limfoid malignan
DESCRIPTION
makalah AI kel lainTRANSCRIPT
LYMPHOID MALIGNANCIES
Kelompok VII
Hana Amalia (03008113) Nilam Permata (03010206)
Adhi Rizky P (03010004) Otty Mitha Octriza (03010217)
Jimmy (03010143) Radian Savani (03010229)
Laras Asia C (03010157) Roy Andrew Haliem (03010241)
Maria Christianingrum (03010170) Sherhaniz Melissa A (03010253)
Monica Olivine (03010182) Tarash Burhannudin (03010265)
Muhammad Iqbal T (03010193) Wella Rusni (03010277)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta, 27 Maret 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama tipe
LNH (Limfoma non Hodgkin), dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal
karena penyakit ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus
meningkat. Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen
dibandingkan angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih
banyak terjadi pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45
sampai 60 tahun. Makin tua umur, makin tinggi risiko terkena penyakit ini. Tapi
secara umum, LNH bisa menyerang semua usia, mulai dari anak-anak sampai orang
tua. Sementara dari sisi jenis kelamin, kasus LNH lebih sering ditemukan pada pria
ketimbang wanita.Di Indonesia, limfoma merupakan jenis kanker nomor enam yang
paling sering ditemukan. (1)
Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran
kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker. Cairan limfatik
adalah cairan putih mirip susu yang mengandung protein, lemak dan limfosit (sel
darah putih) yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfatik.
Ada dua macam sel limfosit yaitu: Sel B dan Sel T. Sel B membantu melindungi
tubuh melawan bakteri dengan jalan membuat antibodi yang menyerang dan
memusnahkan bakteri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam
kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau
akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan
derivatnya).
Keganasan yang timbul dari sel-sel pada sistem imun adaptif disebut keganasan
limfoid, sedangkan keganasan yang timbul dari sel-sel pada sistem imun alamiah
disebut keganasan myeloid. Respon imun yang normal adalah poliklonal, dimana
sistem imun kita ini terdiri dari immunoglobulin dan sel T reseptor yang merupakan
campuran dari jutaan spesifisitas yang berbeda-beda, inilah alasan mengapa mereka
dapat mengenali bermacam-macam antigen. Namun ada saat-saat dimana respon imun
ini berubah menjadi oligoklonal, contohnya pada saat puncak dari suatu infeksi,
dimana immunoglobulin atau sel T reseptor yang terdeteksi hanya yang spesifik saja
untuk antigen yang dihasilkan oleh infeksi tersebut. Sedangkan monoclonal berarti
hanya satu immunoglobulin atau sel T reseptor saja yang terdeteksi. Ini dikarenakan
jika ada satu saja sel B atau sel T yang menjadi immortal (tidak dapat mati) dan
kehilangan kemampuannya untuk berproliferasi, sehingga akan timbul jutaan sel
progenitor. Hal ini dapat juga menekan respon imun poliklonal.(2)
B. Faktor penyebab
Seperti keganasan pada umumnya, lymphoid malignancy juga terjadi karena adanya
onkogen yang teraktivasi secara permanen, menyebabkan sel tersebut selalu
membelah. Pada limfosit, mekanisme imun sekunder yang akan mengambil alih.
Setelah respon imun normal terhadap infeksi sel B dan sel T akan apoptosis (kematian
sel yang terprogram). Namun jika proses apoptosis ini terganggu, maka sel tersebut
dapat terus bertahan hidup meskipun sudah tidak dibutuhkan lagi. Dengan kata lain,
defek genetic yang berhubungan dengan gangguan pada proses apoptosis dapat
membuat sebuah sel menjadi immortal.
C. Etiologi dari faktor penyebab
Ada dua proses yang dapat mengaktifkan onkogen atau mencegah proses apoptosis di
limfosit. Yang pertama adalah proses translokasi kromosom, dimana terjadi jika ada
pemecahan kromosom yang tidak sesuai sehingga menyebabkan terbentuknya
onkogen beserta promoternya untuk gen lain. Jika promoternya teraktivasi secara
permanen, misalnya immunoglobulin atau sel T reseptor, onkogen tersebut akan
teraktivasi secara permanen juga. Hal ini dapat memberi proteksi terhadap apoptosis.
Sel B dan Sel T cenderung akan mengalami translokasi karena mereka menggunakan
rekombinasi genetika untuk membuat reseptor gen mereka masing-masing. Saat
rekombinasi tersebutlah kemungkinan gen-gen yang tidak sesuai akan begabung.
Kedua, virus dapat juga menyebabkan lymphoid malignancies. Virus Epstein-Barr
(EBV) yang paling sering dan seperti virus herpes lainnya, ia memiliki mekanisme
menghindar dari sistem imun tubuh kita dan bertahan hidup di dalam sel host, dalam
hal ini sel B. EBV memproduksi protein yang dikode oleh onkogen virus, yang
menstimulasi pertumbuhan tidak terkontrol dari sel yang terinfeksi dan
melindunginya dari apoptosis.
Pada banyak kasus, dibutuhkan dua hal ini agar menimbulkan suatu lymphoid
malignancies. Yang pertama adalah translokasi dan kedua adalah transformasi dari
virus, EBV-lah yang paling sering.
D. Jenis-jenis malignancy
T cell malignancy jarang terjadi karena virus EBV lebih sering dijumpai daripada
HTLV1 . bila terjadi HTLV1 membuat tax protein yang mirip dengan IL-2 yang
berperan sebagai T cell growth factor sehingga pertumbuhan sel t tidak terkontrol.
HTLV-1 merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia sel T atau
limfoma .Virus ini menyebabkan transformasi dengan cara berintegrasi dengan DNA
sel penjamu pada tempat berdekatan dengan gen yang mengatur pertumbuhan dan
diferensiasi sel sehingga fungsi transkripsi gen tersebut terganggu.
B cell malignancy disebabkan oleh EBV dan sering mengalami somatic
hypermutation apabila terjadi translokasi pada immature B cell maka menjadi acute
lymphoblastic leukemia , apabila terjadi pada saat mature B cell menjadi Chronic
lymphoblastic leukemia atau lymphoma dan apabila terjadi pada tingkat plasma cell
maka menjadi myeloma. (3)
Immature B cell Mature cell B Plasma cell
1. Acute lympoblastic 1. Chronic lymph 1. Myeloma
Leukemi (ALL) leukemi (CLL)
2. Lympoma
E. Klasifikasi
Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin
(PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya memiliki gejala yang mirip.
Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH
ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.
Limfoma Hodgin
Limfoma Hodgin yang juga dikenal sebagai penyakit Hodgin merupakan suatu
penyakit yang khas, meyerang usia muda. Biopsy kelenjar limfoid merupakann
keharusan untuk menemukan sel ReedSternberg. Sel tersebut adalah sel B nukleat
besar dengan nucleus eosinofilik.
Limfoma Non-Hodgin
Limfoma Non-Hodgin tersering ditemukan usia lanjut, walau dapat juga ditemukan
pada anak dan dewasa. Diagnosis memerlukan biopsy kelenjar limfoid. Limfoma
Non-Hodgin dibagi sesuai asal sel ( B dan T) dan fase kematangan sel. (4)
Klasifikasi Limfoma Non-Hodgin menurut WHO
Sel B Sel T Derajat berat
Leukemia limfositik
kronik sel B
Rendah
Limfoma zone marginal
ekstra nodal sel B dari
jenis MALT
Limfoma folikular
Limfoma sel mantel
Limfoma difus sel B besar
Limfoma anaplastik sel
besar
Limfoma sel T perifer
Rendah
Rendah
Bervariasi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Jarang (<5% dari semualimfoma)
Limfoma Burkitt
Limfoma limfoblastik
prekursol sel T
Mikosis fungicides/Sindrom
Sezary
Limfoma angioimunoblastik
Leukimia/limfoma sel
Tdewasa
Tinggi, resiko penyakit
SSP bermakna
Tinggi, resiko penyakit
SSP bermakna
Bervariasi
Tinggi
Tinggi, resiko penyakit
SSP bermakna
F. Gejala klinis
Gejala klinis lymphoid malignancy adalah sebagai berikut:
a. Limfadenopati superficial dengan pembesaran kelenjar getah bening
asimetris, tidak menyebabkan nyeri dan mudah digerakkan pada leher,
ketiak atau pangkal paha
b. Demam
c. Berkeringat pada malam hari
d. Penurunan nafsu makan dan nyeri abdomen
e. Gangguan menelan bila terdapat pembesaran tonsil
f. Penurunan berat badan lebih dari 10% selama 6 bulan
g. Anemia karena terjadi penyebaran limfoma yang menghancurkan
sumsum tulang
h. Pembesaran suprapubic bila sudah stadium lanjut
i. Gangguan pernapasan akibat penumpukan cairan di paru-paru
j. Pembengkakan tungkai
k. Kulit kehitaman dan menebal yang terasa gatal
l. Mudah terinfeksi bakteri karena kurangnya pembentukan antibody
m. Hilangnya kekuatan otot dan suara yang menekan saraf di tulang
belakang atau pita suara
n. Jaundice karena adanya sumbatan aliran empedu di hati
o. Pembengkakan wajah, leher dan ekstremitas atas (sindroma vena cava
superior) akibat sumbatan aliran darah ke jantung
Pada penyakit Limfoma Hodgkin, kelenjar getah bening biasanya membesar secara
perlahan dan tidak menimbulkan nyeri, tanpa adanya infeksi. Jika pembesaran ini
berlangsung selama lebih dari 1 minggu, maka akan dicurigai sebagai penyakit
Hodgkin, terutama jika disertai demam, berkeringat di malam hari dan penurunan
berat badan. Sedangkan Limfoma non-Hodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum
tulang, saluran pencernaan dan kulit.
Pembesaran kelenjar getah bening merupakan keluhan utama sebagian besar penderita
limfoma maligna yaitu 56,1%. Urutan kelenjar getah bening yang paling sering
terkena adalah kelenjar servikal (78,1%), kelenjar inguinal (65,6%), kelenjar aksiler
(46,6%), kelenjar mediastinal (21,8%), kelenjar mesenterial (6,2%). Penyebaran extra
nodal yang paling sering dijumpai adalah ke hepar, pleura, paru-paru dan sum-sum
tulang. Penyebaran yang jarang tapi pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar
prostat, mammae, ginjal, kandung kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta
traktus digestivus.
Ukurannya bervariasi, mungkin akan berikatan dengan jaringan ikat tapi mudah
digerakkan dibawah kulit. Pada jenis yang ganas dan pada penyakit yang sudah
stadium lanjut sering dijumpai gejala sistemik. (5)
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan terbanyak pada penderita adalah pembesaran kelenjar getah bening di
leher, aksila, ataupun lipat paha. Berat badan semakin menurun, dan terkadang
disertai dengan demam, sering berkeringat dan gatal-gatal.
2. Pemeriksaan Fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikuler –
aksila dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan
THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin Weldeyer ikut
terlibat. Apabila area ini terlibat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering
terlibat bersama-sama.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan trombosit. LED sering meninggi dan
kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat
diketahui dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT. Pada pasien
ditemukan adanya Lymphocytosis, Anemia, Neutropenia, Thrombocytopenia.
4. Sitologi biopsi aspirasi
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut
seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan
limfoma maligna. Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu
populasi limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan adanya sel Reed-
Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin
berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai
parameter sitologi Limfoma Hodgkin.
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah
kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus.
Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi,
biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif.
Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin
ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif palsu termasuk di
dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu dianjurkan
melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan tumor.
Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran
klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe
histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun
Limfoma non-Hodgkin.
6. Radiologi
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan pada pasien lymphoid
malignancy adalah:
1. MRI
2. Skeletal Skintigraphy atau Bone Scan
3. CT Scan
4. PET Scan
Pemeriksaan tersebut digunakan untuk mengetahui letak.
7. Laparotomi rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar
getah bening pada iliaka, para aorta dan mesenterium dengan tujuan
menentukan stadium.
8. Pemeriksaan lain dapat digunakan tumor marker. Tumor marker yang
digunakan adalah BCL-6, p53, dan HDM 2. BCL-6 adalah protein yang
merupakan faktor transkip. BCL-6 mengikat DNA dan mengubah gen spesifk
yang membantu meregulasi dari pembentukan sel B. Adanya perubahan pada
protein ini karena mutasi dan chromosomal abnormal merupakan lymphoid
malignancy. p53 adalah tumor supresor gen yang merupakan protein. Protein
ini mengatur pembelahan sel dan kematian sel di sel normal. Jika terjadi
mutasi, p53 menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak teratur. HDM2 adalah
protein yang mengatur aktifitas protein p53. Pada sel normal HDM2 hanya
menghalangi p53 ketika diperlukan. Sedangkan pada lymphoid malignancy,
HDM2 protein terproduksi sehingga terjadi proliferasi sel kanker. (6)
H. Kemiripan mekanisme respon imun pada tumor dan transplantasi
Mekanisme respon imun tumor dan transplantasi organ sama sama ditujukan terhadap
non-infectious cell yang dianggap asing . Antigen pada kedua mekanisme ini
merupakan antigen non-mikroorganisme. Antigen diekspresikan oleh setiap sel yang
berubah menjadi neoplastik/yang dicangkokkan dari donor ke resipien sehingga
dibutuhkan mekanisme khusus untuk menginduksi respon imun terhadap sel yang
dianggap asing tersebut, mekanisme itu dipegang oleh CTL atau sel T sitotoksik.
I. Sistem Imun dan Tumor
Bukti-bukti yang menyokong konsep bahwa sistem imun bereaksi terhadap tumor
adalah sebagai berikut.
Proliferasi dan maturasi sel normal diatur oleh sejumlah proto-onkogen yang
merangsang pertumbuhan dan berbagai anti-onkogen /gen suppressor yang
menghambat pertumbuhan. Aftivasi proto-onkogen secara berlebihan disebabkan oleh
perubahan struktur didalam gen,translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen atau
mutasi pada elemen elemen yang mengontrol ekspresi gen bersangkutan. Disregulasi
genetic menyebabkan perubahan ekspresi berbagai molekul permukaan sehingga
sel/jaringan tumor menjadi asing /imunogenik.
Fungsi system imun adalah fungsi protektif dengan mengenal dan menghancurkan sel
sel abnormal dengan cara immune surveillance. Bukti yang mendukung bahwa ada
peran system imun dalam melawan tumor diantaranya :
1. Banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel mononuclear yang terdiri dari
sel T NK dan makrofag
2. Tumor dapat mengalami regresi secara spontan
3. Tumor lebih sering pada individu dengan imuno defisiensi
4. Di lain pihak tumor seringkali menyebabkan imunosupresi pada penderita.
Bukti lain adalah ditemukannya limfosit berproliferasi dalam KGB yang merupakan
draining sites dari pertumbuhan tumor disertai peningkatan ekspresi MHC dan
intercellular molecule (ICAM) yang mengindikasikan system imun aktif, adanya
limfadenopati regional dan infiltrasi limfosit di sekitar tumor berkolelasi dengan
prognosis yang baik dan pada eksperimen rejeksi tumor memperlihatkan gambaran
imunitas adaptif dan diperantarai limfosit. Angka kejadian tumor tertentu meningkat
pada individu dengan defisiensi imunologi.
Tumor dapat membangkitkan respon imun seluler spesifik dan banwa antigen tumor
yang dapat dikenali oleh sel T sitotoksik melalui MHC kelas 1 diidentifikasi sebagai
protein seluler yang diekspresika secara abnormal/protein mutant. Penemuan ini
mendukung dugaan bahwa fungsi sel T sitotoksik adalah surveillance dan
menghancurkan sel yang mengandung gen mutant yang dapat menyebabkan tumor
ganas.
Tetapi ternyata umumnya tumor tidak menimbulkan respon imun, berikut beberapa
hal yang menjelaskan alasan dari pernyataan tersebut.
Tumor tidak memproduksi novel protein yang akan dikenali oleh system imun namun
terkadang tumor memproduksi normal host protein dalam jumlah banyak , tetapi
apabila disebabkan oleh mutasi/translokasi tumor akan memproduksi novel protein
tetapi sering terjadi second mutation yang menurunkan ekspresi HLA (MHC kelas 1)
sehingga sulit dikenali sel T sitotoksik. Selain itu tumor juga tidak mengeluarkan
danger signal sehingga ia terhindar dari respon imun host. (7)
J. Terapi
Terapi untuk tumor bisa menggunakan anti-B cell monoclonal antibody untuk
membunuh sel tumor dengan mengaktivasi komplemen dan mengopsonisasi makrofag
untuk fagositosis. Bisa juga digunakan activated killer cells, caranya yaitu sel T
pasien diambil dan ditumbuhkan dalam suatu campuran sitokin dan dalam jumlah
banyak diinfus kembali untuk melawan sel tumor.
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyakit
dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor
penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan
radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan
sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan
radioterapi. Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama
hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.
1. Radiasi
a. Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
b. Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
c. Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
d. Untuk stadium IV secara total body irradiation
2. Kemoterapi untuk stadium III dan IV
Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca
radiasi. Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi.
K. Prognosis
Kebanyakan pasien dengan penyakit limfoma maligna tingkat rendah bertahan hidup
lebih dari 5-10 tahun sejak saat didiagnosis. Banyak pasien dengan penyakit ini dapat
disembuhkan dengan radioterapi. Dengan kemoterapi intensif, pasien limfoma
maligna akan mempunyai masa hidup yang lebih lama dan dapat disembuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Haryanto A. R. 1980. Limfoma Malignum Kanker atau Reaksi Imunologik
yang Abnormal. Cermin Dunia Kedokteran: Jakarta
2. Helbert, Matthew. Lymphoid Malignancy. In: Flesh and Bones of
Immunology. Philadelphia: Elsevier’s Health Sciences Right Departement.
2006. p. 84-5.
3. Medicastore. [Internet] Available at:
http://medicastore.com/penyakit/308/Limfoma_Non-Hodgkin.html
Accessed on 2012 March 22nd.
4. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Ed.9. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2010. hlm. 451-76
5. Boediwarsono, Soebandir, Sugianto, Sedana, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. FK UNAIR: Surabaya.
6. Kumar, V. Cotran, R.S. Robbins, S.L, 2001. Buku ajar Patologi. EGC: Jakarta
7. Siti boedina kresno. Imunologi: Diagnosis dan prosedur laboratorium.
Edisi keempat. Jakarta: Balai penerbit FKUI: 2007. p. 208-29.