keterbatasan penindaklanjutan indonesia atas asean declaration on the protection and promotion of...
DESCRIPTION
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dalam perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dalam kurun waktu 2007-2011. Keterbatasan penindaklanjutan ditunjukkan dengan semakin meningkatnya problematika yang dialami TKI setelah penandatanganan deklarasi dan Indonesia tidak memanfaatkan keketuannya di ASEAN pada tahun 2011. Berdasarkan teori Rezim Internasional, penulis ingin menganalisa ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers sebagai rezim perlindungan buruh migran di ASEAN.TRANSCRIPT
1
KETERBATASAN PENINDAKLANJUTAN INDONESIA ATAS ASEAN
DECLARATION ON THE PROTECTION AND PROMOTION OF THE RIGHTS OF
MIGRANT WORKERS DALAM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA
(TKI) DI MALAYSIA TAHUN 2007-2011
Esti Renatalia Tanaem
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dalam
perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dalam kurun waktu 2007-
2011. Keterbatasan penindaklanjutan ditunjukkan dengan semakin meningkatnya problematika
yang dialami TKI setelah penandatanganan deklarasi dan Indonesia tidak memanfaatkan
keketuannya di ASEAN pada tahun 2011. Berdasarkan teori Rezim Internasional, penulis ingin
menganalisa ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers sebagai rezim perlindungan buruh migran di ASEAN. Disamping itu, penulis
menggunakan konsep Collective Action Problem sebagai pendukung untuk menjelaskan masalah
koordinasi antara Indonesia dan Malaysia dalam penanganan problematika TKI di Malaysia
karena permasalahan buruh migran tidak dapat diselesaikan oleh salah satu negara saja baik
negara pengirim maupun negara penerima. Penulis menemukan bahwa keterbatasan
penindaklanjutan atas deklarasi tersebut adalah karena koordinasi yang belum baik pada level
ASEAN maupun level bilateral.
Kata Kunci: Organisasi Internasional, Rezim Internasional, ASEAN, Buruh Migran,
Koordinasi
Globalisasi yang mencakup fenomena internalization menyebabkan meningkatnya
hubungan lintas batas diantara aktor-aktor internasional seperti terwujud dalam aliran barang,
jasa, modal, teknologi dan bahkan manusia.1 Fenomena ini juga terjadi pada penduduk Indonesia
1 Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008, hal. 229
2
dengan penduduk yang mencapai 237.641.326 jiwa2 (pada tahun 2010) belum dapat menikmati
kehidupan layak secara merata. Masih banyak penduduk miskin dan pengangguran akibat
ketidaktersediaan lapangan pekerjaan. Hal ini mendorong terjadinya perpindahan penduduk ke
negara lain untuk mencari pekerjaan, dalam hal ini perpindahan tersebut dilatarbelakangi oleh
motif ekonomi. Mereka disebut dengan migrant worker atau buruh migran, orang yang
melakukan perpindahan dari tempat asalnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain.3
Di Indonesia, setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk bekerja diluar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah disebut sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI).4 Berdasarkan sebuah sumber, kekerasan yang dilakukan terhadap
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia adalah sebesar 39% disusul dengan Arab Saudi sebesar 38%
yang berarti bahwa Malaysia melakukan kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia dengan
persentase tertinggi.5 Alasan pemilihan Malaysia sebagai negara tujuan mencari lapangan
pekerjaan adalah yang pertama karena permintaan dari Malaysia sendiri yang besar terhadap
tenaga kerja dari Indonesia untuk bekerja di perkebunan atau di rumah tangga sebagai
pramuwisma. Kedua, ada persamaan bahasa, budaya dan agama antara Indonesia dan Malaysia
memudahkan tenaga kerja yang dikirim kesana agar tidak terlalu mengalami kesulitan dalam
beradaptasi.6 Ketiga, tenaga kerja Indonesia terkenal sebagai tenaga kerja yang rajin sehingga
tingkat permintaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia cukup tinggi.7
Permasalahan buruh migran seharusnya bukan permasalahan satu negara saja misalnya
negara pengirim atau negara penerima tapi merupakan permasalahan bagi kedua pihak. Hal ini
disebabkan karena kedua pihak saling mendapatkan keuntungan misalnya negara pengirim
mendapatkan remitansi dan masalah pengangguran dinegaranya teratasi sedangkan bagi negara
penerima keuntungan yang didapat misalnya memperoleh tenaga kerja disektor-sektor yang tidak
diminati warganya. Pada tahun 2007, World Bank memperkirakan pergerakan pekerja migran
2 ___, Sensus Penduduk tahun 2010, http://sp2010.bps.go.id/ diakses pada 6/19/2012 3 Edi Suharto, Permasalahan Pekerja Migran: Perspektif Pekerja Sosial,
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_35.htm diakses pada 6/13/2012 4 UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia 5 Migrant Care, Data Buruh Indonesia, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=content&op=viewcontent&contid=11 diakses pada 4/26/2012 6 Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,
elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012 7 Kuliah Tamu oleh Prof. Dr. Sulistyowati Irianto dengan tema Multi Perspektif Persoalan Migrasi Global pada 20
November 2011
3
dunia sebesar 9% terdapat dinegara-negara ASEAN.8 Hal ini kemudian menyebabkan negara-
negara anggota ASEAN mendeklarasikan sebuah upaya perlindungan terhadap buruh migrannya
agar sesuai dengan tujuan utama berdirinya ASEAN yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kemajuan sosial di kawasan Asia Tenggara, mengembangkan kebudayaan negara-
negara anggotanya dan memajukan perdamaian ditingkat regional.9
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
Buruh migran memberi manfaat bagi keduabelah pihak baik origin country maupun
destination country. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasanya TKI memainkan peran yang
penting bagi Indonesia maupun Malaysia. Bagi Indonesia, Pemerintah dapat mengurangi jumlah
angka pengangguran, penduduk miskin dan peningkatan devisa negara serta peningkatan
kesempatan kerja.10
Bagi Malaysia, TKI mengisi pekerjaan yang tergolong 4D (Dirty,
Dangerous, Diminutive, Difficult) yang tidak diminati warganya11
dan TKI juga memainkan
peran historis bagi pembentukan budaya dan ekonomi yang berkembang di Malaysia.12
Atas
dasar diatas maka sejatinya permasalahan TKI bukanlah masalah Indonesia atau Malaysia saja.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia tergabung dalam organisasi
regional Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Pada tahun 2007, World Bank
memperkirakan pergerakan pekerja migran dunia sebesar 9% terdapat dinegara-negara
ASEAN.13
Dengan buruh sejumlah 285 juta orang, negara-negara anggota ASEAN menyadari
pentingnya pengaturan mengenai penciptaan lapangan kerja (job creation), meningkatkan
kualitas dari angkatan kerja (the quality of the workforce) dan menyediakan jaminan sosial
(social security) kepada pekerja. Sejak tahun 2000, buruh di ASEAN dibawah panduan ASEAN
8 Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012 9 ___, About ASEAN, http://www.aseansec.org/about_ASEAN.html diakses pada 6/10/2012 10 ___, Kajian Kerjasama antara Indonesia dengan Malaysia dalam Penanganan Migran, 2005,
http://www.pkai.lan.go.id/pdf/Kajian_Indonesia_Malaysia_Migran_2005.pdf diakses pada 4/29/2012 11 Wahyudi Kumorotomo, Kerjasama Menegakkan Aturan Main yang Adil: Agenda Perlindungan TKI di Malaysia,
http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2007/05/agenda-perlindungan-tki-di-malaysia.pdf diakses pada
5/10/2012 12 Joseph Chinyong Liow, Malaysia’s Approach to its Illegal Indonesian Migrant Labour Problem: Securitization,
Politics or Catharsis, 2004, http://www.rsis-ntsasia.org/resources/publications/research-
papers/migration/Joseph%20Liow.pdf diakses pada 4/29/2012 13 Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012
4
Labour Ministers (ALM) Work Program yang dibawahi oleh ASEAN Socio-Cultural
Community.14
Pada ASEAN summit ke 12 yang diadakan di Cebu, Filipina, para pemimpin ASEAN
menandatangani ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers.15
Hal ini didasarkan adanya kesadaran bersama akan kontribusi dari buruh migran
kepada masyarakat dan perekonomian baik negara pengirim maupun negara penerima.
Ditambah, adanya kasus-kasus “abuse and violence against migrant worker” yang jumlahnya
cenderung naik tiap tahun. Deklarasi ini memuat komitmen negara-negara ASEAN baik sebagai
negara pengirim, negara penerima dan seluruh negara ASEAN untuk meningkatkan
perlindungan HAM dan kesejahteraan serta harga diri (dignity) pekerja migran. 16
Pada
pertemuan selanjutnya tepatnya pada ASEAN Ministerial Meeting ke 40 di Manila, Filipina,
dibentuklah sebuah komite pengimplementasian deklarasi tersebut yang selanjutnya disebut
dengan ASEAN Committee on the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers.17
Masalah yang melatarbelakangi terbentuknya deklarasi ini adalah18
a. Globalisasi meningkatkan lalu lintas barang, jasa dan tenaga kerja melintasi batas-batas
kenegaraan dan lalu lintas tenaga kerja antar negara anggota ASEAN cukup tinggi
b. Adanya pengakuan kontribusi pekerja migran terhadap ekonomi negara-negara anggota
ASEAN
c. Pengakuan kedaulatan negara-negara anggota ASEAN dalam menentukan kebijakan
imigrasi masing-masing
d. Perlunya mengadopsi kebijakan imigrasi yang sesuai terkait dengan pekerja migran
e. Kebanyakan pekerja migran di ASEAN merupakan kelompok rentan (unskilled labour,
perempuan dan anak) yang perlu perlindungan
f. Perlunya menangani kasus-kasus penganiayaan dan kekerasan terhadap pekerja migran
14 ASEAN, ASEAN Labour Ministers Meeting, http://www.aseansec.org/19605.htm diakses pada 9/4/2012 15 ASEAN, ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion
of the Rights of Migrant Workers (ACMW) Work Plan, http://www.aseansec.org/23062.pdf diakses pada 5/3/2012 16
Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012 17
ASEAN, ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion
of the Rights of Migrant Workers (ACMW) Work Plan, http://www.aseansec.org/23062.pdf diakses pada 5/3/2012 18 Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012
5
g. Lalu lintas dan perlindungan hak-hak pekerja migran apabila tidak ditangani dengan baik
dapat mengganggu hubungan antar negara anggota ASEAN dan hak-hak fundamental
para pekerja migran dan keluarganya
h. Komitmen ASEAN untuk membentuk Komunitas ASEAN ditahun 2015 mendorong
perlunya peningkatan kerja dibidang ini
Deklarasi ini menganut 3 (tiga) prinsip umum berikut:19
1. Negara pengirim dan penerima perlu memperkuat ketiga pilar komunitas ASEAN melalui
pemajuan potensi dan martabat pekerja migran
2. Negara penerima dan pengirim, untuk alasan kemanusiaan bekerjasama dalam
menyelesaikan masalah pekerja migran yang bukan karena kesalahannya tidak memiliki
dokumen
3. Negara penerima dan pengirim mengakui hak-hak mendasar dan menghargai martabat
pekerja migran dan keluarganya
Hingga tahun 2011 telah diadakan 4 kali pertemuan sejak pertemuan pertama tahun 2008
di Singapura. Pada pertemuan yang pertama di Singapura pada tahun 2008 dibentuk ASEAN
Committee on the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers pada tanggal 15-16 September. Pada pertemuan yang pertama tersebut, ACMW
membahas tentang work plan dari komite dalam membentuk instrument dalam rangka
implementasi ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers dan juga membahas Term of Reference namun belum sukses dirumuskan pada
pertemuan pertama ini. Pertemuan yang kedua dilaksanakan di Chiang Rai, Thailand pada 29-30
September 2009. Pertemuan ketiga dilaksanakan di Hanoi, Vietnam pada tanggal 18-19 Mei
2012 dan yang keempat dilaksanakan di Jakarta, Indonesia pada tanggal 11-12 April 2012.
Sebagai upaya untuk mengimplementasikan ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers dilanjutkan dengan mengimplementasikan kegiatan
seperti ASEAN Forum on Migrant Labour dan ASEAN Workshop on Eliminating Recruitment
Malpractices.20
Sejak adanya deklarasi ini, beberapa kelompok seperti Kelompok Kerja Indonesia dan
dan Gugus Tugas untuk Buruh Migran ASEAN mendesak agar kesepuluh negara anggota
19
Ibid 20 ASEAN Annual Report 2009/2010, Bridging Markets Connecting People,
http://www.aseansec.org/publications/AR0910.pdf diakses pada 5/7/2012
6
ASEAN segera mengadopsi instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di
ASEAN yang mengikat secara hukum. Menurut Direktur Pembinaan dan Penempatan TKI
Kemenakertrans, Roostiawati, belum ada titik temu mengenai instrumen perlindungan pada
pertemuan keempat di Jakarta.21
Belum adanya instrumen yang mengikat secara hukum disebabkan karena terdapat
keanekaragaman dalam keanggotaan ASEAN sendiri sehingga tidak membuat koordinasi yang
progresif terhadap berbagai tujuan menjadi semakin sulit. Masih ada tujuan yang berbeda dari
tiap anggota ASEAN seperti Thailand dan Singapura mendorong integrasi ekonomi yang lebih
mendalam, Indonesia dan negara lain menginginkan ASEAN lebih terpusat dan lebih kuat dalam
menghadapi permasalahan Human Rights, sementara Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar
melawan pengawasan dalam negeri yang tidak diinginkan.22
Tujuan yang berbeda-beda semakin
mempersulit penyatuan ide untuk membuat suatu instrumen yang mengikat ditambah dengan
perbedaan pendapat mengenai perlindungan akan buruh migran ilegal yang menurut prinsip
deklarasi ini negara tujuan seharusnya melindunginya tanpa memandang kesalahannya yang tak
berdokumen sementara Malaysia menyatakan bahwa tidak melakukan perlindungan terhadap
buruh migran ilegal.23
Rezim Internasional
Menurut Stephen D. Krasner, rezim dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip,
norma-norma, peraturan-peraturan dan prosedur pembuatan keputusan baik eksplisit maupun
implisit. Prinsip merupakan kepercayaan dari fakta, sebab-akibat, dan kejujuran. Norma adalah
standar perilaku yang didefinisikan dalam hak dan kewajiban. Aturan adalah bentuk ketentuan
dan larangan dari perilaku tadi. Prosedur pembuatan keputusan adalah praktek umum untuk
membuat dan mengimplementasikan keputusan bersama (collective choice).24
Keempat hal tadi
merupakan hal yang mutlak dalam rezim internasional dan juga menjadi cirinya. Keohane dan
21 Koalisi Perempuan, Titik Temu Masih Jauh, http://www.koalisiperempuan.or.id/titik-temu-masih-jauh/ diakses
pada 4/29/2012 22 Lee Leviter, The ASEAN Charter: ASEAN Failure or Member Failure, 2011,
http://www.law.nyu.edu/ecm_dlv2/groups/public/@nyu_law_website__journals__journal_of_international_law_and
_politics/documents/documents/ecm_pro_068232.pdf diakses pada 9/18/2012 23 International Division Ministry of Human Resources Malaysia 24 Stephen D. Krasner, International Regimes, United States of America, Cornell University Press, 1984, hal. 2
7
Nye mendefinisikan rezim sebagai “seperangkat pengatur kerjasama” termasuk “jaringan
peraturan, norma dan prosedur yang mengatur perilaku dan mengontrol efeknya”. Haas
berargumen bahwa sebuah rezim meliputi seperangkat prosedur, aturan dan norma yang saling
koheren.25
Rezim dapat mempengaruhi perilaku negara karena dapat mengubah situasi atau
tatanan interaksi negara sehingga kerjasama menjadi lebih mungkin.26
Negara-negara membentuk rezim karena mereka mempunyai kesamaan kepentingan
tetapi tidak dapat mengkoordinasi kepentingan tersebut dikarenakan kekurangan komunikasi dan
kepercayaan. Rezim internasional memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dan membatasi
negara untuk membuat strategi yang tidak merugikan negara lain. Sebuah rezim internasional
dapat memecahkan masalah dengan mengkoordinasi kebijakan dan memfasilitasi perubahan
informasi diantara negara-negara.27
Dalam tulisan ini, ASEAN Declaration on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers mengenai isu perlindungan buruh migran
dianggap sebagai rezim internasional dengan ASEAN sebagai organisasi atau institusinya.
Pendekatan rezim melihat aktor lain, terutama negara, sebagai sumber politik
internasional dan melihat efek dari berbagai prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan
keputusan yang berhubungan dengan organisasi internasional sebagai ekspektasi dan tingkah
laku dari negara. Peneliti rezim mempelajari organisasi internasional dengan melihat pada
perilaku negara dan pada efek dari norma dan aturan yang membentuk perilaku tersebut.28
Organisasi internasional merupakan komponen dari rezim internasional dan ada hubungan saling
ketergantungan antara negara dan organisasi internasional. Alasan negara untuk menjadi bagian
dari organisasi internasional adalah karena negara tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri
dan organisasi internasional merupakan tempat yang tepat untuk mempromosikan kepentingan
negara.29
Rezim internasional dianggap mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasi perilaku
25 Ibid 26 Stephan Haggard & Beth A. Simmons, Theories of International Regimes,
http://scholar.harvard.edu/bsimmons/files/SimmonsHaggard1987.pdf diakses pada 9/5/2012 27 Miles D. Townes, International Regimes and Information Infrastructure, http://www.stanford.edu/group/sjir/1.2.07_townes.html diakses pada 9/5/2012 28 J. Samuel Barkin, International Organization: Theories and Institutions, New York, Palgrave Macmillan, 2006,
hal. 36 29 ___, Organisasi Internasional dan Pengaruhnya dalam Politik Luar Negeri,
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-18515-11-babxi(-).pdf diakses pada 7/7/2012
8
negara30
dan negara tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan kerjasama seperti yang akan
dijelaskan oleh sebuah konsep berikut:
Collective Action Problem
Salah satu pendekatan untuk studi rezim internasional adalah rasionalis atau yang dikenal
dengan neoliberal institusionalis yang mana pendekatan ini mempelajari isu spesifik kerjasama
antar negara dalam suatu organisasi internasional. Perjanjian diantara negara adalah seperti
kontrak antara orang dan perusahaan. Orang melakukan kontrak agar memaksimalkan
kepentingannya disetiap situasi demikian juga dengan negara ketika menandatangani suatu
perjanjian. Poin awal dimulai dengan literatur kerjasama rasional berupa Collective action
problem merupakan situasi dimana semua orang akan menjadi lebih baik jika saling bekerjasama
tapi setiap aktor memiliki pendorong untuk “free ride” dan bekerjasama dengan orang lain. Pada
sebuah kondisi pilihan pertama untuk setiap aktor adalah tidak bekerjasama sementara aktor lain
bekerjasama, pilihan kedua adalah bekerjasama sementara aktor lain juga bekerjasama, pilihan
ketiga adalah tidak bekerjasama sementara aktor lain juga tidak bekerjasama, dan hasil yang
paling tidak disukai adalah ketika bekerjasama sementara aktor lain tidak bekerjasama. Pada
situasi ini, hasil kolektif terbaik bagi aktor adalah bekerjasama.31
Dikatakan “free-rider” adalah apabila terdapat aktor yang tidak berupaya untuk
berkontribusi terhadap kelompoknya namun tetap menikmati keuntungan dari aksi kolektif oleh
para anggota.32
Dalam berbagai konteks, setiap anggota dari sebuah grup dapat mengambil
manfaat dari upaya yang dilakukan oleh setiap anggota dan semua dapat menguntungkan dari
aksi kolektif. Tetapi, ada aktor yang tidak menaruh perhatian pada “problem” dan tidak berupaya
untuk berkontribusi demi mencapai manfaat. Merekalah “free-rider” tersebut. Free-rider sering
dikategorikan sebagai morally wrong sebagaimana yang dinyatakan oleh H.L.A. Hart bahwa jika
yang lain bekerjasama demi kepentingan bersama dan saya mendapat keuntungan dari kerjasama
30
___, International Regimes (Rezim Internasional), http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-
dewitriwah-18515-10-babx(i-).pdf diakses pada 7/7/2012 31
J. Samuel Barkin, International Organization: Theories and Institutions, New York, Palgrave Macmillan, 2006,
hal. 40-42 32 Sumon Dantiki, Organizing for Peace: Collective Actions Problem and Humanitarian Intervention, Journal of
Military and Strategic Studies, 2005, hal. 3
9
tersebut maka saya mempunyai kewajiban untuk melakukan bagian saya. Sehingga, tindakan
yang dimaksudkan dalam free-ride merujuk kepada moral duty. 33
Situasi kerjasama pada collective action problem digambarkan pada matriks dibawah ini:
Tabel 2.1 Matriks Kerjasama dalam Collective Action Problem
Berdasarkan matriks diatas, nomor 1 (satu) menunjukkan bahwa yang lain bekerjasama namun
ada aktor yang memilih untuk tidak bekerjasama. Sementara dalam kasus ini, kerjasama negara-
negara anggota ASEAN ditunjukkan oleh nomor 2 (dua) yakni seluruh aktor memlilih untuk
bekerjasama untuk melakukan perlindungan terhadap buruh migran di ASEAN yang diwujudkan
dalam ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers.
Nomor 3 (tiga) menunjukkan bahwa kedua aktor memilih untuk tidak melakukan suatu
kerjasama sedangkan nomor 4 (empat) menunjukkan bahwa aktor memilih untuk bekerja sama
sedangkan yang lain tidak ingin melakukan kerjasama.
Dalam level organisasi internasional (atau organisasi regional dalam hal ini), collective
action problem dibutuhkan seperti yang diutarakan oleh Hidetaka Yoshimatsu bahwa
regionalisme menjadi sangat penting dalam teori hubungan internasional. Integrasi regional
merupakan sebuah usaha untuk menyadari keuntungan bersama dari kerjasama dalam sebuah
kelompok negara pada sistem internasional yang anarki. Supaya dapat mencapai perpaduan
regional yang sukses, negara harus menghasilkan collective action problem yang endemik pada
kerjasama internasional.34
Menurut Sumon Dantiki, collective action (aksi kolektif) merujuk
pada aktivitas yang membutuhkan koordinasi dari upaya dua atau lebih aktor. Seperti, aksi
33 ___, The Free Rider Problem, http://plato.stanford.edu/entries/free-rider/ diakses pada 9/14/2012 34 Hidetaka Yoshimatsu, Collective Action Problems and Regional Integration in ASEAN, 2006,
http://wrap.warwick.ac.uk/1907/1/WRAP_Yoshimatsu_wp19806.pdf diakses pada 8/8/2012
C N
C 2 4
N 1 3
O
A
Catatan: O= Other
A= Actor
C= Cooperate
N= Non cooperate
10
kolektif yang melibatkan aksi kelompok untuk kepentingan yang lebih lanjut “kepentingan atau
kesejahteraan anggota”.35
Collective Action Problem dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu aktor
melakukan kerjasama ataupun tidak dan memilih untuk menjadi free-rider. Kerjasama terjadi
apabila aktor percaya bahwa aktor lainnya juga mempunyai kemauan untuk bekerjasama yang
mana pada akhirnya akan menghasilkan hasil yang terbaik.36
Selain itu, kerjasama juga akan
terjadi apabila aktor homogen dalam kemampuan (atau kondisi setiap aktor) yang akan
menentukan manfaat yang akan didapat sehingga hal ini berkaitan dengan tujuan awal setiap
aktor ketika melakukan kerjasama.37
Aktor akan memilih untuk tidak bekerjasama apabila terjadi
kondisi yang sebaliknya yakni adanya keanekaragaman atau heterogen dalam manfaat yang akan
didapatkan karena kemampuan setiap aktor yang beranekaragam.38
Koordinasi merupakan bentuk kerjasama yang membutuhkan pihak-pihak untuk
mengejar strategi bersama supaya menghindari hasil bersama yang tidak diinginkan timbul dari
mengejar strategi yang berbeda.39
Koordinasi juga berarti bekerja bersama dengan cara yang
logis terhadap hasil atau tujuan bersama. Koordinasi jika dilakukan dengan benar dapat
menghasilkan manfaat positif jauh lebih banyak daripada kerugiannya.40
Koordinasi adalah
proses yang akan berkerja dengan baik apabila melibatkan partisipasi, impartial
(ketidakberpihakkan) dan transparansi.41
Tabel 2.2 Variabel dan Indikator Koordinasi
Variabel Indikator
Koordinasi • Partisipasi
• Ketidakberpihakan
35 Ibid, hal. 2 36 ___, Collective Action Problems, http://faculty.washington.edu/wtalbott/phil240/trcap.htm diakses pada 12/4/2012 37 Oriana Bandiera at al, Cooperation in Collective Action, 2005, http://econ.lse.ac.uk/staff/bandiera/collective.pdf
diakses pada 12/4/2012 38 Ibid 39 John Baylis and Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations,
New York, Oxford University Press, 1997, hal. 245 40 International Federation of Red Cross, Improving Coordination, http://www.ifrc.org/Global/Impcoor.pdf diakses
pada 9/14/2012 41 Ibid
11
• Transparansi
Sumber: Diolah dari International Organization: Theories and Institutions J.S. Barkin & IFRC - Improving
Coordination
Yang dimaksudkan dengan partisipasi adalah apabila semua aktor dalam suatu organisasi
berpartisipasi dalam membuat kebijakan, prosedur, strategi dan rencana. Koordinasi dapat tetap
terjaga bila setiap anggota berpartisipasi dalam proses koordinasi. Partisipasi dalam sebuah
pembuatan keputusan merupakan satu-satunya cara untuk membangun kepercayaan.42
Partisipasi
berarti melakukan banyak hal untuk kepentingan banyak aktor yang mana dalam hal-hal tersebut
setiap aktor dapat terlibat didalamnya.43
Keterlibatan tersebut adalah dalam suatu batasan
tertentu.44
Menurut Keith Davis, partisipasi diartikan sebagai keterlibatan pikiran, tenaga, keahlian,
barang atau uang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan
kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta bertanggungjawab atas usaha tersebut.
Partisipasi dalam sebuah organisasi menekankan pada pembagian wewenang dalam pelaksanaan
kegiatan dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas dari tugas yang diberikan. Agar
partisipasi berjalan efektif maka dibutuhkan suatu komunikasi timbal balik.45
Dalam melakukan suatu koordinasi, sikap impartial atau ketidakberpihakkan sangat
dibutuhkan. Dalam sebuah organisasi, impartial merupakan prinsip yang memastikan bahwa
organisasi tidak melakukan diskriminasi terhadap kewarganegaraan, ras, keyakinan, kelas atau
pandangan politik.46
Kordinasi tidak boleh memihak (impartial), segala ketetapan adalah untuk
42 Ibid 43 ___, Pathways Through Participation, http://pathwaysthroughparticipation.org.uk/wp-
content/uploads/2009/09/Briefing-paper-1-What-is-participation1.pdf diakses pada 12/11/2012 44 ___, What is Participation?, http://homepages.ed.ac.uk/calarks/arks/Materials/particip/What_is_Participation.pdf
diakses pada 12/11/2012 45 Keith Davis, Human Relations at Work, New York, McGraw-Hill, 1962, hal. 15-19 46 Berta Travieso at al, Impartiality and UN Integration,
http://www.cerahgeneve.ch/recherche/memoires/StrategyInterventionSociologyActors/MemoireMASAH_Travieso
B_ImpartialityandUNIntegrationHumanitarianWorkersViewsintheDemocraticRepublicofCongo_VF.pdf diakses
pada 12/11/2012
12
kebutuhan nyata bukan untuk kepentingan tertentu.47
Ketidakberpihakan mewajibkan aktor-aktor
untuk saling memperlakukan secara sama dalam suatu interaksi.48
Koordinasi juga membutuhkan transparansi yang mana motif sebenarnya dari pembuatan
keputusan harus jelas bagi seluruh partisipan dan dapat diterima. Transparansi seharusnya berupa
informasi yang terbuka dan proses pembuatan keputusan yang terbuka.49
Agar suatu organisasi
lebih transparan maka dibutuhkan pemimpin yang dapat melaraskan segala informasi hingga
dimengerti hingga pihak bawah, komunikasi yang baik harus tetap terjaga dan jika terjadi suatu
perubahan maka semua anggota dalam organisasi harus mengetahuinya.50
Selain meningkatkan
komunikasi, meningkatkan performa kerja juga merupakan cara untuk meningkatkan
transparansi dalam sebuah organisasi.51
Transparansi tidak berarti membuka segala hal-hal yang
bersifat rahasia dalam suatu organisasi kepada publik namun lebih kepada pembuatan keputusan
yang bersifat terbuka.52
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
sebagai Rezim Internasional
Seperti pengertian rezim internasional yang dikemukakan oleh Stephen D. Krasner
bahwa rezim dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, peraturan-
peraturan dan prosedur pembuatan keputusan baik eksplisit maupun implisit.53
Negara-negara
membentuk rezim karena mereka mempunyai kesamaan kepentingan tetapi tidak dapat
mengkoordinasi kepentingan tersebut dikarenakan kekurangan komunikasi dan kepercayaan.
Rezim internasional memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dan membatasi negara untuk
membuat strategi yang tidak merugikan negara lain. Sebuah rezim internasional dapat
47 International Federation of Red Cross, Improving Coordination, http://www.ifrc.org/Global/Impcoor.pdf diakses
pada 9/14/2012 48 Denise Plattner, Netralitas IRCR dan Netralitas dalam Bantuan Kemanusiaan,
http://icrcjakarta.info/download/Netralitas%20ICRC%20&%20Bantuan%20Kemanusiaan.pdf diakses pada
12/16/2012 49 International Federation of Red Cross, op cit. 50 ___, Seven Steps to Creating a More Transparent Organization,
http://www.reliableplant.com/Read/23472/Seven-steps-transparent-organization diakses pada 12/16/2012 51 ___, Building a Culture of Transparency, http://www.westernu.edu/bin/hr/hr-today-0708.pdf diakses pada
12/16/2012 52 ___, Importance of Transparency in Organization, http://www.chrmglobal.com/Articles/358/1/Importance-of-
Transparency-in-Organization.html diakses pada 12/16/2012 53 Stephen D. Krasner, International Regimes, United States of America, Cornell University Press, 1984, hal. 2
13
memecahkan masalah dengan mengkoordinasi kebijakan dan memfasilitasi perubahan informasi
diantara negara-negara.54
Organisasi internasional merupakan komponen dari rezim internasional
dan ada hubungan saling ketergantungan antara negara dan organisasi internasional. Alasan
negara untuk menjadi bagian dari organisasi internasional adalah karena negara tidak dapat
menyelesaikan masalahnya sendiri dan organisasi internasional merupakan tempat yang tepat
untuk mempromosikan kepentingan negara.55
Sehingga, ASEAN Declaration on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers dapat dikatakan sebagai rezim internasional
yang dalam hal ini adalah rezim perlindungan buruh migran sementara ASEAN merupakan
organisasi internasional.
Jika negara-negara sudah sepakat untuk membentuk suatu rezim yang mana pembentukan
rezim tersebut adalah atas inisiatif sendiri dari negara-negara tersebut demi adanya suatu
koordinasi untuk pencapaian kepentingan bersama maka sudah seharusnya rezim tersebut
dijalankan. Akan tetapi, dalam permasalahan rezim perlindungan tenaga buruh di ASEAN ini
belum dapat dijalankan oleh anggotanya termasuk didalamnya Indonesia karena hingga saat ini
masih ada perdebatan perspektif dan posisi dari negara-negara pengirim dan penerima mengenai
kerangka instrumen yang mencerminkan adanya perbedaan besar antara negara pengirim dan
negara penerima.56
Sikap Malaysia mengenai adanya rezim perlindungan tenaga kerja dalam hal
ini tenaga kerja yang bermigrasi ke Malaysia adalah bahwa segala perlindungan hukum tidak
berlaku bagi tenaga kerja illegal.57
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia harus
mengambil tindaklanjut yang konkrit demi meminimalisir jumlah tenaga kerja illegal. Prosedur
resmi dianggap sulit oleh banyak calon TKI58
sehingga pada akhirnya menempuh jalur illegal
atau menggunakan jasa calo.
Rezim perlindungan buruh migran di ASEAN adalah sesuai dengan prinsip-prinsip
umum yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Semuanya itu terangkum dalam work
plan yang merupakan agenda kerja untuk mewujudkan prinsip-prinsip umum tersebut. Salah satu
54 Miles D. Townes, International Regimes and Information Infrastructure,
http://www.stanford.edu/group/sjir/1.2.07_townes.html diakses pada 9/5/2012 55 ___, Organisasi Internasional dan Pengaruhnya dalam Politik Luar Negeri,
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-18515-11-babxi(-).pdf diakses pada 7/7/2012 56 ___, Konsultasi Masyarakat Sipil tentang ACWC, ACMW, dan AICHR,
http://www.kalyanamitra.or.id/2012/04/konsultasi-masyarakat-sipil-tentang-perkembangan-acwc-acmw-dan-aichr/ diakses pada 10/19/2012 57
International Division Ministry of Human Resources Malaysia 58 Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,
elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012
14
poin dari work plan tersebut adalah pembentukan instrumen perlindungan yang menjadi dasar
perlindungan dari seluruh negara anggota ASEAN. Hingga saat ini belum ada instrumen yang
mengikat secara umum namun TF-AMW mengupayakannya dalam pembuatan kerangka
instrumen. Dalam kerangka instrumen tersebut disebutkan bahwa promosi dan perlindungan hak-
hak buruh migran di ASEAN dilakukan dengan komitmen bahwa ASEAN akan melakukan
penelitian terhadap isu-isu dan aksi yang memungkinkan dimana mekanisme regional dapat
dilakukan demi pelrindungan buruh migran dengan memastikan bahwa mekanisme regional akan
melengkapi upaya perlindungan domestik suatu negara anggota. Diantara mekanisme tersebut,
akan dibuat suatu „ASEAN Migrant Worker ID‟ yang akan digunakan sebagai pelengkap
paspor.59
Selain itu, ASEAN juga memfasilitasi pertukaran informasi terkait pekerja migran dan
melaksanakan langkah-langkah konkrit untuk menangani dan mencegah penyelundupan dan lalu
lintas ilegal manusia.60
Dibawah naungan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers upaya perlindungan buruh migran juga dapat dilakukan secara bilateral
sebagaimana yang tercantum dalam kerangka instrumen TF-AMW. Dalam kerangka instrument
tersebut, terdapat bagian “Joint Obligation of Receiving and Sending States” yang salah satu
bagiannya menyebutkan bahwa kerjasama bilateral dalam upaya perlindungan terhadap migran
worker adalah dengan mengadakan suatu perjanjian bilateral atau MoU mengenai sistem
perekrutan yang jelas dan transparan. Negara penerima harus mempersiapkan informasi berupa
hukum yang berlaku, kondisi pekerjaan dan keterampilan yang dibutuhkan, macam-macam
pekerjaan, hak dan norma, dan layanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan keuangan bagi
buruh migran. Negara pengirim harus memastikan bahwa informasi ini tersedia dan dipahami
bagi calon buruh migran sebelum perekrutan.61
59
Workers Connection, Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers, http://www.workersconnection.org/resources/Resources_72/book_tf-amw_feb2010.pdf diakses pada 5/15/2012 60
Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012 61 Workers Connection, op cit
15
Masalah Koordinasi atas Tindaklanjut ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers
Partisipasi memberikan kontribusi yang signifikan dalam pelaksanaan suatu koordinasi
yang baik. Di level ASEAN, dibentuklah TF-AMW untuk mengimplementasikan deklarasi
tersebut dengan pembuatan kerangka instrumen yang tidak hanya merupakan masukan dari para
stakeholder namun juga dari masyarakat. Kerangka instrumen memuat kewajiban negara
pengirim, negara penerima, kerjasama antara negara pengirim dan negara penerima dalam
pembuatan sistem rekruitmen dan juga komitmen dari ASEAN sendiri. ASEAN juga
bekerjasama dengan partner regional dan nasional dalam penyusunan kerangka tersebut.62
Sementara itu, partisipasi bilateral Indonesia dan Malaysia dalam perlindungan dan
promosi hak-hak buruh migran di ASEAN adalah sebagai berikut, pertama, Indonesia dan
Malaysia pernah melakukan suatu partisipasi sehubungan dengan perlindungan pekerja rumah
tangga di Malaysia namun sebelum ada ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers tepatnya pada tahun 2006. Partisipasi tersebut berupa
penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) namun banyak pihak termasuk pelapor
khusus PBB untuk Hak Asasi Buruh Migran menilai MoU tersebut melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM) dan berpotensi terjadinya praktek trafficking.63
Namun partisipasi kedua negara
tersebut dalam menindaklanjuti ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers terbukti dengan terbatasnya tindak lanjut dari pemerintah Indonesia
yang berarti bahwa partisipasi keduanya terbatas karena permasalahan perlindungan buruh
migran tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja.
Kedua, Indonesia kurang berpartisipasi dalam perlindungan terhadap tenaga kerjanya
dengan memanfaatkan keketuaanya pada tahun 2011 yang sebenarnya bisa berkontribusi dalam
upaya melindungi buruh migran Indonesia.64
Jika pemerintah menganggap bahwa tenaga kerja
Indonesia yang memainkan peran penting bagi negara ini sering dilecehkan di Malaysia maka
Indonesia harusnya dapat memanfaatkan posisi tersebut agar mempercepat proses persetujuan
62 Workers Connection, Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers, http://www.workersconnection.org/resources/Resources_72/book_tf-amw_feb2010.pdf diakses pada 5/15/2012 63 Disnakertransduk Jatim, MoU Perlindungan TKI dengan Malaysia Kembali Tertunda,
http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/164-mou-perlindungan-tki-dengan-malaysia-kembali-
tertunda diakses pada 10/1/2012 64 Ibid
16
suatu instrumen yang menyangkut perlindungan dan promosi hak buruh migran demi mencapai
kepentingan masing-masing negara anggota terkhusus Indonesia sendiri.
Ketiga, seperti data-data yang disajikan pada bab IV bahwa setiap tahun problematika
yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri khususnya di Malaysia mengalami
peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja yang berangkat ke Malaysia.
Kasus-kasus yang dialami pun mendapat perhatian yang terbatas. Semisal kasus yang menimpa
TKI asal Lombok Timur yang tertembak tanpa saksi mata dengan tuduhan kriminal berbahaya.
KBRI tidak mencari asal muasal penyebab kematian.65
Pemerintah telah berupaya untuk
mengurus kepulangan jenazah akan tetapi partisipasi dalam mencegah terjadinya problematika
yang tidak adil seperti kasus tadilah yang seharusnya lebih ditingkatkan.66
Sehingga dapat dikatakan bahwa partisipasi dilevel ASEAN sudah cukup baik dengan
melibatkan masyarakat dalam pembentukan kerangka instrumen. Akan tetapi, pada level bilateral
antara Indonesia dan Malaysia masih kurang partisipasinya baik oleh Malaysia sebagai negara
penerima maupun Indonesia sebagai negara pengirim khususnya setelah adanya deklarasi
perlindungan buruh migran tersebut. Malaysia masih minim dalam memberikan perlindungan
bagi buruh migran yang terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan sementara Indonesia kurang
tanggap dalam mencegah problematika yang dihadapi tenaga kerjanya.
Ketidakberpihakan ditujukan agar terjadi pembuatan keputusan yang netral yang tidak
memihak pada salah satu negara anggota. Pada level ASEAN, adanya kewajiban dari negara
pengirim dan penerima merupakan bukti bahwa tidak ada keberpihakan pada satu pihak saja
sedangkan dalam pelayanan dan perlindungan terhadap TKI dilevel bilateral masih terdapat
situasi yang tidak berpihak pada hak-hak tenaga kerja. Pertama, sebagaimana dijelaskan dibab
sebelumnya bahwa prosedur pemberangkatan yang legal di Indonesia sulit sehingga para calon
TKI memilih untuk berangkat secara illegal. Sehingga di Malaysia, dua dari tiga TKI adalah
berstatus ilegal. Maraknya TKI illegal di Malaysia tidak terlepas dari keuntungan yang diterima
oleh kedua belah pihak. Pengusaha atau majikan mendapatkan tenaga kerja secara mudah dan
murah melalui agen sementara TKI mendapatkan jaminan pekerjaan tanpa melalui prosedur yang
65
Mata Najwa, Peluru Untuk TKI, Metro TV, 26 September 2012 pukul 21.30 WIB 66
Workers Connection, Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers, http://www.workersconnection.org/resources/Resources_72/book_tf-
amw_feb2010.pdf diakses pada 5/15/2012
17
dianggap rumit.67
Padahal, hukum ketenagakerjaan di Malaysia tidak merespon pada tenaga
kerja ilegal termasuk sikap Malaysia terhadap ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers pun bukan untuk perlindungan dan promosi hak
tenaga kerja migran illegal.68
Kedua, merebaknya TKI illegal tidak terlepas dari sistem pelayanan dan perlindungan
TKI di Indonesia sendiri yang rumit dan masih ada dualisme didalamnya. Sementara di Malaysia
sendiri sangat menikmati adanya TKI illegal karena banyak jumlahnya, dapat dibayar dengan
gaji yang murah, dapat dijerat hukum dengan mudah bila melakukan suatu tindakan diluar
kehendak sang majikan, dan dapat dideportasi jika tidak dibutuhkan. TKI illegal dapat terjadi
juga pada TKI legal yang mengalami permasalah dengan majikan sehingga kabur atau pindah
pekerjaan tanpa dokumen yang dipegang oleh majikan.69
Hal ini menunjukkan bahwa pada level ASEAN, ketidakberpihakan sudah cukup baik
dengan adanya kewajiban negara pengirim dan negara penerima. Namun tidak demikian pada
level bilateral. Indonesia dalam mengeluarkan peraturan tidak memihak kepada tenaga kerja
Indonesia dan memihak pada kepentingan pemerintah sendiri yang ingin menikmati keuntungan
dari tenaga kerja Indonesia tanpa keinginan untuk menambah pelayanan dan perlindungan
terhadap mereka. Sejatinya, pemerintah Indonesia juga memikirkan hak-hak tenaga kerjanya
untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan. Sedangkan di Malaysia sendiri peraturan
perlindungan ketenagakerjaannya tidak memihak pada tenaga kerja ilegal yang berarti bahwa
Malaysia melakukan diskriminasi terhadap tenaga kerja ilegal. Padahal hal ini bertentangan
dengan salah satu prinsip ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers yang menyatakan bahwa negara-negara harus fokus pada menyelesaikan
masalah buruh migran bukannya fokus pada kesalahannya tidak memiliki dokumen.
Transparansi menjadi penting agar segala informasi dan upaya perlindungan dan
pelayanan dapat diketahui berbagai pihak yang terkait khususnya bagi tenaga kerja itu sendiri.
ASEAN telah berupaya transparan dalam menerima masukan dari untuk penyusunan kerangka
instrumen namun tidak transparan dengan segala agenda pertemuan dan hasil dari pertemuan
tahunan. Transparansi juga masih tidak baik pada level bilateral dan di level domestik Indonesia
67
Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,
elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012 68 International Division Ministry of Human Resources Malaysia 69 Ibid
18
sendiri. Pertama, sebelum melakukan koordinasi oleh origin country dan destination country
yang dalam hal ini adalah Indonesia dan Malaysia, Indonesia seharusnya memperbaiki pelayanan
dan perlindungan terlebih dahulu didalam negeri. Perlindungan dan promosi hak tenaga kerja
Indonesia tidak lepas dari koordinasi pihak atas hingga ke bawah dan juga koordinasi sesama
pihak diatas demi menghindari adanya dualisme yang terjadi. Penyelesaian kasus dualisme
BNP2TKI dan Kemekertrans pernah diselesaikan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) tertutup
untuk umum antara Komisi IX DPR RI70
dengan BNP2TKI dan dengan Kemenakertrans pada
waktu yang berbeda pada tahun 201071
namun hingga tahun 2012 masih saja terdapat kasus yang
membuktikan bahwa dualisme antara BNP2TKI dan Kemenakertrans masih ada yakni kasus
penerbitan Surat Ijin Pengerahan (SIP) TKI.72
Dualisme diatas menunjukkan proses
perlindungan dan pelayanan terhadap tenaga kerja Indonesia yang tidak transparan. Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang seharusnya berperan sebagai regulator atau pengatur juga
berperan sebagai operator atau pelaksana yang merupakan tugas dari BNP2TKI. Terjadi
perebutan tugas antara kedua badan ini padahal keduanya harus saling berkoordinasi dan
transparan dalam melaksanakan tugasnya.
Kedua, ketidaktransparanan pelayanan dan perlidungan pemerintah terhadap tenaga kerja
migran juga dibuktikan dengan laporan audit kinerja Kemenakertrans dan BNP2TKI yang
dikeluarkan oleh Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) pada bulan Maret 2011.
Laporan ini menunjukkan bahwa mekanisme penempatan TKI diluar negeri tidak didukung
secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif, dan transparan untuk melindungi hak-
hak dasar TKI. Sehingga membuktikan bahwa realitas ketidakberaturannya tata kelola
penempatan TKI dan juga membuktikan lemahnya komitmen dan kinerja kedua badan tersebut
dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap buruh migran. Apabila sistem
pelayanan dan perlindungan dalam negeri masih belum kuat maka berpengaruh pada koordinasi
dilevel bilateral.73
70
Komisi IX DPR RI menangani ruang lingkup Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kependudukan dan Kesehatan
dengan pasangan kerja Departemen Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BKKBN, BNP2TKI,
PT. Askes (Persero), PT. Jamsostek (Persero) 71 BNP2TKI, Soal Dualisme Menakertrans Belum Jawab Surat DPR, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-
231/2200-soal-dualisme-menakertrans-belum-jawab-surat-dpr.html diakses pada 5/3/2012 72 Luther Kembaren, Pelayanan BNP2TKI dan Kemenakertrans Tumpang Tindih,
http://www.jurnas.com/halaman/15/2012-03-02/200911 diakses pada 4/29/2012 73
Anis Hidayah & Wahyu Susilo, Statement Migrant’s Day 2011: Pemerintah Masih Mengingkari Tanggungjawab
Perlindungan Buruh Migran,
http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=1467 diakses pada 5/7/2012
19
Ketiga, mengacu pada Filipina sebagai negara dengan keberhasilan penanganan pekerja
migrannya secara professional yang mendapat perlindungan didalam dan diluar negeri,
ditempatkan pemerintahnya pada penyumbang devisa yang sangat berharga pada negara tanpa
mengorbankan harga diri bangsa74
maka pemerintah Indonesia sejatinya dapat mencontohnya.
Perbaikan dalam negeri yakni dengan memperkuat koordinasi antara Kemenakertrans,
BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Perusahaan Penempatan Tenaga kerja Indonesia Swasta
(PPTKIS), LSM dan calon tenaga kerja itu sendiri. Selain koordinasi untuk memperjelas tugas
dari masing-masing badan juga dibutuhkan transparansi dalam setiap regulasi. Regulasi yang
dimaksud juga termasuk sistem perekrutan hingga penempatan yang berarti membutuhkan
transparansi dari agen-agen penempatan TKI yang berada di Indonesia maupun Malaysia.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa transparansi baik pada level ASEAN maupun
level bilateral masih belum cukup baik ditunjukkan dengan tidak adanya publikasi pada setiap
agenda dan hasil pertemuan tahunan. Pada level bilateral ditunjukkan dengan tidak ada
transparansi pada regulasi penempatan oleh agen di Indonesia dan di Malaysia. Penyebabnya
adalah transparansi pelayanan dan perlindungan dalam negeri sendiri yang belum baik
ditunjukkan dengan adanya dualisme pelayanan dan perlindungan TKI.
Kesimpulan
ASEAN menyadari bahwa buruh migran memainkan peran yang penting sehingga
negara-negara anggotanya sepakat untuk membentuk suatu deklarasi untuk melindungi dan
mempromosikan hak-hak buruh migran yang disebut dengan ASEAN Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Namun dalam pelaksanaannya,
Indonesia terbatas dalam penindaklanjutannya karena adanya koordinasi yang tidak baik antara
Indonesia dan Malaysia dalam promosi dan perlindungan hak buruh migran. Koordinasi yang
baik dalam melindungi dan mempromosikan hak buruh migran apabila melibatkan partisipasi,
ketidakberpihakan dan transparan.
Partisipasi dilevel ASEAN cukup baik ditunjukkan dengan dibentuklah TF-AMW untuk
mengimplementasikan deklarasi tersebut dengan pembuatan kerangka instrumen yang tidak
74
Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,
elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012
20
hanya merupakan masukan dari para stakeholder namun juga dari masyarakat. Partisipasi
Indonesia dan Malaysia masih belum cukup baik terbukti dengan terbatasnya tindak lanjut dari
pemerintah Indonesia padahal bila ada partisipasi dari pemerintah Indonesia maka akan
melibatkan Malaysia karena permasalahan perlindungan buruh migran tidak dapat diselesaikan
oleh satu negara saja. Indonesia yang tidak memanfaatkan keketuaannya di ASEAN juga
menunjukkan partisipasi yang lemah dalam melakukan perlindungan terhadap tenaga kerjanya.
Problematika yang terus menerus bertambah dari tahun ke tahun pun menunjukkan partisipasi
lemah.
Ketidakberpihakan pada level ASEAN cukup baik ditunjukan dengan adanya kewajiban
dari negara pengirim dan penerima merupakan bukti bahwa tidak ada keberpihakan pada satu
pihak saja. Sementara dilevel bilateral masih belum cukup baik ditunjukkan dengan Indonesia
yang masih memihak pada kepentingan pemerintahnya sendiri yang tercermin dalam tidak
adanya perubahan dalam sistem pelayanan dan perlindungan sehingga dianggap rumit
mengakibatkan tingginya angka tenaga kerja ilegal. Padahal Malaysia melakukan diskriminasi
terhadap tenaga kerja ilegal tercermin dalam kebijakan perlindungan ketenagakerjaan di
Malaysia tidak memihak pada tenaga kerja ilegal yang mana hal ini bertentangan dengan salah
satu prinsip ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers.
Transparansi pada level ASEAN belum baik ditunjukkan dengan ASEAN yang telah
berupaya transparan dalam menerima masukan dari masyarakat untuk penyusunan kerangka
instrumen namun tidak transparan dengan segala agenda pertemuan dan hasil dari pertemuan
tahunan. Pada level bilateral pun demikian ditunjukkan dengan tidak ada transparansi pada
regulasi penempatan oleh agen di Indonesia dan di Malaysia. Penyebabnya adalah badan-badan
yang berkaitan dengan pelayanan dan perlindungan TKI masih belum transparan merujuk pada
adanya dualisme antara BNP2TKI dan Kemenakertrans. Dibutuhkan transparansi yang jelas agar
tidak terjadi tumpang tindih dalam dalam setiap pembuatan regulasi termasuk regulasi sistem
perekrutan hingga penempatan.
Koordinasi yang tidak baik antara Indonesia dan Malaysia tersebut dikarenakan ASEAN
sebagai organisasi regional yang masih belum partisipatif dilihat dari masing-masing anggota
yang mempunyai tujuan tersendiri dalam organisasi ini dan tidak mempunyai suatu tujuan yang
ingin dicapai bersama. Sikap ketidakberpihakan belum terdapat diantara anggota-anggota
21
ASEAN karena masih ada pemihakan pada kepentingan tertentu. Hasil pertemuan pun bersifat
tidak transparan dan belum ada instrumen perlindungan yang mengikat secara hukum. Sehingga,
keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers dikarenakan koordinasi yang tidak baik karena
partisipasi, ketidakberpihakan dan transparansi yang lemah didalamnya baik dilevel ASEAN
maupun level bilateral.