lap klmpk kpd

30
LAPORAN KELOMPOK PROBLEM BASED LEARNING “PREMATURE RUPTURE OF MEMBRAN (PROM)” REGULER 1 : KELOMPOK 3 INDIRA RAHMADEWI 115070200111047 NADHIRA WAHYU L 115070205111003 RENY RUDY ASISTA 115070200111053 YUNI WIDYANINGSIH 115070207111027 I WAYAN GEDE S 115070200111021 ATIKATSANI LATIFAH 115070200111023 RAHMI NURROSYID P 115070201111017 FRITA FERDINA 115070200111031 DEWANTI ERIN SASMI 115070213111001 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: rey-dudutz

Post on 24-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KELOMPOK

PROBLEM BASED LEARNING

“PREMATURE RUPTURE OF MEMBRAN (PROM)”

REGULER 1 : KELOMPOK 3

INDIRA RAHMADEWI 115070200111047

NADHIRA WAHYU L 115070205111003

RENY RUDY ASISTA 115070200111053

YUNI WIDYANINGSIH 115070207111027

I WAYAN GEDE S 115070200111021

ATIKATSANI LATIFAH 115070200111023

RAHMI NURROSYID P 115070201111017

FRITA FERDINA 115070200111031

DEWANTI ERIN SASMI 115070213111001

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2013

TRIGGER

Ny. P usia 25 tahun G1 P0000 Ab000 usia kehamilan 37 minggu datang ke rumah sakit dengan keluhan

keluar cairan berwarna keruh merembes dari jalan lhair sejak kemarin pagi. Pasien mengatakan sejak

keluar cairan dari jalan lahir, Ny. P tidak berani beraktivitas berat, pasien hanya tiduran sepanjang

hari. Pasien mengeluh badannya demam, saat di RS hasil pemeriksaan perawat didapatkan TD =

120/80 mmHg N=98x/menit RR=18x/menit suhu =37°C DJJ=120x/menit, pasien tidak merasakan

adanya his. Hasil pemeriksaan cairan amnion menunjukkan pH netral dan warnanya keruh. Pasien

tampak tegang, penurunan konsentrasi, pucat dan gelisah. Berdasarkan anamnesa perawat pasien

mengatakan jarang kontrol kehamilan di puskesmas.

SLO

A. Definisi

B. Faktor resiko

C. Etiologi

D. Patofisiologi

E. Manifestasi klinis

F. Pemeriksaan diagnostik

G. Penatalaksanaan medis

H. Komplikasi

I. Asuhan keperawatan

PREMATURE OF RUPTURE MEMBRANE (KETUBAN PECAH DINI)

A. DEFINISI

Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi persalinan yang dapat

terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu.

Ketuban pecah dini adalah rupturnya membran ketuban sebelum persalinan berlangsung.

Ketuban pecah dini/spontaneous/early/premature rupture of membrane (PROM) adalah

pecahnya selaput ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3

cm dan multipara kurang dari 5 cm.

Klasifikasi :

1. PROM (premature rupture of membrane)

Ketuban pecah saat usia kehamilan ≥37 minggu. Pada PROM penyebabnya mungkin

karena melemahnya membran amnion secara fisiologis, yaitu seperti inkompetensi

serviks dan polihidramnion.

2. PPROM (preterm premature rupture of membrane)

PPROM mendefinisikan ruptur spontan membran janin sebelum mencapai usia

kehamilan 37 minggu dan sebelum onset persalinan. Dan salah satu predisposisi utama

adalah infeksi ntrauterin

B. FAKTOR RESIKO

Meskipun banyak publikasi tentang ketuban pecah dini (KPD), namun penyebabnya secara

langsung masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan

menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-

faktor yang lebih berperan sulit diketahui (Sualman, 2009). Faktor-faktor predisposisi itu antara

lain adalah:

a. Infeksi (amnionit is atau korioamnionit is). Korioamnionit is adalah keadaan pada

perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.

Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat

berlanjut menjadi sepsis (Sarwono, 2008). Membrana khorioamnionit ik terdiri dari jaringan

viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan

menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik

(Sualman, 2009). Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionit

is. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-

bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri

tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini

menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban

(Sualman, 2009). Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk

melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk

menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban yang

keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Cunningham,

2006).

b. Infeksi genitalia. Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum yang

ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi serviks oleh

organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum jelas. Pada wanita yang

mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat hamil juga mengalami ketuban

pecah dini kurang dari satu jam sebelum persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir

rendah (Cunningham, 2006). Seorang wanita lebih rentan mengalami keputihan pada saat

hamil karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal yang salah satu dampaknya

adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan penurunan keasaman vagina serta terjadi

pula perubahan pada kondisi pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering dianggap

sebagai hal yang biasa dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang

melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan disebabkan oleh

infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat berbahaya karena dapat menyebabkan

persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir

dengan berat badan rendah (< 2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan

keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihanya dapat membahayakan

kehamilannya, sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan

berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya.Dari berbagai macam keputihan

yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah kandidiosis vaginalis,

vaginosisbakterial dan trikomoniasi. (Sualman, 2009). Dari NICHD Maternal-fetal Medicine

Units network Preterm prediction Study melaporkan bahwa infeksi klamidia genitourinaria

pada usia gestasi 24 minggu yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian ketuban

pecah dini dan kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini

(Cunningham, 2006). Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes

simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umumyang mengenai

ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran preterm dan bayi berat badan

rendah. Pecah ketuban sebelum persalinan pada preterm dapat berhubungan dengan infeksi

maternal. Sekitar 30% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi

dari infeksi tersebut (Chapman, 2006). Pada kehamilan akan terjadi peningkatan

pengeluaran cairan vagina dari pada biasanya yang disebabkan adanya perubahan

hormonal, maupun reaksi alergi terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan

pembersih vagina dan bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat terjadi

akibat adanya pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi

didaerah genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan

meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga mengalami

infeksi (Ocviyanti, 2010). Menurut Sarwono, (2008) persalinan preterm terjadi tanpa

diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya

ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat

pargantian lakt obasilus penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri

anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti gardnerella vaginalis, yang akan menimbulkan

infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan kejadian ketuban pecah dini, persalinan

preterm dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0 yang

normalnya nilai pH vagina adalah antara 3,8-4,5. Abnormalitas pH vagina dapat

mengindikasikan adanya infeksi vagina. Herpes simpleks adalah virus menular seksual yang

jarang tetapi serius yang bisa tetap tidak aktif sampai orang mengalami stres atau tidak

sehat. Biasanya merupakan kondisi kronis dan kambuhan serta bisa berat bagi bayi baru

lahir. Infeksi herpes primer biasanya menyebabkan demam ringan dan perasaan tidak sehat.

Muncul lesi yang menimbulkan nyeri sekitar genital internal dan eksternal/serviks, ulserasi,

dan biasanya sembuh dalam tiga minggu (Chapman, 2006). Herpes aktif bisa terdiagnosa

dengan inspeksi klinis didaerah genital untuk lesi yang tampak (internal/eksternal) pada saat

awitan persalinan atau pecah ketuban spontan. Sectio saeraria merupakan satu-satunya

indikasi bila infeksi masih aktif sehingga lesinya jelas.

c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya

ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks

sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat

berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian

besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi

loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi

obstetrik (Sarwono, 2008). Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis

dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga

kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan

pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya

sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian

peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya.

Secara tradisi, diagnosis inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang

sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa

disertai awitan persalinan dan pelahiran (Verney, 2006). Faktor resiko inkompetensi serviks

meliputi riwayat keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat

laserasi serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya

pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan

sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau

kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (conization)

(Verney, 2006). Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester

kedua atau pada awal trimester ketiga, konsultasi de ngan dokter mutlak diperlukan. Jika

seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks, pembukaan, tekanan panggul,

atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak diketahui, maka ia perlu segera mendapat

penatalaksanaan medis.

d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang didapat

misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang lebih dari 3 kali seminggu,

posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50%

memicu terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat

menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak

janin misalnya letak lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas

panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Sualman,

2009). Menurut Manuaba (2008) hubungan seksual selama hamil memiliki banyak dampak

terhadap kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan biasanya gairah seks mengalami

penurunan. Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah, lemas, malas dan apapun yang

bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi trimester kedua umumnya libido timbul

kembali, tubuh ibu telah dapat menerima kembali, tubuh telah terbiasa dengan kondisi

kehamilan sehingga ibu dapat menikmati aktifitas dengan lebih leluasa dari pada trimester

pertama. Mual-muntah dan segala rasa tidak enak biasanya sudah jauh berkurang demikian

pula urusan hubungan seksual. Ini akibat meningkatnya pengalihan darah ke organ-organ

seksual seperti vagina dan payudara. Memasuki trimester ketiga minat/libido menurun

kembali, tetapi hal ini tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit wanita yang

libidonya sama seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab termasuk beruntung

karena tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit punggung dan pinggul, berat

badan yang semakin bertambah atau keharusan istirahat total. Frekuensi koitus pada

trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali seminggu diyakini berperan pada

terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan dengan kondisi orgasme yang memicu

kontraksi rahim, namun kontraksi ini berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang

persalinan. Selain itu,paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan

sperma) juga memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal,

tetapi harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan prematur. Oleh sebab itu,

Seno, (2008) menjelaskan bahwa pada kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran

preterm maupun ketuban pecah adalah dengan mengurangi frekwensi hubungan seksual

atau dalam keadaan betul-betul diperluka n wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika

tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis yang terlalu

dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak menimbulkan penekanan

pada perut ataupun dinding rahim. Mengurangi frekwensi koitus yang sejalan dengan

meminimalkan orgasme selain dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula

mengurangi penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin,

sebab penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah uri

dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen ke janin.

e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah wanita yang

pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang

mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat

hamil, ganggua n fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan

(Cunninghan, 2006). Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu

akhir triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan

didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan multipara

adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak hidup.

Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah dini pada

kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko

akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya (Cunningham,2006). Meski

bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor ini juga diyakini

berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini. Yang didukung satu dan lain hal pada

wanita hamil tersebut, seperti keputihan, stress (beban psikologis) saat hamil dan hal lain

yang memperberat kondisi ibu dan menyebabkan ketuban pecah dini (Cunningham,2006).

f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini

kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya

penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban

pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang

mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada

kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko

mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban

pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan

kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).

g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya

hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37minggu sering terjadi pelahiran

preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini

(Cunningham, 2006). Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat

dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu

dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion, akumulasi

berlebihan cairan amnion (> 2 liter), seringkali terjadi disertai gangguan kromosom, kelainan

struktur seperti fistula trakeosofageal, defek pembuluh saraf dan malformasi susunan sarap

pusat akibat penyalahgunaan zat dan diabetes pada ibu. AFI (amnion fluid indeks) pada

kehamilan cukup bulan secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm dan 23,0 cm (Varney,

2006). Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar

(makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan

obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan

polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas,

dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada

polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat,

persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Sarwono, 2008). Kehamilan kembar

juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah komplikasi yang dihubungakan dengan

kehamilan, persalinan dan pelahiran serta masa nifas pada wanita yang mengandung lebih

dari satu janin. Kemungkinan yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali

janin, kegugurandini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan pelahiran preterm,

diabetes kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan. Pada

kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga

korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin

merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin

terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki

resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk

mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali

dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan. Wanita dengan kehamilan kembar beresiko

tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh

peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu

jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan

preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2006). Kehamilan dengan janin kembar

juga akan mempengaruhi kenyamanan dan citra tubuh, kesiapan perawatan bayi dan

keuangan, semua faktor ini akan menimbulkan stres dan hendaknya petugas kesehatan lebih

banyak memberi konseling dan pendidikan kesehatan. Konseling tentang persalinan pretem

dan preeklamsi perlu di upayakan guna memberi perawatan kehamilan dengan janin kembar

yang bermutu (Cunninghan, 2006).

h. Usia ibu yang = 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang

kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalamiketuban pecah dini. Sedangkan

ibu dengan usia = 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada

ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini. Usia dan fisik wanita

sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses

persalinan. World Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana

disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto

Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling

aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia

kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.

Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah

kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara

mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan

kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher

rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini.

Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan

dan persalinan. Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah

mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya

secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya

secara hati-hat i.Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa

transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan

wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau

tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-

organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang

menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi

semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada

kehamilan pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya

penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin

mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban

pecah dini. Lebih lanjut Seno (2008) menjelaskan, meningkatnya usia juga membuat kondisi

dan fungsi rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim yang tak lagi subur.

Padahal, dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan

kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat

semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan

pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi dan

mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu, kondisi

hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko keguguran, ketuban

pecah, kematian janin, dan komplikasi lainnya juga meningkat. Namun secara umum periode

waktu dari ketuban pecah dini sampai kelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat

ketuban pecah, jika ketuban pecah pada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa

hari saja sehingga pelahiran terjadi dibandingkan dengan trimester kedua (Cunningham,

2006).

C. ETIOLOGI

Penyebab KPD menurut Manuaba, 2009 dan Morgan, 2009 meliputi :

1. Serviks inkompeten menyebabkan dinding ketuban paling bawah mendapatkan tekanan

yang semakin tinggi

2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik)

3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia dan meningkatnya

enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase

laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan,

makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin dan komplikasi

ketuban pecah dini makin meningkat

4. Multipara, grandemultipara. Pada kehamilan yang terlalu sering akan mempengaruhi proses

embriogenesis sehingga selaput ketuban yang tebentuk akan lebih tipis yang akan

menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum tanda-tanda impartu

5. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda dan sefalopelvuk disproporsi.

Hidramnion atau kadang-kadangdisebut polihidramnion adalah keadaan di mana banyaknya

air ketuban melebihi 2000 cc (Prawirohardjo, 2007). Hidramnion dapat terjadi pada kasus

anensefalus, atresia asophagus, gemeli dan ibu yang mengalami diabetes meliitus

gestasional (DMG). Ibu dengan DMG akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan

pada semua usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih (Saifuddinm

2002). Kehamilan ganda adalah adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih sehingga

kemungkinan terjadinya hidramnion bertambah 10 kali lebih besar (Mochtar, 1998)

6. Kelainan letak yaitu letak lintang sungsang

7. Pendular abdomen (perut gantung)

8. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada ibu muda

9. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih

10. Merokok selama kehamilan

E. MANIFESTASI KLINIS

1. Keluar ketuban warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau/kecoklatan sedikit-sedikit atau

sekaligus banyak merembes melalui vagina.

2. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi.

3. Janin mudah diraba.

4. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah bersih

5. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban

sudah kering.

6. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut

masih merembes/menetes dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.

7. Tidak ada HIS dalam 1 jam, belum ada tanda-tanda persalinan.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan laboratorium

Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pHnya.

Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine atau sekret vagina.

Sekret vagina ibu hamil pH 4-5 dengan kertas nitrazin tidak berubah warna.

Tes nitrazin (lakmus) jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan

adanya air ketuban (alkali). pH air ketuban 7-7,5. Darah dan infeksi vagina dapat

menghasilkan tes positif yang palsu.

Karakteristik cairan ketuban adalah kandungan air pada cairan ketuban mencapai 98%,

cairan amnion memiliki berat jenis sekitar 1007-1008, berwarna putih dan mengandung

bahan organik sehingga keruh berbau khas (amis). Bahan organik yang terkandung pada

cairan amnion terdiri dari rambut, lanugo, sel epitel yang lepas, verniks kaseosa, dan

protein albumin sekitar 2,5%.

2. Pemeriksaan USG

Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.

Pada kasus KPD jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada

penderita oligohidramnion.

3. Pemeriksaan spekulum

Untuk mengambil sampel cairan ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan

untuk kultur dan pemeriksaan bakteriologis.

4. Pemeriksaa C Reaktif Protein (CRP)

CRP normal pada kehamilan 0,3-0,8 mg/ maksimal 2 mg.

Peningkatan CRP di atas 2 mg menunjukkan infeksi chorioamnionitis

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam mengelola

KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.

Penatalaksanaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa

masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri

kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan

menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara

aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif

dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin

dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.

Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak

diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui

umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan

adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu

evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan

34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan

sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada

kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput

ketuban atau lamanya periode laten.

1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)

Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya

mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan

komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan

disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin

memanjang L.P-nya.

Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan

sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam

setelah kulit ketuban pecah bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada

tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan

bedah caesar.

Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik

tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap

chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik

profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera

setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6

jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari

6 jam.

Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau

ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan

sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga

resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.

Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan

janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya.

Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan

ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang

kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat

dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri

persalinan dengan seksio sesaria.

2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)

Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-

tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang

adekuat sebagai profilaksi

Penderita perlu dirawat di rumah sakit ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu

dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan

diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent

diberikan juga tujuan menunda proses persalinan.

Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD

kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama

menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi,

maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan

Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan

merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang

kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai

mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.

Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar.

Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tindakan bedah sesar hendaknya

dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauteri tetapi seyogyanya ada indikasi

obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll.

Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata

pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka

perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah

menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterine.

Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan

tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin,

pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.

Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti

dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah

merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32

minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis

masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap

12 jam.

Penanganan ketuban pecah di rumah

- Apabila terdapat perembesan atau aliran cairan dari vagina, segera hubungi dokter atau

tenaga kesehatan terdekat.

- Gunakan pembalut wanita untuk penyerapan air yang keluar.

- Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah infeksi, jangan

berhubungan seksual atau mandi berendam.

- Selalu membersihkan area perineal dari depan ke belakang untuk menghindari infeksi

dari dubur.

- Jangan mencoba-coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri.

H. KOMPLIKASI

Komplikasi KPD dapat dibagi 2, yaitu terhadap maternal dan janin.

1. Maternal

a. Antepartum

1. Korioamnionitis 30-60%

2. Selusio plasenta

b. Intrapartum : trauma persalinan akibat induksi/operatif

c. Kemungkinan retensio dari plasenta

d. Postpartum

1. Trauma tindakan operatif

2. Infeksi masa nifas

3. Perdarahan postpartum

2. Janin

a. Semakin muda usia kehamilan dan semakin rendah BB janin, maka komplikasi akan

semakin berat

b. Komplikasi post partum

1. Penyakit RDS/hialin membran

2. Hipoplasia paru dengan akibatnya

3. Tidak tahan terhadap hipotermia

4. Gangguan fungsi alat vital

c. Komplikasi akibat prematuritas

1. Mudah infeksi

2. Mudah terjadi trauma akibat tindakan persalinan

3. Mudah terjadi aspirasi air ketuban dan menimbulkan kematian.

4. Komplikasi akibat oligohidramnion

5. Gangguan tumbuh kembang yang menimbulkan deformitas

6. Gangguan sirkulasi retroplasenter yang menimbulkan asidosis

7. Retraksi otot uterus yang menimbulkan sulosio plasenta

d. Komplikasi akibat ketuban pecah

1. Pkolpa bagian janin terutama tali pusat dengan akibatnya

2. Mudah terjadi infeksi intrauteri dan neonatus.

I. ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian

A. IDENTITAS KLIEN

Nama : Ny.P

Usia : 25 tahun

Jenis kelamin : perempuan

B. STATUS KESEHATAN SAAT INI

Keluhan utama : keluar cairan berwarna keruh merembes dari jalan lahir

Lama keluhan : sejak kemarin pagi

Kualitas keluhan : (masih perlu dikaji lebih lanjut)

Faktor pencetus : (perlu dikaji lebih dalam berdasarkan faktor risiko)

Faktor pemberat : jarang kontrol kehamilan

Upaya yang telah dilakukan : tiduran sepanjang hari

Keluhan saat pengkajian : keluar cairan berwarna keruh merembes dari jalan lahir,

badannya demam

C. RIWAYAT KESEHATAN SAAT INI

Ny.P usia 25 tahun, G1 P0000 Ab000 usia kehamilan 37 minggu keluar cairan berwarna keruh

merembes dari jalan lahir sejak kemarin pagi. Sejak keluar cairan pasien tidak berani

beraktivitas berat, pasien hanya tiduran sepanjang hari. Pasien mengeluh badannya demam.

Pasien tidak merasakan adanya his. Pasien jarang kontrol kehamilan ke Puskesmas.

Diagnosa Medis : Ketuban Pecah Dini

D. RIWAYAT KESEHATAN TERDAHULU

Perlu dikaji lagi adanya riwayat merokok, alkohol, alergi terhadap obat, adanya penyakit

kronis atau akut yang diderita, maupun riwayat kecelakaan atau operasi sebelumnya.

E. RIWAYAT KELUARGA

Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai adakah riwayat penyakit keturunan dalam keluarga.

HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIKAJI :

- Kondisi lingkungan tempat tinggal berkaitan dengan kebersihan lingkungan, keamanan

terhadap kecelakaan yang mungkin terjadi, dll.

- Pola nutrisi ibu selama kehamilan

- Kebersihan diri terutama daerah perineal selama kehamilan maupun sebelum hamil.

- Adanya stres pada ibu terhadap situasi tertentu.

- Faktor pendukung dari suami dan keluarga terhadap kehamilan

- Pola seksualitas

F. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : pasien tampak tegang, penurunan konsentrasi, pucat, dan gelisah

Kesadaran : mengalami penurunan konsentrasi

TTV : TD=120/80mmHg; N=98x/menit; RR=18x/menit; suhu=37oC;

DJJ=120x/menit

G. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Cairan amnion menunjukkan pH netral dan berwarna keruh.

II. Analisis Data

No. DATA ETIOLOGI DIAGNOSA

KEPERAWATAN

1. DS :

- Klien mengeluh

keluar cairan yang

merembes dari jalan

lahir

- Klien mengeluh

merasa demam

- Klien tidak merasa

adanya his

DO :

- Cairan berwarna

keruh dengan pH

netral

Kehamilan yang pertama

Kekhawatiran menghadapi

proses persalinan

Stress

Selaput amnion lemah

Ketuban pecah dini

Ketuban keruh dan netral

Resiko gangguan hubungan

ibu dan janin

Resiko gangguan

hubungan ibu dan janin

2. DS :

- Klien mengeluh

keluar cairan

berwarna keruh

merembes dari jalan

lahir sejak kemarin

pagi.

- Klien jarang kontrol

kehamilan di

puskesmas

- Usia kehamilan 37

minggu

- Klien mengeluh

badannya demam

Faktor resiko

Selaput kolagen tidak kuat

Mudah pecah+air ketuban

mudah keluar

Ketuban pecah dini

Tidak ada pelindung dari luar

di daerah perineal

Resiko infeksi

Resiko infeksi

DO :

- Cairan amnion

menunjukkan pH

netral dan warnanya

keruh

3. DS :

- Klien mengeluh

keluar cairan

berwarna keruh

merembes dari jalan

lahir sejak kemarin

pagi.

DO :

- Pasien tampak

tegang, penurunan

konsentrasi, pucat,

dan gelisah

Faktor resiko

Terjadi proses biomekanik

pada selaput ketuban

Ketuban pecah dini, cairan

amnion warna keruh dengan

pH netral

Tidak ada his

Takut janinnya dalam bahaya

Tegang, gelisah, pucat

Penurunan konsentrasi

ansietas

Ansietas

III. Rencana asuhan keperawatan

NO

.

DIAGNOSA TUJUAN+KRITERIA HASIL INTERVENSI

1. Resiko gangguan

hubungan ibu dan

janin

Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama x24 jam

gangguan ibu dan janin

teratasi

Kriteria Hasil :

NOC :

NIC : Labor Suppresion

1. Menentukan status

membran amnion

2. Lakukan cervical exam.

Kaji adanya bukaaan dan

posisi serviks

3. Palpasi posisi fetal

- Maternal status :

intrapartum

- Fetal status : intrapartum

1. Tidak ada perubahan

atau klien nyaman

dengan keadaan cairan

ketuban yang merembes

2. Pasien dapat merasakan

his

3. DJJ (120-160 bpm)

4. Tidak ada perubahan

warna cairan amnion

4. Monitor DJJ

2. Resiko infeksi Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan x24 jam resiko

infeksi dapat diminimalisir

KH :

NOC : Risk Control

a. Mengembangkan strategi

pengendalian resiko yang

efektif

NOC : Self-Care Hygiene

b. Cleans perineal care

NIC : Infection control

1.1 mengajarkan pasien dan

keluarga tentang tanda

dan gejala infeksi dan

kapan melaporkan ke

pelayanan kesehatan

yang ada.

1.2 Instruksikan pasien

menggunakan teknik cuci

tangan dengan tepat

1.3 Menggunakan sabun

antimikroba untuk cuci

tangan

1.4 Cuci tangan sebelum dan

sesudah melakukan

aktivitas

1.5 Administrasikan terapi

antibiotika

NOC : Perineal care

2.1 menjaga perineum secara

berkala

2.2 membersihkan perineum

secara berkala

2.3 menggunakan pakaian

dalam yang mudah

menyerap

3. Ansietas Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama x24 jam

ansietas klien berkurang

Kriteria Hasil :

NOC : Anxiety Self Control

- decrease environtmental

stimuli when anxiety

- seeks information to

reduce anxiety

- uses relaxation

techniques to reduces

anxiety

NIC : Anxiety Reduction

1. stay with patient to

promote savety and

reduce fear

2. encourage family to stay

with patient

3. create an atmosphere to

facilitatae trust

4. encourage verbalization

of feeling, perceptions,

and fears.

5. Help patient identify

situation that precipitate

anxiety

6. Control stimuli for patient

needs

IV.

REFERENSI

Cunningham, F,Gary. 2012. William Obstetri. Jakarta:EGC

Joane Mc Closkey, dkk. 2008. Nursing Intervention classification (NIC) Edisi 5. United States of

Amerika:Mosby Elsevier

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta:Media Aesculapius.

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan

KB Volume 2 halaman 221. Jakarta:EGC

Manuaba, Ida Bagus Gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri Edisi 1 halaman 457. Jakarta:EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta:EGC

Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC) Edisi 4. United States of

America:Elsevier

Nanda International. 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.

Jakarta:EGC

Prawirohardjo, S. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Jakarta:Yayasan Bina Pustaka