jurnal kelasa: kelebat bahasa dan sastra zainal abidin
TRANSCRIPT
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 233
Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra
http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa
p-ISSN : 1907-7165
e-ISSN: 2721-4672
KEKUASAAN PADA WACANA NEGOSIASI
DALAM NOVEL CANTIK ITU LUKA KARYA EKA KURNIAWAN
Power in the Negotiation Discourse in a Novel Entitled Cantik itu Luka
Written by Eka Kurniawan
Zainal Abidin
Balai Bahasa Provinsi Riau
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kekuasaan dalam novel Cantik Itu Luka
(CIL) Karya Eka Kurniawan dengan permasalahan siapakah pihak yang dominan dan
yang dimarjinalkan dalam wacana negosiasi pada novel tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif. Data berupa kata, gabungan kata, dan kalimat di dalam
novel tersebut dikumpulkan dengan metode pustaka dengan teknik simak dan catat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dominansi budaya feodal terhadap
budaya komunis, penguasa terhadap feodal, komunis terhadap penguasa, feodal
terhadap kekerasan, kekerasan terhadap penguasa sehingga secara terbalik budaya-
budaya dominan tersebut memarjinalkan budaya yang termarjinalkan. Ideologi
disampaikan melalui hegemoni wacana negosiasi kolaborasi (win-win), dominasi (win-
lose), akomodasi (lose-win), dan menghindari konflik (lose-lose).
Kata-kata kunci: kekuasaan, wacana negosiasi, novel Cantik Itu Luka
Abstract
This research aims to describe the power in novel Cantik Itu Luka (CIL), written by
Eka Kurniawan's with the problem of who is the dominant and marginalized party in the
negotiation discourse in the novel. This study uses a qualitative method. Data in the
form of words, word combinations, and sentences in the novel were collected using the
library method with the observation and note-taking technique. The results show that
there are dominances of feudal culture against communist cultures against feudal,
communist against sovereignty, feudal against violence, violence against sovereignty so
that in reverse these dominant cultures marginalize the marginalized cultures. The
ideology is conveyed through the hegemony of the discourse of negotiating
collaboration (win-win), domination (win-lose), accommodation (lose-win), and
avoiding conflict (lose-lose).
Keywords: power, negotiation discourse, the novel Cantik Itu Luka
Naskah Diterima Tanggal 24 Sepetember 2020—Direvisi Akhir Tanggal 4 Desember 2020—Disetujui Tanggal 11 Desember 2020
doi: DOI: https://doi.org/10.26499/kelasa.v15i2.116
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
234 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
PENDAHULUAN
Karya sastra diciptakan untuk
mengungkapkan apa yang ada di
lingkungannya karena sastra dan budaya
merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sastra muncul sebagai
representasi budaya masyarakatnya.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan,
dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan budaya. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup
hasil budi daya manusia yang mencakup
hubungan antarmanusia dan
antarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang. Penciptaan karya sastra bukan
hanya karangan biasa atau imajinasi
pengarang. Namun, sastra diciptakan
berdasarkan pengalaman pribadi
pengarang, peristiwa yang ada pada saat
itu, peristiwa orang lain, atau sengaja
dibuat untuk sindiran. Realitas budaya
dalam karya sastra tidak secara langsung
diungkapkan oleh pengarang. Pengarang
merupakan anggota yang hidup dan
berhubungan dengan orang-orang yang
berada di sekitarnya, maka dalam proses
penciptaan karya sastra seorang
pengarang tidak terlepas dari pengaruh
lingkungannya. Oleh karena itu, karya
sastra yang lahir di tengah-tengah
masyarakat merupakan hasil
pengungkapan jiwa pengarang tentang
kehidupan, peristiwa, serta pengalaman
hidup yang telah dihayatinya. Menurut
Fitriani (2018) hasil pengungkapan itu
memiliki nilai-nilai kehidupan bagi
pembacanya, baik positif maupun
negatif, yang dapat diteladani atau
dihindari (hlm. 149).
Peristiwa bersejarah di Indonesia
menjadi sumber dalam cerita novel.
Banyak narasi yang menceritakan bahwa
bangsa Indonesia pernah dijajah oleh
Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan
Jepang. Sejarah merekam perubahan-
perubahan zaman yang terjadi di
dalamnya. Novel dapat menarasikan
sebuah cerita dengan latar sejarah
sehingga menggambarkan sejarah.
Novel yang demikian diharapkan
memberikan pencerahan dan inspirasi
dari suatu peristiwa lampau yang pernah
terjadi sebagai referensi tambahan
penyampai ilmu pengetahuan sejarah
kepada khalayak. Berbagai novel yang
diciptakan oleh pengarang dan berbagai
judul sudah dibaca oleh pembaca. Salah
satu novel yang dikategorikan dalam
novel dengan latar sejarah adalah novel
yang berjudul Cantik itu Luka (CIL)
karya Eka Kurniawan (2017) Novel ini
memiliki karakteristik dan keunikan
yang kuat dibandingkan dengan novel
lain. Representasi zaman kolonial dan
rumitnya penjajahan menjadikan isi
novel tersebut seolah-olah benar terjadi.
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 235
Penelitian tentang novel CIL
sudah banyak dilakukan di antaranya
Khoirunnisa (2017) dengan judul
“Diskriminasi Gender dan Agensi
Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka
Karya Eka Kurniawan”, Crisdina (2018)
dengan judul “Ketidakadilan Gender
dalam Novel Cantik itu Luka Karya Eka
Kurniawan: Tinjauan Feminisme Dan
Implementasinya sebagai Bahan Ajar
Sastra di SMA”, dan Kurniawati (2018)
dengan judul “Kajian Feminisme dalam
Novel Cantik itu Luka Karya Eka
Kurniawan”. Penelitian yang dilakukan
secara umum berpresfektif gender.
Perempuan sebagai objek penelitian
dibicarakan dengan problematika:
feminis, tertindas, dan sebagainya.
Namun, penelitian tentang kekuasaan
pada wacana negosiasi dalam novel
tersebut belum pernah dilakukan.
Analisis wacana kritis terhadap
karya sastra sudah pernah dilakukan oleh
Agustin (2013) dengan judul “Analisis
Wacana Kritis Pada Novel Ksatria
Pembela Kurawa Narasoma Karya
Pitoyo Amrih”. Dengan teori AWK
Fairclough, penelitian tersebut
menunjukkan bahwa praktik kekuasaan
memunculkan adanya kelompok yang
lebih dominan (Kurawa) dan kelompok
tertindas (Pandawa), ideologi yang
mengarah pada sosok raja Duryudana
yang kilau akan kekuasaan sehingga ia
menghalalkan segala cara demi
mewujudkan keinginannya untuk dapat
menguasai penuh negara Hastinapura,
dan menampilkan kelompok kurawa
yang begitu sombong, iri dengki, sadis,
pemarah, dan pendendam, sedangkan
kelompok Pandawa adalah orang-orang
yang memiliki kemuliaan hati, penyabar
dan selalu cinta damai.
Penelitian tentang kekuasaan
dalam karya sastra juga pernah
dilakukan oleh Idayatiningsih (2017)
yang berjudul “Perlawanan terhadap
Dominasi Kekuasaan dalam Novel
Pasung Jiwa Karya Okky Madasari
(Analisis Wacana Kritis)”. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
(1) dilihat dari dimensi teks
(mikrostruktural), aspek kelinguistikan
memperlihatkan bahwa perlawanan
dilakukan melalui kosa kata, gramatika,
dan struktur teks yang membentuk
kesatuan wacana. Perlawanan dalam
aspek kelinguistikan tersebut berbentuk
ideologi yang diperjuangkan dan
direpresentasikan oleh kosakata pada
nilai representasional, nilai relasional,
dan nilai ekspresif. (2) Dilihat dari
dimensi praktik kewacanaan
(mesostruktural), menyuarakan
perlawanan melalui kontribusi proses
produksi dan konsumsi teks, pengarang
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
236 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
berpengaruh pada pemroduksian teks,
sedangkan konsumen memaknai wacana
tersebut sebagai bentuk perlawanan
terhadap ketidakbebasan, ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan. (3) Dilihat
dari dimensi praksis sosiokultural
(makrostruktural), konteks sosial budaya
yang ada di luar teks berpengaruh pada
munculnya teks. Secara situasional,
Novel Pasung Jiwa bisa menjadi
semacam cermin untuk menjadi seorang
pemimpin yang bijak.
Penelitian lain yang sejenis
adalah penelitian yang dilakukan oleh
Mustofa (2014) dengan judul “Analisis
Wacana Kritis (AWK) dalam Cerpen
Dua Sahabat Karya Budi Darma:
Konteks Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia”. Dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa untuk
mengungkap ideologi yang ada di
dalamnya tidak bisa menempatkan
bahasa secara tertutup, tetapi harus
melihat konteks, terutama bagaimana
ideologi dari seseorang atau kelompok-
kelompok yang ada tersebut berperan
dan membentuk wacana dalam teks
tersebut. Selain itu, teks sastra sangat
bergantung pada situasi saat penciptaan
dan individualisasi pengarangnya
sehingga makna yang terkandung di
dalamnya tidak bisa ditentukan dari
susunan kebahasaannya saja, tanpa
mempertimbangkan susunan retorika
yang terkait dengan situasi konteks
komunikasi yang mendukungnya.
Novel CIL merupakan novel
yang menceritakan berbagai peristiwa
yang terjadi saat zaman kolonial dan
pascakolonial di Indonesia. Peristiwa
tersebut di antaranya penjajahan Jepang,
pemberontakan kelompok nelayan, dan
terbentuknya Partai Komunis Indonesia
yang dilarang keras di Indonesia.
Peristiwa-peristiwa tersebut menjadikan
cerita dalam novel memiliki daya tarik
tersendiri bagi pembaca. Terdapat juga
berbagai negosiasi yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh di dalam cerita tersebut.
Negosiasi, saat ini, merupakan
wacana yang sedang ramai dibicarakan
orang. Untuk menggapai kepentingan,
banyak pihak melakukan upaya ini.
Karena sedemikian pentingnya, wacana
negosiasi dicantumkan sebagai salah
satu materi ajar dalam pembelajaran di
sekolah. Oleh karena itu, pembicaraan
tentang wacana negosiasi dalam novel
CIL perlu dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dengan
permasalahan siapakah pihak yang
dominan dan yang dimarjinalkan dalam
wacana negosiasi pada novel CIL karya
Eka Kurniawan. Dengan membahas
permasalahan tersebut, kekuasaan dalam
novel CIL dapat dideskripsikan.
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 237
Penelitian ini menggunakan
landasan teori Fairclough (1989) tentang
prosedur analisis wacana kritis yang
tahapnya terdiri atas tiga, yaitu deskripsi,
interpretasi, dan eksplanasi (hlm. 26).
Menurut Fairclough, (1989)
analisis teks pada tahap deskripsi
mengacu pada tingkatan yang
berhubungan dengan sifat formal teks,
kajiannya meliputi aspek kosakata dan
gramatikal yang tercakup pada aspek
makna eksperensial (ideasional),
interpersonal serta makna tekstual teks,
sedangkan aspek struktur teks ada pada
analisis genre. Secara global, dapat
dikatakan bahwa tahapan deskripsi
adalah tahapan yang mengacu pada fitur-
fitur linguistik. Tahap interpretasi
berkaitan dengan hubungan antara teks
dan interaksi dalam teks yaitu dengan
melihat teks sebagai suatu produk proses
produksi, dan sebagai sumber dalam
proses interpretasi. Tahap ini merupakan
tahap yang menyertakan faktor-faktor
sosial (interpretasi konteks) dari suatu
teks, misalnya tentang siapa yang
terlibat, apa yang sedang terjadi, dalam
hubungan apa, serta apa peran bahasa
pada teks tersebut, selanjutnya baru
ditentukan interpretasi teksnya
berdasarkan hubungannya dengan
interpretasi konteks tersebut. Dijelaskan
lebih detail oleh Fairclough bahwa
interpretasi adalah penggeneralisasian
melalui apa yang ada dalam teks dan apa
yang ada dalam benak si interpreter serta
dalam kerangka berpikir members of
resourses.
Tahapan selanjutnya adalah
eksplanasi. Tahap ini berkaitan dengan
hubungan antara konteks interaksi dan
sosial. Tahapannya berhubunganan
dengan penentuan sosial proses produksi
dan interpretasi serta efek-efek sosial
pada terwujudnya sebuah teks.
Pertanyaan yang muncul pada tahap ini
biasanya adalah apa yang membantu
terbentuknya sebuah wacana yang
berhubungan dengan penentuan sosial
yang meliputi level situasional,
institusional dan kemasyarakatan. Pada
level ideologi, pertanyaan yang muncul
adalah elemen apa yang digambarkan
memiliki muatan ideoligis. Konteks
sebelum menginterpretasi teks
diperlukan interpretasi konteks yang
meliputi teks. Yang dimaksud dengan
konteks di sini adalah konteks situasi
yang terdiri atas: field, tenor dan mode.
Field merupakan medan dalam suatu
wacana yang mengacu pada hal apa yang
sedang terjadi dalam teks serta tindakan
sosial yang sedang berlangsung. Tenor
merupakan pelibat suatu wacana yang
mengacu pada siapa yang terlibat dalam
teks tersebut, kepada siapa teks tersebut
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
238 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
ditujukan, serta apa hubungan yang
terjadi antar pelaku dalam wacana,
misalnya status dan kekuasaan
partisipan, afeksi (suka atau tidak suka
atau netral), kontak (frekuensi dan durasi
kontak, kedekatan). Mode merupakan
sarana dalam suatu wacana yang
menunjukkan bagian yang menjadi
tujuan yang akan dicapai tenor, misalnya
bagaimana bahasa digunakan, tulis atau
lisan, yang digunakan sebagai aksi atau
sebagai refleksi. Sistem appraisal
merupakan sistem evaluasi yang
menyatakan sikap atau makna yang ada
dalam suatu wacana atau teks, yang
mempunyai kekuatan emosional yang
dapat membuat suatu teks bermakna bagi
pembaca (hlm. 141─148).
LANDASAN TEORI
Untuk membahas wacana
negosiasi dalam novel CIL karya Eka
Kuriawan ini dipakai teori wacana
negosiasi. Menurut Kebudayaan (2017),
negosiasi adalah bentuk interaksi sosial
yang berfungsi unuk mencapai
kesepakatan di antara pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan berbeda (hlm.
2). Sementara itu, Kosasih (2014)
mengatakan bahwa negosiasi merupakan
proses penetapan keputusan secara
bersama antara beberapa pihak yang
memiliki kepentingan berbeda.
Negosiasi merupakan suatu cara dalam
menetapkan keputusan yang dapat
disepakati oleh dua pihak atau lebih
untuk mencukupi kepuasan pihak-pihak
yang berkepentingan (hlm. 86).
Secara umum negosiasi sering
diartikan sebagai suatu bentuk interaksi
sosial antara pihak–pihak yang terlibat
yang berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan
bertentangan. Secara formal negosiasi
adalah bentuk pertemuan bisnis antara
dua pihak atau lebih yang bertujuan
untuk mencapai suatu kesepakatan
dalam berbisnis. Negosiasi juga
merupakan perundingan antara dua
pihak yang di dalamnya terdapat proses
memberi, proses menerima, dan proses
tawar-menawar. Negosiasi bertujuan
untuk menyatukan perbedaan pendapat
dari orang-orang yang memiliki
kepentingan berbeda; mencapai
kesepakatan dalam kesamaan persepsi,
pengertian, dan persetujuan; dan
mendapatkan kondisi penyelesaian atau
jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Negosiasi terdiri atas negosiasi
yang berdasarkan situasi, jumlah
negosiator, dan untung rugi. Negosiasi
berdasarkan situasi dibedakan menjadi
negosiasi formal dan negosiasi
nonformal atau informal. Berdasarkan
jumlah negosiator, negosiasi dibedakan
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 239
menjadi negosiasi dengan pihak
penengah dan tanpa pihak pengengah.
Negosiasi berdasarkan untung rugi
terdiri atas (1) negosiasi kolaborasi
(win-win), (2) negosiasi dominasi (win-
lose), (3) negosiasi akomodasi (lose-
win), dan (4) negosiasi menghindari
konflik (lose-lose).
Dalam penelitian ini wacana
negosiasi dikaitkan dengan representasi
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Eriyanto (2009). Menurut Eriyanto
(2009) representasi adalah bagaimana
seseorang atau kelompok, gagasan atau
pendapat tertentu ditampilkan dalam
pemberitaan. Penggambaran tersebut
dilakukan dengan dua cara, yaitu
diperburuk dan apa adanya.
Penggambaran yang diperburuk
merupakan upaya untuk memarjinalkan
seseorang atau kelompok, gagasan atau
pendapat tersebut, sedangkan
penggambaran yang apa adanya adalah
upaya untuk mendominankannya (hlm.
113).
Dalam analisis wacana yang
kritis, ideologi merupakan konsep sentral
karena teks, percakapan, dan sebagainya
adalah bentuk praktik ideologi atau
pencerminan ideologi tertentu. Ideologi
dibangun oleh kelompok yang dominan
untuk mereproduksi dan melegitimasi
dominasi mereka Eriyanto (2009, hlm.
13).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Moleong (2007)
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
bermaksud untuk memahami fenomena
yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
dan tindakan secara holistik dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa pada konteks khusus yang
alamiah dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah (hlm. 6), sedangkan Ratna
(2014) menyatakan bahwa metode
pencarian fakta ini dilakukan dengan
mendeskripsikan fakta-fakta tersebut
kemudian menganalisis serta
menginterpretasikannya dengan tepat
(hlm. 53). Data penelitian ini berupa
kata-kata, kalimat, dan wacana yang
berkaitan dengan kekuasaan dalam novel
Cinta Itu Luka (CIL) karya Eka
Kurniawan. Novel ini diterbitkan
Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-
13, Desember 2017 dengan tebal 505
halaman. Pengumpulkan data dilakukan
dengan metode pustaka atau
dokumentasi dengan teknik simak dan
catat.
Untuk menganalisis ideologi
dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
240 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
Kurniawan penulis memakai langkah-
langkah seperti yang dikemukakan oleh
Darma (2013) yaitu (1) pembacaan
secara kritis-kreatif terhadap novel
Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan;
(2) pengidentifikasian data; (3)
penyajian data yang telah diidentifikasi
adanya (4) penafsiran makna; dan (5)
penyimpulan (hlm. 212).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Representasi Tokoh-Tokoh Utama
dalam Novel Cantik Itu Luka
Sebelum dilakukan pembahasan
tentang representasi tokoh-tokoh dalam
novel CIL, perlu disampaikan tokoh-
tokoh yang terdapat di dalamnya.
Tokoh-tokoh tersebut sebagai berikut.
1. Dewi Ayu, wanita pelacur berdarah
Belanda yang lahir akibat hubungan
tidak direstui karena ayah ibunya
masih bertalian darah satu ayah,
berbeda ibu;
2. Shodancho, lelaki purnawirawan
militer yang beralih menjadi
pengusaha dengan memanfaatkan
status ketika menjabat di kemiliteran;
3. Maman Gendeng, lelaki preman
arogan yang selalu menyelesaikan
masalah dengan kekerasan;
4. Kamerad Kliwon, lelaki pemimpin
organisasi komunis yang dilahirkan
dari seorang ayah komunis;
5. Alamanda, anak pertama Dewi Ayu;
6. Adinda, anak ke-2 Dewi Ayu;
7. Maya Dewi, anak ke-3 Dewi Ayu;
8. Cantik, anak ke-4 Dewi Ayu;
9. Nurul Aini, anak Alamanda dan
Shodanco;
10. Krisan, anak Adinda dan Kamerad
Kliwon; dan
11. Rengganis si Cantik, anak Maya
Dewi dan Maman Gendeng.
Ada empat budaya dalam novel
CIL yang ditampilkan oleh pengarang
melalui wacana negosiasi pada tokoh-
tokoh utamanya. Pertama, Dewi Ayu
sebagai budaya feodal yang suka
menjadikan orang lain sebagai budak. Ini
dapat ditandai dengan kalimat dalam
data 1 dan 2 berikut.
Data 1.
…. Paling tidak, pikirnya ketika itu,
ia bisa dijadikan temannya di rumah,
mencari kutu di rambut setiap sore,
menunggu rumah sementara ia pergi
ke rumah pelacuran. Kurniawan
(2017), hlm. 15)
Data 2.
Kejutan berikutnya: si jawara
memperlihatkan papan sabak yang
ditulisi dengan rapi, tampaknya oleh
seorang gadis. Ia bisa membacanya.
Si jawara juga tidak, tapi si jawara
tahu apa yang ditulis di sana.
“Dewi Ayu ingin kawin
denganmu,” katanya. Kurniawan
(2017, hlm. 30)
Gabungan kata dijadikan teman,
mencari kutu, menunggu rumah pada
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 241
data 2 adalah frase verbal yang
mengarah kepada aktivitas
mempekerjakan orang lain tanpa diberi
upah yang biasa dilakukan oleh orang
berbudaya feodal. Demikian pula,
kalimat Dewi Ayu ingin kawin denganmu
yang didahului dengan kalimat si
jawara memperlihatlan papan sabak
yang ditulisi dengan rapi….
Kedua, Shodancho sebagai
budaya penguasa/kapitalis. Yang
tergambar di dalam data 11 dan 13
berikut.
Data 11. Sang Shodancho masih
menguasai seruas kecil wilayah kota
itu, dari markasnya di mana ia
memasang papan nama Komandan
Rayon Militer. Kurniawan (2017,
hlm. 129)
Data 13. "Apakah kau tak ingin pergi ke
hutan lagi?" tanya Tino Sidiq
akhirnya.
Tidak." Itu ia buktikan dengan
memasang papan nama di depan
bekas markas shodannya: Rayon
Militer Halimunda.
Kepada Mayor Sadrah yang
muncul secara tiba-tiba setelah
mendengar keputusannya untuk
tinggal di kota dan terutama
pendirian rayon militer yang sesuka
hati, ia berkata pendek, "Kini aku
Komandan Rayon Militer, setia pada
sumpah prajurit, dan menunggu
perintah." …. Kurniawan (2017, hlm.
167)
Kalimat Itu ia buktikan dengan
memasang papan nama di depan bekas
markas shodannya: Rayon Militer
Halimunda mendeskripsikan karakter
penguasa yang memaksakan kehendak
sendiri demi ambisi pribadi. Ini
diperkuat dengan kalimat Kini aku
Komandan Rayon Militer, setia pada
sumpah prajurit, dan menunggu
perintah. Kalimat terakhir ini
mempertegas arogansi kekuasaan yang
dimiliki seorang Shodancho. Perangai
Shidancho yang kapitalis tampak jelas
dalam data 20 berikut.
Data 20.
…. Melihat itu sang Shidancho
berkomentar bahwa di masa yang
akan datang penangkapan ikan
seperti nelayan-nelayan itu sudah
seharusnya ditinggalkan perlahan-
lahan. Kapal-kapal besar yang bisa
menampung puluhan nelayan dengan
ikan tangkapan lebih banyak dan
risiko rematik yang lebih sedikit
akan menggantikan perahu-perahu
lecil mereka yang rentai terhadap
badai. Para nelayan tak akan lagi
banyak berhubungan dengan air
laut. … Kurniawan (2017, hlm. 219)
Kalimat Kapal-kapal besar yang
bisa menampung puluhan nelayan
dengan ikan tangkapan lebih banyak
sangat jelas mencerminkan karakter
kapitalisnya. Ia juga tidak peduli dengan
kepentingan orang lain seperti
disebutkan pada kalimat Melihat itu sang
Shidancho berkomentar bahwa di masa
yang akan datang penangkapan ikan
seperti nelayan-nelayan itu sudah
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
242 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
seharusnya ditinggalkan perlahan-
lahan.
Karakter Shodancho yang
kapitalis dan tak peduli dengan orang
lain lebih banyak lagi dituliskan dalam
data 21 berikut.
Data 21.
Setelah satu minggu berkabung,
Sang Shodancho mulai
memerintahkan kapal-kapalnya
datang kembali, mencari ikan di
tempat yang sebelumnya lagi dan
menjual ikan di pelelangan yag sama
lagi, dalam satu upaya membalas
dendam terhadap Kamerad Klwon
dan teman-temannya. Para buruh di
kapal penangkap ikan memprotes
rencana tersebut karena mereka
merasa takut terhadap ancaman
yang akan membakar kapal-kapal itu
berani muncul lagi di daerah
tradisional mereka. Sang Shodancho
tak peduli dan memecat siapa pun
yang tak sepakat dengannya.
Kurniawan (2017, hlm. 297)
Kalimat Sang Shodancho mulai
memerintahkan kapal-kapalnya dan
Sang Shodancho tak peduli dan memecat
siapa pun semakin memperjelas karakter
Shodancho.
Data 22.
Sang Shodancho mengacuhkan
tuntutannya dan tetap
memerintahkan kapal-kapal itu tetap
beroperasi sebagaimana biasa,
kecuali kali ini dikawal para prajurit
dari rayon militer dengan senjata
lengkap. Kurniawan (2017, hlm.
297)
Budaya penguasa yang arogansi
tecermin dari kalimat kapal-kapal itu
tetap beroperasi sebagaimana biasa,
kecuali kali ini dikawal para prajurit
dari rayon militer dengan senjata
lengkap.
Ketiga, Maman Gendeng sebagai
budaya kekerasan. Data 7, 9, dan 10
berikut dapat mendeskripsikan karakter
tokoh tersebut.
Data 7.
Orang-orang masih mengingat
dengan baik bagaimana laki-laki itu
datang ke Halimunda di suatu pagi
yang ribut, ketika ia berkelahi
dengan beberapa nelayan di pantai.
…. Di akhir masa kolonial, dengan
sia-sia ia mencoba mengembara
namun tak menemukan musuh
maupun lawan. Kurniawan (2017,
hlm. 112))
Data 9
Maman Gendeng lama tak
bertarung, melampiaskan hasrat
tubuhnya dengan menenggelamkan
mereka, namun itu bukan halangan
yang pertama. Kurniawan (2017,
hlm. 120)
Data 10
Maman Gendeng kembali
bertanya tentang lelaki terkuat,
sungguh-sungguh yang paling kuat,
di kota itu. …
“Berikan kekuasaanmu padaku,”
kata Maman Gendeng kepadanya,
“atau kita bertarung sampai
seseorang mati.” Kurniawan (2017,
hlm. 128)
Kata-kata rebut, berkelahi,
bertarung, menenggelamkan, dan
bertarung pada data 7, 9, dan 10 tersebut
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 243
mendeskripsikan karakter keras dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Keempat, Kamerad Kliwon
sebagai budaya komunis seperti yang
tercantum dengan pada data 15 berikut.
Data 15.
Tak seorang pun tahu bagaimana
Kamerat Kliwon akhirnya menjadi
seorang pemuda komunis, padahal
meskipun ia bukan pemuda yang
cukup kaya, ia menjalani hidupnya
dengan cara yang sangat
menyenangkan. Ayahnya memang
seorang komunis …. Tapi sebelum
ini tak ada tanda-tanda bahwa
Kliwon akan mengikuti jejaknya….
Kurniawan (2017, hlm. 168)
Melalui wacana negosiasi dalam
CIL dapat diketahui representasi dari
empat budaya tersebut.
Negosiasi Kolaborasi (Win-Win)
Sebagian besar dari kita sering
menerapkan budaya negosiasi
kolaborasi. Kita sering menyebutnya
dengan “winwin solution”. Ini wajar
dilakukan oleh semua orang karena pada
dasarnya, manusia tidak mau merugi
dalam hal apa pun. Agar semua pihak
diuntungkan, negosiasi netral yang
dilakukan adalah negosiasi kolaborasi.
Dalam CIL, ketika budaya
kekerasan berhadapan dengan budaya
feodal, terjadi negosiasi secara
kolaborasi. Hal ini tampak pada
peristiwa ketika Maman Gendeng
berniat menjadikan Dewi Ayu sebagai
istrinya, Dewi Ayu menolak. Akan
tetapi, Dewi Ayu menyetujui solusi
untuk menjawab keinginan Maman
Gendeng karena hakikatnya Maman
mencintai Dewi Ayu hanya untuk
memiliki tubuhnya. Perhatikan data 11
berikut!
Data 11. "Menyedihkan," kata sang
pelacur. "Kau lelaki ketiga puluh
dua yang mencoba memilikiku.”
Itu tak membuat sang preman
terkejut, sebab ia telah menduganya
dengan sangat tepat. Hal ini
memberinya sedikit keberanian untuk
bicara. “Jika aku tak bisa
mengawinimu,” katanya, "paling
tidak aku membayarmu setiap hari
sebagai pelacur.
“Masalahnya lelaki tak setiap
hari bisa meniduriku, dan aku akan
sering menerima uang buta,” kata
Dewi Ayu sambil tertawa kecil.
“Tapi aku suka, paling tidak, jika
aku hamil kini aku tahu siapa
ayahnya.” Jadi kau sepakat bahwa
kau jadi pelacurku seumur
hidupmu?” tanya Maman Gendeng.
Kurniawan (2017, hlm. 133)
Bagian klausa Jika aku tak bisa
mengawinimu dalam novel tersebut
merupakan upaya negosiasi yang
dilakukan oleh pelaku yang mempunyai
kepentingan. Dengan penambahan induk
kalimat paling tidak aku membayarmu
setiap hari sebagai pelacur dalam
wacana negosiasi tersebut membuktikan
bahwa negosiasi yang dilakukan bersifat
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
244 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
kolaborasi. Dengan menjadi pelanggan
tetap Dewi Ayu, Maman Gendeng dapat
menikmati Dewi Ayu dengan cara
mengeluarkan uang seperti yang
dinginkan Dewi Ayu. Pada kondisi
seperti ini, keduanya tidak dirugikan.
Terlebih-lebih terjadinya kesepakatan
yang ditandai dengan kalimat Jadi kau
sepakat bahwa kau jadi pelacurku
seumur hidupmu?.
Tidak berbeda dengan negosiasi
yang dilakukan antara Alamanda yang
mewakili budaya Indonesia dan
Shodancho yang mewakili budaya
penguasa/kapitalis (data 24) berikut.
Data 24.
“Katakan, Shodancho, ia akan
mati pukul lima dini hari ini, kan?”
tanya Alamanda tiba-tiba dari
kegelapan.
“Ya.” jawab Sang Shodancho
tanpa menoleh.
“Akan kubuka mantra itu dan
kuberikan cintaku untukmu jika kau
menjamin bahwa laki-laki itu akan
hidup,” kata Alamanda lagi, dengan
suara nyaring dan penuh kepastian.
Sang Shodancho tiba-tiba bangun
dan duduk memandang istrinya
dalam kegelapan kamar. Keduanya
saling memandang sejenak dalam
satu transaksi paling aneh antara
sepasang suami istri.
“Aku serius, Shodancho.”
“Transaksi yang cukup adil,” kata
Sang Shodancho, "meskipun itu
membuatku sangat cemburu.
Kurniawan (2017, hlm. 346─347)
Alamanda pada wacana negosiasi
tersebut berlaku sebagai negosiator
untuk menyelamatkan Kamerad Kliwon
dari hukuman mati. Penawaran yang
diberikan kepada Shodancho tampak
pada kalimat Akan kubuka mantra itu
dan kuberikan cintaku untukmu jika kau
menjamin bahwa laki-laki itu akan
hidup. Kesepakatan terjadi dengan
penanda kalimat Transaksi yang cukup
adil yang dikemukakan Shodancho.
Pada jenis negosiasi yang seperti
ini, pihak yang dominan dalam negosiasi
masih samar. Meskipun dapat
ditentukan, simpulan yang diambil
terlalu dini seperti negosiasi yang
dilakukan pada data 11 dan 27 tersebut.
Pada kondisi seperti itu budaya komunis
(Kamerad Kliwon) dan budaya
penguasa/kapitalis (Shodancho)
merupakan pihak yang diunggulkan
karena dialah yang dapat menentukan
negosiasi tersebut diterima atau tidak.
Negosiasi Dominasi (Lose-Lose)
Untuk mencapai apa yang
diinginkan, banyak pihak melakukan
dominasi terhadap orang lain dalam
bernegosiasi seperti negosiasi yang
terdapat pada data 4 berikut.
Data 4. “Kenapa kau takut padaku? Aku
hanya ingin disentuh olehmu, dan
tentu saja disetubuhi, sebab kau
suamiku.”
Mak Gedik tak menjawab apa
pun.
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 245
“Pikirkanlah, kita kawin dan kau
tak menyetubuhiku,” katanya lagi.
“Aku tak akan pernah bunting
dan orang-orang akan bilang
kemaluanmu tak lagi berfungsi.”
“Kau iblis betina perayu,” kata
Mak Gedik akhirnya.
“Si Cantik yang menggoda,”
Dewi Ayu menambahkan.
“Kau tak lagi perawan.”
“Tentu saja itu tidak benar,”
kata Dewi Ayu sedikit tersinggung.
“Setubuhilah aku maka kau tahu
bahwa kau salah.”
….
“Demi iblis, aku tak akan
melakukannya sebab aku tahu kau
tak perawan.” Kurniawan (2017,
hlm. 53─54)
Perlakuan budaya feodal (Dewi
Ayu) sebagai istri terhadap Mak Gedik,
suami, merupakan negosiasi dominan.
Ini tampak dalam kalimat Setubuhilah
aku maka kau tahu bahwa kau salah.
Pemaksaan yang dilakukan oleh Dewi
Ayu mendeskripsikan dominansinya
terhadap Mak Gedik sebagai pihak yang
termarjinalkan yang tampak dalam
kalimat Demi iblis, aku tak akan
melakukannya sebab aku tahu kau tak
perawan. Lewat ideologinya pengarang
mencoba menghegemoni pembaca
bahwa dalam budaya feodal perempuan
(istri) dapat juga melakukan paksaan
dalam melakukan hubungan seks
terhadap laki-laki (suami). Perempuan
yang memiliki kekuasaan (cantik dan
berpengaruh) selalu mendominasi laki-
laki yang dianggap lemah.
Negosiasi yang sama juga
dilakukan Shodancho kepada Dewi Ayu
saat melamar anaknya, Alamanda (data
12).
Data 12.
"Kau menodongkan pistol seperti
seorang pengecut, "kata sang
pelacur dengan jengkel. "Itu
kebiasaan buruk, maafkan aku,
Nyonya," kata Shodancho.“Aku
hanya ingin tanya, apakah aku bisa
mengawini anak sulungmu,
Alamanda?"
Dewi Ayu mencibir dengan
penuh ejekan, dan mengingatkannya
bahwa perlakuan buruk terhadap
ibunya akan berakibat buruk pada
keinginannya. Tapi kemudian ía
berkata dengan sedikit rasional:
"Alamanda punya otak dan tubuh
sendiri, tanyakan langsung padanya
apakah ia mau kawin denganmu atau
tidak. Di dalam hati ia berkata,
tentara kurus ini sangatlah
menyedihkan, melamar dengan cara
itu.
“… Alamanda hanya mencintai
seorang lelaki yang pergi dan ia
menunggunya. Tak ada bedanya, kau
harus tanya Alamanda," kata Dewi
Ayu lagi. Jika ia mau kawin
denganmu akan kubuatkan pesta
yang meriah, jika ia tak ingin kawin
denganmu, kusarankan untuk bunuh
diri.” Kurniawan (2017, hlm. 136)
Dalam kalimat negosiasi
dominannya Kau menodongkan pistol
seperti seorang pengecut dan Aku hanya
ingin tanya, apakah aku bisa mengawini
anak sulungmu, Alamanda?, budaya
penguasa/kapitalis (Shodancho) ingin
menunjukkan bahwa kekuasaannya
melebihi kekuasaan yang dimiliki
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
246 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
budaya feodal (Dewi Ayu). Dengan
demikian, budaya penguasa/kapitalis
berlaku sebagai pihak yang dominan,
sedangkan budaya feodal berada di pihak
yang dimarjinalkan. Ideologi yang ingin
disampaikan oleh pengarang adalah
budaya penguasa/kapitalis melalui
kekuasaan dalam arti yang sebenarnya
(pejabat) mengalahkan budaya feodal
kekuasaan dalam arti cantik dan
berpengaruh.
Hakikatnya, kekuasaan bersifat
nisbi karena di atas kekuasaan terdapat
kekuasaan yang lebih besar lagi..
Ideologi inilah yang ingin disampaikan
pengarang lewat hegemoninya dalam
negosiasi dominasi Maman Gendeng
kepada Shodancho (data 14).
Data 14. "Dengar, Shodancho." Dan
menambahkan dengan segera: "Tak
seorang pun boleh tidur dengan
Dewi Ayu kecuali aku, dan
kukatakan jika kau berani kembali ke
tempat tidurnya, aku akan
memporakporandakan tempat ini
tanpa ampun." Betapa marahnya
Shodancho itu mendengar seseorang
yang belum dikenalnya mengancam
begitu rupa: di sini, di kantornya
sendiri. Ia bertanya-tanya apakah
lelaki ini belum mengetahui siapa
dirinya. Negara bisa
menggantungnya hanya dengan
membiarkan mulutnya mengatakan
bahwa lelaki itu harus digantung
Kurniawan (2017, hlm. 136)
Negosiasi antara budaya
kekerasan (Maman Gendeng) dan
budaya penguasa/kapitalis (Shodancho)
dimenangkan oleh budaya kekerasan.
Kalimat Dengar, Shodancho… Tak
seorang pun boleh tidur dengan Dewi
Ayu kecuali aku, dan kukatakan jika kau
berani kembali ke tempat tidurnya, aku
akan memporakporandakan tempat ini
tanpa ampun. Tidak ada halangan ketika
kekerasan memonopoli apa yang
dimiliki budaya penguasa/kapitalis.
Hegemoni ideologi yang ingin
disampaikan pengarang lewat negosiasi
dominan tersebut terdapat data 23
berikut.
Data 23.
Kenyataannya kapal-kapal itu
kembali lagi, mencari ikan lagi di
perairan dangkal dan menjual ikan
di pelelangan mereka. Tak
tergoyahkan oleh ancaman semacam
itu, seorang nelayan berkata pada
Kamerad Kliwon, "Tak ada cara
lain, Kamerad, kita harus membakar
kapal-kapal Shodancho." Kurniawan
(2017, hlm. 302)
Ada upaya menyusupkan budaya
komunis dalam budaya
penguasa/kapitalis dalam wacana
negosiasi pada novel CIL tersebut.
Dengan cara yang memaksa, upaya itu
digambarkan oleh pengarang dalam
kalimat Tak ada cara lain, Kamerad,
kita harus membakar kapal-kapal
Shodancho.
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 247
Negosiasi Akomodasi (Lose-Win)
Dalam lingkungan masyarakat
terkadang ada pihak-pihak yang rela
berkorban demi kepentingan orang lain.
Dalam wacana negosiasinya, ia sering
memakai negosiasi akomodasi (lose-win)
seperti itu yang terdapat dalam novel
CIL (data 6) berikut.
Data 6. “Biar kutemui sendiri," katanya
dengan geram. Dewi Ayu menemui
Komandan Kamp di kantornya.
Masuk begitu saja tanpa mengetuk
pintu. Sang Komandan tengah duduk
di kursinya, menghadapi kopi dingin
di atas meja dan radio yang
mendengung tak menyiarkan apa
pun. Lelaki itu menoleh dan terkejut
dengan kelancangan tersebut.
Wajahnya memancarkan kemarahan
orang yang sesungguh-sungguhnya.
Namun, sebelum ia meledak marah,
Dewi Ayu telah melangkah berdiri di
hadapannya hanya terpisah oleh
meja.
“Aku gantikan gadis yang tadi,
Komandan. Kau tiduri aku tapi beri
ibunya obat dan dokter. Dan
dokter!” Kurniawan (2017, hlm. 71)
Demi menyelamatkan orang tua
Ola, Dewi Ayu rela menyerahkan
tubuhnya sebagai alat tukar kesembuhan
ibu Ola. Ini tampak dalam kalimat Aku
gantikan gadis yang tadi, Komandan.
Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan
dokter. Dan dokter!” Hal ini
dilakukanya setelah kegagalan Ola
bernegosiasi kepada Komandan Jepang.
Dalam menghadapi kekuasaan asing,
budaya feodal berada pada pihak yang
dimarjinalkan, sedangkan kekuasaan
asing sebaliknya. Pengarang ingin
menyampaikan ideologi dengan cara
menghegemoni pembaca bahwa perang
merupakan arena pertempuran fisik dan
batin yang menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan kekuasaan.
Keberhasilan bernegosiasi seperti ini
bukan ukuran dalam memandang
wacana negosiasi. Memang, pada
wacana negosiasi antara Dewi Ayu dan
Komandan Jepang, pengarang
memenangkan negosiasi yang dilakukan
oleh budaya feodal (Dewi Ayu), tetapi
pada wacana negosiasi yang lain justru
sebaliknya. Sebagai contoh ditemukan
pada negosiasi dalam data 8,13, 16, 17,
dan 19 berikut.
Data 8. “Nasiah, maukah kau jadi
istriku?” tanyanya dengan wajah
penuh permohonan. “Jika perang
selesai, aku akan mengawinimu.”
Gadis itu malahan menangis dan
menggeleng.
“Tuan Gerilya,” kata gadis itu
terbata-bata. “Tidakkah kau lihat
lelaki di sampingku? Ia begitu
lemah, memang. Ia tak mungkin
pergi ke laut buat cari ikan, dan
apalagi pergi berperang seperti
Tuan. Tuan bisa membunuhnya
dengan sangat mudah, dan Tuan
bisa dapatkan aku semudah Tuan
menenteng ikan layang. Tapi jika itu
terjadi, izinkanlah aku mati
bersamanya, sebab kami saling
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
248 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
mencintai dan tak ingin dipisahkan”
Kurniawan (2017, hlm. 116)
Data 8 tersebut merupakan
negosiasi Maman Gendeng dengan
Nasiah. Penawaran yang disampaikan
oleh Maman tampak dalam kalimat
Nasiah, maukah kau jadi istriku?.
Negosiasi yang dilakukan berakhir
dengan kemenangan Nasiah yang
ditandai dengan kalimat Tapi jika itu
terjadi, izinkanlah aku mati bersamanya,
sebab kami saling mencintai dan tak
ingin dipisahkan.
Data 13. "Apakah kau tak ingin pergi ke
hutan lagi?" tanya Tino Sidiq
akhirnya.
Tidak." Itu ia buktikan dengan
memasang papan nama di depan
bekas markas shodannya: Rayon
Militer Halimunda.
Kepada Mayor Sadrah yang
muncul secara tiba-tiba setelah
mendengar keputusannya untuk
tinggal di kota dan terutama
pendirian rayon militer yang sesuka
hati, ia berkata pendek, "Kini aku
Komandan Rayon Militer, setia pada
sumpah prajurit, dan menunggu
perintah."
“Jangan membuat lelucon. Kau
seorang jenderal dan tempatmu di
samping presiden," kata Mayor
Sadrah. “Aku akan menjadi apa pun
asalkan tetap di kota ini, di samping
gadis yang namanya kau sebutkan
untukku,” katanya dalam nada yang
begitu menyedihkan, “Bahkan
seandainya aku harus menjadi
seekor anjing sekalipun.”
Sadrah memandang sahabatnya
dengan tatapan iba yang begitu
dalam. “Gadis itu sudah punya
kekasih,” kata Mayor Sadrah setelah
kebimbangan sejenak. Ia tak
sanggup memandang wajah Sang
Shodancho, maka sambil
memandang ke arah lain, ia
melanjutkan, "Seorang pemuda
bernama Kliwon. la tahu bahwa ia
telah mengatakan sesuatu yang
menyakitkan hati. Kurniawan (2017,
hlm. 167)
Negosiasi pada data 13 tersebut
tampak pada kalimat Kau seorang
jenderal dan tempatmu di samping
presiden dan Aku akan menjadi apa pun
asalkan tetap di kota ini, di samping
gadis yang namanya kau sebutkan
untukku. Pada negosiasi tersebut budaya
penguasa/kapitalis Shodancho berada
pada pihak yang dominan, sedangkan
Mayor Sadrah sebaliknya.
Data 16. “Aku jatuh cinta,” kata Kliwon
pada ibunya.
“Itu lebih menyedihkan.” Mina,
ibunya, duduk di samping Kliwon
dan mengelus rambutnya yang ikal
dan dibiarkan memanjang.
“Pergilah dan mainkan gitar di
bawah jendela kamarnya
sebagaimana biasa.”
“Aku pergi untuk merayu
ibunya,” kata Kliwon nyaris
menangis. "Ibunya tak kuperoleh dan
tiba-tiba aku jatuh cinta pada
anaknya, dan tampaknya juga tak
akan kuperoleh."
"Kenapa tidak? Adakah gadis
yang tak menginginkanmu?"
"Mungkin gadis ini," kata Kliwon
pendek dan merebahkan dirinya di
pangkuan Mina, seperti anak kucing
yang manja. "Namanya Alamanda.
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 249
Seandainya aku harus jadi komunis
dan memberontak dan menghadapi
sederet regu tembak sebagaimana
pernah terjadi pada ayah dan
Kamerad Salim untuk memperoleh
gadis ini, aku akan melakukannya.”
Kurniawan (2017, hlm. 173)
Dalam data 16 tersebut
penawaran pada wacana negosiasi
ditandai dengan kalimat Seandainya aku
harus jadi komunis dan memberontak
dan menghadapi sederet regu tembak
sebagaimana pernah terjadi pada ayah
dan Kamerad Salim untuk memperoleh
gadis ini, aku akan melakukannya.
Negosiasi ini berakhir dengan
kemenangan Kamerad Kliwon karena
cintanya diterima oleh Alamanda
walaupun akhirnya dikandaskan oleh
Shodancho.
Data 17. “Apa kabar? Aku dengar kau
sakit."
“Ya, sakit karena cinta." Apakah
cinta sejenis malaria?”
“Lebih mengerikan." Si gadis
tampak bergidik, lalu sambil
menuntun adiknya, ia melangkah
berjalan menuju sekolah. Kliwon
menyusul dan berjalan di
sampingnya, tampak menderita
sebelum akhirnya berkata.
“Dengar gadis kecil," katanya.
"Maukah kau mencintaiku?"
Alamanda berhenti dan menoleh
kepadanya, lalu menggeleng.
”Kenapa?" tanya Kliwon
kecewa.
"Kau sendiri yang bilang, cinta
lebih mengerikan dari malaria.”
Alamanda menggandeng kembali
tangan adiknya, melangkah
melanjutkarn perjalanan. la
meninggalkan Kliwon yang untuk
kedua kalinya, ambruk alam demam
yang lebih membuatnya menderita.
Kurniawan (2017, hlm. 177)
Data 17 tersebut merupakan
wacana negosiasi antara Kamerad
Kliwon dan Alamanda. Negosiasi dalam
kutipan itu ditandai dengan kalimat
penawaran Maukah kau mencintaiku
yang ditawarkan oleh Kliwon.
Penawaran itu tidak berakhir seperti
yang diinginkan Kliwon karena
Alamanda tidak menyepakatinya Kau
sendiri yang bilang, cinta lebih
mengerikan dari malaria.
Data 19. Perpisahan tersebut begitu
menyakitkan sehingga Alamanda
akhirnya memohon pada Kamerad
Kliwon:
“Perkosalah aku sebelum kau
pergi.”
“Tidak,” kata Kamerad Kliwon.
“Kenapa? Kau meniduri hampir
semua gadis Halimunda tapi kau tak
mau memerkosa kekasihmu
sendiri?”
“Sebab kau berbeda.” Itu benar.
Kamerad Kliwon tak akan takluk
oleh apa pun dan bersikeras tak
akan menyentuh kemaluan gadis itu.
“Sampai kita kawin,” katanya,
seperti pemuda-pemuda alim.
Kurniawan (2017, hlm. 210)
Negosiasi los-win juga
ditampilkan oleh data 19 di atas.
Negosiasi tersebut terjadi antara
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
250 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
Kamerad Kliwon dan Alamanda ketika
akan berpisah di stasiun kereta api.
Negosiasi diawali oleh penawaran dari
Alamanda dalam kalimat Perkosalah
aku sebelum kau pergi. Negosiasi
tersebut tidak mengalami kesepakatan
karena penolakan Kliwon. Dari negosiasi
tersebut diketahui bahwa pihak Kliwon
berada pada pihak yang dominan,
sedangkan Alamanda sebaliknya.
Negosiasi Menghindari Konflik (Lose-
Lose)
Dalam kehidupan sehari-hari,
banyak pihak memilih untuk melakukan
tindakan yang pada dasarnya tidak
diingingkan. Namun, demi menjaga
ketertiban, kenyamanan, dan keamanan
di lingkungan sekitar, banyak pihak
bernegosiasi secara lose-lose. Budaya ini
ternyata ada dalam novel CIL (2014,
hlm. 32) (data 3).
Data 3. Hal ini sama sekali tak
menghibur, malahan membuat Ma
Gedik jatuh di pinggir jalan yang
berpasir, menangis meraung-raung
meratapi kemalangan dirinya. Si
gadis menyurah kusir berhenti
sejenak, mundur dan ia turun berdiri
di depan lelaki itu. Disaksikan si
kusir tua, kodok yang bernyanyi,
burung hantu, nyamuk, dan ngengat,
membuat perjanjian.
“Enam belas tahun yang akan
datang. Tuan Belanda itu akan
bosan denganku. Tunggulah di
puncak bukit cadas jika kau masih
mencintaiku dan terutama jika
masih menginginkan sisa-sisa orang
Belanda.” Kurniawan (2017, hlm.
32)
Peristiwa yang ditampilkan
dalam novel tersebut adalah seorang
lelaki (Mak Gedik) tidak merelakan
kekasihnya (Mak Iyang) dijadikan
gundik Belanda (Stamler). Namun,
karena paksaan yang sangat keras oleh
pihak-pihak Belanda, para jawara, Mak
Iyang tidak dapat menolak kondisi itu. Ia
hanya bersikap pasrah dan juga
menginginkan Mak Gedik bersikap
sama. Pada kondisi seperti ini, budaya
menghindari konflik akan menyuburkan
sikap penindasan oleh penguasa
(diwakili oleh Stamler). Perempuan
sebagai objek seks dihegemoni oleh
pengarang dengan ideologi bahwa
menjadi gundik penguasa adalah
“menyenangkan” karena setelah dua
belas tahun akan kembali kepada sang
kekaksih. Mak Gedik sebagai pihak yang
dimarjinalkan tidak dapat menolak
kondisi tersebut karena negosiasi yang
dilakukan oleh sang kekasih (Mak
Iyang).
Penguasa dalam wacana
negosiasi dalam data 1 tidak hanya
ditafsirkan sebagai penjajah. Namun,
juga mengarah kepada kapitalis yang
dapat menguasai perempuan sebagai
objek seks. Perhatikan data 5 berikut!
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 251
Data 5. Ola kembali tanpa obat, sebaliknya,
ia menangis lebih kencang.
“Biarlah ia mati,” katanya
sambil sesenggukan.
“Apa kau bilang?” tanya Dewi
Ayu. Ola menggeleng dengan lemah
sambil melap air matanya dengan
ujung lengan baju. "Tak
mungkin”katanya pendek.
“Komandan itu mau memberiku obat
jika aku tidur dengannya.”
Kurniawan (2017, hlm. 71)
Demi menghindarkan diri
sebagai objek seks, perempuan (Ola)
bernegosiasi secara lose-lose meskipun
harus membiarkan ibunya meninggal
dunia. Ini ditandai dengan kalimat
Biarlah ia mati. Sepintas tindakan Ola
merupakan dominasi terhadap
kesempatan hidup ibunya. Akan tetapi,
sikap Ola muncul sebagai hasil negosiasi
dominansi di dalam dirinya terhadap
perlakuan komandan Jepang. Ini tampak
pada kalimat Tak mungkin dan
Komandan itu mau memberiku obat jika
aku tidur dengannya.
Negosiasi dengan Pihak Penengah
Budaya negosiasi dalam
kehidupan kita bukan hanya dipandang
dari sisi keuntungannya, melainkan juga
dari sisi jumlah negosiator yang terlibat
di dalamnya. Untuk “memuluskan”
capaian, banyak pihak melibatkan orang
lain dalam negosiasinya. Pelibatan
negosiator ini tidak hanya secara formal,
seperti dalam pengadilan dan perjanjian
kerja sama, tetapi juga secara nonformal
seperti data 18 berikut.
Data 18. “Ia ingin mati telanjang, polos
seperti bayi yang dilahirkan,” kata
Kliwon.
“Itu tak mungkin,”kata Sang Kapten.
“Tak ada orang yang suka melihat
kemaluannya tergantung ke mana-
mana, terutama jika ia orang
komunis.”
“Itu permintaannya yang
terakhir.”
“Tak mungkin”
“Kalau begitu lakukanlah di
kamar mandi,” kata Kliwon.
“Biarkan ia telanjang, mungkin ia
ingin buang tai dulu, dan
tembaklah.”
“Seorang komunis nomor satu
mati di kamar mandi,” kata Sang
Kapten sambil menganggukkan
kepala. “Cerita bagus untuk buku
sejarah kelak.” Kurniawan (2017,
hlm. 184)
Kalimat Ia ingin mati telanjang,
polos seperti bayi yang dilahirkan yang
disampaikan oleh pihak penengah
(Kliwon) merupakan awal wacana
negosiasi Kamerad Salim. Meskipun
akhirnya ia mati dengan peluru
eksekutornya yangtampak dalam kalimat
Sang Kapten sambil menganggukkan
kepala, ia merupakan pihak yang
dominan karena penawarannya
disepakati oleh esksekutor.
Dengan demikian, dapat
diinterpretasikan bahwa representasi
setiap tokoh dalam novel CIL semakin
jelas dinarasikan pada akhir cerita.
Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …
252 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253
Budaya feodal (Dewi Ayu) dihilangkan
oleh pengarang. Demikian pula dengan
budaya komunis (Kamerad Kliwon),
kekerasan (Maman Gendeng), dan
penguasa/kapitalis (Shodancho).
Ideologi yang diselipkan dalam tokoh
Shondancho tersirat dalam peristiwa
tidak kembalinya Shodancho yang
mempengaruhi pembaca bahwa
penguasa/kapitalis masih berpotensi ada
di Indonesia.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dalam novel CIL budaya feodal (Dewi
Ayu) lebih dominan daripada budaya
komunis (Kamerad Kliwon) dan budaya
penguasa/kapitalis (Shodanco) lebih
dominan daripada budaya feodal.
Budaya komunis (Kamerad Kliwon)
lebih dominan daripada budaya
penguasa/kapitalis (Shodanco),
sedangkan budaya feodal (Dewi Ayu)
lebih dominan daripada budaya
kekerasan (Maman Gendeng). Budaya
kekerasan (Maman Gendeng) lebih
dominan daripada budaya
penguasa/kapitalis (Shodanco). Dari
budaya yang dominan tersebut dapat
dapat diketahui bahwa budaya komunis
(Kamerad Kliwon) dimarjinalkan
daripada budaya feodal (Dewi Ayu),
budaya feodal (Dewi Ayu) dimarjinalkan
daripada budaya penguasa/kepitalis
(Shodanco), budaya penguasa/ kapitalis
(Shodanco) dimarjinalkan daripada
budaya komunis (Kamerad Kliwon),
budaya kekerasan (Maman Gendeng)
dimarjinalkan daripada budaya budaya
feodal (Dewi Ayu), dan budaya
penguasa/kapitalis (Shodanco)
dimarjinalkan daripada budaya
kekerasan (Maman Gendeng).
Dalam novel CIL, pengarang
menyampaikan ideologinya melalui
hegemoni wacana negosiasi kolaborasi
(win-win), dominasi (win-lose),
akomodasi (lose-win), dan menghindari
konflik (lose-lose).
Mengingat sangat kompleksnya
ideologi yang disampaikan dalam novel
CIL, para pembaca perlu diingatkan agar
tidak menafsirkan sendiri dalam
memahami isi cerita novel tersebut.
Selain itu, bagi para peneliti, penelitian
dengan sudut pandang yang lain yang
sumber data novel CIL perlu terus
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, D. K. I. (2013). Analisis
Wacana Kritis pada Novel Ksatria
Pembela Kurawa Narasoma Karya
Pitoyo Amrih. Jurnal Skriptorium,
Volume 2, 61─76.
Crisdina, C. (2018). Ketidakadilan
Gender dalam Novel Cantik Itu
Luka Karya Eka Kurniawan:
Zainal Abidin
© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 253
Tinjauan Feminisme dan
Implementasinya sebagai Bahan
Ajar Sastra di SMA. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Darma, Y. A. (2013). Analisis Wacana
Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Eriyanto. (2009). Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media.
Jogyakarta: PT. LKiS Jogyakarta.
Fairclough, N. (1989). Language and
Power. London: Longman.
Fitriani, F. dan A. E. (2018). Nilai-Nilai
Kehidupan dalam Novel Dilan, Dia
Adalah Dilanku Tahun 1990 dan
Implementasinya pada
Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Jurnal Mabasan, Volume 12,
137─150.
Idayatiningsih, R. (2017). Perlawanan
terhadap Dominasi Kekuasaan
dalam Novel Pasung Jiwa Karya
Okky Madasari (Analisis Wacana
Kritis). Jurnal Lingua Franca:
Jurnal Bahasa, Sastra, Dan
Pengajarannya, Volume 5,(42 ─
62).
Kebudayaan, K. P. dan. (2017). Teks
Negosisiasi. In Bahasa Indonesia
Paket C Setara SMA/MA. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan
Keaksaraan dan Kesetaraan.
Khoirunnisa. (2017). Diskriminasi
Gender dan Agensi Perempuan
dalam Novel Cantik itu Luka Karya
Eka Kurniawan. Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kosasih, E. (2014). Jenis-Jenis Teks
dalam Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia SMA/MA/SMK. Jakarta:
Yrama Widya.
Kurniawan, E. (2017). Cantik Itu Luka.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kurniawati, A. (2018). Kajian
Feminisme dalam Novel Cantik Itu
Luka Karya Eka Kurniawan. Jurnal
Parole, Volume 1 N, 195–206.
Moloeng, L. J. (2007). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Mustofa. (2014). Analisis Wacana Kritis
(AWK) dalam Cerpen Dua Sahabat
Karya Budi Darma: Konteks
Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Jurnal BASTRA, Volume
1, 13 ─ 22.
Ratna, N. K. (2014). Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.