media penilai edisi september / th.viii / 20 3 - mappi.or.id penilai september 2013.pdf · efektif...

61
MEDIA PENILAI Edisi September / TH.VIII / 203

Upload: duongdiep

Post on 09-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

Page 2: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

Page 3: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

Page 4: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

Page 5: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

d a f t a R i s i

Redaksi Media Penilai menerima tulisan, artikel, pengalaman profesional serta informasi terkait dengan profesi penilai.Diharapkan tulisan yang dikirim ke redaksi Media Penilai harap melampirkan identitas diri

beserta CV penulis. Terima kasih.

Pelindung: Pengurus Pusat MAPPI – Pemimpin Redaksi: Ir. Karmanto, M.Ec. Dev, MAPPI (Cert.) – Sekretaris Redaksi: R.A. Dewi Kencanawati, SE, MAPPI (Cert.) – Dewan Redaksi: Ir. Karmanto, M.Ec. Dev, MAPPI (Cert.), Muhammad Adlan, M.Ec. Dev, SSi, MAPPI (Cert.), R.A. Dewi Kencanawati, SE, MAPPI (Cert.), Ir. Budi Prasodjo, M.Ec. Dev. MAPPI (Cert.), Iwan Bachron, SE, MAPPI (Cert.), Yudistira Ananda, SE, Ak MAPPI (Cert.), Bunga Budiarti, SE – Redaksi: Suharto, Mukhlisin – Desain Grafis: Arif Maulana – Distribusi: Sekretaris MAPPI – Alamat Redaksi: Wisma Penilai, Jl. Kalibata Raya No. 11-12 E Jakarta Selatan, Telp: 021-7949079, Fax: 021-7949081 – Website: www.mappi.or.id – e-mail: [email protected]

Majalah Penilai diterbitkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), dibagikan secara gratis untuk kalangan anggota serta stakeholder profesi penilai

Masih tentang Bisnis Tambang

Dalam dua edisi berturut-turut, kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang. Jika pada edisi sebelumnya Majalah Media Penilai mengangkat topik tentang bisnis batu bara dan prospek jasa penilaiannya dalam rubrik Laporan Utama, kali ini yang

diangkat adalah bisnis tambang mineral dan prospek jasa penilaiannya pula.Sengaja kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang dalam edisi berurutan, meng-

ingat baik bisnis tambang batu bara maupun tambang mineral telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi peluang baru yang sangat potensial bagi usaha jasa penilai, terutama dalam beberapa tahun ke depan.

Seperti halnya ketika mengangkat topik bisnis batu bara, dalam Laporan Utama kali ini kami juga kami juga membahas secara luas dan mendalam perihal perkembangan, proble-matika, dan prospek bisnis tambang mineral. Lebih-lebih, sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara yang diterbitkan pada 2009, larangan ekspor barang tambang mentah dan kewajiban mengolah semua barang tambang mineral di dalam negeri efektif berlaku mulai tahun 2014.

Kalangan profesi penilai yang mulai banyak terlibat dalam kegiatan penilaian di sektor pertambangan tentu harus memiliki referensi yang memadai akan seperti apa kondisi dan perkembangan bisnis tambang mineral dalam beberapa tahun ke depan. Informasi penting dan akurat sangat diperlukan agar para penilai dapat memberikan opini nilai yang tepat dan akurat pula dalam penilaian di bisnis tambang.

Itulah alasan kenapa dalam dua edisi berturut-turut ini kami menurunkan laporan tentang bisnis tambang batu bara dan disusul dengan laporan tentang bisnis tambang mineral.

Selain itu, kami juga menurunkan laporan penting dan tergolong baru bagi profesi penilai dalam rubrik Laporan Khusus, yaitu tentang standar biaya teknik bangunan (BTB) serta standar umur bahan bangunan dan umur ekonomis bangunan. Di negara-negara lain, standar serupa sudah lama ada, dan para penilai memiliki panduan yang pasti dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Saat ini, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) tengah memfinalisasi standar BTB dan umur bangunan dan umur ekonomis bangunan. Nanti, jika telah disahkan, para penilai ang-gota MAPPI akan memiliki standar yang sama dalam menilai BTB, umur bahan bangunan, dan umur ekonomis bangunan. Dengan demikian, akan ada keseragaman standar yang, pada giliran-nya, akan melahirkan opini nilai yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Apa saja standarnya merupakan bagian terpenting dalam Laporan Khusus kali ini.

Seperti biasa, kami juga menurunkan sejumlah informasi penting berkaitan dengan dinamika dunia profesi penilai dan sejumlah artikel yang berkaitan dengan profesi penilai. Semoga semua informasi yang kami sajikan dalam menambah khasanah pengetahuan dan memperkaya referensi bagi seluruh stake holder jasa penilaian. q

n LAPORAN UTAMA5 – 12 Menimbang Masa Depan

Bisnis Tambang13 – 14 Mengenal Karakter Penilaian Bisnis Tambang15 – 17 Smelter yang Membikin Keder18 – 19 Rupiah Terpuruk, Terbitlah Relaksasi

n WAWANCARA20 – 24 “Mental Dagang yang Merusak Tambang Tambang”

n REGULASI25 – 26 Lagi, Menyoal RUU Penilai27 – 28 Nilai Wajar, Bagaimana Menentukan

n ARTIKEL29 – 35 Pengembangan Tabel Biaya dan Teknis Bangunan (BTB)36 – 46 The Valuation Of Long Life Mines: Current Issues And Methodologies

n LAPORAN KHUSUS47 – 48 Penduan Menghitung Biaya Teknik Bangunan49 – 51 Mengurai Umur dan Umur

Ekonomis Bangunan

n TEKNOLOGI52 – 54 Mengintip Biaya dan Teknik

Penambangan Batu Bara

n INFO MAPPI56 MAPPI Punya Konsultan

Hukum 58 Sudah 514 Penilai Ikut Deseminasi SPI 2013

Page 6: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Menimbang Masa Depan Bisnis Tambang

Larangan ekspor bahan tambang mentah mulai berlaku Januari 2014. Namun, hingga kini program hilirisasi yang mewajibkan seluruh hasil tambang diolah di dalam negeri belum menampakkan hasil. Bagaimana nasib bisnis tambang pasca-2014?

Dalam suatu kesempatan, sem-bari bersungut-sungut Men-teri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik

mengungkapkan kemasygulannya. “Dari

pengecekan saya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, mereka ekspor bercam-pur dengan lumpur dan tanah. Sekitar 70 persen itu mengandung lumpur dan tanah, sementara hanya 30 persen sisanya yang

bisa diolah,” ujar Jero Wacik yang terekam pers di kantor Kementerian ESDM Jakarta, medio Juli 2013.

Pernyataan Wacik tersebut menggam-barkan, hasil tambang mentah yang diekspor ke berbagai negara tujuan sebenarnya hanya sekitar 30 persen yang mengandung mineral, selebihnya yang sekitar 70 persen justru berupa lumpur tanah. Artinya, nilai jual dan nilai lebih barang yang diekspor tersebut sangat rendah.

Sementara itu, pada satu kesempatan dalam rapat dengar pendapat dengan De-

Page 7: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

wan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Thamrin Sihite, mengungkapkan, volume ekspor barang tambang mentah rata-rata mencapai 70 persen dari total produksi ba-rang tambang di Indonesia. “Saat ini baru 30 persen produksi tambang mineral di Indone-sia yang diolah oleh pabrik smelter di dalam negeri, sementara 70 persennya masih dijual mentah (raw material),” ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir tren kenaikan ekspor barang tambah mentah memang terbilang gila-gilaan. Kementerian ESDM, misalnya, mencatat dalam tiga tahun terakhir terjadi kenaikan ekspor bijih nikel 800 persen, bijih besi 700 persen, dan bijih bauksit 500 persen. “Ekspor terus menanjak dari tahun ke tahun. Ini angka yang kita dapat. Nah, kalau dibiarkan terus, bijih tambang kita akan habis,” Thamrin Sihite menegaskan. “Jangan sampai ‘tanah air’ kita juga dijual,” tandasnya.

Tren naik ekspor raw material terse-but juga terekam dalam data yang dilansir Kementerian Perdagangan. Hingga kuartal I/2013 saja, volume ekspor produk mine-ral mentah telah mencapai 30,73 juta ton, meningkat dari realisasi pada periode sama 2012 yang hanya 25,67 juta ton. Dari segi nilai juga terjadi kenaikan 36,21 persen (year on year) senilai 1,38 miliar dollar AS. Kementerian juga mencatat, pada periode itu peningkatan ekspor terbesar ada pada bijih tembaga dan konsentratnya, yakni 91,4 persen menjadi 266.064,11 ton atau setara dengan 582,02 juta dollar AS. Berikutnya

ekspor bijih nikel dan konsentratnya naik 61,15 persen menjadi 15,97 juta ton senilai 467,35 dollar AS disusul bijih besi dan kon-sentratnya naik 18,16 persen menjadi 4,1 juta ton atau setara 100,99 dollar AS.

Menjual “Tanah Air” Yang membuat tren ini terlihat sebagai

ironi, lonjakan ekspor tersebut justru terjadi ketika pemerintah mulai memberlakukan kebijakan ekspor untuk barang tambah men-tah dengan pengenaan bea keluar 20 persen. Pengenaan bea keluar tersebut sebenarnya hanya salah satu strategi pemerintah dalam menata sektor pertambangan, khususnya

usaha tambang mineral, melalui kebijakan hilirisasi. Penataan sektor pertambangan ini sesungguhnya dimulai ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Salah satu pasal dalam UU tersebut memuat tentang larangan ekspor raw material mulai 2014 dan kewajiban bagi perusahaan tambang untuk membangun smelter alias pabrik pemurnian dan pengo-lahan barang tambang. Dengan demikian, mulai 2014, seluruh barang tambang harus diolah dulu di dalam negeri dan baru boleh dijual di pasar ekspor ketika sudah menjadi produk hilir.

Untuk mendukung implementasi UU tersebut, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral pada Februari 2012. Sayang, beleid ini langsung menyulut protes dari kalangan pelaku usaha tambang lantaran dinilai “mendahului” UU. Sebab, menurut UU Minerba, larangan ekspor baru berlaku 2014. Sedangkan, peraturan menteri terse-but justru mempercepat pemberlakuannya. Celah lain dibuka. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan disusul ke-mudian dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75 Tahun

Jenis Komoditas Tambang Mineral Logam dan Bukan Logam Tertentu dan Batuan yang Wajib Dilakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian:

I. Bijih: a. tembaga; b. emas; c. perak d. timah; e. timbal dan seng; f. kromium; g. molibdenum; h. platinum group metal; i. bauksit; j. bijih besi; k. pasir besi; 1. nikel danl atau kobalt; m. mangan; dan n. antimon.

II. Jenis komoditas tambang mineral bukan logam tertentu:a. kalsit (batu kapur/gamping); b. feldspar; c. kaolin; d. bentonit; e. zeolit; f. silika (pasir kuarsa); g. zirkon; dan h. intan.

III. Jenis komoditas tambang batuan tertentu :a. toseki; b. marmer; c. onik; d. perlit; e. slate (batu sabak); f. granit; g. granodiorit; h. gabro; 1. peridotit; j. basalt; k. opal; l. kalsedon; m. chert (rijang); n. jasper; o. kriso-prase; p. garnet; q. giok; r. agat; dan s. topas.

Page 8: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Melalui Permendag dan PMK tersebut, pintu ekspor dipersempit. Misalnya, untuk bisa melakukan ekspor raw material, eks-portirnya harus mengantungi izin dari Ke-menterian Perdagangan (Kemendag). Salah satu syarat untuk memperoleh izin ekspor harus lebih dulu mengantungi rekomendasi dari Kementerian ESDM. Nah, di sinilah “liku-liku” dimulai. Sebab, untuk bisa mem-peroleh rekomendasi, pengekspor barang tambang tersebut statusnya harus “clear and clean”. Pengusaha tambang juga harus telah melunasi kewajiban pembayaran keuangan (royalti) pada negara, dan menyampaikan dokumen rencana kerja atau kerja sama pembangunan smelter.

Seperti diketahui, untuk mengurai karut marut masalah perizinan dan penguasaan tambang, Kementerian ESDM meng-gulirkan program uji “clear and clean”

guna memastikan apakah suatu perusahaan tambang bermasalah atau tidak, baik secara legal maupun administratif. Hasilnya, per 13 November 2012, dari total jumlah izin usaha penambangan (IUP) operasi dan produksi mineral sebanyak 3.946 izin, baru 1.833 izin yang telah berstatus “clean and clear”. Artinya, ada 1.642 perusahaan pemegang IUP yang tidak memenuhi syarat ekspor. Dari jumlah tersebut, perusahaan yang telah mengajukan rencana pengolahan dan pemur-nian mineral ternyata hanya 159 perusahaan pertambangan. Artinya, hanya sekitar 150-an perusahaan tambang yang memenuhi syarat diberi rekomendasi ekspor. Di saat yang sama, ada ribuan pemegang IUP yang tidak bisa lagi mengekspor bijih mineral.

Setelah memperoleh izin pun, nafsu ekspor masih dicegat dengan bea keluar sebesar 20 persen dari nilai total ekspor. Ada 65 jenis hasil tambang yang dikenakan bea keluar sebesar 20 persen ini, yaitu 21 logam, 10 nonlogam, dan 34 batu-batuan. Dengan

berbagai regulasi tersebut, jika sebelumnya pengusaha tambang bebas mengekspor dalam volume berapa pun, kini mulai di-batasi. Jumlah yang diekspor harus sesuai dengan rekomendasi dan persetujuan yang diberikan Kementerian ESDM.

Dengan demikian, diharapkan laju ekspor raw material benar-benar terkendali. Tidak jor-joran seperti beberapa tahun ter-akhir. Tapi, inilah ironinya: data menunjuk-kan, semakin dibatasi, volume ekspornya justru terus menanjak naik. Menurut Direktur Operasi PT Aneka Tambang (Antam) Tedy Badrujaman, ada sejumlah kemungkinan kenapa jor-joran ekspor raw material masih terus terjadi. Pertama, mumpung masih ada kesempatan, banyak pengusaha tambang me-manfaatkan waktu semaksimal mungkin un-tuk menggenjot produksi dan mendongkrak ekspor untuk memperbesar keuntungan.

Kedua, bisa jadi banyak pengusaha tambang memang sedang mengumpulkan modal untuk membangun smelter sehingga

Tabel 2.1. Sumber Daya dan Cadangan Mineral Logam

No. Komoditi Unit Sumber Daya Cadangan1. Nikel Juta Ton Bijih : 1.878 Logam : 42 Bijih : 546,83 Logam : 8,72. Timah Juta Ton Bijih : 95 Logam : 0,65 Bijih : 0,54 Logam : 0,333. Bauksit Juta Ton Bijih : 726,58 Logam : 249,67 Bijih : 111,79 Logam : 654. Tembaga Juta Ton Bijih : 2.384 Logam : 69,76 Bijih : 4.229 Logam : 42,855. Emas Primer Ribu Ton Bijih : 1.980.234,64 Logam : 4,2 Bijih : 5.117.034,40 Logam : 4,36. Emas Alluvial Ribu Ton Bijih : 1.668.652,45 Logam : 0,14 Bijih : 16.789 Logam : 0,00387. Perak Juta Ton Bijih : 616,09 Logam : 0,5 Bijih : 4.773,06 Logam : 0,0268. Pasir Besi Juta Ton Bijih : 1.014,79 Logam : 132,91 Bijih : 4.732 Logam : 2,419. Mangan Juta Ton Bijih : 10,62 Logam : 5,78 Bijih : 0,93 Logam : 0,5910. Air Raksa Ton 75,91 -11. Besi Laterit Juta Ton Bijih : 1.565,19 Logam : 631,6 Bijih : 80,640 Logam : 18,0812. Besi Primer Juta Ton Bijih : 382,24 Logam : 198,62 Bijih : 1,85 Logam : 1,3813. Kobal Juta Ton Bijih : 1.263,33 Logam : 1,4 Bijih : 152,86 Logam : 0,2214. Kromit Plaser Juta Ton Bijih : 5,7 Logam : 2,4 - -15. Kromit Primer Juta Ton Bijih : 1,6 Logam : 0,75 - -16. Molibdenum Juta Ton Bijih : 685 Logam : 0,21 - -17. Monasit Ribu Ton Bijih : 185,9 Logam : 10,5 Bijih : - Logam : 2,718. Platina Ribu Ton Bijih : 115.000 Logam : 13,03 - -19. Seng Juta Ton Bijih : 586,9 Logam : 6,78 Bijih : 6,7 Logam : 0,9720. Timbal Juta Ton Bijih : 74,9 Logam : 3,1 Bijih : 1,6 Logam : 0,1221. Titan Laterit Juta Ton Bijih : 741,2 Logam : 2,9 Bijih : 2,7 Logam : 0,02622. Titan Plaser Juta Ton Bijih : 71,3 Logam : 71,3 Bijih : 1,4 Logam : 0,1123. Besi Sedimen Juta Ton Bijih : 23,7 Logam : 15,4 - -

Sumber: Badan Geologi, 2010

Page 9: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

berusaha memperbesar ekspor. “Tapi, yang banyak bermain sekarang ini adalah para pengusaha bermental dagang, semangatnya hanya menjual, menjual, dan menjual tanpa berpikir panjang. Yang penting untung be-sar. Mereka ini bukan penambang tulen,” ujarnya. “Tidak salah memang, karena aturannya masih memungkinkan. Tapi dalam jangka panjang itu merugikan,” imbuh Tedy Badrujaman.

Hal yang tak jauh berbeda juga diung-kapkan Sekretaris Jenderal Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif Zardi Dahlius. Arif Zardi yang juga seorang pelaku usaha tambang mineral ini merasakan bahwa dalam lima tahun terakhir, sejak UU Minerba diundangkan, gairah ekspor barang tambang mentah justru menguat. Diakui Zardi, masa sebelum larangan ekspor ini resmi diberlakukan benar-benar dimanfaat-kan secara optimal oleh banyak pengusaha tambang untuk menjual hasil tambangnya ke berbagai negara tujuan. Terutama ke China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Baik sebelum dan sesudah adanya kebi-jakan kuota ekspor dan bea keluar untuk ba-rang tambang, menurut Zardi, kecenderungan ekspor raw material tak pernah mengendur. “Semua berlomba-lomba mengekspor,” tandas Zardi. Seperti halnya Tedy Badruja-man, Zardi juga melihat adanya sejumlah kemungkinan yang mendorong tingginya laju ekspor barang tambang mentah ini. Pertama, senyampang kebutuhan pasar ekspor akan barang tambang mentah masih tinggi, para pengusaha tambang memanfaatkan peluang itu untuk berburu keuntungan semata.

Namun, lanjutnya, ada juga yang melaku-kan ekspor sebagai bagian dari rencana perusahaan tambang untuk membangun smelter. Pada umumnya, demikian Zardi, pengusaha-pengusaha tambang yang meng-ajukan rekomendasi ke Kementerian ESDM sejak diberlakukan kuota ekspor mendalil-kan rencana pembangunan smelter sebagai alasannya. Namun, dalam prakteknya di lapangan sulit dipastikan apakah hasil ekspor raw material tersebut benar-benar akan di-manfaatkan untuk membangun smelter atau untuk kepentingan lain.

“Buktinya, progresnya bagaimana? Apakah sudah ada yang membangun smel-ter? Belum ada satu pun. Semua baru komit-men di atas kertas. Padahal, 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Belum ada yang siap,”

Zardi menjelaskan.

Dilema HilirisasiBagi anggota Dewan Penasihat MGEI

Sukmandaru Prihatmoko, kebijakan larangan ekspor yang dalam prakteknya diubah men-jadi kuota ekspor, jika diterapkan secara kaku akan berdampak sangat serius bagi bisnis usaha tambang di Indonesia. Jika ekspor raw material dihentikan begitu saja, menurutnya, sangat banyak perusahaan tambang yang ter-pukul. Dampaknya, akan terjadi pengurangan produksi besar-besaran, bahkan bisa jadi tak sedikit perusahaan tambang yang berhenti beroperasi.

“Gejalanya sudah mulai terjadi di berba-gai daerah,” ujarnya. Menurut pengamatan Sukmandaru, sudah banyak perusahaan tambang yang mulai mengurangi produksi. Dampak lanjutannya, imbuh Sukmandaru, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di sektor pertambangan mineral. “Program hilirisasi ini memang dilema. Jika dipaksakan secara kaku, banyak perusahaan tambang gulung tikar. Jika tidak ada hilirisasi, cadangan tambang akan habis tanpa memberi banyak nilai tambah,” jelas Sukmandaru.

Menurut Tedy Badrujaman, jika pertam-bangan nasional ditata dan dikelola dengan baik, maka Indonesia akan menjadi salah satu negara terkuat dan terkaya di dunia. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan tambang yang sangat besar dan beraneka ragam. “Tinggal bagaimana kita memanfaatkan kekayaan tambang ini,” ujarnya.

Tabel 2.2. Sumber Daya Mineral Non-Logam

No. Komoditi Unit Sumber Daya1. Bentonit Juta Ton 551.12. Dolomite Juta Ton 1,959.403. Fosfat Juta Ton 18.94. Gypsum Juta Ton 7.45. Kalsit Juta Ton 90.26. Kuartsit Juta Ton 31597. Oker Juta Ton 41.18. Pasir Kuarsa Juta Ton 17,489.909. Talk Juta Ton 3.110. Zeolit Juta Ton 258.111. Zirkon Juta Ton 112. Kaolin Juta Ton 732.813. Pirofilit Juta Ton 104.814. Intan Juta Ton 0.115. Kalsedon Juta Ton 1.716. Oniks Juta Ton 0.217. Rijang Juta Ton 0.618. Feldspar Juta Ton 7,411.20

Sumber: Badan Geologi, 2010

Sukmandaru Prihatmoko

Page 10: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Hal yang sama diungkapakan Arif Zardi. Menurutnya, di sektor minyak dan gas (migas), harus diakui Indonesia masih kalah dengan negara-negara di Timur Te-ngah, Afrika, dan Amerika Latin. Namun,

Tabel 2.3. Sumber Daya Batuan

No. Komoditi Unit Sumber Daya1. Batu Apung Juta Ton 621.42. Batu Gamping Juta Ton 253,585.603. Diatomia Juta Ton 370.64. Andesit Juta Ton 75,244.105. Batu Sabak Juta Ton 1,943.706. Diorit Juta Ton 7,629.307. Gabro/Peridotit Juta Ton 8,336.908. Granite Juta Ton 52,468.809. Granodiorite Juta Ton 371.0010. Marmer Juta Ton 436.1011. Trass Juta Ton 3,885.8012. Batu Lempung Juta Ton 29,517.9013. Obsidian Juta Ton 66.8014. Perlit Juta Ton 1,205.6015. Toseki Juta Ton 224.4016. Trakhit Juta Ton 4,124.3017. Ametis Juta Ton 0.00866818. Batu Hias Juta Ton 108.3019. Jasper Juta Ton 0.0006

Sumber: Badan Geologi, 2010

lanjutnya, di sektor pertambangan, untuk tambang timah, misalnya, Indonesia nomor dua di dunia. Untuk emas dan tembaga ma-suk lima besar dunia. “ Bahkan, komoditas tambang kita itu sebenarnya sangat world

class sekali,” katanya.Berdasarkan data yang dimiliki Indo-

nesia Mining Asosiation (IMA), Indonesia menduduki peringkat ke-6 terbesar untuk negara-negara yang kaya akan sumber daya tambang. Sebagai gambaran, berdasarkan data United States Geological Survey (USGS) atau Badan Survei Geologi Amerika Serikat, cadangan emas Indonesia sekitar 2,3 persen dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar ini, Indonesia menduduki peringkat ke-7 yang memiliki potensi emas terbesar di dunia. Sedangkan, produksi emas Indonesia sekitar 6,7 persen dari total produksi emas dunia dan menduduki pering-kat ke-6 di dunia.

Masih berdasarkan data USGS, untuk cadangan timah, Indonesia menduduki peringkat ke-5 atau sebesar 8,1 persen dari cadangan timah dunia. Sedangkan, produksi timah Indonesia menduduki peringkat ke-2 dengan besar produksi 26 persen dari jumlah produksi timah dunia. Adapun cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1 persen dari cadangan tembaga dunia dan menduduki peringkat ke-7. Produksi timah Indonesia mencapai 10,4 persen dari total produksi timah dunia dan merupakan peringkat ke-2. Sementara itu, untuk nikel, cadangan nikel Indonesia sekitar 2,9 persen dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8. Sedangkan, produksinya sebesar 8,6 persen dari total produksi nikel dunia dan meru-pakan peringkat ke-4 dunia.

Bandingkan, misalnya, dengan data sumber daya dan cadangan tambang yang dilansir Kementerian ESDM pada 2010. Menurut data Kementerian ESDM, sumber daya bijih emas primer sebesar 1.980 ribu ton dan logam emas primer 4,2 ribu ton. Sedangkan, cadangannya sebesar 5.117 ribu ton dan 4,3 ribu ton. Untuk bijih emas allu-vial sumber dayanya sebesar 1.688 ribu ton dan sumber daya logam emas alluvial 0,14 ribu ton. Sedangkan, cadangannya sebesar 16.789 ribu.

Sementara itu, untuk timah, Indonesia memiliki sumber daya sebesar 95 juta ton bijih timah dengan cadangan 0,54 juta ton. Untuk tembaga, Indonesia memiliki sumber daya bijih tembaga sebesar 2.384 juta ton dengan 4.299 juta ton. Untuk nikel, tercatat Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 1.878 juta ton dengan cadangan 546 juta ton. Indonesia juga kaya akan barang

Page 11: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�0 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Kondisi Penjualan Mineral Domestik 2005 - 2010

No. Commodity Unit 2005 2006 2007 2008 2009 20101. Copper ton - - - 216,761 240,782 227,8122. Gold kg 1,724 1,882 - 15,216 29,776 22,0543. Silver kg 11,985 12,967 - 58,392 70,397 62,8044. Tin metal ton 974 1,927 - 747 - -5. Bauxite mt - - - - - -6. Ni + Co In matte ton - - - - - -7. Nickel ore wmt - - - - - -8. Ferro nickel mt - - - - - -9. Ni In Fe Ni ton - - - - - -10. Iron sand wmt 23,267 6,051 - - - -11. Granite ton 155,507 455,778 30,049 - - -12. Diamond crt - - - - - -

Sumber: Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2010

tambang lain seperti bauksit dan perak. Sebagai contoh, sumber daya bijih bauksit mencapai 726 juta ton dengan cadangan 111,79 juta ton. Sedangkan, sumber daya bijih perak mencapai 616 juta ton dengan cadangan sebesar 4.773 juta ton.

Diperlukan Grand DesignDengan sumber daya dan cadangan yang

sangat besar, memang wajar jika volume produksi tambang Indonesia dari tahun ke tahun juga terus meningkat hingga menem-patkan Indonesia menduduki peringkat atas negara produsen berbagai barang tambang. Hanya, yang menjadi masalah, seperti diungkapkan Kepala Subdirektorat Penga-wasan Produksi dan Pemasaran Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Harsonyo P Wibowo, barang-barang tambang tersebut lebih ba-nyak yang diekspor sebagai barang tambang mentah tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. “Sehingga nilai tambahnya rendah,” katanya.

Karena itu, menurutnya, pemerintah sudah komit untuk melakukan penataan usaha tambang dengan menjalankan UU Minerba beserta berbagai regulasi yang mendukungnya. “Hingga saat ini, kebijakan masih mengacu pada UU Minerba. Mulai Januari 2014, tidak diizinkan lagi ekspor raw material. Semua harus diolah di dalam negeri,” tandas Harsonyo.

Ia optimis program hilirisasi akan berja-lan sesuai rencana. Apalagi, imbuhnya, para pengusaha tambang sudah diberi kesempatan

selama lima tahun guna mempersiapkan diri sejak UU Minerba diundangkan. Ia pun mengklaim hingga April 2013 sudah ada 285 proposal pendirian smelter yang diajukan kepada pemerintah. Dari jumlah tersebut, 24 di antaranya diajukan sebelum Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7/2012 dikeluarkan. Selebihnya, sebanyak 254 proposal diajukan setelah Permen tersebut dikeluarkan.

Nah, bagi perusahaan tambang yang tidak mematuhi kebijakan tersebut, menu-rut Harsonyo, tidak bisa lagi melakukan ekspor dengan kemungkinan akan berhenti beroperasi. Jika kapasitas pengolahan di dalam negeri selama ini memang benar hanya 30 persen dari total produksi tam-

bang nasional, menurutnya, lebih baik yang 70 persen dari kapasitas produksi tersebut tidka usah ditambang. Artinya, ya yang 30 persen itu saja yang ditambang, selebihnya lebih baik dibiarkan dalam bentuk cadangan saja. “Toh, penerimaan negara dari tambang mineral relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan batu bara,” Harsonyo menjelaskan. Sebagai contoh, target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 33,1 triliun. Dari total target tersebut, yang berasal dari tambang mineral hanya Rp 4,97 triliun, sedangkan tambang batu bara sebesar Rp 28,14 triliun.

Karena itu, lanjut Harsonyo, jika pun akibat pemberlakuan UU Minerba tersebut

Arif Zardi Dahlius Harsonyo P Wibowo

Page 12: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Kondisi Penjualan Mineral Ekspor 2005 - 2010

No. Commodity Unit 2005 2006 2007 2008 2009 20101. Copper ton 1,054,778 816,181 785,552 450,661 698,190 597,2312. Gold kg 140,321 85,176 119,637 57,475 102,081 76,4213. Silver kg 306,603 244,144 268,051 172,484 303,346 197,2124. Tin metal ton 66,920 61,422 63,679 50,198 55,355 208,4735. Bauxite mt 1,039,380 1,536,542 964,282 893,088 445,662 164,4986. Ni + Co In matte ton 77,218 72,879 77,838 74,030 67,782 77,0357. Nickel ore wmt 2,688,477 4,309,134 6,907,459 5,342,924 4,901,699 2,760,3448. Ferro nickel mt 24,463 - - - - -9. Ni In Fe Ni ton 4,930 13,389 17,548 17,025 14,191 9,30310. Iron sand wmt - - - - - -11. Granite ton 3,856,074 5,160,623 684,948 - - -12. Diamond crt 24,075 47,039 10,411 32,748 - -

Sumber: Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, 2010

nantinya banyak perusahaan tambang meng-hentikan kegiatan penambangan, negara juga tidak terlalu dirugikan. Selain itu, cadangan-nya juga tidak berkurang meskipun tidak ditambang. “Lebih baik cadangannya tidak ditambang dulu sampai semua ketentuan UU dijalankan, yaitu adanya pengolahan di dalam negeri,” tandas Harsonyo.

Jika Kementerian ESDM yakin program hilirisasi akan berjalan sesuai rencana, tidak demikian yang dirasakan oleh para pelaku di bidang pertambangan mineral. Sebaliknya, mereka menilai meskipun tenggat tinggal beberapa bulan lagi, baik para pelaku usaha

tambang maupun pemerintah sendiri belum siap. “Tidak ada progresnya, padahal tinggal beberapa bulan lagi,” ujar Sukmandaru.

Menurut Sukmandaru, hingga saat ini dipastikan belum ada pembangunan smelter baru, lebih-lebih yang dibangun oleh peru-sahaan-perusahaan tambang yang tergolong pemain baru. Pabrik pemurnian dan pe-ngolahan yang ada saat ini, menurutnya, merupakan pabrik lama dan dibangun oleh perusahaan-perusahaan tambang lama yang sudah mapan dan besar, seperti PT Antam. Bahkan, PT Freepot, raksasa tambang dari Amerika Serikat sekalipun, ternyata masih

keberatan dengan kewajiban membangun smelter sendiri.

“Kalau yang sekaliber Freepot saja begitu, bagaimana dengan perusahaan-peru-sahaan tambang yang kecil-kecil,” Sukman-daru menegaskan. Dia menilai ada sejumlah faktor yang membuat program hilirisasi tambang melalui pembangunan smelter ini. Pertama, faktor kemahalan biaya pembangu-nan smelter. Dengan biaya yang mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk satu smelter, menurutnya, bagi kebanyakan perusahaan tambang nasional modal yang diperlukan terlalu besar. Apalagi, rata-rata wilayah tambang mereka tergolong kecil dengan cadangan yang kecil pula.

Kedua, menurut Sukmandaru, skala ekonomi dari program pembangunan smelter hingga kini belum jelas benar. Menurutnya, belum pernah ada studi akademis yang mengitung skala ekonomi dari pembangu-nan smelter atau program hilirisasi tambang mineral. “Ini yang membuat pelaku tambang masih enggan fight,” tandasnya. Ketiga, du-kungan dari pemerintah masih dinilai masih kurang serius, baik dari segi regulasi maupun pengembangan insfrastruktur. “Regulasinya masih tumpang tindih. Kepastian hukumnya juga masih diragukan,” imbuh Sukman-daru.

Hal yang sama diungkapkan Arif Zardi. Jika pun ada perusahaan tambang nasio-nal yang membangun smelter, misalnya, bagaimana dengan pengadaan infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan, moda transportasi pengangkutan, dan ketersediaan

Page 13: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�2 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Produksi Barang Tambang Mineral, 1996-2011

Konsentrat Konsentrat Tahun Batu Bara Bauksit nikel emas Perak Granit Pasir Besi Tin Tembaga (ton) (ton) (ton) (kg) (kg) (ton) (ton) (tonmetrik) (tonmetrik)���� �0 332 0�� ��� ��� 3 �2� ��� �3 ��� 2�� �0� � �2� 0�� �2� �0� �2 30� � ��� ��0���� �� ��2 0�0 �0� ��� 2 �2� �3� �� �2� 2�� 3�2 � �2� 0�� ��� �03 �� �2� � ��� ��0���� �� �0� ��0 � 0�� ��� 2 �3� ��0 �23 ��2 3�3 ��� � ��2 ��� �0� ��� �3 ��0 2 ��0 0�0���� �2 �0� 23� � ��� 323 2 ��� ��� �2� ��� 3�� 3�� � �20 ��� �02 ��� �� �0� 2 ��� ��02000 �� �0� ��� � ��0 ��� 2 �3� ��� �0� ��2 3�0 �30 � ��� 3�0 �20 ��� �� 3�0 3 2�0 33�200� �� 0�2 ��� � 23� 00� 2 ��3 �2� ��� �2� 333 ��� 3 ��� 2�� ��0 ��� �� ��� 2 ��� ��02002 �0� �3� 30� � 2�3 ��� 2 �20 ��2 ��0 2�� 2�� �03 3 ��� �3� ��0 ��� �� ��2 2 ��� ��02003 ��3 �2� ��3 � 2�2 �0� 2 ��� �2� �3� ��� 2�2 0�0 3 �3� ��� 2�� ��� �� 3�� 3 23� 30�200� �2� ��� �0� � 33� ��� 2 �0� ��� �� ��� 2�� 0�3 � 03� 0�0 �� �3� �3 0�0 2 ��2 ���200� ��� ��� 233 � ��� ��� 3 ��0 ��� ��2 ��� 32� ��3 � 302 ��� �� ��0 �� �0� 3 ��3 �0�200� ��2 2�� ��� 2 ��� �30 3 ��� ��3 �3� ��2 2�0 �2� � ��� ��� �� ��� �� �00 ��� ���200� ��� ��3 0�� � 2�� ��� � ��2 ��0 ��� ��� 2�� ��� � ��3 ��0 �� 3�� �� �2� ��� ���200� ��� �30 ��� � ��2 322 � ��� ��� �� 3�0 22� 0�� 2 0�0 000 � ��� 2�� �� 2�0 ��� 0��200� 22� �0� ��� �3� 2�� � ��� ��� ��0 ��� 3�� ��� na � ��� 0�� �� �02 ��3 3��20�0 32� 32� ��3 2 200 000 � ��� 3�2 ��� �2� 33� 0�0 2 ��2 0�0 � ��� �0� �� ��� ��3 ��220�� ��� ��� 0�� 2� ��� ��0 �2 ��2 �2� �� 220 22� ��3 3 3�� ��3 �� ��� ��� �� �00 � ��2 23�

Keterangan:Sumber: Publikasi Statistik Pertambangan Non Minyak dan Gas Bumi

Data Target Produksi Mineral Nasional (Ton)

Bijih Nikel 34 JutaBauksit 10 JutaBijih Besi 5 JutaNikel 72 RibuFeronikel 19 RibuTembaga 674 RibuEmas 66 Perak 250

sumber energi, dalam hal ini listrik. Sebab, demikian Zardi menggambarkan, kebanya-kan wilayah tambang mineral berada di remote area atau daerah yang jauh di pedala-man dengan dukungan infrastruktur nol.

Kalau pun ada yang membangun smelter, menurut Zardi, bagaimana dengan pasokan listriknya karena kebutuhan energinya sangat besar. Pengalaman selama ini, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak sanggup menyu-plai kebutuhan listrik untuk daerah-daerah pertambangan. Selain kebutuhan energinya sangat besar, lokasinya pun berada jauh di luar jangkauan jaringan kelistrikan PLN. “Kalau untuk suplai energinya juga harus membangun sendiri, beban terlalu berat dan risikonya terlalu besar buat pengusaha,” ujar Zardi.

Ketidaksiapan infrastruktur tersebut, Zardi menambahkan, menunjukkan dua hal. Pertama, dukungan pemerintah belum maksi-mal. Kedua, belum adanya perencanaan yang matang, baik secara khusus terkait program hilirisasi tambang mineral maupun secara umum dalam hal strategi pengembangan industri pertamnbangan nasional ke depan.

Zardi menjelaskan lebih jauh, misal-

nya, selain harus lebih mempersiapkan infrastrukturnya, program hilirisasi tambang mineral ini juga harus didukung dengan rencana pengembangaan industri manufaktur dalam negeri yang matang pula. Dengan demikian, imbuh Zardi, ada keterkaitan dan ketersinambungan antara industri tambang mineral dengan industri manufaktur di dalam negeri. “Jadi, semestinya jauh-jauh hari pemerintah sudah membuat kebijakan dan perencanaan yang matang dan komprehensif, katakanlah dibuat dulu grand design dan road map pengembangan tambang mineral seperti apa. Tidak seperti sekarang ini, pe-rencanaan belum matang dan masih ad hoc sifatnya,” jelas Zardi.

Kebutuhan akan adanya grand design dan road map pengembangan industri tambang nasional juga dilontarkan Tedy Badrujaman. Jika tidak dipandu dengan grand design dan road map yang kompre-hensif yang didasarkan pada visi jauh ke depan, menurutnya, akan sulit menata dan memajukan sektor pertambangan nasional. “Ya akan tetap begini-begini saja. Cadangan habis tanpa banyak memberi nilai tambah dan manfaat,” ujarnya.

Program hilirisasi tanpa perencanaan yang matang, menurut Sukmandaru, akan membuat usaha tambang mineral nasional limbung, mengalami titik balik. Sukmandaru melihat bisnis tambang mineral ini akan segera memasuki masa-masa suram akibat kebijakan hilirisasi tanpa dibarengi dengan perencanaan matang. Tapi, jika pemerintah segera sadar untuk lekas melakukan perbai-kan, Arif Zardi optimistis masa depan bisnis tambang mineral akan sangat cerah. “Ter-gantung seperti apa pemerintah membuat perbaikan kebijakan dan perencanaannya,” tandas Zardi. q

Page 14: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�3Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Mengenal Karakter Penilaian Bisnis Tambang

Penilaian di lingkungan usaha tambang mineral merupakan peluang baru bagi profesi penilai. Selain kompetensi dan profesionalitas, diperlukan kesanggupan penilai untuk mengenali karakter industri pertambangan. Bagaimana caranya?

Begitu banyak profesional, ahli, atau competent person terlibat di dalam kegiatan usaha tambang, baik tambang mineral maupun

batu bara. Di mana posisi penilai? Pertanyaan tersebut menjadi penting lantaran sangat langka, bahkan nyaris mustahil, seseorang yang berprofesi sebagai penilai sekaligus memiliki kompetensi teknis di bidang per-tambangan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penjelasan anggota Dewan Pena-sihat yang juga mantan Ketua Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia Sukmandaru Prihatmoko layak diikuti.

Diakui Sukmandaru, Indonesia memang memiliki sumber daya dan cadangan mineral yang sangat besar dan beragam, bahkan salah satu yang terbesar di dunia. Namun, menu-rutnya, masa depan usaha tambang mineral di Indonesia masih banyak lubangnya. Jika salah dalam membuat kebijakan dan menen-tukan langkah, usaha ini bisa hancur atau, paling tidak, masa depannya suram dan sulit diprediksi.

Itu yang pertama. Kedua, usaha tam-bang mineral meliputi banyak tahapan baik berkaitan dengan tahapan-tahapan teknis penambangan maupun proses legalnya yang

terkait dengan perizinan. Seorang penilai, menurutnya, memang tidak mungkin memi-liki kompetensi di semua tahapan tersebut. Tapi, menurutnya, semua proses dan tahapan dari rangkaian kegiatan usaha tambang ha-rus dipahami oleh seorang penilai. Dengan demikian, seorang penilai akan bisa me-nempatkan posisinya dengan benar dalam melaksanakan kegiatan penilaian.

Sukmandaru memberi contoh, untuk memastikan dan menghitung barang tam-bang yang masih terdapat di dalam perut bumi, misalnya, yang berkompeten adalah para ahli geologi. Mereka ini tergabung dalam sejumlah asosiasi yang memiliki fungsi berbeda-beda, seperti MGEI, Ika-tan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), dan Perhimpunan Ahi Pertambangan Indonesia (PERHAPI). Termasuk, bagaimana cara mengambil barang tambang yang ada di perut bumi atau teknik penambangan, penentuan kualitas, menghitung volume cadangan dan menaksir harganya diakui masih menjadi wilayah mereka, ahli geologi maupuh ahli pertambangan.

Nah, ketika sudah menjadi komoditas siap jual, menurut Sukmandaru, bagaimana menghitung atau menentukan nilai jualnya sudah menjadi wilayah profesi penilai. “Cara memasukan angka-angka ekonomis berdasar-kan nilai harga jual itu yang bisa melakukan ya para penilai,” ujar Sukmandaru.

Jadi, menurut Sukmandaru, dari rang-kaian proses kegiatan usaha tambang tadi, posisi profesi penilai berada di titik paling ujung kanan. Di ujung paling kiri adalah ahli geologi, yang mengendus sumber daya dan cadangan mineral, ke sebelah kanan menjadi wilayah kerja ahli pertambangan untuk me-nentukan teknis penambangan dan besaran biaya teknis serta skala keekonomiannya, barulah penilai di ujung paling bertugas merangkum semua nilai menjadi angka expenditure, yang kemudian ditambahkan dengan prediksi harga jual barang tambang sebagai komiditas di pasaran. “Teman-teman yang di profesi penilai tadi menyambung-

Page 15: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

kan tahapan-tahapan tersebut,” pungkas Sukmandaru.

Pentingnya mengenali karakter usaha tambang juga diungkapkan Panca Jatmika, penilai anggota Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) yang sudah berpengala-man dalam melakukan kegiatan penilaian sektor pertambangan. “Pertama, penilai memang harus mengenal betul karakter usaha pertambangan. Menilai tambang itu tidak mudah, karena tidak semua pendeka-tan dapat dilakukan. Pemilihan pendekatan harus disesuaikan dengan tahapan dan proses kegiatan penambangan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, di dalam pertambangan dikenal adanya tahap eksplorasi, eksploi-tasi, dan produksi. Dengan demikian, di tahap mana kegiatan tambang berada akan menentukan pendekatan yang dipilih untuk kegiatan penilaian; apakah akan menggu-nakan pendekatan pasar (market approach), pendekatan biaya (cost approach), atau pendekatan pendapatan (income approach). Sebagai contoh, jika menilai sebuah peru-sahaan pada tahap eksplorasi, pendekatan paling cocok menurut Panca adalah market approach dan cost approach. “Tidak pas kalau menggunakan income approach,” ujar Panca.

Alasannya, pada tahap eksplorasi itu belum bisa diperoleh laporan kandungan mineral di dalam tanah seperti apa dan belum teruji. Jika terpaksa harus menggunakan pendekatan pendapatan, misalnya, Panca mengingatkan agar penilai bertindak sangat hati-hati karena penilai harus bermain de-ngan harga proyeksi. Sebaliknya, pendekatan biaya dan pendekatan pasar lebih cocok digunakan lantaran bisa memanfaatkan data-data dalam veasibility study tambang yang bersangkutan.

Dari sisi teknis penilaian, menurut Panca, sebenarnya tak beda dengan melakukan penilaian di bidang atau sektor lain. Hanya, imbuhnya, jika memang tidak memiliki kemampuan teknis, penilai disarankan meng-gunakan tenaga ahli yang di lingkungan pertambangan disebut competent person.

Yang juga harus diperhatikan oleh penilai adalah apa yang dinilai dan untuk tujuan apa. Lazimnya, menurut Panca, tujuan penilaian ada dua, yaitu penilaian untuk transaksi jual beli dan laporan keuangan. Jika untuk lapo-ran keuangan karena sudah menggunakan fair value (nilai wajar), menurut Panca, maka

seluruh akun pada balance sheet harus dinilai dengan fair value. Artinya, akun di sebelah kiri yang meliputi mining property atau mineral property juga harus dinilai dengan fair value pula.

Tapi jika penilaian diperlukan untuk menilai saham dengan tujuan transaksi jual beli, menurut Panca, maka yang dinilai adalah akun di sebelah kanan balance sheet, untuk melihat posisi keuangan perusahaan guna menghitung nilai sahamnya. Dari posisi keuangan dikurangi kewajiban akan didapatkan nilai saham. Dalam konteks ini, imbuhnya, semua teknik penilaian bisa digunakan. Hanya, Panca mengingatkan, jika melakukan penilaian untuk laporan keuangan, penilai harus lebih berhati-hati lantaran harus menilai seluruh akun, baik nilai saham maupun seluruh aset perusahaan yang berupa mining property dengan karak-teristik khususnya.

Pentingnya mengenali karakteristik bisnis pertambangan, khususnya mineral, juga diungkapkan Wakil Ketua Program Pendidikan Designasi B MAPPI Rudi M Safrudin. Hanya, berbeda dengan Panca, Rudi lebih menekankan pemahaman pada karakteristik sumber daya mineral yang ter-batas sifatnya, terbatas umurnya (life of mi-ning), dan tak terbarukan. Dengan demikian, jika menilai perusahaan pada umumnya bisa menggunakan teknik present value dari lima tahun ke depan, tidak demikian menilai pertambangan.

Sebagai contoh, bisa jadi semakin ter-

batas sumber dayanya, komoditas tambang mineral nilainya semakin tinggi. Tapi bisa juga terjadi sebaliknya. Misalnya, jika komoditas tambang mineral tersebut sudah ada penggantinya, maka meskipun sumber daya dan cadangan kian terbatas dan langka, nilainya tetap bisa merosot.

Hal kedua yang diingatkan Rudi adalah tingginya risiko di usaha pertambangan. Se-bagai contoh, risiko kegagalan terus mengintai di setiap tahapan kegiatan penambangan. Dengan demikian, penilai harus tetap me-waspadai setiap potensi risiko pada semua tahapan kegiatan tambang. Risiko paling tinggi, menurut Rudi, ada tahap eksplorasi. “Karena pada tahap ini memang belum meng-hasilkan,” katanya.

Meskipun tingkat kesulitan dan risiko-nya lebih tinggi, Panca dan Rudi sepakat bahwa penilaian di bidang usaha tambang mineral merupakan peluang baru dan sangat menjanjikan. Namun, keduanya mengakui bahwa para penilai di Indonesia memang belum banyak yang berpengalaman dalam penilaian tambang. Untuk itu, keduanya menyarankan agar kompetensi penilai di bidang pertambangan ditingkatkan, baik me-lalui program-program pendidikan singkat semacam pendidikan profesi lanjutan (PPL) yang diadakan MAPPI maupun melalui sarana-sarana pendidikan lain.

“Penilai itu bisa menilai apa saja, namun ia harus belajar di luar bidang keahliannya. Yang penting mau belajarlah, dipakainya kapan kita tidak tahu,” ujar Rudi. q

Page 16: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Smelter yang Membikin KederBanyak perusahaan tambang yang kesulitan membangun pabrik pemurnian dan pengolahan tambang mineral yang popular disebut smelter. Apa susahnya membangun smelter? Berapa modal yang diperlukan? Bagaimana nilai keekonomiannya?

Bagi banyak pengusaha tam-bang mineral, hantu itu berna-ma smelter. Sebab, terhitung mulai Januari 2014, tanpa smelter mereka tak bisa lagi

mengekspor hasil tambang, apalagi masih dalam bentuk barang tambang mentah (raw material) seperti yang mereka lakukan se-lama ini. Berdasarkan titah Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertam-bangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), mulai 2014 semua produk tambang wajib diolah di dalam negeri untuk menjadi produk hilir, baru kemudian bisa dipasarkan baik

di dalam negeri maupun di luar negeri. Di samping itu, ekspor raw material atau hasil tambang tanpa nilai lebih diharamkan.

Nah, berdasarkan ketentuan UU tersebut, sebagai dampak dari kebijakan hilirisasi mineral, mau tak mau pengusaha tambang harus membangun pabrik pemurnian dan pengolahan alias smelter. Namun, ternyata, tak semua pengusaha tambang memiliki ke-sanggupan untuk memenuhi kewajiban itu. Pertama dan terutama karena soal besarnya modal atau biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah smelter. Kedua, infra-struktur pendukung masih belum memadai.

Tentang betapa mahalnya investasi yang diperlukan untuk membangun smelter dan perlunya dukungan infrastruktur dan sektor lain diungkapkan oleh Stefano Munir, seorang Senior Mining Engineer and Researcher in Coal and Mineral Technology. Peraih gelar doktor bidang teknologi pertambangan dari University of South Wales, Sydney, Australia ini menyebutkan bahwa masa depan sektor pertambangan nasional akan sangat tergan-tung pada kemajuan teknologi.

“Teknologi itu membutuhkan tiga M, yaitu Men, Machines, dan Money yang digunakan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan,” katanya. Dengan kemajuan teknologi, menurutnya, program hilirisasi mineral dapat dijalankan. Contohnya hiliri-sasi untuk tambang mineral, terutama yang mengandung logam bijih besi, misalnya. Bijih ini dapat diolah dan dimurnikan untuk peningkatan nilai tambah sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri peleburan logam (smelter).

Dia menjelaskan, suatu industri smelter membutuhkan kokas metalurgi. Sebagai contoh, suatu industri besi dan baja meng-konsumsi kokas dengan coke rate 450 -950 kg kokas/ton hot metal. Karena itu, untuk mendukung pembangunan industri smelter secara berkelanjutan, diperlukan industri pembuatan kokas metalurgi yang membu-tuhkan batu bara kokas sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian tampak jelas, selain biayanya mahal, pembangunan smelter masih membutuhkan dukungan infrastruktur dan sinergi dari sektor lain.

Karena itu, wajar jika hingga kini jumlah smelter di Indonesia dapat dihitung dengan jari dan sekitar 70 persen barang tambang masih diekspor dalam bentuk raw material. Sebagai contoh, untuk tembaga, di Indonesia hanya ada 1 smelter, PT Smelting Gresik yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Pada-hal, Indonesia memiliki sumber daya temba-ga mencapai 4,9 miliar ton dengan cadangan mencapai 4,1 miliar ton. Perusahaan smelter ini memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar satu juta ton. Konsentrat tembaga tersebut kemudian diolah menjadi tembaga katoda dengan produksi per tahun berkisar antara 270 ribu ton sampai 300 ribu ton. Konsentrat tembaga yang diolah smelter ini sebagian besar berasal dari PT Freeport Indonesia dan sebagian kecil berasal dari PT Newmont Nusa Tenggara. Hasil produksi

Page 17: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

smelter ini, sekitar 60 persen dijual di dalam negeri dan sisanya diekspor.

Contoh lain, meskipun, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memiliki sumber daya bijih nikel mencapai 2,6 miliar ton dengan cadangan mencapai 576 juta ton, di Indonesia saat ini hanya ada dua perusahaan smelter, yaitu FeNi PT Antam dengan kapasitas 2,95 juta ton dan Ni in Matte PT INCO dengan kapasitas sebesar 6,08 juta ton bijih.

Jadi, negara yang kaya akan sumber daya mineral ini ternyata miskin mesin pengolah-annya. Baru belakangan, sejak diterbitkannya UU Minerba pada 2009, pemerintah ingin menggalakkan pembangunan smelter yang langsung membikin banyak pengusaha tambang keder karena harus berhitung nilai investasi yang sangat besar. Sebagai contoh, PT Aneka Tambang (Antam) saat ini berencana membangun smelter nikel di Halmahera Timur dengan nilai investasi mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun. “Ya, investasinya memang sangat besar,” ujar Direktur Operasi PT Antam Tedy Badrujaman.

Investasi yang siap digelontorkan Antam tersebut boleh dibilang “tak seberapa” jika dibandingkan dengan yang direncanakan perusahaan lain. Menurut peneliti dan analis investasi pasar modal Wawan Hendrayana, seperti dikutip Kontan, untuk membangun smelter besi menjadi sponge iron dibutuhkan dana investasi sekitar 132 miliar dollar AS. Sedangkan, semlter besi menjadi ping iron membutuhkan investasi sebesar 165 miliar

dollar AS. Kemudian, investasi untuk smelter nikel menjadi feronikel mencapai 972 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9 triliun. Sedang-kan, untuk mengolah nikel menjadi HPAL (High Pressure Acid Leach) dibutuhkan dana sekitar 1.160 miliar dollar AS. Adapun untuk dan mengolah alumina menjadi smelter grade alumina membutuhkan investasi sebesar 1.662 miliar dollar AS.

Sebagai perbandingan, data di Ke-menterian Perindustrian pada akhir 2012 mencatat sedikitnya ada 5 investor asing yang akan berinvestasi membangun smelter di Indonesia pada 2013 ini dengan total nilai investasi 10 miliar dollar AS. Kelima investor tersebut berencana membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina

dengan kapasitas produksi sebesar 3 juta ton. Pembangunan satu smelter dengan kapasitas tersebut diperkirakan akan menelan biaya 2 miliar dollar AS.

Di samping itu, Kementerian Perindustri-an juga mencatat ada empat perusahaan yang telah merealisasikan investasi pembangu-nan smelter, yaitu PT Krakatau Posco, PT Indonesia Chemical Alumina, PT Ferronikel Halmahera Timur, dan PT Batulicin Steel. PT Krakatau Posco telah berinvestasi sebesar 2,8 miliar dollar AS untuk proyek pabrik baja tahap I dengan kapasitas 3 juta ton per tahun. Sementara itu, PT Indonesia Chemical Alumina telah membangun pabrik Chemical Grade Alumina (CGA) berkapasitas 300 ribu ton per tahun dengan investasi 450 juta dollar

Page 18: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

AS di Kalimantan Barat. Di Maluku Utara, PT Ferronikel Halmahera Timur membangun smelter berkapasitas 27.000 ton nikel per tahun dengan nilai investasi 1,6 miliar dol-lar AS. Di Kalimantan Selatan, PT Batulicin Steel membangun pabrik baja berkapasitas 1 juta ton per tahun dengan investasi tahap I senilai 500 juta dollar AS.

Besaran investasi yang tinggi tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI) Arif Zardi Dahlius, baru untuk pembangunan smelter, belum termasuk pasokan listriknya dan infrastruktur lainnya. “Jika PLN tak sanggup memasok listrik karena keterba-tasan daya atau jaringan, berarti pengusaha tambang harus mengadakan sendiri pasokan listriknya, dan itu perlu investasi yang juga besar,” ujarnya.

Sementara untuk membuat smelter dengan spesifikasi yang ramah lingkungan dibutuhkan biaya sekitar Rp300 miliar. Hanya saja untuk membangun smelter ramah lingkungan tersebut harus ditopang dengan pasokan listrik yang besarnya sekitar 35x2 MW. Sedangkan untuk membangun pem-bangkit listrik dengan kapasitas 35x2 MW

tersebut diperkirakan membutuhkan biaya sekitar Rp 1 triliun. “Apakah PLN siap ber-investasi sebesar itu dalam waktu singkat,” tambah Marulam.

Diakui Zardi, memang sudah banyak pengusaha tambang yang mengajukan rencana pembangunan smelter, baik yang tercatat di Kementerian ESDM maupun Kementerian Perindustrian. Namun, ia tak begitu optimis semua akan terealisasi tepat waktu. “Semua baru komitmen, baru ren-cana. Untuk target 2014, belum ada yang terealisasi,” ujarnya.

Anggota Dewan Penasihat MGEI yang juga ahli pertambangan Sukmandaru Pri-hatmoko menambahkan, kalau pun ada yang merealisasikan pembangunan smelter, pasti dilakukan oleh perusahaan-perusa-haan tambang yang besar dan mapan. Dan itu jumlahnya tidak banyak. Di Indonesia, menurutnya, kebanyakan usaha tambang berskala kecil. Dengan demikian, jika harus membangun smelter sendiri, nilai keekono-miannya masih diragukan, bahkan bisa jadi justru tidak feasible.

Memang terbuka kemungkinan peru-sahaan-perusahaan tambang berskala kecil

membentuk konsorsium dalam kerangka pembangunan smelter bersama. Perso-alannya, seringkali antarwilayah tambang lokasinya berjauhan dengan insfrastruktur transportasi yang juga tidak memadai. Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, membentuk konsorsium pun tetap belum tentu feasible. Jika ingin program hilirisasi berjalan se-perti dengan baik, Sukmandaru menyarankan pemerintah mencari solusi yang tepat dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan pertambang mineral. “Ajak semua bicara untuk mencari solusi bersama-sama,” ujarnya.

Tedy Badrujaman menawarkan opsi yang cukup menarik. Untuk kepentingan nasional, ada baiknya dipikirkan bagaimana jika pemerintah sendiri yang memelopori pembangunan smelter, tentu dengan pe-rencanaan dan perhitungan yang matang. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan tambang berskala kecil yang jumlahnya mencapai ribuan tinggal mengirimkan bahan tambangnya ke smelter milik pemerintah. “Jika opsi ini diterima dan berhasil, pasti akan menular dan berdampak positif,” ujar Tedy Badrujaman. q

Page 19: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

Rupiah Terpuruk, Terbitlah RelaksasiDi tengah pembatasan ekspor barang tambang mineral mentah, tiba-tiba nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terpuruk. Untuk memperkuat cadangan devisa, pemerintah melonggarkan aturan ekspor barang tambang mentah (raw material). Tapi, efektivitasnya diragukan.

Di tengah gejolak nilai tukar ru-piah, para pengusaha tambang sibuk melakukan revisi rencana bisnis. Tujuannya tak lain untuk

memanfaatkan peluang setelah pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional akibat guncangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Salah satu isi paket ekonomi tersebut adalah kebijakan relaksasi atau pelongga-ran ekspor raw material, yang sejak 2012 diperketat melalui kebijakan kuota ekspor dan pengenaan bea keluar. Dengan relaksasi, maka pintu ekspor untuk barang tambang mentah kembali dibuka lebar-lebar agar semakin banyak devisa masuk. Melalui ke-bijakan ini, diharapkan nilai rupiah kembali

menguat dan ketahanan ekonomi nasional terjaga.

Diakui Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dede Ida Suhendra, seperti dikutip bisnis.com medio Septem-ber 2013, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi tersebut, banyak peru-sahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mengajukan revisi rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB). Diharapkan, melalui kebijakan ini realisasi ekspor hasil tambang mineral semakin optimal. “Tiap hari banyak perusahaan yang mengajukan RKAB,” ujarnya.

Revisi rencana bisnis memang menjadi salah satu syarat bagi perusahaan pemegang IUP untuk dapat memanfaatkan kebijakan relaksasi ini. Sebab, selama ini pelaksanaan ekspor sudah diatur melalui kebijakan kuota ekspor dan pengenaan bea keluar di mana jatah ekspor bagi setiap perusahaan tambang sudah ditentukan oleh Kementerian ESDM. Dengan demikian, jika hendak menambah volume ekspor, setiap perusahaan pemegang IUP memang harus mengubah RKAB.

Jika RKAB disetujui, dengan sendirinya perusahaan pemegang IUP dapat mening-katkan jumlah ekspor sesuai dengan RKAB yang baru. Namun, bukan berarti relaksasi tersebut membatalkan kebijakan pemerintah soal larangan ekspor barang tambang men-tah mulai Januari 2014 seperti diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Mineral dan Batu Bara.

Pemerintah akan tetap memberlaku-kan larangan ekspor sesuai ketentuan UU Mineral dan Batu Bara. Dengan demikian, relaksasi ini hanya akan berlangsung hingga akhir tahun 2013, dan mulai 2014 larangan ekspor raw material tetap berlaku, karena semua barang tambang mineral harus sudah diolah di dalam negeri melalui program hilirisasi.

Karena relaksasi hanya berlaku hingga akhir 2013, alias tiga bulan ke depan, sejumlah kalangan meragukan efektivitas kebijakan tersebut. Salah satunya datang dari Ketua Umum Indonesian Mining Association (IMA) Martiono Hadianto. Menurutnya, jika tujuannya untuk meningkatkan besarnya de-visa negara, kebijakan ini tidak akan ampuh. Sebab, peningkatan produksi dalam waktu yang singkat dari komoditas tembaga, emas, dan bijih besi akan sulit dilakukan lantaran

Page 20: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n U t a m a

kondisi areal pertambangan. Meski begitu, untuk komoditas nikel dan bauksit masih ada kesempatan. Sebab, kondisi areal per-tambangan kedua komoditas tersebut tidak terlalu sulit untuk ditingkatkan kapasitas produksinya.

Sejumlah Rencana BisnisMeskipun kondisi usaha pertambangan

mineral tidak menentu mendekati tenggat implementasi program hilirisasi, sejumlah perusahaan pemegang IUP telah menyusun rencana bisnis yang boleh dibilang optimis-tis. PT Aneka Tambang (Antam), misalnya, tahun 2013 ini menargetkan adanya pening-katan produksi emas 16,4 persen dibanding-kan dengan tahun 2012. Tahun lalu, produksi emas Antam sebesar 2.849 kilogram dan akan ditingkatkan menjadi 3.316 kilogram ta-hun ini. Untuk memenuhi target itu, produksi pabrik emas Antam di Pongkor, Jawa Barat, akan digenjot.

Produksi tambang emas Aneka Tam-bang di Pongkor ditargetkan sebesar 2.001 kilogram, naik 17,7% year-on-year dari 1.700, sedangkan produksi tambang emas di Cibaliung, Banten, ditargetkan naik menjadi 1.315 kilogram dibandingkan tahun lalu yang sebesar 1.149 kilogram. Tahun lalu, penjualan emas Aneka Tambang mencapai 7.024 kilogram dengan nilai penjualan sebesar Rp 3,36 triliun, naik tipis dari penjualan tahun sebelumnya yang sebesar 7.009 kilogram.

Secara keseluruhan, pada 2012 Antam membukukan penjualan yang belum diaudit (unaudited) sepanjang 2012 sebesar Rp 10,41 triliun atau naik tipis dibandingkan penjualan 2011 yang sebesar Rp 10,38 triliun. Total penjualan tersebut diperolah dari penjualan feronikel sebesar Rp 3,14 triliun, bijih nikel Rp 3,07 triliun, emas Rp 3,63 triliun, batu bara Rp 208 miliar, dan ekspor bauksit Rp 29 miliar. Sepanjang 2012, Antam memproduksi 18.372 TNi feronikel, lebih tinggi dibanding-kan produksi 2011 yang sebanyak 18.000 TNi, dan menjual 19.530 TNi feronikel, lebih tinggi dibandingkan penjualan 2011 yang sebanyak 19.527 TNi.

Sementara itu, dua tambang milik PT Bumi Resources Mineral Tbk (BMRS), emiten tambang mineral logam dalam kelompok usaha Bakrie, dipastikan akan mulai berproduksi pada 2016. Kedua tam-bang tersebut adalah satu tambang emas di

Bone Belango, Gorontalo, yang dikelola PT Gorontalo Minerals, serta tambang seng dan timah hitam di Sumatera Utara yang digarap oleh PT Dairi Prima Mineral.

Diestimasi, tambang di Gorontalo memiliki sumber daya hasil eksplorasi berdasarkan standar Join Ore Reserves Committee (JORC) sebesar 292 juta ton bijih dengan kandungan 0,5 persen tembaga dan 0,47 gram per ton emas. Luas konsesi lahan tambang Gorontalo Minerals men-capai 56.070 hektare dengan nilai loo juta dollar AS hingga berproduki. Sedangkan, tambang di Sumatera Utara memiliki luas lahan 27.420 hektare dan memiliki cadangan teridentifikasi sebesar 6,3 juta ton. Tambang tersebut saat ini dalam tahap konstruksi. Total investasi proyek Dairi Prima diproyeksikan sekitar 300 juta dollar AS.

Di Mamuju, Sulawesi Barat, tambang emas milik PT Prima Anugerah Resources dipastikan akan segera berproduksi. Prima Anugerah telah melakukan penelitian tam-bang emas di wilayah Kalumpang selama kurang lebih dua tahun. Tahap eksplorasi tambang emas ini telah dilaksanakan pada beberapa titik, yakni di daerah Tambing-Tambing hingga pada muara Sungai Karataun Kalumpang. Saat ini perusahaan ini tengah mengajukan peningkatan status perizinan menjadi tahap Izin Operasional Produksi

(IOP). Prima Anugerah Resources mengelola areal tambang emas seluas 13.364 hektare yang menyimpan potensi emas sekitar 72,44 ton dengan kadar rata-rata 8,3 CPL dengan luas prospek 100 hektare.

Belum lama berselang, tercatat perusa-haan pertambangan yang terdaftar di bursa Kanada, Kobex Mineral Inc, secara tidak langsung mengakuisisi PT Citra Lampia Mandiri, pemegang IUP nikel, senilai 41,5 juta dollar AS. Kobex berencana mengakui-sisi 85 persen kepemilikan Geologic System Ltd yang punya hak khusus untuk dapat membeli PT Asia Pasific Mining Resources yang merupakan pemegang saham mayoritas Citra Lampia. Setelah mengakuisisi Geo-logic, Kobex Mineral menjalankan Letter of Intent (LOI) yang mengikat dengan Asia Pacific Mining Resources yang memung-kinkan untuk membeli 85 persen sahamnya di Citra Lampia. Geologic memiliki kewa-jiban pembayaran 2,5 juta dollar AS pada 20 November 2012 dan 4 juta dollar AS sebelum dimulainya konstruksi proyek tam-bang tersebut. Sebelum dimulainya produksi komersial, perusahaan juga harus membayar 3 juta dollar AS dan 30 juta dollar AS se-lama tiga tahun pertama setelah produksi komersial berjalan. Proyek perusahaan ini adalah tambang nikel laterit yang terletak di Sulawesi Selatan. q

Page 21: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

20 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

W a W a n C a R a

Direktur Operasi PT Antam Tedy Badrujaman:

“Mental Dagang yang Merusak Tambang Tambang”

Mulai tahun depan ekspor hasil tambang mentah dihentikan. Melalui kebijakan hilirisasi, semua hasil tambang harus dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sayang, hingga kini belum terlihat sinyal kebijakan tersebut terlaksana tepat waktu. Belum ada perusahaan tambang yang sudah merealisasikan pembangunan smelter atau pabrik pemurnian bahan tambang.

Untuk mendalami seperti apa se-sungguhnya kondisi bisnis per-tambangan di Indonesia saat ini dan bagaimana masa depannya,

Majalah Media Penilai mewawancarai salah satu pelaku bisnis tambang, Direktur Operasi PT Aneka Tambang (Antam) Tedy Badruja-man. Sarjana Teknik Tambang Metalurgi dari Institut Teknologi Bandung ini bergabung dengan Antam sejak 1991. Sebelum diper-caya menjadi Direktur Operasi pada April 2013, peraih gelar Magister Manajemen Internasional dari Sekolah Tinggi Prasetiya

Mulia (2004) telah menempati berbagai posisi kunci di Antam. Ia pernah menjadi Deputy Senior VP Operation Unit Bisnis Pertambangan Nikel (2005-2008), Senior VP Unit Bisnis Pertambangan Nikel Sulawesi Tenggara (2008-2012), dan Corporate Sec-retary Division Head dari tahun 2012.

Diwawancarai di kantornya selama sekitar 1 jam pada awal September 2013, Tedy Badrujaman menjelaskan panjang lebar kondisi usaha pertambangan nasional, terma-suk banyaknya pemodal bermental dagang yang ramai-ramai terjun ke pertambangan.

“Mereka hanya jor-joran menjual bahan baku, tanpa memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa ini,” katanya. Berikut petikan wawancara selengkapnya:

Seperti apa Anda melihat perkem-bangan usaha pertambangan nasional saat ini?

Kita harus melihat lebih dulu rangkaian usaha pertambangan ini secara umum. Per-tama ada sumber daya tambang yang akan diolah. Kedua, ada proses pengolahan dan yang mengolahnya. Dan, ketiga, ada peng-guna barang tambang. Sekarang coba kita pisah-pisahkan. Dari sisi sumber, sumber daya tambang kita ini masih banyak, terse-bar di berbagai daerah dan terdiri berbagai macam bahan tambang. Hanya kadang-kadang persebarannya tidak merata. Ada di satu wilayah yang sumber dayanya besar, namun tidak sedikit yang cadangannya kecil-kecil. Potensi yang besar itu dengan karakter yang demikian jadi tantangan tersendiri.

Bagaimana dengan proses pengola-hannya?

Nah, itu yang kedua. Kita melihat saat ini sangat banyak orang yang masuk ke pertambangan padahal tidak tahu cara me-nambang. Ini yang harus jadi catatan. Dari sisi ini, kenapa banyak yang masuk tambang, ya karena harga komoditas barang tambang terus naik. Tapi, ketika harganya turun, pada berhenti beroperasi kecuali mereka yang penambang tulen. Inilah problem di pengolahan bahan tambang. Dan, ketiga, penggunaan produk akhir atau hilir bahan tambang. Anda lihat apa yang ada di dunia ini hampir semuanya merupakan produk akhir hasil tambang. Sekadar contoh, mobil, telepon/handphone, televisi, antena parabola, besi-besi baja, dan sebagainya. Contoh lain, aktivitas pembangunan seperti jalan, gedung, perumahan, semuanya juga tergantung dari adanya bahan tambang dari katakanlah

Page 22: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

W a W a n C a R a

galian C seperti batu, batu kapur, dan pasir. Pendeknya, semua dari hasil tambang. Jadi, misalnya, jika pertambangan distop, pasti pembangunan akan terhenti. Jika tambang distop, tidak akan ada pabrik yang mem-produksi mobil, produk elektronik, dan segala macamnya.

Masalah tambang di kita dari sisi mananya?

Ya pengolahannya itu. Yang kasat mata terlihat, misalnya, mobil kita impor, produk elektronik kita impor. Segala macam produk teknologi kita impor. Padahal, sumber daya-nya ada di kita, bahan bakunya ada di kita, yaitu bahan tambang. Itu problem kita. Kita punya bahan bakunya, bahan baku itu kita ekspor, lalu jadi importir, jadi pembeli produk akhirnya. Tapi, yang lebih dulu ingin saya katakan, sepanjang masih ada pemba-ngunan dan konsumen dunia membutuhkan produk akhir dari bahan-bahan tambang, maka prospek bisnis pertambangan tetap bagus dan usaha tambang tak mungkin bisa distop begitu saja.

Bagaimana jika ada kebijakan mora-torium, misalnya?

Bisa saja kita stop, tapi harus diingat bahwa yang akan mendapatkan keuntungan-nya tetap orang lain. Mereka akan makin menguasai usaha tambang mulai dari hulu hingga produk hilirnya. Pembangunan tidak akan berhenti. Kebutuhan produk teknologi juga tidak akan berhenti. Dan, semuanya itu memerlukan pasokan bahan tambang. Yang ingin saya katakan, melihat prospek bisnis tambang, termasuk bagaimana membuat regulasinya, tidak bisa didekati dari satu sisi, sisi penambangannya saja, misalnya. Harus dilihat secara utuh, secara keseluruhan. Jadi, menurut saya, tak seharusnya penambangan distop. Hanya, penambangnya harus benar-benar profesional. Tidak sekadar menambang hanya untuk jor-jor ekspor bahan tambang mentah. Jadi memang harus ada proses hilirisasi.

Bukankah memang itu yang terjadi selama ini?

Ya memang, tapi sayang juga kalau kita jor-joran nambang hanya untuk diekspor semua. Kalau hanya menambang kemudian diekspor semua mentah-mentah, tak ubahnya kita ini tukang gali saja, dan orang lain

yang menikmati nilai tambahnya, produk akhirnya dijual ke kita lagi. Jadi, penam-bangan memang harus ada kesinambungan antara cadangan, orang yang menambang, dan teknologi penambangannya sendiri. Jadi, sebetulnya prospek dunia pertambangan di Indonesia itu tergantung dari, satu, cadangan-nya sendiri. Kedua, ahli-ahli tambang. Jadi ahli tambang ini harusnya yang sekalian memperhatikan kondisi lingkungan. Sekalian juga memperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Jadi tidak sendirian. Jadi itu yang harus diutamakan. Dan ketiga, pengemba-ngannya sampai ke produk hilir. Apabila itu ada semua, prospeknya masih sangat bagus. Jadi, industri tambang tidak bisa dilihat sen-dirian. Kalau sendirian, ya mending memang ditutup saja.

Mestinya bagaimana?Seharusnya kita sudah kaya raya dari

hasil tambang. Seharusnya kita sama-sama memikirkan bagaimana caranya mengolah bahan tambang ini menjadi bahan-bahan jadi yang lebih bermanfaat dan bernilai tambah dan kita ekspor produk hilirnya. Seharusnya kita yang mengekspor mobil, kacamata, pesawat, dan segala macam itu. Harus ada

industri segala macam di sini. Sayang, ba-han baku hanya ditambang untuk jor-joran diekspor ke China dan ke negara-negara lain. Negara lain yang memproduksi hilirnya, dan datang lagi ke kita, kita yang membeli. Jadi, kita tidak pernah menikmati apa hasil tambang tersebut. Seharusnya dari awal sampai hilir,

Seberapa besar sebenarnya sumber daya yang kita miliki?

Tonasinya saya tidak ingat. Tapi yakinlah komoditi-komoditi itu masih banyak di kita. Jumlahnya juga masih banyak. Hanya per-tambangan di kita ini memang baru mencari nilai ekonomis yang sumbernya banyak. Di luar negeri yang banyak-banyak itu sudah dieksploitasi beberapa puluh atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Sedangkan, di kita ini lebih ke arah penambangan marginal.

Seberapa besar bahan tambang men-tah kita yang diekspor?

Dari data yang ada sih sekarang malah lebih banyak bahan mentah itu dipasarkan. Kalau Antam sendiri sudah membangun pabrik dari puluhan tahun lalu. Dari tahun 1973 sudah membangun pabrik teronikel.

Page 23: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

22 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

W a W a n C a R a

Tahun 1995 bangun lagi pabrik keduanya. Tahun 2007 bangun lagi. Kemudian di Pong-kor pabrik emas. Di Cikotok malah sudah sejak zaman Belanda. Artinya, sedari awal kalau Antam sendiri tujuannya tidak sekadar menambang, tapi memproduksi. Kami sudah memproduksi bahan-bahan jadi.

Apakah hasil tambang milik Antam semuanya dimurnikan sendiri atau masih ada yang diekspor mentah?

Harus diakui, kami juga masih mengeks-por bahan mentah sesuai kebutuhan, tidak ikut tidak jor-joran, dan sepanjang itu masih diizinkan. Kalau regulasi mengatakan stop ekspor tambang mentah, kami akan patuh. Kalau untuk emas, tak ada yang kami ekspor mentah. Langsung kami olah dan langsung habis diserap pasar.

Seperti apa persaingan di antara pe-

rusahaan tambang sendiri?Persaingan hanya terjadi pada kualitas

produk. Karena, sudah sejak 1970-an kami sudah menambang. Dalam menambang kami sudah punya prosedur khusus, kita akan me-nambang kalau kita tahu cadangannya dan kualitas cadangannya seperti apa. Setelah itu baru dimasukkan pabrik. Jadi, mulai dari eksplorasinya kualitasnya betul-betul terjamin karena yang akan masuk pabrik harus terjamin. Hasil tambang yang kami

ekspor pun kualitasnya akan sama dengan yang masuk ke pabrik. Jadi persaingannya di situ.

Bagi perusahaan tambang, sebenar-nya lebih menguntungkan mana, punya pabrik pengolahan sendiri atau menjual bahan mentahnya saja?

Bagi kebanyakan penambang yang bukan penambang tulen, memang lebih me-nguntungkan dijual langsung hasil tambang-nya. Ya, saya bilang mereka itu sebenarnya bukan penambang sejati, melainkan mereka hanyalah pedagang yang menggali tambang. Menurut saya itu bukan usaha tambang namanya. Tak ubahnya seperti mencang-kul tanah, lalu tanahnya dijual begitu saja tanpa melalui proses pengolahan. Memang untungnya besar, tapi itu hanya keuntungan sesaat.

Kenapa tak banya perusahaan tam-bang yang membangun pabrik pemurnian atau pengolahan sendiri?

Karena yang masuk ke dunia tambang bukan penambang. Intinya di situ. Beda dengan, misalnya, yang dilakukan Antam selama ini. Kami membangun pabrik dari tahun 1973 dengan segala insfrastruktur lengkap dengan segala fasilitas. Kami bangun pabrik sendiri, bangun pembangkit tenaga listrik sendiri, bangun jalan sendiri, bangun

pelabuhan sendiri, beli kapal sendiri. Jadi, tak ubahnya membangun kota sendiri karena semua elemen kehidupan masyarakat dan pranata sosial lainnya harus ada di wilayah tambang itu. Kegiatan tambang itu sebenarnya memang harus terpadu, mulai dari meng-gali hingga memproduksi produk hilirnya. Nah, usaha tambang sekarang kelihatannya bergeser, hanya menggali dan menjual hasil mentahnya. Inginnya tinggal jual. Padahal, penambang-penambang yang asli penambang akan memikirkan semuanya.

Sebenarnya seberapa besar nilai tambahnya jika hasil tambang kita diolah dulu menjadi produk hilir baru dijual?

Nilai tambahnya begini, sebenarnya harga jual per metalnya sama. Tapi dengan mengolah sendiri di sini, bahan baku yang diperlukan lebih sedikit. Misalnya, jika diolah sendiri, untuk 18-20 ribu-an ton nikel diperlukan bahan baku hanya 1,4-1,5 juta ton. Tapi kalau dijual mentahan, bahan baku 1,4-1,5 juta ton itu sedikit sekali nilainya. Kalau hanya ekspor bahan baku, volumenya

Page 24: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

23Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

W a W a n C a R a

sangat besar untuk memperoleh keuntungan besar. Untuk menyamai penjualan 20 ribuan nikel, misalnya, ekspor bahan bakunya bisa mencapai 30-40 juta ton. Tahun lalu, misal-nya, volume ekspor bahan mentah nikel sebanyak 28 juta ton. Padahal, jika diolah di sini dengan kapasitas seperti yang kami pu-nya, cadangan 28 juta ton itu bisa ditambang hingga 20-an tahun. Kalau diekspor men-tahan begitu, cadangan habis hanya dalam setahun. Itu salah satu cara mengukur nilai tambahnya. Jika dihitung dengan berbagai cost yang harus dikeluarkan untuk mengang-kut keluar bahan mentah dengan volume begitu besar, nilai tambahnya sebenarnya bisa 5-6 kali lipat. Tapi sesungguhnya letak nilai tambahnya justru ada pada multiplier ef-fect-nya. Dengan pabrik pengolahan sendiri, misalnya, membuka lebih banyak lapangan kerja. Keberadaan pabrik pemurnian akan mendorong pertumbuhan ekonomi setempat. Pendeknya, ia dapat menggerakkan pereko-nomian daerah.

Jadi, manfaatnya justru lebih banyak

kalau diolah di sini ya?Betul. Dan, namanya pabrik, kalau pun

bahan bakunya habis di daerah situ, bisa ambil dari daerah lain. Atau bisa impor. Misalnya, saat ini kita mengekspor bahan baku ke China, suatu saat mungkin kalau kita banyak pabrik di sini justru mengimpor dari negara lain dan diolah di sini. Kalau tambang kita gali terus dijual-jual begitu saja, setelah habis mau diapakan? Kan, tak bisa digali lagi. Habis ya tutup. Tapi kalau pabrik, habis di sini kita masih bisa cari yang lain, bahan dari daerah yang lain, atau bisa pindah (switch) bahan bakunya, bukan teronikel lagi, misalnya teromangan. Atau, kita bisa switch ke produk lain. Itu bisa.Tapi, memang, syarat hilirisasi itu harus menguasai teknologi. Sekarang bandingannya begini, namanya Korea Selatan itu tidak punya bahan baku sama sekali. Nol. Mottonya pemerintahan sana dari dulu karena ingin bersaing dengan Jepang, pokoknya dari tidak ada menjadi ada. Di sana ada pabrik baja, ada pabrik teronikel, ada pabrik segala macam, padahal tidak punya apa-apa. Bahan tambangnya dari

mana? Dari Indonesia!

Sesungguhnya dari segi teknologi apakah kita siap bersaing juga?

Sekarang asal mau saja. Teknologi itu berkembang. Yang namanya teknologi itu sebetulnya mudah. Apa yang bisa kita lakukan ya dilakukan saja dan terus diper-baiki sendiri. Contohnya yang terjadi di China. Mereka batasi masuknya produk dari Amerika Serikat dulu, lalu mencoba membuat sendiri apa saja, mulai dari AC, truk, berbagai macam kendaraan. Tidak apa-apa besinya masih mudah berkarat, toh lama-lama tambah bagus. Jadi, sebetulnya jangan takut untuk hilirisasi meskipun harus belajar dari awal semua. Kalau tidak, sayang sekali kita seperti tikus mati di lumbung padi. Kita punya banyak sumber daya alam segala macam, namun santai-santai saja. Dengan sangat mudah semua kita jual sebagai bahan mentah karena untungnya besar. Kita lupa bahwa suatu saat Indonesia akan kehabisan bahan tambang dan teknologinya belum sempat maju.

Kenapa susah sekali mewujudkan hilirisasi di pertambangan?

Bukan hanya di tambang. Di kehutanan, misalnya, seharusnya juga ada hilirisasi. Seperti di pertambangan, di kehutanan saat ini kecenderungan juga cuma untuk tebang-tebang saja dan kayunya dijual gelondongan, tidak melalui proses pengolahan. Sama saja. Bukan hanya smelter sebetulnya yang diperlukan, semua sektor harus dihilirisasi. Dari produk makanan, misalnya, ikan harus diproses lebih lanjut. Hasil hutan juga di-proses. Memang, hutan ditebang dan dijual kayunya lebih untung besar ketimbang Anda harus mengolahnya dulu. Tapi masa hanya begitu tingkat kehidupan kita. Sementara orang-orang dari Korea yang tidak punya apa-apa, tidak punya hutan, tidak punya barang tambang, bisa mengolahnya menjadi lebih baik lagi dengan level yang lebih tinggi. Kalau hanya jor-joran menjual, semua sum-ber daya akan segera habis. Kita tidak bisa apa-apa lagi.

Mungkinkah hilirisasi itu terkendala masalah besarnya investasi?

Ya memang investasinya besar. Karena itu harus ahli tambang yang masuk, bukan semua orang bisa masuk tambang. Investa-

Page 25: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

W a W a n C a R a

sinya memang besar, karena itu zaman dulu yang masuk ke pertambangan memang hanya pengusaha-pengusaha bermodal kuat. Hanya kita perlu regulasi yang menarik untuk investor besar yang datang ke sini. Sebab, menambang memang tidak murah. China, kan, punya cukup banyak pabrik dan siap menampung.

Menurut Anda, apa yang mesti dilaku-kan agar program hilirisasi ini jalan?

Sebenarnya sudah dibuka peluang di UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Bah-kan perusahaan-perusahaan tambang sudah diarahkan silakan bergabung. Sebetulnya ka-lau banyak yang hilirsasi, biasanya namanya bisnis itu seperti virus, pasti akan menular. Tapi kelihatannya masing-masing masih berkutat pada semangat menjual. Sebetulnya, hilirisasi itu sudah ada sejak dulu. Namun, banyak yang masuk ke tambang baru-baru ini. Akhirnya pengusaha-pengusaha ini kan masih semangat untuk menjual bahan baku. Itu kan sebenarnya sudah dibolehkan. Konsorsium, kerja sama IUP, ataupun men-datangkan investor dari luar.

Lalu apalagi kendalanya?Sebenarnya Indonesia ini dari pandang-

an investor masih cukup bagus. Mereka masih tertarik untuk datang ke sini. Hanya kadang-kadang, kan, peraturan-peraturan di sini yang tidak memungkinkan. Artinya, kadang-kadang belum terlalu pasti. Misal-

kan, kadang-kadang IUP juga tumpang tin-dih. Ini kepastian-kepastian ini yang mereka perlukan. Ya sebetulnya untuk hilirisasi tadi, untuk konsorsium, bisa mengundang inves-tor dari luar. Atau, kalau pemerintah punya uang bisa saja difokuskan ada beberapa yang dibangun oleh pemerintah.

Kendala lainnya, kadang-kadang satu regulasi dengan regulasi yang lain itu sal-ing tidak mendukung. Sedangkan, untuk satu industri itu, kan, ada berbagai aturan. Aturan ketenagakerjaan, aturan kehutanan, lingkungan, dan lain-lain dan semua harus mengikuti berbagai aturan tersebut. Ke-mudian, tumpang tindih antara aturan dari departemen satu dengan departemen lain. Kemudian juga, masalah otonomi daerah. Otonomi daerah ini bisa jadi memang yang menghambat kita, bisa juga tidak, tergan-tung kondisi pemda. Mungkin ada pemda yang punya program sendiri, akhirnya IUP tumpang tindih. Atau IUP kita dicabut. Nah, ini untuk investor kan ini tidak ada kepastian ini yang, artinya, pengontrol regulator ini ya perlu ada yang mengontrol semua. Dulu waktu otonomi daerah belum ada, mencuat antardepartemen yang kurang sinkron, mi-salnya kehutanan dengan tambang karena cadangannya banyak di hutan. Dan sudah distop yang di hutan lindung. Nah, kadang-kadang kan peta juga berubah-ubah.

Kemudian yang penting ada tata ruang untuk tambang. Tambang ini sepertinya dibenci tapi sebetulnya dicari juga. Jadi,

walaupun misalnya itu sekarang tidak di-tambang, tapi suatu saat orang pasti akan ke area sana juga. Jadi, sebaiknya memang ada tata ruang untuk memastikan mana yang ada tambangnya sebaiknya ada program yang jelas dari segi alokasi. Pemerintah mengalo-kasikan bahwa ini daerah tambang, jadi boleh ditambang. Kalau memang ada bahannya, ya lebih baik kalau dari orang tambang yang menambang. Tapi, kan, sayang kalau kemu-dian tidak bisa ditambang hanya karena ada regulasi-regulasi yang menghambat.

Mungkin kalau mesti menunggu ke-sadaran perusahaan tambang membuat konsorsium juga tidak jalan-jalan?

Artinya, bisa aja kalau pemerintah ada uang, kan, nanti akan menular seperti virus. Bisa berkembang. Nah sekarang kelihatan-nya semua semangatnya masih semangat mengekspor.

Apa yang diperlukan untuk menata sebaik mungkin pertambangan nasional ke depan?

Grand design seperti apa, itu yang diper-lukan. Kita belum punya master plan atau grand design. Buktinya, mereka boleh saja mengekspor. Kalau ada grand design, Indone-sia itu harus menambang seperti apa dan mau hilirisasi, kan, otomatis sudah ada batasan-batasan. Misalnya, ekspor jangan sekian. Harusnya begitu. Sekarang, hilirisasi dengan membangun smelter saja masih dipertanyakan bagaimana kebijakan kita ke depan.

Apakah memang belum ada kejela-san?

Ya, harus ada alokasinya, harus jelas, harus dikontrol apakah hasil penjualan ekspor bahan tambang mentah itu uangnya dikumpulkan untuk membangun pabrik atau apa, harusnya ada perencanaan dari masing-masing perusahaan. Tapi perlu pengaturan khusus, grand design, bahwa kita harus ada hilirisasi ke depan dengan memanfaatkan semua bahan tambang kita. Ekspor tidak perlu jor-joran. Ekspor boleh asal memang tujuannya untuk mendukung untuk hilirisasi. Perlu ada niat baik dari semua pihak untuk maju. Sekarang, kami dari Antam, tinggal mengikuti regulasi. Jika dipastikan 2014 distop, ya kami tidak mengekspor yang men-tah, tidak apa-apa revenue berkurang. Yang penting untuk masa depan bangsa. q

Page 26: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

R E G U L a s i

Lagi, Menyoal RUU Penilai

Rancangan Undang-Undang tentang Penilai yang disusun pemerintah tetap mengundang silang pendapat. Perlu dicoba membuat studi akademisnya dulu yang melibatkan semua stake holder bidang penilaian.

Lama tak terdengar kabar berita-nya, pembincangan soal Ran-cangan Undang-Undang (RUU) tentang Penilai menghangat lagi.

Hal itu terjadi setelah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan menggelar acara Seminar dan Loka Karya RUU Penilai pada 30 Agustus 2013 di Medan, Sumatera Utara. Seperti acara serupa sebelumnya, kegiatan ini dimak-sudkan untuk menjaring masukan. Saat ini, posisi RUU ini telah masuk kriteria Prioritas 1 (P1) sebagai RUU yang dapat diusulkan menjadi Progam Legislasi Nasional (Proleg-

nas) Prioritas Tahun 2014.Namun, masih seperti sebelumnya, RUU

tetap memantik perdebatan dan keberatan dari kalangan profesi penilai publik. Pang-kal soalnya tetap sama: masalah pengaturan antara penilai pemerintah dan penilai publik. Konon, draf terbaru RUU ini sudah meng-akomodasi masukan yang diperoleh dari kegiatan curah pendapat sebelumnya di se-jumlah daerah. Namun, dicermati lebih jauh, draf terbaru ini memang tidak terlalu jauh beda dengan sebelumnya. Sedikit kemajuan yang layak dicacat adalah dimasukkannya pasal yang mengatur keberadaan Dewan

Penilai. Dalam draf sebelumnya, pasal ini belum tercantum.

Dalam pasal baru ini, disebutkan bahwa anggota Dewan Penilai sebanyak 9 orang, terdiri atas wakil dari Kementerian Keuang-an, penilai pemerintah, penilai publik, aka-demisi, serta pihak independen. Selain pasal ini, klausul baru yang masuk dalam draf adalah aturan tentang bentuk usaha jasa pe-nilai. Sebelumnya, bentuk usaha jasa penilai hanya terdiri dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Perseorangan dan KJPP Persekutuan. Kini ditambahkan adanya bentuk lain sesuai karakter profesi penilai sesuai UU. Selain itu, diatur pula pembinaan dan pengawasan atas profesi penilai dilakukan oleh satu unit Ese-lon I di lingkungan Kementerian Keuangan. Aturan baru ini memungkinkan dibentuknya Direktur Jenderal Penilaian di lingkungan Kementerian Keuangan.

Secara garis besar, RUU Penilai ini mengatur status penilai penilai pemerintah dan penilai publik sebagai objek yang diatur. Ada penilai pemerintah dan penilai publik berregister dan bersertifikat. Untuk menjadi penilai, baik pemerintah maupun publik diangkat oleh Menteri Keuangan.

Di bagian lain, bidang jasa penilai terbagi dalam penilaian properti dan penilaian bisnis, seperti yang selama ini berlaku di kalangan penilai publik. Namun, klasifikasi untuk penilai pemerintah di RUU ini belum jelas, apakah akan sesuai dengan klasifikasi penilai publik, padahal mereka melakukan penilaian yang klasifikasinya untuk aset negara, baik yang terlihat maupun yang berupa potensi.

Tentang pengaturan imbalan jasa penilai masih tak jauh beda dengan draf sebelumnya. Penilai pemerintah bersertifikat dan penilai publik bersertifikat berhak memperoleh imbalan jasa atas jasa penilaian yang dilaku-kan. Imbalan jasa ini sebenarnya wajar dan memang menjadi hak penilai publik selama ini. Tetapi, tidak demikian dengan penilai pemerintah lantaran mereka sudah mem-peroleh gaji setiap bula dari negera. Meski-pun demikian, ada wacana imbalan jasa untuk penilai pemerintah seluruhnya akan disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ini termasuk

Page 27: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

R E G U L a s i

yang sangat merisaukan bagi penilai publik secara keseluruhan. Bagaimana tidak, dengan begitu antara penilai pemerintah dan penilai publik dihadap-hadapkan dalam satu arena persaingan sama.

Selain pokok isi di atas, terlihat peng-aturan dalam RUU Penilai ini tidak fair alias diskrimitatif. Misalnya, setelah mendapat sertifikat dari Menteri Keuangan, penilai publik diwajibkan memiliki atau bekerja di KJPP. Jika tidak terpenuhi, izin penilai publik tersebut bisa dicabut dalam masa 1 tahun. Ini berbeda dengan pengaturan untuk penilai pemerintah yang tidak ada sanksi macam itu. Di bagian lain, draf RUU juga tidak mengatur masalah wadah praktik bagi penilai pemerintah, sementara wadah praktik penilai publik diatur secara detail dan ketat, bahkan lengkap dengan sanksinya berupa pencabutan izin.

Pasal yang juga krusial adalah ada pada bab peralihan penilai. Terdapat pengaturan yang memudahkan penilai pemerintah bera-lih menjadi penilai publik. Sementara itu, tidak mudah bagi penilai publik untuk bisa menjadi penilai pemerintah. Penilai publik bisa mengajukan izin sebagai penilai peme-rintah bersertifikat asal memenuhi syarat, di antaranya setelah diangkat sebagai pegawai negeri dan mengundurkan diri dari posisinya sebagai penilai publik.

Draf RUU Penilai ini jelas tidak meng-gambarkan kesetaraan antara penilai peme-rintah dengan penilai publik. Buktinya, pengaturan mulai dari kualifikasi atau persyaratan untuk menjadi penilai, kewena-ngan pemberian jasa penilaian dan keadilan perlakuan dalam pengenaan sanksi kepada penilai yang melanggar, lebih menguntung-kan bagi penilai pemerintah.

Ketua Umum Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Hamid Yusuf menegas-kan, yang harus dibuat oleh pemerintah seharusnya hanyalah UU Penilai, dalam pengertian yang mengatur keberadaan profesi penilai publik, bukan penilai peme-rintah. Pengaturan untuk penilai pemerintah, lanjutnya, bisa dilakukan dengan produk hukum di bawah UU. “Mungkin cukup dengan peraturan pemerintah atau peraturan menteri,” ujarnya.

Sementara itu, penilai senior Zainal Arifin yang juga Ketua Umum Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI) 2009-2011, menyarankan sebaiknya tim penyusun

RUU Penilai dari pemerintah melakukan benckmaking ke Malaysia. Di negeri jiran itu, menurut Arifin, pengaturan penilai pemerin-tah cukup ideal. “Di sana penilai pemerintah hanya mengurusi asset-aset negara. Karena itu, misalnya, Malaysia tahu persis berapa kekayaan negaranya, mulai dari berapa aset yang existing milik pemerintah dan berapa potensi cadangan minyak, batu bara, dan se-bagainya. Itu tugas dan yang dikerjakan oleh penilai pemerintah,” jelasnya. “Mestinya, begitu pula tugas dan wilayah kerja penilai pemerintah di Indonesia,” tandasnya.

Zainal Arifin sangat keberatan jika penilai pemerintah dan penilai publik diga-bung dan diatur dalam satu produk hukum yang sama. Sebab, lanjutnya, apa yang harus dilakukan penilai pemerintah mengu-rusi kekayaan negara. Pengertian kekayaan negara, menurut Zaenal, adalah semua yang dimiliki dan dikuasai negara. Ia memberi contoh, sesuai Pasal 33 UU 1945, apa yang terkandung di dalam tanah, air, dan bumi merupakan kekayaan negara, seperti cadang-an emas, minyak, tambang, dan sebagainya. “Itu tugas pemerintah untuk menilai dan mengurusnya. Tugas penilai publik adalah menilai proyek dan properti milik swastanya saja,” kata Zainal.

Jika penilai pemerintah ingin diatur juga dalam satu produk hukum berupa UU, kata Zainal, maka tugas dan lingkup wilayah kerjanya harus tegas dan jelas, yaitu hanya mengurusi aset-aset atau kekayaan negara. Nah, untuk aset-aset private hanya menjadi ra-

nah penilai publik. “Yang ideal harus begitu,” tandas Zainal. Jika pemerintah tetap ngotot menggolkan RUU ini, menurut Zainal, maka solusinya jika telah disahkan menjadi UU, UU tersebut harus diuji ke Mahmakah Konstitusi. “Biar MK yang memutuskan,” imbuhnya.

Bagi anggota Dewan Penilai MAPPI Doli D Siregar, pada prinsipnya kerangka pokok RUU Penilai harus bisa memberikan kejelasan prinsip sesuai dengan standar penyusunan UU yang lazim digunakan di Indonesia. “Seyogiakan RUU Penilai disusun berdasarkan nasakah akademik yang komprehensif sehingga bisa memberikan pemahaman yang benar kepada seluruh stake holder bidang penilaian,” ujarnya.

Dia menambahkan, ada isu-isu pokok yang harus dalam RUU Penilai. Di antaranya adalah, RUU tersebut harus memuat pemaha-man dasar arti profesi penilai sebagai jasa ke-ahlian. Harus ditegaskan pula bahwa tujuan utama dari penyusunan RUU ini adalah untuk kepentingan bangsa dan Negara, tanpa harus mempersoalkan kepentingan-kepentingan yang bisa mengakibatkan benturan antarke-pentingan pihak-pihak di luar kepentingan nasional.

Selain itu, bagi Doli, RUU Penilai juga harus mengamanatkan pengambilan lang-kah-langkah strategis untuk memajukan perekonomian bangsa yang salah satunya dengan memajukan profesi penilai. “Agar sempurna, seyogianya perumusan RUU Penilai ini melibatkan seluruh stake holder penilaian,” pungkasnya. q

Page 28: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

R E G U L a s i

Nilai Wajar, Bagaimana Menentukan

Nilai wajar sama dengan nilai pasar, untuk kondisi lain bisa berbeda. Ada level yang harus di lalui secara berjenjang.

Nilai wajar (fair value) istilah yang sering digunakan dalam standar akuntansi – tidak bagi penilai – yang lebih asik dengan

nilai pasar. Konsep penggunaan nilai wajar dalam laporan keuangan mewajibkan aset dan kewajiban yang dicatat dan disajikan, untuk dilakukan penilaian kembali (revalu-asi). Revaluasi ini dilakukan untuk mencari nilai yang mendekati nilai sebenarnya pada tanggal pelaporan. Sebab, nilai wajar yang dihasilkan dari revaluasi ini memberikan gambaran yang lebih realistis akan jumlah aset dan kewajiban yang tercatat dalam laporan keuangan.

Pada 3 September 2013 lalu, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia menyelenggarakan seminar penilaian aset dan penyertaan sa-ham dalam rangka laporan keuangan VIII.G.7 tentang “Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan

Publik”. Penilai berperan memberikan nilai wajar dalam rangka laporan keuangan. Hasil penilaian yang dibuat penilai akan digunakan sebagai dasar manajemen perseroan untuk mencatat nilai aset.

Selain itu, dalam seminar ini peserta seminar, mendapatkan up date ketentuan dan peraturan pasar modal serta kewajiban melakukan penilaian yang sesuai IFRS untuk laporan keuangan perusahaan. Selanjutnya, peserta juga mendapatkan poin penting yang wajib diperhatikan saat menilai untuk tujuan pelaporan keuangan – sesuai kaidah standar akuntansi.

Ketua Umum MAPPI, Hamid Yusuf dalam seminar tersebut mengungkapkan penggunaan nilai wajar ini dilakukan untuk menilai kewajaran terhadap nilai buku suatu aset tetap maupun aset keuangan lainnya. Apakah telah menggambarkan kondisi nilai saat ini dari aset tersebut. Menurutnya, ke-

wajaran ini bisa diukur dengan persepktif pasar. Selain itu, publik mengingingkan adanya informasi yang akuntabilitasnya yang dapat dipercaya dan informasi itu seharusnya ditampilkan dalam hasil yang mendekati nilai sebenarnya. “Untuk itu, fair value menjadi alasan untuk dapat diterapkan dalam system pelaporan keuangan dan dalam kebutuhan transaksi,” terang Hamid.

Perjalanan nilai wajar sendiri mengalami perkembangan, seperti diatur dalam PSAK 16 tentang aset tetap. Nilai wajar didefinisi-kan “jumlah yang dipakai untuk mempertu-karkan suatu aset antara pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai dalam suatu transaksi dengan nilai wajar (arms length transactions)”. Melihat pengaturan nilai wajar antara satu standar dengan standar banyak menimbul-kan persepsi berbeda. Maka dikeluarkanlah PSAK 68, yang mengatur pengukuran fair value. PSAK ini mendefinisikan nilai wajar merupakan “harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang akan dibauar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam tansaksi teratur antara pelalu pasar pada tanggal pengukuran”.

Hamid mengakui perjalanan penggu-naan definisi fair value sendiri mengalami perkembangan, dan standar akuntansi me-mahami fair value pada hirarki pertama harus diperoleh dari pemahaman pasar yang sebenarnya. “Untuk itu nilai pasar sama de-ngan nilai wajar, namun nilai wajar mungkin bukan merupakan nilai pasar pada konteks lain,” jelasnya.

Hamid membuat perbanding antara nilai pasar dengan nilai wajar yang lama dengan yang baru. Yang lama terdapat perbedaan, di mana nilai pasar ditentukan atas estimasi sejumlah uang, yang didasarkan kepada ang-gapan adanya transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset atau liabilitas. Semen-tara, pembeli dan penjual bertanskasi secara wajar/bebas ikatan, pemasaran secara layak, kehati-hatian dan tanpa paksaan. Kegiatan itu dilakukan pada tanggal penilaian. Lalu

Page 29: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

R E G U L a s i

untuk nilai wajar ditentukan dengan sesuatu atau besaran (entry price), didasarkan kepada penukaran aset (kewajiban) antara pihak de-ngan pengetahuan yang memadai. Ditentukan atas dasar transaksi yang wajar, dan tanggal penukaran tidak ditentukan.

Hirarki lama ini, untuk menentukan nilai wajar aset seperti tanah, bangunan, pabrik, peralatan menggunakan nilai pasar dan dilakukan oleh penilai. Untuk aset yang tidak memiliki data pasar, entitas melakukan estimasi nilai wajar dengan menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (DRC).

Atas perkembangan yang terjadi, SPI 2013 juga melakukan revisi perubahan atas nilai pasar, yang sebelumnya penukaran suatu aset atau leabilitas menjadi penukaran suatu property atau aset, dan mempertimbangkan konsep HBU. Sementara untuk definisi nilai wajar, yang sebelumnya mendasarkan pada entry price menjadi exit price, tidak hanya aset tetapi termasuk pengalihan kewajiban, ditentukan atas dasar transaksi yang wajar menjadi didasarkan transaksi di antara pelaku pasar, tanggal pengukuran tidak ditentukan sekarang ditentukan pada tanggal penguku-ran, ada konsep HBU untuk pengukuran aset non keuangan.

Ini semua membawa pengaruh terhadap penilaian. Hirarki pengukuran nilai wajar, menggunakan teknik penilaian guna meng-ukur nilai dengan memaksimalkan peng-gunaan input yang dapat diobservasi yang relevan dan meminimalkan penggunaan in-put yang tidak dapat diobservasi. Input level 1, harga kuotasi (tanpa penyesuaian) di pasar aktif untuk aset dan liabilities yang identik yang dapat diakses entitas pada tanggal pengukuran. Sementara input level 2, adalah input selain harga kuotasian yang termasuk dalam level 1 yang dapat diobservasi untuk aset atau liabilities, baik secara langsung maupun tidak langsung. dan input level 3, adalah input yang tidak dapat diobservasi untuk aset atau liabilitas.

Nilai wajar – menurut Pernyataan Stan-dar Akuntansi Keuangan (PSAK) – suatu jumlah yang digunakan untuk mengukur aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu transaksi yang wajar (arm’s length transac-tion) yang melibatkan pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan me-madai. Nilai wajar merupakan konsep yang lebih luas dari nilai pasar. Sementara, konsep

di penilaian yang menerapkan penggunaan tertinggi dan terbaik (Highest and Best Use – HBU) dari properti bersifat fundamental dalam penilaian untuk menghasilkan opini nilai pasar. Ini merupakan salah satu dasar penilaian yang membentuk nilai wajar. Untuk beberapa kasus memang nilai wajar sama dengan nilai pasar, tetapi untuk kasus lain bisa berbeda.

Revaluasi aset sesuai Peraturan VIII.G.7 mensyaratkan emitan dan perusahaan publik dapat menggunakan model revaluasi untuk aset tetap atau aset tak berwujud, atau nilai wajar untuk properti investasi, maka emiten dan perusahaan publik wajib menggunakan penilai dalam menentukan nilai wajarnya. penggunaan penilai ini harus dilakukan se-cara teratur untuk memastikan jumlah yang tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggu-nakan nilai wajar pada tanggal laporan posisi keuangan. Aset yang mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif wajib direvaluasi secara tahunan dan untuk aset yang tidak mengalami fluktuatif nilai wajar minimal 3 tahun harus dilakukan revaluasi.

Aset ini mencakup aset nonkeuangan (aset tetap, tak berwujud, dan properti in-vestasi) dan aset keuangan. Dasar nilai yang digunakan adalah nilai wajar, untuk aset tetap dan properti investasi menggunakan nilai pasar. sedangkan untuk aset tak berwujud menggunakan nilai pasar wajar. Penggunaan mark to market inilah dalam akuntansi yang berdampak pada perubahan nilai dalam

laporan keuangan secara terus menerus. Ketika nilai aset mengalami kenaikan atau penurunan serta laba rugi yang dicatat misal-nya. Apakah kondisi tersebut sebagai akibat keputusan bisnis atau perubahan yang terjadi di pasar. Untuk aset yang memiliki nilai pasar tidak terlalu repot, tetapi bagaimana aset dan kewajiban yang tidak memiliki pasar aktif, seperti obligasi pemerintah (dijamin).

Tujuan pelaporan keuangan sendiri menyediakan informasi keuangan relevan kepada pembuat keputusan yang berman-faat dalam pengambilan keputusan. Banyak orang percaya bahwa standar akuntansi historical cost telah banyak kehilangan rele-vansinya karena kegagalannya mengukur realitas ekonomi. Hampir semua orang setuju bahwa peristiwa ekonomi – kejadian yang mengubah waktu kapan arus kas diterima dan jumlahnya yang akan datang – harus ter-cermin (terungkap) dalam laporan keuangan lembaga. Sedangkan, historical cost gagal mengakui perubahan nilai riil yang terjadi.

Dalam penilaian properti khusus yang tidak memiliki pasar, semula digunakan dasar penilaian biaya pengganti terdepresiasi (depreciated replacement cost) yang kemu-dian digantikan oleh nilai dalam penggunaan (value in use). Apabila aset dalam suatu kelompok aset direvaluasi, maka seluruh aset dalam kelompok aset tersebut harus direvalu-asi dan harus selalu di-update berdasarkan nilai saat ini pada setiap tanggal pelaporan keuangan. Apabila model revaluasi diadopsi, tidak dimungkinkan adanya opsi untuk kem-bali kepada model biaya di masa depan. q

Page 30: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

2�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

Pengembangan Tabel Biaya dan Teknis Bangunan (BTB)

I. PENDAHULUANPada SPI (P3I 1. 5.13) dikatakan bahwa pendekatan biaya, di be-

berapa negara juga dikenal sebagai metoda kontraktor, dikenal secara luas dalam praktek penilaian. Dalam penerapannya, pendekatan biaya menghasilkan nilai dengan mengestimasi biaya untuk pembelian tanah dan membangun properti dengan kegunaan yang sama atau mengadaptasi properti tua untuk penggunaan yang sama tanpa biaya tambahan akibat penuaan. Dalam pendekatan biaya seharusnya biaya konstruksi ditentukan oleh hasil analisis perkiraan biaya konstruksi dan depresiasi sesuai dengan kelaziman yang ada di pasar atau dalam praktek penilaian. Khusus pada penilaiaan untuk aset sektor publik di mana terdiri dari berbagai jenis aset, termasuk di dalamnya aset konvensional, aset bersejarah atau yang dilindungi, aset infrastruktur, aset yang memberikan fungsi utilitas publik, aset rekresasional dan bangunan publik yang secara lazim menggunakan perhitungan biaya Reproduksi terdepresiasi yang metoda penerapannya dari pendekatan biaya yang digunakan untuk menentukan nilai dari properti khusus untuk tujuan pelaporan keuangan, di mana data pasar secara langsung tidak didapatkan atau terbatas. Dengan demikian perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) menjadi sangat dibutuh-kan oleh penilai dari proses-proses penilaian di atas. Sistem Biaya dan Teknis Bangunan (BTB) ini dikembangkan untuk perhitungan

Biaya Pembuatan Baru (Reproduction Cost New) suatu bangunan baik bangunan rumah tinggal, sarana prasarana, dan ruko.

Latar Belakang1. Keputusan Raker tahun 2011 di Puncak.2. Keputusan Munas MAPPI 2012.3. Adanya kebutuhan akan Basis data perhitungan Biaya Pem-

buatan Baru (Reproduction Cost New) perlu selalu dipelihara dan disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan (dimutahirkan) secara periodik.

Pengertian dan Azas Sistem BTBSistem Biaya dan Teknis Bangunan adalah fasilitas yang dibangun

untuk memberikan kemudahan bagi para penilai Indonesia dalam menghitung Biaya Pembuatan Baru (Reproduction Cost New) suatu bangunan. Penggunaan Biaya dan Teknis Bangunan atau BTB ini hanya terbatas untuk penilai dalam rangka menghitung Biaya Pembuatan Baru (Reproduction Cost New) atau RCN saja sesuai dengan kondisi pasar dan lokasi obyek. Sistem BTB ini dikembang-kan berdasarkan metoda dan pendekatan biaya yang akan digunakan dalam salah satu proses penilaian gedung atau rumah tinggal, oleh karenanya pendekatan dalam perhitungan RCN pada sistem BTB

Page 31: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

30 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

Peraturan KeTeRanGanUU No.�� Tahun ���� Jasa KonstruksiKeppres No.�0Tahun 2003 Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa PemerintahSE Sekjen Dep.PU Peningkatan Penerapan Pengadaan No. 0�/SE/SJ/200� Barang/Jasa Secara Elektronik di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum TA 200�Keputusan Menteri Keuangan Harga Satuan Umum Tahun NO.�2�/KMK.02/200� Anggaran 200�UU No.2� Tahun 2002 Bangunan GedungKep Dirjen Cipta Karya Tentang Pedoman Teknis Bangunan No.2��/ KPTS/CK/���� Gedung UU No.� Tahun ���2 Perumahan dan Pemukiman Uu No.2� Tahun 2002 Bangunan GedungPP No. � Tahun ���� Rumah SusunKepmeneg Perumahan Pedoman Umum Pembangunan Rakyat NO.0�/kpts/���� Perumahan Bertumpu Pada Kelompok (P2BPK)Kepmeneg Perumahan Kebijakan Strategi Nasional Rakyat No.0�/KPTS/���� Perumahan Pemukiman (KSNPP)

ini berlandaskan pada studi literature yang dikaitkan dan didasari pada peraturan, perundang-undangan dan dasar kebijakan lain yang berhubungan dengan harga satuan bidang ke PU-an. Dalam pengem-bangan BTB ini tidak terlepas dari pemahaman mengenai koefisien indeks harga satuan serta metodologi analisis yang selanjutnya dapat digunakan dalam perhitungan Biaya Pembuatan Baru (Reproduc-tion Cost New) sutau bangunan.

Landasan Hukum1. Peraturan BAPEPAM berkaitan dengan Profesi Penunjang Pasar

Modal (Penilai).2. Peraturan Menteri Keuangan : PMK 125/2007.3. Standar Penilaian Indonesia 2007.4. Peraturan dan perundang-undangan ke PU an.

Peraturan, undang-undang dan dasar kebijakan lain yang ber-hubungan harga satuan bidang ke PU-an seperti yang dapat dilihat pada table.

tuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 2839 : 2008)

6. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan besi dan alumunium untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 7393 : 2008)

7. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan beton untuk kon-struksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 7394:2008)

8. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan penutup lantai dan dinding untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan (SNI 7395 :2008)

9. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan dinding untuk konstruksi bangunan gedung dan perumahan (SNI 6897 :2008)

Maksud dan Tujuan: Sistem BTB ini dikembangkan untuk menciptakan suatu basis

data perhitungan Biaya Reproduksi Baru (RCN) yang akurat dan terkini dengan mengintegrasikan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, standar penilaian, hasil penelitian di bawah naungan MAPPI ke dalam satu wadah yang disebut dengan Sistem BTB, sehingga pelaksanaan perhitungan RCN suatu bangunan dapat lebih seragam, sederhana, cepat, dan efisien. Dengan demikian diharapkan akan dapat tercipta standar perhitungan Reproduction Cost New yang berdasarkan pada pasar dan terjaga ke akurasiannya. Oleh karenanya agar akurasi data yang memenuhi unsur relevan, tepat waktu, andal, dan mutakhir, maka basis data perlu dipelihara dengan baik.

Dalam Perhitungan Harga satuan pekerjaan yang digunakan dalam BTB ini berdasarkan pada indeks bahan bangunan dan indeks tenaga kerja serta indeks peralatan yang dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan yang telah dijadikan acuan dasar yang seragam bagi para pelaksana Perhitungan pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya harga satuan pekerjaan untuk bangunan gedung dan perumahan yang juga telah distandarkan oleh Standar Nasional Indonesia.

Manfaat Penggunaan sistem BTB 1. Standarisasi Dasar perhitungan Reproduction Cost New untuk

bangunan.

Sedangkan Tata cara perhitungan harga satuan Pekerjaan ke PU-an yang digunakan sebagai dasar perhitungan RCN pada BTB sistem ini adalah sebagai berikut:1. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan kayu untuk kon-

struksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 3434:2008)2. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan tanah untuk kon-

struksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 3835 : 2008)3. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan pondasi untuk kon-

struksi bangunan gedung dan perumahan (SNI 3835 : 2008)4. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan plesteran untuk

konstruksi bangunan gedung dan perumahan. (SNI 2837:2008)5. Tata cara perhitungan harga satuan pekerjaan langit-langit un-

Page 32: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

2. Mudah digunakan dan efisien secara waktu.3. Terintegrasi terhadap peraturan, SNI dan SPI .4. Perhitungan RCN berbasis pada pasar yang selalu di-update.

II. RUANG LINGKUP, ASUMSI DAN DEFINISI

Ruang Lingkup BTB 1. Sistem BTB ini akan memberikan tabel harga satuan bangu-

nan rumah tinggal per meter persegi bangunan, baik rumah tinggal tipe mewah, rumah tinggal tipe menengah dan rumah tinggal tipe sederhana, ruko, rukan, serta bengunan gudang yang untuk setiap ibukota propinsi di seluruh Indonesia yang bertujuan sebagai pedoman perhitungan Reproduction Cost New.

2. Sistem BTB ini juga mengacu kepada kriteria yang sesuai dengan Tata Cara perhitungan analisa dan koefisien yang ditetapkan oleh SNI dan PU yang berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia, diasumsikan juga telah memenuhi persyaratan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan, efisien dalam penggunaan sumber daya, serasi dan selaras dengan lingkungannya, dalam pembangunannya yang dalam proses pembangunannya telah memenuhi standart yang telah ditetapkan oleh PU serta tata cara analisa yang ditetapkan oleh SNI.

3. Harga satuan per meter bangunan yang terbentuk merupakan hasil perhitungan analisa harga satuan bangunan, dengan harga material, harga upah serta harga yang diperoleh dari jurnal harga satuan bangunan dari setiap propinsi dan ter-update setiap tri wulan.

DEFINISIBerdasarkan KMK NO. 393/KMK.04/1996, TENTANG PPH

, pasal 1. 1. Rumah Sangat Sederhana (RSS).

Adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 36 meter persegi yang dibangun di atas tanah kaveling tidak lebih dari 54 meter persegi.

2. Rumah Sederhana (RS).Adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 70 meter persegi yang dibangun di atas kaveling tidak lebih dari 54 meter persegi sampai dengan 200 meter persegi.

3. Rumah Susun Sederhana.Adalah rumah dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 36 m2 di dalam suatu rumah susun.Berdasarkan kep. Menkimpraswil n0. 24/2003, tentang pe-

ngadaan perumahanl Istilah Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana

(RS) diganti dengan Rumah Sederhana Sehat (RSH)l Rumah Sederhana Sehat (RSH) adalah rumah tidak bersusun

dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 36 m2 yang dibangun di atas tanah kaveling tidak lebih dari 54 m2. Dilengkapi listrik 450 watt, sumber air bersih dan jamban, sarana jalan, saluran pembuangan, tempat sampah dll.

l Ciri –ciri Rumah Sederhana Sehat, ditinjau dari berbagai aspek:

m Lokasim Lingkunganm Pengaturan Ruanganm Bahan bangunanm Desain

Berdasarkan UU no 1 tahun 2011 (perumahan dan kawasan pemukiman) pasal 1, ayat :17. Perencanaan perumahan mencakup : Rumah Sederhana, Rumah

Menengah dan Rumah Mewah.18. Perencanaan dan Perancangan rumah dilakukan untuk :

m Menciptakan rumah layak hunim Mendukung upaya pemenuhan kebutuhan rumah oleh ma-

syarakat dan pemerintah danm Meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang terstruk-

tur.

Denah rumah menengah lantai 2

Denah rumah menengah

Page 33: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

32 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

Dalam peraturan ini tidak dijelaskan kriteria rumah mene-ngah maupun rumah mewah.

Klasifikasi yang Diusulkan1. Rumah Sangat Sederhana (RSS) adalah: rumah tidak bersusun,

luas tanah dan bangunan umumnya kecil (≤36m2/54m2), desain bangunan sederhana tanpa perhitungan struktur yang ketat, tanpa mempertimbangkan keindahan dan kenyamanan di dalam rumah, bahan bangunan yang digunakan sangat sederhana tanpa finishing dan dalam proses pembangunan tanpa adanya pengawasan yang memadai.

2. Rumah Sederhana (RS) adalah: umumnya rumah tidak ber-susun, luas tanah dan bangunan umumnya sama atau lebih luas dari Rumah Sangat Sederhana (≥36m2/54m2), desain bangunan sederhana tanpa perhitungan struktur yang ketat, tanpa memper-timbangkan keindahan dan kenyamanan di dalam rumah, bahan bangunan yang digunakan bahan kelas sederhana dan biasanya diadakan finishing. Dalam proses pembangunan tanpa adanya pengawasan yang memadai.

3. Rumah Kelas Menengah: ukuran luas tanah dan bangunan lebih

besar dari rumah sederhana (≥ 75m2/120m2) desain arsitektur telah memperhatikan, keindahan dan kenyamanan (tata ruang yang baik, mempunyai r. tamu, r. keluarga dan r. makan yang terpisah, kamar tidur minimal 3, ada dapur, ada kamar pembantu dan gudang, ada garasi mobil untuk 1 mobil, ada halaman/taman), dengan perhitungan struktur yang memadai, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan dengan kelas yang baik, dalam proses pembangunan diadakan pengawasan yang memadai.

4. Rumah Kelas Mewah: ukuran luas tanah dan bangunan lebih besar dari rumah kelas menengah (≥350m2/600m2) desain ar-sitektur di samping memperhatikan keindahan/estetika (paduan jenis bahan, warna dll) dan kenyamanan (tata ruang yang baik, (tata ruang yang baik, mempunyai r. tamu, r. keluarga dan r. makan yang terpisah, kamar tidur minimal 4 kamar, ada dapur kotor, dapur bersih, ada kamar pembantu minimal 2 kamar, ada gudang, ada garasi mobil untuk minimal 2 mobil, ada ruang khusus seperti ruang kerja, perpustakaan dan fasilitas olah raga, ada halaman/taman dll) juga memperhatikan unsur eksklusifitas, struktur bangunan diperhitungkan secara cermat, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan pilihan terbaik, dalam proses pembangunan diadakan pengawasan yang sangat ketat baik dari sisi arsitektur maupun strukturnya.

5. Rumah Susun/Apartemen Sederhana, adalah Rumah Susun/Apartemen di mana setiap satuan rumah susun/unit apartemen Denah rumah mewah lantai 1

Denah rumah mewah lantai 2

Page 34: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

33Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

memiliki luas lantai tidak lebih dari 36 m2, bahan finishing di dalam dan di luar bangunan menggunakan bahan yang sederhana. Utilitas dalam bangunan, sarana dan prasarana umum yang tersedia terbatas dan sederhana. Terletak di lingkungan dengan fasilitas lingkungan yang terbatas dan sederhana.

6. Rumah Susun/Apartemen Kelas Menengah, adalah Rumah Susun/Apartemen di mana setiap satuan rumah susun/unit aparte-men memiliki luas lantai 45 m2 atau lebih, bahan finishing di dalam dan di luar bangunan menggunakan bahan kelas yang baik. Utilitas bangunan, sarana dan prasarana umum yang tersedia lengkap dengan kondisi yang baik. Terletak di dalam lingkungan dengan fasilitas lingkungan yang lengkap dengan kualitas yang baik.

7. Rumah Susun/Apartemen Mewah, adalah Rumah Susun/Apartemen di mana setiap satuan rumah susun/unit apartemen memiliki luas lantai 45 m2 atau lebih, bahan finishing di dalam dan di luar bangunan menggunakan bahan pilihan dengan mem-perhatikan eksklusifitas. Utilitas bangunan, sarana dan prasarana umum yang tersedia lengkap dengan kondisi yang baik. Terletak di dalam lingkungan dengan fasilitas lingkungan yang lengkap dengan kualitas yang baik cenderung eksklusif.

III. TAHAPAN PENGEMBANGAN SISTEM BTB Pengembangan panduan BTB dapat terlihat dari diagram beri-

kut:

5. Rukan6. Pagar 7. Perkerasan halaman

Tabel BTB disusun untuk panduan perhitungan permeter persegi bangunan berdasarkan unit in place untuk setiap ibu kota provinsi pada periode waktu tertentu yang akan di-update secara triwulan. Pengujian sistem BTB ini telah dilakukan oleh beberapa KJPP yang secara rutin melakukan penilaian dengan menggunakan Short form Report atau Laporan Penilaian Ringkas. Masa pengujian dan evaluasi dilakukan dalam waktu 3 bulan penggunaan sistem BTB tersebut, dengan Indikator keberhasilan ditetapkan + 7 %.

Pengujian eksternal dilakukan oleh Instansi Negara yang mena-ngani masalah bangunan yaitu Dinas PU serta telah diuji secara metoda oleh perguruan tinggi.

B. Tahap KeduaPada tahap kedua, sistem BTB dikembangkan dengan menam-

bahkan kategori perhitungan RCN untuk gedung sederhana dan gedung non sederhana yang dapat dilakukan secara online, selain itu Perhitungan RCN melalui sistem BTB ini juga dikembangkan perhi-tungan RCN untuk katagori bangunan rumah tinggal dan bangunan gedung berdasarkan pilihan jenis bangunan serta jenis dan volume material yang digunakan.

Secara umum diagram di atas dijelaskan sebagai berikut:Sistem BTB untuk MAPPI akan dikembangkan dalam 2 ta-

hap:A. Tahap pertama

Dalam tahap pertama, sistem BTB dibuat dalam bentuk tabel RCN per meter untuk kategori:1. Rumah tinggal sederhana2. Rumah tinggal menengah3. Rumah tinggal mewah4. Ruko

Rumah TinggalRumah tinggal yang dimaksud dalam sistem BTB tahap per-

tama ini adalah rumah di atas luas lahan bangunan berdasarkan tipe rumah.

Spesifikasi (sistem BTB tahap pertama)

Page 35: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

Denah rumah mewah lantai atap

a. Spesifikasi Material yang digunakan Rumah Sederhana

Rumah SederhanaStruktur Pondasi Batu kaliPekerjaan dinding luar Batako, plaster aci + cat, kusen kayu, dan Finishing exterior pintu depan panel, pintu lain dobel triplekatap Asbes gelombangFinishing lantai Keramik kw 3 dan setaraPekerjaan dinding dalam Dinding batako, plaster aci + cat , dan langit-langit plafon triplekdetail Kamar Mandi Bak plastik, closet jongkok & sebagian dikeramikPerpipaan pipa air bersih, pipa pembuangan & septic tankFitur Khusus TidakterdapatfiturkhususSistem Kelistrikan PLN, titik lampu, stop kontak, bok sekring, pembumian ardeluas 75 meter persegi

b. Spesifikasi Rumah Menengah

Rumah MenengahStruktur Pondasi Beton BertulangStruktur lantai Cor betonPekerjaan dinding luar Batako, plaster aci + cat, kusen kayu, dan Finishing exterior pintu depan panel, pintu lain dobel triplekatap Spandek motif gentengFinishing lantai Lantai , KM & teras keramikPekerjaan dinding dalam Batu bata, plaster aci + cat, dan langit-langit plafon triplekdetail Kamar Mandi Bak beton, closet duduk, jendela kecil & dikeramikPerpipaan pipa air bersih, pipa pembuangan & septic tankFitur Khusus Jalan setapak (car port), penebalan plesteran dan kolom & tali airSistem Kelistrikan PLN, titik lampu, stop kontak, bok sekring, pembumian arde

Denah ruko

Page 36: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

c. Spesifikasi Rumah Mewah

Rumah MewahStruktur Pondasi Beton bertulangStruktur lantai Cor BetonPekerjaan dinding luar Bata merah, plaster aci + cat, batu dan Finishing exterior alam di bagian luar, kusen kayu kapur, pintu panel kayu dan jendela kualitas baikatap Genteng keramik & dak betonFinishing lantai Lantai keramik homogenous, KM keramik anti slipPekerjaan dinding dalam Batu bata, plaster aci + cat, dan langit-langit plafon gypsumdetail Kamar Mandi Shower dengan keramik,detail dapur Meja konter keramik, dapur luas, bak cuci piringPerpipaan Water heater, closet duduk, wastafel dengan granit, pipa air bersih, pipa pembuangan & septic tankFitur Khusus Jalan setapak, car port, pagar, halaman di depan & belakang rumahSistem Kelistrikan PLN, lampu downlight, stop kontak, box sekring pembumian arde

d. Spesifikasi Ruko

RukoStruktur Pondasi Beton BertulangStruktur lantai Cor betonPekerjaan dinding luar Bata Merah, plaster aci + cat, kusen dan Finishing exterior kayu, folding gate, parapet lt atap, canopy betonatap Dak betonFinishing lantai Lantai dak & toilet keramikPekerjaan dinding dalam Bata merah, plaster aci + cat , dak dan langit-langit beton,penebalanprofilandetail interior Tangga + railing dan rumah burung (tutup tangga)detail Kamar Mandi Bak air & dikeramikPerpipaan Closetjongkok,kranair,floordrain, pipa pvc 3”, �” & ½”Fitur Khusus TidakadafiturkhususSistem Kelistrikan Titik cahaya, stop kontak, MCB, Pembumian/ arde

Lampiran Proses Pengembangan Tabek Contoh perhitungan RAB untuk Rumah Tinggal MewahDalam Perhitungan Harga satuan pekerjaan yang digunakan

dalam BTB ini berdasarkan pada bahan bangunan dan indeks tenaga

Sumber : Wahyu Wuryanti, 2005)

Berdasarkan skema tersebut, berikut proses perhitungan rencana anggaran biaya untuk rumah mewah:

1. Berdasarkan gambar bestek atau gambar rencana (A) serta spesifikasi material bangunan (C) dicari harga material, harga upah, dan alat berdasarkan survey yang dilakukan oleh PU (B) dan dipublikasikan secara nasional.

2. Analisa harga satuan (D) terdiri dari analisa harga satuan bahan, analisa harga satuan upah dan harga satuan alat, di mana koefisien yang digunakan adalah koefisien yang dikeluarkan oleh SNI.

3. Berdasarkan gambar bestek (A) dan spesifikasi material dihitung volume setiap pekerjaan (E).

4. Volume pekerjaan akan dikalikan dengan harga satuan baik bahan, upah dan alat sehingga diperoleh harga tiap pekerjaan.

5. Pembagian pekerjaan berdasarkan PU. 6. Total harga setiap pekerjaan adalah Rencana Anggaran Biaya.

kerja yang dibutuhkan untuk tiap satuan pekerjaan kayu yang telah dijadikan acuan dasar yang seragam bagi para pelaksana Perhitungan pembangunan gedung dan perumahan dalam menghitung besarnya harga satuan pekerjaan untuk bangunan gedung dan perumahan oleh Standar Nasional Indonesia.

Page 37: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

19Th Annual Pacific-Rim Real Estate Society ConferenceMelbourne Australia, 13-16 January 2013

The Valuation Of Long Life Mines: Current Issues And Methodologies

Chris Eves1

AbstractThe past decade has seen an increasing focus on the mining and

extractive industries in Australia. The significant increases in both new mines, commodity prices and employment opportunities has lead to considerable discussion on the value of this industry and the contribution that the industry makes to exports, GDP and the public in general. This debate has resulted in the introduction of the Mineral Resources Rent Tax being introduced in 2012. An issue that follows from the introduction of these taxes is the current exposure of property valuers to mine and extractive industry valuations and the most appropriate method that should be employed for valuing long life mines for rating and taxing purposes, finance and account-ing purposes.

This paper will provide a detailed review of past and current valuation methods for long life mines and will highlight the current

issues and problem facing valuers who are currently working in or intend to carry out valuation work in this industry

Keywords: Mining, extractive industries, mine valuation, valu-ation methodology

1.0. IntroductionThe valuation of long life mines raises a number of valuation is-

sues that are unique to this industry and as such can provide a number of critical concerns and problems facing the valuer when determining the value of a mine for a range of valuation purposes. Foremost in this current situation is the accuracy and appropriateness of current valuation methods for determining both the value of existing mine operations and the feasibility value of a proposed or new mining operation. A better understanding of the existing mine and extrac-tive industries valuation requirements, methods and determination

Page 38: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

is required for valuers to meet the valuation requirements of mine operators, financial institutions and government bodies. Current mine operators and potential industry participants require valuation methodologies that provide reliable data and figures to assist in the assessment of value at the feasibility stage, as well as at specific points in time of the mine life for reporting purposes. Potential finance providers also require accurate mine and extractive industries valu-ations for lending security purposes and these need to be consistent and reliable, as well as being able to be carried out by a range of valuation practitioners. The complicated nature of mining, the long term nature of these operations and the difficulties and valuation risks that have been identified as major obstacles for the valuation profession and the ability to supply the mining industry with the most accurate and reliable valuation information and reports. Current valu-ation methods employed by property and business valuers are based on real property specific methods that are not always transferable to a mining situation, especially a long term mine operation. The nature of real property valuation methods rely on the availability of comparable sales information, readily available access to current property data and very industry specific measures of risk associated with real property ownership and occupation. Many of the economic and industry risks associated with the valuation methods employed in real property valuation are also issues that can impact on mining and extractive industries, but the assessment of risk for real property valuation is based on a single measure determined by a discount or capitalisation rate. Although this is suitable for real property valua-tion methods, the complexity of mining operations, their long term nature, global perspective and interrelationship between production, commodity, fiancé and political risk, renders current real property valuation methods insufficient for long life mine valuation. Many of these valuation issues also impact on the feasibility assessment of long life mines.

To increase the level of awareness, degree of accuracy and the acceptance of end mine valuation figures it is crucial that all direct and indirect participants in the mining industry have full confidence in the actual valuation methodology and underlying assumptions and guidelines. Currently; there is a certain level of discrepancy between the valuation guidelines issues by mining bodies, the professional practice standards published by valuation boards and the requirements of the mining industry players. In addition, the industry recognises the high level of risk associated with any mining enterprise or project and any valuation method or guidelines that can take the various sources and levels of risk into account in the actual valuation methodology will result in both more accurate and reliable valuations and will also provide a greater level of confidence in the feasibility studies carried out at the mine planning stage.

Paper Scope and AimsThis paper will address these issues by:• Carryout an extensive literature review to document and

understand the current issues relating to mine and extractive industry valuation issues from the perspective of:

Real property valuationCurrent mining boards and authoritiesValuation standards and guidelines

• Identifying the major issues that impact on the accuracy and reliability of current real property valuation methods and their implementation in mine valuation

Mining Valuation Standards and GuidelinesThis paper and review of mining valuation methodologies and

valuation guidelines has been segregated into several research ar-eas. An in-depth reading, data gathering and interpretation found a number of areas of studies in relation to mining valuation and have been identified as follows:

a) International practices of mining valuation which should discuss on the manual, codes and standards that have been applied worldwide in regards to mining valuation;

b) Risk assessment in mining valuation which highlights the common valuation approaches applied in the mining indus-tries; and

c) Alternative approaches that have been suggested and imple-mented by various scholars and practitioners to determine the value of mining businesses.

A literature review of the above subject areas and the summarisa-tion of the findings are discussed further below.

International Practices of Mining Valuation – Manual, Codes and Standards

International Mining Standards (Mine Valuation)The peak mining bodies throughout the world have compiled

details of the various valuation methods that can be used to determine the value of a mine. Although these codes provide a listing of the valuation methods that can be adopted they don’t provide any actual instructions or guidelines on how such valu-ations should be carried out. The following details the various valuation methods proposed for mine valuation across the main mining countries in the world.

Australia (The Valmin Code, 2005)This code states that the decisions on the valuation methodol-

ogy to be used are the responsibility of the expert or specialist

Page 39: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

depending on:a. The nature of valuationb. The development status of the mineralc. The extent and reliability of information available.The valuer must state the reason for each methodology used.

The Valmin Code does not state any specific method for extrac-tive industry valuation , however does recognise and refer to the MICA website or other website on valuation methodologies. In the MICA website, there are discussion papers on valuation methodology for extractive industries.

The papers highlighted:a. Income Method: DCF/NPV Methodb. Market Sales Methodc. Cost Methodd. Useful Rating Methode. Option Theory MethodThe first three mentioned valuation approaches are common

valuation methods for real property valuation and are suitable the valuation of property where there is an established trading market, a reasonable volume of transaction data and full access to all financial and production data. In the case of mining, many of these criteria are not available. The two remaining mine valu-ation methods are not commonly used in property valuation and would be unfamiliar to the majority of the profession.

Canada (CIMVal, 2004)The CIMVal recognises the following valuation methodolo-

gies and approaches for mine and extractive industries:Income Approach

• Discounted Cash Flow (DCF)• Monte Carlo Analysis• Option Pricing• Probabilistic

Market Approach• Comparable Transactions• Option Agreement Terms• Gross “in-situ” metal value

• Net Metal Value or Value Per Unit of Metal• Value Per Unit Area• Market Capitalisation

Cost Approach• Appraised Value• Multiple of Exploration Expenditure• Geo-science Factor

Agian, the majority of these reported valuation methods are not always commonly used in property valuation practice, but are more commonly used in mine feasibility studies.

2.1. South Africa (SamVal, 2008)In South Africa, the accepted valuation methods are Cash Flow

Approach, Market Approach and Cost Approach. The valuer must apply at least two (2) methods in the valuation report.

2.2. USA (USPAP)There are no descriptions about extractive industry valuations in

the USPAP even though mineral is classified part of real property. It depends on the purpose of the report:

a. For normal valuation (loan, sales, etc) – reference to the USPAP Standard 1 & 2.

b. For business valuation – reference to the USPAP Standard 9 & 10.

c. Machinery for mining – Fall under “Personal Property” valu-ation – reference to the USPAP Standard 7 & 8.

According to USPAP Standard 1 & 2, the three (3) valuation methods accepted are DCF, Cost and Sales Comparison methods. USMinval is the proposed valuation standards for extractive indus-tries in US, but still has not been officialised since the last draft in 2003. However, it stated in the draft, the following methods can be considered for mine valuations:

Income Approach1. Discounted Cash Flow (DCF)2. Option Pricing3. Monte Carlo Analysis4. Probabilistic Method

Cost Approach1. Appraised Value Method2. Multiple of Exploration Expenditure3. Geo-science Factor Method

Market ApproachComparable Transactions

1. Option Agreement Terms2. Gross ‘in-situ” value3. Net Metal Value or Value Per Unit of Metal4. Value Per Unit Area5. Market Capitalisation

The draft USMinval adopted the Australian Valmin Code. The Canadian have adopted the USMinval Proposed Code and came out with their own version of CIMVal Code in 2004.

A common issue with all these international standards and guidelines for mine and extractive industry valuations is the fact that although the valuation methods are provided, this guidance is very general and does not provide any formal information on the

Page 40: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

3�Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

applicability of process of any of the valuation methods. They all assume that there is adequate market information and data available for each of the valuation methods to be used. In reality this is rarely the case in this particular property and industry sector.

Australian and International Property Valuation StandardsThe valuation profession both in Australia and internationally

applies valuation standards and guidelines for specific classes of real property. These standards address the valuation method that should be adopted for each class of property and in some cases will also address the main issues that impact on the potential value of those property assets.

In respect to the property valuation profession the overarching principles and guidelines are stated in the International Valuation standards, with each individual country also publishing their own guidance notes and standards that follow the general principles in the International Valuation Standards. The Australian Property Institute and the Royal Institution of Chartered Surveyors are the two main property valuation professional bodies in Australia and both have attempted to provide guidelines and standards for Australian Valuers practising or potentially practising in the area of mine and extractive industry valuation.

International Valuation StandardsIVS (June, 2010) indicates that the IVSB do not approve new

funding for extractive valuation standards. Instead, The IVSB needs to collaborate with the extractive industries players in regards to the level of interest in valuation standards for extractive industries. Currently there is no proposed standards or and valuation methods for extractive industries.

However, in 2003 the IVSC has produced a proposed draft of the Guidance Notes for Extractive Industries valuation. The draft indi-cated that the market valuation of an Extractive Industry Property as Real Property must be based on the Highest and Best Use (HBU) of the property. The draft also stated the three (3) valuation approaches generally available for consideration:

o Income (Capitalisation) Approach including market-related

discounted cash flow;o Sales Comparison Approach (termed Market Approach for

Business Valuations) generally by indirect means;o Cost Approach (term Asset-Based Approach for Business

Valuation), including Depreciated Replacement Cost and Equivalent Cost Analysis.

The draft IVS mine valuation guidance notes have since been withdrawn and are to be replaced with Technical information Paper (TAP). As stated in the introduction of this paper, the level of expertise of the typical property valuer is very limited in relation to the under-standing and application of valuation methods for the valuation of long life mines. This is further hindered by the very limited informa-tion that is contained in the IVS valuation guidelines. As is the case for some of the mining body standards, the valuation methods suggested by the IVS and API are very suitable for commercial, industrial and rural property but due to the nature of mines and extractive indus-tries are not as relevant for this property and business class. Again, the limited number of participants in the market, the small pool of properties or operations, the high production and commodity price risk level of the industry, the long term nature of the operations, the diverse type of operations and the small transaction pool limit the use of traditional valuation methods for this property class.

Royal institution of Chartered Surveyors (RICS)RICS is the leading international professional body for real

property valuers, with a global presence and regional offices in UK, Western Europe, US, Asia and Australia. This professional body also sets standards and guidelines for a range of property sector valuations. In 2011 RICS released valuation guidelines for mineral bearing land and waste management sites.

Like the IVS standards, these RICS valuation guidance notes are produced to provide valuers with the necessary information to undertake the valuation of specific types of property. As stated by the RICS:

“Guidance notes provide advice to RICS members on aspects of their work. Where procedures are recommended for specific professional tasks, these are intended to represent best practice, i.e. procedures which in the opinion of RICS meet a high standard of professional competence”. (RICS, 2011)

This standard lists the various purposes for the valuation of mines and extractive industries including:

• Financial reporting• Sales and acquisition• Company mergers• Public and/or private funding• Rent or royalty review• Taxation• Litigation• Building and plant and equipment valuation for insurance

purposesAlthough these RICS guidelines provide some basic information

in respect to the complexities of mineral bearing land valuation, such as

• interest being valued – surface, natural resource and/or opera-tion;

Page 41: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�0 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

• ownership of other minerals and right to disturb• rights to work and withdraw support;• tenure – freehold and/or leasehold;• type of natural resource being extracted;• annual quantity and quality of materials being, or proposed

to be, extracted;• production yields achieved, or to be achieved, after process-

ing;• saleable outputs of the operation;• geology and hydrogeology of the natural resource;• planning, permitting and licensing relevant to the property;• financials – ex-pit selling prices, operational costs and/or

surplus trading profits (margins);• market feasibility study for all saleable products;• rehabilitation/restoration requirements;• residual income or alternative end use value;• subsidence or withdrawal of support liabilities; and/or• discharge liabilities. (RICS, 2011)There are no substantial RICS definitions of these major issues

and no specific information on the valuation methods that should be adopted, nor any actual guidelines on how the valuation should be carried out.

For accurate mine valuations to be carried out by property valu-ers, it is vital that these valuers have a thorough understanding of the mining industry and the impact of operations on mine value

Review of Valuation MethodologiesThe following provides a summary of the current valuation meth-

ods employed by valuers in the assessment of mines and extractive industries for a range of valuation purposes. As stated in the previous section the various purposes for carrying out a valuation of a mine or extractive industry is not only for the initial feasibility of the project but also includes:

• Financial reporting• Sales and acquisition• Company mergers• Public and/or private funding• Rent or royalty review• Taxation• Litigation• Building and plant and equipment valuation for insurance

purposesThe purpose of the valuation also an important factor in determin-

ing the valuation method that needs to be adopted and the information and data that is required to carry out the valuation. There have been a number of academic and industry papers in relation to the valuation methods that should be adopted for the valuation of mineral bearing land and these are discussed below and a comparative summary is provided in Table 1.

Scott (2010) categorises valuation methodologies based on the following:

o Traditional methodologies (Market comparison approach, cost approach and income approach) including discounted cash flow methodology.

o Alternative valuation methodologies including adjusted pres-

ent value, certainty equivalents, decision trees and real option valuation.

o Quantitative risk assessment techniques including sensitivity analysis, scenario analysis and monte carlo simulation.

Previously, most authors generally agreed that discounted cash flow analysis should be the principal valuation method.

However, some of them dismissed it as not applicable to certain categories of mineral property as follows:

o Bruce et al (1994) states that rigorous, methodical and pre-scriptive valuations of exploration properties are in general spurious unless the assumptions and the subjective judge-ments that have been used are fully disclosed.

o According to Lawrence (1994), the expected value method (DCF) has little application in the valuation of exploration mineral assets.

o Butler (1994) considers DCF techniques only applicable when sufficient information is available to quantify, with some confidence most of the parameters affecting the value.

o Edward (1994) views is rather confused. The mining valuer is expected to have undertaken a probability analysis and applied significant discounts to reflect the uncertainty/prob-ability of ultimately recouping the cash flows reflected in the DCF value. Difficulties arise if the DCF methods have been applied to simplistically to exploration properties without due regard to allowing for probability.

McFarlane (2002) agrees that DCF is the best approach of valua-tion of extractive industries in South Africa, if there is an availability and adequate of data. However, most valuers preferred the so-called technical valuation methods for mineral properties without defining resources where the value is inferred through:

o The exchange value of similar properties, the Comparable Sales method;

o The willingness to pay to participate in a share of expected future returns, the Joint-Venture method;

o Value inferred through prior exploration expenditure, the Mul-tiple of Exploration Expenditure method (Cost Approach); and

Page 42: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

o Subjective rating of attributes most frequently requisite to successful mining, the Geoscience Rating method.

According to Lawrence (1994), the valuation methodology chosen to value a mineral asset depends upon the amount of data available on that asset and the reliance that can be placed on the data. In the same vein, commenting on the quality of data and reliability of forecasts used in discounted cash flow calculation, O’Connor and McMahon (1994) warned that it is important not to allow the science of the methodology to dominate the assessment. In other words, subjective judgements are more important than objective valuations.

The Table 1 below shows the Comparison of Valuation Method-ologies from international practices:

Where DCF is applied there is a disagreement concerning the treatment of risk and the selection of the discount rate:

o Ballard (1994) was satisfied that risk can be accommodated through a discount rate estimated by means of Capital Asset Pricing Model (CAPM).

o O’Connor and McMahon (1994) recognise the deficiencies of CAPM but apply it in the absence of what they termed a better methodology.

o Runge (1994) considers that the uncertainties in mineral valuation are too project specific to be assessed using the CAPM.

o Butler (1994) regards Monte-Carlo simulation as impractical and is happier with the presentation of discrete sensitivi-ties.

o O’Connor & McMahon (1994) point out that NPV is only one input into a mining investment decision and discusses other relevant inputs including the special strategic intervals of the company.

o Runge (1994), Lonergan (1994) and Winsen (1994) insist that managerial flexibility be incorporated into valuation analysis. This is especially relevant to sensitivity analysis as it is commonly applied in which mine management is assumed to blindly follow a fixed operating plan irrespective of what commodity prices are doing.

In valuing exploration tenements, most authors considered it misleading to conduct NPV analysis on speculative data. Sorentino (2000) claims that it is surprising that no attempt has been made to estimate the accuracy of these methods on the basis of statistical analysis or simulation experiments. Valuation of exploration tene-ments appears well suited to a subjective probability treatment and it is surprising that this approach has not been either attempted more frequently or more strongly advocated by valuers.

Risk Assessment in Mining Valuation: Valuation ApproachesThe following section of the paper details and discusses the

various mine and extractive industry valuation methods that are cur-rently undertaken to assess mine value. From the previous sections a number of valuation methodologies have been discarded from this overview as they are considered inappropriate methods due to their simplistic approach, lack of comparable evidence or their inability

Table 1: Valuation Methods for Mineral Properties

Valuation Valuation Method Method CommentsApproach RankingIncome Discounted Cash Flow (DCF) Primary Very widely used. Generally accepted internationally as the preferred metIncome Monte Carlo Analysis Primary Less widely used, but gaining in acceptance.Income Option Pricing Primary Not widely used and not widely understood but gaining in acceptance.Income Probabilistic Methods Not available Not widely used, not much accepted.Market Comparable transactions Primary Widely used with variations.Market Option Agreement Terms Primary Widely used but option aspect commonly not discounted, as it should be.Market Gross “in situ” Metal Value Not available Not widely used, and not accepted in Canadian mineral valuation.Market Net Metal Value or Value Secondary Widely used rule of thumb. per unit of metalMarket Value per Unit Area Secondary Used for large Exploration Properties.Market Market Capitalisation Secondary More applicable to valuation of single property asset of junior companies than to properties.Cost Appraised Value Primary Widely used but not accepted by all regulators.Cost Multiple of Exploration Primary Similar to the Appraised Value Method but includes a multiplier Expenditure factor. More commonly used in Australia.Cost Geoscience Factor Secondary Not widely used.

Source: USMINVAL (2003), CIMVAL (2004) and SAMVAL (2008)

Page 43: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�2 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

to arrive at a figure that is realistic or supportable. The market based valuation methods such as direct comparison is stated to be an ac-ceptable method by both the mining codes as well as the valuation professional bodies; however, in reality few mines sell on the open market, it is extremely rare for a number of mines to be similar in size, ore quality, reserves, resources and operational requirements. On this basis a direct comparison between the mine being valued and recent sales is not practical or reliable for any valuation purpose. A similar situation exists for valuing a mine or extractive industry on a cost or summation valuation basis. This valuation method does not consider any of the risk factors associated with mining.

Therefore the discussion on mine valuation methods will fo-cus on the various income approaches, especially those valuation methods that consider risk in the valuation calculation. The main factor that contributed to the mining valuation is how the risk was treated. Therefore, many scholars have discussed on the valuation approaches that been used in the market and suggestion of its benefits and weakness.

In risk assessment, the methods being employed are either sen-sitivity analysis, scenario analysis or probability simulation analysis (Monte Carlo simulation/MCS). The descriptive and explanation of each method as employed by various scholars are as follows:

Sensitive analysisTorries (1998) mentions that this method involves the variance

of a single project parameter to determine the influence that variable has on the potential NPV or IRR of the project. Often assessed at a specified percentage deviation from the base case, commonly ±10%, but the size of the deviation should be indicative of the likely volatility in the variable (Scott, 2010).

Mun (2004) indicates the advantages by using this method which is:

a. They are simple and inexpensive to perform and are easily facilitated through the modelling of probabilistic simula-tions.

b. Useful in identifying the critical variables to a project’s suc-cess.

c. The identification provides management with direction as to where limited resources would be best focused to reduce or mitigate uncertainties which have serious consequences on the outcome of a project.

However, the only disadvantage of this methods is it provides little information regarding the risk characteristics of the project but provides no information as to the likelihood of that uncertainty occurring.

Malone et al (2007) further highlighted that the variable as-sess in mineral project includes size of reserves, commodity price, quantity produced, operating costs, capital costs, exchange rates and discount rate.

According to Stirzaker (1997) and West (2006), sensitiv-ity analysis has been criticised for providing no knowledge of the project’s sensitivities. Experienced manager would well aware that a project’s NPV is sensitive to the commodity price, the discount rate, operating and capital costs and the production capacity. It was earlier commented by Sorentino and Barnett (1994) that the limita-

tion of the usefulness of this method of analysis is because of the method’s simplicity.

This was further explained by Scott (2010) that in practice, project’s variables will not fluctuate one at a time, independently of each other at a specified deviation from the base case. It can-not determine the effects of variations in more than one parameter simultaneously.

Scenario AnalysisTorries (1998) describes scenario analysis as the extension of

sensitivity analysis which permits multiple project variables to fluctuate simultaneously to determine the combine effect on the outcome of a project.

Scott (2010), Gamble (2007) and Torries (1998) have discussed on 2 common use of scenario analysis:

1. Determine the best case, worst case scenarios that which are used to establish the upper bound and lower bound range of possible project outcomes. Establishing the probable range of the project’s outcome identifies the potential magnitude of project uncertainty but reveals no indication of likelihood of occurrence.

2. Used to examine the potential project outcome under the defined ‘what if’ scenario. This type of analysis will provide information regarding the impact of an event but requires subjective judgement for establishing the probable occurrence of that event.

3 Situations for the use of ‘what if’ scenarios are as follows:i. Where a variable exerts a substantially large impact on

the outcome of a project and would overpower all other variables examined under probability simulation analy-sis.

ii. Where there is limited ability to accurately determine the probability distribution for the variable or the probability of occurrence under ‘what if’ scenario.

Page 44: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�3Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

iii. Where management has limited ability to control the out-come of such an event but requires an assessment of the impact the event would have on the project’s outcome.

In addition, Mun (2004) has mentioned that the inclusion of cor-relation between project’s variables can assist in defining the scenario analysis and help determine critical components of a project’s inter-relationship that sensitivity analysis unable to identify.

Probability Simulation Analysis (Monte Carlo Simulation/ MCS)

Torries (1998) has identified that MCS is capable of extending the individual uncertainties of each variable to determine their combined effect on the outcome of the model. The process involves the estima-tion of the expected value for each variable and assigning a probability distribution representing the uncertainty in that estimation.

Mun (2004) has described that Monte Carlo Simulation (MCS) is employed to randomly sample a value from the probability distribu-tions of each variable and combines these values as the inputs for the model to generate a random outcome. The process is repeated many thousands of time to create a probability distribution of the random outcomes from the model.

The underlying principles of MCS are the law of large numbers and the central limit theorem, which state that as the number of simulations approach infinity the generated results will approach an accurate representation of the population. MCS expands the single point estimate of a model into a range of possible outcomes and determines the probability of each outcome occurring.

The probability distribution of generated outcomes for the project can be statistically examined to reveal the expected NPV and risk characteristics of the project. Results from MCS can be used to es-tablish confidence intervals for a defined range of project outcomes including the probability of the project’s exposure to negative returns and upside gains. Apart from that, value at risk can be measured through MCS. The accuracy and reliability of MCS results require

the correct modelling of the input variable’s probability and the es-tablishment of any interrelationships amongst the variable.

Gamble (2007) comments that the representative probability distribution for the variable can be determined from historical data or by employing Delphi Method; which uses expert opinions from managers during risk workshops to determine the appropriate prob-ability distribution for key variables in the model.

The interrelationships between the variables must be established and incorporated into the model’s structure or parameters of simula-tion to ensure accurate MCS result is generated. If relationships are not included, random sampling can combine unrealistic combinations of the variables which will compromise the reliability of the results.

Further explanation by Torries (1998) also discusses that Inclusion of uncertainty in the probability distribution of the model’s variables for MCS warrants a reduction in risk-adjusted discount rate employed for the NPV simulation, to avoid the double representation of this risk in the model.

He also explained that in MCS the risk preferences of the deci-sion maker should not be incorporated in the calculation of expected NPV. Instead the probability distribution of possible NPV presents the risk characteristics of the project to the decision maker and their attitude toward risk will influence the decision to invest in project. If the discount rates are chosen correctly then the expected NPV from MCS adjusted for the risk preferences of the decision maker should equal the expected value from NPV scenario analysis.

However, Gamble (2007) mentions that concerns and limitation of MCS are includes difficulties in performing MCS calculation, difficulties in identifying interrelationships between variables, and difficulties in establishing appropriate probability distributions to assign variables. The problems with MCS also highlighted by Torries (1998) that MCS suffers from the inherent limitations of DCF models, including the determination of the appropriate discount rate and the static and inflexible nature of the valuation. Decision makers are also concerned that MCS does not provide a single metric on which to rank projects for investment. However, he also stated that the prime reason as to why MCS has not been widely accepted amongst decision makers as an absence of familiarity with the technique.

Risk Assessment in Mining Valuation: Alternate Valuation Ap-proaches

The researchers have found several alternative approaches that can be used in determining the value of mining businesses. The methods are adjusted present value (APV), certainty equivalents, real options valuation (ROV) and modern asset pricing (MAP) and their discussions are as follows:

Adjusted Present Value (APV)This method was originally published by Myers (1974). It is an

alternative to the WACC discounting under a DCF valuation frame-work. Represent movement from the use of single “one size fits all” discount rate applied to all the cash flows of an investment, by sepa-rating different streams of cash flows resulting from an investment and discounting them separately.

Luehrman (1997) discusses that Traditional APV separates the valuation of cash flows from business operations, which are

Page 45: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

discounted at the cost of equity from the CAPM model, from the valuation of cash flows generated from the financial structuring of the business, which are discounted at the cost of debt.

The overall value of the business is determined under the principle of value addictively and is equal to the summation of the present value from the business cash flows and the present value of financial side effects, including tax savings, subsidised debt, credit enhancement and hedging risk.

The greatest strength of APV over WACC discounted NPV is the additional information that APV provides through the separation of cash flows which can be used to identified where the value of an asset is generated.

Scott (2010) strengthens opinions on this method by mention-ing that this method can be used to separate cash flows of mineral project during evaluation. This separating permits each discounting cash flows by discount rate that are more accurately represents the uncertainty present in that cash flow.

Analysis performed under the APV framework will provide greater information regarding the impact of uncertainty and the value of cash flows compared to standard NPV analysis. The separates analysis of a project’s cash flow represents significant contributions toward modern asset pricing methods.

Certainty EquivalentsTorries (1998) has discussed in detailed regarding this method.

A certainty equivalent amount represents the value, known with certainty, that an individual or company would be indifferent about swapping in exchange for a particular risky project. Conventional valuations of risky projects focus on the expected value concept, which weights the outcome of an uncertain event by the probability of occurrence to determine the expected value of the project. This approach fails to adequately capture the magnitude of the capital

being exposed to the possibility of loss and assumes that the inves-tor exhibits a neutral toward risk which is not right. It is generally accepted that most investors are risk adverse.

Myers (1968) mentions that the degree to which risk aversion im-pact the uncertainty equivalent value is determined by the investor’s utility function of possible outcomes and their risk tolerance. The risk tolerance of a risk-adverse investor is defined as the maximum amount the investor is willing to gamble in a lottery that has even chance of winning that amount of money or loosing half of that amount.

Torries (1998) claims this method can be used to create consistent framework in which investment decisions under uncertainty can e analysed. Certainty equivalent valuation using the equal probabil-ity method can be employed to analyse probabilistic outcome fom simulation analysis to reach an investment decision that includes the risk preferences of the investor. Analysis of risky project’s certainty equivalent values at differing levels of investment can be used to determine the optimal level of investment in the risky business.

Real Options Valuation (ROV)Leslie and Michaels (1997) have indicated that real option

valuation is the extension of financial option pricing methodology to the valuation of real assets. Under the real options framework, an asset may be viewed as containing an embedded option if, for a fixed price, it provides the owner with a right to make a decision to invest, divest, abandon or delay an opportunity that has the potential to realise future payoffs or limit future liabilities without imposing any obligation to do so. A call option represents the right to buy an asset at the exercise price, while a put option represents the right to sell an asset at the exercise price.

Modern Asset Pricing (MAP)Real option is included as a form of MAP valuation whereby the

Page 46: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

policies and strategies of managing the asset are combined towards maximisation of the assets value. MAP differ from DCF valuation since it incorporating the flexibility of future management decisions in the analysis of an assets value and by discounting expected cash flows directly at the source of uncertainty (Laughton, Sagi & Samis, 2000).

ConclusionBased on the above discussions, it is found that there are several

areas of studies that can be highlighted to improve the valuation methodologies of mining/extractive industries. The areas of studies are as follows:

No standardisation or suggestion of valuation methodology to employ in international and countries valuation standards.

In general, every standard has provided suggestions on approach-es and methods to be used in mining valuation. However, there has been limited discussion on what is the best method of valuation for different types of mining operations. This leaves room for improve-ment for the researcher to adapt the valuation methodologies with different implementation of extractive valuation exercise. Suitability of valuation methodologies employ will increase the report credibility and provide accurate valuation.

Traditional valuation methodology, especially DCF lack in ad-dressing risk assessment in mining valuation accurately.

Based on the various scholar opinions, it is found that tradi-tional valuation methodology is not sufficient in assessing the risk in the mining industries. The limitation in DCF implementation was highlighted by most authors, as well as other type of traditional valuation approaches. To date, the improved or alternate valuation methodologies were suggested, not just from the scholars but from the practitioners as well.

Several alternative valuation methodologies were suggested to assess the crucial risk element in mining valuation.

Many valuation methodologies were suggested such as adjusted present value and certain equivalents. However, the gaining popularity of Monte Carlo simulation and real options valuation methodologies has put the valuation of mining industries to the next level, where the simulation or valuation based on actual data assembled is more appreciated. However, the usage of the alternative valuation approach can be confirmed with at least one of traditional approaches, such as cost or direct comparison approach.

The study on the valuation methodologies using alternative approaches should be considered as new paradigm in shifting from old, traditional approaches to more sophisticated, reliable data-based assessment.

REFERENCESAbdel Sabol, SA and Poulin, R, (2006). Valuing Real Capital Invest-

ments using the Least-Squares Monte Carlo method. Engineer-ing Economics. No. 51, pp. 141-160.

Anonymous (2010). Mining Valuation: Three Steps beyond a Static DCF Model. Canadian Mining Journal, Vol. 131, NO, 10, pp. 30.

Australasian Institute of Mining and Metallurgy (AUSIMM) (2005). The Valmin Code – 2005 Edition. Extracted from http://aig.org.au/files/valmin_122005.pdf on 4 November 2010.

Ballard J (1994). A Practitioners View of DCF Methods in Mineral Valuation. Proceedings of VALMIN 94, pages 37-45. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metal-lurgy.

Barraquand, J. & Martineau, D. (1995). Numerical Valuation of High Dimensional Multivariate American Securities, Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 30, pp. 383-405.

Black, F & Scholes, M (1973). The Pricing of Options and Corporate Liabilities. The Journal of Political Economy, Vol. 81, No. 3, pp. 637-654.

Bossaerts, P. (1989). Simulation Estimators of Optical Early Exercise, Working Paper, Cornegie-Mellon University.

Boyle, P.P. (1977). Options: a Monte Carlo Approach. Journal of Financial Economics, Vol. 4, pp. 323-338.

Brennan, M. & Schwartz, E. (1977). The Valuation of American Put Options, Journal of Finance, Vol. 32, pp. 449-462.

Broadie, M. & Glasserman, P. (1997). Pricing American-style secu-rities using simulation, Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 21, pp. 1323-1352.

Bruce P F, Clark D E and Bucknell W R (1994). The Company Perspective on Valuation Methods for Exploration Properties. Proceedings of VALMIN 94, pages 199 to 203. Carlton, Aus-tralia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Copeland, TE and Keenan , PT (1998a). How much is flexibility worth? Mckinsey Q. No. 2, pp. 38-49.

Copeland, TE and Keenan, PT (1998b). Making real options real. Mckinsey Q. No. 3, pp. 128-141.

Dessurault, S, Kazakidis, V N and Mayer, Z (2007). Flexibility valu-ation in operating mine decisions using real options pricing. International Journal of Risk Assessment Management. No.

Page 47: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

a R t i K E L

7, pp. 656-674.Dimitrakopoulus, R (2007). Applied risk assessment for ore reserves

and mine planning, Professional development and short course notes. Melbourne: Australasian Insitute of Mining and Metal-lurgy, pp. 350.

Dixit, A & Pindyck, R (2001). The Options Approach to Capital In-vestment, in Real Options and Investment under Uncertainty: Classical Readings and Recent Contributions, pp. 61-78.

Edwards A (1994). An Accountant’s Overview of Mineral Valuation Methodologies. Proceedings of VALMIN 94, pages 245-255. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Elkington, T, Barret, J and Elkington , J (2006) Practical application of real option concepts to open pit projects. In Proceedings of the 2nd International Seminar on Strategic versus Tactical Approaches in Mining. Australian Centre for Geomechanics, Perth, 8-10 March 2006, pp. S26.1 – S26.12.

Gamble, B (2007). ‘Risk Analysis and Decision Making-A Case Study’, in Project Evaluation Conference, Melbourne, Victoria, pp. 19-31.

Gamba, A. (2002). Real Option Valuation: A Monte Carlo Approach. Working paper: University of Calgary, Canada.

International Valuation Standards Committee (IVSC) (2010). Ex-posure Draft of proposed International Valuation Standards – Extractive Industries. London: IVSC.

Kazakidis, VN and Scobel, M (2003). Planning for flexibility in un-derground mine production system. SME Mineral Engineering Journal, No. 55, pp. 33-38.

Kulatilaka, N. (1995). The Value of Flexibility: a General Model of Real Options, in Real Options in Capital Investment: Models, Strategies and Applications, Lenos Trigeorgis (ed.), Praeger, Westport, pp. 89-107.

Kulatilaka, N. & Trigeorgis, L. (1994). The General Flexibility to Switch: Real Options Revisited, International Journal of Finance, Vol. 6, pp. 778-798.

Lawrence M J (1994). An Overview of Valuation Methods for Ex-ploration Properties. Proceedings of VALMIN 94, pages 205-223. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Lesli, K and Michaels, M (1997). The Real Power of The Real Option. In The McKinsey Quarterly, Vol 1997, No 3, pp. 4-22.

Lonergan W R (1994). The Financial Envelope – the Valuation of Securities after a Technical Evaluation. Proceedings of VAL-MIN 94, pages 225-235. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Longstaff, F.A. & Schwartz, E.S. (2001). Valuing American Options by Simulation: a Simple Least-Squares Approach, The Review of Financial Studies, Vol. 14, No. 1, pp. 113-147.

Luehrman, T (1995). Capital Projects as Real Options: An Introduc-tion. In Harvard Business School, Vol. 9, pp.1-12.

Malone E J (1994). Historical review of Mineral Valuation Methodol-ogy. Proceedings of VALMIN 94, pages 1-9. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Maybee, Bryan Maxwell (2010). A Risk-Based Evaluation Meth-odology for Underground Mine Planning. Thesis for PhD at

Laurentian University, Ontario, Canada.Myers, S (1968). A time-state-preference model of security valua-

tion. Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 3, No. 01, pp. 1 -33.

Mun, J (2004). Applied Risk Analysis. New York: John Wiley and Sons.

O’Connors C and McMahon D (1994). A Producing Miner’s View of DCF Methods in Mineral Valuation. Proceedings of VALMIN 94, pages 75-80. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

RICS. (2011) Mineral Bearing land and waste management sites. RICS Guidance Notes GN84/2011.

Runge I C (1994). Uncertainty and Risk in Mineral Valuation – A User’s Perspective. Proceedings of VALMIN 94, pages 119-138. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Sorentino, C (2000). Valuation Methodology for VALMIN. In MICA, The Codes Forum. Sydney: MICA.

Sorentino, C & Barnett, D (1994). ‘Financial Risk and Probability Analysis in Mineral Valuation’. Proceedings Mineral Valuation Methodology 1994 (VALMIN94), pp. 81-101.

Stirzaker, M (1997). ‘Feasibility Studies-Risk and Analysis’. Paper presented to The International Conference on Mine Project Development. Sydney, Australia.

The Appraisal Standards Board of The Appraisal Foundation (2010). Uniform Standards of Professional Appraisal Practice. United States: Appraisal foundation. Extracted from http://www.uspap.org/2010USPAP/toc.htm on 9 November 2010.

The Special Committee of The Canadian Institute of Mining, Met-allurgy and Petroleum on Valuation of Mineral Properties (CIMVAL) (2003). Standards and Guidelines for valuation of Mineral Properties. Extracted from http://www.cim.org/committees/cimval_final_standards.pdf on 4 November 2010.

The South African Mineral Asset Valuation (SAMVAL) Working Group (2008). The South African Code for the RePorting of Mineral Asset Valuation (The SAMVAL Code) – 2008 Edition. Extracted from http://www.samcode.co.za/index.php?option=com_content&task=view&id=63&Itemid=68 on 9 November 2010.

Torries, TF (1998). Evaluating Mineral Projects: Applications and Misconceptions. Society for Mining Metallurgy and explora-tion. Littleton: CO.

West, R (2006). ‘Preliminary, Prefeasibility and Feasibility Studies’, in P Maxwell & P Guj (eds), Australian Mineral Economics: A Survey of Important Issues. Australasian Institute of Mining and Metallurgy, Melbourne, Victoria, pp. 113-128.

Winsen J K (1994). Project NPV as a Portfolio of Derivative Secu-ruties: A Discrete Time Analysis. Proceedings of VALMIN 94, pages 103-117. Carlton, Australia: The Australasian Insitute of Mining and Metallurgy.

Woodhall, M (2002). Managing the mining life cycle: Mineral resource management in the deep level gold mining. Msc. Project research report, submitted to the University of the Witwatersrand.

Page 48: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n K h U s U s

Penduan Menghitung Biaya Teknik Bangunan

Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) tengah merampungkan penyusunan standar biaya teknik bangunan (BTB). Kelak, profesi penilai akan memiliki satu standar untuk menghitung nilai suatu bangunan.

Para pengguna jasa penilai sering-kali dibuat bingung. Sebab, atas obyek penilaian yang sama, antara penilai yang satu dengan lainnya

seringkali memberikan opini nilai yang ber-beda. Padahal, selain obyeknya sama, waktu penilaiannya pun berdekatan atau bahkan bersamaan. Salah satu sebab ternyata selama ini belum ada standar yang satu tentang BTB. Atas dasar itulah, MAPPI kemudian berusaha menyusun standar BTB yang kelak akan digunakan seluruh penilai anggota asosiasi dalam menentukan nilai suatu bangunan.

Guna menyusun standar BTB tersebut, MAPPI membentuk sebuah tim. Tim yang berada di bawah Kompartemen Penilaian Properti, Sub-Kompartemen Penilaian Real Properti ini bertugas untuk menyusun stan-dar BTB, umur bahan bangunan, dan umur ekonomis bangunan. Hasilnya telah dipapar-

kan secara terbatas kepada Pengurus Pusat MAPPI di Jakarta pada 16 Juli 2013.

Menurut penanggung jawab tim perumus dan penyusun standar BTB Indrastuti, ide penyusunan standar BTB ini sebenarnya sudah mencuat sejak dua tahun lalu. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia, baru lima bulan tim efektif mulai bekerja. “Kami langung tancap gas untuk merumus-kan dan menyusun standar BTB yang nanti bisa dimanfaatkan untuk semua Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP),” ujarnya.

Dijelaskan Indrastuti, selama ini setiap KJPP membuat dan memiliki sendiri standar BTB. Data itu oleh tim kemudian dikumpul-kan dan di-review. Hasilnya, standar BTB antara satu KJPP dengan KJPP lain memang berbeda. Inilah, setidaknya, salah satu faktor yang menyebabkan hasil penilaian antara satu KJPP dengan KJPP lain, atau antara

penilai satu dengan penilai lain, berbeda. “Makanya sekarang kita bikin yang sama. Hasilnya memang masih ada perbedaan, tapi hanya sekitar 5-7 persen, dan itu tidak terlalu material. Karena, karena kita memakai stan-darnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Standar Nasional Indonesia (SNI),” terang Indrastuti.

Indrastuti memberi contoh, dalam me-nentukan harga tukang dan harga material di setiap daerah, misalnya, tim memanfaatkan jurnal harga material yang dikeluarkan secara berkala oleh pemerintah daerah (pemda) setempat. Biasanya, setiap enam bulan, jur-nal tersebut di-up date, disesuaikan dengan perubahan harga di daerah setempat.

Selain itu, lanjut Indrastuti, dalam me-nyusun dan merumuskan BTB, tim meman-faatkan standar yang dibuat SNI bidang kon-struksi dan bangunan dan yang dikelaurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum sebagai acuan. Standar yang diacu meliputi perhitu-ngan pekerjaan tanah, pondasi, beton, din-ding, plesteran, kayu, penutup lantai, langit-langit, sampai pekerjaan besi dan aluminium. Dicontohkan, misalnya, untuk satu meter persegi tembok dibutuhkan berapa semen, batu bata, dan pasir serta berapa lama waktu pengerjaannya. Itu semua ada standarisasi di SNI. Hanya, yang membedakan dari masing-masing komponen tersebut di SNI adalah harga material dan upah tukang. Standarnya sendiri tetap sama, tapi untuk bayar tukang perjamnya bisa berbeda-beda.

“Sebab, harga material dan upah tukang antara satu daerah dengan daerah lain me-mang berbeda-beda. Harga di Jakarta beda dengan di Riau. Nah, dari situ kita membuat standar untuk daerah di seluruh wilayah Indonesia,” ujarnya.

Dalam penyusunan standar BTB ini, tim baru menyusun BTB untuk rumah sederhana, rumah tinggal, rumah mewah, gudang, ruko, sampai gedung bertingkat tiga. Komponen biayanya meliputi biaya pembuatan pon-dasi, dinding, lantai, atap, kerangka, sampai finishing-nya. Datanya dibuat dalam format

Page 49: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n K h U s U s

“excel” yang mudah diaplikasikan. Kelak, semua penilai dapat memanfaatkan sistem standar BTB ini.

Dengan sistem seperti itu, ujar Indrastuti, ketika menggunakannya, jika terjadi perbe-daan harga material, misalnya, penilai tinggal memasukkan data harga yang baru tersebut dan sistem menghitung output-nya berapa. Termasuk, jika terjadi penggantian bahan material, misalnya lantai keramik diganti dengan granit, maka penilai tinggal menco-pot harga keramik dan menggantinya dengan harga granit. Begitu seterus jika dilakukan berbagai perubahan lainnya, termasuk de-ngan memperluas bangunan, misalnya.

Standar BTB tersebut, menurut Indrastuti, sudah diuji di beberapa perguruan tinggi, di Kementeriaan PU, dan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Sistem standari-sasi BTB ini juga sudah dikirimkan ke seluruh KJPP dan mereka juga sudah menguji coba sistem ini. Memang, diakui, setelah diuji coba, masih terdapat beberapa perbedan hasil peng-hitungan. Namun, perbedaannya masih dalam toleransi dengan range sekitar 5-7 persen.

Selain itu, Indrastuti mengakui masih ada kendala dalam mengaplikasikan sistem BTB ini. Kendalanya ada di harga yang dimuat jurnal yang secara berkala diterbit-kan oleh pemda. Seringkali harga-harga di jurnal-jurnal tersebut justru tidak di-up date. Kendala lainnya adalah perbedaan indeks yang ditetapkan PU dan SNI untuk bangunan dalam per meter perseginya terlalu tinggi dan boros material. “Itu kita dapati setelah dilakukan survei lapangan dan mewawanca-rai kontraktor,” ujarnya.

Contohnya, kalau di SNI, traktor sekali pakai langsung dibuang. Padahal, di lapang-an, bisa dipakai berkali-kali, kan. Makanya irit,” terang Idrastuti. Karena itu, dalam stan-dar BTB MAPPI ini, standar yang digunakan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan data lapangan, namun masih di bawah standar PU dan SNI. Hasilnya, jika dites di lapangan, standar BTN lebih rendah 5-7 persen diban-dingkan dengan standar PU dan SNI.

Indrastuti menceritakan, ketika dites di suatu daerah di Kalimantan, ada yang menilai standar BTB MAPPI terlalu rendah. Setelah ditelusuri, ternyata data yang diacu oleh tim dari jurnal daerah belum ter-up date alias masih merupakan data lama. Diakui, ini memang salah satu kelemahan ketika penyusunan standar BTB ini harus mengacu

pada jurnal daerah. Sebab, data yang ada dalam jurnal tersebut sering tidak diperbarui. Namun demikian, jurnal daerah tersebut tak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, penyusu-nan standar BTB harus tetap mengacu pada referensi yang secara legal dianggap sah.

“Kalau tidak pakai referensi, nanti kita tidak bisa mempertanggungjawabkan bila ada yang mempertanyakan dasar pe-nyusunan standar yang kita bikin,” tandas Indrastuti. Sementara itu, imbuhnya, tidak mungkin juga secara berkala tim penyusun harus melakukan survei ke seluruh wilayah Indonesia. “Makanya kita pakai jurnal dae-rah yang diterbitkan pemerintah provinsi. Masa, kita tidak percaya sama pemerintah,” imbuhnya.

Hal yang nyaris sama juga terjadi pada data di SNI. Indeks harga SNI, misalnya, memuat upah tukang besi perjam sekian. Jika ada yang melakukan survei sendiri, bisa jadi indeks harganya berbeda. Namun, dalam penyusunan standar BTB ini, data indeks harga SNI harus tetap dijadikan referensi. “Jadi, indeks harga yang ada di standar BTB kita ini tidak hasil karangan, melainkan tetap ada refeferensinya,” jelasnya.

Dalam proses selanjutnya, menurut Indrastuti, standar BTB tersebut terus disem-purnakan. Sudah banyak masukan, lebih-le-bih setelah standar tersebut diuji di lapangan di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan berbagai masukan dan informasi terbaru, menurutnya, secara berkala standar BTB ini

juga akan di-up date tiap enam bulan.Sementara itu, anggota tim yang mem-

bidangi perumusan dan penyusunan umur bahan bangunan dan umur ekonomis bangu-nan, Purwanto Budi Santoso, mengakui agak susah menentukan standar biaya dari suatu bangunan. Ia memberikan contoh kasus, dalam sebuah tender, pemenang tender me-nyodorkan angka 10. Namun, setelah dicek lapangan, perbedaan harganya bisa mencapai 30 persen antara pemenang tender, harga di lapangan, dengan harga yang dipasang penawar tertinggi. Artinya, menurutnya, standar BTB ini memang tidak berpretensi untuk bisa menjawab semua kepentingan. “Penilai punya panduan. Pelaku profesi ini boleh membuat harga dan menyimpang dari standar ini sepanjang mereka bisa menjelas-kan. Yang penting ada professional judge-ment,” terangnya.

Ketua Umum MAPPI Hamid Yusuf juga mengakui bahwa selama ini setiap KJPP sudah memiliki standar BTB. Karena itulah, ia berharap dengan adanya standar BTB, pe-nilai Indonesia memiliki panduan yang sama dalam kegiatan penilaian terhadap bangunan. Selain BTB, Hamid berharap tim ini juga mampu membuat standar untuk menilai umur bangunan dan umur ekonomis bangunan. Dengan demikian, penilai Indonesia akan memiliki standar ketika akan menentukan umur dan umur ekonomis suatu bangunan yang akan menjadi panduan dalam mem-berikan opini nilai. q

Page 50: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n K h U s U s

Mengurai Umur dan Umur Ekonomis BangunanSelain membuat standar biaya teknik bangunan (BTB), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) juga menyusun panduan untuk mengukur umur bangunan dan umur ekonomis bangunan. Inilah terobosan baru dunia penilaian di Indonesia.

Tidak seperti di negara-negara lain, bagi profesi penilai selama ini di Indonesia belum ada standar atau panduan untuk menilai usia

bahan bangunan dan umur ekonomis suatu bangunan. Kekosongan ini tentu menyulit-kan penilai yang akan melakukan kegiatan penilaian untuk menilai baik umur bahan bangunan maupun umur ekonomis bangu-nan. Karena itu, MAPPI kemudian membuat terobosan dengan menyusun panduannya. Panduan inilah yang nanti akan dijadikan acuan setiap penilai yang akan melakukan

penilaian terhadap umur bahan bangunan dan umur ekonomis suatu bangunan.

Tim yang bekerja di bawah Komparte-men Penilaian Properti, Sub-Kompartemen Penilaian Real Properti MAPPI ini bekerja bersamaan dengan penyusunan standar BTB. Hasilnya juga telah dipaparkan secara terbatas kepada Pengurus Pusat MAPPI pada 16 Juli 2013 di Jakarta. Dalam rumusannya, sebelum sampai pada pengukuran umur ba-han bangunan dan umur ekonomis bangunan, terlebih dahulu tim membuat pengelompo-kan bangunan.

Dalam panduan yang disusun tim ini, definisi rumah tinggal dan perumahan terdapat dua belas pengelompokan. Lebih detail lagi, untuk rumah sangat sederhana, rumah sederhana, dan rumah menengah terdapat empat pengelompokan. Sementara itu, definisi rumah susun, apartemen, dan kondominum terdapat tujuh pengelompo-kan. Sedangkan, untuk bangunan komersial seperti pusat belanja dan hotel terdapat lima belas pengelompokan. Adapun, untuk bangu-nan gedung dan gedung negara ada sepuluh pengelompokan dan bangunan industri dan gudang terdapat delapan pengelompokan. Selanjutnya, untuk jalan dan jembatan terdapat ada empat belas pengelompokan, termasuk jalan umum.

Dalam menyusun panduan tersebut, tim memakai berbagai referensi, mulai dari pendapat Profesor WPS Dias dari Departe-ment of Civil Engineering University of

Page 51: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�0 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n K h U s U s

Moratuwa Sri Langka, Probo Hindarto (Member of World Archieture), Anggota Ika-tan Arsitektur, hingga Standar Nasional In-donesia (SNI)-12-2004. Sejumlah buku juga dijadikan referensi, di antaranya Selamatkan melalui Konstruksi Hijau karya Wulfram I Ervino, Study of Life Expectancy of Home Component yang dibuat oleh Economics Group of NAHB (National Association of Home Bulders) yang disponsori oleh Bank of Amerika, Home Equity (2006), Survey on Actual Service Linves for North American Buildings karya Jennifer O’Connor Research Scientist Forintek Canada Corp Voncouver, Kanada, PKKI NI-5 1961/1979, J & N Realty Inc Property Management Services Real Estate Condominium Home milik Associa-tions Townhouse Toownhome HOA Condo Common Interest Devlopment.

Dari berbagai referensi tersebut, tim kemudian mengelompokkan bahan kon-struksi dalam beberapa jenis, seperti beton bertulang, konstruksi kayu, konstruksi baja, dan konstruksi batu bata. Dari situ diperoleh gambaran, untuk konstruksi beton bertulang, misalnya, jika kondisi lingkungan kering, bahan utama terlindungi, dan berada pada tempat yang tidak mengandung klorida dan sulfat, maka umur bahan tersebut bisa mencapai 60 tahun. Memang, diakui oleh penanggung jawab tim perumus Purwanto Budi Santoso, antara satu referensi dengan referensi lainnya terdapat perbedaan. Namun

angka tersebut yang paling umum dijadikan acuan.

Sementara itu, untuk konstruksi berbahan dasar kayu, jika lokasinya tidak berada pada tempat yang mengandung klorida dan sulfat, umurnya bisa mencapai 100 tahun.

Untuk konstruksi baja, umur pemakaian bahan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan faktor lingkungan di mana bahan terse-

but berada. Konstruksi struktur baja yang berada di lingkungan kering dan tidak berada pada tempat yang mengandung klorida dan sulfat, misalnya, umur bahan bisa menca-pai 80 tahun. Sedangkan, untuk bangunan dengan konstruksi batu bata yang berada di lingkungan kering (bahan utama dilindungi atap, coating, plester) serta tidak berada di tempat yang mengandung klorida dan sulfat, umur bahan bisa mencapai 100 tahun. Untuk kondisi di luar itu, umur bahan kurang dari 100 tahun.

Dari berbagai referensi itu pula, tim ke-mudian mengambil kesimpulan dan membuat usulan standar umur bahan konstruksi untuk digunakan di lingkungan MAPPI. Dalam usulan standar yang dibuat tim, ditetapkan bahwa untuk bahan konstruksi dari beton bertulang yang berada di lingkungan ke-ring, bahan utamanya dilindungi dan tidak berada pada tempat yang mengandung sulfat dan klorida, umur bahannya bisa mencapai 100 tahun lebih. Sebaliknya, untuk bahan konstruksi beton bertulang yang berada di lingkungan basah dengan pemeliharaan yang kurang baik, ada kebocoran, terjadi retakan, dan selalu lembab, namun tidak berada di lingkungan yang mengandung klorida dan sulfat, umurnya hanya mencapai 40 tahun. Selanjutnya, untuk konstruksi beton bertu-lang pada kondisi lingkungan basah, minim

Page 52: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

L a p o R a n K h U s U s

Kesimpulan dan Usulan Standar Umur Ekonomis Bangunan di Lingkungan MAPPI

Bahan Rumah Tinggal1. Bangunan kelas sangat sederhana : 10 tahun2. Bangunan kelas sederhana : 20 tahun3. Bangunan kelas menengah : 40 tahun4. Bangunan kelas mewah : 50 tahunBangunan Rumah Susun/Apartemen1. Rusun sampai dengan 4 lantai : 40 tahun2. Rusun > 5 lantai ke atas : 50 tahun

Bangunan Komersial1. Pusat Perbelanjaan a. Toko/Kios Individu : 20 tahun b. Ruko/Rukan : 40 tahun c. Pasar Tradisional/Permanen : 40 tahun d. Pusat Perbelanjaan/Mall : 50 tahun2. Bangunan Kantor a. Bangunan kantor tak bertingkat : 40 tahun b. Bangunan kantor bertingkat s/d 4 lantai : 40 tahun c. Bangunan kantor bertingkat > 5 ke atas : 50 tahun

1. Bangunan Gedung Pemerintah (Permanen) a. Bangunan kantor pemerintah : 50 tahun b. Bangunan sekolah : 50 tahun c. Bangunan pertemuan : 50 tahun d. Rumah sakit, laboratorium dll : 50 tahun e. Bangunan peribadatan : > 60 tahun f. Bangunan kebudayaan : > 60 tahun2. Bangunan Hotel/Motel a. Bangunan villa tidak bertingkat : 30 tahun b. Bangunan villa bertingkat : 40 tahun c. Bangunan hotel/motel bertingkat s/d 4 lantai : 40 tahun d. Bangunan hotel/motel bertingkat > 5 lantai : 50 tahun

pemeliharaan, terjadi kebocoran, plester retak dan selalu lembab, dan berada di tempat yang mengandung klorida dan sulfat, umur bahan hanya mencapai 30 tahun. Usulan ini dihasilkan dari campuran bahan, perhitu-ngan, pelaksanaan, dan pengawasan sesuai standar SNI yang berlaku.

Bagaimana dengan bahan konstruksi kayu? Konstruksi dari kayu bahannya bera-gam, mula dari jenis kayu kelas awet 1 hing-ga 5. Mengikuti perhitungan, pengerjaan, dan pengawasan SNI yang berlaku, disimpulkan bahwa umur bahan bervariatif. Jika selalu berhubungan dengan tanah lembab, umurnya hanya mencapai 8 tahun. Kayu yang berada di lingkungan terbuka terhadap angin dan iklim, namun terlindungi dari matahari dan hujan, umur bahan bisa mencapai 50 tahun. Sedangkan, bahan yang tidak terkait dengan tanah lembah dan dilindungi dari udara bebas tapi tak di-coating, umurnya bisa mencapai 100 tahun lebih. Adapun, bahan yang terlin-dungi dari udara bebas dan dipelihara atau di-coating, umurnya bahan bisa mencapai 100 tahun lebih. Untuk bahan kayu awet kelas 1 ini kemungkinan diserang rayap tidak ada. Sementara, untuk kayu kelas awet seterusnya sampai 5, jelas memiliki umur di bawah kelas satu dan tergantung kondisi lingkungan yang menyertai bahan tersebut.

Sementara untuk konstruksi dari bahan baja, dengan konstruksi struktur baja yang mudah diinspeksi dan mudah pemelihara-annya, di lingkungan kering (bahan utama dilindungi atap, coating, plester) dan tidak berada pada tempat yang mengandung klori-da dan sulfat, umur bahan bisa mencapai 80 tahun. Ini berdasarkan referensi perhitungan, pengerjaan, dan pengawasan sesuai SNI yang berlaku. Lalu, untuk konstruksi dari bahan tembok batu bata diplester dan di-aci, umur bahan bisa mencapai 100 tahun. Konstruksi dengan penghematan baja di lingkungan ke-ring (bahan utama dilindungi atap, coating, plester) dan tidak berada pada tempat yang mengandung klorida dan sulfat, umurnya bisa mencapai 100 tahun.

Umur Ekonomis BangunanSementara itu, untuk menentukan umur

ekonomis bangunan, tim juga melakukan perbandingan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dari berbagai referensi tim mengambil kesimpulan bahwa asumsi proses pembangunan dan penggunaan sepanjang

dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku, maka umur ekonomis bangunan dipengaruhi beberapa faktor. Di antaranya, mulai dari bahan yang digunakan, perubahan regulasi, faktor ekonomis, hingga bangunan tidak HBU lagi. Faktor perubahan gaya arsitektur yang sedang berkembang atau perubahan se-lera masyarakat serta perubahan kemampuan ekonomi masyarakat juga menentukan.

Purwanto mengingatkan, harus disadari bahwa pedoman perkiraan umur manfaat/eko-nomis ini hanya merupakan panduan bagi para

penilai. Perkiraan umur manfaat bangunan dalam pedoman ini bukanlah angka yang mutlak akan terjadi di lapangan. Alasannya, umur ekonomis dipengaruhi banyak faktor. Dalam praktik penilaian, jika penilai menemukan umur eko-nomis yang tidak sama dengan pedoman umur ekonomi, dapat dimaklumi sepanjang mengacu pada sumber atau hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. “Yang lebih penting, dalam penilaian menggunakan pendekatan biaya, tidak lain menentukan sisa umur ekonomi properti yang bersangkutan,” ujarnya. q

Page 53: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�2 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

t E K n o L o G i

Mengintip Biaya dan Teknik Penambangan Batu Bara

Meskipun pasarnya terbilang fluktuatif, bisnis tambang batu bara masih menjadi primadona. Banyak orang kaya mendadak karena berhasil meraup untung besar dari komoditas ini. Namun, tak sedikit pula gigit jari atau bahkan jatuh bangkrut. Sebesar apa modal yang diperlukan? Sesulit apa menambang batu bara?

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang yang mencoba peruntungan di bisnis batu bara. Tidak saja dari kala-

ngan pengusaha dan penambang. Politisi, artis, bahkan ibu-ibu rumah tangga pun tak hendak ketinggalan. Salah satunya adalah Nikita Mirzani, artis Ibu Kota yang sedang naik daun. Konon, perempuan cantik ini su-dah kesengsem bisnis batu bara sejak 2008. Dan, Nikita telah menghabiskan dana jutaan dollar AS untuk berinvestasi di penambangan batu bara. Sukseskah dia? Sejauh ini, ya.

Seberapa besar sebenarnya biaya yang diperlukan untuk penambangan batu bara, dan bagaimana menghitungnya? Konon, bia-ya produksi batu bara di Indonesia terbilang

paling murah di dunia. Setidaknya, hal terse-but pernah diungkapkan Sandiaga Salahudin Uno, pendiri Saratoga Capital, kepada pers. Sebagai gambaran, biaya produksi batu bara yang ditambang di Tanah Air sekitar 20 dollar AS per ton. Angka ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan China dan Afrika yang mencapai sekitar 23 dollar AS per ton. Indonesia, hanya kalah dari Venezuela yang ongkos produksi menambangnya sekitar 18 dollar AS per ton.

Jika diteliti lebih jauh, ongkos produksi batu bara tersebut meliputi sejumlah kom-ponen, yaitu penambangan, biaya umum plus administrasi, dan transportasi darat. Tapi harus diingat, di luar itu juga masih biaya-biaya yang harus juga diperhitungkan

sebagai biaya produksi, seperti pemrosesan batu bara, royalti plus pajak produksi, dan ongkos pelabuhan plus terminal batu bara. Namun demikian, besaran biaya penamba-ngan batu bara bisa berbeda-beda antar-pe-rusahaan, tergantung berbagai faktor, seperti lokasi, ketersediaan infrastruktur, dan teknis penambangannya.

Asosiasi Pemasok Batu Bara Indonesia (Aspebindo) pernah merilis biaya produksi baru sebesar 53 dollar AS per ton. PT Resour-ches Alam Indonesia Tbk (KKGI)—perusa-haan tambang batu bara yang masuk 10 besar di level nasional—punya angka berbeda, 27,9 dollar per ton.

Meskipun angka biaya penambangannya berbeda-beda, biasanya ada “rumus” yang lazim digunakan dalam penghitungan biaya tambang batu bara. Sebagai contoh, pada penambangan terbuka atau tertutup, besa-rannya ditetapkan berdasarkan perhitungan nisbah pengupasan (stripping ratio/SR). Nisbah ini merupakan indikator tingkat ekonomis suatu kegiatan penambangan. SR sama dengan biaya tambang dalam dikurangi biaya tambang terbuka, lalu dibagi biaya pengupasan. Biaya tambang dalam adalah biaya per batu bara bersih (clean coal) dalam ton, sedangkan untuk biaya tambang terbuka adalah biaya per batu bara bersih dalam ton dan biaya reklamasi, tapi tidak termasuk biaya pengupasan tanah penutup.

Sebagai gambaran, bila dari studi kelaya-kan (feasibility study) ternyata diketahui bahwa biaya tambang dalam pada suatu lahan yang akan ditambang adalah 150 dollar AS per ton, biaya tambang terbuka sebesar 50 dollar AS, dan biaya pengupasan sebesar 10 dollar AS, maka nisbah pengupasan atau SR adalah 10.

Secara garis besar, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan ke-giatan penambangan dibagi dalam dua kategori, yaitu faktor teknis dan faktor eko-nomi. Kajian secara teknis meliputi kondisi umum tempat proyek dilaksanakan, sarana perlengkapan peralatan kerja, dan metode

Page 54: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�3Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

t E K n o L o G i

pelaksanaan kerja. Hal-hal yang diperhati-kan tersebut adalah pertama, nilai (value) daripada endapan mineral per unit berat (P), dan biasanya dinyatakan dengan ($/ton) atau (Rp/ton). Kedua, ongkos produksi (C), yaitu ongkos yang diperlukan sampai mendapat-kan produknya di luar ongkos stripping. Ongkos stripping of overburden (Cob) dan Cut Off Grade akan menentukan batas-batas cadangan sehingga menentukan bentuk akhir penambangan.

Teknik PenambanganDalam penambangan batu bara, ada be-

berapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan penambangan batu bara. Dimulai dari studi kelayakan, eksplorasi, dan menghi-tung resource untuk menentukan cadangan. Tahap eksplorasi ini untuk menentukan ada tidaknya batu bara. Jika ada, seberapa besar, bagaimana bentuk dan posisinya, apakah dekat dengan permukaan. Semua ini dapat diketahui pada tahap eksplorasi. Eksplorasi pendahuluan ini untuk memperoleh gam-baran awal tentang endapan batu bara yang meliputi jarak titik pengamatan, ketebalan, kemiringan lapisan, bentuk, korelasi lapisan, sebaran, struktur geologi dan sedimen, kuan-titas dan kualitasnya.

Dari kegiatan ini akan dihasilkan model geologi, model penyebaran endapan, gam-baran mengenai cadangan, kadar awal, dan lainnya. Model tersebut dipakai untuk mene-tapkan apakah daerah survei yang bersang-kutan memberikan harapan baik atau tidak. Kalau daerah tersebut mempunyai prospek yang baik, maka dapat diteruskan dengan tahap eksplorasi selanjutnya.

Setelah dalam tahapan eksplorasi pen-dahuluan diketahui bahwa cadangan yang ada mempunyai prospek yang baik, maka diteruskan dengan tahap eksplorasi detail. Kegiatan utama tahap ini adalah sampling dengan jarak yang lebih dekat, yaitu jarak antartitik bor 200 meter. Tahap ini dilakukan dengan memperbanyak sumur uji atau lubang bor untuk mendapatkan data yang lebih teliti mengenai penyebaran dan ketebalan cada-ngan (volume) penyebaran dan kadar/kuali-tas secara mendatar maupun tegak.

Dari sampling yang rapat tersebut akan dihasilkan cadangan terhitung dengan kla-sifikasi terukur, dengan kesalahan yang kecil, kurang dari 20 persen. Sebelum dilakukan kegiatan ini, dilakukan terlebih dahulu studi

kelayakan dan amdal, geoteknik, serta geo-hidrologi. Tahap ini diperlukan pengetahuan atau data yang lebih akurat mengenai kedala-man, ketebalan, kemiringan, dan penyebaran cadangan secara 3Dimensi (panjang-lebar-tebal) serta data mengenai kekuatan batuan sampling, kondisi air tanah, dan penyebaran struktur.

Dari uraian tentang tahapan kegiatan eksplorasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan penyelidikan lapangan ber-tujuan untuk mendapatkan data tentang sifat fisik-mekanik batuan, struktur geologi, dan kondisi air tanah sampai dengan kedalaman rencana penambangan. Secara spesifik harus dibuat laporan struktur geologi meliputi li-tologi, geometri, dan kemiringan dari formasi lapisan batu bara, geometri dan komposisi strukturmajor seperti patahan, serta domain dan orientasi dari bidang bidang diskontinui-tas. Demikian juga dengan data geoteknik, terutama sifat fisik dan mekanik dari over burden, inter burden, lapisan batu bara dan batuan alas.

Gambaran tentang data level air tanah, permeabelitas, dan aliran air tanah artesis yang diperoleh pada waktu kegiatan penge-boran dan pemasangan piezometer perlu juga dibuat dalam laporan tertulis.

Dari tahap eksplorasi ini semua tahap geologi, kimia, fisika dikumpulkan sebaik mungkin oleh pihak yang kompeten. Dari situ bisa dikeluarkan data resource — sumber daya batu bara. Sumber daya bisa dihitung

oleh ahli geologi atau ahli tambang pada tahap eksplorasi. Setelah diketahui sumber dayanya, bisa dihitung seberapa besar batu bara yang ada dan bagaimana bentuknya. Dengan diketahuinya bahan galian di dalam tanah, akan ditentukan bagaimana metode penambangannya. Baru kemudian diperhitungkan metode proses, transpor-tasi pengangkutan, penjualannya, dampak lingkungan dan sosial bagaimana, sampai keekonomian harga batu bara. Bagaimana memasukkan parameter-parameter tersebut ke dalam laporan? Ketiga tahapan tadi, yaitu eksplorasi, sumber daya, dan cadangan ha-rus memenuhi assesment legal. Bila semua sudah terpenuhi, baru masuk ke studi kelaya-kan. Dari hasil studi kelayakan ini dilakukan verifikasi akan kebenaran data dan informasi — apakah sudah sesuai dengan standar yang ada. Termasuk dikaji apakah sesuai dengan studi amdal. Jika semua sudah layak, berarti proses penambangan bisa dilakukan.

Dalam prakteknya, penambangan batu bara selalu memperhitungkan pengambilan endapan bahan galian yang memberikan keuntungan maksimal. Semua aktivitas galian dihitung dengan kecermatan tinggi, baik teknologi yang digunakan, sistem kerja yang sinkron, keamanan dan keselamatan kerja, dan menekan dampak lingkungan yang bakal ditimbulkan. Tak heran dalam setiap penambangan batu bara selalu diperhitung-kan ongkos penambangan dengan cermat, perolehan cadangan yang tinggi (mining

Page 55: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

t E K n o L o G i

recovery), dan pekerjaan dilakukan seefisien mungkin. Sebab, aktivitas penambangan ini melibatkan alat berat yang harus sinkron an-tara satu bagian dengan bagian kerja lainnya agar terjadi efisiensi. Itupun harus dilakukan oleh tenaga kerja terampil.

Penambangan batu bara bisa dilakukan di atas permukaan atau penambangan terbuka dan penambangan bawah tanah. Metode yang dipakai pun berbeda. Untuk penam-bangan terbuka, sangat mungkin mengambil 90 persen lebih endapan batu bara. Sebab, endapan ini berada dekat dengan permukaan tanah. Penambangan ini akan memberikan nilai ekonomis tinggi bila semua endapan bisa diambil. Metode penambangan terbuka dilakukan di atas atau relatif dekat dengan permukaan bumi. Tempat kerja penam-bangan terkait langsung dengan udara luar. Materi yang ditambang biasanya berupa open pit/open cut/open cast/open mine mining, stripping mining, quarrying mining, dan alluvial mining.

Area tambang terbuka bisa mencapai jarak berkilo meter. Tentunya peralatan yang digunakan melibatkan alat besar, seperti dragline untuk memindahkan batuan per-mukaan, power shovel, alat pengangkut truk besar (yang mengangkut batuan permukaan dan batu bara; bucket wheel excavator (mobil penggali serok), dan ban berjalan.

Untuk memisahkan batuan dan tanah tersebut diledakkan dengan bahan peledak. Hasil ledakan ini akan memisahkan tanah dan batuan permukaan. Batuan ini kemudian diangkut, bisa menggunakan katrol penarik atau dengan sekop dan truk. Setelah lapisan batu bara terlihat, lapisan batu bara tersebut digali, dipecahkan kemudian ditambang secara sistematis dalam bentuk jalur-jalur. Kemudian, batu bara dimuat ke dalam truk besar atau ban berjalan untuk diangkut ke pabrik pengolahan batu bara atau langsung ke tempat di mana batu bara tersebut akan digunakan.

Kegiatan penambangan batu bara terbuka dilakukan dengan persiapan daerah penam-bangan, pengupasan dan penimbunan tanah humus, pengupasan tanah penutup, pemuatan dan pembuangan tanah penutup, penggalian batu bara, pemuatan, dan pengangkutan batu bara, penirisan tambang sampai reklamasi bekas tambang. Tahap persiapan ini menca-kup pembuatan jalan rintasan, pembersihan lahan, pengupasan tanah penutup. Persiapan

peralatan penambangan mencakup bulldozer, loader, truck, crushing plant, pembangkit listrik, dan pompa air. Baru persiapan pabrik peremukan yang digunakan untuk pemilihan lokasi peremukan dan stock pile, pemasangan peralatan pada pabrik peremuk, letak kantor, pusat perawatan alat, penerangan, sumber air, prasarana penunjang lainnya, operasi penam-bangan dan pembongkaran. Tahap berikutnya baru pemuatan dan pengangkutan.

Sementara, untuk penambangan batu bara bawah tanah ada dua metode yang biasa digunakan, yaitu tambang room-and-pillar dan longwall. Dalam tambang room-and-pillar, endapan batu bara ditambang dengan memotong jaringan ‘ruang’ ke dalam lapisan batu bara dan membiarkan ‘pilar’ batu bara untuk menyangga atap tambang. Pilar-pilar tersebut dapat memiliki kandungan batu bara lebih dari 40 persen – walaupun batu bara tersebut dapat ditambang pada tahapan selanjutnya.

Penambangan batu bara tersebut dapat dilakukan dengan cara yang disebut retreat mining (penambangan mundur), di mana batu bara diambil dari pilar-pilar tersebut pada saat para penambang kembali ke atas. Atap tambang kemudian dibiarkan ambruk dan tambang tersebut ditinggalkan.

Lalu, tambang longwall mencakup penambangan batu bara secara penuh dari suatu bagian lapisan atau muka dengan menggunakan gunting-gunting mekanis. Tambang longwall harus dilakukan de-ngan membuat perencanaan yang hati-hati untuk memastikan adanya geologi yang mendukung sebelum dimulai kegiatan penambangan. Kedalaman permukaan batu

bara bervariasi di kedalaman 100-350m. Penyangga yang dapat bergerak maju secara otomatis dan digerakkan secara hidrolik, sementara menyangga atap tambang selama pengambilan batu bara.

Setelah batu bara diambil dari daerah tersebut, atap tambang dibiarkan ambruk. Lebih dari 75 persen endapan batu bara dapat diambil dari panil batu bara yang dapat memanjang sejauh 3 km pada lapisan batu bara.

Keuntungan utama dari tambang room–and-pillar daripada tambang longwall adalah tambang roomand-pillar dapat mulai mem-produksi batu bara jauh lebih cepat, dengan menggunakan peralatan bergerak. Pemilihan teknik penambangan ditentukan oleh kondisi tapaknya, namun selalu didasari oleh pertim-bangan ekonomisnya; perbedaan-perbedaan yang ada, bahkan dalam satu tambang, dapat mengarah pada digunakannya kedua metode penambangan tersebut.

Tambang bawah tanah ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu metode tanpa penyanggaan (nonsupported/open stope method), metode dengan penyanggaan (supported stope method), dan metode ambrukan (caving method). Praktek pertambangan yang baik (GMP) adalah seluruh proses penambangan yang dilakukan dari awal hingga akhir harus dilakukan dengan baik dengan mengikuti standar yang telah ditetapkan, mengikuti norma dan peraturan yang berlaku sehingga dapat dicapai tujuan pertambangan yang efisien. Salah satu bagian penting dari tu-juan pertambangan adalah pengembangan berkelanjutan. Dengan begitu, keuntungan jangka panjang juga tetap terjaga. q

Page 56: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

G a L E R i f o t o

PPL Diseminasi SPI Penilai S, Bogor 03 Mei 2013. PPL Diseminasi SPI Penilai S, Bogor 03 Mei 2013.

PPL Diseminasi SPI LAN 19-20 September 2013. PPL Diseminasi SPI Medan 29-30 September 2013.

PPL 5 SKP OJK 03 September 2013. PPL 5 SKP OJK 03 September 2013.

Page 57: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

i n f o m a p p i

MAPPI Punya Konsultan Hukum

Banyak hasil penilaian yang menyerempet wilayah hukum tanpa disadari anggota. Untuk membentengi organisasi dan anggota, Biro Hukum MAPPI mengangkat konsultan hukum. Konsultan inilah yang memberikan legal advice agar anggota dan asosiasi terhindar dari jebakan hukum yang menyesatkan.

Kini anggota MAPPI bisa mendiskusikan hasil penilai-annya apakah menyerempet wilayah hukum atau tidak.

Apakah suatu hasil penilaian memiliki risiko hukum di kemudian hari atau tidak.

Konsultan hukum yang diangkat MAPPI ini bakal mendampingi MAPPI dan anggotanya yang membutuhkan bantuan hukum atau legal action.

Konsultan hukum MAPPI ialah Erniwaty Hutagalung dari Erniwaty Hutagalung &

Partner. Selain memberikan jasa konsultasi hukum, konsultan ini bisa membantu ang-gota manakala berhadapan dengan masalah hukum yang bakal atau menjeratnya.

Ketua Umum MAPPI Hamid Yusuf, 13 September 2013 lalu di Hotel The Western Jakarta, menandatangani kesepatan kerja sama dengan Ernawaty Hutagalung dari Ernawaty hutagalung & Partner. Penan-datanganan ini disaksikan Ketua Dewan Penilai Okky Danusa, Kepala Biro Hukum MAPPI Robinson Tampubolon, dan pengu-rus MAPPI Agustinus P Tamba.

Banyak contoh kasus di persidangan yang melibatkan profesi penilai, di mana pemahaman aparat penegak hukum akan profesi penilai ini masih lemah. Pengalaman sidang di pengadilan menunjukkan, banyak saksi ahli yang bersaksi di muka pengadi-lan kerap kali menemui pertanyaan yang mendorong jawaban yang menjebak. Kasus hasil laporan penilaian yang menyeleweng dari standar, misalnya, pertanyaan jaksa atau hakim yang dilontarkan ke saksi ahli, kerap kali memancing jawaban apakah ini laporan sah atau tidak, benar atau salah. Padahal, untuk membuktikan benar atau salah, harus melalui mekanisme pemeriksaan Dewan Penilai MAPPI.

Ketua Dewan Penilai Okky Danusa menceritakan pengalamannya saat bersaksi di pengadilan yang selalu menghadapi per-tanyaan apakah laporan ini sah atau tidak. Padahal, sah tidaknya laporan itu menjadi kewenangan pengadilan. Tetapi kalau per-tanyaannya itu melanggar standar atau tidak,

Page 58: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

i n f o m a p p i

masih perlu dilakukan pembuktian melalui pemeriksaan Dewan Penilai. Di sinilah saksi ahli dituntut memiliki tingkat kehati-hatian yang tinggi saat bersaksi di meja hijau. Sebab, jaksa dan hakim sering melontarkan pertanyaan yang menyudutkan. “Untuk me-nyatakan melanggar atau tidak, kewenangan berada di Dewan Penilai MAPPI,” terang Okky Danusa seperti menceritakan pengala-man jadi saksi ahli.

Ketika saksi ahli tidak hati-hati dalam memberikan kesaksiannya, bisa jadi anggota bisa dijerat kesalahan akibat jebakan yang dilakukan jaksa atau hakim yang tidak me-mahami profesi penilai dalam menjalankan pekerjaannya. “Nggak ini kan pertanyaan anda tadi sah atau tidak. Saudara saksi ini benar atau salah? Salah. Misal, sebenarnya salah tapi itu ngomongnya begini pak yang menyatakan benar atau salah Dewan Penilai. “Waktu itu ditanya benar apa salah kita be-lum periksa,” terang Okky.

“Kalau ditanya hasil penilaian sah, ya mesti sah dilakukan oleh penilai yang

memiliki izin. Tapi, konten dari laporan-nya benar atau tidak harus dilihat berbeda,” lanjut Okky.

Dia menambahkan, banyak lagi masalah penyebaran blanko kosong dan tanda ta-ngan yang di-scan ke semua cabang sangat berisiko buat perjalanan karier penilai yang bersangkutan. Kondisi ini kurang menjadi perhatian penilai. Ketika hasil pekerjaannya terseret ke meja hijau, penilai baru menyadari dan mengakui bahwa tanda tangannya di-palsukan.

Menyikapi tanda tangan dipalsukan, Ernawaty Hutagalung mengatakan, selama yang dipalsukan mengakui itu tanda tangan-nya, saat diperiksa, sah di muka hukum. “This is my signature,” terangnya. Semua menjadi sah demi hukum, meskipun itu tidak mirip, tidak menjadi soal. Sebab, bisa saja tanda tangan tidak persis, meskipun itu dilakukan oleh orang yang sama.

Konsultan MAPPI ini akan memberikan bantuan hukum ke MAPPI dan ke anggota melalui rekomendasi Biro Hukum MAPPI.

Konsultasi diberikan apabila MAPPI ada masalah atau hal-hal yang terkait hukum. Konsultan ini juga memberikan opini hukum kepada pengurus dan anggotanya. “Terkait kerja sama MAPPI dengan pihak ketiga lain dan ada perjanjian-perjanjian, saya akan memeriksa, me-review, dan mem-berikan laporan terhadap MAPPI sebelum mereka menandatangani perjanjian,” terang Ernawaty.

Tidak tertutup konsultasi ini juga di-berikan ke anggota membantu yang bersifat umum setelah mendapat rekomendasi dari Biro Hukum dulu. Jadi, nanti Biro Hukum yang akan merekomendasikan ke kon-sultan ini, anggota yang mana yang perlu memperoleh bantuan hukum. Ini semua untuk efisiensi pelayanan ke anggota. “Jadi, ketika anggota melapor ke Biro Hukum menyatakan perlu bantuan hukum, atas rekomendasi Biro Hukum ke anggota tersebut, kita akan memberikan guidance apa langkah-langkah yang sebaiknya di-lakukan,” jelasnya. q

Page 59: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�� Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

i n f o m a p p i

Sudah 514 Penilai Ikut Deseminasi SPI 2013

Hingga 20 September 2013, sebanyak 514 penilai anggota Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) tercatat

telah mengikuti pendidikan profesional lanjutan (PPL) diseminasi Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2013. Sejak disahkan pada Mei 2013, tercatat sudah digelar diseminasi SPI 2013 sebanyak 9 kali.

Perinciannya, diseminasi SPI 2013 untuk penilai publik yang berstatus anggota S MAPPI dilaksanakan sebanyak 6 kali, masing-masing di Bogor dan Bandung, Jawa Barat. Tercatat, anggota S yang telah mengikuti diseminasi SPI 2013 sebanyak 334 orang. Sementara itu, telah 3 kali dilak-sanakan diseminasi SPI 2013 untuk anggota T, masing-masing di Jakarta dan yang tercatat menjadi peserta sebanyak 180 orang.

Bagi penilai anggota yang belum mengi-kuti diseminasi ini akan diikutkan pada kegiatan-kegiatan PPL SPI 2013 berikutnya yang akan dilaksanakan di berbagai daerah.

PPL SPI 2013 Penilai Publik Anggota S

No. Hari/Tanggal Jam (tentative) Tempat Jumlah Peserta1. Kamis, 2 Mei 2013 08.00 s.d. 18.00 WIB Grand Jaya Raya Bogor 55 Peserta Jumat, 3 Mei 2013 2. Kamis, 16 Mei 2013 08.00 s.d. 18.00 WIB Grand Jaya Raya Bogor 58 Peserta Jumat, 17 Mei 2013 3. Kamis, 30 Mei 2013 08.00 s.d. 18.00 WIB Hotel Newton Bandung 58 Peserta Jumat, 31 Mei 2013 4. Kamis, 13 Juni 2013 08.00 s.d. 18.00 WIB Hotel Kedaton Bandung 55 Peserta Jumat, 14 Juni 2013 5. Kamis, 20 Juni 2013 08.00 s.d. 18.00 WIB Hotel Kedaton Bandung 51 Peserta Jumat, 21 Juni 2013 6. Kamis, 4 Juli 2013 08.00 s.d. 18.00 WIB Hotel Newton Bandung 57 Peserta Jumat, 5 Juli 2013

PPL Diseminasi SPI 2013 untuk Anggota MAPPI - T

No. Hari/Tanggal Jam Tempat Jumlah Peserta7 Kamis, 18 Juli 2013 STIA LAN Jakarta 60 Sabtu, 20 Juli 2013 8 Kamis, 29 Agustus 2013 Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Medan 60 Jum’at, 30 Agustus 2013 9 Kamis, 19 Sept 2013 STIA LAN Jakarta 60 Jum’at, 20 Sept 2013

Keikutsertaan anggota MAPPI pada disemi-nasi ini hukumnya wajib karena kegiatan ini merupakan PPL yang berkaitan dengan Pem-

binaan dan Pengawasan Penilai Publik dari Pusat Pembinaan Akuntan dan Penilai Publik (PPAJP) Kementerian Keuangan. q

Page 60: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

��Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3

Page 61: Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20 3 - mappi.or.id Penilai September 2013.pdf · efektif berlaku mulai tahun 2014. ... 36 – 46 The Valuation Of Long Life ... (Permendag)

�0 Media Penilai Edisi September / TH.VIII / 20�3