkan luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar. Menurut GIESEN dalam PARRY (1996) luas hutan man-grove di Indonesia pada tahun 1993 hanya sekitar 2,49 juta hektar. Penurunan luasan hutan mangrove di Indonesia yang cukup signifikan terjadi sejak tahun 1982hingga 1993, nampaknya berkaitan erat dengan adanya konversi hutan mangrove yang sebagian besar diperuntukkan sebagai pertambakan. Namun disisi lain, upaya yang telah dilakukan unruk mengelola dan menjaga sumberdaya tersebut dari kerusakan baik oleh institusi pemenntah terkait, LSM, maupun masyarakat pesisir belum memberikan hasil yang nyata. Hal mi kemungkinan disebabkan karena rendahnya perhatian dari berbagai pihak dan kurangnya koordinasi dan monitoring, sehingga menyebabkan program yang telah dicanangkan tidak berjalan secara optimal.

Disamping itu, terkait dengan kegiatan pengalihfungsian (konversi) hutan mangrove yang diperuntukkan sebagai pertambakan, pertanian maupun kawasan pemukiman, hingga saat ini masih berlangsung. Penyebab utama terjadinya kegiatan tersebut. nampaknya tidak terlepas dan penegakan hukum yang belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan, serta kesadaran masyarakat terhadap lingkungan pesisir masih rendah atau bahkan mereka tidak mau tahu tentang pelestarian lingkungan. Menurut laporan yang dipaparkan oleh PRAMUDJI (2001,2002; 2003) kondisi tersebut di atas, dapat ditemukan antara lain di kawasan pesisir Penajam dan Delta Mahakam (Kalimantan Timur), pesisir Teluk Saleh (Sumbawa), Polewali (Sulawesi Selatan), di sepanjang pantai utara Jawa (PANTURA) dan di pesisir Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Tampaknya kerusakan dan pe-nurunan luas area hutan mangrove merupakan fenomena umum yang terjadi di beberapa daerah. Pengelolaan hutan mangrove yang

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 3: oseana_xxix(1)19-26

merupakan bagian yang tidak lepas dari pembangunan nasional, sebetulnya diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, namun harus tetap menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistemnya, termasuk hutan man-grove harus diselenggarakan atas dasar pola kebijaksanaan yang dituangkan dalam Strategi Konservasi Alam Indonesia yang memiliki prinsip 3P, yaitu "Perlindungan, Pengawetan dan Pelestarian " (ANONIMOUS, 1993; ABDULLAH, 2001). Secara rinci makna dari tiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nuftah dengan menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia.

3. Pelestarian pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya dengan mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatan yang lebih bijaksana, sehingga diperoleh manfaat yang opti mal dan berkesinambungan.

PAYUNG PERATURAN YANG RELEVAN

Beberapa puluh tahun yang silam, ketika tekanan manusia terhadap hutan mangrove masih relatif rendah, pemanfaatan hutan mangrove yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat tidaklah menjadi masalah, karena pemanfaatan pada tingkat lokal tersebut keberadaan hutan mangrove masih dilindungi oleh hukum adat. Namun selama beberapa dekade kemudian, tekanan manusia terhadap hutan mangrove

semakin meningkat cukup drastis baik secara kualitas maupun kuantitasnya, sehingga dampaknya sangat mengkawatirkan terhadap nasib hutan mangove di beberapa pesisir di Indonesia. Terkait dengan kondisi hutan manggrove yang terjadi di beberapa kawasan pesisir tersebut, serta kita sadari bersama bahwa hutan mangrove telah banyak memberikan manfaat bagi kehidupan biota termasuk manusia yang hidup di sekitarnya, maka program untuk mempertahankan eksistensi hutan mangrove tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen dan mendesak.

Dampak dari penurunan luas area hutan mangrove yang terjadi di beberapa pesisir Indonesia sebagai akibat dari pola pemanfaatan yang ceroboh tersebut, maka pemerintah telah mencanangkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sektor kehutanan, sektor perikanan serta yang berhubungan dengan jalur hijau (green belt). Hingga saat ini, pada kenyataannya untuk pengelolaan hutan mangrove "belum ada" landasan hukum berupa peraturan perundangan yang khusus mengatur pengelolaan mangrove. Oleh karena itu, landasan hukum yang dijadikan pegangan untuk memayungi pengelolaan dan pelestarian, serta konservasi hutan mangrove di Indonesia "masih mengacu" pada peraturan perundang-undangan sebagai berikut di bawah ini:

1. Undang Undang Dasar Tahun 1945, pasal 33 ayat 3.

2. Undang undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria.

3. Undang undang Nomor 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

4. Undang undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah.

5. Undang undang Nomor 11 Tahun 1974, tentang Pengairan.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 4: oseana_xxix(1)19-26

6. Undang undang Nomor 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa.

7. Undang undang Nomor 4 tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

8. Undang undang Nomor 9, tentang Perikanan.

9. Undang undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

10. Undang undang Nomor 24 Tahun 1992, tentang Kepariwisataan.

11. Undang undang Nomor 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

12. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1967, tentang Penyerahan Sebagian Urusan Bidang Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.

13. Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, tentang Perlindungan Hutan.

14. Perauran Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

15. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990, tentang Usaha Perikanan.

16. Peraturan Pemeritah Nomor 20 Tahun 1990, tentang Pengendalian Pencemaran Air.

17. Peraturan Pemeritah Nomor 27 Tahun 1991, tentang Rawa.

18. Peraturan Pemeritah Nomor 35 Tahun 1991, tentang Sungai.

19. Peraturan Pemeritah Nomor 45 Tahun 1992, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.

20. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989, tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.

21. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Terkait dengan jalur hijau atau "green belt" yang merupakan kawasan perlindungan di sepanjang garis pantai, maka secara kronologis pada tahun 1984 Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. KB 550/246/ KPTS dan No. 082/KPTS-II/1984 yang pada intinya memberikan himbauan untuk melestarikan jalur hijau dengan lebar sekitar 200 meter sepanjang pantai. Selain itu, Surat Keputusan Bersama tersebut juga menjelaskan tentang larangan untuk tidak melakukan kegiatan pengrusakan terhadap hutan man-grove di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 1000 hektar, akan tetapi harus ikut menjaga kelestarian hutan tersebut. Kemudian dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang prinsipnya menggantikan seluruh peraturan sebelumnya. Namun demikian, selanjutnya dengan adanya instruksi MENDAGRI No. 26 tahun 1997, tentang Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove, maka penetapan jalur hijau hutan mangrove di seluruh pesisir Indonesia tanggung jawabnya dilimpahkan kepada Gubernur dan Bupati Walikota masing-masing.

PERMASALAHAN

Pemanfaatan kawasan hutan mangrove di Indonesia yang selama ini dikonversi sebagai lahan pertambakan, kenyataannya telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap menurunnya luas areal hutan man-grove di Indonesia, baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif. Permasalahan lain yang terkait dengan rusaknya hutan mangrove adalah konversi hutan mangrove yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, lahan perkebunan, kawasan pemukiman, bangunan dermaga dan berbagai kegiatan penambangan serta bangunan lainnya yang semakin semarak di kawasan pesisir. Namun demikian, kontribusinya masih jauh lebih kecil bila

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 5: oseana_xxix(1)19-26

dibandingkan dengan dengan kegiatan pertambakan udang dan ikan.

Disamping permasalahan di atas, dampak dari kegiatan pembangunan dermaga di berbagai wilayah secara tidak langsung akan memicu munculnya bangunan pertokoan dan pemukiman, sehingga pada akhirnya juga akan semakin menambah perambahan hutan man-grove. Selanjutnya, dengan berkembangnya kota dan pemukiman penduduk semakin bertambah tentunya akan menyebabkan semakin banyak sampah rumah tangga dan berbagai bahan polutan yang dibuang ke kawasan perairan pesisir. Oleh karena itu, dengan menurunnya areal hutan mangrove yang cukup drastis pada beberapa dekade terakhir ini, akan menimbulkan dampak yang cukup rumit dan sangat kompleks, antara lain adalah terjadinya erosi garis pantai, intrusi air laut, banjir, menurunnya kualitas perairan dan selanjutnya menyebabkan menurunnya produksi perikanan.

Kita sadari bersama bahwa .semua peraturan pemerintah yang mengatur tentang aspek kehutanan, aspek perikanan maupun yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove sudah dibuat dengan baik. Bahkan berbagai pertemuan ilmiah yang membahas khusus tentang mangrove, sena sosialisasi tentang peran dan manfaat hutan mangrove terhadap lingkungan di kawasan perairan pesisir sudah banyak dilakukan, namun kenyataan dilapangan keberadaan sebagian besar hutan mangrove di Indonesia justru semakin merana. Terkait dengan hal yang dipertelakan tersebut, nampaknya ada beberapa aspek yang sampai saat ini belum berfungsi secara efektif dan perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan pemerintah. 2. Sosialisasi menganai peranan dan

manfaat serta pentingnya hutan man grove bagi kehidupan biota, termasuk bagi manusia.

3. Sosialisasi rehabilitasi dan konservasi mangrove.

4. Lemahnya penegakan hukum.

Berbagai upaya pemerintah dalam mensosialisasikan dan mengelola sumberdaya mangrove telah banyak dilakukan, namun hasilnya hingga saat ini kurang optimal. Hal ini terlihat di lapangan bahwa sebagian besar hutan mangrove di Indonesia, kondisinya semakin menurun dan sebagian besar dikonversi menjadi usaha pertambakan. Disamping itu, berbagai upaya yang berkaitan dengan program rehabilitasi juga sudah banyak dilakukan, namun hingga saat ini hasilnya belum optimal, kecuali di daerah Benoa Bali yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan JICA (Japan International Cooperation Agency), Jepang. Sedangkan program yang dilakukan oleh pemerintah di beberapa daerah seperti di pantai utara Jawa, Sinjai (Sulawesi Selatan) dan Penajam (Kalimantan Timur) kelihatannya tidak seperti yang kita inginkan. Kelemahan dari program yang selama ini diterapkan adalah hanya untuk memenuhi tar-get program, tetapi bukan difokuskan kepada upaya yang serius agar dapat memperoleh hasil yang baik.

Masalah kebijaksanaan perlindungan sumberdaya mangrove yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari, hingga saat ini kurang efektif atau bahkan tidak berfungsi. Penyebab kurang efektifnya kebijaksanaan tersebut antara lain adalah kebijaksanaan yang telah disepakati tidak disertai dengan penegakan hukum yang semestinya, serta masih ada kebijaksanaan dari lembaga pemerintah yang berbeda dan sering kurang koordinatif, sehingga dampaknya menimbulkan perbedaan interpretasi khususnya pada tingkat pelaksana lapangan. Selain hal tersebut, kebijakan pemerintah yang diterapkan kurang mengakomodasi terhadap berbagai kepentingan dari "stakeholders".

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 6: oseana_xxix(1)19-26

Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu adanya strategi dan kebijaksanaan pengelolaan dari berbagai stakeholder yang terkait berdasarkan potensi, peranan secara terintegrasi, sehingga akan memberikan hasil yang mampu memulihkan fungsi hutan man-grove baik secara ekologis maupun ekdnomis yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang hidup disekitar kawasan hutan mangrove.

TUJUAN PENGELOLAAN

Berkaitan dengan semakin menurunnya kondisi dan luas area hutan mangrove di berbagai kawasan pesisir di Indonesia, maka perlu ada suatu pemikiran tentang langkah-langkah penahapan program yang sangat urgen bagi keberadaan hutan mangrove. Adapun tujuan dari pengelolaan hutan mangrove tersebut ada dua, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Gambaran dari masing-masing tujuan pengelolaan tersebut, secara terperinci dibahahas antara lain sebagai berikut:

Tujuan jangka pendek

Melakukan evaluasi eksistensi hutan mangrove di seluruh kawasan pesisir Indone-sia, merehabilitasi hutan mangrove yang sudah rusak serta mengelola hutan mangrove dengan mengacu pada peraturan yang ada dan sekaligus unruk melindungi biota yang hidup pada ekosistem mangrove. Untuk mencapai tujuan program jangka pendek pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove ini, dapat dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut: a. Melakukan koordinasi dengan berbagai

institusi negeri dan swasta dalam menginventarisir dan mengelola hutan man-grove.

b. Membuat jaringan kerja untuk mengelola hutan mangrove.

c. Mensosialisasikan peran dan manfaat hutan mangrove kepada masyarakat.

d. Memberikan pendidikan dan training yang berkaitan dengan cara untuk merehabilitasi dan pengelolaan utan mangrove.

e. Memberikan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar.

Tujuan jangka panjang

Sedangkan tujuan jangka panjang program pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia adalah untuk menjaga dan mempertahankan fungsi, serta manfaat ekosistem hutan mangrove melalui jaringan kerja yang baik. Untuk mendukung agar tujuan program tersebut tercapai, perlu melakukan koordinasi kepada institusi pemerintah terkait, antara lain Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Menteri Negara Riset dan Teknologi (RISTEK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Selain itu, perlu juga melakukan koordinasi dengan pihak swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). misalnya Yayasan Terangi, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan WWF Indonesia, maupun LSM yang lain yang ada di seluruh Indonesia, khususnya yang menangani tentang kawasan pesisir.

PROGRAM YANG PERLU DILAKUKAN

Terkait dengan sebagian besar kondisi hutan mangrove yang di beberapa pesisir In-donesia yang semakin parah, serta melihat dengan adanya berbagai peraturan yang telah dicanangkan sebagai payung dalam pengelolaan hutan mangrove, maka dibuat pro-gram kegiatan "pengelolaan dan rehabilitasi

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 7: oseana_xxix(1)19-26

mangrove" yang tepat dan siap atau mudah untuk diterapkan. Adapun program yang perlu dilkakukan tersebut seyogyanya terdiri dari beberapa komponen, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Membentuk jaringan kerja pengelolaan dan

rehabilitasi hutan mangrove di seluruh In donesia.

2. Melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait, baik negeri maupun swasta (LSM).

3. Mengembangkan Sumber Daya Manusia, dengan cara memberikan kesempatan train ing atau sekolah.

Berdasarkan pemikiran program pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove di beberapa kawasan pesisir Indonesia, terutama yang sudah terdegradasi ini diharapkan dapat memperoleh suatu konsep yang cocok untuk melestarikan sumberdaya hutan mangrove, sehingga nantinya kedepan dapat menopang kesuburan suatu perairan yang sekaligus bermanfaat bagi kehidupan biota akuatik. Terkait dengan hal tersebut, maka berikut ini dipaparkan gambaran tentang luaran (output) yang ingin dicapai dalam pro-gram ini, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Dapat mewujudkan konservasi sebagai

dasar pelestarian hutan mangrove yang berkaitan dengan aspek perikanan dan ekowisata (ecotourism).

2. Dapat berperan sebagai pusat kegiatan yang bertanggungjawab terhadap pelestarian hutan mangrove.

3. Mampu mewujudkan pola rehabilitasi dan pengelolaan yang efektiv, sederhana dan tepat terhadap hutan mangrove.

4. Mampu menghasilkan tenaga (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas dalam mengelola dan merehabilitasi hutan man grove.

DAFTAR PUSTAKA

ABDULLAH, A. 2001. Potensi sumberdaya alam kelautan dan upaya konservasi laut di Indonesia. Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. 8 hal.

ANONIMOUS, 1993. Pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Dalam: Lokakarya Pemantapan strategi pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua. Kantor Menteri Negara Lingkungan hidup. 42 hal.

BURHANUDIN 1993. A study on mangrove fish at Handeuleum Group and Panaitan Island of Ujung Kulon National Park. In: Proc. Lokakarya Mangrove Fisher-ies and Connections, Ipoh, Malaysia. 173-182.

DARSIDI, A. 1984. Perkembangan pemanfaatan hutan mangrove di Indo-nesia. Prosiding Seminar III Ekosistem Hutan Mangrove. 19-28.

DAVIES,J.and G.CLARIDE 1993. Wetland Benefits. The potential for wetlands to support and maintain development. Asian Wetlands Berau, International Waterfowl & Wetlands Research Berau, Wetlands for the America's, pp 45.

PARRY, D.E. 1996. National Strategy for Man-grove Project Management in Indone-sia. Dalam: Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indo-nesia. Departemen Kehutanan, Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta, pp 62.

25

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004

Page 8: oseana_xxix(1)19-26

PRAMUD JI 2001. Hutan mangrove di pantai Teluk Saleh, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam: Pesisir dan Pantai Indonesia (Atmadja W. S., Ruyitno, B.S. Sudibyo, I. Supangat, H.P.Hutagalong, A.S. Genisa, Sunarto Eds.) Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. 49-58.

PRAMUD JI 2002. Kajian hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Penajam, Kalimantan Timur. Laporan penelitian, Pusat Penelitian Oseanogafi LIPI, Jakarta {Tidak dipublikasi).

PRAMUD JI 2003. Keanekaragaman flora di hutan mangrove kawasan pesisir Teluk Mandar, Polewali, Propinsi Sulawesi Selatan: Kajian pendahuluan. BIOTA, Vol. VIII, No 3:135-142

OTHMAN,M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection. Hydrobiologia 285: 277-282.

SASEKUMAR, A., V.C. CHONG, M.U.LEH and R.D'CRUZ. 1992. Mangrove as a habi-tat for fish and prawns. Hydrobiologia 247:195-207.

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XXIX no. 1, 2004