kmptisi 1 v02-1-04 a

8
Efisiensi Kompetisi Gulma pada Sistem Tumpangsari ISSN 1979-0228 17 KARAKTERISTIKA EFISIENSI KOMPETISI GULMA DENGAN TANAMAN PADA SISTEM TUMPANGSARI KEDELAI/JAGUNG DAN KEDELAI/PADI GOGO (Characteristics of Weed-Crop Competition Effisiency in Soybean/Maize and Soybean/Upland Rice Intercropping Systems) Nurdin Hadirochmat Lektor Kepala pada Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti ABSTRACT A research on weed and crop was conducted to study characteristics of weed and crop competition effisiency in soybean/maize and soybean/upland rice intercropping systems at Faculty of Agriculture Winaya Mukti University experimental field, Sumedang, West Java, Indonesia. The design used was Randomized Block Design in a factorial pattern of two factor (soybean/maize and soybean/upland rice intercropping system as the first factor and duration of weed presence as the second factor). Results of the experiment showed that the highest weed cover percent was gained by soybean/maize intercropping system at 20 DAP and at 76 DAP in which weed presence for 9 WAP and weed present during crop growing. Shift of Summed Dominance Ratio occured from Cyperaceae and broadleaves weeds before the experiment was conducted to grasses and cyperaceae weeds at the end of the experiment. The highest weed total dry weight was gained by soybean/upland rice intercropping system with weeds present during crop growing. Maize had higher total chlorophyl, average Net Assimilation Rate and average Relative Growth Rate than those of rice and soybean, especially on crop with earliest weed presence. The highest yield of rice and soybean was gained by the system in which weed presence 5 WAP, but maize yield was not affected by weed presence. The increase of weed population did not affect yield increase of soybean/maize intercropping system. The lowest maize competition index was gained by the system in which weed presence for 5 WAP. The highest competition index was gained by the system in which weed present during crop growing and the lowest was gained by the system in which weed presence for 5 WAP. Weed presence for various WAP did not affect LER, but soybean/maize intercropping system had LER value > 1, but in soybean/upland rice intercropping system, the value was reach with weed presence during 5 WAP and during crop growing. Soybean/maize intercropping system gave R/C > 1, but soybean/upland rice intercropping system had R/C < 1, hence, soybean/maize intercropping system was more efficient than soybean/upland rice intercropping system. Key words : weed - crop, competition, intercropping system PENDAHULUAN endahnya produksi tanaman jagung, kedelai dan padi gogo antara lain disebabkan oleh kehadiran gulma pada pertanaman tiga komoditi tersebut. Kropff dan Moody (1992) menyatakan bahwa dari hasil penelitian disimpulkan lebih dari 10% hasil pertanian hilang akibat terjadinya kompetisi antara gulma dengan tanaman hanya karena sumber cahaya saja. Jika gulma dibiarkan tidak dikendalikan, kehilangan hasil tanaman mencapai kisaran 20%-100%, tergantung pada jenis tanaman dan lingkungannya. Cara yang baik dalam menangani masalah persaingan antara gulma dengan tanaman budidaya adalah meminimalkan peluang tumbuh bagi gulma, yaitu menutup lahan sedemikian rupa dengan memanfaatkan tanaman yang memiliki kemampuan berkompetisi yang efisien serta mempertimbangkan agar tidak terjadi persaingan antara tanaman budidaya itu sendiri. Menurut Spitters dan Van Den Berg (1982) dalam kompetisi tersebut harus bisa diatur perubahan relatif β-curves setiap R

Upload: w-gibson

Post on 14-Nov-2015

2 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bagus

TRANSCRIPT

  • Efisiensi Kompetisi Gulma pada Sistem Tumpangsari

    ISSN 1979-0228 17

    KARAKTERISTIKA EFISIENSI KOMPETISI GULMA DENGAN TANAMAN PADA SISTEM TUMPANGSARI KEDELAI/JAGUNG DAN KEDELAI/PADI

    GOGO

    (Characteristics of Weed-Crop Competition Effisiency in Soybean/Maize and Soybean/Upland Rice Intercropping Systems)

    Nurdin Hadirochmat

    Lektor Kepala pada Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti

    ABSTRACT

    A research on weed and crop was conducted to study characteristics of weed and crop competition effisiency in soybean/maize and soybean/upland rice intercropping systems at Faculty of Agriculture Winaya Mukti University experimental field, Sumedang, West Java, Indonesia. The design used was Randomized Block Design in a factorial pattern of two factor (soybean/maize and soybean/upland rice intercropping system as the first factor and duration of weed presence as the second factor). Results of the experiment showed that the highest weed cover percent was gained by soybean/maize intercropping system at 20 DAP and at 76 DAP in which weed presence for 9 WAP and weed present during crop growing. Shift of Summed Dominance Ratio occured from Cyperaceae and broadleaves weeds before the experiment was conducted to grasses and cyperaceae weeds at the end of the experiment. The highest weed total dry weight was gained by soybean/upland rice intercropping system with weeds present during crop growing. Maize had higher total chlorophyl, average Net Assimilation Rate and average Relative Growth Rate than those of rice and soybean, especially on crop with earliest weed presence. The highest yield of rice and soybean was gained by the system in which weed presence 5 WAP, but maize yield was not affected by weed presence. The increase of weed population did not affect yield increase of soybean/maize intercropping system. The lowest maize competition index was gained by the system in which weed presence for 5 WAP. The highest competition index was gained by the system in which weed present during crop growing and the lowest was gained by the system in which weed presence for 5 WAP. Weed presence for various WAP did not affect LER, but soybean/maize intercropping system had LER value > 1, but in soybean/upland rice intercropping system, the value was reach with weed presence during 5 WAP and during crop growing. Soybean/maize intercropping system gave R/C > 1, but soybean/upland rice intercropping system had R/C < 1, hence, soybean/maize intercropping system was more efficient than soybean/upland rice intercropping system. Key words : weed - crop, competition, intercropping system

    PENDAHULUAN

    endahnya produksi tanaman jagung, kedelai dan padi gogo antara lain disebabkan oleh kehadiran gulma

    pada pertanaman tiga komoditi tersebut. Kropff dan Moody (1992) menyatakan bahwa dari hasil penelitian disimpulkan lebih dari 10% hasil pertanian hilang akibat terjadinya kompetisi antara gulma dengan tanaman hanya karena sumber cahaya saja. Jika gulma dibiarkan tidak dikendalikan, kehilangan hasil tanaman mencapai kisaran 20%-100%,

    tergantung pada jenis tanaman dan lingkungannya. Cara yang baik dalam menangani masalah persaingan antara gulma dengan tanaman budidaya adalah meminimalkan peluang tumbuh bagi gulma, yaitu menutup lahan sedemikian rupa dengan memanfaatkan tanaman yang memiliki kemampuan berkompetisi yang efisien serta mempertimbangkan agar tidak terjadi persaingan antara tanaman budidaya itu sendiri. Menurut Spitters dan Van Den Berg (1982) dalam kompetisi tersebut harus bisa diatur perubahan relatif -curves setiap

    R

  • Jerami Volume 2 No. 1, Januari - April 2009

    18 ISSN 1979-0228

    waktu, yaitu dengan meningkatkan crop-curve dan menurunkan weed-curve.

    Kemampuan berkompetisi setiap tumbuhan berbeda-beda karena efisiensi pertumbuhan dan perkembangan tanaman berbeda. Tanaman jagung termasuk tanaman dengan lintasan fotosintesis C4 yang efisien dalam proses fotosintesisnya sehingga tumbuh danberkembang sangat pesat. Crotser dan Witt (2000) menyatakan hasil percobaan menunjukkan bahwa gulma tidak bisa menurunkan hasil kedelai, malah sebaliknya kedelai mampu menurunkan pertumbuhan dan perkembangan gulma, karena kedelai walaupun bukan tanaman yang efisien tapi memiliki keuntungan yang kompetitif dalam mengembangkan kanopinya. Slack et al. (1980 yang dikutip Phillips dan Thomas, 1984) serta Whigham dan Bharati (1983) menyatakan bahwa sistem tanam tumpangsari memberikan nilai kesetaraan lahan yang lebih tinggi serta akan meminimalkan risiko kegagalan akibat kompetisi antara gulma dan tanaman karena tanaman yang tumbuh dan berkembang pada lahan akan diisi oleh tanaman yang memiliki kemampuan kompetisi yang efisien.

    BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di kebun

    percobaan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat, Indonesia. Dengan ketinggian 850 m di atas permukaan laut, jenis tanah Andisol dengan pH 5,5 dan tipe curah hujan C menurut perhitungan Schmidt dan Ferguson (1951).

    Benih padi kultivar Towuti dilepas pada tahun 1999 dengan potensi hasil 5 to ha-1, benih kedelai kultivar Anjasmoro dilepas tahun 2000 dengan potensi hasil 2,25 ton ha-1, benih jagung kultivar hibrida BISI 5 dilepas tahun 1998 dengan potensi hasil 11,7 ton ha-1, pupuk urea (45% N), SP36 (36% P2O5), KCl (60% K2O), pupuk kotoran ayam, insektisida Crowen, Borer, Furadan dan Fungisida Dithane M-45 merupakan bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan. Adapun alat yang digunakan terdiri dari tube Solarimeter dan integrator tipe SRI, Chlorophyl meter Minolta SPAD 502, pengukur luas daun, alat semprot gendong, cangkul, sabit, timbangan, kuadrat baja, oven, meteran, ajir, selang plastik, embrat, baki plastik dan kantung kertas.

    Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok pola faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama sistem tumpangsari terdiri atas dua taraf, yaitu: sistem tumpangsari kedelai/ jagung (t1) dan sistem tumpangsari kedelai/padi gogo (t2). Faktor kedua waktu kehadiran gulma terdiri atas 5 taraf yaitu : gulma hadir selama 3 MST (h1), gulma hadir selama 5 MST (h2), gulma hadir selama 7 MST (h3), gulma hadir selama 9 MST (h4) dan gulma hadir selama pertumbuhan tanaman (h5). Pembanding terdiri dari tanaman kedelai, jagung dan padi gogo yang ditanam secara tunggal, masing-masing lima perlakuan berdasarkan waktu kehadiran gulma.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Persentase Penutupan Gulma

    Lebih tingginya persentase penutupan gulma pada sistem tanam kedelai/jagung (Tabel 1) lebih disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan awal tanaman jagung sehingga memberi kesempatan pad gulma bisa tumbuh lebih dahulu. Zimdahl (1992) dan Rao (2000) menyatakan bahwa tanaman jagung merupakan tanaman yang efisien karena memiliki lintasan fotosintesis C4, namun pertumbuhan awalnya lambat.

    Bobot Kering Gulma Total

    Akobundu (1983) mengemukakan bahwa jika tumbuh bersama tanaman yang termasuk kelompok C3, gulma-gulma kelompok C4 akan tumbuh lebih kompetitif dibandingkan dengan tanaman. Oleh karena itu pada sistem tumpangsari kedelai/ padigogo bobot kering gulma total lebih tinggi (Tabel 2).

    Laju Asimilasi Bersih rata-rata (LAB rata-rata)

    Penurunan dan peningkatan laju asimilasi bersih rata-rata berkaitan dengan perkembang-an luas daun dan jumlah khlorofilnya serta ketersediaan unsur hara yang bisa diserap tanaman sebagai bahan pembentuk fotosintat. Zamski dan Schaffer (1996) mengemukakan bahwa penurunan suplai nitrogen pada tanaman menyebabkan laju asimilasi bersih rata-rata menurun. Secara umum gulma sangat rakus terhadap unsur hara terutama nitrogen.

  • Efisiensi Kompetisi Gulma pada Sistem Tumpangsari

    ISSN 1979-0228 19

    Tabel 1. Persentase Penutupan Gulma 20 HST pada Sistem Tumpangsari dengan Berbagai Waktu Kehadiran Gulma

    Waktu kehadiran gulma Sistem tanam ------------------------------------------------------------------ Rata-rata

    3 MST 5 MST 7 MST 9 MST STT

    Kedelai/jagung 38,67 a 55,83 a 33,67 a 47,22 a 40,08 a 43,09 b A A A A A Kedelai/padigogo 20,33 a 38,67 a 45,56 a 26,25 a 29,08 a 31,98 a

    A A A A A

    Tabel 2. Bobot Kering Gulma Total 76 HST

    Waktu Kehadiran Gulma Sistem Tanam ----------------------------------------------------------------------- Rata-rata

    3 MST 5 MST 7 MST 9 MST STT

    Kedelai/jagung 53,03 a 6,97 a 14,03 a 2,70 a 304,27 a 76,20 a A A A A B Kedelai,padigogo 56,03 a 133,37 a 90,43 a 3,70 a 540,53 b 164,81 b

    A A A A B

    Rata-rata 54,53 70,17 52,23 3,20 422,20 A A A A B

    Laju asimilasi bersih rata-rata tanaman jagung, khususnya pada kehadiran gulma 3 MST meningkat tajam karena setelah melalui masa kritisnya pada awal p;ertumbuhan, sebagai tanaman C4 jagung tumbuh pesat dan hampir tidak terjadi kompetisi yang berarti dengan gulma. Pada sistem taanam tumpangsari dengan jenis yang berbeda (kedelai/jagung), tanaman yang efisien (C4) tumbuh lebih pesat dan mendominasi lahan,

    sehingga peningkatan laju asimilasi bersih rata-rata tanaman jagung lebih lebih tinggi dibanding kedelai. Namun demikian kehadiran tanaman jagung pada tanaman kedelai ikut membantu menekan kehadiran gulma sehingga laju asimilasi bersih rata-rata tanaman kedelai meningkat sejalan dengan meningkatnya laju asimilasi bersih rata-rata tanaman jagung (Gambar 5, 6, 7, 8).

    Gambar 5. LAB rata-rata sepuluh harian padigogo dalam sistem tumpangsari Kedelai/padigogo dengan berbagai waktu kehadiran gulma

  • Jerami Volume 2 No. 1, Januari - April 2009

    20 ISSN 1979-0228

    Gambar 6. LAB rata-rata sepuluh harian kedelai dalam sistem tumpangsari Kedelai/jagung dengan berbagai waktu kehadiran gulma

    Gambar 7. LAB rata-rata sepuluh harian kedelai dalam sistem tumpangsari Kedelai/padigogo

    dengan berbagai waktu kehadiran gulma

    Gambar 8. LAB rata-rata sepuluh harian jagung dalam sistem tumpangsari Kedelai/jagung

    dengan berbagai waktu kehadiran gulma

  • Efisiensi Kompetisi Gulma pada Sistem Tumpangsari

    ISSN 1979-0228 21

    Laju Tumbuh Tanaman Rata-rata (LTT rata-rata)

    Perkembangan laju tumbuh tanaman rata-rata selama periode 21 samapai 61 HST tanaman padigogo, kedelai dan jagung pada sis-tem tumpangsari kedelai/padigogo dan kedelai/ jagung dengan berbagai waktu kehadiran gulma menunjukkan pola kuadratik dengan respon yang berbeda (Gambar 9, 10, 11, 12). Baik sistem tanam maupun kehadiran gulma memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap laju tumbuh ta-naman rata-rata. Namun dengan waktu kehadir-an gulma yang awal (3MST) LTT rata-rata padi gogo, kedelai dan jagung meningkat pesat. LTT rata-rata tertinggi dicapai oleh jagung sebesar 19,39 g m-2 h-1, kemudian diikuti oleh kedelai se-besar 7,85 g m-2 h-1 dan 7,76 g m-2 h-1 dan terendah dicapai oleh padigogo sebesar 2,82 g m-2 h-1. Tinggi rendahnya nilai LTT rata-rata ditentukan oleh efisiensi tumbuh yang menjadi dasar efisiensi kompetisi tanaman yang bersangkutan. Efisiensi

    tumbuh tanaman jagung (C4) tinggi sehingga efisiensi kompetisinya tinggi. Jagung akan tumbuh terus walaupun hadir gulma dalam waktu yang bersamaan. Laju tumbuh maksimum jagung bisa mencapai empat kali lipat denga fotorespirasi yang rendah dibanding tanaman C3 sehingga efisiensi kompetisinya sangat tinggi (Black, 1973, dalam Radosev ich et al., 1997).

    LTT rata-rata kedelai pada sistem tumpang-sari kedelai/padigogo meningkat lebih baik di-banding LTT rata-rata kedelai pada sistem tum-pangsari kedelai/jagung pada periode 31-41 HST. Pada saat itu kedelai sudah mampu menguasai lahan sehingga pertumbuhannya tidak terganggu baik oleh padigogo maupun oleh gulma. Kondisi lahan yang terbebas dari gangguan tumbuhan lain selama satu bulan setelah tanam membuat tanaman kedelai tumbuh dengan baik dan menghasilkan produk yang tinggi (Rao, 2000).

    Gambar 9. LTT rata-rata sepuluh harian padigogo dalam sistem tumpangsari Kedelai/padigogo dengan berbagai waktu kehadiran gulma

    Gambar 10. LTT rata-rata sepuluh harian kedelai dalam sistem tumpangsari Kedelai/jagung dengan berbagai waktu kehadiran gulma

  • Jerami Volume 2 No. 1, Januari - April 2009

    22 ISSN 1979-0228

    Gambar 11. LTT rata-rata sepuluh harian kedelai dalam sistem tumpangsari Kedelai padigogo

    dengan berbagai waktu kehadiran gulma

    Gambar 12. LTT rata-rata sepuluh harian jagung dalam sistem tumpangsari Kedelai/jagung

    dengan berbagai waktu kehadiran gulma Hasil Tanaman

    a. Hasil padigogo ha-1 Hasil tertinggi padigogo dicapai oleh

    perlakuan kehadiran gulma 5 MST (0,54 ton), karena sampai periode tersebut tanaman padigogo belum memasuki masa kritis untuk pembentukan bulir, sehingga begitu gulma hilang padigogo memiliki kesempatan untuk memasuki masa reproduksi dengan baik (Tabel 3). Grist (1983) menyatakan bahwa hasil tanaman padigogo sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan pada saat memasuki fase reproduksi dari mulai fase vegetatif aktif.

    Tabel 3. Hasil Tanaman Padigogo ha-1

    Perlakuan Hasil ha-1 (ton)

    t2h1 (kedelai/padigogo, kehadiran gulma 3 MST) 0,15 a t2h2 (kedelai/padigogo, kehadiran gulma 5 MST) 0,54 b t2h3 (kedelai/padigogo, kehadiran gulma 7 MST) 0,17 a t2h4 (kedelai/padigogo, kehadiran gulma 9 MST) 0,14 a t2h5 (kedelai/padigogo, kehadiran gulma STT) 0,00 a

    b. Hasil tanaman Kedelai ha-1 (ton)

    Hasil ha-1 tanaman kedelai yang tertinggi dicapai pada periode kehadiran gulma 5 MST (Tabel 4). Zimdahl (1980) mengemukakan bahwa toleransi tanaman kedelai terhadap

  • Efisiensi Kompetisi Gulma pada Sistem Tumpangsari

    ISSN 1979-0228 23

    lamanya kompetisi dengan gulma-gulma campuran semusim adalah tujuh minggu setelah tanam, sedangkan dengan gulma Cassia obtusifolia hanya sekitar 2 sampai 4 minggu

    setelah perkecambahan. Oleh karena itu menjadikan lahan pertanaman kedelai bebas gulma selama satu sampai satu setengah bulan, membuat hasil kedeelai menjadi tinggi.

    Tabel 4. Hasil tanaman kedelai ha-1 dua sistem tumpangsari dan berbagai waktu kehadiran gulma

    Sistem Waktu kehadiran gulma Tumpangsari ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 3 MST 5 MST 7 MST 9 MST STT

    kedelai/jagung 0,63 0,87 0,49 0,05 0,03

    kedelai/padigogo 0,96 1,31 0,55 0,19 0,30

    Rata-rata 0,79 1,09 0,52 0,12 0,17

    BC C AB A A

    c. Hasil tanaman jagung ha-1

    Hasil ha-1 tanaman jagung tidak di-pengaruhi oleh waktu kehadiran gulma, hal ter-sebut disebabkan karena tanaman jagung yang termasuk tumbuhan dengan lintasan fotosin-tesis C4 memiliki kemampuan laju fotosintesis maksimum dua kali lipat, fotorespirasi yang rendah, efisien dalam penggunaan air, dan laju tumbuh maksimum empat kali lipat dibandingkan dengan tanaman lain yang termasuk C3. Oleh karena itu pertumbuhan dan hasil tanaman jagung tidak terpengaruh oleh kehadiran tumbuhan lain disekitarnya.

    Tabel 5. Hasil tanaman jagung ha-1

    Perlakuan Hasil ha-1 (ton) ----------------------------------------------------------------------------------- t1h1 (kedelai/jagung, kehadiran gulma 3 MST) 2,07 a t1h2 (kedelai/jagung, kehadiran gulma 5 MST) 2,99 a t1h3 (kedelai/jagung, kehadiran gulma 7 MST) 3,07 a t1h4 (kedelai/jagung, kehadiran gulma 9 MST) 2,55 a t1h5 (kedelai/jagung, kehadiran gulma STT) 2,88 a

    Nilai kompetisi

    Nilai kompetisi merupakan ukuran untuk dominansi suatu tanaman terhadap tanaman lain dalam sistem tumpangsari. Hasil perhitungan nilai kompetisi antar tanaman dalam tumpangsari kedelai/jagung dan kedelai/padigogo, menunjukkan bahwa pada sistem tumpangsari kedelai/jagung nilai kompetisi tanaman jagung pada setiap perlakuan waktu kehadiran gulma lebih tinggi dibandingkan nilai kompetisi tanaman kedelai. (Tabel 6) Keadaan tersebut berarti bahwa pada sistem tumpangsari kedelai/jagung, tanaman jagung mendominasi pertanaman dan lebih kompetitif dibandingkan dengan tanaman

    kedelai. Pada sistem tumapngsari kedelai padigogo, tanaman kedelai memiliki nilai kompetisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman padigogo apabila kehadiran gulma terbatas sampai 7 MST. Jika gulma hadir lebih dari 7 MST nilai kompetisi tanaman kedelai menurun dan memberi kesempatan pada tanaman padigogo untuk tumbuh pesat, sehingga memiliki nilai kompetisi yang lebih besar dibandingkan tanaman kedelai. Tabel 6. Nilai kompetisi antara tanaman

    kedelai dan jagung serta kedelai dan padigogo pada dua sistem tanam

    Nilai kompetisi Perlakuan ---------------------------------------------------------- Kedelai jagung Padigogo

    t1h 0,21 4,32 - t1h2 0,32 3,20 - t1h3 0,46 2,16 - t1h4 0,09 11,84 - t1h5 0,02 45,34 -

    t2h1 1,19 - 0,83 t2h2 1,13 - 0,88 t2h3 5,45 - 0,18 t2h4 0,48 - 2,06 t2h5 0,19 - 5,05

    Keterangan: t1h1-t1h5 sistem tumpangsari kedelai/jagung dengan berba-

    gai waktu kehadiran gulma t2h1-t2h5 sistem tumpangsari kedelai padigogo dengan

    berbagai waktu kehadiran gulma

    Revenue Cost Ratio (RC-rasio)

    RC-rasio merupakan suatu perhitungan untuk mengetahui efisiensi usaha yang dilakukan dalam berbagai sistem tumpangsari dan berbagai waktu kehadiran gulma. Suatu usaha dapat dinyatakan efisien apabila nilai RC-rasionya >1.

    Rata-rata Nilai RC-rasio pada sistem tumpangsari kedelai/jagung >1, sedangkan

  • Jerami Volume 2 No. 1, Januari - April 2009

    24 ISSN 1979-0228

    rata-rata Nilai RC-rasio pada sistem tumpangsari kedelai/padigogo