jurnal ta'dib

140
KONSEPSI PANCA DHARMA KI HADJAR DEWANTARA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PENDIDIKAN ISLAM Solehan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Alamat: Jl. Yos Sudarso No. 6 Surabaya Abstract: Panca Dharma is important education concept of Ki Hajar Dewantara. It contains five of main ideas on education, i.e.: natural base, freedom base, living base, cultural base, nation base, and humanity base. The five bases of education, in reality, had been implemented in daily live of Yayasan Pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar’s education foundation. If five of bases are viewed from Islamic education concept they are relevant in the mean that five bases are also considered as foundation principles of Islamic education. Meanwhile, there are some differences between of two, such as from terminology and referencese that is used. Keywords: panca dharma, education bases, and Islamic education. A. Pendahuluan Pendidikan mempunyai beberapa aspek yang menjadi pilar pendukungnya. Salah satunya adalah aspek pemikiran yang berfungsi membangun wawasan filosofis sebagai dasar tempat berpijak dari sistem dan praktik pendidikan. Aspek pemikiran ini sangat signifikan, terlebih lagi bangsa Indonesia yang memiliki heterogenitas dalam berbagai segi kehidupan, termasuk keragaman dalam bidang pemikiran dan praktik pendidikan. Salah satu wujud pemikiran di bidang pendidikan yang memiliki arti sangat penting dalam proses mencerdaskan bangsa dan masyarakat Indonesia adalah konsepsi Panca Dharma yang

Upload: jurnal-tadib

Post on 04-Apr-2016

235 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Jurnal Ta'dib Edisi Juni 2010

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ta'dib

KONSEPSI PANCA DHARMA KI HADJAR DEWANTARA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PENDIDIKAN ISLAM

Solehan

Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Alamat: Jl. Yos Sudarso No. 6 Surabaya

Abstract: Panca Dharma is important education concept of Ki Hajar Dewantara. It contains five of main ideas on education, i.e.: natural base, freedom base, living base, cultural base, nation base, and humanity base. The five bases of education, in reality, had been implemented in daily live of Yayasan Pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar’s education foundation. If five of bases are viewed from Islamic education concept they are relevant in the mean that five bases are also considered as foundation principles of Islamic education. Meanwhile, there are some differences between of two, such as from terminology and referencese that is used. Keywords: panca dharma, education bases, and Islamic education. A. Pendahuluan

Pendidikan mempunyai beberapa aspek yang menjadi pilar pendukungnya. Salah satunya adalah aspek pemikiran yang berfungsi membangun wawasan filosofis sebagai dasar tempat berpijak dari sistem dan praktik pendidikan. Aspek pemikiran ini sangat signifikan, terlebih lagi bangsa Indonesia yang memiliki heterogenitas dalam berbagai segi kehidupan, termasuk keragaman dalam bidang pemikiran dan praktik pendidikan.

Salah satu wujud pemikiran di bidang pendidikan yang memiliki arti sangat penting dalam proses mencerdaskan bangsa dan masyarakat Indonesia adalah konsepsi Panca Dharma yang

Page 2: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

2

dirumuskan secara sistematis oleh Ki Hajar Dewantara, perintis dan pemimpin Yayasan Taman Siswa. Dikatakan penting karena beberapa konsepsi pemikiran tersebut sempat menempati posisi dan peran yang cukup penting di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementerian Pendidikan Nasional).

Sementara, apa yang dikenal dengan pendidikan Islam, juga mempunyai realitas tumbuh dan berkembang di berbagai kawasan negeri ini. Keberadaan pendidikan Islam tidak terlepas dari pengembangan aspek pemikirannnya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Realisasi dari pemikiran tersebut diwujudkan dalam bentuk pesantren, madrasah, dan pendidikan agama di sekolah umum di Indonesia.

Berkembangnya dua pola pemikiran tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya dalam rangka mencari hubungan antara keduanya. Penelitian ini diharapkan selain untuk mengetahui pemikiran kependidikan Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam Konsepsi Panca Dharma, juga untuk mengetahui pandangan Islam tentang konsepsi tersebut serta memperkaya khazanah pemikiran kependidikan di Indonesia.

Dari judul dan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah deskripsi pemikiran kependidikan Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam konsepsi Panca Dharma? (2) Bagaimanakah tinjauan ajaran (pendidikan) Islam terhadap konsepsi tersebut?

Sesuai dengan tujuan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: (1) untuk mengenal secara mendalam dan sistematis pemikiran kependidikan Ki Hajar Dewantara, khususnya yang tertuang dalam Konsepsi Panca Dharma; (2) untuk mendukung upaya pengembangan kepekaan berpikir masyarakat, khususnya di kalangan tertentu yang terkait dengan pendidikan; (3) sebagai bahan kajian konseptual untuk memperoleh berbagai masukan guna merumuskan konsep pendidikan; dan (4) sebagai sumbangan keilmuan untuk

Page 3: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

3

menjadi rujukan bagi pihak-pihak tertentu dalam merumuskan penataan bidang pendidikan dan sekaligus sebagai sumber bagi kajian ilmiah berikutnya.

B. Metodologi Penelitian

Dalam operasionalnya, penelitian ini termasuk jenis studi literatur (library research). Adapun data diperoleh dari bahan kepustakaan baik dalam wujud sumber primer maupun sekunder, misalnya Asas-Asas dan Prinsip Taman Siswa (Dewantara, 1981), Riwayat Perjuangan Taman Siswa (Sajoga, 1981), Ki Hadjar (Soeratman, 1985), Ki Hajar dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (Surmiharjo, 1986), Falsafah Pendidikan Islam (Al-Syaibani, 1979), dan Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Langgulung, 1983).

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: pertama, data tentang pemikiran kependidikan Ki Hajar Dewantara yang termaktub dalam konsepsi Panca Dharma. Selanjutnya data kedua adalah data tentang konsep-konsep pendidikan Islam yang menjadi alat analisis untuk melihat konsepsi Panca Dharma. Untuk memperoleh data tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara, penulis menggunakan metode studi historis. Hal ini dikarenakan data tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara berkaitan dengan masa lalu. Sedangkan untuk data kedua penulis menggunakan metode studi tematis, artinya mengumpulkan data dengan tema khusus ajaran Islam yang berkaitan dengan pendidikan dan bukan bidang-bidang yang lain. Untuk proses analisis data, studi ini menggunakan metode komparatif, analitis, dan sintesis.

C. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Konsepsi Panca Dharma Ki Hajar Dewantara

Tidak saja sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara terkenal juga sebagai pejuang dan budayawan. Sesuai dengan judul di atas, dirasa perlu mengemukakan secara khusus apa itu Panca

Page 4: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

4

Dharma. Panca Dharma secara umum berarti “lima asas”. Lima asas pemikiran yang terhimpun dalam konsepsi tersebut adalah: asas kodrat alam, asas kemerdekaan, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan. Lebih jelasnya, asas-asas tersebut akan diterangkan satu-persatu berikut ini:

a. Asas Kodrat Alam Asas ini berkaitan dengan hakikat dan kedudukan manusia

sebagai makhluk hidup di dunia, agar senantiasa mengatur dan menempatkan diri dalam hubungan yang harmonis dengan alam dan lingkungan sekitar. Keharmonisan hubungan tersebut akan mendukung tercapainya kesejahteraan. Sebaliknya, jika terjadi pertentangan, maka akan mengarah kepada kehancuran harkat manusia. Kesadaran manusia akan hakikat dan dan kedudukannya di dunia ini, niscaya akan memperkokoh pijakan bagi dirinya dalam berbuat positif demi masa depannya. Sebaliknya, kekeliruan dalam menghadapi dunia ini, akan berujung kepada kesesatan atau kekeliruan yang bersangkutan dalam usaha memperoleh keberhasilan hidup.

Menurut Ki Hajar, pada hakekatnya manusia sebagai makhluk Tuhan adalah satu dengan kodrat alam ini. Artinya, manusia merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dengan jagad raya ciptaan Tuhan. Ia hanya berhasil dalam hidupnya selama ia mengikuti dan mematuhi kodrat alam yang memiliki banyak hal positif bagi manusia, termasuk penyediaan fasilitas dalam mencapai kemudahan dan keberhasilan hidup manusia. Demi kemudahan dan keberhasilan itulah, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa dalam kesatuan dan keterpaduannya dengan alam. b. Asas Kemerdekaan Inti dari pandangan ini adalah bahwa manusia dilahirkan ke dunia

dalam keadaan bebas merdeka, dalam arti memiliki hak asasi yang bersifat asli untuk hidup dan menyelenggarakan kehidupannya. Tak

Page 5: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

5

seorangpun bisa memaksakan kehendak atau kekuasaanya terhadap orang lain, yang berarti menodai kebebasan individu manusia di muka bumi ini. Kebebasan dan kemerdekaan itu merupakan anugerah dari Tuhan, sehingga tidaklah pantas bila ada pihak tertentu yang ingin mencabutnya.

Asas kemerdekaan tersebut, harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan jangan sampai disalahgunakan semaunya. Dengan asas ini, maka tiap-tiap individu didorong untuk memiliki sikap disiplin dan budi luhur. Dengan adanya sikap-sikap tersebut, maka akan tercipta keteraturan, kesungguhan, dan sikap pantang menyerah dalam menghadapi hidup. Kedisiplinan, pada akhirnya akan menjadi salah satu pilar pendukung kemajuan hidup manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.

c. Asas Kebudayaan Salah satu ciri dari kemajuan individu atau masyarakat dapat

dilihat dari corak dan mutu kebudayaan yang berhasil diciptakan dan sekaligus merupakan bagian integral dari realitas kehidupan individu atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, bagi suatu bangsa, sangat penting sekali adanya usaha memelihara dan mengembangkan budaya individu dan masyarakatnya. Budaya akan menjadi salah satu pembentuk identitas bangsa sekaligus pembeda dengan bangsa lain. Kebudayaan suatu bangsa juga merupakan cermin kemajuan dan keberhasilan bangsa itu sendiri.

Menurut Ki Hajar, pelestarian dan pengembangan kebudayaan suatu bangsa tidak berarti hanya memelihara dan melindunginya dari pengaruh luar. Tetapi yang lebih penting adalah, membawa budaya tersebut ke suatu tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan tuntutan dan realitas perubahan zaman. Dengan demikian, asas kebudayaan dan pengembangannya ini lebih bersifat dinamis, dan bukan suatu pertahanan yang statis sifatnya. Kebudayaan yang selayaknya dikembangkan dan

Page 6: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

6

dipelihara, menurut beliau, mencakup segala hal yang berkaitan dengan kepentingan hidup bangsa itu sendiri, lahir maupun batin. d. Asas Kebangsaan

Sudah sedemikian lazimnya bahwa setiap bangsa di dunia ini mencintai dan memegang teguh ikatan kenegaraan dan kebangsaannya. Hal yang demikian ini bukanlah buruk, karena di sana terkandung realitas dan makna persatuan sebagai modal keberhasilan perjuangan bangsa. Tanpa adanya kebanggaan akan identitas kebangsaan, jelas tidak mungkin dicapai keberhasilan dan persatuan, bahkan sebaliknya bisa mengarah kepada pertikaian antar kelompok tertentu atau malah kehancuran bangsa itu sendiri.

Akan tetapi, jangan sampai cinta kebangsaan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Asas kebangsaan harus menampilkan bentuk perbuatan yang nyata, jangan sampai mengarah kepada permusuhan terhadap bangsa lain. Pada lingkup bangsa sendiri, asas tersebut antara lain mendorong rasa persatuan antar kelompok yang ada, juga persatuan dalam kehendak maupun cita-cita untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin bagi seluruh komponen bangsa. e. Asas Kemanusiaan

Seluruh darma, usaha atau pengabdian manusia di tengah perjalanan hidup ini, pada hakikatnya adalah untuk kepentingan harkat dan martabat kemanusiaan. Sebagai layaknya manusia baik secara individual maupun sosial, ia akan berupaya sekuat tenaga agar hajat dan kebutuhan hidup manusiawinya terpenuhi secukupnya. Selama kebutuhan manusiawi tersebut belum terpenuhi, maka perjuangan akan terus berlangsung. Padahal, kebutuhan manusiawi jenis dan ragamnya banyak sekali, termasuk di dalamnya pemenuhan harkat kemanusiaan.

Menurut Ki Hajar, asas kemanusiaan harus ditegakkan di atas prinsip kesucian hati dan rasa cinta kasih terhadap sesama

Page 7: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

7

manusia, dan juga kepada semua makhluk Tuhan. Atas dasar itu, maka jangan sampai ada pihak yang mengatasnamakan kemanusiaan tetapi menyakiti, bahkan menghancurkan hak hidup manusia lain. Prinsip ini sedemikian penting sehingga tidak dapat terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri.

2. Konsepsi Panca Dharma dan Yayasan Taman Siswa Apa yang tercantum sebagai keutuhan sistem pemikiran Ki Hajar

Dewantara yang terhimpun dan konsepsi Panca Dharma, ternyata memang benar-benar telah beliau wujudkan secara rill di lingkungan sehari-hari Yayasan Pendidikan Taman Siswa. Kelima asas yang tercantum dalam Panca Dharma dijadikan prinsip-prinsip pendidikan yang sangat penting di mana setiap langkah kependidikan harus disesuaikan dengan konsepsi tersebut.

Taman Siswa, sebagaimana telah dikenal luas, merupakan lembaga pendidikan atau perguruan yang memiliki ciri khusus yang berbeda dari yayasan atau lembaga pendidikan di Indonesia lainnya. Ciri khusus Taman Siswa, antara lain terlihat dari piagam resminya, seperti termaktub pada Bab I, pasal 1 dan 7.1

Taman Siswa terlahir dalam situasi kolonial, di mana sistem kehidupan politik ketika itu ikut mewarnainya. Kondisi demikian membuat Taman Siswa selalu ikut mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan politik dalam setiap sepak terjangnya. Sehubungan dengan ini, Surmiharjo (1986: 147-148) mengemukakan:

Pertama, dapat disebut bahwa berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Kedua, kedudukannya sebagai

1Pasal 1: Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan

pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas sebagai sarana.

Pasal 7: Taman Siswa merupakan keluarga suci, dengan Ki Hajar Dewantara sebagai bapak dan Asas Taman Siswa sebagai ibu.

Page 8: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

8

tempat swadaya anggota-anggota partai politik dan secara tidak langsung memupuk kader-kader bangsa Indonesia untuk kepentingan masa depan. Ketiga, perlawanannya terhadap soal-soal tertentu dengan pemerintah penjajah.

Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa dilihat dari sejarah berdirinya, Taman Siswa merupakan lawan politik pendidikan kolonial. Pada saat yang sama ia adalah prasarana untuk mencapai cita-cita bagi terwujudnya sistem pendidikan nasional yang mandiri dan mempunyai ciri khusus kebangsaan dan keindonesiaan. Dalam pelaksanaan riilnya di masyarakat, Taman Siswa merupakan reaksi logis terhadap realitas pendidikan kolonial yang kering dari jiwa kebangsaan.

Antara Konsepsi Panca Dharma yang secara sistematis dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara dengan aplikasi dan realisasi kongkretnya dalam wujud Yayasan Taman Siswa yang beliau rintis dan pimpin sendiri memang jelas terlihat adanya konsistensi dan titik temu antara keduanya. Sehingga orang dengan mudah menyatakan bahwa Panca Dharma merupakan nafas penggerak Taman Siswa. Hal ini bisa dibuktikan dengan dijabarkannya Panca Dharma dalam dasar-dasar pendidikan Taman Siswa yang tercermin dari pernyataan-pernyataan berikut:

a. Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga siswa agar kelak di dalam garis-garis kodrat pribadinya mendapat kemajuan lahir batin menuju arah adab kemanusiaan.

b. Kodrat hidup manusia menunjukkan adanya kekuatan pada manusia sebagai bekal hidupnya yang perlu untuk pemeliharaan dan kemajuan hidupnya. Sehingga tercipta pribadi-pribadi yang dapat mencapai keselamatan dalam hidupnya baik individu maupun masyarakat.

Page 9: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

9

c. Adab kemanusiaan yang mengandung arti keharusan serta kesanggupan manusia untuk menuntut kecerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinya serta bersama-sama dengan masyarakat dalam suatu lingkungan alam dan zaman, menimbulkan kebudayaan kebangsaan yang bercorak khusus dan pasti tetap berdasar atas adab kemanusiaan manusia sedunia. Sehingga terwujudlah individu, kemanusiaan, dan kebangsaan yang saling berhubungan karena persamaan dasar.

d. Kebudayaan sebagai buah dan hasil perjuangan manusia terhadap kekuasaan alam dan zaman, membuktikan kesanggupan manusia untuk mengatasi segala kesukaran dalam hidup, guna mencari keselamatan dan kebahagiaan di dalam hidup bersama yang bersifat tertib dan damai, khususnya untuk memudahkan, mempertinggi, dan menghaluskan hidupnya.

e. Kemerdekaan adalah syarat mutlak dalam tiap-tiap segi kehidupan yang berdasarkan keyakinan manusia karena kodratnya sendiri. Hanya dengan terbatasnya pengaruh negatif terhadap kodrat alam itulah akan tercipta suasana aman, sehingga individu maupun masyarakat dapat memelihara, mewujudkan, dan menyempurnakan hidupnya sendiri. Tiap-tiap usaha melawan kodrat alam tersebut akan mempersulit dan menghambat kemajuan hidup siswa.

f. Sebagai usaha kebudayaan, maka tiap-tiap satuan pendidikan berkewajiban memelihara dan meneruskan dasar-dasar dan garis-garis hidup yang terdapat dalam tiap-tiap aliran dan kemasyarakatan, untuk mencapai keluhuran hidup menuju ke arah kemanusiaan yang ideal.

g. Pendidikan dan pengajaran rakyat sebagai usaha sadar guna mempertinggi dan menyempurnakan kehidupan rakyat adalah kewajiban negara, yang oleh pemerintah harus dilakukan

Page 10: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

10

dengan sebaik-baiknya dengan mengingat dan memperhatikan segala keistimewaan yang sesuai dengan kebatinan masyarakat yang kuat, serta memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk menuntut kecerdasan budi, kepandaian, dan kecerdasan setinggi-tingginya menurut kemampuan masing-masing (Sajoga, 1981: 271-271).

Oleh Ki Hajar Dewantara, Panca Dharma sering disebut sebagai aliran, haluan, anjuran, tekad, niat, dan kemauan, supaya semua pihak yang terlibat di dalam kegiatan kependidikan di Taman Siswa mengamalkannya. Selanjutnya, beliau menegaskan:

Bekal-bekal untuk hidup lahir dan batin cukuplah manusia dapatkan dari kodrat alam. Perkembangan jiwa raga haruslah dilindungi kemerdekaan agar tidak menyalahi kodrat hidup manusia dan semua itu menuju ke arah kebudayaan. Kebudayaan yang sejati adalah yang pada lingkaran pertama tercermin dari hidup kebangsaan yang selanjutnya meningkat dan meluas sebagai sifat kemanusiaan. (Dewantara, 1981: 68).

3. Tinjauan Pendidikan Islam Terhadap Konsepsi Panca Dharma Ki Hajar Dewantara Setelah diuraikan panjang lebar tentang Konsepsi Panca Dharma

Ki Hajar Dewantara, sekaligus aplikasinya dalam wujud Yayasan Taman Siswa, selanjutnya hendak dianalisis dengan mengikuti tata urutan konsepsi itu sendiri.

a. Asas Kodrat Alam Menurut Ki Hajar, kodrat alam adalah segala kekuatan dan

kekuasaan alam yang mengelilingi dan melingkupi kita, bersifat asli dan jelas yang sewaktu-waktu dapat kita lihat dan nyatakan (Dewantara, 1981: 352). Kodrat alam itulah petunjuk jalan kita karena kodrat alam itu merupakan kekuasaan dan ketertiban Tuhan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa kodrat hidup

Page 11: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

11

manusia menunjukkan adanya kekuatan pada makhluk tersebut sebagai bekal hidup yang diperlukan untuk pemeliharaan dan kemajuan hidupnya. Sehingga lambat laun manusia itu dapatlah juga mencapai keselamatan dalam hidupnya (secara lahiriah) dan juga kebahagiaan dalam hidupnya (secara batiniah), baik untuk pribadi maupun masyarakatnya.

Dari pengertian di atas, dapatlah dikatakan bahwa penerapan asas kodrat alam sebagai salah satu dari Konsepsi Panca Dharma yang menjadi dasar pendidikan di Taman Siswa, telah memberikan dasar keyakinan adanya kekuatan kodrat pada diri manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia menurut pemahaman kodrat alam ini, sejak asalnya telah memiliki bekal untuk ditumbuh-kembangkan dan dipelihara sebagaimana mestinya, sehingga memperoleh keselamatandan kebahagiaan lahir batin, baik untuk kepentingan pribadinya maupun untuk kepentingan masyarakat.

Ditinjau dari sudut pandang pendidikan Islam, apa yang dalam Panca Dharma dikenal sebagai istilah kodrat alam, kelihatannya identik dengan pemikiran filosofis Islam tentang fitrah. Fitrah intinya adalah kemampuan dasar dan kecenderungan asli yang murni bersifat pembawaan pada setiap individu. Kemampuan bawaan tersebut muncul dalam bentuk yang sederhana dan terbatas sekali, kemudian terjadi proses interaksi dengan lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik dan sempurna atau bisa pula sebaliknya, tergantung pengaruh yang diterima dari lingkungan tersebut.

Pendidikan Islam memandang penting keberadaan fitrah, dalam pengertian sebagai potensi dasar atau pembawaan asli manusia ketika lahir di dunia. Akan tetapi Islam sekaligus juga memandang bahwa fitrah itu pada akhirnya dipengaruhi oleh pengaruh luar berupa lingkungan, khususnya orang tua sebagai

Page 12: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

12

lingkungan pertama, sebagai dikemukakan oleh Muhammad At-Taumy Asy-Syaibani (1979: 183):

1) Fitrah manusia dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan conditional statement (hal bersyarat) yang aktualisasinya tergantung pada individu itu sendiri. Dengan kata lain, ada pengejawantahan (self-realization) manusia, yakni hasil rentang antara sumber daya insani dan aktualisasinya sebagai kenyataan. Untuk mengisi rentangan itu, Islam mengajarkan aktifitas dan inisiatif manusia yang dalam kaitan ini adalah jihad dan ikhtiar. Dalam kedua konsep tersebut, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk reaktif saja, tetapi juga makhluk responsif.

2) Islam menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah dan sumber insani serta bakat-bakat bawaan (keturunan), tetapi semua itu masih merupakan potensi, dalam arti memiliki berbagai kemungkinan. Bagaimanapun juga, faktor keturunan bukanlah suatu faktor yang kaku, dalam arti ia bisa mengalami kelenturan atau bergeser karena pengaruh lingkungan. Maka berarti, lingkungan sekitar adalah faktor pendidikan yang sangat penting.

Dalam kaitannya dengan asas kodrat alam, Islam memandang bahwa pendidikan sebagai proses pertumbuhan tingkah laku baik secara individu maupun kelompok, hanya akan berhasil dengan adanya sesuatu di sekelilingnya di mana ia hidup. Pendidikan bukan semata-mata pewarisan nilai-nilai budaya seperti kecerdasan dan keterampilan dari generasi tua ke generasi muda di lingkungan komunitas tertentu, melainkan juga berarti pengembangan potensi individu untuk kepentingan individu itu sendiri dan selanjutnya juga untuk masyarakat.

Dari sini jelaslah, menurut pandangan Islam, setiap yang harus dikembangkan dalam pendidikan sesungguhnya merupakan

Page 13: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

13

informasi adanya kesadaran dan pengertian manusia akan pesan-pesan Allah dalam rangka penciptaan alam semesta. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah suatu upaya pembentukan formasi sikap-sikap positif berkenaan dengan alam, karena segala yang ada ini hakikatnya demi keperluan manusia.

Dengan demikian, maka konsepsi kodrat alam bagi setiap manusia, pada dasarnya merupakan potensi dasar atau pembawaan yang mengandung berbagai kemungkinan. Mengingat yang ada dalam keasliannya pada setiap individu hanyalah potensi dasar, maka peranan pendidikan sangat penting untuk memberikan stimulus positif dalam pengembangannya. Sementara itu, istilah kodrat alam yang pada intinya mengandung arti potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sejak kelahirannya di dunia, dapat disejajarkan dengan terminologi fitrah dalam pendidikan Islam.

Tetapi fitrah, selain dapat disamakan dengan kodrat alam yang nyata, juga masih mempunyai pengertian lain yang lebih luas. Sedangkan pribadi manusia, sesungguhnya merupakan realitas obyektif yang dalam konteks pendidikan berhadapan dengan faktor-faktor lingkungan, baik yang berwujud alam dalam keasliannya maupun sesuatu yang menjadi hasil budidaya manusia itu sendiri. Adanya keterkaitan antara kodrat alam dan fitrah manusia di satu pihak dan lingkungan hidup sekitar pihak lain, di samping mengandung nilai-nilai positif dalam wujud aktifitas pendidikan, seringkali menghasilkan dampak yang kurang baik jika salah pemanfaatannya. Oleh karena itulah, maka pengembangan kodrat alam atas dasar fitrah manusia perlu dilakukan dengan hati-hati, dan tentu saja perlu didasari pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan dalam arti luas. b. Asas Kemerdekaan

Kemerdekaan adalah syarat mutlak bagi setiap usaha dalam bidang pendidikan. Pandangan semacam ini berdasarkan

Page 14: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

14

keyakinan bahwa manusia walaupun ada kodrat alam yang mendudukkan dirinya pada batas-batas potensi dasar tertentu, namun jika memperoleh momentum positif bagi pengembangannya, niscaya akan dapat memelihara, memajukan, dan menyempurnakan harkat dan martabat hidupnya di tengah-tangah masyarkat. Momentum positif yang sangat diperlukan dalam keberhasilan pendidikan, antara lain adalah kemerdekaan dalam arti yang luas. Maksudnya, kemerdekaan untuk menyelenggarakan pendidikan agar jangan sampai mendapat halangan atau gangguan dari pihak lain, dan sekaligus untuk menempatkan anak didik sebagai obyek yang merdeka dalam arti tidak mengalami perlawanan yang dapat menghambat perkembangan serta kemajuannya.

Menurut Ki Hajar, kemerdekaan dalam penyelenggaraan pendidikan, berarti memberikan kebebasan yang profesional kepada anak didik dalam berpikir dan berbuat untuk mencapai cita-citanya. Itulah sebabnya tujuan pendidikan Taman Siswa adalah mengembangkan dan membangun orang yang dapat berpikir dan berbuat secara merdeka, lahir dan batin. Maka dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu sifatnya berdiri sendiri, dapat mengatur diri sendiri, dan tidak bergantung kepada orang lain.

Dengan merumuskan asas kemerdekaan ini, Ki Hajar memaksudkannya sebagai kritik terhadap sistem pendidikan Barat yang dinilainya terlalu bersifat intelektualitas karena dikembangkan atas asas perintah, ketertiban, dan hukuman. Sedangkan Taman Siswa, sejak awal berdirinya mengutamakan semangat tertib dan tentram, dengan metode ngemong sebagai metode pendidikannya, sehingga muncul tradisi dalam praktek kependidikan sehari-hari, bahwa mengekang kemerdekaan siswa berarti menghambat kemajuan dan perkembangan mereka.

Page 15: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

15

Jika dilihat dari sudut pendidikan Islam, maka asas kemerdekaan yang terdapat dalam Panca Dharma sesungguhnya merupakan sesuatu yang pantas untuk dipegang teguh dan diambil manfaatnya bagi kepentingan anak didik dalam arti yang luas. Pendidikan Islam juga memberikan tempat utama terhadap prinsip-prinsip dasar kemerdekaan manusia.

Ajaran Islam memandang kemerdekaan sebagai hal yang bersifat natural pada manusia. Tanpa kebebasan maupun kemerdekaan, manusia tidak dapat diharapkan memiliki tanggung jawab atas segala perbuatannya. Seseorang dianggap bermoral, apabila dapat berbuat sesuai dengan kebebasannya, karena dari sinilah nilai moral itu berarti. Menurut ajaran Islam, setiap manusia itu dijamin kemerdekaannya sebagai sesuatu yang mendasar dan asasi. Realitas kemerdekaan yang dimiliki manusia adalah wujud dari jaminan agama Islam atas kebebasan yang bersangkutan untuk berkemauan sendiri, di mana apabila kemerdekaan tersebut terganggu, maka berarti ancaman bagi eksistensi dirinya.

Akan tetapi, Islam juga berpandangan bahwa kebebasan manusia tidaklah mutlak sifatnya, sebab ia terikat oleh tanggung jawab moral untuk dirinya sendiri dan kepentingan masyarakat luas. Kemerdekaan yang hakiki adalah jika seseorang dapat menundukkan hawa nafsu dan mampu menguasai ajakan hati yang sekiranya dapat menjerumuskan ke arah jalan hidup yang menyimpang. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan adalah konsep yuridis sedemikian rupa yang didasari oleh ketentuan Allah, bukan sekedar atas dasar nilai moral manusia. Konsekuensinya, semua perbuatan manusia termasuk bagaimana ia menghormati kemerdekaan orang lain, sesungguhnya merupakan ekspresi semata dari ketundukannya terhadap Allah.

Page 16: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

16

Secara sistematis, prinsip-prinsip yang merupakan pandangan Islam tentang kebebasan dan kemerdekaan manusia, menurut Langgulung (1983: 61) adalah:

1) Menekankan hubungan dan keseimbangan antara prinsip kebebasan, persaudaraan, dan persamaan.

2) Menekankan kebebasan dan lemah lembut, toleransi, persaudaraan, dan kasih saying, tetapi dengan tegas harus diatur oleh hukum.

3) Menekankan kebebasan yang menyelaraskan antara kedudukan individu dan masyarakat dalam memeroleh hak masing-masing dan didorong serta dilandasi oleh akhlak dengan memperhatikan harga diri manusia.

4) Kebebasan yang menyelaraskan hubungan individu dengan masyarakat dengan memperhatikan unsur kemaslahatan dan hak memperoleh perlindungan hidup bersama.

5) Menjamin terpenuhinya kebebasan individu dalam kehidupan sehari-hari dengan syarat tidak mengganggu ketertiban dan aturan masyarakat.

6) Melaksanakan kebebasan dalam kerangka agama, akhlak al- karimah, tanggung jawab, akal sehat, dan keindahan.

Selanjutnya, masalah kemerdekaan atau kebebasan, dalam kaitannya dengan aktifitas kependidikan, menurut Hamdani Ali, kemauan bebas itu harus banyak dikorbankan untuk kepentingan pendidikan dan pendidik sendiri. Pendidikan sesungguhnya adalah proses seseorang yang berusaha menolong dirinya sendiri untuk membentuk tingkah laku yang baik, memunyai ilmu dan keterampilan. Tapi proses tersebut hanya akan menjadi sempurna apabila dibantu oleh orang lain. Apabila pengorbanan tersebut tidak ada, tidak mungkin dapat berlangsung kegiatan kependidikan.

Page 17: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

17

Kalau demikian, barangkali memang akan menimbulkan pertanyaan, apa gunanya manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan jika pada akhirnya harus dikorbankan demi pendidikan? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa kemerdekaan dan kebebasan peserta didik dalam mengekspresikan totalitas dirinya agar memperoleh tingkat perkembangan yang optimal, memang tidak boleh dihambat atau diganggu gugat oleh siapapun. Alasannya, karena di dalam suasana kebebasan itulah peserta didik akan dapat mewujudkan penampilan pribadinya (self-realization) yang dengannya akan mengarah kepada tingkat keberhasilan yang maksimal. Adanya kebebasan itulah yang menentukan terjadinya perkembangan yang wajar untuk menjadi apa dan siapa sebenarnya peserta didik di masa depannya kelak. Maka jelaslah bahwa kemerdekaan atau kebebasan sangat esensial dalam aktifitas kependidikan.

Dari uraian yang telah dikemukakan terdahulu tentang hubungan antara konsep kemerdekaan atau kebebasan dengan praktek pendidikan sehari-hari, tampak bahwa baik menurut Panca Dharma maupun menurut pandangan kependidikan Islam, sama-sama memberikan pemahaman, kehendak bebas manusia (peserta didik) dalam proses pendidikan akan lebih bermakna apabila yang bersangkutan diberi kepercayaan dan tanggung jawab dalam melakukan sesuatu, namun tidak lepas dari bimbingan orang dewasa sebagai pendidik. Atau dengan kata lain, walaupun prinsip kemerdekaan dan kebebasan berbuat bagi peserta didik itu sangat penting untuk mencapai keberhasilan kependidikan, namun jangan dibiarkan keluar begitu saja dari kendali dan pengarahan, karena dapat mengarah kepada penyimpangan dari cita-cita semula. c. Asas Kebudayaan

Pentingnya asas kebudayaan dalam penyelenggaraan atau aktifitas pendidikan, antara lain adalah dalam rangka

Page 18: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

18

mengenalkannya kepada peserta didik, dan sekaligus memberikan kesempatan kepada mereka untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan kebudayaan bangsanya. Tanpa adanya kegiatan kependidikan, maka kebudayaan suatu bangsa akan runtuh, dan tanpa mengenal kebudayaan bangsanya sendiri, seseorang akan sukar mengenal dan menampilkan dirinya sebagai suatu bangsa.

Menurut Ki Hajar, kebudayaan adalah buah budi manusia yang beradab sekaligus buah perjuangan manusia di dalam pergulatannya dengan dua kekuatan yang selalu melingkupi kehidupannya, yaitu kodrat alam dan realitas kemajuan masyarakat dari tiap-tiap bangsa. Kebudayaan suatu bangsa, menurut beliau, adalah hasil jerih payah yang dilakukan oleh masyarakatnya dalam menyelenggarakan kehidupan sehari-hari. Di sini, kebudayaan mengandung unsur kebersamaan dan persatuan, sehingga kedudukannya menjadi lebih kokoh, sebab dirasakan sebagai milik bersama segenap lapisan masyarakat di suatu bangsa.

Dalam konteks Indonesia, menurut beliau, puncak-puncak kebudayaan lama maupun baru yang terdapat atau dimiliki oleh setiap daerah, terhitung sebagai pilar-pilar kebudayaan bangsa. Usaha di sektor kebudayaan, antara lain harus menuju ke arah kemajuan adat istiadat yang tetap menjamin persatuan. Di pihak yang lain, perlu adanya keterbukaan, dalam arti tidak perlu menolak bahan-bahan baru kebudayaan asing yang dapat memperkaya khazanah kebudayaan dalam rangka mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Asas kebudayaan yang diterapkan dalam aktifitas pendidikan di lingkungan Taman Siswa, menurut Konsepsi Panca Dharma, mengandung makna bahwa kebudayaan adalah manifestasi usaha manusia pada segala aspek hidup dan kehidupannya, sehingga aktifitas manusia dalam ruang dan waktu tertentu bersentuhan dengan kreasi budayanya. Untuk menghadapi kemungkinan

Page 19: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

19

terjadinya proses transformasi kebudayaan secara terus menerus, misalnya akibat globalisasi, maka seleksi terhadap setiap kebudayaan yang diperkirakan melahirkan pengaruh besar di Indonesia, perlu dilakukan terus menerus dengan tetap berpegang pada nilai-nilai serta kepribadian bangsa.

Menurut pandangan Islam, kebudayaan adalah manifestasi atau perwujudan segala aktifitas manusia sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan itu merupakan perwujudan dari ide, pemikiran, gagasan, nilai, norma-norma atau dalam bentuk tindakan dan karya. Sementara ada yang menyatakan bahwa apa saja yang diciptakan oleh manusia merupakan kebudayaan. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kebudayaan itu merupakan manifestasi dari cara berpikir manusia atau sekelompok manusia. Dari beberapa definisi tersebut di atas jelaslah bahwa inti pelaku kebudayaan itu adalah manusia, baik secara individual maupun masyarakat. Jadi, esensi kebudayaan terletak pada unsur manusia sebagai pelakunya. Ketika manusia melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka di situlah muncul dan tercipta kebudayaan. Dalam kaitan ini, Islam memberikan motivasi kuat agar muslim berusaha melakukan sesuatu, yakni beriman dan beramal saleh, supaya tidak merugi dalam perjalanan hidupnya.

Islam juga menentukan prinsip dan asas hubungan manusia dengan Tuhannya melalui ajaran agama dan sekaligus sebagai pijakan untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam hidup bermasyarakat sebagai wujud kreasi budaya. Islam, sesungguhnya bukan sekedar agama, melainkan sebagai kebudayaan yang sangat lengkap.

Suatu kebudayaan dikategorikan bersifat Islami atau tidak dapat dilihat dari pesan-pesan moral atau nilai-nilai kehidupan yang dibawanya. Bahwa cara berpikir dan cara berbuat yang Islami, yang menyatakan diri dalam seluruh aspek kehidupan,

Page 20: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

20

baik yang dilakukan oleh individu maupun sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu tertentu, adalah proses menuju terciptanya kebudayaan Islam.

Dalam pandangan Islam, kebudayaan dikatakan Islami apabila ia sesuai dengan pesan-pesan dan nilai-nilai yang dilandasi oleh ajaran Islam. Artinya, kebudayaan sebagai manifestasi dari pemikiran, gagasan, nilai-nilai dan norma bagi seluruh tindakan dan karya manusia tidak dapat lepas dari ajaran Islam. Atas dasar itulah, hakikat kebudayaan Islam adalah perwujudan secara riil dari pemikiran dan tindakan manusia dalam kedudukannya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Dengan formulasi lain, kebudayaan Islam adalah aktualisasi konsep hablum min Allah dan hablum min al-nas, dan bisa juga dirumuskan sebagai aktualisasi peribadatan kepada Allah.

Atas dasar nilai-nilai agama Islam, kebudayaan sebagai hasil budidaya manusia dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik kemanusiaan yang tidak pernah beku, dan sebaliknya selalu berkembang dan mengalami perubahan. Dalam kaitan ini, pendidikan sebagai upaya yang dilakukan manusia sebagai proses pemindahan nilai antar generasi, satu segi merupakan refleksi kebudayaan dan juga memiliki sifat-sifat yang sejiwa dengan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, jalan untuk mewariskan kebudayaan antar generasi yang paling efektif dan efisien adalah dengan perantaraan pendidikan, baik melalui jalur formal (sekolah) ataupun non-formal (di luar sekolah).

Sampai di sini jelaslah, bahwa asas kebudayaan sebagaimana tercantum dalam Panca Dharma memiliki sejumlah titik temu dengan pandangan Islam, dan secara otomatis juga sejalan dengan pemikiran kependidikan Islam. Bahwa kebudayaan itu sangat penting, karena merupakan produk dan identitas suatu

Page 21: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

21

masyarakat. Atas dasar itulah, maka kedua pandangan kebudayaan tersebut sama-sama menganggap bahwa kebudayaan suatu masyarakat itu perlu dilestarikan, dipelihara, dan dikembangkan. Adapun salah satu cara paling baik untuk ditempuh adalah melalui aktifitas pendidikan formal maupun non-formal. d. Asas Kebangsaan

Sendi pendidikan Taman Siswa memang secara jelas menyatakan posisinya selaku wujud pembelaan dan perjuangan menegakkan suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam pasal 1: “Pendidikan Taman Siswa berdasarkan pada kebangsaan dan bersendi pada peradaban bangsa dalam arti yang seluas-luasnya, karenanya maka segala sesuatu yang merupakan kemajuan bangsa dalam arti lahir maupun batin diusahakan untuk dipakai sebagai dasar pendidikan.”

Menurut Ki Mangun Sarkoro, asas kebangsaan yang menjadi salah satu ciri khas pendidikan Taman Siswa tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Di sana tersirat bahwa kerja sama antar sesama kelompok atau masyarakat adalah realitas yang diperlukan dalam kehidupan. Karena itu, jangan sampai terjadi permusuhan antara satu dengan yang lain. Sebaliknya, diperlukan kerjasama, menjalin satu rasa sebagai satu umat manusia.

Dengan mendasarkan diri pada asas kebangsaan, menurut Ki Hajar, pendidikan nasional harus berupaya menanamkan nasionalisme sosio-kultural kepada anak didik dalam rangka meningkatkan martabat bangsa. Asas kebangsaan dalam konsepsi ini bukanlah paham kebangsaan dalam arti sempit, tetapi merupakan jalan yang harus dipilih manusia dalam rangka menghasilkan darma yang mendorong tercapainya kemajuan di segala bidang. Asas kebangsaan semacam ini tidak bermaksud memisahkan bangsa Indonesia dari pergaulan dengan bangsa lain,

Page 22: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

22

tetapi justru untuk menjalin persatuan yang sama menuju tercapainya kemajuan umat manusia.

Dalam realitas kehidupan, Islam memandang bahwa umat manusia cenderung berkelompok yang kemudian membentuk masyarakat atau bangsa-bangsa (Q:S Al-Hujurat: 13). Masyarakat atau bangsa, menurut Islam adalah suatu kelompok atau kumpulan individu yang merupakan kesatuan kebudayaan, negara, dan agama. Di dalamnya terbentuk jalinan wujud hubungan timbal balik dan harmonis antar anggota atau warga sehubungan dengan berbagai kepentingan, adat istiadat, pola-pola kehidupan, undang-undang, institusi, teknis, penyelesaian masalah dan berbagai segi yang menyangkut fenomena kehadiran masyarakat dalam pengertian yang luas.

Asy-Syaibany menyatakan bahwa ciri-ciri masyarakat Islam adalah sebagai berikut:

1) Terwujud atas dasar ikatan keimanan kepada Allah. 2) Agama selalu diletakkan pada posisi yang tinggi. 3) Adanya penilaian yang sangat penting terhadap akhlak

dan kesusilaan dalam kehidupan. 4) Ilmu pengetahuan memperoleh perhatian utama. Melihat uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa titik temu

antara Panca Dharma dan pandangan pendidikan Islam adalah mengenai asas kemasyarakatan dan asas kebangsaan. Keduanya memandang penting bahwa untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan, maka individu-individu itu harus mengikatkan diri dalam sebuah masyarakat berkebangsaan. Perbedaannya, konsepsi kemasyarakatan dalam Islam memiliki ciri khas sebagai kelompok individu yang berinteraksi satu sama lainnya atas dasar pandangan hidup yang sama, yaitu menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam bidang akidah, akhlak, ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya pendidikan.

Page 23: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

23

e. Asas Kemanusiaan Dalam aktifitas pendidikan, asas kemanusiaan memiliki

fungsi yang sangat penting, karena betapapun juga berkaitan erat dengan pihak-pihak di dalamnya. Termasuk salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Bagaimana konsepsi Panca Dharma sehubungan dengan realitas asas kemanusiaan ini, antara lain tercermin dari pernyataan sebagai berikut: darma tiap-tiap manusia adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir batin dalam tingkat yang setinggi-tingginya, dan juga berarti bahwa kemanusiaan yang tinggi itu dapat dilihat pada kesucian hati orang dan ada rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan makhluk Tuhan seluruhnya, tetapi bukan cinta kasih yang bersifat melemahkan hati, melainkan berupa keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta. Karena itu, dasar cinta kasih dalam kehidupan manusia harus tampak pula sebagai kesimpulan untuk berjuang melawan segala sesuatu yang merintangi kemajuan selaras dengan kehendak alam.

Dari rumusan tentang asas kemanusiaan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasa cinta kasih terhadap sesamanya dan terhadap sesama makhluk Tuhan yang lain. Asas kemanusiaan ini memberikan motivasi edukatif kepada seseorang, khususnya untuk selalu bersikap dan berbuat baik kepada sesama. Dengan mengembangkan kemanusiaan semacam ini, manusia akan terhindar dari sifat-sifat dan kecenderungan untuk memusuhi sesamanya.

Sementara itu, pendidikan Islam memiliki pandangan sedemikian rupa tentang manusia dan berbagai ikhwal kemanusiaannya. Pandangan tersebut dapat dikemukakan, menurut Asy-Syaibani, dalam poin-poin berikut ini:

1) Manusia adalah makhluk termulia dari segenap makhluk dan wujud lain di alam ini.

Page 24: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

24

2) Manusia diberi amanah atau taklif untuk menjadi khalifah Allah di bumi.

3) Manusia sebagai makhluk sosial yang dapat berbahasa sebagai media komunikasi dan berpikir.

4) Manusia dengan perwatakannya yang asli dan ciri pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor: warisan dan lingkungan.

5) Manusia memiliki motivasi, kecenderungan dan keputusan untuk berbuat sesuatu baik yang diwarisi maupun diperolehnya melalui proses sosialisasi.

6) Bahwasanya manusia itu satu dengan yang lain berbeda dalam hal bakat dan kemauan, antara lain karena perbedaan dari segi keturunan dan lingkungan.

7) Manusia memunyai keluwesan sifat yang dapat dibentuk dan diubah melalui pendidikan.

Implikasi terpenting yang berhubungan dengan pendidikan, khususnya berkaitan dengan prinsip dasar pandangan Islam terhadap manusia adalah:

1) Sejauh mana manusia dipandang sebagai khalifah Allah di bumi, maka konsekuensinya harus memperhatikan pertumbuhan serta perkembangan individu secara harmonis agar individu tersebut mampu mengatasi tantangan alam dan lingkungannya.

2) Adanya konsep fitrah, mengharuskan pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing dan mengarahkan potensi dasar manusia ke arah yang baik dan benar.

3) Pelaksanaan pendidikan harus memerhatikan kondisi dan karakter anak didik serta faktor lingkungannya, demikian juga waktu yang tepat untuk melangsungkan kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa asas kemanusiaan dalam arti pemahaman

Page 25: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

25

akan pentingnya mengembangkan manusia sesuai dengan sifat atau fitrah kemanusiaannya, ternyata diperoleh titik temu antara konsepsi Panca Dharma dengan pandangan pendidikan Islam. Konsepsi kemanusiaan menurut Ki Hajar Dewantara cenderung mengarah kepada terbentuknya kepribadian nasional Indonesia, sedangkan pendidikan Islam menempatkan fitrah manusia dan pengaruh lingkungan sebagai perpaduan dua hal yang mengarah kepada terbentuknya kepribadian muslim. Kepribadian nasional dalam realitasnya dapat sekaligus mencerminkan kepribadian muslim, sementara pribadi muslim juga tidak mendapat halangan untuk mencintai bangsanya.

D. Penutup Dari seluruh deskripsi dan analisis yang disajikan, akhirnya dapat

ditarik beberapa kesimpulan, dalam rangka menyajikan gambaran ringkas tentang konsepsi Panca Dharma dengan sudut pandang pendidikan Islam. Beberapa poin kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sebagai salah seorang pejuang dan pahlawan bangsa, perjalanan

hidup Ki Hajar Dewantara dipenuhi oleh upaya dan langkah nyata untuk merintis dan mencari jalan bagi rakyat Indonesia (yang ketika itu berada dalam kebodohan dan ketidakberdayaan di zaman penjajahan), agar secara bertahap memiliki pengetahuan, kesadaran dan akhirnya keberanian memperjuangkan hak dan harkat dirinya agar menjadi bangsa yang merdeka. Upaya ini dimaksudkan agar terbukalah kesempatan untuk menyelenggarakan kehidupan bangsa Indonesia yang mandiri di tengah pergaulan internasional yang adil dan beradab.

2. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, Ki Hajar menempuh berbagai jalur perjuangan, baik di bidang politik, budaya dan akhirnya pendidikan. Ketiga jalur perjuangan

Page 26: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

26

tersebut, pada satu segi memang dapat dibedakan antara satu dengan yang lain, tetapi dalam kenyataan riil di lapangan, justru saling terjalin sedemikian erat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan masing-masing.

3. Salah satu karya Ki Hajar yang monumental di zaman modern ini, adalah menyangkut pemikiran dan perjuangan yang panjang di bidang pendidikan. Dari sini lahirlah Taman Siswa, yang dapat dijadikan inspirasi bagi pengembangan pendidikan nasional di Indonesia.

4. Kelima asas dalam konsepsi Panca Dharma membentuk sebuah keterpaduan sistem pemikiran yang utuh dan saling mendukung.

5. Ditinjau dari sudut pandang pendidikan Islam, kelima asas dalam konsepsi Panca Dharma memiliki relevansi sedemikian rupa. Artinya kelima asas tersebut juga merupakan sesuatu yang dianggap penting dan perlu dijadikan tempat dasar berpijak bagi pendidikan Islam. Hanya saja, dalam beberapa hal terdapat perbedaan baik mengenai istilah yang dipakai maupun sumber rujukannya. Berbeda dengan konsep pendidikan Islam, Panca Dharma Ki Hajar Dewantara mendasarkan diri pada kebudayaan nasional Indonesia. Adapun Islam bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam.

6. Terdapat titik temu antara konsepsi Panca Dharma dengan konsep pendidikan Islam. Islam mengajarkan kecintaan terhadap budaya nasional, sementara bangsa Indonesia yang mayoritas muslim secara otomatis memerlukan nilai-nilai pendidikan yang bernafaskan Islam.

Page 27: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

27

Daftar Pustaka Dewantara, Ki Hajar. 1981. Asas-Asas dan Prinsip Taman Siswa.

Jakarta: Balai Pustaka. Darajat, Zakiah. 1995. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.

Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Binbagais Departemen Agama RI.

Jalaluddin. 2005. “Sistem Nilai dan Pembentukannya dalam Perspektif Pendidikan Islam”, dalam Medina-Te, Vol. I, Nomor 1 Juni 2005.

Langgulung, Hassan. 1983. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna

________________. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Al-Husna.

Rozaqi, Abdul Aziz. 1993. “Paradigma Pendidikan Bernuansa Kemanusiaan”, dalam Paradigma, edisi 04, Th. I, 1993.

Sajoga. 1981. Riwayat Perjuangan Taman Siswa. Jakarta: Balai Pustaka.

Soeratman. 1985. Ki Hadjar. Jakarta: Balai Pustaka. Surmiharjo. 1986. Ki Hajar dan Taman Siswa dalam Sejarah

Indonesia Modern. Jakarta: al-Balai Pustaka. Syaibani, Umar al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta:

Bulan Bintang. Tilaar, H.A.R. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta:

Rineka Cipta. Yunus, Mahmud. 1968. Perbandingan Pendidikan Moderen di

Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat. Jakarta: Al-Hidayah.

______________. 1997. Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya.

Page 28: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

28

METODE YASINIYAH SEBAGAI METODE PEMBELAJARAN MEMBACA AL-QUR’AN

Munir

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang Jl. K.H. Zainal Abidin Fikri No. 1, km. 3,5 Palembang

Abstract This article is research report on the implementation of Yasiniyah method in learning of reading al-Qur’an. The research use theories of phenomenology–symbolic-interactionism for understanding reality in application of this method. For anlyzing the meaning of reality, it need the approach of social-psichology with contrast analysis, verification and comparation with another different reality. Yasiniah method, philosophically, is based on pesantren’s classic tradition. The characteristic of Yasiniah method can be seen in its system of implementation, i.e. : 1) recruitment system of new student; 2) system of class management; 3) learning material; 4) strategy implemented; 5) system of evaluation use test or directly oral examination by facing mustahiq individually, and who can pass the exam will be given the certificate at alumni’s release ceremony in every end of academic year.

Keywords: Yasiniyah method, learning of al-Qur’an reading, pesantren tradition. A. Pendahuluan

Setidaknya ada empat model metode belajar membaca al-Qur‘an yang telah berkembang di Indonesia, yaitu metode Baghdadiyah, metode Qira’aty, metode Iqra’ dan Metode Yasiniyah. Setiap metode mempunyai karakteristik yang tersendiri sesuai dengan “frame work” epistimologi yang dianut. Perkembangan epistimologi itu sendiri pada

Page 29: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

29

dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan paradigma ilmu dan perkembangan sosio-intelektual zamannya mazing-masing.

Metode Qira’aty disusun oleh K.H. Dachlan Salim Zarkasyi pada tahun 1963, namun diresmikan sebagai metode belajar membaca al-Qur’an di Taman Pendidikan al-Qur’an Raudhatul Mujawwidin yang diasuhnya pada tahun 1986.( Nor Huda, 2002: 100).

Pada awalnya, ia mengajar para santri dengan menggunakan metode Baghdadiyah, namun hasilnya tidak memuaskan, dan ia menemukan beberapa kelemahan pada metode tersebut. Oleh karena itu ia mulai berusaha untuk menyusun metode yang lebih efektif. Usahanya ini selanjutnya membuahkan karya nyata, yaitu disusunnya buku metode Qira’aty. Penyebaran metode Qira’aty memang tidak seperti metode Baghdadiyah yang menjangkau seluruh pelosok dunia Islam, termasuk Indonesia.

Metode Iqra’ adalah salah satu metode belajar membaca al-Qur’an yang muncul di Indonesia pada akhir abad 20 M. Secara historis-antropologis metode ini berbeda dengan metode Baghdadiyah. Metode Baghdadiyah merupakan metode belajar membaca al-Qur’an yang berasal dari Timur Tengah (Arab) atau tepatnya disusun oleh ahli metodologi dari Irak, sementara metode Iqra’ disusun oleh ahli metodologi dari Indonesia. Secara sosio-linguistik konteks budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi tradisi bahasa suatu bangsa, sehingga internalisasi nilai-nilai budaya yang melingkupinya mempunyai pengaruh terhadap corak pemikiran seseorang. Dengan demikian maka metode Baghdadiyah sesungguhnya disusun dengan setting sosial bangsa Arab ketika itu, yang secara sosiologis menggambarkan kecenderungan intelektual bangsa Arab. Jadi kemampuan bahasa Arab rata-rata bangsa Arab ketika itu menjadi faktor pertimbangan penting yang melatarbelakangi disusunnya metode tersebut, sementara faktor-faktor kebahasaan bangsa lain cenderung tidak dipertimbangkan. Dengan kata lain, metode Baghdadiyah sesungguhnya hanya tepat bagi bangsa Arab yang secara

Page 30: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

30

tradisi telah terbiasa dengan budaya Arab, dan cenderung kurang tepat bagi bangsa lain yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa asing.

Metode Yasiniyah pada dasarnya merupakan istilah dari peneliti yang sengaja dibuat untuk memudahkan dalam menisbatkan fenomena yang akan diteliti ini, karena pengasuh sendiri yang mengembangkan metode ini tidak memberikan istilah secara khusus. Peneliti mengambil istilah ini berdasarkan karakteristik metode tersebut, yaitu belajar membaca al-Qur’an dengan terlebih dahulu belajar membaca surat Yasin dengan baik dan benar dan sekaligus menghafalkannya. Baik, dalam arti dapat membaca secara tartil, dan benar, dalam arti sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Selain itu setiap peserta didik diwajibkan untuk hafal surat Yasin.

Penulis melihat ada nilai-nilai tertentu yang terjadi di kalangan santri yang belajar metode ini, yang tidak terdapat pada keempat metode yang tersebut di atas tadi. Nilai-nilai yang dimaksud adalah etos belajar, tingkat kedisiplinan, dan sikap keberagamaan. Tingginya etos belajar peserta didik (santri) yang belajar membaca al-Qur’an dengan metode Yasiniyah ini bisa dilihat dari usaha keras santri untuk menghafal surat Yasin, surat al-Waqi`ah, al-Rahman dan al-Mulk sampai “di luar kepala”. Untuk dapat menghafal surat-surat tersebut mereka bersedia mengikuti zikir sehabis shalat `Ashar, Magrib, `Isya’ dan Shubuh dengan materi zikir membaca surat-surat tersebut dengan tanpa melihat teks. Kegiatan ini sebenarnya tidak ada paksaan dari kiyai atau ustadz, tetapi murni inisiatif dari santri itu sendiri. (Wawancara Ustadz Mu`alim, 12 Juni 2004).

Sementara fenomena ini tidak dijumpai pada kelompok-kelompok belajar membaca al-Qur’an yang menggunakan metode Baghdadiyah, metode Qira’aty maupun metode Iqra’. Tingginya tingkat kedisiplinan peserta didik (santri) yang belajar membaca al-Qur’an dengan menggunakan metode Yasiniyah, bisa dilihat dari tingginya partisipasi santri pada setiap kegiatan baik pada aspek ketepatan waktu kehadiran, maupun pada aspek jenis kegiatan yang diikuti. Hal menarik dari

Page 31: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

31

keempat aspek ini adalah bahwa semua santri dapat mengikuti setiap kegiatan pesantren secara baik, misalnya dalam hal shalat shubuh berjamaah. Semua santri dapat mengikuti shalat shubuh berjamaah di mushalla Pesantren, walaupum tempat tinggal mereka kadang-kadang mencapai jarak 3 kilometer dan ada beberapa di antaranya dengan berjalan kaki, bahkan ketika hari hujan sekalipun.2

Menurut pengamatan sementara peneliti, tingkat efektifitas metode Yasiniyah ini cukup tinggi. Sebelum melihat tingkat efektifitas metode ini ada baiknya melihat diskripsi tentang pelaksanaan metode ini secara prosedural sebagai berikut: 1) penerimaan santri dilaksanakan sekali dalam setahun; 2) waktu belajar yang diperlukan bagi setiap santri untuk dapat membaca al-Qur’an secara tartil, hafal surat Yasin, surat al-Waqi`ah, surat al-Rahman, surat al-Mulk dan Juz `Amma selama dua tahun; 3) setelah dua tahun diadakan ujian lisan secara langsung dan individual oleh pengasuh; 4) bagi yang lulus ujian diberikan ijazah sebagai tanda kelulusan dan dilanjutkan dengan acara wisuda.

Penerapan metode Yasiniyah di TK al-Qur’an Pondok Pesantren Sunan Giri Taraman OKU Timur Sumatera Selatan yang menjadi obyek penelitian ini telah berjalan selama tiga tahun dan telah mewisuda santri tiga angkatan. Angkatan pertama wisuda diikuti oleh 20 santri dari 20 jumlah santri pada angkatan pertama, wisuda kedua diikuti oleh 22 santri dari 22 jumlah santri pada angkatan keempat, dan wisuda ketiga diikuti oleh 36 santri dari 36 jumlah santri pada angkatan ketiga. Artinya bahwa selama tiga angkatan penerimaan santri yang telah menyelesaikan belajar selama 2 tahun tersebut 100 %

2Penulis pernah berbicang-bincang dengan salah seorang orang tua santri, bahwa suatu

ketika salah seorang anaknya yang menjadi santri di pesantren ini terlambat bangun shubuh sehingga ia tidak bisa mengikuti shalat shubuh berjamaah di pesantren, maka anak tersebut langsung menangis dan protes terhadap orang tuanya yang tidak membangunkannya tepat pada waktunya. Ia tampak sangat menyesal karena tidak dapat mengikuti shalat shubuh berjamaah di pesantren itu.

Page 32: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

32

dapat membaca al-Qur’an secara tartil. Barangkali secara sederhana dapat disebutkan, bahwa bila tingkat kemampuan membaca al-Qur’an secara tartil dijadikan tingkat efektifitas metode tersebut, maka metode ini dapat digolongkan sebagai metode yang cukup efektif dalam belajar membaca al-Qur’an secara tartil.3

Oleh karena itu menarik kiranya untuk mengungkap secara detil dan mendalam hakekat metode Yasiniyah, sehingga terungkap secara jelas body of knowlegde dari metode ini dan sekaligus dapat melihat kelebihan dan kekurangannya. Dengan begitu diharapkan penelitian ini mempunyai contribution of knowlegde yang jelas dan memberikan ruang untuk “research and development” bagi para peneliti berikutnya.

B. Kerangka Teori 1. Sejarah Metode Yasiniyah

Metode Yasiniyah4 berasal Pondok Pesantren Mamba’ul Ihsan, Sidayu Gresik Jawa Timur.5 Pada tahun 1992, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien Ngunut Tulung Agung Jawa Timur, di bawah pimpinan K.H. Shadiq Umam, pimpinan mengutus lima orang ustadznya untuk mempelajari metode Yasiniyah di Pondok Pesantren Mamba’ul Ihsan, Sidayu Gresik Jawa Timur selama dua tahun (1990-

3 Bandingkan dengan metode Iqra’’ yang hanya mampu meluluskan 25-35%

seperti pada kasus TPA al-Falah Kampus Palembang. (Munir, 2005) 4 Yasiniyah merupakan istilah yang peniliti berikan untuk memudahkan

sebutan, sebab fenomena yang menonjol dari metode ini adalah setiap santri diwajibkan menghafal surat Yasin, berzikir dengan membaca surat Yasin dan keyakinan Ustadz dan pada santri akan hikmah yang istimewa dari surat Yasin. Sementara itu sampai sekarang belum diketahui penemu/penyusunnya dan belum juga ada istilah yang diberikan untuk metode ini.

5 Lihat dalam Buku Pedoman Kurikulum Pengajaran Membaca al-Qur’an TK. al-Qur’an Sunan, (1999: 1-3). Menurut Ustadz Mu`alim, buku ini merupakan penulisan kembali dari buku aslinya yang ditulis dengan tulisan tangan, yang didapat dari Pondok Pesantren Mamba`ul Ihsan, Sidayu Gresik Jawa Timur. Tidak diketahui secara pasti siapa yang menulis naskah asli buku tersebut dan juga tidak diketahui tahun penulisannya.

Page 33: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

33

1992). Setelah para ustadz yang dikirim tersebut kembali, Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien Ngunut kemudian mendirikan TK al-Qur’an dengan menggunakan metode Yasiniyah sebagai pendekatan dalam pembelajaran membaca al-Qur’an bagi anak-anak. Sejak itulah pondok pesantren ini menjadi pusat penyebaran metode Yasiniyah ke seluruh nusantara. Penyebaran ini melalui para alumninya yang berasal dari berbagai pelosok nusantara, terutama Jawa dan Sumatera.

Fenomena menarik dari kasus di atas adalah mengapa K.H. Shadiq Umam mengutus lima orang ustadz untuk belajar metode Yasiniyah ke Pondok Pesantren Mamba’ul Ihsan, Sidayu Gresik Jawa Timur, padahal justru ketika itu sedang gencar-gencarnya penyebaran metode Iqra’? Menurut Ustadz Mu`alim, sebelum memutuskan untuk mengutus para ustadz ke Pondok Pesantren Mamba’ul Ihsan, Sidayu Gresik Jawa Timur, K.H. Shadiq Umam telah melakukan observasi pelaksanaan pengajian al-Qur’an ke berbagai masjid, pesantren dan TKA/TPA di daerah Jawa Timur. Dari hasil observasi itu ia menyimpulkan beberapa hal-hal penting sebagai berikut:

a. Masjid-masjid yang menyelenggarakan pengajian al-Qur’an dengan menggunakan metode Baghdadiyah, cenderung sepi peminat.

b. Masjid-masjid yang menyelenggarakan TKA/TPA dengan menggunakan metode Iqra’ cenderung lebih menekankan pada aspek kognitif belaka dan cenderung mengabaikan aspek penanaman tradisi pesantren yang lebih mementingkan moralitas dan spiritualitas.

c. Perlu dicarikan metode belajar al-Qur’an alternatif yang sesuai dengan tradisi pesantren.

Ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Mamba’ul Ihsan, Sidayu Gresik Jawa Timur, K.H. Shadiq Umam sangat terkesan dengan proses pembelajaran al-Qur’an dengan menggunkan metode Yasiniyah. Semua santri mengikuti shalat berjama`ah sebelum mereka belajar membaca al-Qur’an. Dalam proses pembelajaran tidak ada santri yang

Page 34: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

34

ribut atau pun bermain dengan santri lainnya walaupun jumlah santri cukup banyak. Selain itu semua santri mampu menghafal surat Yasin, surat al-Rahman, surat al-Mulk, surat al-Waqi`ah dan surat-surat pendek dalam Juz `Amma. Fenomena itulah yang tampaknya melatarbelakangi penerapan metode Yasiniyah di TK al-Qur’an Sunan Giri Ngunut Tulung Agung Jawa Timur.

2. Tradisi Pesantren sebagai Dasar Filosofis Metode Yasiniyah Metode Yasiniyah sebagai metode belajar membaca al-Qur’an,

tentu tidak muncul begitu saja, akan tetapi melalui proses ilmiah yang wajar atau setidaknya bisa diamati sesuai dengan koridor ilmu pengetahuan. Jika di telusuri sampai ke akarnya, metode Yasiniyah sesungguhnya merupakan rumpun “Metodologi Pembelajaran”, yaitu ilmu yang berbicara tentang cara-cara, strategi atau teknik-teknik mengajar. Ilmu tentang pembelajaran tersebut kemudian diterapkan dalam pembelajaran membaca al-Qur’an. Untuk memahami dasar filosofis metode Yasiniyah, tampaknya sangat sulit jika tanpa memahami tradisi intelektual dan budaya di mana dan kapan metode ini ini ditemukan atau disusun. Oleh karena itu, ada baiknya bila pengungkapan dasar-dasar filosolis metode Yasiniyah digali melalui “tafsir atas kenyataan sosial” terhadap komunitas masyarakat yang menerapkan metode tersebut.

Sebagaimana ditegaskan di atas, metode Yasiniyah pertama kali muncul dari sebuah pondok pesantren di Sedayau, Gresik. Kemudian metode ini berkembang di berbagai pesantren tradisional di Jawa Timur, lalu dikembangkan dan disebarkan oleh para alumninya ke berbagai daerah, khususnya Jawa dan Sumatera. Ada satu poin penting dalam perkembangan dan penyebaran metode Yasiniyah, yaitu faktor sosio-kultural. Secara sosio-kultural, metode Yasiniyah lahir di tengah-tengah komunitas “masyarakat santri”. Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luskmann, kenyataan hidup, interaksi sosial, bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan

Page 35: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

35

faktor penting yang membentuk pandangan filosofis manusia (Berger dan Luckmann, 1966:19 ). Selain itu, ilmu pengetahuan juga sangat dipengaruhi oleh paradigma masyarakat di mana ilmu pengetahuan tersebut berkembang ( Barbaour, 1966:151-160).

Dengan demikian jelas bahwa untuk memahami filosofi metode Yasiniyah diperlukan pemahamn yang cukup tentang tradisi agama kaum santri (tradisi pesantren). Tradisi pesantren yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah perilaku masyarakat pesantren yang merupakan manifestasi dari cara pandang masyarakat pesantren terhadap kehidupan mereka. Tradisi ini biasanya merupakan pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang melalui kajian kitab-kitab Islam klasik. Dengan kata lain bahwa tradisi pesantren merupakan realitas sosial yang berlaku di dunia pesantren. Sedangkan tradisi yang dikembangkan oleh masyarakat yang berbasis tradisi pesantren kita sebut dengan istilah “tradisi masyarakat santri.”

Ada beberapa kitab penting yang diajarkan di pesantren sebagai sumber tradisi pesantren, di antaranya adalah kitab Ihya’ `ulum al-Dien karya al-Ghazali, kitab Ta’lim al-Muta`allim karya al-Zarnuji, kitab Riyadh al-Shalihin, karya Abi Zakariya Yahya al-Nawawy al-Dimasyqi dan kitab Syams al-Ma`arif al-Kubra karya Ahmad Ibn `Ali al-Buny.(Van Bruinessen, 1995: 163).

3. Kitab Ihya’ `Ulum al-Dien sebagai Sumber Tradisi Pesantren Sumber tradisi keagamaan pesantren yang paling dominan adalah

ajaran fikih-sufistik yang terdapat di dalam kitab Ihya’ `Ulum al-Dien, karya al-Ghazali (Van Bruinessen, 1995:163). Kitab tersebut mengajarkan bahwa semua ajaran agama diturunkan oleh Allah pasti mengandung hikmah yang bersifat transendental. Oleh karena itu konsekuensi dari setiap ajaran agama menyentuh pada aspek ukhrawi, di samping aspek duniawi. Dengan demikian, maka setiap ajaran agama hendaknya dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan tanpa harus mempertanyakan alasan-alasan dasar terbentuknya suatu

Page 36: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

36

ajaran itu. Hal terpenting dalam melaksanakan ajaran agama adalah menanamkan keyakinan dan merealisasikan dalam tindakan atau perilaku hidup sehari-hari. Masyarakat pesantren berkeyakinan bahwa semua ajaran yang terdapat di dalam kitab-kitab yang ajarkan oleh para kiyai dan ustadz di pesantren adalah suatu kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Al-Ghazali mengungkapkan bahwa mencari ilmu atau mengajarkannya adalah bagian dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu hendaknya proses pendidikan didasari pada tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Seorang guru yang mengajar secara tulus ikhlas, hanya mengharap ridha dari Allah, maka ia dianggap sebagai khalifah Allah, dan Allah akan memberikan keistimewaan tersendiri baginya (al-Ghazali, 2005: 13). Namun demikian untuk mencapai stratifikasi itu seorang guru harus dapat menjaga perilaku dan profesinya sesuai dengan ajaran Islam (al-Ghazali, 2005: 52). Seorang guru befungsi sebagai penyampai ajaran dan sekaligus sebagai pembimbing, ia diibaratkan sebagai seorang penggembala (al-ra`i). Oleh karena itu ia akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah kelak di kemudian hari.

4. Kitab Ta`lim al-Muta`allim sebagai Sumber Tradisi BelajarMengajar Dalam bidang pendidikan, khususnya pada aspek konsepsi belajar-

mengajar, paradigma pemikiran masyarakat pesantren banyak dipengaruhi oleh ajaran yang terdapat dalam kitab Ta`lim al-Muta`alim karya Syeikh al-Zarnuji. Dalam kitab ini dijelaskan tentang hubungan antara guru sebagai unsur yang memiliki superiority dan murid sebagai unsur subordinasi. Superioritas yang dimiliki oleh seorang guru diperoleh dari suatu keyakinan, bahwa ia sebagai tokoh kunci yang menentukan keberhasilan proses transformasi ilmu pengethuan kepada

Page 37: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

37

murid. (Dhofier, 1985: 24-30; Mastuhu, 1994: 66). Dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim disebutkan:

Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak akan berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru bukan hanya sekedar patuh..., sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina `Ali, “Saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun hanya satu kata saja”(Al-Zarnuji, 1963: 60). Para murid harus menunjukkan hormat dan kepatuhan mutlak

kepada gurunya, bukan sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada guru yang dianggap pemilik otoritas, tetapi keyakinan murid kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut ajaran Islam, si murid harus menganggap gurunya seolah-olah sebagai ayahnya sendiri sebagaimana dikatakan dalam hadits: “Ayahmu itu sebenarnya ada tiga; pertama, bapakmu yang telah membuahi ibumu, kedua, bapak yang telah memberimu seorang istri, dan ketiga, guru yang sedang dan telah mengajarmu” (Al-Zarnuji, 1963: 60). Sesungguhnya orang yang mengajarmu walaupun hanya sepatah kata dalam pengetahuan agama adalah ayahmu menurut ajaran Islam (Al-Zarnuji, 1963:63). Namun demikian bukan berarti semua perintah guru harus dilakukan oleh murid-muridnya. Perintah guru yang harus dipatuhi adalah perintah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam tradisi pesantren, sekali seorang guru melakukan perbuatan melanggar ajaran agama (ma‘shiat), maka guru tersebut tidak lagi dianggap sebagai penyalur barakah dan kemurahan Tuhan. Perlu ditekankan di sini bahwa hormat dan kepatuhan absolut kepada seorang guru didasari kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena memegang kunci penyalur pengetahuan dari Allah.

Page 38: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

38

Bila guru tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka dengan sendirinya tingkat kesucian itu akan hilang. Oleh karena itu menurut tradisi pesantren, kewajiban seorang murid untuk patuh secara mutlak kepada gurunya harus kita mengerti dalam hubungannya dengan keshalehan guru kepada Allah, ketulusan, kerendahan hatinya, dan kecintaannya dalam mengajar murid-murid. (Dhofier, 1985: 84 ).

5. Kitab Riyadh al-Shalihin sebagai Sumber Tradisi Pesantren Kitab Riyadh al-Shalihin, merupakan salah satu kitab Hadits yang

diajarkan di kalangan pondok pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa. Namun kitab ini bukan karya asli melalui penelusuran dengan metode yang ketat seperti al-Kutub al-Tis`ah,6 tetapi merupakan kitab mukhtashar,7 dari beberapa kitab hadits yang masyhur (al-Dimasyqy, 2005: 6).

Kitab ini berisi tentang tuntunan hidup sehari-hari yang lebih bersifat dogmatis-psikologis, sugestion-motivation. Artinya ajaran yang terdapat pada kitab ini lebih banyak bersifat penanaman nilai melalui janji reward (al-targhib wa al-tarhib) (al-Dimasyqy, 2005: 6). Dengan mengetahui hikmah, dari setiap ajaran Islam diharapkan setiap umat Islam mampu bertindak sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang shaleh (Shahib al-Shalihin) (al-Dimasyqy, 2005: 6).

Isi kitab ini lebih banyak mengenai masalah akhlak tasawuf, bukan hukum fiqh (halal haram). Misalnya ketika membahas bab tentang sesuatu yang diperintahkan Allah, maka hadits-hadits yang ditampilkan adalah tentang hikmah atau keutamaan orang yang mau

6 Al-Kutub al-Tis`ah, adalah istilah untuk sembilan kitab imam Hadits,

yaitu: al-Jami al-Shahih karya Imam al-Bukhary, Shahih Muslim karya Imam Muslim, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Sunan Abu Daud, Sunan al-Nasya i, Sunan al-Turmudzi, Sunan al-Darimy, Sunan Baihaqy, dan Sunan Ibn Hibban.

7 Mukhtashar adalah istilah yang dipakai untuk jenis kitab yang berisi ringkasan dari beberapa kitab tertentu, sesuai dengan bidang yang diinginkan oleh penulis kitab, atau dengan istilah lain semacam ringkasan. Istilah lain yang hampir sama adalah Jawahir, misalnya Jawahir al-Bukhary, merupakan ringkasan atau kumpulan hadits tertentu yang diambil dari kitab Shahih Bukhary.

Page 39: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

39

melaksanakan (fadha’il). Salah satu point penting dari ajaran yang terdapat dalam kitab ini adalah “kitab al-fadha’il”. Dalam bab ini disebutkan tentang keutamaan membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an, misalnya surat al-Mulk, surat al-Ikhlas, ayat al-Kursyi dan sebagainya (al-Dimasyqy, 2005: 200-203). Dengan meresapi ajaran sebagaimana tersebut di dalam kitab itu maka, dengan sendirinya orang tersebut akan termotivasi untuk melakukankan.

6. Kitab Syams al-Ma`arif al-Qubra sebagai Sumber Tradisi Pesantren Kitab ini merupakan kitab induk ilmu kebatinan ala pondok

pesantren di Jawa Timur. Kitab ini berisi tentang rahasia ayat-ayat al-Qur’an untuk dipergunakan sebagai obat dan kebutuhan lain yang bersifat psikis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kitab ini dijelaskan tentang khasiat ayat-ayat al-Qur’an lengkap dengan tata cara ritualnya, baik bersifat sebagai dzikir ataupun semacam barang keramat (`azimat). Kitab ini biasanya diajarkan bagi santri yang telah menamatkan mengaji kitab Ihya’`ulum al-Dien dan pada tingkatan akhir.

Di dalam kitab ini dijelaskan tentang makna khusus tentang surat Yasin, surat al-Waqi`ah, surat al-Mulk dan surat al-Rahman. Surat Yasin dipandang sebagai sumber rahasia Allah dan barang siapa yang membacanya, maka ia akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukannya, serta dapat memperlancar rezki, melindungi dari segala gangguan makhluk gaib, dan mempermudah untuk mencapai tujuan yang mulia. Jika surat Yasin diamalkan secara khusus, maka akan dapat mendatangkan khadam dari jenis malaikat untuk setiap orang yang mengamalkannya (al-Buny,1985 : 525-266).

Surat al-Waqi`ah dipandang sebagai kunci pembuka kekayaan dan pencegah dari kefakiran. Bila surat ini diamalkan secara khusus, maka Allah akan menurunkan khadam dari jenis malaikat untuk membantu orang yang mengamalkannya agar mudah mencapai usaha atau

Page 40: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

40

pekerjaan yang dilakukannya. Amalan khusus yang dimaksud dalam konteks ini adalah tata cara ritual yang berkaitan dengan jumlah bacaan, waktu membacanya dan ibadah-ibadah lain yang terkait dengan surat al-Waqi`ah (al-Buny, 1985: 129-135). Sedangkan surat al-Mulk dipandang mempunyai keutamaan bagi orang yang membacanya akan dijauhkan dari siksa kubur, dapat menyembuhkan penyakit, dan mencapai tujuan yang mulia (al-Buny, 1985: 133-134). Sementara itu surat al-Rahman mempunyai keutamaan bagi orang yang membacanya, yaitu akan mudah disayang atau disenangi orang lain.

Dengan demikian tampak jelas mengapa banyak dari alumni pondok pesantren mempunyai amalan-amalan khusus yang dapat dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan masyarakat melalui pendekatan supra natural. Hal itu tidak terlepas dari peran besar kitab Syams al-Ma`arif al-Kubra yang berisi tata cara ataupun ritual menggali khasiat setiap huruf, setiap kata, kalimat atau pun surat dari al-Qur’an al-Karim. Dengan menguasai isi kitab ini selama berabad-abad para ulama pondok pesantren mempunyai peran yang besar dalam pengendalian sosial masyarakat pendukungnya. Untuk dapat mengendalikan masyarakat pendukungnya kiyai biasanya mempunyai kemampuan social-engenering, sehingga ia dapat memahami dengan baik apa yang dibutuhkan oleh mereka. Untuk sebelum menjadi kiyai, seorang calon kiyai biasanya mempersiapkan diri dengan bekal ketrampilan problem-solving. Kemampuan problem-solving ini biasanya di dapat dari perannya selama menjadi santri dan “ustadz muda”, yaitu diawali dari ketua kamar, ketua asrama, ketua bidang tertentu dari kepengurusan dan terakhir biasanya menjadi “lurah pondok”. Kiyai dari pesantren-pesantren besar di Jawa biasanya melaksanaklan tradisi pengkaderan ini (Dhofier, 1985 : 61-96 ).

Page 41: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

41

C. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif-kualitatif. Deskriptif

artinya penelitian ini tujuannya mendeskripsikan fenomena penerapan Metode Yasiniah dalam pembelajaran membaca al-Qur’an di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien Ngunut Tulung Agung Jawa Timur. Dari segi obyeknya, penelitian ini menggabungkan antara penelitian kepustakaan (yang menjadikan teks-teks yang terdapat kitab-kitab atau buku sumber sebagai obyek kajian) dengan penelitian lapangan yang mengamati praktik pembelajaran membaca Alquran dengan Metode Yasiniah di pesantren tersebut.

Penelitian ini selanjutnya menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang-orang dan perilaku yang dapat dialami (Moleong, 2000: 3).

Setelah data penelitian dikumpulkan dengan metode studi teks, wawancara, dan observasi, selanjutnya data diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis dilakukan secara interaktif dan terus-menerus selama proses dan tahapan penelitian dalam bentuk reduksi data, pemaparan data, verifikasi, dan penarikan kesimpulan.

D. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Metode Yasiniyah sebagai Sistem Pembelajaran Membaca Al-

Qur’an Penggunaan istilah “sistem” sesungguhnya hanya bersifat

memudahkan. Pengertian sistem, sesungguhnya sangat abstrak dan sangat tergantung perspektif dan kepentingan orang yang mendefinisikan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa yang menentukan sesuatu itu menjadi suatu sistem tertentu adalah kita sendiri (Hamalik, 2002:1).

Namun yang pasti bahwa suatu sistem mengandung beberapa unsur atau komponen yang berkaitan. Jadi sistem adalah sekumpulan unsur-unsur yang mempunyai keterkaitan dan saling mempengaruhi di

Page 42: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

42

antara unsur-unsur tersebut. Pada dasarnya setiap sistem mepunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan frame atau pola pikir yang dipakai dalam memandang semuah realitas yang ada. Metode Yasiniyah sebagai sistem dalam pembelajaran membaca al-Qur’an, setidaknya mempunyai lima unsur penting yang membedakannya dengan metode-metode lainnya. Pertama, sistem penerimaan santri (peserta didik), kedua, sistem pengelolaan kelas, ketiga, materi pembelajaran, keempat, lama waktu belajar yang diperlukan, dan kelima, sistem evaluasi yang diterapkan.

2. Sistem Penerimaan Santri Waktu atau masa penerimaan santri disesuaikan dengan tahun

ajaran baru sekolah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa para santri (peserta didik) adalah anak-anak usia Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, yaitu umur lima sampai dengan delapan tahun. Masa pendaftaran santri baru biasanya dibuka selama sepekan sampai dua pekan, sesuai dengan jumlah peminat yang mendaftar. Awal pendaftaran santri dilaksanakan setelah acara wisuda santri, yang biasanya jatuh pada bulan Juni pada setiap tahunnya.

Pendaftaran santri dilakukan oleh orang tua atau wali santri bersama calon santri datang langsung kepada pimpinan lembaga dan biasanya dari pagi hari sampai dengan malamnya. Wali santri diharuskan menyerahkan langsung calon santri kepada pimpinan, dan bagi calon pendaftar yang tidak disertai oleh orang tua atau walinya tidak akan dilayani. Hal ini dimaksudkan agar ada semacam rasa tanggung jawab dan terjalin komunikasi antara pimpinan dan pengelola lembaga dengan pihak keluarga santri. Momen ini penting dilakukan, dengan tujuan agar ada kesepahaman antara pihak lembaga dengan keluarga santri, sebab pada saat bersamaan pimpinan memberikan gambaran langsung tentang proses belajar-mengajar yang akan dilangsungkan. Selain itu, pertemuan tersebut dimanfaatkan pihak pimpinan untuk menjelaskan tentang dana yang harus dibayar, sanksi

Page 43: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

43

terhadap santri yang melanggar peraturan yang berlaku, dan sebagainya.

3. Sistem Pengelolaan Kelas Idealnya setiap kelas terdiri atas dua belas sampai dengan lima

belas anak. Karena keterbatasan ruang kelas dan tenaga pendidik di pesantren Mambaul Hidayah setiap kelas berisi lebih dari lima belas orang. Seluruh santri putra dan putri biasanya dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu tingkat awal dan tingkat tsani. Santri tingkat awal adalah mereka yang baru diterima pada awal tahun ajaran, sedangkan tingkat tsani adalah tingkat lanjutan setelah selesai pada tingkat awal.

Santri tingkat awal, biasanya diajar oleh ustadz yang paling senior sebagai mustahiq8 dan dibantu satu orang “ustadz muda” yang bertindak sebagai munawib.9 Untuk kelas tingkat awal ini biasanya mustahiq mengajar secara penuh, artinya ia melaksanakan proses pembelajaran sampai waktu belajar di kelas habis tanpa digantikan oleh munawib. Hal ini disebabkan adanya keyakinan bahwa interaksi antara mustahiq dan para santri pada tahun pertama merupakan hubungan yang istimewa. Istimewa dalam arti mempunyai arti khusus, yaitu untuk membangun ikatan psikis antara mustahiq dan mereka. Ikatan psikis ini sangat diperlukan untuk pembentukan perilaku, sikap dan sistem nilai yang akan menjadi “tradisi”. Jadi tugas mustahiq tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran, tetapi lebih dari itu, yaitu membangun mental para santri.

8 Mustahiq adalah istilah bagi pengajar yang berkedudukan sebagai

penanggung jawab atas terlenggaranya proses belajar-mengajar. Selain itu mustahiq mempunyai kewenangan untuk menyampaikan atau memberikan materi baru kepada para santri.

9 Munawib adalah orang yang bertugas sebagai tenaga bantu atau semacam asisten mustahiq. Ia bertugas membantu kelancaran penyelenggaraan proses belajar-mengajar di kelas, misalnya membantu mengatur para santri sebelum mustahiq memasuki kelas dan melanjutkan memimpin proses belajar mengajar setelah ditinggal oleh mustahiq.

Page 44: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

44

Santri tingkat tsani diajar oleh satu orang mustahiq, yakni Ustadz Mu`alim dan dibantu oleh seorang munawib sama dengan pada tingkat awal, namun bedanya pada peran mustahiq dan munawib. Jika pada tingkat awal mustahiq sangat mendominasi dalam proses pembelajaran, maka pada tingkat tsani justru munawib yang sangat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Pada tingkat ini, mustahiq biasanya hanya memberikan materi baru dan latihan sebentar, setelah itu diserahkan pelaksanaan selanjutkan kepada munawib sampai habis jam belajar.

Taman Kanak-kanak (TK) al-Qur’an Sunan Giri Taraman tidak membentuk organisasi kelas, sebagaimana lazimnya sekolah pada umumnya. Semua kegiatan di dalam kelas dikoordinir oleh mustahiq dan munawib, termasuk dalam hal penegakan peraturan, pengadaan fasilitas belajar, maupun mengenai kebersihan dan ketertiban santri.

4. Materi Pembelajaran Tingkat Awal Ada enam materi pokok yang diajarkan dalam metode Yasiniyah

yang dikembangkan di TK al-Qur’an Sunan Giri Taraman, yaitu pertama, Al-Tahajjy, kedua, peshalatan, ketiga, do`a sehari-hari, keempat, hafalan surat Yasin, kelima, hafalan Juz `Amma, dan keenam, qira’at al-Qur’an. Keenam materi pokok tersebut ditargetkan dapat tercapai selama dua tahun dalam dua tingkatan kelas, yakni tingkat awal dan tingkat tsani.

Materi pembelajaran tingkat awal TK al-Qur’an Sunan Giri Taraman, meliputi; pertama, hafalan do`a mau belajar membaca al-Qur’an. Kedua, al-Tahajjy. Ketiga, peshalatan, dan keempat, do`a sehari-hari.

Setiap metode pembelajaran membaca al-Qur’an biasa mempunyai do`a-do`a khusus untuk mengawali kegiatan proses belajar mengajar, yang menjadi ciri khasnya. Begitu juga dengan metode Yasiniyah, mempunyai do`a khusus, yaitu:

Page 45: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

45

الرحیم الرحمن هللا بسم قولي یفقھوا لساني من عقدة واحلل أمري ویسرلي صدري لي اشرح رب

الرحیم الرحمن هللا بسم مع فإن ,ذكرك لك ورفعنا ,ظھرك أنقض الذي وزرك عنك ووضعنا صدرك لك نشرح ألم

فارغب ربك والي فانصب فرغت فإذا ,یسرا العسر مع إت یسا العسر

الرحیم الرحمن هللا بسم تكالن علیك وسھل تمم رب تعسر وال یسر رب

Ketiga jenis do`a tersebut diatas tidak dipakai dalam metode

metode Iqra’, dan metode Qira’aty, sedangkan do`a yang pertama dipakai dalam metode Baghdadiyah, tetapi do`a yang kedua dan ketiga tidak. Selama sepekan pertama mulai masuk belajar, santri hanya diberikan materi ini sambil diberikan pengarahan tentang belajar di TK al-Qur’an Sunan Giri Taraman. Setelah semua santri betul-betul dapat menghafal dengan baik, maka pada pekan kedua baru diberikan materi belajar yang sesungguhnya, yaitu dimulai dari materi pembelajaran al-Tahajjy.

Al-Tahajjy, adalah materi tentang pengenalan huruf Hija’iyah. Ada dua belas materi penting dalam pembelajaran al-Tahajjy, yaitu:

a. Pengenalan huruf Hija’iyah b. Pengenalan tanda baca (harakat) c. Pengenalan huruf berharakat fathah d. Pengenalan huruf berharakat kasrah e. Pengenalan huruf berharakat dhammah f. Pengenalan huruf berharakat fathah ganda g. Pengenalan huruf berharakat kasrah ganda h. Pengenalan huruf berharakat dhammah ganda i. Pengenalan huruf berharakat saknah j. Pengenalan huruf berharakat syaddah

Page 46: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

46

k. Pengenalan huruf berharakat saknah yang berdampingan dengan alif berharakat fathah, berharakat kasrah, dan berharakat dhammah.

l. Penenalan huruf yang syaddah dan saknah yang berdampingan dengan huruf hidup yang lain.

Materi pengenalan huruf Hija’iyah diberikan kepada santri secara bertahap, tetapi tidak berurutan sebagaimana pada metode Baghdadiyah, metode Iqra’ maupun metode Qira’aty. (Zarkasyi, 1990 Jilid I). Setiap tatap muka/pertemuan materi yang diberikan secara bertahap antara tiga sampai lima huruf, tergantung dari tingkat penguasaan santri. Materi tidak akan ditambah, bila masih ada santri yang belum menguasai materi yang telah diberikan. Untuk mengetahui tingkat penguasaan santri terhadap materi yang diberikan, diukur dari santri nomor dua paling bawah tingkat kecerdasannya. Pembelajaran materi pengenalan huruf Hija’iyah ini, biasanya memerlukan tujuh sampai delapan kali tatap muka/pertemuan atau kurang dari sepuluh hari, sebab mereka belajar setiap hari, kecuali pada hari Jum`at. Hari Jum`at merupakan hari libur TK al-Qur’an Sunan Giri Taraman.

Materi pengenalan tanda baca (harakat), diberikan ketika semua santri betul-betul telah paham dengan huruf Hija’iyah dan biasanya juga sekaligus hafal (Tim Penyusun, 1999: 1-3). Pembelajaran materi pengenalan tanda baca (harakat), biasanya memerlukan dua tahap/pertemuan. Penekanan pada materi ini adalah mengenal nama atau istilah tanda baca (harakat) dan padanannya dalam bahasa Indonesia dilihat dari pengaruhnya terhadap bunyi huruf Hija’iyah. Hal ini hampir sama dengan metode Baghdadiyah, hanya saja metode Baghdadiyah tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai padanannya. Berbeda dengan metode Qira’aty, dan metode Iqra’ yang tidak memberikan nama harakat, tetapi cukup bagi santri untuk mengetahui fungsi harakatnya saja, bukan pada istilah atau sebutannya.(Humam, tt. jilid 1; Dachlan, 1990. jilid 1).

Page 47: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

47

Setelah materi pengenalan tanda baca betul-betul telah dikuasai oleh semua santri, maka materi berikutnya yang diberikan adalah pengenalan huruf berharakat fathah. Pembelajaran materi pengenalan huruf berharakat fathah, juga ditambah dengan tanda panjang yang berlainan bentuk dan diberikan dengan disertai contoh-contoh, baik pada huruf tunggal maupun huruf-huruf bersambung dalam satu kata (kalimah). Penekanan pada materi ini adalah pemahaman santri akan fungsi harakat fathah terhadap bacaan atau bunyi huruf yang berharakat tersebut. Materi ini diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama pengenalan huruf berharakat fathah, dan tahap kedua pemahaman dengan melalui latihan menulis. Selain itu, huruf-huruf yang dijadikan contoh dipilih secara acak, tidak berurutan seperti yang diterapkan pada pada metode Baghdadiyah, metode Iqra’, maupun metode Qira’aty. (Zarkasyi, jilid I-X: tt ).

Setelah materi pengenalan tanda baca (harakat) fathah betul-betul telah dikuasai oleh semua santri, maka materi berikutnya yang diberikan adalah pengenalan huruf berharakat kasrah (Tim Penyusun, 1999:2). Pembelajaran materi pengenalan huruf berharakat kasrah, juga ditambah dengan tanda panjang yang berlainan bentuk dan diberikan dengan disertai contoh-contoh, baik pada huruf tunggal maupun huruf-huruf bersambung dalam satu kata (kalimah). Penekanan pada materi ini adalah pemahaman santri akan fungsi harakat kasrah terhadap bacaan atau bunyi huruf yang berharakat tersebut. Materi ini diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama, pengenalan huruf berharakat kasrah, dan tahap kedua pemahaman dengan melalui latihan menulis. Oleh karena itu huruf-huruf yang dijadikan contoh dipilih secara acak, tidak berurutan seperti yang diterapkan pada pada metode Baghdadiyah, metode Iqra’, maupun metode Qira’aty.

Setelah materi pengenalan tanda baca (harakat) fathah dan kasrah serta tanda panjang yang berlainan bentuknya betul-betul telah dikuasai oleh semua santri, maka materi berikutnya yang diberikan

Page 48: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

48

adalah pengenalan huruf berharakat dhammah. (Tim Penyusun, 1999: 2). Pembelajaran materi pengenalan huruf berharakat dhammah, juga disertai dengan pengenalan tanda baca (harakat) panjang yang berlainan bentuk dan diberikan dengan disertai contoh-contoh, baik pada huruf tunggal maupun huruf-huruf bersambung dalam satu kata (kalimah). Penekanan pada materi ini adalah pemahaman santri akan fungsi harakat dhammah terhadap bacaan atau bunyi huruf yang berharakat tersebut. Materi ini biasanya diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama pengenalan huruf yang berharakat dhammah dan tahap kedua pemahaman melalui latihan menulis. Selain itu, huruf-huruf yang dijadikan contoh dipilih secara acak, tidak berurutan seperti yang diterapkan pada pada metode Baghdadiyah, metode Iqra’, maupun metode Qira’aty.

Materi pengenalan huruf berharakat fathah ganda/ fathatain, diberikan setelah materi tahajji, pengenalan harkat, pengenalan huruf berharakat tunggal; fathah, kasrah, dan dhammah. Target dari materi ini adalah semua santri mampu menganal fungsi harakat fathah ganda secara baik, dapat membedakannya dengan tanda-tanda (harakat) lainnya. Untuk itu, penyampaian materi ini, selalu dikaitkan dengan harakat-harakat lainnya, sehingga tampak jelas setiap perbedaan yang ada. Materi ini disampaikan dalam dua tahap. Tahap pertama, pengenalan huruf berharakat fathah ganda dan tahap kedua pemahaman melalui latihan menulis. Selain itu dalam pembelajaran materi pengenalan harakat fathah ganda santri mulai diajarkan mengenal huruf latin. Hal ini, nampak jelas berbeda dengan metode Baghdadiyah, Iqra’ dan Qira’aty, sebab dalam metode-metode tersebut tidak diajarkan mengenal huruf latin.

Materi selanjutnya adalah pengenalan huruf berharakat kasrah ganda/kasratain. Target dari materi adalah semua santri mampu mngenal fungsi harakat kasrah ganda secara baik, dapat membedakannya dengan harakat-harakat lainnya. Penyampaian materi ini pada prinsipnya sama dengan penyampaian materi

Page 49: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

49

pengenalan huruf berharakat fathah ganda (fathatain). Namun bedanya, pada tahap ini santri mulai diberikan materi pengenalan angka Arab (Tim Penyusun, 1999:2). Pada tahap ini sama dengan maetode Iqra’, metode Qira’aty, tetapi berbeda dengan metode Baghdadiyah yang tidak mengajarkan pengenalan angka Arab.

Selanjutnya adalah materi pengenalan huruf berharakat dhammah ganda/dhamatain. Target dari materi ini adalah semua santri mampu mngenal fungsi harakat dhammah ganda secara baik, dapat membedakannya dengan harakat-harakat lainnya. Penyampaian materi ini pada prinsipnya sama dengan penyampaian materi pengenalan huruf berharakat fathah dan kasrah ganda. Hanya saja pada tahap ini santri diberikan materi pengenalan angka latin (Tim Penyusun, 1999:2). Materi pengenalan angka latin tidak terdapat pada metode-metode yang lainnya, seperti metode Baghdadiyah, metode Qira’aty maupun metode Iqra’.

Materi berikutnya adalah pengenalan huruf berharakat saknah, baik pada huruf tunggal maupun ketika didampingi dengan huruf alif. Target dari materi ini adalah semua santri mampu mengenal fungsi harakat saknah dengan baik, dapat membedakan dengan harakat-harakat yang lainnya. Penekanan dari materi ini adalah kemampuan memahami sifat-sifat huruf. Materi ini biasanya disampaikan tiga sampai empat kali tatap muka.

Adapun materi berikutnya adalah, pengenalan huruf berharakat syaddah. Penyampaian materi pengenalan huruf bersyaddah ini selalu dikaitkan dengan huruf alif yang berharakat fathah, kasrah, dan dhammah. Pada tahap ini yang dititikberatkan adalah perbaikan makhraj (Tim Penyusun, 1999:2). Target dari materi ini adalah semua santri mampu memahami dengan baik fungsi harakat syaddah dan makhraj al-huruf. Materi ini biasanya disampaikan dalam dua kali tatap muka.

Materi al-tahajjy yang terakhir adalah pengenalan huruf berharakat syaddah dan saknah yang berdampingan dengan huruf

Page 50: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

50

hidup yang lain. Pada tahap ini semua santri dibimbing untuk terbiasa membaca huruf sesuai dengan kaidah ilmu tajwid, tidak lagi menurut tanda baca (harakat) secara mutlak. Oleh karena itu pemberian materi selalu dengan latihan membaca kalimat yang panjang (kalam), yang kebanyakan diambil dari bacaan-bacaan shalat dan kalimat-kalimat yang ada di dalam mushab al-Qur’an (Tim Penyusun, 1999:2).

Peshalatan merupakan kata benda bentukan, yang berasal dari kata shalat yang mendapat awalan pe, dan akhiran an berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah shalat. Peshalatan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah materi pembelajaran yang berkitan dengan rangkaian ibadah shalat. Materi peshalatan ini terdiri dari wudhu’ dan shalat wajib lima waktu lengkap dengan bacaan wirid/dzikir dan do`a ba`da shalat dan. Materi peshalatan diberikan setelah materi al-Tahajjy selesai.

Materi tentang wudhu’, dimulai dengan menghafal lafazh niat wudhu’, cara berwudhu’ dan do`a setelah selesai wudhu’. Materi ini diajarkan dalam dua tahap, yaitu tahap teori dan tahap praktek. Materi tentang wudhu’ yang bersifat teoritis, meliputi; pertama, pengenalan air yang suci dan mensucikan sebagai alat utama berwudhu’. Kedua, menghafal lafazh niat wudhu’. Ketiga, hal-hal yang dapat merusak wudhu’, dan keempat tentang hikmah yang terkandung di dalam wudhu’. Materi ini, biasanya diberikan dalam dua satu kali tatap muka. Selanjutnya tahap kedua, adalah praktek wudhu’. Semua santri dibimbing untuk melakukan wudhu’, satu persatu dan diawasi langsung oleh mustahiq dan munawib. Target dari praktek ini adalah semua santri melakukan praktek berwudhu’. Materi praktek ini, biasanya cukup diberikan dalam satu kali kegiatan praktek, namun bagi anak yang masih kurang lancar tetap dibimbing terus dalam kesempatan lain, sampai betul-betul bisa.

Setelah semua santri bisa berwudhu’, materi pembelajaran dilajutkan dengan belajar shalat ((Tim Penyusun, 1999:2). Materi ini, meliputi hafalan bacaan shalat dan praktek langsung dalam setiap

Page 51: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

51

pertemuan. Bacaan yang harus dihafal dimulai dari lafazh niat shalat wajib lima waktu, tabiratu al-ikram, al-Fatehah, bacaan ruku`, bacaan i`tidal. Bacaan sujud, do`a bangun dari sujud, bacaan tasyahud, shalawat, salam, dan do`a qunut. Setelah semua santri dianggap telah hafal, maka dalam pertemuan berikutnya adalah praktek salah satu shalat wajib lima waktu satu persatu. Pembelajaran materi ini biasanya memerlukan sekitar sepuluh kali pertemuan. Untuk sampai pada kelima shalat wajib memerlukan bisanya ditambah dua sampai tiga kali pertemuan. Target dari pembelajaran materi ini, semua santri mampu melaksanakan shalat wajib lima waktu.

Hal inilah yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya antusiasme para santri dalam mengikuti shalat berjama`ah di TK al-Qur`an Sunan Giri, baik waktu belajar ngaji maupun di luar jam belajar, misalnya ketika shalat Subuh. Hanya shalat Zhuhur saja yang tampak agak sepi, mengingat pada waktu itu kebanyakan mereka masih sedang mengikuti proses pembelajaran di Sekolah Dasar.

Setelah semua santri bisa berwudhu’, dan menjalankan shalat wajib lima waktu, materi dilanjutkan dengan pembelajaran hafalan do`a sehari-hari. Materi ini meliputi: do`a mau tidur dan bangun tidur, do`a mau makan dan sesudah makan, do`a mau masuk WC dan keluar WC, do`a keluar rumah, do`a untuk kedua orang tua dan do`a selamat dunia akhirat. Pembelajaran materi ini biasanya memerlukan sepuluh kali pertemuan.

5. Materi Pembelajaran Tingkat Tsani Materi pembelajaran pada tingkat tsani ini meliputi; hafalan surat

Yasin, hafalan, surat al-Waqi`ah, surat al-Rahman, surat al-Mulk, Juz `Amma dan qira’at al-Qur’an serta tadarrus sampai khatam. Materi hafalan surat Yasin, sesungguhnya telah dimulai sejak masuk di kelas tingkat awal, hanya saja pembelajaranya belum secara spesifik. Pada tingkat awal pembelajaran surat Yasin, diberikan secara kolektif melalui pembiasaan berzikir setelah shalat Maghrib berjama`ah. Selain

Page 52: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

52

itu, materi hafalan Yasin pada saat sehabis shalat tersebut, hanya bersifat pembiasaan dan pengenalan dalam upaya penanaman tradisi pesantren, khususnya mengenyangkut gaya menghafal atau intonasinya (tanghim wa talfizh). Dengan kata lain belum ada target pembelajaran tertentu yang ingin dicapai sebagaimana yang dilaksanakan di kelas.

Berbeda dengan tingkat awal, pada tingkat tsani surat Yasin justru merupakan materi pokok dan pertama yang wajib dihafal oleh semua santri. Pembelajaran materi ini, biasanya membutuhkan sekitar 30 kali pertemuan, sebab rata-rata sekali pertemuan diberikan materi hafalan tiga ayat. Sedangkan surat Yasin terdiri dari 83 ayat. Target dari pembelajaran materi ini adalah semua santri mampu menghafal surat Yasin secara tartil. Berbeda dengan pembelajaran al-Tahajjy yang dilakukan secara acak, pembelajaran menghafal surat Yasin diberikan secara berurutan dari ayat pertama sampai ayat terakhir.

Setelah semua santri berhasil menghafal surat Yasin dengan baik, materi dilanjutkan dengan menghafal surat al-Waqi`ah. Pembelajaran materi ini, memerlukan sekitar tiga puluh kali tatap muka, dengan rata-rata tiap kali tatap muka menghafal tiga sampai empat ayat dari jumlah semua, sebanyak 96 ayat. Target yang ingin dicapai dalam pembelajaran materi ini semua santri mampu menghafalkan surat al-Waqi`ah secara tartil.

Setelah semua santri mampu menghafal surat Yasin dan surat al-Waqi`ah secara baik, maka materi berikutnnya adalah menghafal surat al-Rahman. Pembelajaran materi ini memerlukan sekitar dua puluh kali tatap muka, dengan tiga sampai empat ayat dalam setiap kali pertemuan dari jumlah semuanya 78 ayat. Targetnya sama dengan di atas, yaitu semua santri mampu menghafal surat al-Rahman secara tartil.

Setelah semua santri mampu menghafal ketiga surat tersebut dengan baik dan tartil, maka materi yang diberikan selanjutnya adalah menghafal surat al-Mulk. Pembelajaran materi ini memerlukan sekitar 15 kali tatap muka, dengan rata-rata pemberian materi dua ayat tiap

Page 53: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

53

pertemuan dari jumlah keseluruhan 30 ayat. Target dari pembelajaran materi ini adalah semua santri mampu menghafal surat al-Mulk secara baik dan tartil. Materi hafalan terakhir yang diajarkan adalah Juz `Amma, yakni juz tiga puluh dalam mushaf al-Qur’an.

Pembelajaran materi hafalan Juz `Amma meliputi tiga puluh tujuh surat-surat pendek. Penyampaian materi ini, memerlukan sekitar enam puluh kali tatap muka, dengan ragam pertemuan satu sampai empat kali pertemuan setiap suratnya, tergantung dari panjang, pendek surat dan “keakraban” santri terhadap surat itu. Target dari pembelajaran materi ini adalah semua santri mampu menghafalkannya dengan baik dan tartil. Setelah semua surat-surat tersebut telah diajarkan semua, maka kegiatan selanjutnya adalah mengulangi hafalan semua materi itu sambil menamatkan tadarrus al-Qur’an (khatam) dan dilanjutkan dengan pengulangan dan pengulangan sampai menjelang upacara wisuda.

6. Teknik/Strategi Pembelajaran Pada dasarnya pembelajaran membaca al-Qur’an dengan metode

Yasiniyah lebih menekankan pada aspek pemahaman, bukan hafalan. Kalau hanya hafalan, maka kemampuan santri hanya pada materi yang sudah dihafal saja, dan kalau disuruh membaca kalimat-kalimat yang lain cenderung kurang mampu. Tetapi bila dasarnya adalah pemahaman, maka walaupun kalimat yang dibaca adalah kalimat baru sama sekali, ia akan tetap mampu membacanya (Tim Penyusun, 1999:4).

Adapun teknik atau strategi pembelajaran yang diterapkan dalam metode Yasiniyah (Tim Penyusun, 1999: 2), adalah sebagai berikut:

a. Ceramah, yaitu seorang guru menerangkan lebih dahulu tentang perubahan-perubahan bentuk huruf, perubahan bentuk harakat, dan perubahan kalimat yang sama sekali belum dikenal santri. Prosesnya adalah pertama-tama mustahiq menyampaikan materi dengan menulis di papan tulis,

Page 54: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

54

selanjutnya dibaca dan ditirukan oleh semua murid, lalu diterangkan dengan penjelasan sebentar.

b. Drill, yaitu seorang guru membaca kemudian ditirukan oleh santri. Prosesnya sama dengan di atas, hanya saja santri di buat dalam kelompok-kelompok kecil dan mengikuti ucapan mustahiq secara bergantian lalu diakhiri dengan kolektif untuk semua kelompok.

c. Sorogan, yaitu seorang guru menyuruh santri membaca satu persatu. Bila dengan teknik ini masih ada anak yang belum mampu, maka : 1) Anak tersebut tidak boleh ditunjukkan atau dibacakan

secara langsung, tetapi disuruh membaca huruf yang ada dalam kata (kalimah) tersebut. Contoh: جھد jangan langsung ditunjukkan secara lisan ”ja-ha-da”, tetapi disuruh membaca huruf di dalam kata tersebut satu persatu, misalnya ج ini bunyinya apa, “ ه “ ini bunyinya apa, ...?, dan seterusnya. Kalau masih tetap belum bisa, ditunjukkan pada pengenalan huruf. Misalnya “ج”, ini huruf apa? Sampai dijawab “jim”. Kemudian diberi harakat apa? Dijawab fathah. Bunyinya bagaimana? Dijawab “ja” dan seterusnya. Lalu kembali santri disuruh membaca kata جھد yang ada diatas tadi.

2) Jika anak tersebut sudah ditunjukkan dengan cara seperti di atas, tetapi masih belum bisa membaca, maka digantikan dengan santri yang lain dan anak tadi disuruh memperhatikan teman yang membaca tadi.

d. Irama, yaitu setiap perubahan bentuk kata (kalimah), membacanya disertai irama atau lagu tertentu, guna untuk membantu kelancaran bacaan panjang dan pendek. Irama yang dimaksud adalah gaya membaca secara tartil.

e. Pemisahan atau tertutup sebagian, yaitu teknik khusus untuk kalimat panjang, guna untuk menjaga jangan sampai anak

Page 55: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

55

tersebut hanya mampu membaca karena hafalan. Prosesnya, diawali dengan pemberian materi kalimat yang agak panjang oleh mustahiq, dengan menuliskan di papan tulis, lalu seluruh santri suruh mengikuti bacaannya, kemudian kepada kelompok-kelompok kecil, lalu setiap individu santri dan kembali secara kolektif lagi. Setelah itu, kalimat tadi dipenggal perkata dengan cara menghapus atau menutup sebagian kalimat, dengan cara penyampaian seperti sebelumnya tadi.

f. Peraga, yaitu seorang guru menyuruh santri untuk menulis atau menyalin materi yang disajikan. Teknik ini seperti tanya tanya jawab, hanya saja santri diminta untuk menjawabnya dengan cara menuliskannya di papan tulis.

g. Setelah semua santri selesai membaca, maka diakhiri dengan membaca materi secara bersama-sama (kolektif).

Selama proses pembelajaran di tingkat awal, dilakukan dengan cara berdiri, baik mustahiq, munawib maupun santrinya (Munir, tt : 61). Jadi tidak ada bangku atau kursi di dalam ruangan, yang ada hanya papan tulis. Setiap materi, disampaikan di papan tulis. Ceramah biasanya dipakai oleh mustahiq ketika menjelaskan materi-materi yang tergolong baru (topik baru). Misalnya tentang perubahan-perubahan bentuk huruf, perubahan bentuk harakat, dan perubahan kalimat yang sama sekali belum dikenal santri. Teknik ini biasanya diterapkan pada setiap awal pertemuan dan juga pada setiap akhir pertemuan. Teknik ini menurut Mike Hernacki (2000: 133), disebut “penambatan“. Dalam hal ini Ustadz Mu`alim sebagai mustahiq selalu mengulangi penjelasan tentang topik yang baru diajarkan pada setiap akhir pertemuan di kelas. Ceramah banyak dipakai dalam pembelajaran di kelas tingkat awal, sedangkan pada tingkat tsani jarang diterapkan.

Hal lain yang tampak menonjol dalam metode Yasiniyah adalah adanya tanya-jawab selama proses pembelajaran berlansung. Dalam

Page 56: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

56

proses pembelajaran, mustahiq selalu melemparkan pertanyaan kepada santri yang dinggap belum paham, sampai ia betul-betul paham. Teknik tanya-jawab banyak dipakai pada pembelajaran materi al-Tahajjy. Hal ini menunjukkan bahwa proses “penambatan” materi kepada semua santri harus betul-betul terjadi, sehingga setiap ada gejala yang tampak lain, segera dapat dicarikan solusinya. Di sinilah sebenarnya peran besar dari seorang munawib untuk membantu mengontrol setiap gejala yang nampak lain, yang terjadi pada beberapa santri itu. Setelah semua santri tampak telah memahami materi yang diberikan, lalu pengulangan materi secara kolektif. Setelah itu proses pembelajaran diakhiri dengan membaca shalawat Nur al-Anwar dan do`a bersama.

7. Waktu Belajar Waktu belajar dalam metode Yasiniyah selalu dikaitkan dengan

waktu shalat wajib. Untuk kelas tingkat awal, waktu belajar dimulai sesudah shalat Zhuhur (ba`da Zhuhur) sampai masuk waktu shalat `Ashar dan diakhiri dengan shalat `Ashar berjama`ah. Jadi, proses pembelajaran berlangsung kira-kira dari pukul 13.30-15.30 WIB. Setelah itu biasanya para santri langsung pulang ke rumah masing-masing dan datang kembali menjelang waktu Maghrib tiba. Sedangkan untuk kelas tingkat tsani diselenggarakan mulai ba`da Ashar sampai sampai menjelang waktu Maghrib tiba, kira-kira pukul 16.00-17.30 WIB. Waktu senggang ini biasanya dipergunakan para santri untuk bermain bersama sesama mereka di lingkungan sekitar pondok pesantren.

Setelah shalat Maghrib berjama`ah, kegiatan selanjutnya adalah menghafal surat Yasin secara bersama-sama (kolektif). Kegiatan ini diikuti oleh semua santri, baik tingkat awal, tingkat tsani, para munawib, bahkan dari santri tingkat diniyah sekalipun. Setelah shalat Maghrib dan zikir Yasin selesai, semua santri, baik tingkat awal maupun tingkat tsani masuk ke kelas masing-masing untuk

Page 57: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

57

melanjutkan proses belajar-mengajar membaca al-Qur’an sebagaimana yang berlangsung pada siang hari sebelumnya. Untuk tingkat tsani, mustahiq masuk ke kelas hanya untuk menyampaikan materi baru, dan selanjutnya diserahkan atau diteruskan oleh munawib. Sedangkan tingkat awal diajar oleh mustahiq dan dibantu oleh seorang munawib, sampai waktu shalat `Isya’ tiba. Setelah shalat `Isya’ berjama`ah, semua santri diperbolehkan pulang. Akan tetapi ada sebagian santri yang menginap di asrama pondok pesantren dan baru pulang pada pagi hari setelah shalat Shubuh. Setelah `Isya’, merupakan waktu belajar untuk tingkat diniyah.

Lama waktu belajar di TK al-Qur’an Sunan Giri Taraman dua tahun, yaitu satu tahun untuk tingkat awal dan satu tahun lagi untuk tingkat tsani. Selama satu tahun belajar di tingkat awal, hampir semua santri telah mampu membaca al-Qur’an secara tartil, namun belum begitu lancar seperti lazimnya membaca tadarrus. Oleh karena itu untuk memperlancar bacaan tartil, diteruskan pada tingkat tsani sambil diperkenalkan tajwid sedikit-demi sedikit tetapi tidak mendalam. Untuk pendalaman ilmu Tajwid diberikan pada tingkat diniyah. Akan tetapi sebelum melanjutkan ke tingkat diniyah, semua santri harus menamatkan belajarnya melalui ujian dan wisuda.

8. Sistem Evaluasi yang Diterapkan Sistem evaluasi yang diterapkan di TK al-Qur’an Sunan Giri

Taraman adalah ujian lisan pada setiap akhir tahun pelajaran. Ujian lisan, dilaksanakan secara individual, yaitu maju satu persatu menghadap mustahiq. Soal tidak ditentukan secara tertulis, tetapi dipilih secara acak, dari materi yang telah diberikan, baik materi tahajjy, peshalatan, maupun hafalan. Namun, biasanya soal-soal diambil dari setiap bagian dari semua materi yang telah diberikan selama satu tahun. Khusus untuk hafalan, materi ujian meliputi semua materi hafalan dari awal sampai akhir materi yang telah diberikan secara individual. Oleh karena itu pelaksanaan ujian dapat berlangsung

Page 58: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

58

beberapa hari, sebab setiap santri biasnya memerlukan waktu ujian selama 30 menit sampai satu jam.

Pada dasarnya, kenaikan tingkat atau kelulusan sangat ditentukan oleh hasil ujian akhir tahun ini. Setelah para santri dinyatakan lulus dalam mengikuti ujian akhir tahun, bagi santri tingkat awal, mereka naik ke tingkat tsani. Sementara bagi santri tingkat tsani yang lulus ujian akhir, mereka mendapatkan sertifikat (الشھادة) sebagai tanda kelulusan, dan selanjutnya diwajibkan mengikuti acara wisuda. Pada acara wisuda, para alumni diwajibkan untuk menampilkan tadarrus dengan menghafal Juz `Amma, surat Yasin, surat al-Waqi`ah, surat al-Rahman dan surat al-Mulk di depan para pengunjung, undangan dan masyarakat umum. Acara wisuda biasanya diselenggarakan secara meriah, dengan mengundang beberapa tokoh masyarakat dan pejabat agama atau pemerintah kecamatan. Untuk mengisi acara, biasanya diundang seorang muballigh kondang yang ada daerah sekitarnya. Namun sebelum dan sesudah acara resmi dimulai, selalu ditampilkan beberapa atraksi dari para santri, seperti group nasyid dengan musik “Kiyai Kanjeng”.

E. Penutup Dengan melihat apa yang sudah dilakukan di TK al-Qur’an

Pondok Pesantren Sunan Giri Taraman OKU Timur Sumatera Selatan ini dapat ditegaskan bahwa penerapan Metode Yasiniah dalam pembelajaran membaca al-Qur’an mengikuti tradisi pembelajaran tradisional yang selama ini dilakukan di pondok pesantren. Dibandingkan dengan berbagai metode pembelajaran membaca al-Qur’an lainnya yang pernah ada, maka Metode Yasiniah tidak hanya berorientasi kepada kecakapan atau kompetensi santri dalam membaca al-Qur’an saja (besifat kognitif), tetapi juga terdapat upaya pembentukan karakter (akhlak mulia/kompetensi ranah afektif) melalui kegiatan-kegiatan belajar yang menyertainya. Dari segi kognitif,

Page 59: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

59

metode ini juga telah terbukti cukup cepat dan efektif dalam membantu anak mampu membaca al-Qur’an.

Melihat keunggulan-keunggulan yang terdapat di dalamnya, penerapan Metode Yasiniah, dengan demikian, tidak hanya relevan untuk diterapkan di lingkungan pendidikan pesantren, tetapi sebenarnya juga dapat diadopsi oleh guru-guru agama Islam untuk diterapkan di lingkungan lembaga madrasah dan sekolah.

Daftar Pustaka Al-Zarnuji. 1963. Ta`lim al-Muta`allim. Kudus: Menara Kudus. Barbaour Ian, G. 1966. Issues in Science and Relegion. New York:

Prentice-Hall, Inc. Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. 1966. The Social

Contruction of Reality, a Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Doubleday & Company.

Buinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.

Buniy, Ahmad Ibn `Ali al-. 1985. Syams al-Ma`arif al-Kubra. Beirut: Maktabah al-Sabaniyah.

Caine dan Cane. 1997. Educational on the Edge of Possibility. Virginia: Assosiation for Supervision and Curriculum Development,

Dhofier, Zamakhsyari. 1985. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES. Dimasyqy, Abi Zakaria Yahya Ibn Syarf al-Nawawy al-. 2005.

Riyadh al-Shalihin. Beirut: Dar al-Fikr. Fachrurrazi, H. t.t. Terjemahan Yasin Fadhilah Berikut Do`a-

do`anya, Jakarta: Sinar Baru Algesindo. Gazalba, Sidi. 1981. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Ghazali, Abu Muhammad Ibn Muhammad al-. 2005. Ihya’ `Ulum al-

Dien, juz. I . Beirut: Dar al-Fikr. Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pembelajaran Berdasarkan

Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 60: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

60

Hernacki, Mike, (Ed.). 2000. Quantum Teaching, Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa,

Huda, Nor. 2002. “Lembaga Pendidikan Dasar al-Qur’an: Studi atas Nggon Ngaji dan TKA-TPA”, Tesis, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Humam, K.H. As`ad. t.t. Iqra’ , Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an. Yogyakarta: Team Tadarrus al-Qur’an “AMM”.

Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadia,

Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Muhaimin dan Abdul Mudjib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Historis dan Kerangka Dasar Operasinalisasinya. Bandung: Trigenda Karya.

Muhammad, Thahir, t.t. Majmu` al-Syarif. Bondowoso: Bagus. Munir. 2005. “Karakteristik Metode Yasiniyah dan Pengaruhnya

Terhadap Perilaku Peserta Didik (Studi Tentang Metode Pembelajaran Membaca al-Qur’an di Pondok Pesantren Sunan Giri Taraman OKU Timur Sumatera Selatan”, Laporan Penelitian DIPA, IAIN Raden Fatah Palembang.

Sears, David, O. 1988. Psikologi Sosial, terj. Jakarta: Erlangga. Silberman, Mel. 1986. Active Learning, 101 stategies to Teach any

Subject, Boston: Allyn & Bacon, Syam, Muhammad Noor. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar

Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Tim Penyusun. 1999. Buku Pedoman Kurikulum Pembelajaran

Membaca al-Qur’an TK. al-Qur’an Sunan, Ngunut Tulung Agung: Emyu Com, Ltd.

Tim Penyusun. t.t. Qaidah Badgdadiyah ma`a Juz `Amma, Kudus: Menara Kudus.

Tim Penyusun. t.t. Qaidah Baghdadiyah ma`a Juz `Amma. Semarang: Nur Cahaya.

Page 61: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

61

Walster dan Berscheid. 1978. Equity: Theory and Research. Boston: Allyn and Bacon.

Zarkasyi, Dachlan Salim. 1990. Metode Praktis Belajar Membaca al-Qur’an: Qira’aty, jilid I-VI. Semarang: Yayasan Pendidikan al-Qur’an Raudhatul Mujawwidin.

-----------. 1990. Metode Praktis Belajar Membaca al-Qur’an: Qira’aty, jilid I-X. Semarang: al-Alawiyah.

Page 62: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

62

MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 3 PALEMBANG

Dewi Rayuni

MAN 3 Palembang Jl. Inspektur Marzuki, Pakjo, Palembang

Abstract This research try to comprehend implementation of learning management at Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Palembang, South Sumatera. It finds that learning procedure has been implemented by teachers of MAN 3 Palembang. It includes: planning, actuating, organizing, and supervising/evaluating in a relatively good manner. But in the aspect of evaluation, there is still a weakness, i.e.: teachers feel little difficulty in doing daily learning evaluation for each of class. In increasing teacher competency in learning management, they follow some of seminars, trainings, surfing the internet, discussing with peer teacher, etc. Madrasah’s headmaster also support in improving teacher competency by enrolling the teachers in seminars, trainings, completing learning media and learning resources, and held meeting in every end of semester. Keywords: learning management, madrasah’s teachers, headmaster’s role A. Pendahuluan

Salah satu misi pendidikan di Indonesia adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Lulusan pendidikan yang berkualitas akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi (Shaleh, 2004: 123). Semakin banyak orang yang berpendidikan, semakin mampu bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Dengan keterampilan, ilmu pengetahuan,

Page 63: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

63

agama, dan teknologi, pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional. Investasi pendidikan juga akan memberikan nilai balik yang lebih tinggi dalam investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja (Rosyada, 2004: 25-26). Menurut Suryadi (1999: 247), negara-negara yang sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dalam investasi modal fisik, yaitu 20% dibanding 15%. Sementara itu, di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah apabila dibandingkan dengan investasi modal fisik, yaitu 9% dibanding 13%.

Salah satu langkah penting pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan pendidikan adalah menerapkan konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang kemudian berkembang lagi dengan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Hal ini dilatarbelakangi oleh hasil evaluasi Departemen Pendidikan Nasional mengenai masih rendahnya kualitas lulusan peserta didik sekolah menengah, khususnya kesiapan lulusan sekolah menengah dalam memasuki dunia kerja (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 286--288). Sementara itu, pelaksanaan kurikulum yang ada bersamaan pula dengan kebijakan otonomi daerah, yang tentunya akan memberikan peran manajemen sekolah semakin besar pula.

Manajemen sekolah mencakup pengembangan manajemen pembelajaran. Sesungguhnya, sebesar apa pun masukan persekolahan ditambah atau diperbaiki, lulusannya tetap tidak akan optimal, apabila faktor manajemen pembelajaran yang merupakan aspek yang sangat strategis dalam proses belajar mengajar tidak diberi perhatian. Manajemen pembelajaran adalah bagian pengelolaan terdepan yang mengembangkan kualitas setiap masukan pada aspek proses dan interaksi dalam sistem belajar mengajar. Di sini guru memiliki peran yang besar untuk mendorong atau menghambat upaya inovasi baik

Page 64: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

64

yang berasal dari luar maupun yang timbul dari dalam pembelajaran di sekolahnya (Hamalik, 2006: 150; Muhaimin, 2005: vii). Guru harus mampu memutuskan apa yang harus diajarkan, bagaimana menyajikan bahan pelajaran, dan bagaimana menentukan cara pengajaran agar peserta didik mengerti apa yang diajarkan dan mampu menerapkan dalam kehidupan nyata (Brophy, 1990: 32) sehingga dalam hal ini kemampuan manajemen pembelajaran seorang guru sangat penting dan menentukan untuk mencapai keberhasilan belajar.

Dalam kenyataan sehari-hari, di dalam suatu ruang kelas ketika proses Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM) berlangsung, kadang-kadang sebagian besar peserta didik belum mampu mengikuti proses pembelajaran secara maksimal sewaktu guru mengajar. Sebagian peserta didik belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti materi pendidikan lanjutan. Juga, beberapa peserta didik belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Kadang-kadang peserta didik baru mampu mempelajari (baca: menghafal) fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan. Mereka belum dapat menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang dialami. Salah satu penyebabnya adalah guru yang belum mampu mengelola manajemen pembelajaran di kelas secara optimal (Hamalik, 2006: 17). Kalau masalah ini dibiarkan dan berlanjut terus, lulusan sebagai generasi penerus bangsa akan sulit bersaing dengan lulusan dari negara-negara lain. Lulusan yang diperlukan tidak sekedar mampu mengingat dan memahami informasi, tetapi juga mampu menerapkan secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era pembangunan yang berbasis ekonomi dan globalisasi sekarang ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar peserta didik mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai, dan menggunakan informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan.

Page 65: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

65

Salah satu dampak dari kurang berkualitasnya proses pembelajaran di kelas di antaranya adalah keluhan masyarakat yang dapat dipantau melalui berbagai media massa mengenai mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik. Rendahnya perolehan Nilai Ebtanas Murni (NEM) dan keabsahan nilai yang tercantum dalam Daftar Nilai Ebtanas Murni (DANEM) acapkali menjadi sorotan dalam wacana pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan akan selalu menarik perhatian masyarakat Indonesia karena masa depan bangsa tergantung kepada pendidikan, terutama pada saat memasuki era globalisasi. Mutu pendidikan pada umumnya dan prestasi belajar peserta didik di sekolah pada khususnya merupakan hasil suatu proses interaksi berbagai faktor seperti: guru, peserta didik, kurikulum, buku, laboratorium, metodologi pengajaran, peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, dan berbagai masukan serta kondisi proses lainnya.

Faktor-faktor yang menjadi masukan seperti disebutkan di atas telah ditangani selama ini, baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh karena itu, kondisi saat ini sudah lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Akan tetapi mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta didik seperti yang diinginkan belum terwujud. Tampaknya ada suatu faktor yang selama ini belum mendapatkan perhatian yang setara dengan perhatian yang diberikan kepada faktor-faktor lainnya, yaitu manajemen pembelajaran. Sudah cukup banyak dana yang dialokasikan untuk mengangkat dan menatar guru dan tidak sedikit rupiah yang telah dihabiskan untuk mencetak buku, membeli peralatan laboratorium, mengadakan sarana dan prasarana pendidikan, tetapi masih sangat sedikit upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan secara umum, termasuk di dalamnya manajemen pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa manajemen pembelajaran merupakan faktor penting untuk menentukan keberhasilan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah. Oleh

Page 66: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

66

karena itu, perhatian yang sungguh-sungguh terhadap manajemen pembelajaran akan dapat mendorong peningkatan kualitas pendidikan. Ini tidak terbatas hanya pada lembaga pendidikan umum, tetapi juga pada lembaga pendidikan keagamaan, seperti madrasah. Untuk madrasah ini, sebagaimana diketahui, bahwa Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang merupakan salah satu lembaga pendidikan model yang tentunya menjadi unggulan apabila dibandingkan dengan madrasah lainnya di Sumatera Selatan. Ini tercantum secara eksplisit dalam Surat Keputusan Menteri Agama RI No. E.IV/PP.00.6/17.A/1998/tertanggal 20 Februari 1998. Meski dirancang sebagai Madrasah Aliyah model, kondisi manajemen pembelajaran di MAN 3, "belum sepenuhnya dikatakan lebih baik dan menjadi model bagi madrasah Aliyah lainnya di Sumatera Selatan" (Wawancara dengan Fajar, 2 Februari 2007). Berdasarkan kondisi ini patut diduga bahwa masih dibutuhkan upaya peningkatan kualitas pembelajaran di MAN 3, terutama pada aspek manajemen pembelajaran yang lebih optimal. Untuk mengetahui informasi bagaimana penerapan manajemen pembelajaran di MAN 3 secara lebih mendalam, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan ini lebih lanjut.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat diajukan pokok permasalahan yaitu bahwa Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang merupakan lembaga pendidikan model yang dirancang menjadi Madrasah Aliyah unggulan di Sumatera Selatan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana penerapan manajemen pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh lembaga pendidikan itu agar dapat menjadi model bagi madrasah Aliyah lain.

B. Kerangka Teori 1. Hakikat Manajemen Pembelajaran

Keterampilan manajemen merupakan hal yang penting dalam pembelajaran yang baik. Manajemen yang baik yang dilaksanakan

Page 67: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

67

oleh guru akan menghasilkan perkembangan keterampilan manajemen diri peserta didik yang baik. Ketika peserta didik telah belajar untuk lebih mangatur diri, guru akan lebih mudah untuk berkonsentrasi pada pembelajaran yang efektif.

Teknik manajemen pembelajaran harus diupayakan agar tidak mengganggu aspek pembelajaran. Tindakan manajemen harus mencegah agar tidak terjadi masalah. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan strategi manajemen yang tepat adalah (1) tingkat kematangan peserta didik dan hubungannya dengan orang lain, (2) jumlah peserta didik, jumlah dan jenis alat, ruang, keterbatasan waktu, dan tujuan pembelajaran, dan (3) kepribadian guru (Hamalik, 2005: 131). Tugas guru yang kritis dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik adalah bagaimana merancang dan mengimplementasikan teknik pembelajaran agar banyaknya waktu belajar aktif peserta didik tinggi, dan agar peluang belajar mencukupi serta dan iklim kelas kondusif.

Pengajaran pada umumnya adalah kegiatan kelompok, sedangkan pembelajaran lebih kepada kegiatan individu dan tidak semua peserta didik belajar dengan kecepatan yang sama atau dengan cara yang sama. Guru perlu mempertimbangkan berapa banyak kebijakan dan praktek yang mengarah kepada pengelompokan peserta didik. Penelitian tentang interaksi guru dan peserta didik menunjukkan bagaimana guru sering berperilaku berbeda kepada individu peserta didik berdasarkan pada persepsi mereka sendiri tentang kemampuan peserta didik (Nasution, 2005: 71). Peserta didik yang diberi label “berprestasi rendah” atau “peserta didik lamban belajar” sering menerima sedikit kesempatan apabila di bandingkan dengan orang lain untuk berpartisipasi, dan mereka yang dipandang sebagai “tak berdisiplin” diperlakukan sedemikian rupa, bahkan ketika mereka berperilaku baik. Guru perlu mengarahkan pada asumsi dan ekspektasi mereka dengan meminta umpan balik dari peserta didik tentang proses belajar-mengajar dan tentang apa yang terjadi di kelas pada umumnya

Page 68: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

68

(Slameto, 1991: 52). Semua guru harus melakukan yang terbaik bagi peserta didik dengan cara mengenali mereka sebagai individu dengan cara positif, memperlakukan mereka dengan adil dan dengan hormat, membuat pelajaran menarik dan beragam, memberikan dorongan dan mengatakan agar mereka meyakini diri mereka sendiri dan kemampuannya.

2. Fungsi-fungsi Manajemen Pembelajaran Manajemen merupakan kegiatan, pelaksanaannya disebut

manajing, dan orang yang melakukannya disebut manajer. Tugas-tugas operasional dilaksanakan melalui upaya-upaya karyawan/staf. Manajemen mempunyai tujuan-tujuan tertentu dan bersifat tidak berwujud (Terry, 2006: 9). Manajemen dikatakan tidak berwujud karena tujuan manajemen tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan hasilnya berupa hasil pekerjaan yang cukup, ada kepuasan pribadi, produk, dan pelayanan yang optimal. Untuk mencapai tujuan-tujuan usaha, suatu kelompok organisasi membutuhkan manajemen agar dapat dicapai dengan baik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa manajemen mempunyai fungsi-fungsi tertentu sehingga mampu secara positif mewujudkan pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Terry (2006: 15), secara fundamental manajemen mempunyai fungsi perencanaan, organisasi, gerakan aksi, motivasi, penempatan, pengarahan, kontrol dan inovasi atau pengembangan. Secara spesifik fungsi manajemen dapat dijelaskan; pertama, fungsi perencanaan, menetapkan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kelompok untuk mencapai tujuan. Kedua, organisasi, pembagian peranan kerja yang memungkinkan anggota bekerjasama secara efektif guna mencapai tujuan bersama. Ketiga, gerakan aksi, kegiatan yang ditetapkan oleh unsur perencanaan dan pengorganisasian agar tujuan-tujuan dapat tercapai. Keempat, motivasi, dorongan yang timbul baik dari dalam diri seseorang maupun dari orang lain sehingga mau melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kelima, menempatkan

Page 69: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

69

atau mempertahankan orang pada posisi yang dibutuhkan oleh pekerjaan atau organisasi. Keenam, pengarahan, penugasan atau masukan-masukan yang diberikan kepada bawahan sehingga menjadi aktif dan efektif dalam bekerja. Ketujuh, kontrol, mencakup kelanjutan tugas untuk melihat apakah kegiatan-kegiatan dilaksanakan sesuai rencana. Pelaksanaan tugas dievaluasi oleh pimpinan (manajer), dan penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan diperbaiki supaya tujuan-tujuan dapat tercapai dengan baik. Kedelapan, inovasi atau pengembangan, yang mencakup pengembangan gagasan-gagasan baru, memadukan pemikiran-pemikiran baru dengan yang lama, mencari gagasan-gagasan dengan memadukannya dengan berbagai kondisi yang ada dan menerapkannya.

Perencanaan adalah tindakan awal untuk melaksanakan pembelajaran. Perencanaan akan menentukan tujuan dan menetapkan metode yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Uno (1998: 2), perencanaan pembelajaran pada hakikatnya adalah perancangan upaya untuk membelajarkan peserta didik. Pembelajaran memusatkan perhatian pada "bagaimana membelajarkan peserta didik", dan bukan pada "apa yang dipelajari peserta didik". Perencanaan pembelajaran secara umum diperlukan agar perbaikan pembelajaran dapat dicapai.

Berdasarkan pengertian di atas, perencanaan pembelajaran dapat dipahami sebagai upaya guru dalam menyiapkan desain pembelajaran yang berisi tujuan, materi dan bahan, alat dan media, pendekatan, metode serta evaluasi yang akan dijadikan pedoman dalam pembelajaran. Perencanaan pembelajaran sangat penting karena menjadi pedoman dan standar dalam usaha pencapaian tujuan. Pembelajaran menjadi terarah dan terukur karena adanya perencanaan yang matang.

Pengorganisasian pembelajaran adalah proses pembagian komponen-komponen pembelajaran sehingga dapat dikerjakan atau dilaksanakan dengan baik (Syafaruddin dan Nasution, 2005: 72).

Page 70: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

70

Untuk mengorganisasikan suatu kegiatan pembelajaran dibutuhkan strategi, yang menurut Reigeluth (1977) sebagaimana dikutip oleh Uno (2006: 45), mengacu kepada strategi pengorganisasian pembelajaran untuk membuat urutan, mensintesis fakta, konsep, prosedur, dan prinsip yang berkaitan. Membuat urutan mengacu pada pembuatan urutan penyajian isi mata pelajaran. Sintesis mengacu pada upaya menunjukkan kepada peserta didik mengenai fakta, konsep, prosedur atau prinsip yang terkandung dalam suatu mata pelajaran. Senada dengan pengertian di atas, Sanjaya (2006: 23) menyatakan bahwa pengorganisasian sebagai kegiatan menyusun struktur dan membentuk hubungan-hubungan agar diperoleh kesesuaian dalam usaha mencapai tujuan bersama. Pengorganisasian akan memberi makna kepada adanya unsur-unsur yang mempersatukan dan memisahkan dengan tujuan, keselarasan, dan keseimbangan. Unsur-unsur yang mempersatukan di antaranya adalah tujuan bersama untuk diwujudkan, sedangkan unsur-unsur yang memisahkan adalah kewenangan membagi-bagikan tugas dan tanggungg jawab. Tujuan bersama dalam pembelajaran adalah guru dan peserta didik bersama-sama berusaha mencapai tujuan pembelajaran. Unsur-unsur dalam pembelajaran yang memisahkan adalah kewenangan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dan kewajiban peserta didik untuk mematuhi dan menerima apa yang disampaikan oleh guru. Dengan demikian, pengorganisasian pembelajaran memberi gambaran bahwa kegiatan belajar dan mengajar mempunyai arah dan tanggung jawab yang jelas. Fungsi dan tanggung jawab yang ada pada masing-masing unsur berangkat dari kebersamaan untuk memenuhi tujuan pembelajaran.

Kepemimpinan dalam pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Mondy dan Premeaux (1995), yang dikutip oleh Syafaruddin dan Nasution (2006: 73), mengatakan bahwa kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang

Page 71: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

71

dalam mempengaruhi orang lain. Kepemimpinan intinya adalah hubungan antar manusia. Kepemimpinan guru dalam pembelajaran ini mencakup setidaknya empat gaya kepemimpinan (Syafaruddin dan Nasution, 2006: 74), yaitu:

a. Pemimpin otokratik, yakni pemimpin yang otoriter terhadap bawahannya tanpa boleh bertanya atau protes terhadap apa yang ditugaskan.

b. Pemimpin partisipatif, yakni pemimpin yang selalu melibatkan bawahannya dalam merumuskan kebijakan atau keputusan, tetapi otoritas akhir sering terdapat pada pimpinan.

c. Pemimpin demokratis, yakni pemimpin yang selalu bermusyawarah dengan bawahannya mengenai apa yang akan diputuskan.

d. Pemimpin yang selalu membebaskan bawahan, yakni pemimpin yang tidak perduli terhadap apa yang dilakukan bawahannya asal tidak mengganggu stabilitas organisasi.

Dari keempat gaya kepemimpinan itu semuanya dapat dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran, tetapi perlu diperhatikan segi positifnya mana yang lebih banyak ataupun bila perlu melalui penggabungan gaya kepemimpinan di atas. Berkenaan dengan kepemimpinan pembelajaran ini, Sagala (2005: 145) mengatakan bahwa guru perlu berperan sebagai motivator para peserta didik dalam melakukan aktivitas belajar baik di kelas, laboratorium, perpustakaan, praktek kerja lapangan, dan tempat lainnya. Oleh karena itu, guru bukan saja perlu berusaha menarik perhatian peserta didik, tetapi juga harus meningkatkan aktivitas peserta didik melalui pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran yang disajikan oleh guru.

Pengawasan dan evaluasi merupakan bagian dari manajemen pembelajaran yang berfungsi sebagai kontrol terhadap semua aktivitas yang dilaksanakan dalam upaya memastikan keberhasilan

Page 72: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

72

pembelajaran. Dalam hal pengawasan dan evaluasi ini, yang lebih menonjol adalah pada tataran evaluasinya, yang menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 190), mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.

C. Metodologi Penelitian Dari aspek tujuan penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu

penelitian yang bertujuan mendeskripsikan fenomena penerapan manajemen pembelajaran di MAN 3 Palembang. Dari segi obyek yang dikaji, penelitian ini adalah penelitian lapangan.

Dari segi jenis data yang dikumpulkan dan dianalisis, penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang-orang dan perilaku yang dapat dialami (Moleong, 2000: 3).

Data penelitian yang telah dikumpulkan dengan metode studi teks, wawancara, dan observasi, selanjutnya data diolah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis dilakukan secara interaktif dan terus-menerus selama proses dan tahapan penelitian dalam bentuk reduksi data, pemaparan data, verifikasi, dan penarikan kesimpulan. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori manajemen pembelajaran.

D. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Perencanaan Pembelajaran

Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan itu dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun, yang lebih utama adalah perencanaan yang

Page 73: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

73

dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Begitu pula dengan perencanaan pembelajaran yang direncanakan harus sesuai dengan target pendidikan. Guru sebagai subyek dalam membuat perencanan dituntut dapat menyusun berbagai program pembelajaran sesuai dengan pendekatan dan metode yang akan digunakan. Dalam konteks desentralisasi pendidikan (di mana wewenang pengelolaan pendidikan ada pada pemerintah daerah) dan seiring dengan perwujudan pemerataan hasil pendidikan yang bermutu, diperlukan standar kompetensi mata pelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks lokal, nasional, dan global. Standar kompetensi bahan kajian itu harus dikuasai peserta didik di seluruh Indonesia. Dengan demikian, melalui standar kompetensi yang terdiversifikasi, keanekaragaman kemampuan daerah dapat dilayani dengan berpijak pada kompetensi umum lulusan.

Untuk menggali informasi tentang aplikasi manajemen pembelajaran di MAN 3 Palembang, penulis menentukan 6 responden untuk diwawancarai dengan perincian guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sebanyak 1 orang, guru mata pelajaran yang diujikan secara nasional sebanyak 4 orang (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Ekonomi), dan guru mata pelajaran umum sebanyak 1 orang (Wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007). Jawaban 6 responden terhadap pertanyaan: ”Apakah guru membuat perencanaan dalam kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan?”, diperoleh jawaban bahwa perencanaan pembelajaran di MAN 3 Palembang adalah sebagai berikut: pertama, semua responden menjawab "ya" dalam hal membuat perencanaan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya guru MAN 3 Palembang telah melakukan prosedur pembelajaran dengan menyusun rencana apabila akan melaksanakan kegiatan pembelajaran.

Page 74: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

74

Kedua, bentuk perencanaan yang dipersiapkan atau disusun oleh guru adalah; membuat silabus, program tahunan, program semester, Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), kartu soal, kartu jawaban, dan daftar penilaian. Semua responden memberikan jawaban yang sama bahwa mereka melaksanakan semua bentuk perencanaan pembelajaran sebagaimana disebutkan di atas.

Secara umum bentuk perencanaan yang telah dilakukan oleh guru MAN 3 Palembang telah memenuhi ketentuan pedoman kegiatan pembelajaran yang berlaku di Indonesia. Namun dari informasi wawancara dengan responden tentang aspek perencanaan itu, diperoleh jawaban bahwa perencanaan yang belum terpenuhi adalah pada aspek alat penilaian terhadap moral dan budi pekerti. Di sini guru kesulitan dalam cara melakukan penilaian terhadap moral dan budi pekerti peserta didik. Untuk menyikapi ini, salah seorang responden mengatakan: "Budi pekerti peserta didik semakin berkurang, tetapi guru kesulitan untuk memberikan penilaian bila dihubungkan dengan pelajaran yang diberikan. Untuk itu, solusinya sebaiknya moral dan budi pekerti ini diberikan sebagai mata pelajaran" (wawancara dengan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Mengenai tanggapan guru terhadap pertanyaan apakah perencanaan pembelajaran yang telah disiapkan sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pedoman kegiatan pembelajaran, diperoleh jawaban yang bervariasi. 1 orang responden menjawab sangat sesuai, 2 orang menjawab sesuai dan 3 orang menjawab belum sepenuhnya sesuai. Alasan masing-masing responden, yang menjawab sesuai karena memang dianggap telah memenuhi semua ketentuan dalam pedoman perencanaan pembelajaran yang ditetapkan oleh pihak madrasah (wawancara dengan Syamsul Arifin, 17 Juli 2007). Responden yang menjawab sesuai didasarkan pada telah dipenuhinya ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak Madrasah (wawancara dengan Muslim dan Desi Saliana, 17 Juli 2007).

Page 75: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

75

Responden yang memberikan tanggapan bahwa perencanaan pembelajaran yang dilaksanakan belum sepenuhnya sesuai didasarkan pada belum terpenuhinya alat penilaian dan belum memadainya atau tersedianya media pembelajaran di MAN 3 Palembang. Berdasarkan kekurangan itu perencanaan pembelajaran yang dibuat menjadi tidak bisa memenuhi pedoman perencanaan pembelajaran yang ada. Mengenai sarana dan media pembelajaran itu menurut beberapa responden yang diwawancarai sangat dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal itu terutama berkaitan dengan pelajaran bahasa Inggris, IPA dan Pendidikan Agama Islam (wawancara dengan Desi Saliana, Muslim dan Marwansyah, 17 Juli 2007). Sarana dan media pembelajaran yang belum terpenuhi antara lain; laboratorium IPA, laboratorium Bahasa Inggris, dan CD hadits dan al-Qur'an digital.

Tanggapan responden terhadap perhatian dan upaya Kepala Madrasah meningkatkan kemampuan perencanaan pembelajaran guru dapat dirinci sebagai berikut. Pada aspek peningkatan kemampuan guru dalam perencanaan pembelajaran, seluruh responden memberikan jawaban bahwa kepala Madrasah mendukung dan sangat memperhatikan aspek ini. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa setiap bulan dilakukan pemeriksaan berkas pembelajaran guru dalam mengajar, termasuk di dalamnya mengenai RPP dan hal-hal yang berkenaan dengan perencanaan pembelajaran di MAN 3 Palembang. Selain itu Kepala Madrasah sering memberikan masukan dan pengarahan mengenai bagaimana menyusun perencanaan pembelajaran yang baik, terutama tentang Rancangan Perencanaan Pembelajaran (RPP), penyusunan program semester, penyusunan Satuan Acara Pembelajaran (SAP), dan memberikan contoh SAP yang dianggap baik dan perlu dijadikan acuan (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Page 76: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

76

2. Pengorganisasian Pembelajaran Salah satu ciri pembelajaran yang berkualitas adalah proses

pembelajaran yang mempesona, menarik, mengasyikkan, menyenangkan, tidak membosankan, variatif, kreatif, dan indah. Dalam proses pembelajaran di Madrasah Aliyah diperlukan proses pembelajaran demikian itu sebab pada umumnya anak-anak remaja mempunyai perhatian yang berbeda-beda, bosan belajar dan berlatih, menentukan kegiatannya sesuai dengan ditentukan oleh suasana hati dan menyenangi hal-hal yang indah, menggembirakan, dan memberikan daya tantangan. Pendidik dituntut piawai dalam hal menciptakan proses pembelajaran yang mempesona dan memperhatikan metode serta sarana yang mampu membuat mereka asyik belajar dan melakukan sesuatu dengan variasi yang memadai. Pendidik harus kreatif dan inovatif dalam menciptakan alat dan sarana belajar, tidak kekurangan akal untuk mengaktifkan peserta didik dalam proses pembelajaran.

Hasil penggalian data di MAN 3 Palembang tentang bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pengorganisasian pembelajaran yakni bahwa semua tes awal dilakukan oleh guru, yang dilanjutkan dengan ceramah. Praktek dalam pembelajaran ternyata hanya dilakukan oleh guru tertentu saja, yakni guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Pengucapan dalam Bahasa Inggris kadangkala dilakukan dalam percakapan. Guru mata pelajaran Matematika mempraktekkan rumus-rumus Matematika. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mempraktekkan mengarang dan menulis essai. Guru mata pelajaran Agama terutama mempraktekkan pelajaran sholat dan doa (wawancara dengan Sri Rohmin, Marwansyah, Muslim, dan Sri Wahyuni, 17 Juli 2007).

Tes menulis, membaca dan diskusi, serta tes akhir semuanya dilakukan oleh guru. Semua responden yang memberikan tanggapan menyatakan bahwa mereka melakukannya. Namun, dalam hal tes mendengarkan hanya dilakukan oleh guru mata pelajaran Bahasa

Page 77: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

77

Inggris (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Secara umum ditemukan gambaran mengenai proses pengorganisasian pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di MAN 3 Palembang dengan rincian sebagai berikut:

a. Salam pembuka diberikan untuk membulatkan perhatian peserta didik terhadap mata pelajaran yang akan disampaikan. Salam pembuka ini adalah ucapan "Assalamu'alaikum warakhmatullahi wabarakatuh". Kemudian pembelajaran dilanjutkan dengan ucapan pujian kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

b. Tes awal, dilakukan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam bahan pelajaran yang akan disampaikan.

c. Pengorganisasian pembelajaran dilakukan dengan beberapa strategi. Pertama, pada permulaan belajar mengajar terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai tujuan pembelajaran yang akan dicapai kepada peserta didik. Hal itu dilakukan karena pada prinsipnya makin jelas tujuan, maka makin besar pula motivasi dalam belajar. Kedua, guru memberikan hadiah –berupa pujian dan kata-kata yang mampu menggugah semangat dan motivasi- untuk peserta didik yang berprestasi. Hal ini dianggap akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, peserta didik yang belum berprestasi akan termotivasi agar dapat mengejar kedudukan peserta didik lainnya yang berprestasi.

Dalam hal kepemimpinan dalam pembelajaran, diperoleh informasi bahwa kepemimpinan guru-guru MAN 3 dalam pengorganisasian pembelajaran bervariasi. Namun yang paling banyak ditunjukkan oleh para guru adalah jenis kepemimpinan demokratis. Melalui jenis kepemimpinan ini, menurut salah satu responden

Page 78: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

78

dimunculkan sikap sportif dalam diri peserta didik pada berbagai kegiatan dan ketika berhadapan dengan orang lain" (wawancara dengan Syamsul Arifin, 4 Juli 2007). Tipe kepemimpinan partisipatif dipergunakan ketika ada kelompok peserta didik yang dianggap berbuat positif –melakukan perbuatan yang itu dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik yang lain- sehingga guru perlu memberikan motivasi dengan berpartisipasi mengikuti kegiatan yang dilakukan, seperti; diskusi, debat dan tanya jawab. Jenis kepemimpinan yang membebaskan diterapkan sewaktu-waktu, terutama ketika peserta didik dianggap mampu mengatur diri sendiri dalam berkreativitas, seperti menyusun rencana kegiatan. Jenis kepemimpinan otokratis dapat pula diterapkan apabila guru menghadapi peserta didik yang dianggap melanggar disiplin dan sulit diatur.

Secara umum diperoleh gambaran bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian pembelajaran, guru MAN 3 Palembang beranggapan bahwa belajar merupakan proses peserta didik membangun gagasan/pemahaman sendiri. Kegiatan pembelajaran dituntut dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan oleh guru. Suasana belajar yang disediakan guru diharapkan dapat memberikan peluang kepada peserta didik untuk melibatkan mental secara aktif melalui beragam kegiatan, seperti kegiatan mengamati, bertanya/ mempertanyakan, menjelaskan, berkomentar, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan sejumlah kegiatan mental lainnya seperti berdiskusi dan berdialog. Guru tidak memberikan bantuan secara dini dan hendaknya selalu menghargai usaha peserta didik meskipun hasilnya belum sempurna. Selain itu, guru mendorong peserta didik supaya berbuat/berpikir dengan lebih baik, misalnya melalui pengajuan pertanyaan menantang yang ‘menggelitik’ sikap ingin tahu dan kreativitas peserta didik.

Page 79: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

79

Guru juga harus mampu memberikan penguatan, yakni pemberian tanggapan dalam proses interaksi belajar mengajar baik berupa pujian maupun sanksi. Pemberian penguatan ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan keaktifan belajar dan mencegah berulangnya kesalahan peserta didik. Penguatan yang sifatnya positif itu sering dilakukan dengan kata-kata: bagus!, baik!, betul!, hebat! Semua itu tidak disajikan dengan cara berpura-pura, tetapi harus tulus dari hati nurani guru. Penguatan lainnya dapat dilakukan dengan gerak; acungan jempol, tepuk tangan, menepuk-nepuk bahu, menjabat tangan.

Beberapa strategi dan metode pengajaran perlu memprioritaskan situasi nyata. Kalau guru sulit menyediakan situasi nyata, baru ia menyediakan alternatif di bawahnya, seperti situasi buatan, atau alat audio visual, atau alat visual, dan cara dengan pola audio (metode ceramah di kelas baru dipilih oleh guru MAN 3 Palembang setelah cara-cara itu tidak mungkin disediakan) (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Tanggapan semua responden tentang peran Kepala Madrasah dalam kaitannya dengan aspek pengorganisasian pembelajaran adalah selalu memberikan dukungan fasilitas selagi mampu dipenuhi oleh pihak Madrasah. Di samping itu, Kepala Madrasah juga selalu memberikan arahan mengenai pentingnya pengorganisasian pembelajaran karena arahan ini dianggap mempunyai peranan yang dominan untuk keberhasilan pendidikan di MAN 3 Palembang. Meskipun demikian, keluhan yang diajukan oleh para responden terhadap pengorganisasian pembelajaran adalah masih belum adanya media yang mampu memenuhi semua kegiatan pembelajaran secara optimal. Kelemahan ini, misalnya belum adanya fasilitas in focus dan komputer yang dapat dipakai sebagai media pembelajaran yang dapat membantu proses pembelajaran lebih efisien, dan kurangnya sarana penerangan di ruang-ruang kelas. Ketika terjadi hujan dan mendung ruangan kelas sering gelap karena kekurangan cahaya matahari

Page 80: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

80

(wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

3. Pengawasan/Evaluasi Pembelajaran

Dalam sistem persekolahan terdapat dua jenis pengendalian, yaitu supervisi dan evaluasi. Supervisi merupakan pembinaan yang dilakukan oleh Kepala Madrasah dan Wakil Kepala Madrasah. Kegiatan evaluasi hasil belajar merupakan salah satu pengawasan keberhasilan pembelajaran yang fokusnya adalah peserta didik. Salah satu pengawasan yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran dilakukan dengan melaksanakan tes kemajuan belajar peserta didik. Dalam sistem pendidikan di Indonesia umumnya, termasuk juga madrasah, jenis-jenis tes kemajuan belajar mencakup tes akhir yang berupa ujian semester atau ujian nasional dan tes sumatif, yakni tes pada waktu selesai belajar.

Kegiatan evaluasi hasil belajar merupakan salah satu pengawasan keberhasilan pembelajaran. Untuk menentukan nilai rapor, guru MAN 3 Palembang umumnya menggunakan nilai tes akhir semester. Menurut tanggapan responden, langkah-langkah evaluasi dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut: pertama, guru mempersiapkan kartu soal yang digunakan sebagai alat evaluasi pelaksanaan pembelajaran. Kedua, guru melakukan penilaian awal kepada peserta didik tentang aspek-aspek penting tentang bahan pelajaran yang akan disampaikan. Bila peserta didik telah mengetahui tujuan dari pembelajaran yang sedang mereka ikuti, maka mereka akan terdorong untuk melaksanakan kegiatan tersebut secara aktif. Oleh karena itu pada setiap awal kegiatan guru MAN 3 Palembang dituntut memberi penjelasan kepada peserta didik tentang apa dan untuk apa materi pelajaran itu harus mereka pelajari serta apa keuntungan yang akan mereka peroleh. Selain itu, guru mengadakan kesepakatan bersama dengan para peserta didiknya mengenai tata tertib belajar yang berlaku agar kegiatan pembelajaran dapat

Page 81: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

81

berlangsung lebih efektif. Melalui tes awal juga dapat diketahui tingkatan pengetahuan peserta didik terhadap bahan pelajaran yang akan diterimanya, yang dilanjutkan dengan kegiatan pembelajaran.

Menurut salah satu responden guna penilaian awal adalah untuk membuat peserta didik termotivasi untuk mengetahui lebih dalam tentang bahan pelajaran yang akan disampaikan. Motivasi peserta didik bertambah besar karena didorong rasa ingin tahu karena dipancing oleh guru dengan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu, penilaian awal mestinya diberikan dan dikemas dengan bahasa yang membuat peserta didik termotivasi untuk mendalaminya" (Wawancara dengan Muslim, 5 Juli 2007). Ketiga, setelah kegiatan pembelajaran berlangsung, evaluasi dilakukan pada akhir pembelajaran. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman peserta didik mengenai bahan pembelajaran yang telah disampaikan. Responden menyatakan bahwa penilaian akhir dilakukan dengan menggunakan kartu soal yang sudah disiapkan pada tahap perencanaan pembelajaran. Kartu soal dibuat sesuai dengan bahan pelajaran yang disampaikan atau, dengan kata lain, kartu soal berisi bagian-bagian penting bahan pembelajaran yang akan ditanyakan kepada peserta didik (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Manajemen evaluasi ini juga mencakup tes yang dilakukan di jam pelajaran di kelas. Hal itu dilakukan oleh guru MAN 3 Palembang terutama pada pelaksanaan pertengahan semester atau ujian tengah semester dan ujian semester. Kegiatan evaluasi lainnya adalah pelaksanaan ujian nasional bagi peserta didik yang duduk di kelas tiga. Temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa ujian tengah semester dijadwalkan oleh pihak Madrasah secara khusus sehingga guru dapat melakukannya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Apa yang diujikan itu berkenaan dengan bahan pembelajaran yang sudah diajarkan sebelumnya. Ujian semester juga dilakukan secara terjadwal pada akhir semester.

Page 82: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

82

Pada aspek manajemen evaluasi secara umum guru MAN 3 Palembang telah melakukan kegiatan evaluasi dengan baik, yang dibuktikan dengan secara teratur dan terjadwal melakukan kegiatan evaluasi, baik evaluasi pada setiap kegiatan pembelajaran maupun pada saat tengah semester dan akhir semester. Kelemahan yang ditemukan dalam hal ini adalah adanya kesulitan guru untuk melakukan evaluasi pembelajaran harian atau setiap pertemuan, baik penilaian pada awal pembelajaran maupun penilaian pada akhir pembelajaran. Guru sering menemukan kesulitan untuk memberikan pertanyaan yang dapat membuat peserta didik menjadi tertarik dan termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan. Namun menurut salah seorang responden (wawancara dengan Desi Saliana, 5 Juli 2007), "Kesulitan itu sebenarnya dapat diatasi oleh guru yang mempunyai wawasan pengetahuan yang luas sehingga mampu membahasakannya secara lebih menarik dan mengugah motivasi peserta didik". Dengan demikian dapat dipahami bahwa guru harus terus membaca dan menggali ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Tingkat penguasaan ilmu pengetahuan guru akan berpengaruh pula terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang akan diperoleh peserta didik.

4. Upaya Guru dalam Meningkatkan Kemampuan Manajemen Pembelajaran Pertama, perencanaan pembelajaran. Dalam perencanaan

pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di MAN 3 Palembang diperoleh gambaran bahwa dari 6 responden yang diberi pertanyaan tentang upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kemampuan perencanaan pembelajaran diperoleh jawaban sebanyak 5 item. Alasan responden memilih jawaban bahwa urutan pertama upaya peningkatan kemampuan perencanaan pembelajaran adalah melalui membaca literatur di perpustakaan, karena cara tersebut merupakan termudah

Page 83: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

83

dilakukan. Jawaban kedua adalah dengan bertanya kepada rekan sejawat karena itu sering dilakukan selama ini oleh guru-guru MAN 3 Palembang. Mengikuti pelatihan, seminar dan penataran juga merupakan sumber informasi yang dapat meningkatkan kemampuan perencanaan pembelajaran bagi guru. Akan tetapi dari kesemua responden, yang menjawab mengikuti seminar dan sejenisnya hanya 4 orang, 2 orang responden lainnya tidak menjadikan seminar dan sejenisnya sebagai upaya peningkatan kemampuan manajemen perencanaan pembelajaran. Ini didasarkan atas pengalaman 2 responden yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti kegiatan seminar atau sejenisnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan manajemen perencanaan pembelajaran. Alasannya adalah terbatasnya peserta yang diikutkan dalam pelatihan (wawancara dengan Marwansyah dan Desi Saliana, 17 Juli 2007).

Membuka internet dan berdiskusi dengan rekan sejawat merupakan urutan terakhir jawaban responden. Ini menggambarkan bahwa tidak banyak guru di MAN 3 yang sudah mengenal internet sebagai sarana peningkatan wawasan ilmu pengetahuan. Responden yang menjadikan internet sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan perencanaan pembelajaran berjumlah 2 orang; sisanya mengaku tidak mempunyai akses untuk membuka internet. Adapun diskusi dengan teman sejawat dilakukan oleh semua responden dalam meningkatkan kemampuan perencanaan pembelajaran guru (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Kedua, pengorganisasian pembelajaran. Berkenaan dengan upaya guru dalam peningkatan kemampuan pelaksanaan pembelajaran di MAN 3 Palembang diperoleh gambaran bahwa upaya guru yang paling dominan adalah melalui membaca literatur yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan. Di samping itu, upaya yang dilakukan adalah dengan mempelajari silabus yang akan diajarkan. Alasan mengapa mempelajari silabus karena memang

Page 84: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

84

silabus yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran. Membaca dan memahami silabus akan mampu mengarahkan guru untuk selalu melaksanakan pembelajaran secara sistematis dan terarah.

Jawaban lain dalam upaya peningkatan kemampuan pelaksanaan pembelajaran adalah mengikuti pelatihan, seminar, dan penataran, meskipun hal itu tidak secara rutin dilakukan. Mengenai hal ini hanya 4 responden yang memberikan tanggapan bahwa mereka mengikuti seminar, pelatihan, atau sejenisnya sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan guru dalam pengorganisasian pembelajaran. Sisanya, 2 responden, menganggap seminar dan sejenisnya tidak berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan guru dalam pengorganisasian pembelajaran. Alasannya adalah bahwa mereka jarang mempunyai kesempatan mengikuti pelatihan, dan seminar, yang berkaitan dengan masalah pengorganisasian pembelajaran. Menurut informasi responden, apabila ada kegiatan pelatihan, seminar, atau penataran, maka guru MAN 3 Palembang semuanya menjawab bahwa mereka sangat ingin untuk ikut guna mencari wawasan baru melalui pelatihan, seminar atau penataran. Namun, kesempatan itu sangat terbatas sehingga terkadang dalam setahun ada guru tidak memperoleh kesempatan mengikuti seminar atau pelatihan (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Membuka internet juga menjadi jawaban responden dalam rangka meningkatkan kemampuan pelaksanaan pembelajaran. Hanya 2 responden saja yang menganggap bahwa internet merupakan sebagai salah satu sumber informasi guna meningkatkan kemampuan pengorganisasian pembelajaran dan sebagai sarana peningkatan kemampuan pengorganisasian pembelajaran guru. Ini didorong oleh masih rendahnya kemampuan guru MAN 3 Palembang dalam memanfaatkan internet dalam kehidupan sehari-hari. Melalui internet, menurut 2 orang responden, guru dapat membaca artikel-artikel yang ada di berbagai situs berkenaan dengan informasi pelaksanaan

Page 85: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

85

pembelajaran (wawancara dengan Marwansyah dan Desi Saliana, 17 Juli 2007).

Ketiga, evaluasi pembelajaran. Menurut pendapat para responden, evaluasi atau penilaian pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui perkembangan hasil belajar peserta didik dan hasil mengajar guru. Informasi hasil belajar atau hasil mengajar merupakan informasi tentang kompetensi dasar yang sudah dikuasai dan yang belum dikuasasi oleh peserta didik. Hasil belajar digunakan untuk memotivasi peserta didik dan untuk perbaikan serta peningkatan kualitas pembelajaran oleh guru. Pemanfaatan hasil belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran harus didukung oleh peserta didik, guru, Kepala Madrasah, dan orang tua peserta didik. Dukungan ini akan diperoleh apabila mereka memperoleh informasi hasil belajar yang lengkap dan akurat. Untuk itu, diperlukan laporan perkembangan hasil belajar peserta didik untuk guru atau sekolah, untuk peserta didik, dan untuk orang tua (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Dalam pelaksanaan evaluasi secara umum, guru-guru MAN 3 Palembang berpedoman kepada ketentuan Madrasah dan peraturan pemerintah, yang salah satunya adalah dengan mengarahkan peserta didik untuk berhasil dalam mengikuti evaluasi tingkat nasional atau Ujian Nasional bagi peserta didik kelas 3. Secara umum responden memberikan tiga jawaban tentang upaya yang dilakukan guru MAN 3 Palembang dalam rangka meningkatkan kemampuan pelaksanaan evaluasi. Pertama, guru membaca literatur, yang itu berkenaan dengan materi pelajaran yang disampaikan. Kedua, guru mempelajari soal-soal yang telah diujikan pada UN, karena soal-soal yang diujikan dalam UN sebelumnya tidak menutup kemungkinan akan keluar lagi pada UN yang akan datang, yang biasanya dengan beberapa perubahan. Kemampuan guru dalam melaksanakan evaluasi sangat mempengaruhi penentuan keberhasilan peserta didik dalam kegiatan

Page 86: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

86

pembelajaran. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan oleh guru MAN 3 Palembang agar evaluasi yang dilaksanakan memang betul-betul mencerminkan tingkat keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Untuk itu, salah satu cara yang diterapkan di MAN 3 Palembang adalah dengan menyusun bank soal yang menjadi sumber guru dalam memberikan ujian kepada peserta didik dan memudahkan tugas Kepala Madrasah mengawasi keberhasilan pembelajaran karena soal-soal pada bank soal merupakan cerminan pembelajaran yang ada. Apabila evaluasi yang dilaksanakan guru menggunakan sumber dari bank soal dan peserta didiknya berhasil menjawab dengan benar, maka hal itu menunjukkan keberhasilan peserta didik dalam penguasaan bahan pelajaran yang disampaikan (wawancara dengan Syamsul Arifin, Sri Rohmin, Desi Saliana, Muslim, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Selain membaca literatur dan mempelajari soa-soal yang sudah diujikan secara nasional, terdapat 4 responden yang menjawab bahwa upaya yang mereka lakukan untuk meningkatkan kemampuan evaluasi adalah membaca ulang bahan pembelajaran yang sudah disampaikan. Menurut mereka kegiatan ini merupakan sarana mengingat kembali bahan pembelajaran yang sudah disampaikan dan memberikan inspirasi untuk dikembangkan dalam merumuskan bahan evaluasi kepada peserta didik (wawancara dengan Syamsul Arifin, Desi Saliana, Sri Wahyuni, dan Marwansyah, 17 Juli 2007).

Dari segi hasil belajar guru dikatakan berhasil jika pembelajaran mampu mengubah perilaku sebagian besar peserta didik. Agar guru dapat mengimplementasikan kurikulum secara efektif, guru harus memiliki hal-hal berikut: (1) menguasai dan memahami dengan baik bahan pelajaran dan hubungannya dengan bahan pelajaran lain; (2) menyukai apa yang diajarkan dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi; (3) memahami peserta didik, pengalaman, kemampuan, dan prestasinya; (4) menggunakan metode bervariasi; (5) mampu mengeliminasi bahan pelajaran; (6) mengikuti perkembangan

Page 87: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

87

pengetahuan dan teknologi; (7) merencanakan proses pembelajaran; (8) memotivasi peserta didik agar memperoleh hasil belajar lebih baik; dan (9) menghubungkan pengalaman yang lalu dengan bahan yang akan diajarkan. Guru perlu memahami bahwa semua peserta didik dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah terpuaskan. Mereka memiliki potensi untuk memenuhi rasa ingin tahunya. Oleh Karena itu, tugas utama guru adalah bagaimana mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga tumbuh minat dan semangat untuk terus belajar.

Keberhasilan pembelajaran juga sangat ditentukan oleh Kepala Madrasah dalam mengatur, menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan. Kepemimpinannya sebagai faktor pendorong untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, termasuk sasaran. Oleh karena itu, ia dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh. Kepala Madrasah harus mampu memobilisasi sumber daya madrasah mulai dari perencanaan dan evaluasi program, kurikulum, pembelajaran, pengelolaan personalia, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan peserta didik, hubungan dengan masyarakat, dan penciptaan iklim kondusif. Kepala Madrasah mempunyai tugas yang cukup kompleks dalam membina meningkatkan kualitas pembelajaran di lembaga yang ia pimpin.

E. Penutup Berdasarkan uraian di atas maka simpulan yang dapat dirumuskan

bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran, guru di MAN 3 Palembang sudah melaksanakan prosedur manajemen pembelajaran yang meliputi perencanaan, pelaksanaan atau pengorganisasian, dan pengawasan. Semua guru MAN 3 Palembang telah melakukan prosedur pembelajaran dengan menyusun rencana apabila akan melaksanakan kegiatan pembelajaran. Bentuk perencanaan yang dipersiapkan atau disusun oleh guru adalah: membuat silabus, program tahunan,

Page 88: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

88

program semester, Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), kartu soal, dan kartu jawaban serta daftar penilaian. Dari semua perencanaan itu ternyata guru mengalami kesulitan dalam menyusun alat penilaian moral dan budi pekerti.

Pada aspek pelaksanaan atau pengorganisasian pembelajaran, secara umum diperoleh gambaran bahwa guru MAN 3 Palembang melaksanakan proses pengorganisasian pembelajaran dengan misi agar peserta didik membangun gagasan/pemahaman sendiri. Guru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berbuat, berpikir, dan berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan oleh guru. Kepemimpinan guru lebih dominan menggunakan kepemimpinan demokratis. Pada aspek manajemen evaluasi, secara umum guru MAN 3 Palembang telah melakukan kegiatan evaluasi secara teratur dan terjadwal, baik evaluasi pada setiap kegiatan pembelajaran maupun pada saat tengah semester dan akhir semester. Akan tetapi, kelemahan yang ditemukan pada aspek ini adalah adanya kesulitan guru untuk melakukan evaluasi pembelajaran harian atau setiap pertemuan, baik penilaian pada awal pembelajaran maupun penilaian pada akhir pembelajaran.

Upaya guru MAN 3 Palembang dalam meningkatkan kemampuan manajemen pembelajaran pada aspek perencanaan dilakukan melalui membaca berbagai sumber bacaan di perpustakaan, bertanya kepada rekan sejawat, mengikuti pelatihan, seminar dan penataran, membuka internet, dan berdiskusi dengan rekan sejawat. Pada aspek pelaksanaan atau pengorganisasian pembelajaran, upaya yang dilakukan oleh guru adalah membaca berbagai sumber bacaan (literatur) yang berkaitan dengan bahan pembelajaran, mempelajari silabus yang akan diajarkan, mengikuti pelatihan, seminar, dan penataran, serta membuka internet. Pada aspek evaluasi, upaya yang dilakukan oleh guru adalah membaca berbagai sumber bacaan (literatur), mempelajari soal-soal yang telah diujikan dalam Ujian Nasional (UN), dan membaca ulang bahan pembelajaran yang sudah disampaikan.

Page 89: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

89

MAN 3 Palembang yang merupakan model atau percontohan bagi madrasah-madrasah aliyah lain yang ada di Propinsi Sumatera Selatan pada aspek fasilitas memang lebih lengkap (ada Pusat Sumber Belajar Bersama (PSBB) serta laboratorium IPA dan fasilitas lainnya), tetapi pada aspek manajemen pembelajaran masih sama dengan Madrasah Aliyah lainnya di Sumatera Selatan. Dengan kata lain, manajemen pembelajaran MAN 3 Palembang belum dapat dijadikan sebagai model manajemen pembelajaran terbaik bagi madrasah aliyah lainnya.

Daftar Pustaka Abrasyi, M. Athiyah. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam.

Terjemahan H. Bustami A. Gani dan Djuhar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.

Andriani, Durri. 1999. Manajemen Sistem Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. SEAMOLEC-PUSTEKKOM, Jakarta.

Arnold, Hugh J and Daniel C Feldman. 1986. Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Book Company.

Atmodiwirio, Soebagio. 2005. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Ardadizya Jaya,.

Baron, Robert. 1989. Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Bloom, Benyamin S. 1981. Taxonomy of Educational Objectives.

London: Longman. Brophy, Jere E. 1990. Educational Psychology. New York: Longman. Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:

Rineka Cipta. Cecco, John P. 1968. The Psychology of Learning and Instruction:

Educational Psychology. London: Prentice-Hall International, Inc.

Davis, Ivor. K. 1991. Pengelolaan Belajar. Jakarta: Terj. Rajawali Press.

Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 90: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

90

Fattah, Nanang. 1999. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fauzan, Mohammad. 2005. “Kontribusi Efektivitas Manajemen terhadap Kinerja Guru (Studi Tentang Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan terhadap Kinerja Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kabupaten Bandung Tahun 2004-2005)”, tesis Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Tidak diterbitkan.

Gagne, Robert M dan Marcy Perkins Driscoll. 1988. Essentials of Learning forInstruction. New Jersey: Prentice Hall.

Gage, N.L. dan David C. Berliner. 1988. Educational Psychology. Boston: Houghton Miffin Company.

Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Palembang 2007. Dokumentasi MAN 3 Palembang. Tim Penyusun MAN 3 Palembang. Tidak diterbitkan.

Merrill M. David dan David G.Twitchell. 1994. Instructional Design Theory. New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Cliffs.

Mondy, R.W dan Premeaux. 1995. Management: Concepts, Practices and Skills. New Jersey: Prentice Hall Inc Englewood Cliffs.

Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press.

Nasution, MN. 2001. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pidarta. 1990. Perencanaan Pendidikan Partisipatori. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 91: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

91

Reigeluth, Charles M. 1983. Instructional Design Theories and Model: An Overview of their Current Status. London: Lawence Erlbaum Associaties Publisher.

Romiszowski, A.J. 1981. Designing Instructional Systems. Decision Making in Cource Planning and Curriculum Design. New York: Kogan Page.

Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Saptari, Nandang. 2004. “Manajemen Pembelajaran Kelompok Belajar Usaha (KBU) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) bagi Peningkatan Pendapatan Warga Belajar Studi di PKBM Al-Ghazali Jamanis Tasikmalaya”, Tesis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. tidak diterbitkan.

Sagala, Syaiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Santoso, Bambang. 2005. “Kontribusi Kemampuan Manajemen Kelas dan Kinerja Mengajar Guru terhadap Prestasi Belajar (Studi terhadap Guru SD Negeri di Lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang tahun 2004/2005)”, Tesis Universitas Indonesia. Tidak diterbitkan.

Shaleh, Abdul Rahman. 2004. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Rajawali Press.

Sudjana, Nana. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suparman, Atwi. 1991. Desain Instructional. Jakarta: Proyek Pengembangan Pusat.

Suryabrata, Sumadi. 1978. ”Beberapa Prinsip Psikologi Belajar”. Teknologi Pembinaan Peserta Didik. Proyek Pembinaan Peserta Didik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 92: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

92

Suryadi, Ace. 1999. Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Balai Pustaka.

Syafaruddin dan Irwan Nasution. 2005. Manajemen Pembelajaran. Jakarta: Quantum Teaching.

____________________________. 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Taufik, Ali Muhammad. 2004. Praktik Manajemen Berbasis Al Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.

Terry, George R. 2006. Prinsip-Prinsip Manajemen. Terjemahan J. Smith D. F. M. Jakarta: Bumi Aksara.

Winne, Philip H. 1991. Motivation and Effective Teaching: Current Research. Berkeley: McChuchan.

Winkel, W.S . 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo. Wortman, Camille B., Elizabeth F. Loftus and Mary E.Marshall. 1985.

Psychology. New York:.Alfred A. Knopt. Inc.

Page 93: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

93

ARTI PENTING WORLD VIEW PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN

Hery Noer Aly IAIN Bengkulu

Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Kota Bengkulu

Abstract

This article will explain how can world view of educator influence on education, either its process or personality of its alumni. The explanation will analyze the urgency of world view in various activities of life, especially in education. It will also analyze world view as foundation and content of education, and then the relation between educator personality and education he holds. The writing in turn will show that world view can be made as a method of analysis to see a coherency and synchronization among the components of system. Keywords: world view, educator, education A. Pendahuluan

Sering kali fenomena kesenjangan dalam pendidikan dicoba diselesaikan secara parsial, atau melalui pembenahan bagian permukaan. Akibatnya, kesenjangan itu tak kunjung terselesaikan. Padahal banyak kesenjangan yang jika telusuri justru berakar pada persoalan yang mendasar, yaitu world view penyelenggara pendidikan. World view merupakan motor penggerak roda pendidikan, sehingga tanpa memperbaiki world view itu, maka sulit dibayangkan dapat terjadi perubahan.

Atas dasar itu, dirasa perlu menjelaskan arti penting world view yang dianut oleh pendidik di dalam penyelenggaraan pendidikan.

Page 94: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

94

B. Pengertian World View

World view atau world look, sepadan dengan istilah Jerman weltanschauung dan istilah Arab al-tashawwur, secara umum berarti “pandangan tentang dunia, pengertian tentang realitas sebagai suatu keseluruhan, pandangan umum tentang kosmos.”(Bagus, 1996:1178).

Dilihat dari proses terbentuknya, world view pada mulanya melulu tentang dunia nyata. Ia merupakan sinopsis dan perluasan konseptual hasil-hasil dari ilmu-ilmu ke dalam suatu pandangan ilmiah terhadap dunia. World view semacam itu tidak mengajukan pertanyaan yang bersifat metafisis dan mendalam mengenai eksistensi dan arti dunia sebagai suatu keseluruhan. Ia tidak memuat putusan nilai berkenaan dengan dunia secara keseluruhan dan tidak mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pokok tentang asal, arti, dan tujuan dunia (Bagus, 1996:1178).

Memang akumulasi pengetahuan ilmiah yang disebut epistemological beliefs itu berpengaruh terhadap pembentukan world view, tetapi yang menentukannya ialah metaphysical beliefs. Arti world view yang penuh dan luas pada hakikatnya melampaui batas-batas ilmu-ilmu khusus. Ia berasal dari adanya akumulasi pengetahuan di dalam pikiran seseorang yang dikembangkan sepanjang hidupnya. Pengetahuan itu terdiri atas ide-ide, kepercayaan, sikap mental, aspirasi, dan lain-lain, yang semuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam suatu jaringan (network) di dalam pikiran. Jaringan itu selanjutnya membentuk struktur berpikir yang koheren dan dapat disebut suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Keseluruhan konsep yang saling berhubungan itulah yang membentuk world view. Dengan kata-kata lain, world view itu lahir dari adanya konsep-konsep yang mengkristal menjadi kerangka pikir (mental framework) (Zarkasy, 2005: 13 – 14). Dengan pandangan seperti itulah dunia sebagai keseluruhan baru dapat diberi arti yang paling dasar.

Page 95: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

95

Pendidikan dan world view mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena fungsi terpenting pendidikan ialah membantu peserta didik untuk menemukan world view- nya. Kedua, karena pendidikan berjalan berdasarkan world view. Artinya, di satu sisi world view merupakan isi (content) pendidikan dan di sisi lain merupakan dasarnya. Mengingat dua hal tersebut, maka pemahaman terhadap world view menjadi sangat urgen di dalam pendidikan.

C. Arti Penting World View World view dengan pengertiannya yang penuh dan luas menjadi

asas setiap perilaku manusia. Setiap aktivitas manusia pada akhirnya dapat dilacak pada world view-nya atau, dengan kata-kata lain, aktivitas manusia pada akhirnya dapat direduksi ke dalam world view. Hal itu, seperti dikemukakan Shariati, berarti bahwa citra manusia tentang dunia akan langsung memengaruhi kepercayaan, cara hidup, perbuatan, serta tingkah laku sosial, dan kehidupan pribadinya; serta tipe-tipe, bentuk-bentuk, pola-pola, dan karakteristik kebudayaan yang dikembangkan dan dimilikinya (Shariati, 1982: 20 – 21).

Dengan demikian, dalam konteks perubahan sosial, world view bisa menjadi motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Itulah sebabnya world view kadang-kadang disepadankan dengan falsafah hidup (philosophy of life) atau pandangan hidup (life view atau life outlook), yaitu “konsep yang dimiliki seseorang atau golongan di dalam masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia.” (Tim, 1995: 723; al-‘Ainain, 1980: 74).

D. World View Pendidik Sebagaimana halnya aktivitas-aktivitas manusia yang lain,

pendidikan pun berjalan berdasarkan world view. Hal itu mengandung arti bahwa pemahaman terhadap suatu fenomena pendidikan

Page 96: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

96

memerlukan pengkajian terhadap world view yang mendasarinya, dan itu adalah world view pendidik. Sebab, pendidikan merupakan usaha pembimbingan, pengarahan, dan pembentukan masa depan seseorang oleh pendidik sebagai pelaku pendidikan (an educative agent) (Phenix, 1958: 12). Artinya, pendidik mempunyai peran penentu di dalam pendidikan.

Pendidik bukan hanya orang yang mengantar peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan, melainkan justru pada langkah lebih awal adalah orang yang memilih dan menetapkan tujuan tersebut (al-‘Ainain, 1980: 74).

Pendidik, seperti diungkapkan Brubacher, merupakan sumber tujuan pendidikan, baik ia orang yang memiliki otoritas dalam menentukan tujuan pendidikan maupun yang—karena alasan kompetensi—berada di dalam hirarki otoritas (Brubacher, 1950: 221). Atas dasar itu, pendidikan sesungguhnya merupakan personal enterprise pendidik, dalam arti usaha sungguh-sungguh yang dilakukannya berdasarkan gagasan dan kecenderungan pribadinya. Bahkan, pada hakikatnya tujuan pendidikan sangat dekat dengan kepribadian pendidik, dengan karakter dan keyakinan hidupnya. Pendidikan akan mempunyai tujuan sepanjang pendidik memiliki tujuan di dalam hidupnya. Semakin pendidik tidak menyadari tujuan hidupnya, semakin tidak jelas dan fragmentaris pribadinya dalam mengenali tujuan hidupnya. Demikian pula, semakin tidak jelas arah perilakunya, semakin tidak jelas pula tujuan pendidikan yang akan dicapainya. Itu berarti bahwa untuk bisa memahami tujuan pendidikan yang akan dicapainya, pendidik berkepentingan untuk mengenali dan menyadari hakikat tujuan hidupnya. Sebab, kata Henderson, tujuan pendidikan—sebagaimana tujuan hidup itu sendiri—tidak bisa dipahami tanpa pemahaman lebih dahulu terhadap hakikat manusia, arti hidup, tujuan utama hidup manusia, dan jenis kehidupan yang baik untuk dijalani manusia di dunia ini (Henderson, 1959: 238).

Page 97: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

97

Pendidik tidak cukup hanya berusaha memahami dunia sebagaimana adanya, tetapi juga harus menemukan bagaimana seharusnya hidup ini dijalani, untuk apa manusia berjuang di dalam hidupnya, dan bagaimana dia mengisi organisasi sosialnya, di samping ia juga harus memahami pentingnya pendidikan dalam menciptakan dunia yang lebih baik.

Pendidikan merupakan aktivitas yang berproses untuk mencapai tujuan pendidikan, sementara tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup pendidiknya, dan tujuan hidup pendidik dihasilkan dari world view-nya. Sebagaimana diibaratkan oleh al-Nadwi, world view pendidik merupakan nyawa atau hati suatu sistem pendidikan. Ia memancar kepada—dan memengaruhui—seluruh sistem itu, dari tujuan, kurikulum, sampai kepada strategi pembelajarannya (al-Nadwi, 1987: 22-23).

E. World View sebagai Isi (Content) Pendidikan Salah satu fungsi pendidikan yang paling penting ialah membantu

peserta didik untuk menemukan world view-nya. Konsep ideal yang berguna untuk mengontrol kehidupan biasanya muncul dan berkembang pada masa muda, terutama masa remaja dan awal dewasa, masa peserta didik berproses di dalam lembaga pendidikan. Itu adalah kesempatan yang baik bagi lembaga pendidikan untuk menjalankan kewajiban dan fungsinya membantu peserta didik.

Sebagai misal, peserta didik perlu dibekali dengan kepercayaan bahwa manusia mempunyai kebutuhan spiritual dan bahwa hidup harus dijalani berdasarkan agama. Ia perlu dibimbing untuk menggunakan ketajaman pandangannya terhadap kehidupan, sehingga mampu memahami secara memadai dan menyelesaikan problem-problem hidup. Ia harus dibantu untuk melihat bahwa dasar yang fundamental dari falsafah hidup yang baik ialah kepercayaan bahwa manusia mempunyai harga diri. Dengan pemahaman ini peserta didik terdorong untuk mempelajari sumber harga diri dan kehormatan. Ia

Page 98: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

98

juga perlu mencari tahu mengapa banyak orang tidak tidak bisa mengaktualisasikan keunggulan manusiawinya. Ia harus melihat apa artinya semua itu dalam memahami moralitas dan organisasi sosial. Atas dasar pengetahuan-pengetahuan semacam itulah dapat dibentuk falsafah hidup yang akan menjadi kekuatan pendorong yang efektif (an effective motivating force) untuk mencapai kemajuan manusia (Henderson, 1959: 88).

Mengingat kedudukan world view yang demikian penting, maka corak world view pendidik akan membentuk corak pendidikan dalam suatu institusi, dan pada gilirannya membentuk corak perilaku peserta didik yang berproses dalam institusi tersebut.

F. Corak World View Setiap kebudayaan, bangsa, dan setiap orang mempunyai world

view-nya masing-masing. Jika world view diasosiasikan dengan suatu kebudayaan, misalnya, maka spektrum makna dan termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut, dan itu akan membedakannya dari world view kebudayaan lain. Esensi perbedaannya terletak pada faktor-faktor dominan dalam world view masing-masing yang boleh jadi berasal dari filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai sosial, faktor sosiologis dan antropologis yang mengitarinya, atau lainnya. Faktor-faktor itulah yang menentukan cara pandang dan sikap manusia yang bersangkutan terhadap apa yang terdapat di alam semesta. Faktor-faktor itu pula yang menentukan corak luas atau sempitnya spektrum maknanya, dan corak-corak lainnya.

World View yang dibangun di atas materialisme, misalnya, akan melahirkan corak materialistis yang berujung pada absurditas. Dalam pandangan materialistis, alam semesta tidak diciptakan oleh suatu kehendak atau kekuatan yang cerdas, dan tidak ada alasan yang mendasari penciptaan dari awal. Dalam pandangan ini tidak ada akal Ilahi, orde moral atau kehendak universal dalam mengadili tindakan-tindakan manusia di muka bumi. Dunia ini berjalan tanpa makna,

Page 99: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

99

tanpa tujuan, dan tanpa arah yang pasti. Oleh sebab itu, di dalam dunia ini segala sesuatu boleh dilakukan karena tidak ada lagi cara untuk membedakan kebajikan dari kejahatan dan pembunuhan dari pengorbanan. Apa yang baik dalam pandangan ini tergantung bagaimana ia dapat menyenangkan kehidupan. Semangat absurdisme itu antara lain tampak pada seni. Dalam pandangan seniman absurdis, di dunia ini tidak ada sesuatu pun yang mempunyai makna; tidak ada sesuatu yang baik atau buruk, suci atau profan, indah atau jelek. Seniman itulah yang memberikan arti baik atau buruk kepada suatu objek dalam alam atau suatu gagasan dunia.

Berbeda halnya dengan world view materialistis, world view yang bercorak religius, karena dibangun di atas landasan agama, yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan Yang Maha Berkehendak. Dalam pandangan ini dunia penuh dengan makna dan tujuan. Karenanya, manusia secara sadar berjuang untuk meraih arti di dalam hidupnya. Baik atau buruk dan indah atau jelek selalu merujuk kepada Tuhan. Maka, umpamanya, apa yang dinilai indah dalam seni harus baik dalam ukuran agama.

Akan tetapi, world view religius pun memiliki corak yang beragam. World view religius yang ekstrim, umpamanya, membuahkan pandangan serba keakhiratan dan pengkerdilan manusia. Sementara world view materialistis didasarkan semata-mata atas ilmu, world view religius yang ekstrim didasarkan atas sisa-sisa takhayul masa lampau tanpa terpengaruh oleh dampak ilmu moderen. Kekuasaan kosmis yang dipercayai oleh world view semacam ini ialah Yang Maha Kuasa, pencipta manusia dan seluruh makhluk lainnya, kehendak sempurna, dan penguasa serta hukum mutlak yang menuntut ketaatan buta dari manusia. Di hadapan-Nya manusia tidak dapat menggerakkan kekuatan iradahnya sebagai makhluk merdeka. Sementara world view materialistis menemukan alam semesta sebagai absurd, tanpa pemilik dan tanpa makna. Pandangan religius ekstrim memerosotkan manusia menjadi makhluk sepele, sangat lemah dan

Page 100: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

100

sangat tidak penting dalam rencana penciptaan. Pandangan fanatik ini secara tidak manusiawi cenderung menanggalkan manusia dari kemauan bebasnya, kepribadian, dan esensinya. Pandangan yang melemahkan semangat manusia ini memaksa manusia untuk menolak kemauannya di hadapan kemauan Ilahi, meremehkan kesadaran dan pikirannya, dan melenyapkan kebebasan memilih dan kemerdekaan manusia. Pandangan ini pada hakikatnya otoriter, dekaden, melakukan dehumanisasi, dan sangat tegar mengingkari esensi dan kepribadian manusia. Pandangan ini berbeda dengan world view religius humanistis. Yang disebut terakhir mensublimasikan unsur manusia, dan karenanya progresif, selalu mencari kesempurnaan, dan sangat manusiawi (Shariati, 1982: 22 – 28; Nasution, 1972: 31 - 37).

Masih banyak corak world view religius lainnya. Misalnya, eksklusif, inklusif, pluralis, dan multikultural. Hal itu mengingat penganut agama sebagai unsur kritis di dalam komunitasnya bisa melakukan interpretasi terhadap ortodoksi agamanya yang hasilnya boleh jadi berbeda dari hasil interpretasi penganut yang lain dan boleh jadi tidak sepenuhnya persis dengan ortodoksi agamanya.

Implikasi dari beragamnya corak world view adalah bahwa pendidik dalam upaya pencariannya kadang-kadang menentukan pilihannya secara kritis terhadap corak-corak yang ada atau kadang-kadang menemukannya sendiri sesuai dengan potensi dan kapasitasnya. Cara mana pun yang akan ditempuhnya, ia harus membangun kriteria bagi world view yang tepat untuk dijadikan dasar pendidikannya.

Menurut Muthahhari, misalnya, world view yang dapat dijadikan basis ideologi memiliki kriteria sebagai berikut. Pertama, world view harus dapat dideduksikan dan dibuktikan (didukung oleh nalar dan logika) sehingga melicinkan jalan bagi diterimanya world view tersebut secara rasional serta dapat dijadikan pedoman. Kedua, world view harus mampu memberi makna bagi kehidupan sehingga menghapus pemikiran yang menyatakan bahwa hidup itu sia-sia dan

Page 101: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

101

seluruh perjalanan manusia menuju ketidakberartian. Ketiga, world view harus mampu membangkitkan ideal-ideal, antusiasme, dan aspirasi, sehingga membuatnya memiliki daya tarik, semangat, dan kekuatan. Keempat, world view harus mampu menanamkan kesucian kepada maksud dan tujuan sosial manusia, sehingga membuatnya mudah berkorban dan mempertaruhkan diri demi maksud dan tujuan itu. World view yang tidak mampu menanamkan kesucian tersebut tidak akan mampu melahirkan jiwa pengabdian, pengorbanan, dan idealisme, serta tidak dapat menjamin bahwa tujuan-tujuannya akan dilaksanakan. Kelima, world view harus mampu membangkitkan komitmen dan tanggung jawab, sehingga membuat orang bertanggung jawab pada diri dan masyarakatnya (Muthahhari, 1994: 18 – 19). Dengan kriteria yang dibangunnya tersebut Muthahhari tampak menunjukkan kecenderungannya kepada corak world view yang ditetapkannya, yaitu world view Islami yang disebutnya dengan world view tauhid.

G. World View Islami: Arti Penting dan Karakteristiknya Bagi pendidik Muslim tentunya tidak terdapat world view lain di

samping world view agamanya, yaitu Islam, karena arti dan penilaian terakhir tentang dunia tidak dapat dilepaskan dari keimanan kepada Allah dan hal-hal terkait yang menjadi isi ortodoksi Islam. World view lain tidak lebih ibarat pakaian yang telah dirancang dan dipolakan bagi masyarakat-masyarakat yang akidah, nilai-nilai, dan cara hidupnya berbeda secara fundamental dari masyarakat Muslim. Maka penyimpangan dari world view Islami atau penerapan world view lain dalam pendidikan generasi Muslim akan berdampak luas pada sistem pendidikan Islam dan output-nya.

Dalam kurikulum, misalnya, akan terjadi pengutamaan terhadap yang penting atas yang lebih penting serta perubahan terhadap yang wajib dan fardu ain menjadi pilihan dan fardu kifayah. Dengan demikian ilmu-ilmu kealaman (al-‘ulum al-kauniyyah) dan dan ilmu-

Page 102: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

102

ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyyah) menjadi membengkak dan menduduki posisi prioritas utama di dalam kurikulum dan rencana studi, lalu mendesak ilmu-ilmu akidah dan syari’ah ke posisi terakhir. Akibatnya, al-Qur’an, hadis, dan fiqih hanya mendapat alokasi waktu sangat sedikit dalam seminggu dibanding ilmu pasti, fisika, kimia, dan bahasa Inggris. Maka syari’at Islam terpuruk dari kurikulum pendidikan untuk selanjutnya digantikan dengan studi filsafat yang digunakan oleh orang bijak untuk mengarahkan keberadaan umat. Cabang-cabang filsafat dan ruang lingkupnya mengambil tempat yang sangat luas di sebagian besar Fakultas Humaniora, terutama Fakultas Keguruan.

Kurikulum yang demikian tersusun akibat pendidikan di dalam masyarakat muslim menyimpang dari tujuannya yang paling besar di dalam mendidik generasi muslim, yaitu agar mereka melaksanakan fungsinya yang telah digariskan oleh Allah: merealisasikan ‘ubudiah kepada-Nya, melaksanakan tugas kekhalifahan di muka bumi, dan menerapkan jalan yang telah digariskan oleh Allah (manhaj Allah) dalam memakmurkan bumi dan memajukan kehidupan. Akibatnya, terjadi kerusakan di dalam kehidupan individu Muslim, masyarakat Muslim, dan negara Muslim. Jadi, apa yang dimaksud dengan penyimpangan dari tujuan sesungguhnya ialah penyimpangan dari world view Islami (Madkur, 1991: 5 – 11).

Pada dasarnya world view Islami tidak hanya mempunyai arti penting dalam lapangan pendidikan Islam, tetapi juga dalam lapangan kehidupan muslim pada umumnya. Hal itu, menurut Sayyid Quthb sebagaimana juga dikutip oleh ‘Ali Ahmad Madkur, disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, orang muslim harus memiliki tafsiran yang menyeluruh tentang wujud yang menjadi asas baginya untuk berinteraksi dengan wujud itu. Ia harus memiliki tafsiran yang memberinya pemahaman terhadap hakikat-hakikat terbesar dengan segala hubungan di antara semuanya, yaitu hakikat ketuhanan (haqiqah al-uluhiyyah) dan hakikat kehambaan (haqiqah

Page 103: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

103

al-‘ubudiyyah) yang meliputi hakikat alam, hakikat kehidupan, dan hakikat manusia.

Kedua, seorang Muslim harus memiliki pengetahuan tentang pusat kedudukan manusia di dalam wujud alam ini dan tujuan wujud insaninya. Dengan pengetahuan itu ia akan mengetahui dengan jelas peran manusia di dalam alam dan batas-batas kekhususannya; demikian pula batas-batas hubungannya dengan Penciptanya dan Pencipta alam semesta.

Ketiga, berdasarkan alasan pertama dan kedua, maka ia akan mengetahui dengan jelas jalan hidupnya (manhaj al-hayah) dan jenis tatanan yang akan merealisasikan jalan hidup itu. Sebab, jenis tatanan yang mengatur kehidupan manusia sangat tergantung pada tafsiran yang menyeluruh tersebut.

Keempat, Islam datang untuk membangun suatu umat yang memiliki karakteristik tersendiri dan—pada waktu yang sama—umat yang lahir untuk memimpin umat manusia dan merealisasikan jalan yang digariskan oleh Allah (manhaj Allah) di muka bumi.

Pengetahuan orang Muslim tentang world view Islami dengan segala komponen dan karakteristiknya akan menjaminnya untuk menjadi unsur yang baik di dalam membangun umat yang memiliki karakteristik tersendiri, di samping unsur yang mampu memimpin dan menyelamatkan umat manusia. Sebab, world view dari sisi ideologisnya (i‘tiqadi) merupakan sarana pemandu terbesar bagi aspek tatanan riil yang lahir dan berdasar padanya serta mencakup aktivitas individu dan masyarakat secara keseluruhan dalam segala lapangan aktivitas manusia (Quthb, 2007: 21 – 23).

Maka fungsi utama pendidikan Islam, menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlawi, ialah mengantar peserta didik untuk menemukan world view-nya. Pendidikan Islam menyiapkan akal, pikiran, dan pandangan manusia tentang alam dan kehidupan, peran dan hubungannya dengan dunia ini, bagaimana memanfaatkan alam dan dunia ini, tujuan hidup

Page 104: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

104

sementara yang dijalaninya, dan tujuan yang wajib ia realisasikan dengan segenap usahanya (al-Nahlawi, 1979: 26).

Dalam menentukan komponen-komponen world view Islami, para cendekiawan muslim menunjukkan keragamannya. Keragaman itu hanya terkait dengan rincian, karena satu komponen boleh jadi mencakup atau tercakup di dalam komponen yang lain. ‘Ali Khalil Abu al-‘Ainain, misalnya, mengemukakan lima komponen, yaitu Allah, alam, manusia, masyarakat muslim, masyarakat dunia, dan hari akhir (al-‘Ainain, 1980: 75). ‘Abd ar-Rahman al-Nahlawi mengemukakan tiga komponen, yaitu manusia, alam, dan kehidupan (al-Nahlawi, 1979: 28). ‘Ali Ahmad Madkur, dengan merujuk kepada pendapat Sayyid Quthb, mengemukakan empat komponen, yaitu (1) hakikat ketuhanan (haqiqah uluhiyyah) dan perbedaannya dengan hakikat kehambaan (haqiqah ‘ubudiyyah); (2) hakikat alam, yang nyata dan gaibnya; (3) hakikat kehidupan, yang nyata dan gaibnya, serta berbagai tatanan dan kewajibannya; (4) hakikat manusia dari segi kedudukannya di alam semesta dan fungsi hidupnya (Madkur, 1991: 21 – 23).

Sementara itu, Naquib al-Attas menetapkan bahwa komponen asasi world view Islami ialah hakikat-hakikat tentang Tuhan, wahyu (al-Qur’an), penciptaan, kejiwaan, manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebajikan, dan kebahagiaan (Zarkasy, 2005: 13).

World view Islami dengan segala komponen dan hubungan di antara semua komponen itu merupakan world view yang lengkap dan menyeluruh. Hal itu karena ia bersumber pada risalah Islam yang universal. Ia menjangkau wujud ini secara keseluruhan, baik yang material maupun yang spiritualnya, dan baik yang nyata maupun yang gaibnya. World view seperti ini merupakan landasan bagi sistem pendidikan Islam (Madkur, 1991: 24).

Page 105: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

105

H. Penutup World view mempunyai arti penting di dalam pendidikan karena

fungsi terpenting pendidikan ialah membantu peserta didik untuk menemukan world view-nya, di samping karena pendidikan berjalan berdasarkan world view, yaitu di satu sisi world view merupakan isi (content) pendidikan dan di sisi lain merupakan dasarnya.

World view di dalam pendidikan merupakan kristalisasi dari world view yang dianut oleh penyelenggara pendidikan atau pendidik. World view ini menjadi sumber perumusan tujuan hidup pendidik, sementara yang disebut terakhir menjadi sumber dari perumusan tujuan pendidikan. Atas dasar itu, pendidikan sering disebut dengan personal enterprise, yaitu pendidikan merupakan usaha pribadi pendidiknya. Karenanya, kepribadian pendidik dapat tercermin di dalam pendidikan yang dikelolalanya; dan sebaliknya, fenomena pendidikan dapat mencerminkan kepribadian pendidiknya. Daftar Pustaka ‘Ainain ,‘Ali Khalil Abu, al-. 1980. Falsafah al-Tarbiyah al-

Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama. Brubacher, John S. 1950. Modern Philosophy of Education. New

York: McGraw-Hill Book Company, Inc. Henderson, Stella Van Petten. 1959. Introduction to Philosophy of

Education. Chicago: The University of Chicago Press. Madkur, ‘Ali Ahmad. 1991. Manhaj Tadris al-‘Ulum al-Syar‘iyyah.

Cairo: Dar al-Syawwaf. Muthahhari, Murtadha. 1994. Pandangan Dunia Tauhid, terjemahan

Agus Effendi dari Fundamentals of Islamic Thought: God, Man and the Universe, bab “The Worldview of Tauhid”. Bandung: Mizan Press.

Page 106: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

106

Nadwi, Abu al-Hasan ‘Ali al-Husaini al-. 1987. Nahwa al-Tarbiyah al-Islamiyyah al-Hurrah fi al-Hukumat wa al-Bilad al-Islamiyyah. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, cet. ke-5,.

Nahlawi, ‘Abd al-Rahman al-. 1979. ’Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama‘. Damaskus: Dar al-Fikr, cet. I.

Nasution, Harun. 1972. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, cetakan kedua.

Phenix, Phillip. H. 1985. Philosophy of Education. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Quthb, Sayyid. 2007. “Kha¡sha’ish al-Tashawwur al-Islami wa Muqawwimatuh,” dalam http://www.al-eman.com.

Shariati, Ali. 1982. Tugas Cendekiawan Muslim, terjemahan M. Amin Rais dari Man and Islam. Yogyakarta: Shalahuddin Press.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, selanjutnya disebut KBBI . Jakarta: Balai Pustaka, edisi kedua.

Zarkasy, Hamid Fahmy. 2005. “Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam,” dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia, Tahun II Nomor 5, April-Juni 2005.

Page 107: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

107

SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

Jamal Fakhri Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung

Alamat: Jl. Raden Intan No. 23 Tanjungkarang, Lampung

Abstract Islam deeply appreciate science and technology. The inspiration of science and technology can be found in many of Qur’anic verses. At least, there are four of science principles in Qur’an. Among of them are: istikhlaf, equilibrium, and taskhir principles. The concept of science and technology in Qur’an is also applicable and relevant to be applicated in learning process at Islamic education institution. But, there is still a problem in it, i.e. the problem of educational dichotomy. The problem can be solved by integration project in education. It can be elaborated in three issues: 1) curriculum integration, 2) learning integration, and 3) science integration (islamization of sciences).

Keywords: science, technology, al-Qur’an learning, integration of education A. Pendahuluan

Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan pendidikan Islam pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-pejabat penting di istana, terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme yang mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal ini semakin nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional

Page 108: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

108

sebagai mazhab resmi negara. Pada masa ini pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu pengetahuan, sains dan pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia dan filsafat serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia pada saat itu.

Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme. Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang integral dari keseluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan sumbangan terhadap yang lainnya.

Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati) gejala alam dan merenungkannya. Al-Qur’an mengambil contoh dari kosmologi, fisika, biologi, ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong orang beriman untuk menelaah alam, merenungkan dan menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari hidupnya. Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping dorongan lebih lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para ilmuwan muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman dahulu, seperti al-Ghazali,

Page 109: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

109

(1983: 45-48) dan al-Suyuthi, (Dhahabi, 1961: 420) bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy (1975: 400) (1975: 400) dan George Sarton. (tt: 23).

B. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit

dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).

Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.

Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi (penyelidikan). Informasi al-Qur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani, dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.

Page 110: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

110

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; al-Ghasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca (al-‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah: 5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran (Yunus: 3).

Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5) Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang

berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Sedangkan

Page 111: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

111

dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996: 433)

Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai berikut:

a. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:

“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.”

Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.

b. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada surat Fathir ayat 27-28:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Page 112: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

112

Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.

c. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata: Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-45). Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”

Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu banyak ditemukan di dalam al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu. Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15-16) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di sekitarnya. Orang yang melakukan

Page 113: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

113

pengamatan dan penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu, yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-

Page 114: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

114

sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit dan di bumi….”

Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.” Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk

mengadakan pengukuran terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11-12.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanaman-tanaman zaitun, korma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

Page 115: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

115

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan pengukuran itu.

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

C. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains

dan teknologi), dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah manusia sebagai berikut. 1. Prinsip Istikhlaf

Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat yang multi dimensional.

Page 116: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

116

Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur dunia ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti.

Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.

Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting untuk mengolah potensi-potensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang didasarkan pada hukum-hukum Allah.

Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.

2. Prinsip Keseimbangan Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah

keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk manusia itu.

Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.

Page 117: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

117

3. Prinsip Taskhir

Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan.

Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas.

Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem

penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.

Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan

Page 118: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

118

keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.

Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang benar dan memuaskan.

D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa isu

penting di seputar epistemologi sains dan teknologi modern patut dipertimbangkan.

Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan bukunya The Decline of the West setelah Perang Dunia I.

Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika) – semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah sains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya.

Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah dirasakan dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan

Page 119: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

119

demikian, pada hakekatnya sains tidak dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem nilai siapa yang mempengaruhi sains?”

Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut komunitas ahli sains yang terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar kita tidak terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.

Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola pikir manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas realitas-realitas – baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang ingin memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap persoalan secara obyektif dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.

Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains memisahkan secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam. Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari

Page 120: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

120

alam dan benda-benda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991)

Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang menyertai perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai imperialisme epistemologis. Dalam ungkapannya: “Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra manusia Barat.”

Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan teknologi) Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untuk menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas kemampuan masing-masing umat harus kembali kepada al-Qur’an seraya mencermati pesan-pesan ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta.

Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah adalah Pencipta alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya – seyogyanya setiap langkah yang diambil ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait dengan kerangka tujuan ini.

Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta hanya untuk pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman seseorang terhadap alam

Page 121: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

121

harus mampu membawa kesadarannya kepada Allah Yang Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an menampakkan dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat al-An’am: 76-79.

Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan kesalinghubungan dalam kesatuan di balik keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda yang diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga benda terkecilpun memiliki nilai.

Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu, ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian tumbuh suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas.

E. Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam Proses Pembelajaran Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan

sains, secara umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan itu adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat konflik menempatkan agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan. Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya.

Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah sains. Keduanya tidak saling menegaskan. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik

Page 122: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

122

yang obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih besar bagi kehidupan seseorang.

Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama bertautan dalam model dialog. Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya.

Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai hubungan terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural (natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu merupakan sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of nature) yang menganggap bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005).

Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sain merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama merupakan dua hal yang terintegrasi.

Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati, menemukan, memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi kemaslahatan hidup manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan pembelajaran. Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang

Page 123: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

123

dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir, dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam mempelajari subyek apapun.

Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu: 1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya split personality dalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari cita-cita pendidikan Islam.

Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tersebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).

Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilai-nilai ilahiyah dalam keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi sampai dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains kepada peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi ilmu.

Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya, pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) harus mampu menghantarkan peserta didik kepada kesadaran yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan

Page 124: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

124

ilmiah secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-Quran tentang sains.

F. Penutup Islam pernah menjadi ahli dan penemu di berbagai bidang sains

dan teknologi pada masa klasik, namun sekarang kemajuan sains dan teknologi dalam berapa dasawarsa abad XX telah menempatkan negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim dalam posisi pinggiran.

Langkah awal yang harus ditempuh adalah membongkar kembali pemahaman umat Islam terhadap agama yang dianutnya. Misalnya, beberapa terminologi keagamaan seperti jihad, ilmu, taqwa, amal shalih, dan ihsan perlu ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar terminologi ibadah dalam arti sempit.

Terminologi jihad yang sementara ini dipahami dalam konteks ‘perang’ melawan orang kafir dengan harapan pahala dan mati syahid, harus diperluas dalam konteks jihad menuntut ilmu.

Persepsi umat Islam tentang ilmu dan persepsi-persepsi lain yang terkait dengan ilmu, seperti sekolah agama dan ulama, harus diluruskan. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu agama (ilmu naqli) dan ilmu non agama (ilmu aqli). Persepsi yang membuat dikotomi itu telah menjauhkan umat Islam dari kemajuan sains dan teknologi. Sains yang maknanya adalah ilmu dianggap begitu asing dalam pemikiran sebagian besar umat Islam masa kini. Akibatnya, karena kata ulama (yang memiliki akar kata yang sama dengan ilmu) dipersepsi sebatas orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama, tidak mengherankan apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak dikenali sebagaimana tokoh-tokoh ulama (agama).

Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan ihsan amat perlu diterjemahkan dalam konteks yang meliputi karya sains dan teknologi, bukan kebajikan dalam arti sempit. Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru di bidang sains dan teknologi yang

Page 125: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

125

bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan harus dihargai sebagai orang yang berbuat shalih.

Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap agamanya itu mudah-mudahan dapat memotivasi untuk menekuni sains dan teknologi dengan landasan nilai-nilai al-Qur’an.

Daftar Pustaka Al-Attas, Syed Naquib. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung:

Pustaka Salman. Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. _______________ (b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan

Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa. Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer

dan Agama, Bandung: Mizan. Dzahabi, al-. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar

al-Kutub al-Haditsah. Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an,

Bandung: Mizan. Levy, R. 1975. The Social Structure of Islam, Cambridge. Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka

Salman. Sarton, George. tanpa tahun. Introduction to the History of Science,

Jilid 1. Shah, A.B. 1987. Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan

Obor. Zain, Shaharir bin Mohamad. 1992. “Islam dan Pembangunan Sains

dan Teknologi” , Makalah, disampaikan dalam Konggres “Menjelang Abad 21: Islam dan Wawasan 2020, di Kuala Lumpur tahun 1992.

Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Page 126: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

126

PENDIDIKAN DI NEGARA-NEGARA ANGGOTA OKI: PERBANDINGAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Sari Lestari Zainal Ridho

Politeknik Negeri Universitas Sriwijaya Palembang Jl. Srijayanegara No. 2 Palembang

Abstract: Education is the important aspect in human development. It is the tool for improving capacity building and capability of human resources. Human capital can be productive and more powerful through a good education. Although Islam support the quality and role of women but in many Islamic countries, unfortunately and empirically, there are still exist discrimination toward women. It is not only exist in domestic issues, but also in education field. In those countries women education are still left behind of men education. Using data of educational condition at Organization of Islamic Conference (OIC) this article analyze that gap between men and women education at those countries still exist and become strategic issues or problems have to be solved by all of the OIC’s members. Keywords: education, human resources development, OIC’s countries. A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan bidang penting dalam pembangunan sumber daya manusia karena sektor pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia yang selanjutnya akan meningkatkan produktifitas dan mengurangi tingkat ketergantungan penduduk.

Pembangunan sumber daya manusia memegang peranan yang sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa, karena sumber daya

Page 127: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

127

manusia yang berkualitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan ekonomi yang sustainable. Pembangunan sumber daya manusia merupakan modal (capital) yang terpenting karena manusia adalah penggerak roda perekonomian suatu negara. Dengan demikian suatu negara yang menginginkan kemajuan pada bangsanya seharusnya tidak hanya fokus pada kemajuan pembangunan bidang ekonominya saja, melainkan juga pada bidang lainnya, utamanya bidang pendidikan, karena manusialah pelaku-pelaku segala bidang yang ada dalam berbagai bidang di kehidupan ini. Pentingnya manusia-manusia yang memiliki pengetahuan untuk mengelola kehidupan ini, karena maju-mundurnya berbagai bidang kehidupan di suatu negara tergantung pada kualitas pendidikan sumber daya manusia yang ada pada negara tersebut.

Mayoritas negara-negara Islam—negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam—selama ini selalu mendapat stigma sebagai negara-negara yang miskin, terbelakang, dan tertinggal serta image-image buruk lainnya. Padahal Islam pernah memimpin dunia dengan berbagai kemajuannya. Ilmu merupakan hal yang sangat penting dalam Islam. Pentingnya ilmu dapat kita lihat dari perintah Allah SWT yang diturunkan pertama kali kepada Rasulullah untuk membaca. Rasulullah menyerukan kepada kaumnya untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahad, juga sampai ke negeri Cina. Kondisi kemunduran tersebut di atas disebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia yang menjadi penduduk dari mayoritas negara-negara Islam tersebut yang mayoritas tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perbandingan kondisi pendidikan yang merupakan faktor penting dalam pembangunan sumber daya manusia di negara-negara yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam.

Page 128: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

128

B. Pembangunan Sumber Daya Manusia dan IPM Kualitas sumber daya manusia turut mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi. Pemerintah perlu membelanjakan pengeluaran publik yang lebih besar pada sektor pembangunan sumber daya manusia, karena bukti empiris menunjukan pengeluaran publik yang tinggi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) tidak mendorong perbaikan dalam indikator-indikator pembangunan sumber daya manusia maupun perekonomian. Sebaliknya pengeluaran publik yang lebih besar pada pembangunan sumberdaya manusia (human development) tidak hanya memperbaiki indikator-indikator pembangunan sumber daya manusia namun juga memperbaiki economic growth sebagaimana kajian Qureshi di tahun 2008 dan 2009.

Secara umum keberhasilan pembangunan di bidang sumber daya manusia dapat dilihat dari makin membaiknya indeks pembangunan manusia atau human development. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul-Haq seorang ekonom Pakistan, dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya. Sejak dipublikasikan, IPM ini banyak digunakan sebagai salah satu cara untuk menyatakan peringkat kualitas hidup dari berbagai negara dunia, sehingga menjadi inspirasi banyak negara untuk memperbaiki IPM mereka (Merwan, King & Roy, 2008).

Indeks pembangunan manusia merangkum proses multidimensional dari pembangunan sumber daya manusia dan

Page 129: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

129

menunjukkan level pembangunan sumber daya manusia yang dicapai oleh suatu negara (Narayana, 2009). HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu: (1) hidup yang sehat dan panjang umur (a long and healthy life) yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran (life expectancy index), (2) pengetahuan (knowledge), yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi tingkat pendaftaran di pendidikan dasar, menengah, dan atas atau gross enrollment ratio (bobot satu per tiga) (education index), (3) standard kehidupan yang layak (a decent standard of living) diukur dengan GDP per kapita atau gross domestic product (produk domestik bruto) dalam paritas kekuatan beli (purchasing power parity) dalam Dollar AS (GDP index).

Pengukuran kualitas sumber daya manusia melalui parameter HDI kini dilakukan oleh berbagai negara di seluruh dunia. Indonesia, sebagai salah satu negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga dalam beberapa tahun terakhir ini sering menjadikan indeks HDI sebagai referensi dalam mengukur progres pembangunan yang sudah dicapai oleh pemerintah selama ini. Bahkan pemerintah Indonesia telah mengadopsi HDI sebagai indikator perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah untuk memperbaiki kualitas sumber daya nasional dan peningkatan daya saing nasional.

Peningkatan HDI sangat urgen karena di era globalisasi dan semakin terbukanya pasar dunia, Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin luas dan berat. Ketidakmampuan dalam meningkatkan daya saing SDM nasional, akan mengakibatkan posisi Indonesia yang semakin terpuruk dalam kancah persaingan global.

C. Urgensi Pendidikan Pendidikan memiliki peran penting dan strategis dalam

pembangunan sumber daya manusia, yaitu: pertama, karena adanya kepercayaan bahwa pendidikan memberikan manfaat bagi dirinya

Page 130: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

130

sendiri dan bagi keturunannya. Kedua, adanya kepercayaan bahwa terdapat korelasi yang erat antara pendidikan dan pendapatan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat masyarakat.

Sebuah penelitian empiris mengenai pengaruh pendidikan tingkat atas dalam membangun masyarakat modern di Pakistan (Atika, 2010) menunjukan hasil bahwa pendidikan tinggi (higher education) menciptakan gaya hidup yang moderen dalam masyarakat dengan memberikan rasa tanggung jawab, memperbaiki status perempuan dan membuang rasa frustasi serta memberikan rasa percaya diri juga membangkitkan rasa cinta tanah air.

Sejumlah data empiris telah menunjukan adanya hubungan positif antara pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan. Salah satunya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Narayana (2009) yang menganalisis pendidikan sebagai salah satu variabel dalam human development dan quality of life, yang menyatakan bahwa semakin baik kondisi pendidikan suatu negara, semakin baik pula kualitas sumber daya manusia yang dimiliki negara tersebut. Salah satu alat ukur kondisi pendidikan di suatu negara adalah Indeks Pendidikan atau Education Index. Indeks pendidikan mengukur pencapaian relatif sebuah negara dalam kemampuan baca tulis orang dewasa dan kombinasi tingkat pendaftaran di pendidikan dasar, menengah dan atas dari negara tersebut.

Terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di banyak negara di dunia termasuk dalam bidang pendidikan disebabkan adanya kepercayaan bahwa laki-laki lebih produktif di banding perempuan pada saat dewasa nanti dan kepercayaan bahwa laki-laki sebagai tulang punggung keluarga bukan perempuan. Seperti pada aspek-aspek lain dari masyarakat, peran perempuan ditentukan oleh daerah dan perbedaan etnis. Laki-laki lebih dihargai karena dianggap lebih dapat diandalkan menjadi tulang punggung keluarga. Partisipasi angkatan kerja perempuan diduga lebih rendah di dalam masyarakat dengan budaya yang mekanisme kelembagaannya lebih menghargai

Page 131: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

131

laki-laki. Karena faktor budaya mempengaruhi peran perempuan dan adanya keterbatasan sumberdaya dalam sebuah keluarga, menyebabkan laki-laki akan lebih banyak menerima sumber daya dibanding perempuan, termasuk dalam kesempatan memperoleh pendidikan. (Ferber & Berg, 1991).

D. Eksistensi Organisasi Konferensi Islam (OKI) Organisasi Konferensi Islam (OKI) dibentuk setelah para

pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika.

Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.

Ada berbagai kategori keanggotaan dari OKI, yaitu: Keanggotaan Penuh, Peninjau, Peninjau Organisasi dan Komunitas Muslim, Peninjau Organisasi Internasional dan Calon Aggota (id.wikipedia.org

Page 132: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

132

/wiki / Organisasi _Konferensi _Islam). Secara lengkap daftar negara anggota OKI adalah sebagai berikut: (disusun berdasarkan bergabungnya ke OKI) 1 Afganistan 29 Suriah 2 Aljazair 30 Uni Emirat Arab 3 Chad 31 Sierra Leone 4 Mesir 32 Bangladesh 5 Guinea 33 Gabon 6 Indonesia 34 Gambia 7 Iran 35 Guinea-Bissau 8 Yordania 36 Uganda 9 Kuwait 37 Burkina Faso 10 Lebanon 38 Kamerun 11 Libya 39 Komoro 12 Malaysia 40 Irak 13 Mali 41 Maladewa 14 Mauritania 42 Djibouti 15 Maroko 43 Benin 16 Niger 44 Brunei 17 Pakistan 45 Nigeria 18 Palestina 46 Albania 19 Arab Saudi 47 Azerbaijan 20 Yaman 48 Kirgizstan 21 Senegal 49 Tajikistan 22 Sudan 50 Turkmenistan 23 Somalia 51 Mozambik 24 Tunisia 52 Kazakhstan 25 Turki 53 Uzbekistan 26 Bahrain 54 Suriname 27 Oman 55 Togo 28 Qatar 56 Guyana 57 Pantai Gading Sumber: Website resmi Organisation of the Islamic Conference, 2009, dan Wikipedia.org.

Page 133: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

133

E. Data dan Analisis Kualitas Negara-negara OKI 1. Data

Data yang digunakan adalah data indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Index Development (HDI), indeks pendidikan atau education index dan pengeluaran publik pada bidang pendidikan (public expenditure on education), data angka tingkat baca tulis pada orang dewasa, serta data kombinasi tingkat pendaftaran di pendidikan dasar, menengah, dan atas atau gross enrollment ratio dari sejumlah negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di tahun 2007 yang datanya tersedia. Informasi tentang data atau sumber data, penulis peroleh dari Human Development Report 2009 yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme.

2. Analisis United Nations Development Programme (UNDP) dalam

laporannya membagi pembangunan manusia (human development) dalam lima kelompok kategori yaitu:

a. Very high human development, dengan HDI value berkisar antara 0,971-0,902, dengan peringkat 1-38.

b. High human development, dengan HDI value berkisar antara 0,895-0,803, dengan peringkat 39-83.

c. Medium human development, dengan HDI value berkisar antara 0,798-0,511, dengan peringkat, 84-158.

d. Low human development, dengan HDI value berkisar antara 0,499-0,340, dengan peringkat 159-182.

Berdasarkan data yang tersedia, ada 4 negara anggota PKI di antara 38 negara di dunia yang termasuk pada kelompok negara dengan indeks pembangunan manusia yang sangat tinggi (very high human development), yaitu: Brunei (di urutan ke 30), Kuwait (31), Qatar (33) dan Uni Emirat Arab (35). Data yang ada juga menunjukkan bahwa 9 diantara 45 negara yang termasuk negara dengan high human development adalah anggota OKI, yaitu: Bahrain

Page 134: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

134

(diurutan ke 39), Libya(55), Oman (56), Arab Saudi (59), Malaysia (66), Albania (70), Turki (79), Kazakhstan (82) dan Lebanon (83). 28 dari 75 Negara yang termasuk negara dengan kategori Medium Human Development adalah anggota OKI. Sedang jumlah Negara anggota OKI yang masuk dalam kategori Negara dengan Low Human Development ada berjumlah 14 Negara. Dua negara yaitu Irak dan Somalia datanya tidak tersedia.

Tabel 1

Kategori Human Development Negara Anggota OKI Prosentase Jumlah

Negara Kategori

7% 4 Very High Human Development 15,79% 9 High Human Development 49.12% 28 Medium Human Development 24,56% 14 Low Human Development 100% 55 Total

Dari data tersedia, sebagaimana yang tampak pada tabel 1,

ditunjukkan bahwa negara-negara anggota OKI sekitar 7% merupakan negara dengan very high human development, sekitar 15,79% merupakan negara dengan high human development, sekitar 49,12% merupakan negara dengan Medium Human Development dan sekitar 24,56% merupakan negara dengan Low Human Development.

Dari gambar 1 berikut ini kita dapat melihat bahwa grafik kondisi pendidikan berbanding lurus dengan kondisi pembangunan manusia. Kondisi ini menunjukan pola grafik atau trend indeks pembangunan manusia dan indeks pendidikan cenderung sama. Hal ini tentu saja terjadi karena indeks pendidikan merupakan salah satu dimensi dalam perhitungan indeks pembangunan manusia. Kedua indeks pada gambar 1 mempunyai grafik yang menurun, yang menunjukkan tidak

Page 135: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

135

meratanya kondisi pembangunan manusia dan pendidikan di negara-negara anggota OKI.

Mayoritas negara anggota OKI memiliki indeks pendidikan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan baca tulis orang dewasa dan juga rendahnya tingkat pendaftaran di sekolah dasar, menengah dan atas di banyak negara-negara anggota OKI (umumnya yang paling besar adalah rendahnya tingkat pendaftaran pada sekolah menegah dan atas). Banyak negara-negara anggota OKI memiliki tingkat kemampuan baca orang dewasa yang tinggi namun kombinasi tingkat pendaftaran sekolah dasar, menengah dan atas yang rendah. Fakta ini disebabkan di negara-negara tersebut - terutama negara dengan mayoritas penduduk termasuk golongan ekonomi menengah ke bawah -mayoritas penduduknya telah lulus atau pernah bersekolah (walaupun tidak sampai lulus) pada sekolah dasar.

Berdasarkan data yang ada, banyak negara-negara anggota OKI yang mengalokasikan dana untuk pendidikan dibawah 20 %. Hal ini tentunya berpengaruh dalam pembangunan pendidikan. Namun demikian ada beberapa negara yang pengeluaran publik dalam bidang pendidikan di atas 25% namun memiliki indeks pendidikan yang rendah, sebagaimana yang terjadi pada negara Yaman.

Gambar 1 Indeks pembangunan Manusia dan Indeks Pendidikan

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55

Jumlah Negara

Inde

x

IPM Pendidikan

Page 136: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

136

Fakta lainnya yang ditemukan dari data yang tersedia adalah dalam negara-negara anggota OKI ada beberapa negara, namun jumlahnya hanya sedikit, yang memiliki indeks pendidikan yang tinggi (lebih dari 0,9) namun memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah, seperti pada negara Turkmenistan, Guyana, Tajikistan, dan Kazakstan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan negara dan tingkat harapan hidup. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan grafik yang ada, antara pendidikan dan pembangunan manusia terlihat secara jelas adanya gelombang-gelombang di mana indeks pendidikan lebih tinggi dari indeks pembangunan manusia.

Gambar 2 merupakan profil tingkat kemampuan baca tulis pada orang dewasa yang berusia 15 tahun ke atas (adult literacy rate). Gambar tersebut menunjukkan- walaupun tidak besar- adanya kesenjangan antara kemampuan baca tulis laki-laki dewasa dan perempuan dewasa, yang membuktikan bahwa jumlah laki-laki dewasa di mayoritas negara-negara anggota OKI mempunyai kemampuan baca tulis yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah perempuan. Walaupun demikian ada beberapa negara yang memiliki jumlah penduduk dengan kemampuan baca tulis yang sama antara laki-laki dan perempuan dewasa seperti di negara Azerbaijan, Kazakhstan, dan Maldives.

Gambar 2 Tingkat Kemampuan Baca Tulis Pada Orang Dewasa

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49

%

PerempuanLaki-Laki

Page 137: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

137

Gambar 3 merupakan profil kombinasi tingkat pendaftaran di pendidikan dasar, menengah dan atas di negara-negara anggota OKI. Berdasarkan gambar tersebut kita dapat melihat adanya ketidakmerataan kondisi pendidikan di negara-negara anggota OKI. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang juga bervariasi diantara anggota negara OKI. Kemiskinan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mendaftarkan diri di sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan.

Jika kita bandingkan antara laki-laki dan perempuan maka kita akan melihat adanya kesenjangan, namun kesenjangan ini berbeda dengan kondisi kesenjangan pada kemampuan baca tulis pada orang dewasa yang menunjukkan mayoritas laki-laki lebih banyak yang memiliki kemampuan baca tulis dibanding perempuan. Kesenjangan pada kondisi kombinasi jumlah pendaftar pada pendidikan dasar, menengah dan atas cukup bervariasi. Ada beberapa negara yang jumlah pendaftar perempuannya lebih tinggi dibanding laki-laki, seperti di negara Brunei Darusalam, Kuwait dan Palestina. Ada juga negara-negara yang jumlah pendaftar perempuannya sama banyak dengan laki-laki, namun mayoritas kesenjangan yang terjadi adalah kondisi jumlah pendaftar perempuannya yang lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini menunjukan di negara-negara anggota OKI

Gambar 3Kombinasi Jumlah Pendaftar di Pendidikan Dasar,

Menengah dan Atas (%)

020406080

100120

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49

PerempuanLaki-laki

Page 138: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

138

mayoritas laki-laki mendapatkan kesempatan bersekolah lebih tinggi di banding perempuan.

Adanya kondisi kesenjangan yang menunjukkan jumlah perempuan yang terdaftar pada pendidikan dasar, menengah dan atas lebih banyak di banding laki-laki dipengaruhi oleh banyak factor. Salah satu faktor misalnya jumlah laki-laki yang lebih sedikit pada usia sekolah, menyebabkan lebih banyak perempuan yang bersekolah dan adanya fakta bahwa perempuan yang dianggap lebih disiplin dalam bersekolah sehingga memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Faktor lainnya adalah anggapan bahwa laki-laki sebagai tulang punggung keluarga, sehingga pada keluarga-keluarga yang mengalami kondisi ekonomi yang sulit, menyebabkan anak-anak laki-laki usia sekolah putus sekolah karena harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Tentunya hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam.

F. Penutup Negara-negara anggota OKI, mayoritas pembangunan

manusianya berada pada kondisi medium atau berada pada peringkat medium human development. Selanjutnya kondisi kedua terbesar adalah pada pembangunan manusia yang rendah atau low human development. Hanya sejumlah kecil negara anggota OKI yang berada pada kondisi high human development, dan jumlah yang sangat kecil yang berada pada kondisi very high human development.

Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan fakta ini terjadi. Rendahnya tingkat pendidikan ditunjukkan oleh salah satu dari atau kedua indikator berikut: kemampuan baca tulis yang rendah dan rendahnya tingkat pendaftaran di pendidikan dasar, menengah dan atas dari negara tersebut. Dalam hal ini indikator yang kedua, yakni masih rendahnya tingkat pendidikan menengah dan atas, lebih dominan daripada indicator yang pertama.

Page 139: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

139

Selain rendahnya tingkat pendidikan kondisi pendidikan di negara-negara anggota OKI menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, baik pada kondisi tingkat kemampuan baca tulis pada orang dewasa maupun pada jumlah pendaftar di pendidikan dasar, menengah dan atas. Pada mayoritas negara anggota OKI, jumlah laki-laki memiliki tingkat kemampuan baca tulis tinggi lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan. Demikian juga jumlah pendaftar laki-laki di sekolah dasar, menengah dan atas lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan.

Fakta-fakta ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Islam sebagai agama yang sangat mengutamakan pendidikan dan memuliakan perempuan serta menjadikan ibu sebagai sekolah pertama bagi generasi-generasi berikutnya. Oleh sebab itu perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah peserta didik di tingkat menengah dan atas serta pendidikan tinggi, khususnya bagi kaum perempuan. Pengeluaran negara yang lebih besar dalam pendidikan bukan satu-satunya solusi yang harus dilakukan oleh Negara=Negara OKI, tetapi juga pengawasan atas proses pendidikan itu sendiri juga harus dijalankan. Tentunya temuan dari kajian ini adalah bersifat sementara. Bukti lainnya dari penelitian-penelitan lain juga diperlukan untuk menentukan apakah temuan ini adalah khusus untuk pengalaman saat ini atau tidak.

Daftar Pustaka Akcay, Selcuk. 2006. “Corruption and Human Development” dalam

Cato Journal. Vol. 26, No. 1; pg. 29-48. ABI/INFORM Global diakses 29 Januari 2010.

Atika, Samrana . 2010. “The Impact of Tertiary Education on Development of Moderate Society in Pakistan”, dalam Contemporary Issues in Education Research. Littleton.Vol. 3, Iss. 2.

Page 140: Jurnal Ta'dib

TA’DIB, Vol. XV, No. 01, Edisi, Juni 2010

140

Engineer, Merwan., King, Ian., & Roy, Nilanja. 2008. “The Human Development Index as a Criterion for Optimal Planning”, dalam Indian Growth and Development Review. Vol. 1, No. 2; pg.172-192

Ferber, Marianne A. and Helen M Berg. 1991.“Labor Force Participation of Women and the Sex Ratio: A Cross-Country Analysis.” Review of Social Economy 49, No. 1: 2-19.

hdr.undp.org/en/media/HDR_20072008_Tech_Note_1.pdf, diakses 14 Februari 2010.

http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=4&P=Multilateral&l=id, diakses 18 Februari 2010.

http://www.oic-oci.org/member_states.asp, 2009 diakses 10 Februari 2010

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Konferensi_Islam, diakses 1 maret 2010.

Qureshi, Muhammad Azeem. 2009. “Human Development, Public Expenditure and Economic Growth: a System Dynamics Approach”, dalam International Journal of Social Economics. Vol. 36, Iss. ½

Qureshi, Muhammad Azeem. 2008. “Challenging Trickle Down Approach: Modelling and Simulation of Public Expenditure and Human Development-the Case of Pakistan, dalam International Journal of Social Economics. Vol. 35, Iss. 4.

Narayana, M., R. 2009. “Education, Human Development and Quality of Life: Measurement Issues and Implications for India”, dalam Soc Indic Res. Vol. 90; pg. 279-293.