keterbatasan penindaklanjutan indonesia atas asean declaration on the protection and promotion of...

21
1 KETERBATASAN PENINDAKLANJUTAN INDONESIA ATAS ASEAN DECLARATION ON THE PROTECTION AND PROMOTION OF THE RIGHTS OF MIGRANT WORKERS DALAM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DI MALAYSIA TAHUN 2007-2011 Esti Renatalia Tanaem ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dalam perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dalam kurun waktu 2007- 2011. Keterbatasan penindaklanjutan ditunjukkan dengan semakin meningkatnya problematika yang dialami TKI setelah penandatanganan deklarasi dan Indonesia tidak memanfaatkan keketuannya di ASEAN pada tahun 2011. Berdasarkan teori Rezim Internasional, penulis ingin menganalisa ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers sebagai rezim perlindungan buruh migran di ASEAN. Disamping itu, penulis menggunakan konsep Collective Action Problem sebagai pendukung untuk menjelaskan masalah koordinasi antara Indonesia dan Malaysia dalam penanganan problematika TKI di Malaysia karena permasalahan buruh migran tidak dapat diselesaikan oleh salah satu negara saja baik negara pengirim maupun negara penerima. Penulis menemukan bahwa keterbatasan penindaklanjutan atas deklarasi tersebut adalah karena koordinasi yang belum baik pada level ASEAN maupun level bilateral. Kata Kunci: Organisasi Internasional, Rezim Internasional, ASEAN, Buruh Migran, Koordinasi Globalisasi yang mencakup fenomena internalization menyebabkan meningkatnya hubungan lintas batas diantara aktor-aktor internasional seperti terwujud dalam aliran barang, jasa, modal, teknologi dan bahkan manusia. 1 Fenomena ini juga terjadi pada penduduk Indonesia 1 Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008, hal. 229

Upload: esti-renatalia-tanaem

Post on 02-Dec-2015

75 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dalam perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dalam kurun waktu 2007-2011. Keterbatasan penindaklanjutan ditunjukkan dengan semakin meningkatnya problematika yang dialami TKI setelah penandatanganan deklarasi dan Indonesia tidak memanfaatkan keketuannya di ASEAN pada tahun 2011. Berdasarkan teori Rezim Internasional, penulis ingin menganalisa ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers sebagai rezim perlindungan buruh migran di ASEAN.

TRANSCRIPT

1

KETERBATASAN PENINDAKLANJUTAN INDONESIA ATAS ASEAN

DECLARATION ON THE PROTECTION AND PROMOTION OF THE RIGHTS OF

MIGRANT WORKERS DALAM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA

(TKI) DI MALAYSIA TAHUN 2007-2011

Esti Renatalia Tanaem

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas

ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dalam

perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dalam kurun waktu 2007-

2011. Keterbatasan penindaklanjutan ditunjukkan dengan semakin meningkatnya problematika

yang dialami TKI setelah penandatanganan deklarasi dan Indonesia tidak memanfaatkan

keketuannya di ASEAN pada tahun 2011. Berdasarkan teori Rezim Internasional, penulis ingin

menganalisa ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant

Workers sebagai rezim perlindungan buruh migran di ASEAN. Disamping itu, penulis

menggunakan konsep Collective Action Problem sebagai pendukung untuk menjelaskan masalah

koordinasi antara Indonesia dan Malaysia dalam penanganan problematika TKI di Malaysia

karena permasalahan buruh migran tidak dapat diselesaikan oleh salah satu negara saja baik

negara pengirim maupun negara penerima. Penulis menemukan bahwa keterbatasan

penindaklanjutan atas deklarasi tersebut adalah karena koordinasi yang belum baik pada level

ASEAN maupun level bilateral.

Kata Kunci: Organisasi Internasional, Rezim Internasional, ASEAN, Buruh Migran,

Koordinasi

Globalisasi yang mencakup fenomena internalization menyebabkan meningkatnya

hubungan lintas batas diantara aktor-aktor internasional seperti terwujud dalam aliran barang,

jasa, modal, teknologi dan bahkan manusia.1 Fenomena ini juga terjadi pada penduduk Indonesia

1 Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008, hal. 229

2

dengan penduduk yang mencapai 237.641.326 jiwa2 (pada tahun 2010) belum dapat menikmati

kehidupan layak secara merata. Masih banyak penduduk miskin dan pengangguran akibat

ketidaktersediaan lapangan pekerjaan. Hal ini mendorong terjadinya perpindahan penduduk ke

negara lain untuk mencari pekerjaan, dalam hal ini perpindahan tersebut dilatarbelakangi oleh

motif ekonomi. Mereka disebut dengan migrant worker atau buruh migran, orang yang

melakukan perpindahan dari tempat asalnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain.3

Di Indonesia, setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk bekerja diluar negeri

dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah disebut sebagai

Tenaga Kerja Indonesia (TKI).4 Berdasarkan sebuah sumber, kekerasan yang dilakukan terhadap

Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia adalah sebesar 39% disusul dengan Arab Saudi sebesar 38%

yang berarti bahwa Malaysia melakukan kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia dengan

persentase tertinggi.5 Alasan pemilihan Malaysia sebagai negara tujuan mencari lapangan

pekerjaan adalah yang pertama karena permintaan dari Malaysia sendiri yang besar terhadap

tenaga kerja dari Indonesia untuk bekerja di perkebunan atau di rumah tangga sebagai

pramuwisma. Kedua, ada persamaan bahasa, budaya dan agama antara Indonesia dan Malaysia

memudahkan tenaga kerja yang dikirim kesana agar tidak terlalu mengalami kesulitan dalam

beradaptasi.6 Ketiga, tenaga kerja Indonesia terkenal sebagai tenaga kerja yang rajin sehingga

tingkat permintaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia cukup tinggi.7

Permasalahan buruh migran seharusnya bukan permasalahan satu negara saja misalnya

negara pengirim atau negara penerima tapi merupakan permasalahan bagi kedua pihak. Hal ini

disebabkan karena kedua pihak saling mendapatkan keuntungan misalnya negara pengirim

mendapatkan remitansi dan masalah pengangguran dinegaranya teratasi sedangkan bagi negara

penerima keuntungan yang didapat misalnya memperoleh tenaga kerja disektor-sektor yang tidak

diminati warganya. Pada tahun 2007, World Bank memperkirakan pergerakan pekerja migran

2 ___, Sensus Penduduk tahun 2010, http://sp2010.bps.go.id/ diakses pada 6/19/2012 3 Edi Suharto, Permasalahan Pekerja Migran: Perspektif Pekerja Sosial,

http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_35.htm diakses pada 6/13/2012 4 UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia 5 Migrant Care, Data Buruh Indonesia, http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=content&op=viewcontent&contid=11 diakses pada 4/26/2012 6 Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,

elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012 7 Kuliah Tamu oleh Prof. Dr. Sulistyowati Irianto dengan tema Multi Perspektif Persoalan Migrasi Global pada 20

November 2011

3

dunia sebesar 9% terdapat dinegara-negara ASEAN.8 Hal ini kemudian menyebabkan negara-

negara anggota ASEAN mendeklarasikan sebuah upaya perlindungan terhadap buruh migrannya

agar sesuai dengan tujuan utama berdirinya ASEAN yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan kemajuan sosial di kawasan Asia Tenggara, mengembangkan kebudayaan negara-

negara anggotanya dan memajukan perdamaian ditingkat regional.9

ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers

Buruh migran memberi manfaat bagi keduabelah pihak baik origin country maupun

destination country. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasanya TKI memainkan peran yang

penting bagi Indonesia maupun Malaysia. Bagi Indonesia, Pemerintah dapat mengurangi jumlah

angka pengangguran, penduduk miskin dan peningkatan devisa negara serta peningkatan

kesempatan kerja.10

Bagi Malaysia, TKI mengisi pekerjaan yang tergolong 4D (Dirty,

Dangerous, Diminutive, Difficult) yang tidak diminati warganya11

dan TKI juga memainkan

peran historis bagi pembentukan budaya dan ekonomi yang berkembang di Malaysia.12

Atas

dasar diatas maka sejatinya permasalahan TKI bukanlah masalah Indonesia atau Malaysia saja.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia tergabung dalam organisasi

regional Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Pada tahun 2007, World Bank

memperkirakan pergerakan pekerja migran dunia sebesar 9% terdapat dinegara-negara

ASEAN.13

Dengan buruh sejumlah 285 juta orang, negara-negara anggota ASEAN menyadari

pentingnya pengaturan mengenai penciptaan lapangan kerja (job creation), meningkatkan

kualitas dari angkatan kerja (the quality of the workforce) dan menyediakan jaminan sosial

(social security) kepada pekerja. Sejak tahun 2000, buruh di ASEAN dibawah panduan ASEAN

8 Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012 9 ___, About ASEAN, http://www.aseansec.org/about_ASEAN.html diakses pada 6/10/2012 10 ___, Kajian Kerjasama antara Indonesia dengan Malaysia dalam Penanganan Migran, 2005,

http://www.pkai.lan.go.id/pdf/Kajian_Indonesia_Malaysia_Migran_2005.pdf diakses pada 4/29/2012 11 Wahyudi Kumorotomo, Kerjasama Menegakkan Aturan Main yang Adil: Agenda Perlindungan TKI di Malaysia,

http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2007/05/agenda-perlindungan-tki-di-malaysia.pdf diakses pada

5/10/2012 12 Joseph Chinyong Liow, Malaysia’s Approach to its Illegal Indonesian Migrant Labour Problem: Securitization,

Politics or Catharsis, 2004, http://www.rsis-ntsasia.org/resources/publications/research-

papers/migration/Joseph%20Liow.pdf diakses pada 4/29/2012 13 Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012

4

Labour Ministers (ALM) Work Program yang dibawahi oleh ASEAN Socio-Cultural

Community.14

Pada ASEAN summit ke 12 yang diadakan di Cebu, Filipina, para pemimpin ASEAN

menandatangani ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant

Workers.15

Hal ini didasarkan adanya kesadaran bersama akan kontribusi dari buruh migran

kepada masyarakat dan perekonomian baik negara pengirim maupun negara penerima.

Ditambah, adanya kasus-kasus “abuse and violence against migrant worker” yang jumlahnya

cenderung naik tiap tahun. Deklarasi ini memuat komitmen negara-negara ASEAN baik sebagai

negara pengirim, negara penerima dan seluruh negara ASEAN untuk meningkatkan

perlindungan HAM dan kesejahteraan serta harga diri (dignity) pekerja migran. 16

Pada

pertemuan selanjutnya tepatnya pada ASEAN Ministerial Meeting ke 40 di Manila, Filipina,

dibentuklah sebuah komite pengimplementasian deklarasi tersebut yang selanjutnya disebut

dengan ASEAN Committee on the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the

Rights of Migrant Workers.17

Masalah yang melatarbelakangi terbentuknya deklarasi ini adalah18

a. Globalisasi meningkatkan lalu lintas barang, jasa dan tenaga kerja melintasi batas-batas

kenegaraan dan lalu lintas tenaga kerja antar negara anggota ASEAN cukup tinggi

b. Adanya pengakuan kontribusi pekerja migran terhadap ekonomi negara-negara anggota

ASEAN

c. Pengakuan kedaulatan negara-negara anggota ASEAN dalam menentukan kebijakan

imigrasi masing-masing

d. Perlunya mengadopsi kebijakan imigrasi yang sesuai terkait dengan pekerja migran

e. Kebanyakan pekerja migran di ASEAN merupakan kelompok rentan (unskilled labour,

perempuan dan anak) yang perlu perlindungan

f. Perlunya menangani kasus-kasus penganiayaan dan kekerasan terhadap pekerja migran

14 ASEAN, ASEAN Labour Ministers Meeting, http://www.aseansec.org/19605.htm diakses pada 9/4/2012 15 ASEAN, ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion

of the Rights of Migrant Workers (ACMW) Work Plan, http://www.aseansec.org/23062.pdf diakses pada 5/3/2012 16

Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012 17

ASEAN, ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion

of the Rights of Migrant Workers (ACMW) Work Plan, http://www.aseansec.org/23062.pdf diakses pada 5/3/2012 18 Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012

5

g. Lalu lintas dan perlindungan hak-hak pekerja migran apabila tidak ditangani dengan baik

dapat mengganggu hubungan antar negara anggota ASEAN dan hak-hak fundamental

para pekerja migran dan keluarganya

h. Komitmen ASEAN untuk membentuk Komunitas ASEAN ditahun 2015 mendorong

perlunya peningkatan kerja dibidang ini

Deklarasi ini menganut 3 (tiga) prinsip umum berikut:19

1. Negara pengirim dan penerima perlu memperkuat ketiga pilar komunitas ASEAN melalui

pemajuan potensi dan martabat pekerja migran

2. Negara penerima dan pengirim, untuk alasan kemanusiaan bekerjasama dalam

menyelesaikan masalah pekerja migran yang bukan karena kesalahannya tidak memiliki

dokumen

3. Negara penerima dan pengirim mengakui hak-hak mendasar dan menghargai martabat

pekerja migran dan keluarganya

Hingga tahun 2011 telah diadakan 4 kali pertemuan sejak pertemuan pertama tahun 2008

di Singapura. Pada pertemuan yang pertama di Singapura pada tahun 2008 dibentuk ASEAN

Committee on the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant

Workers pada tanggal 15-16 September. Pada pertemuan yang pertama tersebut, ACMW

membahas tentang work plan dari komite dalam membentuk instrument dalam rangka

implementasi ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant

Workers dan juga membahas Term of Reference namun belum sukses dirumuskan pada

pertemuan pertama ini. Pertemuan yang kedua dilaksanakan di Chiang Rai, Thailand pada 29-30

September 2009. Pertemuan ketiga dilaksanakan di Hanoi, Vietnam pada tanggal 18-19 Mei

2012 dan yang keempat dilaksanakan di Jakarta, Indonesia pada tanggal 11-12 April 2012.

Sebagai upaya untuk mengimplementasikan ASEAN Declaration on the Protection and

Promotion of the Rights of Migrant Workers dilanjutkan dengan mengimplementasikan kegiatan

seperti ASEAN Forum on Migrant Labour dan ASEAN Workshop on Eliminating Recruitment

Malpractices.20

Sejak adanya deklarasi ini, beberapa kelompok seperti Kelompok Kerja Indonesia dan

dan Gugus Tugas untuk Buruh Migran ASEAN mendesak agar kesepuluh negara anggota

19

Ibid 20 ASEAN Annual Report 2009/2010, Bridging Markets Connecting People,

http://www.aseansec.org/publications/AR0910.pdf diakses pada 5/7/2012

6

ASEAN segera mengadopsi instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di

ASEAN yang mengikat secara hukum. Menurut Direktur Pembinaan dan Penempatan TKI

Kemenakertrans, Roostiawati, belum ada titik temu mengenai instrumen perlindungan pada

pertemuan keempat di Jakarta.21

Belum adanya instrumen yang mengikat secara hukum disebabkan karena terdapat

keanekaragaman dalam keanggotaan ASEAN sendiri sehingga tidak membuat koordinasi yang

progresif terhadap berbagai tujuan menjadi semakin sulit. Masih ada tujuan yang berbeda dari

tiap anggota ASEAN seperti Thailand dan Singapura mendorong integrasi ekonomi yang lebih

mendalam, Indonesia dan negara lain menginginkan ASEAN lebih terpusat dan lebih kuat dalam

menghadapi permasalahan Human Rights, sementara Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar

melawan pengawasan dalam negeri yang tidak diinginkan.22

Tujuan yang berbeda-beda semakin

mempersulit penyatuan ide untuk membuat suatu instrumen yang mengikat ditambah dengan

perbedaan pendapat mengenai perlindungan akan buruh migran ilegal yang menurut prinsip

deklarasi ini negara tujuan seharusnya melindunginya tanpa memandang kesalahannya yang tak

berdokumen sementara Malaysia menyatakan bahwa tidak melakukan perlindungan terhadap

buruh migran ilegal.23

Rezim Internasional

Menurut Stephen D. Krasner, rezim dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip,

norma-norma, peraturan-peraturan dan prosedur pembuatan keputusan baik eksplisit maupun

implisit. Prinsip merupakan kepercayaan dari fakta, sebab-akibat, dan kejujuran. Norma adalah

standar perilaku yang didefinisikan dalam hak dan kewajiban. Aturan adalah bentuk ketentuan

dan larangan dari perilaku tadi. Prosedur pembuatan keputusan adalah praktek umum untuk

membuat dan mengimplementasikan keputusan bersama (collective choice).24

Keempat hal tadi

merupakan hal yang mutlak dalam rezim internasional dan juga menjadi cirinya. Keohane dan

21 Koalisi Perempuan, Titik Temu Masih Jauh, http://www.koalisiperempuan.or.id/titik-temu-masih-jauh/ diakses

pada 4/29/2012 22 Lee Leviter, The ASEAN Charter: ASEAN Failure or Member Failure, 2011,

http://www.law.nyu.edu/ecm_dlv2/groups/public/@nyu_law_website__journals__journal_of_international_law_and

_politics/documents/documents/ecm_pro_068232.pdf diakses pada 9/18/2012 23 International Division Ministry of Human Resources Malaysia 24 Stephen D. Krasner, International Regimes, United States of America, Cornell University Press, 1984, hal. 2

7

Nye mendefinisikan rezim sebagai “seperangkat pengatur kerjasama” termasuk “jaringan

peraturan, norma dan prosedur yang mengatur perilaku dan mengontrol efeknya”. Haas

berargumen bahwa sebuah rezim meliputi seperangkat prosedur, aturan dan norma yang saling

koheren.25

Rezim dapat mempengaruhi perilaku negara karena dapat mengubah situasi atau

tatanan interaksi negara sehingga kerjasama menjadi lebih mungkin.26

Negara-negara membentuk rezim karena mereka mempunyai kesamaan kepentingan

tetapi tidak dapat mengkoordinasi kepentingan tersebut dikarenakan kekurangan komunikasi dan

kepercayaan. Rezim internasional memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dan membatasi

negara untuk membuat strategi yang tidak merugikan negara lain. Sebuah rezim internasional

dapat memecahkan masalah dengan mengkoordinasi kebijakan dan memfasilitasi perubahan

informasi diantara negara-negara.27

Dalam tulisan ini, ASEAN Declaration on the Protection

and Promotion of the Rights of Migrant Workers mengenai isu perlindungan buruh migran

dianggap sebagai rezim internasional dengan ASEAN sebagai organisasi atau institusinya.

Pendekatan rezim melihat aktor lain, terutama negara, sebagai sumber politik

internasional dan melihat efek dari berbagai prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan

keputusan yang berhubungan dengan organisasi internasional sebagai ekspektasi dan tingkah

laku dari negara. Peneliti rezim mempelajari organisasi internasional dengan melihat pada

perilaku negara dan pada efek dari norma dan aturan yang membentuk perilaku tersebut.28

Organisasi internasional merupakan komponen dari rezim internasional dan ada hubungan saling

ketergantungan antara negara dan organisasi internasional. Alasan negara untuk menjadi bagian

dari organisasi internasional adalah karena negara tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri

dan organisasi internasional merupakan tempat yang tepat untuk mempromosikan kepentingan

negara.29

Rezim internasional dianggap mempunyai kemampuan untuk mengkoordinasi perilaku

25 Ibid 26 Stephan Haggard & Beth A. Simmons, Theories of International Regimes,

http://scholar.harvard.edu/bsimmons/files/SimmonsHaggard1987.pdf diakses pada 9/5/2012 27 Miles D. Townes, International Regimes and Information Infrastructure, http://www.stanford.edu/group/sjir/1.2.07_townes.html diakses pada 9/5/2012 28 J. Samuel Barkin, International Organization: Theories and Institutions, New York, Palgrave Macmillan, 2006,

hal. 36 29 ___, Organisasi Internasional dan Pengaruhnya dalam Politik Luar Negeri,

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-18515-11-babxi(-).pdf diakses pada 7/7/2012

8

negara30

dan negara tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan kerjasama seperti yang akan

dijelaskan oleh sebuah konsep berikut:

Collective Action Problem

Salah satu pendekatan untuk studi rezim internasional adalah rasionalis atau yang dikenal

dengan neoliberal institusionalis yang mana pendekatan ini mempelajari isu spesifik kerjasama

antar negara dalam suatu organisasi internasional. Perjanjian diantara negara adalah seperti

kontrak antara orang dan perusahaan. Orang melakukan kontrak agar memaksimalkan

kepentingannya disetiap situasi demikian juga dengan negara ketika menandatangani suatu

perjanjian. Poin awal dimulai dengan literatur kerjasama rasional berupa Collective action

problem merupakan situasi dimana semua orang akan menjadi lebih baik jika saling bekerjasama

tapi setiap aktor memiliki pendorong untuk “free ride” dan bekerjasama dengan orang lain. Pada

sebuah kondisi pilihan pertama untuk setiap aktor adalah tidak bekerjasama sementara aktor lain

bekerjasama, pilihan kedua adalah bekerjasama sementara aktor lain juga bekerjasama, pilihan

ketiga adalah tidak bekerjasama sementara aktor lain juga tidak bekerjasama, dan hasil yang

paling tidak disukai adalah ketika bekerjasama sementara aktor lain tidak bekerjasama. Pada

situasi ini, hasil kolektif terbaik bagi aktor adalah bekerjasama.31

Dikatakan “free-rider” adalah apabila terdapat aktor yang tidak berupaya untuk

berkontribusi terhadap kelompoknya namun tetap menikmati keuntungan dari aksi kolektif oleh

para anggota.32

Dalam berbagai konteks, setiap anggota dari sebuah grup dapat mengambil

manfaat dari upaya yang dilakukan oleh setiap anggota dan semua dapat menguntungkan dari

aksi kolektif. Tetapi, ada aktor yang tidak menaruh perhatian pada “problem” dan tidak berupaya

untuk berkontribusi demi mencapai manfaat. Merekalah “free-rider” tersebut. Free-rider sering

dikategorikan sebagai morally wrong sebagaimana yang dinyatakan oleh H.L.A. Hart bahwa jika

yang lain bekerjasama demi kepentingan bersama dan saya mendapat keuntungan dari kerjasama

30

___, International Regimes (Rezim Internasional), http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-

dewitriwah-18515-10-babx(i-).pdf diakses pada 7/7/2012 31

J. Samuel Barkin, International Organization: Theories and Institutions, New York, Palgrave Macmillan, 2006,

hal. 40-42 32 Sumon Dantiki, Organizing for Peace: Collective Actions Problem and Humanitarian Intervention, Journal of

Military and Strategic Studies, 2005, hal. 3

9

tersebut maka saya mempunyai kewajiban untuk melakukan bagian saya. Sehingga, tindakan

yang dimaksudkan dalam free-ride merujuk kepada moral duty. 33

Situasi kerjasama pada collective action problem digambarkan pada matriks dibawah ini:

Tabel 2.1 Matriks Kerjasama dalam Collective Action Problem

Berdasarkan matriks diatas, nomor 1 (satu) menunjukkan bahwa yang lain bekerjasama namun

ada aktor yang memilih untuk tidak bekerjasama. Sementara dalam kasus ini, kerjasama negara-

negara anggota ASEAN ditunjukkan oleh nomor 2 (dua) yakni seluruh aktor memlilih untuk

bekerjasama untuk melakukan perlindungan terhadap buruh migran di ASEAN yang diwujudkan

dalam ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers.

Nomor 3 (tiga) menunjukkan bahwa kedua aktor memilih untuk tidak melakukan suatu

kerjasama sedangkan nomor 4 (empat) menunjukkan bahwa aktor memilih untuk bekerja sama

sedangkan yang lain tidak ingin melakukan kerjasama.

Dalam level organisasi internasional (atau organisasi regional dalam hal ini), collective

action problem dibutuhkan seperti yang diutarakan oleh Hidetaka Yoshimatsu bahwa

regionalisme menjadi sangat penting dalam teori hubungan internasional. Integrasi regional

merupakan sebuah usaha untuk menyadari keuntungan bersama dari kerjasama dalam sebuah

kelompok negara pada sistem internasional yang anarki. Supaya dapat mencapai perpaduan

regional yang sukses, negara harus menghasilkan collective action problem yang endemik pada

kerjasama internasional.34

Menurut Sumon Dantiki, collective action (aksi kolektif) merujuk

pada aktivitas yang membutuhkan koordinasi dari upaya dua atau lebih aktor. Seperti, aksi

33 ___, The Free Rider Problem, http://plato.stanford.edu/entries/free-rider/ diakses pada 9/14/2012 34 Hidetaka Yoshimatsu, Collective Action Problems and Regional Integration in ASEAN, 2006,

http://wrap.warwick.ac.uk/1907/1/WRAP_Yoshimatsu_wp19806.pdf diakses pada 8/8/2012

C N

C 2 4

N 1 3

O

A

Catatan: O= Other

A= Actor

C= Cooperate

N= Non cooperate

10

kolektif yang melibatkan aksi kelompok untuk kepentingan yang lebih lanjut “kepentingan atau

kesejahteraan anggota”.35

Collective Action Problem dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana suatu aktor

melakukan kerjasama ataupun tidak dan memilih untuk menjadi free-rider. Kerjasama terjadi

apabila aktor percaya bahwa aktor lainnya juga mempunyai kemauan untuk bekerjasama yang

mana pada akhirnya akan menghasilkan hasil yang terbaik.36

Selain itu, kerjasama juga akan

terjadi apabila aktor homogen dalam kemampuan (atau kondisi setiap aktor) yang akan

menentukan manfaat yang akan didapat sehingga hal ini berkaitan dengan tujuan awal setiap

aktor ketika melakukan kerjasama.37

Aktor akan memilih untuk tidak bekerjasama apabila terjadi

kondisi yang sebaliknya yakni adanya keanekaragaman atau heterogen dalam manfaat yang akan

didapatkan karena kemampuan setiap aktor yang beranekaragam.38

Koordinasi merupakan bentuk kerjasama yang membutuhkan pihak-pihak untuk

mengejar strategi bersama supaya menghindari hasil bersama yang tidak diinginkan timbul dari

mengejar strategi yang berbeda.39

Koordinasi juga berarti bekerja bersama dengan cara yang

logis terhadap hasil atau tujuan bersama. Koordinasi jika dilakukan dengan benar dapat

menghasilkan manfaat positif jauh lebih banyak daripada kerugiannya.40

Koordinasi adalah

proses yang akan berkerja dengan baik apabila melibatkan partisipasi, impartial

(ketidakberpihakkan) dan transparansi.41

Tabel 2.2 Variabel dan Indikator Koordinasi

Variabel Indikator

Koordinasi • Partisipasi

• Ketidakberpihakan

35 Ibid, hal. 2 36 ___, Collective Action Problems, http://faculty.washington.edu/wtalbott/phil240/trcap.htm diakses pada 12/4/2012 37 Oriana Bandiera at al, Cooperation in Collective Action, 2005, http://econ.lse.ac.uk/staff/bandiera/collective.pdf

diakses pada 12/4/2012 38 Ibid 39 John Baylis and Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations,

New York, Oxford University Press, 1997, hal. 245 40 International Federation of Red Cross, Improving Coordination, http://www.ifrc.org/Global/Impcoor.pdf diakses

pada 9/14/2012 41 Ibid

11

• Transparansi

Sumber: Diolah dari International Organization: Theories and Institutions J.S. Barkin & IFRC - Improving

Coordination

Yang dimaksudkan dengan partisipasi adalah apabila semua aktor dalam suatu organisasi

berpartisipasi dalam membuat kebijakan, prosedur, strategi dan rencana. Koordinasi dapat tetap

terjaga bila setiap anggota berpartisipasi dalam proses koordinasi. Partisipasi dalam sebuah

pembuatan keputusan merupakan satu-satunya cara untuk membangun kepercayaan.42

Partisipasi

berarti melakukan banyak hal untuk kepentingan banyak aktor yang mana dalam hal-hal tersebut

setiap aktor dapat terlibat didalamnya.43

Keterlibatan tersebut adalah dalam suatu batasan

tertentu.44

Menurut Keith Davis, partisipasi diartikan sebagai keterlibatan pikiran, tenaga, keahlian,

barang atau uang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan

kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta bertanggungjawab atas usaha tersebut.

Partisipasi dalam sebuah organisasi menekankan pada pembagian wewenang dalam pelaksanaan

kegiatan dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas dari tugas yang diberikan. Agar

partisipasi berjalan efektif maka dibutuhkan suatu komunikasi timbal balik.45

Dalam melakukan suatu koordinasi, sikap impartial atau ketidakberpihakkan sangat

dibutuhkan. Dalam sebuah organisasi, impartial merupakan prinsip yang memastikan bahwa

organisasi tidak melakukan diskriminasi terhadap kewarganegaraan, ras, keyakinan, kelas atau

pandangan politik.46

Kordinasi tidak boleh memihak (impartial), segala ketetapan adalah untuk

42 Ibid 43 ___, Pathways Through Participation, http://pathwaysthroughparticipation.org.uk/wp-

content/uploads/2009/09/Briefing-paper-1-What-is-participation1.pdf diakses pada 12/11/2012 44 ___, What is Participation?, http://homepages.ed.ac.uk/calarks/arks/Materials/particip/What_is_Participation.pdf

diakses pada 12/11/2012 45 Keith Davis, Human Relations at Work, New York, McGraw-Hill, 1962, hal. 15-19 46 Berta Travieso at al, Impartiality and UN Integration,

http://www.cerahgeneve.ch/recherche/memoires/StrategyInterventionSociologyActors/MemoireMASAH_Travieso

B_ImpartialityandUNIntegrationHumanitarianWorkersViewsintheDemocraticRepublicofCongo_VF.pdf diakses

pada 12/11/2012

12

kebutuhan nyata bukan untuk kepentingan tertentu.47

Ketidakberpihakan mewajibkan aktor-aktor

untuk saling memperlakukan secara sama dalam suatu interaksi.48

Koordinasi juga membutuhkan transparansi yang mana motif sebenarnya dari pembuatan

keputusan harus jelas bagi seluruh partisipan dan dapat diterima. Transparansi seharusnya berupa

informasi yang terbuka dan proses pembuatan keputusan yang terbuka.49

Agar suatu organisasi

lebih transparan maka dibutuhkan pemimpin yang dapat melaraskan segala informasi hingga

dimengerti hingga pihak bawah, komunikasi yang baik harus tetap terjaga dan jika terjadi suatu

perubahan maka semua anggota dalam organisasi harus mengetahuinya.50

Selain meningkatkan

komunikasi, meningkatkan performa kerja juga merupakan cara untuk meningkatkan

transparansi dalam sebuah organisasi.51

Transparansi tidak berarti membuka segala hal-hal yang

bersifat rahasia dalam suatu organisasi kepada publik namun lebih kepada pembuatan keputusan

yang bersifat terbuka.52

ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers

sebagai Rezim Internasional

Seperti pengertian rezim internasional yang dikemukakan oleh Stephen D. Krasner

bahwa rezim dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip, norma-norma, peraturan-

peraturan dan prosedur pembuatan keputusan baik eksplisit maupun implisit.53

Negara-negara

membentuk rezim karena mereka mempunyai kesamaan kepentingan tetapi tidak dapat

mengkoordinasi kepentingan tersebut dikarenakan kekurangan komunikasi dan kepercayaan.

Rezim internasional memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dan membatasi negara untuk

membuat strategi yang tidak merugikan negara lain. Sebuah rezim internasional dapat

47 International Federation of Red Cross, Improving Coordination, http://www.ifrc.org/Global/Impcoor.pdf diakses

pada 9/14/2012 48 Denise Plattner, Netralitas IRCR dan Netralitas dalam Bantuan Kemanusiaan,

http://icrcjakarta.info/download/Netralitas%20ICRC%20&%20Bantuan%20Kemanusiaan.pdf diakses pada

12/16/2012 49 International Federation of Red Cross, op cit. 50 ___, Seven Steps to Creating a More Transparent Organization,

http://www.reliableplant.com/Read/23472/Seven-steps-transparent-organization diakses pada 12/16/2012 51 ___, Building a Culture of Transparency, http://www.westernu.edu/bin/hr/hr-today-0708.pdf diakses pada

12/16/2012 52 ___, Importance of Transparency in Organization, http://www.chrmglobal.com/Articles/358/1/Importance-of-

Transparency-in-Organization.html diakses pada 12/16/2012 53 Stephen D. Krasner, International Regimes, United States of America, Cornell University Press, 1984, hal. 2

13

memecahkan masalah dengan mengkoordinasi kebijakan dan memfasilitasi perubahan informasi

diantara negara-negara.54

Organisasi internasional merupakan komponen dari rezim internasional

dan ada hubungan saling ketergantungan antara negara dan organisasi internasional. Alasan

negara untuk menjadi bagian dari organisasi internasional adalah karena negara tidak dapat

menyelesaikan masalahnya sendiri dan organisasi internasional merupakan tempat yang tepat

untuk mempromosikan kepentingan negara.55

Sehingga, ASEAN Declaration on the Protection

and Promotion of the Rights of Migrant Workers dapat dikatakan sebagai rezim internasional

yang dalam hal ini adalah rezim perlindungan buruh migran sementara ASEAN merupakan

organisasi internasional.

Jika negara-negara sudah sepakat untuk membentuk suatu rezim yang mana pembentukan

rezim tersebut adalah atas inisiatif sendiri dari negara-negara tersebut demi adanya suatu

koordinasi untuk pencapaian kepentingan bersama maka sudah seharusnya rezim tersebut

dijalankan. Akan tetapi, dalam permasalahan rezim perlindungan tenaga buruh di ASEAN ini

belum dapat dijalankan oleh anggotanya termasuk didalamnya Indonesia karena hingga saat ini

masih ada perdebatan perspektif dan posisi dari negara-negara pengirim dan penerima mengenai

kerangka instrumen yang mencerminkan adanya perbedaan besar antara negara pengirim dan

negara penerima.56

Sikap Malaysia mengenai adanya rezim perlindungan tenaga kerja dalam hal

ini tenaga kerja yang bermigrasi ke Malaysia adalah bahwa segala perlindungan hukum tidak

berlaku bagi tenaga kerja illegal.57

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia harus

mengambil tindaklanjut yang konkrit demi meminimalisir jumlah tenaga kerja illegal. Prosedur

resmi dianggap sulit oleh banyak calon TKI58

sehingga pada akhirnya menempuh jalur illegal

atau menggunakan jasa calo.

Rezim perlindungan buruh migran di ASEAN adalah sesuai dengan prinsip-prinsip

umum yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Semuanya itu terangkum dalam work

plan yang merupakan agenda kerja untuk mewujudkan prinsip-prinsip umum tersebut. Salah satu

54 Miles D. Townes, International Regimes and Information Infrastructure,

http://www.stanford.edu/group/sjir/1.2.07_townes.html diakses pada 9/5/2012 55 ___, Organisasi Internasional dan Pengaruhnya dalam Politik Luar Negeri,

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/371/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-18515-11-babxi(-).pdf diakses pada 7/7/2012 56 ___, Konsultasi Masyarakat Sipil tentang ACWC, ACMW, dan AICHR,

http://www.kalyanamitra.or.id/2012/04/konsultasi-masyarakat-sipil-tentang-perkembangan-acwc-acmw-dan-aichr/ diakses pada 10/19/2012 57

International Division Ministry of Human Resources Malaysia 58 Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,

elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012

14

poin dari work plan tersebut adalah pembentukan instrumen perlindungan yang menjadi dasar

perlindungan dari seluruh negara anggota ASEAN. Hingga saat ini belum ada instrumen yang

mengikat secara umum namun TF-AMW mengupayakannya dalam pembuatan kerangka

instrumen. Dalam kerangka instrumen tersebut disebutkan bahwa promosi dan perlindungan hak-

hak buruh migran di ASEAN dilakukan dengan komitmen bahwa ASEAN akan melakukan

penelitian terhadap isu-isu dan aksi yang memungkinkan dimana mekanisme regional dapat

dilakukan demi pelrindungan buruh migran dengan memastikan bahwa mekanisme regional akan

melengkapi upaya perlindungan domestik suatu negara anggota. Diantara mekanisme tersebut,

akan dibuat suatu „ASEAN Migrant Worker ID‟ yang akan digunakan sebagai pelengkap

paspor.59

Selain itu, ASEAN juga memfasilitasi pertukaran informasi terkait pekerja migran dan

melaksanakan langkah-langkah konkrit untuk menangani dan mencegah penyelundupan dan lalu

lintas ilegal manusia.60

Dibawah naungan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of

Migrant Workers upaya perlindungan buruh migran juga dapat dilakukan secara bilateral

sebagaimana yang tercantum dalam kerangka instrumen TF-AMW. Dalam kerangka instrument

tersebut, terdapat bagian “Joint Obligation of Receiving and Sending States” yang salah satu

bagiannya menyebutkan bahwa kerjasama bilateral dalam upaya perlindungan terhadap migran

worker adalah dengan mengadakan suatu perjanjian bilateral atau MoU mengenai sistem

perekrutan yang jelas dan transparan. Negara penerima harus mempersiapkan informasi berupa

hukum yang berlaku, kondisi pekerjaan dan keterampilan yang dibutuhkan, macam-macam

pekerjaan, hak dan norma, dan layanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan keuangan bagi

buruh migran. Negara pengirim harus memastikan bahwa informasi ini tersedia dan dipahami

bagi calon buruh migran sebelum perekrutan.61

59

Workers Connection, Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of

the Rights of Migrant Workers, http://www.workersconnection.org/resources/Resources_72/book_tf-amw_feb2010.pdf diakses pada 5/15/2012 60

Koesrianti, Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran, 2010,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21102042_2085-6075.pdf diakses pada 4/29/2012 61 Workers Connection, op cit

15

Masalah Koordinasi atas Tindaklanjut ASEAN Declaration on the Protection and

Promotion of the Rights of Migrant Workers

Partisipasi memberikan kontribusi yang signifikan dalam pelaksanaan suatu koordinasi

yang baik. Di level ASEAN, dibentuklah TF-AMW untuk mengimplementasikan deklarasi

tersebut dengan pembuatan kerangka instrumen yang tidak hanya merupakan masukan dari para

stakeholder namun juga dari masyarakat. Kerangka instrumen memuat kewajiban negara

pengirim, negara penerima, kerjasama antara negara pengirim dan negara penerima dalam

pembuatan sistem rekruitmen dan juga komitmen dari ASEAN sendiri. ASEAN juga

bekerjasama dengan partner regional dan nasional dalam penyusunan kerangka tersebut.62

Sementara itu, partisipasi bilateral Indonesia dan Malaysia dalam perlindungan dan

promosi hak-hak buruh migran di ASEAN adalah sebagai berikut, pertama, Indonesia dan

Malaysia pernah melakukan suatu partisipasi sehubungan dengan perlindungan pekerja rumah

tangga di Malaysia namun sebelum ada ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of

the Rights of Migrant Workers tepatnya pada tahun 2006. Partisipasi tersebut berupa

penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) namun banyak pihak termasuk pelapor

khusus PBB untuk Hak Asasi Buruh Migran menilai MoU tersebut melanggar Hak Asasi

Manusia (HAM) dan berpotensi terjadinya praktek trafficking.63

Namun partisipasi kedua negara

tersebut dalam menindaklanjuti ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the

Rights of Migrant Workers terbukti dengan terbatasnya tindak lanjut dari pemerintah Indonesia

yang berarti bahwa partisipasi keduanya terbatas karena permasalahan perlindungan buruh

migran tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja.

Kedua, Indonesia kurang berpartisipasi dalam perlindungan terhadap tenaga kerjanya

dengan memanfaatkan keketuaanya pada tahun 2011 yang sebenarnya bisa berkontribusi dalam

upaya melindungi buruh migran Indonesia.64

Jika pemerintah menganggap bahwa tenaga kerja

Indonesia yang memainkan peran penting bagi negara ini sering dilecehkan di Malaysia maka

Indonesia harusnya dapat memanfaatkan posisi tersebut agar mempercepat proses persetujuan

62 Workers Connection, Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of

the Rights of Migrant Workers, http://www.workersconnection.org/resources/Resources_72/book_tf-amw_feb2010.pdf diakses pada 5/15/2012 63 Disnakertransduk Jatim, MoU Perlindungan TKI dengan Malaysia Kembali Tertunda,

http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/164-mou-perlindungan-tki-dengan-malaysia-kembali-

tertunda diakses pada 10/1/2012 64 Ibid

16

suatu instrumen yang menyangkut perlindungan dan promosi hak buruh migran demi mencapai

kepentingan masing-masing negara anggota terkhusus Indonesia sendiri.

Ketiga, seperti data-data yang disajikan pada bab IV bahwa setiap tahun problematika

yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri khususnya di Malaysia mengalami

peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah tenaga kerja yang berangkat ke Malaysia.

Kasus-kasus yang dialami pun mendapat perhatian yang terbatas. Semisal kasus yang menimpa

TKI asal Lombok Timur yang tertembak tanpa saksi mata dengan tuduhan kriminal berbahaya.

KBRI tidak mencari asal muasal penyebab kematian.65

Pemerintah telah berupaya untuk

mengurus kepulangan jenazah akan tetapi partisipasi dalam mencegah terjadinya problematika

yang tidak adil seperti kasus tadilah yang seharusnya lebih ditingkatkan.66

Sehingga dapat dikatakan bahwa partisipasi dilevel ASEAN sudah cukup baik dengan

melibatkan masyarakat dalam pembentukan kerangka instrumen. Akan tetapi, pada level bilateral

antara Indonesia dan Malaysia masih kurang partisipasinya baik oleh Malaysia sebagai negara

penerima maupun Indonesia sebagai negara pengirim khususnya setelah adanya deklarasi

perlindungan buruh migran tersebut. Malaysia masih minim dalam memberikan perlindungan

bagi buruh migran yang terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan sementara Indonesia kurang

tanggap dalam mencegah problematika yang dihadapi tenaga kerjanya.

Ketidakberpihakan ditujukan agar terjadi pembuatan keputusan yang netral yang tidak

memihak pada salah satu negara anggota. Pada level ASEAN, adanya kewajiban dari negara

pengirim dan penerima merupakan bukti bahwa tidak ada keberpihakan pada satu pihak saja

sedangkan dalam pelayanan dan perlindungan terhadap TKI dilevel bilateral masih terdapat

situasi yang tidak berpihak pada hak-hak tenaga kerja. Pertama, sebagaimana dijelaskan dibab

sebelumnya bahwa prosedur pemberangkatan yang legal di Indonesia sulit sehingga para calon

TKI memilih untuk berangkat secara illegal. Sehingga di Malaysia, dua dari tiga TKI adalah

berstatus ilegal. Maraknya TKI illegal di Malaysia tidak terlepas dari keuntungan yang diterima

oleh kedua belah pihak. Pengusaha atau majikan mendapatkan tenaga kerja secara mudah dan

murah melalui agen sementara TKI mendapatkan jaminan pekerjaan tanpa melalui prosedur yang

65

Mata Najwa, Peluru Untuk TKI, Metro TV, 26 September 2012 pukul 21.30 WIB 66

Workers Connection, Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of

the Rights of Migrant Workers, http://www.workersconnection.org/resources/Resources_72/book_tf-

amw_feb2010.pdf diakses pada 5/15/2012

17

dianggap rumit.67

Padahal, hukum ketenagakerjaan di Malaysia tidak merespon pada tenaga

kerja ilegal termasuk sikap Malaysia terhadap ASEAN Declaration on the Protection and

Promotion of the Rights of Migrant Workers pun bukan untuk perlindungan dan promosi hak

tenaga kerja migran illegal.68

Kedua, merebaknya TKI illegal tidak terlepas dari sistem pelayanan dan perlindungan

TKI di Indonesia sendiri yang rumit dan masih ada dualisme didalamnya. Sementara di Malaysia

sendiri sangat menikmati adanya TKI illegal karena banyak jumlahnya, dapat dibayar dengan

gaji yang murah, dapat dijerat hukum dengan mudah bila melakukan suatu tindakan diluar

kehendak sang majikan, dan dapat dideportasi jika tidak dibutuhkan. TKI illegal dapat terjadi

juga pada TKI legal yang mengalami permasalah dengan majikan sehingga kabur atau pindah

pekerjaan tanpa dokumen yang dipegang oleh majikan.69

Hal ini menunjukkan bahwa pada level ASEAN, ketidakberpihakan sudah cukup baik

dengan adanya kewajiban negara pengirim dan negara penerima. Namun tidak demikian pada

level bilateral. Indonesia dalam mengeluarkan peraturan tidak memihak kepada tenaga kerja

Indonesia dan memihak pada kepentingan pemerintah sendiri yang ingin menikmati keuntungan

dari tenaga kerja Indonesia tanpa keinginan untuk menambah pelayanan dan perlindungan

terhadap mereka. Sejatinya, pemerintah Indonesia juga memikirkan hak-hak tenaga kerjanya

untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan. Sedangkan di Malaysia sendiri peraturan

perlindungan ketenagakerjaannya tidak memihak pada tenaga kerja ilegal yang berarti bahwa

Malaysia melakukan diskriminasi terhadap tenaga kerja ilegal. Padahal hal ini bertentangan

dengan salah satu prinsip ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of

Migrant Workers yang menyatakan bahwa negara-negara harus fokus pada menyelesaikan

masalah buruh migran bukannya fokus pada kesalahannya tidak memiliki dokumen.

Transparansi menjadi penting agar segala informasi dan upaya perlindungan dan

pelayanan dapat diketahui berbagai pihak yang terkait khususnya bagi tenaga kerja itu sendiri.

ASEAN telah berupaya transparan dalam menerima masukan dari untuk penyusunan kerangka

instrumen namun tidak transparan dengan segala agenda pertemuan dan hasil dari pertemuan

tahunan. Transparansi juga masih tidak baik pada level bilateral dan di level domestik Indonesia

67

Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,

elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012 68 International Division Ministry of Human Resources Malaysia 69 Ibid

18

sendiri. Pertama, sebelum melakukan koordinasi oleh origin country dan destination country

yang dalam hal ini adalah Indonesia dan Malaysia, Indonesia seharusnya memperbaiki pelayanan

dan perlindungan terlebih dahulu didalam negeri. Perlindungan dan promosi hak tenaga kerja

Indonesia tidak lepas dari koordinasi pihak atas hingga ke bawah dan juga koordinasi sesama

pihak diatas demi menghindari adanya dualisme yang terjadi. Penyelesaian kasus dualisme

BNP2TKI dan Kemekertrans pernah diselesaikan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) tertutup

untuk umum antara Komisi IX DPR RI70

dengan BNP2TKI dan dengan Kemenakertrans pada

waktu yang berbeda pada tahun 201071

namun hingga tahun 2012 masih saja terdapat kasus yang

membuktikan bahwa dualisme antara BNP2TKI dan Kemenakertrans masih ada yakni kasus

penerbitan Surat Ijin Pengerahan (SIP) TKI.72

Dualisme diatas menunjukkan proses

perlindungan dan pelayanan terhadap tenaga kerja Indonesia yang tidak transparan. Kementerian

Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang seharusnya berperan sebagai regulator atau pengatur juga

berperan sebagai operator atau pelaksana yang merupakan tugas dari BNP2TKI. Terjadi

perebutan tugas antara kedua badan ini padahal keduanya harus saling berkoordinasi dan

transparan dalam melaksanakan tugasnya.

Kedua, ketidaktransparanan pelayanan dan perlidungan pemerintah terhadap tenaga kerja

migran juga dibuktikan dengan laporan audit kinerja Kemenakertrans dan BNP2TKI yang

dikeluarkan oleh Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) pada bulan Maret 2011.

Laporan ini menunjukkan bahwa mekanisme penempatan TKI diluar negeri tidak didukung

secara penuh dengan kebijakan yang utuh, komprehensif, dan transparan untuk melindungi hak-

hak dasar TKI. Sehingga membuktikan bahwa realitas ketidakberaturannya tata kelola

penempatan TKI dan juga membuktikan lemahnya komitmen dan kinerja kedua badan tersebut

dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap buruh migran. Apabila sistem

pelayanan dan perlindungan dalam negeri masih belum kuat maka berpengaruh pada koordinasi

dilevel bilateral.73

70

Komisi IX DPR RI menangani ruang lingkup Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kependudukan dan Kesehatan

dengan pasangan kerja Departemen Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BKKBN, BNP2TKI,

PT. Askes (Persero), PT. Jamsostek (Persero) 71 BNP2TKI, Soal Dualisme Menakertrans Belum Jawab Surat DPR, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-

231/2200-soal-dualisme-menakertrans-belum-jawab-surat-dpr.html diakses pada 5/3/2012 72 Luther Kembaren, Pelayanan BNP2TKI dan Kemenakertrans Tumpang Tindih,

http://www.jurnas.com/halaman/15/2012-03-02/200911 diakses pada 4/29/2012 73

Anis Hidayah & Wahyu Susilo, Statement Migrant’s Day 2011: Pemerintah Masih Mengingkari Tanggungjawab

Perlindungan Buruh Migran,

http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=1467 diakses pada 5/7/2012

19

Ketiga, mengacu pada Filipina sebagai negara dengan keberhasilan penanganan pekerja

migrannya secara professional yang mendapat perlindungan didalam dan diluar negeri,

ditempatkan pemerintahnya pada penyumbang devisa yang sangat berharga pada negara tanpa

mengorbankan harga diri bangsa74

maka pemerintah Indonesia sejatinya dapat mencontohnya.

Perbaikan dalam negeri yakni dengan memperkuat koordinasi antara Kemenakertrans,

BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Perusahaan Penempatan Tenaga kerja Indonesia Swasta

(PPTKIS), LSM dan calon tenaga kerja itu sendiri. Selain koordinasi untuk memperjelas tugas

dari masing-masing badan juga dibutuhkan transparansi dalam setiap regulasi. Regulasi yang

dimaksud juga termasuk sistem perekrutan hingga penempatan yang berarti membutuhkan

transparansi dari agen-agen penempatan TKI yang berada di Indonesia maupun Malaysia.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa transparansi baik pada level ASEAN maupun

level bilateral masih belum cukup baik ditunjukkan dengan tidak adanya publikasi pada setiap

agenda dan hasil pertemuan tahunan. Pada level bilateral ditunjukkan dengan tidak ada

transparansi pada regulasi penempatan oleh agen di Indonesia dan di Malaysia. Penyebabnya

adalah transparansi pelayanan dan perlindungan dalam negeri sendiri yang belum baik

ditunjukkan dengan adanya dualisme pelayanan dan perlindungan TKI.

Kesimpulan

ASEAN menyadari bahwa buruh migran memainkan peran yang penting sehingga

negara-negara anggotanya sepakat untuk membentuk suatu deklarasi untuk melindungi dan

mempromosikan hak-hak buruh migran yang disebut dengan ASEAN Declaration on the

Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Namun dalam pelaksanaannya,

Indonesia terbatas dalam penindaklanjutannya karena adanya koordinasi yang tidak baik antara

Indonesia dan Malaysia dalam promosi dan perlindungan hak buruh migran. Koordinasi yang

baik dalam melindungi dan mempromosikan hak buruh migran apabila melibatkan partisipasi,

ketidakberpihakan dan transparan.

Partisipasi dilevel ASEAN cukup baik ditunjukkan dengan dibentuklah TF-AMW untuk

mengimplementasikan deklarasi tersebut dengan pembuatan kerangka instrumen yang tidak

74

Laila Nagib, Sistem Penanganan dan perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan,

elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../5609.pdf diakses pada 4/26/2012

20

hanya merupakan masukan dari para stakeholder namun juga dari masyarakat. Partisipasi

Indonesia dan Malaysia masih belum cukup baik terbukti dengan terbatasnya tindak lanjut dari

pemerintah Indonesia padahal bila ada partisipasi dari pemerintah Indonesia maka akan

melibatkan Malaysia karena permasalahan perlindungan buruh migran tidak dapat diselesaikan

oleh satu negara saja. Indonesia yang tidak memanfaatkan keketuaannya di ASEAN juga

menunjukkan partisipasi yang lemah dalam melakukan perlindungan terhadap tenaga kerjanya.

Problematika yang terus menerus bertambah dari tahun ke tahun pun menunjukkan partisipasi

lemah.

Ketidakberpihakan pada level ASEAN cukup baik ditunjukan dengan adanya kewajiban

dari negara pengirim dan penerima merupakan bukti bahwa tidak ada keberpihakan pada satu

pihak saja. Sementara dilevel bilateral masih belum cukup baik ditunjukkan dengan Indonesia

yang masih memihak pada kepentingan pemerintahnya sendiri yang tercermin dalam tidak

adanya perubahan dalam sistem pelayanan dan perlindungan sehingga dianggap rumit

mengakibatkan tingginya angka tenaga kerja ilegal. Padahal Malaysia melakukan diskriminasi

terhadap tenaga kerja ilegal tercermin dalam kebijakan perlindungan ketenagakerjaan di

Malaysia tidak memihak pada tenaga kerja ilegal yang mana hal ini bertentangan dengan salah

satu prinsip ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant

Workers.

Transparansi pada level ASEAN belum baik ditunjukkan dengan ASEAN yang telah

berupaya transparan dalam menerima masukan dari masyarakat untuk penyusunan kerangka

instrumen namun tidak transparan dengan segala agenda pertemuan dan hasil dari pertemuan

tahunan. Pada level bilateral pun demikian ditunjukkan dengan tidak ada transparansi pada

regulasi penempatan oleh agen di Indonesia dan di Malaysia. Penyebabnya adalah badan-badan

yang berkaitan dengan pelayanan dan perlindungan TKI masih belum transparan merujuk pada

adanya dualisme antara BNP2TKI dan Kemenakertrans. Dibutuhkan transparansi yang jelas agar

tidak terjadi tumpang tindih dalam dalam setiap pembuatan regulasi termasuk regulasi sistem

perekrutan hingga penempatan.

Koordinasi yang tidak baik antara Indonesia dan Malaysia tersebut dikarenakan ASEAN

sebagai organisasi regional yang masih belum partisipatif dilihat dari masing-masing anggota

yang mempunyai tujuan tersendiri dalam organisasi ini dan tidak mempunyai suatu tujuan yang

ingin dicapai bersama. Sikap ketidakberpihakan belum terdapat diantara anggota-anggota

21

ASEAN karena masih ada pemihakan pada kepentingan tertentu. Hasil pertemuan pun bersifat

tidak transparan dan belum ada instrumen perlindungan yang mengikat secara hukum. Sehingga,

keterbatasan penindaklanjutan Indonesia atas ASEAN Declaration on the Protection and

Promotion of the Rights of Migrant Workers dikarenakan koordinasi yang tidak baik karena

partisipasi, ketidakberpihakan dan transparansi yang lemah didalamnya baik dilevel ASEAN

maupun level bilateral.